MAKALAH SEMINAR UMUM
SIFAT JARINGAN KULIT BUAH KAKAO (Theobroma cacao L.) TAHAN HAMA PENGGEREK BUAH
Disusun oleh: Nama
: Idham Cholid Ramadhan
NIM
: 09/282273/PN/11602
Dosen Pembimbing
: Dr. Ir. Taryono, M.Sc.
Hari dan Tanggal Presentasi : Kamis, 23 Mei 2013
PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013
LEMBAR PENGESAHAN SIFAT JARINGAN KULIT BUAH KAKAO (Theobroma cacao L.) TAHAN HAMA PENGGEREK BUAH
DISUSUN OLEH : IDHAM CHOLID RAMADHAN 09/ 282273/ PN/ 11602
Usulan ini telah disetujui dan disahkan untuk dilaksanakan sebagai kelengkapan Mata Kuliah Seminar Umum Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Dosen Pembimbing
Tanda tangan
Tanggal
Tanda tangan
Tanggal
Tanda tangan
Tanggal
Dr. Ir. Taryono, M.Sc.
Koordinator Seminar Umum
Dr. Rudi Hari Murti, S.P., M.P.
Ketua Jurusan Budidaya Pertanian
Dr. Ir. Taryono, M.Sc.
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................................. i Lembar Pengesahan .......................................................................................................... ii Daftar Isi ........................................................................................................................... iii Daftar Tabel ...................................................................................................................... iv Intisari ............................................................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................................. 2 B. Mekanisme Serangan Penggerek Buah Kakao ............................................................. 3 C. Sifat Jaringan Buah Kakao ........................................................................................... 3 D. Kesimpulan .................................................................................................................. 10 E. Saran ............................................................................................................................. 10 Daftar Pustaka ................................................................................................................... 11 Lampiran (Daftar Pertanyaan) .......................................................................................... 14
iii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Ketebalan dan kekerasan jaringan kulit buah kakao umur 4 bulan .................... 6
iv
SIFAT JARINGAN KULIT BUAH KAKAO (Theobroma cacao L.) TAHAN HAMA PENGGEREK BUAH
INTISARI Penurunan produksi biji kakao akibat serangan PBK (Conopomorpha cramerella) menyebabkan penggunaan klon kakao tahan PBK semakin gencar dilaksanakan. Ketahanan klon kakao terhadap PBK kemungkinan disebabkan oleh sifat fisik dan kimiawi jaringan kulit buah kakao, tempat aktivitas peletakan telur dan pergerakan larva. Hasil kajian menunjukkan bahwa kepadatan trikoma pada klon tahan dan moderat tahan lebih tinggi dibandingkan pada klon rentan. Jumlah granula tanin baik yang ditemukan di bagian alur maupun di puncak buah lebih banyak dibandingkan pada klon rentan. Jaringan sklerotik klon tahan lebih tebal dan lebih keras dibandingkan pada klon moderat tahan dan rentan. Jaringan sklerotik klon tahan menunjukkan tingkat lignifikasi lebih tinggi dan lebih kompak dibandingkan klon moderat tahan dan rentan.
Kata kunci : Jaringan Kulit Buah Kakao, Penggerek Buah Kakao.
1
A. Latar Belakang Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan komoditi perkebunan yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Prospek kakao berupa biji maupun dalam bentuk olahan setengah jadi sangat baik. Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana, untuk meningkatkan produksi kakao, pemerintah mencanangkan program revitalisasi perkebunan termasuk diantaranya perluasan areal dan peremajaan tanaman kakao. Produktivitas rata-rata kakao Indonesia dari tahun 2003-2008 mengalami penurunan dari 1000 kg/ha/tahun menjadi 625 kg/ha/tahun, jauh di bawah potensinya di atas 2.000 kg/ha/tahun. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi biji kakao adalah serangan organisme pengganggu tanaman. Hingga saat ini hama penggerek buah kakao masih menjadi masalah utama pada budidaya kakao di Indonesia. Hal ini dikarenakan serangan hama PBK (penggerek buah kakao) dapat menyebabkan kehilangan hasil kakao hingga 90 %. Serangan PBK menyebabkan kematian jaringan plasenta biji sehingga biji tidak dapat berkembang sempurna lalu menjadi lengket. Serangan pada buah muda mengakibatkan kehilangan hasil yang lebih besar sebab buah akan mengalami masak dini sehingga buah tidak dapat dipanen. Biji yang lengket tersebut tidak dapat dipanen, kalau pun biji dapat dipanen akan terjadi penurunan mutu biji. Pengendalian hama ini dapat dilakukan dengan cara menanam klon kakao tahan PBK. Pemuliaan tanaman kakao tahan PBK dibutuhkan untuk mengatasi serangan hama PBK. Klon kakao tahan PBK memiliki sifat jaringan buah yang terkait dengan respons ketahanan PBK. Tulisan ini bertujuan untuk membahas mekanisme ketahanan yang terjadi pada kulit buah kakao ketika di serang oleh hama PBK baik mekanikal maupun kimiawi.
