MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA IMPLEMENTASI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Pendidikan Pancasila Program D3-TI STMIK AMIKOM Yogyakarta
Disusun oleh:
ERVANDA YUDHA ARISTA 11.01.2909 Kelompok B Dosen Irton S,Kom.
FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMATIKA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011
Abstrak
Bangsa Indonesia memiliki kepribadian dan pandangan hidup yang tercermin dari dasar negaranya yakni Pancasila. Namun tak banyak yang mengerti bagaimana Pancasila di rumuskan. Dan tak banyak pula yang sadar bahwa telah banyak penyimpangan dalam mempraktekkan nilai-nilai Pancasila pada kehidupan sehari-hari. Pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI disempurnakanlah Pancasila, maka nilai-nilai kehidupan bernegara dan pemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada Pancasila. Terdapat banyak kesalahan dalam mengamalkan Pancasila terutama sila kelima, sehingga banyak terjadi ketimpangan sosial dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Dari semua perincian, sudah sepantasnya dilakukan koreksi pada semua lini pemerintahan. Tugas kita adalah mengawasi pelaksanaannya.
A. Latar Belakang Masalah Pancasila adalah
dijiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi
kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia. Menyadari bahwa untuk kelestarian kemampuan dan kesaktian Pancasila itu, perlu diusahakan secara nyata dan terus menerus penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah.
B. Rumusan Masalah Untuk menghidari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis merumuskan masalah-masalah yang akan di bahas diantaranya: 1. Bagaimana Pancasila dilihat dari pendekatan historis? 2. Bagaimana pengamalan Pancasila sila kelima dalam kehidupan seharihari?
C. Pendekatan Pancasila Secara Historis Pancasila artinya lima dasar atau lima asas yaitu nama dari dasar negara kita, Negara Republik Indonesia. Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit pada abad XIV yang terdapat dalam buku Nagara Kertagama karangan Mpu Prapanca dan buku Sutasoma karangan Mpu Tantular, dalam buku Sutasoma ini, selain mempunyai arti “Berbatu sendi yang lima” (dari bahasa Sansekerta) Pancasila juga mempunyai arti “Pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu sebagai berikut: 1. Tidak boleh melakukan kekerasan 2. Tidak boleh mencuri 3. Tidak boleh berjiwa dengki 4. Tidak boleh berbohong 5. Tidak boleh mabuk minuman keras/obat-obatan terlarang Pada
perjuangan
merebut
kemerdekaan
Pancasila
mulai
dirumuskan kembali. Pembahasan historis Pancasila dibatasi pada tinjauan terhadap perkembangan rumusan Pancasila sejak tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968. Pembatasan ini didasarkan pada dua pengandaian, yakni: 1. Telaah tentang dasar negara Indonesia merdeka baru dimulai pada tanggal 29 Mei 1945, saat dilaksanakan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). 2. Sesudah Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 tersebut, kerancuan pendapat tentang rumusan Pancasila dapat dianggap tidak ada lagi. Permasalahan Pancasila yang masih terasa mengganjal adalah tentang penghayatan dan pengamalannya saja. Hal ini tampaknya belum terselesaikan oleh berbagai peraturan operasional tentangnya. Dalam hal ini,
pencabutan
Ketetapan
MPR
No.II/MPR/1978
(Ekaprasetia
Pancakarsa) tampaknya juga belum diikuti upaya penghayatan dan pengamalan Pancasila secara lebih „alamiah‟. Tentu kita menyadari juga bahwa upaya pelestarian dan pewarisan Pancasila tidak serta merta
mengikuti Hukum Mendel. Tinjauan historis Pancasila dalam kurun waktu tersebut kiranya cukup untuk memperoleh gambaran yang memadai tentang proses dan dinamika Pancasila hingga menjadi Pancasila otentik. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa dalam membahas Pancasila, kita terikat pada rumusan Pancasila yang otentik dan pola hubungan sila-silanya yang selalu merupakan satu kebulatan yang utuh. Sidang BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945 Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan telaah pertama tentang dasar negara Indonesia merdeka sebagai berikut: 1. Peri Kebangsaan 2. Peri Kemanusiaan 3. Peri Ketuhanan 4. Peri Kerakyatan 5. Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia tidak memberikan nama terhadap lima (5) azas yang diusulkannya sebagai dasar negara. Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama, Ir. Soekarno juga mengusulkan lima (5) dasar negara sebagai berikut: 1. Kebangsaan Indonesia 2. Internasionalisme 3. Mufakat atau Demokrasi 4. Kesejahteraan Sosial 5. Ketuhanan Yang Berkebudayaan Dan dalam pidato yang disambut gegap gempita itu, ia mengatakan: “… saja namakan ini dengan petundjuk seorang teman kita – ahli bahasa, namanja ialah Pantja Sila …” (Anjar Any, 1982:26).
