Na’rif
Mari Peduli Pendidikan Kita Oleh Drs. H.M. Nadjid Muchtar, MA Ketua PP LP Ma’arif NU
Bahwa bidang pendidikan merupakan primadona Nahdlatul Ulama (NU) sudah tidak lagi diperdebatkan. Baik syuriah maupun tanfidziyah di semua tingkatan struktural organisasi, semua banom, lembaga dan lajnah, bahkan warga nahdhiyyin pada umumnya, secara kolektif atau perorangan, telah tahu, sadar dan sepakat terhadap pentingnya NU terlibat secara langsung dalam memaksimalkan fungsi dan peran kelembagaan pendidikan. Yang belum dilakukan adalah action atau bekerja riil untuk bidang pendidikan. Hingga kini, pendidikan lebih banyak dibicarakan pada forum yang bertujuan meluaskan wacana an sich, bukan pada forum yang diproyeksikan untuk melisting daftar pekerjaan, sebagai upaya memperbaiki bidang pendidikan. Sebab, baik secara kelembagaan, manajemen, pembelajaran (didaktik-metodik) maupun ketenagaan pendidikan di lingkungan NU, masih perlu mendapatkan penyegaran kembali untuk mendongkrak mutunya agar lebih baik di masa yang akan datang. Dalam rangka penerbitan jurnal Ma’arif edisi VIII kali ini, tak terbatas dari kalangan dan kelompok manapun yang concern pada pendidikan, Pimpinan Pusat LP Maarif NU menghimbau kembali agar kita dapat menyisihkan waktu, rizki dan kepintaran kita masing-masing untuk “mendewasakan” (baca: meningkatkan mutu) pendidikan NU. Dewasa dalam arti yang sesungguhnya, yakni mandiri, kuat, dan memiliki jati diri. Di tengah-tengah hiruk-pikuk politik yang tidak mungkin terelakkan, kami ingin mengingatkan, bahwa kiranya program peningkatan mutu pendidikan, jangan sampai terabaikan. Sumber Daya Manusia (human resources) yang baik, sudah pasti dilahirkan dari proses pendidikan yang baik, terutama dari lembaga pendidikan yang baik-baik juga. Oleh karena itu, derap-langkah dan gerak-maju NU pun tak wajar kiranya jika tidak menempatkan penggarapan bidang pendidikan pada posisi sentral, urgen dan sebagai prioritas utama. Realitas yang sesungguhnya tentang pendidikan di lingkungan NU yang diperoleh dari hasil visiting, monitoring dan evaluasi internal PP LP Maarif
NU menunjukkan, bahwa sebagian besar masih berada pada level di bawah menengah. Banyak pula sekolah, madrasah dan jalur pendidikan lainnya di lingkungan NU yang memprihatinkan. Mereka tidak tersentuh oleh berbagai bentuk program apa pun, termasuk program atau proyek yang dijalakan pemerintah selama reformasi ini. Marilah kita meringankan langkah untuk menengok lahan kependidikan NU. Apa pun kapasitas dan posisi kita, seluruhnya tetap ditunggu perannya. PP LP Maarif NU ingin sekali menjembatani semua kalangan yang concern dalam dunia pendidikan untuk turut memperbaiki mutu pendidikan NU. Oleh karena itu, PP LP Maarif NU siap untuk menjembatani para hartawan yang akan menyumbangkan miliknya, para politisi, birokrat dan berbagai kalangan lainnya yang merasa prihatin dengan lemahnya kependidikan NU untuk bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan di lingkungan NU. Selama mengurus PP LP Maarif NU, kami telah memotret wajah kependidikan NU yang makin hari makin berat bebannya. Ini riil di lapangan. Fakta yang membutuhkan agar kita semua dapat berpartisipasi untuk membangkitkan kembali semangat para penyelenggara pendidikan di daerah-daerah, juga agar kita semua dapat terlibat secara langsung memberdayakan lembaga pendidikan. Sebagai penerima amanat PBNU dalam pengembangan pendidikan, penerbitan Jurnal Ma’arif merupakan media untuk sharing tanggung jawab agar kelak di kemudian hari lembaga pendidikan Ma’arif dan pesantren-pesantren, tidak hanya menjadi catatan sejarah dari perjalanan Nahdlatul Ulama, melainkan juga bisa memberikan sumbangsih bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) generasi bangsa.
Khazanah NU dan Perkembangan Pendidikan Nasional: Membangun Indonesia Membangun Tradisionalitas Oleh Ahmad el Chumaedy Didi Ahmadi Pendidikan adalah aspek yang paling menentukan bagi kemajuan atau kemunduran sebuah negara-bangsa (nation-state), bahkan suatu peradaban (civilization). Islam di Indonesia hadir sebagai agama mayoritas. Karena posisinya sebagai mayoritas, maka Islam kemudian diletakkan sebagai barometer baik perkembangan ataupun kemunduran Indonesia secara keseluruhan. Tanpa berpretensi menggeneralisasi persoalan, tak ayal lagi
tanggung jawab besar kemajuan bangsa pun dilekatkan kepadanya. Bagaimana pendidikan yang diciptakan oleh Islam, bagaimana Islam mencetak kader-kadernya, akan seperti itulah wajah Indonesia terlihat. Kemana pun Islam membawa umatnya, akan ke situlah arah sejarah Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa (ormas) terbesar di Indonesia, dengan demikian memperoleh porsi yang sama sebagaimana porsi yang diberikan kepada Islam atas kemajuan atau kemunduran Indonesia ini. Meskipun NU sama sekali bukan gambaran satu-satunya wajah Islam Indonesia, namun posisinya sebagai ormas terbesar, menyebabkannya tidak bisa lari begitu saja dari tanggung jawab yang kadung melekat pada tubuh besarnya. Di sinilah NU diuji kapasitas dan kapabilitasnya sebagai pembawa umat terbesar Indonesia. Sekali salah melangkah, sorotan dan banjir cacian tak bisa ditampik, mendarat tepat pada ulu hatinya. Namun, NU tetap eksis ‘melebarkan sayap’, bahkan salah satu putra mahkotanya pernah menduduki kursi nomor satu Indonesia. Apakah dengan ini berarti NU telah barhasil menjalankan tugasnya sebagai pengemban dan penentu gerak sejarah Indonesia? Menjawab pertanyaan ini, tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ketika disebut NU, seketika akan terbayang dalam benak kita, sebuah komunitas besar yang beratributkan sarung, kopyah, dan kitab kuning. Sebuah komunitas tradisional yang terkesan ‘tidak mau menikmati kemodernan’. Demikian juga halnya dengan praktek pendidikan yang dijalankannya. Jika mendengar pendidikan NU, maka spontan akan terbayang dalam benak kita sebuah pendidikan tradisional yang bernama pesantren yang sebagian besar santri (peserta didik)-nya kurang atau tidak mengakrabi modernitas. Santri NU, dalam praktek pendidikannya tidak memakai celana bahan, dasi dan tas nyentrik, sebagaimana sekolah-sekolah lain setingkatnya. Peserta didik di lingkungan pesantren-pesantren NU justru menggunakan sarung, tentunya tanpa dasi dan tas (ia menenteng langsung setumpuk kitab kuningnya dengan gagah), bahkan tidak sedikit yang menjalankan proses pendidikannya tanpa kursi belajar. Suasana belajar-mengajar yang sering dijumpai cukup hanya dengan lesehan. Dengan formasi tempat duduk seperti inilah, kemudian sering disebut pendidikan sistem bandongan, pasaran atau sebutan lainnya. Pendidikan yang dipraktekkan adalah pendidikan klasik--konsentrasi penuh pada kitabkitab salaf Islam dan ukhrawi oriented. Model kurikulum pendidikan yang tidak punya (baca: sepi) orientasi profesi dan keterampilan kerja bagi peserta didiknya. Citra tradisional inilah yang sejak sekian lama dilekatkan pada pendidikan di tubuh NU. Apakah benar demikian? Anggapan seperti ini tidak sepenuhnya benar, apalagi ketika melihat banyak kader NU yang
menduduki tempat-tempat penting pada beberapa posisi ‘penentu’ kemajuan bangsa. Meskipun pada saat yang sama, persepsi itu juga tidak sepenuhnya salah. Sejarah telah membuktikan, betapa figur-figur besar yang terlahir dari rahim NU--tidak perlu menyebutkan nama--tidak terhitung jumlahnya. Semenjak zaman perjuangan kemerdekaan, pasca-kemerdekaan, rezim Orde Lama, rezim Orde Baru, hingga sampai saat ini, kiprah kader-kader NU telah banyak memberi warna dalam menentukan arah-gerak kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan NU dalam sejarah perjalanannya mengalami pembaharuan oleh KH. Wahid Hasyim--tokoh ini kemudian dikenal sebagai anggota Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) bagian Ma’arif pada tahun 1940. Idealisasi pembaharuan, sebagai upaya perbaikan sistem pesantren, merupakan buah tangan dari hasil perjalanannya ke Timur Tengah. Namun, idealisasi itu tidak bisa diejewantahkan dengan seketika. Kendatipun demikian, berkat niat yang tulus yang dibarengi dengan perjuangan yang gigih, pada tahun 1962, tepatnya saat musyawarah tingkat wilayah PB NU bagian Ma’arif berlangsung di Bandung Jawa Barat, usaha pembaharuan pendidikan yang diperjuangkan oleh KH. Wahid Hasyim berhasil disahkan, bahkan akhirnya diterima sebagai model pendidikan yang akan diterapkan pada lembagalembaga pendidikan yang berada di bawah naungan NU, terutama yang berbentuk madrasah. Pada kurun pembaharuan inilah, terjadi pergeseran penting di lingkungan pendidikan NU. Materi pembelajaran mulai tidak melulu berorientasi pada penguasaan pengetahuan agama, dengan sumber pokoknya dari kitab kuning. Materi pelajaran umum mulai dimasukkan ke dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan NU. Model pendidikan seperti ini, tepatnya berbentuk pendidikan campuran, yang komposisinya terdiri dari 70 % pendidikan agama dan 30 % pendidikan umum (pendidikan yang memperhatikan kebutuhan modernitas). Pendidikan NU tidak lagi agama an sich, ia mengadopsi juga pendidikan-pendidikan Barat-sekuler, seperti bahasa Inggris, Ilmu Ukur, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial--yang tentunya di sana-sini banyak dilakukan penyesuaian dengan konteks ke-Indonesia-an. Bahkan, dalam ilmu-ilmu sosial, kemudian tidak sedikit kader-kader NU yang terpengaruh oleh faham-faham, atau isme-isme dari perkembangan ilmu sosial Barat yang nota bene non-Muslim. Dengan begitu, NU secara sadar ataupun tidak telah mengkarakterisasikan model pendidikannya sebagai pendidikan agama berciri khas umum, bukan sebaliknya, pendidikan umum bercirikan agama, seperti yang dewasa ini menggejala di madrasahmadrasah. Ini membuktikan, bahwa NU tidak lagi sepenuhnya tradisional.
Dalam tradisionalitasnya justeru menyimpan segudang muatan bahan baku modernitas, bahkan postmodernitas. Pada saat inilah pandangan simplistis yang menuding NU tidak bergeser dari tradisionalitasnya, atau dengan lain kata menolak modernitas, tidak lagi dibenarkan. Sebagai bentuk kesungguhan untuk meningkatkan mutu pendidikan, pada penutup tahun 2003, tepatnya tanggal 30 Desember 2003 lalu, Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (PP. LP. Ma’arif NU) mengadakan sebuah seminar buku publikasi NU yang bertajuk, “NU: Dari Ulama untuk Indonesia”. Dalam seminar tersebut, salah seorang pembicara, Aceng Abdul Azis Dy, yang tak lain adalah Sekjen PP. LP. Ma’arif NU sendiri, memfokuskan tulisannya seputar dunia pendidikan NU. Ia mengangkat tajuk, “Kiprah Nahdlatul Ulama dalam Bidang Pendidikan”. Sebagai predikat ormas terbesar Islam di Indonesia, secara otomatis beban moral untuk mengemban tugas berat bangsa, mau tidak mau menjadi tanggung jawabnya . Melihat tuntutan demikian, NU kemudian semakin giat melakukan perubahan internal di tubuh besarnya. Upaya ke arah itu, salah satunya adalah melalui pengembangan bidang pendidikan. Langkah strategis ini diambil mengingat pendidikan bagaimanapun juga adalah sektor yang paling menentukan bagi arah dan gerak-maju suatu bangsa, termasuk tentu saja bangsa ini. Oleh karena itu, sebagai ormas yang memiliki kepedulian penuh atas perkembangan bangsa, NU lalu menempatkan peningkatan mutu pendidikan sebagai konsentrasi utamanya. Indikasi keseriusan NU terhadap dunia pendidikan bisa diperhatikan dari setiap digelarnya forum muktamar ke muktamar selanjutnya. Hingga muktamar ke-30 (tahun 1999) yang digelar oleh NU di Lirboyo, Kediri, sektor pendidikan tetap dijadikan mainstream. Dalam konteks inilah, makalah yang ditulis Aceng Abdul Azis dirasakan relevansi dan ketepatannya. Bahkan, dalam kondisi demikian, letak strategis Lembaga Pendidikan Ma’arif NU mendapatkan legitimasi yang sepatutnya. Dalam makalahnya, Aceng menyebutkan bahwa tuntutan format guideline baru yang akan dijadikan pegangan hidup, baik bagi individu (sebagai pribadi yang otonom) ataupun untuk totalitas kehidupan berbangsa dan bernegara, mutlak diperlukan. Letak urgensinya mulai dirasakan terlebih paska krisis multidimensi yang mendera bangsa Indonesia sejak paruh akhir tahun 1997. Musibah nasional itupun tak ayal lagi menyumbulkan kesadaran akan pentingnya tuntunan komprehensif sebuah pandangan hidup (weltanschauung) anak bangsa. Kesadaran ini lalu menjadi awal dimulainya upaya penyegaran sektor pendidikan. Dalam konteks ini, bangsa ini dituntut untuk bukan hanya berani meninggalkan format pendidikan yang telah sekian lama sejatinya
tidak menciptakan dan menyuguhkan solusi atas berbagai ketimpangan bangsa, melainkan juga ‘berani’ menjelajahi belantara konseptual untuk menemukan sistem dan model pendidikan baru yang lebih segar dan kontekstual dengan perkembangan zaman. Sebab, dalam kenyataannya pendidikan selama ini acap kali hadir lebih sebagai kedok di mana wajah sesungguhnya adalah praktek ‘pembodohan’, praktek penghapusan hati nurani. Dalam kondisi inilah, NU kemudian terpanggil untuk turut berupaya merekonstruksi realitas demikian. Sebagai proses ikhtiar untuk mencari sistem dan model pendidikan yang bermutu, solutif, dan kontekstual, tentu saja perlu mempertimbangkan kecenderungan perubahan yang terjadi sekarang dan akan datang. Kita membutuhkan model pendidikan yang kontekstual, demikian menurut Aceng. NU dan Perhatiannya terhadap Dunia Pendidikan Nasional Sejauh mana NU sungguh-sungguh menyiapkan dan memperhatikan pendidikan bangsa? Sejak awal, bahkan sejak cikal-bakal berdirinya NU, masih menurut Aceng, pendidikan adalah sektor paling penting yang selalu dikedepankan. Sebelum mengenakan nama NU secara definitif, kaum Nahdliyyin (sebutan bagi warga NU) telah membuat komunitas-komunitas perjuangannya dengan beberapa topik atau spesifikasi pergerakan. Semuanya bermula dari pendidikan pada masing-masing bidang. Pada tahun 1916, didirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Nahdlatul Wathan. Komunitas ini terutama sebagai refleksi dari kesadaran politik umat. Selang dua tahun kemudian, pada tahun 1918, didirikan Nahdlatul Tujjar, yang bertujuan untuk menyumbulkan kesadaran ekonomi umat. Menyusul kemudian pada tahun 1924, dibentuklah Tashwirul Afkar , sebagai refleksi kuatnya budaya berpikir warga nahdliyin. Pada gilirannya, sebagai akumulasi dari kesemuanya didirikanlah apa yang kini kita kenal dengan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926, sebagai gerbong besar yang mewadahi keseluruhan gerakan yang dibentuk sebelumnya. Secara spesifik, sejarah prestisius di bidang pendidikan telah diukir NU sejak satu tahun paska pendiriannya, tepatnya pada muktamar ke-2 (1927). Di sini muktamirin mengagendakan penggalangan dana nasional untuk membangun madrasah dan pesantren sebagai sarana pendidikan. Tahun 1928, pada saat berlangsungnya muktamar ke-3, muktamirin memprakarsai gerakan peduli pendidikan nasional. Kemudian dalam muktamar ke-4 disepakati pembentukan Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) untuk menangani bidang pendidikan NU. Sebagai puncaknya adalah dengan
dibentuknya Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama pada muktamar ke-20 (1959) di Jakarta. Lembaga ini kemudian menjadi sentrum bidang pendidikan bagi PB NU, dengan wilayah sosialisasinyanya yang tersebar hampir di seluruh penjuru tanah air. Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa betapa kepedulian terhadap pendidikan sejak lama telah menjadi perhatian utama NU. Sehingga dapat dikatakan, bahwa sejarah pergerakan NU adalah sejarah pendidikan Nusantara, karena intensitas dan cakupannya yang teramat luas di bidang pendidikan. Dalam konsep pendidikannya, sebagaimana tertuang dalam hasil muktamar NU ke-30 (1999), disebutkan bahwa pendidikan bagi NU adalah upaya membangun individu untuk menjadi manusia yang aktual, yang mampu mengemban fungsi khalifah di bumi. Ciri khas yang melekat padanya adalah, berupa komitmennya terhadap ajaran Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Sekalipun demikian, NU melalui PP. LP Ma’arif lahir untuk menyuguhkan pendidikan dengan karakternya yang populis, Islami, dan berkualitas. NU memandang bahwa sistem pendidikan yang telah sekian lama dianut dan dipraktekkan di Indonesia adalah bentuk pendidikan yang menitik tekankan pada proses transfer, baik pengetahuan maupun teknologi an sich. Hal ini bagi NU justru tidak lebih hanya akan merendahkan martabat kemanusiaan peserta didik itu sendiri. Karena proses transfer, pada satu sisi, hanya menempatkan peserta didik sebagai tabung yang akan diisi pengetahuan dan teknologi. Dengan lain kata pola demikian meletakkan murid sebagai objek yang pasif (the education of bank system). Sementara pada lain sisi, guru hanya dipergunakan tidak lebih sekedar instrumen pemindah (penghubung, katalis) pengetahuan dan teknologi kepada tabung (murid-murid, anak didik). Sebuah hubungan yang sama sekali tidak manusiawi, cenderung mekanistik dan kaku. Manusia diperlakukan tak ubahnya seperti mesin dan alat-alat produksi lainnya yang hanya diambil nilai gunanya. Padahal sisi kehidupan manusia tidak homogen, justru pada dirinya tersimpan multi sisi. Oleh karena itu, perlakuan terhadapnya haruslah juga multi perspektif. Maka, hanya dengan inilah manusia yang seutuhnya dapat dipahami dan dapat ditangani. Dalam praktek pendidikannya, NU menempatkan anak didik sebagai subjek yang aktif, sebagai pencari pengetahuan dan pembentuk dirinya, yaitu melalui pengaktualisasian dan pengembangan seluruh potensi kemanusiaan yang dimilikinya (kognitif, psikomotorik dan afektif). Sedang guru dalam hal ini diposisikan bukan sekedar pengajar suatu mata pelajaran tertentu, melainkan yang paling penting adalah bertanggung jawab sebagai pendidik dalam membimbing perkembangan kepribadian, moralitas dan spiritualitas
anak didik. Lebih jauh lagi, bagi NU pendidikan adalah upaya memfasilitasi anak didik untuk menjadi dirinya sendiri yang akan hidup dan membangun masyarakatnya kelak dalam kehidupan masyarakat sipil yang beragam. Melalui konsep pendidikannya, NU merekomendasikan, bahwa pendidikan nasional (seharusnya) mengembangkan demokratisasi pendidikan (pendidikan dari, oleh dan untuk rakyat), memberi pengakuan pada kenyataan yang multikultural, menghargai pendidikan lokal (menciptakan pendidikan kontekstual), dan menghapus dikotomi antara pendidikan agama dan umum. Pendidikan NU dalam Konteks Pendidikan Nasional Pengembangan pendidikan keagamaan semula dilakukan secara swakelola oleh masyarakat melalui perkumpulan atau organisasi. Ormas seperti Muhammadiyah, NU, dan Jam’iyatul Wasliyah telah mencoba mengaplikasannya dalam berbagai bentuk: Pesantren, Diniyah dan Madrasah, baik pendekatan pembelajaran individual, klasikal maupun sistem terbuka yang diselenggarakan dengan paruh waktu ataupun purna waktu (full-day). NU sendiri, berdasarkan laporan Departemen Agama RI tahun 2001, telah menginventarisasai sekitar 12.817 pesantren. Sedangkan berdasarkan data kantor pusat LP. Ma’arif NU, dari sembilan wilayah provinsi yang telah diverifikasi, 12 provinsi lainnya belum tergarap, lembaga pendidikan NU (Ma’arif) untuk tingkat dasar dan menengah telah mencapai jumlah 12.000 sekolah atau madrasah. Selain itu, terdapat pula sebanyak 79 Perguruan Tinggi NU dan sebanyak 6.000 TK/RA (dikelola PP Muslimat NU). Jumlah yang sangat besar ini tentunya memiliki pengaruh yang besar pula atas jalannya pendidikan nasional secara keseluruhan. Dalam khazanah nasional, lebih lanjut Aceng menegaskan, madrasah merupakan fenomena budaya yang telah berusia lebih dari satu abad. Bahkan bukan suatu hal yang berlebihan, madrasah telah menjadi salah satu wujud entitas budaya Indonesia yang dengan sendirinya menjalani proses sosialisasi yang relatif intensif. Ia telah menjadi arus utama pembangunan bangsa sampai abad ke-21 ini. Pada zaman kolonial Belanda, pendidikan Islam berada dalam fase awal, yaitu melakukan eksperimentasi materi dan metodologi pembelajarannya. Lembaga pesantren merupakan cikal-bakal format pendidikan Islam. Kemudian ia melakukan improvisasi dengan sistem sekolah ala Belanda. Ada yang mengambil utuh kurikulum Belanda, lalu menambahkan jam pelajaran
agama dan ada pula yang hanya memakai sistem sekolah serta metodologi pembelajarannya saja, sementara materinya tetap pelajaran agama. Sementara pada jaman penjajahan Jepang, urusan pendidikan agama Islam ditangani secara khusus. Pemerintah Jepang membuat relasi positif dengan kiyai dan ustadz, yang kemudian mendirikan Kantor Urusan Agama (shumubu). Pada tahun 1946, ia diubah menjadi Kementrian Agama (sekarang dikenal dengan Departemen Agama) yang mengelola pendidikan agama baik di sekolah umum ataupun di sekolah agama itu sendiri. Hal ini kemudian dipertahankan dari Orde Lama (Sukarno), Orde Baru (Suharto), sampai sekarang. Pada konteks pengembangan madrasah, NU pernah melewati jalan panjang dalam pencarian bentuk, pendirian, dan pengembangannya. Madrasah tertua yang telah ada adalah madrasah Tashwirul Afkar dan madrasah Nahdlatul Wathan yang didirikan oleh KH. Wahab Chasbullah dan KH. Mas Mansyur. Saat itu pendidikan di madrasah sudah memakai sistem klasikal dan sudah mengajarkan mata pelajaran umum meskipun terhitung langka (bisa dikatakan tidak ada), karena baru HIS, sekolah kelas I, kelas II, dan lain-lain, yang nota bene adalah sekolah Belanda, yang telah mempraktekkan sistem itu. Perhatian NU atau Ma’arif saat itu, baru terpusat pada penyelenggaraan dan pembinaan madrasah dan pondok pesantren yang melulu ‘mengutamakan pendidikan dan pelajaran agama’. Baru pada tahun 1927, pada muktamar NU ke-2, perhatian terhadap madrasah semakin besar. Perhatian tersebut bahkan sampai ke masalah biaya pembangunan madrasah, anggaran dan metode pendidikan di kalangan NU. Perhatian intensif terhadap madrasah atau sekolah NU semakin terfokus, dengan dijadikannya Ma’arif sebagai badan khusus yang menangani bidang pendidikan. Dari sudut historis pendidikan madrasah di lingkungan NU, tampaklah bahwa peran NU dalam pertumbuhan dan perkembangan madrasah tidaklah kecil. Bahkan langkah kategorisasi dan penjenjangan madrasah yang dilakukan NU merupakan inspirasi bagi pembakuan penjenjangan pendidikan madrasah (juga pendidikan umum) akhir-akhir ini, sebagaimana diterapkan oleh Sistem Pendidikan Nasional. Dari uraian di atas dapat kita tangkap sebuah kesimpulan, bahwa NU sejak semula telah memiliki inisiatif dan niat mulia untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertuang, dan menjadi tujuan bangsa, dalam UUD 1945. NU dan Partisipasi Program Pemerintah
Ada anggapan bahwa NU punya kecenderungan untuk menempatkan dirinya sebagai oposisi pemerintah, terutama sejak lahirnya pemerintahan Orde Baru (ORBA) di bawah tangan besi Soeharto. Apakah benar? Persoalan tersebut harus ditilik dari berbagai perspektif agar terbangun sebuah kesimpulan yang akurat. Dalam hal-hal tertentu, anggapan demikian memang tidak terlalu salah, bahwa pada taraf tertentu, NU memosisikan diri sebagai oposisi pemerintah. Sebab justru dengan kehadiran oposisi-sebagai bentuk eksternal check--di panggung kekuasaan, akan memungkinkan tetap berjalannya demokratisasi. Dengan demikian akan tetap terjaga budaya kritis yang mampu membatasi despotisme yang acap kali dipraktekkan penguasa. Inilah yang barangkali disebut oposisi konstruktif. Namun jangan salah juga, kita harus jujur, bahwa untuk beberapa hal lain, NU bahkan bersikap kooperatif dengan pemerintah, apalagi ketika putra NU sendiri yang berada pada tampuk kekuasaan. Dalam konteks pendidikan, meskipun NU tetap melaksanakan otonomisasi pendidikannya lewat pesantren-pesantren (bahkan hal ini tidak bertentangan dengan keinginan secara umum dari pemerintah), pada saat yang sama NU secara formal —lewat LP Ma’arifnya— juga ikut mensukseskan program pemerintah, yaitu wajib belajar (Wajar) sembilan tahun. Ini dibuktikan dengan sangat banyaknya lembaga pendidikan Ma’arif —khususnya tingkat dasar dan menengah— didirikan di seluruh Indonesia. Lebih jauh dari itu, dengan lembaga-lembaga pesantren yang didirikan oleh para ulama, NU telah berpartisipasi dalam upaya menjaga umat dari kemerosotan moral dan prilaku deviatif manusia Indonesia pada umumnya-sebuah pola perilaku yang berakibat pada timbulnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan pada akhirnya mengkristal menjadi krisis multidimensi. Hal ini sebagaimana disinyalir oleh Menteri Agama RI Prof. Dr. H. Said Aqil Husein Almunawwar, dalam pembukaan Raker LP Ma’arif NU tahun 2002 di Malang. Persoalan desentralisasi pendidikan yang akhir-akhir ini menjadi kebijakan pemerintah pusat untuk menciptakan pendidikan yang lebih demokratis dan berorientasi pada penguasaan kompetensi yang kontekstual bagi peserta didik, tak luput dari perhatian NU. Kalau pada umumnya desentralisasi pendidikan ini baru dilaksanakan paska kebijakan Otonomi Daerah (OTDA) dari Pemerintah Pusat, NU justru sudah sejak mula pendiriannya telah menggelar praktek desentralisasi. Pesantren-pesantren dan lembaga pendidikan Ma’arif telah lahir dan mengelola seluruh manajerial praksis pendidikannya secara swakelola, yaitu melalui inisiatif kreatif pemilik yayasan, ketua lembaga, dan masyarakat sekitar sebagai orang tua (wali) dari anak didik. Kelahirannya tanpa dibidani oleh Surat keputusan atau uluran bantuan finansial dari Pemerintah Pusat. Dengan demikian,
desentralisasi (sesungguhnya) adalah budaya murni yang lama terpelihara di lingkungan NU. Oleh karena itu, wajar jika NU lalu pantas dijadikan sebagai teladan oleh Pemerintah Pusat dalam penurunan kebijakan desentralisasinya. Inilah yang barangkali disebut partisipasi sejati. Meskipun agak telat, tidak terlalu salah, jika pemerintah menurunkan kebijakan desentralisasi pendidikan dan penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) serta berbagai konsep lanjutannya. Karena dengan inilah kemandirian, kemajuan, dan mutu out-put yang memiliki kompetensi dari sekolah dan madrasah, akan tercipta. Dari sini akan lahir sebuah generasi yang sadar diri, punya kapabilitas dan kompetensi mutu. Pada keseluruhannya akan terbangun sebuah generasi yang qualified dan menghadirkan kesejahteraan bersama seluruh bangsa dengan mengentaskan manusia Indonesia dari multikrisis yang dideritanya. Partisipasi NU sendiri dalam penyuksesan implementasi Mana-jemen Berbasis Sekolah yang digalakan pemerintah, sangat besar. Dalam banyak kasus, lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah koordinasi NU, telah mengelola segalanya oleh sendiri secara otonom, dengan keterlibatan penuh masyarakat sekitar sebagai stakeholders dalam kesuksesan proses pendidikan. Walaupun, harus juga diakui bahwa, pada saat yang sama, NU belum bisa mewujudkan suatu sistem manajerial yang profesional dan mumpuni. Dalam dunia pendidikan, hal ini akan berimplikasi terhadap kekurangan mutu out-put. Sehingga kemudian banyak dijumpai lulusan pendidikan NU yang kurang dibekali dengan ketrampilan profesi yang memadai. Ia akan kembali dan kembali lagi pada kehidupan seputar agama, seputar tahlil, jadi imam di mushalla, mengajar ngaji anak-anak kampung dan lain sebagainya, meskipun hal ini sama sekali bukanlah sesuatu yang jelek, bahkan disana sini masih dibutuhkan. Dalam konteks kemandirian sekolah, NU bisa membuktikan kesuksesannya, meskipun banyak keluhan dari para pengelola lembaga tentang kesulitan finansial yang dihadapinya. Sayangnya, kesuksesan bidang ini tidak disertai dengan kesuksesan pada bidang sistem pengajaran dan manajemen operasional proses pendidikan. Dalam hal ini, NU masih menyisakan setumpuk PR yang segera dituntut penyelesaiannya. Untuk mengatasi persoalan ini, NU—melalui LP Ma’arif—dalam waktu dekat berinisiatif untuk menyelenggarakan berbagai bentuk pelatihan dan workshop, perihal Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan pelatihan bagi guru-guru mata pelajaran eksakta (sebagai sesuatu yang dirasa menjadi kelemahan dalam lembaga pendidikan Ma’arif NU). Ini menggambarkan betapa NU sebagai ormas yang menaungi umat terbesar di Indonesia memiliki kuriositas yang intens terhadap niat
pemerintah untuk memulai pendidikannya dengan penggalaan program MBS dan KBK, atau dunia pendidikan secara umum. Lebih menggembirakan lagi, NU akan melakukan pembaharauan konsep pendidikannya yang tidak terbatas pada lembaga sekolah formal yang dimiliki, tetapi lebih dari itu, niat ini juga akan dilaksanakan pada pendidikan luar sekolah NU, sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan (capacity building). Hal ini merupakan manifestasi rasa tanggung jawab NU demi mengentaskan Indonesia dari jurang krisis yang telah menjeratnya selama kurang lebih tujuh tahun terakhir.
