PERBANDINGAN ANTOLOGI CERPEN BATU-‐BATU SETAN KARYA M. FUDOLI ZAINI DAN LUKISAN KALIGRAFI KARYA A. MUSTOFA BISRI Contrastive Study of Fudoli Zaini’s Batu-‐Batu Setan Shortstories and A. Mustofa Bisri’s Lukisan Kaligrafi
Mashuri Subbidang Pengkajian Sastra, Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, Jalan Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo, Indonesia, Telp. 031-‐8051752, Pos-‐el:
[email protected]
(Makalah Diterima Tanggal 25 Oktober 2015—Direvisi Tanggal 18 November 2015—Disetujui Tanggal 30 November 2015)
Abstrak: Tulisan ini mengkaji konstruksi dunia dan nalar santri dalam prosa karya kiai pesantren, yaitu Batu-‐Batu Setan karya M. Fudoli Zaini dan Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Teori yang digunakan adalah strukturalisme dan hermeneutik, dengan menggunakan metode banding-‐ an. Dari kajian perbandingan didapatkan pola sistemik pada posisi pengarang sebagai agen dalam ranah produksi kultural. Pola-‐pola sistemik yang menggambarkan konstruksi dan nalar santri yang bersifat universal dan parsial dengan bersandar pada konsep oposisi biner: sintagmatik dan paradigmatik, dapat dirumuskan dari perbandingan kedua kumpulan cerpen tersebut. Dari kajian tentang karya dua kiai itu, biografi mereka, dan perbandingan antara keduanya terkonstruksikan dunia dan nalar santri. Nalar santri inilah yang menjadi pola berpikir dan cara melihat dari ka-‐ langan pesantren di dalam karya dan ‘kehidupan’-‐nya. Kata-‐Kata Kunci: konstruksi dunia, nalar santri, sastra bandingan Abstract: This research aims to describe the construction of santri’s sense and world in shortstories written by two kiai, M. Fudoli Zaini’s Batu-‐Batu Setan and A. Mustofa Bisri’s Lukisan Kaligrafi. To analize the comparativeness, structualism and hermeneutics theory is used to describe the problem. We can see that there is a systemic pattern of the writers as an agent in a cultural production envi-‐ ronment. Those systemic patterns show the universalities and partialities of santri’s construction and sense according to binary opposition concept, namely syntagmatic and paradigmatic. The dif-‐ ferences among the two anthologies, seen from their shortstories and biography is constructed by the world and sense of the santri. From their shortstories and we can see how the santri think and see using their sense and world. Key Words: construction of world, santri’s sense, comparative literature
PENDAHULUAN Konstruksi tentang santri dan dunia pe-‐ santren sudah sering menjadi bahan pe-‐ nelitian di kalangan para antropolog, so-‐ siolog dan sejarawan dengan berbagai pendekatan. Di kalangan intelektual In-‐ donesia saja sudah ada beberapa diser-‐ tasi dengan objek pesantren, di antara-‐ nya yaitu Zamakhsari Dhofier (LP3ES, 1982) tentang pandangan hidup kiai, Iik Arifin Mansurnoor (Gajah Mada Univer-‐ sity Press, 1990) tentang studi ulama di
Madura, Azyumardi Azra (Mizan, 1994) tentang jaringan ulama Timur Tengah dan Nusantara abad ke-‐17 dan ke-‐18, Abdurrahman Mas’ud (Kencana Prena-‐ da, 2006) tentang penelusuran jejak in-‐ telektual arsitek pesantren dari Hara-‐ main ke Nusantara, dan In’am Sulaiman (Madani, 2010) tentang eksistensi pe-‐ santren di tengah globalisasi. Hanya saja jarang muncul kajian mendalam tentang dunia santri dan nalar pesantren dengan mengkaji sastra, baik itu lewat karya 143
ATAVISME, Vol. 18, No. 2, Edisi Desember 2015: 143—157
sastra, latar penulisnya, maupun gagas-‐ an di dalamnya, sehingga bisa menguak konstruks dunia dan nalar pesantren. Oleh karena itu, tulisan ini berusaha me-‐ ngupas karya sastra yang ditulis oleh in-‐ telektual pesantren atau kiai dan realitas yang melingkupinya. Sebutan santri bukan saja berupa lembaga pendidikan tetapi juga meng-‐ arah pada komunitas masyarakat, yang dalam beberapa hal sering disebut de-‐ ngan kaum santri. Terdapat nilai-‐nilai yang dianut dan berlaku di kalangan ka-‐ um santri. Apalagi ada anggapan kaum santri adalah mereka yang memusatkan perhatiannya pada doktrin Islam, teruta-‐ ma dalam penafsiran moral dan sosial. Meski demikian, aplikasi kedua hal itu berbeda dalam kesehariannya karena pada kenyataannya sifat kelompok san-‐ tri ini tidaklah homogen (Effendy, 1985:45). Hal itu juga ditegaskan oleh Geertz, bahwa memang jenis kaum san-‐ tri beraneka ragam (Geertz, 1983:173). Di sisi yang berbeda, jika berbicara tentang pesantren memang tidak bisa di-‐ lepaskan dari keberadaan kiai. Pandang-‐ an pada kiai memang mengalami per-‐ kembangan dan dinamika yang signifi-‐ kan. Kaum santri ini mempunyai sistem nilai tersendiri yang berbeda dari sistem manapun. Sistem nilai yang berkembang mempunyai ciri dan watak sendiri, yang sering memberikan watak, menurut Abdurrahman Wahid, ‘subkultur’ (dalam Rahardjo, 1983:39—60). Selain nilai serba ibadah dan cinta ilmu masih ada lagi suatu nilai yang banyak mempenga-‐ ruhi kehidupan seorang santri, yaitu ke-‐ ikhlasan (Effendy, 1985:50). Hanya saja perlu diperhatikan bah-‐ wa pola yang terjadi dalam masyarakat santri memang sudah mengalami perge-‐ seran. Pada masa kini, memang banyak yang telah berubah, meskipun banyak pula yang masih tetap dijaga dan diper-‐ tahankan di kalangan pesantren dan du-‐ nia kaum santrinya. Kemungkinan besar
144
tata nilai yang dianut dan menjadi nalar pesantren tetap pada posisi yang terlin-‐ dungi. Oleh karena itu, tulisan ini tidak akan membahas ihwal yang berubah dan tetap dalam dunia santri, tetapi berikh-‐ tiar melihat bagaimana pola dunia santri dan bagaimana nalar pesantren itu ber-‐ operasi dalam konstruksi karya, biografi penulis juga realitas yang di sekitarnya. Di dalam kajian ini dimungkinkan juga akan menampakkan gerak yang tetap dan berubah dalam dunia pesantren. Seiring dengan hal itu, sebagai sum-‐ bu tulisan ini adalah karya dua intelek-‐ tual pesantren yaitu M. Fudoli Zaini dan A. Mustofa Bisri, yang ditopang beberapa bahan. Bahan kajian utama terdiri atas dua buku kumpulan cerpen Batu-‐batu Setan (BBS) karya M. Fudoli Zaini dan Lukisan Kaligrafi (LK) karya A. Mustofa Bisri. Bahan kajian kedua adalah biografi penulis yang dalam kesempatan ini di-‐ anggap sebagai data yang cukup mendu-‐ kung upaya rekonstruksi nalar pesan-‐ tren, karena kedua penulis adalah ‘orang dalam’ pesantren, dan dikenal sebagai intelektual pesantren dan berstatus kiai. Bahan kajian ketiga adalah runutan seki-‐ las tentang realitas dalam dunia pesan-‐ tren terkait dengan tradisi kepenulisan, baik itu dalam transformasi keilmuan pada masa lampau atau dunia kepenulis-‐ an dalam bidang seni sastra modern. Ketiga bahan kajian itu digunakan dengan beberapa alasan yang cukup sig-‐ nifikan dalam strategi pengkajian ini. Terdapat tiga alasan yang mempertim-‐ bangkan kaidah struktural-‐hermeneutik untuk itu, di antaranya: alasan pertama, M. Fudoli Zaini seorang kiai pesantren, pernah belajar ke Universitas Al Azhar Mesir, asal Madura, dan menulis cerpen. Sedangkan A. Mustofa Bisri juga seorang kiai pesantren, pernah belajar ke Univer-‐ sitas Al Azhar Mesir, asal Jawa, dan me-‐ nulis cerpen. Dengan latar pesantren yang bersub-‐kultur berbeda itu, dimung-‐ kinkan ragam pesantren yang diangkat
