MEMBANGUN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN SAINS Mundilarto FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta e-mail:
[email protected] Abstrak: Pembelajaran sains dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sains sebaiknya dipelajari dengan cara-cara yang memungkinkan siswa dapat menerapkan kemampuannya secara berkarakter dalam pemecahan masalah-masalah kehidupan sehari-hari. Masih banyak kasus yang mengindikasikan rendahnya karakter manusia Indonesia. Etika adalah sistem nilai yang memiliki makna sama dengan moral. Pengembangan pendidikan karakter seharusnya mengikuti langkah-langkah pengenalan nilai secara kognitif, pemahaman dan penghayatan nilai secara afektif, pembentukan tekad secara konatif, dan akhirnya pengamalan nilai secara nyata. Guru sains haruslah memberi kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk berpikir dan menggunakan kemampuan akalnya. Siswa dapat melakukannya dengan jalan terlibat secara langsung dalam berbagai kegiatan seperti diskusi kelas, pemecahan soal, atau bereksperimen. Siswa jangan hanya dijadikan objek yang pasif dengan beban hafalan berbagai macam konsep dan rumusrumus sains.
Kata Kunci: membentuk karakter, pembelajaran sains, kemampuan kognitif, afektif, psikomotorik CHARACTER BUILDING THROUGH SCIENCE TEACHING AND LEARNING Abstract: The teaching and learning of science can be used as a means of developing the cognitive, affective, and psychomotoric abilities. Science should be learned in ways which enable students to apply their abilities with character in solving problems of every day life. There are still many cases indicating the low character of the Indonesian people. Ethics is a value system having the same meaning as morality. The development of character education should follow the steps of introducing values cognitively, understanding and internalizing the values affectively, the formation of determination conatively, and finally the implementation of the values in real life. Teachers of science should provide the students with ample opportunities to think and use their reasoning ability. Students can do it by being directly involved in various activities such as classroom discussions, problem solving, or experimenting. They should not only be made passive objects with the load of memorizing various concepts and science formulas. Keywords: character building, science teaching and learning, cognitive, affective and psychomotoric abilities
PENDAHLUAN Sains sebenarnya dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan siswa baik aspek kognitif, aspek psikomotorik, maupun aspek afektif. Oleh karena itu, sains sebaiknya dipelajari dengan cara-cara sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi siswa untuk dapat menerapkan kemampuannya secara berkarakter dalam pemecahan masalah-masalah nyata yang dijumpai dalam kehidupannya sehari-hari. Namun pada kenyataannya, masih
banyak kasus-kasus yang mengindikasikan rendahnya karakter manusia Indonesia. Masih banyak perbedaan pendapat atau permasalahan diselesaikan oleh siswa atau masyarakat dengan cara tidak berkarakter. Apakah hal ini menunjukkan bahwa pendidikan nasional telah gagal membentuk manusia Indonesia yang berkarakter? Jika benar, berarti amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pa-
153
