TEMA PENELITIAN: 9
SENI BUDAYA/INDUSTRI KREATIF
LAPORAN AKHIR PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL (APPN)
JUDUL: MODEL REVITALISASI DAN INOVASI SENI BUDAYA TRADISIONAL MELALUI KARAKTERISASI SPEKTRUM AUDIO GAMELAN KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT DAN APLIKASINYA PADA INSTRUMEN MUSIK MODERN (KASUS PELESTARIAN BUDAYA ADI LUHUNG GAMELAN KK GUNTUR MADU DAN KK NAGA WILAGA) TAHUN KETIGA DARI RENCANA TIGA TAHUN
Ketua : Dr. Heru Kuswanto (NIDN.0012116107) Anggauta : Dr. Insih Wilujeng (NIDN. 0002126703) Saptomo. M.Kar (NIDN. 0015066110)
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA NOPEMBER 2014 Dibiayai oleh DIPA Universitas Negeri Yogyakarta dengan Surat Perjanjian Penugasan dalam rangka Pelaksanaan Program Peneitian Desentralisasi BOPTN Skim: Penelitian Strategis Nasional Tahun Anggaran 2014 Nomor: 239a/STR/UN34.21/2014 Tanggal 17 Maret 2014 Sub Kontrak: 10/STRANAS-DIKTI/UN.34.21/2014
DAFTAR ISI
halaman HALAMAN SAMPUL
i
HALAMAN PENGESAHAN
ii
RINGKASAN
iii
PRAKATA
v
DAFTAR ISI
vi
BAB 1. PENDAHULUAN
1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
3
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
20
BAB 4. METODE PENELITIAN
23
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
29
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
51
DAFTAR PUSTAKA
52
LAMPIRAN-LAMPIRAN
54
vi
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Gamelan merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa. Orkestra ini memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem skala slendro dan sistem skala pelog. Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 18-19 set ansambel gamelan pusaka, 16 diantaranya digunakan sedangkan sisanya (KK Bremara dan KK Panji) dalam kondisi yang kurang baik. Setiap gamelan memiliki nama kehormatan sebagaimana sepantasnya pusaka yang sakral. Tiga buah gamelan dari berasal dari zaman sebelum Perjanjian Giyanti dan lima belas sisanya berasal dari zaman Kesultanan Yogyakarta. Tiga gamelan tersebut adalah gamelan monggang yang bernama KK Guntur Laut, gamelan kodhok ngorek yang bernama KK Maeso Ganggang, dan gamelan sekati yang bernama KK
Guntur
Madu.
Ketiganya
merupakan
gamelan
terkeramat
dan
hanya
dimainkan/dibunyikan pada even-even tertentu saja. Gamelan sekati KK Guntur Madu dimainkan di Pagongan Kidul saat Upacara Sekaten, serta dalam upacara sunatan dan pernikahan Putra Mahkota. Konon gamelan ini berasal dari zaman Kesultanan Demak. Versi lain mengatakan alat musik ini buatan Sultan Agung saat memerintah kerajaan Mataram. Gamelan ini menjadi milik Kesultanan Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti sementara pasangannya KK Guntur Sari menjadi milik Kesunanan Surakarta. Agar gamelan sekati ini tetap berjumlah sepasang maka dibuatlah duplikatnya (jw. dipun putrani) dan diberi nama KK Naga Wilaga yang dibunyikan di Pagongan Utara. Kekhususan gamelan ini adalah bentuknya yang lebih besar dari gamelan umumnya dan instrumen kendhang (gendang) yang mencerminkan Hinduisme digantikan oleh bedug kecil (dianggap mencerminkan Islam). Mengingat tidak ada material yang benar-benar bisa bertahan melawan berjalannya waktu, maka sangat diperlukan upaya pelestarian yang sistematis dan dapat di setting ulang apabila suatu saat tidak dapat digunakan lagi. Karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan penelitian tentang karakterisasi spektrum audio gamelan “KK Guntur Madu” dan “KK Naga Wilaga” serta aplikasinya pada instrumen musik modern sebagai upaya pelestarian budaya adi luhung keraton ngayogyakarta hadiningrat.
1
Penelitian ini dilakukan melalui suatu wadah Pusat Studi Getaran dan Akustik (PSGA) FMIPA UNY, yang juga melibatkan pakar bidang seni musik, khususnya seni musik tradisional. Karena keberadaanya
di tengah-tengah masyarakat jawa,
sudah
selayaknya menaruh perhatian besar terhadap segi-segi ilmiah dari gamelan yang termasuk dalam bidang getaran dan akustik, yakni suatu cabang ilmu alam yang mempelajari getaran-getaran mekanik termasuk bunyi. Dengan demikian luaran penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif model pengembangan seni yang mendukung industri klreatif dan sekaligus sebagai wahana pelestarian musik tradisional yang dimulai dengan Gamelan Jawa standar. Permasalahan: Perlunya pelestarian local genius Kurangnya animo generasi muda Belum diarahkannya gamelan menjadi seni yang mendukung industri kreatif
Rancangan Solusi: Kajian ilmiah Teori Akustik Perekaman, analisis, dan sintesis Reproduksi dan aplikasi pada industri kreatif berupa electone
Produk: Electone Pelestarian local genius Gamelan dalam industri kreatif
Analisis Vibrasi : Sound Forge 0.6. Origin, dll
Gambar 1. Kerangaka Pemecahan Masalah
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. State of The Art Dasar – Dasar Akustik a. Mekanisme Terbentuknya Suara Mekanisme getaran suara sebenarnya sangat kompleks. Ketika celah suara menegang dan tekanan udara meningkat dri paru-paru, periode membuka dan menutupnya menjadi pendek dan frekuensi (pitch) sumber suara menjadi tinggi. Periode membuka dan menutup ini disebut getaran celah suara. Sebaliknya, kondisi tekanan udara yang rendah menghasilkan suara dengan frekuensi rendah. Sumber suara terdiri atas komponen fundamental dan harmonik yang dimodifikasi oleh jalur vokal untuk menghasilkan kualitas gaya suara, seperti dalam menghasilkan bunyi vokal /a/ dan /o/.
b Pemrosesan Sinyal Digital Suara Digitalisasi merupakan proses konversi sinyal analog menjadi sinyal digital, yang terdiri atas pencuplikan, kuantisasi, dan pengkodean. Pencuplikan adalah proses untuk menggambarkan sinyal kontinyu sebagai nilai runtun periodis. Kuantisasi meliputi pendekatan representasi nilai gelombang oleh salah satu nilai terhingga. Pengkodean merupakan penandaan nilai aktual untuk setiap nilai, pengkodean yang sering digunakan adalah pengkodean biner (Dessy, I: 2006). Dalam proses ini sinyal analog kontinyu mampu diubah menjadi runtun kode yang terpilih dari sinyal terhingga.
c. Pencuplikan (Sampling) Dalam proses pencuplikan, sinyal analog x(t) diubah ke runtun tercuplik menjadi nilai {xi}={x(iT)} pada waktu periodis ti=iT (i adalah integer), seperti yang tergambar pada gambar 2.
3
A m p l i t u d o
Gambar 2. Pencuplikan dalam kawasan waktu (Sadaoki Furui, 1989) T(s) disebut waktu pencuplikan, dan S = 1/T (Hz), disebut frekuensi pencuplikan. Jika T terlalu besar, sinyal asli tidak dapat dihasilkan dari runtun tercuplik; sebaliknya, jika T terlalu kecil, cuplikan tidak dapat digunakan untuk menghasilkan sinyal asli dalam runtun tercuplik. Teorem Shannon-Someya menyatakan hubungannya antara lebar bidang frekuensi sinyal analog tercuplik dan waktu tercuplik diusulkan sebagai penyelesaian masalah ini (Shannon dan Weaver, 1949).
d. Gelombang Suara Gelombang suara adalah getaran/osilasi yang terjadi akibat fenomena tekanan, regangan, perubahan posisi partikel, dan perubahan kecepatan partikel dari medium pengantar gelombang suara itu sendiri (udara, air/cairan atau juga benda padat). Getaran/osilasi itu sendiri, terjadi pada sumber suaranya, misalnya snar gitar dan juga body gitar itu sendiri. Gelombang suara itu sendiri harus merambat melalui medium (atau juga kombinasi medium2 dengan jenis berbeda, misalnya udara dan tembok atau kaca jendela). Gelombang suara yang merambat di udara (umumnya) merupakan penyebab terjadinya sensasi pendengaran pada telinga manusia. Seperti efek domino, pergerakan gelombang terjadi dengan cara perpindahan energi yang terdapat pada gelombang tersebut dari satu partikel ke satu partikel dekat 4
lainnya pada suatu medium. Kecepatan rambat gelombang bergantung pada kerapatan massa mediumnya. Di udara, gelombang suara merambat dengan kecepatan kira-kira 340 m/s. Pada medium rambat zat cair dan padat, kecepatan rambat gelombang suara menjadi lebih cepat yaitu 1500 m/s di dalam air dan 5000 m/s di dalam besi. e. Parameter gelombang suara. 1). Tekanan Suara (p): Penyimpangan tekanan medium dari kondisi seimbangnya yang terjadi akibat adanya propagasi gelombang suara. Diukur dalam satuan Pascal (Pa). Parameter ini dipersepsikan oleh telinga manusia sebagai 2). Frekuensi (f) : Jumlah osilasi partikel medium yang terjadi dalam setiap detik. Diukur dalam satuan cps (cycle per second) atau Hertz (Hz) 3). Kecepatan Rambat Gelombang (c ): Perbandingan antara jarak tempuh gelombang dengan waktu yang diperlukannya. Diukur dalam satuan meter/sekon (m/s) atau meter/detik (m/dt). 4). Tekanan Suara RMS RMS (Root Mean Square) adalah rata-rata dari akar kuadrat. Ketentuan Tekanan Suara RMS ini dimaksudkan untuk mencari nilai rata-rata tekanan dari sinyal yang berosilasi. Cara penghitungannya adalah sebagai berikut : (1) Dimana : p(t) = tekanan akustik, Pa p = Amplitudo max. dari fungsi tekanan akustik
5
f. Besaran Fisika Akustik 1). Intensitas Suara (I ): Gelombang suara pada umumnya menyebar dengan arah persebaran spheris / bola, atau menyebar ke segala arah dengan merata, kecuali pada kondisi-kondisi tertentu yang disebabkan oleh atenuasi lingkungan. Intensitas suara menggambarkan kerapatan energy suara persatuan uas persebaran. Pada sumber dengan propagasi gelombang bidang (satu dimensi), penghitungan Intensitas (I) menggunakan prsamaan 2 berikut :
(2) Untuk sumber titik dengan propagasi gelombang bola, intensitas suara dapat dihitung menggunakan rumus :
(3) Dimana : prms = tekanan akustik RMS, Pa c0 = kecepatan rambat gelombang di udara, m/s
rapat masa medium rambat g/m3
2). Daya Suara (W ): Daya suara merupakan besaran fisis akustik yang tidak dipengaruhi oleh jarak. Jika pada suatu sumber titik, dengan arah persebaran gelombang membentuk bola, maka daya suara dapat dihitung menggunakan rumus berikut : (4) 6
3). Hubungan Antara Intensitas Suara Dengan Jarak – Inverse Square Law : Diketahui bahwa besaran Intensitas Suara tergantung pada jarak pendengar ke sumber suara. Makin jauh sumber suara dari jangkauan dengar, maka makin
berkuranglah intensitas suara yang dapar diterima. Ketergantungan Intensitas Suara terhadap jarak atau yang sering disebut sebagai Inverse Square Law dinyatakan dalam persamaan berikut : (5)
Gambarannya seperti berikut :
2. Analisis dan Sintesis Bunyi Tidak semua frekuensi bunyi dapat digunakan untuk men-drive stomata agar terbuka. Hanya frekuensi tertentu saja yang dapat mempengaruhi pembukaan stomata daun. Oleh karena itu dalam penerapannya pada teknologi gelombang suara (sonic bloom), suara alamiah yang akan direkam perlu dianalisis terlebih dahulu.Disamping itu 7
perlu juga dilakukan sintesis bunyi untuk mendapatkan suara dengan frekuensi dan warna bunyi yang bersih dari noise.
