MEMBANGUN PENDIDIKAN TINGGI ISLAM BERBASIS MUTU Mujtahid Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Pendahuluan Secara kuantitas, Pendidikan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia sangat banyak, tidak kurang dari 5391 swasta dan 56 Negeri, mulai dari status akademi, sekolah tinggi, institut, dan universitas. Namun bila ditilik dari segi kualitas, jumlah yang sangat besar itu belumlah menggembirakan. Artinya kualitas PTI secara rata-rata belum kelihatan secara masif dan merata. Padahal secara historis, PTI lahir sejak 1940-an yang bila diukur dari sudut dimensi waktu, PTI yang muncul masa awal-awal itu kini telah berusia 60-an tahun. Kelahiran PTKIN-- dahulu PTI (Pendidikan Tinggi Islam) atau PTAIN (Pendidikan Tinggi Agama Islam Negeri) --dimulai dari munculnya hasrat masyarakat Islam Indonesia pada masa kolonial untuk memiliki pendidikan tinggi yang bercorak agama. Hasrat ini lebih bersifat reaktif terhadap kebijakan politik etis Belanda di bidang pendidikan yang terkesan “setengah hati” dan banyak muatan politisnya dari pada mencerdaskan rakyat pribumi. Ini dapat ditilik dari kecilnya prosentasi jumlah mahasiswa pribumi di beberapa perguruan tinggi umum, untuk tidak menyebut sekuler, yang didirikan oleh kolonial Belanda. Ditambah lagi bahwa prosentasi yang kecil itu hanya diprioritaskan bagi golongan priyayi, abangan dan non-muslim.2 Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa sejak tahun 1930-an, rencana untuk mendirikan PTI semakin santer dibicarakan. Kiai Halim dengan Persatuan Oemat Islam (POI)-nya telah berhasil mendirikan “Santi Ashrama” pada tahun 1932 di Majalengka. Akan tetapi rencana yang lebih matang dan serius muncul pada tahun-tahun berikutnya. Muktamar seperempat abad Muhammadiyah di Jakarta tahun 1936 memutuskan untuk mendirikan universitas Islam. Disusul kemudian pada tahun berikutnya agitasi pendirian PTI ini semakin gencar 1
2
Machasin, dkk., Strategi Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Agama Islam Berbasis Balanced Scorecard, dalam Jurnal Walisongo, Volume 19, Nomor 2, November 2011. Hal. 484. Tim Penyunting. Setengah Abad UII. (Yogyakarta: UII Press, 1994). Hal. 7.
1
dilakukan oleh Muhammadiyah untuk mengimbangi pengaruh pendidikan tinggi Barat.3 Merespon berbagai keinginan luhur tersebut di atas, barulah pada pertengahan 1938, Dr. Satiman melalui majalah Pedoman Masyarakat No. 15 mengajukan gagasan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) “Pesantren Luhur” sebagai tempat mendidik muballigh yang cakap dan berpengetahuan luas. Ide tersebut disambut oleh Majalah AID No.128 tertanggal 12 Mei 1938 dengan menyiarkan bahwa telah diadakan musyawarah antara tiga badan pendiri sekolah tinggi di Jakarta, Solo dan Surabaya. Akibat penjajahan Jepang, gagasan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam belum dapat dilaksanakan.4 Cita-cita tersebut akhirnya terwujud setelah dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 9 Desember 1940 dengan didirikannya Sekolah Islam Tinggi oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Minangkabau Padang. Sekolah Tinggi Islam inilah merupakan PTI yang pertama di Indonesia. Namun, perguruan ini hanya berjalan dua tahun saja karena kedatangan Jepang di kota Padang menghendaki agar Sekolah Tinggi Islam ditutup; mereka hanya mengizinkan madrasah dari tingkat rendah sampai menengah.5 Pada bulan Juli 1945, atas inisiatif
beberapa pemimpin Islam yang
bergabung dalam satu yayasan yang diketuai oleh Muhammad Hatta dan Sekretaris Muhammad Natsir didirikanlah STI di Jakarta di bawah pimpinan KH. Kahar Muzakkir. STI ini kemudian dipindahkan ke Yogyakarta seiring dengan pergolakan perjuangan kemerdekaan yang memindahkan pusat pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta. Pada tanggal 22 Maret, di Yogyakarta, STI kemudian berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan 4 fakultas, yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Paedagogik (Pendidikan). Setelah penyerahan kedaulatan, pusat pemerintahan RI dipindah ke Jakarta, kemudian Yogyakarta ditetapkan sebagai “kota universitas”. Pada waktu 3
4
5
Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980). Hal. 125-126. Hasjmy, A. Mengapa Umat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama Islam?. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). Hal. 31. Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan di Indonesia. (Jakarta: Mutiara Sumber Widya Yunus, 1992). Hal. 63-64.
2
itu ada dua universitas, yaitu universitas Gajah Mada (UGM) dan (Universitas Islam Indonesia (UII). Pemerintah menawarkan untuk menegrikan kedua universitas tersebut. UGM menerima tawaran tersebut, yang kemudian diataur dalam PP No. 37 tahun 1950. Sedang UII menerima dengan syarat berada di bawah naungan Depag. Oleh karena itu, hanya satu fakultas yang dapat dinegrikan, yaitu Fakultas Agama. Satu tahun berikutnya, fakultas Agama UII berubah menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) berdasarkan peraturan pemerintah no. 34 tahun 1950 dan ditandatangani oleh Presiden RI bertanggal 14 Agustus 1950. dengan demikian, UII tidak lagi memiliki fakultas agama. Adapun tujuan didirikan PTAIN adalah untuk memberi pelajaran tinggi dan menjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam. Setelah berjalan beberapa tahun, kemampuan PTAIN tidak memadai lagi untuk menampung calon minat mahasiswa. Di sisi lain jumlah guru-guru agama Islam belum memenuhi jumlah yang dibutuhkan. Untuk mengatasinya, pada 1 Juni 1957 dibuka Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, melalui PMA No. 1 tahun 1957. Sejak Departemen Agama berdiri pada tahun 1946, muncul kebutuhan terhadap tenaga-tenaga ahli agama Islam dan hakim-hakim agama di pengadilan agama. Kekurangan tenaga itu dapat dipenuhi dengan menambah jurusan di ADIA yaitu, Jurusan Hakim Agama. Dengan demikian, ADIA di samping menciptakan guru-guru agama juga mendidik hakim-hakim agama dan tenaga profesional di lingkungan Departemen Agama.6 Pada bulan Mei 1960, atas kesepakatan bersama Menteri Pdan K (Prof. Dr. Priyono) dan Menteri Agama (Kyai Wahib Wahab) -bahwa Departemen Agama boleh mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam asal tidak dinamai universitasdan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 11 tahun 1960, Departemen Agama menggabungkan PTAIN di Yogyakarta dan ADIA di Jakarta menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang berkedudukan di Yogyakarta dengan cabangnya di Jakarta. Menurut A. Hasjmy, pendirian IAIN dilatarbelakangi oleh keinginan 6
IAIN Syarif Hidayatullah. IAIN dan Tantangan Zaman: Lustrum V IAIN Syarif Hidayatullah. (Jakarta: Mimbar Agama IAIN Syahid Jakarta, 1982) Hal. 1.