Ma’rifat
Kebijakan Yang Diperlukan Untuk Peningkatan Mutu Pendidikan Oleh Jahja Umar, Ph.D A. Pengantar Pendidikan merupakan hak azasi manusia yang paling mendasar dan bersifat universal. Di Indonesia, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dijamin dalam UUD 1945. Sementara itu, maju atau mundurnya suatu bangsa tergantung dari kualitas SDM-nya. Hal ini terkait langsung dengan peningkatan mutu pendidikan. Telah banyak contoh bahwa negara yang secara geografis kecil dan relatif tidak mempunyai sumber daya alam, tumbuh menjadi bangsa yang unggul karena kualitas lulusan dari sistem pendidikannya yang dapat diandalkan dan terjaga. Apabila bangsa Indonesia tidak mau lebih jauh lagi tertinggal dari bangsabangsa lain di dunia, maka pendidikan di Indonesia harus lebih berorientasi pada pengendalian mutu lulusannya. Pada tahun 2003, walaupun Indonesia dipuji sebagi salah satu negara yang mampu menurunkan tingkat kematian bayi yang berumur dibawah 5 tahun, tetapi berdasarkan Human Development Index (HDI) untuk tahun 2003 ini, Indonesia masih berada pada urutan ke -112 dari 151 negara di dunia. Hal ini berarti, Indonesia mengalami penurunan rangking, sebab pada tahun 2002 Indonesia menempati urutan ke-110 pada tahun 2002. Berdasarkan penelitian tim Human Development Report (HDR) tahun 2003, salah satu penyebab penurunan rangking tersebut adalah karena Indonesia mengalami penurunan dalam hal mutu pendidikan dasar.
Hasil survai Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 1998/1999 menunjukkan, bahwa dalam kemampuan bidang IPA (science) siswa SMP, Indonesia berada di urutan ke-32 dan dalam bidang matematika (mathematics) berada di urutan ke-34 dari 38 negara-negara peserta. Demikian pula dengan hasil survai international yang lain, yaitu pada Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2000/2001 untuk anak-anak usia 15 tahun, yang menunjukan Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 41 negara untuk bidang kemampuan IPA, untuk matematika di urutan ke-39, dan kemampuan membaca (reading) diurutan ke 39 dari 41 negara yang sama. Pada saat di Indonesia terjadi penurunan mutu lulusan, di negara lain terutama seperti di Malaysia dan Singapura justru terjadi yang sebaliknya. Upaya yang mereka lakukan ialah menerapkan standar kelulusan bertaraf international (Standar Cambridge, Inggris). Artinya, guru dan sekolah bila perlu diberi kebebasan besar dalam memilih kurukulum, cara mengajar, dsb. asalkan muridnya dapat dibuktikan lulus pada ujian yang dilakukan dengan standar yang ditetapkan itu. Untuk itu,didirikanlah lembaga yang berkewenangan penuh untuk menguji dan memberi sertifikasi, terpisah dari lembaga yang membina sekolah. Meskipun pada mulanya terasa berat, namun pada saat ini sebagian besar sekolah di Malaysia telah mampu memenuhi tuntutan standar tersebut. Memang, untuk mewujudkan “Malaysian Vision 2020 Steers the Nation Towards Achieving the Status Of A Fully Developed And Industrialized Country”, maka Kementrian Pendidikan Malaysia telah sejak dahulu menetapkan misinya yang berbunyi; “to develop a world class quality education system which will realize the full potential of the individual and fulfil the aspiration of the Malaysian nation.” Karena di negara-negara tetangga tersebut mutu lulusannya makin lama makin tinggi, kesenjangan mutu dengan negara kita pun makin lebar, dan pada gilirannya tentu akan membuat kita makin terpuruk dalam persaingan. Sistem pendidikan di Indonesia selama ini cendrung terlihat lebih berorientasi dan terfokus pada input pendidikan dan prosesnya. Input pendidikan seperti sarana prasarana pendidikan dan kurikulum beserta prosesnya, memang sangat penting bagi keberhasilan seseorang belajar, tetapi hal ini saja tidak cukup. Karena itu, untuk memperbaiki keadaan di atas, sistem pendidikan di Indonesia sekarang sudah harus mulai lebih difokuskan pada pengendalian kualitas mutu lulusannya. Tidak boleh lagi ada dikotomi antara pemerataan dan mutu, di mana dengan alasan untuk pemerataan lalu mutu boleh dikorbankan dulu.
Memenuhi hak asasi warga negara untuk memperoleh pendidikan haruslah terkait dengan mutunya. Dan untuk itu diperlukan adanya sistem pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan (quality management). Seiring dengan upaya pemenuhan sarana prasarana yang memerlukan biaya besar, diperlukan upaya pengendalian mutu yang sebenarnya lebih membutuhkan tekad dan komitmen dari pada biaya. Sebagai konsekuensi logis dari komitmen untuk mengendalikan dan meningkatkan mutu, maka penggunaan angka partisipasi murid (prosentase anak usia tertentu yang berada di sekolah) saja sebagai indikator kualitas, seperti “prosentase murid kelas tiga SD yang sudah mampu membaca,” “prosentase murid kelas tiga SMP yang mampu lulus standar wajar 9 tahun,” “prosentase lulusan SMA yang memiliki kemampuan bahasa Inggris pada level tertentu,” dsb. Artinya, ada suatu standar yang digunakan pada setiap tingkatannya. Negara yang berhasil meningkatkan kualitas SDM-nya melalui pendidikan, cenderung tidak menggunakan angka partisipasi murid sebagai bentuk pertanggung jawaban (akuntabilitas) di bidang pembangunan pendidikan, melainkan selalu menggunakan indikator kemampuan lulusan. Malaysia, misalnya, bahkan menggunakan pula peningkatan “prosentase murid kelas 3 yang berhasil lompat ke kelas 5” dari tahun ke tahun, sebagai salah satu dari indikator keberhasilan pendidikan. Amerika Serikat terkenal dengan “National Assessment of Education Progress” ( NAEP ), Australia dengan “National Benchmark Result,” bahkan India pun lebih mengutamakan pelaporan pencapaian standar kelulusan daripada angka partisipasi murid. Negara-negara tersebut biasanya memiliki lembaga yang memiliki otoritas untuk menguji calon lulusan, atau bertugas memantau dan memetakan mutu sekolah. Dalam hal ini, masyarakat mendapat informasi mengenai sekolah mana saja yang sekalipun mempunyai sarana yang melimpah, tetapi sebenarnya tidak bermutu, atau sebaliknya. Di Indonesia, Pusat Penilaian Depdiknas mengklasifikasikan sekolah berdasarkan ujian akhir, yaitu: A untuk yang lulusan dengan rata-rata 7.5 ke atas, B untuk nilai rata-rata lulusan 6.5 sampai 7.5, dan C untuk yang nilai rata-ratanya 5.5 sampai 6.5, serta D jika nilai rata-rata di bawah 5.5. Dari hasil pemantauan selama lima tahun (1996-2001), prosentase sekolah SMP kategori A (dari 1980 SMP Negeri dan Swasta), selalu di bawah 0.5 %. Sementara sekolah kategori D mengalami peningkatan, dari 54.71 % pada tahun 1996, menjadi 81.93 % pada tahun 2001. Demikian juga untuk tingkat SMA, menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda. Jika dilihat tingginya standar yang digunakan dalam arti tingkat kesukaran soal yang diujikan, maka gambaran yang tampak lebih memperhatinkan.
Sebagi contoh, dapat dibandingkan soal ujian penghabisan kelas 6 sekolah rakyat tahun 1952 dan 1961, dengan soal ujian ebtanas tahun 1997 dan 1999. Di sana, jelas sekali memperlihatkan, betapa terjadi penurunan tingkat kesukaran soal yang sangat ekstrim dari waktu sebelum standar kelulusan nasional dihapuskan pada tahun 1968, dibanding setelahnya. Sebelumnya, standar kelulusan minimum adalah nilai rata-rata 5.5 dan dengan soal yang sulit. Sesudahnya, tidak digunakan lagi istilah kelulusan karena semua tamat, dan dengan soal yang amat mudah. Tahun 2004 ini, rencananya akan diterapkan persyaratan lulus dengan nilai minimum 4.0, tapi hanya tiga mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Pada tahun 1984 sampai dengan tahun 2000, sudah diberlakukan kebijakan penyesuain (pengkatrolan) nilai dengan rumus PQR, yang membuat nilai akhir dalam STTB selalu tinggi. Hal ini bukan saja merupakan sejenis proses “pembodohan” secara nasional, tetapi juga melestarikan bahkan memperlebar jurang kesenjangan mutu lulusan antar daerah. Akibatnya, ketika terjadi investasi besar ke daerah, yang berarti membutuhkan SDM terdidik, yang penerimannya melalui seleksi, maka lulusan lokal cendrung kalah bersaing dengan lulusan dari daerah lain yang lebih berkualitas, khususnya dari Jawa. Terpinggirkannya lulusan lokal ini tidak mustahil akan memicu konflik, bahkan dapat mengancam keutuhan persatuan bangsa. Dampak lain yang serius dari tidak diterapkannya suatu standar nasional untuk kelulusan (lulus 100 %) adalah terhadap prilaku belajar murid dan prilaku mengajar guru. Karena tidak ada yang tidak lulus, betapa pun malasnya seorang murid, maka amatlah sulit untuk mendorong agar murid rajin belajar. Kalau pada tahun 1960-an atau sebelumnya, setiap orang belajar mati-matian agar dapat lulus, maka setelah tahun 1970-an, hanya murid di sekolah tertentu atau di keluarga dengan tradisi tertentu saja yang masih mau rajin belajar. Hal itu disebabkan karena tidak adanya kecemasan siswa terhadap hasil ujian. Padahal, semua orang tahu, bahwa secerdas apapun seseorang, jika tidak pernah membaca dan berlatih, tentulah tidak dapat mencapai prestasi yang tinggi. Apalagi kalau kecerdasannya cuma rata-rata dan kerjanya hanya bermain, malas-malasan, nonton TV, tanpa belajar, tentu tidak mungkin menjadi pandai. Oleh karena itu, berapapun besarnya kenaikan anggaran pendidikan, betapapun lengkap fasilitas sekolah, jika muridnya tidak dituntut untuk rajin membaca dan berlatih, maka sudah barang tentu tidak akan menghasilkan lulusan yang dapat diandalkan. Sekolah-sekolah yang ada di Jepang, Taiwan, Korea, Hongkong, Singapura dan Malaysia adalah contoh di mana murid harus belajar amat rajin sehari-harinya. Itulah sebabnya kenapa lalu kualitas SDM di sana meningkat pesat dan terbukti menjadikan mereka sebagai bangsa yang
maju. Padahal di Korea Selatan, selama puluhan tahun jumlah murid perkelas mencapai rata-rata 60-65 orang. Keadaan lulusan 100 % juga berdampak buruk pada prilaku mengajar guru. Mereka umumnya sudah merasa aman dan selesai tugasnya jika telah melaksanakan semua kewajiban kurikuler, meskipun murid-muridnya tidak memahami materi yang diajarkannya. Memang, pada kenyataannya penilaian ataupun angka kredit bagi kinerja guru bukan diukur dari prestasi muridnya, melainkan lebih pada sejauh mana ia telah melaksanakan cara mengajar yang ditentukan. Itu sebabnya kebanyakan guru tidak merasa gagal sepanjang seluruh rangkaian tugasnya selesai. Kenyataan bahwa setiap tahun lebih dari satu juta murid tamat SLTA, yang berarti telah belajar Bahasa Inggris sebanyak 4 jam per minggu selama 6 tahun, namun nyaris tidak ada yang dapat berbahasa Inggris, tampaknya tidak dianggap masalah serius. Padahal betapa besarnya anggaran/biaya yang telah dikeluarkan untuk itu. Bahkan, banyak orang yang cenderung menyalahkan kurangnya anggaran/sarana dan kurang tepatnya kurikulum serta cara mengajar yang menjadi penyebabnya. Padahal penyebab yang sebenarnya adalah murid kurang belajar dan berlatih, karena gurunya maupun sistemnya tidak menuntut untuk itu. Uraian di atas menunjukkan, bahwa pendidikan yang tidak menghasilkan lulusan yang bermutu bukanlah merupakan investasi SDM, melainkan pemborosan biaya, tenaga dan waktu. Pembangunan gedung-gedung sekolah yang menelan biaya besar, penataran-penataran guru maupun pencetakan buku-buku yang juga menelan biaya yang sangat besar, akan kehilangan maknanya apabila pengetahuan dan kemampuan lulusannya rendah. Dengan demikian, strategi peningkatan mutu pendidikan harus dipusatkan terutama pada pengendalian mutu lulusan. Selain itu, perlu ditumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa lembaga pendidikan yang baik bukanlah yang gedungnya bagus, melainkan yang lulusannya bermutu. Upaya peningkatan kualitas SDM harus dilakukan melalui konsepsi, strategi, dan kebijakan yang tegas dalam pengendalian mutu, tanpa melupakan untuk mengedepankan pendidikan yang murah dan merata. Indikator yang dapat digunakan antara lain adalah: 1) prestasi belajar siswa, khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah; 2) kesenjangan mutu pendidikan, baik antar sekolah maupun antar daerah; 3) mutu pendidikan Indonesia yang secara rata-rata jauh berada di bawah, jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN maupun Internasional. Ketiganya hanya dapat dipantau jika diterapkan suatu standar nasional dalam meluluskan seorang murid.
Suatu standar nasional dalam hal ini hanya dapat diterapkan secara konsekuen, jika ada sistem ujian yang objektif dan memiliki skala ukurannya yang comparable (dapat dibandingkan) dari tahun ke tahun. Ini memerlukan adanya lembaga otoritas pengujian yang menerapkan standar nasional secara konsekuen, yang terpisah dari lembaga penyelenggara/pembina sekolah. Artinya, penetapan kelulusan seorang murid berdasarkan standar yang ada, adalah sepenuhnya kewenangan lembaga pengujian, tanpa campur tangan sekolah, dinas, maupun direktorat jenderal. Hal ini karena hasilnya justru menyangkut penilaian kinerja sekolah, dinas dan direktorat jenderal yang terkait tersebut. Sebab otoritas pengujian dan pemantauan mutu berfungsi sebagai pendorong bagi kinerja sekolah, dinas dan direktorat jendral. Ini sejalan dengan azas akuntabilitas yang telah diterapkan di negara-negara yang maju pendidikannya. Seperti telah diketahui bersama, bahwa selain mutu pendidikan yang secara rata-rata rendah, ternyata kesenjangan mutu lulusan pendidikan kita bukan hanya terjadi antar sekolah, melainkan juga antar daerah. Hal seperti ini tampak jelas pada data ujian masuk ke perguruan tinggi negeri yang setiap tahun dilakukan. Keadaan ini tentu saja tidak boleh dibiarkan terus berlangsung, karena ketimpangan tersebut akan secara langsung terkait dengan kesenjangan dalam hal peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Hingga pada gilirannya akan merupakan ancaman terhadap persatuan dan kesatuan nasional. Hal lain yang penting adalah, bahwa pendidikan harus dilihat sebagai masalah bangsa, bukan sekedar masalah orang per orang atau keluarga. Seorang pejabat di bidang pendidikan, tidak boleh hanya memikirkan keadaan selama masa jabatannya, melainkan apa yang akan dicapai sepuluh atau dua puluh tahun kemudian. Kondisi hasil pendidikan yang dialami saat ini adalah buah dari kebijakan 10 atau 20 tahun yang lalu. Setiap orang yang menangani kebijakan pendidikan harus berbuat sebagai seorang negarawan yang berfikir untuk selanjutnya, bukan sebagai politisi yang berfikir untuk satu periode pemilu, lantas setelah itu untuk pemilu berikutnya. Dalam menangani pendidikan, apa yang kita lakukan mungkin baru dinikmati hasilnya oleh generasi berikutnya. B. Bebarapa Masalah Pokok dalam Peningkatan Mutu Dari potret keadaan mutu pendidikan di Indonesia yang ada pada saat ini, seperti telah diuraikan di atas, dapat dirangkum ke dalam pokok-pokok permasalahan berikut:
a. Belum Ada Standar Nasional tentang Mutu Pendidikan Di Indonesia umumnya para peserta ujian nasional pada tingkat dasar dan menengah tidak secara optimum mempersiapkan dirinya dengan belajar keras. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, mereka tahu bahwa walaupun tidak belajar keras, toh mereka pun akan dapat lulus ujian. Yang tidak lulus ujian biasanya hanya karena betul-betul yang jarang masuk sekolah. Adalah mustahil untuk mendapatkan lulusan yang bermutu, apabila murid-muridnya tidak mau belajar keras. Tidak adanya standar nasional yang berisi pernyataan tentang kualifikasi lulusan dan kenyatan bahwa setiap orang pada umumnya lulus, membuat masyarakat sering menganggap bahwa sekolah yang gedungnya megah dengan kelengkapan kulikuler yang melimpah adalah sekolah yang bagus, meskipun prestasi akademik para muridnya rendah. b. Kurikulum Nasional dan Strukturnya Proses belajar mengajar di sekolah di seluruh Indonesia harus mengikuti kurikulum atau GBPP Nasional yang telah ditentukan strukturnya. Setiap guru di seluruh Indonesia harus mengikuti dan memenuhi semua target dan urutan kurikuler yang ada. Jadi, setiap mata pelajaran pada setiap jenjang dan jenis sekolah sudah ada GBPP nasionalnya. Banyak keluhan dari guru, bahwa waktu atau jam yang disediakan terlalu singkat. Juga ada yang mengeluh tentang pokok-pokok bahasan. Belum lagi ditambah dengan kualitas/kemampuan guru yang sangat beragam di seluruh wilayah Indonesia. Dengan keadaan seperti inilah, guru-guru harus melaksanakan tugasnya di sekolah. Mereka akan ditegur jika tidak bisa memenuhi target mengajarnya. Efek dari proses belajar mengajar seperti ini adalah, bahwa guru akan merasa sudah tenang apabila telah memenuhi target mengajar, tanpa begitu memperhatikan lagi apakah murid telah memahaminya. Akibat lainnya ialah, guru nyaris tidak mempunyai waktu untuk mengevaluasi murid-muridnya di kelas. Mereka dikejar oleh target dan waktu yang jika tidak dapat dipenuhi, maka kinerja mereka dianggap tidak baik. Ringkasnya, saat ini kurikulum lebih merupakan belenggu dan beban bagi guru, daripada sebagai instrumen mengajar. c. Sistem Ujian, Sertifikasi/Ijazah, dan Seleksi Sejak Indonesia merdeka, tahun 1945, sampai dengan sekarang, sudah beberapa kali pendidikan tingkat dasar dan menengah menggunakan ujian nasional. Pada tahun 2003, ujian nasional dikenal dengan nama Ujian Akhir Nasional (UAN), sedangkan sebelumnya diberi nama Evaluasi Belajar Tahap
Akhir Nasional (EBTANAS). Di tahun ’50 dan ’60-an, disebut ujian penghabisan. Namun sejak kemerdekaan sampai sekarang, belum ada lembaga khusus yang independen dan bertanggung jawab secara penuh terhadap penyelenggaraan ujian nasional. Inilah yang membedakan kita dengan Malaysia, Singapura, Inggris, Belanda, dsb. Negara-negara tersebut memiliki lembaga pengujian dengan mandat penuh untuk melaksanakan misinya dalam mengendalikan mutu lulusan. Bahkan, negara kecil seperti Hongkong pun memiliki “Hongkong Examination Authority“. Padahal sebenarnya fungsi ujian nasional itu sangat penting untuk meyakinkan atau menjamin adanya mutu pendidikan. Tetapi bagaimana orang bisa yakin jika soal yang digunakan rendah kualitasnya, tidak ada standar kualifikasi lulusan yang diacu, dan dilaksanakan oleh birokrasi penyelenggara persekolahan itu sendiri. Dalam kenyataannya, memang perguruan tinggi yang lantaran berbeda direktorat jendral saja, enggan untuk mengakui hasil ujian SMA. Mereka menguji kembali apa yang telah diujikan di SMA. Apalagi mengingat hampir setiap langkah dalam proses penyelenggaraan ujian itu merupakan kegiatan proyek yang melibatkan birokrasi di semua tingkatannya, mulai dari pusat sampai daerah. Seperti telah disebutkan di muka, bahwa sampai saat ini di Indonesia masih belum ada lembaga khusus yang independen dan profesional untuk menangani masalah-masalah ujian, khususnya uijan nasional, ijazah/sertifikat, dan seleksi. Kebijaksanaan tentang kelulusan, misalnya, justru ditentukan sendiri oleh lembaga yang seharusnya dinilai keberhasilannya melalui ujian tersebut, yaitu Direktorat Jendral Dikdasmen. Tidak adanya lembaga “Examination Authority“ di Indonesia, mengakibatkan birokratisasi penanganan ujian. Hal ini menimbulkan banyak masalah dalam hal sistem ujian, sistem seleksi, dan sistem sertifikasi/ijazah. Padahal ini menyangkut secara langsung dengan masalah pengendalian mutu pendidikan. d. Guru Pada masa penjajahan dan pasca kemerdekaan sampai dengan tahun 1960an, jabatan sebagai seorang guru demikian terpandang. Pemerintah melakukan berbagai cara untuk menarik pemuda terbaik menjadi guru. Pemberian ikatan dinas dan penyediaan asrama bagi mahasiswa calon guru, merupakan salah satu insentif yang mengundang generasi muda, melalui jalur pendidikan tertentu untuk menjadi seorang guru. Tidak sedikit mahasiswa fakultas tehnik di universitas terpandang yang pindah jalur memasuki pendidikan guru. Tetapi sekarang tidak dapat dipungkiri, bahwa banyak mahasiswa yang memasuki lembaga pendidikan guru, bukan karena
mereka memilih jabatan guru sebagai pilihan utama, melainkan karena mereka tidak diterima di lembaga pendidikan tinggi lainnya. Sebagai bandingannya, di negara-negara maju seperti USA, syarat untuk menjadi seorang guru minimal S-1, ditambah satu tahun credential. Mahasiswa yang akan menjadi guru juga disyaratkan termasuk dalam 20 % teratas lulusan sekolah menengah. Masalah lainnya ialah menyangkut proses pengangkatan dan penempatannya. Penataran guru yang selama puluhan tahun telah menghabiskan triliunan rupiah, yang umumnya berasal dari pinjaman luar negeri, praksis tidak membuahkan hasil pada peningkatan kualitas lulusan. Isi penataran umumnya adalah mengenai metode mengajar yang ditawarkan oleh para konsultan asing yang kemudian dijadikan metode baku bagi guru di Indonesia. Akibatnya, hal ini bukan saja membuat guru semakin terbelenggu dan dipaksa menerapkannya, tetapi juga membuat sistem pendidikan Indonesia makin terfokus pada aspek kurikulum (kurikulumsentris), daripada hasilnya. Dengan situasi dan kondisi seperti ini, tentu sangat sulit untuk mengharapkan guru sebagai ujung tombak peningkatan mutu lulusan sekolah-sekolah di Indonesia. e. Sistem Akreditasi dan Pengawasan Sekolah-sekolah di Indonesia mempunyai situasi dan kondisi yang sangat beragam. Dalam mengatasi keberagaman tersebut, maka diberlakukan sistem akreditasi. Akreditasi pada dasarnya merupakan upaya untuk mengetahui tentang sejauh mana suatu sekolah diyakini akan mampu menghasilkan lulusan yang bermutu, sesuai standar yang ditetapkan. Namun sayangnya akreditasi yang telah dilakukan sampai saat ini di Indonesia, masih lebih terfokus pada kondisi fisik, sarana-prasarana dan personel sekolah saja. Sebagai bukti, sekolah yang fasilitasnya melimpah akan terakreditasi sebagai sekolah unggulan, meskipun lulusannya tidak lebih baik dari kebanyakan sekolah lainnya. Akreditasi yang telah dilakukan juga hanya sebatas untuk sekolah swasta saja. Mengapa sekolah negeri tidak diakreditasi? padahal variasi kualitasnya tidak jauh berbeda ragam variasinya dengan sekolah swasta. Bukankah sekolah negeri juga banyak yang kondisinya amat memperhatinkan? Sementara di pihak lain, proses pelaksanaan akreditasi juga dipermasalahkan. Lembaga atau sekolah yang diakredaitasi tidak cukup diberi kesempatan untuk mendiskusikan atau mendebat hasil akreditasi yang telah dilakukan oleh tim akreditasi. Komponen-komponen dalam laporan hasil akreditasi juga belum cukup kuat untuk membuktikan adanya kualitas atau mutu pendidikan di sekolah yang bersangkutan.
