Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
POLICY PAPER No. 15 MARET 2013
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015: PELUANG DAN TANTANGAN BAGI UKM INDONESIA
Daftar Isi Team
○
○
○
○
○
○
○
i
Pendahuluan
○
○
○
○
○
○
○
1
Dampak Pasar Bebas: Pembahasan Teori
○
○
○
○
○
○
○
1
Kinerja Ekspor dan Daya Saing
○
○
○
○
○
○
○
7
○
○
○
○
○
○
○
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
○
○
○
○
○
○
○
17
Daftar Pustaka
○
○
○
○
○
○
○
19
Tantangan, Peluang dan Ancaman
14
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Team
Penulis : Tulus T.H. Tambunan
Steering Commitee 1. Hariyadi B. Sukamdani 2. Emirsyah Satar 3. Maxi Gunawan 4. Rahardjo Jamtomo Active Team 1. Didik J. Rachbini - Executive Director 2. Tulus Tambunan - Senior Economist and Project Team Leader 3. Rasidin Sitepu - Junior Economist 4. M. Hakim - Legal Councel 5. Yohanna M.L Gultom - Social Scientist 6. Aslim Nurhasan - PR Professional/Expert
Tulisan ini merupakan hasil pemikiran Tim Advokasi Program ACTIVE. Pertanyaan yang berkaitan dengan tulisan ini dapat diajukan kepada Tim ACTIVE Kadin Indonesia di
[email protected]
i
Di Indonesia, sejak awal periode Orde Baru (1966-1998) hingga sekarang ini sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan UMKM di dalam negeri dalam berbagai macam program dan kebijakan/peraturan, termasuk menerbitkan undang-undang (UU) UMKM No.20 tahun 2008. Program-program yang telah/masih dilakukan antara lain dari berbagai skim kredit bersubsidi mulai dari KIK (Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) pada
1 2
Programme
Dari perspektif dunia, diakui bahwa usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) memainkan suatu peran vital di dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di negaranegara sedang berkembang (NSB) tetapi juga di negara-negara maju (NM). Diakui secara luas bahwa UMKM sangat penting karena karakteristikkarakteristik utama mereka yang membedakan mereka dari usaha besar (UB), terutama karena UMKM adalah usaha-usaha padat karya, terdapat di semua lokasi terutama di perdesaan, lebih tergantung pada bahan-bahan baku lokal, dan penyedia utama barang-barang dan jasa kebutuhan pokok masyarakat berpendapatan rendah atau miskin.1 Dengan menyadari betapa pentingnya UMKM tersebut, tidak heran kenapa pemerintah-pemerintah di hampir semua NSB mempunyai berbagai macam program, dengan skim-skim kredit bersubsidi sebagai komponen terpenting, untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan UMKM. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Organisasi Dunia untuk Industri dan Pembangunan (UNIDO) dan banyak negara-negara donor melalui kerjasamakerjasama bilateral juga sangat aktif selama ini dalam upaya-upaya pengembangan (atau capacity building) UMKM di NSB.
dekade 1970-an hingga KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang diperkenalkan oleh Presiden SBY. Namun banyak studi maupun data nasional yang ada menunjukkan bahwa kinerja UMKM di Indonesia masih relatif buruk bukan saja dibandingkan dengan UB, tetapi juga dibandingkan dengan UMKM di NM. 2 Bahkan belakangan ini, muncul perdebatan terutama di kalangan akademis dan pembuat kebijakan apakah UMKM Indonesia mampu bersaing di pasar ekspor atau paling tidak bisa bertahan di pasar dalam negeri terhadap persaingan yang semakin ketat dari barang-barang impor. Perdebatan ini semakin sengit dengan diberlakukannya perdagangan bebas antara ASEAN dengan China (CAFTA) dan rencana penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ME-ASEAN) pada tahun 2015 yang sudah tidak lama lagi, yang pada intinya adalah tidak ada lagi hambatan terhadap arus barang dan jasa, manusia dan modal antara negara-negara anggota ASEAN.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
1. Pendahuluan
Dengan latar belakangan tersebut di atas, berdasarkan analisa data sekunder dan survei literatur kunci mengenai dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap UMKM, tulisan ini bertujuan menganalisis kinerja ekspor UMKM Indonesia dan membahas tantangan, peluang dan ancaman yang dihadapi oleh kelompok usaha tersebut dengan diberlakukannya pasar bebas ASEAN.
2. Dampak Pasar Bebas: Pembahasan Teori Kebijakan perdagangan internasional telah mengalami suatu perubahan fundamental di banyak negara di Asia,
Lihat misalnya Tambunan (2009 a,b,c, 2010). Lihat misalnya Tambunan (2009 a,b,c, 2010).
1
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
khususnya di Asia Tenggara dan Timur, dalam dua decade terakhir ini. Di Indonesia sendiri, liberalisasi perdagangan luar negeri telah dimulai bertahap sejak tahun 1986 dan sejak tahun 1994 Indonesia sudah mengurangi secara signifikan tarif-tarif impornya dari rata-rata tidak tertimbang sekitar 20 persen pada tahun 1994 ke 9,5 persen pada tahun 1998. Pada tahun 1998, tarif-tarif impor yang dikenakan terhadap berbagai produk makanan juga dikurangi hingga maksimum 5 persen. Selain tarif-tarif impor, pemerintah Indonesia juga menghilangkan berbagai macam hambatan non-tarif (NTBs) terhadap impor dan hambatan-hambatan terhadap ekspor. Sejak krisis ekonomi tahun 1997-98, Indonesia telah melakukan berbagai deregulasi di dalam kebijakan perdagangan luar negerinya untuk komoditas-komoditas utama pertanian (kecuali beras untuk alasan-alasan sosial dan politik), dan juga sudah menghapus praktek-praktek monopoli dalam produksi dan perdagangan di industri-industri tertentu terutama yang membuat produk-produk perantara atau bahan baku bagi sektor-sektor lainnya, termasuk semen, kayu lapis dan rotan serta mengurangi pajak teradap ekspor kayu. Terutama sejak makin banyaknya studi yang menganalisis dampak terhadap ekonomi dari negara-negara seperti Korea Selatan, Indonesia, China, Thailand dan lainnya dari reformasi kebijakan perdagangan luar negeri mereka ke arah pasar bebas 3 ,wilayah Asia Tenggara dan Timur memberi banyak bukti mengenai keuntungan-keuntungan, selain juga ancaman-ancaman yang bisa muncul dari liberalisasi perdagangan internasional. Berdasarkan data tahunan dari WTO dan UNCTAD, dalam beberapa tahun belakangan ini, dengan pertumbuhan yang berkelanjutan
3
dalam perdagangan eksternal, wilayah tersebut telah menciptakan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di dunia dan juga mengalami penurunan dalam kemiskinan sekitar rata-rata 12,5 persen pada awal tahun 2000 jika dibandingkan dengan awal dekade 90an. Melalui perluasan perdagangan luar negeri, wilayah itu menjadi semakin terintegrasi dengan ekonomi global dan mendapatkan lebih banyak lagi keuntungan dari itu. Namun demikian, fokus dari studi-studi tersebut lebih pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan industri manufaktur dalam negeri. Implikasi dari liberalisasi perdagangan internasional terhadap UMKM di negara-negara tersebut masih merupakan suatu isu yang kurang diteliti di dalam literatur mengenai UMKM di NSB pada umumnya dan di Asia pada khususnya. Kemungkinan studi yang paling komprehensif yang ada hingga saat ini mengenai isu tersebut di Asia adalah dari Nugent dan Yee (2002) terhadap UMKM di Korea Selatan. Penelitian mereka menunjukkan bahwa UMKM di negara itu yang jauh lebih maju dibandingkan UMKM Indonesia, terkait langsung dengan kebijakan perdagangan luar negeri negara tersebut yang berorientasi ekspor. Ada kepercayaan umum bahwa liberalisasi perdagangan antar negara akan menguntungkan ekonomi dalam negeri maupun dunia secara keseluruhan. Pada tingkat makro, liberalisasi perdagangan internasional dapat memberikan keuntungan-keuntungan secara luas melalui jalur-jalur berikut ini: perbaikan alokasi sumber-sumber daya produksi (dalam arti sumber-sumber daya produksi yang terbatas akan tersalurkan ke kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif); akses ke teknologi-
Beberapa dari yang paling dikenal adalah Krueger (1978), Dollar (1992), dan Kruger dkk. (2000).
