Melawan Pelupaan Publik
Panduan Diskusi dan Praktik Mendokumentasikan Kebenaran Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar di Masa Lalu
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jl. Siaga II No. 31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan 12510
Melawan Pelupaan Publik: Panduan Diskusi dan Praktik Mendokumentasikan Kebenaran Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar di Masa Lalu Editor: Sentot Setyasiswanto Cetakan Pertama 2012 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat © 2012 Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia
Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan 12510. INDONESIA. Telp. 6221-7972662; 79192564 Facs. 6221-79192519 Email:
[email protected] Website: http://elsam.or.id Linimasa @elsamnews @ElsamLibrary
This report is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License. Some rights reserved.
ii
Pengantar Penerbit Hampir lebih dari satu dekade pemerintahan belum juga menunjukan tanda-tanda akan menggelar upaya pengungkapan kebenaran atas kejahatan hak asasi manusia di masa lalu. Sebaliknya perlahan tapi pasti, penguluran waktu pengungkapan kebenaran ini pada akhirnya justru mendorong pelupaan publik atas kejahatan-kejahatan tersebut. Penyangkalan demi penyangkalan terus mengemuka dan semakin menguat, seperti halnya terlihat penyangkalan terhadap kejahatan kemanusiaan pada peristiwa 65, orang hilang, kerusuhan Mei serta kasus penembakan mahasiswa di Trisakti dan Semanggi pada 1998 dan 1999 silam, dalam bentuk penolakan Kejaksaan Agung untuk menindalanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Berbagai inisiatif politik dan hukum pun telah digagas oleh pegiat hak asasi manusia dan organisasi korban, tetapi tetap saja belum mampu meyakinkan negara tentang pentingnya menyelesaikan tindak pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu . Hampir lebih dari sepuluh tahun terakhir para pegiat hak asasi manusia dan perwakilan korban tak bosanbosan mendatangi DPR RI guna meminta dukungan politik untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Dan tak bosan-bosan pula, hampir satu dekade, kelompok ini terus melakukan lobby politik di jajaran pejabat negara tentang pentingnya agenda pengungkapan kebenaran atas apa yang terjadi di masa lalu, termasuk menunjukkan pentingnya langkah tersebut bagi masa depan demokrasi, hak asasi manusia, dan pembangunan di masa mendatang. Di tengah kebuntuan proses penyelesaian pelanggaran masa lalu di level formal, ada sejumlah inisiatif masyarakat sipil yang mencoba melakukan pengungkapan kebenaran secara mandiri dengan tujuan mendorong masyarakat untuk bisa memahami atas apa yang terjadi di masa lalu dan juga mengajak mereka untuk berdamai dengan masa lalu tersebut. Upaya-upaya ini pun beragam, tetapi hampir sebagian besar didominasi oleh inisiatif pendokumentasian yang diarahkan pada lahirnya publikasi buku sejarah lain atas satu peristiwa pelanggaran di masa lalu atau juga kertas kerja yang dapat dijadikan sebagai basis untuk melakukan rekonsiliasi di tingkat akar rumput. Beberapa upaya ini pun berhasil mengingatkan publik atas apa yang pernah terjadi di masa lalu: seperti menyangkal sejarah resmi negara dan atau menjadi dasar untuk melakukan rekonsiliasi di tingkat akar rumput. Sayangnya inisiatif-inisiatif ini masih sangat terbatas pada wilayah-wilayah tertentu. Di daerahdaerah lain sudah terlihat inisiatif-inisiatif serupa namun masih minim, sementara kejahatan hak asasi manusia di masa lalu yang telah mewarisi berbagai persoalan ekonomi, sosial, budaya, dan politik, di banyak daerah dalam tataran tertentu menjadi penyebab ketegangan sosial yang kerap berujung pada kekerasan komunal. iii
Pada dasarnya buku ini merupakan kumpulan tulisan tentang bagaimana melakukan dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia untuk tujuan melawan politik pelupaan yang didukung secara tidak resmi oleh negara. Kumpulan artikel dan tulisan ini mencoba memberikan inspirasi bagi masyarakat sipil di daerah untuk mulai melawan penyangkalan negara terhadap kejahatan hak asasi manusia di masa lalu melalui kerja-kerja pendokumentasian. Diawali dengan menjelaskan anatomi pelupaan kejahatan hak asasi manusia di masa lalu, buku ini selanjutnya mengajak pembacanya untuk memahami kompleksitas kejahatan masa lalu ini sehingga memahami bahwa penyelesaiannya tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan pada itikad baik para pejabat negara. Keterlibatan dalam kerja-kerja pendokumentasian menjadi inisiatif wajib agar jalan panjang pengungkapan kebenaran ini tidak menjadi jalan untuk mengajak publik melupakannya. Akhir kata, ELSAM tidak hendak bermaksud mengatakan bahwa buku ini merupakan jalan keluar atas kebuntuan politik dan hukum penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Tetapi setidaknya, melalui buku ini ELSAM hendak mengajak para masyarakat sipil di seluruh Indonesia bahwa sambil menunggu inisiatif pengungkapan kebenaran resmi negara, ada baiknya untuk kembali menghidupkan dan memperluas cakupan pihak yang terlibat dalam kerja-kerja pendokumentasian kejahatan hak asasi manusia di masa lalu karena pelupaan publik atas apa yang pernah terjadi di masa lalu semakin terus menguat.
Jakarta, Mei 2012 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
iv
Daftar Isi Pengantar Penerbit.......................................................................................................................iii Pengantar: Pendokumentasian Kejahatan Hak Asasi Manusia Masa Lalu dan Upaya Melawan Pelupaan Publik ........................................................................................................................... 1 Bagian 1. Memahami Pelupaan Publik dan Kompleksitas Penyelesaian Kejahatan Hak Asasi Manusia di Masa Lalu................................................................................................................... 7 I. Tujuan .............................................................................................................................................. 7 II. Membedah Amnesia Publik tentang Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar di Masa Lalu ...... 7 Pengantar ........................................................................................................................................ 7 1. Roosa, Ratih & Farid: Ingatan Sosial Tentang Kekerasan 1965-66 ............................................. 7 2. Transkrip Rangkaian Diskusi Publik ELSAM: Amnesia Publik ...................................................... 9 III. Memahami Kompleksitas Penyelesaian Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar di Masa Orde Baru ................................................................................................................................................... 10 Pengantar ...................................................................................................................................... 10 1. Agung Putri: Mengadili Masa Lampau dan Kompleksitas yang Melingkupinya ....................... 11 2. Farid dan Simarmata: Berbagai Dilema Masa Transisi.............................................................. 12 3. Transkrip Rangkaian Diskusi Publik ELSAM: Psikologi para Korban ......................................... 13 4. Teitel: Politik Ingatan, Mengaitkan Rezim Sejarah dan Rezim Politik ....................................... 14 Bagian 2. Merancang Dokumentasi Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar di Masa Lampau untuk Mencegah Pelupaan Publik............................................................................................... 22 I. Tujuan dan Pokok Bahasan ............................................................................................................ 22 II. Memahami Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar Orde Baru .............................................. 22 Pengantar ...................................................................................................................................... 22 1. Farid dan Simarmata: Rangkaian Kekerasan Orde Baru dan Sasarannya ................................. 22 2. Laporan Pemantauan Komnas Perempuan: Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender ...................................................................................................................................................... 23 3. Budiawan: Wacana Anti-Komunis dan Dampaknya terhadap Politik Rekonsiliasi PascaSoeharto ........................................................................................................................................ 27 III. Kejahatan Terhadap Umat Manusia Orde Baru Terhadap Gerakan Kemerdekaan ..................... 28 1) Farid dan Simarmata: Kekerasan Masa Lalu dan Penentuan Nasib Sendiri ............................. 28 2. Al Rahab dan De Soares: Deretan Pelanggaran HAM terhadap Warga Amungme .................. 29 v
3. Taylor: Perang Tersembunyi Sejarah Timor Timur yang Dilupakan .......................................... 30 4. Laporan Geoffrey Robinson untuk Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Kekerasan 1999 di Timor Leste............................................................... 32 IV. Kerja Pendokumentasi Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar dan Upaya Mencegah Amnesia Publik .................................................................................................................................. 33 Pengantar ...................................................................................................................................... 33 1. Bronkhorst: Pendokumentasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia Skala Besar di Pelbagai Negara ...................................................................................................................................................... 33 2. Laporan Pemantauan Komnas Perempuan: Pendokumentasian dan Pengkajian .................... 35 V. Teknik Merancang Dokumentasi Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar ............................... 37 Pengantar ...................................................................................................................................... 37 1. Paijo: Mengapa Harus Mengenali Entitas Material di Keranjang Informasi dan Dokumentasi? ...................................................................................................................................................... 37 2. Mohammad Fauzi: Pengantar Ringkas Pendokumentasian..................................................... 51 Bagian 3. Pengumpulan Data-Data Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar di Masa Lalu .......... 55 Tujuan ............................................................................................................................................... 55 I. Kompleksitas Ketersediaan dan Akses Data .................................................................................. 55 1. Bronkhorst: Investigasi Forensik ............................................................................................... 55 2. Hayner: Menggali Kebenaran Masa Lalu oleh Masyarakat Sipil ............................................... 57 II. Darimana Memulai: Mengajak Korban Mau Bersuara ................................................................. 58 Pengantar ...................................................................................................................................... 58 1.Roosa, Ratih & Farid: Metodologi Wawancara Sejarah Lisan .................................................... 58 2. Laporan Pemantauan Komnas Perempuan: Prinsip-prinsip wawancara.................................. 61 3. Dahana: Pengungkapan Kebenaran .......................................................................................... 62 4. Erlijna: Menemukan dan Menghadirkan Kebenaran ................................................................ 69 Bagian 4. Menuliskan Hasil Pendokumentasian Kebenaran Kejahatan HAM Masa Lampau .......... 76 I. Tujuan ............................................................................................................................................ 76 II. Mengemas Hasil Pendokumentasian Kebenaran Masa Lalu Melalui Berbagai Bentuk ............... 76 1. Laporan Pemantauan Komnas Perempuan: Ringkasan Eksekutif ............................................ 76 2. Razif: Romusha dan Pembangunan, Sumbangan Tahanan Politik untuk Rezim Soeharto ....... 80 3. Bronkhorst: Teater Bagi Mereka yang Telah dihilangkan ......................................................... 93 II. Teknik dan Tips Merangkai Hasil Pendokumentasian Menjadi Pelbagai Bentuk Terbitan ........... 94 vi
Pernyataan tentang Izin Penggunaan Tulisan .............................................................................. 96 Profil ELSAM
vii
Pengantar: Pendokumentasian Kejahatan Hak Asasi Manusia Masa Lalu dan Upaya Melawan Pelupaan Publik Tidak berfungsinya pelbagai produk perundang-undangan yang telah diproduksi untuk memberikan payung hukum penyelesaian kejahatan hak asasi manusia di masa Orde Baru; pembangkanganinstitusi negara—terutama Kejaksaan Agung—terhadap mandat membawa kejahatan Orde Baru ke meja pengadilan; serta penganuliran UU No.27/2004 tentang Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi, pada akhirnya membuat agenda penyelesaian kejahatan hak asasi manusia di masa Orde Baru hilang dari daftar agenda sidang DPR dan rapat-rapat koordinasi presiden. Situasi ini pula yang kemudian melahirkan pengerahan kelompok-kelompok massa penentang pengungkapan kebenaran kejahatan hak asasi manusia-diduga kuat dilakukan oleh para mantan pejabat militer dan sipil Orde Baru--ke kantor komisi-komisi negara yang sedang melakukan penyelidikan atas kejahatan-kejahatan tersebut dengan tujuan menganggu jalannya penyelidikan. Sementara secara pararel juga upaya-upaya untuk mengikis wacana penyelesaian kejahatan Orde Baru di media massa juga gencar dilakukan, sehingga memunculkan kesan tentang kelompok pro dan kontra terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas kejahatan hak asasi manusia di jaman Orde Baru. Di tengah kebuntuan penyelesaian kejahatan hak asasi manusia di masa Orde Baru, para korbannya hingga saat ini masih hidup dengan menanggung beban berat—baik secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya--yang diakibatkan kejahatan di masa lalu. Ada banyak keluarga korban yang hingga kini tidak tahu nasib anggota keluarganya yang ditangkap dan ditahan oleh militer, polisi, dan badan intelejen. Sementara bagi korban yang selamat, mereka harus menanggung cacat fisik ataupun mental yang mereka dapatkan dari tindak kekerasan dan penyiksaan yang mereka terima selama dalam tahanan. Baik mereka yang tidak selamat maupun yang selamat, mereka harus menerima perampasan harta benda mereka oleh para pejabat militer dan sipil, termasuk bersedia melakukan kerja paksa jika diminta oleh mereka. Di samping itu, mereka juga harus menyandang stigma sebagai “Anti Tuhan”, “Gerakan Pengacau Keamanan”, “Pemberontak”, dan atau “Penjahat”, sehingga mengikhlaskan jika pekerjaannnya hilang dan tidak mendapatkan layanan-layanan publik dasar. Hampir sebagian dari orang miskin di Indonesia adalah para korban kejahatan hak asasi manusia di masa Orde Baru, sehingga sulit bagi mereka untuk membiayai sakit fisik dan mental yang mereka dapatkan selama dalam tahanan. Kemiskinan ini pula yang membuat kebanyakan di antara mereka tidak mampu mengembalikan anak-anaknya ke bangku sekolah, apalagi hingga mendapatkan beasiswa pendidikan dari negara. Dan pada akhirnya kebuntuan hukum dan politik ini juga membuat proses advokasi penyelesaian kejahatan hak asasi manusia Orde Baru yang dilancarkan oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia tidak banyak mendapatkan tempat di ranah publik. Dan pelan namun pasti situasi ini menguntungkan upaya kampanye pelupaan kejahatan hak asasi manusia di masa lalu yang dilancarkan oleh mantan pejabat militer dan sipil Orde Baru.Meski tidak ada satupun ahli sejarah yang bisa menyangkal kebenaran kejahatan-kejahatan Orde Baru, kebuntuan penyelesaian kejahatan hak asasi manusia masa lalu tersebut telah menumbuhkan kelelahan politik yang luar 1
biasa di kalangan publik umum untuk kembali memberikan dukungan kepada keluarga korban, apalagi hingga ikut turun ke jalan menekan pemerintah agar menyelesaikannya secepat mungkin. Kelelahan ini pula yang kemudian membuat publik lebih banyak memikirkan tentang persoalanpersoalan kekinian, seperti korupsi dan kemiskinan ataupun kasus-kasus kejahatan hak asasi manusia baru, dan membiarkan (baca: melupakan) kejahatan di masa Orde Baru sebagai masa lalu yang sulit untuk diangkat kembali. Menurut sejumlah pegiat hak asasi manusia bukti tentang semakin menguatnya pelupaan publik ini adalah adalah turunnya jumlah kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat dalam peringatanperingatan peristiwa kejahatan hak asasi manusia Orde Baru yang diselenggarakan oleh organisasi hak asasi manusia dan korban dalam lima tahun terakhir. Di banding awal tahun kejatuhan Soeharto, acara-acara peringatan kejahatan hak asasi manusia Orde Baru, belakangan ini, lebih banyak dihadiri oleh keluarga korban dan pegiat organisasi hak asasi manusia. Kemudian liputan-liputan khusus televisi swasta dan pemerintah terhadap peristiwa-peristiwa kejahatan besar pun hanya berhenti menjadi tontonan semata karena, pada akhirnya, tidak mampu mendorong publik untuk menyuarakan lagi pentingnya agenda menyelesaikan kejahatan-kejahatan tersebut. Sementara di kalangan kelas menengah perkotaan yang dulu terlibat menggulingkan Soeharto, mulai menunjukkan gejala mendukung pelupaan publik atas kejahatan Orde Baru, dengan dalih menunggu momen politik yang tepat ataupun komitmen politik yang kuat dari pemerintahan baru selanjutnya. Gejala pelupaan publik terhadap kejahatan hak asasi manusia juga dapat dilihat dari semakin sedikitnya orang yang mengingat bahwa ketegangan antar etnis, agama, ras, dan afiliasi politik yang di sejumlah tempat kerap berujung pada kekerasan komunal adalah buah dari kejahatan hak asasi manusia rezim Orde Baru yang meninggalkan dendam di kalangan para korban dan pelaku-pelaku lapangan yang diprovokasi militer untuk terlibat dalam kejahatan tersebut. Hampir semua pakar dan kemudian diamini oleh publik melihat bahwa ketegangan relasi sosial dan politik di tingkat akar rumput antara organisasi-organisasi kemasyarakat berbasis Islam dengan kelompok nasionalis adalah akibat dari demokrasi yang kebablasan. Sedikit sekali yang menyebutkan bahwa ketegangan ini adalah salah satu contoh dari tindakan kejahatan hak asasi manusia Orde Baru antara tahun 1965-1966, dimana mereka mendorong kelompok agama untuk menyerang kelompok nasionalis yang tidak percaya tuhan dan agama. Sehingga tak mengherankan jika banyak upaya-upaya rekonsiliasi antara kelompok agama dengan nasionalis hanya berhasil di tataran elite, karena sesungguhnya kelompok akar rumput nasionalis masih mempertanyakan mengapa mereka harus menjadi korban dari peristiwa-peristiwa kekerasan di masa lalu, sementara di akar rumput agamais melihat upaya mengungkit-ungkit masa lalu adalah strategi kelompok komunis untuk menguasai Indonesia. Pelupaan publik ini juga membuat sedikit orang yang mengingat bahwa sulitnya mengurai problem kemiskinan di Indonesia adalah buah dari kebijakan revolusi hijau dan industrialisasi rezim Orde Baru yang membenarkan kejahatan hak asasi manusia dalam bentuk perampasan alat-alat produksi petani, nelayan, perempuan, dan masyarakat adat. kebanyakan para pakar kemiskinan selalu melihat kemiskinan di Indonesia adalah akibat dari minimnya tingkat pendidikan yang berkorelasi langsung pada rendahnya pendapatan mereka. Sementara ada banyak fakta lapangan di masa lalu yang menyebutkan bahwa kemiskinan yang terjadi saat ini adalah akibat dari tindakan perampasan tanah dan sumber daya alam milik rakyat oleh Orde Baru, termasuk juga kebijakan untuk pemaksaan 2
para korban perampasan tersebut untuk menjadi buruh di perusahaan-perusahaan yang kemudian mendapatkan izin berusaha di tanah ataupun sumber daya alam hasil rampasan tersebut. Bahkan pelupaan publik ini juga membuat pemberantasan tindak korupsi yang marak terjadi akhirakhir ini sulit untuk dilakukan karena selalu dilihat sebagai persoalan moral yang bobrok dari pejabat maupun aparatus negara semata. Jarang sekali para ahli korupsi yang melihat bahwa kesulitan untuk memberangus kejahatan korupsi adalah akibat dari kegagalan negara dalam mengungkap kebenaran bahwa praktik korupsi adalah cara dari rezim Orde Baru menjaga dukungan politik dari jajaran sipil dan militer. Di masa rezim tersebut berkuasa seluruh pejabat militer dan sipil diberikan kewenangan untuk menggunakan uang negara tanpa pertanggungjawaban, termasuk memeras penduduk sipil dan berkolaborasi dengan perusahaan multinasional, guna memenangkan agenda pembasmian lawan-lawan politik mereka. Praktik inilah yang kemudian mengurat-akar dan menjadi cara kerja di kalangan pejabat sipil dan militer dalam menjalankan roda pemerintahan di instansi sipil dan militer. Sehingga sulit sekali untuk memberangus kejahatan ini meski diciptakan sistem pengawasan ekstrajudisial atau bahkan mengganti pejabat di lingkungan instansi tersebut dengan orang-orang bersih. Sementara pelupaan publik terus berlanjut, kerja-kerja pendokumentasian kejahatan hak asasi manusia di masa Orde Baru dari organisasi-organisasi hak asasi manusia nasional dan lokal semakin berkurang. Meski tidak menghapus unit dokumentasi dalam struktur organisasinya, kerja-kerja pendokumentasian dari organisasi-organisasi tersebut belakangan lebih banyak diarahkan untuk mendokumentasikan kejahatan hak asasi manusia baru. Kebutuhan yang tinggi untuk segera menjawab permintaan pemberian bantuan hukum terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia baru, mendorong organisasi-organisasi tersebut mengarahkan unit dokumentasinya bekerja untuk menopang pekerjaan tim pengacara mereka tersebut. Di samping itu banyak organisasi-organisasi hak asasi manusia yang baru terbentuk untuk menjawab isu-isu advokasi yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga donor sehingga membuat kerja-kerja pendokumentasian mereka diarahkan untuk menopang advokasi isu baru tersebut. Sementara sejumlah organisasi yang masih konsisten untuk melakukan pendokumentasian kejahatan hak asasi manusia Orde Baru, kerja-kerjanya mulai dipersempit yakni diarahkan untuk menopang advokasi penyelesaian hukum kasus-kasus yang mereka tangani atau menjadi dasar kerjakerja pemberdayaan ekonomi korban yang mulai juga dilihat sebagai pekerjaan penting oleh organisasi-organisasi tersebut. Selain persoalan dukungan dana yang semakin terbatas diberikan oleh lembaga-lembaga donor terhadap kerja-kerja pendokumentasian, pendekatan kerja yang memang masih sangat “kasuistik” menjadi penyebab mengapa kerja-kerja pendokumentasian tersebut kerap disempitkan untuk tujuan-tujuan advokasi kasus dan pemberdayaan ekonomi korban. Dan tidak mengherankan jika kemudian kerja-kerja pendokumentasiannya berubah dari dahulu selalu dijalankan dengan melakukan investigasi mendalam di satu tempat menjadi kerja petugas “survei” atau “sensus” kilat di berbagai daerah. Perubahan bentuk pengumpulan ini pula yang kemudian merubah kualitas dokumentasi, dari kumpulan kesaksian detail dari para korban hanya menjadi jawaban-jawaban singkat para korban atas pertanyaan yang diminta formulirformulir survei atau sensus. Proses analisa pun hanya menghasilkan potongan kasus-kasus yang dialami oleh para korban yang berhasil disensus sehingga sulit untuk dibaca sebagai suatu kejahatan 3
Orde Baru yang sistematik dan meluas, sehingga bertentangan dengan keyakinan banyak orang selama ini tentang Orde Baru yang selalu terorganisir dalam merencanakan kejahatannya terhadaprakyatnya yang beroposisi atau melawan kebijakannya. Padahal catatan sejarah menunjukkan bahwa keberhasilan dari organisasi-organisasi hak asasi manusia untuk mendesak negara-negara donor menekan pemerintahan Indonesia agar mau menghormati dan melindungi hak asasi manusia--termasuk mendorong penggelaran pengadilan atas sejumlah kasus kejahatan dan kebijakan embargo pembelian senjata oleh negara-negara produsen peralatan tempur--adalah buah dari kerja-kerja pendokumentasian yang ulet dan konsisten. Metode pengumpulan data yang menggunakan metode kerja pengorganisasian masyarakat membuat para pengumpul data dapat mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari para korban dan keluarganya. Metode kerja ini pula yang membuat informasi-informasi yang didapat sangat kaya dan tak dapat disangkal oleh pemerintah sehingga dapat digunakan oleh negara-negara donor untuk memaksa Soeharto menghormati hak asasi manusia rakyatnya. Melawan Pelupaan dengan Pendokumentasian: Pengalaman Masyarakat Sipil Aceh dan Timor Leste Pada awal-awal kejatuhan Soeharto, publik Indonesia sempat dikejutkan oleh narasi-narasi perkosaan dan orang hilang dari perempuan-perempuan Aceh. Hampir sebagian penduduk Indonesia, meyakini bahwa operasi pembasmian kelompok Gerakan Pengacau Keamanan yang dilancarkan oleh militer di Aceh pada antara 1989-1997 adalah tindakan yang tepat sehingga patut didukung karena telah meresahkan masyarakat. Namun, pengakuan sejumlah perempuanperempuan Aceh kepada Komnas HAM yang kemudian dikutip oleh media massa pada akhir 1998 hingga 1999 membuat publik menarik persetujuan dan dukungannya karena operasi-operasi tersebut menggunakan strategi tempur yang kotor dan menjijikkan. Dan seketika itu pula, dukungan publik terhadap suara-suara korban tentang tuntutan pencabutan kebijakan daerah operasi militer terus mengalir sehingga membuat Panglima ABRI saat itu, Jenderal TNI Wiranto, meminta maaf dan mencabut status DOM di Aceh, Papua, dan Timor Timur. Dukungan ini juga berujung pada pembentukan Tim Pencari Fakta atas kekerasan yang terjadi di masa DOM, oleh Presiden BJ Habibie, termasuk juga menggelar sejumlah pelaku tindak kekerasan terhadap Tengku Bantaqiyah dan santrinya di pengadilan koneksitas, meski pelaku utamanya hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya. Pengalaman keberhasilan organisasi kemasyarakat Aceh ini bukanlah suatu kebetulan semata akan tetapi buah dari kerja pendokumentasian yang ulet dan lama. Jauh sebelum Soeharto jatuh organisasi-organisasi masyarakat sipil Aceh dengan bekerjasama dengan organisasi non-pemerintah (ornop) hak asasi manusia nasional dan internasional secara diam-diam mulai mendokumentasikan peristiwa-peristiwa kejahatan hak asasi manusia yang mereka terima dari penduduk kampung. Pada saat itu mereka melakukan kerja-kerja tersebut dengan maksud mengumpulkan informasi sebanyakbanyaknya guna menjadi konsumsi publik Internasional karena publik lokal dan nasional kala itu sebagian besar pendukung DOM. Mereka pun mengumpulkan informasi tersebut secara diam-diam, termasuk pula pendistribusiannya ke para penggunanya, karena keamanan. Informasi-informasi inilah yang kemudian mendorong sejumlah negara melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada Menteri Luar Negari Ali Alatas dan Presiden Soeharto sehingga membuat tekanan-tekanan militer 4
kepada penduduk sipil di Aceh sedikit berkurang. Kumpulan dokumentasi kejahatan hak asasi manusia di masa DOM inilah yang kemudian menjadi penghantar datangnya dukungan publik terhadap penderitaan penduduk sipil Aceh pasca kejatuhan Soeharto karena data-data ini yang membuat militer sulit berkelit dari keterlibatan mereka dalam sejumlah kejahatan di Aceh. Pengalaman serupa juga pernah menjadi cerita sukses orang Timor Lorosae, di mana upaya-upaya pendokumentasian kejahatan hak asasi manusia di Timor sejak 1975-1999 oleh organisasi masyarakat sipil berhasil membuat dunia internasional menekan Indonesia untuk keluar dari wilayah Timor Leste untuk selama-lamanya. Berawal dari penyelundupan dokumentasi sederhana dari kesaksian-kesaksian para korban yang selamat dari Invasi tahun 1975, selanjutnya mendorong terbentuknya jaringan solidaritas rakyat Timor Lorosae di pelbagai negara. Tidak juga ada yang menyangka perang yang disembunyikan Orde Baru dari rakyatnya sendiri selama lebih dari 20 tahun tersebut, tiba-tiba menjadi perhatian dunia internasional, karena keuletan dari organisasi-organisasi hak asasi manusia lokal dan Indonesia untuk menuliskan data-data tersebut menjadi laporan-laporan untuk para diplomat asing dan Perserikatan Bangsa-Bangsa tak dapat disangkal oleh diplomat dan pemerintah Indonesia. Bahkan setelah Timor Leste merdeka, rakyat Indonesia pun seperti tidak percaya ketika dokumentasi kejahatan hak asasi manusia dari organisasi-organisasi hak asasi manusia tersebut mampu menggoyahkan keyakinan yang ditanamkan Orde Baru kepada mereka bahwa “proses integrasi Timor Leste ke Indonesia dilakukan rakyat Timor secara sukarela dan damai”. Data-data ini juga menggoyahkan keyakinan dari rakyat Indonesia bahwa operasi-operasi militer di wilayah Timor Leste dilakukan pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan rakyat Timor Leste dari bahaya Komunis. Mereka terhenyak, ketika mendapatkan data-data yang tak terbantahkan bahwa tentara Indonesia sangatlah brutal dan biadab dalam menjaga agar orang-orang Timor Leste tetap mendukung integrasi. Data-data ini pula yang membuat mereka terhenyak bahwa bahwa “Sejarah masuknya Timor Leste ke Indonesia” bukanlah melalui integrasi melainkan melalui tindakan invasi dengan pengerahan militer dalam jumlah besar dan biadab. Dan dokumentasi ini juga yang kemudian memudahkan kerja-kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia dan Timor Leste untuk mencari kebenaran atas kejahatan hak asasi manusia di masa lalu--menurut rumor komisi ini dibentuk untuk menghindari tuntutan pembentukan pengadilan kejahatan perang oleh masyarakat internasional. Dengan berbekal dokumentasi kejahatan masa lalu ini, meski tidak seorang pun pejabat militer yang dihukum, KKP berhasil menunjukkan fakta kepada penduduk Indonesia bahwa “integrasi” Timor Leste ke Indonesia dilakukan dengan cara menebar teror maupun kejahatan terhadap umat manusia sehingga cerita tentang integrasi secara damai adalah cerita dongeng. Dan laporan ini juga berhasil memaksa Kementerian Pendidikan Nasional untuk merevisi pelbagai teks sejarah tentang Timor Timur yang selama ini dimanipulasi oleh Orde Baru, meski hingga saat ini belum juga dilakukan. Tentang Buku Ini Buku panduan diskusi dan praktik pendokumentasian kejahatan hak asasi manusia di masa lampau, mencoba mengajak masyarakat sipil di Indonesia, terutama lagi para peneliti dan dokumentalis organisasi hak asasi manusia, untuk menggiatkan kembali kerja-kerja pendokumentasian guna 5
menghadapi pelupaan publik yang gejalanya semakin jelas terlihat. Dengan mengangkat sejumlah literatur, artikel, dan esai-esai tentang pengalaman advokasi dan pendokumentasi kejahatan HAM di masa lampau, baik internasional dan nasional, buku ini bermaksud mengajak banyak pihak untuk mendiskusikan ulang tentang bagaimana menghadapi pelupaan publik yang kian menguat melalui kerja-kerja pendokumentasian. Berbeda dengan pendekatan yang banyak dipilih selama ini dalam menghadapi kebuntuan penyelesaian kejahatan hak asasi manusia Orde Baru, buku ini mencoba mengangkat perdebatan kerangka konseptual dan praktik menyelesaikan kejahatan hak asasi manusia di masa Orde Baru--termasuk juga pelbagai kompleksitas persoalan ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang membingkainya --untuk menjadi titik berangkat merumuskan strategi dan metode kerja pendokumentasian yang efektif di tingkat lokal. Untuk dapat menjawab tujuan dan hasil-hasil yang diharapkan ini, buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama akan mengangkat tulisan John Roosa, Agung Ayu Ratih, dan Hilmar Farid, serta transkrip diskusi para korban untuk mengajak pengguna buku ini mendiskusikan berbagai persoalan tentang pelupaan publik di Indonesia. Kemudian tulisan Agung Putri diangkat guna mengingatkan tentang persoalan ekonomi politik yang membuat upaya-upaya penyelesaian kejahatan masa lalu berjalan di tempat. Dan terakhir adalah tulisan Ruti G. Teitel tentang kerangka konseptual politik ingatan dan kebenaran yang diambil dari pengalaman-pengalaman negara-negara transisi di berbagai benua. Tujuannya adalah menjadikan naskah-naskah lama ini sebagai titik berangkat bagi para peneliti dan dokumentalis mengidentifikasi dan memahami pelbagai kendala serupa di tingkat lokal, termasuk menawarkan bahwa agenda mencegah pelupaan publik sebagai agenda antara yang perlu dijadikan tujuan relevan saat ini bagi kerja-kerja pendokumentasian kejahatan hak asasi manusia di masa Orde Baru. Di bagian kedua, buku ini mengangkat tulisan-tulisan tulisan dari Farid, Rikardo Simarmata, Budiawan, Amiruddin Alrahab dan Desousa, John Tailor dan Geoffrey Robinson dan Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) guna menunjukkan pola dan bentuk-bentuk umum dan khusus kejahatan hak asasi manusia Orde Baru di setiap masa sehingga mengingatkan peneliti dan dokumentalis hak asasi manusia tentang kompleksitas kejahatan hak asasi manusia yang dilakukan oleh Orde Baru. Dengan tulisan-tulisan ini pula diharapkan dapat memancing mereka untuk mulai mengidentifikasi kompleksitas kejahatan serupa di wilayahnya yang tentunya berbeda dengan yang ditemukan oleh para penulis tersebut. Kemudian tulisan Daan Bronkhost, Paijo dan Fauzi juga disajikan dalam bagian ini untuk menunjukkan tentang bagaimana membangun dokumentasi penyelesaian masa lalu yang sederhana dan ditujukan untuk melawan pelupaan publik. Selanjutnya di bagian ketiga, buku ini mengangkat pengalaman pengumpulan data kejahatan hak asasi manusia masa lalu yang dituliskan oleh Bronkhost, Priscilla Heyner, Roosa dkk, Erlijna, dan Dahana, serta laporan Komnas Perempuan guna mengingatkan tentang persoalan keterbatasan informasi dan strategi menghadapi persoalan itu. Dan di bagian akhir, buku ini kembali mengangkat Laporan Komnas HAM, tulisan Razif, dan Bronkhost untuk mengajak para pengguna buku ini membayangkan langkah-langkah yang harus dilakukan sebelum hasil pendokumentasian dijadikan alat untuk melawan amnesia publik. Sejumlah tips bagaimana menganalisa data dan mengemasnya juga ditawarkan dalam buku ini. 6
Bagian 1. Memahami Pelupaan Publik dan Kompleksitas Penyelesaian Kejahatan Hak Asasi Manusia di Masa Lalu I. Tujuan Bagian ini bertujuan memberikan pemahaman tentang apa itu kejahatan hak asasi manusia di masa Orde Baru, yang meliputi: bentuk kejahatan, pola, durasi peristiwanya, sebaran wilayahnya, dan akibat-akibatnya terhadap korban dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Selain itu modul ini juga bertujuan memberikan pemahaman tentang situasi ekonomi politik nasional dan lokal yang mengakibatkan upaya-upaya penanganan kejahatan hak asasi manusia masa lalu mengalami kebuntuan, yang pada akhirnya menciptakan pelupaan publik atas masalah ini. Pokok-pokok diskusi: • •
Fenomena amnesia publik di Indonesia Memahami kompleksitas penyelesaian kejahatan hak asasi manusia Orde Baru
II. Membedah Amnesia Publik tentang Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar di Masa Lalu Pengantar Ada banyak fakta kejahatan hak asasi manusia skala besar di masa pemerintahan Orde Baru yang mulai dilupakan publik. Para pihak yang bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan tersebut yang terus menerus melakukan upaya pengaburan atas kebenaran kejahatan tersebut, sehingga publik merasa ragu dan terus memegang sejarah resmi yang dibuat oleh negara yang notabene warisan pemerintah Orde Baru. Berikut ini adalah ringkasan tentang bagaimana amnesia publik terjadi sehingga menempatkan kebenaran kejahatan hak asasi manusia skala besar di masa Orde Baru hanya kabar burung atau desas-desus yang kebenarannya diragukan. 1. Roosa, Ratih & Farid: Ingatan Sosial Tentang Kekerasan 1965-66 [...] Teror 1965-66 adalah rahasia umum lain yang harus didekati melalui sejarah lisan. Hampir semua orang di Indonesia, bahkan mereka yang hidup di daerah paling terpencil sekalipun, tahu akan adanya penahanan dan pembunuhan massal. Mereka menyaksikan atau mendengar cerita tentang gerombolan orang yang berkeliaran di jalan-jalan memburu ‘PKI’; tentara yang datang ke pabrik untuk menangkap ‘PKI’; tetangga, teman atau saudara yang hilang secara misterius; jasad para korban yang tergeletak di jalan-jalan atau dibuang ke sungai; sekolah dan gedung pemerintah yang diubah jadi kamp tahanan dan pusat penyiksaan. Boleh dibilang, hampir semua orang memiliki bukti bahwa perburuan terhadap ‘PKI’ pernah terjadi. Betapapun teror itu sudah menjadi pengetahuan umum, sangat sedikit yang pernah ditulis mengenainya, bahkan dari perspektif para pelaku sendiri. pembunuhan itu juga menjadi rahasia umum: setiap orang tahu, tapi tidak ada yang menulis atau membicarakannya di hadapan publik. 7
Penulis ternama, Satyagraha Hoerip, dalam sebuah esai kritik sastranya pada 1972 mencatat bahwa pengetahuan tentang pembunuhan massal itu disebarkan dari mulut ke mulut. Cerita-cerita terus beredar, tapi tidak pernah ditulis: ‘Tapi yang aneh disini ialah, bahwa dari yang pernah kita dengar itu, tidak satu berita atau foto pun pernah kita saksikan, baik itu dari koran-koran, majalah-majalah maupun wartawan-wartawan yang umumnya cekatan itu di dalam maupun di luar negeri.’ Dengan rangkaian kata yang jarang ditemui dalam tulisan di Indonesia, ia menggambarkan beberapa cerita yang disiarkan dari mulut ke mulut tersebut. ‘ Lalu seperti yang kita dengar, pembunuhan massal kemudian terjadilah di banyak tempat di Indonesia ini, selama beberapa pekan. Ada yang langsung dipancung, dihanyutkan ke kali baik utuh seluruh tubuhnya ataupun hanya bagian-bagian badannya saja, ada yang dengan mata disekap berbondong-bondong digiring ke laut atau jurang dan kemudian dari atas dihujani batu-batu; ada yang lebih dulu disuruh menggali lubang dan kemudian dari jarak dekat ditembak masuk ke lubang itu sehingga tinggal menimbuninya saja; dan lain-lain dan banyak lagi.’ Hoerip merasa ia harus melawan mereka yang berpikir bahwa pembantaian itu mungkin tak pernah terjadi karena, terlepas dari jumlahnya yang banyak, cerita-cerita itu tidak pernah diperiksa ulang dan sering dilebih-lebihkan sampai orang tidak lagi mempercayainya; Bukankah kita tidak sangsi lagi bahwa pembunuhan massal sebenarnya pernah terjadi di negeri ini?’ Tidak adanya dokumentasi tertulis, analisis sejarah, atau dialog publik di Indonesia mengenai teror 1965-66 membuat banyak orang merasa bahwa seluruh masa itu sangat misterius dan tidak dapat dijelaskan. Orang bahkan tidak yakin apa arti penting dari ingatan mereka sendiri, misalnya, seseorang yang pernah menyaksikan pembunuhan massal di desanya mungkin tidak tahu apa yang terjadi di desa sebelah atau kabupaten lain. Ia tidak tahu pasti apakah pembunuhan yang disaksikannya adalah bagi dari sebuah pola umum atau kebetulan saja. Cerita mengenai tempattempat lain, karena beredar dari mulut ke mulut, menjadi tidak dapat diandalkan. Orang tidak tahu apakah harus mempercayai cerita-cerita itu atau menganggapnya sebagai desas-desus saja. Tanggungjawab atas pembunuhan itu tetap kabur. Apakah semua itu dilakukan penduduk biasa yang mengamuk? Apakah Angkatan Darat? Apakah kelompok-kelompok milisi sipil seperti Banser dan Tameng? Ataukah kerja sama antar keduanya? [...] [...] Selama 32 tahun kekuasaan rezim Soeharto, pembunuhan massal 1965-66 tidak pernah menjadi bagian dari ingatan sosial, yakni ingatan mengenai masa lalu yang disampaikan kepada orang lain, diperingati dengan upacara, ditulis dalam buku, didokumentasikan dalam museum, atau ditandai dengan mendirikan monumen. Pengalaman akan pembunuhan itu umumnya tersimpan dalam ingatan orang per orang atau dalam percakapan terbatas. ... buku-buku pelajaran sekolah tidak membuat keterangan apapun, begitu pula dengan buku-buku sejarah yang diterbitkan pemerintah mengenai kejadian 1965-66. [...] [...] Selama berkuasa, Soeharto membentuk ingatan sosial sedemikian rupa sehingga pembunuhan massal terlupakan, tapi ingatan akan Gerakan 30 September terus hidup. Orang Indonesia sekarang jika ditanyai mengenai apa yang terjadi pada 1965-66 akan mengatakan bahwa peristiwa pembunuhan tujuh perwira militer di Lubang Buaya adalah yang paling penting. [...] [...] Ingatan sosial akan peristiwa 1965-66 dibentuk oleh propaganda negara dan pembungkaman para korban. Ingatan ini menyerupai dongeng semasa kanak-kanak: monster terbesar dan mengerikan bernama PKI mengancam keselamatan orang yang sederhana dan baik hati, akhirnya 8
dikalahkan oleh pasukan ksatria mulia dan patriotik di bawah pimpinan Soeharto yang pemberani. Dongeng semacam ini mungkin masih diyakini anak-anak sekolah yang terus menerus dibawa berkunjung ke Lubang Buaya dan mendapatkan indoktrinasi melalui pelajaran sejarah di sekolah, tapi lain halnya bagi orang dewasa yang cukup rasional. Sejak lama ada keraguan mengenai versi sejarah rezim Soeharto. Saat ini, sudah ada informasi yang diterbitkan pada pelaku kekerasan antiPKI, yang memperlihatkan bahwa militer di bawah pimpinan Soeharto melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketimbang terus berpegang pada versi resmi tersebut demi ‘persatuan dan kesatuan’ kita perlu jujur melihat keragaman ingatan orang mengenai masa itu. Kita tidak bisa terus menerus membiarkan suara korban dibungkam. Kita tidak bisa lagi berharap bahwa orang akan menaati kisah rekayasa perwira intelijen militer sebagai sejarah nasional yang benar dan suci. [...] [...] Kami kemudian bersama-sama memutuskan akan mewawancarai eks-tapol dan keluarga mereka. Maksudnya, kami mengumpulkan cerita-cerita untuk menulis sebuah biografi kolektif dari orang-orang yang memiliki pengalaman serupa dalam perjalanan hidupnya (masa pra-1965, penangkapan, interogasi, penahanan, pembebasan, dan kehidupan di luar penjara). [...] [...] Pembaca buku ini perlu menyadari bahwa 260 orang yang kami wawancari adalah orang-orang yang masih beruntung: mereka adalah korban yang selamat dari pembunuhan massal, tetap bertahan waras, dan punya rasa kemanusiaan setelah belasan tahun mendekam di penjara, atau setelah puluhan tahun mengalami diskriminasi sosial dan politik sebagai anggota keluarga tapol. Mereka tetap bisa bicara mengenai pengalaman mereka yang seringkali begitu pahit dan memilukan, dan dengan berani menyepakati untuk direkam wawancaranya. [...] 2. Transkrip Rangkaian Diskusi Publik ELSAM: Amnesia Publik [...] Staf Gubernur Lampung-Korban Peristiwa ’65: Sebelum mengarah lebih jauh, saya pikir persoalan tindak pelanggaran masa lampau harus didefinisikan secara tegas terlebih dahulu. Hal ini sangat penting agar tidak terjebak pada perdebatan batasan dan istilah masa lampau itu sendiri. yang menjadi titik tekan saya adalah adanya istilah pelanggar yang artinya ada orang (pelaku) yang telah melakukan tindak pelanggaran yang menyebabkan lahirnya korban. Sehingga, kita harus membuat suatu kanalisasi siapa dulu musuh bersama kita yang membangkrutkan negara sampai rasa jiwa dan kehidupan negara-negara bangsa Indonesia hancur lebur. Saya juga ingin menegaskan kalau semua orang Indonesia pelupa. Mengapa saya katakan demikian? Karena banyak tindak pelanggaran HAM yang terjadi sudah kita lupakan begitu saja. Ambil saja salah satu contoh tragedi politik tahun 1965-1966 yang telah menelan satu setengah juta jiwa melayang sia-sia. Kalau hal itu dikali lima saja (mulai dari orang tua dan anaknya) berarti sudah berapa orang yang dianggap terlibat. Seperti genosida, kehidupan mereka khususnya akses mereka dalam bermasyarakat dihancurleburkan. Begitu juga nasib warga keturunan Tionghoa, harus ganti nama dan agamanya harus dihilangkan. [...] [...] Saya kira semua orang setuju berdamai dengan masa lampau, tetapi harus terdapat kejelasan terlebih dahulu mengenai apa yang telah terjadi dan menimpa korban. Sehingga dalam memperbincangkan persoalan pelanggaran HAM masa lampau tampaknya harus berangkat dari
9
korban itu sendiri. Kita harus mampu menghayati bagaimana nasib orang-orang miskin akibat tindak pelanggaran HAM.[...] PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK DISKUSI 1) Jelaskan apakah kasus/kejahatan hak asasi manusia rezim Orde Baru yang anda advokasi selama ini telah menjadi pengetahuan publik lokal? Jika ya kelompok masyarakat mana yang paling banyak mengetahui kasus/kejahatan tersebut? 2) Apakah mereka masih membicarakan kejahatan tersebut? a. Jika ya, : dimana mereka membicarakannya (ruang publik atau terbatas)? isu-isu apa saja yang mereka bicarakan? Apa yang membuat mereka tertarik untuk membicarakannya? b. jika tidak, faktor-faktor apa yang membuat mereka jarang/tidak pernah membicarakannya? 3) Apakah para korban kejahatan hak asasi manusia Orde Baru di wilayah anda telah banyak yang bersuara? Jika belum faktor-faktor apa saja yang menyebabkan hal itu terjadi? 4) Apakah pemerintah lokal terpilih sekarang mengetahui adanya tindak kejahatan hak asasi manusia Orde Baru di masa lalu? 5) Apakah mereka kerap membicarakan kejahatan tersebut dalam acara-acara resmi ataupun tidak resmi?
