KREATIVITAS MISBAHUDIN DALAM KARYA DANGNGONG Skripsi
Diajukan oleh : Mukhlis Anton Nugroho NIM. 09112135
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2014
KREATIVITAS MISBAHUDIN DALAM KARYA DANGNGONG Skripsi Untuk memenuhi salah satu syarat Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Jurusan Etnomusikologi Fakultas Seni Pertunjukkan
Diajukan oleh :
Diajukan oleh : Mukhlis Anton Nugroho NIM. 09112135
FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2014
ii
UI
900 IS01861 8r80S
u1re>Ierns ?Keuopul 1ues
$I
ll0u uPnusI gz's$Bryms
'dIN
rzs0l86l 'us't\ -'us's 'updnilsF{ rlY uupuog I00 IzI800z
Surqunqun6
900 Ig0z86l ?0t08s6r 'dIN
?rilBln lln8uea
'^''
u00
IaI086I 90801S6I'drN J[n6ue4 ?r4e){
*o
lur81(s ntrmrotuetll rFIa ue4uproro tIgZ usnus 1 97 1uEEw1 uped s$u{8ms srseuoprrl mes }fi}4sul
lsduxs lfn8ued uea\ep uedupuq Ip uulrrsqqredlp
SSIEI160'I,iIIN oqorsnN uoluY slFFInI
qEel
tr
qelo rmsnsrp uep ue4depre{p 6uef
ENO2NgNYO YAUYX }IIVTYO NIONHVS$W SVIIAIIYflU)T :lnpnfreq
Fdlrts
NYI{VST3Nfl{
AI
'us'ntr'e1?,3fr
'Euqunqtue6 :mqepEuery
?I0z uenwtgz'?u?>l?ms
,
'um{ru{leqr{e u1e3ss sulu qe,lr.\'ufEm66usl
eser qnued uuEuop e,(uuuaq-reuaqas ue3uep lenq er{us rm uwpr{tued uuplruleg
'ulseuopul rylqndeg
sdtf, ryHEuuPun
-Euepun ue8uep runses {rurepmls ueErnpedarl {nlm sue{€ms ISI ltrolo Eoleryp 6uuf urpeu urspp us{.Is3{llqndrp lnqesrel ?,trq mfnp,{ueru e.{eg ueEuep renses
'7,
'(rsu6e1d) ueryldrf rm4nq uep 'ruplrsq Euer( uun1uele{ ompues etdtc e,{ru>I IIsBq ffueq-ffueq qelsp?
pnq ufes
,,Suo&u&uoq ?dJeX luulsp upnq?qsgN sel1lpeer1,, :1npnf uuEuep efes :B.&qeq
tsdplg 'I
ue)pp.(us61
I^IIN
sgIzI160
uesrunf
folo4lsnruoulA IS
sqn)lsC
uu4nfmge6 rueg
lsluelv
ygy'purenplsqe)'ru31v\' V\l LA ll{ uepun$
886I re$uesec II'zu?{urns oqofn5l uoluv sIFHnhl
4r{sT
'lEI'pdurs; €III3N
'rur qeneq lP uu8ue1 uPuuPsq
Euel
NYVIYANUTd
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada Allah SWT; Bapakku yang selalu menasehati akan arti hidup dan Ibuku yang selalu memberi ketenangan hatiku, serta mendo’akanku tanpa henti; kepada pak Bondan yang membimbing saya; teman-teman Etnomusikologi khususnya angkatan 2009; Misbach Daeng Bilok sebagai subyek penelitian; disiplin Etnomusikologi yang sudah membesarkan saya.
v
MOTTO
Hidup tidak hanya sekedar berjalan, tetapi bagaimana perjalanan itu meninggalkan bekas yang bermanfaat bagi sekitar kita.
vi
ABSTRAK Penelitian skripsi yang berjudul ”Kreativitas Misbahudin dalam Karya Dangngong” ini berawal dari ketertarikan melihat kreativitas Misbahudin sebagai komponis muda musik kontemporer di Surakarta dan karya-karyanya yang menggunakan instrumen Dangngong. Pada situasi kelesuan perkembangan musik kontemporer di Surakarta, Misbahudin merupakan generasi baru komponis kontemporer yang mampu tampil dengan karakter kekaryaan yang belum banyak dilakukan komponis kontemporer sebelumnya yaitu jalur eksperimen soundscape. Ia berhasil mengangkat Dangngong yang semula perangkat bunyi-bunyian angin yang menempel pada permainan layang-layang menjadi instrumen musik, bagian dari instalasi soundscape, dan pertunjukan musik. Kelahiran karya-karya musik kontemporernya yang menggunakan Dangngong tentunya menyimpan banyak pengetahuan kreativitas yang tentunya berguna bagi perkembangan kajian musik kontemporer. Penelitian ini menggunakan konsep teoritik empat P. Milik Rhodes yang terdapat dalam buku Utami Munandar berjudul ”Kreativitas dan Keberbakatan. Nilai-nilai kreativitas Misbahudin dalam karya-karya Dangngong dianalisis dengan melihat elemen (1) pribadi, (2) proses, (3) faktor pendorong (press), dan (4) hasil. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan etnografis. Hal-hal yang akan dijelaskan dalam penelitian ini adalah (1) wawasan dan perkembangan bunyi-bunyian angin yang meliputi bunyi dalam kehidupan manusia, khasanah bunyi-bunyian angin, kreativitas pengembangan teknologi alat penghasil bunyi angin. Pembahasan ini memiliki kedudukan sebagai pengetahuan dasar untuk menghantarkan pembaca dalam memahami material ekperimentasi soundscape yang dilakukan oleh Misbahudin dan mengetahui kecenderungankecenderungan pola kreativitas dalam bidang kekaryaan ini. (2) Menjelaskan profil kesenimanan Misbahudin dalam perjalanan karirnya. Pengetahuan ini penting disajikan untuk melihat berbagai latar belakang personal, kemampuan kekaryaan, dan kecenderungan kekaryaannya sebelum memproduksi karya Dangngong. (3) menjelaskan dimensi kreativitas Misbahudin yang terkandung dalam pribadi, proses, faktor pendorong, dan hasil karya ketika ia memproduksi karya-karya Dangngong. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa, melalui karya Dangngong yang telah diciptakannya menampakkan dirinya sebagai pribadi yang kreatif. Nilai kreativitasnya dapat dilihat dari pribadi yang mampu mengaktualisasikan keinginan berkarya, menjalankan dan membebaskan gagasannya secara penuh, dan terbuka terhadap pengalaman yang dilaluinya. Ia juga menjalani proses kekaryaan secara kreatif mulai dari ber-ide, menggarap musik, dan menentukan konsep penyajian karya. Selain itu, ia juga menggunakan dengan cerdas faktorfaktor internal maupun eksternal yang melingkupi dirinya untuk ketajaman kreativitasnya, pada akhirnya menghasilkan produk yang bernilai kreatif yaitu karya-karya Dangngong. Kata Kunci : Misbahudin, Dangngong, dan Kreativitas
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur saya persembahkan kepada Allah SWT atas berkah dan rahmatNya, karya tugas akhir skripsi ini dapat terselesaikan. Walaupun melalui proses yang amat panjang, namun semua itu akan menjadi pelajaran bagi penulis. Bagi penulis, Misbahudin adalah seorang yang telah memberi pengalaman dan pengetahuan baru terkait totalitas dan karya kreatif yang dilahirkannya lewat eksplorasi Dangngong. Semoga semangat dan totalitasnya terus membara dan memberi kontribusi terhadap dunia seni pertunjukan. Proses penyusunan skripsi ini tidak luput dari campur tangan dari beberapa pihak yang memberi bantuan dalam berbagai bentuk. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dekan Fakultas Seni Pertunjukan. Ditingkat Jurusan, penulis juga mengucapkan terima kasih atas pelayanan akademik baik pada proses skripsi maupun selama menempuh pendidikan di Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada kakak Bondan yang telah membimbing dalam proses penyusunan skripsi. Selain itu juga kepada mas Gombloh yang bersedia menjadi teman diskusi yang juga menyediakan fasilitas kandang romantis dan teh poci yang hangat. Pak Aton yang juga membantu memberi pengarahan dan pak Wisnu Mintargo yang menjadi penasehat akademik.
viii
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada mas Gondrong, mas Gombloh, pak Halim HD, dan bang Ilham yang bersedia menjadi nara sumber dalam penulisan skripsi ini. Selain itu kepada mas Ali Maksum, mas Yonex, dan teman-teman sanggar Jejak yang telah bersedia berbagi pengetahuan. Terima kasih juga kepada mas Kholid yang meminjami komputer ketika penulis belum ada alat untuk ngetik, cak Aris dan cak Jepri yang memberi masukan kepada penulis, mama Fafa dan teteh Yani yang banyak membantu dalam hal ekonomi. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada kedua orang tua yang selalu memberi semangat dan do’a demi kelancaran proses studi. Penulis juga sangat berterima kasih kepada Misbahudin yang bersedia menjadi objek dalam tulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman etno`09, sebagai teman diskusi, teman kecrok-kecrok’an dalam hal objek skripsi sehingga memotivasi penulis untuk bersaing positif, teman berkreativitas juga, dan teman curhat dalam hal ekonomi maupun asmara. Tetap kompak...! Akhir kata penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih matur nuwun kepada semua pihak yang membantu demi kelancaran dalam berbagai hal, semoga apa yang diberikan kepada penulis mendapat pahala dari Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun skripsi ini jauh dari kesempurnaan, semoga dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Amiiin. Surakarta,23 Januari 2014
Mukhlis Anton Nugroho
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
HALAMAN PENGESAHAN
iii
HALAMAN PERNYATAAN
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
v
MOTTO
vi
ABSTRAK
vii
KATA PENGANTAR
viii
DAFTAR ISI
x
BAB I PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
7
C. Tujuan Penelitian
7
D. Manfaat Penelitian
7
E. Tinjauan Pustaka
8
F. Landasan Teori
11
G. Metode Penelitian
21
H. Sistematika Penulisan
31
BAB II WAWASAN DAN PERKEMBANGAN BUNYI-BUNYIAN
33
ANGIN A. Bunyi dalam Kehidupan Manusia
34
B. Khasanah Bunyi – bunyian Angin
37
x
C. Kreativitas Pengembangan Teknologi Alat Penghasil Bunyi Angin BAB III MISBAHUDIN DAN KARYA DANGNGONG
41 57
A. Perjalanan Kesenimanan Misbahudin
57
B. Pengakuan Terhadap Karya Dangngong Misbahudin
72
C. Instrumen Dangngong Karya Misbahudin
79
D. Deskripsi Sajian Karya Komposisi Musik Misbahudin dengan
86
Instrumen Dangngong BAB IV ELEMEN DAN FAKTOR PENDORONG KREATIVITAS
103
MISBAHUDIN DALAM KARYA – KARYA DANGNGONG 105
A. Misbahudin Pribadi yang kreatif 1. Keterbukaan Misbahudin pada Pengalaman
111
2. Kemampuan Misbahudin Menilai Situasi dengan Keyakinan
113
Personalnya 3. Kemampuan Misbahudin Bereksperimen dengan Konsep B. Proses Kreatif Misbahudin Dalam Eksplorasi Dangngong
118 125
1. Ide Garap
128
2. Proses Garap
131
2.1. Bahan Garap
132
2.2. Penggarap
137
2.3. Perabot Garap
140
3. Sarana atau Konsep Garap
141
C. Pendorong (Press) dalam Proses Kreatif Misbahudin
xi
145
D. Produk Kreatif yang Dihasilkan Misbahudin BAB V KESIMPULAN
158
161
DAFTAR PUSTAKA
166
Pustaka
166
Webtografi
168
PDF
168
Daftar Nara Sumber
169
GLOSARIUM
170
DAFTAR GAMBAR
xii
xii
DAFTAR GAMBAR No Gambar Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12 Gambar 13 Gambar 14 Gambar 15 Gambar 16 Gambar 17 Gambar 18 Gambar 19 Gambar 20 Gambar 21 Gambar 22 Gambar 23 Gambar 24
Keterangan Gambar
Halaman
Kluntungan Baling-baling bambu Wind Chime Furin atau Lonceng angin Jepang Genta dengan nada etnis Jawa Genta bernada Mandarin ciptaan Abdul Majid Gangga The Singing Ringing Tree Aeolian Harp di Meksiko Door Harp, Harmonic Harp dan Window Harp Cylindrical Harps (Harpa angin untuk terapi) Grand Aeolian Harps Tabel Perjalanan keseniamanan Misbahudin (1993 – 2013) Dangngong yang dibuat Misbahudin Bagian-bagian Dangngong Inovasi bentuk Dangngong Dangngong hasil inovasi Model-model menara DangngongMisbahudin Misbahudin dan Dua temannya yang bermain Dangngong Penampilan Colour Guard memainkan Dangngong fibert Pertunjukan tari Pakarena Menara pada pertunjukan Dangngong di Sangiran Tiga orang anggota Teater Jejak memainkan Dangngong fiber Transkrip pola ritme permainan Dangngong Pementasan Aia To Hu-luk dalam acara SIEM 2008
42 43 46 47 48 49 50 51 52 53 54 64 81 81 83 84 85 93 94 96 98 99 100 133
DAFTAR TABEL No Tabel Keterangan Tabel Tabel 1 Tabel Perjalanan keseniamanan Misbahudin (1993-2013)
xiii
Halaman 64
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan musik kontemporer di Surakarta saat ini mengalami kelesuan, baik dalam kekaryaan maupun generasi baru komponisnya. Mulai tiga tahun terakhir ini, sudah jarang dijumpai event-event musik kontemporer yang mewadahi kemunculan karya-karya inovatif. Nama-nama komponis senior seperti Rahayu Supanggah, dan Dedek Wahyudi belum tergantikan dengan prestasi karya-karya komponis baru. Meski masih sangat produktif, namun komponiskomponis senior tersebut sudah mulai lesu dengan kekaryaan inovatif. Gunarto Gondrong dan Joko Porong adalah dua nama komponis yang mulai mendapatkan kepercayaan publik musik karena kekaryaan inovatif dengan karakternya yang berbeda. Setelah Gunarto Gondrong dan Joko Porong belum tampak komponiskomponis yang lebih muda muncul dengan karya inovatif dan menambah jajaran komponis musik kontemporer Surakarta. Melihat situasi perkembangan musik kontemporer di atas, kiranya memberi pengertian bahwa Surakarta kini sudah tidak menjadi tempat ‘subur’ atas kemunculan komponis-komponis kontemporer Indonesia seperti dulu. Ada indikasi bahwa saat ini generasi komponis muda tidak lagi tertarik dengan kekaryaan musik kontemporer, melainkan melakukan kekaryaan pada bidang musik industri atau yang lainnya. Selain hal itu, dimungkinkan generasi baru komponis kontemporer di Surakarta memiliki pola pergerakan kekaryaan, wilayah
2
publikasi dan ruang eksistensi (seperti event atau forum musik kontemporer) yang berbeda dari kebiasaan komponis-komponis kontemporer sebelumnya. Sesuai dengan pengamatan peneliti terhadap perkembangan musik kontemporer di Surakarta, kurang lebih dua tahun yang lalu peneliti mengenal Misbahudin atau yang lebih suka mengenalkan namanya Misbach daeng Bilok. Misbahudin adalah seorang komponis musik kontemporer muda berusia tiga puluh lima (35) tahun berasal dari daerah Selayar, Sulawesi Selatan. Ia telah hidup empat belas (14) tahun di Surakarta, statusnya hingga saat ini sebagai mahasiswa Jurusan Etnomusikologi, Institut Seni Indonesia (ISI) di Surakarta. Akhir-akhir ini Misbahudin sering dibicarakan oleh publik musik kontemporer. Seperti komponis kontemporer seperti Gondrong Gunarto dan pengamat seni pertunjukan sekelas Halim HD dan Joko Suranto (alias Gombloh) bahkan mengakui kekaryaan dan sosok Misbahudin sebagai generasi baru musik kontemporer di Surakarta. Berikut adalah cuplikan pengakuan dari Joko Suranto dan Gondrong Gunarto. “Dia itu punya potensi yang luar biasa, sayang jika tidak di asah supaya dapat diakui publik. Dangngong ini moment yang tepat untuk dia, supaya dia tidak hanya dikenal di kalangannya sendiri” (Wawancara Joko Suranto, 1 November 2013). “Yang aku ketahui Misbahudin hubungannya dengan Dangngong, adalah kekaguman saya dalam kerja kerasnya……..Dibandingkan aku, aku belum berani seperti yang dia lakukan. Walau aku tetap melakukan eksplorasi karya musik, tetapi aku tidak seberani Misbah. Menurutku Misbah itu benar-benar ‘gila’” (Wawancara Gondrong Gunarto, 1 November 2013).
Mendiang I Wayan Sadra yang memang memiliki kedekatan sebagai sahabat dan bapak dari Misbahudin, sebelum meninggal pernah memprediksi bahwa Misbahudin sebagai calon komponis kontemporer yang suatu saat mampu
3
menggantikannya1. Beberapa pendapat tersebut memicu peneliti untuk lebih ingin mengenali, mempelajari, dan belajar lebih mendalam dengan sosok Misbahudin dalam hal kekaryaan musik kontemporernya. Karya-karya Misbahudin memang belum banyak tampil pada event-event musik bergengsi bertaraf nasional maupun internasional, tetapi ia sedang merintisnya dan sudah mendapatkan peluang untuk masuk dalam event-event tersebut. Karya-karyanya justru sering ditampilkan dalam proyek mandirinya di pantai, gunung, kebun, sawah dan desa. Terkadang hanya ditonton oleh rekanrekan yang membantu dalam karyanya. Proyek-proyek mandirinya tersebut disebutnya sebagai ekspedisi. Hasil karya-karya itu akhirnya dapat diketahui publik karena dokumentasi acara tersebut dipublikasikan pada jejaring sosial (facebook dan youtube). Proyek-proyek mandiri atau ekspedisi Misbahudin tersebut ia akui sebagai ruang prosesnya untuk mengeksplorasi karakter karyanya, mengasah kemampuan musikalnya, dan menemukan banyak pengetahuan seputar karya musik kontemporer yang ia pilih. Ia melakukannya berulang-ulang kali sebagai wujud totalitasnya dalam belajar dan berkarya musik, meski harus banyak pengorbanan finansial dan hal-hal yang lainnya. Selain proyek mandiri, karya Misbahudin juga banyak muncul dalam pertunjukan panggung yang berkolaborasi dengan tari dan visual art. Langkah publikasi karya Misbahudin ini menunjukkan adanya pendekatan ruang publikasi yang berbeda dengan komponis-komponis kontemporer sebelumnya.
1
Pernyataan didapatkan dari pengakuan Misbahudin yang diperkuat dengan kesaksian Ilham Mappatoya.
4
Jejak kekaryaan musik Misbahudin sebenarnya sudah dimulai sejak lama, bahkan jauh sebelum ia tinggal di Surakarta (ketika di kampung halamannya dan saat di SMKI Makassar). Namun, karya-karyanya mulai menyita perhatian publik musik di Surakarta pada tahun 2005 ketika ia memulai pilihan kekaryaan musik kontemporernya di jalur eksperimental soundscape2. Pada tahun itu melahirkan karya berjudul Aia To Hu-luk dengan instrumen musik bernama Dangngong. Dangngong adalah instrumen pokok dalam perjalanan karirnya di bidang eksperimental soundscape. Dangngong sesungguhnya bukanlah merupakan instrumen musik, lebih tepatnya alat ini merupakan jenis permainan anak-anak daerah Selayar yang mengeluarkan bunyi umumnya digunakan sebagai aksesoris pada layang-layang. Dangngong berbentuk menyerupai busur panah dengan dawai sebagai penariknya. Alat ini mampu berbunyi ketika dawainya terkena tekanan atau tiupan angin. Selain untuk permainan, oleh masyarakat nelayan di Selayar, Dangngong terkadang juga digunakan untuk penanda arah dan kekuatan angin yang menentukan aktivitas mereka melaut. Sesungguhnya, alat sejenis Dangngong banyak berkembang di wilayah Nusantara. Di Jawa alat semacam ini dikenal dengan nama Sendaren. Oleh Misbahudin, Dangngong digunakannya sebagai instrumen musik dan berbagai eksplorasi eksperimentalnya dalam bentuk pertunjukan dan instalasi soundscape menara Dangngong hingga saat ini. Setidaknya, melalui kreativitasnya Misbahudin telah menghasilkan delapan (8) karya musik dan pertunjukan dengan mengekplorasi Dangngong.
2
Jalur kekaryaan musik yang mencoba bereksperimen dengan bunyi-bunyian alam, lingkungan, atau benda-benda penghasil suara.
5
Setelah karya pertamanya dengan menggunakan Dangngong di tahun 2005, Misbahudin menampakkan konsistensinya dengan alat ini. Disetiap karyakaryanya kemudian, ia selalu menggunakan Dangngong sebagai instrumen utama. Ia-pun selalu mengekplorasi terus-menerus alat ini dan menghasilkan penampilan karya Dangngong dengan bentuk dan konsep yang berbeda-beda. Misbahudin pernah mengembangkan bentuk fisik Dangngong dengan karakter bunyi yang terolah, ia juga pernah membangun menara-menara Dangngong sebagai karya instalasi bunyi di alam lepas, ia juga pernah mengeksplorasi Dangngong sebagai bagian dari pertunjukan untuk mengiringi tari dan teater. Melalui karya-karyanya yang menggunakan Dangngong Misbahudin seperti mendapat pilihan jalur kreativitas, karakter kekaryaan, dan pengakuan karirnya sebagai komposer. Berbagai langkah kreatif yang dilakukan Misbahudin dengan Dangngong menjadi jenis kekaryaan yang belum banyak dilakukan komponis kontemporer di Surakarta, bahkan Indonesia. Kekaryaan eksperimental soundscape yang menjadi pilihan, menurut peneliti menyimpan banyak tantangan kreativitas. Kepekaan terhadap bunyi-bunyian alamiah yang muncul disekitar lingkungan hidup menjadi salah satu kemampuan dasar yang dibutuhkan. Selain itu, kemampuan untuk mengolah bunyi-bunyian, memahami pengetahuan tentang alam, tentang angin, hingga mengolahnya menjadi sajian musik atau pertunjukan musik kontemporer menjadi tahapan pekerjaan yang harus dilalui. Melalui proses yang panjang, Misbahudin mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan kreatif tersebut. Ketika bereksplorasi dengan material bunyi-bunyian yang dimunculkan oleh Dangngong, Misbahudin tentunya juga memiliki kepekaan tentang bunyi-
6
bunyian angin3. Pengetahuan tentang angin tentu menjadi persyaratan yang membekalinya untuk melakukan kerja kreatif. Selain itu, juga dibutuhkan kekuatan ide untuk mampu berkolaborasi dengan kekuatan alam khususnya angin dalam memproduksi karya-karya musik, pertunjukan musik, dan juga instalasi bunyi-bunyian angin yang telah dihasilkannya hingga saat ini. Proses kekaryaan Misbahudin dengan instrumen Dangngong memiliki spesifikasi yang berbeda dengan kekaryaan musik kontemporer yang lainnya. Hal ini salah satunya dikarenakan kedekatan proses kekaryaannya dengan potensi alam yaitu kekuatan energi angin. Bentuk-bentuk kekaryaan seperti yang dilakukan Misbahudin dalam karya-karya Dangngong, sebenarnya memiliki beberapa kesamaan dengan bentuk-bentuk kekaryaan seniman Wind Harp4 di beberapa wilayah luar Indonesia. Karya-karya Wind Harp umumnya dilakukan oleh seniman soundscape dan arsitektur di luar negeri. Beberapa seniman membangun menara atau monumen berdawai kawat atau senar di suatu wilayah. Secara sengaja mereka membangun untuk kepentingan memunculkan sensasi suara dari getaran dawai yang tertiup angin yang menghiasi taman-taman. Misbahudin juga mengakui bahwa banyak karya Dangngong yang telah diproduksinya terinspirasi dari kreativitas seniman-seniman Wind Harp dunia. Ia juga memiliki keinginan untuk menjadikan Dangngong sebagai harpa anginnya Indonesia.
3 4
Bunyi-bunyian yang diproduksi dari tenaga angin alamiah.
Harpa Angin, jenis bunyi-bunyian yang menggunakan dawai dan memanfaatkan angin sebagai energi untuk membunyikannya.
7
Pengetahuan tentang kekaryaan bunyi-bunyian angin, Wind Harp, dan kecenderungan kreativitas yang terkandung dalam proses kekaryaannya menjadi salah satu wawasan yang dibutuhkan untuk menjelaskan bentuk kreativitas Misbahudin dalam karya-karya Dangngong-nya yang unik. Jejak perjalanan kekerayaan Misbahudin juga menyimpan banyak misteri kreativitas yang perlu dirumuskan sebagai jenis pengetahuan baru tentang proses kreatif komponis kontemporer di Surakarta. Mengingat, bidang kekaryaan ini belum pernah ada di Surakarta. Selebihnya penelitian tentang kreativitas Misbahudin dalam karyakarya Dangngong yang telah dihasilkannya juga akan membantu menunjukkan eksistensi komponis kontemporer Surakarta dengan ruang kreatif yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan pembahasan di atas, penelitian ini dibatasi pada satu pokok permasalahan yaitu 1. Bagaimana kreativitas Misbahudin dalam karya-karya musik kontemporer dengan menggunakan Dangngong?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses kreativitas Misbahudin dalam karya Dangngong. Memaparkan pengetahuan tentang kecenderungan bentuk-bentuk kreativitas karya eksperimental soundscape. Mengetahui jejak kreativitas Misbahudin sebagai komponis musik kontemporer.
8
Mengetahui nilai-nilai kreativitas yang terkandung dalam delapan (8) karya musik menggunakan Dangngong dari Misbahudin merupakan tujuan pokok dari penelitian ini. Hasil dari penelitian ini secara akademis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan berkontribusi bagi keilmuan bidang musik khususnya Etnomusikologi dalam pengembangan kajian tentang kreativitas dari seorang komponis kontemporer. Secara non-akademis, hasil publikasi dari penelitian ini diharapkan juga mampu mendukung eksistensi Misbahudin sebagai generasi komponis kontemporer di Indonesia. Selain itu juga diharapkan agar dapat memberikan pemahaman dan pilihan ruang kreatif baru tentang kekaryaan eksperimental soundscape bagi generasi komponis kontemporer. Secara tidak langsung peneliti berharap hasil dari penelitian ini dapat memberi penyegaran terhadap kelesuan perkembangan musik kontemporer khususnya yang terjadi di Surakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini mengambil beberapa referensi tulisan tentang kreativitas dan proses kreatif karena dirasa relevan dengan objek penelitian ini. Tulisan-tulisan tersebut dijadikan sebagai model-model pembanding untuk mengetahui kreativitas dalam kasus karya-karya Dangngong yang dihasilakan Misbahudin. Ada beberapa laporan penelitian dan buku ilmiah populer yang mengkaji tentang proses kreatif seorang komponis dan dirasa menjadi pustaka penting dalam penelitian ini.
9
Salah satunya adalah laporan penelitian yang berjudul “Karya Lentrih” (Proses Kreativitas Muriah Budiarti) yang ditulis oleh M. Zakky Kurniawan dalam penelitiannya untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mancapai derajat sarjana S1 Etnomusikologi tahun 2009. Tulisan ini membahas tentang proses kreatif Muriah Budiarti sebagai seorang komposer musik yang melahirkan karya berjudul Lentrih I, II, dan III. Semua karya tersebut tidak lepas dari proses kreatif sebagai usaha mewujudkan ide atau gagasan yang diperoleh dari penginderaan ke dalam suatu bentuk karya nyata. Laporan penelitian ini akan digunakan untuk referensi atau untuk merangsang proses berfikir dalam mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan obyek penelitian. Kedua, laporan Penelitian yang berjudul “Proses Kreatif Komponis Yasudah” yang ditulis oleh Sri Rejeki tahun 2008. Tulisan ini mencoba menunjukkan bahwa proses kreatif seorang komponis musik kontemporer tidak terlepas dari kondisi lingkungan, dinamika kehidupan kesenian, serta munculnya berbagai ragam aliran musik dan prinsip-prinsip dari figur (tokoh Panutan). Di samping itu juga tidak terlepas dari latar belakang budaya komponisnya, meliputi kepribadian, kemampuan, pengalaman, dan berbagai peristiwa disekitarnya. Kajian ini memiliki kecenderungan yang menyerupai kasus Misbahudin. Seperti halnya proses kreatif pada alat musik Dangngong yang juga timbul dari beberapa sebab yang terjadi pada komponis bernama Yasudah. “Lorong Kecil Menuju Susunan Musik” yang ditulis oleh I Wayan Sadra, dipublikasikan dalam Jurnal Menimbang Pendekatan Pengkajian dan Penciptaan Musik Nusantara (ed) Waridi tahun 2005, juga menjelaskan tentang ide atau
10
gagasan yang merupakan bagian dari sebuah proses kreatif. Buku ini menegaskan bahwa dalam sebuah proses seorang komposer tidak akan dapat secara pasti menyebutkan keluasan berproses bagi sebuah ciptaan. Waktu (kala) seolah menjadi tak terhitung dan berlompatan di antara tempat (desa) dan keadaan (patra). Bisa panjang juga bisa pendek. Relativitas itu menempatkan komponis (manusia) sebagai pusat akal-budi. Pada mulanya mungkin benar bahwa ide atau gagasan itu muncul secara tiba-tiba, tetapi kita tidak dapat begitu saja menafikan adanya proses pertumbuhan. Setidaknya dalam karya Dangngong dapat dijelaskan bahwa proses terjadinya alat musik ini (Dangngong) terjadi dari gejala memori ketika Misbahudin masih kecil (kala). Ia berproses untuk menciptakan alat tersebut dan mendudukkannya sebagai material kreativitasnya menciptakan musik. Ketika ia menghadapi tempat (desa) dan keadaan (patra) yang berbedabeda, ia-pun mampu menghasilkan ekspresi karya yang berbeda dengan pendekatan kreativitasnya. Munandar, Utami. 2002. “Kreativitas dan Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Buku ini menerangkan banyak wawasan tentang pengembangan bakat dan kreativitas secara umum untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Buku ini akan dijadikan sebagai acuan untuk menggali data tentang konsepkonsep kreativitas. Di dalam buku ini terdapat teori kreativitas dengan pendekatan 4 P, yaitu Person, Process, Press, Product. Teori ini akan dipakai untuk membedah nilai kreativitas Misbahudin dalam karya-karya Dangngong yang telah dihasilkannya.
11
Setelah melakukan tinjauan pustaka, peneliti menyatakan bahwa penelitian ini orisinil karena belum pernah ada yang melakukannya. Kajian tentang kreativitas di dalam penelitian ini bahkan memberikan wacana dan wawasan baru tentang eksperimental soundscape dan pergerakan generasi baru komponis kontemporer Surakarta. Kajian juga diperkuat dengan modifikasi teori dengan mengadaptasikan teori empat P Rhodes dalam kreativitas dan teori garap Rahayu Supanggah.
E. Landasan Teori Buku “Kreativitas dan Keberbakatan” yang ditulis Utami Munandar menjelaskan tentang konsep kreativitas dengan pendekatan konsep empat P. Konsep ini dibuat karena adanya beraneka ragam definisi tentang kreativitas, namun tidak ada satu definisi pun yang dapat diterima secara universal. Di dalam buku Utami Munandar dikutip pernyataan Rhodes (1961) seorang ilmuan yang mengkaji kreativitas. Rhodes dalam menganalisis lebih dari 40 definisi tentang kreativitas menyimpulkan bahwa pada umumnya kreativitas dirumuskan dalam istilah pribadi (person), proses, dan produk. Kreativitas dapat pula ditinjau dari kondisi pribadi dan lingkungan yang mendorong (press atau dorongan) individu ke perilaku kreatif. Rhodes menyebut keempat jenis definisi tentang kreativitas ini sebagai “Four P’s of Creativity: Person, Procces, Press, Product” (U. Munandar 2002:26). Upaya untuk dapat melihat nilai-nilai kreativitas seseorang dalam membuat karya ciptanya sangat memungkinkan untuk dibaca melalui keempat unsur dalam konsep ini.
12
Menganalisis Pribadi atau person yang kreatif adalah upaya untuk mengungkapkan sebuah keunikan pribadi atau individu dalam berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Ungkapan pribadi yang unik inilah diharapkan bisa memicu timbulnya ide-ide baru dan produk-produk yang inovatif. (U. Munandar, 2002:26). Kreativitas memang berangkat dari person atau pribadi seseorang. Beberapa ciri-ciri pribadi yang kreatif nampak terlihat pada diri Misbahudin. Misbahudin mencoba belajar dari pengalaman di masa-masa kecilnya yang suka bermain Dangngong. Ketika mulai beranjak dewasa, ia menggunakan pemikiran kreatifnya untuk menjadikan memorinya di waktu kecil tersebut sebagai bagian dalam mengaktualisasikan dirinya melalui karya di bidangnya. Salah satu hasil kreativitasnya adalah menjadikan Dangngong sebagai instrumen musik dawai dengan energi alam khususnya angin. Pribadi atau person ini akan lebih berperan untuk menganalisis tentang pribadi Misbahudin yang kreatif terkait eksplorasi Dangngong baik ditinjau dari segi kesenimanannya, pengalaman-pengalaman berkaryanya, pengalaman pentas, pengalaman belajar bermusik dan hal-hal lain yang menyangkut eksperimentasi karya-karya Dangngong. Hasil dari analisis tersebut dapat membuktikan bahwa Misbahudin merupakan seorang komposer yang mempunyai pribadi yang kreatif. Elemen konseptual dari kreativitas yang kedua adalah proses (procces). Definisi tentang proses kreatif pada dasarnya adalah mulai dari menemukan suatu masalah, penyelesaian, hingga penyampaian hasil akhir (U. Munandar 2002: 27). Menemukan masalah yang dimaksud adalah mengalami sebuah kegelisahan seperti Misbahudin ketika merespon Dangngong yang hanya dimanfaatkan
13
sebagai bunyi pertanda atau hanya digunakan sebagai aksesoris pada layanglayang, bagi Misbahudin ini adalah suatu masalah. Kemudian pada akhirnya Misbahudin melakukan penyelesaian dari masalah tersebut dengan memikirkan ide kreatif agar Dangngong mempunyai fungsi yang lain. Selanjutnya hasil akhirnya adalah bentuk nyata yang berasal dari ide kreatif wujud penyelesaian masalah tersebut. Tahap-tahap inilah yang disebut dengan definisi proses secara sederhana. Konsep kreativitas selanjutnya adalah Press (pendorong) atau dorongan dalam berproses kreatif. Dorongan bisa berasal dari pribadi (internal) dan lingkungan sekitar (eksternal). Menurut Amabile (dalam N.Colangelo, dkk. ed., 1994), kreativitas tidak hanya bergantung pada keterampilan dalam bidang dan dalam berpikir kreatif, tetapi juga pada motivasi intrinsik (pendorong internal) untuk bersibuk diri dalam bekerja, dan pada lingkungan yang kondusif (pendorong eksternal) (U.Munandar 2002: 29). Berproses kreatif memang perlu adanya dorongan baik berupa dorongan internal maupun eksternal. Ada indikasi kenapa proses kreatif Dangngong tidak dilakukan di Makassar kota kelahiran Misbahudin. Justru proses kreatif Dangngong dilakukan di Solo atau Surakarta dimana Misbahudin belajar dan berkesenian. Kasus ini tentunya menjadi indikasi adanya faktor-faktor lingkungan kesenian di Surakarta sebagai salah satu faktor pendorong eksternal yang juga melibatkan polemik pribadi (internal) Misbahudin yang akhirnya berkeinginan untuk menciptakan karya-karya Dangngong di lingkungan Surakarta.