Pada saat ini, di Indonesia baru saja diresmikan Badan Akreditasi Sekolah. Fungsi yang dijalankannya adalah untuk menilai, baik sekolah negeri maupun swasta, dengan perlakuan yang sama. Semoga peran lembaga ini akan menyumbang terhadap upaya penjaminan mutu pendidikan di Indonesia. Masalah utama yang dihadapi lembaga ini adalah dalam menentukan kriteria yang tepat untuk penilaian sekolah dan bagaimana prosedur pengukuran/assesmentnya agar diterima semua pihak. Sistem pengawasan yang dilakukan oleh pengawas-pengawas sekolah juga masih belum profesional. Selain mereka belum secara sistematis dan periodik mengunjungi sekolah-sekolah, mereka umumnya juga apabila mengunjungi sekolah, lebih banyak menanyakan tentang administrasinya saja. Hal ini dapat dipahami, karena memang masih cukup banyak di antara mereka yang menjadi pengawas, hanya karena sekedar memperpanjang masa pensiun mereka. Sebab, pengawas adalah jabatan fungsional yang batas usia pensiunnya lebih tinggi. f. Sistem Pemantauan Mutu Pendidikan Sistem pemantauan mutu pendididkan sangat penting untuk menjawab pertanyan-pertanyaan, seperti: Apakah mutu pendidikan di Indonesia cendrung menurun? Mengapa demikian? Faktor-faktor atau variabel-variabel apa saja yang menentukan mutu pendidikan di Indonesia dan bagaimana upaya memperbaikinya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, di perlukan data-data yang setiap saat secara sistematis dan otomatis harus selalu tersedia. Namun hingga saat ini, sistem pemantauan mutu itu belum ada. Kalaupun ada, hanya bersifat adhoc, yaitu melalui proyek penelitian atau survey, dan tidak merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem pendidikan yang berjalan. Padahal, tanpa keberadaan sistem pemantauan tersebut, maka kebijaksanaan-kebijaksanaan di bidang pendidikan akan cenderung diputuskan secara spekulatif saja. Usaha perbaikan/peningkatan mutu pendidikan di Indonesia umumnya diambil tidak berdasarkan analisis terhadap data empirik secara komprehensif. Belum ada survey nasional yang secara periodik dilakukan khusus untuk mengumpulkan data guna menunjang upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Begitu pula mengenai lembaga yang secara khusus diberi tanggung jawab untuk hal ini yang sampai saat ini belum ada. g. Sistem Birokrasi Pendidikan Nasional Sistem birokrasi pendidikan di Indonesia masih belum mendukung bagi pengendalian dan penjaminan mutu lulusannya. Dari segi strukturnya,
direktorat jenderal dan direktorat yang ada tidak menjamin adanya penanganan masalah secara professional karena disusun menurut subsektor. Sebagai contoh, Direktorat Pendidikan Dasar dapat dipimpin siapa saja dengan latar belakang apa saja, sekalipun tanpa keahlian khusus di bidang manajemen pendidikan (yang penting telah lulus Sepamen dan kepangkatan yang memenuhi syarat). Akan sangat lain situasinya jika misalnya nama direktorat disusun berdasarkan fungsi, seperti misalnya Direktorat Kurikulum dan Sarana Pendidikan, yang tentu saja tidak mungkin dapat dipimpin oleh orang tidak menguasai aspek teknis dari fungsi tersebut. Akibat dari situasi seperti ini, setiap orang merasa mampu dan menginginkan jabatan yang ada karena toh tidak ada persyaratan keahlian yang spesifik. Jelas hal ini tidak menimbulkan iklim yang sehat bagi pengendalian dan penjaminan mutu dan pendidikan. Masalah lainnya ialah, bahwa birokrasi pendidikan di Indonesia lebih cenderung menjadi penguasa dan pembina sekolah dari pada melayani sekolah dalam rangka membantunya agar lebih berhasil. Setiap pejabat yang datang ke sekolah akan dipersepsikan sebagai atasan yang sedang melakukan fungsi kontrol dan pengawasan, bukan sebagai konsultan dan atau “service provider”. Dalam fungsi kontrol yang jauh lebih dominan dari pada pelayanan, para pejabat pendidikan mulai dari yang tinggi sampai yang paling rendah akan cenderung tidak henti-hentinya mengeluarkan aturan-aturan tentang bagaimana sekolah dan guru harus berbuat. Sungguh kasihan guru di Indonesia. Sudah gajinya minim, semua orang ingin turut mengendalikan pekerjaannya. Di negeri yang lebih maju, umumnya pemerintah hanya menetapkan standar nasional tentang kualifikasi lulusan yang harus dicapi, sedang kurikulum nasional hanyalah rambu-rambu dan acuan untuk dipertimbangkan oleh guru. Pada sekolah-sekolah di Inggris, guru/sekolah bahkan berhak menentukan apakah untuk mata pelajaran fisika, misalnya, mereka akan menggunakan standar Cambridge ataukah Oxford bagi lulusannya. h. Sistem Pembiayaan dan Anggaran Pendidikan Banyak orang mengatakan bahwa masalah utama pendidikan di Indonesia adalah minimnya anggaran. Memang ini ada benarnya. Padahal, sebenarnya yang lebih penting ialah sejauh mana penggunaan anggaran pendidikan (APBN) itu sendiri yang pada kenyataannya selalu meningkat. Masalahnya ialah, bahwa kenaikan anggaran tidak dibarengi dengan kenaikan mutu lulusan. Hal ini mudah di mengerti, karena alokasi anggaran cenderung sama peruntukan dan proporsinya dari tahun ke tahun, hanya saja dengan jumlah yang meningkat. Yang memperoleh porsi terbesar tahun
sebelumnya, akan mendapatkan posisi yang sama pada tahun berikutnya, apapun teori dan rasional yang disampaikan dalam pengajuan anggaran. Masalah lain yang menyangkut anggaran ialah pada sistem penyalurannya. Hampir seluruh dana yang dialokasikan untuk pendidikan, umumnya melalui jalur yang panjang untuk sampai kepada pelaku utama pendidikan, yaitu “guru” dan “murid” di sekolah. Biasanya jalur tersebut melalui berbagai stasiun seperti Direkotrat Jendral, Direkotrat Sub-Direktorat, Proyek, Bagian Proyek, baru sampai ke sekolah. Begitu pula yang disalurkan melalui pemerintah daerah, akan menempuh jalurnya sendiri yang tidak kalah panjangnya. Terlepas dari ada atau tidaknya kebocoran, yang pasti tentu ada biaya yang harus dikeluarkan untuk beroperasinya setiap stasiun yang dilalui. Menilik prosedur seperti ini, maka porsi pelayanan kepada sistem bahkan dapat terjadi sama besarnya dengan pelayanan terhadap sekolah. Kebanyakan negeri maju, penyaluran anggaran pendidikan secara langsung didistribusikan ke sekolah. Tentu saja sistem seperti itu akan lebih memfasilitasi tumbuhnya sistem pengendalian dan penjaminan mutu. Karena semua anggaran dalam bentuk block grant yang penggunaannya sepenuhnya bergantung keputusan di tingkat sekolah, tetapi sekolah harus bertanggung jawab atas hasilnya yang dalam hal ini adalah mutu lulusan yang dihasilkan. Pada saat ini, memang sudah ada block grant langsung ke sekolah serta bantuan langsung kepada murid, seperti beasiswa, dsb., tetapi proporsinya masih kecil dibanding dengan anggaran keseluruhan. i. Kesenjangan Mutu Antar-Daerah Situasi dan kondisi daerah-daerah di Indonesia, baik sumber daya alamnya maupun sumber daya manusianya sangat bervariasi. Demikian pula dengan sarana dan prasarana sekolah dan tenaga kependidikan atau gurunya, juga bervariasi, baik kuantitas maupun kualitasnya. Jadi, bisa dimaklumi apabila mutu lulusan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia, juga sangat bervariasi. Sebagai ilustrasi, dari data NEM SLTP Negeri dan Swasta tahun 2000/2001 terlihat bahwa hanya ada tiga (3) sekolah di luar pulau Jawa yang berada pada urutan 30 teratas. Demikian pula untuk SMU Negeri dan Swasta program studi IPA tahun 2000/2001, terlihat bahwa hanya ada 6 sekolah di pulau Jawa yang termasuk rangking 30 teratas. Data hasil tes masuk ke perguruan tinggi negeri juga menunjukkan hasil yang serupa. Kesenjangan mutu ini terjadi karena tidak ada standar nasional yang diterapkan. Andaikan kelulusan menggunakan standar nasional yang sama, maka tidak akan terjadi kesenjangan mutu lulusan. Yang terjadi hanya kesenjangan dari segi jumlah lulusan. Masalah kesenjangan mutu lulusan yang sekilas justru tidak tampak, sebenarnya adalah secara potensial lebih berbahaya dan
dapat menimbulkan masalah-masalah baru ketimbang kesenjangan dalam hal jumlah yang lebih konkrit dan terukur perubahan atau kemajuannya. j. Kesadaran Masyarakat Akan Pentingnya Mutu Di Indonesia masih sedikit sekali orang yang tidak menyadari akan pentingnya mutu pendidikan. Umumnya di Indonesia orang bersekolah, bukan karena untuk mendapatkan ilmu tetapi seakan-akan hanya untuk mendapatkan ijazah dan gelar. Oleh karena itu, banyak sekali terjadi di mana orang berusaha untuk mendapatkan ijazah dengan berbagai cara yang tidak legal. Kalau di bagian terdahulu dikemukakan kenyataan bahwa lulusan SMA di Indonesia hampir tidak ada yang dapat berbahasa Inggris, padahal telah bertahun-tahun mempelajarinya dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, namun kita tidak pernah mendengar ada orang tua yang protes, apalagi menuntut sekolah atau pejabat yang bertanggung jawab atas persekolahan. Ini terjadi karena mereka merasa tidak dirugikan. Dengan kata lain, orang tua tidak merasa dirugikan jika anaknya tidak mendapat ilmu, tetapi akan merasa kecewa jika anaknya tidak dapat ijazah atau gelar. C. Kebijakan Pengendalian Mutu Dalam realitas pendidikan nasional dewasa ini, kita dapat mengamati beberapa hal berikut: 1. Ujian akhir nasional (UAN). Meskipun hanya tiga mata pelajaran yang diujikan. Di mana mulai tahun 2004 ini, nilai batas lulusnya adalah angka empat, sekalipun belum ada standar nasional kualifikasi lulusan yang terdiskripsikan. Namun demikian, hal ini diharapkan akan mempengaruhi perilaku belajar murid, maupun guru dalam mengajar. 2. Telah dibentuk Badan Akreditasi Sekolah Nasional (BASNAS) yang akan mengakreditasi sekolah, baik negeri maupun swasta. 3. Tahun 2004 ini akan diangkat ratusan ribu guru dan dosen untuk mengatasi kekurangan guru. Seleksi akan menggunakan standar nasional. 4. Program pertukaran kepala sekolah antara kawasan Barat dengan Timur Indonesia, sebagai usaha untuk mengurangi kesenjangan mutu antar daerah.
5. Sekolah-sekolah yang merasa mampu diizinkan untuk menerapkan standar internasional, seperti “Internasional Bacaloriate”, atau lainnya. 6. Pada peringatan HARDIK-NAS Tahun 2002 yang lalu, dicanangkan suatu gerakan nasional untuk peningkatan mutu pendidikan. D. Kebijakan Yang Diharapkan Agar ditetapkan suatu kebijakan dasar di bidang pengendalian mutu. Penulis mengusulkan, “Menciptakan sistem pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan dasar dan menengah melalui (1) pengembangan, penetapan dan penerapan suatu standar nasional tentang kualifikasi lulusan, (2) penyesuaian sistem sertifikasi dan ijazah persekolahan, (3) penerapan proses belajar yang menuntut murid harus belajar giat dan guru harus mengajar dengan tuntas, (4) menghindari pembakuan proses mengajar tetapi membakukan proses ujian akhir, (5) penyederhanaan kurikulum nasional, (6) pembaruan sistem akreditasi sekolah, dan (7) peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya mutu pendidikan; sehingga dapat dihasilkan sumber daya manusia yang mampu bersaing dalam rangka pembangunan nasional”. Kebijakan umum di atas dapat dirinci sebagai berikut: 1. Pengembangan, penetapan dan penerapan suatu standar nasional tentang kompetensi lulusan bagi pendidikan dasar dan menengah agar kualitas dari setiap lulusan dapat diketahui dan terkendali, agar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) segera menyiapkan Peraturan Pemerintah tentang standar nasional pendidikan, yang diperlukan untuk dijadikan landasan hukum penerapannya. Juga, agar Depdiknas mengembangkan standar nasional untuk kompetensi lulusan SD dan SMP, serta untuk setiap tingkatan kompetensi yang diperlukan pada setiap mata pelajaran yang ditawarkan sebagai mata pilihan di tingkat SMU. 1. Penyesuaian sistem sertifikasi/ijazah persekolahan, sehingga ijazah pendidikan dasar merupakan bukti pendidikan dasar minimal yang harus dimiliki oleh semua warga negara, sedangkan ijazah di tingkat pendidikan menengah (SMU)adalah menunjukkan kualifikasi/kompetensi yang telah dimiliki oleh pemegangnya. 2. Penerapan proses belajar mengajar yang menuntut murid agar belajar giat dan menuntut guru agar mengajar secara tuntas. Kondisi
ini diperlukan dalam rangka penjaminan mutu lulusan. Untuk itu, agar (a) dikembangkan sistem kenaikan kelas di SD dan SMP yang lebih menggambarkan kemampuan akademik murid, (b) standar nasional benar-benar dilaksanakan secara konsekuen, (c) dibuat program penghargaan, bonus, atau beasiswa bagi guru yang berhasil. 3. Menghindarkan diri dari sistem yang membakukan proses mengajar, yang lebih menggambarkan pembelengguan terhadap guru dari pada pencapaian hasil. Agar dilakukan deregulasi yang lebih memberi kebebasan kepada guru untuk memilih dan mengembangkan cara dan gayanya sendiri dalam mengajar sepanjang ia dapat mempertanggung-jawabkan hasilnya serta tidak ada aturan dan etika yang dilanggar. 4. Pembakuan proses ujian, khususnya ujian akhir pada setiap tingkatan kompetensi, sehingga hasil ujian dapat objektif dan dapt dipercaya oleh berbagai pihak yang akan menerima atau menggunakan lulusan, termasuk perguruan tinggi. Agar dibentuk lembaga pengujian yang memiliki otoritas penuh dalam menyiapkan, menyelenggarakan, dan menentukan kelulusan, tanpa adanya campur tangan birokrasi penyelenggara persekolahan (ini sesuai dengan tuntutan UU No. 20 Tahun 2003), serta dikembangkan sistem penye-lenggaraan ujian yang handal, valid, dan murah serta mudah dilaksanakan, sehingga para pengguna lulusan dapat mempercayai setiap hasil ujian. 5. Penyederhanaan kurikulum nasional, sehingga yang diwajibkan bagi semua murid diupayakan sesedikit mungkin jumlah mata pelajarannya, sedangkan kurikulum pilihan diupayakan selengkap mungkin sesuai kebutuhan murid, apakah ia akan melanjutkan atau akan bekerja setelah lulus. 6. Pembaruan sistem akreditasi sekolah, sehingga yang disebut sekolah baik bukanlah sekolah yang sarana dan prasarananya melimpah, tetapi sekolah yang mampu menghasilkan lulusan dengan mutu tinggi. Dengan kata lain, menyesuaikan kriteria penilaian sekolah, sehingga hasil akreditasi akan lebih menggambarkan kemampuan sekolah dalam menghasilkan lulusan yang bermutu dari pada menggambarkan kepemilikan sarana dan prasarana. 7. Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya mutu pendidikan, sehingga orang akan merasa rugi jika hanya dapat ijazah, tetapi tidak memiliki kompetensi yang diharapkan.
Ma’rifat BADAN HUKUM PENDIDIKAN
MENURUT UNDANG-UNDANG NO.20 TAHUN 2003: Kajian Implikasi & Pelaksanaannya
Oleh Dr. Umaedi, M.Ed. (Direktur Centre of Education Quality Management) Pendahuluan Masalah nasional bidang pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia yang sampai saat ini belum terpecahkan secara baik adalah masalah pendidikan bermutu dan pemerataan kesempatan untuk memperolah pendidikan yang bermutu bagi seluruh anak bangsa. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah sejak Orde Baru hingga sekarang, tapi hasilnya belum menggembirakan. Bukti dari masalah ini sudah diketahui bersama, baik melalui media maupun pengakuan pemerintah secara resmi dalam dokumen Program Pembangunan Nasional (Propenas) pada kurun 2000-2004. Sorotan utama ditujukan pada masalah efektivitas (mutu) dan efisiensi. Sementara itu juga terjadi perubahan-perubahan lingkungan dan tuntutan masyarakat yang terus berkembang terhadap pendidikan yang bermutu, baik karena pengaruh globalisasi maupun kesadaran dan keinginan untuk lebih berpartisipasi dalam pengelolaan kebijakan publik. Sejalan dengan inefektivitas dan inefisiensi di sektor-sektor lain, pemerintahan reformasi telah menjawabnya dengan “desentralisasi.” Desentralisasi pendidikan merupakan pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, yaitu Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Propinsi, kecuali masalah-masalah tertentu yang memerlukan standar nasional (UU No. 22 Tahun 1999). Pelaksanaan Otonomi Daerah (selanjutnya dibaca OTDA) tidak dengan sendirinya menjamin efektivitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan, terutama kalau prakarsa dan inisiatif lembaga pendidikan dan masyarakat tidak diberi peran semestinya. Desentralisasi justru dapat menjebak kita dalam situasi sentralisasi baru, di mana lembaga-lembaga pendidikan hanya berganti majikan, tetapi tidak memperoleh kesempatan untuk memberdayakan diri secara semestinya. Di beberapa daerah, bahkan muncul keluhan bahwa anggaran yang diperoleh sekolah pada masa desentralisasi, lebih kecil daripada masa sentralisasi. Model pendidikan yang ingin diwujudkan untuk masa depan adalah model pendidikan yang efektif (bermutu), efisien dan responsif terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat (lingkungan), baik lokal maupun global.
Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) mengartikulasikan masalah ini dalam bentuk model peningkatan mutu yang berbasis sekolah (School based Management). Konsep ini kemudian memperoleh bentuk formal di dalam Undang-undang SISDIKNAS Pasal 51 Ayat 1, dan ayat-ayat lainnya sebagai konsekuensi dari penerapan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Badan Hukum Pendidikan (BHP) dalam hal ini sebagai salah satu bentuk alternatif yang dapat memberikan kepastian hukum bagi kemandirian sekolah/madrasah untuk menerapkan MBS, tidak selalu harus dengan membentuk BHP. BHP yang diamanatkan oleh UU SISDIKNAS Pasal 53, sebagai kebijakan baru yang ketentuannya harus diatur dengan undangundang dan berlaku secara nasional perlu disoroti dari aspek legal (legal bases), aspek konsepstual (conseptual beses), dan kemungkinan praktek pelaksanaannya. Sebagai kebijakan yang melibatkan pemerintah Pusat/Propinsi/Kabupaten/Kota, orang tua dan masyarakat, BHP perlu memperjelas peran masing-masing. Oleh karena itu, dalam tulisan selanjutnya mengenai BHP, penulis akan meninjaunya berdasarkan ketiga aspek di atas, sekaligus peran para pelaku penyelenggaraan pendidikan. Landasan Hukum (legal bases) Menurut hemat penulis yang notabene bukan sebagai ahli hukum, bahwa pasal-pasal yang tertera pada UU SISDIKNAS, tidak bisa diterjemahkan secara sendiri-sendiri atau secara terpisah dengan pasal-pasal lainnya dan tentu saja tidak bisa terdapat kontradiksi dengan pasal-pasal lainnya. BHP, sebagai satu kebijakan yang akan dituangkan dalam undang-undang, tentu yang paling utama adalah harus mendukung jiwa dan semangat pelaksanaan SISDIKNAS, sesuai dengan Undang-Undang SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003. Ia tidak boleh bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah, bahkan kalau bisa saling mengisi. Demikian juga dengan UU No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan berbagai perundangundangan lainnya yang masih berlaku, seperti Keputusan Mendiknas No. 060/U/2002 tentang Pedoman Pendirian Sekolah yang di dalamnya menegaskan, bahwa BHP merupakan sebuah alternatif, tapi bukan satusatunya. Beberapa pasal yang barangkali penting untuk dimasukkan dalam tulisan ini adalah pasal 53 yang selengkapnya berbunyi: 1. Penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum.