III. Memahami Kompleksitas Penyelesaian Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar di Masa Orde Baru Pengantar Hampir kebanyakan korban dan pembela hak asasi manusia Indonesia menyadari tentang pelbagai kompleksitas penyelesaian kejahatan hak asasi manusia skala besar di masa Orde Baru. Kuatnya perlawanan para pihak yang bertanggungjawab terhadap upaya penanganan kejahatan dalam bentuk “menolak untuk diperiksa Komnas HAM” hingga “menekan proses peradilan agar membebaskan para terdakwa” adalah penyebab mengapa kejahatan hak asasi manusia skala besar di masa Orde Baru hingga saat ini belum juga terselesaikan. Di samping itu, para pihak yang bertanggungjawab ini juga terus berupaya sekuat negara untuk melanggengkan produk kebijakan yang melindungi tindak kejahatan mereka di masa lalu, termasuk mensabotase kebijakan nasional tentang pengungkapan kebenaran di masa lalu, melalui manuver politik dan hukum yang secara konsisten mereka pertontonkan kepada para korban dan pegiat hak asasi manusia. Berikut ini adalah kumpulan artikel, paper, dan buku tentang kompleksitas penyelesaian kejahatan hak asasi manusia skala besar di Indonesia 10
1. Agung Putri: Mengadili Masa Lampau dan Kompleksitas yang Melingkupinya [...] Penyelesaian tindak pelanggaran HAM masa lampau senantiasa menjadi salah satu titik ketegangan baik antara pemerintah dengan rakyat, pemerintah dengan kelompok-kelompok oposisi, kekuatan internasional, penanam modal dan lainnya. Melupakan masa lampau serta berkonsentrasi pada masa kini dan mendatang merupakan penyelesaian yang paling sederhana untuk ditempuh. Namun cara itu tidak akan memuaskan rakyat. Di Indonesia, ide semacam itu sudah muncul dari satu dua jenderal dan pimpinan politik. Hal ini memunculkan kekhawatiran tidak diselesaikannya tindak pelanggaran HAM masa lampau. Ide ini jelas menunjukkan tetap dipertahankannya impunity (~ “kebal hukum”) yang merupakan penyakit utama rezim politik terdahulu. Sebaliknya, rakyat mengharapkan semua pelaku tindak pelanggaran HAM dan kejahatan politik yang menimpanya segera dibawa ke pengadilan dan pelakunya dihukum.[...] [...] Dalam beberapa peristiwa politik, rakyat secara langsung dapat menjadi hakim politik dalam “pengadilan rakyat”. Peristiwa revolusi Prancis menunjukkan, anggota keluarga kerajaan Loius XIV dan banyak pejabatnya tewas dipenggal alat Guillotine. Menjelang akhir Abad 20, pengadilan rakyat terjadi lagi atas keluarga Presiden Nicolae Ceausescu di Rumania. [...] [...] Selain pengadilan rakyat, terjadi pula apa yang disebut dengan pengadilan “para pemenang”. Pengadilan terhadap pelaku kejahatan dilakukan oleh penguasa yang legitimate atas nama rakyat atau kemanusiaan. Sebut saja sebagai misal, Barisan Revolusioner Fidel Castro dan Ernesto “Che” Guevara yang mengadili pejabat pemerintahan Fulgencio Batista di Havana, Kuba, tahun 1960-an. Contoh pengadilan “pemenang” yang terkenal adalah pengadilan internasional terhadap pimpinan Nasional-Sosialis Jerman (NAZI) dan pimpinan militer Jepang. Proses pengadilan tersebut berlangsung di Nuremberg dan Tokyo. Pengadilan ini mengadili perbuatan tindak kejahatan kemanusiaan, genosida, dan kejahatan perang yang paling besar dan paling lama. Hasil dari proses peradilan telah mempengaruhi pembentukan hukum kriminal internasional, instrumen HAM, dan pembentukan pengadilan kriminal internasional tahun 1998. [...] [...] sekalipun pengadilan Nuremberg dan Tokyo dapat dikatakan sebagai pengadilan penyelesaian secara tuntas pertanggungjawaban tindak kejahatan kemanusiaan, tetapi pengadilan tersebut tidak serta merta memenuhi rasa keadilan korban. [...] Padahal mereka adalah korban Perang Dunia II; perang yang telah meninggalkan masalh berupa ratusan juta manusia tercerabut dari kampung halamannya. Pergeseran demografi massal terjadi, belum lagi jutaan korban tewas, korban luka atau menderita trauma. Dari identitas mereka, 90% warga sipil biasa yang tidak ikut berperang menjadi korban. Tidak terdapat strategi global mengatasi dampak perang dunia pada masyarakat di Eropa maupun di Asia. Target pengadilan ini adalah penghukuman demi kepentingan si Pemenang. [...] Pengadilan rakyat maupun pengadilan pemenang merupakan harapan terselubung dalam tiap gerakan demokrasi di mana pun. Slogan-slogan seperti “gantung”, “seret”, yang terpampang di spanduk-spanduk demonstrasi jalanan merupakan sebuah ceminan. Sayangnya harapan sederhana dan murni ini dengan mudah dimanipulasi elite politik. Terlebih lagi bila proses nyata transisi tidak dihitung secara cermat, seperti yang terjadi di Rumania. [...] Selain ciri transisi politik dan sistem hukumnnya yang sedikit digagas di atas, ternyata ciri pelanggaran masa lampau itu sendiri juga merupakan persoalan. Pelanggaran masa lampau yang hendak diadili begitu rumit. Pemberlakuan sebuah hukum nyata-nyata tidak mampu mencakup bentuk kejahatan yang dilakukan secara kolektif, sistematis, terorganisir dan disponsori negara. Ia 11
hanya melayani kejahatan individu warga sipil terhadap individu lainnya. Sementara, kejahatan yang tumbuh dalam kebijakan negara dan lembaga pelaksananya, yang kemudian melahirkan mekanisme kekerasan dan akhirnya melebur dalam kehidupan masyarakat, belum terakomodasi dalam bentuk hukum yang berlaku. [...] [...] Padahal mekanisme kekerasan adalah sistem pemerintahan itu sendiri. Sehingga jika kita mencari pelaku kekerasan, seluruh masyarakat itulah pelaku atau pelaksana sistem otoriter tersebut. Persis demikian halnya jika kita hendak menuntut pertanggungjawaban partai Golkar atas banyaknya pembunuhan selama 32 tahun. Mungkinkah kita menyeret seluruh pegawai negeri di Indonesia (karena mereka adalah adalah anggota Golkar) ke depan meja hijau karena mereka membiarkan pembunuhan terjadi dan melanggengkan sistem otoriter? [...] [...] Kekerasan yang melebur dalam sistem pemerintahan telah melahirkan ribuan kasus dan berlangsung selama puluhan tahun. Terlebih lagi berbagai kasus tersebut tak pernah diselesaikan, sehingga dampaknya semakin meluas dari wilayah korban, keluarga korban hingga masyarakat luas. [Alm.]Munir (Koordinator KONTRAS) pernah menyatakan di hadapan publik bahwa terdapat 14.000 kasus orang hilang. Bagaimana menyelesaikan kasus sebanyak itu dalam waktu singkat, mulai dari menuntut pertanggungjawaban pelaku hingga pemulihan korban? Belum lagi menyebut jenis kekerasan lain, pembunuhan massal, perkosaan, perusakan harta benda dan lain sebagainya. Berapa lama pengadilan akan berlangsung hingga semua pihak terpuaskan.[...] [...] Sementara itu, ada kekerasan tertentu yang bersumber pada sistem nilai yang dengan sengaja dilembagakan pemerintah, seperti apartheid di Afrika Selatan. Kecurigaan rasial telah membuat ras kulit putih dengan sengaja menindas ras kulit hitam dan sebaliknya ras kulit hitam dengan sengaja melakukan kekerasan terhadap ras kulit putih sebagai perlawanan terhadap sistem tersebut. Dari gambaran ini agaknya pengadilan tidak mungkin menjadi pemain tunggal dalam penyelesaian pelanggaran masa lampau. Kompleksitas ini membawa kita ke sebuah tantangan untuk menyelesaikannya. 2. Farid dan Simarmata: Berbagai Dilema Masa Transisi [...] Negeri yang mengalami transisi menuju demokrasi selalu mengalami dilema untuk menangani kekerasan yang dilakukan rezim sebelumnya. Pemerintahan baru di satu sisi menghadapi tekanan dari masyarakat sipil, terutama kalangan korban kekerasan, yang menuntut agar para pelaku kekerasan di masa lalu dijatuhi hukuman, sementara di sisi lain berhadapan dengan perlawanan dari para pelaku yang juga masih memiliki kekuatan politik dan militer yang cukup signifikan. Keputusan untuk menangani masalah itu dengan sendiri tidak dapat semata-mata dibimbing oleh pertimbangan moral atau prinsip etik belaka. Justru sebaliknya tindakan pemerintah dan pilihan kebijakan yang tersedia sangat bergantung pada cara pemerintahan lama digeser, kapasitas sistem peradilan, dan ketersediaan personil yang cakap untuk melaksanakan kebijakan Di Indonesia, pergantian pemerintahan pada Mei 1998 berlangsung penuh ketidakpastian. Penunjukan B.J. Habibie sebagai presiden menandakan bahwa rezim lama turut mengendalikan perubahan dan sekaligus memangkas tuntutan perubahan yang lebih radikal. Gerakan reformasi pun gagal membuat perubahan sesuai syarat yang mereka tetapkan dan dengan sendirinya kehilangan daya untuk menetapkan langkah-langkah selanjutnya. Pada saat bersamaan tindak kekerasan semakin meluas. Kekerasan komunal melanda Maluku, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah, 12
sementara pertikaian TNI dan gerakan politik di Aceh dan Papua pun semakin meningkat. menghadapi kekacauan dan ancaman destablisasi, pemerintah baru tidak punya pilihan lain kecuali meminta militer bertindak tegas. Pemilihan umum 1999 yang disambut sebagai langkah maju menuju demokrasi pada saat bersamaan menandai berakhirnya era “parlemen jalanan”. Para pendukung reformasi yang semula berkerumun di sekitar aksi-aksi protes untuk menentukan perubahan mulai menghimpun kekuatan sendiri dengan cara-cara yang sama seperti partai politik di masa Orde Baru. Tuntutan tegas untuk mengadili pada pelaku korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia semakin surut di tengah berkembangnya wacana real-politik yang lebih mementingkan kesimbangan politik ketimbang prinsip kebenaran dan keadilan. Ilustrasi yang paling menyentak adalah kegagalan membawa para pelaku pembunuhan mahasiswa Trisakti dan Semanggi, yang memicu dukungan publik bagi gerakan reformasi, ke pengadilan yang sesuai. [...] 3. Transkrip Rangkaian Diskusi Publik ELSAM: Psikologi para Korban [...] Fauzi Iman: Saya pernah mendengar Ibu Karlina memaparkan bahwa penyelesaian permasalahan tindak pelanggaran HAM masa lampau mesti memperhatikan soal budaya politik, hukum, dan religius. Tapi ada satu hal lain yang seharusnya menjadi titik tekan dalam upaya penyelesaian tindak pelanggaran HAM, yakni persoalan psikologi korban itu sendiri. Saya ingin menceritakan pengalaman saya dalam upaya penyelesaian kasus Lampung dan ini mungkin bisa menjadi semacam refleksi bersama. Sebenarnya, saya tidak terlibat secara langsung dalam peristiwa itu. Namun pasca-terjadinya pembantaian itu ada satu operasi intelijen yang dimulai dari statement politik Panglima ABRI—kala itu Jenderal Try Sutrisno, “Kami akan mengangkat tuntas persoalan Lampung itu sampai ke akar-akarnya.” Rupanya perintah ini diartikan sebagai penangkapan terhadap para aktivis yang ada di Jakarta, Bandung, Bima dan Dompu untuk kemudian diadili dan dikaitkan dengan persoalan Lampung. Mereka dituduh melanggar UU Anti-Subversi dengan tuduhan ingin mendirikan negara Islam. Kemudian mereka dikenai hukuman mulai dari 5 sampai 20 tahun. Saya sendiri dihukum 20 tahun, menjalani 10 tahun di penjara Cipinang. Awal reformasi saya masih berstatus asimilasi, masih bisa bekerja di luar separuh hari, sore harinya harus kembali ke penjara. Pada waktu maraknya tuntutan pengungkapan tindak pelanggaran HAM, saya mengambil sikap melakukan islah dengan pelaku pembantaian Lampung, Jenderal Hendro Priyono. Sebuah konsep penyelesaian konflik sosial menuju perdamaian yang mengacu pada Al Qur’an. Alasannya bersifat pribadi, waktu itu saya masih dalam kondisi terpenjara. Saya tahu persis bagaimana kondisi penjara, di mana napi sangat rentan kehidupannya. ... Waktu itu terdapat kurang lebih 14 orang napol akibat kasus Lampung. Delapan orang dengan hukuman seumur hidup yang mendekam di Pulau Nusa Kambangan, salah satu penjara yang jauh dari ibu kota, jauh dari pengamatan LSM maupun badan-badan internasional. Jadi waktu itu saya khawatir untuk langsung menuntut pengungkapan kasus Lampung begitu saja. Bisa jadi teman-teman yang ada di penjara akan dihilangkan. Kejadian tersebut pernah menimpa salah seorang anggota GAM di LP Tanjung Gusta, Medan. Kemudian ada pertemuan yang dimediasi oleh Bapak AM Fatwa, saya dan teman-teman korban Lampung bertemu dengan Jenderal Hendro Priyono. Saya langsung mengajukan satu konsepsi islah 13
kepada mereka. Tuntutan awalnya adalah pembebasan teman-teman kasus Lampung yang masih ada dalam tahanan. Kemudian ada semacam kompensasi terhadap korban akibat peristiwa tersebut. Di mana, banyak korban yang karena mengalami kematian perdata dengan diisolasi, terutama yang berada di desa, maka secara ekonomi mengalami kemiskinan. Dengan berjalannya konsepsi islah ini maka kemudian ada yang mengatakan mesti ada jiwa besar untuk memberi maaf. Kalau saya melihatnya bukan hanya jiwa besar untuk memberi maaf, tetapi juga ada satu jiwa besar untuk mengakui kesalahan. Pengakuan kesalahan merupakan hal yang belum ada di Indonesia. [...] 4. Teitel: Politik Ingatan, Mengaitkan Rezim Sejarah dan Rezim Politik [...] Agar suatu kebenaran dapat dianggap “resmi”, diperlukan konsensus demokratik. Namun dalam transisi, proses demokratik sering kali belum dikonsolidasikan dengan baik, dengan implikasi terhadap otoritas dan legitimasi penciptaan pengetahuan dalam masa transisi. Dengan demikian, dalam pencarian kebenaran masa transisi, ada usaha bersama untuk menjadikan pertanggungjawaban sejarah dan politis dapat berjalan seiring. Rezim kebenaran transisional tidak berdiri sendiri, namun terkait erat dengan proses-proses dalam penciptaan pengetahuan, selain narasi sejarah yang telah ada. Konsensus pada sejarah yang diciptakan didasarkan pada penyebarluasan dan penerimaan kebenaran di tingkat masyarakat. Dari mana sumber kekuasaan kebenaran resmi? Proses hukum presentasi dan ratifikasi memberikan otoritas dan legitimasi dalam proses demokrasi. Begitu selesai, laporan kebenaran diberikan kembali kepada aktor pemerintah yang memberikan kekuasaan kepada komisi kebenaran biasanya eksekutif negara yang bersangkutan. Penyebarluasan informasi merupakan langkah berikutnya, misalnya di Chile, setelah presentasi laporan Komisi Rettig kepada presiden, laporan kemudian dipresentasikan kepada masyarakat luas. Proses serupa terjadi dalam presentasi laporan komisi internasional El Salvador kepada PBB. Ritual publik tentang pertanggungjawaban sering kali disertai dengan permintaan maaf dari pemerintah, Misalnya, di Chile pasca-pemerintahan militer, presiden secara terbuka memaparkan hasil temuan komisi kebenaran kepada seluruh masyarakat, di sebuah stadion olahraga, yang semula pernah digunakan sebagai tempat penahanan dan penyiksaan. Hal ini menggambarkan sekali lagi bahwa ritual-ritual kritis tersebut merupakan suatu pembalikan–penggunaan ritual-ritual represi dari masa lalu–terhadap ritual di masa lalu, dengan tujuan untuk memberikan arti baru. Dalam presentasinya, Presiden Patricio Aylwin menyatakan bahwa penghilangan merupakan “eksekusi” yang dilakukan oleh “agen-agen negara”, secara formal mengakui tanggung jawab negara dan meminta maaf kepada seluruh masyarakat. Presiden Aylwin “mewakili seluruh negara, dan atas namanya, mengakui tanggung jawab negara, kepada para korban”. Permintaan maaf transisional ini memberikan rehabilitasi secara terbuka bagi para korban, yang telah direndahkan oleh rezim lama, yang mengata-ngatai mereka sebagai “musuh negara”. Tindakan ini memiliki konsekuensi di tingkat masyarakat, yang jauh lebih besar daripada permintaan maaf secara informal, dan menunjukkan kedekatan antara keadilan historis dan reparatoris. Sementara dengan permintaan maafnya, presiden mewakili negara dan seluruh tanggung jawabnya kepada para korban, ia juga menegaskan kebutuhan terhadap “tindakan pengakuan terhadap penderitaan” yang dialami seluruh bangsa. Representasi kebenaran secara publik, melalui lembaga eksekutif, memberikan ekspresi tentang pertanggungjawaban politik masa transisi dan menggambarkan dilema tanggung jawab suksesor dalam masa transisi. Ketika rezim kebenaran baru dipresentasikan, dan wakil rezim baru meminta maaf kepada seluruh masyarakat atas nama negara untuk tindakan-tindakan yang dilakukan pada masa pemerintahan yang lama, terlihat adanya kontinuitas negara dan kedaulatan hukum. Apologi transisional memberikan kontinuitas tanggung jawab negara, sekaligus merupakan diskontinuitas – melepaskan masa lalu. Tentu saja permintaan maaf resmi memainkan peranan dalam mengakui 14
kesalahan yang dilakukan pemerintah. Permintaan maaf oleh eksekutif merupakan bentuk pengakuan resmi oleh pemerintah tentang kesalahannya di masa lalu, terutama dalam lingkup hubungan internasional. Sementara ini merupakan praktik umum dalam tingkat negara, pengalaman transisional menunjukkan penggunaan tindakan ini pada tingkat domestik, antara pemerintah baru dan warga negaranya. Sebagai puncak usaha pencarian kebenaran, permintaan maaf transisional berperan serta dalam menggerakkan pergeseran rezim politik. Jika mandat komisi kebenaran adalah untuk menentukan apa yang terjadi pada masa pemerintahan yang lama, maka semata-mata mengumpulkan fakta belumlah memenuhi mandat ini. Yang sedang dipermasalahkan adalah sejarah suatu bangsa yang masih belum jelas. Dengan demikian, komisi kebenaran, seperti juga pengadilan suksesor, adalah forum pertanggungjawaban sejarah publik tentang peristiwa-peristiwa traumatik, karena transisi berarti pergeseran atau pergantian rezim kebenaran. Dalam pergeseran dari pemerintahan militer, kebenaran yang sedang dipermasalahkan adalah tentang karakter kekerasan pada masa pemerintahan sebelumnya. Dalam kisah versi militer, kekerasan yang ia lakukan adalah “perang”, mereka yang dihilangkan adalah “gerilyawan”, dan represi dijustifikasi sebagai “perang terhadap pemberontak”. Pengisahan inilah yang dicoba dijawab oleh laporan kebenaran transisional, memberikan kebenaran dari pihak suksesor sebagai pengganti kebenaran versi rezim lama. Mengubah anggapan lama tentang tindakan negara dimungkinkan melalui “kategorisasi” dan “emplotment” dalam narasi yang baru. Kategorisasi dan emplotment adalah cara-cara dalam narasi transisional untuk memberikan gambaran baru dan legitimasi baru terhadap kisah-kisah tentang masa lalu. Agar tindakan negara di masa lalu dianggap tidak sah, perlu pelaporan fakta-fakta dengan cara sedemikian rupa sehingga perbedaan-perbedaan relevan menjadi terlihat, melalui penggunaan kategori paralel, dalam konteks pemerintahan represif di masa lalu. Sebagai contoh, laporan Chile disusun berdasarkan kategori tindakan negara, membedakan korban “kekerasan politik” dari korban “pelanggaran hak asasi manusia”. Representasi kedudukan dan tindakan para pelaku dan korban menjadi elemen untuk rekonstruksi representasi pelanggaran-pelanggaran di masa lalu yang telah ada. Apa yang terjadi pada masa pemerintahan yang lama direpresentasikan dalam perubahan kategori kekerasan. Selain fakta-fakta yang baru ditemukan, terdapat renegosiasi terhadap representasi bahasa kekerasan politik: “konflik bersenjata”, “pemberontakan”, “terorisme politik”, “kejahatan terhadap kemanusiaan”, dan “genosida”. Transformasi sejarah terjadi melalui representasi eksplisit dalam bentuk rekategorisasi fakta-fakta kontroversial – terutama sifat dan justifikasi kekerasan politik di masa lalu. Sebagai contoh, dalam transisi dari pemerintahan militer, kebenaran yang kritis adalah yang berkaitan dengan keamanan nasional negara dan doktrin-doktrinnya. Laporan suksesor memberikan respon yang kritis terhadap klaim rezim militer pendahulu dengan menyatakan bahwa kekerasan negara tidak bisa dijustifikasi oleh doktrin keamanan nasional dalam apa yang disebutnya perang melawan subversi, dan bahwa mereka yang dibunuh bukanlah teroris politik, melainkan warga negara biasa, dan penghilangan tidak bisa dijustifikasi atas alasan keamanan. Ketika laporan Nunca Más Argentina menyimpulkan bahwa seperlima jumlah korban penghilangan adalah pelajar, jadi mereka dikategorikan sebagai “warga sipil tidak bersenjata”, representasi demikian merupakan revisi yang kritis yang memaksakan perubahan atau transisi dalam rezim kebenaran. Representasi demikian melawan justifikasi kekerasan politik di masa lalu. Untuk alasan inilah, biasanya sebagian besar isi laporan komisi kebenaran memuat identifikasi dan kategorisasi para korban secara sistematis, dengan implikasi yang berat terhadap rezim lama. Dengan menyatakan bahwa para korban adalah warga sipil yang tidak bersenjata, dan bukan kombatan, laporan komisi kebenaran menolak rezim kebenaran militer dengan klaimnya bahwa ia melakukan perang melawan terorisme, dan dengan demikian menegaskan bahwa apa yang terjadi adalah penindasan sistematis yang disponsori oleh negara. 15
Namun usaha untuk menarik garis baru dalam penggolongan kekerasan politik yang dapat dijustifikasi membutuhkan kehati-hatian. Penggolongan itu memiliki banyak risiko politisasi, dan batasannya pun tipis, terutama bila yang hendak dibedakan adalah kekerasan politik dan kekerasan hak asasi manusia. Risiko itu makin kentara jika dengan pengisahan keduanya dalam satu laporan, usaha tersebut memberikan arti bahwa keduanya memiliki keserupaan secara juridis dan moral. Rezim kebenaran yang mendukung perdamaian, kedaulatan hukum dan sasaran politik rezim suksesor tidak selalu adil bagi sejarah, dan dengan demikian bisa tidak stabil dan berumur pendek. Kebenaran selalu bersifat khas untuk rezim politik tertentu. Ketegangan yang tersirat dalam transisi sejarah ini, sementara memberikan pemahaman yang bergeser tentang kekerasan di masa lalu, terlihat dalam transisi pasca-perang saudara, yang memiliki bentuk pertanggungjawaban sejarah yang khas: kesepakatan, yang dinegosiasikan setelah konflik yang menyerupai perang saudara, bergantung pada tinjauan sejarah untuk memajukan rekonsiliasi, yang merupakan tujuan politis. Penghentian konflik sering kali memerlukan komitmen bersama untuk mengadakan penyelidikan sejarah oleh kedua belah pihak, yang melibatkan representasi kekerasan dari kedua pihak. Dengan demikian, komisi pasca-perang saudara sering kali mendapat mandat untuk menyusun tinjauan sejarah yang tunggal yang mewakili kedua pihak dalam perang saudara. Terdapat kesepakatan politik untuk memberikan representasi sejarah tentang tanggung jawab bersama, meskipun peran negara tetap dominan. Tinjauan demikianlah yang paling jelas menunjukkan kaitan rezim kebenaran dengan rezim politik. Terdapat banyak ilustrasi kesepakatan hasil perundingan yang menghentikan konflik di Amerika Tengah dan Afrika. Perang saudara di El Salvador dan Guatemala berakhir dengan kesepakatan untuk melakukan penyelidikan bilateral terhadap kekerasan yang dilakukan rezim dan oposisi, dengan hasil tunggal berupa laporan. Setelah perang saudara, tujuan konsiliatoris dari komisi kebenaran merupakan inti transisi. Dalam transisi pasca-perang saudara kontemporer, suatu laporan penyelidikan resmi yang memuat pelanggaran yang dilakukan oleh militer dan oposisi memberikan suatu bentuk rekonsiliasi berdasarkan sejarah. Maka, dalam laporan kebenaran El Salvador, pengisahan tentang perang saudara di negeri itu, yang disebutkan sebagai “tindakan kekerasan yang serius”, disusun secara formal dalam dua bagian setara, yang masing-masing berjudul “Kekerasan terhadap Pihak Lawan oleh Agen Negara” dan “Kekerasan terhadap Pihak Lawan oleh Frente Farabundo Marti para LaLiberaciόn Nacional”. Perimbangan antara kekerasan negara dan oposisi dilakukan dengan contoh-contoh kasus yang paradigmatik. Laporan Komisi Klarifikasi Sejarah Guatemala merujuk masa lalu negara itu sebagai “pertikaian antar-saudara” yang dilakukan oleh pasukan keamanan negara dan pemberontak. Dengan jumlah korban yang besar dari perang saudara di El Salvador dan Guatemala, mandat komisi kebenaran untuk mencapai rekonsiliasi bergantung terhadap penyelidikan terbatas pada kasus-kasus contoh – dari kedua belah pihak. Jadi, dua jenis kekerasan, yang dilakukan negara dan oposisi, dipaparkan secara sejajar, dalam suatu jilid laporan kebenaran. Sejarah yang dikisahkan ini berimbang, dan merupakan suatu narasi yang diciptakan untuk mendukung kesepakatan politik. Kesepakatan serupa menjadi hukum di Afrika Selatan. Mandat komisi kebenaran di negara ini adalah untuk menyelidiki pelanggaran rezim pendahulu, sekaligus juga pelanggaran yang dilakukan aktoraktor non negara. Suatu permasalahan kesetaraan moral dimunculkan oleh Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Fokus jilid kedua dari laporan ini adalah para pelaku. Sementara laporan itu dimulai dengan pemaparan tentang peran negara, tepat setelah bagian ini adalah pembicaraan tentang “gerakan pembebasan” dan peran mereka dalam pelanggaran. Kesetaraan lebih lanjut tampak dalam proses pencarian kebenaran. Para pelaku dan korban secara 16
umum dianggap setara; para pelaku dianalogikan dengan para korban, dan dengan demikian, memiliki kedudukan yang sama. Yang bersalah maupun yang tidak sama-sama korban ... Keluarga dari mereka yang disiksa, dilukai atau mengalami trauma diberdayakan untuk menemukan kebenaran, dan para pelaku diberikan kesempatan untuk mengakui kesalahan mereka. Negeri ini memulai proses panjang namun penting untuk menyembuhkan luka-luka masa lalu ...
Implikasi etis dan politis dari narasi transisional demikian diperlihatkan oleh “laporan” Hannah Arendt tentang pengadilan utama kejahatan Nazi di Israel. Laporan pengadilan Arendt ini berisikan sekumpulan argumen normatif, yang utamanya membahas tanggung jawab Eichmann sebagai pelaku terhadap para korbannya. Pemaparan peran birokratis Eichmann yang dibandingkan dengan peran para korbannya dalam satu laporan yang sama inilah yang dianggap mendukung klaim utama Arendt tentang “begitu biasanya” kejahatan. Risiko politisasi keadilan historis transisional digambarkan dalam laporan kebenaran transisional. Bila perundingan damai sepakat untuk bersama-sama menggabungkan penyelidikan terhadap kejahatan negara bersama dengan kejahatan pihak lainnya, pilihan komisi untuk menyelidiki kasus-kasus tertentu memiliki risiko tampak sebagai versi sejarah dari “pengadilan sandiwara”. Timbul pertanyaan tentang sejauh mana kesepakatan politik sebelum terbentuknya komisi membatasi independensi dan bahkan menentukan arah penyelidikan sejarah. Representasi politik berada pada spektrum kontinuitas dan diskontinuitas, dengan implikasinya yang terkait bagi kemungkinan perubahan ke arah demokrasi. Bila kedua jenis kekerasan diselidiki oleh satu komisi, terdapat gambaran kontinuitas, bahwa pelanggaran negara bersifat relatif, bahwa aparat penindasan negara serupa saja dengan oposisi politik. Proses bersama penyelidikan dan pelaporan kekerasan dari kedua pihak ini menempatkan keduanya dalam kategori yang paralel dan memberikan perbandingan yang kontroversial: dengan menempatkan kedua macam kekerasan dalam satu dokumen, melalui penyejajaran keduanya, terciptalah representasi simetris dan bahkan anggapan bahwa kejahatan yang mereka lakukan sebanding – ekuivalen secara moral. Narasi transisional dapat distrukturkan sedemikian rupa untuk menceritakan berbagai kisah. Sebagai contoh, ada pertanyaan tentang seberapa luas analisis sejarah perlu dilakukan dalam proses penyelidikan kasus-kasus tertentu. Dengan latar belakang sejarah yang panjang, kisah yang terlihat adalah kekerasan siklik. Bila tinjauan sejarah diorganisasikan sedemikian hingga menggunakan kategori dan penilaian sejarah yang telah ada, sifat dan penyebab kekerasan menjadi tampak terlalu terdeterminasi dan tidak mengakui perubahan. Komisi-komisi transisional bisa juga membentuk rezim-rezim kebenaran yang transformatif secara radikal. Bila laporan kebenaran dari rezim penerus menunjukkan represi di masa lalu dalam kategorikategori yang bersesuaian dengan “sejarah” versi rezim lama, representasi ini memajukan respon yang kritis. Pembantahan sejarah versi lama secara transformatif bergantung pada penggunaan kategori juridis yang merespon rezim kebenaran lama. Respon dan bantahan ini merupakan satu bentuk pertanggungjawaban historis. Model ini memungkinkan dengan prinsip-prinsip dokumentasi, representasi dan penguatan kebenaran dalam versi yang baru. Dengan mentransformasi kategorisasi lama, laporan kebenaran mengungkapkan sifat-sifat pelanggaran negara. Hasil yang dicapai oleh dokumentasi yang dilakukan komisi kebenaran adalah suatu versi baru sejarah yang dapat dipercaya. Dalam hal ini terdapat keserupaan antara keadilan historis dan peradilan pidana: sebagaimana halnya pengadilan memutuskan “kebenaran” dari satu pihak tentang suatu hal yang dipermasalahkan, demikian pula penyelidikan kebenaran transisional berpuncak pada keputusan serupa. 17
Kebenaran atau Keadilan: Kebenaran sebagai Pendahulu Keadilan? Pertimbangkanlah peran narasi sejarah yang diciptakan pada masa transformasi politik. Hingga sejauh mana pengisahan kebenaran transisional merupakan bentuk keadilan? Apakah mereka merupakan pendahulu, atau alternatif terhadap keadilan? Hingga sejauh mana pertanggungjawaban sejarah merupakan sasaran dalam masa transisi, dan bukan cara untuk mencapai sasaran lain? Sejauh mana konstruksi kebenaran bersifat performatif, dan sejauh mana bersifat instrumental? Sebuah fungsi performatif utama dalam konstruksi kebenaran transisional adalah “rekonsiliasi”, yaitu dengan membawa para pelaku dan korban dalam dengar pendapat komisi, dan melalui kesaksian mereka, berpartisipasi dalam proses negara. Selain kesaksian para korban, komisi juga bergantung pada pengakuan para pelaku. Ini merupakan hal penting bila rekonsiliasi menjadi sasaran. Dengan mempertemukan para pelaku dan korban untuk membicarakan pengalaman mereka, penyelidikan komisi kebenaran merupakan dramatisasi bersama-sama tentang masa lalu. Bila korban dan pelaku menceritakan pengalaman mereka, terdapat penyembuhan dan kemungkinan perubahan diri tentang pengalaman yang sudah terjadi. Namun, meskipun proses tersebut memiliki fungsi katarsis yang penting, masih terdapat potensi konflik laten antara kebutuhan para korban dan pelaku dan kepentingan negara. Dalam berbagai transisi, para korban telah menentang undang-undang amnesti untuk mengendalikan dan mendapatkan pemenuhan “hak” mereka untuk mendapatkan pengetahuan. Contoh utamanya adalah ibu-ibu Plaza de Mayo di Argentina dan keluarga Biko di Afrika Selatan. Selain potensi konflik ini, kebenaran menimbulkan konsekuensi lain. Perubahan interpretasi memberikan justifikasi untuk perubahan politik lainnya. Begitu rezim kebenaran baru ditetapkan, ia memiliki konsekuensi lebih lanjut karena ia menjadi standar untuk menentukan klaim-klaim lainnya. Dengan demikian, pertanggungjawaban sejarah mengarahkan dinamika dalam transisi. Bila terdapat respon yang baru saja dikonstruksi, ia mengubah latar belakang politis dan hukum. Jadi, “kebenaran” bukanlah suatu respon yang otonom; rekonstruksi terhadap fakta-fakta sosial tidak bisa dilepaskan dari praktik-praktik kemasyarakatan lainnya. Bila “kebenaran” terungkap, ketika pengetahuanpengetahuan kritis tertentu diakui secara terbuka, pengetahuan bersama ini menggerakkan responrespon legal lainnya, seperti sanksi bagi pelaku pelanggaran, reparasi bagi para korban dan perubahan institusional. Di beberapa negara, eksplorasi terhadap masa lalu diawali dengan mandat untuk melakukan penyelidikan secara umum. Beberapa menganggap pencarian kebenaran sebagai tahap awal yang mengarah pada proses legal lainnya, seperti pengadilan, sementara ada pula anggapan bahwa penyelidikan kebenaran merupakan alternatif independen dari respon-respon lainnya. Sebagai contoh, laporan Argentina, Nunca Más, adalah tahap pertama dalam proyek negara itu untuk menyikapi masa lalunya. Sementara pada umumnya komisi kebenaran tidak mengungkapkan nama pelaku pelanggaran, di Argentina, bila terdapat kecurigaan, komisi menyampaikan daftar namanama yang ia temukan kepada pengadilan, dan kecurigaan tersebut akan mengarah pada pengadilan terhadap individu pelaku pelanggaran. Pengungkapan pelanggaran di masa lalu memiliki konsekuensi lain, yaitu pengadilan. Peran transisional penyelidikan resmi sebagai tahap pertama dalam keseluruhan respon ini serupa dengan masa biasa. Misalnya, di Kanada dan Australia, penyelidikan sejarah untuk menyelidiki peran negara-negara tersebut dalam Perang Dunia Kedua berpuncak pada pengadilan pidana. Kecuali bila penyelidikan kebenaran dikekang secara apriori, ia akan mengarah ke berbagai respon: pengadilan, sanksi lain, ganti rugi kepada korban dan perubahan struktur. Kebenaran atau keadilan? Sekali lagi, usaha penyelidikan kebenaran di beberapa negara bukanlah dianggap sebagai pendahulu, namun sebagai alternatif penghukuman. Dalam konteks-konteks ketika 18
pengadilan tidak dimungkinkan atau secara politis tidak dianjurkan, proses penyelidikan sejarah disarankan sebagai alternatif terhadap pengadilan. Sebagai contoh, di Chile, El Salvador, Guatemala dan Afrika Selatan, di mana keadilan retributif tidak dijalankan, penyelidikan-penyelidikan yang dikendalikan dengan ketat, tampaknya bisa mencapai kepentingan negara untuk “menghukum” dalam bentuknya yang lain. Dalam laporan komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Chile, kebenaran itu sendiri merupakan suatu “putusan moral”. Sering kali ada anggapan bahwa kebenaran harus dibayarkan dengan keadilan. Namun, seperti dibicarakan di muka tentang peradilan pidana, konstruksi pengetahuan publik tentang masa lalu yang penuh penindasan memiliki berbagai bentuk, sehingga pilihan antara penyelidikan pidana atau penyelidikan sejarah tidak identik dengan pilihan antara keadilan atau kebenaran. Yang menjadi pertanyaan adalah “kebenaran” yang bagaimana? Ciri utama rezim kebenaran dalam masa transisi berkaitan dengan sejauh mana masyarakat yang baru dapat mentolerir berbagai representasi “kebenaran”. Bila transisi bisa dicapai dengan janji adanya rekonsiliasi di masa depan antara berbagai elemen masyarakat yang terbagi-bagi, terdapat usaha untuk mencapai pandangan yang serupa tentang sejarah. Konsensus sejarah terkait erat dengan pembangunan konsensus politik. Dengan demikian, sering kali terdapat usaha untuk membatasi versi-versi lain dari sejarah, dan diberikanlah insentif bagi para korban dan pelaku untuk berpartisipasi dalam proses sejarah resmi. Pengampunan dan amnesti yang ditawarkan dan dijanjikan digunakan untuk mencegah timbulnya versi lain dari sejarah yang bisa melemahkan versi sejarah yang resmi, yang tampak dalam penyelidikan kontemporer di Afrika Selatan. Batasan yang diterapkan untuk mencegah munculnya versi-versi lain dari sejarah merupakan semacam “aturan pengendali”. Bentuk-bentuk aturan pengendali lainnya tampak dalam konstitusi transisional, yang akan dibicarakan di bagian lain bab ini. Kebenaran tidak selalu sama dengan keadilan; namun ia juga tidak selalu terpisah. Pemahaman yang lebih baik adalah yang menganggap bahwa kebenaran adalah suatu elemen dari keadilan. Dengan demikian terdapat kedekatan antara pertanggungjawaban sejarah dan bentuk-bentuk pertanggungjawaban transisional lainnya, yang semuanya membangun pengetahuan bersama tentang masa lalu. Sejarah transisional memajukan tujuan epistemik dan ekspresif yang diasosiasikan dengan sanksi pidana. Kedekatan lain antara pertanggungjawaban historis dan pidana adalah pembebanan tanggung jawab individual untuk pelanggaran-pelanggaran di masa lalu. Hal ini tampak jelas dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan pasca-apartheid, di mana pengakuan sejarah dijadikan syarat untuk pemberian amnesti individual, kasus demi kasus. Sebagaimana dalam skema pidana, pengakuan individual ini memiliki unsur-unsur penghukuman, karena penyelidikan dilakukan untuk menetapkan kesalahan individu, dengan temuannya kemudian diungkapkan dalam masyarakat dalam proses ritual yang formal. Pengungkapan pelanggaran para pelaku itu dengan sendirinya merupakan bentuk penghukuman yang tidak formal, “memalukan” dan memberikan sanksi sosial bagi para pelakunya. Bentuk sanksi ini memiliki risiko pengutukan yang tidak terbatas, dan pada akhirnya dapat mengancam kedaulatan hukum. Satu kaitan lain antara keadilan historis dan bentuk-bentuk keadilan lainnya adalah pengungkapan kejahatan di masa lalu dapat memberikan suatu macam reparasi atau pemulihan bagi para korban, juga menarik garis pembatas antara rezim. Pengungkapan kisah para korban dapat “meluruskan” sejarah, seperti tuduhan kejahatan politik di masa sebelumnya, seperti di Amerika Latin, di mana banyak korban yang dihilangkan dituduh melakukan subversi. Rehabilitasi reputasi yang serupa memainkan peranan penting di Eropa Timur dan Rusia. Rehabilitasi tahanan politik dari masa Stalin, yang berjumlah ribuan, masih merupakan kerja penting dari organisasi hak asasi manusia di sana, 19
yang terutama dikerjakan oleh Memorial, organisasi yang dibentuk pada akhir dekade 1980-an untuk mengungkapkan penindasan politik. Pelurusan sejarah bagi para korban dilakukan dengan berbagai cara, dengan mengalahkan tuduhan di pengadilan, mengesahkan perundang-undangan, memberikan permintaan maaf dalam laporan kebenaran dan menerbitkan bantahan terhadap versi sejarah rezim lama. Di sini terlihat tujuan korektif dari keadilan historis transisional. Tujuan kebenaran dalam hal ini adalah mengembalikan harga diri para korban, termasuk mengembalikan perdamaian dan rekonsiliasi. Nilai penting keadilan historis menunjukkan kedekatan dengan bentuk-bentuk keadilan transisional lainnya dalam liberalisasi, dengan tujuannya yang korektif, yang tampak dalam banyaknya saransaran yang diberikan dalam laporan kebenaran, yang bersifat struktural. Sebagai contoh, ketika komisi kebenaran El Salvador melaporkan bahwa tanggung jawab untuk pelanggaran berat hak asasi manusia berada pada komando tertinggi militer, ia menyarankan untuk mengadakan “pembersihan” pada perwira-perwira tinggi dalam struktur tersebut. Ketika pemerintahan represif di Amerika Latin dianggap disebabkan karena tidak ada badan peradilan yang independen, sebagaimana dapat dibaca dari berbagai laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia di daerah itu, maka laporan-laporan tersebut sering kali menyarankan diperkuatnya badan-badan peradilan; demikian pula perubahan mendalam tentang budaya hukum, terutama yang menyangkut hak asasi manusia. Usaha pertanggungjawaban transisional ini sering kali menjadi institusi permanen, seperti komisi kebenaran Uganda, yang kemudian berubah menjadi badan hak asasi manusia permanen untuk menyelidiki pelanggaran yang dilakukan oleh rezim baru yang dipilih secara terbuka. Hal serupa terjadi di Chile, di mana Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi kemudian menjadi Badan Pemulihan dan Rekonsiliasi Nasional Chile, yang juga menyikapi kasus-kasus baru yang muncul belakangan. Akhirnya, penyebarluasan laporan kebenaran dalam masyarakat baru pasca represi dilakukan sebagai usaha untuk mengubah opini publik tentang tirani negara. Laporan kebenaran biasanya mengungkapkan bahwa di masa lalu masyarakat luas menerima teror negara begitu saja. Penerimaan masyarakat, terutama di tingkat elit, mengungkapkan bahwa pelanggaran hak merupakan hal yang bisa diterima sebagai ganti kendali yang lebih kuat terhadap oposisi; dan sikap inilah antara lain yang memungkinkan kuatnya penindasan militer di suatu wilayah. Jika penghukuman menunjukkan tindakan-tindakan apa saja yang tidak akan ditolerir oleh masyarakat, banyak masyarakat pasca-rezim militer yang belum mencapai konsensus tentang apa yang tidak bisa diterima, dan lebih spesifiknya, bahwa kediktatoran merupakan tindakan kriminal. Interpretasi kritis laporan kebenaran terhadap rezim pendahulu, seperti juga dilakukan oleh proses pengadilan, bisa memecahkan kebekuan yang menjadi ciri pemerintahan represif di masa lalu. Pada akhirnya, toleransi masyarakat terhadap penindasan oleh negara akan berkurang. Dengan peran komisi kebenaran dan laporan-laporannya dalam mengubah sikap masyarakat terhadap represi oleh negara, bagaimana transformasi ini memungkinkan keadilan historis dalam arti pertanggungjawaban? Bagaimana narasi laporan resmi itu membangun perasaan pertanggungjawaban historis? Dalam hal apa kebenaran ini bisa dianggap sebagai keadilan historis? Meskipun laporan kebenaran transisional pada umumnya mengklaim untuk tidak berperan sebagai “pengadilan”, klaim demikian sebenarnya merujuk pada arti sempit dari pengadilan. Dari bentuk penyelidikan dan pelaporan kebenaran, ritual formal dengan berbagai tuduhannya yang mendetail, penyelidikan kebenaran memiliki keserupaan dengan proses pidana. Laporan-laporan tersebut dapat dikatakan merupakan bentuk keputusan pengadilan, karena tinjauannya tentang sejarah menggunakan bahasa hukum dalam merespon pelanggaran hak individual. Tinjauan sejarah ini ditulis dalam bahasa hukum, dengan peristilahan status, hak, kesalahan, kewajiban, klaim dan perizinan. Bila para pelaku tidak dituding secara individu, seperti biasanya dilakukan dalam laporan kebenaran, subyek keputusan tersebut adalah masayarakat luas. Model peninjauan ini lebih 20
komprehensif daripada model peradilan pidana. Paling tidak, laporan kebenaran demikian memungkinkan perasaan keadilan historis secara luas, kalau bukan menuntut pertanggungjawaban dari para pelaku, mengembalikan harga diri dan pemulihan bagi para korban. Dalam peradilan pidana, tinjauan ini, seperti proses ajudikasi, bersifat kasus demi kasus. Sementara, penyelidikan administratif bisa memfokuskan sejarah secara lebih luas, sehingga memahami konteks luas peninggalan sejarah, struktur sosial dan politik suatu negara, yang semuanya terkait dengan masalah pertanggungjawaban terhadap kesalahan. Dalam penyelidikan sejarah yang lebih luas, para pelaku dan korban dikaitkan lagi dalam penyelidikan terhadap kebijakan penindasan oleh negara. Proses komisi kebenaran menggambarkan respon sejarah terhadap pemerintahan represif, juga kaitan antara rezim politik dan sejarah. Dengan memberikan respon yang kritis terhadap representasi sejarah, hukum dan politik dari rezim masa lalu tentang penindasan di masa lalu, laporan kebenaran resmi merupakan bentuk pertanggungjawaban dalam masa transisi dan merespon klaim bahwa semua hal tersebut bersifat politis. Dalam proses komisi kebenaran, kebenaran politik dikonstruksikan secara instan, menunjukkan bagaimana perubahan rezim kebenaran berkaitan dengan perubahan rezim politik. Sifat khas bentuk-bentuk dan proses-proses dalam sejarah transisi menunjukan sifat instrumental dari respon-respon tersebut, yang sering kali dipolitisasi dalam arti bahwa kebenaran yang relevan adalah pengetahuan umum yang diperlukan untuk mendorong transformasi masyarakat. Oleh respon transisional yang penting ini, diciptakanlah suatu “kebenaran” yang secara terbuka dan eksplisit merupakan konstruksi politik, yang mengarahkan transisi. Kita kembali ke pertanyaan di awal bab ini: apa sifat dan peran sejarah dalam transisi? Transisi menunjukkan kerangka sosial penyelidikan sejarah. Meskipun pada umumnya dikatakan bahwa kerangka sosial dan politik pada suatu masa mempengaruhi konstruksi ingatan kolektif, kaitan pada masa biasa ini tidak terdapat dalam masa transisi. Pembangunan ingatan kolektif pada masa transformasi radikal dicirikan oleh konteks kerangka transisional yang relevan. Proses pencarian kebenaran resmi, seperti komisi sejarah, secara eksplisit dirancang untuk mencapai masa depan yang lebih demokratis. Di sinilah tampak tujuan transformatif sejarah, suatu peran politis yang mengarah ke depan, dalam rekonsiliasi dan liberalisasi nasional. Kebenaran yang tercipta adalah tentang masa lalu “yang dapat diterima” untuk masa depan yang lebih baik. Sejarah transisional memiliki peran ganda untuk mengecilkan sekaligus menunjukkan kembali hal-hal yang direpresi di masa lalu. Yang tercipta adalah narasi liberalisasi yang performatif, yang dalam konteks politik suatu negara dapat membantu proses liberalisasi.[...] PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK DISKUSI 1) Uraikan kendala-kendala politik, ekonomi, sosial, budaya, dan religi dari penyelesaian kejahatan hak asasi manusia skala besar di wilayah anda? 2) Identifikasi inisiatif-inisiatif masyarakat sipil untuk menghadapi kendala-kendala di atas? 3) Menurut anda, inisiatif-inisiatif pendokumentasian mampu menjadi titik berangkat melawan amnesia publik atas kejahatan hak asasi manusia berskala besar di masa Orde Baru?