3
pendirian kampus Darussalam di Aceh untuk pemulihan keamanan karena pemberontakan DI/TII di bawah pimpinan mantan Gubernur Militer Langkat dan Tanah Karo pada zaman Revolusi, Teungku Muhammad Daud Bureueeh.7 Setelah berjalan dua tahun, IAIN mengalami perkembangan yang begitu cepat. Di daerah-daerah banyak dibuka fakultas cabang yang nantinya menimbulkan kesulitan dalam pengaturannya. Akhirnya, pada tahun 1963, Departemen Agama menganggap perlu untuk memisahkan IAIN menjadi dua institut yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu IAIN Yogyakarta dengan Rektor Prof. R.H. Sunaryo dan IAIN Jakarta dengan Rektor Prof. H. Soenardjo. Pemisahan ini diatur melalui keputusan menteri Agama No. 49 tahun 1963 tertanggal
25
Pebruari.
Untuk
mempermudah
pengawasan
dan
pengorganisasiannya, dikeluarkan pembagian wilayah: a. IAIN Yogyakarta mengkoordinir fakultas-fakultas yang berada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Banjarmasin, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Indonesia bagian Timur. b. IAIN Jakarta mengkoordinir fakultas-fakultas yang terdapat di Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Barat dan Sumatera.8 Menyusul Keputusan Menteri Agama di atas, keluarlah Peraturan Presiden No. 27 tahun 1963 tertanggal 5 Desember yang antara lain dinyatakan bahwa di luar Yogyakarta dan Jakarta dapat diadakan fakultas atau cabang fakultas yang diatur oleh Menteri Agama, dengan memberi hak pada fakultasfakultas tersebut untuk menyelenggarakan pengajaran dan ujian-ujian. Di samping itu juga dinyatakan bahwa sekurang-kurangnya tiga jenis fakultas dapat digabung menjadi satu IAIN. Akibatnya, sampai menjelang tahun 1972 IAIN sudah berjumlah 14 buah dan 104 fakultas.9 Di samping IAIN yang pertumbuhannya semakin tidak terbendung, perguruan tinggi swasta pun ikut tumbuh subur di masyarakat. Masyarakat sangat antusias mendirikan fakultas-fakultas agama, khususnya sekitar tahun 1960-an, dengan tujuan untuk membendung komunisme, atheisme dan demi
7 8 9
Hasjmy, 1979, Op. Cit. Hal. 34-35 Hasjmy, 1979. Ibid. Hal. 38. Hasjmy, 1979. Ibid. Hal. 39
4
kepentingan syari’ah dan dakwah, serta untuk menampung mereka yang tidak diterima di IAIN.10 Selain itu, terdapat pula perguruan tinggi Islam, seperti UII, UniversitasUniversitas Muhammadiyah, UNISMA (Universitas Islam Malang), dan UISU (Universitas Islam Sumatera Utara) yang juga memiliki fakultas Agama dibawah tanggungjawab
Direktorat
Perguruan
Tinggi
Agama
(PTA),
kemudian
dilimpahkan ke IAIN setelah terbentuk KOPERTAIS (Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta) yang diketuai oleh Rektor IAIN di masing-masing daerah. Sedangkan fakultas-fakultas non-agama di bawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Seiring dengan bertambahnya waktu, pembangunan bangsa dan berbagai perubahan masyarakat Indonesia yang semakin cepat, secara eksternal, semakin tinggi harapan yang dibebankan di pundak Pendidikan Tinggi Islam untuk lebih berperan dalam membangun masyarakat Indonesia seutuhnya, baik materiil maupun spirituil. Ini memunculkan banyak tantangan internal yang mesti dihadapi oleh PTI di Indonesia. Tentunya dengan selalu berbenah dan menginovasi diri dari segala kekurangan yang dimilikinya.
Eksistensi dan Orientasi PTKIN Kemunculan PTKIN di Indonesia, yang semula merupakan bentuk kelembagaannya dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) merupakan usaha gigih umat Islam, sebagai umat mayoritas di Indonesia, dalam usaha mengembangkan sistem pendidikan Islam yang lengkap, yang dimulai dari sistem pendidikan pesantren yang sederhana, madrasah (diniyah dan non diniyah) sampai ke tingkat perguruan tinggi. Keberadaan PTKIN tersebut erat kaitannya dengan cita-cita umat Islam yang ingin memajukan ajaran-ajaran Islam di Indonesia. Setelah mengalami proses perjuangan melawan imperialis yang panjang, umat Islam mengalami keterbelakangan dan keterpecahan di semua aspek kehidupan. Lembaga-
10
Sumardi, Mulyanto. Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975. (Jakarta: Dharma Bhakti, 1979). Hal. 92.
