MEMAHAMI AYAT-AYAT “MISOGYNY” DALAM ALQURAN* Didin Faqihudin** Abstract This article deals with the exegesis of al-Quran about women. There are many views said that in al-Quran many verses which disregarded women. These views are exactly wrong and just emerged from misunderstanding of the meanings of al-Quran. Al-Quran is a Holy Book that respects women more than everything. To gain an exact and right understanding of the meanings of al-Quran we need sets of equipment of exegesis like Arabic linguistics, asbab al-nuzul, science of history, etc. Kata Kunci: ayat-ayat misogyny, poligami, Jilbab, thalaq Pendahuluan Persoalan wanita selalu menarik untuk didiskusikan. Terlebih ketika wacana jender mulai hangat dibicarakan medio 70-an. Para pegiat gender (baca : kaum feminis) seolah ingin menggugat kemapanan yang tampak sangat tidak berpihak pada perempuan. Jika masyarakat pra-primitif sekitar satu juta tahun yang lalu--menurut penelitian para antropolog--menganut pola keibuan (maternal system) di mana perempuan lebih dominan dibandingkan laki-laki, maka di zaman modern ini keadaannya menjadi berubah. Telah terjadi peralihan dari sistem keibuan (maternal system) menjadi sistem kebapaan (paternal system). Parahnya, agama--khususnya agama-agama Ibrahimiah--dianggap sebagai salah satu penyebab menguatnya paham patriarki dalam masyarakat, karena agama-agama itu memberikan justifikasi (pembenaran) *
Kata misogyny sengaja penulis berikan tanda petik untuk menegaskan bahwa sebenarnya dalam Alquran tidak ada ayat yang sifatnya merendahkan kaum wanita. Sifat misoginis ini sesungguhnya muncul dari pemahaman yang kurang komprehensif terhadap Alquran.
168 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010:167-178 terhadap paham patriarki. Lebih dari itu, agama Yahudi dan Kristen dianggap mentolerir paham misogyny, suatu paham yang menganggap perempuan sebagai sumber malapetaka, bermula ketika Adam jatuh dari sorga karena rayuan Hawa.1 Agama Islam juga tidak lepas dari tuduhan ini. Ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran banyak
dianggap “merendahkan” kaum
wanita. Islam dianggap sebagai agama yang reaksioner terhadap wanita. Poligami, jilbab, thalaq, warisan dan persoalan kepemimpinan2 adalah sebagian bukti ketidakberpihakan Islam terhadap kaum wanita. Tulisan ini akan mencoba untuk membahas beberapa hal tentang penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran yang dianggap memiliki kesan "misoginis". Pembahasan Sebelum masuk ke dalam pembahasan tafsir terhadap ayat-ayat misoginis dalam Alquran, penulis terlebih dahulu ingin menegaskan bahwa Islam adalah rahmat (kasih sayang) bagi alam semesta, tidak terkecuali bagi wanita. Dalam hal ini Allah menegaskan:
“ Dan tidaklah Kami mengutus kamu (baca: Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.3 Ayat ini secara tegas menerangkan bahwa Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. berisi ajaran-ajaran yang penuh keadilan dan kasih sayang. Ini adalah konsep dasar yang harus dipegangi dalam memahami ajaran-ajaran Islam.