21
Bagian 2. Merancang Dokumentasi Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar di Masa Lampau untuk Mencegah Pelupaan Publik I. Tujuan dan Pokok Bahasan Bagian ini bertujuan memberikan pemahaman bahwa kebuntuan proses penyelesaian kejahatan hak asasi manusia skala besar di masa lalu menyebabkan lahirnya amnesia publik. Dan oleh karena itu bagian ini juga mendorong masyarakat sipil, terutama organisasi korban dan organisasi hak asasi manusia, untuk mulai mendokumentasikan kebenaran kejahatan hak asasi manusia skala besar di masa Orde Baru, guna mencegah pelupaan publik tersebut. Selanjutnya dengan pemahaman yang utuh tentang amnesia publik tersebut, bagian ini juga akan menawarkan pelbagai konsep dan teknik merancang dokumentasi kejahatan hak asasi manusia skala besar Pokok-pokok bahasan: • Memahami kejahatan hak asasi manusia di masa Orde Baru • Memahami kejahatan hak asasi manusia Orde Baru di wilayah pendudukan • Pentingnya kerja pendokumentasian untuk mencegah amnesia publik • Teknik merancang dokumentasi kejahatan hak asasi manusia skala besar
II. Memahami Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar Orde Baru Pengantar Tidaklah sulit untuk memahami bentuk dan pola kejahatan hak asasi manusia dari Rezim Orde Baru, termasuk akibat-akibatnya terhadap kehidupan rakyat Indonesia saat ini. Selain banyak laporan penelitian dan penyelidikan tentang kejahatan ini, sejumlah warisan persoalannya pun masih dapat kita rasakan saat ini, seperti ketegangan relasi sosial antar etnis, agama, dan ras; tinggginya angka penduduk yang jatuh dalam jurang kemiskinan yang akut; dan praktik korupsi yang berurat berakar di kalangan birokrasi sipil dan militer. Berikut ini adalah ilustrasi tentang temuan bentuk, pola, dan akibat dari kejahatan hak asasi manusia dari rezim Orde Baru di pelbagai tempat di Indonesia. 1. Farid dan Simarmata: Rangkaian Kekerasan Orde Baru dan Sasarannya [...] Selama 32 tahun, Orde Baru menggunakan kekerasan untuk membungkam perlawanan politik, menjalankan kebijakan ekonomi, dan mempertahankan persatuan nasional. Berawal dari pembasmian gerakan kiri pertengahan 1960-an, rangkaian kekerasan kemudian melanda sektorsektor masyarakat lainnya: gerakan nasionalis pendukung Soekarno, komunitas Islam yang menolak asas tunggal Pancasila, gerakan mahasiswa dan kalangan akademik yang mengkritik kebijakan pemerintah, aktivis buruh, dan petani yang memperjuangkan hak-hak dasar mereka, sampai pada pejuang pembebasan nasional di Timor Leste. Seorang peneliti masalah politik mengungkapkan, “hampir semua orang Indonesia memiliki anggota keluarga, saudara atau kenalan yang pernah menjadi korban kekerasan negara”. 22
Kekerasan tidak hanya digunakan untuk menindas perbedaan politik. Program pembangunan, terutama komersialisasi pertanian, pengembangan sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan sering kali dijalankan dengan mengusir penduduk secara paksa. Sementara itu untuk menciptakan angkatan kerja yang disiplin, pemerintah Orde Baru mengekang semua kegiatan politik dan berulang-ulang menindas gejolak dengan tindak kekerasan. Para pemimpin serikat buruh dan aktivitas LSM yang mendampinginya menjadi sasaran intimidasi, dan beberapa diantaranya terbunuh atau dijatuhi hukum penjara karena kegiatannya. Di beberapa tempat kekerasan menimpa penduduk yang sama berulang-ulang. Setelah menjadi korban dalam gelombang kekerasan 1965-66, penduduk kemudian diusir dari tanah mereka karena program pembangunan. anggota keluarga yang memprotes tindakan pemerintah dan berusaha membela hak-hak dasar dalam protes petani atau buruh kemudian kembali menjadi korban kekerasan. Pemerintah sendiri kerap menggunakan slogan “bahaya laten PKI” atau “GPK” (Gerakan Pengacau Keamanan) untuk membenarkan tindak kekerasan yang berulang-ulang terhadap komunitas yang sama. [...] 2. Laporan Pemantauan Komnas Perempuan: Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender Temuan Farid dan Simarmata pun kemudian dikuatkan oleh temuan Komnas Perempuan pada 2007 dimana dalam laporan resminya tentang Peristiwa 1965, lembaga negara tersebut menyebutkan bahwa kejahatan hak asasi manusia di masa rezim tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan karena bentuk dan pola kekerasan sangat sistematis dan meluas. [...] Kebenaran tentang rangkaian peristiwa September 1965 masih terselubung, dan berada di luar jangkauan laporan ini. Namun Komnas Perempuan dapat menyatakan bahwa versi resmi dari kejadian 1965 tidak menggambarkan gelombang kekerasan yang dikerahkan oleh aparat negara sesudah pembunuhan tujuh perwira tinggi TNI pada 30 September 1965. Kebisuan ini, yang terus berlanjut sampai sekarang, merupakan sebuah penyangkalan resmi yang menjadi akar masalah dari diskriminasi dan persekusi yang berlanjut terhadap korban.[...] [...] pada masa Peristiwa 1965, anggota Gerwani dan perempuan-perempuan lainnya yang dianggap berafiliasi dengan PKI, menjadi sasaran kejahatan sistematis, antara lain, pembunuhan, penghilangan paksa, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan kekerasan seksual. Komnas Perempuan percaya bahwa Gerwani menjadi target sebuah propaganda hitam yang dibuat untuk menghancurkan secara total kelompok politik ini.[...] [...] Meskipun ada laporan otopsi resmi yang menyimpulkan bahwa penyebab kematian para perwira adalah tembakan peluru, pemukulan dengan benda tumpul, dan bahwa jenazah dalam keadaan utuh, beberapa media massa mulai menyebarkan laporan palsu mengenai kondisi jenazah korban. Dinyatakan bahwa jenazah dalam keadaan mata dicongkel dan kemaluan dipotong. Koran Angkatan Bersenjata melaporkan, pada 11 Oktober 1966 “...sukarelawan-sukarelawan Gerwani telah bermainmain dengan para Jenderal, dengan menggosok-gosokan kemaluan mereka ke kemaluan sendiri.” Keesokan harinya Duta Masyarakat, sebuah koran miliki Nahdatul Ulama melaporkan “...menurut sumber yang dapat dipercaya, orang-orang Gerwani menari-nari telanjang di depan korban-korban mereka.” Laporan-laporan yang tidak terverifikasi ini menyebar ke media massa lainnya, yang 23
memberitakan cerita-cerita bohong tentang penyiksaan seksual dan pengebirian yang dilakukan oleh anggota-anggota Gerwani, berakibat pada kekerasan yang disasar pada perempuan.[...] [...] Komnas Perempuan menemukan bukti-bukti saling menguatkan yang mengungkapkan pola penyiksaan seksual, yang terjadi di berbagai tempat penahanan di banyak tempat. Korban perempuan dihina dengan kata-kata yang melecehkan, dituduh terlibat dalam tarian seksual sambil menyiksa para jenderal, ditelanjangi dengan alasan mencari tato yang akan menunjukkan keanggotaan dalam organisasi.[...] [...] Dari 122 kesaksian yang dipelajari Komnas Perempuan, telah tergambar peristiwa pembunuhan, kekerasan, dan penahanan massal yang terjadi di berbagai wilayah di Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan Timur, dan Pulau Buru, yang menjatuhkan setidaknya ratusan ribu korban. Data-data yang dipelajari memberi indikasi kuat bahwa telah terjadi serangan yang meluas dan sistematik, artinya terjadi secara berulang dan dengan pola yang terulang di berbagai lokasi, terhadap perempuan yang dituduh mempunyai hubungan dengan Gerwani, PKI, atau organisasi lainnya. Misalnya korban dari wilayah-wilayah yang berbeda melaporkan metode kekerasan dalam bentuk penelanjangan dengan alasan mencari cap palu arit, perkosaan dalam tahanan dan serangan terhadap alat-alat reproduksi perempuan dalam proses interogasi. Baik aparat militer, polisi, maupun aparat sipil terlibat dalam penyerangan ini. Aparat sipil yang terlibat mulai dari tingkat RT sampai tingkat nasional. Aparat kepolisian yang terlibat mulai dari tingkat polsek. Berbagai angkatan dan kesatuan dalam tubuh ABRI aktif dalam menjalankan operasi kekerasan ini. Operasi kekerasan berskala masif ini juga menggunakan sumber daya negara, misalnya, penggunaan kendaraan-kendaraan militer untuk menangkapi dan memindahkan korban dari satu tempat penahanan ke tempat penahanan lain, penggunaan instalasi militer, dan bangunanbangunan publik sebagai tempat penahanan dan interogasi, penggunaan sarana negara dan publik dan penggunaan anggaran negara untuk melakukan kejahatan-kejahatan ini. Selain itu aktor-aktor negara juga mendukung keterlibatan sejumlah organisasi pemuda yang turut melaksanakan penyerangan dalam skala luas ini. partisipasi organisasi-organisasi ini memungkinkan eskalasi penyerangan yang luar biasa hingga dapat mencapai ribuan korban.[...] Persekusi yang berlanjut sesudah pembebasan [...] Tahanan perempuan yang dibebaskan mengalami persekusi yang berlanjut dalam kehidupan sehari-harinya. Pembebasan dari penahanan tidak membawa jaminan apapun terhadap hak mereka; justru yang sering dialami setelah seorang perempuan dibebaskan adalah pengingkaran sistematis atas hak-haknya yang paling mendasar. KTP yang Bermasalah Pengingkaran sistematis dan keberlanjutan tanpa tantangan selama puluhan tahun sampai dengan sekarang diperkokoh dengan dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri No.32 Tahun 1981 tentang Pembinaan dan Pengawasan Bekas Tahanan dan Bekas Narapidana G 30 S/PKI berikut Pedoman Pelaksanaannya. Beberapa hak dasar diingkari dengan alasan bahwa eks tahanan peristiwa 1965 perlu dibina dan diawasi demi pengontrolan “bahaya laten” komunis. 24
[...] Dalam kebanyakan kasus yang dipelajari Komnas Perempuan, KTP yang dikeluarkan diberi tanda khusus “ET” sebagai singkatan dari “eks-tahanan atau “eks-tapol”. Menurut AD, cap tersebut baru dihapus dari KTP-nya pada waktu Gus Dur (K.H. Abudurrahman Wahid) menjadi presiden.[...] Pengingkaran kebebasan bergerak [...] Dari kesaksian-kesaksian yang dipelajari Komnas Perempuan, kebanyakan perempuan yang telah dibebaskan dikenakan wajib lapor. Ketentuan untuk wajib lapor sangat bervariasi. Ada perempuan yang wajib lapor setiap hari, ada yang tiap minggu. Biasanya, selang beberapa waktu ketentuan untuk wajib lapor diperlonggar, tetapi ada juga kasus-kasus dimana wajib lapor ini berlangsung selama bertahun-tahun.[...] [...] selain melanggar kebebasan bergerak, wajib lapor juga dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk memeras uang dari mereka yang diharuskan lapor. Setelah CK dibebaskan dari Markas Buterpa Simbarwaringin di Trimurejo (Lampung), ia harus menjalani wajib lapor selama beberapa bulan. Menurut CK, setiap kali wajib lapor, ia dan tahanan-tahanan lain harus membayar antara Rp 500 sampai Rp 3000 dengan alasan fotonya perlu diperbaharui, sehingga diperlukan ongkos administrasi, dll. Selain itu, aparat Koramil juga seringkali ke rumah CK meminta kayu untuk membangun rumah mereka, atau minta ayam, beras, atau apa saja yang mereka inginkan. CK tidak berani menolak permintan-permintaan mereka.[...] Pengingkaran hak berpolitik [...] Pengingkaran hak perempuan berpolitik bermula dari usaha sistematis menghancurkan Gerwani, sebuah organisasi yang berjuang demi hak-hak perempuan, termasuk hak politiknya. Penghancuran tersebut menunjukkan hasilnya hanya sebulan setelah peristiwa 1965 meletus. [...] [...] Pada 12 Maret 1966, Soeharto, atas nama presiden, membubarkan dan melarang PKI termasuk organisasi-organisasi yang berlindung di bawahnya. Sebuah SK Presiden tertanggal 31 Mei 1966 menyebutkan bahwa Gerwani dan TK Melati termasuk organisasi-organisasi yang terlarang.[...] [...] Produk hukum yang mengekang hak berpolitik para mantan tahanan bukan hanya produk rezim Orde Baru. Sebuah Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, yang dibuat oleh DPR pada tahun 2003, melarang siapapun yang “terlibat langsung ataupun tidak langsung” dalam kasus 1965 untuk menjadi calon legislatif di tingkat lokal, provinsi, maupun nasional. Walaupun akhirnya pasal ini dibatalkan oleh Makamah Konstitusi pada 2004 karena dianggap diskriminatif dan tidak konstitusional, tetapi berbagai peraturan lainnya yang diskriminatif tidak dicabut dan tetap berlaku secara hukum, sehingga secara de jure dan de facto belum ada kebebasan bagi korban penahanan sewenang-wenang untuk menjalankan haknya berpartisipasi dalam kehidupan politik.[...] Pengingkaran hak untuk bekerja [...] Seperti penyakit yang menular, pengingkaran hak-hak dasar terhadap seseorang yang dituduh terlibat secara langsung dan tidak langsung dengan peristiwa 1965, menyerang semua aspek kehidupan, bahkan lintas generasi. Selain keterbatasan hak di ranah politik umum, keterbatasan berkaitan pekerjaan dan pendidikan mempersulit eks-tapol dalam memenuhi persyaratan untuk 25
memperoleh izin bergerak menurut Instruksi Mendagri, pekerjaan eks-tapol perlu dibatasi agar mereka tidak mempengaruhi orang lain seperti seorang guru/dosen, pendeta, dalang, wartawan, bekerja di lembaga bantuan hukum, dsb. Instruksi Mendagri juga mencegah kegiatan kemasyarakatan eks-tapol serta “sikap mental” mereka “yang mungkin dapat mengancam dan membahayakan kelestarian ideologi Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945”.[...] Pengingkaran hak atas pendidikan [...] Diskriminasi berkaitan pendidikan tidak saja dialami oleh para guru, tetapi juga dialami para murid yang duduk di bangku sekolah. Pada puncak krisis, Komnas Perempuan menemukan kasuskasus dimana anak-anak yang orangtuanya berada di dalam tahanan, dikeluarkan dari sekolah.[...] Pengucilan dan Stigmatisasi oleh Masyarakat dan Keluarga [...] Pengingkaran hak-hak dasar yang dilakukan oleh negara secara langsung mendorong adanya penolakan oleh masyarakat terhadap para tahanan politik yang telah dibebaskan. Aparat negara terlibat langsung dalam menjalankan praktik wajib lapor dan pemberian KTP bertandakan “ET”. Pada saat yang sama, belum ada sebuah pengungkapan kebenaran tentang apa yang terjadi di masa lalu, sehingga isu-isu tentang kekejian Gerwani tidak pernah diluruskan secara resmi. Ini memberikan dorongan dan kesempatan bagi warga setempat untuk meniru perilaku aparat dalam mengucilkan para korban Peristiwa 1965. Negara juga lalai dalam mencegah dan menghukum warga sipil yang melakukan pelanggaran terhadap para korban.[...] Dampak [...] Pelanggaran-pelanggaran yang dialami oleh perempuan korban Peristiwa 1965 tidak hanya berakibat penderitaan pada saat pelanggaran itu terjadi, tetapi mempunyai dampak yang masih dirasakan bertahun-tahun kemudian. Bahkan bagi sebagian korban pelanggaran yang terjadi lebih dari 30-40 tahun lalu, konsekuensi fisik, mental, ekonomi, dan sosial dari pengalaman di masa lalu tetap membayangi kehidupan sehari-hari, setiap saat.[...] Dampak pada kesehatan fisik dan mental [...] Dari daftar panjang pelanggaran-pelanggaran yang dialami oleh perempuan korban Peristiwa 1965, tergambar sebuah situasi dimana perempuan-perempuan ini dicoba untuk ditundukkan dengan mematahkan jiwa dan raga korban. Dari kasus-kasus di bawah ini tergambar tidak hanya bagaimana aparat negara melakukan dan mendorong terjadinya kejahatan, tetapi juga bagaimana negara lalu memberikan layanan kesehatan yang minimal bagi para korban yang mengalami kesakitan akibat pelanggaran yang dialaminya.[...] [...] Banyak perempuan yang menderita kelumpuhan disebabkan penyiksaan yang dialami.[...] [...] Penyiksaan seksual yang dialami sebagian korban mengakibatkan persoalan kesehatan yang serius.[...]
26
Dampak pada ekonomi [...] Bukan hanya kehilangan pendapatan akibat suami ditahan, tetapi pengucilan dan stigmatisasi juga berdampak pada ekonomi korban dan keluarganya. [...] [...] Tidak sedikit korban yang status ekonominya berubah secara drastis akibat Peristiwa 1965. Keluarga AT, yang suaminya pejabat tinggi di Bali, mengalami kehilangan segala harta milik, termasuk rumah, pabrik es, dan tanah.[...] [...] lebih dari 40 tahun kemudian, perempuan korban Peristiwa 1965 bertahan hidup, mengatasi pengasingan sosial, sabotase ekonomi terhadap kemampuan korban untuk mencari nafkah, dan gangguan secara agresif dari aparat negara. Mereka bekerja keras untuk menghidupi diri dan keluarga, sekalipun masih menyandang dampak pelanggaran yang beragam: cacat fisik dan mental, persoalan kesehatan reproduksi, penderitaan batin yang mendalam yang dapat disebut “stress paska-trauma”, dan penghancuran kehidupan berkeluarga, dan bermasyarakat. [...] 3. Budiawan: Wacana Anti-Komunis dan Dampaknya terhadap Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto Narasi Masa Lalu Komunis yang Tak Pernah Pudar [...] Pertama, meskipun Soeharto—yang mengaku sebagai penyelamat negara dan bangsa dari pengkhianatan komunis—telah jatuh, wacana anti-komunis tetap hidup di masyarakat Indonesia. Ini menunjukkan bahwa bukan hanya rezim Soeharto telah berhasil mengindoktrinasi bangsa ini dengan wacana itu, melainkan juga berbagai kelompok sosial di masyarakat Indonesia sendiri berkepentingan mengawetkan wacana tersebut. Kedua, langgengnya wacana anti-komunis telah menghalangi gagasan menangani kejahatan terhadap kemanusiaan di masa lalu, khususnya pembunuhan massal terhadap kaum komunis (atau yang dituduh “komunis”) pada tahun 1965-66. Hal ini selanjutnya menghambat ide rekonsiliasi nasional dengan para eks-tahanan politik (eks-tapol) yang dituduh terlibat dalam atau bergabung dengan apa yang disebut G 30 S. Terhambatnya ide rekonsiliasi nasional itu mempersulit proses demokratisasi dalam era pascaSoeharto. Sebab kepedulian publik pada kejahatan terhadap kemanusiaan di masa lalu dan rekonsiliasi antara para pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia masa lalu dalam banyak hal merupakan bagian yang diperlukan dalam proses demokratisasi. Hal ini untuk meyakinkan bahwa masa lalu tidak lagi merupakan beban, dalam arti tidak lagi menghantui masa kini. Selain itu, diharapkan tak ada lagi kelompok sosial yang diperlukan secara diskriminatif karena (tuduhan) kesalahan masa lalunya itu. Meskipun tetap awet, keberadaan wacana anti komunis bukannya tidak menghadapi perlawanan. Jatuhnya Soeharto telah membuka ruang bagi persaingan wacana. Oleh sebab itu wacana anti komunis dalam era pasca-Soeharto harus dibahas dalam posisinya sebagai arena persaingan penyikapan terhadap masa lalu dan pembayangan masa depan, ketimbang sebagai alat legitimasi kekuasaan. Ini merupakan sebuah strategi pemahaman proses transisi menuju demokrasi bukan dalam aspek politik dan kelembagaannya, melainkan lebih dalam dimensi sosial dan kulturalnya. [...]
27
PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK DISKUSI 1) Apakah ada kejahatan hak asasi manusia Orde Baru di wilayah anda? Jika ada sebutkan nama peristiwa dan tahun kejadiannya, bentuk dan pola kejahatannya; serta siapa sasaran utama dari kejahatan tersebut? 2) Apakah kejahatan-kejahatan hak asasi manusia tersebut juga ditujukan secara khusus kepada kelompok perempuan? 3) Sebutkan pelaku kejahatan tersebut dan perannya? 4) Jelaskan dampak dari tindak kejahatan tersebut kepada para korban (keluarganya dan kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik penduduk setempat? 5) Jelaskan pendapat anda tentang pentingnya penyelesaian kejahatan hak asasi manusia Orde Baru bagi korban dan penduduk di wilayah anda tinggal, dan warga Indonesia pada umumnya?
III. Kejahatan Terhadap Umat Manusia Orde Baru Terhadap Gerakan Kemerdekaan 1. Farid dan Simarmata: Kekerasan Masa Lalu dan Penentuan Nasib Sendiri [...] Krisis politik yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1990-an ditandai dengan meluasnya tuntutan kemerdekaan di beberapa daerah. Gerakan Aceh Merdeka yang sempat dipatahkan oleh pemerintah pertengahan 1970-an muncul kembali di tengah aksi-aksi protes menuntut referendum segera setelah Soeharto mengundurkan diri. Sebulan kemudian puluhan ribu penduduk Dili turun ke jalan-jalan raya dengan tuntutan serupa. Di Papua pada waktu yang kurang lebih bersamaan kelompok pro-kemerdekaan melancarkan aksi-aksi pengibaran bendera dan demonstrasi damai di beberapa kota. Para pengamat politik Indonesia umumnya mengatakan bahwa kemunculan kembali gerakan yang menuntut kemerdekaan dan ethno-nationalism itu terkait dengan represi yang dilakukan Orde Baru selama puluhan tahun di berbagai daerah. Gagasan Orde Baru mengenai persatuan dan kesatuan ditegakkan melalui kekerasan, mulai dari operasi militer dan intelejen sampai pada pendudukan brutal selama puluhan tahun dalam kasus Timor Leste. Keruntuhan Rezim itu kemudian merangsang banyak kalangan mempertanyakan bukan hanya kekuasaan rezim tetapi konsep Indonesia yang di masa Orde Baru menjadi simbol ketimpangan dan represi. [...] [...] Di Aceh, Papua dan Timor Leste, gerakan menuntut kemerdekaan terkait erat dengan catatan pelanggaran hak asasi manusia yang panjang. Pengalaman buruk atau memoria pasionis (memory of suffering) adalah salah satu dasar meluasnya aspirasi kemerdekaan. Tuntutan menyelesaikan kasuskasus pelanggaran hak asasi manusia pun terkait atau bahkan menjadi bagian dari perjuangan untuk meraih kemerdekaan. [...]
28
2. Al Rahab dan De Soares: Deretan Pelanggaran HAM terhadap Warga Amungme [...] Skandal pelanggaran HAM di tanah Amungsa terjadi seiring dengan kehadiran Freeport. Sampai beberapa waktu yang lalu, deretan kasus pelanggaran HAM yang terjadi selalu terpendam bagai lumpur galian tambang tembaga dan emas Freeport. Tak ada kekuatan yang mampu menyuarakannya kepada khalayak ramai di Indonesia dan dunia. Namun, kebisuan itu akhirnya berakhir ketika Mgr H.FM. Munninghoff OFM, Uskup Jayapura, membuat laporan yang menggetarkan hati siapa saja yang membacanya. Ia telah membeberkan serangkaian tindak pelanggaran HAM yang sangat brutal di kampung-kampung sekitar kawasan konsesi freeport. [...] laporan Uskup Munninghoff membeberkan kesaksian-kesaksian para korban yang diperkuat oleh hasil investigasi terhadap rangkaian aksi bersenjata aparat keamanan kepada warga sipil di Tsinga dan Hoea. Adapun tindakan brutal aparat yang terungkap setelah dilakukan investigasi adalah (1) terjadinya serangkaian penangkapan dan penahanan yang tidak manusiawi terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai simpatisan OPM, (2) hilangnya beberapa orang anggota keluarga dari beberapa keluarga yang salah satu saudaranya diduga ikut OPM ke hutan, (3) dilakukannya pengawasan serta pengintaian yang menimbulkan ketegangan mental berkepanjangan di kalangan penduduk, (4) terjadinya penganiayaan terhadap warga sipil, dan (5) pembakaran serta perusakan rumah dan kebun milik penduduk. Seluruh tindakan tersebut terjadi antara pertengahan tahun 1994 sampai pertengahan tahun 1995. Demonstrasi menuntut perbaikan kondisi kehidupan mengubah Lembah Tsinga menjadi daerah tertutup [...] Berbagai pelanggaran HAM tersebut diawali dengan terjadinya protes warga di Lembah Tsinga bulan Mei 1994. Pada aksi tersebut, warga melakukan demonstrasi damai menuntut perbaikan kondisi kehidupan. Pada saat berlangsungnya demonstrasi damai itu, dengan alasan yang tak jelas sekelompok orang menaikkan bendera Papua Merdeka. Berkibarnya bendera Bintang Kejora itu memancing kemarahan aparat militer. Akibatnya aparat mengambil tindakan keras terhadap pihak pengibar bendera yang diidentifikasi sebagai anak buah Kelly Kwalik. Setelah peristiwa ini, daerah Tsinga dinyatakan sebagai daerah tertutup oleh aparat keamanan. Dalam rangka mengejar kelompok Kelly Kwalik itulah terjadi rangkaian penembakan dan pembunuhan terhadap warga sipil disertai perusakan kebun dan rumah yang terkurung di daerah tertutup tersebut. Beberapa warga menjadi korban akibat terkepung dalam lokasi tembak-menembak antara TNI dan OPM.[...] Peristiwa tembak-menembak TNI dan OPM di Timika Natal 1994 [...] Salah satu peristiwa tembak-menembak antara pasukan OPM dan TNI di Timika itu terjadi pada Natal 1994. Sehari setelah peristiwa tersebut, masyarakat dikumpulkan secara paksa dan kemudian diajak oleh aparat untuk mengejar dan menyerbu tempat-tempat yang diduga sebagai persembunyian OPM. Siang harinya, seusai pertemuan itu, masyarakat yang digiring aparat lalu menyerbu tempat-tempat persembunyian OPM dan berhasil membunuh Yulius Yanempa. Sebagai bukti keberhasilan, dipotonglah tangan Yulius dan lantas potongan tangan itu diperlihatkan kepada Komandan Kompi yang memimpin operasi tersebut. Pada 27 Desember tahun yang sama, kembali TNI bersama rakyat menggelar operasi yang berhasil menangkap dua warga sipil, yaitu Dominikus Narkime dan Petrus Omabak. Kedua orang tersebut dituduh sebagai OPM. Operasi TNI dengan 29
mengerahkan warga sipil ini tidak diberitakan sama sekali oleh media. Malah sebaliknya, Freeport melalui Community Development-nya yang dipimpin Surya Atmadja mengumumkan terjadinya pembakaran dan penembakan oleh OPM terhadap rumah-rumah penduduk di areal Freeport. Penyerbuan jemaat di Kampung Hoea 31 Mei 1995 Kebrutalan yang terjadi itu baru terkuak ketika pada 31 Mei 1995, Pasukan Yon 752 Paniai menyerbu jemaat yang sedang berdoa di Kampung Hoea (sekitar 90 km arah ke Timur Kota Tembagapura). Dalam penyerbuan itu, kembali terjadi penembakan terhadap warga sipil dan perusakan rumahrumah penduduk oleh pasukan yang berkedudukan di pos Jila. Dalam aksi ini, 11 orang warga sipil menjadi korban. Menurut keterangan saksi mati, mereka yang tewas sebagian berasal dari warga Kampung Hoea yang sempat bertahan hidup di hutan karena ketakutan akibat seringnya terjadi penyerbuan dan kontak senjata antara aparat TNI dan orang-orang yang disebut gerilyawan OPM. [...] Pembunuhan warga sipil di kawasan Freeport [...] Sebelumnya, peristiwa serupa juga pernah terjadi beberapa kali terhadap warga sipil yang tak bersenjata. Misalnya, peristiwa yang menimpa Wendi Tabuni, 23 Tahun. Ia ditembak mati olah aparat pada 25 Desember 1994 di dalam bus nomor 44 milik Freeport dalam perjalanan menuju Timika dari Tembagapura. Setelah ditembak, jenazahnya dibuang di Mile 66 oleh aparat dari pasukan Yon 733 yang bertugas di Mile 66. Peristiwa yang sama juga terjadi di bengkel milik Freeport di Koperapoka ketika beberapa pemuda setempat, yakni Yoel Kogoya, Pergamus Wake, dan Elias Jikwa dianiaya sampai tewas oleh pasukan dari Mess Pupurima. Begitu juga di Kwamki Lama, Timika di mana dua orang tewas akibat pedang dan terjangan peluru aparat dari pasukan Yon 733 Pattimura pada 16 April 1995. [...] Penculikan Keluarga Kwalik Tentara Pos Koperapoka, Timika [...] Menurut istrinya, pada 6 Oktober 1994, pukul 23.00 WIT, aparat dengan senjata lengkap mendatangi rumah mereka dengan cara mendobrak pintu. Kedatangan aparat pada saat itu bertujuan mencari suaminya yang bernama Sabastianus Kwalik. Lalu Sabastianus diambil oleh aparat bersama ketiga adiknya, yaitu Romulus K, Marius K, dan Hosea K. Keempat orang tersebut digelandang ke mobil yang telah disiapkan sebelumnya. Mereka semua ditahan di kontainer yang dijadikan penjara di pos tentara Koperapoka, Timika. Menurut keterangan istrinya, di dalam kontainer itu telah berisi banyak orang yang juga mengalami nasib serupa.[...] 3. Taylor: Perang Tersembunyi Sejarah Timor Timur yang Dilupakan Penyerbuan, Perlawanan dan Reaksi Internasional [...] Dengan nama sandi Operasi Seroja, pada tanggal 8 Desember dilaksanakan penyerbuan atas Dili. Dimulai dengan pengeboman di pagi buta, disusul oleh serangan udara jam 5 pagi dan pada saat yang sama tentara elit Indonesia, Kopassandha mendarat di sekitar dermaga. Dalam rencana asli, saat itu juga akan dilakukan pengepungan Dili secara cepat oleh pasukan khusus dari daerah perbatasan. Tetapi mereka harus menghadapi perlawanan ketat Fretelin sehingga rencana semula batal. ...Tindakan tentara sangat brutal. Terjadi pembunuhan sistematik terhadap penduduk sipil Dili, 30
kekerasan dan perampasan harta benda dengan cara-cara yang primitif. Bekas Uskup Dili, Mgr. Costa Lopez, menggambarkan: Begitu tentara mendarat, dimulailah pembunuhan terhadap siapapun yang mereka temui. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan—yang kami lihat cuma tentara yang membunuh, membunuh dan membunuh. Sepucuk surat dari Dili pada keluarga Timor Timur di Darwin yang ditulis tak lama setelah penyerbuan menyebutkan bahwa sampai pertengahan bulan Januari sekitar 2000 jiwa, kira-kira 80 persen penduduk laki-laki kota telah dibunuh.[...] [...] Pembantaian itu diikuti oleh perampasan luar biasa: Tak berapa lama setelah mendarat di Dili, sebagian besar orang kota disuruh pergi ke tempat-tempat sekitar bandara. Ketika orang itu kembali, rumah mereka sudah dirampok, bahkan ada beberapa rumah yang benar-benar ludes. Mobil, radio, perabot rumah tangga, peralatan makan, bahkan jendela pun diangkut ke kapal di pelabuhan. Sebagian besar mobil yang tersisa di Dili ditaruh di geladak kapal oleh tentara Indonesia. Traktor-traktor di daerah sekitar Dili dicuri. Gereja-gereja dan seminari juga dijarah, sedang buku-buku mereka bakar.[...] [...] Ada perbedaan sangat tajam antara apa yang terjadi selama perang dan apa yang diungkap oleh militer Indonesia tentang perang. Sampai akhir Maret, pemerintah Indonesia masih menyangkal mengenai bertebarannya tentara di Timor Timur. Pemerintah mengatakan bahwa mereka itu adalah “sukarelawan” Indonesia yang membantu perjuangan partai-partai, seperti UDT, Apodeti, KOTA, dan Trabalhista, untuk melawan Fretilin. Namun meskipun agak segan, Indonesia kemudian mengakui bantuan ini diberikan setelah partai-partai tersebut menandatangani sebuah petisi untuk integrasi, menjelang invasi. Mitos di atas terus dihembuskan meskipun gubernur baru, Arnaldo Araujo, pada tanggal 3 Februari sudah mengeluarkan surat keputusan tentang pelarangan semua partai politik. Pendudukan Indonesia: Pengepungan dan Pemusnahan [...] Selubung diplomatik yang meliputi berbagai peristiwa di Timor Timur sejak penyerbuan Indonesia tiba-tiba terseruak ketika terbit laporan saksi mata orang Timor yang sampai di Lisabon akhir tahun 1976. Sebagian besar orang ini adalah anggota kelompok UDT yang pernah ditempatkan di kamp-kamp Timor Barat oleh militer Indonesia sejak percobaan kudeta tahun 1975. Beberapa diantaranya kemudian kembali tinggal di Timor Timur sejak penyerbuan terjadi. Kesaksian mereka membenarkan segala pesan singkat radio dan surat-surat yang diterima tahun 1976. Dalam wawancara dengan bekas Konsul Australia untuk Timor Timur, James Dunn, mereka menceritakan dengan rinci bagaimana pembunuhan di dermaga dan pembantaian di Dili terjadi, selain itu juga cerita tentang digunakannya praktik penyiksaan dan pemenjaraan.[...] [...] Beberapa unit pasukan yang bertempur di Timor Timur selama tahun pertama penyerbuan memang bertindak semakin brutal. Ini sebagian karena mereka frustasi menghadapi kenyataan bahwa musuh mereka itu ternyata lebih ulet dan kokoh dari yang mereka kira. Sampai akhir 1976, tidak kurang dari 40.000 pasukan Indonesia ditempatkan di Timor Timur. Hampir semua terus mengalami rotasi kerja. Tetapi walaupun jumlahnya besar, kemajuan yang dicapai sangat sedikit. [...] [...] Karena perlawanan militer mereka menemui jalan buntu, pasukan Indonesia melampiaskan frustasinya pada penduduk lokal di daerah-daerah yang mereka kontrol. [...] Cara ganti rugi 31
kekalahan ini memaksa lebih banyak penduduk melarikan diri dari daerah-daerah yang dikuasai Indonesia. Ketika pasukan Indonesia masuk ke Aileu Februari 1976, jumlah penduduk adalah 5000 orang. Ketika sekelompok pekerja sosial Indonesia mengunjungi daerah itu bulan September 1976, hanya 1000 orang yang tersisa—katanya sisa penduduk sudah pindah ke pegunungan.[...] 4. Laporan Geoffrey Robinson untuk Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Kekerasan 1999 di Timor Leste [...] Kekerasan pada 1999 merupakan kejahatan terhadap umat manusia, bahwa kekerasan tersebut adalah bagian dari sebuah operasi yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pihak-pihak berwenang Indonesia, dan bahwa pejabat-pejabat tinggi Indonesia mengemban tanggungjawab pidana individual dan tanggungjawab komando atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan. Lebih khususnya, laporan ini menyimpulkan bahwa: 1. Tindak kekerasan yang diuraikan dalam laporan ini--mencakup pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, pemindahan paksa, dan penghancuran harta benda--adalah bagian dari serangan meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil Timor Timur, yang menjadikan mereka yang benar-benar mendukung atau diduga mendukung kemerdekaan sebagai sasaran. Karena itu, tindakan kekerasan tersebut merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia namun juga merupakan kejahatan terhadap umat manusia. 2. Para pelaku langsung kejahatan tersebut terutama adalah para anggota kelompok milisi proIndonesia, yang jumlahnya lebih dari dua lusin kelompok pada 1999. Meskipun demikian, anggota-anggota TNI, dan dalam jumlah kecil Polri, juga sangat sering merupakan penanggungjawab langsung. 3. Berlawanan dengan klaim para pejabat Indonesia, Kelompok-kelompok milisi tidak muncul secara spontan menjawab provokasi dari kelompok-kelompok pro-kemerdekaan. Mereka direkrut, dilatih, dipersenjatai, dibiayai, dan dikoordinasi oleh pihak berwenang militer Indonesia sejalan dengan doktrin dan praktik militer Indonesia yang sudah lama berlaku. 4. Para perwira TNI dan pejabat pemerintah sipil bersekongkol untuk menggunakan milisi sebagai perpanjangan tangan mereka guna melancarkan teror terhadap penduduk agar mendukung pilihan otonomi khusus dalam pemungutan suara Agustus 1999, dan untuk mencapai tujuan tersebut mereka mengesahkan, mendorong, atau membiarkan terjadinya tindak kekerasan yang merupakan kejahatan terhadap umat manusia. [...] PERTANYAAN-PERTANYAAN DISKUSI 1) Jelaskan gelombang kejahatan hak asasi manusia skala besar di wilayah anda? 2) Apakah kejahatan-kejahatan hak asasi manusia tersebut juga memiliki sasaran secara khusus terhadap kelompok-kelompok tertentu, termasuk kepada kelompok perempuan? 3) Jelaskan para pelaku yang terlibat dan perannya? 4) Jelaskan dampak dari tindak kejahatan tersebut kepada para korban dan keluarganya 32
(kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik penduduk setempat? 5) Jelaskan pendapat anda tentang pandangan korban dan penduduk di wilayah anda tinggal, dan warga Indonesia pada umumnya, terhadap pentingnya penyelesaian kejahatan hak asasi manusia skala besar bagi?