2
Sedangkan pada tingkat mikro, secara teori, liberalisasi perdagangan internasional, seperti CAFTA dan ME-ASEAN 2015 dalam konteks ASEAN, bisa mempengaruhi secara negatif atau positif perusahaan-perusahaan lokal (misalnya Indonesia) secara individu melalui empat (4) cara. Pertama, melalui peningkatan persaingan di pasar domestik. Tarif impor yang rendah atau nol dan tidak adanya pembatasan (kuota) dan hambatan-hambatan impor lainnya akan meningkatkan daya saing di pasar domestik, dan
Programme
hal ini akan memaksa perusahaanperusahaan lokal yang tidak efisien/produktif untuk memperbaiki kinerjanya atau meningkatkan produktivitasnya dengan cara menghilangkan pemborosan-pemborosan, mengeksploitasi-kan skala ekonomis eksternal dan mengembangkan skop, menggunakan teknologi-teknologi baru, serta melakukan secara terus menerus inovasi, atau kalah bersaing dan akhirnya terpaksa menutup usaha. Keterbukaan dari suatu ekonomi terhadap perdagangan internasional juga dilihat sebagai peningkatan skala usaha/ pabrik hingga mencapai efisiensi skala dari perusahaan-perusahaan lokal dengan cara mengadopsi teknologi-teknologi, manajemen, organisasi dan metode-metode produksi yang lebih efisien. 4 Kedua, melalui penurunan biaya produksi. Karena tidak ada lagi tarif impor dan hambatan-hambatan impor lainnya maka harga-harga dari bahan-bahan baku dan input lainnya yang diimpor menjadi murah, sehingga memperkuat posisi dari perusahaan-perusahaan domestik dalam persaingan di pasar domestik dengan barangbarang jadi impor dan/atau di pasar ekspor. Ketiga, melalui peningkatan ekspor. Suatu negara membuka diri terhadap perdagangan dunia tidak hanya membuat peningkatan efisiensi di perusahaan-perusahaan domestic, tetapi juga menstimulasi ekspor.5 Keempat, melalui pengurangan ketersediaan bahan-bahan baku atau input lainnya di pasar dalam negeri. Dengan menghilangkan hambatan-hambatan terhadap ekspor bahanbahan baku, maka ekspornya akan meningkat,
4
Pandangan ini sejalan dengan teori umum yang mana skala usaha diprediksi mempengaruhi secara positif kinerja ekspor dari perusahaan-perusahaan. Teori perdagangan internasional yang baru menghipotesakan suatu dampak positif dari luas pasar dalam pandangan dari skala ekonomis. Teori tersebut menegaskan bahwa skala ekonomis memberikan keuntungan biaya-biaya dalam kegiatan-kegiatan produksi, R&D, dan pemasaran. Lihat misalnya, Tybout (1992) dan Bonaccorsi (1992) untuk suatu tinjauan literatur. Di sisi lain, literatur mengenai pemasaran ekspor memberi kesan bahwa UB mempunyai sumber-sumber daya produksi yang lebih besar untuk mendapatkan informasi mengenai pasar-pasar di negara-negara lain dan untuk menanggung ketidakpastianketidakpastian dari suatu pasar luar negeri (lihat misalnya Wakelin, 1997). Oleh karena itu, sebagai suatu hipotesa umum, UB, bukan UMKM, yang lebih berorientasi ekspor.
5
Pandangan ini lebih didukung secara umum oleh hasil-hasil ekonometri. Lihat, misalnya, Aggarwal (2001) dan Tybout dkk. (1991).
3
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
teknologi yang lebih baik atau barang-barang modal dan perantara dengan teknologi maju sehingga negara-negara yang belum mampu mengembangkan teknologinya sendiri, termasuk Indonesia, tidak akan ketinggalan dalam perkembangan teknologi karena dengan mudah bisa didapat dari negara-negara yang mampu mengembangkan teknologi seperti Amerika Serikat (AS), Jerman, Jepang dan lainnya; skala ekonomis dan skop (dengan adanya perdagangan antar negara maka setiap negara bisa memperluas pasarnya sehingga dalam produksinya, skala ekonomis bisa tercapai dan setiap negara bisa memperluas variasi produk yang dapat diproduksi di dalam negeri dengan berdasarkan spesialisasi); persaingan di pasar domestik yang lebih besar (dan ini memaksa setiap perusahaan di dalam negeri untuk meningkatkan daya saingnya melalui peningkatan efisiensi, perbaikan kualitas produk, dan lainnya); serta adanya pertumbuhan eksternalitas yang menguntungkan seperti peralihan pengetahuan dan lainnya (Falvey dan Kim, 1992).
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
dan ini berarti perusahaan-perusahaan di dalam negeri akan mengalami kelangkaan atas bahan-bahan baku. Ini merupakan suatu efek negatif dari liberalisasi perdagangan internasional terhadap perusahaanperusahaan domestik. Seperti yang diilustrasikan di Gambar 1, kombinasi dari garis-garis (a) yakni produkproduk konsumen yang diimpor dan (b) yakni produk-produk serupa (substitusi) buatan lokal/dalam negeri adalah ‘efek-efek persaingan’ dari liberalisasi perdagangan internasional. Efek-efek persaingan tersebut bisa juga disebut efek-efek efisiensi, karena tingkat daya saing juga ditentukan oleh tingkat efisiensi. Sementara itu, kombinasi dari garisgaris (c) yakni produk-produk yang diimpor untuk kebutuhan produksi dalam negeri (input) dan (d) yakni input serupa buatan lokal adalah ‘efek-efek penurunan biaya produksi’ dari liberalisasi perdagangan internasional. Selanjutnya, garis (e) adalah ‘efek-efek kesempatan ekspor’ dari perusahaanperusahaan lokal (dalam negeri). Dalam konteks ini, perusahaan-perusahaan tersebut mendapatkan peluang ekspor lebih besar dari liberalisasi perdagangan internasional.
Terakhir, kombinasi dari garis-garis (d) dan (f) yakni input buatan lokal yang bisa dijual ke luar negeri adalah ‘efek kekurangan input di dalam negeri’ dari liberalisasi perdagangan internasional. Efek penurunan biaya produksi dan efek efek kekurangan input di pasar dalam negeri tersebut dapat digabungkan menjadi ‘efek sisi penawaran total’, sedangkan kombinasi dari efek persaingan dan efek peluang ekspor tersebut dapat dianggap sebagai efek sisi permintaan total dari liberalisasi perdagangan internasional. Efek sisi penawaran total tersebut bisa negatif apabila efek kedua itu lebih besar daripada efek pertama. Sebagai alternatifnya, hal itu bisa positif apabila yang tejadi sebaliknya, atau jika satu efek sepenuhnya dikompensasi oleh efek lainnya tersebut. Dengan demikian, ekspektasi umum adalah bahwa liberalisasi perdagangan internasional yang meningkatkan persaingan internasional di pasar domestik akan berdampak buruk terhadap UMKM yang tidak efisien atau yang berdaya saing rendah, sementara itu akan menguntungkan UMKM yang efisien dan berdaya saing tinggi. Tentu, efek-efek kekurangan input di pasar lokal
Gambar 1: Empat Cara Utama Liberalisasi Mempengaruhi UMKM di Indonesia: Suatu Pemikiran Teoretis
Pasar output loka/dalam negeri
(a) (b) Impor
UMKM
(c) (d)
(e) (f)
Pasar input lokal/dalam negeri
Sumber: Tambunan (2010)
4
Pasar Ekspor
Penemuan-penemuan dari Tybout tersebut didukung oleh penelitian dari Tewari (2001) mengenai pengalaman dari Tamil Nadu di India dalam 15 tahun belakangan ini. Setelah pemerintah India menghilangkan semua rintangan di sejumlah industri termasuk tekstil, yang memberikan kesempatan bagi semua orang untuk masuk ke industri-industri tersebut, dan secara bersamaan meliberalisasikan 6
Programme
perdagangan luar negeri, banyak sekali pemain baru yang pada umumnya UMKM di industriindustri tersebut, terutama industri tekstil. Tewari menemukan bahwa hingga pertengahan decade 1990-an, rata-rata luas pabrik per perusahaan di industri tekstil mengecil secara signifikan, bukannya tambah besar.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
tersebut bisa berdampak negatif bagi UMKM lokal, sekalipun perusahaan bersangkutan sangat efisien atau berdaya saing tinggi. Namun, secara umum, efek-efek persaingan/efisiensi lebih besar daripada efek-efek kelangkaan input di pasar lokal. Efek-efek efisiensi dari liberalisasi perdagangan dunia bisa diobservasi dalam suatu kenaikan dari skala usaha/pabrik rata-rata diantara UMKM dan penurunan biaya produksi rata-rata. Namun demikian, literatur internasional, walaupun masih relatif terbatas, mengenai efek dari kebijakan perdagangan luar negeri terhadap UMKM menunjukkan penemuan-penemuan yang berbeda. Misalnya, hasil penelitian dari Tybout (2000) mengenai efek-efek dinamika mikro dari liberalisasi perdagangan internasional terhadap perusahaan-perusahaan manufaktur di NSB secara konsisten menunjukkan bahwa peningkatan dalam penetrasi impor maupun pengurangan proteksi industri dalam negeri terhadap impor berasosiasi erat dengan pengecilan bukan perluasan skala usaha/pabrik dari perusahaan-perusahaan dalam negeri. Suatu penemuan penting dari penelitian tersebut adalah bahwa efek-efek dari liberalisasi perdagangan internasional bisa bekerja melawan efisiensi skala dari UMKM dalam periode jangka pendek, bukannya meningkatkan segera efisiensi (atau kalau ada keuntungan-keuntungan dari efisiensi, nilainya sangat kecil).6
Penelitian lainnya di wilayah yang sama adalah yang dilakukan pada tahun 2002 oleh Tewari dan Goebel. Mereka menemukan dua fakta yang menarik. Pertama, UMKM di sejumlah industri berkinerja lebih baik dibandingkan rekannya di industri-industri lainnya; persis seperti kinerja dari sejumlah industri lebih baik dibandingkan industriindustri lainnya. Kedua, UMKM yang terikat ke segmen-segmen pasar paling bawah di kotakota besar atau wilayah-wilayah metropolitan adalah yang paling terancam oleh barangbarang impor yang murah. Ironisnya, UMKM yang melayani segmen-segmen pasar yang sama di perdesaan tidak menghadapi tekanantekanan yang sama dari kehadiran barangbarang impor. Salah satu alasannya, menurut studi tersebut, adalah bahwa jaringan distribusi antara penjual/produsen dan masyarakat perdesaan (pembeli) dilandasi oleh hubungan sosial yang sangat kuat yang merupakan suatu sumber kekuatan UMKM perdesaan dalam menghadapi persaingan dari barang-barang impor, dan pesaing-pesaing non-lokal akan menghadapi biaya yang besar jika ingin membuat jaringan distribusi yang sama (Tewari dan Goebel, 2002). Di China, Wang dan Yao (2002) menemukan bahwa liberalisasi perdagangan internasional sejak akhir dekade 1970an telah membuat sangat dinamisnya UMKM di negara panda itu. Banyak UMKM yang tumbuh pesat
Lihat selanjutnya tinjauan ulang literatur dari Tybout (2000).