154 sal 3 yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab belum sepenuhnya terwujud. Dalam era globalisasi dan informasi, peran sumber daya manusia (SDM) dengan jaringan yang dimiliki, sebagaimana dikemukakan Habibie (2012:1) akan sangat menentukan kualitas kehidupan masyarakat tempat yang bersangkutan berakar dan bergerak. Karena pada akhirnya, daya saing dan produktivitas SDM tersebut yang menentukan keunggulannya dalam masyarakat lokal, nasional, regional, dan global. Untuk mencapai produktivitas ini, SDM harus terampil, berdisiplin, dan pandai memanfaatkan segala prasarana dan sarana teknologi tepat guna yang tersedia. Generasi manusia yang hidup di abad ke-21 adalah generasi knowledge-based society. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali dengan pengetahuan yang relevan dengan kemajuan zaman, menguasai teknologi komunikasi yang merupakan salah satu ciri utama kehidupan modern abad ke-21, dibekali keterampilan yang sesuai dengan lapangan pekerjaan, serta tentunya menjadi warga negara yang bermoral yang mendukung dan mewujudkan identitas atau watak keindonesiaannya. Jika diamati, sumber pemberitaan media cetak dan media elektronik akhir-akhir ini diramaikan oleh terjadinya kasus-kasus yang mengindikasikan bahwa karakter
Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 2, Juni 2013
bangsa dipertanyakan. Ada kecenderungan bahwa emosi dan tindakan anarkis menjadi solusi setiap permasalahan. Bagaimana tidak, hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita tentang berbagai macam kejahatan, tawuran antarkelompok siswa atau kelompok masyarakat,dan korupsi. Busyro Muqoddas sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi mengaku prihatin akan semakin sistemiknya kegiatan korupsi di Indonesia. Tindakan korupsi dikhawatirkan dapat melahirkan konflik horizontal (Detiknews Rabu, 05/12/ 2012, 10:16 wib). Busyro Muqoddas mengatakan bahwa kegiatan korupsi di Indonesia semakin sistemik dan memiliki daya hancur yang besar. "Pemelaratan rakyat semakin besar dan mengakibatkan rakyat semakin melarat," terangnya. Imbasnya, korupsi akan berakhir pada konflik horizontal karena terkait dengan adanya kesenjangan sosial. "Karena disparitas sumber daya alam setempat yang oleh masyarakat lokal sulit diakses. Hal ini akan menimbulkan ketidakadilan struktural," ungkapnya. Korupsi, lanjut Busyro Muqoddas bisa disebabkan oleh lemahnya sistem integritas individu, keluarga dan institusi. Integritas individu tercermin dalam implementasi nilai dan prinsip. "Integritas perlu dimplementasikan secara harmonis," ucapnya. Kacung Marijan, staf ahli Mendikbud menyebutkan bahwa sains (MIPA) yang merupakan "basic" ilmu pengetahuan akan dijadikan sarana mengubah mindset pendidikan menjadi dua paradigma, yakni akademik dan karakter. Pendidikan karakter akan lebih banyak ditekankan di tingkat TK dan SD karena karakter itu merupakan pondasi pendidikan.
155 CIRI-CIRI ABAD 21 INFORMASI (tersedia di mana saja, kapan saja KOMPUTASI (lebih cepat, menggunakan mesin) OTOMASI (menjangkau semua pekerjaan rutin) KOMUNIKASI (dari mana saja, ke mana saja)
MODEL PEMBELAJARAN MENCARI TAHU bukan DIBERI TAHU BERTANYA bukan MENJAWAB BERPIKIR ANALITIS bukan BERPIKIR MEKANISTIS BEKERJASAMA dan BERKOLABORASI
Sumber : www.kemdikbud.go.id Skema 1. Pergeseran Paradigma Belajar Abad ke-21 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah membuat kebijakan untuk mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum, mulai dari jenjang prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, baik pada jalur pendidikan formal maupun nonformal hingga perguruan tinggi. Pendidikan karakter diungkapkan oleh Mendikbud sebagaimana yang dimuat dalam situs antaranews.com 15/5/2010 bahwa pendidikan karakter menjadi suatu keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan siswa cerdas pikiran, melainkan juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna, baik bagi dirinya maupun orang lain. Hal ini dilakukan mengingat saat ini banyak siswa lebih mementingkan hasil belajar tanpa memperhatikan karakter dan watak. Semaraknya para siswa menyontek demi memperoleh nilai bagus, tidak punya sopan santun, tawuran, membolos sekolah, dan kebut-kebutan di jalan raya menjadi dasar perlunya pendidikan karakter diterapkan dalam pembelajaran di sekolah, termasuk pembelajaran sains.
