KRISTOLOGI DALAM KONTEKS ISLAM DI INDONESIA Wahju S. Wibowo⊗
Abstract: Indonesian Christians live in a Moslem surrounding. That is the context of Christians in Indonesia. Sometimes there is a tension between Christians and Moslem in Indonesia because of their faiths. Anxious feelings emerge because when Christians and Moslem construct their theologies, the ‘other’ is considered as ‘enemy’ that threat ourselves, theology became ‘apology’. The context plays a role in the interpretation of Christian faith which is conscious of the importance of the situation and connection for shaping the theology, include Christology. Christological interpretations emerge because of the Christian faith affirmation in the context which they have taken shape. In Indonesia, not many scholars, however, dedicate a study with regard to the Christology in the context of Islam in Indonesia. J.B. Banawiratma is one of exceptions. He proposes Jesus as the ‘Word of God’ who has role as mediator between human being and Divinity. The concept is parallel to the concept of alQur’an in Islamic theology. Kata Kunci: Kristologi, J.B. Banawiratma, Kontekstualisasi, Kristologi Kontekstual, Yesus dan Islam, dialog iman. Pengantar Kristologi saat ini hidup dalam ketegangan antara melanjutkan doktrin tradisional gereja di satu pihak, dan di pihak lain keterbukaan terhadap pengalaman dan pemahaman akan Kristus yang baru, yang muncul dari konteks-kontek tertentu. Dalam seperempat abad terakhir ini, ada kebangkitan kontekstualisasi teologi, khususnya Kristologi yang berbicara mengenai Kristus dan penebusan dengan cara yang berbeda. Kristologi kontekstual seperti ini mendatangkan pengaruh besar pada refleksi tentang Yesus, dialog antar agama dan kontekstualisasi iman.
⊗
Pdt. Wahju S. Wibowo, M.A., M.Hum. adalah Dosen pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.
1
1
Di Indonesia khususnya, urgensi hubungan antara Islam dan Kristen yang masuk sampai ke wilayah rekonstruksi teologis amat diperlukan. Tanpa berupaya terus menerus melakukan rekonstruksi teologis, upaya dialog hanya akan berkisar pada wilayah ‘kegiatan bersama’. Dengan rekonstruksi teologis diharapkan sebuah kedalaman penghayatan iman dalam hubungan dengan keberadaan ‘orang lain’ bisa muncul.
Dalam hal rekonstruksi teologi, khususnya dalam konteks hubungan Islam-Kristen, Smail Balic, seorang teolog Muslim dari Bosnia, yang lama tinggal di Austria, mengatakan bahwa Kristologi tidak mungkin menjadi pintu masuk bagi kekristenan dalam rangka dialog.2 Alasannya adalah seluruh dasar utama Kristologi yang diimani dalam kekristenan ditolak oleh Islam. Memang agama Islam mempunyai pandangan positif tentang Yesus (nabi Isa) seperti yang diungkapkan dalam beberapa bagian alQur’an, namun pandangan positif ini tidak mampu menyatu dengan pokok iman Kristen mengenai Yesus. Untuk itu Kristologi adalah pintu tertutup yang tidak mungkin dibuka dalam rangka dialog teologis Islam-Kristen. Pandangan Smail Balic ini bisa dimengerti karena bagi sebagian orang Kristen memasukkan pokok-pokok Kristologi sebagai bagian dari dialog Islam-Kristen berarti mempertaruhkan keimanan pada Yesus Kristus. Ada bahaya yang mengancam di sana, yaitu bahaya mendegradasikan pokok kepercayaan kepada Yesus. Masalahnya bukan soal pendegradasian, masalahnya adalah pengekspresian penghayatan akan Kristus dalam konteks tertentu, entah agama-agama atau budaya, senantiasa bersifat kurang lebih. Pengekspresian itu tidak akan berhasil menembus sempurna misteri Yesus. Namun kekurang-lebihan itu menjadi amat kaya ketika penghayatan akan Yesus yang dibawa dalam setiap konteks bertemu. Pertanyaannya adalah benarkah Kristologi merupakan pintu tertutup dalam dialog teologis untuk mencari titik temu Islam-Kristen? Seorang teolog Muslim dari Libanon, Mahmoud Ayoub, justru berkata sebaliknya, Ayoub optimis bahwa Islam mempunyai pemahaman tentang Yesus yang bisa memperkaya iman Kristen dalam kebenaran-Nya, kebenaran yang jauh lebih besar dan agung dari pada ekspresi bahasa yang bisa dikeluarkan tradisi agama tertentu. Demikian juga sebaliknya dengan Islam.3 Beberapa teolog mencoba memasuki ‘pintu terlarang’ itu. Paling tidak di Indonesia dapat disebutkan, J.B. Banawiratma4, Bambang Subandrio5 dan Stanley Rambitan6 yang dengan eksplisit menunjukkan kepekaan terhadap agama Islam dalam pandangan Kristologinya. Tulisan ini akan mengemukakan pandangan Kristologi J.B. Banawiratma sebagai sebuah contoh upaya menghayati Kristus dalam konteks masyarakat Muslim. Tiga Kriteria Roger Haight Penghayatan akan Kristus di Asia menjadi sesuatu yang sifatnya amat lentur. Michael Amaladoss mengemukakan paling tidak ada 8 (delapan) gambaran penghayatan akan Yesus yang ditunjukkan di Asia.7 Semua gambaran itu berakar dalam penghayatan keseharian masyarakat Asia, yang dilingkupi oleh dua realita yang perlu diperhitungkan sebagai sumber penghayatan itu: kemiskinan, dan pluralitas agama dan budaya.8 Pertanyaannya adalah dengan beragam konteks dan penghayatan lalu criteria seperti apa yang bisa menjadi pegangan?9 Roger Haight merumuskan paling tidak tiga criteria bagi pencarian Kristologi yang bertanggung jawab10: 1. Kesetiaan terhadap tradisi kekristenan. Termasuk dalam tradisi kekristenan adalah Alkitab sendiri. Tradisi menjadi penting karena tradisi menyimpan kekayaan 2