2
B. Mekanisme Serangan Penggerek Buah Kakao Penggerek buah kakao berkembang biak dengan cara bertelur. Hama ini biasanya meletakkan telur setelah matahari terbenam pada alur kulit buah kakao yang berlekuk (Depparaba, 2002; Laode, 2004; Tjatjo et al., 2008). Setelah telur menetas, larva segera membuat lubang ke dalam buah agar terhindar dari pemangsa (predator). Larva yang masuk ke dalam buah akan tinggal selama 12−14 hari dan menggerek jaringan lunak seperti pulp, plasenta, dan saluran makanan yang menuju biji, sehingga bila kulit buah dibuka akan tampak lubang berwarna merah muda yang berliku-liku di dalam buah. Jaringan buah yang telah rusak menimbulkan perubahan fisiologis pada kulit buah, yaitu kulit buah tampak hijau berbelang merah atau jingga (Wardojo, 1994). Serangan hama PBK pada buah kakao akan menyebabkan biji gagal berkembang, biji saling melekat, serta bentuknya kecil dan keriput. Kebiasaan hama PBK yang berada dalam plasenta buah menyebabkan pengendalian hama menjadi lebih sulit karena di samping sulit mengidentifikasi adanya gejala kerusakan buah sejak dini, juga larva akan selalu terlindung dari cara pengendalian apapun yang dilakukan. Di Indonesia sendiri sudah terdapat beberapa klon tahan terhadap PBK dan juga klon moderat tahan maupun klon rentan. Untuk mengetahui sifat ketahanan dari klon tahan itu telah dilakukan penelitian mengenai sifat jaringan kulit buah kakao dari klon tahan kemudian dibandingkan dengan sifat jaringan kulit buah dari klon moderat tahan dan klon rentan.
C. Sifat Jaringan Kulit Buah Kakao Terdapat dua tipe ketahanan tumbuhan terhadap OPT, yaitu ketahanan kimiawi dan mekanik yang secara simultan dan terkoodinir dengan baik melaksanakan fungsinya. Pertahanan kimiawi dilakukan tumbuhan misalnya dengan mengeluarkan senyawa metabolit sekunder yang beracun, atau paling tidak, tidak disukai oleh herbivora. Pertahanan mekanik oleh tumbuhan dilakukan dengan cara memperkuat bagian luar dengan bangunan-bangunan yang tidak disukai atau menyulitkan acara makan serangga, misalnya trikoma, duri-duri, atau cairan lengket pada permukaan tubuh, atau produksi resin, lignin atau silika yang memperkuat permukaan tumbuhan. Ketahanan kimiawi dan mekanik ini dapat terjadi secara langsung, tergantung sifat pertahanan khas tumbuhan, atau dipicu oleh aktivitas merusak jaringan tumbuhan oleh herbivora. Sifat ketahanan buah kakao yang tergolong mekanik yaitu trikoma dan jaringan sklerotik.
