ANALISIS DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP KONDISI KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PULAU SUMATERA
OLEH AULIA FABIA H14102054
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
AULIA FABIA. Analisis Dampak Otonomi Daerah Terhadap Kondisi Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. (dibimbing oleh Muhammad Firdaus).
Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman antar daerah yang tinggi, keragaman antar daerah itu terjadi karena adanya perbedaan karakteristik alam, sosial dan budaya. Sistem pemerintahan yang sentralistis dan kesalahan manajemen pemerintahan yang terjadi selama ini, disamping telah mengakibatkan terpuruknya perekonomian nasional juga menyebabkan ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar daerah. Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah menyebabkan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk berperan dalam pembangunan semakin besar di daerahnya dan diharapkan dengan adanya otonomi daerah setiap daerah dituntut untuk bisa mengembangkan potensi daerahnya sehingga dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah terjadi konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera dan menganalisis dampak otonomi daerah terhadap konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera. Penelitian ini menggunakan data cross section PDRB perkapita atas harga dasar berlaku, jumlah penduduk dan tingkat pendidikan yang dilihat dari jumlah murid SMU di seluruh kabupaten/kota di pulau Sumatera. Tahun yang dianalisis dalam penelitian ini adalah tahun 1995, tahun 2001, dan tahun 2004. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah analisis regresi linier sederhana dan regresi linier berganda dengan PDRB perkapita tahun analisis sebagai variabel dependen dan PDRB perkapita tahun dasar dan tingkat pendidikan sebagai variabel independen. Diduga terjadi konvergensi pendapatan yang relatif tinggi antar kabupaten/kota di pulau Sumatera dan kebijakan otonomi daerah berpengaruh positif terhadap peningkatan konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama periode analisis, pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Hal ini dapat kita lihat dari nilai koefisien regresi pada tahun-tahun yang dianalisis nilainya lebih kecil dari nol. Hasil uji menunjukkan dampak otonomi daerah berpengaruh positif terhadap peningkatan konvergensi pendapatan dan menurunnya ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera. PDRB perkapita tahun dasar signifikan mempengaruhi PDRB perkapita tahun analisis sedangkan tingkat pendidikan tidak signifikan mempengaruhi PDRB perkapita tahun analisis, hal ini menunjukkan variabel tingkat pendidikan kurang mempengaruhi peningkatan konvergensi pada konvergensi bersyarat Pemerintah daerah disarankan untuk tetap memelihara implementasi dari kebijakan otonomi daerah dalam kebijakan pembangunannya kedepan. Pemerintah daerah diharapkan dapat melakukan kebijakan untuk memelihara tingginya nilai konvergensi dengan cara meningkatkan pandapatan daerahnya melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dan meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui peningkatan teknologi. Dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai variabel lain yang diduga dapat berpengaruh terhadap tingkat konvergensi antara lain tingkat kesehatan masyarakat, rasio kelahiran dan kematian penduduk, tingkat kesuburan wilayah untuk dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah khususnya kabupaten/kota di pulau Sumatera.
ANALISIS DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP KONDISI KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTAR KABUPATEN/KOTA DI PULAU SUMATERA
Oleh : AULIA FABIA H14102054
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS MANAJEMEN DAN EKONOMI INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Aulia Fabia
Nomor Regristrasi Pokok : H14102054 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
:“Analisis Dampak Otonomi Daerah Terhadap Kondisi
Ketimpangan
Pendapatan
Antar
Kabupaten/Kota Di Pulau Sumatera ”
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Muhammad Firdaus, SP, MSi NIP. 132 158 758
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S NIP. 131 846 872
Tanggal kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2006
Aulia Fabia H14102054
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Aulia Fabia lahir pada tanggal 19 April 1984 di Bogor, di Propinsi Jawa Barat. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Fawzul Kabir dan Hanny Kusumawati. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SDN Pengadilan 5 Bogor dan lulus pada tahun 1996, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang pendidikan ke SMUN 7 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Udangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Dampak Otonomi Daerah Terhadap Kondisi Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten/Kota Di Pulau Sumatera ”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Bapak Dr. Muhammad Firdaus, SP. MSi., yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak M.P. Hutagaol Ph.D selaku dosen penguji hasil skripsi ini yang telah berkenan meluangkan waktunya dan memberikan masukan serta kritik dan saran yang membangun. 2. Ibu Henny Reinhardt M.Sc yang telah memberikan masukan terutama dalam hal penulisan. 3. Kedua orang tuaku Fawzul Kabir dan Hanny Kusumawati yang telah banyak memberikan do’a, semangat dan kasih sayangnya kepada penulis. 4. Kakakku Mohammad Amarullah dan Adikku Aulia Nikmah atas masukan, dukungan dan kasih sayangnya kepada penulis. 5. Staf pengajar dan Tata Usaha FEM IPB jurusan Ilmu Ekonomi. 6. Pusatakawan FEM, IPB, BPS dan Bapak Dedy yang telah berkenan membantu penulisan skripsi ini. 7. Endang, Puput, teman-teman satu pembimbing atas kebersamaan dan dukungan hingga selesainya skripsi ini. 8. Faisal Pahlevi atas dukungan dan motivasinya selama ini. 9. Sahabat-sahabatku Ratna, Tasya, Wirda, Lia, atas dukungan dan motivasinya selama ini. 10. Teman-teman FEM angkatan 39 atas motivasi dan kebersamaannya selama penulisan skripsi ini dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan-kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dengan harapan dapat memperbaiki isi skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan rekan-rekan yang membutuhkan.
Bogor, September 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR......................................................................................i DAFTAR ISI.....................................................................................................iii DAFTAR GAMBAR........................................................................................iv DAFTAR TABEL ............................................................................................v DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................vi 1. PENDAHULUAN.......................................................................................1 1.1. Latar Belakang ...................................................................................1 1.2. Perumusan Masalah ...........................................................................4 1.3. Tujuan Penelitian ...............................................................................7 1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................7 1.5. Ruang Lingkup Penelitian...................................................................7 2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................8 2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah...............................................8 2.2. Teori Ketimpangan.............................................................................12 2.3. Kebijakan Otonomi Daerah................................................................17 2.4. Konsep Konvergensi...........................................................................19 2.5. Hasil Penelitian Terdahulu.................................................................20 3. METODOLOGI PENELITIAN ...............................................................25 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis .............................................................25 3.1.1.
Konsep Konvergensi Wilayah...................................................25
3.1.2.
Teori Pertumbuhan Model Solow . ..........................................30
3.1.3.
Teori Pertumbuhan Endogen....................................................32
3.1.4.
Pengukuran Ketimpangan.........................................................33
3.2. Kerangka Pemikiran Konseptual........................................................34 3.3. Definisi Operasional Data...................................................................37 3.4. Hipotesis.............................................................................................38 3.5. Waktu dan Lokasi Penelitian .............................................................38 3.6. Jenis dan Sumber Data .......................................................................39 3.7. Metode Analisis ................................................................................39 3.7.1.
Analisis Konvergensi................................................................40
4.
3.7.2.
Uji Signifikan Individu (Uji t)..................................................41
3.7.3.
Pengujian Terhadap Model Penduga (Uji F) ...........................42
HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................43 4.1.Analisis Konvergensi ..........................................................................43
5.
4.1.1
Analisis Konvergensi Absolut...................................................43
4.1.2
Analisis Konvergensi Bersyarat................................................47
KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................52 5.1.Kesimpulan ..........................................................................................52 5.2 Saran....................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................54 LAMPIRAN......................................................................................................57
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Dampak Kemajuan Teknologi Model Solow.............................31
Gambar 2.
Kerangka Pemikiran Konseptual................................................36
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Ketimpangan Pendapatan Tingkat Nasional Diukur Dengan Indeks Formulasi Williamson………………………………………………….6 Tabel 2. Indeks Formulasi Williamson Ketimpangan Pendapatan Tingkat Nasional……………………………………………………..………...21 Tabel 3. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau Menggunakan Indeks Williamson……………………………................................................22 Tabel 4. Ketimpangan Pendapatan Daerah Jawa Barat Tahun 1977-1981.........22 Tabel 5. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah Williamson di Propinsi Lampung Tahun 1995-2001…………………………………………..24 Tabel 6. Analisis Konvergensi Absolut 1995.......................................................43 Tabel 7. Analisis Konvergensi Absolut 2001.......................................................44 Tabel 8. Analisis Konvergensi Absolut 2004.......................................................46 Tabel 9. Analisis Konvergensi Bersyarat 1995....................................................47 Tabel 10.Analisis Konvergensi Bersyarat 2001....................................................49 Tabel 11.Analisis Konvergensi Bersyarat 2004....................................................50
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Data PDRB per Kapita Atas Harga Dasar Berlaku Menurut Kabupaten/Kota se Pulau Sumatera ..............................................58
Lampiran 2.