perjumpaan persekutuan orang percaya dengan Allah dalam konteks tertentu termasuk perjumpaan dengan Yesus pada masa yang paling awal. Dalam tradisi kekayaan pengakuan bahwa Yesus adalah Juruselamat dihidupi selama berabad-abad. Itulah makna pewahyuan Allah yang terus hidup dalam proses perkembangan umat percaya di dunia. Bagian demi bagian dalam tradisi merangkai pewahyuan Allah, sekaligus membuka terus menerus misteri perjumpaan dengan Yesus. 2. Dapat dimengerti dalam pengalaman hidup saat ini. Yesus yang hadir dalam pengalaman umat adalah Yesus yang bisa dimengerti dan dihayati dalam pengalaman hidup sehari-hari, bukan sekedar Yesus yang berada diawang-awang dan tidak ada keterlibatannya dengan pengalaman itu. Haight mengemukakan bahwa salah satu elemen utama Kristologi adalah karakter simbolik dari bahasa religius. Karakter simbolik ini muncul dari pengalaman kehidupan individu dengan lingkup social yang dihidup sehari-hari.11 Apa yang terjadi jika hal ini tidak diperhatikan? Amaladoss menggambarkan penghayatan sebagian besar orang Kristen Asia terhadap Kristus, “they feel satisfied only with dogmatic formulas, even if they do not really understand them”.12 Rumusan-rumusan dogmatika Kristologi abad pertengahan atau Kristologi Barat hasil pergumulan kontekstual Barat abad ke-19 dan 20 sulit untuk dimengerti oleh orang Asia, dan akhirnya sebagian besar rumusan dogmatika sulit dihayati dalam pengalaman keseharian. Berbagai rumusan Kristologi abad pertengahan seperti homoousios, hypostasis dibawa dan coba diterjemahkan begitu saja ke dalam bahasabahasa Asia walaupun tidak dapat dimengerti. Mengapa? Bahasa simbolik yang dihidupi berbeda. Aloysius Pieris dengan lebih tegas mengatakan bahwa “the Euroecclesiastical Christ of the official church; the non-Western Christ of scholars and intellectuals… they are all out of place in Asia”.13 Pieris ingin menunjukkan bahwa Kristologi tersebut jauh dari pernghayatan keseharian orang Asia. 3. Memberdayakan kehidupan umat. Kristologi yang memenuhi dua criteria pertama namun tidak dapat memberdayakan kehidupan orang Kristen dalam konteksnya tentu dipertanyakan. Kriteria terakhir ini menjadi amat penting. Kristologi bukan hanya setia pada tradisi dan dimengerti dalam pengalaman hidup, namun memberdayakan kehidupan Kristen untuk melakukan sesuatu. Kristologi pembebasan seperti yang diusung para teolog di Amerika Latin dan Aloysius Pieris dari Srilanka, mencoba memberdayakan umat sehingga penghayatan akan Yesus membawa umat untuk melakukan sesuatu dalam hidupnya yang mengarah pada kebebasan, keadilan dan perdamaian. Dalam kaca mata Pieris, teologi –termasuk tentnya Kristologi- bermuara kepada aksi. Kontemplasi tentang Kristus menghasilkan aksi dalam keterlibatan dengan keprihatinan dunia. Dengan demikian Kristologi mestilah Kristologi yang sekaligus bersifat ‘pastoral’, terarah pada praksis.14 Leonardo Boff dalam bukunya Jesus Christ Liberator, mengemukakan penghayatan akan Kristus diharapkan bisa memberi daya hidup kepada orang Kristen dalam melakukan satu upaya pembebasan dari berbagai ketertindasan. Berhasil atau tidak semangat yang ditumbuhkan dari pemahaman akan Kristus ini jika diperhadapkan dengan rejim pemerintahan yang represif, itu masalah lain. Kristologi dalam Konteks Islam: Mungkinkah? Jika mengikuti Smail Balic seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, kekristenan yang hidup dalam konteks Islam tidak akan bisa merumuskan sebuah penghayatan akan Kristus yang sesuai dengan situasi di mana ia berada. Pintu tertutup itu menakutkan untuk dibuka karena ada berbagai resiko. Salah satu resikonya adalah tuduhan untuk mendegradasikan iman kepada Kristus agar sesuai dengan konteks, dan tuduhan bahwa upaya itu dilakukan untuk mendapat perlindungan dan keamanan. 3
