Pelestarian Lingkungan (biodiversity) LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN STRATEGIS NASIONAL Menghasilkan karya penelitian strategis nasional yang bermutu tinggi untuk menyelesaikan masalah nasional, regional, pemerintah daerah dan masyarakat
PENGARUH OUTDOOR EDUCATION TERHADAP PENINGKATAN KESADARAN KELESTARIAN LINGKUNGAN ALAM
Ketua Peneliti : Prof. Dr. H. Rusli Lutan Anggota Dr. Kardjono, M.Sc Drs. Carsiwan, M.Pd
JURUSAN /PROGRAM STUDI OLAHRAGA FAKULTAS PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2009
0
LAPORAN PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL TAHUN ANGGARAN 2009
I. LAPORAN UMUM
1. Judul Penelitian
: Pengaruh Outdoor Education Terhadap Peningkatan Kesadaran Kelestarian Lingkungan Alam
2. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap
: Prof. Dr. H. Rusli Lutan
b. Jenis Kelamin
: Laki-laki
c. NIP
: 130319774
d. Jabatan Struktural
: Pembantu Rektor Bidang TIK, Kerja Sama dan Usaha
e. Jabatan fungsional
: Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia
f. Fakultas/Jurusan
: Pendidikan Olahraga dan Kesehatan/Kepelatihan
g. Pusat Penelitian
: Universitas Pendidikan Indonesia
h. Alamat
: Jalan Dr. SetiaBudhi 229, Bandung, Indonesia.
i. Telpon/Faks
: (022) 2001453
j. Alamat Rumah
: Jl. Pikiran Rakyat no. 34 Kompleks Wartawan Galihpawarti, Bale Endah, Bandung, Indonesia.
k. Telpon/Faks/E-mail
: (022) 5940500; Hp. 0818214006
3. Jangka Waktu Penelitian
: 1 tahun
4. Jumlah biaya penelitian
: Rp 100.000.000,00
1
5. Personalia peneliti No. 1. 2.
3.
Nama dan Gelar Bidang Akademik Keahlian Prof. Dr. H. Rusli Lutan Pend.OR Kes. Drs. Kardjono, M.Sc Pend.OR Kes.
Instansi
Tugas
FPOK-UPI FPOK-UPI
Mengkoordinir seluruh kegiatan penelitian Merancang lokasi dan sampel penelitian
Drs. Carsiwan, M.Pd
FPOK-UPI
Instruktur lapangan
6. Objek penelitian
Pend.OR Kes.
: Mahasiswa semester awal FPOK-UPI Bandung
5. Masa pelaksanaan penelitian : Maret sampai Desember 2009 6. Lokasi penelitian
: Alam bebas di sekitar Jawa Barat
8. Hasil yang ditargetkan
: Meningkatkan kesadaran terhadap pemeliharaan lingkungan alam.
Mengetahui: Desember 2009
Bandung, 10
Dekan FPOK UPI
Ketua Peneliti,
( Prof. Dr. H. Rusli Lutan)
(Dr. H. Yudha M. Saputra, M.Ed) 196303121989011002
194507051967081001 Menyetujui : Ketua LPPM UPI
(Prof. Dr. H. Sumarto, MSIE) 195507051981031005
2
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pendidikan kesadaran lingkungan hidup dengan asas pembangunan berkelanjutan (sustainable development) melalui pendidikan alam terbuka (outdoor education). Desain penelitian mencakup metode eksperimen, dengan desain factorial (2 x 2). Subyek adalah kelompok mahasiswa FPOK-UPI putra yang diperlakukan dengan program hiking di alam bebas, berlandaskan pendekatan experiential learning. Data tentang kesadaran akan pelestarian lingkungan alam yang menjadi fokus kajian ini, diperoleh dengan skala The connectedness to nature scale: A measure of individual feeling in community with nature yang disusun oleh Mayer; dkk (2004). Dari hasil analisis data pengaruh Outdoor Education dengan pengalaman ajar Hiking melalui metode experiential learning terhadap peningkatan kesadaran pemeliharaan lingkungan alam selama 16 kali pertemuan, diperoleh bahwa Outdoor Education dengan pengalaman ajar Hiking yang disampaikan melalui metode experiential learning dari perspektif analisis pendekatan kuantitatif kurang berpengaruh terhadap peningkatan kesadaran pemeliharaan lingkungan alam dikalangan mahasiswa.
3
PRA KATA Rislah ini merupakan hasil laporan penelitian yang berjudul Pengaruh Outdoor Education terhadap Peningkatan Kesadaran Kelestarian Ligkungan Alam. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh tuntutan yang sangat mendesak yang dialami oleh bangsa Indonesia berupa degradasi kualitas lingkungan hidup sebagai akibat ketidak seimbangan dalam hal pemenuhan kebutuhan di satu pihak dan keterbatasan daya dukung lingkungan. Isu pemanasan global dengan rangkaian akibatnya di Indonesia seperti bencana banjir, iklim yang tak menentu, kekeringan berkepanjangan atau penurunan produk perikanan karena suhu laut naik dan ikan menyelam lebih dalam, sungguh merupakan ancaman nyata. Namun persoalan itu tidak sera merta ditanggapi oleh masyarakat luas kendatipun pemerintah dengan powernya untuk meluncurkan kebijakan publik, serta peranan media untuk memperkuat isi pesan, cukup gencar. Sikap apatis dan kurangnya kepedulian itu mungkin karena ketidaktahuan atau ketidakmampuan untuk memahami interelasi antara komponen alam sekitar sebagai sebuah system serta hubungan timbal balik dengan manusia dan peradabannya. Terkait dengan isu itu maka pendidikan lingkungan hidup merupakan sebuah keniscayaan yang perlu ditingkatkan, bukan saja dalam payung kebijakannya, tetapi juga substansi, metode, dan system pendukung misalnya infrastuktur, sumber bahan ajar dan biayanya. Penelitian yang bersifat terapan sangat dibutuhkan yang memadukan teori pendidikan dan teori dalam ilmu lingkungan hidup. Pendidikan
4
lingkungan hidup dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kecerdasan ekologis, yang sebagian di antaranya dapat digali dari kearifan lokal. Meskipun hasil eksperimen ini dengan subyek mahasiswa FPOK cenderung kontra teori, karena tak ada peningkatan nyata dalam hal kesadaran, berdasarkan hasil tes, penelitian ini tetap dipandang sebagai pembuka jalan untuk lebih menyelami terutama potensi outdoor education sebagai pengayaan isi kurikulum pendidikan jasmani dan olahraga dalam konteks pendidikan formal dan non-formal. Rintisan ini membuka cakrawala baru tentang peluang yang lebih berhasil untuk menerapka penelitian kualitatif, ketimbang penelitian kuantitatif. Sangat disadari pendekatan kuantitatif yang menyandarkan diri pada hasil observasi terhadap perilaku serba terukur kurang tajam untuk menyingkap kesadaran lingkungan hidup. Padahal justru dalam proses kontak langsung individu dengan pengalaman nyata, sebenarnya terjadi proses penyadaran yang diperoleh dari pemahaman yang utuh dan komprehensif tentang esensi alam sekitar yang berkemampuan untuk menjalani proses “selfregulation.” Kesadaran di sini terbentuk melalui proses kontak langsung, didukung respons emosi dan kemudian terbentuk pemahaman bersifat Gestalt, umum dan utuh. Paparan laporan penelitian ini terbagi menjadi beberapa bab. Bab I, pendahuluan pada intinya berisi uraian yang menjurus ke arah justifikasi, bahwa isu lingkungan hidup perlu diatasi melalui proses pendidikan yang tertuju untuk membina kesadaran dan atau kecerdasan ekologis. Bab II memaparkan kajian teoretis terutama kerangka konsep kesadaran (awareness) dan atensi yang memang berbeda,
5
didahulu dengan paparan tentang pendidikan lingkungan hidup, serta paparan lebih detail tentang outdoor education itu sendiri. Bab III memaparkan metode, desain, sampling, penataan perlakuan dan instrument yang diadopsi dari luar negeri. Bab IV menyajikan hasil pengetesan dan analisis, dilanjutkan dengan ulasan, yang pada intinya bukan pembelaan terhadap hasil eksperimen yang tak selaras dengan teori, tetapi menyingkap keterbatasan riset ini dari perspektif paradigm kualitatif, kualitas instrumen dan bekal perilaku subyek sebagai mahasiswa persiapan olahraga yang memang dapat mengkontaminasi hasil eksperimen. Ulasan ditekankan pada pentingnya pengembangan outdoor education sebagai substansi dan sekaligus metode yang dipadukan dengn expertiential learning. Penelitian memang seumpama sebuah perjalanan jauh untuk memburu daerah frontier yang masih gelap, dan karena itu banyak hambatan yang dialami dalam proses perampungannya. Namun justru faktor inilah yang menajdi pendorong semangat kami untuk selanjutnya terus meneliti. Kepada semua pihak, terutama dari Pembantu Rektor Bidang penelitian dan Pengembangan, dan dari Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat yang banyak memberikan bantuan untuk memfasilitasi penelitian ini kami ucapkan banyak terima kasih. Peneliti, Rusli Lutan., Kardjono., Carsiwan
6
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
iv
PRAKATA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
v
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
viii
DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
x
DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xi
DAFTAR LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
B. Masalah Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
9
C. Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
10
D. Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10 E. Beberapa Asumsi Dasar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 11 F. Hipotesis
....................................
13
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan Lingkungan Hidup . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14 B. Kesadaran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 18 C. Outdoor Education . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21 1. Sejarah Outdoor Education . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21 2. Filsafat Outdoor Education . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 22 3. Pengertian Outdoor Education . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25 7
4. Tujuan dan Sasaran Outdoor Education. . . . . . . . . . . . . . . 26 5. Landasan Teori Outdoor Education . . . . . . . . . . . . . . . . 27 6. Experiential Learning
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 30
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 45 B. Populasi dan Sampel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 46 C. Desain Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 48 D. Instrumen Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51 G. Pelaksanaan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 53 H. Teknik Analisis Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengolahan dan Analisis Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 57 B. Pengujian Hipotesis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 59 C. Diskusi Penemuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 61
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN-SARAN A. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 68 B. Implikasi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 68 C. Saran-saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 71
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 73
LAMPIRAN-LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 76
8
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
3.1. Pembagian Kelompok Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
48
3.2. Garis Besar Pelaksanaan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
53
3.3. Garis Besar Pengalaman ajar Hiking . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
54
4.1. Hasil Penghitungan Rata-rata, Simpangan Baku dan Varians Kesadaran Awal, Kesadaran Akhir I dan Kesadaran Akhir II Kelompok Eksperimen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 57 4.2. Hasil Penghitungan Rata-rata, Simpangan Baku dan Varians Kesadaran Awal, Kesadaran Akhir I dan Kesadaran Akhir II Kelompok Kontrol . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 58 4.5. Hasil Penghitungan Perbedaan Rata-rata, Simpangan Baku dan Varians Kesadaran Awal dan Akhir I serta Kesadaran Awal dan Akhir II Kelompok Eksperimen . . . . . . . . 58 4.6. Hasil Penghitungan Perbedaan Rata-rata, Simpangan Baku dan Varians Kesadaran Awal dan Akhir I serta Kesadaran Awal dan Akhir II Kelompok Kontrol . . . . . . . . . . 59 4.7. Hasil Uji Perbedaan Gain Score Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol dalam Peningkatan Kesadaran Kelestarian Lingkungan Alam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
9
60
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1.1. Empat Komponen Proses Pendidikan Lingkungan Hidup . . . . . . . 3.1. Desain Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
10
13 51
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1. The connectedness to nature scale: A measure of individual feeling in community with nature. . . . . . . . . . . . . . . .
76
2. Modifikasi Skala Kesadaran Lingkungan Alam dari The connectedness to nature scale: A measure of individual feeling in community with nature . . . . . . . . . . . . . . . . 77 3. Teknik Analisis Statistika . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 79 4. Data Kesadaran Kelompok Eksperimen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 82 5. Data Kesadaran Kelompok Kontrol . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 83 6. Nilai Kritis Distribusi t . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 84 7. Dokumentasi Outdoor Education dengan Pengalaman Ajar Hiking . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 85 8. Riwayat Hidup Peneliti Utama 9. Riwayat Hidup Peneliti Anggota
11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ketika para sesepuh di kalangan suku Batak menanam pohon maka pada saat itu pulalah tercipta sebuah ruang publik. Hal itu karena di sekitar pohon itu mereka berkumpul untuk berbagai keperluan mulai dari sekedar bercengkrama sambil mengisi
waktu
luang
hingga
terlibat
dalam
perbincangan
serius
seperti
bermusyawarah untuk memecahkan masalah. Pohon karenannya secara simbolik merupakan bagian inti dari kehidupan dan kelangsungan hidup mereka, yang selanjutnya berdampak pada penciptaan daerah tangkapan air hingga masa berkepanjangan. Secara tak langsung suku bangsa itu dengan kearifannya mempraktikkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang berakar pada cara hidup yang lazim dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tata cara yang lazim ini dikemas dalam konsep sebuah budaya beserta nilai yang ada di dalamnya. Nilai budaya inilah yang melahirkan banyak kearifan lokal (lokal wisdom) yang telah banyak teruji keterandalannya guna menjamin kelestarian lingkungan hidup. Banyak lagi contoh lainnya yang dapat dijumpai di kalangan suku bangsa yang tersebar di seluruh nusantara, dan bahkan contoh-contoh nyata yang masih hidup seperti praktik keseharian suku terasing dengan konsep kepemilikan yang amat terbatas (subsistence)
dan sederhana di tengah belantara. Hutan bagi mereka
merupakan bagian dari hidupnya yang menjamin kelangsungan keturunannya untuk 12
berlanjut terus. Hutan tidak semata sebagai ruang publik, tempat rekreasi, pemberi nafakah yang murah dan serba ada, tetapi juga dilambangkan sebagai sebuah sumber kekuatan hidup yang sarat dengan makna yang bersifat sakral. Ungkapan ini oleh Schefold (1988; dalam Persoon & de Groot, 1995) digambaran sebagai “spiritual relationship”
atau
hubungan
spiritual dengan
hutan
tropis,
seperti
hasil
pengamatannya di lingkungan suku Mentawai di pulau Siberut. Hutan bagi suku ini dipandang sebagai sebuah “ cultural space” bagi nenek moyangnya. Konsep tersebut sungguh tidak asing karena kita jumpai pula pada budaya etnis lainnya di Indonesia. Di lingkungan suku Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah, terutama di pedalaman, dikenal konsep pahewan, yaitu sebuah lingkungan konservasi yang dikeramatkan, lengkap dengan kepercayaan bahwa kawasan itu memiliki kekuatan magis. Itulah sebabnya masyarakat sekitar tidak berani menganggu wilayah itu dalam pengertian bukan karena takut akan memperoleh mala petaka yang diakibatkan oleh kekuatan gaib. Lebih mendasar lagi adalah yakni adanya kesadaran bahwa kawasan hutan lindung itu harus dipelihara dan jangan dirusak keberadaannya. Konsep pahewan terkait dengan adanya kepercayaan “pamali”, yang berfungsi sebagai kekuatan moral untuk melestarikan lingkungan. Hutan ditempatkan sebagai bagian yang erat dan menyatu dalam kehidupan sebuah komunitas.
Karena itu konsep keterpaduan manusia dan lingkungannya sebagai
sebuah sistem, kita jumpai pula dalam kehidupan suku terasing di daerah Serawak (dalam rubrik Discovery, Desember 2009).
13
Selanjutnya pranata sosial sasi di
lingkungan suku di Aru digambarkan oleh Baily dan Zerner, 1991; dalam Persoon dan de Groot, 1995) sebagai sebuah tradisi inti dalam manajemen sumber daya Aru. Oleh Von Benda-Beckman et,al, 1992; dalam Persoon dan de Groot dijelaskan bahwa sasi itu adalah larangan pantangan secara periodik untuk memanen lahan liar atau budi daya, pohon dan sumber daya laut. Orientasi nilai keselarasan manusia dengan alam ditunjukkan pula, misalnya dalam kehidupan suku Dayak Kenyah di Kalimantan Timur, yang begitu pandai memilih di mana sebaiknya berladang. Cukup dengan menancapkan mandaunya ke tanah, mereka tahu segera kondisi lahan yang cocok untuk berhuma. Selanjutnya, nilai ekonomi cukupan menjadi landasan etika untuk menjalankan usaha mata pencahariannya, sehingga selang beberapa tahun kemudian keluarga peladang itu berpindah ke lokasi lainnya. Ladang yang tak seberapa luas itu ditinggalkan hingga kemudian selang beberapa tahun berubah kembali menjadi hutan. Beberapa contoh tersebut di atas, secara tersirat merupakan inti dari paparan Persoon dan de Groot (1995) yang melukiskan betapa kearifan lokal itu memperkaya pengetahuan dan filsafat Brat tentang lingkungan. Dengan kata lain, pengetahuan tentang antropologi terapan yang diperoleh dari suku bangsa di Indonesia sungguh akan
banyak
sumbangannya
bagi
(environmental science), yang oleh
pengembangan
ilmu
lingkungan
hidup
de Groot (1992) didefinisikan sebagai “ a
problem-oriented discipline, i.e, the theory and methodology for the analysis, explanation and solution of environmental problem.”