IV. Kerja Pendokumentasi Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar dan Upaya Mencegah Amnesia Publik Pengantar Ada banyak kerja-kerja pendokumentasian kejahatan hak asasi manusia skala besar di pelbagai negara yang dilakukan oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia dan korban. Tujuan dari kerjakerja tersebut pun bervariasi, seperti: penyelesaian kasus di pengadilan; mensuplai informasi kepada komisi penyelidik resmi negara; dan menggugah kesadaran publik tentang peristiwa kejahatan hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim otoriter di masa lalu. Kesemua tujuan tersebut pada akhirnya bertujuan mencegah Amnesia Publik. 1. Bronkhorst: Pendokumentasi Pelanggaran hak asasi manusia skala besar di pelbagai negara CELS-Argentian [...] Di Argentina dari tahun 1975 sampai tahun 1983, Asamblea Permanente por los Derechos Humanos (Majelis Tetap Hak Asasi Manusia) menerbitkan pengaduan-pengaduan mengenai kasuskasus orang hilang yang terjadi selama masa rezim militer—total berjumlah 5566 kasus. Kemudian daftar ini hampir secara keseluruhan digabungkan dengan laporan yang dikeluarkan komisi resmi untuk investigasi kasus-kasus orang hilang (CONADEP). [...] [...] Lembaga lain yang didirikan pada tahun 1978, Centro de Estudios Legales y Sociales (CELS=Pusat Penelitian Dokumen Legal dan Sosial) sudah sejak awal berkecimpung dalam melakukan riset mengenai berbagai macam masalah sosial. Walau demikian tidak menutup kemungkinan juga lembaga ini memfokuskan diri pada kasus-kasus orang hilang. Hal ini terbukti, lembaga tersebut berhasil membawa serangkaian kasus besar sampai ke meja pengadilan. Beberapa diantaranya telah memperoleh tanggapan sangat positif dari para jaksa. Sekitar 100.000 dokumen telah dihimpun pada sebuah mikrofilm, yang secara khusus berguna bagi kegiatan-kegiatan dari CONADEP. Pada tahun 1979, CELS menerbitkan daftar nama dari 191 pengacara yang telah hilang. Sebuah tindakan yang sangat membantu dalam usaha menggugah kesadaran dunia internasional tentang terjadinya pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim argentina. [...] Vicaria-Chile Di dalam Lembaga Dokumentasi dan Arsip Vicaria (Foundation for documentation and archives of the Vicaria) di Santiago, Chili, yang saya kunjungi pada akhir 1994, terdapat kira-kira 20 sertifikat penghargaan internasional. terlintas dalam pikiran saya, mungkin hanya satu yang tampaknya belum melengkapinya yakni Hadiah Nobel. Carmen Garreton, yang pertama datang di Vicaria pada tahun 33
1979, sebagai salah satu dari 70 yuris dan 80 staf tambahan, mengantar saya berkeliling melihat kantor lembaga ini yang sederhana. Pada Desember 1972, semenjak Vicaria mulai tidak berfungsi, sekarang tinggal tiga orang saja yang bekerja di tempat tersebut. Ia menjelaskan bawah lima tahun setelah jatuhnya kediktatoran, orang-orang masih datang ke kantor tersebut untuk melaporkan kasus-kasusnya. Mereka kadang-kadang tidak menyadari bahwa Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi telah mengeluarkan laporannya pada tahun 1991: “Semua informasi yang dikumpulkan Vicaria, kemudian oleh Komisi Nasional disimpan disini. Secara keseluruhan terdapat sekitar 45.000 arsip, berkaitan dengan kasus-kasus pembunuhan, penghilangan, penyiksaan, pengasingan, ancaman-ancaman, maupun pemecatan. Dalam rentang waktu tak terbatas, arsip-arsip tersebut terbukti sangat bermanfaat: berdasarkan pada pengaduan atau hal-hal lain, tercatat masih ada sekitar seratus kasus yang mengalami penundaan. Dari seratus kasus penghilangan yang gagal ditangani Komisi Nasional, pada saat bersamaan kami sebaliknya telah berhasil membongkar seratus lebih kasus serupa. Vicaria mulai melakukan dokumentasi secara sistematis pada masa-masa awal diterapkannya sistem kediktatoran. Pada saat itu, banyak orang merasa agak ragu terhadap pekerjaan kami. Mereka mengatakan bahwa para sejarawan di masa mendatang hanyalah kumpulan orang-orang yang mencari keuntungan pribadi. Akan tetapi, setelah sistem kediktatoran tumbang, keadaan pun berbicara lain. Setiap orang akhirnya menyadari betapa signifikannya dokumentasi tersebut. Di Argentina, misalnya, catatan mengenai kasus-kasus yang terjadi pada masa kediktatoran sangatlah kurang, karena tidak adanya organisasi sentral pada saat itu. Para pemimpin Gereja mendukung para diktator, dan dengan demikian, pengumpulan informasi pun dilakukan secara selektif oleh komitekomite yang ditunjuk pada keluarga maupun mereka yang menjadi tangan para korban bersangkutan. Carmen Garreton menjelaskan bagaimana penyimpanan arsip-arsip itu pada tahun-tahun awal dilakukan. “Pada tahun 1970-an, kami mengembangkan sebuah sistem yang dinamakan “komputer manual”. Sistem ini mencakup penggunaaan kartu-kartu dengan serangkaian lubang-lubang kode di dalamnya. Setiap lubang berisikan jenis pelanggaran hak asasi manusia, jenis kelamin korban, provinsi, dan lain sebagainya. Hanya satu yang harus anda lakukan yaitu menusukkan jarum rajut ke dalam tumpukan kartu yang anda harapkan akan keluar. Untuk alasan keamanan, kemudian kami membuat salinan keseluruhan data guna dimasukkan ke dalam mikrofilm. Selanjutnya data-data tersebut dititipkan pada Dewan Gereja Dunia di Jenewa dan Universitas Notre Dame di Amerika Serikat. Carmen Garreton menunjukkan kepada saya tiga kamar di lantai atas yang terbuka untuk publik. Ketiga kamar tersebut hingga ke langit-langit dipadati oleh tumpukan dokumen-dokumen: jurnaljurnal, kliping-kliping koran, laporan-laporan tahunan, arsip-arsip yang berisikan semua kasus militer dan sipil, praktik-praktik habeas corpus, dan sejumlah besar catatan-catatan mengenai kasus orangorang yang dibunuh atau dihilangkan. [...] [...] Suatu hari nanti, kami berharap dapat mentransfer semua informasi pada sebuah pusat arsip, bersama dengan seluruh data yang tersimpan di gereja dan pemerintah. Mungkin dengan cara seperti itu kami dapat mendirikan museum nasional mengenai masalah-masalah represi. 34
Memorial-Rusia [...] Di bekas negara Uni Soviet, sebuah organisasi semi-klandestin para sukarelawan yang mulai bekerja pada tahun 1987 dikenal dengan nama Memorial. Dalam kenyataannya, organisasi ini merupakan sebuah koleksi arsip anak sekolah tentang orang-orang “tertindas” selama masa bercokolnya kekuasaan Stalin, dan kemudian membentuk pijakan pola kerja organisasi tersebut. Tujuan Memorial adalah untuk mendokumentasikan korban-korban penindasan politik, khususnya pada periode antara 1930-1n sampai 1950-an. Pada akhir tahun 1980-an, Presiden Mikhail Gorbachev berjanji: “Tidak akan terjadi lagi manipulasi dalam sejarah Uni Soviet.” Seiring dengan itu, makin banyak pula arsip-arsip dibuka untuk kepentingan akademis maupun untuk memenuhi kebutuhan rasa ingin tahu personal. Memorial diakui secara resmi pada tahun 1991. Pada waktu itu Memorial telah mampu mengumpulkan lebih dari 30.000 dokumen beserta salinannya, untuk kemudian diselamatkan dan dititipkan pada sebuah institut di Amsterdam karena alasan keamanan. Kini, Memorial memiliki lebih dari 200 unit lokal yang tersebar di seluruh negara-negara bekas USSR. Siapa saja boleh mengunjungi kantor setempat untuk mencari arsip-arsip mengenai orang-orang yang ditahan, dan kadang-kadang juga memuat daftar para tahanan lebih dari enam puluh tahun yang lalu, seperti “teroris negara,” “gelandangan”, “penderita schizofrenia,” “sampah masyarakat”, maupun “para pengangguran”. Memorial juga mencatat pernyataan-pernyataan lisan. Hal ini dilakukan karena sejumlah besar bahan dokumenter telah dihancurkan baik saat para korban ditahan, selama penahanan, maupun sesudahnya. Biasanya dilakukan oleh kawan maupun pihak keluarga sendiri yang dihinggapi rasa takut yang akut. Organisasi tersebut telah berhasil mewawancari beberapa orang yang selamat maupun para keluarganya, selain itu juga mengirimkan kuesioner-kuesioner, meskipun perkiraan jumlah korban penindasan pada pendukung Stalin secara menyeluruh masih berubah-ubah, antara 20 dan 60 juta. Apa yang telah dilakukan Memorial merupakan alat pendorong guna memaksa pemerintah Rusia untuk melakukan revisi secara terus menerus terhadap sejarah masa lampau Soviet, sekaligus berusaha merehabilitasi dan mengganti kerugian yang diderita para korban. [...] 2. Laporan Pemantauan Komnas Perempuan: Pendokumentasian dan Pengkajian [...] Pengumpulan dan pengolahan data merupakan titik berangkat yang pokok dalam rangkaian pekerjaan kami. Kerja ini menjadi semakin penting karena negara sampai saat ini belum mengakui adanya kejahatan yang melibatkan pejabat publik dan institusi negara dalam kaitannya dengan pergolakan politik di akhir 1965. Sumber utama data dan informasi tentang kekerasan yang terjadi adalah kesaksian korban, baik yang disampaikan pada saat pengaduan di Komnas Perempuan pada 29 Mei 2006, maupun yang telah dikumpulkan oleh organisasi-organisasi hak-hak asasi manusia dan para peneliti yang sudah terlebih dahulu menekuni persoalan kekerasan yang terjadi pada Peristiwa 1965. Untuk memudahkan proses pengumpulan dan pengolahan data dan informasi dari korban di berbagai daerah, secara khusus Komnas Perempuan bekerja sama dengan dua organisasi hak-hak asasi manusia, yaitu Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat Indonesia) dan Lingkar Tutur
35
Perempuan (LTP). Sebagai bagian dari gugus kerja ini, Komisioner Ita F. Nadia juga memberi akses pada data dan informasi dari penelitian yang dilakukannya sejak tahun 1997 sampai tahun 2003. Organisasi pertama, Syarikat Indonesia, merupakan jaringan aktivis muda yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama dan berbasis di Yogyakarta. Sejak akhir 2000, Syarikat Indonesia berupaya membangun komunikasi antara komunitas ”korban” dan ”pelaku” lewat pertemuan-pertemuan sosial di berbagai kota di Jawa. Syarikat Indonesia menyebut upaya ini sebagai gerakan ”rekonsiliasi kultural” untuk mengatasi keterpecahbelahan masyarakat di tingkat akar rumput akibat ketegangan politik pada paruh akhir 1960-an. Sebagai langkah awal memulai gerakan rekonsiliasi kultural, dari tahun 2001-2003, Syarikat Indonesia dengan dibantu mitra jaringan, berhasil mengumpulkan data kasus-kasus konflik yang menimpa dan dialami oleh korban di 18 kota di Jawa. Tahun 2004 sampai dengan sekarang, Syarikat Indonesia telah melakukan penggalian dan pendokumentasian makna keadilan dan rekonsiliasi bagi perempuan korban 1965, dengan menambah sebaran wilayah di 15 kota di Jawa dan Madura, sehingga sampai sekarang Syarikat Indonesia telah mempunyai mitra jaringan di 33 kota. Organisasi kedua, LTP, terdiri dari peneliti dan aktivis hak-hak asasi manusia yang memusatkan perhatiannya pada penelitian sejarah gerakan perempuan Indonesia dan upaya membuka ruangruang bercerita yang leluasa bagi perempuan korban kekerasan politik. LTP secara khusus mengumpulkan bahan kepustakaan tentang sejarah gerakan perempuan dan kekerasan terhadap perempuan dan rekaman wawancara dengan perempuan korban Peristiwa 1965 di sejumlah daerah di Indonesia sejak 2001. Pada tahun yang sama, LTP berinisiatif menyelenggarakan pertemuan informal para perempuan korban dari berbagai kasus kekerasan politik di Jakarta. Menimbang kenyataan bahwa perempuan korban kekerasan dan diskriminasi akibat Peristiwa 1965, terutama yang berada di daerah-daerah di luar Jakarta, demikian sulit beroleh ruang untuk bercerita, sejak pertengahan 2005, LTP memutuskan untuk menyelenggarakan temu-temu perempuan khusus untuk korban 1965 saja. Pertemuan-pertemuan ini kemudian berlanjut menjadi medium penyelidikan berbagai peristiwa kekerasan di daerah kelompok korban masing-masing, yaitu Solo, Argosari (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur), dan Gianyar (Bali).[...] [...] Gugus Kerja Kekerasan Masa Lalu juga bekerja sama dengan Tim Ahli dalam mengolah dan mengkaji data dan informasi yang diperoleh dengan pendekatan hak-hak asasi manusia, jender, dan sejarah untuk melahirkan temuan serta kesimpulan tentang struktur, pola, dan bentuk kekerasan serta diskriminasi yang terjadi secara komprehensif. Sekaligus, akibat dan dampak berkelanjutan dari kekerasan dan diskriminasi dikaji, bukan saja terhadap para korban beserta keluarganya, tetapi juga terhadap aktivis pembela hak-hak asasi manusia perempuan di masa kini. Komnas Perempuan mengadakan diskusi rutin dengan Tim Ahli untuk mengkaji beberapa studi yang sudah pernah dilakukan tentang pergolakan politik di akhir 1965, khususnya yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan, menyusun definisi dan klasifikasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan sesuai dengan aturan-aturan hukum nasional dan internasional yang berlaku, dan merumuskan kerangka pelaporan dugaan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang kami temukan dalam kesaksian-kesaksian korban. 36
PERTANYAAN-PERTANYAAN DISKUSI: 1) Menurut anda kerja pendokumentasian yang akan atau sedang dilakukan saat ini diarahkan untuk menjawab persoalan yang mana dalam kompleksitas penyelesaian kasus kejahatan hak asasi manusia Orde Baru di tingkat lokal? 2) Menurut anda siapakah orang atau kelompok yang potensial akan menggunakan hasil dari kerja-kerja pendokumentasian anda? 3) Menurut anda informasi-informasi apa saja yang perlu didokumentasikan untuk mendukung jawaban pertanyaan no. 1 dan 2
V. Teknik Merancang Dokumentasi Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar Pengantar Tidaklah mudah merancang dokumentasi kejahatan hak asasi manusia skala besar di masa lalu. Selain karena membutuhkan perangkat dan prosedur kerja yang ketat, perancangannya pun harus memiliki konsep dan pemahaman yang utuh dan kuat tentang kejahatan hak asasi manusia skala besar di masa lampau itu sendiri. 1. Paijo: Mengapa harus mengenali Entitas Material di Keranjang Informasi dan Dokumentasi? Informasi HAM dan Sistem Huridocs [...] Pada 1982-an, ide-ide para pegiat HAM menginginkan sebuah bentuk informasi HAM dan sistem dokumentasi internasional yang -- kini dikenal namanya Huridocs-- hanya sebagai jaringan global organisasi HAM. Lalu Martin Ennals sebagai pendiri Huridoc, ketika itu ia memandang perlu guna mengupayakan terwujudnya sistem komunikasi universal untuk HAM. Kemudian dalam prakteknya Huridocs memusatkan perhatiannya pada peningkatan cara memperoleh informasi HAM oleh publik dan menyebarluaskan informasi HAM kepada publik pula.Ketika itu, kerja-kerja Huridocs sendiri tidak mengumpulkan dokumen, melainkan menghubungkan para peserta dalam jaringan, yang tujuannya adalah mempermudah pencatatan dan arus informasi HAM. Dengan demikian jelas bahwa pada saat itu para pegiat HAM telah menempatkan sebuah "informasi" dalam sistem pendokumentasian pelanggaran HAM di tempat yang sangat penting. Kemudian Huridocs membentuk format informasi baku HAM yang sebelumnya melalui pembicaraan dan konsultasi yang mendalam dengan melibatkan para pegiat HAM dari berbagai organisasi HAM internasional. Bentuk format baku itu terdiri dari lima format yang dipakai untuk mencatat informasi mengenai peristiwa HAM dengan cara yang sistematis dan ditetapkan sebelumnya. Ringkasnya, Huridocs menyarankan organisasi HAM untuk dapat mendokumentasikan informasi berkaitan dengan pelanggaran HAM menggunakan lima macam format bakunya. Lima format lengkap yang disarankan itu, masing-masing dimaksudkan untuk berbagai segi dari peristiwa pelanggaran HAM, yang meliputi sebagai berikut: a. Kejadian. Format informasi peristiwa ini mencatat rincian utama suatu peristiwa yang telah terjadi. Suatu peristiwa bisa berupa suatu kejadian atau sekelompok kejadian. Peristiwa mengacu kepada semua dokumen dan catatan yang bertalian dengan peristiwanya; 37
b. Korban. Format informasi korban mencatat informasi yang rinci mengenai korban perorangan. c. Sumber. Format informasi sumber mencatat secara rinci informasi mengenai sumber. Catatan: menemu-kenali sumber dalam situasi HAM dapat membahayakan bagi si sumber. Bahkan informasi tidak langsung dapat dipakai untuk melacak laporan sampai orang tertentu, dan orang tersebut mungkin akan terancam jiwanya. Hal ini penting bagi kerjakerja pencarian fakta. d. Pelanggar yang dituduh. Format informasi pelanggar mencatat informasi mengenai para pelaku pelanggaran HAM yang dituduh. Dikatakan "dituduh" karena selalu ada kemungkinan bahwa seorang pelanggar yang dituduh ternyata bukan pelanggar sebenarnya. e. Campur tangan. Format informasi campur tangan guna melacak tindakan yang telah diambil sebagai tanggapan terhadap pelanggaran HAM. Format ini juga untuk mencatat bantuan yang diberikan kepada korban. Untuk setiap format tersebut di atas, berisi sebuah "bidang" dan ke dalam bidang inilah dimasukkan data mengenai hal khusus. Yang dimaksud "bidang" adalah tempat dalam formulir untuk mencatat data mengenai hal tersebut. Lalu setiap bidang dirancang untuk tujuan khusus, dan sebagai contohnya: Bidang # 102 adalah sandi/Istilah Geografi (wilayah) Bidang # 202 adalah Nama (Korban). Bidang # 313 adalah Kerahasiaan, dst. Hakikat & pengertian informasi Definisi "informasi" menurut Undang-undang No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, berbunyi sebagai berikut: "Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tandatanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik. " Lalu, yang dimaksud "informasi publik" menurut Undang-Undang yang sama adalah sebagai berikut: "Informasi yang dihasilkan disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik." Supaya kita lebih kaya lagi untuk memahami hakekat "informasi" maka kita coba merujuk kajiankajian para pemilik disiplin ilmu yang mengkaji tentang hal itu. Soejono Trimo dalam kitabnya, yang yang menghimpun pendapat-pendapat orang-orang menurut yang punya disiplin ilmu mendefinisikan sebuah "informasi" sebagai berikut: a.
Pengertian "informasi" menurut Martino (1968). "Esensi sebuah 'informasi' itu merupakan suatu produk atau hasil suatu proses. Proses itu terdiri atas kegiatan-kegiatan mulai dari mengumpulkan data, menyusun serta menghubung-hubungkan mereka, meringkas, 38
mengambil intisarinya dan mengintepretasikannya sesuai dengan persepsi yang menerima. Ringkasnya, sebuah "informasi" didefinisikan sebagai secercah pengetahuan yang berisi suatu unsur surprise. Di samping itu, sebagaimana yang tersirat dalam istilah informasi itu terdapat sebuah konsep arus, artinya ia mengalir dari satu orang kepada orang yang lain, baik dalam organisasi/korporasi maupun dari dan keluar organisasi." b.
Lukas (1979). Lukas mendefinisikan informasi sebagai berikut "suatu kesatuan yang tampak maupun tidak tampak yang fungsinya untuk mengurangi ketidakpastian suatu keadaan atau peristiwa masa depan. Informasi bukanlah data mentah, melainkan berasal dari data (dalam artian majemuk) yang telah diproses menurut suatu cara tertentu. Misalnya, dihimpun, dan diringkas untuk menghasilkan keluaran yang diinterpretasikan sebagai informasi oleh si pengguna atau si pengambil keputusan".
c.
Davis (1974). Davis mendefinisikan "informasi" sebagai berikut "informasi merupakan data yang telah diproses ke dalam suatu bentuk yang memberikan arti kepada yang menerimanya dan mengandung nilai yang benar-benar tampak bagi pengambilan putusan-putusan pada masa kini maupun yang akan datang".
Sementara definisi ”informasi” menurut Organisasi HAM, sebagai berikut: a.
Agung Putri & Sri Palupi (2001) mendefinisikan sebuah ”informasi” sebagai “data yang telah diolah, dan dianalisis hingga menjadi sebuah rangkaian data (serpihan-serpihan informasi) yang dapat dibaca".
b.
Manual Guzman (2001) mendefinisikan informasi sebagai "sepotong data atau gabungan beberapa potongan data, yang ditampilkan sedemikain rupa, sehingga membuatnya dapat menyampaikan makna. Bisa disebut juga data yang sudah diolah."
Dengan demikian jika kita menyimpulkan pendapat-pendapat dari semua definisi "informasi" yang diberikan oleh para ahli di atas, dan kira-kira demikian: a. b. c. d. e. f.
sekumpulan data yang telah diproses; diproses dalam format tertentu; memberikan arti kepada yang menerima; mengandung unsur kejutan (surprise) bagi yang menerima; bersifat tidak statis; dalam proses pengambilan putusan;
Jadi jika digambarkan jalannya proses terbentuknya "informasi" akan menampakkan gambar seperti di bawah ini:
39
Dari gambar tersebut di atas, akan nampak bahwa petak empat persegi panjang itu merupakan wilayah kegiatan layanan Unit/Pusat Dokumentasi dalam sistem computer-based information sistem (CBIS). Dan keluaran (output) yang dihasilkan oleh suatu Unit Pusat dokumentasi, dan sistem CBIS diterima oleh individu (pemakai tertentu) lalu menginterpretasikan sesuai dengan persepsi yang ada padanya (kemampuan cognitive map/style seseorang), mengevaluasinya menurut tingkat manfaat/artinya, dan kemudian baru memanfaatkannya untuk kepentingan pengambilan putusan. Oleh sebab itu Soejono Trimo dalam melalui kitabnya menganjurkan seorang petugas dokumentasi (baca: dokumentalis) – secara khusus untuk mengetahui, mengapa terjadi perbedaan penginterpretasian informasi? Sehingga ia dapat mengantisipasi dalam membina sumber-sumber informasi, jenis-jenis serta karakteristik informasi yang bagaimana yang memang dibutuhkan oleh organisasinya dimana ia bergabung. Sehingga ketepatan dan kecermatan dalam memberikan informasi kepada para pemakai jasa layanan informasi akan menentukan tingkat justifikasi eksistensi suatu unit/pusat dokumentasi yang memanfaatkan jasa layanan komputer. Fakta dan Data Sebelum kita membahas lebih jauh proses "data menjadi informasi", kita pun telah membahas apa "hakekat informasi" tersebut di atas. Sejatinya, secara ringkas ia memberi arti yang samar-samar mengatakan: "informasi adalah data yang telah diproses". Meskipun demikian, kita masih belum banyak mengetahui "apa sebenarnya data itu, serta apa dan bagaimana pemrosesan itu sendiri hingga menjadi informasi yang benar-benar diperlukan oleh para pengguna informasi. Jika kita mau mengakui justru aspek-aspek inilah yang paling penting dari semua pekerjaan petugas dokumentasi (dokumentalis) maupun sistem analyst dalam membina dan mengembangkan sistem informasinya.
40
Jika demikian kita berangkat dari beberapa pertanyaan. Apa bedanya data dan fakta? dan, apa sebenarnya data itu? Dalam percakapan sehari-hari kerap kali kata "data" dan "fakta" itu digunakan secara berselang-seling sehingga tampak seakan-akan data itu identik dengan fakta. Oleh karena itu kita coba kutip pendapat-pendapat orang tentang fakta: a. Soejono Trimo mendefinisikan "fakta" melalui bukunya mengatakan ”sebuah fakta itu baru terbentuk bila ia ditunjang oleh data (dalam arti majemuk) secukupnya yang memang relevan. Fakta merupakan produk dari pengamatan orang yang dapat dibuktikan secara empiris”. b. Ruth Indiyah Rahayu (Yuyud) berpendapat tentang terbentuknya "fakta" mengatakan “ada kejadiannya, ada waktunya, ada peristiwanya, ada kegiatannya yang meliputi kegiatan makhluk hidup (kegiatan manusia) baik kegiatan orang wujud baik dan buruk”. c. Agung Putri dan Sri Palupi berpendapat tentang "fakta" dalam konteks investigasi HAM dalam bukunya mengatakan"Sebuah bentuk fakta meliputi: (1) ada lokasinya, ada peristiwanya, ada masalahnya, dan ada kejadiannya; (2) terekam dan tercatat apa yang terlihat: kondisi fisik bangunan, fisik masyarakat, kondisi geografis; (3) teridentifikasinya para korban; (4) teridentifikasinya para saksi (5) terkumpulnya bukti-bukti; (6) terdapat kronologi awal; (7) teridentifikasi para pelaku terlibat/diduga terlibat". Dengan demikian jika kita menyimpulkan pendapat-pendapat dari semua definisi "fakta" yang diberikan oleh para ahli di atas, dan kira-kira demikian: a. b. c. d.
Sekumpulan fakta yang ditunjang data (dalam arti majemuk); Kegiatan makhluk hidup yang buruk dan baik; Fakta sebuah produk empiris yang dapat dibuktikan; Bentuk fakta berdasarkan peristiwa, waktu, geografis (bentuk fisik benda mati maupun benda hidup).
Namun, kita perlu untuk memahami "data" dalam pengertian ilmiah sebagai patokan. Soejono Trimo mendefinisikan arti "data" dalam pengertian ilmiah mengatakan, "data sebagai figur (atau angkaangka) yang sejatinya tidak memberi arti apa-apa sebelum ia diproses dalam suatu bentuk yang terstruktur". Sejumlah data yang relevan, yang disusun menurut suatu sistem tertentu (terstruktur jadinya), akan membentuk suatu fakta, dan sejumlah fakta tertentu yang tersusun secara sistematis akan menciptakan suatu teori yang mudah dipahami. Teori itu sendiri akan menunjukkan hubunganhubungan yang ada di antara fakta-fakta tadi. Dengan kata lain, "data" merupakan suatu elemen yang terkecil dari suatu teori dalam bidang pengetahuan. Untuk memahami data memang ada seabreg variasi yang diberikan orang tentang "data" itu. Masih dalam pengertian arti "data" mari kita tengok pendapat-pendapat orang yang punya kapasitas dalam mendefinisikan arti tentang "data": a. Martino (1968). Ia mengatakan bahwa, "Data is a vast sea of fact which is accumulating at a fantastic rate .... all this data must be meaningfully arranged before it." b. Kanter (1984). Ia berpendapat tentang data, "Data is defined as raw material and may enter the procesing sistem from the keyboard of a cathode ray tube, from optically sensed documents, from writings on the back envelopes, or and so on". c. Awad (1979). Berkata: "A set of basic facts about a person, a transaction, or an event. d. Rosemblatt (1973) bicara tentang data: "Data is all the information that is known. All information is data, but not all data is information when one is attempting to solve a particular problem". 41
e. Manuel Guzman (2001) mengatakan, "serangkaian lambang-lambang yang dianggap sebagai satuan terkecil, yang memuat nilai informasi." Jika kita sepakat alangkah baiknya kita berpegang teguh saja pada bentuknya yang kuantitatif seperti yang dikemukakan secara ilmiah di atas, -- sekali lagi -- yakni: data adalah figur (angka-angka) yang pada dasarkan belum berarti apa-apa bila belum "digarap" dalam suatu struktur/sistem tertentu dalam suatu media tertentu untuk membentuk seperangkat fakta tertentu sehingga dapat mebentuk ide, teori, konsep, dst., yang dapat dimengerti. Alangkah baiknya, untuk memudahkan kita menangkap apa yang telah diuraikan di atas kita tengok saja sebentar pada penampakan gambar 2 di bawah ini:
Misalnya, sebut saja si dokumentalis yang kerja-kerjanya pemulung data dan mendapat sekeranjang data digambarkan seperti data no. 1 sampai no. 7. Setelah melalui proses penganalisaan atas masalah tersebut dan penyusunan yang cermat dan teliti atas data-data yang diperoleh tadi, ternyata data ke 1, ke 2, ke 3, membentuk suatu fakta (fakta ke 1). Sementara data ke 4, ke 5, ke 6, dan ke 7 menunjukkan adanya fakta ke 2 yang memang relevan dengan objek yang sedang di teliti. Dengan mempergunakan suatu format tertentu maka keluarlah sebuah "informasi" dalam format tertentu pula. Dengan penjelasan sederhana ini, kiranya jelas perbedaan antara data dan fakta, dalam menuju bentuk informasi.Menurut Soejono Trimo kerja-kerja seorang dokumentalis untuk mendapatkan data-data dapat melalui cara yang dapat ditempuh antara lain melalui wawancara, tabur angket, observasi atas pemakai dalam kesempatan-kesempatan rapat kerja, seminar, dan sebagainya, bahkan melalui pertemuan (berbincang-bincang) sehari-hari dengan individu-individu yang bersangkutan.
42
Pengertian Informasi Primer dan Informasi Sekunder Akan semakin memperparah kebingungan petugas dokumentasi yang pekerjaannya mengkliping koran di sebuah lembaga bidang tertentu memiliki tumpukan guntingan koran disamakan dengan data. Padahal kita tahu bahwa berita koran – jika merujuk arti data -- adalah sebuah informasi yang proses pembentukannya melalui tangan-tangan wartawan dalam proses pengolahan data menjadi informasi/berita yang kita konsumsi sehari-hari. Di muka kita telah mendiskusikan tentang data, fakta, sampai pada hakekat informasi. Berikut akan bicara tentang istilah informasi primer, informasi sekunder, data primer dan data sekunder; dan mungkin lebih membingungkan lagi adanya dokumen primer, dokumen sekunder dan dokumen tersier. Yang satu ini nanti akan dibahas dalam pembahasan berikutnya. Mazhab organisasi HAM, mendefinisikan informasi sekaligus di dalamnya ada proses mengolah dan menganalisis data. Maka ia menentukan tiga pekerjaan utamanya, antara lain (1) mengelompokkan informasi sekaligus mendokumentasikannya (2) Menyusun pola kejadian (3) melakukan analisis data yang mencakup: latar belakang peristiwa; kronologi peristiwa, sasaran peristiwa, pelaku dan pola atau modus operandi. Sehingga dalam hal ini barangkali mereka menggunakan istilah "informasi primer" dan "informasi sekunder" sama yang dimaksud data primer dan data sekunder dari sudut pandang penelitian sosial. Menurut mazhab ini, kerja-kerja pengumpulan informasi akan menghadapi dua sifat informasi, yaitu informasi primer dan informasi sekunder. Yang dimaksud informasi primer terkait dengan konteks kerja-kerja investigasi yaitu informasi yang berasal dari sumber informasi tangan pertama yang terlibat peristiwa, korban, maupun pelaku. Sedangkan yang dimaksud informasi sekunder adalah informasi yang berasal dari pihak kedua. Informasi primer adalah data mentah, sementara informasi sekunder adalah data yang diolah. Sumber-sumber informasi yang semakin berkembang menurut mazhab organisasi HAM yang ke berbagai arah. Segala informasi yang kiranya menunjang terbentuknya dasar-dasar cerita suatu peristiwa dapat digunakan, dan dalam konteks ini, sumber-sumber informasi sebagai berikut: (1) Hasil observasi lapangan (2) Peta lokasi kejadian (3) Laporan investigasi oleh kelompok HAM lainnya (4) Buku referensi (5) Kumpulan peraturan dan perundangan (6) Hasil uji pengobatan (visum et repertum, uji forensik) (7) Data statistik masyarakat dan (7) Guntingan koran (pernyataan pejabat dalam surat kabar cetak/elektronik). Pengertian "data primer" menurut mazhab Penyelidikan Sains Sosial (Rohana Yusof: 2004) adalah "data yang berasal dari sumber asli atau pertama. Data ini tidak tersedia dalam bentuk terkompilasi ataupun dalam bentuk file-file. Data ini harus dicari melalui nara sumber atau dalam istilah teknisnya responden, yaitu orang yang kita jadikan obyek penelitian atau orang yang kita jadikan sebagai sarana mendapatkan informasi ataupun data". Untuk mengumpulkan data primer diperlukan metode dan instrumen tertentu. Secara prinsip ada dua metode pengumpulan data primer, yaitu: pengumpulan data secara pasif dan pengumpulan data secara aktif. Perbedaan antara kedua metode tersebut ialah: yang pertama meliputi observasi karakteristik-karakteristik elemen-elemen yang sedang dipelajari dilakukan oleh manusia atau mesin; sedang yang kedua meliputi pencarian 43
responden yang dilakukan oleh manusia ataupun non-manusia. Koleksi data secara pasif bermanfaat untuk mendapatkan data dari manusia ataupun tipe elemen studi lainnya. Kegiatannya meliputi melakukan observasi terhadap karakteristik-karakteristik tertentu individual, obyek, organisasi dan entitas lainnya yang menarik untuk diteliti. Koleksi data secara aktif memerlukan responden dalam mendapatkan data. Dalam mazhab penyelidikan sains sosial, pencarian data primer ada tiga ukuran penting yang perlu diketahui, yaitu: kerahasiaan, struktur dan metode koleksi. Pertama, kerahasiaan mencakup mengenai apakah tujuan penelitian untuk diketahui oleh responden atau tidak. Merahasiakan tujuan penelitian dilakukan untuk tujuan agar para responden tidak memberikan jawaban-jawaban yang bias dari apa yang kita harapkan. Kedua, struktur berkaitan dengan tingkat formalitas (resmi), atau pencarian data dilakukan secara terstruktur atau tidak terstruktur. Pencarian dilakukan secara terstruktur jika peneliti dalam mencari data dengan menggunakan alat, misalnya kuesioner dengan pertanyaan yang sudah dirancang secara sistematis, dan sangat terstruktur baik itu dilakukan secara tertulis ataupun lisan. Sebaliknya pencarian dapat dilakukan dengan cara tidak terstruktur, jika instrumennya dibuat tidak begitu formal atau terstruktur. Ketiga, metode koleksi menunjuk pada sarana untuk mendapatkan data. Pengertian "data sekunder" menurut sumber mazhab ini (Penyelidikan Sains Sosial) adalah "merupakan data yang sudah tersedia sehingga kita tinggal mencari dan mengumpulkan". Data sekunder dapat dicari dengan lebih mudah dan cepat karena sudah tersedia, misalnya di perpustakaan, perusahaan-perusahaan, organisasi-organisasi perdagangan, biro pusat statistik, dan kantor-kantor pemerintah. Meski data sekunder secara fisik sudah tersedia dalam mencari data tersebut namun kita tidak boleh juga secara mengumpulkannya dengan sembarangan. Untuk mendapatkan data yang tepat dan sesuai dengan tujuan penelitian, atau kebutuhan tertentu, maka perlu pertimbangan-pertimbangan (a) Jenis data harus sesuai dengan tujuan penelitian/kebutuhan tertentu yang sudah tentukan sebelumnya (b) Data sekunder yang dibutuhkan bukan menekankan pada jumlah tetapi pada kualitas dan kesesuaian oleh karena itu harus selektif dan hati- hati dalam memilih dan menggunakannya (c) Data sekunder biasanya digunakan sebagai pendukung data primer oleh karena itu kadang-kadang kita tidak dapat hanya menggunakan data sekunder sebagai satu-satunya sumber informasi untuk menyelesaikan masalah kebutuhan kita. Data sekunder dari perspektif Penyelidikan Sains Sosial, dapat dipergunakan untuk hal-hal sebagai berikut: a. Pemahaman masalah. Data sekunder dapat digunakan sebagai sarana pendukung untuk memahami masalah yang akan kita teliti. Sebagai contoh apabila kita akan melakukan penelitian dalam suatu perusahaan, perusahaan menyediakan company profile atau data administratif lainnya yang dapat kita gunakan sebagai pemicu untuk memahami persoalan yang muncul dalam perusahaan tersebut dan yang akan kita gunakan sebagai masalah penelitian. b. Penjelasan masalah. Data sekunder bermanfaat sekali untuk memperjelas masalah dan menjadi lebih operasional dalam penelitian karena didasarkan pada data sekunder yang tersedia, kita dapat mengetahui komponen-komponen situasi lingkungan yang mengelilinginya. Hal ini akan menjadi lebih mudah bagi peneliti untuk memahami persoalan yang akan diteliti, khususnya 44
mendapatkan pengertian yang lebih baik mengenai pengalaman-pengalaman yang mirip dengan persoalan yang akan diteliti. c. Formulasi alternatif. Penyelesaian masalah yang layak sebelum kita mengambil suatu keputusan, kadang kita memerlukan beberapa alternatif lain. Data sekunder akan bermanfaat dalam memunculkan beberapa alternatif lain yang mendukung dalam penyelesaian masalah yang akan diteliti. Dengan semakin banyaknya informasi yang kita dapatkan, maka penyelesaian masalah akan menjadi jauh lebih mudah. d. Solusi masalah. data sekunder disamping memberi manfaat dalam membantu mendefinisikan dan mengembangkan masalah, data sekunder juga kadang dapat memunculkan solusi permasalahan yang ada. Tidak jarang persoalan yang akan kita teliti akan mendapatkan jawabannya hanya didasarkan pada data sekunder saja. Sulistyo-Basuki, mendefinisi dokumentasi menurut literatur menjadi dua kelompok besar yaitu, (1) definisi yang terbatas pada bidang kepustakaan (2) definisi yang tidak terbatas pada bidang kepustakaan. (1) definisi yang terbatas pada bidang kepustakaan Dokumentasi Yang dimaksud definisi dokumentasi yang terbatas pada bidang kepustakaan meliputi pengadaan dokumen, pengolahan, pendayagunaan, penyebaran serta perluasan jasa perpustakan. Pada kelompok ini definisi dokumentasi dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok supraposisi, juxtaposisi dan intraposisi. Untuk lebih jelasnya definisi-definisi menurut literatur diurai singkat, sebagai berikut: Kelompok Supraposisi Kelompok ini disebut definisi supraordinasi atau definisi supraposisi. Pengertian dokumentasi lebih luas daripada perpustakaan, jadi pada dokumentasi sudah mencakup perpustakaan. Segala kegiatan yang mencakup pengadaan, pengolahan, temu balik, penyebaran, penyusunan penerbitan serta penyebarannya merupakan kegiatan dokumentasi. Dan yang dimaksud dengan dokumen di sini adalah segala unit material yang berisi informasi, tidak saja tertulis dan tercetak melainkan juga termasuk film, disc, dan pita (tape). Kelompok juxtaposisi Kelompok ini merupakan kelompok definisi paralel atau definisi juxtaposisi artinya perpustakaan dan dokumentasi menduduki tempat yang setara, jadi tidak ada bagian yang lebih luas dari pada bagian yang lain. Kelompok ini berbeda dengan kelompok pertama yang menganggap dokumentasi lebih luas daripada perpusatakan. Tokoh yang termasuk kelompok ini adalah Pietsch dan Fill serta Documentatie Commissie van de Nederlandsch Vereeniging van Bibliothecarissen (Komisi Dokumentasi Ikatan Pustakawan Belanda). Pietsch berpendapat "bahwa perpustakaan mengolah dokumen sedangkan dokumentasi mengeksploitasi atau 45
mendayagunakan dokumen". Fill mengatakan bahwa perpustakan berkaitan dengan administrasi dokumen, sedangkan dokumentasi berkaitan dengan pendayagunaan dokumen. Lalu, Komisi Dokumentasi Ikatan Pustakawan Belanda berpendapat: "bahwa perpustakaan bertanggung jawab atas pengadaan dan pengolahan dokumen sedangkan dokumentasi menyebarkan dan memanfatkan dokumen untuk kepentingan pemakai. Definisi kelompok ini yang banyak dianut di Indonesia. Mungkin karena Indonesia terlalu lama dijajah Belanda, hingga keberadaan perpustakaan dan dokumentasi juga sedikit banyak mengadopsi dari sistem dokumentasi dan perpustakaan model Belanda. Kelompok Infraposisi Kelompok ini merupakan kelompok definisi subordinasi atau definisi infraposisi. Yang termasuk tokoh kelompok ini adalah Kunze (Jerman), Bjorkbohn (Swedia) dan Jesse Shera. Kelompok ini mengatakan bahwa perpustakaan di atas dokumentasi artinya perpustakaan lebih luas dari pada dokumentasi. Dengan kata lain, dokumentasi hanya merupakan bagian kecil saja dari perpustakaan. Jadi kelompok ini berlawanan seratus delapan puluh derajat dengan kelompok supraposisi. Kunse menyatakan bahwa dokumentasi merupakan perluasan fungsi kepustakawanan. Katanya, Bjorkbohn malahan emoh menggunakan istilah dokumentasi, ia lebih gemar menggunakan istilah "jasa literatur”, "jasa perpustakaan", "tinjauan literatur", dan "jasa abstrak". Sehingga Bjorkbohn memberikan definisi dokumentasi: "dokumentasi adalah pekerjaan bibliografi dan informasi dari sebuah perpustakaan dengan situasi dalam perpustakaan khusus". (2) Definisi di luar bidang kepustakaan Definisi dokumentasi yang diberikan kelompok ini sama sekali di luar bidang kepustakaan. Tokohtokohnya adalah Piccard dan Scotecci. Contohnya: dokumentasi yang berarti reproduksi dokumen dalam bentuk lebih kecil dari pada aslinya, dan hasilnya lebih dikenal dengan sebutan bentuk mikro atau microform. Contoh lain dalam pekerjaan sehari-hari sering dibentuk panitia dokumentasi yang sebenarnya lebih terbatas pada kegiatan foto memfoto. Perbedaan Antara Dokumentasi dengan Perpustakaan Jika bicara sejarah definisi dokumentasi hingga ke bidang yang berkaitan dokumentasi, maka penjelasan terdahulu dinyatakan bahwa dokumentasi berkaitan dengan ilmu perpustakaan. Lalu timbul pertanyaan apakah perbedaan dokumentasi dengan perpustakaan? Untuk menjawab hal ini, kita langsung saja menuju ringkasnya saja. Di samping terdapat perbedaan antara dokumentasi dan perpustakan juga memiliki banyak kesamaannya. Perbedaan utama antara dokumentasi dengan perpustakan hanya terletak pada fungsinya. Jika perbedaan itu dijabarkan maka hasilnya akan nampak dalam tabel di bawah ini:
46
Tabel 1: Perbedaan Dokumentasi dengan Perpustakaan menuruf fungsinya No 1
Kegiatan Informasi/Komunikasi Menciptakan/ produksi
------
Kegiatan tambahan
2
Menetapkan atau menghimpun
----
Kegiatan tambahan
Menyunting
----
Kegiatan tambahan
Pengembangan koleksi
Kegiatan utama
Keiatan tambahan
Temu balik dokumen
Kegiatan utama
Kegiatan tambahan
Pemilihan dokumen
Kegiatan utama
Kegiatan tambahan
Pengolahan Informasi
Kegiatan utama
Kegiatan utama
Pengkatalogan
Kegiatan utama
Kegiatan utama
Klasifikasi
Kegiatan utama
Kegiatan utama
Pengindekan
Kegiatan tambahan
Kegaitan utama
Pengolahan koleksi
---------
Kegiatan utama
Pembuatan abstrak
---------
Kegiatan utama
Penyusunan bibliografi
Kegiatan tambahan
Kegiatan utama
Analisa Data
--------
Kegiatan utama
Tinjauan literatur (State of the art, annual review)
--------
Kegiatan utama
6
Penyimpanan Dokumen
Kegiatan utama
Kegiatan utama
7
Temu balik
Kegiatan utama
Kegiatan utama
8
Pemberian jasa
Kegiatan utama
Kegiatan utama
Jawaban pertanyaan referens
Kegiatan utama
Kegiatan utama
Sirkulasi dokumen
Kegiatan utama
Kegiatan utama
Reproduksi dokumen
Kegiatan utama
Kegiatan utama
Jasa operasional dan administrasi
Kegiatan Utama
Kegiatan utama
3
4.
5
9
Perpustakaan
Dokumentasi
Sumber: Sulistyo-Basuki, "Pengantar Dokumentasi" Hal. 14. Keterangan: Sumber asli Mohthardt dengan perubahan oleh penulis buku tersebut.