Jadi, apa yang salah dengan pendidikan watak atau karakter kita? Buchori mengemukakan bahwa pendidikan watak diformulasikan menjadi pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, dan pelajaran budi pekerti yang selama ini program utamanya ialah pengenalan nilai-nilai secara kognitif semata. Padahal, pendidikan watak seharusnya membawa siswa ke pengenalan nilai-nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata (Kemdiknas, 2010:6). Jika kita ingin melihat kehidupan yang lebih baik bagi generasi yang akan datang, kata Agustian (2012:3-4), pendidikan harus diarahkan untuk membangun kesadaran akan pentingnya nilai (values) dan makna (meaning) di balik apapun yang kita lakukan. Dalam kaitannya untuk membangun nilai dan karakter dalam sistem pendidikan, Agustian mengemukakan dua hal, yaitu diperlukan sebuah desain pendidikan yang tidak hanya mengutamakan kecerdasan intelektual (IQ), namun juga kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Membangun Karakter melalui Pembelajaran Sains
156 PENDIDIKAN KARAKTER Terdapat tiga buah kata berbeda, yaitu etika, moral, dan karakter yang masingmasing memiliki makna sedikit berbeda, namun dalam penerapannya seringkali disamakan satu dengan lainnya. Etika, kata seorang filsuf Yunani, yaitu Aristoteles (384-322 SM) adalah filsafat moral, ilmu tentang baik dan buruk, ilmu tentang asasasas akhlak. Dengan kata lain, etika menekankan pada sistem sosial di mana moral diterapkan dan menunjuk pada standar atau pedoman perilaku yang harus dimiliki oleh sebuah komunitas atau seorang individu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa etika adalah sisten nilai. Istilah moral memiliki makna yang sama dengan etika walaupun asal kata keduanya berbeda. Etika berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, sedangkan moral berasal dari kata mos (Latin) yang berarti kebiasaan, adat. Moral akan menentukan karakter pribadi seseorang. Perjalanan hidup seseorang dari bayi sampai dewasa sangat dipengaruhi oleh seperti bagaimana karakternya. Karakter seseorang merupakan hasil perpaduan antara faktor internal dan faktor eksternal dari individu tersebut. Dengan kata lain, karakter seseorang dapat dibentuk oleh lingkungan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karakter dapat dibangun melalui pendidikan. Kalau demikian, muncul pertanyaan: pendidikan seperti apa yang dapat membangun karakter mulia dari seseorang? Karakter (character) menurut kamus dapat diartikan sebagai watak, tabiat, atau sifat. Apa yang disebut karakter? terdapat 18 nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dirancang oleh Kemdikbud RI. Mulai tahun ajaran 2011, seluruh tingkat pendidikan di Indonesia harus menyisipkan pendidikan ka-
Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 2, Juni 2013
rakter tersebut dalam proses pendidikan. Model pendidikan karakter yang efektif, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Zuchdi dkk. (2009:1-11) adalah menggunakan pendekatan komprehensif. Pembelajarannya tidak hanya melalui bidang studi tertentu, tetapi diintegrasikan ke dalam berbagai bidang studi. Metode dan strategi yang digunakan bervariasi dan sedapat mungkin mencakup inkulkasi (lawan indoktrinasi), keteladanan, fasilitasi nilai, dan pengembangan soft skills yang meliputi: berpikir kritis, kreatif, berkomunikasi efektif, dan dapat mengatasi masalah (Sudrajat, 2011:47-58). Semua warga sekolah, yakni pimpinan sekolah, guru, siswa, pegawai administrasi, bahkan penjaga sekolah, pengelola warung sekolah, dan orang tua siswa, serta masyarakat perlu bekerja secara kolabratif dalam melaksanakan program pendidikan karakter. Tempat pelaksanaan pendidikan karakter baik di dalam kelas maupun di luar kelas dalam berbagai jenis kegiatan, termasuk kegiatan di rumah atau di lingkungan masyarakat sebaiknya melibatkan partisipasi orang tua siswa. Adapun nilai-nilai dalam pendidikan karakter bangsa yang dimaksud adalah sebagai berikut. Religius: sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang akan dilakukan; memiliki keberanian untuk melakukan hal yang benar; dianut, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Jujur: perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Bersikap jujur: tidak menipu, tidak main curang, atau tidak mencuri; dapat diandalkan; apa yang dikatakan membangun re-