5
lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren dan madrasah terisolasi dari perubahan dan perkembangan zaman.11 Dalam sejarahnya, menurut Mahmud Yunus, bahwa perguruan tinggi Islam pertama telah didirikan dan dibuka dibawah pimpinannya sendiri pada tanggal 9 Desember 1940 di Padang Sumatera Barat.12 Lembaga pendidikan Islam ini terdiri dari dua Fakultas, yaitu Syari’at atau Agama dan pendidikan serta Bahasa Arab. Tujuan yang diinginkan pada waktu itu adalah untuk mendidik dan mencetak ulama-ulama yang handal dan berwawasan luas. Pada tahun 1945, tepatnya 8 Juli 1945 dengan bantuan pemerintah Jepang, pada saat peringatan
Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW didirikan
Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Tujuan dari pendirian lembaga pendidikan ini pada mulanya adalah untuk mengeluarkan alim ulama yang intelek, yaitu mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan agama Islam secara luas dan mendalam, serta mempunyai pengetahuan umum yang diperlukan dalam masyarakat modern sekarang.13 Belajar di Sekolah Tinggi Islam ini berlangsung selama dua tahun sampai mencapai gelar sarjana muda, kemudian ditambah dua tahun lagi untuk gelar semacam sarjana, serta setelah menulis tesis, maka berhak mendapatkn gelar doktor. Kurikulum yang diajarkan berorientasi pada apa yang diajarkan di Universitas al-Azhar Kairo. Dalam rangka persiapan atau barangkali semacam adaptasi bagi mereka yang ingin berstudi di lembaga pendidikan STI, diberikan materi-materi di kegiatan matrikulai. Pada tingkat matrikulai ini terbuka bagi pemegang ijazah Sekolah Menengah Hindia Belanda dahulu, dan juga bagi mereka yang telah lulus Madrasah Aliyah. Umumnya, kedua lulusan ini memerlukan kursus pendahuluan selama satu atau dua tahun. Bagi lulusan Sekolah Menengah Hindia Belanda, dimaksudkan untuk menambah pengetahuan Bahasa Arab dan pengetahuan agama, sedangkan bagi lulusan Madrasah Aliyah untuk memperoleh mutu yang
11
12 13
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996). Hal. 102103. Yunus, 1992. Op. Cit. Hal. 103. Yunus, 1992. Op. Cit. Hal. 288.
6
lebih tinggi dalam pengetahuan umum. Sementara karier di masa depan para lulusan, disebutkanlah jabatan-jabatan sebagai berikut: a. Sebagai guru agama pada berbagai macam sekolah b. Pejabat pada Peradilan Agama c. Sebagai Pegawai Negeri dan Dinas Keagamaan.14 Sekolah Tinggi Islam ternyata tidak dapat bertahan lama di Jakarta, sebab pada bulan Desember 1945, tatkala Jakarta diduduki dan dikuasai oleh pasukan sekutu dibawah pimpinan Jenderal Cristianson, untuk sementara lembaga perguruan tinggi ini terpaksa ditutup. Memang situasi politik pada saat itu dalam keadaaan tidak memungkinkan, di mana Indonesia yang baru merdeka penuh pergolakan-pergolakan. Baru pada tanggal 10 April 1946 Sekolah Tinggi Islam di buka kembali, tapi tempatnya tidak lagi di Jakarta, melainkan di Yogyakarta. Pembukaan sendiri dihadiri oleh Presiden Seokarno, sementara Bung Hatta yang sekaligus sebagi Ketua Dewan Penyantun menyampaikan pidatonya pada acara tersebut. Pada tanggal 22 Maret 1948, STI diubah namanya menjadi Universitas Islam Indonesia (UII), dengan memiliki beberapa fakultas, yaitu: Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Pendidikan.15 Perkembangan berikutnya, pada tanggal 22 Januari 1950 sejumlah pimpinan Islam dan para ulama juga mendirikan sebuah Universitas Islam di Solo. Dan pada tahun 1950 itu juga Fakultas Agama yang semula ada di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta diserahkan ke Pemerintah yakni Kementrian Agama, yang kemudian dijadikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dengan dikeluarkannya PP No. 34 tahun 1950. Antara Universitas Islam Solo dengan UII Yogyakarta pada tanggal 20 Februari 1951 disatukan dengan nama Universitas (dulu university) Islam Indonesia atau UII yang sejak itu mempunyai cabang pada kedua kota tersebut. Perguruan Tinggi tersebut berkembang, di mana UII terus berjalan, sementara itu PTAIN pun kian berkembang, apalagi di Jakarta juga telah didirikan lembaga dinas Ilmu Agama (ADIA). Dari perkembangan tersebut 14 15
Bolan, Bj., Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985) Hal. 124. Yunus, 1992. Op. Cit. Hal. 124
7
akhirnya pada tahun 1960 merupakan bentuk final, di mana antara Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta dan PTAIN Yogyakarta disatukan menjadi Institut Agama Islam Negrei (IAIN). Perpaduan ini tampaknya merupakan perkembangan yang teramat penting bagi masa depan Islam di Indonesia. Pada mulanya IAIN ini terbagi dua bagian, yaitu dua Fakultas di Yogyakarta dan dua Fakultas di Jakarta. Di kedua tempat ini, IAIN dengan cepat berkembang menjadi sebuah institut dengan 4 Fakultas, yang pada tiap fakultasnya kuliah 3 tahun, dan dapat dengan spesialisasi selama 2 tahun. Adapun keempat fakultas tersebut adalah: a. Fakultas Ushuluddin. Pada fakultas ini jenis keilmuan yang dikembangkan meliputi: ilmu agama Islam yang bersifat spekulatif, seperti filsafat, tasawuf, perbandingan agama dan dakwah. b. Fakultas Syari’ah.
Pada
fakultas ini keilmuan yang dikembangkan
menekankan pada aspek-aspek praktis dari agama, yurisprudensi, tafsir, pengetahuan hadits dan sebagainya. c. Fakultas Tarbiyah. Penekanannya adalah pada bidang pendidikan dan keguruan, yang mempersiapkan guru agama. d. Fakultas Adab atau Ilmu Kemanusiaan. Untuk spesialisasi Sejarah Islam serta Bahasa Arab secara khusus. Setelah itu, IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam berkembang terus dan menyeber ke berbagai wilayah di Indonesia. Sampai sekarang IAIN seluruh Indonesia sudah berjumlah 14 buah, dengan sejumlah fakultas dan program yang dikembangkan, bahkan tidak sedikit dari IAIN tersebut yang mempunyai cabang daerah-daerah lainnya. Berdasarkan realitas tersebut, maka kehadiran PTKIN sebagai pendidikan tinggi negeri Islam di tengah-tengah masyarakat merupakan hal yang sangat strategis, mengingat penduduk Indonesia yang mayoritas agama Islam. PTKIN dituntut mampu memberikan andil dan nilai tambah, apalagi kalau dilihat dari tujuan PTKIN adalah untuk menghasilkan sarjana muslim yang berilmu
8
pengetahuan, dan dalam hal ini tidak saja ilmu-ilmu agama, tapi juga ilmu-ilmu umum.16 Dalam pasal 2 Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang pembentukan IAIN ditegaskan, bahwa dirinya bermaksud untuk memberikan pengajaran tinggi dan menjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Dengan landasan tersebut, diharapkan PTKIN akan bisa dan mampu merespon serta menjawab berbagai tantangan dan perubahan zaman yang selalu dinamis. Dalam konteks ini PTKIN diorientasikan menjadi pusat studi pengembangan dan pembaruan pemikiran Islam. Dari kenyataan tersebut, arah pengembangan PTKIN diharapkan secara proyektif dapat selalu dihasilkan produk-produk akademis yang mampu menjawab tantangan dan perubahan masyarakat sebagai akibat dampak modernisasi dan kemajuan IPTEK. Hal ini dilakukan, karena bagaimanapun PTKIN berperan di dalam perkembangan Iptek, khusunya partisipasinya di dalam perkembangan faktor determinan bagi perkembangan teknologi tersebut yaitu ilmu pengetahuan agama Islam sebagai faktor stabilisator. Dalam batas-batas tertentu, terutama akhir-akhir ini, arah pengembangan PTKIN yang mengacu kepada pembentukan intelektual memang telah memperlihatkan hasil. Alumni PTKIN banyak andil dalam birokrasi baik politik maupun nonpolitik. Sebagian output PTKIN, intelektualitasnya tidak kalah dengan keluaran Perguruan Tinggi lain. Ini menunjukkan bahwa proses intelektualitasasi sedang terjadi di kalangan PTKIN. PTKIN tidak dapat dipisahkan dari proses pembangaunan bangsa. Karena sifatnya sebagai pendidikan tinggi keagamaan, maka kesertaan PTKIN dalam pembangunan bangsa ditentukan oleh kualitas pendekatannya kepada agama dan
masalah-masalah
keislaman.