14
Konsep kreativitas yang terakhir adalah produk. Menurut Haefele (1962, dalam U. Munandar, 1980) kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang mempunyai makna sosial. Definisi Haefele ini menunjukkan bahwa tidak keseluruhan produk-produk itu harus baru, tetapi kombinasinya. Sebagai contoh, kursi dan roda sudah ada sejak lama, tetapi gagasan pertama untuk menggabungkan kursi dan roda menjadi kursi roda merupakan gagasan yang mempunyai nilai kreatif (U. Munandar 2002: 27-28). Walaupun Dangngong atau Sendaren terdapat di beberapa daerah di Indonesia, namun pastinya akan berbeda dengan Dangngong hasil proses kreatif Misbahudin. Perbedaan ini bisa terjadi karena Dangngong merupakan wujud kreativitas Misbahudin lewat eksperimen bunyi yang mencoba diangkat menjadi sebuah musik. Proses membuat Dangngong menjadi instrumen musik tentunya ada perkembangan dari kondisi awal sebelum menjadi alat musik, baik perkembangan dari segi bentuk, bahan, dan cara membunyikannya. Konsep teoritik empat P dari kreativitas digunakan sebagai landasan kerja analisis untuk melakukan penelitian tentang kreativitas Misbahudin. Kreativitas dari Misbahudin terkait temuannya yaitu alat musik Dangngong dapat ditinjau dari perspektif empat P yaitu (1) Pribadi atau person ini menyangkut tentang pribadi kreatif Misbahudin. Pribadi yang kreatif tersebut bisa dilihat dari segi kesenimanannya, pengalaman-pengalaman berkaryanya, pengalaman pentas, pengalaman belajar bermusik dan hal-hal lain yang menyangkut karya Dangngong. (2) Proses (procces), hal ini berhubungan dengan mengkaji proses yang dilalui Misbahudin yang antara lain dimulai dari melihat Dangngong,
15
bermain Dangngong, mendapat inspirasi eksperimen, melakukan ekspedisi eksperimental, hingga membuat komposisi. (3) Pendorong (Press) ini faktorfaktor internal dan eksternal yang mendorong Misbahudin memproduksi karyakarya Dangngong. Dan (4) Produk (Product), merupakan hasil akhir dari proses kreatif yang berupa alat musik dan bentuk sajian komposisi. Teori kretivitas menurut Rhodes ini dijadikan landasan teori untuk membedah rumusan masalah bagaimana pengalaman dan proses Misbahudin dalam menemukan ide-ide kreatif dalam karya Dangngong, sehingga pada akhirnya muncul sebuah produk alat musik Dangngong dan komposisi penyajian alat musik ini. Sebuah proses kreatif dan komposisi tidak lepas dari konsep garap, maka penulis juga akan merujuk konsep garap dari Rahayu Supanggah. Ini bertujuan untuk membantu menganalisis karya Dangngong yang merupakan proses kreatif dari Misbahudin. Seperti yang dipaparkan oleh Rahayu Supanggah bahwa untuk bagian setelah proses penciptaan, yakni proses penggarapan. Garap adalah proses komposisi sebuah musik. Menurut Supanggah, garap adalah rangkaian aktivitas, meramu, mengolah kesenian atau tata suara dalam sebuah sistem. Istilah garap juga terdapat dalam dunia pertunjukan atau kekaryaan, yang melibatkan lebih dari satu seniman. Dalam dunia pertunjukan tari, pedalangan, teater sering juga konsep garap diberlakukan (R. Supanggah, 2005: 8). Garap adalah cara pendekatan yang dapat diberlakukan pada kerja penciptaan ataupun penyajian karawitan Jawa. Tidak tertutup kemungkinannya bahwa konsep garap juga dapat diberlakukan pada dunia seni pertunjukan
16
Indonesia pada umumnya (R. Supanggah, 2005: 8). Unsur-unsur garap menurut Rahayu Supanggah adalah sebagai berikut:
A. Ide garap B. Proses garap yang terdiri dari 1. Bahan garap 2. Penggarap 3. Prabot garap 4. Sarana garap 5. Pertimbangan garap 6. Penunjang garap C. Tujuan garap D. Hasil garap ABCD adalah unsur-unsur garap yang terintegrasi atau terpadu menjadi satu kesatuan konsep. Antar unsur tersebut terjalin hubungan yang erat, satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan menentukan (R. Supanggah, 2005: 8-9). Tahap setelah memunculkan ide kreatif dalam sebuah proses kreatif adalah ide garap. Ide garap menurut Rahayu Supanggah adalah gagasan yang ada pada pikiran seniman yang mendasari garap, terutama dalam proses penciptaan seni. Ide garap dapat diperoleh seniman penggarap dari manapun, dimanapun, dalam bentuk apapun (termasuk permasalahan yang sedang dipikirkan seperti kerisauan, keprihatinan, kepedulian, keterpaksaan) dan melalui cara apapun, melalui pengalaman empirik, membaca buku, ilham, mimpi, melihat pertunjukan, di kamar kecil, di pasar, melihat perempuan cantik, renungan, termasuk juga cita-cita
17
dari pengkarya seperti mengharapkan cinta kasih atau simpati dari orang atau pihak lain (R. Supanggah 2005: 9). Proses garap terdiri dari beberapa tahap. Tahap yang pertama adalah menentukan bahan garap. Bahan garap, adalah materi dasar, bahan pokok atau bahan mentah yang akan diacu, dimasak atau digarap oleh seseorang atau sekelompok musisi (seniman) dalam sebuah penyajian musik (R. Supanggah 2005: 9). Melihat proses kreatif Misbahudin dalam eksplorasi Dangngong, bahanbahan untuk membuat Dangngong merupakan bahan yang akan digarap oleh Misbahudin sesuai dengan ide garap yang mengilhaminya. Bahan garap disini adalah perpaduan antara komposisi Dangngong dengan komposisi-komposisi berikutnya, yang ternyata dalam setiap komposisi penyajian karya Dangngong mengalami perubahan atau pengembangan. Komposisi Dangngong yang pertama akan menjadi materi dasar atau bahan pokok yang akan digarap lagi oleh Misbahudin. Melalui perjalanan ekspedisi ke laut dan ke gunung, Dangngong ini mengalami perubahan atau pengembangan dari satu tempat ke tempat yang lain. Tahap kedua adalah Penggarap. Yang dimaksud penggarap adalah seorang seniman atau penyusun (pencipta atau pengubah) sebagai pelaku garap (R. Supanggah 2005: 10). Dalam hal penggarap, seniman merupakan elemen yang sangat penting. Tanpa ada seniman, suatu bentuk sajian pastinya tidak akan terwujud. Pada karya Dangngong ini, Misbahudin berlaku sebagai penggarap atau Senimannya. Beberapa hal yang juga ikut berperan membentuk kesenimanan atau mempengaruhi gaya berkarya adalah keturunan (keturunan bisa dari bapak-ibu atau kakek-nenek), bakat, pendidikan, dan lingkungan.
18
Tahap ketiga dalam proses garap adalah perabot garap. Alat yang saya maksud adalah benda fisik yang berupa alat/instrumen musik yang digunakan oleh para musisi sebagai sarana mengungkapkan perasaan atau gagasan musikalnya lewat media bunyi/suara (R. Supanggah, 2005: 12). Pada proses kreatif yang terjadi dalam karya-karya Misbahudin, Dangngong merupakan perabot garap yang berperan sebagai wadah penyalur ide kreatif Misbahudin. Tahap keempat dalam proses garap adalah sarana garap. Sarana garap yang saya maksud adalah perangkat (set) lunak yang tidak kasat indera. Sarana garap ini berupa konsep musikal atau aturan atau norma yang telah terbentuk oleh tradisi (R. Supanggah, 2005: 14). Konsep musikal yang ada pada Dangngong pastinya juga dipikirkan dalam proses kreatif Misbahudin. Untuk mengetahui konsep musikal ini akhirnya diperlukan teori garap, lebih spesifiknya ke arah proses garap pada tahap keempat yaitu sarana garap. Salah satu cara untuk menemukan konsep musikal juga melalui kegiatan ekspedisi, dimana dalam kegiatan ini muncul ide-ide baru untuk menggarap lagi Dangngong dan mengembangkan pola-pola yang sudah ada. Tahap kelima dalam proses garap adalah pertimbangan garap. Yang saya maksudkan pertimbangan garap adalah beberapa hal yang mendorong atau menjadi pertimbangan utama dari penggarap atau musisi untuk melakukan garap, menyajikan suatu komposisi/gendhing melalui sajian ricikan yang dimainkannya atau vokal (R. Supanggah, 2005: 20). Pada karya Dangngong, pertimbangan garap lebih kepada temuan-temuan ketika melakukan ekspedisi.
19
Temuan-temuan tersebut seperti kondisi angin, eksplorasi Dangngong dan hal-hal disekitar Misbahudin yang menjadi pertimbangannya dalam menyajikan karya Dangngong. Tahap keenam dalam proses garap adalah penunjang garap. Penunjang garap adalah hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan urusan kesenian apalagi musikal. Namun, dalam kenyataannya sangat sering mempengaruhi pengrawit dalam menyajikan atau melakukan garap gendhing. Penunjang garap dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu, internal, eksternal, dan motivasi (R. Supanggah, 2005: 21-22). Penunjang garap ini bisa disimpulkan seperti sebuah dorongan baik internal maupun eksternal. Dorongan internal lebih dipengaruhi oleh faktor kejiwaan seperti salah satu contohnya adalah kondisi pikiran yang akan berpengaruh pada keinginan komposer untuk menggarap konsep. Ini mungkin menjadi salah satu alasan juga mengapa Misbahudin melakukan kegiatan ekspedisi mencari tempat yang kondusif untuk mengembangkan Dangngong. Dorongan eksternal lebih kepada teman-teman Misbahudin yang terlibat dalam kegiatan ekspedisi dan proses kreatif Misbahudin. Motivasi juga bisa didapat dari teman-teman dekat Misbahudin yang mendukung proses kreatifnya. Pada intinya semua ini berkaitan erat, saling mempengaruhi dan saling bergantungan dari dorongan internal maupun eksternal. Konsep garap, setelah proses garap adalah tujuan garap. Satu lagi hal yang menjadi acuan seniman atau pengrawit, terutama bagi pencipta/komponis yang sangat menentukan garap adalah maksud dan atau tujuan disusun atau disajikannya suatu karya atau gendhing dalam konteks ruang dan waktu tertentu
20
(R. Supanggah, 2005: 23). Misbahudin dalam melakukan proses kreatif eksplorasi Dangngong tentunya ada tujuan yang ingin dicapai Misbahudin. Konsep garap pada tahap ini fokusnya akan mencari data tentang tujuan-tujuan yang mendorong Misbahudin berproses kreatif. Konsep garap selanjutnya adalah Hasil Garap. Pilihan, ramuan, ukuran, proses, dan olahan unsur-unsur garap yang baru saja kita bahas itulah yang akhirnya yang menghasilkan gendhing (R. Supanggah, 2005: 24). Pada proses kreatif Misbahudin, hasilnya berupa alat musik Dangngong dan komposisi penyajian karya Dangngong. Proses kreatif yang dilakukan Misbahudin, merupakan proses yang sampai sekarang masih terus dilakukan dan belum pada tahap akhir. Proses-proses ini adalah sebuah terminal yang menghantarkan ke terminal yang lainnya. Artinya tahapan-tahapan yang telah dilalui Misbahudin saling berkesinambungan dengan beberapa hasil yang sudah dicapai dan terus berkembang. Walaupun proses kreatif Misbahudin sudah menghasilkan bentuk alat musik dan karya pementasan Dangngong, namun eksperimen alat musik Dangngong ini masih terus berjalan. Dapat disimpulkan bahwa sebuah proses kreatif ternyata tidak terpaku pada waktu. Dari perjalanan berproses tidak menutup kemungkinan seseorang mendaparkan inspirasi baru atau ide baru yang diilhami dari apa yang dilihat disekitar kehidupan komposer. Sehingga hasil dari proses kreatif pun akan terus berkembang. Ini yang juga terjadi pada Dangngong yang sampai sekarang masih belum berhenti prosesnya. Seperti yang dipaparkan Sadra dalam tulisan yang berjudul “Lorong Kecil Menuju Susunan Musik” dalam jurnal Menimbang
21
Pendekatan Pengkajian dan Penciptaan Musik Nusantara (ed) Waridi. Di buku ini ditulis bahwa dalam sebuah proses, seorang komposer tidak akan dapat secara pasti menyebutkan keluasan berproses bagi sebuah ciptaan. Waktu (kala) seolah menjadi tak terhitung dan berlompatan diantara tempat (desa) dan keadaan (patra). Bisa panjang juga bisa pendek. Relativitas itu menempatkan komponis (manusia) sebagai pusat akal-budi. Pada mulanya mungkin benar bahwa ide atau gagasan itu muncul secara tiba-tiba, tetapi kita tidak dapat begitu saja menafikan adanya proses pertumbuhan.
F. Metode Penelitian
Penelitian untuk mengungkap kreativitas Misbahudin dalam eksperimen alat musik Dangngong ini, menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan sumber pustaka, wawancara, dan pengamatan. Mengutip dari buku Nyoman Kutha yang berjudul “Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya” tahun 2010, pada buku tersebut terdapat pernyataan Bogdan dan Biklen menyimpulkan ciri-ciri metode kualitatif sebagai berikut: (1) penelitian berlangsung dalam seting alamiah, di sumber data, sehingga penelitian cenderung lama, dilakukan secara terus menerus. (2) peneliti langsung berfungsi sebagai instrumen, dengan konsekuensi terjadinya partisipasi, refleksi, dan imajinasi peneliti. (3) hasil penelitian lebih bersifat deskripsi, narasi melalui kata-kata. (4) analisis data secara induktif, dengan mempertimbangkan relevansi berbagai data yang ditemukan di lapangan. (5) penelitian lebih pada proses dibandingkan dengan hasil, sehingga menekankan pada makna dibandingkan
22
dengan arti, gejala-gejala di balik data (Nyoman Kutha Ratna, 2010: 102). Mencermati kutipan buku tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini cocok menggunakan metode kualitatif. Diharapkan penelitian ini dapat menggali data secara mendalam dan sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Selain memakai metode kualitatif, penelitian ini juga menggunakan metode etnografi. Ini bertujuan agar dapat melihat secara langsung dan mendalami apa yang terjadi pada kreativitas Misbahudin dan tahap-tahap dalam menciptakan karya Dangngong. Metode etnografi bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis yang mendalam terkait data-data yang bersifat kontekstual diluar analisis tekstualnya. Adapun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan untuk mengupas tentang kreativitas Dangngong sebagai berikut;
1. Penyusunan Desain Penulisan
Sebelum melakukan penelitian, yang harus dikerjakan adalah menyusun desain penulisan. Penyusunan desain penulisan ini merupakan hasil dari obeservasi awal menentukan obyek penelitian dan alasan memilih obyek. Ketertarikan penulis untuk meneliti kreativitas Misbahudin dalam eksplorasi Dangngong berawal dari pengalaman peneliti yang terlibat secara langsung pada proses pementasan dalam acara BMB (Bukan Musik Biasa) pada bulan Maret 2011. Waktu itu peneliti terlibat dalam beberapa proses pembuatan Dangngong dan pelatihan membuat komposisi Dangngong.
23
Dari situ peneliti menjadi penasaran tentang bagaimana Misbahudin menemukan ide dan berkreativitas mengeksplorasi Dangngong tersebut. Dengan keterlibatan peneliti pada proses tersebut, peneliti sedikit merasakan dan mengetahui jalannya proses kreatif dari Misbahudin. Hal ini membuat peneliti ingin mengetahui aspekaspek yang mendasar dalam proses kreatif dari eksperimen bunyi yang menghasilkan alat musik Dangngong. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui hal-hal diluar komposisi Dangngong yang menginspirasi membuat alat musik tersebut baik pada aspek internal maupun eksternal. Adapun desain penulisan terkait kreativitas Misbahudin adalah sebagai berikut: (1) Latar belakang masalah. (2) Rumusan masalah. (3) Tujuan dan manfaat penelitian. (4) Tinjauan pustaka. (5) Landasan teori. (6) Metode penelitian yang meliputi studi pustaka, wawancara, Perticipant Observation, analisis data. (7) Sistematika penulisan. Desain ini yang menjadi acuan untuk melakukan pengumpulan data. Dari rumusan masalah yang sudah dirumuskan yang berpijak pada Observasi awal, kemudian melakukan tinjauan pustaka untuk menambah referensi. Selanjutnya menentukan landasan teori dan menggunakan metode-metode penelitian yang sesuai dengan objek penelitian.
2. Pengumpulan Data
Langkah awal yang dilakukan penulis adalah mengumpulkan data tentang Dangngong dan beberapa data tentang Misbahudin sebagai objek dalam penelitian ini. Data ini yang nantinya akan memperkuat asumsi-asumsi dari penulis yang sedikit sudah dibahas di latar belakang.
24
Sudah dijelaskan di atas, bahwa Dangngong sudah tidak asing lagi dan ada dibeberapa daerah di Indonesia. Perlu adanya pengumpulan data tentang sejarah Dangngong tersebut, bentuknya, cara memainkannya, pembuatannya, dan fungsi dari Dangngong pada umumnya. Riset sejarah ini yang nantinya membuktikan kreativitas Misbahudin. Data-data sejarah ini dihubungkan dengan hasil dari Dangngong setelah mengalami proses kreatif Misbahudin, sehingga akan terlihat perbedaan atau perubahannya. Untuk mengumpulkan data yang relevan dengan objek penelitian ini, penulis juga melakukan studi pustaka dengan cara menelaah dan menyaring inti sari sumber-sumber tertulis. Sumber pustaka yang berkaitan dengan kreativitas dan proses kreatif baik berupa makalah, hasil laporan penelitian, dan buku akan dikumpulkan dan disaring informasinya. Setelah tersaring intisari dari sumber pustaka tersebut akan diijadikan landasan pemikiran untuk melakukan analisis. Mengungkap sebuah kreativitas tentunya diperlukan teori-teori kreativitas dan teori penciptaan. Langkah selanjutnya setelah mengumpulkan data tentang Dangngong, penulis membaca referensi tentang teori yang sekiranya bisa membantu mengungkap fenomena kreativitas dari Misbahudin. Beberapa teori yang menurut penulis bisa digunakan dalam penelitian ini adalah teori Empat P dari Rhodes dan teori Garap Rahayu Supanggah. Metode dalam sebuah penelitian memang sangat diperlukan agar data yang dihasilkan bisa maksimal dan akurat. Metode inilah yang mengatur jalannya penelitian agar bisa memahami obyek yang diteliti. Berbicara masalah sebuah proses tentunya ada tahapan-tahapan yang dilalui dari proses tersebut.
25
Untuk mengetahui tahapan dari proses tersebut diperlukan pengamatan secara langsung (observasi), maka dalam penelitian ini juga dilakukan pengamatan secara langsung. Data-data yang diperlukan dalam rangka menguak kreativitas Misbahudin terkait alat musik Dangngong, akan dikumpulkan dan diseleksi secara kualitatif. Untuk mendapatkan data yang banyak namun relefan dengan objek penelitian, penulis melakukan pencarian data dengan beberapa sumber data. Adapun sumbersumber data tersebut bisa didapat dari Observasi, Studi Pustaka, Browsing Internet, dan wawancara. Observasi dilakukan untuk merangsang asumsi-asumsi dasar terkait Dangngong dan kreativitas Misbahudin, sehingga masalah atau persoalan yang perlu diselesaikan dapat dirasakan oleh peneliti. Observasi juga bisa dilakukan dengan cara pengamatan terlibat (Perticipant Observation). Pada penelitian ini juga akan dilakukan pengamatan terlibat untuk menambah bahan data dan memperoleh data sebayak-banyaknya yang sesuai dengan objek. Dengan melakukan pengamatan terlibat ini penulis ingin ikut merasakan dan mengetahui jalannya proses kreatif dari Misbahudin sehingga dapat menjelaskan aspek-aspek yang mendasar dalam kreativitas yang diwujudkan melalui eksplorasi instrumen Dangngong. Selain itu penulis juga ingin mengetahui hal-hal diluar kreativitas Dangngong yang menginspirasi Misbahudin melakukan kerja kreatif baik pada aspek internal maupun eksternal. Studi pustaka dilakukan untuk mencari referensi-referensi yang relevan dengan kreativitas Misbahudin terhadap instrumen Dangngong, dimana buku-
26
buku atau laporan penelitian yang relevan tersebut dijadikan rujukan untuk merangsang proses berfikir dalam mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian. Disamping itu juga untuk mencari teori-teori yang dapat dipakai untuk menggali data tentang kreativitas Misbahudin. Studi pustaka dilakukan di perpustakaan ISI Surakarta. Peneliti merasa koleksi pustaka ISI Surakarta mencukupi unutk kebutuhan penelitian ini. Browsing internet dilakukan untuk mencari sumber ilmiah dalam media internet, selain itu juga untuk menambah referensi terkait Dangngong. Data yang berkaitan langsung ataupun yang bersifat mendukung akan dijadikan data penguat terkait kreativitas Dangngong. Wawancara dilakukan untuk mencari data-data yang valid terhadap objek yang memang nara sumbernya adalah orang yang bersangkutan terhadap objek. Disamping itu juga untuk mencari bukti-bukti atau mencari jawaban atas asumsi dasar dari penulis sehingga hal-hal yang mendasar dari kreativitas Misbahudin bisa terkuak dan dapat dibuktikan. Data-data yang diperoleh kemudian disalin menjadi tulisan. Sebuah penelitian tidak cukup hanya melakukan pengamatan saja, karena data-data yang didapat dari pengamatan mungkin berbeda dengan asumsi peneliti. Akhirnya perlu adanya wawancara untuk mengkonfirmasi ulang data yang didapat dari pengamatan. Masih banyak data-data yang tersembunyi yang tidak bisa didapat hanya dengan cara pengamatan saja, mungkin data-data yang sifatnya mendasar bisa didapat dari wawancara. Data-data hasil wawancara bisa lebih keranah ide atau gagasan tergantung pola pikir komposer, hal ini tidak bisa dilihat
27
oleh mata sehingga perlu adanya wawancara. Sedangkan data hasil pengamatan adalah wujud nyata dari hasil pemikiran komposer. Pemilihan narasumber tentunya juga tidak sembarangan. Akan tetapi narasumber dipilih atas dasar timbangan kompetensi dan relevansinya di dalam kasus penelitian. Pada penelitian ini, peneliti memilih nara sember sebagai berikut:
1. Misbahudin (narasumber utama) Sebagai subjek penelitian Misbahudin menjadi kunci untuk memperoleh data seputar pengalaman hidup, kekaryaan, dan bentuk-bentuk kreativitas yang pernah dia alami.
2. Ilham Mappatoya – Teman dekat Misbahudin (narasumber pendukung). Sebagai teman dekat yang sama-sama dari Makassar, Ilham banyak membantu menjelaskan sisi personal, pengamatan atas perjalanan hidup dan kekaryaan Misbahudin. Selain itu, Ilham juga memiliki pengalaman terlibat dalam kerja kreatif Misbahudin.
3. Gondrong Gunarto – Komposer musik kontemporer yang juga memperhatikan Misbahudin (narasumber pendukung).
28
Sebagai komponin kontemporer muda yang diperhitungkan, pengamatan Gondrong Gunarto dibutuhkan untuk membantu menilai kualitas kreativitas Misbahudin.
4.
Halim HD – Pengamat seni pertunjukan (narasumber pendukung). Sebagai seorang pengamat dan kurator seni, Halim HD memiliki kredibilitas dan kepekaan terhadap amatan seni. Pengakuan-pengakuannya tentang Misbahudin dan karya Dangngong dianggap penting untuk tercantum dalam penelitian ini.
5. Joko S. Gombloh – Pengamat seni pertunjukan, penulis pada media cetak dan musisi kontemporer (narasumber pendukung). Posisi Joko serupa dengan Halim HD. Kredibilitasnya sebagai pengamat seni dimanfaatkan untuk memperkuat validitas data penelitian yang tentunya melalui pengakuan-pengakuannya tentang kreativitas Misbahudin.
Wawancara yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan cara dengan tidak terkonsep. Maksudnya, peneliti tidak harus membuat semacam draf pertanyaan yang nantinya dibaca saat melakukan wawancara. Metode semacam ini bertujuan agar ketika proses wawancara dapat mengajukan pertanyaanpertanyaan secara bebas, luwes tanpa harus membaca draf atau catatan-catatan.
29
Bisa dikatakan metode yang digunakan adalah dengan cara mengobrol secara bebas. Sebelum melakukan proses wawancara terlebih dahulu peneliti memahami data yang diperlukan dengan cara bertahap. Contohnya, hari pertama wawancara tentang Dangngong, hari selanjutnya wawancara tentang biografi Misbahudin, dan selanjutnya data-data yang diperlukan lainnya dengan bertahap. Walaupun sudah direncanakan dari awal, namun pada saat proses wawancara tetap dilakukan dengan cara mengobrol bebas dan tidak menutup kemungkinan data yang didapat pada wawancara pertama juga terdapat data yang akan menjadi bahan pada wawancara selanjutnya. Wawancara yang terkonsep, atau dengan cara membaca draf pertanyaan akan mengakibatkan situasi yang kaku dan kurang alami, sehingga terkadang data yang dipaparkan oleh narasumber kurang akurat bahkan bisa dibuat-buat. Terkadang jika kondisi narasumber orang yang kurang menyadari sebuah wawancara, narasumber bisa menjadi takut. Sehingga wawancara dengan model mengobrol bebas diperlukan dalam penelitian ini. Perekaman audio wawancara dilakukan peneliti untuk membantu proses penelitian. Rekaman audio wawancara berguna sebagai tindakan mengabadikan data dan menghindari kelupaan yang mengakibatkan terlewatkannya data penting. Di dalam merekam wawancara, peneliti hanya menggunakan Handphone (Samsung) yang memiliki fasilitas untuk merekam. Selain perekaman, peneliti juga melakukan aktivitas transkripsi hasil wawancara.
30
Selain berguna untuk pengabadian data, transkripsi wawancara juga membantu dalam proses pengolahan data khususnya untuk tahap klasifikasi data.
3. Studi Analisis
Pada penelitian ini, penulis melakukan beberapa tahapan. Tahapan tersebut Antara lain mengolah data yang meliputi klasifikasi dan uji validitas data. Tahapan selanjutnya adalah analisis yang meliputi interpretasi dan penarikan kesimpulan atas data. Pengumpulan data dari studi pustaka, wawancara dan pengamatan terlibat dikelompokkan sesuai dengan kategori sub bab dalam sistematika penulisan. Sebelumnya, data tersebut telah diuji validitasnya melalui re-check dan crosscheck kepada narasumber terpilih. Data yang sudah tersusun dalam kategori, kemudian dikembangkan dengan tafsir dan elaborasi dengan data-data lain yang saling mendukung. Hasil akhir dari proses analisis adalah penemuan kesimpulan pada masing-masing sub pembahasan yang pada akhirnya menjadi jawaban atas masalah penelitian.
4. Penyusunan Laporan
Setelah semua data-data sudah terkumpul, langkah selanjutnya adalah penyusunan laporan. Penyusunan laporan ini berbentuk tulisan dalam bentuk Skripsi. Tahap ini sangatlah penting mengingat sebuah data yang berbentuk tulisan sangat diperlukan untuk menambah ilmu pengetahuan, sekaligus sebagai
31
alat dokumentasi. Jika penelitian hanya berhenti pada tahap meneliti saja, tanpa dilanjutkan kedalam tahap penulisan laporan maka data yang didapat akan susah untuk dirumuskan dan dijelaskan kepada khalayak umum. Akan lebih mudah dipahami oleh khalayak umum ketika sebuah hasil penelitian disajikan dalam bentuk tulisan, sehingga manfaat dari penelitian tersebut bisa dirasakan oleh pembaca. Sebuah penelitian membutuhkan media komunikasi dengan pihak lain salah satunya adalah media berbentuk tulisan. Sehingga dengan membaca hasil penelitian akan dapat menjadi bahan referensi atau bahkan merangsang penelitian yang sama dan melengkapi penelitian yang belum terjamah.
G. Sistematika Penulisan
Laporan penelitian ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut; Bab I : Membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian yang meliputi studi pustaka, wawancara, Perticipant Observation, analisis data dan sistematika penulisan. Bab II : Berkisar pada wawasan dan perkembangan bunyi-bunyian angin yang meliputi bunyi dalam kehidupan manusia, khasanah bunyi-bunyian angin, dan kreativitas pengembangan teknologi alat penghasil bunyi angin. Bab III : Membahas tentang Misbahudin dan karya Dangngong yang meliputi perjalanan kesenimanan Misbahudin, pengakuan terhadap karya-karya
32
Dangngong Misbahudin, instrumen Dangngong karya Misbahudin, dan deskripsi sajian karya komposisi musik Misbahudin dengan instrumen Dangngong. Bab IV : Membahas tentang elemen dan faktor pendorong kreativitas Misbahudin dalam karya-karya Dangngong meliputi Misbahudin pribadi yang kreatif, proses kreatif Misbahudin dalam eksplorasi Dangngong, pendorong dalam kreativitas Misbahudin, dan produk kreatif yang dihasilkan Misbahudin. Bab V : Membahas tentang kesimpulan dan daftar acuan.
33
BAB II WAWASAN DAN PERKEMBANGAN BUNYI – BUNYIAN ANGIN
Pada konsep penelitian ini, kedudukan bab ini adalah mewadahi beberapa pengetahuan dasar yang berguna untuk memahami kasus penelitian. Kasus pada kreativitas Misbahudin tidak akan mudah dipahami mengingat kreativitasnya di bidang musik kontemporer belum banyak dilakukan oleh komponis-komponis Indonesia sebelumnya. Beberapa pengetahuan dasar yang butuh dijelaskan adalah (1) wawasan mengenai soundscape (pemandangan bunyi atau bunyi dalam lingkungan hidup manusia), (2) wawasan mengenai soundscape yang secara spesifik melibatkan tenaga angin seperti yang dilakukan Misbahudin dengan Dangngong-nya, dan (3) wacana kreativitas seniman-seniman soundscape di luar Indonesia yang mampu memberi pemahaman mengenai bentuk kreativitas yang dilakukan di bidang ini. Misbahudin dengan karya Dangngong-nya, menurut peneliti berada di dalam tiga wilayah pengetahuan di atas. Kreativitas yang dilakukan Misbahudin selalu berhubungan dengan bunyi-bunyian angin dan pengembangan kreativitas musik di bidang sounscape. Mengingat keterbatasan data ilmiah tentang soundscape dan kreativitas yang terlibat di dalamnya, peneliti tidak bisa menghadirkan sumber data pustaka dan hasil-hasil penelitian tentang soundscape di dalam sub bab ini. Peneliti hanya mampu menghadirkan wawasan dari artikel populer dari situs internet sebagai bahan untuk pembahasan pada bab ini. Meski validitasnya dipertanyakan, namun peneliti menganggap bahwa data-data tersebut mencukupi untuk kebutuhan dalam menjelaskan pengetahuan dasar tentang soundscape dan kreativitas di dalamnya.
34
Di dalam penyampaian pengetahuan dasar tentang soundscape dalam bab ini, peneliti tidak melakukan analisis atau elaborasi dengan kasus kreativitas Misbahudin. Penilti hanya melakukan pemaparan sumber data yang dianggap penting sebagai pengetahuan dasar. Selebihnya, peneliti melakukan penataan data supaya narasi pengetahuan dasar tentang soundscape dapat dihayati pembaca.
A. Bunyi dalam Kehidupan Manusia
Bunyi adalah sebuah gelombang mekanik longitudinal yang menyebar melalui media material-material tertentu5. Udara dan air merupakan dua contoh material yang bekerja sebagai media perantara atau penyalur bunyi, dari sumber bunyi menuju ke telinga manusia. Wujud bunyi berupa getaran-getaran partikel yang berjalan melalui media perantara tersebut. Tanpa adanya material perantara, maka bunyi tidak akan bisa menyebar dan didengarkan oleh telinga manusia. Telinga manusia dapat mendengar bunyi bila gelombang bunyi tersebut mempunyai frekuensi 20 – 20.000 Hertz (siklus per detik). Proses terdengarnya bunyi oleh telinga manusia dimulai dari peristiwa gelombang bunyi yang datang melalui material perantara, dilanjutkan dengan proses gelombang bunyi tersebut menggetarkan gendang telinga kemudian impuls getaran tersebut dihantarkan ke indera dan pusat pendengaran6.
5
Sumber : http://file.upi.edu/Direktori/fpmipa/jur._pend._fisika/195708071982112wiendartun/bab_13-bunyi.pdf. 6
Sumber : http://afrikayaraya.wordpress.com/2011/01/22/pengertian-bunyi-dan-kecepatan-bunyipengetahuan-pendidikan-dasar-mengenai-bunyi-ilmu-sains-fisika/.
35
Bunyi lekat dalam kehidupan sehari-hari, bahkan tidak dapat dipisahkan dari setiap aktivitas manusia. Sadar atau tidak disadari bunyi selalu ada dalam ruang dan waktu yang menyertai manusia. Bisa dikatakan bahwa, bunyi selalu ada dimanapun manusia berada dan di setiap waktu. Selain di lingkungan hidup manusia, sesungguhnya bunyi juga bisa muncul dari aktivitas tubuh manusia. Mulai dari aktivitas manusia bernafas, perut yang lapar, berbicara, dan aktivitas ketubuhan yang lain terkadang juga menimbulkan bunyi. Bunyi dari aspek ketubuhan manusia bisa timbul dari sesuatu yang disengaja - seperti berbicara, memukul atau menggetarkan suatu benda maupun aktivitas alamiah, seperti bernafas, menguap, bersin, dan lainnya. Bunyi juga bisa muncul dari aktivitas alamiah di luar gejala ketubuhan manusia. Lingkungan hidup manusia sesungguhnya juga dipenuhi oleh bunyi. Aktivitas alam seperti, hembusan angin, ombak lautan, gunung meletus, gerakan daun-daun yang tertiup angin, dan lain sebagainya sesungguhnya dilengkapi fenomena bunyi pernyertanya. Selain fenomena alam, bunyi juga dihadirkan oleh berbagai macam benda yang melingkupi hidup manusia. Bunyi mesin mobil, pabrik, kereta api, pesawat, sepeda motor, dan mesin lainnya, juga bunyi yang muncul dari aktivitas elektronik seperti bel rumah, pananda palang pintu kereta api, dering telepon, dan banyak lagi lainnya. Bunyi-bunyian yang tercipta dari alam maupun bunyi lainnya yang melingkupi kehidupan manusia, beberapa diantaranya dibutuhkan oleh manusia untuk membantu hidupnya. Misalnya para petani membutuhkan bunyi-bunyian untuk membantu mengusir hama dan tikus yang mengganggu tanaman sawah.
36
Salah satunya dengan cara memasang kaleng bekas yang digantung disebuah tiang atau bentangan tali, dibunyikan dengan cara ditarik atau cukup dengan menunggu hembusan angin, supaya hama burung dan tikus tidak memakan tanamannya. Selain itu, masyarakat di desa bahkan di kota membutuhkan bunyi kenthongan sebagai petanda-petanda tertentu, misalnya sebagai petanda adanya kebakaran, gerhana bulan, banjir, adanya pencurian, kematian, juga petanda waktu sholat dan lain sebagainya. Hingga yang lebih kompleks, seorang komposer membutuhkan bunyi untuk komposisi musik yang digarapnya. Bunyi terkadang menjadi bahan dasar seorang komposer dalam membuat suatu komposisi musik. Bunyi di dalam dunia musik merupakan materi pokok yang akan digarap menjadi satu bentuk karya musik. Musik dapat diartikan sebagai kumpulan bunyi yang sudah memasuki tahap kompositoris walaupun dengan cara yang sederhana, contohnya orang memukul suatu benda dengan ritme-ritme tertentu, orang bertepuk tangan dengan menata pola tepuk tangannya, orang bersuara dengan nada-nada tertentu, dan lain sebagainya. Secara sederhana musik bisa dipahami sebagai sebuah tatanan bunyi yang dilakukan dengan kesengajaan. Ada beberapa sumber bunyi yang bisa menjadi sebuah musik, contohnya sumber bunyi yang berasal dari instrumen musik secara langsung, bisa juga sumber bunyi yang berasal dari alam (imitasi dari suara alam yang sudah diolah kembali), dan sumber bunyi yang berasal dari anggota tubuh manusia salah satunya adalah vokal. Pada dasarnya bunyi apapun bisa menjadi sebuah musik dengan menggarap komposisinya.
37
Selain manusia, sesungguhnya dalam kehidupan hewan juga berinteraksi dengan bunyi. Beberapa hewan-hewan laut seperti Lumba-lumba, Hiu, dan Paus menggunakan gelombang bunyi untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Melalui bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh hewan-hewan ini, bisa diketahui oleh sesamanya tentang kondisi yang sedang terjadi di sekitar mereka misalnya, diketahui adanya mangsa, bahkan bahaya yang menganncam mereka7. Beberapa penjabaran tentang bunyi-bunyi di atas menunjukkan bahwa, keberadaan bunyi sangat penting di alam semesta. Bunyi menjadi pelengkap atas keindahan alam namun juga dibutuhkan untuk membantu beberapa sisi kehidupan manusia dan juga hewan.
B. Khasanah Bunyi – bunyian Angin
Salah satu fenomena bunyi-bunyian yang menarik untuk dibahas dalam lingkup kehidupan manusia adalah bunyi-bunyian yang berasal dari gejala energi angin. Bunyi-bunyian angin adalah bunyi yang timbul dengan memanfaatkan energi angin, melalui perantara suatu alat tertentu sebagai media penerima energi angin sehingga mempertegas adanya bunyi yang ditimbulkan dari energi angin tersebut. Alat bunyi-bunyian angin, diciptakan untuk mempermudah telinga manusia menikmati bunyi-bunyi angin. Disadari atau tidak, sejak jaman dahulu manusia sudah memahami akan keberadaan angin dan pentingnya angin dalam kehidupannya.
7
Sumber : http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._FISIKA/195708071982112WIENDARTUN/bab_13-Bunyi.pdf.
38
Pada kenyataannya manusia memiliki keterbatasan indra penglihatannya untuk melihat angin. Bunyi merupakan media manusia untuk menghayati keberadaan angin. Manusia menghayati adanya angin ketika bersentuhan dengan bendabenda, misalnya pohon, dedaunan atau benda-benda yang lain. Ketika angin bersentuhan dengan benda-benda itu gejala bunyi muncul sebagai penanda bahwa angin itu ada dan diakui keberadaannya. Selain diakui keberadaanya, bunyibunyian yang ditimbulkan oleh energi angin tersebut dinikmati dan terkadang ditunggu kedatangannya oleh manusia. Misalnya ketika petani sedang di sawah, terkadang menunggu adanya angin yang bersentuhan dengan padi. Fenomena bunyi yang dihasilkan dari benturan angin dengan padi menghasilkan bunyi yang bisa menjadi penghibur petani di sawah. Keberadaan angin selain sebagai pengobat gerah ketika bertani, bunyi-bunyian angin di sawah juga menyegarkan suasana lelah para petani. Sama halnya ketika kita berada di sebuah pohon yang besar, terkadang kita merasa bunyi yang dihasilkan oleh daun yang tertiup angin membuat pikiran rileks dan menyejukkan suasana. Bahkan terkadang bunyi tersebut juga dimanfaatkan oleh seorang komposer, penulis, hingga pelukis untuk mencari sebuah inspirasiinspirasi tertentu untuk keperluan karyanya. Ini salah satu bukti bahwa ternyata bunyi yang dimunculkan dari angin sudah dihayati oleh manusia8.
8
Pernyataan didapat dari rangkuman pengalaman pribadi peneliti ketika menikmati suasana bunyibunyian angin di sawah dan pepohonan, yang juga memiliki kesamaan dengan banyak orang pemilik pengalaman serupa.
39
Hayatan manusia terhadap bunyi-bunyian angin sebenarnya sudah terjadi sejak jaman Yunani kuno. Menurut cerita narasumber yang mengikuti sejarah bunyian-bunyian angin, raja-raja Yunani memasang sebuah dawai di jendela tempat beristirahat (kamar tidur). Ketika angin berhembus, dawai tersebut akan menghasilkan bunyi sebagai penghantar tidur raja tersebut. Raja Yunani memiliki kebiasaan tidur di lantai atas sebuah istana, sehingga kemungkinan energi hembusan angin akan lebih besar. Bunyi-bunyian angin yang dihasilkan dari dawai tersebut memberi rasa rileks sebagai penghantar tidur. Berikut adalah pernyataan wawancara narasumber. “Instrumen Ini sudah ada dijaman sebelum Masehi. Pada jaman Yunani, jadi seorang raja Yunani dia sudah menggunakan harpa ini menjadi satu instrumen hias dikala dia mau tidur dia bunyikan di jendela kamarnya, karena di Yunani kan kamarnya diatas ketinggian jadi anginnya besar” (Wawancara Misbach, 11 Maret 2013).
