LIBERALISASI PENDIDIKAN TINGGI ISLAM DI INDONESIA (Studi Kasus Pengembangan IAIN) Mustari Mustofa
Abstrak: Developing islamic higher education as a scientific institution and for transforming islamic values is a must. The exertion of developing islamic higher education is taken by giving a wider mandate to IAIN to transform into UIN. This paper also emphasis to reform on every aspect of islamic higher education including the basis of philosophical thought laying, society services. lecture empowerment, and based higher education management. Kata kunci: liberalisasi, PTI, IAIN, UIN
Pendahuluan Pembicaraan tentang masalah pengembangan pendidikan sudah sejak lama menjadi perhatian bahkan muncul secara kritis ke permukaan. Konteks dan skala pembicaraan tidak hanya bersifat nasional (internal suatu negara) tetapi bersifat dunia atau global (agenda bersama), baik dengan atau melalui organisasi-organisasi di luar naungan pemerintah dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Centre Studies, dan lain-lain, maupun melalui organisasi-organisasi di bawah naungan pemerintah dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti Departemen Kependidikan (untuk suatu negara) dan UNESCO (Badan Pendidikan PBB). Agenda pengembangan pendidikan suatu bangsa tidak akan pernah berhenti dan selesai. Ibarat patah tumbuh hilang berganti, selesai memecahkan suatu masalah, muncul masalah lain yang kadang tidak kalah rumitnya. Begitu pula hasil dari sebuah strategi pemecahan masalah pendidikan yang ada, tidak jarang justru mengundang--dan mengandung--masalah baru yang jauh lebih rumit
Mustari Mustofa
dari masalah awal. Itulah sebabnya pengembangan pendidikan tidak akan pernah ada batasnya. Selama manusia ada, persoalan pendidikan tidak pernah hilang dari wacana suatu bangsa. Oleh karena itu, agenda pengembangan pendidikan selalu ada dan berkembang sesuai dinamika kehidupan masyarakat suatu bangsa. Salah satu sisi dari permasalahan pengembangan pendidikan itu adalah masalah tenaga edukasi yang selama ini dipandang sebagai komponen penting dalam proses pendidikan. Secara sosial-struktural keberadaan tenaga edukasi dalam suatu lembaga pendidikan mempunyai fungsi ganda. Pertama, di samping secara formal mereka merupakan elemen pendidikan yang berfungsi mengajar dalam waktu dan sistem yang telah diatur oleh lembaga pendidikan. Kedua, secara informal mereka--tenaga edukasi itu--merupakan anutan di mana keberadaannya secara umum di lingkungan kampus tidak sederhana adanya. Kelompok tenaga edukasi dalam pengertian tidak sederhana tersebut, dapat disebut sebagai kelompok elit kampus. Dalam pandangan masyarakat kita, kampus atau lembaga perguruan tinggi seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN) atau Universitas Islam Negeri (UIN) merupakan institusi sosial yang memiliki makna elit dan sebagai lembaga formal transformasi ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sosok tenaga edukasi lembaga itu, kemudian dipandang sebagai orang elit di tengah-tengah kampus dan masyarakat pada umumnya. Sebagai kelompok elit, tenaga-tenaga edukatif seperti di IAIN, baik dalam fungsi formal maupun informal, pada umumnya menempati posisi tertentu. Fungsi formal mereka adalah dengan adanya legalitas status dan kedudukannya yang lebih ditentukan oleh negara atau pemerintah. Fungsi informal mereka adalah atas kemampuan daya kreasi dan inovasi mereka melalui jenjang pendidikan.1 Peranan dan pengaruh-pengaruh yang lebih memberikan harapan pencerahan tersebut di atas, sejalan dengan penelitian Mulkhan2 tentang peranan IAIN dalam pengembangan ilmu. Bahwa lembaga
1Suzane
Keller, Penguasa dan Kelompok Elit, Peranan Elit Penentu Dalam Masyarakat Modern (Jakarta:Rajawali Press, 2000), hlm. 1. 2Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan (Yogyakarta :Tiara Wacana, 2001), hlm. 5.
72
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
Liberalisasi Pendidikan Tinggi Islam
pendidikan tinggi Islam seperti IAIN belum tampak berusaha memecahkan masalah kevakuman pendidikan. Studi Islam lebih berfokus pada tradisi klasik yang mempelajari berbagai ketentuan kepercayaan (kalam) dan ritual pada Tuhan (syari’ah, fiqh). Akibatnya studi Islam menjadi suatu reduksi agama Islam yang hanya terkait dengan sistem kepercayaan dan ritual. Sementara ilmu kealaman, sosial, dan humaniora diletakkan di luar peta ajaran Islam. Oleh karena itu, menurut Mulkhan, lembaga IAIN/UIN sebagai pusat studi Islam harus menghilangkan sakralisasi studi Islam dalam peta ilmu. Kematian kritik atas studi Islam menyebabkan ia menjadi tradisi sakral. Selain itu lembaga pendidikan tinggi Islam sulit melahirkan ilmuwan dan pemikir kritis. Peran IAIN dalam konteks perubahan menurut Mulkhan, akan ditentukan oleh hal-hal berikut : (1) Kemandirian sebagai lembaga ilmu dengan dosen yang memiliki daya kritis dan kreatif; (2) Kemampuan mengembangkan pemikiran dan penelitian yang melampaui semua tradisi; (3) Kepekaan pada problem masyarakat dan terlibat secara aktif memberi panduan penyelesaian problem tersebut; (4) Mengembangkan sistem belajar mengajar transformatif dan produktif. Menurut Suwadi,3 bahwa problem pengembangan pendidikan Islam lebih jauh lagi, diantaranya adalah berkaitan dengan fungsi pendidikan dalam pemberdayaan masyarakat. Pendidikan lebih tidak berdaya ketika menghadapi tatanan masyarakat yang bertambah maju. Maka berkaitan dengan itu menurut Mulkhan,4 bahwa budaya kritik adalah metode dan etika ilmuwan dalam rekonstruksi pengembangan pendidikan Islam dan pemberdayaan umat. Model pengembangan masa lalu dalam kondisi kekuasan yang sentralistik merupakan fakta empiris untuk memulai upaya yang baru. Kritisisme ini menurut Mulkhan, telah mulai diperkenalkan oleh Paolo Freire dari Amerika Latin, Mahbubul Haq dari Pakistan, serta Willy Brant dari Jerman. Konsep-konsep mereka meluas sejak tahun 80-an dan sangat
3Suwadi,
“Pendidikan Islam Berwawasan Tauhid”, dalam Jurnal Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ((Nomor 1 Juli 2001), hlm. 17. 4Muslih Usa dan Aden Widjan S. Z. ed., Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial (Yogyakarta: Aditya Media,1997), hlm. 54.