3
Trikoma Trikoma ditemukan pada epidermis kulit buah kakao. Trikoma banyak ditemukan di bagian alur tempat telur PBK diletakkan. Ukuran panjang trikoma tersebut berkisar 0,01-0,05 mm dengan ketebalan yang tampak kurang beraturan bila dilihat mulai dari pangkal bawah hingga atas. Ukuran tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan ukuran panjang telur 0,46 ± 0,01 mm (Lim et al., 1982). Trikoma tersebut lebih banyak ditemukan pada buah muda dibandingkan pada buah tua dan keragaannya menunjukkan keterkaitan dengan ketahanan PBK. Hal ini diketahui berdasarkan keragaan kepadatan trikoma pada klon tahan KW 514 (3,19 ± 1,56/mm) dan ARCADIAR 10 (4,84 ± 0,25/mm), serta klon moderat tahan KW 411 (5,93 ± 1,4/mm) yang lebih tinggi dibandingkan klon rentan RCC 72 (1,95 ± 1,05/mm). Hasil pengamatan juga menunjukkan terdapat keragaman yang tinggi nilai kepadatan trikoma antara buah muda dibandingkan pada buah tua (nilai standar deviasi). Berdasarkan keragaan ini maka dapat diduga bahwa keberadaan trikoma terkait dengan perkembangan anatomi buah kakao. Tingkat kepadatan trikoma pada saat buah muda akan berperan penting dalam ketahanan PBK dimulai sejak buah masih muda (Susilo et al., 2007). Trikoma yang ditemukan pada permukaan kulit buah kakao tersebut diduga berperan dalam menghambat proses peletakan telur dan daya tetas telur (hatchability). Nahdy et al. (1999) melaporkan bahwa tingkat kepadatan trikoma merupakan salah satu penanda ketahanan hama penggerek polong (C. Chinensis) pada tanaman kacang gude (C. Cajan L.). Dilaporkan bahwa tingkat kepadatan trikoma pada tanaman tersebut mempengaruhi cara peletakan telur yang dapat menentukan daya tetas telur. Pada tanaman dengan tingkat kepadatan trikoma tinggi ditemukan lebih sedikit jumlah telur dan jumlah larva yang berhasil menggerek polong. Hasil karakterisasi trikoma buah kakao menghasilkan kecenderungan bahwa klon dengan jumlah lubang masuk larva sedikit memiliki tingkat kepadatan trikoma relatif tinggi. Namun demikian meskipun antara klon tahan ARCADIAR 10 dan klon rentan RCC 72 ditemukan lubang masuk larva dalam jumlah relatif sama namun tingkat kepadatan trikoma yang ditemukan pada klon ARCADIAR 10 lebih tinggi. Dalam hal ini belum diketahui aspek lain fungsi trikoma yang berperan dalam mekanisme antixenosis ketahanan PBK (Susilo et al., 2007).
4
Lignifikasi jaringan sklerotik buah Jaringan sklerotik buah merupakan salah satu komponen kulit buah di bawah jaringan mesokarp yang berperan dalam proses penghambatan pergerakan larva PBK. Keberadaan bagian jaringan yang tidak terlignifikasi telah dilaporkan terkait dengan proporsi larva yang berhasil keluar dari dalam buah (Susilo, 2005). Berkenaan dengan ketahanan PBK, tingkat lignifikasi jaringan sklerotik buah merupakan faktor penghalang (barrier) terakhir bagi proses pergerakan larva menuju jaringan plasenta biji. Proses penghambatan larva pada jaringan tersebut secara fisik atau kimiawi belum diketahui sifatnya. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa proses lignifikasi jaringan sklerotik terjadi seiring dengan proses perkembangan umur buah. Hal ini diketahui berdasarkan keragaan tingkat lignifikasi jaringan sklerotik pada buah muda yang belum sempurna dibandingkan tingkat lignifikasi pada sampel buah tua. Jaringan sklerotik pada buah muda terlihat kurang kompak dan ditemukan lebih banyak bagian-bagian yang belum terlignifikasi. Lignifikasi jaringan sklerotik tersebut tampak menunjukkan keterkaitan dengan ketahanan PBK. Klonklon tahan, ARCADIAR 10 dan klon KW 514, menunjukkan tingkat lignifikasi yang lebih intensif dan jaringan yang lebih kompak dibandingkan klon RCC 72 (rentan) dan klon KW 514 (moderat tahan). Pada buah muda klon rentan dan moderat tahan tampak lignifikasi jaringan belum seintensif yang terjadi pada klon tahan sehingga dapat diketahui bahwa proses lignifikasi pada klon tahan terjadi lebih awal. Dalam hal ini terlihat bahwa perbedaan karakteristik antara klon tahan dan moderat tahan terletak pada tingkat lignifikasi jaringan sklerotik. Tingkat lignifikasi jaringan sklerotik tersebut tampak terkait dengan nisbah jumlah lubang keluar terhadap jumlah lubang masuk larva. Nilai nisbah tersebut tampak jelas terkait dengan gradasi tingkat lignifikasi jaringan sklerotik pada klon rentan dan moderat tahan. Klon KW 411 (moderat tahan) dengan nisbah tinggi menunjukkan tingkat lignifikasi jaringan yang lebih rendah dibandingkan klon RCC 72 (rentan) dengan nisbah sedang (Susilo et al., 2007). Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa jaringan sklerotik mempunyai peran penting dalam kaitannya dengan kehidupan PBK. Jaringan sklerotik buah kakao dari tanaman yang tahan PBK, baik dari Donggala maupun Tolitoli, secara statistik lebih tebal dibandingkan dengan buah dari tanaman yang rentan. Demikian pula kekerasan jaringan endokarp klon tahan lebih keras daripada klon rentan. Kesimpulan yang sama dikemukakan oleh Susilo (2010), yang menyatakan bahwa ketebalan lapisan sklerotik merupakan peubah yang mempresentasikan karakteristik ketahanan kakao terhadap hama PBK.
5
Tabel 1. Ketebalan dan kekerasan jaringan buah kakao umur empat bulan pada klon tahan dan klon rentan. Ketebalan jaringan Kekerasan jaringan endokarp sklerotik (mm)
Kekerasan jaringan endokarp
Donggala 1 (D1)
1,90a
0,58a
Donggala 2 (D2)
1,86a
0,61a
Tolitoli 1 (T1)
1,99a
0,60a
Tolitoli 2 (T2)
1,98a
0,58a
Donggala 3 (D3)
0,63b
1,88b
Tolitoli 3 (T3)
0,62b
1,89b
Sumber tanaman
(mm/detik 100 g)
Klon Tahan
Klon Rentan
Sumber : Anshary (2002a).
Susilo (2005) sebelumnya juga melaporkan fenomena serupa dengan hasil penelitian ini. Nisbah tersebut menggambarkan tingkat penghambatan terhadap pergerakan larva di dalam buah. Dalam hal ini diketahui bahwa penghambatan tersebut terkait dengan lignifikasi jaringan sklerotik. Meskipun demikian belum dapat diketahui waktu penghambatan tersebut terjadi. Fenomena penghambatan pergerakan larva keluar dari dalam buah pernah terungkap dengan ditemukan larva instar akhir yang mati sebelum berhasil keluar dari dalam buah klon rentan dengan lignifikasi jaringan sklerotik tinggi dan nilai nisbah tersebut rendah. Namun demikian apabila penghambatan tersebut terkait dengan mekanisme ketahanan PBK maka penghambatan semestinya terjadi saat larva bergerak masuk ke dalam buah (Susilo et al., 2007). Sebagaimana tanin, lignin juga termasuk kelompok senyawa fenolik yang dihasilkan tanaman melalui jalur sintesis asam shikimat atau juga dikenal jalur fenilpropanoid (Goldwasser et al., 1999, Brown, 2004). Fungsinya dalam ketahanan tanaman telah dilaporkan pada tanaman gandum (Triticum aesticum) melalui mekanisme hipersensitif terhadap infeksi penyakit busuk batang (Puccinia graminis f. Sp. Triciti) (Menden et al., 2007). Goldwasser et al. (1999) melaporkan bahwa kandungan lignin pada varietas tahan Vicia atropurpurea cv. Popany lebih tinggi dibandingkan pada varietas rentan Vicia atropurpurea cv. Yovel. Dilaporkan bahwa melalui infeksi buatan parasit Orobanche 6