1
Lihat Nasaruddin Umar, Perspektif Jender Dalam Islam, Jakarta: Jurnal Paramadina, 1998, vol. 1, no. 1.. 96-97 2 Mustafa Mahmud, Hiwar Ma‟a Shadiqi al-Mulhid, (Kairo: Dar al-Kutub, 1974), 45 3 QS. al-Anbiya [21]: 107
Didin Faqihudin, Memahami Ayat-ayat 169 “Misogyny” dalam Alquran Bukan hanya ayat Alquran yang meneguhkan konsep rahmat, melainkan hadits Nabi pun meneguhkan hal ini. Salah satu hadits menyebutkan:
قَا َل َرسُٕ ُل ه « انرها ِح ًٌَُٕ ٌَرْ َح ًُُٓ ُى انرهحْ ًٍَُ ارْ َح ًُٕا-صهى َّللا عهٍّ ٔسهى- َِّللا صهََٓا َ َٔ ٍْ ًَ َض ٌَرْ َح ًْ ُك ْى َي ٍْ فِى ان هس ًَا ِء ان هر ِح ُى ُشجْ َُتٌ ِيٍَ انرهحْ ًَ ٍِ ف ِ َْي ٍْ فِى األَر َّللاُ َٔ َي ٍْ قَطَ َعَٓا قَطَ َعُّ ه صهَُّ ه )َّّللاُ » (رٔاِ إبٍ ياج َ َٔ “Rasulullah bersabda: “Orang-orang yang memiliki sifat kasih sayang akan disayang oleh (Allah) Yang Maha Penyayang. Sayangilah apa yang ada di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh yang ada di langit. Kasih sayang adalah dahan yang bersumber dari yang Maha Kasih Sayang, maka barangsiapa yang menyambungkannya maka Allah akan menyambungkan kasih sayangNya terhadapnya. Dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah pun akan memutuskan kasih sayangNya terhadapnya”.4 Dalam kaitannya dengan wanita, Islam sesungguhnya merupakan agama yang sangat menghargai, menghormati, dan lebih dari itu bahkan Islam adalah agama yang telah menyelamatkan kaum wanita. Ketika Islam datang, peradaban manusia sedang berada di titik terendah.5 Masyarakat Arabia misalnya sangat membenci perempuan. Memiliki anak perempuan bagi mereka adalah aib yang sangat memalukan. Alquran mengungkap hal ini demikian:
4
Lihat Sunan Abu Dawud, juz. 14 hal. 254 dalam CD Program al-Maktabah alSyamilah. 5 Baca misalnya Abul Hasan al-Nadwi, Maza Khasira al-Alam bi Inhihtat almuslimin, (al-Manshurah: Maktabah al-Iman, tt.), mulai 32 dst.
170 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010:167-178 “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”6 Ayat lain meyebutkan:
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh?7 Kedua kutipan ayat ini jelas memperlihatkan bahwa budaya Arab pada saat itu--tentu juga budaya bangsa-bangsa lain pada saat yang sama-sangat tidak berpihak pada kaum wanita. Harkat dan martabat mereka terinjak-injak. Islam datang untuk menyelamatkan harkat dan martabat mereka. Salah satu contoh bagaimana ajaran Islam sangat menghargai wanita adalah sabda Nabi Muhammad berikut:
6
QS. al-Nahl [16]: 58-59. Mengenai ayat ini, Sayyid Qutub menjelaskan memerahnya muka disebabkan oleh kegundahan, kesedihan dan kesesakan di dada. Dia pun marah karena menganggap kelahiran anak perempuan sama dengan tertimpa bencana. Padahal anak laki-laki maupun perempuan adalah pemberian Allah. Tidak ada yang dapat menentukan janin laki-laki atau perempuan dalam kandungan seorang wanita kecuali Allah. Tidaklah pantas sesuatu yang diberikan oleh Allah dianggap sebagai bencana. Lihat Fi Zhilal Alquran, juz 4, 472 dalam CD Program al-Maktabah al-Syamilah. 7 QS. al-Takwir [81]: 8-9. Kembali mengutip Qutub, bahwa salah satu kebiasaan buruk bangsa Arab jahiliyah adalah membunuh anak perempuan karena takut jatuh dalam kemiskinan. Islam datang untuk memperbaiki kondisi ini, yaitu mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan secara menyeluruh. Lihat Fi Zhilal Alquran, juz 7, 470 dalam idem.