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
73
Mustari Mustofa
penting dan relevan dalam mengkaji fungsi keagamaan dan pendidikan Islam. Menurut studi Hamruni,5 tentang pengaruh modernitas dalam pemikiran pendidikan Islam di Indonesia dengan menelaah konsep pendidikan di sebuah pesantren Majalengka, bahwa di Indonesia pengaruh berkembangnya pendidikan Barat diintrodusir telah membawa arah baru dalam jajaran sistem pendidikan Islam. Muncul pemikiran yang cukup kuat bahwa umat Islam harus menemukan sumber kekuatan Barat dan merekamnya untuk memperkuat kependidikan Islam. Oleh karena itu menurut Fazlur Rahman,6 untuk mengembangkan pendidikan Islam, pada umumnya harus menggunakan pendekatan adopsi, yakni menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana yang telah berkembang di Barat dan mencoba “mengislamkannya” dengan cara mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Menurut studi Maragustam,7 tentang perlunya revitalisasi strategi pembelajaran agama Islam dalam menapaki abad modern, selama ini para pengemban pendidikan Islam belum mendasarkan strategi pembelajaran agama pada elaborasi yang mendalam tentang realitas obyektif. Tetapi mendasarkannya pada tataran subyektif normatif yang diintegrasikan dengan realitas di lapangan. Artinya Islam baru ditampilkan pada realitas normatif, belum optimal melihat pada realitas obyektif. Padahal usaha untuk membentuk kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasarn spiritual, harus ada elaborasi dan integrasi yang mendalam antara keduanya sewaktu pembelajaran terjadi.
5Mengutip
HAR.Gibb, lebih jauh Hamruni mengemukakan bahwa secara eksplisit, tidak pernah ada gerakan pemikiran yang muncul tanpa adanya pengaruh dari pemikiran yang lain. Kuat dan lemahnya tingkat keterpengaruhan itu ditentukan oleh kualitas dialetik antara tradisi pemikiran yang bersangkutan dengan sistem pemikiran yang pernah berkembang sebelumnya. Lihat Hamruni, “Pengaruh Modernitas Dalam Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia” dalam Jurnal Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Nomor 1 Juli 2001). 6Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 155. 7Maragustam, “Revitalisasi Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam”dalam Jurnal Pendidikan Islam,, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Nomor I Juli 2001), hlm. 56.
74
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
Liberalisasi Pendidikan Tinggi Islam
Untuk dapat melakukan hal-hal yang demikian, suatu institusi pendidikan perlu melakukan berbagai upaya ke arah peningkatan kualitas secara berkesinambungan. Tanpa ada peningkatan kualitas secara berkesinambungan yang dibarengi dengan semangat reformasi kritis, pengembangan pendidikan akan terjebak pada upaya sesaat dan hanya bersifat tambal sulam yang reaktif. Upaya yang demikian itu tidak akan mampu memecahkan persoalan pendidikan yang berhadapan dengan gelombang globalisasi yang sedang dihadapi saat ini. Menurut Noer Effendi,8 globalisasi dapat dimaknai sebagai proses integrasi dunia disertai dengan ekspansi pasar (barang dan uang) yang di dalamnya mengandung banyak implikasi bagi kehidupan manusia. Bahkan tidak hanya integrasi dunia tetapi juga mengandung proses liberalisasi pasar dunia. Globalisasi yang berbarengan dengan liberalisasi bukanlah hal yang belum tampak di Indonesia Institut Agama Islam Negeri (IAIN) merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Karena itu, IAIN secara keseluruhan juga tidak bisa mengisolasikan diri dari perubahan-perubahan pendidikan dalam konteks nasional dan bahkan internasional. Dalam konteks ini, dipandang relevan mengangkat kutipan deklarasi UNESCO, yang dirumuskan dalam “World Conference on Higher Education”, di Paris tanggal 5-9 Oktober 1998: “One among the core missions and values of higher eduation is to) .... help protect and enhance societal values by training young people in the values which form the basis of democratic citizenship and by providing critical and detached perspectives to
8Mengutip
Giddens (2000), lebih jauh Noer Effendi menyebutkan bahwa terlepas dari segala macam penafsiran, globalisasi ditengarai sebagai sebuah proses yang kompleks. Kekomplekan itu muncul karena ia digerakkan oleh berbagai kekuatan, baik budaya, teknologi, politik, maupun ekonomi. Kekuatan budaya termasuk didalamnya pendidikan. Maka tidak mengherankan bila kemudian ia dapat mempengaruhi kehidupan. Ia tidak hanya merubah pola kehidupan personal tapi juga institusional dan menciptakan kekuatan-kekuaatan baru. Bahkan disadari atau tidak, globalisasi telah mentransformasikan ruang dan waktu serta institusi-institusi, baik sosial, budaya maupun ekonomi. Lihat Tajuddin Noer Effendi, Globalisasi dan Kemiskinan di Indonesia (Makalah, PPS Fisipol UGM, Yogyakarta, 2003), hlm. 1.