Data Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota Se Pulau Sumatera........................................................................................60
Lampiran 3.
Data Pendidikan Kabupaten/Kota Dilihat Dari Jumlah Murid SMU se Pulau Sumatera................................................................62
Lampiran 4.
Data Hasil Analisis Konvergensi Absolut.....................................64
Lampiran 5.
Data Hasil Analisis Konvergensi Bersyarat .................................66
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman antar daerah yang
tinggi, keragaman antar daerah tersebut terjadi karena adanya perbedaan karakteristik alam, ekonomi, sosial dan budaya. dimana sebaran sumber daya alam (khususnya minyak dan gas) serta pertumbuhan pusat perdagangan dan industri hanya terkonsentrasi pada beberapa tempat saja. Hal tersebut membuat pembangunan ekonomi daerah yang memiliki keunggulan pada salah satu bidang menjadi lebih tinggi dari daerah lainnya, sehingga tingkat ketidakmerataan pembangunan ekonomi antar daerah menjadi tinggi. Pada periode tahun 1975 sampai tahun 1995 GDP (Gross Domestic Product) perkapita propinsi naik sekitar 5 persen pertahun, sementara itu GDP provinsi juga meningkat akan tetapi peningkatan yang terjadi pada setiap provinsi berbeda-beda dan perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya pengurangan pendapatan antar daerah (Garcia dan Soelistianingsih, 1998). Secara garis besar struktur perekonomian Indonesia, distribusi lapangan kerja dan populasi penduduk didominasi di pulau Jawa dan Sumatra, hampir sekitar 80 persen GDP di Indonesia berasal dari kedua pulau tersebut dan sebagian besar populasi penduduk Indonesia banyak tersebar di kedua pulau tersebut. Tiap propinsi terdiri dari beberapa kabupaten yang memiliki kepadatan penduduk yang berbeda dan potensi sumber daya yang berbeda, sehingga memungkinan terjadinya ketimpangan pendapatan antar kabupaten. Ketimpangan merupakan
suatu fenomena alamiah yang dapat ditemukan dimana-mana dalam bentuk yang beragam pula, oleh karena itu ketimpangan tidak dapat dihapuskan melainkan hanya bisa diredam hingga ke tingkat yang bisa ditoleransi oleh suatu sistem sosial tertentu agar harmoni di dalam sistem tersebut tetap terpelihara dalam proses pertumbuhannya (Basri, 1995). Pertumbuhan ekonomi yang cepat bukanlah hasil dari keadaan wilayah miskin melainkan merupakan hasil dari sebagian kebijakan yang diciptakan untuk memfasilitasi pertumbuhan yang cepat, sehingga yang penting untuk dilakukan dan diperhatikan adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui kebijakankebijakan pembangunan. Kebijakan tersebut harus mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi daerah sehingga dapat mengarah pada konvergensi. Dengan demikian pemerintah mempunyai peran yang tidak kecil dalam memberikan berbagai bentuk dukungan untuk meningkatkan pertumbuhan pendapatan perkapita di daerah-daerah terbelakang atau miskin. Sistem pemerintahan yang sentralistis dan kesalahan manajemen pemerintahan yang terjadi selama ini, disamping telah mengakibatkan terpuruknya perekonomian nasional juga menyebabkan ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar daerah. Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia pasca orde baru telah menghasilkan perubahan dalam UU tentang pemerintahan daerah secara kongkret. Gerakan tersebut berhasil mengganti UU No. 5 tahun 1974 dan UU No. 5 tahun tahun 1979 dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Salah satu kelebihan dari undang-undang tersebut adalah
memberikan daerah akses yang lebih luas terhadap pengolahan sumber daya alam dan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan harapan daerah yang bersangkutan. Akan tetapi kelemahan dari undang-undang tersebut diperkirakan dapat menimbulkan ketidakefisienan di daerah-daerah yang diberi otonomi dan mengabaikan social cost yang akan timbul sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi yang akan membutuhkan biaya yang besar untuk membentuk pemerintahan baru, aparat-aparat, infrastruktur dan sebagainya. Pendekatan desentralisasi dalam pembangunan Indonesia disebabkan karena adanya berbagai kegagalan yang terjadi pada sistem sentralistik yang telah menimbulkan ketimpangan sosial seperti semakin melebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin, ketimpangan kota dan desa maupun ketimpangan antar sektor ekonomi dan ketimpangan antar sektor regional (antar daerah). Padahal pulau Sumatra dikenal memiliki potensi sumber daya alam yang besar akan tetapi potensi tersebut berbeda-beda di setiap daerah sehingga dari hal ini dapatkah kita melihat kesenjangan antar daerah di pulau Sumatra khususnya antar daerah tingkat II di wilayah tersebut, sehingga antar daerah tingkat II di Sumatra pun terbagi-bagi menjadi daerah yang sangat maju, dan ada pula yang masih terbelakang. Menurut Anwar (1998) dalam pembangunan spasial misalnya kebijakan yang cenderung mementingkan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub semula diramalkan bakal terjadi penetesan (tricle down effect) dari kutub pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland, ternyata pada kenyataannya tidak terjadi. Bahkan telah terjadi transfer netto yang negatif terhadap sumber daya dari wilayah
hinterland ke kutub dan dari desa ke perkotaan secara besar-besaran, oleh Lipton (1997) di sebut urban bias. Hal ini akan menimbulkan disparitas pendapatan yang sangat lebar antar daerah atau wilayah yang pada gilirannya keadaan ini akan menciptakan ketidakstabilan (instability) yang rentan terhadap goncangan yang mengakibatkan gejolak sosial ekonomi. Kenyataan ketidakmerataan ini mengakibatkan beban berat bagi pemerintah dalam mengatasi hal tersebut apalagi dengan diberlakukanya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 kedua undang-undang ini memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengatur pemerintahannya sendiri dan porsi keuangan yang lebih besar kepada daerah yang akhirnya berimplikasi kepada ketidakmerataan pembangunan antar daerah karena kepemilikan sumber daya yang berbeda-beda.
1.2.
Perumusan Masalah Di Indonesia pada saat globalisasi meningkat, semangat desentralisasi dari
berbagai daerah muncul, terutama daerah-daerah yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Kondisi ini dipicu oleh sistem pemerintahan sentralistik yang diterapkan pada masa orde baru sehingga muncul adanya rasa ketidakadilan dalam pembangunan antar daerah, dan ketika pemerintahan orde baru berakhir semangat desentralisasi baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat semakin menguat, yang kemudian berujung pada diterapkannya undang-undang otonomi daerah,
yang
memberikan
keleluasaan
pembangunan daerahnya masing-masing.
bagi
daerah
untuk
melakukan
Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah menyebabkan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk berperan dalam pembangunan semakin besar di daerahnya dan diharapkan dengan adanya otonomi daerah setiap daerah dituntut untuk bisa mengembangkan potensi daerahnya sehingga dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, akan tetapi hal itu juga memperlihatkan kenyataan bahwa setiap kabupaten daerah tingkat II di Sumatra tidak memiliki potensi sumber daya yang merata baik dari populasi penduduknya dan sumber daya alamnya yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Pertumbuhan PDRB yang terjadi di daerah kabupaten tingkat II di Aceh antara Aceh Selatan dan Aceh Besar contohnya sebelum otonomi daerah laju pertumbuhan PDRB sebesar -24,83 persen namun setelah otonomi terjadi peningkatan pertumbuhan menjadi 1,94 persen sedangkan pada Aceh Besar sebelum otonomi pertumbuhannya sebesar 0,61 persen naik menjadi 1,89 persen hal ini memperlihatkan pertumbuhan PDRB di Aceh Selatan jauh lebih besar dibandingkan Aceh Besar, sehingga pemberlakuan otonomi daerah dapat menguntungkan bagi daerah yang memiliki potensi yang lebih baik dari daerah lainnya. Hal ini juga dapat menimbulkan ketidakmerataan pendapatan antar daerah seperti adanya beberapa daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang relatif besar dan ada pula daerah yang memiliki PAD yang relatif kecil.