Perbandingan Antologi Cerpen ... (Mashuri)
juga memiliki nuansa yang berbeda, apa-‐ lagi yang sudah ditegaskan bahwa pe-‐ santren bukanlah sebuah sub-‐kultur yang monolitik tetapi terdiri atas bera-‐ gam model dan pengembangannya. Ala-‐ san kedua, terdapat kemiripan struktual di antara cerpen-‐cerpen kedua penulis tersebut. Jumlah cerpen dalam kedua buku (BBS dan LK) sama yaitu 15 buah. Meskipun dalam penceritaaan dan gaya ceritanya cukup berbeda, tetapi ada po-‐ la-‐pola yang sejajar dan bisa dikaji dari segi strukturalnya. Alasan ketiga, jarang sekali orang pesantren yang bertaraf kiai menelorkan karya cerpen dan kedua pe-‐ nulis tersebut adalah di antara jumlah yang sedikit itu. Hal ini dapat ditelusuri dari tradisi kepenulisan di dunia pesan-‐ tren selama ini, sehingga muncul tafsir tersendiri dari kondisi tersebut. Antara BBS dan LK ditulis oleh kiai yang berbe-‐ da konsentrasi kepenulisannya. BBS di-‐ tulis cerpenis, sedangkan LK ditulis oleh penulis yang selama ini bergelut dalam bidang puisi. Diharapkan dari pertim-‐ bangan ketiga ini bisa merunut pada konstruksi dunia santri dan nalar pesan-‐ tren dengan lebih detail dan menyelu-‐ ruh. Dengan beberapa alasan itulah, di-‐ mungkinkan akan didapat pola struk-‐ tural yang menarik, sekaligus terdapat batas ruang liminal yang dihuni oleh ke-‐ dua penulis tadi, juga karya-‐karya yang dihasilkannya, sehingga konstruksi du-‐ nia dan nalar pesantren yang dihasilkan dalam analisis lebih bisa dipertanggung-‐ jawabkan kevalidannya. Adapun untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan menyantuni banyak hal dalam kerja pengkajian, tulisan ini menggunakan beberapa kerangka teori. Kajian struktural digunakan sebagai da-‐ sar membedah karya, digabung dengan kajian hermeneutik serta pendekatan sastra bandingan. Dengan kata lain, lan-‐ dasan teorinya adalah struktural-‐herme-‐ neutik, dengan menggunakan metode
sastra bandingan dalam kerja perban-‐ dingan unsur-‐unsur karya. Digunakan-‐ nya gabungan teori tersebut dengan be-‐ berapa alasan. Di antaranya kajian struk-‐ tural yang digunakan dalam kesempatan ini bukan mengacu pada analisis struk-‐ tural karya sastra yang selama ini dike-‐ nal dalam kajian sastra tetapi menggu-‐ nakan strukturalisme Levi-‐Strauss, se-‐ hingga dibutuhkan perangkat teori lain untuk mendukungnya karena Levi-‐ Strauss berpandangan bahwa karya sas-‐ tra itu tidak dapat diperlakukan seperti mitos, meski demikian seorang ahli struktural lainnya, Roland Barthes, sa-‐ ngat mendukung penggunaan struktural dalam karya sastra (Ahimsa-‐Putra, 2006:261). Ahli semiologi ini juga yang menekankan tentang kesenangan dan kenikmatan dalam mendekati teks atau pleasure the text. Death of author sedikit diabaikan dalam pengkajian ini, tetapi pleasure the text menjadi spirit yang mengilhami tulisan ini dari awal sampai akhir. Hal itu karena dalam kerangka ka-‐ jian ini, pemikiran pengarang menjadi salah satu acuan untuk merekonstruksi nalar pesantren. Pemikiran pengarang diakui dalam studi sastra dan dikenal dengan kajian pandangan dunia penga-‐ rang yang masuk wilayah ekspresif. Ada-‐ pun dalam rangka menambal celah ter-‐ sebut digunakan beberapa pendekatan bantuan. Di antaranya adalah meminjam metode Pierre Bourdeau terkait dengan posisi agen dalam arena produksi kul-‐ tural (Bourdeau, 2010). Posisi kiai seba-‐ gai pengarang, intelektual pesantren dan pemuka masyarakat adalah agen dari arena kultural yang tidak bisa dilepas-‐ kan dari habitus (lingkungan yang mem-‐ bentuk diri dan perilaku sampai bawah sadarnya) dan modal simboliknya beru-‐ pa penghormatan masyarakat, pemikir-‐ annya dan karya-‐karyanya. Dalam arena produksi kultural, antara modal simbolik itu menjadi dunia yang tidak dapat
145
ATAVISME, Vol. 18, No. 2, Edisi Desember 2015: 143—157
dilepaskan dari peran agen-‐agen ber-‐ sangkutan, sesuai dengan habitus dan lintasan/trajektorinya. Pendekatan lain yang digunakan se-‐ bagai penyokong utama strukturalisme adalah hermeneutika. Kajian ini merupa-‐ kan kajian yang berlandaskan kekuatan tafsir, dan dalam penelitian ini menggu-‐ nakan tafsir kebudayaan Clifford Geertz, apalagi antara antropologi struktural dan antropologi hermenutik memiliki asumsi yang sama (Ahimsa-‐Putra, 2006:254). Perpaduan ini digunakan ka-‐ rena jika hanya kajian struktural untuk membahas sastra, ada kekurangannya dan harus ditambah dengan hermeneu-‐ tik, meskipun setiap analisis karya itu su-‐ dah hermenutik (Ahimsa-‐Putra, 2006: 254). Namun karena bahannya adalah karya sastra, teori hermeneutik menjadi demikian signifikan karena sastra seba-‐ gai dunia tanda yang perlu ditafsirkan untuk mendapatkan makna relevansi-‐ nya. Strukturalisme Levi-‐Strauss diguna-‐ kan mengupas karya sastra, juga biografi pengarangnya sebagai semacam ‘data et-‐ nografis’, sedangkan sebagai pelengkap dan penjelas dari ‘hutan lambang’ yang muncul dari konstruksi dan pola-‐pola karya yang dihasilkan digunakan tafsir kebudayaan, sebagaimana Geertz ketika mendekati dan menafsirkan data-‐data etnografis. TEORI Penelitian ini menggunakan tiga elabora-‐ si teori, yaitu strukturalisme, tafsir kebu-‐ dayaan dan sastra bandingan. Alasannya, ketiga teori ini memang diperlukan da-‐ lam kerja analisis. Teori strukturalisme untuk membongkar struktur karya dan dunia pengarang. Struktur itulah yang dijadikan data pengkajian. Hermeneutik dan tafsir kebudayaan digunakan untuk menafsir simbol dalam karya yang da-‐ lam kesempatan ini dianggap sebagai gugus simbol budaya. Selain itu, juga taf-‐ sir pada realitas kesejarahan dunia
146