Dawai yang terpasang di jendela kamar raja Yunani tersebut dikenali dimasa kini sebagai instrumen harpa angin. Hal ini didapat dari sebuah referensi yang menyatakan sebagai berikut. “Named after Aeolus, the Greek god of wind in Greek mythology, the harp transforms the energy of the wind into musical sounds or “sings”. It is one of the oldest known musical instruments. Ancient Greeks made the first Aeolian Harp and according to legend, King David hung his harp in an open window to hear it being played by the wind. These harps gained popularity later during the 17th and 18th centuries in England and Germany where they were placed in castle window openings and caves. In 1785 Italian scientists attempted to use the Aeolian Harps for weather prediction”9.
9
Sumber : http://www.mohicanwindharps.com/aeolianwindharps.html. Diunduh tanggal 7 Maret 2013, pukul 19.15 WIB.
40
Dijelaskan bahwa, harpa angin merupakan alat yang mengubah energi angin menjadi energi bunyi atau juga diistilahkan sebagai sebuah nyanyian angin. Harpa angin dikenal sebagai salah satu instrumen musik tertua menurut legenda orang-orang Yunani kuno yang pertama kali membuat harpa angin. Seorang Raja yang bernama Daud mencoba menggantung kecapi atau harpa angin di jendela yang terbuka supaya angin bisa membunyikan harpa angin tersebut. Kemudian pada abad XVII hingga XVIII, di Inggris dan Jerman membuat harpa angin yang dipasang di jendela Kastil yang terbuka selain juga dipasang di sebuah gua. Di lain peristiwa Inggris dan Jerman, tahun 1785 ilmuwan Italia berusaha untuk menggunakan harpa angin untuk memprediksi cuaca yang sedang terjadi. Fenomena harpa angin dapat menjadi bukti pemahaman bahwa manusia sejak jaman Yunani kuno sudah menghayati tentang keberadaaan angin dan mendudukkannya secara fungsional. Penghayatan manusia terhadap bunyibunyian angin mendorong mereka untuk membuat alat-alat penghasil bunyi yang lebih mutakhir. Alat tersebut sengaja diciptakan untuk mempermudah orang menghayati dan menikmati fenomena bunyi-bunyian angin. Selain itu, manusia sudah mulai mendudukkan peranan bunyi-bunyian angin tersebut sebagai media memprediksi cuaca dan pencapaian relaksasi. Teknologi alat penghasil bunyi-bunyian angin berkembang hingga sekarang, bahkan di Indonesia. Di masa kini masih bisa dilihat pada masyarakat nelayan misalnya, juga menggunakan bunyi-bunyian angin sebagai alat untuk memprediksi cuaca ketika akan berlayar.
41
Bunyi-bunyian angin digunakan untuk mengenali kondisi cuaca, arah angin, dan besaran volume angin yang akan membantunya berlayar.
C. Kreativitas Pengembangan Teknologi Alat Penghasil Bunyi Angin
Pada perkembangannya, bunyi-bunyian angin semakin dihayati manusia. Salah satu buktinya adalah banyak bermunculan teknologi alat yang dihasilkan manusia untuk merespon energi angin menjadi bunyi. Teknologi alat penghasil bunyi terkadang diciptakan untuk memenuhi aspek fungsional (seperti alat prediksi cuaca, terapi, pengusir hama tanaman, pengusir roh jahat (Jepang) dan lain-lain) atau untuk keperluan artistik dan permainan saja. Salah satu alat penghasil bunyi angin yang populer di Jawa khususnya adalah Kluntungan. Sebuah rangkain bilah bambu-bambu kecil yang terpasang melingkar, pada bagian tengahnya terdapat besi yang digantung sebagai alat pukul bilah bambu tersebut. Ketika rangkaian bilah bambu itu tertiup angin, maka bilah bambu tersebut akan berbenturan dengan besi sehingga menghasilkan bunyi. Umumnya benda yang disebut Kluntungan ini dipasang di depan rumah sebagai hiasan dan juga dimanfaatkan sebagai media terapi melalui bunyi yang dihasilkan. Walaupun keberadaannya terkadang tidak terlihat penting, tetapi beberapa orang secara sadar memasangnya di depan rumah. Kluntungan, ini mudah dijumpai dan didapatkan di pasaran. Alat ini tergolong benda souvenir yang sudah lama beredar di wilayah Jawa. Di pasar souvenir, Kluntungan dijual dalam kisaran harga tiga puluh lima ribu rupiah (Rp. 35.000,-). Kepopuleran alat Kluntungan memberi pemahaman bahwa, teknologi bunyi-bunyian angin dikembangkan secara kreatif
42
hingga menjadi sumber pendapatan ekonomi seseorang yang membuat dan menjual alat tersebut. Berikut adalah gambar Kluntungan yang dipasarkan di toko souvenir.
Gambar 1. Kluntungan10.
Selain Kluntungan, ada sebuah permainan anak-anak yang juga memanfaatkan angin sebagai sumber bunyi yaitu baling-baling atau kincir bambu. Bahan baling-baling (bilah yang berputar seperti kipas helikopter) terbuat dari sebilah bambu tipis, dipasang dengan memakai tiang penyangga (juga dari bahan bambu) dengan ukuran yang disesuaikan dengan proporsi baling-baling. Semakin besar dan panjang baling-baling, maka akan semakin besar dan panjang pula tiang
10
Sumber: http://virgohandicraft.yukbisnis.com/windchime--kluntungan-detail-3734.html.
43
yang dibutuhkan sebagai penyangga. Selain memakai tiang, baling-baling bambu juga bisa dimainkan dengan cara membawanya berlari sambil mengarahkan baling-baling untuk berbenturan dengan tekanan angin. Putaran baling-baling bambu tersebut menghasilkan bunyi tertentu. Beberapa orang mencoba mendiskripsikan sensasi suara dari baling-baling bambu. Salah satunya adalah sebagai berikut. “Baling-baling bambu memang sederhana dan tidak sulit untuk dibuat. Untuk memutarnya diperlukan hembusan angin yang cukup kuat. Jika tidak ada hembusan angin yang kuat maka kita harus berlari sambil mengacungkan baling-baling kedepan. Semakin kencang kita berlari maka putaran baling-baling juga akan semakin kencang. Bahkan jika putaran telah mencapai puncaknya kemudian baling-baling kita hentak ke depan lagi maka akan menimbulkan bunyi dengung yang nyaring. Hati pun dijamin akan membuncah karena gembira saat mendengar suara tersebut”11.
Gambar 2. Baling-baling bambu12.
11
Sumber : http://ndiel2.wordpress.com/2012/11/01/sang-penantang-angin/. Diunduh pada tanggal 27 Agustus 2013, pukul 20.05 WIB. 12
Sumber: http://ndiel2.wordpress.com/2012/11/01/sang-penantang-angin/.
44
Alat-alat di atas diciptakan untuk keperluan yang beragam, tergantung dari orang yang membuat dan memakainya. Meski beragam motif penggunaannya, namun pada dasarnya alat-alat tersebut diciptakan untuk merespon dan mengolah energi angin menjadi bunyi. Sendaren, merupakan sebuah alat penghasil bunyi-bunyian angin yang juga populer di Indonesia. Alat ini umumnya dipasang di layang-layang sebagai aksesoris tambahan yang mampu menghasilkan bunyi. Sendaren dipasang di ujung atas layang-layang. Alat ini berbentuk menyerupai busur panah. Sebilah bambu tipis membentangkan sehelai pita kaset atau serabut kantong beras sebagai sumber bunyi13. Sendaren pada layang-layang umumnya digunakan untuk aduan bunyi antar pemain layang-layang, selain juga untuk mempercantik tampilan layang-layang. Seiring perkembangan teknologi yang cepat, manusia pun berlomba-lomba dalam kreativitas pembuatan alat penghasil bunyi-bunyian angin lainnya. Manusia semakin berpikir untuk memanjakan telinga untuk mendengarkan bunyi-bunyian angin. Banyak inovasi-inovasi yang dilakukan untuk merespon energi angin. Perkembangan teknologi dimanfaatkan untuk membuat alat penghasil bunyi angin dan bunyinya pun menjadi lebih bervariasi. Perkembangan kreativitas ini dapat kita lihat dari fenomena yang terjadi dewasa ini ketika bunyi-bunyian angin mulai dieksplorasi keindahan bunyi dan tampilan wujud alatnya.
13
Sumber : http://p4honjean.wordpress.com/2011/04/17/sendaren/ diunduh pada tanggal 21 Juni 2012, pukul 14.00 WIB.
45
Beberapa bukti perkembangan teknologi yang lebih mutakhir tentang alat penghasil bunyi-bunyian angin bisa dilihat dari pengembangan Kluntungan. Wind Chime atau genta angin merupakan sebuah inovasi dari Kluntungan. Wind Chime atau genta angin umumnya dipasang tergantung di gawang pintu masuk rumah atau di pohon-pohon dekat rumah. Beberapa pengguna Wind Chime mengakui bahwa bunyi yang dihasilkan dari alat ini mampu digunakan sebagai terapi. Setidaknya mampu menenangkan energi negatif manusia seperti suasana hati jenuh, marah, pikiran yang lelah, dan lain-lain. Wind Chime yang terkait dengan kepercayaan Fengshui China, terkait dengan mitologi pengusir energi negatif sepreti roh, malapetakan, dan kesialan manusia yang menggunakannya. Bunyi alat ini diyakini menimbulkan efek melipat gandakan energi positif yang membangun semangat para penghuni di sekitar. Wind Chime sebagai benda Fengshui, sudah dikenal luas diberbagai penjuru dunia14. Wind Chime terbuat dari alumunium atau logam yang dibentuk lempengan seperti daun. Jika angin datang, maka lempengan tersebut akan saling berbenturan sehigga menghasilkan bunyi. Frekuensi dari bunyi Wind Chime ditentukan oleh panjang, lebar, ketebalan, dan materi untuk membuat Wind Chime. Selain itu bunyi Wind Chime juga dipengaruhi oleh kondisi angin yang ada, ini berhubungan dengan posisi dimana Wind Chime akan dipasang. Ketepatan pemasangan Wind Chime mempengaruhi optimalisasi fungsinya.
14
Sumber : http://redcheekinda.wordpress.com/tag/ternyata/. Diunduh pada tanggal 27 Agustus 2013, pukul 19.53 WIB.
46
Paling baik jika Wind Chime dipasang di tempat yang terbuka atau di bawah pohon, karena potensi angin akan lebih tinggi dibandingkan di ruang tertutup.
Gambar 3. Wind Chime15.
Hampir serupa dengan Wind Chime dalam budaya Fengshui China, di Jepang juga berkembang Lonceng dengan pemanfaatan energi angin yang terlibat sebagai benda dalam kepercayaan. Lonceng angin yang mengeluarkan bunyi yang nyaring, secara umum dipercaya bisa mengusir roh-roh jahat. Lonceng angin modern awalnya berasal dari lonceng angin India, yang kemudian diperkenalkan ke Cina, dimana pada akhirnya digunakan untuk melindungi rumah dari roh jahat.
15
Sumber: http://redcheekinda.wordpress.com/tag/ternyata/.
47
Lonceng angin kaca dari Jepang dikenal sebagai Furin yang juga dipercaya membawa keberuntungan16. Berikut adalah gambar Furin atau Lonceng angin Jepang tersebut.
Gambar 4. Furin atau Lonceng angin Jepang17.
Perkembangan Wind Chime berlanjut hingga pemilihan nada. Ada beberapa bentuk lain dari Wind Chime yang mempunyai karakter nada yang unik. Genta merupakan perkembangan yang lebih canggih dari Wind Chime. Genta diproduksi untuk mampu menampilkan nada-nada etnis tertentu, salah satunya etnis Jawa. Berikut gambar genta bernada etnis Jawa.
16
Sumber : http://hermawayne.blogspot.com/2011/02/18-jenis-jimat-yang-digunakan-untuk.html. Diunduh pada tanggal 27 Agustus 2013, pukul 19.57 WIB.
17
Sumber: http://hermawayne.blogspot.com/2011/02/18-jenis-jimat-yang-digunakan-untuk.html.
48
Gambar 5. Genta dengan nada etnis Jawa18.
Abdul Majid Gangga merupakan seorang seniman yang menjadi penemu alat musik genta nada bertiti nada etnis budaya tersebut. Ia membuat Genta bernada harmoni gamelan Jawa yang berlaras pelog-slendro. Genta dibuat dalam ukuran besar kurang lebih satu meter. Laras pelog-slendro digandakan intervalnya (tingkatan nada) kurang lebih menjadi 50 batang aluminium (sekitar empat oktaf) dengan 6 pemukul. Genta yang dikembangkan ini kemudian dinamakan Genta Nada atau juga Wind Chime etnis Jawa. Selain bernada Jawa, Abdul Majid juga membuat Genta titi nada etnis tradisional Indonesia lainnya seperti Sunda, Melayu, Bali, Batak, dan lainnya, juga nada etnis di luar Indonesia seperti Mandarin19. Berikut adalah gambar Genta bernada Mandarin.
18
Sumber: http://sosok.kompasiana.com/2012/02/07/dari-garasi-sempit-genta-nada-mendunia437209.html. 19
Sumber: http://sosok.kompasiana.com/2012/02/07/dari-garasi-sempit-genta-nada-mendunia437209.html. Diunduh pada tanggal 27 agustus 2013, pukul 20:09 WIB.
49
Gambar 6. Genta bernada Mandarin ciptaan Abdul Majid Gangga20.
Terdapat juga bunyi-bunyian angin yang dibuat dalam ukuran sangat besar, seperti monumen. The Singing Ringing Tree, adalah sebuah nama alat penghasil bunyi angin di wilayah Inggris yang dijadikan monumen. The Singing Ringing Tree merupakan sebuah bangunan menyerupai bentuk pohon yang bisa mengeluarkan bunyi alunan nada indah bertenaga angin yang unik. Di bangun pada area pegunungan Pennine di Lancashire, Inggris. Dirancang oleh arsitek Mike Tonkin dan Anna Liu Tonkin Liu. The Singing Ringing Tree atau Pohon bernyanyi adalah konstruksi bangunan dengan tinggi 3 meter yang terdiri dari pipa baja galvanis (baja ringan) yang memanfaatkan energi angin untuk menghasilkan alunan bunyi bernada rendah dan lembut. Kualitas harmoni dan nyanyian pohon diproduksi oleh pengolahan warna bunyi pipa dengan menyesuaikan ukurannya.
20
Gambar diambil dari sumber internet http://sosok.kompasiana.com/2012/02/07/dari-garasisempit-genta-nada-mendunia-437209.html.
50
Pada setiap pipa tersebut ditambahkan lubang pada bagian bawah. Alat ini selesai dibuat pada tahun 200621.
Gambar 7. The Singing Ringing Tree22.
Selain contoh-contoh yang sudah dibahas di atas, ada kelompok bunyibunyian angin yang menggunakan dawai. Kelompok alat penghasil bunyi-bunyian angin dari sumber suara dawai ini banyak berkembang di benua Eropa dan Amerika. Masyarakat seni di benua Eropa dan Amerika bahkan telah memberi nama atau kategori terhadap jenis alat ini dengan sebutan Aeolian Harp (harpa angin). Aeolin harp di benua Eropa dan Amerika telah banyak mengalami perkembangan bentuk hingga karakter bunyi yang dihasilkan. 21
Sumber : http://galeriilmiah.wordpress.com/2011/08/11/kreatif-karya-arsitektur-unik-yangdapat-menghasilkan-alunan-nada-bertenaga-angin/. Diunduh pada tanggal 27 Agustus 2013, pukul 20.02 WIB. 22
Sumber: http://galeriilmiah.wordpress.com/2011/08/11/kreatif-karya-arsitektur-unik-yangdapat-menghasilkan-alunan-nada-bertenaga-angin/.
51
Pemanfaatan atas bunyi-bunyian Aoelin Harp ini pun bermacam-macam. Di Meksiko, Aeolian Harp dibuat untuk monumen yang bentuknya sangat besar dengan berat 3000 pouns. Mempunyai 45 dawai yang disetel ke nada C, D, Eb, G dan Bb dalam tiga oktaf. Tinggi Aeolian Harp di Meksiko tersebut mencapai 24 meter. Biasanya Aeolian Harp dibangun di tempat-tempat terbuka agar mendapatkan angin yang maksimal. Monumen Aeolian Harp Meksiko dirancang dan dibangun oleh Bill Neely dan Bob Griesing pada bulan Juni - Juli tahun 2000 dan diresmikan pada 5 Agustus 2000. Mereka memberi nama Wind Harp untuk monumen Aeolian Harp tersebut.
Gambar 8. Aeolian Harp di Meksiko23.
23
http://www.nfo.edu/family/tempestsong.htm.
52
Ada beberapa jenis harpa angin di Eropa diantaranya adalah Door Harp yang dipasang di jendela, Grand Harp biasanya dipasang di pinggir pantai, dan Window Harp dipasang di jendela. Alat-alat tersebut digunakan sebagai ornamen penghias taman dan interior rumah, di dataran tinggi yang banyak terdapat angin. Selain penghias, alat ini juga terkadang berfungsi untuk membaca situasi cuaca khusunya angin. Berikut adalah gambar ketiga alat tersebut.
Gambar 9. Door Harp, Harmonic Harp dan Window Harp24.
Ada juga yang menggunakan Aeolian Harp sebagai alat untuk terapi. Bentuk Aeolian Harp yang digunakan untuk alat terapi adalah menyerupai balok yang pada bagian mukanya di beri dawai, kemudian Aeolian Harp tersebut digantung sesuai tinggi manusia dalam posisi duduk.
24
Sumber: http://www.harmonicwindharps.com/doorharps.htm.
53
Cara menggunakannya yaitu memasukkan kepala ke dalam Aeolian Harp tersebut dengan posisi duduk rileks sambil menikmati bunyi Aeolian Harp tersebut. Seperti yang dijelaskan dalam sebuah sumber internet sebagai berikut. “Cylindrical Harps may be hung or placed on a stand. Their round sound boxes and curved wings allow omnidirectional winds to play their strings without ever needing to re-orient the harp. The circular frames of these wind harps are open at the bottom, so that one may sit with their head inside the harps' sound box. The recalibration of brain harmonics, the improvement of hearing, and the inducing of entranced states are some of the benefits that listeners have reported- not to mention the trendy head wear”25.
Gambar 10. Cylindrical Harps (Harpa angin untuk terapi)26.
25
Sumber : http://www.harmonicwindharps.com/doorharps.htm. Diunduh tanggal 3 Januari 2012, jam 17.31 WIB. 26
Sumber: http://www.harmonicwindharps.com/doorharps.htm.
54
Bentuk pengembangan Aoelian Harps selain dua bentuk di atas adalah Grand Aeolian Harps. Alat ini dipasang berdiri, bentuknya seperti patung yang memiliki keindahan visual menurut orang yang pernah melihatnya. Tinggi dari Grand Aeolian Harps sekitar 7,5 meter. Jumlah string yang dipasang pada Grand Aeolian Harps sebanyak 48 string sehingga kaya akan nada dan dapat menghasilkan bangunan harmoni. Seperti yang dijelaskan pada salah satu sumber internet sebagai berikut. “Grand Aeolian Harps stand on their own as beautiful sculptures. Their majestic presences definitely evoke respect and admiration. This particular model stands 7.5' tall and is strung with forty-eight 5'2" strings. It plays a rich spectrum of powerful harmonic tones. The wind-vane at top may be easily removed to allow passage of the harp through a doorway to access either a porch or a patio. The Grand Harp may also be rolled into a (sliding-glass) doorframe for listening to”27.
Gambar 11. Grand Aeolian Harps28.
27
Sumber : http://www.harmonicwindharps.com/doorharps.htm. Diunduh tanggal 3 Januari 2012, jam 17.31 WIB. 28
Sumber: http://www.harmonicwindharps.com/doorharps.htm.
55
Setelah melihat uraian khasanah bunyi-bunyian angin dalam pemaparan di atas dapat dipahami bahwa bunyi-bunyian angin lekat dengan kehidupan manusia. Salah satu wujud kedekatan tersebut tampak pada bagaimana bunyi-bunyian angin diciptakan secara fungsional dan dimanfaatkan untuk kepentingan terapi, membaca cuaca, dan monumen. Pemanfaatan bunyi-bunyian angin berkembang dengan sentuhan kreativitas manusia. Beberapa orang merespon bunyi-bunyian angin secara kreatif untuk menghasilkan harmoni suara untuk memperkuat alat tersebut sebagai sarana terapi. Ada juga yang merspon bunyi-bunyian angin dengan mencoba memperkuat bunyi tersebut dengan menciptakan sistem nada. Selain itu, ada beberapa orang berpikir kreatif untuk menciptakan alat bunyibunyian angin yang bernilai ekonomis sebagai souvenir. Bahkan sampai pada kreativitas menciptakan bunyi-bunyian angin dengan memperkuat keindahan visual, sehingga alat tersebut lebih bermartabat sebagai hiasan taman, interior rumah, dan sebagai monumen di wilayah tertentu. Di Indonesia sebenarnya alat penghasil bunyi-bunyian angin banyak dijumpai dan sudah ada sejak lama. Alat-alat tersebut masih digunakan dan berkembang dengan kreativitas beberapa orang meski belum menyamai perkembangan yang terjadi di Eropa maupun Amerika. Alat bunyi-bunyian angin masih digunakan sebagai mainan anak-anak, pengusir hama secara tradisional dan alat prediksi cuaca. Fungsi dari alat itu tampaknya tidak berkembang pesat, karena hampir sama dengan fungsi-fungsinya dimasa lalu. Salah satu orang yang mencoba mengembangkan alat bunyi-bunyian angin di Indonesia adalah Misbahudin lewat eksplorasi Dangngong yang ia lakukan.
56
Kurang lebih 6 tahun belakangan ini, ia serius mengembangkan bunyi-bunyian angin yang khas Indonesia. Misbahudin memiliki kreativitas yang berbeda dengan yang berkembang di Eropa dan Amerika. Pengembangan yang dilakukannya lebih mengarah kepada pemanfaatan bunyi-bunyian angin sebagai material beraktivitas musik. Bentuk-bentuk eksperimentasi dan tindakan kreativitas yang dilakukannya mulai mendapat perhatian masyarakat seni di Indonesia dan patut untuk dipelajari dalam penelitian ini.
57
BAB III MISBAHUDIN DAN KARYA DANGNGONG
A. Perjalanan Kesenimanan Misbahudin
Misbahudin lahir di desa Hulug pada tanggal 23 Maret 1978. Misbahudin mempunyai nama lain yaitu Misbach sebagai nama panggilan akrab di wilayah pergaulannya. Kemudian, di Surakarta ia lebih dikenali dengan nama Misbach Daeng Bilok sebagai nama senimannya. Misbahudin adalah anak kedua dari tiga bersaudara dan lahir bukan dari keluarga seniman. Ayah Misbahudin bernama Sarikung bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil (PNS), dan ibunya bernama Sitti Badariyah. Keluarga Misbahudin tinggal di desa Hulug, kecamatan Selayar, kabupaten Makassar. Desa Hulug merupakan daerah dataran tinggi yang dikelilingi lautan. Jarak tempat tinggal Misbahudin menuju ke laut kurang lebih sekitar 3 km. Misbahudin menempuh pendidikan SD dan SMP di Selayar. Ketika masih SD, Misbahudin mempunyai kebiasaan bermain layang-layang yang dilengkapi dengan Dangngong. Misbahudin sering pergi ke pinggir pantai untuk bermain layang-layang bersama teman-temannya. Kegiatan itu dilakukan setelah pulang dari sekolah dan dilakukan hampir setiap hari. Misbahudin bersama teman-teman di desanya sering mengadakan kompetisi kecil yaitu mengadu keawetan layanglayang dan juga bunyi Dangngong tersebut. Misbahudin bersama teman-temannya setiap menaikkan layang-layang biasanya sampai tiga hari. Ketika malam tiba, layang-layang tersebut dibiarkan terbang sementara mereka pulang ke rumah masing-masing.
58
Adapun alasan mengapa layang-layang itu cepat diturunkan karena ada hujan. Ketika layang-layang itu rusak, mereka mengambil Dangngong yang ada pada layang-layang tersebut kemudian memasangnya di atas pohon. Mereka tidak membawa pulang Dangngong tersebut. Dangngong tetap dibiarkan berbunyi di atas pohon. Kondisi angin yang besar hembusannya karena berada di daerah pantai, sehingga hampir setiap hari (dari siang hingga malam) bunyi Dangngong selalu terdengar di desa tersebut. Bermain layang-layang yang dilengkapi Dangngong adalah permainan yang digemari Misbahudin. Bermain layang-layang dan Dangngong merupakan memori indah waktu Misbahudin masih kecil. Memori indah tersebut rupanya menginspirasinya dalam kekaryaan bunyi-bunyiaan angin yang dikembangkan saat ini. Seperti yang dipaparkan dalam wawancara sebagai berikut. “Dangngong itu permainan dimasa saya kecil. Saya masih ingat diumur sekitar 5 tahun saya sudah sering ke laut ke pinggir laut, tiap hari layangan itu menghiasi langit selayar. Saya juga sering bermain layang-layang namun belum terpikir adanya Dangngong. Itu saya lakukan setiap hari sepulang dari sekolah, dan proses pembuatan layang-layang pun saya ikut akhirnya saya baru paham sedikit mengerti tentang Dangngong. Belum mengarah, dan saya belum tau betul itu suatu bunyi-bunyian yang berarti bagi saya” (Wawancara Misbahudin, 11 Maret 2013).
Bermain layang-layang yang dilengkapi Dangngong, masih dilakukan Misbahudin ketika sudah duduk di bangku SMP. Tetapi intensitasnya berkurang, karena Misbahudin sudah mulai bermusik dan mengikuti beberapa acara pementasan. Tahun 1993, Misbahudin sudah terlibat dalam acara Gelar Seni Tradisional Daerah, bersama Sanggar Seni Passiana Selayar, dan juga dalam acara Parade Seni Tradisional Sulawesi selatan.
59
Kegemarannya dalam bermusik, akhirnya mendorong Misbahudin untuk mengasah kemampuannya dengan melanjutkan sekolah di bidang seni dengan masuk di sekolah formal SMKI Makassar jurusan musik. Pada tahun 1996 Misbahudin mendaftar di sekolah kejuruan seni yaitu di SMKI Makassar. Letak sekolahan SMKI Makassar itu berdekatan dengan sekolah seni rupa yang bernama SMIK (Sekolah Menengah Industri Kerajinan) Makassar. Misbahudin mendaftar di dua sekolahan tersebut karena sejak kecil Misbahudin juga suka melukis. Ketika pengumuman penerimaan murid baru, Misbahudin diterima di dua sekolahan tersebut. Pada akhirnya Misbahudin memilih masuk di SMKI Makassar karena ingin lebih memperdalam pengetahuannya tentang bermusik. Di dalam proses belajar musik di SMKI Makassar, Misbahudin semakin aktif mengikuti acara-acara pentas. Misbahudin selalu terlibat sebagai salah satu musisi kesenian musik tradisi Makassar yang berperan sebagai pemain Ganrang (gendang Makassar). Beberapa acara besar yang pernah melibatkannya antara lain adalah acara Pekan Kebudayaan Daerah ditahun 1996, bersama Sanggar Seni Passiana, Selayar. Tahun 1998 dalam acara GKJ Award, bersama Yayasan Angin Mamiri Makassar dan terlibat dalam acara Indonesian Dance Festival, juga bersama Yayasan Angin Mamiri Makassar. Tahun 1999 Terlibat dalam Art Performing Festival di Jakarta. Bakat bermain musik semakin terlatih ketika sekolah di SMKI. Misbahudin selalu merasa kurang dengan apa yang diajarkan oleh guru-gurunya.
60
Misbahudin ingin mempelajari semua alat musik yang ada di sekolahan tersebut. Hal ini berbeda dengan teman-teman sekelasnya waktu di SMKI. Mereka cenderung konsisten dengan satu alat musik. Seperti yang dipaparkan oleh Ilham Mappatoya teman satu kelas Misbahudin waktu SMKI sebagai berikut. “Saya mengenal Misbahudin mulai tahun 1996 kita satu angkatan di SMKI. Saya mengenal Misbahudin pertama kali itu dia memang mempunyai bakat yang luar biasa. Dia tidak pernah merasa puas dan selalu pengen mencoba hal-hal yang baru. Pada waktu di SMKI dulu, instrumen apa saja selalu mau dia pelajari. Berbeda dengan teman-teman yang lain yang memang konsisten dengan satu alat. Kalau Misbahudin tidak, hampir semua instrumen pengen dia kuasai dan memang dipelajari dan dia total” (Wawancara Ilham Mappatoya, 6 Maret 2013).
Pemikiran-pemikiran yang kreatif sudah muncul pada diri Misbahudin waktu sekolah di SMKI. Selain bermusik, Misbahudin juga mempunyai bakat dalam bidang seni rupa. Di sekolahan SMKI itu ada sebuah asrama untuk para siswa dan hampir semua tembok-tembok kamar tersebut terdapat lukisan Misbahudin. Ia juga menguasai bidang artistik panggung. Ketika masih di SMKI, Misbahudin selalu dipercaya untuk membuat artistik panggung saat ada acara pementasan. Pada bidang artistik panggung, Misbahudin yang paling menguasai dibandingkan temantemannya sehingga dia dipercaya oleh teman-temannya29. Ketika sekolah di SMKI ada seorang guru yang bernama Samsul Kamar. Guru tersebut mengenalkan lagi pengetahuan tentang Dangngong. Samsul Kamar merupakan guru yang membimbing Misbahudin dan teman-teman satu kelasnya bagaimana proses berkarya, bagaimana membuat sebuah karya komposisi, bagaimana bereksperimen membuat alat-alat musik yang baru termasuk membuat
29
Pernyataan Ilham Mappatoya, 6 Maret 2013, pukul 17:00 WIB.
61
Dangngong. Bahkan Samsul Kamar mengatakan bahwa, instrumen Dangngong ini kelak bisa dikembangkan lagi. Samsul Kamar melatih Misbahudin dan teman satu kelasnya cara membuat Dangngong, dan pelajaran tersebut dilakukan hanya sekali saat itu saja. Tidak ada yang menyangka ketika Samsul Kamar mengajarkan tentang Dangngong, ternyata Misbahudin masih mengingat dan merekam ke dalam memori pikirannya. Seperti yang dipaparkan Ilham Mappatoya yang bercerita tentang Dangngong ketika masih SMKI sebagai berikut. “Cerita soal Dangngong itu awalnya saya tau bahwa itu dipakai buat layanglayang. Naah di SMKI dulu waktu itu guru kita pak Samsul Kamar itu pernah membuat instrumen itu. Jadi bentuknya seperti busur panah. Naah dilatihlah kita oleh pak Samsul Kamar. Saya tidak tau bahwa ternyata Misbahudin nyantol dengan pelajaran itu. Dia ternyata mengeksplorasi Dangngong itu hingga sekarang dan dia total dalam hal itu. Saya pikir dulu Cuma iseng saja, jadi dia membikin karya dan salah satu repertoarnya menggunakan Dangngong” (wawancara Ilham Mappatoya, 6 Maret 2013).
Fenomena ini bisa dilihat bahwa memori-memori masa lalu yang dilewati Misbahudin selalu berhubungan dengan Dangngong. Terbukti sejak masih kecil permainan Misbahudin adalah layang-layang yang dilengkapi Dangngong, hingga sekolah di SMKI bertemu lagi dengan alat tersebut. Setelah lulus dari SMKI Makassar, pada tahun 2000 Misbahudin melanjutkan kuliah di ISI Surakarta mengambil Program studi Etnomusikologi. Misbahudin masih aktif dalam bermusik dan mengikuti beberapa acara pementasan. Waktu itu bersama kelompok musik La-Here, pentas pada acara Musik Akhir Bulan Genap di Surakarta. Berawal dari pentas ini, Misbahudin banyak bertemu dengan seniman-seniman yang ia anggap senior. Hubungan Misbahudin dengan seniornya terjalin dengan baik, hal ini dapat dilihat ketika seniornya melakukan proses
62
penciptaan karya seni, Misbahudin sering dimintai tolong untuk membantu dalam berproses tersebut sebagai pemain musik. Salah satunya adalah I Wayan Sadra (seorang seniman dan komposer musik kontemporer dunia). I Wayan Sadra melibatkan Misbahudin sebagai salah satu pemain musik di dalam komposisi yang dibuatnya, dan dipentaskan pada acara Art Summit sebanyak dua kali yang diadakan di gedung pertunjukan di Jakarta. Misbahudin mengalami perkembangan yang sangat pesat ketika kuliah di ISI Surakarta. Seringnya berproses kreatif bersama senior-seniornya di Solo membuat Misbahudin mengalami perkembangan yang berbeda ketika masih di SMKI Makassar. Hal itu diakui oleh Ilham Mappatoya dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Saya baru melihat perubahan yang drastis dari Misbahudin itu waktu kuliah di ISI Surakarta. Kebetulan memang dia lebih dulu setahun dari saya masuk kuliah di ISI Surakarta. Awalnya dia masih membawa gaya-gaya berproses waktu masih di SMKI, namun lama-kelamaan dia mulai belajar dengan teman-teman senior di Solo seperti Gondrong Gunarto, Rudi, Joko Porong, dan I Wayan Sadra. Dan itu saya lihat perkembangan Misbahudin sangat pesat” (wawancara Ilham Mappatoya, 6 Maret 2013).
Di satu sisi, pengalaman Misbahudin ketika membantu seniornya bisa menjadi ruang untuk belajar pengetahuan tentang menciptakan karya musik. Pengalaman itu tentunya baru didapat Misbahudin ketika tinggal di Solo dan mengenal beberapa seniman-seniman yang dianggap seniornya. Tidak menutup kemungkinan dari pengalaman itu juga akhirnya mempengaruhi gaya bermusik Misbahudin termasuk semakin memacu keterampilannya memainkan alat musik. Pada sisi yang lain, banyaknya acara-acara pentas yang diikuti Misbahudin dalam membantu seniornya ternyata membuat Misbahudin merasa jenuh karena
63
hanya menjadi seorang pemain musik saja. Ini merupakan sebuah kewajaran ketika seorang seniman mengalami suatu titik dimana seniman tersebut ingin mencipta. Seniman memiliki rasa yang bergejolak untuk menghasilkan karya musik dari pikirannya sendiri. Gagasan mencipta itu bisa muncul dari pengalamanpengalaman yang sudah dilalui dalam perjalanan kesenimanan orang tersebut. Hal itu bisa juga menjadi motivasi seseorang untuk mencipta. Dari rasa kejenuhan yang dialami Misbahudin karena hanya sebagai pemain musik saja di dalam membantu seniornya, pada akhirnya Misbahudin menciptakan karya dari pemikirannya sendiri. Misbahudin mendirikan kelompok musik La-Here bersama sesama mahasiswa ISI Surakarta asal Sulawesi yang lainnya. Selain Misbahudin, La-Here dianggotai oleh Aristofani, Ilham Mappatoya, Muhammad Suban, Gardian Nusantara, dan Hendra. Misbahudin menjadi komposer pertama kali bersama kelompok La-Here. Pada tahun 2000, Misbahudin bersama La-Here pentas dalam acara Malam Apresiasi Seni yang diselenggarakan di Taman Budaya Jawa Tengah. Di tahun 2002, Misbahudin juga menjadi komposer dalam acara Musik Bulan Genap bersama La-Here. Selain menjadi komposer dalam pentas-pentas musik acara tertentu, Misbahudin juga menjadi komposer musik iringan tari. Di tahun 2004 Misbahudin dipercaya menjadi komposer musik dalam ujian tari karya Riyanto Dewandaru yang berjudul Rousoku. Karya-karya yang dijabarkan di atas merupakan sebagian karya yang dibuat Misbahudin, masih ada beberapa karya yang juga dibuat Misbahudin.
64
Era tahun 2000-an, rupanya menjadi momentum kesenimanan Misbahudin berkembang menjadi seorang Komposer. Perjalanan setelah tahun 2004 sebagai penata atau komposer musik tari di Solo, Misbahudin mulai sering menampilkan peranannya sebagai seorang Komposer. Meski demikian, ia juga masih beberapa kali tampil sebagai pemain musik pendukung karya tari maupun seorang komposer. Kenyataan ini tampak jika melihat tabel perjalanan keseniaman Misbahudin sebagai berikut.