Tadjoedin, et al, (2001) melakukan penelitian untuk mengukur tingkat ketimpangan nasional untuk tahun 1993-1998. Ketimpangan dihitung dengan menggunakan PDRB per kapita menurut kabupaten/kota yang ada di Indonesia berdasarkan harga dasar tahun 1993. Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat ketimpangan semakin meningkat, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Ketimpangan Pendapatan Tingkat Nasional Diukur Dengan Indeks Formulasi Williamson Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Tadjoedin, et al 0,923 0,938 0,962 0.966 0,982 0,965
Sumber: Tadjoedin, et al, (2001)
Dari pemberlakuan otonomi daerah itu dapat dilihat apakah ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Sumatera menjadi lebih besar atau tidak dan dapat mencapai konvergensi yang diharapkan. Dari latar belakang dan permasalahan tersebut dapat diidentifikasi permasalahan-permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah terjadi konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera? 2. Bagaimanakah dampak otonomi daerah terhadap konvergensi pendapatan daerah antar kabupaten/kota di pulau Sumatra?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas maka tujuan
penelitian ini adalah: 1. Menganalisis apakah terjadi konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera. 2. Menganalisis dampak otonomi daerah terhadap konvergensi pendapatan daerah antar kabupaten/kota di pulau Sumatera.
1.4.
Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah, khususnya pemerintah daerah kabupaten Dati II di pulau Sumatra mengenai arah kebijakan yang tepat dalam mengatasi kesenjangan antar daerah kabupaten Dati II di pulau Sumatra. 2. Bagi penulis, adalah sebagai wahana untuk mengaplikasikan pemahaman penulis tentang teori-teori yang di dapatkan selama mengikuti kegiatan perkuliahan di Fakultas Ekonomi Manajemen, IPB.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini melihat dampak otonomi daerah terhadap ketimpangan
pendapatan antar daerah yang berpengaruh terhadap konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Tahun yang dianalisis adalah tahun 1995, 2001 dan 2004 menggunakan tahun 1993 sebagai tahun dasar analisis.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pertumbuhan
ekonomi
wilayah
adalah
pertambahan
pendapatan
masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dalam nilai rill, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Hal itu juga sekaligus menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja, dan teknologi) yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah selain di tentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah tersebut juga oleh seberapa besar terjadi transfer payment yaitu bagian pendapatan yang mengalir keluar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah (Richardson, 1991). Menurut Boediono (1985) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang jadi persentase pertambahan output itu haruslah lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut. Ada ahli ekonomi yang membuat definsi lebih ketat yaitu pertumbuhan haruslah bersumber dari proses interen perekonomian tersebut, ketentuan yang terakhir ini sangat penting di perhatikan dalam ekonomi wilayah karena bisa saja suatu wilayah mengalami pertumbuhan tetapi petumbuhan itu tercipta karena banyaknya bantuan/suntikan dana dari pemerintah pusat dan pertumbuhan itu
terhenti apabila suntikan dana dihentikan. Dalam kondisi seperti ini sulit dikatakan ekonomi wilayah itu bertumbuh, adalah wajar suatu wilayah terbelakang mendapat suntikan dana dalam proporsi yang lebih besar di bandingkan wilayah lain akan tetapi setelah suatu jangka waktu tertentu wilayah tersebut mestilah tetap bisa tumbuh walaupun tidak memperoleh alokasi yang berlebihan. Teori pertumbuhan neoklasik dikembangkan oleh Robert M. Solow (1970) dari Amerika Serikat dan T.W Swan (1956) dari Australia. Model Solow-Swan menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi
dan
besarnya
output
yang
saling
berinteraksi,
Solow-Swan
menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan adanya subtitusi antara kapital (K) dan Tenaga kerja (L) dengan demikian syarat-syarat adanya pertumbuhan yang mantap dalam model Solow-Swan kurang restriktif di sebabkan kemungkinan subtitusi antara modal dan tenaga kerja. Hal ini berarti adanya fleksibilitas dalam rasio modal output dan rasio modal tenaga kerja, Teori Solow-Swan melihat bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak mencampuri atau mempengaruhi pasar. Campur tangan pemerintah hanya sebatas kebijakan fiskal dan moneter. Tingkat pertumbuhan berasal dari tiga sumber yaitu akumulasi modal, bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan peningkatan teknologi. Teknologi ini terlihat dari peningkatan skill atau kemajuan teknik sehingga produktivitas perkapita meningkat dalam model tersebut masalah teknologi di anggap fungsi
dari waktu oleh karena itu fungsi produksinya berbentuk Yi = fi (K,L,t). Apabila tiap daerah dimisalkan menghasilkan output yang homogen dan fungsi produksi yang identik maka di daerah yang memiliki K atau L yang tinggi terdapat upah riil yang tinggi dan MPK yang rendah dan adapun daerah yang K atau L yang rendah terdapat upah rill yang rendah dan MPK yang tinggi sebagai akibatnya modal akan mengalir dari daerah yang upahnya tinggi ke daerah yang upahnya rendah karena akan memberikan balas jasa untuk modal yang lebih tinggi dan sebaliknya tenaga kerja akan mengalir dari daerah yang upahnya rendah ke daerah yang upahnya tinggi sehingga mekanisme diatas pada akhirnya menciptakan balas jasa faktor-faktor produksi di semua daerah sama dengan demikian perekonomian regional atau pendapatan perkapita regional akan mengalami proses konvergensi (makin sama). Paham neoklasik melihat peran kemajuan teknologi/inovasi sangat besar memacu pertumbuhan wilayah dan menciptakan pertumbuhan yang mantap (steady growth). Menurut Mankiw (2001) peranan produktifitas mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi, produktifitas merupakan jumlah kuantitas barang dan jasa yang bisa dihasilkan pekerja per jam kerja. Dalam kasus perekonomian Crusoe dengan mudah bisa dilihat bahwa produktifitas merupakan faktor penentu utama standar kehidupan. Peranan produktifitas sebagai penentu standar kehidupan terpenting juga berlaku bagi sebuah negara. Hal ini dapat dilihat melalui Gross Domestic Product (GDP) yang mengukur dua hal sekaligus pendapatan total untuk membeli output barang dan jasa. Faktor-faktor yang menentukan produktifitas adalah :
1. Modal Fisik. Para pekerja akan lebih produktif jika memakai peralatan untuk bekerja. Peralatan dan infrastruktur yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa dinamakan modal fisik. 2. Modal Manusia. Modal manusia adalah pengetahuan dan keahlian yang diperoleh selama tenaga kerja memperoleh pendidikan sejak TK sampai kuliah, melalui pelatihan kerja dan pengalaman. Walaupun pendidikan tidak berwujud tetapi melalui pendidikan modal manusia mampu menaikkan kemampuan sebuah negara untuk membuat barang dan jasa. 3. Modal Alam. Modal alam adalah input produksi yang dimiliki suatu daerah atau negara yang sudah disediakan oleh alam. 4. Modal Pengetahuan Teknologi. Modal pengetahuan teknologi merupakan pemahaman tentang cara terbaik untuk memproduksi barang. Fungsi produksi pertumbuhan ekonomi suatu negara dirumuskan oleh Mankiw (2001) sebagai berikut : Y = A F(L, K, H, N).........................................................................................(1) Dimana : Y
: Fungsi input yang dikombinasikan dengan input lainnya untuk memproduksi output.
A
: Variabel yang mewakili ketersediaan teknologi untuk memproduksi output, jika teknologi meningkat maka A akan meningkat.
L
: Tenaga kerja
K
: Kapital
H
: Sumber daya manusia
N
: Sumber daya alam
2.2.