Padahal jelas bahwa Perjanjian Baru pada dirinya sendiri tidak memuat ‘monoKristologi’, melainkan Kristology yang plural. Dalam konteks inilah sebenarnya terbukan lebar sebuah penghayatan Kristologi yang lebih mau mendengarkan konteks dimana ia berada. Pertanyaan dasarnya adalah “apa makna perjumpaan dengan iman-iman yang lain yang berada di sekitar kita? Tidakkah iman-iman itu memperkaya orang Kristen dalam penghayatannya terhadap Kristus?”. Sudah menjadi keyakinan banyak orang Kristen banyak perjumpaan iman kepada Kristus dengan iman-iman lainnya berada dalam situasi ‘perang’. Yang ada adalah menang atau kalah. Dengan demikian perjumpaan yang memperkaya tidak dimungkinkan sama sekali. Pemikiran seperti itu dipengaruhi salah satunya oleh pemahaman teologis bahwa orang Kristen berada dalam dunia yang dipenuhi kuasa-kuasa yang bertentangan dengan iman Kristen, dengan demikian iman Kristen harus mengalahkan kuasa-kuasa itu. Iman-iman yang lain termasuk dalam kuasa-kuasa yang bertentangan tersebut. Tentu saja pemahaman seperti itu harus dibongkar terlebih dahulu. Perjumpaan dengan agama-agama harus dipahami dalam kerangka dialog, bukan peperangan! Untuk itu Roger Haight menegaskan bahwa konteks pluralitas agama-agama harus menjadi salah satu pilar titik berangkat Kristologi. Kesepahaman dan kepercayaan bahwa Yesus merupakan figure manusia histories menjadi dasar untuk melangkah pada dialog berikutnya. Masalahnya bagi kekristenan adalah bagaimana membawa Kristus sebagai figure manusia histories dalam konteks keselamatan bangsa-bangsa secara universal.15 Hal senada dikemukakan Mark Beaumont. Melalui penelitiannya yang cukup mendetail mengenai presentasi Yesus bagi dunia Islam dari abad VIII sampai abad XX, Beaumont sampai pada kesimpulan bahwa ada kebutuhan yang meningkat untuk menempatkan konteks Islam dalam mengartikualiskan iman dengan cara dan tanggapan yang kreatif. Hal ini justru secara jelas akan memberikan sebuah alasan bagi harapan dan iman Kristiani dengan cara yang terhormat dan menyejukan.16 Studi yang dilakukannya menunjukkan bahwa walaupun pada masa-masal awal perjumpaan penuh diwarnai dengan argumen yang bersifat defensive-apologetis, namun seiring dengan perjalanan waktu argument defensive-apologetis berkurang. Namun bukan berarti hilang sama sekali. Hal ini mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Perdebatan kristologis yang bersifat defensive-apologetis antara Kristen dan Islam berulang kali terjadi. Namun ‘toh, dalam dekade terakhir hal tersebut sedikit berubah walaupun tidak berkurang drastic. Belajar dari J.B. Banawiratma: Yesus sebagai Kalam Allah Dalam dialog dengan agama-agama lain, Banawiratma membedakan antara “indifferent pluralism” dan “dialogical pluralism”. Yang pertama berdialog tanpa integritas sementara yang kedua berdialog secara terbuka sengan integritas yang terjada.17 Sikap yang diharapkan muncul dalam dialog antara agama adalah kemauan untuk mengenali, belajar dan menerima makna setiap agama. Ada makna yang signifikan dalam diri setiap agama yang akan membawa pada pemahaman yang lebih utuh akan Kebenaran. Bagi Banawiratma, agama-agama lain bukanlah preparatio evangelica dan bukan pula sekedar deviatio ab evangelio.18 Mereka mempunyai maknanya sendiri dalam suatu manifestasi sejarah dari misteri Allah. Relevansi agama-agama lain terletak pada fakta bahwa Kekristenan, yang percaya kepada 4
Kristus tinggal bersama dengan agama-agama lain dan belajar dari mereka. Yesus tidaklah secara ekslusif milik orang Kristen. Agama-agama lain mempunyai tradisi pemahaman sendiri-sendiri tentang Kristus, khususnya agama Islam yang secara eksplisit mencantumkan keberadaan Yesus dalam kitab suci mereka, al-Qur’an. Beberapa teolog mengatakan bahwa titik temu antara Kristen dan Islam terletak pada al-Qur’an dan Yesus, bukan pada perbandingan nabi Muhammad S.A.W dan Yesus. Bagi kekristenan, Yesus adalah Kalam Allah; sementara itu bagi Islam, al-Qur’an adalah Kalam Allah. Jadi inilah titik berangkat dalam mengupayakan dialog, yaitu melalui Kalam Allah.19 Kita tidak dapat membandingkan Yesus dengan nabi Isa sebab bagi Islam, nabi Isa tidak sederajat dengan al-Qur’an. Tetapi al-Qur’an mempunyai konsep Kalam Allah (the Word of God). Al’Quran adalah Kalam Allah. Kalam Allah bersifat ilahi; dan manusia dapat mendengar serta mengulangnya. Al’Quran menjadi alat mediasi antara Allah dan manusia. Sementara itu mediator antara Allah dan manusia dalam iman Kristen adalah Yesus. Untuk alasan inilah kita bisa menarik sesuatu yang sifatnya pararel antara Yesus dan Al’Quran. Lebih lanjut Banawiratma mengemukakan bahwa titik temu antara Islam dan Kristen bukan pada Yesus dengan al-Qur’an sebagai kitab suci, melainkan pada Yesus dan al-Qur’an sebagai Kalam Allah. Eksistensi al-Qur’an sebagai Kalam Allah lebih menentukan dan mendalam dibandingkan sebagai kitab suci. Konsep al-Qur’an sebagai Kalam Allah mengandung di dalamnya keberadaan Allah, tetapi sebagai kitab suci tidak demikian. Kalam Allah menjadi paradigma mediasi antara Allah dengan manusia. Dengan cara penjelasan seperti ini boleh jadi umat Islam lebih mudah memahami siapa Yesus. Sekaligus