SAJIMIN: Medicago sativa L (Alfalfa) sebagai Tanaman Pakan Ternak Harapan di Indonesia
Medicago sativa L (ALFALFA) SEBAGAI TANAMAN PAKAN TERNAK HARAPAN DI INDONESIA SAJIMIN Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 (Makalah diterima 21 Maret 2011 – Revisi 10 Juni 2011) ABSTRAK Alfalfa (Medicago sativa L) atau Lucerne adalah tanaman pakan ternak perenial yang berkualitas. Alfalfa termasuk hijauan penting di dunia peternakan dan merupakan jenis tanaman pakan yang pertama dibudidayakan. Tanaman ini termasuk jenis leguminosa yang mampu bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium dengan memfiksasi nitrogen dari udara dan menghasilkan 7,85 – 10,37 g/m2. Sistem perakaran tanaman yang dalam mencapai 4,5 m sehingga toleran kekeringan. Produksi hijauan dapat mencapai 15,48 ton bahan kering per ha/tahun yang mengandung protein kasar 18,0 – 29,1%. Tanaman mampu hidup 3 sampai 12 tahun tergantung pada kondisi iklim dan varietas serta lokasi dimana tanaman alfalfa hidup. Alfalfa termasuk tanaman subtropis sehingga belum banyak dibudidayakan di daerah tropis seperti Indonesia. Masalah budidaya alfalfa adalah tingkat serangan hama dan persaingannya dengan gulma yang tinggi. Oleh karena itu, budidaya perlu perhatian dan perawatan yang baik agar mendapatkan hasil yang optimum. Kata kunci: Alfalfa, produksi hijauan, nutrisi, hama ABSTRACT ALFALFA (Medicago sativa L) AS A PROMISING FORAGE IN INDONESIA Alfalfa (Medicago sativa L) or Lucerne is a perennial herbaceous legume with superior forage quality. It is the most important forage crop in the world and it was the first domesticated forage crop. Alfalfa is able to fix nitrogen from the air through a symbiotic relationship with Rhizobium bacteria with N production 7.85 – 10.37 g/m2. Its rooting system can reach 4.5 m that allows it to escape drought. Forage production can reach 15.48 tons of dry matter per ha/year and containing 18.0 – 29.1 % crude protein. Plants can live 3 to 12 years depending on climatic conditions and crop varieties. However, alfalfa is not a tropical plant, thus it has not been widely cultivated in Indonesia. The problem of alfalfa cultivation are high pest attacks and competition with weeds. Therefore, alfalfa cultivation requires attention and good management to obtain optimum yield. Key word: Alfalfa, forage production, nutrition, pest
PENDAHULUAN Salah satu jenis leguminosa yang mempunyai peranan penting dalam penyediaan hijauan pakan murah dengan nilai gizi dan kecernaan tinggi yang telah tersebar luas di dunia adalah alfalfa (Medicago sativa L). Nama alfalfa berasal dari bahasa Arab yang artinya bapak dari segala tanaman, bahkan disebut juga ”Ratu Hijauan (The Queen of Forage Crops)” (LACEFIELD et al., 2011). Tanaman tersebut merupakan tanaman hutan liar yang tertua dan tumbuh di pegunungan Mediterania di sebelah barat daya Asia. Tumbuhan ini diperkenalkan ke Eropa dari Asia oleh bangsa Persia pada perkiraan tahun 490 SM. Alfalfa adalah tanaman asli daerah subtropis yang kemudian dikembangkan dan dibudidayakan di Amerika Serikat, Jepang, Australia, Korea untuk memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak. Sejarah tertua mengenai tanaman ini berasal dari sisa-sisa alfalfa berusia 6000 tahun
telah ditemukan di Iran. Tulisan tertua mengenai alfalfa diperkirakan ada sejak tahun 1300 SM dan ditemukan di negara Turki. Sebagai pakan ternak, alfalfa memiliki kandungan protein, vitamin, dan mineral yang tinggi. Tanaman alfalfa telah tersebar di berbagai belahan dunia karena memiliki nilai nutrisi hijauan dan produktivitasnya yang stabil sehingga banyak yang tertarik mengembangkannya. Berkembangnya tanaman alfalfa di beberapa lokasi menyebabkan perubahan tanaman dan perbedaan karakterisasi morfologi, fisiologi dan variasi genetik. Akibat perubahan tersebut maka tanaman mengalami perubahan genetik sehingga tanaman memiliki sifat alogami (penyerbukan dengan tanaman lain yang sejenis) dan termasuk tanaman autotetraploidy (RADOVIC et al., 2009). Telah berkembangnya tanaman alfalfa di beberapa negara menyebabkan perbedaan pemberian nama yaitu: at-facfach, arc, alfalfa weefil, buffalo herb, california clover, chileon clover, fevilleic de luzerne, phytoestrogen,
91
WARTAZOA Vol. 21 No. 2 Th. 2011