14
Terkait dengan definisi tersebut
maka para ilmuan lingkungan hidup
mengemban misi utama yang beranjak dari kesenjangan tentang “what the world is (facts) and what the world should be (values). Berkenaan dengan nilai
yang
dimaksud, ada dua sudut pandang. Pertama nilai yang bersifat lokal, atau “ a deep value-consciousness”, dan kedua, nilai yang bersifat universal atau “ a more universalistic point of view” (Persoon dan de Groot, 1995). Nilai inilah yang menjadi landasan etika dalam memperlakukan lingkungan alam sekitar. Sebagian di antara suku bangsa di Indonesia, seperti contoh di atas menunjukkan cara hidup yang menekankan nilai keselarasan. Sementara itu dari cara pandang kultur Barat yang sepenuhnya memeluk paham filsaat Cartesian yang memahami kedudukan manusia absolute berimplikasi terhadap upaya memecahkan masalah lingkungan. Paham inilah yang menggiring ke arah posisi manusia sepenuhnya unuk secara total mastery over nature” (Takeshi Umehara, 1995) sehingga fungsi alam diperlakukan sebagai “ a dead entity”, objek yang perlu ditaklukkan oleh sain dan teknologi. Padahal konsep ekologi pada hkikatnya begitu erat hubungannya dengan konsep “hidup” yang menunjukkan esensinya sebagai “self regulating system of “life” (Illich, 1995). Filsafat Cartesian berimplikasi pada konsep pembangunan dan kemajuan tanpa limit, sehingga konsep pembangunan (development) yang mendikte semua masyarakat sejak abad ke-18 mendorong ke arah cara hidup untuk terus menerus memenuhi
kebutuhan (need) melalui upaya mengubah “benda-benda”
menjadi “sumber daya” yang digunakan “in satisfying the boundless wants of the
15
possessive individual” (Illich, 1995). Dari sudut pandang inilah, Mantan wapres AS, Al Gore, yang juga dikenal sebagai pemenang hadiah nobel lingkungan hidup menggambarkan akar krisis lingkungan hidup seperti isu mondial tentang “pemanasan global.” itu adalah akibat adanya ketidak seimbangan hubungan antara peradaban manusia dan lingkungan (Al Gore, 2006), dan bahkan digambarkannya tentang potensi “civilization is now capable of destroying itself” (Al Gore, 2006). Karena itu menurut Al Gore, yang paling dibutuhkan adalah terciptanya keseimbangan yang berangkat dari diri pribadi dengan alam sekitar yang mengalami kerusakan. Akar penyebab kerusakan itu
yang paling dalam yakni “lack
of…spiritual.” Sungguh mengerikan apabila direnung fakta ilmiah yang diungkapkan para ilmuan berkenaan dengan dampak pemanasan global. Prediksi yang sangat ekstrim melukiskan akibat pemanasan global dengan kenaikan suhu hingga 2 derajat C, pada tahun 2080 jutaan manusa akan musnah. Peningkatan suhu itu menurut data yang ditampilkan oleh World Meteorolgy Organization (WMO), menyebabkan “more frequent flood, severe grought, snowstorm and heat waves across all continents, including Asia” (Jakarta Post,
9 Desember 2009, h. 1). Pemanasan global
berpengaruh terhaap perubahan iklim yang tak menentu yang berpengaruh terhadap pertanian dan perikanan, serta dampak lainnya (Kompas, 7 Desember 2009, h.1). Studi yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
16
meningkap bahwa “a 1 percent increase in world temperatures would cause harvest failure in developing countries” (Jakarta Post, 9 December 2009, h.1). Untuk mengatasi masalah kritis semacam itu pada tingkat makro dibutuhkan peranan pemerintah melalui luncuran dan implementasi kebijakan publik, yang didukung dengan kemauan politik yang kuat seperti penurunan emisi CO2. Namun demikian, isu pemanasan gobal boleh jadi begitu abstrak bagi khalayak masyarakat di Indonesia, sama abstraknya dengan esensi penurunan
emisi karbon, yang
dicanangkan pemerintah Indoneia dari 21 persen menjadi 41 persen sebelum taun 2020, lebih-lebih bagi kalangan masyarakat yang awam. Persoalan yang kita hadapi mengapa individu atau kelompok masyarakat seolah-olah tumpul kesadarannya akan ancaman hidup yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan karena ulah manusia. Begitu pula ajakan untuk ‘mengamankan hutan” yang rata-rata punah 1,1 juta ha per tahun di Indonesia, tidak juga berhasil menggugah kepedulian masyarakat meskipun sudah dicoba diatasi dengan paksaan hukum sekalipun. Karena itu apa akar persoalannya? Jika Al Gore menggambarkan akar krisis itu terletak pada aspek tumpulnya aspek spiritual manusia dalam memahami hakikat hubungan manusia dan alam sekitarya, maka Goleman (2009) dalam bukunya Ecological Intelligence, memaparkan kata kunci yaitu perlunya pembinaan “kecerdasan ekologis” dalam kaitannya dengan pemahaman akan maslahat dan potensi ancaman yang berada di balik semua produk peradaban. Goleman menjelaskan bahwa “our brains have been
17
finely tuned to be hyper vigilant at spotting dangers in a world we no longer inhabit, while the world we live today presents us with abundant dangers we do not see, hear, taste, or smell” (Goleman, 2009). Rupanya kemampuan individu untuk mempersepsi dunia sekitarnya memiliki keterbatasan atau “imperceptible imits.” Maksudnya kita memiliki keterbatasan untuk mengindra
sesuatu yang berada di luar jangkauan
persepsi, apalagi yang tak teramati secara langsung atau bersifat evolusioner seperti misalnya penyebab kanker, yang akibatnya dirasakan setelah bertahun-tahun. Goleman menjelaskan “The ecological changes that signal impending danger are subthreshold, too subtle to register in our sensory systems at all”. Karena dunia sekitar beserta peradaban kita begitu banyak berubah dan bahkan asing bagi sekelompok masyarakat yang dianggap tertinggal maka ancaman bahaya dari lingkungan semacam itu tak dapat dideteksi hanya dengan respons instinktif, lebih-lebih karena otak manusia hanya mampu “to spot danger within its sensory field” (Goleman, 2009). Untuk mengatasi masalah tersebut sehingga manusia mampu bertahan hidup. Goleman menawarkan gagasan yakni kita haarus mampu mempersepsi ancaman yang berada di atas ambang atau “thresholf for perception.” Dengan kata lain “we must make the invisible visible” (Goleman, 2009). Hal ini dapat dicapai melalui pembinaan kecerdasan ekologis. Di kalangan suku Dayak Ngaju, mereka paham benar bagaimana cara membakar
pohon
hasil
tebangan
untuk
membuka
ladang
baru
dengan
memperhitungkan kapan kayu-kayu itu di bakar dengan meperhitungkan arah angin.
18
Praktik membakar hasil tebangan seperti itu tergolong kecerdasan ekologis. Namun kecerdasan ekologis tdak berhenti pada kemampuan penduduk asli yang mahir mencermati lingkungannya dengan menyusun kategori dan mengenal polanya yang dianggap teratur. Konsep kecerdasan ekologis juga mencakup pemahaman sains seperti di antaranya ilmua kimia, fisika dan ekologi sendiri yang kemudian prinsipprinsipnya diterapkan untuk memahami sistem dinamis yang berlangsung pada beberapa skala mulai dari tingkat melekular hingga global. Kecerdasan ekologis memungkinkan kita untuk memahami sistem dalam semua kompleksitasnya, seperti juga halnya keterkaitan antara alam dan dunia buatan manusia. Istilah kecerdasan ekologis oleh William Chang (Kompas, 7 Desember 2009, h. 6) diartikan lebih spesifik, yakni dijabarkan dalam “kearifan lokal berwawasan ekologis.” Yang dibutuhkan sekarang adalah bukan semata kecerdasan ekologis pada tingkat perorangan, tetapi harus berkembang menjadi sebuah kecerdasan yang bersifat kolektif, yang selanjutnya menjadi kesadaran kolekif, yang bermuara pada tujuan ekologis kolekif pula, mencakup (1) know your impact, (2) favor improvements, (3) share what you learn. (Goleman, 2009). Dari perspektif psikologi kognitif, kesadaran itu sehubungan dengan fungsi kognitif, dan dari sudut pandang neuro-science, kesadaran itu merupakan hasil interaksi dan keterpaduan kerja seluruh bagian otak (BBC Knowledge, Desember 2009). Karena itu konsep utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah kesadaran atau awareness dalam hubungannya dengan lingkungan hidup. Kesadaran
19
itu tidak bangkit dengan sendirinya, tetapi harus dibina atau dididik. Itulah alasannya dibutuhkan pendidikan lingkungan hidup. Namun persoalannya tidak berhenti sampai di situ. Isu sentral adalah apa pengalaman ajar, termasuk metode penyampaiannya yang efektif untuk membangkitkan kesadaran tentang lingkungan hidup. B. Masalah Penelitian Pelestaran linkungan hidup dipengaruhi oleh begitu banyak kepentingan dalam pertautan yang kompleks, dan bahkan dapat mengalami konflik antara satu dengan lainnya atau saling mengalahkan. Karena itu dibutuhkan payung hukum dan kebijakan yang kuat dan konsistensi dalam pelaksanaannya berkenaan dengan pelestarian lingkungan hidup. Aneka kepentingan yang bisa saling menyisihkan itu yang diberi tenaga oleh kelompok penekan ialah politik, ekonomi, hukum, ketahanan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arkeologi. Untuk ikut serta merespons masalah global terkait dengan lingkungan, organisasi olahraga tingkat dunia, seperti IOC sudah memasukkan agenda tersebut ke dalam setia event olahraga. Pada setiap penyelenggaraan pesta olahraga mondial, olympiade, selalu dikenakan persyaratan tentang terpenuhinya lingkungan yang lestari dalam konsep “green Olympic.” Sementara itu pada tataran mikro (individual) khususnya pendidikan jasmani, tujuan yang ingin dicapai bersifat menyeluruh dalam lingkup yang lengkap dan komprehensif, yang secara sederhana terliput dalam taksonomi pendidikan yang dirintis Bloom, yaitu domain kognitif, afektif dan psikomotor.
20
Dalam konteks pendidikan jasmani di Indonesia kurikulum yang berlaku pada umumnya bersifat monolitik dengan struktur dan isi yang lebih berorientasi pada pelestarian kultur kecabangan olahraga. Kurikulum ini lebih berorientasi pada perolehan kompetensi berolahraga untuk tujuan pengisi waktu luang atau bagi yang berbakat dibina dan dijadikan sebagai atlet berprestasi. Sudah bukan rahasia umum, hambatan dalam implementasinya banyak terbentur pada kelangkaan infrastruktur berupa alat dan perlengkapan suatu cabang olahraga. Struktur dan isi kurikulum semacam ini kurang memperhitungkan rona keragaman lingkungan nusantara. Tanpa bermaksud untuk mengubah isi kurikulum, pengalaman ajar yang potensial dan berpeluang besar untuk dijadikan “alat” pembelajaran sekaligus pembangkitan kesadaran lingkungan hidup adalah pendidikan alam terbuka atau outdoor education. Berangkat dari tinjauan tersebut maka masalah penelitian adalah “bagaimana pemgaruh outdoor education terhadap kesadaran tentang lingkungan hidup. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menyingkap efektvitas program outdoor education terhadap pembangkitan kesadaran lingkungan hidup . D. Manfaat Penelitian Penelitian ini sangat bermanfaat untuk:
21
(1). Pengembangan substansi kurikulum pendidikan jasmani guna merespons masalah yang berkaitan dengan isu lingkungan hidup, termasuk substansi dan metode pembelajarannya. (2) Merintis model penelitian terkait dengan efektivitas program dalam pendidikan lingkungan hidup. E. Beberapa Asumsi Dasar Outdoor education pada intinya dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, sebagai sebuah proses pendidikan dengan pengalaman ajar berupa pengalaman nyata berupa interaksi langsung antara peserta didik dengan alam lingkungan sebagai sebuah entitas-biofisik beserta sistem pendukungnya. Kedua, outdoor education merupakan alat untuk menyelenggarakan pendidikan lingkungan itu sendiri guna mencapai tujuan yang diharapkan. Secara konseptual outdoor education merupakan proses pendidikan yang bersifat menyeluruh, mencakup pembekalan dan sekaligus penguasaan pengetahuan, peningkatan kapasitas intelektual, pemecahan masalah, keterampilan fisik, pembentukan sikap, yang berangkat dari kesadaran (awareness) pada tingkat individu yang dapat menyebar menjadi kesadaran kolektif. Karena itu, sejalan dengan esensi pendidikan lingkungn hidup sebagai “a process designed to teach citizens and visitors the history and importance o conservation and biological and scientific knowledge of our Nations’s natural resources…..we can help develop a citizen that has awareness, knowledge, attitude, skills, motivation and commitment to
22
work cooperatively toward the conservation of our nation’s environmental resources, “ (Prairie Wetland Learning Centre). Bangkitnya kesadaran akan hakikat keterpaduan hubungan antara manusia dan alam sekitarnya, terutama yang menyangkut dampak perbuatan dan ulah manusia terhadap lingkungan dan resiko yang akan ditanggung, kesiapan untuk memperbaiki keadaan menjadi lebih baik, serta kesiapan berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada orang lain, akan sangat efektif melalui pengalaman nyata (real experience). Kesemua pengalaman nyata itu kemudian perlu diolah melalui proses refleksi, perenungan kembali tentang makna pengalaman tersebut melalui analisis kritis dan kemudian sintesis. Karenanya proses pembelajaran berlangsung melalui partisipasi aktif peserta didik berupa pengajuan pertanyaan dan jawaban, investigasi untuk pendalaman, pemupukan rasa ingin tahu, pencarian solusi masalah, menjadi kreatif dan bertanggung jawab dalam pembentukan makna (Association for Experiential Learning). Efektivitas proses pendidikan lingkungan hidup dihadapkan dengan pola keterkaitan yang amat kompleks di antara empat komponen strategis, yaitu (1) sosial yang menyangkut kehidupan manusia bersama, (2) biofisikal, yakni kehidupan mahluk beserta system pendukungnya, (3) ekonomi, berkenaan dengan penyediaan lapangan kerja, perolehan pendapatan dan kegiatan memenuhi kebutuhan, dan (4) pilitik, yakni kekuasaan, kebijakan dan keputusan.
23
Interaksi keepmat komponen tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut ini.
Politik
Sosial
Ekonomi
Biofisikal
F. Hipotesis Outdoor education yang diselenggarakan dengan experiential learning efektif untuk menumbuhkan kesadaran terhadap lingkungan hidup.