Teori Ketimpangan Batasan dan ukuran kemiskinan yang di pakai oleh setiap daerah berbeda
satu sama lainnya hal ini di sebabkan oleh adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Adanya perbedaan kemajuan antar daerah di jelaskan Myrdal dalam teorinya, Myrdal berpedapat pembagunan ekonomi proses sebab dan penyebab sirkuler yang membuat si kaya mendapat keuntungan yang semakin banyak dan mereka yang tinggal di belakang akan menjadi semakin terhambat. Dampak balik (backwash effect) cenderung membesar dan dampak sebar (spread effect) cenderung mengecil secara kumulatif yang dalam bahasa Myrdal disebutnya cumulative causation, kecenderungan ini semakin memperburuk ketimpangan internasional dan menyebabkan ketimpangan regional di antara Negara-negara terbelakang ( Jhingan, 1990). Perbedaan kemajuan antar wilayah berarti tidak samanya kemampuan untuk bertumbuh yang analog dengan kesenjangan sehingga yang timbul adalah ketidakmerataan sehingga muncul pendapat dan studi-studi empiris yang menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada posisi yang dikotomis dalam hal
ini (Kuznet, 1955) mengemukakan suatu hipotesis yang di kenal dengan sebutan “ U Hypothesis”, hipotesa ini dihasilkan lewat kajian empiris terhadap pola pertumbuhan ekonomi terhadap trade off antara pertumbuhan dan pemerataan. Seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi maka setelah mencapai tahap tertentu trade off tersebut akan menghilang diganti dengan hubungan kolerasi positif antara pertumbuhan dan pemerataan yang disebabkan karena pertumbuhan pada tahap awal pembangunan cenderung dipusatkan pada sektor modern perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerja. Ketimpangan membesar karena kesenjangan antar sektor modern dan tradisional meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena perkembangan di sektor modern lebih cepat dibandingkan sektor tradisional. Berdasarkan tingkat kemajuannya wilayah-wilayah dalam suatu Negara dapat di kelompokkan sebagai berikut (Hanafiah, 1998) yaitu: 1. Wilayah terlalu maju terutama kota-kota besar dimana terdapat batas pertumbuhan atau polarisasi, umpamanya dalam menghadapi masalah diseconomies of scale yang menyebabkan masalah manajemen, kenaikan biaya produksi, kenaikan biaya fasilitas pelayanan umum, kenaikan gaji dan upah, kenaikan harga bahan baku energi, peningkatan ongkos sosial. 2. Wilayah netral di cirikan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, tidak ada kesesakan dan tekanan ongkos sosial dan merupakan kota satelit bagi wilayah yang terlalu padat. 3. Wilayah sedang merupakan wilayah dengan ciri-ciri campuran pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik yang merupakan gambaran
kombinasi antara daerah maju dan kurang maju dimana terdapat juga pengangguran dan kelompok masyarakat miskin. 4. Wilayah kurang berkembang atau kurang maju yan merupakan wilayah dengan tingkat pertumbuhan jauh di bawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pembangunan nasional seperti daerah-daerah konsentrasi industri yang sudah mundur. 5. Wilayah tidak berkembang merupakan wilayah tidak maju atau wilayah miskin dimana industri modern tidak pernah dapat berkembang dalam berbagai skala umumnya di tandai dengan daerah pertanian dengan usaha tani subsisten dan kecil, berpenduduk jarang dan tersebar dan tidak terdapat kota atau konsentrasi pemukiman yang relatif besar. Kesenjangan regional oleh Murty dalam Yuzea (2006) diartikan sebagai ketidakseimbangan pertumbuhan antar sektor primer, sekunder, tersier atau sektor sosial di suatu negara, distrik, atau tempat dimana peristiwa itu terjadi. Di setiap negara apakah itu negara maju atau berkembang, negara pertanian atau industri, negara besar atau kecil, mempunyai wilayah yang maju dan tertinggal secara ekonomi. Adalah penting untuk menghubungkan pola pembangunan ekonomi regional
dengan
beragam
variabel
fisik
dan
sosial
ekonomi
untuk
mengidentifikasikan variabel mana yang mempunyai pengaruh terbanyak terhadap pola pertumbuhan. Meskipun kesenjangan tidak berlaku di semua wilayah dengan kekuatan (tingkatan) yang sama, tetap terdapat aspek-aspek umum yang dapat memberikan beberapa generalisasi, penyebab utama kesenjangan adalah:
a)
Faktor Geografis. Apabila suatu wilayah yang sangat luas, distribusi dari sumberdaya nasional, sumber energi, sumberdaya pertanian, topografi, iklim dan curah hujan tidak akan merata. Apabila faktor-faktor lain sama, maka kondisi geografi yang lebih baik akan menyebabkan suatu wilayah berkembang lebih baik.
b)
Faktor Historis. Tingkat pembangunan suatu masyarakat juga bergantung pada masa yang lalu untuk menyiapkan masa depan. Bentuk organisasi ekonomi yang hidup di masa lalu menjadi alasan penting yang dihubingkan dengan isu insentif, untuk pekerja dan pengusaha. Sistem feodal memberikan sangat sedikit insentif untuk bekerja keras. Sistem industri dimana pekerja merasa tereksploitasi, bekerja tanpa istirahat, suatu perencanaan dan sistem yang membatasi akan memberi sedikit insentif dan menyebabkan pembangunan terhambat.
c)
Faktor Politik Ketidakstabilan politik dapat menjadi penghambat pembangunan yang sangat kuat. Selain itu, jika pemerintah stabil tapi lemah, korupsi dan ketidakmampuan untuk mengalahkan sikap mementingkan diri sendiri dan menolak tekanan atau kontrol sosial akan menggagalkan tujuan dari kebijakan pembangunan. Kondisi politik disetiap wilayah tidak sama.
d)
Faktor Kebijakan Pemerintah Belakangan ini, hampir semua negara kaya sedang diterapkan konsep negara kesejahteraan (welfare of state). Di negara tersebut, kebijakan pemerintah
mulai diarahkan secara langsung pada pemertaan regional yang lebih besar. Kekuatan pasar yang menghasilkan efek ”backwash” dihilangkan, sementara yang menghasilkan efek menyebar didukung sementara di negara-negara miskin, kebijakan yang demikian masih sangat sedikit. e)
Faktor Administrasi (birokrasi) Faktor administrasi yang efisien atau tidak efisien berpengaruh dalam menambah kesenjangan antar wilayah. Saat ini pemerintah dalam menjalankan fungsinya membutuhkan administrator yang jujur, terdidik, terlatih dan efisien karena birokrasi yang efisien akan berhasil dalam pembangunan regional dan sebaliknya.
f)
Faktor Sosial Banyak faktor sosial yang menjadi penghalang dalam pembangunan. Penduduk di wilayah yang belum berkembang memiliki lembaga dan keinginan (attitude) yang kondusif untuk pembangunan ekonomi. Di lain pihak penduduk dari wilayah yang lebih maju memiliki kelembagaan dan keinginan yang kondusif untuk pembangunan.
g)
Faktor Ekonomi Penyebab secara ekonomis seperti perbedaan-perbedaan dalam faktor produksi, proses kumulatif dari berbagai faktor, siklus kemiskinan yang buruk, kekuatan pasar yang bebas dan efek ”backwash” dan efek menyebar (spread) dan pasar tidak sempurna, berlangsung dan menambah kesenjangan dalam pembangunan ekonomi.
2.3.
Kebijakan Otonomi Daerah Ketimpangan antara pusat dan daerah telah memacu lahirnya otonomi
sehingga paradigma pembangunan di Indonesia telah bergeser dari model pembangunan yang sentralistik menjadi model pembangunan yang desentralistik. Pembagian kewenangan menjadi bagian dari arah kebijakan untuk membangun daerah yang dikenal dengan istilah kebijakan otonomi daerah. Hal tersebut di tandai dengan adanya undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan daerah dan pusat, pelimpahan kewenangan tersebut mempunyai pengaruh terhadap cara-cara mempertanggungjawabkan keuangan pusat dan daerah. Tujuan peletakan kewenangan dan penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan
terhadap
budaya
lokal
dan
memperhatikan
potensi
dan
keanekaragaman daerah, atas dasar itu undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah sehingga memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenagangan atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan setiap potensi di setiap daerah. Otonomi daerah merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Otonomi dapat di wujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan dan
kewenangan untuk memungut pajak, membentuk dewan yang di pilih oleh rakyat, kepala daerah yang di pilih oleh DPRD dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat. Implikasi langsung dari kewenangan atau fungsi yang di serahkan kepada daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar, untuk itu perlu di atur perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas
yang menjadi tanggungjawabnya.
Kebijaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah di lakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan atau money follow function yang berarti hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu di berikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber penerimaan yang ada. Sejalan dengan pembagian kewenangan yang di sebutkan di atas maka pengaturan pembiayaan daerah dilakukan berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan pembiayaan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan asas desentrralisasi di lakukan atas beban APBD, pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi di lakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah atas beban
anggaran
(Kusumah, 2003).
anggaran
tingkat
pemerintahan
yang
menugaskan
2.4.
Konsep Konvergensi Dalam konsep pertumbuhan ekonomi, konvergensi pertumbuhan adalah
kecenderungan
perekonomian-perekonomian
miskin
tumbuh
lebih
cepat
dibandingkan perekonomian-perekonomian kaya dengan demikian diharapkan perekonomian daerah miskin dapat mengejar ketertinggalannya dan ketimpangan perekonomian antar daerah dapat menurun (Sukirno, 1985). Konvergensi terjadi ketika perekonomian miskin cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan perekonomian kaya. Properti ini dihubungkan dengan konsep β-convergence yang diperoleh dari analisa regresi antar perekonomian. Konsep konvergensi adalah βkonvergence yang terdiri dari konvergensi absolut dan bersyarat serta αconvergence. Terjadinya proses konvergensi dimana daerah miskin cenderung tumbuh lebih cepat tidak serta merta menyebabkan menurunnya disparitas pendapatan regional per kapita. Artinya β-convergence tidak selalu identik dengan αconvergence. Meskipun tidak identik tetapi secara empiris β-convergence akan terverifikasi ketika α konvergen juga terverifikasi sehingga dalam prakteknya kedua konsep di atas dapat dilaksanakan bergantian. α-convergence akan terjadi antar beberapa negara ketika negara-negara tersebut mempunyai dispersi pendapatan per kapita yang cenderung menurun lebih cepat. Studi empiris tentang konvergensi antar daerah dan antar Negara umumnya terfokus pada ukuran utama konvergensi yaitu konvergensi beta (βconvergence) dan (α-convergence). Satu kelebihan utama dari β-convergence adalah analisa bersifat dinamis. Bila pengamatan jangka pendek tidak mampu
memberi jawaban tentang dampak dari kebijakan publik, maka kita tidak dapat melihat bahwa dampak tersebut dalam kecenderungan jangka panjang. Dari sudut pandang teoritis, analisa β-convergence hanyalah analisa deskriptif dan sama sekali tidak berbicara tentang mekanisme di balik bekerjanya konvergensi tersebut walaupun demikian analisanya berupa tes langsung terhadap hipotesis teori pertumbuhan neoklasik dengan asumsi diminishing return of capital.
2.5.
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai ketimpangan pendapatan untuk tingkat nasional
pernah dilakukan oleh Upal dan Handoko (1986) dengan menggunakan formulasi Williamson (CVw) untuk tahun 1976-1980. Upal dan Handoko mengukur ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan menggunakan PDRB diluar sektor pertambagan. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat tendensi menurunnya tingkat ketimpangan pendapatan, pola pertumbuhan belum mengarah pada perbaikan ketimpangan dan faktor yang cenderung menurunkan ketimpangan pendapatan adalah anggaran belanja pemerintah pusat dan bantuan kepada propinsi. Tadjoedin (1996) juga mengukur ketimpangan pendapatan nasional dengan menggunakan konsep pengukuran yang sama dengan diatas untuk periode 1984-1993. Hasil yang diperolehnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ketimpangan pendapatan selama periode analisis. Tadjoedin, et al, (2001) melakukan penelitian untuk mengukur tingkat ketimpangan nasional untuk tahun 1993-1998. Ketimpangan dihitung dengan menggunakan PDRB per kapita
menurut kabupaten/kota yang ada di Indonesia berdasarkan harga tahun 1993. Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat ketimpangan semakin meningkat, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.Indeks Formulasi Williamson Ketimpangan Pendapatan Tingkat Nasional Tahun 1976
Uppal & Handoko 0,4631
1977 1978 1979 1980 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
0,4609 0,4344 0,5240 0,4435
Tadjoedin
0,4875 0,4714 0,4600 0,4567 0,4609 0,5632 0,5385 0,5392 0,5442 0,5489
Tadjoedin, et al
0,923 0,938 0,962 0.966 0,982 0,965
Sumber: Uppal dan Handoko (1986) dan Tadjoedin (1996) dan Tadjoedin, et al, (2001)
Selain mengukur Ketimpangan nasional, Tadjoedin (1996) juga mengukur besarnya ketimpangan pendapatan antar pulau yang perekonomiannya di dominasi oleh sektor pertanian (pulau Sumatra) mempunyai tingkat ketimpangan yang lebih kecil dibandingkan dengan pulau yang perekonomiannya didominasi oleh sektor industri (pulau Jawa). Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertanian tidak berada pada posisi yang dikotomis dengan pemerataan.
Tabel 3. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau Menggunakan Indeks Williamson Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993
Sumatera 0,2460 0,2459 0,2470 0,2460 0,2521 0,2157 0,1931 0,1814 0,1860 0,1883
Jawa 0,5680 0,5377 0,5177 0,5120 0,5054 0,6209 0,6034 0,6041 0,6108 0,6158
Kalimantan 0,4381 0,4629 0,4420 0,4710 0,4595 0,4681 0,4516 0,4448 0,4502 0,4401
Sulawesi 0,0522 0,0408 0,0423 0,0390 0,0460 0,0508 0,0515 0,5800 0,0591 0,0632
Lainnya 0,3435 0,3582 0,3780 0,3324 0,4129 0,4183 0,4086 0,4507 0,4550 0,4775
Sumber: Tadjoedin (1996)
Mattola (1985) melakukan penelitian untuk menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan daerah di Jawa Barat tahun 1977-1981 dengan menggunakan formulasi Williamson. Mattola juga menganalisis peran sektor pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah. Untuk melihat peranan tersebut, dibandingkan besarnya ketimpangan pendapatan daerah dengan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan. Hasil yang diperoleh dari analisis tersebut menunjukkan bahwa besarnya ketimpangan dengan memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan lebih kecil dibandingkan dengan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peran untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang terjadi. Tabel 4. Ketimpangan Pendapatan Daerah Jawa Barat Tahun 1977-1981 Tahun 1977 1978 1979 1980 1981
Tanpa PDRB Sektor Pertanian 0,467 0,380 0,382 0,377 0,316
Sumber: Mattola (1985)
Dengan PDRB di Sektor Pertanian 0,323 0,256 0,269 0,274 0,222
Persentase Penurunan Ketimpangan Pendapatan Daerah 44,6% 48,4% 42,0% 37,6% 42,3%
Muriza (1995) dalam penelitiannya yang berjudul kesenjangan kondisi ekonomi regional antara kawasan barat dan timur Indonesia menyimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi perumbuhan suatu daerah secara nyata adalah pendapatan regional yang memcerminkan perolehan nilai tambah, kapital/modal dan investasi, tenaga kerja yang dipengaruhi tingkat pendidikan, upah, dan jumlah penduduk, dan pembiayaan pembangunan baik dari pusat maupun pendapatan asli daerah (PAD) yang mempengaruhi secara tidak langsung pembentukkan investasi. Selama
