h V V i j h ^ V a ^ b V e j a j ] ]VcV[^'%&%
) * hVVijh^Va^bVejaj] ]VcVÒ '%&% XjgVidg ?ZVc8djiZVj ?^bHjeVc\`Vi e]did\gVe]Zg 6nVc\@VaV`Z gVcXVc\\gVÒh =VcVÒ egdYj`h^ @DB6C:@6 ;^cZ6gi
cYdcZh^V!?V`VgiV+"&-Veg^a'%&% @dbVcZ`V;^cZ6gi
YV[iVg^h^ + , hVbWjiVc`ZeVaVcYdcZh^V
&%
9Vg^EZc\\VaIZc\V]HZWjV]CdkZa eZc\VciVgYVg^@DB6C:@6
&'
BZbWjVi6YVaV]BZb^`^g ( Making is Thinking ) jim supangkat / kurator
26
=VcVÒ/6WhigV`h^YVcGV]Vh^V@Vgjc^V _ZVcXdjiZVj$`jgVidg
*%
W^dYViV]VcVÒ
&%)
^cYZ`h
&%-
aVc\`V]VcV`Wjgjc\ '%&% .%m&+%Xb VXgna^XdcXVckVh
HVbWjiVc @ZeVaVcYdcZh^V &% && Memperingati sebuah peristiwa yang dianggap penting
Honoring an important event marking one’s life
yang dipresentasikan secara tunggal maupun kelompok
he immerses himself in the world of art. A lot of
dalam perjalanan hidup dan kehidupan seseorang dapat
and journey can be commemorated, approached,
telah memberi warna pada keberagaman dan fenomena
his ideas and creative visualisation that he has
ditandai, disikapi atau dirayakan dalam banyak cara
or celebrated in many different ways and events.
seni rupa Indonesia yang digelar secara temporer di Galeri
presented—either individually, or as part of a
dan acara. Seperti halnya yang dilakukan oleh Hanafi,
As is done by Hanafi, an artist born in Purworejo,
Nasional Indonesia. Pada tahun 2002 digelar pameran
group/collaboration—has provided color to the
seorang perupa kelahiran Purworejo (Jawa Tengah)
Central Java, in 1960. In the year 2010, “At Fifty”
tunggal menandai ”Sepuluh Tahun Pertama” Hanafi dalam
diversity and happening (phenomenon) of art in
tahun 1960. Pada tahun 2010 ini “Saat Usia Lima Puluh”
isn’t merely a indication of the cycle of getting
memasuki kiprahnya sebagai seorang perupa, sedangkan
Indonesia that has been temporally presented
bukan saja sekedar menunjukkan siklus bertambahnya
older, it is an gauge with which one perform
di tahun 2007 lewat pameran bertajuk ”id” ia mencoba
at the Indonesian National Gallery. In 2002, we
usia, tetapi ia jadikan sebagai penanda yang dapat
one’s introspection, as well as becoming a
mengartikulasi karya-karyanya melalui pendekatatan
hosted his solo exhibition marking Hanafi’s “First
dijadikan sebagai tonggak untuk introspeksi sekaligus
way to measure one’s existence thus far. “At
filosofis dengan mengandalkan rasa secara kontemplatif
Ten Years”, as he entered into his fullness in
juga untuk mengukur eksistensinya selama ini. “Saat
Fifty” is realized as an exhibition, presenting
dalam menyikapi kenyataan kehidupan dirinya maupun
the world of art. In 2007, through his exhibition
Usia Lima Puluh” diwujudkan dalam bentuk pameran
Hanafi’s most recent works. Of course, the
orang lain.
“id”, he tried to articulate his works through a
yang mengetengahkan karya mutakhir Hanafi. Tentu saja
works presented here cannot be separated from
Galeri Nasional Indonesia menyambut baik dan
philosophical approach, relying upon feelings as
karya yang ditampilkan tidak terlepas dari serangkaian
the series of works he has created in the past;
mendukung pameran yang dilaksanakan bertepatan
he contemplatively addressed the reality of his
karya-karya yang pernah dilahirkannya dan mejadi bagian
instead, his current works take their place as part
dengan peringatan lima puluh tahun usia Hanafi, atas
life and the life of others.
dari kontinuitas atau bahkan menjadi kausalitas.
of a continuity, even a causality.
prakarsa dan kerjasama yang baik antara Komaneka
Hanafi dikenal sebagai seorang perupa yang acapkali
Hanafi is known as an artist who shapes
Fine Art Gallery, yang berkedudukan di Ubud - Bali dan
mengolah elemen visual kedalam bentuk-bentuk abtraksi
and molds visual elements into abstract and
Studio Hanafi. Kami berharap pameran ini dapat berjalan
dan imajiner yang lantas melahirkan ruang-ruang dalam
imaginary forms, giving birth to spaces within
dengan sukses, dan mampu memberi arti dan inspirasi
berbagai komposisi dan pencahayaan. Pada karya
various compositions and illumination. In certain
bagi kalangan seni rupa Indonesia, khususnya mampu
tertentu tidak jarang juga memasukkan unsur teks,
works, he would often introduce text elements,
meningkatkan apresiasi seni bagi masyarakat luas.
angka atau benda-benda lain yang tentunya memiliki
numerical elements, and other objects that must
pemaknaan tersendiri. Banyak yang mengatakan karya
certainly carry their own significance. A lot of
Hanafi telah memberikan rangsangan kreativitas pada
people would say how Hanafi’s work has provided
arsitektur, desain, musik dan sastra.
creative stimuli to the realm of architecture,
Galeri Nasional Indonesia, kiranya juga menjadi saksi
design, music, and literature.
atas perjalanan kreativitas Hanafi dalam menggeluti dunia
The Indonesian National Gallery has also
seni rupa. Berbagai gagasan dan visualisasi bentuk karya
become a witness to Hanafi’s creative journey as
Jakarta, April 2010 Tubagus ’Andre’ Sukmana
9Vg^EZc\\VaIZc\V]HZWjV]CdkZa eZc\VciVgYVg^@DB6C:@6 &' &( Pagi itu Hanafi dan saya berjalan bersisian sepanjang
That morning Hanafi and I walked side by side
tokoh-tokoh dalam novel itu menyembul dari orang-orang
Hanafi likened the work we had started for
trotoar yang lengang di Jalan Malioboro. Sinar matahari
along an empty sidewalk of Jalan Malioboro;
disekitar kita, yang kita temui setiap hari. Seperti cara
the exhibition project – which catalogue you are
pagi terasa hangat menerpa kulit. Aroma Jogja yang
morning sunlight warm against our skin. The
Hanafi menyapa saya. Kadang dari dinding tinggi diatas
currently reading – to reading a novel from it’s
pernah saya hirup selama bertahun-tahun mengambang
scent of Jogja that had once accompanied me
tangga, kadang dari sudut diatas sofa. Mendadak saya
halfway-point, because the characters from the
di udara. Karena aroma ini kita teringat pada Jogja, kata
for some years wafted in the air around us. It
tahu ia sedang berada di rumah Salvador Dali, atau
novels would surface from the people around us,
Hanafi.
is this scent that reminds us of Jogja, Hanafi
menunggu mie goreng yang dipesannya selesai dimasak.
the people we crossed path with each day. It’s
remarked.
Ia bisa muncul dari setiap sudut dalam ruang antara dua
how Hanafi would greet me. Often from a high
jarum jam yang saling berkejaran pada hari-hari saya.
wall at the top of the stairs, often from a corner
Percakapan kami lambat dan melompat-lompat seperti katak yang menghadapi puluhan daun teratai di
Our conversation was slow, leisurely, vaulting
tengah kolam, lalu berhati-hati memilih jalannya ke tepian.
about like a frog in the middle of a pond full of
Di sekitar kami Malioboro mulai bangun. Lapak-lapak di
lotus pads, navigating it’s way carefully to the
emperan toko terbuka selubungnya satu demi satu, lalu
shoreline. Around us, Malioboro roused itself.
tumpukan sendal, untaian kalung, puluhan kaus bernama
Stalls by the shop fronts unveiled themselves
sama, berpindah dari tempatnya disimpan ke atas meja
one after another; stacks of sandals, strings
yang dialasi seadanya. Seorang perempuan meringkuk
of necklaces, multitude of t-shirts by the same
di pojokan etalase, sembunyi-sembunyi menyantap
name, were removed from their storage spaces,
sarapan.
mengakhiri
taking their place on modestly-covered tables.
malamnya di atas kursi taman di bawah pohon dengan
There was a woman crouched in a corner, trying
mata merah dan wajah berminyak. Gerobak bermuatan
to eat her breakfast discretely. A man with long
nasi kuning, nasi gudeg dan pecel Madiun mulai didatangi
flowing hair awoke from his night’s slumber on a
pengunjung. Kami berdua terus melangkah.
park bench under a tree, his eyes red, his face
Laki-laki
berambut
gondrong
Hanafi mengibaratkan kerja yang kami mulai untuk
oily. Customers began to swarm around carts
proyek pameran yang katalognya sedang Anda baca
laden with nasi kuning, nasi gudeg, and Madiun-
ini sebagai membaca sebuah novel dari tengah, karena
style pecel. We walked on by.
Enam tahun yang lalu, saya bertemu dengan Hanafi untuk pertama kalinya pada hari persiapan pameran yang sibuk dan hiruk-pikuk di sebuah galeri di Jakarta. Ia berdiri di pojok ruangan, memakai kemeja lengan panjang berwarna gelap yang digulung sampai ke siku dan jins biru yang warnanya mulai pudar, rambut panjangnya diikat ke belakang membentuk gulungan, secara fisik, ia tampak kecil dibandingkan karya-karyanya. Tapi semakin dekat saya dengannya, semakin saya menyadari bahwa aura yang memancar darinya memenuhi ruangan itu. Hanafi yang ada di sana terlihat seperti batu yang keras dan mengilap, menyimpan tenaga yang besar. Cukup besar untuk mengisi bidang-bidang dalam kanvasnya yang lapang.
on a sofa. Suddenly, I would be told that he was calling from Salvador Dali’s residence, or that he was waiting for his fried noodle to cook. He could emerge from any corner of the space existing between the two hands of the clock chasing each other throughout my day. Six years ago, I met Hanafi for the first time on a busy and hectic day leading up to an exhibition, in a certain gallery in Jakarta. Then, he had been standing in a corner of a room, dressed in a dark shirt, its long sleeves rolled up to his elbows and faded blue jeans, his long hair pulled up in a bun. He looked physically small, dwarfed by his artworks. But, as I approached him, I began to realize that it was his aura that filled and moved
&) &* Sore itu, adalah awal dari percakapan saya yang
the room. Hanafi, who had stood there unmoving
Sinar matahari sudah mulai membakar kulit. Kami
panjang dengannya. Ia bercerita mengenai hari ketika
like a rock, solid and well-polished, possessed a
menjauhi riuh rendah Malioboro dan menuju ruang
conversations. How was it that we, Hanafi and
ia memutuskan pergi ke Jakarta, mengadu nasib di
great strength within him. It was strength large
pamerannya. Hanafi nyaris selalu bekerja secara
I, were always able to find a topic to discuss?
belantara ibu kota yang menurut sebuah film komedi
enough to fill empty spaces upon those large
eksklusif untuk sebuah ruang pamer. Ia memperlakukan
Or how was it that our conversations would
satir lebih kejam daripada ibu tiri manapun. Tentang hari
canvases.
pamerannya sebagai sebuah instalasi yang merespon
happen in the most opportune time? Could a
Sometimes
I
wondered
about
our
ketika teman sekolahnya datang dari Yogyakarta untuk
That evening had been the start of my long
sebuah ruang, sehingga berkarya tidak hanya mengenai
person somehow transformed into a diviner of
menjemputnya, bicara dengannya di dapur sebuah
conversation with him. He told stories of the day
melukis. Melainkan juga menciptakan ruang dan suasana
another with whom they had a heart-to-heart
restoran saat ia sedang menyemprot panci kotor dengan
when he decided to travel to Jakarta, to try his luck
terhadap lukisan tersebut. Hanafi akan mengunjungi
conversation with?
air panas, mengajaknya kembali untuk mengikuti ujian
surviving in this concrete jungle. He told stories
sebuah ruang pameran sebelum ia berkarya. Mengamati,
akhir sekolah. Hanafi bersikeras menolak. Keteguhan
of how a schoolfriend arrived from Yogyakarta
menghitung
yang sama yang saya lihat memancar dari dalam dirinya
to collect him, speaking to him in a kitchen in a
awalannya untuk bekerja. Ketika lukisannya selesai dan
saat itu. Ketika ia telah menaklukkan Jakarta. Lalu mundur
restaurant as he sprayed hot water into a dirty
waktunya tiba untuk memajang karya, ia sudah tahu pada
The sun began to burn our skin. We left
dan mengamati kota yang padat-semrawut itu dari tanah
cooking pot, urging him to return to sit the school-
dinding yang mana karya tertentu akan digantung, atau
boisterous Malioboro behind us, headed towards
di pinggir sungai, tempat rumahnya didirikan.
leaving exam. But Hanafi quite harshly refused
sarang yang bagaimana yang harus disediakan bagi karya-
his exhibition space. Hanafi has almost always
percakapan-
that invitation. The refusal had been delivered
karyanya. Hal ini tak jarang membuat Hanafi melakukan
worked exclusively for a certain exhibition
percakapan kami. Bagaimana saya dan Hanafi selalu bisa
with the same kind of conviction that I beheld that
perubahan yang mencolok terhadap keseluruhan ruang
space. He treats his exhibitions as site-specific
menemukan topik untuk dibicarakan. Atau bagaimana
evening. By then, he had already achieved what
tempatnya berpameran.
installations, putting on shows and not just
percakapan itu terjadi pada saat yang tepat. Apakah
he sought to do—overcoming Jakarta. Then
orang-orang yang pernah saling bicara dari hati ke hati
we stepped back to observe this crowded and
bisa menjadi cenayang untuk yang lain?
chaotic city from a slice of land by the riverside
Kadang-kadang
saya
heran
***
pada
where he had built his home.
dan
membuat
sket
ruangan
sebagai
***
Seperti yang terjadi dalam pameran UR (you’re) –
paintings. He creates space and ambience, and
Urban Room Project, pameran Hanafi yang pertama kali
relates them to his paintings. Hanafi will always
saya tangani di Komaneka Fine Art Gallery. Ia datang
visit those spaces before finally setting out to
membawa bergulung-gulung seng gelombang, bahan
work. He will scrutinize, calculate, and formulate
&+ &, yang paling umum dijadikan atap pada bagian kota
a sketch of each room as a starting point for
menyingkap bentuk relasi lain antara seniman dan galeri,
the temperature inside the gallery seemed to
yang kumuh dan miskin di mana orang-orangnya tidak
his work. When all his paintings are ready and
yang menurut saya, terkait erat dengan bagaimana
rise a few degrees, mirroring the suffocating
mampu membeli genting. Hampir seluruh dinding galeri
it is time to hang them all, he will know where
segalanya bermula.
atmosphere found in the squalor of Jakarta’s
dilapisinya dengan seng itu sehingga banyak pengunjung
he would hang each painting and what nests
Ketika mendirikan Komaneka –empat belas tahun
galeri menyangka Komaneka sedang direnovasi (tapi
he should provide for all his creations. Such a
yang lalu, Koman Suteja berkeinginan merekam
In Jakarta, the poor live by the river,
tetap ngotot mengadakan pameran) atau menduga galeri
preparation would more often than not lead
perjalanan generasinya dan generasi yang akan datang
surrounded by the stench of rotting waste and
ini memang bergaya industrial. Selama empat minggu
Hanafi to dramatically transform the space that
dalam seni rupa Indonesia. Ia percaya masa itu ada
the near-constant buzzing of flies. They lived in
ruang galeri memanas beberapa derajat, mengimbangi
housed his exhibition.
ditangan para seniman yang (saat itu) masih belajar dan
a place that would be wet and damp come rainy
baru memulai karirnya.
days, and lived in constant fear of being washed
suasana dalam bedeng-bedeng sempit di bantaran kali kota besar.
