LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN DI KELURAHAN MUKTISARI KECAMATAN LANGENSARI KOTA BANJAR APRIL 2010
Disusun untuk memnuhi tugas Mata kuliah Kuliah Kerja Lapangan Pada program S1 Jurusan Sastra Indoensia
Oleh: Kelompok Muktisari
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJAJARAN JATINANGOR 2010 KELOMPOK
MUKTISARI
Pembimbing :
Eni Karlieni, M.Hum dan Yetti Setianingsih, Dra
Ketua
Barkah Hanafi
:
180210070036
Anggota: 1. Arief Maulana
180110070004
2. Hari Fauzi
180110070029
3. Ajeng Widuri
180110070031
4. Femmi Tri Widani
180110070005
5. Dwi Mira Mulyaningsih
180110070044
6. Fadilla Ramadhona
180110070040
7. Chemi J.H
180110070022
8. Ai Mibiawati
180110090054
9. Lutfi Murdiansyah
180110090007
10. Vicky Yuni Angraini
180110090016
11. Asep Muhammad Bintang
180110090036
12. Azie Wijaya
180110090020
13. Fadhil Maulana Karim
180110090027
14. Cita Belantara Putri
180110090039
15. R. Achmad Aria Agung W.
180110090043
16. Adul Pajar Cahya I.
180110090049
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL
: LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN DI KELURAHAN MUKTISARI KECAMATAN LANGENSARI KOTA BANJAR APRIL 2010
PENYUSUN : KELOMPOK MUKTISARI
Jatinangor, Juni 2010 Mengesahkan :
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Eni Karlieni, M.Hum
Yetty Setianingsih, Dra
NIP. 131656205
NIP. 131122439
Mengetahui, Ketua Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
Tatang Suparman, M. Hum NIP. 132206488
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim,
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas kehendakNyalah laporan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini dapat terselesaikan. Tak lupa shalawat serta salam tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhamad SAW. Laporan ini merupakan hasil kerja dan wujud dari penerapan pelaksanaan disiplin ilmu yang kami dapatkan di Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra Unpad. Adapun fokus penelitian yang kami lakukan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah bahasa,sastra (foklor), dan budaya di Kelurahan Muktisari Kecamatan Langensari Kota Banjar. Dalam menyusun laporan ini kami membutuhkan waktu dan perhatian khusus, berkali-kali kami termenung, bingung, tak tahu apa yang mesti kami perbuat dengan data yang minim. Tetapi kami sungguh beruntung masih memiliki temanteman serta pihak-pihak yang selalu dengan sukarela membantu kami. Pertama-tama kami persembahkan ucapan terima kasih kepada pembimbing kami dalam menyusun laporan ini, yaitu Ibu Eni Karlieni, M.Hum dan Ibu Yetti setianingsih, Dra yang selalu dengan ikhlas menuntun, membimbing dan mengawasi kami dari mulai pencarian data hingga selesainya laporan ini. Terima kasih pula kami sampaikan kepada Bapak Camat Langensari, Ketua Jurusan Sastra Indonesia, serta Bapak Lurah Muktisari selaku orang tua kedua kami di Desa Muktisari dapat kami sebutkan satu persatu. Akhir kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat untuk pengembangan dan pelestarian khazanah kebudayaan Sunda. Alhamdulillahirabbil’alamin.
Jatinangor, Mei 2010 Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Secara sepintas, mungkin sukar dimengerti mengapa di Negara yang
mendambakan kemoderan, masih terdapat kelompok masyarakat yang masih berpegang pada unsur-unsur budaya lama yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Barangkali hal tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia (Yudistira K. Garna, 1987). Kuliah Kerja Lapangan merupakan salah satu cara untuk menggali akar budaya daerah terutama pada masyarakat di daerah Desa Muktisari kecamatan Langensari. Potensi budaya yang ada di Desa Muktisari tersebut nampak setelah proses pengumpulan dan pengkajian data yang diperoleh. Ragam data yang diteliti dan dikaji tersebut meliputi bidang bahasa, budaya dan foklor.
1.2
Identifikasi Masalah Sesuai dengan program Jurusan Sastra Indonesia program Studi Bahasa
Indonesia, kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini diproyeksikan untuk mengumpulkan dan mengkaji secara ilmiah data tentang: 1.
Konsep bahasa dan dialek bahasa
2.
Konsep sastra (folklor)
3.
Konsep seni dan budaya
Seluruh data di atas yang terdapat di Desa Muktisari, Kecamatan Langensari Kota Banjar, Provinsi Jawa Barat, tentunya akan menambah khazanah wawasan budaya daerah .Karena semakin lengkap data yang terhimpun, akan semakin jelas transparansi jati diri budaya daerah sebagai salah satu akar budaya nasional.
1.3
Kerangka Teori Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan kelakuan dan hasil kelakuan
manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang luas. Didapatkannya dengan cara belajar dan kesemuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat,
1965 dalam Suhandi 1993:7). Definisi ini menunjukan bahwa kehidupan masyarakat membutuhkan keteraturan interaksi antar individu agar terjalin hubungan baik dengan menggunakan piranti kebudayaan. Sebagaimana menurut Samsuri (1978:5), bahasa adalah dasar dari kebudayaan, disamping bahasa itu sendiri adalah sebagai kebudayaan masyarakat. Dengan demikain bahasa merupakan salah satu konvensi berbahasa yang oleh Bloom Field (1933:29) disimpulkan bahwa sekelompok orang yang menggunakan sistem tanda-tanda ujaran yang sama disebut satu masyarakat bahasa (dalam Alwasilah, 1985:43). Sastra adalah bahasa atau tulisan, namun pada kenyataan sastra mempunyai nilai-nilai yang dalam fungsinya terdapat bahasa. Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma kehidupan (Warren & Wellek, 1989:109). Dari pernyataan ini secara transparan tampak jelas bahwa sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. 1.4
Tujuan 1. Menetapkan ruang lingkup gejala-gejala kebahasaan dengan jalan mengelompokan dan memaparkan cirri-ciri dialek. 2. Mencari dan menemukan hubungan yang terjalin di antara dialek atau bahasa dengan batas-batas alam yang sering menampilkan masalah-masalah yang rumit dan saling bertentangan. 3. Mengetahui masalah yang timbul dari hubungan antara dialek dan batas-batas alam.
1.5
Metodologi
1.5.1
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode pupuan lapangan
dan metode deskriptif. Metode pupuan lapangan untuk pertamakalinya dipergunakan oleh Martin Sarmiento pada tahun 1730 di Spanyol (Ayatrohaedi, 1993:34). Dua cara pengumpulan bahan menurut metode tersebut adalah:
1. Pencatatan langsung 2. Perekaman atau pencatatan langsung Metode
deskriptif
dapat
memberikan
penyelesaian-penyelesaian
dan
gambaran mengenai masalah atau fenomena-fenomena yang jelas.
1.5.2
Metode Kajian Metode yang digunakan untuk mengkaji penelitian adalah metode deskriptif
praktis. Metode yang menggambarkan dan menguraikan data-data yang telah dihimpun oleh tim peneliti yang disebut metode deskriptif, kemudian dianalisis guna memperoleh kesimpulan sehingga data yang dihimpun dapat diperjelas sesuai dengan pengklasifikasian data. Selain itu dengan metode deskriptif kita dapat mengetahui mengenai struktur cerita yang didalamnya terdapat satuan-satuan unsur pembentuk dan aturan susunannya (Yus Rusyana, 1979).
1.6 Sumber Data Data-data yang diperoleh sebagai bahan untuk pengumpulan data studi apresiasi didapatkan di Desa Muktisari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, Provinsi Jawa Barat. Proses perolehan data-data tersebut melalui kerjasama antara pencari data dan masyarakat setempat yang dianggap potensial memegang dan memahami seputar bahasa, sastra (folklor), seni budaya, pemegang naskah dan juga bantuan dari pihak pemerintah setempat.