spanish clover, isoflavone, ratt, kaba yonca, lucerne, medicago, mielga mu su, purple medic. Tanaman alfalfa di Indonesia pertama dibudidayakan tahun 2003 di Boyolali hingga menyebar ke BPTU-Baturraden tahun 2004 sampai 2005. Kemudian, tahun 2007 di Ciawi mulai mengembangkan sebagai koleksi tanaman pakan ternak. Penanaman alfalfa di lokasi pengembangan menggunakan bahan tanam dari biji impor. Namun sampai saat ini alfalfa di Indonesia belum menghasilkan biji. Akibatnya tanaman alfalfa tidak berkembang karena keterbatasan bibit (NUGROHO, 2008 komunikasi pribadi; MARSUDI, 2009 komunikasi pribadi). Makalah ini mengupas mengenai karakterisasi dan budidaya alfalfa untuk pengembangannya di Indonesia. KLASIFIKASI DAN KARAKTERISASI ALFALFA Alfalfa (Medicago sativa L) termasuk tanaman leguminosa perenial yang berkembang secara luas sebagai pakan ternak. Pertumbuhan akar yang dalam dapat mencapai 4,5 meter sehingga tanaman tangguh menghadapi musim kering atau kekeringan yang panjang. Tanaman bercabang dan membentuk rhizome, membutuhkan sinar matahari dan kadar kapur yang cukup, toleran kekeringan tetapi tidak tahan kelembaban tinggi dan penggembalaan berat (AL-NEEM, 2008). Menurut RADOVIC et al. (2009) alfalfa memerlukan drainase baik, pH 6,5 atau lebih, dengan kesuburan tanah yang baik. Alfalfa dapat beradaptasi pada daerah kering dengan curah hujan 200 mm/tahun atau daerah basah 2500 mm/tahun. Batang tanaman tumbuh mendatar, berkayu di bagian dasar, cabang-cabang dan menanjak sampai tegak setinggi 30 – 120 cm. Daun satu tangkai (petiol) berdaun tiga (trifoliat), panjang 5 – 15 mm, berbulu pada permukaan bawah, tangkai daun berbulu, bunga berbentuk tandan yang rapat berisi 10 – 35 bunga, mahkota bunga berwarna ungu atau biru jarang yang berwarna putih (MANNETJE dan JONES, 2000). Menurut HOY et al. (2002) alfalfa termasuk tanaman leguminosa yang biasa tumbuh di daerah temperate (sedang) dan berumur 8 – 10 tahun tergantung kondisi iklim dan lingkungan pertumbuhan tanaman. Klasifikasi tanaman alfalfa menurut USDA (2011): Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Phylum : Tracheophyta Subphylum : Spermatophytina Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Superklass : Angiospermae Kelas : Gymnospermae
92
Subkelas Ordo Famili Genus Spesies
: : : : :
Dicotyledonae Fabales Fabaceae Medicago Medicago sativa L.
POTENSI DAN KUALITAS HIJAUAN ALFALFA Tanaman alfalfa berpotensi untuk dikembangkan sebagai pakan ternak di Indonesia dan memiliki keunggulan biologis khusus dibandingkan dengan tanaman pakan jenis lainnya. Keunggulan-keunggulan tersebut sebagai berikut: Tanaman alfalfa mampu mengikat N dari udara Nitrogen adalah unsur terpenting dalam pertumbuhan tanaman. Kandungan gas nitrogen (N2) di udara sebesar 79% namun tidak dapat dimanfaatkan tanaman. Akan tetapi tanaman dapat memanfaatkan nitrogen dari udara bila bersimbiose dengan bakteri tanah rhizobium dan membentuk bintil akar. Nitrogen diambil dalam bentuk N2 dan diubah menjadi amonium (NH4) sehingga dapat digunakan tanaman (EVERS, 2004; LOYNACHAN, 2005). Alfalfa merupakan tanaman leguminosa yang sangat selektif terhadap rhizobium. Jenis rhizobium yang dapat bersimbiosis dengan alfalfa adalah R. meliloti yang dapat membentuk bintil akar untuk mengikat nitrogen (RAO, 1994). Nitrogen udara yang diikat oleh tanaman alfalfa digunakan untuk tanaman sendiri maupun untuk tanaman kompanionnya. CHAPMEN dan MYERS (1987) dan RUSSELLE (2004) melaporkan bahwa hasil fiksasi nitrogen oleh leguminosa dapat tersedia bagi tanaman yang berada di sekitarnya selama musim pertumbuhan melalui pembusukan akar dan bintil akar merupakan hal penting dalam transfer nitrogen. Pengaruh ini berdampak positif karena dapat mengurangi polusi dengan mengeluarkan nitrogen sesuai dengan kebutuhan tanaman di sekitarnya. FREYER (2004) lahan setelah ditanami alfalfa selama 4 tahun kemudian ditanami jagung menjadi lebih efektif dalam penggunaan urea sampai 33%. Hal ini disebabkan alfalfa mampu mengikat N dari udara sebesar 35 kg/ha pada tahun I dan 102 kg N/ha tahun ke II (BALL, 2008). Kemudian MATENSSON dan LJUNGGREN (1984) dan FREYER (2004) melaporkan N yang dihasilkan alfalfa per m2 7.85 – 10.37 g. RUSSELLE (2004) sumbangan N dalam tanah sebesar 75 lb N/akre atau setara 84,24 kg N/ha dan setelah 2 – 3 tahun meningkat 130 lb N/akre atau setara 146,01 kg N/ha. Tanaman demikian akan menyuburkan tanah secara alami sehingga akan terpenuhi kebutuhan nitrogen.
