Masa Depan yang Terabaikan Kompilasi Karya Nominasi dan Pemenang Penghargaan Liputan Media Terbaik tentang Isu Anak 2013
MASA DEPAN YANG TERABAIKAN Kompilasi Karya Nominasi dan Pemenang Penghargaan Liputan Media Terbaik tentang Isu Anak 2013
DEWAN JURI Kategori Cetak Ati Nurbaiti, AJI Nuraini Razak, UNICEF Yosep Adi Prasetyo, Dewan Pers Irwanto, Pemerhati Anak Kategori Foto Eddy Hasby, AJI Rully Kesuma, fotografer Jhonny Hendarta, Nikon Elly Risman, Ketua Yayasan Kita dan Buah Hati Kategori Televisi Revolusi Riza, AJI Regi Wirawan, UNICEF Ezki Suyanto, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Riza Primadi, jurnalis televisi Kategori Radio Laban Abraham Laisila, AJI Iwan Hasan, UNICEF Maria Ulfah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Frans P. Demon, jurnalis radio
Editor Bahasa: Willy Pramudya Desain dan Layout: jabrik.com Cetakan Pertama: Juli 2013 Penerbit
Aliansi Jurnalis Independen Jl. Kembang Raya No. 6 Kwitang-Senen, Jakarta 10420 www.ajiindonesia.org Didukung oleh
DAFTAR ISI
Kata Pengantar AJI....................................................................................... 7 Kata Pengantar UNICEF.............................................................................11 Kata Pengantar Dewan Juri Kategori Cetak/On-Line.............................. 15 Pengantar Dewan Juri Kategori Foto........................................................ 21 Pengantar Dewan Juri Kategori TV..........................................................23 Pengantar Dewan Juri Kategori Radio..................................................... 27
Kategori Cetak/On-Line................................................. 31 Anakku Tidak Akan Jadi Teroris — Miftah Faridl ................................33 Balada Bocah ABK — Evi Trisnawati dan Aryo Bhawono................ 47 Meski Berjalannya Ngesot Tak Halangi Dewi Sudarmi Bersekolah dan Berprestasi — Amir Tejo............................................... 67 Kisah Tasripin Bocah 13 Tahun yang Mengasuh A dik-adiknya Akan Sekolah Lagi demi Wujudkan Imipiannya Menjadi Guru — Chandra Iswinarno .................................................. 75 Bocah Ini Menuntun Kedua Orangtua yang Tuna Netra untuk Mengamen — Agung Budi Santoso . .........................................87 Menelusuri Praktik Rental Bayi di Kalangan Pengemis — Eka Nugraha dan Kasman ............................................................109 Prostitusi Anak di Kramat Tunggak — Muhammad Hafil..................119 Saat Warga Desa Berhenti Abai — Gregorius Magnus Finesso...... 155 Eksploitasi Berahi Berjubah Wali — Asrori S. Karni, Haris Firdaus, Mukhlison S. Widodo, dan Gandhi Achmad ...161 Underage Drivers Rule the Road by Night — Rizky Amelia and Ezra Sihite .......................................................................................177
| 5
Kategori Foto................................................................. 185 Kakak Sayang Dilla — Jefri Tarigan .................................................... 187 Student across the collapsed bridge in Banten
— Beawiharta ........... 189 Mengangkut Air Bersih — Yusuf Ahmad ............................................191 Belajajar Bersama di Tempat Pembuangan Sampah — Masyudi Firmansyah .........................................................192 Ujian Nasional di Jayawijaya, Papua — Agus Susanto ....................... 195 Jangan Menangis, Bu… — Arie Basuki ............................................... 196 Sana Pergi, Nak! — Arie Basuki ........................................................... 197 Terbakar — Hayu Yudha Prabowo ................................................... 199 Membunuh Waktu 1 — Santirta Martendano . ..........................201 Bocah Pelabuhan — Fahmi Ali ............................................................... 203
Kategori Televisi...........................................................205
Kategori Radio................................................................211
6 | Masa Depan yang Terabaikan
Kata Pengantar AJI
Anak-anak adalah masa depan bangsa. Jurnalis bisa menjadi agen perubahan masa depan anak-anak Indonesia. Untuk keenam kalinya sejak 2006, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menerbitkan buku kompilasi Karya Nominasi dan Pemenang Penghargaan Liputan Media Terbaik tentang Isu Anak, kerja sama AJI-UNICEF. Buku ini merupakan catatan tertulis kegiatan Penghargaan Liputan Terbaik tersebut, bentuk kepedulian UNICEF dan AJI Indonesia dalam meningkatkan pemahaman publik tentang masalah anak di Indonesia melalui media. Tahun ini panitian menerima 324 karya, terdiri dari 117 kategori cetak/online, 121 kategori foto, 56 kategori televisi, 30 kategori radio. Tahun-tahun sebelumnya, jumlah karya jurnalistik yang masuk sebanyak 318 pada 2010, dan 233 pada 2009. Dari segi tema, karya jurnalistik yang masuk pada umumnya berbicara soal pemenuhan hak-hak anak, khususnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan, serta isu perlindungan anak. Harus diakui, isu anak belum menjadi arus utama media kita. Isu tentang anak selalu kalah menarik dibandingkan hingar-bingar berita politik, ekonomi, terorisme, dan pasti bablas digempur media bergaya sensasional dan infotainment. Hasil riset Divisi Perempuan AJI Indonesia terhadap 7 media cetak dan 6 media penyiaran TV pada 2012 mengkonfirmasi bahwa masalah anak di media sebagian besar (89%) muncul
| 7
dari peristiwa atau kasus yang menimpa anak-anak. Selebihnya, berita media soal anak yang berdasarkan ide jurnalis atau inisiatif media hanya mencapai 11% saja. Usulan program bagi peningkatan kapasitas media diharapkan bisa memperkaya ide-perspektif jurnalis sehingga bisa menghasilkan karya jurnalistik yang lebih berbobot. Namun demikian, ada hal positif dari Penghargaan Liputan Media Terbaik tentang Isu Anak AJI-UNICEF tahun ini. Yakni beberapa jurnalis berani mengungkap berbagai isu yang selama ini tidak sering diungkap. Misalnya, bagaimana dampak kekerasan seksual terhadap anak, dampak konflik terhadap anak, serta bagaimana anak-anak selayaknya diberitakan oleh media. Karya jurnalistik yang masuk ke panitia tahun ini datang dari 32 daerah dari ujung Timur sampai Barat Indonesia. Banyaknya peserta lomba dari daerah menunjukkan adanya pemerataan dan peningkatan minat jurnalis di seluruh Indonesia dalam isu anak. Saya bersyukur program Penghargaan Liputan Terbaik tentang Isu Anak AJI-UNICEF 2013 berjalan sukses. Dukungan konkret pimpinan/staf UNICEF serta kerja keras Divisi Perempuan dan staf AJI Indonesia adalah kuncinya. Banyaknya peserta dan bervariasinya jurnalis yang masuk nominasi menunjukkan kegiatan ini mendapat dukungan komunitas media dan publik. AJI berharap, acara penghargaan ini tidak sekadar seremoni dan rutin belaka, melainkan mampu menumbuhkan ide-ide baru dan mendorong awak media yang berpihak kepada kepentingan anak-anak. AJI mengucapkan terimakasih kepada UNICEF atas kerjasama dan dukungan penuh dalam penyelenggaraan penghargaan ini sejak semula. Demikian pula kepada para pihak yang telah berkontribusi dalam kegiatan ini, Nikon dan CIMB Niaga yang turut menyediakan hadiah bagi para 8 | Masa Depan yang Terabaikan
pemenang. Terimakasih kami ucapkan kepada semua Dewan Juri yang telah memberikan waktu dan kompetensinya untuk memilah, menilai, dan menentukan pemenang. Peran media dalam menyuarakan mereka yang lemah (voicing the voiceless), khususnya anak-anak, harus menjadi target ke depan. Jakarta, Juli 2013 Eko Maryadi Ketua Umum AJI
| 9
10 | Masa Depan yang Terabaikan
Kata Pengantar UNICEF
Sejak diluncurkan pada tahun 2006, penghargaan ini telah memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan pemahaman publik mengenai hak-hak anak. UNICEF dengan bangga selalu mendukung Penghargaan Liputan Media Terbaik tentang Isu Anak ini, yang merupakan sebuah inisiatif dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, dunia mengakui fungsi sentral dari media dalam memberikan akses informasi bagi anak-anak dan orang muda, yang dinyatakan melalui Konvensi PBB tentang Hak Anak. Konvensi Hak Anak juga secara khusus menyatakan bahwa media massa memiliki peran penting dalam menyebarluaskan berbagai informasi yang berguna bagi perkembangan anak. Pasal 17 menjelaskan bahwa media massa yang terpapar oleh anak-anak harus memberikan informasi yang dapat dipahami oleh anak, mempromosikan kesejahteraan mereka, serta melakukan langkah-langkah untuk melindungi anak dari informasi yang berpengaruh buruk bagi mereka. Konvensi juga mendorong media massa untuk menyebarluaskan informasi dan bahan yang bermanfaat dari segi sosial dan budaya bagi anak dan sesuai dengan semangat pasal 29. Penghargaan seperti ini, memperkuat peran media dalam advokasi isu-isu anak-anak dan orang muda, dan mendorong bakat jurnalistik di semua disiplin ilmu media dalam mempromosikan perubahan sosial untuk anak-anak.
| 11
Perubahan itu sendiri adalah fenomena lingkungan media hari ini. Dengan adanya sumber informasi alternatif melalui munculnya lebih banyak lagi radio komunitas, televisi independen, media online, dan juga jejaring sosial yang berdasarkan citizen journalism. Ini adalah dunia baru, dimana media tidak lagi ada batasnya, dan jurnalis adalah penjaga pintunya, dan pemeran utamanya. Potensi besar ada di tangan media. Harapan kami adalah, para pemeran utama, dan media massa yang ada, mengambil potensi ini, dan mengutamakan anak-anak, terutama yang paling rentan, yang paling tak terlihat, dan menyampaikan pandangan mereka, pendapat mereka, agar mereka semua dapat didengar. Sebagai salah satu pilar utama demokrasi, media harus memainkan peranan penting dalam meningkatkan kesadaran para pengambil keputusan, baik di keluarga, di masyarakat, hingga di pemerintahan. Media telah lama menunjukkan bagaimana mereka dapat menggunakan pengaruh mereka, dan memberikan wawasan baru mengenai isu anak. Penghargaan ini, yang memberikan pengakuan kepada para awak media dalam hal penegakkan hak-hak anak di Indonesia, mendorong seluruh media massa di Indonesia untuk lebih banyak lagi menyampaikan informasi yang dapat menggugah para pengambil keputusan untuk ikut meneggakkan hak anak. Dengan fokus seperti yang mereka lakukan pada perjuangan sehari-hari dan ancaman yang dihadapi oleh begitu banyak anak-anak negeri ini, media massa diharapkan juga dapat menyelesaikan persoalan kesenjangan dengan mengangkat isu mengenai disparitas sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai karya yang masuk dalam penilaian tahun ini UNICEF memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada media yang telah membawa kisah dan suara anak12 | Masa Depan yang Terabaikan
anak kemuka publik, dan meminta setiap wartawan - dari para editor, sampai ke blogger online - untuk memperbaharui komitmennya untuk terus menempatkan anak-anak sebagai isu utama mereka. UNICEF mengucapkan selamat kepada para pemenang, finalis, peserta, dan seluruh bagian yang ikut serta mensukseskan penghargaan ini, dan mengakui kepemimpinan dan visi dari Aliansi Jurnalis Independen yang telah mengembangkan penghargaan ini, dan memberikan komitmentnya. Salam Anak Indonesia! Jakarta, Juli 2013 Angela Kearney Kepala Perwakilan UNICEF Indonesia
| 13
14 | Masa Depan yang Terabaikan
Kata Pengantar Dewan Juri Kategori Cetak/On-Line
Hampir 20 tahun saya menjadi juri berbagai lomba karya jurnalistik, tapi menjadi juri kali ini memberikan pengalaman dan “rasa” yang berbeda. Meski dalam setiap penjurian selalu ada pengalaman baru, tapi pengalaman menjadi juri Penghargaan Liputan Media Terbaik tentang Isu Anak AJI-Unicef 2013 kali ini sepertinya sungguh istimewa. Keistimewaan bukan terletak pada jenis atau temanya, tapi lebih pada menikmati dan membayangkan perjalanan jurnalistik (mungkin lebih tepat: perjalanan spiritual) para jurnalis yang mengirimkan karya untuk mengikuti penghargaan ini. Betapa tidak, sepanjang 2012 hingga awal Juli 2013 Indonesia dibayang-bayangi berbagai kekerasan tentang anak. Bagi penyiksaan, penelantaran, pelecehan seksual hingga perkosaan dan sodomi. Termasuk yang dilakukan oleh anggota keluarga mereka sendiri. Dalam situasi dan kondisi seperti inilah para jurnalis kemudian membuat liputan, mengembangkan angle dan memungut fakta-fakta di lapangan dan mewawancarai berbagai orang mulai saksi mata, pejabat hingga polisi dan kemudian menjahitnya menjadi sebuah berita. Inilah yang disebut sebagai karya seorang jurnalis. Apa yang dihasilkan para jurnalis? Wow, luar biasa. Inilah pengalaman dan rasa yang selalu menarik dalam setiap kali
| 15
penjurian, yang saya alami. Dari total jumlah karya yang masuk untuk kategori cetak ada sebanyak 117 karya, namun hanya 111 karya yang lolos seleksi administrasi. Separuh dari jumlah itu merupakan karya-karya yang sungguh menarik untuk dibaca dan dicermati. Ada yang bercerita tentang keseharian dan nasib anak jermal, anak-anak yang dijadikan pelacur, bayi yang disewakan untuk sindikasi pengemis, nasib anak-anak yang hidup di tengah perkampungan di antara lokalisasi pelacuran, ada tentang remaja putri yang terjerat ikut kelompok genk motor tapi memiliki mimpi dan cita-cita indah tentang menjadi dokter dan ustad. Sebagian besar para wartawan menggambarkan pengalaman getir dan pahit dari anak-anak Indonesia. Negara yang semestinya berkewajiban menjalankan fungsi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak sepertinya abai, atau hanya melakukan intervensi secara minimalis. Namun membaca lagi sebagian liputan jurnalis tentang anak Indoensia menimbulkan rasa optimis yang mencakup dua hal. Pertama anak Indonesia di tengah keterpurukan dan bertumpuknya masalah yang menghimpit mereka ternyata memiliki kemampuan dan daya juang untuk hidup dan menyongsong masa depan yang lebih baik. Yang kedua, jurnalis Indonesia di tengah perkembangan industri dan kapitalisme media ternyata masih banyak yang memiliki idealisme dan ketajaman insting untuk menulis hal-hal yang menyentuh, yang human interest, dan beberapa di antaranya bahkan mencoba mengungkap skandal melalui pekerjaan semi investigasi yang mereka buat. Dari karya-karya yang masuk secara umum bisa dikatakan rata-rata bagus. Tapi juga ada beberapa karya tentang anak tetapi ditulis tidak dengan angle anak. Ada juga karya yang menulis tentang orang yang melayani anak. Berapa jurnalis juga hanya menulis persoalan klasik dengan angle yang tidak baru. 16 | Masa Depan yang Terabaikan
Namun ada sekitar 40 karya yang memang menonjol. Tidak mudah bagi para juri untuk memilih dan membuat 10 urutan karya terbaik, apalagi menentukan yang “paling” terbaik. Tiga juri, saya, Ati Nurbaeti (mantan Ketua AJI, wartawan Jakarta Post) dan Prof. Irwanto (dosen UI dan Unika Atmajaya) punya pilihan masing-masing. Latar belakang, pengalaman, dan pekerjaan kami yang berbeda tidak menghalangi munculnya kesamaan dalam melihat karya-karya yang masuk terutama ketika panitia memberi kesempatan setiap orang dari kami untuk mengeksplorasi dan menyampaikan alasan memilih karya-karya itu. Perbedaan tiga juri kian menipis dan digantikan oleh kesamaan cara pandang dalam melihat persoalan anak Indonesia. Ada empat hal yang menjadi dasar para juri untuk menyamakan persepsi dalam menilai setiap karya antaralain adalah faktor orisinalitas (30%), faktor dampak tulisan bagi pembaca (30%), faktor angle penulisan (20%), dan faktor teknik penulisan (20%). Melalui proses skoring, pembobotan, penilaian, dan kemudian ekplorasi argumentasi dan berdiskusi para juri setuju menempatkan sejumlah karya yang bisa dikelompokkan sebagai 10 karya terbaik. Karya-karya itu antara lain adalah “Anakku Tidak Akan Jadi Teroris”, “Menelusuri Praktik Rental Bayi Pengemis”, “Balada Bocah ABK”, “Tasripin, Bocah 13 Tahun yang Jadi Kepala Keluarga; Akan Sekolah Lagi Demi Wujudkan Impiannya”, “Bocah Ini Menuntun Kedua orang tuanya yang Tuna Netra”, “Prostitusi Anak”, “Saat Warga Desa Berhenti Abai”, “Eksploitasi Berahi Berjubah Wali”, “Underage Drivers Rule the Road by Night”, dan “Meski Berjalan Ngesot Tak Halangi Dewi Sudarmi Bersekolah dan Berprestasi”. Bukan berarti karya lain tak menarik. Karya berjudul “Mengais Rongsokan Untuk Uang Jajan dan Seragam” adalah | 17
salah satu karya yang menarik perhatian para juri karena ketajaman angle si jurnalis dalam mengembangkan cerita di balik peristiwa yang sebetulnya banyak disaksikan orang tapi banyak orang tak menyadari bahwa ada problem besar di balik hal itu. Atau karya berjudul “Teresa Patria Prasasya, Fotografer Cilik Yang memulai Kiprahnya Dari CFD” yang memikat dan menunjukkan daya juang seorang anak untuk meraih sukses dengan cara yang paling sederhana yang tak pernah dilakukan orang. Di antara 10 karya nominasi pemenang yang dipilih juri ada beberapa karya yang secara kuat mengupas problem anak Indonesia. Sebagian menuliskannya sebagai liputan feature yang kaya dengan human interest, sebagian merupakan laporan mendalam, Ada pula yang mengungkap skandal kemanusiaan dengan model investigasi. Juri betul-betul perlu mengapresiasi semua karya yang ada. Peran para jurnalis sepertinya memberikan rasa optimis bangsa ini ke depan mestinya bisa lebih baik, karena jurnalis melalui tulisannya berhasil meggugah rasa kemanusiaan banyak pihak. Salah seorang juri bahkan sempat menyatakan, “Kalau kami diberi opsi untuk memilih lebih dari satu pememang, kami akan memilih paling sedikit 5 orang pemenang”. Setelah melalui diskusi panjang dan upaya mengeksplorasi karya lebih detil, para juri akhirnya bersepakat memilih karya berjudul “Anakku Tidak Akan Jadi Teroris” sebagai karya terbaik. Karya ini menyadarkan kita semua bahwa upaya memerangi terorisme tak bisa hanya dilakukan dengan cara memperkuat intelijen keamanan, atau memperkuat satuan pemburu teroris, atau juga menembak mati para pelaku terorisme. Memerangi terorisme yang paling penting adalah mencegah orang untuk mengalami radikalisasi, termasuk anak-anak dari para teroris yang telah dieksekusi mati. Pengucilan, pemarjinalisasian 18 | Masa Depan yang Terabaikan
dan pemberian stigma kepada anak-anak mereka akan menimbulkan dendam kesumat dan kebencian yang bukan tak mungkin akan menciptakan kader teroris baru. Karya ini mencoba mengangkat nasib anak-anak para teroris yang kehilangan bapaknya. Semestinya karya ini mampu membawa kesadaran baru tentang strategi memerangi terorisme. Karya “Anakku Tidak Akan Jadi Teroris” dipilih menjadi karya terbaik dengan perolehan total nilai sebesar 1.380, disusul dengan “Meski Berjalan Ngesot Tak Halangi Dewi Sudarmi Bersekolah dan Berprestasi” di urutan ke dua dengan total nilai 1.244. Nilai dengan urutan lain berikutnya berselisih tipis satu sama lain. Hal ini memang menunjukkan bahwa 10 karya terbaik adalah karya yang memang perlu untuk diapresiasi, dibaca banyak orang, dan barangkali juga didiskusikan kembali. Saya dan para juri lain merasa perlu mengapresiasi penghargaan yang digelar atas kerja sama AJI dan Unicef ini. Harapan kami, tahun depan bisa diselnggaran lagi kegiatan serupa. Untuk itu para jurnalis ditantang untuk terus melaporkan situasi dan kondisi anak-anak sang masa depan negeri tercinta ini. Jakarta, Juli 2013 Stanley Adi Prasetyo
| 19
20 | Masa Depan yang Terabaikan
Pengantar Dewan Juri Kategori Foto
Penjurian foto AJI tahun 2013 ini dilakukan oleh empat Juri yaitu Eddy Hasby, Rully Kesuma, Jhonny Hendarta, dan saya sendiri. Kami menyeleksi 120 keping foto yang telah diseleksi terlebih dahulu oleh panitia dari 121 keping foto yang diterima dari berbagai jurnalis di seluruh Indonesia. Kami menilai berdasarkan beberapa kriteria, yaitu ide tema atau isu yang diangkat, keberpihakan terhadap perlindungan anak, kesesuaian foto dengan caption, dampak terhadap pembaca, serta kreatifitas angle yang dipilih. Sebelum sampai pada diskusi untuk memutuskan peme nang, para Juri sepakat tentang beberapa hal yaitu : Dari karya-karya yang masuk untuk dinilai menunjukkan karya sudah mempunyai kualitas yang baik sehingga persaingan dalam penjurian kali ini sangat ketat. Cukup banyak karya yang menunjukkan keberpihakan terhadap hak-hak anak. Sebagian foto menunjukkan gambar yang indah tetapi sayang pesan yang disampaikan kurang kuat. Kami juga menerima foto yang mengangkat isu yang penting untuk diketahui publik, namun sayang angle yang disajikan justru membuat foto terkesan sadis. Beberapa foto yang kami terima menunjukkan ide cerita yang sama, oleh karenanya diperlukan kreativitas fotografer dalam memilih angle. Setelah melalui proses seleksi yang sangat ketat, terpilihlah 10 nominasi pemenang, yaitu: ”Student across the collapsed bridge in Banten”, ”Kakak Sayang Dilla”, ”Mengangkut Air
| 21
Bersih”, ”Belajar Bersama di Tempat Pembuangan Sampah”, ”Ujian Nasional di Jayawijaya, Papua”, ”Jangan Menangis, Bu…”, ”Sana Pergi, Nak!”, ”Terbakar”, ”Membunuh Waktu (1)”, dan ”Bocah Pelabuhan”. Tidak mudah bagi kami Tim Juri untuk memutuskan satu pemenang dari 10 nominasi tersebut, karena masing masing foto mempunyai kekuatannya sendiri. Akhirnya setelah diskusi yang alot dan panjang sarat dengan berbagai pandangan dari masing masing juri, akirnya kami memutuskan bahwa pemenangnya ialah foto berjudul ”Kakak Sayang Dilla”. Pertimbangan keputusan ini antara lain, dari segi teknik gambar ini cukup baik. Selain itu isu yang ada di balik gambar ini juga sangat menyentuh yaitu bagaimana foto menunjukkan kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya yang begitu menderita, ditengah ketiadaan mereka. Aspek emosi yang ditunjukkan foto ini sangat penting untuk diangkat. Pusat perasaan di otak kita adalah bagian yang berkembang lebih dahulu pada usia dini. Kenyataan ini seharusnya dimanfaatkan dalam pengasuhan untuk mengembangkan empati. Hal ini sekarang banyak sekali “dilanggar” atau diabaikan dengan melibat kan anak pada hal-hal yang bersifat kognitif. Ditambah lagi, perkembangan teknologi baru telah membuat jarak antar saudara dan anggota keluarga, menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh, sehingga apa yang ditunjukkan oleh gambar ini menjadi sangat penting, yaitu membangun empati antar saudara sekandung yang sekarang cenderung menipis . Semoga penyelenggaraan pada tahun yang akan datang foto-foto yang masuk lebih kreatif dengan bidang perhatian yang lebih luas. Jakarta, Juli 2013 Elly Risman
22 | Masa Depan yang Terabaikan
Pengantar Dewan Juri Kategori TV
Ketika seorang jurnalis meliput suatu peristiwa, kriteria layak berita pasti menjadi patokan apakah peristiwa itu layak liput atau tidak, apapun peristiwanya. Ketika ada peristiwa, kejadian atau fenomena yang berkaitan dengan anak maka tetap kriteria layak berita menjadi acuan. Akibatnya liputan tentang anak akan mendapat perlakuan yang sama dengan liputan peristiwa lainnya. Kecuali ada kebijakan redaksional yang memberikan porsi lebih untuk peliputan atau penayangan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan anak. Bagi media televisi peliputan tentang anak tidak memiliki porsi yang sama dengan program anak-yang saat ini cukup mendapat tempat terutama pada jam tayang siang hari. Peliputan tentang anak lebih banyak menyoroti kejadian atau peristiwa yang menempatkan anak pada posisi yang kurang menguntungkan. Eksploitasi terhadap anak atau situasi dimana anak kehilangan kesempatannya melewati masa kanak-kanaknya karena harus bekerja misalnya adalah tematema yang sering muncul dalam peliputan media televsi. Itu pun dalam jumlah yang relatif terbatas. Tema-tema semacam ini biasanya akan menimbulkan tuduhan bahwa media mengeksploitasi kemalangan anakanak, namun sesungguhnya ada hal yang positif dibalik peliputan semacam itu. Tayangan semacam itu di sisi lain dapat menjadi sarana bagi peningkatan kesadaran para | 23
jurnalis tentang hak anak. Dengan menampilkan beragam kejadian tentang hilangnya hak terhadap seorang anak terutama hak untuk memperoleh pendidikan maka publik pun akan mendapat manfaat berupa pengetahuan tentang hak anak yang acap kali terabaikan karena tuntutan ekonomi misalnya. Peran jurnalis terutama jurnalis televisi untuk memahami hak anak akan mampu membuat liputan mereka akan lebih kaya dan komprehensif serta mampu menempatkan hak anak pada konteksnya. Dampak positifnya adalah sebuah liputan yang bukan saja memberikan pengetahuan tentang beragam persoalan yang dihadapi oleh anak-anak di Indonesia tetapi juga memberikan pemahaman terhadap hak anak. Selain memahami akan hak anak secara umum, jurnalis televisi dituntut untuk mampu menampilkan visualisasi yang pro terhadap anak. Misalnya saja tidak menampilkan visualisasi yang mengeksploitasi atau menampilkan anak pada posisi yang tidak menguntungkan mereka di mata publik. Jika menonton 56 karya para jurnalis TV yang mengikuti ajang Penghargaan Liputan Media Terbaik tentang Isu Anak yang diselenggarakan oleh AJI dan Unicef, sebagian besar sudah mencerminkan pengetahuan yang memadai tentang hak anak. Karya para jurnalis TV itu secara umum mampu membuat publik tersadarkan bahwa masih ada anak-anak yang tercabut haknya terutama hak untuk mendapatkan pendidikan karena mereka harus berkerja. Publik juga dapat melihat bahwa sekalipun anak mendapatkan pendidikan namun mereka tidak bisa sepenuhnya menjalani peran sebagai anak-anak yang memiliki waktu untuk bermain, sekali lagi ini semua karena tekanan ekonomi.
24 | Masa Depan yang Terabaikan
Beragam cerita anak-anak yang kehilangan haknya sebagai anak bisa menjadi sarana sosialisasi kepada publik bahwa kita semua harus terus berjuang dan berupaya agar anak-anak Indonesia bisa sepenuhnya mendapatkan haknya sebagai anak. Jalan untuk itu masih panjang, namun bisa kita persingkat jika publik semakin meningkat kesadaran dan pemahaman akan hak anak setelah menonton liputan tentang anak-anak di media televisi kita. Jakarta, Juli 2013 Riza Primadi
| 25
26 | Masa Depan yang Terabaikan
Pengantar Dewan Juri Kategori Radio
Puji dan syukur kehadirat Tuhan YME, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan UNICEF pada tahun 2013 kembali dapat memberikan penghargaan untuk liputan media terbaik tentang anak. Kami segenap dewan juri maupun secara pribadi yang kebetulan saya sebagai komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan penghargaan yang setinggitingginya kepada AJI yang menaruh perhatian begitu tinggi terhadap pentingnya media dengan perspektif perlindungan anak. Saya kira bukan suatu kebetulan AJI menyelenggarakan kegiatan monumental berupa penghargaan kepada media terbaik yang meliput isu anak, tetapi atas kesadaran dan concern yang selama ini sudah dibuktikan sebagai lembaga yang memiliki perspektif perlindungan anak. Kegiatan semacam ini sudah dilakukan AJI sejak tahun 2006 hingga saat ini masih berlangsung. Hal tersebut merupakan upaya dan kerja keras yang konkrit yang sangat pantas untuk kita berikan apresiasi dalam mewujudkan media yang ramah anak. Dewan juri khususnya kategori radio, sejujurnya, awalnya kami mengalami kesulitan untuk menetapkan satu pilihan terbaik karena semua karya bagus-bagus dengan angel yang semuanya menarik, menceritakan sesuatu yang selama ini tidak pernah disuarakan, dianggap tabu, pekerjaan kotor, anak kecil yang terabaikan bahkan mungkin sebagian aparat dan pejabat pun melihatnya dengan sebelah mata karena berkisah tentang
| 27
kelompok marjinal yang tidak menjanjikan apa-apa. Namun ternyata sangat inspiratif dan luar biasa, para peserta mampu menyajikannya dengan baik; ide cerita dan perspektifnya bagus; bahasa, struktur dan komposisi juga bagus; suara, mixing dan suasanya sangat menarik; karakter suara narator yang merdu; dan dampaknya pada pendengar juga menggetarkan. Luar biasa! Inilah yang membuat kami para dewan juri kesulitan dalam memilih dan menetapkan salah satu karya terbaik dari semua karya yang sangat baik. Dari seluruh karya yang diberikan kepada kami sebanyak 30 topik, dengan tema yang beragam, semua menarik, berani mengungkap kebisuan, membongkar ketidakadilan dan sangat inspiratif, kemudian dipilih menjadi 10 karya pilihan. Dalam proses memilih 10 besar dilakukan oleh masing-masing dewan juri di tempatnya masing-masing, kemudian dibawa ke rapat dewan juri pada tanggal 10 Juli 2013. Hasilnya ternyata 4 tema di antaranya dipilih oleh ketiga dewan juri yaitu, Menggali Anak Teroris Klaten, Sang Dai Cilik Menggapai Mimpi, Aku Dijual Ibu dan Kekerasan Seksual Hantui Anak. Dari empat tema tersebut kemudian kami memilih salah satu di antaranya yang terbaik. Sekadar catatan dari kami, dari sejumlah karya jurnalis tersebut ada yang sangat menarik dengan human interest yang kuat namun merupakan penggalan atau sepotong kisah yang parsial; hanya mengandalkan data yang tersaji dari internet; ada juga yang suara narasumbernya tidak jernih karena melalui telepon; narasi mendominasi kisah secara keseluruhan dan sebagainya. Menurut hemat kami dari karya-karya tersebut dapat dilanjutkan dengan penggalian secara mendalam melalui investigasi terhadap hal-hal lain yang terkait, sehingga akan menjadi sebuah karya yang utuh dan komprehensif, dan tentunya sangat luar biasa menarik. 28 | Masa Depan yang Terabaikan
Kami menyampaikan ucapan selamat dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pemenang, semoga semakin mendorong keberanian Anda dalam mengungkap ketidakadilan dan menyuarakan kebisuan bagi anak korban kekerasan dan diskriminasi serta menginspirasi para jurnalis lainnya dalam menyuarakan keadilan bagi anak-anak dari kelompok marjinal yang mendambakan hak-haknya terpenuhi. Kepada seluruh peserta kami juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas partisipasinya, meskipun belum memenangkan penghargaan kali ini, bukan berarti karya Anda tidak bagus tetapi menunggu karya anda selanjutnya yang lebih komprehensif dalam mendorong media yang ramah anak. Kepada UNICEF dan semua pihak yang telah berpartisipasi kami juga menyampaikan terima kasih. Demikian sekedar kata pengantar dari kami dewan juri. Salam Senyum Anak Indonesia. Jakarta, Juli 2013 Maria Ulfah
| 29
30 | Masa Depan yang Terabaikan
Kategori Cetak/On-Line N ominasi untuk karya terbaik Anakku Tidak Akan Jadi Teroris Muhammad Miftah Faridl
Balada Bocah ABK: Bocah Itu Tak Ragu Membunuh, Kisah Dua Bocah di Penjara Australia, Anak Sekecil Itu Berkelahi dengan Waktu Evi Tresnawati & Aryo Bhawono
Meski Berjalannya Ngesot Tak Halangi Dewi Sudarmi Bersekolah dan Berprestasi Amir Tejo
Tasripin, Bocah 13 Tahun yang Jadi Kepala Keluarga; Akan Sekolah Lagi Demi Wujudkan Impiannya Menjadi Guru Chandra Iswinarno
Bocah Ini Menuntun Kedua Orang Tua yang Tuna Netra untuk Mengamen Agung Budi Santoso
Menelusuri Praktik Rental Bayi di Kalangan Pengemis Eka Nugraha & Kasman
Prostitusi Anak Muhammad Hafil
Saat Warga Desa Berhenti Abai Gregorius Magnus Finesso
Eksploitasi Berahi Berjubah Wali Asrori S. Karni
Underage Drivers Rule the Road by Night Rizky Amelia & Ezra Natalyn
PEMENANG Anakku Tidak Akan Jadi Teroris Muhammad Miftah Faridl
| 31
32 | Masa Depan yang Terabaikan
Anakku Tidak Akan Jadi Teroris1 Oleh Miftah Faridl
Para mujahid (pejuang Islam) di Jawa Timur merasa tertekan dengan stigma di masyarakat bahwa semua mujahid adalah teroris. Itu yang mereka alami setiap kali ada serangan bom di Tanah Air, tak terkecuali saat terjadi bom bunuh diri Mapolres Poso beberapa hari lalu. “Setiap ada bom meledak, pandangan masyarakat mengarah ke kami, para mujahid ini. Meskipun kami tidak terlibat, tuduhan sebagai pelaku teror telanjur melekat. Tidak terkecuali ketika bom bunuh diri meledak di Mapolres Poso,” kata Ali Fauzi, adik terpidana mati kasus Bom Bali I Amrozi dan Mukhlas, kepada Surya, Rabu (5/6). Satu lagi saudara Ali Fauzi yang terlibat Bom Bali adalah Ali Imron yang kini masih meringkuk di Lapas Kerobokan, Bali. Pria asal Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan itu mengaku tuduhan sebagai pelaku teror selalu mengiringi kehidupannya. Mantan anggota Jemaah Islamiyah (JI) tersebut makin risau jika tuduhan itu disematkan juga pada anak dan keluarganya. Ali Fauzi (40) adalah mantan panglima perang selama
1 Naskah ini telah dipublikasikan di Harian SURYA pada 6 Juni 2013
| 33
konflik di Poso dan Ambon. Ali Fauzi juga dikenal sebagai salah satu instruktur pembuat bom, jebolan Mindanao, Filipina. Anak pertama Ali Fauzi, Adhan Mahdi (14), mengakui tidak mudah menyandang predikat sebagai anak seorang mujahid. Terlebih, dia memliki paman yang menjadi trio sentral di balik serangan Bom Bali, yakni Amrozi, Mukhlas, dan Ali Imron. ”Saya sering ditanya-tanya teman kalau lagi ramairamai nonton liputan tentang bom di televisi. Ya saya jawab setahu saya saja,” kata remaja yang baru saja menuntaskan pendidikan di SMP Ponpes Yayasan Pendidikan Islam, Klaten, Jawa Tengah. Setiap kali Ali Fauzi diwawancarai stasiun televisi, Adhan harus meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan dari teman-temannya tentang sosok sang ayah. ”Saya katakan saja, ayah saya itu pembuat bom,” ujarnya sembari tertawa kecil. Adhan merasa pertanyaan teman-teman sejauh ini tidak sampai mengganggu. Ia pun tidak pernah membatasi diri bergaul dengan siapa saja, termasuk anak-anak yang beda keyakinan dengannya. Menurut Ali Fauzi, ia pun tidak melarang anaknya mengenal dunia luar. Dia tidak ingin anaknya menjadi sosok eksklusif karena riwayat perjuangan ayah dan ketiga pamannya. Malah, Ali Fauzi mendorong Adhan lebih banyak berinteraksi dengan dunia luar. ”Tidak masalah bergaul dengan warga NU, Muhamadiyah sampai yang nonmuslim sekalipun,” tutur pria yang menyandang gelar master dari Universitas Muhamadiyah Surabaya itu. Ali Fauzi memilih menyekolahkan Adhan ke sekolah di lingkungan pondak pesantren, bukan berarti ia memaksa anaknya menjadi mujahid. Rencananya, Adhan akan melanjutkan pendidikan menengah atasnya di ponpes yang
34 | Masa Depan yang Terabaikan
ada di Jawa Tengah milik rekan alumnus Universitas Al-Azhar Mesir. ”Belajar di ponpes biar karakter mereka terbentuk dulu. Baru setelah itu, mereka bisa memilih jalan hidup,” kata Ali Fauzi. ”Yang terpenting, saya akan mendidik anakku menjadi mujahid, bukan teroris,” tegasnya. Selain Adhan, Ali Fauzi juga mememiliki empat anak lain yakni Jundu Robbi (10), Thoriq Amin (7), Aisyah Aini (6) dan Izzah Syahidah (2).