5
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
sehingga mereka bisa meningkatkan nilai tambah terhadap ekonomi China dari hasil peningkatan produktivitas total mereka. Sedangkan dari data perusahaan di Ghana, Steel dan Webster (1992) menemukan sebaliknya. Akibat liberalisasi perdagangan luar negeri, banyak UMKM di negara itu mengalami penurunan keuntungan akibat peningkatan biaya input, lemahnya permintaan domestik terhadap produkproduk mereka, dan masuknya barang-barang impor dengan daya saing yang lebih baik. Demikian pula, setelah mengkaji data perusahaan untuk periode 1993-1996 di Chad dan Gabon, Navaretti, dkk.(2003) menemukan bahwa proses reformasi perdagangan luar negeri menuju ke suatu sistem yang lebih terbuka yang berbarengan dengan devaluasi nilai mata uangnya gagal menciptakan pertumbuhan bagi UMKM lokal. Sebaliknya, banyak dari kelompok usaha ini ditemukan sedang kesulitan keuangan akibat tingginya biaya bahan baku dan input lainnya. Studi-studi lainnya termasuk Valodia dan Velia (2004), Kaplinskly, dkk. (2002), Roberts dan Tybout (1996), serta Roberts (2000). Studi pertama itu meneliti hubungan antara liberalisasi perdagangan luar negeri pada tingkat makro dan efek-efek penyesuaian pada tingkat mikro atau perusahaan di industri manufaktur di Afrika Selatan. Penemuanpenemuan mereka memberi kesan bahwa ada suatu relasi yang kuat antara besarnya perusahaan dan perdagangan internasional. Lebih dari setengah dari perusahaanperusahaan yang diteliti yang tidak terlibat dalam perdagangan internasional adalah UMKM. Pada ekstrim lainnya, hampir setengah dari perusahaan-perusahaan yang diteliti yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan impor dan ekspor adalah UB dengan mengerjakan lebih dari 200 pekerja. Kelihatannya perusahaanperusahaan besar lebih berhasil dibandingkan
6
perusahaan-perusahaan kecil dalam mengintegrasikan kegiatan-kegiatan produksi mereka ke dalam rantai global dari produksi. Sedangkan studi-studi lainnya menyimpulkan bahwa keberhasilan UMKM dalam liberalisasi perdagangan internasional, khususnya impor, terletak pada kemampuannya untuk bersaing dengan produk-produk impor, dan kemampuan ini pada gilirannya tergantung pada kemampuannya memperluas kapasitas produksi, mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang baik dan teknologi-teknologi maju, melakukan inovasi, dan meningkatkan kualitas dari produk-produknya. Untuk kasus Indonesia, tidak terlalu banyak penelitian secara empiris mengenai dampak dari perdagangan bebas terhadap UMKM. Namun ada beberapa studi mengenai dampak dari perubahan-perubahan kebijakan perdagangan luar negeri terhadap UMKM, yang diantaranya adalah dari Berry dan Levy (1994). Mereka mensurvei 91 UMKM yang melakukan ekspor di tiga (3) subsektor dari industri manufaktur dan juga melakukan wawancara intensif dengan 40 lembaga-lembaga publik dan swasta yang aktif terlibat dalam isu-isu UMKM. Ketiga subsektor tersebut adalah industri pakaian jadi di Jakarta dan Bandung (Jawa Barat), meubel rotan di Jakarta dan Surabaya (Jawa Timur), dan meubel kayu di Jepara (Jawa Tengah). Kebanyakan dari responden mulai melakukan ekspor atau meningkatkan ekspor mereka sejak pemerintah Indonesia menerapkan larangan terhadap ekspor rotan mentah atau setengah jadi. Sepertinya larangan tersebut menjadi suatu faktor kunci yang mendorong suatu ekspansi besar dalam ekspor meubel rotan dari UMKM Indonesia. Sesaat setelah krisis ekonomi 1997, Dierman dkk. (1998) melakukan suatu pengkajian terhadap dampak dari reformasi kebijakan perdagangan luar negeri dan reformasi kebijakan-kebijakan lainnya yang terkait dengan kesepakatan pemerintah dengan
Secara metodologi, dampak dari liberalisasi perdagangan internasional terhadap UMKM di Indonesia bisa dianalisis dengan dua pendekatan, yakni pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung. Pendekatan langsung adalah dengan survei lapangan terhadap pemilik/pengusaha UMKM, misalnya dengan menanyakan apakah ekspor mereka meningkat atau produksi mereka menurun
Programme
akibat persaingan dari barang-barang impor. Sedangkan pendekatan tidak langsung adalah analisis data sekunder, misalnya data perkembangan nilai atau pangsa ekspor UMKM, pertumbuhan output mereka, atau jumlah unit usahanya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah unit usaha UMKM dan kontribusi outputnya terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) terus bertambah setiap tahun, yang mengindikasikan bahwa liberalisasi perdagangan internasional atau semakin terbukanya ekonomi Indonesia terhadap dunia tidak mematikan UMKM. Hasil pembandingan (plot) antara jumlah unit usaha UMKM dan rasio total perdagangan internasional (impor + ekspor) terhadap PDB (%) hingga 2008 juga mengindikasikan hal yang sama (Gambar 2).
Perdagangan Internasional (% dari PDB)
Gambar 2: Jumlah Unit Usaha UMKM dan Jumlah Perdagangan Internasional (% dari PDB) di Indonesia
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 52
52.5
53
53.5
54
54.5 55 Jumlah UMKM)
55.5
56
56.5
57
57.5
Sumber: BPS (www.bps.go.id
3. Kinerja Ekspor dan Daya Saing Pertumbuhan dan perkembangan (diversifikasi pasar serta produk dan pendalaman) ekspor dipengaruhi secara bersamaan oleh banyak faktor, yang menurut sifatnya (endogen/bisa dikontrol versus eksogen/tidak bisa dikontrol) bisa
dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni faktor-faktor di sisi permintaan dan faktorfaktor di sisi penawaran (Gambar 3). Faktorfaktor di sisi permintaan bersifat eksogen bagi Indonesia, termasuk perubahan harga di pasar internasional untuk semua produk yang Indonesia ekspor. Karena menurut laporan tahunan dari WTO, berdasarkan sumbangannya
7
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
IMF terhadap UMKM di industri manufaktur di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa kemungkinan dampaknya bervariasi menurut kelompok industri. UMKM di industri-industri yang pada era sebelum krisis sangat diproteksi diperkirakan akan mengalami efek negatif dibandingkan UMKM di industri-industri yang tidak terlalu dilindungi semasa era orde baru.