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
75
Mustari Mustofa
in the discussion of strategic options and the reinforcement of humanistic perpectives”9 Sebuah deklarasi menyangkut misi dan fungsi untuk membantu melindungi dan memperkuat nilai-nilai sosial dengan melatih generasi muda dalam nilai-nilai sosial yang membentuk dasar kewarganegaraan demokratis, dan dengan memberikan perspektif kritis dan tidak bias juga membantu dalam pembahasan tentang pilihan-pilihan strategis dan pengamatan perspektif humanistik. Menurut Mohctar Buchori,10 lembaga pendidikan tinggi Islam perlu melakukan orientasi kesiapan kelembagaan untuk mencapai mutu akademik dan profesionalisme. Kriterium yang dapat dipergunakan untuk mengukur mutu akademik antara lain ialah ketabahan, ketekunan dan ketuntasan dalam melaksanakan kegiatankegiatan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, sambil menjunjung tinggi kebebasan akademik yaitu kebebasan belajar dan mengajarkan hal-hal yang relevan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Sejalan dengan kecenderungan itu, menurut Engineer11 bahwa dalam sejarah Islam, ajaran kehendak bebas mendapat tempat yang sangat besar dalam teologi Islam. Mereka yang berjuang melawan penindasan, akan mendukung ajaran kehendak bebas. Sedangkan mereka yang menginginkan status quo, akan percaya pada nasib dan takdir. Teologi pembebasan dalam 9Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 2002), hlm. 19. 10Muchtar Buchari, Pendidikan dalam Pembangunan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 34. 11Pandangan Engineer tersebut tentu saja berakar pada konsep-konsep Al-Qur’an . Misalnya dengan ayat-ayat yang berkenaan dengan perintah zakat, perintah berbuat adil, perintah menegakkan prinsip keseimbangan dalam hidup, perintah menolong kaum lemah, dan lain-lain. Hanya perlu dicatat bahwa teologi pembebasan itu lebih menekankan pada praksis dari pada teoritis metafisis yang mencakup hal yang abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Menurut Engineer, sekarang sangat diperlukan menggali kembali nilai-nilai Islam sebagai agama pembebasan, hal ini dilandasi dengan beberapa alasan: Pertama, teologi Islam yang saat ini berkembang di masyarkat telah kehilangan relevansinya dengan konteks sosial yang ada, padahal teologi Islam itu seharusnya bersifat kontekstual dan transendental sekaligus. Kedua, teologi itu pasti mengalami demistified dari apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Islam. Ketiga, mengembalikan komitmen Islam terhadap keadilan. Baca Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 1.
76
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
Liberalisasi Pendidikan Tinggi Islam
pandangan Islam menurut Engineer adalah: pertama, dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan di akhirat; Kedua, teologi ini tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan tertentu; Ketiga, teologi pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok tertindas; Keempat, teologi pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah umat Islam, namun juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri. Menurut Engineer, penggalian ajaran-ajaran ini akan memperkuat praksis Islam yang membebaskan (liberative). Bahwa Islam berorientasi pada praksis, sesuai dengan ayat-ayat al-Quran yang banyak sekali mendukung adanya tindakan pembebasan secara sungguh-sungguh. Landasan pokok teologi pembebasan ini adalah tauhid dan iman. Dalam sejarah teologi Islam, ada dua istilah yang berhubungan dengan tindakan-tindakan ideologis, yaitu Jabr yang berkonotasi pada individu dan masyarakat yang tidak mempunyai kebebasan untuk berkehendak. Kemudian istilah Qadr, yang bermakna pilihan untuk melakukan sesuatu. Orang yang mengikuti pendapat pertama disebut Jabariyah dan kelompok yang kedua disebut Qadariyah. Kaum Mu’tazillah dan Khawarij (orang-orang yang melepaskan diri) juga cenderung pada paham kehendak bebas dan revolusi. Golongan Syiah, Khawarij, dan Mu’tazilah, seluruhnya merupakan oposan dari pemerintahan Umayyah yang menindas dan eksploitatif, menganut ajaran kehendak bebas. Manusia bukan hanya sebuah mainan yang berada di tangan sang takdir, nasibnya tidak sepenuhnya ditentukan oleh Allah. Dan sejauh ini menurut teologi pembebasan, manusia itu bebas dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Manusia diciptakan Allah untuk menentukan nasibnya sendiri didalam batas-batas (hudud) yang ditetapkan oleh-Nya. Sementara itu dalam studi Anwar al-Jundy, bahwa sarjana muslim sendiri cenderung mereduksi pendekatan-pendekatan sarjana Barat sebagai “westernisme”. Menurut al-Jundy, westernisasi itu sendiri adalah “suatu pengkondisian agar kaum muslim dan Arab dapat menerima sepenuhnya mentalitas Barat dan menolak aspek-aspek fundamentalisme Islam yang menekankan suatu identitas khusus dan karakter Islam. Sebagai tambahannya, westernisasi mencuatkan
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
77
Mustari Mustofa
keragu-raguan tentang pendidikan sosial, dan prinsip-prinsip hukum Islam”.12 Sehubungan dengan itu maka menurut Syafii Maarif,13 di lingkungan perguruan tinggi Islam harus diupayakan dan dikembangkan suatu sistem pengembangan yang sesuai dengan peradaban yang modern. Paling tidak ada empat komponen yang memegang peranan penting dalam pengembangan pendidikan tinggi Islam yaitu, (1) konsorsium pendidikan tinggi Islam, (2) badan penyelenggara, (3) rektor/pimpinan, dan (4) tenaga edukatif. Menurut Muzhoffar Akhwan,14 untuk dapat memenuhi tuntutan masyarakat dalam mengejar ketertinggalan Islam di bidang pendidikan, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan pendidikan Islam khususnya dilingkungan perguruan tinggi, yaitu: (1) mengembangkan upaya untuk selalu menambah, memperluas wawasan keilmuan serta kualitas para dosennya; dan (2) terciptanya suasana kampus yang kondusif bagi peningkatan mutu akademik, seperti tersedianya sarana dan prasarana yang representatif. Pengembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia telah mulai dilakukan dalam beberapa tahun terakhir ini. Beberapa IAIN di Indonesia telah ‘bergeliat’ menyambut adanya peluang. IAIN atau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan yang pertama menunjukkan fenomena pengembangan itu. Nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) itu, telah resmi berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Liberalisasi Pendidikan Liberalisasi pendidikan merupakan gerakan pendidikan kontemporer di mana pendidikan haruslah merupakan tindakan kultural