Dampak Tayangan Televisi Yusuf Anis yang akrab disapa Haris, alumnus Perang Afghanistan mengakui gencarnya tayangan televisi tentang bom, makin menguatkan stigma masyarakat bahwa semua mujahid adalah teroris. Yusuf menyebut sejumlah orang kerap menuding dirinya terlibat aksi bom di Tanah Air. ”Saya hanya bisa katakan, saya bukan teroris. Saya pejuang yang membela kaum muslim,” tegas warga Kota Lamongan tersebut. Kepada anak-anaknya yang beranjak dewasa, Yusuf tidak pernah menyembunyikan aktivitasnya di masa lalu. Dia menceritakan semua kegiatan jihadnya selama lima tahun di Afghanistan (1988-1993). Yusuf juga sering mengajak anak pertamanya yang berusia 17 tahun untuk menyaksikan liputan tentang serangan bom di televisi, sembari memberikan pemahaman tentang jihad yang sesungguhnya. ”Saya katakan, Abi (ayah) bukan seperti ikhwan (teman) muda-muda yang mengebom itu. Abi bukan teroris yang membunuh orang tidak berdosa atau merusak tempat ibadah. Abi adalah pejuang pembela kaum yang lemah,” ujarnya kepada sang anak. Yusuf mengungkapkan dirinya dan keluarga kini sangat | 35
terbuka dengan lingkungan luar. Dia bahkan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri milik pemerintah. Bagi pemilik nama jihad Abu Musa itu, tidak ada masalah jika anak-anaknya bergaul dengan siapapun di lingkungan sosialnya. ”Saya tidak ingin mereka eksklusif. Tapi untuk urusan agama, saya memang ketat. Waktunya bermain ya bermain tapi waktunya mengaji harus mengaji,” jelas pria 50 tahun yang juga pernah bertempur di Mindanao, Filipina. Yusuf tidak akan melarang jika sang anak kelak menjadi mujahid, tetapi bukan teroris. ”Sekali lagi mujahid, bukan pelaku teror. Karena niat dan tujuan keduanya berbeda. Pejuang berbeda dengan teroris seperti yang ada sekarang ini,” pungkasnya.
Kehilangan Telapak Kaki Hal senada juga disampaikan mantan mujahid di Poso dan Ambon, Syaiful Arif. Menurut pria 30 tahun itu, masa lalunya sebagai pembuat bom di wilayah konflik itu, dikhawatirkan mempengaruhi masa depan dua anak laki-lakinya yang masih balita, Sahdan dan Zuhair. Syaiful sendiri pernah meringkuk di Lapas Petobo, Palu, Sulawesi Tengah pada 2003 sampai 2006. Syaiful yang harus kehilangan separo telapak kaki kanannya karena tertembak anggota Brimob itu, mengatakan, pada saatnya nanti dia akan bercerita kepada anak-anaknya tentang masa lalunya. Warga Desa Tenggulun, Solokuro itu menegaskan tidak ada kata pensiun sebagai mujahid. Syaiful bahkan tidak akan melarang anak-anaknya mengikuti jejaknya sebagai mujahid. Baginya, menjadi mujahid adalah kewajiban sebagai umat Islam yang taat, namun bukan teroris. Namun, Syaiful tidak serta-merta kembali ke ‘medan perang’ 36 | Masa Depan yang Terabaikan
tanpa alasan jelas. Menurutnya, ada hukum terkait jihad dalam Islam yang diyakininya. ”Kalau kondisinya mengharuskan saya dan anak-anak saat sudah dewasa nanti untuk turun (berjihad), Insya Allah kami berangkat,” imbuhnya. Dalam mendidik anak, Syaiful juga tidak kaku. Dia membebaskan anak-anaknya bergaul dengan teman sebayanya tanpa memandang keyakinan. Menurutnya, para mujahid yang berada dalam bimbingan Ali Fauzi, sudah belajar membuka diri dengan dunia luar. ”Kalau mau main PS (Playstation) ya saya tidak larang tapi waktunya ngaji ya ngaji. Anak-anak kami bebaskan berkreasi. Kami tidak mengekang mereka apalagi mendoktrin mereka dengan hal-hal yang berbau radikal,” imbuh Syaiful. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Ansyaad Mbai membenarkan tidak semua mujahid di Indonesia adalah pelaku terorisme. “Banyak mujahid di Indonesia, tidak semuanya teroris,” katanya di Surabaya beberapa waktu lalu. Ansyaad mengutip pernyataan terpidana Bom Bali, Ali Imron, bahwa banyak kaum mujahid kini menentang perjuangan Islam dengan cara meledakkan bom. “Ali Imron mengatakan, ‘Saya masih mujahid, tapi saya tidak setuju dengan bom’,” ucap Ansyad , menirukan pernyataan Ali Imron yang juga saudara Ali Fauzi.
| 37
Rangkullah Anak-anak Mereka news analysis Noor Huda Ismail/ Prasasti Perdamaian Sebenarnya kaum radikal yang nekat melakukan pengeboman bisa dicegah dengan deradikalisasi. Sayang, pemerintah tidak begitu memerhatikan detail deradikalisasi ini. Alhasil, penumpasan orang yang dianggap teroris, berbuah dendam dan memunculkan aksi teror lain. Contoh kelalaian negara adalah mereka tidak merangkul keluarga para mujahid dan mantan teroris. Bagi saya, deradikalisasi harus dimulai dari orang terdekat atau keluarga mereka. Lingkungan terdekat inilah yang menjadi media paling efektif untuk mencegah teror. Siapa keluarga mereka itu, ya paling dekat adalah anak-anak mereka. Bukan tidak mungkin anak-anak mujahid dan mantan teroris ini meniru perilaku orang tuanya. Anak memiliki daya tiru yang luar biasa. Gencarnya tayangan televisi yang menampilkan berita tentang bom dan penumpasan teroris, bisa menyulut dendam baru. Apalagi yang ditembak mati Densus 88 itu ada ikatan darah dengan si anak. Metode penindakan semacam ini menjadi contoh buruk bagi perkembangan psikologis anak. Anak-anak tetaplah anak-anak. Meskipun mereka anak mantan teroris, mereka memiliki hak yang
38 | Masa Depan yang Terabaikan
sama dengan anak-anak lain. Yang salah kan orang tuanya, bukan anak-anak ini. Pemerintah seharusnya memerhatikan kondisi psikologis anak-anak ini agar tidak meniru atau dendam dengan apa yang mereka tonton. Saya melihat, selama ini yang berusaha keras memulihkan atau menata psikologis anak-anak ini baru sebatas keluarga. Pemerintah absen dalam hal ini. Padahal, para orang tua ini butuh dukungan. Sebenarnya mereka bisa membantu pemerintah untuk mengurangi ancaman teror. Ada ribuan anak mujahid dan mantan teroris. Kalau dirangkul, mereka ini bisa menjadi aset masa depan untuk deradikalisasi. Saya khawatir, sebagian dari kita memperlakukan mereka layaknya anak-anak PKI yang dicap sampai tujuh turunan karena orang tua mereka. Kalau kondisinya seperti itu, rekonsiliasi dan deradikalisasi sulit terwujud. Kita harus membuka cakrawala berpikir para mujahid dan mantan teroris ini agar menerima kehadiran dunia luar. Begitu sudah terbuka, pemerintah dan masyarakat harus menerima mereka. Di Malaysia, anak almarhum Mukhlas (terpidana mati Bom Bali I) diberi beasiswa oleh pemerintah di sana. Pemerintah Malaysia menganggap, dengan merangkul anak-anak Mukhlas, teror yang dilakukan orang tuanya tidak akan terulang. Di Indonesia, sama sekali tidak ada hal seperti itu. Anak-anak ini sepertinya diperlakukan buruk karena
| 39
kesalahan orang tuanya. Seharusnya, beri kesempatan anak-anak ini berpendidikan agar mereka memiliki pandangan yang terbuka. Yang membuat saya terenyuh adalah kondisi anakanak di Poso. Saya melihat sendiri mereka bermain perang-perangan dengan membagi kelompok menjadi dua. Satu merah dan satu putih. Warna ini melambangkan dua kelompok yang pernah berkonflik di Poso. Kelompok putih membuat bom dan menyerang kelompok merah. Begitu sebaliknya. Apa makna dari fenomena ini? Yang jelas, kita lupa bahwa konflik tidak cuma harus diredam. Bahwa teroris tidak harus dibunuh. Seharusnya, kita juga memerhatikan dampak psikologis bagi anak-anak dan memulihkannya.
40 | Masa Depan yang Terabaikan
Melihat Keseharian Anak Keluarga Mantan Teroris (1)2
Jago Playstation Juga Penggemar Film Hollywood Oleh Miftah Faridl
Ada ribuan anak para mujahid dan mantan teroris. Mereka tumbuh mengikuti pola didikan orang tua. Ada yang bercitacita mengikuti jejak sang bapak namun ada pula yang memilih kehidupan normal, layaknya anak-anak biasa. Tubuh kecil bocah itu hanya berbalut kaos dalam berwarna putih meski panas menyengat di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Rabu (5/6). Suaranya serak. “Abi (bapak), Abi, minta uang untuk beli jajan,” ujar Thoriq Amin kepada bapaknya. Thoriq (7) adalah anak kandung Ali Fauzi, mantan instruktur pembuat bom kelompok Jemaah Islamiyah (JI). Paman Thoriq adalah terpidana mati kasus Bom Bali, Amrozi dan Mukhlas. Thoriq adalah anak ketiga dari lima anak Ali Fauzi. Polah anak ini tidak ubahnya anak seumuran. Hidung dan pipinya belepotan es bungkus yang barusan diminumnya. Meski tergolong anak berani, Thoriq malu-malu ketika bertemu
2 Naskah ini telah dipublikasikan di Harian SURYA pada 6 Juni 2013
| 41
orang baru di lingkungannya. ”Dia anak saya yang paling aktif. Ada satu yang aktif lagi. Nah itu dia,” kata Ali Fauzi sembari menunjuk Aisyah Aini (6), anak keempatnya. Tidak jauh dari kesukaan sang kakak, Aisyah juga doyan main. ”Kadang rebutan mainan,” imbuh Ali Fauzi. Thoriq dan Aisyah bermain setelah pulang sekolah. Usai melepas seragam, keduanya langsung berlari ke luar rumah. Di sana sudah menunggu lima anak teman sekolah Thoriq. Aisyah satu-satunya perempuan dan yang paling muda di antara mereka. Mereka kemudian asyik bermain petak umpat. Beberapa teman Thoriq juga anak mujahid yang pernah dilatih Ali Fauzi di Poso dan Ambon. Anak-anak ini membaur dengan anak lain dari keluarga biasa di Tenggulun. ”Warga di sini menerima kami dengan tulus,” kata Ali Fauzi. Thoriq jago bermain playstation. Meski tidak memiliki mesin game asal Jepang itu, Thoriq dan anak-anak seusianya sering menyewa playstation di rumah tetangga. Adhan Mahdi, anak pertama Ali Fauzi, bahkan gemar sekali menonton film Hollywood. Remaja 14 tahun itu mengaku senang menonton IP Man, film yang berkisah tentang guru silat aktor legendaris Bruce Lee. Ali Fauzi tidak mempermasalahkan kegemaran sang anak. Ali Fauzi tidak menganggap semua produk Amerika adalah haram. Namun, jika sudah waktunya mengaji, maka tidak ada alasan bermain bagi Thoriq dan saudaranya yang lain. Ali Fauzi tegas mendidik anak-anaknya untuk urusan agama. Menjelang sore, pria 40 tahun itu beranjak dari ruang tengah rumahnya menuju teras. ”Ayo Thoriq... Aisyah, pulang. Waktunya ngaji. Ditunggu Umi (ibu),” teriak Ali Fauzi. Teriakan itu langsung direspons dua anaknya. Thoriq mengajak sang
42 | Masa Depan yang Terabaikan
adik pulang. Teman-teman mereka juga membubarkan diri. ”Kebetulan tempat ngaji mereka kan sama,” imbuhnya. Pada satu kesempatan, Ali Fauzi mengajak anak-anaknya ke makam almarhum kakaknya, Amrozi dan Mukhlas. Menurut Ali Fauzi, ziarah ke makam duo bomber itu merupakan pendidikan bagi anak-anaknya. Dia mengaku terbuka dengan masa lalu dirinya dan masa lalu sang paman. ”Anak saya Thoriq sering tanya Ami (paman) Amrozi bagaimana meninggalnya. Dia paling sering tanya. Ya... saya jawab saja sesuai porsinya. Nanti kalau sudah dewasa, dia pasti tahu sendiri,” tegas bungsu dari 13 bersaudara itu. Thoriq juga menjadi pemirsa setia ketika Ali Fauzi diwawancara stasiun televisi. Setiap kali sang ayah nongol di TV, Thoriq selalu menyaksikan. ”Abi terkenal. Sering masuk TV. Pinter buat bom juga katanya,” ujar Thoriq polos. Ali Fauzi pernah tertegun ketika pulang dari teleconference dengan stasiun TV nasional, Thoriq memintanya untuk diajari membuat bom. Spontan Ali Fauzi kaget dan langsung memeluk tubuh mungil Thoriq. Dia hanya menjawab permintaan itu dengan senyum. Ali Fauzi merupakan contoh keluarga teroris yang memilih hidup terbuka dan berbaur dengan masyarakat. Dia menganggap, dengan hidup terbuka, upaya keluarga kembali diterima masyarakat menjadi semakin terbuka. Suami dari Luluk Khuzaimah itu ingin anakanaknya tidak eksklusif dan mengenyam pendidikan layak tanpa diskriminasi. ”Bersama mantan teroris dan mujahid lain, saya ingin menggerakkan roda deradikalisasi sejak dari keluarga kami,” pungkas Ali Fauzi.
| 43
Melihat Keseharian Anak Keluarga Mantan Teroris (2)3
Rutin Outbond untuk Kikis Sifat Agresif Oleh Miftah Faridl
Puluhan bocah didampingi sejumlah wanita bercadar berkumpul di arena outbond di kawasan Buduran, Sidoarjo. Keceriaan mereka tak ada bedanya dengan anak-anak lain. Tak banyak orang tahu bahwa sebagian besar anak-anak itu adalah anggota keluarga mujahid dan mantan teroris. Beberapa perempuan berjilbab lengkap dengan cadarnya sibuk mengatur barisan puluhan peserta outbond yang kebanyakan anak-anak mereka sendiri. Meski berbalut pakaian panjang, para ibu ini cekatan menjaga anak-anak itu di tepi kolam ikan. “Ayo anak-anak sekarang waktunya memancing ikan. Ayo siapa dulu yang bisa mendapatkan ikan,” teriak Syaiful Arif, seorang panitia outbond, Rabu (5/6). Berbekal alat pancing dari bambu, anak-anak ini berlomba mendapatkan ikan bawal dan dorang. “Aku dapat. Aku dapat ikan,” teriak Jundu Robbi (10), peserta outbond yang juga anak mantan pentolan kelompok Jemaah Islamiyah (JI), Ali Fauzi,
3 Naskah ini telah dipublikasikan di Harian Surya pada 7 Juni 2013
44 | Masa Depan yang Terabaikan
asal Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan. Ali Fauzi adalah adik terpidana mati kasus Bom Bali, Amrozi dan Mukhlas. Selain anak Fauzi, mereka adalah anak-anak dari para mujahid dan mantan teroris yang pernah bertempur di wilayah konflik semacam Poso, Ambon sampai Mindanao, Filipina. Menurut Ali Fauzi, anak-anak ini diakomodir kaluarganya melalui Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Al Islam Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan. Ali Fauzi sengaja mengajak para anak mujahid ini mengikuti outbond agar lebih terbuka dengan dunia luar. “Acara ini tujuannya adalah untuk mengenalkan anak-anak kami dengan dunia luar. Mereka bisa belajar banyak dan memiliki berbagai sudut pandang tentang hidup. Intinya ini merupakan upaya deradikalisasi di internal kami,” tegasnya. Jundu dan puluhan anak lainnya mengikuti semua acara outbond hingga tuntas. Sahdan, peserta lain, juga tampak senang. Meskipun cenderung pendiam, bocah 5 tahun itu tidak canggung sedikitpun mengikuti perintah panitia. “Senang sekali karana bisa kumpul-kumpul sama saudara. Permainan di sini juga banyak,” kata putra mujahid, Syaiful Arif itu. Syaiful (30) dikenal sebagai pembuat bom di wilayah konflik Poso dan Ambon. Ia pernah meringkuk di Lapas Petobo, Palu, Sulawesi Tengah pada 2003 sampai 2006. Syaiful juga harus kehilangan separo telapak kaki kanannya karena tertembak anggota Brimob. Ali Fauzi menyebut materi-materi dalam outbond ini diharapkan bisa mengikis sifat agresif anak dan orang tua mereka. Di arena bermain, sifat asli anak-anak akan muncul. Nah, lanjut Ali Fauzi, sifat orang tua pun ditempa agar lebih sabar. “Kenakalan anak-anak akan muncul alami dalam setiap | 45
interaksi mereka. Dan para orang tua mereka dituntut sabar dalam menghadapi anak. Latihan-latihan inilah yang bisa mengikis agresifitas mereka,” ulasnya. Selain outbond, para orang tua dan anak juga diajak mampir ke pusat perbelanjaan di Sidoarjo. Acara shopping inipun, menurut Ali Fauzi, juga untuk proses deradikalisi. Syaiful membenarkan para mujahid yang berada dalam bimbingan Ali Fauzi, sudah belajar membuka diri dengan dunia luar. Dia mengaku mulai belajar mendidik anak-anaknya dengan cara luwes. Dia membebaskan anak-anaknya bergaul dengan teman sebayanya tanpa memandang keyakinan. ”Kalau mau main PS (Playstation) ya.. saya tidak larang tapi waktunya ngaji ya ngaji. Kami tidak mengekang mereka apalagi mendoktrin mereka dengan hal-hal yang berbau radikal,” imbuh Syaiful.
Muhammad Miftah Faridl Lahir di Surabaya, 10 Juni 1984. Sejak 2010 hingga sekarang bekerja sebagai jurnalis di Harian Surya. Sebelumnya ia pernah bekerja di Harian Memorandum. Pada 2012 ia meraih Juara 2 Penghargaan Karya Tulis tentang Buruh Migran yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
46 | Masa Depan yang Terabaikan
Balada Bocah ABK1
Bocah Itu Tak Ragu Membunuh Oleh Evi Trisnawati dan Aryo Bhawono
Anak-anak ternyata juga digunakan dalam penyelundupan imigran ke Australia. Sayang, pemerintah menganggap mereka TKI Illegal Dengung suara mesin kapal penangkap ikan tuna tibatiba berhenti. Semua penumpang panik, mereka tak bisa mengucapkan sepatah kata-pun, hanya saling berpandangan. Kapal itu terombang-ambing di tengah samudera Hindia. Sekitar 17 orang berada di dalam kapal, hanya dua orang berkewarganegaraan Indonesia, seorang anak buah kapal (ABK) bernama Susilo (15 tahun) dan seorang nahkoda yang tak diketahui namanya. Sisanya adalah penumpang berkebangsaan Timur-Tengah. Susilo turun ke ruang mesin. Ada dua mesin di depannya, mesin utama dan cadangan. Mesin cadangan di depannya tak bergeming, diam. Mesin itu mati setelah bekerja sekitar 20 jam. Satunya mesin utama, sudah mati sekitar sehari sebelumnya. Upaya menghidupak mesin sia-sia.
1 Naskah ini pernah dipublikasikan di Majalah Detik 5-11 November 2012
| 47
Namun alangkah kagetnya dia ketika sampai di atas kapal. Serombongan penumpang asal Timur Tengah berkumpul di depan ruang kemudi. Salah satu dari mereka dari mereka mulai mengacung-acungkan balok kayu dan mengancam dengan bahasa Inggris yang terbatas. “Where are we? We’re gonna kill you both!” ancamnya sambil mengacungkan balok kayu ke laut ke arah laut. 12 Oktober 2010, malam baru saja turun namun kondisi di tengah samudera cepat berubah menjadi gelap. Kapal itu sudah tiga hari lepas dari Pantai Selatan Pulau Jawa, tujuannya Pulau Christmas, Australia. “Saya takut setengah mati. Saya selalu menyimpan golok di balik tas yang saya gunakan sebagai bantal. Kalau mereka benar-benar mau membunuh, saya tak ragu membunuh duluan,” aku Susilo. Gelap, hening, dan amarah menjadi teror yang sempurna malam itu. Tiba-tiba lampu sorot dari berbagai penjuru ditembakkan ke kapal. Patroli perairan Australia menangkap kapal pengangkut imigran gelap asal Indonesia. Perintah diam di tempat dan angkat tangan bersautan. Perasaan senang dan takut bertaut. Mereka selamat tapi tertangkap. Susilo adalah ABK di bawah umur yang terlibat dalam penyelundupan manusia. Lelaki kelahiran Sukabumi, tahun 1995 ini masih di bawah usia dewasa ketika penangkapan itu terjadi. Namun naas, pemerintah Australia tak mau begitu saja mengakui Susilo sebagai anak di bawah umur. Pemerintah Australia melakukan pengkategorian tahanan dengan menggunakan x-ray pergelangan tangan. Hasilnya, ia dianggap mencukupi umur untuk ditahan sebagai orang dewasa. 48 | Masa Depan yang Terabaikan
Perlakuan sama juga dialami oleh Bambang (bukan nama sebenarnya). Ia menjadi ABK dari jenis kapal yang sama. Penumpangnya adalah delapan imigran gelap asal Timur Tengah. Bambang tertangkap oleh Patroli Perairan Australia pada 15 Desember 2010. Perjalanan yang ditempuhnya lebih lama dari Susilo, tujuh hari. Pasalnya pada akhir tahun, angin muson barat sedang puncak-puncaknya mendatangkan badai, beruntung kapal Bambang memang berhasil selamat dari amukan badai ketika mendekati Pulau Christmas. Sekitar pukul 09.00 waktu setempat, dua kapal patrol mendekati mereka. Kapal ini hendak melarikan diri. Kondisi gelombang yang tinggi memungkinkan mereka bermanuver dengan kapal tuna berukuran sedang, namun kelas kapal yang jauh membuat mereka tak berkutik. “Ternyata kami sudah dihimpit, satu kapal di depan ternyata tertutup tembok air,” ujar Bambang sambil menggaruk kepala. Dua bocah itu, Susilo dan Bambang, merupakan dua ABK yang ditangkap oleh pemerintah Australia karena melanggar wilayah perairan. Tujuannya adalah mengantar rombongan imigran gelap asal Timur Tengah dari Pulau Jawa pada tahun 2010. Perjalanan hukum kedua bocah itu berliku. Status mereka sebagai anak di bawah umur ternyata tak menahan keinginan aparat untuk menjerat keduanya. Bambang maupun Susilo harus mengalami penahanan selama satu tahun untuk mendapatkan kepastian status sebagai anak-anak. Setelah penangkapan dilakukan, keduanya ditahan di Pulau Christmas. Mereka harus menghadapi interview dengan petugas imigrasi sebelum dipindahkan menuju Darwin
| 49
Detention Center. Pemerintah Asutralia memang alergi terhadap banjir imigran gelap. Pertanyaan mengenai status umur terus diulan. Keduanya mengaku berusia di bawah 18 tahun. Pengakuan ini tak cukup, mereka harus melalui x-ray pergelangan tangan dan kaki. Hasil analisa scan x-ray ini tidak sebentar. Susilo menunggu selama 3 bulan dan Bambang menunggu satu bulan. Sementar mereka ditempatkan di Darwin Detention Center. Setelah menunggu sebulan lebih, hasilnya menunjukkan bahwa keduanya memiliki ciri fisik sebagai orang dewasa. Pemerintah Australia-pun lantas memindahkan keduanya ke Penjara Silver Water, Sidney. Di penjara inilah, keduanya tidak mendapatkan perlakuan sebagai anak-anak. Mereka berpindah sel dan blok layaknya orang dewasa. Bahkan Susilo memulai hari-harinya menempati sel tempat orang gila yang gelap. Ia menempati sel-nya selama 10 hari hingga dipindahkan ke blok 2, tempat orang-orang Indonesia. Tawaran bekerja di penjara-pun ia ladeni. Ia menjahit selimut dan pakaian hangat dengan gaji 5 dollar Australia per-hari. Pekerjaan di penjara ini dapat memindahkan dirinya bolak-balik antara blok 11 dan 14. Angin segar harapan pembebasan baru didapatkan pada Juli 2011. Pengadilan memutuskan bahwa Susilo masih belum dewasa. Ia baru mendapt perlakuan layaknya anak-anak pasca putusan ini hingga dikembalikan ke Indonesia pada Desember 2011. Proses yang sama juga dialami oleh Bambang. Ia dipindah menuju penjara Silver Water, Sidney melalui blok Darsi I untuk terpidana kriminal. Ia mendekam disini selama 7 hari untuk selanjutnya dipindah menuju Darsi 10. Pemindahan ke tempat layak baru dialami setelah ia 50 | Masa Depan yang Terabaikan
menerima tawaran pekerjaan menjahit. Ia dipindahkan Pod 8, sel tempat narapidana pekerja. Ia mendapat gaji yang sama dengan Susilo. Pembebasan pengadilan atas dasar status usia baru hadir pada November 2011. Keluarganya di Indonesia mengirim akte kelahiran dan kartu keluarga ke pengacaranya di Australia. Petualangan kedua bocah ini berakhir pada akhir 2012. Mereka dibebaskan ke Indonesia melalui Bali. Namun anehnya, penyambutan keduanya justru dilakukan oleh PJTKI, mereka dianggap sebagai pekerja illegal. “Ini menunjukkan kedua negara, Indonesia dan Australia, tak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan pemanfaatan anak dalam penyelundupan imigran,” tegas pengacara anakanak Indonesia di Australia, Lisa Hiariej.
| 51
Kisah Dua Bocah di Penjara Australia Oleh Aryo Bhawono dan Evi Tresnawati
Bocah-bocah Indonesia disatukan dengan narapidana dewasa di penjara Australia. Berbulan-bulan mereka bergaul dengan pelaku kriminal di negeri kanguru itu. Jalan mereka merih kebasan sangat berliku. “Di sel itu saya bersama satu bule (orang asing berke warganegaraan Australia-red). Badannya gede, dia memakai narkoba. Kadang ganja, nah kalau ganja saya sudah tahu bentuknya,” Kalimat itu meluncur dari mulut Susilo (bukan nama sebenarnya). Ia menganggap pertemuannya dengan bule itu menyeramkan. Ia harus berada satu sel dengan seorang kriminal di penjara Silverwater, Sydney, Australia. Waktu itu Susilo masih berusia sekitar 16 tahun. Ia harus masuk ke jeruji penjara di Australia setelah tertangkap membawa imigran asal Timur Tengah ke Pulau Christmas pada bulan Oktober 2010. Ia-pun digiring menuju rumah persinggahan tahanan di pulau itu. Perjalanan bocah yang belum genap 16 tahun, pada waktu itu, cukup berliku. Ia harus mengalami interview berulangkali di Pulau Christmas maupun rumah detensi Imigrasi Darwin, Australia. Pengakuannya sebagai bocah di bawah usia 18 tahun 52 | Masa Depan yang Terabaikan
tersendat di Darwin selama tiga bulan. Pihak Australia, justru memiliki cara berbeda untuk melakukan deteksi usia. Di Darwin itulah Susilo harus menjalani scan x-ray di pergelangan tangan dan kaki untuk memastikan usianya. Hasilnya, dia dianggap dewasa. Maret 2011, hasil ini membawanya menuju Penjara Silverwater, Sidney. Sebuah penjara yang didiami oleh penjahat Australia dan imigran gelap maupun ABK dewasa asal Indonesia. Persidangan usia berjalan melalui video link selama dia berada menetap disana. Proses mendapatkan kamar di penjara tak semudah yang dibayangkan. Susilo harus mengalami kamar gelap sendirian selama 10 hari. Baru setelah itu ia ditempatkan di blok 11 Port 8, tempat orang-orang Indonesia. Anehnya ia tak bisa menetap dengan tenang. Proses pemindahan diberlakukan sewaktu-waktu, antara blok 11 Port 8ke 14. Namun Susilo tetap diperlakukan sebagai orang dewasa. Kedua blok tersebut dihuni oleh orang dewasa. Dan di blok 14 inilah ia bertemu dengan bule itu. “Dia pernah menawari saya rokok, saya mau itu. Kalau narkoba saya tidak mau,” akunya. Perlakuan dewasa inipula yang membuka tawaran pekerjaan di dalam penjara. Susilo menjahit selimut dengan upah 5 Dollar Australia. Pendapatan yang lumayan di dalam penjara. Namun tawaran pekerjaan ini tak serta merta memudahkannya. Ia berkali-kali harus menghadapi penggeledahan yang dilakukan petugas penjara. Penggeledahan ini termasuk penelanjangan. Bahkan olok-olokan karena alat kelaminnya berukuran kecil sering dilontarkan oleh petugas penjara. Ia hanya bisa | 53
menerima perlakuan ini. Juli 2011, angin segar berhembus ketika pengadilan memutuskan Susilo belum berusia dewasa. Ia mendapatkan tiket pembebasannya. Putusan ini membawanya menuju rumah tahanan imigrasi Villawood Sydney pada Desember 2011 sebelum beranjak kembali ke tanah air. Perlakuan sama dialami oleh Bambang. Bocah sepantaran dengan Susilo ini ditangkap di perairan yang sama pada Desember 2010 ketika menyelundupkan delapan imigran gelap. Hasil scan x-ray menunjukkan Bambang berusia antara 18-19 tahun. Ia pun mengalami mutasi ke penjara Silverwater. Ia memasuki blok tertutup untuk narapidana kriminal di Darsi 1. Pemindahan pertama dilakukan selama sepekan menuju Darsi 10 yang juga ditempati oleh narapidana kriminal. Di blok inilah ia bergaul dengan narapidana kriminal dengan bekal bahasa inggris terbatas. Pengalaman pemindahan blok juga mempertemukannya dengan orang-orang Pakistan. Mereka bertegur sapa dengan keterbatasan bahasa. Kebetulan antusiasme mereka untuk mengikuti kelas bahasa Inggris sama-sama tinggi. Berbahasa merupakan pengalaman yang paling diingat Bambang. Ketika bercampur dengan criminal Australia ia hanya mengingat umpatan-umpatan saja. “Banyak yang memaki-maki, ‘fuck-fuck’, gitulah,” kenangnya. Sayang kemampuan bahasa Inggrisnya tak terasah karena gagal mengikuti kelas di penjara. Memang Bambang cenderung memanfaatkan fasilitas penjara, seperti Perpustakaan. Namun kemampuan bahasa ini membatasinya untuk membaca lebih banyak. Pengalaman memanfaatkan fasilitas ini juga dilakukannya 54 | Masa Depan yang Terabaikan
ketika masih berada di rumah tahanan imigrasi Darwin. Fasilitas pengembangan aktifitas dan kemampuan tersedia disana seperti olahraga, ketrampilan airbrush kaos, dan lainnya. “Saya bisa airbrush kaos, saya simpan buat kenangkenangan. Kalau olahraganya ada golf, bowling, dan lainnya. Lengkap deh,” ingatnya. Pembebasan terhadap Bambang sendiri dilakukan setelah sidang pencabutan tuntutan pada Desember 2011. Hakim memutuskan tuntutan itu tidak layak karena Bambang masih di bawah umur. Ia dipulangkan ke Indonesia bersama dengan Susilo melalui Bali. Namun Bambang ternyata memberikan informasi atas keberadaan anak di bawah umur asal Indonesia yang masih berada di Australia. Ia menyebutkan dipindahkan ke ke Darwin dari Pulau Christmas bersama 3 orang di abwah umur. “Mereka menyebut ada 3 baby, nah ini berarti ada anak-anak Indonesia,” jelasnya. Memang keberadaan anak di bawah umur masih cukup banyak. Pengacara Bambang dan Susilo, Lisa HIariej menyebutkan masih sekitar 36 anak disana. Ia khawatir bocahbocah ini mendapatkan perlakuan orang dewasa cukup lama. Kekhawatiran inilah yang membuatnya terus meneurs mencari informasi. Ia memprotes keras penggunaan sistem scan x-ray pergelangan untuk mengetahui umur mereka. Karena selama ini sistem ini banyak mengalami kesalahan. “Buktinya Susilo dan Bambang ini yang telah berhasil bebas walaupun x-ray menunjukkan bahwa keduanya dewasa. Ini yang saya sayangkan,” keluhnya. Kementerian Luar Negeri Indonesia sendiri tak menyanggah adanya anak Indonesia yang berada di balik jeruji Australia. | 55
Data Kementerian luar Negeri menunjukkan masih ada Indonesia yang masih ditahan di Australia. Pemerintah sendiri masih melakukan upaya untuk melakukan pembebasan. Namun Kemenlu sudah memastikan, Pemerintah Australia juga menggunakan dokumen-dokumen mengenai usia dari para ABK di bawah umur tersebut sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan usia mereka. Dokumen yang dilihat, seperti akte kelahiran dan ijazah sekolah. “Saya pastikan bahwa sudah ada pengakuan atas dokumen dokumen itu. Dan mereka memiliki kecenderungan untuk mengkategorikan sebagai anak-anak bagi mereka yang usianya abu-abu seperti 18 atau 19 tahun,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Michael Tene.