Programme
Gambar 3: Faktor-faktor Penentu Daya Saing dan Kinerja Ekspor di Tingkat Makro (Negara) Sisi Permintaan
Sisi Penawaran Ekspor
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
SDM: kualitas & upah Teknologi & kemampuan inovasi
Permintaan Luar Negeri (LN)
Jumlah penduduk LN
Pendanaan Bahan baku/SDA
Kebijakan/kesepakatan internasional/regional/
Pendapatan LN Kebijakan/peraturan pemerintah
Infrastruktur & logistik Harga LN Industri pendukung
Enerji
Kurs rupiah
Informasi Kebijakan ekspor-impor Kebijakan sektoral
terhadap nilai total ekspor dunia, Indonesia hingga saat ini tidak termasuk negara-negara eksportir penting untuk hampir semua barang dan jasa yang diperdagangkan secara internasional. Jadi dalam perdagangan dunia, Indonesia bukan penentu harga, melainkan price taker. Pemerintah Indonesia hanya bisa mempengaruhi harga dalam mata uang asing dari produk-produk ekspor Indonesia lewat perubahan kurs rupiah (devaluasi atau revaluasi). Faktor-faktor yang bersifat endogen bagi Indonesia adalah dari sisi penawaran yang meliputi SDM, ketersediaan/penguasaan teknologi dan kemampuan melakukan inovasi di tingkat perusahaa, pendanaan yakni ketersediaan pinjaman dan skim-skim
8
pendanaan ekspor dan impor dari sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya, ketersediaan bahan baku bukan hanya dalam arti jumlah tetapi juga kualitas dan harga (walaupun untuk faktor satu ini sifat endogennya terbatas), infrastruktur dan logistik dalam kuantitas dan kualitas, pembangunan industri-industri pendukung yang membuat komponen, barangbarang modal dan perantara dan mengolah bahan baku (di dalam model “berlian” mengenai konsep daya saing ekonomi dari M. Porter, industri pendukung termasuk diantara empat pilar utama daya saing), enerji dalam kuantitas, kualitas dan harga, ketersediaan informasi, dan kebijakan khusus ekspor. Yang membuat faktor-faktor di sisi penawaran ini semakin kompleks dari sudut pandang kebijakan pemerintah adalah bahwa
Programme
Selain dibedakan menurut sifatnya seperti yang diuraikan di atas tersebut, faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat daya saing dan kinerja ekspor bisa juga dibedakan menurut tingkatnya, yakni pada tingkat makro dan tingkat mikro. Di tingkat makro adalah yang telah dibahas tersebut di atas, yakni faktor-faktor di sisi permintaan dan sisi penawaran yang mempengaruhi daya saing dan kinerja ekspor nasional secara keseluruhan. Sedangkan di tingkat mikro adalah mengenai daya saing ekspor dari sebuah perusahaan secara individu. Tingkat daya saing sebuah perusahaan tercerminkan dari tingkat daya saing dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Dalam gilirannya, daya saing dari perusahaan tersebut ditentukan oleh banyak faktor, tujuh diantaranya yang sangat penting adalah: keahlian atau tingkat pendidikan pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik (sesuai kebutuhan bisnis), ketersediaan teknologi, ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti enerji, bahan baku, dan lainnya (Gambar 4).
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
masing-masing dari faktor-faktor tersebut mewakili sektor masing-masing, dan ini berarti berbagai kebijakan sektoral secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap tingkat daya saing dan kinerja ekspor. Misalnya dalam hal SDM: kebijakan dari Kementerian Pendidikan turut serta mempengaruhi ketersediaan pekerja-pekerja terampil siap pakai bagi perusahaan-perusahaan eksportir. Demikian juga, UU Perburuhan sangat mempengaruhi kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia yang berarti juga daya saing perusahaan-perusahaan eksportir, khususnya yang padat karya, seperti industri tekstil dan pakaian jadi dan industri alas kaki. Demikian juga kebijakan moneter, misalnya dalam penentuan suku bunga pinjaman atau nilai tukar rupiah, sangat berpengaruh terhadap kegiatan ekspor. Tingkat suku bunga yang terlalu tinggi membuat biaya produksi meningkat yang berarti mengurangi daya saing harga dari ekspor Indonesia, yang selanjutnya menurunkan permintaan dunia terhadap ekspor Indonesia. Nilai tukar rupiah yang terlalu tinggi juga membuat daya saing harga dari ekspor Indonesia menurun relatif dibandingkan harga dari produk yang sama buatan negara lain.
Gambar 4: Daya Saing Produk dan faktor-Faktor Utama Penentunya di Tingkat Perusahaan
Daya Saing Produk
Daya Saing Perusahaan
Faktor-faktor Penentu Daya Saing Perusahaan
Keahlian Pekerja
Keahlian pengusaha
Ketersediaan modal
Organisasi dan manajemen yang baik
Ketersediaan informasi
Ketersediaan teknologi
Ketersediaan input lainnya
9
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Dua faktor pertama tersebut adalah aspek SDM, yang mana, keahlian pekerja tidak hanya dalam teknik produksi (antara lan disain produk dan proses produksi), tetapi juga teknik pemasaran dan dalam penelitian dan pengembangan (R&D). Sedang keahlian pengusaha terutama adalah wawasan bisnis, dan yang dimaksud di sini adalah wawasan mengenai bisnisnya dan juga lingkungan eksternalnya (antara lain perkembangan saat ini dan ke depan dari pasar ekspor yang dilayani dan juga dari pasar-pasar ekspor lainnya yang belum dilayani, kondisi persaingan (termasuk calon-calon pesaing yang akan muncul), dan segala macam peraturan pemerintah atau dunia (seperti dalam konteks World Trade Organisation (WTO) dalam perdagangan internasional) mengenai perdagangan, produksi dan investasi di bidang bisnisnya. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan eksternalnya adalah kebijakan-kebijakan ekonomi umum seperti kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan perdagangan luar negeri, kecenderungan dari perubahan selera masyarakat, perubahan sosial-budaya yang bisa mempengaruhi dalam jangka panjang permintaan atau persepsi pembeli (masyarakat) terhadap produknya, dan lainlain). Wawasan pengusaha yang luas juga sangat penting bagi inovasi, dan bukan lagi rahasia
umum bahwa inovasi merupakan kunci utama daya saing. Bahkan banyak literatur menyatakan bahwa banyak faktor yang menentukan kemampuan perusahaan melakukan inovasi, diantaranya adalah kreativitas pengusaha, dan yang terakhir ini, pada gilirannya, ditentukan oleh wawasannya mengenai bisnis yang ditekuninnya (Shahid, 2007). Menurut sumbernya, tingkat daya saing sebuah perusahaan sangat dipengaruhi oleh dua kelompok faktor, yakni faktor-faktor internal seperti ciri-ciri pengusaha (sifat, sikap, kecekatan, pendidikan, dll.), keterampilan pekerja, dan masih banyak lainnya, dan faktorfaktor eksternal seperti infrastruktur, dan lainnya, seperti yang diilustrasikan di Gambar 5, dan pentingnya faktor-faktor tersebut secara individu maupun bersama dalam mempengaruhi daya saing sebuah perusahaan akan berbeda untuk produk yang berbeda. Selama ini UMKM di Indonesia diharapkan berperan tidak hanya sebagai sumber peningkatan kesempatan kerja, tetapi juga dapat mendorong perkembangan dan pertumbuhan ekspor Indonesia, khususnya, di sektor industri manufaktur. Sayangnya hingga saat ini UMKM Indonesia masih belum kuat dalam ekspor, meskipun nilai ekspor dari kelompok usaha tersebut setiap tahun mengalami peningkatan.