aegyptiaca di bagian akar varietas tahan V. atropurpurea cv. Popany dapat menginduksi peningkatan kandungan senyawa lignin dan enzim peroksida sebanyak dua kali lipat, serta senyawa fenolik bebas (free phenolics) dan fenolik terikat (bound phenolics), masing-masing sebanyak empat kali dan delapan kali lipat. Hasil karakterisasi yang menunjukkan bahwa intensitas lignifikasi jaringan sklerotik yang tinggi pada klon tahan diduga sebagai hasil akumulasi proses lignifikasi yang terjadi dini selama perkembangan buah. Adanya intensitas kandungan lignin yang tinggi sejak buah masih muda akan berperan penting dalam penghambatan pergerakan larva menuju jaringan plasenta biji. Dengan demikian dapat diduga bahwa peran lignifikasi jaringan sklerotik dalam ketahanan PBK lebih bersifat kimiawi. Guna mengetahui gambaran kuantitatif tingkat lignifikasi dan kekompakan jaringan sklerotik dilakukan pengukuran ketebalan lapisan sklerotik dan jumlah liang atau bagian jaringan yang tidak terlignifikasi (channel). Pengukuran hanya dilakukan pada buah tua karena tingkat lignifikasi jaringan yang belum sempurna pada buah muda mempersulit standarisasi pengamatan. Susilo et al. (2007) menyatakan bahwa keragaan ketebalan jaringan sklerotik di bagian alur buah secara nyata terkait dengan perbedaan ketahanan terhadap PBK. Klon-klon tahan, ARDACIAR 10 dan KW 514, masing-masing menunjukkan ketebalan jaringan sklerotik di bagian alur sebesar 1,47 ± 0, 11 mm dan 1,11 ± 0,15 mm yang lebih tinggi dibandingkan keragaan ketebalan jaringan sklerotik klon rentan RCC 72 dan moderat tahan KW 411, masing-masing sebesar 0,77 ± 0,11 mm dan 0,70 ± 0,26 mm. Berdasarkan nilai simpangan baku tampak bahwa keragaman keragaan jumlah liang antar pengamatan sangat tinggi, dan ini menunjukkan bahwa tingkat kekompakan jaringan sklerotik sulit digambarkan secara kuantitatif berdasarkan jumlah liang tersebut. Dalam hal ini diketahui bahwa klon KW 411 yang menunjukkan tingkat lignifikasi jaringan terendah, secara relatif menunjukkan jumlah liang yang tertinggi, baik di bagian alur maupun puncak. Susilo et al. (2007) juga menyatakan bahwa di dalam lapisan kulit buah kakao tersandii beberapa sifat buah yang terkait dengan ketahanan PBK. Sifat-sifat tersebut tampak berperan secara terus menerus karena
tidak terdapat satu sifat yang secara dominan
menunjukkan keterkaitan dengan sifat ketahanan PBK. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme ketahanan PBK terjadi melalui proses yang relatif kompleks. Penyandian sifatsifat ketahanan tersebut tampak dipengaruhi oleh kondisi perkembangan umur buah dan penyandiannya menunjukkan keterkaitan dengan ketahanan PBK yang terjadi pada buah muda. Penyandian sifat-sifat tersebut saat kondisi buah masih muda akan berperan penting 7
dalam ketahanan PBK sebab proses infestasi PBK terjadi sejak buah masih muda. Namun demikian masih belum diketahui saat kondisi umur buah yang mencerminkan penyandian maksimal sifat-sifat ketahanan tersebut. Dalam hal ini masih perlu dikaji pengaruh perkembangan buah terhadap penyandian sifat-sifat tersebut terutama selama kurun waktu perkembangan buah karena proses infestasi PBK terjadi (3-5 bulan). Proses identifikasi sifat ketahanan PBK harus memperhatikan kondisi perkembangan umur buah.