a. Sintesis bunyi Sintesis bunyi merupakan suatu mekanisme rekronstruksi sinyal bunyi (asli) menjadi suatu sinyal baru yang sama dengan bunyi aslinya atau bahkan lebih baik dari bunyi asalnya. Terdapat berbagai metode dalam melakukan sintesis bunyi, salah satunya dengan sintesis bunyi aditif. Sintesis aditif barangkali merupakan bentuk tertua dari sintesis bunyi digital. Secara teoritis, sintesis bunyi aditif di dasarkan pada konsep klasik yang telah lama dikenal yakni analisis Fourier. Berikut adalah penjelasan tentang mekanisme sintesis bunyi aditif secara konseptual. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bunyi merupakan suatu gelombang akibat perubahan tekanan medium secara periodik. Oleh karena itu, bunyi dapat dinyatakan secara matematis sebagai suatu fungsi yang periodik. Suatu fungsi periodik sembarang F(t) dengan periode T dapat dinyatakan sebagai : F(t) = F (t + T)
(6)
Lebih lanjut, berdasarkan analisis Fourier, F(t) dapat dianalisis kedalam fungsifungsi sinus [sin(2πt/T)] dan cosinus [cos(2πt/T)] karena fungsi-fungsi tersebut juga periodik (Hirose dan Lonngren, 1985:277). Dengan demikian diperoleh:
2t 4t 2t 4t F(t ) a 0 a1 cos a 2 cos .... b1 sin b 2 sin ... T T T T
(7)
atau 2nt 2nt F(t ) a 0 a n cos bn sin n 1 T n 1 T
(8)
dengan a0, an, dan b n adalah koefisien-koefisien Fourier yang khas untuk setiap F(t). Agar persamaan (16) nampak lebih sederhana, maka digunakan peubah baru x = 2πt/T. Dengan demikian diperoleh:
n 1
n 1
F( x ) a 0 a n cosnx b n sin nx
(9)
dimana periode dari F(x) adalah 2π karena t = T pada saat x = 2π. Persamaan (17) dapat digunakan untuk menentukan koefisien-koefisien Fourier, yaitu : an
1 2 F( x ) cos( nx ) dx 0
(10)
8
bn
1 2 F( x ) sin( nx )dx 0
(11)
dengan n = 1,2,3,… dan a0
1 2 F( x )dx 2 0
(12)
Dapat diamati bahwa nilai a0 tidak lain merupakan rerata fungsi F(x). Pada persamaan (17), karena F(t) dikonstruksi kembali menjadi suatu deret fungsi dimana setiap sukunya adalah fungsi kosinus dan sinus dengan n – 1,2,3,…, maka dikatakan bahwa F(t) dinyatakan dalam suatu deret fungsi yang memiliki suku-suku harmonik. Dalam suatu sintesis audio pada umumnya, sinyal yang disintesis memiliki rerata fungsi nol, sehingga a0 = 0. Jika diinginkan suatu sinyal berupa fungsi genap (fungsi yang simetri pencerminan pada sumbu-y di titik asal) dari hasil sintesis bunyi, maka cukup bagian kosinus saja yang digunakan dalam persamaan (16). Hal ini disebabkan suatu sinyal dengan fungsi genap akan menampakkan koefisienkoefisien an . Sebaliknya, karena fungsigenap memiliki sifat F(x) = -F(x), maka subtitusi –x ke dalam persamaan (11) akan menghasilkan: bn
1 2 1 2 1 2 F( x ) sin( nx )dx F( x ) sin( n[ x ])dx F( x ) sin( nx )dx (13) 0 0 0
Penjumlahan dari persamaan (19) dan (21) menghasilkan 2bn = 0 atau b n = 0. Dengan subtitusi a0 = 0 dan bn = 0 ke dalam persamaan (16), diperoleh: 2nt F( t ) a n cos n 1 T
(14)
atau
F( t ) a n cos2 f n t
(15)
n 1
dengan fn = n/T adalah frekuensi harmonik ke-n. Persamaan (15) inilah yang digunakan dalam sintesis bunyi aditif. Dalam istilah akustik, an adalah amplitudo dari frekuensi akustik ke-n dan t adalah waktu. An cos(2πfnt) adalah suku ke-n dari deret fungsi kosinus atau disebut pula osilator ke-n. Untuk jumlah osilator yang berhingga, persamaan (23) dapat diubah batasnya menjadi: N
F( t ) a n cos2 f n t
(16)
n 1
Aplikasi persamaan (16) untuk sintesis bunyi dapat dimisalkan sebagai berikut; suatu sinyal bunyi awal memiliki sebuah osilator dengan frekuensi
9
fundamental f1 = 1/T, yang diikuti oleh isolator-isolator dengan frekuensi harmonik, yakni: f2 = 2 f1 = 2/T, f3 = 3 f1 = 3/T,......, fN = N f1 = N/T yang jumlahnya berhingga. Frekuensi-frekuensi f1, f2, f3, ...,fN dengan amplitudo masing-masing a1, a2, a3, ...,aN disubtitusikan ke dalam persamaan (16) adalah hasil sintesis bunyi yang dapat dibunyikan kembali. Dengan ditentukannya suku-suku deret kosinus (osilator-osilator) untuk suatu sinyal bunyi, maka sinyal bunyi tersebut telah mengalami rekonstruksi menjadi sinyal bunyi yang sama dengan bunyi awal atau bahkan lebih baik dari bunyi awal. Selain untuk sinyal bunyi yang memiliki frekuensi harmonik, persamaan (16) dapat pula digunakan untuk suatu himpunan frekuensi yang tidak harmonik. Sintesis bunyi aditif dapat menghasilkan suara yang tak harmonik jika osilator-osilatornya memiliki frekuensi yang bukan kelipatan bulat dari suatu frekuensi fundamental.
b. Analisis Bunyi 1). Transformasi Fourier Diskrit (DFT) DFT digunakan untuk menentukan komponen-komponen sinus dan cosinus dari suatu gelombang periodik. Dalam banyak hal, komponenkomponen tersebut lebih berguna dari pada bentuk gelombang itu sendiri. Suatu gelombang f(t) disampling dalam N kali interval-interval t0 = 0, t1 = T, t2 = 2T, …, tk = kT, …, tN-1 = (N-1)T. Interval penyamplingan penuh adalah S = NT. Dengan menggunakan notasi fk = f(tk), suatu DFT dari fk didefinisikan sebagai : N 1
Fn =
fk ei 2nk / N
(17)
k 0
dengan : ei
= cos + i sin
e i = cos - i sin
e0 = ei 2 = 1 e i = -1.
10
fk
f(t)
tk
T
S = NT Koefisien-koefisien DFT yang signifikan (bermakna) adalah bahwa F0 merupakan koefisien fourier pada frekuensi 0 (komponen dc), F1 adalah koefisien fourier pada frekuensi 1 (1 putaran per S), dan Fn adalah koefisien fourier pada frekuensi n (n putaran per S). Untuk melihat hal itu, berikut ini dihitung beberapa koefisien fourier : N 1
F0 =
fk (jumlah semua amplitudo).
(18)
k 0
Misalkan dipilih suatu kasus di mana fk = C (sebuah konstanta), maka F0 = NC dan semua koefisien fourier yang lain adalah 0. Kasus berikutnya adalah suatu gelombang sinus dengan M putaran lengkap per interval penyamplingan S, atau fk = sin (2kM/N). N 1
Fn =
sin (2kM/N) [cos (2kn/N) - i sin (2kn/N)].
(19)
k 0
Terkait dengan sifat-sifat ortogonalitas dari deret sinus dan cosinus, maka untuk fk di atas berlaku : N 1
FM
=
-i sin2(2kM/N) = -iN/2
k 0 N 1
F(N-M) =
i sin2(2kM/N) = iN/2
(20)
k 0
dan semua koefisien fourier yang lain adalah 0. Selanjutnya terlihat bahwa koefisien fourier ke n mendeskripsikan amplitudo dari sembarang komponen gelombang sinus dengan n putaran lengkap per interval penyamplingan. 11
Koefisien-koefisien fourier di luar interval dar 0 sampai dengan N/2 memiliki korespondensi. Dari definisi DFT, amplitudo fourier untuk N putaran per interval penyamplingan S adalah sama dengan 0 putaran per S. Dengan demikian : N 1
FN =
fk e i 2k =
k 0
N 1
fk = F0.
(21)
k 0
Di atas N sampel per S, semua amplitudo fourier adalah sama dengan pasangan di bawahnya. N 1
FN+n =
fk e i 2k ei 2nk / N =
k 0
N 1
fk ei 2nk / N = Fn.
(22)
k 0
Antara N/2 dan N sampel per S, diperoleh hasil sebagai berikut : N 1
FN-n =
fk e i 2k e i 2nk / N =
k 0
N 1
fk e i 2nk / N .
(23)
k 0
Jika fk riil, maka FN-n = Fn* dan FN/2 riil (*menyatakan suatu konjugate kompleks). FN/2 adalah koefisien fourier pada frekuensi N/2 (1 putaran per 2T). Ini adalah frekuensi terbesar bahwa suatu DFT dapat ditentukan. Semua koefisien fourier untuk frekuensi yang lebih tinggi adalah sama dengan atau merupakan konjugate kompleks dari koefisien-koefisien untuk frekuensifrekuensi yang lebih rendah. Sehingga hanya ada N/2 koefisien fourier yang bebas (independent). Jika penyamplingan frekuensi tersebut tidak cukup, komponenkomponen frekuensi yang lebih tinggi dari gelombang yang sesungguhnya f(t) akan muncul sebagai komponen-komponen frekuensi yang lebih rendah dalam DFT. Ini disebut aliasing frekuensi. Tidak ada cara untuk membetulkan data setelah penyamplingan dilakukan. Solusi yang biasa terhadap persoalan ini adalah menggunakan filter analog lolos rendah (filter antu aliasing) yang akan mengeliminasi semua frekuensi di atas fS/2 sebelum penyamplingan. Suatu pernyataan berdasarkan hasil tersebut merupakan teorema penyamplingan yang mengatakan bahwa untuk dapat mencakup secara lengkap suatu sinyal kontinu
12
dari pasangannya yang disampling, frekuensi penyamplingan fS harus sekurangkurangnya dua kali frekuensi tertinggi dalam sinyal tersebut. Setiap koefisien fourier Fn pada umumnya adalah kompleks, bagian riilnya mendeskripsikan amplitudo yang menyerupai cosinus dan bagian imajinernya mendeskripsikan amplitudo yang menyerupai sinus. Modulus atau magnetudo Gn didefinisikan sebagai : Gn =
Re( Fn ) 2 Im( Fn ) 2
dan sudut fase n diberikan oleh :
tan n =
(24) Im( Fn ) . Re( Fn )
Invers dari DFT diberikan oleh : N 1
fk =
Fn i 2nk / N e N k 0
(25)
Jika dihitung fk di luar interval penyamplingan S akan diperoleh : N 1
fN+k =
Fn i 2n i 2nk / N e e = fk . N k 0
(26)
Terlihat bahwasekelompok N koefisien fourier tertentu dari suatu fungsi terbentuk berulang secara tak ada habis-habisnya dengan periodesitas S = NT. Ini sejalan dengan hasil terdahulu bahwa sekelompok dari N sampel, koefisienkosfisien fourier berulang terus-menerus dengan periodesitas N = S/T.