simbol dalam dunia pesantren. Adapun teori atau pendekatan sastra bandingan digunakan karena di antara bahan kajian ini adalah bandingan dua buah karya sastra, sehingga diperlukan telaah kajian atau perbandingan. Adapun rincian sing-‐ kat mengenai ketiga teori tersebut ada-‐ lah sebagai berikut Pertama, teori strukturalisme Levi-‐ Straus. Levi-‐Strauss melihat bahwa da-‐ lam bidang ilmu humaniora, ilmu yang sudah mencapai taraf ilmiah atau sainti-‐ fik, sebagaimana ilmu alam adalah baha-‐ sa. Ilmu linguistik sudah bisa menghasil-‐ kan dalil-‐dalil yang bisa dijadikan acuan teori secara general. Oleh karena itu, Levi-‐Strauss memasu inspirasi dari ilmu bahasa. Sebagaimana ditegaskan Ahimsa-‐Putra, Levi-‐Strauss sangat terke-‐ san oleh analisis para ahli bahasa, karena telah mampu merumuskan formula ke-‐ bahasaan yang begitu kompleks (Ahimsa-‐Putra, 2006:29). Ia pun ingin menggunakan metode ilmu bahasa un-‐ tuk melihat kebahasaan. Tercatat ada ti-‐ ga ahli bahasa yang berpengaruh pada strukturalismenya, yaitu Ferdinand de Saussure, yang dikenal dengan pembagi-‐ an oposisi wadah-‐isi, langue-‐parole, ti-‐ nanda-‐penanda, paradigmatik-‐sintagma-‐ tik, dan lainnya; Roman Jacobson yang dikenal sebagai ahli fonemik; dan ter-‐ akhir adalah Nikolai Trubetzkoy yang memperkenalkan unsur ketaksadaran dalam bahasa. Dari ketiganya tersebut, Levi-‐Strauss merumuskan strukturalis-‐ menya. Ahimsa-‐Putra menegaskan, sruk-‐ turalisme Levi-‐Strauss secara implisit menganggap teks naratif, seperti mitos, sejajar atau mirip dengan kalimat atas dua hal. Pertama, teks tersebut adalah sesuatu yang mewujudkan, mengeks-‐ presikan, keadaan pemikiran seseorang, seperti halnya sebuah kalimat memper-‐ lihatkan atau mengejawantahkan pemi-‐ kiran seorang pembicara. Makna teks naratif tersebut lebih dari sekadar
Perbandingan Antologi Cerpen ... (Mashuri)
makna yang dapat ditangkap dari kali-‐ mat-‐kalimat tunggal yang membentuk teks tersebut, sebab kita bisa saja mema-‐ hami makna kalimat-‐kalimat ini, tetapi tidak dapat menangkap makna keselu-‐ ruhan teks. Kedua, teks tersebut membe-‐ rikan bukti bahwa dia diartikulasikan dari bagian-‐bagian, sebagaimana kali-‐ mat-‐kalimat yang diartikulasikan oleh kata-‐kata yang membentuk kalimat ter-‐ sebut (Ahimsa-‐Putra, 2006:31). Namun, untuk memahami model analisisnya ha-‐ rus diketahui tentang konsep penting lainnya, yaitu konsep struktur dan trans-‐ formasi (Ahimsa-‐Putra, 2006:60). Perlu diketahui, tegas Ahimsa-‐ Putra, strukturalisme Levi-‐Strauss ber-‐ beda dengan strukturalisme lainnya. Pa-‐ radigma struktural yang dikembangkan Levis-‐Strauss berasal dari rajutan bebe-‐ rapa tokoh dan bidang. Selain dari ilmu bahasa, strukturalismenya juga diilhami oleh filsuf besar yang gaungnya hingga kini masih sangat jelas, Karl Marx, dan ahli psikoanalisa Sigmund Freud. Me-‐ mang sangat jarang menjumpai intelek-‐ tual dunia yang tidak terpengaruh oleh kedua tokoh tersebut. Adapun untuk memahami struk-‐ turalisme terdapat beberapa asumsi da-‐ sar. Pertama, dalam strukturalisme ada anggapan bahwa berbagai aktivitas sosi-‐ al dan hasilnya, seperti dongeng, upaca-‐ ra-‐upacara, sistem kekerabatan dan pola tempat tinggal, pakaian dan sebagainya, secara formal semuanya dapat dikata-‐ kan sebagai bahasa-‐bahasa atau lebih te-‐ patnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan ter-‐ tentu. Oleh karena itu terdapat keterta-‐ taan (order) serta keterulangan (regular-‐ ities) pada berbagai fenomena terebut (Ahimsa-‐Putra, 2006:66). Kedua, dalam struktralisme ada anggapan bahwa da-‐ lam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis-‐se-‐ hingga kemampuan ini ada pada semua orang yang ‘normal’-‐ yaitu kemampuan
untuk structuring, untuk menstruktur, menyusun suatu struktur, atau menem-‐ pelkan suatu struktur tertentu pada ge-‐ jala-‐gejala yang dihadapinya. Adanya ke-‐ mampuan ini membuat manusia (se-‐ olah-‐olah) dapat melihat struktur di ba-‐ lik berbagai macam gejala (Ahimsa-‐ Putra, 2006:67). Ketiga, suatu istilah di-‐ tentukan maknanya—mengikuti Saussure—oleh relasi-‐relasinya pada su-‐ atu titik waktu tertentu, yaitu secara sin-‐ kronis, dengan istilah-‐istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpenda-‐ pat bahwa relasi-‐relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-‐fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena ter-‐ sebut (Ahimsa-‐Putra, 2006:68). Keem-‐ pat, relasi-‐relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhana-‐ kan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition). Oposisi ini dapat di-‐ bedakan menjadi dua yakni ekslusif dan tidak ekslusif. Contoh oposisi pertama adalah: menikah dan tidak menikah. Contoh oposisi kedua adalah: matahari dan rembulan, gagak dan elang dan se-‐ bagainya (Ahimsa-‐Putra, 2006:69). Teori kedua adalah tafsir kebudaya-‐ an Clifford Geertz. Geertz lebih memper-‐ hatikan makna daripada sekadar perila-‐ ku manusiawi. Ia beranggapan kebuda-‐ yaan adalah hal yang semiotik dan kon-‐ tekstual. Tafsirannya adalah dengan me-‐ maparkan konfigurasi dan sistem-‐sistem simbol yang bermakna secara mendalam dan menyeluruh. Simbol budaya adalah kendaraan pembawa makna. Hal-‐hal yang berhubungan dengan simbol yang tersedia dan dikenal oleh masyarakat. Simbol adalah sesuatu yang harus di-‐ tangkap atau ditafsir maknanya, lalu di-‐ bagikan kepada masyarakat dan diwa-‐ riskan pada anak cucu. Menurutnya, se-‐ lama ini sistem simbol yang tersedia di kehidupan masyarakat menunjukkan bagaimana masyarakat bersangkutan melihat, merasa, dan berpikir tentang
147
ATAVISME, Vol. 18, No. 2, Edisi Desember 2015: 143—157
dunia mereka dan bertindak berdasar pada nilai-‐nilai yang sesuai dan selaras. Geertz juga menyiratkan adanya dualitas dalam kerja tafsir kebudayaan di lapang-‐ an, yaitu apakah peneliti menggunakan kaca mata ilmiah atau peneliti menggu-‐ nakan mata kepala masyarakat. Ia juga mendukung pentingnya kajian sejarah kemasyarakatan, untuk mengurai simbol yang dikembangkan (Geertz, 1992). Oleh karena itu, dalam sebuah penelitian memang seyogianya memadukan unsur emik dan etik. Dan, dalam penelitian ini, diusahakan menggunakan metode terse-‐ but. Dengan menganggap bahwa karya, dan historisitas di baliknya adalah data-‐ data kebudayaan dan berupa simbol-‐ simbol yang perlu ditafsirkan untuk di-‐ cari makna terdalamnya. Ketiga adalah pendekatan sastra bandingan. Sastra bandingan yang digu-‐ nakan adalah perbandingan interdisip-‐ liner, yaitu sastra dengan sastra dan sas-‐ tra dengan bidang lainnya. Menurut Damono, sastra bandingan merupakan disiplin dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri (Damono, 2005:2). Teori apapun bisa dimanfaat-‐ kan dalam sastra bandingan, senyam-‐ pang sesuai dengan objek dan tujuan penelitiannya. Dalam hal ini metode yang umum digunakan adalah memban-‐ dingkan. Tentu saja dalam hal ini perlu diperikan hal ihwal yang bisa dibanding-‐ bandingkan. Remak memberi batasan ihwal tersebut. Menurut Remak, ‘sastera bandingan merupakan kajian sastra di luar batas sesebuah negara dan kajian tentang hubungan di antara sastera de-‐ ngan bidang ilmu serta kepercayaan yang lain seperti seni (misalnya, seni lu-‐ kis, seni ukir, senibina, seni muzik), falsa-‐ fah, sejarah, sains sosial (misalnya poli-‐ tik, ekonomi, sosiologi), sains, agama, dan lain-‐lain. Ringkasnya, sastera bandi-‐ ngan membandingkan sastera sebuah negara dengan sastera negara lain dan membandingkan sastera dengan bidang