2. Badan Hukum Pendidikan sebagaimana dimaksud pasal (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. 3. Badan Hukum Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. 4. Ketentuan tentang Badan Hukum Pendidikan diatur dengan undangundang tersendiri. Sementara dalam penjelasan pasal 53 ayat (1), dirumuskan bahwa: “Badan Hukum Pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN).” Dari rumusan tersebut terkesan bahwa BHP menjadi satu-satunya alternatif bentuk penyelenggaraan satuan pendidikan, khususnya untuk pendidikan formal. Sementara itu, mensinkronkan ketentuan-ketentuan hukum dan menjaga konsistensinya dengan produk-produk hukum dan peraturan perundang-undangan lainnya, bukanlah pekerjaan yang mudah serta memerlukan ketelitian, sehingga tidak menimbulkan tumpang-tindih kewenangan, kerancuan maupun bertentangan. Sekalipun demikian, yang lebih esensial adalah, bagaimana suatu produk hukum yang dibuat dapat mewadahi, mengatur dan mendukung konsep yang diinginkan, sesuai dengan aspirasi perubahan yang dikehendaki bersama. Oleh karena itu, cita-cita dan konsep itulah yang harus jelas terlebih dahulu, baru bagaimana mengatur ketentuan-ketentuan hukumnya. Di samping itu, pengalaman-pengalaman praktek dan pertimbanganpertimbangan sejauhmana keterlaksanaan ketentuan tersebut dalam konteks dan kondisi pendidikan yang ada, perlu menjadi pertimbangan penting, sehingga ketentuan hukum yang baik tidak akan menjadi suatu yang baik di atas kertas saja. Landasan Konseptual (conseptual bases) Menurut hemat penulis, ada beberapa dasar pemikiran yang harus diwadahi dalam penyelenggaraan dan pengelolaan suatu pendidikan. Yang penting, untuk tidak mengulangi kelemahan-kelemahan sistem pendididkan yang lalu yang cendrung sentralistis adalah: Pertama, kita ingin mengurangi atau menghilangkan serba ketergantungan lembaga pendidikan terhadap berbagai macam petunjuk, pengarahan dan kebijakan lainnya, selain kebijakan dan standar nasional yang telah disepakati. Sikap serba ketergantungan ini menjadikan suatu pendidikan kurang bersikap mandiri, kurang inisiatif dan kurang kreatif. Kedua, kita menginginkan lembaga yang
responsif terhadap lingkungan, baik dalam konteks perubahan yang bersifat lokal, nasional maupun global. Oleh karena itu, maka bentuk organisasi BHP dan fungsinya harus fleksibel. Ketiga, kita menginginkan efesiensi dalam pengelolaan satuan pendidikan, baik dalam hal penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM), dana maupun waktu. Keempat, kita juga menginginkan akuntabilitas penyelenggaran pendidikan yang jelas kepada semua stakeholders, bukan hanya dalam masalah administratif, tetapi juga masalah tehnik edukatif, tarutama kaitannya dengan upaya melahirkan pendidikan yang bermutu. Kelima, kita juga menginginkan partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam penyelenggaraan pendidikan, sebagi wujud demokratisasi pendidikan. Keenam, kita ingin tetap mempertahankan tanggung jawab sosial lembaga pendidikan, dalam situasi yang mengedepankan profesionalisme dan kompetitif. Ketujuh, kita menginginkan pemerintah dengan adanya BHP mengurangi atau lepas tanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan, terutama dalam hal menjaga keadilan dan persamaan (equity) yang berakibat mengurangi kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi anak-anak warga masyarakaat yang kurang/tidak mampu. Keinginan yang tercakup dalam butir-butir di atas akan merefleksikan pendidikan yang bermutu, relevan dan kompetitif. Sementara keinginan keeenam dan ketujuh merefleksikan tuntutan akan keadilan di bidang pendidikan, equality dan equity merupakan kebijakan dasar dalam pendidikan. Untuk mewujudkan pelbagai keinginanan tersebut, di samping perlu penjabaran dalam ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pokok masalah yang bersangkutan, juga perlu adanya ketegasan dan kejelasan kebijakan yang berkaitan dengan penyelengaraan satuan pendidikan oleh pemerintah dan swasta (masyarakat), utamanya dalam hal pendanaan pendidikan, dan lebih khusus lagi pada jenjang wajib belajar (pasal 34, UU No. 20 tahun 2003). Penerapan manajemen berbasis sekolah atau madrasah memerlukan formula pendanaan (funding formula) yang jelas dan adil, sehingga ada kepastian sumber pendanaan dalam menyelenggarakan pendidikan. Bagimana pengaturan alokasi antara satuan pendidikan yang kaya dan miskin, dan antara satuan pendidikan yang diselengarakan pemerintah dan masyarakat. BHP sebagi satuan organisasi nirlaba (social enterprise) yang harus tetap hidup sejauh mana ia boleh mencari pendapatan dari masyarakat, dan seberapa ia berhak memperoleh biaya dari pemerintah, perlu jelas terutama untuk satuan pendidikan swasta.
Aspek Pelaksanan (praktical bases) Bertolak dari kondisi real yang ada, satuan pendidikan kita baik yang berstatus negeri maupun swasta, paling tidak terdapat tiga kelompok sekolah/madrsah, yaitu: Pertama, sekolah/madrasah yang tergolong mampu karena didukung baik oleh pemerintah maupun pemerintah daerah maupun karena kemampuan masyarakat sendiri. Kedua, sekolah/madrasah yang tergolong “sedang”, sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang mendukungnya. Ketiga, sekolah/madrasah yang lemah (miskin) yang disebabkan baik karena kurangnya dukungan pemerintah maupun latar belakang sosial ekonomi masyarakat yang lemah. Untuk merespon persaingan dan mutu yang dihadapi, setiap kelompok satuan pendidikan memiliki kadar kesiapan yang berbeda-beda. Sementara kebijakan Pemerintah Pusat/Propinsi/Kabupaten/Kota yang adil belum jelas formulanya, apalagi pelaksanaanya. Kelompok sekolah/madrasah yang maju (kelompok pertama) akan relatif lebih mudah untuk melaksanakan bentuk badan hukum penyelenggara pendidikan apapun yang banyak memberikan keleluasaan dan kemandirian untuk mencapai persaingan dan mutu. Sebagian di antaranya justru sudah lebih dekat pada komersialisasi pendidikan, bahkan sudah ada yang mengambil ancang-ancang untuk mengusulkan agar penyelenggaraan pendidikan dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT). Kelompok tersebut tidak puas terhadap Undang-undang Yayasan yang sebagi wadah penyelenggara pendidikan kurang memberi insentif untuk persaingan, apalagi dalam konteks global. Kita juga melihat kenyataan bahwa “pendidikan yang bermutu” sudah menjadi komoditas bisnis oleh negara-negara di sekitar kita, seperti Australia, Singapura dan Malaysia. Pendidikan yang diselenggarakan beberapa negara tersebut berusaha menarik siswa-siswi dari Indonesia, melalui pameran pendidikan yang dilakukan setiap tahun. Di sisi lain, sebagian besar sekolah-sekolah yang sedang lemah, khususnya swasta untuk memenuhi ketentuan undang-undang Yayasan tahun 2001 saja sudah merasa berat. Utamanya dalam hal pemisahan antara penyelenggara dan pengelola serta aturan pendanaan dan penggunannya. Manajemen berbasis sekolah/madrasah yang sudah mulai dirintis oleh pemerintah dapat berjalan tanpa harus menunggu adanya BHP, asalkan “funding formula”-nya ditetapkan dan dilaksanakan sesuai dengan UndangUndang SISDIKNAS pasal 49 ayat 3.
Sejalan dengan pelaksanaan MBS yang pelaksanaanya juga tidak dapat dilakukan secara massal (harus secara bertahap), maka BHP sebagai bentuk akhir model penyelenggaraan satuan pendidikan yang mandiri, penerapannya harus dilakukan juga secara bertahap, yaitu melalui uji coba atau program perintisan. Hal tersebut penting, karena kemandirian suatu lembaga pendidikan memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu, utamanya pengelola dan pelaksana yang profesional dan pendanaan pendidikan yang pasti. Dengan kata lain, untuk membuat sekolah/madrasah yang mendiri, langkah yang pertama kali adalah dengan mempersiapkan SDM yang profesional. Sehingga, mereka mempunyai kepercayaan diri yang kuat, tidak cukup dengan peraturan atau keputusan-keputusan kebijakan. Di samping, untuk menyiapkan satuan pendidikan menjadi mandiri, tentu saja diperlukan waktu pelaksanaan secara bertahap. Memperhatikan kondisi sekolah/madrasah di Indonesia yang sangat beragam, menurut hemat penulis, BHP sebagai bentuk badan hukum penyelenggaran pendidikan, merupakan salah satu alternatif. Sementara bagi sekolah-sekolah yang masih sangat lemah, pengelolaannya harus ditangani secara langsung oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Hanya saja, kebijakan keberpihakan pemerintah (affirmative policy) ini jangan sampai berdampak pada sikap sekolah/madrasah dan masyarakat yang terus menerus kurang mandiri. Sebab, masalah ini amat berkaitan dengan kemajuan bangsa kita dalam sektor-sektor lain, misalnya sosial ekonomi. Penutup BHP sebagai bentuk badan hukum dalam penyelenggaran pendidikan/satuan pendidikan formal merupakan pesan yang diamanatkan oleh Undang-undang SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2002, yang ketentuan-ketentuannya masih akan diatur dengan undang-undang. Dalam merancang undang-undang dimaksud, kita tidak berangkat dari nol tetapi kita memperhatikan ketentuan dan perundangan yang berlaku, konsep-konsep dan misi perubahan tatanan pendidikan yang sedang berjalan. Di samping itu, kita juga memperhatikan praktek pelaksanaan dan kondisi yang ada sekarang serta antisipasi kondisi yang akan datang. Dengan kondisi Indonesia yang sangat beragam, BHP hendaknya disikapi sebagi satu alternatif bentuk final kemandirian sekolah yang setatusnya bukan merupakan satu-satunya model badan hukum penyelenggaran satuan pendidikan. Penerapan BHP yang diharapkan dapat memacu mutu dan daya saing pendidikan di Indonesia, hendaknya tidak mengabaikan kesempatan
dan keadilan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang kurang mampu.
Ma’rifat SEKOLAH DAN PERAN STRATEGISNYA DALAM MEMPERSIAPKAN MUTU PENDIDIKAN DI ERA DESENTRALISASI
Sumber Direktorat Jenderal Dikdasmen
Pendahuluan Dalam bagian pendahuluan ini disajikan sebagian hasil yang dicapai hingga saat ini dari berbagai upaya peningkatan mutu di bidang pendidikan antara lain: Kondisi mutu saat ini dari hasil perolehan Nilai Ujian Akhir Nasional Tahun 2002: Baik Sekali Baik Sedang Kurang Kurang Sekali
: 0,7 % : 4,49 % : 23,69 % : 57,37 % : 13,74 %
(7,50) (6,50-7,49) (5,50-6,49) (4,50-5,49) (<4,49)
: 132 Sekolah : 831 Sekolah : 4.382 Sekolah :10.612 Sekolah : 2.542 Sekolah
Hasil studi yang dilakukan oleh The International Association for the Evaluation of Education Achievement (IEA) terhadap kemampuan Matematika, siswa SLTP Indonesia berada pada urutan ke-34, dan untuk IPA pada urutan ke-32 dari 38 negara peserta. Hasil observasi Taufik Ismail di beberapa negara ternyata anak-anak Indonesia “rabun membaca dan lumpuh menulis” Hasil berbagai Lomba Ilmiah, misalnya Lomba Internasional Fisika yang diikuti oleh siswa kita dari tahun ke tahun cukup menggembirakan, bahkan sempat meraih predikat Juara Umum (Lomba Internasional Fisika di Bali). Sajian informasi seperti tersebut di atas, dimaksudkan untuk mengajak kita semua, baik para pembuat kebijakan maupun para pelaksana kebijakan, terutama untuk mengkaji kembali mengapa berbagai upaya yang dilaksanakan selama ini dalam meningkatkan mutu pendidikan, belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan? Apakah sebenarnya yang terjadi di sekolah kita?
Bagaimanakah Keadaan Lembaga Pendidikan Sekolah Kita? Prof. DR. H. Soedijarto, MA. dalam tulisannya tentang Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dalam Upaya Pembangunan Bangsa (hal. 68-69) diantaranya menyatakan: sekolah-sekolah kita di Indonesia saat ini pada umumnya hanya merupakan tempat para murid mengikuti pelajaran di kelas. Mereka datang ke sekolah untuk masuk kelas dan setelah selesai langsung kembali ke rumah. Dalam banyak kasus, sesampai di rumah, terutama anak usia sekolah dasar, mereka sering tidak menemukan orang tua yang menunggu, tetapi hanya pembantu atau bahkan sering terjadi mereka tidak menemui siapapun di rumah. Sekolah di Indonesia pada umumnya tidak memungkinkan murid atau siswa kembali ke sekolah setelah sampai di rumah untuk melakukan kegiatan skolastik seperti memanfaatkan perpustakaan atau bertemu dengan guru untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sekolah semacam ini sukar diharapkan menjadi tempat untuk dikenang sebagai pusat orientasi. Sekolah yang dipandang akan mampu menjadi pusat sosialisasi, khususnya bagi kesetiaan kepada almamater adalah, sekolah yang dapat dimanfaatkan oleh para siswa untuk belajar dan bergaul, tidak hanya dalam pengertian skolastik, tetapi juga dalam bidang lainnya. Interaksi para siswa dalam lingkungan akademik, dan interaksi yang terus menerus antara siswa dan para gurunya dalam suasana kehidupan intelektual dan akademik yang menantang, dan interaksi sosial dalam bidang non-akademik yang melampaui batas disiplin ilmunya akan mampu mempribadikan nilai-nilai perolehan pengetahuannya, yang intinya adalah kejujuran yang tulus, sikap dan tanggung jawab serta pengabdian kepada kebenaran ilmu bagi pembangunan bangsa pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan adanya suatu pandangan bahwa hanya dengan sekolah yang dapat menjadi lembaga sosialisasi dan pusat belajar seperti digambarkan di atas, kita dapat berharap ampuhnya lembaga pendidikan (sekolah) sebagai wahana strategis bagi terbinanya generasi muda yang bermutu, baik dalam watak dan sikapnya sebagai warga negara, termasuk solidaritas nasional dan disiplin nasional maupun kemampuannya. Sekolah-sekolah di negara maju seperti di RFJ, Amerika Serikat, dan Jepang adalah pusat belajar bagi anak-anak dalam segala seginya. Di Indonesia, sekolah yang ada sekarang hanya merupakan tempat untuk bertemu guru di kelas sehingga proses sosialisasi sangatlah minim. Sering orang melupakan bahwa kebersamaan di sekolah dengan disiplinnya dan kedudukan sekolah sebagai pusat belajar dalam arti yang luas sudah merupakan kurikulum tersendiri.
Bagaimana dengan Kondisi Proses Pembelajaran Yang Ada di Sekolah? Tahun 1980 Direktorat Pendidikan Menengah Umum dengan bantuan grant dari UNDP berupaya memperbaiki cara pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) melalui kegiatan pelatihan guru yang dikenal dengan Pemantapan Kerja Guru (PKG) IPA bagi guru SMP dan SMU yang awalnya dimulai pada 8 propinsi di Indonesia. Pelatihan menggunakan Pola In-Service (pelatihan yang dilaksanakan pada Pusat Pelatihan Guru di Propinsi) dan OnService Trainning (praktik hasil pelatihan di sekolah peserta), serta pertemuan mingguan. (pertemuan para peserta pelatihan di propinsi untuk saling berbagi pengalaman anatar peserta selama On-Service dengan fasilitator Pelatih Nasional yang ada di Propinsi). Pembaharuan yang dilakukan antara lain dengan memperkenalkan bagaimana pembelajaran IPA yang seharusnya dilakukan, diperkenalkan metode, pendekatan, maupun penguatan latar belakang materi serta penyusunan pokok uji. Selain itu juga diperkenalkan taknik bertanya, menganalisis kurikulum, menganalisis pokok uji. Pelatih (dikenal dengan sebutan instruktur) berasal dari guru IPA terpilih dari berbagai propinsi (melalui seleksi) dan dilatih di Regional Center for Science and Mathematic (RESCAM) di Penang, Malaysia, dengan materi pelatihan yang dirancang khusus untuk keperluan pengajaran IPA di Indonesia. Selain di RESCAM, sebelum melatih di propinsi, para instruktur nasional mengikuti Lokakarya Nasional untuk mempersiapkan bahan pelatihan di pusat Pengembangan Penataran Guru IPA di Bandung, dengan pelatih berasal dari Perguruan Tinggi (IKIP Bandung, ITB, UI dan konsultan dari Australia dan Inggris). Hasil dari upaya ini berdasarkan hasil studi oleh Tim Nasional maupun internasional menunjukkan hasil yang signifikan, yaitu berhasil memperbaiki cara kerja guru dan hasil pembelajaran siswa. Bahkan siswa-siswa yang diajar oleh guru peserta PKG, berkecenderungan untuk dapat menyelesaikan studinya di perguruan tinggi. Selain PKG-IPA juga dikembangkan untuk Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Kegiatan PKG juga diiringi kegiatan pelatihan bagi Kepala Sekolah maupun pengawas. Namun dalam perkembangannya, mempertahankan hasil-hasil yang ada selama kurun waktu sampai dengan tahun 2000-an bukanlah pekerjaan yang mudah dilaksanakan. Berbagai kebijakan dan perubahan yang terjadi di negeri ini rupanya banyak mempengaruhi kinerja sekolah. Terlebih lagi adanya kebiasaan kurang baik pada sebagian tenaga kependidikan kita, yang hanya rajin dan tekun pada setiap pelatihan, namun setelah selesai program pelatihan tidak dapat
mempertahankan pengaruh lingkungan sekitar yang akhirnya kembali menggunakan pola pembelajaran yang konvensional. Reformasi dalam Bidang Pendidikan Reformasi pendidikan melalui pelaksanaan desentralisasi pendidikan dalam rangka otonomi daerah dewasa ini akan sangat menentukan sosok dan kinerja sistem pendidikan nasional di masa depan. Tujuan utama reformasi pendidikan adalah membangun suatu sistem pendidikan nasional yang lebih baik, lebih mantap, dan lebih maju dengan seoptimal mungkin memberdayakan potensi daerah dan partisipasi masyarakat lokal. Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa meskipun pengelolaan pendidikan menjadi lebih berkonteks lokal, namun semuanya harus tetap berada dalam kerangka satu sistem pendidikan nasional di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan kata lain, diberlakukannya otonomi daerah termasuk dalam bidang pendidikan, tidak ada yang disebut “sistem pendidikan daerah” karena yang ada “sistem pendidikan nasional” yang sebagian besar urusan atau penyelenggaraannya dilaksanakan oleh daerah (Jalal dan Supriyadi, 2001: v). Pelaksanaan reformasi pendidikan memerlukan kesiapan semua pihak untuk berubah. Untuk itu, pertama-tama perlu pemahaman yang komprehensif tentang berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan nasional saat ini dan kemauan untuk mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu. Berdasarkan pemahaman tersebut, dapatlah ditetapkan pilihan-pilihan kebijakan yang rasional untuk membenahi dan meningkatkan kinerja sistem pendidikan nasional. Salah satu aspek yang mengalami perubahan sangat signifikan pada era otonomi daerah dn desentrelisai adalah peran dan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bila di masa lalu pemerintah pusat sangat berperan dalam menentukan berbagai kebijakan pendidikan nasional, maka dewasa ini peran pemerintah pusat lebih terfokus pada penetapan kebijakan strategi yang bersifat nasional. Di pihak lain, hal-hal yang bersifat teknis dalam pengelolaan pendidikan ditangani oleh daerah dengan titik berat pada tingkat kabupaten dan kota. Seiring dengan adanya reformasi di bidang pendidikan, hal ini berpengaruh pada berbagai kebijakan di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Kebijakan dimaksud antara lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan persekolahan yang dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Salah satu wujud dari penjabaran MBS dalam rangka peningkatan mutu pada jenjang pendidikan dasar dikenal dengan kebijakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang diartikan secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model
manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibiltas/keluwesan-keluwesan kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuan, pengusaha, dan sebagainya) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundangundangan yang berlaku (catatan: MPMBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku). MPMBS memiliki sejumlah karakteristik yang tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Adapun karakteristik sekolah efektif yaitu: 1). strong leadership of the principal; 2). emphasis on mastery of basic skills; 3). a clean and orderly school environment; 4). high teacher expectations of student performance; and 5). frequent assessments of student progress. Agar aktifitas yang ada di sekolah dapat mengikuti perubahan maupun perkembangan jaman khususnya dibidang pendidikan, perlu kiranya memperhatikan Empat Pilar Belajar sebagai titik berangkat yang strategis mengaktualisasikan potensi sekolah sebagai lembaga pendidikan. Empat Pilar Belajar (Learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be) oleh UNESCO dipandang sebagai pendekatan belajar yang perlu diterapkan untuk menyiapkan generasi muda memasuki abad ke-21, hakekatnya merupakan pendekatan belajar yang telah diperkenalkan oleh tokoh-tokoh pemikir pendidikan sejak permulaan abad ke-20. Learning to know, adalah proses belajar yang memungkinkan siswa menguasai teknik memperoleh pengetahuan, yang mengutamakan proses pembelajaran yang memungkinkan siswa terlibat dalam proses meneliti dan mengkaji. Learning to do, sasarannya adalah mempersiapkan generasi yang intelegent dalam bekerja, pengembangan kemampuan memecahkan masalah dan berinovasi. Learning to live together, adalah kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka. Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk pada saat yang bersamaan setiap peserta didik memperoleh pengetahuan dan memiliki kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. “Learning to be,” tiga pilar yang terdiri dari: learning to know, learning to do dan learning to live together ditujukan bagi lahirnya generasi muda
yang mampu mencari informasi dan atau menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik. Hasil akhirnya adalah manusia yang mampu mengenal dirinya, yaitu manusia yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang dapat mengendalikan dirinya yang konsisten dan memilki rasa empati (emotional intellegance). Ke empat pilar tersebut di atas sejalan dengan pemikiran-pemikiran yang pernah digagas oleh Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan “agar akal dan kecerdasan yang dibawa anak sejak lahir dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar dan optimal, maka Ki Hadjar menerapkan “tut wuri handayani”, memberi kesempatan anak didik maju ke depan (para guru/pendidik cukup di belakang memberi dorongan) agar supaya ada keberanian bertindak, berani mengemukakan pendapat, berinisiatif dan mempunyai rasa tanggung jawab, selama berlangsungnya proses belajar mengajar. Kondisi ini hanya mungkin terjadi jika suasana pembelajaran dapat membangun atau menumbuhkan kemauan (ing madya mangun karsa), dan juga sekaligus memberikan contoh-contoh pada saat diperlukan, sehingga perlu berada di depan (ing ngarsa tulada), agar setiap anak didik dapat mengamati berbagai proses yang sedang dan akan dialami (hal ini erat hubungannya dengan perlunya pengalaman yang oleh Jhon Dewey diartikan sebagai ciri dari dinamika hidup). Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa: 1. Pendidikan masa depan memerlukan kesiapan sekolah dan pihak terkait untuk menciptakan terjadinya interaksi dibidang akademik maupun non akademik. 2. Sekolah dituntut mampu memberikan layanan bagi murid atau siswa kembali ke sekolah (setelah pulang sekolah) melakukan kegiatan non skolastik seperti olahraga, kesenian atau kegiatan kepemudaan lainnya serta kegiatan skolastik seperti memanfaatkan perpustakaan atau bertemu dengan guru untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. 3. Perlu diciptakan kondisi yang memungkinkan penerapan empat pilar sebagai landasan kerangka pembelajaran di sekolah.
4. Perlu diciptakan kemandirian sekolah sebagai perwujudan MPMBS yang menerapkan prinsip-prinsip yang merupakan ciri sekolah efektif. 5. Aktivitas di sekolah hendaknya selalu diwarnai dengan tuntutan perubahan paradigma pendidikan dengan maksud agar mampu menjawab tantangan perkembangan zaman, namun tetap mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan anak dengan wajar dan optimal. 6. Perlunya kesungguhan semua pihak terkait untuk memberikan dukungan dalam layanan pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman.