56 | Masa Depan yang Terabaikan
Mimpi Dari Bocah ABK Oleh Evi Tresnawati dan Aryo Bhawono
“Aku ingin sekolah lagi, biar nggak jadi babu kaya gini” —Indra (18) si bocah ABK. Bambang (bukan nama sebenarnya) ialah salah satu dari ratusan anak yang terseret kasus penyelundupan manusia ke Australia. Diimingi uang 5 juta rupiah membuatnya tergiur demi membantu kakak menyekolahkan anak-anaknya. Maklumlah, sejak usianya masih kecil ia sudah memiliki keponakan. “Setelah konsultasi dengan kakak, aku terima (tawaran melaut), uangnya untuk bantu kakak juga sekolahin keponakan aku,” tuturnya sambil tersenyum. Sejak Indra masih di bangku Sekolah Dasar, ia sudah bekerja, ibunya hanya buruh tani. Uang BP3 sebesar Rp 3000 didapatnya dari upah menanam bawang dan mencari ikan di sawah tetangga. Desember 2011 lalu, ia pun bebas setelah setahun di tahan oleh pemerintah Australia. Umurnya kini sudah 18 tahun. Badannya besar dan berotot. Tentu saja, karena ia bekerja sebagai ABK (Anak Buah Kapal) sejak lulus SD. “Om aku yang nawarin, ‘Mau nggak kamu ke laut?’ Lalu aku bilang, apa salahnya di coba,” ungkap Indra yang mulai betah dengan pekerjaannya sebagai ABK. Setelah dibebaskan dari penjara Australia, penikmat sunset | 57
ini mengaku banyak pelajaran yang ia dapatkan. Ia mampu mengerti percakapan dalam bahasa Inggris meskipun tak lancar dalam pelafalannya. Teknik air brushing dalam pembuatan sablon kaos pun juga dikuasainya selain menjahit. “Di Darwin selain jahit aku bisa nge-air brush juga, dalam 3 bulan ada 7 baju yang aku buat dengan gambar-gambar seru.” Indra memiliki kesadaran yang cukup tinggi serta daya tangkap yang baik untuk hal-hal baru yang ia temui. Kini ia bekerja kembali sebagai ABK di salah satu kapal pengangkut bandeng di Muara Angke. Maklum, karena kondisi ekonomi dan kurangnya pendidikan, Indra memilih untuk tetap menjadi ABK. “Ya habis mau kerja apa lagi, ijazah nggak punya”, tutur Indra dengan nada polos layaknya anak-anak. Walau dengan risiko yang tinggi, bekerja menjadi ABK diakuinya sebagai pekerjaan yang mudah, “Kerjanya hanya muat dan bongkar ikan saja selebihnya tidur-makan-tidurmakan,” terang bocah yang karena lama bekerja sebagai ABK akhirnya mahir mengemudi kapal. Indra tak ingin banyak menuntut atas keadaannya yang harus menjadi ABK di usia yang masih belia, menurutnya kondisi apapun harus dijadikan pelajaran dan bekal untuk masa depan. Ia pun mengatakan dengan nada lirih bahwa ia merindukan sekolah. “Mau ditempatin dalam situasi apa ya aku belajar saja, sebenarnya aku ingin sekolah lagi biar nggak jadi babu kaya gini.” Ia juga mengatakan bahwa dirinya ingin membuat sebuah buku tentang hidupnya. “Pengen sih tapi aku nggak bisa nulis,” tutupnya kepada majalah detik. 58 | Masa Depan yang Terabaikan
Lain Indra lain Andri. Andri si bocah pesisir dari laut Jawa tak ingin bekerja menjadi ABK. Kepada majalah detik ia tuturkan keresahan dan ketakutannya terhadap laut. “Aku nggak mau lagi (kerja) ke laut. Anginnya kencang bahkan kapal bisa terbalik. Nangkap ikan pakai jaring bikin tanganku pegal karena ikannya banyak jadi berat narik jaringnya.” Walau besar dan tinggal di pesisir pantai, Andri mengalami trauma yang sangat mendalam ketika ia melaut. Sebelum ia ditahan di imigrasi Australia, Andri bekerja sebagai nelayan anak di pantai yang terletak di ujung Jawa Barat. Ia mengaku kesulitan dan tak senang berada di laut. Oktober 2010, ia terperangkap dalam sindikat penyelundupan manusia ke Australia. Modal sebanyak satu juta rupiah dari tawaran 25 juta menjadi “deal” Andri kepada pelaku sindikat people smuggling untuk berangkat ke Australia. Tak dinyana, ia pun harus di tahan selama setahun karena dugaan terlibat penyelundupan manusia. Sepulangnya dari Australia, Andri menjadi semakin takut dengan laut, ia merasa sudah cukup kenyang dengan pengalamannya di laut. Kini Andri yang hanya diasuh sang tante karena kedua orang tuanya telah tiada tak bisa berbuat banyak untuk melangsungkan hidupnya. Bekal ijazah pun hanya sampai SD, namun ia berniat untuk mencari pekerjaan selain melaut. “Aku sekarang nggak kerja, tapi aku ingin mencari kerja supaya bisa bantu tante dan untuk menghidupi diri aku sendiri,” ungkap Andri dengan semangat tinggi yang terlukis dari raut wajahnya.
| 59
Bocah Pengangkut Tong di Atas Geladak Oleh Aryo Bhawono dan Evi Tresnawati
Anak-anak diperkerjakan di atas geladak kapal. Mereka bekerja sebagai pengangkut tong. Anehnya, pengawasan di Syahbandar pelabuhan tak mendeteksi umur mereka . Kaki Bambang berkecipak diatas genangan air dermaga Muara Angke, Jakarta. Ia menapak cekatan di setiap meter titian yang licin. Sebuah tong berisi ikan dan es ia tahan dengan kedua tangannya, berat. Tahun 2006, ia mulai bekerja sebagai anak buah kapal jenis ‘Pelele’, sebuah kapal ikan berukuran kecil. Waktu itu umurnya belum juga genap 15 tahun. Namun ia sudah terdaftar sebagai anak buah kapal (ABK). Kapal ini bermuatan 4 sampai 5 orang , sudah termasuk sang kapten. Waktu itu Bambang bukan satu-satunya bocah. Ia tak kenal secara pasti rekan bocahnya itu, hanya saja salah seorang rekannya berumur sekitar 13 tahun. Kapal yang ditumpanginya memang berbeda dengan kapal regular. Kapal ini berukuran lebih sedang, dengan panjang 17 meter. Kargo maksimal-pun terbatas, sekitar 15 ton. Kapal ini melayani muatan ikan dari Sumatera ke Jakarta. “Tugas saya ngangkut tong ikan sama es. Isi gentongnya dimasukin ke peti lalu diderek pakai tangan,” ujarnya. 60 | Masa Depan yang Terabaikan
Keberadaan Bambang memang bisa digolongkan melanggar hukum. Pasalnya selaku ABK, ia sudah mengerjakan pekerjaan berat untuk anak-anak. Ia mengangkut beban puluhan kilogram (kg) dengan tenaganya sendiri ke dalam kapal. Dunia pelayaran ternyata memang menyimpan pemanfaatan pekerja di bawah umur. Tak hanya untuk kapal kargo, Kapal nelayan-pun memanfaatkan tenaga di bawah umur. Bambang sendiri bisa melewati aturan baku dalam UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Memang terdapat kondisi-kondisi khusus untuk memperkerjakan anak namun pelarangan ini berlaku baku pada kondisi kerja terburuk. Kondisi terburuk tersebut antara lain perbudakan atau praktik serupa perbudakan, prostitusi anak, dan menggunakan anak dalam kegiatan terlarang. Penelusuran yang dilakukan oleh Majalah Detik menunjukkan praktik pekerja anak di bidang pelayaran sangat terselubung. Praktik ini biasanya dilakukan dalam bentuk pelayaran-pelayaran kecil. Salah satu anak buah pemilik kapal berbasis di Muara Angke, Sahroni, menyebutkan persyaratan ABK memang longgar. Pemilik kapal tak memandang usia, siapapun yang memiliki syarat bisa berenang diperbolehkan untuk turut bekerja. Gaji yang ditawarkan memang pas-pasan, yakni Rp 500 ribu untuk sekali jalan. Perjalanan ini ditempuh dalam waktu 3 sampai 4 hari. Tak jarang bocah-bocahpun menerima tawaran ini. “Ya, kerjaan mereka mengangkut barang. Kalau saya biasa di mesin,” jelasnya. Padahal, di Muara Angke terdapat puluhan kapal kecil semcam ini. Pemanfaatan pekerja anak ini bukan karena upah murah. Mereka mendapat porsi upah yang sama dengan | 61
pekerja dewasa. Namun beban pekerjaan mereka juga sama. Pemanfaatan anak di bawah umur dalam kapal ikan ini untuk mengisi pekerjaan yang tidak membutuhkan skill khusus. Namun rata-rata anak yang bekerja di sana kemudian mempelajari teknik mengendalikan kapal. Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) menemukan praktik pemanfaatan pekerja anak dalam pelayaran ini tak hanya terjadi di kargo. Anak-anak nelayan di Rote, Nusa Tenggara Timur, tak luput dari pemanfaatan pekerja anak. Hanya saja pemanfaatan ini tak seburuk yang terjadi di Muara Angke. Ketua KAPI Arist Merdeka Sirait mendapatkan pendataan anak-anak nelayan yang bekerja di dapur kapal kargo maupun imigran. Pekerjaan dapur ini tidak berat namun memangkas waktu mereka belajar. “Data ini kami dapatkan dari Romo (pastur) di sana. Biasanya musiman, ketika ikan sedikit dan nelayan tidak melaut,” jelasnya. Pengakuan adany apekerja anak di bidang pelayaran perikanan ini merupakan celah dalam pekerja anak dalam kondisi buruk. PAdahal data Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menunjukkan jumlah pekerja anak di Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2010 lalu. Survei mereka pada tahun itu menunjukkan pekerja anak di Indonesia mencapai 1,5 juta. Pada tahun sebelumnya, pekerja anak antara 10-17 tahun di Indonesia mencapai 1,8 juta. Jadi terjadi penurunan sekitar 4,3%. Kementerian Perhubungan memastikan ABK memiliki persyaratan yang ketat. ABK harus memiliki sertifikasi keselamatan. Sehingga perekrutan ABK anak susah dilakukan. Namun pengawasan kapal ikan ini sulit dilakukan. Kapal model pelele merupakan kapal kecil. Kementerian Perhubungan 62 | Masa Depan yang Terabaikan
mengategorikan kapal ini di abwah pengawasan Kementerian Kelautan Perikanan (KKP). Kapal pelele digolongkan sebagai kapal perikanan. “Nah, kalau kapal kecil jenis ini penagwasan ABK-nya juga di KKP. Mereka keluar masuk melalui syahbandar perikanan,” jelasnya. Namun KKP sendiri menyatakan pengawasan menyangkut lebih intens dilakukan oleh perhubungan. KKP lebih menitikberatkan pengawasan isi muatan berupa ikan. Kapuskom KKP Indra Sakti menyebutkan selama ini pencocokan dokumen awak kapal tetap dilakukan, namun sejauh ini tidak ada temuan berupa ABK anak. “Nah, dokumen itu berlapis, harusnya Kementerian Perhubungan yang melakukan pengawasan soal itu,” ungkapnya.
| 63
Masih Ada Anak Indonesia di Jeruji Australia Arist Merdeka Sirait berusaha mengingat nama salah seorang dari empat remaja asal Indonesia yang pernah bertemu dengannya di Australia tahun lalu. Namun sekuat apapun ia mencoba, tetap tak ingat. Ia hanya mampu mengingat umur bocah ini saat itu, 19 tahun. Mirisnya, pertemuan itu dilakukan di balik jeruji penjara. Memang, ia mendapati remaja itu setelah mendapatkan informasi dari seorang wartawan Australia. Tentang seorang bocah di bawah umur Bocah berumur 19 tahun sudah di penjara selama 3 tahun, berarti ia mulai mendekam pada usia 16 tahun. Usia yang terlalu dini untuk masuk ke balik jeruji. “Itu hasil interview pengacara yang diberikan kepada wartawan. Nah, wartawan itu teman saya,” jelasnya ketika dijumpai di Komnas PA, Jakarta, 25 September 2012. Memang bocah-bocah itu berasal dari kepulauan Rote, Nusa Tenggara Timur. Seorang pastur menyebutkan remaja di kepulauan Rote memang suka bekerja sebagai juru amssak di kapal imigran ketika paceklik ikan. Beruntung, empat bocah itu dapat dilepaskan setelah Komnas PA melakukan konfirmasi ke orang tua untuk mencari surat kelahiran dan keluarga, pendeta untuk mencari surat baptis, bahkan hingga ke kementerian hukum dan HAM.
64 | Masa Depan yang Terabaikan
“Anehnya mereka ternyata diidentifikasi dengan x-ray tulang. Padahal tulang mereka memang terlihat tua karena kurang gizi. Ini yang kami sayangkan,” jelasnya. Notifikasi kedewasaan melalui x-ray ini juga yang mengganggu Lisa Hiariej, pengacara Indonesia yang berpraktik di Australia. Lisa sering mendampingi anak-anak ini. Dua kliennya, Bambang dan Susilo berhasil ia bebaskan walaupun terdeteksi sebagai orang dewasa. Deteksi ini terbukti tidak ampuh memastikan usia. Selama melakukan pendampingan, ternyata masih banyak anak di bawah umur asal Indonesia mendekam di balik jeruji penjara Australia. “Selama saya disana ada sekitar 34 anak Indonesia,” jelasnya. Data milik Komnas HAM Australia yang menyebutkan khusus untuk kasus penyelundupan imigran dalam rentang 2008-Mei 2012, tahanan anak asal Indonesia mencapai 150 anak. Jumlah ini sudah dipisah dari tahanan dewasa yang mencapai 400 orang. Namun kementerian Luar Negeri Indonesia membantah adanya scan umur dengan x-ray di pergelangan tangan. Memang saat ini ada sekitar 36 anak Indonesia yang masih ditahan di Australia. Pemerintah sendiri masih melakukan upaya untuk melakukan pembebasan. Kemenlu sudah memastikan, Pemerintah Australia menggunakan dokumen-dokumen mengenai usia dari para ABK di bawah umur tersebut
| 65
sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan usia mereka. Dokumen yang dilihat, seperti akte kelahiran dan ijazah sekolah. “Jika ada keraguan mengenai umur ABK di bawah umur tersebut, maka kecenderungannya memihak kepada bahwa mereka ditetapkan sebagai ABK di bawah umur,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Michael Tene.
Aryo Bhawono Lahir di Yogyakarta, 12 November 1980. Sejak 2011 bekerja sebagai Asisten Redaktur di Majalah Detik. Sebelumnya, alumni Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta ini pernah bekerja sebagai jurnalis di Media Indonesia. Sebelum menggeluti bidang jurnalistik secara profesional, ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Kentingan UNS Surakarta. Evi Tresnawati Lahir di Jakarta, 6 Maret 1988. Saat ini bekerja sebagai jurnalis Majalah Detik. Alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini sebelumnya sempat bekerja di LP Channel, sebuah stasiun televisi lokal di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
66 | Masa Depan yang Terabaikan
Meski Berjalannya Ngesot Tak Halangi Dewi Sudarmi Bersekolah dan Berprestasi1 Oleh Amir Tejo
Matahari masih bersinar malu-malu. Namun Marsiha (36) dengan anaknya Dewi Sudarmi (8) sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Usai menyiapkan buku-buku pelajaran, Marsiha dan Dewi pun akhirnya berangkat ke sekolah. Namun berbeda dengan anak sekolah seusianya, Dewi berangkat ke sekolah dengan digendong oleh ibunya Marsiha. Dengan menggunakan selembar kain selendang yangsudah lusuh, Dewi pun digendong ibunya. Ya, Dewi memang tidak seperti anak pada umumnya. Dewi menderita cacat sejak lahir. Dewi terlahir dengan kaki dan tangan yang tidak lengkap. Kaki Dewi hanya sebatas pangkal paha hingga lutut di untuk kaki sebelah kiri, sedangkan untuk sebelah kanan, Dewi tak mempunyai kaki sama sekali. Demikian juga dengan kondisi tangannya. Dewi hanya memiliki tangan yang sempurna untuk sebelah kirinya. Tangan kanannya tak memiliki jari-jari seperti pada orang normal pada umumnya.
1 Naskah ini telah dipublikasikan di Majalah Kartini 13-27 Juni 2013
| 67
Setapak demi setapak dilalui oleh Marsiha. Hujan semalam masih menyisakan basah di tanah di Dusun Gunung Malang, Desa Gagah Kecamatan Kadur, Pamekasan Madura . Sandal jepit yang dipakai Marsiha pun lengket dengan tanah lempung. Ini membuat jejak langkah Marsiha menjadi berat. Apalagi ditambah dengan beban berat badan Dewi yang digendongnya. Sesekali Marsiha menggesekkan sandal jepitnya ke batu untuk menghilangkan tanah yang lengket di sandalnya. Jarak menuju ke sekolah Dewi di SDN III Kertagena Laok, Kecamatan Kadur. sebenarnya tak jauh ukuran desa. Jaraknya hanya sekitar 1 km. Namun perjalanan menjadi terasa lambat karena jalanan yang menurun ditambah tanah yang licin sisa hujan semalam. Marsiha harus berhati-hati. Dewi sebenarnya sudah memiliki kursi roda bantuan dari dermawan, namun menggunakan kursi roda dengan jalan yang setapak seperti itu, dirasa malah merepotkan. Lebih mudah menggendong daripada harus menggunakan kursi roda. “Sengaja lewat jalan ini, karena ini jalan pintas. Kalau lewat jalan yang biasa jaraknya bisa lebih dari 3km karena harus memutar,”kata Marsiha. Aktifitas Marsiha mengantar Dewi ke sekolah ini, sebenarnya hanya sesekali saja. Biasanya yang mengantar sekolah adalah bapakny Ali Makki (37) atau kakeknya Sihabuddin (60) Dengan menggunakan sebuah sepeda motor buntut Dewi dibonceng oleh kakeknya. Namun pada pagi itu kakek dan bapaknya ada keperluan. Sehingga tak dapat mengantarkan Dewi ke sekolah. Memang setahun yang lalu pada saat Dewi masih kelas 1 SD, kebiasaan mengantar sekolah masih dilakukan oleh Marsiha. Namun sejak Dewi kelas 2 SD, kebiasaan mengantar sekolah diambil alih oleh kakeknya atau bapaknya. “Alhamdulillah 68 | Masa Depan yang Terabaikan
setahun lalu bisa membeli motor bekas seharga 300ribu. Lumayan untuk antarjemput Dewi ke sekolah,”kata Marsiha. Sesampainya di sekolah, Dewi pun disambut antusias oleh teman-temannya. Tanpa dikomando ada temannnya yang sukarela menggendong belakang Dewi masuk kelas. Dewi pun masuk kelas dengan digendong untuk meletakkan tasnya. Marsiha pun lebih memilih kembali ke rumah karena harus mengasuh adik Dewi yang masih bayi. Pagi itu sebelum pelajaran dimulai, didahului dengan senam pagi. Setiap Selasa dan Jumat, di sekolah ini memang diadakan senam pagi sebelum pelajaran dimulai. Teman Dewi pun kemudian kembali menggendong Dewi untuk keluar ke halaman sekolah ikuti senam pagi. Seperti biasa, Dewi tidak masuk dalam barisan senam pagi. Dewi lebih memilih duduk bangku tembok sekolah. Di atas bangku ini, Dewi dengan riang gembira dan canda tawa mengikuti gerakan senam seperti yang dilakukan teman-temannya. Usai senam pagi, Dewi pun kembali digendong temannya untuk masuk dalam kelas. Pagi itu, jam pelajaran pertama adalah Bahasa Indonesia. Seperti anak normal lainnya, Dewi pun mengikuti pelajaran dengan antuasias. Meski harus menulis dengan tangan kiri, namun Dewi tidak tampak kesulitan ketika gurunya meminta mengerjakan tugas. Di lingkungan sekolahnya, meski Dewi memiliki kekurangan fisik namun pihak sekolah memperlakukannya seperti anak-anak normal lainnya. Guru-gurunya tak membedakan kondisi fisik Dewi yang cacat dengan siswa lainnya. “Dewi itu secara fisik memang berbeda. Namun secara mental dan kecerdasan Dewi sebenarnya sama dengan anak-anak lainnya,”ujar Marzuki guru wali kelas Dewi. Ucapan Marzuki bukan omong kosong. Sejak kelas satu
| 69
sampai kelas dua, Dewi ternyata masuk ranking kelas. Saat kelas satu Dewi menjadi ranking dua di kelasnya. Prestasi ini pun bertahan hingga Dewi masuk kelas masuk kelas dua. “Dewi anaknya memang cerdas,”ujar Marzuki Usai jam pelajaran Bahasa Indonesia, bel istirahat pun berdentang. Bunyi bel istirahat itu pun disambut sorak-sorai oleh seisi kelas. Tak terkecuali Dewi pun ikut bersorak kegirangan. Teman-temannya pun berebut untuk menggendong Dewi keluar kelas. Tujuannya adalah perpustakaan sekolah yang ada di seberang kelas. Kebiasaan Dewi saat jam istirahat memang lebih banyak dihabiskan bermain di perpustakaan sekolah. Namun jangan bayangkan perpustakaan ini mempunyai koleksi buku yang lengkap. Hanya ada ada beberapa rak buku yang ada di perpustakaan ini. Maklum sekolah di desa. Dewi memilih bermain di perpustakaan selain untuk membaca, juga di perpustakaan ini tergelar karpet, sehingga Dewi bisa bermain tanpa takut kotor bajunya. Begitulah aktfitas Dewi selama di sekolah. Tak ada perasaan minder sedikit pun di hati Dewi meski memiliki kekuarangan. Bahkan, menurut penilaian guru-gurunya Dewi memiliki percaya diri yang luar biasa. “Dia bahkan ikut ekstrakulikuler menari. Ada persiapan pentas seni untuk perpisahan kelas. Dia ngotot ingin tampil dalam pentas seni. Namun masih kita komunikasikan dengan keluarga. Takutnya Dewi dianggap aib kok malah ditampilkan,” kata Mohammad Bahar Kepala Sekolah SDN III Kertagena Laok.
Terlahir Cacat Meski mengalami cacat sejak lahir, namun Dewi bisa dikatakan sebagai anak yang beruntung. Pasalnya orangtuanya
70 | Masa Depan yang Terabaikan
maupun lingkungan sekitarnya tak pernah membedakan perlakuan Dewi. Buktinya orangtua Dewi tak malu untuk menyekolahkan Dewi di sekolah umum. Padahal, dalam banyak kasus, orangtua cenderung untuk menyembunyikan anaknya yang terlahir cacat. Apalagi di pedesaan seperti tempat tinggal Dewi. Namun hal itu tak berlaku bagi orangtua Dewi yang hanya lulusan SD. Mereka malah mendorong Dewi agar terus sekolah. Orangtua Dewi tak ingin nasib Dewi sama dengan mereka. Orangtua Dewi bahkan bertekad untuk tetap menyekolahkan Dewi sampai perguruan tinggi dengan sekuat tenaga. Tekad untuk menyekolahkan Dewi ini hingga perguruan tinggi ini patut diacungi jempol. Jika dilihat dari pekerjaan orangtua Dewi yang hanya buruh tani, tekad itu mungkin terasa berat. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, Makki biasanya menjadi buruh tani atau buruh bangunan. Dengan upah per hari sekitar 30ribu digunakan untuk mencukupi seluruh anggota keluarganya. Namun tak setiap hari Makki bisa menjadi buruh tani. Saat tak ada pekerjaan, Makki biasanya mencari batu-batu besar di sekitar rumahnya untuk kemudian dipecah menjadi batu kecil-kecil untuk bahan bangunan. Pekerjaan memecah batu ini ini biasanya dibantu Marsiha dan Dewi. “Meski cacat namun Dewi suka membantu. Kerja memecah batu sementara libur karena musim hujan. Kasihan Dewi karena tak ada tempat berteduh,”ujar Marsiha. Kerja memecah batu ini pun, tak bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Karena batu-batu kecil ini baru bisa dijual jika sudah mencapai satu mobil pick-up. Butuh waktu antara 12-15 hari untuk mengumpulkan batu kecil-
| 71
kecil itu hingga satu pick-up. Batu-batu kecil sebanyak itu dijual dengan harga antara 80-90 ribu. Berpenghasilan pas-pasan tak membuat Makki dan Marsiha patah semangat menyekolahkan Dewi hingga perguruan tinggi. Mereka yakin jika Tuhan akan memberikan pertolongan kepada hambanya jika memang mau berusaha. “Tuhan pasti memberikan jalan. Buktinya kakaknya Dewi yang pertama bisa kuliah di Pamekasan karena dapat beasiswa. Dan kami yakin, Dewi pun akan diberikan jalan oleh Tuhan”ujar Marsiha. Selain berkaca dari pengalaman kakaknya, keteguhan tekad orangtua Dewi untuk menyekolahkan hingga perguruan tinggi, juga muncul dengan melihat semangat belajar Dewi yang luarbiasa. Dalam kesehariannya Dewi bisa dikatakan sebagai anak yang mandiri. Dia sudah bisa mengatur jadwalnya sendiri kapan bisa bermain dan kapan harus belajar. Bahkan, kata Marsiha dalam belajar pun Dewi lebih banyak belajar sendiri dibandingkan dibimbing oleh kakaknya. “Tahu-tahu sudah bisa baca tulis. Kalau ditanya darimana bisa baca tulis, dia selalu berkata ya belajar,” kata Marsiha. Menurut Marsiha, kegigihan Dewi untuk belajar karena Dewi sendiri mempunyai cita-cita yang kuat untuk menjadi guru. “Pengen bisa sampai kuliah seperti kakak, terus menjadi guru, agar bisa mengajar di depan kelas,”kata Dewi. Terkadang, meski mempunyai semangat yang kuat untuk jadi guru, Dewi pernah juga mempertanyakan apakah mungkin menjadi guru tapi tak mempunyai kaki? Lalu bagaimana mengajar di depan kelas kalau tidak mempunyai kaki? Sebagai orangtua, tentu saja trenyuh saat Dewi menanyakan hal tersebut. “Tapi saya selalu mendorong jika
72 | Masa Depan yang Terabaikan
Dewi tetap bisa menjadi guru meski tak punya kaki. Tak usah berdiri di depan kelas. Tapi mengajar sambil duduk saja tetap bisa,” kata Marsiha memberikan semangat kepada anaknya. Pernah suatu saat, saat diajak ke pasar, Dewi pernah menyeletuk kepada ibunya. “Bagaimana jika kaki saya diganti dengan kaki sapi saja. Biar saya punya kaki?,” kata Marsiha menirukan celetukan Dewi. Mendengar celetukan tersebut tentu saja, satu sisi sisi Marsiha sedih tapi satu sisi geli mendengar permintaan polos anaknya.
Tak Malu Punya Anak Cacat Dalam keluarga Marsiha, keberadaan Dewi yang cacat sebenarnya sudah tidak menjadi masalah. Pun demikian juga Marsiha sebagai ibunya. Bahkan sesaat setelah melahirkan dan mengetahui jika anaknya cacat, Marsiha langsung bisa menerima. Marsiha pun bercerita, saat kehamilannya berusia enam bulan, neneknya yang sudah lama meninggal menemuinya dalam mimpi. Dalam mimpi itu, neneknya beperpesan agar selalu merawat Dewi dengan penuh kasih sayang dan menerima apa adanya. Karena anak yang sedang dikandungnya itu, punya perbedaan. “Dari mimpi itu saya menjadi lebih siap, menerima Dewi. Saat lahir dan mengetahui cacat, saya langsung bisa menerima. Justru keluarga lainnya yang menangis,” cerita Marsiha. Selain dirinya yang sudah ikhlas menerima kondisi Dewi, Marsiha juga menekankan hal yang sama kepada kakaknya yang sudah dewasa untuk selalu menjaga dan memberikan perhatian yang lebih kepada Dewi. Dan terbukti, permintaan Marsiha dan Makki kepada anak-anaknya benar-benar dituruti. Pernah suatu saat | 73
Dewi diajak ke kota Pamekasan. Saat itu ada orang asing yang ngerasani Marsiha. Anak cacat kok dibawa-bawa segala? Spontan Lulu Kudrotillah kakak pertama Dewi langsung menyahuti. “Tidak iIkut menggendong saja, kenapa sewot,” kata Marsiha menirukan ucapan anak pertamanya.
Moch. Amir Tejo Sukmono Pria kelahiran Klaten, 26 September 1977 ini sejak 2012 ini aktif berkarya sebagai jurnalis lepas. Hasil karyanya dimuat di berbagai media seperti Majalah Kartini, Jakarta Globe, Majalah Sekar, dan lain-lain. Sarjana Ilmu Politik dari Universitas Airlangga Surabaya ini pernah menjadi contributor Tabloid Nova, www. okezone.com, dan Bisnis Indonesia.
74 | Masa Depan yang Terabaikan
Kisah Tasripin Bocah 13 Tahun yang Mengasuh Adik-adiknya
Akan Sekolah Lagi demi Wujudkan Imipiannya Menjadi Guru1 Oleh Chandra Iswinarno
Bocah berusia 13 tahun itu sudah terjaga dari alam mimpinya di saat kabut mulai surut menyusuri kelokan-kelokan jalan terjal berbatu Dusun Pesawahan Desa Gununglurah Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas. Pagi yang ditandai datangnya sinar mentari, seolah tak kunjung datang menghampirinya di dalam ruang dapur pengap nan gelap di bagian belakang rumah yang terlihat kusam tak terrawat. Tasripin, begitu orang menyebut nama bocah yang beberapa waktu lalu ramai menjadi pemberitaan di media massa nasional. Bocah yang seharusnya duduk di bangku SMP kelas I itu masih terlalu muda untuk merawat ketiga adik kecilnya, Dandi 7 tahun, Riyanti 6 tahun dan Daryo 4 tahun. Raut mukanya masih belum terlihat dibasuh dinginnya air pagi di Sabtu, 13 April 2013 silam.
1 Naskah ini telah diterbitkan di Majalah Kartini pada 2-16 Mei 2013
| 75
“Kalau mau mandi harus mengangkut air dulu dari rumah tetangganya,” ucap Tasripin polos saat Kartini datang di rumahnya yang kala itu masih beralaskan tanah dengan dinding dari papan. Tak terlihat raut beban dibalik tanggung jawabnya yang besar untuk mengasuh ketiga adiknya. Sejak sang ibu, Satinah meninggal setahun lewat dan disusul kepergian sang ayah, Kuswito terpaksa bekerja di Kalimantan Barat enam tahun silam, Tasripin praktis sendirian mengurus ketiga adiknya. Hidup dalam bebatan kemiskinan yang dirasakan sejak lahir nampak dilakoninya dengan ikhlas. “Saya berhenti sekolah sejak kelas 3 di SD Sambirata 2 dan ingin merawat adik-adik. Kalau mereka rewel saya biasanya berusaha menenangkan, tapi kalau tidak bisa saya kasih uang,” jelas Tasripin yang mengaku masih memiliki tunggakan di sekolahnya. Ketiga adik Tasripin, juga tak bersekolah lantaran kekurangan biaya. Hanya Daryo yang masih bersekolah di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di dekat permukiman. Keseharian Tasripin tak ubahnya lirik lagu Iwan Fals, Sore Tugu Pancoran, yang menghabiskan waktunya untuk mencari uang guna menyambung hidup. “Kadang saya menjaga sawah, kadang memanggul beras sekitar 10-15 kilogram untuk diselipkan (digiling) di (Dusun) Karanggondang (Desa Sambirata). Uang yang saya dapat sekitar Rp 10-15 ribu, biasanya habis untuk beli beras atau minyak tanah,” ucapnya dalam cengkok banyumasan. Pagi itu, Tasripin mengaku sudah makan mie instan. Makanan cepat saji yang dibelinya dari uang pemberian para dermawan nan murah hati. Mie instan yang termasuk masakan
76 | Masa Depan yang Terabaikan
cepat saji dan lazim dikonsumsi masyarakat perkotaan saat dikejar waktu bekerja, bukanlah barang murah bagi Tasripin. “Kalau ada uang baru bisa beli mie, tetapi kalau nggak ada biasanya makan dengan sayur sawi putih atau slobor (sejenis tanaman yang tumbuh di daerah gunung),” katanya. Tasripin, sejatinya adalah anak ketiga dari pasangan Kuswito dan Satinah. Namun kakak pertamanya, Nartim (21 tahun), memutuskan untuk pergi merantau ke Kalimantan. Nartim memilih ikut bekerja bersama dengan tetangganya di perusahaan pengolahan kayu tak lama setelah Kuswito merantau. Sedangkan kakak keduanya, menurut pengakuan Nasiati kakak Kuswito, sudah meninggal. Tidak bersekolah secara formal, bukanlah hambatan untuk menggapai impian menjadi guru yang digantungkan di langit cita-cita Tasripin. Setiap hari selepas ashar, Tasripin mengajarkan adik-adiknya membaca Alquran. Pun selepas itu, ia mengajak adik-adiknya ke musala yang ada di Dusun Pesawahan untuk menjalankan ibadah salat maghrib dan isya. Melewati malam-malam yang penuh kesunyian di rumahnya, membuat Tasripin mengajak ketiga adiknya mencari hiburan, sekedar menonton televisi di rumah tetangganya untuk mengisi waktu luang. “Biasanya kami suka nonton televisi di rumah tetangga depan. Kami suka nonton ‘Kian Santang’ (sinetron yang ditayangkan di salah satu televisi swasta nasional),” ujarnya tersipu. Tak hanya memasak dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Tasripin pun harus mendandani rumahnya yang kerap bocor saat hujan mengguyur. “Biasanya kalau hujan di bagian belakang dan dapur bocor. Dulunya malah disini (ruang utama menerima tamu) yang | 77
bocor, tetapi sudah diperbaiki,” katanya seraya mengacungkan telunjuk ke arah atap rumah. Ia juga bercerita, saat tidur pun harus berbagi tempat dengan ketiga adiknya dalam satu dipan di kamar depan berukuran 2x3 meter tanpa kasur. Tak ada lemari, tempat yang lazim menyimpan pakaian, di kamar itu. Lemari “sesungguhnya” hanyalah tumpukan kardus bekas mie instan yang tersusun rapi. Tumpukan kardus itu diletakannya diatas kursi panjang ruangan tengah rumah nan gelap. Waktu sekolah tiba, Tasripin pun sigap merayu Daryo untuk mandi. Namun sayang, pagi itu Daryo merajuk tak ingin bersekolah. Daryo masih ingin menikmati sisa pagi itu bersama ketiga saudaranya. Tak lama, mereka kedatangan tamu dari kota. Bupati Banyumas, Achmad Husein bersama stafnya dan Kepala Desa Gununglurah mendatangi rumah Tasripin, menyerahkan bantuan dan uang tunai. “Seharusnya tidak boleh ada kejadian ini, bapaknya harus dipanggil pulang untuk merawat anak-anaknya,” kata Achmad Husein kepada wartawan. Berita tentang ketegaran Tasripin yang beredar luas sejak beberapa hari sebelumnya di jagat maya dan jejaring sosial, menggugah kepedulian masyarakat dari berbagai lapisan dan golongan danpemerintah. Kedatangan para dermawan sejak itu yang datang menyerahkan sumbangan tak dielakkan. Kepedulian juga datang dari anggota TNI yang bertugas di Komando Distrik Militer (Kodim) 0701 Banyumas yang berinisiatif memerbaiki rumah Tasripin. Tak ketinggalan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencurahkan perhatian kepada bocah 13 tahun yang menjadi tulang punggung adik78 | Masa Depan yang Terabaikan
adiknya dengan mengirim staf khusus untuk menemui Tasripin. Selama masa perbaikan rumahnya, Tasripin dan ketiga adiknya diinapkan di Hotel Wisata Niaga Purwokerto. Pengalaman yang baru dirasakannya dalam sejarah hidup Tasripin. Selama tinggal di Purwokerto, Tasripin dan ketiga adiknya diajak berjalan-jalan menikmati kota Purwokerto yang juga baru dijejakinya. Namun menginap selama 2 hari di hotel berbintang dengan berbagai fasilitas yang baru dirasakannya, tidak menghilangkan rasa kangen Tasripin dengan rumah yang ditempatinya sejak lahir di daerah sabuk selatan Gunung Slamet. Sore di Hari Jumat, 19 April 2013, Tasripin bersama ketiga adiknya kembali ke rumahnya yang sudah selesai direhabilitasi. Senang dan gembira menyelimuti hati Tasripin dan ketiga adiknya saat kali pertama menempati “rumah baru-nya”. Dia disambut staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diutus langsung memberikan bantuan kepada Tasripin. “Saya senang dan mengucapkan terimakasih kepada Pak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” kata Tasripin usai menerima bantuan. Kejutan lainnya pun datang dari Pemkab Banyumas di keesokan harinya. Impian Tasripin untuk bertemu bapaknya yang pergi sejak bulan Oktober 2012, terwujud di ruang salon Pendapa Si Panji Purwokerto. Tangis keharuan menyeruak dari Kuswito dan Tasripin yang telah memendam rindu tak bersua 6 bulan lamanya. Tak sabar memeluk anaknya, Kuswito berlari kecil menyambut keempat anaknya. Air mata kerinduan bercampur haru tumpah ruah. Pelukan kasih sayang tercurahkan Kuswito kepada empat anaknya yang tumbuh mandiri. “Saya tidak berniat kembali | 79
lagi ke Kalimantan. Saya ingin disini saja agar Tasripin dan adik-adiknya bisa bersekolah,” tekad Kuswito. Bagi Kuswito, kepergiannya merantau ke pulau seberang memiliki alasan yang kuat. Sejak istrinya meninggal tahun lalu, Kuswito mengaku tidak punya pilihan lain untuk menghidupi anak-anaknya. Istrinya, Satinah meninggal tertimpa batu saat bekerja sebagai penggali di dekat desa. Ia mengembuskan nafas terakhir saat dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kuswito mengakui selama ini harus bekerja keras bersama sang istri untuk menghidupi anak-anaknya. Meski tidak mendapatkan penghasilan yang cukup, mereka tetap bertanggung jawab dengan segala resiko pekerjaan. “Selama bekerja di desa, penghasilan saya tak cukup untuk memberi makan anak. Sehari bekerja di sawah hanya mendapatkan uang Rp 15 ribu,” ujarnya berkaca-kaca. Selang enam bulan setelah kepergian istrinya, Kuswito menerima tawaran temannya untuk bekerja di Perkebunan Kelapa Sawit yang berada di Desa Sungai Buluh Kecamatan Manis Mata Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Niatan untuk mengadu nasib bekerja di perkebunan sawit sebagai perawat tanaman pun disampaikan kepada kakak pertamanya, Nasiati yang tinggal dalam lingkungan sedusun. Nasiati mengungkapkan kepergian Kuswito karena tekadnya untuk memerbaiki rumahnya. “Kuswito pernah bilang kepada saya, kalau dia ingin mencari uang untuk mendandani rumah. Alasannya karena selama ini tidak pernah mendapatkan penghasilan yang cukup kalau hanya bekerja sebagai tani,” katanya sebelum Kuswito kembali ke tanah kelahirannya. Diakui Kuswito, penghasilannya bekerja di Kalimantan dianggap bisa mencukupi kehidupan anaknya. Setiap dua 80 | Masa Depan yang Terabaikan
minggu, Kuswito mendapatkan penghasilan sekitar Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta. “Saya menyisihkan sebagian penghasilan untuk dikirim ke Tasripin. Uangnya ditransfer lewat bank ke rekening kakak saya. Tetapi saya tahu kalau uang tersebut memang tidak cukup untuk menghidupi anak saya di desa,” katanya. Rencana awal untuk merenovasi rumah pun tak kunjung diwujudkan. Kuswito pasrah dengan nasib baik yang tidak berpihak padanya. Bahkan, Kuswito pun mengetahui kalau Tasripin bekerja di desa sebagai tani untuk memenuhi kebutuhan hidup ketiga adiknya sehari-hari. “Saya diberitahu kalau Tasripin juga bekerja di desa karena uang kiriman tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya,” ungkapnya dalam raut kesedihan. Selama beberapa minggu terakhir, Kuswito juga mengaku tak pernah tahu kalau kisah Tasripin menjadi perbincangan hangat di masyarakat banyak. “Saya tahunya waktu dihubungi lewat telepon oleh Pak Bupati. Pak Bupati bilang agar saya pulang untuk merawat anak seminggu yang lalu setelah menengok Tasripin,” jelasnya. Keputusan untuk kembali ke rumah, akhirnya diambil Kuswito. Perjalanan kembali ke Banyumas ditempuh dalam waktu 3 hari 3 malam dari Desa Sungai Buluh Kecamatan Manis Mata Kabupaten Ketapang. Biaya perjalanannya pun ditanggung Pemkab Banyumas hingga ia berkumpul kembali dengan anak-anaknya. “Saya sangat berterimakasih kepada semua pihak yang membantu Tasripin. Saya ingin beternak lele dan merawat anak-anak,” ucapnya.