24
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan Lingkungan Hidup Sikap apatis inivdu dan masyarakat terhadap masalah lingkungan, yang meskipun malapetaka yang terkait dengan kerusakan lingkungan itu ada di depan mata, mendorong dibutuhkannya usaha sadar dan berencana guna menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan hidup melalui pendekatan pendidikan. Pokok persoalannya adalah pembentukan perilaku, jika bukan mengubah perilaku individu dan kelompok masyarakat yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan, yaitu pelestarian lingkungan. Dengan demikian dari perspektif penciptaan perubahan sosial yang diinginkan, di balik perilaku nyata itu adalah sikap, disertai adanya kesadaran. Proses pembinaannya memerlukan waktu. Dengan pengungkapan yang relatif berbeda dalam beberapa definisi, tujuan pendidikan lingkungan hidup pada hakikatnya serupa. Sebuah definisi yang terumuskan dalam dokumen kebijakan linkungan hidup di Indonesia menyebutkan bahwa “pendidikan lingkungan hidup adalah upaya mengubah perilaku dan sikap yang dilakukan oleh berbagai pihak atau elemen masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat tentang nilainilai lingkungan dan isu permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat
25
menggerakkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang.” Definisi tersebut merupakan sintesis definisi pendidikan itu sendiri dan lingkungan hidup. Lingkungan hidup dipahami sebagai “kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.” Definisi lainnya memaparkan pendidikan lingkungan hidup sebagai upaya terorganisir dengan tujuan yaitu “to teach about how natural environments function and particularly, how human beings can manage their behavior and ecosystem in order to live sustainability.’’ (Wikipedia, 2008). Dalam definisi ini, karena ringkas, memang tidak secara tersurat dirinci tujuan khusus, kecuali tujuan yang bersifat umum yakni pengetahuan dan pemahaman tentang fungsi lingkungan beserta bagaimana
manusia
mengelola
perilaku
dan
ekosistem
untuk
menjamin
kesinambungan dalam pengertian segala upaya yang terkait dengan lingkungan hidup selalu memperhitungkan kelestariannya agar bukan hanya dinikmati generasi sekarang tetapi juga generasi mendatang. Selanjutnya, karena tidak selalu, pendidikan lingkungan hidup itu bersifat formal dalam konteks sekolah, maka juga berlaku penyelenggaraan pendidikan yang bersifat non-formal, sehingga upaya pendidikan tersebut juga tertuju pada khalayak
26
masyarakat umum atau orang dewasa, dengan perluasan jenis peluncuran program yaitu melalui material cetak atau website, dan bahkan substansinya juga bertambah kaya dengan dimasukkannya outdoor education sebagai substansi, sekaligus sebagai media. Apabila ditelusuri ke belakang dari perspektif sejarah, pendidikan lingkungan hidup dimulai sekitar awal abad ke-18 ketika Jean Jacques Rosseau menekankan pentingnya sebuah pendidikan yang terfokus pada lingkungan. Beberapa decade kemudian, Louis Agassiz, kelahiran Swiss mengangkat kembali gagasan tersebut dengan mendorong para siswa untuk “Study nature, not books”. Momentum pendidikan lingkungan hidup modern berlangsung sejak tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an dengan teanan pada pelatihan untuk memahami pengetahuan ilmiah berkenaan dengan lingkungan hidup ketimbang mempeljari sejarah alam ligkungan itu sendiri. Pendidikan konvervasi merupaan alat bagi manajemen dan perencanaan imiah untuk membantu memecahkan masalah ekonomi, sosial dan lingkungan selama periode tersebut. Pada tahun 1972 di tingkat internasional pendidikan lingkungan hidup memperoleh pengakuan ketika berlangsung Konferensi PBB tentang Human Evironment di Stockholm, Swedia, yang melahirkan deklarasi PBB yang berisi 7 pernyataan dan 26 prinsip untuk memberikan inspirasi dan menuntun masyarakat dunia dalan hal pelestarian dan peningkatan kualitas lingkungan manusia. Deklarasi
27
berikutnya dicetuskan di Belgrade, Yogoslavia pada tahun 1975, kelanjutan dari deklarasi Stockholm yang isinya beupa perluasan tujuan pendidikan lingkungan hidup dan khayalak sasaran yakni dimasukkanya masyarakat umum. Selanjutnya deklarasi Tbilisi tahun 1977, memperkaya kedua deklarasi sebelumnya, dengan tekanan pada penetapan tujuan jangka panjang dan pendek, karakteristik dan prinsip baru pendidikan lingkungan hidup. Sementara itu, sebuah batu lompatan yang sangat berarti terjadi pada tahun 1972 ketika di lingkungan PBB dibentuk UNEP atau United Nations Education Program yang menangani lingkungan hidup. Dan tahun 2005 hingga 2014, berdasarkan hasil siding umum PBB dinyatakan debagai Decade of Education for Sustainable Development (DESD). Pihak Indonesia sendiri sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan lingkungan hidup kendati banyak hambatan yang dialami seperti lemahnya beberapa aspek mulai dari kebijakan dalam pendidikan, hingga ke implementasi pada tingka sekolah, penyelenggaraan di lembaga swadaya dan proses komunikasi. Sebagai penuntu arah, visi pendidikan linkungan hidup di Indonesia amat jelas yakni “terwujudnya manusia Indonesia yang memiliki pengetahuan, keadaran dan keterampilan untuk berperan aktif dalam melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.” Selanjutnya, melalui pendidikan lingkungan hidup tujuan yang ingin dicapai akni “mendorong dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang pada akhirnya dapat menumbuhkan kepedulian, komitmen untuk melindungi, memperbaiki serta
28
memanfaatkan lingkungan hidup secara bijaksana, turut menciptakan pola perilaku baru yang bersahabat dengan lingkungan hidup, mengembangkan etika lingkungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup.” A. Kesadaran Cukup kompleks dan rumit tentang makna konsep kesadaran yang dalam risalah ini padanan katanya dalam bahasa Inggeris yakni awareness. Dalam kamus “The Consice Oxford Dictionary (R.E. Allen, ed. 1991) , kata aware (ajektif) berarti conscious; not ignorant; having knowledge, atau bisa juga dalam makna well inform. Makna kesadaran atau awareness menjadi lebih dalam. Perls, et.al (1951) mengungkapkan makna awareness yakni “characterized by contact, by sensing, by excitement and by gestalt formation.” Pada bagian lainnya dijelaskan pula bahwa kesadaran itu adalah “the spontaneous sensing of what ariss in you of what you are doing, feeling, planning. Berdasarkan paparan tersebut kesadaran itu berawal dari adanya proses kontak langsung melalui pengindraan, disertai kemudian respons emosional berupa rasa tergugah hingga akhirnya terbentuk gambaran utuh, bersifat gestalt.
Perls
memberikan contoh suatu saat ada orang masuk kamar, dan kita tahu ada orang masuk sampai kemudian sama sekali tak ada rasa excitement, dan kemudian tak ada gestalt. Sebaliknya bila situasinya lebih baik, begitu kontak dengan seseorang dan bangkit rasa terangsang, maka pada saat itu pula tercipta pengalaman sebagai sebuah gestalt. Selanjutnya apabila dipinjm teori Gestalt terapi, kesadaran itu terbentuk
29
sebagai sebuah kontak yang sedang berlangsung dalam sebuah pengalaman yang bersifat kontinuum. Selanjutnya awareness sering pula bertukar makna dengan atensi, tetapi dalam teori Gestalt terapi, keduanya tidak sama maknanya. Atensi adalah upaya dengan penuh kesadaran, tetapi awarenss itu tidak (Korb, et.al). Karena itu penggunaan kata atensi menunjuk pada adanya focus atau perhatian terhimpun guna membuat pilihan arah persepsi kognisi. Ini berarti ada target. Dengan demikian atensi itu terjadi berdasarkan awareness. Sebaliknya kesadaran atau awareness belum tentu melibatkan energy terfokus. Ketika kita menjumpai ular yang berbahaya karena berbisa, maka yang terjadi adalah hanya sampai taraf kecerdasan sensoris yang dalam teori saraf bertumpu pada amygdale. Contoh lainnya, kita tahu bahwa kita membelok ke kiri, dan begitu jelas rambu-rambu di sekitar jalan. Kita menyadarinya karena kendaraan berjalan mulus, tetapi seumpama seseorang yang berjalan sambil tidur, sehingga dalam keadaan seperti itu kita tak menyadari diri kita sendiri dan bahkan juga linkungan sekitar. Namun begitu ada orang mengingatkan kita salah jalan, maka kita segera tersentak. Jadi kesadaran sensoris dapat segera berubah menjadi kesadaran yang sesunguhnya. Kita terangsang karena bunyi peluit peringatan polisi, dan kemudian ada rasa tidak aman karena pelanggar aturan lalu lintas.
30
Berdasarkan paparan di atas maka awareness sebagai kesadaran mental yang mendalam, memang berbeda dengan atensi atau kesadaran sensoris. Syarat pertama harus ada peristiwa kontak dengan suatu objek dan kesan mendalam akan bangkit manakala disertai dengan suasana emosi seperti gembira, cemas dan lain-lain, maka kemudian perhatian dapat dikerahkan tertuju pada pilihan seperti secara terbuka untuk merespons objek itu. Berkaitan dengan konsep tersebut di atas maka Robbins (2003) dalam makalahnya yang berjudul Environmental Awareness: Overcoming Ignorance and Apathy by Getting People Outside,” pertama-tema menekankan betapa
selama
sekitar seratus tahun terakhir ini negara-negara industri menyaksikan pertumbuhan kemakmuran yang tak terbayang sebelumnya yang disertai dengan konsumsi sumber daya alam serta barang-barang lainnya. Tercapainya kemakmuran yang luar biasa ini menimbulkan pengaruh dahsyat terhadap ekosistem. Selanjutnya Robinns mensitir fenomena perubahan yang menjurus ke arah maraknya ketidakpedulian terhadap kelestarian lingkungan. Hal ini juga disertai dengan ketidak tahuan atau kebodohan tentang adanya kerusakan lingkungan. Analisis yang dipaparkan Robinns, yang mendasari sikap apatis dan ketidak pedulian terhadap lingkungan itu muncul dari terpisahnya hubungan antara manusia dan tanah di mana mereka tinggal. Pendapat Roderick Nash, seperti disitir oleh Robinns menegaskan pangkal persoalannya yakni karena manusia ditempatkan di atas lingkungannya mendorong terjadinya keangkuhan ketimbang rasa hormat.
31
Untuk mengatasi masalah lingkungan dewasa ini Robinns mengajukan gagasan, yakni perlunya dikembangkan sebuah masyarakat yang sadar akan lingkungan, dan pendidikan merupakan kunci untuk mencapai tujuan tersebut— environmental awareness. Programnya perlu diperbaharu, dan Robinns mengajukan pemanfaatan “kelas di alam terbuka” dan dimulai unuk mengajarkan pendidikan lingkungan dengan pendekatan pengalaman langsung, hand on experience. Dalam kaitan ini tampak bahwa outdoor education akan memperoleh tempat sebagai alat pendidikan lingkungan hidup. Kesadaran akan lingkungan
beranjak dari pengetahuan dan
pemahaman
tentang hakikat lingkungan alam sebagai sebuah system, dan kedudukan manusia yakni sebagai pengelola yang bertanggung jawab. Landasan etika ini menegaskan perlunya hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya. Karena itu, terciptanya kecerdasan ekologis didukung oleh keadaran ekologis pula. C. Outdoor Education 1. Sejarah Outdoor Education Sejarah tidak menjelaskan tepatnya kapan dan di mana Outdoor Education dimulai, hal tersebut diungkapkan oleh Neill (2007:Th) “It is unclear where exactly the true beginnings of outdoor education lie.” Di era modern, Outdoor Education muncul pada abad 19 hingga abad 20 berupa kegiatan camp sekolah. Dari sejak itu,
32
program sejenis kegiatan pramuka tersebut terus diperbaharui dan disesuaikan dengan prinsip dan keterampilan latihan kemiliteran dan pendidikan sipil. Menurut Neill (2007:Th), Outward Bound pertama kali muncul di Colorado Amerika pada Tahun 1961 dengan menciptakan dua organisasi Project Adventure Tahun 1971 dan National Outdoor Leadership School (NOLS) pada Tahun 1974. Gabungan dari Outward Bound, Project Adventure dan NOLS menjadi tiga besar Outdoor Education di Amerika utara sampai sekarang dan menjadi cikal bakal perluasannya di seluruh dunia.
Di tahun 1970-an dan 1980-an, program dasar
adventure mulai terfokus dan lebih dikhususkan.
Pada Tahun 1980-an ikatan
adventure training mulai ramai dibentuk, kemudian pada Tahun 1990, Adventure program lebih mendalam dan terarah dengan munculnya akademi dan program paska sarjana di beberapa Universitas, seperti di Amerika, Inggris, Australia dan Eropa. Di Tahun 1990-an meningkatnya Adventure travel dan eco-tourism serta program perkembangan community. Selama Tahun 1980-an dan 1990-an program Outdoor Education berkembang di beberapa universitas. Pada tahun 2000-an yang merupakan era internet, telah membawa perkembangan baru untuk menggali sumber-sumber di bidang outdoor education. 2. Filsafat Outdoor Education
33
Menurut Neill (2006 d), beberapa peneliti mengambil falsafah Outdoor Education berdasarkan doktrin dari Comenius, Rousseau, dan Pestalozzi, intinya adalah sebagai berikut di bawah ini: John Amos Comenius (1592-1670) was a strong advocate of sensory learning who believed that the child should experience the actual object of study before reading about it. He thought the use of the sense - seeing, hearing, tasting, and touching were the avenues through which children were to come in contact with the natural world. In preparation for the later study of natural sciences, children should first gain acquaintance with objects such as water, earth, fire, rain, plants, and rocks. Comenius percaya bahwa anak-anak seharusnya belajar dari pengalaman hidup mereka langsung melalui lingkungan alam, sehingga mereka memilki perasaan, pandangan, pendengaran, citra rasa dan sentuhan yang langsung ke objek nyata, seperti air, tanah, api, hujan, tumbuhan, bebatuan dan sebagainya. Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) carried out the ideas of Comenius by educating the boy, Emile, according to principles found in nature. He believed that physical activity was very important in the education of a child. They are curious, he claimed, and this curiosity should be ultilized to the fullest. Rousseau preached that education should be more sensory and rational; less literary and linguistic. Rather than learning indirectly from books, children should learn through direct experience. He
34
proclaimed, “Our first teachers are our feet, our hands and our eyes. To substitute books for all these...is but to teach us to use the reasons of others.” Rousseau menekankan bahwa aktivitas fisik sangat penting di dalam pendidikan anak-anak.
Untuk memenuhi keingintahuan dan tuntutan mereka seharusnya
pendidikan lebih ditekankan kepada pengalaman yang berhubungan dengan alat pancaindera dan rasional daripada bahasa dan kesusasteraan atau buku-buku pelajaran. Rousseau menyatakan bahwa guru pertama kita adalah kaki kita, tangan kita dan mata kita. Johann Henrick Pestalozzi (1746-1827) emphasized the use of direct, firsthand experiences and real objects, also. Pestalozzi, a follower of Rousseau, urged teachers to take their pupils out of the classroom: Lead your child out into nature, teach him on the hilltops and in the valleys. There he will listen better, and the sense of freedom will given him more strength to overcome difficulties. But in these hours of freedom let him be taught by nature rather than by you. Let him fully realize that she is the real teacher and that you, with your art, do nothing more than walk quietly at her side. Demikian halnya dengan Pestalozzi, Pengalaman langsung dengan obyek nyata merupakan pelajaran permulaan bagi anak-anak. Para guru harus membawa mereka ke luar dari ruangan kelas, ke perbukitan dan lembah-lembah. Para guru harus membiarkan alam yang mendidik mereka lebih daripada kata-katanya. Pengalaman
35
yang penting ini, merupakan persiapan dasar pengetahuan yang lebih lanjut dan mempersiapkan mental mereka untuk menghadapi berbagai kesulitan di kemudian hari. Menurut White dalam terjemahan Pasuhuk; dkk. (2005:88) “Bagi anak kecil, yang belum sanggup untuk belajar dari halaman yang tertulis atau belum diperkenalkan dengan acara tetap di dalam ruang kelas, alam memberikan sumber pengajaran dan kegembiraan yang tidak akan gagal.” Selanjutnya dikatakan White (2005:100), “Hubungan tetap dengan rahasia kehidupan dan keindahan alam, . . .cenderung untuk menguatkan pikiran dan menghaluskan serta mengangkat tabiat.” Pada bagian lain dikatakan White (2005:96), “Semakin tenang dan sederhana kehidupan seorang anak-semakin bebas dari kemeriahan semu dan semakin berada dalam keharmonisan dengan alam semakin menguntungkan untuk kesegaran fisik dan mental serta kekuatan rohani.” 3. Pengertian Outdoor Education Outdoor Education terbagi dalam dua penekanan yang berbeda, yaitu pada tekanan psiko-sosial dan pada tugas alam dan lingkungan. Untuk membantu memperjelas arti Outdoor Education, peneliti sampaikan beberapa pengertian yang dikutip Neil (2006 c) di bawah ini: a. Definisi Outdoor Education dengan tekanan kepada Psycho-social : “Outdoor Education is the use of experiences in the outdoors for the education and development of the whole person” (The Outdoor Institute).
36
“Outdoor education is appeals to the use of the senses - audio, visual, taste, touch, and smell - for observation and perception" (C. A. Lewis, 1975, The Administration of Outdoor Education Programs. Dubuque, IA: Kendall-Hunt). Dari ke-dua definisi di atas yang dapat disimak, Outdoor Education adalah sebuah pendidikan yang menggunakan pengalaman belajar di luar ruangan dengan tujuan
untuk
pengembangan seseorang secara menyeluruh dari hasil pengamatan dan tanggapan melalui perasaan, pendengaran, penglihatan, cobaan, sentuhan dan penciuman. b. Definisi Outdoor Education dengan tekanan pada tugas alam dan lingkungan: Outdoor education is’an experiential method of learning with the use of all senses. It takes place primarily, but not exclusively, through exposure to the natural environment. In outdoor education, the emphasis for the subject of learning is placed on relationships concerning people and natural resources.’ (Lund, 2002; dalam Neill 2006 c) Definisi Outdoor Education dengan tekanan pada tugas alam dan lingkungan yang dapat disimak adalah, Outdoor Education merupakan metode pembelajaran pengalaman yang menggunakan semua akal sehat melalui pendalaman lingkungan alam dan menempatkan seseorang dalam hubungannya dengan sumber alam. 4. Tujuan dan Sasaran Outdoor Education Menurut Priest dan Gass (1997) dalam Neil (2006 b) ada empat bentuk program Outdoor Education dengan tujuan dan sasarannya, yaitu: 37
(1)
Recreational programs aim to change the way people feel. The purpose is
leisure, fun and enjoyment, e.g., surfing for pleasure. 2) Educational programs aim to change the way people feel and think. The purpose is to learn skills and/or information, e.g., learning how to surf classes or geography field trips. (3) Developmental programs aim to change way people feel, think and behave. The purpose is to undergo personal growth, e.g., a surfing program in which the goal was to push personal limits, test endurance, develop personal goal setting, self-discipline, and build individual's self-esteem, etc. (4) Therapeutic / Redirectional programs aim to change the way people feel, think, behave, and resist. The purpose is correct an individual or group problem, e.g., a low security prison may conduct surfing classes and work on a beach habitat restoration program as part of a pre-release detention program for inmates. Priest and Gass (1997) dalam Neil (2006 b) menambahkan empat tujuan lain yaitu: (1) Spiritual programs aim to facilitate development of spiritual knowledge and experience (e.g., many Church and Religious groups conduct camps for young people with a combination of spiritual instruction and Recreational, Educational and Development outdoor education). (2) Relationship / Family program aim to change the way a particular dyad, triad or small group are functioning. (3) Community programs aim to change the way a group or community of people feel and behave towards one another. The purpose could be Developmental or
38
Therapeutic / Redirectional, but it is directed at a group of people rather than an individual (e.g, school climate) (4) Environment programs aim to have a positive impact on a specific ecosystem. Such programs should be distinguished from Environmental Education programs, which are often Educational programs which aim to teach environmental knowledge to participants. Environment programs primarily have goals about supporting the natural environment as opposed to supported human participants. Ditinjau dari tujuan dan sasarannya yang begitu luas, ternyata Outdoor Education memenuhi sebagian besar kebutuhan kehidupan sosial manusia seperti pendidikan, rekreasi, pengembangan diri, pengembangan spiritual, hubungan antar manusia dan lingkungan sekitarnya. 5. Landasan Teori Outdoor Education Diperkirakan ada tiga landasan teori yang mendasari kegiatan Outdoor Education yaitu: (1) Experiential education Theory, yang merupakan landasan paling dominan dalam outdoor education. Pengenalan yang paling penting dari teori ini adalah pengertian dari teori experience Dewey (tt). Dalam experience and education, Dewey menganjurkan langkah penting untuk mencari pelajaran yang tepat dalam dasar pengalaman dan Outdoor Education.
