Laporan Akhir KONDISI DAN KAJIAN KORIDOR TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH SUAKA MARGASATWA BUKIT RIMBANG BUKIT BALING
Kerjasama Yayasan Alam Sumatera Dengan Yayasan WWF Indonesia Pekanbaru 2004 – 2005
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum wr wb, Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat dan karunia-Nya sehingga acara dan laporan konsultasi ini bisa terlaksana dan di dengan sukses tertim ini mampu melakukan pengumpulan data lapangan, survey dan investigasi di lapangan hingga pembuatan laporan. Laporan ini terdiri dari empat bagian, bagian pertama pendahuluan, bagian kedua merupakan gambaran umum koridor Taman Nasional Bukit TigapuluhSuaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling (TNBT-SM BRBB), bagian ketiga analisa dan pembahasan dan bagian keempat merupakan rekomendasi dan usulan terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Provinsi serta kemungkinan untuk dilakukan kegiatan lanjutan. Laporan ini didahului dengan deskripsi secara khusus kondisi kawasan serta pandangan masyarakat terhadap koridor dan perusahaan. Kami menyadari betul banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini karena waktu survey dan investigasi singkat, dan analisa terbatas. Untuk itu kami mohon masukan dan kritikan yang konstruktif agar laporan ini mendekati sempurna. Pada akhir kata kami mengucapkan terimakasih banyak kepada Yayasan WWF Indonesia yang telah memberi kepercayaan Yayasan Alam Sumatera melakukan kegiatan ini, kepada para informan kami di desa, nara sumber di kabupaten dan di Provinsi. Kepada tim penyusun: Mardianto Manan, Suhelmi, Nemora, Lanang, Emi Andriati, dan Jonni Ro Ganda. Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi para pemangku kepentingan di kawasan koridor TNBT-SM BRBB, terutama bagi pembuat kebijakan di kabupaten Kuansing, Inhu dan Pemerintah Provinsi Riau, para aktivis Lingkungan Hidup di Riau yang berupaya mempertahankan tutupan hutan di koridor ini serta masyarakat di sekitarnya.
Wassalam, Pekanbaru, Maret 2005
Mangara Silalahi Ketua Tim Penyusun i
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................................................................ i Daftar Isi ...................................................................................................................... ii Daftar Tabel ................................................................................................................. iii Daftar Grafik ............................................................................................................... iv Daftar Gambar ............................................................................................................ v Daftar Lampiran ......................................................................................................... vi BAB I
Pendahuluan ................................................................................................ 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1.2. Tujuan dan Manfaat .............................................................................. 1.3. Lingkup Kajian dan Waktu Kegiatan ................................................... 1.4. Metodologi ............................................................................................
1 1 3 3 4
BAB II Potret Hutan Riau dan Koridor TNBT- Rimbang Baling ....................... o Laju Deforestasi Hutan Riau dan Dampaknya ...................................... o Gambaran Umum Rencana Koridor TNBT-SM Bukit Rimbang Bukit Baling..................................................................................................... 2.1. Kondisi dan pandangan masyarakat terhadap Hutan Lindung ............. 2.1.1. Sikap Masyarakat Terhadap Hutan Lindung ............................. 2.1.2. Kekayaan Alam dan Biologi di Koridor ................................... 2.2. Kondisi Kawasan PT. IFA .................................................................... 2.2.1. PT. Artelindo Wiratama (PT. AW) ............................................ 2.2.2. PT. Bukit Batabuh Sei Indah (BBSI) ......................................... 2.2.3. PT. Citra Sumber Sejahtera (PT. CSS) ..................................... 2.2.4. PT. Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) .................................. 2.2.5. PTPN V Bermitra dengan KUD Cipta Bina Karya ................... 2.2.6. PT. Tri Bhakti Sarimas .............................................................. 2.3. Pandangan dan Sikap Masyarakat Terhadap Perusahaan ..................... 2.4. Konflik Satwa Akibat Kehadiran Perusahaan ......................................
6 6
BAB III Analisa dan Pembahasan ............................................................................ 3.1. Analisis Proses Perijinan IUPHHKHT (PT. AW, PT. BBSI, dan PT. CSS) pada kawasan PT. IFA ................................................................ 3.2. Analisis Fisik dan Biologi .................................................................... 3.3. Analisa Sosial Ekonomi dan Budaya .............................................................
8 8 12 14 15 21 22 23 24 25 27 30 33 35 35 39 42
BAB IV Rekomendasi dan Usulan............................................................................. 45
ii
Daftar Tabel
Tabel 1. Oknum yang Membacking Penebangan Liar di kawasan Koridor................
9
Tabel 2. Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan Lindung ............................................ 11 Tabel 3. Manfaat Hutan Lindung ............................................................................... 11 Tabel 4. Perlukah Hutan Lindung Diselamatkan? ...................................................... 13 Tabel 5. Saran Masyarakat untuk Hutan Lindung ...................................................... 13 Tabel 6. Pemanfaatan Sumberdaya di Hutan Lindung ............................................... 14 Tabel 7. Kategori Pendapat Masyarakat Terhadap Kehadiran Perusahaan ................ 31
iii
Daftar Grafik
Grafik 1. Kondisi Hutan Lindung Saat ini ...................................................................
9
Grafik 2. Mengertikah Anda yang Dimaksud Hutan Lindung?.................................... 10 Grafik 3. Sosialisasi Hutan Lindung ............................................................................ 12 Grafik 4. Kinerja Pemerintah Dalam Pengeolaan Hutan Lindung .............................. 12 Grafik 5. Keberadaan Perusahaan ................................................................................ 30 Grafik 6. Manfaat Perusahaan Terhadap Masyarakat .................................................. 31 Grafik 7. Konflik Sosial Akibat Kehadiran Perusahaan .............................................. 32 Grafik 8. Proses Perijinan Perusahaan ......................................................................... 33
iv
Daftar Gambar
Visi Lansekap Ekosistem Tessonilo-Bukit Tigapuluh: Visi Aktivis Lingkungan Riau-Jambi ..................................................................... Gambar 1.
7
Peta Citra Landsat Agustus 2002 dan Tumpang Tindih Ijin di Kawasan PT. IFA ................................................................................... 17
Gambar 2.
Peta Tumpang Tindih Izin
PT. IFA Dengan Perizinan HTI dan
Perkebunan ............................................................................................. 18 Gambar 3.
Jalan Lintas Selatan yang Membelah Kawasan Hutan di Koridor Wilayah Barat TNBT ............................................................................. 20
Gambar 4.
Peta tumpang tindih PT. TBS dengan HLBB berdasarkan Peta RTRWP 1994 ......................................................................................... 29
v
Daftar Lampiran
Lampiran 1. Peta Rencana Konservasi Nasional Tahun 1982 Lampiran 2. Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan tahun 1984 Lampiran 3. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kuantan Singingi 20042013 Lampiran 4. Usulan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kuantan Singingi 20042013 Lampiran 5. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Indragiri Hulu 2001-2011 Lampiran 6. Usulan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Indragiri Hulu 2005-2011 Lampiran 7. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Riau (Tampilan dua kabupaten, Kuansing dan Inhu) Lampiran 8. Peta Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Riau 2001-2011 Lampiran 9. Usulan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Riau (Kabupaten Kuansing dan Inhu) 2000-2015 Lampiran 10. Peta Analisis daerah Rawan Banjir di Sepanjang Sungai Indergiri Wilayah Kabupaten Inderagiri Hulu Lampiran 11. Peta Analisis daerah Rawan Banjir di Sepanjang Sungai Indergiri Wilayah Kabupaten Kuantan Singingi
vi
BAB I Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Perubahan tutupan hutan alam sangat ditentukan oleh kebijakan tata ruang
wilayah setempat. Kebijakan yang salah akan mengancam keberadaan tutupan hutan alam, untuk itu diperlukan sebuah kegiatan yang mengupayakan semaksimal mungkin mengurangi dampak kebijakan tersebut. Kegiatan ini difokuskan pada tutupan hutan alam yang menghubungkan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Hutan Lindung Bukit Batabuh, koridor landsekap Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) yang merupakan wilayah dari dua kabupaten yaitu kabupaten Inderagiri Hulu dan Kabupaten Kuantan Singingi. Apabila diperhatikan kawasan yang menghubungkan Bukit Tigapuluh sampai ke Bukit Rimbang Baling merupakan representasi konflik penggunaan lahan (land use) yaitu kawasan taman nasional, hutan produksi, hutan lindung, dan suaka margasatwa. Di Kabupaten Kuantan Singingi representasi land use terdiri dari suaka margasatwa, hutan lindung, dan hutan produksi, sedangkan di Kabupaten Indragiri Hulu terdiri dari hutan produksi dan taman nasional. Otonomi mempengaruhi keinginan untuk peningkatan pendapatan asli daerah dan pembangunan, tidak terkecuali untuk Kabupaten Kuansing dan INHU. Konversi Hutan menjadi Perkebunan dan HTI merupakan salah satu alternatif yang ditempuh, hal ini tidak lepas dari dorongan Kebijakan Pemerintah Daerah Riau yang akan mengembangkan lebih dari 1 juta Ha lahan untuk kawasan perkebunan. Penebangan dan pembukaan lahan secara liar oleh masyarakat bisa jadi terpicu oleh pengembangan perkebunan yang dilakukan di kawasan hutan, namun yang pasti adalah melemahnya legitimasi pemerintah membuat bergaining masyarakat semakin besar dan mengakibatkan pada kerusakan hutan yang semakin parah. Kombinasi kegiatan yang mengarah pada pengrusakan hutan secara luas, baik dari pihak pemerintahan dengan berbagai rencana pengembangan kawasan melalui RTRW, pada intinya disebabkan karena dalam pemanfaatannya lebih mengejar perolehan PAD dan kurang memperhatikan kaidah-kaidah pengelolaan SDA yang berkelanjutan dan berkeadilan. Selain itu pemanfaatannya juga tidak efisisen dan berorientasi jangka pendek
1
sehingga terjadi pengurasan SDA melebihi daya dukungnya. Pihak pemodal yang memanfaatkan kesempatan dalam industri perkebunan dan HTI maupun masyarakat umum yang mulai melakukan pembukaan-pembukaan hutan secara liar baik untuk kebutuhan kayu maupun lahan, perlu kiranya menjadi perhatian kita. Hutan Lindung Bukit Batabuh yang menghubungkan antara TNBT dengan SM Bukit Rimbang Baling saat ini mengalami kondisi yang serba terancam berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang disebutkan diatas. Adanya keinginan pemerintah untuk mengubah kawasan ini menjadi kawasan konversi semakin membuat jauh harapan untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai koridor biologi yang saling bersambung, karena akibat kebijakan ini jelas akan menghabiskan hutan di sekitar cacthment. Pergerakan perusahaan di sekitar koridor hendaknya bisa terus termonitor khususnya HPH IFA maupun HTI yang ada dickawasannya dan PT.TBS sehingga kegiatan-kegiatan perusahaan maupun perijinan yang menyalahi aturan bisa segera di kendalikan secara simultan. Kawasan koridor biologi yang diharapkan bisa terwujud, sangat penting keberadaannya untuk diselamatkan karena memiliki fungsi diantaranya sebagai habitat dan koridor spesies kunci yang terancam punah seperti harimau, gajah dan tapir melayu dan sebagai kawasan perbukitan atau hulu-hulu bagi kawasan sekitarnya, kawasan ini juga berfungsi sebagai catchment area bagi DAS Inderagiri di Riau dan Batanghari di Jambi. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan survey dan kajian tentang kondisi kawasan hutan di koridor ini, menyangkut status Hutan Lindung. Bukit Batabuh, perijinan kepada perusahaan perkebunan dan kemungkinan perluasannya, proses perijinan dan aktivitas yang telah dilakukan perusahaan, kajian lingkungan, aspek legal, aspek sosekbud dan kajian keruangan serta melihat sejauhmana kegiatan yang dapat dilakukan untuk mendukung advokasi penyelamatan koridor ini.
1.2.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan ¾ Mendapatkan gambaran, kondisi dan status kawasan hutan hutan alam yang menghubungkan koridor biologis Taman Nasional Bukit Tigapuluh sampai dengan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling.
2
Manfaat. ¾ Sebagai bahan kebijakan bagi pemerintah daerah Indragiri Hulu, Kuansing maupun Provinsi dalam revisi rencana tata ruang yang telah ada. ¾ Sebagai bahan advokasi bagi LSM untuk memepertahankan tutupan koridor TNBT-SM Bukit Baling. ¾ Sebagai bahan acuan bagi pihak-pihak terkait dalam upaya penyelamatan kawasan koridor dan flora fauna yang ada di dalamnya.
1.3.
Lingkup Kajian dan Waktu Kegiatan Ruang lingkup program ini adalah menyangkut kajian sosial ekonomi dan
keruangan di koridor landsekap TNBT-HL Bukit Batabuh dengan sasaran survey yaitu:
Masyarakat di sekitar landsekap dan di sekitar perusahaan yang aktif.
Kawasan HPH IFA.
Perusahaan HTI dan perkebunan kelapa sawit yang ada dikawasan IFA.
PT.TBS.
