MAKALAH SISTEM INTEGUMEN GANGGUAN INTEGUMEN AKIBAT INFEKSI BAKTERI (KUSTA)
DI SUSUN OLEH
KELOMPOK IV 1. 2. 3. 4. 5.
PRAMANDA RITA NOVITA RONI APRIADI SOFIANA RAHMANI SRI WAHYU NINGSIH
6. 7. 8. 9.
SUCIYATI RAHMADANI SUPARJO TOTO ERIANTO TAUFIQUR RAHMAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM 2014 i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan cinta kasih, rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan kusta Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas matakuliah sistem integumen. Kami harapkan pengetahuan kami mengenai kesehatan dalam kerja Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya penyusunan makalah ini terutama kepada: 1. Penanggung jawab Matakuliah sistem integumen serta team dosen yang telah memberikan bimbingan dan arahannya kepada kami 2. Orangtua kami yang senantiasa memberikan dorongan, semangat dan restu sehingga makalah ini dapat disusun dengan lancar 3. Teman-teman yang telah memberikan masukan dan semangat kepada kami
Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan makalah yang kami susun. Oleh karena itu, kritis dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi perbaikan untuk tugas-tugas berikutnya.
Mataram,6 Mei 2014 Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAM JUDAL ...............................................................................................................
i
KATA PENGHANTAR ....................................................................................................
ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................
iii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................................
1
A. Latar Belakang .......................................................................................................
1
B. Tujuan Masalah .....................................................................................................
1
C. Rumusan Masalah ..................................................................................................
2
BAB II : PEMBAHASAN .................................................................................................
2
A. Pengertian Penyakit Kusta………...........................................................................
3
B. Epidemiologi Penyakit Kusta ..................................................................................
3
C. Konsep Diagnosa …………………………… .......................................................
4
D. Konsep Pencegahan Penyakit Kusta…....................................................................
9
E. Konsep Terapi………………………………………………………......................
11
F. Konsep asuhan keperawatan kusta .........................................................................
12
BAB III : PENUTUP...........................................................................................................
19
A. Kesimpulan ..............................................................................................................
19
B. Saran ……………....................................................................................................
19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................
20
iii
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Konon penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India pada 1995 organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan dibelahan dunia seperti India dan Vietnam. Pengobatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940-an dengan diperkenalkanya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar, hal ini terjadi hingga ditemukan pengobatan multi obat pada awal 1980-an dan penyakit inipun mampu ditangani kembali. Maka dari itu, penulis membuat makalah yang berjudul “Penyakit Kusta (Morbus Hansen) dan Asuhan Keperawatannya” dimaksudkan agar kita selaku tenaga kesehatan mengetahui apa itu penyakit kusta, penularan, bagaimana pencegahannya dan asuhan keperawatannya.
B. Tujuan Masalah Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut : a. Untuk menjelaskan definisi kusta. b. Untuk menjelaskan bagaimanakah klasifikasi kusta. c. Untuk menjelaskan bagaimanakah etiologi kusta. d. Untuk menjelaskan bagaimanakah patofisiologi kusta. e. Untuk menjelaskan bagaimanakah manifestasi klinis kusta. f. Untuk menjelaskan bagaimanakah konsep pencegahan kusta. g. Untuk menjelaskan bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien kusta.
1
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah konsep dasar askep kusta
2
BAB II PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1. Definisi Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mikobakterium Leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998) Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae (Mansjoer Arif, 2000). Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( Djuanda: 4, 1997 ). Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003) 2. Etiologi Mikobakterium Leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.
3
3. Epidemiologi Penyakit Kusta Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah: a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam. b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang. Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yng penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-penyaki terinfeksi lainnya. Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka. Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mycrobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah : Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa. Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti. Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti. Kesadaran social : Umumnya
negara-negara
endemis
kusta
adalah
negara
dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat.
4
NURSING PATHWAY KUSTA Mycobacterium Leprae
Masuk ke dalam tubuh
Imunitas tinggi
Imunitas rendah
Tipe tuberkoloid
Tipe Lepramatosa
Saraf Sensoris
saraf motorik
mati rasa
kelumpuhan
lesi pd kulit
ggn mobilitas fisik
saraf otonom
kelemahan
intoleransi aktivitas
menyerang kulit & mukosa hidung
kulit kering
proses inflamasi
kerusakan kulit integritas kulit lesi pada kulit
sulit melakukan daily activity
hidung
kerusakan tulang rawan
nyeri hidung gangguan konsep diri kemerahan gangguan citra tubuh
4. Manifestasi Klinis Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut: a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas 5
pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot b. BTA positif. Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
5. Klasifikasi No. 1.
Kelainan kulit & hasil
Pause Basiler
Multiple Basiler
1-5
Banyak
jumlah
Kecil dan besar
Kecil-kecil
ukuran
Unilateral
pemeriksaan Bercak (makula)
distribusi
atau Bilateral, simetris
bilateral asimetris
Konsistensi batas
Kering dan kasar
Kurang tegas
kehilangan rasa pada Tegas bercak kehilangan
Halus, berkilat Biasanya tidak jelas,
Selalu ada dan jelas
jika ada terjadi pada
Bercak
yang sudah lanjut
tidak
berkemampuan
berkeringat, ada bulu Bercak
berkeringat,berbulu
rontok pada bercak
berkeringat,
rontok pada bercak
2.