Didin Faqihudin, Memahami Ayat-ayat 171 “Misogyny” dalam Alquran
ع ٍَْ أَبِى ُْ َر ٌْ َرةَ قَا َل َجا َء َر ُج ٌم إِنَى َرسُٕ ِل ه ٍْ ال َي َ َ فَق-صهى َّللا عهٍّ ٔسهى- َِّللا ُّ أَ َح قَا َل ثُ هى.» ل َ ال ثُ هى َي ٍْ قَا َل « ثُ هى أُ ُّي َ ص َحابَتِى قَا َل « أُ ُّي َ َ ق.» ل َ ٍِ اس بِ ُح ْس ِ ق انُه »ك َ ُٕ قَا َل ثُ هى َي ٍْ قَا َل « ثُ هى أَب.» ل َ َي ٍْ قَا َل « ثُ هى أُ ُّي Dari Abu Hurairah (beliau) berkata: Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah dan bertanya: “Siapakah orang yang paling berhak untuk dipergauli secara baik?” Rasul bersabda: “Ibumu”. Orang itu bertanya lagi: “Lalu siapa?” Rasul bersabda: “Ibumu”. Orang itu bertanya lagi: “Lalu siapa?” Rasul bersabda: “Ibumu”. Orang itu bertanya lagi: “Lalu siapa?” Rasul bersabda: “Setelah itu ayahmu”.8 Secara dasariah ini membuktikan bahwa Islam adalah agama yang sangat menghormati dan menghargai kaum wanita. Bahkan lebih tinggi ketimbang laki-laki. Tidak ada lagi alasan apapun untuk mengatakan bahwa Islam adalah agama yang merendahkan kaum wanita. Lalu bagaimana kita memahami ayat-ayat yang katanya bersifat misoginis itu? Tulisan ini akan menyoroti tiga persoalan: poligami, jilbab dan thalaq.
Poligami Ayat yang dijadikan sasaran kritik kaum feminis--dan kaum Islam phobia--bahwa Islam adalah agama yang menindas kaum wanita karena menjustifikasi poligami adalah: 8
Lihat Kitab Shahih Muslim, Bab Birr al-Walidayn, juz. 16, 368, dalam CD Program al-Maktabah al-Syamilah. Imam Nawawi dalam kitab syarah-nya terhadap Shahih Muslim menjelaskan bahwa menurut para ulama, keutamaan ibu dibanding ayah karena yang pertama itu lebih capek, lebih kasih, dan lebih perhatian terhadap anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh, mendidik, dlsb. Oleh karena itulah para ulama bersepakat bahwa ibu lebih berhak untuk didahulukan dalam bakti dibanding ayah. Lihat Syarh Nawawi „Ala Muslim, juz 8, 331 CD Program al-Maktabah al-Syamilah
172 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010:167-178 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.9 Jika dibaca secara sepintas ayat ini memang terkesan „menganiaya‟ perasaan wanita karena adanya redaksi yang memerintahkan laki-laki untuk mengawini wanita sampai jumlah empat orang. Namun memahami ayat Alquran tidak bisa dilakukan secara parsial, misalnya hanya dengan melihat redaksi ( ….) dan seterusnya tanpa melihat konteks sosial ayat. Membaca ayat ini secara utuh akan membawa kita pada pemahaman bahwa ayat ini sesungguhnya bukan berisi perintah menikahi wanita lebih dari satu tanpa reserve. Secara kontekstual, ayat ini masih terkait dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan pengasuhan terhadap anak yatim. Pada masa itu di Arabia, ada seseorang yang mengasuh anak yatim perempuan dan bermaksud menikahinya dengan pemikiran bahwa menikahi anak yatim tidak perlu dibayarkan maharnya seperti menikahi wanita lainnya. Dalam pandangan Islam hal ini mencedarai rasa keadilan. Maka Islam mempersilahkan untuk menikahi wanita lain saja bahkan jika mau boleh sampai empat. Dengan catatan mahar harus dibayar dan keadilan di antara para isteri itu harus diwujudkan.10 Dari sini jelas bahwa konteks ayat ini adalah sebagai kritik terhadap laki-laki yang hendak berlaku curang mengawini perempuan yatim tanpa mau membayar maharnya. Alquran mempersilahkan untuk menikahi wanita lain yang tentu maharnya harus dibayarkan. Lalu mengapa angka empat itu muncul? Apakah ini bukan pelecehan terhadap kaum wanita? 9
QS. al-Nisa [4]: 3 Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, juz. 2, 208-209 dalam CD Program al-Maktabah al-Syamilah. 10