148
lain sebagai keseluruhan ungkapan kehi-‐ dupan’ (Remak, 1990:1). Robert J. Clements (1978:7) mem-‐ perkenalkan lima pendekatan dalam sas-‐ tra bandingan, di antaranya adalah te-‐ ma/mitos, genre/bentuk, gerakan/za-‐ man, hubungan-‐hubungan antara bidang seni dan disiplin ilmu lain dan pelibatan sastra sebagai bahan bagi perkembang-‐ an teori dan kritik sastra yang terus me-‐ nerus bergulir. Adapun dalam makalah ini perbandingan yang dilakukan adalah antara karya sastra dengan karya sastra, dan karya sastra dengan disiplin lain se-‐ perti sosial-‐budaya, dan agama. Pende-‐ katan yang dilakukan meliputi perpadu-‐ an pendekatan tema/mitos, gerakan/za-‐ man, hubungan antarbidang seni, juga pelibatan sastra sebagai bahan perkem-‐ bangan teori dan kritik sastra yang terus bergulir, mengingat untuk saat ini se-‐ dang ada ikhtiar untuk menggulirkan ga-‐ gasan sastra pesantren, hubungannya dengan sastra Islami, sastra sufistik, dan lain-‐lainnya. Dalam makalah ini, gagas-‐ annya mengerucut pada konstruksi na-‐ lar pesantren. Apalagi sastra sebagai produk budaya merupakan gambaran dan refleksi dari sistem pengetahuan, ca-‐ ra berpikir, dan pandangan masyarakat-‐ nya. METODE Metode yang digunakan dalam peneliti-‐ an ini adalah mengumpulkan data beru-‐ pa dua buku cerpen yaitu BBS dan LK, kemudian data biografis pengarang, yai-‐ tu M. Fudoli Zaini dan A. Mustofa Bisri. Selain itu, juga data kepenulisan di dunia pesantren. Bahan-‐bahan tadi dianggap sebagai teks dan artefak budaya. Lang-‐ kah pertama analisis adalah dengan membedah biografi kedua pengarang se-‐ cara struktural dengan membandingkan keduanya. Ternyata ada oposisi biner di antara keduanya dan dicarilah ruang li-‐ minalitas, atau ruang yang dihuni kedua kiai. Pengkajian selanjutnya dilakukan
Perbandingan Antologi Cerpen ... (Mashuri)
dengan mengkaji struktur kedua buku kumpulan cerpen. Langkah pertama de-‐ ngan mengelompokkan masing-‐masing cerpen dalam bukunya sendiri ke dalam pola-‐pola yang sama. Dari sini masing-‐ masing buku bisa dikonstruksi menjadi sembilan pola. Setelah itu, dibandingkan antara kedua kumpulan cerpen itu, un-‐ tuk mengetahui bangunan struktur/pola yang mirip di antara keduanya. Dari sini juga bisa dikonstruksi sembilan pola. Dua langkah tersebut diasumsikan seba-‐ gai upaya untuk meletakkan cerpen-‐cer-‐ pen itu (masing-‐masing berjumlah 15 buah) dalam bingkai sinkronik (dalam karya sendiri) dan diakronik (di antara karya yang berbeda), dengan bersandar pada unsur-‐unsur instrinsik yang me-‐ nyusun karya tersebut yang biasa dike-‐ nal dalam kajian sastra, mulai dari tema, tokoh, latar, perwatakan, dan sebagai-‐ nya. Setelah didapat pola strukturnya, la-‐ lu digunakan pendekatan tafsir kebuda-‐ yaan untuk melihat dunia pesantren le-‐ wat kedua karya tersebut. Dalam hal ini, yang diacu juga teks-‐teks cerpen dan di-‐ padu dari hasil analisis struktural yang sudah ada. Selanjutnya adalah menelu-‐ suri realitas kepenulisan dalam dunia pesantren, baik itu penulisan tradisional atau modern, yang merupakan asal ke-‐ dua pengarang bersangkutan. Dari sini-‐ lah dapat dirumuskan dalam simpulan tentang konstruksi nalar pesantren. HASIL DAN PEMBAHASAN Ruang Liminal Kedua Pengarang Biografi M. Fudoli Zaini memang menun-‐ jukkan ia memiliki pengalaman yang berbeda dengan generasi santri seza-‐ mannya. Mahayana mencatat, masa se-‐ kolah dihabiskan Fudoli di tanah kelahir-‐ annya. Selepas tamat SMA Negeri Pame-‐ kasan, ia melanjutkan kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya yang diselesai-‐ kannya tahun 1966. Pada pertengahan tahun 1968, ia berangkat ke Kairo untuk melanjutkan studinya di Universitas Al-‐
Azhar. Sambil kuliah, Fudoli bekerja se-‐ bagai staf Kedutaan Besar Republik In-‐ donesia di Mesir. Meski sangat merepot-‐ kan, ia berhasil menyelesaikan studinya di universitas itu dan memperoleh gelar master (M.A.) untuk bidang syariah dan filsafat dan doktor (Ph.D.) untuk bidang sastra dan filsafat sufi serta sejarah Islam (Mahayana, 2004:12) Di tengah kesibukannya menyele-‐ saikan studi di Institute of Islamic Studi-‐ es dan Institute of Arabic Studies di Uni-‐ versitas Al-‐Azhar, Fudoli masih sempat menghasilkan sejumlah cerpen yang ke-‐ mudian banyak diterbitkan majalah Ho-‐ rison. Boleh jadi lantaran itu pula, H.B. Jassin, Ajip Rosidi, Wildam Yatim, dan Satyagraha Hoerip menempatkan Fudoli sebagai cerpenis yang produktif. Pada pertengahan tahun 1986, Fudoli kembali ke tanah air dan mengajar di IAIN Sunan Ampel Surabaya untuk mata kuliah Seja-‐ rah Perkembangan Pemikiran Islam dan Hadis (Mahayana, 2004:12). Hingga dia wafat pada 2003, ia adalah guru besar paling disegani di institusi itu dengan ka-‐ pasitas pada Filsafat Islam dan tasawuf. Fudoli berlatar belakang pesantren yang kuat, karena ia merupakan cucu dari se-‐ orang pendiri pesantren di Sumenep yang kharismatik dan ia mengasuh pe-‐ santren Miftahul Ulum di Sumenep sam-‐ pai wafatnya. M. Fudoli Zaini sudah berkiprah me-‐ nulis cerpen sejak tahun 1964. Meski cerpen-‐cerpennya sudah termasuk da-‐ lam beberapa buku sastra dan dianggap produktif, tetapi namanya hampir terlu-‐ pa oleh banyak pihak. Bahkan A Teeuw tidak menyebutnya, meskipun sebelum meluncurkan buku cerpen, cerpen-‐cer-‐ pennya sudah terserak ke beberapa kumpulan cerpen bersama (Mahayana, 2004:12). Di antara kumpulan cerpen penting yang memuat karyanya adalah Angkatan 66: Prosa dan Puisi karya HB Jassin (Gunung Agung, 1976), Laut Biru Langit Biru yang disunting oleh Ayip
149
ATAVISME, Vol. 18, No. 2, Edisi Desember 2015: 143—157