Infiltrat
Kulit
bulu
tidak rontok
Tidak ada
Ada,kadang-kadang tidak ada
membrana
mukosa tersumbat
masih
Tidak pernah ada
perdarahan
Ada,kadang-kadang tidak ada
dihidung 3.
punched outlession
Ciri hidung ”central
healing”
penyembuhan ditengah
medarosis ginecomastia hidung pelana
6
suara sengau 4.
Nodulus
Tidak ada
5.
Penebalan saraf tepi
Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang lanjut asimetris
Kadang-kadang ada
biasanya lebih dari 1 dan simetris
6.
7.
Deformitas cacat
Apusan
Biasanya asimetris terjadi Terjadi
pada
dini
lanjut
BTA negatif
BTA positif
stadium
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup dibedakan atas dua jenis yaitu: 1) Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid) Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi. Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas. Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah. Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi. 2) Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa) Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain. Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta. Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung 7
yang sebesar di badan, muka dan daun telinga. Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit. Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina). Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
6. Patogenesis Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.
7. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut: 1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif. 2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain. 3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul. 4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah: 8
Cuping telinga kiri atau kanan.
Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain.
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
Tidak menyenangkan pasien.
Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta.
Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangka kuman resisten terhadap obat.
Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali.
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett. 8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps. Indeks Bakteri (IB): Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut: 0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang 1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang 2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang 3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 9
5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.
8. Konsep Pencegahan Penyakit Kusta 1) Pencegahan Primer Pencegahan primer dapat dilakukan dengan : a. Penyuluhan kesehatan Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006) b. Pemberian imunisasi Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda
pemberian vaksinasi BCG tersebut
(Depkes RI, 2006).
10
2) Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan : Pengobatan pada penderita kusta Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006). 3) Pencegahan Tersier a. Pencegahan cacat kusta Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) : Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.Rehabilitasi kusta b. Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi : Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur. Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan. Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.
11
Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada tangan. Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.
9. Terapi 1. Terapi Medik Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut: a) Tipe PB ( PAUSE BASILER) Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa : Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan. b) Tipe MB ( MULTI BASILER) Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO
12
(1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT. c) Dosis untuk anak Klofazimin: Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian 50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:1015mg/Kg BB d) Pengobatan MDT terbaru Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam. e) Putus obat Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya. 10. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a) Identitas pasien Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah. b) Riwayat penyakit sekarang Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.
13
c) Riwayat kesehatan masa lalu Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi. d) Riwayat kesehatan keluarga Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular. e) Riwayat psikososial Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. f) Pola aktivitas sehari-hari Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan g) Pemeriksaan fisik Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik. -
Sistem penglihatan Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
-
Sistem pernafasan
14
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan. -
Sistem persarafan a. Kerusakan fungsi sensorik Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip. b. Kerusakan fungsi motorik Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos). c. Kerusakan fungsi otonom Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
-
Sistem muskuloskeletal Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
-
Sistem integumen Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerahmerahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
2. Diagnosa 1) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi. 2) Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan 3) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik. 15
4) Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.
3. Intervensi NO Diagnosa
Tujuan dan kreteria
Intervensi 1. Kaji/ catat warna
Rasional
Diagnosa
Setelah dilakukan
I
tindakan keperawatan
lesi,perhatikan jika
inflamasi dasar
proses inflamasi berhenti
ada jaringan
tentang terjadi
dan berangsur-angsur
nekrotik dan kondisi
proses inflamasi
sembuh.
sekitar luka.
dan atau
2. Berikan perawatan Kriteria : 1. Menunjukkan regenerasi jaringan
1. Memberikan
mengenai
khusus pada daerah
sirkulasi daerah
yang terjadi
yang terdapat lesi
inflamasi
2. Menurunkan terjadinya
2. Mencapai
penyebaran
penyembuhan tepat
inflamasi pada
waktu pada lesi
jaringan sekitar
. 3. Evaluasi warna lesi
3. Mengevaluasi
dan jaringan yang
perkembangan
terjadi inflamasi
lesi dan inflamasi
perhatikan adakah
dan
penyebaran pada
mengidentifikasi
jaringan sekitar.
terjadinya
4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam. 5. Istirahatkan bagian
komplikasi. 4. Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus 16
yang terdapat lesi
untuk
dari tekanan.
mempertahankan kebersihan lesi. 5. Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan.