Pendekatan
yang
bakal
membantu
merealisasikan kesertaan itu adalah pendekatan kepada Islam secara intergral dengan mengikuti metode-metode ilmiah dan akademis. Pendekatan integral ini
16
Hasbullah, 1996. Op. Cit. Hal. 108.
9
dimaksudkan sebagai landasan untuk pengembangan intelektualisme Islam yang tangguh. 17 Memang Islam sendiri ajarannya bersifat universal meliputi segala aspek dimensi manusia, karena itu, Islam juga bicara tentang ekonomi, politik, sosialbudaya, pendidikan, dan sebagainya. Berkenaan dengan ini, dapat dikatakan bahwa Islam mengajarkan totalisme dalam beragamana.18 Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi seperti sekarang ini, tampak sekali diperlukan penegasan orientasi agar PTKIN dapat beradaptasi dengan perubahan radikal yang sedang terjadi. Jika tidak, dikhawatirkan PTKIN akan mengalami kesulitan dalam mengatasi berbagai permasalahan dan persoalan yang dihadapinya.
Arah Pengembangan PTKIN Untuk memasuki era globalisasi dan internasionalisasi terutama dalam bidang pengembangan sains dan teknologi, PTKIN harus membuka diri sebagai institusi pendidikan yang mampu berperan dan berkontribusi riil demi kemaslahatan umat. PTKIN harus terus adaptif dan futuristis. Sebab PTKIN merupakan core bisnis yang ruang geraknya yaitu untuk membangun dan meningkatkan sumber daya manusia yang unggul serta memiliki dayasaing tinggi yang tidak pernah berakhir sepanjang zaman. Salah satu peran PTKIN yaitu menghilangkan dikotomis (pemisahan) antara ilmu agama dan ilmu umum yang merupakan warisan imperialis. Pendekatan tersebut di samping tidak sejalan dengan era reformasi dan globalisasi, juga akan merendahkan mentalitas umat Islam. Lebih dari itu, pendekatan dikotomis tidak sejalan dengan semangat al-Qur’an
yang tidak
mengenal pemisahan antara urusan dunia dan akhirat.19 Dalam konteks ini, PTKIN diharapkan harus mampu mempelopori penggunaan pendekatan integralistik, yaitu pendekatan yang melihat adanya hubungan fungsional antara pengetahuan agama dengan pengetahuan umum.
17 18 19
Hasbullah, 1996. Ibid. Hal. 109. Amsari, Fuad, Masa Depan Umat Islam Indonesia. (Bandung: al-Bayan, 1993). Hal. 21. Hasbullah, 1996. Ibid. Hal. 112.
10
Mandatori berubahnya beberapa status kelembagaan STAIN/IAIN menjadi UIN (universitas Islam Negeri) di Indonesia adalah jelas mengemban amanah untuk mengintegrasikan sains dan Islam. Memasuki abad XXI, PTKIN di Indonesia diharapkan sebagai pelopor kebangkitan Islam dari Asia. Para cendekiawan muslim dunia, seperti Fazlur Rahman, Hossein Nasr, Mohammed Arkoun, menaruh ekspektasi yang sangat tinggi terhadap negara-negara yang demokratis, seperti Indonesia, sebagai pusat peradaban Islam dunia kelak. Perubahan kelembagaan PTKIN (dari STAIN/IAIN menjadi UIN) merupakan langkah untuk mengembangkan pusat peradaban Islam yang lebih holistik. Bertolak dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sekuler (dikotomis), yang terpisah dari ilmu keagamaan (keislaman), peran PTKIN akan semakin nyata menjawab keprihatinan yang dikhawatirkan para tokoh-tokoh muslim tersebut. Peran PTKIN menjadi alternatif kelembagaan pendidikan tinggi Islam yang mampu mematahkan sistem dualisme, dikotomis, serta sekularisme sains dan teknologi. Perkembangan sains dan teknologi yang diproduk oleh PTKIN akan tampak lebih holistik karena mengedepankan pendekatan naqliyah dan aqliyah atau bersumber pada ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah. PTKIN memadukan konsep ilmu yang menawarkan ilmu-ilmu naqliyah (al-Qur’an, hadis, fiqih, tauhid, tasawuf, sejarah kebudayaan Islam) sebagai pengetahuan dasar umum elektif bagi mahasiswa, melandasi disiplin ilmunya masing-masing.20 Langkah ini akan menghasikan sosok pribadi dalam disiplin ilmu apapun diharapkan dapat mengembangkan konseptualisasi Islami dalam karya ilmiahnya, penelitiannya, dan pengamalannya. Upaya ini memerlukan evolusi panjang berpuluh-puluh tahun lamanya. Menurut Hamid Hasan Bilgrami, Islam adalah induk teknologi, yang menjadi landasan untuk konseptualisasi ilmu dalam Islam. Teknologi Islam adalah ilmu yang diorientasikan kepada tujuan mengagungkan Allah atau diabdikan makhluk ciptaan-Nya. Kehadiran PTKIN dimaksudkan untuk 20
Noeng Muhadjir, kata pengantar dalam buku Hamid Hasan Bilgrami, & Sayid Ali Asyraf. Konsep Universitas Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1989). Hal. x.