12Earle
H Waugh, Dibalik Scylla dan Kharybdis Fazlur Rahman dan Identitas Islam, Dalam Wacana Islam Barat: Refleksi Islamisis Atas Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman (Yogyakarta: Titian Ilahi Press 2001), hlm. 2-24. 13Ahmad Syafi’i Maarif, “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Bangsa” dalam Muslih Usa dan Aden Widjan S. Z., ed. Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, hlm. 63-68. 14Muzhoffar Akhwan, “Karakteristik, Tujuan dan Sasaran Pendidikan Islam” dalam Muslih Usa dan Aden Widjan S. Z., ed. Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, hlm. 34-42.
78
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
Liberalisasi Pendidikan Tinggi Islam
untuk kebebasan dan revolusi kultural.15 Bagi pendukung lingkaran liberal, kebaikan tertinggi adalah kebebasan kritis. Manusia bersifat rasional yang mampu terdidik secara bebas. Kecerdasan kritis ini pada dasarnya merupakan kekuatan pemecah masalah untuk menciptakan sebuah masyarakat rasional. Perkembangan masyarakat semacam itu menuntut pelenyapan kondisi sosial termasuk segala bentuk ontoritarianisme intelektual yang menghalangi manusia untuk berfikir dan bertindak secara bebas.16 Mengutip Skinner, selanjutnya disebutkan bahwa untuk proses rasionalisasi kritis semacam itu, hanya mungkin dilakukan dengan atau melalui mereka yang mampu menemukan dan menerapkan prinsip-prinsip ilmiah dalam pendidikan. Dengan demikian, lingkaran liberal dalam proses pendidikan terdiri atas liberalisme metodis, liberalisme direktif, dan liberalisme nondirektif.17 Berdasarkan pengertian beberapa konsep serta fakta empiris yang terdapat di lapangan, maka terdapat beberapa permasalahan umum, yaitu: pertama, terdapat tuntutan-tuntutan yang semakin kuat untuk mengembangkan model pendidikan tinggi Islam setelah terjadi penilaian bahwa model yang lama sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dan tuntutan global. Kedua, pengembangan pendidikan tinggi Islam tentu mengalami suatu proses yang tidak sederhana dan mudah. Di dalamnya terdapat elemen kunci atau tokoh, aktor, serta gagasan-gagasan dan kultur sejarah yang menyertai proses perjalanannya yang harus diketahui. Ketiga, gagasan-gagasan, tokoh, aktor serta kultur sejarah yang menyertai proses perjalanan pengembangan pendidikan tinggi Islam itu merupakan sesuatu yang tidak utuh dan menyatu. Terdapat pro dan kontra serta perbedaan dalam memberi apresiasi dan respon terhadapnya. Di samping itu, sejarah pemikiran dan teologi Islam, turut berpengaruh atau menjadi salah satu instrumen yang melekat. Keempat, kelompok dosen yang belajar di Barat, ditengarai sebagai kelompok “liberal” menyangkut Islam, sedangkan kelompok dosen
H. A. R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 235. William F. O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1981), hlm. 374. 17 Ibid., hlm. 444. 15 16
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
79
Mustari Mustofa
yang berlatar belakang pendidikan di Timur Tengah atau yang lainnya ditengarai lebih “normatif konservatif“. Karena itu, cenderung kaku menyangkut Islam, dan karena itu tidak liberal. Dengan demikian terdapat kategori yang beragam, bervariasi, dan berbeda dalah kelompok dosen namun memiliki peran dan pengaruh tersendiri dalam proses pengembangan pendidikan. Dalam masyarakat Islam, pendidikan tidak saja berfungsi teologis tapi juga sosiologis. Konseptualisasi pendidikan dalam praktik dari konsepsi tersebut akan menentukan jalannya sejarah Islam di tengah kehidupan umat manusia. Dalam perkembangan masyarakat dunia yang selalu berusaha mencari dan merumuskan berbagai tatanan baru dan model-model alternatif di berbagai bidang, maka bidang pendidikan dituntut untuk selalu dan terus dikembangkan. Pengembangan bidang pendidikan tidak dapat terlepas dari perkembangan dan perubahan masyarakat, sebab pendidikan diselenggarakan dan diperuntukkan bagi masyarakat. Bahkan sistem pendidikan yang baik akan selalu diukur sejauh mana sistem itu memiliki kemampuan menyerap, mengarahkan, dan menilai setiap perubahan dan kecenderungan yang terjadi di masyarakat. Inilah yang oleh Imam Barnadib disebut sebagai elektik inkorporatif.18 Liberalisme selalu menolak kaum konservatif bahwa kesetiaan terhadap susunan institusi tradisional harus didahulukan sebelum pertimbangan atas nilai-nilai yang mereka miliki dalam melindungi pemenuhan diri individu. Validitas ini biasanya ditentukan oleh perhitungan utilitarian atas berbagai manfaat yang tumbuh dari determinasi-diri individu atau dari perspektif moral yang bersandar pada pandangan bahwa individu tidak bisa diganggu gugat (inviolability of the person). John Locke (1690) barangkali bisa diangap sebagai pelopor liberalisme modern melalui pendapatnya bahwa pemerintah (state) terikat secara hukum alamiah untuk melindungi hak-hak individu. State di sini dalam konteks penyelenggara pendidikan, dapat diwakili oleh lembaga pendidikan serta pengelola atau dosen yang mengajar di
18Imam
Barnadib, Arti dan Metode Sejarah Pendidikan (Yogyakarta: Yasbit IKIP, 1982),
hlm. 14.