2). Transformasi Fourier Cepat (FFT) FFT merupakan metode yang sangat efisien untuk menghitung DFT secara komputasional. Sebagai akibatnya penginterpretasian hasil FFT hanya memerlukan pemahaman dari DFT. Efisiensi komputasional FFT muncul dari kepandaian menyusun kembali suku-suku dalam DFT sedemikian hingga sukusuku yang sama hanya dihitung sekali. Penghitungan langsung melalui persamaan DFT yang deberikan sebelumnya memerlukan N2 perkalian dan N(N1) penjumlahan. Dengan kata lain, FFT hanya memerlukan N 2log N perkalian dan 2N
2
log N penjumlahan. Unutk N = 1024 cacah perkaliannya direduksi
dengan faktor 100. 13
N 1
Fn =
N 1
fk e i 2nk / N =
k 0
fk Wnk
(27)
k 0
di mana didefinisikan W = e i 2 / N dan W0 = Wn = 1. Penulisan ini dalam bentuk matrik dan menggunakan hubungan WN+nk = Wnk akan diperoleh :
W0 W0 W0 W0
F0
0
F1 F2
W =
F3
1
W
2
W
W
f0
3
1
f1
W0 W2 W4 W6
f2
W0 W3 W6 W9
f3
=
1
1 1
f0
1 2
W
W
3
f1
1
W
1
W2 1
W2
f2
1
W3 W2 W1
f3
Kunci efisiensi dari FFT adalah pemfaktoran dari matrik yang diusahakan (dibuat mungkin) dengan menukarkan baris-baris tertentu.
F0
1
F1 F2 F3
=
1 2
f0
1 2
f1
1
W
3
f2
1
W3 W2 W1
f3
1
1
0
0
1
0
1
0
f0
1
W2 0
0
0
1
0
1
f1
0
0
1
W1
1
0
W2 0
f2
0
0
1
W3
0
1
0
1 =
1 W
1
1
W 2
W
W
W2
f3
Pada umumnya, akan ada 2log N matrik dengan N/2 perkalian kompleks dan N penjumlahan kompleks per matrik. Setiap kejadian W0 = 1 berarti sebuah penjumlahan sederhana. Pangkat-pangkat lain dari W mencakup perkalian dengan tetapan-tetapan sebelum dihitung. Ketika N menjadi besar, kita memiliki
2
log N
matrik yang tipis (sparse). Metode langsung persamaan (1-1) memerlukan N2 perkalian kompleks dan N(N-1) penjumlahan kompleks. Dalam suku-suku dari 14
sejumlah operasi perkalian, FFT mendapatakan keuntungan dengan faktor 2N / 2log N terhadap cara langsung, yang lebih besar dari 200 untuk N = 1024 = 210. 3. Gamelan Jawa a. Laras (Nada Gamelan) Bagi masyarakat Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan kesehariannya. Dengan kata lain, masyarakat tahu benar mana yang disebut gamelan atau seperangkat gamelan. Mereka telah mengenal istilah 'gamelan', 'karawitan', atau 'gangsa'. Namun barangkali rnasih banyak yang belum mengetahui bagaimana sejarah perkembangan gamelan itu sendiri, sejak kapan gamelan mulai ada di Jawa?. Seorang sarjana berkebangsaan Belanda bernama Dr. J.L.A. Brandes secara teoritis mengatakan bahwa jauh sebelum datangnya pengaruh budaya India, bangsa Jawa telah rnemiliki ketrampilan budaya atau pengetahuan yang mencakup 10 butir (Brandes, 1889): (1) wayang, (2) gamelan, (3)ilmu irama sanjak, (4) batik, (5) pengerjaan logam, (6) sistem mata uang sendiri, (7) ilmu teknologi pelayaran, (8) astronomi, (9) pertanian sawah, (10) birokrasi pemerintahan yang teratur
Sepuluh butir ketrampilan budaya tersebut bukan dari pemberian bangsa Hindu dari India. Kalau teori itu benar berarti keberadaan gamelan dan wayang sudah ada sejak jaman prasejarah. Namun tahun yang tepat sulit diketahui karena pada masa prasejarah masyarakat belum mengenal sistem tulisan. Tidak ada bukti-bukti tertulis yang dapat dipakai untuk melacak dan merunut gamelan pada masa prasejarah. Gamelan adalah produk budaya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kesenian. Kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang bersifat universal. Ini berarti bahwa setiap bangsa dipastikan memiliki kesenian, namun wujudnya berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Apabila antar bangsa terjadi kontak budaya 15
maka keseniannya pun juga ikut berkontak sehingga dapat terjadi satu bangsa akan menyerap atau mengarn bila unsur seni dari bangsa lain disesuaikan dengan kondisi seternpat. Oleh karena itu sejak keberadaan gamelan sampai sekarang telah terjadi perubahan dan perkembangan, khususnya dalam kelengkapan ansambelnya. Istilah “karawitan” yang digunakan untuk merujuk pada kesenian gamelan banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai "karawitan" berangkat dari kata dasar “rawit” yang berarti kecil, halus atau rumit. Konon, di lingkungan kraton Surakarta, istilah karawitan pernah juga digunakan sebagai payung dari beberapa cabang kesenian seperti: tatah sungging, ukir, tari, hingga pedhalangan (Supanggah, 2002:5¬6). Dalarn pengertian yang sempit istilah karawitan dipakai untuk menyebut suatu jenis seni suara atau musik yang mengandung salah satu atau kedua unsur berikut (Supanggah, 2002:12): (1) menggunakan alat musik gamelan - sebagian atau seluruhnya baik berlaras slendro atau pelog - sebagian atau semuanya. (2) menggunakan laras (tangga nada slendro) dan / atau pelog baik instrumental gamelan atau non-gamelan maupun vocal atau carnpuran dari keduanya.
Gamelan Jawa sekarang ini bukan hanya dikenal di Indonesia saja, bahkan telah berkembang di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Canada. Karawitan telah 'mendunia'. Oleh karna itu cukup ironis apabila bangsa Jawa sebagai pewaris langsung malahan tidak mau peduli terhadap seni gamelan atau seni karawitan pada khususnya atau kebudayaan Jawa pada umumnya. Bangsa lain begitu tekunnya mempelajari gamelan Jawa, bahkan di beberapa negara memiliki seperangkat gamelan Jawa. Sudah selayaknya masyarakat Jawa menghargai karya agung nenek moyang sendiri. Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan. Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, “Degung” (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan “madenda” (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa. 16
Gamelan jawa memiliki 2 (dua) sistem nada (laras) yang berbeda yaitu laras slendro dan laras pelog. Laras slendro memiliki 5 (lima) nada, sedangkan laras pelog mempunyai 7 (tujuh) nada. Setiap laras dalam satu perangkat (pangkon) terdiri dari bagian-bagian pokok sebagai berikut : 1) Kendhang,
6.
Rebab,
2) Gong,
7.
Siter,
3) Kethuk-Kenong,
8.
Gambang, dan
4) Saron,
9.
Gender,
5) Bonang,
10. Seruling.
Setiap bagian pokok tersebut terdiri dari bagian-bagian yang lebih kecil lagi, misalnya : 1. Kendang : Bedhug, Batangan, dan Ketipung 2. Gong
: Suwukan, Kempul, dan Gong Gedhe.
3. Saron
: Demung, Ricik, dan Peking
4. Bonang
: Panembung, dan Panerus
5. Gender
: Slenthem, Barung, dan Panerus.
Setiap bagian yang lebih kecil tersebut ada yang tersusun dari wilahan-wilahan, seperti pada : 1. Saron Slendro : Barang, Gulu, Dada, Lima, Nem (5 Wilahan) 2. Saron Pelog
: Bem, Gulu, Dada, Pelog, Lima, Nem, Barang (7 wilahan)
3. Gender
: Barang, Gulu, Dada, Lima, Nem, , Gulu, (13 Wilahan)
4. Kenong
: Kethuk, Barang, Gulu, Dada, Lima, Nem (6 Wilahan)
5. Kempul
: 5 Kempul, 2 Suwukan, dan 1 Gong Gedhe.
6. Bonang
: Barang, Gulu, Dada, Lima, Nem (10 Wilahan)
7. Gambang
: Dada, Lima, Nem, Barang, Gulu, Dada, Lima, (22 Wilahan).
Alat pemukul gending yang berat dan alat tabuh untuk memainkan gamelan menghasilkan melodi yang berdasar pada dua irama (yang disebut laras) yang berlainan ritmenya. Masing-masing laras diikuti oleh alunan gending dengan ritme yang berbeda pula. Laras Slendro terdiri dari lima interval dalam satu oktaf, sedangkan laras Pelog terdiri dari tujuh interval yang tidak sama. Laras Slendro wajib digunakan dalam pertunjukkan wayang kulit, sedangkan laras Pelog biasa digunakan mengiringi tari –
17
tarian perempuan atau pertunjukkan ketoprak. Pembagian laras dalam lima interval (pentatonis) pada gending Jawa merupakan ciri khas dari gamelan jawa.
b. Sumber Data Tentang Gamelan Kebudayaan Jawa setelah masa prasejarah memasuki era baru yaitu suatu masa ketika kebudayaan dari luar -dalam hal ini kebudayaan India- mulai berpengaruh. Kebudayaan Jawa mulai memasuki jaman sejarah yang ditandai dengan adanya sistem tulisan dalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari perspektif historis selama kurun waktu antara abad VIll sampai abad XV Masehi kebudayaan Jawa, mendapat pengayaan unsurunsur kebudayaan India. Tampaknya unsur-unsur budaya India juga dapat dilihat pada kesenian seperti gamelan dan seni tari. Transformasi budaya musik ke Jawa melalui jalur agama Hindu-Budha. Data-data tentang keberadaan gamelan ditemukan di dalam sumber verbal yakni sumber - sumber tertulis yang berupa prasasti dan kitab-kitab kesusastraan yang berasal dari masa Hindu-Budha dan sumber piktorial berupa relief yang dipahatkan pada bangunan candi baik pada candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah (abad ke-7 sampai abad ke-10) dan candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Timur yang lebih muda (abad ke-11 sampai abad ke-15) (Haryono, 1985). Dalam sumber-sumber tertulis masa Jawa Timur kelompok ansambel gamelan dikatakan sebagai “tabeh tabehan” (bahasa Jawa baru 'tabuh-tabuhan' atau 'tetabuhan' yang berarti segala sesuatu yang ditabuh atau dibunyikan dengan dipukul). Zoetmulder menjelaskan kata “gamèl” dengan alat musik perkusi yakni alat musik yang dipukul (1982). Dalam bahasa Jawa ada kata “gèmbèl” yang berarti 'alat pemukul'. Dalam bahasa Bali ada istilah 'gambèlan' yang kemudian mungkin menjadi istilah 'gamelan'. Istilah 'gamelan' telah disebut dalam kaitannya dengan musik. Namur dalam masa Kadiri (sekitar abad ke-13 Masehi), seorang ahli musik Judith Becker malahan mengatakan bahwa kata 'gamelan' berasal dari nama seorang pendeta Burma dan seorang ahli besi bernama Gumlao. Kalau pendapat Becker ini benar adanya, tentunya istilah 'gamelan' dijumpai juga di Burma atau di beberapa daerah di Asia Tenggara daratan, namun ternyata tidak.
c. Gambaran Instrument Gamelan Pada Relief Candi Pada beberapa bagian dinding candi Borobudur dapat 17 dilihat jenis-jenis instrumen gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di leher, kendang berbentuk seperti periuk, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, gambang. Pada candi Lara 18
Jonggrang (Prambanan) dapat dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung, kendang bentuk periuk, simbal (kècèr), dan suling. Gambar relief instrumen gamelan di candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada candi Jago (abad ke -13 M) berupa alat musik petik: kecapi berleher panjang dan celempung. Sedangkan pada candi Ngrimbi (abad ke - 13 M) ada relief reyong (dua buah bonang pencon). Sementara itu relief gong besar dijumpai di candi Kedaton (abad ke-14 M), dan kendang silindris di candi Tegawangi (abad ke-14 M). Pada candi induk Panataran (abad ke-14 M) ada relief gong, bendhe, kemanak, kendang sejenis tambur; dan di pandapa teras relief gambang, reyong, serta simbal. Relief bendhe dan terompet ada pada candi Sukuh (abad ke-15 M). Berdasarkan data-data pada relief dan kitab-kitab kesusastraan diperoleh petunjuk bahwa paling tidak ada pengaruh India terhadap keberadaan beberapa jenis gamelan Jawa. Keberadaan musik di India sangat erat dengan aktivitas keagamaan. Musik merupakan salah satu unsur penting dalam upacara keagamaan (Koentjaraningrat, 1985:42-45). Di dalam beberapa kitab-kitab kesastraan India seperti kitab Natya Sastra seni musik dan seni tari berfungsi untuk aktivitas upacara. keagamaan (Vatsyayan, 1968). Secara keseluruhan kelompok musik di India disebut 'vaditra' yang dikelompokkan menjadi 5 kelas, yakni: tata (instrumen musik gesek), begat (instrumen musik petik), sushira (instrumen musik tiup), dhola (kendang), ghana (instrumen musik pukul). Pengelompokan yang lain adalah: (1) Avanaddha vadya, bunyi yang dihasilkan oleh getaran selaput kulit karena dipukul. (2) Ghana vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran alat musik itu sendiri. (3) Sushira vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran udara dengan ditiup. (4) Tata vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran dawai yang dipetik atau digesek. Klasifikasi tersebut dapat disamakan dengan membranofon (Avanaddha vadya), ideofon (Ghana vadya), aerofon (sushira vadya), kordofon (tata vadya). Irama musik di India disebut “laya” dibakukan dengan menggunakan pola 'tala' yang dilakukan dengan kendang. Irama tersebut dikelompokkan menjadi: druta (cepat), madhya (sedang), dan vilambita (lamban).