Hutan Lindung Bukit Sosa dan Bukit Batabuh
Kawasan eks PT. Partiadi Dengan lingkup kajian secara spesifik adalah :
¾ Mendeskripsikan sejauhmana perkembangan yang terjadi di wilayah koridor baik yang dilakukan oleh perusahaan, pemerintah melalui rencana tata ruang, dan aktivitas masyarakat. ¾ Mendeskripsikan seberapa besar dukungan atau penolakan masyarakat terhadap penyelamatan kawasan. ¾ Melakukan kajian perijinan dari aspek legal dan kajian terhadap kawasan ¾ Mendeskripsikan situasi konflik pemanfaatan lahan dan perijinan serta kemungkinan advokasi penyelamatan hutan alam di sekitar kawasan. ¾ Menyajikan analisa keruangan dan kondisi lahan. ¾ Menyajikan peta overlay yang menyangkut tumpang tindih perijinan. ¾ Melakukan analisa konflik terhadap rencana pengembangan perkebunan di wilayah tersebut
3
Kegiatan ini dilakukan selama 4 bulan dengan perincian survey dan investigasi dilakukan selama 2 bulan, pembahasan, analisa dan diskusi konsultasi selama 2 bulan.
1.4.
Metodologi
Pengambilan data dan informasi dilakukan dengan cara: •
Wawancara yaitu dengan melakukan wawancara dengan Tokoh Desa, Tokoh Adat, masyarakat yang pro dan kontra terhadap kehadiran perusahaan HTI maupun perusahaan perkebunan kelapa sawit serta keberadaan Hutan Lindung Bukit Batabuh maupun Hutan Lindung Bukit Sosa.
•
Kuisioner yaitu menyebarkan kuisioner kepada masyarakat sekitar kawasan hutan lindung dan masyarakat sekitar perusahaan sebanyak 120 kuisoner, masingmasing 60 responden di Kuansing dan 60 responden di INHU dengan kategori responden sebagai berikut: Berdasarkan stratifikasi sosial yaitu: o Kepala desa, Batin, Anggota BPD o Kepala dusun, orang tua, tetua adat o Tokoh pemuda, tokoh agama o Masyarakat awam Berdasarkan desa yang berdekatan dengan sumberdaya (Hutan Lindung maupun
perusahaan): o Desa terdekat o Desa menengah o Desa terjauh •
Investigasi yaitu melakukan investigasi terhadap lahan dan kawasan serta investigasi terhadap orang-orang kunci demi mendapatkan data-data yang sifatnya tertutup. Untuk menunjang analisa dilakukan pengambilan data-data sebagai berikut:
1. Data primer adalah hasil wawancara, hasil tabulasi kuisioner dan hasil investigasi. 2. Data sekunder adalah data desa, data spasial RTRWK INHU dan Kuantan Singingi dan RTRWP Riau, Instrumen perencanaan yang pernah ada seperti Rencana Konservasi Nasional, peta TGHK, peta-peta perusahaan dan rencana pengembangan kawasan dan lain-lain yang dianggap mendukung kegiatan. 4
Setelah data dikumpulkan dilakukan tabulasi dan penyusunan draft sementara, draft tersebut dibahas pada tingkat tim YASA, kemudian dilakukan analisa keruangan untuk mendapatkan rencana usulan RTRWK Kuansing dan INHU maupun RTWP Riau. Pengkajian hukum mendapat masukan dan diskusi terfokus dengan pakar hukum lingkungan yang telah bisa dan paham mengenai persoalan-persoalan perijinan di bidang kehutanan. Draft ini akan ditulis dalam bentuk yang ringkas, kemudian paparkan pada saat presentasi di Pemda Kuansing, INHU dan Provinsi Riau.
5
BAB II Potret Hutan Riau dan Koridor TNBT- Rimbang Baling
Laju Deforestasi Hutan Riau dan dampaknya Laju kerusakan hutan Riau cukup tinggi, dari tahun ke tahun terus mengalami degradasi, dimulai dari hilangnya hutan 0 % tahun 1982 hingga tahun 2015 dengan mengacu draft RTRWP 2015 akan hilang sebesar 93 % dan yang tersisa hanya hamparan hutan di kawasan konservasi sekitar 6 %. Berikut ini gambaran kerusakan hutan Riau dan tutupan hutan Riau berdasarkan analisis Citra Landsat 1982-2004. 1982, forest cover 78 %, fores lost 0 % 1988, forest cover 68 %, forest lost 12 % (792054 ha) 1996, forest cover 50 %, forest lost 35 % (2.255.832 ha) 2000, forest cover 41 %, forest lost 48 % ( 3.052.535 ha) 2002, forest cover 39 %, Forest lost 50 % (3.100.284 ha) 2004, forest cover 36 %, forest lost 54 % (3.471.590 ha) 2015 (Draft RTRWP 2015), forest cover 6%, forest lost 93 % (5.939.422 ha) Sumber : EoF 2004. Kehilangan hutan tersebut
berdampak besar terhadap perubahan ligkungan,
banjir, asap, dan konflik satwa dengan manusia serta konflik pemanfaatan hutan dan lahan dengan perusahaan. Berikut ini gambaran kerugian banjir di Riau tahun 2003. Kabupaten/Kota
Kerugian Dampak Langsung
Total Kerugian
(Rp juta)
(Rp juta)
1. Kabupaten Rokan Hulu
15.810.
93.346.
2. Kabupaten Rokan Hilir
33.510
195.508
3. Kabupaten Kuantan Singingi
31.355
182.904
4. Kabupaten Kampar
29.399
97.815
5. Kabupaten Indragiri Hulu
2.398
3.964
6. Kabupaten Pelalawan
34.172
199.703
7. Kota Pekanbaru
11.694
67.896
Total
158.338
841.136
Sumber : ATTR dan WALHI 2003
6
Deforestasi hutan juga berdampak pada konflik satwa dengan manusia, hal ini disebabkan oleh habitat satwa tersebut sudah terfragmentasi atau rusak sehingga satwasatwa untuk mencari makan dan mangsanya keluar hutan atau ke lahan masyarakat. Konflik manusia dengan gajah tercatat 1,2 triliun (WWF, 2003). Kemudian terjadi konflik pemanfaatan lahan dengan masyarakat dan perusahaan dan terdapat 127 kasus tahun 1999-2002 (Jikalahari, 2002). Provinsi Riau juga rawan kebakaran hutan aktivitas illegal logging, perambahan kawasan dan pembukaan hutan untuk perkebunan. Setiap musim kemarau kebakaran hutan juga terjadi di provinsi Riau dan menajdi sorotan dunia. Sehubungan dengan masalah di atas, maka aktivis lingkungan memiliki visi untuk menyelamatkan hutan-hutan tersisa dengan membuat suatu visi landsekap “Tessonilo Bukit Tigapuluh. Visi ini didasarkan beberapa pertimbangan utama yaitu aspek fisik, biofisik, sosial dan budaya. Untuk mencapai visi tersebut, pertama-tama dilakukan penilaian komprehensif dan melalui pendekatan tata ruang. Untuk mencapai hal tersebut berbagai LSM bekerja di wilayah lansekap, secara khusus YASA bekerja di wilayah kabupaten Kuansing dan Inhu.. Riset ii melihat dan mendiskripsikan sejauh mana peluang dan tantangan pengembangan koridor biologi di wilayah selatan lansekap Tesonilo Bukit Tigapuluh. (LS TNBT). VISI LANSEKAP EKOSISTEM TESSONILOTESSONILO-BUKIT TIGAPULUH: VISI AKTIVIS LINGKUNGAN RIAURIAU-JAMBI
7
Gambaran Umum Rencana Koridor TNBT- SM. Bukit Rimbang Bukit Baling Hutan Lindung Bukit Batabuh dan Bukit Sosa merupakan bagian dari koridor biologi strategis yang menghubungkan antara Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) dan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling. Kawasan koridor yang terletak di Kabupaten Kuantan Singingi dan Inderagiri Hulu ini seharusnya dipertahankan sebagai rangkaian landsekap hutan alam dengan segala kekayaannya dan bagian dari eksosistem TNBT maupun kawasan konservasi di sekitarnya yang berfungsi sebagai hutan lindung. Disamping itu instrumen perencanaan belum padu serasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Inderagiri Hulu (Inhu) dan Kuantan Singingi (Kuansing) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau.
2.1.
Kondisi dan pandangan masyarakat terhadap Hutan Lindung Hutan lindung yang terdapat di antara TNBT dan SM Bukit Rimbang Bukit
Baling adalah HLBB dan HLBS merupakan dua kawasan yang masih diakui keberadaannya di dalam RTRWK Kuansing dan Inhu maupun RTRW Provinsi Riau 1994. Namun keberadaan HLBB dalam RTRWP Kuansing setengahnya telah dialih fungsikan menjadi hutan produksi konversi. Kondisi dilapangan hutan lindung tersebut cukup memprihatinkan, penebangan liar juga telah terjadi di dalam kawasan tersebut. Di sepanjang perbatasan HLBB di Kuansing saat ini terdapat perusahaan perkebunan kelapa sawit dan lahan perkebunan rakyat, sebagian berbatasan dengan perkampungan. Perusahaan yang beroperasi yaitu PT. Tri Bakti Sarimas yang bergerak dalam bidang perkebunan kelapa sawit, kelapa hibrida dan kakao. Sedangkan lahan perkebunan rakyat diisi dengan pohon karet dan tanaman tahunan lainnya. Kawasan hutan di perbatasan HLBB cukup memprihatinkan, pembukaan lahan terus kearah hutan lindung hal ini disebabkan oleh akses jalan pembukaan PT. TBS. Kegiatan pembalakan liar terjadi dan semakin marak karena adanya keterlibatan oknum dan tidak adanya tindakan hukum yang jelas sehingga masyarakat kecewa dan berbondong-bondong menjarah hutan lindung untuk dijadikan lahan perkebunan. Jalan lintas yang ada di Kuansing memutus Hutan lindung yang di Desa Kasang maupun di Desa Perhentian Sungkai, saat ini memiliki kondisi yang lebih parah. Sepanjang jalan utama yang melintasi Hutan Lindung di desa Kasang sudah dipenuhi rumah penduduk semi permanen, radius 1-2 km dari jalan utama tersebut merupakan 8
sesap dan kebun karet masyarakat. Jalan lain yang melintasi HLBB adalah jalan propinsi yang berada di desa Perhentian Sungkai. Kondisi HLBS juga mengalami nasib yang sama, sebagian besar pembalak berasal dari Jambi dan kayunya di bawa melalui jalur Sub DAS dan DAS Sungai Batanghari. Berdasarkan hasil kuisioner yang disebar pada 120 responden sebanyak 91 % responden menyatakan kondisi hutan lindung (HLBB dan HLBS) tidak terurus dan hancur. Grafik 1. Kondisi Hutan Lindung Saat ini Kondisi Hutan Lindung Saat Ini 51.30%
60%
39.80%
50% 40% 30% 20% 10%
7.10% 1.80%
0% Baik
Sedang
Tidak Terurus
Hancur
Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 (120 responden)
Kerusakan Hutan Lindung tersebut di atas terutama akibat kegiatan pembalakan. Pelaku pembalakan tersebut berasal dari masyarakat luar dan setempat maupun perusahaan. Lokasi kegiatan penebangan kayu hampir terjadi di semua kawasan hutan di koridor terutama di HLBS, Kawasan IFA, kawasan eks PT. Partiadi dan HLBB. Kegiatan penebangan haram tersebut seperti benang kusut dan melibatkan semua pihak. Berdasarkan hasil kuisioner, para pembeking kegiatan penebangan kayu haram melibatkan semua pihak, dengan urutan adalah pejabat, ABRI, pengusaha dan LSM seperti tertera pada tabel 2.1 di bawah ini. Tabel 1. Oknum yang Membacking Penebangan Liar di kawasan Koridor Oknum yang Membacking Penebangan Liar Persentase Pejabat 24.79 % ABRI 17.36 % Pengusaha 4.96 % LSM 1.65 % Tidak ada/Tidak tahu 19.83 % Takut memberi jawaban 31.41 % Total 100,00% Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 (120 responden)
9
Beberapa desa persis berada di kawasan lindung, seperti Desa Perhentian Sungkai dan Desa Air Buluh. Desa Perhentian Sungkai merupakan pecahan dari Desa Sungai Besar. Jumlah penduduk 633 jiwa, kebanyakan penduduk adalah pendatang, 40% merupakan keturunan suku jawa, 60% pendatang lokal dari Minangkabau, Lubuk Jambi, Teluk Kuantan dan masyarakat desa sekitar seperti Sungai Besar, Ibul dll. Desa Perhentian Sungkai berada persis di kawasan lindung (sesuai Perda Propinsi Riau no 10 tahun 1994 tentang RTRWP), resmi berdiri mulai 1 Januari 2004. Rangkaian landsekap yang berada di Desa Perhentian Sungkai otomatis sudah berwujud perkampungan penduduk dengan jumlah rumah permanen lebih kurang 110 unit. Lahan-lahan yang berada di sekitar desa tersebut saat ini sudah merupakan ladang dan perkebunan yang ditanami pohon karet, sekitar 750 Ha lahan yang berada di areal HLBB di Desa Perhentian Sungkai sudah dimanfaatkan masyarakat menjadi kebun, dialih fungsikan dengan Surat Keterangan Tanah Camat Kuantan Mudik. Pemerintah Daerah melalui Program Ekonomi Kerakyatan (PEK) pada APBD
Riau tahun 2001 juga
menganggarkan untuk pembuatan kebun karet rakyat seluas 500 ha di desa ini. Walaupun kondisi hutan lindung tersebut sudah babak belur, namun masyarakat berkeinginan mepertahankan hutan lindung tersebut dengan alasan memiliki nilai dan fungsi lindung, makna sosial dan budaya masyarakat sekitar ini. Masyarakat menyatakan bahwa komitmen pemerintahlah yang saat ini perlu di benahi dan harus ada. Masyarakat telah merasakan dampak dari kerusakan hutan lindung, seperti terjadinya longsor dan banjir, perubahan iklim dan semakin sulitnya mencari sumberdaya hutan non kayu. Sebagian besar atau sekitar 82,35% masyarakat di sekitar kawasan mengerti dan paham yang dimaksud dengan hutan lindung sedangkan sisanya tidak seperti di bawah ini: Grafik 2. Mengertikah Anda yang Dimaksud Hutan Lindung? Mengertikah Anda yang Dim aksud Hutan Lindung?