SAJIMIN: Medicago sativa L (Alfalfa) sebagai Tanaman Pakan Ternak Harapan di Indonesia
Produksi hijauan alfalfa Produksi alfalfa sebagai pakan ternak yang telah dibudidayakan di luar negeri cukup tinggi. Luas penanaman alfalfa di lebih dari 80 negara sekitar 35 juta ha dengan rata-rata produksi 80 t/ha/tahun bahan segar atau 20 t/ha/tahun bahan kering (RADOVIC et al., 2009). Produsen terbesar alfalfa adalah Amerika Serikat diantaranya California, South Dacota dan Wisconsin (WORC, 2005; BECK et al., 2006). Kemudian di Colorado rata-rata produksi 3 juta ton dari 323.748 ha atau senilai 233 juta dolar (SMITH et al., 1999). Di Tennessee selama 1993 – 1996 rata-rata produksi bahan kering 13,84 t/ha/tahun (BATES, 1999). Sedangkan di Argentina rataan produksi dari 1995/1996 – 1998/1999 mencapai 12,42 t/ha/tahun (MARINO dan BERARDO, 2005) dan di Arab Saudi mencapai 5,33 t/ha/tahun. Berdasarkan hasil perkembangan tanaman tersebut nampaknya alfalfa di luar negeri telah menjadi komoditas utama sebagai pakan ternak sapi perah, sapi potong, babi dan domba. Dalam laporan WORC (2005) tanaman alfalfa di Amerika merupakan komoditas utama dengan menempati urutan keempat dari sektor pertanian setelah jagung, kedele dan gandum. Di Amerika alfalfa dibuat hay untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri 95% dan diekspor 5% ke Jepang, Korea, Taiwan, Mexico dan Kanada. Produktivitas alfalfa di beberapa negara dari tahun 1993 – 2010 seperti pada Tabel 1. Tanaman Alfalfa telah berkembang di berbagai negara dengan produktivitasnya bervariasi dari terendah 5 – 15 t/ha/tahun. Produksi hijauan alfalfa
di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negaranegara lain. Hal ini disebabkan tempat pengembangan alfalfa di luar negeri telah lama, sehingga tanaman telah beradaptasi dengan baik. Sedangkan di Indonesia baru mulai dibudidayakan walaupun dapat tumbuh baik nampaknya pertumbuhannya belum optimal. Nutrisi hijauan alfalfa Nilai nutrisinya tidak banyak berbeda dengan nilai nutrisi yang dilaporkan dari negara lain (Tabel 2). Secara umum kandungan nutrisi alfalfa (protein kasarnya) 16,0 – 29,1% dan kandungan NDF antara 40,45 – 44,9% dan ADF 16,2 – 25,4%. Sedangkan hasil analisis protein kasarnya di Semarang dan Sei Putih tidak banyak berbeda. Alfalfa dari Ciawi protein kasarnya mencapai 24,6%. Nilai yang lebih tinggi tersebut disebabkan tanaman pada fase pertumbuhan vegetatif dengan daun lebih banyak. Kualitas hijauan alfalfa terlihat lebih tinggi dari pada jenis leguminosa lain (kaliandra mengandung NDF 25,9 – 59,9% dan ADF 20,9 – 50,4%, kecernaan in vitro 19,3 – 48,4%). Kemudian Leucaena NDF 30,9 – 46,7 dan ADF 22,6 – 27,1, kecernaan in vitro 60,1 – 68,8% (MACQUEEN et al., 2001). MANURUNG (1989) juga melaporkan jenis leguminosa yang telah beradaptasi baik di Indonesia kecernaannya bahan organik kaliandra 30,45% dan glirisidia 40,62%. Dari data tersebut nampak bahwa kecernaan bahan kering 68,32% dan bahan organik 79,8% alfalfa jauh lebih tinggi. Kemudian Leucaena NDF 30,9 – 46,7 dan ADF 22,6 – 27,1, kecernaan in
Tabel 1. Produksi hijauan alfalfa di beberapa lokasi Tahun
Argentina1 t/ha/tahun
Tennesse2 t/ha/tahun
Serbia3 t/ha/tahun
Arab Saudi4 t/ha/tahun
Indonesia5 g/panen/tanaman
……………………………….. Berat kering ……………….…………………….