| 81
Masalah Tasripin Terjadi Karena Minimnya Akses Kepala Desa Gununglurah, Muzayatul Aliyah mengatakan permasalahanTasripin sebenarnya sudah diketahui sejak awal. Muzayatul mengungkapkan, warga yang tinggal di Dusun Pesawahan terhitung masih kerabat keluarga. “Saya tahu warga yang tinggal di Dusun Pesawahan masih satu kerabat keluarga. Sehingga saya tidak berani mencampuri urusan pengasuhan Tasripin karena masih ada kerabat terdekat yang tinggal di wilayah sana,” katanya. Meski begitu, Muzayatul mengakui tetap menugaskan perangkatnya yang ada disana. Lebih lanjut, Muzayatul mengatakan persoalan kemiskinan di desanya sudah lama terjadi. Diakuinya, separuh dari jumlah warga desanya hidup dibawah garis kemiskinan. Dari data sensus Tahun 2011, warga Gununglurah tercatat 7.655 jiwa. Rata-rata tingkat pendidikan warga didominasi tamatan SD yang mencapai angka 2.561 orang, sedangkan yang tidak tamat SD mencapai 1.544 orang. Keterbatasan akses pendidikan, menurut Muzayatul juga didominasi di Dusun Pesawahan yang dihuni 109 kepala keluarga. Diakuinya, ratarata tingkat pendidikan di dusun tersebut didominasi warga yang tidak lulus SD. “Belum lagi akses jalan
82 | Masa Depan yang Terabaikan
yang sangat sulit bagi warga Pesawahan,” jelasnya. Selama ini, pihak desa sudah berusaha untuk meminta akses jalan kepada pemangku hutan negara. Namun, usulan tersebut tidak pernah direalisasi. “Kami kesulitan karena Dusun Pesawahan berada dekat kawasan Perhutani. Kami sudah berusaha mengajukan usulan agar jalan bisa diaspal, tetapi alasan karena takut ada penebangan liar membuat warga seperti terisolasi,” jelasnya. Lebih jauh, dia mengemukakan permasalahan serupa juga dialami di wilayah dusun lainnya. Muzayatul menyebut Dusun Rinjing yang berada diantara hutan negara. “Akses jalan di dusun satusatunya itu malah hanya bisa dilalui kendaraan bermotor saja,” ujarnya.
| 83
Pemkab Banyumas Bergerak Mencari Solusi Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Banyumas, Nooryono mengatakan setelah mendengar dari media dan ditanya langkah selanjutnya, pihak Dinsosnakertran pun mengambil beberapa langkah untuk menangani persoalan yang dihadapi Tasripin dan ketiga adiknya. “Saat itu kami mengambil sikap bahwa anak yang ditelantarkan orang tuanya harus dirawat dibalai rehabilitasi sosial Kemensos yang ada di provinsi Jawa Tengah. Anak yang pertama dan kedua akan dikirim ke Balai Rehabilitasi Sosial laki-laki di Budi Asih Magelang, untuk anak perempuan ke Unit Resource di Wonosobo dan yang paling kecil akan dibawa ke Unit Resource Salatiga,” katanya Tetapi ketika tawaran itu disampaikan, mereka menolak tidak mau dipisahkan. Kemudian kami mengambil inisiatif untuk memasukkan mereka semua ke Panti Sosial Anak Swasta “Kuncup Mas” yang ada di Banyumas. “Tetapi itu tidak bisa langsung, karena harus berdasarkan persetujuan keluarga. Ketika disampaikan kepada pihak keluarga ternyata tidak diperkenankan. Kemudian Pak Bupati Banyumas meminta kami untuk menghubungi ayahnya agar segera pulang,” ujarnya. Setelah instruksi tersebut, Dinsosnakertrans pun
84 | Masa Depan yang Terabaikan
meminta Kuswito pulang dan memfasilitasinya dengan tiket gratis. Tetapi karena jarak Desa Sungai Buluh Kabupaten Ketapang yang jauh dari Pontianak,Kuswito disarankan mencari pelabuhan penyeberangan terdekat untuk bisa segera kembali pulang. “Saya menjemputnya di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Dalam perjalanan, Kuswito mengaku memilih bekerja di Kalimantan karena trauma tidak ingin kembali bekerja di galian pasir yang merenggut nyawa istrinya,” jelas Nooryono. Nooryono mengungkapkan, teman bekerja Kuswito di Cilacap pun mengajaknya bekerja di perkebunan kelapa sawit. Tawaran menggiurkan itu kemudian disepakatinya. “Kuswito mengaku bisa mendapatkan penghasilan Rp 1 juta per dua minggu. Dia juga menyisihkan uang untuk dikirim ke anaknya,” tuturnya. Nooryono mengungkapkan Kuswito sebenarnya berkomitmen dan bertanggung jawab kepada anaknya. Namun, dia menyadari Tasripin membutuh kan kasih sayangnya. “Kuswito mengakui kesalahannya dan ia berjanji tidak akan kembali lagi ke Kalimantan,” jelasnya.
Chandra Iswinarno Lahir di Jakarta, 24 Mei 1983. Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto ini tinggal di Banyumas, Jawa Tengah. Hasil karyanya dimuat di Majalah Kartini.
| 85
86 | Masa Depan yang Terabaikan
Bocah Ini Menuntun Kedua Orangtua yang Tuna Netra untuk Mengamen1 Oleh Agung Budi Santoso
Bocah SD ini nyaris kehilangan waktu bermain. Indahnya masa kecil cuma impian baginya. Itu karena peran dia sebagai pencari nafkah keluarga sekaligus kakak yang bertugas mengasuh adik kecilnya. Itu masih ditambah dengan tugas melindungi dan membimbing langkah kedua orangtua yang tuna netra saat bepergian kemana-mana, termasuk urusan mencari nafkah. “Bapak, aku capek banget nih. Kapan kita pulang, masih lama nggak ngamennya?” tanya seorang bocah bernama Abdullah Rozaq, 9,5 tahun, di tengah hiruk-pikuk keramaian Pasar Kebayoran Lama Jakarta, Jumat (24/5/2013). Iwan Ertanto, 34, sang ayah yang berjalan dengan dituntun di belakang si bocah berusaha menghibur. “Sabar ya, Nak? Kita kan belum dapat rezeki yang cukup hari ini. Jadi harus sabar cari rezeki itu,” kata Iwan, sembari
1 Naskah ini dipublikasikan di www.tribunnews.com pada 31 Mei 2013
| 87
mengelus kepala si bocah. “Tapi aku capek banget, Bapak. Kakiku berasa pegel-pegel semua. Haus lagi,” keluh bocah kelas empat Sekolah Dasar (SD) yang biasa dipanggil Rozaq itu. Anak ini amat berharap dirinya mendapat kesempatan duduk-duduk, sekedar untuk rehat. Tapi permintaan itu tak dikabulkan sang ayah. Ia malah diminta terus melangkah dalam tugasnya sebagai penunjuk arah jalan. “Nih, minumanmu. Sambil jalan aja minumnya, tapi jangan minta istirahat dulu ya, Nak,” sahut sang ayah sembari mengeluarkan minuman berperisa buah kemasan gelas plastik dari dalam tas. Rozaq langsung menyeruput minuman kemasan itu dengan sedotan kecil. Dalam sekejap, minuman itu habis. Maklum, hari itu memang cuaca sungguh panas, ditambah dengan ramainya pasar membuat si bocah cepat lelah dan stres. Tapi itulah ‘tugas harian’ bocah bernama lengkap Muhammad Abdullah Al Rozaq itu. Sepulang sekolah, ia bukannya bermain-main bola lazimnya anak-anak tetangga seusianya di kawasan Jombang, Tangerang Selatan, provinsi Banten. Dalam kondisi lelah ia langsung mengantar kedua ayah dan ibunya yang tuna netra itu mengamen karaoke dari satu pasar tradisional satu ke pasar tradisional lain. Ayahnya memanggul perangkat tape recorder berbentuk kotak untuk memutar kaset karaoke lagu-lagu pop lawas. Sang ibu, Titik Wuryani, 42, bertugas sebagai penyanyi. Baik Iwan maupun Titik, sama-sama penyandang tuna netra (buta). Karena itu, langkah mereka mencari nafkah dengan cara mengamen karaoke amat tergantung dari peran Rozaq sebagai penuntun langkah dan penunjuk arah jalan. 88 | Masa Depan yang Terabaikan
Selain menyanyi, Titik juga menggendong Ridwan, 7 tahun, si bungsu yang juga adik kandung Rozaq. Sementara Rozaq sendiri berjalan paling depan. Kondisi kedua orangtua yang tuna netra memaksa Rozaq berperan multifungsi. Ia bertugas sebagai ‘komandan langkah’ bagi kedua orangtua saat menuju stasiun, membeli tiket, menaiki gerbong kereta, sampai akhirnya turun di stasiun tujuan hingga menyusuri lorong pasar-pasar tradisional untuk mengais rezeki. Tak hanya sebagai penunjuk arah, ia juga harus aktif menyawer uang kepada para pengunjung pasar yang berseliweran di sekitarnya dengan cara menyorongkan bekas botol kemasan air mineral yang dibelah dua untuk tempat uang. “Terima kasih, ibu. Terima kasih, Om,” begitu ucapan Rozaq tiap kali ada orang yang menyodorkan lembaran-lembaran rupiah atau koin uang Rp 500-an. Sementara sang ibu tiada lelah mendendangkan lagu-lagu pop lama yang barangkali tidak dikenal oleh anak-anak muda zaman sekarang. Titik sengaja membawakan lagu-lagu lama karena di mata dia, mayoritas yang memberikan sedekah adalah orang-orang tua seusia mereka yang selera lagunya sama. Siang itu, sang ibu mengalunkan tembang “Tak Ingin Sendiri” yang tenar di era 1980-an lewat alunan biduan Dian Piesesha. Setelah itu berganti lagu “Telepon Rindu” milik Nani Sugianto, disusul tembang sendu “Benci Tapi Rindu” ciptaan Obbie Messakh yang tenar lewat bibir penyanyi pop Ratih Purwasih. Dalam kondisi lelah karena terus berjalan di lorong-lorong | 89
pasar, Rozaq juga membantu ngemong sang adik yang acapkali rewel, entah karena mengantuk atau lapar dan haus. “Adik ngantuk atau haus, sih? Sini kakak gendong,” sapa Rozaq. Tapi sang adik menggeleng-geleng kepala, memilih tetap berada di gendongan ibunya yang berjalan dengan sedikit tertatih-tatih lantaran menahan letih itu. Siswa SD Jombang 3 Tangerang Selatan itu ekstra waspada menghindari jalan berlubang, jalanan becek atau kubangan air hujan yang dilalui. “Bapak kepalanya pernah kepentok tiang listrik, garagara tangan bapak lepas dari bahuku, terus bingung arah jalannya,” tutur Rozaq saat dibuntuti Tribunnews.com di sela mengamen. “Namanya juga nggak bisa lihat, kalau nggak hati-hati ya bisa kepleset. Saya tempo hari meringis kesakitan, kaki terkilir saat jatuh di peron stasiun,” sahut Titik Wuryani yang berjalan paling belakang. Kejadian-kejadian sial yang menimpa bapak dan ibunya membuat Rozaq tidak boleh lelah, tidak boleh mengantuk, apalagi lengah dalam menuntun mereka mengamen karaoke. Lepas dari tuntutan tangannya, risiko mengintai setiap saat. Itu karena sang ayah selalu memegangi bahu Rozaq saat kaki melangkah. Demikian juga dengan sang ibu yang memegangi bahu suami di depannya. Sementara tangan satunya memegangi mike pengeras yang dia pakai untuk menyanyi sembari menggendong si bungsu, Ridwan.
Tidak Boleh Capek, Kerja Terus! Abdullah Rozaq adalah potret bocah yang nyaris kehilangan
90 | Masa Depan yang Terabaikan
indahnya masa kecil karena ‘dipaksa’ ikut mencari nafkah bersama orangtua. Ayah ibunya tidak hanya terjerat problem kemiskinan tapi juga keterbatasan fisik. Instingnya untuk melindungi kedua orangtua terlihat saat menyusuri jalan berlubang, berduri, berkerikil, kubangan air hujan atau jalanan licin penuh risiko. Bahaya juga mengintai saat menyeberang di tengah keramaian. Sang ayah mengakui, ia bersama istri amat tergantung pada tuntunan Rozaq. Tanpa bimbingan Rozaq, dia dan istri bisa tersesat dan kebingungan di tengah hiruk-pikuk pasar atau stasiun. “Yang sering jadi masalah, Rozaq itu dikit-dikit mengeluh capek, kakinya pegel-lah, badannya lemes-lah, atau laper-lah. Pada saat yang sama, saya dan istri sangat butuh dia,” ujar Iwan, kepada Tribunnews.com. Iwan tak bisa menyalahkan Rozaq. Ia sadar si bocah lazimnya bermain bola di Lapangan Sudimara, dekat rumah petak kontrakan, seperti dinikmati teman-teman sebayanya. Tapi jerat kemiskinan menuntut Rozaq harus tangguh dan tahan banting di usia dini. “Kalau ngamennya males-malesan, dapet duitnya juga dikit. Nanti nggak bisa bayar kontrakan rumah dan buat beli beras,” tutur Iwan. Iwan bertutur, entah sudah berapa kali dia diusir-usir pemilik rumah kontrakan karena telat bayar uang sewa bulanan sebesar Rp 350 ribu (belum termasuk biaya rekening listrik dan air bersih). Sementara pendapatan rata-rata Rp 40 ribu per hari dari
| 91
mengamen karaoke cuma pas-pasan buat ‘mengepulkan asap dapur.’ Karena itu, buat membayar uang sewa rumah kontrakan, ia sering berhutang ke tetangga terdekat. Ia sampai hilang urat malunya karena keseringan berhutang dan menunggak uang sewa. Rezekinya tambah susah ketika Rozaq jatuh sakit yang otomatis membuat dia dan istri stop mengamen. “Kalau Rozaq sakit atau capek, ya kami pulangnya lebih cepet. Tapi dapetnya paling cuma Rp 25 ribu. Kalau tiap hari dapetnya segitu mana bisa buat makan dan bayar kontrakan?” tutur Iwan. “Makanya, jujur saja, Rozaq ini jangan sampai sakit. Kami amat tergantung pada dia,” sahut Titik, diamini Iwan yang mengangguk-angguk.
Hindari Razia Bagi kedua orangtuanya, Rozaq seolah juga menjadi ‘radar’ pemantau razia. Tak seperti bulan-bulan sebelumnya yang cenderung bebas mengamen di stasiun kereta dan gerbong ke gerbong Kereta api, kini situasi makin sulit bagi mereka untuk mengamen lantaran peraturan baru dari manajemen PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Seperti diketahu, per 1 Mei 2013 aktifitas mengamen dan berdagang asongan di areal peron, apalagi gerbong kereta sudah dilarang oleh manajemen PT KAI. Seiring dengan larangan itu, razia menjaring pengamen gencar dilakukan di tiap stasiun, mulai Stasiun Tanah Abang Jakarta Pusat sampai Stasiun Serpong, Tangerang Selatan. Keluarga tuna netra ini termasuk obyek razia. Untuk
92 | Masa Depan yang Terabaikan
menghindar, jurus ‘kucing-kucingan’ pun diterapkan. “Pas nggak ada razia, bapak dan ibu saya tuntun mengamen di peron-peron stasiun. Begitu ada razia, ya aku gelendeng menghindar,” cerita Rozaq. Terusir dari stasiun, lorong-lorong Pasar Kebayoran Lama atau Pasar Sudimara jadi tujuan alternatif baru bagi mereka dalam mengais rezeki. “Sekarang tambah susah saja cari duit. Pusing!” tutur Iwan. Mulai 1 Mei 2012, manajemen PT KAI memang menghentikan layanan KRL Ekonomi yang biasa jadi tempat favorit para pengamen dan pedagang asongan mencari nafkah. Sementara untuk mengamen di Kereta Commuter Line yang full AC sudah sejak lama dilarang. Satu-satunya kereta kelas ekonomi yang masih beroperasi adalah kereta penumpang jarak jauh jurusan Rangkas Bitung - Tanah Abang. Sayangnya kereta ini selalu penuh sesak penumpang, bau, semerbak asap rokok sehingga tak memungkinkan lagi bagi Iwan dan keluarganya mengamen. Ia kini hanya menumpang kereta itu dari Stasiun Sudimara untuk kemudian turun di Stasiun Kebayoran dan langsung masuk pasar di belakangnya sebagai tujuan mengamen yang baru.
Si Bungsu Tidak Lebih Beruntung Meski lebih sering digendong ibunya, tak berarti si bungsu, Ridwan, nasibnya lebih beruntung dibanding abangnya. Muhammad Ridwan, nama lengkapnya, harusnya sudah masuk bangku SD di usianya yang sudah tujuh tahun. Lagilagi, persoalan ekonomi jadi kendalanya. Loh, bukannya bersekolah di tingkat SD negeri bebas
| 93
biaya? “Bulanannya sih gratis, tapi biaya masuknya kan nggak gratis? Paling enggak Rp 500 ribu,” tutur Iwan yang memutuskan menunda urusan pendidikan si bungsu. Karena belum bersekolah, si kecil kemana-mana digendong sang ibu, termasuk saat mengamen. Titik Wuryani secara jujur bertutur, kelahiran Ridwan tujuh tahun silam sebenarnya amat tidak dia kehendaki. Beban ekonomi membuatnya tak menghendaki tambah anak saat itu. Namun karena dia terlambat minum pil kontrasepsi, kehamilan Ridwan tak bisa dia cegah. Karena itu, di awal-awal dirinya mengandung si bungsu, wanita berambut acak-acakan ini memutuskan ‘menggugurkan kandungan’ dengan cara-cara dia sendiri. Antara lain dengan memperbanyak menenggak minuman bersoda, lalu sebanyak-banyaknya melahap buah nanas yang konon bikin rahim panas. Titik saat itu juga sering meloncatloncat di siang bolong! Tapi Tuhan berkehendak lain. Embrio Ridwan terus bertumbuh sampai akhirnya lahir. Kini, setelah si bocah berusia tujuh tahun, Titik dan suami diliputi perasaan bersalah karena pernah berusaha ‘membunuh’ si bungsu. “Kami bersyukur dia nggak lahir cacat karena ibunya kebanyakan soda dan nanas pas hamil dia,” tutur Titik yang menyandang tuna netra sejak lahir itu. Pantauan Tribunnews.com, keluarga kecil ini tinggal di sebuah rumah petak di Jalan Raya Jombang, RT 1 Rw 4, Sudimara, Tangerang Selatan. Persisnya di belakang gedung SD Negeri Jombang 3, atau 10 meter sebelah selatan Lapangan Sudimara.
94 | Masa Depan yang Terabaikan
Rumah mungil berukuran 3 kali 7 meter itu terkesan penuh sesak barang. Di bagian dapur tampak lemari es dan kompor mungil serta sebuah kursi plastik warna biru. “Kulkas di dapur itu buat bikin es batu, dijual ke warungwarung, buat tambah-tambah belanja,” tutur Titik. Rozaq pula yang ditugasi memasok es batu ke warung-warung, sekaligus berbelanja sayuran pesanan sang ibu. Rozaq sendiri sebenarnya bukan anak pertama, tapi anak kedua. Ia masih punya kakak bernama Fazoli Billkhaq, 17. Saat Rozaq masih bayi, peran menuntun orangtua mengamen di stasiun dan pasar dijalankan oleh Fazoli. Tapi kini si anak sulung itu dipulangkan ke Klaten, Jawa Tengah, kampung halaman sang ibu, karena beratnya biaya hidup di kota. Fazoli dititipkan kerabat di Klaten dan bersekolah di sana. Jadi Rozaq kini mengambil peran sang kakak dalam membantu orangtua mencari nafkah. “Ya, tiap bulan saya kirim uang buat sekolah Fazoli. Sekarang Rozaq yang jadi andalan,” tutur Iwan.
Siang Mengamen, Malam Mengantuk Saat Harusnya Belajar Akibat mengamen bersama orangtua di siang hari, Rozaq terkantuk-kantuk saat jam belajar di malam hari. Jangankan belajar, Pekerjaan Rumah (PR) yang diberikan sang guru dari bangku kelas acapkali terlupakan. Titik Wuryani mengakui, prestasi anaknya di bangku kelas tak terlalu menonjol. Semua itu dia sadari sebagai risiko melibatkan anak mencari nafkah. “Makanya, saya dan suami itu nggak pernah marah
| 95
atau ngomel soal rapor dia. Yang penting naik kelas saja, alhamdulillah,” kata Titik. “Enggak kok! Raporku nggak jelek-jelek amat. Sedeng (lumayan)-lah,” sahut Rozaq ketika nguping obrolan ayah dan ibunya dengan Tribunnews.com. “Ooo iya, kamu memang juara kelas kok! Bapak percaya. Juara satu dari urutan bawah!” kelakar Iwan, disambut ledakan tawa Titik dan Ridwan. “Biarin! Siapa suruh ngajak Rozaq ngamen terus? Gimana Rozaq nggak ngantuk pas belajar?” balas Rozaq dalam nada polos, khas bocah. Mendengar jawaban sang anak, baik Titik maupun Iwan sama-sama speechless, terdiam sejenak, tak mampu membalas. Aura wajahnya tergambar rasa bersalah telah melibatkan anak dalam persoalan kemiskinan keluarga. “Iya deeeh, ibu dan bapak yang salah,” sang ibu menetralisir suasana.
Larangan Pekerja di Bawah Umur Rozaq adalah satu dari 2,3 juta anak-anak Indonesia yang bekerja di bawah umur (7 - 14 tahun). Mereka ini, menurut lembaga Understanding Children’s Work atau UCW (mitra kerja UNICEF/United Nations International Children’s Emergency Fund), kebanyakan masih bersekolah, namun waktu yang dihabiskan di dalam kelas jauh lebih pendek dibandingkan anak-anak yang tidak terbebani urusan mencari nafkah keluarga. UCW menyebut anak-anak golongan ini tidak layak bekerja. Mereka tidak menikmati hak-hak dasar atas pendidikan yang layak, keselamatan fisik, perlindungan, kesempatan bermain,
96 | Masa Depan yang Terabaikan
dan menikmati rekreasi. Betapa kurang beruntungnya Rozaq dibanding kawankawan sebayanya dari keluarga yang tidak terjajah secara ekonomi. Mempekerjakan anak seperti Rozaq yang masih berusia 9,5 tahun bertentangan dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ini juga pelanggaran Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO (International Labour Organization) No. 138 Tahun 1973 mengenai Batas Usia Minimum Diperbolehkan Bekerja Secara jelas, UU ini menyebutkan minimal usia pekerja anak adalah 14 tahun. Itu pun berlaku bagi negara-negara yang fasilitas pendidikan dan perekonomiannya terbelakang. Bahkan UU ini juga menyebut usia minimum 18 tahun untuk mereka yang bekerja pada situasi yang berpotensi merugikan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak. Umur minimum terendah untuk pekerjaan paling ringan pun ditetapkan 13 tahun. Apakah anak usia sekolah dibenarkan untuk bekerja oleh Undang-undang? Pasal 68, 70 dan 71 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan, anak-anak usia 13 – 15 tahun diizinkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Anak dengan usia minimum 14 tahun dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan dan anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
| 97
Pendek kata, untuk pekerjaan paling ringan pun Rozaq tidak memenuhi syarat dari sisi usia. Lantas, apa saja yang termasuk dalam kategori pekerjaan terburuk bagi pekerja anak? Nah, bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut pasal 74 ayat 2 pada UU yang sama adalah: 1. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya. 2. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian. 3. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika , psikotropika dan zat adiktif lainnya. 4. Dan, atau, semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak. Untuk kasus Rozaq, tidak ada unsur pelanggaran dalam poin 1,2 dan 3. Tapi ia jelas terlibat dalam poin 4, khususnya pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak. Keterlibatannya mengamen bersama orangtua di peron stasiun, gerbong kereta dan lorong-lorong pasar tradisional bersentuhan langsung dengan polusi udara, polusi suara dan risiko tinggi kecelakaan. Rozaq juga bersentuhan dengan risiko moral seperti istilah termaktub dalam UU itu. Itu karena lingkungan pekerjaan Rozaq dikelilingi oleh kalangan preman, pencopet dan penodong. Risiko dari unsur keselamatan mengintai Rozaq dan
98 | Masa Depan yang Terabaikan
adiknya karena ia naik turun kereta, menyeberang keramaian jalan dan membelah kemacetan, sembari menuntun langkah kedua orangtua yang matanya buta. Apalagi dalam UU yang sama disebutkan, yang dimaksud pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya untuk anak-anak adalah yang meliputi unsur: •
Pekerjaan yang mengandung bahaya fisik.
•
Pekerjaan yang mengandung bahaya kimia.
•
Pekerjaan yang mengandung bahaya biologis.
Dari sisi durasi jam kerja, pekerjaan yang dilakukan Rozaq juga tak layak buat anak-anak. Sebab Rozaq bekerja dari tengah hari hingga jelang petang. Dalam kampanye pemberdayaan anak perempuan Plan Indonesia, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Usaha Kecil Menengah, Nina Tursina menyebutkan, pekerja anak tidak boleh melebihi tiga jam. “Anak-anak boleh kerja, tetapi maksimal tiga jam, pekerjaannya tidak membahayakan, dan mereka tetap sekolah,” ujar Nina, seperti dilansir Tribunnews.com, Kamis (11/10/2012). Meski rumah kontrakan Rozaq dan keluarganya tidak jauh dari pusat kekuasaan negeri ini (Jakarta), Rozaq belum tersentuh gaung kebijakan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang tidak membolehkan anak sekolah menyambi bekerja, apalagi jenis pekerjaannya berisiko terhadap kesehatan dan keselamatan. Seperti diketahui, Kemenakertrans sejak tahun 2008, mengklaim telah menarik 32.663 pekerja anak dari tempat bekerjanya kemudian dikembalikan ke satuan pendidikan atau sekolah.
| 99
Program ini akan terus berjalan. Pada tahun 2013 Kemnakertrans menargetkan penarikan sebanyak 11.000 pekerja anak yang tersebar di 21 Provinsi dan 89 kabupaten/ kota di seluruh Indonesia dengan mengerahkan 503 orang pendamping di 366 rumah singgah (shelter). “Program penarikan pekerja anak ini dilaksanakan agar anak-anak Indonesia dapat mengembangkan kesempatan belajar di sekolah dan terbebaskan dari berbagai bentuk pekerjaan terburuk,” kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar seperti dilansir Antaranews.com, Kamis (23/5/2013). Pertanyaannya, kalau memang program ini menyasar wilayah 21 provinsi dan 89 kabupaten/kota, harusnya anakanak seperti Rozaq yang tinggalnya relatif tak jauh dari kantor Kemenakertrans ini sudah terbebas dari status pekerja anak.