BAB II DATA KEBAHASAAN
2.1 Bilingualisme dan Diglosia Istilah bilingualisme (Inggris bilingualism) dalam bahasa indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari isatilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kodes bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum; bilingualism diartikan sebagai pengunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. (Meckey 1962: Eishman 1975:73) Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masayarakat di mana terdapat dua versi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Masyarakat Desa Muktisari memiliki dua atau lebih bahasa yang mereka kuasai. Sehingga masayarakat desa Muktisari adalah masyarakat bilingualisme serta bahasa jawa dan sunda yang mereka kuasai tetap hidup dan berkembang. Menurut Ferguson hal itu dimanakan diglosia. Misalnya salah satu pemupuh pertama yaitu Bapak Diro Sudiro laki-laki yang berumur 60 tahun ini menguasai setidaknya 3 bahasa yaitu bahasa Indonesia, Sunda dan Jawa. Walaupun beliau keturunan Sunda ia mampu berbahasa Jawa dengan baik. Selain itu bilingual mengakibatkan interaksi yang terjalin antara warga Muktisari sangat beragam bahkan untik. Hal itu terjadi saat kami mendatangai anakanak SD N Muktisari 2 yang terletak di belakang Balai Desa Muktisari. Awalnya kami hanya ingin bermain-main dengan mereka karena data yang didapatkan kami rasa cukup tetapi saat mendengar mereka berbicara ada yang aneh. Ada seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang sedang bercakap-cakap. Dari jauh terlihat biasa saja. Tetapi setelah didekati ada yang berbeda. Anak laki-laki berbicara dengan bahasa jawa dan anak perempuan berbicara dengan bahasa sunda. Sesuatu yang aneh dan kami lihat pembicaraan mereka berdua baik-baik saja dan tidak ada kekeliruan.
2.2 Alih Kode dan Campur Kode Appel (1976: 79) mendefinisikan alih kodes sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.” Berbeda dengan Appel yang menyatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes (1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragamragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa. Campur kode (code-mixing) adalah interferes atau penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, termasuk didalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan. Msayarakat Desa Muktisari cukup unik karena alih kode dan campur kode karap sekali terjadi. Karena dalam berkomunikasi terjadi persentuhan bahasa jawa dan sunda. Hal itu dapat kami lihat saat melakukan penelitian. Pada saat mewawancarai pemupuh I yaitu bapak Diro Sudiro terjadi keunikan yaitu awalnya kamui mewawan beliau menggunakan bahasa Indonesia.kami menanyakan berbagai macam pertanyaan sesuai dengan yang ada didaftar tanyaan. Saat beliau mengalami kesulitan mengenai bahasa jawa kata Geraham tiba-tiba ada staf kelurahan yang dating. Ia berasal dari Sunda maka terjadi percakapan antara bapak Sudiro dengan staf 1 dan staf tersebut juga kurang mengetahui. Selanjutnya datang staf ke-2 yang berasal dari jawa maka bapak sudiro berubah yang tadinya menggunakan bahasa sunda menjadi bahasa jawa. Setelah mendapatkan jawabannya ia berbicara menggunakan bahasa Indonesia kembali. Saat berbicara dengan staf ke-2 bapak Sudiro juga menggukan campur kode misalnya saat ia mengatakan. “lamun kepala bahasa jawane apa?” kata lamun merupakan serpihan dari bahasa sunda dan sisanya merupakan bahasa jawa. Alih kode juga terjadi saat mewawancarai pemupuh kedua yaitu bapak Harimun. Beliau berusia 55 tahun dan keturunan jawa yang tinggal di Desa Muktisari. Saat mewawancarai beliau datang bapak Supratman yang usianya lebih muda yaitu 55 tahun. Untuk menghormati beliau bapak Supratman menggunakan bahasa Jawa dan bercampur dengan bahasa Indonesia. Ditengah wawancara datang bapak Eman yang Sunda tulen dan tidak dapat berbicara bahasa sunda maka bapak Harimun dan bapak Supratman mengubah bahasa mereka menjadi bahasa sunda dan
bercampur bahasa Indonesia. Jadi kalau diteliti dalam proses tersebut mengalami dua kali proses alih kode. Alih kode yang pertama disebabkan karena bapak Supratman menghormati bapak harimun dan alih kode yang kedua disebabkan oleh pengertian atau tenggang rasa terhadap bapak Eman yang tidak mengerti bahasa Jawa.
2.3 Kosakata Desa
Bahasa yang dipakai masyarakat Desa Muktisari ada 3 bahasa yaitu bahasa Indonesia, Sunda dan Jawa. Tetapi yang dominan dalam pergaulan mereka menggunakan bahasa Sunda dan Jawa. Oleh karena itu masyarakat Desa Muktisari menguasai bahasa Sunda dan Jawa. Berikut ini merupakan beberapa contoh bahasa yang digunakan oleh masayarakat Desa Muktisari.
Data I No
Glosarioum
Diro Sudiro Bahasa Sunda
Bahasa
Harimun Bahasa Sunda
Jawa 001
Kakek*
Aki
Simbah/
Bahasa Jawa
Aki
Kaki
mbah kakung 002
Nenek*
Nini
Mbah putri
Nini
Nini
003
Ayah*
Bapak
Rama
Bapa
Bapa
004
Ibu*#
Ema
Biung
Ibu
Ibu/simbo
005
Paman tua
Uwa
pakde
Ua
Pakde
006
Paman muda
Paman
Mamang
Lilik
007
Bibi tua
Mbok de
Bibi
Uwa/ bude
008
Bibi muda*
009a
Laki-laki#
Lalaki
Lanang
Pameget
Lanang
009b
Perempuan
Awewe
Wadon
Istri
Wadon
010
Kakak laki-
Lanceuk
Kakang
Akang
Kakang
Eceu
Mbakyu
Ceu-ceu/ eceu
Yayu
Adi
Ade
Ujang
Dek
Ade
Neng/nyai
Dek
Bibi
Bibi
Bule
laki 011
Kakak perempuan*
012
Adik laki-laki
013
Adik perempuan
014
Anak
Budak
Anak
Putra
Putra
015
Keponakan
Ipar
Ipe
Alo
Keponakan
Alo
Keponakan
Keponakan
tua 016
Keponakan muda
017
Cucu
Incu
Putu
Incu
Putu
018
Suami
Salaki
Bojo
Caroge/salaki
Suami
019
Istri#
Pamajikan
Bojo
Istri
Bojo
020
Mertua
Mitoha
Mertua
Mitoha
Mertua
021
Menantu
Minantu
Mantu
Menantu
Menantu
022
Besan
Besan
Besan
Besan
Besan
023
Ipar
Ipar
Ipe
Ipar
Ipe/grepean
024a
Penggilan
Asep
Tole
Ujang/asep
-
Neng
Gendok
Neng
-
untuk anak lk* 024b
Panggilan untuk anak pr*
024c
Tiri#