gambaran Yesus sebagai Kalam Allah bisa memediasi penjelasan mengenai Trinitas dan Roh Kudus.20 Bagaimana Islam bisa mengerti konsep tentang Roh Kudus? Sebagai Kalam Allah, al-Qur’an bersifat Ilahi dan mempunyai daya kekuatan. Ketika manusia melakukan dzikir ayat-ayat al-Qur’an berulang-ulang, maka kuasa Allah hadir. Kuasa itu memampukan Kalam Allah hadir dalam bahasa manusia biasa dan memberikan spirit kehidupan. Dengan demikian Kalam Allah bekerja dalam diri manusia. Kekuatan ini dalam tradisi Kristen disebut sebagai Roh Kudus. Percaya kepada Roh Kudus berarti percaya kepada kekuatan Allah yang bekerja di dalam diri manusia dan dunia (Roma 5:5, 15-16). Akhirnya, Banawiratma menegaskan bahwa Allah, Sang Bapa, Yesus Kristus, Sang Anak dan Roh Kudus dapat dibandingkan dengan Allah, al-Qur’an dan kekuasaan Allah dalam Islam. Belajar dari teologi Islam bisa jadi memperdalam iman Kristen terhadap Yesus. Terlihat sekali bahwa Banawiratma menaruh aspek yang positif terhadap keberadaan teologi Islam dalam memperkaya pemahaman Kristen akan Yesus. Ketika doktrin kekristenan harus belajar dari teologi Islam, maka memang tersedia bahan-bahan yang valid dari kepercayaan Islam tersebut. Pemahaman yang positif ini berangkat dari keyakinan bahwa Kristus, inkarnasi Allah, mempunyai kehadiran yang unik dalam agama-agama. Karya Roh Kudus tidak dapat dibatasi hanya pada kekristenan. Bagaimanapun Yesus tetap menentukan. Yesus menyediakan ‘lensa’ yang melaluinya segala sesuatu dimengerti; Yesus adalah kata kunci untuk mempertimbangkan berbagai realitas.21 Inilah point penting dari kekristenan yang inklusif. Dalam konteks Kristologi yang berhubungan dengan dialog antar iman, Banawiratma memberikan dorongan kepada gereja-gereja di Indonesia untuk berpikir serius tentang Yesus dalam konteks dialog dengan Islam. Dia menegaskan bahwa agama-agama lain adalah berharga untuk itu kita harus memasuki pintu dialog dengannya. 22 5
Menunjuk pada gambar Yesus sebagai Kalam Allah, Banawiratma mencoba menginterpretasi makna Yesus agar mampu berdialog dengan saudara-saudara Islam. Nampaknya Banawiratma tidak meninggalkan paham Kristologi ortodoks, namun ia mengiterpretasikan ulang. Ia menunjukkan bahwa doktrin Kristen merefleksikan keesaan Tuhan dengan konsep yang trinitaris dan bahwa Kalam Allah saat ini aktif dan melakukan berbagai hal di dunia, dalam perjumpaan dengan berbagai tradisi, agama dan kebiasaan. Dengan menggunakan konsep Yesus sebagai Kalam Allah, Banawiratma justru mengundang Islam untuk mengajar kepada Kekristenan bagaimana memikirkan Allah dengan cara yang sama. Pada titik inilah Banawiratma juga mencoba menggunakan konsep Islam tentang Yesus sebagai Kalam Allah. Dengan cara seperti itu, ia mencoba menjembatani gap antara Kristen dan Islam untuk saling menerima iman dengan pengertian masing-masing. Barangkali inilah hasil dari ‘passing over’ yang dilakukan Banawiratma, walaupun tidak dalam pengertian berpindah agama atau secara khusus belajar dalam lingkup pesantren.23 Dia berpindah dari teologi Kristen, masuk ke dalam teologi Islam dan kembali mengolah teologi Kristen dengan sesuatu yang baru. Posisi Banawiratma dengan pengolahan kontekstualnya didukung oleh E.G. Singgih.24 Dalam dialog antara agama komitmen terhadap iman merupakan pondasi untuk melakukan sharing bersama. Komitmen terhadap iman dilakukan dengan mempelajari teologi lain, kemudian kembali dan memperkaya teologi tradisi sendiri dengan cara yang lebih terbuka. Namun demikian ada beberapa kesulitan tentang konsep Yesus sebagai Kalam Allah dalam konteks Islam di Indonesia. Kesulitannya terletak, pertama pada kenyataan bahwa di dalam Alkitab istilah ‘Kalam Allah’ dimengerti sebagai sesuatu yang bersifat personal. Sementara itu Islam tidak pernah melihat al-Qur’an sebagai ‘person’. Lalu bagaimana kita bisa memediasi masalah itu? Kita memang masih harus mengembangkan berbagai solusi sebagai bagian dari tanggung jawab refleksi teologis kekristenan berhadapan dengan konteks. Al-Qur’an menyebut Yesus sebagai ‘Kalam Allah’ merujuk pada peristiwa kelahiran Yesus yang luar biasa/ajaib. Dalam Islam hal ini merupakan misteri dan bersifat perdebatan apakah istilah ‘Kalam Allah hanya bersifat metaforis atau bahkan metafisik, satu nama atau keberadaan yang aktual.25 Hal yang kedua, berkaitan dengan doktrin tentang Yesus. Yesus sebagai Kalam Allah mengimplikasikan sifat keilahian diri-Nya, lalu bagaimana istilah ‘Kalam Allah’, menjelaskan sifat Keilahian dari Yesu. Sifat Keilahian Yesus sebagaimana dijelaskan oleh kredo Calchedonian sangat sulit dimengerti oleh umat Islam. Namun bagaimanapun justru keilahian Yesus –seperti yang dijelaskan dalam kredo Chalcedonian- menjadi bagian penting dari devosi umat Kristen kepada-Nya. Hal ini sulit dimengerti oleh umat Islam. Banawiratma mencoba untuk tidak terlalu menonjolkan sisi keTuhanan Yesus karena Islam menolak itu dan menyebutnya sebagai penghujatan.26 Yang ketiga, dalam teologi Islam, ‘Kalam Allah’ adalah utusan Allah yang dikirim oleh Allah Untuk membawa Firman Allah bagi umat manusia. Teologi Islam membandingkan Yesus dengan Adam. Adam dilahirkan hanya melalui kata-kata Allah sendiri. Jika Adam hanyalah manusia biasa, maka mestinya demikian juga dengan Yesus. 