Sei Putih6 t/ha Berat segar
1993
-
14,12
-
-
-
-
1994
-
14,42
-
-
-
-
1995
-
14,91
-
-
-
-
1996
15,48
11,71
-
-
-
-
1997
12,88
-
-
-
-
-
1998
10,36
-
-
-
-
-
1999
10,88
-
-
-
-
-
2004
-
-
5,99
-
-
-
2005
-
-
6,15
-
-
-
2006
-
-
5,67
-
-
-
2007
-
-
5,02
-
4,22
-
2008
-
-
5,69
5,33
4,00
-
2010
-
-
-
-
-
7,92
Sumber: 1MARINO dan BERARDO (2005); 2BATES (1999); 3RADOVIC et al. (2009); 4AL-NAEEM (2008); 5PARMAN dan HARNINA (2008); 6 SIRAIT et al. (2010)
93
WARTAZOA Vol. 21 No. 2 Th. 2011
Tabel 2. Nilai nutrisi hijauan alfalfa berdasarkan bahan kering Indonesia
Serbia1
Uraian Daun
Ciawi Batang
2
Daun dan batang
Semarang3
Sei Putih4
Daun dan batang
Daun dan batang
……..……………………………… g/kg …………………………………………… Protein kasar
291
145
246,5
185,4
160,2
NDF
448,7
565,3
-
-
404,5
ADF
162,7
438,7
-
-
254,6
Hemiselulose
286,0
126,7
-
-
-
Serat kasar
-
-
26,46
34,77
-
Energy
-
-
4048 (kkal/kg)
-
4439,4 (kkal/kg)
KCBK
-
-
-
68,32
-
-
79,80
-
KCBO
1
2
3
4
Sumber: RADOVIC et al. (2009); PURWANTARI et al. (2009); PARMAN dan HARNINA (2008); SIRAIT et al. (2010)
vitro 60,1 – 68,8% (MACQUEEN et al., 2001). MANURUNG (1989) juga melaporkan jenis leguminosa yang telah beradaptasi baik di Indonesia kecernaannya bahan organik kaliandra 30,45% dan glirisidia 40,62%. Dari data tersebut nampak bahwa kecernaan bahan kering 68,32% dan bahan organik 79,8% alfalfa jauh lebih tinggi. Berdasarkan hasil di atas alfalfa mempunyai peluang yang baik untuk dikembangkan sebagai pakan ternak harapan di wilayah Indonesia. Selain sebagai pakan ternak akhir-akhir ini dilaporkan termasuk jenis tanaman yang serbaguna. Daun tanaman alfalfa banyak mengandung protein dan serat yang tinggi yang sangat cocok digunakan sebagai hijauan bagi ternak ruminansia maupun sebagai suplemen. Kandungan unsur lain yaitu flavonoid terdiri apigenin, glikosida, luteolin dan adenosine yang berfungsi sebagai antiperadangan, antibodi, antiparasit dan antioksidan (RAHMAYANTI dan SITANGGANG, 2006). Namun senyawa flavonoid dalam jumlah besar dapat bersifat sebagai antinutrisi, sehingga perlu pertimbangan sebelum dikonsumsi. Demikian juga PURWANTARI et al. (2009) melaporkan pada tanaman alfalfa di Indonesia mengandung senyawa fitoestrogen antara lain daidzin, apigenin, coumestrol, biochanin. Fitoestrogen tersebut yang merupakan senyawa bukan steroid yang ada di dalam tanaman yang berfungsi untuk melindungi diri dari serangan hama (HUGHES, 1988). Alfalfa sangat disenangi oleh serangga/hama. Telah ditemukan lebih dari 17 spesies, yang menyerang alfalfa sehingga dari sejak tumbuh hingga tanaman menjelang panen (RANDOLPH dan GARNER, 1997). Akibat serangan hama, di AS pernah dilaporkan kehilangan hasil hijauan yang mencapai 6 ton bahan kering per ha (ALDRYHIN, 1994). Kemudian di Bogor juga dilaporkan SAJIMIN dan PURWANTARI (2011) serangan hama tersebut menurunkan produksi
94
hijauan alfalfa 56,8%. Selain hama, alfalfa juga terserang penyakit seperti virus mosaik dan serangan virus ini menurunkan produktivitas hijauan (YARDIMINCI et al., 2007). Tabel 3 menunjukkan kandungan unsur mikro dan makro masih dalam kisaran normal walaupun tanaman terserang virus mosaik. Hal ini nampaknya kualitas hijauan tidak dipengaruhi adanya serangan penyakit dan hanya menurunkan produksi hijauan. Menurut MARCOVIC et al. (2007) bahwa fase pertumbuhan tanaman alfalfa mempengaruhi kandungan unsur makro dan mikro. Jika dibandingkan dengan nilai nutrisi tanaman yang terserang dan tidak terserang masih dalam kisaran normal. Hal ini menunjukkan kualitas alfalfa yang stabil dan tidak dipengaruhi serangan hama penyakit. Kecuali unsur Fe, Mn dan Zn pada alfalfa yang terserang mosaik kandungannya lebih rendah dari kisaran normal. Unsur tersebut termasuk unsur mineral mikro yang dalam tanaman dipengaruhi oleh kondisi tanah yang asam atau produksi hijauan pada musim kering (KHAN et al., 2007). Tabel 3. Perubahan kandungan makro dan mikro nutrien pada alfalfa terinfeksi virus mosaik Nutrien (%)
Tanaman sehat
Tanaman terinfeksi
Kisaran normal
N
5,65
5,96
4,50 – 5,00
P
0,48
0,31
0,26 – 0,70
K
2,68
2,70
2,00 – 3,50
Fe
60,00
15,00
30,00 – 250,00
Cu
48,50
23,50
7,00 – 30,00
Zn
40,00
15,00
Mn
35,00
25,00
Sumber: YARDIMINCI et al. (2007)
21,00 – 70,00 31,00 – 100,00
SAJIMIN: Medicago sativa L (Alfalfa) sebagai Tanaman Pakan Ternak Harapan di Indonesia