11
membuahkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memuliakan manusia. Sehingga demi kemanusiaan dikembangkan ilmu-ilmu sosial humaniora (seperti sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah dan cabang-cabangnya), serta ilmu-ilmu alam (misalnya, biologi, kimia, fisika, ilmu kedokteran, ilmu bedah, farmasi, astronomi dan lain-lain) serta humaniora (filsafat, bahasa dan seni). Kekhasan PTKIN yaitu selain kemampuan memadukan antara ilmu-ilmu yang aqliyah (intransendental) dengan yang naqliyah (transendental), juga mengorientasikan ilmu berupaya pengabdian pada penciptaan Allah. PTKIN berperan untuk melahirkan produk-produk sains dan teknologi yang teistik, yaitu sains dan teknologi yang tidak bebas nilai, atau melahirkan pribadi yang berkesadaran intelektual (saintis) dan menguasai ajaran Islam (ulama). Jadi konseptualisasi ilmu yang dikembangkan PTKIN yaitu ilmu naqliyah melandasi ilmu aqliyah. Untuk merealisasikan peran PTKIN dalam pengembangan sains dan teknologi, perlu kiranya kita hadirkan tawaran kosep yang dikemukakan oleh Noeng Muhadjir, bahwa stratifikasi kriteria kebenaran ilmiah agar integrasi ilmu naqliyah dan ilmu aqliyah menjadi hubungan yang nuansif bukan diskrit, diperlukan beberapa strata. Strata pertama, kreteria kebenaran positivistik stuktur dan teramati bagi ilmu pengetahuan alam, meskipun makna terukur dan teramati tersebut termasuk yang tidak langsung dan reflektif. Strata kedua, kreteria pemahaman pola ragam bagi ilmu-ilmu sosial, mungkin dapat menuntut ditemukannya esensi, tetapi pemahaman pola ragam dibaliknya itu penting. Strata ketiga, adalah kebenaran humaniora yang menuntut dimasukkannya nilai (value) sebagai kreteria pemahaman atas gejala yang dituntut oleh strata pertama dan kedua, nilai seperti keadilan, perikemanusiaan, keindahan, dan lainlain yang melandasi penelitian pendidikan, psikologi, ekonomi dan sebagainya. Strata keempat, kreteria kebenaran ilmu naqliyah muamalah atau kebenaran ilmu amaliyah dengan sesama yang berlandaskan kebenaran wahyu ilahi, pemahamannya tetap rasional, tetapi rasional yang transendental. Harapan dari stratifikasi tersebut di atas adalah menjadikan sains dan teknologi tetap dalam nuansa ikatan agama (Islam), bukan bebas nilai apalagi
12
keluar dari kontrol agama. Atau bertujuan melahirkan sosok ilmuan muslim yang nuansif rasional berkearifan, bukan doktriner dogmatis.21 Integrasi keilmuan yang dikembangkan PTKIN, terutama universitas Islam Negeri yang mengembangkan seluruh disiplin ilmu dan profesi, akan memungkinkan lebih kontributif bagi percepatan kemajuan sains dan teknologi. Ruang lingkup kajian keilmuan yang digarap oleh universitas akan jauh lebih luas dan mendalam, sekaligus sangat besar peran dan pengaruhnya dalam memberikan manfaat nyata bagi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
PTKIN Berbasis Standar Mutu Mutu didefinisikan sebagai suatu yang memuaskan dan melampaui keinginan. Konsep ini disebut mutu sesuai persepsi (quality in perseption).22 Untuk mengembangkan performen Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di Indonesia, perlu menata sistem penjaminan mutu yang handal. Prinsip utama penjaminan mutu diarahkan untuk meningkatkan 8 (delapan) hal pokok, yaitu (1) fokus pada pelanggan (coustomer focus), (2) kepemimpinan (leadership), (3) melibatkan semua orang (involment of people),(4) pendekatan proses (process approach), (5) pendekatan sistem manajamen (system approach to management), (6) peningkatan berkelanjutan (continual improvement), (7) pendekatan berdasarkan fakta untuk pengambilan keputusan (factual approach to decision making), dan (8) hubungan yang saling menguntungkan dengan pemasok (mutually beneficial supplier relationship).23 Pada tahun 1920-an, seorang dosen ahli Matematika dan Fisika dari Universitas Yale, W. Edward Deming, yang dijuluki sebagai “bapak mutu”, menegaskan bahwa mutu merupakan tindakan rasional yang dirancang secara cermat guna mendekatkan tercapainya suatu pekerjaan dengan hasil yang diinginkan. Secara praktis, prinsip mutu adalah untuk mengantisipasi dan Hamid Hasan Bilgrami, & Sayid Ali Asyraf. Konsep Universitas Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1989). Hal. xiv. 22 Sallis, Edward, Total Quality Management in Education, [Terj.] Ahmad Ali Riyadi. (Jogjakarta: Ircisod, 2006). Hal. 56. 23 Muhaimin, Manajemen Penjaminan Mutu di Universitas Islam Malang, (Malang: Kantor Jaminan Mutu UIN Malang, 2005). Hal. 14. 21
13
mencegah terjadinya suatu kegagalan. Jadi, mutu menekankan adanya perencanaan, kontrol, monitoring, serta evaluasi yang dilakukan secara periodik/berkala.24 Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Joseph M. Juran, bahwa mutu adalah program dan layanan untuk memenuhi pelanggan yang dilakukan secara terus menerus. Mutu dianggap sebagai “mental pemberi” yang mampu memuaskan harapan kostumer. 25 Peningkatan mutu harus dimulai dari sikap mental semua unsur, yakni pimpinan, dosen, staff akademik, karyawan serta siapa saja yang berkecipung didalam komunitas lembaganya. Mutu digerakkan oleh visi-misi, dasar filosofis lembaga, keyakinan dan nilai-nilai, tujuan dan objektif, yang kesemuanya itu mempengaruhi cara kerja, cultur kerja, serta layanan (service) yang diberikan kepada pelanggan. Dari uraian tersebut dapat digambar dengan metafor bagunan sebagai berikut:
Visi – Misi, Dasar Filosofis
Keyakinan dan Nilai-nilai
Perbaikan Berkelanjutan
komitmen
Pengukuran
Keterlibatan Total
Fokus pada Kostumer
Perguruan Tinggi Bermutu
Tujuan dan Objektif
Gambar 1. Prinsip Pengembangan Mutu Perguruan Tinggi (PT)
Arcaro, Jerome S. Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan, [terj.] Yosal Iriantara. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). Hal. 7-8. 25 Arcaro, Jerome S. Ibid. Hal. 9. 24
14
Hakikat mutu dalam penyelenggaraan perguruan tinggi dapat difokuskan beberapa hal berikut: (a) Menciptakan konsitensi tujuan. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki layanan akademik dan menjadikan PT sebagai lembaga yang kompetitif dan berkelas dunia. (b) Mengadopsi filosofi mutu total. Pendidikan berada dalam lingkungan yang benar-benar kompetitif, sehingga seluruh sumberdaya dan pelakunya mesti terus belajar, dilatih keterampilan baru untuk revolusi mutu. Memperbaiki mutu layanan ialah perioritas utama dalam menjaga dan melayni kepada kostumer. (c) Menciptakan budaya mutu. Budaya dipahami sebagai kebiasaan positif dalam meciptakan kinerja para pelakunya. Misalnya rasa tanggungjawab, kooperatif, jujur, saling membantu/menolong, serta tidak saling curiga dan iri hati. Penciptaan budaya mutu memerlukan waktu dan keteladanan dari semua pihak, dari pimpinan puncak hingga bawahan.