80
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
Liberalisasi Pendidikan Tinggi Islam
dalamnya, yang dituntut untuk menyelenggarakan model pendidikan yang tidak pasif dan terpasung. Perkembangan liberalisasi modern mendapat pengaruh kuat dari masa pencerahan (englightment). Pencerahan ini menghasilkan versi yang jauh lebih rasional yang secara eksplisit mengharuskan seluruh tatanan/lembaga sosial mengalami uji penalaran yang empiris yang tidak tercampur dengan praktik-praktik tradisional. Berdasarkan pandangan tersebut, studi ini juga akan melihat apakah liberalisasi pendidikan Islam dalam kasus pengembangan IAIN dalam kerangka memenuhi dua aspek teori keadilan sosial kebebasan dan kesejahteraan. Diasumsikan bahwa, setelah model pengembangan IAIN gaya lama sama sekali jauh dari peluang apalagi fakta tercapainya kebebasan dan kesejahteraan tersebut, maka, usaha reformasi kemungkinan diarahkan pada tercapainya masalah itu. Kristalisasi pandangan tersebut adalah terjadinya proses rasionalisasi secara kritis terhadap pengembangan lembaga-lembaga sosial dan budaya. Pendekatan ini menjadi mapan dalam liberalisasi akhir abad ke-20 (terutama di Amerika Serikar). Liberalisasi merupakan kebangkitan sejak tahun 1970-an, dalam masyarakat liberal yang pluralistis, tidak ada dominasi, kondisi ini akan terjadi bila masyarakat diberi kebebasan. Peran penalaran dan evaluasi berkembang secara rasional. Akhirnya, apapun perselisihan tentang konteks liberalisasi itu, kaum liberal modern dipersatukan oleh penolakannya terhadap paham konservatif yang meletakkan identitas individual dalam tatanan sosial yang kebal terhadap kritik rasional.19 Rasionalitas merupakan salah satu spirit proses pendidikan yang liberal. Ia lahir sebagai antitesa terhadap proses pendidikan yang penih penindasan. Tindakan penindasan dalam proses pendidikan dapat terjadi karena pendidikan itu dianggap sakral, penuh kemapanan dan tidak perlu diutak-atik lagi. Konservatisme pendidikan seperti inilah yang kemudian melahirkan kritik dari tokoh-tokoh liberal dalam pendidikan. Dalam paradigma liberal, tugas pendidikan adalah transformasi rasional masyarakat. Kaum liberal selalu berusaha menyesuaikan 19Adam
Kuper dan Jessica Kuper, The Social Sciences Encyclopedia (Jakarta: Binarupa Aksara, 2000).
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
81
Mustari Mustofa
pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Bagi seseorang pendidik liberal, tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Liberalisasi pendidikan ini berbeda-beda dalam hal intensitasnya, dari yang relatif lunak, yakni liberalisme metodis keliberalisme direktif (liberalisme yang bersifat mengarahkan), hingga ke liberalisme non-direktif atau liberalisme laissez-faire (liberalisme tanpa pengarahan) yang berakar pada perpektif tokoh seperti A.S. Neill atau Carl Rogers.20 Kaum liberalisme metodis adalah mereka yang mengambil sikap bahwa selagi metode-metode pengajaran harus disesuaikan dengan zaman supaya mencakup renungan-renungan psikologis dalam hakikat belajar. Maria Montessori21 menyebutkan, gerakan yang menuju ke arah liberalisasi metodis adalah kehidupan berdasarkan kompetensi dan tujuan-tujuan pendidikan diarahkan pada pemapanan behavioral. Ada tiga hal yang perlu dicatat, yaitu: pertama, definisi dari liberalis metodis adalah seseorang yang mengusulkan sebuah cara baru untuk mengajar (inovasi). Kedua, adanya gagasan progresif yang berorientasi pada ‘bisnis’ berbicara tentang efisiensi sosial dan kesejahteraan. Ketiga, program pendidikan dapat dipandang sebagai program liberal jika ia memenuhi salah satu dari ketiga syarat/kondisi sebagai berikut : 1) Bersifat menemukan hal-hal baru (inovatif) dan kelihatan beranjak dari praktik-praktik pendidikan konvensional. 2) Dilatarbelakangi dan didorong oleh motif pertimbangan-pertimbangan yang bersifat ideologis ‘liberal’ yang bisa dikenali tidak menginginkan pelestarian keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik yang ada, juga tidak ingin menghidupkan kembali yang lama atau yang ada sebelumnya. 3) Membawa konsekuensi yang secara efektif menyumbang pada perwujudan sasaran sosial yang bersifat liberal.