Teori ini diterapkan untuk semua
pendidikan dan pengalaman manusia dan telah dipergunakan terus menerus dalam pergerakan pendidikan hampir selama 70 tahun. Menurut Dewey, pendidikan juga berperan sebagai tujuan sosial, yang mana menolong orang lebih efektif menjadi anggota masyarakat yang demokratis. Oleh karena itu, pelajar membutuhkan pengalaman pendidikan yang memungkinkan mereka lebih bernilai, sederajat dan
39
menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab. Dewey menganjurkan bahwa, pendidikan dibentuk atas dasar teori experience. Bentuk pendidikan yang efektif untuk manusia adalah secara alami. Berkenaan dengan hal tersebut, teori experience Dewey bersandar kepada dua pusat kepercayaan yaitu continuity dan interaction. (a) Continuity berhubungan dengan dugaan bahwa manusia adalah sensitif pada experience. Manusia lebih hidup melalui belajar dari pengalaman setelah mereka lahir. Berbeda dari yang dilakukan binatang yang pengandalan utamanya pada ikatan insting. Untuk manusia, pendidikan adalah sangat penting dalam mempersiapkan diri untuk hidup di masyarakat. Dewey (tt) berpendapat bahwa senang belajar sesuatu dari setiap pengalaman, baik yang positif maupun yang negatif. Sekumpulan pengalaman belajar akan berpengaruh secara alami pada pengalaman di masa depan. Jadi setiap pengalaman individu adalah sebuah jalan yang akan mempengaruhi seluruh potensi pengalaman masa depan. Continuity berhubungan dengan ide ini, yaitu, setiap pengalaman baik suka atau tidak suka, merupakan bekal yang akan dibawa kepada masa depan. (b) Interaction membangun di atas gagasan continuity yang menerangkan kecepatan pengalaman berinteraksi dengan keadaan sekarang. Dewey berhipotesis bahwa . . . “your current experience can be understood as a function of your past (stored) experiences which interacting with the present situation to create an individual's experience.” Pengalaman sekarang dapat dimengerti sebagai fungsi dari pengalaman di masa lalu yang saling terkait dengan keadaan sekarang dalam membentuk sebuah
40
pengalaman individu. (2) Nature-based Theory adalah pendalaman ekologi atau dasar teori alam. Teori ini menekankan pentingnya ketertarikan manusia dengan dunia alami dan mengerti lebih dekat dengan tempat mereka sendiri di alam. Peter Martin dalam karyanya yang berjudul ‘Nature as friend’ banyak memberikan keterangan yang lebih jelas tentang hubungan manusia dengan lingkungan alam. Demikian pula dengan Hattie, dkk.(1997) dalam Neill (tt) menggambarkan peranan lingkungan alami dan pengaruh program outdoor education. Teori aslinya membentangkan pengalaman manusia dengan alam dan beranggapan bahwa kembali ke alam merupakan hal yang baik. Teori tersebut dinamakan “Garden of Eden.” (3) Teori tipe ke tiga dinamakan Practice-based; multi-dimensional. Experimental teori dan ekologi teori memiliki keterbatasan langsung dalam hal praktek penerapan, sedangkan organisasi Outdoor Education seperti outward bound, Project Adventure, dan sekolah kepemimpinan nasional outdoor, memiliki masing-masing bentuk perkembangan dalam hal praktek dasar yang memusatkan pada hubungan organisasi Outdoor Education. Bentuk program multi-dimensional ini, merupakan landasan teori ke-tiga dalam Outdoor Education yang umumnya menekankan kepada bagian tugas perorangan, tugas kegiatan dan rangkaian program, tugas lingkungan, tugas instruktur, dan tugas beregu. 6. Experiential Learning Belajar berdasarkan pengalaman, adalah sebuah teori belajar yang muncul dari literatur yang terfokus pada pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang
41
bermakna.
Dewey (1916) dalam Taniguchi (2004:10) menyarankan bahwa, “We
should help provide more meaningful experiences in education.” Dengan mengidentifikasikan atribut-atribut penting dari pengalaman belajar yang berarti, dapat memudahkan para pendidik dalam memberikan pelajaran-pelajaran bermakna. Sekolah-sekolah harus menjadi contoh untuk mempersiapkan para siswa berpikir, memecahkan problema, dan menyampaikan gagasan-gagasan. Untuk mengetahui apa gerangan faktor-faktor itu, merupakan hal penting yang harus diketahui bagi setiap pedagogi yang berjuang untuk sebuah masyarakat berpendidikan. Dalam
perkembangan
pendidikan
di
Indonesia
sekarang
ini,
ada
kecenderungan bahwa guru, orang tua, dan murid terdorong untuk mengejar nilai hasil belajar yang setinggi-tingginya. Untuk mencapai tujuan itu, para siswa seakanakan tidak cukup mendapatkan pelajaran yang mereka terima hanya dari sekolah saja. Banyak dari antara mereka terpaksa mengikuti pelajaran-pelajaran tambahan lainnya di luar jam sekolah, sehingga mereka menjadi anak-anak yang super sibuk. Kesibukan tersebut sangat menyita waktu mereka yang penting untuk bersosialisasi dengan keluarga maupun masyarakat dan juga lingkungannya dalam usaha memperkembangkan kepribadian. Meraih nilai yang tinggi, seakan-akan merupakan satu jalan untuk memperoleh masa depan yang sukses, dengan satu jaminan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Memang tidak dapat disangkal, bahwa kemampuan dan nilai akademis yang tinggi dapat membuka banyak pintu bagi kesuksesan seseorang.
42
Akan tetapi,
kenyataannya tidaklah demikian. Kompetisi untuk mendapatkan nilai yang tinggi di sekolah bisa menyebabkan murid yang kurang mampu dalam pelajaran menjadi tersisihkan. Mereka tertekan secara mental, depresi, rendah diri, akibatnya tidak sedikit di antara mereka pada jam sekolah membelot ke jalanan, membentuk kelompok-kelompok senasib, yang akhirnya cenderung berbuat iseng, keonaran, kekerasan bahkan penggunaan obat-obat terlarang. Secara sepintas, kelihatannya anak-anak inilah yang menjadi biang keladi permasalahan, akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya kesalahan yang besar terletak dalam sistem pendidikannya. Sistem pendidikan seharusnya tidak melupakan aspek dasar yang penting dalam kehidupan manusia, selain mengejar ilmu yang tinggi, juga harus mengejar budi pekerti yang tinggi pula. Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional dalam RUU Sisdiknas menurut Yumarma (2003:Th), “mengandung filosofi pendidikan yang untuk zaman sekarang sudah kurang memadai dan sebaiknya disempurnakan atau dilengkapi.” Menurut pendapat Yumarna, filosofi pendidikan sekarang lebih cenderung untuk mengajar, melatih dan melengkapi peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan. Filosofi pendidikan amat menekankan pada materi yang diajarkan, disertai sistem penilaian yang baku dan kaku yang harus dilaksanakan. Proses pendidikan tahap tertentu dianggap selesai dengan hasil ujian dan selesainya pemberian materi. Sistem Pendidikan Nasional perlu dirumuskan kembali sehingga dapat memuat secara implisit filosofi pendidikan yang sifatnya membimbing, menuntun, dan memimpin
43
atau disebut educare yaitu: Menurut Yumarma, ”. . .
mengutamakan proses
pendidikan yang tidak terjebak pada banyaknya materi yang dipaksakan kepada peserta didik dan harus dikuasai.” Yumarna menjelaskan bahwa, proses pendidikan educare, lebih merupakan aktivitas hidup untuk menyertai, mengantar, mendampingi, membimbing, memampukan peserta didik sehingga tumbuh berkembang sampai pada tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Di sini peserta didik diberi keleluasaan untuk mengeksplorasi diri sehingga berkembang kreativitas, ide, dan keterampilan diri sebagai bagian dari masyarakatnya. Minat dan bakat peserta didik diperlakukan sebagai hal yang amat berharga. Peran pendidik lebih sebagai narasumber, pendorong, pemberi motivasi, dan fasilitator bagi peserta didik. Filosofi pendidikan mengantar pada tumbuhnya kepercayaan diri, kemandirian, kedewasaan dan kecerdasan mengelola emosi. Menurut Clawson (1999) dalam Taniguchi (2004:5) “The world today is dealing with a flood of information that not only is being discovered and developed at a pace hard to keep up with, but is also available almost as quickly as the information is being discovered.” Banjir informasi yang melanda dunia ini begitu deras, bahkan gerak langkah pengembangannya sangat sulit untuk diikuti. Sebenarnya, pendidikan sudah memikul tanggung-jawab untuk mengumpulkan berbagai informasi, baik yang lama maupun yang baru, menentukan informasi mana yang cukup penting untuk diketahui para siswa, dan menyebarkannya kepada mereka.
44
Para pendidik telah memfokuskan diri dalam memenuhi tuntutan ini dan menentukan informasi mana yang patut diketahui merupakan aspek penting dari sistem pendidikan. Tetapi apakah ini yang membuat pengalaman belajar menjadi berarti? Supaya dapat menandingi keadaan dunia yang serba cepat ini, apakah benar, para pendidik harus lebih banyak memfokuskan diri pada arus informasi dan tidak cukup pada proses pembelajaran siswa? Apakah fokus pendidikan yang utama telah diarahkan kepada hasil-hasil yang sudah direncanakan sebelumnya dan tes-tes empiris serta ukuran-ukuran untuk menentukan seberapa berhasilkah pendidikan itu? Menurut Wurdinger (1994) dalam Taniguchi (2004:6) “Educators become inefficient in providing their students with meaningful experiences, which is the essence of learning about themselves.” Para pendidik telah menjadi tidak efisien dalam menyediakan pengalaman-pengalaman bermakna bagi para siswa yang sebenarnya adalah inti belajar tentang diri mereka sendiri. Berdasarkan Wurdinger, seharusnya sistem pembelajaran lebih memihak kepada para siswa belajar, siapa sebenarnya mereka? Apa kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka? Apa potensi mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah untuk memeriksa secara akurat dan merupakan salah satu kunci yang diwajibkan dalam sistem pendidikan, agar siswa memiliki pengalaman-pengalaman yang berarti untuk kehidupannya di masa yang akan datang. Sistem pendidikan harus dirancang untuk mengajar orang tentang dunia di mana mereka hidup, bagaimana mereka cocok dengan dunia itu, dan diharapkan
45
dapat memberi kesempatan bagi para siswa untuk melihat serta bagaimana mereka bisa memberi sumbangan kepada dunia.
Untuk merancang sistem pendidikan
tersebut, Dewey (1961) dalam Taniguchi (2004:5) mengemukakan bahwa, “education must create interests and meaning to what is presented; otherwise, education provides experiences, but not educative ones.” Hal ini berarti bahwa, pendidikan harus menciptakan minat dan makna kepada apa yang disampaikan, bukan hanya memberikan pengalaman-pengalaman.
Untuk menyediakan pondasi dan fokus
kepada tujuan pendidikan, John Dewey, ahli falsafah pendidikan terkenal dari Amerika, menganjurkan suatu falsafah pendidikan yang pragmatis.
Menurut
Taniguchi (2004:6) Dewey percaya bahwa, “a democratic society can only exist and function well if the citizenry was well-educated and contributing to its improvement.” Artinya, sebuah masyarakat demokratis hanya bisa eksis dan berfungsi dengan baik jika warga negaranya berpendidikan baik dan memberi saham kepada peningkatan masyarakat tersebut. Menurut gagasan Dewey yang ditulis Taniguchi (2004), sebuah demokrasi didasarkan pada pondasi filosofis yang semua anggota warganya mempunyai suara yang didengar, dan mereka semua menyumbang kepada keberhasilan masyarakat. Jika para anggota masyarakat demokratis itu tidak menyumbangkan gagasan dan pendapat, maka mereka yang memberi sumbangan akhirnya mempunyai kuasa untuk mengatur dan memerintah mereka yang tidak memberi sumbangan.
Selanjutnya
dikatakan Dewey, “An educated member of society was the key to making the
46
democracy weather the tyrannical interferences that may try to destroy the society” (hlm. 6). Artinya, seorang anggota masyarakat yang berpendidikan adalah kunci untuk membuat demokrasi dalam mengatasi gangguan dan campur tangan kekuasaan yang kemungkinan mencoba menghancurkan masyarakat. Jadi Dewey menganjurkan sebuah sistem pendidikan yang memberi pengalaman yang mengajar pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan bagi anggota masyarakat demokratis. Menurut Taniguchi (2004:6) “His pragmatic philosophy points to an education that provides the experiences that help citizens to think, problem solve, communicate ideas and have the interest to better themselves and their society.” Falsafah pragmatisnya menunjuk ke sebuah pendidikan yang memberi pengalaman-pengalaman yang membantu para warga untuk berfikir, memecahkan masalah, menyampaikan gagasangagasan dan berminat memperbaiki diri mereka sendiri dan masyarakat mereka. Menurut Dewey (1916) dalam Taniguchi (2004:6) “ The only system of education that can deliver such expectations is one based on meaningful experiences.” Dewey menyatakan bahwa satu-satunya sistem pendidikan yang bisa menyampaikan harapan-harapan demikian adalah pendidikan yang berdasarkan pengalamanpengalaman penuh arti. Selanjutnya Dewey menyatakan bahwa, sekolah-sekolah harus memberi pengalaman yang memungkinkan para siswa belajar bagaimana menanggulangi, menyesuaikan diri, dan memberikan sumbangan kepada perbaikan masyarakat mereka. Sebagian besar sistem pendidikan cenderung mengambil suatu
47
sikap belajar mendekati suatu obyek secara mudah, di mana penekanannya adalah pada perolehan pengetahuan yang berkaitan. Menurut Maslow (1971) dalam Taniguchi (2004:7) “This tends to be external in nature and not intrinsic to the human character.”
Menurut Maslow, sistem
pendidikan seperti itu cenderung membosankan dan tidak ada gregetnya bagi para siswa. Sebagai contoh, berapa macam jenis batuan? Sebutkan bagian dari tumbuhtumbuhan? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan dimaksudkan untuk meremehkan pelajaran-pelajaran yang diberikan, akan tetapi pendidikan janganlah hanya dicirikan oleh mengingat kembali pengetahuan itu sendiri, tetapi juga oleh pengalamanpengalaman dari mana pelajaran-pelajaran itu dipelajari.