Such as what happened during the UR (you’re) – Urban Room Project – exhibition, the
Di Jakarta, kaum miskin kota tinggal di pinggir kali,
first of Hanafi’s exhibition that I had the privilege
dikelilingi aroma sampah busuk, kumpulan lalat yang
of managing here, at Komaneka Fine Art Gallery.
mendengung, basah dan lembab saat hujan, sembari
He arrived with rolls upon rolls of corrugated
harap-harap cemas terkena sapuan banjir. Di Ubud,
tin sheets -- the kind of material we usually
tanah yang terletak di pinggir sungai luar biasa mahalnya.
encounter in the poorest of city slums in which
Menjadi tempat tinggal yang dramatis bagi ekspatriat, atau
resides those who were too poor to afford proper
lokasi pembangunan resor mewah dengan pemandangan
roof over their heads. He proceeded to cover the
spektakuler. Kontras itu disampaikan Hanafi melalui seng
gallery’s walls with them so much so that many of
gelombang.
the gallery’s visitor thought that Komaneka was
Pameran Hanafi itu menampilkan ekspresi terbuka yang tidak dikekang oleh kepentingan untuk tetap apik dan resik, untuk melulu jadi bagian kelas atas. Juga
having some renovation done (but somehow still insistent about putting an exhibition). Other visitors thought Komaneka was an industrialthemed gallery. For that four weeks of exhibition,
Ia pergi ke sekolah seni dan bertemu para seniman muda di Yogyakarta dan Bali. Ia bicara dan berdiskusi dengan mereka, melihat karya yang mereka kerjakan dari waktu ke waktu, mengamati perkembangan mereka dengan intensitas murid Sekolah Dasar yang untuk pertama kalinya tahu bahwa segenggam biji kacang hijau yang direndam dalam air akan berkecambah dalam waktu 2x24 jam. Perjalanan dan pengamatan ini berlangsung selama
berminggu
minggu.
Mempertemukannya
dengan sejumlah seniman yang pada akhirnya tumbuh dan mendapatkan apresiasi yang luas dari publik seiring dengan pertumbuhan Komaneka Fine Art Gallery. Hanafi adalah salah satu dari seniman-seniman itu.
riverside.
away by flood. How striking when compared to Ubud, where riverside property are expensive as they come; the land carved in such a way for an expat’s dramatic living, or a location where one would build a luxurious resort with spectacular views. This is the contrast that Hanafi had wished to communicate through corrugated steel. Hanafi’s
exhibition
presented
an
open
expression unhindered by the interest to always look neat and tidy, to snobbishly insist on always being “upper-class”. His exhibition also revealed another facet of the relationship between the artist and the gallery, that I dare assume, stem from how it all began.
eV\^Y^Æedgia^\ViÇ '%&% .%m&+%Xb VXgna^XdcXVckVh
'% '& Mereka saling diperkenalkan oleh seseorang yang
When Koman Suteja first realized Komaneka
benang halus, terjalin dalam sebuah pola besar yang rumit
between Bali, Jakarta, Singapore and China. A
pernah tinggal berpindah-pindah antara Bali, Jakarta,
fourteen years ago, his desire was to chronicle the
dan tidak selalu dapat kita pahami sepenuhnya. Maka,
new-world explorer who met Hanafi in Jakarta,
Singapura dan Cina. Pengelana masa kini yang
journey of his generation and the generations to
kata Kafka, setiap hari yang kita lakukan adalah berusaha
told about him to Koman in Ubud, who then
menemukan Hanafi di Jakarta, menceritakannya pada
come, in the realm of Indonesian art. He believes
membuat hidup kita menjadi lebih sederhana. Termasuk di
served as the connecting thread in this first knot
Koman di Ubud, lalu jadi perantara dalam simpul pertama
that such a time would be in the hands of those
dalamnya berhubungan dengan orang lain. Kata Hanafi,
of relationship between the two, forged thirteen
jalinan hubungan antara keduanya dan terjadi tiga belas
artists who, at that time, were still studying or had
itu sebabnya ia dan Koman selalu membawa bingkai foto
years ago. That person now has a different
tahun yang lalu. Orang itu kini telah berganti nama, kata
just started their careers.
keluarga ke manapun mereka pergi.
name, Hanafi said.
Hanafi.
Since then, Hanafi has told many stories
He went to art schools and met with many
which, not unlike a film scenario, showed how
Hanafi telah menceritakan berbagai kisah yang,
young artists in Yogyakarta and Bali. He would
bagaikan sebuah skenario film menunjukkan bagaimana
talk and discuss many things with them, he
hubungannya dan Koman dibangun atas dasar saling
would view their handiworks, and he would follow
Senja
menghormati lewat kesungguhan dalam bekerja dan
their progress with the same intensity as a child
kepadatannya. Aroma terik matahari yang bercampur
berkarya, yang kemudian merekatkan kehidupan mereka
who, for the first time, found out that a handful of
dengan bau keringat melekat pada pakaian yang setiap
yang terpisah ruang dan waktu. Mereka seperti berada
green beans soaked in water would sprout within
serat kainnya dihinggapi debu jalanan. Wajah-wayah kusut
dalam bentangan kawat baja sebuah pertunjukan
48 hours. His travels and observations would
siang hari berganti dengan pipi gadis belia yang merona
trapeze. Segera setelah hubungan itu dimulai, mereka
take him away for weeks on end, and they would
merah muda, dengan pakaian yang baru dicuci dan wangi
begitu saling membutuhkan sehingga saling tidak pernah
connect him with diverse artists who would at last
deodoran, malu-malu menggandeng tangan kekasih yang
merasa cukup akan satu sama lain. Sebuah keterkaitan
grow into their own, gaining wide appreciation
membawanya berjalan-jalan menikmati udara sore. Deru
yang pada saat-saat tertentu terdengar menakjubkan dan
from the public, together with the growth of
motor bersahutan dengan jerit klakson yang dibunyikan
tak dapat dijelaskan dengan mudah.
Komaneka Fine Art Gallery. Hanafi was one of
dengan berbagai alasan. Gerobak bakso dan mie ayam
these artists.
bertutup terpal biru mengisi tempat-tempat kosong seperti
Manusia terlahir sendiri dan kembali dalam kesendirian. Dalam jarak antara saat terlahir dan saat kembali itu, kita bertemu dengan begitu banyak hal, serupa benang-
***
his relationship with Koman is built upon trust, menjelang
dan
Malioboro
tak
berkurang
They were introduced to one another by
jamur menyembul di sela-sela pepohonan. Kursi-kursi
someone who had led a somewhat nomadic life
beton di dua sisi jalan dihuni gerombolan anak muda yang saling bercerita, pasangan yang saling menatap seraya
of earnest work and creativity, interweaving their lives often divided by space and time. It was as if they existed along a stretch of steel wire in a trapeze show, navigating a tightrope. Just as soon as a relationship was sparked, they began to need each other, so much so that neither would ever be satisfied with the other. Theirs was a connection, oftentimes remarkable, never easily explained. We are born alone and will return alone. In this distance between birth and death, we will have encountered many things; those things strewn across our paths like fine threads, woven into a
'' '( tersipu, pengamen jalan yang sedang menyetel gitarnya.
large and complicated, often incomprehensible
horns, all blaring to reasons of their own. Carts that
Tawa mengambang di udara.
designs. Then, said Kafka, we should always
had sold meatballs and chicken noodles during the
Dan jika cerita ini datang dari halaman tengah sebuah
strive to make life a little bit simpler with each
day now draped in blue tarpaulin occupied empty
novel, itu adalah kisah sepanjang enam dan tiga belas
passing day. This is also very true with our
spaces like mushrooms peeking out from between
tahun, bagian dari usianya yang kini genap lima puluh.
relationship with others. Hanafi once told me: this
trees. Concrete benches were taken up by groups
is the reason why he and Koman would always
of young people telling stories to one another’s
bring their family picture in a frame, to cherish
rowdy appreciation, or by blushing lovers quietly
the thought of family foremost in their hearts,
staring into each other’s eyes, and by buskers
wherever they go.
tuning up their instruments. Laughter filled the air.
Ubud, 15 Maret 2010 Dian Ina
And if this story rose from the halfway-point of ***
a novel, then it’s a story spanning six and thirteen
Dusk fell, though Malioboro did not lose its
years, part of a life’s journey that has now entered
crowd. The smell of sunburn and sweat clung
it’s fiftieth year.
to our clothes, dust from the streets woven into each strand of fiber. The dreary faces of noon now replaced by pink-cheeked young girls, clad in freshly-laundered clothes, bathed in sweetsmelling perfume; their heads shyly dipped even as they linked hands with their sweethearts, enjoying a stroll in the evening breeze. The roar of motorcycles alternated with the shouts of
gjbV]dgVc\Vh^c\ '%&% &'%m''%Xb VXgna^XdcXVckVh
BZbWjVi6YVaV]BZb^`^g
BV`^c\^hI]^c`^c\
Jim Supangkat / curator
Jim Supangkat / curator
'+ ', Untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-50 Hanafi mengerjakan lukisan-lukisan abstrak yang ditampilkan pada pameran ini.1 Sekilas tidak berbeda dengan lukisanlukisan abstrak yang dibuatnya di masa lalu namun bila diamati dengan cermat ada beberapa perubahan. Lukisanlukisan ini datar, tidak lagi riuh—beberapa di antaranya malah terkesan kosong. Gambaran (imagery) yang muncul pada karya-karyanya enam tahun terakhir, hilang sama sekali. Blabar (brush strokes) yang utama pada lukisan-lukisan Hanafi tidak lagi nyata. Permainan warna yang dikenal sebagai salah satu pangkal pesona lukisanlukisannya cenderung menjadi khromatik dan transparan. Pada lukisan-lukisan itu Hanafi menempatkan garis sebagai persoalan utama. “Saya ingin membebaskan garis dari semua beban,” katanya menjelaskan. “Saya ingin menjelajahi garis sebagai garis yang tidak pernah saya kenal.” Dalam proses melukisnya Hanafi “memburu” garis pada setiap langkah kerja melukisnya. Dari bidang-bidang warna ia mencari garis yang kadang-kadang muncul sebagai celah pada bidang warna rata atau sesuatu tepi bidang yang terkesan lurus bahkan perbatasan dua warna yang tidak selalu kelihatan jelas. Setelah garisgaris ini ditemukan Hanafi menjadikannya “keynote” untuk meneruskan kerja melukisnya.
To celebrate his 50th birthday, Hanafi has created a number of abstract paintings to be exhibited1. At first glance, those abstract paintings are no different than the others he has made in the past. But, upon closer inspection, there are some striking changes. These paintings are trimmed down, no longer noisy—some of them even leave an impression of emptiness. The imageries presented within his works this past six years seems to have left. The main brush strokes on Hanafi’s works are no longer so apparent. The play of colors often identified to have been one of his work’s main features turns chromatic and transparent. On these paintings, Hanafi has placed ‘lines’ as the main object of inquiry. “I want to free lines from all burdens,” he explained. “I want to explore lines as lines I’ve never known before.” In his creative process, Hanafi “hunted” for lines every step of the way, throughout the course of his painting work. From his color plots, he sought lines appearing as a fissure on a flat color plane, or a straight-looking margin, or even the boundary line between two colors that weren’t immediately apparent. Once he’s found these
1
1
Hanafi menampilkan juga beberapa karya instalasi yang tidak saya bahas dalam pengantar kuratorial ini dengan pertimbangan, perkembangan artistik Hanafi yang saya bahas pada pengantar kuratorial ini lebih tercermin pada lukisan-lukisannya. Semua karya instalasi Hanafi, tidak terkecuali instalasi yang tampil pada pameran ulang tahun ke 50 ini, memperlihatkan kecenderungan menampilkan metafor.
Hanafi is also exhibiting a number of installation pieces, which I will not be discussing in this curatorial introduction, for Hanafi’s artistic development discussed in this introduction is more reflective upon his paintings. All of Hanafi’s installation pieces, including those pieces exhibited in this 50th birthday exhibition, shows his tendency to present metaphors.
Pada lukisan-lukisannya yang dulu Hanafi tidak pernah memilah-milah garis, bidang, warna, ruang dan gambaran dalam membangun susunan rupa di atas kanvasnya. Ia menyelesaikan masalah visual pada bidang kanvasnya secara struktural atau keseluruhan.2 Pada lukisan-lukisannya yang sekarang Hanafi meninggalkan pendekatan struktural ini dan memusatkan perhatian pada penyelesaian masalah garis. Tentunya terjadi penyulitan dalam mencari penyelesaian. Hanafi seperti mengandalkan hanya satu alat musik untuk menampilkan sebuah repertoar orkestra. Ia mengakui menemukan tantangan yang tidak pernah dirasakannya dalam kerja melukis selama ini. Namun memang tantangan ini yang dicarinya. Hanafi ingin melupakan semua cara penyelesaian yang pernah diterapkannya selama ini. Dalam pengamatan saya Hanafi melakukan dekonstruksi-diri (self-deconstruction) dalam kerja melukisnya. Ia menggunakan garis untuk melakukan dekonstruksi ini. Mencari persoalan dan kemudian menyelesaikannya memang salah satu konsep melukis Hanafi. Ia selalu mulai dengan memprovokasi kanvas kosong tanpa sesuatu ide atau pikiran khusus. Provokasi ini bertujuan memunculkan masalah pada kanvasnya yang tampil sebagai gejala visual yang mengganggu. Rasa terganggu ini memancing
lines, Hanafi transformed them into keynotes from which to continue his painting process. In his previous works, Hanafi never separated lines, planes, colors, spaces and imageries when constructing forms upon his canvases. He solved visual riddles on his canvases structurally or as a whole2. However, in his current paintings, Hanafi left this kind of structural approach to pay attention to solving the problems of lines. Of course there were setbacks when seeking a solution to a problem. It seemed as though Hanafi has come to depend upon one instrument when trying to present an orchestra repertoire. He admitted to have found a challenge he had never encountered in his previous creative processes. Then again, it was challenge that he sought. Hanafi wanted to forget the problemsolving techniques that he had applied before. In my observation, Hanafi did a selfdeconstruction through his painting process. He used lines to achieve this deconstruction. To look for a problem and then solving it has always been one of Hanafi’s painting concepts. Always, he’d start by provoking a canvas, empty of any ideas or special thoughts. Such a provocation is meant to bring up a certain problem onto his canvas, manifested into a disturbing
2
2
“Kuratorial”. Pengantar kuratorial. Jim Supangkat. Arief Ash Shiddiq. Katalog pameran tunggal Hanafi “id” di Galeri Nasional, Jakarta. September 2006. O House Gallery, Jakarta 2006.
“Curatorial”. A curatorial introduction. Jim Supangkat. Arief Ash Shiddiq. Catalogue prepared for Hanafi’s “id” solo exhibition at The National Gallery, Jakarta. September 2006. O House Gallery, Jakarta 2006.