Pimpinan / Kelompok
Peran Misbahu din
Tempat Pelaksanaan
Sanggar Seni Passiana
Pemusik
Selayar, Sulawesi Selatan
Sanggar Seni Passiana
Pemusik
Benteng Somba Opu – Makassar
Sanggar Seni Passiana
Pemusik
Selayar, Sulawesi Selatan
Basri B.Sila
Pemusik
Pantai Losari – Makassar
1998
Indonesian Dance Festival
Yayasan Angin Mammiri Makassar / Masku Al-Alief
Pemusik
Makassar
1999
Art Performing Festival
-
Pemusik
Jakarta
1999
GKJ Award
Yayasan Angin Mammiri Makassar / Masku Al-Alief
Pemusik
Gedung Kesenian Jakarta
1999
Kenduri
Masku Al-Alief
Pemusik
Tugu Mandala – Makassar
Musik Akhir Bulan Genap Parade Gendang Pembukaan Art Summit
Kelompok La-Here
Komposer
Taman Budaya Surakarta
-
Pemusik
Jakarta
Tahun Pementasan 1993
1995
1996
1997
2000
2001
Tajuk Acara Pementasan Gelar Seni Tradisional Daerah Gelar Tari Tradisi Sulawesi Selatan Pekan Kebudayaan Daerah Ulang Tahun Prof. Sulawesi Selatan
65
2001 2001 2002 2002 2002 2003
Makassar Art Performance Malam Apresiasi Seni Musik Akhir Bulan Genap Festival Cak Durasim Festival Serumpun Asia Tenggara Pancal Mubal Tangan Ngapal
-
Pemusik
Makassar
Komposer
Taman Budaya Surakarta
Komposer
Taman Budaya Surakarta
Pemusik
Surabaya
-
Pemusik
Kuala Lumpur, Malaysia
Gondrong Gunarto
Pemusik
Taman Budaya Surakarta
Kelompok La-Here Kelompok La-Here Studio Taksu Solo
2003
Festival Seni Surabaya (FSS)
Studio Taksu Solo
Pemusik
Surabaya
2003
Shalawat Barzanji
W.S Rendra
Ass. Komposer / pemusik
Tennis Indoor Senayan – Jakarta
2004
Rousoku
Rianto Dewandaru
Komposer
Teater Kecil ISI - Surakarta
2004
Art Summit IV
I wayan Sadra
Pemusik
Gedung Kesenian Jakarta
2005
Festival Seni Surabaya (FSS)
I wayan Sadra
Pemusik
Surabaya
2005
Konser Musik Aia To Hu-luk
Kelompok La-Here / Teater Jejak ISI Surakarta
Komposer
Gedung F ISI Surakarta
Daeng Juhri
Komposer
Plasa Marina –Selayar
La-Here
Komposer
Pamedan Mangkunegaran – Surakarta
Djarot Budi Darsono
Komposer
Taman Budaya Surakarta
Batara Gowa Makassar
Komposer
Selayar – Sulawesi Selatan
Sanggar Teratai Passiana
Komposer
Kuala Lumpur - Malaysia
Anggono Wibawa Kusuma
Komposer
Teater Besar ISI, Surakarta
La-Here
Komposer
Wisma Seni, Taman Budaya Surakarta
La-Here
Komposer
Candi Panataran, Blitar
2007 2008 2009
2010
2011
2011
2011 2011
Sanggar Teratai Passiana Solo International Ethnic Music Studio Taksu Festival Takabonerate Island Ekspedition Jembatan Budaya Indonesia Malaysia “patah” Ujian Tari Pasca Sarjana ISI Surakarta Bukan Musik Biasa Purnama Seruling Panataran
66
2011
2012
2012
2012
Bermusik Lebih, Jagongan Wagen Kerete Kencana International Music Festival Opening Solo International Performance Art Maestro Maestro #6 (tari)
-
Pemusik
Sanggar Bagong Kussudiardja, Yogyakarta
Etno Ensamble
Pemusik
Ex.Pabrik Gula Colomadu Karanganyar
SIPA
Komposer
Pamedan Mangkunegaran – Surakarta
Eli D Luthan / Gondrong Gunarto
Pemusik
Teater Kecil TIM Jakarta Kawasan Candi Borobudur, Magelang
2012
Srawung Seni Segara Gunung
Selayar Art
Komposer
2013
Taman Srawung Seni Segara Gunung
La-Here
Komposer
Museum Manusia Purba, Sangiran, Sragen
2013
Mbangun Tulak Desa Tanggulangin
Etno Ensamble
Komposer dan desainer instalasi bunyi
Tanggulangin, Jatisrono, Wonogiri
2013
Festival Gamelan Sedunia Terengganu
Gondrong Gunarto
Pemusik
Terengganu, Malaysia
Gambar 12. Tabel Perjalanan keseniamanan Misbahudin (1993 – 2013)30.
Keterangan tabel: 1
Kolom berwarna Kuning
2
Kolom berwarna Biru
Menunjukkan peran Misbahudin sebagai komposer tanpa menggunakan Dangngong Menunjukkan peran Misbahudin sebagai komposer dengan menggunakan Dangngong
Gambar tabel di atas menunjukkan bahwa, di tahun 2000 dengan tanda pertama kolom berwarna kuning, Misbahudin mengawali perjalanannya sebagai
30
Data diambil dari CV, pengamatan peneliti dan wawancara dengan Misbah.
67
komposer. Masa setelah itu, Misbahudin tampak berkurang porsi peranannya sebagai pemusik. Hal ini membuktikan bahwa, kejenuhannya berperan sebagai pemusik berhasil dialihkan sesuai dengan keinginannya menjadi komposer. Sebagian besar perannya sebagai komposer muncul pada acara-acara pementasan lingkup ‘kecil’ (membantu karya mahasiswa dan berkarya bersama kelompok LaHere). Kemudian Misbahudin beranjak begitu cepat, mulai 2003 ia telah melakukan peranannya sebagai komposer dilingkup acara Internasional (seperti beberapa festival di Malaysia, SIPA (Solo International Performing Art), dan beberapa festival besar di Selayar – Makassar). Misbahudin juga pernah dipercaya WS. Rendra untuk menjadi asisten komposer dalam sebuah proyek pementasan besar Bengkel Teater Jakarta. Kejenuhan Misbahudin muncul lagi ketika seringnya bermain musik dan menjadi komposer dengan mengeksplorasi alat musik yang konvensional. Pada satu titik masa di tahun 2005, Misbahudin ingin membuat sesuatu yang berbeda sebagai komposer. Ia melakukan eksplorasi instrumen bunyi atau musik yang baru. Misbahudin ingin membebaskan keliaran berpikirnya tentang membuat karya seni. Pada proses Misbahudin mencari atau mengeksplorasi keinginannya tersebut sempat ada anggapan bahwa, Misbahudin mengalami sebuah penurunan dalam berkarya seni. Seperti yang dipaparkan Ilham Mappatoya dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Nah cuma saya pernah melihat dia sempat mengalami penurunan keliaran ide dalam berkarya, yaitu pada waktu dia mulai menikah dan konsentrasi dengan keluarga dan juga ketika Misbahudin mengenal alat musik Shakuhachi. Saya berfikir Shakuhachi ini kan alat musik yang suasana melodi-melodinya adalah meditatif, lembut, halus. Saya berfikir gaya kreativitasnya terbawa dengan nuansa instrumen itu. Dia jadi lambat seolah-
68
olah menjadi malas berfikir. Dan itu sangat terasa saat kita proses bareng. Apalagi ketika dia dikasih tanggung jawab menjadi komposernya, dia kadang tidak punya gambaran atau bingung mau apa. Dan ternyata itu tidak ada hubungannya dengan Shakuhachi, dia bilang bahwa dia tidak mau terbebani oleh struktur-struktur musikal seperti yang dikatakan I Wayan Sadra. Dan waktu itu saya terkadang bingung dan sering dibikin kaget dengan ide-idenya yang sangat jauh dari kebiasaan kita. Dan dia bilang ingin membuat sesuatu yang berbeda, dan Dangngong menjadi pilihannya. Pada akhirnya dibeberapa karyanya, Misbahudin selalu mengeksplorasi Dangngong” (wawancara Ilham Mappatoya, 6 Maret 2013).
Rupanya penurunan kuantitas berkarya seni dari Misbahudin disebabkan oleh proses kejenuhan yang dirasakannya saat itu dan pencariannya terhadap instrumen Dangngong. Pengalaman-pengalaman masa kecil Misbahudin yang gemar bermain layang-layang ber-Dangngong membantunya menemukan ide untuk melahirkan karya baru yang berbeda. Karya-karyanya dengan menggunakan instrumen Dangngong bahkan membuatnya menemukan karakter dan kenyamanan dalam berkarya. Tabel di atas menunjukkan bahwa, di tahun 2005 Misbahudin mulai melahirkan karya dengan instrumen Dangngong. Kemudian perjalanan kekaryaannya sebagai komposer di dominasi oleh karya-karya musik menggunakan instrumen ini. Pada dasarnya seni adalah suatu bentuk abstraksi dari ‘ungkapan gejolak jiwa manusia’ yang tidak bisa dinyatakan melalui media ungkapan lain yang lebih nyata. Oleh karena itu, instrumen musik sebagai perpanjangan daya ungkap kalbu the inner aparatus menjadi pilihan yang dipentingkan bagi banyak orang yang menyukai permainan abstraksi. Bermain musik melalui instrumen sebagai medium ekspresi menuntut sisi kecerdasan tersendiri. Dalam permainan musik, orang berhubungan dengan banyak tanda dan kode teknik yang berkaitan langsung
69
dengan alam fantasi dan suara-suara imajiner. Korelasinya adalah, semakin tinggi tingkat penguasaan instrumental pemain musik pada seseorang, semakin tinggi pula dituntut bakat, keterampilan, dan kecerdasan dari padanya (Suka Harjana, 2003: 2021). Dangngong merupakan instrumen yang dipilih Misbahudin untuk mengungkapkan gejolak keinginannya menciptakan karya seni, dan menghilangkan kejenuhan yang dialaminya. Dengan bakat dan keterampilan yang dia dapat dari perjalanan berkeseniannya, Misbahudin mencoba berekspresi dengan suara-suara imajiner yang dihasilkan oleh Dangngong. Banyak pelajaran yang didapat Misbahudin ketika membantu senior-seniornya dalam hal menciptakan karya seni. Pelajaran tentang konsep menciptakan, kenakalan-kenakalan dalam bermusik, pelajaran tentang musik kontemporer, dan lain sebagainya. Dari kegelisahan yang dialami Misbahudin akhirnya di tahun 2005 muncul karya pertama yang diciptakan Misbahudin dengan instrumen Dangngong yaitu sebuah drama musikal yang dipentaskan di salah satu gedung pertunjukan di ISI Surakarta bersama kelompok musik La-Here. Misbahudin membuat karya yang berjudul Aia To Hu-luk. Karya ini adalah karya semi teater musikal. Misbahudin mencoba mengangkat sebuah dialog-dialog bahasa lokal Selayar dengan diperkuat instrumen Dangngong sebagai dasar instrumen, tidak ada instrumen lainnya selain Dangngong. Selain karya Aia To Hu-luk, Dangngong juga dipentaskan dalam acara Solo Internasional Ethnic Music (SIEM) di tahun 2008 yang diselenggarakan di Pamedan Mangkunegaran Surakarta. Di dalam acara SIEM tersebut Misbahudin menjadi komposer dan pentas bersama kelompok musik La-Here.
70
Dangngong bahkan digunakan sebagai instrumen untuk mengiringi sajian tugas akhir penciptaan seni tari. Di tahun 2011 Misbahudin menggunakan Dangngong untuk mengiringi sajian tari yang berjudul Patah karya Anggono Kusuma Wibawa. Dalam ujian pasca sarjana ISI Surakarta yang diselenggarakan di gedung pertunjukan Teater Besar ISI Surakarta ini, Misbahudin menjadi komposer musiknya. Karya Misbahudin yang menggunakan instrumen Dangngong selanjutnya adalah dalam acara Bukan Musik Biasa (BMB) pada tahun 2011 di pendopo Wisma Seni, Taman Budaya Jawa Tengah. Pertunjukan itu dibuka dengan permainan Shakuhachi oleh Misbahudin kemudian diikuti dengan permainan Dangngong yang dimainkan sekitar 20 orang. Di tengah-tengah pertunjukan ada teriakan-teriakan yang menggunakan logat Selayar. Selain itu cara pemilihan kostum pada penyajian tersebut sesuai konsep orang pesisir pantai, yaitu menggunakan sarung yang diikatkan di kepala, tanpa menggunakan baju, dan memakai celana pendek. Ini bertujuan untuk membawa penonton agar bisa merasakan suasana ketika di pantai atau di pegunungan dengan diiringi bunyi Dangngong. Karya ini mendapat respon yang positif dari beberapa senior dan temanteman Misbahudin. Pada akhirnya ini menjadi motivasi Misbahudin untuk terus mengeksplorasi
lagi
Dangngong.
Setelah
Misbahudin
mencoba
untuk
mengeksplorasi Dangngong itu ternyata banyak hal-hal yang masih menjadi kendala. Namun, di dalam kendala tersebut terdapat sesuatu yang menarik perhatian Misbahudin untuk tetap mengeksplor Dangngong. Seperti yang dipaparkan Misbahudin dalam wawancara sebagai berikut.
71
“Setelah saya mencoba untuk mengeksplor Dangngong itu banyak hal-hal yang masih menjadi kendala, tetapi itu justru menarik perhatian saya bahwa ini adalah salah satu instrumen yang bunyinya indah menurut saya, bunyinya bagus karena dengan kesederhanaan karakter instrumen dia bisa menghasilkan suatu bunyi yang terus menerus dan merangsang jiwa relaksasi saya untuk menggali inspirasi-inspirasi lain dan fokus kepada Dangngong sebagai instrumen musik bukan lagi hanya sebagai bunyibunyian saja” (Wawancara Misbahudin, 11 Maret 2013).
Kekaryaan Misbahudin bersama dengan instrumen Dangngong mulai tahun 2005 hingga sekarang (2013), dimaknai begitu dalam oleh Misbahudin. Penemuan Dangngong seolah-olah menjawab kegelisahan Misbahudin tentang ruang kreativitas yang mampu membebaskan ‘keliarannya’. Bunyi Dangngong yang sederhana justru memberi tantangan dan rangsangan terus menerus terhadap kemunculan ide-ide karya baru. Hal itulah yang membantu Misbahudin untuk selalu kreatif dalam karya-karya musiknya. Menurut pengamatan, mulai karya pertama Misbahudin bersama Dangngong (2005) hingga banyak karya selanjutnya, tidak pernah ada kesamaan bentuk. Oleh Misbahudin, Dangngong dieksplorasi dengan berbagai macam ruangruang kreatif. Misbahudin pernah menggunakan Dangngong sebagai instrumen musik tari, selain juga pernah dikolaborasikan dengan jenis musik yang beragam di beberapa festival. Proses kreatifnya dengan Dangngong juga memberikannya ruang baru untuk mempresentasikan karya. Misbahudin berkali-kali melakukan pementasan dihadapan alam yang belum pernah dilakukannya sebelum menemukan karya Dangngong. Meski tidak ada penonton yang dihadirkan, namun pementasan di alam (umumnya pantai dan gunung) dianggapnya sebagai bagian penting dalam proses eksplorasi Dangngong.
72
Karya-karya Misbahudin dengan instrumen Dangngong juga berdampak pada kematangannya sebagai komposer. Berkat instrumen Dangngong ia menjadi lebih diperhitungkan sebagai komposer musik kreatif. Ia juga semakin dikenali publik pemerhati musik sebagai komposer dengan karakter karya yang spesifik (bermain dengan soundscape).
B. Pengakuan Terhadap Karya Dangngong Misbahudin
Instrumen Dangngong telah membawa Misbahudin menjadi seorang komposer musik kreatif yang mulai dipertimbangkan karya-karyanya. Beberapa seniman dan pengamat kesenian mulai melirik karya Misbahudin dengan Dangngong. Keliaran ide yang dimiliki Misbahudin bukan hanya ide sesaat yang hanya seketika munculnya. Ide Dangngong terus berlanjut hingga sekarang dan selalu berkembang hingga Misbahudin mendapat pengakuan dari beberapa seniman terkait totalitasnya dalam berkarya. Perkembangan karya Dangngong dapat dilihat dari tabel dan beberapa penjabaran di atas yang saat ini mulai mendapat respon yang positif dari penikmat seni pertunjukan. Hal-hal tersebut sekaligus menjadi alasan peneliti untuk membahas fenomena kreativitas Misbahudin terhadap instrumen Dangngong. Sebuah penelitian terutama yang terkait dengan kajian ketokohan, terkadang timbul suatu pertanyaan tentang kelayakan tokoh tersebut untuk dikaji dalam sebuah penelitian. Walaupun standarisasi kelayakan seorang tokoh yang akan dikaji juga masih diperbincangkan. Terutama terkait pada penilaian standar kelayakan kepantasan seorang tokoh seni pertunjukan untuk bisa diteliti.
73
Terlepas dari permasalahan ini, peneliti tetap menyakini bahwa kasus kreativitas Misbahudin perlu untuk dikaji dan dijelaskan karena kreativitas yang dilakukan memiliki elemen pengetahuan yang spesifik, menarik, bahkan tidak banyak dilakukan oleh seniman musik lain di lingkungan Surakarta. Dasar dari keyakinan peneliti di atas diperkuat oleh buku yang berjudul “Mengkaji Tokoh Seni Pertunjukan” tulisan Waridi yang mengatakan bahwa, memilih fokus kajian untuk kepentingan suatu tulisan ataupun penelitian adalah sebuah kebebasan individual penulis atau peneliti. Termasuk pula dalam memilih perspektif dan metodologi yang digunakannya. Penentuan perspektif sampai perumusan metodologi terhadap topik yang telah dipilih sangat berkait dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Penekanannya justru pada kemampuan seseorang memilih fokus kajian sesuai minat dan ketertarikannya disertai perspektif yang jelas (Waridi, 2005: 94). Misbahudin dalam proses kreatif karya Dangngong telah melalui beberapa tahapan proses. Proses tersebut dimulai dari Misbahudin masih kecil hingga sekarang. Proses-proses itulah yang dapat menjelaskan kreativitas yang terjadi pada karya Misbahudin. Mulai dari proses imajinasinya terhadap bunyi-bunyian layanglayang, hingga usaha kreatifnya membuat instrumen bernama Dangngong dan beberapa karya musiknya yang menggunakan instrumen ini. Walaupun modelmodel penelitian tentang proses kreatif seorang tokoh sudah banyak dilakukan, namun tentunya ada hal-hal yang juga perlu dijelaskan dalam proses kreatif Misbahudin terhadap karya Dangngong meliputi pembuatan instrumen dan ekplorasi musik dengan instrumen Dangngong.
74
Totalitas dalam melakukan proses kreatif yang dilakukan Misbahudin telah mendapat pengakuan dari beberapa seniman dan tokoh pengamat seni di lingkungan Misbahudin. Mereka merespon baik karya Misbahudin dan mendukung totalitasnya dalam bereksperimen. Hal ini juga menegaskan kelayakan Misbahudin untuk dikaji dalam sebuah penelitian. Salah satu tokoh pengamat seni yang memperhatikan Misbahudin adalah Halim HD. Halim HD merupakan salah satu tokoh budayawan dan pengamat seni budaya yang tinggal di Surakarta. Pengamatannya dalam dunia seni sudah diakui oleh dunia. Ia juga dijuluki seorang Networker dan sudah keliling di beberapa negara di Asia dan juga Eropa. Pada sebuah wawancara, Halim HD berpendapat tentang Misbahudin sebagai berikut. “Masbahudin itu banyak hal yang menarik yang bisa dibahas, bukan hanya aspek musikal, bisa dari aspek-aspek yang lain. Hubungan Misbahudin menggunakan bambu, mungkin itu ada kaitannya dengan tradisi lingkungan dia, itu bisa dilacak kesitu. Lalu bambu dia olah, dia rubah bentuknya seperti Dangngong itu. Hubungan itu, antara karyanya Misbahudin dengan juga yang disebut semacam instalasi bunyi, dalam konteks instalasi bunyi ada hubungannya dengan bentuk kerupaan, visual. Aku melihat karyanya Misbahudin itu bisa jadi instalasi musik, instalasi bunyi yang ada hubungannya dengan ekologi, alam lingkungan” (Wawancara Halim HD, 1 November 2013).
Pendapat Halim HD terhadap Misbahudin lebih kepada pandangan yang positif bahwa Misbahudin adalah sosok yang menarik untuk dikaji proses-proses eksplorasi Dangngong yang dilakukannya. Meski juga mengkritik bahwa, karya Dangngong menurut pandangan Halim HD bisa menjadi sebuah instalasi musik, instalasi bunyi yang perlu adanya penggarapan dari segi visual instrumen Dangngong tersebut. Dangngong juga ada hubungannya dengan alam sekitar karena bisa ditemukan di banyak tempat di Indonesia.
75
Selain Halim HD, Misbahudin juga diperhatikan oleh seorang komposer muda yang akrab dipanggil Gondrong Gunarto. Gondrong Gunarto merupakan komposer muda yang sudah banyak menghasilkan karya bersama Sono Seni Ensembel. Sepak terjangnya di dunia komposisi musik juga sudah diakui dan sudah sering pentas di luar negeri. Ia berpendapat bahwa Misbahudin adalah seniman yang totalitasnya sangat bagus. Misbahudin adalah sosok seniman yang sportif dan berani mengambil keputusan. Seperti yang dipaparkan dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Misbahudin dalam kesenian itu seorang yang disiplin dan tanggung jawab. Seperti ketika di tugas akhir pasca sarjana-ku itu dia itu sportif dan tidak lepas dari tanggung jawab. Dia tipe orang yang mempunyai sikap, mempunyai tanggung jawab, berani mengambil keputusan, sportif. Yang juga mengejutkanku, ketika dia proses dengan mahasiswa asing, tidak perlu saya sebutkan namanya, tapi dia tidak cocok dengan metodenya. Dengan sikapnya dia berani melawan. Dia tidak mempertimbangkan itu bule. Dia memang tipe orang yang sportif, walau dia kelihatan sak-sak’e tetapi ketika dia sudah diberi tanggung jawab dia akan menomer satukan tanggung jawab itu dengan segala resikonya dan itu pilihan dia. Seperti Shakuhachi itu juga begitu, Shakuhachi itu instrumen yang sulit dimainkan dan akhirnya dia memilih itu sebagai instrumen spesialis dia yang beberapa orang tidak bisa memainkan Shakuhachi. Dan prosesnya itu saya tahu, dulu dengan almarhum pak Sadra, itu serius sekali. Kebetulan pak Sadra adalah sosok yang bisa buat panutan, jadi ketika pak Sadra punya niatan ayoooo sinau bareng, salah satu yang merespon baik itu Misbahudin dan akhirnya dia jadi peniup Shakuhachi yang bagus. Itu bentuk keseriusan dia mensikapi sebuah proses” (Wawancara Gondrong Gunarto, 1 November 2013).
Gondrong Gunarto menilai positif tentang Misbahudin sebagai seniman. Misbahudin juga banyak terlibat dalam karya-karya yang diciptakan Gondrong Gunarto. Hal ini bisa dilihat pada tabel perjalanan kesenimanan Misbahudin yang sudah dijabarkan di atas. Gondrong Gunarto sering kali melibatkan Misbahudin dalam karyanya, karena Gondrong Gunarto memandang Misbahudin seorang
76
seniman yang bertanggung jawab dan sportif ketika dia sudah menyatakan bersedia untuk membantu dalam proses pembuatan karya. Keseriusan Misbahudin dalam mensikapi sebuah proses juga menjadi pertimbangan para komposer (termasuk Gondrong) untuk dilibatkan dalam proses pembuatan karya. Selain berpendapat tentang karakter Misbahudin sebagai seniman, Gondrong Gunarto juga berpendapat tentang totalitas eksplorasi Dangngong yang dilakukan oleh Misbahudin. Ia pun membandingkan eksplorasi yang dilakukan Misbahudin dengan eksplorasi yang dilakukannya. Gondrong Gunarto mengakui totalitas yang dilakukan Misbahudin, bahkan Ia mengatakan belum berani melakukan apa yang dilakukan oleh Misbahudin. Hal ini dipaparkan dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Yang aku ketahui Misbahudin hubungannya dengan Dangngong dan saya kagumi itu di dalam kerja kerasnya dia. Proses pencapaian yang terminalnya sebenarnya menurut aku tidak ada, terminal titik yang dicapai sebenarnya apa aku belum tahu. Apa karena Dangngong hubungannya dengan cuaca atau anginnya, kadang-kadang ketika dua kali aku nonton mesti kebetulan anginnya tidak bersahabat. Tapi yang aku acungi empat jempol adalah kerja kerasnya, proses pencariannya, eksplorasi di dalam Dangngong luar biasa Misbahudin itu dan itu menjadi kelebihan Misbahudin. Karena untuk Misbahudin sendiri itu sudah punya keluarga, ini diluar kesenian yaaa, dia juga kan pekerjaannya juga belum jelas dalam artian sumber ekonominya tentative kadang ada kadang tidak. Dia itu berani meninggalkan semua, berani meninggalkan keluarga dengan segala resikonya, dia konsentrasi pada Dangngong, mencari sesuatu dan mencari pencapaian yang aku sendiri belum tahu. Tetapi penyikapan pada keseriusan dia itu luar biasa dan itu tidak dimiliki siapapun di kelasnya dia dan disekitar sini (solo) belum ada seperti dia. Jadi sampai berhari-hari dan kadang-kadang dengan modal sampai harus jual laptop, harus jual apa yang dia miliki itu kadang-kadang aku ngarani cah iki edan. Saya coba bandingkan dengan yang aku lakukan, aku belum berani seperti itu. Walau aku tetep eksplorasi-ekplorasi tapi aku tidak seberani Misbahudin, itu tampak Misbahudin benar-benar gila. Aku melihat komposisinya yang menarik itu yang dimainkan di BMB (Bukan Musik Biasa) dan yang dibuat mengiringi ujian tari S2 Anggono. Dia berani mengolah Dangngong dibuat sebuah komposisi musik iringan tari, sangat
77
berani dan menantang” (Wawancara Gondrong Gunarto, 1 November 2013).
Kekaguman Gondrong Gunarto terhadap Misbahudin tentunya dengan alasan yang masuk akal seperti apa yang diutarakannya dalam wawancara di atas. Bahkan Gondrong berpendapat Misbahudin sudah ‘gila’, dalam artian totalitas eksplorasi yang dilakukan Misbahudin sudah melewati batas dan mengejutkan beberapa orang di sekitar Misbahudin termasuk Gondrong Gunarto. Pertaruhan ide hingga harus meninggalkan keluarga, menjual beberapa barang berharga yang dimiliki Misbahudin, dan mengambil segala resiko menjadi pilihan Misbahudin dalam mengeksplorasi Dangngong. Walaupun terminal atau capaian yang ingin dicapai Misbahudin belum banyak diketahui orang, namun pensikapannya terhadap sebuah proses menurut Gondrong patut diapresiasi. Kemungkinan besar ada capaian tersendiri yang ingin diraih Misbahudin dalam proses karya Dangngong. Kemungkinan seputar kepuasan individualnya dari eksplorasi yang ia lakukan, dan kepuasan menghayati sebuah proses. Selain Halim HD dan Gondrong Gunarto, ada seorang pengamat seni yang memperhatikan proses kreatif Misbahudin. Joko Suranto yang kerap disapa Gombloh merupakan seorang pekerja seni, pengamat seni, dan juga menjadi dosen di jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta. Sepak terjang Gombloh dalam pengamatan tentang kebudayaan khususnya seni sudah tidak diragukan lagi. Ia juga pernah menjadi pimpinan redaksi di majalah seni dan budaya nasional yaitu majalah GONG. Banyak tulisan-tulisannya tentang seni dan budaya yang sudah dimuat di media cetak.
78
Bahkan ia juga terkadang menjadi dewan juri dalam lomba musik, menjadi konsultan dalam acara-acara seni budaya dan masih banyak lagi kontribusinya dalam dunia seni dan budaya. Pada sebuah wawancara Gombloh berpendapat tentang Misbahudin sebagai berikut. “Misbahudin itu orang yang multi talenta dan bakatnya memang multi. Dia bisa desain, bisa main musik. Dangngong itu sebenarnya post musik, itu sebenarnya bukan musik, tapi bagaimana kemudian itu menjadi peristiwa musikal. Dangngong itu awalnya memang dibuat untuk aksesoris bunyi layang-layang, lebih kepada fungsinya. Artinya selama ini Dangngong masih difungsikan bukan sebagai musik. Ketika seorang Misbahudin mulai memproduksi atau bereksperimen Dangngong itu sebagai moment artistik, dimensi musiknya masuk disitu dan digarapnya. Dan sosok Misbahudin ini pergaulannya luas bukan hanya pemusik saja berbeda dengan temantemannya. Yang harus dilakukan Misbahudin itu seharusnya mulai memikirkan bagaimana Dangngong itu diakui oleh banyak orang, tercatat dalam sejarah. Semisal dia ke Sabana atau ke pantai selatan memasang seribu Dangngong, itu akan menjadi sejarah. Dia kan juga sudah pernah mencoba eksplor ke pantai dan gunung dan dia juga sudah bisa membedakan karakter angin, itu luar biasa. Dia itu punya potensi yang luar biasa, sayang kalok tidak diasah supaya dapat diakui. Dangngong ini moment yang tepat supaya dia tidak dikenal di kalangannya saja” (Wawancara Joko S Gombloh, 1 November 2013).
Gombloh berpendapat bahwa Misbahudin adalah orang yang multi talenta. Selain bermusik Misbahudin juga menggeluti dunia desain grafis. Menurut Gombloh tentang eksplorasi yang dilakukan Misbahudin terhadap instrumen Dangngong, bagaimana caranya Misbahudin dalam eksplorasi Dangngong bisa mendapat pengakuan oleh masyarakat luas dan bisa tercatat dalam sebuah sejarah. Dangngong merupakan momentum yang tepat agar Misbahudin bisa diakui bukan hanya di dalam lingkungannya saja. Gombloh mengakui bahwa eksplorasi yang dilakukan Misbahudin sangat luar biasa, bahkan telah diketahui kemampuannya tersebut berpotensi mengangkat namanya sebagai komposer yang diakui publik.
79
Dangngong
di
dalam
kehidupan
berkesenian
Misbahudin,
telah
membawanya mendapat pengakuan yang positif dari beberapa seniman dan budayawan khususnya di Surakarta. Pengakuan-pengakuan itu muncul ketika Misbahudin
mulai
mengeksplorasi
Dangngong.
Walaupun
sebelumnya,
Misbahudin sudah dinilai sebagai seniman yang sportif dan bertanggung jawab seperti yang dipaparkan Gondrong Gunarto pada wawancara di atas, tetapi Misbahudin mulai mendapat pengakuan secara khusus ketika mulai mengeksplorasi Dangngong sebagai karyanya. Hal ini menarik untuk dikaji lebih dalam seperti apa instrumen Dangngong, bagaimana Misbahudin mengeksplorasi instrumen Dangngong dan bagaimana bentuk-bentuk penyajian karya Dangngong yang sudah dihasilkannya.
C. Instrumen Dangngong Karya Misbahudin
Instrumen Dangngong karya Misbahudin, secara bentuk visual tidak jauh berbeda dengan Dangngong atau Sendaren layang-layang pada umumnya. Dangngong terbuat dari bilah bambu yang dihaluskan dan dirapikan. Jenis bambu untuk membuat Dangngong kebanyakan menggunakan bambu yang tumbuh di kebun berjenis bambu Ori (kalau di Jawa namanya Pring Ori31). Di kedua bagian ujung bambu dipasang bambu berukuran kecil sebagai pengait pita sumber suara yang akan dibentangkan.
31
Ori merupakan salah satu species bambu yang hidup di Jawa. Selain Ori ada banyak species lainnya seperti Apus, Trembelang, Bonggol, Wulung, Kuning, dan lain-lain.
80
Bambu untuk mengaitkan pita ini kebanyakan menggunakan bambu Suling32. Pita yang digunakan sebagai sumber suara ada beberapa macam, diantaranya adalah pita kaset bekas, pita bekas karung beras (kresek) yang diambil satu helai, bisa juga menggunakan daun Ihusu (sejenis daun lontar), pita Jepang, dan lain sebagainya. Cara membuat Dangngong Misbahudin diawali dengan memotong bambu kira-kira panjangnya 170 cm dan lebar bambu tersebut kira-kira 3 cm sebagai batang Dangngong. Setelah bambu terpotong dan dirapikan, kemudian dilanjutkan mengukur dan memotong bambu kecil (bambu Suling) sepanjang kurang lebih 4-5 cm untuk pengait pita sesuai dengan lebar bilah bambu yang sudah dirapikan tersebut. Potongan bambu Suling tersebut kemudian dilubangi bagian tengahnya selebar ketebalan batang Dangngong (3 cm). Langkah selanjutnya, memotong pita sumber suara dengan panjang tidak melebihi batang Dangngong (140 cm) agar bisa membentang membentuk busur panah. Setelah pita terpotong kemudian dipasang pada batang Dangngong dan dikunci dengan bambu pengait (bambu Suling) agar pita bisa tetap membentang. Berikut gambar Dangngong hasil eksplorasi Misbahudin.
32
Bambu Suling adalah bambu species Jawa yang sering digunakan untuk membuat instrument seruling (Jawa). Anatomi bambu bertubuh kecil dengan daging bambu yang tipis.
81
-
Batang Dangngong
-
Pita Dangngong
-
Pengunci Pita
Gambar 13. Dangngong yang dibuat Misbahudin33.
Pengunci Pita
Ukuran lebar Pita
Pita sudah terkunci
Gambar 14. Bagian-bagian Dangngong.
Secara umum bentuk Dangngong di Indonesia hampir sama, hanya saja bahan yang digunakan ada yang berbeda tergantung pada keberadaan bahan-bahan dan budaya yang berkembang di daerah tersebut.
33
Foto dokumen Jepri Ristiono.
82
Fungsinya juga kebanyakan dipakai untuk aksesoris layang-layang, bahkan juga dilombakan dalam kompetisi mengadu suara Dangngong dan kecantikan bentuk layang-layang itu sendiri. Secara kebetulan, instrumen Dangngong karya Misbahudin dibuat di wilayah Surakarta sehingga bahan-bahan yang digunakan adalah bambu species Jawa. Bentuk eksplorasi Dangngong yang dilakukan oleh Misbahudin juga hampir sama dengan kebanyakan Dangngong yang ada di Indonesia. Bisa dilihat pada gambar di atas bentuk Dangngong yang dibuat oleh Misbahudin bersama teman-temannya. Misbahudin menggarap bentuk visual dari Dangngong tersebut. Pada salah satu bentuk eksplorasi yang dilakukannya, Misbahudin membuat Dangngong yang berbeda dari biasanya. Bentuk Dangngong tersebut terinspirasi dari permainan Colour Guard pada sebauh grup Marching Band. Dangngong akhirnya mengalami inovasi dari bentuk yang sederhana menjadi lebih kompleks. Bahan-bahannya terbuat dari fiber (stick alat memancing) sebagai pengganti bambu yang terhubung langsung dengan pita Dangngong. Kemudian ada pipa alumunium yang panjangnya 170 cm berbentuk bulat dengan diameter sekitar 3 cm, yang terhubung dengan fiber dan juga sebagai tempat pegangan tangan saat memainkan Dangngong. Pengunci pita dengan fiber tersebut tetap menggunakan bambu suling. Sebenarnya konstruksi Dangngong fiber ini sama dengan Dangngong bambu. Hanya saja berbeda dari segi bahan dan penambahan batang alumunium sebagai peganggan pemain. Berikut gambar dari eksplorasi Dangngong yang dilakukan Misbahudin.
83
-
Pipa alumunium
-
Fiber
-
Pita Dangngong
-
Pengunci pita
Gambar 15. Inovasi bentuk Dangngong.
84
Gambar 16. Dangngong hasil inovasi34.
Suara yang dihasilkan dari instrumen Dangngong karya Misbahudin sebenarnya sama dengan suara Sendaren layang-layang. Hanya saja, Misbahudin terkadang memainkan frekuensi (tinggi-rendah) suara yang dihasilkan dari Dangngong buatannya untuk kepentingan musik maupun soundscape. Cara pengolahan tinggi-rendah suara tersebut adalah dengan membedakan ukuran batang Dangngong, membedakan ketebalan pita yang digunakan, dan membedakan tingkat ketegangan tarikan pita pada Dangngong. Hingga saat ini eksplorasi instrumen Dangngong yang dilakukan Misbahudin menghasilkan dua bentuk Dangngong yang berbeda (bambu dan fiber). Bentuk eksplorasi lain yang dilakukan Misbahudin adalah membuat keberagaman
34
Foto dokumen Al-Dilla.
85
tampilan visual dari pemasangan instrumen Dangngong sebagai soundscape. Pada beberapa eksplorasi pemasangan Dangngong sebagai soundscape, Misbahudin membuat menara-menara tempat Dangngong dipasang. Ia telah membuat beberapa model menara tersebut. Berikut adalah gambar model-model menara yang pernah dibuat Misbahudin.
Gambar 17. Model-model menara Dangngong Misbahudin.
Eksplorasi Dangngong yang dilakukan Misbahudin, selebihnya ada pada karya komposisi musiknya selalu berbeda di setiap pertunjukan yang disajikan oleh Misbahudin.
86
Misbahudin mengeksplorasi Dangngong dengan berbagai macam ruang kreatif. Konsep penyajian Dangngong terkadang juga menyesuaikan tema dalam acara pertunjukan. Hal ini karena karya Dangngong merupakan karya eksperimental yang selalu berubah-ubah sesuai dengan ide yang mengilhami Misbahudin ketika akan bereksperimen.
D. Deskripsi Sajian Karya Komposisi Musik Misbahudin dengan Instrumen Dangngong
Bukti-bukti dari eksplorasi yang dilakukan Misbahudin bisa dilihat melalui beberapa contoh bentuk sajian pementasan karya Dangngong. Ruang-ruang kreatif menjadi tempat untuk mengeksplorasi Dangngong dengan tema-tema tertentu. Penjabaran dalam sub bab ini akan menyajikan tiga contoh bentuk karya pementasan Dangngong yang dihasilkan Misbahudin. Ketiga karya tersebut, menurut peneliti bisa menunjukkan perbedaan dalam kreativitas eksplorasi karya Dangngong pada setiap pertunjukan. Meski sebenarnya karya yang dihasilkan Misbahudin dengan instrumen Dangngong lebih dari tiga karya. Selain melihat perbedaan, sub bab ini sekaligus juga akan menunjukkan bentuk eksplorasi karya musik inovatif dari instrumen Dangngong yang telah dilakukan Misbahudin. Contoh yang pertama adalah pertunjukan di tahun 2005 yang merupakan awal dari perjalanan Misbahudin menciptakan karya musik dengan instrumen Dangngong. Karya itu berjudul Aia To Hu-luk, yaitu sebuah drama musikal yang menggunakan dialog-dialog bahasa lokal Selayar sebagai percakapan pertunjukan drama tersebut.
87
Aia To Hu-luk merupakan karya teater musikal dengan memanfaatkan berbagai bunyi sebagai media interaksi, komunikasi, dan artistik dalam pertunjukan. Instrumen Dangngong menjadi instrumen pokok yang dikembangkan dalam karya ini. Selain itu, Misbahudin juga menambahkan beberapa warna bunyi yang berbeda seperti vokal, instrumen tiup Shakuhachi, dan penggunaan instrumen perkusi dari perkakas pertanian khususnya cangkul. Ketika kuliah, Misbahudin merupakan salah satu anggota dari UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) teater Jejak ISI Surakarta. Keterlibatannya sebagai anggota teater Jejak tersebut disinyalir menjadi dasar ide Misbahudin membuat karya Aia To Hu-luk yang berbentuk teater musikal. Pada pertunjukan karya berjudul Aia To Hu-luk, Misbahudin memasang instalasi Dangngong di tempat pertunjukan, dengan mendirikan satu tiang (menara) bambu yang di atasnya dipasang delapan Dangngong dengan arah hadap berbeda. Pemasangan semacam ini diharapkan agar Dangngong tetap bisa berbunyi dari arah angin segala penjuru. Pertunjukan itu diadakan di gedung F ISI Surakarta, yang merupakan salah satu gedung pertunjukan di kampus tempat Misbahudin kuliah. Aia To Hu-luk tercipta bersama kelompok musik La-Here yang didirikan Misbahudin bersama teman-teman sesama mahasiswa yang berasal dari Sulawesi Selatan. Aia To Hu-luk diawali dengan sebuah musik pembuka untuk menyambut kedatangan penonton. Musik penyambut penonton tersebut berupa permainan Gambus Makassar yang dimainkan Misbahudin dan vokalnya dinyanyikan oleh Popo dengan teks lagu yang terkonsep menggunakan bahasa Selayar.