Didin Faqihudin, Memahami Ayat-ayat 173 “Misogyny” dalam Alquran Penulis ingin menegaskan: pertama bahwa pada saat itu fenomena menikahi wanita berpuluh-puluh orang merupakan sesuatu yang biasa terjadi di masyarakat. Maka ketika Islam memunculkan angka empat dalam menikahi wanita, sesungguhnya itu mengandung semangat untuk mengurangi jumlah puluhan istri itu,11 dan bukan memperbanyak. Semangat inilah yang harus dipahami dalam membaca ayat “poligami” tersebut. Imam Ibnu Katsir menulis:
ٍ ع، حدثُا إسًاعٍم ٔيحًد بٍ جعفر قاال حدثُا يعًر:قال اإلياو أحًد ٌ أ:ٍّ عٍ أب، عٍ سانى، أَبأَا ابٍ شٓاب:ّ قال ابٍ جعفر فً حدٌث.انزْري ٍّ فقال نّ انُبً صهى َّللا عه،غٍالٌ بٍ َسهًَت انثقفً أسهى ٔتحتّ عشرة َسٕة 12
. اختر يٍُٓ أربعا:ٔسهى
Secara singkat, kutipan ucpan Imam Ibnu Katsir tersebut menceritakan tentang seseorang bernama Ghaylan bin Salamah yang masuk Islam. Ketika itu yang bersangkutan memiliki sepuluh orang isteri. Maka Nabi memerintahkan untuk memilih empat dari mereka dan menceraikan sisanya. Bukankah ini berarti Islam justeru mengajarkan pembatasan pernikahan!? Kedua, sekali lagi penulis ingin menegaskan bahwa konteks ayat ini adalah dalam rangka mengkritik laki-laki yang hendak berlaku curang terhadap mahar perempuan yatim. Jadi ayat ini sama sekali tidak melecehkan kaum wanita, lebih dari itu justeru untuk menghormati hakhak wanita (baca: perempuan yatim). Dengan memahami ayat ini secara utuh tidak ada alasan lagi untuk menganggap bahwa Alquran “menyakiti” perasaan kaum wanita karena telah menjustifikasi persoalan poligami. 11
Kita perlu ingat bahwa salah satu karakter hukum Islam adalah penerapan prinsip tadarruj fi al-tasyri‟ (bertahap dalam menetapkan hukum). Penulis „curiga‟ jangan-jangan maksud Allah yang sesungguhnya adalah membatasi hanya pada satu istri saja. Ini dapat dilihat dari persyaratan keadilan yang harus dipenuhi jika seorang laki-laki hendak menikahi lebih satu wanita. Dan Allah sejak dini sudah menegaskan bahwa keadilan itu tidak bisa diwujudkan betapapun manusia berusaha! Lih. QS. Al-Misa {4}: 129 12 Ibid. 210
174 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010:167-178
Jilbab dan Hijab Ayat yang dijadikan sasaran “tembak” kaum feminis—dan kaum Islam phobia—bahwa Islam adalah agama yang menindas kaum wanita karena mensyariatkan pemakaian jilbab adalah: “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.13 Ayat ini berisi instruksi kepada Nabi Muhammad saw. untuk memerintahkan istri-istrinya, anak-anak perempuannya, dan wanita-wanita muslimah untuk mengenakan jilbab.14 Yang menjadi perdebatan adalah apakah jilbab ini wajib bagi wanita-wanita muslimah saat ini. Mereka yang meng-iya-kan beralasan karena redaksi ayat ini secara jelas memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk menyuruh isteri, anak dan wanita muslimah mengenakan jilbab. Sementara yang mengatakan tidak wajib beralasan karena dalam redaksi itu terdapat „illat l-hukm (alasan penetapan hukum) yaitu sebagai simbol sosial untuk membedakan antara wanita merdeka dengan wanita budak ( ). Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kaum fasiq di Madinah terbiasa keluar di malam hari ke jalan-jalan Madinah yang kebetulan rata-rata sempit. Kaum wanita Madinah juga terbiasa keluar di malam hari untuk suatu keperluan. Orang-orang fasiq tersebut selalu menunggu kesempatan mengganggu kaum wanita ini. Namun jika mereka melihat wanita yang
13
QS. Al-Ahzab [33]: 59 Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa jilbab adalah kain selendang panjang di atas kerudung menjulur ke bawah menutup muka-kecuali mata-leher dan dada. Lihat Ibnu Katsir, jilid VI, 481 14