47
Kiranya jelas jika kita memeriksa tabel 1 di atas ada perbedaan utama antara perpustakaan dengan dokumentasi yang lebih banyak mendominasi pada fungsinya. Ada bagian yang dikerjakan oleh perpustakaan, ada bagian yang dikerjakan oleh dokumentasi, dan ada pula bagian tugas yang dikerjakan oleh kedua-duanya. Dalam konteks Indonesia hingga saat ini belum ada pemisahan antara organisasi pustakawan dengan dokumentasi/dokumentalis. Kedua-duanya bernaung di bawah organisasi yang bernama Ikatan Pustakawan Indonesia disingkat IPI. Walaupun tidak ada pemisahan organisasi, dalam kerja-kerja sehari-hari banyak ditemui adanya "bagian/seksi/urusan" dokumentasi dan Perpustakaan. Semua itu akibat dari produk Undang-undang yang dikeluarkan di Indonesia, yakni pada tahun 1961 keluarnya Peraturan Presiden (PP) No. 20 tahun 1961 tentang "Tugas Dokumentasi dan Perpustakaan". Peraturan tersebut menyatakan bahwa tugas perpustakaan di sana adalah mengumpulkan, menyusun, dan memelihara buku-buku dan dokumen-dokumen pustaka dengan maksud menyediakannya bagi keperluan pengetahuan, penyelidikan, pengajaran, dan keperluan lain yang sejenis. Sementara tugas dan kewajiban untuk dokumentasi/dokumentalis ialah: "menyediakan keterangan-keterangan dalam bentuk dokumen baru tentang pengetahuan dalam arti kata yang luas sebagai hasil kegiatan manusia dan untuk keperluan itu mengumpulkan dan menyusun keteranganketerangan tersebut". Perkembangan definisi dokumentasi di Indonesia hingga kini belum ada UU yang mengatur, yang ada undang-undang yang mengatur perpustakaan yaitu UU No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan yang mengatur status kedudukan, kelembagaan, tugas, wewenang, fungsi dan pustakawan perpustakaan. Dimana UU tersebut mewajibkan seluruh lembaga pendidikan dari tingkat sekolah/madrasah hingga perguruan tinggi untuk memiliki perpustakaan. Hubungan Antara Pusat Dokumentasi dengan Perpustakaan Tugas pusat dokumentasi dan perpustakaan ialah mengidentifikasi dan mengumpulkan informasi ilmiah, menganalisis dan mengolahnya ke dalam bentuk yang sesuai untuk simpan dan penelusuran, menyediakan tempat penyimpanan dan penyebaran termasuk temu balik informasi bilamana diminta. Idealnya masing-masing badan ini memiliki ciri khas sehingga terdapat bermacam-macam tugas yang dilakukan oleh berbagai spesialis dengan mengunakan teknik yang beraneka ragam. Hal ini perlu ditungkapkan untuk mengetahui bagaimana menggunakan peluang yang ada untuk memperoleh informasi sebaik mungkin dari pusat dokumentasi dan perpustakaan. Perbedaan antara pusat informasi dan perpustakaan telah dinyatakan sekitar 45 tahun yang lalu oleh sejumlah ilmuwan Amerika kepada Presiden Kennedy. Dalam laporan tersebut secara ringkas dinyatakan, "bahwa penafsir yang berpengalaman yang dapat mengumpulkan data relevan, meninjau literatur sebuah bidang ilmu dan meneruskan informasi yang sesuai dengan situasi teknis jauh lebih membantu ketimbang hanya setumpuk dokumen yang relevan". Sulistyo-Basuki mengomentari laporan ringkas tersebut melalui kitabnya dengan nada menyanjung dalam kerja-kerja kedua spesialis dimaksud, dan barangkali memang kenyataannya demikian, dan komentarnya dikutip di sini yang berbunyi:
48
"Perantara yang berpengalaman semacam itu yang juga menyumbang pada ilmu pengetahuan merupakan tulang punggung pusat dokumentasi, mereka membuat sebuah pusat dokumentasi lebih bersifat institut teknik ketimbang perpustakaan teknik. Karena itu seorang spesialis informasi adalah seorang spesialis dalam sebuah bidang ilmu, seorang peneliti yang ikut terlibat dalam penelitian yang memberikan informasi bagi tim peneliti. Pada segi lain, seorang pustakawan, juga memiliki kualifikasi atau pelatihan dalam bidang ilmu pengetahuan, adalah seorang psikolog pembaca, ahli yang mumpuni dalam metode pengajaran dan mampu mencari jalan dalam lingkungan produksi buku yang beranekawarna. Seorang spesialis informasi dengan seorang pustakawan adalah pakar yang tangguh dalam bidang yang berlainan". Sebuah kerja-kerja dengan dokumen bukanlah tugas utama sebuah pusat dokumentasi, melainkan cara kerja dalam mengolah informasi ilmiah untuk memperoleh data baru. Dengan demikian perbedaan antara pusat informasi dengan perpustakaan akan dijabarkan lebih lanjut maka hasilnya akan tampak dalam tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Perbedaan Pusat Informasi dengan Perpustakaan Pusat Informasi
Perpustakaan
1. Orang yang bekerja pada pusat informasi disebut spesialis informasi. Walaupun namanya berbeda kedua-duanya adalah ilmuwan.
1.
2. Bertujuan memberitahukan fakta dan ide baru, menjawab pertanyaan mengenai data atau informasi mengenai dokumen yang berisi informasi yang relevan
2. Perpustakaan merupakan lembaga ilmiah dan pendidikan, bertujuan membantu pembaca memilih dokumen serta membimbingnya dalam hal bacaan. Salah satu bentuk perpustakaan adalah Perpustakan khusus.
3. Tugas utama bukan bekerja dengan dokumen, dokumen hanyalah sarana untuk mengetahui data
3. Tugas utama bekerja dengan dokumen
4. Panggilan yang berbeda untuk pemakai yang dilayani. Spesialisasi informasi melayani pemakai informasi
4. Yang dilayani pustakawan adalah pembaca
5. Pemakai informasi mengunjungi pusat informasi atau memeriksa publikasinya untuk memperoleh data yang diperlukan untuk penelitiannya dia berhak memperoleh jawaban yang tepat dan lengkap atas pertanyaan yang diajukannya. Pertanyaan ini dijawab oleh spesialis informasi yang menelusuri kemajuan dalam bidang yang ditanyakan melalui sumber dokumenter.
5. Diperpustakaan orang yang sama muncul dalam kapasitasnya sebagai pembaca. Pembaca memerlukan dokumen yang berkaitan dengan minat baca untuk memperluas pengetahuannya, menambah kecakapannya, mencari informasi mengenai bidang yang berhubungan serta dapat memenuhi keperluan sosial maupun keperluan ilmiah pembaca.
6. Cara beroperasi dengan cara memberikan jasa secara ajeg sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan frekuensi terbit publikasi baru dan dokumen yang tidak diterbitkan. Pusat dokumentasi berusaha meliputi selengkap mungkin semua dokumen baru,
6. Perpustakan beroperasi dengan modus "pertanyaan jawaban", mengakumulasi materi, mengungkapkan isi dokumen dan menyimpan dokumen sedemikian rupa sehingga tersedia bilamana ada permintaan.
49
Orang yang bekerja diperpustakaan disebut pustakawan. Walaupun namanya berbeda keduaduanya adalah ilmuwan maupun pekerja.
mengolahnya secara analisis sintetis menyajikannya pada ilmuwan dalam bentuk abstrak, survei, informasi kilat, bibliografi yang terbit secara berkala. 7. Pusat Informasi memang menyimpan dokumen, menelusuri dan menemu-balik dokumen sesuai dengan permintaan pemakai namun hal tersebut hanya merupakan tugas sekunder bagi pusat dokumentasi.
7. Perpustakaan memang memberitahukan pembaca informasi mengenai koleksinya yang baru namun hal ini terbatas ruang lingkupnya tidak selalu sesuai dengan kebutuhan pembaca.
Sumber: Sulistyo-Basuki, "Pengantar dokumentasi" 2004, hal., 90-91.
Arti Dokumentasi Menurut Organisasi HAM Organisasi HAM menggunakan istilah dokumentasi untuk merujuk pada makna pengumpulan faktafakta, termasuk kumpulan dokumen dan mengembangkan sistem untuk retrival dan penyebarluasan yang mudah. Mereka mendefinisikan dokumentasi adalah "Suatu proses merekam secara sistematis hasil-hasil pencarian fakta atau kata lainnya investigasi dimulai dengan kegiatan mengumpulkan fakta apapun bentuk isinya". yang menjadi pekerjaan utama di sini adalah melakukan pengelompokan informasi. Yang dimaksud pencarian fakta (investigasi) adalah proses mengidentifikasi adanya pelanggaran dalam suatu peristiwa, dan mengumpulkan fakta-fakta yang relevan tentang pelanggaran tersebut. Dari perspektif tertentu, kita bisa melihat bahwa pencarian fakta atau dokumentasi sebagai salah satu komponen saja, yaitu, pencarian fakta adalah bagian pengumpulan data dari dokumentasi, atau dokumentasi hanyalah bagian perekaman dari pencarian fakta. Sekalipun mungkin perspektif begitu ada benarnya juga, tetapi pendekatan terbaik adalah memandang kedua proses itu terkait secara organis, suatu proses yang tunggal bersinambung. Telah disinggung di muka, bahwa pencarian fakta tidak hanya sekedar mengumpulkan data, tetapi juga mengandung kerja-kerja lain seperti pembobotan bukti-bukti, dan mengidentifikasi standar-standar atau tolok ukur yang akan diterapkan. Demikian pula dokumentasi tentu lebih dari sekedar merekam dan mencatat. Oleh sebab itu mazhab ini menegaskan kerja-kerja pengumpul data dan dokumentasi hendaknya ditangani oleh orang yang berbeda. "bahwa kerja-kerja investigasi untuk mempelajari data-data yang sudah terkumpul, tidak mungkin dapat mempelajari jika dokumen-dokumen itu bercampur dengan guntingan koran atau hasil notulensi rapat. Pengumpulan data dan penyimpanan atau dokumentasi adalah dua kawan yang seiring, tidak dapat diabaikan satu sama lainnya. Kerja-kerja dokumentasi dan pengumpulan data lebih baik dikerjakan orang yang berbeda hal ini untuk mengantisipasi jika informasi yang terkumpul berlimpah dan beranekaragam." Ringkasnya, definisi dokumentasi mazhab organisasi HAM, terkait dengan pencarian fakta (investigasi) pengumpulan dokumen yang berhubungan dengan peristiwa yang diselidiki, dan mengorganisasikan informasi, dokumen-dokumen secara sistematis untuk retrieval (pengambilan/penggunaan kembali) supaya mudah didapatkan kembali untuk berbagai keperluan.
50
Pembagian Dokumen Dalam dunia dokumentasi, istilah dokumen ilmiah dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: (1) Dokumen primer; (2) Dokumen sekunder; dan (3) Dokumen tersier. Lalu, dalam berbagai buku istilah dokumen sering diganti dengan istilah literatur –disini menggunakan rujukan yang sama -- pengertian dokumen primer sama dengan "literatur primer". Dokumen menurut pembagiannya sebagai berikut: a. Dokumen Primer Dokumen primer adalah dokumen yang berisi informasi mengenai penelitian asli, mengenai aplikasi teori baru maupun penjelasan mengenai sebuah teori dalam semua disiplin ilmu. Yang termasuk dalam dokumen primer ialah majalah ilmiah, laporan penelitian, paten, disertasi, kertas kerja, konferensi, kartu informasi, leps cetak, (off print), terbitan produsen, katalog teknik, standar, perundang-undangan, dokumen primer internal. Dokumen primer internal tidak selalu aktivitas ilmiah, termasuk penerbitan aktivitas ELSAM sebagai lembaga, seperti dokumen-dokumen rapat internal. b. Dokumen Sekunder Dokumen sekunder adalah dokumen yang memuat informasi tentang dokumen primer. Dengan kata lain dokumen sekunder adalah dokumen rujukan yang berisi informasi mengenai dokumen primer ataupun dokumen berupa bibliografi mengenai dokumen primer. Dokumen sekunder mencakup: ensiklopedia, buku panduan, tinjauan literatur, majalah indeks, majalah abstrak, kamus, bibliografi, dan informasi kilat. c. Dokumen Tersier Dokumen tersier adalah dokumen yang berisi informasi mengenai dokumen sekunder. Yang termasuk dokumen tersier ialah katalog perpustakaan, direktori, bibliografi dari bibliografi, panduan literatur dan buku ajar. Catatan: cakupan dokumen primer, dokumen sekunder, dan dokumen tersier tidak terbatas dokumen cetak melainkan juga dokumen elektronik berupa compact disc read only memory (CD ROM) dan dokumen yang tersimpan di di berbagai pangkalan data. CD ROM merupakan hasil teknologi cakram optik. 2. Mohammad Fauzi: Pengantar Ringkas Pendokumentasian Dokumentasi sering kali dipahami sebagai suatu aktivitas pengumpulan semua dokumen baik tertulis maupun lisan. Padahal kegiatan dokumentasi lebih luas dari itu yaitu mengumpulkan, memilih, menyeleksi, mengolah dan menganalisa, serta menghadirkannya ke publik/pengguna. Dalam semua proses hingga sistematisasi itu terdapat hal-hal yang bersifat teknis, tapi juga bersifat pengetahuan. Maka, keahlian seorang pustakawan dalam seluruh proses itu menjadi penting dalam hal ini. Dokumentasi pada dasarnya dimaknai pula sebagai pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi dalam bidang pengetahuan. Selain itu, dokumentasi dimaknai sebagai pengumpulan bukti dan keterangan seperti foto/gambar, kutipan, kliping surat kabar, dan bahan referensi lain. Jadi, semua aktivitas terkait dengan dokumen menjadi pekerjaan pendokumentasian yaitu cara, proses, perbuatan mendokumentasikan. Itulah esensi dokumentasi dan pekerjaan pendokumentasian. 51
Dalam pendokumentasian tentu akan bersentuhan atau menemukan sejumlah dokumen, yang diartikan sebagai surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan. Dokumen juga diartikan sebagai barang cetakan, naskah, rekaman suara, foto/gambar yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan. Berbicara tentang dokumen tersebut ‒lisan, tertulis, visual, cetak, eketronik‒ tak ubahnya kita berbicara tentang teks yakni sekumpulan informasi yang dihimpun dengan cara tertentu sehingga dapat dipahami oleh pembaca atau pengguna. Jika dokumen di suatu LSM dipahami sebagai suatu teks yang berguna bagi peneliti, maka nilainya sama dengan naskah, artinya karya asli dari seseorang atau suatu lembaga yang dapat memberikan informasi untuk kebutuhan suatu penelitian. Pengertian teks yang tidak terbatas hanya pada dokumen tulis tentunya menguntungkan karena sesungguhnya setiap dokumen merupakan produk masyarakat tertentu, pada zaman tertentu, dan karena itu dapat dibaca oleh orang dari zaman yang berbeda pula. Teks sebagai dokumen juga mencerminkan latar belakang kebudayaan tertentu dan karena itu dapat memberi pemahaman atau gambaran tentang masa lalu kepada pembacanya. Terkait dengan semua itu, sistematisasi dokumen menjadi pekerjaan yang harus dilakukan dalam pendokumentasian. Harapannya dokumen yang dikumpulkan dan disusun atau diklasifikasi itu dengan mudah dapat diakses oleh masyarakat luas, sekaligus juga memudahkan pustakawan mencari dan menatanya, dan meletakkannya dalam suatu tempat penyimpanan. Dengan demikian, pekerjaan pendokumentasian juga menjadi suatu pekerjaan yang kait-mengait antara pustakawan dan pembaca/pengguna. Masalah Pendokumentasian Pekerjaan pendokumentasian bukan tanpa masalah atau kendala. Kendala atau masalah sering kali ditemukan sejak kerja pendokumentasian dimulai. Misalnya, mulai dari ketidaklengkapan dokumen, ketiadaan dokumen, dokumen tidak berada pada satu tempat, atau dokumen rusak, lenyap, berjamur dan lain sebagainya. Semua masalah dalam pendokumentasian itu harus dihadapi atau diselesaikan oleh pustakawan sebelum katalogisasi atau sistematisasi dilakukan. Dalam pendokumentasian perlu diperhatikan pula bahwa meski dokumen telah disimpan atau dimiliki, data yang diperlukan sesungguhnya belum tentu tersedia. Sering terjadi suatu dokumen hanya disimpan tanpa lebih dulu dibaca/dipahami isinya. Oleh karena itu, pemahaman dan pengetahuan tentang isi dokumen menjadi penting dalam hal ini. Masalah dalam pendokumentasian juga datang dari pustakawan sendiri misalnya ketidakpahamannya tentang dokumen, kepeduliaannya terhadap dokumen, ketidakmengertiannya tentang isi dokumen dan sebagainya. Masalah ini harus pula diselesaikan sebelum kerja pendokumentasian kian bertumpuk. Maka, orang yang tepat dalam pekerjaan yang tepat menjadi suatu keharusan di sini. Pendokumentasian kendati terlihat berurusan dengan masalah teknis, pada dasarnya bidang ini juga membutuhkan keahlian, ketekunan, kesabaran, dan keingintahuan pustakawan terhadap pekerjaan yang dijalani atau ditekuninya. Tanpa semua itu, sulit membayangkan suatu pendokumentasian akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh suatu lembaga. Bentuk/Model Pendokumentasian Berbagai bentuk, cara, model pendokumentasian telah dilakukan oleh berbagai lembaga. Tentunya hal utama yang harus diperhatikan ketika memutuskan bentuk/model mana yang akan dipilih adalah 52
sesuaikan bentuk/model pendokumentasian dengan bidang/pekerjaan yang ditangani oleh lembaga yang bersangkutan. Dalam pemilihan bentuk/model pendokumentasian ini prinsip dasar pendokumentasian yaitu keteraturan dan kemudahan menjadi pertimbangan utama. Perpustakaan ISSI (Institut Sejarah Sosial Indonesia) misalnya, mengambil pola atau bentuk katalogisasi mengikuti sistem Library of Congress. Pertimbangannya karena salah satu perpustakaan terbesar di dunia ini telah mendata semua buku dari seluruh dunia, tak terkecuali dari Indonesia. Koleksi ISSI ‒terutama buku‒ sebagian besar terbitan luar Indonesia dan nomor panggil buku-buku tersebut telah ada dalam sitem tersebut. Katalogisasi juga mengikuti sistem itu, tentunya ada penyesuaian di sana-sini menyangkut informasi yang dimiliki ISSI. Kendati ada banyak pilihan mengenai bentuk atau model dalam pendokumentasian, prinsip utama pendokumentasian yaitu sistematis dan mudah diakses publik harus tercermin dalam hal ini. Koleksi yang bagus, tetapi tidak sistematis dan sulit diakses tidak ada gunanya bagi publik, juga sebaliknya. Keduanya harus sejalan sehingga tujuan pendokumentasian tercapai. Pendokumentasian Sederhana dan Dapat Dikembangkan Ada banyak pilihan bagi institusi untuk memulai dan melakukan pendokumentasian. Namun, prinsip dasarnya adalah sejauh mana pilihan tentang pendokumentasian tepat dan menjawab kebutuhan institusi dan penggunanya. Jika suatu sistem telah dipilih, lalu sejauh mana hal itu telah menjawab kebutuhan lembaga dan apa sesuai dengan pengelolaan dokumen yang dimilikinya. Jadi, ketersediaan dokumen atau koleksi, perangkat yang ada, dan sumber daya ikut menjadi pertimbangan pula di sini. Tidak semua sistem pendokumentasian yang ada bisa diterapkan untuk semua lembaga. Pastilah ada yang kurang atau tidak memadai atau justru berlebihan dalam pendokumentasian ini. Jika suatu lembaga memulai dan melakukan suatu pendokumentasian terhadap koleksinya, pikirkanlah bahwa pilihannya tidak memperumit pustakawan dan penggunanya sehingga akses terhadap dokumen yang dimiliki mudah. Suatu sistem pendokumentasian yang canggih atau mutakhir belum tentu bisa menjawab kebutuhan sistem pendokumentasian suatu lembaga. Dan sebaliknya, sistem pendokumentasian yang mudah telah menjawab dan sesuai dengan keinginan lembaga ataukah tidak. Maka, jika sistem pendokumentasian sederhana justru bisa menjawab atau sesuai dengan kebutuhan lembaga gunakan saja sistem ini. Pekerjaan pendokumentasian sesungguhnya juga untuk mempermudah pekerjaan lembaga dan bukan mempersulit pekerjaan lembaga. Selain itu, pekerjaan pendokumentasian ini juga harus fokus agar pekerjaan menjadi lebih sistematis dan mudah. Misalnya, jika suatu lembaga bergerak di bidang pendampingan korban, maka pekerjaan pendokumentasian haruslah menunjang ke arah itu dan bukan fokus kepada kebijakan. Pemeliharaaan, Perawatan, dan Akses Saat pustakawan memulai suatu pendokumentasian harus dipikirkan pula tentang perawatan dan akses koleksi yang ada. Jadi, pustakawan harus mempunyai bayangan ke depan pula tentang koleksi yang ada. Dengan begitu, pekerjaan pendokumentasian makin terfokus. Pustakawan juga harus mempunyai pemikiran bahwa setiap dokumen memiliki nilai penting, tetapi sejauh mana hal ini sesuai dengan garis kebijakan atau pekerjaan suatu lembaga. Hal itu dilakukan untuk memudahkan 53
pekerjaan pustakawan dalam memilih, mengolah, dan membuatnya menjadi dokumen yang mudah diakses oleh publik. Dalam hal pemeliharaan dan perawatan perlu dipikirkan soal tempat penyimpanan agar koleksi tidak mudah rusak atau lapuk. Tempat yang tepat untuk suatu koleksi harus memperhatikan pula soal kebersihan, sirkulasi udara, suhu, tempat penyimpanan, tata letak koleksi yang semua ini dimaksudkan agar koleksi tetap awet dan terjaga selama beberapa tahun ke depan. Aspek perawatan koleksi ini harus diperhatikan agar dokumen yang terkumpul tetap awet. Akses juga menjadi pertimbangan bagi pengelola dokumentasi menyangkut terbuka-tertutup koleksi yang ada bagi publik dan siapa saja yang boleh-tidaknya mengakses dokumen yang tersedia. Pelayanan juga menjadi bagian tak terpisahkan bagi publik untuk mengakses koleksi yang ada antara lain menyangkut penggandaan dokumen atau fotokopi, dan menjawab setiap pertanyaan atau permintaan yang ditujukan kepada pustakawan. Penutup Jika suatu lembaga ingin membangun suatu organisasi kerja atau sistem yang terpadu dan solid sejak dari kerja lapangan hingga di tingkat kebijakan, dokumentasi menjadi bagian yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Inilah denyut suatu lembaga yang mendukung pekerjaan lembaga dalam setiap tahap yang dilakukannya. Celakanya, pendokumentasian ada kalanya belum menjadi bagian dari sistem yang terpadu atau menjadi prioritas dalam pekerjaan dan organisasi kerja suatu lembaga, termasuk pula ketersediaan sumber daya dan dana dalam kaitan ini. Dokumentasi juga sering diabaikan justru oleh anggota lembaga sendiri. Ada banyak lembaga ternama dan menjadi acuan publik atau pemerintah, tetapi justru lemah dalam hal pendokumentasiannya. Padahal, pekerjaan yang dilakukan berbagai lembaga itu telah dilakukan selama bertahun-tahun. Hal ini sama saja dengan mengulang pekerjaan yang sama untuk setiap kali melangkah. Kelemahan dalam pendokumentasian juga berpengaruh terhadap rekam jejak perjalanan suatu lembaga. Ketidakpedulian suatu lembaga terhadap dokumentasi justru akan berakibat serius yakni ketiadaan informasi tentang apa pekerjaan yang sudah dilakukan, keputusan apa yang telah diambil atau dikeluarkan, dokumen apa yang dimiliki, siapa yang telah melakukan, kapan dilakukan, dan bagaimana semua itu dikerjakan atau dilakukan menjadi penting dalam hal ini. Maka, jika suatu lembaga tetap punya nafas, hidupkanlah dokumentasi dan mulailah dari hal-hal sederhana dengan harapan bahwa suatu saat apa yang dikumpulkan, diseleksi, dianalisa hingga dapat diakses publik pasti akan berguna baik bagi lembaga itu sendiri maupun lembaga lain.
54
Bagian 3. Pengumpulan Data-Data Kejahatan Hak Asasi Manusia Skala Besar di Masa Lalu Tujuan Bagian ini bertujuan memberikan pemahaman tentang bagaimana proses pengumpulan data-data kejahatan hak asasi manusia skala besar di masa lalu, yakni dengan melihat kompleksitas persoalan ketersediaan dan akses terhadap data-data tersebut, serta tahapan-tahapan yang harus disiapkan sebelum melakukan pengumpulan data-data tersebut, termasuk sejumlah tips yang mesti diperhatikan. Pokok-pokok bahasan:
Kompleksitas ketersediaan dan akses data Darimana memulai: Mengajak korban dan keluarganya bersuara
I. Kompleksitas Ketersediaan dan akses Data Pengantar Hampir semua pembela hak asasi manusia dan organisasi korban mengakui bahwa tidaklah mudah mengumpulkan pelbagai data-data kejahatan hak asasi manusia di masa lampau, karena kebanyakan diantaranya yang sudah dihancurkan atau dihilangkan oleh para pelaku. Bukti-bukti kekejaman seperti kuburan massal dan kamp-kamp penahanan, sudah diubah menjadi bangunan-bangunan pemerintah ataupun perbelanjaan, sementara dokumen-dokumen operasi dan daftar orang-orang yang ditangkap dan dihilangkan sudah banyak yang dibakar atau dilenyapkan. Berikut ini adalah pelbagai pengalaman dan tips yang dapat dikembangkan dalam menembus pelbagai keterbatasan data-data tersebut. 1. Bronkhorst: Investigasi Forensik [...] Suatu pagi di bulan Oktober 1994 di Buenos Aires, saya berbicara dengan Luis Fondeblider salah seorang anggota Equipo Argentina de Antropologia Forense (EAAF), Tim Antropologi Forensik Argentina. Ia masih muda, di bawah tiga puluh tahun, seperti halnya sebagian besar anggota tim. Kami mulai melakukan pekerjaan tersebut tak lama setelah jatuhnya junta pada tahun 1983. Pihak militer telah melakukan pelenyapan terhadap sekitar sembilan ribu orang tetapi di mana mereka? Banyak yang telah dibuang ke laut, mati atau diracuni, tetapi banyak juga yang dikubur di berbagai makam, bahkan beberapa di antara mereka ditandai dengan batu nisan berinsial NN-‘tidak dikenal’. Kami memiliki cukup data forensik mengenai ribuan orang hingga memungkinkan dilakukan identifikasi terhadap mayat tersebut. Tetapi kami belum mendekati jumlah bilangan di atas. Lima tahun lalu, di Avellaneda, setengah jam perjalanan dari ibu kota ditemukan kuburan massal yang berisi 340 mayat. Tim kami bekerja di sana selama beberapa tahun, tetapi sampai kini hanya mampu mengidentifikasi delapan tengkorak. Secara keseluruhan di negeri ini telah ditemukan lima ratus 55
tengkorak, enam puluh buah telah diidentifikasi. Mengapa jumlahnya begitu sedikit? Salah satu kemungkinan logis adalah segera setelah mencapai kekuasaan, cara yang paling baik, pemerintah demokratik baru melakukan pembongkaran terhadap kuburan-kuburan tersebut dengan menggunakan buldozer. Oleh karena itu tak mengherankan jika sebagian besar bukti telah hilang. Kemungkinan lain, karena jumlah korban semakin besar. Campo de Mayo, misalnya sebuah kamp konsentrasi di dekat Buenos Aires dihuni oleh kira-kira dua ribu tahanan, diantaranya hanya sepuluh tahan yang hidup. Dan kemungkinan lagi, banyak mayat yang terbenam di laut. Ia kemudian terus mengarahkan pengamatan kepada fenomena khusus yang juga telah menjadi perhatian banyak negara: ada semacam hubungan menakutkan antara kerahasiaan tindakan bengis yang dilakukan oleh negara dengan dokumen rahasia tentang tindakan-tindakan kejahatan yang paling mengerikan—perhatikan pusat-pusat penyiksaan di Kamboja, arsip-arsip polisi yang ditemukan di Chad, peristiwa-peristiwa yang terjadi di stadion Chile, maupun kamp-kamp konsentrasi di Argentina. Apa yang menjadi motif pelaku pembunuhan mungkin bukanlah terutama, ataupun bukan hanya, karena didorong sadistis belaka. Akan tetapi dengan menyitir kata-kata Hannah Arendt yang sangat terkenal, ia merasa yakin akan kebanalan (kebiasaan atau kelumrahan) dari kejahatan seperti itu. Fondeblider: “Jika memang benar belum dihancurkan kami sangat yakin, pasti ada segudang informasi yang disimpan di suatu tempat. Mesin pembunuh melibatkan birokrasi yang masif. Setiap tindakan pembunuhan dan bahkan juga tempat pembuangan mayat pun mesti didaftar. Akan tetapi daftar-daftar tersebut tidak pernah dipublikasikan untuk umum. Karena itu dalam setiap upaya pencarian dan identifikasi, kita harus memformulasikan hipotesis kita sendiri, kecuali jika kita ingin seperti mencari sebuah jarum dalam tumpukan rumput kering.” [...] [...] Fondeblider menjelaskan mengapa proses identifikasi setiap korban yang tewas akibat kekerasan di Argentina lebih mudah dibandingkan di negara-negara lain. Sekaligus ia menjelaskan alasan masih perlu dilanjutkannya penggalian-penggalian tersebut. “Di Argentina, para korban kelas menengah memiliki proporsi yang besar. ini lebih berarti bahwa secara relatif tersedia lebih banyak data. Di daerah-daerah pedesaan Guatemala, misalnya, praktis tidak mungkin dilakukan identifikasi terhadap korban. Bila ditemukan mayat di daerah-daerah tersebut, sering kemudian oleh komunitas lokal mayat tersebut dikuburkan bersama di kuburan massal disertai upacara kolektif. Anda akan menemukan jenis upacara-upacara seperti yang dilakukan di Kurdistan Irak, Ethiopia, dan El Salvador. Tetapi ritual-ritual semacam ini tidaklah dikenal di Argentina. Di Argentina misalnya komite Ibu-ibu Plaza de Mayo akan mendampingi keluarga-keluarga ketika dilakukan penggalian mayatmayat itu, dan direncanakan upacara penguburan kembali mayat-mayat tersebut.” Fondeblider menyatakan bahwa orang-orang Argentina tampaknya lebih tertarik dengan sejarah Nazi dibandingkan dengan pembongkaran kuburan-kuburan massal yang tengah berlangsung di sepanjang jalan negeri itu. “Itulah yang digandrungi orang-orang Argentina, dan mereka dengan senang hati akan membeli buku tentang kejahatan NAZI tersebut dan dengan penuh minat menyaksikan dokumenter-dokumenter TV. Oleh karenanya, sulit untuk mengumpulkan dana di negara kami. Kami sangat bergantung pada dana-dana asing. Dalam kenyataannya, kini kami dapat memberikan pelayanan khusus semacam itu. [...] 56
2. Hayner: Menggali kebenaran masa lalu oleh masyarakat sipil [...] Di samping kerja komisi kebenaran yang ditopang oleh pemerintahan, berbagai organisasiorganisasi non-pemerintah pun telah mensponsori upaya-upaya penting untuk menggali kebenaran tentang masa lalu. Sebagai contoh, sebuah proyek yang dibentuk di Yale University telah berhasil mengumpulkan dokumentasi yang luas tentang kekerasan di Kamboja di bawah Khmer Merah dari tahun 1975-1979. Sementara itu, di dalam Kamboja sendiri, tidak ada minat yang kuat untuk melakukan pencarian kebenaran secara formal, dan lebih tertarik pada upaya pengadilan kejahatan internasional untuk menyelesaikan kasus-kasus kejahatan masa lalu mereka. Di Guatemala, sebuah proyek disponsori gereja telah melatih sejumlah wakil lokal dari seluruh negeri untuk mengumpulkan berbagai kesaksian yang sangat berkualiatas dan dalam jumlah yang luar biasa, sebelum komisi kebenaran yang disponsori Perserikatan Bangsa-bangsa bekerja, yang dimulai tahun 1997. Proyek-proyek pelengkap lainnya di Guatemala juga telah dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat. Menentukan kebenaran tentang kejahatan-kejahatan menakutkan pada masa lalu juga semakin dipermudah belakangan ini, karena sumbangan dari ilmu pengetahuian, khususnya dalam penggunaan ilmu forensik secara lebih canggih untuk mengidentifikasi sisa-sisa tubuh manusia atau penyebab yang tepat atas kematian. Kemajuan ini telah memperluas kemungkinan kecermatan dari suatu cerita kebenaran walaupun akses terhadap ahli-ahli forensik semacam ini kadang-kadang terbatas dan proses pertanggungjawaban yang cermat semacam itu membutuhkan sumber daya yang intensif. Karena upaya untuk mendapatkan cara-cara yang lebih bagi pertanggungjawabab masa transisi terus berlanjut, maka sudah selayaknya masalah pelatihan dan pemakaian ahli ilmuilmu pengetahuan secara tepat untuk mendukung kerja-kerja pencarian kebenaran ini perlu mendapat perhatian yang lebih besar. Sama juga halnya dengan pemanfaatan tenaga-tenaga profesional non-legal yang begitu banyak. Lebih dari semua bentuk mekanisme transisional, upaya mencari dan secara resmi mendokumentasikan kebenaran-kebenaran masa lalu harusnya lebih banyak mendapatkan masukan dari para psikolog, ahli sejarah, ahli statistik, ahli-ahli ilmu sosial serta yang lainnya. akhirnya mungkin dibutuhkan titik konsensus final dari berbagai ahli hak asasi manusia, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dalam lapangan pencarian kebenaran yang masih terus berkembang ini. karena semakin banyak negara yang akan mencoba cara ini dalam waktu-waktu yang akan datang, maka mungkin beberapa persoalan terbuka tadi harus mulai dipikirkan jawabannya kendati secara perlahan-lahan.[...]
PERTANYAN-PERTANYAAN DISKUSI: 1) Identifikasi dan petakan persoalan-persoalan yang akan anda hadapi dalam mengumpulkan data-data kejahatan-kejahatan hak asasi manusia di masa lampau/ 2) Coba identifikasi sejumlah strategi dan metodologi kerja yang mungkin dapat dipilih untuk menghadapi persoalan-persoalan di atas?
57
II. Darimana Memulai: Mengajak Korban Mau Bersuara Pengantar Pada dasarnya tidaklah mudah untuk membuat para korban kejahatan hak asasi manusia di masa Orde Baru bersedia mengungkapkan atas apa yang pernah mereka alami. Rasa takut adalah alasan utama dan pertama mengapa mereka sulit untuk mengungkapkan kebenaran masa lalu kepada sejumlah orang atau publik luas. 1.Roosa, Ratih & Farid: Metodologi Wawancara Sejarah Lisan [...] Penelitian sejarah lisan ini merupakan sebuah kerja bersama yang dimulai sejak awal 2000 oleh sepuluh anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK). Sebelumnya, kami semua berdiskusi mengenai penelitian ini bersama Sekretaris Umum TruK saat itu, Karlina, untuk menemukan cara paling mudah dan tepat untuk menjalankan kegiatan ini. John Roosa menjadi penasehat sekaligus koordinator dari kelompok relawan yang terlibat dalam penelitian ini. Sampai saat itu, TRuK lebih banyak menaruh perhatian pada para korban kasus-kasus yang baru terjadi, antara lain korban Kerusuhan Mei 1998 dan Tragedi Semanggi I dan II. Para relawan menemani korban dan mengumpulkan kesaksian mereka untuk mendapatkan gambaran menyeluruh mengenai mengapa dan bagaimana peristiwa-peristiwa tragis itu terjadi. Walau tak seorang pun dari mereka punya pengalaman dengan sejarah lisan, kami melihat mereka memiliki kemampuan tertentu untuk menjadi pewawancara yang baik. Mereka memiliki kesabaran mendengar orang lain, ketahanan mendengar kisah orang yang menderita, dan keprihatinan yang tulus terhadap para korban. Dalam pengalaman kami, para pengajar universitas dan mahasiswa justru tidak pernah bisa membuat wawancara yang baik. mereka berfikir mereka tahu segala sesuatunya, atau merasa yakin bahwa apapun yang perlu mereka ketahui berasal dari buku-buku. Keangkuhan inilah yang menghalangi mereka untuk mengajukan pertanyaan yang tepat dan mendengarkan cerita-cerita dari orang biasa. Hal terpenting dalam wawancara lisan adalah pemahaman yang baik mengenai hubungan antarmanusia. Semua orang yang terlibat dalam pekerjaan ini, termasuk koordinator, bekerja secara sukarela. Kami tidak mulai bekerja karena ada dana, tapi karena kami yakin bahwa penelitian ini memang penting untuk dilakukan. Penelitian kami, karena itu, mewakili pikiran generasi pasca-1965 yang ingin memahami sejarah masyarakat mereka sendiri dan meninggalkan penyederhanaan dan kepalsuan propaganda negara. Baru belakangan, setelah bekerja selama kurang setahun, bantuan mulai berdatangan dari beberapa lembaga dan teman yang memilki kepedulian yang sama. Selama dua bulan kami mengadakan pelatihan sejarah lisan bagi sepuluh orang relawan. Kami bertemu sekurangnya sekali seminggu, membaca sejumlah artikel dan buku pilihan, menyusun agenda penelitian, membahas teknik wawancara, dan menentukan jenis-jenis pertanyaan yang harus diajukan. Pelatihan ini sangat penting untuk memperkenalkan para peneliti awal kepada literatur sejarah tentang 1965, terutama tulisan-tulisan yang diterbitkan di luar negeri dan dilarang, atau sulit diperoleh di Indonesia. (beberapa diantaranya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) kecuali seorang sejarawan yang juga terlibat dalam kelompok peneliti muda ini, semua relawan sebelumnya hanya tahu sejarah menurut versi rezim Soeharto. Mereka semua lahir setelah 1965 dan dibesarkan di sekolah-sekolah Orde Baru. Mereka menyaksikan jatuhnya kediktatoran Soeharto dan 58
sadar sepenuhnya mengenai watak korup, sinis, dan brutal dari pemerintah itu. Tetapi, mereka tidak tahu apa-apa tentang teror yang membawa Soeharto ke puncak kekuasaan. Tak seorang pun dari mereka tahu dan peduli akan korban peristiwa itu. Beberapa relawan yang terang-terangan menentang rezim Soeharto, pada saat bersamaan, meresapi propaganda rezim mengenai kejadian 1965-1966; mereka menerima begitu saja cerita bahwa Soeharto berkuasa dengan cara-cara konstitusional, dan bahwa orang komunis adalah atheis yang berbahaya, kecam, dan oleh karenanya harus dihancurkan ‘sampai ke akar-akarnya.’ Mereka sudah sering mendengar penjelasan bahwa cerita tentang pembunuhan dan penahanan massal itu desas-desus belaka. Pelatihan ini juga penting untuk memperkenalkan para relawan pada berbagai teknis sejarah lisan. Beberapa relawan awalnya menduga bahwa wawancara lisan itu semata-mata memasang mikrofon di hadapan seseorang dan memintanya bercerita, seolah-olah orang yang melakukan wawancara tidak perlu berperan aktif mengembangkan diskusi. Wawancara berlangsung dua arah atau sebuah interaksi antar-orang, bukan sebuah monolog dari orang yang diwawancarai atau mewawancarai. Kita harus telaten mendengarkan, sekaligus terus mengajukan pertanyaan dan meminta keterangan. Kita tidak bisa hanya duduk diam atau, sebaliknya, mendominasi percakapan. Kita harus mengajukan pertanyaan yang tepat kepada orang yang diwawancarai. Terlibat dalam dialog seperti ini memang merupakan seni tersendiri yang memerlukan kepekaan tertentu. Kami kemudian bersama-sama memutuskan akan mewawancarai eks-tapol dan keluarga mereka. Maksudnya, kami mengumpulkan cerita-cerita untuk menuliskan sebuah biografi kolektif dari orangorang yang memiliki pengalaman serupa dalam perjalanan hidupnya (masa pra-1965, penangkapan, interogasi, penahanan, pembebasan, dan kehidupan di luar penjara). Kami memutuskan untuk tidak mewawancari pelaku dan orang yang tidak menjadi korban karena mereka selama ini tidak punya hambatan berarti jika mau bicara; sebagian diantaranya sudah sering menyampaikan versi mereka tentang sejarah, dan bahkan mendominasi pembicaraan selama ini. Adalah para korban yang selama ini tidak mendapatkan kesempatan bicara, dan pengalaman mereka pula yang ingin kami pahami. Kami berfikir bahwa mewawancai korban adalah langkah awal yang penting untuk memahami secara menyeluruh sejarah bangsa ini setelah masa kemerdekaan. Tentunya upaya ini perlu dilanjutkan dengan menggali informasi dari orang lain, seperti saksi dan pelaku yang selama ini belum bersuara di hadapan publik. Setelah pelatihan selesai, kami menyusun rencana melakukan wawancara. Pada pertengahan 2000, kami mulai mewawancarai orang-orang yang sudah kami kenal sebelumnya—teman, saudara, dan tetangga—yang berdiam di wilayah Jakarta, baru kemudian menyebar untuk mewawancarai orangorang yang direkomendasikan oleh kelompok pertama. Setelah dua bulan melakukan wawancara, kami mulai berpergian ke luar Jakarta. Kami melakukan pertemuan mingguan untuk berbagi informasi tentang apa yang kami temui dan sekaligus menilai kemajuan kerja. Kami menghadapi beragam masalah baru setiap minggunya—mulai dari masalah teknis mengenai cara memasang mikrofon sampai masalah emosional ketika mendengar cerita-cerita yang mengerikan. Pertemuan reguler bermanfaat untuk bersama-sama membahas cara menghadapi masalah seperti ini. Sebelum merekam percakapan, kami biasanya terlebih dahulu menemui orang yang hendak diwawancarai untuk berkenalan. Pertemuan awal ini penting untuk menjelaskan siapa kami, apa 59
tujuan kami, dan apa yang akan kami lakukan dengan hasil wawancara itu. Pertemuan itu juga penting untuk menentukan cara melakukan wawacara dengan mereka; pertanyaan apa yang harus diberi prioritas dan topik apa yang akan dibahas. Setelah wawancara, baru kami memutuskan apakah harus mengulang atau memperdalam wawancara tersebut. Jika kami merasa bahwa kisah hidup orang itu atau topik tertentu masih perlu diperdalam, maka kami akan kembali melakukan wawancara lagi. Di akhir penelitian, Mei 2001, kami berhasil mewawancarai 260 orang. Tidak semua orang yang kami hubungi bersedia wawancaranya direkam. Alasan mereka umumnya sama, takut. Sekalipun rezim Soeharto sudah jatuh, mereka tahu bahwa militer masih berkuasa, dan bahwa politik ‘reformasi’ sebenarnya adalah orang-orang konservatif yang melayani Soeharto selama bertahun-tahun. Tapi, hanyalah sejumlah kecil orang yang sama sekali tidak mau berbicara pada kami. Mereka umumnya adalah orang-orang yang sangat tertekan oleh kekerasan yang dialami dan masih takut pada militer, sehingga memilih untuk tidak bicara, terutama demi keselamatan keluarga dan mereka. Ketika para peneliti muda ini pertama kali bertemu dan berbicara dengan para korban teror, mereka merasa marah karena selama ini mengacuhkan sejarah masyarakat mereka sendiri, bahkan sejarah keluarga mereka sendiri. beberapa peneliti akhirnya mengungkapkan ‘rahasia keluarga’ dalam proses penelitian ini. salah seorang dari mereka yang kembali kekampungnya di Jawa Timur, bertanya pada neneknya mengenai apa yang terjadi 1965. Sang nenek untuk pertama kalinya bercerita bahwa kakeknya adalah pimpinan BTI setempat yang hilang di akhir 1965. Keluarganya sampai saat ini tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Selama bertahun-tahun sang nenek diam seribu bahasa, hanya seorang tapol, tapi tidak pernah sekali pun ia mendengar cerita tentang kehidupannya. Baru dalam wawancara yang dilakukan rekan sesama peneliti ia berkesempatan mendengar apa yang selama ini dialmi oleh pamannya sendiri, seorang peneliti lain akhirnya tahu bahwa banyak saudaranya di Jawa Tengah dibunuh pada 1965-1966. Keluarganya sendiri tidak pernah bercerita apa pun mengenai mereka. Kami cukup beruntung melakukan wawancara ini saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden. Pada periode itulah kekuatan rezim lama berada di titik paling rendah, dan eks-tapol menikmati napas kebebasan pertama setelah 1965. Gus Dur mengambil beberapa langkah yang tidak terduga: ia meminta maaf kepada para korban atas keterlibatan organisasi Islam yang dipimpinnya (NU) dalam pembantaian 1965-66, mengusulkan agar larangan terhadap paham Marxisme-Leninisme dicabut, dan dua kali mengunjungi rumah Pramoedya Ananta Toer. Untuk pertama kalinya pada korban 1965 merasa beban yang menghimpit mereka agak melonggar, apalagi nemesis mereka, militer, tengah kerepotan: Gus Dur ikut menentukan nasib pimpinan tertinggi mereka (Ia memecat Jenderal Wiranto, seorang loyalis Soeharto); Kongres AS memutuskan memberlakukan embargo militer karena Operasi Bumi Hangus di Timor Leste pada September 1999; dan puluhan ribu mahasiswa melancarkan demonstrasi anti-militer di jalan-jalan kota Jakarta. Tentu tidak sebegitu mudah para korban bicara. Mereka masih berhati-hati. Karena sekaligus Gus Dur memegang kekuasaan tertinggi, para kroni Soeharto dan perwira militer garis keras selalu bisa memukul balik. Tapi setidaknya mereka lebih terbuka ketimbang masa sebelumnya. Trauma yang diderita para korban ini mungkin membuat sebagian orang berfikir bahwa cerita-cerita mereka tidak berguna untuk memehami apa yang sesungguhnya terjadi di masa lalu. Tentu saja kita 60
perlu menyadari bahwa trauma yang mereka idap selama ini mempersulit mereka mengingat kejadian di masa lalu secara tepat. Namun, sungguh keji jika kita mengkritik ingatan yang tidak lengkap atau tepat, sementara mereka telah dipaksa menghidupi pengalaman yang melumpuhkan ingatan, seperti siksaan dan kelaparan. Dalam beberapa hal, kebenaran mereka mengenai masa lalu justru terletak pada ketidakmampuan mereka untuk mengungkapkannya. Tapi, orang tidak bisa berkesimpulan bahwa cerita mereka tidak punya nilai apa pun bagi sejarah. Trauma memang berpengaruh besar, tapi tampaknya tidak sampai menguasai mereka begitu rupa hingga hilang kemampuan untuk mengingat apa pun secara tepat. Kami memperhatikan nilai kebenaran dan cerita-cerita yang kami dengar dan rekam. Kami menilai ketepatan cerita seseorang dari konsistensi internal, pembandingan dengan cerita orang lain, kesan yang kami peroleh saat melakukan wawancara, dan pendapat orang lain yang kenal dengan orang yang diwawancarai. Kami memilih untuk mewawancarai banyak korban di berbagai tempat di negeri ini agar punya landasan luas untuk membuat perbandingan. Kami ingin menggambarkan pola-pola yang lazim, misalnya mengenai cara orang ditangkap, disiksa, dipenjara, dan kemudian dilepaskan. Kami sering mewawancarai orang di ruang tamu mereka, duduk dengan anggota keluarga dan teman lain yang dapat memperkuat atau menambahkan ceritanya. Kami melakukan wawancara dengan orang-orang yang pernah hidup di kota atau penjara yang sama, sehingga mendapatkan versi yang berbeda mengenai sebuah kejadian dan bermacam reaksi terhadap pengalaman yang sama. Dalam wawancara, kami memusatkan perhatian pada hal-hal yang dialami langsung ketimbang cerita yang mereka dengar dari orang lain. Ada sejumlah orang yang akhirnya tidak kami wawancarai. Ada seorang eks-tapol yang berulangkali ditemui salah satu pewawancara, tapi sangat ragu-ragu dalam mengungkapkan pengalamannya, seolah ada banyak hal yang ingin disembunyikannya. Kita semua, saat bercerita tentang kehidupan kita, tentu tidak mau menceritakan hal-hal yang memalukan, misalnya. Tapi, eks-tapol ini terlalu berhati-hati dengan setiap ucapannya. Apalagi, apa yang diceritakannya sering tidak sesuai dengan apa yang dikatakan orang lain mengenainya. Seorang eks-tapol lain punya masalah unik: ia mengaku pernah bertemu Jimmy Carter di Pulau Buru. Padahal jelas, presiden Amerika Serikat ini tidak pernah berkunjung ke pulau itu. Orang ini sebenarnya sangat menarik dan cukup rasional, tapi seperti yang diakui teman-temannya, ia kadang begitu larut dalam fantasinya sendiri. Ada juga seorang eks-tapol lain yang begitu sulit mengungkapkan pikiran dan pengalamannya secara lisan. Saat bicara dengannya dalam pertemuan pertama, si pewawancara menyadari bahwa orang ini begitu menderita sehingga menjadi tidak berdaya dan tidak utuh lagi sebagai manusia. [...] 2. Laporan Pemantauan Komnas Perempuan: Prinsip-prinsip Wawancara [...] Dalam melakukan pengumpulan data dan informasi, demikian juga dalam pengolahan dan analisa data, ada sejumlah prinsip kerja yang dipegang bersama oleh semua pihak yang terlibat, yaitu: Menghormati sepenuhnya hak-hak korban untuk bercerita dengan tidak mempersalahkan korban, atau mempertentangkan kesaksian-kesaksian yang mereka sampaikan. Kami menghormati pula hak-hak para korban yang tak bersedia bercerita atau yang bersedia bercerita namun tidak bersedia direkam kisahnya; 61
Menjaga kerahasiaan identitas korban yang sudah bersedia memberikan kesaksian dan berbagi cerita melalui wawancara, kecuali jika korban sendiri menyatakan siap menampilkan jati dirinya; Menjaga keamanan dokumen yang dipercayakan kepada Komnas Perempuan oleh organisasi organisasi pendamping korban. Dan, dalam proses pengolahan dan analisa data, Komnas Perempuan melakukan verifikasi dengan cara-cara sebagai berikut: Mencek ulang dan mencek silang setiap informasi dan data yang diperoleh dari kesaksian korban maupun dari hasil penelitian organisasi-organisasi pendamping korban ke sumber-sumber utama. Sebagian besar kesaksian korban dan wawancara dengan korban direkam dengan peralatan audio dan audio-visual. Selain itu, terdapat pula transkripsi verbatim hasil wawancara, catatan penelitian lapangan, dan esai tentang profil para korban; Mengunjungi kelompok-kelompok korban yang sudah memercayakan kesaksian dan kisah mereka dalam bentuk wawancara kepada organisasi-organisasi pendamping maupun ke Komnas Perempuan; Memastikan bahwa tidak ada pengaburan antara opini dan fakta dalam pemilihan data dan informasi yang dipergunakan untuk penyusunan tabulasi kekerasan dan laporan pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Hasil pengolahan dan analisa data di tahap awal berupa tabulasi tindak-tindak kekerasan yang dialami dan disaksikan masing-masing korban berdasarkan kesaksian mereka. Tabulasi ini berguna untuk melihat bentuk dan pola kekerasan yang secara khusus menimpa perempuan di berbagai lokasi dalam satu kurun waktu tertentu. Namun, Komnas Perempuan tidak berniat sekedar memaparkan fakta-fakta kekerasan dan mereduksi pengalaman korban menjadi deretan angka dan statistik. Kami juga berusaha memahami faktor-faktor yang ikut mendorong terjadinya kekerasan dan dampak dari peristiwa kekerasan terhadap kehidupan korban dan keluarganya sampai hari ini. Dengan kata lain, kami mencoba menempatkan pengalaman kekerasan dan diskriminasi dalam konteks sosio-historis yang jelas agar pengalaman setiap korban tidak dipahami semata-mata sebagai kasus-kasus individual yang terpisah-pisah, melainkan sebagai bagian dari sebuah peristiwa kekerasan massal di masa lalu. Dengan memahami konteks sosio-historis itu pula, lebih mudah bagi kami untuk menentukan apakah tindak kekerasan tertentu merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia, atau pelanggaran pidana biasa berdasarkan instrumen-instrumen hukum nasional dan internasional yang berlaku dan diakui di Indonesia. [...] 3. Dahana: Pengungkapan Kebenaran Pengantar Beberapa istilah (seperti investigasi/penyelidikan, pemantauan) kerap digunakan untuk maksud yang sama atau serupa dengan pencarian fakta. Istilah-istilah itu lazim dipakai bergantian. Namun pada dasarnya semuanya merupakan aktivitas pemerolehan fakta. Tepatnya, pemerolehan fakta peristiwa pelanggaran hak asasi manusia. Sementara, pemerolehan fakta hanya merupakan salah satu bagian saja dari rangkaian pekerjaan yang lebih luas. Sebagaimana digambarkan dalam bagan di bawah ini, pemerolehan data mestinya dilanjutkan dengan dua aktivitas berikutnya; yakni: pengolahan dan pengkerangkaan (framing) dan pemanfaatan data/informasi pelanggaran hak asasi manusia. Seluruh rangkaian ini lazimnya, dan mestinya memang demikian, menempati prioritas utama bagi kelompok/organisasi hak asasi manusia. Karena, peran terpenting dari semua kelompok/organisasi 62
hak asasi manusia, selemah-lemahnya iman, adalah memantau, memotret, menggambarkan, dan memberikan tanggapan atau komentar terhadap situasi umum hak asasi manusia di negaranya. Dengan menempatkan kerja pencarian fakta pada seluruh rangkaian kegiatan tersebut; bagian tulisan berikut akan menggambarkan beberapa landasan dan berbagai aspek yang perlu mendapatkan perhatian, khususnya dalam pencarian/pemerolehan fakta/data/informasi pelanggaran hak asasi manusia, dan kerja advokasi serta kampanye secara umum. Bagan Umum: Pengungkapan Kebenaran
Pemerolehan Fakta, Data, Informasi. Pengorganisasian Data, pengkerangkaan (framing).