Pendidikan yang
dianjurkan Dewey harus diekspos kepada lebih banyak hal dan bukan kepada pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan yang bisa dibuang begitu saja. Dewey telah mengamati apa yang terjadi di dalam sistem pendidikan di Amerika, sebagai sistem yang menjadi contoh bagi dunia pendidikan di manapun termasuk di negara Indonesia. Ia telah menggambarkan kegagalan pendidikan untuk memberi pengalaman yang berarti. Menurut Wurdinger (1994) dalam Taniguchi (2004:7) “Dewey saw the educational system of the American society lacking meaningful experiences for students because it relied on extrinsic motivation to teach the lessons educators felt needed to be learned, and that has not changed much.” Sistem pendidikan masyarakat Amerika
48
kurang memberikan pengalaman-pengalaman berarti bagi para siswa, karena sistem tersebut bergantung pada motivasi ekstrinsik untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran yang dirasakan para pendidik perlu untuk dipelajari, dan hal itu tidak banyak membawa perubahan. Paige (2003) dalam Taniguchi (2004:8) menambahkan bahwa ”The current American educational trend is to attempt to reach all students with the information they need to succeed in their society and to verify that goal through efficient tests and measurements.” Artinya, kecenderungan pendidikan Amerika saat ini adalah untuk mencoba mencapai semua siswa dengan informasi yang mereka butuhkan untuk berhasil di dalam masyarakat mereka dan untuk membuktikan tujuan itu melalui tes-tes dan ukuran-ukuran yang efisien. Kecenderungan ini bukan hal yang baru, tetapi sering terjadi sebagai hal yang diharapkan para penganjur untuk menciptakan warga negara yang lebih berkontribusi di dalam masyarakat Amerika. Pemerintah
Amerika
menganggap
para pendidik bertanggung-jawab untuk
pencapaian ini melalui No Child Left Behind Act 2002 (Paige, 2003) dan mengharapkan agar para pendidik melakukannya. Menurut Hillocks (2003) dalam Taniguchi (2004:8) “This new federal legislation has made testing the official driving force in the reform of education today.” Suatu keprihatinan bagi para pendidik adalah bahwa, fokus ada pada praktikpraktik efisien mereka untuk memenuhi obyektif-obyektif dari sistem ini, dan bukan pada bagaimana sistem ini akan menciptakan warga negara yang mengenal kekuatan, kelemahan, dan potensi mereka. Menurut Hillock (2003) dalam Taniguchi (2004:8),
49
“Standardized tests cannot measure the personal meaningfulness of learning experiences in school: they simply acknowledge that something was remembered long enough for a student to answer some, or maybe all, of the questions correctly.” Ujian-ujian standar tidak bisa secara pribadi mengukur makna pengalaman belajar di sekolah, mereka hanya mengakui bahwa sesuatu yang telah diingat cukup lama oleh seorang siswa, dapat menjawab beberapa atau semua pertanyaan dengan benar. Ini adalah masalah yang krusial bagi seluruh sistem pendidikan yang berkiblat pada negara adidaya ini. Sistem pendidikan di Indonesia lebih terkonsentrasi kepada kemampuan pendidik yang cenderung pedagoginya bersifat ”naratif” dan ”indoktrinatif” (Yumarna, 2003), sehingga membelengu kemampuan kreativitas peserta didik. Siswa ditempatkan seperti obyek penderita atau gudang yang menyimpan materi berdasarkan kurikulum yang diajarkan. Ruang kreativitas dan aktualisasi diri siswa amat kurang, siswa lebih berkembang pada kebiasaan nyontek atau mengulang-ulang bahan pelajaran. Pembelajaran seharusnya memberikan arti yang sesuai dengan masing-masing siswa dalam memperoleh kemampuan yang berbeda di dalam kehidupan mereka. Tidak semua siswa mampu untuk mengatasi pengalaman pendidikan mereka di dalam pembelajaran, seringkali mereka terlihat bosan dalam mengikuti pelajaran-pelajaran. Keadaan tersebut dapat diamati dari respon terhadap pertanyaan-petanyaan dan juga sikap apatis dalam mencapai sukses untuk mata pelajaran yang diikuti.
50
Banyak siswa yang merasa tertekan dengan persyaratan-persyaratan yang diharuskan sekolah, yang sebenarnya bukan yang diinginkannya sendiri, sehingga banyak siswa yang gagal dalam mata pelajaran mereka di sekolah.
Menurut
Taniguchi (2004:4) “Disseminating the information was not all there was to learning . . . education was about teaching and learning together, not just teaching.” Berdasarkan pengalamannya, Taniguchi menyampaikan bahwa, “My responsibility as an educator was to accomplish both, and I was only focusing on one. By providing the teaching aspect of education and leaving it up to my students to learn, I was not necessarily improving the lives of my students. I was missing something very important in their education, something meaningful.” Berdasarkan saran Dewey dalam Taniguchi 2004, seharusnya pendidikan didasarkan kepada penekanan
pengalaman-pengalaman, karena pengalaman-
pengalaman membentuk apa yang namanya kebenaran bagi seseorang.
”The
knowledge of what is real comes from the experiences each individual has and the more experiences one has with the opportunity to reflect on them, the more educated one becomes” (hlm. 23). Dewey mengakui bahwa tidak semua pengalaman yang direnungkan itu berarti dan membawa kepada pengertian kebenaran, tetapi Dewey tidak cukup memadai dalam mengidentifikasikan faktor-faktor yang membuat beberapa pengalaman yang direnungkan menjadi berarti dan yang mana yang tidak. Menurut Dewey orang dewasa seringkali membicarakan pengalaman hidupnya yang diperoleh di masa-masa lalunya. Ini berarti bahwa pengalaman membuat suatu bagian
51
penting di dalam kehidupan seseorang.
Hampir setiap orang yang diajukan
pertanyaan tersebut, kemungkinan akan bisa menceritakan mengenai pengalamanpengalaman demikian. Banyak dari mereka bisa menceritakan kejadian-kejadian aktual dari pengalaman-pengalaman itu dan mengenang kembali akibat dan pengaruh-pengaruh yang didapat dari pengalaman tersebut. Menurut Dewey kejadian dan akibatnya bisa saja beragam, tetapi perasaan-perasaan dari pengalamanpengalaman itu rupanya mempunyai suatu kesamaan yang tidak bisa diungkapkan, yang banyak orang menggambarkan sebagai pengalaman yang berarti.
Ketika
seseorang
dalam
memikirkan
tentang
pengalaman-pengalaman
seperti
itu
kehidupannya, terutama pengalaman-pengalaman yang tidak terlupakan yang dampaknya membantu orang tersebut mencapai tingkat yang lebih tinggi dari apa yang Abraham Maslow (1971) dalam Taniguchi (2004:4) sebut self-actualization, pengalaman-pengalaman ini agaknya mengantar ke pembentukan sebuah pandangan ontologis mengenai dunia, dan dalam beberapa hal, mengarahkan kehidupan yang dijalani sekarang.
Pertanyaan yang harus diajukan adalah apa yang membuat
pengalaman-pengalaman itu begitu berarti? Apakah ada beberapa atribut yang sama dan sepadan pada pengalaman-pengalaman seperti itu? Menurut Dewey (1961) dalam Taniguchi (2004), pokok dari ungkapan pengalaman-pengalaman yang berarti, adalah mengimplikasikan bahwa ada suatu dampak yang mempengaruhi pada orang yang mendapat pengalaman itu. Biasanya
52
orang mengingat pengalaman-pengalaman sebagai titik balik dalam kehidupannya, titik-titik kompas yang memberi arahan, atau pengertian bagi ontologinya. Setiap hari, masing-masing orang mempunyai banyak sekali pengalaman, tetapi tidak semua pengalaman itu mendidik, bahkan lebih sedikit lagi adalah pengalamanpengalaman
yang
berarti.
Dewey
(1938)
dalam
Taniguchi
(2004:9)
mengargumentasikan bahwa “reflection needs to be incorporated into the learning process if an experience is to be educative. But reflection alone does not transform educative experiences into meaningful learning experiences.”
Artinya bahwa,
pemikiran perlu dimasukkan ke dalam proses belajar, jika suatu pengalaman mau mendidik.
Tetapi pemikiran saja tidak mengubah pengalaman edukatif menjadi
pengalaman belajar yang bermakna. Ada celah di atara kedua jenis pengalaman ini. Supaya menjembatani celah ini, perlu diidentifikasikan karakteristik-karakteristik sebuah pengalaman yang berulang kali muncul sebagai atribut pengalaman belajar yang bermakna, meskipun kemungkinannya tidak jelas kelihatan di dalam pengalaman-pengalaman edukatif lainnya. “Experiential education is a process of enhancing the quality of the learning experience by deliberately providing experience(s) in which a person can actually act out what is taught or emphasized in a lesson, along with having the opportunity to reflect on the experience.” (Joplin, 1995 dalam Taniguchi 2004:11) Pendidikan berdasarkan pengalaman adalah sebuah proses meningkatkan kwalitas pengalaman belajar dengan cara sengaja menyediakan pengalaman-pengalaman seseorang yang
53
benar-benar dapat jalankan. Apa yang diajarkan atau ditekankan di dalam sebuah pelajaran, sama-sama mempunyai kesempatan untuk mencerminkan pengalaman. Maslow (1971) dalam Taniguchi (2004:15) menyarankan bahwa, “The relevancy of an experience for an individual is a precursor to developing intrinsic value of a lesson learned. If a person does not see the application or association of the information given, even at that immediate moment, there is a likelihood that there will be no reason to remember or learn the lessons that are being presented. Education then becomes nothing more than external associations.” Artinya, apa yang pendidikan perlukan untuk diperjuangkan adalah nilai intrinsik terhadap apa yang sedang dipelajari. relevansi dari suatu pengalaman bagi seorang individu adalah suatu rintisan untuk mengembangkan nilai intrinsik dari sebuah pelajaran yang dipelajari. Jika seseorang tidak melihat aplikasi atau hubungan dari informasi yang diberikan, bahkan pada saat itu juga, maka ada kemungkinan bahwa tidak akan ada alasan untuk mengingat atau mempelajari pelajaran-pelajaran yang sedang diberikan. Dengan demikian Pendidikan menjadi tidak lebih daripada hubungan-hubungan eksternal.
Dewey (1916) dalam Taniguchi (2004:15,16)
menganjurkan bahwa “only through the actual experiences of situations, both past and present, can an individual think for himself.” Oleh karena itu, pendidikan harus menjadi wahana untuk menggunakan pengalaman-pengalaman tersebut dan menciptakan pengalaman-pengalaman baru untuk meningkatkan mutu.
54
Menurut Dewey (1916), masyarakat-masyarakat demokratis akan maju dengan para warga yang menyumbang yang berpikir untuk diri mereka sendiri dan tidak dibentuk oleh pikiran dan ide orang lain yang sudah dipertimbangkan. Falsafah pragmatis ini, dikemukakan oleh Dewey dalam menetapkan pondasi filosofis di atas mana keabsahan untuk sebuah pedagogi menghasilkan pengalaman-pengalaman pengetahuan bermakna. Maslow (1971) dalam Taniguchi (2004:16) menyatakan bahwa, “there are experiences that are far more important than classes, lectures, memorizing, and book learning. The most important social science observation here is that experiences are more effective teachers than lectures .” Artinya bahwa, ada pengalaman-pengalaman yang jauh lebih penting daripada kelas, ceramah, menghafal, dan pengetahuan buku. Observasi ilmu pengetahuan sosial paling penting di sini adalah bahwa, pengalaman-pengalaman adalah guru-guru yang lebih efektif dibanding ceramah-ceramah. Karena pendidikan berlanjut memfokus kepada mengajar massa, apakah masyarakat kita kehilangan perspektif tentang apa yang mencakup pengetahuan? Apakah para pendidik membantu para siswa untuk mengalami apa yang relevan di dalam kehidupan mereka? Apakah para siswa sedang diekspos kepada pengalamanpengalaman dari kegagalan maupun keberhasilan,
tanpa diberi waktu untuk
mempertimbangkan hal-hal konstruktif apa yang mereka bisa pelajari dari pengalaman demikian? Jika para pendidik tidak peduli pada pengetahuan emosional,
55
intuitif dan situasional seorang siswa, maka kita bisa kehilangan, apa yang dinyatakan Hubert (2001) dalam Taniguchi (2004:16) sebagai “. . . our ability to make sense of things so as to distinguish the relevant from the irrelevant, our sense of the seriousness of success and failure that is necessary for learning, and our need to get a maximum grip on the world that gives us our sense of the reality of things. Furthermore, we would be tempted to avoid the risk of genuine commitment, and so lose our sense of what gives meaning to our lives.” Maksudnya adalah, kesanggupan untuk memilah yang relevan dari yang tidak relevan, pengertian sukses dan kegagalan dan kebutuhan untuk mendapat cengkraman maksimum pada dunia yang memberikan pengertian dan kesadaran akan realita. Falsafah pendidikan pragmatis diperlukan bagi pengalaman edukatif, dan pengalaman-pengalaman pengetahuan yang berarti bagi perkembangan seseorang yang berpendidikan. Jika pengalaman-pengalaman berarti mendidik seseorang untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif dan menyumbang, maka apa yang membuat pengalaman-pengalaman demikian berarti, dan dapatkah para pendidik menghasilkan pengalaman-pengalaman seperti itu untuk para siswa mereka? Pendidikan harus merangkul gagasan-gagasan edukatif yang meningkatkan kumpulan pengalaman-pengalaman berarti bagi para siswanya.
56
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Untuk mengungkap pengaruh Outdoor Education dengan pengalaman ajar Hiking melalui metode experiential learning terhadap kesadaran kelestarian lingkungan alam, diterapkan metode penelitian eksperimen. Sesuai dengan penjelasan dalam sub bagian identifikasi variabel yang menjadi perlakuan dalam eksperimen ini adalah, pengalaman ajar Hiking dalam lingkup pendidikan alam bebas dengan metode experiential learning.
Sementara hasil belajar sebagai variabel, yaitu
kesadaran kelestarian lingkungan alam. Untuk menguji validitas internal, berupa hubungan kausal antara variabel bebas dan variabel terikat tersebut, digunakan desain penelitian berupa dua kelompok paralel yakni, satu kelompok yang memperoleh perlakuan disebut kelompok eksperimen, dan satu kelompok yang tidak memperoleh perlakuan yang kemudian disebut kelompok kontrol. Dengan kata lain, kelompok eksperimen memperoleh perlakuan yakni, mengikuti program pendidikan alam dengan pengalaman ajar Hiking melalui metode experiential learning, sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan perlakuan tersebut. Desain ini dianggap memadai dan cukup ampuh untuk memenuhi validitas internal dalam sebuah eksperimen. Dengan memanfaatkan gain score, atau skor peroleh yang diperoleh dari selisih hasil Tes Awal dan Tes Ahkir dari masing-masing
57
kelompok maka akan dapat diperoleh jawaban, apakah perubahan yang terjadi seusai kelompok eksperimen menjalani program pendidikan alam bebas, benar-benar sebagai akibat perolehan pengalaman. Apabila terdapat perbedaan nyata pada kedua kelompok (kelompok eksperimen dan kelompok kontrol) dalam hal hasil belajar, maka hal itu dipandang sebagai akibat dari pengalaman ajar, yang disajikan dan terkontrol dalam pelaksanaannya. Kedua kelompok menjalani tes skala kesadaran kelestarian lingkungan alam baik pada awal penelitian, setelah berakhir (tes akhir 1), maupun tes ulang satu minggu kemudian (tes akhir
2). Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa
melekat hasil belajar yang tercakup dalam konsep retensi, yang sangat lazim dikenal dalam pendidikan jasmani dan olahraga. Pengalaman ajar Hiking dilakukan secara bebas, (tidak terikat pada peraturan yang diharuskan), misalnya; tidak harus berbaris, kecepatan berjalan tidak harus seirama, waktu istirahat tidak harus bersama-sama.
Walaupun demikian, semua
peserta berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan alam serta berusaha untuk tidak saling berjauhan dalam mencapai tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. B. Populasi dan Sampel Petualangan di alam bebas dengan pengalaman ajar Hiking kaya akan tantangan dan kesulitan.
Oleh karena itu, untuk mengurangi kemungkinan waktu
tempuh yang berbeda, peneliti memilih sampel dari mahasiswa Fakultas Pendidikan
58
Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia dengan asumsi secara fisik mereka tidak akan memperoleh kesulitan untuk menjalani tugas-tugas yang diwajibkan. Mereka adalah para siswa yang telah mengikuti ujian fisik secara umum seperti, kemampuan daya tahan, kekuatan, dan kelenturan, sebelum diterima sebagai mahasiswa. Demikian juga, untuk mengurangi kemungkinan Experimenter bias, sampel yang dipilih adalah mahasiswa semester awal yang baru saja mengikuti awal perkuliahan. Maksudnya sedapat mungkin para anggota kelompok eksperimen dan kelompok kontrol ini belum banyak terpengaruh oleh pengalaman perkuliahan yang diduga dapat “mencemari” hasil eksperimen. Populasi penelitian terdiri dari 200 mahasiswa putra dan putri dari jurusan kepelatihan. Karena setiap unsur populasi tidak memberi kemungkinan untuk dipilih akibat terganggu oleh tugas perkuliahan, maka berdasarkan pertimbangan peneliti, pengambilan sampel dilakukan secara non-probability berupa sampling jenis purposive, yang dipilih dengan sengaja dengan memperhatikan karakteristik mahasiswa yang dimaksud. Selain semuanya sehat dan memang bersedia untuk ikut ambil bagian dalam eksperimen, faktor kesetiaan untuk mengikuti kegiatan sampai akhir sangat ditekankan. Hal ini penting untuk menghindari faktor mortalitas, yaitu “hilangnya anggota sampel” di tengah perjalanan penelitian. Besar sampel seluruhnya yang diambil yaitu 52 mahasiswa putra dan putri yang bersedia untuk mengikuti penelitian secara terus-menerus hadir dalam kegiatan
59
penelitian. Selanjutnya sampel dibagi dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol masing-masing 21 orang. Untuk lebih jelasnya lihatlah Tabel 3.1. Tabel 3.1. Pembagian Kelompok Penelitian Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
Jenis Kelamin
Usia
Jumlah Jenis Kelamin
Usia
Jumlah
Putra dan putri
18-20 th.
21 org.
18-20 th.
21 org.
Putra dan putri
Dengan demikian dapat disimpulkan kedua kelompok pada dasarnya dianggap memiliki bekal perilaku (entry behavior) atau pengalaman berolahraga yang sama berdasarkan asumsi bahwa semuanya lulus tes masuk FPOK. Yang membedakan keduanya hanya dalam satu hal yaitu kelompok eksperimen memperoleh perlakuan, sementara kelompok kontrol sama sekali tidak memperoleh perlakuan. C. Desain Penelitian Seperti sudah dipaparkan di atas, validitas internal eksperimen diuji dengan menggunakan dua kelompok paralel. Kelompok pertama memperoleh perlakuan Outdoor Education dengan pengalaman ajar Hiking melalui metode experiential learning dan kelompok kedua sama sekali tidak memperoleh perlakuan.