19
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah menghasilkan suatu model pelestarian gamelan jawa kuno sebagai budaya adi luhung keraton ngayogyakarta hadiningrat agar tetap terjaga kualitasnya melalui karakterisasi spektrum audio gamelan “KK Guntur Madu” dan “KK Naga Wilaga” serta aplikasinya pada instrumen musik modern. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian, adalah: 1. Melakukan estimasi dan analisis karakteristik akustik musik gamelan KK Guntur Madu, 2. Melakukan revitalisasi fungsi gamelan dalam pengembangan budaya bangsa, 3. Melakukan proses editing dan rekonstruksi bunyi gamelan sebagai alternatif untuk diaplikasikan pada instrumen musik modern sebagai seni yang mendukung industri kreatif. 4. Melakukan pengujian teknis dan analisis akustik terhadap warna bunyi gamelan yang dihasilkan. 5. Melakukan verifikasi dan validasi warna bunyi yang dihasilkan dengan melibatkan pakar bidang seni musik tradisional khususnya bidang gamelan jawa. 6. Mendesain model pelestarian dan pembudayaan pada generasi muda lewat aplikasinya di instrumen musi modern. 7. Pengajuan HKI bagi karakterisasi instrumen musik tradisional gamelan sebagai upaya menjaga budaya adhiluhung keraton Ngayogyakarta Hadiningrat 8. Mempersiapkan publikasi ilmiah di jurnal bereputasi internasional dan/atau di jurnal nasional terakreditasi, karena penelitian ini memiliki kekhususan dan kemanfaatan yang tinggi, sekurang-kurangnya pada akhir periode penelitian dapat menerima surat persetujuan diterbitkan (acceptance letter)
B. Manfaat Penelitian Program penelitian fundamental strategis nasional ini berkaitan dengan upaya mengaplikasikan teori akustik pada seni tradisional Gamelan Jawa. Dengan demikian, diharapkan akan menghasilkan luaran yang bermanfaat bagi peningkatan daya saing bangsa khususnya dalam upaya peningkatan seni dan sastra dalam
mendukung pengembangan 20
industri kreatif (creative industry), dan sekaligus sebagai upaya pelestarian local genius. Oleh karena itu, urgensi dari penelitian ini antara lain adalah: 1. Temuan baru berupa invensi yang dapat dipatenkan. Karena terdapat rekayasa dan modifikasi yang sangat khusus dengan mengaplikasikan teori akustik untuk mengembangkan industri kreatif berupa electone, maka tentu saja hasil penelitian ini memiliki potensi untuk dipatenkan. 2. Publikasi artikel ilmiah pada jurnal nasional/internasional yang terakreditasi. Modifikasi variabel fisis dan karektristik khas untuk gamelan Jawa Standar yang spesifik sangat memungkinkan untuk dijadikan artikel publikasi jurnal internasional, apalagi ada unsur rekayasa pada bagian teknologinya. 3. Teknologi tepat guna. Rekayasa yang dilakukan dengan modifikasi frekuensi, intensitas dan amplitudo gamelan jawa “KK Guntur Madu” dan “KK Naga Wilaga” yang diaplikasikan pada instrumen musik modern adalah sangat berguna bagi upaya pelestarian budaya lokal.
21
BAB 4 METODE PENELITIAN Penelitian karakter fisis dari nada Gamelan Jawa dengan pengukuran spektrum vibrasi dan analisa frekuensi ini, dilakukan dengan mengunakan metodelogi eksperimen. Hasil pengujian kemudian diaplikasikan untuk mengembangkan instrumen musik modern sebagai sebuah upaya menjadikan seni tradisional yang merupakan local genius sebagai sebuah industri kreatif. A. Tahapan Penelitian Penelitian ini direncanakan dalam tiga tahapan program penelitian dan setiap tahapan dilakukan selama satu tahun anggaran. Tahapan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut 1. Tahap pertama (tahun 2012) Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai bulan Oktober 2012. Tahapan perekaman suara masing-masing wilahan Gamelan Jawa dilakukan di Kraton Yogyakarta.
Taapan analisis spektrum vibrasi dan aplikasinya pada ”electone”,
dilakukan di Laboratorium Fisika Akustik Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY. Obyek penelitian ini adalah seluruh wilahan gamelan Jawa Standar, yang terdiri dari laras pelog dan laras slendro. Masing-masing wilahan
Gamelan yang akan di uji
spektrum vibrasinya menggunakan Gamelan Jawa standar yang ada di Keraton Yogyakarta Data dalam penelitian ini diperoleh melalui eksperimen. Variabel terikat yang diamati adalah berbagai macam wilahan gender barung baik laras pelog maupun laras slendro pada gamelan yang dijadikan sampel penelitian. Sedangkan variabel bebasnya adalah frekuensi dan warna bunyi setiap wilahan Instrumen yang dipergunakan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini berupa sistem peralatan pengukur frekuensi bunyi dan sistem peralatan untuk mempelajari spektrum getaran suara yang ditimbulkan oleh Gamelan Jawa Standar.
Pengukur
frekuensi terdiri dari AFG (audio frequency generator), osiloskop (CRO), mikropon, penguat audio, dan perekam suara. Keberadaan AFG adalah tentatif sebagai pembanding saja, karena dengan osiloskoppun dapat diukur frekuensi. Sedangkan alat untuk
22
mempelajari spektrum getaran menggunakan komputer beserta perangkat program dan interface-nya. Perangkat tersebut sering dikenal sebagai Sound Forge 10.0, Berkenaan dengan fenomena yang akan dipelajari melalui penelitian ini, maka data percobaannya akan dianalisis dengan metode deskriftif kuantitatif. Frekuensi bunyi yang terukur pada setiap wilahan dibandingan antara perangkat gamelan yang satu dengan yang lainnya. Frekuensi tersebut juga dibandingkan dengan frekuensi dengan alat yang sama pada gamelan “standar” yang telah diteliti oleh Wasisto, S. Dkk. Kemudian dianalisis spektrum getaran setiap wilahan gender untuk mengetahui kandungan frekuensi dan amplitudonya. Dari kandungan frekuensi beserta amplitudonya dapat dideskripsikan warna bunyi wilahan yang bersangkutan. a. Aktivitas Pengumpulan Data dan Alat yang digunakan 1) Merekam dan menganalisis suara wilahan gamelan jawa standar
Gamelan Jawa Standar (KK Guntur Madu dan KK Naga Wilaga)
Tape recorder Sony TCM-150
Kaset kosong Maxcell UE 90
Pre-amp
kabel penghubung secukupnya
Personal Computer
Microphone condenser
2)
Mendrive suara pada ”electone”
VCD Player
Amplifier CK:1003
CD-recodable 80min BenQ
Loudspeaker jenis tweeter PT-104 Piezoelectrico 150W.
Audiocable secukupnya
Electronic Tone
2. Tahap kedua (2013) Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai bulan Nopember 2013. Taapan analisis spektrum vibrasi dan aplikasinya pada ”electone”, dilakukan di Laboratorium Fisika Akustik Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA UNY.
23
Pada tahap kedua dilakukan rancang bangun untuk pembuatan ”electone” perangkat gamelan lain. Disamping itu juga dilakukan rancang bangun untuk mempeoleh tampilan yang kompak antar perangkat gamelan”electone” Data dalam penelitian ini diperoleh melalui eksperimen. Variabel terikat yang diamati adalah berbagai macam wilahan gender barung baik laras pelog maupun laras slendro pada gamelan yang dijadikan sampel penelitian. Sedangkan variabel bebasnya adalah frekuensi dan warna bunyi setiap wilahan Instrumen yang dipergunakan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini berupa sistem peralatan pengukur frekuensi bunyi dan sistem peralatan untuk mempelajari spektrum getaran suara yang ditimbulkan oleh Gamelan Jawa Standar.
Pengukur
frekuensi terdiri dari AFG (audio frequency generator), osiloskop (CRO), mikropon, penguat audio, dan perekam suara. Keberadaan AFG adalah tentatif sebagai pembanding saja, karena dengan osiloskoppun dapat diukur frekuensi. Sedangkan alat untuk mempelajari spektrum getaran menggunakan komputer beserta perangkat program dan interface-nya. Perangkat tersebut sering dikenal sebagai Sound Forge 10.0, Winscope, atau Waveform Viewer. Semua peralatan tersebut telah tersedia di Laboratorium Fisika Akustik, FMIPA, UNY. Berkenaan dengan fenomena yang akan dipelajari melalui penelitian ini, maka data percobaannya akan dianalisis dengan metode deskriftif kuantitatif. Frekuensi bunyi yang terukur pada setiap wilahan dibandingan antara perangkat gamelan yang satu dengan yang lainnya. Frekuensi tersebut juga dibandingkan dengan frekuensi dengan alat yang sama pada gamelan “standar” yang telah diteliti oleh Wasisto, S. Dkk. Kemudian dianalisis spektrum getaran setiap wilahan gender untuk mengetahui kandungan frekuensi dan amplitudonya. Dari kandungan frekuensi beserta amplitudonya dapat dideskripsikan warna bunyi wilahan yang bersangkutan. Aktivitas dan perlatan yang digunakan pada tahap kedua adalah Mendrive suara pada ”electone” sama dengan pada tahap 1
3. Tahap ketiga (2014) Pada tahap ketiga (tahun 2014) dilaksanakan uji produk terhadap hasil penelitian tahap pertama dan kedua. Uji produk dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada siswa, guru seni dan master gamelan. Responden yang diminta untuk memberikan pendapat adalah siswa, guru seni dan master gamelan. Siswa yang diminta pendapatnya adalah siswa SLTA. Untuk mengukur unjuk kerja produk dibuat instrumen berbentuk skala 24
rating. Pada tahap ini dilanjutkan hasil yang sudah dirintis pada tahap kedua yaitu penyelesaian buku tentang fisika musik atau fisika gamelan.
3. Langkah Kerja a. Pengambilan Data Bunyi Gamelan Dengan Program Sound Forge 6.0. 1). Mempersiapkan peralatan untuk merekam bunyi masing-masing wilahan gamelan jawa standar. 2). Menjalankan program Sound Forge 6.0. Setelah program aktif, mengatur sampling rate sebesar 44100 Hz, 16 bit, dan line-in dalam mode mono.