Gambar 5: Faktor-faktor Utama Penentu Daya Saing Sebuah Perusahaan
Faktor-faktor Utama Internal: - sifat pengusaha/manajer - sifat pekerja - sistem manajemen & organisasi - strategi yang diterapkan - budaya & visi perusahaan - ketersediaan input-input penting termasuk modal & kemampuan perusahaan mengakses
Daya Saing
Faktor-faktor Utama eksternal: 1) infrastruktur & logistik 2) lokasi geografi & sifatnya 3) kebijakan pemerintah (regulasi) 4) retribusi/pungutan 5) kondisi pasar input (termasuk aksesnya) 6) kondisi pasar output 7) sistem pemasaran/distribusi 8) kelembagaan
10
Gambar 6: Nilai Ekspor UMI, UK, UM, UB dan Total, 2008 (miliar rupiah) 1200000
1098850,2 915091,2
1000000 800000 600000 400000 200000 20247,2
44148,3
UMI
UK
119363,6
0 UM
UB
Total
Sumber: Kementerian Koperasi & UKM (www.depkop.go.id)
Sebagian besar dari ekspor UMKM Indonesia berasal dari industri manufaktur, namun kontribusinya jauh lebih kecil dibandingkan pangsa ekspor UB di dalam total ekspor manufaktur Indonesia. Selain itu, pada umumnya UMKM industri manufaktur lebih berorientasi padar domestik dibandingkan ke luar negeri. Data terakhir dari BPS tahun 2010 mengenai UMK di industri manufaktur menunjukkan bahwa di semua kelompok industri sebagian besar dari UMK menjual produk mereka ke pasar dalam negeri; walaupun derajatnya bervariasi antar kelompok industri. Sedangkan dari mereka
yang ekspor tidak semuanya menjual hanya ke luar negeri; banyak juga yang lebih mengandalkan pasar dalam negeri (Tabel 1). Misalnya, jumlah UMK yang tercatat melakukan ekspor sebanyak 8 550 unit, dan dari jumlah ini sebanyak 670 unit mengekspor kurang dari 15 persen dari jumlah output mereka. Dibandingkan banyak negara berkembang lainnya di wilayah Asia, Indonesia termasuk kecil dalam ekspor UMKM. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 2, di industri manufaktur UMKM Indonesia hanya mencatat sekitar 20 persen dari total ekspor manufaktur Indonesia, dibandingkan
11
Programme
dan industri manufaktur, nilainya pada tahun 2000 tercatat mencapai Rp75.448,6 miliar dan meningkat lebih dari 50 persen ke Rp.122.311 miliar pada tahun 2006, dan bertambah lagi menjadi Rp 142.822 miliar pada tahun 2007. Jika dibandingkan dengan nilai ekspor setiap tahun dari UB, perbedaannya sangat besar. Pada tahun 2006, nilai ekspor dari UB tercatat sebanyak hampir Rp 484,8 triliun atau mendekati Rp 570,6 triliun pada tahun 2007. Sedangkan pada tahun tahun 2008 nilai ekspor UMKM yang dirinci menurut UMI, UK, dan UM, dan UB tercatat, masing-masing, sekitar 20, 44, 119, dan 915 miliar rupiah (Gambar 6).
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Misalnya, pada tahun 1990, sumbangan UMKM di semua sektor ekonomi terhadap total nilai ekspor (termasuk minyak dan gas) Indonesia tercatat sekitar 11,1 persen, dan mengalami suatu peningkatan ke hampir 16 persen pada tahunn 2006. Di dalam kelompok UMKM itu sendiri, usaha menengah (UM) lebih bagus daripada usaha mikro (UMI) dan usaha kecil (UK). Pada tahun 1990, pangsa ekspor dari UM tercatat sebesar 8,9 persen dibandingkan 2,2 persen dari usaha mikro dan kecil (UMK), dan pada tahun 2006 rasionya adalah 11,81 persen terhadap 3,89 persen. Khusus di tiga sektor ekonomi utama, yakni pertanian, pertambangan
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Tabel 1: Jumlah UMK di Industri Manufaktur Menurut Wilayah Pemasaran, 2010 Kelompok Industri** (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (21) (22) (23) Total
Jumlah unit 929 910 30 395 53 169 234 657 276 548 32 910 639 106 7 268 24 305 19 168 5 043 13 786 215 558 1 553 61 731 434 199 1 540 3 488 4 708 107 166 62 898 7 184 2 732 724
Wilayah pemasaran* DN LN DN & LN 928 857 971 82 30 395 53 151 18 233 443 940 274 275 461 733 354 32 623 6 281 635 744 2 480 882 6 988 47 233 24 304 1 19 156 12 4 954 89 13 720 66 214 745 268 545 1 553 61 130 448 153 434 199 1 540 3 488 4 708 106 142 798 226 60 020 1 841 1 037 7 184 2 719 939
8 550
4 235
Keterangan: * DN = dalam negeri, LN = luar negeri; **23 kelompok industri: (1) makanan, (2) minuman, (3) pengolahan tembakau, (4) tekstil, (5) pakaian jadi, (6) kulit, barang dari kulit dan alas kaki, (7) kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur), dan barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya, (8) kertas dan barang dari kertas, (9) percetakan dan reproduksi media rekaman, (10) bahan kimia dan barang dari bahan kimia, (11) farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional, (12) karet, barang dari karet dan plastic, (13) barang galian bukan logam, (14) logam dasar, (15) barang logam bukan mesin dan peralatannya, (16) komputer, barang elektronik dan optic, (17) peralatan listrik, (18) mesin dan perlengkapannya, (19) kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer, (20) alat angkut lainnya, (21) meubel, (22) pengolahan lainnya, (23) jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan. Sumber: BPS (2010)
misalnya China yang mancapai maksimum 64 persen, atau Taiwan yang tercatat antara 56 hingga 60 persen dari total ekspor dari ekonomi tersebut. Posisi Indonesia sama seperti Vietnam yang UMKM-nya juga tercatat hanya menyumbang sekitar 20 persen terhadap total ekspor negara tersebut. Masih kecilnya peran UMKM Indonesia di dalam ekspor non-migas mencerminkan dua hal yakni kapasitas produksi terbatas hingga tidak selalu mampu memenuhi permintaan ekspor dan daya saing yang rendah dari produk-produk
12
yang dihasilkan kelompok usaha tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Long (2003), tidak diragukan bahwa kontribusi UMKM terhadap ekspor terkait erat dengan kemampuan dari kelompok usaha itu untuk internasionalisasi/ globalisasi. Ini juga merupakan suatu faktor yang kritis yang mengukur daya saing globalnya. Daya saing global yang rendah dari UMKM secara umum di NSB dapat menjadi suatu hambatan serius bagi kelompok usaha tersebut bukan saja untuk bisa menembus pasar global, tetapi juga untuk bisa memenangi persaingan dengan
Pangsa rata-rata (%)
Cina Sri Lanka Taiwan India Thailand Filipina Vietnam Indonesia Singapura Malaysia Bangladesh Pakistan
40-64 59 56-60 33-50 10-40 20-25 20 20* 16 10-15 11.3 25
Keterangan: * hanya di industri manufaktur. Sumber: Battat, dkk. (1996), Kuwayama (2001), Tambunan (2009a, 2012), UNESCAP (1997, 2010), ISED (2012),
Cooperation), yang dilakukan oleh Pusat Inovasi UMKM APEC terhadap 13 ekonomi anggota APEC pada tahun 2006 (APEC, 2006), yang hasilnya diperlihatkan pada Gambar 7. Di studi ini, daya saing diukur melalui indeks skor antara 1 (daya saing terendah) dan 10 (paling kompetitif), dan indeks skor itu dikembangkan berdasarkan sejumlah faktor yang termasuk tipe teknologi yang digunakan, metode produksi yang diadopsi, dan tipe produk yang dibuat dengan melihat pada kandungan teknologinya (yakni rendah/
barang-barang impor di pasar domestik. Sayangnya, hingga saat ini belum ada penelitian atau evaluasi dari pemerintah, dalam hal ini misalnya yang dilakukan oleh Departemen Perindustrian atau Kementerian Koperasi (Menegkop) & UKM untuk mengkaji sejauh mana tingkat daya saing UMKM Indonesia di pasar internasional. Hingga saat ini belum ada bukti empiris mengenai daya saing UMKM di ASEAN, terkecuali satu penelitian untuk wilayah APEC (Asia-Pacific Economic
Gambar 7: Daya Saing UMKM di Sejumlah Negara/Ekonomi APEC Indonesia China Korea Selatan Filipina Thailand Jepang Malaysia S ingapura Kanada Australia Taiwan, Propinsi China Amerik a Ser ikat Hongkong-China 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Sumber: APEC (2006a,b).
13
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Negara/Ekonomi
Programme
Tabel 2: Pangsa UMKM dalam Ekspor Barang (% dari ekspor total) di sejumlah negara/ekonomi berkembang di Asia antara tahun 1990—2010
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
tradisional, menengah, tinggi/maju). Hasilnya menunjukkan bahwa UMKM Indonesia berdaya saing rendah di bawah 4. Selain itu, menurut hasil studi ini, Indonesia juga tercatat sebagai negara dengan pendanaan paling rendah untuk pengembangan teknologi, yakni di bawah 3,5 dalam indeks skala 10. Hasil ini harus ditanggapi serius karena bukan lagi suatu rahasia bahwa pengembangan teknologi merupakan suatu faktor determinan yang sangat penting bagi peningkatan daya saing global.