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
82,35%
17,65%
Mengerti
Tidak Mengerti
Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 (120 responden)
10
Pengertian terhadap hutan lindung bervariasi, sebagian besar menyatakan sebagai kawasan dan hutan yang tidak boleh diganggu, dan 16,67 % tidak menjawab dan tidak tahu arti hutan lindung. Persepsi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2. Tabel 2. Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan Lindung Persepsi/Jawaban Hutan lindung adalah hutan yang tidak boleh diganggu, dirusak maupun ditebangi karena dilindungi pemerintah dan undangundang. Hutan Lindung merupakan Hutan Larangan, Hutan puaka/keramat dan milik masyarakat setempat Hutan Lindung merupakan hutan yang dijaga dan dipelihara kelestariannya bermanfaat untuk menjaga cadangan air Hutan Lindung merupakan kawasan untuk melindungi satwa dari kepunahan Tidak tahu atau tidak menjawab. Total
Persentase 55,00 %
11,67 % 9,17% 7, 50 % 16,67 % 100,00 %
Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 (120 responden)
Sekitar 76 % masyarakat memahami fungsi dan manfaat hutan lindung sebagai pencegah erosi, konservasi dan fungsi lingkungan. Sedangkan 24 % masyarakat tidak menjawab dan tidak tahu manfaatnya (tabel 3). Tabel 3. Manfaat Hutan Lindung Manfaat Pencegah erosi, tanah longsor, banjir dan tempat menyimpan cadangan air (menjaga keseimbangan alam) Untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup dan sebagai hutan cadangan dan sumber tanaman hutan (madu, gaharu dll) Tempat berlindung dan berkembangnya flora dan fauna serta mencegah terjadi konflik dengan satwa Mencegah pencemaran udara, memberi suasana sejuk, nyaman dan asri Tidak ada /Tidak tahu/tidak menjawab Total
Responden 31,67 % 20,00 % 15,00 % 9,17 % 24,16 % 100,00 %
Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 (120 responden)
Sekitar 36 % masyarakat pernah mendapat sosialisasi hutan lindung, 64 % menyatakan tidak pernah ada sosialisasi dari pemerintah. Bagi yang pernah mendapat sosialisasi diterima dari pemerintah dengan media ceramah, buku, TV, Radio, stiker dan dari mulut ke mulut.
11
Grafik 3. Sosialisasi Hutan Lindung Sosialisasi Hutan Lindung 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Pernah
Tidak pernah
Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 (120 responden)
Disamping kurangnya sosialisasi, masyarakat juga menyatakan bahwa kinerja pemerintah dalam pengelolaan hutan lindung sangat lemah, hal ini bisa dilihat pada grafik berikut Grafik 4. Kinerja Pemerintah Dalam Pengeolaan Hutan Lindung Kinerja Pemerintah Dalam Pengelolaan Hutan Lindung 59.80% 60% 50% 40%
28.43%
30% 20%
11.76%
10% 0% Bertanggung-jaw ab
Kadang-kadang Bertanggung-jaw ab
Tidak Bertanggungjaw ab
Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 (120 responden)
2.1.1. Sikap Masyarakat Terhadap Hutan Lindung Keberadan Hutan Lindung sebenarnya merupakan kebanggaan tersendiri bagi Masyarakat Kuansing dan Inhu, disamping adanya hukum pemerintah yang menetapkan, budaya dan adat setempat juga ikut mengatur dan menjaga kelestarian kawasan ini. “Sebenarnya Bukit Batabuh adalah salah satu wilayah yang tidak boleh diconcang (dipotong), tanahnya merupakan satu-kesatuan, milik semua orang dan tidak boleh 12
diperjualbelikan. Hutan yang ada disana harus tetap di jaga kelestariannya, sebagai bekal bagi anak cucu di masa yang akan datang” demikian penjelasan salah seorang tokoh adat di Lubuk Jambi. Pergeseran budaya, menuju kepada masyarakat heterogen membuat nilai budaya dan hukum adat semakin terpinggirkan. Respon positif diberikan masyarakat ketika ditanya apakah diperlukan penyelamatan bagi hutan lindung. Tanggapan reponden mengenai pertanyaan tersebut bisa dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4. Perlukah Hutan Lindung Diselamatkan? Alasan Agar tidak terjadi erosi Karena merupakan hutan lindung Tempat berlindung satwa Untuk menjaga kelestarian dan bisa dijadikan wisata alam Perlu Merupakan hulu sungai (87,5 %) Karena tidaka bisa dipiahkan dari kehidupan manusia Agar dimasa depan tidak miskin hutan Merupakan asset Negara Sebagai paru-paru dunia Lebih baik untuk perkebunan masyarakat Tidak Perlu Karena sudah tidak terurus dan terlanjur berubah fungsi (12,50%) Hanya menguntungkan pihak tertentu Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 (120 responden)
Pendapat yang mendukung pernyataan di atas juga diberikan ketika ditanya, sebaiknya diapakan hutan lindung, Di atas 60 % responden menginginkan mempertahankan dan kawasan yang rusak harus direboisasi (tabel 5) Tabel 5. Saran Masyarakat untuk Hutan Lindung Tanggapan Dihijaukan kembali/reboisasi Jadikan hutan larangan, awasi dan jaga bersama Tata ulang batas areal lindung Ubah fungsi menjadi perkebunan Dibebaskan agar bermanfaat Ditiadakan Jadikan lahan cadangan masyarakat Total
Responden 47.66% 14.02% 1.87% 18.69% 6.54% 6.54% 4.67% 100,00%
Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 (120 responden)
Kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan lindung juga di tunjukkan oleh para kepala keluarga. Sebanyak 83 % orang tua melarang anakanaknya untuk merusak hutan lindung, sedangkan sisanya 17 % tidak melarang. Demikian juga dengan sikap masyarakat terhadap kekayaan yang dimiliki hutan, 13
masyarakat mempunyai sikap partisipatif yang tinggi menyangkut kekayaan hutan lindung, hal ini bisa dilihat dalam tabel 6. berikut: Tabel 6. Pemanfaatan Sumberdaya di Hutan Lindung Alasan Dalam batas wajar Untuk kebutuhan masyarakat sekitar Sesuai aturan yang sudah ditentukan Boleh (48,7%)) Karena tidak diurus dan terpelihara Karena harga kayu mahal/meningkatkan ekonomi Kalau terpaksa Karena dilindungi pemerintah Tidak Boleh Merusak kelestarian (51,3%) Karena hutan larangan Sudah tidak ada yang bisa diambil Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 (120 responden)
2.1.2
Kekayaan Alam dan Biologi di Koridor Di samping permasalahan di atas, kawasan ini memiliki kekayaan alam dan
plasma nuftah yang tinggi. Terdapat berbagai objek wisata alam yang menarik seperti Air terjun Guruh Gemurai yang berada di Desa Kasang Kuantan Mudik, lebih kurang 1 km dari jalan utama. Pemerintah Daerah sudah membuat jalan yang bisa dilewati mobil hingga ke lokasi. Lokasi kedua adalah air terjun Tujuh Tingkat Batang Koban yang berada di Desa Lubuk Ambacang Hulu Kuantan, perjalan ke lokasi di tempuh melalui jalan sungai dengan pemandangan alam yang indah dan hewan-hewan primata separti kera kepala putih dan kera kepala kuning. Kawasan ini oleh Pemerintah Daerah melalui RTRWK direncanakan menjadi Taman Wisata Alam. Terdapat berbagai jenis flora dan fauna, beberapa di antaranya tergolong langka dan terancam punah. Jenis flora di antaranya berbagai jenis kayu seperti seperti keranji, seminai, kulim, jenis meranti (keruing, medang, marsawa, balam), ketapang, jelutung, kempas, mengkiring, kepinis, sapat, kawang, tapis, tembesu dan bulian. Berbagai jenis rotan seperti rotan manau, rotan batu, rotan saga, rotan sabut, rotan jelaian/tabu-tabu, rotan udang, rotan semambu, rotan dahanan, rotan hitam, dan rotan keris. Terdapat juga tumbuhan yang bernilai ekonomis tinggi, nilai sosial dan budaya diantaranya jernang, pohon sialang, pohon kemenyan, pohon gaharu, pohon petai, dan berbagi jenis tumbuhan obat-obatan. Fauna yang masih sering dijumpai oleh masyarakat adalah harimau dahan,
14
harimau sumatera, gajah sumatera, kucing hutan, landak, kukus, musang, berang-berang, apir melayu (tonuk), rusa, kijang, kancil, napuh, siamang, beruk, monyet, simpai, teringgiling, beruang madu, kambing hutan, tapir melayu, dan kukang. Terdapat berbagai jenis burung seperti kuau, penyiul, ayam hutan, mua, hur lanting, habang/merah mata, punai, pergam, gaga, rangkong, kikik, pak ulok, sri gunting, elang, kalong/keluang, belatuk, murai batu, betet, tanau, serindit, beo, bengkuak, cocak ijo/burung daun dan kelangking.
2.2.
Kondisi Kawasan PT. IFA. Salah satu hamparan hutan yang relatif luas dan baik di antara TNBT dan SM
Kerumutan adalah kawasan PT. IFA. Kawasan hutan ini pada awalnya diberi ijin konsesi hak pengusahaan hutan pada tahun 1973 dan berakhir tahun 1993. Kemudian diberi perpanjangan ijin konsesi HPH seluas 70.664 ha berdasarkan SK Menteri Kehutanan pada tahun 1993 dengan SK No.608/Menhut-IV/1993 tanggal 31 Maret 1993 berlaku sampai pada tanggal 17 Juli 2008.
Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan,
kawasan ini masuk dalam beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Batang Cinaku, Kelayang, Peranap Kabupaten Indragiri Hulu dan Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi.
Selain kawasan PT. IFA, tutupan hutan yang relatif baik adalah
kawasan Eks dan direncakan akan dimanfaatkan untuk HTI oleh PT. RAPP. Di kawasan PT. IFA terdapat beberapa desa di antaranya Anak Talang, Pesajian, Punti Kayu, Serangge, Tujuh Tangga dan Semelinang. Sejak hadirnya PT. IFA telah ada konflik lahan antara PT. IFA dan desa-desa tersebut, namun karena rejim Soeharto masih kuat sehingga masyarakat tidak berani menuntut hak ulayat. Kawasan PT. IFA sebagian dilepaskan untuk transmigrasi (SPD dan SPA) dan perkebunan PT. TBS (Tri Bhakti Sari Mas). Dampak krisis ekonomi pada tahun 1997 dan era reformasi mulai tahun 1998 adalah
melemahnya legitimasi pemerintah dan meningkatnya bargaining masyarakat
secara tajam. Hal tersebut mengakibatkan kegiatan penebangan kayu liar semakin marak. Era reformasi diikuti pula dengan penerapan otonomi daerah, di mana pemerintah kabupaten diberi kewenangan memberi perijinan di sektor kehutanan. Karena secara defakto PT IFA tidak beroperasi lagi, Pemda Kabupaten Indragiri Hulu kemudian memberikan beberapa ijin HTI atau IUPHHKHT (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman) kepada beberapa perusahaan yaitu:
15
•
PT. Sungai Pahang dengan SK Bupati No. 622/DISHUT/IV/2002 tanggal 13 Mei 2002 luas 9.000 ha (Sudah dibatalkan berkat advokasi YASA
bersama
masyarakat Talang Mamak) •
PT. Artelindo Wiratama, SK Bupati No.522/EK/2018 tgl 19 september 2001 luas 20.000 ha tentang persetujuan prinsip. Dan SK defenitif Bupati Inhu No.74 tahun 2002 tentang IUPHHKHT tanggal 11 April 2002.
•
PT. Bukit Batabuh Sei Indah, SK Bupati No.522/EK/829 tgl 6 Mei 2002 luas 13.450 ha tentang persetujuan prinsip, sempat dipending tetapi jalan lagi
•
PT Citra Sumber Sejahtera, SK Bupati No.522/EK/613, tgl 6 Mei 2002 luas 16.500 ha tentang persetujuan prinsip. Selain kepada perusahaan HTI di atas, pemerintah juga menyetujui pembangunan-
pembangunan kelapa sawit pola mitra dengan KUD. Sehingga pada kawasan yang sama terdapat beberapa izin dan tumpang tindih antara HPH, HTI dan Perkebunan. Perusahaan yang mendapat ijin kelapa sawit antara lain: •
Kemitraan PT. Mega Nusa Inti Sawit Desa Talang Mulia dan Talang Bersemi,
•
Kemitraan PTPN V dengan KUD Cipta Bina Karya desa Anak Talang Peta umpang tindih ijin, atau konflik penggunaan lahan di wilayah ini dapat dilihat
pada gambar 2.