AMPLIFIER
SOUND BLASTER MATLAB DSP (FFT) Microphone
Gambar. 2. Susunan alat eksperimental perekaman wilahan bunyi gamelan ke dalam komputer sehingga dapat dilakukan analisis dan sintesis bunyi 3). Menyalakan tape recorder yang berisikan kaset rekaman bunyi masing-masing wilahan gamelan jawa standar kemudian merekamnya menggunakan sound forge 6.0. 4). Suara yang terekam dengan Sound Forge 6.0. dibunyikan kembali dan disimpan dalam format Wav. Dengan format itu maka file tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan Sound Forge 6.0. 5). Mendesain input untuk dapat digunakan dalam electronic tone 25
1. Teknik Analisis Data Frekuensi Akustik dari Suara Gamelan Jawa a. Menentukan frekuensi tertinggi, amplitudo dalam dB, dan frekuensi lainnya menggunakan program Sound Forge 6.0 Suara yang sudah direkam dapat dianalisis secara langsung menggunakan aplikasi Spectrum Analysis yang tersedia dalam program Sound Forge 6.0. Hasil dari analisis ini adalah spektrum sinyal, di mana dari spektrum tersebut diperoleh nilai frekuensi dengan amplitudo paling tinggi (prominent frequency), frekuensi harmonik, dan frekuensi penyusun di sekitar frekuensi tertinggi serta nilai amplitudo masing-masing frekuensi tersebut. Nilai amplitudo dalam dB dapat dikonversikan menjadi amplitudo relatif terhadap bit-rate menggunakan persamaan berikut: dB = 20 log
Amplitudo nbit 1 2 atau
Amplitudo = 2
nbit 1
………………………………… (3.1)
x 10
dB 20
……………..…………..
(3.2) 26
Karena dalam perekaman menggunakan ADC dengan bit-rate 16 bit maka persamaan di atas dapat diubah menjadi: Amplitudo = 32768 x 10
dB 20
……………………………
(3.3)
Dengan mengacu pada persamaan tersebut, maka rasio amplitudo dapat dituliskan secara matematis sebagai: dB 2 dB1
A1: A2: A3: …An = 1 : 10
20
dB ndB1
: … : 10
20
…(3.4)
b. Proses sintesis bunyi dilakukan berdasarkan persaamaan (2.14). Data yang diperoleh dari analisis adalah frekuensi tertinggi (prominent frequency), frekuensi penyusun, amplitudo dan rasio amplitudo masing-masing frekuensi. Data tersebut disatukan dalam suatu algoritma berdasarkan persamaan (2.14) menggunakan program Matlab 6.5, sehingga diperoleh suatu data sebagai fungsi waktu. Untuk dapat mengubah data ini menjadi suara, aplikasi Wavwrite yang terdapat dalam program Matlab 6.5 digunakan, selanjutnya data diubah dalam bentuk Wav file yang kemudian dapat didengarkan suaranya.
27
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tahun Pertama (2012) 1. Spektrum Gamelan
(a)
(b)
(c) Gambar 1. Spektrum Wilahan 1 Saron Ricik gamelan Naga Wilaga; (a) bentuk gelombang sebagai fungsi waktu yang diperoleh, (b) perbesaran dari (a), dan (c) spektrum sebagai fungsi frekuensi (transformasi Fourier dari spektrum (a))
28
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Saron Ricik gamelan KK. Guntur Madu; (a) bentuk gelombang sebagai fungsi waktu yang diperoleh wilahan 1, (b) perbesaran dari (a), dan (c) spektrum sebagai fungsi frekuensi (transformasi Fourier dari spektrum (a))
29
Gambar 3. Grafik perbandingan frekuensi fundamental Saron Ricik untuk gamelan Naga Wilaga dan Guntur Madu.
30
Gambar 4. Pola frekuensi yang dinormalisasi ke frekuensi fundamental untuk setiap wilahan Saron Ricik gamelan KK. Naga Wilaga dan KK. Guntur Madu. (Untuk memudahkan penampilan, ordinat pada wilahan 2, 3,… ditambah dengan 1, 2, …) (
KK.Naga Wilaga,
KK. Guntur Madu)
Gambar 5. Pola ratio frekuensi fundamental pada wilahan ke (n+1) terhadap frekuensi fundamental wilahan ke- n, masing-masing untuk Saron gamelan KK. Naga Wilaga dan KK. Guntur Madu
Tabel 1. Frekuensi fundamental (hertz) untuk setiap wilahan Saron Ricik pada gamelan KK. Naga Wilaga dan KK. Guntur Madu Wilahan ke Gamelan 1
2
3
4
5
6
7
Nagawilaga
428
455
498
590
625
665
730
Gunturmadu
398
423
452
536
584
616
660
31
Tabel 2. Puncak-puncak frekuensi yang dinormalisasi ke frekuensi fundamental setiap wilahan Saron Ricik pada gamelan KK. Naga Wilaga dan KK. Guntur Madu KK. Naga Wilaga
KK. Guntur Madu
Wilahan ke
Wilahan ke
Puncak ke 1
2
3
1
1.00
1.00
1.00
2
1.08
1.13
3
1.20
4
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
1.00 1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.47
1.06 1.08
1.10
2.00
1.06
1.07
1.13
1.09
1.06
1.08
1.03
1.22
2.00
1.83 1.10
1.29
2.57
2.01
1.22
1.23
1.23
2.00
2.01
1.29
1.30
1.51
2.37
2.00 1.17
1.48
2.88
2.72
1.31
1.51
1.27
2.35
2.70
1.36
5
1.59
1.78
2.74
3.00 1.30
1.54
3.01
3.02
1.62
1.88
1.51
2.75
3.03
1.55
6
1.89
1.89
3.00
3.27 1.37
1.61
3.36
1.91
2.00
1.59
3.00
7
2.11
2.02
3.61
4.01 1.58
1.68
4.02
2.00
2.27
1.68
2.01
8
2.50
2.25
5.00
4.94 1.65
1.81
2.12
2.37
1.83
3.00
9
3.01
2.26
5.19
5.01 1.71
2.01
2.32
2.36
1.91
3.07
10
3.88
3.01
2.00
2.87
2.42
2.46
1.99
11
4.02
3.89
3.00
3.01
2.52
2.74
2.66
12
5.02
4.03
3.38
2.67
3.01
2.98
13
5.42
4.76
Jumlah harmonik
5
4
3.27
3.00 5
5
3
3
4
3
3
1.61
3
3
3
3
3
32
2. Rekayasa “gamelan” elektronik
Gambar 6. Komponen “electone” gamelan
Gambar 7. Tampilan depan “electone” saron demung, ricik, dan peking 33
B.
Tahun kedua (2013)
Perubahan dari seri sebelumnya yaitu : Ditambahi dengan berbagai macam suara gamelan dari Guntur Madu antara lain : Bende, bonang, gong ageng, kempyang, kenong. Perbedaan dari seri sebelumnya adalah pembuatan alat didesain untuk menuju ke arah portable. Untk mencapai perubahan tersebut, maka diubahlah desain rangkaian, catu dayanya, dan kemasan sehingga didapatkan produk yang portabele. Adapun perubahan tersebut secara rinci ditunjukkan sebagai berikut : 1. Desain Rangkaian Pada bagian ini , rangkaian awal pada seri sebelumnya menggunakan mikrokontroler sebagai pengendali utama, kemudian suara dari saron demung, saron ricik, saron peking dijarikan dalam satu rangkaian. Pengubahan dimaksudkan untuk memisahkan tiap jenis perangkat gamelan memiliki satu kemasan sendiri yang dapat dimainkan. Dari maksud tersebut maka diperlukan desain rangkaian yang dapat berdiri sendiri mulai dari tombol, catu daya, IC perekam dan kemasan. Adapun desain rangkaian utama diambil dari data sheet aP8942A (www.aplus.com.tw pada dokumen aP8942A_spec_ver5_0_.pdf) ditunjukkan sebagai berikut :
Gambar 8. Rangkaian pemain suara menggunakan mode pemicu tombol “Key Trigger Mode”.
34
Rangkaian pada papan PCB yang dibuat ditunjukkan pada Gambar 9:
Gambar 9. perancangan rangkaian
2. Catu Daya Pada bagian ini, catu daya dirancang secara sedemikian rupa sehingga pernagkat dapat dibawa kemana-mana tanpa mengganukngkan seuber listeik yang berasal dari PLN. Dar maksud tersebut maka digubakanlah baterai Li-ion dengan kapasitas 3.7V DC yang dapat diisi ulang. Untuk memenuhi kebutuhan tegangan dari rangkaian sebelumnya, maka baterai tersebut disusun seri sehingga mendapatkan tegangan kerja 7,4V. dari tegangan tersebut dibutuhkanlah sebuah regulator tegangan yang digunakan untuk peregulasi tegangan mengjadi 5V DC dengan IC7805. Adapaun dari penggunaan baerai tesrsebut maka dibuatlah penghubung untuk menghubungkan baterai ke rangkaian adaptor DC pengisi energy baterai.
Gambar 10. Baterai dan pengisinya 35
3. Kemasan Pada bagian ini, kemasan disusun sedemikian rupa memiliki tombol yang disesuaikan dengan jenis perangkat gamelan. Dan memiliki densain mandiri dilengkapi dengan konektor DC sebagai sumber daya dan konektor audio untuk menyalurkan suara ke bagian penguat suara luar jika diinginkan. Kelengkapan klain yaitu sebuah lampu indicator menandakan beroperasinya perangkat dan sebuah saklar Hidup/mati untuk menghidupkan dan mematikan perangkat. Kemasan juga dilengkapi dengan label nama dan instrument perangkat.
Gambar 11. Kemasan tampilan luar
Bagian selanjutnya yaitu pengkondisan suara sehingga sumber suara bisa disimpan pada IC perekam. Sumber suara didapatkan dari gamelan asli yang direkan langsung menggunakan input microphone yang dihubungkan ke bagian sound card computer. Suara tersebut direkam menggunakan format wave dengan ekstensi *.wav dengan lebar data 32 bit dan frekuensi sampling rate 44,1 kHz. Untuk dapat di isikan ke IC perekam, mkaa format rekaman tersbut harus di ubah dengan format file *.wav atau *.voc dengan sampling rate 8 bit dan berkanal mono. Setelah mendapatkan file suara, maka dilaksanakanlah pengkondisian dnegan beberapa tahap proses untuk mendapatkan suara yang diinginkan .Proses pengeditan suara dilaksanakan menggunakan perangkat lunak pengedit suara. Adapun penjelasan secara rinci proses tersebut ditunjukkan sebagai berikut:
36
Suara yang didapatkan dari perekaman disimpann dalam fortmat *.wav dengan sampling rate 44100Hz. Dengan menggunakan IC perekam suara seri aP8942A, maka suara yang akan diprogramkan ke IC tersebut harus berformat *.wav kanal suara mono dengan lebar data bit. Untuk itulah diperlukan penyesuarian. Adapaun penyesuaian tersebut bisa dilakukan menggunakan perangkat lunak editing suara.
Gambar 12. Spektrum suara gamelan setelah perekaman
Langkah pertama kali yang dilakukan yaitu mengubah format file suara yang akan di programkan ke IC yaitu format *.wav dengan lebar data 8-bit dan jenis kanal mono. Hal tersebut dilakukan dengan cara menyimpan ulang format suara rekaman yang sudah ada ke format baru tersebut. Langkah berikutya yaitu menyesuaikan sample rate yang digunakan. Sample rate yang digunakan disini disesuaikan
rancangan. Adapun nilai samplerate yang digunakan
disesuaikan sesuai Table 3 :
37
Gambar 13. langkah penyimpanan dengan format mono 8 bit
Tabel 3. Nilai sampling frekuensi dan nilai resistor (Sumber aplusinc.com)
Adapun pada rangkaian sudah menggunakan resistor dengan nilai resistansi sebesar 183kHz. Dari nilai tersebut semenjak awal juga seudah ditantukan dengan nilai 11kHz. Cara pengubahan tersebut dilaksanakan
cara memilih menu effect dan sub menu 38
resample. Dari menu resample in dapat diisikan besar frekuensi sampling rate sebesar 11000Hz
Gambar 14. pengubahan sampling rate
Setelah itu dilaksanakan pengaturan frekuensi mana yang tidak boleh diperdengarkan dan yang boleh menggunakan equalizer sehingga suara yang bukan suara gamelan dapat diminimalisir. Operasi tersebut dinamakan filtering . Pengaturan tersebut dilakukan cara memilih menu filter dan sub menu equalizer. Dari menu tersebut dapat di atur sedemikian rupa sehingga suara yang dihasilkan terbebas dari frekuensi yang mengganggu.