157
putasi baik; setia pada keluarga, teman, dan negara. Toleransi: sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Memperlakukan orang lain dengan hormat; mengikuti aturan; memiliki toleransi dan menerima perbedaan; memiliki sopan santun; tutur bahasa baik; menjaga perasaan orang lain; tidak mengancam, memukul atau melukai siapapun; bersikap damai terhadap kemarahan, penghinaan, dan perselisihan. Disiplin: tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Kerja keras: perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Kreatif: berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Demokratis: cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dengan orang lain. Bertindak sesuai aturan; mau bergiliran dan berbagi; berpikiran terbuka; mendengarkan orang lain; tidak mengambil keuntungan dari orang lain; tidak menyalahkan orang lain secara sembarangan; memperlakukan semua orang secara fair. Rasa ingin tahu: sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Semangat kebangsaan: cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menem-
patkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Menjalankan upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi masyarakat; bekerjasama terlibat dalam urusan sosial atau masyarakat; menjadi tetangga yang baik; patuh terhadap hukum dan peraturan; menghormati otoritas; melindungi lingkungan; bersikap relawan. Cinta tanah air: cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Menghargai prestasi: sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Bersahabat/komunikatif: tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Cinta damai: sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Gemar membaca: kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Peduli lingkungan: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Peduli sosial: sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Bertindak secara baik, penuh kasih dan memperlihatkan sikap peduli dan
Membangun Karakter melalui Pembelajaran Sains
158 rasa syukur; mengampuni orang lain; membantu orang yang membutuhkan. Tanggung jawab: sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Melakukan apa yang seharusnya dilakukan; memiliki rencana ke depan; tekun: terus mencoba;selalu melakukan yang terbaik; pengendalian diri, disiplin; berpikir sebelum bertindak-mempertimbangkan konsekuensi; bertanggung jawab terhadap kata-kata, tindakan, dan sikap; memberi contoh yang baik bagi orang lain. Pengembangan keterampilan hidup (soft skills), terutama yang terkait dengan nilai dan moral harus menjadi perhatian bagi semua pihak, terutama pemerintah, sekolah, guru, bahkan orang tua. Siswa perlu dilatih untuk mengembangkan kemampuannya, baik secara intelektual maupun moral dalam pemecahan masalah-masalah nyata yang ada di lingkungannya. Kegiatan-kegiatan yang melibatkan proses baik intelektual maupun moral mencakup antara lain mengamati, mengukur, memprediksi, mendeskripsi, membuat inferensi, berkreasi, berdisiplin, bekerjasama, menghargai orang lain, dan membangun kepercayaan diri. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter (Pusat Kurikulum Kemdikbud) sebagai berikut. Pertama, berkelanjutan; mengandung makna bahwa proses pengembangan nilainilai karakter merupakan sebuah proses yang tiada berhenti, dimulai dari awal siswa masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan, bahkan setelah tamat dan terjun ke masyarakat.
Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 2, Juni 2013
Kedua, melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah, serta muatan lokal; mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter dilakukan melalui setiap mata pelajaran, serta dalam kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler. Ketiga, nilai tidak diajarkan, tapi dikembangkan dan dilaksanakan; mengandung makna bahwa materi nilai karakter tidak dijadikan pokok bahasan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, matematika, pendidikan jasmani dan kesehatan, seni, dan keterampilan, atau mata pelajaran lainnya. Guru tidak perlu mengubah pokok bahasan untuk mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa. Selain itu, guru tidak harus mengembangkan proses belajar, khusus untuk mengembangkan nilai. Suatu hal yang selalu harus diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Keempat, proses pendidikan dilakukan siswa secara aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai karakter dilakukan oleh siswa, bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip tut wuri handayani dalam setiap perilaku yang ditunjukkan siswa. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif. Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembangkan, guru menuntun siswa agar aktif. Hal ini dilakukan tanpa guru mengatakan kepada siswa bahwa mereka harus aktif, tapi guru merencanakan belajar yang menyebabkan siswa aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi dan mengumpulkan
159 informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi fakta, data, atau nilai, menyajikan hasil rekonstruksi atau proses pengembangan nilai, menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah, dan tugas-tugas di luar sekolah. PEMBELAJARAN SAINS John Dewey (1859-1952) seorang filsuf, teoritikus, dan reformator pendidikan, serta kritikus sosial yang sangat berpengaruh pada awal sampai dengan pertengahan abad XX menyebutkan bahwa semua pendidikan sejati berlangsung melalui pengalaman. Namun, juga diingatkan bahwa tidak setiap pengalaman bersifat mendidik (edukatif) karena sebagian pengalaman bersifat tidak mendidik (mis-edukatif). Pengalaman yang bersifat mendidik adalah pengalaman yang mendorong pertumbuhan pengalaman-pengalaman selanjutnya. Pengalaman yang tidak mendidik adalah pengalaman yang menghambat atau menghalangi pertumbuhan pengalaman selanjutnya. Begitu pentingnya pengalaman di dalam proses pendidikan. Berikut ungkapan kuno yang menyatakan bahwa: Tell me and I forget, show me and I remember, involve me and I understand. Dewey (2009) di dalam buku yang berjudul Experience and Education menyatakan bahwa pendidikan yang progresif harus sejalan dengan prinsip-prinsip pertumbuhan dan demokrasi serta bersifat manusiawi. Selanjutnya, dinyatakan juga bahwa pendidikan dapat diidentifikasi sebagai pertumbuhan atau perkembangan, bukan hanya secara fisik, melainkan juga secara intelektual dan moral. Dari sudut pandang ini, John Dewey menyebutkan bahwa pertumbuhan sebagai pendidikan dan pendidikan sebagai pertumbuhan. Pertanyaan yang mun-
cul adalah pertumbuhan seperti apa yang dapat mendorong terjadinya pertumbuhan-pertumbuhan selanjutnya? Supaya dapat terjadi kontinuitas, berarti sebuah pertumbuhan harus dapat menciptakan kondisi-kondisi untuk pertumbuhan lebih lanjut. Kondisi-kondisi di sini dapat berupa pengalaman-pengalaman baik secara individual maupun kelompok. Dari berbagai bentuk pengalaman inilah seseorang menjalani pertumbuhan dan pendidikan di segala aspek yaitu fisik, intelektual, dan moral. Setiap aspek tersebut akan dapat berkembang ke arah yang diharapkan apabila seseorang mendapatkan pengalaman-pengalaman yang bersifat edukatif atau mendidik. Aspek moral atau etika sangat terkait dengan karakter karena orang yang bermoral atau beretika baik dapat dipastikan memiliki karakter baik pula. Orang yang berkarakter baik pada umumnya berperilaku baik pula. Jadi, apa yang harus dilakukan oleh pendidik agar seseorang atau siswa di samping cerdas pikirannya