Granula Tanin Karakterisasi senyawa tanin dilakukan berdasarkan keragaan granula tanin pada anatomi jaringan mesokarp buah guna mengetahui visualisasi sebaran granula tanin dalam jaringan tersebut. Senyawa tanin yang teridentifikasi dalam jaringan mesokarp buah kakao berbentuk granula yaitu semacam kantung yang mewadahi senyawa tanin tersebut. Brown (2004) menyebutkan bahwa senyawa tanin di dalam tanaman terdapat dalam vakuola atau permukaan lilin. Dalam hal ini pengamatan jumlah granula tanin yang tersebar dalam jaringan mesokarp buah lebih penting dilakukan untuk mengetahui cakupan sebaran granula tanin tersebut di dalam jaringan mesokarp yang dapat menggambarkan tingkat penghambatan bagi larva PBK. Pemilahan obyek pengamatan di bagian alur dan puncak buah untuk mengetahui distribusi granula tanin di kedua posisi buah tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa tingkat kesukaan hama PBK dalam hal peletakan telur di kedua posisi buah tersebut berbeda. Susilo et al. (2007) menyatakan bahwa jumlah granula tanin yang tersebar dalam jaringan mesokarp buah tampak berbeda tergantung jenis klon, umur buah dan posisi jaringan di bagian buah. Granula tanin yang ditemukan pada buah muda tampak lebih banyak dibandingkan pada buah tua dan keragaman keragaannya mencermikan tanggapan ketahanan klon-klon yang diuji. Kajian keragaan jenis klon dilakukan berdasarkan data buah muda. Dalam hal ini keberadaan senyawa tanin pada buah muda lebih diperlukan dalam mekanisme ketahanan PBK sebab proses infestasi PBK terjadi saat buah masih muda (umur > 3 bulan) (Azhar et al., 2000) dan jarang ditemukan infestasi terjadi pada buah masak atau pun buah yang masih terlalu muda (Day, 1986). Susilo et al. (2007) juga menyatakan bahwa jumlah granula tanin yang ditemukan pada buah muda klon tahan lebih tinggi dibandingkan pada klon rentan. Peubah diameter granula tanin tampak tidak menunjukkan adanya keterkaitan dengan ketahanan PBK karena tidak ada perbedaan keragaan diameter granula tanin antara klon tahan dan rentan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemerataan sebaran granula tanin di dalam jaringan mesokarp 8
lebih diperlukan dibandingkan ukuran kuantitatif senyawa tersebut. Semakin merata sebaran granula tanin dalam jaringan mesokarp buah maka akan semakin besar peluang terjadinya kontak antara larva dan granula tanin. Senyawa tanin di dalam jaringan tanaman akan bersifat aktif setelah terjadi proses kerusakan atau pun kematian sel tanaman (Brown, 2004) sehingga aktivitas gerakan larva dapat mendorong proses perusakan tersebut. Granula tanin lebih banyak tersebari di daerah bagian puncak buah dibandingkan di bagian alur buah. Fenomena serangga PBK yang lebih menyukai bagain alur buah untuk peletakan telur dibandingkan bagian puncak buah diduga terkait dengan perbedaan jumlah granula tanin yang tersebar di kedua posisi buah tersebut. Granula tanin yang lebih sedikit tersebar di bagian alur buah menyebabkan faktor penghambat pergerakan larva yang terdapat di bagian alur buah relatif lebih kecil dibandingkan di bagian puncak (Susilo et al., 2007). Keberadaan granula tanin sebagai faktor penghambat tersebut kemungkinan dapat terdeteksi oleh serangga PBK melalui mekanisme kemoreseptor dalam mendeteksi komponen kimia jaringan yang akan digunakan sebagai tempat beraktivitas (Panda & Kush, 1995). Mekanisme kemoreseptor pada buah kakao tersebut diduga melalui bau yang tercium oleh serangga PBK sebelum melakukan aktivitas peletakan telur.
9
D. Kesimpulan Hasil kajian menunjukkan bahwa klon tahan PBK dicirikan dengan (1) kepadatan trikoma pada buah muda yang tinggi, (2). jumlah granula tanin yang lebih banyak, (3) Jaringan sklerotik yang lebih tebal dan keras serta (4) tingkat lignifikansi yang tinggi pada jaringan sklerotik tersebut. E. Saran Penggunaan klon kakao tahan PBK dianjurkan untuk mengatasi serangan PBK yang meningkat belakangan ini.