11
tahun
pengamatan
1983-1993
terlihat
kesenjangan
pertumbuhan masing-masing peubah pembangunan kawasan barat dan kawasan timur. Pertumbuhan kawasan barat diketahui jauh lebih pesat dan ini semakin dikuatkan dari hasil perhitungan terhadap efek yang dimiliki masing-masing kawasan. Dari hasil analisis deskriptif, kesenjagan yang terjadi antara kawasan barat dan timur sepanjang tahun 1983-1993 antara lain adalah kesenjangan PDRB non migas dan PDRB non migas perkapita, diman a kawasan barat mempunyai keadaan yang lebih baik dari kawasan timur. Selain itu terdapat kesenjangan dalam arus penanaman modal/investasi, kapital, pembiyaan pembangunan baik dari pusat maupun PAD, tingkat kemampuan baca tulis, tingkat partisipasi pendidikan yang mempengaruhi kualitas sumber daya manusia serta partisipasi angkatan kerja yang menunjukkan ketidakmerataan distribusi dan produktivitas tenaga kerja. Hendra (2004) melakukan penelitian yang menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan daerah di propinsi lampung tahun 1995-2001 dengan menggunakan formulasi Williamson. Hendra juga menganalisis peran sektor
pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah dengan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa besarnya ketimpangan dengan memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan lebih kecil dibandingkan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peran untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang terjadi. Tabel 5. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah Williamson di Propinsi Lampung Tahun 1995-2001 Tahun
Tanpa PDRB Sektor Pertanian
Dengan PDRB di Sektor Pertanian
Persentase Penurunan Ketimpangan Pendapatan Daerah
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
0,8373 0,8380 0,8391 0,8369 0,7951 0,7793 0,7680
0,4404 0,4499 0,4846 0,4426 0,4207 0,4160 0,4068
47,4% 46,3% 42,2% 47,1% 47,1% 46,6% 47,0%
Sumber: Hendra (2004)
Berdasarkan penelitian terdahulu di atas belum ada penelitian yang menganalisis mengenai dampak otonomi daerah terhadap kondisi ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota khususnya di pulau Sumatera. Pada penelitian ini tidak hanya melihat terjadinya ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota, tetapi melihat juga terjadinya konvergensi antar kabupaten/kota di pulau Sumatera.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Konvergensi Wilayah Dalam konsep pertumbuhan ekonomi, konvergensi pertumbuhan adalah kecenderungan
perekonomian-perekonomian
miskin
tumbuh
lebih
cepat
dibandingkan perekonomian-perekonomian kaya dengan demikian diharapkan perekonomian daerah miskin dapat mengejar ketertinggalannya dan ketimpangan perekonomian antar daerah dapat menurun (Sukirno, 1985). Terdapat dua pendekatan utama dalam konvergensi regional yaitu analisa konvergensi yang diturunkan dari pokok penelitian utama di tingkat internasional. Analisa jenis ini umumnya menggunakan regresi cross section antara tingkat pertumbuhan dengan tingkat awal pendapatan perkapita (Barro and Sala-iMartin,1995). Pendekatan yang kedua berakar pada tradisi panjang dalam penelitian regional dimana perhatian utama diberikan pada analisa disparitas pendapatan yang membedakan dengan pendekatan satu dalam analisa pendekatan dua kesenjangan regional di pelajari secara independen dari teori pertumbuhan. Referensi klasik dari pendekatan penelitian yang kedua berdasarkan artikel (Williamson, 1965) dimana ia menjelaskan bahwa proses konvergensi regional terkait dengan proses pembangunan nasional, Williamson memprediksi bahwa disparitas pendapatan regional akan memudar (konvergen) setelah melalui tiga fase yaitu dari tahap awal pembangunan hingga tahap kematangan (maturity) dalam proses pembangunan Dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi terdapat
dua pandangan tentang konsep konvergensi. Konvergensi terjadi ketika perekonomian miskin cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan perekonomian kaya. Property ini dihubungkan dengan konsep β-convergence yang diperoleh dari analisa regresi antar perekonomian. Konsep konvergensi adalah β-konvergence yang terdiri dari konvergensi absolut dan bersyarat serta α-convergence. Terjadinya proses konvergensi dimana daerah miskin cenderung tumbuh lebih cepat tidak serta merta menyebabkan menurunnya disparitas pendapatan regional perkapita. Artinya β-convergence tidak selalu identik dengan αconvergence. Meskipun tidak identik tetapi secara empiris β-convergence akan terverifikasi ketika α konvergen juga terverifikasi sehingga dalam prakteknya kedua konsep di atas dapat dilaksanakan bergantian. α-convergence akan terjadi antar beberapa negara ketika negara-negara tersebut mempunyai dispersi pendapatan perkapita yang cenderung menurun lebih cepat. Studi empiris tentang konvergensi antar daerah dan antar Negara umumnya terfokus pada ukuran utama konvergensi yaitu konvergensi beta (βconvergence) dan (α-convergence). Satu kelebihan utama dari β-convergence adalah analisa bersifat dinamis. Bila pengamatan jangka pendek tidak mampu memberi jawaban tentang dampak dari kebijakan publik, maka kita tidak dapat melihat bahwa dampak tersebut dalam kecenderungan jangka panjang. Dari sudut pandang teoritis, analisa β-convergence hanyalah analisa deskriptif dan sama sekali tidak berbicara tentang mekanisme di balik bekerjanya konvergensi tersebut walaupun demikian analisanya berupa tes langsung terhadap hipotesis teori pertumbuhan neoklasik dengan asumsi diminishing return of capital. Studi
empiris menunjukkan bahwa meskipun perekonomian miskin tumbuh lebih cepat dibanding perekonomian kaya, ketimpangan pada tahap awal pembangunan persaingan perekonomian justru meningkat hal ini disebabkan ketimpangan perekonomian daerah yang kaya lebih rendah namun secara relatif nilai perubahan itu masih terlalu besar dibandingkan perubahan perekonomian di daerah miskin. Dengan analisa β-convergence kecepatan konvergensi dapat diketahui secara pasti. Jika konvergensi adalah cepat maka fokus kita adalah prilaku steady state sebagaimana telah di ketahui bahwa mayoritas perekonomian berada dekat pada posisi steady state, namun jika tidak yang berarti bahwa posisi perekonomian berada jauh dari posisi steady state maka sebaiknya difokuskan pada pengalaman pertumbuhan yang dialami perekonomian dalam dinamika transional. Terdapat berbagai studi yang mencoba mengukur kecepatan βconvergence ini. Studi ini menghasilkan dua aliran utama dari regresi, pertama adalah ide tentang club convergence regresi jenis ini bersandar pada hipotesis bahwa hanya Negara-negara yang memiliki karakteristik struktural dan kondisi awal yang mirip saja yang akan konvergen satu sama lain, maka Negara-negara kaya OECD membentuk convergence club juga Negara-negara berkembang lainnya membentuk club konvergensi lain dan Negara-negara miskin membentuk klub lainya. Tidak terdapat kecenderungan untuk konvergen bagi club-club ini dan karena adanya disparitas antar club yang berbeda ini dapat terus berlangsung dalam jangka panjang, bahkan meningkatkan ide club, konvergensi ini sering pula disebut sebagai hipotesis konvergensi absolut.