juga berkarakter baik atau berwatak mulia? Dalam pendidikan karakter, beberapa ahli pendidikan menyarankan harus mengikuti uruturutan langkah, yaitu pengenalan nilai secara kognitif, pemahaman dan penghayatan nilai secara afektif, pembentukan tekad secara konatif, dan akhirnya pengamalan nilai secara nyata. Ki Hajar Dewantara telah menerjemahkan dengan kata-kata cipta, rasa, karsa, dan karya. Apakah cipta, rasa, karsa, dan karya itu? Cipta, rasa, karsa, dan karya pada dasarnya adalah empat kekuatan (power) yang hanya diberikan oleh Sang Pencipta kepada manusia. Jadi, hanya manusia yang memiliki kekuatan cipta, rasa, karsa, dan karya. Cipta, rasa, karsa, dan karya merupakan empat kekuatan manusia, tetapi masing-masing mempunyai fungsi yang ber-
Membangun Karakter melalui Pembelajaran Sains
160 beda. Jika keempat kekuatan ini dapat ‘menyatu’, maka akan menjadi satu kekuatan manusia yang dahsyat dan bermanfaat bagi kehidupan manusia dan alam sekitar. Pendidikan yang progresif, kata John Dewey lebih sejalan dengan prinsip-prinsip kebebasan (hak asasi manusia) dan citacita demokrasi daripada pendidikan tradisional yang bersifat otokrasi dan pemaksaan. Penataan kehidupan sosial termasuk pendidikan secara demokratis mendorong kualitas pengalaman manusiawi yang lebih baik, dapat dilaksanakan, dan dinikmati secara lebih luas. Padahal, pengalaman akan membangkitkan rasa ingin tahu, menguatkan inisiatif, dan membangun hasrat, dan tujuan-tujuan yang cukup intens untuk membawa seseorang melewati kebuntuan di kemudian hari, kontinuitas kerja dengan cara yang sangat berbeda. Setiap pengalaman merupakan daya penggerak dan nilainya hanya dapat diukur berdasarkan arah gerak itu. Tanggung jawab utama seorang pendidik, kata Dewey (2009) bukanlah sekedar mengawasi prinsip umum pembentukan pengalaman nyata melalui kondisi-kondisi sekeliling, melainkan juga harus menyadari secara konkret hal-hal di sekeliling siswa yang kondusif untuk mendapatkan pengalaman yang mengarah pada pertumbuhan. Guru harus mampu memanfaatkan segala apa yang ada di sekitar siswa, baik fisik maupun sosial agar dapat berkontribusi untuk membentuk pengalaman yang berguna. Teori Piaget (Aiken, 1988) menunjukkan bahwa seorang anak menjadi tahu dan memahami sains melalui interaksi dan beradaptasi dengan lingkungan. Berdasarkan teori Piaget ini, siswa harus membangun pengetahuannya sendiri melalui kegiatan observasi, eksperimen, diskusi, dan lain-lain. Pengetahuan dibangun sendiri oleh sis-
Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 2, Juni 2013
wa melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses pemahaman lingkungan menggunakan struktur kognitif yang sudah dibangun sebelumnya tanpa mengadakan perubahan-perubahan. Akomodasi adalah pemahaman lingkungan dengan terlebih dahulu memodifikasi struktur kognitif yang sudah dibangun untuk membentuk struktur kognitif yang baru berdasarkan rangsangan yang diterimanya. Implikasi-implikasi teori Piaget terhadap pembelajaran sains, kata Sund dan Trowbridge (1973) adalah bahwa guru harus memberi kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk berpikir dan menggunakan kemampuan akal. Mereka dapat melakukannya dengan jalan terlibat secara langsung dalam berbagai kegiatan seperti diskusi kelas, pemecahan soal, maupun bereksperimen. Dengan kata lain, siswa jangan hanya dijadikan objek yang pasif dengan beban hafalan berbagai macam konsep dan rumus-rumus sains. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widodo dan Kadarwati (2013:161-171) pada siswa SMA di Jawa Tengah diperoleh kesimpulan bahwa penerapan higher order thinking melalui problem based instruction dapat meningkatkan aktivitas dan karakter siswa yang akhirnya juga meningkatkan hasil belajar. Siswa lebih berani bertanya kepada guru, mengajukan ide, berani menghadapi soal-soal yang tergolong sulit sehingga lebih percaya diri dalam menghadapi ujian nasional ataupun olimpiade. Terdapat beberapa pendekatan pembelajaran sains yang dapat diterapkan, baik pada SD, SMP maupun SMA. Satu pendekatan lebih menekankan pada fakta sains, sedangkan yang lain lebih menekankan pada konsep-konsep sains, dan yang lain lagi menekankan pada proses sains. Pembelajaran sains yang menggunakan pendekatan faktual, terutama bertujuan untuk menge-