Budak tere
Kewalon
Anak tere
Anak walon
025a
Nama#
Ngaran
Jenengan
Ngaran/ nami
Jeneng
026
Pegawai desa
Pamong
Pamong
Pedamel desa
Pedamel desa
027
Pesuruh di
Pamong
Pamong
Juru kebon
desa* 028
Kepala desa
Kuwu
Lurah
Kuwu
Lurah
029
Kepala
Kadus
Kadus
Golongan
Golongan
kampung* 030
Juru tulis
Juru tulis
Carik
Kaur
Carik
031
Penghulu
Naid
Penghulu
Naïf
Amil
032
Peronda
Ronda
Randa
Ronda
Ronda
033a
Dukun
Paraji
Dukun bayi
Indung berang
Dukun bayi
Paraji sunat
Dukun
Tukang khitan
Dukun sepit
beranak 033b
Dukun sunat
sepit 033c
Arisan*
Arisan
Arisan
Arisan
Arisan
034
Selamatan
Ngariung
Kenduren
Riungan
Kenduri
(kenduri)*
035
Kerja bakti
Kerja bakti
Kridan
Keridan
Keridan
036
Kepala#
Hulu
Endas
Sirah
Sirah
037
Otak#
Otak
Otak
Otak
Utek
038a
Kening
Tarang
Batuk
Kening
Kening
038b
Mata#
Panon
Meripat
Panon
Meripat
038c
Bulu mata
Bulu mata
Idep
Bulu panon
Idep
039
Air mata#
Cai mata
Uluh
Cai panon
Eluh
040a
Hidung
Irung
Cungur
Irung
Irung
041
Mulut#
Sungut
Cangkem
Baham
Cangkem
042a
Air ludah#
Ciduh
idoh
Ciduh
Idoh
042b
Dahak#
Rehak
Riak
Rehak
Riyak
043
Bibir
Biwir
Bibir
Biwir
Lambe
044
Gigi
Huntu
Untu
Huntu
Untu
045a
Geraham
Careham
Gugusi
Baham
046
Lidah
Letah
Ilat
Letah
Ilat
047
Telinga
Ceuli
Kuping
Celi
Kuping
048a
Leher
Beuheung
Gulu
Beheung
Gulu
049
Pundak
Tak tak
Pundak
Taktak
Pundak
050
Belikat
Walikat
Welikat
Belikat
Centongan
051a
Jari tangan
Ramo
Driji
Ramo
Cericih tangan
052a
Ibu jari
Jempol
Driji
Jempol
Jempol
053
Telunjuk
Curuk
Penunjuk
Curuk
Teriji
054a
Jari tengah
Jajngkung
055
Jari manis
Jari manis
Jajangkung Jari manisa
-
Jentik manis
056
Kelingking
Cingir
Jentik
Cingir
057
Tangan
Leungeun
Tangan
Lengeun
058
Telapak
Talapak
Telapak
tangan
leungeun
Jentik
059
Kuku
Kuku
Kuku
Kuku
Kuku
060a
Kaki
Suku
Sikil
Siku
Sikil
060b
Paha
Pingping
Pupu
Pingping
Pupu
061
Lutut#
Tuur
Dengkul
Tuur
Dengkul
062
Betis
Bitis
Kempol
Bitis
Kempol
063
Tulang kering
Bincurang
Gares
064
Mata kaki
Mumuncangan Ento-ento
Mumuncangan Ento-ento
065a
Telapak kaki
Talapak suku
Telapakan
Dampal suku
Tealapakan
065b
Tulang
Tulang
Balung
Tulang
Balung
067
Rambut
Buuk
Rambut
Buuk
Rambut
068
Alis
Halis
Alis
Halis
Alis
069a
Darah#
Getih
Getih
Getih
Getih
070
Sumsum#
Sumsum
Sumsum
Sumsum
Sumsum
071
Jantung
Jantung
Jantung
Jantung
Jantung
072
Hati#
Hate
Ati
Hate
Ati
Gares
Data II
No
Glosarioum
Supratman Bahasa Sunda
Bahasa
Eman Sulaeman Bahasa Sunda
Jawa 001
Kakek*
Aki
Bahasa
Jawa Aki
Jawa 002
Nenek*
Nini
Kaki
Nini
003
Ayah*
Bapa
Nini
Bapak
004
Ibu*#
Ibu
Bapa
Ema
005
Paman tua
Ua
Ibu/simbo
Uwa
006
Paman muda
Mamang
Pakde
Emang
007
Bibi tua
Bibi
Lilik
Bibi
008
Bibi muda*
Uwa/ bude
Bahasa
009a
Laki-laki#
Pameget
Bule
Pameget
009b
Perempuan
Istri
Lanang
Awewe
010
Kakak laki-laki
Akang
Wadon
Akang
011
Kakak
Ceu-ceu/ eceu
Kakang
Teteh
perempuan* 012
Adik laki-laki
Ujang
Yayu
Adi
013
Adik
Neng/nyai
Dek
Nyai
perempuan 014
Anak
Putra
Dek
Anak
015
Keponakan tua
Alo
Putra
Alo
016
Keponakan
Keponakan
Keponakan
Alo
muda 017
Cucu
Incu
Cucu
018
Suami
Caroge/salaki
Putu
Punraka
019
Istri#
Istri
Suami
Neng
020
Mertua
Mitoha
Bojo
Mertua
021
Menantu
Menantu
Mertua
Minantu
022
Besan
Besan
Menantu
Besan
023
Ipar
Ipar
Besan
Akang
024a
Penggilan
Ujang/asep
Ipe/grepean
Ujang
Neng
-
Eneng
untuk anak lk* 024b
Panggilan untuk anak pr*
024c
Tiri#
Anak tere
-
-
025a
Nama#
Ngaran/ name
Anak walon
Nami
026
Pegawai desa
Pedamel desa
Jeneng
Aparat
027
Pesuruh di
Juru kebon
Bujang
desa* 028
Kepala desa
Kuwu
Pedamel desa
Kepala desa
029
Kepala
Golongan
Lurah
Kepala dusun
Juru tulis
kampong* 030
Juru tulis
Kaur
Golongan
031
Penghulu
Naïf
Carik
032
Peronda
Ronda
Amil
Amil
033a
Dukun beranak
Indung berang
Ronda
ronda
033b
Dukun sunat
Tukang khitan
Dukun bayi
indung beurang
033c
Arisan*
Arisan
Dukun sepit
Bengkong
034
Selamatan
Riungan
Arisan
arisan
(kenduri)* 035
Kerja bakti
Kenduren
Kenduri
Kenduren
036
Kepala#
Keridan
Kerigan
Kridan
037
Otak#
Otak
Sirah
Sirah
038a
Kening
Kening
Utek
Otak
038b
Mata#
Panon
Kening
Lieur
038c
Bulu mata
Bulu panon
Meripat
Panon
039
Air mata#
Cai panon
Idep
Bulu mata
040a
Hidung
Irung
Eluh
Cai panon
041
Mulut#
Baham
Irung
Irung
042a
Air ludah#
Ciduh
Cangkem
Mulut/ bahang
042b
Dahak#
Rehak
Idoh
Ciduh
043
Bibir
Biwir
Riyak
Reuhak
044
Gigi
Huntu
Lambe
Biwir
045a
Geraham
Gugusi
Untu
Huntu
046
Lidah
Letah
Baham
Gugusi
047
Telinga
Celi
Ilat
Letah
048a
Leher
Beheung
Kuping
Ceuli
049
Pundak
Taktak
Gulu
Beuheung
050
Belikat
Belikat
Pundak
Pundak
051a
Jari tangan
Ramo
Centongan
Kelek
052a
Ibu jari
Jempol
Cericih
Ramo
tangan 053
Telunjuk
Curuk
Jempol
Jempol
054a
Jari tengah
Jajangkung
Teriji
Curuk
055
Jari manis
056
Kelingking
Cingir
057
Tangan
Lengeun
058
Telapak tangan
059
Kuku
Kuku
Kuku
Dampal
060a
Kaki
Siku
Sikil
Kuku
060b
Paha
Pingping
Pupu
Suku
061
Lutut#
Tuur
Dengkul
Pingping
062
Betis
Bitis
Kempol
Tuur
063
Tulang kering
Gares
Betis
064
Mata kaki
Mumuncangan Ento-ento
Mumuncangan
065a
Telapak kaki
Dampal suku
Tealapakan
Talapak
065b
Tulang
Tulang
Balung
Tulang
067
Rambut
Buuk
Rambut
Buuk
068
Alis
Halis
Alis
Alis
069a
Darah#
Getih
Getih
Getih
070
Sumsum#
Sumsum
Sumsum
Sumsum
071
Jantung
Jantung
Jantung
Jantung
072
Hati#
Hate
Ati
Hate
-
Jentik manis Jajangkung Jentik
Jari manis Cingir Leungeun
Data III
No
Glosarioum
Yani Mulyani
Siska, Harti, dan Maryanti
Bahasa
Bahasa Jawa
Sunda 001
Kakek*
Aki/bapak
Bahasa
Bahasa
Sunda
Jawa
Kaki
Akung
Si mbok/uti
Uti,mba
kolot 002
Nenek*
Enne/nenek/ nini
003
Ayah*
Bapak
h Bapake
Ayah,ba pa
004
Ibu*#
Mamah/emm Mamah/emmi i/mimih
005
Paman tua
Uwah
Pakde
Uwa
006
Paman muda
Mang
Lilik
Mamang
007
Bibi tua
Wak istri
Bude
Uwa
008
Bibi muda*
Bibi
Buk lilik
Bibi
009a
Laki-laki#
Pamenggeut
Cah lanang
Lalaki
009b
Perempuan
Istri
Wedon
Awewe
010
Kakak laki-laki
Aa,aang
Aang/kakang/
Aang
mas 011
Kakak
Teteh
Yayuk
Manggil
Adek