Formulasi kedua dalam model konvergensi adalah apa yang disebut konvergensi bersyarat dimana perekonomian akan konvergen bukan ke steady state yang sama melainkan ke steady state masing-masing, struktural yang berbeda berimplikasi bahwa Negara-negara akan akan memilki tingkat steady state pendapatan yang berbeda-beda pula. Metode terpopuler disini adalah dengan menambahkan berbagai variabel bertipe struktural ke dalam regresi pertumbuhan dasar, sekali koefisien beta menunjukkan tanda negatif ketika variabel-variabel ini masuk regresor maka kita dapat menyebut bahwa perekonomian yang di teliti mempergunakan konvegensi beta kondisional. Dari sinilah kemudian timbul perhatian untuk menganalisa konvergensi antar daerah di suatu Negara walaupun perbedaan teknologi, prefernsi, dan institusi antar daerah adalah eksis, namun perbedaan ini relatif lebih kecil bila di bandingkan dengan perbedaan antar Model standar pertumbuhan
ekonomi menyatakan
bahwa tingkat pertumbuhan
tergantung dari perekonomian awal. Hubungan yang negatif antara pendapatan dengan tingkat pertumbuhan berarti daerah kaya mengalami pertumbuhan ekonomi rendah yang menunjukkan pendapatan cenderung konvergen secara absolut. Proses konvergen seperti ini disebut dengan konvergensi absolut karena kenyataanya bahwa antar daerah mempunyai karakteristik perekonomian yang beragam mengakibatkan dugaan proses konvergensi absolut dinilai menjadi lemah sehingga konvergensi absolut pada umumnya diikuti oleh konvergensi bersyarat. Hipotesis konvergensi absolut tidak selalu ada dengan keluarnya hubungan negatif antar pendapatan dengan tingkat pertumbuhan. Adakalanya hubungan tersebut tidak muncul namun ada ketika variabel-variabel lain yang dianggap
berpengaruh seperti pendidikan, kesuburan dan kesehatan yang diikutsertakan dalam proses regresi. Kecenderungan konvergensi yang timbul dengan syarat keadaan variabel-variabel tersebut disebut konvergensi bersyarat. Konvergensi bersyarat merupakan alternatif uji konvergensi apabila daerah-daerah yang diteliti tidak memiliki heterogenitas parameter-parameter yang memungkinkan setiap daerah memiliki posisi steady-state. Menurut Solow-Swan model menyatakan bahwa Negara-Negara yang mempunyai perbedaan dalam proses produksi, tabungan, dan pertumbuhan penduduk akan tetapi mempunyai kesamaan dalam kemajuan teknologi akan menyebabkan rata-rata pendapatan perkapita mencapai konvergen menuju titik keseimbangan pertumbuhan akan tetapi jika teknologi, tabungan dan pertumbuhan penduduk sama antar Negara maka Negara-negara tersebut akan mencapai konvergen dengan tingkat pendapatan perkapita yang tinggi. Barro dan Martin dalam Garcia dan Soelistianingsih (1998) menemukan evolusi serupa dari pendapatan regional di AS, Jepang, dan Negara-negara Eropa. Untuk kasus AS mereka menemukan tingkat pertumbuhan berhubungan negatif dengan pendapatan per kapita dimana perbedaan pendapatan antar 47 negara bagian menurun. Sekitar 1,7% per tahun untuk periode 110 tahun sejak tahun 1880. Untuk kasus Jepang, mereka menemukan bahwa pendaptan per kapita dari 47 perfecture untuk periode 1930-1990 cenderung konvergen pada 2,79% per tahun dari R2 adalah 0,92. Untuk daerah eropa (11 di Jerman, 11 di Inggris, 20 di Itali, 21 di prancis, 4 di belanda, 3 di Belgia, 3 di Denmark, dan 17 di Spanyol )
mereka menemukan GDP per kapita konvergen pada 1,9% per tahun untuk periode 1950-1990. 3.1.2. Teori Pertumbuhan Model Solow Mankiw (2001) Dalam model Solow teori pertumbuhan menggabungkan unsur kemajuan teknologi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi ketiga. Model ini telah mengasumsikan hubungan yang tidak berubah antara input modal dan tenaga kerja dan output barang dan jasa.Tetapi model ini dapat dimodifikasi yang memungkinkan peningkatan dalam kemampuan masyarakat untuk berproduksi. Untuk memasukkan kemajuan teknologi haruslah kembali ke fungsi produksi yang mengaitkan modal total (K) dan tenaga kerja total (L) dengan Fungsi: Y= F(K, L) menjadi Y= F(K, L x E) dimana E adalah variabel baru yang dusebut efisiensi tenaga kerja. Efisiensi tenaga kerja mencerminkan pengetahuan masyarakat tentang metode-metode produksi ketika teknologi mengalami kemajuan, efisiensi tenaga kerja akan meningkat. Asumsi yang paling sederhana tentang kemajuan teknologi adalah kemajuan teknologi menyebabkan efisiensi tenaga kerja tumbuh pada tingkat konstan (g). Analisis perekonomian akan membuahkan hasil ketika mengkaji pertumbuhan populasi persamaannya adalah: ∆k = sf (k)- (δ + n + g) k dimana ∆k sama dengan investasi sf (k) dikurangi investasi pulang pokok (δ + n + g) k. Investasi pulang pokok meliputi 3 kaidah yaitu: menjaga k tetap konstan, δk dibutuhkan untuk mengganti modal yang disusutkan, nk dibutuhkan untuk memberi modal bagi pekerja baru dan gk dibutuhkan untuk pekerja efektif yang diciptakan oleh teknologi.
Investasi Pulang pokok
Investasi pulang pokok (δ + n + g) k
Investasi sf (k)
k* Kondisi Mapan
Modal per pekerja, k
Sumber : Mankiw, 2001
Gambar 1. Dampak Kemajuan Teknologi Model Solow Dampak kemajuan teknologi menunjukkan empat variabel kunci dalam kondisi mapan dengan kemajuan teknologi. Dimana k adalah konstan dalam kondisi mapan, y = f(k), output per pekerja efektif juga konstan. Tingkat efisiensi setiap pekerja aktual tumbuh pada tingkat g, output per pekerja juga tumbuh pada tingkat g, sehingga output total tumbuh pada tingkat n + g. Kemajuan teknologi dan model pertumbuhan Solow melihat kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja pada tingkat g mempengaruhi model pertumbuhan Solow dalam jumlah yang sama dengan pertumbuhan populasi pada tingkat n. Sekarang k didefinisikan sebagai jumlah modal per pekerja efektif. Kenaikan dalam jumlah pekerja efektif karena kemajuan teknologi cenderung mengurangi k. Dalam kondisi mapan investasi sf (k) benar-benar menghilangkan penurunan dalam k yang terkait dengan penyusutan, pertumbuhan populasi, dan kemajuan teknologi.
Dengan adanya kemajuan teknologi model ini dapat menjelaskan kenaikan yang berkelanjutan dalam standar kehidupan yang kita amati. Yaitu kemajuan teknologi dapat mengarah ke pertumbuhan berkelanjutan dalam output per pekerja. Kemajuan teknologi juga memodifikasi criteria untuk kaidah emas, tingkat modal kaidah emas adalah kondisi mapan yang memaksimalkan konsumsi per pekerja efektif. Dimana MPK = δ + n + g atau MPK – δ = n + g. 3.1.3. Teori Pertumbuhan Endogen. Untuk memahami sepenuhnya proses pertumbuhan ekonomi kita perlu keluar dari model Solow dan mengembangkan model-model yang menjelaskan kemajuan teknologi, model ini disebut teori pertumbuhan endogen (endogenous growth theory) karena menolak asumsi model Solow tentang perubahan teknologi eksogen. Untuk menggambarkan gagasan dibelakang teori pertumbuhan endogen dengan melihat fungsi produksi sederhana Y = A K Dimana Y adalah output, K adalah persediaan modal dan A adalah konstanta yang mengukur jumlah output yang diproduksi untuk setiap unit modal. Fungsi produksi ini tidak menunjukkan muatan dari pengembalian modal yang kian menurun. Satu unit modal tambahan memproduksi unti output tambahan A tanpa memperhitungkan berapa banyak modal di sini, keberadaan pengembalian modal yang kian menurun ini merupakan perbedaan penting antara model pertumbuhan endogen dengan model Solow. Dalam teori pertumbuhan endogen fungsi produksi tentang pertumbuhan ekonomi diasumsikan bagian pendapatan ditabung dan diinvestasikan sehingga akumulasi modal persamaannya adalah ∆ K = s Y – δK. Persamaan ini menyatakan bahwa perubahan dalam persediaan modal (∆K) sama dengan investasi (sY) dikurangi
penyusutan (δK), lalu digabungkan dengan persamaan fungsi produksi Y = AK, maka didapatkan ∆Y/Y = ∆K/K = sA – δ. Yang menunjukkan tingkat perumbuhan output selama sA > δ pendapatan perekonomian tumbuh selamanya bahkan tanpa asumsi kemajuan teknologi eksogen. Jadi perubahan sederhana dalam fungsi produksi bisa membedakan secara dramatis prediksi tentang pertumbuhan ekonomi. Dalam model Solow tabungan akan mendorong pertumbuhan untuk sementara, tetapi pengembalian modal yang kian menurun secara berangsur-angsur mendorong perekonomian mencapai kondisi mapan dimana pertumbuhan hanya tergantung pada kemajuan teknologi eksogen, sebaliknya dalam model pertumbuhan endogen tabungan dan investasi dapat mendorong pertumbuhan yang berkesinambungan. Penganjur teori pertumbuhan endogen berpendapat bahwa asumsi pengembalian modal konstan (bukan yang kian menurun) lebih bermanfaat jika K diasumsikan secara lebih luas. 3.1.4. Pengukuran Ketimpangan Ketimpangan pendapatan antar daerah atau wilayah dapat dipandang sebagai salah satu ukuran dalam melihat perbedaan tingkat kemakmuran antar daerah, walaupun kemakmuran itu sendiri tidak hanya diukur dengan indikator pendapatan per kapita, sebagaimana indikator yang digunakan dalam ketimpangan pendapatan daerah. Penyajian ketimpangan pendapatan antar daerah pada dasarnya hanyalah memberikan gambaran secara makro mengenai ketimpangan pendapatan rata-rata antara berbagai daerah atau wilayah tertentu dan tidak
memperlihatkan
pola
pembagian
pendapatan
antar
golongan
penerima
pendapatan. Todaro (1981) menggambarkan ketimpangan dengan mempertimbangkan hubungan antara tingkat pendapatan per kapita dan tingkat ketimpangan pendapatan
untuk
negara
maju
dan
negara
sedang
berkembang
dan
menggambarkan ketimpangan pendapatan dari negara-negara tersebut dalam tiga kelompok, dimana pengelompokan tersebut disesuaikan dengan tinggi, sedang dan rendahnya tingkat pendapatan di masing-masing wilayah.