Turats SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI: AKAR TRADISI INTELEKTUAL NU
Oleh Dr. Mamat Slamet Burhanuddin, MA Dosen UIN Jakarta & IAIN Raden Intan Lampung
Nama Syaikh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi di telinga umat Islam di Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i. Karya-karya Imam Nawawi (w. 676 H/1277M) yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional di seluruh Indonesia, sampai sekarang masih banyak dikaji. Sehingga, nama kiyai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat dalam memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majelis taklim, karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, mulai ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai bidang tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstream keilmuan yang dikembangkan di lembagalembaga pesantren yang berada di bawah naungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Di kalangan komunitas pesantren, Syaikh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tetapi ia juga adalah maha guru sejati (the great scholar). Nawawi telah berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi NU. Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syaikh Nawawi adalah guru
utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, sering kali KH. Hasyim Asy’ari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syaikh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan airmata karena besarnya kecintaan beliau terhadap gurunya. Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum Organisasi NU berdiri merupakan kajian yang luput dari para pemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman masyarakat yang simplistis terhadap NU. NU seringkali dipahami sebagai organisasi keagamaan yang melulu bergerak dalam sosialpolitik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, tapi bukan sebagai organisasi intelektual-keagamaan yang bergerak dalam bidang keilmuan untuk mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran dan terkaget-kaget ketika menyaksikan situasi belakangan ini, banyak anak muda NU yang mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progresif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dari fakta sejarah dapat diasumsikan bahwa sebenarnya kelahiran NU dapat dikatakan sebagai pelembagaan dari gerakan pelestarian tradisi keilmuan Islam. Berbeda dengan kalangan modernis yang melakukan pembaharuan secara revolusioner dengan meninggalkan jejak para as-salaf as-shalihun ketika dihadapkan dengan tuntutan-tuntutan modernitas, maka NU menanggapinya secara evolusioner, yakni tetap apresiatif terhadap khazanah klasik dan terus melakukan inovasi-inovasi kreasi baru yang lebih berdaya guna. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syaikh Nawawi Banten merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian. Ia memegang teguh, mempertahankan tradisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukan keilmuan agama Islam. Karena besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syaikh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiyai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren. Mengenang Hidup Syaikh Nawawi
Syaikh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al-Tanara al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani yang dilahirkan di kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. pada tanggal 25 Syawwal 1314 H/1897 M, Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir diusia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la di dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin, istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa, khususnya Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terahir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk mempe-ringati jejak peningg-alan Syekh Nawawi Banten. Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far al-Shiddiq, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra. Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir, dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat. Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana. Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas dan Syeikh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Syaikh Ahmad Dimyati dan Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hambali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pernah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya pun berasal dari Mesir seperti Syaikh Yusuf Sumbulawini dan Syaikh Ahmad Nahrawi. Setelah ia memutuskan untuk hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya, ia menimba ilmu lebih dalam lagi di sana selama 30 tahun.
Baru kemudian pada tahun 1860, Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai syaikh di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab, kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali didaerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (tahrif) dan pengurangan. Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulamaulama besar lainnya, sebelum naik cetak, naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini, nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/ 19 M. karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama alQur’an al-Rabi’ ‘Asyr li al-Hijrah; Al-Imam al-Muhaqqiq wa al-Fahhamah alMudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz. Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa senior untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran dibeberapa pesantren di Pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mendapat kesulitan. Kontaknya dengan Ide Pembaharuan di Mesir Dedikasi Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis, mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang tersebar luas setelah diterbitkan diberbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena
nama Nawawi sudah dikenal lewat karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir. Mereka ingin mendengar lebih detail langsung dari penulisnya. Kunjungan Nawawi ke Mesir, terlebih di Universitas al-Azhar, suatu tempat yang kelak menjadi pusat pembaharuan pemikiran Islam, dalam forum ilmiah, mengindikasikan interaksi intelektual antara Nawawi dengan dinamika gejolak pemikiran yang terjadi di negeri tersebut. Dalam prediksi Azyumardi Azra, kontak intelektual antara ulama Mesir dan Mekkah memang sudah lama terjadi. Sejak abad ke-18, kontak antara Kairo dan Mekkah sudah cukup intens. Banyak di antara murid-murid di Mekkah tertarik berguru pada sejumlah guru besar asal Kairo. Nawawi sendiri memilih Syaikh Sumbulaweni yang berasal dari Kairo sebagai guru utamanya. Bahkan kontak Nawawi dengan Mesir diperkirakan sudah berlangsung lama karena menurut Snouck Hurgronje, tafsir Marah Labid adalah karya Nawawi yang pertama dicetak di Mekkah , di mana karya-karya sebelumnya dicetak di Mesir. Ini menunjukkan bahwa Nawawi sudah lama menjalin hubungan dengan ulama Mesir, karena menurut Zamakhsyari, semua tulisannya yang mau naik cetak selalu dikonsultasikan kepada ulama setempat. Penting untuk diperhatikan bahwa sejak pertengahan abad ke-19, gerakan pembaharuan di Mesir sudah banyak disuarakan oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Gema seruannya terdengar di seluruh pelosok negara-negara Islam. Di bidang pemikiran, gerakan ini tengah menggalakkan untuk kembali kepada sumber utama Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis. Menurut gambaran Azyumardi Azra, Mesir ketika itu, suhu pemikiran Islamnya, tidak jauh berbeda dengan Mekkah dan Madinah. Kedua kawasan ini masih kuat bertitik tolak pada Islam tradisional, dengan titik tekan pada kajian hadis dan sufisme. Bahkan sebenarnya, ide kontroversial Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh mendapat tantangan keras dari para ulama. Ketika Abduh melakukan reformasi kurikulum al-Azhar, Azyumardi mengibaratkan bahwa Abduh membenturkan kepalanya sendiri di tembok keras. Sekalipun tidak berhasil, gerakan Abduh bukan berarti tidak berdampak, tetapi bahkan terjadi polarisasi antara modernis dan tradisionalis dalam masalah “ijtihad-taklid.” Bertepatan dengan itu, beberapa tahun seusai kunjungan ke daerah Mesir, Nawawi terdorong untuk menulis karya tafsir al-Qur’an. Boleh jadi sewaktu di Mesir, ia mendapat desakan sekaligus tantangan dari para ulama Mesir untuk segera menulis karya tafsir, sebagai respon terhadap seruan gerakan pembaharuan modernis. Sebagaimana diketahui, bahwa tafsir Marah Labid ditulis atas desakan koleganya pada tahun 1884 dan diterbitkan pada tahun 1888. Hal ini menunjukkan, di saat kedua tokoh pembaharu (Al-Afghani dan Muhammad Abduh) masih menggeluti gerakan politik, jauh di Jazirah Arab,
tepatnya di Mekkah, sudah ada yang menyadari pentingnya tafsir al-Qur’an, meski masih kental dengan ciri tradisionalnya. Dan yang sangat dibanggakan adalah, bahwa dua puluh tahun sebelum tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh yang sering diidentikkan dengan rujukan gerakan pembaharuan pemikiran Islam, ternyata ulama tersebut adalah putra terbaik dari Melayu Indonesia. Apabila disandingkan dengan nama Muhammad Abduh, bagi masyarakat Indonesia, Nawawi bagaikan Al-Ghazali abad ke-20-an yang menawarkan sikap spiritualitas moderat. Sementara Abduh merupakan Ibnu Rusyd yang lahir kembali pada abad ke-20 untuk mengkampanyekan sikap rasional dalam memahami Islam. Dilihat dari segi penamaan kitab tafsirnya, nampaknya Nawawi memiliki ambisi untuk memberikan identitas Qur’ani bagi masyarakat muslim yang kuat mempertahankan khasanah tradisionalnya. Dalam prediksi Asnawi, kitab ini diposisikan sebagai jawaban terhadap tuntutan kondisi umat Islam yang dianggap masih lemah dalam menghadapi budaya Barat, sekaligus juga sebagai pionir dalam kajian al-Qur’an di tengah-tengah tradisi intelektual yang hanya mengulang karya ulama klasik dengan mensyarah saja. Dalam laporan Abd al-Jabbar yang telah menginventarisasi tokohtokoh ulama Mekkah dan Madinah di abad ke-14 H, diindikasikan bahwa hanya sedikit –kalau tidak dikatakan tidak ada– tokoh yang menulis kitab tafsir. Dari 129 tokoh yang terkenal hanya dua orang yang menulis kitab tafsir: Nawawi al-Bantani dengan kitab Marah Labid-nya dan Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul Abidin Syata (1266 H/1849-1893 M) dengan karyanya Tafsir Al-Qur’an. Dari kedua tokoh ini pun hanya Nawawi yang menulis lengkap sampai penerbitannya. Sedangkan Bakri hanya menulis sampai Surat al-Mu’minun saja. Karakteristik Pemikirannya Dari puluhan risalah kitab yang ditulis Syaikh Nawawi, Brockleman membaginya dalam tujuh kategorisasi bidang, yakni bidang Tafsir, Tauhid, Fiqh, Tasawuf, Sejarah Nabi, Bahasa dan Retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang Tafsir yang ditulis hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini, dapat dijadikan bukti bahwa memang KH. Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin dan all round, dalam semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuam Nawawi yang tersebar dipuluhan karyanya ini membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif. Tetapi dari sudut epistemologi-nya, tentu ada satu benang merah yang dapat ditarik dan disimpulkan dari semua pemikirannya, yaitu bahwa
ternyata ia memiliki karakteristik pola pikir yang khas dan tipikal. Hampir disemua bidang keilmuan, Nawawi konsisten mengacu pada rujukan yang dinilainya otoritatif. Ia menggunakan warisan keilmuan (turats) ulama salaf sebagai pijakan analisisnya untuk merekonstruksi opini pemikirannya. Dengan perspektifnya yang orisinal, ia merancang ulang rumusan bangunan keilmuan Islam dalam formulasi pemikirannya. Pada saat yang sama ia juga dengan tegas menolak corak pemikirannya dikategorikan sebagi taklid semata. Menurutnya taklid tanpa mengetahui dalil sangat dilarang dalam agama, namun taklid dalam arti memegang argumentasi yang sama sangat dianjurkan. Bahkan ia menegaskan bahwa semua bidang keilmuan Islam harus dibangun berdasarkan hasil ijtihad (berpikir rasional) terhadap dalildalil Yang sesuai dengan bidang keilmuannya. Dalam kitab Nihayat al-Zain, salah satu kitab fiqh-nya, Nawawi mengatakan bahwa seorang yang telah memiliki kualifikasi sebagai seorang mujtahid muthlaq haram hukumnya bila mengikuti pendapat orang lain. Ia akan berdosa karena bersalah tidak melakukan upaya ijtihad. Namun dalam kitab yang sama ia memberikan formulasi tertentu dalam membangun opini pemikiran bagi orang yang tidak memiliki perangkat keilmuan sebagi seorang mujtahid muthlaq. Di sana dikatakan bahwa bagi mereka yang tidak termasuk dalam kelompok ahli ijtihad wajib mengikuti salah satu dari empat madzhab. Dalam bidang hukum (fiqh) yakni Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali; Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur alMaturidi dalam bidang teologi (tauhid); serta mengikuti al-Ghazali dan Abu al-Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dalam bidang tasawuf. Selanjutnya Nawawi meyakinkan pembaca kalau formulasinya ini direkomendasikan oleh al-Qur’an “Maka bertanyalah kalian kepada orang yang mengetahui jika kamu tidak memahami” (QS 16: 43). Bidang Fiqh Tidak berlebihan bila dalam bidang Fiqh Nawawi dikatakan sebagai “corong” madzhab Imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. melalui karyakaryanya seperti Syarh Safinah al-Naja, Syarh Sulam al-Taufiq, Nihayat alZain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ‘ala Fath al-Qarib, Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna. Bahkan ia telah berhasil membentuk masyarakat muslim menjadi apa yang dikritik oleh para sarjana modernis sebagai “fiqh oriented”. Selain itu karya-karyanya pun dipandang sebagai rujukan standar madzhab Syafi’i mengenai petunjukpetunjuk kehidupan praktis dan aktifitas ibadah sehari-hari. Menjadi pengikut madzhab Imam Syafi’i bagi Nawawi bukan tanpa alasan. Justru ini adalah pilihan yang telah digariskan dalam prinsip pola
pemikirannya. Sejalan dengan prinsip tersebut ia mengaku bahwa dirinya bukan termasuk golongan yang berkualifikasi mujtahid muthlaq karena ia merasa tidak memiliki keilmuan yang cukup, maka dari itu ia memilih bermadzhab. Menurutnya dalam memilih madzhab pun umat Islam dianjurkan untuk selektif. Hanya ada empat madzhab yang otoritatif. Selain kepada empat madzhab ini dianggap tidak bermadzhab. Karenanya kita tidak diperbolehkan mengikuti al-Imam Sufyan al-Tsauri, Sufyan ibn Uyainah, Abd ar-Rahman ibn Jauziy dan sebagainya. Hal menarik untuk dicermati adalah Nawawi juga melarang untuk mengikuti madzhab para sahabat Nabi, alasannya karena pendapat para sahabat belum terhimpun dalam rumusan pemikiran yang sistematik. Larangan ini dapat dipahami bila bermadzhab diartikan sebagai langkah mengikuti pola pikir argumentatif dari seseorang sebagai wujud langkah bersikap taqlid. Sementara para sahabat belum memiliki kaidah ilmiah yang jelas. Karena alasan inilah barangkali kenapa Nawawi dalam menyusun tulisannya tidak bisa dilepaskan dari rujukan ulama klasik yang dianggapnya otoritatif. Rujukan ulama madzhab yang banyak diikuti Nawawi adalah Muhammad Ramliy dan Ahmad ibn Hajar. Dalam penilaiannya kedua orang ini adalah umdat li al-mutaakhir min ‘ulama al-Syafi’y (pilar bagi ulama Syafi’iyah kontemporer). Meskipun Nawawi hidup di tengah-tengah lingkungan yang mulai banyak dipengaruhi aliran Wahabi yang mengharamkan ziarah kubur, dan mengunjungi tempat-tempat keramat, akan tetapi Nawawi tetap menganjurkan para jema’ah haji untuk melakukan ziarah kubur ke makam Nabi dan makam orang-oarang shaleh. Dia berargumen bahwa ziarah kubur bisa menjadi wahana untuk mempertebal kecintaan kepada Nabi (istihbaban muakkadan). Mengunjungi makam Nabi identik dengan tawajjuh (dialog) bersama sang pemimpin umat dan mengenang perjuangan dan keberhasilan dakwah Nabi. Selain itu hal yang penting adalah Nabi pun pernah menyuruh untuk berziarah setelah sekian lama dilarangnya. Bidang Teologi Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari. Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini diantaranya Fath al-Mjid, Tijan al-Durari, Nur al-Zulam, alFutuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat alSaja, dan Mirqat al-Su’ud. Sejalan dengan prinsip pola pikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Sebagai penganut Asy’ariyah Nawawi banyak memperkenalkan konsep shifatiyyah Allah. Seorang muslim
harus mempercayai bahwa Allah dapat diketahui dari perbuatan-Nya, karena sifat Allah adalah perbuatan-Nya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian: wajib, mustahil, dan mumkin. Sifat wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan pasti tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang yang pertama yang membahas shifatyiyyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asy’ari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini. Kemudian mengenai dalil naqli dan ‘aqli, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi kadang-kadang bila terjadi pertentangan diantara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari ‘aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan dan dilekatkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam akal pikirannya. Tema penting yang perlu diketahui di sini adalah tentang kemahakuasaan Allah (absoluteness of God). Sebagaimana teolog Asy’ariyah lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabariyah. Dia mengakui kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai jatuh pada konsep Jabariyah yang meyakini bahwa sebenarnya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia. Manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah. Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asy’ariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialiosme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asy’ariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa, teologi Asy’ariyah dalam kadar tertentu sebenarnya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah, umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Disinilah letak peran Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asy’ariyah-nya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Makkah berkumpul dalam
“koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprofokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non-muslim) haram hukumnya. Dan sering kali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi perlawanan terhadap mereka. Bidang Tasawuf Demikian pula dalam bidang tasawuf, dengan aktivitas intelektualnya, tercermin bahwa Nawawi amat bersemangat untuk menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodoks. Menarik untuk kita kritisi pendapat Snouck dalam masalah ini. Menurut Snouck Nawawi tidak mengikuti anggota tasawuf apa pun dan lebih banyak mempraktekkan ajaran al-Ghazali yang mengajarkan etika tasawuf sederhana dan moderat. Selain itu kita sulit membuktikan pendapat Karel Steenbrink yang menempatkan Nawawi sebagai tokoh yang banyak mengkritisi tasawuf terutama tarekat, seakan Nawawi tidak setuju dengan amalan-amalan praktek tasawuf. Padahal dari karyanya saja telah menunjukkan bahwa Nawawi adalah seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang banyak dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman mencatat ada tiga karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawuf: Misbah al-Zulam, Qami’ al-Tughyan, dan Salalim alFudlala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ikhya’ ‘Ulumuddin karya al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat. Kita sulit menerima pendapat Snouck dan Steenbrink tersebut. Bagaimana mungkin seorang penentang tasawuf banyak mengikuti ajaranajaran tasawuf. Sri Mulyati dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa Nawawi, dalam pandangan tasawufnya, tidak tergantung pada gurunya Syeikh Khatib Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syari’at dan hakikat sangat erat sekali. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini, Nawawi mengibaratkan syari’at dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya, dan hakikat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal yang melakukan pelayaran di laut. Dalam proses pengamalannya, syari’at (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari syari’at dan tarekat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Dari paparan konsepsi tasawufnya ini, nampak terlihat bahwa Nawawi konsisten dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Term-term yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi indonesia lainnya. Ia dapat dibedakan dari karakteristik tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Singkel dan sebagainya. Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori gnostik Ibn Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syari’at. Dalam formulasi pandangan taswufnya tampak upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Ghazalian dalam hal ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai sesosok al-Ghazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dalam pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam bathin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’allum dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim. Sedangkan ilmu bathin dapat diperoleh dengan proses muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘arif. Seorang ‘abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang hanya mengetahui ilmju-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia pengalaman spiritual ilmu bathin. Bagi Nawawi tasawuf berarti pembinaan etika (adab). Penguasaan ilmu lahiriyah semata tanpa penguasaan ilmu lahir akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu bathin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerembab dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam pembinaan etika atau moral (adab). Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap ini terlihat ketika ia diminta oleh Sayyid Utsman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan sistem “yang durhaka”. Permintaan Sayyid Utsman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung p e r a s a a n Sayyid Utsman, sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual, namun di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik. Pengaruhnya Bagi Komunitas Pesantren NU
Untuk konteks Indonesia, Nawawi cukup memiliki arti tersendiri dan posisi penting di antara para tokoh ulama. Sejumlah jama’ah haji yang mukim dan belajar pada Nawawi di Mekkah, dengan bangga mengajarkan kembali karya-karya Nawawi di tanah airnya. Masuknya karya-karya Nawawi di kalangan muslim Indonesia, memiliki arti tersendiri karena saat itu tengah dilanda kontroversi pemikiran kaum muda dan kaum tua atau dalam istilah Deliar Noor antara kaum modernis dan Tradisionalis. Karya-karya Nawawi ini berperan sebagai jembatan di antara keduanya. Apalagi terhadap kitab tafsir al-munirnya, bagi kalangan modernis tafsir ini menjadi inspirator untuk berani menggunakan al-Qur’an secara langsung sesuai kapasitas keilmuannya sebagai sumber ajaran Islam. Dan bagi kaum tradisionalis memberi cakrawala baru dalam menggunakan sumber referensi di bidang tafsir. Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keislaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang, misalkan dalam laporan penelitian Van Bruinessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai ada perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakan tidak ditemukan sumber referensi di bidang tafsir, ushul fiqh dan hadits sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syeikh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa menyemarakkan bidang tafsir, Syeikh Ahmad Khatib (W. 1915) yang telah berjasa mengembangkan ushul fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘ala Syarh al-Waraqat, dan Kiai Mahfud Termas (1915/20 M) yang telah berjasa dalam bidang ilmu hadits. Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan diseluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina, dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan) dan Thailand. Menurut Rai Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam University of Philipines, ada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi semenjak periode 1950-1958 di Johor dan beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia, menurut Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 pondok pesantren klasik yang tersebar di Indonesia, mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan ada 22 judul tulisan
Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan sampel penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren, ada sekitar 11 judul populer diantaranya adalah karya Nawawi. Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional, diantaranya adalah: KH. Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Khalil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, KH. Asy’ari dari Bawean yang menikah dengan putri KH. Nawawi, Ny Maryam, KH. Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan KH. Nawawi, Ny. Salmah binti Ruqayah, binti Nawawi, KH. Tubagus Muhammad Asnawi, dari Caringin, Labuan, Pandeglang, Banten, KH. Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Keragilan, Serang, Banten, KH. Abd Ghaffar dari kampung Lampung, Tirtayasa, Serang, Banten dan KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Penyebaran karyanya disejumlah pesantren yang tersebar diseluruh wilayah Nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Penelitian Zamakhsyari Dhofier mencatat bahwa pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian genealogi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempercepat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat disejumlah pesantren yang ada, maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah syaikh Ahamad Khatib Sambas, Syaikh Nawawi Banten, KH. Mahfud Termas, KH. Abdul Karim, KH. Khalil Bangkalan, dan KH. Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terahir. Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar dibeberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. KH. Hasyim Asy’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam respon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an dan alHadits di setiap pemikiran Islam, misalkan KH. Hasyim Asy’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sama sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca kitab tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik, ia tidak mau mengajarkannya kepada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi lainnya
berjasa di daerah asalnya. KH Khalil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syeikh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan pesantrennya, ia terkenal dengan nama Kiai Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wa al-Naqsabandiyah, Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat. Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sama lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir, karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassit di dunia pesantren setelah al-Jalalain. Peranan kiai para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka, diberbagai pesantren, merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan Hasyim Asy’ari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi, sehingga semakin memperkuat pengaruh pemikirannya. Dalam bidang tasawuf saja, kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi, memang selain menjadi benteng penyebaran ajaran tasawwuf dan tempat pengajaran kitab kuning, juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodok versus tarekat ortodok di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karya di bidang tasawwuf cukup memberikan kontribusi dalam melerai dua arus tasawwuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain. Pada akhir abad ke-20an peasantren memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya penyebaran ajaran Islam di Nusantara. Pesantren berfungsi sebagai agen perubahan dan pembaharuan di saat masyarakat Islam Indonesia tengah membutuhkan penjelasan doktrin-doktrin Islam tradisional yang sederhana dan praktis. Masyarakat Indonesia yang saat itu masih dalam cengkeraman kolonial, belum membutuhkan tradisi pemikiran filosofis yang kritis terhadap ide-ide pemikiran ulama klasik. Pesantren dalam hal ini banyak menyuplai tokoh-tokoh agama yang cukup menopang kebutuhan pemahaman keagamaan masyarakat. Selain itu pengaruh kuat K.H. Nawawi dalam dunia pesantren tersebut telah memperkuat fungsi pesantren sebagai agen intelektual di Indonesia. Dalam konteks tradisi keilmuan pesantren ini, dapat dikatakan bahwa Nawawi memang pantas disebut sebagai enciklopedy of Islamic sciences, karena
hampir semua bidang kurikulum pesantren mengacu pada hasil karyakaryanya. Kita harus berterima kasih kepada murid-muridnya serta ulama sejaman lainnya yang telah berjasa meletakkan dasar-dasar keintelektualan dan memperkokoh pesantren sebagai pusat perkembangan keilmuan tradisonal. Bila dibandingkan dengan perkembangan perguruan-perguruan tinggi dewasa ini di Barat, dimana cikal bakalnya dulu adalah perguruanperguruan yang semuanya berorientasi keagamaan. Maka kita bisa berkhayal bahwa seandainya Indonesia tidak mengalami kolonialisme yang sering menghambat perguruan-perguruan Islam, maka boleh jadi perguruanperguruan tinggi Universitas sekarang bukan UI, UGM, Unair dan sebagainya, tetapi akan dikenal dengan Universitas Jombang, Termas, Krapyak, Tebu Ireng, Lasem, Ploso dan sebagainya. Gerakan intelektual dari para generasi pelanjut K.H. Nawawi ini lambat laun bergeser masuk dalam wilayah politik. Ketika kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletus yang berujung pada penaklukan Haramain oleh penguasa Ibn Sa’ud yang beraliran Wahabi, para ulama pesantren mebentuk sebuah komite yang disebut dengan “Komite Hijaz” yang terdiri dari sebelas kader ulama pesantren. Dengan dimotori oleh KH. Wahab Hasbullah, seorang kiai produk perguruan Haramain juga, komite ini bertugas melakukan negosiasi dengan Raja Sa’ud yang akan memberlakukan kebijakan penghancuran makam-makam dan peninggalan-peninggalan bersejarah. Namun dalam perkembangannnya komite ini kemudian berlanjut mengikuti isu-isu politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam wilayah politik praktis secara intens, organisasi ini kemudian mengalami perubahan nama dari mulai Nahdlatul Wathan, sampai terahir manjadi Nahdlatul Ulama (NU). Secara genealogis jaringan intelektual NU yang ditarik dari garis KH. Hasyim Asy’ari dan tersebar diseluruh pesantren semuanya bertemu pada Syaikh Nawawi Banten. Ini menunjukkan bahwa Syaikh Nawawi merupakan akar dari jaringan intelektual NU. Meskipun jaringan ini belum dapat menggambarkan kompleksitas jaringan tradisi keintelektualan NU secara utuh, karena di sini diperlukan kajian penelitian yang komprehensif dan cermat untuk mengurai tradisi keintelektualan ulama NU. Namun sedikit banyak telah menunjukkan adanya interaksi intelektual yang erat antara dialektika intelektual di Haramain dengan tradisi keintelektualan NU. Melacak dialektika pemikiran di awal abad XX atau sebelum NU berdiri, memang memerlukan kecermatan tersendiri, karena tidak saja terkait dengan pergulatan pemikiran di tingkat regional, akan tetapi terakait pula dengan hiruk pikuk pergolakan sosio-politik dan sosio-intelektual di tingkat internasional.