Pemanfaatan Data/Informasi (pengungkapan, kampanye perdamaian, dst)
Haluan dan Prasyarat Haluan nilai dan haluan konsepsional. Pemandu utama dari kerja pembelaan hak asasi manusia, termasuk pengungkapan pelanggaran HAM, sudah barang tentu adalah nilai-nilai HAM itu sendiri. Pastilah sangat keliru apabila organisasi dan program hak asasi manusia, misalnya, menerapkan skema kerja paksa, mempekerjakan budak belian dan anak-anak di bawah umur, atau membatasi hak orang untuk beribadah. Pemandu berikutnya adalah haluan konsepsional seperti HAM, pelanggaran HAM, kewajiban negara, penyelesaian yang damai dan adil, dan konsep turunan lain yang relevan. Jika ingin mengungkap dugaan adanya peristiwa genosida, maka semua yang terlibat perlu memahami makna dari genosida. Mereka yang ingin menyelidiki kondisi di lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan, dan instalasi penahanan lainnya, dapat menengok dokumen relevan dan belajar tentang hak tersangka dan terpidana. Konsep genosida dan hak tersangka tidak boleh diinterpretasikan terlalu luas, terlalu sempit, atau dipakai secara serampangan. Ada cukup banyak instrumen internasional dan nasional, beserta dokumen tambahan lainnya, yang dapat digunakan sebagai haluan untuk bekerja. Untuk memahami berbagai haluan konsepsional tersebut, tidak ada jalan pintas, tidak ada cara lain kecuali dengan belajar. Prasyarat Organisasional/Kelembagaan. Banyak ulasan tentang kerja pencarian fakta terutama menitikberatkan perhatian pada prasyarat yang melekat pada orang, seperti pengetahuan, keterampilan, sikap, dan prasyarat lainnya. Seorang investigator pelanggaran HAM misalnya disyaratkan sehat wal’afiat, bersedia bekerja keras, pintar, panjang akal dan tahan banting 63
menghadapi kesulitan di lapangan, dan seterusnya. Daftar ini dapat terus diperpanjang, namun seluruhnya berbicara tentang prasyarat individual. Sementara, sedikit sekali pembicaraan mengenai prasyarat organisasional. Padahal, semakin luas dan semakin kompleks kerja pengungkapan, semakin dibutuhkan pula dukungan organisasional yang tangguh, terandalkan, dan berkesinambungan. Dukungan organisasional tersebut terentang dari tingkat yang paling teknis, manajemen (logistik, kepustakaan, informasi, pengetahuan, jaringan), hingga strategik, dan politik. Kerja pengungkapan peristiwa pelanggaran yang berskala besar, bersifat high profile, bahkan seringkali juga membutuhkan dukungan politik yang memadai (akan dibahas lebih lanjut di bagian selanjutnya). Seluruh jenis dukungan tersebut hanya dapat disediakan oleh organisasi (atau kumpulan organisasi) yang mampu mempertahankan fokus kerjanya dalam jangka panjang serta mampu meningkatkan kemampuannya dari waktu ke waktu. Jadi, untuk menjadi organisasi hak asasi manusia yang terandalkan, jangan mudah tergoda untuk mengubah-ubah fokus atau lingkup pekerjaan. Prasyarat metodologik dan teknik. Pemerolehan fakta/data/informasi pelanggaran HAM membutuhkan prosedur, metode, dan perangkat/perkakas. Bandingkan dengan dokter atau perawat yang bekerja mengikuti suatu pedoman penatalaksanaan pemeriksaan/perawatan tertentu. Tidak banyak berbeda dengan peneliti yang menerapkan prosedur tertentu untuk memperoleh, mengolah dan memahami data penelitian; atau wartawan yang berpedoman pada kaidah dan mengikuti suatu prosedur jurnalisme (investigasi). Misi pencarian fakta bertugas mencari tahu, mencari bukti solid, untuk menyatakan bahwa sejumlah pelanggaran HAM pernah terjadi atau bahkan masih terus berlangsung. Dan perlu dipastikan bahwa laporan pelanggaran HAM tersebut dibangun melalui suatu cara pemerolehan fakta; bukan berdasarkan kabar burung atau wangsit. Seperti kerja informasi dan pengetahuan lain, suatu misi pencarian fakta perlu memenuhi prasyarat metodologik dan teknis yang dapat dijelaskan dan dipertanggungjawabkan. Dengan bekerja tertib mematuhi panduan metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan, kelompok/organisasi hak asasi manusia akan mendapatkan kredibilitasnya. Prosedur Umum Pemerolehan Fakta Pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu tidak harus dimulai sama sekali dari awal. Wawancara pendahuluan (semi terstruktur, informal) dapat dilakukan untuk menjalin kontak dan memperoleh gambaran awal. Suatu iniatif/program pencarian fakta perlu mengambil keuntungan dari berbagai sumber –sumber tertulis yang sudah ada; baik yang dipublikasikan secara luas melalui media massa (koran majalah, majalah, buku, memoar), dokumen resmi administrasi pemerintah (berita acara pengadilan, laporan tahunan), maupun dokumen yang beredar di lingkungan terbatas (penelitian, monografi, laporan kejadian, catatan perjalanan, album foto keluarga, dst). Banyak sumberdaya dan waktu dapat dihemat jika kita sudah memiliki beberapa informasi pendahuluan. Hal-hal bersifat umum yang sudah cukup jelas tidak perlu diselidiki lagi, dan arah investigasi lapangan dapat kemudian diarahkan ke arah yang lebih khusus lagi. Pada masa reformasi tercatat beberapa mantan tahanan politik Pulau Buru menuliskan riwayat hidup dan kesaksiannya. Beberapa bagian dari buku mereka menggambarkan kehidupan sehari-hari di instalasi penahanan Pulau Buru, yang selama sekian tahun tertutup dari pandangan publik. Beberapa memoar cukup jelas menggambarkan pola umum dari operasi penangkapan terhadap dan perampasan harta benda dari orang-orang yang dianggap berhaluan kiri atau merupakan simpatisan Partai Komunis Indonesia. Dari sumber/publikasi sebelumnya biasanya kita dapat memperoleh gambaran tentang konteks atau latar belakang (politik) dari peristiwa pelanggaran HAM. Kebanyakan peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu (operasi militer di Aceh, peristiwa Tanjung Priok, Penembakan Misterius, peristiwa 1965, dan banyak lagi) terjadi pada masa pemerintahan presiden Soeharto. Dan memburuknya situasi 64
HAM kala itu perlu ditempatkan dalam pasang surut kekuasaan Soeharto, serta meluas dan menyempitnya kesempatan politik untuk penegakkan HAM. Dokumen masa lalu dalam berbagai bentuknya juga kerap sangat membantu untuk menangkap dan memahami semangat dan suasana jaman, suasana hati (mood) masyarakat, termasuk kosa-kata jargon politik, serta diskursus dan perdebatan politik pada masa itu. Sumber dari media massa (cetak, elektronik) dan googling. Sering ada perdebatan tentang keterbatasan atau kelemahan data sekunder misalnya koran atau majalah. Data sekunder sering dikatakan memiliki kredibilitas rendah. Pendapat ini ada benarnya. Banyak koran atau majalah, baik sekarang maupun tempo doeloe, hanya menuliskan nama inisial reporternya atau bahkan tidak mencantumkannya sama sekali. Membaca koran, majalah, dan sumber sekunder lain memang memerlukan kehati-hatian. Tidak semua koran memiliki kualitas pelaporan yang baik. Juga harus disadari bahwa banyak koran memang sengaja merupakan corong propaganda suatu pandangan politik tertentu, yang tidak seluruhnya berpihak pada penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kehati-hatian yang sama dapat diterapkan untuk sumber-sumber internet. Mengikuti perkembangan sekarang, seperti pekerja informasi lainnya, aktivis HAM lazim juga menggali informasi dari dunia maya. Googling. Sama halnya dengan media massa cetak, berbagai sumber internet memiliki kredibilitasnya masing-masing sebagai sumber informasi. Boleh dikatakan bahwa semua kelompok/organisasi, bahkan semua orang, dapat menerbitkan apa saja di internet. Sehingga beragam jenis pandangan, baik yang menguntungkan maupun yang menyudutkan nilai-nilai hak asasi manusia, terwakili di internet. Dari waktu ke waktu jumlah informasi di internet bertambah dengan laju yang luar biasa. Googling memang banyak membantu, karena banyak informasi yang dulu tergolong tertutup dapat diperoleh dengan mudah di dunia maya, namun bisa membuat kita tersesat di hadapan timbunan informasi yang demikian banyaknya. Mengembangkan Rencana Kerja Detail Temuan yang diperoleh melalui studi pustaka/dokumen, selain memberikan sejumlah informasi awal, menyediakan sejumlah jawaban, namun juga memunculkan banyak pertanyaan baru. Hal ini biasanya terjadi ketika investigator mulai mencoba merekonstruksi bangunan peristiwa pelanggaran. Semua pemerolehan informasi pendahuluan pada akhirnya harus diarahkan untuk: Pertama, mempertajam tujuan dan lingkup kerja pencarian fakta. Lazimnya, dari pemerolehan data/informasi awal akan muncul sejumlah tema tertentu dan dugaan awal sementara mengenai pola pelanggaran tertentu. Tujuan dan lingkup kerja pencarian fakta pada akhirnya memang harus dibatasi dan dirumuskan dengan jelas. Menimbang waktu dan sumberdaya yang umumnya terbatas, sungguh tidak mungkin suatu tim pencari fakta menetapkan tujuan yang terlalu luas, terlalu banyak, atau berniat untuk menggali seluruh aspek dari semua peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu. Tujuan utama pencarian fakta adalah memastikan bahwa suatu peristiwa pelanggaran memang benar-benar terjadi (atau tidak terjadi), memperoleh gambaran bagaimana dan mengapa peristiwa tersebut terjadi. Namun demikian, biasanya dengan tujuan efisiensi, agar sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui, misi pencarian fakta kerap mendapat tugas-tugas tambahan. Misalnya untuk: • Tujuan ilmu pengetahuan, yakni mendapatkan uraian detail guna membangun semacam sejarah sosial komunitas yang tinggal di kawasan tertentu, • Tujuan hukum, seperti mencari bukti-bukti dan fakta pendukung lain yang diperlukan untuk suatu proses penuntutan (hukum). 65
•
Tujuan kemanusiaan, misalnya mencari tahu tuntutan khusus dari korban dan mengidentifikasi bantuan kemanusiaan yang dibutuhkan. • Tujuan penguatan korban untuk kerja advokasi dan kampanye lebih lanjut, misalnya dengan menggalang kelompok korban dan mendorong mereka untuk bersuara di hadapan publik yang lebih luas. Seluruh tujuan di atas dilandasi kehendak baik. Memasukkan pertimbangan efisiensi, hemat tenaga hemat biaya, tentu tidak ada salahnya. Namun demikian, sekali lagi, tujuan yang terlalu banyak malah akan merepotkan kerja pencarian fakta. Bagian lain dari kerja persiapan adalah mempertajam ruang lingkup pencarian fakta. Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai cara, misalnya dengan berkonsentrasi pada: • beberapa tonggak peristiwa, • suatu rangkaian peristiwa dalam rentang waktu yang terbatas, • kelompok korban tertentu (perempuan, pengurus organisasi atau orang dengan afiliasi politik tertentu), • beberapa topik atau tema pelanggaran tertentu (penghilangan paksa, eksekusi mati, kekerasan seksual), • satuan wilayah tertentu, • lainnya. Pembatasan tujuan dan ruang lingkup investigasi akan memunculkan semacam sederet kriteria kasus atau peristiwa yang perlu didalami dan rincian lainnya seperti: lokasi yang perlu dikunjungi, kelompok-kelompok yang perlu ditemui, jaringan kerjasama yang perlu digalang, kontak/penghubung yang perlu dimintai bantuan, daftar dokumen tambahan yang perlu dipelajari, dan saksi/korban yang harus diwawancarai. Dengan tujuan dan ruang lingkup pencarian fakta yang terumuskan jelas, tim kerja dapat melangkah ke tahap berikutnya, yakni menyusun semacam panduan atau daftar pertanyaan. Kedua, mengembangkan rencana kerja teknis yang spesifik. Semua misi pencari fakta membutuhkan dukungan manajemen dan teknis tertentu. Semakin besar skala pekerjaan, semakin banyak orang yang dilibatkan, dan semakin besar pula kebutuhan akan koordinasi. Jika harus menggalang tenaga relawan, perlu untuk memikirkan bagaimana para relawan tersebut direkrut dan dilatih. Sangat baik untuk memastikan dukungan teknis yang diperlukan, sebelum mengirimkan tim pencari fakta ke lapangan. Misalnya, menyiapkan kontak di lapangan, penunjuk jalan dan penterjemah (bila diperlukan). Rencana kerja yang baik adalah yang mampu mengantisipasi dan memecahkan berbagai kesukaran kesukaran lapangan yang mungkin timbul. Pada tahap perencanaan, sering harus diambil keputusan/kebijakan tentang derajat kerahasiaan dari suatu misi pencarian fakta. Bahkan di masa yang lebih terbuka seperti sekarang, beberapa jenis misi pencarian fakta memang harus dilakukan secara tertutup (misal: illegal logging, mafia pengadilan), terutama untuk menjaga keselamatan saksi atau korban. Segi kerahasiaan barangkali penting untuk dipertimbangkan pada misi pencarian fakta untuk beberapa pelanggaran HAM di masa lalu. Tidak semua orang menyambut baik upaya pengungkapan pelanggaran HAM, seperti tampak pada inisiatif penggalian kuburan massal korban peristiwa 1965 di Jawa Tengah, yang ditentang oleh kelompokkelompok anti komunis. Aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah seberapa banyak misi pencarian fakta perlu mendapatkan liputan dan dukungan dari media. Beberapa misi pencarian fakta yang dilakukan lembaga negara seperti Komnas HAM bersifat high profile, dilakukan secara terbuka dan dipublikasikan luas (misal: Kasus Penyerbuan terhadap Jemaah Ahmadyah di Banten, 2011). Hal ini 66
dilakukan sebagian karena misi pencarian fakta itu sendiri dimaksudkan untuk mengirim pesan tertentu kepada kelompok pelaku kekerasan dan masyarakat luas. Apabila kelak inisitif KKR mendapatkan momentum yang tepat, didukung kehendak politik yang kuat, tentulah itu harus mendapatkan liputan dan dukungan dari media. Pada situasi lain, bila liputan media berlebihan mungkin malah akan memporak-porandakan kerja investigasi, langgam kerja low profile akan lebih menguntungkan. Pencarian Fakta, Ujian Terhadap Metode Pencarian Fakta Pencarian fakta lapangan adalah kesempatan untuk memahami seluk-beluk peristiwa pelanggaran HAM, menguji berbagai dugaan sebelumnya, sekaligus ujian terhadap rencana kerja dan metode pencarian fakta, termasuk kesesuaian dan ketajaman berbagai perangkat pencarian fakta yang dikembangkan (daftar periksa, daftar pertanyaan). Dalam pencarian fakta beberapa metode dapat digunakan sekaligus. Penemuan dokumen-dokumen kunci jika perlu dilanjutkan dengan uji khusus untuk memeriksa keasliannya. Operasi pencarian fakta yang lebih rumit seperti penggalian kuburan massal, membutuhkan uji laboratorium tertentu dan keahlian di bidang kedokteran forensik. Dua metode lain yang paling sering digunakan dalam pencarian fakta adalah pengamatan/observasi lapangan dan wawancara tatap-muka dengan saksi/korban. Menyangkut observasi lapangan, semakin jauh jarak waktu, semakin lampau kejadian pelanggaran, semakin besar kemungkinan bahwa situs pelanggaran telah banyak berubah dibandingkan keadaan sebelumnya. Situs peristiwa (rumah, gedung, lapangan) mungkin sudah menjadi tempat terbengkalai, atau berubah, atau sengaja diubah. Di atas ladang yang diduga sebagai tempat penahanan/penyiksaan dan kuburan massal di Tomohon, Sulawesi Utara, misalnya, saat ini sudah berdiri bangunan perkantoran. Dari aspek ini, observasi lapangan kadang tidak terlalu banyak membuahkan hasil. Namun demikian kunjungan lapangan bersama saksi/korban kadang-kadang menghidupkan ingatan akan detail kejadian masa lalu (bandingkan dengan rekonstruksi kejadian yang dilakukan petugas reserse kepolisian). Tentang Wawancara Tatap-Muka Individual Mengapa wawancara individual? Wawancara merupakan metode penggalian fakta yang terpenting dan banyak digunakan. Pengungkapan kejadian pelanggaran HAM yang dilakukan Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan merupakan operasi berskala besar yang mengerahkan banyak petugas pewawancara dan penterjemah, dan menghasilkan demikian banyak rekaman dan transkripsi. Wawancara tatap-muka membutuhkan waktu, tenaga, dan terutama kesediaan sumber untuk menceritakan pengalaman/kesaksiannya. Namun, demikian dibandingkan metode lain (wawancara jarak jauh, mengisi lembar isian) wawancara jenis ini lebih luwes, lebih memberikan keleluasaan bagi sumber untuk memberikan keterangannya dan mengungkapkan diri. Dan sebaliknya, wawancara individual pun lebih memungkinkan pewawancara pun menangkap warna perasaan dari saksi/korban yang menuturkan pengalamannya. Siapa yang perlu diwawancarai? Pencarian fakta pelanggaran HAM bertujuan untuk membangun konstruksi kejadian di masa lalu. Karena itu wawancara terutama dilakukan terhadap orang-orang yang berada di tempat kejadian dan menyaksikan kejadian (pelanggaran) dengan mata kepala sendiri. Jika kejadian pelanggaran berlangsung dalam rentang waktu cukup panjang (katakanlah beberapa hari), maka penting untuk memastikan pada bagian mana saja sumber menyaksikan kejadian pelanggaran dengan mata kepala sendiri. Sumber pertama tentu lebih dapat diandalkan dibandingkan sumber kedua (teman, tetangga, kerabat, anak yang pernah mendengar penuturan 67
dari sumber pertama). Tuntutan ini memberikan kesukaran tersendiri untuk mengidentifikasi/menemukan saksi pertama. Tidak mudah menemukan saksi pertama pada peristiwa pelanggaran yang berlangsung puluhan tahun yang lalu (misal: kasus Rawa Gede, Jugun Ianfu). Banyak korban pelanggaran HAM sukar dimintai keterangan karena mereka sudah beranjak tua dan pikun. Kontak awal, mendapatkan kesediaan sumber. Wawancara hanya mungkin berlangsung bilamana saksi/korban bersedia untuk memberikan keterangannya. Landasan utama dari wawancara individual adalah kesediaan sumber untuk meluangkan waktu dan memberikan keterangannya. Tidak mengherankan bilamana wawancara yang sesungguhnya bisa saja baru terjadi setelah beberapa pertemuan awal untuk menjelaskan tujuan wawancara dan mendapatkan kesediaan sumber. Bagian yang sangat penting pada tahap kontak awal adalah membangun rapport dan mendapatkan kepercayaan sumber. Sekali bagian ini terlampaui, wawancara yang sesungguhnya lebih mudah untuk dilakukan. Sekali sumber menaruh kepercayaan, dia akan dengan senang hati membantu kerja pencarian fakta. Wawancara individual: bukan interogasi, bukan sensus. Pencarian fakta merupakan kerja ilmiah yang dilakukan berlandaskan suatu metode penggalian fakta tertentu. Juga merupakan kerja hak asasi manusia. Namun, yang jauh lebih penting, wawancara individual adalah perjumpaan antar manusia. Mesti ada tekanan waktu, meskipun harus melengkapi keterangan sebagaimana diminta oleh daftar pertanyaan, petugas wawancara tidak bertindak sebagai petugas interogasi yang mencecar sumber atau memeras informasi selengkap-lengkapnya seperti petugas sensus. Sungguh proses yang wajar bilamana sumber, ketika berusaha memanggil ingatan, berbicara melantur kesana-kemari dan menyampaikan informasi yang tampaknya sama sekali tidak relevan. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah kecakapan sumber dalam mengungkapkan diri secara lisan. Tidak semua orang memiliki kecakapan bertutur secara jelas dan terstruktur. Justru salah satu tugas pewawancara adalah memilah antara kejadian pelanggaran, kesan atau komentar sumber terhadap kejadian yang dialaminya, dan dampak kejadian (terhadap saksi/korban, keluarga, komunitas). Kerahasiaan. Pertemuan dengan korban pelanggaran HAM seringkali bersifat emosional. Ini hal yang wajar. Wawancara sering menuntut korban untuk mengingat kembali pengalaman pahit menyakitkan, tatkala mereka dihinakan dan kemanusiaannya direndahkan. Karena pengalaman pahit dan menyakitkan tersebut (takut, malu, cemas), sangat wajar bila sumber meminta jaminan agar identitasnya tetap dirahasiakan. Penyembuhan Luka dan Penguatan. Kerja pencarian fakta, wawancara individual, dan terutama perjumpaan empatik yang bersahabat, acapkali memberikan dampak positif yang tidak terdugaduga. Banyak pengalaman memperlihatkan bagaimana wawancara individual, pengungkapan pengalaman, memiliki dampak penyembuhan luka-luka emosional masa lalu. Perjumpaan antara korban dapat menjadi proses transformasi dari korban ke survivor dan bersifat menguatkan. Mengungkap Kebenaran, Beberapa Tantangan Hingga hari ini upaya untuk menggelindingkan penyelesaian yang adil dan damai, untuk kasus pelanggaran HAM di masa lalu, belum kunjung mendapatkan dukungan publik dan momentum politik dan yang menguntungkan. Tantangan dapat terjadi di berbagai tingkatan. Di tingkat lapangan, upaya pengungkapan fakta mungkin saja akan berhadapan dengan upaya penyembunyian fakta, termasuk pemusnahan barang bukti. Ornop yang melakukan pencarian fakta pelanggaran sering disudutkan dari berbagai arah, dari mulai aspek motif (mengungkap luka lama, memancing perpecahan bangsa), teknis administratif (kegiatan tidak berijin, tidak berwenang menyelidik), 68
kepakararan (tidak paham metode ilmiah), politik (kaki tangan antek asing, tidak paham budaya saling memaafkan ala orang Indonesia, tidak paham penyelesaian islah). Halangan lain yang mungkin saja terjadi adalah penaklukan dan penggentaran terhadap korban dengan stigma, ancaman, kekerasan, dan uang. 4. Erlijna: Menemukan dan Menghadirkan Kebenaran [...] Investigasi dan dan menuliskan laporan pelanggaran HAM pada hakekatnya adalah pertama, menemukan dan menghadirkan kebenaran; kedua, menyusun dan menyajikan pemahaman yang utuh tentang kasus/peristiwa pelanggaran HAM tersebut.Pada prakteknya kita harus ‘bertempur’ melawan kebohongan, penyangkalan, pengabaian, dan kemudian, ketidakpercayaan. Kita juga harus berhadapan dengan minimnya arsip, ketakutan dan trauma korban, ingatan mereka yang melemah, penyakit, bahkan kematian. Sebagai manusia, korban juga bisa melebih-lebihkan atau menyeleksi informasi yang disampaikan. Tuntutan – dorongan untuk merespon kasus secara cepat – kerap kali membuat kerja investigasi yang sistematis dan mendalam diabaikan. Jujur saja, kerap kali kerja-kerja advokasi sesungguhnya hanya bertumpu pada informasi permukaan dan parsial untuk kebutuhan pembuatan pernyataan pers. Informasi seperti itu juga yang digunakan untuk menyusun strategi advokasi. Dalam kasus advokasi 65 misalnya, perspektif umum adalah melihatnya sebagai satu (gelondongan) kasus. Padahal, 65 adalah peristiwa besar yang terdiri atas banyak kasus – pembunuhan, penghilangan paksa, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang serta pembuangan, perkosaan, pemberangusan kebebasan berekspresi, diskriminasi, perampasan harta benda, dst. – yang mengubah arah kehidupan bangsa ini. Kalau kita melihat dengan cara ini, maka kita akan memahami mengapa tim studi yang dibentuk Komnas HAM pada awal 2000an merekomendasikan pembuangan ke Pulau Buru saja yang ‘memenuhi syarat’ untuk diangkat ke pengadilan ad hoc HAM, sementara kasus-kasus lain diselesaikan melalui KKR (dan dengan demikian sejak awal kita bisa memahami mengapa korban-korban 65 menyetujui mekanisme ini). Pemahaman yang mendalam tentang Peristiwa 65 juga bisa membuat kita menentukan siapa berperan apa pada waktu kapan. Dan seterusnya, siapa yang bisa dijadikan sekutu, siapa lawan. Oleh karena itu, dalam kasus pembongkaran kuburan Heru Atmodjo misalnya, TNI AU seharusnya menjadi rekan dialog atau bahkan mungkin sekutu kita untuk ‘melawan’ panglima TNI, seperti Syarikat mengidentifikasi kalangan NU yang bisa mereka jadikan sekutu untuk mendorong proses rekonsiliasi kultural. Pemahaman yang mendalam tentang peristiwa/kasus pelanggaran HAM juga akan membantu kita menemukan bahasa yang tepat untuk mengkomunikasikan keprihatinan dan tuntutan kita pada berbagai kelompok masyarakat. Setiap korban punya aspek lain selain statusnya sebagai subyek yang dijadikan obyek karena tindak kekerasan yang menimpa dirinya. Sekedar contoh, saat sarapan pagi tadi teman-teman LBH Lampung menyampaikan cerita menarik tentang kebun coklat dan singkong yang menjadi usaha ekonomi korban-korban di sana. Bayangkan jika kita masuk ke sekolahsekolah dan bercerita pada anak-anak tentang perjalanan coklat dan keripik singkong sampai di minimarket! Peristiwa 65 mengorbankan banyak guru. Sekolah sempat tidak teratur karena kekurangan tenaga pendidik. Pemerintah harus merekrut guru-guru pengganti yang kualitasnya meragukan, dan bahkan ada yang terlibat aktif dalam kekerasan. Sekolah-sekolah bagi masyarakat 69
miskin yang didirikan oleh organisasi kiri dibubarkan dan dilarang. Riset/investigasi tentang hal ini bisa menjadi bahan diskusi dengan guru-guru. Saya bisa menyebut contoh kasus lain yang terkait dengan kesenian jaranan di Jawa Timur dan banyak contoh lainnya tidak hanya untuk Peristiwa 65. Pendahuluan di atas mengantar saya pada pembahasan tentang sejumlah metode pencarian dan pemaparan fakta yang pernah saya dan rekan-rekan ISSI/LTP praktekkan. Ada dua pengalaman yang ingin saya bagi, yaitu penyusunan laporan untuk kasus pelarangan barang cetakan/buku dan riset 65 di Solo. 1. Investigasi dan Pelaporan Kasus Pelarangan Barang Cetakan Pada 22 Desember 2009, kejaksaan agung melarang peredaran lima buku, diantaranya adalah buku yang diterbitkan oleh lembaga saya, Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa dan Suara Gereja bagi Umat Tertindas karya Socratez Sofyan Yoman. Setiap kali ada kasus pelarangan buku, masyarakat menghadapi secara kasuistik. Pembaca bikin konferensi pers atau pernyataan protes di media massa, atau mengumpulkan tanda tangan lalu melayangkan surat protes terbuka khusus tentang buku yang dilarang, kemudian isu baru muncul, dan protes padam. Pelarangan buku-buku itu menunjukkan bahwa rezim reformasi ini masih mewarisi otoritarianisme rezim-rezim pemerintahan sebelumnya, khususnya Rezim Orde Baru. Ia adalah sistem, karena itu perlawanan yang dilakukan tidak bisa kasuistik. Dan untuk itu dibutuhkan informasi mendalam untuk menentukan memahami sistem yang dibangun negara untuk mengontrol informasi tersebut. Karena saya mendapat tugas riset untuk mendukung upaya hukum untuk mencabut UU pelarangan barang cetakan, maka yang saya lakukan pertama-tama adalah menelusuri sejauh mana Orde Reformasi memanfaatkan warisan hukum pelarangan buku itu. Saya menemukan bahwa ada 22 buku yang dilarang selama era pemerintahan SBY tanpa melalui pembuktian di pengadilan; bahwa buku-buku dilarang terutama adalah yang mengungkap kejahatan negara, atau bertentangan dengan tafsir Islam yang dominan; dan bahwa institusi yang merekomendasikan sensor, Clearing House, adalah organisasi gelap yang berdiri di atas hukum, betapapun menjadi perpanjangan dari kejaksaan agung, dan tidak bebas dari keharusan untuk memberikan pertanggungjawaban publik, dan itu juga berlaku untuk kejaksaan agung. Informasi awal itu menurut saya masih tidak cukup. Kita masih perlu mengetahui asal-muasal kesewenangan negara dalam mengontrol informasi. Saya beruntung karena Hilmar Farid dan Razif, sebelumnya sudah melakukan riset mendalam tentang sejarah rezim pelarangan buku di negeri ini. Mereka menyebutkan bahwa hukum sensor pertama diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memberangus bacaan-bacaan yang diproduksi oleh kaum pergerakan, yang mereka sebut sebagai ‘bacaan liar’. Hukum sensor itu dicabut setelah BPUPKI, melalui pertukaran pikiran cukup panjang, memutuskan untuk menambahkan pasal baru dalam rancangan UUD, yaitu jaminan atas kebebasan berekspresi, kemudian menjadi Pasal 28. Di alam Indonesia merdeka, AD-lah (angkatan darat) yang pertama-tama mengadakan kembali dan memanfaatkan secara leluasa hukum sensor dengan memanfaatkan kewenangannya yang makin meluas akibat penerapan status darurat militer. Pada tahun 63, Soekarno, melalui penetapan presiden, mengambil alih kewenangan itu dari AD dan menyerahkannya pada kejaksaan agung. Akan tetapi kejaksaan agung tidak menggunakan secara efektif kewenangan tersebut. Baru setelah Peristiwa 65 pecah, praktek sensor barang cetakan meluas karena AD kembali mengambil alih kewenangan itu dan memanfaatkannya untuk 70
memberangus pemikiran kiri atau karya-karya penulis kiri. Empat tahun kemudian Orde Baru mengukuhkan penetapan itu menjadi UU dan memanfaatkannya semaksimal mungkin untuk membungkam apa yang mereka persepsi sebagai benih pemikiran subversive. Menurut Stanley A. Prasetyo, hanya dalam periode akhir 1965-1992, Orde Baru telah melarang sekitar 2000 lebih judul buku. Lagi-lagi informasi itu pun masih tidak cukup. Saya rasa untuk keperluan advokasi saat itu perlu ada riset lanjutan tentang bagaimana hukum itu diwariskan pada rezim-rezim era reformasi. Saya juga perlu tahu motif sesungguhnya serta kepentingan siapa yang berada di balik pelarangan buku-buku pada era reformasi ini. Informasi-informasi ini yang dirahasiakan oleh kejaksaan agung. Untuk mengungkapnya, saya pertama-tama melakukan riset dokumen (koran, risalah-risalah mahkamah konstitusi, surat keputusan-surat keputusan pelarangan buku yang dikeluarkan kejaksaan agung, UUD, KUHP dan lain) ke sejumlah perpustakaan. Dengan rekomendasi Komnas HAM (KH), saya ikut menyelenggarakan satu kali workshop tentang tema ini dan mendapat akses untuk mewawancarai kasubdit pengawasan barang cetakan dan media massa kejaksaan agung. Saya menemukan bahwa di awal reformasi, perjuangan untuk merebut kembali kebebasan untuk mengeluarkan pikiran secara tulisan – termasuk untuk mereformasi sistem hukumnya – lebih banyak dicurahkan pada kebebasan pers. Kita terlupa bahwa Orde Baru telah memisahkan UU yang mengatur kontrol pers dengan kontrol buku. Dan memang oplah koran lebih besar daripada buku. Membaca dan memiliki buku-buku Pramoedya A. Toer menjadi simbol kelas menengah terdidik. Hal itu ditambah lagi dengan beredar bebasnya buku-buku terlarang masa Orde Baru. Bahkan sejumlah korban 65 yang selama puluhan tahun dibisukan pun secara bebas mengeluarkan memoir mereka. Lolos dari perhatian kita, kejaksaan agung mengukuhkan institusi sensornya, Clearing House dan sejak 2006 perlahan mulai melancarkan sensor tanpa mempedulikan protes masyarakat pembaca. Suatu hari, bersama seorang rekan dari KH, saya mewawancarai kepala sub direktorat pengawasan barang cetakan dan media massa kejaksaan agung. Ia mengatakan bahwa AD merasa difitnah oleh John Roosa, sementara kesalahan Socratez Sofyan Yoman adalah memprovokasi rakyat Papua untuk melakukan kekerasan. Narasumber saya menyadari bahwa ada persoalan ketidakadilan ekonomi di Papua, akan tetapi pemerintah sudah menyediakan saluran resmi untuk menampung ketidakpuasan masyarakat, yaitu DPRD. Akan tetapi, yang paling penting dari wawancara itu adalah saya tahu dengan pasti institusi-institusi apa yang ada di dalam Clearing House serta perubahan struktur dan mekanismenya dari masa ke masa. Saya juga tahu institusi-institusi mana yang paling berkepentingan terhadap pelarangan buku-buku di atas. Dengan demikian, saat menyusun laporan, saya bisa memaparkan bahwa makna sesungguhnya dari alasan yang diajukan kejaksaan agung ‘mengganggu ketertiban umum’ bukanlah kepentingan umum, tapi wibawa – citra dan dominasi – militer, khususnya AD, dan pemerintah. Berdasarkan laporan tersebut serta terbitan-terbitan lain, saya dan teman-teman pengacara kemudian memperkuat naskah gugatan di Mahkamah Konstitusi. Laporan sepanjang puluhan halaman tersebut kemudian kami tuangkan lagi dalam bentuk narasinarasi tematik yang lebih ringkas dan kami serahkan pada teman-teman seniman muda. Mereka yang mentransformasinya menjadi bahan kampanye yang kemudian kami tampilkan di sejumlah kota.