Rosidi (Pustaka Jaya, 1977), Dari Jodoh sampai Supiyah (Sayembara Kincir Emas dan Djambatan, 1976), Cerita Pendek In-‐ donesia III yang dieditori Satyagraha Hoerip (Balai Pustaka, 1986), dan lain-‐ nya. Adapun buku-‐buku cerpennya ku-‐ rang lebih ada enam. Di antaranya Lagu Jalanan (Balai Pustaka, 1982), Potret Ma-‐ nusia (Balai Pustaka, 1983), Kota Kela-‐ hiran (Balai Pustaka, 1985), Arafah (Pus-‐ taka Salman Bandung, 1985), Batu-‐batu Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) dan Rindu Ladang Padang Ilalang (Yog-‐ yakarta: Bentang, 2002). Abdul Hadi W.M. menempatkan Fudoli Zaini sebagai salah satu pelopor sastra sufistik di Indonesia pada tahun 1970-‐an yang berjejer dengan nama-‐na-‐ ma seperti Kuntowijoyo, Danarto, Abdul Hadi W.M., dan Sutarji Calzaum Bachri (Abdul Hadi W.M., 2001:320). Meskipun demikian, ia memiliki kekhasan diban-‐ ding lainnya, di antaranya adalah cer-‐ pennya berbicara tentang pesantren yang ditulis oleh kalangan pesantren. Yang menarik adalah pandangan dia ten-‐ tang kepenulisan yang khas sebagai orang pesantren: yaitu menulis sebagai ibadah. Wawasan estetika Fudoli jelas bersumber dari khazanah sastra dan fil-‐ safat sufi. Ia berpandangan ‘terlibat-‐da-‐ lam’ dalam proses kepenulisannya (Mahayana, 2004). Sementara itu, hal yang sama juga berlaku untuk A. Mustofa Bisri yang ka-‐ rib disapa Gus Mus. Posisi Gus Mus seba-‐ gai kiai, pengarang, intelektual pesan-‐ tren, dan pemuka masyarakat adalah agen dari ranah kultural. Di luar sastra, ia lebih dikenal sebagai kiai dan biasanya namanya diberi gelar kiai haji (K.H.). Ja-‐ batan formal kekiaiannya memang pan-‐ jang. Ia pernah menjabat Rais Syuriah PBNU, juga pernah menjadi anggota De-‐ wan Penasihat DPP PKB. Ia pengasuh pe-‐ santren Raudlotut Tholibin dan dari ke-‐ luarga kiai. Ayah dan kakeknya adalah tokoh pesantren yang disegani, sekaligus
150
dikenal sebagai penulis handal. Basis pendidikannya menunjukkan kesantriannya. Selain mendapat gem-‐ blengan dari keluarga sendiri, ia juga nyantri di berbagai pesantren, di antara-‐ nya Pesantren Lirboyo Kediri di bawah asuhan K.H. Marzuqi dan K.H. Mahrus Ali dan di Pesantren Al Munawwar Krapyak Yogyakarta di bawah asuhan K.H. Ali Ma’shum dan K.H. Abdul Q. Selanjutnya, ia menempuh studi di Universitas Al Azhar pada 1964. Gus Mus juga telah mendapat anugerah gelar Doktor Honor-‐ is Causa dari UIN Sunan Kalijaga Yogya-‐ karta. Ia dilahirkan di Rembang pada 10 Agustus 1944. Latar belakang keluarga-‐ nya dikenal sebagai para penulis dan in-‐ telektual pesantren. Kakeknya, K.H. Zaenal Musthofa, dikenal sebagai penulis cukup produktif. Ayahnya, K.H. Bisri Musthofa, lebih produktif lagi. Pada saat Gus Mus masih di Al-‐Azhar, ia mengge-‐ luti penulisan puisi dan gambar untuk majalah setempat. Ia merambah ranah sastra Indonesia, mulai pada 1987, keti-‐ ka K.H. Abdurrahman Wahid, seorang kawan karibnya selama di Universitas Al-‐Azhar, menjabat ketua DKJ, dan me-‐ ngundangnya untuk baca puisi Arab di TIM Jakarta dalam festival sastra inter-‐ nasional. Sejak itulah, ia dekat dengan para sastrawan dan mulai menulis puisi lagi, karena sebenarnya ia juga menulis puisi pada awalnya. Setelah itu, sebutan budayawan berbasis pesantren melekat pada namanya. Pada tahun 2002, ia mu-‐ lai menulis cerpen, dan cerpen pertama-‐ nya Gus Jakfar dimuat Kompas pada ta-‐ hun itu dan pada tahun 2003 termasuk dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas. Kumpulan cerpennya Lukisan Kaligrafi diterbitkan penerbit buku Kompas, ta-‐ hun 2003. Pandangan Gus Mus terhadap dunia kepenulisan memang masih terkait de-‐ ngan dunia santri, sebagaimana dikutip dari blognya (www.gusmus.net, diunduh
Perbandingan Antologi Cerpen ... (Mashuri)
pada 10 November 2012), dijelaskan alasannya memasuki ranah sastra, “Sas-‐ tra itu diajarkan di pesantren. Dan kiai-‐ kiai itu, paling tidak tiap malam Jumat, membaca puisi. Burdah dan Barzanji itu kan puisi dan karya sastra yang agung?! Al Qur’an sendiri merupakan mahakarya sastra yang paling agung!” Di lain kesem-‐ patan, ia juga menambahkan. “Bersastra itu kan kegiatan manusia paling tinggi, melibatkan rasio dan perasaan!” kata-‐ nya. Dari biografi kreatif tersebut, terda-‐ pat pola yang menarik di antara kedua pengarang ini bersifat struktural. Bah-‐ kan jika dicermati dari namanya saja memiliki pola: M. Fudoli Zaini dan A. Mustofa Bisri. Keduanya, merupakan elite pesantren dan dididik pesantren kemudian melanjutkan ke Universitas Al Azhar. Sebagaimana diketahui, pada per-‐
kembangan abad ke-‐19, sistem pendidikan di Al Azhar tidak jauh berbe-‐ da dengan pesantren di Tanah Air. Bisa dilihat dari fakta-‐fakta bahwa kitab yang dipakai di kurikulum Al Azhar, sebagian besar digunakan di Indonesia, kecuali untuk bidang fikih, karena di universitas tertua di dunia itu mengajarkan empat madzhab (Burhanudin, 2003:17). Meski demikian, keduanya memiliki latar sub-‐ kultur yang berbeda, yaitu yang satu Su-‐ menep-‐Madura, sedangkan A Mustofa Bisri dari Rembang Jawa Tengah. Dari sinilah dimungkinkan muncul karya dan cara berpikir yang berbeda. Meskipun demikian, tentu ada ruang liminal antara M. Fudoli Zaini (M) dan A. Mustofa Bisri (A), karena pada latarbelakang kedua-‐ nya terdapat kesamaan. Pengarang dan kiai itu bila disejajar-‐ kan seperti pada skema I.
Skema I: Kesejajaran Biografi Dua Pengarang Madura Pengajar pesantren Ponpes sendiri Guru Besar Filsafat dan Tasawuf SMAN Pamekasan M: Kiai Sufistik Cucu pendiri pesantren Pendidikan A: Kiai Sufistik Cucu pendiri pesantren Pendidikan Jawa Ponpes sendiri Ponpes Lirboyo Pimpinan pesantren dan Krapyak Budayawan-‐organisatoris
Relasi Antarcerpen dalam Batu-‐Batu Setan Buku kumpulan cerpen BBS karya M. Fudoli Zaini terdiri atas 15 cerpen, yang memiliki kekhasan dalam hal sosio-‐reli-‐ giusitas dengan menekankan pada kon-‐ sep ‘terlibat-‐dalam’ yang mengunggah hal-‐hal yang bersifat transedental dan cenderung memunculkan kesadaran su-‐ fistik. Bisa jadi konsepsi ini yang sering disebut sebagai sastra sufi atau sufistik, bahkan mengarah pada sastra profetik yang pernah digagas Kuntowijoyo. Ceri-‐ tanya memang kadang absurd dan sure-‐ alis, sebagaimana yang sering ditulis
Ph.D Universitas Al Azhar Al Azhar
Doktor
Al Azhar
Doktor
Honoris Causa UIN Yogya
oleh Kuntowijoyo dan Danarto saat menggambarkan dunia batin dan reali-‐ tas keilahian, tetapi Fudoli memiliki ke-‐ khasan, yaitu latar belakang pesantren dan ceritanya seputar dunia pesantren dan nilai-‐nilainya. Dari kelimabelas cerpen tersebut bi-‐ sa dikelompokkan menjadi sembilan po-‐ la yang memiliki unsur-‐unsur pemben-‐ tuk karya yang hampir sama, baik itu da-‐ ri segi tema, latar, penokohan, dan lain-‐ nya. Pembagian ke dalam sembilan pola ini adalah langkah analisis struktur yang sangat sederhana. Berikut ini kesembi-‐ lan pola tersebut.