Dalam sejarah telah terbukti bahwa kelahiran NU sendiri tidak sematasemata sebagai reaksi defensif dari berbagai aktivitas kelompok modernis seperti Muhammadiyah, Persis atau organisasi modernis lainnya sebagaimana dipahami oleh sebagian orang, akan tetapi justru NU lahir sebagai respon reaktif dari suasana politik global yang terjadi di Timur Tengah, khususnya di daerah Hjaz (Mekkah dan Madinah). Sejarah telah jelas membeberkan bahwa NU lahir bertepatan dengan peristiwa dhapuskannya lembaga Khilafah oleh Kemal Attaturk sebagai bagian dari gerakan sekulerisme dan peristiwa jatuhnya Syarif Hussein, penguasa Mekkah pada waktu itu, ke tangan Abd Azis Sa’ud yang beraliran Wahabi. Kebijakan politik dari dua penguasa yang kaku terhadap lawan politik dan aliran pemikirannya ini dinilai akan mengancam tradisi keilmuan tradisional yang ada di Mekkah dan Madinah. Karenanya dianggap perlu untuk ditanggapi secara resmi oleh sebuah keorganisasian para pemangku tradisi keilmuan di Indonesia untuk menyelamatkan dan melestarikan manhaj alfikri dari khasanah ulama klasik ini. Dalam konteks inilah perubahan nama organisasi dari Nahdlatul Wathan yang bersifat regional menjadi Nahdlatul Ulama yang bersifat internasional, dapat dipahami, karena ia menjadi bukti bahwa kelahiran NU tidak bisa dilepaskan dari pergulatan wacana keilmuan dan politik tingkat global. Harapan para pendiri organisasi dari perubahan nama tersebut adalah aspirasinya didengar oleh dunia internasional. Bahwa kelompok intelektual di Indonesia benar-benar serius menanggapi kebijakan penguasa baru daerah Hijaz, Abd Azis Sa’ud, yang banyak melakukan penghancuran tempat-tempat bersejarah di daerah tersebut. Ikhtitam Di akhir kalam ini dapat ditegaskan bahwa memang KH. Nawawi merupakan sosok ulama yang menjadi “akar tunjang” dalam tradisi keintelektualan NU. Sebab karakteristik pola pemikirannnya merupakan representasi kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengah gelombang purifikasi dan pembaharuan. Dan kehadiran NU adalah untuk membentengi tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual yang mengatasnamakan tajdid terhadap khazanah klasik. Karenanya, formulasi manhaj al-fikr tawaran Nawawi banyak dielaborasi oleh para ulama NU sebagai garis perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan dalam setiap konferensinya. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa berdirinya NU merupakan tindak lanjut institusionalisasi dari arus pemikiran Syaikh Nawawi Banten.
Silaturrahim
KEPEDULIAN & SEMANGAT KEBERSAMAAN: di Sanalah Nasib Pendidikan NU Bergantung?
Silaturrahim Prof. DR. Muchsin Istihsan, SH
Citra yang beredar di tengah masyarakat mengenai tradisi berorganisasi yang berkembang di lingkungan NU adalah kurang adanya penerapan manajemen yang efektif dan profesional. Pencitraan seperti ini pun disadari atau tidak, nampaknya bukan lagi sekedar pencitraan semu (mirror image) yang datang dari masyarakat, melainkan semakin terlihat gejala obyektifnya di lapangan. Keberadaan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU yang nota bene merupakan bagian dari NU yang menangani bidang pendidikan pun praktis tidak luput dari gejala kurang ketatnya penerapan manajemen yang efektif dan profesional. Sehingga, fenomena ini pada gilirannya berdampak pada rendahnya kualitas keluaran (out-put) yang dihasilkan dari lembagalembaga pendidikan Ma’arif NU, dan secara umum yang berada di bawah naungan NU. Persoalan manajemen di tubuh Lembaga Pendidikan Ma’arif NU adalah salah satu persoalan krusial yang sejak lama diupayakan pengembangannya. Akan tetapi di sisi lain, persoalan kualitas pendidikan ternyata secara langsung juga bertautan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Dalam cermatan Prof. DR. Muchsin Istihsan, SH.—salah seorang penasehat PP. LP. Ma’arif NU—sekurang-kurangnya terdapat tiga faktor yang menentukan terhadap kemajuan pendidikan di lingkungan NU. Pertama, faktor kualitas Sumber Daya Manusia (human resourses) yang tersedia. Kedua, iklim (budaya organisasi dan komunikasi yang efektif, red-) yang menunjang secara internal di lembaga itu dan kepedulian serta perhatian serius dalam meningkatkan mutu pendidikan. Ketiga, kebijakan (policy) pemerintah, termasuk berbagai kemudahan dan regulasi yang menunjang serta adanya kemauan politik (political will) pemerintah terhadap peningkatan mutu pendidikan yang berada di lingkungan NU. Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di lingkungan NU, seharusnya masyarakat sebagai stakeholders pendidikan, lanjut Prof. DR. Muchsin Istihsan, SH.—yang sekarang mengabdi kepada masyarakat sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Wahid Hasyim, Jawa Timur—perlu meningkatkan partisipasi dan kontribusinya bagi kemajuan dan peningkatan mutu pendidikan di lingkungan NU. Lebih jauh mengenai persoalan ini, berikut
petikan wawancara Ahmad El Chumaedy dari Jurnal Ma’arif dengan Prof. DR. Muchsin Istihsan, SH. pada tanggal 5 Februari 2004 di Jakarta. Bagaimana Bapak melihat perkembangan pendidikan yang selama ini berada di bawah naungan NU atau secara khusus yang menjadi tanggung jawab Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, dari mulai Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah sampai Pimpinan Cabang? Pendidikan yang berada di lingkungan NU, dari segi pendirian dan pengelolaannya dibagi menjadi tiga, yaitu: pertama, lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh para anggota atau jama’ah NU (NU comunities) yang meliputi pribadi-pribadi dan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama atas dasar pemikiran dan berpedoman pada paham ahlussunnah waljama’ah. Kedua, lembaga pendidikan yang didirikan oleh anggota masyarakat yang berpaham ahlussunnah waljama’ah, kemudian menggabungkan diri dengan PP. LP. Ma’arif. Ketiga, lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan dan secara langsung dikelola oleh Lembaga Pendidikan Ma’arif NU secara institusional. Ketiga jenis lembaga pendidikan itu, kesemuanya mendasarkan diri pada paham ahlussunnah waljama’ah. Sehingga, dalam aspek pengelolaan dan berbagai perangkat pendidikannya, termasuk kurikulumnya didasarkan pada paham ahlussunnah waljama’ah. Apakah pemberlakuan regulasi pendidikan nasional, berupa UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara langsung memberikan prospek positif bagi kemajuan pendidikan yang berada di bawah naungan NU? Kemajuan suatu lembaga (institusi), termasuk tentu saja dalam hal ini lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan NU, sangat tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Pertama, faktor Sumber Daya Manusia (human resourses) yang dimiliki institusi itu sendiri. Oleh karena itu, kualitas SDM yang mumpuni dan konsistensi (istiqamah) SDM dalam mengelola institusi tersebut sangat berpengaruh bagi kemajuan suatu lembaga. Kedua, iklim (budaya organisasi dan komunikasi yang efektif, red-) yang menunjang secara internal di lembaga itu. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah kepedulian dan perhatian para anggota organisasi dalam memajukan organisasinya. Dalam konteks ini, kemajuan pendidikan di bawah naungan NU amat tergantung dari kepedulian dan perhatian para anggota jam’iyah NU. Ketiga, kebijakan (policy) pemerintah, termasuk berbagai kemudahan dan regulasi yang menunjang terhadap pengembangan institusi. Dalam hal ini termasuk juga kemauan politik (political will) pemerintah terhadap pengembangan institusi tersebut. Bagaimana Bapak melihat kualitas SDM yang tersedia di lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU dalam memajukan kualitas pendidikannya?
Dari waktu ke waktu SDM di lingkungan pendidikan NU mengalami kemajuan. Tapi upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di lingkungan NU belum maksimal. Kita bisa perhatikan, di antara sekian banyak lembagalembaga pendidikan di lingkungan NU, masih terlihat variasi mutu (quality) yang berbeda. Ada sekolah-sekolah yang sudah maju, tapi banyak juga yang masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU (seharusnya) mempunyai kemampuan untuk menciptakan sistem dan manajerial yang mumpuni. Dengan lain kata, kemampuan untuk berinovasi dan dan memperbaharui sistemnya, sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikannya. Pada umumnya lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU masih tergolong lemah dalam me-manage lembaganya. Sehingga hal ini berpengaruh bagi rendahnya kualitas keluaran (out-put) pendidikannya. Kalaupun ditemukan lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU yang mempunyai kualitas baik, hal itu lebih karena pengelola lembaga-lembaga tersebut mengambil kebijakan di luar dari kebijakan yang dikeluarkan oleh PP. LP. Ma’arif NU. Pengelola dalam hal ini berinisiatif untuk mengambil kebijakan sendiri secara independen untuk memajukan lembaganya. Dengan melihat fenomena itu, pendidikan di lingkungan NU (seharusnya) lebih menggiatkan diri untuk melakukan pengembangan aspek kelembagaannya. Apa yang selama ini menyebabkan lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU secara umum kurang berkualitas? Seperti sudah dijelaskan di atas, bahwa untuk dapat meningkatkan kualitas pendidikannya, yang pertama kali harus dilakukan adalah ditingkatkannya konsentrasi untuk membenahi dan mengembangkan aspek kelembagaannya. Sebetulnya, kultur berpartisipasi di lingkungan NU dalam memajukan pendidikan sudah menunjang. Kendati demikian, semestinya kultur seperti itu lebih diarahkan untuk pengembangan organisasi secara kelembagaan agar kualitas pendidikan dapat ditingkatkan. Apakah kultur yang Bapak maksudkan di atas, menunjang bagi peningkatan kualitas pendidikan, terutama kalau dikaitkan dengan pemberlakuan kurikulum 2004, yang juga include di dalamnya paket konseptual, berupa Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management), dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)? Lepas dari kebijakan-kebijakan pendidikan pemerintah yang belakangan diberlakukan, termasuk juga soal desentralisasi pendidikan. Bagi saya, soal desentralisasi dan lain sebagainya terletak pada posisi sekunder dalam meningkatkan mutu pendidikan di lingkungan NU. Justeru yang lebih menjadi prioritas utama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di lingkungan NU adalah kepedulian dan perhatian anggota jam’iyah NU secara real kepada lembaga-lembaga pendidikan NU. Komunitas nahdliyin selama
ini seringkali mencapai kesuksesan gemilang dalam mendirikan tempattempat ibadah, seperti masjid, mushala dsb. Sebesar apapun biaya yang harus dikeluarkan, tempat-tempat ibadah itu berhasil didirikan oleh warga nahdliyin. Tetapi, berbeda halnya untuk pembangunan aspek pendidikan yang kurang begitu diprioritaskan. Biaya yang diproyeksikan untuk membangun aspek pendidikan seringkali tidak sebesar biaya yang dikeluarkan untuk membangun tempat ibadah. Memang, pembangunan masjid dan tempat-tempat ibadah itu baik, namun seharusnya juga diimbangi dengan upaya membangun pendidikan (baca: sekolah, madrasah, pesantren dsb.) yang representatif dan berkualitas. Seperti orang bersemangat dalam menunaikan ibadah haji. Hal ini memang baik dan perlu diapresiasi, tapi kiranya perlu juga mempunyai semangat untuk memperbaiki dan meningkatkan aspek lainnya, terutama pada aspek pendidikan. Bagaimana amatan Bapak tentang policy pemerintah, terutama yang terkait dengan pendidikan. Apakah selama ini policy yang dikeluarkan pemerintah menunjang atau dengan kata lain memberi banyak kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan di lingkungan NU? Saya kira, policy pemerintah sudah jelas, yaitu bergerak pada level makro yang berlaku bagi seluruh elemen bangsa. NU merupakan bagian dari bangsa. Makanya, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentu saja berorientasi pada kebaikan semua elemen bangsa. Di setiap kebijakan yang diberlakukan, sama sekali tidak diskriminatif terhadap salah satu dari semua elemen bangsa, termasuk NU. Oleh karena itu, policy pemerintah menyangkut pendidikan, juga sedikit banyak memberikan sumbangsih bagi setiap upaya pengembangan semua sektor kehidupan berbangsa, termasuk pendidikan yang berada di lingkungan NU. Dalam rangka turut berpartisipasi dalam menerapkan policy pemerintah itu, tinggal bagaimana kita bisa menunjukkan blue-print atau perencanaan yang matang, mengenai semua aspek dan data-data yang rasional serta dapat dipertanggung jawabkan. Sebab, pemerintah hanya akan membantu pelaksanaan program pendidikan tertentu, ketika sebelumnya sudah dirancang sebuah perencanaan yang jelas. Baru setelah, misalnya, diperoleh bantuan dari pemerintah, sebaiknya bantuan tersebut disalurkan kepada lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan langsung oleh PP. LP. Ma’arif NU, atau yang secara organisatoris yang punya ikatan dengan Ma’arif NU. Bagaimana Bapak melihat pola hubungan yang terjalin selama ini antara NU dengan Pemerintah (baca: Negara) dan implikasinya terhadap perkembangan pendidikan di lingkungan NU?
Seperti disebutkan di atas, bahwa policy pemerintah bersifat makro. Artinya, ia berlaku dan diberlakukan bagi semua elemen bangsa, termasuk tentu saja NU. Yang perlu ditekankan adalah, bagaimana menyiapkan internal NU sendiri untuk membangun organisasi yang solid dan credible. Sebab, ada dua hal yang harus diperhatikan dalam mengelola pendidikan. Pertama, visi untuk mengangkat derajat masyarakat bawah. Ini sudah lama dilakukan oleh NU. Kedua, kualitas (quality) pendidikan. NU tentu saja dituntut untuk bisa menciptakan pendidikan bermutu untuk menampung aspirasi dan tuntutan masyarakat dalam hal penguasaan sains dan tekhnologi, di samping penguasaan pendidikan agama yang memadai. Pada prinsipnya, upaya peningkatan mutu pendidikan di lingkungan NU sekurangkurangnya harus memperhatikan dua hal, yaitu SDM yang mumpuni dan komitmen organisasi atau institusi dalam meningkatkan mutu pendidikannya. Bagaimana Bapak melihat minat masyarakat terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU. Menurut Bapak apa strategi yang perlu diterapkan untuk dapat menarik simpati dari masyarakat agar mereka tertarik dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU? Sekarang kita harus tahu, apa yang diinginkan oleh masyarakat. Ini sama artinya dengan bisnis. Oleh karena itu, marketing dalam hal ini menjadi penting untuk diperhatikan. Kalau sekarang ini kelihatannya masyarakat menghendaki pendidikan yang menjamin penguasaan sains dan tekhnologi serta penguasaan agama yang memadai, maka lembaga-lembaga pendidikan NU tentu saja harus mengarahkan program pendidikannya berdasarkan tuntutan masyarakat tersebut. Di suatu perkotaan, di mana masyarakat sudah mempunyai mobilitas yang tinggi, pendidikan yang dibutuhkan justeru yang tidak hanya berorientasi pada penguasaan sains dan tekhnologi, melainkan juga diimbangi dengan pendidikan agama yang memadai. Berbeda halnya dengan lembaga-lembaga pendidikan yang berada di daerah, tentunya terdapat pertimbangan-pertimbangan lain. Bagi masyarakat perkotaan, ketika suatu lembaga sudah diakui kualitasnya dan mempunyai kredibilitas, di sana dana sebesar apapun tidak menjadi persoalan. Tetapi berbeda dengan lembaga-lembaga yang tidak berkualitas dan apalagi tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat, dengan gratispun tidak ada yang mau memasukinya. Untuk menuju ke arah pendidikan yang berkualitas dan memperoleh kepercayaan dari masyarakat, menurut Bapak apa yang seharusnya dilakukan lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU (LP. Ma’arif NU)? Salah satu faktor yang harus diperhatikan adalah, secara organisatorisrasional, kita harus mempunyai kebersamaan, baik dalam memenuhi
kebutuhan dana maupun dalam mempersiapkan Sumer Daya Manusia untuk diinvestasikan dalam bidang pendidikan. Bagaimana pBapakngan Bapak mengenai ‘education for all’ dan ‘demokratisasi pendidikan’. Apakah di lingkungan NU–yang di dalamnya memuat sistem pengambilan kebijakan, sistem manajemen, kultur organisasi, dan praktek didaktik-metodiknya–sudah dilakukan? Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan NU mempunyai dukungan real yang tinggi dari masyarakat. Hanya saja, kita juga harus tahu, bahwa masyarakat tergolong dari strata yang berbeda. Ini berdampak pada tingkat dan kapasitas masyarakat dalam berpartisipasi dan berkontribusi dalam meningkatkan mutu pendidikan. Ketika hal itu berlangsung di masyarakat pedesaan (rural society), tinggal bagaimana partisipasi dan dukungan masyarakat seyogyanya dimodernisasikan. Modernisasi di sini lebih dipahami sebagai proses untuk mengkooordinasikan dan mensinergikan partisipasi dan dukungan masyarakat di berbagai tempat agar lebih terarah pada upaya peningkatan mutu pendidikan. Karena pada akhirnya nanti, meningkatnya kualitas pendidikan, juga manfaatnya akan kembali kepada masyarakat sendiri. Inilah barangkali satu sisi dari pemaknaan ‘education for all’ dan ‘demokratisasi pendidikan’ yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU. Bagaimana mengenai persoalan persamaan kesempatan masyarakat untuk mengakses atau menikmati pendidikan, terlebih dengan kenyataan mahalnya cost pendidikan? Bagi saya, lembaga-lembaga pendidikan seharusnya menerapkan kebijakan ‘cross-subsidi’ ketika membebani biaya pendidikan bagi orang tua murid. Orang tua murid yang tergolong mampu semestinya terpanggil untuk membayar biaya pendidikan lebih besar ketimbang orang tua murid yang kurang mampu. Bahkan, barangkali menjadi kewajiban bagi keluarga yang secara ekonomi kuat untuk membayar cost pendidikannya secara lebih besar. Di samping, subsidi pendidikan dari pemerintah, juga seharusnya lebih memprioritaskan sekolah-sekolah yang para muridnya berlatar belakang keluarga kurang mampu. Bukan sebaliknya, dengan mensubsidi sekolah-sekolah yang sudah bonafide. Dalam kaitannya dengan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), di mana di sana dibentuk dewan sekolah. Bagaimana pBapakngan Bapak soal dewan sekolah yang dibentuk di lingkungan pendidikan NU? Sebab seringkali lembaga-lembaga pendidikan tersebut didirikan bukan oleh organisasi, melainkan oleh pribadi tokoh masyarakat. Sementara salah satu fungsi yang dijalankan oleh dewan sekolah adalah menjalankan fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan pendidikan. Bagaimana mungkin dewan sekolah bisa bekerja secara efektif, ketika kebijakan-kebijakan pendidikan masih tersentral kepada tokoh masyarakat yang mendirikan lembaga pendidikan tersebut? Bagaimana Bapak melihat persoalan ini?
Itu merupakan resiko dari perkembangan dunia pendidikan kita. Persoalan pengelolaan pendidikan seharusnya mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang perlu diikuti. Sehingga dapat memberikan batasan mengenai siapa yang bertanggung jawab dan dengan batasan wewenang sejauh mana dalam penyelenggaraan pendidikan. Apakah ownernya berupa badan hukum atau dimiliki secara perseorangan. Oleh karena itu, tentu saja ketentuan tersebut pada prakteknya diberlakukan berbeda-beda antara satu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan lainnya. Kalaupun ternyata, misalnya, lembaga pendidikan didirikan secara perseorangan, namun memiliki nilai-nilai sosial, ini juga semestinya perlu mendapatkan perhatian agar bisa lebih meningkatkan mutu (proses dan output, red-) pendidikannya. Karena ada juga lembaga-lembaga pendidikan, yang dengan ketokohan owner-nya, mampu menerapkan manajemen secara efektif, memiliki pertanggungjawaban publik (public accountability), dan keterbukaan (transparansi), sehingga tercipta soliditas dalam pengelolaan pendidikannya. Berbeda dengan sekolah yang ‘seolah-olah’ dikelola secara demokratis, tapi pada kenyataannya tidak pernah stabil. Apa saran Bapak untuk meningkatkan mutu pendidikan di lingkungan NU? Pertama, meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (human resources). Kedua, meningkatkan kepedulian dan semangat kebersamaan, terutama secara internal organisasi terhadap pendidikan di lingkungan NU. Dan ketiga, memperluas pBapakngan atau pemikiran tentang pendidikan yang (seharusnya) tidak melulu berorientasi keagamaan, tapi juga diimbangi dengan perlunya penguasaan sains dan tekhnologi, sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Shurah MELAMPAUI KEBEKUAN TRADISIONAL: POTRET MADRASAH ALIYAH MA’ARIF NU 05 SEKAMPUNG, LAMPUNG TIMUR Dunia Pendidikan nasional akhir-akhir ini sedang giat-giatnya melakukan pembenahan internal, terutama dalam rangka meningkatkan mutu pendidikannya (proses dan output). Upaya ke arah itu nampaknya terlihat dari banyak terobosan baru dalam pengembangan dan pemberdayaan pendidikan yang kini dikenal dengan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (School based Management), Kurikulum Berbaasis Kompetensi dan banyak rumusan konseptual lainnya yang sedang diterapkan, seiring diberlakukannya UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 dan Kurikulum 2004. Tidak ketinggalan, pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam pun, termasuk lembaga-lembaga pendidikan Ma’arif NU, kini mulai menyesuaikan diri dengan trend pendidikan mutakhir.
Menengok Seluk-beluk Yayasan Ma’arif 05 Sekampung Ketika kita memasuki komplek Yayasan Ma’arif 05, kita akan temukan sebuah bangunan yang akan memberi kesan santai dan bersahaja. Dengan halaman sekolah yang terhampar cukup luas, ia semakin menambah keasrian lingkungan itu. Dalam hal lain, pada saat hari-hari belajar, kita akan temukan halaman tersebut dipenuhi oleh siswa-siswi yang lagi giatgiatnya melakukan kegiatan ekstra kurikuler. Lokasi komplek pendidikan Ma’arif sekampung terletak di sudut ibu kota kecamatan. Secara kebetulan, ia terhempit oleh jalan mini raya yang letaknya tidak terlalu jauh dari pasar induk. Ini membuatnya lebih mudah terjangkau dengan alat transportasi apapun. Saat ini, yayasan Ma’arif tersebut dipimpin oleh H. Muhammad Yusuf. Dengan kelengkapan sarana dan prasarana yang cukup memadai, Yayasan ini memiliki lembaga pendidikan yang cukup lengkap, yaitu mulai dari Taman Kanak-kanak, MI, MD, MTs, SLTP Program Khusus, Madrasah Aliyah Umum, dan Madrasah Aliyah Program Khusus serta Pondok Pesantren, bahkan pernah menyelenggarakan sekolah jauh untuk Perguruan Tinggi. Pada mulanya, MA. Ma’arif 05 Sekampung tidak lain adalah pengembangan dari Madrasah Tsanawiyah yang letaknya terdapat di sebelah barat pasar induk Sekampung, dengan jarak sekitar 3 KM. Dalam perjalanannya kemudian, Madarasah Tsanawiyah ini mengalami masa stagnasi yang mengkhawatirkan. Barangkali orang akan menyebutnya dalam kondisi ‘tidak hidup-tidak mati’ (la yahya wala yamut). Melihat keadaan yang memprihatinkan seperti ini, muncullah kesepakatan yang dibentuk antara para Pengurus Yayasan dengan Dewan Guru Madrasah Tsanawiyah untuk memindahkan lokasinya ke Desa Sumbergede. Di mana kawasan ini sebelumnya sudah terdapat Madrasah Ibtidaiyah yang didirikan oleh H. M. Dahlan dan H. Ahmad Mujab pada tahun 1967. Di kawasan inilah kemudian embrio Ma’arif 05 mulai terlihat. Pada awal mulai dipindahkannya, proses belajar mengajar siswa/siswi MTs Ma’arif NU 05 Sekampung sempat menggunakan rumah-rumah masyarakat sekitar. Baru terlihat sedikit kemajuan setelah beberapa tahun belakangan, yayasan Ma’arif memiliki gedung yang waktu itu hanya terbuat dari bambu (gribig), yang berdiri di atas tanah wakaf dari H. Sholihin (mertuanya H. Mujab). Sekalipun dalam kondisi seperti ini, sedikitpun tidak menyurutkan semangat belajar mengajar yang mulai berjalan lancar. Seiring dengan berjalannya sang waktu, animo masyarakat pun terlihat begitu tinggi. Sehingga menyebabkan Madrasah Tsanawiyah terus berkembang. Gedung yang tadinya hanya terbuat dari gribig, lambat laun mulai direnovasi menjadi bangunan permanen, bahkan areal tanahnya semakin diperluas.