Bom Waktu Bocah Putus Sekolah Rozaq tentu bukan satu-satunya potret pekerja anak dengan lingkungan berbahaya bagi kesehatan dan keselamatannya. Pantauan Tribunnews.com, makin banyak saja anakanak, yang notabene generasi penerus masa depan negeri ini, memilih putus sekolah demi membantu mencari nafkah keluarga dengan bekerja serabutan. Pemandangan ini bisa dibuktikan setiap hari di sepanjang gerbong Kereta Api Penumpang kelas ekonomi jurusan Tanah Abang - Rangkas Bitung. Di dalam rangkaian gerbong kereta yang seringkali penuh sesak dengan penumpang dan aroma asap rokok yang menyengat, serta bau pesing dari toilet yang tak pernah tersedia air bersih tersebut, terdapat cukup banyak pekerja anak berstatus putus sekolah. 100 | Masa Depan yang Terabaikan
Mereka bekerja serabutan mulai dari tukang sapu, penyemir sepatu, mengamen, berjualan tahu Sumedang, berjualan air mineral hingga mengemis. Mahdi, 9 tahun, misalnya, saban hari menempuh perjalanan jauh dari Stasiun Parung Panjang, Bogor, menuju Stasiun Palmerah, Jakarta Pusat, untuk urusan menyemir sepatu. Ia berangkat pagi buta, bahkan sebelum karyawan kantoran berangkat bekerja. Persisnya pukul 05.30 WIB. Belum sempat menyantap sarapan, bocah ini menumpang Kereta penumpang kelas ekonomi dan mencari pelanggan di Stasiun Kebayoran, Stasiun Palmerah atau Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat. Biasa mandi keringat, menahan lapar dan haus, terpapar asap rokok dan polusi, bahkan mengalami kekerasan di jalanan, membuat Mahdi ‘tahan banting.’ Menawarkan jasa semir dari satu penumpang ke deretan penumpang yang tengah duduk di peron stasiun, Mahdi lebih banyak ditolak. Kalaulah ada beberapa yang mau, lebih karena kasihan atau iba. Yang lainnya menolak karena terburu-buru mau pulang atau tak berminat. “Yang mau biasanya itu-itu saja orangnya. Pelanggan, kasihan kali sama saya,” celetuk Mahdi kepada Tribunnews. com, suatu hari di awal Mei 2013 lalu. Mahdi mengaku hanya sempat mengecap pendidikan hingga kelas II Sekolah Dasar (SD). Sekolah biayanya memang gratis, tapi dia memilih drop out untuk menyemir sepatu dengan maksud membantu mencari uang belanja sang ibu. “Dapat dikit-dikit bisa buat bantu ibu beli tempe dan sayuran,” ujar bocah berkulit gelap itu. Aji, penyemir sepatu lain, sedikit lebih beruntung karena
| 101
tak sampai putus sekolah SD. Ia baru saja lulus SD tapi memutuskan tak meneruskan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). “Mending nyemir sepatu aja deh. Langsung dapat duit. Mau nerusin ke SMP, nggak enak sama orangtua. Lagi susah cari duit,” tutur Aji, juga asal Parung Panjang seperti halnya Mahdi. Ada juga Asrori, dalam usia baru 10 tahun, cukup piawai memainkan gitar kecil, mengamen di dalam gerbong kereta, mendendangkan lagu-lagu milik ST12 atau Ariel NOAH. Asrori ini malah sama sekali tak pernah mengenyam bangku pendidikan. Ia menggelandang dan mengamen di kereta tanpa pengawasan dari orangtua. Sepanjang seharian dia habiskan waktu di dalam gerbong kereta yang bolak-balik arah dari Tanah Abang ke Rangkas Bitung dan sebaliknya. Kekerasan dan pelecehan sering dia rasakan di dunia keras itu, terutama bila dia dianggap sebagai ‘ancaman’ atau pesaing bagi pengamen-pengamen di level bocah lainnya. Apalagi Asrori ini memang tampak menonjol lantaran suaranya lumayan merdu dan permainan gitar kecilnya (ukulele) pas dengan vokalnya. “Saya mah ngalah aja, nggak mau berantem. Capek,” tuturnya, lirih. Asep, bocah tukang semir yang cuma sempat bersekolah hingga kelas II SD, mengaku berangkat pagi buta pukul 05.00 dari Parung Bogor, dan baru kembali ke rumahnya menjelang magrib, juga demi pekerjaan menyemir sepatu. “Kalau pas sepi sehari cuma dapat uang semir Rp 25 ribu. Kalau pas ramai, bisa dapat gocap (Rp 50 ribu). Lumayan, buat nyenengin ibu,” ujarnya, polos. 102 | Masa Depan yang Terabaikan
Mahdi, Aji, Asrori dan Asep adalah potret nyata dari laporan berjudul “Memahami Pekerjaan yang Dilakukan oleh Anak dan Pekerja Muda: Kondisi Indonesia.” Menurut laporan yang diterbitkan Understanding Child’s Work atau UCW (mitra kerja ILO, UNICEF dan Bank Dunia), anak-anak yang putus sekolah mayoritas karena terjun dalam dunia baru sebagai pekerja anak. Alasannya sama, demi membantu mencari nafkah keluarga. Persisnya, menurut laporan itu, dua pertiga anak-anak yang tidak bersekolah terjun ke dunia kerja. Parahnya, anak-anak seperti dicontohkan di atas tidak mendapat jaminan sosial, bekerja di lingkungan buruk, serta durasi pekerjaan yang lebih tak manusiawi dibanding orang dewasa khususnya pekerja kantoran. Mahdi dan kawan-kawannya berangkat ‘kerja’ pukul 05.00 pagi dan baru balik arah pada pukul 16.30 alias 11,5 jam dia habiskan seharian di lingkungan yang keras. Coba bandingkan dengan pekerja kantoran yang bekerja di lingkungan nyaman (full AC dan bersih), berangkat dari rumah rata-rata pukul 07.30 dan balik ke rumah rata-rata pukul 15.30 WIB alias ‘hanya’ delapan jam kerja. Anak-anak seperti ini membutuhkan sentuhan perhatian dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Semoga peka!
| 103
Regulasi yang Mengatur Pekerja Anak 1. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang ini mengatur berbagai hal menyangkut status pekerja anak mulai dari batas usia diperbolehkan kerja, siapa yang tergolong anak, sistem dan besaran pengupahan dan perlindungan untuk mereka di usia bocah. 2. Undang-undang No. 20 Tahun 1999 Ini UU Tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Batas Usia Minimum Diperbolehkan Bekerja Umur minimum tidak boleh kurang dari 15 tahun. Negara-negara yang fasilitas perekonomian dan pendidikannya belum dikembangkan secara memadai dapat menetapkan usia minimum 14 tahun untuk bekerja pada tahap permulaan. Ditetapkan pula Umur minimum yang lebih tua yaitu 18 tahun, yakni untuk jenis pekerjaan yang berbahaya, berpotensi merusak kesehatan, keselamatan hingga moral anak-anak”. Umur minimum yang lebih rendah untuk pekerjaan ringan ditetapkan pada umur 13 tahun. 3. Undang-Undang No. 1 tahun 2000 Ini Uu tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 182
104 | Masa Depan yang Terabaikan
Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak Undang-Undang secara tegas mengharamkan praktik perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja ijon dan kerja paksa, termasuk pengerahan anak-anak atau secara paksa atau untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata dengan menerapkan undang-undang dan peraturan. 4. Pasal 68 UU No. 13 tahun 2003 Disebutkan, pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Kriteria anak menurut UU ini adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Dengan kata lain, 18 tahun adalah usia minimum yang diperbolehkan pemerintah untuk bekerja. 5. Pasal 69, 70, dan 71, UU No 13 tahun 2003. Mengatur soal boleh tidaknya anak sekolah menyambi bekerja. Di dalamnya disebutkan larangan anak sekolah menyambi bekerja, namun dengan pengecualian. Yakni, anak usia 13 – 15 tahun diizinkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Selain itu, anak dengan usia minimum 14 tahun dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan dan anak dapat melakukan pekerjaan untuk
| 105
mengembangkan bakat dan minatnya. 6. Pasal 92 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003 Ini tentang sistem pengupahan untuk pekerja remaja. Disebutkan, perusahaan diberikan hak sesuai Pasal 92 ayat 1 UU No. 13 tahun 2003 untuk menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Karena itu, biasanya upah bagi golongan pekerja usia sangat muda ini berada di bawah pekerja dewasa pada umumnya. 7. Keputusan Menteri No: KEP. 235 / MEN/2003 Tentang kriteria pekerjaan berbahaya bagi anak. A) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak ditetapkan dengan Keputusan Menteri No: KEP. 235 / MEN/2003, yaitu: • Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, seperti pekerjaan pembuatan, perakitan / pemasangan, pengoperasian dan perbaikan: Mesin-mesin pesawat, Alat berat : traktor, pemecah batu, grader, pencampur aspal, mesin pancang Instalasi: pipa bertekanan,
106 | Masa Depan yang Terabaikan
•
•
•
•
listrik, pemadam kebakaran dan saluran listrik. Peralatan lainnya: tanur, dapur peleburan, lift, pecancah, bejana tekan, botol baja, bejana penimbun, bejana pengangkut dan sejenisnya. Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya meliputi : • Pekerjaan yang mengandung bahaya fisik • Pekerjaan yang mengandung bahaya kimia • Pekerjaan yang mengandung bahaya biologi Pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu : Konstruksi bangunan, jembatan, irigasi / jalan pada perusahaan pengolahan kayu seperti penebangan, pengangkutan dan bongkar muat. Mengangkat dan mengangkut secara manual beban diatas 12 kg untuk anak laki-laki dan 10 kg untuk anak perempuan. Dalam bangunan tempat kerja terkunci. Penangkapan ikan yang dilakukan dilepas pantai atau perairan laut dalam. Dilakukan didaerah terisolir dan terpencil. Di Kapal. Dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau daur ulang barang-barang bekas. - Dilakukan antara pukul 18.00 – 06.00
B) Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Moral Anak Contohnya pekerjaan pada usaha bar, diskotik,
| 107
karaoke, bola sodok, bioskop, panti pijat atau lokasi yang dapat dijadikan tempat prostitusi Juga, pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras, obat perangsang seksualitas dan/ atau rokok.
Agung Budi Santoso Lahir di Ponorogo, 17 Maret 1972. Saat ini bekerja sebagai jurnalis dan editor di Tribunnews.com. Alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris STIBA Malang ini kini tinggal di Tangerang Selatan, Banten bersama istri dan kedua anaknya.
108 | Masa Depan yang Terabaikan
Menelusuri Praktik Rental Bayi di Kalangan Pengemis (1)1
Penyewa Wajib Siapkan Susu, Sebulan Bisa Raup Rp7,8 Juta Oleh Eka Nugraha dan Kasman
HAMPIR semua orang pernah melihat bayi-bayi digendong di perempatan jalan dan sudut lampu merah. Tetapi belum banyak yang tahu kalau bayi-bayi itu adalah sewaan khusus untuk mengundang empati pengguna jalan yang lewat. Fenomena rental bayi di kalangan pengemis di Makassar sebetulnya sudah lama tercium. Hanya saja, pembuktiannya sulit ditemukan. FAJAR baru berhasil mengungkap praktik ini setelah melakukan penelusuran beberapa hari. Informasi praktik rental ini justru terungkap dari mulut salah seorang pengemis perempuan yang sehari-harinya mangkal di persimpangan Masjid Raya Makassar, Selasa, 28 Mei. Sambil menggendong bayi dibalut sarung yang dikaitkan dari leher dan pundaknya, perempuan berusia sekira 30 tahun ini terlihat lincah berjalan di sela-sela kendaraan yang berhenti di lampu merah. Sasaranya adalah mobil dengan kaca terbuka dan pengendara sepeda motor.
1 Naskah ini pernah dipublikasikan Harian FAJAR Makassar pada 30 Mei 2013
| 109
Kulit perempuan dengan tinggi sekira 160 cm ini tampak hitam karena terbakar terik matahari. Tangan kirinya menahan badan bayi yang menempel di pinggangnya dengan balutan sarung. Sementara tangan kanannya menengadah ke pengendara dan pengemudi kendaraan yang berhenti. Tentu dengan wajah yang memelas, berharap ada pengendara yang merasa iba dan memberi uang. Tak jarang perempuan ini mendapat tatapan sinis dari pengendara yang terjebak lampu merah. Tapi ada pula yang merasa ibah sambil mencabut uang receh atau pecahan Rp1000 dari sakunya untuk diserahkan ke pengemis berbadan tegap ini. Usia bayi yang digendong perempuan ini belum cukup satu tahun. Bayi yang mungil ini tanpak lemas dengan kulit kecokelatan karena terbakar matahari. Setelah sekira 15 menit mengamati aktivitasnya, penulis lalu mendatangi perempuan yang mengenakan baju lusuh tersebut. Awalnya perempuan ini berusaha menghindar dari penulis. Namun setelah berusaha meyakinkan bahwa tujuan penulis hanya ingin menggali informasi bukan untuk menangkap, dia pun menuju ke bawa pohon di tepi jalan tak jauh dari tiang traffic light. Perempuan ini mengaku bernama Rukma. Ia bercerita tentang praktik sewa-menyewa atau rental bayi yang sudah lazim di kalangan pengemis. “Tapi ini bukan bayi rental, anak saya sendiri,” tuturnya sambil mengelus kepala anaknya yang digendong. Setelah menceritakan tentang alasannya menjadi pengemis karena masalah ekonomi, janda dua anak ini lalu mengarahkan penulis ke kawasan parkiran Mall Panakukang. Menurut dia, di parkiran yang banyak bertebaran penghemis ini, banyak
110 | Masa Depan yang Terabaikan
bayi yang direntalkan. Penulis kemudian meluncur ke pelataran parkir Mall Panakkuang di Jalan Pengayoman. Di jalan ini, belasan pengemis yang masih bocah terlihat sibuk mengejar pemilik kendaraan yang parkir. Ada pula seorang ibu yang sengaja membiarkan anaknya tidur terlentang di dekat pintu keluar parkiran mal. Tidak jauh dari tempat itu, dua anak kecil sedang bermain di pinggir jalan. Kedua anak ini terlihat kusam. Mukanya hitam akibat sengatan matahari, bajunya pun lusuh. Sesekali mereka menghampiri kendaraan yang mengantre di lampu merah jalan itu. Penulis lalu bertanya kepada dua orang bocah kelas satu SD tersebut, tentang bayi yang bisa disewa. “Mamaku tahu tempat sewa anak-anak, kalau mauki,” kata bocah ini dengan logat khas Makassar. Kedua anak itupun mengantarkan penulis menemui ibunya yang sedang duduk santai di emperan tokoh seberang jalan. Ibu kedua bocah ini tidak terlihat seperti pengemis. Di lehernya menggantung kalung emas dan gelang berwarna emas pula. Kulitnya juga sedikit mulus dibanding ibu-ibu pengemis. Ibu ini bernama Ina. Umurnya 32 tahun. Dia mengaku tinggal bersama dua anaknya di jalan Adhyaksa tak jauh dari tempatnya mangkal, namun ia enggan menunjukkan alamat rumahnya, dengan alasan takut didatangi Polisi Pamong Praja. Sehari-harinya, dia bertugas mengawasi puluhan pengemis yang mangkal di kawasan ini, sementara suaminya berprofesia sebagai buruh bangunan. Awalnya Ina enggan berbicara, namun dengan berbagai upaya negosiasi, ia pun membeberkan soal tempat dan tata cara sewa menyewa bayi di kalangan pengemis.
| 111
Menurut dia, salah satu syarat bayi yang bisa dirental, yakni usia bayi tidak boleh lebih dari satu tahun. Pengemis yang merental bayi harus memiliki hubungan keluarga dengan ibu kandung sang bayi, atau minimal tetangga dekat. “Kalau bukan keluarga yang sewa biasa kalasi (curang), tidak semua uang hasil mengemis diperlihatkan. Biasa kalau uang pecahan Rp5000 atau Rp2000 tidak disetor, padahal aturannya kan hasil mengemis dibagi dua dengan ibu bayi,” ucapnya. Ina mengaku jika dua anaknya saat ini tidak bisa lagi disewakan karena usinya sudah lewat dari satu tahun. namun saat masih bayi, Ina mengaku kerap menyewakan dua anaknya tersebut. Namun, Ina mengaku masih memiliki kerabat yang menyewakan bayinya. Hanya saja, Ina lagi-lagi enggan mengantar penulis ke ibu bayi tersebut, dengan alasan takut kena marah. Ada pula kata Ina, bayi yang diasuh oleh tantenya karena ditinggalkan orang tuanya disewakan ke pengemis. Syarat lain untuk menyewa bayi, lanjut Ina, yakni penyewa harus menanggung semua kebutuhan bayi, mulai dari susu hingga pakaian kusut yang digunakan. Jam sewa juga dibatasi, dari 12.00 hingga pukul 23.00. “Tidak bisa kalau terlalu malam. Paling lambat jam 11 malam sudah harus dikembalikan ke ibunya. Orang suka merental bayi karena hasil mengamen bisa lebih banyak, kan orang kasian kalau melihat bayi,” jelasnya. Pengemis para pengemis yang merental bayi, katanya jauh lebih besar dibanding tanpa bayi. Dua anak kandung Ina, yang berusia 10 tahun dan 13 tahun, katanya hanya bisa menghasilkan rata-rata Rp100 ribu per hari. “Kalau yang rental bayi itu rata-rata bisa mendapat sampai
112 | Masa Depan yang Terabaikan
Rp300 ribu sehari. Alasannya ya karena itu tadi, kalau ada bayi orang jadi kasihan,” ungkapnya. Artinya, jika dalam satu bulan pengemis yang menggunakan jasa rental bayi beraktivitas 26 hari, maka pendapatan pengemis ini dalam sebulan bisa mencapai Rp7,8 juta. Jika hasil ini dibagi dua antara ibu bayi dengan penyewa, masingmasing mendapatkan Rp3,9 juta. Salah satu pengemis perental bayi yang ditemui di pelataran parkir Mall Panakkukang, sebut saja, Indah, mengakui jika dalam sehari dia bisa mendapatkan sampai Rp320 ribu berkat adanya bayi yang digendong. “Kalau hanya jalan sendiri tanpa bayi, tidak ada orang mau kasi uang, paling banyak Rp5000 perhari,” akunya.*
| 113
Menelusuri Praktik Rental Bayi di Kalangan Pengemis (2-Selesai)2
Melibatkan Keluarga dan Tetangga Terdekat Oleh Eka Nugraha dan Kasman
Memberikan uang kepada pengemis sama saja memberikan penghargaan kepada mereka yang telah mempertaruhkan nyawanya di jalan raya. Para pengemis betah berada di jalan raya karena ada sesuatu yang menjanjikan. Besarnya pendapatan yang didapatkan dari hasil mengemis, membuat orang tua pengemis memaksa anaknya turun ke jalan. Anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecilnya, bermain, dan bersekolah, telah dieksploitasi oleh orang tuanya dan menjadikannya sebagai mesin produksi keluarga. Besarnya penghasilan yang didapatkan dari hasil mengemis membuat ada orang tua yang tega menyewakan bayinya ke pengemis untuk dijadikan umpan untuk meeraih empati warga. Dosen Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM), Dr Asniar Khumas, menilai, anak-anak menjadi pengemis di jalan raya karena sudah telanjur dipaksa oleh orang tuanya.
2 Naskah ini telah dipublikasikan di Harian Fajar Makassar pada 31 Mei 2013
114 | Masa Depan yang Terabaikan
Karakter sang anak untuk menjadi pengemis telah dibentuk oleh orang tua mereka sendiri. Mereka dipaksa untuk mendapatkan uang di jalan raya, tanpa uang mereka akan dimarah, bahkan menerima kekerasan. “Jadi, orang tua dari anak ini yang harus diberi pemahaman, ketika orang tuanya melarang jadi pengemis, pasti anaknya tidak akan turun ke jalan. Ini yang harus dicari pemerintah, mengedukasi orang tua sang anak juga tidak boleh hanya sekali tapi harus berulang sampai pola pikir mereka berubah,” ujar Asniar, Kamis, 30 Mei. Dia menguraikan, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah tidak boleh parsial tapi harus dilakukan secara konprehensif. Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial dan unit kerja lain, harus duduk bersama memikirkan bagaimana langkah kongkret yang harus dilakukan. Yang terpenting, ujar Asniar, dukungan masyarakat juga sangat menentukan. Para pengemis betah di jalan bahkan jumlahnya kian meningkat, itu karena mereka dimanjakan oleh warga dengan memberi uang. Memang, kata dia, bersedekah itu adalah ibadah dan hak semua orang, namun alangkah baiknya jika sedekah itu disalurkan langsung ke panti-panti asuhan. “Memberi uang kepada pengemis di jalan raya, sama saja memberi penghargaan kepada mereka yang telah mempertaruhkan nyawa mereka,” tuturnya. Aktivis Perlindungan Anak Makassar, Husaima Husain, menambahkan, fenomena sewa menyewa bayi di kalangan pengemis di Makassar sudah tercium oleh kalangan NGO. Sewa-menyewa bayi ini, ujar dia, melibatkan keluarga dan tetangga dekat yang kondisi ekonominya tidak jauh berbeda.
| 115
Penyewaan bayi ini dianggap saling menguntungkan antara penyewa dan ibu bayi. “Di satu sisi ibu bayi mendapatkan uang tanpa harus turun ke jalan. Di sisi lain penyewa juga akan mendapatkan uang lebih jika menggunakan bayi,” tuturnya. Kata Husaima, pemerintah harusnya sudah tahu soal fenomena ini dan segera mengambil kebijakan. Pemerintah menurut dia, tidak seharusnya bekerja ibarat pemadam kebakaran. Pemerintah Kota Makassa, dalam hal ini Dinas Sosial, harus mengevaluasi sistem pembinaan anak-anak jalanan yang dilakukan selama ini. “Ada mata rantai dalam persoalan ini yang harus segera diselesaikan, pemerintah harus memfasilitasi semua stake holder untuk sama-sama terlibat mencarikan solusi,” ungkapnya. Kepala Dinas Sosial Kota Makassar, Burhanuddin, mengakui, selama ini pihaknya telah berupaya maksimal memberikan pembinaan kepada para pengemis dan anak jalanan lainnya agar tidak lagi beraktivitas di jalan raya. Selain rutin melakukan razia terhadap anak jalanan dan pengemis, Pemerintah Kota Makassar, kata Burhanuddin, juga memberikan edukasi kepada anak-anak dan orang tua mereka. “Anak-anak yang masih usia sekolah kita kembalikan ke sekolah, dan biaya sekolahnya ditanggung pemerintah, orang tuanya juga diberdayakan, misalnya melalui pelatihan keterampilan dan pemberian modal usaha,” tuturnya. Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Makassar, Mas’ud mengakui jika para pengemis memilih beraktivitas di jalan karena tergiur oleh uang yang diberikan oleh warga. “Bahkan ada orang tua pengemis yang menolak modal 116 | Masa Depan yang Terabaikan
bantuan usaha yang kita berikan dan memilih untuk tetap jadi pengemis,” ujarnya.
Eka Nugraha Lahir di Palopo, 28 Februari 1985. Alumni Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar ini sejak 2008 sampai saat ini bekerja sebagai jurnalis Harian Fajar di Makassar.
Kasman Lahir di Kolaka, 10 Juni 1982. Alumni Universitas Hasanuddin ini menjadi reporter di Harian Fajar Makassar sejak 2005 sampai sekarang.
| 117
118 | Masa Depan yang Terabaikan
Prostitusi Anak di Kramat Tunggak1 Oleh Muhammad Hafil
Lokalisasi Kramat Tunggak ditutup, tapi prostitusi tidak berhenti. Malam baru saja datang. Di depan Hotel Murah Indah, di sebuah gang di Jalan Kramat Raya, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, sejumlah anak muda, laki-laki dan perempuan terlihat asyik duduk bergerombol. Mereka mengobrol santai. Suara ceramah terdengar sayup-sayup dari Masjid Jakarta Islamic Center yang berjarak 200 meter dari hotel tak mengusik anak-anak muda itu. Tempat masjid berdiri dulunya merupakan lokalisasi tersohordi Asia Tenggara, Kramat Tunggak. Hotel ini tak memiliki tempat parkir yang luas. Area parkir kendaraan hanya bisa memuat satu unit mobil. Sisanya, digunakan untuk parkir sepeda motor. Di dalam lobi hotel, menunggu dua orang perempuan berpakaian minim berwarna hitam. Seorang bernama Yuli (35 tahun) dan satunya lagi bernama Lea (16 tahun).
1 Naskah ini telah dipublikasikan di Harian Republika pada 30 November 2012
| 119
Yuli memiliki tubuh gemuk. Perutnya buncit. Pipinya terlihat sangat lebar. Tingginya sekitar 155 cm. Sedangkan Lea, lebih tinggi dan lebih ramping. Mereka berdua datang ke hotel itu setelah mendapat panggilan dari reseptionis hotel. Tamu yang menginap bisa memesan seorang perempuan kepada reseptionis hotel. Reseptionis lalu menghubungi seorang perantara yang kemudian mengontak Yuli. “Ini Lea. Usianya masih 16 tahun. Saya Yuli, ibunya,” kata Yuli memperkenalkan Lea kepada Republika yang menjadi tamu hotel. Sebelumnya Republika pura-pura memesan kedua wanita tersebut melalui reseptionis hotel. Yuli menjadi seorang mucikari atau pengasuh atas Lea. Sedangkan Lea, menjadi anak yang bekerja dengan menjual tubuhnya sebagai pekerja seks komersial (PSK). Lea terlihat lebih pendiam. Namun, wajahnya tak menunjukkan rasa canggung atau takut kepada orang yang baru saja dikenalkannya. Pakaian yang dikenakan ketat dan cenderung transparan. Di bagian bawah, ia masih memakai celana jins yang menutupi tubuhnya hingga mata kaki. Yuli menyebutkan bahwa tarif untuk mengencani Lea sebesar Rp 500 ribu dengan durasi satu jam saja. “Maklum Mas ini anak-anak. Jadi, tarifnya agak mahal ya. Kalau yang sudah senior sih biasanya Rp 300 ribu,” katanya. Setelah menyepakati harga yang ditawarkan, Yuli kemudian menyuruh Lea untuk meminum pil obat pusing dengan minuman bersoda. Ia beralasan bahwa Lea sedang sakit kepala. Biasanya campuran obat dan minuman itu digunakan PSK untuk mencegah hamil. “Hehehe, iya Mas. Tau aja, maklum anak-anak,” jawab Yulia ketika ditanya soal itu. 120 | Masa Depan yang Terabaikan
Setelah membayar uang Rp 500 ribu kepada Yuli, ia mempersilakan Lea untuk mengikuti Republika ke dalam kamar hotel. Ia mengatakan akan menjemput Lea satu jam setelahnya.
Mudah mencari uang Di dalam kamar, Lea tak tampak seperti orang yang ketakutan. Bahkan terlihat senyum-senyum. Ia tidur-tiduran di atas kasur kamar hotel yang pendingin ruangannya tak berfungsi maksimal itu. Tubuhnya ia tutupi dengan sehelai selimut. Senyumnya mengecut dan wajahnya sedikit cemberut tatkala ia menceritakan mengapa bisa menjadi PSK. Ia kemudian duduk di tepi ranjang, menghela napas, dan mengisap rokok putih. Lea mengaku, satu tahun yang lalu masih sekolah di salah satu SMU di Cianjur. Waktu itu ia sudah memasuki kelas satu SMU. Tak lama ia masuk sekolah, ayahnya meninggal. Setelah kematian ayahnya, ia dan keluarganya tak ada yang menafkahi. Ibunya juga tak bekerja sedangkan ia masih memiliki dua orang adik kembar yang akan masuk SD. Lea mencoba mencari pekerjaan di salon. Namun, pekerjaan itu hanya dilakoninya tak sampai setahun. Ia merasa tak cocok dengan pola kerja yang diterapkan oleh atasannya. Lea pun menjadi pengangguran. Ia ingin bekerja di tempat lain, namun ia tak memiliki keterampilan. Sedangkan asap di dapur rumah harus terus mengebul. Kehidupan di keluarganya menjadi sangat berat. Sampai akhirnya, satu bulan yang lalu, ia diajak oleh
| 121
temannya yang juga berprofesi sebagai PSK ke Jakarta. Kebetulan, pada waktu itu teman sebayanya itu berkunjung ke kampung Lea di Cianjur. Teman Lea itu menceritakan mudahnya mencari uang dengan menjajakan tubuh di Jakarta. Ia tak perlu pusing untuk bekerja keras tetapi bisa menghasilkan uang dan menutupi kebutuhannya. Lea berniat untuk mengikuti jejak temannya itu yang telah lebih dulu jadi PSK. Ia tak berpikir panjang untuk menerima ajakan itu lantaran keperawanannya telah hilang direnggut pacarnya saat ia masih sekolah. Di Jakarta, ia dikenalkan oleh temannya tersebut ke salah seorang mucikari bernama Yuli. Lea pun bergabung dengan belasan anak-anak lainnya di bawah pengasuhan Yuli di sebuah rumah, tak jauh dari bekas kawasan lokalisasi tersebut. Aturan yang ditawarkan Yuli tak berat. Lea hanya harus mau mengikuti aturan yang ditentukan Yuli. Setiap menemui pelanggan pun, ia harus didampingi oleh Yuli. Mereka melakukan pekerjaannya dengan sistem panggilan ke hotel. Para lelaki hidung belang tak diperkenankan untuk menemui di rumah, yang menurut Yuli berisi belasan orang PSK usia anak-anak. Lea baru satu minggu bekerja. Sudah 10 pria hidung belang yang ia layani. Dari setiap uang jasa melayani pria sebesar Rp 500 ribu, Lea mendapat upah Rp 350 ribu. Yuli mendapat bagian Rp 50 ribu. Yang Rp 100 ribu untuk perantara yang menghubungkan mereka dengan pelanggan. Artinya, selama satu minggu Ia memperoleh penghasilan sekitar Rp 3,5 juta. Apakah Lea telah mengirimkan uang itu ke orang tuanya? Ternyata tidak. Ia menghabiskan uang itu untuk keperluannya sendiri. 122 | Masa Depan yang Terabaikan
“Hehehe, belum saya kirim. Saya kemarin baru beli BlackBerry dan beli kebutuhan saya selama di sini,” katanya. Lea tak keberatan bekerja seperti ini. Ia pun tak memikirkan dampak buruk dari pekerjaannya. Menurutnya, ia hanyalah anak kecil yang belum mau dipusingkan dengan pikiran yang berat. “Saya mah mau senang-senang dululah,” katanya. Ia pun mengaku belum akan mencari pekerjaan lain dulu. Pekerjaan ini menurutnya masih membuatnya senang. “Ya saya sih senang aja. Kebetulan saya juga suka,” katanya.
Anak asuh Usai satu jam Lea menceritakan tentang dirinya, Yuli pun mengetuk pintu kamar. Ia mengatakan bahwa waktunya sudah habis. Sesuai kesepakatan, maka Lea harus dikembalikan ke Yuli. Yuli pun tetap menawarkan ‘dagangan’ lainnya. Menurutnya, ia masih memiliki persediaan anak-anak asuhnya yang bekerja sebagai PSK. Usianya pun masih di bawah 17 tahun. Menurutnya, ada belasan anak-anak di bawah umur yang tinggal di rumahnya. Ia mengasuh anak-anak yang mau bekerja padanya. Berdasarkan pengakuannya, anak-anak yang diasuh Yuli pada umumnya betah. Karena, ia menganggap mereka seperti anak-anaknya. “Saya tak menganggap mereka sebagai pekerja. Saya sayang mereka makanya saya tak menargetkan apa pun kepada mereka. Jika mereka letih saya suruh tak usah bekerja,” kata Yuli. Belasan anak-anak itu datang dari berbagai daerah di Pulau
| 123
Jawa. Umumnya dari Jawa Barat. Pola perekrutannya pun sama, ada yang membawa anak-anak itu kepadanya. Ia tak mau mencari anak-anak ke berbagai daerah. “Persyaratannya mudah. Tuh anak-anak mau gak bekerja sama saya kalau mau ya ikuti peraturan saya,” katanya. Yuli mengaku hanya mendapat sedikit keuntungan dari mereka. Ia hanya menerima Rp 50 ribu dari tiap transaksi. Untuk tambahan, Yuli mengaku tetap bekerja. Ia menawarkan jasa pijat. Kalau ada laki-laki yang ingin mengencaninya, ia mengaku bersedia melayani. Yuli mengaku independen dalam pekerjaannya itu. Artinya, ia tak menyetorkan uang keamanan kepada pihak-pihak tertentu. Namun, ia memberikan uang kepada pihak-pihak yang membantu pekerjaannya. “Ya seperti perantara itu,” akunya. Banyak anak-anak asuh yang dulu bekerja padanya sudah sukses. Mereka sudah ada yang ‘menjamin’ atau menjadi gundik dari sejumlah pria yang berduit. “Ya ada lah. Ada yang pengusaha, ada juga yang pejabat,” kata Yuli tanpa mau menyebut nama siapa pria-pria tersebut. Yuli tak mau selamanya mengasuh anak-anak itu. Ia mendorong anak-anaknya itu untuk mandiri. Yaitu, bisa membiayai dirinya sendiri dengan menjadi gundik atau simpanan para lelaki hidung belang tersebut. Untuk pola operasi mereka, Yuli tak mau rumahnya itu diketahui atau disinggahi oleh pria hidung belang. Ia hanya mempekerjakan anak-anak asuhnya itu berdasarkan panggilan. Yuli mengaku mulai mengasuh anak-anak itu sejak lokalisasi Kramat Tunggak ditutup sekitar satu dasawarsa lalu.
124 | Masa Depan yang Terabaikan
Ia dulu juga PSK anak saat di Kramat Tunggak masih menjadi tempat lokalisasi seks. Pada saat Kramat Tunggak digusur, ia termasuk PSK yang tak mau berpindah lokasi. Ia pun mencari jalan untuk tetap bertahan. Caranya, mempekerjakan anak-anak wanita di bawah umur itu menjadi PSK. Apakah di sekitar bekas lokalisasi Kramat Tunggak itu masih ada orang yang beroperasi menjadi mucikari dan menjajakan tubuh anak-anak untuk menjadi PSK? Yuli mengaku tak tahu. Ia tak mau ambil pusing urusan orang. Yang penting, katanya, ia bisa bertahan hidup dengan caranya seperti itu.
| 125
Bekerja Lewat Perantara Oleh Muhammad Hafil
Para pelaku merasa aman menjalankan bisnis prostitusi anak. Berbekal nomor telepon genggam yang diberikan Yuli di Hotel Murah Indah beberapa hari sebelumnya, Republika mengajak Yuli untuk bertemu. Republika beralasan ingin membuktikan ucapan Yuli bahwa ia mengasuh belasan anakanak yang dipekerjakan menjadi PSK. Pada awalnya, Yuli menolak pertemuan itu. Ia bersikeras cara kerjanya adalah berdasarkan panggilan. Namun, dengan alasan ingin memilih perempuan-perempua di bawah umur seperti yang disebutkan Yuli, Republika akhirnya diizinkan untuk menemuinya. Pertemuan diatur pada pagi hari. Yuli meminta Republika untuk menunggu di Masjid Al Husna, persis di depan Terminal Tanjung Priok. Setelah bertemu Yuli di sana, Republika diajak menuju ke kediaman Yuli di belakang Jalan Lagoa Kanal, dekat Kompleks Arhanud. Ia mengontrak sebuah kamar petak dengan dua ruangan di sebuah gang. Gang itu sempit dan tak bisa dimasuki sepeda motor, apalagi mobil. Jarak antara satu rumah dan rumah lainnya sangat padat. Kontrakannya itu satu ruangannya seluas 2 x 3 meter. Langit-langit tingginya tak sampai tiga meter. Udara terasa pengap jika kipas angin tak dihidupkan.