88
Permainan duet Gambus dan vokal tidak tampak adanya penyusunan aransemen musik yang pasti. Keduanya bermain improvisasi, namun mengedepankan interaksi musikal. Beberapa saat dalam permainannya mereka tampak saling melempar kode untuk memainkan dinamika musik. Beberapa saat kemudian Ilham Mappatoya dan Muhammad Suban yang terlibat sebagai musisi pada saat itu, mengisi suasana dengan memainkan instrumen Terbang atau Rebana. Masuknya warna musik perkusi dari Rebana meningkatkan tensi musik menjadi semakin bergairah. Konsep musik pembuka ini seolah-olah dimainkan di atas perahu. Kesan perahu dan suasana laut tersebut dihadirkan dengan dukungan gambar perahu dari multimedia yang dipancarkan pada screen proyektor (layar LCD). Hal ini bertujuan untuk membawa penonton pada suasana masyarakat pesisir35. Setelah permainan musik pembuka tersebut, sajian dilanjutkan pada pertunjukan pokok Aia To Hu-luk. Musisi yang terlibat dalam karya Aia To Hu-luk adalah Misbahudin, Ilham, Suban, Joko, Sugeng, Pandu dan Ambon. Pertunjukan diawali dengan permainan Dangngong dengan beberapa bentuk komposisi yang dimainkan oleh Sugeng, Joko, Pandu, dan Ambon. Mereka berempat memainkan Dangngong sambil berdialog dengan bahasa Selayar. Permainan Dangngong dari para pemain tersebut juga tidak menggunakan susunan aransemen yang pasti. Para pemain Dangngong diberi kebebasan untuk berinteraksi satu sama lain dalam karakter setiap pemain yang berbeda-beda. Meski bebas, terdapat keseragaman teknik dalam memainkan instrumen Dangngong. Teknik permainan Dangngong tersebut adalah ayunan tangan menghibas Dangngong dengan membentuk angka
35
Pernyataan Ilham Ma ppatoya, tanggal 14 November 2013, pukul 16.00 WIB.
89
delapan di udara. Antara suara Dangngong dan dialog-dialog dengan bahasa Selayar yang semakin lama semakin ramai menambah kuat kesan suasana laut Makassar yang ingin dihadirkan. Setelah beberapa saat sesi permainan Dangngong disajikan, kemudian muncul permainan alat perkusi yang menggunakan instrumen pacul (alat untuk mencangkul para petani di sawah) yang dimainkan oleh Ilham dan Suban. Permainan musik pacul dibingkai dalam dua pola ritme yang berbeda namun saling interaktif. Pada bagian permainan komposisi perkusi pacul tersebut, Misbahudin memainkan Shakuhachinya. Permainan Shakuhachi dari Misbahudin dengan kemampuannya yang baik, membuat alunan suara melodi Shakuhachi menjadi menonjol. Kehadiran perkusi pacul dan permainan Shakuhachi membangun suasana berbeda dari sebelumnya. Yang semula berkesan seperti di pantai, kemudian berubah menjadi kesan suasana bunyi di persawahan. Pada pertunjukan ini Misbahudin tidak semata-mata menonjolkan sebuah pertunjukan musik, tetapi lebih kepada sebuah pertunjukan bunyi. Dari bunyi, Misbahudin mencoba menghadirkan dua kesan suasana alam yaitu pantai dan sawah. Kesan bunyi-bunyian alam yang dihadirkan juga spesifik menunjuk pada satu etnisitas yaitu alam Selayar khusunya Hulug yang menupakan tempat lahir Misbahudin. Banyak penonton yang datang ketika pertunjukan itu diselenggarakan dan Aia To Hu-luk mendapat respon yang positif, salah satunya adalah Gigok (seorang seniman teater). Komentar tersebut disampaikan kepada Ilham Mappatoya. Menurut kesaksian Ilham, Gigok menyatakan bahwa, setelah sekian lama teater
90
Jejak ISI Surakarta melakukan produksi teater, karya Aia To Hu-luk adalah bentuk sajian yang berbeda dan baru. Misbahudin mencoba mengaitkan kemampuan musiknya sebagai potensi untuk berteater. Dangngong rupanya berhasil mewujudkan konsep bentuk teater dengan bunyi dan musik36. Contoh yang kedua adalah karya Misbahudin yang dipentaskan dalam acara yang bertaraf internasional yaitu Srawung Seni Segara Gunung, yang juga dikenal dengan acara Sharing Art Garden. Acara ini banyak dihadiri seniman-seniman dari manca negara, dan Misbahudin disandingkan dengan para seniman dunia. Senimanseniman tersebut diantara adalah Dr. June Boyce-Tillman (Inggris), Fathurrahman Said (Republic Polytehnic Malay Cultural Group – Singapura) dan Lynda Bransbury (Wales, Inggris), dan lain-lain. Acara ini diselenggarakan di Candi Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, pada tanggal 20-29 April 2012. Ada suatu kegelisahan yang dirasakan Misbahudin ketika ia berharap “dimana ada Dangngong disitu ada angin yang berhembus dan membunyikan Dangngong”. Ketika tidak ada angin secara alami, salah satu cara yang harus dilakukan adalah dengan menggerakkan Dangngong tersebut melawan arus angin supaya berbunyi. Hal itu yang menjadi suatu usaha dan dipikirkan Misbahudin karena berhubungan dengan konsep pertunjukan. Pada pementasan di Borobudur, Misbahudin mencoba berkolaborasi dengan sebuah komunitas Colour Guard Marching Band dari Universitas Sebelas Maret Surakarta.
36
Pernyataan Ilham Mappatoya, tanggal 14 November 2013, pukul 16.00 WIB.
91
Awalnya Misbahudin terinspirasi ketika melihat acara di salah satu stasiun televisi, ada sekelompok Colour Guard angkatan laut yang sangat lihai dan lincah memainkan tongkatnya yang pada bagian atas tongkat tersebut terdapat bendera dengan warna bermacam-macam. Selain itu Misbahudin juga melihat grup Colour Guard Marching Band dari salah satu kampus di Surakarta yaitu Universitas Sebelas Maret (UNS). Melihat fenomena itu pada akhirnya Misbahudin muncul pemikiran bagaimana seandainya tongkat yang dimainkan oleh Colour Guard itu bukan lagi bendera melainkan sebuah Dangngong yang terpasang pada bagian atas tongkat tersebut. Pada akhirnya, dalam acara pementasan Srawung Seni Segara Gunung yang diselenggarakan di Borobudur, Misbahudin mencoba berkolaborasi dengan Colour Guard UNS. Mereka memainkan tongkat yang pada bagian atas tongkat tersebut diberi Dangngong. Hasilnya cukup menarik, mereka memainkan tongkat Dangngong dengan repertoar gerak yang atraktif dan lincah sehingga komposisi Dangngong terbentuk dari koreografi gerak yang mereka lakukan dengan kompak. Bunyi Dangngong mengikuti alunan gerak tari para pemain Colour Guard yang dilakukan secara serempak sehingga menarik untuk dilihat37. Bagian permainan Dangngong oleh kelompok Colour Guard menjadi salah satu babak dalam sajian pementasan karya Misbahudin. Selain itu masih ada bagian lain yang berbeda materi yaitu Dangngong dalam bentuk lama, bentuk teatrikal, dan tarian Pakarena. Beberapa bagian tersebut disusun berurutan untuk menjadi kesatuan pertunjukan Misbahudin.
37
Data diambil dari peryataan Misbah pada tanggal 11 Maret 2013, pukul 17:15 WIB.
92
Pertunjukan itu diawali dengan memainkan dua buah Dangngong yang masih dalam bentuk lama sebelum dimodifikasi dengan tongkat Colour Guard. Dangngong ini dimainkan oleh dua teman Misbahudin yaitu Ali Maksum dan Yonek. Permainan Dangngong dari kedua musisi tersebut menggunakan teknik ayunan angka delapan (seperti dalam pementasan Aia To Hu-luk). Ali Maksum dan Yonek memainkan Dangngong dari luar panggung. Mereka berjalan melewati kerumunan penonton dengan terus mengayun Dangngong tanpa henti dan menuju panggung. Bunyi Dangngong yang dimainkan dengan cara semacam ini memiliki sensasi tersendiri. Bunyi Dangngong itu bergerak atau berpindah tempat sesuai dengan pergerakan pemain. Ketika di atas panggung intensitas volume bunyi menjadi semakin menguat karena bunyi tersebut tertangkap microphone yang berada di panggung. Setelah beberapa saat bunyi Dangngong menguat di panggung, kemudian disambut dengan permainan Shakuhachi yang dibawakan oleh Misbahudin sehingga suasana menjadi komposisi yang menarik. Misbahudin memainkan Shakuhachinya berdialog dengan suara Dangngong. Tensi dialog yang semakin menguat emosinya, kemudian ditutup dengan teriakan lepas Misbahudin menggunakan bahasa Selayar. Teriakan Misbahudin sekaligus menjadi penutup bagian ini dan juga menjadi tanda masuknya kelompok Colour Guard di panggung. Berikut adalah gambar pementasan karya Misbahudin di acara Srawung Seni Segara Gunung, bagian awal pertunjukan.
93
Gambar 18. Misbahudin dan Dua temannya yang bermain Dangngong38.
Pada bagian kedua, kelompok Colour Guard memasuki panggung secara bergantian sambil bermain tongkat Dangngong fiber sesuai gerak yang mereka buat. Masing-masing pemain Colour Guard tersebut melakukan gerak atraktif dengan tongkatnya secara berbeda-beda. Ada yang memutar tongkat Dangngong fiber dengan putaran yang cepat di depan badannya, ada yang mengibaskan tongkatnya dengan putaran tubuhnya, dan ada juga yang menari-nari dengan goyangan tongkat Dangngong tersebut. Atraksi ini dilakukan secara bergantian diantara lima pemain Colour Guard yang semuanya perempuan. Setelah semua selesai dan sudah memasuki panggung pementasan, kelompok Colour Guard kemudian memainkan tongkat Dangngong fiber secara
38
Foto dukumen pribadi Misbah.
94
serempak dengan gerak yang sama, atraktif, dan kompak. Komposisi gerak mereka diiringi dengan permainan Shakuhachi oleh Misbahudin. Berikut gambar permainan Colour Guard yang memainkan Dangngong fiber.
Gambar 19. Penampilan Colour Guard memainkan Dangngong fibert39.
Setelah permainan atraktif dari Colour Guard selesai, kemudian dilanjutkan dengan bagian transisi menuju sajian tarian tradisional Makassar Pakarena. Pada bagian transisi ini Misbahudin mencoba membaurkan atraksi Colour Guard dengan permainan ensemble Ganrang Makassar. Penampilan Colour Guard pada bagian ini berbeda dengan sesi sebelumnya. Mereka mengganti tongkat Dangngong fiber dengan tongkat bendera yang biasa dimainkan pada pertunjukan Marching Band.
39
Foto dukumen Al-Dilla.
95
Efek visual dari atraksi bendera Colour Guard dipadu dengan alunan musik Ganrang memunculkan kesan suasana meriah yang kontras. Meski kontras, namun koreografi Colour Guard mencoba menyesuaikan ritme dan tempo permainan Ganrang. Dinamika permainan keduanya semakin memuncak seiring dengan percepatan tempo permainan Ganrang. Setelah memuncak, bagian ini ditutup dengan kode berhenti dari Ganrang dan secara serempak kelompok Colour Guard meninggalkan panggung. Setelah bagian transisi, Misbahudin memasukkan sedikit unsur teatrikal untuk mencairkan suasana. Unsur teatrikal ini berwujud dialog antara Misbahudin dengan seorang anak kecil yang merupakan musisi Ganrang. Dalam dialog tersebut digunakan bahasa Selayar. Misbahudin seolah-olah memanggil anak itu untuk naik ke atas panggung. Anak itupun menjawab panggilan Misbahudin, kemudian naik ke atas panggung dengan membawa instrumen Ganrang yang terkalung di badannya. Keluguan dan kelugasan dialog mereka sempat membuat penonton tertawa meski tidak memahami bahasa mereka. Setelah anak kecil tersebut menempatkan diri pada posisi musisi Ganrang, bagian terakhir yaitu tarian Pakarena segera dimulai. Tari Pakarena disajikan secara utuh sesuai dengan tradisinya. Tarian ini sekaligus menjadi bagian akhir yang menutup sajian pertunjukan karya Misbahudin yang berjudul And Open Space. Berikut gambar pertunjukan tari Pakarena yang disajikan oleh para penari dari Makassar.
96
Gambar 20. Pertunjukan tari Pakarena40.
Eksplorasi yang dilakukan Misbahudin pada acara Srawung Seni Segara Gunung sangat berbeda dari karya-karya yang sebelumnya. Selalu ada ruang kreatif yang dieksplorasi Misbahudin dengan instrumen Dangngong. Hal ini membuktikan totalitas Misbahudin dalam berproses kreatif mengeksplorasi Dangngong, dan beberapa orang mengakui akan hal tersebut. Seperti dalam sebuah wawancara Ilham Mappatoya yang berpendapat tentang pementasan di Candi Borobudur sebagi berikut. “Dangngong awal dipentaskan itu malahan dengan gaya teater musikal. Kemudian setelah itu dia mencoba mengeksplorasi lagi dengan gendang Makassar. Menurut saya sangat menarik lagi waktu dia mengeksplorasi lagi dengan pemain Colour Guard Marching Band. Itu sangat luar biasa, karena pemain Colour Guard itu bergerak dengan komposisi tari mereka tetapi dengan tongkat yang di ujungnya dikasih Dangngong. Saya kagum sama 40
Foto dukumen Al-Dilla.
97
Misbahudin dengan totalitasnya berproses mengeksplorasi Dangngong. Itu terbukti ketika saya melihat beberapa prosesnya dia, dia mencoba mengeksplorasi di beberapa tempat bersama timnya ke pantai, sawah, pegunungan dan itu rata-rata di luar daerah. Itu cuma buat mengeksplorasi suara Dangngong itu dan mencoba mencari karakter suara kalau di gunung seperti apa dan di laut seperti apa. Salah satu hasilnya yaa yang dipentaskan di Borobudur itu” (Wawancara Ilham Mappatoya, 6 Maret 2013).
Contoh yang ketiga adalah karya Dangngong dalam pementasan acara Taman Srawung Seni Segara Gunung yang diadakan di museum manusia purba Sangiran, desa Krikilan, kecamatan Kalijambe, kabupaten Sragen. Acara ini diselenggarakan pada tanggal 18-22 April 2013. Pada pementasan ini Misbahudin mencoba mengeksplorasi Dangngong dengan konsep bunyi-bunyian leluhur masyarakat nelayan. Misbahudin memasang beberapa instalasi Dangngong di sekitar tempat pertunjukan tersebut. Ada sebuah instalasi besar yang dipasang di tengah-tengah arena pertunjukan tersebut. Instalasi itu berbentuk menara persegi empat yang masing-masing ujung dari menara itu terdapat sepuluh Dangngong, sehingga Dangngong yang terpasang di menara itu berjumlah empat puluh buah. Selain itu masih ada beberapa menara Dangngong yang menggunakan satu tiang bambu seperti yang pernah dilakukan dalam pementasan sebelumnya. Berikut gambar merana Dangngong yang dibuat oleh Misbahudin.
98
Gambar 21. Menara pada pertunjukan Dangngong di Sangiran.
Pada pertunjukan itu Misbahudin berkolaborasi dengan teman-temannya anggota sanggar teater Jejak dan mahasiswa jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta. Pertunjukan diawali dengan sebuah aksi teatrikal yang dimainkan tiga orang anggota teater Jejak dengan dialog berbahasa Selayar. Tiga orang ini membawa Dangngong fiber seperti yang dimainkan oleh Colour Guard. Mereka berdialog secara bebas dan memainkan tongkat Dangngong fiber memanfaatkan ruang-ruang yang ada dalam pertunjukan tersebut. Dialog dalam Bahasa Selayar diucapkan dengan suara yang lantang seperti berteriak. Konsep kehidupan masyarakat nelayan menjadi dasar pengembangan karya pada saat pementasan itu. Implementasi konsep tersebut salah satunya digunakan pada pengembangan cara memainkan Dangngong fiber.
99
Pola ayunan pemain Dangngong seperti ketika nelayan sedang mendayung kapalnya. Kostum yang mereka gunakan adalah sarung, memakai ikat kepala dan tanpa menggunakan baju. Hal ini bertujuan untuk memperkuat konsep masyarakat nelayan yang ingin dihadirkan Misbahudin.
Gambar 22. Tiga orang anggota Teater Jejak memainkan Dangngong fiber.
Setelah adegan tersebut, dilanjutkan dengan suara teriakan dari Misbahudin juga dengan menggunakan bahasa Selayar. Teriakan lantang itu sebagai tanda untuk memanggil para pemain Dangngong bambu sebanyak sepuluh orang untuk memasuki area pertunjukan. Para pemain Dangngong ini adalah mahasiswa Etnomusikologi ISI Surakarta yang memakai kostum sama dengan tiga orang anggota teater Jejak yang sudah lebih awal memasuki arena pertunjukan. Kesepuluh pemain Dangngong bambu masuk area pertunjukan secara serempak.
100
Mereka melakukan improvisasi permainan Dangngong dengan berlari ke segala arah, dan membunyikan instrumen Dangngong sekehendak hati mereka. Aksi pertunjukan pada bagian ini seolah-olah menjadi cara untuk memecah perhatian penonton dan menjadi tanda berakhirnya bagian sebelumnya. Setelah Misbahudin berteriak dengan bahasa Selayar kedua kalinya, kesepuluh pemain Dangngong bambu yang semula membuat keriuhan, serentak terhenti dan tertib berbaris. Barisan tersebut kemudian mulai bergerak jalan untuk memutari merana Dangngong yang sudah berdiri di tengah area pertunjukan. Mereka berjalan mengelilingi menara Dangngong tersebut sambil memainkan Dangngong yang mereka pegang, dengan pola permainan mengayunkan Dangngong bergerak naik-turun secara serempak dengan pola ritme tertentu yang dimainkan unison.
Gambar 23. Transkrip pola ritme permainan Dangngong.
Pertunjukan itu dilanjutkan dengan permaian Shakuhachi yang dimainkan oleh Misbahudin. Permainan Dangngong berubah pola dari mengayunkannya naikturun kemudian berubah mengayunkannya membentuk angka delapan. Pertunjukan ditutup dengan vokal Misbahudin dengan logat Selayar. Para pemain Dangngong masih memainkan Dangngong yang mereka pegang dengan mengayun membentuk
101
angka delapan. Setelah Misbahudin berteriak lagi dengan bahasa Selayar, permaian Dangngong kembali tidak beraturan, riuh, semua pemain Dangngong bergerak keluar area pertunjukan. Bagian ini menjadi penutup pertunjukan karya Misbahudin yang berjudul Bunyi-bunyian Leluhur. Ketiga contoh pertunjukan karya Dangngong yang sudah dijabarkan di atas, setidaknya dapat membantu untuk melihat perbedaan dan perkembangan yang terjadi dalam kekaryaan eksplorasi Dangngong yang dilakukan Misbahudin. Contoh yang pertama pertunjukan Aia To Hu-luk yang mencoba memasuki ruang kreatif sebuah bentuk teater musikal, kemudian pertunjukan yang kedua bereksperimen dengan gerak atraktif dari pemain Colour Guard, dan pertunjukan yang ketiga memadukan antara teatrikal dan permainan Dangngong oleh mahasiswa Etnomusikologi. Pertunjukan dengan merespon menara Dangngong yang meraka kelilingi. Secara garis besar dari konsep disemua pertunjukan hampir sama yaitu dengan konsep masyarakat pesisir. Perbedaan dan perkembangan kekaryaan yang diciptakan Misbahudin dengan instrumen Dangngong ini setidaknya memberi sinyal pada peneliti bahwa Misbahudin adalah seniman yang kreatif. Ketika mengeksplorasi Dangngong, kreativitasnya selalu bergerak untuk menemukan hal-hal yang baru. Konsepkonsep komposisi pertunjukan karya Dangngong yang sudah dipentaskan tentunya didasari oleh sebuah ide. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana Misbahudin mendapatkan ide-ide segar dalam setiap kesempatan ruang kreatif yang dimilikinya. Bagaimana kecenderungan proses yang dilakukan Misbahudin untuk mengeksplorasi Dangngong, dan apa sesungguhnya energi yang menekannya
102
(pressing) untuk selalu berfikir kreatif. Berbagai tentang pola kreatif Misbahudin dalam kekaryaan Dangngong tersebut, merupakan bagian atau elemen untuk mengetahui nilai kreativitas Misbahudin sebagai seniman musik.
103
BAB IV ELEMEN DAN FAKTOR PENDORONG KREATIVITAS MISBAHUDIN DALAM KARYA – KARYA DANGNGONG
Setelah melihat penjabaran tentang perjalanan kesenimanan, kreativitas, dan eksplorasi terhadap instrumen Dangngong yang dilakukan Misbahudin, bisa dilihat secara awam bahwa ternyata Misbahudin telah melakukan aktivitas dan berhasil menciptakan karya yang kreatif. Bahkan selain itu, karya Dangngong dapat menjadi salah satu pembuktian bahwa Misbahudin adalah seorang pribadi yang kreatif. Eksplorasi instrumen Dangngong melalui proses yang sangat lama, dan tahap-tahapan dari proses tersebut selalu berkembang seiring kreativitas yang ada dalam pikiran Misbahudin. Proses eksplorasi Dangngong, baik dalam bentuk karya maupun instalasi menara soundscape tentunya ada hal-hal yang melatar belakangi terjadinya proses kreatif tersebut. Hal ini berhubungan dengan kondisi personal, karakter, permainan konsep dan bagaimana Misbahudin mengatasi kegelisahan dalam menciptakan karya Dangngong. Beberapa latar belakang dibalik karya Dangngong Misbahudin tersebut menjadi elemen penting untuk diketahui yang pada akhirnya dapat menjabarkan nilai kreativitas dari Misbahudin dan karyanya. Teori kreativitas perlu digunakan untuk membantu mengetahui indikasiindikasi kreativitas Misbahudin dalam kasus karya Dangngong. Teori juga akan menghubungkan pengakuan-pengakuan dari pengamat seni yang juga berkomentar tentang pribadi Misbahudin yang kreatif selain juga hasil dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti selama ini.
104
Teori kreativitas Rhodes yang menjelaskan tentang teori empat P dalam kreativitas dipilih sebagai teori pokok analisis. Teori empat P tentang kreativitas ini pada dasarnya memiliki empat elemen pokok yang perlu diperhatikan untuk melihat kreativitas. Empat elemen pokok tersebut adalah pribadi, proses, pendorong, dan produk atau buah hasil dari kreativitas tersebut. Teori ini didapat dari buku yang ditulis oleh Utami Munandar yang berjudul “Kreativitas dan Keberbakatan”. Di dalam buku tersebut ditulis sebagai berikut. “”Kreativitas dan Keberbakatan” yang ditulis Utami Munandar dijelaskan tentang konsep kreativitas dengan pendekatan empat P. Konsep ini dibuat karena adanya beraneka ragam definisi tentang kreativitas, namun tidak ada satu definisi pun yang dapat diterima secara universal. Rhodes dalam menganalisis lebih dari 40 definisi tentang kreativitas menyimpulkan bahwa pada umumnya kreativitas dirumuskan dalam istilah pribadi (person), proses, dan produk. Kreativitas dapat pula ditinjau dari kondisi pribadi dan lingkungan yang mendorong (press) individu ke perilaku kreatif. Rhodes menyebut keempat jenis definisi tentang kreativitas ini sebagai “Four P’s of Creativity: Person, Procces, Press, Product” (U. Munandar, 2002: 26).
Membahas tentang kreativitas Misbahudin dan perjalanan kesenimanan Misbahudin, peneliti meyakini bahwa teori Empat P (teori kreativitas) tepat untuk digunakan sebagai alat analisis atau panduan untuk mengetahui fenomena kreativitas pada diri Misbahudin. Peneliti akan mulai membahas tentang kreativitas Misbahudin dari (1) melihat sisi personal atau pribadinya yang dilibatkan dalam penciptaan karya Dangngong, (2) beberapa bentuk proses yang dilakukan dalam karyanya, (3) faktor-faktor yang diduga mendorong kreativitas dalam karya ini, dan (4) menimbang Dangngong sebagai produk kreatif.
105
A. Misbahudin Pribadi yang kreatif
Definisi tentang kreativitas sangat beragam, seperti yang dikatakan juga oleh Rhodes. Keberagaman tersebut ditinjau dari apa dan bagaimana orang memandang sebuah kreativitas. Kreativitas dalam pengertian yang sempit, dapat ditunjukkan dari produk-produk kreatif seorang individu yang mempunyai sikap kreatif. Misbahudin menunjukkan produk kreativitasnya berupa hasil eksperimen bunyi yang diwujudkan pada instrumen Dangngong. Alat musik ini merupakan wujud dari sebuah pemikiran yang bergejolak. Ketika bunyi yang awalnya hanya dianggap sebuah bunyi-bunyian mainan yang berfungsi sebagai suatu pertanda, oleh Misbahudin ingin mengangkat bunyi tersebut menjadi sebuah musik melalui proses eksplorasi yang dilakukannya. Keinginan tersebut sebenarnya sudah menampakkan adanya ciri Misbahudin sebagai pribadi yang kreatif, karena berfikir tentang kebaruan atas suatu bunyi. Indikasi tersebut selanjutnya akan dijadikan dasar untuk melihat beberapa sisi dari pribadi Misbahudin yang mencerminkan dirinya sebagai pemilik ciri-ciri pribadi yang kreatif. Menurut Jakob Sumardjo, kreativitas adalah suatu kondisi, suatu sikap atau keadaan mental yang sangat khusus sifatnya dan hampir tidak mungkin dirumuskan. Kreativitas adalah kegiatan mental yang sangat individual dan berhubungan khusus dengan pribadi yang kreatif. Hal ini merupakan manifestasi kebebasan manusia sebagai individu yang kreatif. Manusia kreatif adalah manusia yang menghayati dan menjalankan kebebasan dirinya secara mutlak (Jakob Sumardjo, 2000: 80).
106
Memahami pernyataan Jakob Sumardjo yang ditulis di dalam bukunya, bahwa manusia yang kreatif adalah manusia yang menghayati dan menjalankan kebebasan dirinya secara mutlak. Kebebasan yang dimaksud adalah kondisi dimana seseorang itu membebaskan pikirannya untuk suatu sikap yang baru. Jakob Sumardjo menambahkan tentang definisi manusia yang kreatif, bahwa kreativitas mencuat kalau muncul obsesi dalam diri manusia kreatif. Obsesi muncul kalau yang diinginkan individu tidak sesuai dengan diluar dirinya. Manusia kreatif bukanlah manusia kosong mental. Manusia yang kreatif adalah manusia yang memiliki gambaran suatu sikap baru, pandangan baru, konsep baru, sesuatu yang sifatnya lebih esensial (Jakob Sumardjo, 2000: 80-81). Jika dilihat dari sikap Misbahudin ketika masih dalam jenjang pendidikan di SMKI, Misbahudin adalah seorang siswa yang selalu merasa kurang dengan apa yang diajarkan oleh gurunya di SMKI. Misbahudin terobsesi ingin menguasai semua alat musik di tempat ia bersekolah. Hal itu pun berbeda dengan teman-teman satu kelasnya yang memang konsisten hanya dengan satu instrumen musik saja. Ilham Mapatoya salah satu teman sekelas Misbahudin menilai bahwa, Misbahudin memang mempunyai bakat yang luar biasa. Dia tidak pernah merasa puas dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru. Hampir semua instrumen ingin dia kuasai dan memang dipelajarinya secara total. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jakob Sumardjo bahwa manusia yang kreatif adalah manusia yang menghayati dan menjalankan kebebasan dirinya secara mutlak. Misbahudin menghayati pola pikirnya yang kreatif ketika berkeinginan untuk menguasai semua instrumen musik di tempat ia bersekolah dan pola pikir tersebut dijalaninya dan dibebaskannya.
107
Sehingga, Misbahudin pun benar-benar menguasai instrumen-instrumen yang dipelajarinya waktu masih bersekolah di SMKI. Kebebasan untuk mengekspresikan diri dihayati dan dilakuan oleh Misbahudin ketika ia ingin mempelajari semua instrumen tersebut. Seakan-akan Misbahudin tidak menerima begitu saja apa yang diajarkan oleh gurunya, Misbahudin merasa kurang dan mempunyai keinginan yang lebih dari apa yang diajarkan oleh gurunya tersebut dengan tidak hanya mempelajari satu instrumen musik saja. Ketidak puasan dengan apa yang sudah dikuasai oleh Misbahudin juga diwujudkan dalam bidang diluar kompetensi yang diajarkan di sekolah Misbahudin. Selain bakat Misbahudin dalam hal musik yang memang itu merupakan bidang kompetensi yang diajarkan di sekolahnya, ia juga belajar melukis dan belajar tentang artistik panggung. Hal ini terbukti ketika sekolah di SMKI, Misbahudin selalu dipercaya teman-temannya dalam urusan artistik panggung ketika ada sebuah acara pementasan. Bahkan disebuah asrama tempat Misbahudin tinggal bersama teman-temannya SMKI, di tembok-tembok asrama tersebut terdapat lukisan Misbahudin. Misbahudin mencoba mengaktualisasi diri dengan mewujudkan potensi kreatif yang dimilikinya baik dalam bidang musik maupun seni rupa. Menurut psikolog humanistik Abraham Maslow dan Carl Rogers, yang dikutip oleh Utami Munandar berbendapat bahwa, aktualisasi diri adalah apabila seseorang menggunakan semua bakat dan talentanya untuk menjadi apa yang ia mampu menjadi – mengaktualisasikan atau mewujudkan potensinya. Rogers menekankan (1962) bahwa sumber kreativitas adalah kecenderungan untuk mengaktualisasi diri, mewujudkan potensi, dorongan untuk berkembang dan
108
menjadi matang, kecenderungan untuk mengekspresikan dan mengaktifkan semua kemampuan organisme (U. Munandar, 2002: 23-24). Pernyataan ini, jika dilihat dari bakat dan kemampuan Misbahudin ketika masih duduk di bangku sekolah SMKI, Misbahudin adalah seorang yang mampu mengaktualisasikan diri dengan bakat yang ia miliki. Misbahudin mewujudkan potensi dari bakat yang dia miliki, seperti dalam hal bermusik dan dalam bidang seni rupa. Hingga sekarang Misbahudin tidak hanya menjadi seorang seniman atau pemusik saja, Misbahudin juga memiliki keahlian dalam bidang desain grafis. Ini seperti pernyataan Joko Suranto (Joko Gombloh) yang berpendapat bahwa Misbahudin merupakan seseorang yang memiliki bakat multi talenta. Selain bermusik, Misbahudin juga memiliki keahlian dalam bidang desain. Bakat dalam bidang desain dan musik yang dimiliki Misbahudin ditekuninya hingga sekarang, dan ia total dalam dua hal tersebut. Totalitas pada bidang desain, Misbahudin sering mengikuti perlombaan desain logo yang diselenggarakan melalui media online, dan Misbahudin beberapa kali memenangkan lomba tersebut. Totalitas Misbahudin dalam bermusik bisa dilihat pada tabel perjalanan kesenimanan yang dilalui Misbahudin hingga muncul sebuah karya yang diciptakan Misbahudin lewat eksplorasi Dangngong. Dangngong merupakan buah hasil dari totalitas Misbahudin dalam bermusik. Ide tersebut muncul ketika Misbahudin merasa jenuh karena sebelum ia melahirkan karya Dangngong, ia hanya menjadi pemain musik saja. Misbahudin merasa tidak puas jika hanya menjadi pemusik saja, tanpa melahirkan sebuah karya dari hasil pemikirannya. Pada akhirnya, Misbahudin mengaktualisasikan bakatnya untuk menciptakan karya, membebaskan pikirannya untuk berani membuat karya
109
dari hasil pemikirannya dan memberanikan diri untuk menawarkan sebuah konsep baru dalam dunia musik. Kronologi munculnya karya-karya dari situasi kejenuhan Misbahudin menunjukkan gejala yang rasanya serupa dengan pernyataan Jakob Sumardjo tentang salah satu ciri pribadi kreatif. Kejenuhan yang terjadi pada Misbahudin, sebenarnya menunjukkan bahwa dirinya membutuhkan ruang aktualisasi diri yang baru. Ketika ruang untuk mengaktualisasi diri sebagai pemusik dirasakannya telah tuntas dijajakinya, ia lantas menginginkan ruang aktualisasi yang baru dan mampu mengakomodasi kebebasannya berfikir, berproses, dan juga melakukan berbagai aktivitas kreatif lainnya. Karya eksplorasi Dangngong dalam kronologi perjalanan kesenimanan Misbahudin dapat dikatakan sebagai penanda bahwa dirinya adalah seorang yang kreatif. Karya Dangngong dijadikannya ruang untuk memenuhi berbagai hal tentang keinginan kreatifnya. Karya ini memeberikan ruang baru untuk berkonsep, berproses, dan melahirkan karya yang kreatif yang muaranya pada pencapaian aktualisasi diri yang dibutuhkannya. Melalui pengalaman-pengalaman yang dilalui Misbahudin ketika menjadi pemusik, pada akhirnya muncul pemikiran untuk menciptakan karya musik lewat eksplorasi instrumen Dangngong. Misbahudin menunjukkan sikap yang baru, pandangan yang baru dan menawarkan konsep yang baru untuk khasanah musik Indonesia. Bisa dikatakan Misbahudin melakukan pemikiran yang kreatif, seperti yang dikatakan Jakob Sumardjo bahwa manusia yang kreatif adalah manusia yang memiliki gambaran suatu sikap baru, pandangan baru, dan konsep baru. Sikap baru dapat dilihat dari keberanian Misbahudin untuk menciptakan karya-karya dari hasil
110
pemikirannya. Pandangan baru dibuktikan Misbahudin ketika ia menciptakan suatu karya yang berbeda (belum banyak orang mengeksplorasi Dangngong), lewat perjalanan eksplorasi Dangngong yang dilakukan Misbahudin. Ia memiliki pandangan yang baru ketika melihat kebanyakan orang menganggap Dangngong hanya sebagai alat bunyi-bunyian atau bunyi petanda tertentu, namun dengan keberanian yang ia miliki, Misbahudin mengangkat Dangngong menjadi instrumen musik dan dihadirkan dalam pertunjukan musik ketika Misbahudin terlibat dalam sebuah acara pertunjukan tertentu. Konsep baru ditunjukkan Misbahudin lewat bentuk karya-karya yang sudah dihasilkan oleh Misbahudin. Konsep yang selalu berubah dalam setiap pertunjukkan dan memanfaatkan ruang-ruang kreatif yang juga disesuaikan dengan konsep pertunjukkan yang Misbahudin ikuti. Kembali kepada persoalan pribadi kreatif yang ada dalam diri Misbahudin, bisa disimpulkan bahwa Misbahudin adalah seorang yang terbuka terhadap pengalaman. Hal ini juga menunjukkan salah satu ciri-ciri pribadi yang kreatif. Menurut Carl Rogers (1902-1987) yang dikutip oleh U.Munandar, mengatakan bahwa ada tiga kondisi internal dari pribadi yang kreatif adalah: 1. Keterbukaan terhadap pengalaman. 2. Kemampuan untuk menilai situasi dengan patokan pribadi seseorang (internal locus of evaluation). 3. Kemampuan untuk bereksperimen, untuk “bermain” dengan konsep – konsep (U. Munandar, 2002: 49).
111
1. Keterbukaan Misbahudin pada Pengalaman
Melihat eksplorasi Dangngong yang dilakukan oleh Misbahudin, akan menunjukkan bahwa Misbahudin adalah pribadi yang terbuka dengan pengalaman. Seperti yang sudah dibahas pada bab III, bahwa eksplorasi instrumen Dangngong berawal dari pengalaman Misbahudin ketika masih kecil yang gemar bermain layang-layang yang dilengkapi Dangngong. Walapun pada masa kecil, Misbahudin belum mengetahui bahwa ternyata Dangngong menjadi sebuah instrumen yang sekarang digarapnya, tetapi Misbahudin terbuka dengan pegalaman tersebut sehingga masa kecil itu terngiang di pikirannya dan mempengaruhi pemikirannya untuk mengangkat Dangngong menjadi musik yang dilakukannya saat ini. Misbahudin akhirnya bertemu lagi dengan Dangngong ketika sekolah di SMKI Makassar yang waktu itu ada salah seorang guru yang bernama Samsul Kamar mengenalkan lagi tentang Dangngong. Peristiwa ini ternyata dihayati oleh Misbahudin dan menjadi sebuah pengalaman yang juga berpengaruh pada eksplorasi Dangngong yang dilakukan saat ini. Teman-teman sekelas Misbahudin tidak ada yang menyangka ternyata Misbahudin menghayati pelajaran itu dan Misbahudin merekam pelajaran tersebut ke dalam memori pikirannya. Seperti yang dipaparkan oleh Ilham Mappatoya yang mengatakan bahwa ternyata Misbahudin teringat dengan pelajaran tentang Dangngong yang diajarkan oleh Samsul Kamar. Misbahudin ternyata mengeksplorasi Dangngong itu hingga sekarang dan dia total dalam hal itu. Pengalaman-pengalaman yang lain hubungannya dengan penciptaan karya Dangngong, didapat Misbahudin dari perjalanan kesenimanannya.