10
DAFTAR PUSTAKA ACIAR. 2006. Selection for improved quality and resistance of Phytophthora pod rot, cocoa pod borer and vascular-streak dieback in cocoa in Indonesia. Annual report project no. PHT/2000/102. Anonim. 2000. Pedoman Teknis Penanggulangan Hama Penggerek Buah Kakao di Indonesia. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember dan Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Azhar, I. & D.H.K. Lim. 1987. An investigation on the use of host plant resistance and crop manipulation in the management of the cocoa pod borer. P. 83-101. In: P.A.C. Ooi (Ed.). Management of the Cocoa pod borer. The Malaysian Cocoa Plant Protection Society, Kuala Lumpur. Azhar, I. 2000. Measuring ovipositional preference of the cocoa pod borer, Conopomorbha cramerela (Lepidoptera: Gracillariidae) to various cocoa clones. Proceedings of Incoped 3nd International Seminar. Malaysian Cocoa Board. P. 57-59. Anshary, A. 2002a. Potensi klon kakao tahan penggerek buah Conopomorpha cramerella Snell. dalam pengendalian hama terpadu. hlm. 179−186. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat, Bogor, 17−18 September 2002. Institut Pertanian Bogor. Azhar, I., G.E. Long, and M.J. Musa. 1995. Qualitative and multivariate analyses of clonal resistance to cocoa pod borer. The Planter 71: 307−321. Brown, D. 2004. Toxic agents in plants. Animal science Webmasterm 02/18/2004. Day, R.K. 1986. Population dynamics of cocoa podborer Aerocercops cramerella: Importance of host plant cropping cycle. P. 255-263. In : Pusparajasah, E. & P.S Chew (Eds.). Cocoa and Coconuts: Progress and outlook. Incorporated Society of Planters. Kuala Lumpur. Depparaba, F. 2002. Penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella Snell.) dan penanggulangannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(2): 69−74. Ditjenbun. 2004. Statistik Perkebunan Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Flood, J. D. Guest, K.A. Holmes, P. Keane, B. Padi & E. Sulistyowati. 2004. Cocoa under attack. P. 33-53. In: J. Flood & R. Murphy (Eds.). Cocoa Futures: A source Book of Some Important Issues Confronting the Cocoa Industry. CABI Commodities, Colombia. Goldwasser, Y., J. Hershenhorn, D. Plakhine, Y. Kleifeld & B. Rubin. 1999. Biochemical factors involved in vetch resistance to Orobanche aegyptiaca. Physiological and Molecular Plant Pathology, 54, 87-96. Johansen, D.A. 1940. Plant Microtechnique. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York and London. Laode, A. 2004. Seleksi dan karakterisasi morfologi tanaman kakao harapan tahan penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella Snell.). J. Sains & Teknologi 4(3): 109−122. 11
Lim, G.T., E.B. Tay, T.C. Pang & K.Y. Pan. 1982. The biology of cocoa pod borer Acrocercops cramerella Sneller and its control in Sabah, Malaysia. Proc. Int. Conf. Pl. Prot. In Tropics. Malaysian Pl. Prot. Soc. (MAPPS), Kuala Lumpur. P. 275-287. Menden, B., M. Kohlhoff & B.M. Moerschbacher. 2007. Wheat cells accumulate a syringylrich lignin during the hypersensitivie resistance respons. Phytochemistry, 68, 513-520. Nahdy, M.S., S.N. Silim & R.H. Ellis. 1999. Some aspect of pod characteristics predisposing pigeonpea (Cajanus cajan (L.) Millsp.) to infestation by Callosobruchus chinensis (L.), J. of Stored Product Research, 35, 47-55. Panda, N. and G.S. Khush. 1995. Host Plant Resistance to Insects. 1st Ed. CAB International, International Rice Research Institute, Manila. Prawoto, A.A. 1995. Infestation of cocoa pod borer (Conopomorpha cramerella Snell) in Central Sulawesi. Pelita Perkebunan 9(2): 79−84. Sulistyowati, E., A. W. Susilo & E. Mufrinati. 2002. Laporan hasil eksplorasi klon kakao tahan hama PBK (Conopomorpha cramerella Snell.) di Kalimantan Timur. Laporan Intern Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Susilo, A.W., E. Sulistyowati, dan E. Mufrihati. 2004. Eksplorasi genotipe kakao tahan hama penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella Snell.). Pelita Perkebunan 20(1): 1−12. Susilo, A. W. 2005. Relationship between the characteristics of sclerotic layer of cocoa pods and their resistance to cocoa pod borer. Proc. 4th Malaysian International Cocoa Conference. Malaysian Cocoa Board (MCB), Kuala Lumpur. P. 176-184. Susilo, A.W., W. Mangoendidjojo & Witjaksono. 2007. Hubungan karakteristik jaringan kulit buah beberapa klon kakao (Theobroma cacao L.) dengan sifat ketahanan terhadap hama penggerek buah kakao. Pelita Perkebunan, 22, 20-27. Susilo, A.W. 2010. Studi Karakteristik Sifat Ketahanan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Hama Penggerek Buah Kakao (Conopomorpha cramerella Snell.). Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 165 hlm. Tan, G. Y. 1992. Cocoa breeding in Papua New Guinea and its relevance to pest disease control. P. 117-128. In: P.J. Keane & C.A.J. Putter (Eds.). Cocoa Pest and Diseases Management in Southeast Asia and Australasia. FAO, Rome. Teh, C.L., Joe T-Y Pang & C-T. Ho. 2006. Variation of the response of clonal cocoa to attack by cocoa pod borer Conopomorpha cramerella (Lepidoptera: Gracillariidae) in Sabah. Crop Protection, 25, 712-717. Tjatjo, A.A., Baharuddin, dan A. Laode. 2008. Keragaman morfologi buah kakao harapan tahan hama penggerek buah kakao di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Jurnal Agrisistem 4(1): 37−43.