20 21
William F. O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, hlm. 109. Ibid, hlm. 444.
82
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
Liberalisasi Pendidikan Tinggi Islam
Kaum liberalis direktif, terutama telah dianut dalam sistem pendidikan di Amerika Serikat, pada dasarnya menginginkan pembaharuan mendasar dalam hal tujuan sekaligus dalam hal cara kerja lembaga pendidikan. Mereka menganggap bahwa wajib belajar adalah perlu, dan memilih untuk mempertahankan kebebasan keperluan mendasar tertentu, serta mengajukan penetapan lebih dulu tentang isi pelajaran-pelajaran yang akan diberikan. Di sisi lain, mereka mengambil sikap bahwa, di dalam batas-batas tersebut, baik tujuan maupun cara (termasuk sasaran-sasaran, isi, dan metode) memerlukan perombakan secara radikal dari orientasi semula (yakni dari arah tradisional) ke arah yang lebih tepat, yakni mengajar setiap siswa untuk berfikir secara efektif dan transformasional. Dalam kerangka pengertian ini, menarik untuk mengutip John Naisbitt,22 bahwa dalam dunia yang semakin global, mantra abad baru (new age) “berfikir global, bertindak lokal” harus dibalik menjadi “berfikir lokal, bertindak global”. Kaum liberalis non-direktif, berpandangan bahwa tujuan dan caracara pelaksanaan pendidikan perlu diarahkan kembali secara radikal dari orientasi otoritariannya yang tradisional ke arah sasaran pendidikan yang mengajar siswa untuk memecahkan masalah secara efektif. Para liberalis non-direktif akan mengganti wewenang kebangsaan (state) dengan kebebasan siswa untuk memilih pelayananpelayanan pendidikan apapun yang mereka anggap relevan dan lebih memakai pendekatan pasar bebas. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka untuk mengembangkan lembaga pendidikan dalam lingkaran liberal, setidaktidaknya dilandasi oleh asumsi-asumsi, antara lain, kebaikan tertinggi adalah kecerdasan kritis, yang dirumuskan dalam ranah pemecahan masalah secara efektif, baik di tingkat personal maupun sosial. Manusia bersifat rasional, dan nalarnya sendiri mampu memapankan hubungan timbal-balik antara kepentingan dirinya dengan dunia luar. Kecerdasan kritis bagi teori liberal pendidikan, adalah nilai-cara (means-value) yang mendahului nilai-tujuan (ends-value). Selanjutnya, faktor kecerdasan atau tingkat rasionalitas masyarakatpun merupakan faktor yang menjadi kondisi logis dalam mendukung kecerdasan 22
John Naisbitt dan Patricia Aburda, 1994 : 18
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
83
Mustari Mustofa
pendidikan. Manusia yang rasional memerlukan masyarakat yang rasional, dan perkembangan masyarakat semacam itu menuntut pelenyapan seluruh kondisi sosial, termasuk segala bentuk otoritarianisme intelektual yang menghalagi manusia untuk berfikir dan bertindak secara bebas dalam menanggapi kondisi-kondisi yang terusmenerus mengalami perubahan. Individu yang bebas dan rasional, hanya bisa mungkin tercapai ketika kesadaran manusia telah dibebaskan dari khayalan-khayalan sosial yang meluas dan yang dilestarikan oleh sistem-sistem otoritarian, dan manusia itu telah mampu bertindak secara mandiri, terlepas dari segala kekangan kelembagaan yang biasa.23 Wacana Liberalisasi Pengembangan IAIN Sudah sejak lama muncul gerakan untuk mengembangkan ilmu pendidikan di kalangan akademisi muslim baik gerakan bersifat konseptualisasi sekaligus institusionalisasi mapun gerakan yang hanya memperkenalkan konsep atau teori saja. Menurut Tafsir ada dua kelompok teori pendidikan, yaitu teori pendidikan Barat (ini disebut teori modern) dan teori pendidikan Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Ternyata pengelola pendidikan Islam kebanyakan belum mampu menyintesiskan kedua teori ini. Misalnya, sebut suatu kasus : untuk meningkatkan mutu sekolah, orang Islam menggunakan teori Barat, tetapi dalam pembiayaan hendaknya seringan mungkin; gedung, alat, dan sarana, ditiru dari Barat, akan tetapi gaji guru/dosen kecil saja, kalau bisa ikhlas saja. 24 Usaha untuk menyintesiskan dua kelompok teori pendidikan dengan usaha membebaskan pendidikan Islam dari “ideologisasi” dan “sekularisasi” bagi pengembangan IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam, sudah sejak lama dirancang, baik melalui intervensi
23William
F. O’neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, hlm. 374-375. Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 3. 24Ahmad
84
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
Liberalisasi Pendidikan Tinggi Islam
pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama RI sebagai departemen yang membawahinya maupun dari kalangan kampus sendiri.25 Konferensi Internasional tentang Pendidikan Islam tahun 1980 di King Abdul Aziz University dapat dipandang sebagai salah satu pendorong pengembangan secara sintesis. Dalam studi keislaman memang dikenal wilayah normatif dan historis ajaran Islam.26 Sementara menurut Ibnu Khaldun sebagaimana dinyatakan Tafsir menyebutnya dengan istilah pengetahuan naqliyah (yang diwahyukan) dan pengetahuan aqliyah (yang dipikirkan) . Dalam kenyataan sejarah, kedua macam pengetahuan itu harus dimasukkan ke dalam kurikulum kependidikan Islam. Pengintegrasian kedua pengetahuan itu harus dimulai dengan membangun kembali filsafat pengetahuan dalam Islam dan juga mengintegrasikannya dalam sistem pendidikan Islam. Pengetahuan dalam pandangan Islam hanya satu. Untuk kepentingan pendidikan, pengetahuan yang satu itu harus diklasifikasi, yang dalam Konferensi Internasional (1980) itu menyebutnya sebagai kelompok perennial knowledge dan