161 nalkan siswa pada berbagai fakta di dalam sains. Pada akhir proses pembelajaran, siswa diharapkan memperoleh informasi tentang hal-hal yang telah diajarkan. Misalnya, (a) sebuah atom hidrogen memiliki satu buah elektron, (b) Merkurius adalah planet terdekat dari matahari, (c) ular adalah binatang melata, dan (d) air membeku pada suhu 0o C. Metode yang paling efisien untuk pembelajaran faktual adalah membaca, resitasi, demonstrasi, drill, dan testing. Meskipun pembelajaran faktual seringkali menarik, namun tidak mencerminkan gambaran yang benar tentang hakikat sains. Fakta adalah produk sains. Siswa pada umumnya tidak mampu mengingat fakta dalam jangka waktu yang cukup lama. Pembelajaran faktual cenderung akan mendorong siswa berpandangan bahwa sains hanyalah kumpulan informasi. Bahkan, kalau proses bagaimana fakta tersebut diperoleh tidak dikemukakan, maka fakta yang sedang diajarkan itu pun tidak akan dapat dipahami sepenuhnya oleh siswa. Jadi, pembelajaran faktual tentang sains tidak akan memberikan gambaran yang benar tentang hakikat sains kepada siswa. Jika pembelajaran faktual hanya memberikan pandangan sempit tentang sains dan hasil-hasil yang minim, barangkali pembelajaran konsep sains menawarkan solusi yang lebih baik. Konsep adalah suatu ide yang mengikat beberapa fakta. Sebuah konsep menyatakan keterkaitan (link) antara beberapa fakta. Berikut ini adalah beberapa contoh konsep sains. Pertama, semua materi tersusun atas partikel-partikel. Kedua, semua makhluk hidup dipengaruhi oleh lingkungannya. Ketiga, materi mengubah keadaannya dengan menyerap atau melepaskan energi. Keempat, benda-benda celestial bergerak dalam lintasan yang dapat diprediksikan.
Perolehan konsep-konsep sains biasanya memerlukan kegiatan dengan objekobjek nyata, eksplorasi, perolehan fakta dan manipulasi ide. Di samping itu, ia memerlukan lebih daripada ingatan. Pendekatan konseptual memberikan gambaran yang lebih baik tentang hakikat sains daripada pendekatan faktual yang telah dibahas sebelumnya. Lebih jauh pendekatan konseptual mendorong siswa untuk mengorganisasi fakta ke dalam suatu model atau penjelasan tentang hakikat kesemestaan. Kedua pendekatan yang telah dibahas, yakni pendekatan faktual dan pendekatan konseptual dalam pembelajaran sains menekankan produk sains. Kedua pendekatan tersebut tidak melibatkan proses atau cara-cara produk sains dirumuskan. Pendekatan dalam pembelajaran sains yang melibatkan proses disebut pendekatan proses. Pendekatan ini didasarkan pada langkah-langkah ilmiah yang dilakukan para ahli sains ketika mereka melakukan penyelidikan ilmiah. Keterampilan proses sains dapat dikelompokkan ke dalam dua hal, yaitu: (1) keterampilan proses sains dasar, meliputi: mengamati/observasi, mengklasifikasi, berkomunikasi, mengukur, memprediksi, dan membuat inferensi; (2) keterampilan proses sains lanjut, meliputi: mengidentifikasi variabel, merumuskan definisi operasional variabel, mengajukan hipotesis, merancang penyelidikan, mengumpulkan dan mengolah data, membuat tabel data, membuat grafik, mendeskripsikan hubungan antarvariabel, menganalisis, melakukan penyelidikan, dan melakukan eksperimen. Beberapa jenis karakter yang dapat dikembangkan melalui kegiatan proses sains dapat dilihat pada Tabel 1.
Membangun Karakter melalui Pembelajaran Sains
162 Tabel 1. Jenis Karakter yang Dapat Dikembangkan melalui Kegiatan Proses Sains No. 1.
Keterampilan Proses Mengamati
2.
Mengklasifikasi
3.
Berkomunikasi
4.
Mengukur
5. 6. 7. 8.
Memprediksi Membuat inferensi Mengidentifikasi variabel Merumuskan definisi operasional variabel Menyusun hipotesis Merancang penyelidikan
9. 10. 11.
15.
Mengumpulkan dan mengolah data Menyusun tabel data Menyusun grafik, Mendeskripsikan hubungan antar variabel Menganalisis
16.
Melakukan penyelidikan
17.