''. Hanafi untuk mencari penyelesaian. Langkah ini hampir selalu melahirkan persoalan baru dan ia kembali didesak untuk mencari penyelesaian. Proses ini bisa diibaratkan permainan “catur soliter” yaitu bermain catur dengan diri sendiri.3 Akan tetapi gagasan dekonstruksi-diri pada ulang tahunnya yang ke-50 adalah langkah radikal yang tidak pernah terjadi pada kerja melukisnya. Bila dikembalikan ke perumpamaan permainan “catur soliter” Hanafi tidak hanya meneruskan permainan. Ia melanjutkan permainan “catur soliter” ini dengan membubarkan “peraturanperaturan permainanan”. Kerja melukisnya menjadi tidak bisa dibayangkan. Dalam kerja ini ia harus menyelesaikan sesuatu persoalan berdasarkan “peraturan permainan” baru yang belum Pada mulanya saya terkejut ketika mengetahui ia menyiapkan lukisan-lukisan dekonstruksi itu untuk pameran ulang tahun ke-50. Sebelumnya saya membayangkan ia akan menampilkan tanda-tanda penting dalam perjalanan karirnya dan memperagakan berbagai keunggulan dalam kerja melukisnya selama ini. Melakukan dekontruksi merupakan kebalikan dari apa yang saya bayangkan. Ia seperti mulai lagi dari titik nol dan kehilangan peluang untuk memperagakan berbagai keungggulan yang dicapainya selama ini. Namun keyakinan Hanafi teguh. Pada ulang tahunnya ia cenderung melihat ke depan dan meneruskan pencarian
3
“Catur Soliter”. Pengantar kuratorial. Jim Supangkat. Katalog pameran tunggal Hanfi, “id” di Jogya Gallery. January-Februari 2007. O House Gallery. Jakarta. 2007.
visual symptom. This disturbance would entice Hanafi to search for a solution. Such a step would almost always lead to another problem, of which he would also be hard-pressed to solve. Such a process could be likened to playing a solitary chess, playing chess against one’s own self3. However, the thought to self-deconstruct for one’s 50th birthday is a radical step that has never happened during his long history of painting work. In the metaphor of ‘solitary chess’, Hanafi wasn’t just continuing an existing game of chess. He continued it by actually dismissing all existing rules of the game. His creative process became unimaginable. This time, he had to solve a problem based on a new “game plan” that wasn’t completely clear. At first, I was taken aback when I found out he was preparing a series of deconstructive paintings for his 50th birthday exhibition. For I had thought he would have exhibited representations that would symbolize important milestones of his career, demonstrating what is considered superior and excellent in his creative works thus far. Deconstruction is the opposite of what I had imagined. It is as if he has willed himself to start again from zero, relinquishing the opportunity to show off his many high points and achievements. Solitary Chess”. Curatorial introduction. Jim Supangkat. Catalogue prepared for Hanafi’s “id” solo exhibition at Jogja Gallery. JanuaryFebruary 2007. O House Gallery. Jakarta. 2007.
3
artistiknya. Ia tidak melihat ke belakang untuk menghitunghitung pencapaian. Kendati pada awalnya pesimistis, harus saya akui Hanafi berhasil mengatasi masalah pelik akibat dekonstruksi-diri itu. Seperti terlihat pada pameran ini lukisan-lukisannya tetap menampilkan pesona. Saya segera menyadari, sebenarnya Hanafi tidak meninggalkan kemampuan yang sudah menempel padanya—berkembang selama bertahun-tahun dalam sebuah perjalanan artistik. Gagasan dekonstruksi-diri menunjukkan bahwa ia merasa masih bisa mengembangkan kemampuan yang sudah mapan. Dan saya melihat, lukisan-lukisan hasil dekonstruksi ini memang lebih sophisticated dari lukisanlukisannya yang dulu. Sudah sejak lama saya menyakini bahwa susunan rupa yang sophisticated punya peran utama dalam menampilkan bobot sesuatu karya seni rupa. Keyakinan ini berbeda dengan keyakinan yang mengutamakan pesan (message) dalam menilai bobot karya seni rupa; Pesan dianggap bisa menunjukkan kemampuan berpikir senimannya tentang berbagai hal—tentang kehidupan, tentang realitas, bahkan tentang masalah sosialpolitik. Keyakinan ini melihat eksplorasi artistik yang tercermin pada kerja membangun susunan rupa sekadar mengandalkan perasaan dan tidak menunjukkan gejala berpikir. Saya tidak sependapat dengan pandangan itu. Bagi saya seniman berpikir tidak secara rasional dalam menghasilkan karya. Seniman berpikir berdasarkan intuisi
But Hanafi held firm to his beliefs. For his birthday, he is looking forward and continuing on the path of his artistic exploration. He isn’t looking backwards, recounting his achievements, resting on his laurels. Though pessimistic at first, I must admit that Hanafi has suceeded in overcoming the complications of this self-deconstruction process. As evidenced in this exhibition, his paintings do not lose any of their enchantment. Thus I quickly realized, Hanafi hasn’t left any of the abilities he possessed—abilities cultivated through years of going down that artistic path. This selfdeconstruction idea shows his capacity to expand his abilities that already seemed so established before. And I can see how the paintings emerging from this deconstruction are more sophisticated than his previous works. I have long believed that a sophisticated construction of forms plays a major role in presenting the significance of a certain art form. This belief is different from the belief that places importance upon a certain message when qualifying the worth of an art form; ‘message’ can show the artist’s ability to reflect upon many things—about life, reality, and even of sociopolitical issues. The latter belief sees an artistic exploration undertaken when constructing certain forms relies merely upon feelings, and does not show ‘thought’ processes.
(% (& (rasa) yang terletak di antara nalar (sense) dan kepekaan (sensitivity). Karena itu modus berpikir ini berbeda dengan modus berpikir rasional di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Pemikiran pada penciptaan karya seni rupa tidak bisa dipisahkan dari pemikiran pada ekplorasi artistik yang bertumpu pada intuisi juga—menemukan dan menyelesaikan berbagai persoalan rupa. Dari pengalaman saya bekerja sebagai kurator, saya menemukan bahwa pesan—mencerminkan renungan seniman tentang berbagai hal—baru akan muncul bila pengolahan artistik memperlihatkan sofestikasi. Karena itu penjelasan seniman tentang topik yang ditampilkannya betapa pun cerdasnya, bagi saya tidak ada gunanya bila karyanya sendiri tidak memperlihatkan perkembangan artistik. Biasanya langsung terlihat, karya ini tidak punya pesona. Kembalinya Hanafi ke lukisan abstrak seperti ingin menunjukkan keutamaan eksplorasi artistik itu. Sebelum pameran ulang tahun ke-50 ini karya-karya abstraknya secara bertahap memunculkan berbagai tanda dan gambaran. Sejumlah kritisi menyangka Hanafi akhirnya menekankan pesan dan meninggalkan kecenderungan “main-main bentuk”. Akan tetapi, lukisan-lukisan abstrak pada pameran ulang tahun ke-50 ini—menandai perkembangan mutakhirnya—menyangkal sangkaan ini. Gagasan dekonstruksi-diri membuat Hanafi menghadapi berbagai resiko. Karena kembali menjadi abstrak lukisan-lukisannya akan menghadapi kritik yang menganggapnya kembali ke “main-main bentuk.” Saya
I do not agree with such beliefs. For me, an artist does not think in a rational way when creating. An artist thinks and ponders upon the feelings and intuitions found between sense and sensitivity. This way of thought is unlike the rational way of thought one encounters when pondering philosophy or scientific knowledge. The thought processes going into the creation of art cannot be separated from the thought that goes into an artistic exploration, linked with intuition—to find and to solve the many riddles and problems of forms. Drawing from my experience working as a curator, I find that ‘message’—the representation of an artist’s musing over many things—will only become apparent when there’s sophistication in one’s artistic processes. Therefore, an artist’s elaboration on the topic he is presenting, however clever-sounding, is of little use to me when the art itself doesn’t show an artistic development. Often, one can easily spot when the art piece doesn’t possess any allure. Hanafi’s return to abstract painting is almost as if he’s trying to show the eminence of such an artistic exploration. Prior this 50th birthday exhibition, his abstract works have gradually shown many symbols and imageries. Some critics even went to believe that Hanafi has finally placed emphasis on the message, leaving the tendency to merely “play with forms”. However,
rasa Hanafi menyadari resiko ini dan memutuskan untuk terus. Keberanian menghadapi resiko ini menunjukkan komitmen pada kerja melukisnya selama 30 tahun. Gagasan dekonstruksi-diri menandakan ia memburu hasil terbaik dari perkerjaannya demi pekerjaan ini sendiri bukan demi hal-hal lain.4 Sikap Hanafi dan tanda-tanda pada perjalanan artistiknya bisa diangkat ke pemikiran dalam lingkup yang lebih luas dari lingkup kesenian, yaitu pemikiran filosof Richard Sennett tentang “proses membuat” dalam wacana material culture. Pemikiran ini muncul melalui publikasi belum lama ini—dalam buku berjudul The Craftsman, terbit pada 2008. Pemikiran Richard Sennett itu bertumpu pada sebuah proyek besar yaitu pengkajian sejarah peradaban dunia melalui studi perbandingan untuk memahami material culture pada perkembangan dunia sekarang ini. Sennett mulai dari pangkal material culture yang tercermin pada istilah dalam Bahasa Latin, “Homo faber”: manusia sebagai pembuat (man as maker). Seperti tercermin pada judul bukunya, Sennett mengkritik pengertian istilah-istilah “craftsmanship” dan “craftsman” yang mencerminkan kesalahan peradaban Barat (Western civilization) memahami homo faber. Peradaban Barat menghubungkan kedua istilah hanya dengan “kerja tangan” dan memisahkannya dari “kerja
the abstract paintings created for this 50th birthday exhibition—marking his latest development— negates all these presumptions. The idea of self-deconstruction has made Hanafi face many risks. By returning to abstract forms, his paintings are once again open to criticism that he has gone back to the superficiality of “playing” with forms. I think that Hanafi understood these risks but still decided to persevere on his chosen path. His courage to face risks demonstrates his commitment to his work for 30 years. This idea shows how he strives to achieve the best results of his work for the sake of work itself, and not for other things4. Hanafi’s attitude and the milestones of his own artistic journey can be examined in a larger scope outside the scope of art, that is to frame it through the treatise presented by the philosopher Richard Sennett, on “the process of making”, in his examination of “material culture”, appearing in a recent publication titled The Craftsman, published in 2008. His exposition is based on a large project: the examination of the historical civilization of the world, through comparative studies, to understand the “material culture” of our current society. Sennett begins at the root of material
4
4
Dalam membuat karya instalasi, Hanafi bekerja sama dengan seorang “tukang las” unggul. Dalam perbincangan dengan saya, Hanafi menyatakan rasa kagumnya. Ia tidak menguraikan kebagusan hasil kerja “tukang las” ini. Ia menyatakan, “Saya kagum karena dia punya komitmen dalam bekerja.”
In creating installation pieces, Hanafi worked with a skilfully excellent welder. In my conversation with him, Hanafi expressed his admiration. I could not do justice to the excellence of this welder’s work. [Hanafi] said, “I admire him, for he commits to his work.”
(' (( memikir”. Dengan persepsi ini craft—hasil craftsmanship— dipisahkan dari art, ekspresi yang diyakini mengandung pemikiran. Melanjutkan kritiknya, Sennett menyangkal pandangan umum yang percaya bahwa craftsmanship sudah tidak relevan lagi dipersoalkan pada abad industri ini karena semua produk merupakan hasil kerja mesin. Sejalan dengan kritik ini ia menyatakan craftsmanship bukan persoalan masa lalu seperti dilihat para antropolog; Craftsmanship merupakan bagian dari traditional arts dan merupakan keahlian yang diajarkan turun-temurun pada “masyarakat tradisonal”—pada paham modernisme masyarakat yang “belum modern”. Setelah Perang Dunia II usai homo faber dipersoalkan. Man as maker dicurigai karena membuat bom nuklir yang memusnahkan manusia dan mengancam kelangsungan kehidupan di bumi. Sejumlah filosof kemudian mengingatkan agar man as maker diawasi. Hasil kerja manusia harus mendapat persetujuan publik sebelum dimasyarakatkan. Anjuran ini memang menjadi konvensi dan kontrol ini, menurut Sennett, merusak craftsmanship. Seperti politisi yang menyalahgunakan science untuk memproduksi bom nuklir, politisi sesudah perang— otoritas yang mewakili publik—adalah orang-orang awam yang tidak memahami seluk-beluk kerja craftsman. Di masa damai hasil kerja craftsmen bukan diawasi tapi dimanfaatkan. Seperti terjadi sekarang ini hasil kerja craftsmen dikembangkan sisi ekonominya untuk memproduksi barang-barang konsumtif. Craftsmanship kembali terputus karena craftsmen terpaksa menghadapi
culture as reflected by the Latin term Homo faber, man as maker. As indicated by the title of his book, Sennett criticizes the current understanding of the terms ‘craftsmanship’ and ‘craftsman’, reflecting Western civilization’s misunderstanding of the term Homo faber. They often connect these two terms to mean only work done by hand, separating it from how the head (the mind) influences work. Viewed this way, ‘craft’—the result of craftsmanship—is distanced from ‘art’, an expression that is believed to contain thought. Continuing his critique, Sennett denies the universal belief that craftsmanship is no longer relevant to be questioned in this age of industry especially since all products are machinemade. In addition to this critique, he posits that craftsmanship isn’t a thing of the past, as seen by anthropologists; rather, craftsmanship is part of traditional arts, in that those are skills passed on from generation to generation by traditional craft communities, viewed through modernist sensibilities as people who are not yet modern. At the end of World War II, the concept of Homo faber was scrutinized. Man as maker was put under suspicion because it was man who had made the nuclear bomb obliterating his fellow man, threatening man’s existence on earth. A number of philosophers reminded how man, as maker, needed to be put surveillance.
standar ganda. Di satu sisi dorongan internal untuk menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya—demi pekerjaannya sendiri—di sisi lain, memperhitungkan berbagai ketentuan untuk memenuhi keinginan dan selera publik. Karena itu barang-barang yang dihasilkan industri tidak sesungguhnya menampilkan craftsmanship. Dasar pemikiran filosofis Sennett adalah melihat secara kritis material culture. Ia melihat materialisme yang mendasari perkembangan peradaban Barat mengabaikan seluk beluk craftemanship dan sikap craftsman dalam bekerja. Materialisme memusatkan perhatian pada hasil kerja craftsmen dan kemudian memanfaatkannya. Maka craftsmen menurut Sennett, tidak pernah berada di rumahnya sendiri. Tempat mereka berpindah-pindah dari satu kekuasaan ke kuasa lainnya dan karena itu mereka tidak pernah sesungguhnya menyelesaikan pekerjaan mereka.5 Berdasarkan pengkajian fenomena homo faber dalam sejarah peradaban manusia Sennett mengemukakan bahwa craftsmanship jauh lebih luas dari sekadar keterampilan tangan. Pada craftsmanship “kerja tangan” tidak bisa dipisahkan dari “kerja kepala”. Ia mengemukakan, “Craftsmanship bisa menunjukkan impuls-impuls mendasar pada manusia, memperlihatkan kesungguhan untuk menampilkan hasil kerja terbaik dan daya tahan dalam bekerja secara kontinu dan konstan.”