126 | Masa Depan yang Terabaikan
Tak terlihat ada kasur di sana, tetapi yang ada hanya dua buah tikar sebagai alas untuk tidur. Pintunya agak rendah, membuat orang yang masuk harus menundukkan kepala. Yuli tinggal bersama suaminya, Hardi (40 tahun). Di kamar itu juga, tinggal Lea dan Susan (17) . Hanya dua orang, bukan belasan seperti yang disebutkan Yuli. Saat itu Lea sedang pulang ke kampunya di Cianjur. Jadi, tinggal Susan yang tinggal di kontrakan itu. Republika merasa kecewa karena tak banyak anak-anak seperti yang disebutkan Yuli. Namun, Yuli beralasan, maksud belasan anak-anak itu adalah anak-anak PSK yang masih berada dalam asuhannya. Mereka pada umumnya sudah memiliki kamar kontrakan sendiri yang tak jauh dari kontrakannya. Yuli meminta uang Rp 20 ribu kepada Republika. Tak jelas apa tujuannya. Ia pun segera keluar kontrakan selama beberapa menit. Setelah kembali, ia membawa tiga buah teh botol untuk Republika, Hardi, dan ia sendiri. Dari uang itu, ia juga membeli satu bungkus rokok putih. Yuli kemudian sibuk menelepon anak-anak asuhnya. Namun, kebanyakan anak asuh Yuli masih tidur. Banyak dari mereka yang tak mau bekerja pada siang hari. Yuli berusaha keras untuk membangunkan mereka dengan mengunjungi beberapa kamar kos dan menghubungi anak-anak tersebut melalui sambungan telepon seluler. Dari situ terlihat, Yuli merupakan sosok yang keras. Tidak seperti yang ia ceritakan bahwa ia tak memaksa anak-anak asuhnya. Beberapa kali ia membentak anak-anak melalui ponselnya. Tindakan Yuli itu pun mendapat teguran dari suaminya. Hardi meminta Yuli lebih bersikap lembut kepada anak-anak asuhnya itu.
| 127
Yuli kemudian meninggalkan Republika bersama Hardi. Ia bermaksud untuk menjemput Susan yang pada saat itu tidur di kamar kosnya. Biasanya, Susan tidur di kontrakan itu, tetapi pada waktu itu ia tak tidur di sana karena malam sebelumnya terjadi banjir akibat hujan lebat. Republika kemudian berbincang-bincang dengan Hardi. Sama seperti Yuli, Hardi juga memiliki perawakan yang gemuk. Kulitnya hitam. Rambutnya cepak. Pada awalnya, Hardi seperti curiga kepada Republika. Ia mulai bertanya-tanya penuh selidik. Misalnya, di mana pekerjaan, tempat tinggal, dan mengapa bisa sampai ke tempatnya. Republika menjawab bekerja di sebuah lembaga penelitian dan tinggal di luar Jakarta. Sedangkan, maksud dan tujuan ke tempatnya adalah untuk melihat PSK anak dan bisa memilih seperti yang diceritakan Yuli. Selain itu, supaya tak memunculkan rasa curiga, Republika bersikap seolah-olah biasa dengan dunia pelacuran, terutama pelacuran yang melibatkan anak-anak. Republika juga menceritakan soal pengalaman dengan berbagai macam tipe PSK anak di berbagai tempat pelacuran. Gayung bersambut, Hardi menyambut cerita Republika tersebut dengan antusias. Menurut Hardi, untuk mencari PSK anak memang sulit di Jakarta. Ia menyarankan Republika untuk pergi ke Cipanas, Jawa Barat. Di sana, banyak anak-anak yang dipekerjakan sebagai PSK. Hardi pun berencana untuk menjemput anakanak di Cipanas yang akan ia pekerjakan sebagai PSK. Namun, ia tak menyebut kapan akan melakukan itu. “Yang jelas, saya sudah dapat kabar dari teman ada anak di Cipanas yang mau dibawa kerja ke Jakarta,” katanya. Hardi memulai ‘kariernya’ sebagai germo sekitar 10 tahun yang lalu. Ia mengaku kerap ‘jajan’ dengan berbagai karakter
128 | Masa Depan yang Terabaikan
PSK. Apalagi, pekerjaannya sebagai seorang teknisi di sebuah kapal pelayaran membuat ia sangat akrab dengan dunia tersebut. “Ibaratnya, setiap kapal berlabuh, PSK yang selalu saya cari,” kata Hardi. Lama Hardi punya kebiasaan menghambur-hamburkan uang untuk PSK. Akhirnya, ada seorang atasannya di kapal tersebut yang menawarinya menjadi seorang germo. Ia diberikan modal untuk membuat tempat prostitusi di kawasan Batam. Namun, setelah berjalan beberapa tahun, ia rugi. Bahkan, tempatnya mangkal dirazia polisi. Ia pun kabur untuk menghindari sanksi hukum. Hardi kembali jadi pelaut. Ia kembali terjun di dunia prostitusi beberapa tahun terakhir ini. Ia beroperasi di sekitar kawasan Tanjung Priok. Dari kontrakan itu, Hardi dan Yuli mengatur distribusi para anak untuk melayani pelanggan. Hardi menolak jika disebut sebagai germo. Ia lebih senang jika disebut sebagai perantara. “Kalau germo itu kan kita di dalam rumah, menampung PSK, terus transaksinya di rumah itu juga. Kalau ini kan enggak,” ujarnya mengelak. Karena itu, Hardi mengaku aktivitasnya tersebut tak akan disalahkan oleh polisi. Sebab, tugasnya hanya menerima panggilan dari pihak hotel yang tamunya membutuhkan PSK. Kemudian, ia menghubungi anak-anak asuhnya yang tinggal di kos-kos lain, lalu mengantarkan mereka ke hotel-hotel tersebut. “Jadi, upah saya hanya dari upah ojeklah istilahnya. Tapi, ya biasanya anak-anak mengerti, mereka akan memberikan jatah komisinya untuk saya,” katanya. Hardi mengaku kegiatannya itu tak mendapat tentangan dari masyarakat sekitar. Sekali lagi, alasannya karena aktivitas tersebut tidak dilakukan di kontrakannya. Beberapa warga yang tinggal di sekitar kontrakan Hardi juga tak mengetahui
| 129
apa aktivitas Hardi. “Gak ada tuh di sana PSK-PSK-an di sini,” kata Adit (23), salah seorang warga kepada Republika. Menurut Adit, ia tak pernah melihat ada wanita-wanita PSK yang berkumpul di kontrakan Hardi. Ia hanya mengetahui bahwa Hardi adalah seorang pelayar yang saat ini sedang tidak terikat pekerjaan untuk melaut. Senada dengan Adit, Rahayu, warga sekitar kontrakan, juga tak melihat ada tanda-tanda mencurigakan yang dilakukan di kontrakan Hardi. Menurut Rahayu, baik Hardi maupun Yuli bergaul sebagaimana warga lainnya. “Mereka saling menegur kok kalau ketemu di jalan,” katanya. Hardi bekerja menerima orderan itu sejak malam hari. Jarang ada tamu hotel yang menghubunginya pada siang hari. Karena itu, pekerjaannya itu mengikuti alur waktu para PSK asuhannya. Ia berhenti bekerja pada pagi hari, kemudian tidur, dan bangun pada siang atau sore hari. Jumlah panggilan dari pihak hotel tak menentu. Kadang kalau sedang ramai, ia bisa menerima orderan hingga empat kali untuk satu anak. Namun, pernah juga pada satu malam tidak ada satu pun panggilan dari hotel. “Ya, namanya juga untung-untungan,” kata Hardi. Hardi mengaku, keuntungan yang ia peroleh dalam bisnis ini tidak besar. Upahnya tergantung dari banyak atau tidaknya para pelanggan. “Gak banyak untungnya, malah itu saya kemarin punya rumah dijual,” akunya. Karena itu, Hardi berniat untuk berhenti bekerja sebagai perantara. Ia akan mencari pekerjaan yang lebih jelas dan terhormat supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. “Ya, mungkin saya akan berlayar lagi,” kata Hardi yang sebelumnya
130 | Masa Depan yang Terabaikan
bekerja di kapal laut tersebut.
Punya jaringan Saat perbincangan sedang asik tersebut, Yuli kembali untuk menemui Republika. Namun, ia kembali dengan tangan kosong. Susan yang ia harapkan menemani Republika tak mau untuk bekerja. Ia dan Hardi pun sibuk menelepon ke anakanak asuhnya yang lain. Syarat dari Republika tetap, PSK yang berusia di bawah 18 tahun. Namun, siang itu memang tak ada anak-anak yang mau bekerja. Tak putus asa, Hardi menghubungi Mang Ujang, yang juga menjadi perantara di kawasan itu. Tugasnya sama seperti Hardi. Namun, ia baru akan menghubungi Mang Ujang jika tak memiliki persediaan atau selera pelanggan yang tak cocok dengan PSK anak yang ia bawa. Mang Ujang, orang yang dihubungi Hardi, menyanggupi permintaan itu. Ia datang ke kontrakan tak sampai setengah jam. Ia membawa satu orang PSK yang masih remaja. Namanya hampir mirip dengan Yuli, Julia (17). Supaya tak dianggap membohongi Republika, Julia menunjukkan KTP-nya. Ia kelahiran Tangerang tahun 1995. Wajahnya pun terlihat masih remaja. Tubuhnya kecil dan kurus. Mang Ujang mendapatkan upah dari Hardi sebesar Rp 20 ribu. Upah tersebut merupakan ongkos mengantarkan Julia ke kontrakan Hardi. Kehadiran Julia mengobati sedikit kekecewaan Republika karena tak ada belasan anak yang menjadi PSK di kontrakan seperti janji Yuli. Namun, kehadiran Julia tersebut membuktikan bahwa Yuli dan Hardi memiliki jaringan untuk menghadirkan PSK anak. Yuli kemudian menanyakan apakah anak yang dibawa | 131
sudah cocok. Republika mengatakan cocok, kendati hanya bermaksud untuk mengorek keterangan darinya. Yuli dan Julia kemudian naik sepeda motor menuju ke sebuah hotel melati, masih di sekitar kawasan itu. Republika mengikuti dari belakang. Sedangkan, Hardi dan Mang Ujang tinggal di kontrakan. Menurut Yuli, hotel tersebut biasa digunakan untuk pelanggan yang ingin menyewa jasa anakanak asuhnya. Ada banyak hotel di kawasan Tanjung Priok dan kawasan Jakarta Utara yang melakukan kerja sama dengan Hardi dan Yuli. Jika ada tamu yang ingin ditemani wanita, pihak hotel bisa menghubungi Yuli dan Hardi untuk menyediakan pesanan itu. Julia yang tadinya mengenakan celanan jeans ketat dan baju thank top, menutupi tubuhnya dengan jaket saat naik sepeda motor. Ia melakukan itu supaya tak mengundang kecurigaan orang sekitar. Sedangkan, Yuli mengenakan celanan pendek dan kaus berukuran lebar. Republika pun melakukan upaya serupa agar tak menaruh kecurigaan orang sekitar. Membiarkan mereka berdua pergi lebih dulu dan janjian bertemu di ujung gang. Setelah bertemu, sepeda motor jalan beriringan. Mereka di depan dan Republika mengikuti dari belakang. Setelah lima menit berjalan, akhirnya sampai di sebuah hotel kecil yang tak memiliki papan nama. Hotel tersebut berada di sebuah gang kecil, tetapi mobil masih bisa masuk ke tempat itu. Dan, hotel tak memiliki tempat parkir. Letak hotel berada di ujung gang sehingga tak ada warga yang melihat ke arah hotel. Namun, untuk menghindari diketahui orang, Republika masuk ke dalam hotel dengan masih mengenakan helm. Di dalam hotel, Yuli meminta uang sewa kamar dengan waktu short time atau dua jam. Kepada
132 | Masa Depan yang Terabaikan
Republika, Yuli meminta uang Rp 175 ribu. Namun, setelah ditanya ke pihak resepsionis hotel, tarif short time hanya Rp 150 ribu. Yuli pun tertawa mendengar keterangan petugas hotel tersebut. Ia kemudian meminta uang tarif atas Julia. Seperti biasa, ia mematok harga Rp 500 ribu. Namun, ia meminta tambahan uang tips sebesar Rp 50 ribu. “Saya kan capek dari tadi nyariiinnya, Mas. Sampe yang ketemu Julia,” kata Yuli. Transaksi dilakukan di lobi hotel dan disaksikan oleh para petugas hotel yang berpakaian bebas. Perasaan waswas menghantui Republika saat transaksi karena khawatir ada masyarakat yang protes atau ada petugas keamanan yang datang merazia. Namun, Yuli dan petugas hotel meyakinkan bahwa di tempat itu aman. Mereka mengatakan sudah biasa melakukan transaksi seks di situ. “Yah, apalagi masih siang hari, Mas,” hibur Yuli. Ternyata benar. Di hotel tak ada gangguan sama sekali. Selama satu jam berada di dalam kamar, tak ada yang mengusik Republika dan Julia. Namun, karena tak biasa, tetap saja Republika merasa waswas, takut dirazia atau digerebek warga. Republika mengatakan kepada Julia sedang tidak ingin berhubungan badan. Republika beralasan bahwa sebenarnya tak cocok dengan Julia. Namun, karena tak enak dengan Hardi dan Yuli yang berusaha mencarikan wanita dari pagi, Republika mau menerima Julia. Julia bisa menerima meski raut wajahnya tiba-tiba tertekuk dan tidak senang. Bahkan, ia mengatakan kekecewaannya. “Kalau gak cocok harusnya jujur aja, Mas. Bilang dari tadi. Kalau gini kan Mas yang rugi, bayarnya sama, tapi gak ngapangapain,” kata Julia.
| 133
Republika dan Julia berbincang-bincang. Tak banyak keterangan yang bisa diperoleh darinya. Ia mengaku sedang malas berbicara akibat tubuhnya yang masih letih karena bekerja sampai pagi dan belum sempat tidur. Apalagi, ia mengaku kecewa sudah tidak tidur dari malam sebelumnya, tetapi tak jadi ‘bermain’ dan hanya makan gaji buta. Julia mengaku, banyak teman seusianya yang berada di bawah asuhan Yuli dan Hardi ataupun Mang Ujang. Ia juga mengaku kenal dengan Susan dan Lea. Ia juga cerita alasannya terjun ke dunia prostitusi karena kebutuhan ekonomi. Keluarganya di Tangerang tidak mampu membiayai sekolahnya. Ia pun harus putus sekolah di kelas 2 SMA pada tahun lalu. Tak lama berbincang, Julia pun mendesak Republika untuk segera mengakhiri perbincangan dan segera chek out dari hotel. Ia pun meminta uang tips dari Republika. Namun, Republika mengatakan bahwa uang tips sudah diberikan kepada Yuli. Julia tak percaya, ia kemudian menelepon Mang Ujang menanyakan perihal tersebut. Setelah Mang Ujang membenarkan, akhirnya ia tak jadi meminta uang tips. Republika pun keluar lebih dulu dari hotel, sedangkan Julia masih tinggal dalam hotel. Ia mengaku sebentar lagi akan ada orang yang menjemputnya. Julia siap melayani pelanggan berikutnya.
134 | Masa Depan yang Terabaikan
Dalam Mobil Menjaja Cinta Oleh Muhammad Hafil
Enam Kijang Innova berjejer di depan sebuah ruko berlantai empat di ujung jalan, di Jalan Taman Sari XI Nomor 6, Jakarta Barat. Di dalam mobil, beberapa orang perempuan dengan pakaian seksi duduk di kursi tengah dan belakang. Masing-masing mobil rata-rata diisi enam hingga tujuh orang perempuan. Jarum jam baru menunjukkan pukul 20.00 WIB. Dari dalam ruko, keluar satu- persatu perempuan lainnya. Mereka berpakaian minim. Ada yang memakai baju thank top terusan di atas lutut, ada yang memakai celana jeans ketat dengan atasan kaos ketat dan menampilkan setiap lekukan tubuhnya. Para pekerja seks komersial (PSK) itu sedang mencari pelanggannya. Masing-masing menunggu antrean masuk ke dalam mobil. Mereka yang tak kebagian tempat di mobil, menunggu sambil duduk-duduk di depan ruko. Masih ada beberapa orang perempuan di dalam ruko yang sedang siap-siap. Di depan ruko, datang dua orang laki-laki yang masingmasing mengenakan sepeda motor jenis bebek. Yang seorang bernama Azis (27 tahun), sedang mencari perempuan muda untuk diajak berkencan. Satunya lagi bernama Didik (35) yang merupakan pengantar yang mencarikan para wanita muda itu.
| 135
Azis memberikan upah sebesar Rp 50 ribu ke pa da Didik yang mengantarkannya . Jumlah yang menurutnya standar untuk orang yang mengantarkan tamu mencari teman wanita. Azis kemudian menemui sopir yang berada di dalam salah satu Kijang Innova. Setelah berbasabasi, sang sopir mempersilahkan lelaki itu melihat ke dalam mobil. Berdasarkan keterangan sopir, di dalam mobil ada dua orang wanita yang belum genap 18 tahun. Mereka pada umumnya baru bekerja selama beberapa bulan saja. Untuk setiap wanita, dikenakan biaya sebesar Rp 400 ribu. Jumlah tersebut di luar dari biaya hotel dan tips kepada perepmpuan-perempuan tersebut. Jika ingin sampai pagi, maka biaya yang dikenakan sebesar Rp 1,2 juta. Azis menunjuk salah seorang perempuan yang berusia 18 tahun. Namanya Amelia yang baru dua bulan bekerja sebagai PSK. Wajahnya masih lugu. Azis kemudian memberikan uang kepada sopir sebesar Rp 400 ribu. Tak lupa, ia memberikan uang tips kepada sopir sebesar Rp 20 ribu. Transaksi dilakukan di luar mobil di dekat ruko. Aziz pun kemudian membawa perempuan yang dipilihnya dengan menggunakan sepeda motor. Wanita itu akan dibawa ke sebuah hotel tempatnya menginap. Setelah kepergian Azis, Republika menghampiri sopir Kijang Innova. Ia menyebut masih ada sa tu perempuan yang berusia 18 tahun. Namanya Fatma. Setelah memberikan uang Rp 400 ribu kepada sopir, Republika membawa Fatma ke sebuah hotel, Kencana . Hotel tersebut tak jauh dari ruko tadi, tempat mereka mangkal. Jaraknya tak sampai 100 meter. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Seolah mengerti dengan kedatangan Republika dan Fatma 136 | Masa Depan yang Terabaikan
, salah seorang resepsionis menjelaskan sewa kamar sebesar Rp 100 ribu untuk dua jam. Jika ingin full sampai besok siang, maka biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp 150 ribu. Resepsionis kemudian menyuruh pelayan hotel mengantarkan ke salah satu kamar di lantai dua. Ia kemudian pamit dan kembali turun ke bawah. Di kamar yang pendingin ruangannya tak terlalu dingin itu, Fatma yang terlihat masih belia itu me nga takan tak ingin terlalu lama karena harus menge jar setoran mencari pelanggan lainnya. Tapi dia tak protes mengetahui Republika hanya ingin mengobrol dengannya. Fatma yang malam itu mengenakan thank top ketat berwarna hitam mengaku baru bekerja sebagai PSK selama dua bulan. Sebelumnya, ia bekerja sebagai LC (Ladies Club), wanita-wanita yang menemani pria-pria bernyanyi di tempat karaoke Hotel Classic, Jakarta Barat. Ia hanya menemani priapria yang ingin bernyanyi saja. Tak lebih. Penghasilan yang lebih sebagai PSK menjadi alasan utamanya berubah haluan menjadi PSK. Sebagai PSK, ia bisa mengantongi pendapatan bersih sebesar Rp 8 juta per bulan. Rata-sata sehari ia melayani empat orang pria. Dari tarif Rp 400 ribu itu, Fatma mendapat upah sebesar Rp 115 ribu. “Itu belum sama uang tipnya ya. Uang tip itu tergantung pelanggan,” kata Fatma yang lahir tahun 1994 itu. Fatma masih sempat menempuh pendidikan hingga lulus SMA. Ia lulus pada usia 17 tahun. Sejak lulus, ia tak kuliah tetapi langsung bekerja sebagai LC. Karena itu, uang yang ia peroleh dari hasil kerjanya, akan ia gunakan untuk kuliah tahun depan. Fatma berasal dari keluarga yang tak terlalu miskin. Buktinya, ia masih bisa menamatkan kuliahnya hingga | 137
SMA. Namun, untuk biaya kuliah orang tuanya tak mampu membiayainya. “Makanya saya bekerja kayak gini. Biar kekum- puluangnya, “ ujarnya. Di ruko tempat Fatma bernaung itu, ada 40 orang wanita yang bekerja sebagai PSK. Namun, yang berusia 18 tahun seperti dirinya hanya dua orang. Ia sendiri dan Amelia yang dibawa Azis tadi. Sebagian wanita tinggal di ruko itu. Sebagian lainnya ada yang mengontrak kost-kostan yang masih berada di sekitar wilayah Taman Sari. Jam kerjanya sebenarnya mulai pukul 19.00 WIB. Para wanita tersebut pada siang dan sore harinya biasanya tidur terlebih dahulu. Lepas waktu Maghrib, baru mereka bersiap-siap bekerja. Di malam hari, mereka mulai melakukan persiapan sejak pukul 19.00 WIB. Pada pukul 20.00 WIB , mereka mulai masuk ke dalam mobil-mobil yang telah disediakan. Hingga pukul 00.00 WIB, mobil-mobil masih berjejeran di depan dan sekitar ruko. Di atas jam tersebut, mobil-mobil mulai berjalan ke sekitar kawasan Jakarta Barat. Tak jarang, jika sepi mobil-mobil tersebut disebar hingga ke wilayah Jakarta Selatan dan Utara. Dengan cara seperti itu mereka bisa bebas beroperasi di seluruh kawasan Jakarta. Pemilik ruko sekaligus bos dari para perempuan tersebut adalah seorang pria keturunan Tionghoa. Ia jarang berada di ruko. Dia hanya sesekali mengecek para pekerjanya di tempat tersebut. Saat ditanya soal keamanan para pekerja, Fatma mengaku tidak mengetahui hal tersebut. Ia hanya mengetahui jika di kawasan Taman Sari dan Jalan Gajah Mada adalah wilayah 138 | Masa Depan yang Terabaikan
yang aman untuk operasional bisnis esek-esek tersebut. “Selama bekerja di sini aman kok, tidak pernah ada gangguan dari petugas keamanan,” katanya. Selain beroperasi dengan Kijang Innova, PSK di bawah umur seperti Fatma banyak beroperasi di sejumlah tempat di Jakarta. Di antaranya di kawas an Jatinegara menuju ke arah Cipinang. Mereka menjajakan dirinya di jalanan. Namun, modus yang dilakukan mereka adalah pemerasan. Mereka menggoda para pelanggan. Si pelanggan di bawa ke sebuah kost-kostan tak jauh dari kawasan itu. Namun, bukannya berhubungan intim, para pelanggan itu justru diperas . Para PSK tersebut menyodori para pelanggan dengan bonbon minuman . Jumlahnya bisa mencapai Rp 300 ribu hingga Rp 900 ribu. Jika tak dibayar, mereka akan memanggil para preman yang menjaga kawasan itu. Mau tak mau pelanggan harus membayar bon tersebut. Sekjen Komnas Anak Arist Merdeka Sirait, me ng atakan para PSK anak tersebut ada yang mangkal di hotel-hotel kawasan Menteng dan Matraman. Mereka ada di lobi-lobi hotel. Sedangkan menurut LSM Bandungwangi, LSM yang mengurusi masalah PSK, anak-anak yang menjadi PSK bisa dijumpai di kawasan cafe-cafe dan diskotik di sekitar Tanjung Priok. Selain itu, mereka juga biasa mangkal di kawasan Jatinegara – Cipinang. Ada juga PSK anak yang bekerja dengan berkedok sebagai terapis di sejumlah panti pijat di kawasan Kota, Jakarta Barat. PSK anak memang sulit ditemukan. Karena, para mucikari pada umumnya sangat menyembu nyikan keberadaan mereka. “Para mucikari sadar bahwa memanfaatkan anak untuk | 139
kepentingan seks komersil sangat berbahaya jika diketahui oleh aparat penegak hukum,” kata Wakil Ketua Harian Bandungwangi Asih Unasih.
140 | Masa Depan yang Terabaikan
Perdagangan Anak Masih Marak Oleh Muhammad Hafil
Sindikat perdagangan anak sangat rapi dan terorganisasi Anak-anak yang menjadi korban praktik prostitusi di Indonesia diperkirakan sangat banyak. Berdasarkan data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), sejak 2008 hingga 2012 ini tercatat ada 70 ribu anak-anak yang menjadi pekerja seks komersial (PSK). “Masih ada 70 ribu anak-anak yang menjadi korban. Jumlah itu masih bisa terus bertambah,” kata Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait kepada Republika, di Jakarta, Rabu (21/11). Arist menolak dengan penyebutan PSK anak untuk prostitusi yang dilakukan oleh anak-anak. Ia lebih memilih sebutan anak-anak yang menjadi korban kekerasan eksploitasi seksual komersial. Alasannya, menurutnya, tak pernah ada dalam literatur dan sebutan dalam undang-undang kata PSK anak. Apalagi, anakanak masih belum bisa disebut pekerja. Namun, untuk batasan umur seorang anak-anak yang menjadi korban adalah usia 18 tahun ke bawah. Penyebab anak-anak menjadi korban kekerasan seksual, ungkap Arist, ada tiga. Yaitu, ketidakharmonisan keluarga, | 141
kemiskinan, dan gaya hidup konsumtif. Untuk ketidakharmonisan keluarga, anak-anak tak lagi merasa nyaman hidup dalam lingkungan keluarganya. Dengan demikian, mereka merasa tak betah di rumah dan mencari pelarian ke luar rumah. Untuk masalah kemiskinan, anakanak merasa ikut bertanggung jawab untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga sehingga mereka terpaksa mau dijadikan korban kekerasan seksual. Sedangkan, masalah gaya hidup merupakan gabungan dari dua faktor sebelumnya. Mereka yang keluarganya tidak harmonis ditambah faktor kemiskinan, membuat mereka ingin berperilaku konsumtif yang berlebihan. “Ya, misalnya, mereka ingin memiliki ponsel canggih, uang, gaya pakaian, dan sebagainya,” kata Arist. Bagaimanapun faktor itu, Arist tak setuju ada anggapan bahwa mereka terjun ke dunia esek-esek itu karena inisiatif pribadi. Mereka biasanya dibujuk rayu oleh para perantara maupun germo untuk mau dikorbankan secara seksual. “Nah, dari sinilah cikal bakal terjadinya perdagangan anak,” kata Arist. Arist menyebut kata ‘perdagangan’ karena anak-anak berpindah tempat dari satu daerah ke daerah lain dan ada nilai transaksi uang. Ada orang yang berperan, seperti pelanggan, perantara, dan mucikari. Selain itu, mereka secara seksual dieksploitasi untuk terwujudnya perputaran uang. “Kalau sudah seperti itu, sudah bisa dikatakan dengan sindikat perdagangan anak,” jelas Arist. Sindikat perdagangan anak ini tidak kasat mata. Mereka yang tergabung dalam bisnis ini benar-benar merahasiakan gerakannya. Namun, pergerakan mereka sangat rapi dan terorganisasi. Modus pergerakan mereka mulai dari tingkat
142 | Masa Depan yang Terabaikan
desa. Para sindikat itu merayu orang tua supaya anak-anaknya mau bekerja dalam bisnis seks. Dengan memberikan janji-janji dan harapan bisa mendapatkan uang banyak, banyak orang tua yang luluh untuk mengorbankan anaknya. Kemudian, jaringan mereka mulai menyebar ke sejumlah kota, termasuk ke Jakarta, bahkan hingga ke luar negeri. Penyebaran mereka ke luar negeri biasanya di sejumlah negara ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sedangkan, di luar ASEAN adalah Jepang dan Eropa Timur. Mereka melakukan itu dengan alasan mengirimkan tenaga kerja. Pintu-pintu keluarnya ada di sejumlah pelabuhan, seperti di Batam dan perbatasan Kalimantan. Sementara, para pemasoknya ada di sejumlah provinsi. Dan yang terbanyak, papar Arist, adalah dari Jawa Barat, Sumatra Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Sedangkan, peta penyebaran anak-anak yang dipaksa bekerja itu di Jakarta ada di sejumlah wilayah. Misalnya, di hotel-hotel kawasan Jakarta Timur, tempat-tempat panti pijat di kawasan Gajah Mada Jakarta Barat hingga ke bekas bandara di Kemayoran. Modus operasi mereka sekarang tak hanya dilakukan bertatap muka langsung, tetapi bisa juga dengan menjalin hubungan di dunia maya atau jaringan internet. Namun, untuk modus yang ini, sangat sulit untuk dilacak ketimbang yang bertatap muka langsung. Untuk menemukan anak-anak yang menjadi korban seksual ini termasuk sulit. Karena, para germo tak akan langsung menjajakan diri mereka secara terangterangan seperti PSK yang sudah berusia dewasa. Para mucikari tak mau jika diusut oleh penegak hukum. Mereka bisa dikenai pasal dua kali. Yaitu, melanggar asusila dan memperdagangkan anak di bawah umur. Namun, bisa juga mereka sengaja menyembunyikan anak-anak ini sebagai
| 143
bagian dari strategi. Dengan sulitnya mencari mereka, tarif anak-anak tersebut bisa lebih mahal. Arist mengatakan, masih maraknya anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual itu tak lepas dari lemahnya peran perlindungan negara. Negara belum memiliki komitmen yang kuat dalam melindungi anak-anak tersebut. Tidak hanya negara Indonesia sendiri, tetapi negaranegara di kawasan ASEAN. Mereka belum pernah membentuk perjanjian multilateral terkait pencegahan perdagangan anak. Jika perjanjian pencegahan perdagangan anak itu dibuat, ia yakin pergerakan perdagangan anak ini bisa ditekan. “Sebagai contoh, jika ada anak-anak Indonesia yang diperdagangkan di Taiwan, Pemerintah Taiwan bisa berkoordinasi dengan Pemerintah Indonesia untuk memberantas praktik perdagangan ini,” kata Arist. Selain itu, peran negara di perbatasan dan tempat-tempat pintu masuk imigrasi sangat lemah. Masih banyak ditemukan jalan-jalan bagi para sindikat itu untuk meloloskan mereka dari pemeriksaan. “Itu yang harus diselidiki, kenapa mereka masih bisa lolos,” katanya. Karena itu, Arist meminta negara lebih gencar memberantas perdagangan anak ini. Ia yakin, jika negara memiliki komitmen yang kuat, praktik perdagangan anak untuk eksploitasi kekerasan seksual komersial bisa ditekan. Terkait dengan modus perdagangan PSK anak secara daring, berdasarkan data yang dikutip dari situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Indonesia merupakan salah satu pengguna internet terbesar di dunia sesudah Amerika dan Cina. Kondisi ini tentu saja membuka akses seluas-luasnya bagi semua pihak untuk dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
144 | Masa Depan yang Terabaikan
tersebut dengan mudah, murah, dan cepat. Di sisi lain, tidak semua pengguna internet mempunyai niat yang baik. Hal ini sudah terbukti dari data yang ada yang menggambarkan internet dipakai untuk menipu, mengimingimingi, dan akhirnya digunakan untuk menjual anak ataupun remaja putri untuk tujuan eksploitasi seksual dan prostitusi. Dari 240 juta orang penduduk Indonesia, 49,9 persennya adalah perempuan dan 30 persennya anak. Mereka ini berpotensi menjadi sasaran kejahatan perdagangan anak. Berbeda dengan temuan Komnas Anak, Mabes Polri menyatakan perdagangan anak tidak banyak. “Memang ada. Tapi, saya gak bisa bilang marak,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjend Pol Boy Rafli Amar kepada Republika, di Jakarta, Jumat (23/11). Saat ditanya jumlahnya, Boy mengaku belum bisa menyebutkan karena masih harus dicek terlebih dahulu. Hanya saja, ia menjelaskan bahwa perdagangan anak itu merupakan tindak pidana kejahatan dengan kategori serius. Berdasarkan data dari Bareskrim Polri, seperti dikutip dalam laporan bertajuk “Anak Yang Diperdagangankan” di situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dari tahun 2004 hingga 2009 jumlah korban perdagangan anak mengalami peningkatan meski mengalami penurunan pada 2008. Pada 2004, jumlah anak yang menjadi korban adalah10 orang kemudian pada 2005 meningkat menjadi 18 orang. Pada 2006 dan 2007 mengalami peningkatan siginifikan, yaitu 100 orang dan 240 orang. Pada 2008 menurun menjadi 88 orang dan pada 2009 kembali menurun, yaitu 55 orang. Dalam laporan itu disebutkan jumlah tersebut belum bisa menggambarkan representasi jumlah korban sesungguhnya di
| 145
masyarakat. Ini terjadi karena banyak faktor yang menyulitkan untuk mengetahui jumlah korban perdagangan sesungguhnya. Antara lain, karena sifatnya yang sembunyi dan menyamarkan korban sehingga data tersebut adalah data yang dilaporkan masyarakat kepada Polri saja. Polri, kata Boy, terus melakukan pencegahan terhadap praktik kejahatan tersebut. Karena itu, partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk membantu Polri memberantas praktik perdagangan anak tersebut. “Kalau masyarakat memiliki informasi, tolong segera dilaporkan ke polisi. Ini penting untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak dan wanita,” kata Boy Rafli.
146 | Masa Depan yang Terabaikan
Dari Mantan untuk PSK Oleh Muhammad Hafil
Membina PSK anak jauh lebih sulit dibanding yang dewasa Rumah tersebut berada di anak gang di Jalan Pisangan Lama II RT 001/02, Pisangan Timur, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Untuk mencapainya, hanya bisa dengan sepeda motor atau jalan kaki. Kendaraan roda empat tak bisa masuk. Letaknya persis di belakang sebuah pasar tradisional dekat Stasiun Jatinegara. Itulah rumah yang dijadikan kantor relawan LSM Yayasan Bandungwangi. Sebuah organisasi nirlaba yang mengurus masalah pekerja seks komersial (PSK). Tak ada papan nama yang menunjukkan bahwa itu adalah sebuah kantor. Hanya saja, orang-orang di sekitar tahu bahwa itu adalah sebuah kantor yang seluruh penghuninya perempuan. Siang itu, Kamis (22/11), sekitar pukul 14.00 WIB, satu per satu perempuan berdatangan ke rumah kantor itu. Ada delapan orang perempuan dengan usia yang berbeda-beda. Ada yang masih anak-anak, ada yang sudah dewasa. “Ayo, laporan. Mana laporannya?” Teriak seorang perempuan bertubuh kurus. Perempuan bercelana jins dan berjilbab dengan pakaian kaos agak ketat itu sibuk merapikan berkas-berkas. Segera saja perempuan lainya berkumpul mengelilingi sebuah meja bundar. Masing-masing sibuk
| 147
menulis pada secarik kertas. Ada kolom-kolom berisi namanama mereka di kertas tersebut. Perempuan-perempuan itu baru saja selesai melakukan pendampingan kepada para pekerja seks komersial (PSK), baik anak maupun dewasa. Para PSK yang didampingi dibawa oleh para perempuan itu tersebut ke rumah sakit untuk kepentingan pemeriksaan dan berobat ataupun diberikan materi pembinaan. Seusai melakukan briefing yang dipimpin oleh seorang pelaksana tugas harian, mereka membahas masalah kegiatan dan program yang sudah dilakukan. Perempuan-perempuan itu adalah adalah para staf dan relawan LSM Bandungwangi. Ada 13 orang pengurus dan tujuh orang relawan yang bergabung dalam organisasi tersebut. Mereka pada umumnya adalah mantan PSK yang sudah meninggalkan pekerjaan sebelumnya dan kembali ke jalan yang benar. “Sebanyak 90 persen pengurus dan relawan Bandungwangi adalah mantan PSK. Hanya satu orang yang bukan PSK,” kata Wakil Ketua Harian Bandungwangi Asih Unasih kepada Republika di kantor Yayasan Bandungwangi. Sejarah Bandungwangi berawal pada 1995 sebagai sebuah kelompok PSK yang memiliki kepedulian terhadap permasalahan kesehatan reproduksi termasuk HIV/AIDS di kalangan PSK. Pada 1999, kelompok ini dilegalkan menjadi sebuah yayasan sehingga memberi landasan yang jelas bagi anggotanya untuk bersuara dan membantu PSK lainnya. Sejak 1999, organisasi ini telah mendampingi lebih dari 2.000 orang PSK. Sebanyak 500 orang merupakan PSK anak berusia 13-18 tahun dan 1.500 PSK berusia 19 tahun ke atas. Semua PSK itu berada di wilayah Jakarta. Terbanyak dari wilayah timur dan utara.
148 | Masa Depan yang Terabaikan
Hampir semua PSK, baik anak maupun dewasa berhenti dari pekerjaannya setelah diurus oleh Bandungwangi. Organisasi ini memberikan penyuluhan, penyadaran, dan pembinaan kepada mereka. Penyuluhan antara lain tentang bahaya HIV/ AIDS dan cara penanggulangannya. Sedangkan, dalam bidang keterampilan yang diajarkan, antara lain, membuat kue, salon, membatik, dan membuat aksesori. “Saya sendiri adalah mantan yang dulu juga dibina oleh Bandungwangi,” aku Asih. Saat ini, Bandungwangi membina 100 orang PSK anak dan 1.000 orang PSK dewasa. Namun, belum seluruhnya bisa bebas dari menjalani pekerjaan sebagai PSK. Asih memaparkan, ada beberapa hambatan ketika mengurus para PSK tersebut. Tantangannya, mulai dari PSK itu sendiri yang belum bisa lepas dari pekerjaannya atau dihalang-halangi oleh para mucikari. “Belum seluruhnya bisa disadarkan. Apalagi, mucikarinya juga kadang mempersulit,” ujar Asih. Organisasi ini didanai oleh sejumlah donatur, baik dari dalam maupun luar negeri. Di antaranya, adalah ILO, Unicef, Kedutan Besar Jepang, AIDS Fonds, dan individu-individu yang peduli. Namun, pendanaan itu tak cukup untuk biaya operasional mereka. Karena itu, mereka tetap mengandalkan sumbangan dari pihak-pihak yang peduli dan memproduksi karya kerajinan tangan yang bernilai ekonomis, seperti pembuatan manik-manik, batik, dan salon. Dalam melakukan aktivitasnya, para pengurus dan relawan yang sudah sadar menemui para PSK pada malam hari. Mereka mengunjungi tempat PSK beroperasi, seperti di jalan, panti pijat, dan kafe.
| 149
Mereka mengajak berbicara para PSK tersebut dari hati ke hati. Kemudian, para pengurus dan relawan menemui para PSK tersebut di tempat tinggal mereka masing-masing keesokan harinya. Di tempat tinggal PSK, mereka membujuk dan memberi pengetahuan tentang betapa besar risiko bekerja sebagai PSK. Di antaranya, adalah dampak buruk terkena HIV/AIDS. Mereka membagi ilmu tentang bahaya HIV/AIDS. Setelah terpengaruh, para PSK di bawa ke pusksesmas. Setelah di puskesmas diberikan penjelasan tentang bahaya penyakit ini, barulah perlahan-lahan para PSK tersebut biasanya sadar. Tidak hanya disadarkan, para PSK tersebut diberikan pelatihan dan keterampilan. Misalnya, pendidikan kursus salon dan membuat kue. “Itu untuk bekal mereka bekerja setelah tidak menjadi PSK,” kata Asih.