perempuan* 012
Adik laki-laki
nama/ayi 013
Adik perempuan
Manggil
Adek
nama/ayi 014
Anak
Manggil
Manggil
Teteh
Yayu
nama
nama
015
Keponakan tua
Adek/aak
Kakange
016
Keponakan muda
Adek/aak
Kakage
017
Cucu
Manggil
Manggil
nama
nama
018
Suami
Aak/bapak
Mas
Salaki
019
Istri#
Teteh/mama
bapak
Bojo
h 020
Mertua
Mitoha
Mamawe
Mitoha
021
Menantu
Minantu
Mantu
Minantu
022
Besan
Manggil
besanan
Besan
Ipar
Aa/teteh
Ujang,ncep
Lek/mas
Adek
Neng
Ndo
Neng
Tere
Kawalon/wal
nama 023
Ipar
Adi beuteung
024a
Penggilan untuk anak lk*
024b
Panggilan untuk anak pr*
024c
Tiri#
on 025a
Nama#
Nami
026
Pegawai desa
Tergantung
Jenong
jabatan 027
Pesuruh di desa*
Pesuruh
-
028
Kepala desa
Pa kuhu/bu
-
kuhu 029
Kepala kampong*
Pagolongan
Golongan
030
Juru tulis
Pak ulis
Carik
031
Penghulu
Amil/naib
Amil
032
Peronda
Tukang
Tukang
Besan
033a
Dukun beranak
siskamling
siskamling
Paraji/indun
Dukun bayi
g beurang 033b
Dukun sunat
Mantri
Bengkok
(orang puskesmas) 033c
Arisan*
Arisan/rutina Arisan n
034
Selamatan
Hajat
Hajatan
(kenduri)* 035
Kerja bakti
Kridun
Kridan
036
Kepala#
Sirah
Endose
037
Otak#
Utek
Polo
038a
Kening
Tarang
Batoke
Tarang/taar
(babatok) 038b
Mata#
Panon
Mata
Panon
038c
Bulu mata
Bulu panon
Bulu mata
Halis
039
Air mata#
Cai panon
-
Cai panon
040a
Hidung
Irung
Cumur
Irung
(pangambun g) 041
Mulut#
Biwir
congor
Lambai
042a
Air ludah#
Ciduh
Ludah
Ciduh
042b
Dahak#
Rehak
Riak
Rehak
043
Bibir
Biwir/wawos Cungur
044
Gigi
Gigi
Gigi
045a
Geraham
Tulang
-
Huntu
rahang 046
Lidah
Letah
Lidah
047
Telinga
Cepil
Cepil
Letah
Irung
048a
Leher
Beuheung
Gulu
Beher/beheu ng
049
Pundak
Taktak
Pundak
050
Belikat
Punduk
Cecentong
051a
Jari tangan
Ramo
Tangan
052a
Ibu jari
Jempol
Jempol
053
Telunjuk
Curuk
Telunjuk
054a
Jari tengah
Jajangkung
Jari tengah
055
Jari manis
Jari manis
-
056
Kelingking
Cinggir
Kalingking
057
Tangan
Palengan
Tangan
058
Telapak tangan
Telapah
Tangan
Panangan
Jentik
tangan 059
Kuku
Kuku
Kuku
060a
Kaki
Sampean
Kaki
Suku /sampean
060b
Paha
Pingping
Paha
Pingping
061
Lutut#
Tuur
Dengkul
Tuur
062
Betis
Bitis
Betis
063
Tulang kering
Bitis
-
064
Mata kaki
Mumuncang
Kaki
an 065a
Telapak kaki
Dampal
Dampal
065b
Tulang
Tulang
Balung
067
Rambut
Buuk
Rambut
068
Alis
Halis
Alis
069a
Darah#
Getih
Didih/darah
070
Sumsum#
Sum-sum
-
071
Jantung
Jantung
Jantung
072
Hati#
Hate
Ati
Balung
Getih
Ati
2.4 Perbandingan Data Dari ke-3 data di atas terlihat bahwa hamper setiap informan mempunyai 2 bahasa yaitu jawa dan sunda. Selain itu setiap bahasa mempengaruhi masing-masing penggunya. Bahasa pertama yang dikuasai seseorang akan mempengaruhi bahasa keduanya. Begitu juga sebaliknya. Hal itu terjadi pada informan ke-2 yaitu Bapak Harimun ketika di rumah ia menggunakan bahasa Jawa, saat berinteraksi dengan mayarakat ia menggunkan
bahasa Sunda dan
Jawa. Di tempat kerja ia juga
menggunkana bahasa sunda dan jawa. Sedangkan bahasa yang ia kuasai adalah bahasa jawa. Sehingga bahasa jawa banyak mempengaruhi bahasa sunda yang ia kuasai. Miasalnya kata hidung dalam bahasa sunda adalah “Irung” dan bahsa jawa “cungur” tetapi hidung menurut Bahak Harimun tetap “irung” baik dalam bahasa sunda maupun jawa. Selain kata hidung pada kata kerja bakti dan kepala Bapak harimun juga mengatakan kata yang sama “kridan dan sirah”. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk bapak Sudiro (Cipto). Beliau sama halnya dengan Bapak Harimun menguasai dua bahasa tetapi pengaruh yang timbul terhadap bahasa pertama mempengaruhi bahasa kedua tidak tampak dalam kosa kata tetapi pada pengucapakan kata “t” dan “d” misalnya saat beliau mengucapkan kata “entoento dan kridan” dalam bahasa jawa huruf “t” pada kata “ento-ento” dibaca “th” layaknya orang bali.
BAB III DATA SASTRA (FOLKLOR)
3.1 Upacara Sakral: Ruwatan Hajat Bumi/Suraan Desa Muktisari kecamatan Langensari setiap tahunnya masih rutin mengadakan upacara Ruwatan Hajat Bumi. Hal ini didasarkan atas pengalaman para petani yang mengalami kerusakan hasil panen padi yang ditanamnya. Setelah dibuat upacara Ruwatan ini, maka hasil panen membaik. Oleh sebab itu, tujuan dilaksanakannya upacara hajat bumi ini adalah untuk menolak bala saat memulai kegiatan menanam padi. Nama Suraan diambil dari waktu pelaksanaan Hajat Bumi yang dilakukan pada bulan Muharam yang dalam kebudayaan Sunda disebut bulan Sura, dan dalam adat jawa disebut bulan Suro. Segala bentuk pelaksanaan upacara ini difasilitasi oleh pemerintah kelurahan Muktisari bergotong royong dengan warga setempat. Karena hampir seluruh warga yang berkumpul, maka dipasanglah blandongan (tenda beratap seng), serta panggung untuk Dalang Kasepuhan dan acara hiburan. Makanan dibawa dari warga setempat yang menyumbang dan dimakan bersama-sama pula di kantor kelurahan tersebut. Upacara ruwatan ini dipimpin oleh Dalang Kasepuhan. Dalang Kasepuhan ini adalah dalang khusus yang hanya memimpin upacara penolak bala ini, ia tidak bermain untuk acara hiburan. Dalang Kasepuhan ini biasanya diwariskan berdasarkan keturunan. Tapi yang memimpin tetap dalang yang sudah berusia di atas 45 tahun. Prosesi acara ini dimulai dengan memakai salah satu tokoh wayang Batara Kala yang sifatnya merusak. Kemudian sesaji disiapkan, sesaji itu antara lain adalah alat-alat pertanian, padi, buah-buahan, sayur-sayuran dan air mantra. Air mantra ini diambil dari tujuh sumur yang ada di daerah Muktisari. Kemudian ditempatkan pada wadah sebuah dandang yang terbuat dari tembaga. Wadah ini adalah salah satu syarat, jadi tidak bisa digantikan. Air tersebut kemudian dibacakan mantra dan di bawa ke aliran irigasi. Kemudian air tersebut dituangkan sedikit di tempat aliran air irigasi agar tercampur dengan aliran irigasi pada area persawahan setempat. Kemudian sisanya disimpan dan bias dipakai berkali-kali oleh para petani.