4. Tantangan, Peluang dan Ancaman Perubahan sistem perdagangan internasional menuju liberalisasi, seperti ASEAN menuju AFTA dan nanti menjadi MEASEAN 2015, memunculkan banyak peluang dan sekaligus juga tantangan-tantangan dan, bahkan, ancaman-ancaman bagi setiap perusahaan/pengusaha dari semua skala usaha. Peluang yang dimaksud adalah peluang pasar yang lebih besar dibandingkan sewaktu perdagangan dunia masih terbelah-belah karena proteksi yang diterapkan di banyak negara terhadap produk-produk impor. Sedangkan tantangan bisa dalam berbagai aspek, misalnya, bagaimana bisa menjadi unggul di pasar dalam negeri, yakni mampu mengalahkan pesaing domestik lainnya maupun pesaing dari luar negeri (impor), bagaimana bisa unggul di pasar ekspor atau mampu menembus pasar di negara-negara lain; bagaimana usaha bisa berkembang pesat (misalnya skala usaha tambah besar, membuka cabang-cabang perusahaan), bagaimana penjualan/output bisa tumbuh semakin pesat; dan lain-lain. Jika tantangan-tantangan tersebut tidak bisa dimanfaatkan atau dihadapi sebaikbaiknya, karena perusahaan bersangkutan menghadapi banyak kendala (misalnya, keterbatasan modal, teknologi dan SDM berkualitas tinggi), maka tantangan-tantangan yang ada bisa menjelma menjadi ancaman, yakni perusahaan terancam tergusur dari pasar, atau ada penurunan produksi (Gambar 8).
14
Faktor-faktor utama yang menentukan besar kecilnya peluang bagi seorang pengusaha/ sebuah perusahaan adalah: (a) akses sepenuhnya ke informasi mengenai aspek-aspek kunci bagi keberhasilan suatu usaha seperti kondisi pasar yang dilayani dan peluang pasar potensial, teknologi terbaru/ terbaik yang ada di dunia, sumber-sumber modal dan cara pembiayaan yang paling efisien, mitra kerja (misalnya calon pembeli, pemasok bahan baku, distributor), pesaing (kekuatannya, strateginya, visinya,dll), dan kebijakan atau peraturan yang berlaku; (b) akses ke teknologi terkini/terbaik; (c) akses ke modal; (d) akses ke tenaga terampil/SDM; (e) akses ke bahan baku; (f) infrastruktur; serta (g) kebijakan atau peraturan yang berlaku, baik dari pemerintah sendiri maupun negara mitra (misalnya kesepakatan bilateral) dan yang terkait dengan WTO, AFTA, APEC, dan lain-lain. Sebenarnya untuk menjawab seberapa besar tantangan dan peluang serta seberapa seriusnya ancaman yang dihadapi UMKM Indonesia dengan diberlakukannya pasar bebas ASEAN atau ME-ASEAN 2015 nanti, perlu pendekatan survei lapangan dengan menanyakannya langsung ke pemilik/produsen UMKM. Namun demikian, ada sejumlah pendekatan yang bisa memberikan jawaban secara tidak langsung. Pertama, dengan mengkaji karakteristik-karakteristik utama UMKM. Seperti yang dijabarkan pada Tabel 3, di dalam kelompok UMKM itu sendiri terdapat perbedaan karakteristik antara UMI dengan UK dan UM di dalam sejumlah aspek yang dapat mudah dilihat sehari-hari. Aspek-aspek itu termasuk orientasi pasar, profil dari pemilik usaha, sifat dari kesempatan kerja di dalam perusahaan, sistem organisasi dan manajemen yang diterapkan di dalam usaha, derajat mekanisme di dalam proses produksi, sumber-sumber dari bahan-bahan baku dan modal, lokasi tempat usaha, hubunganhubungan eksternal, dan derajat dari keterlibatan wanita sebagai pengusaha. Menyangkut kualitas tenaga kerja, data BPS menunjukkan bahwa jumlah pekerja yang digaji
Peluang
Tantangan
Ancaman
di UMK lebih sedikit dibandingkan di UM, dan di antara UMK, di UMI paling banyak tenaga kerja tidak dibayar dibandingkan di UK. Dengan demikian, komposisi tenaga kerja tidak dibayar memiliki kecenderungan berbanding terbalik dengan skala usaha, yang artinya semakin besar skala usaha semakin kecil komposisi tenaga kerja tanpa upah. Karena pada umumnya tenaga kerja yang digaji atau tingkat gaji (atau nilai) pekerja berkorelasi positif dengan tingkat keahlian, maka dari fakta tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas SDM di UMK, yang berarti juga daya saing UMK, lebih rendah dibandingkan di UM. Secara keseluruhan, dari Tabel 2 dapat diantisipasi bahwa khususnya UMI akan menghadapi tantangan lebih besar sedangkan UM akan memiliki peluang lebih besar dengan adanya ME-ASEAN 2015; atau ancaman “gulung tikar” yang dihadapi oleh UMI jauh lebih besar dibandingkan dengan UM. Pendekatan kedua adalah menganalisis kendala-kendala utama yang dihadapi oleh UMKM. Teorinya, semakin banyak kendala yang dihadapi sebuah perusahaan semakin besar tantangan dan semakin kecil peluangnya bisa bertahan di dalam era pasar bebas. Secara
7
Faktor-faktor determinan utama: -akses ke informasi -akses ke teknologi -akses ke modal -akses ke tenaga terampil -akses ke bahan baku Infrastruktur Kebijakan/peraturan yang berlaku
umum, perkembangan UMKM di NSB dihalangi oleh banyak hambatan. Hambatan-hambatan tersebut (atau intensitasnya) bisa berbeda di satu daerah dengan di daerah lain atau antara perdesaan dan perkotaan, atau antar sektor, atau antar sesama perusahaan di sektor yang sama. Namun demikian, ada sejumlah persoalan yang umum untuk semua UMKM di negara manapun juga, khususnya di dalam kelompok NSB. Rintangan-rintangan yang umum tersebut termasuk keterbatasan modal kerja maupun investasi, kesulitan-kesulitan dalam pemasaran, distribusi dan pengadaan bahan baku dan input lainnya, keterbatasan akses ke informasi mengenai peluang pasar dan lainnya, keterbatasan pekerja dengan keahlian tinggi (kualitas SDM rendah) dan kemampuan teknologi, biaya transportasi dan enerji yang tinggi; keterbatasan komunikasi, biaya tinggi akibat prosedur administrasi dan birokrasi yang kompleks khususnya dalam pengurusan ijin usaha, dan ketidakpastian akibat peraturan-peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi yang tidak jelas atau tak menentu arahnya.7 Survei BPS 2003 dan 2005 terhadap UMK di industri manufaktur menunjukkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi oleh sebagian besar dari kelompok usaha ini adalah keterbatasan
Sayangnya, studi-studi yang memberi bukti empiris mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh UB, yang dapat digunakan sebagai suatu perbandingan, sangat terbatas, dan tidak ada data BPS mengenai hal tersebut. Namun demikian, beberapa laporan, studi-studi yang ada, atau berita-berita/tulisan-tulisan di surat-surat kabar mengenai iklim usaha dan persaingan di Indonesia bisa memberi suatu gambaran aktual mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi oleh UB seperti suku bunga pinjaman yang tinggi atau masih kurang lancarnya perbankan menyalurkan dananya ke sektor bisnis, harga input seperti bahan baku dan enerji yang terus meningkat, permasalahan disekitar ketenagakerjaan seperti Undang-undang Perburuhan No.13, distorsi-distorsi pasar baik output maupun input, birokrasi, sistem perpajakan yang tidak pro bisnis, kondisi infrastruktur yang buruk, banyaknya pungutan-pungutan resmi maupun liar (khususnya di daerah-daerah), dan banyak lagi
15
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
ME-ASEAN 2015
Programme
Gambar 8: Peluang, Tantangan dan Ancaman
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Tabel 3: Karakteristik-karakteristik Utama dari UMI, UK, dan UM di Indonesia No
UMI
UK
1
Formalitas
Beroperasi di sektor informal; usaha tidak terdaftar; tidak/jarang bayar pajak
Semua di sektor formal; terdaftar dan bayar pajak
2
Organisasi & manajemen
Dijalankan oleh pemilik; tidak menerapkan pembagian tenaga kerja internal (ILD), manajemen & struktur organisasi formal (MOF), sistem pembukuan formal (ACS)
Beberapa beroperasi di sektor formal; beberapa tidak terdaftar; sedikit yang bayar pajak Dijalankan oleh pemilik; tidak ada ILD, MOF, ACS
3
Sifat dari kesempatan kerja Pola/sifat dari proses produksi Orientasi pasar
Kebanyakan menggunakan anggota-anggota keluarga tidak dibayar Derajat mekanisasi sangat rendah/umumnya manual; tingkat teknologi sangat rendah umumnya menjual ke pasar lokal untuk kelompok berpendapatan rendah
Beberapa memakai tenaga kerja (TK) yang digaji
Semua memakai TK digaji dan semua memiliki sistem perekrutan formal Banyak yang punya derajat mekanisasi yang tinggi/punya akses terhadap teknologi tinggi semua menjual ke pasar domestik dan banyak yang ekspor, dan melayani kelas menengah ke atas
6
Profil ekonomi & sosial dari pemilik usaha
Pendidikan rendah & dari rumah tangga (RT) miskin; motivasi utama: survival
Sebagian besar berpendidikan baik dan dari RT makmur; motivasi utama: profit
7
Sumbersumber dari bahan baku dan modal Hubunganhubungan eksternal
Kebanyakan pakai bahan baku lokal dan uang sendiri
Banyak berpendidikan baik & dari RT non-miskin; banyak yang bermotivasi bisnis/ mencari profit Beberapa memakai bahan baku impor dan punya akses ke kredit formal
Sebagian besar punya akses ke program-program pemerintah dan banyak yang punya hubunganhubungan bisnis dengan UB (termasuk PMA).