Orientasi Standar Mutu SNPT Sesuai dengan perguruan
tinggi
Undang-undang Pendidikan Tinggi bahwa
didorong
agar
memiliki
empat
tujuan,
setiap
yakni:
(a)
berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, akap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; (b) dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; (c) dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan (d) terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran
dan
karya
Penelitian
yang
bermanfaat
dalam
memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 26 Untuk mewujudkan empat tujuan di atas, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi menetapkan 8 (delapan) standar Nasional Pendidikan Tinggi, yaitu standar kompetensi lulusan, standar isi pembelajaran, standar
26
Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 5.
15
proses pembelajaran, standar penilaian pembelajaran, standar dosen dan tenaga kependidikan, standar sarana-prasarana pembelajaran, standar pengelolaan pembelajaran, dan standar pembiayaan pembelajaran.27 Dari delapan standar tersebut, maka perguruan tinggi wajib berorientasi dan menerapkan standar mutu yang baik.
kompetensi lulusan
Orientasi Mutu SNPT
isi pembelajaran proses pembelajaran penilaian pembelajaran dosen dan tenaga kependidikan sarana-prasarana pembelajaran
pengelolaan pembelajaran pembiayaan pembelajaran Gambar 2. Orientasi Mutu SNPT, Sumber diolah dari SNPT 2015
Rancangan delapan standar itu diperlukan karena secara minimal penyelenggaraan pembelajaran harus dapat tumbuh dan berkembang. Proses pembelajaran dapat dikatakan tumbuh berkembang kalau terdapat indikator standar mutu yang terukur. Gambaran mutu terlihat dari jati diri lembaga, visimisi dan tujuan, profil lulusan yang dikembangkan, learning outcome, expected learning outcome, sarana-prasarana yang memadahi, lingkungan atau atmosfir yang menunjang, hingga pembiayaan yang cukup. Intinya adalah mutu harus
27
Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, Nomor. 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Bab II bagian kesatu (Ruang Lingkup Standar Nasional Pendidikan).
16
diarahkan untuk mengukur efektifitas dan efesiensi layanan edukatif, peningkatan perfomen kelembagaan, dan tersedianya sumber data yang cukup. Sebagai upaya peningkatan mutu perguruan tinggi di Indonesia, menurut Prof. Dr. Ir. Djoko Santoso, M.Sc. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2014), bahwa Perguruan Tinggi harus dapat mengintegrasikan tiga hal, yaitu (a) Sistem Penjaminan Mutu Internal yang dilaksanakan oleh setiap perguruan tinggi; (b) Sistem Penjaminan Mutu Eksternal atau Akreditasi yang dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Perguruan Tinggi atau Lembaga Akreditasi Mandiri; dan (c) Pangkalan Data Pendidikan Tinggi baik pada aras perguruan tinggi maupun aras Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.28 Sesuai dengan peraturan menteri Ristekdikti No. 44 Tahun 2015, maka sistem penjaminan mutu Pendidikan Tinggi di dalam UU SNPT, semua perguruan tinggi di Indonesia, termasuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), berkewajiban menjalankan SPM Dikti tersebut dengan modus yang paling sesuai dengan sejarah, visi, misi, mandat, ukuran, budaya organisasi perguruan tinggi masing-masing. Sistem penjaminan mutu internal (SPMI) yang dilaksanakan oleh setiap perguruan tinggi berfungsi yaitu (a) sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi; (b) sebagai sistem untuk mewujudkan visi dan melaksanakan misi perguruan tinggi; (c) sebagai sarana untuk memperoleh status terakreditasi dan peringkat terakreditasi program studi dan perguruan tinggi; dan (d) sebagai sistem untuk memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan perguruan tinggi. Dalam sistem penjaminan mutu internal (SPMI) setiap perguruan tinggi akan dapat menerapkan dengan baik, manakala memenuhi beberapa prasyarat yang harus diperhatikan, yaitu adanya komitmen, perubahan paradigma, dan sikap mental para pelaku proses pendidikan tinggi, serta pengorganisasian
28
Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, Tahun 2014. Hal. iii.
17
penjaminan mutu di perguruan tinggi.29 Syarat pelaksanaan SPMI tersebut dapat diilustrasikan dalam gambar sebagai berikut:
Perubahan Paradigma
Komitmen
Syarat SPMI-PT
Pengorganisasian
Sikap Mental
Gambar 3. Syarat pelaksanaan SPMI-PT, sumber diolah dari SPMI-PT 2010 Berdasarkan gambar 3 di atas, maka dapat dijelaskan bahwa syarat pertama, yaitu adanya komitmen. Para pelaku proses pendidikan tinggi di perguruan tinggi, baik yang memimpin maupun yang dipimpin, harus memiliki komitmen yang tinggi untuk senantiasa menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi yang diselenggarakannya. Tanpa komitmen ini di semua lini organisasi perguruan tinggi, niscaya SPMI di perguruan tingg tersebut akan berjalan tersendat, bahkan mungkin tidak akan berhasil dijalankan. Terdapat ragam cara yang dapat dipilih untuk menggalang komitmen dari semua lini organisasi di perguruan tinggi, tergantung dari sejarah, visi dan misi, budaya organisasi, ukuran organisasi (jumlah program studi, jumlah dosen, jumlah mahasiswa), struktur organisasi, sumber daya, dan pola kepemimpinan. Kedua, adanya perubahan paradigma. Paradigma lama penjaminan mutu, yaitu mutu perguruan tinggi akan dapat dipelihara serta ditingkatkan apabila dilakukan penga-wasan atau pengendalian yang vertikal oleh pemerintah 29
Kemendiknas, Pedoman Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi. (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2010). Hal. 23-24.