5
The Craftsman. Richard Sennet. Allen Lane. London. 2008. pp.1-8
What man had made must first receive public acceptance before being produced massively. This proposition then became convention, and according to Sennett, this control had ruined craftsmanship. Just as politicians had misused science to produce nuclear bombs, post-war politicians—the authority representing the public—were also laymen who did not understand the intricacies of a craftsman’s work. In peacetime, craftsmen’s work should not be scrutinized (or put under suspicion), but must be used, cultivated. As is currently the case, their work is being developed economically to produce goods for consumption. Craftsmanship is once again severed, for now craftsmen are faced with a double standard. In one sense, there is this internal ‘desire for a job well done’—for its own sake—but on the other hand, they must take into account the various stipulations in order to fulfill the wants, needs, and tastes of the public. Thus, industrial-made things do not often reflect craftsmanship to its fullness. Sennett’s philosophical thought is based on looking at material culture critically. He saw how materialistic inclinations that have been the basis of development for Western civilization have ignored the essence of craftsmanship and the craftsmen’s attitude when approaching their work. Materialism is more concerned with the end products of what the craftsmen have created and their utilization. Thus, according
() (* Tentang craftsmen, Sennett menemukan, mereka menjelajahi dimensi craftsmanship itu. Craftsmen punya keterampilan, punya komitmen dalam bekerja dan punya kemampuan berpikir spesifik. Semua craftsman yang baik (good craftsman) menyadari kedekatan hubungan tangan dan kepala. Pada kerja craftsman terjadi dialog di antara praktek konkret dan proses berpikir yang tampil dalam bentuk problem finding dan problem solving. Sennett menulis, “Craftsman yang baik selalu berusaha menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya demi pekerjaan itu sendiri dan bukan demi hal-hal lain”.6 Dengan persepsi semacam itu Sennett mengemukakan craftsman bukan cuma mereka yang membuat produk pekerjaan tangan yang disangka orang selama ini. Craftsmen adalah seniman yang unggul, ilmuwan unggul, dokter unggul, perancang unggul, pengacara unggul, ahli komputer unggul bahkan pemusik yang unggul. Craftsmen, menurut Sennett, menggunakan pemecahan masalah untuk terus menerus membuka teritori baru di wilayah pekerjaaan mereka. Sennett menegaskan craftsmen ada di banyak bidang dan masih hadir pada kehidupan sekarang.7 Sasaran pemikiran Sennett adalah reformasi kesadaran dalam memahami material culture. Berhenti memperhatikan hanya produk man as maker dan mulai memperhatikan bagaimana produk ini “dilahirkan”— memahami pengertian homo faber yang sebenarnya.
to Sennett, a craftsman is never at home in his own environment. Craftsmen move from one influence to the next and thus they can never fully complete their own work5. Based on his research into the Homo faber phenomena within the history of human civilization, Sennett posits that craftsmanship encompasses an area much larger than merely handiwork. In craftsmanship ‘the work of the hand’ cannot be separated from ‘the work of the head’. He puts forward that craftsmanship can show man’s basic impulses, demonstrating the sincerity of effort to present their best work as well as the endurance to work continually and constantly. On the craftsmen themselves, Sennett has found that they are exploring their respective dimension of craftsmanship. Craftsmen possess skill, retain their commitment in their work, own the ability to think specifically. All good craftsmen are able to comprehend the link between hand and head. In a craftsman’s work there is a dialog between concrete practices and thinking, manifested in the form of problem-finding and problem-solving. Sennett wrote that “the good craftsman always strive to do a job well for its own sake and not for other reasons” 6. Thus, based on such perception, Sennett puts forward that craftsmen are not merely those
Craftsmanship seharusnya dirayakan masyarakat dan ini bukan tidak mungkin dalam kehidupan sekarang. Sennett menunjuk perkembangan teknologi komputer. Mereka yang unggul dalam menggunakan teknologi dan program-program komputer untuk berbagai tujuan adalah craftsmen. Mereka tersebar di kalangan masyarakat. Ciriciri mereka bisa dilihat jelas, komitmen dalam bekerja, pengetahuan yang sangat spesifik, daya tahan dalam bekerja dan kencederungan mencari dan memecahkan masalah. Hasil kerja mereka menujukkan craftsmanship. Kini mereka terlibat dalam sistem operasi Linux yang memperkenalkan open source computer software; Siapa pun boleh ikut mengembangkan software code Linux melalui internet—menyumbangkan pikiran, memasukkan gagasan atau meng-install pemecahan masalah. Sistem operasi Linux, menurut Sennett, adalah public craft yang sedang membangun sebuah komunitas craftsmen.8 Karena pemikiran Richard Sennett berada di dataran filsafat, bukunya lebih banyak menampilkan persoalan dan pemikiran tentang material culture dalam kehidupan masa kini. Ia tidak sampai menyuruk ke rinci-rinci craftsman dan craftmanship. Bagaimana misalnya craftsmanship bisa menampilkan impuls-impuls mendasar pada manusia. Kendati Sennett menegaskan kesalahan peradaban Barat memisahkan art dan craft dan menyatakan “seniman adalah craftsmen”, Sennett tidak menyodorkan contoh-contoh kerja seniman yang bisa memperkuat
who produce hand-made products (which is how most of current society view them). Craftsmen are excellent artists, foremost scientists, firstrate doctors, superb designers, terrific lawyers, exceptional computer programmers, and even splendid musicians. Craftsmen, according to Sennett, utilizes problem-solving methods to continually open new territories in their line of work. He emphasizes that craftsmen do exist in many sectors and they do still continue to exist in our daily lives7. The aim of Sennett’s argument is the reformation of our consciousness in understanding the nature of material culture. He invites us to stop looking at the end-results produced by man, as maker, but to start looking at how these products come to be, “their birth”, to understand what is really meant by Homo faber. Craftsmanship must be celebrated by the public and this is not impossible even in our current way of living. Sennett uses the development of computer technology as an example. They who excel in using technology and computer programs for their various ends are craftsmen. They exist in various levels of society. Their characteristics are mostly immediately evident: their commitment to their work, their specific knowledge, their endurance at work, their tendency to look for and
6 7
5
The Craftsman. Richard Sennet. Allen Lane. London. 2008. pp.1-8 Ibid.p.9
8
7
Ibid.p.9 Ibid.p.11
6
Opcit. pp. 23-30.
Ibid.p.11
Æ^YÇhZg^Zh'%%+
(+ (, pandangannya. Komitmen, cara kerja dan perkembangan artistik Hanafi adalah contoh yang tidak ada pada buku Sennett. *** Sejak kemunculannya pada awal dekade 1990 Hanafi dikenal sebagai pelukis abstrak—pada lukisannya tidak ada gambaran sama sekali. Namun ketika saya mengkurasi tiga pameran tunggalnya pada 2006 dan 2007 lukisan Hanafi tidak lagi sepenuhnya abstrak; Muncul gambaran pada lukisan-lukisannya kendati gambaran ini tidak menimbulkan perubahan besar karena pesona pada lukisan-lukisannya tetap tampil dari kemampuan membangun susunan rupa dan bukan karena gambaran.
solve problems. What they produce reflect their craftsmanship. Now they are involved in the development of the Linux Operating System, introducing an open source computer software; everyone is invited to develop the Linux software code with internet as a medium—contributing their thoughts, providing ideas, or installing problem solvers. Linux, according to Sennett, is a public craft, building a community of craftsmen8. Since Richard Sennett’s expositions mainly exist in the realm of philosophy, his book mostly expounds upon the problems and thoughts on material culture currently. In his book, he does not go into detail on craftsman and craftsmanship. How, for example, might craftsmanship give rise to such basic impulses in a person. Though Sennett emphasizes the mistake made by Western civilization in separating art and craft, proclaiming that “artists are craftsmen”, Sennett does not provide examples of an artist’s work to strengthen his views. Hanafi’s commitment, way of working and artistic advancement are examples that are not found in Sennett’s book. ***
Opcit. pp. 23-30.
8
Akan tetapi pada pameran tunggalnya bertajuk “id ” gambaran pada lukisan-lukisan Hanafi bisa saya gunakan untuk memahami proses penciptaannya. Saya melakukan pengkajian dengan pendekatan psikoanalisa.9 Melalui gambaran ini bisa ditemukan apa yang disebut Richard Sennett, impuls-impuls mendasar manusia. Dasar pengamatan saya adalah gambaran pada lukisan Hanafi muncul spontan dan memperlihatkan dorongan energi. Kemunculan gambaran ini tidak melibatkan pertimbangan rasional. Maka kehadiran gambaran pada lukisan Hanafi memperlihatkan karakteristik kerja “id”. Dalam psikoanalisa “id” adalah konstruk psikis yang berada di alam bawah sadar dan merupakan sebuah komponen keperibadian manusia. Dari “id” muncul berbagai energi mentah manusia berupa hasrat dan dorongan (drive) yang paling mendasar. Dorongan ini bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle) dan berhubungan hanya dengan tubuh dan sensasi yang bergolak di dunia internal. Dorongan itu tidak berhubungan dengan realitas atau dunia eksternal. Hubungan ke dunia eksternal
9
Dalam mengantar dua buku yang disuntingnya, sejarawan seni rupa James Elkins mengkaji penerapan teori- pada penulisan sejarah seni rupa dan kritik seni rupa yang tiba-tiba meningkat sejak tahun 1980. Dari statistik yang ditampilkannya terlihat pada tahun 2000an psikoanalisa adalah teori terbanyak kedua yang muncul pada referensi penulisan sejarah dan kritik. Peringkat pertama diduduki feminisme dan semiotics berada pada peringkat ketiga. Is Art History Global ?. James Elkins (ed.). Routledge. NY-London. 2008.pp.v-viii. The State of Criticism. James Elkins, Micahel Newman (ed.). Routledge. NY-London. 2008.pp. vii-x.
Since his emergence in the beginning of the 20th century of 1990’s, Hanafi has been known as an abstract painter—one is hard-pressed to find any imagery upon his paintings. But when I curated his three solo exhibitions in 2006 and 2007, his paintings were no longer entirely abstract; Imageries began appearing in those paintings even as there were no drastic changes, since the allure enchantment of those paintings were found in his ability to construct forms and less in how he presented an image. But then, in his solo exhibition, “id”, I found that I could use the imageries within Hanafi's paintings to understand the process of their creation. I examined them with a certain psychoanalytic approach9. Through these images, one could find that which Richard Sennett mentioned in his book: the basic impulses of man. The basis of my examination was how images within Hanafi’s painting had appeared spontaneously, showing a burst of energy. The appearance of the images did not involve rational considerations. Thus, the appearance of images Introducing two books he edited, art historian James Elkin examines theories applied in art history and art crticism that has seen a rise since 1980. Statistically, in the year 2000, psychoanalysis is the second-most theory to appear in references of art history and art critic. Feminism takes first place and semiotics third. Is Art History Global? James Elkins (ed.). Routledge. NY-London. 2008. pp. v-viii. The State of Criticism. James Elkins, Michael Newman (ed.). Routledge. NY-London. 2008. pp. vii-x.
9
((. ini merupakan karakteristik kerja “ego” komponen lain kepribadian yang dikenal sebagai pusat kesadaran. Dari hubungan ego dengan realitas terbentuk persepsi melalui kesadaran. Persepsi ini membuat realitas menjadi sesuatu yang disadari manusia. Akan tetapi “id” bukannya tidak punya hubungan dengan pembentukan persepsi. “Id” ikut berperan karena interaksinya dengan ego. Pada interaksi ini “id” mengalami deferensiasi dan kemudian menjadi kekuatan yang bisa memaksa ego mengalihkan orientasinya dari dunia eksternal ke dunia internal. Terjadi kemudian sublimasi di mana “id” diolah ke bentuk yang lebih tinggi atau ke bentuk yang lebih berbudaya. Defrensiasi “id” itu terjadi pada proses berkarya Hanafi. Kendati ia bekerja secara spontan ia tidak bersikap pasif dan membiarkan emosi mengendalikan seluruh proses kerjanya. Hanafi mengemukakan, ketika proses melukisnya berlangsung muncul di kepalanya berbagai memori dalam menjalani kehidupan. Memori ini menyatu dengan persoalan yang muncul pada bidang kanvas. Dalam keadaan semacam ini ia menghadapi persoalan melukis dan sekaligus memorinya. Gejala ini menunjukkan ekspresi Hanafi—bahkan yang abstrak— ternyata punya kaitan dengan berbagai persoalan realitas dalam kehidupan. “Waktu saya terdesak untuk mengambil tindakan penyelesaian pada kanvas, sering terjadi, saya tiba-tiba teringat pada pengalaman menyelesaikan konflik dalam
in Hanafi’s painting showed the characteristic workings of “id”. In psychoanalytic terms, the “id” is a construction of the psyche, residing in the subconscious and is a component of a person’s personality. Through “id” various raw energies within a person, desire and drive in their most basic form, may appear. ‘Drive’ works on a pleasure principle, in connection with only the body and the sensation churning within an internal world. Such drive does not have a connection with reality or an external world. Its relationship with the external world is work characteristic to the “ego”, yet another personality component we know as the center of consciousness. Through the relationship between ego and reality, one forms perception through consciousness. Such perception allows reality to be something that a person is conscious about. However, it is not to say that the “id” does not have a connection with how one creates perception. Id plays a role due to its interaction with the ego. In this interaction, id undergoes a process of differentiation, thus becoming a force that can compel the ego to shift its orientation from the external to the internal world. Thus, sublimation occurs, where the id undergoes a process to make it into a higher form or to a more cultured form.
kehidupan dan seketika itu juga persoalan pada lukisan saya teratasi,” katanya. Gambaran yang muncul pada lukisan Hanafi—gambar jarum jahit, panci, telur, pohon—ada hubungannya dengan berbagai konflik pada memorinya. Keterangan Hanafi bisa dilihat menunjukkan interaksi “id” dan ego. Pada interaksi ini—yang tidak sepenuhnya ia sadari—energi yang berperan dalam penyelesaian lukisannya adalah energi positif yang muncul dari alam bawah sadar. Dalam psikonalisa emosi dikenal dekat dengan alam bawah sadar. Emosi tampil terutama pada keadaan cemas dan keadaan gembira. Interaksi manusia dengan realitas dibayangi kedua kondisi mental ini. Karena itu emosi berpindah-pindah dari kondisi imbang ke kondisi tidak imbang. Emosi akan mengalami eskalasi bila kondisi mental menghadapi kebuntuan karena terjadi konflik (dua keinginan bertentangan mendesak dengan kekuatan sama). Emosi kembali mengalami eskalasi ketika konflik terpecahkan dan kondisi mental berproses menuju kondisi imbang. Karena itu emosi paling intens muncul pada puncak kecemasan (agony) dan pada puncak kegembiraan (ecstasy). Selalu ada jangka waktu di antara agony dan ecstasy karena diperlukan waktu untuk menyurutkan perasaan tertekan dan diperlukan pula waktu untuk kembali kondisi imbang. Dalam kehidupan sehari-hari jangka waktu ini seringkali sangat panjang—bila agony bekepanjangan akan muncul gejala depresi.
This differentiation of the “id” occurred in Hanafi’s creative process. Though he worked spontaneously, he did not act passively, giving free rein to emotion to run the whole of his work processes. Hanafi explained thus: when painting his mind conjured various memories of how he has led his life thus far. These memories merged with the problems appearing on canvas. In such a situation, he faced both the problems as well as his memories. These things showed that Hanafi’s expressions—even the abstract ones—actually had a connection with the various reality-related problems found in life. “A lot of times, when I am forced to take problem-solving actions on canvas, I am suddenly reminded of my experiences in solving conflicts in my life, there and then I can solve a problem within my painting,” he said. The imageries appearing in Hanafi’s “id” paintings—a picture of a needle, a crockpot, an egg, a tree—all had connections with the various conflicts residing in his memories. Hanafi’s explanation could be taken as a demonstration of the interaction between the id and ego. In this interaction—which he did not fully comprehend—the energy at work in solving his painting was a positive energy, emerging from his subconscious. Within the realm of psychoanalysis, emotion is closely related to the realm of the subconscious.
)% )& Jangka waktu itu bisa dipendekkan karena manusia memiliki élan vital yang bertumpu pada spirit survival. Inilah energi positif yang datang dari alam bawah sadar— disebut cathexis—dan berasal dari pertarungan energienergi yang memunculkan interaksi mutual. Pada interaksi ini energi biologis “id” kehilangan bentuk ketubuhan dan berubah menjadi hasrat. Lukisan-lukisan Hanafi yang ekspresif—tercermin khususnya pada sapuan-sapuan kuas—memperlihatkan dorongan energi positif itu. Proses melukisnya yang spontan dan tidak pernah lama menunjukkan, ekspresi ini mengandung spirit survival yang berperan dalam memendekkan jangka waktu di antara agony dan ecstacy.10 Bukan hanya impuls-impuls mendasar manusia yang ditunjukkan proses penciptaan Hanafi itu. Uraiannya tentang kerja melukisnya menunjukkan dengan jelas gejala “membuat adalah memikir” yang dikemukakan Richard Sennett tanpa contoh-contoh—Sennett sendiri mengakui rekan-rekannya menatapnya dengan wajah sangsi ketika ia menampilkan pernyataan ini. Pada uraian Hanafi bisa dilihat bagaimana proses “membuat” pada kerja melukis—berlangsung paralel dengan proses “memikir” di mana dua aspek memikir hadir seperti “berhimpitan”. Problem solving menghadapi masalah visual di atas kanvas dan problem solving pada memori yang tidak bersifat aktual dan menjadi referensi.
10
“Kuratorial”. ibid.
Emotion appears mainly in agony or in ecstasy. The interaction between a person and reality is shadowed by these two mental conditions. Thus emotions swing back and forth from being in the state of equilibrium to being in a state of disequilibrium. Emotion may escalate when, due to a conflict, the mental faces a dead end (two opposite, yet equally-strong desires fighting for prominence). Emotion will also escalate when a conflict is resolved and the mental condition began the process of returning to a state of equilibrium. Thus, the most intense emotion appears at the peak of agony as well as ecstasy. There will always be a time distance, stretching between agony and ecstasy, because a person needs time to quell an oppressive feeling. One also needs time to return to a state of equilibrium. In every day life, this stretch of time may be a long one—thus a long bout of agony may lead to depression. This time stretch may be shortened because man possesses an élan vital stemming from the spirit of survival. This is the positive energy emerging from one’s subconscious—known as cathexis—the result of a struggle between various energies, resulting in a mutual interaction. Within this interaction, the biological energy of the id loses it’s physicality, morphing into a certain desire.