Pada tahun 1968-1992 status MTs Ma’arif masih “terdaftar”. Baru pada tahun 1993 statusnya meningkat menjadi “diakui” dengan nomor: B/E.IV/MTs/008/1993. Pada tanggal 21 Juni tahun 1999, MTs Ma’arif berstatus “disamakan” dengan nomor SK A/Wh/MTs/43/1999. Sejarah ternyata telah memberikan banyak pelajaran berharga bagi MTs Ma’arif NU 05 Sekampung untuk terus meningkatkan mutu pendidikannya. Ini dibuktikan dengan keberhasilannya mendapat penghargaan dari Departemen Agama RI pada tahun 2003, atas prestasinya memenangkan Lomba Madrasah, Penyelenggara PAI dan Guru Madrasah Berprestasi. Di mana MTs ini menjadi Juara Harapan Satu untuk kategori MTs Reguler di Tingkat Nasional, setelah sebelumnya menjadi Juara Pertama di Tingkat Propinsi. Prestasi lain yang cukup membanggakan, juga diperlihatkan MTs Ma’arif 05, yaitu dengan memiliki 767 siswa/i. Pada tahun 1983 Yayasan Ma’arif mulai mengembangkan sayapnya, dengan mendirikan Madrasah Aliyah. Madrasah Aliyah ini didirikan atas kebutuhan masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Sebagaimana disampaikan H. Mahmud Yunus, yang merupakan Kepala Madrasah Aliyah Ma’arif, bahwa salah satu alasan mendasar didirikannya MA Ma’arif 05 adalah, karena permintaan masyarakat setempat yang notabene 95 % beragama Islam. Sebelumnya di tempat ini belum terdapat Madrasah Aliyah, di samping atas pertimbangan adanya 10 SLTP di wilayah ini, sebagai calon input Madrasah Aliyah. Dalam perjalanan awal, keberadaan Madrasah Aliyah masih kembang-kempis. Namun dengan kesabaran dan ketabahan para guru dan pengurus yayasan, akhirnya Madrasah Aliyah tersebut mulai bisa diterima masyarakat, setelah para alumni banyak berkiprah dan melakukan pengabdian di tengah masyarakat. Faktor lain yang menyebabkan Madrasah Aliyah ini menjadi pilihan masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya jumlah siswa adalah jarak tempuh yang jauh untuk menuju ke Madrasah Aliyah Negeri. Hal ini bisa dilihat dari grafik siswa baru yang setiap tahunnya cukup melonjak. Awalnya, siswa MA yang terdaftar hanya berjumlah 15 orang siswa, tetapi sekarang sudah mencapai penambahan 139 orang siswa setiap tahun ajarannya. Peningkatan jumlah siswa nampaknya juga dibarengi dengan penataan manajemen, administrasi, dan sarana-prasarana yang menandakan semakin mapan. Setelah pada tahun 1987 izin operasional berstatus terdaftar dan tahun 1995 statusnya diakui, kini Madrasah Aliyah Ma’arif 05 Sekampung, sudah memiliki status disamakan. Madrasah Aliyah Ma’arif 05 Sekampung bukanlah satu-satunya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yang berada di wilayah ini. Di sana terdapat SMU Kosgoro, SMU Muhammadiyah, SMK Ganesa 02, SMK PGRI dan SMUN
Sekampung. Meski demikian, keberadaan MA Ma’arif 05 Sekampung tetap eksis dan menjadi pilihan masyarakat. Ini disebabkan karena keberadaannya didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Pada mula berdirinya, MA Ma’arif hanya memiliki satu lokal. Keinginan berbagai pihak bagi kemajuan MA, di samping terus bertambahnya siswa baru setiap tahunnya, menyebabkan dibangunnya lokal-lokal baru. Sama halnya dengan yang dilakukan di Madrasah Tsanawiyah, di Madrasah Aliyah pun, dalam kurun tujuh tahun terakhir ini, ada penambahan 4 lokal setiap tahunnya. Sekalipun demikian, karena banyaknya siswa, sementara jumlah lokal yang tersedia minim, akhirnya membuat kegiatan belajar mengajar bergantian. Sebagai gambaran umum, di sini disebutkan, bahwa untuk TK, MI, SLTP, MAK, MA kelas 3, MTs kelas 1 dan 3 masuk pagi. Sedangkan untuk MTs kelas 2 dan MA kelas 1 dan 2 masuk siang. Sampai saat ini, Yayasan Ma’arif 05 Sekampung memiliki tanah seluas 15000 M2. Dengan tanah seluas itu terdapat 11 lokal ruang belajar, 1 ruang perpustakaan, 1 ruang guru, 1 masjid, 1 ruang kepala sekolah, 1 ruang TU, 1 ruang komputer, 1 ruang koperasi, dan 1 ruang laboratorium. Meski dengan segala kelengkapan yang dimilikinya, tetapi ternyata di sana-sini masih banyak yang perlu lebih dilengkapi, misalnya kondisi perpustakaan yang ada. Pihak madrasah sampai saat ini masih memikirkan bagaimana melengkapi literatur yang sudah ada, karena pada kenyataannya perpustakaan tersebut belum banyak memiliki buku-buku bacaan, terutama dalam bidang keagamaan. MA Ma’arif hingga saat ini telah membuka tiga jurusan, yaitu IPA, IPS dan MAK. Khusus untuk MAK (Madarasah Aliyah Keagamaan), menurut H. Mahmud Yunus, seorang bapak yang juga bertugas di Dinas Parsenibud Kabupaten Lampung Timur, “sebenarnya di awal pendirian MA, jurusan ini pernah dibuka, namun karena SDM nya masih belum memadai, terutama dalam bidang bahasa, maka tidak lama kemudian MAK dibubarkan. Baru pada tahun 2001, MAK dibuka kembali. Salah satu yang menjadi pertimbangan penting dibukanya kembali Jurusan Keagamaan adalah, karena minat para siswa untuk mendalami ilmu agama, terutama yang bertempat tinggal di pesantren, cukup tinggi. Strategi Sosialisasi dan Pengembangan Dalam upaya perekrutan siswa, strategi tempat adalah strategi yang telah di digunakan oleh Yayasan Ma’arif 05 Sekampung. Di setiap tempat, pihak yayasan menempatkan guru-guru dan tenaga profesi yang concern di bidang pendidikan. Di samping itu untuk menarik minat masyarakat, dalam setiap tahun di bulan Ramadhan selalu diadakan kunjungan ke daerah-daerah di
mana siswa Ma’arif tinggal. Di setiap kunjungannya menampilkan keahlian para siswa, seperti penampilan pidato (khitobah) dari para siswa. Selain itu, peran serta para alumni juga sangat berarti terhadap perkembangan madrasah. Oleh karena itu, tidak heran kalau Ma’arif 05 Sekampung sangat populer di tengah masyarakat, bukan hanya masyarakat Lampung, tetapi juga di luar Lampung, seperti di Kalimantan, Sulawesi dan Riau. Bahkan Drs. H. Mahmud Yunus, yang juga Pengurus LP. Ma’arif Lampung Timur, mengatakan: “ tanpa bermaksud riya, Yayasan Ma’arif 05 Sekampung saat ini sudah tidak perlu dipromosikan lagi”. Komitmen bersama seluruh Pengurus Yayasan yang di dalamnya banyak terdapat orang-orang yang masuk di pemerintahan, seperti: H. Mujab (Asisten IV Bidang Sosial Kabupaten Lampung yang juga mantan Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi), Drs. H. Mahmud Yunus (Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata dan yang sekarang menjabat Ketua Umum Ma’arif Cabang Lampung Timur serta Kepala Madrasah Aliyah Ma’arif), Dewan Guru, tokoh-tokoh NU lainnya dan para alumni serta masyarakat setempat, membuat LP Ma’arif di wilayah ini cepat berkembang. Menurut Drs. H. Mahmud Yunus, ada tiga kategori (TRISULA) yang selalu kami tanamkan dalam pengembangan yayasan ini. Pertama, proses pendidikan yang dilakukan secara maksimal. Kedua, semangat do’a. Para kiai yang tukang wirid, baik yang ada di dalam maupun di luar, istiqomah munajat pada waktu malam untuk perkembangan yayasan ini. Di samping setiap orang yang akan naik haji selalu diminta untuk mendo’akan (di tempat-tempat mustajab) kemajuan yayasan. Dan ketiga, orang-orang yang ada di birokrasi dan kedinasan yang lain, diminta untuk ikut membawa nama Ma’arif keluar. Upaya tiga langkah itu ternyata membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Grafik siswa Madrasah Aliyah sangat meyakinkan, melonjak naik. Ini membuktikan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap Ma’arif di wilayah Lampung dan sekitarnya sangat tinggi. Bagi siswa yang berminat untuk sekolah di Ma’arif Sekampung tidak terlalu sulit, karena tidak ada seleksi ketat. Namun begitu, untuk masalah penempatan siswa, pihak madrasah mengeluarkan kebijakan khusus, yaitu untuk siswa-siswa yang mempunyai kecerdasan lebih (ditandai dengan nilai) dikelompokkan pada kelas unggulan. Di samping itu, bagi yang mesantren, diwajibkan untuk sekolah di Madrasah Aliyah Program Khusus. Madrasah Aliyah Ma’arif 5 Sekampung sejak awal berdiri sampai sekarang dipimpin oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi (sarjana), bahkan secara kebetulan semuanya sudah haji. Berbeda dengan sekolah pada umumnya, Kepala MA di sini memerankan fungsi ganda di tengah masyarakat. Fungsi pertama sebagai kepala madrasah dan fungsi kedua
sebagai tokoh masyarakat. Ini karena memang hampir semua kepala madrasah, secara bersamaan juga menjadi tokoh masyarakat. Barangkali hal ini lebih disebabkan karena keberadaan Madrasah Aliyah ini berada di tengah-tengah pesantren. Jadi secara otomatis, Kepala Madrasah Aliyah juga dituntut memiliki pengetahuan agama yang lebih, alias menjadi figur yang menjadi panutan masyarakat. Sedangkan untuk kondisi dewan guru, hampir 99% layak mengajar pada mata pelajaran yang ditentukan, sekalipun memang sebelumnya terdapat ‘miss macht’ (tidak nyambung) antara kualifikasi yang dimiliki dengan mata pelajaran yang diajarkan. Kondisi ini lambat laun akhirnya tidak lagi menjadi kendala yang berarti terhadap proses belajar yang berlangsung. Kendala ketidaksamaan background (baca: latar belakang) pendidikan guru dengan mata pelajaran yang diajarkannya mulai terasa seteleh diberlakukan Kurikulum 1994 yang memberlakukan standardisasi Madrasah Aliyah dan Sekolah Menengah Umum. Hal ini berdampak pada guru yang latar belakang pendidikannya berasal dari IAIN atau STAIN. Mereka harus mengikuti peraturan baru itu, yaitu dengan mengajar sesuai dengan spesifikasi pelajaran yang dikuasainya. Sementara untuk mata pelajaran umum, pihak madrasah mendatangkan guru dari luar. Dalam upaya peningkatan mutu pendidik (guru), salah satu yang dilakukan adalah bersama-sama dengan sekolah lain yang tergabung dalam KKM Lampung untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan di tingkat propinsi. Pada tahun 2004, Drs. Mahmud Yunus dan Ketua Yayasan, H. Mujab telah mengikuti diklat di Cipayung. Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu siswa madrasah, terutama yang tinggal di pondok pesantren dalam bidang science dan tekhnologi, “supaya tidak terlalu ketinggalan dengan sekolah-sekolah umum,” tandas Drs. Mahmud Yunus. Visi, Misi dan Orientasi MA Ma’arif 05 Sekampung Sejak awal berdiri, MA Ma’arif NU 05 Sekampung mempunyai visi membentuk madrasah yang islami, populis, dan berkualitas serta dijadikan sebagai pelopor dalam pembinaan moral dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan melaksanakan pembelajaran yang efektif, Madrasah Aliyah Ma’arif 05 berupaya untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan umum dengan ilmu-ilmu keislaman. Di samping juga diproyeksikan untuk memelihara dan merekonstruksi tradisi dan ilmu-ilmu Islam serta mengarahkan siswa kepada pemilikan akhlak mulia, pemikiran rasional, penguasaan analisis yang berorientasi pada pemecahan masalah dan berpandangan jauh ke depan, menjaga keharmonisan hubungan antara
agama dan pemerintah berdasarkan pancasila, serta meningkatkan kualitas input dan output. Dengan mengikuti kurikulum SMU/MA tahun 1994, suplemen kurikulum tahun 1994 dan kurikulum tahun 2001, Madrasah Aliyah 05 Sekampung yang dimotori oleh Drs. H. Mahmud Yunus dan dibantu oleh 26 guru (yang terdiri dari 11 orang sarjana S-1 Fakultas Tarbiyah, seorang SM (Sarjana Muda), dan seorang sarjana S-1 Fakultas Syari’ah, seorang Sarjana Muda Fakultas Ushuluddin, dua orang Sarjana S-1 IKIP, seorang Sarjana S-1 MIPA, 8 orang Sarjana S-1 STKIP dan seorang Sarjana Muda STIKP), terus berupaya meningkatkan kualitas siswa, yang diorientasikan bukan hanya pada pembekalan kapasitas intelektual, tetapi juga kualitas moral dan spiritual. Dalam upaya peningkatan kecerdasan intelektual para siswa, MA Ma’arif menyelenggarakan les dan bimbingan belajar bagi para siswa, terlebih menjelang Ujian Akhir Nasional (UAN). Dengan kegiatan seperti itu, diharapkan akan membekali para siswa Madrasah Aliyah Ma’arif 05 dalam bidang science dan tekhnologi agar tidak ketinggalan dengan siswa di sekolah-sekolah umum. Bagi siswa kelas III yang akan menghadapi UAS/UAN, diadakan Try Out dari KKM dan bimbingan belajar (bimbel) dari guru bidang studi, terutama mata pelajaran yang diujikan di UAN. Sementara bagi kelas I dan II, untuk lebih mendalami mata pelajaran, mereka mengikuti pembinaan secara intensif yang dilakukan setiap hari. Di samping itu, untuk membekali para siswa dalam bidang keterampilan, MA Ma’arif menyelenggarakan Keterampilan ekstra kurikuler. Di antaranya, keterampilan komputer, drum band, pramuka, PHBI, PMR, PKS, IPNU/IPPNU, khitobah, PKL, kursus bahasa Arab dan Inggris dan kursus menjahit. Khusus bagi siswa MAK, mereka diwajibkan tinggal di pesantren, karena di samping mengikuti mata pelajaran agama di sekolah (sebanyak 70 %), juga harus mengikuti pembinaan bahasa dan kitab kuning. Menurut Fitriyanto S.Ag. (Kepala MI yang juga sekaligus Pengurus Pesantren), bahasa yang diajarkan adalah bahasa Arab, Inggris dan Jawa. “Bahasa jawa digunakan di sini karena, bahasa jawa menurut para Pengurus Yayasan adalah pendidikan dasar untuk budi pekerti,” tutur seorang pria yang juga alumni MTs Ma’arif Tahun 1992. Sedangkan dalam meningkatkan kecerdasan spritual, MA Ma’arif mewajibkan siswa untuk mengikuti pengajian-pengajian keagamaan di pesantren dan melaksanakan shalat berjama’ah. Sumber Dana Sumber dana yayasan ini, sebanyak 75 % diperoleh dari wali murid, yaitu berasal dari SPP dan BP3 atau uang infaq. Dewan guru yang jumlahnya 26 orang, diberi insentif sebesar Rp. 8.000,-/jam yang diambil dari uang SPP
yang hanya Rp. 20.000,-/bulan, di luar dana pembayaran kegiatan smester dan ujian. Sekalipun demikian, untuk mengatasi gaji guru, Honor Daerah (HONDA) dan Bantuan Khusus Guru (BKG) dari pusat telah banyak membantu. Sebelumnya, tercatat terdapat 4 guru MA Ma’arif 05 yang diangkat menjadi guru honor daerah yang dibayar Pemerintah Daerah, sebesar Rp. 250.000,-/bulan. Pada akhirnya, 2 orang guru diangkat menjadi guru kontrak, yang satu keluar dan yang satunya lagi mengajar di SMP Darul Ulum. “Namun, kita masih menggunakan tenaganya untuk mengajar di MA ini,” ungkap Kepala Madrasah. Yayasan juga mendapat jatah Bantuan Khusus Guru (BKG) untuk 20 orang guru dari Pemerintah Pusat, termasuk biaya untuk menghidupi sekolahan. Sedangkan untuk kegiatan pramuka, UKS, peningkatan SDM guru dan siswa diambil dari dana DPP (dana perbaikan pendidikan) sebesar Rp. 35.000,/tahun. Di samping itu juga, dana LP. Ma’arif 05 Sekampung juga diperoleh dari bantuan-bantuan pemerintah, baik provinsi maupun pemerintah pusat. Hal ini juga terjadi karena perjuangan dari beberapa pengurus, terutama yang berada di pemerintahan, seperti H. Ahmad Mujab (Asisten IV Bidang Sosial dan mantan Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Lampung Timur), dan Kepala Madrasah, Drs. H. Mahmud Yunus yang juga Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata Kabupaten Lampung Timur. Dalam menentukan seluruh kebijakan, termasuk menentukan kebijakan masalah keuangan, Pengurus Yayasan selalu melibatkan Dewan Guru dan Komite Sekolah yang dipimpin oleh H. Imam Syafi’I, salah seorang anggota DPRD Lampung Timur, yang juga pernah membidangi masalah pendidikan. Menurut Drs. H. Mahmud Yunus, “ketika ada bantuan dana dari pemerintah, maka yang menerimanya adalah pengurus yayasan, kemudian dana tersebut diberikan kepada lembaga pendidikan yang membutuhkan, yaitu diberikan ke Madrasah Ibtidaiyyah, atau Madrasah Diniyah ataupun yang lainnya yang membutuhkan, tentunya melalui kesepakatan bersama”. Out-Put Dari semenjak didirikannya hingga sekarang (Tahun 2004), Madrasah Aliyah Ma’arif 05 Sekampung tercatat telah menghasilkan 20 angkatan yang sudah menjadi alumni. Dari sekian banyak alumni Yayasan Ma’arif 05 Sekampung, mayoritas memasuki ke pasar tenaga kerja. Hanya 10 % yang meneruskan ke perguruan tinggi dan pesantren. Di antaranya ada yang memasuki UGM Yogyakarta, LPIA, STAIN/IAIN, Pendidikan Kepolisian dan Pesantren Gontor. Berdasarkan data yang diperoleh, tidak sedikit dari mereka menjadi guru dan da’i. Bahkan pada zaman Orde Baru, banyak alumni Madrasah Aliyah ini
yang diminta transmigrasi.
untuk
menyebarkan
misi
dakwah
di
tempat-tempat
Rencana ke Depan Beberapa tahun yang lalu, pihak yayasan sudah membuka kelas jauh sampai dengan Semester VI. Di wilayah Metro, sebelum Kota Metro menjadi bagian dari Lampung Tengah, yang waktu itu masih menjadi bagian dari wilayah Lampung Timur, telah didirikan Sekolah Tinggi Ilmu tarbiyah (STIT) Hasyim Asy’ari milik Ma’arif. Namun, karena ada kejenuhan dari para mahasiswa yang juga sekaligus alumni MA Ma’arif, akhirnya sekarang ditiadakan. Sementara itu, dalam upaya merespon tuntutan masyarakat dalam hal penguasaan sains dan tekhnologi, yayasan Ma’arif telah beberapa kali mengajukan usulan untuk dibentuknya Perguruan Tinggi Umum kepada Pemerintah. Pertama, pihak yayasan mengajukan dibentuknya Universitas Ma’arif Lampung (UNMALA), namun karena satu dan lain hal akhirnya di anulir, ujar Drs. H. Mahmud Yunus. Alasan lain yang menyebabkan tidak diterimanya usulan tersebut adalah, karena di wilayah ini sudah terdapat banyak Perguruan Tinggi. Respon pemerintah dalam menanggapi usulan pihak Yayasan Ma’arif, akhirnya disarankan untuk membuka STIKES, STIMIK atau STT. Setelah dilakukan beberapaa kali pertemuan, akhirnya disepakati bahwa jenis pendidikan tinggi yang akan dibuka adalah Sekolah Tinggi Manajemen dan Ilmu Komputer (STMIK). Setelah kesepakatan tersebut dirumuskan menjadi sebuah usulan (proposal), selanjutnya diajukan lagi ke DIKTI. “Rupanya di DIKTI sudah mengalami pergantian kepengurusan, sehingga tidak macth dengan kepengurusan sebelumnya,” keluh Mahmud Yunus. Kegagalan yang diderita sebelumnya untuk membuka STMIK, nampaknya tidak menyurutkan perjuangan pihak yayasan untuk terus berusaha. Hingga akhirnya proposal ketiga diajukan lagi, dan seperti dijanjikan oleh DIKTI, pada bulan Desember 2003 mendapatkan jawabannya. Tidak jauh berbeda dengan jawaban sebelumnya, usulan yang ketiga inipun tidak mendapatkan respon positif dari DIKTI. Persoalan ini sampai sekarang masih menjadi pertimbangan berbagai pihak untuk merealisasikannya. Selain upaya pengembangan pendidikan di atas, Yayasan Ma’arif 05 Sekampung dalam waktu dekat ini akan menjalin kerja sama dengan pihak Dinas Pertanian, terutama untuk menyelenggarakan berbagai training (pelatihan) dalam mempersiapkan SDM yang mempunyai keterampilan untuk beternak ikan dan sapi. Di mana, peserta pelatihan ini direkrut dari siswa/siswi kelas III Madrasah Aliyah 05 Sekampung, sebagai paket program PKL (Praktek Kerja lapangan).