Pemanfaatan Tanaman alfalfa di luar negeri telah lama dibudidayakan dan berkembang baik serta pemanfaatannya sebagai pakan ternak memberikan dampak positif. Seperti yang dilaporkan LANDERS et al. (2005) pemberian tepung alfalfa secara ad libitum sebagai pakan ternak unggas pada saat rontok bulu dapat mempertahankan kualitas telur yang dihasilkan. Berdasarkan data di atas memperlihatkan peranan alfalfa sebagai komoditas hijauan yang dapat menyumbangkan pendapatan negara cukup besar dari ekpor. Sedangkan di Indonesia tanaman alfalfa termasuk tanaman baru sehingga belum banyak diketahui produksi ataupun penggunaannya sebagai pakan ternak. Dilaporkan juga tanaman alfalfa memiliki kandungan klorofil yang tinggi, asam amino, vitamin serta unsur mineral penting untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak (MARCOVIC et al., 2007). Selain sebagai pakan ternak, klorofil alfalfa juga telah banyak digunakan untuk minuman kesehatan manusia di Indonesia. Budidaya dan kendala pengembangan alfalfa di Indonesia Budidaya alfalfa memerlukan kondisi tanah yang netral dengan salinitas rendah dan drainase baik. Perbanyakan tanaman menggunakan biji namun di daerah tropis (Indonesia) bunga yang terbentuk tidak berbiji. Tidak berbijinya alfalfa menurut MERCER (1943) dan HIRNYCK et al. (2004) dalam penyerbukannya bunga alfalfa untuk produksi biji diperlukan bantuan serangga seperti lebah madu sebagai pollinator yaitu Apis mellifera yang banyak berkembang di California. Selain kendala serangga pollinator yang sering menjadi masalah dalam budidaya adalah persaingan dengan gulma dan serangan hama. Jenis hama yang menyerang alfalfa yaitu pemotong, pengisap dan pemakan daun, batang dan akar. Jenis hama yang paling serius adalah alfalfa weevil (Hypera postica) (COOK et al., 2004). Serangga ini memakan daun, batang dari mulai larva sampai dewasa. Pertama kali ditemukan menyerang alfalfa tahun 1904. Serangga tersebut berasal dari Asia kemudian menyebar ke Amerika melalui Eropa bagian utara. Setelah 50 tahun populasi hama tersebut telah ditemukan di bagian Barat, Tengah dan Timur Amerika (SELL et al., 1978). Hingga saat ini telah tersebar disemua bagian dunia yang menanam alfalfa (ALDRYHIN, 1994) termasuk Indonesia. Hama lain yang tidak kalah penting adalah potato leafhopper (Empoasca fabae Harris). Serangan hama ini pernah dilaporkan menurunkan hasil hingga 50%.
Gejala serangan pada awalnya tidak jelas kemudian setelah terserang meninggalkan gejala seperti tanaman defisiensi boron yang membentuk huruf V dari ujung daun kemudian menjalar kesemua bagian tanaman dan menyebabkan kematian (COOK et al., 2004). Dari beberapa laporan siklus hidup serangga hama alfalfa rata-rata relatif pendek, serangga betina dewasa ratarata satu bulan dengan menghasilkan telur 200 – 5000 serangga betina. Jumlah telur tersebut mengakibatkan serangan hama tiap tahun selalu tumpang tindih dan tidak tergantung musim. Adanya hambatan tersebut maka di Indonesia perlu perawatan khusus, menurut ASHIGH et al. (2009) tanaman alfalfa kurang dikembangkan di daerah tropis karena masalah hama, penyakit, dan gulma. Untuk budidaya alfalfa agar mendapatkan hasil optimum perlu perhatian dari mulai tanam hingga tanaman menghasilkan. Hal yang perlu diperhatikan terutama kondisi tanah dengan drainase baik serta penggunaan kapur untuk menaikan pH, karena alfalfa tidak dapat tumbuh baik pada tanah asam (pH tanah optimum 6,3 – 7,5). Selain itu juga pencegahan tumbuhnya gulma. Di daerah tropis pertumbuhan gulma sangat cepat sehingga pertumbuhan alfalfa lambat karena kalah bersaing. Kondisi demikian juga dikemukakan oleh MARSUDI (komunikasi pribadi) bahwa penanaman alfalfa di Baturraden tidak berkembang disebabkan oleh pertumbuhan gulma yang lebih cepat dari tanaman alfalfa. Keadaan tersebut perlu perhatian terutama pada awal pertumbuhan, persaingan dengan gulma dan hama yang ditemukan pada pertanaman alfalfa. Jenis gulma dan hama yang sering ditemukan pada pertanaman alfalfa (Tabel 4) terlihat bahwa pengembangan tanaman alfalfa banyak kendala dari mulai tumbuh hingga berproduksi terserang hama dan persaingannya dengan gulma sehingga perlu perawatan lebih intensif. Sedangkan pada kondisi di Indonesia hama dan gulma yang umum ditemukan pada lahan pertanian yang biasa diberantas secara mekanik dan kimia. Walaupun demikian masih mempunyai prospek untuk dikembangkan, hal ini terlihat dari kualitas hijauan dan dapat tumbuh baik. Selain itu juga dari manfaat yang begitu banyak bagi kesehatan manusia sehingga perlu didapatkan tanaman yang dapat beradaptasi di daerah tropis terutama di Indonesia. Namun sampai saat ini, alfalfa belum menjadi komoditas utama bahkan banyak yang belum mengenal tanaman ini sehingga serangan hama/penyakit belum banyak dilaporkan. Dari hasil pengamatan di Boyolali, Baturraden dan Ciawi yang dilaporkan SAJIMIN dan PURWANTARI (2011) tanaman alfalfa terserang hama jenis belalang (E. fabae) dan ulat menggulung (Hypera pastica) menyebabkan produksi hijauan berkurang hingga 50% dari yang tidak terserang dan kerusakan tanaman hingga 75%.