71
2. Riset Peristiwa 65 di Solo Sejak 2004 saya dan teman-teman Lingkar Tutur Perempuan (LTP) mulai melakukan riset sejarah lisan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam Peristiwa 65 di Solo. Dalam perkembangannya memang wawancara semakin meluas sehingga tidak hanya mencakup perempuan korban, tapi juga laki-lakinya; lalu lebih luas lagi, tidak hanya terbatas korban, tapi juga saksi dan pelaku. Sejak empat tahun belumnya kami sudah berjaringan dengan organisasi korban di Solo, yaitu Pakorba Solo, karena proyek riset sejarah lisan (OHP) 65 yang dilakukan ISSI dan temu korban yang diselenggarakan ELSAM dan sejumlah lembaga lain. Kami memilih untuk berfokus pada perempuan karena hasil riset dan temu korban tersebut menunjukkan bahwa pengalaman perempuan dalam peristiwa kekerasan, khususnya pengalaman istri tapol, kerap kali ter-/diabaikan karena berbagai alasan, terutama karena tidak dianggap penting. Sementara, kami melihat bahwa justru melalui pengalaman perempuan kita bisa mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang pola kekerasan negara. Yang terpenting adalah bahwa kekerasan politik tidak hanya terjadi di ruang publik, tapi juga masuk sampai ke dalam rumah. Berbagai bentuk kekerasan baru muncul, seperti kekerasan seksual dan kawin paksa oleh pelaku terhadap istri dan anak perempuan korban, intimidasi dan ancaman yang disertai pemerasan, stigmatisasi dan diskriminasi terhadap keluarga, pemiskinan, dan seterusnya. Hal pertama yang kami lakukan setelah berhasil meyakinkan Pakorba Solo tentang pentingnya mendengar suara perempuan korban adalah menyelenggarakan tutur perempuan. Tutur perempuan adalah metode berbagi pengalaman yang kami kembangkan sejak akhir 2000 hingga saat ini untuk menggali pengalaman perempuan, tidak hanya untuk perempuan korban. Demi membangun rasa aman dan nyaman, kami membatasi pesertanya hanya perempuan, sifat pertemuannya tertutup (tidak boleh diliput) dan terbatas (hanya undangan). Di Solo, selama acara berlangsung, bapak-bapak berfungsi sebagai ‘pelayan’. Kami sendiri berbagi tugas: ada yang mengorganisir keseluruhan acara, yang menjadi fasilitator pertemuan, notulis, dan pengambil kesimpulan. Ibu-ibu dipersilakan untuk berbagi pengalaman satu per satu semampu mereka, dan kemudian kami menarik butir-butir pembelajaran dari berbagai tuturan yang disampaikan. Dalam tutur perempuan pertama, umumnya suasananya emosional karena perempuan-perempuan itu kebanyakan baru pertama kali mendapat kesempatan bicara sekaligus mendengarkan pengalaman rekan senasib. Di sisi lain, yang selalu muncul secara spontan adalah sikap saling menguatkan dan solidaritas di antara peserta. Dari hasil tutur perempuan pertama yang berlangsung selama dua hari, kami mendapat gambaran umum situasi para perempuan pada saat peristiwa 65 terjadi dan dampak lanjutannya. Kami kemudian menyeleksi perempuan-perempuan yang perlu diprioritaskan untuk diwawancarai secara individual, biasanya merepresentasikan kelompok tapol, istri tapol, dan anak tapol, aktivis dan nonaktivis. Ini terpaksa kami lakukan karena jumlah korban yang begitu banyak dibanding waktu dan tenaga yang tersedia. Fungsi penting lain dari tutur perempuan adalah agar sejak awal, sebelum wawancara dilakukan, sudah terbangun hubungan saling percaya di antara korban dan kami. Betapapun demikian, tidak selamanya kami bisa mewawancarai korban secara langsung begitu datang ke rumahnya. Dalam satu kasus, saya bahkan harus menunggu selama lima tahun -- sambil terus-menerus berupaya meyakinkan korban – sebelum bisa mendapatkan informasi krusial yang saya butuhkan. Dan saya masih terikat perjanjian untuk tidak mempublikasikannya sebelum ia dan rekannya meninggal dunia. Biasanya, setelah saya mendapat satu narasumber, ia akan 72
merekomendasikan saya untuk mewawancarai narasumber lain, atau saya yang minta informasi/rekomendasi. Ada korban-korban (atau saksi dan pelaku) yang baru mau percaya kalau kita diperkenalkan oleh penghubung yang tepat. Kami memilih metode sejarah lisan untuk melakukan riset tentang kekerasan terhadap perempuan di Solo karena ketiadaan arsip, terutama arsip yang andal dan memuat kesaksian korban.Secara ringkas, metode sejarah lisan bertumpu pada penggalian secara sistematis dan terarah ingatan narasumber. Artinya, jauh hari sebelum wawancara, saya sudah membekali diri dengan berbagai referensi untuk mengumpulkan informasi awal dan merumuskan pertanyaan. Bukan hal mudah bagi korban untuk mengingat peristiwa yang telah berlalu puluhan tahun, apalagi peristiwa itu traumatis. Ingatan yang sampai pada saya adalah ingatan yang berhasil dipertahankan setelah melalui periode pembungkaman. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus saya persiapkan, diantaranya saya harus tahu tonggak-tonggak peristiwa penting yang mudah dijadikan patokan oleh korban, baik peristiwa nasional, lokal, maupun pribadi. Dalam wawancara sejarah lisan yang dilakukan ISSI, kami tidak membatasi pada tema kekerasan 65 saja, tapi untuk keseluruhan sejarah hidupnya. Ada beberapa alasan: pertama karena dengan wawancara sejarah hidup kami bisa mendapatkan pengetahuan yang lebih luas, dengan demikian menyediakan informasi untuk riset di masa depan; kedua, untuk memperoleh gambaran tentang lintas perjalanan orang yang diwawancarai (satu tahap dalam kehidupan seseorang dipengaruhi oleh tahap sebelumnya; dengan kata lain menghindari kesimpulan dangkal); ketiga, kami adalah peneliti-aktivis dengan pilihan politik sejak awal berpihak pada korban, karena itu kami butuh membangun empati yang lebih mendalam dan mencegah wawancara diartikan sebagai kegiatan sederhana untuk mencari data saja. Rata-rata wawancara saya dengan korban, perempuan maupun laki-laki, berlangsung selama dua-empat jam. Waktu yang saya habiskan dengan satu korban antar tiga-lima jam, kadang kala sampai menginap. Beberapa korban yang saya anggap keterangannya sangat penting dan memang artikulatif saya wawancarai sampai empat atau lima kali pertemuan. Pulang dari anjangsana, saya harus membuat jurnal penelitian, laporan penelitian, menyerahkan kaset/rekaman untuk diberi label, dikonversi, ditranskrip dan dibuatkan ringkasannya, kemudian dikatalogisasi (termasuk diberi nama samaran). Kembali lagi ke Solo, kami selalu membawa oleh-oleh catatan untuk dibagikan pada anggota Pakorba. Ini penting sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban. Biasanya yang kami bawa adalah laporan proses kegiatan sebelumnya/laporan pandangan mata, notulensi pertemuan, transkrip wawancara, esai (kalau ada), dan buku-buku, serta informasi terbaru dari Jakarta. Sebaliknya, mereka juga berbagai informasi tentang situasi korban dan politik lokal.Setelah tutur perempuan pertama, kami menyelenggarakan tutur perempuan yang lebih luas, yaitu se-Jawa Tengah, kali ini melibatkan juga Syarikat dan jaringannya. Pertemuan itu tidak lagi menjadi forum berbagi pengalaman kekerasan, tapi forum untuk merumuskan harapan dan tuntutan korban, serta untuk berbagi tugas antara generasi muda dan korban. Ada empat tuntutan korban yang muncul dari hasil pertemuan itu, yaitu pengungkapan kebenaran, penegakan keadilan, pemulihan, dan pencegahan keberulangan. Ini menegaskan hasil temu korban pada 2003 dengan tambahan perspektif gender di dalamnya. Sementara untuk pembagian tugas sendiri, ibu-ibu memutuskan akan mengambil bagian pengorganisasian di tingkat 73
lokal (bagian putri Pakorba Solo sudah merambah sampai ke Boyolali dan Klaten), sementara yang muda bertugas menangani advokasi. Berdasarkan rekomendasi tutur perempuan kedua tersebutlah kami kemudian mengatur audiensi dengan Komnas Perempuan, sementara Syarikat dengan Komisi III DPR, KH, dan Gus Dur yang saat itu masih mengurus PBNU. Pertemuan kami dengan perempuan korban biasanya selalu berlangsung dua hari. Begitu juga saat persiapan audiensi. Beberapa hari sebelumnya saya sudah membuatkan draft naskah berdasarkan hasil wawancara, notulensi, laporan, dan jurnal (Rini dan saya juga menagih hasil dokumentasi Syarikat ketika harus audiensi ke Komisi III). Draft naskah itu kemudian dibahas dan diperbaiki samasama oleh korban. Penyuntingannya dilakukan bersama-sama oleh kami dari LTP. Kami juga menyepakati bersama alur audiensi dan pembagian tugas. Dari hasil audiensi dengan Komnas Perempuan (KP), KP kemudian membuat Pokja Masa Lalu yang bertugas mengorganisir serangkaian program, di bawah pimpinan Ita Nadia dan Kamala Chandrakirana, bekerja sama dengan, khususnya LTP dan Syarikat. Pokja Masa Lalu kemudian melakukan sejumlah kegiatan, diantaranya adalah menyelenggarakan dialog dengan berbagai kelompok perempuan mainstream yang ada di bawah payung Kowani, yang juga menjadi konstituennya, untuk meminta mereka membuka diri untuk berdialog dengan para perempuan korban, khususnya mantan aktivis Gerwani. Dasar pemikiran KP adalah: Gerwani, sebelum 65, adalah anggota aktif Kowani dan bekerja sama dengan baik dengan organisasi-organisasi anggota lainnya. Peristiwa 65 yang memecah belah mereka. Oleh karena itu, dialog untuk pemulihan hubungan di antara mereka adalah landasan penting sebelum kita mendorong upaya pengungkapan kebenaran oleh negara. Untuk mencapai dialog itu saja dibutuhkan proses lobi yang alot. KP mengandalkan dukungan para pinituanya, Ibu Saparinah Sadli dan Ibu Lies Marcoes diantaranya, untuk melakukan itu. Itupun Kowani tetap menolak. Suatu saat, ketika mewawancarai Dewi Motik, ketua Kowani, untuk satu proyek lain, ia menyinggung dengan agak kesal upaya lobi Bu Sap. Penolakan Kowani toh tidak menghalangi sejumlah petinggi organisasi perempuan untuk hadir, diantaranya dari Aisyiyah, Nasyatul Aisyiyah, WKRI, dll. Yang paling mengharukan adalah Ibu Nani Nurachman, anak Jend. Soetojo, mengirimkan surat persahabatan dalam acara itu (ia tidak bisa hadir karena di Vietnam – perempuan korban berharap bisa mengklarifikasi propaganda hitam Orba). Dalam sebuah pertemuan lintas generasi, KP memfasilitasi pembangunan dialog antar-tiga generasi aktivis perempuan (pembela HAM). Dengan cerdas KP memaknai pengalaman kekerasan para perempuan korban dalam Peristiwa 65 sebagai bagian dari pengalaman kekerasan perempuan pembela HAM. Dalam hal ini dengan strategis KP menggabungkan pengalaman LTP dengan tutur perempuannya dan Syarikat dengan rekonsiliasi kulturalnya. Program lain Pokja Masa Lalu adalah menyusun laporan pelanggaran ham terhadap perempuan dalam Peristiwa 65. Belajar dari perkosaan Mei 1998, KP menilai bahwa tidak tepat jika KP harus terjun langsung mewawancarai para korban. Itu sama saja dengan mengorbankan korban berkalikali. Oleh karena itu, KP memutuskan untuk mengadopsi kebenaran yang dihasilkan oleh LTP dan Syarikat. Bersama-sama KP, kedua organisasi ini menyusun laporan yang sebisa mungkin telah kami kembalikan pada korban di Solo dan di wilayah-wilayah lain. Tahun lalu, dalam rangka sepuluh tahun KP dan menandai berakhirnya masa tugas Kamala Ch., ISSI dilibatkan dalam menyusun integrasi atas berbagai laporan hasil studi kekerasan terhadap perempuan sejak 1945 sampai saat ini, mulai dari 74
Aceh sampai Papua. Hasilnya adalah buku Kita Bersikap. Itupun segera kami sampaikan pada ibu-ibu di Solo. Di luar kerja sama dengan KP, riset kami berjalan terus. Pertanyaan riset saya kemudian berkembang menjadi apa yang terjadi dalam Peristiwa 65 di Solo. Metode sejarah lisan memiliki metode verifikasi standar yang sesuai untuk karakternya. Artinya, saya sudah bisa menyusun esai sejarah lisan tentang dinamika kekerasan di Solo yang sudah saya presentasikan dalam sebuah konferensi tentang 65 pada dua (tiga?) tahun lalu. Saat ini saya sedang dalam proses merevisinya untuk memenuhi standar penerbitan. Akan tetapi, untuk penulisan pelaporan HAM punya karakter dan standar tersendiri, yang oleh karenanya membutuhkan metode verifikasi tersendiri.Oleh karena itu kami mengembangkan metode baru, yaitu workshop pemetaan kekerasan. Dalam workshop tersebut, kami memaparkan temuan dalam bentuk kronik hari per hari sejak beberapa hari sebelum 1 Oktober 65, berdasarkan hasil wawancara dan arsip-arsip lain. Setelah itu, korban dipersilakan untuk mengomentari, mengoreksi, melengkapi dengan informasi lain. Kronik tersebut menjadi semacam laporan pandangan mata dari berbagai sudut pandang. Kami juga melakukan penyelidikan ke kampkamp tahanan dan interogasi di kota Solo, LP Bulu Semarang, dan LP Plantungan. Hasilnya saya tuangkan dalam bentuk lembar fakta (factsheet).Sementara itu, Rini yang lebih kenal geografi Solo membantu dengan menandai lokasi tiap kamp di dalam peta. [...]
PERTANYAAN-PERTANYAAN DISKUSI: 1) Silahkan anda tentukan fokus data atau topik yang ingin anda gali dalam sebuah wawancara atau pengumpulan data kejahatan HAM skala besar di masa lalu? 2) Tolong anda rancang alur tahapan kerja wawancara atau pengumpulan data yang meliputi: sebelum, pada saat wawancara, dan setelahnya? 3) Silahkan anda tentukan prinsip dan prosedur operasional wawancara yang harus anda dan anggota tim lainnya taati dan ikuti?
75
Bagian 4. Menuliskan Hasil Pendokumentasian Kebenaran Kejahatan HAM Masa Lampau I. Tujuan Bagian ini akan memaparkan pelbagai bentuk pengemasan hasil pendokumentasian kebenaran kejahatan hak asasi manusia lampau, seperti: laporan hak asasi manusia, karya-karya esai, dan aktivitas seni dan budaya. Tujuannya adalah menunjukkan bahwa ada banyak cara mengangkat hasil-hasil pendokumentasian kebenaran kejahatan hak asasi manusia masa lampau ke publik khusus dan luas. Pokok-pokok Bahasan • •
Mengangkat hasil pendokumentasian kebenaran masa lalu melalui berbagai bentuk terbitan Teknik dan tips merangkai hasil pendokumentasian menjadi pelbagai bentuk terbitan
II. Mengemas hasil pendokumentasian kebenaran masa lalu melalui berbagai bentuk 1. Laporan Pemantauan Komnas Perempuan: Ringkasan Eksekutif [...]Pendahuluan Mengacu pada mandat Komnas Perempuan, sesuai Perpres No. 65/2005, untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM perempuan, dan menyebarluaskan pemahaman tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, maka pada 29 Mei 2006, Komnas Perempuan menerima pengaduan sekelompok korban perempuan dari Peristiwa 1965. Para ibu ini, yang kebanyakan sudah berusia lanjut, mengungkapkan pengalaman pelanggaran dan kekerasan yang mereka alami di masa lalu, sekaligus diskriminasi yang masih terus mereka rasakan. Mereka juga menyampaikan tuntutan serta harapan mereka untuk masa depan yang lebih baik. Sebagai tanggapan yang sungguh-sungguh terhadap kebutuhan para korban, Komnas Perempuan bertekad untuk memahami dan menganalisa pengalaman perempuan korban 1965, memfasilitasi dialog tentang pengalaman korban dengan lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat, dan membuat sebuah laporan resmi tentang temuan-temuan dari proses ini, serta rekomendasi-rekomendasi pada presiden dan pemerintah. Komnas Perempuan melakukan konsultasi dengan sejarawan dan para ahli, mempelajari naskah-naskah penelitian akademik, mengumpulkan arsip-arsip sejarah dan bukti-bukti lainnya, serta melakukan analisa yang mendalam terhadap 122 kesaksian perempuan korban 1965. Komnas Perempuan sangat menyadari bahwa kesaksian-kesaksian ini hanyalah sebagian kecil dari pengalaman ribuan korban lainnya. Namun, Komnas Perempuan percaya bahwa temuan-temuan dari laporan ini telah menangkap pola-pola yang paling utama berkaitan dengan pelanggaran yang dialami perempuan pada masa itu. Konteks Sejarah Kebenaran tentang rangkaian peristiwa September 1965 masih terselubung, dan berada di luar jangkuan laporan ini. Namun, Komnas Perempuan dapat menyatakan bahwa versi resmi dari kejadian 1965 tidak menggambarkan gelombang kekerasan yang dikerahkan oleh aparat negara, sesudah pembunuhan tujuh perwira tinggi TNI pada 30 September 1965. Kebisuan ini, yang terus berlanjut sampai sekarang, merupakan sebuah penyangkalan resmi yang menjadi akar masalah dari 76
diskriminasi dan persekusi yang berlanjut terhadap korban. Pada pertengahan 1960-an, Indonesia berada dalam situasi politik yang amat galau, dengan ketegangan antara kelompok-kelompok Islam, militer, dan kelompok-kelompok yang bersehaluan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 30 September, sekelompok perwira menengah, yang ditengarai mempunyai hubungan dengan PKI, menculik dan membunuh 6 jenderal dan seorang perwira TNI. Mayor Jendral Soeharto ditunjuk untuk memimpin operasi militer untuk membalas dan penghancurkan kelompok yang membelot. Penangkapan dan pembunuhan massal mulai terjadi di Jawa, Bali, dan berbagai pelosok di negara ini, sekitar bulan Oktober 1965. Sampai dengan sekarang, jumlah yang meninggal dari peristiwa berdarah ini masih belum terungkap secara pasti, namun diperkirakan sekitar 500 ribu sampai dengan sejuta korban pembunuhan dan penghilangan. Diperkirakan juga sekitar satu juta orang yang ditahan di luar hukum, di mana mereka juga menjadi korban penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, tanpa akses pada bantuan hukum atau proses pengadilan yang adil. Para tahanan dari Peristiwa 1965, termasuk laki-laki, perempuan, dan anakanak, sedikit demi sedikit dibebaskan sampai dengan tahun 1979. Walaupun demikian, mereka tetap dimonitor secara dekat, dan diwajibkan melapor – hak-hak sipil politik mereka tidak pernah dipulihkan secara penuh. Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia, yang dibentuk pada 1950, mencerminkan semangat evolusi pada masanya dengan tujuan mencapai kesamaan hak untuk perempuan, melalui pendidikan keterampilan, pemberantasan buta huruf, dan pembentukan Taman Kanak-kanak (TK) di desa-desa. Pada 1965, Gerwani dapat menyatakan keanggotaannya lebih dari 1,7 juta perempuan, dan aktif terlibat dalam implementasi kebijakan reformasi agraria, bekerja sama dengan PKI dan organisasiorganisasi petani lainnya. Gerwani juga aktif dalam upaya menggalang sukarelawati sekitar kampanye pemerintah untuk pembebasan Irian Barat (sekarang Papua) dan kampanye melawan Malaysia, pada waktu itu. Pada masa Peristiwa 1965, anggota Gerwani dan perempuan-perempuan lainnya yang dianggap berafiliasi dengan PKI, menjadi sasaran kejahatan sistematis, antara lain, pembunuhan, penghilangan paksa, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan kekerasan seksual. Komnas Perempuan percaya bahwa Gerwani menjadi target sebuah propaganda hitam yang dibuat untuk menghancurkan secara total kelompok politik ini. Meskipun ada laporan otopsi resmi yang menyimpulkan bahwa penyebab kematian para perwira adalah tembakan peluru, pemukulan dengan benda tumpul, dan bahwa jenazah dalam keadaan utuh, beberapa media massa mulai menyebarkan laporan palsu mengenai kondisi jenazah korban. Dinyatakan bahwa jenazah dalam keadaan mata dicongkel dan kemaluan dipotong. Koran Angkatan Bersenjata melaporkan, pada 11 Oktober 1965, “... sukarelawan-sukarelawan Gerwani telah bermain-main dengan para Jenderal, dengan menggosok-gosokkan kemaluan mereka ke kemaluan sendiri.” Keesokan harinya, Duta Masjarakat, sebuah koran milik Nahdatul Ulama, melaporkan “…menurut sumber yang dapat dipercaya, orang-orang Gerwani menari-nari telanjang di depan korban-korban mereka.” Laporan-laporan yang tidak terverifikasi ini menyebar ke media massa lainnya, yang memberitakan cerita-cerita bohong tentang penyiksaan seksual dan pengebirian yang dilakukan oleh anggota-anggota Gerwani, berakibat pada kekerasan yang disasar pada perempuan. Komnas Perempuan menemukan bukti-bukti saling menguatkan yang mengungkapkan pola penyiksaan seksual, yang terjadi di berbagai tempat penahanan di banyak tempat. Korban perempuan dihina dengan kata-kata yang melecehkan, dituduh terlibat dalam tarian seksual sambil 77
menyiksa para jenderal, ditelanjangi dengan alasan mencari tato yang akan menunjukkan keanggotaan dalam organisasi. Pola Pelanggaran HAM yang dialami Perempuan Komnas Perempuan menemukan bukti yang kuat bahwa perempuan telah menjadi korban kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis jender, dalam konteks penyerangan terhadap masyarakat sipil dalam skala masif. Hak untuk Hidup dan Bebas dari Penghilangan Paksa Pelanggaran fatal yang disebutkan dalam 122 kesaksian perempuan yang dipelajari Komnas Perempuan Militer Polisi Pejabat Kelompok Tak Massa Pelanggaran Penjara/Kamp Pemuda Dikenal Total* Terorganisir Pembunuhan 10 0 1 0 15 3 29 Penghilangan 8 3 3 0 21 0 35 (* Total pelanggaran adalah jumlah pelanggaran yang disebutkan korban dalam kesaksiannya. Kadang kala satu kali pelanggaran dilakukan oleh lebih dari satu pelaku)
Hak untuk Bebas Bergerak dan Hak atas Integritas Penculikan, penahanan dan penyiksaan yang disebutkan dalam 122 kesaksian perempuan yang dipelajari Komnas Perempuan
Penyiksaan Penahanan Penculikan
Militer
Polisi
81 224 97
9 47 17
Pejabat Penjara/ Kamp
Pejabat sipil
12 145 1
Kelompok Pemuda Terorganisir
3 10 16
13 3 15
Hansip/ Wanra
Tak Dikenal
Massa
Pelanggaran Total*
4 4 6
10 24 65
1 0 5
133 457 225
(* Total pelanggaran adalah jumlah pelanggaran yang disebutkan korban dalam kesaksiaannya. Kadang kala satu kali pelanggaran dilakukan oleh lebih dari satu pelaku)
Tidak adanya Pelayanan Kesehatan Kekurangan Makanan Kondisi Penjara yang buruk Kerja Paksa Pembebasan yang lalai Wajib lapor
Kelompok Pelanggaran Total* Pemuda Terorganisir 0 14
Militer
Polisi
Pejabat Penjara/Kamp
Pejabat Sipil
Tak Dikenal
8
2
4
0
0
29
6
16
4
0
1
56
20
4
5
0
1
1
31
33 7
3 0
16 2
3 1
1 0
0 0
56 10
18
0
0
17
1
0
36
(* Total pelanggaran adalah jumlah pelanggaran yang disebutkan korban dalam kesaksiaannya. Kadang kala satu kali pelanggaran dilakukan oleh lebih dari satu pelaku)
78
Perkosaan Perbudakan Seksual Kekerasan Seksual lain Hamil karena perkosaan Pemaksaan aborsi KDRT sesudah pembebasan
Militer
Polisi
Hansip/Hanra
Pejabat Penjara/ Kamp
Kelompok Pemuda Terorganisir
Tak Dikenal
Suami/Keluarga
Pelanggaran Total*
53 15
1 2
7 0
1 3
2 0
0 0
74 21
44
3
3
1
3
8
0
60
8
1
0
0
0
0
0
9
0
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
3
3
10 1
(* Total pelanggaran adalah jumlah pelanggaran yang disebutkan korban dalam kesaksiaannya. Kadang kala satu kali pelanggaran dilakukan oleh lebih dari satu pelaku)
TEMUAN INTI: PEREMPUAN MENJADI KORBAN DARI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Dari 122 kesaksian yang diterima dan dipelajari, Komnas Perempuan dapat menyimpulkan adanya indikasi kuat bahwa pelanggaran-pelanggaran yang dialami perempuan berkaitan dengan Peristiwa 1965 telah memenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis jender. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah sebuah kejahatan internasional yang sangat serius, di mana perbuatan tertentu (pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dll) terjadi dalam konteks penyerangan secara luas atau sistematik terhadap masyarakat sipil. Pada intinya, kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi pada saat negara mengerahkan kekuatan untuk menyerang warga negaranya sendiri. Ada beberapa kesimpulan yang ditarik oleh Komnas Perempuan: Kejahatan terhadap kemanusiaan telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional, dengan digelarnya Mahkamah Militer Nuremberg (1945-1946) dan Tokyo (Mei 1946 sampai dengan Nopember 1948) dan diadopsinya Prinsip-prinsip Nuremberg oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1950. Sehingga Indonesia sebagai anggota PBB telah mengakui prinsipprinsip ini dan terikat pada hukum kebiasaan internasional. Kewajiban Indonesia untuk mengadili pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan semakin menguat dengan diadopsinya UU No. 26/2000 yang menjadi landasan hukum untuk pengadilan hak asasi manusia di Indonesia. Dari 122 kesaksian yang dipelajari Komnas Perempuan, telah tergambar peristiwa pembunuhan, kekerasan, dan penahanan massal yang terjadi di berbagai wilayah di Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan Timur, dan Pulau Buru, yang menjatuhkan setidaknya ratusan ribu korban . Data-data yang dipelajari memberi indikasi kuat bahwa telah terjadi serangan yang meluas dan sistematik, artinya terjadi secara berulang dan dengan pola yang terulang di berbagai lokasi, terhadap perempuan yang dituduh mempunyai hubungan dengan Gerwani, PKI, atau organisasi lainnya. Misalnya, korban dari wilayah-wilayah yang berbeda melaporkan metode kekerasan dalam bentuk penelanjangan dengan alasan mencari “cap 79
palu-arit,” perkosaan dalam tahanan dan serangan terhadap alat-alat reproduksi perempuan dalam proses interogasi. Baik aparat militer, polisi, maupun aparat sipil terlibat dalam penyerangan ini. Aparat sipil yang terlibat mulai dari aparat tingkat RT sampai tingkat nasional. Aparat kepolisian yang terlibat dimulai dari tingkat polsek. Berbagai angkatan dan kesatuan dalam tubuh ABRI aktif dalam menjalankan operasi kekerasan ini. Operasi kekerasan berskala masif ini juga menggunakan sumber daya negara, misalnya, penggunaan kendaraan-kendaraan militer untuk menangkapi dan memindahkan korban dari satu tempat penahanan ke tempat penahanan lain, penggunaan instalasi militer, dan bangunan-bangunan publik sebagai tempat-tempat penahanan dan interogasi, penggunaan sarana negara dan publik, dan penggunaan anggaran negara untuk melakukan kejahatan-kejahatan ini. Selain itu, aktor-aktor negara juga mendukung keterlibatan sejumlah organisasi pemuda yang turut melaksanakan penyerangan dalam skala luas ini. Partisipasi organisasi-organisasi ini memungkinkan eskalasi penyerangan yang luar biasa hingga dapat mencapai ribuan korban.
Persekusi berbasis jender Komnas Perempuan menyimpulkan bahwa ada indikasi kuat telah terjadi persekusi berbasis jender sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, dilakukan dan dikoordinasi oleh aparat keamanan Indonesia, bersama dengan kelompok-kelompok yang diberdayakan dan atau didukungnya. Persekusi terhadap perempuan yang dituduh menjadi anggota atau berafiliasi dengan Gerwani dan kelompok politik lainnya terjadi pada saat Peristiwa 1965 berkecamuk dan berlanjut sampai dengan sekarang, dengan tetap berlakunya peraturan-peraturan dan perlakuan diskriminatif yang mengingkari hak-hak dasar korban. Kampanye kekerasan yang disasarkan pada korban perempuan mempunyai karakteristik seksual, dan antiperempuan. Dengan dibentuknya sebuah opini bahwa anggota Gerwani terlibat langsung dalam pembunuhan di Lubang Buaya, dengan sebuah cerita yang menggambarkan penyiksaan seksual yang dilakukan oleh perempuan sambil menari-nari, maka sebuah motif untuk menargetkan orang-orang berdasarkan identitas politik (komunis) dan jender (perempuan) terbentuk. Perkosaan dan penyiksaan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan Kasus-kasus yang telah dipelajari oleh Komnas Perempuan menunjukkan sebuah pola di manaaparat keamanan dengan leluasa melakukan penyiksaan seksual dan perkosaan terhadap perempuan mulai pada saatnya mereka ditangkap. Tidak ada upaya dari para atasan untuk mencegah atau menghukum pelaku-pelaku kejahatan tersebut. Kejahatan-kejahatan seksual ini terjadi dalam konteks penyerangan terhadap masyarakat sipil yang luas dan sistematik. Para pelaku mengetahui bahwa tindakan yang diambilnya adalah bagian dari serangan tersebut, dan dapat memastikan bahwa tindakannya tidak akan dicegah ataupun dihukum, bahkan didukung dalam pelaksanaannya. 2. Razif: Romusha dan Pembangunan, Sumbangan Tahanan Politik untuk Rezim Soeharto Dalam buku-buku teks sejarah yang digunakan di sekolah-sekolah Indonesia, kita membaca mengenai kekejaman kerja paksa semasa pendudukuan Jepang dari 1942 sampai 1945. Banyak orang Indonesia yang direkrut secara paksa oleh pasukan Jepang untuk bekerja membangun jalan, benteng, landasan pesawat, pelabuhan, dan semacamnya. Sebutan tentara Jepang untuk mereka adalah romusha: buruh yang tidak dibayar. Sekitar 300.000 orang dikirim dengan kapal-kapal ke tempat seperti Birma dan Malaya, untuk bekerja dibawah komando mesin perang Jepang. Dalam buku sejarah yang mendapat persetujuan resmi dari Rezim Soeharto, yakni enam jilid Sejarah 80
Nasional Indonesia yang disunting Marwati Djoened Poesponegoro dan Noegroho Notosusanto, kita bisa membaca bahwa romusha dipaksa bekerja selama berjam-jam ‘sejak dari pagi buta sampai petang ‘tanpa ‘makan dan perawatan cukup.’ Sejumlah besar orang meninggal karena penyakit, kelelahan, dan kelaparan. Cerita mengenai romusha menjadi bagian dari ingatan sosial bangsa Indonesia mereka yang selamat dalam tahun-tahun itu menggambarkan penderitaan yang mengerikan sebagai tenaga kerja paksa. Hampir semua penduduk Indonesia saat ini tahu makna kata romusha. Banyak penduduk juga tahu cerita-cerita mengenai kerja paksa di zaman kolonialisme Belanda. Sebutan untuk mereka adalah corvee. Pejabat pemerintah meminta desa-desa untuk mengerahkan tenaga kerja guna membangun jalan dan saluran irigasi. Di abad ke 19, semasa Tanam Paksa, para pejabat memaksa petani untuk menyerahkan seperlima tanahnya untuk tanaman seperti gula dan tembakau, yang kemudian akan dibeli pemerintah dengan harga sangat rendah. Dalam sejarah kerja paksa di Indonesia yang panjang dan menyedihkan, kasus terakhir ini justru yang paling tidak banyak diketahui; rezim Soeharto pun mengerahkan ratusan ribu tapol, yaitu mereka yang dituduh komunis dan simpatisannya, untuk bekerja di bawah paksaan, tanpa bayaran. Tahukah anda bahwa jembatan, jalan raya, monumen, dan bendungan yang dibangun di berbagai tempat di Indonesia sepanjang akhir 1960-an dan 1970an dibuat oleh tangan-tangan tapol, yang hanya menerima caci-maki sebagai pengganti keringat yang mereka keluarkan? Tentara juga jarang memberi makanan kepada tapol yang dipekerjaannya; keluarga tapol lah yang justru menanggung dan memberinya makanan. Bagi penguasa, mempekerjakan paksa para tapol komunis dan simpatisannya, sudah dianggap kemestian. Di bawah rezim Soeharto, kerja paksa terjadi di banyak wilayah, dari Sumatera sampai Pulau Buru. Di Lampung, misalnya, kerja paksa terjadi di Sungai ‘Kopel.’ Di tempat ini, para tapol harus mengeruk pasir dan jika mereka bekerja lambat, maka ikat pinggang kopel—ikat pinggang besar yang biasa dipakai tentara—akan melayang ke tubuh tapol. Di Cianjur, Jawa Barat, para tapol bekerja membangun Monumen Siliwangi yang menjadi kebanggaan masyarakat setempat. Para tapol pula yang bertugas menjaga kebersihan dan keindahan kota-kota di wilayah provinsi Jawa Timur. Bahkan, mereka lah yang membuat Monumen Operasi Trisula di Blitar Selatan. Pembangunan hampir di seluruh kota Palu dan sekitarnya menggunakan tenaga para tapol, sebagian besar baru bebas dari rangkaian pemaksaan ini setelah Presiden Soeharto lengser, Mei 1998. Ada pula tapol yang sempat dipenjara di LP Sukamiskin, Bandung, setelah dibebaskan pada 1992, dipaksa masuk dalam babak kekerasan berikut. Kelurahan Ciranjang memerintahkan dia bersama 14 eks-tapol lain untuk membersihkan Jalan Raya Ciranjang hingga jembatan Rajamanda, yang jaraknya kurang lebih 15 kilometer, secara rutin. Tapol-tapol tersebut bekerja mencabuti rumput sepanjang jalan itu setiap dua pekan sekali. tugas lain yang harus mereka kerjakan adalah membersihkan kantor Kelurahan Ciranjang. Kerja paksa para tapol tidak terbatas pada pembuatan jembatan, jalan, dan monumen saja, tetapi mereka juga bekerja di rumah-rumah para perwira militer sebagai tukang dan pembantu. Tugas mereka biasanya mencuci pakaian, membersihkan dan memperbaiki bagian-bagian rumah yang
81
rusak, dan membuat perabotan rumah tangga. Selain itu para tapol juga dipaksa membangun rumah ibadah, baik mesjid maupun gereja. Hasil-hasil kerja paksa tapol membangun Orde Baru itu dinikmati oleh banyak orang yang menilai bahwa PKI adalah penjahat, pembunuh, dan tidak bertuhan. Penilaian itu pula yang muncul dalam buku-buku sekolah, diajarkan di sekolah dan di perguruan tingi. Di satu sisi, pemerintah Orde Baru mengecam romusha di zaman pendudukan Jepang—rodi di jaman pemerintah Hindia Belanda— karena merampas kemerdekaan seseorang untuk dipekerjakan paksa di berbagai bidang demi kepentingan perang. Di sisi lain, rezim yang sama justru mempraktekkan kerja paksa serupa terhadap warga negaranya sendiri, para tapol, atas nama pembangunan yang selalu dibanggakan itu. Dalam tulisan ini, saya akan membeberkan bagaimana kerja paksa yang diberlakukan terhadap para tapol terjadi di berbagai tempat di Indonesia setelah peristiwa G-30-S 1965. Dari paparan ini, makin tampak jelas bahwa rezim Orde Baru yang mengagung-agungkan pembangunan itu ternyata bertumpu pada mekanisme kekerasan dan paksaan serta perampokan tenaga kerja, yang dijalankan dan dikontrol melalui kekuasaan teritorial militer, terutama Angkatan Darat. Saya akan memberikan perhatian pada kisah para tapol yang pernah melakukan kerja paksa di Jawa, Sumatera, Pulau Buru, dan Palu, Sulawesi Tengah. Kerja Paksa di Jawa dan Sumatera Kerja paksa dimulai ketika penangkapan-penangkapan terhadap orang-orang PKI dan yang dicurigai sebagai PKI oleh tentara mulai mereda pada akhir 1960an. Para tapol biasanya diambil dari penjara pada siang hari untuk membangun proyek-proyek infrastruktur seperti jalan, jembatan, bendungan, dan kanal. Banyak yang dipaksa mengerik pasir dan kerikil, bahan baku untuk membuat semen. Sampai pertengahan 1970an, puluhan ribu tapol dilibatkan dalam kerja keras tanpa menerima upah sepeser pun. Seringkali mereka juga tidak mendapatkan jatah makan. Pola semacam ini berlaku di seluruh negeri dan saya akan menggambarkannya berdasarkan pengalaman para tapol di Jawa dan Sumatera. Mari kita mulai dari Lampung Selatan dengan cerita Ngatmin yang ditahan pada 1967 karena ia dicurigai sebagai anggota ‘PKI malam.’ Setelah kira-kira satu setengah tahun dipenjara di Kodim setempat, ia dialihkan ke sebuah kamp penahanan di bekas pabrik beras tua. Ia dan tapol-tapol lainnya yang ditahan di tempat itu dipaksa mengeruk pasir di sebuah sungai dekat kamp yang disebut Sungai Bulung. Mereka paling-paling diberi jatah beras, tapi tanpa lauk pauk. “Kita tidak dibayar. Ya jadi hidupnya itu selama cari pasir itu, umpama cari pasir itu ada orang 20 [tapol], yang dua itu bikin kalo (penyaring santan dari anyaman bambu), bikin bakul (wadah makanan dari anyaman bambu), bikin kukusan (alat menanak nasi berbentuk kerucut dari anyaman bambu), itu dijual untuk membeli garam, cabe itulah. Jadi ngurangi, seandainya pekerjaan yang 10 ya dikurangi dua itu. Ya kerjanya memang disitu, cuman lain, untuk hidup kita sendiri”. Ngatmin bekerja di Sungai Bulung, selama kira-kira setahun. Lalu ia dipindahkan ke perkebunan karet bermana Rilai, menjadi buruh penyadap karet. Tak lama kemudian, ia dipindahkan lagi ke perkebunan lain bernama Berken. Di sana, Ngatmin dan tapol-tapol lain sering tidak mendapat 82
makanan sama sekali sehingga mereka harus mengemis dari orang-orang desa di sekeliling perkebunan. “Tidak dibayar Pak. Sama sekali tidak dibayar. Kasih makan pun nggak ajeg itu, kalau ada, ya dikasih, kalau nggak ada, ya sudah. Sudah pernah Pak, orang satu bulan atau tiga bulan itu tidak ada rangsum dari pemerintah, itu orang-orang suruh bantu ke kampung-kampung itu, suruh minta makan... siapa saja datang ke kampung di mau. Karena apa? Kasihan. Waktu itu saya suruh nggesek kayu jati itu ke kampung, ya sampai sebulan waktu itu, [di] kasih makan. Ya tiap sore musti apel pulang, ke tahanan. Selama [di] kasih [makan], juga dikasih baju, dikasih celana gitu”. Dari cerita ini tampak kontras luar biasa antara kemurahan hati dan kebaikan penduduk desa, yang sebetulnya juga tidak memiliki banyak harta, dengan eksploitasi tenaga tapol oleh tentara dan pemerintah. Cerita serupa disampaikan oleh Rojali, bekas anggota Sabupri di Lampung. Selama tiga tahun setelah G-30-S, ia harus melaksanakan wajib lapor setiap minggu di kantor tentara. Lalu pada 1968 , ia ditahan dengan tuduhan memberi perlindungan kepada seorang anggota PKI yang sedang dicari tentara. Hampir segera setelah ditahan, ia diperintahkan bekerja. Sampai pembebasannya pada 1973, ia terus menerus dipaksa bekerja. Selama tiga tahun terakhir sebelum dibebaskan, Rojali dan sekitar 90 orang tapol lainnya bekerja di sebuah perkebunan kelapa Berken. Perkebunan ini sebelumnya adalah milik rakyat, tapi kemudian dirampas oleh Korem Lampung. “Kalau waktu di Berken ya, istilahnya kan, kita bikin kebun kelapa. Jadi kalau nggak salah banyaknya orang itu diatas 90 orang. Itu tanah itu punya rakyat dulunya. Jadi pokoknya istilahnya dihapus sama orang Korem itu kan. Jadi yang punya kebun itu kan orang Korem. Kalau nggak salah sampai—berapa hektar gitu ya---1.800 hektar semuanya itu... Kerjanya ya mbabat, kadang nanam kelapanya itu. Kalau malam, ya menjaga tanaman kelapa itu. Soalnya banyak babi pak, dulu”. Perampasan tanah rakyat oleh tentara dan penggalangan tapol untuk menjadi buruh di perkebunan tersebut merupakan hal yang lazim terjadi di masa itu. Santo Haryadi dari Lampung melalui pengelaman yang sama di daerah Banjar Agung. Para perwira dari Polisi Militer, atau POM, setempat menuduh kelompok petani pemilik tanah sebagai PKI, merampas tanah mereka, lalu menggunakan tapol untuk menggarap tanah tersebut menjadi perkebunan. “Pada tahun 72, saya dikirimkan ke proyek. Proyek itu adalah, ya katakanlah perampasan tanah-tanah petani yang terlibat [G-30-S] oleh oknum ABRI... ladang orang dirampas, orangnya dituduh terlibat, orangnya ditahan, atau setidak-tidaknya walap [wajib lapor], tanahnya dirampas, ya, sampai sekarang juga masih. Saya disuruh ngolahnya, tidak dikasih apa-apa, makan aja juga ga dikasih. Hasil kebunnya untuk dia, sebagian banyak yang sudah dijual, ya. Tapi yang punya garapan pada waktu itu ya, nggak dikasih apa-apa. Hanya dikasih cap aja dia, cap orang PKI”.
83
Ketika Santo Hariyadi diperintahkan bekerja di tanah itu, perwira CPM yang menjadi pemilik tanah menjanjikan sebagian tanah akan menjadi milik Santo. Tapi, setelah empat tahun bekerja, ia malah dikirim untuk memburuh di perkebunan lain yang dimiliki perwira CPM juga. “Pada waktu itu saya dipindahkan ke Banjar Agung ... untuk mengolah ladang di sana. Menurut perjanjian pada waktu itu, ‘olahlah tanah ini, buatlah kebun. Kalau sudah jadi kebunnya nanti dibagi dua lah kemudian, kalau kamu nyetak sawah, saya tidak minta, ambil sama kamu untuk hidup bersama keluarga kami.’ Janjinya. Tapi apa yang terjadi? Disana itu disuruh kerja, jatahnya yang saya diterima tadinya kalau di kamp itu, di lembaga, saya menerima jatah, di sana nggak dikasih, ya suruh cari sendiri, tapi kalau siang, mengerjakan ladang dia. Nggak taulah usahanya gimana, yang penting kami bisa hidup, bisa makan, tapi ladang itu digarap. Itulah kira-kira .... tahun 76 saya dipindahkan dari Wai Kalih [daerah Banjar Agung] dipindahkan ke Babatan, Kalianda, karena di sana di Babatan Kalianda, itu ada salah satu lahan yang tidak bisa dirambah manusia”. Bersama sejumlah tapol lain Santo membuka hutan di Babatan, Kalianda selama satu tahun, menghadapi penyakit dan macan, lalu dibawa kembali ke penjara pada 1977. Santo tidak termasuk dalam sebagian besar tapol di Lampung yang dibebaskan pada 1977. Perwira-perwira CPM masih ingin menggunakannya sebagai buruh tanpa upah di kantor mereka. ‘Jadi masukkan lembaga [penjara] tapi saya menjadi pembantu di POM itu. Kalau siang, ya disuruh bersih-bersih, mengetik dan lain sebagainya.’ Pada 1979, Santo dibawa keluar oleh salah satu perwira untuk dipekerjakan di peternakan ayam milik perwira itu. Setelah tujuh tahun bekerja tanpa upah untuk Polisi Militer, Santo dibebaskan pada akhir 1979. Potret kerja paksa di Jawa Barat tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Lampung. Para tapol digunakan untuk membangun berbagai proyek infrastruktur pada akhir 1960an. Suratna, bekas fungsionaris Pemuda Rakyat di Cipanas, menceritakan kepada saya tentang pengalamannya ditahan di Kodim dan kamp penahanan yang terletak di sebuah gedung bernama Gedung Karet di akhir 1960an dan awal 1979an. Ia dan tapol-tapol lainnya diambil di siang hari untuk kerja paksa. Ia dipekerjakan di Jawa Barat selama tiga tahun sebelum dikirim ke Pulau Buru. “[Kami] dikerjakan membangun jalan, membangun terminal, kadang-kadang perbaiki mesjid dan sebagainya. Kalau ada pekerjaan-pekerjaan umum itu tahanan-tahanan itu yang mengerjakan. Kemudian membangun jembatan Cisokan, Citarup—semua itu tenaganya tenaga yang dinamakan karyawan waktu itu, bukan karyawan, tahanan sebetulnya... Yang dikerjakan dijatah harus menghasilkan batu sekian kalau di proyek, ha kemudian pasir sekian itu dijatah setiap harinya”. Karena tidak mendapat jatah makanan, mereka terpaksa bekerja melebihi kuota yang dimintai dan menjual bahan-bahan bangunan yang berlebih. Dengan uang hasil kerja ekstra dan penjualan itulah mereka bisa membeli makanan untuk mereka sendiri: ‘Jadi kalau umpamanya jatah setengah kubik itu pasir, kita harus tiga perempat, ya yang satu perempat jual untuk makan.’ Untuk makan seharihari saja mereka harus ‘mencuri’ dari tuan-tuan tentara yang ternyata tidak selalu awas juga.