151
ATAVISME, Vol. 18, No. 2, Edisi Desember 2015: 143—157
Pola I berdasar tema kematian dan nasib. Terdiri atas lima buah cerpen yai-‐ tu “Percakapan Burung” (PB), “Burung Kembali ke Sarang” (BKS), “Burung Le-‐ pas dari Sangkar” (BLS), “Ajal” (A), dan “Kanker” (K). Kelima karya ini berbicara tentang kematian dan nasib. Pola II ber-‐ dasar tema cinta keluarga berlatar pe-‐ santren. Pola ini terdiri atas tiga cerpen, yaitu “Burung-‐Burung Rindu” (BBR), “Ibunda” (I) dan “Kemicau Burung Se-‐ mesta” (KBS). Pola III berdasar topik bu-‐ rung yang tidak alegoris. Ada dua cerpen yang berkisah tentang burung tapi bu-‐ kan merupakan burung alegoris, melain-‐ kan burung realis, yaitu “Berburu Bu-‐ rung” (BB) dan “Burung Gagak” (BG). Po-‐ la IV berdasarkan pada kesamaan latar cerita. Terdapat tiga buah cerpen yang memiliki kesamaan latar cerita, yaitu se-‐ kitar Ka’bah di Makkah, di antaranya: “Batu-‐Batu Setan” (BBS), “Pusaran Ka-‐ but” (PK), dan “Hilang” (H). Pola V ber-‐ dasarkan penggunaan sarana. Terdapat dua cerpen dalam BBS yang mengguna-‐ kan sarana dalam modus komunikasi antar-‐tokoh, yaitu “Surat” (S) dan “Tele-‐ gram” (T). Pola VI berdasar pada simbol-‐ isme burung. Ada lima cerpen yang ter-‐ masuk pola ini, yaitu “Percakapan Bu-‐ rung” (PB), “Kemicau Burung Semesta” (KBS), “Burung Kembali ke Sarang” (BKS), “Burung Lepas dari Sangkar” (BLS), dan “Burung-‐Burung Rindu” (BBR). Pola VII berdasar pada tokoh ar-‐ wah dan tema kekerasan. Terdapat dua cerpen yang menggunakan tokoh arwah dalam BBS, yaitu “Burung Lepas dari Sangkar” (BLS) dan “Surat” (S). Pola VIII berdasar pada tema rindu. Ada dua cer-‐ pen yaitu “Burung-‐burung Rindu” (BBR) dan “Telegram” (T). Pola IX berdasar to-‐ koh anak pemangku pesantren. Kedua cerpen yang berpola ini adalah “Ibunda” (I) dan “Surat” (S).
152
Relasi Antarcerpen dalam Lukisan Kaligrafi Kumpulan cerpen LK, terdiri atas cerpen-‐cerpen Gus Mus setelah tahun 2002 yang dimuat di berbagai media massa, berkisah tentang dunia pesan-‐ tren, dunia ‘absurd’ para kaum santri yang terkait dengan dunia kewalian dan sufisme, juga misteri nasib dan hidup manusia. Dalam LK konstruksi pola yang dapat diurai dalam beberapa elemen le-‐ bih kompleks. LK memuat 15 cerpen. Adapun dalam LK dapat dikelompokkan berdasarkan sembilan pola unsur yang membentuk konstruksinya, yang meru-‐ pakan penjabaran dari analisis struk-‐ tural dari sisi sintagmatiknya karena un-‐ sur-‐unsur ini terbentuk dari penjajaran antarcerpen dalam kumpulan tersebut. Berikut pola-‐pola dalam LK. Pola I berdasar tema kehidupan dan nasib. Terdapat tiga cerpen yaitu adalah “Bidadari Itu Dibawa Jibril” (DBJ), “Ning Umi” (NU), dan “Kang Amin” (KA). Pola II berdasar penggunaan sarana. Terda-‐ pat dua cerpen yang memiliki pola seru-‐ pa yaitu “Amplop Abu-‐abu” (AAA) dan “Lukisan Kaligrafi” (KL). Pola III berda-‐ sar tokoh pesantren. Ada dua cerpen yai-‐ tu “Gus Jakfar” (GJ) dan “Gus Muslih” (GM). Pola IV berdasar alur atau sus-‐ pense. Dalam “Mubalig Kondang” (MK) dan “Iseng” (I) terdapat alur suspense de-‐ ngan tokoh aku yang memiliki kemirip-‐ an, sebagai seorang dai. Pola V berdasar ilmu hikmah. Terdapat dua cerpen yang berbicara tentang ilmu hikmah dan ka-‐ nuragan, yaitu “Kang Kasanun” (KK) dan “Ngelmu Sigar Raga” (NSR). Pola VI ber-‐ dasar modus tokoh di masyarakat. Antara cerpen “Ndara Mat Amit” (NMA) dan “Mbah Sidiq” (MS) memiliki pola yang sama. Pola VII berdasar tema keku-‐ atan doa. Ada dua cerpen yang memiliki pola demikian, yaitu “Lebaran Tinggal 1 Hari Lagi” (LT1HL) dan “Mbok Yem” (MY). Pola VIII berdasar pada tokoh anak kiai. Terdapat lima buah cerpen
Perbandingan Antologi Cerpen ... (Mashuri)
yaitu “Gus Jakfar” (GJ), “Ning Umi” (NU), “Kang Amin” (KA), “Kang Kasanun” (KK), dan “Ndoro Mat Amit” (NMA). Pola IX berdasar pada tokoh misterius. Terdapat dua buah cerpen yaitu “Amplop Abu-‐ Abu” (AAA) dan “Gus Jakfar” (GJ). Pola-‐pola tersebut menjadi kon-‐ struksi LK dan BBS terkait dengan un-‐ sur-‐unsur pembentuk cerpen. Model penjajaran tersebut dalam kaidah struk-‐ tural disebut dengan sintagmatik atau sinkronik. Perbandingan Pola Struktur antara Batu-‐Batu Setan dan Lukisan Kaligrafi Bila dibandingkan dengan kumpulan cerpen M. Fudoli Zaini lain, BBS tampak dari segi kematangan dalam pandangan-‐ pandangan sufistiknya. Di samping itu, pembicaraan tentang dunia pesantren ti-‐ dak seperti dalam buku kumpulan ‘Lagu Jalanan’ yang memang hanya bercerita, tetapi memiliki kandungan yang lebih mendalam. Sementara itu dipilihnya LK karena itu adalah kumpulan cerpen A. Mustofa Bisri satu-‐satunya. Kumpulan cerpen LK juga berbicara tentang dunia pesantren, sufisme, dan hal-‐hal lain da-‐ lam kehidupan keberagaman. Di sam-‐ ping itu ada pola konstruksi yang hampir sama antara BBS dan LK dan cukup me-‐ narik untuk dikaji dan diperbandingkan. Kemiripan pola konstruksi struktur cer-‐ pen itu bisa saja terjadi karena kemung-‐ kinan besar kedua penulis memasu sum-‐ ber ilham yang sama, sehingga dalam pe-‐ ngisahan, alur, dan objeknya seringkali memiliki kemiripan. Hal itu akan dibuk-‐ tikan dengan model penjajaran berikut. Setelah cerpen-‐cerpen dalam BBS dan LK dijajar berdasarkan pola struktur masing-‐masing kumpulan cerpen, yaitu cerpen di BBS dengan sesama di BBS, dan cerpen di LK dengan sesama cerpen LK, maka akan dijajar berdasarkan pola struktur kedua kumpulan tersebut. Se-‐ kurang-‐kurangnya terdapat tujuh pola yang hampir sama antara BBS dan LK.