Wanita pengusaha
Rasio dari wanita terhadap pria sebagai pengusaha sangat tinggi
Banyak yang punya akses ke program-program pemerintah dan punya hubunganhubungan bisnis dengan UB (termasuk penanaman modal asing/PMA). Rasio dari wanita terhadap pria sebagai pengusaha cukup tinggi
4
5
8
9
Aspek
Kebanyakan tidak punya akses ke program-program pemerintah dan tidak punya hubungan-hubungan bisnis dengan UB
modal dan kesulitan pemasaran. Walaupun banyak skim-skim kredit khusus bagi pengusaha kecil, sebagian besar dari responden terutama yang berlokasi di pedalaman/perdesaan tidak pernah mendapatkan kredit dari bank atau lembaga-lembaga keuangan lainnya. Mereka tergantung sepenuhnya pada uang/tabungan mereka sendiri, uang/bantuan dan dari saudara/ kenalan atau dari sumber-sumber informal untuk mendanai kegiatan produksi mereka. Alasannya bisa macam-macam; ada yang tidak pernah dengar atau menyadari adanya skim-skim khusus tersebut, ada yang pernah mencoba tetapi ditolak karena usahanya dianggap tidak layak untuk
16
Beberapa memakai mesinmesin terbaru banyak yang menjual ke pasar domestik dan ekspor, dan melayani kelas menengah ke atas
UM
Banyak yang mengerjakan manajer profesional dan menerapkan ILD, MOF, ACS
Banyak yang memakai bahan baku impor dan punya akses ke kredit formal
Rasio dari wanita terhadap pria sebagai pengusaha sangat rendah
didanai atau mengundurkan diri karena sulitnya prosedur administrasi, atau tidak bisa memenuhi persyaratan-persyaratan termasuk penyediaan jaminan, atau ada banyak pengusaha kecil yang dari awalnya memang tidak berkeinginan meminjam dari lembaga-lembaga keuangan formal. Dalam hal pemasaran, UMKM pada umumnya tidak mempunyai sumber-sumber daya untuk mencari, mengembangkan atau memperluas pasar-pasar mereka sendiri. Sebaliknya, mereka sangat tergantung pada mitra dagang mereka (misalnya pedagang keliling, pengumpul, atau trading house) untuk memasarkan produkproduk mereka, atau tergantung pada konsumen
Jumlah unit
Punya kesulitan serius
1
2
3
Jenis kesulitan utama* 4 5
7
8
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (21) (22) (23)
929910 30395 53169 234657 276548 32910 639106 7268 24305 19168 5043 13786 215558 1553 61731 434 199 1540 3488 4708 107166 62898 7184
745824 22141 46682 164144 172307 26735 514990 2731 21185 15744 4320 8541 181747 1460 52594 349 113 1148 3269 4394 93175 43722 5818
206309 7074 8434 19320 18584 3764 140664 736 1750 5621 1226 1794 22578 358 9149 25 56 582 1503 23171 10604 166
146185 8206 3094 43718 36119 5833 141798 610 5441 1202 1378 2514 45475 301 13820 107 47 273 2231 708 23239 11252 1572
255793 3883 20978 78722 75038 12908 165355 1127 8087 6019 1587 3793 85238 692 24297 209 20 652 331 1717 40914 16545 2853
21506 185 4334 2131 729 272 2141 86 740 16 23 1627 796 48 45 132 38 -
23346 1061 1328 2081 867 228 4862 25 167 1045 57 13 2484 10 643 48 330 718 258
19732 260 430 8608 12006 917 16589 94 1036 178 30 45 2876 27 919 8 60 2252 1555 540
6
3849 41 512 770 4558 66 8109 102 57 63 1811 232 73 401 218 22
69104 1431 7572 8794 24406 2747 35472 53 3862 1606 42 296 19658 72 2828 8 46 119 117 240 2736 2792 407
Total
2732 724
2 133133
483468
495123
806758
34759
39571
68162
20884
184408
Keterangan: * 1=bahan baku ;2= pemasaran;3= modal;4= BBM/enerji;5= transportasi ;6 =keahlian;7 =upah buruh=;8= lainnya ; **: lihat Tabel 1. Sumber: BPS (2010)
yang datang langsung ke tempat-tempat produksi mereka atau, walaupun persentasenya kecil sekali, melalui keterkaitan produksi dengan UB dengan sistem subcontracting. Data paling akhir dari BPS mengenai UMK di industri manufaktur tahun 2010 menunjukkan sebanyak 78,06 persen dari seluruh UMK (2.732.724 unit usaha) di sektor itu mengalami kesulitan dalam menjalankan usahanya. Jenis kesulitan utama terbesar yaitu kesulitan dalam permodalan, pemasaran, dan bahan baku masing-masing sebanyak 806.758 unit usaha, 495.123 unit usaha, dan 483.468 unit usaha. Industri makanan yang mengalami kesulitan terbesar sebanyak 745.824 unit usaha (34,96 persen) meliputi: kesulitan modal sebanyak 255.793 unit usaha, bahan baku sebanyak 206.309 unit usaha, dan kesulitan pemasaran sebanyak 146.185 unit usaha (Tabel 4).
5. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Walaupun sudah cukup banyak program pemerintah sejak era Orde Baru hingga sekarang untuk mendukung perkembangan UMKM di tanah air, kinerja UMKM dan kondisinya di tanah air secara umum masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan seperti yang telah ditunjukkan di dalam studi ini, hasil dari sebuah penelitian APEC menunjukkan bahwa daya saing UMKM Indonesia paling rendah dibandingkan UMKM di sejumlah ekonomi APEC lainnya yang diteliti. Ini menimbulkan keraguan mengenai kemampuan UMKM Indonesia, khususnya UMI yang mendominasi jumlah UMKM di tanah air, untuk mampu bersaing di pasar regional (misalnya ASEAN atau APEC) atau dunia, atau bahkan untuk bisa mempertahankan pangsa pasar domestik dengan semakin banyaknya barangbarang impor membanjiri pasar dalam negeri.