PSK anak lebih susah Menurut Asih, membina PSK anak lebih susah. Hal itu karena pikiran mereka belum terbuka dan mereka cenderung hidup konsumtif bukan berdasarkan kebutuhan. “Apalagi, kalau yang sudah senang dengan pekerjaan ini, mereka mikirnya dapat duit dengan bekerja sebagai PSK itu gampang,” katanya. Rata-rata per bulan, Bandungwangi mendapat lima orang PSK anak. Jauh lebih sedikit dari PSK dewasa yang bisa mencapai 40 orang yang ditangani. Mendapati PSK anak juga sangat susah. Karena, para mucikari pada umumnya menyembunyikan kehadiran mereka. Alasannya, mereka takut mempekerjakan anak di bawah umur. Selain itu, banyak anak-anak di bawah usia 18 tahun yang menjadi PSK membohongi umurnya. Misalnya, mereka
150 | Masa Depan yang Terabaikan
mengatakan sudah berumur 20 tahun, padahal setelah pihak Bandungwangi mengecek pada orang tuanya, ternyata masih 15 tahun. Anak-anak direkrut menjadi PSK dengan berbagai cara. Biasanya mereka didatangi lalu dibujuk untuk bekerja di bar atau kafe. Dari sekadar menemani tamu, lama-kelamaan anakanak itu menjalani kehidupan sebagai PSK. Ada juga yang merasa sudah tak punya harapan karena sudah tidak perawan sebelum menikah. Yang lebih banyak adalah alasan ekonomi karena tak ada pilihan pekerjaan lain. Liana (bukan nama sebenarnya) adalah salah seorang PSK anak yang masih dalam binaan Bandungwangi. Liana yang berusia 17 tahun itu sudah menjadi PSK sejak usia 15 tahun. Pada usia 16, ia bertemu dengan Asih yang pada saat itu menjadi pemandu lapangan. Oleh Asih, ia diberikan pengertian bahwa bekerja sebagai PSK sangat berbahaya. Kemudian, Asih pun menawarkan Liana menjadi relawan di Bandungwangi. “Alhamdulillah, meskipun sekarang saya tidak benar-benar bebas sebagai PSK, tetapi sudah jauh berkurang. Sekarang 70 persen saya bekerja untuk Bandungwangi dan 30 persennya masih menjadi PSK,” papar Liana. Liana mengaku senang mendapat bimbingan di Bandungwangi. Ia mengaku tak pernah dipaksa oleh Asih untuk meninggalkan dunia hitam itu. Asih memberikan pengertian dengan kasih sayang. Saat ini, Liana menjadi relawan di Bandungwangi. Ia memperoleh gaji Rp 1 juta per bulan. Tugasnya adalah mengurus buletin Bandungwangi yang diterbitkan setiap bulan. Ia menjadi salah satu penulis tetap di buletin tersebut. Artikel yang ia tulis adalah pengalaman-pengalaman hidupnya dan pengalaman teman-temannya yang menjadi PSK. Ia juga
| 151
menulis tentang bahayanya menjadi PSK yang bahannya ia dapatkan dari berbagai sumber. Liana mengaku mendapat bimbingan menulis dari Bandungwangi. Ia sadar, tulisannya masih berantakan, tapi ia bercita-cita untuk menjadi penulis profesional. “Ya, saya sih pengen gitu menulis di koran atau menulis buku. Tapi, saya belum ada jaringan yang bisa menolong saya untuk memublikasikan tulisan saya,” kata Liana. Di Bandungwangi, Liana juga pernah mendapatkan kursus salon dan membatik. Namun, ia mengaku keterampilan itu belum memberikan keuntungan secara ekonomi. “Tapi, saya akan mantapkan keterampilan-keterampilan itu untuk bekal saya nanti jika sudah benar-benar bebas menjadi PSK,” katanya. Alasan Liana belum benar-benar bisa meninggalkan dunia hitamnya adalah karena ia masih membutuhkan uang. Saat ini, dengan menjadi PSK, ia bisa menghasilkan uang sebesar Rp 3,5 juta per bulan. “Nanti, kalau saya benar-benar sudah dapat pekerjaan tetap yang menghasilkan uang, saya akan benar-benar berhenti,” katanya. Liana percaya, keinginannya itu akan terwujud. Karena, ia yang aslinya tidak lulus SD, bisa menyelesaikan sekolah tingkat dasarnya itu dengan jalur paket. Hal tersebut tidak terlepas dari jasa Bandungwangi yang telah membiayainya untuk mengambil pendidikan paket tersebut. “Apalagi, saya juga akan mengejar paket untuk SMP,” katanya. Meski sudah belasan tahun menjalankan kegiatannya dan berhasil mengeluarkan anak-anak dan wanita dari jeratan PSK, tak membuat LSM Bandungwangi bebas dari cibiran. Bahkan, tidak jarang ada yang menganggap Bandungwangi 152 | Masa Depan yang Terabaikan
adalah wadah untuk menyalurkan PSK. Namun, semuanya tersebut tidak menyurutkan niat lembaga ini untuk memberikan pendampingan para PSK agar mereka mengetahui hak-hak kesehatan mereka. Direktur Bandungwangi Endang Supriarti mengatakan, Bandungwangi melakukan pendekatan dengan cara-cara persuasif untuk menyadarkan mereka akan bahayanya bergonta-ganti pasangan. Lembaga ini tak memaksa mereka untuk keluar dari lingkungan prostitusi. “Intinya, kami memberikan pendampingan agar kelak jika mereka berhenti sudah siap secara mental,” ujar Endang. Endang mengeluhkan banyak orang yang memandang remeh hal tersebut. Bahkan, ia terkadang miris banyak yang menganggap PSK itu adalah sampah masyarakat yang harus dijauhkan. “Seharusnya, mereka dirangkul dan diberi pengertian betapa bahayanya bekerja sebagai PSK. Tak ada di antara mereka yang menginginkan menjadi PSK,” tegasnya. Endang meminta masyarakat menyelami lebih jauh perasaan mereka yang sudah terjerat menjadi PSK. Dia berharap, masyarakat dapat lebih memahami dan tahu bagaimana bertindak untuk menyelamatkan mereka dari aktivitas yang membahayakan tersebut.
Muhammad Hafil Lahir di Bogor, 4 April 1985. Sarjana Ilmu Politik Universitas Andalas Padang ini kini menjadi jurnalis di Harian Republika. Tinggal di Depok bersama istrinya.
| 153
154 | Masa Depan yang Terabaikan
PERLINDUNGAN ANAK
Saat Warga Desa Berhenti Abai... 1 Oleh Gregorius Magnus Finesso
Kegetiran masih tersirat di wajah Haminah (36) kala menceritakan peristiwa pilu yang mengubah wajah desanya medio 2007. Kala seorang gadis remaja mendapat pelecehan seksual dari oknum perangkat desa setempat. Sementara aparat seolah tutup mata, perempuan tamatan sekolah dasar ini pasang badan. Ia mendampingi korban, mulai dari kantor polisi hingga rumah sakit, untuk memastikan hak-hak korban sebagai anak terlindungi. Pagi harinya, setelah kejadian itu, saya langsung mendatangi rumah korban yang belakangan diketahui hamil. Rasanya marah, geram. Tetapi bingung mau mengadu ke mana,” tutur perempuan warga Desa Penimbun, Kecamatan Karanggayam, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Senin (25/2) siang. Tanpa digerakkan kepentingan apa pun, Haminah dan beberapa warga memperjuangkan hak remaja korban kekerasan yang saat itu masih berumur 15 tahun tersebut. Mereka memeriksakan remaja tadi ke rumah sakit untuk meminta bukti visum. Hasilnya digunakan sebagai bukti menjerat pelaku.
1 Naskah ini telah diterbitkan di Harian Kompas pada 8 Mei 2013
| 155
Trauma fisik dan psikologis yang diderita si remaja perlahan coba diterapi. Haminah yang hanya ibu rumah tangga biasa rela menyisihkan uang belanjanya untuk bolak-balik mengantarkan korban ke rumah sakit. Psikolog pun didatangkan untuk memberi terapi bagi kesehatan mental korban yang sangat terganggu. Terlebih setelah diketahui pelaku melarikan diri. Naluri kemanusiaan dan empati akhirnya mampu menggerakkan pemerintah desa tergerak menanggung semua beban biaya pengobatan remaja tersebut, bahkan hingga persalinannya. Apalagi, remaja tadi berasal dari keluarga miskin dan hidup hanya berdua dengan neneknya di sebuah bilik bambu. Berawal dari keprihatinan pada kasus tersebut, dimulailah gerakan swadaya sejumlah warga Desa Penimbun. Haminah dan segelintir rekannya memulai sosialisasi tentang posisi anak-anak yang rentan mendapat kekerasan, sekalipun dari orang-orang terdekat mereka.
Kelompok swadaya Akhir 2007, mereka pun membentuk sebuah kelompok untuk memperkuat upaya perlindungan hak-hak anak di desa tersebut. Mereka menolak menutup mata saat anak-anak menjadi korban kekerasan dan merasa sendirian. Terlebih, warga di Desa Penimbun hidup terisolasi dari pusat kota. Tempat tinggal mereka berada di daerah perbukitan berjarak sekitar 60 kilometer di barat laut pusat pemerintahan Kebumen. Jalan menuju desa tersebut harus melalui hutan pinus dengan jalan tanah berlumpur. ”Justru kasus-kasus kekerasan lebih banyak terjadi di daerah terpencil karena rendahnya pendidikan dan tidak terpantau aparat,” ujar Mislun, Ketua Kelompok Perlindungan 156 | Masa Depan yang Terabaikan
Anak tingkat Desa (KPAD) Penimbun. Perjuangan warga di Desa Penimbun mendapat perhatian dari Plan Indonesia. Sebuah organisasi internasional yang fokus terhadap persoalan perlindungan anak. KPAD Penimbun kemudian mendapat pendampingan dari Plan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia anggotanya. Sanisa Sanusi Rauf, Senior Community Transformation Agent Plan Indonesia Program Unit Kebumen, menuturkan, program pendampingan yang dilakukan terutama untuk menyosialisasikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta metode advokasi kasuskasus kekerasan terhadap anak. Plan sengaja menyasar desadesa terpencil di Kebumen yang acap kali luput dari pantauan publik. Sebab, kekerasan terhadap anak di daerah terpencil masih sering datang dari orang-orang yang semestinya melindungi mereka. Seperti halnya di Desa Kajoran, Kecamatan Karanggayam. Kekerasan terhadap anak di desa tersebut datang dari guru dan orangtua mereka. ”Dulu sering dijumpai guru yang menampar muridnya hanya karena terlambat sekolah atau salah mengerjakan soal. Bahkan, masih ada orangtua yang menghukum anaknya dengan hukuman fisik,” tutur Suparlan (47), aktivis swadaya kelompok perlindungan anak di Desa Kajoran. Seperti halnya Haminah, Suparlan hanya seorang petani biasa yang punya harapan besar pada anak-anak di desanya. Prihatin kondisi tersebut, tanpa ragu, dia datangi sekolahsekolah dan rumah-rumah untuk memberikan pengertian kepada warga tentang pentingnya peran mereka melindungi anak-anak. Hampir di setiap pengajian, kerja bakti hingga rapat-rapat
| 157
komite sekolah, bapak tiga anak tersebut selalu hadir untuk memberi pemahaman baru tentang perlindungan hak anak tanpa nada menggurui. ”Kalau anak ditampar, apa yang kita dapat? Tidak hanya anak itu yang sedih, kita sebagai orangtuanya juga berdosa. Mereka bukanlah milik kita, tetapi titipan Tuhan,” pesan Suparlan dalam bahasa Jawa kepada setiap warga di desanya.
Inisiasi peraturan desa Kondisi geografis rumah-rumah di pedesaan yang berjauhan juga memungkinkan anak gadis sering kali ditinggal seorang diri tanpa pengawasan di rumahnya. Hal ini, menurut Suparlan, rentan memicu pelecehan seksual. Untuk itu, selain penyadaran dari sisi agama, seluruh remaja perempuan juga diberikan pendidikan seksual sejak dini. Sebab, anak-anak perempuan di desa-desa terpencil di Kebumen masih sering dinikahkan secara dini hanya karena alasan ekonomi. Di Kecamatan Karangsambung, misalnya, hingga 2007, dari seluruh murid SD, paling banyak hanya 25 persen di antaranya yang melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. ”Sebagian besar anak-anak yang masih usia 12-15 tahun itu dinikahkan oleh orangtuanya begitu lulus SD. Kebanyakan dengan alasan ekonomi,” ujar Apri Restuti (26), guru SDN 3 Karangsambung, yang juga bergabung dalam KPAD di desa setempat. Untuk melangsungkan pernikahan dini tersebut, banyak warga main mata dengan perangkat desa untuk memanipulasi usia anak. Padahal, perempuan yang bersalin di bawah usia 20, menurut Apri, rentan terkena penyakit kanker leher rahim. Upaya menahun warga di desa-desa terpencil di Kebumen 158 | Masa Depan yang Terabaikan
tadi akhirnya membuahkan hasil. Saat sebagian besar pemerintah kabupaten/kota belum terpikir, sekitar delapan desa di Kebumen berhasil menginisiasi peraturan desa tentang perlindungan anak! Manajer Plan Indonesia Program Unit Kebumen, Amiruddin Pari, mengatakan, berkaca dari banyaknya dugaan kekerasan seksual termasuk yang menimpa RI, anak perempuan 11 tahun di Jakarta Timur yang akhirnya meninggal dunia, peran keluarga, masyarakat maupun pemerintah dalam deteksi dini kasus kekerasan terhadap anak masih lemah. Di Kebumen sendiri, kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat. Pada 2011 tercatat 40 kasus, sedangkan pada 2012 melonjak menjadi 88 kasus kekerasan. Sejak 2009, bersama warga dan pemerintah lokal di sembilan kabupaten di Indonesia, termasuk Kebumen, Plan Indonesia telah mendampingi pembentukan KPAD di 167 desa. Melalui KPAD, masyarakat berhenti abai terhadap perlindungan anak. Dengan demikian, orangtua dan aparat pemerintah lokal lebih sensitif mendeteksi adanya potensi kekerasan di lingkungannya. Sebab, sudah saatnya kesadaran perlindungan anak dibangun dari orang- orang terdekat mereka.
Gregorius Magnus Finesso Pria yang lahir di Yogyakarta, 13 Agustus 1982 ini dikenal dengan panggilan Alfin. Saat ini menjadi jurnalis di Harian Kompas untuk wilayah Kebumen, Banyuma, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan Wonosobo. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang .
| 159
160 | Masa Depan yang Terabaikan
Eksploitasi Berahi Berjubah Wali1 Oleh Asrori S. Karni, Haris Firdaus, Mukhlison S. Widodo, dan Gandhi Achmad
Habib muda yang sedang naik daun diadukan mencabuli puluhan jamaah pria remaja. Berdalih doktrin ketaatan pada wali. Korban terindikasi kecanduan dan dikhawatirkan mengalami penyimpangan orientasi seksual. Polisi dinilai lamban. Bagi loyalis habib, isu ini fitnah. Sepucuk surat panggilan dilayangkan Komisi Perlindung an Anak Indonesia (KPAI). Surat yang diteken Ketua KPAI, Maria Ulfah Anshor, tertanggal 13 Februari 2012, itu ditujukan kepada Habib Hasan bin Ja’far Assegaf, beralamat di Jalan K.M. Kahfi, Gang Manggis, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dijadwalkan, pihak terpanggil diperiksa Wakil Ketua KPAI, Asrorun Ni’am Sholeh, pada Jumat besok pukul 14.00 WIB. Pemanggilan Hasan oleh KPAI itu terkait statusnya sebagai terlapor atas pengaduan yang cukup serius untuk seorang tokoh agama: “kekerasan psikis dan kekerasan seksual”. Sebelumnya, pada 16 Desember, Hasan dilaporkan ke polisi atas tuduhan melakukan pencabulan. Namun, hingga pertengahan Februari,
1 Naskah ini telah dipublikasikan di Majalah Gatra pada 22 Februari 2012
| 161
polisi belum juga memanggil dan memeriksa terlapor. Aparat penegak hukum itu kalah sigap ketimbang KPAI, yang langsung melayangkan pemanggilan setelah menerima pengaduan pada Selasa, 7 Februari. Meski berusia muda, 38 tahun, dan namanya belum lama mencuat, Hasan Assegaf bukan sosok sembarangan. Ia ikon kunci Nurul Musthofa (NM), majelis taklim yang 10 tahun terakhir naik daun, menjadi magnet baru bagi puluhan ribu anak muda Jakarta dan sekitarnya. NM masuk dua terbesar majelis taklim di Jakarta, selain Majelis Rasulullah pimpinan Habib Mundzir Al-Musawa. “Ciri khas Nurul Musthofa suka menggelar pengajian sambil menutup jalan raya,” kata Usman Arai, salah satu perintis NM yang telah keluar tiga tahun silam. Itulah sebabnya, NM kerap menuai sorotan. Pengaduan pelecehan seksual ini menambah panas sorotan terhadap majelis pencinta habaib itu. Korban yang mengadu adalah murid-murid lingkaran dekat sang habib. Sebagian malah kerabat sejumlah orang yang berperan penting dalam merintis pengembangan majelis itu. Empat di antaranya tercatat putra keluarga habaib. “Saya merasa sakit dan diinjak-injak. Rasanya muka saya seperti ditempeleng dengan kotoran sapi,” kata Hasyim Assegaf, 48 tahun, seorang perintis NM, yang sepupu dan keponakannya jadi korban pencabulan. Gatra mengoleksi testimoni sejumlah korban. Salah satunya, sebut saja Mamat, yang mengaku dicabuli Hasan sejak 2002 sampai 2006, ketika berusia 18-22 tahun. Modusnya belum separah korban pasca-2006. Saat punya hasrat, Hasan memanggil korban ke kamarnya via SMS, telepon, BlackBerry Messenger (BBM), atau pesan Facebook.
162 | Masa Depan yang Terabaikan
Gatra memperoleh copy perbincangan pesan Facebook Hasan dengan akun “Mengemis Doa Kalian” dengan salah satu muridnya. Ada beberapa istilah dan kode khusus yang dipakai. Misalnya, Hasan mengajak “spg”, “dicolein”, membawa “vcd beef”, minta “ditelen”, “yg hot ok”, atau “musti lebih hebat mainnya”. Pesan lain mengisyaratkan permintaan murid beraksi berdua di depan Hasan. “Kami disuruh mijitin,” kata Mamat saat ditemui Gatra, Kamis pekan lalu, usai mengadu ke KPAI. Setelah memijit kaki, Mamat ditawari untuk dibersihkan hati dan nafsunya. “Saya disuruh nyium bibirnya, nelen ludahnya, dan nyium dadanya,” tutur Mamat. Hasan minta diperlakukan bagaikan pacar Mamat. “Lampiasin semua nafsu ente ke ane kalau ente mau dijaga nafsunya sama ane,” kata Hasan, ditirukan Mamat. Hasan mengklaim, tindakan itu dilakukan dalam kapasitas sebagai wali. “Ini hal wali. Ane melakukan ini buat ngeredam nafsu ente supaya nggak liar,” tutur Hasan. Awalnya Mamat percaya. Pada 2006, Mamat melawan. Lantaran diminta mencopot sarung Hasan. Tahun 2007, Mamat keluar dari NM. Ia tak bercerita kepada keluarga. “Saya malu,” katanya. Ketika kasus ini meledak pada 2011, Mamat tak bisa lagi menyimpannya. Apalagi, adik kandungnya, sebut saja Andi, 19 tahun, juga jadi santapan Hasan. Andi dicabuli sejak 2006, ketika berusia 13 tahun. Mamat marah besar. “Saya tidak bisa toleransi lagi. Ini bukan wali. Saya harus menghentikan,” ungkapnya, geram. Kepada Andi, Hasan meyakinkan hendak menghilangkan kejahatan dalam tubuhnya. “Daripada nanti kebejatan ente dibuka Allah di Padang Mahsyar, lebih baik dibuka ke ane. Biar ane yang nanggung,” kata Hasan.
| 163
“Adik saya disuruh cium bibir, nelen ludah, gigit lidah, kemaluannya dipegang-pegangin,” ungkap Mamat. Kepada korban lainnya, perilaku Hasan lebih buas. Hasan sampai melakukan sodomi dan oral sex. “Kalau oral, sampai ada gaya 69 segala,”papar Mamat. Kepada korban, Hasan royal. Mereka diberi uang saku Rp 50.000 sampai Rp 700.000. Ada yang dikasih ponsel. Doktrin kewalian pembungkus aksi cabul itu, kata Mamat, disampaikan secara pribadi, tidak dalam pengajian terbuka. Perilaku Hasan makin merajalela sejak 2006. “Karena dia mulai punya rumah sendiri,” katanya. Sebelum itu, Hasan menumpang tinggal berpindah-pindah pada sejumlah jamaah kaya pencinta habib. Pada 2002, menurut Mamat, aksi cabul Hasan pernah terbongkar. Ada korban yang mengadu kepada keluarganya, tapi diselesaikan secara kekeluargaan. “Hasan ngaku dan taubat,” kata Mamat. Kepada Mamat, Hasan pernah bilang, aksinya berhenti sendiri setelah menikah. Mamat dan keluarga korban percaya dan sepakat meredamnya. Ternyata, setelah Hasan menikah pada 2004, aksinya berlanjut. Korban terbanyak adalah remaja yang sehari-hari tinggal di rumah Hasan di Gang Kahfi, Jagakarsa, untuk membantu operasional NM. Salah satu korban yang dipaksa melakukan oral sex dan mengonani Hasan adalah Jeki, sebut saja begitu, sepupu Hasyim Assegaf, sosok berada yang pernah memfasilitas berdirinya NM. Gatra menemuinya usai melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Selasa lalu. Aksi cabul Hasan, kata Jeki, untuk mengeluarkan setan dari tubuh korban. Apakah korban menikmati? “Enggak, kami semua berat. Kami kayak dicuci otak, kalau nggak nurutin, nanti kualat,”
164 | Masa Depan yang Terabaikan
kata Jeki kepada Taufiqurrohman dari Gatra. Ada keinginan keluar dari jerat Hasan. “Tapi kami tuh kaya terikat. Kami pengen keluar, tapi ada saja ancaman dalam batin. Ntar kami dimusuhin, dibilang durhaka, pokoknya diintimidasi,” katanya. “Kami selama ini tertipu mata melihat dia punya murid ribuan, ditambah doktrin-doktrin itu.” Selasa sore, saat di LPSK, Jeki tiba-tiba menerima BBM dari temannya yang masih bergabung di lingkaran Hasan. Sebut saja Isal. Ia menunjukkan gelagat ingin keluar. “Ana tidak bisa lagi bersandiwara atas hal ini. Ini fakta dan bukan hasud,” tulis Isal dalam BBM-nya kepada Jeki. Ia berharap, makin banyak temannya di lingkaran Hasan yang mau keluar. Terbongkarnya skandal Hasan itu terpicu somasi yang dilayangkan Hasan kepada depalan orang, November 2011. Seorang pengusaha pencinta habib, sebut saja Edo, yang ditemui Gatra di rumah Hasyim Assegaf di Jagakarsa, menjelaskan bahwa masalah ini bermula ketika korban cabulan Hasan mengadu kepada kakak perempuannya. Si kakak mengadukan kepada guru mengajinya, Maryam, di Jagakarsa. Maryam adalah menantu Haji Atung, sosok yang pada tahun 2000-an sempat menampung Hasan bin Ja’far di rumahnya. Setelah mendapat laporan, Maryam melarang muridnya datang ke NM. Berita ini menyebar ke beberapa pihak. Informasi itulah yang membuat Hasan gerah dan melayangkan somasi. Dua orang yang turut disomasi adalah Maryam dan Usman Arai, orang yang pertama kali mendatangkan Hasan dari Bogor ke Jakarta. Mereka yang mendapat somasi kemudian sepakat membongkar kasus pelecehan seksual Hasan. Pihak yang disomasi dan korban pelecehan Hasan sempat menghadap Habib Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela
| 165
Islam (FPI). Rizieq diminta menjadi penengah antara Hasan dan korban. Sebulan setelah menghadap Rizieq dan tidak ada kemajuan berarti, kasus ini dilaporkan ke Polda Metro Jaya, karena ancaman pada korban dan keluarganya terus meningkat. Majelis taklim Hasan di Jakarta pertama kali bertempat di rumah Haji Atung, Kampung Kandang, Jagakarsa. Promosi kewalian Hasan membuat banyak anak muda tertarik. Beberapa orang kaya terpikat menjadi donatur. Dana itu, antara lain, untuk promosi lewat spanduk, baliho, umbulumbul, dan website. Haji Atung termasuk salah satu penyumbang. Donatur utama lainnya, sebut saja Haji Nuril, dari Cilandak. Rumah Hasan yang kini disebut Istana Segaf di Ciganjur berdiri di atas tanah hibah ayah Nuril. Sebelum Istana Segaf jadi, Hasan sering tinggal di rumah Nuril, plus difasilitasi memakai mobil Nuril. Sialnya, kata Edo, anak Haji Atung dan Haji Nuril juga jadi korban cabulan Hasan. Pada Mei 2009, Hasan dan istrinya menunaikan umrah, dibiayai seorang pengusaha. Dalam rombongan itu ada sang pengusaha, Haji Nuril dan istri, serta anaknya, Harun, bukan nama sebenarnya. Rombongan ini menginap di Hotel Hilton. Menjelang tengah malam, Hasan minta istrinya membeli jus. Sang istri berangkat bersama Haji Nuril dan istrinya. Saat itulah, Hasan memanggil Harun ke kamar. “Saat pulang, istri Haji Nuril menemukan Harun di kamar Hasan sedang dipangku Hasan,” tutur Edo. Sewaktu kejadian di Mekkah itu, Harun berusia 15 tahun. Sejak usia 12 tahun, Harun sudah dicabuli Hasan. “Pada waktu umur 12, kemaluan Harun belum bisa bangun. Hasan
166 | Masa Depan yang Terabaikan
kasih dia minum paksa obat perangsang,” kata Edo. Proses pelecehan seksual itu terus berlangsung sampai tahun lalu. “Dari sekian korban, Harun paling hancur mentalnya,” Edo menambahkan. Wakil Ketua KPAI, Asrorun Ni’am, mensinyalir, tindakan pelecehan seksual itu membuat korbannya kecanduan. Akibatnya, orientasi seksual korban dikhawatirkan menyimpang. “Takutnya sekarang mereka addict,” katanya. Tanpa Hasan, beberapa korban dikabarkan melakukan aksi yang diajarkan Hasan dengan sesama temannya. Ada pesan BBM antarkorban yang berisi ajakan untuk saling beraksi di kamar mandi. Ni’am berpandangan, para korban harus menjalani rehabilitasi supaya potensi penyimpangan orientasi seksual itu hilang. Dalam perbincangan keluarga korban dan KPAI berkembang kesan, polisi lamban menangani kasus ini. “Harusnya dua minggu cukup untuk mendalami keterangan saksi. Setelah itu, pelaku bisa dipanggil,” ujar sumber di KPAI. Ada dugaan, polisi takut memeriksa Hasan karena banyaknya massa NM. Tapi juru bicara Polda Metro Jaya, Kombes Rikwanto, membantah takut. “Tidak ada rasa takut bagi kami. Anggota kami saja yang bersalah pasti ditangkap. Apalagi ini masyarakat biasa,” katanya. Terlapor belum diperiksa, kata Rikwanto, karena penyidik masih ingin mengonfirmasikannya kepada saksi ahli bahasa. “Yang dilaporkan statusnya masih terlapor, belum tersangka,” kata Rikwanto kepada Deni Muliya Barus dari Gatra. Tanggapan pro dan kontra berkembang di Kampung Kandang, Jagakarsa, kawasan yang menjadi basis awal
| 167
pertumbuhan majelis itu. Perbincangan yang diikuti Gatra di Masjid Al-Akhyar, Kampung Kandang, Senin lalu, memperlihatkan resistensi mereka pada NM. Masjid yang dikelola Haji Atung ini dulu tempat pertama Hasan berdakwah. “Nggak di sini saja, Mas, yang menolak. Warga Jagakarsa, Cilandak, sampai Condet pun pada menolak,” kata seorang pengurus masjid. Di sisi lain, ada dukungan tokoh masyatakat setempat, Murtanih. Penolakan warga, kata Murtanih, hanya suara sebagian. “Adanya Numus (Nurul Musthofa) ini sangat besar manfaatnya dibandingkan dengan mudaratnya,” kata Murtanih. Anak muda Kampung Kandang jadi mudah diajak mengaji. “Daripada remaja kelayapan nggak jelas, mending mereka ngaji,” tuturnya. Kepala SD Negeri Lenteng Agung 12 itu juga mendengar selentingan soal skandal seksual Hasan. Tapi ia menyerahkannya pada proses hukum, takut jadi fitnah. Ia menjadi jamaah Hasan sejak 1998. “Saya tahu kepribadiannya. Dia orang baik dan santun. Kalau dia sampai melakukan seperti itu, tidak mungkinlah. Buktinya, jamaahnya terus berkembang,” katanya. Empat anak Murtanih juga jamaah NM. Murtanih memang sering mengajak keluarga, anak dan istri, ikut pengajian NM. Ia merasa, anak-anaknya tambah pintar mengaji, juga membaca ratib. “Jadi, tidak benar warga menolak Numus hadir di Kampung Kandang,” ia menegaskan. Gatra menempuh berbagai cara untuk mengonfirmasikan tuduhan itu kepada Hasan bin Ja’far. Gatra meminta waktu wawancara melalui Koordinator NM, Abdulrahman. “Sudah saya sampaikan, tapi Anda tahu sendiri, jadwal habib padat sekali,” kata Abdulrahman. Sandy Arifin, yang di beberapa
168 | Masa Depan yang Terabaikan
media mengaku sebagai pengacara Hasan, tidak merespons telepon dan SMS Gatra. Surat elektronik melalui Facebook dan e-mail Hasan Assegaf juga tak ditanggapi. Saat pengajian di makam Habib Kuncung, Kalibata, Sabtu malam lalu, Gatra menyerahkan kartu nama, sekaligus minta wawancara. “Oh ya, dari Gatra,” begitu tanggapan Hasan. Senin malam lalu, saat Hasan melakukan pengajian di Kalibata Utara V, Gatra kembali hendak berkonfirmasi. Usai pengajian, Hasan menuju kendaraannya yang terparkir di sebuah gang sempit. Gatra menjabat tangan Hasan dan menyampaikan konfirmasi. Hasan hanya menjawab, “Oh ya, ya,” sembari melenggang masuk Toyota Camry hitam nomor B-1-NM.
| 169
Mencuat Akibat Promosi Kasyaf Hasan bin Ja’far Assegaf diboyong ke Jakarta pada awal tahun 2000. Bermula ketika Usman Arai dan rombingan FPI Jagakarsa berziarah ke makam Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, Keramat Empang, Bogor, Jawa Barat. Di sana, Usman bertemu Musthofa, adik Hasan. Musthofa memperkenalkan Hasan sebagai orang alim, pendiam, dan kasyaf, yakni tahu segala sesuatu yang tak diketahui orang biasa. Sifat ini dipercaya milik wali. Dari jalur ibu, Hasan adalah cicit buyut Habib Abdullah bin Muhsin. Usman kemudian diajak masuk kamar Musthofa. Hasan meminta Usman rutin ke sana tiap Sabtu sore sambil belajar fikih. Usia Hasan saat itu baru 25 tahun. Status kasyaf itu membuat Usman dan koleganya memperkenalkan Hasan ke jaringan pencinta habaib Jakarta. Promosi kasyaf membuatnya diterima secara luas. “Apalagi, orang Betawi kan muhibbin, pencinta habib. Mereka taat dan nggak berpikir lagi,” ujar Edo, bukan nama sebenarnya, salah satu pengusaha yang jadi donatur Hasan. Hasan juga dipromosikan tidak basah kena air hujan. Bulan Maulid ini, jawal pengajian Hasan amat padat. Sepanjang empat malam, sejak Sabtu hingga Senin malam lalu, Gatra mengikuti pengajian Hasan. Mulai di Ragunan, Kalibata, Ciganjur, hingga Kalibata
170 | Masa Depan yang Terabaikan
Utara. Jamaah amat antusias. Di tiap panggung, Hasan bukan penceramah tunggal, tapi jadi bintang. Sabtu malam lalu, pengajian berlangsung di kompleks pemakaman Habib Ahmad bin Alwi Al-Hadad, yang dikenal sebagai Habib Kuncung, Kalibata, Jakarta Selatan. Kehadiran Hasan, pukul 11 malam, di sambut ledakan petasan dan semburan kembang api bersahutan. Plus semerbak aroma minyak wangi. Tidak lama kemudian, Hasan muncul dengan jubah dan kacamata khas. Jamaah seketika berdiri menyambut sambil melantunkan salawat. Dari prosesi itu, sebagaimana dilaporkan reporter Gatra Ghufron Hidayat, terlihat betapa jamaah amat mengagungkan Hasan bin Ja’far Assegaf. Menanggapi isu skandal seksual itu, respons jamaah beragam. Sebagian tidak percaya. Mereka menganggap Hasan wali dan tidak mungkin melakukannya. Sebagian lagi mengaku sudah lama mendengar hal itu, tapi tak menghiraukannya. Isu itu dipandang hanya pembicaraan orang luar yang membenci majelis. Semakin tinggi pohon, kata mereka, terpaan angin semakin kencang. Meski diguyur hujan, jamaah tetap khusyuk bersalawat,mengikuti panduan Hasan Assegaf, hingga selesai, sambil bersila di atas terpal basah, tanpa pa yung dan pelindung badan. Hasan malam itu menggelar acara sebagai penghormatan kepada Habib Kuncung. “Kenanglah para wali yang sudah tiada, seperti saat mereka masih hidup,” kata Hasan. Ceramahnya lumayan panjang, diselingi salawatan
| 171
dan humor. Sembari berkelakar, Hasan sempat memperkenalkan istrinya. “I love you full,” tutur Hasan, mengutip ungkapan Mbah Surip. “Boleh nggak nambah lagi?” tanya Hasan kepada istrinya, yang diikuti tawa jamaah. “Ah, tapi cukup satu saja,” katanya lagi. Berbeda dari pengajian Senin malam lalu, di Kalibata Utara, Hasan yang tiba di lokasi pukul 11 malam, tak panjang memberikan tausiyah. Sebelum Hasan berceramah, tampil Kiai Abdul Hayyie Naim yang menyatakan banyak fitnah menerpa Nurul Musthofa. Dia meminta pengikut setia Hasan sabar. “Bagi yang tidak suka Nurul Musthofa minggir saja,” katanya. Antropolog dari Universitas Indonesia, Yasmine Zaki Shahab, yang concern mencermati dunia habaib di Betawi, menyatakan bahwa tuduhan pelecehan seksual yang menimpa habib itu, bila terbukti, baru kali ini terjadi dalam sejarah habaib di Betawi. “Ini baru. Dulu memegang tangan saja susah. Habib tidak pernah dimaki, dirasani, dan saling memaki,” ujarnya kepada Arif Koes Hernawan dari Gatra. Kasus ini belum bisa disimpulkan sebagai gejala, tapi kasus individual. Kata Yasmine, seperti individu, Hasan memiliki sejumlah identitas: manusia, laki-laki, muslim, dan habib. “Saat itu terjadi, dia menggunakan identitas apa?” katanya. “Jangan-jangan dia sakit jiwa atau kelainan seks. Kebetulan dia habib.” Yasmine tidak yakin kasus ini akan merusak reputasi habaib di tengah masyarakat Betawi.