27 Tiga Kriteria untuk Melihat Refleksi Kristologis Banawiratma Mari kita lihat tiga criteria Roger Haight dalam refleksi Kristologis Banawiratma. Kriteria pertama adalah kesetiaan pada tradisi. Yesus sebagai Firman Allah yang hidup bukanlah hal baru dalam pengakuan iman Kristen. Injil Yohanes dengan tegas 6
memulai refleksi tentang Yesus dengan menjelaskan bahwa Yesus adalah Firman Allah. Namun pengolahan pengakuan iman yang berangkat dari tradisi ribuan tahun yang lalu, untuk dibawa dalam sebuah konteks masyarakat mayoritas Muslim memberikan sebuah ‘spirit’ yang berbeda. Balutan dan olahan konteks yang diperagakan Banawiratma pada tradisi Kristologi yang sudah dihidupi ribuan tahun oleh Kekristenan menemukan kebaruannya. Dalam kesetiaan terhadap tradisi, Banawiratma ‘mendengarkan’ tradisi lainnya, yaitu Islam, yang justru sering dianggap ‘musuh’ dalam semangat ‘Christendom’ yang menggelora dalam diri sebagian orang Kristen. Belajar tentang Yesus dari tradisi lain, bisa amat menggetarkan hati. Dengarlah apa yang dikatakan Keshub Chundar Sen (1838-1884), seorang Hindu dari India yang hidup di abad 19, ia mengatakan, “Our countrymen find that in this Christ (figure Yesus yang selalu merendahkan agama lain karena semangat Christendom-WSW), sent by England, there is something that is not quite congenial to the native man....I am not a Christian....the country in which I dwell is not a Christian country, nor is my home a Christian home...yet I must speak of Christ. My love for Christ constrains me to speak of him. My loyalty to Jesus is my apology...”28 Terlihat ekspresi pengenalan dan kecintaan akan Yesus yang diungkapkan Chundar Sen. Yesus seperti apa yang ia hayati? Ia melanjutkan “He had life rooted in Divinity...The life of Christ springs from Divinity and into Divinity it goes back. He never aspired to be equal to the Father, for he only occupied the subordinate position of the Son. The glory of the Father he never coveted, he never claimed..But if mysterious are Christ’s relations to his Father, are not his relations to mankind equally mysterious?....In India he will fulfil the Hindu dispensation..Behold he comes to us as an Asiatic in race, as a Hindu in faith, as a kinsman dan brother..”.29 Chundar Sen mencintai Yesus dalam penghayatan seorang yang dibesarkan dalam lingkup agama Hindu. Hatinya tertambat pada Yesus, namun tidak pada Gereja. Ia menilai Gereja justru menghadirkan wajah Yesus yang amat tidak ramah terhadap Asia dan doyan menghakimi orang dengan mengatakan bahwa kultur Asia penuh dengan dosa. Mendengarkan refleksi seorang Hindu yang mencoba menghayati Yesus dengan keHinduannya, merupakan bagian penting untuk memberikan warna dan kekayaan terhadap tradisi Kristologi yang diwariskan Gereja Barat di Indonesia. Dengan demikian jelas bahwa kesetiaan terhadap tradisi, sama sekali tidak mengharuskan kekristenan menutup telinga terhadap konteks. Yang kedua adalah bahwa Kristologi itu dapat dimengerti dalam pengalaman hidup saat ini. Sudah menjadi hal yang umum untuk diketahui bahwa sebagian besar orang Kristen kesulitan untuk menjelaskan posisi Yesus kepada orang yang bukan Kristen. Orang Kristen menyebut Yesus sebagai Tuhan, tetapi Tuhan yang seperti apa? Dalam keadaan pra-eksistensinya, apakah Yesus sama dan identik dengan Allah Bapa? Belum lagi istilah-istilah yang sering muncul dalam katekisasi seperti ‘sehakikat dengan Bapa’, ‘satu essensi tiga pribadi’, yang selalu menimbulkan kesulitan dan menyebabkan orang Kristen di Indonesia merasa insecure ketika harus berbicara tentang Yesus. Yang lebih parah lagi adalah ketika istilah-istilah itu karena tidak dimengerti sama sekali, membuat penghayatan terhadap Yesus menjadi gamang dan lebih bersifat emosional. Banawiratma mencoba memberikan penjelasan yang bisa dimengerti baik oleh orang Kristen maupun oleh orang Islam sehingga bukan hanya orang Islam yang bisa mencoba mengertinya, tetapi juga orang Kristen dibekali ketika harus bebicara tentang Yesus dalam konteks Islam. Namun yang harus diingat adalah bahwa pengalaman hidup tidak bersifat mono-dimensional. Ada banyak segi yang tidak mungkin digeneralisir. Juga pengalaman dalam konteks Islam, barangkali 7