39
Gambar 15. Pengaturan equalizer Langkah berikutnya adalah menghilangkan suara berisik yang menyebabkan kurang jernihnya suara gamelan. Hal tersebut dapat dilakukan memilih menu fileter, sub menu noise reduction pengaturan light hiss removal
Gambar 16. Penghilangan noise 40
Langkah berikutya yaitu menyeleksi bagian yang tidak perlu seperti pada suara diam yang panjang, awalan yang kurang responsive cara melakukan perintal delete pada suara yang direkam. Pengaturan diatur sedemikian rupa sehingga suara yang dihasilkan berupa nada 1 buah gamelan saja diserawi awalan yang langsung seperti suara ketukan tanpa jeda, sehingga bila ada suara awal sebelum gamelan, maka dilakukan penghapusan. Begitu juga pada saat suara setelah gamelan, jika terjadi diam yang panjang, maka akam menggunakan ruang memory yang seharusnya bisa untuk menyimpan suara nada lain yang akan diprogramkan. Sisa suara diam tersebut dapat dihapuskan dari rekaman.
Gambar 17. Penyeleksian suara Langkah terakhir yaitu menyesuaikan amplitude suara sehingga saat tiap intrumen dinyalakan memiliki bunyi suara yang se tingkat. Setingkat dalam ariti disini memiliki tingkat suara yangs ama sehingga satu instrument tidak keras dan yang lainnya pelan. Langkah tersebut dilakukan dengan cara memilih menu effect , volume, change volume.
41
Gambar 18. Penyesuaian volume
C.
Tahun ketiga (2014) Pada tahap ketiga (tahun 2014) dilaksanakan uji produk terhadap hasil penelitian tahap pertama dan kedua. Uji produk dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada siswa, guru seni dan master gamelan. Responden yang diminta untuk memberikan pendapat adalah delapan belas siswa, tiga guru seni dan seorang master gamelan. Siswa yang diminta pendapatnya adalah siswa SLTA.
1. Penilaian terhadap perngakat oleh Siswa Tabel 4 menunjukkan tingkat kelayakan perangkat menurut siswa. Tingkat kelayakan penggunaan perangkat adalah sangat layak meskipun perlu perbaikan untuk kesempurnaan perangkat. Suara keluaran perangkat merupakan unsur yang perlu diperhatikan untuk diperbaiki. Sebenarnya perangkat ini dirancang agar dapat pula digunakan dengan menggunakan pengeras suara agar suara yang dihasilkan lebih keras, dan dapat diatur. Pada bagian belakang perangkat tersedia konektor untuk masukan dari amplifier. Pada saat pengujian tidak disertai dengan penguat, oleh karena itu suara yang dihasilkan oleh perangkat terdengar lemah.
42
Tabel 4. Tingkat kelayakan perangkat gamelen portabel menurut siswa No
Tingkat kelayakan
Pernyataan
4
3
2
1
Skor total
Persentase (%)
1
Ukuran perangkat dapat dipegang dengan mudah
111111111111 11111
1
71
98
2
Perangkat ini dapat dibawa dengan mudah
111111111111 11111
1
71
98
3
Ukuran tombol perangkat ini mudah untuk ditekan
111111111111 11111
1
71
98
4
Suara keluaran perangkat ini jelas
111111111111 11
111 1
67
93
5
Perangkat ini 111111111111 mempermudah untuk 111111 belajar gamelan
72
100
6
Perangkat ini mudah digunakan
111111111111 111111
72
100
7
Peranngkat ini memberikan keinginan untuk belajar gamelan
111111111111 11111
71
98
495
98
1
Jumlah
Kelemahan ini dapat digunakan sebagai masukan untuk desain yang lebih besar dengan mengintegrasikan semua perangkat.
2. Penilaian terhadap perangkat oleh Guru Seni Musik Komponen yang dimintai penilaian dari guru seni musik ada lima unsur, yaitu efektivitas desain, kemudahan penggunaan, konsistensi, organisasi, dan kemanfaatan. Untuk mempermudah pembahasan, akan dilakukan pembahasan setiap komponen. Tabel 5 menunjukkan hasil penilaian guru seni musik dari komponen efektivitas desain. Secara umum mereka memberikan penilaian 88% yang dikategorikan sangat baik. Unsur yang perlu mendapat perhatian adalah
43
Tabel 5. Penilaian Efektivitas Desain terhadap perangkat oleh Guru Seni Musik
No
Tingkat kelayakan
Pernyataan
4
a.
Ukuran kotak dapat dipegang dengan mudah
11
b.
Ukuran tombol mudah untuk ditekan
111
c.
Suara keluaran jelas
1
d.
Perangkat mempermudah untuk belajar gamelan
111
e.
Tampilan keseluruhan
3
2
1
1
1
1
111
Total
Skor total
Persentase (%)
11
91
12
100
9
75
12
100
9
75
53
88
tampilan secara keseluruhan, semua guru memandang baik. Meskipun baik, berarti masih perlu dilakukan perbaikan apabila akan didesain yang lebih kompak. Seperti halnya dengan penilaian siswa, guru juga memandang bahwa volume suara yang dikeluarkan oleh perangkat perlu diperbaiki. Penilaian terhadap kemudahan penggunaan ditunjukkan pada Tabel 6. Semua guru menilai bahwa perangkat yang dibuat sangat mudah untuk dibawa dan digunakan. Dengan penilaian ini maka tujuan pembuatan perangkat gamelan elektronik yang dapat dan mudah dibawa dan digunakan dapat dicapai. Hal ini ditunjang dengan ukuran yang kecil dan bobot yang ringan. Tabel 6. Penilaian Kemudahan Penggunaan terhadap perangkat oleh Guru Seni Musik
No
Tingkat kelayakan
Pernyataan
4
3
2
1
Skor total
Persentase (%)
a.
Perangkat dapat dibawa dengan mudah
111
12
100
b.
Perangkat mudah digunakan
111
12
100
24
100
Total
44
Tabel 7. Penilaian Konsistensi terhadap perangkat oleh Guru Seni Musik
No
Tingkat kelayakan
Pernyataan
4
3
2
1
Skor total
Persentase (%)
a.
Kesesuaian tombol dengan bunyi yang dikeluarkan
11
1
11
91
b.
Konsistensi tinggi tombol
11
1
11
91
c.
Konsistensi warna tombol
111
12
100
34
94
Total
Penggunaan tombol menjadi perhatian pada pembuatan perangkat gamelan elektronik ini.
Tombol yang digunakan diharapkan tidak menimbulkkan
kebingungan bagi pengguna. Guru menilai bahwa tombol yang digunakan sudah konsisten warnanya (Tabel 7). Keterkaitan kesesuaian tombol dengan bunyi yang dikeluarkan dan tinggi tombol perlu perhatian meskipun mereka menilai sudah baik. Penilaian guru tentang susunan tombol perlu mendapat perhatian (Tabel 8), karena penilaian mereka tersebar dari cukup, baik, dan sangat baik. Apabila diperhaikan dengan saran yang mereka ajukan, tombol yang ditampilkan diharapkan berbentuk seperti wilahan pada gamelan. Untuk melakukan saran ini perlu didesain penopang dan bentuk tombol yang berbeda. Saran ini perlu diperhatikan untuk desain yang lebih kompak dan mendekati keadaan yang sebenarnya meskipun lebih kompleks. Begitu juga dengan tombol yang ditampilkan perlu disesuaikan agar lebih menarik perhatian penngguna. Perlu diketahui bahwa tujuan utama pembuatan gamelan portable ini untuk lebih manarik peserta didik bermain gamelan. Dengan demikian masalah desain dan tata letak memerlukan desain tersendiri, tidak sekedar dapat mengeluarkan suara yang mirip dengan gamelan. Keadaan ini memicu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memusatkan perhatian pada desain yang dapat saja bervariasi agar lebih menarik para siswa untuk berlatih bermain gemelan yang portable.
45
Tabel 8. Penilaian Organisasi terhadap perangkat oleh Guru Seni Musik
No
Tingkat kelayakan
Pernyataan
4
3
a.
Susunan tombol bersesuaian dengan wilahan
1
1
b.
Tombol-tombol menarik perhatian
1
11
2
1
1
Total
Skor total
Persentase (%)
9
75
10
83
19
95
Semua guru yang diminta untuk memberikan penilaian terhadap perangkat gamelan elektronik ini memberikan penilaian bahwa perangkat ini sangat bermanfaat. Hal ini terungkap pada Tabel 9. Kebermanfaatan ini berkaitan dengan: mempermudah siswa dalam belajar gamelan, pembelajaran dapat dilakukan dengan bermain, mendorong motivasi anak untuk belajar gamelan, dan harga perangkat yang dapat dijangkau.
Tabel 9. Penilaian Kemanfaatan terhadap perangkat oleh Guru Seni Musik
No
Tingkat kelayakan
Pernyataan
4
3
2
1
Skor total
Persentase (%)
a.
Perangkat mempermudah 111 siswa dalam belajar gamelan
12
100
b.
Pembelajaran gamelan dapat dilakukan dengan bermain
111
12
100
c.
Perangkat dapat mendorong motivasi anak untuk belajar gamelan
111
12
100
d.
Harga perangkat dapat dijangkau oleh semua kalangan
111
12
100
48
100
Total
46
3. Penilaian terhadap perangkat oleh Master Gamelan
Indikator kelayakan yang dimintai penilaian dari master gamelan sama dengan yang dimintakan kepada guru, ada lima komponen, yaitu efektivitas desain, kemudahan penggunaan, konsistensi, organisasi, dan kemanfaatan. Pada uji kelayakan ini, master gamelan yang dimintai penilaian terhadap perangkat gamelan elektronik adalah satu orang. Tabel 10 hingga Tabel 14 menampilkan hasil penilaian untuk masing masing dari lima komponen.
Tabel 10. Penilaian Efektivitas Desain terhadap perangkat oleh Master Gamelan
No
Tingkat kelayakan
Pernyataan
4
a.
Ukuran kotak dapat dipegang dengan mudah
b.
Ukuran tombol mudah untuk ditekan
c.
Suara keluaran jelas
d.
Perangkat mempermudah untuk belajar gamelan
e.
Tampilan keseluruhan
3
2
1
1 1 1 1 1
Total
Skor total
Persentase (%)
3
75
4
100
3
75
4
100
3
75
17
85
Tabel 11. Penilaian Kemudahan Penggunaan terhadap perangkat oleh Master Gamelan
No
Tingkat kelayakan
Pernyataan
4
3
2
1
Skor total
Persentase (%)
a.
Perangkat dapat dibawa dengan mudah
1
4
100
b.
Perangkat mudah digunakan
1
4
100
8
100
Total
47
Tabel 12. Penilaian Konsistensi terhadap perangkat oleh Master Gamelan
No
Tingkat kelayakan
Pernyataan
a.
Kesesuaian tombol dengan bunyi yang dikeluarkan
b.
Konsistensi tinggi tombol
c.
Konsistensi warna tombol
4
3
2
1
1
1 1 Total
Skor total
Persentase (%)
2
50
4
100
3
75
9
75
Hasil penilaian yang diberikan oleh master gamelan ada sedikit perbedaan dengan penilaian yang diberikan oleh guru musik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 19. Secara umum penilaian yang diberikan oleh guru musik lebih tinggi dibandingkan dengan master gamelan. Perbedaan yang begitu tampak untuk komponen konsistensi dan organisasi. Guru seni musik menilai lebih tinggi untuk kedua komponen tersebut dibandingkan penilaian yang dilakukan oeh master gamelan. Kemudahan penggunaan dan dan kemanfaatan perangkat memenuhi tingkat kelayakan yang memadai. Komponen yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut terutama efektivitas desain, disamping konsistensi dan organisasi.
Tabel 13. Penilaian Organisasi Penggunaan terhadap perangkat oleh Master Gamelan
No
Tingkat kelayakan
Pernyataan
4
3
2
1
Skor total
Persentase (%)
a.
Susunan tombol bersesuaian dengan wilahan
1
3
75
b.
Tombol-tombol menarik perhatian
1
3
75
6
75
Total
48
Tabel 14. Penilaian Kemanfaatan terhadap perangkat oleh Master Gamelan
No
Tingkat kelayakan
Pernyataan
4
3
2
1
Skor total
Persentase (%)
a.