172 | Masa Depan yang Terabaikan
Hasyim Assegaf:
Saya Seperti Ditempeleng Kotoran Sapi Salah seorang yang paling geram atas perilaku menyimpang Hasan bin Ja’far Assegaf adalah Hasyim Assegaf. Pria 48 tahun ini sempat dekat dengan Hasan dan tiga adiknya, Musthofa, Abdullah, dan Qasim. Saat jamaahnya masih sedikit, Hasan merintis Majelis Taklim Nurul Musthofa di rumah Hasyim, di Jalan Jambu, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Belakangan, keponakan dan sepupu Hasyim diketahui turut menjadi korban pelecehan seksual Hasan. Hasyim sakit hati dan kecewa mendalam. Tindakan Hasan dipandang mencoreng citra habib yang selama ini jadi panutan. Senin malam lalu, wartawan Gatra, Haris Firdaus dan Taufiqurrahman, berbincang de ngan Hasyim di rumahnya yang terpajangi foto sejumlah habib. Berikut petikannya: Seberapa dekat Anda dengan Hasan Assegaf? Dia merintis majelis taklim di rumah saya sejak tahun 2000. Adik-adiknya sudah seperti anak saya. Mereka sering tidur di rumah saya. Saat majelis taklimnya membesar, banyak jamaahnya tidur di rumah saya. Kunci rumah saya gantung dekat pintu 24 jam, karena saya anggap majelis taklimnya menyebar kebaikan. Bagaimana Anda menilai majelis taklimnya
| 173
belakangan ini? Ternyata banyak mudaratnya. Anak muda lakilaki dan perempuan bercampur. Banyak jamaah perempuan hamil di luar nikah. Ya, bagaimana, anak perempuan boncengan motor dengan anak laki-laki pada tengah malam. Mereka pamit ke orangtua pergi ke pengajian. Di tengah jalan, mereka ke mana kita tidak tahu. Bagaimana kualitas pengajian di Nurul Musthofa? Jamaah hanya bisa hafal kasidah dan maulid. Rata-rata kalau kita tanya hal sepele, seperti tata cara wudu, mereka tidak bisa jawab. Bertahun-tahun majelis ini berdiri, nyatanya cuma menghasilkan orang yang bisa menghafal. Didikan dasar agamanya nol besar. Bahkan saya dengar, kru Nurul Musthofa salatnya nggak bener. Saat mendirikan panggung, dari pagi sampai malam, mereka nggak salat. Kapan Anda pertama tahu skandal seksual ini? Saya baru dengar November 2011. Ini benar-benar di luar jangkauan akal. Sepupu dan keponakan saya jadi korban. Saya merasa sakit dan diinjak-injak. Rasanya, muka saya seperti ditempeleng kotoran sapi. Dia kecil di sini, besar dari sini, kok keluar hasilnya begini? Saya kecewa dan betul-betul malu. Saya sampai mempertanyakan apakah Hasan itu benar-benar habib? Kelakuannya tidak seperti habib. Benarkah korban ini anak-anak dari orang yang dulu dekat dengan Hasan? Memang. Hasan ini tidak tahu balas budi. Ada
174 | Masa Depan yang Terabaikan
Haji Atung yang tinggal di Kampung Kandang, Jagakarsa. Rumahnya terbuka 24 jam untuk para habib. Dia menampung orang plus makan, minum, rokok, dan tempat tidur. Di rumah Haji Atung, Hasan pertama kali menggelar majelis ketika baru datang dari Bogor. Hasan dulu sering tidur di sana, makan di sana, pakai mobil Haji Atung juga. Tapi anak Haji Atung sendiri jadi korban pelecehan seksual. Kenapa para korban bisa menuruti Hasan? Hasan mendoktrin dirinya wali. Apa pun yang dia lakukan merupakan hal kewalian. Awalnya, yang didoktrin orang sekitarnya. Meskipun akal mereka tidak menerima, akhirnya terpaksa terima karena mendapat penghasilan dari sana. Mereka menyebar doktrin ini dari mulut ke mulut dan mengarang kisah kewalian Hasan. Ada kemungkinan, Hasan memakai ilmu kesaktian tertentu. Korbannya bukan satu-dua orang, melainkan puluhan.
Asrori S. Karni Redaktur Majalah GATRA. Lahir di Banyuwangi, 25 November 1975. Menyelesaikan pendidian sarjana di Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada 2010 meraih gelar Magister Hukum dari Universitas Indonesia. Ia menulis dan menjadi editor beberapa judul buku. Ia juga menjadi pengajar “Hukum Pers” di Konsentrasi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemenang beberapa penghargaan jurnalistik, antara lain Anugerah Otonomi Daerah 2013, Adiwarta Sampoerna 2011 (kategori hukum), Adiwarta Sampoerna 2009 (tiga kategori: hukum, politik, dan investigasi-politik), Mochtar Lubis Award 2008 (kategori layanan publik), Juara 2 dan 3 peliputan Pemilu Anugerah KPU 2009. Finalis beberapa kompetisi, antara lain Mochtar Lubis Award 2011 (investigasi), Mochtar Lubis Award 2009 (feature), dan Adiwarta Sampoerna 2007 (kategori politik).
| 175
176 | Masa Depan yang Terabaikan
Underage Drivers Rule the Road by Night1 By Rizky Amelia and Ezra Sihite
“It’s not that hard once you’ve got it moving,” says Andi Ilham as he powers a lurching Metro Mini at high speed down a Jakarta street late at night. The No. 75 bus that he drives most nights, plying the popular route between Blok M and Pasar Minggu in South Jakarta, is one of a fleet of 13 that belongs to a distant relative, through whom Andi got the job. He says he started out as a conductor on one of the Metro Minis, and gradually learned how to drive the heavy, smokebelching bus. Neatly dressed in a button-down checked shirt and jeans, and wearing closed shoes, Andi is not your typical Metro Mini driver. That’s because he’s only 16 years old. Too young to apply for a driver’s license or even an ID card — the minimum age for both is 17 — Andi has been driving Metro Minis since he was 15. He claims to be one of a growing number of underage sopir tembak — illegal drivers who fill in for the regular drivers, usually at night, when the streets are less crowded and the police
1 Naskah ini telah dipublikasikan di www.thejakartaglobe.com pada 2 November 2012
| 177
not as likely to pull buses over for traffic infractions. While no government figures are available, the claim may hold water. When the Jakarta Globe visited Blok M, Senen and Manggarai bus terminals over several nights last week, many of the Metro Mini and Kopaja drivers admitted to being between 14 and 17 years old. These drivers, none of whom had a license, operate buses serving some of the most frequented routes, including Blok M to Ciledug, Manggarai to Pasar Minggu and Senen to Lebak Bulus.
Powerless to act Andi sees no problem with being both an illegal and unlicensed bus driver, saying it has provided him with an occupation ever since he dropped out of school at 14. He now makes Rp 60,000 to Rp 170,000 ($6 to $17) a night, depending on how many passengers he picks up and how many trips he can make. No matter his take, though, he still has to kick back a fixed sum of Rp 120,000 to the bus’s regular driver, which he says is why he has no qualms about speeding or packing the bus beyond its stated capacity of 37 passengers in order to maximize his earnings for the night. He has vague plans to enroll in a vocational school this year or next, but in the meantime is content with driving a bus. Another driver, Roy, now 17, has been driving the No. 75 Metro Mini since he was 15. He occasionally also moonlights on the No. 20 bus, running from Blok M to Lebak Bulus in South Jakarta. Unlike Andi, Roy is still in school, and says he only drives
178 | Masa Depan yang Terabaikan
during school holidays to earn a bit of money. Tri Unggul, the Jakarta Transportation Office supervisor at Blok M Terminal, says the authorities are well aware of the presence of underage drivers, but can do very little to stop them. “We’re supposed to crack down on them, but they just keep popping up again, so what can we do?” he says with a gesture of exasperation.
Feigning ignorance The police also know about the problem, but choose to look the other way and profit by it, says Bajul, 22, who has been driving the No. 75 bus since he was 16. Every day, he says, the officers patrolling Blok M Terminal can see the underage drivers at work, but let them keep driving in exchange for Rp 5,000 for every trip they make from the terminal. “The cops are in it for the money too, in their case just a few thousand,” he says. “They know that a lot of drivers are underage and used to be conductors.” Sulaiman, a patrol officer at the terminal, declined to comment about the issue and instead referred the Jakarta Globe to a police post outside the nearby Blok M Square shopping arcade. Over there, Marsono, the duty officer, claimed he was unaware that underage drivers were being allowed to operate out of the terminal. “I didn’t know that. All I know is that you have to have a driver’s license and an ID card in order to be allowed to drive a bus,” he said.
| 179
He added that he spent most of his time inside the police post, and that Sulaiman, the patrol officer that the Jakarta Globe spoke to earlier, would know more about the issue. “I don’t spend a lot of time in the field, and all I can say is that if there are underage bus drivers around, then they should be stopped because it’s dangerous,” Marsono said.
Risking public safety Officials much higher up than the two police officers appear to be just as clueless about the problem. Linda Amalia Sari Gumelar, the minister for women’s empowerment and child protection, expressed shock when asked about the growing number of underage bus drivers operating on some of the busiest routes in Jakarta. “I didn’t know about that,” she said when asked for comment. “I hope those kids aren’t being made to do very risky work.” She added that under a 2007 government regulation, it was up to each provincial administration to be responsible for child protection policies in their respective jurisdictions. Seto Mulyadi, head of the board of patrons of the National Commission for Child Protection (Komnas PA), concedes that addressing the problem requires dealing with highly complex social issues including poverty and lack of education, but stresses the importance of immediate law enforcement measures to ensure the safety of commuters riding the buses. “It’s high time that the local administration, in this case the transportation office, worked with the police to act seriously on this matter,” he says.
180 | Masa Depan yang Terabaikan
“There needs to be stringent law enforcement so that we don’t see more underage drivers risking people’s safety, which should be the No. 1 priority.” For Icha Rastika, 23, who takes the Blok M-Lebak Bulus bus daily, the problem of underage and often reckless drivers is a very real one. “I tend to be uneasy when I see a clearly underage guy at the wheel, because they’re very volatile on the road,” she says, adding that she often sees them after 9 p.m. “They tend to weave in and out of traffic, and they’re always speeding.”
| 181
Need for Cash Pushes Youth to Leave School, Drive Buses Andi Ilham can still remember the time his kindergarten teacher asked him what he wanted to be when he was older. “I said I wanted to be a bus driver, like my father,” he recalls. The other kids laughed at him, Andi says, but now at 16 he has fulfilled his goal. Andi drives a Metro Mini along the same route in South Jakarta that his father used to drive. His parents are far from pleased. They had high hopes for their son, who in primary school exhibited a gift for playing football. They enrolled him in a training program when he was in fourth grade, and over the next two years he continued developing his skills on the pitch. He became a star player for his school team, winning several awards and setting his personal goals higher. “I wanted to be a football player,” Andi says. At the start of junior high, he took up smoking. As the habit deepened, he found himself growing more winded on the pitch, and eventually gave up playing. At 14, he dropped out of school. “Maybe if I never started smoking I could have been like Andik,” he said, referring to Andik Vermansyah, one of the country’s rising stars. Seto Mulyadi, chairman of the board of advisers
182 | Masa Depan yang Terabaikan
of the National Commission for Child Protection (Komnas PA), says the problems that force minors like Andi into dangerous and often illegal jobs are a complex combination of social issues that include poverty and lack of education. Understanding Children’s Work, a program initiated by Unicef, the International Labor Organization and the World Bank that includes Indonesia, calls for the protection for children against arduous or dangerous work, which includes driving a public transportation vehicle. “It’s a violation of children’s rights, not to mention a traffic violation, to let a minor drive a bus,” Seto said. “But the issue must also be seen as an economic one.” He acknowledged there was no instant solution to the problem because of the many variables that are involved, but he stressed that the established attitude of simply overlooking or tolerating the problem must be changed. A lack of money prompted another young Metro Mini driver, Bajul, 18, to drop out of school at 16 and take up his current job. Now that he is a licensed driver, he is adamant that he will not allow a minor behind the wheel of his bus, saying that in the event of an accident, he is the one who has to answer to the authorities. Another dropout-turned-driver, Andi, 18, says he sometimes lets underage drivers fill in for him late at night, but only if he knows them well.
| 183
“I only let people drive my bus if I really know them, in case anything happens,” he said. Unlike the other Andi, he says he never had ambitions for a better life. “I never had any dreams, so I became a bus driver,” he said.
Rizky Amelia Jurnalis di BeritaSatu.com sejak 2011. Saat ini bertugas meliput bidang hukum, khususnya tindak pidana korupsi. Karir jurnalistiknya sudah dimulai sebelumnya saat menjadi reporter di Koran Jakarta.
Ezra Natalyn Sihite Jurnalis di BeritaSatu.com sejak tahun 2011. Saat ini bertugas meliput di Istana Negara.
184 | Masa Depan yang Terabaikan
Kategori Foto N ominasi untuk karya terbaik Kakak Sayang Dilla Jefri Tarigan
Student Across the Collapsed Bridge in Banten Beawiharta
Mengangkut Air Bersih Yusuf Ahmad
Belajar Bersama di Tempat Pembuangan Sampah Masyudi Firmansyah
Ujian Nasional di Jayawijaya, Papua Agus Susanto
Jangan Menangis, Bu… Arie Basuki
Sana Pergi, Nak! Arie Basuki
Terbakar Hayu Yudha Prabowo
Membunuh Waktu 1 Santirta Martendano
Bocah Pelabuhan Fahmi Ali
PEMENANG Kakak Sayang Dilla Jefri Tarigan
| 185
Jefri Andi Putra Tarigan Fotografer kelahiran Medan, 8 Oktober 1985 ini memulai karir fotografinya di majalah budaya Batak pada 2007. Sejak saat itu ia menggeluti profesi itu di berbagai media seperti Liputan6.com, Centroone. com, Indo Pos, dan kini menjadi fotografer lepas di beberapa media asing. Alumni Ilmu Komunikasi UPI-YAI Jakarta ini meraih penghargaan di beberapa ajang lomba foto. Misalnya, Juara 1 Lomba Foto HUT Bhayangkara ke-67 (2013), Juara 1 Nikon Photo Competition kategori jurnalis (2013), Juara 2 Anugerah Pewarta Foto Indonesia kategori berita umum (2012), dan Juara 3 Anugerah Pewarta Foto Indonesia kategori lingkungan dan alam (2011).
186 | Masa Depan yang Terabaikan
Kakak Sayang Dilla Jefri Tarigan | fotografer lepas
Little Dilla Anargia Adilla, 3, was born with hydrocephalus, a rare condition that causes her body to produce too much spinal fluid. This excess fluid collects in the skull causing her head to grow at an alarming rate. Tanggal Pemuatan: 24 Juli 2012 (NYDailyNews.com)
| 187
Beawiharta
Sejak 1999 sampai sekarang, pria kelahiran 21 Juli 1964 ini menjadi fotografer di kantor berita Reuters. Sebelumnya ia pernah bekerja untuk Tabloid Olahraga GO, dan Majalah GATRA. Profesinya memberikan banyak pengalaman meliput berbagai bencana alam dan konflik di Aceh, Ambon, Timor Timur, Thailand, Pakistan, Filipina, dan Afghanistan. Pengalamannya di bidang fotografi membuat lulusan IKIP Malang ini berkesempatan mengajar di berbagai workshop foto jurnalistik di Indonesia dan Malaysia.
188 | Masa Depan yang Terabaikan
Student across the collapsed bridge in Banten
Oleh Beawiharta | Reuters
Students hold on to the side steel bars of a collapsed bridge as they cross a river to get to school at Sanghiang Tanjung village in Lebak regency, Indonesia’s Banten village January 19, 2012. Flooding from the Ciberang river broke a pillar supporting the suspension bridge, which was built in 2001, on Monday according to Epi Sopian the head of Sanghiang Tanjung village. Sofiah, a student crossing the bridge, says she will need to walk for an extra 30 minutes if she were to take a detour through another bridge. Tanggal Pemuatan: 29 November 2012 (NYDailyNews.com), 20 Desember 2012 (bbc.co.uk), 20 Januari 2012 (nbcnews.com), 1 November 2012 (ca.msn.com) | 189
Yusuf Ahmad Lahir di Luwu, 21 Mei 1975. Saat ini bekerja sebagai pewarta foto di Kantor Berita Inggris Reuters. Mendalami fotografi sejak kuliah di Universitas Hasanuddin Jurusan Komunikasi program studi Jurnalistik tahun 1994. Mengawali karier sebagai jurnalis foto di Harian Fajar tahun 1999-2003. Sebagai redaktur foto Tribun Timur 2004 hingga 2007. Lalu hijrah ke Reuters dari 2003 hingga sekarang. Beberapa kali menjuarai lomba foto. Terakhir, 1st Winner National Geographic Award, akhir 2012 dan 1st Winner Environment Seapeath Photo Contest di Kuala Lumpur, Malaysia, 2013. Sejumlah karyanya pernah menjadi foto pilihan di beberapa media antara lain: Time Magazine, Natinal Geographic, Stern Magazine, The Australian, The Wallstreet Journal, dan beberapa media nasional dan internasional lainnya.
190 | Masa Depan yang Terabaikan
Mengangkut Air Bersih Yusuf Ahmad | Reuters
Fandi (12 tahun) salah seorang murid sekolah dasar mengangkat air bersih sebelum berangkat ke sekolahnya di kelurahan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi selatan. Aktifitas ini dilakukan sejumlah sejumlah anak di daerah ini sebelum berangkat ke sekolah, karena daerah mereka dilanda kekeringan hampir setiap tahun. Untuk memperoleh air bersih mereka harus berjalan 500 meter hingga 2 kilometer dari rumah mereka. Tanggal Pemuatan: 15 September 2011 (National Post)
| 191
Belajajar Bersama di Tempat Pembuangan Sampah Masyudi Firmansyah | www.makassarterkini.com
Anak-anak pemulung yang tinggal di sekitar tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Antang, Kota Makassar membaca dan belajar ketika mendapatkan sebuah buku pelajaran di TPA Antang, Makassar. Pendidikan buat anak-anak yang orang tuanya berprofesi sebagai pemulung di TPA Antang, Kota Makassar, Sangat dibutuhkan. Sehingga anak-anak tersebut memporelah hakhak dasarnya dengan baik. Mereka dapat bermian dan belajar sebagaimana layaknya anak-anak yang lain bias menikmati masa kanak-kanak dan terlindung dari bahaya kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. Setiap harinya bercengkarama dengan gunungan sampah dengan tempat tinggalnya yang terbuat dari kardus atau triplek bekas nan lapuk. Bahkan ada juga yang tidur dengan beratapkan langit beralas kan bumi. Tanggal Pemuatan: 5 April 2013
Masyudi Firmansyah Pria kelahiran Makassar, 21 November 1982 ini merupakan fotografer Majalah Makassar Terkini. Fotografi bukan hanya menjadi bidang pekerjaannya tetapi juga hobi yang ia geluti sejak lama, selain berolahraga dan mempelajari komputer.
192 | Masa Depan yang Terabaikan
| 193
Agus Susanto Mulai menekuni fotografi sejak 1993, ia menekuni dokumentasi aktivitas pecinta alam Mahafisippa (PMPA FISIP UNS) dan FFC (Fisip Fotografi Club) Solo. Ia serius menekuni fotografi jurnalistik setelah bergabung dengan HSB (Himpunan Senifoto Bengawan) Solo tahun 1995. Sejak tahun 2000 bergabung dengan Desk Foto Harian Kompas. Alumni Administrasi Negara FISIPOL, Universitas Sebelas Maret, Solo ini sempat mengeyam 9 bulan pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Jurusan Fotografi. Selama berkiprah di foto jurnalistik, berbagai penghargaan telah ia raih. Beberapa diantaranya; Penghargaan Khusus Adiwarta 2010 atas foto “Gayus Nonton Tenis di Bali”, Medali Perak 11th Asian Publish Media 2012 WAN-IFRA kategori foto olahraga, Juara 3 Kontes Foto Transportasi Indonesia 2013.
194 | Masa Depan yang Terabaikan
Ujian Nasional di Jayawijaya, Papua Agus Susanto | Kompas
Anak-anak SD Inpres Wuroba membawa papan tulis dan kursi setelah mengikuti Ujian Nasional (UN) SD di SD Inpres Walelagama, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Selasa (8/5). Peserta UN dari lima sekolah dasar dijadikan satu tempat untuk memudahkan mengawasi dalam pelaksanaannya. Tanggal Pemuatan: 9 Mei 2013
| 195
Jangan Menangis, Bu… Arie Basuki | Merdeka.com
Seorang ibu menangis ditemanis anaknya saat petugas trantib Kecamatan Menteng melakukan razia terhadap gelandangan, pengemis, dan pengamen jalanan di kawasan Menteng, jakarta (19/07). Razia dilakukan menjelang Bulan Ramadan untuk mengantisipasi lonjakan pengemis dan gelandangan.
Tanggal Pemuatan: 9 Juli 2012
196 | Masa Depan yang Terabaikan
Sana Pergi, Nak! Arie Basuki | Merdeka.com
Seorang petugas Dishub mengusir anak jalanan yang mengganggu arus laluu lintas saat banjir menggenangi kawasan Jalan Daan Mogot, Jakarta (13 Januari 2013).
Tanggal Pemuatan: 13 Januari 2013
Arie Basuki Pria kelahiran Bogor, 11 Maret 1974 ini memulai ka rirnya sebagai fotografer sejak 1998. Sebelum akhirnya menjadi fotografer di Merdeka.com sejak 2012, ia telah berkiprah di berbagai media massa seperti Nusa Tenggara Newspaper, Bali Echo, dan Tempo. Alumni Ilmu Antropologi Universitas Udayana Bali ini memiliki banyak pengalaman dalam meliput konflik dan bencana. Beberapa diantaranya ialah operasi militer Gerakan Aceh Merdeka di Aceh (2003), konflik di Poso (2007), kerusuhan di Priok, Jakarta Utara (2010), perang saudara di Libya (2011), tsunami Aceh (2004), tsunami Pa ngandaran, Jawa Barat (2006), dan gempa bumi Yogyakarta (2006). Fotofoto hasil karyanya mendapat penghargaan di berbagai ajang kompetisi fotografi. Tahun 2012 saja ia memenangkan empat penghargaan: Juara 1 Kompetisi Foto Sosial Bappenas-UNDP, Juara 2 Foto Pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional, Juara 2 Indonesia Green Award Photo Competition, dan Juara 3 Colour of Jakarta Photo Award.
| 197
Hayu Yudha Prabowo Pria kelahiran Ngawi, 08 Januari 1981 ini menjadi fotografer di Harian Surya sejak 2010 hingga sekarang. Ia memulai karirnya sebagai pewarta foto di Tabloid Koran Pendidikan Malang pada 2006. Alumni Universitas Muhammadiyah Malang ini telah meraih prestasi di dunia foto jurnalistik, diantaranya Juara 1 Lomba Foto Jurnalistik Sampoerna Asyik Fest 2012, Juara 1 Lomba Foto Hemat Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2011, Juara 1 Lomba Foto Jurnalistik Senyum Indonesia Senyum Pepsodent 2007.
198 | Masa Depan yang Terabaikan
Terbakar Hayu Yudha Prabowo | Harian Surya
Kaki M Ilham (5), mengalami luka bakar dan masih terlilit rantai yang dipasang Suhaefi (37) ayahnya, saat dirawat di UGD RSUD Kanjuruhan Malang, Senin (17/10). Tanggal Pemuatan: 18 Oktober 2011
| 199
Santirta Martendo Aribowo Sejak 2011, ia bekerja sebagai editor foto, fotografer, dan videographer di PlasaMSN.com. Ia telah memulai karirnya sebagai pewarta foto pada 2003 sebagai fotografer di Koran Tempo dan Majalah Tempo. Pada 2009 ia menjadi fotografer dan asisten redaktur di Media Indonesia.
200 | Masa Depan yang Terabaikan
Membunuh Waktu 1 Santirta Martendano | www.seribukata.com
Edo bersama sahabatnya sesame penderita kanker menyaksikan video kartun pendidikan Bahasa Inggris bagi pemula yang menghuni di Rumah Kita, Slipi, Jakarta. Tanggal Pemuatan: 16 Januari 2012
| 201
Fahmi Ali Lahir di Ampana, 31 Mei 1985, Fahmi saat ini brdomisili di Makassar, Sulawesi Selatan. Sarjana Sastra Universitas Hasanuddin ini kini menjadi koresponden foto Tempo di Makassar.
202 | Masa Depan yang Terabaikan
Bocah Pelabuhan Fahmi Ali | Tempo.co
Seorang anak melompat dari atas kapal saat bermain di Pelabuhan Paotere, Makassar, Selasa (25/12). Karena minimnya ruangan bermain maka kawasan pantai menjadi tempat paling bagi favorit anak-anak di sekitar pelabuhan tersebut saat hari libur. Tanggal Pemuatan: 25 Desember 2012
| 203
204 | Masa Depan yang Terabaikan
Kategori Televisi N ominasi untuk karya terbaik Anak-Anak Laut Odit Praseno Hadi
Menjaga Mimpi Pelita Kecil Mentawai Kadek Baruna dan Andhi Maskhuri
Mainan Anak Antara Bahagia dan Bahaya Evry Purba
Impian Kampung Nelayan Dony P. Herwanto
Lentera Masa Depan Kaki Gunung Mutis Donny Sandjaya & Aprian Agung S.
Ruang Harap Sukadami Miladia Rahma & Wahyu Romadhon
Menghapus Jejak “Sijunjung” Saiful Anwar
Perdagangan Gadis Belia Rizky Hasan
Sekolahku Mencelakakanku Aria Paksi
Mimpi Anak Perbatasan Desi Nugrahani & Restu Pudyatmoko
PEMENANG Anak-Anak Laut Odit Praseno Hadi
| 205
206 | Masa Depan yang Terabaikan
Odit Praseno Hadi Jurnalis Kompas TV ini memulai karir jurnalis pada 2006 dengan membuat serial dokumenter televisi di Studio Samuan. Sempat bekerja di TV One. Prestasi yang pernah diraih antara lain Official Selection Al jazeera International Documentary Film Festival 2013 dan pemenang di Penghargaan Karya Jurnalistik ILOAJI 2012. Ia berpendapat, prestasi terbesarnya ialah ketika katrya jurnalistiknya bisa mendorong terjadinya perubahan.
Kadek Baruna Antartika Lahir di Jakarta, 31 Agustus 1982. Saat ini menjabat sebagai Produser News MNC TV.
Andhi Maskhuri Lahir di Pontianak, 11 September 1977. Saat ini bekerja sebagai juru kamera dan menjabat sebagai Produser Creatif News MNC TV. Menamatkan pendidika di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Memulai karir jurnalistiknya pada 2001 sebagai juru kamera di Swara TV Parlemen dan Q Channel. Sebelum bekerja di MNC, sempat bekerja sebagai juru kamera di TV7. Karyanya dalam program Pahlawan untuk Indonesia episode Pelita dalam Gulita menjadi juara di Deutsche Welle (DW) journalist competition 2013.
Evry Jelita Purba Lahir di Jakarta, 6 September 1986. Alumni Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengtahuan Alam Universitas Indonesia (UI) ini memulai karir jurnalistiknya sejak bergabung dengan RCTI pada 2010 sebagai reporter. Ia menggemari fotografi, menulis, origami, dan memasak.
| 207
Dony P Herwanto Lahir di Kota Ngawi, Jawa Timur, 24 April 1983. Menyelesaikan pendidikan strata-1 di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hobi travelling, membaca, menulis, dan fotografi. Minum kopi di pagi hari adalah kegemaran yang tak bisa dihindari sebelum membaca buku. Saat ini bekerja di DAAI TV INDONESIA sebagai reporter di Program Dokumenter Refleksi. Untuk sementara menetap di Jakarta.
Donny Sandjaya Suparman Lahir di Bogor, 9 Desember 1985. Menyelesaikan pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Bekerja di Trans7 sejak 2009 sampai sekarang. Saat ini tinggal di Bogor. ST Aprian Agung Sayogo Lahir di Surakarta, 15 April 1982. Menyelesaikan pendidikannya di Universitas Budi Luhur. Sejak 2007 bekerja di Trans 7. Saat ini tinggal di Tangerang.
Miladia Rahma Lahir di Ponorogo, 24 Januari 1988. Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) ini kini bekerja sebagai reporter di Trans 7.
Muchamad Saiful Anwar Jurnalis televisi ini sejak 2006 bergabung dengan RCTI. Pria kelahiran Purworejo, 16 Juni 1974 ini mempunyai sederet pengalaman meliput bencana alam dan konfli. Selain itu ia juga pernah melakukan liputan investigasi di bidang social dan kebijakan publik.
208 | Masa Depan yang Terabaikan
Rizky Hasan Pria bernama lengkap Rizky Hendra Herawan ini lebih dikenal juga dengan nama Rizky Hasan. Merupakan salah satu produser di RCTI. Mengawali karir sebagai jurnalis sebagai reporter radio di Trijaya FM Surabaya. Ia kemudian menjadi jurnalis televise di Sindo TV Biro Jawa Timur pada 2008. Ia sempat bekerja di TV One sebelum akhirnya pindah ke RCTI.
Aria Paksi Saputra Lahir di Jakarta, 30 Januari 1981. Alumni Teknologi Informasi Bina Nusantara ini memulai karir jurnalistik di Trans TV pada 2005. Ia kemudian pindah ke Astro Awani pada 2008. Ia kemudian bekerja di ANTV di Divisi Produksi pada 2009. Bergabung dengan Kompas TV sejak 2011. Meraih penghargaan Mochtar Lubis Award kategori indepth reporting untuk karyanya “Skandal Limbah PMI”. Mendapatkan Adinegoro Award 2011 untuk karyanya “Menggarami Lautan”. Terpilih sebagai finalis Aljazeera Documentary Film Festival 2013.
Desi Nugrahani Ratnasita Lahir di Semarang, 10 desember 1980
Restu Pudyatmoko Lahir di Semarang, 17 September 1980. Bekerja sebagai jurnalis di trans 7. Saat ini tinggal di Jakarta.
| 209
210 | Masa Depan yang Terabaikan
Kategori Radio N ominasi untuk karya terbaik Aku Dijual Ibu Novaeny Wulandari
Mengadili Teroris Anak Klaten Yudha Satriawan
Kisah Sang Dai Cilik, Menggapai Mimpi Tanpa Tangan dan Kaki Purwanto
Kekerasan Seksual Hantui Anak Dimas Rizky Chrisnanda
Sekolah SPP Sampah Indra Dahfaidi Nasution
Prestasiku Terhenti Karena Akte M. Didin Wahidin
Sekolah Memaksaku Beragama Muhammad Irham
Sekolah dan Anak Suku Terasing Nur Azizah
Sekolah Perjuangan Anak Rumpin Nurika Manan (KBR68H)
Lagu Anak, Ironi Bisnis dan Edukasi Rumondang Nainggolan (KBR68H)
PEMENANG Aku Dijual Ibu Novaeny Wulandari (KBR68H)
| 211
212 | Masa Depan yang Terabaikan
Novaeny Wulandari Alumni Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta ini bekerja sebagai reporter di Radio KBR68H Jakarta. Perempuan yang akrab disapa Nova ini lahir di Cilacap, 10 November 1986. Seorang istri dan ibu bagi seorang putri ini menjalani hidup dan profesinya dengan motto “alam iki sajatining guru (alam adalah guru sejati)”.
Yudha Satriawan Alumni Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta ini saat ini bekerja sebagai kontributor KBR68H. Ia juga reporter lepas VOA Indonesia di Solo. Pria kelahiran Jakarta, 3 Maret 1982 ini memulai karir jurnalistiknya sebagai reporter Radio Karavan FM Solo pada 2005. Ia pernah menjadi koresponden Trijaya FM Networks dan koresponden Radio CVC/ESPIRA Australia untuk wilayah Solo. Ia pernah meraih Juara 2 Penghargaan AJI-UNICEF Liputan Media Terbaik tentang Isu Anak 2008 untuk karyanya “Dolanan Anak”, Juara 2 Juara 2 Lomba Liputan Investigatif Pemilu 2009 kategori radio (2009), dan Juara 2 Anugerah Jurnalistik PERTAMINA kategori feature radio (2010).
Purwoto Lahir di Ponorogo, 25 Juni 1976. Menyelesaikan pendidikannya di Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Selain menjadi penyiar dan reporter LPPL Radio Suara Pacitan, sejak tahun 2000 menjadi kontributor RRI di Pacitan. Ia juga menulis untuk situs majalah Gerbang Intan.
Dimas Rizky Ch Alumni Universitas Sanata Dharma jurusan Sastra Indonesia ini, sejak tahun 2010 bekerja sebagai reporter di KBR68H. Selain menggarap berita-berita politik, hukum & HAM,ekonomi, dan permasalahan sosial, ia juga sempat menjadi awak liputan untuk program berita anak dan remaja, Teen Voice. Sebelum menekuni profesi jurnalis, lelaki kelahiran Jakarta, 18 Januari 1987 ini sempat menggeluti dunia teater. Ia pernah bermain ketoprak dengan masyarakat Merapi.
| 213
Indra Dahfaldi Nasution Pria kelahiran Medan, 30 Maret 1987 ini bekerja sebagai jurnalis di KBR68H sejak 2012. Alumni Universitas Nasional ini kini berdomisili di Jakarta.
Muhammad Didin Wahidin Menekuni profesi sebagai jurnalis di Radio SmartFM Network sejak 2002 hingga sekarang. Didin lahir dan menetap di Banjarnegara, Jawa Tengah.
Muhammad Irham Biasa dipanggil Irham, lahir di Jakarta, 18 Desember 1983. Sejak 2009 sampai sekarang bekerja sebagai jurnalis di KBR68H. Beberapa karya jurnalistknya juga diterbitkan di AsiaCalling, The Jakarta Post, Jakarta Globe, Deutsche Welle, dan Netherlands Radio Worldwide. Alumni Universitas Negeri Jakarta Jurusan Pendidikan Khusus ini pernah meraih berbagai presitasi di bidang jurnalistik, diantaranya Juara 1 Indonesian Radio Award 2011, Juara 1 Life Award 2011 kategoti berita radio, finalis Anugerah Jurnalistik Pertamina 2011, Juara 3 Siemens Indonesia Media Award 2009 kategori urbanisasi dan pembangunan.
214 | Masa Depan yang Terabaikan
Nur Azizah Lahir di Pekalongan, 27 Juni 1977. Menjadi jurnalis radio di KBR68H sejak 2011. Sebelumnya ia menjadi jurnalis dan editor di Jurnal Perempuan. Perempuan yang gemar bepergian ini menyelesaikan pendidikannya di STIE AAM Pekalongan.
Nurika Manan Lahir di Bojonegoro, 4 April 1988. Alumni Arsitektur Lanskap Institu Pertanian Bogor (IPB) ini bekerja sebagai jurnalis di KBR68H.
Rumondang Rosmeilina Nainggolan Lahir di Ajamu, 4 Mei 1984. Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU) Medan ini bekerja sebagai jurnalis di KBR68H.
| 215