Dengan pengandaian, bahwa penjajaran pola yang sudah disebutkan tadi sebagai penjajaran sinkronik, sedangkan yang akan dijajar berikut adalah diakronik-‐ nya. Pola I berdasarkan Latar Mesir Antara PB (BBS) dan I (LK) terdapat pola konstruksi yang mirip. Kedua cerpen ini menggunakan latar Timur Tengah, ter-‐ utama Mesir, berbicara tentang cinta tak sampai. Cerpen PB diakhiri dengan ke-‐ matian tokoh wanita, sedangkan pada cerpen I diakhiri dengan bagaimana si aku seakan tidak percaya bahwa gadis yang pernah ia cintai di Timur Tengah itu telah begitu banyak berubah setelah tidak berjumpa 30 tahun. Kedua cerpen ini dibingkai dalam sebuah putaran na-‐ sib yang demikian sulit diterka, gaib, ab-‐ surd, dan sebuah cinta yang demikian menyala, meski PB (percakapannya ti-‐ dak nyambung dan tidak tahu nama ma-‐ sing-‐masing), sedangkan cerpen I (per-‐ cakapan nyambung, tahu nama masing-‐ masing, tetapi akhirnya berpisah tanpa kepastian dan bersua kembali setelah 30 tahun berpisah, ketika sama-‐sama men-‐ jadi pendakwah). Pola II berdasar Pola Cerita dan Latar Kakbah Cerpen H (BBS) berkisah tentang jamaah haji yang menghilang di Tanah Suci, ka-‐ rena ingin mencari guru dari gurunya. Cerpen ini berpola cerita mirip dengan MY (LK). Latarnya juga sama, yaitu di Ta-‐ nah Suci, saat berangkat haji. Konfliknya hampir sama ketika ada pasangan haji yang hilang. Tokohnya juga yaitu sepa-‐ sang suami isteri. Motif hilangnya berbe-‐ da, tetapi hampir mengalami peristiwa yang sama saat hilang. Meski demikian, ada beberapa perbedaan asasi di antara keduanya. H disembunyikan guru de-‐ ngan tujuan menunjukkan siapa yang hajinya diterima dan tidak, MY disembu-‐ nyikan sosok misterius yang merupakan
153
ATAVISME, Vol. 18, No. 2, Edisi Desember 2015: 143—157
balasan atas kebaikan tokoh, pada saat mencari kerikil untuk jumroh. Pola III berdasarkan Sarana dan Misteri-‐ us Cerpen S (BBS) terjadi pada seorang anak kiai di Madura. Ia mendapat surat misterius dari teman semasa kecilnya, Sidik, yang ternyata ketika ditelusuri si teman sudah mati. Jadi selama tiga kali ia mendapatkan surat itu, berasal dari ru-‐ ang yang berbeda: di alam arwah. Surat itu berisi pesan-‐pesan khusus. Ternyata teman tadi dibantai orang karena konflik politik. Adapun dalam cerpen AAA (LK) berkisah tentang seorang ustad atau dai. Ia selalu mendapatkan amplop yang ber-‐ isi pesan-‐pesan khusus setiap selesai ce-‐ ramah. Setiap ceramah ia pasti didatangi lelaki tua yang aneh. Ternyata yang memberi amplop itu adalah sosok lain, yaitu Khidir. Amplop itu tidak hanya pe-‐ san tetapi juga ada keajaibannya, karena amplop terakhir yang abu-‐abu itu tertu-‐ lis tahun 1418, yang di situ adalah saat tokoh aku naik haji. Padahal amplop itu diberikan sebelumnya. Juga pada saat mencari amplop abu-‐abu itu terjadi ke-‐ ajaiban: lemari istrinya penuh dan berlu-‐ beran uang. Pola IV berdasar Rahasia Hidup dan Mati Cerpen A (BBS) berkisah tentang Haji Asnawi yang ingin mati di Mekkah. Ia berkali-‐kali berhaji dan hampir tiap ta-‐ hun, dengan tujuan agar mati di sana, ka-‐ rena ia sudah tua. Ternyata, ia malah ma-‐ ti di tempat salah satu anaknya di Singa-‐ pura. Jika A berkisah tentang keinginan mati, KA (LK) berkisah tentang keingin-‐ an hidup. Dikisahkan Kang Amin adalah khadam Kiai Nur. Ia ingin menyunting anak-‐anak Kiai Nur seperti Ning Romlah, Ning Laila, dan Ning Ummi, tetapi tidak bisa, karena anak-‐anak Kiai Nur selalu menikah dengan lelaki lain. Pada akhir-‐ nya, ternyata jodoh Kang Amin adalah Nyai Jamilah, janda Kiai Nur.
154
Pola V berdasar Tema Perjalanan Spiri-‐ tual Cerpen PK (BBS) berlatar Makkah, ter-‐ kait dengan hubungan guru-‐murid dan kakek guru. Hamid ditemui kakek guru-‐ nya, bernama Syekh Kamaluddin di Mek-‐ kah, yang sangat misterius dan tidak sembarang orang berhasil menemuinya. Ayahnya sendiri sudah almarhum seba-‐ gai pengasuh pesantren. Ia berpesan pa-‐ da anaknya untuk mencari gurunya se-‐ masa hidup di Makkah. Dalam GJ (LK), pola hampir sama. Anak seorang kiai pe-‐ santren yang akhirnya mendapatkan gu-‐ ru Kiai Tawakkal. Gus Jakfar diminta un-‐ tuk berguru pada Kiai Tawakkal, sehing-‐ ga ia berubah dengan tidak sering mem-‐ baca nasib orang. Pola VI berdasar Tokoh Anak Kiai dan Dunia Pesantren Dalam cerpen I (BBS) anak kiai masih kecil berkisah tentang ibunya. Pewaris sebuah pesantren. Ia berkisah tentang dunia mistik saat kakek dan ayahnya membangun pesantren yang harus me-‐ lawan jin. Mereka mampu, ia pun mulai belajar mengaji pada ayahnya, berkarib dengan santri-‐santri anaknya. Dalam KK (LK), dikisahkan anak kiai yang masih kecil terobsesi oleh Kang Kasanun kare-‐ na ayah si anak adalah teman saat mon-‐ dok Kang Kasanun. Namun, ketika ber-‐ sua, ia diberi wejangan agar tidak seperti Kang Kasanun tetapi meniru si ayah yang kiai. Pola VII berdasar Tokoh Kiai di Masya-‐ rakat Cerpen BKS (BBS) berkisah tentang se-‐ orang Kiai Sabri di Madura yang dibantai oleh sekelompok orang yang tidak se-‐ suai afiliasinya dengan dirinya. Ia me-‐ ninggal, sementara isterinya sekarat. Da-‐ lam GM (LK) berkisah tentang Gus Muslih yang dijauhi oleh orang-‐orang di sekitarnya karena cenderung menen-‐ tang pendapat umum. Ihwal tentang
Perbandingan Antologi Cerpen ... (Mashuri)
relasi antara tokoh agama dengan mas-‐ yarakatnya terdapat ruang liminal di an-‐ tara keduanya. Pola VIII berdasar Dunia Wali dan Mimpi Dalam BBR (BBS) yang bermimpi ten-‐ tang dunia tarekat atau wali adalah orang tua dari tokoh utama. Ia berkisah, sepulang dia belajar dari Makkah, ia ber-‐ niat menjadi seorang mursyid sebagai petunjuk ke dunia tarekat. Sesampai di rumah, ia bermimpi bersua dengan Kiai Tarate, yang sedang duduk di masjid dan memanggilnya agar mendekat. Dipegang tangan si lelaki itu, dan kiai itu berkata,”Akulah mursyidmu.” Ternyata mimpi itu nyata, ketika si lelaki itu da-‐ tang ke pesantren kiai tersebut, kondisi-‐ nya persis seperti dalam mimpi dan akhirnya, kiai itu menjadi guru mursyid-‐ nya. Kiai Tarate adalah kiai sufi dan wa-‐ liyullah (Zaini, 1994:121—22). Hal seru-‐ pa juga terjadi di GJ (LK). Gus Jakfar ber-‐ kisah, suatu hari bermimpi ditemui ayah dan disuruh mencari seorang wali sepuh di sebuah desa kecil di lereng gunung yang berjarak 200 km, usianya lebih dari 100 tahun, bernama Kiai Tawakkal. (Bisri, 2003:5). Gus Jakfar lalu mencari kiai itu dan ketemu persis seperti yang diomongkan ayahnya dalam mimpi. Pola IX berdasar Cerita Bersua Nabi Muhammad Dalam BBR (BBS), terdapat kisah yang menyatakan bersua dengan Nabi Muhammad. Hal ini dialami oleh ayah to-‐ koh utama yang pernah berguru ke Mak-‐ kah dan menemukan guru musyidnya dalam mimpi. Pada saat sedang naik haji, ia bersua dengan Nabi Muhammad. Bah-‐ kan sampai dua kali. Di Makkah, ia meli-‐ hat Nabi seperti penggembala di bela-‐ kang yang menggiring orang. Nabi lalu mengusap rambut dan ubun-‐ubun si to-‐ koh. Adapun pada saat di Madinah, di se-‐ kat makam Nabi, ia seperti disemprot wangi, lalu pandangannya berubah dan