16
Gambar 1. Peta Citra Landsat Agustus 2002 dan Tumpang Tindih Ijin di Koridor SM. BRBB dan TNBT
17
Gambar 2. Peta Tumpang Tindih Izin PT. IFA Dengan Perizinan HTI dan Perkebunan
18
Kondisi hutan di kawasan PT. IFA semakin rusak setelah adanya pembangunan jalan lintas Selatan yang dibangun oleh Pemda Riau. Jalan tersebut menghubungkan Lubuk Jambi - Desa Serangge – Pesajian- hingga ke Anak Talang. Berdasarkan informasi jalan ini tembus ke wilayah Jambi ke arah desa Pemayungan dan ke Rimbo Bujang, jalan ini juga menyambung ke Jalan Lintas Timur Sumatera. Akibat dari pembukaan jalan, masyarakat telah mengkapling-kapling hutan dan membuka hutan tersebut di sepanjang jalan dari Anak Talang ke desa Pesajian sekitar 30 km. Peta dan gambar kondisi jalan lintas Selatan yang membelah kawasan hutan PT. IFA dapat dilihat pada gambar 4. Sebagian besar kondisi hutan di wilayah IFA memperihatinkan akibat pembalakan liar dan pembukaan lahan untuk perkebunan dan perladangan. Kayu-kayu tersebut dijual ke sawmill. Di desa Anak Talang misalnya terdapat 7 buah sawmill, 5 di antaranya masih aktif beroperasi. Di desa Anak Talang kawasan hutan yang masih baik dan terjaga adalah di kawasan Sei Fatimah, hal ini terkait dengan kepercayaan bahwa kawasan tersebut merupakan tempat berdiamnya roh-roh halus dan habitat Harimau sumatera. Jika kawasan di sekitar ini habis, dikhawatirkan cepat atau lambat kawasan hutan Sei Fatimah akan dijarah. Untuk mendapatkan gambaran singkat tentang rencana pembangunan HTI maupun konversi hutan di kawasan PT. IFA kami deskripsikan di bawah ini.
19
Gambar 3. Jalan Lintas Selatan yang Membelah Kawasan Hutan di Koridor Wilayah Barat TNBT
20
2.2.1. PT. Artelindo Wiratama (PT. AW) PT. AW merupakan perusahaan HTI terlengkap persyaratan perijinannya diantara ke empat perusahaan HTI di atas. Dari tingkat masyarakat (elit desa, elit adat, hingga pada pemerintah daerah telah mendukung kegiatan perusahaan ini). Di tingkat masyarakat, PT Artelindo mendapat dukungan karena perusahaan ini membangun 25 % lahannya sebagai plasma untuk perkebunan kelapa sawit dengan pola kemitraan melalui KUD Tani Karya Mandiri. Kerjasama ini telah dinotariskan pada tanggal 3 agustus 2001 oleh notaris Tito Utoyo SH di Pekanbaru. Kemudian Ninik Mamak telah memberi hak ulayat kepada perusahaan tersebut dihadapan notaris Tito Utoyo SH No.502/w/2001 dengan rekomendasi perwakilan masyarakat adalah koperasi tersebut. Kemudian kepala desa Pesajian dan Punti Kayu kecamatan Peranap memberi dukungan kepada perushaaan ini bermitra dengan KUD Tani Karya Maju dengan pola Tanaman Campuran. Berdasarkan hasil investigasi di lapangan,
hampir semua masyarakat
menolak kalau PT. Artelindo Wiratama membangun HTI saja, hanya beberapa orang elit-elit desa dan pengurus koperasi yang mendukung karena mendapat keuntungan dari kegiatan ini. Kegiatan HTI yang tidak menguntungkan tersebut telah dilihat di dekat desa mereka yaitu PT. Rimba Lazuardi, hal tersebut menjadi contoh yang buruk bagi masyarakat. Namun dengan adanya janji bahwa perusahaan akan membangunkan kebun kelapa sawit maka dukungan masyarakat besar sekali. Pihak
pemerintahan
kabupaten
dan
kecamatan
juga
telah
merekomendasikan dan mendukung kegiatan ini dengan surat No.410/Pem/2000. Dinas Kehutanan Kabupaten INHU telah memberi rekomendasi teknis dan telah melaksanakan survey areal IUPHHKHT PT. Artelindo dengan no surat 522.05/DISHUTBUN/2002. Setda INHU telah memberi dispensasi pembuatan sarana dan prasarana pada areal IUPHHKHT PT. Artelindo. Bupati INHU telah memberi ijin defenitif UPHHKHT dengan SK No. 74 tahun 2002 tanggal 11 April 2002. KUD Tani Karya Mandiri juga telah memohon ijin akan melakukan HPHTC di kawasan PT IFA, secara prinsip perusahaan HPH tersebut mendukung sepanjang prosedur yang berlaku dijalankan dan menyarankan mengajukan
21
permohonan HPHTC ke pemerintah provinsi dan yang berwewenang untuk melakukan pelelangan dan ijin pelepasan kawasan hutan tersebut ke Menteri Kehutanan (sesuai dengan SK Menhut N0 76/KPTS-II/1977). Ada interprestasi dari KUD Tani Karya Mandiri bahwa dukungan tersebut merupakan ijin pelepasan oleh perusahaan PT. IFA kepada KUD. Sejak Februari tahun 2003 PT. Artelindo Wiratama telah memiliki RKT dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Untuk menghambat kegiatan tersebut, para pegiat lingkungan seperti YASA, Jikalahari, WALHI, Aliansi Tata Ruang Untuk Riau (ATTR), AMAN, FKKM , KBH telah berkolaborasi untuk menggugat perijinan perusahaan yang diberikan Bupati Inhu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Melalui proses yang panjang, dengan diberengi dengan advokasi maupun seminar-seminar, legal standing yang dilakukan, namun kandas karena telah lewat dari 90 hari sejak ada pemberitahuan. Saat ini pegiat lingkungan ini melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Medan dan juga kalah. PT. Artelindo telah mengantongi Izin RKT dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau tahun 2003 seluas 2000 ha, namun berkas RKTnya belum didapatkan. Di lapangan, kegiatan penebangan kayu oleh PT.Artelindo Wiratama telah berjalan sejak PTUN menyatakan menang atas legal standing yang dilakukan LSM Riau.
2.2.2. PT. Bukit Batabuh Sei Indah (BBSI) PT. Bukit Batabuh Sei Indah bekerja sama dengan KUD Khaerol Umah milik Pesantren Khaerol Umah Air Molek yang di pimpin oleh Haji Musnahir Jufri, di Air Molek. KUD. Pondok Pesantren Khoirul Ummah mengusulkan sebagian areal HPH IFA untuk hutan tanaman industri. Areal tersebut
meliputi
desa Serangge, Talang Tujuh Tangga dan Durian Cacar, mendapat rekomendasi dari Bupati Inhu dengan SK No.31/TB/100/1999 tanggal 31 Desember 1999, Rekomendasi dari Gubernur Riau SK No. 525/BK/MD/3305 tanggal 28 Desember 2000 dan dari Kanwilhutbun Riau SK No.8337/Kwi-B/2000 tanggal 3 Maret 2000 seluas 4.000 ha. Karena jaman reformasi bupati mendapat wewenang dalam pemberian izin, pada tanggal 6 Mei 2002 luas perusahaan tersebut mendapat izin prinsip dari Bupati Inhu seluas13.450 ha tersebut.
22
Pada tahun 2003 perusahaan ini telah mendapatkan RKT SK Gubernur No.331 tahun 2002 seluas 2.774 ha di DAS Sengkilog. Dari RKT tersebut hingga pada akhir Agustus 2004, PT BBSI masih melakukan penebangan di dekat perbatasan Desa Talang Tujuh Buah Tangga, diperkirakan kayu Bahan Baku Serpih (BBS)-nya sekitar 120.000 ton. Pihak perusahaan juga mengingkari janji untuk memakai tenaga kerja lokal. Karena merasa ditipu, Pak Laman dan Gading memberhentikan kegiatan perusahaan tersebut. Perusahaan akhirnya melakukan negoisiasi dengan memberi sepeda motor honda merek WIN dan menyepakati pemberian fee.
2.2.3. PT. Citra Sumber Sejahtera (PT. CSS) PT. CSS mulai mengajukan HPHTC sejak tanggal 8 april 2000 yang disampaikan ke Menteri Kehutanan RI dengan luasan 30.000 ha. Areal yang dimohonkan merupakan areal PT. IFA dan telah mendapat persetujuan dari perusahaan tersebut. Dari luasan yang dimohonkan perusahaan, akhirnya kanwil Kehutanan, Gubernur Riau dan Menteri Kehutanan memberi arahan teknis dan hanya memberikan rekomensasi seluas 26.500 ha karena di wilayah yang dimohonkan telah ada kawasan perkebunan PT. Tri Bhakti Sarimas seluas 560 ha (telah mendapatkan pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan), HPHTC KUD Cipta Bina Karya seluas 320 ha, kebun dan ladang masyarakat seluas 3.120 ha. Dalam proses perijinannya telah ada rekomendasi permohonan Areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Campuran An. PT. CSS dari Gubernur Riau No.522/EK/1644 pada tanggal 8 Juli 2000,
kemudian arahan dari Menteri
kehutanan RI no 928/VI-PHT/2001 yang menyarankan agar proses perijinan dimohonkan kepada Bupati seiring dengan otonomi daerah. Pada tanggal 10 Januari 2002, PT. CSS mendapat rekomendasi teknis IUPHHKHT dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Indragiri Hulu dengan No.522.05/Dishutbun/0803. Dan pada tanggal 6 Mei 2002 PT CSS mendapatkan ijin prinsip IUPHHKHT dari Bupati Inhu dengan No SK522/EK/613 namun luasannya mengecil menjadi 16.500 ha, karena banyaknya tumpang tindih izin. Izin prinsip ini berlaku 6 bulan sejak diterbitkan, dengan pertimbangan kerjasama PT. CSS dengan masyarakat (25:75 di mana 5000 ha sawit untuk masyarakat dan
23
sisanya 11.500 ha adalah HTI untuk perusahaan). Perusahaan ini juga telah diadvokasikan oleh pegiat lingkungan di atas sejak akhir tahun 2002
hingga pertengahan 2003. Advokasi yang dilakukan
menghambat proses perijinan dan kegiatan PT. CSS. Beberapa bulan advokasi LSM vakum, perusahaan ini terus melanjutkan proses perizinannya dan akhirnya telah mendapat RKT tahun 2004 dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Di lapangan, perusahaan telah beroperasi di Desa Serangge, namun ada konflik antara elit-elit desa dan beberapa desa seperti Pauh Ranap, Serangge dan Kelurahan Peranap yang dikenal dengan Batin Tiga Lorong saling klaim. Akhirnya pada bulan April 2004 konflik bisa selesai dengan perjanjian perusahaan akan membangunkan lembaga adat tiga lorong dan para elit diberi sepeda motor. Elit-elit desa di Tiga lorong mendapat fee ataupun honor dari kegiatan ini, para elit tiga lorong ini juga sempat mengadu kepada pegiat lingkungan di atas, dan berusaha menyetop kegiatan PT. CSS. Ternyata dukungan dari pegiat lingkungan tersebut hanya dijadikan penguatan bargaining posisi bagi kelompok ini untuk bernegosiasi dengan PT. CSS. PT. CSS dilapangan telah melakukan kegiatan, perusahaan ini telah mendapat ijin RKT dari gubernur Riau dengan SK Nomor: KPTS.236/III/2004 tetnang pengesahan RKT Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Tahun 2004 A. N PT. CSS seluas 2.602 ha dengan total kayu untuk jenis Meranti dan campuran
kayu log maupun KBK sebanyak 277.603 m3.
Walaupun ada riak-riak perselisihan, namun perusahaan bisa memuluskan kegiatan penebangan kayu.