95
WARTAZOA Vol. 21 No. 2 Th. 2011
Tabel 4. Jenis gulma dan jenis hama yang biasa terdapat pada tanaman alfalfa Nama ilmiah gulma1
Nama ilmiah hama2
Nama populer
Nama populer
Cynodon dactylon* (rumput grinting)
Bermuda grass
Laphygma frugiperda
Fall armyworm
Convolvulus arvensis
Field bindweed
Spodoptera exigua
Beet armyworm
Sorghum balepense
Johnsongrass
Plathypena scabra
Green cloverworm
Cyperus rotundus* (teki)
Purple nutsedge
Colias philodice eurytheme
Alfalfa caterpillar
Solnum elaeagnifolium
Silver leaf night shade
Loxostege similalis
Garden webworm
Helianthus ciliaris
Texas blue weed
Loxostege commixtalis
Alfalfa webworm
Cyperus esculentus* (teki)
Yellow nutsedge
Loxostege sticticalis
Beet webworm
Bramus tectorum
Cheat grass
Estigmene acrea
Salt-marsh caterpillar
Descorainia sophia
Flixweed
Pogonomyrmex barbatus
Texas harvester
Sisymbrium irio
London rocket
Bruchopagus gibbus
Cover seed chalcig
Bramus catharticus
Rescue grass
Dasyneura legumincola
Clover seed midge
Capsella bursa-pastoris
Sphennerdspure
Therioaphis maculate
Spoted alfalfa aphid
Descurainia pinnata
Tansy mustard
Macropsiphum pisi
Pea aphid
Cuscuta spp.
Dodder
Spissistilus festinus
Three cornered alfalfa hopper
Setaria viridis
Gree foxtail
Empoasca fabae
Potato leaf hopper
Kochia scorporia
Kochia
Hypera postica
Alfalfa weevil
Amaranthus spp.* (bayam-bayaman)
Pigweed species
Hypera punctata
Clover leaf
Cenchrus spp.
Grasbur
Hamona coffearia*
Ulat penggulung daun3
Steria glauca
Yellow foxtail
Hyposidra talaca*
Ulat jengkal3
Malva neglecta
Common mallow
Phytium sp.*
Penyakit busuk akar3
Taraxacum officinale
Dandelion
Cuscuta spp.
Dodder
Plantago spp.
Plantain
Capsella bursa-pastoris
Shepherdpure
Descurainia pinnata
Tansymustard
Asclepias spp.
Whorled milkweed
Euphorbia geniculata*
Katemas3
Ageratum conyzoides*
Babadotan3
Portulaca oleraceae*
krokot3
*jenis hama dan gulma yang ditemukan di Indonesia Sumber: 1RANDOLPH dan GARNER (1997); 2ASHIGH et al. (2009); 3SAJIMIN dan PURWANTARI (2011)
Untuk pencegahan gulma, ASHIGH et al. (2009) menganjurkan aplikasi herbisida yang bersifat mematikan gulma berdaun lebar maupun yang berdaun sempit (pita). Sedangkan untuk hama perlu penggunaan pestisida organik atau penggunaan varitas yang tahan serangan hama melalui seleksi sehingga aman jika hijauannya sebagai pakan ternak. Karena dengan pertumbuhan yang optimal kualitas hijauan (kandungan protein) meningkat lebih dari 20%, sedangkan gulma yang tidak terkontrol maka kandungan proteinnya
96
alfalfa berkurang bahkan mencapai 9%. Keadaan demikian perlu penanganan yang baik sehingga akan diperoleh hasil maupun kualitas yang optimum. Penanganan kualitas dan produksi juga pernah dilakukan SIRAIT et al. (2010) dengan pemberian pupuk P 120 t/ha produksi mencapai 13,26 t/ha dibandingkan dengan kontrol 2,06 t/ha berat segar. Demikian juga protein kasarnya berturut-turut 16,02 dan 10,02%.