112
Misbahudin belajar cara membuat karya, cara bermain-main dengan konsep dan mempelajari tentang musik eksperimental lewat pengalaman ketika Misbahudin dilibatkan dalam proses kreatif yang dilakukan oleh senior-seniornya. Selain itu Misbahudin mulai paham tentang kontemporer juga karena terlibat dalam proses kreatif seniornya. Hasil karya Dangngong dalam pembahasan ini dapat didudukkan sebagai bukti bahwa Misbahudin selaku pangkarya melakukan aktivitas menjaring berbagai pengalaman. Ia menggunakan pengalaman masa lalunya diwaktu kecil untuk mewujudkan karya ini. Selain pengalaman pribadinya, ia juga membuka diri untuk menyerap pengalaman dari orang lain seperti Samsul Kamar (gurunya) sebagai pelajaran dan inspirasi, termasuk pengalaman seniman-seniman senior sebagai pemacu kreativitasnya membuat karya Dangngong. Pengalaman-pengalaman tersebut akhirnya mendorong Misbahudin untuk berani membuat karya musik yang diwujudkan lewat eksplorasi Dangngong. Hal ini menegaskan bahwa Misbahudin mempunyai pribadi yang kreatif dengan terbuka terhadap pengalaman. Penghayatan terhadap pengalaman-pengalaman menjadi salah satu pendorong Misbahudin dalam menciptakan karya musik. Pada proses penciptaan, Misbahudin melalui proses yang panjang dan terdapat benang merah penghubung antara pengalaman dengan hasil karya musik yang diciptaan Misbcah. Pernyataan tentang pribadi yang kreatif adalah keterbukaan terhadap pengalaman, juga diperkuat oleh salah satu sumber data yang didapat dari internet. Sumber tersebut menegaskan bahwa satu kebiasaan utama orang kreatif adalah
113
pada sikapnya yang terbuka terhadap segala macam ide, gagasan, dan pemikiran, mulai dari yang lurus-lurus saja sampai yang tergolong kontroversial. Ini bertolak belakang dengan kecenderungan kebanyakan orang yang hanya menerima hal yang disukai, diinginkan, dan tidak bertentangan dengan dirinya. Bagi orang-orang kreatif, sesuatu yang lain dari pada yang lain, yang baru, yang menantang, yang sekilas nampak tidak masuk akal, yang mengandung misteri, atau segala sesuatu yang begitu mengusik rasa ingin tahunya, merupakan menu menggairahkan yang setiap waktu memenuhi perhatiannya41.
2. Kemampuan Misbahudin Menilai Situasi dengan Keyakinan Personalnya
Ciri-ciri pribadi yang kreatif selanjutnya adalah kemampuan menilai situasi sekitar dengan keyakinan terhadap kreativitas personal yang dimiliki orang tersebut. Orang yang kreatif adalah orang yang terdorong untuk menghayati situasi sekitar dan berfikir untuk mengembangkan situasi tersebut menjadi situasi yang berbeda. Kondisi di lingkungan sekitar mempengaruhi seseorang untuk berpikir kreatif, ketika orang itu mampu menilai kondisi tersebut. Lingkungan adalah salah satu situasi yang memicu pikiran seseorang untuk selalu berpikir kreatif. Penilaian terhadap lingkungan sekitar juga menjadi acuan untuk menciptakan produk-produk kreativitas yang berbeda dari yang sudah ada. Misalnya, ketika berada di dalam lingkungan yang banyak orang-orang kreatif, tentunya akan mendorong seseorang
41
Sumber: http://radio.spin.net.id/?p=289.
114
untuk berpikir kreatif dan menciptakan sesuatu yang berbeda dari yang sudah ada di lingkungan tersebut. Manusia yang kreatif adalah manusia yang terobsesi untuk berkembang menciptakan sesuatu dari hasil pemikirannya, dan obsesi-obsesi itu muncul ketika lingkungan sekitar berbeda dari apa yang diharapkan dari si pemikir kreatif tersebut. Bisa dikatakan bahwa, lingkungan sekitar sangat berpengaruh bagi perkembangan pola pikir kreatif. Melihat kasus kreativitas Misbahudin, bisa dikatakan ia adalah seorang seniman yang mampu menilai situasi dengan patokan pribadi Misbahudin. Salah satu contoh bisa dilihat dari proses-proses eksplorasi Dangngong yang ternyata belum banyak orang atau seniman yang berani mengangkat Dangngong menjadi sebuah instrumen musik yang digarap dan dihadirkan dalam sebuah pementasan. Keberanian Misbahudin mengangkat instrumen Dangngong bukan tanpa dasar, tetapi pemikiran ini muncul ketika Misbahudin melihat Dangngong hanya dianggap sebagai bunyi-bunyian mainan yang kurang diperhatikan oleh kebanyakan orang. Situasi tentang kenyataan Dangngong bagi Misbahudin dijadikan sebuah picu untuk berfikir kreatif. Misbahudin percaya bahwa semua bunyi bisa menjadi musik. Seperti yang dipaparkan Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Inspirasi Dangngong berpijak pada konsep musik bawasanya musik apapun dibentuk melalui elemen bunyi. Inspirasi membuat bunyi bisa diperoleh dimanapun. Menghayati hutan, menghayati kota, gunung, dan lain sebagainya. Semuanya memiliki elemen bunyi sebagai sumber inspirasi penciptaan musik. Musik tidak harus terkonstruksi secara hukum musik barat, atau musik populer. Musik juga bisa dinilai dari konsepnya, dari nilainilai yang terkandung dari konsep penyajian, juga dari segi maksud dan tujuan dari pembuatan karya tersebut bahwa musik itu harus bisa dipertanggung jawabkan dan harus berani mengambil resiko” (Wawancara Misbahudin, 11 Januari 2012).
115
Pemaparan Misbahudin di atas membuktikan beberapa hal tentang dirinya yang kreatif. Ia memanfaatkan lingkungan sebagai situasi yang butuh diperhatikan dan dihayati. Selanjutnya hasil hayatan tersebut menjadi sumber inspirasi untuk menghasilkan sesuatu yang baru, dan terkadang memperbaiki situasi yang lama. Proses konseptual karya-karya Dangngong menunjukkan hal tersebut, dimana Misbahudin mengawali pemikiran kreatifnya dari menilai situasi sekitar dengan sudut pandang pribadinya. Keberanian mengambil resiko juga merupakan ciri-ciri pribadi yang kreatif. Tidak ada yang bisa menandingi keberanian orang-orang yang kreatif dalam bereksperimen dengan hal-hal baru, asing, atau bahkan yang nampak tidak masuk akal. Sejalan dengan sikapnya yang terbuka dan hasrat ingin tahunya yang besar, orang kreatif selalu mencoba banyak hal baru. Orang kreatif sama saja dengan kebanyakan orang yang memiliki rasa takut terhadap hal-hal tertentu yang tidak sepenuhnya dia kenal. Yang membedakan dia dengan orang kebanyakan hanyalah pada tingkat keberaniannya untuk mencoba42. Jika dilihat dari eksplorasi yang dilakukan oleh Misbahudin terhadap instrumen Dangngong, bisa dilihat bahwa Misbahudin adalah seorang yang berani mengambil resiko, berani bereksperimen dan mencoba hal-hal yang baru. Hal ini pun diakui oleh Gondrong Gunarto yang menilai bahwa Misbahudin adalah seorang pekerja keras dalam sebuah proses pencariannya, eksplorasi di dalam instrumen Dangngong luar biasa dan itu menjadi kelebihan Misbahudin.
42
Sumber : http://radio.spin.net.id/?p=289.
116
Walaupun Misbahudin sudah berkeluarga, dan ia juga belum memiliki pekerjaan yang jelas dalam artian sumber ekonominya tentative (‘kadang ada-kadang tidak’). Pada situasi semacam ini ia berani meninggalkan semuanya. Berani meninggalkan keluarga dengan segala resikonya untuk konsentrasi pada eksplorasi Dangngong, Misbahudin selalu serius dalam menyikapi ide-ide yang dipikirkannya. Walaupun sampai berhari-hari dan kadang-kadang dengan modal besar (sampai harus menjual laptop). Seperti yang dikatakan I Wayan Sadra dalam tulisannya yang berjudul “Lorong Kecil Menuju Susunan Musik”. Sadra berpendapat bahwa Ide atau gagasan kelahiran dalam sebauh komposisi ditandai oleh dua hal: pertama, adanya ide-ide yang bersifat non musikal seperti kasus lingkungan hidup, kesenjangan sosial, empati tentang bencana alam (tsunami, bom, gunung meletus) dan lain sebagainya, yang memberikannya nilai atau makna tentang kehidupan. Kedua, adanya gagasan atau kegelisahan kreatif akibat dari kemampuan sensitifitas dalam menelaah masalah-masalah yang ada pada persoalan yang bersifat musikal. Kegelisahan pada musik-musik yang telah jadi, atau suara dan bunyi yang masih bersifat random – bercerai-berai dan tak beraturan (I Wayan Sadra, 2005: 80). Banyak cara bagaimana ide atau gagasan itu bisa muncul pada pemikiran seorang pencipta karya seni. Pada sebuah musik, ide bisa muncul dari merespon keadaan di sekitar seniman tersebut baik fenomena secara musikal maupun non musikal. Fenomena musikal contohnya ketika seorang seniman mungkin melihat musik yang sudah jadi, mendengar bunyi-bunyi yang belum beraturan dan pada akhirnya muncul dorongan atau keinginan untuk menata bunyi-bunyi tersebut, dan
117
lain sebagainya. Fenomena non musikal akan lebih mengarah kepada merespon fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekitar seniman tersebut. Hal ini biasanya berhubungan dengan konsep dan tujuan membuat karya seni. Suatu contoh ketika merespon fenomena bencana alam, akhirnya diciptakan sebuah karya yang berhubungan dengan bencana alam tersebut, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Penjabaran tentang bagaimana ide atau gagasan mencipta karya seni itu muncul seperti di atas juga dialami oleh Misbahudin. Pengalaman berkesenian yang telah dilewati Misbahudin, menjadi sebuah memori yang mendorong Misbahudin untuk menggali lagi ide-ide untuk menciptakan karya seni. Perjalanan ketika Misbahudin sekolah, mengikuti acara-acara pementasan, berkarya, dan sering membantu senior-seniornya sebagai pemain musik, juga menjadi bekal untuk menciptakan karya seni. Misbahudin merespon fenomena disekitarnya, ketika ia mulai jenuh dengan musik-musik yang sudah ada, dan alat-alat musik yang sudah sering dimainkannya medorong Misbahudin untuk menciptakan sesuatu yang berbeda atau belum banyak diperhatikan oleh seniman yang lain. Pada dasarnya seni adalah suatu bentuk abstraksi dari ‘ungkapan gejolak jiwa manusia’ yang tidak bisa dinyatakan melalui media ungkapan lain yang lebih nyata. Oleh karena itu, instrumen musik sebagai perpanjangan daya ungkap kalbu the inner aparatus menjadi pilihan yang dipentingkan bagi banyak orang yang menyukai permainan abstrkasi. Bermain musik melalui instrumen sebagai medium ekspresi menuntut sisi kecerdasan tersendiri. Pada permainan musik, seseorang akan berhubungan dengan banyak tanda dan kode teknik yang berkaitan langsung
118
dengan alam fantasi dan suara-suara imajiner. Korelasinya adalah, semakin tinggi tingkat penguasaan instrumental pemain musik pada diri seseorang, semakin tinggi pula dituntut bakat, keterampilan, dan kecerdasan dari padanya (Suka Harjana, 2003: 20-21). Dangngong merupakan instrumen yang dipilih Misbahudin untuk mengungkapkan gejolak keinginannya menciptakan karya seni, dan menghilangkan kejenuhan yang dialaminya. Bakat dan keterampilan yang didapat dari perjalanan berkesenian, oleh Misbahudin mencoba diekspresikan dengan suara-suara imajiner yang dihasilkan oleh Dangngong. Dapat disimpulkan bahwa Misbahudin merupakan pribadi yang mampu menilai situasi atau kondisi disekitarnya dengan patokan pribadi yang ada dalam diri Misbahudin. Berbagai situasi sekitar dijadikannya sebagai sumber penting untuk berbuat kreatif. Hal ini membuktikan bahwa pribadi yang kreatif ada dalam diri Misbahudin yang dapat dilihat dari eksplorasi Dangngong yang dilakukannya dan juga pengalaman-pengalamannya dalam berkesenian.
3. Kemampuan Misbahudin Bereksperimen dengan Konsep
Ciri-ciri pribadi yang kreatif selanjutnya adalah mampu bereksperimen, untuk bermain-main dengan konsep. Kajian saintifik modern menyatakan bahwa, konsep hadir sebagai sebuah konstruksi pikir seseorang yang menggambarkan dalam wujudnya yang abstrak dan simbolik suatu realitas empirik. Konsep (berasal dari kata Latin conceptus yang berarti ‘buah gagasan’) tentang sesuatu benda atau
119
gejala bukanlah gejala atau benda faktual itu sendiri, melainkan gambaran yang diimajinasikan dan didefinisikan saja43. Di dalam sebuah penciptan karya musik, konsep merupakan bangunan pemikiran yang berhubungan dengan proses penemuan ide, proses pembuatan karya, dan juga hubungannya dengan tujuan pembuatan karya. Konsep mendasari akan adanya semua proses yang terjadi pada pembuatan karya. Ketika orang akan menciptakan karya, yang menjadi pokok pikiran adalah ide, dan kemudian ide tersebut menjadi pondasi dari bangunan konsep karya yang akan diciptakan. Bisa dikatakan bahwa, konsep merupakan sebuah bangunan rumah, kemudian ide menjadi pondasinya, dan di dalam rumah tersebut terdapat proses pembuatan karya, bahan untuk membuat karya, tujuan membuat karya dan hasil yang dilahirkan dari gabungan elemen-elemen tersebut. Pada eksplorasi karya Dangngong yang dilakukan oleh Misbahudin, telah melahirkan beberapa judul karya. Pada setiap karyanya yang menggunakan Dangngong tersebut selalu dilandasi dengan adanya konsep yang berbeda-beda. Misbahudin selalu memanfaatkan ruang-ruang kreatif untuk menuangkan konsep karya yang dipikirkan dan diimajinasikannya. Terkadang konsep-konsep tersebut terinspirasi atau sengaja dihadirkan untuk menyesuaikan tajuk acara pementasan tertentu yang diikutinya. Tiga contoh perbedaan konsep kekaryaan eksplorasi Dangngong tersebut sudah disinggung dalam Bab III. Antara Aia To Hu-luk, And Open Space, dan Bunyi-bunyi leluhur yang merupakan karya-karya pengembangan
43
Sumber dari Handout Mataajaran 'Teori-Teori Sosial Tentang Hukum' Prof. Soetandyo Wignjosoebroto. Tentang Konsep, Teori Dan Paradigma Ilmu Pengetahuan Sosial.
120
Dangngong telah menunjukkan aktivitas Misbahudin bermain-main dengan sebuah konsep. Aktivitas bermain konsep tetap diyakininya sebagai proses kreatif yang diberlakukan pula dalam karya-karya selanjutnya. Melihat tiga contoh permainan konsep dari Misbahudin, bisa dilihat ide paling mendasar pada eksplorasi Dangngong adalah mengenalkan budaya Selayar. Konsep yang dituangkan banyak atau bahkan selalu berhubungan dengan unsurunsur lokalitas budaya kampung halamannya. Kenangan masa kecil Misbahudin, kebiasaan masyarakat pesisir, dan digabungkan dengan pemaknaan filosofi atas budaya-budaya Selayar menjadi bahan dasar Misbahudin bermain-main dengan konsep. Seperti yang dipaparkan Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Sebenarnya ide yang paling mendasar, saya mengambil filosofi masyarakat orang Hulug yang berada di suatu perbukitan di kampung Bapak, Selayar. Kampungnya itu berada kurang lebih 2500 di atas permukaan laut, jadi di atas bukit yang tinggi. Tetapi mata pencahariannya sebagian besar itu adalah nelayan. Jadi mereka ke pinggir pantai, karena daerahnya yang terjal, tebingtebing sehingga menyulitkan mereka untuk berkebun, bercocok tanam. Paling Cuma ada cengkeh, tetapi itu cengkeh tahunan. Untuk pendapatan keseharian yaa dengan berlayar itu tadi. Naah itu yang menarik filosofinya ketika Dangngong dimainkan dengan tangan langsung, bukan lagi di atas layangan itu jadi menarik bagi saya karena dengan gerakan tangan yang membentuk kayak huruf delapan itu merupakan filosofi, dia menebas artinya membersihkan ladang dan kemudian dia mendayung ketika mereka mencari nafkah di laut. Jadi antara laut dengan gunung itu benang merahnya di Dangngong” (Wawancara Misbahudin pada tanggal 20 juni 2011).
Pernyataan Misbahudin di atas juga menunjukkan aktivitasnya bermain-main konsep dalam modus yang berbeda. Tidak hanya sekedar mengangkat lokalitas budaya Selayar yang sudah ada, melainkan juga melakukan eksperimen konseptual untuk menggabungkan antara unsur budaya masyarakat petani dengan nelayan
121
yang kemudian dihubungkan oleh Dangngong. Teknik permainan Dangngong dengan gerakan tangan yang menghibas membentuk angka delapan merupakan hasil dari modus permainan konsep menggabung unsur filosofi budaya petani dan nelayan. Unsur gerakan menyerupai angka delapan ini, menurut Misbahudin adalah eksplorasi gerakan menebas para petani Selayar dan mendayung sebagai gerakan para nelayan. Selain itu Misbahudin juga beranggapan bahwa eksplorasi Dangngong sangat tepat untuk menggambarkan situasi alamiah daerah asalnya. Ketika berbicara masalah Dangngong pastinya kembali kepada persoalan angin. Angin menjadi hal yang pokok ketika ingin membunyikan Dangngong. Angin juga dibutuhkan oleh nelayan ketika berlayar. Pada eksplorasi Dangngong dapat terlihat bagaimana karakter Misbahudin dalam membuat karya yang dapat dipastikan akan kembali kepada persoalan etnisitas kampung kelahirannya. Hubungan-hubungan antara unsur angin, unsur nelayan, unsur pegunungan, unsur lautan menjadi bahan konseptual pengembangan karya Dangngong. Alasan Misbahudin menggunakan unsur-unsur lokalitas dalam permainan konseptual karya Dangngong dilatar belakangi oleh amatannya terhadap suatu kecenderungan konsep kekaryaan pada seniman-seniman musik lain. Terkadang seniman ketika menciptakan karya kurang menyadari akan konsep yang berdasar atas potensi budaya di daerah kelahiran seniman tersebut. Mereka justru bangga ketika berkarya dengan menggunakan konsep yang bukan berasal dari daerahnya sendiri.
122
Misbahudin bermaksud untuk mengangkat budaya dimana dia dilahirkan, mencoba bermain dengan konsep-konsep etnisitas Selayar. Seperti yang dipaparkan Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Dangngong, menurut saya sangat pas dengan kebudayaan Selayar, atau Hulug kota kelahiran saya. Bagaimana orang-orang pesisir di daerah saya atau bahkan di daerah yang lainnya benar-benar angin itu menjadi atmosfir dalam kehidupan mereka, mejadi pola kehidupan mereka. Mereka mau berlayar berbicara angin dahulu, mereka mau berlayar bertanya tentang angin dahulu, mereka di laut pasti juga berpikir tentang angin. Kemudian konsep tarian Pakarena, salah satu tarian tradisional Selayar itu juga berbicara tentang angin. Penari Pakarena itu kan diam, menarinya pelan. Konsep diam itu seperti seorang perempuan itu badannya separoh ditanam di tanah. Dan bagaimana dia bisa bertahan dengan terpaan angin yang kencang. Angin itu di konsepnya dia berpikir bahwa suamiku pergi berlayar, disana ada angin yang kencang, ombak yang besar dan semua tantangan yang banyak. Disini bagaimana dia tetap sabar dengan terpaan-terpaan angin yang kencang. Kemudian menggunakan alat tiup yaitu teromper, dia filosofinya seperti desiran angin. Kemudian gendang filosofinya seperti gemuruh ombak. Semua itu dasarnya dari angin. Dangngong sendiri adalah harpa angin jadi ini pas dengan kebudayan saya” (Wawancara Misbahudin, 3 Januari 2012).
Pada satu kasus pertunjukan Misbahudin dalam acara Srawung Seni Segara Gunung di lingkungan Candi Borobudur, eksplorasi Dangngong dihadirkan dalam satu bentuk sajian pertunjukkan yang digabungkan dengan tarian Pakarena (merupakan tari tradisi yang berasal dari kota kelahiran Misbahudin sendiri). Konsep tarian ini pun oleh Misbahudin disesuaikan dengan konsep Dangngong yang selalu berhubungan dengan angin. Kemudian diperkuat dengan instrumen terompet Makassar yang menggambarkan desiran angin yang berhembus dan gendang menggambarkan gemuruh ombak. Sebuah langkah untuk menggambarkan situasi alamiah lingkungan daerah asalnya, dimana angin sebagai penanda situasi dominan pada lingkungan budaya tersebut.
123
Pemaparan tentang konsep karya yang ingin dihadirkan Misbahudin dalam eksplorasi Dangngong dapat diambil kesimpulan bahwa selalu ada usaha-usaha Misbahudin untuk memperkenalkan kehidupan masyarakat di Selayar. Konsep penciptaan karya musik yang mengambil tema-tema etnisitas daerah kelahiran Misbahudin menjadi pokok pemikiran untuk menciptakan karya yang berbeda. Angin selalu menjadi tema pokok dalam konsep penciptaan karya yang ingin dihadirkan oleh Misbahudin. Seperti halnya Dangngong yang juga tidak bisa dipisahkan dari angin. Temuan konsep karya ini menunjukkan bahwa Misbahudin adalah seorang pencipta musik yang berani untuk bermain-main dengan konsep. Oleh kreativitas konseptual Misbahudin, Dangngong menjadi instrumen musik yang baru. Sebelumnya, tidak banyak orang meyakini bahwa Dangngong mampu menjadi instrumen musik. Meski alat ini merupakan perangkat penghasil bunyi yang banyak dijumpai di berbagai budaya masyarakat Indonesia, namun tidak banyak orang yang percaya diri mengangkat Dangngong menjadi satu karya dalam pementasan musik tertentu. Misbahudin dengan keyakinan kreatifnya melakukan tindakan-tindakan artistik yang akhirnya menjadikan Dangngong sebagai alat musik. Ketika melakukan pengembangan kreatif menggunakan alat Dangngong sebagai instrumen musik, Misbahudin mencoba mengikuti potensi dari alat tersebut dan juga menyadari kekurangan atas alat tersebut. Sementara ini Misbahudin lebih mengoptimalkan Dangngong dalam kategori instrumen musik soundscape. Melalui Dangngong ia ingin mengembalikan bentuk lampau dari musik yaitu sebuah tatanan bunyi.
124
Baginya inti dari sebuah musik adalah bunyi, sedangkan di dalam eksplorasi instrumen Dangngong ini inti penekannya bukan keranah musik yang kompleks, dimana musik harus menghadirkan melodi, tempo, dinamika dan lain sebagainya. Tetapi bagaimana musik itu kembali ke historinya, musik itu dihayati sebagai salah satu bentuk ekspresi dari kegelisahan yang ingin dicurahkan lewat karya seni. Seperti yang dipaparkan Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Dangngong di wilayah musik adalah sebagai musik soundscape, di wilayah spiritual misalnya orang-orang tertentu itu sebagai wadah untuk meditasi, bagaimana orang bisa meditasi di bawah Dangngong. Untuk dibawa kepanggung pun itu sebagai soundscape. Dasarnya bukan dari inti Dangngong itu sebagai musik yang mempunyai melodi, ada dinamika, namun bagaimana Dangngong itu kembali ke historinya. Saya mengangkat Dangngong ini sebagai musik tradisional, musik yang mempunyai histori. Bahwa di indonesia ini banyak orang yang menggunakan instrumen ini tetapi mereka melihat hanya sekedar sebuah bunyi-bunyian. Dalam kategori musik, inti dari musik adalah bunyi, kita percaya saja bahwa bunyi masih bisa kita olah” (Wawancara Misbahudin, 23 Februari 2013).
Konsep Misbahudin dalam mengangkat Dangngong sebagai instrumen musik adalah, bagaimana Dangngong itu muncul sebagai alat musik tradisional. Terlepas dari Dangngong itu juga banyak yang menggunakannya atau kebudayaan bermain-main Dangngong banyak dijumpai di beberapa daerah di Indonesia, bahkan penyebutan nama Dangngong itu sendiri juga berbeda-beda, namun yang menjadi alasan Misbahudin adalah bagaimana kebudayaan bermain Dangngong itu juga ada di Selayar. Bahkan di Selayar, kebudayan bermain Dangngong itu sangat erat dengan kehidupan masyarakat disana.
125
B. Proses Kreatif Misbahudin Dalam Eksplorasi Dangngong
Menurut I Wayan Sadra, proses kreatif mencipta musik bisa ditempuh dengan beberapa cara. Seorang pencipta bisa saja menggabung-gabungkan proses yang dia pahami lewat pengalaman, mengadopsi penciptaan suatu gaya musik tertentu, menyilangkan dengan yang lain atau ia menemukan sendiri caranya berproses di dalam melahirkan ciptaannya. Ide atau gagasan merupakan sebuah ranah yang paling awal dari suatu proses penciptaan. Di dalam diri seorang yang kreatif, realitas atau kenyataan yang terjadi dalam hidup sehari-hari akan menjadi suatu sumber yang memicu kegelisahan (I Wayan Sadra, 2005: 78). Proses adalah suatu rangkaian yang bercerita dari awal sampai akhir sebuah perjalanan, salah satunya bisa berwujud perjalanan penciptaan karya musik. Proses bisa terjadi karena adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan, atau sesuatu yang ingin dicapai dari proses itu. Proses kreatif dapat dianalogikan dengan proses metamorphosis seekor kupu-kupu. Awalnya berwujud ulat kemudian menjadi kepompong dan akhirnya menjadi kupu-kupu yang indah. Di dalam karya musik, analogi ulat adalah ide sebuah karya, kemudian kepompong adalah proses pengaplikasian dari ide ke dalam karya nyata, dan kupu-kupu adalah hasil dari proses tersebut. Proses kreatif adalah suatu tahapan kerja yang meliputi penemuan ide, proses pengaplikasian ide ke dalam karya, dan selanjutnya membuahkan hasil dari kerja kreatif tersebut. Cara kerja sebuah proses kreatif juga dibahas oleh Rahayu Supanggah secara rinci dalam teori garap. Melihat teori garap, bisa disimpulkan bahwa tahap-tahap yang dijelaskan dalam teori ini merupakan tahapan sebuah
126
proses kreatif. Tahapan-tahapan dimana seorang seniman yang akan menciptakan karya harus melalui proses ini. Menurut Rahayu Supanggah garap adalah cara pendekatan yang dapat diberlakukan pada kerja penciptaan ataupun penyajian karawitan jawa. Tidak tertutup kemungkinannya bahwa, konsep garap juga dapat diberlakukan pada dunia seni pertunjukan Indonesia pada umumnya. Seperti kita ketahui bersama bahwa istilah garap sangat akrab di dalam dunia seni pertunjukan, atau pada hajatan kekaryaan/penyajian seni yang melibatkan lebih dari satu seniman atau satu unsur/cabang kesenian yang terintegrasi menjadi satu bentuk sajian kesenian yang utuh (Rahayu Supanggah, 2005: 8). Proses kreatif merupakan proses penggarapan dari sebuah ide yang mengilhami seorang seniman kreatif yang akan menciptakan karya seni. Ide sangatlah berpengaruh bagi sebuah proses kerja kreatif tersebut. Antara ide dengan proses saling berkaitan erat dan saling berpengaruh. Ide tanpa adanya proses penggarapan ide tersebut juga tidak akan bisa menghasilkan sebuah karya, begitu juga sebaliknya jika terjadi sebuah proses penggarapan tanpa ide yang mendasari proses tersebut maka hasilnya pun juga tidak akan maksimal, bahkan mungkin tidak akan bisa menghasilkan karya seperti yang diharapkan. Tahap penemuan ide juga bisa dikategorikan masuk dalam tahapan sebuah proses kreatif. Selanjutnya adalah tindakan-tindakan seniman tersebut untuk mengaplikasikan idenya ke dalam proses penggarapan.
127
Di dalam konsep Garap Rahayu Supanggah, ada beberapa elemen-elemen yang terintegrasi dalam sebuah bangunan konsep. Elemen-elemen tersebut adalah sebagai berikut A. Ide garap B. Proses garap yang terdiri dari 1. Bahan garap 2. Penggarap 3. Prabot garap 4. Sarana garap 5. Pertimbangan garap 6. Penunjang garap C. Tujuan garap D. Hasil garap
Poin ABCD adalah unsur-unsur garap yang terintegrasi atau terpadu menjadi satu kesatuan konsep. Antar unsur tersebut terjalin hubungan yang erat, satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan menentukan (Rahayu Supanggah, 2005: 8-9). Untuk melihat proses kreatif yang terjadi pada eksplorasi Dangngong yang dilakukan Misbahudin, maka penelitian ini akan menggunakan beberapa bagian elemen dari teori garap Rahayu Supanggah yaitu lebih fokus kepada ide garap dan proses garap. Pada bagian teori proses garap Rahayu Supanggah, juga tidak semuanya dapat diaplikasikan untuk melihat kasus kekaryaan Misbahudin. Hal ini dikarenakan perbedaan kasus, dimana Rahayu Supanggah lebih menitik beratkan teorinya untuk menjabarkan proses garap yang terjadi pada sebuah bentuk-bentuk kekaryaan dalam musik tradisi sedangkan kasus Misbahudin merupakan bentuk kekaryaan di jalur musik kontemporer.
128
Oleh karena permasalahan tersebut, maka peneliti mereduksi enam poin teori dalam membaca proses garap menjadi empat poin teori yang dirasa memungkinkan untuk menjabarkan kasus proses garap yang dilakukan Misbahudin. Empat poin tersebut adalah (1) bahan garap, (2) penggarap, (3) perabot garap, dan (4) sarana garap. Selebihnya, untuk melihat hasil garap, penelitian ini akan kembali kepada teori utama yaitu teori empat P yang terakhir yaitu Produk.
1. Ide Garap
Di dalam menciptakan sebuah karya seni diawali dengan adanya ide dan gagasan dari seorang seniman. Ide dapat diperoleh dari manapun, di manapun, dalam bentuk apapun, dan melalui cara apapun (Rahayu Supanggah, 2005: 9). Di dalam eksplorasi Dangngong yang dilakukan Misbahudin, ide kreatif ini muncul dari beberapa pengalaman yang sudah dilalui Misbahudin. Pengalaman tersebut meliputi memori dimasa kecil Misbahudin, pengalaman perjalanan kesenimanan Misbahudin, hingga proses-proses penemuan ide. Penemuan ide yang lebih dikembangkan lagi melalui proses ekspedisi Dangngong yang dilakukan Misbahudin. Beberapa penjabaran tentang memori masa kecil dan perjalanan kesenimanan Misbahudin sudah dibahas pada bab III. Datangnya gagasan, asal muasal ketertarikan pada bunyi dan suara, keperhatinan terhadap realitas, dan lain sebagainya. Sesungguhnya wilayah itupun telah dapat dikategorikan sebagai wilayah proses (I Wayan Sadra, 2005: 88). Berbicara mengenai sebuah proses penemuan ide kreatif, pasti ada hubungannya dengan sebuah kurun waktu yang menceritakan proses itu.
129
Penemuan ide kreatif muncul karena di dalam pikiran seseorang ada gejolak yang masih membutuhkan penyelesaian akhir, bisa dikatakan penyelesaian akhir itu adalah sebuah karya. Karya itulah wujud dari konstruksi pikiran sesorang yang coba ditransformasikan ke dalam wujud yang nyata. Di samping itu juga ada beberapa tahap kristalisasi dari tumpukan ide yang didapat dari berbagai pengalamanpengalaman yang diperoleh dari perjalanan hidup seseorang dimanapun dia berada seperti yang dijelaskan I Wayan Sadra di atas. Hasil dari kristalisasi itulah yang pada akhirnya melahirkan kesimpulan ide yang mempunyai nilai kreatif. Sejak kecil Misbahudin sudah menyukai bunyi Dangngong walaupun belum berpikir lebih jauh keranah proses eksplorasi Dangngong sebagai karya musik yang dilakukan saat ini. Misbahudin mulai mengeksplorasi Dangngong ketika ia tinggal di Solo ketika ia belajar tentang penciptaan musik, belajar tentang bermain-main
dengan
konsep
dan
belajar
tentang
pemahaman
musik
eksperimental. Pengalaman tersebut juga didapat ketika Misbahudin banyak membantu seniornya ketika ia terlibat dalam proses penciptaan yang dilakukan oleh seniornya tersebut. Pada akhirnya muncullah keinginan Misbahudin untuk menciptakan karya yang ditunjukan lewat eksplorasi Dangngong yang dilakukan Misbahudin. Tahap percobaan ide yang dipikirkan Misbahudin diawali dari gagasan untuk bermain-main dengan Dangngong. Awalnya ia hanya memikirkan ide untuk membuat suara Dangngong lebih beragam. Ide tersebut diaplikasikan dengan tindakan membedakan lima buah Dangngong dari tingkat ketegangan bentangan senarnya. Harapannya, ia akan menemukan suatu dimensi suara yang berbeda-beda.
130
Selain keinginan untuk mendapatkan bunyi-bunyi yang berbeda, Misbahudin juga memiliki ide untuk menempatkan Dangngong di lokasi yang menurutnya kaya akan hembusan angin. Misbahudin memasang lima buah Dangngong di atas bukit yang di bawahnya terdapat pantai lepas. Pemilihan tempat tersebut untuk mencari angin yang dapat membunyikan Dangngong. Seperti yang dipaparkan Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Dulu saya mencoba mengeksplorasi bunyi Dangngong di kampung saya Selayar, dengan cara menancapkan lima batang bambu di atas bukit dan di bawahnya terdapat laut lepas, kemudian saya mengikat Dangngong beberapa biji di atas bambu, dengan suara ada yang bentangannya panjang, ada yang besar dan ada yang kecil. Ketika arah anginnya berubah itu suara Dangngong akan ikut berubah bergantian, karena angin malam dan angin siang bahkan angin sore pun sudah berubah arah” (Wawancara Misbahudin, 20 juni 2011).
Ide awal ini dianggapnya sebagai percobaan. Percobaan yang dilakukan Misbahudin tersebut sepertinya lebih bertujuan untuk membangun ide baru dari hasil belajar memahami karakter suara Dangngong dan karakter angin. Ide awal tersebut pada akhirnya juga menjadi embrio dari ide-ide baru yang dimunculkan Misbahudin dalam prosesnya bersama instrument Dangngong. Prosesnya ber-ide kreatif dibebaskan untuk mengalir seiring dengan proses mempelajari Dangngong. Metamorphosis dari ide-ide kreatif Misbahudin dapat dilihat dari perkembangan yang signifikan antara ide awalnya di atas dengan hasil-hasil karya yang telah dilahirkan saat ini. Pada beberapa karya pertunjukan musik selanjutnya, Misbahudin telah menggunakan Dangngong sebagai instrumen yang dibunyikan dengan ayunan tangan dengan beragam teknik. Hal ini menunjukkan bahwa Misbahudin menghasilkan karya-karya musik dengan Dangngong dari aktivitasnya
131
ber-ide. Olehnya, ide juga merupakan bagian dari proses tersendiri dalam aktivitas kreatifnya. Ia melahirkan ide untuk menemukan ide baru, dan ide baru tersebut juga akan melahirkan ide yang lebih baru lagi. Melalui proses ber-ide semacam ini akhirnya Misbahudin mampu menghasilkan pengembangan-pengembangan karya Dangngong yang selalu berbeda dan selalu ada unsur kebaruan.
2. Proses Garap Selanjutnya proses garap menurut Rahayu Supanggah terdiri dari bahan garap, penggarap, perabot garap, sarana garap, pertimbangan garap, penunjang garap (Rahayu Supanggah, 2005: 8-9). Memahami tentang konsep garap Rahayu Supanggah pada tahap ‘proses garap’ peneliti memahami bahwa proses garap adalah proses dimana seniman penggarap akan membuat karya dari ide yang sudah dipikirkan oleh si penggarap tersebut. Melihat karya yang diciptakan Misbahudin tentang eksplorasi Dangngong sudah melahirkan beberapa bentuk sajian karya, sehingga proses garap tersebut akan lebih mengupas hal-hal yang terjadi pada proses garap karya-karya yang sudah dilahirkan Misbahudin. Adapun karya yang sudah dilahirkan Misbahudin adalah (1) Aia To Hu-luk yang dipentaskan dua kali yaitu di acara teater tahun 2005 dan di acara SIEM pada tahun 2008, walaupun terjadi beberapa perubahan namun kemasan pertunjukan hampir sama, (2) Dangngong La-Here dipentaskan dalam acara BMB 2011 dan dalam acara Purnama Seruling Penataran, kemasan pertunjukan juga hampir sama, (3) And Open Space dipentaskan dalam acara Srawung Seni Segara Gunung di Borobudur,
132
(4) Bunyi Leluhur dipentaskan dalam acara Taman Srawung Seni Segara Gunung di Museum Manusia Purba, Sangiran, Sragen.
2.1. Bahan Garap
Bahan garap adalah materi dasar, bahan pokok atau bahan mentah yang akan digarap oleh orang atau sekelompok orang (Rahayu Supanggah, 2005: 9). Pada karya-karya eksplorasi Dangngong yang sudah dihasilkan oleh Misbahudin, mempunyai bahan garap yang hampir sama dalam setiap karya, walaupun ada penambahan bahan garap dan alat musik selain Dangngong. Bahan pokok di semua karya Misbahudin adalah Dangngong baik dalam bentuk instalasi berbentuk menara maupun dalam bentuk instrument musik yang dimainkan secara langsung. Ada beberapa perbedaan pada masing-masing karya yang dihasilkan Misbahudin. Penambahan-penambahan alat musik selain Dangngong dan juga perbedaan alur pertunjukan terjadi dalam setiap karya Dangngong. Hal ini terjadi karena ide karya Dangngong selalu berkembang menempati ruang-ruang kreatif tertentu dan juga terkadang menyesuaikan konsep acara yang diikuti Misbahudin. Bahan garap selain instrumen Dangngong dalam karya-karya Misbahudin ada beberapa perbedaan juga dalam tiap kemasan pertunjukan. Pada karya Aia To Hu-luk ada penambahan bahan garap yaitu dialog-dialog bahasa Selayar dan ada penambahan instrumen musik lain yaitu instrumen Shakuhachi. Pada karya tersebut juga menggunakan instrumen perkusi dari perkakas pertanian khususnya cangkul. Diskripsi alur pertunjukan Aia To Hu-luk sudah dijelaskan pada bab III. Karya Aia To Hu-luk dalam acara SIEM juga hampir sama dengan yang dipentaskan dalam
133
acara teater. Hanya saja ada penambahan repertoar dimana para pemusik memainkan seruling mengiringi vokal. Berikut gambar pementasan Aia To Hu-luk dalam acara SIEM tahun 2008.