18
(dhi. Ditjen Dikti Kemdiknas), harus diubah menjadi suatu paradigma baru. Paradigma baru penjaminan mutu yaitu perguruan tinggi atas inisiatif sendiri (internally driven) harus memelihara dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi yang diselenggarakannya agar visinya dapat diwujudkan serta agar stakeholders dapat dipuaskan. Dengan paradigma baru tersebut, tugas pengawasan oleh pemerintah diringankan, akuntabilitas perguruan tinggi meningkat, stakeholders berperan lebih besar dalam menentukan mutu perguruan tinggi. Ketiga, adanya sikap mental. Harus diakui bahwa sebagian besar perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan tinggi tanpa didahului dengan perencanaan. Hal ini nampak dari fakta bahwa berbagai rencana disusun hanya untuk memenuhi persyaratan tertentu, misalnya perijinan dan/atau akreditasi. Sikap mental semacam itu harus diubah menuju pada suatu sikap mental baru, yaitu rencanakan pekerjaan anda dan kerjakan rencana anda (plan your work and work your plan). Keempat, adanya pengorganisasian. Organisasi dan mekanisme kerja SPMI di perguruan tinggi, tidak terdapat pola baku. Organisasi dan mekanisme kerja SPMI di perguruan tinggi sangat tergantung pada sejarah, visi dan misi, budaya organisasi, ukuran organisasi (jumlah program studi, jumlah dosen, jumlah mahasiswa), struktur organisasi, sumber daya, dan pola kepemimpinan di perguruan tinggi tersebut. Sebagai contoh, dapat dikemukakan bahwa suatu perguruan tinggi dapat mengadakan unit SPMI di dalam struktur organisasinya yang dipimpin oleh seseorang wakil rektor, atau suatu unit yang independen terlepas dari struktur organisasi yang dipimpin oleh seorang dosen. Contoh model organisasi lain bahwa SPMI inheren atau built-in di dalam proses manajemen perguruan tinggi yang bersangkutan. Dengan demikian tidak dibutuhkan unit organisasi khusus yang dipimpin oleh seseorang. Kebebasan menentukan model organisasi SPMI di perguruan tinggi masing-masing, adalah sesuai dengan otonomi perguruan tinggi sebagaimana diamanatkan oleh UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Faktor terpenting yang perlu mendapat perhatian dalam organisasi SPMI, adalah bahwa organisasi itu mampu menumbuhkan kesepahaman tentang SPMI di perguruan tinggi tersebut, yang pada gilirannya akan menumbuhkan sikap 19
suportif dari seluruh komponen di perguruan tinggi itu terhadap upaya penjaminan mutu pendidikan tinggi. Sementara fungsi sistem penjaminan mutu eksternal (SPME) yaitu (a) menentukan kelayakan program studi dan perguruan tinggi berdasarkan kriteria yang mengacu pada SN Dikti; (b) menjamin mutu program studi dan perguruan tinggi secara eksternal, baik bidang akademik maupun nonakademik, untuk melindungi kepentingan mahasiswa dan masyarakat. Adapun hasil SPME atau akreditasi sebagai luaran proses SPME atau akreditasi berupa status dan peringkat terakreditasi program studi dan/atau perguruan tinggi. Adapun Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT) berfungsi sebagai sumber informasi bagi: (a) lembaga akreditasi, untuk melakukan akreditasi program studi dan perguruan inggi; (b) Pemerintah, untuk melakukan pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi program studi dan perguruan tinggi; dan (c) masyarakat, untuk mengetahui kinerja program studi dan perguruan tinggi. Dalam pelaksanaannya, data dan informasi dalam PDPT digunakan untuk: (1) memantau dan mengevaluasi tingkat ketercapaian SNPT dan/atau Standar Dikti yang ditetapkan oleh perguruan tinggi dalam SPMI; (2) memantau dan mengevaluasi tingkat ketercapaian Standar Dikti oleh LAM atau BAN-PT. Untuk menjalankan organisasi lembaga Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang bermutu, harus bertumpu pada proses yang sustainable, berkesinambungan, tidak terputus-putus hingga membentuk siklus mutu sebagai berikut:
Evaluasi Diri
Perbaikan internal dan pembinaan
Perbaikan Internal
Keputusan Akreditasi
20
Evaluasi Eksternal/ akreditasi
Gambar 4. Siklus Penjaminan Mutu, diolah dari SPM-PT, Dirjen Dikti 2013 Melalui ilustrasi di atas memperlihatkan betapa pentingnya inisiatif perguruan tinggi untuk mengevaluasi dirinya. Proses ini menjadi penting karena hasil evaluasi diri akan memotret perjalanan pengelolaan PT / Prodi dan upaya perbaikan internal secara terus menerus. Upaya ini harus dilakukan melalui sistem penjaminan mutu internal (SPMI) oleh perguruan sendiri siklus per semester/per enam bulan. Dari hasil evaluasi siklus per semester/per enam bulan selama kurun waktu 4 tahun, kemudian menjadi bahan penyusunan evaluasi diri guna persiapan akreditasi BAN-PT (sistem penjaminan mutu eksternal).
Grand Design Pengembagan Mutu PT 2015–2025 Prinsip Pengembangan mutu pendidikan tinggi diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 51 ayat 2: bahwa "Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan atas prinsip otonomi, akuntabilitas jaminan mutu dan evaluasi transparan." Sesuai prinsip otonomi dan akuntabilitas tersebut setiap perguruan tinggi diharapkan dapat merumuskan visi dan misi yang diemban, proses utama pendidikan yang diselenggarakan dan wadah kelembagaan yang sehat dan stabil. Mengacu kepada proyeksi pengembangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi bahwa program perioritas (2015–2025) telah menempatkan “peningkatan mutu” sebagai program utama. Hal ini dapat dilihat dari perubahan strategi antara tahun 2010-2014 dengan 2015-2025 pada gambar berikut:
21
Strategic Objectives 2010-2014
Strategic Objectives 2015-2019
Peningkatan Akses
Peningkatan Mutu
Peningkatan Relevansi
Peningkatan Relevansi
Peningkatan Mutu
Peningkatan Akses
Peningkatan Daya Saing
Peningkatan Daya Saing
Perbaikan tata Kelola
Perbaikan Tata Kelola
Gambar 5. Sumber: Program Prioritas Kemristekdikti 2015 - 2019 Dari tabel tersebut di atas, mutu pendidikan tinggi di Indonesia terus akan ditingkatkan dengan mengacu pada tugas pokok perguruan tinggi yakni Tridharma (pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat). Perguruan tinggi Indonesia dalam kurun waktu di atas diharapkan telah banyak yang mampu menembus 500 top dunia. Saat ini baru beberapa PT yang masuk skala itu, yakni Universitas Indonesi (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gajahmada (UGM). Sementara perguruan tinggi Islam belum satu pun mampu masuk 500 top dunia. Jika dibandingkan dengan negera tetangga, Malaysia, Perguruan Tinggi di Indonesia masih tertinggal, seperti dapat dilihat dibawah ini.