Memori berperan juga sebagai referensi pada kemampuan Hanafi memecahkan persoalan-persoalan rupa. Memori ini adalah perkenalannya dengan dunia rupa sejak kecil. Ia mengenal dunia rupa dari ibunya seorang penjahit baju, dari tetangganya yang mempunyai perusahaan pembuat batik, dari kerja serabutan membuat barang-barang artistik untuk mencari uang dalam perjalanan hidupnya. Ketika Hanafi memutuskan menjadi seniman, perkenalannya dengan dunia rupa sejak kecil berperan pada kemampuannya membangun susunan rupa—seperti pemain biola unggul yang belajar sebelum umur lima tahun. Memori artistik ini dan memori dalam menjalani kehidupan bergetar dalam frekuensi sama (seperti terjadinya resonansi) ketika ia menghadapi masalah dalam kerja melukis.11 Seperti sudah saya kemukakan, proses berpikir itu bertumpu pada intuisi (rasa) yang berada di antara nalar (sense) dan kepekaan (sensitivity). Dalam definisinya intuisi selalu dijauhkan dari reasoning pada proses berpikir logis. Namun ketika memunculkan sesuatu solusi bisa melampaui solusi berdasarkan pengetahuan logis. Kajian tentang intuisi menunjukkan intuisi punya hubungan erat dengan memori dan pengalaman. Dalam kajian ini intuisi ditemukan sangat berperan pada mereka yang punya banyak pengalaman mencari jalan keluar menghadapi keadaan sulit.
Hanafi’s expressive paintings—reflected through his brush strokes—displayed the aforementioned drive of positive energy. The spontaneity and brevity of his painting process showed how such an expression contained within it a spirit of survival, thus shortening the time stretching between agony and ecstasy10. It really wasn’t just man’s basic impulses that were being shown in Hanafi’s creative process. His explanation regarding his painting process demonstrated clearly the meaning of “making is thinking” as expressed by Richard Sennett, though Sennett himself did not provide examples—Sennett confessed how his colleagues looked at him unconvinced when he posited this statement. In Hanafi's explanation we could clearly see the “making” process that went into a painting— it occurred parallel to the “thinking” process, wherein both aspects of thought, or thinking, appeared almost coincidentally, almost pressed together: problem-solving done to face the visual conundrum upon the canvas, as well as problemsolving applied towards memories that were not actual and were acting as reference. Memory also acted as reference to Hanafi's ability to solve the problems of forms. These were memories of his introduction to the world of
11
10
Ibid.
“Curatorial”. ibid.
Æ:c^\bVÇhZg^Zh'%%,
)' )( Sejumlah teori melihat intuisi sebagai pengetahuan spiritual pada tahap ketiga sesudah imajinasi dan inspirasi. Karena berada di antara nalar dan kepekaan, intuisi punya peran juga dalam pembentukan persepsi dan bisa muncul sebagai pikiran. Berbeda dengan pemikiran nalar, pikiran berdasarkan intuisi tidak mempunyai alasan yang jelas dan ketika muncul tidak bisa diuraikan. Namun dalam analisa seringkali bisa ditemukan hubungan pikiran intuitif ini dengan pemikiran nalar.
forms from his younger days. He was introduced to the world of forms through his mother, a seamstress, from his neighbor who ran a batikmaking company, as well as through his odd jobs making art pieces, earning money to pave his life's journey. When Hanafi decided to be an artist, this early introduction to the world of forms influenced his ability to construct form—like a superb violinist who practiced even when he or she was not yet five. This artistic memory, as well as his memories of walking the path of life, operated on the same frequency (such as creating resonance) when he faced a problem during his work, painting.11 As I have mentioned, such a thought process stemmed from intuition that resides between sense and sensitivity. In its definition, intuition is distanced from reasoning within the frame of logical thinking. However, when providing a solution, intuition may also provide one that exceeds a solution based on logical knowledge. Research into the nature of intuition shows how intuition is closely connected to memory and experience. Within this research, intuition is found to play a great role in those individuals who have many experiences in searching for solutions to difficult problems. A number of theories view intuition as spiritual knowledge of the third stage, following imagination and inspiration. Because it resides between sense and sensitivity, intuition also plays a role
Perjalanan artistik Hanafi menunjukkan pikiran intuitif itu ternyata bisa menjadi sangat kompleks. Bisa memunculkan berbagai persoalan yang tidak terduga. Pada pameran tunggalnya bertajuk “Enigma”, akhir tahun 2007 Hanafi tiba-tiba mempersoalkan maknamakna. Ia berpendapat, dasar semua makna cuma perjanjian. Hanafi mengemukakan, “Perjanjian tentang segala hal tidak bisa dipegang karena perjanjian selalu terjadi di atas meja dan kita tidak pernah tahu apa yang ada di kolong meja.“ Melalui berbagai gambaran obyek pada lukisanlukisannya—khususnya gambar meja yang dijungkirbalikkan—ia mengungkapkan kesangsiannya pada kebenaran makna-makna. Berbeda dengan gambaran pada lukisan-lukisannya terdahulu gambaran pada lukisanlukisan itu terkesan membawa pesan. Gambaran ini— bersama teks dan tanda-tanda—seperti menyampaikan pandangan Hanafi. Gejala ini sebuah paradoks. Di satu sisi Hanafi menggunakan gambaran untuk mengungkapkan kesangsiannya tentang makna. Di sisi lain ia menyangsikan gambaran yang membawa makna pada lukisannya. Bagi saya paradoks ini yang sesungguhnya membawa pesan, bukan gambaran yang ditampilkannya—gambar meja yang dijungkir-balikkan.12
12
Ibid.
11
“Enigma”. Pengantar kuratorial. Jim Supangkat. Katalog Pameran “Enigma”. O House Gallery. Jakarta November 2007.
in creating perception and may also appear as thought. However, unlike sensible thought, intuitive thought does not always have a clear reason; and when it appears, one might not be able to fully describe or elaborate upon it. Even so, analysis may sometime show a correlation between intuitive thought and sensible thought. Hanafi's artistic journey demonstrated how such an intuitive thought might turn out to be very complex; how it could lead to many unexpected conundrums. During his solo-exhibition “Enigma”, at the end of 2007, Hanafi suddenly questioned meanings. In his opinion, the basis of all meanings is merely accord, an agreement. He said, “Agreements about all things cannot be trusted since agreements always happen above the table, and we can never know what is happening underneath it.” Through the various images of objects within his paintings—especially the image of a table, turned upside down—he communicated his doubt over the truth behind meanings. Unlike the imageries found in his previous works, the images found in those paintings seemed to carry a certain message. Such imageries—coupled by texts and symbols—seemed to be communicating Hanafi's view. This was a paradox. On the one hand, Hanafi utilized imageries to express his doubt over
)) )* Pesan yang saya tangkap, Hanafi menyatakan bahwa gambaran pada lukisannya adalah “teks”, sama dengan komponen rupa lain yang tidak menampilkan gambaran dan lebih mudah dipahami sebagai “teks”. Pernyataan yang tidak eksplisit ini menunjukkan bahwa ungkapan pada lukisan Hanafi didasarkan pada pendekatan bahasa. Pernyataannya menyangsikan kebenaran maknamakna menandakan ia sedang menyangsikan “teks” pada lukisan-lukisannya—dengan atau tanpa gambaran. Hanafi mempertanyakan, apakah “teks” ini benar-benar ekspresinya? Atau, sekadar permainan bentuk yang konvensional, atau bahkan sekadar pengolahan bahasa komunikatif (disepakati melalui perjanjian) agar lukisannya bisa dibaca?13 Kendati tidak ia sadari pandangan Hanafi yang intuitif itu berhadapan frontal dengan pemikiran logosentris (pencarian kebenaran) yang merasa telah menemukan tanda-tanda kebenaran absolut. Pada pemikiran itu bahasa (dalam filsafat bahasa) dan science menjadi wilayah untuk mencari kebenaran absolut karena bahasa dan science bisa menyusun “ukuran kepastian” (commensurability) dalam melakukan pemikiran, pengkajian dan penelitian. Maka kebenaran yang ditemukan pemikiran logosentris bertumpu
meanings. On the other, he doubted the very images bringing meaning to his paintings. To me the real meaning was found within the paradox itself, not in the images being displayed—the upturned table, for example.12 The message that I received seemed to indicate that Hanafi was expressing how the imageries in his paintings were “texts”, equal to other components of form that did not present imageries and were easier to understand than as “texts”. Such non-explicit statement showed how the expressions found in Hanafi’s paintings were based upon a linguistic approach. His statement, doubting the truth of meanings, signified how he was also doubting the “texts” of his paintings—with or without images, Hanafi was questioning: was this “text” really an art expression? Or was it merely a conventional play of forms, or even merely a way to process communicative language (made in accordance, through an agreement) so as to allow paintings to be read?13 Even without him realizing it, Hanafi's intuitive view faced head-on logocentric thinking (truthfinding thought process), which might have felt that it had found the signs of absolute truth. “Enigma”. Curatorial introduction. Jim Supangkat. Catalogue prepared for “Enigma” exhibition. O House Gallery. Jakarta. November 2007. 13 I am expanding and improving my views as written in the “Enigma” catalogue. Ibid. 12
13
Saya memperbaiki pandangan yang saya tuliskan pada “Enigma”. Ibid.
pada “ukuran kepastian” ini. Kebenaran inilah yang kemudian dianggap absolut. Padahal commensurability hanya konvensi yang kepastiannya didasarkan pada kesepakatan. Karena itu pada pemikiran post-modern kebenaran absolut ini disangkal. Pertanyaan-pertanyaan yang mencerminkan kesangsian pada lukisan-lukisan pameran “Enigma” merupakan dasar dekonstruksi-diri yang diangkat Hanafi pada pameran ulang tahunnya yang ke-50. Lukisanlukisannya menunjukkan Hanafi menjawab pertanyaanpertanyaan itu tidak hanya dengan menghilangkan gambaran pada lukisan-lukisannya. Ia menghilangkan pula “ruang”. Kesan ruang sudah hadir pada lukisan-lukisan abstrak Hanafi bahkan yang paling awal. Kendati ia melukis di atas kanvas yang dua dimensional ia seperti membangun susunan rupa pada ruang tiga dimensional—mungkin karena itu para arstitek suka pada lukisan-lukisannya. Ketika gambaran muncul pada lukisan-lukisan abstraknya kesan ruang itu menjadi semakin kuat. Pada lukisan-lukisan ini muncul tanda-tanda yang terbaca maupun tidak terbaca. Tanda yang segera menarik perhatian adalah deretan angka-angka yang tampil bersama tarikan garis pada sisi-sisi bidang warna. Pada banyak lukisannya, angka-angka ini menjadi pusat pesona dan membuat pelihat segera bertanya, apa makna angka-angka ini.
In such way of thinking, language (in terms of linguistic philosophy) and science become areas where one would search the absolute truth, since language and science are able to construct commensurability in doing contemplation, evaluation and research. Thus, truth found in logocentric thought based itself upon the measure of sure commonality (commensurable). This truth is then accepted as absolute, even when commensurability is merely a convention, its certainty is based upon agreements. Thus, in postmodern thought, absolute truth is denied. Questions reflecting doubt in the “Enigma” painting exhibition formed the basis of selfdeconstruction that Hanafi chose for his current 50th birthday exhibition. His paintings now show him answering questions not only by omitting imageries from painting, but also by omitting “space”. The feeling of space have always been present in Hanafi's abstract paintings, even the ones from the very beginning. Although he was painting on two-dimensional canvas, it has always seemed as though he was constructing forms in three-dimensional space—maybe that's the reason why architects are drawn to his paintings. When imageries appeared in his abstract paintings created for the “Enigma” exhibition, the feeling of space became even more evident.
)+ ), Hanafi tidak pernah memberi jawaban langsung. Namun dari perbincangan dengannya saya melihat angka-angka itu ada hubungannya dengan perhitungan matematis. Hanafi mengemukakan, ketika ia melukis ada kalanya ia seperti mencari sesuatu titik dalam ruang. “Sebuah titik yang pasti dan tepat,” katanya.” Titik itu saya tentukan dengan intuisi, tapi kalau diukur kembali dengan alat pengukur yang matematis, memang tepat dan betul.” Saya percaya pencarian dan penentuan titik itu memang dilakukan Hanafi dalam melukis namun saya tidak pernah menemukan titik yang dimaksudnya. Terus terang penjelasan Hanafi ini tidak sepenuhnya saya pahami. Sampai pada pameran “Enigma” ketika ia mempersoalkan makna-makna yang tidak pasti. Saya merasa persoalan “titik pasti dalam ruang” ini tiba-tiba mendapat konteks. Sejak filsafat Yunani kuno 500 S.M makna pada bahasa dan pemahaman diyakini punya dasar pengertian yang tetap karena selalu dipengaruhi sejarah pengertiannya. Namun makna pada bahasa dan pemahaman tidak pernah tetap karena dipengaruhi pula kondisi di mana ia berada. Ada dua faktor yang memengaruhi kondisi ini, yaitu faktor ruang (spatial) dan faktor waktu (temporal). Dalam “ruang” makna cenderung tetap dan bisa membentuk tanda sejarah. Dalam “perjalanan waktu” makna terus menerus berubah dan menjadi tidak pasti.
Signs appeared on these paintings, both readable and otherwise. One such signs that appeared to instantly grab one's attention was the row of numbers appearing together with the lines drawn along the edges of a color block. In many of his paintings, these numbers became the center of interest, an allure, leading all beholders to question what could the meaning behind these numbers be. Hanafi never provided straight answers. But through my conversation with him, I began to see connections between those numbers and certain mathematical calculations. Hanafi said that when he was painting, there were times when it seemed as though he was looking for a point in space. “A precise and correct point,” he said. “I found the point using my intuition, but when measured by a mathematical measuring tool, it turned out to be true and correct.” I believe Hanafi did search and determine that point when painting, though I never found the point he mentioned. Honestly, I have never fully understood Hanafi’s explanation. Until the “Enigma” exhibition, when he was questioning uncertain meanings. I felt that the question of a “definite point in space” could suddenly gain a context. Ever since the nascent of Greek philosophy, dating back to 500 B.C., meaning placed upon language and understanding is believed to have a steady basis of understanding, as they are always influenced by the history of its interpretation. However, meaning upon language and understanding is never
Perubahan ini terjadi dengan sendirinya dan tercermin pada perubahan tanda-tanda bahasa. Namun karena memiliki sejarah makna selalu bisa dikenali. Pada pameran “Enigma” intuisi Hanafi meraba makna-makna dan ia terombang-ambing di antara makna yang dipengaruhi faktor ruang dan makna yang dipengaruhi faktor waktu—pada beberapa lukisannya muncul gambar atau tanda-tanda jam. Kesan ruang pada lukisan-lukisan yang tampil pada pameran ini menjadi sangat kuat. Namun kesangsian Hanafi pada kepastian makna-makna memunculkan dorongan padanya untuk menyangkal “ruang”. Di sinilah paradoks muncul. Pada lukisan-lukisan yang ditampilkan untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-50, Hanafi mengakhiri paradoks itu. Bertahan pada pemikirannya tentang ketidakpastian makna, dengan berani ia “meninggalkan ruang” yang menempel pada lukisannya selama 30 tahun. Dengan “bantuan garis” Hanafi membuat semua lukisan-lukisan ulang tahunnya menjadi datar dan kesan ruang dengan sendirinya hilang. Lukisan-lukisannya kemudian menampilkan bahasa rupa di mana Hanafi berkutat memunculkan perubahan tanda-tanda bahasa. Ini sebuah penjelajahan artistik baru. Ia—seperti kata Richard Sennet—sedang membuka teritori baru di wilayah pekerjaannya.
constant, since they are influenced by the condition of the place they are found in. There are two factors contributing to this condition, (1) spatial and (2) temporal. Within a spatial frame, meaning tends to take a solid form, creating a certain mark in history. However, on a “temporal voyage”, meaning is constantly evolving, becoming inconstant. Such changes occur in itself, reflected in the changes of linguistic markers. However, since it possessed history, meaning will always be recognizable. At the “Enigma” exhibition, as Hanafi's intuition searched for meanings, he was adrift between spatial-meaning and temporal-meaning—in some of his paintings images of clocks appeared. The sense of space in those paintings felt very strong. However, Hanafi's doubt over the certainty of meanings created an urge in himself to deny “space”. Here, a paradox existed. In the paintings he is now exhibiting to celebrate his 50th birthday, Hanafi puts an end to this paradox. Hanging onto the uncertainty of meanings, he boldly “leaves the space” attached to his paintings over the past 30 years. With the “help of lines” Hanafi makes all of his ‘birthday paintings’ slight and flat, the sense of space disappearing on its own. His paintings display the language of forms where once Hanafi has struggled to coax the emergence of change over linguistic markers. This is a new artistic exploration. He—as Richard Sennett puts it—is opening new territories in his line of work.
iVg^`bZcVg^` '%&% '%%m')%Xb VXgna^XdcXVckVh bZiVa
=VcVÒ/6WhigV`h^YVcGV]Vh^V@Vgjc^V ?ZVc8djiZVj
Hanafi’s Gift ?ZVc8djiZVj
*% *& Ketika pertama kali melewatinya, boleh jadi Anda tidak terlampau tertarik memperhatikannya. Ya, di dinding itu, terpajang sebuah lukisan, dengan warna yang sekilas tak terbilang istimewa, dan juga bentuk yang selintas biasabiasa saja. Namun tak ayal lagi, karya tersebut memang sungguh ada. Anda mengetahuinya, atau setidaknya merasa ia tergantung di situ.