Didin Faqihudin, Memahami Ayat-ayat 175 “Misogyny” dalam Alquran mengenakan jilbab, mereka berkata: “ini wanita merdeka”. Mereka pun menahan diri dan tidak mengganggunya.15 Karena alasan inilah maka sebagian orang menafsirkan bahwa saat ini jilbab tidak perlu dikenakan oleh wanita muslimah dengan alasan situasi yang berbeda dengan yang ada pada masa 14 abad silam. Tidak lagi ada budak-budak wanita yang diganggu di jalan-jalan sehingga wanita muslimah harus mengenakan jilbab sebagai simbol sosial bahwa mereka adalah orang-orang merdeka. Ada pandangan menarik dari Mustafa Mahmud ketika ia mengatakan bahwa jlbab memiliki nilai kebaikan untuk wanita. Dengan jilbab maka wanita telah menutup tubuhnya. Sesuatu yang tertutup menimbulkan rasa penasaran ketimbang sesuatu yang terbuka yang justeru menimbulkan fitnah. Mustafa Mahmud menambahkan bahwa di sebagian suku primitif, karena tubuh yang benar-benar terbuka, ada semacam kehilangan gairah seks yang membuat seorang suami hanya sekali mencampuri istrinya dalam sebulan, dan jika isterinya tengah hamil sang suami pun meninggalkannya selama dua tahun. Di tepi-tepi pantai musim panas, tambah Mustafa Mahmud, banyak terlihat tubuh-tubuh wanita yang hampir telanjang tengah berjemur dan bebas dilihat oleh orang-orang yang lewat di sana. Pada akhirnya ini menghilangkan daya tarik wanita tersebut karena sudah sedemikian sering dan terbiasa untuk dilihat. Sementara wanita-wanita muslimah yang mengenakan jilbab, tentu akan lebih terhormat dan membuat “penasaran”.16 Bukankah ini justeru membuat kebaikan bagi yang mengenakannya?17
15
Ibn Katsir, ibid., juz VI, 482 Lihat Mustafa Mahmud, Hiwar Ma‟a Shadiqi al-Mulhid., 46-47.. 17 Penulis tidak menutup mata bahwa saat ini jilbab tidak bisa dijadikan sebagai ukuran terhormat tidaknya seorang wanita. Apalagi imbas modernisme dalam dunia fashion sudah sedemikian kuat. Berjilbab ternyata masih menyisakan lekuk tubuh yang tampak jelas oleh mata kaum lelaki. Juga banyaknya wanita berjilbab yang akhlaknya tidak lebih baik dari mereka yang tidak mengenakan jilbab. Pada akhirnya ini kembali kepada individu masing-masing. Paling tidak, kita dapat memahami bahwa fungsi awal jilbab adalah untuk menutup tubuh wanita 16
176 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010:167-178
Thalaq Thalaq adalah suatu keadaan yang menyebabkan ikatan perkawinan menjadi terputus. Dalam Islam konsep awal thalaq ini memang dipegang oleh pihak suami. Artinya di tangan suamilah sebuah perkawinan bisa tetap berlanjut atau terputus. Sekali lagi ini adalah konsep awal. Mengapa harus suami? Secara ilustratif kita bisa mencontohkan bahwa setiap kelompok, apapun itu, mesti ada pemimpinnya. Ini merupakan fitrah makhluk hidup. Dengan adanya kepemimpinan, maka kelompok itu akan dapat berjalan dengan baik. Dalam entitas yang bernama keluarga, kepemimpinan itu ada di tangan suami. Ini karena suamilah yang menafkahi keluarganya, termasuk isterinya.18 Paling tidak, ada dua alasan mengapa hak thalaq ada di tangan suami: Pertama, wanita memiliki perasaan yang lebih halus ketimbang laki-laki. Artinya secara emosional, wanita akan lebih mudah terbawa oleh perasaannya. Ketika hak thalaq ada di tangan wanita, maka dikhawatirkan dia akan menggunakannya untuk alasan-alasan sepele yang sebenarnya tidak patut digunakan untuk mengakhiri kehidupan rumah tangga. Kedua, thalaq sesungguhnya memiliki konsekwensi-konsekwensi ekonomis. Seorang suami yang masih berhutang (belum membayar) mahar kepada isterinya, maka ia harus