acquiered knowledge. Perennial knowledge terdiri dari ilmu-ilmu al-Qur’an dan pengetahuan pembantu. Sedangkan Acquiered knowledge terdiri dari ilmu-ilmu seni, bahasa (arts), pengetahuan intelektual (sosial dan alam), applied science (rekayasa, kedokteran) dan pengetahuan praktis (administrasi, perdagangan, dan sebagainya). Rekomendasi konfrensi ini sangat representatif dan dapat dipandang sebagai spirit pengembangan pendidikan Islam. Dari sini dapat ditemukan strategi pengembangan, yang selama ini terjebak dalam kerumitan memahami istilah pengatahuan agama dan umum yang menyebabkan kepasifan dalam sistem pengembangan. Mengamati perkembangan sistem pengembangan IAIN dalam konteks perkembangan mutakhir, menurut Azra memiliki keterkaitanketerkaitan historis dengan perkembangan sebelumnya, di samping arah pengembangan itu juga sedikit banyak diilhami oleh Paole Freire 25Abdul
Munir Mulkhan, “Refleksi Humanisasi Tauhid dalam Reformasi Ontologis Pendidikan Islam” dalam Jurnal Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (Nomor 1 Juli 2001). 26Amin Abdullah, Epistimologi Filsafat Islam: Normatifitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar : 1996).
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
85
Mustari Mustofa
tentang pendidikan dan pembebasan manusia dari ketertindasan struktural dan kultural, yang merupakan awal baik bagi pengembangan konsepsi dan pemikiran kependidikan Islam yang lebih dinamis dan fungsional dalam menjawab tantangan-tantangan dunia dewasa ini. Menurut pengamatan Abdullah bahwa studi Islam di IAIN menghadapi dilema antara studi keilmuan dan pendekatan keagamaan, yang dapat berakibat pada tertindihnya misi keilmuan oleh misi keagamaan, dan begitu sebaliknya. Studi keilmuan mengandaikan perlunya pendekatan kritis, analitis, empiris, historis. Sedangkan pendekatan keagamaan lebih menonjolkan sikap pemihakan, idealitas, bahkan seringkali diwarnai pembelaan yang bercorak apologis dan bersifat partikuler subyektif. 27 Usaha untuk mensintesakan dikotomi pendekatan itu dalam arti di satu pihak lebih berorientasi pada dunia pemikiran dan analisis kritis sedangkan di pihak lain tetap menonjolkan pemihakan (commitment) kemudian berkembang hingga menemukan momentum-momentumnya. Salah satu momentum itu adalah lahirnya policy negara berupa pemberian perluasan otonomi bagi IAIN (with wider mandate), dan sebagai kelanjutan pengembangan sebelumnya khususnya apa yang disebut proyek pembibitan dosen-dosen IAIN yang kemudian dikirim ke luar negeri (umumnya di Barat seperti Amerika Serikat). Pada saat ini, banyak dosen itu telah kembali ke kampus bahkan ikut mendukung program pengembangan IAIN dengan perubahan seperti IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Menurut Muhaimin, tuntutan untuk mengembangkan IAIN dilatarbelakangi oleh kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut; pertama, tuntutan akan studi keislaman yang mengarah pada pendekatan non-mazhabi sehingga menghasilkan pemudaran sektarianisme. Kedua, menyangkut pergeseran dari studi keislaman yang bersifat normatif ke arah yang lebih historis, sosiologis dan empiris. Ketiga, menyangkut orientasi keilmuan yag lebih luas.28
27Muhaimin,
Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 261 28Ibid, hlm. 262.
86
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
Liberalisasi Pendidikan Tinggi Islam
Lebih jauh Muhaimin memaparkan bahwa pada dekade yang lalu, pengembangan yang bersifat normatif dianggap kurang relevan lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan perkembangan nasional. Di samping itu dengan paradigma seperti itu IAIN tidak memungkinkan untuk melahirkan manusia-manusia yang kompetitif. Adanya kebijakan tentang “IAIN with wide mandate” atau bahkan Universitas Islam Negeri (sebagaimana di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), merupakan peluang bagi dunia pendidikan tinggi Islam untuk merespon perubahan sosial melalui perubahanperubahan paradigma. Reassesment terhadap kinerja perguruan tinggi secara komprehensif yang menghasilkan pemikiran dan konsep baru tentang pengembangan, bisa dilihat dalam Amijaya, sebagaimana dikutip Azra. Ia mengidentifikasi lima masalah besar yang dihadapi institusi pendidikan tinggi pada umumnya yaitu: pertama, produktifitas yang rendah, kedua, keterbatasan daya tampung, ketiga, keterbatasan kemampuan berkembang, keempat, kepincangan diantara berbagai perguruan tinggi, dan kelima, distribusi yang tidak seimbang dalam bidang-bidang ilmu yang disediakan khususnya diatara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora dengan ilmu-ilmu eksakta. Untuk mengatasi berbagai kelemahan ini Amijaya mengajukan lima program besar: (1) peningkatan produktifitas perguruan tinggi, (2) peningkatan daya tampung, (3) peningkatan pelayanan kepada masyarakat, (4) peningkatan bidang eksakta dan iptek, dan (5) peningkatan kemampuan berkembang.29 Diakui bahwa program di atas tidak banyak berhasil karena terdapat berbagai kendala, khususnya di lingkungan institusi pendidikan masing-masing, dan kebijakan pendidikan nasional yang sentralistik dan kaku. Sebab itu, Beberapa konsep program besar kembali dirumuskan yakni : (1) peningkatan kualitas institusi; (2) peningkatan produktifitas; (3) peningaktan relevansi; (4) perluasan kesempatan memperoleh pendidikan.30 Menurut Fadjar, et.al.--sebagaimana dikutip Azra--perumusan kembali (reformulation) paradigma baru pendidikan tinggi pada 29Azyumardi
Azra, Paradigma Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Kompas, 1991), hlm. 30.