84
Selain menggarap kerja-kerja konstruksi, para tapol juga direkrut sebagai tenaga pembantu di rumah-rumah perwira militer. Simak cerita Daryono, bekas anggota Serikat Buruh Gula di Pati, Jawa Tengah. Ia ditahan pada November 1965. Dari 1968 sampai dibebaskan pada 1973, Daryono diperlakukan sebagai budak oleh tentara: “Pertama kali saya itu dikerjabaktikan di Juana... Bikin jembatan, jembatan yang sekarang itu lho , ngebruk (membuat jembatan) itu saya pernah kerja di situ, tapi hanya dua minggu itu... Lalu saya pindah lagi di Swaduk. Swaduk tempat mengambil krokol (krikil) itu. Ha, itu juga tidak mendapat jaminan [makanan], ya tidak mendapat upah. Hasilnya dijual sama Koramilnya. Jadi orang-orang ndak anu, ndak dapat apaapa... Belum bebas saya. Sebab tiap sore mesti dikontrol kok dari Koramil Wedari... Kalo pagi ke sungai ambil krokol itu. Setelah dari Swaduk itu saya dipindah lagi ke Tayu, di Tendas. Saya ditempatkan di Tendas pada waktu itu....itu juga kerja bakti. Pertama kali ambil pasir di Sungai Tayu, ambil pasir. Padahal saya itu nggak pernah sobo (main di) kali [ketawa]. Terpaksa ambil pasir itu... Setelah itu, saya ada panggilan dari Kodim. Ada panggilan supaya saya kembali ke Kodim [ketawa]. Terus karena ada perintah ya terpaksa, itu saya sendiri itu, terpaksa saya kembali ke Kodim. Ha di Kodim itu juga dikerjabaktikan. Kerja bakti, tapi hanya sebentar saya. Kalau hanya [ketawa] resik-resik (bersih-bersih) rumahnya ndoro-ndoro [sebutan untuk majikan Jawa] tentara itu [ketawa]. Pokoknya suruh apa ya, semaunya mereka itulah, apa kebutuhan mereka itu saya suruh mengerjakan”. Seorang tapol dari Banten, Rusyana, mengenang saat tapol-tapol di sana dipanggil untuk merenovasi masjid utama di Banten meskipun mereka dituduh atheis. “[Tapol] bikin mesjid, jalan, jembatan. Dan karena banyak juga tenaga-tenaga ahli ya, arsitek, insinyur itu banyak yang—jadi pembangunan daerah Banten itu banyak yang oleh tapol itu, termasuk mesjid, mesjid Banten ya. Yang jadi kebanggaan Banten itu. Yang merehab itu tapol”. Begitu anehnya permintaan ini bagi Rusyana hingga dengan jahilnya ia bercanda tentang Mesjid Agung di Banten, ‘kalau kau naik ke atas, itu ada palu arit di atas.’ Bukan hanya tapol yang dipekerjakan paksa oleh tentara, tapi juga mantan tapol yang sudah kembali ke rumah mereka. Rahmadin, seorang petani yang bertempat tinggal di Cipanas, Jawa Barat, dipenjarakan dua kali untuk kurang lebih 200 hari total. Tapi setelah dibebaskan di akhir 1960an, ia masih dipanggil untuk kerja paksa. Sementara tapol-tapol lain dari kecamatannya dikirim ke penjara Kebon Waru di Banding, ke Nusakambangan, atau ke Pulau Buru, mereka yang dilepaskan lebih dini seperti Rahmadin tetap harus melayani perbudakan oleh tentara. Setiap Senin dan Kamis, ia harus membersihkan kantor Koramil Cianjur: “[Saya] membersihkan apa saja. Misalnya, ada gelas yang bekas mereka itu, harus bapak cuci, ya. Ada bekas rokok, puntung-puntung itu kotoran, bapak harus nyapu. Rumput-rumput bara itu, harus bapak nyapu, ya. Nyabutin rumput itu, ya gitu aja kerjanya, ‘udah selesai, kamu pulang!’ walaupun kita udah capek misalnya, udah 85
capek, kepanasan, dan sebagainya, nggak boleh pulang sebelum selesai beres—apa itu, misalnya tadi mencabutin rumput, sebelum selesai nggak boleh pulang”. Di awal 1970an, Rahmadin dan sekitar 200 orang mantan tapol di kecematannya direkrut petugaspetugas Koramil dan pejabat pembda setempat untuk membangun jalan dan jembatan. “Yang di kampung yang dikategorikan yang dituduh PKI, yang dituduh PKI itu, apa saja menurut kehendak pemerintah desa dan Danramil. Misalnya mau bikin jembatan, ya undang aja itu, yang disebut PKI itu, suruh bikin jembatan ... Misalnya dari jam 8.00 pagi sampai jam 4.00 sore, baru boleh pulang. Terus-terus itu, sebelum selesai nggak boleh ditinggalin. Satu jembatan Jeprah, du Jembatan di Kulung Luwu. Nah, kemudian bikin jalan, dari Pasir Bumi sampai Angke, kurang lebih tiga kilometer. Bikin jalan, gali, ya, digali, dibuang tanahnya”. Tak ada imbalan pengganti tenaga tapol yang dikeluarkan: mereka tidak mendapatkan upah, makanan, apalagi perawatan kesehatan. Pejabat pemerintah dan perwira militer tak berbeda pandangan dalam menjalankan sistem perbudakan ini. Seperti dituturkan Rahmadin: “Mau sakit kek, mau meninggal kek, nggak adalah, nggak ada perhatian dari pemerintah, nggak ada. Dari desa sampai camat, sampai Danramil, itu nggak ada. Dari Dan [Komandan] Kepolisian , nggak ada”. Di Jawa Tengah, kondisi para tapol sama saja. Sugondo, bekas anggota Pemuda Rakyat, ditahan pada 1965 dan dibebaskan pada 1972. Selama bertahun-tahun di tahanan, ia bekerja untuk macammacam proyek pembangunan di Klaten. Bersama teman-temannya ia menggarap proyek tanggul untuk keperluan irigasi sawah di Desa Mbayat: ‘Nah ada sungai buatan, pedot (putus) gitu kan mengairi [membanjiri] sawah dan desa. Ini tanggul, ketika pertama nglangut (tersendat-sendat).’ Selama mengerjakan proyek ini, para tapol disuruh tinggal di rumah penduduk, dekat sungai itu, tapi rumahnya jembar (luas) itu.’ Karena tentara maupun lurah desa itu tidak menyediakan jatah makan, mereka terpaksa bergantung pada penduduk desa: ‘Itu kalau di Mbayat itu setelah mahal besar, ya ndak dijamin ... Jadi di sana itu sistemnya di Melian Mbayat itu masyarakat disuruh bikin penakan nasi itu. Siang satu penak, sore satu penak.’ Banyak jalan utama di Jawa dibangun oleh para tapol. Sambil menunggu keberangkatan menuju Nusakambangan dan/atau ke Pulau Buru, para tapol dikerahkan untuk membangun jalan berkilokilometer panjangnya. Hal ini diungkapkan oleh Purwanto, bekas anggota Pemuda Rakyat di Rembang, Jawa Tengah: “Saya habis lebaran kurang lebih tiga bulan saya diambil keluar. Diambil keluar pada waktu itu terus dipindahkan ke daerah sini, kecamatan Seluke, juga, eh di Pandangan. Di Pandangan dulu kita diserahkan oleh sipur [zeni tempur] untuk bekerja melaksanakan pekerjaan perbaikan jalan antara Lasem sampai Sarang ... Sarang sini mungkin 35 kilometer. Itu perbaikan selama kurang lebih, ya lama mungkin, ada dua atau tiga bulan, itu saya di Seluke”. Catatan pekerjaan yang harus dilakukan Purwanto selama dua tahun luar biasa beragam. Tentara memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain di seluruh kabupaten untuk melakukan berbagai 86
macam proyek. Dan yang juga mengagumkan adalah ia masih mengingat setiap kerja penindasan ini dengan jelas, setelah kurang lebih tiga puluh tahun berlalu “Terus pindah di Sarang. Setelah pindah di Sarang saya dipindahkan mengambil batu di Sumur Tawang selama satu setengah bulan. Setelah itu saya dipindahkan lagi ke Ngandang, yaitu menggali batu bara. Jadi areng setingkul (arang batu), itu batu bara ... Lalu saya dipindahkan ke Gunem untuk menebang kayu. Kayu itu namanya kayu bule kethek (kayu belang-belang seperti monyet putih) itu. Menebang demi kepentingan Kodim. Di sana selama—makan juga cari sendiri kok ... Jadi makan cari sendiri. Jadi di Ngandang itu makan diberi oleh bosnya, di Ngandang. Kalau di Nggunem itu mencari sendiri. dengan setelah nebang kayu kita pulang membawa kayu bakar, kita pikul, kita jual. Siapa yang mau beli itu kita jual. Setelah itu kita diambil pulang ke Kodim lagi. Setelah di Kodim saya di Gudang Kapuk selama satu minggu, saya diambil diminta membantu di kantin – pada waktu itu kanto Kodim. Setelah di kantin Kodim kita berjalan satu bulan, anu, dua bulan terus saya diminta oleh Kasdimnya untuk membantu rumah tangga”. Tapol-tapol yang kerja paksa di luar tidka berani melarikan diri karena sudah mendapat ancaman dari aparat militer. Jika mereka lari, maka anggota keluarga merekalah yang menggantikannya. Situasi seperti ini diceritakan oleh Ramto, bekas pimpinan Pemuda Rakyat Jawa Tengah. Waktu pewawancara bertanya padanya, ‘Kalau kerja di luar Pak, itu kan bebas. Apa ada pikiran buat kabur?’ ia menjawab: “Nggak. Karena ancamannya kalau kabur keluarganya yang harus mengganti. Sandera. Keluarganya yang kena, daripada keluarganya yang kena ya kita bertahan, gitu”. Ia dipindahkan dari Yogyakarta, tempat ia ditahan pada akhir 1965, ke penjara Magelang di 1968. “Saya ke Magelang, di Magelang agak bebas, keluar, kerja luar, dikerjakan ngaspal jalan dan sebagainya. Boleh dikatakan seluruh Magelang itu diaspal oleh tapol, yang mengaspal itu tapol. Perbaikan jalan itu, sampai selokan bersih dan sebagainya. Ya kita lebih senang karena dikerjakan di luar, daripada ya di dalam”. Bagi sebagian tapol, dibandingkan tinggal di sel penjara yang gelap, lembab, dan penuh sesak sepanjang hari, melakukan kerja paksa di jalanan memang masih lebih baik. Seperti sudah kita perhatikan, baik tapol maupun mantan tapol dipaksa bekerja oleh tentara dari akhir 1960an sampai 1970an. Namun, menurut Sudarna, bekas aktivitas BTI yang tinggal di Desa Ciranjang, Jawa Barat, di beberapa daerah kerja paksa bagi para eks-tapol berlanjut sampai 1990an. Ia masuk penjara akhir 1965 dan bebas pada 1992. Jadi ia tinggal di Penjara Sukamiskin selama 27 tahun. Setelah bebas, ia masih diharuskan kerja paksa oleh lurah desanya. “Setengah bulan satu kali, saya harus kerja bakti. Nggak tau alasannya itu. Setiap setengah bulan, satu kali aja, kerja bakti. Itu semua, diantara yang ditahan yang pernah dituduh G-30-S, jadi nggak, nggak saya sendiri. yang dari Buru, yang ditahan disini, dari Sukamiskin, semua harus kerja bakti. Itu anehnya, jalan propinsi harus dibabat sama 87
kita [babat rumput]. Dari batas Desa Ciranjang, sampai batas desa Cibiung. Itu anehnya. Saya memang mendengar dari kecamatan-kecamatan yang lain, di desa-desa lain sudah tidak ada. Tapi mengapa Desa Cibiung memang lurahnya nih yang punya kerjaan, ya lurahnya yang kurang ajar ... [Kerja bakti berlangsung] sampai kemarin waktu kejadian itu, waktu kejadian apa, waktu reformasi”. Para tapol sudah mengalami kerja paksa bertahun-tahun di Pulau Buru pun tidak bebas dari kewajiban ini. ketika mereka dibebaskan dan kembali ke Jawa, mereka harus melakukan ‘kerja bakti’ di daerah masing-masing. Suparno, bekar anggota Pemuda Rakyat di Pati, diperintahkan kerja bakti oleh tentara di tingkat lokal waktu ia kembali ke rumahnya pada 1977. “Saya bebas dari Buru itu tahun 77. Jadi tanggal 20 Desember tahun 77, itu saya bebas dari Buru. Dan Saya bebas dari Buru, terus kita kena wajib laporan dan kerja paksa masih. Kerja paksanya sana di Koramil, ya bersih-bersih halaman Koramil, terus di Kodim, ya bersih-bersih halaman Kodim. Di CPM juga begitu. Jadi diatur bergiliran menurut kebutuhan mereka. Jadi teman-teman, istilahnya itu wajib lapor diendeg (dihentikan) sementara untuk dimintai bantuan untuk kerja”. Untuk memahami betapa kejamnya meminta Suparno melakukan kerja paksa di Pati, kita harus memahami kondisi di Pulau Buru, dimana Suparno harus dibebaskan. Kerja Paksa di Pulau Buru Kerja paksa di Pulau Buru dialami oleh semua tahanan politik yang dibuang ke sana. Pulau itu mulai dihuni oleh tahanan politik sejak Agustus 1969. Semua tapol di Jawa, yang dimasukkan dalam klasifikasi Golongan B dikirim ke Pulau Buru. Sampai pertengahan 1970an, pulai ini ditinggali oleh paling tidak 11.000 orang tapol, yang tersebar di 23 unit penahanan. Pemerintah berencana mempertahankan mereka di sana secara permanen dan membuat daerah itu semacam tempat penampungan orang berpenyakit lepra. Ratusan istri bersama anak-anak para tapol didorong untuk bergabung dengan suami dan bapak mereka di Pulau Buru, supaya para tapol tidak perlu kembali lagi ke daerah asal mereka masing-masing. Ketika para tapol pertama kali tiba di Buru, pulau itu tertutup hutan belukar dan padang rumput. Mereka harus membangun barak-barak penahanan mereka sendiri dari nol, seperti orang-orang primitif dari masa prasejarah. Mereka juga disuruh membangun rumah bagi Peleton Pengawal (tonwal) yang mengawasi mereka bekerja terus-menerus. Selain itu, mereka harus membangun jalan dan mengolah tanah supaya bisa ditumbuhi tanaman pangan. Selama bulan-bulan awal rombongan pertama tapol bekerja, merek hidup dari ransum yang dibawa mereka dari Jawa. Rencananya mereka segera mulai memproduksi pangan dari lahan di tempat itu sebelum ransum habis. Tapi mengolah tanah menjadi lahan yang bisa ditanami makan waktu lama, terutama karena para tapol tidak diberi peralatan yang sesuai dan memadai. Tanah pulau itu ditumbuhi rerumputan liar yang tebal dan tumbuh subur. Pak Kamaluddin, seorang tapol dari Tasikmalaya yang dikirim ke Buru pada 1970, mengenang bahwa ia dan teman-temannya harus membersihkan tanah dari rerumputan dengan tangan kosong: ‘Pacul, cangkulnya belum ada tangkainya, kemudian cangkulnya atau parangnya tumpul; yang parang yang besar masih tumpul, padahal dari asahannya. Jadi kita cabuti itunya itu, dengan apa, dengan tangan, si alang-alang atau kusu-kusu itu.’ Pekerjaan membuka hutan 88
seperti ini terasa luar biasa berat karena banyak tapol yang tidak terbiasa melakukan kerja kasar. Kamaluddin, misalnya, sebelum ditangkap adalah guru SD dan mahasiswa IKIP Bandung. Dengan ransumnya yang sangat terbatas—sebagian hilang dicuri petugas pengawas kamp—dan belum adanya hasil dari lahan yang mereka olah, para tapol makan apa saja yang bisa diperoleh dari lingkungan sekitar kamp. Kamaluddin menjelaskan: “Nah, segala sesuatu yang kira-kira bisa dimakan dulu itu, waktu itu kan—kalau di kapal makan nasi biasa, kalau datang ke sana bulgur (sejenis gandum) makan itu dengan gereh (ikan asin), dengan ikan asin peda yang busuk itu. Jadi makan bulgur di sana itu, makan. Nah di sana, kemudian kalau teman-teman ada tikus, ya diambil dimakan, ada ular, ada telur cicak, makan gitu, jadi apa saja. Ada kura-kura, terus dimakan gitu, untuk menambah umur mungkin, kata orang [ketawa]”. Pekerjaan yang banyak mengeluarkan energi tapol itu tidak diseimbangkan dengan makanan yang cukup, sehingga banyak dari mereka yang menderita hepatitis, terutama tapol yang berumur 50 tahun ke atas. Ransum yang dibagikan termasuk bulgur, yang memuakkan bagi para tapol yang terbiasa makan nasi. Bulgur diperoleh dari pemerintah Amerika Serikat yang pada saat itu kelebihan produksi. Sukartono, yang masih berumur 17 tahun ketiga ditahan pada 1965 mengenang betapa sebalnya ia harus makan bulgur: “Saya di Unit 15, Unit 5 terus tahun 70 ya dikerjakan dengan paksa, dikerjakan dengan paksa. Jatah makannya itu, kalau ingatan saya itu namanya dikatakan bulgur—tapi sekarang sudah ndak pernah lihat itu, bulgur itu apa, seperti apa, sekarang itu nggak pernah lihat. Jadi bulgur itu sebenarnya bukan makanan manusia. Kalau di Amerika itu untuk makanan kuda, itu sebenarnya. Tapi disitu untuk makanan pada tahanantahanan itu, teman-teman itu, bulgur itu”. Sukartono mengingat bahwa kelompoknya, setelah tiba pada 1970, diharapkan mulai memproduksi makanan dalam waktu delapan bulan. Tapi, ransum yang ada sudah menipis sebelum delapan bulan itu berakhir. “Masa konsolidasi katanya itu delapan bulan. Jadi kita untuk membuka lahan, tanaman, berhasil gitu, perhitungannya mereka seperti begitu. Tapi ternyata itu dua bulan atau tiga bulan itu ndak keluar bahan makan itu. Wah, ya kita terpaksa mengalami lapar lagi. Lapar lagi. Lapar. Pada waktu itu datang digerakkan menanam itu, singkong, waktu itu tiga bulan mroses bikin lahan itu kan lama. Jatah dari pemerintah itu sudah nipis, singkong itu baru satu jari jempol tangan ini yang besar sejempol kaki, sudah dicabut, cabut, untuk makan. Karena di situ yang mimpin adalah militer. Jadi kalau diserahkan kepada orang-orang tahanan itu malah bagus sebenarnya, karena tahu seluk-belik tanaman ini harus begini-begini. Ini tidak. Tapi selalu diperintah oleh militer dan harus ditaati perintah militer itu”.
89
Setelah menyiang pada dari alang-alang dan pepohonan, para tapol harus menemukan cara untuk mengairi ladang. Banyak unit yang membangun bendungan di sungai terdekat dan membuat kanal untuk mengalirkan air ke ladang. Suman, bekas pemimpin redaksi Warta Bandung, menggambarkan bagaimana unit tempat ia tinggal (unit 4) membuat dam primitif dari bambu. “Nah, kemudian juga untuk proyek-proyek misalnya membuat irigasi bendungan, misalnya. Itu bendungan dengan peralatan yang sangat sederhana sekali ya. Itu juga satu hal, yang apa namanya, satu hal yang, ya, mengikuti sistem tradisionil. Misalnya, kita pernah di Unit 4 itu membangun irigasi, itu membendung Wai Bini, Sungai Wai Bini. Itu kedalaman Wai Bini ini, dari permukaan ke daratan itu kurang lebih 2-3 meter. Jadi ini kita bagaimana menaikkan, supaya bisa masuk. Akh itu kan kita bukan ahli-ahli. Semua itu dengan, apa namanya, dengan cari cara-cara tradisionil. Begini jadi kita bikin cerucuk (bambu yang diruncingkan) dari bambu. Bambu kan banyak, bambu kita silang-silang itu, kemudian bambu itu dimasukkan daun-daun bambu untuk menahan air. Tapi toh tidak, tetap air ngalir. Hanya memang secara alamiah, harus ini terhalang si pasir mengendap di bawah cerucuk itu, jadi mengendap, lama-lama di makin tinggi, makin tinggi, makin tinggi. Memang tidak spontan, tidak segera terbendung, memang tetap masih ada aliran air, tapi terbendung. Tapi begitu air besar, nah misalnya air banjir, semua habis itu, apa cerucuk-nya itu kan terbawa arus. Ah, ini kan kita musti bikin lagi, tapi paling tidak masih ada endapan, pasir tidak tergerus semua, sebab terendap. Ah, ini terus begitu sampai enam bulan terbentuk. Naik permukaan air itu naik, sehingga kita bikin masukan ke saluran, saluran irigasinya. Sistimnya gitu. Jadi betul-betul tidak pakai bangunan apa, beton apa gitu, nggak. Jadi dengan sistim alam saja”. Jadwal harian mereka adalah bangun jam lima pagi untuk apel. Semua tapol harus dihitung untuk memastikan tak seorang pun melarikan diri. Lalu mereka akan meninggalkan barak jam enam untuk bekerja di ladang. Mereka bekerja sepanjang hari, dengan satu jam istirahat, terus menerus dijaga oleh tonwal, dan kembali ke barak jam enam petang. Tapol-tapol yang termuda dan terkuat dikirim ke hutan untuk menebang kayu, sedangkan yang lebih tua atau lebih lemah disuruh bekerja di dapur umum di barak. Di setiap unit ada satu tapol yang berperan sebagai koordinator kerja. Ia menerima target produksi dari komandan unit. Kemudian ia akan bertemu dengan pemimpin setiap barak (biasanya ada 10 barak dan tiap barak dihuni 50 orang tapol) dan mereka akan menentukan bagaimana kerja didelegasikan ke kelompok-kelompok tapol supaya target produksi bisa dipenuhi. Di bawah ini Suman menjelaskan metode sederhana untuk mengorganisir kerja di unitnya. “Jadi begini. Koordinator tiap malam kan membagi kerja gitu. Nanti sawah pun diberi beberapa petak gitu. Ada kan seluruhnya 50 hektar—itu yang jatah, yang harus digarap ini. tiap unit itu 50 hektar ini minimumnya, untuk 500 orang lah gitu ya, 50 hektar. Nah, 50 hektar ini yang digarap oleh—seperti kalau di Unit 4 dulu, itu ada blok A, blok B, blok C gitu. Ada tiga blok. Dibagi kira-kira 15 hektar. Nah, yang di blok ini, blok A, B, C ini digabung. Nanti dari barak 1 siapa-siapa, barak 2- nggak, nggak ngelompok misalnya barak 1, ngurus ini, nggak. Kemudian nanti, yang kerja di hutan, ini diambil yang kuatkuat kan. Yang kuat, yang mudah, itu yang untuk menebang kayu yang sebesar-besar 90
gajah gitu. Kan itu orang yang kuat angkat jung-jung itu. Akh itu orang yang mudamuda. Biasanya itu, yang kuat-kuat, itu yang biasanya, ya yang biasa kerja kasarlah”. Para tapol bekerja mati-matian di bawah ancaman siksa dan todong senjata. Dan begitu kerja mereka menampakkan hasil, mereka masih harus menyerahkan sebagian besar ke petugas pengawas. Misalnya, tentara sangat ‘rakus’ dalam memperdagangkan kayu yang ditebang para tapol untuk mengisi kantong mereka sendiri. Caranya, mereka menyuruh tapol untuk menggergaji kayu. Setiap tapol per harinya diperintahkan menggergaji empat batang kayu yang kemudian diapungkan ke Sungai Wai Apo, dan sampai di Markas Komando (Mako) kemudian diangkut ke atas dan dijual oleh militer. Maksum bekas anggota Serikat Buruh Pos dan Telekomunikasi dari pati, menceritakan pengalamannya itu sebagai berikut: “Umumnya komendan-komendan CPM yang datang di sana itu rakus. Kita masih begitu hidupnya itu masih juga apa tegel (tega), Mas ya, tegel, diisep tulang dan dagingnya, serta darahnya di sana itu. Kita dijatah, satu pasang gergaji itu empat lembar. Tapi untuk kita, bukan untuk kita jual dan untuk kita beli garam sendiri atau gula, bukan. Tapi, untuk dikintirkan (dihanyutkan) di Wa Apo itu untuk dijual di Kaki Air [kampung/dermaga di muara Wai Apo] sana uangnya komendan yang menerima itu. Jadi umumnya tahun pertama tahun 70 sampe 78, itu komendan-komendan yang dari Pulau Buru itu pulang mesti bisa beli mobil. Mesti bisa beli mobil. Karena kerakusannya. Dia tidak tanggung-tanggung menjatah satu barak itu 10 orang, berarti 5 gergaji kali 10 barang, berarti 50 pasang. Eh 5, eh 10 kali 10, 100 orang untuk gergaji saja. Yang hasilnya kita tidak makan ... Kadang-kadang orang suruh mbabat hutan selebar-lebarnya, tanemi kacang, cabuti kacang ada 25 hektar. Oh , kalau malam disetelkan tep (tape) sambil mretesi (memereteli dari tangkai) itu kacang. Macam sapi perahan saja. Itu dibagori (dikarungi), yo dikenterkan Wai Apo, masuk kaki air, jadi uang untuk komendan. Itulah, jadi di sana itu masih dikrokotir balunge (digerogoti tulangnya), diisep darah, orang tahanan itu”. Petugas-petugas militer di Buru, untuk memastikan mereka bisa memperoleh panen seutuhnya, tidak memperbolehkan para tapol mengambil apa pun dari ladang. Setiap tapol dari Buru yang saya wawancarai punya cerita tentang bagaimana mereka ‘ mencuri’ hasil kerja keras mereka sendiri. karena para tapol ini kelaparan, mereka tidak tanggung-tanggung mengambil resiko setiap saat. Mereka menemukan metode yang cukup canggih untuk ‘mencuri’ makanan dan menyembunyikannya dari tonwal. Salah satu contohnya adalah cerita Sutaryono, bekar anggota PGRI non-Vak Central dari Pati, yang menggambarkan bagaimana mereka mencuri kacang tanah dari ladang: “Bekerja mendapatkan hasil, padi dikumpulkan, dijual oleh komandan unit. Menanam kacang, kacang hijau, kedelai, kumpulkan, panen dijual, masih disiksa oleh penopang pengawal. Sampe ingin makan namanya kacang tanah, itu dengan upaya temanteman: cari bambu, kemudian dipotong-potong kira-kira tiga meter, kemudian urasnya itu dideblongi (dilubangi ruasnya) begitu, nanti kan bisa sepanjang tiga meter dilubangi terus bisa. Nah, itu dimasuki kacang rebusan yang direbus di ladang, direbus di ladang. 91
Kemudian ditutup. Kalau ditanyak pengawal, “Itu untuk apa?’ ‘Untuk ganti anu Pak, ganti tiang barak,’ tapi isinya adalah kacang. Kemudian dimasukkan ke barak. Kemudian cara makannya sendiri pakai cara. Mereka sambil tiduran begini, tertelungkup. Andaikata nanti ada tonwal, mereka tidak bicara. Dan kulit dikumpulkan serapi-rapinya agar mereka tidak tahu. Sebab kalau tahun mereka dipukuli dan dihancur-leburkan. Tapol-tapol ini sebetulnya sangat marah, terutama di tahun-tahun awal mereka tiba di Buru, karena pelaparan yang dipaksakan. Sudah cukup buruk nasib mereka dibuang ke Pulau Buru dan dipaksa bekerja. Tetapi mungkin penderitan itu masih bisa mereka tahakan seandainya mereka tidak dipaksa terus menerus dalam keadan kelaparan. Sudah jelas terjadi ketidakadilan luar bias ketika mereka dibuat kelaparan, sementara makanan yang mereka hasilkan diambil dan dijual tentara. Lebih buruk lagi: sudah bekerja sedemikian keras, mereka masih sering dipukuli sebagai hukuman. Sukarnoto yang disebut di atas, dengan pahit mengingat bagaimana para tapol dipukuli seperti binatang liar oleh para penjaga kamp: ‘Terus 70, 71 itu prosesnya pukulan itu tidak ada hari-hari yang kosong tanpa pukulan. Jadi satu unit itu 500 orang, setiap hari itu pas ada orang dipukuli.’ Mengherankan mengapa para tapol di Buru tidak melawan perlakuan biadab yang mereka derita lebih sering. Sebagian besar bertahan dengan menerima saja ketidakadilan dan penghinaan oleh tentara karena mereka merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Ada satu kasus di mana seorang tonwal dibunuh oleh para tapol. Pada Oktober 1972, tiga tapol di Unit 5 menyerang seorang tonwal bernama Pelda Panita Umar dan membunuhnya. Sukartono berada di Unit 5 saat pembunuhan ini terjadi dan berteman dengan seorang tapol yang ikut membunuh. Ia menggambarkan apa yang terjadi sebagai akibat kemarahan mereka terhadap situasi yang menekan mereka itu. “Ya justeru karena teman saya itu, ya karena ditindas. Ditindas, diperas, lagi kesalahan sedikit dipukuli, itu dia tidak tahan, dia tidak kuat. ‘Daripada,’ ya pikiran mereka, ‘daripada saya dipukuli terus-terusan, dikerjapaksakan terus-terusan sama tentaratentara itu, biar saya mati, saya harus membunuh itu tentara-tentara itu,’ gitu. Mestinya begitu, karena dia itu memangnya sama tentara itu benci. Ha, karena benci ini ya, yang menyebabkan bukan kita, yang menyebabkannya ya, tentara-tentara itulah yang perlakukan-perlakukan dengan teman-teman itu nggak senonoh, tanpa ada perikemanusiaan kalau saya pikir. Terus timbullah peristiwa. Pada waktu itu teman saya itu bertiga. Namanya itu Sadino, Sapari, Samiono, ha itu bergerak membunuh tentara. Namanya tentaranya itu Anumertanya Pelda Panita Umar. Ha terjadi di situ bunuh. Dibunuh oleh bertiga, teman-teman saya itu tadi yang saya sebutkan, ha sesudah membunuh itu kabur, itu. Teman bertiga itu kabur”. Menanggapi pembunuhan rekannya, pasukan tonwal dengan bantuan dari unit-unit lain mengamuk. Semua tapol di Unit 5 dipukuli dengan kejam. “Karena militer ya, militer itu kan begitu lah sifatnya. Jadi dia nggak mau tahun siapa yang membunuh nggak tahu. Pokoknya yang membunuh orang tahanan. Terus orang tahanan itu langsung dipukuli sampai mampus. Terus pukuli”. 92
Sukartono baru kembali ke kamp dari bekerja di hutan sekitar pukul 4 sore, tepat ketika pemukulan massal mencapai puncaknya. Ia dipukul segera setelah memasuki lingkungan barak. “Terus saya masuk pada itu, yang sudah datang duluan itu kan dalam latar, halaman lapangan itu, terus suruh kumpul. Orang 500, kecuali yang lari itu tiga ya, terus suruh kumpul. Kalau tentara komando pukul, itu terus dipukuli semua orang itu, orang 500 itu. Terus, deeel.... deeel....deeel, begitu. Terus aja pukulan. Ada yang sampai patah itu. Senjatanya untuk mukul itu ada, patah. Ada yang dari, kalau bahasa jawanya itu duran, itu yang untuk tangkai cakul itu lho, yang belum dipasang”. Di akhir pesta kekerasan ini, tentara berhasil membunuh sebelas tapol. Semua tapol yang berjumlah kurang lebih 500 orang terluka dan sebagian menderita patang tulang. Kamp pembuangan Pulau Buru yang bernama resmi Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) bagi para tapol, kenyataanya justru menjadi Tempat Pemanfaatan (Tefaat) tapol. Pengalaman tapol selama di Pulau Buru telah memberikan banyak keterangan mengenai, bagaimana penguasa militer memperlakukan para tahanan politik yang tidak lain adalah warga negaranya sendiri. kerasnya alam Pulau Buru tampaknya belum cukup memuaskan tentara; mereka masih merasa perlu untuk bertindak keras dan berbuat semaunya terhadap para tapol. Ini pula yang terjadi pada tapol Pulau Buru yang memiliki keahilian tertentu, seperti pengarang, pelukis, sutradara, komposer, insinyur, guru, dan profesi lainnya. sama sekali tidak ada perlakuan khusus terhadap para tapol itu. Selama di Pulau Buru, martabat para tapol diturunkan hingga ke tingkat yang serendah-rendahnya sampai tidak ada nilainya sama sekali. Tempat pemanfaatan tapol di Pulau Buru sekaligus mencerminkan kekuasaan rezim Orde Baru yang menjulur ke bawah, yang menganggap tapol itu durjana. Adanya Inrehab Pulau Buru telah membuka mata berbagai pihak tentang pelanggengan kerja paksa yang dilakukan oleh Rezim Orde Baru terhadap para tahanan politik. 3. Bronkhorst: Teater Bagi Mereka yang Telah dihilangkan [...] Setahun kemudian, saya menemui para anggota FIND, di antaranya Arnold dan Edwin, untuk kedua kalinya, di pusat komunitas di Utrecht. Kelompok teater FIND sedang mengadakan perjalanan keliling Eropa; ini dimainkan sepenuhnya oleh anak-anak dari orang-orang “yang dihilangkan.” Edwin adalah sutradara—ia memang seorang aktor sekaligus psikolog. Di tengah pertunjukkan itu, yang dalam naskah diharuskan menangis, tidak dapat menghentikan cucuran air matanya. Dalam satu menit semua anak menangis keras. Pertunjukkan itu terhenti. Orang-orang Amnesti Internasional yang menemani anak-anak itu dalam perjalanan tersebut, menghibur mereka di koridor. Pertemuan saya untuk ketiga kalinya dengan keluarga-keluarga Filipina dari orang-orang yang “dihilangkan” adalah melalui sebuah film. Film tersebut dipersiapkan oleh Amnesti Internasional seksi Belanda. Film itu berkisah mengenai Monette (berusia 17 tahun), seorang anggota FIND dan merupakan salah seorang anggota wanita dari kelompok teater yang saya lihat di Utrecht. Kekuatan dari film ini terletak dalam kenyataan bahwa tidak satupun dari materi yang tampil dalam film itu pernah dipentaskan sebelumnya. Diiringi oleh kru filmnya, Monette menemukan orang-orang yang berfikir, salah atau benar bahwa mereka dapat menolongnya. Kamera mengikutinya ketika ia mencari ayahnya, dengan mengunjungi berbagai organisasi, keluarga-keluarga dan para saksi mata. 93
Di tengah-tengah dokumentasi itu, ia tiba-tiba mendapatkan petunjuk: tubuh ayahnya yang telah dipotong-potong itu mungkin telah dikuburkan di sebuah ladang di luar kota. Ia pergi ke tempat itu, tetapi tidak menemukan apa pun. Untuk beberapa menit yang menegangkan, wajah Monette di depan kamera menyingkap kekecewaanya akan realitas bahwa ia harus kehilangan harapannya untuk menemukan kembali ayahnya. [...] [...] Tetapi Agnes memiliki berita yang penuh harapan pula. Pada tahun 1994, sebuah monumen didirikan sebagai kenangan atas mereka “yang dihilangkan.” Ada 1.600 nama yang terukir pada monumen itu: 759 terjadi di masa rezim Marcos, 830 pada periode Aquino; ada 16 nama orang yang diculik sejak Fidel Ramos terpilih pada tahun 1992. Berita terakhir, mengabarkan bawah mereka baru saja meluncurkan proyek pencarian yang intensif, yang dipusatkan pada enam kasus terhadap orang yang “dihilangkan”, dimulai dari tahun 1980an. Semua kasus ini memiliki petunjuk,para pembunuh telah teridentifikasi, dan FIND tahu dimana mayat-mayat itu berada. [...] II. Teknik dan tips merangkai hasil pendokumentasian menjadi pelbagai bentuk terbitan Pada dasarnya, dalam mengolah dan merangkai data-data pendokumentasian tidaklah terlalu sulit. Namun demikian diperlukan sejumlah tahapan kerja yang runut sehingga proses pengolahan dan perangkaian ini benar-benar tidak memperumit kita. Berikut ini adalah sejumlah teknik dan tips yang dapat digunakan untuk mengolah data menjadi bahan kampanye melawan amnesia publik: 1) menganalisa data-data hasil pendokumentasian yang dimiliki Penting sekali untuk melihat dan menganalisa data-data yang banyak dihasilkan oleh pendokumentasian selama ini, guna mendapatkan informasi tentang porsi data terbesar dan terpenting apa saja yang patut diketahui oleh publik. Langkah-langkah ini dapat dibantu dengan pertanyaan-pertanyaan dasar sebagai berikut: •
Peristiwa apa saja yang paling banyak didokumentasi?
•
Apakah dari peristiwa-peristiwa tersebut dapat ditemukan pola kekerasan, rentang kejadiannya, dan sebaran wilayahnya?
•
Siapakah korban dominan dari tindak kekerasan tersebut, dan apa motifnya?
•
Siapakah para pelaku dominan dan peran dari masing-masing pelaku tersebut?
2) mengidentifikasi kelompok-kelompok masyarakat yang potensial menjadi target atau pengguna data-data yang dimiliki saat ini Setelah kita mendapatkan gambaran atau hasil analisis tentang data-data pendokumentasian, maka selanjutnya kita mesti memeriksa kelompok-kelompok dalam masyarakat yang mungkin menjadi target propaganda ataupun pengguna dari data-data tersebut. Misalnya adalah para guru sejarah atau para peneliti dan akademisi di perguruan tinggi, atau bahkan kelompok akar rumput. Jangan lupa juga pula untuk memeriksa bagaimana cara pandang mereka terhadap peristiwa kejahatan hak asasi manusia di masa lampau, terutama peristiwa yang menjadi fokus kita.
94
Catatan: Ada baiknya untuk menggunakan metodologi analisis sosial untuk memetakan kelompokkelompok ini agar tingkat akurasinya cukup terjaga. 3) menentukan bentuk media kampanye yang efektif Setelah kita mendapatkan gambaran tentang kelompok-kelompok masyarakat yang akan menjadi target kampanye atau propaganda melawan amnesia publik, termasuk cara pandang mereka, langkah selanjutnya adalah menentukan bentuk kemasan dari data-data yang kita miliki tersebut. Prinsipnya adalah, tidak semua data harus dikemas dalam bentuk tulisan, karena ada banyak kelompok strategis yang justru lebih efektif diyakinkan dengan menggunakan kegiatan seni dan budaya ataupun bentuk-bentuk visual, seperti film dan foto. Oleh karena itu semakin kita mengetahui target kelompok sasaran, maka hal ini akan membantu kita dalam menentukan bentuk media kampanya yang sesuai. 4) melakukannya secara reguler dan melibatkan banyak kelompok Hal penting lain yang juga kita mesti jaga adalah memastikan bahwa proses pengolahan data-data dokumentasi kejahatan HAM masa lampau dapat berjalan secara reguler, sehingga membuat proses pembuatan bahan-bahan kampanye pun juga menjadi lebih reguler dan teratur. Selain itu, penting juga untuk mulai melibatkan banyak kelompok dalam proses pemasakan data-data ini hingga menjadi bahan kampanye, karena semakin banyak yang terlibat akan membuat gaung kampanye semakin besar pula sehingga memungkinkan untuk mencegah amnesia publik.
PERTANYAAN-PERTANYAAN DISKUSI 1) Jelaskan data-data dokumentasi yang paling banyak dimiliki oleh anda atau organisasi anda? 2) Tentukan siapakah yang akan menjadi target penerima atau pembaca dari data-data yang anda miliki tersebut? 3) Menurut anda bentuk publikasi semacam apa yang cocok untuk dipergunakan menarik minat dari kelompok target yang sudah anda tentukan sebelumnya 4) Silahkan untuk menentukan outline laporan, berikut dengan potongan data-data dokumentasi yang anda miliki.
95
Pernyataan tentang Izin Penggunaan Tulisan Al Rahab, Amiruddin., de Soares, Aderito Jesus., Perjuangan Amungme: Antara Freeport dan Militer, Jakarta, ELSAM, 2003. Mendapatkan izin dari ELSAM sebagai penerbit. Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan , Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi PascaSuharto, Hersri Setiawan Editor, ELSAM, 2004. Mendapatkan izin dari ELSAM sebagai penerbit. Bronkhorst, Daan, Menguak Masa Lalu Merenda Masa Depan, Komisi Kebenaran di Berbagai Negara, ELSAM, 2002. Mendapatkan izin dari ELSAM sebagai pemegang hak cipta dalam bahasa Indonesia Farid., Hilmar & Simarmata., Rikardo, Demi Kebenaran Pemetaan Upaya-Upaya Pencarian Keadilan Dalam Masa Transisi di Indonesia, ELSAM & ICTJ, Jakarta, Agustus 2004. Mendapatkan izin dari ELSAM sebagai penerbit Hayner., Priscilla B, Setelah Otoritarianisme Berlalu, Esai-Esai Keadilan di Masa Transisi, ELSAM, Jakarta, Desember 2001. Mendapatkan izin dari ELSAM sebagai penerbit dan pemegang hak cipta dalam bahasa Indonesia Ifdhal Kasim (Editor), Seri Transitional Justice, Kebenaran VS Keadilan, Pertanggunjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu. Mendapatkan izin dari ELSAM sebagai Penerbit Putri., Agung, Berjuang Mengungkap Kebenaran dan “Mengadili” Masa Lampau: Pengalaman Negeri Tertindas, Dalam Ifdhal Kasim Editor, Seri Transitional Justice, Pencarian Keadilan Di Masa Transisi, ELSAM, Agustus 2003. Mendapatkan izin dari ELSAM sebagai penerbit Roosa, Ratih & Farid., (Editor) Tahun yang tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 1965 Esai Esai Sejarah Lisan, , ELSAM, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia, Jakarta, 2004. Mendapatkan izin dari ISSI dan ELSAM sebagai penerbit. Razif.,Romusha dan Pembangunan, Sumbangan Tahanan Politik untuk Rezim Soeharto, dalam Roosa, Ratih & Farid., (Editor), Tahun yang tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 1965 Esai Esai Sejarah Lisan. ELSAM, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia, Jakarta, 2004. Mendapatkan izin dari ISSI dan ELSAM sebagai penerbit. Teitel, Ruti G, Keadilan Transisional Sebuah Tinjauan Komprehensif, ELSAM, 2004 Taylor., John G, Perang Tersembunyi, Sejarah Timor Timur Yang Dilupakan, FORTILOS, 1998. Mendapatkan izin dari ELSAM
96
Paper& Laporan Hak Asasi Manusia Dahana., Bambang Tribuana, Pencarian Fakta Pelanggaran HAM, Paper Untuk pelatihan Pendokumentasi dan Penulisan Pelanggaran HAM Masa Lalu. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 24-29 Juli 2011. Mendapatkan izin dari yang bersangkutan. Erlijna., Th., J., Investigasi dan Penulisan Laporan Pelanggaran HAM: Menemukan dan Menghadirkan Kebenaran, Paper Pelatihan Pendokumentasian dan Penulisan Laporan Pelanggaran HAM yang diselenggarakan ELSAM di Jakarta, 25 Juli 2011. Mendapatkan izin dari yang bersangkutan. Fauzi., Muhammad, Pengantar Ringkas Pendokumentasian, Disampaikan dalam Pelatihan Pendokumentasian dan Penulisan Laporan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Masa Lalu, Jakarta, 24-29 Juli 2011. Mendapatkan izin dari yang bersangkutan. Paijo,Mengapa harus mengenali Entitas Material di Keranjang Informasi dan Dokumentasi?, Jakarta, 2011, Un-published. Mendapatkan izin dari yang bersangkutan. Robinson, Geoffrey, Timor Timur 1999 Kejahatan terhadap Umat Manusia, Sebuah Laporan Yang Dibuat Berdasarkan Permintaan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa, University of California Los Angeles, Juli 2003, Diterbitkan oleh Perkumpulan HAK dan ELSAM, Dili & Jakarta. Mendapatkan izin dari ELSAM sebagai penerbit dan pemegang hak cipta dalam bahasa Indonesia. Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965, Komnas Perempuan, 2007. Mendapatkan izin secara lisan.
97
Profil ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentukPerkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi manusia (HAM). VISI Terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia. MISI Sebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yang memperjuangkan hak asasi manusia, baik hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan. KEGIATAN UTAMA: 1. Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; 2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; 3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan 4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia PROGRAM KERJA: 1. Meniadakan kekerasan atas HAM, termasuk kekerasan atas HAM yang terjadi di masa lalu dengan aktivitas dan kegiatan yang berkelanjutan bersama lembaga-lembaga seperjuangan lainnya. 2. Penguatan Perlindungan HAM dari Ancaman Fundamentalisme Pasar, Fundamentalisme Agama, dan Komunalisme dalam Berbagai Bentuknya. 3. Pembangunan Organisasi ELSAM melalui Pengembangan Kelembagaan, Penguatan Kapasitas dan Akuntabilitas Lembaga. STRUKTUR ORGANISASI: Badan Pengurus: Ketua : Sandra Moniaga, S.H. Wakil Ketua : Ifdhal Kasim, S.H. Sekretaris : Roichatul Aswidah, M.Sc. Bendahara I : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, LL.M. Bendahara II : Abdul Haris Semendawai S.H., LL.M. Anggota Perkumpulan: Abdul Hakim G. Nusantara, S.H., LL.M.; I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, M.A.; Ir. Agustinus Rumansara, M.Sc.; Hadimulyo; Lies Marcoes, M.A.; Johni Simanjuntak, S.H.; Kamala Chandrakirana, M.A.; Maria Hartiningsih; E. Rini Pratsnawati; Ir. Yosep Adi Prasetyo; Francisia Saveria Sika Ery Seda, Ph.D.; Raharja Waluya Jati; Sentot Setyasiswanto S.Sos.; Tugiran S.Pd.; Herlambang Perdana Wiratraman, S.H., M.A.
98
Badan Pelaksana: Direktur Eksekutif: Indriaswati Dyah Saptaningrum, S.H., LL.M. Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan: Wahyu Wagiman, S.H. Deputi Direktur Pengembangan sumberdaya HAM: Zainal Abidin, S.H. Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan: Otto Adi Yulianto, S.E. Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi: Triana Dyah, S.S. Staf: Ahmad Muzani; Andi Muttaqien, S.H.; Elisabet Maria Sagala, S.E.; Elly F. Pangemanan; Ester Rini Pratsnawati, S.E.; Ikhana Indah Barnasaputri, S.H.; Khumaedy; Kosim; Maria Ririhena, S.E.; Paijo; Rina Erayanti, S.Pd.; Siti Mariatul Qibtiyah; Sukadi; Wahyudi Djafar, S.H.; Yohanna Kuncup Yanuar Prastiwi. Alamat Jl. Siaga II No.31 Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan INDONESIA - 12510 Tel: +62 21 7972662, 79192564 Fax: +62 21 79192519 E-mail :
[email protected] Web page: www.elsam.or.id
99