12
Wardojo, S. 1994. Strategi pengendalian hama penggerek buah kakao (PBK) di Indonesia. Disampaikan Gelar Teknologi dan Pertemuan Regional Pengendalian PBK di Kabupaten Polmas, Sulawesi Barat, 3−4 Oktober 1994. 5 hlm. Winarno, H. 1995. Klon-klon unggul untuk mendukung klonalisasi kakao lindak. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 11(2): 77−81.
13
LAMPIRAN
Daftar Pertanyaan 1. Pertanyaan dari Ardo : Seberapa besar dampak penggunaan klon tahan terhadap hasil produksi? Jawaban : Dari beberapa literatur, penggunaan klon tahan itu dapat meningkatkan produksi sebesar 30% bahkan ada yang mengatakan hingga 50%. 2. Pertanyaan dari Zara : bagaimana proses lignifikasi yang terjadi dalam jaringan sklerotik? Jawaban : Gugus aromatik ditemukan pada lignin, yang saling dihubungkan dengan rantai alifatik, yang terdiri dari 2-3 karbon. Proses pirolisis lignin menghasilkan senyawa kimia aromatis berupa fenol, terutama kresol. Dan itulah yang disebut dengan proses lignifikasi (pengerasan). 3. Pertanyaan dari Fajar : Apakah ketebalan jaringan sklerotik ini mempengaruhi produksi kakao? Jawaban : Ketebalan sklerotik menghambat pemanenan biji, hal ini dikarenakan cara pemanenan biji dari buah kakao adalah dengan membenturkan dua 2 buah kakao hingga buahnya pecah. Semakin tebal jaringan sklerotiknya maka pemanenan biji dari buah kakao akan menjadi lebih sulit. 4. Pertanyaan dari Beni : Mengapa Penggerek Buah Kakao lebih memilih menaruh telur di bagian alur buah? Jawaban : Hal ini dikarenakan telur yang diletakkan di bagian alur tidak akan mudah jatuh dan akan lebih terlindungi dari angin dan hujan. Di bagian alur juga ditemukan bahwa kandungan taninnya sedikit. 5. Pertanyaan dari Nila : Apa yang dimaksud dengan antibiosis? Jawaban : Antibiosis adalah tanaman memiliki kandungan senyawa racun tertentu yang apabila dikonsumsi serangga atau hama lainnya, menimbulkan gangguan pada konsumen tersebut, baik fisiologis maupun biokimia. 6. Pertanyaan dari Rivandi : Kenapa nilai kekerasan jaringan buah kakao semakin kecil menandakan semakin keras? Jawaban : Alat yang digunakan untuk mengukur kekerasan adalah penetrometer. Cara kerja dari alat ini adalah alat akan memberikan tekanan berbentuk jarum ke dalam jaringan sklerotik sebesar 100 gr dalam waktu satu detik. Dari situ dapat dilihat berapa dalam jarum tersebut masuk ke dalam jaringan. Jika nilainya kecil maka jarum itu masuk tidak terlalu dalam ke dalam jaringan yang menandakan bahwa jaringan tersebut keras. 14