Walaupun Kelurahan Muktisari masih berada di wilayah Jawa Barat, namun upacara ini sebagian besar memakai bahasa Jawa sebab upacara ini berasal dari kebudayaan keraton yang dibawa dari penduduk pendatang dari Jawa Tengah. Upacara ini boleh didatangi oleh segala usia dan jenis kelamin. Jadi terbuka untuk umum. Acara ruwatan ini memakan waktu paling lama dari acara pukul 09.00 sampai pukul 16.00. Pada malam harinya kemudian diadakan acara hiburan berupa wayang kulit. Yang memimpin bukan Dalang Ksepuhan, melainkan dalang yang khusus untuk acara hiburan. Acara wayang kulit ini pun memakai bahasa Jawa. Cerita yang dibawakan biasanya yang berhubungan dengan padi dan pertanian. Lama kelamaan, para pemuka agama setempat mengusulkan agar setelah acara ruwatan ini diadakan acara pengajian. Oleh karena itu kini setiap tahunya setelah acara ruwatan ini diselang pertunjukan wayang kulit dan pengajian. Meskipun setiap tahunnya pada petani rutin mengadakan upacara ini, namun dalam bekera mengolah sawah para petani juga sudah menggunakan alat-alat pertanian yang modern untuk memudahkan. Jadi sifat ketradisionalan dan modern dapat seimbang.
3.2 Ritual Menjelang Kelahiran Bayi Menurut narasumber yang kami wawancarai, proses kelahiran sama halnya seperti proses kelahiran biasanya. Tetapi, tidak menutup kemungkinan adanya sedikit perbedaan. Karena daerah yang kami teliti termasuk perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, tepatnya kota Banjar, kecamatan Langensari, kelurahan Muktisari. Kecamatan Langensari memakai 3 bahasa, yaitu bahasa Sunda, Jawa, dan Indonesia. Dalam proses kelahiran, seorang perempuan yang sedang mengandung masih wajar merasakan ngidam, dan tidak ada ritual-ritual khusus yang dilakukan. Dari usia kandungan satu bulan sampai tiga bulan tidak ada upacara-upacara yang dilakukan. Pada usia kandungan 4 bulan, barulah ada satu ritual yang dilakukan. Ritual itu dinamakan dengan „Hajat 4 Bulan‟. Berupa syukuran berbentuk „yasinan‟, tapi, sebelum yasinan ada pengajian dulu. Yang menarik disini, hajatan dilangsungkan pada tanggal 4, 14, 24. Tetapi, biasanya dilakukan pada tanggal akhir bulan.
Setelah usia kandungan menginjak 7 bulan, dilakukan hajatan yang sama seperti pada saat usia kandungan 4 bulan. Bedanya, pada bulan ke 7, syukuran dan pengajian itu dilakukan pada tanggal 7, 17, dan 27. Biasanya hajatan itu dilakukan pada tanggal 17, dan tanggal 27 mengadakan upacara yang disebut „nujuh bulanan‟. Acara ini proses memandikan perempuan yang hamil. Dengan air dari gentong yang berisi bunga-bunga. Orang yang memandikannya adalah pihak keluarga. Biasanya tersedia kendi dengan ukiran bahasa Arab, yang didalamnya terdapat uang recehan dan akan dipecahkan oleh si suami. Setelah melahirkan, pihak keluarga mengadakan Akeqah, dan pemberian nama. Semua itu dilakukan setelah 36 hari dari lahir, atau biasa disebut 1 selapan. Tidak ada penambahan upacara-upacara setelah itu. Syarat akeqah sama, 2 ekor domba / sapi untuk bayi perempuan, dan 1 ekor untuk bayi laki-laki.
3.3 Ritual yang Dilakukan Jika Terjadi Kematian Dalam hal kematian, para penduduk kelurahan Muktisari tidak melakukan ritual-ritual tertentu yang mungkin dianggap menyimpang. Apabila ada seorang penduduk yang sedang menanti ajalnya, para penduduk lain hanya bisa mendoakannya saja. Dengan cara datang ke rumah orang yang sakarotul maut itu. Sesudah orang itu meninggal, jenazahnya langsung dimandikan. Tapi, penduduk
yang
memandikannya
khusus,
penduduk
kelurahan
Muktisari
menyebutnya dengan nama „Amil‟. Jadi, tidak sembarangan orang yang boleh memandikan jenazah, selain Amil. ( tidak ada alasan tertentu mengenai itu, pembicara menyebutnya sebagai pewarisan saja ). Setelah dimandikan, jenazah dikafani. Ada paradigma khusus mengenai mengafani jenazah pada penduduk Muktisari. Pembicara menyebutnya bahwa itu merupakan sebuah symbol pertanggung jawaban. Artinya, si janazah hatus dalam keadaan bersih dan suci. Untuk itu, ada sedikit hal yang berbeda. Ucapan akan kebenaran mengenai urusan si jenazah semasa hidupnya dipertanggung jawabkan sebelum jenazah dikafani. Menurut pembicara, itu menimbulkan bahwa setidaknya
jenazah itu sudah sedikit suci karena urusan semasa dia hidup sudah dipertanggung jawabkan ( setidaknya ada pihak yang mewakilkan ). Setelah dikafani, jenazah langsung dikuburkan. Setelah proses penguburan, barulah pertanggun jawaban tentang utang piutang diucapkan. Setelah itu, pada malam harinya diadakan prosesi tahlilan pertama yang biasa diucapkan oleh penduduk Muktisari dengan „sadugna‟. Setelah itu, tujuh malam membacakan yasin. Terus tahlilin lagi saat menginjak kurun waktu dari kematian 40 hari. Dari 7 hari ke 40 hari setiap malam jumat diadakan tahlilan khusus ( tidak ada alasan tertentu ). Setelah itu, „nytus ( 100 ) hari‟, „mendak sakali ( 1 tahun )‟, dan „nguis nguisi ( 1000 hari )‟. Tidak ada alasan tertentu mengapa dinamakan seperti itu. Setelah itu, ada ritual yang disebut „Ngijing‟ ( makam dibuat permanen ). Setelah dibuat permanen ada hajatan atau syukuran ngijing ( bagi yang mampu ).
3.4 Kesenian Daerah 1. Kuda Lumping 2. Di kecamatan Langensari khususnya kelurahan Muktisari, terdapat sebuah kesenian yang mungkin kita juga sudah lazim mendengarnya. Ya, kesenian itu dinamakan „kesenian kuda lumping‟. Kuda lumping biasa disebut juga Joko Turangga Jaya. Di kelurahan Muktisari, jenis kesenian ini sudah tidak dimainkan lagi sampai tahun 2006. Setelah tahun 2006, para penduduk mulai memainkan kembali jenis kesebian ini. Di daerah Muktisari, pendiri dari kesenian ini adalah Santa. Peralatan yang yang digunakan untuk mengiringi kesenian ini antara lain. Gamelan, terompet, kuda lumping / kepang, kostum seperti baju wayang. Kesenian ini dimainkan kurang lebih oleh 14 orang, dan yang menjadi penabuh 15 orang. Jenis kesenian ini bisa dimainkan oleh semua jenis kalangan, baik dari segi umur maupun kasta. Terlebih dahulu diadakan ritual-ritual. Yang pertama adalah ritual mendem. Ritual mendem adalah ritual pengambilan roh. Dimana pengambilan roh ini diambil oleh Panimbul ( orang yang memanggil roh ). Roh ini disebut Indang.