melihat sahabat Nabi kedatangan Nabi (Zaini, 1994:119—121). Si tokoh ini sering membaca Asy-‐Syama’il Al-‐ Muhammadiyah susunan Imam Tirmidzi, yang melukiskan cara Nabi berjalan, duduk, tersenyum, menyisir rambut, berbicara, bergurau, bahkan menjahit terompahnya. Sementara itu, dalam LK, yang mengisahkan tentang pertemuan dengan Nabi adalah NMA. Suatu ketika pada saat Maulid Nabi di-‐ adakan acara Maulid Nabi, di aula pesan-‐ tren ayah dari tokoh aku (tokoh utama). Dalam acara ini biasanya ada pembaca-‐ an assyraqalan dan barzanzen yaitu pembacaan syair Al-‐Barzanzi karya Syekh Jakfar Al-‐Barzanzi. Pada saat asyraqalan, yaitu pembacaan selawat Nabi, Pak Min—seorang kusir delman kiai, tampak menunduk hormat, bahkan menangis. Seusai acara, dia ditanya Kiai pengasuh pondok kenapa begitu, ternya-‐ ta ia mengaku melihat kedatangan Nabi di acara itu. Hal yang sama juga berlaku untuk Ndoro Mat Amit yang dikenal ka-‐ sar. Ternyata, kedua orang itu memang menyamar. Pak Min adalah Kiai Amin, sedangkan Ndoro Mat Amit adalah Sayyid Muhammad Hamid. Setelah pe-‐ ristiwa itu dan terbuka kedok mereka, keduanya langsung menghilang dari khalayak (Mustofa, 2002:90—93). SIMPULAN Penggambaran dunia pesantren sangat kental dalam BBS dan LK. Hanya saja, masing-‐masing memiliki cara pandang dan penyajian yang berbeda. Di antara 15 cerpen dalam BBS, yang secara verbal menyebut tentang pesantren terdapat sembilan cerpen, adapun enam cerpen lainnya lebih pada spiritnya. Dunia santri dalam BBS sangat beragam. Dunia santri sendiri tidak hanya satu tipe, tapi ber-‐ tipe-‐tipe, mulai dari tradisional-‐modern maupun dari budaya etis ke esoteris. Kesembilan cerpen M. Fudoli Zaini dalam BBS memang memiliki
155
ATAVISME, Vol. 18, No. 2, Edisi Desember 2015: 143—157
kecenderungan ‘tidak verbal’ dalam me-‐ ngungkapkan nuansa pesantrennya teta-‐ pi sudah menyatu dalam perilaku tokoh-‐ tokohnya. Dalam enam cerpen lainnya hal itu tampak terlihat dengan mencoba bagaimana membumikan nilai-‐nilai san-‐ tri itu dalam kehidupan sehari-‐hari, de-‐ ngan pendekatan yang agamis, sinkretis, dan berasaskan cinta kasih. Sementara itu, semua cerpen Gus Mus yang berjumlah 15, menggambar-‐ kan dunia pesantren dengan segala re-‐ niknya. Ada kesamaan dengan konstruk-‐ si Fudoli Zaini, dunia pesantren yang di-‐ gambarkan Gus Mus tidaklah berwarna tunggal, melainkan berwarna-‐warni. Cerpen-‐cerpen Gus Mus memang tidak bisa lepas dari dunia santri dan nalarnya. Cerpen-‐cerpen LK dapat disebut sebagai refleksi dari dunia dalam pesantren sen-‐ diri karena begitu banyak cerpen yang menyoroti kegiatan-‐kegiatan berbasis pesantren, keyakinan, dan keagamaan yang dianggap kurang perlu dan tidak memberi manfaat pada masyarakat umum. Namun, sebagian lain juga memi-‐ liki sifat kepesantrenan yang kental, se-‐ misal adanya unsur dakwah dan didak-‐ tik yang cukup kuat, yang kadang me-‐ mang terkesan sebagai pesan terselu-‐ bung dalam cerita. Dalam karya-‐karya LK, pesantren direfleksikan tidak hanya sebagai lemba-‐ ga pendidikan dan keagamaan semata, tetapi juga sebagai sebuah sub-‐kultur. Begitu pula dengan keyakinan yang ber-‐ kembang di pesantren di Jawa, yang me-‐ miliki kekentalan dalam sinkretisme Ja-‐ wa-‐Islam, juga mengemuka. Di dalamnya terdapat nilai-‐nilai yang dianut, mode in-‐ teraksi, juga adanya pembelajaran-‐pem-‐ belajaran yang tidak hanya bersifat har-‐ fiah tetapi juga terkait dengan masalah pembelajaran hidup pribadi, bermasya-‐ rakat, juga soal kehidupan batin yaitu ni-‐ lai-‐nilai tasawuf. Bahkan, di antaranya adalah ‘dunia kecil’ pesantren yang ke-‐ dap suara, yang hanya diketahui oleh
156
orang pesantren yang memiliki kompe-‐ tensi sekapasitas Gus Mus. Dunia pesantren yang tersaji dalam dua kumpulan cerpen kiai dan biografi kiai pengarang, mengisyaratkan sebuah dunia yang tidak monolitik tetapi bera-‐ gam. Antara BBS dan LK, terdapat perbe-‐ daan dalam representasi masyarakat dan kulturnya. BBS yang berlatar Madu-‐ ra menunjukkan beberapa renik Madura yang tidak ada dalam LK yang Jawa, di antaranya adalah masalah model peng-‐ hormatan, konflik-‐konflik yang timbul, hubungan guru-‐murid, serta simbol yang menjadi acuan. Meski demikian, terdapat nalar pesantren asasi, yang terjaga dan tidak berubah dalam dinamika pesan-‐ tren, yang meliputi nalar didaktis, pe-‐ ngamalan agama kontekstual, ibadah, ir-‐ fani, profetik, mistik, dan sufistik. DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-‐Putra, Heddy Shri. 2006. Struk-‐ turalisme Levi-‐Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarya: Kepel Press. Bisri, A. Mustofa. 2003. Lukisan Kaligrafi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural, Sebuah Kajian Sosiologi Bu-‐ daya. Terjemahan oleh Yudi Santoso. Yogyakarta: Kreasi Waca-‐ na. Burhadunudin, Jajat dan Ahmad Baedowi. 2003. Transformasi Otori-‐ tas Keagamaan, Pengalaman Islam Indonesia. Jakarta: Gramedia. Clements, Robert. J. 1978. Comparative Literature as Academic Discipline. New York: The Modern Language Association of Amerika. Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakar-‐ ta: Pusat Bahasa. Effendy, Bachtiar. 1985. “Nilai-‐nilai Ka-‐ um Santri” dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.). Pergulatan Dunia
Perbandingan Antologi Cerpen ... (Mashuri)
Pesantren, Membangun dari Bawah. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Mas-‐ yarakat (P3M) Dhofier, Zamakhsyari. 1983. Tradisi Pe-‐ santren, Studi tentang Pandang Hi-‐ dup Kiai. Jakarta: LP3ES. Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa. Ja-‐ karta: Pustaka Jaya -‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐. 1992. Tasfsir Kebudayaan. Yogya-‐ karta: Kanisius. Hadi W.M., Abdul. 1999. Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus. Levi-‐Strauss, Claude. 2005. Antropolgi Struktural. Terjemahan oleh Ninik Rochani Sjams. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Mahayana, Maman. 2004. “Mohammad
Fudoli Zaini, Cerpenis Sufistik yang Terabaikan”, dalam Horison Januari 2004. Raharjo, M. Dawam (Ed.). 1983. Pesan-‐ tren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, hlm. 39—60. Remak, Henry A. A. 1990. “Sastera Ban-‐ dingan; Takrif dan Fungsi” dalam Newton P. Stallknecht dan Horst Frenz. Sastera Perbandingan, Kai-‐ dah dan Perspektif, Edisi Semakan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Yatim, Wildan. 1983. “Cerpen Mutakhir Kita” dalam Pamusuk Eneste. 1983. Cerpen Indonesia Mutakhir. Jakarta: Gramedia, hlm. 80—118. Zaini, M. Fudoli. 1994. Batu-‐Batu Setan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
157