Perangkat mempermudah 1 siswa dalam belajar gamelan
4
100
b.
Pembelajaran gamelan dapat dilakukan dengan bermain
1
4
100
c.
Perangkat dapat mendorong motivasi anak untuk belajar gamelan
1
4
100
d.
Harga perangkat dapat dijangkau oleh semua kalangan
3
75
15
93
Total
1
Gambar 19. Hasil penilaian oleh guru seni musik dan master gamelan terhadap perangkat gamelan elektronik portabel
49
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
D. Kesimpulan Hasil tahun pertama telah diajukan untuk memperoleh paten. Hasil pada tahun kedua merupakan perluasan dan perbaikan dari hasil tahun pertama. Perluasan dilakukan dengan keluaran berupa bunyi dari instrumen bonang, kenong, dan gong, Perbedaan dari seri sebelumnya adalah pembuatan alat didesain untuk menuju ke arah portable. Untuk mencapai perubahan tersebut, maka diubahlah desain rangkaian, catu dayanya, dan kemasan sehingga didapatkan produk yang portable. Pada tahun ketiga, dilakukan uji kelayakan produk. Dari uji kelayakan yang melibatkan siswa sebagai calon pengguna, guru dan master gamelan dinyatakan bahwa produk gamelan portable ini layak untuk digunakan. E. Saran Saran pada penelitian ini diambil dari saran para guru untuk penyempurnaan produk yaitu: 1. Bila memungkinkan akan lebih baik bila kotak dibentuk/dimodifikasi menyerupai gamelan (walaupun sudah diberi nama) 2. Perlu ditambah baterai cadangan yang lebih tahan lama, mungkin jenis litium/alkaline karena cepat sekali habis/drop 3. Kuat lemahnya suara (audio) kalau bias menyesuaikan besar kecilnya wilahan gamelan. Missal suara peking lebih tinggi dari saron 4. Untuk pengembangan selanjutnya akan lebih baik dikembangkan juga jenis perangkat portable gamelan yang lainnya sehingga terbentuk 1 (satu) pangkon gamelan portable yang bias memainkan gendhing-gendhing karawitan tetapi dengan portable gamelan” pasti akan terlahir karya fenomenal orchestra gamelan portable.
50
DAFTAR PUSTAKA Derenzo, S.E., (2002). Interfacing, Laboratory Approach Using the Microcomputer for Instrumentation, data Analysis, and Control; Prentice-Hall International Inc. Englewood Cliffs. Miller, Christopher J. (2005). "Orchids (and Other Difficult Flowers) Revisited: A Reflection on Composing for Gamelan in North America." Worlds of Music 47(3):81-112 HaskellWiki. http://www.haskell.org/haskellwiki/Definition (18 August 2007) J.H. Kwabena Nketia. 1982. “Developing Contemporary Idioms out of Traditional Music”. Studia Musicologica Academiae Scientiarum Hungaricae, T.24, Supplementum: Report of the Musicological Congress of the International Music Council: 81-97. New Adventures in Sound Art, http://www.naisa.ca, for information on the Sound Travels Emerging Artist Residency and the Sound Travels Festival of Sound Art. Remus, Bill. "Notes On Playing Gamelan Bali: Gong Kebyar Style". April 5, 1996. http://remus.shidler.hawaii.edu/gamelan/balinota.htm (1 August 2007) Sarah Weiss (2009). Gamelan of Central Java II: Ceremonial Music, and: Gamelan of Central Java IV: Spiritual Music (review)Asian Music - Volume 40, Number 1, Winter/Spring 2009, pp. 157-161 Sadaoki Furui.,(1989), Digital Speech Processing Synthesis and Recognition. AddisonWesley Publishing Company. Shannon, C. E. Dan Weaver, W.,(1949), The Mathematical Theory of Communication, University of Illinois Press. Suyadi., (2002). Kreativitas dalam Seni Karawitan, Makalah Program Pasca Sarjana Institut seni Indonesia Yogyakarta. Soedarso Sp., (2000). Revitalisasi seni Rakyat dan Usaha memasukkannya ke dalam seni Rupa kontenporer Indonesia, Makalah Program Pasca Sarjana Institut seni Indonesia Yogyakarta. Son Kuswadi., 2000, Kendali Cerdas. EEPIS Press, Surabaya. Indonesia. Supanggah, 2002. Sekar Macapat, CV. Mahenoko, Yogyakarta. Southworth, Christine N."Statistical Analysis of Tunings and Acoustical Beating Rates in Balinese Gamelans". June, 2001. www.kotekan.com/thesis.html . (12 June 2007) Sri Widodo, Sugino, 1996, Ketrampilan Karawitan, CV. Cendrawasih, Surakarta. Turner, J.D., 1988, Instrumentation For Engineers, Macmillan Education LTD., London. Tenzer, Michael. (2003). "Jose Maceda and the Paradoxes of Modern Composition in Southeast Asia." Ethnomusicology 47(1):93-120 51
Wasisto Surjodiningrat, P.J. Sudarjana, Adhi Susanto, (1969) Penyelidikan Dalam Pengukuran Nada Gamelan-gamelan Jawa Terkemuka di Yogyakarta dan Surakarta, Laboratorium Akustik Bagian Mesin FT UGM, Yogyakarta THE AUDIOBOXTM sound diffusion system, http://www.richmondsounddesign.com Canadian Electroacoustic Community, http://cec.concordia.ca.ca, for information on membership, publications and projects. Southworth, Christine N."Statistical Analysis of Tunings and Acoustical Beating Rates in Balinese Gamelans". June, 2001. www.kotekan.com/thesis.html . (12 June 2007) Traux, Barry. Acoustic Communication, 2nd. ed. Ablex Publishing, 88 Post Road West, Westport, CT 06881. 2001. http://www.sfu.ca/~truax/ac.html Wishart, Trevor. Audible Design: A Plain and Easy Introduction to Practical Sound Design. York: Orpheus and Pantomime Ltd. 1994. Wishart, Trevor. On Sonic Art--New and Rev. ed. -- (Contemporary music studies; V. 12). Overseas Publishers Association, Emmaplein 5, 1075 AW Amsterdam, The Netherlands. 1996. Tenzer, Michael. (2003). "Jose Maceda and the Paradoxes of Modern Composition in Southeast Asia." Ethnomusicology 47(1):93-120
52
Lampiran 1
Proses pembuatan perangkat keras
Pada proses pembuatan perangkat keras ini, ditujukan untuk membuat bagian-bagian pendukung instrument. Bagian ini terdiri dari bagian elektronika dan bagian kemasan. Pada bagian elektronika, terdapat proses perancangan rangkaian dan pembuatanya. Pada proses pembuatan bagian litrik tentunya tidak lepasd air bagian pembuatan PCB adapun dalam proses pembuatan PCB dilaksanakan beberapa langkah sebagia berikut :
Mempersiapkan bahan berupa PCB polos, amplas dan pola yang telah digandakan pada kertas transparansi
Gambar persiapan sebelum mennyablon PCB sebelum dilaksanakan proses sablon, dilaksanakan proses pembersihan terlebih dahulu
53
gambar proses pembersihan PCB dnegan amplas ukuran halus
Proses selanjutnya yaitu menyablon pola PCB ke PCB polos dnegan cara memanasi transparansi yang telah berisi pola ke permukaan tembaga PCB polos untuk beberapa saat
Gambar : Proses mmenyablon PCB
54
Setelah itu dilaksanakan pproses penebalan hasil penyablonan, sehingga didapatkan pola yang kuat dan tidak mudah luntur ketika dilaksanakan proses pencelupan
Gambar proses penebalan hasil sablon
Pada proses selanjutny aadalan proses pencelupan PCB yang terdapat pola ke larutan Feriklorit yang akan menghapuskan bagian tembaga yang tidak terkena pola.
55
Gambar proses pencelupan
Pada langkah berikutnya yaitu membersihkan dan dilaksanakan proses pemotongan PCB tiap bagian.
56
Gambar pemotongan PCB dan hasilnya
Setelah itu dilaksanakan proses pengeboran pada lubang kaki komponen
Gambar pengeboran kakli komponen
Setelah itu dilaksanakan proses pemasangan komponen pada PCB
57
Kemudian dilanjutkan dengan proses penyolderan
Setelah proses penyolderan, maka rangkaian elektrik instrument akan terakit dan ditunjukkan pada gambar sebagai berikut :
58
Pada tahap tersebut telah dapat digunakan untuk menguji apakah rangkaian yang terakit sudah sesuai dan bekerja ataubelum dnegan car amemasang IC perekam dan mengujinya menyalakan nada dari instrument tersebut. Setelah menyelesaikan pembuatan bagian elektronika, maka dilanjutkan pembuatan kemasa. Adapun dalam pebuatan kemasan terdapat beberapa langkah perancangan yang ditunjukkan sebagai berikut :
Kemasan tersebut merupakan sebuah box plastic dengan ukuran panjang 12 cm, lebar 6 cm dan tinggi 4 cm.
59
kemasan tersebut kemudian di rancnag sedemikian rupa sehingga memuat beberapa anntarmuka tombol dan konektor. Adapun tombol tang digunakan untuk memicu timbulnya nada tergantung dari jenis gamelan, tombol untuk menghidupkan dna mematikan, indicator instrument menyala, konektor pengisi daya baterai, dan konektor untuk menyambungkan instrument ke bagian pengeras suara. Adapun desain dari rangcangan kemasan ditunjukkan sebagai berikut :
60
Gambar rancangan lubang pada box
Sedain tersebut kemudian di cetak dan kemudian di temple pada box dan dilaksanakan proses melubangi menggunakan bor.
61
Gambar proses pengeboran kemasan
Hasil setelah proses pelubangan ditunjukkan sebagai berikut :
Gambar pengemasan setelah proses pengeboran 62
Setelah itu dilaksanakan proses pemasangan komponen dan perakitan. Adapun tampilan alat setelah dilaksanakan proses pemasangan instrument ditunjukkan sebagai berikut :
Gambar kemasan setelah dirangkai dengan tombol dan konektor
63
64
65
66
67
mixer
68
Makalah pada Seminar Nasional FMIPA UNY, 2 Juni 2012
PEMANFAATAN SONOGRAM UNTUK MENGIDENTIFIKASI GONG AGENG DARI GAMELAN DI KERATON NGAYOGYAKARTA Heru Kuswanto Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta, Jl. Colombo 1, Yogyakarta 55282, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Bunyi yang dihasilkan oleh suatu alat musik umumnya ditampilkan dalam domain waktu yang berupa bentuk gelombang (waveform). Tampilan ini menggambarkan evolusi intensitas bunyi terhadap waktu. Dari bentuk gelombang ini dapat dianalisis waktu yang diperlukan untuk attack, decay, sustain, dan release. Untuk memperoleh informasi tentang frekuensi, bentuk gelombang dalam domain waktu ditransformasi ke dalam domain frekuensi melalui FFT, hasilnya berupa spektrum. Sonogram menggabungkan evolusi intensitas suara dari kedua domain, waktu dan frekuensi. Pada makalah ini akan dikaji pemanfaatan sonogram sebagai pengidentifikasi “finger print” gong
ageng
dari
beberapa
gamelan
yang
dimiliki
oleh
Keraton
Ngayogyakarta.. Perekaman bunyi gong dilakukan dengan menempatkan mikrofon di dekat gong. Mikrofon dihubungkan dengan komputer yang sudah diinstal program pengolah suara. Penabuh gong adalah abdi dalem keraton yang mendapat tugas sebagai penabuh gamelan. Bunyi yang dihasilkan direkam dan disimpan dalam computer, dan selanjutnya dianallisis. Hasil analsisi menunjukkan adanya pola-pola yang sedikit berbeda, antar gong ageng. Kata kunci: sonogram, gamelan, gong ageng
Pendahuluan 69
Pada makalah ini akan dibahas sonogram atau sering disebut pula spectrogram untuk menganalisis bunyi yang dihasilkan oleh alat musik. Metode ini akan digunakan untuk menganalisis bunyi yang dihasilkan oleg Gong Ageng dari gamalen-gamelan
yang
dimiliki oleh Keraton
Ngayogyakarta. Bagi yang berkecimpung di bidang spektroskopi bukanlah metode baru, akan tetapi penerapannya untuk menganalisis suara yang ditimbulkan instrument gamelan belum pernah ada yang melakukan. Kajian frekuensi yang dihasilkan oleh instrument gamelan pertama kali dilakukan
oleh
Kundst
dengan
menggunakan
monokord
yang
mengandalkan kemampuan telinga. Kajian sistematis dilakukan oleh Wasisto (1969) dengan CRO (cathode ray oscilloscope) terhadap sejumlah gamelan yang terkenal di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Kajian oleh Wasisto menghasilkan frekuensi utama dari setiap wilahan (kunci, key) instrument gamelan. Kajian warna bunyi (timbre) dilakukan oleh Sethares (2005) untuk dua gamelan. Kuswanto (2011, 2012a, 2012b) melakukan kajian untuk timbre pada saron dari gamelan Keraton Ngayogyakarta. Pada kajian timbre, cukup memanfaatkan spektrum pada ranah frekuensi,
sebagai
transformasi
Fourier
bentuk
gelombang,
ditampilkan dalam ranah waktu. Analisis Fourier tidak menampilkan perubahan
yang
mampu
konten frekuensi dari suara. Sonogram
menampilkan frekuensi dan amplitude setiap frekuensi sebagai fungsi waktu, dengan demikian evolusi intensitas setiap frekuensi dapat diikuti. Alm dan Walker (2002) telah memanfaatkan sonogram untuk menganalisis suara yang dihasilkan oleh piano dan terompet.