Piagam Jakarta 22 Juni 1945
Rumusan lima dasar negara (Pancasila) tersebut kemudian dikembangkan oleh “Panitia 9” yang lazim disebut demikian karena beranggotakan sembilan orang tokoh nasional, yakni para wakil dari golongan Islam dan Nasionalisme. Mereka adalah: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H. Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin. Rumusan sistematis dasar negara oleh “Panitia 9” itu tercantum dalam suatu naskah Mukadimah yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Jakarta”, yaitu: 1. Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemelukknya 2. Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, “Piagam Jakarta” diterima sebagai rancangan Mukadimah hukum dasar (konstitusi) Negara Republik Indonesia. Rancangan tersebut – khususnya sistematika dasar negara (Pancasila) – pada tanggal 18 Agustus disempurnakan dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Sebagai dasar negara maka nilai-nilai kehidupan bernegara dan pemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada Pancasila, namun berdasrkan kenyataan, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila tersebut telah
dipraktikan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan kita teruskan sampai sekarang.
Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) Dalam kedua konstitusi yang pernah menggantikan UUD 1945 tersebut, Pancasila dirumuskan secara „lebih singkat‟ menjadi: 1. Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Perikemanusiaan 3. Kebangsaan 4. Kerakyatan 5. Keadilan sosial Sementara itu di kalangan masyarakat pun terjadi kecenderungan menyingkat rumusan Pancasila dengan alasan praktis/pragmatis atau untuk lebih mengingatnya dengan variasi sebagai berikut: 1. Ketuhanan 2. Kemanusiaan 3. Kebangsaan 4. Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat 5. Keadilan sosial Keanekaragaman rumusan dan atau sistematika Pancasila itu bahkan tetap berlangsung sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang secara implisit tentu mengandung pula pengertian bahwa rumusan Pancasila harus sesuai dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 Rumusan yang beraneka ragam itu selain membuktikan bahwa jiwa Pancasila tetap terkandung dalam setiap konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, juga memungkinkan terjadinya penafsiran individual yang membahayakan kelestariannya sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa
Indonesia. Menyadari bahaya tersebut, pada tanggal 13 April 1968, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 yang menyeragamkan tata urutan Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
D. Pembahasan Menilik kembali kepada tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan kehendak dalam mengisi kemerdekaan RI yakni sebagai berikut: 1. Membentuk suatu pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. 2. Memajukan kesejahteraan umum / bersama 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa 4. Ikut berperan aktif dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan kedilan sosial. Dalam praktek dewasa ini sepertinya masih jauh api dari panggang, masih jauh impian dengan kenyataannya. Ketika hak-hak sebagai warga negara masih sangat sedikit yang menikmati, namun kewajibannya harus tetap dilaksanakan. Dilihat dari pasal kelima seharusnya saat ini hak warga negara lebih diperhatikan, misalnya hak yang paling mendasar yakni Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, agama, jabatan, dan lain sebagainya. Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak Asasi Manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan/tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh HAM di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia. Di