Gambar 24. Pementasan Aia To Hu-luk dalam acara SIEM 200844.
Perbedaan bahan garap selanjutnya terjadi pada karya Dangngong yang dipentaskan dalam acara Bukan Musik Biasa dan Purna Seruling Penataran. Bahan garap pada karya ini adalah Dangngong yang berbetuk instalasi menara Dangngong dan Dangngong yang dimainkan pemusik secara langsung. Selain itu Misbahudin juga menggunakan instrumen Shakuhachi dalam pementasan tersebut. Pada acara Bukan Musik Biasa yaitu dikemas dalam format marching yang melibatkan 20 pemusik yang memainkan Dangngong. Pemilihan kostum pada penyajian juga sesuai konsep yaitu menggunakan sarung yang diikatkan di kepala. Kemudian mereka tanpa menggunakan baju, dan hanya memakai celana pendek. Ini bertujuan untuk membawa penonton agar bisa merasakan suasana ketika di pantai dengan
44
Dokumen pribadi Misbahudin.
134
diiringi bunyi Dangngong. Sesuai dengan konsep yang ingin mengangkat masyarakat nelayan dan ingin menyajikan suasana orang pinggir pantai. Seperti yang diungkapkan oleh Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Jadi bagaimana Dangngong itu sesuai dengan inspirasi saya yaitu mengambil ide dari masyarakat nelayan dan saya mau menghadirkan suasana orang pinggir pantai, pakai sarung yang biasanya mau turun ke pantai membenahi perahunya, dan dia berjalan dari gunung ke bawah memakai sarung dan celana pendek, buka baju karna mungkin keringat jadi lebih kental gitu, dan bagaimana penonton di sekitar wisma menikmati itu mereka serasa berada di pinggir pantai, bukan lagi di wisma seni” (Wawancara Misbahudin, 24 Juni 2011).
Penyajian musik Dangngong pada acara Bukan Musik Biasa diawali dengan memainkan Shakuhachi oleh Misbahudin. Ini bertujuan untuk membangun suasana pesisir pantai yang identik dengan hembusan angin yang kencang. Selain itu Misbahudin juga ingin menyamakan dengan konsepnya, bahwa angin adalah sumber utama yang dapat membunyikan alat tersebut pada penyajian musik Dangngong. Perbedaannya pada cara mendapatkan angin yang dibutuhkan, Shakuhachi dengan cara ditiup oleh manusia sedangkan Dangngong dengan cara mengibaskan sesuai dengan tehnik-tehnik yang sudah ada. Misbahudin juga ingin menunjukkan bahwa musik itu tidak harus bertempo, kontruksi nadanya tersusun rapi sesuai konsep musik pada umumnya atau berkaca pada musik barat layaknya musik-musik populer bahwasannya Minor itu sedih dan Mayor itu suasana gembira atau sejenisnya. Misbahudin membuktikan itu dengan memainkan Shakuhachi tanpa memperdulikan Mayor atau Minor. Tetapi Misbahudin mencoba bermain dengan perasaan dan emosi yang dibangun dari diri Misbahudin sendiri, liar namun tetap mengangkat konsep pesisir, karena menurut Misbahudin ketika memainkan
135
Shakuhachi harus bisa membangun sebuah emosi dan suasana tertentu yang akan dibangun. Ini akan berpengaruh pada pernafasan kita45. Misbahudin pada pementasan di Blitar mencoba menggunakan konsep menghadirkan nuansa Makassar dan kentalnya kehidupan masyarakat pesisir. Konsep tersebut dikonstruksi oleh pemilihan kostum, pemilihan instrumen tambahan sebagai bahan garap seperti Ganrang Makassar, Pui-pui46 dan juga instrumen pokok yaitu Dangngong. Seperti yang dipaparkan oleh Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Kalau pementasan di Blitar saya mau mengangkat nuansa Makassar, kentalnya Makassar dari kostum, properti yang dibawa, dari instrumen yang dibawa yaitu Gendang Makassar dan Dangngong itu kan sangat dekat dengan masyarakat pesisir. Lingkungannya itu banyak angin, gendang menggambarkan gemuruh ombak, Pui-pui dengan nyanyian itu menandakan angin yang riuh, dan juga Dangngong sebagai pembawa suasana. Tetapi semua itu belum maksimal karena memang proses kreatif saya itu selalu mencoba sesuatu hal yang sangat jauh berbeda dari konsepkonsep yang sebelumnya dan biasa terjadi dengan spontanitas dan selalu berubah karena saya tidak mau melakukan eksperimen dengan cara, ooo ini saya harus seperti ini, maksudnya gini: saya selalu berbeda dengan proses kesenian orang lain. Semisal di musik itu, oo kayaknya kita harus bikin komposisi untuk menjual, untuk bisa enak didengar orang, untuk bisa mendapat keuntungan-keuntungan tertentu, kayaknya kita berkesenian itu harus punya teknik yang sangat tinggi. Artinya saya arahnya bukan kesitu” (Wawancara Misbahudin, 24 Juni 2011).
Dari pemaparan Misbahudin di atas dapat dilihat bahwa ada beberapa perbedaan bahan garap pada setiap pertunjukan. Walapun ada perbedaan dalam setiap kemasan pementasan namun konsep yang disajikan Misbahudin selalu mengangkat etnisitas Selayar.
45
Pernyataan Misbah ketika mengobrol bukan dalam konteks wawancara, pada tanggal 24 Juni 2011, pukul 22.00 WIB. 46
Terompet tradisional Makassar.
136
Perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam setiap pertunjukan tersebut dikarenakan Misbahudin ingin selalu mengeksplorasi Dangngong dengan ide-ide yang dipirkan Misbahudin saat itu. Konsep pementasan karya Dangngong dan bahan garapnya selalu berkembang mengikuti pola pikir Misbahudin. Perbedaan bahan garap yang lebih menonjol lagi terjadi dalam karya And Open Space yang dipentaskan dalam acara Srawung Seni Segara Gunung. Ada inovasi bentuk Dangngong seperti yang sudah dijelaskan pada bab III. Bahan garap pun menjadi berkembang dan lebih kompleks. Pada pementasan tersebut terdapat penambahan gerak koreografi dari kelompok Colour Guard Marching Band yang memainkan Dangngong yang sudah megalami inovasi. Kemudian pada pementasan tersebut dikolaborasikan dengan tarian dari Makassar yaitu tari Pakarena dengan diiringi musik tradisional Makassar. Tambahan bahan garap yang lainnya seperti instrumen Shakuhachi dan ada repertoar bentuk teatrikal penghubung antara repertoar permainan Dangngong dari kelompok Colour Guard dengan tarian Pakarena tersebut. Perbedaan bahan garap yang terakhir terjadi pada pementasan di acara Taman Srawung Seni Segara Gunung yang diselenggarakan di museum purba Sangiran. Pada pementasan ini Misbahudin lebih banyak membuat instalasi menara Dangngong yang dieksplorasi saat pertunjukan berlangsung. Misbahudin juga memasukkan bahan garap bentuk teatrikal yang berkolaborasi dengan teater Jejak ISI Surakarta. Diskripsi pertunjuan dalam acara Taman Srawung Seni Segara Gunung tersebut sudah dijelaskan pada bab III.
137
Melihat pembahasan tentang bahan garap yang sudah dijelaskan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa bahan garap dalam setiap pertunjukan karya Dangngong mengalami perubahan-perubahan. Hal ini juga membuktikan bahwa Misbahudin total dalam eksplorasi Dangngong, dan pemikirannya pun selalu berkembang memanfaatkan ruang-ruang kreatif untuk mengeksplorasi Dangngong. Dangngong menjadi bahan garap yang pokok dan utama dalam setiap karya yang dihasilkan. Eksplorasi karya Dangngong selalu berkembang mengikuti ide-ide yang dipikirkan Misbahudin. Selain perubahan-perubahan penggunaan bahan garap yang berdasar pada konteks pertunjukan, kecenderungan kreativitas Misbahudin juga tampak dari kebebasannya memilih bahan garap. Ia justru akan menggunakan bahan-bahan garap yang menantang untuk diintegrasikan. Antara Dangngong dengan unsur teatrikal, unsur atraksi Color Guard, tarian Pakarena, dan bahan lain yang pernah digunakan Misbahudin dalam karyanya, seolah-olah merupakan bahan-bahan artistik yang secara rasional sulit untuk disatukan dalam sebuah pertunjukan. Namun, Misbahudin mampu menghadirkan bahan-bahan tersebut dalam satu kemasan pertunjukan. Kecenderungan ini menjadi nilai tersendiri dari kreativitas Misbahudin dalam karya-karya Dangngongnya.
2.2. Penggarap
Penggarap adalah sekelompok orang (seniman, musisi) atau penyusun (pencipta atau pengubah) sebagai pelaku garap (Rahayu Supanggah, 2005: 12). Pada proses eksplorasi Dangngong, yang menjadi pencipta adalah Misbahudin.
138
Sedangkan pembuatan instrumen Dangngong dibantu oleh dua teman Misbahudin yaitu Ali Maksum dan Yonek. Di dalam proses pembuatan karya pada setiap pementasan Misbahudin selalu menjadi komposernya, kemudian terkadang dibantu oleh teman-teman satu komunitas La-Here. Pada setiap pementasan, pemusik yang membantu Misbahudin berbedabeda. Aia To Hu-lug yang dipentaskan di gedung F ISI Surakarta dan di acar SIEM, melibatkan kelompok musik La-Here dan anggota teater Jejak ISI Surakarta. Kemudian dalam acara Bukan Musik Biasa dan acara Purnama Seruling Penataran melibatkan kelompok La-Here, teater Jejak dan mahasiswa Etnomusikologi. Ada yang lebih berbeda lagi dari biasanya yang dilakukan Misbahudin ketika mengajak pemusik untuk proses pembuatan karyanya. Pada pementasan dalam acara Srawung Seni Segara Gunung di Borobudur, Misbahudin mengajak komunitas Colour Guard Marching Band untuk diajak menggarap karya dalam bentuk berbeda yang diciptakan Misbahudin. Pada dasarnya kelompok ini bisa dikatakan terbatas dalam pengetahuan tentang komposisi musik, karena mereka bukan seorang musisi tetapi mereka pintar dalam berkoreografi gerak tubuh. Kepintaran kelompok Colour Guard dalam bidang gerak ini akhirnya dimanfaatkan Misbahudin untuk keperluan karyanya. Tongkat yang dimainkan Colour Guard yang pada bagian atas tongkat tersebut biasanya ada benderanya, dengan kreativitas Misbahudin pada akhirnya bendera tersebut diganti dengan instrument Dangngong. Hasilnya, karya tersebut menjadi berbeda dari yang sebelumnya. Pada pementasan tersebut juga berkolaborasi dengan sebuah kelompok kesenian Selayar Art yang membawakan sajian tari tradisional Pakarena.
139
Penggarap pada karya selanjutnya yang dipentaskan dalam acara Taman Srawung Seni Segara Gunung di Sangiran, Misbahudin mengajak mahasiswa Etnomusikologi dan teman-teman teater Jejak ISI Surakarta untuk menggarap karya tersebut. Pada pementasan tersebut Misbahudin membuat menara Dangngong berbentuk persegi empat dan pada bagian atasnya terdapat banyak Dangngong. Pembuatan menara tersebut dikerjakan oleh Ali Maksum dan dibantu teman-teman tim artistik teater Jejak. Pada setiap karya-karya Misbahudin dalam eksplorasi Dangngong, ada pemanfaatan sumber daya seniman (penggarap) yang sifatnya selalu membantu di setiap karya Misbahudin. Ali Maksum yang merupakan teman dekat dan orang kepercayaan Misbahudin, merupakan sumber daya seniman yang selalu hadir dalam proses kreatif Misbahudin. Ali Maksum adalah pembuat Dangngong setiap kali Misbahudin melakukan proses kreatif kekaryaan. Pada saat pementasan karya, Ali Maksum juga selalu ikut memainkan Dangngong. Misbahudin ketika akan membuat karya, selalu mempertimbangkan dalam pemilihan orang yang diajak untuk proses karya tersebut. Selain Ali Maksum, yang sering diajak Misbahudin dalam menggarap karya adalah kelompok La-Here. Kelompok La-Here merupakan teman-teman dekat Misbahudin bahkan sama-sama berasal dari Makassar. Pemilihan ini dikarenakan atas dasar bahwa teman-teman La-Here diyakini secara musikalitas dapat membantu kelancaran dalam pembuatan karya Misbahudin. Orang-orang yang diajak Misbahudin menggarap karya, selalu dikondisikan untuk dapat menyesuaikan kebutuhan konsep dalam pembuatan karya tersebut.
140
Misalnya, Ketika Misbahudin akan membuat karya bentuk teatrikal, pada akhirnya Misbahudin mengajak teman-teman teater Jejak untuk menggarap karya tersebut. Kemudian ketika pemikiran Misbahudin berkembang untuk mengeksplorasi Dangngong dalam bentuk yang berbeda, pada akhirnya lahir karya Dangngong berkolaborasi dengan gerak atraktif pemain Colour Guard. Pemilihan kelompok Colour Guard pun juga dipertimbangkan atas kebutuhan dan imajinasi Misbahudin.
2.3. Perabot Garap
Perabot garap adalah benda fisik yang berupa alat atau instrumen musik yang digunakan para musisi sebagai sarana mengungkapkan perasaan atau gagasan musiknya lewat media bunyi atau suara (Rahayu Supanggah, 2005: 12). Berawal dari bunyi yang awalnya hanya dianggap sebagai bunyi petanda atau bunyi-bunyian mainan, akhirnya Misbahudin mencoba berfikir kreatif untuk membuat bunyi tersebut menjadi sebuah instrumen musik. Dangngong kemudian dieksplorasi oleh Misbahudin dan dijadikan sebagai instrumen musik yang dihadirkan dalam sebuah acara pertunjukan musik. Dangngong menjadi perabot garap yang pokok dalam karya-karya yang dibuat oleh Misbahudin. Selain instrumen Dangngong, juga ada penambahan-penembahan instrumen lain yang berbeda dalam setiap sajian pertunjukan seperti yang sudah dijelaskan pada penjabaran bahan garap di atas.
141
3. Sarana atau Konsep Garap
Sarana garap merupakan perangkat lunak yang tidak kasat indera yaitu berupa konsep musikal atau aturan dalam karya musik (Rahayu Supanggah, 2005: 14). Pada penjabaran teori garap Rahayu Supangah tentang sarana garap yang lebih terperinci, disebutkan bahwa contoh sarana garap bisa berupa tangga nada, struktur musik, tempo, dinamika, dan lain sebagainya yang dijadikan bingkai atau batasan atas sebuah kekaryaan musik. Pada kasus kekaryaan gending Jawa misalnya, seorang pengkarya pasti akan memperhatikan beberapa aturan atau konsep gending-gending Jawa. Ketika ia akan membuat sebuah gending berbentuk Ladrang, tentunya ia akan mengacu pada aturan tentang struktur, wilayah nada, karakter, dinamika, dan lain sebagainya sehingga konsep Ladrang tercermin di dalam karyanya. Kasus serupa tentu akan dijumpai dalam proses kekaryaan musik dengan memanfaatkan konsep-konsep yang sudah ada. Bentuk sarana garap akan sedikit berbeda ketika kekaryaan musik pada jalur kontemporer. Sebuah jalur kekaryaan yang berpedoman keinginan untuk memunculkan inovasi-inovasi yang terkadang mengindahkan aturan-aturan musik yang sudah pernah ada. Pada kasus kekaryaan Misbahudin (karya-karya Dangngong), ia mengakui tidak berdasar pada konsep dan aturan musikal yang sudah ada. Pengakuan ini muncul dilandasi oleh keinginannya membebaskan dirinya untuk berkreasi dan membuat kebaruan. Meski ingin bebas, namun sesungguhnya Misbahudin tidak berkreativitas musik tanpa dasar konsep atau aturan tertentu. Ia tetap memiliki dasar konsep dan aturan-aturan dalam membuat karya-karya eksplorasi Dangngong. Konsep dan aturan-aturan membuat karya ia ciptakan sendiri berdasar atas pikiran,
142
keinginan dan imajinasinya. Kemudian ia meyakini pikiran, keinginan dan imajinasinya tersebut sebagai konsep dan aturan dan selanjutnya ia mencoba konsisten dengan hal itu. Oleh karena itulah Misbahudin dapat dianggap sebagai seniman pengkarya yang menciptakan sarana garap kekaryaannya secara mandiri dan dia selalu konsisten menggunakannya dalam setiap proses kekaryaan Dangngong. Berikut adalah dua pernyataan Misbahudin tentang keyakinan atas sarana garap yang dibuatnya secara mandiri. “Dangngong, menurut saya sangat pas dengan kebudayaan Selayar, atau Hulug kota kelahiran saya. Bagaimana orang-orang pesisir di daerah saya atau bahkan di daerah yang lainnya benar-benar angin itu menjadi atmosfir dalam kehidupan mereka, mejadi pola kehidupan mereka. Mereka mau berlayar berbicara angin dahulu, mereka mau berlayar bertanya tentang angin dahulu, mereka di laut pasti juga berpikir tentang angin. Kemudian konsep tarian Pakarena, salah satu tarian tradisional Selayar itu juga berbicara tentang angin. Penari Pakarena itu kan diam, menarinya pelan. Konsep diam itu seperti seorang perempuan itu badannya separoh ditanam di tanah. Dan bagaimana dia bisa bertahan dengan terpaan angin yang kencang. Angin itu di konsepnya dia berpikir bahwa suamiku pergi berlayar, disana ada angin yang kencang, ombak yang besar dan semua tantangan yang banyak. Disini bagaimana dia tetap sabar dengan terpaan-terpaan angin yang kencang. Kemudian menggunakan alat tiup yaitu teromper, dia filosofinya seperti desiran angin. Kemudian gendang filosofinya seperti gemuruh ombak. Semua itu dasarnya dari angin. Dangngong sendiri adalah harpa angin jadi ini pas dengan kebudayan saya47. “Dangngong di wilayah musik adalah sebagai musik soundscape, di wilayah spiritual misalnya orang-orang tertentu itu sebagai wadah untuk meditasi, bagaimana orang bisa meditasi di bawah Dangngong. Untuk dibawa kepanggung pun itu sebagai soundscape. Dasarnya bukan dari inti Dangngong itu sebagai musik yang mempunyai melodi, ada dinamika, namun bagaimana Dangngong itu kembali ke historinya. Saya mengangkat Dangngong ini sebagai musik tradisional, musik yang mempunyai histori. Bahwa di Indonesia ini banyak orang yang menggunakan instrumen ini tetapi mereka melihat hanya sekedar sebuah bunyi-bunyian. Dalam kategori
47
Wawancara Misbah, 3 Januari 2012 (pernyataan sudah disajikan atau digunakan pada sub-bab A. 3. Bab ini).
143
musik, inti dari musik adalah bunyi, kita percaya saja bahwa bunyi masih bisa kita olah48.
Menyimak pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa sarana garap yang mendasari kekaryaan Misbahudin adalah (1) keinginan Misbahudin untuk selalu menampilkan bagian-bagian dari budaya daerah asalnya Selayar sebagai unsurunsur yang harus melekat dalam setiap karya-karya Dangngong, dan (2) pilihannya untuk tetap berada di jalur kekaryaan soundscape, yang mengedepankan eksplorasi bunyi-bunyi dan suasana tanpa berkeinginan untuk membuat sebuah karya dengan sentuhan komposisi musikal yang kompleks. Dua pemikiran atau keinginan Misbahudin tersebut pada akhirnya menjadi sarana garap dalam karya-karya Dangngong-nya, karena konsistensi dalam menggunakan pemikiran tersebut. Konsep garap pada eksplorasi Dangngong masih mengeksplorasi karakter bunyi dasar dari Dangngong yaitu nada tinggi dan rendah. Pada dasarnya ide konsep Dangngong sebenarnya yang paling mendasar mengambil dari filosofi masyarakat orang Hulug yang sudah dijelaskan dalam penjabaran tentang kemampuan Misbahudin bereksperimen, untuk bermain dengan konsep. Konsep Misbahudin dalam setiap karya yang sudah dilahirkan selalu didasari dengan tujuan mengenalkan etnisitas kampung kelahiran Misbahudin. Adapun contoh-contoh konsep dari beberapa pertunjukkan sudah dijelaskan di bab III (pementasan karya Aia To Hu-luk, And Open Space, dan Bunyi-bunyian Leluhur Masyarakat Nelayan).
48
Wawancara Misbah, 23 Februari 2013 (pernyataan sudah disajikan atau digunakan pada sub-bab A. 3. Bab ini).
144
Contoh yang lain untuk mempertegas pernyataan ini bisa dilihat pada karya-karya yang lain seperti karya yang dipentaskan dalam acara Bukan Musik Biasa. Untuk wilayah komposisi belum menerapkan adanya nada-nada solmisasi, harmoni atau sejenisnya. Misbahudin mencoba mengeksplorasi Dangngong lebih kepada pencarian bunyi yang paling dasar yaitu nada rendah dan nada tinggi. Dangngong dalam pertunjukan BMB (Bukan Musik Biasa) tahun 2011, konsep permainan Dangngong yang paling mendasar sebenarnya ide itu muncul dari filosofi masyarakat Hulug, dimana daerah itu merupakan daerah perbukitan. Masyarakat Hulug matapencahariannya sebagian besar sebagai nelayan. Mereka juga bercocok tanam namun sedikit lahan yang ada karena daerah tersebut sangat terjal. Biasanya masyarakat Hulug menanam tanaman cengkeh tetapi bergantung pada musim yang ada. Jadi, filosofi yang di angkat dalam karya Misbahudin adalah ketika Dangngong itu dimainkan dengan membentuk angka delapan yang artinya menebas ketika membersihkan ladang cengkeh, kemudian mendayung yang artinya ketika nelayan mencari nafkah di laut. Dangngong merupakan benang merah yang menghubungkan antara laut dengan gunung. Filosofi angka delapan muncul karena awalnya Misbahudin paham tentang pemaknaan filosofi yang dihubungkan dengan daerah asal Misbahudin. Kampung halaman Misbahudin merupakan daerah pegunungan, tetapi mata pencaharian yang utama adalah nelayan. Paduan antara dua filosofi ketika delapan memutar ke bawah artinya menebas, dan ketika kebelakang artinya mendayung. Secara teknis ketika Dangngong dimainkan membentuk angka delapan, bunyi yang dihasilkan juga bisa continiu atau terus menerus.
145
Konsep Misbahudin dalam berkarya juga didasari oleh idiologi yang mendasari pemikirannya, bahwa sebenarya di wilayah komposisi membuat musik itu misalnya harus sadar tempo, ketukan, atau sejenisnya. Seperti yang dipaparkan Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Ide membuat alat musik Dangngong ini yaa sesuai dengan idiologi saya, bahwa sebenarya di wilayah komposisi membuat musik itu misalnya harus sadar tempo, ketukan, atau sejenisnya dan itu sering dilakukan, tetapi kenapa harus dipaksa membuat hal-hal yang baru sementara yang lama belum matang dan juga tidak yakin bahwa yang baru itu punya kita. Bahwa ketukan, tempo itu bukan kita yang punya dan Eropa lah yang punya. Dan akhirnya pembuatan Dangngong ini ingin mencoba mengangkat proses intensitas, bagaimana Dangngong itu nyaman didengar dan mencoba tidak masuk ke dalam wilayah tempo atau sejenisnya yang akan mengakibatkan karya itu kaku dan tidak liar” (Wawancara Misbahudin, 11 Januari 2012).
Membuat komposisi Dangngong, Misbahudin mencoba melepaskan diri dari konsep musik Barat. Karena menurut Misbahudin, dengan membebaskan seperti itu akan membuat karyanya lebih bebas dan fleksibel. Misbahudin lebih ingin membebaskan cara dia berekspresi memainkan alat musik Dangngong. Sesuai pemikiran Misbahudin, bahwa sebuah karya musik juga bisa dinilai dari konsep, maksud dan tujuan karya itu dibuat dan tentunya karya itu bisa dipertanggung jawabkan atas apa yang sudah dihasilkan dari ide tersebut.
C. Pendorong (Press) dalam Proses Kreatif Misbahudin
Di dalam sebuah kreativitas selain ide dan proses garap, tentunya ada hal yang sangat berpengaruh dalam proses kreatif tersebut. Hal yang berpengaruh tersebut adalah faktor pendorong baik secara internal maupun eksternal. Menurut
146
Amabile (dalam N. Colangelo. ed., 1994), kreativitas tidak hanya bergantung pada keterampilan dalam bidang dan dalam berpikir kreatif, tetapi juga pada motivasi intrinsik (pendorong internal) untuk bersibuk diri dalam bekerja, dan pada lingkungan sosial yang kondusif (pendorong eksternal) (Utami Munandar, 2002: 29). Pendorong internal lebih kepada pengalaman-pengalaman yang sudah dialami seseorang sehingga mendorongnya untuk berkreativitas. Dorongan tersebut salah satunya bisa berasal dari dalam diri seseorang ketika ingin mengungkapkan sesuatu, dapat pula berupa sebuah pemikiran untuk membuat sesuatu yang berbeda. Dorongan internal juga dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang ada di sekitar seseorang tersebut. Pendorong eksternal lebih kepada hal-hal diluar kondisi pribadi seperti lingkungan sekitar, pergaulan dari orang tersebut. Jika seseorang tersebut adalah seniman, maka bisa juga dorongan itu muncul dari penikmat seni pertunjukkan yang merespon karya seorang seniman tersebut. Jika melihat proses kreatif yang dilakukan Misbahudin, ada beberapa dorongan internal yang mendorong Misbahudin untuk berproses kreatif yang diwujudkan lewat eksplorasi instrumen Dangngong. Ketika mengkaji karya-karya yang telah dilahirkan Misbahudin, tampak adanya sebuah dorongan internal berupa keinginan Misbahudin secara pribadi untuk selalu mengangkat etnisitas Selayar. Keinginan tersebut hadir menjadi dorongan dalam setiap karya-karya menggunakan Dangngong karena pertimbangan pemikiran dan keinginan kompleks yang dialami Misbahudin. Konsep-konsep tentang masyarakat Selayar menjadi ide dalam karya eksplorasi Dangngong.
147
Hal ini akan menjadi karakter tersendiri bagi Misbahudin sebagai pencipta karya seni. Karakter Misbahudin dalam mengangkat etnisitas Selayar dalam karyanya sudah bisa dilihat dari karya yang pertama yang berjudul Aia To Hu-luk. Sebuah bentuk karya yang menggunakan dialog-dialog bahasa lokal Selayar menujukkan bahwa mengenalkan budaya lokal tempat kelahirannya menjadi sebuah dorongan internal bagi Misbahudin supaya orang ketika melihat karyanya mengerti tentang budaya lokal Makassar. Pada semua karya-karya Misbahudin yang sudah diciptakannya termasuk karya Aia To Hu-luk, Dangngong menjadi instrumen utama yang mengiringi jalannya karya tersebut baik dalam bentuk instalasi menara Dangngong maupun dalam bentuk instrumen musik yang dimainkan secara langsung. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada satu sisi pribadi kreatif Misbahudin menginginkan karya-karyanya menciptakan suasana yang mengembalikan lagi masa-masa kecil Misbahudin bermain Dangngong. Hal ini membuktikan bahwa, memori masa kecil Misbahudin juga menjadi pendorong internal untuk menciptakan karya-karya Dangngong. Memori tersebut berkaitan erat dengan proses kreatif yang dilakukan Misbahudin hingga sekarang. Pendorong internal yang lain juga bisa dilihat dari karakter pribadi kreatif Misbahudin yang selalu ingin membuat sesuatu yang berbeda. Karya Dangngong menunjukkan bahwa Misbahudin melakukan sesuatu berdasar karakternya tersebut. Belum banyak seniman yang berani mengeksplorasi Dangngong dalam sebuah pementasan selain Misbahudin. Pendorong ini muncul ketika Misbahudin banyak membantu senior-seniornya dalam menciptakan karya musik, hingga pada akhirnya
148
Misbahudin juga mempunyai kegelisahan untuk menciptakan karya dari hasil pemikirannya. Selain itu juga karena kejenuhan memainkan alat musik yang sering digunakan ketika menciptakan karya tersebut. Misbahudin terdorong untuk menciptakan sesuatu yang berbeda yang diwujudkan melalui eksplorasi Dangngong. Misbahudin merupakan pribadi yang selalu gelisah dan tidak pernah mau berhenti pada satu titik pencapaian. Pada proses karya Dangngong, Misbahudin tidak pernah tertahan dalam satu pencapaian format pertunjukan tertentu dan bentuk musik tertentu yang telah ia buat. Ia selalu berproses tanpa henti untuk berusaha membuat kebaruan-kebaruan dalam setiap penampilan karyanya. Ketidakpuasanya berhenti dalam satu titik pencapaian karya dan keinginan untuk selalu membuat kebaruan ini menjadi pendorong internal lain baginya. Pendorong eksternal pada karya-karya eksplorasi Dangngong Misbahudin yang pertama muncul dari instrumen Dangngong itu sendiri. Bagi Misbahudin, Dangngong merupakan sebuah benda misterius yang selalu mendorongnya untuk menemukan kebaruan pada benda tersebut. Bunyi yang dimiliki Dangngong bisa dibilang hanya satu suara (nada yang sifatnya hanya low atau hight). Meskipun demikian belum banyak orang menyadari bahwa bunyi Dangngong pun bisa digunakan sebagai musik, walau tanpa bentuk melodi-melodi tertentu, atau dengan bermain dengan tempo tertentu. Dangngong yang merupakan instrumen bunyi penuh keterbatasan, justru memacu inspirasi dan kegelisahan Misbahudin hingga saat ini. Ia selalu berfikir tentang berbagai cara untuk mengangkat Dangngong menjadi musik dan bukan lagi hanya dianggap bunyi-bunyian mainan.
149
Hal itulah yang membuat Misbahudin tampak menempatkan Dangngong sebagai faktor pendorong eksternal yang utama. Seperti yang dipaparkan Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Dangngong menjadi satu instrumen yang cukup menggelisahkan bagi saya, karena sumber bunyi itu dari masa saya kecil sampai sekarang sangat menginspirasi karena itu sangat fenomenal bagi saya. Dangngong dibeberapa pertunjukan, saya tidak berharap ini menjadi instrumen yang sama halnya dengan instrumen yang lain. Jadi ada tempo, ada melodis tetapi lebih tertarik bagaimana saya mengeksplor suatu jenis instrumen yang berkarakter. Jenis instrumen yang selama ini hanya menjadi bunyi, bagi masyarakat Indonesia. Saya gelisah dan ingin mencoba mengangkat bagaimana ini menjadi suatu instrumen musik yang menjadi karakter Indonesia. Karena di dunia instrumen ini menjadi satu dalam kategori harpa angina” (Wawancara Misbahudin, 11 Maret 2013).
Pendorong eksternal yang kedua adalah faktor lingkungan tempat Misbahudin hidup saat ini. Jika melihat eksplorasi Dangngong yang dilakukan Misbahudin, akan timbul pertanyaan mengapa Dangngong justru lahirnya di Solo dan justru bukan di kampung halamannya di Selayar. Hal ini karena lingkungan yang mendukung Misbahudin untuk berproses kreatif adalah di Solo. Misbahudin belajar pengetahuan tentang musik di Solo ketika banyak membantu seniorseniornya dalam menciptakan karya seni, dan akhirnya Misbahudin paham tentang bagaimana menciptakan karya, paham tentang komposisi musik, paham tentang konsep, akhirnya Misbahudin terdorong untuk memberanikan diri berproses kreatif yang diwujudkan lewat eksplorasi Dangngong. Selain itu, di Solo banyak yang mendukung Misbahudin dalam melakukan eksperimen Dangngong. Seperti yang dipaparkan Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Kenapa Danggong lahir di Solo memang korelasinya begitu. Ketika aku menempa ilmu disini tentang komposisi, tentang kenakalan-kenakalan
150
pertujukan akhirnya aku memberanikan diri untuk itu, semuanyakan berawal dari memberanikan diri dan resikonya kan ada. Terus aku juga di undang sebagai Misbahudin bukan sebagai musisi tetapi Misbahudin dari Makassar yaa otomatis aku mengangkat budaya Makassar. Yaaa itu jalanku, dan itu gaya bermusikku dengan gaya Makassar. Ngapain aku jauh-jauh dari Makassar tanpa membawa identitas yang benar-benar murni seng tak pingini dan itu yang aku inginkan. Sakarang kan juga banyak musisi yang kehilangan identitasnya diri karena dia sendiri yang membunuh. Dangngong itu juga belum pernah tak tampilkan di Makassar. Aku kedepane juga pengen itu ada di Makassar ketika orang datang ke Selayar dari kapal menepi di pinggir pantai disambut Dangngong. Tapi itu juga karena aku di Surakarta sini ada yang mendukung aku untuk bermain Dangngong sehingga itu merupakan penyemangat tersendiri” (Wawancara Misbahudin, 1 November 2012).
Walaupun Dangngong lahir di Solo, tetapi Misbahudin tetap tidak lepas dari lokal jeniusnya sebagai orang Selayar. Hal ini memang sesuai dengan konsepkonsep karya yang diciptakan Misbahudin yang selalu mengangkat etnisitas Selayar disetiap karanya. Eksplorasi yang dilakukan Misbahudin juga didukung dengan lingkungan Misbahudin yang banyak bergaul dengan para senimanseniman dan pencipta karya seni ketika kuliah di ISI Surakarta. Hal ini juga menjadi pendorong Misbahudin untuk juga menciptakan karya dari hasil pemikirannya. Kegelisahan Misbahudin ketika hanya berperan menjadi seorang pemain musik saja ketika membantu teman atau seniornya, pada akhirnya Misbahudin juga berkeinginan untuk mencipta. Dari rasa kejenuhan itu akhirnya muncul karya-karya Misbahudin lewat eksplorasi Dangngong yang dilakukannya. Setelah karya Misbahudin dipentaskan, teman-teman Misbahudin merespon positif apa yang dilakukan Misbahudin. Hal ini juga menjadi pendorong eksternal bagi Misbahudin untuk terus mengeksplorasi
151
Dangngong. Seperti yang dipaparkan oleh Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Karya Dangngong ini tidak berhenti, setelah karya Aia To Hu-luk saya diundang di SIEM 2008, disini saya coba menggali Dangngong itu lagi sebagi instrumen utama dan banyak teman-teman yang cukup tertarik. Karena ini tidak biasa, artinya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat jawa mungkin itu instrumen yang biasa dipakai di layangan, tapi untuk dimainkan dalam suatu format pertunjukan, walaupun ketika dalam penggarapannya masih belum maksimal, tapi banyak teman-teman yang cukup antusias dan saya juga terdorong untuk terus menggali instrumen itu. Teman-teman juga bilang ini satu hal yang cukup menarik, di Indonesia belum ada yang mengangkat satu instrumen yang sifatnya harpa angin” (Wawancara Misbahudin, 11 Maret 2013).
Adanya dorongan-dorongan yang memotivasi Misbahudin, akhirnya ia ingin terus mengeksplorasi Dangngong hingga sekarang. Misbahudin ingin lebih mengenal karakter suara Dangngong dengan sebuah perjalanan yang ia sebut ekspedisi. Misbahudin ingin mencari warna bunyi lain yang dapat dihasilkan oleh Dangngong. Pada sebuah wawancara, Misbahudin menyatakan kejenuhan akan bunyi-bunyi yang dihasilkan Dangngong yang sifatnya kurang bervariasi yang dipaparkannya dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Ada sebuah titik kejenuhan juga, saya merasa instrumen ini kan hanya satu suara, misalnya suara sengaw, waaaaauuw, cuman itu saja yang dihasilkan. Tidak ada yang melodis-melodis yang lain yang semacam harmonik. Tetapi itu juga yang mendorong saya untuk terus mengeksplorasi Dangngong. Apakah Dangngong ini memang betul-betul saya yang harus mencari atau membuat sistem untuk saya menggerakan kemudian Dangngong berbunyi atau saya terus memasang Dangngong sebagai sebuah instalasi terus ada angin kemudian Dangngong tersebut berbunyi. Dan ini yang saya terus mengeksplor dengan saya mencoba membuat satu perjalanan eksplorasi yang saya namakan ‘ekspedisi Dangngong’. Itu hanya suatu usaha untuk saya agar terus mencoba mengeksplorasi instrumen Dangngong ini” (Wawancara Misbahudin, 11 Maret 2013).
152
Dorongan Misbahudin untuk terus mengeksplorasi Dangngong juga muncul ketika melihat bagaimana caranya Dangngong bisa berbunyi. Seperti yang sudah dipaparkan Misbahudin di atas, bahwa angin merupakan elemen penting untuk membunyikan Dangngong. Kegelisahan Misbahudin memahami karakter angin hingga muncul pemikiran apakah Dangngong tersebut harus menunggu angin datang jika Dangngong dibuat sebagai instalasi, apakah Dangngong tersebut harus digerakkan secara langsung dengan tangan manusia supaya bisa berbunyi. Kegelisahan ini akhirnya mendorong Misbahudin untuk melakukan sebuah perjalanan yang ia sebut sebagai ‘ekspedisi Dangngong’. Ekspedisi tersebut dilakukan di beberapa daerah perbukitan dan juga di pantai. Misbahudin benar-benar mempersiapkan perjalanan ekspedisi yang ia lakukan. Sebelum melakukan ekspedisi, Misbahudin melakukan survei ke tempattempat yang tepat untuk ekspedisi Dangngong. Survei yang dilakukan Misbahudin juga untuk mempelajari karakter angin yang memang menjadi elemen pokok untuk membunyikan Dangngong. Salah satu tempat yang dipilih Misbahudin sebagai tempat ekspedisi adalah pantai Pancer yang berada di Pacitan, seperti yang dipaparkan Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Ekspedisi Dangngong ini awalnya kami hanya berempat pergi ke pantai Pancer Pacitan Jawa Timur. Sebelum melakukan ekspedisi kami mengadakan survei kesana untuk mecoba melihat karakter angin. Angin ini menjadi hal yang cukup pokok untuk bagaimana Dangngong bisa berbunyi. Jadi saya mencoba untuk menelusuri bagaimana sirkulasi angin dan kami survei tiga hari nginap di pantai tersebut. Di sana ada satu konstruksi pantai dengan pantai selatan, suatu gambaran umumnya pantai itu cukup menarik bagi saya. Di sana ada subuah muara yang disampingnya ada tebing, yang mengakibatkan sirkulasi angin di pagi hari, siang hari, sore hari ada proses sirkulasi angin yang cukup menarik. Di pagi hari itu angin dari gunung turun ke laut, kemudian siang hari anginnya dari laut terus terbentur di dinding tebing, kemudian di sore hari itu rata-rata angin kencang dari pantai tapi
153
anginnya ke atas bukan ke bawah atau ke pasir anginnya. Dari situ saya coba pelajari kayaknya ada hal yang menarik kalok kita pasang instalasi dipantai ini kita pasang di satu tempat beberapa karakter Dangngong yang bersuara Low dan Hight kita pasang secara acak. Tiap satu tiang kita pasang empat Dangngong. Kemudian untuk mengerti arah angin kita pasang satu tiang yang atasnya kita kasih rumbai-rumbai supaya tau arah angin” (Wawancara Misbahudin, 11 Maret 2013).