2.2.4. PT. Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) Ada dua tempat kawasan yang sat ini telah dieksploitasi maupun sedang diusulkan perijinannya. Kawasan pertama adalah Eks PT. Partiadi seluas 12.000 ha, namun hingga saat ini PT. RAPP baru mendapatkan izin prinsip dari Menhutbun. Kawasan kedua di akwasan PT IFA, perusahaan ini bekerjasama dengan KUD. Tani Pura Usaha dengan luasan lebih kurang 5.000ha, pada tahun 2004 perusahaan ini telah melakukan penebangan hutan alam sekitar 1.000 ha. Kawasan tersebut termasuk dalam wilayah Desa Talang Tujuh Buah Tangga dan
24
Desa Punti Kayu Serangge. PT. RAPP mempunyai konflik yang cukup tinggi dengan masyarakat, karena PT. RAPP diduga kuat telah menyerobot lahan milik warga Dusun III Desa Punti Kayu seluas 248 Ha, padahal lahan ini sudah mulai dikelola, masyarakat, akan tetapi justru diambil oleh pihak RAPP dengan dibacking anggota TNI, sejak bulan November 2004 pihak RAPP telah menurunkan satuan brimob di areal kegiatan yang berkekuatan antara 15 sampai 40 personil dengan siaga penuh. Personil ini juga dilengkapi dengan berbagai peralatan/senjata mulai dari Gas Air Mata
2.2.5. PTPN V Bermitra dengan KUD Cipta Bina Karya KUD Cipta Bina Karya didirikan pada tahun 1977 dan resmi berbadan hukum. Namun baru tahun 2001 KUD ini mendapatkan mitra dalam pemanfaatan kayu dengan PT IFA tahun 2001. KUD Cipta Karya bekerjasama dengan PT. IFA mendapat IPK seluas ±200 ha dari luasan cadangan ±320 ha. IPK tersebut diberikan oleh Kanwil Kehutanan Riau pada tanggal 27 Februari 2001 dengan nomor izin IPK 592/Kpts/KWL-3/2001 dengan masa berlaku sampai tanggal 10 Februari 2002, hal ini berkaitan dengan IPK kecil yang merupakan produk Departemen Kehutanan jaman menteri Muslimin Nasution. Untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, KUD bermitra dengan perusahaan perkebunan PTPN V seluas ±12.000 ha. Lokasi yang dimaksudkan adalah areal PT. IFA menurut status kehutanan, dan Desa Anak Talang menurut wilayah administrasi pemerintahan dengan titik koordinat S 00 ° 49 ′ 07,5 ″
E
102 ° 07 ′ 40,8. Pola kerjasama tersebut adalah pola KKPA dan kebun campuran dengan kesepakatan pembagian 60: 40, di mana adalah 60 % atau ±7.200 ha untuk masyarakat ( ±2.500 ha untuk sawit dan ±4.700 tanaman karet). Sedangkan sisanya 40 % atau ±4.800 ha merupakan lahan inti perusahaan dengan tanaman kelapa sawit. Dengan kesepakatan PTPN V mendahulukan pembuatan kebun kelapa sawit masyarakat. Tahun 2001 dibangun plasma tahap I seluas 50 ha dan tahun 2002 dibangun seluas 90 ha. Ketika lahan baru ditanami ±140 ha, pada tahun 2003 PTPN. V berencana akan mengembangkan lahan inti seluas ±4.800 ha. Melihat 25
ada penyimpangan dari perjanjian dan kesepakatan semula, masyarakat marah dan menyetop kegiatan pembukaan lahan. Setelah melalui beberapa kali perundingan sampai akhirnya masyarakat menurunkan tawaran hanya membuka 2.500 ha dengan pembagian 1.500 inti dan 1.000 plasma dengan jalan dibangun serentak, akan tetapi pihak PTPN V tetap menolak tawaran tersebut sehingga kesepakatan dihentikan sama sekali. Sejak saat itu PTPN V hanya mengelola kebun yang telah dibangun seluas 140 ha. KUD ini juga beberapa kali melakukan diskusi dan negosiasi dengan PT Mega Nusa Inti Sawit, namun tidak tercapai kesepakatan. Hal utama yang membuat perusahaan ini tidak mau bekerjasama dengan KUD karena dinilai kawasan ini merupakan lintasan gajah. Pola kemitraan yang dilakukan oleh PTPVN V dengan KUD Cipta Bina Karya adalah pola KKPA murni.
Jumlah yang mengikuti pola KKPA ini
merupakan anggota KUD Cipta Bina Karya sebanyak 175 keluarga atau 750 jiwa atau semua penduduk desa Anak Talang. Masyarakat pada umumnya setuju dengan pola mitra ini karena melihat keberhasilan pola KKPA yang dilakukan di desa eks transmigrasi umum dengan PT. MNIS. Terlihat ada perbedaan yang mencolok antara Desa Anak Talang tersebut dengan Desa-desa eks transmigrasi umum. Desa Anak Talang dari sisi pembangunan desa, perekonomian, dan tingkat pendidikan masyarakat masih tertinggal dibandingkan dengan Desa Eks Trans Umum. Perekonomian masyarakat Desa Anak Talang mengandalkan dan bergantung kepada kebun karet yang sebagian besar sudah tua dan sebagai pembalak kayu. Sedangkan desa Talang Mulia dan Talang Bersemi mengandalkan ekonomi dari perkebunan sawit pola KKPA dengan PT. MNIS.
Sebagian besar penduduk desa transmigrasi
bekerja pada perusahaan tersebut. Selain mendapat persentasi hasil kebun kelapa sawit, mereka juga mendapat gaji dari bekerja pada kebun pola mitra PT. MNIS. Gaji diperusahaan ini sebagai Buruh Harian lepas (BHL) Rp.23.500 per hari. Beberapa warga Anak Talang (15 –20 KK) diikutkan dalam pola transmigrasi umum dan mendapatkan kaplingan per KK 2 ha/1 kapling, namun sebagian telah menjual kaplingannya.
26
2.2.6. PT. Tri Bhakti Sarimas Selain perusahaan di atas, keberadaan PT. TBS sangat penting untuk dijelaskan dan diperhitungkan dalam rangka advokasi penyelamatan koridor ini. PT. TBS bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit, kelapa hibrida dan cokelat, bekerjasama dengan masyarakat setempat khususnya masyarakat pucuk rantau dengan pola kemitraan, masyarakat diwakili KUD Prima Sehati rencana awal akan mendapat 10.000 ha yang akan ditanami kelapa sawit. Lahan percadangan areal PT. Tri Bhakti Sarimas seluas ± 31.625 ha. Realisasi pemanfaatan, untuk program kemitraan seluas 9.316 Ha (dari 10.000 ha) yang direncanakan, sisa sekitar 600 ha merupakan lahan tumpang tindih dengan kebun masyarakat. Menurut keterangan Ketua KUD Prima Sehati, sebagian merupakan tumpang tindih dengan Hutan Lindung sehingga perusahaan tidak mau mengelola, padahal lahan ini sudah menjadi kebun karet masyarakat. Seluas 10.000 Ha merupakan lahan HGU (lahan inti) saat ini seluruhnya sudah terealisasi, 3.000 Ha bermitra dengan KUD Kuantan Sarimas. Untuk kelapa hibrida dan kakao masing-masing seluas 2000 Ha. Kawasan ini sebagian merupakan milik masyarakat dan sebagian kawasan hutan produksi PT. Taluk Wana Sakti dan HPH IFA (Dinas perkebunan Kabupaten Kuantan Singingi). Kawasan hutan seluas ± 13.635,50 Ha dilepas menjadi kawasan perkebunan oleh menteri kehuatanan dengan SK 527/KPTSII/94 pada tanggal 19 Juli 1994 di kecamatan Kuantan Mudik. Di Kabupaten Inhu seluas 560 Ha pelepasan fungsi kawasan yang dipegang oleh PT IFA menjadi kawasan PT TBS. Berdasarkan wilayah administrasi desa, TBS termasuk dalam desa Lubuk Ramo, Pantai, Air Buluh, Pangkalan, Ibul, Sungai Besar, Perhentian Sungkai, Muara Petai, Cengar, Seberang Cengar dan Setiang. Lahan umumnya berdekatan dengan hutan lindung Bukit Batabuh. Berdasarkan Perda 10 tahun 1994 tentang arahan tata ruang wilayah Provinsi Riau, ada dugaan sebagian kebun PT TBS berada dalam Hutan Lindung Bukit Batabuh. Luasan PT TBS yang masuk dalam hutan lindung bedasarkan analisis GIS adalah seluas 3.929 ha lihat gambar (2.1). Selain itu berdasarkan pengamatan di lapangan kawasan PT TBS sebagian berada pada kriteria lindung karena kelerengannya di atas 25 %
27
Masalah utama kemitraan PT. TBS dengan masyarakat Pucuk Rantau di Kuantan Mudik yaitu tidak adanya transparansi pengelolaan hasil produksi baik dari pihak perusahaan maupun koperasi sebagai penghubung. Masyarakat tidak dapat mengetahui proses pemanenan, perhitungan hasil produksi serta biaya yang harus dikeluarkan, sehingga hasil Rp.80.000 per triwulan dirasakan tidak masuk akal. Kemudian lahan plasma baru diserahkan jika sudah berumur 10 tahun juga kurang fair karena pola KKPA ditempat lain sudah dikonversi pada umur 5 tahun.
28
Gambar 4. Peta tumpang tindih PT. TBS dengan HLBB berdasarkan Peta RTRWP 1994
29
2.3.
Pandangan dan Sikap Masyarakat Terhadap Perusahaan Kehadiran perusahaan-perusahaan di wilayah ini disambut masyarakat
dengan sikap pro dan kontra. Bagi elit-desa kehadiran perusahaan sangat menunguntungkan karena pada umumnya mereka mendapat fee atau honor, sedangkan bagi maysarakat umum, kehadiran perusahaan kurang begitu menguntungkan bahkan merugikan karena wilayah perladangan semakin sempit. Sekitar 70 % masyarakat tidak menerima kehadiran perusahaan baik HTI dan Perkebunan Kelapa Sawit dan hanya 30 % yang menerima (lihat grafik di bawah ini). Jika perusahaan HTI hanya menanam HTI dan tidak ada kemitraan tanaman campuran akan ditolak oleh masyarakat. Kalau pun ada pola kerjasama pembangunan Kelapa sawit sebagain besar (80 %) masyarakat menolak dan hanya 20 % yang menerima. Sedangkan bagi perusahaan perekebunan kelapa sawit sekitar 70 % masyarakat menolak kalau tidak ada pola kemitraan. Jika ada pola kemitraan sebagian besar mendukung kerjasama tersebut. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih menginginkan pola kemitraan dengan persuahaan untuk perkebunan kelapa sawit. Grafik 5. Keberadaan Perusahaan Keberadaan Perusahaan 70.11%
80% 60% 40%
29.89%
20% 0% Menerima
Tidak Menerima
Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 ( responden 30 di Kuansing, 60 di INHU)
Alasan masyarakat untuk menerima atau menolak perusahaan bervariasi, sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa kehadiran perusahaan merugikan masyarakat, sebagian kecil menyatakan menguntungkan dengan alasan sesuatu yang baru perlu dicoba, contoh bentuk penghijauan, hasilnya permanen dan ada dampak positifnya bagi masyarakat, seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini. 30
Tabel 7. Kategori Pendapat Masyarakat Terhadap Kehadiran Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di % HTI di INHU % Kuansing Merugikan masyarakat kecil 26.92% Menguntungkan dan bisa 20.76% diterima karena kebun karet dan tempat berladang masyarakat habis dan putera daerah tidak diterima kerja Karena sesuatu yang baru perlu 3.84% Menguntungkan 7.54% dicoba perusahaan Tidak apa-apa asal legal 11.55% Menguntungkan kelompok 1.89% 69.81% Dapat meningkatkan ekonomi 23.08% Merugikan masyarakat masyarakat, hasilnya permanen dan menjanjikan Ada dampak posif dan negatifnya 30.77% Salah satu contoh penghijauan 3.84% Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 ( responden 30 di Kuansing, 60 di INHU)
Sebanyak 74 % masyarakat menilai kehadiran perusahaan kurang bermanfaat bagi mereka (kelas bawah) bahkan merugikan karena sumberdaya hutan dan lahan yang ada semakin sedikit dan langka. Hanya pemerintah yang merasa dengan adanya perusahaan akan dapat mendongkrak ekonomi masyarakat, menambah PAD, dan memperbaiki sarana jalan. Sisanya sekitar 26 % merasa ada keuntungan dari kehadiran masyarakat dengan alasan dapat memberi lapangan kerja, meningkatkan sarana dan prasarana dan sumber mata pencaharian baru. Grafik 6. Manfaat Perusahaan Terhadap Masyarakat Manfaat Perusahaan Terhadap Masyarakat 73.56% 80% 70% 60% 50% 40%
26.44%
30% 20% 10% 0% Bermanfaat
Tidak Bermanfaat
Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 (90 responden)
Selain terjadinya kemerosostan ekonomi karena kehilangan sumberdaya hutan dan lahan, juga terjadi beberapa konflik yang berhubungan dengan masalah sosial. Kategori konflik yang ditimbulkan akibat kehadiran perusahaan menurut 31
masyarakat sebagai berikut: Grafik 7. Konflik Sosial Akibat Kehadiran Perusahaan Konflik Sosial Akibat Kehadiran Perusahaan 49.59% 50% 40% 25.62%
30%
23.97%
20% 10%
0.83%
0% Perusahaan dengan masyarakat
M asyarakat dengan M asyarakat dengan Tidak pernah terjadi masyarakat di dalam masyarakat di luar desa konflik desa
Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 (90 responden)
Beberapa konflik yang muncul dan terjadi antara perusahaan dengan masyarakat adalah: •
Masalah lahan: tumpang tindih lahan
•
Tidak sesuainya kenyataan yang diterima masyarakat dengan kesepakatan yang telah dibuat dengan perusahaan
•
Adanya masyarakat yang belum mengerti dengan sistem kerjasama yang diterapkan perusahaan (penipuan oleh perusahaan) Dalam hal pengelolaan lahan seperti ulayat desa dengan kehadiran
perusahaan perkebunan, masyarakat menyatakan: •
Makin sempit untuk ruang gerak masyarakat dalam bidang pertanian karena masyarakat biasanya punya tradisi ladang berpindah-pindah
•
Ulayat sudah dijadikan plasma
•
Kacau-balau dan sudah hilang karena dihabisi perusahaan Kehadiran perusahaan menyebabkan terjadinya praktek pengambil-alihan
lahan oleh masyarakat yang berdomisili di luar desa bersangkutan yang bekerja pada perusahaan. Seperti yang terjadi pada desa Talang Tujuh Buah Tangga menurut keterangan beberapa warga kegiatan membuka hutan yang dilakukan masyarakat luar desa ini mencapai 300 ha perorang atau minimal 20 Ha perorangnya, sehingga lahan yang dibuka tersebut diperkirakan sudah lebih dari 32
1.500 ha. Praktek ini menggunakan pola yang hampir sama dengan perusahaan yaitu menggunakan pemimpin yang ada di desa dengan berbekal surat pindah dan pengakuan akan mengikuti peraturan adat dan peraturan desa setempat. Praktekpraktek seperti ini menimbulkan konflik antara masyarakat dengan masyarakat lain di luar desa mereka Secara umum para perusahaan masuk melalui elit dan tokoh desa tanpa ada perundingan dengan masyarakat lainnya. Tokoh desa didukung oleh pihak kecamatan untuk meluluskan masuknya perusahaan tersebut. Sebagian besar masyarakat tidak mengetahuinya sehingga sering terjadi pengambilalihan lahan secara paksa atau dengan mengganti rugi lahan milik warga. Untuk sessat memeang menguntungkan karena masyarakat mendapat uang kas, namun uang tersebut tidak bertahan lama. Berikut ini pendapat masyarakat tentang masuknya perusahaan ke wilayah mereka. Grafik 8. Proses Perijinan Perusahaan Proses Perijinan Perusahaan
72.94%
80% 70% 60% 50% 40%
17.65%
30% 20%
9.41%
10% 0% Sosialisasi
Langsung SK Pemerintah
Tidak Tahu
Sumber: Tabulasi kuisioner YASA tahun 2004 (90 responden)
2.4.