60
Hasil belajar dalam penelitian ini adalah kesadaran kelestarian lingkungan alam. Seberapa banyak perubahan perilaku pada kelompok eksperimen sesudah memperoleh perlakuan akan terungkap melalui pelaksanaan Tes Awal dan Tes Akhir. Selisih skor kedua tes itu menggambarkan perolehan belajar, yang selanjutnya menjadi dasar analisis secara statistik. Sudah dipaparkan pula kelompok mana yang memperoleh perlakuan dan yang tidak, ditentukan dengan prosedur non-acak dengan alasan pertimbangan kelancaran pelaksanaan program. Kelompok mahasiswa yang dianggap waktunya lebih longgar untuk mengikuti eksperimen lah yang dipilih. Di samping itu, ada pula kelompok kontrol sama sekali tidak memperoleh perlakuan dengan maksud sebagai pembanding hingga kemudian dapat diketahui sejauh mana terjadi perbedaan diantara keduanya yang dianggap sebagai akibat dari perlakuan. Selain metode experiential learning yang digunakan juga dipertimbangkan tentang durasi atau berapa lama eksperimen ini berlangsung. Informasi terdahulu mengungkapkan tentang berapa lama kegiatan pendidikan alam bebas itu dilakukan agar menghasilkan perubahan. Di antaranya terungkap, seperti paparan Neill (2004 c) yang berpendapat bahwa, “Particularly strong outcomes were evident for the long (3-4 week) Outward Bound programs with young adults.” Demikian juga dalam penelitian gabungan psikologi dan teori pendidikan lainnya yang dilakukan terhadap orang dewasa yang berusia antara 17-29 tahun, Neill (1999) menyampaikan bahwa 3
61
sampai 4 minggu program Outdoor Education dapat mengembangkan bagian penting dari “physical, social, intellectual and emotional development.” Peneliti memilih 4 minggu program Hiking dengan frekuensi empat kali dalam satu minggu dengan selang satu hari istirahat untuk memberikan waktu pemulihan yang cukup bagi kelompok eksperimen. Seperti yang dinyatakan
Harsono
(1988:135) “kelelahan yang timbul dapat diatasi dalam waktu 12 sampai dengan 24 jam.” Untuk mengetahui pengaruh Outdoor Education dengan pengalaman ajar Hiking melalui metode experiential learning, maka dilakukan tes kesadaran kelestarian lingkungan alam baik terhadap kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol putra dan putri. Adapun tes tersebut adalah, tes awal untuk mengetahui tingkat kesadaran kelestarian lingkungan alam mula-mula, dan tes akhir (1) untuk mengetahui hasilnya setelah intervensi Outdoor Education dengan pengalaman ajar Hiking. Kemudian dilakukan tes ulang (tes akhir 2) skala kesadaran kelestarian lingkungan alam, dengan maksud untuk mengetahui apakah setelah satu minggu intervensi Outdoor Education dengan pengalaman ajar Hiking melalui metode experiential learning berakhir masih menunjukkan pengaruh yang melekat pada kesadaran kelestarian lingkungan alam. Untuk lebih jelasnya desain eksperimen dalam bentuk bagan disajikan pada Gambar 3.1.
62
Tes Awal NR
Tes Akhir (1)
O1
O2 Variabel Eksperimen
Tes Akhir (2) -------
O3
1 minggu
------------------------------------------------------------------------------NR O1
O2 Variabel Kontrol
----------
O3
1 minggu
Keterangan: NR = Non Random; O = observasi atau pengetesan Gambar 3.1. Desain Penelitian D. Instrumen Penelitian Untuk memilih instrumen penelitian yang tepat dalam penelitian ini, peneliti melihat juga instrumen penelitian sejenis meskipun dengan masalah yang berbeda yang pernah dilakukan di luar negeri. Neill (1999) dalam penelitiannya yang berjudul, pengaruh Outdoor Education terhadap Life Effectiveness Questionnaire (LEQ), menggunakan sampel 63% laki-laki dan 37% wanita dengan rata-rata 18% usia siswa sekolah, 60% orang muda dan 22% orang dewasa (usia di atas 30 tahun). Instrumen penelitian adalah Life Effectiveness Questionnaire (LEQ) yang dibuat oleh Neill, Marsh & Richards (1998), terdiri dari 24-item self-report instrument dan 8 bagian life effectiveness. Penelitian ini dilakukan terhadap 3345 orang secara penuh
63
mulai dari pre-program dan post-program LEQ. Outdoor Education program terdiri 6 macam kegiatan program Outward Bound Australia yang diikuti oleh 85% peserta. Sedangkan sisanya 15% mengikuti Outdoor Education berupa sail training voyages and special expeditions. Contoh beberapa penelitian Neill dan rekan-rekan lainnya adalah: 1. School student Outward Bound (OB) programs: 2 to 10 days in length for 12 to 16 year olds. 2. Non-OB programs: sail training voyages, scientific expeditions, programs for adults with drug problems, and defense force adventure training. 3. Management OB programs: typically 5 to 10 days for middle-level employees. 4. Adventure OB programs: typically 9 day holiday-period programs for 12 to 16 year olds. 5. Adult OB programs: 9 day programs for people who are 30 years and over. 6. Family OB programs: 10 day programs for 2 or more family members. 7. Challenge OB programs: 21 to 26 days programs for young adults 17 to 29 years. Lamanya latihan rata-rata dilakukan antara 2-26 hari. Variasi penelitian Neill di atas, telah menjadi inspirasi peneliti untuk lebih berani dalam menentukan sampel, usia, dan waktu penyelidikan yang berbeda-beda, mengingat dinamika proses pelaksanaan program kegiatan seperti Outdoor Education. Untuk mengetahui pengaruh Outdoor Education dengan pengalaman ajar Hiking melalui metode experiential learning terhadap kesadaran kelestarian lingkungan alam, dilakukan pengumpulan data melalui angket skala kesadaran kelestarian lingkungan alam. Untuk skala kesadaran kelestarian lingkungan alam, 64
sebagian besar butirnya merupakan modifikasi dari ”The connectedness to nature scale: A measure of individual feeling in community with nature” yang disusun oleh Mayer; dkk (2004). Untuk mengetahui item-item The connectedness to nature scale aslinya dapat dilihat pada Lampiran, sedangkan untuk item-item hasil modifikasinya dapat dilihat pada Lampiran. G. Pelaksanaan Penelitian Garis besar pelaksanaan dalam penelitian ini terbagi dalam beberapa tahapan seperti tertera pada Tabel 3.4. Tabel 3.2 Garis Besar Pelaksanaan Penelitian Tahap
Kelompok Eksperimen
Kelompok Kontrol
Keterangan
1.
Pengambilan data awal
Pengambilan data awal
2.
Pengalaman ajar Hiking
Tanpa pengalaman Hiking
3.
Pengambilan data akhir 1
Pengambilan data akhir 1
Tes kesadaran kelestarian lingkungan alam ke-dua
4.
Pengambilan data akhir 2
Pengambilan data akhir 2
Tes kesadaran kelestarian lingkungan alam ke-tiga
65
Tes kesadaran kelestarian lingkungan alam pertama ajar 16 kali pertemuan
Untuk penerapan pengalaman ajar Hiking melalui metode experiential learning kepada kelompok eksperimen, dilakukan secara bertahap, yaitu mulai dari Hiking yang paling mudah dan aman, sampai kepada Hiking yang cukup berat dan menantang.
Kegiatan secara umum adalah, kelompok eksperimen sebelum
melakukan Hiking, dikumpulkan bersama-sama di kampus Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Peneliti memberikan penjelasan singkat, tentang arah yang akan dilalui dan tempat tujuan yang akan dicapai.
Mereka dianjurkan untuk menikmati,
mempelajari alam dan merenungkannya dengan pikiran dan perasaannya masingmasing secara bebas. Hal tersebut disesuaikan dengan anjuran dari filosofis Johan Henrick Pestalozzi (1746-1827) yaitu, “But in these hours of freedom let him be taught by nature rather than by you. Let him fully realize that she is the real teacher and that you, with your art, do nothing more than walk quietly at her side.” Perjalanan Hiking dilakukan tanpa penekanan yang tergesa-gesa, akan tetapi diinstruksikan agar mereka tidak saling berjauhan. Selama perjalanan, mereka dibiarkan bebas untuk mempelajari pengalaman belajar di alam dengan caranya sendiri, misalnya melihat pemandangan, menghirup udara segar, mandi di air terjun dan lain-lain. Sewaktuwaktu, ada kalanya mereka beristirahat di tempat tertentu
yang paling
memungkinkan, dan sambil memandangi keindahan alam, mereka merenungkannya dengan imajinasinya masing-masing. Setelah mencapai tempat tujuan yang telah direncanakan, para siswa diberi kebebasan untuk menikmatinya, bersenang-senang dan beristirahat lebih lama, untuk mempersiapkan kondisi fisik dan mental mereka
66
dalam menempuh perjalanan pulang ke tempat asal.
Sebagai inti dari kegiatan
Hiking yang menjadi tujuan/sasaran, disusun sebagai berikut pada Tabel 3.5. Tabel 3.3 Garis Besar Pengalaman Ajar Hiking Program
Materi
Keterangan
1.
Menelusuri jalan-jalan setapak di Jalan tanah yang biasa dilalui para pedesaan petani di desa Ciwaruga + 1.5 km.
2.
Berjalan-jalan di pematang sawah Persawahan dan perkebunan di dan kebun sayuran desa Parongpong + 2 km.
3.
Mendaki perbukitan dan menuruni Bukit yang terjal dan lembah yang lembah dalam di Lembang Asri + 3 km.
4.
Menelusuri perkebunan teh
Menikmati pemandangan indah di perkebunan teh Sukawanah +3 km.
Memasuki gua-gua
Menelusuri dalam kegelapan Guagua yang dibuat pada zaman penjajahan Jepang di dago utara + 2 km.
6.
Memasuki kawasan air terjun
Menikmati air terjun Curug Bugbrug + 3 km.
7.
Menelusuri aliran sungai
Sungai yang deras dan licin di Desa Ciwangun + 3 km.
8.
Menuju danau
Bermain di danau sambil berenang di sekitar Curug Layung Lembang + 4 km.
9.
Menjelajah hutan pinus
Menerobos lebatnya hutan pinus di daerah Parongpong Lembang + 4
5.
67
km. 10.
Menyeberangi sungai dan melawan Curug Tiga Desa Ciwangun + 4 arus km.
11.
Melalui rintangan alam
Gerbang Air desa Parongpong + 4 km.
12.
Mendaki pegunungan
Kaki gunung Burangrang + 5 km
13.
Menelusuri mata-mata air
Di daerah lebak cigugur
14.
Menikmati pemandangan gunung Tangkuban Parahu
indah Mendaki dari arah parongpong lembang
15.
menelusuri perumahan penduduk sebagai perbandingan
padat Perumahan sekitar belakang UPI bahan
16.
Melintasi sungai
beberapa
kedalaman Aliran sungai Situ Lembang
H. Teknik Analisis Data Data sampel yang terkumpul dari hasil Tes awal sebelum eksperimen berlangsung dan hasil Tes Akhir, masing-masing Tes Akhir 1 dan Tes Akhir 2 dianalisis dengan menggunakan teknik analisis statistika uji kesamaan rata-rata antara kedua skor perolehan (gain score) masing-masing kelompok eksperimen dan kelompok kontrol ( Usman dan Akbar (2003: 89; 97; 142). Adapun langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut, sementara hasil pengolahan dan analisis secara rinci disajikan dalam Lampiran 9.
68
Langkah 1: Mencari nilai rata-rata hasil data awal, akhir 1 dan hasil data akhir 2 dari kedua kelompok. Langkah 2: Mencari simpangan baku dari setiap kelompok data. Langkah 3: Uji normalitas data. Langkah 4: Uji homogenitas antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Langkah 5: Uji perbedaan dua rata-rata.
69
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengolahan dan Analisis Data Untuk mengetahui pengaruh Outdoor Education dengan pengalaman ajar Hiking melalui metode experiential learning terhadap peningkatan kesadaran kelestarian lingkungan alam, maka diadakan pengolahan data berdasarkan skor-skor mentah yang diperoleh dari hasil tes awal dan tes akhir penelitian. Adapun hasil penghitungan rata-rata, simpangan baku dan varians kesadaran awal, kesadaran akhir 1 dan kesadaran akhir 2 kelompok eksperimen dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil Penghitungan Rata-rata, Simpangan Baku dan Varians Kesadaran Awal, Kesadaran Akhir 1 dan Kesadaran Akhir 2 Kelompok Eksperimen Periode Tes
Rata-Rata
Simpangan Baku
Varians
Tes Awal
88.8
4.21
17.75
Tes Akhir 1
90.05
8.87
78.68
Tes Akhir 2
77
7.2
51.68
Hasil penghitungan rata-rata, simpangan baku dan varians kesadaran awal, kesadaran akhir 1 dan kesadaran akhir 2 kelompok kontrol dapat dilihat pada Tabel 4.2.
70
Tabel 4.2 Hasil Penghitungan Rata-rata, Simpangan Baku dan Varians Kesadaran Awal, Kesadaran Akhir 1 dan Kesadaran Akhir 2 Kelompok Kontrol Periode Tes
Rata-Rata
Simpangan Baku
Varians
Tes Awal
90.55
7.16
51.31
Tes Akhir 1
83.05
7.54
56.79
Tes Akhir 2
77.15
8.55
73.19
Hasil penghitungan perbedaan rata-rata, simpangan baku dan varians kesadaran awal dan akhir 1 serta kesadaran awal dan akhir 2 kelompok eksperimen dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5
Hasil Penghitungan Perbedaan Rata-rata, Simpangan Baku dan Varians Kesadaran Awal dan Akhir 1 serta Kesadaran Awal dan Akhir 2 Kelompok Eksperimen Periode Tes
Rata-rata
Simpangan Baku
Varians
Awal dan Akhir 1
1.25
7.62
57.99
Awal dan Akhir 2
-11.8
8.35
69.64
Hasil penghitungan perbedaan rata-rata, simpangan baku dan varians kesadaran awal dan akhir 1 serta kesadaran awal dan akhir 2 kelompok kontrol dapat dilihat pada Tabel 4.6.
71
Tabel 4.6 Hasil Penghitungan Perbedaan Rata-rata, Simpangan Baku dan Varians Kesadaran Awal dan Akhir 1 serta Kesadaran Awal dan Akhir 2 Kelompok Kontrol Putra
Periode Tes
Rata-rata
Simpangan Baku
Varians
Awal dan Akhir 1
-7.5
9.89
97.84
Awal dan Akhir 2
-13.4
11.84
140.15
B. Pengujian Hipotesis Untuk menguji hipotesis penelitian yang telah diajukan sebelumnya dalam Bab I, maka dimanfaatkan hasil pengolahan dan analisis data yang sudah diperoleh terutama rata-rata gain skor. Pengujian hipotesis adalah sebagai berikut. H1: Outdoor Education dengan pengalaman ajar Hiking yang disampaikan melalui metode experiential learning berpengaruh positif terhadap peningkatan kesadaran pemeliharaan lingkungan hidup. Untuk menguji hipotesis ini dipergunakan hasil pengolahan data seperti tercantum dalam Tabel 4.7 di bawah ini.
72
Tabel 4.7 Hasil Uji Perbedaan Gain Score Kelompok Eksperimen dan KelompokKontrol dalam Peningkatan Kesadaran Kelestarian Lingkungan Alam
Periode Tes
Rerata Gain Score Rerata Gain Score t- Hitung Eksperimen Kontrol
Kesimpulan
Awal dan Akhir 1
1.25
-7.5
0.003
Non Signifikan
Awal dan Akhir 2
-11.8
-13.4
0.62
Non Signifikan
t 0.25 = 0.681 Hipotesis statistik:
Ho : x 1 = x 2 HA : x 1 ≠ x 2 Pengujian hipotesis statistik menggunakan uji t. Jika t hitung < t tabel, maka hipotesis (H0) diterima. Jika t hitung > t tabel, maka hipotesis (HA) diterima. Hasil perhitungan rerata gain skor kesadaran, yang diperoleh dari selisih skor Tes Awal dan Tes Akhir 1 pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol masingmasing sebesar 1.25 dan -7.5. Hasil uji t tes menunjukan bahwa t hitung 0.003 ternyata lebih kecil dari pada t-tabel (0.681). Perbedaan rerata tersebut menunjukkan bahwa kelompok eksperimen tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti dibandingkan dengan kelompok kontrol. 73
Meskipun perbedaan itu ditinjau dari
derajat kepercayaan yang cukup rendah, hal ini dapat diartikan bahwa hipotesis penelitian tidak didukung oleh fakta empirik. Dengan demikian, tidak ada indikasi yang mengisyaratkan bahwa pengalaman belajar berupa Hiking dalam payung konsep pendidikan alam bebas yang disampaikan dengan metode experiential learning menimbulkan perubahan perilaku berupa kemampuan untuk meningkatkan kesadaran kelestarian lingkungan alam di kalangan mahasiswa. Berkenaan dengan hipotesis di atas ingin diuji pula makna rerata skor kesadaran kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berdasarkan gain skor yang didapat dari selisih Tes Awal dan Tes Akhir 2. Rerata gain skor masing-masing -11.8 dan -13.4. Seperti prosedur di atas, seberapa bermakna perbedaannya, diuji dengan t tes, dan diperoleh t hitung 0.62 yang lebih kecil dari pada t tabel (0.681) pada derajat kepercayaan 0.25. keduanya.