membayarnya ketika ia menceraikan isterinya itu. Seorang suami juga masih berkewajiban secara lahir menafkahi isterinya selama masa iddah. Karena konsekwensi-konsekwensi ekonomis inilah maka kemudian sang suami tidak akan sembarangan menjatuhkan thalaq kepada isterinya. Dari segi kontrak pernikahan sendiri, sebenarnya sang isteri telah mengetahui bahwa suaminyalah yang memiliki otoritas thalaq. Artinya sejak awal perkawinan sang isteri telah mengetahui bahwa thalaq memang diputuskan oleh pihak laki-laki. Namun demikian, sebenarnya pihak isteri bisa saja mensyaratkan thalaq bisa dilakukannya seizin pihak suami pada agar tampak terhormat. Jikapun kemudian terjadi distorsi karena arus modernisme yang begitu deras, itu dikembalikan kepada individu masing-masing wanita. 18 QS. Al-Nisa [4]: 34
Didin Faqihudin, Memahami Ayat-ayat 177 “Misogyny” dalam Alquran saat kontrak nikah dimulai. Kita megenal ini dengan istilah ta'liq thalaq. Maksudnya jika ada hal-hal yang menurut isteri akan merugikan dirinya dan itu dilakukan oleh pihak suami, maka saat itu thalaq bisa terjadi. Misalnya jika suami tidak bisa menafkahi lahir batin isterinya selama enam bulan berturut-turut, dan sang isteri menjadikan itu sebagai ta'liq thalaq, maka begitu genap enam bulan sang suami tidak menafkahinya, secara hukum agama Islam telah terjadi thalaq. Atau ketika sang isteri mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, ia juga mempunyai hak untuk melaporkannya ke pengadilan untuk meminta cerai dari suaminya.19 Dari sini jelas terlihat bahwa hak thalaq yang ada di tangan suami adalah konsep awal yang tidak kaku. Karena pada kenyataannya pihak isteri sendiri bisa menuntut cerai dari suaminya ketika ia mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dalam kehidupan perkawinannya, yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Hak thalaq yang ada di tangan suami itu tidak lebih dari sekedar bahwa secara emosional laki-laki lebih stabil dibanding wanita. Penutup Dari paparan singkat di atas kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya Islam bukanlah agama yang "reaksioner" terhadap kaum wanita. Sebaliknya Islam adalah agama yang sangat menghargai dan menghormati kaum wanita. Tidak ada satu pun agama di muka bumi ini yang menghargai dan menghormati wanita melebihi apa yang Islam lakukan. Tuduhantuduhan yang menyudutkan Islam sebagai agama yang melecehkan kaum wanita adalah tuduhan yang tidak memiliki dasar argumentasi apapun. Tuduhan itu muncul akibat ketidakdalaman memahami ajaran Islam yang paripurna. Wallahu A'lam. Daftar Pustaka Alquran al-Karim Mahmud, Mustafa. Hiwar Ma‟a Shadiqi al-Mulhid, Kairo: Dar al-Kutub, 1974
19
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), cet. Ke-2, jilid 7, 360-361
178 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010:167-178 al-Nadwi, Abul Hasan. Maza Khasira al-Alam bi Inhihtat al-muslimin, alManshurah: Maktabah al-Iman, tt. Al-Nawawi. Syarh al-Nawawi „Ala al-Muslim, juz 8 dalam CD Program alMaktabah al-Syamilah Al-Naysaburi, Muslim bin Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyayri. Shahih Muslim, juz. 16, dalam CD Program al-Maktabah al-Syamilah. Qutub, Sayyid. Fi Zhilal Alquran juz. 7, dalam CD Program al-Maktabah alSyamilah. Syaybah, Abu. Mushannaf Abi Syaybah juz II, dalam CD Program al-Maktabah alSyamilah. Umar, Nasaruddin. Perspektif Jender Dalam Islam, Jakarta: Jurnal Paramadina, 1998, vol. 1, no. 1 al-Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1985, cet. Ke-2, jilid 7 ** Dosen tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Datokarama Palu