30Ibid.
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
87
Mustari Mustofa
tingkat nasional itu mendapatkan daya dorong dengan terjadinya krisis moneter sejak akhir 1997. Reformasi sistem pendidikan dilakukan secara menyeluruh terhadap seluruh aspek pendidikan, seperti: filosofi dan kebijakan pendidikan nasional, sistem pendidikan berbasis masyarakat (community-based education), pemberdayaan dosen/tenaga pendidik, managemen berbasis sekolah (school based management); implementasi paradigma baru dan sistem pembiayaan pendidikan. Wa Allâh a’lam bi al-Shawâb.* Penutup Liberalisasi pendidikan merupakan gerakan pendidikan kontemporer di mana pendidikan haruslah merupakan tindakan kultural untuk kebebasan dan revolusi kultural. Dalam paradigma liberal, tugas pendidikan adalah transformasi rasional masyarakat. Kaum liberal selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Bagi seseorang pendidik liberal, tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana caranya menghadapi persoalanpersoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Untuk mengembangkan lembaga pendidikan dalam lingkaran liberal, setidak-tidaknya dilandasi oleh asumsi-asumsi, antara lain, kebaikan tertinggi adalah kecerdasan kritis, yang dirumuskan dalam ranah pemecahan masalah secara efektif, baik di tingkat personal maupun sosial. Upaya liberaliasi pendidikan Islam perlu dilakukan dengan cara menyintesiskan dua teori pendidikan—teori Barat dan teori Islam-dengan usaha membebaskan pendidikan Islam dari “ideologisasi” dan “sekularisasi”. Upaya ini, secara kelembagaan, telah ditunjukkan dengan pemberian mandat yang lebih luas kepada IAIN (IAIN with wider mandate) dan pendirian UIN. Wa Allâh a’lam bi al-Shawâb.*
88
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
Liberalisasi Pendidikan Tinggi Islam
Daftar Pustaka Abdullah, Amin. Epistimologi Filsafat Islam: Normatifitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Akhwan, Muzhoffar. “Karakteristik, Tujuan dan Sasaran Pendidikan Islam” dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial. ed. Muslih Usa dan Aden Widjan S. Z. Yogyakarta: Aditya Media, 1997. Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 2002. --------------------, Paradigma Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Kompas, 1991. Barnadib, Imam. Arti dan Metode Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Yasbit IKIP, 1982. Buchari, Muchtar. Pendidikan dalam Pembangunan. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994. Engineer, Asghar Ali. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: LKiS, 1999. Hamruni. “Pengaruh Modernitas dalam Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia” dalam Jurnal Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Nomor 1 Juli 2001). Keller, Suzane. Penguasa dan Kelompok Elit, Peranan Elit Penentu dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Rajawali Press, 2000. Kuper, Adam dan Jessica Kuper. The Social Sciences Encyclopedia. Jakarta: Binarupa Aksara, 2000. Maarif, Ahmad Syafi’i. “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Bangsa” dalam ed. Muslih Usa dan Aden Widjan S. Z., Pendidikan Islam Dalam Peradaban Industrial. Yogyakarta: Aditya Media, 1997. Maragustam, “Revitalisasi Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam”dalam Jurnal Pendidikan Islam,, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Nomor I Juli 2001).
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009
89
Mustari Mustofa
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Mulkhan, Abdul Munir. Nalar Spiritual Pendidikan. Yogyakarta :Tiara Wacana, 2001. --------------. “Refleksi Humanisasi Tauhid dalam Reformasi Ontologis Pendidikan Islam” dalam Jurnal Pendidikan Islam, Fakultas tarbiyah IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta, (Nomor 1 Juli 2001). O’neil, William F. Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1981. Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas. Bandung: Pustaka, 1985. Suwadi. “Pendidikan Islam Berwawasan Tauhid”, dalam Jurnal Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ((Nomor 1 Juli 2001). Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Noer Effendi, Tajuddin. Globalisasi dan Kemiskinan di Indonesia. Makalah, PPS Fisipol UGM, Yogyakarta, 2003. Tilaar, H. A. R. Perubahan Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Grasindo, 2002. Usa, Muslih dan Aden Widjan S. Z. Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial. Yogyakarta: Aditya Media, 1997. Waugh, Earle H. Scylla dan Kharybdis. Fazlur Rahman dan Identitas Islam, dalam Wacana Islam Barat: Refleksi Islamisis Atas NeoModernisme Islam Fazlur Rahman. Yogyakarta: Titian Ilahi Press , 2001.
90
Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009