Melakukan eksperimen
12. 13. 14.
Karakter Yang Dapat Dikembangkan jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, kerjasama, rasa ingin tahu, tanggung jawab jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, kerjasama, rasa ingin tahu, tanggung jawab bersahabat, demokratis, toleransi, religius, cinta damai, kerjasama, peduli sosial, peduli lingkungan jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, kerjasama, tanggung jawab kreatif, rasa ingin tahu, senang membaca kreatif, rasa ingin tahu, senang membaca kreatif, rasa ingin tahu, senang membaca kreatif, rasa ingin tahu, senang membaca kreatif, rasa ingin tahu, senang membaca kreatif, rasa ingin tahu, kerja keras, mandiri, kerjasama, senang membaca jujur, disiplin, kreatif, rasa ingin tahu, kerja keras,mandiri, kerjasama, senang membaca kreatif, rasa ingin tahu, mandiri, kerjasama, senang membaca kreatif, rasa ingin tahu, mandiri, kerjasama, senang membaca kreatif, rasa ingin tahu, mandiri, kerjasama, senang membaca jujur, disiplin, kreatif, rasa ingin tahu, mandiri, mandiri, kerja keras, senang membaca jujur, disiplin, kreatif, rasa ingin tahu, mandiri, kerja keras, kerjasama, senang membaca jujur, disiplin, kreatif, rasa ingin tahu, mandiri, kerja keras, kerjasama, senang membaca
PENUTUP Dalam pengembangan pendidikan karakter, seharusnya mengikuti urutan langkah-langkah, yaitu pengenalan nilai secara kognitif, pemahaman dan penghayatan nilai secara afektif, pembentukan tekad secara konatif, dan akhirnya pengamalan nilai secara nyata. Guru sains harus memberi kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk berpikir dan menggunakan kemampuan akal. Siswa dapat melakukannya dengan jalan terlibat secara langsung dalam berbagai kegiatan, seperti diskusi kelas, pemecahan soal, maupun bereksperi-
Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 2, Juni 2013
men. Dengan kata lain, siswa jangan hanya dijadikan objek yang pasif dengan beban hafalan berbagai macam konsep dan rumus-rumus sains. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada teman sejawat dan pihak yang telah membantu penulisan makalah yang kemudian dijadikan artikel jurnal ini. Semoga hal itu semua menjadi amal yang diperhitungkan kelak di akhirat. Amin.
163 DAFTAR PUSTAKA Agustian, Ary Ginanjar. 2012. “Pengajaran Nilai di Dunia Pendidikan”. Yogyakarta: Makalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia VII. Aiken, L. R. 1988. Psychological Testing and Assessment. Boston: Allyn & Bacon. Depdikbud RI. 1989. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika. Dewey, John. 2009. Pendidikan Dasar Berbasis Pengalaman. (Penerjemah Ireine V. Pontoh). Jakarta: PT. Indonesia Publishing. Habibie, B.J. 2012. “Sumber Daya Manusia Andalan Masyarakat Madani”. Makalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia VII. Yogyakarta. Muqoddas, Busyro. Detiknews. Diakses Rabu, 05/12/2012 10:16 wib.
Sudrajat, Ajat. 2011. “Mengapa Pendidikan Karakter”. Jurnal Pendidikan Karakter. Th I, No. 1, hlm. 47-58. Sund, R B. and Trowbridge, L.W. 1973. Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Company. Widodo, Tri dan Sri Kadarwati. 2013. “Higher Order Thinking Berbasis Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Hasil Belajar Berorientasi Pembentukan Karakter Siswa”. Cakrawala Pendidikan. Th. XXXII, No.1, hlm. 161171. Zuchdi, Darmiyati, Prasetya, Zuhdan Kun, dan Masruri, Muhsinatun Siasah. 2010. “Pengembangan Model Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran Bidang Studi di Sekolah Dasar”. Cakrawala Pendidikan. XXIX, edisi Dies Natalis UNY, hlm. 112.
Membangun Karakter melalui Pembelajaran Sains