Ini berarti tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara
Maksudnya pada waktu dilakukan Tes Akhir 2, antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol tidak menunjukkan perbedaan skor kesadaran yang nyata. Dalam konteks ini terkesan bahwa peningkatan kesadaran lingkungan alam itu bersifat situasional, paling tidak berdasarkan hasil tes akhir ke-2 yang sudah dicobakan. C. Diskusi Penemuan Masalah utama dalam studi ini adalah sebuah persoalan, apakah ada pengaruh nyata dari program Outdoor Education dengan pengalaman ajar Hiking yang
74
disampaikan melalui metode experiential learning terhadap peningkatan kesadaran kelestarian lingkungan alam. Masalah ini tersingkap berdasarkan hasil analisis yang telah disajikan dalam paparan terdahulu, yakni tentang makna kesamaan skor rerata yang diperoleh berdasarkan skor perolehan (gain score) tes awal dan tes akhir, sesudah kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memperoleh perlakuan berupa pengalaman ajar Hiking. Analisis berdasarkan skor perolehan sangat selaras dengan konsep belajar (learning), yakni sebagai proses perubahan perilaku yang relatif permanen. Karena itu pula untuk mengecek seberapa permanen atau melekat perubahan perilaku tersebut, yang diungkap dalam konsep retention, dijajagi dengan dilaksanakannya dua kali tes akhir, yakni tes akhir ke-1 dan ke-2. Hasil analisis kebermaknaan kesamaan rerata skor perolehan peningkatan kesadaran
kelestarian
lingkungan
alam pada kelompok eksperimen, tidak
menunjukan perbedaan yang positif dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pengalaman ajar Hiking melalui metode experiential learning memberikan peluang kepada mereka dalam proses perenungan atau meditasi baik yang berhubungan dengan Tuhan, maupun alam ciptaanNya.
Berdasarkan anggapan
Dewey dalam Taniguchi (2004:23),”The knowledge of what is real comes from the experiences each individual has and the more experiences one has with the opportunity to reflect on them, the more educated one becomes.”
75
Fakta empiris yang tersingkap dari penelitian ini mengungkapkan pengaruh unik dari “pengalaman” utuh yang dialami langsung oleh seseorang terhadap keadaan jiwanya. Alam bebas dengan aneka keasliannya menyediakan rangsang, yang hanya akan berperan apabila terjadi proses aktif untuk memberi makna
terhadap
pengalaman tersebut melalui proses refleksi. Ini berarti, sungguh mungkin pengaruh yang membekas akan berbeda-beda dalam setiap individu yang mengalaminya. Dalam kaitan ini, maka fungsi pembelajaran dalam konteks pendidikan alam bebas ini, adalah untuk mengoptimalkan hasil belajar, karena pengaruh itu tidak terpola dengan sendirinya, lebih-lebih terhadap domain afektif. Metode
experiential
learning
mampu
memainkan
peranan
untuk
membangkitkan perhatian para peserta didik pengikut program Hiking, untuk tertuju pada makna di balik objek-objek yang dialami para peserta.
Dengan bantuan
instruktur kesemua pengalaman itu mengalami proses penghayatan dan akan lebih meresap manakala dihubungkan dengan nilai-nilai yang fundamental, sehingga begitu dekat dengan nilai spiritual. Rasa kagum, terpesona, terkesima, dan lain-lain yang dibangkitkan oleh rona alam, seperti lanskap yang indah, beningnya air, atau kelembutan angin misalnya sungguh begitu mudah untuk diubah dan ditingkatkan ke dalam proses transedental, yaitu kesadaran mewarnai akan adanya penciptaan maha karya yang agung dari Tuhan. Pengalaman Hiking yang dihayati akan menjadi semacam “meditasi” aktif, dalam hal itu terjadi apabila peserta berniat bukan hanya asal sampai ke tujuan
76
perjalanan, tetapi memberi makna dan meresapi pengalaman. Pengalaman semacam inilah yang diungkap oleh Frank dalam kutipan Pink (2006:217) yang menegaskan bahwa, “. . . man’s main concern is not gain pleasure or to avoid pain but rather to see a meaning is his life.” Dalam kaitan ini pula dikatakan “. . . our fundamental drive, the motivational engine that powers human existence, is pursuit of meaning.” Berdasarkan hasil penelitian mekanisme perubahan saraf, Newberg & Waldman (2009:4) berpendapat bahwa, “God is part of our consciousness.” Pejelasannya adalah, semakin seseorang berpikir tentang Tuhan, semakin terjadi perubahan gerakan saraf di dalam bagian-bagian otak tertentu. Berdasarkan hal ini, Newberg & Waldman berkeyakinan bahwa, “God can change your brain.” Menurut mereka, otak manusia dibangun secara unik untuk merasakan dan membangkitkan realitas-realitas spiritual. Meskipun belum ada cara untuk memastikan ketepatan dari persepsi-persepsi demikian, otak manusia memiliki logika, akal sehat, intuisi, imaginasi, dan emosi untuk mengintegrasikan Tuhan dan alam semesta ke dalam suatu sistem nilai-nilai pribadi, perilaku, dan kepercayaan/faham yang komplek. Meskipun, ilmu pengetahuan saraf (neuroscience) belum mempunyai jawaban apakah Tuhan itu ada atau tidak, tetapi dampak dari kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman religius pada otak manusia menurut Newberg & Waldman pengaruhnya dapat dicatat. Dari hasil riset pemetaan perubahan kimiawi saraf (neurochemical) yang disebabkan oleh praktik-praktik spiritual dan religious, terhadap kaum Sikh, Sufi,
77
para praktisi yoga, dan para pemeditasi tahap lanjut, Newberg & Waldman menemukan bahwa, tiap bagian otak membangun suatu persepsi yang berbeda-beda dan unik tentang Tuhan.
Newberg & Waldman menerangkan bahwa, renungan
jangka panjang yang terus-menerus mengenai Tuhan dan nilai-nilai spiritual lainnya, tampak secara permanen mengubah struktur bagian otak yang mengendalikan suasana hati, sehingga memunculkan pikiran-pikiran sadar dan membangun persepsi seseorang tentang dunia.
Demikian juga praktik-praktik merenung menguatkan
pergerakan neurologis yang spesifik yang dapat membangkitkan kedamaian, kesadaran sosial, dan rasa haru terhadap orang lain. Tambahan lain dari kekayaan alam yang dapat memberikan pengetahuan dan imajinasi lingkungan, seperti keindahan langit biru dan putihnya awan berarak, bukit-bukit, lembah dan gununggunung yang menjulang tinggi, aneka pohon yang tumbuh dan hamparan rumput yang hijau, bunga-bunga beraneka warna dengan aroma yang beragam. Udara segar yang nikmat, air jernih yang keluar dari mata-mata air dapat menyejukkan dan menjernihkan pikiran. Kicauan burung-burung yang bersahutan dan bunyi-bunyi serangga yang berirama dapat menenangkan jiwa. Dalam teori evaluatif Hutcheson (1969) dalam Calhoun & Solomon (1984) menyatakan adanya “rasa di dalam diri” yaitu suatu rasa akan keindahan yang memungkinkan seseorang mengalami perasaanperasaan menyenangkan. Melalui emosi-emosi seperti itu seseorang dapat menjadi sadar akan nilai-nilai, sama seperti waktu memandang warna-warni dari berbagai bentuk sebuah lukisan. Berdasarkan studi-studi eksperimental, Descartes & James
78
(1950) dalam Calhoun & Solomon (1984:21) beranggapan bahwa,”a state of physiological arousal and an awareness and interpretation of one’s situation are both crucial to emotion.” Berkenaan dengan hasil penelitian ini, ada kemungkinan kelompok eksperimen kurang merasakan suatu keadaan tergetar secara fisiologis, “getaran” jiwa yang diakibatkan oleh kondisi dan suatu kesadaran dan interpretasi yang mempengaruhi situasi. Dalam keadaan hasil penelitian ini kurang mendukung penelitian terdahulu, utamanya tentang pengaruh pendidikan alam bebas terhadap personal development seperti self-esteem, self-concept, self-efficacy, dan lain-lain yang diutarakan oleh Neill (1997). Sangat boleh jadi penelitian yang telah penulis lakukan, memiliki kelemahan dalam hal implementasi metode experiential learning, yang setelah ditelaah ulang, kurang berjalan sebagaimana mestinya, karena ada kesan peserta lebih mementingkan target yaitu segera sampai pada tujuan perjalanan. Dalam hal ini dimaksudkan, proses reflektif kurang mendalam, sehingga dalam research berikutnya, proses ini harus lebih intensif ditekankan. Kelemahan lainnya yaitu pada penerapan paradigm penelitian positivistik kuantitatif. Kerangka kerja penelitian yang sangat menekankan asesmen perilaku serba terukur sangat rawan untuk tidak mampu mendeteksi perubahan berkenaan dengan kesadaran. Padahal berdasarkan observasi peneliti selama berlangsung pengalaman di lapangan, subjek penelitian menampakkan kesan-kesan yang nyata berkenaan dengan lingkungan, mulai dari rasa kagum akan aneka rona lingkungan,
79
sampai pada pengakuan secara pribadi untuk bersemangat menjaga lingkungan. Bahkan para sbyek yang terdiri atas para mahasiswa FPOK itu berhasrat untuk mengulang kembali pengalaman itu di kemudian hari. Berdasarkan
pengalaman
tersebut
maka
paradigm
penelitian
untuk
menyingkap pengaruh outdoor education lebih cocok menggunakan penelitian kualitatif atau pendekatan naturalistic berdasarkan observasi partisipatory. Paradigma penelitian ini akan lebih tajam kemampuannya untuk bukan hanya memerikan perilaku subjek penelitian, tetapi juga sekaligus memberikan maknanya. Dengan demikian, seperti dipaparkan pada awal Bab I naskah ini, pendekatan etnografis yang didukung oleh antropologi akan lebih sesuai digunakan untuk menyingkap pengaruh ourdoor education. Kelemahan berikutnya ada pada kemampuan instrument untuk memotret perubahan yang terjadi. Instrumen yang digunakan adalah adopsi dan adaptasi instrument kesadaran lingkungan yang disusun oleh ahli asing. Kelemahan itu terletak pada sebagian di antaranya pada pernyataan-pernyataan yang mengandung muatan budaya yang berbeda dan pernyataan lainnya yang menggiring responden untuk menjawab bagaimana sepatutnya. Dengan demikian validitas internal kurang terpenuhi da terjamin untuk menjamin bahwa tes yang digunakan benar-benar mampu mengukur konstruk psikologis, yakni kesadaran lingkungan.
80
Sebagai subjek, banyak kemungkinan mahasiswa FPOK, meskipun tidak mengikuti program eksperimen, outdoor education,
mereka umumnya sebagai
olahragawan yang sudah biasa diterpa pengalaman “di luar kelas.”
Pengalaman ini
menunjukkan perlunya perhatian yang lebih besar terhadap prinsip “developmentally appropriate practice,” yakni keselarasan perlakuan pengalaman ajar yang disesuaikan dengan tingkat kematangan mereka.
81
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN-SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan analisis data tentang pengaruh Outdoor Education dengan pengalaman ajar Hiking melalui metode experiential learning terhadap peningkatan kesadaran pemeliharaan lingkungan alam selama 16 kali pertemuan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Outdoor Education dengan pengalaman ajar Hiking yang disampaikan melalui metode experiential learning dari perspektif analisis pendekatan kuantitatif kurang berpengaruh
terhadap peningkatan kesadaran pemeliharaan lingkungan alam
dikalangan mahasiswa. B. Implikasi 1.
Pengembangan Outdoor Education sebagai substansi dan sekaligus
metode pendidikan lingkungan hidup. Meskipun secara statistiktidak terungkap perbedaan yang bermakna antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berkenaan dengan pengaruh outdoor education untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan lingkungan hidup, tetapi secara konseptual-teoretis pengalaman ajar itu tetap perlu dikembangkan. Hal ini sesuai dengan asumsi bahwa pendidikan di “luar kelas” yang memungkinkan peserta
82
didik berinteraksi langsung dengan pengalaman nyata atau hand on experience akan berdampak pada pembentukan kesadaran terkait dengan teori adanya (1) kontak langsung, (2 reaksi emosi suka cita, kondisi excitement, dan kemudian melahirkan pengalaman Gestalt. Pengalaman ajar Hiking misalnya, merupakan sebuah program pembelajaran bermakna, yang di dalamnya berisikan pengalaman hidup manusia dalam lingkungan yang sebenarnya. Hal tersebut didukung oleh data kulitatif, yakni antara lain para peserta menggambarkan bagaimana mereka mampu melihat suatu aspek baru dari dunia, suatu lingkungan alami yang mereka tidak pernah harapkan bisa mereka lihat, dan menemukan perspektif serta hubungan baru dari sumber-sumber berbeda. Para siswa dapat merasakan secara langsung sentuhan-sentuhan alam nyata dan juga melihat dengan mata kepala sendiri keindahan alam yang menakjubkan. Sebagai pembaharuan mendasar bagi program pendidikan di alam bebas seperti halnya Hiking ini, persoalan yang penting, bukan terletak pada jarak tempuh atau keadaan alam yang dilalui, tetapi lebih pada pemberian makna terhadap pengalaman melalui refleksi, sebagaimana pelaksanaan experiential learning yang dimaksud Karena itu implikasi penting lainnya yakni terkait dengan pengayaan isi kurikulum pendidikan jasmani dan olahraga di sekolah. Selain itu program tersebut yang
sering
disebut
outbound
di
kalangan
masyarakat
umumnya
dapat
disempurnakan agar tujuan pendidikan lingkungan hidup dapat dicapai. Jadi,
83
substansi outdoor education dapat dipakai guna penyelenggaraan pendidikan lingkungan hidup melalui jalur pendidikan formal dan pendidikan non-formal. 2. Pengembangan metode pendidikan lingkungan hidup. Penyelenggaraan Outdoor Education pada umumnya dapat ditingkatkan melalui penerapan metode experiential learning. Kelemahan yang dijumpai dalam pelaksanaan penelitian baru-baru ini perlu disempurnakan dengan lebih ditekankanna pada pengayaan pengalaman dan penghayatan nilai-nilai di dalamnya, sehingga dalam konteks penyelenggaraan pendidikan jasmani sebagai payungnya secara langsung, dimensi spiritual terpadu dalam proses pembelajaran. Pengalaman bersifat lebih menggembirakan, lebih bebas dan menggugah kreativitas yang lebih mendalam pengaruhnya dalam iklim dan suasana pedagogis, dibandingkan pendidikan yang hanya menekankan pada pola pelatihan dari tugas gerak dengan kriteria yang formal dan kaku seperti olahraga permainan, senam, atletik, renang, beladiri. Pendidikan ini lebih mengangkat suasana kreativitas gerak yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing siswa, serta menarik makna dan hikmah dari pengalaman itu semua. Outdoor Education melalui metode experiential learning, lebih ditekankan sebagai sarana pendidikan gerak yang mengelaborasi konsep gerak yang bermakna pada pengembangan kesadaran ruang, dengan kesadaran ini, siswa menyadari dirinya (ruang pribadi) dalam hubungannya dengan orang lain dan lingkungannya (ruang
84
publik). Melalui kesadaran ruang ini memungkinkan untuk dapat menumbuhkan sifat-sifat jujur, disiplin, sadar lingkungan, serta empati pada orang lain. 3. Proses penyadaran Outdoor Education dengan metode experiential learning dapat digunakan sebagai kegiatan pembelajaran yang membangkitkan kesadaran akan pentingnya hubungan antara manusia dan lingkungan sekitarnya, sebuah relasi yang bersahabat dengan alam. Kesadaran itu ditumbuhkan oleh kekaguman, rasa cinta, dan keinginan untuk tetap memelihara dan menjaganya, dengan demikian alam bukan menjadi objek yang dikelola semena-mena tetapi harus dimanfaatkan secara bijaksana. Terkait dengan kesadaran linkungan sunguh perlu dipupuk kecerdasan ekologis. C. Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyampaikan saran-saran yang diharapkan dapat memberikan sumbangan dan pertimbangan bagi para ahli pendidikan maupun peneliti selanjutnya, yaitu: 1. Dalam rangka melengkapi falsafah
pendidikan khususnya dalam
perkembangan domain afektif, maka Outdoor Education sudah selayaknya menjadi bagian dari kurikulum di semua jenjang pendidikan, karena mengandung nilai yang unik dan lengkap dalam konteks pendidikan yang bersifat menyeluruh.