The first time you pass by it, you may not even
Sejurus kemudian, bila kembali melewati tempat yang sama, dan, setengah tak sengaja, mata anda menoleh ke karya yang itu lagi, barulah anda tersentak, memahami: Lukisan itu tidak melulu hadir di dinding, akan tetapi entah bagaimana, juga di kalbu. Atau, lebih tepat, di suatu tempat di mana anda tahu namun seakan luput mengetahuinya, tak menyadarinya. Mengemuka di sana, warna-warna tanah dan kelabu yang seolah menolak sebagai gugusan warna, juga garis-garis yang seakan mengelak mendefinisikan wujud apa pun, serta tak ketinggalan bidang-bidang yang terkesan gigih tampil sebagai bentuk jadi atau torehan rupa “informal”. Tak pelak semua ciri-ciri itu tampak “berbicara” tentang suatu ragam seni dari lapis-lapis batin terdalam.
you understand: it is not only there, on the wall;
Itulah kesan pemirsa terhadap karya-karya Hanafi sebagaimana dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta antara tanggal 6 sampai 18 April 2010
notice it. Yes, there was a painting on the wall, of no specially striking color, no particularly outstanding form. But it was there. You know it. Simply there, or so you think. But when you pass by the same spot again, and let your eyes glance once more at the painting, only then do you vaguely feel it also belongs here, somewhere inside, in a place you know “you don’t know”. The earth and grey colors, colors that are not seen as colors; the lines that seem to refuse the descriptive autonomy of lines; the obstinacy of surfaces that refuse either to give birth to finite forms or to affirm themselves as formless. All point to an art of the depths. Such are the kinds of impressions one might get from a typical painting by Hanafi (50), like those to be exhibited at the National Gallery in Jakarta from April 6th to April 18, 2010. Must Hanafi’s type of painting be classified? Classification can help the uninitiated; provide frames of reference and ready-made clichés around which to harness judgments, but it cannot
Dalam ragam lukisan apakah karya Hanafi dapat diklasifikasikan? Tidakkah upaya klasifikasi, dalam bidang seni, tak lebih daripada sekadar alat bantu bagi publik awam: dimana untuk mereka disediakan sebentuk kerangka teori yang cenderung klise, semata hanya sarana acuan penilaian yang serba permukaan serta selintas kilas saja, akan tetapi—yang pasti— hal itu tidak memberikan mereka akses pada apa yang tak tereduksikan dari diri sang seniman yang bersangkutan, yang sungguh-sungguh unik dan sejatinya paling menarik. Tentu saja, mudah bagi kita mengatakan, secara langsung, bahwa Hanafi adalah pelukis abstrak: itulah yang pertama tertangkap mata. Tak perlu inisiasi apapun untuk mencapai kesimpulan ini. Wujud-wujud yang tampil di kanvasnya sama sekali tidak menyiratkan, bahkan secara samar-samar, tidak menampakkan figurasi apapun. Tetapi, di luar abstraksi, semua upaya adalah negasi dari segala klasifikasi. Hanafi tak sedang hendak melampaui figurasi melalui musikalisasi dari realita sebagaimana diraih Kandinsky, tak pula menawarkan dampak visual dari geometri warna seperti dilakukan Mondrian, atau, lebih dekat kita, Mantofani. Sang pelukis ini tidak juga merupakan pengikut Rayonism ala Sonya Delaunay; ia pun tak tertarik untuk membuat pernyataan ‘absurd’ ‘putih atas putih’ seturut gaya Suprematisme Malevitch; bukan juga tengah bergaya abstrak ekspresionis, minimalis,
catch what is irreducible, unique to the artist – in short, the most interesting part. Yet, we can indeed say, “positively”, that Hanafi’s work is abstract. No initiation is needed to reach that conclusion. The “forms” shown on canvas are not there to evoke, even vaguely, any figurative object. But all other attempts at classification are “negative”: Hanafi is not reaching out to the “extremity” of figuration before jumping into the “musicality” of the real, like Kandinsky. He is not proposing either a
*' *( Op-art, ‘informal’, lirikal, atau apapun lainnya. Meminjam istilah Afrizal Malna, ia merupakan ‘halaman yang lain’. Mencoba memberikan nama pada gaya kreatifnya ini, boleh jadi akan membakukan karyanya dalam batasan sekat-sekat yang tidak pas dan tidak pantas. Sesungguhnya, ia, Hanafi, menempati suatu ruang yang kiranya belum tereksplorasi di dalam wilayah abstraksi yang seolah semuanya nyaris telah terjelajahi secara paripurna. Maka, bolehlah kita abai pada pernyataanpernyataan bahwa abstraksi kini adalah sesuatu yang mubazir?
“study” of the visual effects of the geometry of
Lalu gerangan isyarat apakah yang disiratkan sang seniman untuk memahami karyanya? Mari sejenak kita datang ke studionya, ke workshop-nya, yang sedikit temaram itu. Berbekal kuas di tangan, Hanafi berjalan dengan sikap yang rileks dan tak menunjukkan beban ketegangan apapun. Langkahnya pelan, rokok terselip di bibir, tak ada satu ciri pun yang menunjukan bahwa dirinya segera akan meluapkan ‘permainan warna’, ‘menyusun ruang dalam kanvas’, atau coba menorehkan struktur kepribadiannya secara visual melalui ‘action painting’. Tidak, ya sungguh tidak terlihat gelagat-gelagat sebagaimana umumnya para perupa yang ingin, entah memperlihatkan kuasa mereka atas ‘pengetahuan’— tingkat kesadaran tertinggi—atau sebaliknya, sepenuhnya meluapkan ke permukaan apa yang dianggapnya sebagai ‘bawah sadar’ mereka. Ya, yakinlah tidak, tidak ada narasi, tidak ada penyusunan secara sistematis ataupun
the claims that everything has been said, that
color after the manner of Mondrian, or, closer to us in Indonesia, Mantofani. He is not an adept of Rayonism like Sonya Delaunay, nor is he making “absurd” Suprematist “white on white” statements like those of Malevitch. Neither is he an abstract expressionist, minimalist, Op-artist, informalist, or lyricist. No! Hanafi belongs nowhere “there”. To name his style would be to locate it, whereas it occupies a well-hidden spot in the otherwise well-explored land of abstraction. So much for abstraction is “passé”! Does the artist at work provide us with better clues to understand his work? Let us accompany him to his large, ill-lit studio. When he heads there, brush in hand, his demeanor carries no peculiar tension. A cigarette hanging at his lips, he simply walks toward the waiting canvas. Nothing shows that he is going to “play with colors”, “organize canvas space” or try to expound through action painting the “visual structure” of his personality. No, one must not expect of him any of the antics that are so common among artists intent at demonstrating their mastery of knowledge – their supreme consciousness – or on the contrary, eager to bring forth to the surface what they
sebentuk ‘kegilaan terkendali’ pada sang kreator kita ini. Dan Hanafi menyadari semua hal ini. Lantas, mengapa pula ia memilih abstraksi? “Oleh karena tidak ditentukan oleh signs (tanda),” katanya. “Dengan demikian, yang tak diharapkan pun bisa saja muncul, sehingga ruang kanvas dapat diisi oleh ‘apa saja’. Memang di abstraksi, ya, hanya di abstraksi, suatu ‘kesalahan’ malahan dapat menimbulkan keindahan. Tentu saja hal ini memungkinkan para pelukis tertentu untuk melakukan semacam ‘kebohongan’, akan tetapi bagi saya pribadi, adalah sarana ekspresi untuk jujur pada diri sendiri.”
deem is their “subconscious”. No! No story, no organization, no engineered madness are at work. And Hanafi is aware of this. Why does he choose abstraction? “Because it is not determined by signs,” he insists, “it enables the visually unexpected to happen. The canvas space can be filled with anything. Even if this enables some to lie, it enables me to be true to myself. And in abstraction – only in abstraction – even an ‘error’ can produce beauty. Of course,” he adds, “ordinary people are disappointed when they see no finite signs on a painting. But space
Akan tetapi, lanjutnya, “Pemirsa biasa bisa jadi kecewa lantaran melihat gambar yang seolah tak berisi tanda apapun. Patut dicamkan, bahwa ruang pada dasarnya tidak dibatasi oleh tanda-tanda. Dan saya ingin mencapai sesuatu yang melampaui tanda, apapun itu resikonya. Karena, kata ‘gagal’ bukanlah sesuatu yang terlalu penting untuk dirisaukan di sini. Yang utama adalah bagaimana kita memiliki keberanian untuk menghadapi setiap resiko. Bukankah kebebasan tidak mungkin diraih bila kita tidak mampu bersikap dan bertindak secara bebas pula.”
isn’t limited by signs. I want to reach beyond
Sembari tersenyum, mendekati kanvas sambil bertelanjang dada, Hanafi berulang berkata, “Dalam berkarya, saya tidak mempunyai design (intensi), tidak mempunyai rencana.” Sejenak kemudian, ia mencelupkan kuas di dalam ember warna, menatap
a waiting bucket of color, stands up, glances
those signs. Whatever the risks. Failing is of no import. What matters is the ability to take risks. Because liberty cannot be achieved without us behaving in a free way.”
“So, I have no design,” he says, twice, with a large smile, while approaching, chest bared, his waiting canvas. He then dips his brush in sideways and continues: “What I have to ‘say’ in my paintings usually comes upon me for just a very few seconds, unexpectedly, just like a gift. This cannot be prepared nor engineered, but
*) ** kanvas, lalu menoleh ke sebelah dan meneruskan berbicara, “Apa yang saya ‘nyatakan’ di dalam lukisan, pada umumnya datang tiba-tiba dan sesaat saja. Datang dan hadir laksana ‘hadiah’ ibarat karunia. Hal itu tidak dapat dipersiapkan atau direkayasa, tapi sekali ‘hadir’, maka selalu diikuti kehadiran luapan perasaan bahagia. Rasanya, sudah menjadi kewajiban saya, untuk berbagi karunia kebahagiaan itu dengan orang lain.” Jeda sesaat, masih dengan senyum, ia berbisik, “Seandainya saya memiliki design, pastilah apa yang saya harapkan kemungkinan besar tidak akan jadi datang.” Lantaran sikap dan pilihan kreatifnya inilah, Hanafi terbilang skeptis terhadap gaya apapun yang sarat dengan design atau intensi, semisal abstraksi geometris dan seni rupa kekinian yang sarat akan simulakrum ikon-ikon klise kontemporer atau tokoh-tokoh populer media. Gayagaya macam itu, untuk dirinya, tak memberikan peluang datangnya ‘hadiah’ karunia sebagaimana di atas. Selama persiapan itu, boleh dikata Hanafi tak putus bicara. Akan tetapi, sewaktu telah tiba saatnya untuk mulai berproses melukis, setelah membuang puntung rokoknya, ia dengan tenang, bahkan hening, mendekati kanvas putihnya. Lantas dengan cepat dan sigap, tanpa gerakan persiapan apapun, seolah tanpa tujuan apapun, ia menorehkan kuasnya seraya membentuk wujudwujud dasar yang akan merupakan kerangka artikulasi—
once it is there, it is a moment of happiness, which I think I have to share with others.” He pauses for a long while, and then whispers with a smile: “If I had a ‘design’, what I expected would probably never take place.” Hanafi is accordingly skeptical of all styles that are overly laden with “design”, like geometrical abstraction or the “iconic” art of contemporary fashion, with its simulacra of masterpieces and obsession with media figures. Those styles do not leave much room for the kind of inspired “gift” he is describing. Hanafi has been talking. Now it is time for him to undertake the painting process proper: casually dropping his cigarette, he calmly approaches the white surface of the canvas, and quickly, without preparation,
in calm, wide gestures, “draws”
with the brush, without purpose, the basic forms around which he is going to articulate – the word is unavoidable – his painting. If it is too high, he climbs a ladder, without haste. When the basic outline is done, he then proceeds with the second phase, coloring, at the same slow, casual pace. Using the colors of earth – grayish and brownish – bereft of any human emotional intent, joy or
istilah ini tak terhindarkan—dari karya-karyanya. Bila bidang yang ingin dicapai terlalu tinggi, dia menaiki suatu tangga, secara tidak tergesa-gesa. Setelah wujud dasar selesai, lalu berlanjut fase kedua, yaitu coloring (pewarnaan), hal mana dia lakukan juga dengan santai. Dalam tahapan ini dia memakai warna tanah dan warna batik, yaitu warna masa kecilnya, yang secara khas tidak mengandung makna emosional apa pun, baik keriangan atau kemurungan. Pada hari berikutnya, ketika warna sudah kering, dia kadangkala melanjutkan fase lain : yaitu gambar garis tak terarah jelas, tidak terbatas dan tidak pula tak terhingga, sekali lagi tanpa design. Hanafi amat sadar tentang ketiada-adanya design pada karyanya. Istilah ini memang diungkapkan langsung olehnya sebagai sebentuk kesadaran, termasuk pula asal muasal yang mendasari dan menyertai sikap kreatifnya itu. Bahkan, seluruh kehidupannya pun seolah tanpa design, mengalir seolah serba tak sengaja. Hanafi terlahir dari keluarga biasa di Purworejo, Jawa Tengah, dan ia tak sengaja pula belajar seni pada SSRI. Keluar dari sekolah, sewaktu akan berangkat ke Jakarta, ia bertemu secara kebetulan dengan salah satu temannya di stasiun, dan spontan saja, yang bersangkutan mengajaknya untuk tinggal di rumahnya. Setiba di ibukota, ia kemudian harus rela bekerja sebagai seorang tukang bersih lantai Hotel President, sebelum menjadi pelukis billboard dan akhirnya, pada awal tahun 1990-an, menetapkan diri
sadness. The next day, when the color has dried, he sometimes adds another phase: the drawing of apparently “aimless” lines, neither finite nor infinite, again “without design”. Hanafi is well aware of the “designless-ness” of his works. He coined the word himself. In fact, he sees this designless-ness as characterizing not only his works, but his whole life. He is, he says, the son of an “ordinary” family of Purworejo in Central Java, who “found himself” studying at the SSRI (Secondary School of Art). He dropped out and, wishing to go to Jakarta, he
*+ *, sebagai seniman lukis. Semua tahapan itu, akunya, seolah terjadi di luar rencananya, berlangsung secara serba kebetulan. Hal mana ini, hingga belakangan, terus membayang-bayanginya dan menjadi bagian dari kesadaran kesehariannya.