bersifat multidimensional. Untuk itulah barangkali apa yang dikatakan Banawiratma tidak menjadi proposal satu-satunya tentang Yesus dalam konteks di Indonesia. Pengalaman hidup manusia amat kaya, dan kekayaan itulah yang menjadi bekal untuk melakukan refleksi terus menerus terhadap sosok Yesus. Sebagai pembanding, seorang teolog Pakistan, David Emanuel Singh mengajukan proposal Yesus sebagai ‘the Perfect Man’.30 Dalam mistisisme Islam ada idea mengenai ‘the Perfect Man’, manusia yang sempurna. ‘Manusia sempurna’ menunjuk pada: pertama, kualitas kebaikan dan kasih saying/kemurahan hati; kedua, penghayatan kesatuan dirinya dengan Allah. Penghayatan kesatuan dengan Allah didasarkan pada pemahaman bahwa ‘Roh’ Allah dihembuskan ke dalam diri manusia oleh Allah sendiri; inilah ‘Roh’ Allah sendiri, dan, ‘Manusia sempurna itu sebagai AlJamal, paralel dengan istilah ‘Allah beserta kita’, Imanuel. Dengan demikian ‘Manusia Sempurna’ adalah ‘dia’ yang mampu merealisasikan secara sempurna segala kemungkinan kebaikan sebagai manusia dan kekuatan kosmis yang ada di dalam dirinya. “Manusia sempurna’ menjadi model bagi keberadaan manusia sekaligus menjadi sumber segala pengetahuan kebaaikan. ‘Manusia sempurna’ ini dibutuhkan oleh Allah yang melaluinya Ia bisa dikenal dan berelasi dengan manusia. Pada titik ini David Emanuel Singh sebenarnya mengemukakan pikiran mengenai ‘mediator’ – sama seperti Banawiratma- yang memerantarai manusia dan yang Ilahi. Sementara itu Muhammad Iqbal menggambarkan ‘Manusia Sempurna sebagai ‘Mahkota Ciptaan’.31 Dengan proposal ini sekaligus David E. Singh mencoba untuk menjelaskan problem inkarnasi. Inkarnasi merupakan titik penting dalam penghayatan iman Kristen. Salah satu tugas penting Kristologi dalam konteks Islam adalah menjelaskan masalah inkarnasi.32 Inkarnasi yang harus diinterpretasikan dalam terang kehidupan, karya, kata-kata dan khususnya penderitaan Yesus. Yang ketiga adalah memberdayakan. Pertanyaannya adalah memberdayakan dalam pengertian apa? Apakah memberdayakan dalam pengertian teologi pembebasan Amerika Latin, mencoba bergerak untuk keluar dari situasi yang menghimpit dan tertindas? Jika itu yang dipahami, maka konteks Islam dilihat sebagai sesuatu yang menindas. Padahal belum tentu demikian. Atau memberdayakan dalam pengertian membuat penghayatan akan Kristus menjadi kaya dan lebih dalam, yang pada akhirnya memampukannya untuk hidup dalam konteksnya dengan lebih bertanggung jawab? Jika pengertian pertama yang dipakai, tentu tidak cocok dengan konteks di mana Kristologi Yesus sebagai Kalam Allah direfleksikan. Untuk konteks seperti itu kemungkinan ada refleksi tentang Kristus yang lebih cocok. Namun jika pemberdayaan menyangkut pembaharuan penghayatan iman dalam sebuah konteks tertentu, maka proposal Banawiratma tentang Yesus menjadi proposal yang menantang. Hal ini senada dengan dorongan Aloysius Pieris agar kekristenan Asia membaptis diri dalam –salah satunya adalah- ‘religiositas’ di Asia. Dengan ‘pembaptisan’ itu ada pembaharuan iman terhadap Yesus. Masalah apakah umat mendapatkan pembaharuan atau tidak dengan proposal ini, amat tergantung dari sejauh maka umat bisa mengakses proposal ini. Penutup Dalam sebuah percakapan dengan salah seorang teman yang berasal dari Eropa, dia bertanya, tatkala Kekristenan di Indonesia mencoba membangun jembatan, dengan menunjukkan kesamaan dan cara membangun sebuah refleksi teologis yang mempertimbangkan keberadaan agama lain khususnya Islam, apakah kekristenan di 8
Indonesia sedang mempertaruhkan imannya atau sedang mengkompromikan imannya guna mendapatkan satu ‘perlindungan’ dari penduduk mayoritas? Dengan tegas saya menjawab ‘tentu tidak demikian’. Hal ini persis seperti yang ditengarai oleh Alosius Pieris33 ketika ia mengatakan “the suspicion that Asian theology in general compromises the ‘uniqeness of Christ’ becomes a straightforward accusation when it comes to liberation theology’. Jadi Pieris melihat bahwa itu merupakan tuduhan serius jika ada yang mengatakan bahwa iman dikompromikan. Yang ada adalah, Pieris melanjutkan, ‘The Asian paradigm of Christology has been dramatically shifting away from the Chalcedonian model’. Justru sebaliknya, iman dipertaruhkan ketika Gereja tidak berani menjawab tantangan konteks. Usaha mengkontekstualkan Kristus justru merupakan usaha untuk secara bertanggung jawab menghayati iman dalam konteks tertentu. Iman kekristenan bukanlah sedang dipertaruhkan seperti orang yang berjudi, melainkan kita mencoba menjelaskannya dengan sebuah cara yang lain dengan memperhitungkan konteks. Penghayatan Kristologi yang tidak terbuka untuk dipikirkan dan didalami kembali dalam konteks historis yang terus bergerak justru bisa jadi mandek. Dengan mendasarkan diri pada Alkitab, pengalaman iman kita bergerak dari satu konteks ke konteks yang lain.