22
Tabel 1. Top 500 Dunia 2014/2015/2016 Sumber dioleh dari Rencana Pengembangan PT 2015-2019
Malaysia
Indonesia Universitas Rangking
Rangking
2015
2016
1. UI
310
358
2. ITB
461-470
3. UGM
Universitas Rangking Rangking 2015
2016
1. UM
151
146
431 - 440
2. UKM
259
312
551-600
551 - 600
3. UTM
294
303
4. IPB
701 +
701 +
4. USM
309
289
5. UNAIR
701 +
701 +
5. UPM
379
331
Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi memerlukan langkahlangkah strategis yang perlu diambil. Dalam kurun waktu 10 tahun ke depan pemerintah melalui Kemenristekdikti akan menargetkan beberapa hal dengan ditandai berikut: Pertama, Innovation. Untuk dapat mencapai target-target tridharma pendidikan tinggi yang sangat menantang diperlukan inovasi atau terobosan di semua aspek pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Kedua, World Class. Sampai tahun 2025 paling sedikit ada 7 (tujuh) perguruan tinggi Indonesia yang masuk 500 perguruan tinggi terbaik dunia. Ketiga, Affirmation/Closing The Gap. Indonesia mempunyai sekitar 4300 perguruan tinggi negeri dan swasta. Perbedaan mutu antara perguruan tinggi terbaik dan terjelek sangat lebar. Perbedaan juga terjadi antar wilayak, antara perguruan tinggi di Jawa dan di luar Jawa. Harus ada kebijakan afirmasi untuk mengurangi perbedaan mutu antara perguruan tinggi di Jawa dan di luar jawa. Keempat, deregulation. Untuk bisa melaksanakan inovasi, mengimplementasikan program-program untuk mencapai world class dan melaksankan program 23
afirmasi perlu dilakukan deregulasi terhadap aturan-aturan tergait pendidikan tinggi yang menjerat. Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) yang secara yuridis dibawah Kementerian Agama, diharapkan juga memiliki cara pandang yang sama dengan Kemenristekdikti dalam hal peningkatan mutu. Misalnya kementerian agama telah memproyeksikan beberapa UIN menuju world class, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Selain itu, PTKI juga membuka jaringan dan mengikutkan diri pada penjaminan mutu Asean melalui AUN-QA (Asean University Network–Quality Assurance) untuk menambah bendmark, image (citra) dan reputasi yang positif bagi lembaganya. Upaya ini dilakukan guna meningkatkan mutu, relevansi dan daya saing perguruan tinggi.
Penutup Dari uraian tersebut di atas, dapat ditegaskan bahwa pendidikan tinggi Islam (PTI) dengan berbagai kondisi yang ada perlu melakukan beberapa terobosan dan langkah-langkah strategis guna menghadapi perubahan dan persaingan sedemikian cepat dan ketat. Langkah pertama, PTI perlu melihat kembali konteks historis mengenai jati diri yang perlu dikembangkan dan ditingkatkan dalam melayani aspirasi umat Islam. Kedua, PTI harus memiliki daya beda (distingsi) dengan perguruan tinggi lainnya dalam menerapkan proses pendidikan (pembelajaran), terutama integrasi keilmuannya (mengembangkan basik ilmu yang bersumber ilahiyah, wahyu/qauliyyah dan ilmu yang berasal dari hasil pemikiran, riset, eksperimen atau bersumber qauniyyah) sehingga kualitas lulusan memiliki daya saing tinggi. Ketiga, perlu ada keseriusan dan fokus dalam mengimplemntasikan penjaminan mutu, baik internal (SPMI) maupun ekternal (SPME), guna meningkatkan performen lembaga di mata masyarakat. Keempat, PTI harus berani membuat target-target besar dalam membangun mutu/kualitas, sehingga seluruh potensi yang ada diarahkan pada tujuan dan target yang sama.
24
Daftar Pustaka Amsari, Fuad, 1993. Masa Depan Umat Islam Indonesia. (Bandung: al-Bayan). Arcaro, Jerome S. 2005. Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan, [Terj.] Yosal Iriantara. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). Benda, Harry J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. (Jakarta: Pustaka Jaya). Bilgrami, Hamid Hasan & Sayid Ali Asyraf. 1989. Konsep Universitas Islam, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana). Bolan, Bj., 1985. Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafiti Pers). Hasbullah, 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada). Hasjmy, A. 1979. Mengapa Umat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama Islam?. (Jakarta: Bulan Bintang). IAIN Syarif Hidayatullah. 1982. IAIN dan Tantangan Zaman: Lustrum V IAIN Syarif Hidayatullah. (Jakarta: Mimbar Agama IAIN Syahid Jakarta) Kemendiknas, 2010. Pedoman Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi. (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi). Kemendiknas, 2014. Pedoman Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, (Jakarta: Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) Machasin, dkk., Strategi Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Agama Islam Berbasis Balanced Scorecard, dalam Jurnal Walisongo, Volume 19, Nomor 2, November 2011. Muhaimin, 2005. Manajemen Penjaminan Mutu di Universitas Islam Malang, (Malang: Kantor Jaminan Mutu UIN Malang). Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, Nomor. 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Salis, Edward, 2006. Total Quality Management in Education, [Terj.] Ahmad Ali Riyadi. (Jogjakarta: Ircisod) Sumardi, Mulyanto. 1979. Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 19451975. (Jakarta: Dharma Bhakti). Tim Penyunting. 1994. Setengah Abad UII. (Yogyakarta: UII Press) Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Yunus, Mahmud. 1992. Sejarah Pendidikan di Indonesia. (Jakarta: Mutiara Sumber Widya Yunus).
25