Konflik Satwa Akibat Kehadiran Perusahaan Permasalahan lain yang ditimbulkan akibat pembukaan lahan oleh
perusahaan adalah konflik manusia dengan satwa, pada tahun 2003 Hama Gajah pernah menyerang kebun sawit masyarakat Talang 7 Buah Tangga yang dikelola oleh KUD.”RAHMAH”, diperkirakan kerugian yang diderita masyarakat akibat amukan Gajah tersebut mencapai 150 ha kebun sawit yang telah berumur 1-2 tahun, Gajah yang memporak porandakan kebun masyarakat tersebut diperkirakan 33
jumlahnya mencapai 60 ekor Kepala Desa dan Tokoh masyarakat Punti Kayu Serangge juga menyatakan adanya serangan gajah pada lahan pertanian masyarakat karena hutan sudah habis oleh kegiatan perusahaan perkebunan. Hal ini terbukti Gajah mengamuk setelah PT. RAU beraktivitas membuka perkebunan Kelapa Sawit, sebelum itu Gajah tidak pernah mengganggu dan merusak tanaman masyarakat. Hal senada juga disampaikan Kepala desa Lubuk Ramo, setelah kehadiran PT.TBS di wilayahnya, sudah dua kali gajah masuk sampai ke perkampungan penduduk. Masyarakat desa Anak Talang juga mengemukakan bahwa cukup sering terjadi konflik antara satwa dengan manusia karena habitatnya terganggu diantaranya: •
Tenggang waktu antara tahun 1984 – 1986, 6 orang karyawan PT. IFA dibunuh harimau ketika sedang mengerjakan pembukaan jalan.
•
Enam dari tujuh orang warga sumbar yang sedang mencari hasil hutan di sekitar Sei Fatimah dilaporkan tidak kembali, dan diketahui juga telah dibunuh oleh harimau.
•
Pada bulan Juli 2004 masyarakat Anak Talang melihat 20-30 ekor gajah dan merusak tanaman padi dan tanaman campuran yang berumur 3 bulan seluas 1 ha.
•
Lebih dari 10 ekor harimau mati dibunuh dengan jalan dijerat/ditembak oleh pemburu di wilayah desa Anak Talang. Namun informasi penjerat dan jaringan pemasarannya tidak didapatkan. Gambaran-gambaran tersebut didukung juga dengan jawaban responden
pada kuisioner yang menyatakan bahwa konflik dengan satwa ada kaitannya dengan kehadiran perusahaan dan 73 % menyatakan lahan yang diserang adalah perladangan, kebun karet dan kelapa sawit baik milik masyarakat maupun perusahaan.
34
BAB III Analisa dan Pembahasan
3.1.
Analisis Proses Perijinan IUPHHKHT (PT. AW, PT. BBSI, dan PT. CSS) pada kawasan PT. IFA Analisis proses perijinan ketiga perusahaan tersebut di atas memiliki
banyak persamaan walaupun ada perbedaan namun tidak signifikan. Oleh karena itu analisis ketiga perusahaan ini bisa dilakukan sekaligus. Analisa terhadap proses perijinan dibawah ini lebih cenderung pada analisa hukum, sosial dan keruangan (terkait fisik, kehutanan dan biologi) dengan beberapa tahap seperti di bawah ini: Proses Sosialisasi perijinan:
Proses penerbitan ijin prinsip oleh bupati Inhu terhadap ketiga perusahaan tersebut di atas cacat karena sebelum ijin prinsip keluar, pihak perusahaan harus memiliki isian 08 (adanya persetujuan masyarakat). Kalaupun ada dukungan dari kepala desa dan tokoh adat seperti yang dimiliki oleh PT. AW dan CSS, belum mewakili secara menyeluruh masyarakat karena kepala desa dan tokoh adat bisa memutuskan secara sepihak tanpa mendiskusikannya dengan masyarakat banyak.
Perusahaan tidak mensosialisasikan dengan baik rencana perijinan yang akan diusulkan kepada masyarakat, sehingga sebagian besar tidak tahu dan segelitnir orang yang tahu yaitu hanya kepala desa dan tokoh adat. Padahal areal yang akan diusulkan menyangkut kepentingan orang banyak, hal ini diperkuat dari hasil tabulasi data pada bab 2, menyimpulkan bahwa 72,94% masyarakat tidak tahu tentang ketiga perijinan perusahan diatas, 17,65 % menyatakan langsung SK bupati dan hanya 9,41 % yang menyatakan ada sosialisasi.
Proses Perijinan, AMDAL dan Iijin Definitif
IUPHHKHT yang diberikan Bupati INHU kepada 3 perusahaan tersebut illegal; sudah ada ijin Menhut pada kawasan tersebut yang diberikan kepada PT. IFA dengan SK No. 608/Menhut-IV/1993 tanggal 31 Maret 1993 hingga Juli 2008, sementara belum ada pelelangan kawasan tersebut oleh Menhut RI atau Gubernur Riau pada saat itu.
35
Dalam rekomendasi PT. IFA terkait usulan dari KUD yang bermitra dengan ketiga perusahaan tersebut di atas bukan merupakan ijin pelepasan kawasan, melainkan persetujuan kawasannya dikelola oleh KUD yang bermitra dengan perusahaan sepanjang prosedur yang berlaku dijalankan dan menyarankan memohon ke pemerintah provinsi yang berwewenang untuk melakukan pelelangan dan ijin pelepasan kawasan. Secara hukum perusahaan tidak berwewenang untuk memberikan ijin pelepasan kawasan, melainkan Menteri Kehutanan RI atau yang ditunjuk seperti Gubernur.
Dalam proses perijinan bernuansa KKN, seperti kasus PT. AW, ijin prinsip berlaku hanya 6 bulan, namun hingga 9 bulan masih berlaku dan tidak ada perpanjangan
Proses perijinan tidak mengikuti prosedur, misalnya PT AW. ijin defenitif lebih dahulu diterbitkan sebelum sidang AMDAL terakhir dipresentasikan. Presentasi Kerangka Acuan AMDAL tanggal 12 Oktober 2003 dan presentasi ANDAL: RKL dan RPL dilaksanakan pada tanggal 17 Desember 2002 dan persetujuan AMDALnya pada tanggal 31 Desember 2002. Seharusnya ijin defenitif belum diterbitkan sebelum presentasi AMDAL yang menilai kelayakan perusahaan melakukan kegiatan.
Tidak ada peraturan setingkat UU yang dicantumkan dalam SK UU No.6 tahun 1999 tentang pengusahaan hutan dan hutan produksi). Tidak ada peraturan pemerintah N0.44 tahun 1970 tentang perencanaan hutan yang dicantumkan dalam SK ketiga perusahaan tersebut.
Melanggar dan bertentangan dengan SK Menhut No. 70/Kpts-II/2001 bahwa kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan adalah HP, sementara areal PT. AW, seluas 1.275 ha merupakan HL, sesuai dengan berita acara pemeriksanaan Dishutbun Kabupaten Inhu.
Bupati Inhu melanggar wewenang yang diberikan kepadanya, sejak Juni 2002 kewenangan pada Bupati telah ditarik ke Menhut berdasarkan PP 34 tahun 2002, sementara ijin defenitif yang diberikan kepada PT AW, memang April 2002 tapi tidak mengikuti prosedur, PT Citra Sumber Sejahtera baru mendapatkan ijin prinsip pada tanggal 6 mei 2002 dan kanalisis Kualitas tanah pada bulan Agustus 2002, PT Bukit Batabuh Sei
36
Indah mendapatkan ijin pada tanggal 6 Juni 2002 dan presentasi AMDAL pada bulan September 2002, berarti ijin defenitif diberikan Bupati kepada PT. CSS dan BBSI diatas bulan September tahun 2002. Dalam lampiran PT CSS, mendapat persetujuan dan dukungan dalam pengembangan usaha HTI tetapi hal tersebut sudah usang. Seharusnya PT. AW dan PT. BBSI mengusulkan ijin defenitif dari Menhut RI kembali
Ijin defenitif yang diberikan kepada PT. BBSI dan PT. CSS melanggar Surat Edaran Menteri Kehutanan dan Perkebunan, tanggal 22 Mei 2002, yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Walikota Seluruh Indonesia tentang ”penghentian/penangguhan pelepasan kawasan hutan. Juga sesuai dengan LOI Indonesia-IMF yang menyetujui tidak ada konversi hutan. Dalam IUPHHKHT kedua perusahaan tersebut 25 % kawasannnya dilepaskan untuk perkebunan yang dimitrakan dengan KUD.
Bertentangan dengan SK Menhut 10.1/Kpts-II/2000 tentang Pedoman Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman yang menyatakan bahwa areal yang dapat dimohon untuk usaha tanaman adalah areal kosong dan kawasan HP yang tidak dibebani hak lain. Sementara kondisi hutan berdasarkan hasil pemeriksaan dan citra landsat TM tahun Agustus 2002 kondisi hutan masih relatif baik dan telah dibebani hak lain, lihat HPH Aktif 2003 (Dishut Riau 2003). Berdasarkan analisis di atas, secara hukum, izin yang diberikan oleh
bupati kepada ketiga perusahaan tersebut adalah salah prosedur/illegal karena selain tidak mengacu peraturan di atasnya yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kewenangan pemberian ijin. Dari aspek kewenangan, pemberian ijin defenitif pada PT. AW, PT.BBSI dan PT.CSS bertentangan dengan peraturan di atasnya seperti:
Keputusan
Menteri kehutanan No.54.1 /KPTS-II/2002 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 05.1/KPTS-II/2000 Tentang Kriteria dan Standar Perijinan Usaha Pemanfaatan Hasil hutan dan Perijinan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi. Disebutkan pada pasal II point A dan B, dengan ditetapkan Keputusan ini, maka kewenangan Gubernur atau Bupati/Walikota dalam
37
memberikan Hak Pengusahaan Hutan/Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan yang diberikan setelah tanggal 31 Desember 2001 dihentikan atau dicabut. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan berlaku efektif mulai tanggal 1 Maret 2002. Sementara pemberian ijin defenitif ketiga perusahaan tersebut di atas bulan Maret. Pihak bupati hanya berpegangan pada satu UU yaitu UU Otda No.22 tahun 1999, dan cenderung menginterpretasikan penuh UU ini. Pemerintah kabupaten memiliki mainstream bahwa Perda lebih tinggi dari Keputusan Menteri, dan pihak kabupaten tidak pernah menjabarkan bahwa keputusan Menteri merupakan ratifikasi dari Peraturan Pemerintah PP 34 tahun 2002 yang status hukumnya jauh lebih tinggi dari peraturan daerah. Proses pemberian
ijin kepada tiga perusahan tersebut juga bernuansa
KKN, seperti kasus PT. AW ijin prinsip berlaku hanya 6 Bulan, namun hingga 9 bulan masih berlaku dan tidak ada perpanjangan. Dengan demikian SK Yang diberikan Bupati Inhu terhadap tiga perusahaan di atas secara substantif, dan kewenangan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga batal secara hukum. Kemudian dalam proses pemberian ijin kawasan hutan produksi kepada pemanfaatan HTI, harus ada lembaga independen yang menyatakan kawasan hutan tersebut potensi kayu rendah. Berdasarkan SK Menteri kehutanan 10.1/Kpts-II/2000 kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan untuk HTI adalah kawasan hutan yang memiliki potensi rendah yaitu setiap kayu yang berdiameter 15 cm tidak lebih dari 10 m3 dan tidak dibebani hak lain. Dari proses pemberian rekomendasi teknis perijinan ketiga perusahaan tersebut di atas, terkesan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten INHU mengabaikan Keputusan Menteri di atas karena hingga saat ini belum ada penelitian independen seperti LIPI dan LPI yang ditunjuk pemerintah untuk menyatakan potensi kayu dikawasan ini rendah. Rencana pengembangan HTI PT. RAPP, sebagian besar masyarakat tidak menyetujuinya karena dinilai kurang menguntungkan. Selain itu rencana peruntukan HTI juga terjadi tumpang tindih dengan kebun karet, kebun sawit maupun perladangan masyarakat. Konsesi PT. RAPP merupakan kawasan strategis untuk menyambung antara landsekap TNBT-HL. Bukit Batabuh. Proses
38
perijinan yang baru memasuki tahap ke-3 yaitu izin prinsip dari Menhutbun, membuka kemungkinan untuk menggagalkan rencana perusahaan tersebut. Kecuali areal PT. RAPP yang bekerjasama dengan KUD Tani Pura Usaha seluas 5.000 ha, kegiatan ini telah berjalan. Walaupun areal yang dimohonkan tumpang tindih dengan perijinan HPH PT. IFA, KUD ini didukung oleh elit-elti desa dan kecamatan, jika kita akan mengadvokasikan kegiatan ini, yang maju adalah masyarakat atau koperasi tersebut. Pola kerjasama HPHTC yang dilakukan 4 perusahaan HTI (PT. AW, PT. BBSI, PT.CSS dan PT.RAPP) merupakan cara legalisasi penebangan hutan tanpa adanya pelepasan kawasan. Terlihat beberapa dasar dan pertimbangan perijinan yang diberikan Bupati mengacu pada kerjasama dan pengembangan ekonomi masyarakat. Padahal dengan keluarnya PP.34 tahun 2002 IUPHHKHTC tidak berlaku lagi bagi tanaman campuran kelapa sawit. Perusahaan juga memanfaatkan KUD ataupun Kelompok tani (masyarakat) untuk mendapatkan kayu dan pinjaman lunak dari bank.