SAJIMIN: Medicago sativa L (Alfalfa) sebagai Tanaman Pakan Ternak Harapan di Indonesia
KESIMPULAN Tanaman alfalfa memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan jenis leguminosa lainnya diantaranya umur sampai 12 tahun, kandungan unsur makro, mikro serta vitamin dan asam amino yang lebih lengkap serta kecernaan bahan kering dan bahan organik. Produksi hijauan dapat mencapai 15,48 ton bahan kering/ha/tahun dengan kandungan protein kasar 18,0 – 29,1%. Alfalfa termasuk tanaman yang memerlukan perawatan intensif dan tidak dapat bersaing dengan gulma selain itu juga banyak terserang hama ulat penggulung daun, kutu daun dan belalang dari pertumbuhan awal hingga tanaman berproduksi. Tanaman alfalfa mampu fiksasi nitrogen dari udara sebesar 7,85 g – 10,37 g N/m2/tahun. Hasil fiksasi dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman sendiri sehingga tidak memerlukan pupuk, bahkan dapat menyumbangkan nitrogen dalam tanah melalui pembusukan bintil akarnya. Tanaman alfalfa termasuk tanaman baru di Indonesia sehingga untuk pengembangannya perlu dilakukan terencana dan disesuaikan kondisi agroklimat. DAFTAR PUSTAKA ALDRYHIN, Y.N. 1994. Seasonal abundance and biology of Hypera postica (Gyllenhal) Coleoptera: Curculionidae) under irrigation from two different water sources. Arab Gulf. J. Sci. Res. 12(3).pp 479 - 488. http://colleges.ksu.edu.sa/food and agriculture/ plant protection/academic research. (23 Februari 2011). AL-NAEEM, M.A. 2008. Influence of water stress on water use efficiency and dry-hay production of afalfa in Alabsa, Saudi Arabia. International Journal of Soil Science. Academic Jounals Inc. 3 (3): 119 – 126. http://docdrive.com/pdfs/academicjournals/ijss/2008/ 119.126.pdf. (23 Februari 2011) ASHIGH, J., M. CRAIG and L. LAURIAULT. 2009. Managing Weeds in Alfalfa. Guide A-325. N.M. State University. Mexico. http:// aces.nmsu.edu/pubs/a/a. 325pdf. (4 Maret 2011). BALL, A.M.T. 2008. Subarctic N Fixation in Monoculture Alfalfa and Mixed Alfalfa/Grass Forage swards. Thesis. The University of British Colombia. http;//www.westernag.ca/mnov/resources/thesis/ubc. (24 Februari 2011). BATES, G. 1999. Alfalfa High-quality Forage Production. Agriculture Extension Service The University of Tennessee. http://www.utextension.utk.edu/publica tions/spfiles/ sp434c.pdf. (23 Februari 2011). BECK, F., B. PEAR and W.M. BROWN. 2006. Alfalfa: Production and Management. No. 703. Colorado State University Cooperative Extension, Colorado.
CHAPMAN, A.L and R.J.K. MYERS. 1987. Nitrogen contribution by grain legumes to rice growth in rotation on the cucunura soil of the irrigation area West Australia. Aust. J. Exp. Agric. 27: 155 – 163. COOK, K.A., S.T. RATCLIFFE, M.F. GRAY and K.L. STEFFEY. 2004. Potato leafhopper (Empoasca fabae Harris). Integrated Pest Management. http://ipm.illionis.edu/ field.crops/insects/alfalfaweevil. (5 Februari 2011). EVERS, G.W. 2004. Nitrogen fixation from the air: How does it work? Pasture and forages article. Southern Livestock. http://www.southernlivestock.com/ articles/pasture and forages/nitrogen fertilizer from the air how does it work 1828.sls. (15 Maret 2011). FREEYER, B. 2004. Biological Nitrogen Fixation of Different Legume Species Under Water Stress. University of Natural Resources and Applied Life Sciences Institute of Organic Farming. Gregor Mandel Strasse 33. Vienna, Austria. HIRNYCK, L., L. DOWNEY and S.O. COATS. 2004. Pest Management Strategic Plant for Production. Western Alfalfa Seed/Clover Seed PMSP. http://www.ipm centers.org/pmsp/pdf/westalfalfacloverseed.pdf. (15 Juni 2011). HOY, D.M., K.J. MOOERE, J.R. GEORGE and E. C. Brummer. 2002. Alfalfa yield and quality as influenced by establishment method. Agron. J. 94: 65 – 71. HUGHES JR., C.L. 1988. Phytochemical mimicry of reproductive hormones and modulalation of herbivore fertility by phytoestrogen. Dalam: PURWANTARI, N.D; SAJIMIN dan FITRAHTUNNISA. 2009. Eksplorasi senyawa fitoestrogen di dalam tanaman pakan ternak dan pengembangannya terhadap produksi ternak. Laporan Tahunan Sinergi Penelitian dan Pengembangan Bidang Pertanian (Sinta). Balitnak, Ciawi, Bogor. 23 hlm. KHAN, Z.I., M. ASHRAF, K. AHMAD, I. MUSTAFA and M. DANISH. 2007. Evaluation of micro minerals composition of different grasses in relation to livestock requirements. J. Botani Pakistan 39(3): 719 – 728. LACEFIELD, G.D; J.C. HENNING, M. RASNAKE and M. COLLINS. 2011. Alfalfa the Queen of Forage Crops. Cooperative Extention Service. University Kentucky. http: //www.ca.uky.edu. (23 Januari 2011). LANDERS, K.L., Z.R. HOWARD, C.L. WOODWARD, S.G. BIRKHOLD dan S.C. RICKE. 2005. Potential of alfalfa as an alternative molt induction diet for laying hens: Egg quality and consumer acceptability. Bioresource Technology. Elserver. 96: 907 – 911. http://www. ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15627561. (12 Maret 2011). LOYNOCHAN, T. 2005. Nitrogen Fixation by Forage legumes. Department of Agronomy. Iowa State University. Ames. 6 p.
97
WARTAZOA Vol. 21 No. 2 Th. 2011
MACQUEEN, D.J., B.W. NORTON dan J.L. STEWART, 2001. Use and management of Calliandra calothyrsus an agroforestry tree for the humid tropics. Tropical Forestry Papers No 40. Oxford Forestry Institute University of Oxford. pp. 37 – 52.
RADOVIC, J., D. SOKOLOVIC dan J. MARKOVIC. 2009. AlfalfaMost Important Perennial Forage Legume in Animal Husbandry. Biotechnology in Animal Husbandry. Institute for animal Husbandry, Belgrade-Zenum. 25(5 – 6): 465 – 475.