Maraji’
DESENTRALISASI PENDIDIKAN: MENUJU PENDIDIKAN DEMOKRATIS Oleh Ahmad el Chumaedy Maraknya wacana segar seputar pendidikan dewasa ini, baik menyangkut konstruksi paradigmatik, aspek pengelolaannya, atau pun pada aspek didaktik-metodiknya, dapat dibaca sebagai gejala munculnya kesadaran kolektif (collective consciosness) masyarakat kita terhadap keterpurukan yang menimpa dunia pendidikan nasional selama ini. Pendidikan, sebagai salah satu pranata sosial terpenting yang (seharusnya) ditempatkan secara independen, di era pra-reformasi, terutama dalam penguasaan rezim totalitarianisme Orde Baru, dalam banyak hal mengalami proses pemandulan—meminjam istilah Max Weber—rasionalitas nilai (zwechrationalitaat) dan fungsi strategisnya di tengah masyarakat. Nilai fungsional yang seharusnya dilahirkan dari pendidikan, berupa humanisasi warga negara, tidak jarang dibelokkan ke arah sebuah proses ideologisasi, hegemonisasi, dan instrumentalisasi peserta didik. Sementara pada sisi lain, rigiditas yang ditampilkan birokrasi pendidikan (educational bireoucracy), juga banyak menyumbang terhadap adanya pembelengguan kreativitas dan kebebasan peserta didik dalam mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya. Sehingga, setelah sekian lama berjalan, pendidikan bukannya malah mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi malah menggiring peserta didik yang nota bene merupakan warga negara ke dalam kepatuhan semu terhadap penguasa yang amat sangat tidak mencerdaskan dan tidak membebaskan. Itulah sebabnya, kenapa lalu pendidikan di republik ini tidak mampu menciptakan sejatinya manusia Indonesia, sebagaimana diamanatkan UUD ’45. Bukti distorsi terhadap dunia pendidikan, misalnya, dapat dilihat dari realitas pranata pendidikan yang sering kali ditunggangi kepentingan politik (political interest) untuk langgengnya kekuasaan. Untuk sekedar melongok sejarah, di masa ORBA, penguasa telah secara sistematis merancang skenario kolosal yang diproyeksikan untuk mencetak peserta didik (baca: warga negara) dengan paket mentalitas yang tidak bebas, yaitu dengan terus mengkondisikan masyarakat ke dalam konstruksi budaya diam (culture
of silence). Akibatnya, rendahnya kualitas pendidikan selama ini, pada taraf tertentu (sesungguhnya) bukan karena sistem pendidikan yang diterapkan selama ini tidak benar, melainkan ada campur tangan penguasa dalam sistem pendidikan itu sendiri. Sebab, kalau yang menjadi takaran kualitas adalah sistem pendidikan dalam pengertian mikro, yang di dalamnya memuat perangkat-perangkat pendidikan (educational braiware, software and hardware). Maka, betapa tidak pernah akan terlahir figur-figur besar berkaliber dunia, seperti Imam Nawawi al-Bantani (w. 676 H/1277 M) di bumi pertiwi ini. Dengan demikian, inefektivitas dan inefisiensi sistem pendidikan yang selama ini diterapkan, sama sekali bukan karena sistemnya yang salah, melainkan justru kesalahan terletak pada aktor-aktor pelaksana sistem itu sendiri, yang secara sengaja ataupun tidak telah tertundukkan oleh hegemoni dan kooptasi penguasa. Kesuksesan yang dicapai pada masa ORBA dalam menerapkan WAJAR (Wajib Belajar) 9 tahun, sebagai kompromi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Mendiknas) dengan Menteri Agama—kalau dilihat dari cara pandang ini, (sesungguhnya) tidak lebih sekedar kesuksesan semu dalam dunia pendidikan kita. Sebab, prestasi dalam proses pemerataan pendidikan, acap kali tidak dijadikan sebagai prioritas utama pembangunan, terutama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan peningkatan kualitas SDM (human resources), tapi lebih sebagai instrumen pendukung untuk melegitimasi langgengnya suatu rezim, tepatnya rezim ORBA. Banyak orang menyayangkan, kenapa kesadaran seperti itu baru mengemuka sekarang-sekarang ini. Perhatian serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan baru muncul setelah bangsa ini kadung terpelanting ke dalam kubangan krisis multidimensional. Dalam amatan sosiologis, menyeruaknya kesadaran untuk membenahi dunia pendidikan nasional, sekurang-kurangnya disebabkan karena dua faktor. Pertama, krisis moneter pada medio 1997-an, telah menggiring bangsa ini ke dalam lembah krisis multidimensional, termasuk yang paling parah adalah kuatnya gejala degradasi moral di tengah masyarakat. Ini membuktikan, bahwa sistem pendidikan selama ini—diakui ataupun tidak—telah gagal menjalankan fungsi kebudayaannya yang paling penting, yaitu sebagai media transmisi, internalisasi dan pewarisan nilai-nilai yang berakar, baik dari kearifan kultural maupun nilai-nilai religiousitas bangsa. Kedua, lemahnya suprastruktur ekonomi, budaya dan politik yang menyebabkan kendornya ‘berganing position’ dalam interaksi dengan negara-negara lain (baca: globalisasi). Sehingga, amat diinsafi bahwa jalan satu-satunya untuk bisa tetap ‘survive’ dalam memasuki ruang kontestasi dengan negara-negara lain, hanya melalui peningkatan sumber daya
manusia (human resources). Upaya ke arah itu tentu saja dilakukan dengan melalui peningkatan mutu pendidikan nasional. Oleh karena itu, seiring dengan lengsernya sentrum kekuasaan ORBA di bawah bayang-bayang Soeharto pada Mei 1998 silam, dalam waktu yang tidak lama, secara spontan menyemarakkan bursa wacana pendidikan yang tumbuh subur, bak jamur di musim hujan. Pendidikan, dalam banyak hal selalu berkorespondensi dengan pelbagai sektor kehidupan. Sehingga, diskusi seputar wacana pendidikan pun praktis tidak luput dari analisis bidang-bidang lainnya. Tema sentral seiring diberlakukannya Otonomi Daerah (selanjutnya baca: OTDA), menandai pergeseran penting dalam sistem pemerintahan di negeri ini, yaitu lahirnya produk konstitusi, berupa UU No. 22 dan 25 tahun 1999. “Merayakan kembali lokalitas dan ‘menyantuni’ periferal”, itulah barangkali sepenggal ungkapan yang mewakili istilah “desentralisasi”, sebagai sistem baru yang menggaransi dekonsentrasi kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (baca: kabupaten/kota). Penentuan kebijakan pada semua aspek pembangunan, tidak hanya, bahkan tidak bisa hanya diambil oleh pemerintah pusat secara serampangan, melainkan dalam banyak hal justru secara otomatis menjadi kewenangan pemerintah kabupaten atau kota. Nah, ini juga yang berlaku pada aspek pendidikan. Dalam konteks desentralisasi pendidikan, penentuan kebijakan bukan lagi menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah pusat, melainkan lebih menjadi kewenangan pemerintah kabupaten atau kota. Sekalipun dalam hal tertentu, pemerintah pusat masih memberlakukan standardisasi kurikulum nasional. Dengan begitu, desentralisasi yang terjadi pada level pemerintahan, pada saat yang sama juga berpenetrasi ke dalam sektor pendidikan. Buku Desentralisasi Pendidikan yang diterjemahkan dari judul aslinya, “Decentrelization of Education: Whay, When, What and How”, karya N. McGinn dan T. Welsh, banyak menelanjangi substansi dan banyak hal lain menyangkut desentralisasi yang terjadi dibeberapa negara dalam beberapa dekade belakangan. Desentralisasi merupakan fenomena paling penting yang mempengaruhi perencanaan pendidikan dalam lima belas tahun terakhir. Dalam banyak hal, desentralisasi merupakan hasil proses demokratisasi politik, di mana rakyat diajak bicara dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan langsung dengan hajat hidup mereka. Sementara itu, dalam konteks pendidikan, seperti ditegaskan Francoise Caillods—seorang coGeneral Editor dalam penerbitan buku-buku yang mengangkat isu
pendidikan mutakhir—pada saat birokrasi negara tampak lamban dan tidak lincah, di mana birokrasi terbukti tidak mampu mengatasi persoalan persebaran guru, gaji guru, pembelian dan distribusi material serta peralatan kantor atau pemeliharaan bangunan, maka desentralisasi kelihatannya menjadi solusi. Sebab, ia memungkinkan dilakukannya identifikasi masalah secara lebih cepat dan pencarian tanggapan secara lebih tepat (hlm. xi). Dalam cermatan penulis buku ini, meningkatnya minat terhadap desentralisasi yang dimulai sekitar 1970-an, sekurang-kurangnya disebabkan karena tiga faktor (hlm: 18-19). Pertama, perdebatan ekonomi-politik pada 1970-an dan 1980-an, mengakibatkan disintegrasi antara ‘konsensus Keinesian’ Barat dengan pendukung pemerintahan sentralistik yang kuat. Hal serupa terjadi juga di Rusia dan Eropa Timur. Sehingga, pada gilirannya perdebatan itu menghasilkan suatu reformulasi dan pengurangan peran pemerintah pusat serta meningkatnya peran pasar. Kondisi ini lalu menandai munculnya paradigma ekonomi-politik baru dalam hubungan antara pemerintah dengan pasar. Sebab, globalisasi dan keuangan berdampak pada semakin lemahnya pemerintah pusat di hadapan pasar global. Di satu pihak, organisasi-organisasi supranasional telah mengurangi kedaulatan nasional. Sementara di pihak lain, pergeseran ke arah pengambilan keputusan berbasis pasar telah memperkuat kelompokkelompok lokal. Faktor kedua adalah, dalam beberapa dekade terakhir muncul desakan untuk menggandakan sistem pendidikan dan membludaknya pendaftaran siswa-siswa baru. Sehingga, dengan meningkatnya kuantitas guru dan siswa telah memaksa kapasitas birokrasi yang sentralistik untuk memelihara mutu. Ketidakmampuan sistem sentralistik untuk melahirkan mutu yang baik, menimbulkan ketidakpuasan publik, sehingga mengakibatkan munculnya tekanan untuk menggeser pengambilan keputusan ke kelompokkelompok lokal. Pada akhirnya, munculnya tekhnologi komunikasi dan informasi baru, menjadi faktor yang tidak kalah penting yang mendesak untuk diberlakukannya desentralisasi pendidikan. Faktor terakhir ini memungkinkan untuk mencapai tingkat kontrol yang tinggi atas sistem, terutama dengan manajemen desentralisasi. Ia merupakan paradigma baru yang menekankan perhatian bukan pada input, melainkan pada output. Di samping, penerapan paradigma ini telah memperkuat kapasitas lokal dalam pengambilan keputusan. Desentralisasi pendidikan yang terjadi di negeri ini secara konstitusional dibuktikan dengan diorbitkannya produk undang-undang OTDA. Perangkat
perundang-undangan tersebut melegitimasi pengelolaan pendidikan secara mandiri oleh masing-masing daerah (baca: kabupaten/kota). Pada saat yang sama, sekolah (school based management) dan bahkan masyarakat (community based education) sendiri, memiliki keleluasaan dalam mengelola pendidikan secara mandiri, baik menyangkut manajemen, operasional, pemenuhan kebutuhan anggaran finansial, ataupun kontrol yang secara leluasa dapat dilakukan oleh pemerintah daerah, bekerja sama dengan stakeholders setempat. Sehingga, dibentuknya komite pendidikan pada level daerah (kabupaten/kota) dan dewan sekolah pada level institusi pendidikan, menjadi hal yang mutlak diperlukan. Diterapkannya desentralisasi pendidikan sekurang-kurangnya akan memberikan dua keuntungan bagi daerah, terutama masyarakat setempat di mana pendidikan di selenggarakan. Pertama, penerapan desentralisasi pendidikan secara konsekuen dalam konteks desain kurikulum (sesungguhnya) semakin membuka ruang bagi masuknya muatan-muatan lokal (mulok). Sehingga, pada tataran praktis, akan terjalin link and mact antara mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan real di masyarakat. Persoalan yang cukup serius bagi pendidikan kita secara umum adalah, bahwa selama ini lembaga-lembaga pendidikan selalu tertinggal jauh dengan dunia luar. Materi yang diajarkan di sekolah seringkali ahistoris dengan fakta yang mengemuka di tengah masyarakat. Sehingga kondisi ini menyebabkan ketidaksiapan peserta didik ketika berhadapan dengan realitas di masyarakat. Ini merupakan tantangan serius bagi pendidikan kita. Sejauh mana rancangan kurikulum yang diterapkan, mempunyai rantai hubung dan berkorespondensi dengan kenyataan obyektif di masyarakat. Kedua, dengan diterapkannya desentralisasi, pendidikan dilaksanakan bukan untuk memenuhi kehendak pemerintah pusat (top-down), sehingga berdampak pada rancangan kurikulum yang disamaratakan antara satu daerah dengan daerah lainnya, melainkan untuk memenuhi kebutuhan daerah, terutama kehendak stakleholders di daerah tersebut. Dalam pandangan N. McGinn dan T.Welsh, desentralisasi adalah suatu metode utama bagi keterlibatan stakeholders. Dengan begitu, proses desain kurikulum meniscayakan adanya keterlibatan, bukan hanya pemegang kebijakan, atau dalam hal ini pemerintah daerah (kabupaten/kota), melainkan yang paling penting adalah keterlibatan stakeholders, sekalipun tidak harus mempunyai intensitas keterlibatan yang sama antara satu dengan yang lainnya (hlm. 87). Pada intinya, di setiap pengambilan kebijakan, termasuk di dalamnya kontrol terhadap perkembangan pendidikan, stakeholders selalu ditempatkan sebagai sekumpulan orang yang berpartisipasi aktif. Hal ini sebetulnya menguntungkan pihak pengambil kebijakan (decision maker)—
dalam hal ini pemerintah daerah dan sekolah—dalam setiap pemberlakuan kebijakan pendidikan. Sebab, keterlibatan stakeholders dalam setiap pengambilan kebijakan, secara otomatis akan meningkatkan legitimasi politik dan dukungan terhadap produk kebijakan itu sendiri dari stakeholders atau masyarakat secara umum.
Maraji’ REINVENTING SISTEM PENDIDIKAN: Mencipta Sekolah Efektif
Oleh Didi Ahmadi
Prihatin adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan situasi Indonesia selama kurang lebih tujuh tahun terakhir. Apa pasal? Krisis multi dimensi yang dahsyat mendera tubuh Indonesia kian hari dirasa kian akut, tak kunjung menemukan solusi akurat dengan tanpa disertai efek turunan sebagai penambah daftar panjang masalah. Sistem—baik yang sudah tersedia ataupun yang baru diciptakan—yang coba diterapkan sebagai tatanan hidup menyeluruh bangsa ternyata tidak ampuh menangkalnya. Berbagai “eksperimen” pun dilakukan oleh pemimpin yang gonta-ganti menjadi nahkoda bahtera Indonesia. Pemimpin terus berganti namun krisis tak kunjung usai, apalagi terhapus tuntas sampai akar-akarnya. Apakah hal ini karena pemimpin kita yang kurang memiliki visi dan manajerial yang mumpuni? atau karena memang sistem kita yang kadung dipenuhi oleh virus pembusuk yang tidak lagi ada obat penawarnya? Pergantian generasi yang diharapkan menjadi solusi atas krisis, ternyata tidak bisa diandalkan. Pergantian generasi malah hanya mendaftar generasi baru yang melanggengkan—bukannya mengurangi—kualitas krisis. Apa yang salah dengan pergantian generasi kita? Mutu generasi baru bisa diukur dari sejauh mana keberhasilan dunia pendidikan yang mengkonstruk paradigma berpikir dan berkreasi mereka. Jika demikian, kita bisa melacak lebih jauh persoalan krisis ini dari dunia pendidikan sebagai wadah penempaan generasi baru kita. Pertanyaannya, ada apa dengan pendidikan Indonesia? Kok generasi yang diciptakannya tidak bisa memenuhi tuntutan paling fundamental negara kita sekarang ini? Apakah pendidikan kita selama ini telah berjalan pada rel yang salah? Atau memang generasi baru kita yang cenderung membebek pada budaya konsumerisme, hedonisme, melulu menikmati kesenangan dan kebebasan tanpa kontrol, lupa akan jati diri dan
tanggung jawabnya? Generasi yang hanya memikirkan trend, atau hanya larut dalam budaya massa (mass culture) yang dalam bahasa Heidegger (filsuf kontemporer Jerman) disebut das Man (ikut-ikutan dengan orang kebanyakan). Sebuah generasi yang pada akhirnya melulu berkonsentrasi pada tampakan luar tanpa memikirkan sisi dalamnya. Pendidikan yang selama ini dipraktekkan di Indonesia menggunakan sistem yang sentralistik. Seluruh kebijakan dan rancangan praksis pendidikan dibuat secara terpusat. Padahal kita sama-sama mafhum bahwa Indonesia adalah negara yang amat banyak memiliki ragam kultur yang masing-masing memiliki keunikan (uniqueness) tersendiri. Dengan demikian, perlakuan terhadap kultur-kultur ini tidak bisa begitu saja digeneralisasi. Usaha melakukan hal ini hanya akan berimbas pada reduksi, dan pada akhirnya yang terjadi adalah alih-alih pendidikan yang kita laksanakan mencerdaskan bangsa, ia justru lebih tampil sebagai bentuk kepatuhan semu, sebuah bentuk pengeringan hati nurani dan kompetensi kreatif masing-masing peserta didiknya. Melihat hal ini, amat wajar jika krisis yang melingkupi keseharian kita tak pernah dapat diselesaikan secara tuntas (minimal sampai tujuh tahun terakhir ini), karena kita tidak pernah menyiapkan dan mencetak generasi kita secara serius, terrencana dan terukur. Optimisme akan keberhasilan dunia pendidikan kita kembali mendapat sinar terangnya seiring diberlakukannya UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (OTDA). Dengan diberlakukannya UU ini, secara otomatis akan merombak seluruh sistem, khususnya mengenai hubungan pusat dan daerah. Seluruh kebijakan tidak lagi diatur secara sentralistik, tetapi justru sebaliknya Indonesia mengalami desentralisasi. Semua hal yang menyangkut urusan daerah diputuskan dan dilaksanakan secara otonom oleh daerah masing-masing. Demikian halnya juga dalam kebijakan dan rancangan praksis pendidikan, semua hal dalam bidang ini akan dilakukan secara otonom melalui kebijakan pemerintah daerah bekerjasama dengan seluruh stakeholders lainnya. Pendidikan kemudian mengalami desentralisasi. Apakah dengan demikian pendidikan kita akan secara otomatis memperoleh keberhasilannya dan pada akhirnya dapat mengentaskan Indonesia dari keterpurukan krisis? Tidak semudah itu tentunya. Pendidikannya sudah mengalami desentralisasi (pelaksanaan pendidikan akan lebih kontekstual dengan kebutuhan masing-masing daerah), namun jika struktur, manajemen, kurikulum, biaya dan pendanaan, teknik-teknik dan pendekatan perencanaan, sistem informasi, monitoring dan evaluasi pendidikannya tidak diperbaharui, masih amat sulitlah untuk bisa merealisasikan cita-cita besar (idealisasi) yang diharapkan atas dunia pendidikan kita.
Kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi oleh dunia pendidikan kita adalah pembaharuan pada berbagai macam perangkat lunak (software) sebagaimana disebutkan di atas. Dengan memperbaharui hal-hal ini, diharapkan kebobrokan dan segala kekurangan dalam dunia pendidikan kita yang menganga selama ini dapat diatasi. Tuntutannya adalah kemandirian dunia pendidikan (dalam hal ini sekolah), meningkatkan partisipasi pemerintah, pimpinan sekolah, tenaga pendidik, peserta didik, dan masyarakat sekitar dalam kesuksesan proses pendidikan. Dengan ini kemudian diharapkan tercipta sebuah sekolah yang efektif. Sebuah sekolah yang bisa membekali peserta didiknya dengan kecerdasan, aneka kompetensi, dan kearifan moral. Seiring dengan niat pemerintah dalam memajukan dunia pendidikan, maka perlu diadakan perombakan terhadap sistem pendidikan yang selama ini “tidak dapat membuktikan keberhasilannya” (meski ini bukan alternatif satu-satunya). Pemerintah pun kemudian melakukan berbagai upaya strategis melalui desentralisasi pendidikan, implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan lain sebagainya. Bersamaan dengan ini kemudian membanjirlah buku-buku sebagai tuntunan (teoritis ataupun praksis) atas program pemerintah tersebut. Salah satu buku yang paling menarik adalah buku karangan Jaap Scheerens, Improofing School Effectiveness, UNESCO, 2000, yang dalam edisi Indonesianya diterbitkan oleh Logos, pada bulan Agustus 2003, dengan judul Menjadikan Sekolah efektif. Buku ini sendiri telah diedit oleh tim ahli dari International Institute for Educational Planning (IIEP), sebuah lembaga khusus perencanaan pendidikan di bawah naungan UNESCO. Penerbitannya sengaja didesain untuk memberikan tuntunan perencanaan pendidikan baik di negara yang sedang berkembang (seperti Indonesia) ataupun negara yang sudah maju. Secara eksplisit buku ini bertujuan untuk menyediakan dasar konseptual guna mendefinisikan efektivitas sekolah, menggambarkan variabel tingkat sekolah dan kelas yang diharapkan ‘bekerja’ dalam pendidikan yang tercermin pada bagaimana cara agar kebijakan bisa meningkatkan efektivitas sekolah, menelaah bukti penelitian yang ada berkenaan dengan hubungan antara kondisi perangkat lunak tertentu dengan prestasi pendidikan, menggambarkan model-model teoritis yang digunakan untuk menjelaskan mengapa faktor-faktor tertentu harus bekerja serta melihat model-model mana saja yang bisa menghasilkan pengaruh yang dapat dipraktekkan untuk meningkatkan efektivitas sekolah, dan menunjukkan penerapan praktis dasar pengetahuan efektivitas sekolah bagi para perancang pendidikan.
Efektivitas sekolah adalah sebuah konsep yang sulit diterjemahkan. Begitu didefinisikan, sifat alamiah konsep ini sulit diukur. Ia sendiri tidak memiliki ukuran yang absolut, ukurannya selalu relatif. Paling jelas ia bisa diukur dari pencapaian tujuan (goal attainment)-nya. Sejauh mana tujuan penyelenggaraan pendidikan itu bisa dicapai, sejauh itu pulalah kita bisa mengidentifikasi efektivitas sebuah sekolah. Penulis buku Menjadikan Sekolah Efektif ini menggunakan pisau analisa teori (efektivitas) organisasi guna mencapai efektivitas sekolah. Titik tekannya adalah pada paradigma rasionalitas. Inti dari teori ini sendiri yaitu tentang perencanaan dan pembuatan kebijakan publik. Bagi teori ini, orientasi tujuan, optimalisasi sarana, penyelarasan pilihan individu dan tujuan organisasi adalah hal yang mutlak harus diperhatikan bahkan diutamakan. Tujuan, dalam konteks paradigma rasionalitas, adalah hal yang paling utama yang akan digunakan sebagai barometer efektivitas sebuah sekolah. Untuk mencapai hal inilah sebuah sekolah mengerahkan seluruh potensinya. Salah satunya dengan pemanfaatan optimal sarana-sarana yang dimiliki (tidak terbatas pada kelengkapan sarana fisik), tentunya juga dengan pengoptimalan sub unit-sub unit dari struktur sekolah, kondusifitas kultur dan lingkungan sekolah setempat, serta kondusifitas proses sekolah itu sendiri (menyangkut sistem pengajaran, kurikulum, kontrol dan evaluasi). Pertanyaan yang kemudian hadir, dalam konteks pembuatan kebijakan, adalah misalnya berdasarkan pada kondisi kultural, struktural dan kebijakan secara keseluruhan, harus diputuskan, apakah model-model yang menentukan peningkatan efektivitas pendidikan di sekolah, diserahkan sepenuhnya secara ‘’bebas” ke sekolah itu sendiri? Atau apakah langkahlangkah dorongan pusat (pemerintah setempat) lebih baik? Hal ini harus diperhatikan, terlebih dalam konteks Indonesia dimana sekolah-sekolah belum sepenuhnya bisa otonom dari campur tangan pemerintah. Bahkan dikhawatirkan justru jika pemerintah melepaskan seluruhnya kebijakan pendidikan kepada sekolah masing-masing, sementara ia belum memiliki konsep dan rancangan yang jelas tentang arah pendidikan yang akan dikembangkan, malah membuat ‘kehancuran’ bagi sekolah itu sendiri. Kehancuran bagi dunia pendidikan. Dalam analisa Scheerens, penulis buku ini, paradigma rasionalitas sebagai upaya menuju efektivitas sekolah yang ditawarkannya bersendikan pada tiga prinsip yaitu: perencanaan synoptic dan struktur formal, penyejajaran tujuan individu dan organisasi (sekolah) dengan menciptakan kondisi pasar, dan perencanaan retroactive dengan menggunakan evaluasi dan umpan balik yang sesuai. Perencanaan synoptic yang dibangun oleh penulis, mendasarkan teorinya pada teori rasionalisasi Max Weber, terutama dalam teorinya tentang
birokrasi. Weber menyatakan bahwa prinsip birokrasi merupakan “suatu format organisasi yang menekankan pada ketepatan, kecepatan, kejelasan, keteraturan, keandalan, dan efisiensi yang dicapai melalui penciptaan suatu pembagian tugas yang ditetapkan, pengawasan hirarkis, serta peraturan yang terperinci”. Penerapan prinsip ini dalam dunia pendidikan akan memiliki karakter utama berupa campuran unsur-unsur baik berdasarkan prinsip birokratis-mekanistik maupun unsur-unsur yang sesuai dengan gambaran organisasi yang lebih ‘kultural’, organis, dan partisipatoris. Di satu sisi , kekakuan aspek birokratis-mekanistik untuk menciptakan kedisiplinan, keteraturan, keandalan dan efisiensi diterapkan. Sementara pada sisi yang lain, keluwesan dari partisipasi seluruh unsur stakeholders dalam penyuksesan pendidikan juga diakomodasi. Gabungan dua prinsip yang seolah-olah berseberangan inilah yang diharapkan akan menciptakan sebuah sekolah yang efektif sekaligus efisien. Perencanaan kedua yang diproposalkan oleh penulis adalah penyejajaran rasionalitas (kepentingan, tujuan) individu dan organisasi. Perencanaan model ini memiliki dasar teoritisnya pada teori pilihan publik dengan menciptakan mekanisme pasar yang mampu menggantikan kontrol administratif. Dalam mekanisme pasar, konsumen (dalam hal ini publik yang sedang memilih model pendidikan) diberi kebebasan penuh dalam penentuan pilihannya. Sementara pasar sendiri akan secara otomatis menjalankan fungsi selektif dan fungsi kontrol-nya. Mekanisme pasar pada satu sisi menyediakan kebebasan memilih bagi orang tua (atau publik pada umumnya) untuk jenis pendidikan yang diinginkan bagi anaknya, sebagai calon peserta didik, sementara pada sisi yang lain, pihak sekolah juga memiliki kebebasan untuk memilih dan menyeleksi calon peserta didiknya. Implikasi dari hal ini adalah akan terjadinya sebuah persaingan yang amat ketat antar sekolah. Sekolah-sekolah akan mempercanggih sistem dan segala perangkat pendidikannya untuk menyajikan pendidikan yang kompetititif (dengan segala kemajuan dan keunggulan yang ditawarkan) demi kepuasan publik pendidikan. Akan muncullah sekolah-sekolah yang dihuni oleh peserta didik unggulan (memiliki basic di atas rata-rata), sekolah-sekolah dengan peserta didik berkemampuan menengah, dan sekolah-sekolah dengan peserta didik dimana kemampuan umum peserta didiknya di bawah kemampuan rata-rata. Dengan melihat kemungkinankemungkinan di atas, maka bukan suatu hal yang mustahil akan muncul sekolah-sekolah yang efektif, meskipun pada saat yang sama juga masih terdapat sekolah yang kemampuannya “pas-pasan”, kalau bukan malah kurang. Sedangkan model perencanaan terakhir yang diusulkan adalah perencanaan retroactice. Menurut hemat penulis buku ini, perencanaan retroactive tidak
terlalu banyak meminta tuntutan sebagaimana dalam model perencanaan synoptic, sehingga dirasa lebih ringan. Dalam upayanya menuju efektivitas sekolah, perencanaan model ini, lebih mendasarkan pada evaluasi dan umpan balik (fead back) yang sesuai bagi para peserta didik atau orang tua, dan masyarakat pada umumnya sebagai stakeholders yang bersama lembaga sekolah berpartisipasi dalam menuju kesuksesan pendidikan. Perencanaan model ini akan bekerja secara intensif dengan mengumpulkan informasi bagi aspek-aspek kunci berfungsinya organisasi (sekolah). Setelah informasi ini didapatkan, kemudian diolah dan selanjutnya dipergunakan sebagai bahan evaluasi, kebijakan yang akan dikeluarkan sebagai umpan balik (baik kognitif yang akan merangsang pembelajaran maupun motivasional dengan memberikan insentif) dan tindakan korektif untuk kesempurnaan seutuhnya. Sebuah proses yang berjalan secara dialektis. Dengan tesis dan antitesis yang berjalan silih-berganti, diharapkan pada titik tertentu akan menemukan sebuah kesempurnaan, yaitu efektifitas sekolah. Di atas segalanya, kehadiran buku ini amat membantu bagi para praktisi pendidikan dan pemegang kebijakan khususnya, atau bagi masyarakat pada umumnya dalam upaya memformulasikan model pendidikan yang akan dikembangkan. Dengan paparan teori dan contoh-contoh praktis hasil penelitian dari beberapa negara, diharapkan perencanaan pendidikan tidak lagi dilakukan secara serampangan, tanpa arah dan tujuan yang jelas. Terlebih lagi di tengah kesempatan dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah oleh pemerintah pusat. Pendidikan sudah seharusnya dikelola secara profesional dan terrencana oleh pemerintah daerah setempat dengan segenap perangkat stakeholdersnya. Dengan ini, tentunya diharapkan akan tercipta sebuah sistem dan lembaga pendidikan (sekolahsekolah) yang efektif, dan pada akhirnya tercipta sebuah generasi yang memiliki kecerdasan, kompetensi praktis, dan kearifan moral yang akan segera mengentaskan keterpurukan bangsa.