NO Diagnosa
Tujuan dan kreteria
Intervensi
Diagnosa
Setelah dilakukan
1. Observasi lokasi,
1. Memberikan
II
tindakan keperawatan
intensitas dan
informasi
proses inflamasi berhenti
penjalaran nyeri.
untuk
dan berangsur-angsur hilang. Kriteria : 1. setelah dilakukan tindakan keperawatan proses
2. Observasi tandatanda vital 3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi 4. Atur posisi senyaman
Rasional
membantu dalam memberikan 2. Untuk mengetahui perkembangan 17
inflamasi dapat berkurang dan nyeri
5.
mungkin
atau keadaan
Kolaborasi untuk
pasien
berkurang dan
pemberian analgesik
beraangsur-angsur
sesuai indikasi
hilang.
3. Dapat mengurangi rasa nyeri 4. Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri 5. menghilangkan rasa nyeri
NO Diagnosa
Tujuan dan kreteria
Intervensi
Diagnosa
Setelah dilakukan
1. Pertahankan posisi
III
tindakan keperawatan
tubuh yang nyaman.
kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas
Rasional
. 2. Perhatikan sirkulasi,
1. Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas 2. Oedema dapat
dapat dilakukan.
gerakan, kepekaan
mempengaruhi
Kriteria :
pada kulit
sirkulasi pada
1. Pasien dapat
ekstremitas.
melakukan aktivitas 3. Lakukan latihan sehari-hari
rentang gerak secara
3. Mencegah secara progresif 18
2. Kekuatan otot penuh
konsisten, diawali
mengencangkan
dengan pasif
jaringan,
kemudian aktif.
meningkatkan
4. Jadwalkan
pemeliharaan
pengobatan dan aktifitas perawatan
fungsi otot/ sendi 4. Meningkatkan
untuk memberikan
kekuatan dan
periode istirahat.
toleransi pasien
. 5. Dorong dukungan
terhadap aktifitas 5. Menampilkan
dan bantuan
keluarga/orang
keluaraga/ orang
terdekat untuk
yang terdekat pada
aktif dalam
latihan.
perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan
NO Diagnosa
Tujuan Dan Kriteria
Intervensi
Setelah dilakukan
1. Kaji makna
Rasional
IV 1. Episode traumatik
tindakan keperawatan
perubahan pada
mengakibatkan
tubuh dapat berfungsi
pasien
perubahan tiba-
secara optimal dan konsep diri meningkat. Kriteria : 1. Pasien menyatakan
2. Terima dan akui
tiba. Ini
ekspresi frustasi,
memerlukan
ketergantungan dan
dukungan dalam
kemarahan.
perbaikan
Perhatikan perilaku
optimal.
19
penerimaan situasi diri 2. Memasukkan
menarik diri. 3. Berikan harapan
2. Penerimaan perasaan sebagai
dalam parameter
respon normal
perubahan dalam
situasi individu,
terhadap apa yang
konsep diri tanpa
jangan memberikan
terjadi membantu
harga diri negatif
kenyakinan yang
perbaikan
salah. 4. Berikan penguatan positif 5. Berikan kelompok
3. Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk
pendukung untuk
menyusun tujuan
orang terdekat
dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas. 4. Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif. 5. Meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien
20
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Kusta Adalah Penyakit Infeksi Yang Berlangsung Dalam Waktu lama, penyebabnya adalah Mycobacterium leprae. Menyerang saraf tepi sebagai tujuan pertama, lalu kulit dan saluran pernapasan bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Nama lainnya adalah Lepra atau Morbus Hansen.Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang di temukan G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, tahan asam dan alkohol, serta dengan pewarnaan giemsa akan menunjukkan hasil Gram positif (berwarna ungu). Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran tanda dan gejala yang dimiliki. Diantara semuanya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana.
B. Saran Setelah membaca dan membahas makalah ini mahasiswa sebagai calon perawat profesional dapat memahami dan mejalankan asuhan keperawatan pada pasien lepra. Prinsip yang penting diharapkan dapat diajarkan pada pasien perawatan diri sendiri untuk pencegahan cacat kusta adalah:
Pasien mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat risiko terjadinya luka.
Pasien dapat melakukan perawatan kulit (merendam, menggosok, melumasi) dan melatih sendi bila mulai kaku.
Penyembuhan luka dapat dilakukan oleh pasien sendiri dengan membersihkan luka, mengurangi tekanan pada luka dengan cara istirahat.
21
DAFTAR PUSTAKA
Depkes, 1998, ”Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta”, Cetakan ke-XII, Depkes Jakarta. Juall, Lynda, 1995, “Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II”, EGC, Jakarta. Mansjoer, Arif, 2000, ”Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi. III”, Media Aeuscualpius, Jakarta. Arini Krisnawati, S.Kep.Ns. Penyakit Kusta. Dalam : Asuhan Keperawatan Gangguan Integumen. 2009. Ternate, Politeknik Kesehatan : 78 – 65. http://yayannerz.blogspot.com/2011/03/askep-klien-dengan-penyakit kusta.html#ixzz2Q38CBQZ6
22