MANNETJE, L. dan R.M. JONES. 2000. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. PT Balai Pustaka, Bogor.
RAHMAYANTI, E. dan M. SITANGGANG. 2006. Taklukan Penyakit dengan Klorofil Alfalfa. Agromedia, Jakarta.
MANURUNG, T. 1989. Manfaat Legume Pakan Sebagai Sumber Protein Ransum Berjerami Padi yang Diperkaya Dengan Urea dan Tetes. Tesis Doktor. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 169 hlm. MARCOVIC, J., J. RADOVIC, Z. LUGIC and D. SOKOLOVIC. 2007. The effect of development stage on chemical composition of alfalfa leaf and steam. In: AlfalfaMost Important Perennial Forage Legume in Animal husbandry. RADOVIC, J., D. SOKOLOVIC dan J. MARKOVIC (Eds.). Biotechnology in Animal Husbandry Institute for Animal Husbandry, BelgradeZenum. 25(5 – 6): 465 – 475. MARINO, L and K. BERARDO. 2005. Alfalfa forage production under different phosphorus supply strategies. Better crops. 89(4) Argentina. http://www.ipni.net/ ppiiweb/ bcrops.nsp/swebindex. pp. 22 – 25 (24 Februari 2011). MARTENSSON, A.M. and H.D. LJUNGGREN. 1984. Nitrogen Fixation in An Establishing Alfalfa (M. sativa L.) Ley in Sweden, estimated by three different methods. American Society for Microbiology 48(4). http://utpmc.ac.uk/articles/PMC 241598. (23 Oktober 2010). MERCER, R.D. 1943. Alfalfa Seed Production. Bulletin No. 218.Montana State College and United States Department of Agriculture. Distributed in furtherance of the Acts of Conggress. Montana. http:// arc.lib.montana.edu/msu.extention/object/extl.pdf. (15 Juni 2011). PARMAN, S. dan S. HARNINA. 2008. Pertumbuhan, kandungan klorofil dan serat kasar pada defoliasi pertama alfalfa akibat pemupukan mikorisa. Bull. Anatomi dan Fisiologi Unnes, Semarang 16(2): 6. PURWANTARI, N.D., SAJIMIN dan FITRAH TUNNISA. 2009. Eksplorasi Senyawa Fitoestrogen di dalam Tanaman Pakan Ternak dan Pengembangannya Terhadap Produksi Ternak. Laporan Sinergi Penelitian dan Pengembangan Bidang Pertanian (Sinta). Balitnak, Puslitbangnak dan Badan Litbang. 23 hlm. RAO, N.S.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Terjemahan H. Susilo. Universitas Indonesia Press, Jakarta. 353 hlm. RANDOLPH, N.M. and C.F. GARNER. 1997. Insects Attacking Forage Crops. Texas Agricultural Extension Service. The Texas A & M University System. http://insects.tamu.edu/ extension/bulletin/b.975. (23 Januari 2011).
98
RUSSELLE. M. 2004. The environmental impacts of N2 fixation by alfalfa. Proc. National Alfalfa Symposium. San Diego. http://alfalfa.uedavis.edu. STEINBECK, J. (Ed.). Alfalfa from Wikipedia. The Free Encyclopedia. California. (http://en.wikipedia. org/wiki/alfalfa) (31 Januari 2011). SAJIMIN dan N.D. PURWANTARI. 2011. Tanaman Alfalfa sebagai komoditas harapan pakan ternak: Pengaruh serangan hama terhadap produktivitas hijauan pada pemotongan pertama. Makalah Disampaikan pada acara Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia, 16 – 17 Februari 2011. Universitas Padjadjaran, Bandung. 11 p. SELL, D.K., E.J. ARMBRUST and G.S. WHITT. 1978. Genetic differences between Eastern and Western population of the alfalfa weevil. J. Heredity 69: 37 – 50. http://www.jhered.oxford jounarls.org. (4 Februari 2011). SIRAIT, J., M. SYAWAL and K. SIMANIHURUK. 2010 Tanaman alfalfa adaptif tanaman dataran tinggi beriklim basah sebagai sumber pakan: Morfologi, produksi dan palatabilitas. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 3 – 4 Agustus 2010. Puslitbang Peternakan, Bogor. pp. 519 – 528. SMITH, D.H, G.K. BECK, F.B. PEARIRS and W.M. BROWN. 1999. Alfalfa: Production and Management. Colorado State University Cooperative extention. No. 703: 4 p. http://cospl.coalliance.org/ fez/eserv pdf. (23 Februari 2011). USDA. 2011. Germplasm Resources Information Network (GRIN). United State Department of Agriculture, Agriculture Research Service, Bellsville Area. http://www.ars.grin-gov/cgi-bin/npgs/htm/taxon.pl. (27 Februari 2011). WORC. 2005. The problem with Genetic Modified Organism (GMO) Alfalfa. Grassroot Leaderships and Action. http://www.worldingo.com/ ma/enwiki/en/alfalfa. (30 Januari 2011). YARDIMINCI, N., H. ERYIGIT and I. ERDAL. 2007. Effect of alfalfa mosaic virus (AMV) on the content of some macro and micronutrients in alfalfa. J. Culture Collection 5: 90 – 93.