85
2. Outdoor Education dengan pengalaman ajar Hiking melalui metode experiential learning meskipun pengaruhnya tidak secara otomatis (bergantung pada metode penyelenggaraannya), harus dipopulerkan bagi seluruh rakyat Indonesia, selain untuk sarana rekreasi dan relaksasi, juga sebagai sarana persahabatan dengan alam, sehingga menimbulkan rasa cinta dan aktif dalam memelihara pelestarian alam. 3. Berdasarkan pengamatan peneliti, para peserta Hiking lebih terkonsentrasi kepada tujuan yang akan dicapai, sehingga proses perenungan dalam experiential learning yang dapat memberikan dampak perubahan, masih sangat terbatas. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan hasil penelitian, maka diperlukan penekanan yang lebih mendalam khususnya dalam proses perenungan, sehingga secara langsung pembinaan dan pengembangan dimensi spiritual merupakan bagian yang menyatu dengan proses pendidikan.
86
DAFTAR PUSTAKA
Alexandria Ham (Tt) Al Gore. (1992) Earth in The Balance. Ecology and The Human Spirit. New York, Rodale. Awareness & Attention. (2009). http://www.afn.org/-gestalt/aa.htm Bucher, Charles A. (1979). Foundations of Physical Education, New York: The C.V. Mosby Company. Calhoun, Cheshire., Solomon, Robert C. (1984). What is an Emotion. Classic Readings in Philosophical Psychology. New York: Oxford University Press. Dewey, John. (Tt). The Modern Father of Experiential Education. http:// www. wilderdom. com/experential/JohnDeweyPhilosophyEducation.html. Flannery, Diana;dkk. (2003) Outdoor School:Creating A Passion for The Environment. California an Journal of Health Promotion. George Mc Kee. (2009) The Engine of Awareness : Autonomous Synchronous Representations. http://cogprints.org/731/0/ASR9.htm Goleman, Daniel. (1995). Emotional Intelligence. New York. Bantam Books. --------, (2009) Ecological Intelligence, New York. Broadway Books. Harianti, Diah. (2007). Naskah Akademik Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Kepala Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas. Jakarta. Harsono. (1988). Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis dalam Coaching. Jakarta: C.V. Tambak Kusuma. Ivan Illich, The Shadow Our Future Throws. (Bill Moyers. (1996) At Century’s End, Great Minds Reflect on Our Times. California, USA. ALTI Publishing. Kebijakan Pendidikan Lingkungan Hidup.
87
Mayer, F. Stephan; Frantz, Cynthia McPherson. (2004). The connectedness to nature scale: A measure of individuals’ feeling in community with nature. Jurnal of Environmental Psychology 24. Neill, James. (1997). The 10th National Outdoor Education Conference. Paper. Sydney, Australia. International Education (1999) Vol.3. No. 4. http: // www. wilderdom. com/jamesNeil.htm. _______, (1999). Personal development outcomes of outdoor education programs. http://www.wilderdom.com/abstracts/Neill1999PersonalDevelopmentOutcomes OutdoorEducationPrograms.htm. _______, (2004 b). C:\Documents and Settings\Windowz XP\My Documents\What is Outdoor Education Definition (Definitions).htm _______, (2004 c). Enhancing Personal Effectiveness: Impacts of Outdoor Education Programs. C:\Documents and Settings\Windowz XP\My Documents\Enhancing Personal Effectiveness Impacts of Outdoor Education Programs - James Neill, PhD Thesis.htm. _______, (2005). “Garden of Eden” Theory. Nature Theory on the connection Between Natural Environments & Human Well-being. http: //www. wilderdom. com/ theory/ Nature Theory.html. _______, (2006 b). Purposes, Goals & Aims of Outdoor Education. http:// www. Wilder dom. com/definitions/MethodPurpose.html. _______, (2006 c). C:\Documents and Settings\Windowz XP\My Documents\What is Out-door Education Definition (Definitions).htm. _______, (2006 d). C:\Documents and Settings\Windowz XP\My Documents\Philoso phy of Outdoor Education.htm _______, (2007). History of Outdoor Education. http://www.wilderdom.com/history. html Nelson, Ethel. R. (1994). Eight Secrets of Health (Delapan Obat Alami). Bandung: Indonesia Publishing House.
88
Newberg, Andrew dan Waldman, Mark Robert. (2009). How GOD Changes Your Brain. New York. Ballantine Books. Oleson, Eric. (2000). Hiking. http://www.amazon.com/exce/obidos/redirect-home/ hiking/ website. Pink, Daniel H. (2006). A Whole New Mind is “Audacious and Powerful” New York. Riverhead Books. Prairie Wetlands Learning Center. Environmental Education http://www.edb.utexas.edu/esclstudent/dhsiao/theeries.html#construct
Strategy.
Robbins, Kelly. (2003) Environmental Awarness:Overcoming Ignorance and Apathy by Getting People ‘Out Side’.
[email protected] Takeshi Umehara. The Civilization of the Forest: Ancient Japan Shows Post Modernism The Way. (Bill Moyers. (1996) At Century’s End, Great Minds Reflect on Our Times. California, USA. ALTI Publishing. Taniguchi, Stacy T. (2004). Outdoor Education and Meaningful Learning. Ph.D. Dissertation. Brigham Young University. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Unesco. (1995), Netherlands Commission for Unesco, Netherlands, Tessel Offset. Usman, Husaini. & Akbar, Setiady R.Purnomo. (2003). Pengantar Statistika. Jakarta: PT. Bumi Aksara. WALHI (2005-2008) http://walhi-jogja.or.id/ index.php? option=com_content&task= view&id=56&Itemid=221.mht White, Ellen G. (2005). Education (Membina Pendidikan Sejati). Indonesia Publishing House.
Bandung:
Wikipedia, the free encyclopedia. (2006).C:\Documents and Settings\Windowz XP\My Documents\Outdoor education - Wikipedia, the free encyclopedia.htm -------, (2009). Environmental Environmental_ Education
Education.
89
http://en.wikipedia.org/wiki/
Yumarma. (2003). Kompas, Masalah Filosofis Tujuan Pendidikan Nasional, C:\ Documents and Settings\Windowz XP\My Documents\pendidikan 1.htm.
90
Lampiran 1 Please answer each of these questions in terms of the way you generally feel. There are no right or wrong answers. Using the following scale, in the space provided next to each question simply state as honestly and candidly as you can what you are presently experiencing. 1. Strongly disagree
2.
3. Neutral
4.
5. Strongly agree
1. I often feel a sense of oneness with the natural world around me. 2. I think of the natural world as a community to which I belong. 3. I recognize and appreciate the intelligence of other living organisms. 4. I often feel disconnected from nature. 5. When I think of my life, I imagine myself to be part of a larger cyclical process of living. 6. I often feel a kinship with animals and plants. 7. I feel as though I belong to the Earth as equally as it belongs to me. 8. I have a deep understanding of how my actions affect the natural world. 9. I often feel part of the web of life. 10. I feel that all inhabitants of Earth, human, and nonhuman, share a common 'life force'. 11. Like a tree can be part of a forest, I feel embedded within the broader natural world. 12. When 1 think of my place on Earth, I consider myself to be a top member of a hierarchy that exists in nature. 13. I often feel like I am oniy a small part of the natural world around me, and that I am no more important than the grass on the ground or the birds in the trees. 14. My personal welfare is independent of the welfare of the natural world.
91
Lampiran 2 GANJIL 1
2
3
4
5
Sangat tidak
Sedikit tidak
Netral
Sedikit setuju
Sangat setuju
Setuju
Setuju
GENAP 5
4
3
2
1
Sangat tidak
Sedikit tidak
Netral
Sedikit setuju
Sangat setuju
Setuju
Setuju
_____ 1. Saya sering merasakan suatu kesan bahwa saya adalah satu dengan dunia sekeliling saya. _____ 2. Apabila saya berpikir tentang kehidupan saya, saya membayangkan bahwa saya adalah bagian dari siklus kehidupan yang lebih kecil. _____ 3. Saya menganggap dunia dan alam sebagai komunitas di mana saya menjadi bagian. _____ 4. Saya merasa bahwa saya tidak ada hubungan keluarga dengan hewan dan tanaman. _____ 5. Saya mengakui dan menghargai kecerdasan dari organisme-organisme lain. ___
6. Saya sering merasa seakan saya bukan bagian dari Bumi.
_____ 7. Saya sering merasa bahwa saya tidak berhubungan dengan alam. _____ 8. Saya mengerti sekali bagaimana sepak-terjang saya tidak mempengaruhi alam dunia ini.
92
_____ 9. Apabila saya berpikir tentang kehidupan saya, saya membayangkan bahwa saya adalah bagian dari siklus kehidupan yang lebih besar. ____ 10. Saya sering merasakan suatu kesan bahwa saya terpisah dari dunia sekeliling saya. ____ 11. Saya sering merasa bahwa ada pertalian keluarga dengan hewan dan tanaman. ____ 12. Saya menganggap dunia dan alam bukan sebagai komunitas yang menjadi bagian saya. ____ 13. Saya sering merasa seakan saya menjadi bagian Bumi sama seperti Bumi menjadi bagianku. ____ 14. Saya mengakui dan menghargai bahwa hanya manusia adalah mahluk yang cerdas. ____ 15. Saya mengerti sekali bagaimana sepak-terjang saya mempengaruhi alam dunia ini. ____ 16. Saya sering merasa bahwa saya selalu berhubungan dengan alam. ____ 17. Saya sering merasa bahwa saya adalah jaringan kehidupan. ____ 18. Kesejahteraan pribadi saya begantung pada diri saya sendiri. ____ 19. Saya merasa bahwa semua penghuni Bumi, manusia, dan bukan manusia, berbagi ‘daya hidup’ yang sama. ____ 20. Saya sering merasa bahwa saya adalah yang paling penting dibandingkan mahluk lain. ____ 21. Sebagaimana sebuah pohon bisa menjadi bagian dari rimba, saya merasa diri saya tertanam di dalam alam dunia yang lebih luas. ____ 22. Apabila saya memikirkan tentang tempat saya di Bumi ini, saya menganggap diri saya setarap dengan mahluk lain yang ada di dalam alam.
93
____ 23. Apabila saya memikirkan tentang tempat saya di Bumi ini, saya menganggap diri saya sebagai anggota teratas dari sebuah hierarki yang ada di dalam alam. ____ 24. Saya merasa diri saya berada di dalam alam dunia yang sempit. ____ 25. Saya sering merasa bahwa saya hanyalah sebagian kecil dari alam bebas sekitarku, dan bahwa saya tidak lebih penting dari rumput di tanah atau burungburung di pohon. ____ 26. Saya merasa bahwa hanya manusia memiliki ‘daya hidup’ yang lebih dari mahluk lain. ____ 27. Kesejahteraan pribadi saya begantung pada kesejahteraan alam bebas. ___ 28. Saya sering merasa bahwa saya bukan merupakan jaringan kehidupan. Nama
:
No. induk : Putra/putri
94
Lampiran 3 Teknik Analisis Statistika Mencari nilai rata-rata hasil data awal, akhir I dan hasil data akhir II ( Χ ) dari kedua kelompok dengan menggunakan rumus :
∑x ∑n
1
Χ
=
1
Χ
Di mana :
= nilai rata-rata yang dicari
∑x
1
∑n 1
= jumlah dari seluruh nilai X = jumlah anggota sampel
2. Mencari simpangan baku dari setiap kelompok data, dengan menggunakan rumus S
2
S= Dimana : S = simpangan baku
s
2
= varians
Adapun untuk menghitung varians adalah menggunakan rumus:
S
∑ (x − x )
2
1
2
n −1
=
Di mana :
S
2
= varians
Σ
= jumlah dari
95
X1 = nilai skor mentah
x = nilai rata-rata
n
= jumlah sampel
3. Uji normalitas data. Uji kenormalan dilakukan secara non parametrik yang menurut Sudjana (1989:466-467) dikenal dengan nama uji Lilliefors. Sampel akan diuji dengan hipotesis nol, artinya bahwa sampel tersebut berdistribusi normal melawan hipotesis tandingan yang menyatakan bahwa sampel berdistribusi tidak normal. Untuk pengujian hipotesis nol tersebut ditempuh prosedur sebagai berikut: Pengamatan x1, x2, . . . , xn dijadikan bilangan baku z1, z2, . . . , zn dengan x1 − x s menggunakan rumus zi = ( x dan s masing-masing merupakan rata-rata dan simpangan baku sampel).
Untuk tiap bilangan baku ini dan menggunakan daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang F(zi) = P (z
dengan zi. Jika proporsi ini dinyatakan oleh S(zi), maka
S(zi) =
banyaknya z1, z2, . . . , zn yang
≤ zi
n
d. Hitung selisih F(zi)-S(zi) kemudian tentukan harga mutlaknya. Ambil harga yang paling besar di antara harga-harga mutlak selisih tersebut. Sebutlah harga terbesar ini Lo. Untuk menerima atau menolak hipotesis nol, bandingkan Lo ini dengan nilai krisis L yang diambil dari daftar nilai kritis untuk uji
96
Lilliefors dengan taraf nyata yang dipilih ( α = 0.05). Kriterianya adalah : tolak hipotesis nol bahwa populasi berdistribusi normal jika Lo yang diperoleh dari data pengamatan melebihi L dari daftar. Dalam hal lainnya hipotesis nol diterima. 4. Uji homogenitas antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dengan rumus :
VariansTerbesar F = VariansTerkecil Ftabel = F α (dk pembilang - 1, dk penyebut - 1) Jika Fhitung < F tabel maka Ho diterima (homogen) Jika Fhitung >Ftabel maka kedua kelompok tidak homogen. 5. Uji kesamaan dua rata-rata dengan menggunakan rumus: x1 − x2
t = gab
S
x1 dan x 2
1 1 + n1 n2
= rata-rata sampel
Sgab = simpangan baku
n1 dan n2 = jumlah anggota sampel
dengan
97
2
s =
(n1 − 1)s12 + (n2 − 1)s 22 n1 + n2 − 2
Kriteria uji hipotesis adalah : Ho = tidak terdapat perbedaan variabel terikat antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah penelitian. H1 = terdapat perbedaan variabel terikat antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah penelitian. Kriteria pengujian adalah : Melalui taraf signifikansi ( α =0.05) dimana dk = n1 + n2 -2 dengan menggunakan tabel t (lihat lampiran y) didapat nilai t tabel, jika –t tabel < t hitung < + t tabel, maka hipotesis (Ho) diterima.
98
Lampiran 4 Data Kesadaran Kelompok Eksperimen NO
NAMA
TES AWAL
TES AKHIR I
TES AKHIR II
GAIN I
GAIN II
1
HASAN
91
102
86
11
-5
2
FARID
83
82
82
-1
-1
3
WILLI
94
94
81
0
-13
4
EKA
80
70
70
-10
-10
5
YUDI
86
108
79
22
-7
6
REIN
96
101
69
5
-27
7
RIFAT
91
86
86
-5
-5
8
TAUFIK
88
87
65
-1
-23
9
YUSRON
94
94
72
0
-22
10
GALIH
91
93
76
2
-15
11
DENI
92
98
75
6
-17
12
CANDRA
88
86
86
-2
-2
13
ALI
88
75
83
-13
-5
14
IMAM
89
95
72
6
-17
15
INDRA
85
88
83
3
-2
16
FAJAR
88
92
66
4
-22
17
PANJI
85
90
83
5
-2
18
JAKA
93
88
72
-5
-21
19
RONI
83
87
69
4
-14
99
20
JEPI
91
85
85
-6
-6
Lampiran 5 Data Kesadaran Kelompok Kontrol NO
NAMA
TES AWAL
TES AKHIR I
TES AKHIR II
GAIN I
GAIN II
1
ANGGA
91
81
81
-10
-10
2
BERLIAN
91
88
76
-3
-15
3
OSCAR
90
69
69
-21
-21
4
KIKI
90
77
69
-13
-21
5
IRFAN
87
87
69
0
-18
6
DEA
91
95
75
4
-16
7
TIAR
93
97
70
4
-23
8
TITO
96
82
88
-14
-8
9
ERWIN
78
74
87
-4
9
10
GILANG
94
81
81
-13
-13
11
DJAELANI
78
73
77
-5
-1
12
ARIF
94
88
62
-6
-32
13
DHANI
91
80
99
-11
8
14
ALDY
94
82
83
-12
-11
15
MAKMUR
88
89
68
1
-20
16
DEDE
100
91
79
-9
-21
17
RIKA
87
87
77
0
-10
18
TYAS
110
72
72
-38
-38
100
19
ACHMAD
85
85
83
0
-2
20
AHMAD
83
83
78
0
-5
Lampiran 6 Nilai Kritis Distribusi t
101
Lampiran 7 Dokumentasi Outdoor Education dengan Pengalaman Ajar Hiking 102
1. menelusuri jalan-jalan setapak di pedesaan 2. berjalan di sawah dan kebun
3. mendaki perbukitan dan menuruni lembah
5. memasuki gua-gua
4. menelusuri perkebunan teh
6. memasuki kawasan air terjun
103
7. menelusuri aliran sungai
9. menjelajah hutan pinus
11. melalui rintangan alam
8. bermain di danau
10. menyeberangi sungai dan melawan Arus
12. mendaki pegunungan
104
13. menelusuri mata-mata air
15. berdiskusi di alam bebas
14. menikmati pemandangan indah
16. menjelajahi jalan baru
105