Pemaparan Misbahudin di atas dapat memberi gambaran tentang kesiapan dan keseriusan Misbahudin untuk melakukan ekspedisi memahami karakter angin. Banyak pertimbangan untuk menentukan tempat ekspedisi Dangngong. Pada proses survei tempat ekspedisi tersebut akhirnya Misbahudin dapat mempelajari sirkulasi angin pada pagi hari, siang hari, sore hari, dan malam hari. Misbahudin pun menemukan hal yang menarik dari sirkulasi angin tersebut seperti yang dikatakannya dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Ada sesuatu hal yang menarik bahwa sirkulasi angin itu cukup membantu kita untuk sedikit paham dinamika-dinamika arus angin, yang menjadikan suara Dangngong itu berubah-ubah. Ini yang menjadikan inspirasi bahwa Dangngong adalah suatu musik yang bagi saya ini musik yang indah” (Wawancara Misbahudin, 11 Maret 2013).
Setelah melakukan survei tempat ekspedisi, akhirnya Misbahudin benarbenar melakukan ekspedisi dengan mempersiapkan semua yang dibutuhkan dalam proses tesebut. Misbahudin memaknai ekspedisi Dangngong adalah proses belajar eksplorasi Dangngong dan menganggap ekspedisi tersebut adalah sebuah bentuk pementasan walau tanpa penonton. Misbahudin dengan dibantu teman-temannya mempersiapkan pertunjukan yang akan mereka lakukan, seperti yang dipaparkan Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Setelah survei kita mencoba diskusi apa yang perlu disiapkan besok untuk ekspedisi. Akhirnya dua bulan kemudian kita lakukan eksekusi dengan
154
ekspedisi Dangngong. Disini kita betul-betul melakukan satu pertunjukan dengan tanpa audiens sama sekali, tapi hanya kita yang betul-betul belajar berproses dengan baik. Kita coba melakukan ini dan kita lihat kita nikmati apa yang terjadi. Di sini kita memasang delapan tiang dengan ada sekitar dua puluh Dangngong yang diikat di delapan tiang. Kita melakukan ekspedisi selama dua hari kita tidur dibawah tiang-tiang Dangngong di atas pasir pantai dan itu cukup menginspirasi saya. Disamping itu saya coba eksplorasi dengan suling Shakuhachi. Adapun teman-teman juga mengambil alat musik lain untuk merespon Dangngong itu sendiri” (Wawancara Misbahudin, 11 Maret 2013).
Keseriusan Misbahudin dalam ekspedisi tersebut membuktikan bahwa ia benar-benar serius melakukan eksplorasi Dangngong. Ekspedisi bagi Misbahudin dianggap sebagai bentuk pertunjukan walapun tanpa adanya penonton, tetapi yang menjadi perhatian penting bagaimana dalam proses ekspedisi tersebut Misbahudin belajar tentang angin, belajar tentang karakter bunyi Dangngong dan belajar berporses kreatif dengan baik. Jika melihat karya-karya Misbahudin yang sudah diciptakannya dan kemudian melihat proses ekspedisi, ada beberapa kesamaankesamaan dalam bentuk sajiannya. Kesamaan tersebut bisa dilihat dari hadirnya instrumen Shakuhachi, menara Dangngong, dan Dangngong yang dimainkan secara langsung menggunakan tangan. Hal ini menunjukkan ada benang merah antara proses ekspedisi dengan karya-karya yang sudah dilahirkan Misbahudin. Ekspedisi bisa dikatakan menjadi proses mencoba, bereksperimen dan menjadi embrio karya-karya yang tercipta. Selain proses belajar yang dapat dipetik manfaatnya dari proses ekpedisi tersebut, ada manfaat lain yang dirasakan Misbahudin dalam proses ekspedisi yang dilakukannya di pantai Pancer yang terletak dipacitan terhadap masyarakat sekitar
155
tempat Misbahudin melakukan ekspedisi. Seperti yang paparkan Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Di dalam ekspedisi yang kita lakukan hasilnya masyarakat setempat juga setelah dua hari kita tinggal ada beberapa orang yang menghubungi kita dan merasa tertarik. Artinya bagi masyarakat nelayan itu bagus sebagai pertanda. Jadi dikala malam anginnya kencang dan Dangngong itu suaranya sangat kencang, paginya meraka bergegas untuk melaut. karena itu suatu tanda kalau malam anginnya kencang berarti pagi-pagi jam 6 itu cuaca akan baik untuk melaut” (Wawancara Misbahudin, 11 Maret 2013).
Setelah melakukan ekspedisi di pantai Pancer, Misbahudin belum merasa puas yang pada akhirnya ia melakukan ekspedisi lagi ke tempat yang berbeda. Setelah mempelajari angin laut, Misbahudin juga ingin mempelajari angin pegunungan. Kegelisahan Misbahudin untuk mengeksplorasi Dangngong selalu mendorongnya untuk terus belajar, dan ia selalu menuruti apa yang menjadi kegelisahan pikirannya terkait eksplorasi Dangngong. Walaupun dengen beberapa resiko harus meninggalkan keluarganya, bahkan menjual beberapa barang berharga yang ia miliki, Misbahudin melakukan itu demi memenuhi kegelisahan yang ada di dalam pikirannya. Hal ini merupakan bentuk keseriusan Misbahudin dalam mengeksplorasi Dangngong yang dilakukannya hingga sekarang. Demi capaian-capaian yang ingin digapainya Misbahudin melakukan ekspedisi lagi ke daerah perbukitan. Ketidak puasan Misbahudin ketika hanya melakukan ekspedisi di pantai dipaparkannya dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Kemudian setelah kita melakukan ekspedisi di pantai Pancer kita merasa belum puas. Kita lanjutkan dengan cara yang berbeda, kita mencoba berdiskusi lagi, ini kita sudah ekspedisi satu di pantai dan kita sudah pelajari dan ada beberapa hal yang bisa kita tarik kesimpulan, bahwa angin laut ini ternyata ada sirkulasi dari darat ke laut, laut ke darat itu cukup menarik.
156
Tetapi ini belum cukup, karena itu kita lakukan eksplorasi di laut belum lagi bagaimana kalau kita lakukan di pegunungan” (Wawancara Misbahudin, 11 Maret 2013).
Ekspedisi selanjutnya akhirnya Misbahudin memilih tempat di daerah Kemuning yang terletak di kabupaten Karanganyar. Seperti yang dilakukan ketika ekspedisi di pantai Pancer, sebelum melakukan ekspedisi Misbahudin melakukan survei tempat lebih dulu. Seperti yang dipaparkan Misbahudin dalam sebuah wawancara sebagai berikut. “Delapan bulan kemudian, karena waktunya yang cukup lama juga untuk melakukan lagi, akhirnya kita survei lagi ke gunung. Kita coba memilih satu lokasi yang secara geografis juga cukup menarik dan diperkirakan di daerah itu pasti ada angin yang terus bertiup karena itu yang kita inginkan sama halnya di laut. Tetapi di gunung kadang-kadang ada tempat yang tinggi tetapi sirkulasi angin itu tidak menentu. Akhirnya kita pilih satu tempat di Kemuning di daerah Karanganyar. Seperti biasa kita lakukan survei, berangkat ke Kemuning, kita bertanya-tanya kepada masyarakat lokal, tempat yang tinggi disini yang gampang di akses, artinya kita juga tetap harus berpikir material bambu, karena kita akan membawa bambu yang cukup banyak juga. Kita berpikir tentang itu bagaimana secara teknis nanti bambu bisa kita bawa ke atas. Akhirnya kita mendapat tempat di Paralayang, itu satu lokasi yang juga dipakai olah raga Paralayang. Itu merupakan tanah lapang terus landai ke bawah, di bawahnya ada kebun teh yang luas, kemudian di samping kanan dan kiri ada gunung, candi Sukuh, dan di kanan juga ada bukit-bukit area candi Cetho. Kalau saya berpikir tempat ini merupakan semacam gerbang angin yang naik. Kita lakukan survei duduk di atas semalam kita nikmati pemandangan kota Karanganyar, kota Solo sambil menikmati semilir angin dan kita terus pelajari. Di sana itu sangan bagus, karena anginnya itu tetap, anginnya statis, tidak terlalu kencang dan tidak hilang juga, dia tetap ada. Lain halnya dengan di pantai, yang dia terus ada, kenceng terus, tapi hanya sirkulasi itu dari gunung, laut dan tebing. Tapi kalau di Paralayang itu bagus karena dia naik terus dan itu terus tanpa henti namun tidak kencang. Dangngong ini secara konstruksi juga kalau misalnya angin tidak tertalu kencang, kadang potensi bunyinya itu kita tidak temukan. Jadi kita coba pelajari dengan membuat satu Dangngong waktu survei itu. Kita coba membuat satu Dangngong yang hight tetapi dengan konstruksi yang lebar dengan senar yang tipis. Itu hanya untuk mencoba kalau senar tipis ditiup angin sedikit pun akan bunyi. Kita coba akhirnya berbunyi, dan itu terus statis berbunyi” (Wawancara Misbahudin, 11 Maret 2013).
157
Dari pemaparan Misbahudin di atas, kembali lagi bisa dilihat keseriusan Misbahudin dan persiapan yang benar-benar diperhitungkan secara matang sebelum melakukan proses ekspedisi. Hal ini bertujuan supaya proses ekspedisi dapat berjalan dengan lancar dan proses belajar ini mendapat hasil yang maksimal. Pertimbangan-pertimbangan pemilihan tempat menjadi penentu utama yang mempengaruhi kelancaran dan tercapainya tujuan proses ekspedisi tersebut. Angin menjadi fokus utama yang diperhatikan ketika memilih tempat untuk ekspedisi. Pertimbangan yang lain juga meliputi tentang pencarian bahan material bambu yang dibutuhkan untuk ekspedisi dan bagaimana tempat tersebut mudah dijangkau ketika akan membawa material tersebut ke tempat ekspedisi. Setelah melakukan survei tempat untuk ekspedisi, akhirnya Misbahudin melakukan ekspedisi dengan ditemani beberapa teman-teman Misbahudin. Ekspedisi tersebut dilakukan setelah jarak dua bulan dari waktu ekspedisi. Adapun pemaparan Misbahudin tentang ekspedisi di Paralayang sebagai berikut. “Selesai kita survei, dua bulan kemudian kita lakukan eksekusi dengan ekspedisi Dangngong. Kita lakukan kerja betul, kita lakukan pertunjukan betul di atas gunung itu. Kita memasang ada sekitar lima belas tiang bambu, setiap tiang ada delapan sampai sepuluh Dangngong di pasang. Tetapi ternyata baru satu kita pasang ternyata itu tidak menguntungkan mendapatkan suatu hasil yang maksimal, artinya delapan Dangngong itu memutar jika ada arah mata angin dari mana saja pasti berbunyi. Tetapi di Paralayang itu hanya satu arah mata angin yang kita pelajari, jadi kita pasang hanya dua Dangngong dalam satu tiang. Kemudian kita coba panggil beberapa teman untuk diskusi, bukan penonton disini tetapi teman yang mau di ajak berdiskusi dan tertarik dengan perjalanan ini. Waktu itu ada sekitar 20 orang yang ikut ekspedisi. Jadi setiap melakukan ekspedisi, dari proses pembuatan itu memang kita lakukan di tempat. Kita tidak membuat Dangngong di rumah kemudian dibawa ke lokasi ekspedisi, jadi dari bahan atau apa semua kita lakukan di tempat, karena mungkin menurut saya dari karakter bambu hutan, bambu gunung dengan bambu laut mungkin ada perbedaan sedikit dari ketebalan atau apa gitu. Disisi lain juga itu yang menantang kita untuk surfive di lapangan, bagaimana kita mencari bambu,
158
bagaimana cara kita memilih bambu, dan bagaimana kita membuat Dangngong. Proses pembuatan itu dari sore sampai menjelang pagi. Kemudian keesokan harinya jam 12 kita mulai lakukan pertunjukunnya. Hasilnya cukup menarik, suara Dangngong di sana itu terus statis dan bunyi terus menerus. Bergantian bunyi pun hanya sesekali saja, tidak sama dengan di pantai sebelumnya yang terus bergantian, tapi kalau di sini statis terus. Di bawahnya kita lakukan eksplorasi dengan bermain musik, ada yang menari, ada yang performing art. Yang jelas Dangngong disini harmoniknya sedikit dapat, harmonik yang fundamental, maksudnya ada karakter melodi-melodi sedikit. Itu yang kita alamai suatu perbedaan yang signifikan dari proses ekspedisi di laut dan di gunung” (Wawancara Misbahudin, 11 Maret 2013).
Dari penjabaran di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ekspedisi merupakan bentuk dorongan eksternal dari dalam diri Misbahudin untuk terus mempelajari Dangngong dan juga karakter angin sebagai energi penghasil bunyi Dangngong. Dorongan eksternal ini berawal dari dorongan yang didapat Misbahudin dari beberapa temannya yang merespon positif setelah melihat pertunjukan karya Misbahudin terkait eksplorasi Dangngong yang dilakukannya. Pada akhirnya Misbahudin terdorong untuk terus mengeksplorasi Dangngong dengan salah satu cara lewat perjalanan ekspedisi Dangngong yang dilakukannya.
D. Produk Kreatif yang Dihasilkan Misbahudin
Menurut Haefele (1962, dama U. Munandar, 1980) menjelaskan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang mempunyai makna sosial. Definisi Heafele ini menunjukkan bahwa tidak keseluruhan produk yang bernilai kreatif itu harus baru, tetapi kombinasinya. Sebagai contoh, kursi dan roda sudah ada selama berabad-abad, tetapi gagasan pertama untuk menggabung kursi dan roda menjadi “kursi roda” merupakan
159
gagasan yang kreatif. Definisi Haefele menekankan pula bahwa suatu produk kreatif tidak hanya harus baru tetapi juga diakui sebagai bermakna (Utami Munandar, 2002: 28). Produk kreativitas Misbahudin dapat dilihat dari hasil karya-karya yang sudah diciptakannya lewat eksplorasi Dangngong. Jika melihat pernyataan Heafele bahwa tidak keseluruhan produk yang bernilai kreatif itu harus baru, tetapi juga bisa kombinasi dari benda satu dengan benda yang lain. Dangngong merupakan alat bunyi-bunyian atau aksesoris pada layang-layang yang sudah ada sejak dahulu. Tetapi dengan kreativitas Misbahudin, akhirnya melahirkan produk kreatif yang berwujud Dangngong menjadi instrumen musik yang dihadirkan dalam sebuah sajian pertunjukkan. Kreativitas Misbahudin tidak berhenti dalam mengangkat Dangngong menjadi instrumen musik saja, bahkan konsep karya-karya yang diciptakan Misbahudin selalu mengkombinasikan Dangngong dengan bentukbentuk kreativitas yang lain. Kombinasi-kombinasi tersebut bisa dilihat pada karyakarya Misbahudin yang sudah dijelaskan di atas. Sehingga karya-karya yang dilahirkan Misbahudin adalah karya yang bernilai kreatif. Pada karya Aia To Hu-luk, Dangngong dikombinasikan dengan sajian teatrikal dan beberapa instrumen musik yang lainnya seperti perkusi Pacul, Shakuhachi, dan vokal oleh salah seorang personil dalam pementasan tersebut. Karya And Open Space, kreativitas Misbahudin lebih berkembang lagi dengan melahirkan inovasi bentuk baru dari Dangngong yang dikombinasikan dengan tongkat pemain Colour Guard seperti yang sudah dijelaskan pada bab III. Pada alur pentunjukan And Open Space, Misbahudin juga mengkombinasikan dengan sajian
160
koreografi dari Colour Guard yang memainkan tongkat Dangngong, kemudian dilanjutkan dengan tarian tradisional Selayar yaitu tari Pakarena. Pada karya Bunyibunyi Leluhur, Misbahudin membuat menara Dangngong yang dieksplorasi ketika pertunjukkan berlangsung. Selain itu Misbahudin juga mengkombinasi dengan sajian teatrikal yang menceritakan masyarakat nelayan yang berada di Selayar. Misbahudin, dalam berproses kreatif melahirkan beberapa produk yang bernilai kreatif. Produk tersebut berupa karya-karya yang telah dilahirkannya lewat eksplorasi Dangngong dan sudah dipentaskan dalam acara-acara yang melibatkan Misbahudin. Selain karya-karya tersebut, kreativitas Misbahudin juga diwujudkan dalam bentuk eksplorasi menara-menara Dangngong dan bentuk inovasi Dangngong yang berada dalam tongkat Colour Guard.
161
BAB V KESIMPULAN
Berdasar pada penelitian yang telah dilakukan, maka wujud kreativitas Misbahudin dalam karya-karya Dangngong dapat dilihat dari beberapa aspek. Pada perjalanan proses kekaryaan Dangngong Misbahudin menampakkan dirinya sebagai (1) pribadi yang kreatif (2) ia juga mengalami sebuah proses kreativitas dalam mengeksplorasi karyanya. Selain itu, (3) kreativitasnya itu muncul karena tekanantekanan (press) batin, kegelisahan, keinginan, dan kepentingan tertentu. Sehingga, (4) ketiga elemen kreativitas di atas terekspresikan di dalam produk-produk kekaryaannya dengan bahan Dangngong. Melalui kekaryaan tersebut dapat dilihat nilai-nilai kreativitas. Pribadi yang kreatif dari Misbahudin sudah mulai terlihat sejak Misbahudin masih duduk di bangku SMKI Makassar. Hal ini terbukti ketika Misbahudin pada waktu itu merasakan ketidak puasan dengan hanya mempelajari satu jenis instrumen musik saja. Selain itu Misbahudin juga mempunyai keahlian dalam bidang artistik panggung, bahkan ia juga bisa melukis. Misbahudin mampu menghayati dan menjalankan kebebasan dirinya dalam berkreativitas. Hasil dari pembebasan diri dalam berkreativitas tersebut dapat dilihat bahwa, saat ini Misbahudin mempunyai keahlian dalam bermusik dan sering terlibat dalam acara-acara yang bertaraf nasional bahkan internasional. Selain itu Misbahudin juga ahli dalam bidang desain grafis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jakob Sumardjo bahwa manusia yang kreatif adalah manusia yang menghayati dan menjalankan kebebasan dirinya secara mutlak.
162
Misbahudin juga mampu mengaktualisasi diri, mewujudkan potensinya, dan mengekspresikan semua kreativitas yang ia miliki. Sikap pribadi yang kreatif yang ada dalam diri Misbahudin tidak berhenti sampai pencapaian sebagai pemusik dan dalam bidang desain grafis saja. Ketika Misbahudin menjadi pemusik, ia kemudian mengalami rasa kejenuhan karena hanya menjadi seorang pemain musik saja. Dari rasa kejenuhan tersebut pada akhirnya Misbahudin terdorong untuk menciptakan sebuah karya yang ditunjukkan lewat eksplorasi Dangngong. Pengalaman-pengalaman ketika masih kecil, ketika duduk di bangku sekolah SMKI dan ketika ia menjadi pemusik menjadi bekal dalam menciptakan karya-karya yang sudah diciptakannya lewat eksplorasi Dangngong. Karya-karya tersebut bisa dikatakan berbeda dengan karya-karya yang diciptakan oleh seniman lain di sekitar lingkungan hidup Misbahudin (Solo). Misbahudin mampu menilai kondisi di sekitarnya ketika kebanyakan orang hanya menganggap Dangngong sebagai bunyi-bunyian mainan atau bunyi pertanda. Lewat kreativitas yang Misbahudin lakukan, Dangngong menjadi instrumen musik yang dihadirkan dalam sebuah pertunjukan. Karya-karya yang diciptakan lewat eksplorasi Dangngong pun mengalami perkembangan yang memanfaatkan ruang-ruang kreatif disetiap tajuk karya Dangngong. Misbahudin selalu bermain-main dengan konsep disetiap karya yang diciptakannya. Hal ini seperti yang dikatakan Carl Rogers bahwa ada tiga kondisi internal dari pribadi yang kreatif yaitu (1) keterbukaan terhadap pengalaman, (2) kemampuan untuk menilai situasi dengan patokan pribadi seseorang (internal locus of evaluation), dan (3) kemampuan untuk bereksperimen, untuk “bermain” dengan konsep-konsep.
163
Berbagai kemampuan personal tersebut menunjukkan bahwa dalam diri Misbahudin terdapat ciri-ciri seorang pribadi yang kreatif. Ciri-ciri personal kreatif yang ia miliki tersebut menunjang keberhasilannya menciptakan karya-karya Dangngong. Kreativitas Misbahudin juga ditampakkan ketika melihat beberapa proses yang dilaluinya dalam menciptakan karya-karya Dangngong. Proses awal yang dilakukan Misbahudin adalah memunculkan ide pembuatan karya Dangngong. Melihat karya-karya Dangngong yang sudah diciptakan oleh Misbahudin, ber-ide merupakan tahapan aktivitas berproses kreatif yang ia lakukan. Ia melahirkan ide untuk menemukan ide baru, dan ide baru tersebut juga akan melahirkan ide yang lebih baru lagi. Melalui proses ber-ide semacam ini akhirnya Misbahudin mampu menghasilkan pengembangan-pengembangan karya Dangngong yang selalu berbeda dan selalu ada unsur kebaruan. Pada proses penggarapan ide yang sudah dipikirkan Misbahudin, ia selalu bereksperimen dengan hal-hal yang baru dan berbeda pada setiap karya-karya Dangngong yang diciptakannya. Beberapa elemen yang mengalami pembaruan dan perbedaan disetiap karya-karya Dangngong adalah (1) bahan garap atau materimateri dasar yang akan digunakan untuk menciptakan karya-karya Dangngong, (2) penggarap atau seniman yang akan dilibatkan dalam proses penciptaan karya-karya Dangngong, dan (3) konsep dalam setiap karya-karya Dangngong. Setidakknya elemen-elemen proses tersebut menjadi kecenderungan kreativitas Misbahudin dalam karya-karya Dangngong. Kreativitas Misbahudin juga dipengaruhi oleh faktor-faktor pendorong yang selalu melingkupi pikiran dan perilakunya dalam berkarya.
164
Adapun faktor-faktor pendorong (press) yang diduga kuat memacu kreativitas Misbahudin terdapat dua pendorong yaitu pendorong internal dan pendorong eksternal. Adapun pendorong internal dalam kreativitas Misbahudin adalah (1) ketika mengkaji karya-karya yang telah dilahirkan Misbahudin, tampak adanya dorongan berupa keinginan Misbahudin secara pribadi untuk mengangkat etnisitas Selayar, (2) karya-karya yang diciptakan Misbahudin juga menggambarkan suasana yang mengembalikan lagi masa-masa kecilnya yang bermain Dangngong, sehingga bisa disimpulkan bahwa memori masa kecil juga menjadi pendorong internal Misbahudin dalam menciptakan karya-karya Dangngong, dan (3) karakter Misbahudin yang ingin menunjukkan sesuatu yang berbeda. Pendorong eksternal pada kreativitas Misbahudin adalah (1) bagi Misbahudin, Dangngong merupakan sebuah benda misterius yang selalu mendorongnya untuk menemukan kebaruan pada benda tersebut terkait bunyi yang dihasilkannya. Sehingga Dangngong adalah salah satu benda yang mendorong Misbahudin untuk berkreativitas. (2) pendorong eksternal yang juga memicu kreativitas Misbahudin adalah lingkungan sekitar dimana ia tinggal. Hal ini terkait mengapa karya-karya Dangngong justru lahir di Solo, bukan di Selayar tempat Misbahudin dilahirkan. Elemen-elemen tersebut yang ternyata mendorong Misbahudin untuk melakukan sebuah aktivitas berproses kreatif yang ditunjukkan lewat eksplorasi Dangngong. Tiga elemen kreativitas yaitu pribadi, proses dan pendorong tersebut pada akhirnya terlahirlah elemen kreativitas yang terakhir yaitu produk yang bernilai kreatif. Produk kreativitas Misbahudin dapat dilihat dari hasil karya-karya yang sudah diciptakannya lewat eksplorasi Dangngong.
165
Karya-karya tersebut adalah (1) Aia To Hu-luk yang dipentaskan dalam acara teater dan SIEM (Solo Internasional Etnik Musik), (2) Dangngong La-Here dipentaskan dalam acara Bukan Musik Biasa dan Purnama Seruling Penataran, (3) And Open Space dipentaskan dalam acara Srawung Seni Segara Gunung, (4) Bunyi-bunyi Leluhur dipentaskan dalam acara Taman Srawung Seni Segara Gunung. Paparan kesimpulan di atas merupakan hasil temuan dari penelitian ini. Dilihat dari empat elemen kreativitas dari teori Rhodes menampakkan berbagai dimensi kreativitas Misbahudinudin dalam karya eksperimentalnya menggunakan Dangngong. Peneliti meyakini bahwa dengan pendekatan teoritik yang berbeda sangat dimungkinkan nilai kreativitas Misbahudin menjadi semakin beragam. Namun pada tahap ini, hasil penelitian ini telah dianggap memenuhi harapan peneliti.
166
DAFTAR PUSTAKA 1. Pustaka I Wayan Sadra. “Lorong Kecil Menuju Susunan Musik”. Dalam Waridi, (ed). Menimbang Pendekatan: Pengkajian & Penciptaan Musik Nusantara. Surakarta: jurusan Karawitan bekerjasama dengan Program Pendidikan Pascasarjana dan STSI Press Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta. 2005. Jakob Sumarjo. “Filsafat Seni”. Penerbit ITB Bandung, 2000. Muhammad Zakky K. “Karya Lentrih (Proses Kratif Muriah Budiarti)”. Skripsi untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana S-1 Progam studi S-1 Etnomusikologi ISI Surakarta, 2009. Nyoman Kutha Ratna. “Metodologi Penelitian Kajian Budaya Dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya”. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2010. Rahayu Supanggah. “Garap: Suatu Konsep Pendekatan Kajian Musik Nusantara”. Dalam Waridi, (ed). Menimbang Pendekatan: Pengkajian & Penciptaan Musik Nusantara. Surakarta: jurusan Karawitan bekerjasama dengan Program Pendidikan Pascasarjana dan STSI Press Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta. 2005 Rahayu Supanggah. “Bothekan Karawitan II: Garap”. Surakarta: ISI Press Surakarta, 2006. Sri Rejeki. “Proses Kreatif Komponis Yasudah (Penciptaan Alat Musik Bambu Di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar”. Skripsi untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana S-1 Progam studi S-1 Etnomusikologi ISI Surakarta, 2008. Suka Harjana. “Corat – Coret Musik Kontemporer Dulu Dan Kini”. Ford Foundation dan MSPI, Jakarta. 2003. Supriadi, Dedi. “Kreativitas, Kebudayaan dan Perkembangan Iptek”. Alfabeta, Bandung, 1994. Utami Munandar. “Kreativitas Dan Keberbakatan Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat”. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2002.
167
Waridi, “Mengkaji Tokoh Seni Pertunjukan: Mengapa Dan Bagaimana”, dalam Menimbang Pendekatan Pengkajian Dan Penciptaan Musik Nusantara. Waridi (ed). Surakarta: Jurusan Karawitan STSI Surakarta.
168
2. Webtografi http://radio.spin.net.id/?p=289 http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._FISIKA/195708071982112WIENDARTUN/bab_13-Bunyi.pdf http://afrikayaraya.wordpress.com/2011/01/22/pengertian-bunyi-dan-kecepatanbunyi-pengetahuan-pendidikan-dasar-mengenai-bunyi-ilmu-sains-fisika/ http://www.mohicanwindharps.com/aeolianwindharps.html http://ndiel2.wordpress.com/2012/11/01/sang-penantang-angin/ http://p4honjean.wordpress.com/2011/04/17/sendaren/ http://redcheekinda.wordpress.com/tag/ternyata/ http://hermawayne.blogspot.com/2011/02/18-jenis-jimat-yang-digunakan-untuk.html http://sosok.kompasiana.com/2012/02/07/dari-garasi-sempit-genta-nada-mendunia437209.html http://galeriilmiah.wordpress.com/2011/08/11/kreatif-karya-arsitektur-unik-yangdapat-menghasilkan-alunan-nada-bertenaga-angin/ http://www.harmonicwindharps.com/doorharps.htm http://dasar-teori-kreativitas.htm
3. PDF Handout Mataajaran 'Teori-Teori Sosial Tentang Hukum' Prof. Soetandyo Wignjosoebroto. Tentang Konsep, Teori Dan Paradigma Ilmu Pengetahuan Sosial.
169
DAFTAR NARA SUMBER 1. 2. 3. 4. 5.
Misbahudin, objek dalam penelitian ini sekaligus sebagai narasumber utama. Halim HD, seniman dan pengamat seni pertunjukan. Gondrong Gunarto, seorang seniman dan komposer musik. Joko S Gombloh, seniman dan pengamat seni pertunjukan. Ilham Mappatoya, seniman dan komposer musik, juga teman sekolah sejak di SMKI Makassar.
170
GLOSARIUM Aktualisasi diri
: pengutaraan diri dan merupakan kebutuhan yang tergolong utama bagi individu untuk memperoleh pengakuan akan diri dari lingkungannya.
Fengshui
: sebuah kepercayaan terkait letak bangunan atau rumah (dengan bagian atau isinya) ang dianggap mempunyai pengaruh baik atau buruk terhadap penghuninya.
Ganrang
: Gendang Makassar (Salah instrumen dalam musik tradisional Makassar berbentuk silinder dan mempunyai muka berbahan kulit di kedua sisinya).
Impuls
: rangsangan atau gerak hati yang timbul dengan tiba-tiba untuk melakukan sesuatu tanpa pertimbangan; dorongan hati.
Implementasi
: pelaksanaan atau penerapa.
Intrinsik
: sesuatu yang terkandung didalamnya (tentang harkat seseorang terkait kehormatan atau keberanian).
Kontemporer
: masa kini atau kebaruan.
Longitudinal
: membujur; berkenaan dengan garis bujur.
Mitologi
: mitos yang bersangkutan dengan dewa-dewa dan tokoh-tokoh legendaris di suatu bangsa.
Metamorphosis
: suatu perubahan sususan atau bentuk.
Networker
: orang yang aktik/bergerak di jejaring sosial.
171
Obeservasi
: pengamatan atau peninjauan secara cermat.
Pelog
: Salah satu sistem nada pentatonik yang jarak intervalnya cenderung berbeda.
Pring Ori
: salah satu jenis bambu yang tumbuh di Jawa.
Relaksasi
: berkurangnya ketegangan; pengenduran
Referensi
: sumber acuan.
Saintifik
: berdasarkan ilmu pengetahuan.
Slendro
: Salah satu sistem nada pentatonik yang jarak intervalnya cenderung sama.
Soundscape
: pemandangan suara.
Spesifikasi
: pernyataan tentang hal-hal yang khusus.
Wind Harp
: jenis harpa angina yang ada di Eropa.
CURRICULUM VITAE
Data Pribadi Nama lengkap
: Mukhlis Anton Nugroho
Tempat dan Tanggal Lahir
: Surakarta, 11 Desember 1988
Jenis Kelamin
: Laki-laki.
Agama
: Islam.
Alamat Rumah
: Jln. Mawar. Gunden, Rt 07/04 Waru, Kebakkramat Karanganyar
Nomor Handphone
: 085647146402
Email
:
[email protected] :
[email protected]
Riwayat Pendidikan Tahun
Jenjang Pendidikan
1992-1994
TK Sudirman Waru, Kebakkramat, KRA.
1994-2000
SDN Plosokerep II Karangmalang, Sragen.
2000-2003
SLTP Muhammdiyah 8 Kebakkramat, KRA.
2004-2007
SMK Muhammadiyah 3 Karanganyar.
2009-2014
ISI Surakarta (Etnomusikologi), Jawa-Tengah.
Pengalaman Organisasi Tahun
Organisasi
2002-2003
Anggota OSIS SLTP Muh 8 Kebakkramat.
2005-2006
Anggota Ikatan Remaja Muhammdiyah.
2009-2010
Pengurus Divisi Penalaran Hima (Himpunan Mahasiswa) Etnomusikologi. Curiculum Vitae Mukhlis Anton Nugroho
1
2009-2011
Aktif di dalam UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Band, Melayu, UPPI, dan Massenca.
2009-2011
Anggota Devisi Sosial Badan Eksekutif Mahasiswa ISI Surakarta.
2011-2012
Menjabat sebagai Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa ISI Surakarta.
Pengalaman, Seminar dan Pelatihan yang Pernah Diikuti Tahun
Keterangan
2002
Ikut serta dalam seminar Pengembangan Diri yang diadakan di SMAN 1 Mojogedang.
2006
Ikut pelatihan kejuruan WIEKEL yang diselenggarakan oleh BBLKI Surakarta.
2009
Terpilih sebagai mahasiswa berprestasi yang ditunjuk untuk menghadiri Indonesia Channel di Pura Mangkunegaran, Surakarta.
2009
Mengikuti seminar budaya “Seni Tradisi Dan Perkembangannya Serta Kiat-Kiat Dalam Menghadapi Tantangan Di Era Globalisai” dengan pembicara Eko Supriyanto S.Sn., M.Fc. dan Aris Setyawan S.Sn.
2010
Workshop organologi Karinding Towel bersama Asep Nata, S.Sen., di ISI Surakarta.
2010
Panitia Seminar Nasional dan Kongres Luar Biasa FL2MI, di ISI Surakarta.
2010
Panitia “Dua Rasa” Etnomusikologi ISI Surakarta dan Universitas Pelita Harapan Jakarta.
2011
Panitia
PPSPP
OSMASI
ISI
Surakarta
sebagai
koordinator
perlengkapan. 2011
Panitia Seminar dan Temu Kreativitas Mahasiswa dalam Gelar Karya Bersama, di ISI Surakarta.
2011
Pengisi acara Gelar Budaya Indonesia prov Lampung, di Taman Budaya Jawa Tengah.
2011
Stage Manager kegiatan pasar musik etnik dalam acara Festival Kesenian Indonesia Curiculum Vitae Mukhlis Anton Nugroho
2
2011
Panitia pertunjukan musik “Disfiguring December”, di Klaten.
2012
Panitia PPSPP OSMASI ISI Surakarta sebagai tim Disiplin Mahasiswa (Disma)
2012
Panitia pertunjukan Oliver Kern Featuring Iskandar Widjaja-Hadar, di ISI Surakarta.
2012
Panitia pagelaran seni bertaraf Internasional “Srawung Seni Segara Gunung”, di Candi Borobudur.
2012
Panitia Indonesian Channel, di Mangkunegaran, Surakarta.
2012
Panitia dan pengisi acara Seminar Nasional “Kebangkitan Generasi Emas Indonesia dalam Pencitraan Identitas Nasional, di ISI Surakarta.
2012
Panitia Seminar Nasional Anti Narkoba, di ISI Surakarta.
2012
Menjadi ‘Pembicara’ dalam Seminar dan Diskusi denga tema “Semangat
Nasionalisme
Dalam
Menumbuhkan
Wawasan
Kebangsaan dan Penciptaan Karya Seni Generasi Indonesia”, di ISI Surakarta. 2012
Peserta diskusi mahasiswa dengan tema “Pembentukan Karakter Kepemimpinan Mahasiswa Melalui Kesadaran Peduli Sosial Dan Wawasan Kebangsaan”, di ISI Surakarta.
2012
Ketua Panitia dalam acara “Freedom Art Movement”, di ISI Surakarta
2013
Panitia PPSPP OSMASI ISI Surakarta sebagai tim Disiplin Mahasiswa (Disma).
2013
Ketua Pelaksana dan Filmmaker pemutaran feature “Musikufilm”, di ISI Surakarta.
2013
Panitia Opera Jawa “Selendang Merah” karya sutradara Garin Nugroho, di ISI Surakarta dan Taman Ismail Marzuki Jakarta.
2013
Panitia Gelar Karya Cipta “Mitos dan Legenda Para Ratu Nusantara di Candi Ratu Boko”, karya Sardono W. Kusumo.
Curiculum Vitae Mukhlis Anton Nugroho
3
Tulisan yang Pernah Dimuat
1. “Asyiknya Belajar Etnomusikologi”, dimuat dalam Joglosemar. Rabu 2 Mei 2012. 2. “Detak Hidup Musik Bambu”, dimuat dalam Joglosemar. Rabu, 1 Agustus 2012. 3. “Ebeg, Degub Seni Akar Rumput”, dimuat dalam Joglosemar. Rabu 10 Oktober 2012. 4. “Bangkitkan Semangat Tradisi di Masyarakat”, dimuat dalam Joglosemar. Rabu 7 November 2012. 5. “Kethoprak dan Anak Muda”, dimuat dalam Joglosemar. Rabu 5 Desember 2012. 6. “ Semarak Seni Rakyat Topeng Ireng”, dimuat dalam Joglosemar. Rabu 30 Januari 2013
Lain-Lain
Tahun
Keterangan
2012
Diperbantukan sebagai asisten lapangan, pada program Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Banjarnegara.
Penguasaan Software Microsoft Office Sony vegas Platinum Pro (editing video) Sony Acid (editing audio)
Curiculum Vitae Mukhlis Anton Nugroho
4