17
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Kelompok Industri**
Programme
Tabel 4: Jumlah UMK di Industri Manufaktur Menurut Jenis Kesulitan dan Kelompok Industri, 2010
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Oleh sebab itu, banyak hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah, antara lain adalah: (1) Pembangunan infrastruktur baik fisik (seperti jalan raya, listrik dan fasilitas komunikasi, dan pelabuhan) maupun nonfisik (seperti bank/lembaga pendanaan, pusat informasi, lembaga pendidikan/ pelatihan, penelitian dan pengembangan/ laboratorium), mulai di tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga di tingkat provinsi. Pembangunan infrastruktur di daerah harus menjadi prioritas utama dalam APBD untuk melancarkan dan mengefisienkan keterkaitan bisnis antara UMKM di suatu daerah dengan pusat-pusat kegiatan ekonomi di kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Surabaya, Semarang, Makasar dan Medan. Pembangunan/modernisasi infrastruktur pendukung, termasuk logistik pelabuhan-pelabuhan laut di banyak daerah seperti di Semarang dan Cilacap sangat diperlukan agar ekspor dari UMKM daerah bisa menjadi efisien. (2) Pemberdayaan kembali semua sentrasentra UMKM yang sempat dikembangkan dengan dukungan pemerintah pada era Orde Baru, namun terlantarkan sejak mulainya era reformasi. Khususnya Unit Pelayanan Teknis (UPT) di sentra-sentra yang ada perlu diremajakan dengan antara lain menggantikan mesin-mesin dan alatalat pengujian/laboratorium yang sudah usang dengan yang baru. (3) Walaupun bantuan pendanaan memang penting, namun sudah saatnya penekanan dari kebijakan atau program-program pemerintah untuk membantu perkembangan UMKM lebih pada peningkatan pendidikan pengusaha dan pekerja, pengembangan teknologi, dan peningkatan kemampuan inovasi. Selain itu, UMKM baik yang hanya melayani pasar domestik maupun yang menjual produkproduknya ke pasar luar negeri perlu
18
dibantu sepenuhnya (misalnya dengan penyediaan laboratorium. untuk pengujian kualitas barag) agar bisa mendapatkan label Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) untuk meningkatkan kualitas produk dan berarti juga daya saing UMKM.Untuk maksud ini, perlu adanya insentif agar terjalin kerjasama yang erat antara UMKM setempat dengan perguruan tinggi, lembaga pendidikan/ pelatihan dan penelitian dan pengembangan setempat sehingga terjadi peralihan teknologi dan pengetahuan ke UMKM. (4) Perlu diupayakan peningkatan keterkaitan produksi melalui misalnya subcontracting antara UMKM dan UB, termasuk PMA. Berdasarkan fakta bahwa sulit mendapatkan UMKM lokal yang siap sebagai pemasok bagi UB/PMA karena keterbatasan teknologi dan pengetahuan, maka untuk mencapai tujuan ini, pemerintah bersama-sama dengan pihak swasta seperti Kadin, asosiasi bisnis, himpunan pengusaha, dan universitas harus sepenuhnya membantu UMKM dalam meningkatkan kemampuan mereka sebagai pemasok yang kompetitif dan efisien bagi UB/PMA. (5) Pemerintah tahun ini membuat rencana pengembangan enam (6) koridor ekonomi. Dalam kaitan ini, pengembangan UMKM lokal di enam wilayah tersebut untuk menjadi UMKM berdaya saing tinggi, baik sebagai pelaku usaha yang mandiri maupun sebagai pemasok UB, harus menjadi salah satu komponen penting dari kebijakan pengembangan enam koridor tersebut. (6) Perlu diupayakan agar semua UMKM di manapun lokasinya mendapatkan akses sepenuhnya ke informasi mengenai pasar dan lainnya, teknologi, pendidikan/ pelatihan, fasilitas perdagangan, dan perbankan; tentu dengan tidak menghilangan penilaian obyektif mengenai kelayakan usaha dari UMKM yang bersangkutan.
APEC (2006a), “A Research on the Innovation Promoting Policy for SMEs in APEC” Survey and Case Studies”, December, APEC SME Innovation Center, Korea Technology and Information Promotion Agency for SMEs, Seoul. APEC (2006b), “Economic Impacts of Innovative SMEs and Effective Promotion Strategies”, October, Seoul: APEC SME Innovation Center. Battat, Joseph, Isaiah Frank and Xiaofang Shen (1996), “Suppliers to Multinationals: Linkage Programs to Strengthen Local Companies in Developing Countries”, Foreign Investment Advisory Service Occasional Paper, N° 6, International Finance Corporation, World Bank, Washington, D.C Berry, Albert dan Brian Levy (1994), “Indonesia’s Small and Medium-Size Exporters and Their Support Systems”, Policy Research Working Paper 1402, Desember, Policy Research Department, Finance and Private Sector Development Division, World Bank, Washington, D.C. Bonaccorsi, A. (1992), “On the Relationship Between Firm Size and Export Intensity”, Journal of International Business Study, 23(4). BPS (2010), Profil Industri Kecil dan Mikro 2010, Desember, Jakarta: Badan Pusat Statistik. Dierman, Peter van, Thee Kian Wie, Mangara Tambunan, dan Tulus Tambunan (1998), “The IMF Reform Agreements: Evaluating The Likely Impact on SMEs”, Study Report, Juni, The Asia Foundation, Jakarta. Dollar, D. (1992), ‘Outward oriented developing economics really do grow more rapidly: Evidence from 95 LDCs, 1976-1985’, Economic Development and Cultural Change, 40. Falvey, A dan C.D. Kim (1992), “Timing and sequencing issues in trade liberalization”, The Economic Journal, 102. ISED (2012), India Micro, Small & Medium Enterprises Report 2012, Cochin: Institute of Small Enterprises and Development. Kaplinsky, R., M. Morris dan J. Readman (2002), “The globalisation of product markets and immiserising growth: lessons from the South African furniture industry’”, World Development 30(7) Krueger, A. (1978), Foreign Trade Regimes and Economic Development: Liberalization Attempts and Consequences, Cambridge, Mass.: Balinger Publishing Co. for National Bureau of Economic Research. Kruger, J.J., U. Cantner dan H. Hanusch (2000), “Total factor productivity, the East Asian miracle, and the world production frontier”, Weltwirtschafliches Archiv, 136. Kuwayama, Mikio (2001), “E-commerce and export promotion policies for small-and medium sized enterprises: East Asia and Latin American Experiences”, Comercio Internacional Serie No.13, October, International Trade and Integration Division, Santiago: UN Publication Tambunan, Tulus T.H. (2009a), SME in Asian Developing Countries, London: Palgrave Macmillan Publisher. Long, Nguyen Viet (2003), “Performance and obstacles of SMEs in Viet Nam Policy implications in near future”, reseach paper, International IT Policy Program (ITPP) Seoul National University, Seoul. Navaretti, G. B, R. Faini dan B.Gauthier (2003), “The Impact of Trade Liberalisation on Enterprises in Small Backward Economies: The Case of Chad and Gabon” Centro Studi Luca D’Agliano Development Studies Working Paper No. 176. (http://ssrn.com/abstract=464201)
19
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Aggarwal, A (2001), “Liberalisation, multinational enterprises and export performance: evidence from Indian manufacturing”, Working Paper No. 69, Juni, New Delhi: Indian Council for Research on International Economic Relations.
Programme
Daftar Pustaka
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Nugent, J. B. dan S. Yhee (2002), “Small and Medium Enterprises in Korea: Achievements, Constraints and Policy Issues”, Small Business Economics, 18 (1-3). Roberts, S. (2000). Understanding the effects of trade policy reform: the case of South Africa, South African Journal of Economics, 68(4). Roberts, M.J. dan J. Tybout (1996). Industrial Evolution in the Developing Countries, Oxford: Oxford University Press. Shahid, Yusuf (2007), “From Creativity to Innovation”, Policy Research Working Paper 4262, Juni, Development Research Group, Washington, D.C.: World Bank. Steel, Wiliam F. dan Webster, L.M. (1992). “How Small Enterprises in Ghana have responded to Adjustment”, World Bank Economic Review, 6. Tambunan, Tulus (2009a), Development of Small and Medium Enterprises in ASEAN Countries, New Delhi: Readworthy Publications, Ltd. Tambunan, Tulus (2009b), SME in Asian Developing Countries, London: Palgrave Macmillan Publisher. Tambunan, Tulus (2009c), UMKM di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia. Tambunan, Tulus (2010), Trade Liberalization and SMEs in ASEAN, New York: Nova Science Publishers, Inc. Tambunan, Tulus T.H. (2012), “Export-oriented MSMEs; Access to Trade Facilitation: The Story from Indonesia”, Research report for UN-ESCAP (no.5910), November, Jakarta: Center for Industry, SME and Business Competition Studies. Tewari, Meenu dan Jeffery Goebel (2002), “Small Firm Competitiveness in a Trade Liberalized World Lessons for Tamil Nadu”, April, Research Paper (http://www.cid.harvard.edu/archive/india/pdfs/ tewari_small firms_ 042102. pdf). Tybout, James R. (1992), ‘Linking Trade and Productivity: New Research Directions’, World Bank Economics Review, 6. Tybout, James R (2000), ‘Manufacturing Firms in Developing Countries: How Well do They Do, and Why?” Journal of Economic Literature, 38(1), Maret. Tybout, James R., J. de Melo dan V. Corbo (1991), “The effects of trade reforms on scale and technical efficiency: New Evidence from Chile”, Journal of International Economics, 31. UN-ESCAP (1997), Assistance to Small and Medium-sized Enterprises for Enhancing Their Capacities for Export Marketing, Studies in Trade and Investment 28, New York: UN Publication UN-ESCAP (2010), The Development Impact of Information Technology in Trade Facilitation. A Study by the Asia-Pacific Research and Training Network on Trade, Studies in Trade and Investment 69, New York: United Nations Publication. Valodia, Imraan dan Myriam Velia (2004), “Macro-Micro Linkages in Trade: How are Firms Adjusting to Trade Liberalisation, and does Trade Liberalisation lead to improved Productivity in South African Manufacturing Firms?”, makalah, the African Development and Poverty Reduction: The Macro-Micro Linkage Conference, Development Policy Research Unit (DPRU) and Trade and Industrial Policy Secretariat (TIPS), 13-15 Oktober. Wakelin, K. (1997), Trade and Innovation: Theory and Evidence, Edgar Publishing Inc. Wang, Y dan Y. Yao (2002), “Market reforms, technological capabilities and the performance of small enterprises in China”, Small Business Economics,19.
20