Alasan kenapa ritual ini dilakukan adalah karena ini sudah menjadi ciri khas dan sudah tradisi. Kesenian ini diatur oleh Panimbul. Hanya Panimbul yang bisa menentukan jenis roh apakah yaang nantinya akan masuk ke dalam raga seorang pemain kuda lumping. 3. Pongdut (Jaipong dangdut) Pondut adalah kesenian campuran antara jaipong dan dangdut yang memakai alat musik kendang. Pemain pongdut yang terkenal adalah Bapak Eli Suherli. Pongdut biasanya diadakan untuk hiburan pada acara syukuran, pernikahan, dan hari besar. Namun para penonton pongdut ini seringkali sulit dikendalikan. Oleh karena itu pongdut sempat dilarang, sekarang sudah diperbolehkan kembali namun tidak boleh dilakukan pada malam hari. 4. Pencak Silat 5. Wayang Kulit 6. Wayang Golek 7. Hadroh 8. Paduan Suara 9. Orkes Melayu
4.5 Sastra Lisan Sastra lisan yang ada di daerah ini adalah cerita tentang tokoh Mbah Kyai Sanusi dan Mbah Madjalikin. Kedua tokoh yang diceritakan ini berperan membangun desa Muktisari. Mbah Kyai Sanusi berperan membangun Masjid dan Mbah Madjalikin membangun Jalan. Makam kedua tokoh ini ada di Muktisari. Kebiasaan penduduk setempat, apabila hendak ziarah ke makam wali songo, maka sebelumnya harus berziarah ke makam kedua tokoh tersebut.
BAB IV DATA KEBUDAYAAN
4.1 Keadaan Sosial Budaya di Kelurahan Muktisari Kelurahan Muktisari merupakan salah satu kelurahan dari induk kecamatan Langensari, kota Banjar. Adapun kecamatan Langensari sendiri merupakan salah satu kecamatan di Jawa Barat yang langsung berbatasan dengan Jawa Tengah sehingga terjadi akulturasi bahasa dan budaya di dalamnya. Oleh karena itulah, sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana keadaan sosial budaya masyarakat di daerah transisi tersebut.
4.2 Data Statistik Kelurahan Muktisari Berikut ini akan ditampilkan data statistik mengenai kelurahan Muktisari. Data ini dimabil langsung dari lapangan dalam bentuk daftar tanya. a. Keterangan tentang Titik Pengamatan Nama Desa
: Muktisari
Kecamatan
: Langensari
Kabupaten
: Ciamis
Provinsi
: Jawa Barat
b. Situasi Kebahasaan Sebelah timur desa berbahasa : Ds. Waringinsari, Sunda-Jawa Sebelah barat desa berbahasa : Ds. Langensari, Sunda-Jawa Sebelah utara desa berbahasa : Ds. Langensari, Sunda-Jawa Sebelah selatan desa berbahasa: Kec. Lakbok, Sunda-Jawa c. Situasi Geografis Letak : perkotaan Morfologi
: dataran
d. Penduduk Pria: 3205 jiwa (49%) Wanita : 3292 jiwa (51%) Jumlah : 6497 jiwa
Di bawah 20 tahun: 2589 jiwa (39,5%) Antara 20-40 tahun: 1857 jiwa (29%) Di atas 40 tahun
: 2051 jiwa (31,5%)
Mayoritas etnik
: etnik Jawa 3378 jiwa (52%)
Minoritas etnik
: etnik Batak 5 jiwa (1%)
e. Mata Pencarian Dalam data yang telah ditemukan, jumlah data untuk bertani dan buruh merupakan jumlah akumulatif. Begitu juga untuk data Pegawai negeri dan Pegawai Swasta. Bertani dan Buruh: 558 Nelayan
:-
Peg. Negeri &Swasta: 265 Berdagang
: 301
f. Pendidikan SD
: 1821 orang
SMP : 1085 orang SMA : 631 orang Perguruan Tinggi: 163 orang Untuk lulusan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah, menurut informan yang ada rata-rata lembaga tersebut bukan secara resmi menjadi lembaga pendidikan. Lembaga tersebut masih berupa pengajaran-pengajaran yang dilakukan di masjid. g. Agama Islam : 6462 orang Kristen (Katolik-Protestan): 35 orang Hindu : Buddha
:-
h. Hubungan ke Luar Lancar. Sering sekali diadakan pertemuan dengan desa lain satu minggu sekali. i. Prasaran Hubungan
Sepeda, angkot, kuda, sepeda motor, ojek. Yang paling mendominasi adalah sepeda. Mobil dan sepeda motor belum mendominasi. Begitu juga dengan angkot, di Muktisari sendiri ada satu trayek jurusan yang melewati jalan Muktisari, yakni trayek 01 Langensari-Banjarsari
j. Usia Desa Desa Muktisari sudah ada antara 50-100 tahun yang lalu (sejarah terlampir di subbab berikutnya). k. Sejarah Desa Untuk mengetahui sejarah Desa Muktisari, kami mewawancarai beberapa orang informan yang masing-masing telah menjadi seseorang yang “dituakan” dan telah lama tinggal di Desa Muktisari tersebut. Adapun informan-informan tersebut yang paling menguasai dengan pasti mengenai sejarah Desa Muktisari Bapak Citro atau Bpk. Diro Sudiro. Informan ini telah sejak kecil tinggal di desa Muktisari sehingga kejelasan tentang sejarah ini tidak dapat diragukan lagi.
4.3 Hasil data berdasarkan wawancara dengan Bapak Diro Sudiro Desa Muktisari sudah ada sejak zaman Penjajahan Jepang. Pada waktu itu nama desa itu bernama desa Pataruman. Pada tahun 1970, desa Pataruman kemudian dipecah menjadi dua desa, yakni: a.
Desa Mulyasari
b.
Desa Langensari
Sejak zaman Jepang, desa tersebut sangat luas wilayahnya hingga ke Banjar. Namun ketika desa tersebut dipecah menjadi dua desa, batas desa itu sendiri dibatasi oleh Sungai Citanduy sebagai batas antara Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah. Desa Langensari pun dibagi lagi menjadi lima desa yang menjadikan desa Langensari menjadi desa induk yang membawahi lima desa. Lima desa itu diantaranya:
a.
desa Rejasari
b.
desa Kujang
c.
desa Bojongkantong
d.
desa Wainginsari. Dan
e.
desa Langensari.
Pada tahun 1984 desa Langensari, hasil pencahan dari desa induk Langensari, dipecah lagi menjadi dua desa, yakni desa Langensari dan desa Muktisari. Penggagas nama “Muktisari” pada waktu itu ialah Alm. Bpk. Wagino (mantan Kepdes), Bpk. Yusuf Sidik, Bpk. H. Karna Suyana, dan Bpk. Sudar. Tercetuslah desa tersebut bernama desa Muktisari yang merupakan gabungan dari dua kata, yakni Mukti dan Sari. Mukti sendiri diambil dari bahasa Jawa yang artinya sejahtera, sedangkan kata Sari diambil dari nama desa induk, Langensari agar memiliki satu kesamaan dengan desa induknya. Sejak saat itulah, nama Muktisari ditetapkan sebagai nama desa tersebut. Pada waktu itu sempat terjadi perdebatan antara dua kelompok yang mengatasnamakan dengan nama “Kelompok Jumat dan Kelompok Senin” mengenai batas-batas desa Muktisari dengan desa Langensari. Kelompok Jumat menginginkan bahwa daerah pasar masuk ke daerah induk, yakni Langensari. Pendapat kelompok Jumat ini ditentang oleh kelompok Senin yang mengungkapkan bahwa batas antara desa Muktisari dengan Langensari dipisahkan oleh rel kereta. Hasil dari perdebatan itu yakni menetapkan bahwa batas antara desa Muktisari dengan desa induk Langensari dipisahkan oleh rel kereta. Tahun 1986, desa Muktisari dibagi menjadi dua dusun. Hanya terjadi ketidakefektifan ketika pembagian Muktisari menjadi dua dusun. Akhirnya disepakati kembali bahwa desa Muktisari dibagi lagi menjadi tiga dusun, yakni dusun Langen yang terletak di sebelah timur Muktisari, dusun Babakan yang terletak di sebelah tengah, dan dusun Sidamukti yang terletak di sebelah barat. Pada bulan Januari tahun 2008, dimana otonomi daerah mulai merambah ke setiap wilayah pedesaan, maka desa Muktisari kemudian berganti status dari desa menjadi kelurahan, yakni kelurahan Muktisari dan desa induk Langensari berubah status menjadi kecamatan Langensari yang membawahi enam kelurahan. Maka
sampai sekarang, setelah adanya otonomi-otonomi daerah dan pemekaran wilayah, maka keluarahan Muktisari saat ini memiliki tiga dusun dan memiliki 31 Rukun Tetangga dan 6 Rukun Warga.