“unexpectedly” came upon a friend at the train
Bila menyimak karyanya lebih dalam, ketiadaan design memang meruap di mana-mana, terutama di dalam cara unsur-unsur dari rupa diolah dan didayagunakan sedemikian rupa seakan menafikkan fungsi dasarnya: Garis hadir tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang mendefinisikan atau membatasi; Warna mengemuka bukan sebagai wahana emosi tertentu; adapun Komposisi disusun tanpa maksud menyiratkan tujuan estetis apapun; Wujud-wujud rupa yang tampil tak bermaksud nampak sebagai arketip dan seturutnya. Kita, singkatnya, merasa ada dalam suatu pusaran ruang berwarna nan ganjil, yang seolah senantiasa berfluktuasi, yang, alih-alih menyampaikan ‘tanda’ —yaitu produk manusia ambang sadar—bertujuan merefleksikan ‘situasi kejiwaan’, yaitu perasaan-perasaan yang belum ternamai, segenangan emosi yang belum sepenuhnya dirasakan, mencerminkan segala hal yang menyeruak dari lapis terdalam psike (batin), selayaknya Freud menyebutnya sebagai “Id”.
the early 1990, into a full-fledged artist. All this,
Hanafi sejatinya berkarya seperti halnya olah laku seorang penyair. Bila sang penyair mendayagunakan kata tertentu dengan tujuan meniadakan makna atau memperkayanya, serta mengolah bunyi-bunyian agar
station who offered him lodging at his house in Jakarta. After working for a while as a handy man at the President’s hotel in the capital, he became a billboard decorator, before turning, in he explains, happened as if “outside” his volition, as if by accident. Yet, he was fully aware of it. If we look at his work, what appears, confirming this absence of design, is a use of the elements of painting in ways that belie their original functions: the line is not meant to “delineate” or even less, to “define”, the colors carry no special emotions, there is no organized “construction” of composition to suggest any aesthetic intention, and the shapes/forms that come up do not try to be archetypes. We feel we are in a strange, fluctuating kind of color space, the object of which is obviously to convey not “signs”, those articulate products of the conscious human condition, but rather “states of the soul” – feelings yet to be named, emotions yet to be fully felt, that which somehow hangs about at the lowest layers of the psyche, which Freud called the “id”.
kuasa melimpahkan kandungan ‘rasa’ terpilih pada Makna, yang pada hakikatnya bertujuan demi meraih sublimasi yang lebih utuh menyeluruh, Hanafi demikian pula adanya. Sebagai pelukis, ia selalu ingin hadir di ambang batas warna-warna, garis-garis serta aneka wujud rupa; yang capaiannya tidak dimaksudkan untuk mendefinisikan atau menjelaskan, bahkan tidak pula diniatkan guna mengatakan apapun. Atau dengan kata lain, tujuan dari penciptaannya utamanya adalah untuk memperluas kemungkinan-kemungkinan, memperdalam kedalaman rasa dan emosi, guna mencapai palung batin yang lebih dalam lagi. Jadi, lukisan, di tangan Hanafi, tak beda dengan penciptaan puisi bagi penyair: suatu bentuk seni yang mencoba menggali misteri ‘hidup’, lubuk kalbu sang diri serta hakikat Manusia dalam pengertian yang seutuhnya. Apa yang dilakukan Hanafi dengan sendirinya membawa kita pada apa yang disebut capaian ‘kespiritual-an’. Tetapi dapatkah dikatakan lukisan Hanafi adalah sebentuk ajakan untuk bermeditasi? Boleh jadi demikian, setidaknya dalam artian tertentu. Yakni sebagai suatu upaya untuk melenyapkan polarisasi antara sang diri dan dengan realita luar, yang dalam versi Hanafi disebut sebagai kekonkritan. Akan tetapi, harus segera dinyatakan di sini, bahwa segala proses itu tak berujung pada segala apa yang dapat disebut sebagai kategori dan klasifikasi kultural. Boleh jadi dia terlahir Jawa, tetapi karyanya tidak
Hanafi, in his works, proceeds like a poet. Just as the latter utilizes words to “break” meaning, and sounds to add feeling to meaning, all to reach deeper into the indefinite sublime, he too thrives on crossing boundaries: his colors, lines, forms/shapes do not aim at defining, explaining, even telling anything known; their role is more fundamentally to broaden possibilities, to extend to unknown depth the field of feelings and emotions. Painting is to him like poetry is to poets, an art to explore the mysteries of being alive, the depth of his own and the human psyche. This brings about, unavoidably, the question of the spiritual. Is Hanafi’s work an invitation to meditate? Yes, in the sense that it is an attempt to negate the polarity between the self and the reality outside it, what Hanafi calls the concrete. But – and again we feel the impossibility of categorization – even though the artist is Javanese, let us not think that his work is proposing a “Javanese” kind of meditation. And, indeed, he is not inviting us to focus on rasa, the mythical-cum-mystical “feeling” of Javanese thought. Unlike, for example, Srihadi, he is not after (and perhaps even deems impossible) the
**. sepenuhnya menawarkan suatu meditasi ala kebatinan Jawa. Mungkin karyanya penuh rasa, tetapi dia tidak mengajak kita untuk berfokus pada roso Jawa dalam pengertian tradisionalnya. Berbeda dengan misalnya Srihadi, sewaktu berkarya dia tidak, lantaran mungkin mustahil bagi laku batinnya, bertujuan mencapai situasi yang dikategorikan sebagai Manunggaling Kawula Gusti yang sedemikian diidam-idamkan oleh para pujangga Jawa. Tecermin pada sikap dan karyanya, upaya spiritual Hanafi berada ‘di tempat yang lain’, yang tak terkait klasifikasi budaya tertentu apapun. Upaya spiritualnya itu tidak bisa diberi label Islam atau Jawa sebagaimana pula terefleksikan pada gaya lukisnya yang tak mungkin semata disebut abstrak saja. Yang mengemuka, baik olah karya maupun laku spiritualnya, lebih condong membawanya pada satu situasi yang melampaui segala dan bahkan melampaui batas yang disadarinya, di mana ia senantiasa menerima karunia atau ‘hadiah’.
Union of Man and his Lord (Manunggaling Kawula
Selaras dengan penjelasan sang istri, yang menyatakan bahwa Hanafi pada galibnya memiliki “banyak agama” pada karyanya, bermakna pula bahwa dirinya adalah orang yang tak terikat pada kemutlakan soal atau ikatan dogma. Dan memang, ketika ia menciptakan bentuk-bentuk yang ‘amorphous’ (tak berbentuk alias lentur menjulur), yakni garis yang sirna sebelum melahirkan rupa, warna yang menjelma dengan nir-rasa, bukankah itu semua semata karena
the world with it? As if he were in awe?
Gusti) so vaunted by Javanese men of letters. Like his works, his spiritual endeavor belongs “elsewhere”, un-harnessed to any particular culture. It is no more simply that of a Javanese or a Muslim than his work is simply that of an abstract artist. Both his spiritual aspirations and works, whenever the “gift” he talks about comes upon him, take him “beyond,” past boundaries that he does not even see. As described by his wife, he is a man of many religions and beliefs, which also means a man of no absolute certitudes, no taboos or dogma. Indeed, when he makes forms that are amorphous, lines that die out before taking any shape, colors that generate no particular emotion, isn’t it as if he were hanging between affirmation and questioning, belief and non-belief? As if he were stupefied at the mystery of his own self, and
And since I must affirm what I feel and think, let me say that I view this awe as a call to ponder the “beyond” – a beyond that is not shaped, not formed, not believed in; a beyond that offers no solution, whether spiritual or otherwise; a beyond that butts into a knowledge that is the impossibility
dirinya seolah terikat antara pernyataan dan pertanyaan, antara kepercayaan dan keraguan; di mana sang aku terpukau menghadapi misteri diri dan misteri semesta sekelilingnya? Seolah sang aku hanya tinggal berserah dalam sepenuh pasrah?
of knowledge, a consciousness that is the
Sesampai pengertian itu, saya sebagai penulis diharapkan menguraikan apa saja yang saya pikirkan dan rasakan. Lantaran itu, izinkanlah saya untuk berkata bahwa saya memandang keterpukauan itu sebagai ajakan untuk merenungkan ‘keterlampauan’ (the beyond), ‘keterlampauan’ yang belum berbentuk apa, belum mewujud jadi kepercayaan, belum pula menawarkan solusi, suatu keterlampauan yang bermuara pada ‘pengetahuan’ akan kemustahilan suatu pengetahuan, sebentuk kesadaran yang menyadari kenisbian kesadaran… Tapi tidakkah ajakan menuju ke yang mustahil itu justru merupakan hakikat dari olah spiritual dan laku batin sang diri?
awe and invitations to reach the “beyond”, yet not
Walaupun lukisan Hanafi dapat dipahami sebagai ungkapan keterpukauan atau keterpanaan dan juga ajakan untuk melampaui, akan tetapi tidak semua karyanya merupakan lukisan dan pula tidak semua lukisannya bergaya abstrak. “Kadang-kadang,” cetusnya, “Kita tak ada pilihan, harus berani menentukan sikap juga.” Bila situasi itu terjadi, sebenarnya bukan sudut personal yang berbicara pada Hanafi, melainkan lebih pada unsur-unsur sosial dirinya. Ketika itu, ‘tanda’ yang semula dihindari,
impossibility of consciousness ... But isn’t it in that impossible call that lies, precisely, the very essence of the spiritual? Hanafi’s paintings might be expressions of all his works are paintings and not all his paintings are abstract. “Sometimes, there is no way out,” he explains, “one has to take a stand.” Then it is not the “personal” that speaks in Hanafi’s works, but the “social”. “Signs” are then a necessity, and they have to be strong. In the past, it was, among other things, shoes and the president’s profile that functioned as such “signs”. Hanafi showed which side he was on, demonstrated that abstract artists are not all apolitical. In his current exhibition, he presents an installation, Upside-down, which invites us to ponder on the very meaning of his exhibition. Half-way between the “personal” and the “social”, it represents 17 figures of men hanging upside done on a rope. This work, he tells us, is a wink addressed to us all. An invitation to see things differently.
+% +& kini merupakan suatu keniscayaan, dan tanda tersebut harus terekspresi secara kuat. Di masa lalu, di antara obyek bertanda yang dipakainya, terdapat wujud rupa sepatu dan wajah presiden. Melalui pilihan bentuk itu, dapatlah dibaca bahwa Hanafi tengah memperlihatkan secara terus terang di mana dirinya berada. Boleh juga dimaknai bahwa menjadi pelukis abstrak tidak berarti sepenuhnya adalah seniman yang a-politis. Dalam pameran kali ini, Hanafi menawarkan dua instalasi yang meminta kita untuk merenung tentang dua hal yang berbeda. Yang pertama, “Upside-down”, bersifat setengah “personal” setengah “sosial”. Karya itu tersusun dari 17 sosok pria yang tergantung terbalik (sungsang) pada sebuah tali yang melilit erat pada lipatan dengkul masing-masing. Karya ini, sebagaimana dijelaskannya, adalah ajakan kepada kita agar semua berani melihat kenyataan secara berbeda, bahkan bila perlu, secara terbalik. Jadi, walau kebanyakan karyanya, yakni lukisan, adalah ungkapan suara jiwa melalui bahasa visual nan ter-rahasiakannya, Hanafi terbukti memiliki kepekaan juga terhadap masalah dunia di sekitarnya. Capaian kesenian
So, while he likes to talk of and to the soul, Hanafi still has eyes for the world around him. Two words sums up his work: intelligence and sensitivity – the two attributes that make an artist an “artist”, beyond his or her chosen style.
Hanafi dapat disimpulkan pada dua kata: Sensitif dan Cendekia—dua kata yang bila diluluh-padukan dapat mendorong pelukis menjadi seniman dalam artian yang seutuh dan sesungguhnya, apapun gaya yang telah dipilihnya.
Wjgjc\`ZX^a`j '%&% '%%m''%Xb VXgna^XdcXVckVh
h^c\\V]Y^ajWVc\_Vgjb '%&% &+*m&+*Xb VXgna^XdcXVckVh
]VcnVhVijnVc\iZgWj`V '%&% &+*m&+*Xb VXgna^XdcXVckVh
aZlVia^c\`VgajVg '%&% &+*m&+*Xb VXgna^XdcXVckVh
Wjgjc\ijV '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
VbWVc\\Vg^hWViVh '%&% ejooaZ *m.+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
i^\VbZaVi^eV\^ '%&% '&*m'%%Xb VXgna^XdcXVckVh hjYji_Vj]hZWgVc\ '%&% '%%m''%Xb VXgna^XdcXVckVh `ZiZgVh^c\Vc '%&% &**m&)'Xb VXgna^XdcXVckVh
Y^WVlV]bViV`V`^ '%&% &+*m&-%Xb VXgna^XdcXVckVh
gVcXVc\VcY^heaVn\VaZg^cVh^dcVa^cYdcZh^V
gVcXVc\VcY^heaVn@DB6C:@6;^cZ6gi
-' -(
^chiVaVh^ bZbVcYVc\iZgWVa^` '%&%
-) -*
^chiVaVh^ bZc\jh^g`ZbVaVhVc '%&%
-+ -,
^chiVaVh^ X^in[VgbZg '%%.