Indonesia
ini
pelanggaran-pelanggaran
terhadap
HAM
menyebabkan banyak rakyat yang sangat menderita. Contoh nyata akibat
pelanggaran HAM tersebut adalah: 1. Kemiskinan Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Hal ini sebenarnya didasari oleh rendahnya kualitas SDM Karena latar belakang pendidikan yang masih tergolong rendah dan kualitas moral para pemimpin yang tidak baik. Maksudnya adalah ketidak merataan pembangunan dibeberapa daerah sehingga beberapa wilayah di Indonesia memiliki nilai kemiskinan yang rendah sedangkan daerah lainnya memiliki angka kemiskinan yang tinggi. Jadi ini adalah bukti tidak adilnya pemerintah terhadap kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang menyebabkan kemiskinan. 2. Ketimpangan dalam pendidikan Banyak anak usia sekolah harus putus sekolah karena biaya, mereka harus bekerja dan banyak yang menjadi anak jalanan. Walaupun sudah diberlakukannya beberapa program untuk mengurangi biaya sekolah atau bahkan membebaskan biaya sekolah BOS (Biaya Operasional Sekolah) tapi kenyataannya pembagiannya masih belum merata diseluruh wilayah Indonesia dan masih banyak dipotong oleh pihak-pihak tertentu. 3.
Ketimpangan dalam pelayanan kesehatan Keadilan dalam kesehatan masih belum dirasakan oleh masyarakat
miskin Indonesia. Didalam hal ini maksudnya adalah belum dirasakan manfaat PJKMM (Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin) atau ASKESKIN (Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin) sehingga munculnya anggapan “orang miskin dilarang sakit” karena biaya berobat di Indonesia bisa dikatakan cukup tinggi dan hanya untuk kalangan menengah ke atas.
E. Penutup 1. Kesimpulan Terlalu banyak warga negara yang menjadi korban dari ketimpangan pemenuhan Hak Asasi Manusia di negara ini. Pasal kelima dari Pancasila seharusnya dapat menjadi dasar dan tujuan untuk menciptakan kehidupan yang adil dan makmur. Ketika para wakil rakyat sibuk memikirkan dirinya sendiri dan kroni-kroninya, lalu siapa yang memikirkan rakyat? Para pendahulu dengan susah payah merancang dan menyusun Pancasila ini, dengan harapan akan tercipta kehidupan yang lebih baik bagi setiap warganya. Bahkan sejak zaman Kerajaan Majapahit sudah mulai dikemukakan tentang Pancasila. Namun sekarang yang kita dapat hanyalah kemiskinan, ketimpangan dalam pendidikan dan kesehatan yang semakin meluas seiring bertambahnya penduduk di Indonesia. 2. Saran Berdasarkan uraian di atas sudah saatnya kita semua bergerak dalam memerangi penyimpangan ini. Pertama-tama pemerintah haruslah lebih memperhatikan rakyatnya, karena mereka sudah dipilih untuk menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat. Pemerintah seharusnya mendahulukan kepentingan seluruh rakyat dari pada kepentingan segelintir orang saja. Selanjutnya tugas warga negara adalah bersamasama dalam mengawasi pelaksanaannya. Pemerintah harusnya lebih bersikap proaktif dan adil kepada rakyatnya, ketika program dan bantuan tersalurkan dengan baik kepada yang benar-benar membutuhkan setidaknya dapat memberi harapan untuk hidup yang lebih baik.
F. Daftar Pustaka 1. Cassese, Antonio, 1994. HAM di Dunia Yang Berubah, Jakarta; Yayasan Obor. 2. Pangeran Alhaj S.T.S Drs., Surya Partia Usman Drs., 1995. Materi Pokok Pendekatan Pancasila. Jakarta; Universitas Terbuka Depdikbud. 3. Soediman Kartohadiprojo, 1970. Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, Bandung; Alumni.