Daftar Pustaka Amaladoss, Michael, The Asian Jesus, Maryknoll: Orbis Book, 2006. Ayoub, Mahmoud, Toward an Islamic Christology I, dlm. A Muslim view of Christianity: Essay on Dialogue by Mahmoud Ayoub, ed. Irfan A. Omar, Maryknoll: Orbis Book, 2007. Balic, Smail, The image of Jesus in Contemporary Islamic Theology, dalam. We believe in God, ed. A. Schimmel & A. Falaturi, New York: Seabury Press, 1979. Banawiratma, J.B., Contextual Christology and Christians Praxis: An Indonesia Reflection, dlm East Asia Pastoral Review, vol. 37, 2000, p. 173-183. Banawiratma, J.B., Kristologi dalam Pluralisme Religius, dlm Orientasi Baru, No. 13, September 2000, p. 75-86 Banawiratma, J.B., The Pastoral Circle as Spirituality, Toward an Open and Contextual Church, , dlm. The Pastoral Circle Revisited: A Critical Quest for Truth and Transformation, eds. Frans Wijsen, Peter Henriot, Rodrigo Mejia, New York:Orbis Book, 2005. Beaumont, Mark, Christology in Dialogue with Muslims: Critical Analysis of Christian Presentation of Christ for Muslim from the Ninth and Twentieth Centurier, Carlisle:Paternoster, 2005. Budyanto, Mempertimbangkan Ulang Ajaran Tentang Trinitas, Yogyakarta:TPK, 2001 Chundar Sen, Keshub, Jesus Christ:Europe and Asia, seperti dikutip oleh Hans Staeffner SJ, The Significance of Jesus Christ in Asia, Anand:Gujarat Sahitya Prakash, 1985. Cragg, Kenneth, The miracle of Jesus, in Christology in dialogue, ed. Robert F.Berkey & Sarah Edwards, Cleveland, Ohio: Pilgrim Press, 1993.
9
Emanuel Singh, David, Rethinking of Jesus and the Cross in Islam, dlm. Mission Studies, 23:2, 2006, h. 239-260 Groenen, Cletus, Sejarah Dogma Kristologi, Kanisius:Yogyakarta, 1988. Haight, Roger, Jesus Christ and Religious Pluralism, in Tatha Wiley (ed), Thinking of Christ, New York, London: Continuum, 2003. Haight, Roger, Jesus Symbol of God, Maryknoll: Orbis Book, 1999. Haight, Roger, The Future of Christology, Continuum:New York, 2007. Kerr, David A., Christology in Christians-Muslims dialogue, dlm. Christology in dialogue, ed. Robert F.Berkey & Sarah Edwards, Cleveland, Ohio: Pilgrim Press, 1993. Migliore, Daniel L., Christology in Context, Interpretation, , 49:3, July, 1995, p. 242254 Nazir Ali, Michael, Frontiers in Muslim-Christian Encounter , Oxford:Regnum Book, 1987. Pieris, Pieris, An Asian Theology of Liberation, Maryknoll, New York: Orbis Book, 1988. Pieris, Aloysius, Political Theology in Asia, dlm. The Blackwell Companion to Political Theology, ed. Peter Scott dan William T. Cavanaugh, Oxford:Blackwell Publishing, 2004. Rambitan, Stanley, Jesus in Islamic Context of Indonesia, dlm. REC FOCUS, Vol. 3, No. 2 S, Singgih, Emanuel Gerrit, Iman dan Politik dalam Era Reformasi, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2000. Schimmel, Annemarie, Mystical Dimension of Islam, North Carolina:The Univ. of North Carolina Press, 1975. Subandrijo, Bambang, Eikon and Ayat: Points of Encounter Between Indonesian Christians and Muslims Perspectives on Jesus, disertasi Ph.D, Vrije Universiteit, Dec 19, 2007 1
Daniel L. Migliore, Christology in Context, Interpretation, , 49:3, July, 1995, p. 242-254 Smail Balic, The image of Jesus in Contemporary Islamic Theology, dalm. We believe in God, ed. A. Schimmel & A. Falaturi, New York: Seabury Press, 1979, h.1-9, dikutip David A. Kerr, Christology in Christians-Muslims dialogue, dlm. Christology in dialogue, ed. Robert F.Berkey & Sarah Edwards, Cleveland, Ohio: Pilgrim Press, 1993, h. 204-205. 3 Mahmoud Ayoub, Toward an Islamic Christology I, dlm. A Muslim view of Christianity: Essay on Dialogue by Mahmoud Ayoub, ed. Irfan A. Omar, Maryknoll: Orbis Book, 2007, h. 135. 4 Lih. JB. Banawiratma, Contextual Christology and Christians Praxis: An Indonesia Reflection, dlm East Asia Pastoral Review, vol. 37, 2000, p. 173-183; Kristologi dalam Pluralisme Religius, dlm Orientasi Baru, No. 13, September 2000, h. 75-86 5 Lih. Bambang Subandrijo, Eikon and Ayat: Points of Encounter Between Indonesian Christians and Muslims Perspectives on Jesus, disertasi Ph.D, Vrije Universiteit, Dec 19, 2007 6 Lih. Stanley Rambitan, Jesus in Islamic Context of Indonesia, dlm. REC FOCUS, Vol. 3, No. 2 7 Lih. Michael Amaladoss, The Asian Jesus, Maryknoll: Orbis Book, 2006. 8 Lih. Aloysius Pieris, An Asian Theology of Liberation, Maryknoll, New York: Orbis Book, 1988. 9 Sebagai sebuah upaya analisa sistematis penulis membutuhkan kriteria sebagai titik berangkat dan analisa. Untuk pola pikir Timur yang cenderung mengalir dalam penghayatan dan tidak membutuhkan berbagai ungkapan sistematis, barangkali upaya menemukan kriteria terkesan membatasi. 10 Roger Haight, Jesus Symbol of God, Maryknoll: Orbis Book, 1999, h. 47-51 11 Roger Haight, The Future of Christology, Continuum:New York, 2007, h.41-42. 12 Michael Amaladoss, The Asian Jesus, New York: Orbis Book, 2006, h.2 13 Aloysius Pieris, Fire and Water, h.65 14 Cletus Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, Kanisius:Yogyakarta, 1988, h. 290. 15 Roger Haight, Jesus Symbol of God, h.421 2