4.4 Keadaan Sosial dan Budaya di Muktisari Seperti yang telah kita ketahui, letak geografis kelurahan Muktisari terletak di antara provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hal itu mengakibatkan adanya akulturasi budaya di daerah tersebut. Pencampuran tersebut menjadikan daerah Muktisari termasuk daerah transisi. Di kelurahan Muktisari itu sendiri, sangat jelas terlihat bagaimana pencampuran kedua budaya itu dalam kehidupan masyarakatnya. Dimulai dari bahasa yang digunakan sampai upacara-upacara adat. Hanya tidak ada sesuatu yang khas yang menjadikan kelurahan Muktisari berbeda dengan kelurahan lain di Langensari. Semuanya sama. Keadaan sosial masyarakat Muktisari rata-rata merupakan keturunan dari Jawa dan Sunda. Seringkali terdapat satu orang yang ternyata ibu atau ayahnya berasal dari Jawa ataupun sebaliknya. Rata-rata mereka menikah beda suku, yakni suku Sunda dengan suku Jawa. Meskipun di desa ini yang mendominasi adalah suku Jawa, namun kebudayaan yang sering dipakai cenderung menggunakan budaya Sunda. Kita tengok ke belakang bagaimana dulu orang Sunda masuk ke daerah ini. Muktisari pada dulunya dihuni oleh orang Jawa karena memang daerah ini berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Tengah. Seiring dengan berjalannya waktu, orang-orang Sunda mulai berdatangan ke Muktisari dan menyebabkan penduduk Jawa ada yang sebagian pindah ke wilayah yang lebih menjorok ke Jawa Tengah. Maka jadilah penduduk Muktisari ini ada yang orang Sunda ada juga yang orang Jawa. Rata-rata orang Muktisari bilingual. Mereka mampu berbahasa Jawa dan mampu juga berbahasa Sunda. Hal ini dikarenakan karena garis keturunan dari orang tuanya pun menggunakan bahasa ibu yang berbeda. Kami temui di lapangan, ada masyarakat yang sedang mengobrol menggunakan bahasa Sunda, lalu muncul seseorang menyapa mereka dengan menggunakan bahasa Jawa, maka secara
automatis kedua orang yang sedang mengobrol itu menggunakan bahasa Jawa. Hal ini biasa disebut dengan alih kode. Namun, tidak semua orang Muktisari bilingual. Jika suatu orang yang ternyata garis keturunannya berasal dari suku Jawa kedua orangtuanya, maka ia pun fasih menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya. Tetapi karena budaya Muktisari itu bilingual, mau tidak mau ia pun harus dituntut untuk bisa berbahasa Sunda. Bapak Wahyudin Ngarif, salah seorang informan yang kami wawancarai perihal keadaan di desa Muktisari ini termasuk salah satu penduduk yang lebih fasih menggunakan bahasa Jawa. Namun ia pun tidak menampik bahwa ia juga mengerti sedikit dan bisa mengucapkan bahasa Sunda hanya masih belum lancar. Hal ini dikarenakan karena kedua orangtuanya orang Jawa. Ia mengaku lebih fasih menggunakan bahasa Jawa, dan bahasanya Sundanya cenderung kurang bagus. Kami sempat mewawancarai beliau yang berprofesi sebagai seorang petugas Kesmas di kelurahan Muktisari yang juga merangkap sebagai Amil Kematian. Dari wawancara dengan beliau, kami mendapat informasi bahwa masyarakat Muktisari selalu menggunakan dua budaya. Dan kebudayaan Sunda selalu lebih banyak dipakai. Contohnya, jika ada pernikahan antara orang Jawa dengan orang Sunda, adatnya selalu menggunakan adat Sunda. Tetapi tidak berarti adat Jawa ditinggalkan, adat Jawa pun seringkali dipakai, hanya yang lebih sering dipakai ialah adat Sunda. Begitu pun dalam hal kematian, upacara yang digunakan adalah pencampuran antara adat Sunda dengan adat Jawa. Menurut kesaksian beliau, ketika proses penguburan selesai selalu melakukan penaburan bunga ditambah dengan jangung kering dan kedelai kering. Menurutnya, ikut ditaburinya jagung dan kedelai kering ialah sebagai simbol bahwa segala sesuatu akan mengering dan kembali ke asalnya (mati dan masuk ke alam kubur) namun selalu akan bermunculan tunas-tunas baru untu meneruskan si jagung dan kedelai yang telah kering tersebut. Dan ada juga prosesi membelah kelapa muda, sari kelapanya dituankan di atas pusara bersamasama dengan gula merah. Selalu terjadi pencampuran budaya antara budaya Sunda dengan budaya Jawa di Muktisari namun hal itu tidak menimbulkan kesenjangan sosial di kelurahan Muktisari. Masyarakatnya, meskipun merupakan mayarakat transisi, tetap menjaga keharmonisan dalam berinteraksi dengan sekitarnya.
Ciri khas yang tampak pada masyarakat Muktisari menurutnya ialah pada pemakian budaya pada setiap upacara. Orang-orang Jawa ketika mengadakan upacara menggunakan adat Sunda, dan orang-orang Sunda pun cenderung menggunakan adat Sunda dan adat Jawa. Secara geografis, kelurahan Muktisari sudah mengalami perkembangan yang signifikan dibanding dengan kelurahan lain di Langensari. Hal ini kami dapatkan ketika kami membandingkan keadaan desa dengan kelompok lain yang tenyata jauh lebih berkembang kelurahan Muktisari. Secara singkat, keluarahan Muktisari sudah berangsur-angsur menjadi kota. Setelah masuknya listrik pada tahun 1987, perlahanlahan Muktisari memasuki kemodernan. Kini, telah masuk pula jaringan internet sehingga di Muktisari banyak terdapat warnet. Untuk aparatur desa pun kini serba komputer. Di Muktisari pun telah ada servis komputer dan studio band. Jalan protokol telah diaspal yang memang menjadi jalan alternatif menuju Banjar dan Pangandaran. Di batas keluarahan Muktisari dan Langensari yang dibatasi oleh rel kereta api, sedang dibangun sebuah fly over yang beton-beton penyangganya telah dipancang. Menurut salah seorang informan, pembangunan fly over tersebut merupakan perwujudan dari keinginan masyarakat Langensari agar transportasi menjadi lebih aman saat melintasi rel kereta yang tidak berpalang. Di Muktisari juga sudah ada laundry dan beberapa kantin sate. Hanya menurut pemiliknya, usaha kantin seperti itu di Muktisari kurang mendapat respon Dario masyarakatnya sehingga kantin itu pun cenderung sepi. Waralaba seperti Indomaret pun telah ada di depan pasar induk. Untuk kegiatan perdagangan, ada pasar induk Langensari yang letaknya di kelurahan Muktisari. Pasar inilah dulu yang menjadikan perdebata mengenai batasbatas desa seperti yang telah dijelaskan di atas. Hanya keberadaan pasar induk ini tidak setiap hari buka. Pasar induk ini hanya buka pada hari senin, rabu, dan sabtu. Menurut pak Citro, nantinya pasar ini akan buka setiap hari. Meskipun sudah menjadi berkembang, namun masyarakatnya masih bersahaja. Hal ini terlihat dari sebagian besar masyarakat Muktisari masih menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Tua, muda, laki-laki, perempuan, anak sekolah pun kebanyakan menggunakan sepeda. Yang menggunakan sepeda