jgjc\!jcij``ZhZ`^Vc '%&% '&*m'%%Xb VXgna^XdcXVckVh
V`jbVji^c\\VaY^h^c^ '%&% ''%m'%%Xb VXgna^XdcXVckVh
hZ_VgV]i^\VbZaVi^ '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
YZg^i`Vejgeji^] '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
_ZcYZaV`VbVgVnV] '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
_Vc_^nVc\iZgijcYV '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
_^`VbVh^]WVhV] '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
W^W^g`diV '%&% '%%m''%Xb VXgna^XdcXVckVh
aVYVc\Y^WVlV]WjaVc '%&% &+*m&)%Xb VXgna^XdcXVckVh
gjVc\YVaVb '%&% &**m&)'Xb VXgna^XdcXVckVh
aj`VaVbV '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh ]Vg^`Zij_j] '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh `ZWV]V\^VVc '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
eZgiVjiVc '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
_VaVcbZcj_jgjbV] '%&% ''%m',%Xb VXgna^XdcXVckVh
W^dYViV]VcVÒ &%) &%* 7dgc^cEjgldgZ_d8ZcigVa?VkV?jan*i]a.+% Education: &.,+"&.,. HZ`daV] HZc^ GjeV >cYdcZh^V HHG> Nd\nV`VgiV# Art Activities : Selected Single Exhibtions '%%. ÆCnVcn^Vc 6c\hVÇ! 7VcYjc\ BZc\ZcVc\ GZcYgV!cYdcZh^V B Z c \ \ j \ V i ! 7VcYjc\!>cYdcZh^V ÆD[ HeVXZh VcY H]VYdlhÇ! HZaVhVg HjcVgnd 6giHeVXZ!7VcYjc\!>cYdcZh^V ÆD[ HeVXZh VcY H]VYdlhÇ! HVa^]VgV cYdcZh^V '%%, Æ:c^\bVÇ! D =djhZ cYdcZh^V Æ=dbZ D[ >bV\ZhÇ! BjhZj YZ Vgi d[ <^gdcV! HeV^c Æ9Vg`cZhhÇ! IV`hj H^c\VedgZ 8gZVb! H^c\VedgZ ÆDgVc\ CZ\Zg^ HZWZgVc\Ç! I]Z 6gih =djhZ H^c\VedgZ!H^c\VedgZ Æ^YÇ!D=djhZcYdcZh^V '%%+ Æ^YÇ! D =djhZ cYdcZh^Vc CVi^dcVa cYdcZh^V Æ8dcÒ\jVgi^dcÇ! :heV^7 8dciZbedgVgn cYdcZh^V
'%%* ÇI^\V =Vg^ 9VaVb HZeVijÇ! 7ZciVgV 7jYVnV ?V`VgiV77?!>cYdcZh^V
'%%) ÆJG ndj VgZ JG76C GDDB Egd_ZXiÇ! @dbVcZ`VcYdcZh^V ÆG J 6 C < Æ! IV`hj cYdcZh^V Æ9^kZ>cidÇ!8VccVcYdcZh^V
&..* ÆHVWj`"hVWj` =VcVÒÇ! cYdcZh^V
'%%' ÆHijYn ;dg 9^hiVcXZÇ! BVgZh 9Za HjgZ! 7VgXZadcV!HeV^c Æ=VcVÒ!h9^VgnÇ!8]ViZjYÉ6gih!H^c\VedgZ ÆHZejaj]IV]jcEZgiVbVÇ!>cYdcZh^VcCVi^dcVa cYdcZh^V '%%& ÆAj`^hVc 7ZhVgÇ B^c^bV BVm^bV cYdcZh^V ÆHijYn ;dg 9^hiVcXZÇ! DcZ ' DcZ cYdcZh^V '%%% Æ9ZhV7VijY^8dhiVWgVkVÇ!B^aaZc^jbcYdcZh^V ÆHidcZ K^aaV\Z d[ 8dhiVWgVkVÇ! @D> cYdcZh^V Æ7ajZ Eg^ciÇ! EjooaZ cYdcZh^V &... ÆI^bZÇ!9ZjiX]Z7Vc`!?V`VgiV!>cYdcZh^V ÆHdb C^ YZ B^gdÇ! BVgZh YZa Hjg! 7VgXZadcV! HeV^c &..- ;D8JHcYdcZh^V &..+ Æ9VcXZgÉh9gZVbÇ!8ZbVgV+cYdcZh^V
ÇBZc\j_^ IgVY^h^Ç! 8^eiV >> hbV^aBVgoj`^!?V`VgiV!>cYdcZh^V
&..( Æ=^iVb"Eji^]Ç!I]ZHiV\Z!GVijEaVoV!?V`VgiV! >cYdcZh^V &..' H^c\aZ :m]^W^i^dch Vi =^aidc :mZXji^kZ 8ajW! ?V`VgiV!>cYdcZh^V
Selected Group Exhibitions '%%. Æ6gi$Zci^dc =diZa! >cYdcZh^Vc 8dciZbedgVgn 6giVcY9Zh^\cÇ!cYdcZh^V Æ8dbbdchZchZÇ!>cYdcZh^VcCVi^dcVacYdcZh^V Æ@VYd 'Ç! I]^c` Djih^YZ I]Z 7dm! CVY^ cYdcZh^V Æ'cY DYnhhZnÇ! Hg^hVhVci^ cYdcZh^V Æ7VoVVg 6gi ?V`VgiV '%%.Ç! I]Z G^io"8Vgaidc! ?V`VgiV!>cYdcZh^V ÆI]ZGjcc^c\HiVghÇ!Cdgi]6giHeVXZ6cXda! ?V`VgiV ÆHZc^ GjeV GV^ cYdcZh^V Æ=nWg^Y^oVi^dcÇ! Cdgi] 6gi HeVXZ! ?V`VgiV! >cYdcZh^V ÆKdmEdeja^Ç!HVc\`g^c\6giHeVXZ!?d\_V`VgiV! >cYdcZh^V
ÆGZk^h^i^c\ I]Z AVhi HjeeZgÇ! 8cYdcZh^V ÆKdm Edeja^Ç! 7ZciVgV 7jYVnV ?V`VgiV 77?! >cYdcZh^V
'%%- ÆHjgVi8^ciVY^7jaVc`Z9jV7ZaVhÇ!D=djhZ cYdcZh^V ÆHZa[ EdgigV^i";Vbdjh A^k^c\ 6gi^hih d[ >cYdcZh^VÇ!?d\_VcYdcZh^V ÆHZ_VgV] YVc aVciV^ nVc\ YViVc\ `Z ViVhÇ! D =djhZcYdcZh^V Æ9Vg^ EZc_VgV @Z E^\jgVÇ! HVa^]VgV cYdcZh^V Æ6gi7Z^_^c\'%%-Ç!7Z^_^c\!8]^cV Æ^c^ WVgj ^c^Ç! k^k^ n^e Vgi gddb! ?V`VgiV! >cYdcZh^V Æ>cYdcZh^V 8dciZbedgVgn 6aa HiVgÇ! Ij_j] 7^ciVc\6giHeVXZ!Nd\nV`VgiV! >cYdcZh^V Æ:"Bdi^dcÇ! >cYdcZh^Vc CVi^dcVa cYdcZh^V ÆBVc^[ZhidÇ! >cYdcZh^Vc CVi^dcVa cYdcZh^V Æ6giH]Vc\]V^Ç!H]Vc\]V^!8]^cV '%%, Æ7^ZccVaZ?d\_V>MÇ!IVbVc7jYVnVNd\nV`VgiV! >cYdcZh^V I]Z &'i] <jVc\o]dj >ciZgcVi^dcVa 6gi ;V^g! <jVc\o]dj!8]^cV Æ'%%i]GVYZcHVaZ]Ç!?d\_VcYdcZh^V Æ7dZc\ 6_d 7dZc\ Ç! 7ZciVgV 7jYVnV ?d\_V! Nd\nV`VgiV!>cYdcZh^V Æ8ZaZWgÈVgiÉZ ;^gZ 7dVgÇ! @jej"@jej 6gi cYdcZh^V
&%+ &%, '%%* Æ7^ZccVaZ Nd\nV`VgiV K>>Ç! IVgjbViVc^! Nd\nV`VgiV!>cYdcZh^V Ç7^ZccVaZ7Va^'%%*Ç!Idc^GV`VcYdcZh^V ÆI]Z EgZ 7^ZccVaZ :m]^W^i^dc '%%*Ç! N976 cYdcZh^V Æ8:A:7G6I>DCÇ! DgVh^h cYdcZh^V ÆCVh^ 8VbejgÇ! IV`hj cYdcZh^V '%%) Æ8dbbZgbdgVi^dcd[=VchL^c`ZabdaZcÇ!I]Z 9jiX]e]did\gV[Zg`^aaZY 7ni]ZBVgg^diWdbW ÆHVnVe@ViV!HVnVeLVgcVÇ!AVc\\Zc\cYdcZh^V ÆBZgV]cnV BZgV]Ç! CVY^ cYdcZh^V '%%( Æ;jijgZ ^h BVYZ d[ LViZgÇ! >chiVaaVi^dc :m]^W^i^dch[dg*i]6cc^kZghVgnd[JE8JgWVc Eddg 8dchdgX^jb! @g^YVad`V! ?V`VgiV! >cYdcZh^V Æ>cYdcZh^Vc"9jiX] 6gi^hi :m]^W^idchÇ! BZciZc\!?V`VgiV!>cYdcZh^V Æ7dgdWjYjg6\^iVi^[Ç!AVc\\Zc\cYdcZh^V ÆHdgV`"HdgV^ >YZci^iVhÇ! AVc\\Zc\ cYdcZh^V '%%' ÇHZaVbVi`VcAVji@^iVÇNVeiZ`V!I]ZCVi^dcVa BjhZjb!?V`VgiV!>cYdcZh^V ÆOV^c^"=VcVÒ Dc EVeZgÇ! I]Z GZ\Zci =diZa! ?V`VgiV!>cYdcZh^V =VcVÒ"Njc^oVg ÆHZc^ NVc\ HZbWjcn^Ç! HVci^ cYdcZh^V
Æ;Zhi^kVa6WhigV`Ç!B^aaZc^jbcYdcZh^V
&..) ÆcYdcZh^V
&... Æ=^iVb"Eji^]Ç! 8^eiV hbV^a BVgoj`^!?V`VgiV!>cYdcZh^V Æ=VcVÒ L^i] Cjcjc\ LHÇ! @ddc\ cYdcZh^V
&..( Æ:m]^W^i^dch d[ I]gZZ 6gi^h! >cYdcZh^Vc" 6bZg^XVc>chi^ijiZ!?V`VgiV!>cYdcZh^V
&..- ÆKZci^aVh^ GjVc\ >Ç! l^i] Ndg^ 6ciVg! EjooaZ cYdcZh^V ÆI]Z 6WhigV` 6giÇ! 9jiV ;^cZ 6gi ;djcYVi^dc! ?V`VgiV!>cYdcZh^V Æ7>:CC6A:MÇ!8^eiV>>IVbVc>hbV^aBVgoj`^! ?V`VgiV!>cYdcZh^V ÆADHÇ!8^eiV>>IVbVc>hbV^aBVgoj`^!?V`VgiV! >cYdcZh^V &.., ÆE]^a^eh Bdgg^h >cYdcZh^V 6gi 6lVgYÇ! 6\jc\ GV^BjhZjb!7Va^!>cYdcZh^V Æ6M>HÇ! >cYdcZh^Vc"7Za\^Vc 6gi^hi! CVi^dcVa cYdcZh^V ÆIgVch"6`h^Ç! NE@ 7J>A9>CcYdcZh^V
ÆGjlViVc 7JB>Ç! 8ZbVgV + cYdcZh^V
&..+ Æ7>:CC6A:>MÇ8^eiV>>IVbVc>hbV^aBVgoj`^! ?V`VgiV!>cYdcZh^V Æ8dciZbedgVgn 6gi">hi^dfaVa ;Zhi^kVaÇ! IB>>! ?V`VgiV!>cYdcZh^V ÆI]ZggZ8^i^ZhÇ!BjhZjbD[CVi^dcVaBdcjbZc! ?V`VgiV!>cYdcZh^V Ç=VcVÒ":j\ZcZ 7gVcYhÇ!8ZbVgV + cYdcZh^V &..* Æ7>6HÇ! 6gi^hi cYdcZh^V
Other Activities '%%* ÆHdad HVch ;gdci^ZgZh 8daaVWdgVi^dcÇ! L^i] ;^ig^9VcXZg"NVhh^c7jg]Vc 8Zaad^hi"6[g^oVaBVacVBdk^Z '%%) HXZcd\gVe]Zg [dg Æ;jijgZ EgZh^YZci 9ZWViZÇ ?V`VgiV!>cYdcZh^V '%%( Æ6giTX]^eZaV\d!EgZhZciVi^dcd[>cYdcZh^Vc6gi VcY8jaijgZ!6i]Zch! 8ZciZg ?V`VgiV# '%%% ÆGjVc\Gjcij]Ç!8daaVWdgVi^dcL^i]Di^\EV`^h 6Xidg":`dEVgi^ijgK^da^hi"?VajEZgXXjh^dc! =diZa>cYdcZh^V!?V`VgiV!>cYdcZh^V ÆBZgZ`V 7Zg_V\V 9VaVb IVg^Vc YVc LVgcVÇ! IZViZg! BVm^cZ =ZeecZg 8VcVY^Vc 9VcXZg! 6>@DC!?V`VgiV!>cYdcZh^V
&... ÆAVWdjg:m]^W^i^dcÇ!8daaVWdgVi^dcl^i]6[g^oVa BVacVEdZi"9^nVcidEV^ciZg!>cYdcZh^Vc CVi^dcVacYdcZh^V &..- Æ>ÉkZ id 7jgn i]Z 9ZVY 7^gYÇ! 8daaVWdgVi^dc l^i] 6[g^oVa BVacV EdZi"7dn < HV`i^ 8dgZd\gVe]Zg":`d EVgi^ijg K^da^hi"NVhh^c 7jg]Vc 8Zaad^hi! 8ZbVgV + cYdcZh^V &.., ÆIg^eI^X]Ç!8daaVWdgVi^dcL^i]BVm^cZ=ZeecZg 9VcXZg"8^aaV E]did\gVe]Zg! EVgjc\ 7^c\jc\!9Zed`!LZhi?VkV!>cYdcZh^V &..( Æ7$LÇ! 8daaVWdgVi^dc L^i] 6\dZh ?daan EZg[dgbVcXZ6gi^h":`dEVgi^ijgK^da^hi!I]Z HiV\ZGVijEaVoV!?V`VgiV>cYdcZh^V Awards : '%%* 6cj\gV] @ZWjYVnVVc ;>7 Jc^kZgh^iVh >cYdcZh^V!?V`VgiV!>cYdcZh^V Ide &% cYdcZh^V '%%( ;^cVa^h>cYd[ddY6gi6lVgYh '%%' ;^cVa^h>cYd[ddY6gi6lVgYh &.., Ide&%E]^a^eBdgg^h6gi6lVgY
^cYZ`h
aVc\`V]VcV`Wjgjc\ '%&% .%m&+%Xb VXgna^XdcXVckVh
Y^heaVn bZbVcYVc\iZgWVa^` '%&%
eV\^Y^Æedgia^\ViÇ '%&% .%m&+%Xb VXgna^XdcXVckVh
Æ^YÇhZg^Zh '%%,
Æ:c^\bVÇhZg^Zh '%%.
Æ:c^\bVÇhZg^Zh '%%.
Æ^YÇhZg^Zh '%%,
Æ:c^\bVÇhZg^Zh '%%.
Æ:c^\bVÇhZg^Zh '%%.
Æ^YÇhZg^Zh '%%, Æ^YÇhZg^Zh '%%,
Wjgjc\`ZX^a`j '%&% '%%m''%Xb VXgna^XdcXVckVh
h^c\\V]Y^ajWVc\_Vgjb '%&% &+*m&+*Xb VXgna^XdcXVckVh
]VcnVhVijnVc\iZgWj`V '%&% &+*m&+*Xb VXgna^XdcXVckVh
iVg^`bZcVg^` '%&% '%%m')%Xb VXgna^XdcXVckVh bZiVa
Wjgjc\ijV '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
i^\VbZaVi^eV\^ '%&% '&*m'%%Xb VXgna^XdcXVckVh
`ZiZgVh^c\Vc '%&% &**m&)'Xb VXgna^XdcXVckVh
aZlVia^c\`VgajVg '%&% &+*m&+*Xb VXgna^XdcXVckVh
hjYji_Vj]hZWgVc\ '%&% '%%m''%Xb VXgna^XdcXVckVh
VbWVc\\Vg^hWViVh '%&% ejooaZ *m.+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
Y^WVlV]bViV`V`^ '%&% &+*m&-%Xb VXgna^XdcXVckVh
jgjc\!jcij``ZhZ`^Vc '%&% '&*m'%%Xb VXgna^XdcXVckVh
_^`VbVh^]WVhV] '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
gVcXVc\VcY^heaVn\VaZg^cVh^dcVa^cYdcZh^V
gVcXVc\VcY^heaVn@DB6C:@6;^cZ6gi
V`jbVji^c\\VaY^h^c^ '%&% ''%m'%%Xb VXgna^XdcXVckVh
hZ_VgV]i^\VbZaVi^ '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
^chiVaVh^ bZbVcYVc\iZgWVa^` '%&%
_Vc_^nVc\iZgijcYV '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
^chiVaVh^ bZc\jh^g`ZbVaVhVc '%&%
_ZcYZaV`VbVgVnV] '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
^chiVaVh^ X^in[VgbZg '%%.
YZg^i`Vejgeji^] '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
W^W^g`diV '%&% '%%m''%Xb VXgna^XdcXVckVh
]Vg^`Zij_j] '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
eZgiVjiVc '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
aVYVc\Y^WVlV]WjaVc '%&% &+*m&)%Xb VXgna^XdcXVckVh
]Vg^`Zij_j] '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
_VaVcbZcj_jgjbV] '%&% ''%m',%Xb VXgna^XdcXVckVh
gjVc\YVaVb '%&% &**m&)'Xb VXgna^XdcXVckVh
`ZWV]V\^VVc '%&% .+m-'Xb VXgna^XdcXVckVh
iZg^bV`Vh^] &&+ &&, IjWV\jhHj`bVcV @dbVcLV]njHjiZ_V ?ZVc8djiZVj Cdcd6clVgBV`Vg^b >WjI^`VBV`Vg^b ?^bHjeVc\`Vi 9^Vc>cV 6nVc\@VaV`Z LVg^]L^hVihVcV =ZccnGdaVc 9^VcBjanVcid JXd`KH# GVe^c <^\^c<^cVc_Vg 6kZe9# 8]VcYgVBVjaVcV 8neg^Vcjh?VnVCVe^jc ^hig^YVcVcV``j 6Y^cYVAji]k^Vci^ G^o`^6hVh^ 6nV]hjYV]hZeVgj]aZW^]! `^iVV`VchZaVajWZghVbVX^ciV
Eg^ciZYWnHB@
@DB6C:@6;>C:6GI<6AA:GNHIJ9>D=6C6;>'%&% ]iie/$$\VaaZgn#`dbVcZ`V#Xdb
lll#hijY^d]VcVÒ#Xdb