Metode Data suara dari instrumen gamelan direkam, dengan bantuan mikropon, pada komputer yang sudah diinstal pengolah suara. Mikropon diletakkan di dekat instrumen. Pemukul instrument adalah seorang empu penabuh gamelan yang ditunjuk oleh Penghageng Kawedanan. Perekaman dilakukan di Keraton Ngayogyakarta. Data disimpan dengan ekstension .wav. Analisis dilakukan dengan menggunakan pengolah bunyi yang ada di dalam komputer.
70
Hasil dan Pembahasan Gambar 1, 2, dan 3 berturut-turut merupakan spectrogram dari Gong Ageng pada gamelan KK Sirat Madu, KK Carabalen dan KK Gunturmadu. Spektrogam ini menggambarkan evolusi intensitas bunyi dari frekuensi yang dihasilkan oleh ketiga Gong Ageng. Intensitas gong dibedakan dengan warna yang berbeda. Kaitan warna dan intensitas ditunjukkan pada label yang ada di bawah Gambar 1. Warna merah (gelap, pada tampilan hitam putih) menunjukkan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan warna hijau dan seterusnya sampai warna biru (terang, pada tampilan hitam putih).
Gambar 1 Sonogram Gong Ageng KK Sirat Madu
Gambar 2 Sonogram Gong Ageng KK Carabalen
71
Gambar 3 Sonogram Gong Ageng KK Gunturamadu Gong Ageng dari KK Sirat madu menampilkan tiga frekuensi yang berwarna merah yang diikuti tujuh frekuensi lain dengan intensitas yang lebih rendah. Frekuensi pada sekitar 45 Hz memiliki intensitas kuat yang lebih lama dibandingkan dengan frekuensi lain. Apabila ditampilkan pada spektrum, frekuensi ini merupakan frekkuensi fundamental. Kedua frekuensi lain intensitasnya menurun lebih cepat dibandingkan dengan frekuensi fundamental. Sonogram dari Gong Ageng gamelan KK Carabalen memiliki jumlah frekuensi yang lebih sedikit dibandingkan dengan dari KK Sirat Madu. Dua frekuensi yang intensitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan enam frekuensi lain. Frekuensi yang memiliki waktu lebih lama berada pada frekuensi sekitar 90 Hz. Frekuensi ini bukan merupakan merupakan frekuensi fundamental, tetapi merupakan harmonic kedua. Sebaliknya frekuensi fundamental yang berada di sekitar 45 Hz, seperti pada gamelan KK Sirat madu. Akan tetapi intensitas frekuensi fundamental lebih cepat habis, daripada harmonik pertama. Frekuensi bunyi yang dikeluarkan oleh Gong Ageng KK Gunturmadu lebih banyak dibandingkan dengan kedua Gong Ageng sebelumnya, yaitu sebanyak 13 frekuensi. Intensitas frekuensi fundamental terlihat lebih tegas dibandingakan dengan frekuensi yang lain. Frekuensi fundamental Gong Ageng KK Guntur madu lebih rendah dibandingkan dengan kedua gong ageng sebelumnya, akan tetapi intensitasnya berlangsung lebih lama. Hasil rekaman sonogram dari ketiga Gong Ageng memberikan pola yang berbeda, yang menunjukkan kandungan frekuensi (timbre) yang berbeda. Keadaan ini wajar, oleh karena penalaan tidak dilakukan dengan 72
menggunakan frekuensi baku. Penalaan dilakukan dengan menggunakan psychoacoustic dari para empu gamelan. Dengan bantuan perlatan dan rekaman ini dapat dimugkinkan adanya penalaan yang didasarkan pada gamelan tertentu. Hasil ini juga merupakan semacam “finger print” dari ketiga Gong Ageng.
Kesimpulan Sonogram dari Gong Ageng yang bersal dari gamelan KK Sirat Madu, KK Carabalen, dan KK Guntur Madu menunjukkan kandungan frekuensi dan intensitasnya yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan penalaan gamelan tidak dilakukan dengan menggunakan frekuensi tertentu. Hasil sonogram dapat dijadikan sebagai acuan untuk penalaan Gong Ageng lain apabila diinginkan Gong Ageng tersebut memiliki karakter yang disesuaikan dengan ketiga gamelan.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Panghageng Kawedanan Hageng Kridhamardawa Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat cq GBPH Yudaningrat yang telah mengijinkan peneliti untuk merekam gamelan yang dimiliki oleh Kraton. Terima kasih disampaikan pula kepada Sumarna, Agus Purwanto, dan Budi Cipto H, yang banyak memberikan sumbangan tenaga dan teknis perekaman.
Daftar Pustaka Alm, J.F., Walker, J.S., 2002. Time-Frequency Analysis of Musical Instruments. SIAM REVIEW, Society for Industrial and Applied Mathematics. Vol. 44, No. 3, pp. 457–476 Berg, R.E. and D.G. Stork, 2005. The Physics of Sound. 3rd ed.., New Jersey. Prentice Hall Fletcher, N. H. 1999 The nonlinear physics of musical instruments. Rep. Prog. Phys. 62 pp.723–764. Gilbert, P.U.P.A., Haeberli, W. 2008. Physics in the Arts. Amsterdam : Elsevier Guangming Li. 2006. The Effect of Inharmonic Spectra in Javanese Gamalen Tuning (I): A Theory of the Slendro, Proceedings of the 7th WSEAS international conference on Acoustic & Music: Theory and Applications, Cavtat, Croatia, June 13-15, (pp 65-71) 73
Gunther L. 2012. The Physics of Music and Color. New York: Springer Heru K, 2011. Comparison Study of Saron Ricik Instruments’ Sound Color (Timbre) on the Gamelans of Nagawilaga and Gunturmadu from Karaton Ngayogyakarta International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 04 Howard, D.M., Angus, J.A.S. 2009. Acoustics and Psychoacoustics 4 th edition. Amsterdam: Elsevier Merthayasa I.G.N. and Pratomo B. 2008 The Temporal and Spectral characteristics of Gamelan Sunda Music. Proceeding Acoustics 08, Paris, June 28-July 4. Ridzuwary, M., Zainal M., Samad, S. A., Hussain, A., Azhari, C.H.2009. Pitch and timbre determination of the angklung. American Journal of Applied Sciences, January Sethares, W.A., 2005.Tuning, Timbre, Spectrum, Scale.2 ed . London: Springer. Spiller, H., 2004 Gamelan: The Traditional sounds of Indonesia, Santa Barbara: ABC-CLIO, Inc, Sumarsam. 1980. “The Musical Practice of the Gamelan Sekaten.” Asian Music12 (2): 54–73. Suprapto, Y.K., Hariadi, M., and Purnomo, H. M., 2011.Traditional Music Sound Extraction Based on Spectral Density Model using Adaptive Cross-correlation for Automatic Transcription. IAENG International Journal of Computer Science, 38:2, IJCS_38_2_01 Wasisto S., P.J. Sudarjana, Adhi S., 1993. Tone Measurements Of Outstanding Javanese Gamelan In Yogyakarta And Surakarta, Gadjah Mada University Press, Translated from. Penjelidikan dalam Pengukuran Nada Gamelan-gamelan Jawa Terkemuka di Jogjakarta dan Surakarta. Yogyakarta: Laboratorium Akustik, Bagian Teknik Mesin, Fakultas Teknik, UGM, 1969.
74
Lampiran. Instrumen uji kelayakan
Instrumen Penelitian
INSTRUMEN PENGGUNAAN GAMELAN PORTABEL (OLEH SISWA) (wawancara) Berilah tanda cek (√) pada kolom yang tersedian sesuai dengan jawaban siswa terhadap pernyataan tentang gamelan portabal. Sebelum dan sesudahnya dihaturkan terima kasih. Keterangan: 4 = sangat setuju; 3 = setuju; 2 = kurang setuju; 1 = tidak setuju Nama responden
:
Kelas
:
Nama sekolah
:
No
Pernyataan
1
Ukuran perangkat dapat dipegang dengan mudah
2
Perangkat ini dapat dibawa dengan mudah
3
Ukuran tombol perangkat ini mudah untuk ditekan
4
Suara keluaran perangkat ini jelas
5
Perangkat ini mempermudah untuk belajar gamelan
6
Perangkat ini mudah digunakan
7
Peranngkat ini memberikan keinginan untuk belajar gamelan
Skor 4
3
2
1
75
Instrumen Penelitian
INSTRUMEN PENGGUNAAN GAMELAN PORTABEL (OLEH GURU/ MASTER GAMELAN)
Berilah tanda cek (√) pada kolom yang tersedian sesuai dengan dengan pendapat Bapak/Ibu/Saudara terhadap setiap pernyataan tentang gamelan portabal. Sebelum dan sesudahnya dihaturkan terima kasih. Keterangan: 4 = sangat layak; 3 = layak; 2 = cukup layak; 1 = kurang layak Nama responden
:
Jabatan
:
No
Guru/Master Gamelan
Pernyataan
Tingkat kelayakan 4
3
2
1
1. Efektivitas Desain a.
Ukuran kotak dapat dipegang dengan mudah
b.
Ukuran tombol mudah untuk ditekan
c.
Suara keluaran jelas
d.
Perangkat mempermudah untuk belajar gamelan
e.
Tampilan keseluruhan 2. Kemudahan Pennggunaan
a.
Perangkat dapat dibawa dengan mudah
b.
Perangkat mudah digunakan 3. Konsistensi
a.
Kesesuaian tombol dengan bunyi yang dikeluarkan
b.
Konsistensi tinggi tombol
c.
Konsistensi warna tombol 4. Organisasi
a.
Susunan tombol bersesuaian dengan wilahan
b.
Tombol-tombol menarik perhatian
76
5. Kemanfaatan a.
Perangkat mempermudah siswa dalam belajar gamelan
b.
Pembelajaran gamelan dapat dilakukan dengan bermain
c.
Perangkat dapat mendorong motivasi anak untuk belajar gamelan
d.
Harga perangkat dapat dijangkau oleh semua kalangan
SARAN PERBAIKAN Bagian yang perlu No. diperbaiki 1. 2. 3. 4.
Saran Perbaikan
Dari hasil validasi dapat disimpulkan bahwa: (beri lingkaran pada nomor yang sesuai) 1. Tidak layak untuk dikembangkan 2. Layak dengan perbaikan sesuai dengan saran 3. Layak dan dapat disebarluaskan …………………………………………., 2014 Validator
………………………………………………………………………
77
Lampiran Hasil penilaian guru