motor hanyalah tukang ojek, pegawai kelurahan dan guru-guru. Sekolah yang telah didirikan di Muktisari te;ah ada dua, yakni SMP PGRI I Muktisari dengan SD N Muktisari 2. Ketika kami berkunjung ke lapangan, para anak sekolah di sana sudah mulai mengenal internet dan tidak lagi ketinggalan zaman. Uniknya, meskipun teknologi telah brekembang di sini, anak-anak masih banyak yang melakukan permainan-permainan tradisional ketika mengisi waktu senggangnya. Kebudayaan dan kesenian tradisional di Muktisari hampir sama dengan daerah lainnya. Tidak ada legenda atau donegn apapun yang menjadi ciri khas Muktisari. Di Muktisari ini sendiri berdiri perkumpulan pencak silat “Sangga buana” pada tahun 1992 yang didirikan oleh bapak Kastaman yang sempat menjadi informan kami juga. Lalu perkumpulan kesenian kuda lumping “Joko Turonggo Jaya” yang pemain-p[emainnya rata-rata orang Sunda. Dalam dua perkumpulan ini dikenal ada istilah “mendem” yakni dalam bahasa Sunda berarti teu eling atau tidak sadar, yakni para pemainnya ketika mementaskan permainannya selalu hilang kendali dan hilang kesadaran. Pemnetasan wayang pun di Muktisari menjadi beragam. Jika di Jawa Barat berupa wayang golek, sedang di Jawa Tengah berupa wayang kulit, maka di Muktisari kedua-duanya sering dipentaskan tergantung orang yang mengadakan pementasan tersebut keturunan mana. Ada satu kesenian di Muktisari yang telah punah, yakni kesenian Manoréng. Manoréng adalah kesenian sandiwara yang berasal dari Jawa. Kepunahan ini disebabkan karena tidak adanya regenerasi kesenian tersebut. Meskipun terjadi akulturasi budaya Jwa dengan budaya Sunda, masyarakatnya merupakan penganut agama Islam yang kuat. Pada malam Jumat selalu diadakan pengajian Yasinan yang diadakan sehabis maghrib sampai Isya. Adapun desa Muktisari merupakan daerah gudang pangan, yakni penghasil gula kelapa, beras, dan pisang yang telah dijual ke setiap daerah baik di Jawa Barat maupun di Jawa Tengah.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Desa Muktisari dilihat dari gaya hidup dan kebudayaannya merupakan kampung adat yang memang tidak menutup rapat akan berbagai hal yang datang dari luar. Selain itu masyarakat Desa Munktisari ini masih memegang kuat akan keyakinan yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya yang diturunkan secara turun temurun. Kekeluargaan, gotong royong, menjadikan masyarakat setempat hidup rukun dan tentram. Peranan pemerintah dan berbagai pihak sangat dibutuhkan dalam usaha pelestaraian budaya yang merupakan aset bernilai tinggi terhadap kelestarian dan perkembangan kebudayaan. Hambatan yang kami hadapi selama mengikuti kuliah kerja lapangan ini yaitu keterbatasan waktu yang diberikan kepada kami untuk memupu data yang kami butuhkan.
5.2 Saran Adapun saran kami untuk kegiatan kuliah kerja lapangan ini agar masa yang akan datang dapat merencanakan waktu yang cukup matang sehingga apa yang kita harapkan dapat terwujud dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi. 1978. Dialektologi Suatu Pengantar. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Chaer, Abdul Chaer dan Leonie Agustina.2004. Sosiolinguistik (Perkenalan Awal). Jakarta: Rineka Cipta. Djadjasudarma, T.F dan Idat Abdulwahid. 1994. Gramatika Sunda dan Tatabasa Sunda. Bandung Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Jakarta. PT. Pustaka Utama Grafiti. Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda. Jakarta. Pustaka Jaya. Mustafa, H. Hasan. 1985. Adat Istiadat Orang Sunda. (Terjemahan Hj. Maryati Sastrawidjaja). Bandung. Sastrawidjaja, Maryati, dkk. 1995. Antologi Puisi Sunda. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Fakultas Sastra Unpad Suhamihardja, A. Suhandi. 1993. Pola Hidup Masyarakat Indonesia. Bandung. Fakultas Sastra Unpad Wellek & Warren. 1989. Teori Kesusastraan. (Diterjemahkan oleh Melanie Budianata). Jakarta: Gramedia Rusyana, Yus. 1981. Carita Rakyat Nusantara. (Himpunan Makalah Tentang Cerita Rakyat). Bandung. Fakultas Keguruan Sastra dan Seni IKIP Bandung.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Keterangan Mengenai Informan
a. Wahyudin Ngarif Nama
: Wahyudin Ngarif
Usia
: 32 tahun
Tempat Lahir
: Dusun Langenpojok Ds. Muktisari Kec. Langensari Kota Banjar, Jawa Barat
Pendidikan
: Madrasah Aliyah PGII Banjar
Pekerjaan
: Staf Kesmas (Kesejahteraan Masyarakat) di kantor kelurahan Muktisari
Tinggal di desa ini sejak tahun: 1978 (sejak lahir) Pernah bepergian ke luar desa : jarang (dulu ke Malaysia) Bahasa yang digunakan Di rumah : bahasa Jawa, Di mayarakat : bahasa Sunda, Jawa Di tempat kerja : bahasa Sunda, Jawa Di perjalanan : bahasa Sunda, Jawa Bahasa yang dikuasai : Bahasa Jawa b. Diro Sudiro (Bpk Citro) Nama
: Diro Sudiro
Usia
: 60 tahun
Tempat Lahir
: Dusun Langen Ds. Muktisari Kec Langensari Kota Banjar, Jawa Barat
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Kasi Pemerintahan di kantor kelurahan Muktisari
Tinggal di desa ini sejak tahun: 1941 (sejak kecil) Pernah bepergian ke luar kota : jarang Bahasa yang digunakan Di rumah : Sunda
Di mayarakat : bahasa Sunda, Jawa Di tempat kerja : bahasa Sunda, Jawa Di perjalanan : bahasa Sunda, Jawa Bahasa yang dikuasai : Bahasa Jawa c. Kastaman Nama
: Kastaman
Usia
: 78 tahun
Tempat Lahir
: Dusun Ranjirata Ds. Cimari Kec Cikoneng Kab. Ciamis, Jawa Barat
Pendidikan
: SR
Pekerjaan
: Keamanan di kelurahan Muktisari
Tinggal di desa ini sejak tahun: 1952 Pernah bepergian ke luar kota : sering (sebulan sekali ke Bandung) Bahasa yang digunakan Di rumah : Sunda Di mayarakat : bahasa Sunda, Jawa Di tempat kerja : bahasa Sunda, Jawa Di perjalanan : bahasa Sunda, Jawa Bahasa yang dikuasai : Bahasa Jawa d. Nama: Harimun Umur: 55 tahun Jenis kelamin: Lk Pendidikan: SMP Pekerjaan: Pegawai desa Agama: Islam Kampung: Langenan Rt/Rw: 02/04 Kelurahan: Muktisari Kecamatan: Langensari Kota: Banjar Bahasa yang dikuasai : Bahasa Jawa
e. Nama: Supratman Umur: 50 tahun Jenis kelamin: Lk Pendidikan: SMP Pekerjaan: Pegawai desa Agama: Islam Kampung: Babakan Rt/Rw: 04/08 Kelurahan: Muktisari Kecamatan: Langensari Kota: Banjar Bahasa yang dikuasai : Bahasa Sunda f. Nama: Eman Sulaiman Umur: 31 tahun Jenis kelamin: Lk Pendidikan: D3 ekonomi Pekerjaan: Wiraswasta Agama: Islam Kampung: Babakan Rt/Rw: 04/03 Kelurahan: Muktisari Kecamatan: Langensari Kota: Banjar Bahasa yang dikuasai : Bahasa Sunda g. Nama: Yani Mulyani Umur: 32 tahun Jenis kelamin: Pr Pendidikan: S1 UPI Bandung Pekerjaan: Guru IPS terpadu SMP N 4 Banjar Agama: Islam
Kampunng: Babakan Rt/Rw: 04/03 Kelurahan: Muktisari Kecamatan: Langensari Kota: Banjar Bahasa yang dikuasai : Bahasa Sunda h. Nama: Siska, Harti, dan Maryanti Umur: 15 tahun Jenis kelamin: Pr Pendidikan: SMP Pekerjaan: Pelajar Agama: Islam Kampung: Langensari Kelurahan: Muktisari Kota: Banjar