10
16
Mark Beaumont, Christology in Dialogue with Muslims: Critical Analysis of Christian Presentation of Christ for Muslim from the Ninth and Twentieth Centurier, Carlisle:Paternoster, 2005, h. 11 17 Banawiratma, Contextual Christology and Christians Praxis, dlm. East Asia Pastoral Review, vol. 37, 2000, h. 179 18 Banawiratma, Contextual Christology and Christians Praxis, h. 177 19 Banawiratma, Contextual Christology and Christians Praxis, h. 179; lihat juga Banawiratma, The Pastoral Circle as Spirituality, Toward an Open and Contextual Church, , dlm. The Pastoral Circle Revisited: A Critical Quest for Truth and Transformation, eds. Frans Wijsen, Peter Henriot, Rodrigo Mejia, New York:Orbis Book, 2005, h. 81 20 Banawiratma, Contextual Christology and Christians Praxis, h. 179. 21 Lih. Roger Haight, Jesus Christ and Religious Pluralism, in Tatha Wiley (ed), Thinking of Christ, New York, London: Continuum, 2003, h. 96. 22 Mahmoud Ayoub mengatakan bahwa ada tiga jenis dialog antara kekristenan dan Islam: yang pertama adalah dialog kehidupan, yaitu berusaha untuk menjawab keprihatinan kehidupan bersamasama dalam keadaan yang bebas dan demokrasi; yang kedua adalah dialog kepercayaan (believe), berbicara tentang doktirn teologi dan basis filosofisnya; dan yang ketiga adalah dialog iman (faith), sifatnya lebih pada level personal untuk mensharingkan kedalaman iman di antara Kristen dan Islam. Banawiratma juga berbicara mengenai tipe dialog ini. (lih. Mahmoud Ayoub, A Muslim’s View of Christianity, Maryknoll, New York: Orbis, 2007, h. 68). 23 Istilah yang digunakan oleh John Dunne, ‘passing over’ dan‘coming back’. Lih. Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaud, Passing Over, Jakarta:Gramedia, 1998, h. xiv. 24 Lih. Emanuel Gerrit Singgih, Iman dan Politik dalam Era Reformasi, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2000, h. 158-164 25 Kenneth Cragg, The miracle of Jesus, in Christology in dialogue, ed. Robert F.Berkey & Sarah Edwards, Cleveland, Ohio: Pilgrim Press, 1993, h.225. 26 Mahmoud Ayoub mengatakan bahwa keajaiban Yesus merupakan tanda dari keIlahian Allah, seperti halnya siang dan malam, penciptaan surga dan neraka. Untuk itu keIlahian Yesus tidak terletak pada eksistensi Yesus itu sendiri. ( Lih. Mahmoud Ayoub, The Miracles of Jesus, dlm. Christology in dialogue, ed. Robert F.Berkey & Sarah Edwards, Cleveland, Ohio: Pilgrim Press, 1993, p. 221-228). Sementara itu untuk menolak keIlahian Yesus, Ibn’ Arabi mengatakan bahwa logos atau Kalam Allah menunjuk pada dan diidentifikasikan dengan Muhammad, bukan dengan Yesus karena ada ide mengenai ‘pre-eksistensi’ Muhammad.. Mengomentari hal ini David Emanuel Singh, teolog Kristen Pakistan, mengatakan bahwa sebenarnya ‘pre-eksistensi’ Muhammad dapat dihubungkan dengan Yesus. (lih. David Emanuel Singh, Rethinking of Jesus and the Cross in Islam, dlm. Mission Studies, 23:2, 2006, h. 239-260) 27 Budyanto, Mempertimbangkan Ulang Ajaran Tentang Trinitas, Yogyakarta:TPK, 2001, h. 270-272. 28 Keshub Chundar Sen, Jesus Christ:Europe and Asia, seperti dikutip oleh Hans Staeffner SJ, The Significance of Jesus Christ in Asia, Anand:Gujarat Sahitya Prakash, 1985, h. 39. 29 Keshub Chundar Sen, Jesus Christ:Europe and Asia, seperti dikutip oleh Hans Staeffner SJ, The Significance of Jesus Christ in Asia, h. 42-47. 30 David Emmanuel Singh, Rethinking Jesus and The Cross in Islam, dlm. Mission Studies vol 23, no.2, 2006, h.239-260. 31 Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, North Carolina:The Univ. of North Carolina Press, 1975, h.259-286. 32 Michael Nazir Ali, Frontiers in Muslim-Christian Encounter , Oxford:Regnum Book, 1987, h.31. 33 Aloysius Pieris, Political Theology in Asia, dlm. The Blackwell Companion to Political Theology, ed. Peter Scott dan William T. Cavanaugh, Oxford:Blackwell Publishing, 2004, h. 260.
11