3.2.
Analisis Fisik dan Biologi Kawasan koridor yang menghubungkan TNBT dan SM Bukit Rimbang
Bukit Baling sebagian besar berada pada perbukitan diantara dataran sekitarnya, merupakan hulu DAS Indragiri-Batanghari dan SubDASnya, oleh karena itu kawasan ini menjadi amat penting diselamatkan karena berfungsi sebagai tata air. Di samping itu, di koridor ini terdapat berbagai jenis flora dan fauna, beberapa di antaranya dilindungi seperti; kayu Tembesu, Bulian, pohon sialang,
harimau
sumatera, gajah sumatera, kabing hutan, dan tapir Melayu. Dampak yang lebih besar, jika landclearing dilakukan pada kawasan koridor dan semua kawasan IFA untuk dijadikan HTI maupun perkebunan kelapa sawit, pada waktu terjadi hujan akan terjadi erosi tanah akan terjadi sehingga membentuk sedimentasi sungai. Pada musim-musim hujan banjir akan tidak terkendali dan akan merugikan masyarakat di hilir. Pada musim panas, kekeringan akan terjadi, pertanian tidak berkembang apalagi jika kawasan tersebut ditanami dengan akasia dan kelapa sawit yang membutuhkan rata-rata 6 liter air /hari/pohon. Kalau tahun 2003 dan 2004 terjadi banjir minimal 3 kali setahun,
39
tahun-tahun berikutnya jika wilayah ini dilandclearing maka akan lebih dari 3 kali. Fakta membuktikan, hasil penelitian Walhi dan ATTR tahun 2003, kerugian yang ditanggung oleh pemerintah daerah (sampel 7 kabupaten) akibat banjir mencapai 80 % dari APBD. Berarti ada biaya yang hilang yang harus dikeluarkan oleh masing-masing Pemda untuk menutupi banjir tersebut dan tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima dari iuran penebangan hutan tersebut karena rata-rata setiap pemerintahan daerah hanya mendapatkan 3 -6 % sumber PAD dari sektor kehutanan. Di samping itu, pemerintah daerah juga akan kehilangan plasma nuftah yang tak ternilai harganya seperti gajah, harimau, tapir dan hewan lainnya, jernang, pohon sialang dan lain-lain yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan berkesinambungan. Hanya hewan dan jenis biota tertentu saja yang bisa hidup dan bertahan pada kawasan yang di-landclearing. Asumsi dari konsultan perusahaan bahwa gajah dan harimau dapat pelan-pelan diusir dari kawasan yang di landclearing kurang masuk akal. Dilihat dari peta citra terdapat 2 kawasan yang memutus koridor (gaps) khususnya memutus kawasan lindung yang berada di Kuansing, kawasan yang terputus ini tidak lain merupakan desa-desa yang baru tumbuh akibat lancarnya jalur transportasi. Desa tersebut adalah desa Perhentian Sungkai yang merupakan pemekaran dari desa Sungai Besar dan gaps kedua merupakan pengembangan wilayah dari desa Kasang. Di samping itu juga terdapat desa yang sudah berlangsung lama berada dikawasan koridor yaitu desa Air Buluh. Saat ini desa tersebut sudah dikelilingi oleh lahan PT. TBS, sehingga dengan sendirinya bisa di yakini bahwa lahan PT. TBS juga sudah masuk kekawasan lindung. Sementara itu setengah dari kawasan HL. Bukit Batabuh dalam RTRWK Kuansing berubah fungsinya menjadi hutan produksi dan perkebunan tanpa adanya perubahan fungsi dari Menteri Kehutanan. Sebaliknya di dalam RTRWP 1999-2014 yang sampai saat ini merupakan arahan perencanaan di wilayah provinsi Riau masih sah, kawasan ini memiliki status lindung. Dan dalam draft Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau 2001-2015, kawasan tersebut juga statusnya menjadi Arahan Pengembangan HTI dan Perkebunan.
40
Dalam peta Rencana Konservasi Nasional tahun 1982 dan peta TGHK 1984, status kawasan ini HP dan HPT tetapi pada peta RTRWP 1994-2014 status di kawasan IFA menjadi Areal Pengembangan Kehutanan (APK), di hutan lindung Batang Ulak Masih tetap statusnya HL, tetapi di perbatasan Inhu dan Kuansing statusnya menjadi Areal Pengembangan Perkebunan. Hal yang sama juga pada draft Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau tahun 2001-2015. Lebih rinci mengenai RTRW menyangkut keberadaan koridor yaitu RTRWK Kuansing 2004-2013 mengarahkan pengembangan sebagian kawasan lindung Bukit Batabuh yang merupakan bagian dari koridor menjadi kawasan hutan konversi dan kawasan hutan produksi. RTRWK INHU 2001-2011 mengarahkan koridor pada Hutan Produksi Tetap Pola HPH, Hutan Produksi terbatas dan Tanaman Rakyat. RTRWP sesuai Perda 10 1994 masih mengarahkan kawasan ini menjadi kawasan lindung, APK kehutanan dan APK perkebunan. Ketiga instrumen perencanaan ini belum ada keselarasannya. Sebaiknya kawasan HL. Bukit Batabuh kesemuanya dikembalikan pada status HL baik itu pada RTRWK Kuansing maupun draft RTRWP 2001-2015. Sementara itu di kawasan eks Partiadi dan sebagian kawasan IFA diupayakan dikembalikan ke HPT berdasarkan peta TGHK 1984 maupun Rencana Konservasi Nasional tahun 1982. Dampak dari landclearing dari sebagian hutan lindung Bukit Batabuh juga berdampak pada erosi tanah, banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kering. Dalam AMDAL ketiga perusahaan tersebut menyatakan kawasan IFA kondisinya rusak dan tidak produktif, tetapi tidak dijelaskan secara rinci berapa potensi kayu rata-rata dalam satu ha dan tidak ada lembaga independen yang melakukan kajian dan penilaian untuk itu. Sementara dari analisa kasar Citra landsat tahun 2002 dan survey langsung ke lokasi, potensi kayu masih ada dan lebih dari 10m3/ha untuk kayu yang berdiameter 15 cm ke atas dan bertentangan dengan SK Menteri 10.1/Kpts-II/2000. Dengan demikian, jika kita berbicara tentang ekosistem dan bentang lanskap, sebaiknya kawasan koridor di wilayah ini dipertahankan karena sebagai pengatur tata air, habitat asli satwa besar seperti gajah dan harimau dan koridornya. Kawasan koridor ini juga sangat penting untuk perluasan habitat dan mempertahankan gen resesif harimau sumatera misalnya yang membutuhkan koridor untuk kawin silang dengan harimau di tempat lain. Selain itu bentang lansekap yang tidak terputus sangat penting manfaatanya bagi kehidupan ekosistem yang ada didalamnya, kalau tidak maka akan terjadi fragmentasi hutan atau pulau biologi.
41
3.3.
Analisa Sosial Ekonomi dan Budaya
Di kawasan koridor ini berdiam suku Melayu dan Talang Mamak yang memiliki prinsip adat dan relegius berkaitan dengan hutan, terdapat pendam pekuburan nenek moyang mereka, sialang pendulangan yang berfungsi sosial ekonomi dan budaya. Bagi kelompok Talang Mamak bahwa Tuhan mereka berada pada kayu-kayu besar, berbagai hantu yang dipersepsikan berada di rimba sebagai bagian dari kosmologi. Dengan demikian kawasan ini memiliki nilai konservasi hutan tinggi (HCVF) dari aspek sosial budaya. Tanah dan hutan tertentu yang dianggap ulayat tidak boleh diconcang merupakan hukum adat yang berlaku bagi masyarakat Lubuk Jambi. Dari beberapa kawasan yang berlaku berdasarkan hukum adat, Hutan Lindung Bukit Batabuh merupakan salah satunya. Peraturan ini sebenarnya tidak terlalu kaku karena dalam prakteknya masyarakat masih bisa memanfaatkan lahan sepanjang tidak mengganggu stabilitas kawasan, tetapi tidak ada istilah peruntukan bagi pihak-pihak tertentu apalagi pihak luar. Namun hukum adat yang tidak didukung oleh hukum negara membuat peraturan adat tersebut diabaikan. Pemerintah seharusnya dapat memanfaatkan dukungan dari segi adat dan budaya masyarakat. Walaupun budaya dan peraturan adat tersebut sudah mulai mengalami pergeseran bukan berarti masyarakat telah lupa dengan prinsip-prinsip tersebut. Penggalian hukum adat dan prinsip budaya dari sesepuh, ninik mamak, orang gedang, maupun tokoh-tokoh adat lainnya yang berpengaruh di wilayah ini sedikit banyak akan membantu mengembalikan posisi hutan lindung tersebut pada nilai sebenarnya dalam segi pandang adat dan budaya. Terdapat dua desa di kawasan koridor biologi yaitu desa Perhentian Sungkai dan pengembangan dari desa Kasang oleh masyarakat setempat kawasan tersebut lebih dikenal dengan Bombai/Bukit Batabuh (tempat maksiat) kecamatan Kuantan Mudik kabupaten Kuansing. Di desa Perhentian Sungkai terdapat kegiatan pemukiman, kebun karet, perladangan dan rencana pembukaan lahan baru dengan total penduduk sekitar 100 keluarga. Di desa Kasang wilayah pemukiman ini relatif baru sejak reformasi. Kawasan ini kanan kiri jalan telah dibuka untuk karet dan kelapa sawit. Pembukaan baru terus berlanjut untuk pembukaan karet dengan radius sekitar 2 km sepanjang jalan lintas Tengah Sumatera. Namun pada bulan lalu pemerintah Kabupaten Kuansing telah merazia 40
dan menghanguskan tempat pemukima maksiat ini. Untuk desa Perhentian Sungkai, perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat pola-pola yang tepat dalam pengembangan hutan kemasyarakatan. Sedangkan di pemukiman maksiat desa Kasang harus direstorasi atau direhabilitasi agar tutupan hutan pulih kembali. Kehadiran perusahaan merupakan angin segar bagi masyarakat, namun dilihat dari aspek sosial budaya terdapat eksploitasi adat, ulayat dan penyalah gunaan konsep ulayat untuk memberikan hak komunal kepada pihak lain. Ulayat hanya bisa pinjam pakai untuk komunitas sendiri dan tidak diperjual-belikan. Apalagi dalam pemberian dan kerjasama dengan perusahaan hanya tokoh adat yang berperan sedangkan masyarakat kecil lainnya tidak dilibatkan, sehingga yang terjadi adalah kontrak kerja antara perusahaan dengan elit desa dan adat, bukan masyarakat keseluruhan. Pemberian ijin dan kerjasama ini juga menimbulkan konflik batas kepemilikan klaim antar desa dan adanya peranan premanisme. Dengan habisnya hutan di sekitar masyarakat, kemarginalan akan bertambah karena sebagian besar masyarakat memanfaatkan dan bergantung pada sumberdaya hutan. Kehadiran perusahaan perkebunan lebih didukung oleh masyarakat jika dibandingkan dengan perusahaan HTI, hal ini disebabkan karena secara ekonomi perusahaan perkebunan lebih menjanjikan. Kehadiran perkebunan dalam pandangan masyarakat akan membawa perubahan ekonomi secara langsung dan dalam waktu yang relatif singkat. Secara hirarki sebenarnya masyarakat menolak kehadiran perusahaan HTI ke wilayahnya, karena dianggap lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu dalam strata masyarakat. Masyarakat yang berada pada status sosial tertentu beranggapan tidak mendapat hasil yang ril dari kerjasama tersebut. Perusahaan HTI sendiri tidak menyia-nyiakan peluang yang ada, dengan memanfaatkan kemungkinan kerjasama dengan masyarakat dalam pembangunan kebun, seperti yang dilakukan PT. AW bekerjasama dengan KUD Tani Karya Mandiri, PT. CSS dan PT. BBSI yang bekerjasama dengan masyarakat Talang Durian Cacar dalam pembangunan kebun kelapa sawit dan kebun karet. Kerjasama inipun sebenarnya rawan kegagalan karena tidak ada jaminan dan mekanisme yang dibuat dalam perjanjian tersebut, baik tentang jenis bibit maupun perawatan kelapa sawit yang dilakukan perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian
43
YASA dengan CIFOR tentang petani swadaya kelapa sawit di Riau, bahwa keberhasilan dari kelapa sawit ditentukan oleh jenis bibit dan perawatan. Walaupun sistem kerjasama dengan perusahaan perkebunan dianggap lebih baik, namun tidak tertutup kemungkinan kemitraan ini tetap gagal, hal ini bisa diambil contoh dari kemitraan antara masyarakat Pucuk Rantau di Kuantan Mudik yang bermitra dengan PT. TBS. Masalah utama kemitraan PT. TBS dengan masyarakat Pucuk Rantau yaitu tidak adanya transparansi pengelolaan hasil produksi baik dari pihak perusahaan maupun koperasi sebagai penghubung. Masyarakat tidak dapat mengetahui proses pemanenan, perhitungan hasil produksi serta biaya yang harus dikeluarkan, hasil pembagian keuntungan Rp.80.000 per triwulan dirasakan tidak masuk akal. Kemudian lahan plasma baru diserahkan jika sudah berumur 10 tahun juga kurang fair karena pola KKPA ditempat lain sudah dapat dikonversi pada umur 4-5 tahun, karena kelapa sawit umur 1 tahun setelah panen sudah bisa diserahkan kepada masyarakat. Alasan perusahaan akan membuka peluang kerja dan memperkerjakan orang lokal adalah benar. Namun perlu disadari bahwa masyarakat lokal tidak bersekolah, kalaupun menjadi tenaga kerja di persuahaan hanya sebagai buruh karena latar belakang pendidikan. Selain itu, bekerja sebagai buruh pendapatannya lebih kecil daripada sebagai peramu hutan dan pengusaha kebun/ladang mereka. Persoalan lain muncul, dimana terjadi konflik satwa dengan manusia terutama masyarakat yang berada di pinggiran hutan. Perusahaan memiliki modal kuat untuk mencegah konflik satwa dengan manusia seperti gajah dan harimau. Masyarakat tidak memiliki modal yang besar unuk mengantisipasikan hal tersebut. Akibatnya masyarakat semakin marginal karena lahan pertaniannya selalu dirusak satwa besa seperti gajah karena habitanya telah terusik. Penghancuran terhadap hutan yang ada pada kelompok suku Talang Mamak maupun Melayu merupakan penghancuran terhadap nilai-nilai budaya dan nilai relegius masyarakat sebab bagi suku Talang Mamak, Melayu hutan merupakan bagian dari sistem kepercayaan dan adat. Jika semua lahan di kawasan PT IFA, eks PT. Partiadi dan sebagian Hl. Bukit Batabuh dilandclearing, dapat dipastikan konflik sosial akan berkepanjangan dan konflik satwa dengan manusia tidak dapat diselesaikan.
44
BAB IV Rekomendasi dan Usulan
Survey sosial ekonomi dan keruangan di koridor landsekap TNBT–SM Bukit Rimbang Bukit Baling merupakan langkah awal dalam penyelamatan koridor biologi. Kegiatan ini merupakan arahan bagi perbaikan struktur dan fungsi ekosistem serta pengurangan fragmentasi ekosistem-koridor, penyelamatan keanekaragaman hayati, pengurangan erosi tanah, sedimen sungai, perbaikan keseimbangan hidrologi pada daerah tangkapan dan DAS, perbaikan kehidupan masyarakat di sekitar koridor. Jika ditilik ke belakang kawasan-kawasan ini pernah diusulkan menjadi kawasan yang sangat penting untuk dilindungi. Pada tahun 1982 dalam instrument Rencana Konservasi Nasional kawasan eks PT. Partiadi dan PT IFA diusulkan sebagai kawasan Taman Buru Peranap (lampiran 1). Kemudian pada tahun 1984 pada peta TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan), kawasan hutan tersebut, hingga ke hutan Bukit Batabuh dan SM Bukit Rimbang Bukit Baling statusnya sebagian Hutan Lindung dan sebagian lagi HPT (Hutan Produksi Terbatas). Memiliki arti bahwa kawasan tersebut sebagian sebagai fungsi lindung dan sebagian mendekati fungsi lindung yang pemanfaatannya sangat terbatas (lampiran 2). Namun dalam instrumen perencanaan lainnya seperti Perda 10 tahun 1994 kawasan eks Partiadi dan PT IFA dijadikan kawasan HP untuk pemanfaatan HTI hal ini berkaitan dengan dukungan finansial dari Himpunan Pengusaha Industri Kayu Indonesia (HIPKINDO) kepada konsultan perencanaan (Transfera) sehingga hasilnya cenderung memihak pada kepentingan perusahaan bukan kepada kepentingan umum yang berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut, kami mengajukan
beberapa rekomendasi
sebagai acuan dan masukan dalam penyusunan RTRWK Inhu dan Kuansing maupun RTRWP Riau ke depannya. Arahan usulan yang diajukan kepada pemerintah kabupaten dan propinsi yaitu -
Mendorong agar kawasan berstatus Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas yang berada di kedua kabupaten tetap dipertahankan.
45
-
Meningkatkan status sebagian hutan produksi (Areal Pengembangan Kehutanan) di kawasan koridor (eks Partiadi dan sebagian kawasan eks PT. IFA) berdasarkan Perda 10 tahun 1994 menjadi Hutan Lindung atau setidaknya menjadi HPT dalam revisi Draft RTRWP 2001-2015
-
Secara khusus diusulkan untuk tetap mempertahankan kawasan hutan lindung Bukit Sosa di Kabupaten INHU dan mengembalikan arahan Hutan Lindung Bukit Batabuh sesuai Perda Provinsi Riau No. 10 tahun 1994 pada kawasan Bukit Batabuh di kabupaten Kuansing. Sebagai gambaran umum kondisi kawasan dalam instrumen perencanaan
Wilayah Kabupaten maupun provinsi, dan usulan rekomendasi berikut ini disajikan peta RTRWK Kuansing (lampiran 3) dan usulan RTRWK Kuansing (lampiran 4), RTRWK Inhu (lampiran 5) dan Usulan RTRWK Inhu (lampiran 6), Peta RTRWP berdasarkan Perda 10 tahun 1994 (lampiran 7) dan Peta RTRWP Riau berdasarkan draft RTRWP 2001-2011 (lampiran 8) dan peta usulan pada draft RTRWP Riau 2001-2015 (lampiran 9). Usulan peta tersebut mengacu pada peta Rencana Konservasi Nasional 1982, Peta TGHK 1984, yang dideliniasi berdasarkan bukti artefak di langangan seperti sungai, batas perladangan dan pemukiman. Pentingnya kawasan tersebut untuk dilindungi terutama untuk mencegah banjir karena berada pada kawasan DAS, berikut ini kami sajikan analisa daerah rawan banjir dengan pendekatan ketinggian dan dekat dengan DAS serta SUBDAS (lampiran 10-11). Kami menyadari betul untuk mempertahankan semua kawasan yang ada pada kawasan IFA sangat sulit dan kurang rasional karena kawasan tersebut berdekatan dengan masyarakat dan konfliknya tinggi. Untuk itu secara prinsip meyetujui kawasan tersebut tetap sebagai hutan produksi yang dikelola HTI. Kebijakan ini tetap didukung karena dapat berfungsi sebagai pembatas kegiatan penebangan liar, namun pola pembangunan HTI tersebut harus dikerjasamakan dan menguntungkan masyarakat. Kemudian, perusahaan tersebut di atas harus menyisakan kawasannya sebagai kawasan konservasi untuk melindungi satwa seperti gajah dan harimau. Model seperti ini akan membantu perusahaan dan pemerintah dalam menyelesaiakan konflik antara satwa dengan manusia. Usulan
46
ini sangat ideal karena keinginan semua pihak bisa terfasilitasi, baik perusahaan, pemerintah, masyarakat maupun flora dan fauna yang ada di dalamnya. Untuk mendorong perusahaan dapat menyisakan kawasannya dilakukan dengan pendekatan HCVF (High Conservation Value Forest) yang dilakukan secara bersama. Dengan demikian didapatkan komitmen bagi perusahaan untuk menyelamatkan sebagian kawasan hutannya karena bernilai konservasi tinggi. Sedangkan PT. RAPP yang memutus landsekap TNBT-HLBB perlu di tindaklanjuti dengan cepat, konsesi perusahaan ini sangat mengganggu kawasan koridor maupun kawasan penyangga bagi TNBT. Karena perizinannya belum lengkap dan masih dalam proses, perlu kiranya untuk menghambat rencana perusahaan tersebut melalui advokasi yang menggunakan masyarakat local sebagai actor kunci. Demikian juga dengan PT. TBS yang terus berencana mengembangkan kawasannya. Untuk langkah awal adalah melakukan lobbi keruangan di Kabupaten Kuansing agar tetap mempertahankan status hutan lindung. Di samping itu, melakukan kegiatan advokasi dengan memanfaatkan seluruh jaringan LSM yang ada di Riau dan Jambi seperti Jikalahari, Walhi, ATTR dan Konsorsium Bukit Tigapuluh dengan melakukan ekspose di pemerintah kabupaten/provinsi dan media massa.
Pendekatan Masyarakat Dukungan masyarakat terhadap keberadaan hutan adalah modal besar untuk mempertahankan koridor. Untuk itu diperlukan sebuah pendekatan dan sosialisai agar program penyelamatan koridor biologi bisa diterima oleh masyarakat dengan mencarikan model-model pembangunan yang berwawasan lingkungan dan dapat meningkatkan ekonomi seperti agroforestry, hutan kemasyarakatan dll. Kegiatan pendampingan masyarakat urgen dilakukan terutama untuk mendampingi masyarakat ketika berhadapan dengan perusahaan atau pemilik modal, tujuannya agar program pembangunan menguntungkan masyarakat dan koridor dapat tercapai pula. Untuk wilayah koridor yang terputus (gaps) maupun desa yang berada di koridor seperti desa Perhentian Sungkai dan pemukiman baru di desa Kasang
47
perlu dilakukan kajian lanjutan, pendekatan masyarakat dan mencari model pengembangan sistem hutan kerakyatan atau hutan kemasyarakatan di kawasan bersangkutan, kemudian mendorong pemerintah untuk melakukan program reboisasi ataupun rehabilitasi hutan dan lahan. Ada pula usulan desa Perhentian sungkai agar mereka ditranslokasikan, ini perlu ditindaklanjuti. Beberapa kegiatan dan program pembangunan dapat difasilitasikan melalui beberapa program seperti hutan kemasyarakatan, pembangunan kelapa sawit mandiri melalui program PEK di luar kawasan HL BB yang difasilitasikan pemerintah provinsi Riau. Program-program pembangunan dukungan dari World Bank, ADB dan lain-lain. Bagaimanapun juga masyarakat lebih leluasa untuk memanajemen pertaniannya sendiri apabila mereka mendapat ruang dan jauh lebih kuat ekonomi berbasiskan masyarakat daripada ekonomi berbasiskan perusahaan.
48
Lampiran 1. Peta Rencana Konservasi Tahun 1982
Lampiran 2. Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan Tahun 1984
Lampiran 3. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kuantan Singingi 2004-2013
Lampiran 4. Usulan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kuantan Singingi 2004-2013
Lampiran 5. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Indragiri Hulu 2001-2011
Lampiran 6. Usulan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Indragiri Hulu 2001-2011
Lampiran 7. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Riau 1994 (Tampilan dua kabupaten, Kuansing dan Inhu)
Lampiran 8. Peta Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Riau 2001-2011
Lampiran 9. Usulan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Riau (Kabupaten Kuansing dan Inhu) 2000-2015
Lampiran 10. Peta Analisis Daerah Rawan Banjir di Sepanjang Sungai Indragiri Wilayah Kabupaten Indragiri Hulu
Lampiran 11. Peta Analisis Daerah Rawan Banjir di Sepanjang Sungai Indragiri Wilayah Kabupaten Kuantan Singingi