3.2.
Kerangka Pemikiran Konseptual Kesenjangan ekonomi antar kelompok masyarakat berpendapatan tinggi
dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah pada suatu daerah, serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan merupakan dua masalah besar yang terjadi pada banyak negara berkembang di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Pada awal pembangunan pelita I pemerintah mengupayakan kebijakan sentralistis yang diharapkan memiliki efek menetes kebawah (trickel down effect) akan tetapi efek yang diharapkan berjalan sangat lambat, akibatnya pada dekade 1980-an sampai 1990-an Indonesia mengalami peningkatan pertumbuhan yang tinggi, namun tingkat kesejahteraan semakin menurun dengan jumlah penduduk miskin tetap banyak bahkan meningkat. Kondisi seperti ini merupakan kondisi yang tidak diinginkan dalam proses pembangunan dimana masyarakatnya telah memiliki tingkatan ekonomi yang tinggi yang diharapkan mampu menarik masyarakat yang berada pada tingkat ekonomi lemah sehingga
dapat terjadi pemerataan. Kondisi tersebut berdampak pada krisis multi dimensional sehingga muncul keinginan dari pemerintahan daerah dan masyarakat untuk mendesentralisasi kebijakan dan kewenangan tanggung jawab daerah kepada pemerintahan daerah, setiap daerah menginginkan diberlakukannya otonomi daerah sehingga kewenangan daerah jauh lebih besar dalam pencapaian pembangunan dan kesejahteraan daerah. Jawaban dari
semua itu maka
pemerintah mengeluarkan undang-undang No.22 tahun 1999 dan undang-undang No.25 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Konsekuensi dari semua itu adalah pemerintah daerah dituntut untuk dapat melaksanakan pembangunan secara lebih merata, sehingga hasil pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, akan tetapi yang menjadi tantangan dengan diberlakukannya otonomi daerah adalah perbedaan potensi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang ada pada setiap daerah yang mungkin dapat mengakibatkan kesenjangan antar daerah yang kaya dan daerah yang miskin yang berpengaruh pada PDRB, tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan dari setiap daerah, sehingga dengan adanya otonomi daerah apakah pemerataan antar daerah dapat terjadi dan mencapai kondisi yang konvergensi pada titik yang seimbang antara daerah kaya dan daerah miskin. Kerangka pemikiran konseptual dapat dilihat pada Gambar 2.
Kesenjangan Pertumbuhan Ekonomi antar Daerah
Kebijakan Otonomi Daerah
Daerah Kaya
PDRB perkapita
Daerah Miskin
Jumlah Penduduk
Tingkat Pendidikan
Analisis Regresi
Konvergensi
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konseptual
3.3.
Definisi Operasional Data 1. PDRB adalah jumlah seluruh nilai tambah (produk) yang dihasilkan oleh berbagai lapangan usaha atau sektor yang melakukan kegiatan usahanya disuatu wilayah tanpa memperhatikan pemilikan atas faktor produksi yang dipakai. Saat ini PDRB masih digunakan sebagai alat untuk mengukur pendapatan masyarakat pada suatu wilayah. Hal ini dikarenakan masih sulitnya memperhatikan arus pendapatan yang mengalir antar wilayah (antar propinsi). Definisi pendapatan yang sebenarnya adalah perkiraan pendapatan yang diterima oleh penduduk suatu wilayah yaitu jumlah seluruh pendapatan /balas jasa atas faktor produksi yang dimiliki oleh suatu wilayah tersebut tanpa memperhatikan dimana faktor produksi tersebut berproduksi. PDRB terbagi menjadi dua bagian yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku adalah PDRB yang dinilai atas dasar harga berlaku dari masing-masing tahunnya pada wilayah yang bersangkutan. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan pada suatu tahun dasar adalah PDRB tersebut dinilai atas dasar harga tetap yang terjadi pada tahun dasar wilayah yang bersangkutan. 2. Jumlah Penduduk adalah jumlah seluruh penduduk pada suatu wilayah menurut perkiraan akhir tahun. 3. Tingkat Pendidikan adalah jenjang terakhir sekolah formal yang pernah diikuti oleh seseorang dalam hidupnya dan dihitung dalam tahun.
4. Tahun Dasar Analisis dan Tahun Akhir Analisis. Tahun dasar merupakan tahun yang dijadikan sebagai patokan dan dasar untuk menganalisis, atau dapat dikatakan sebagai tahun awal dalam menganalisis data tahun yang dipakai adalah tahun 1993. Sedangkan tahun akhir analisis merupakan tahun yang dijadikan sebagai akhir dalam menganalisis data. Dalam analisis ini tahun akhir yang digunakan adalah tahun 1995, tahun 2001 serta tahun 2004.
3.4.
Hipotesis Untuk memberi arahan dalam melakukan analisis data, dikemukakan
hipotesis sebagai berikut: 1.
Konvergensi yang terjadi antar kabupaten/kota semakin tinggi.
2.
Diduga diberlakukannya otonomi daerah berpengaruh terhadap
semakin
tingginya nilai konvergensi.
3.5.
Waktu dan Lokasi Penelitian Penulisan skripsi ini di mulai pada bulan Juni 2006 waktu yang diperlukan
dalam rencana penulisan penelitian, pengumpulan data hingga penulisan laporan dilakukan sampai bulan Agustus 2006. Penelitian mengambil seluruh kabupaten Dati II di Propinsi Sumatera sebagai objek studi dan sekaligus sebagai lokasi penelitian. Lokasi tersebut diambil dengan pertimbangan tersedianya data PDRB kabupaten/kota yang ada di propinsi Sumatra, kondisi sumber daya alam yang melimpah akan tetapi adanya kecenderungan tingkat kesejahteraan masyarakat
yang masih rendah berdasarkan pertimbangan tersebut kesenjangan yang terjadi dapat tergambar dengan nyata dan diharapkan adanya solusi dari permasalahan tersebut agar antar kabupaten Dati II di propinsi Sumatra dapat mencapai konvergensi.
3.6.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan merupakan data sekunder. Data yang digunakan
dalam penelitian adalah data cross section berdasarkan PDRB Perkapita atas dasar harga berlaku, jumlah penduduk kabupaten/kota propinsi Sumatra, propinsi Sumatra dalam angka, berbagai macam data sekunder lainnya yang diambil dari berbagai sumber, diantaranya dari BPS propinsi Sumatra, literature dan sumber pustaka lainnya. Periode analisis pada penelitian ini adalah tahun 1995, 2001 dan tahun 2004 dengan menggunakan tahun dasar 1993 dan pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Minitab 1.4 dan Microsoft Excel.
3.7.
Metode Analisis Analisis yang digunakan dalam penelitian ini secara kualitatif dan
kuantitatif. Analisis secara kualitatif diinterpretasikan secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif akan diolah dengan menggunakan analisis regresi. Analisis regresi adalah analisis yang berkenaan dengan studi ketergantungan satu variabel terhadap satu atau lebih variabel lain (Gujarati, 1993). Regresi yang digunakan adalah regresi linear dan berganda dengan menggunakan bantuan software Minitab 1.4 dan Microsoft Excel.
Untuk mengukur konvergensi yang terjadi antar kabupaten/kota Dati II di pulau Sumatera, ada beberapa pendekatan atau tahapan-tahapan yang dilakukan yaitu mencakup analisis tingkat konvergensi antar kabupaten yang terdiri dari analisis konvergensi absolut dan analisis konvergensi bersyarat dengan memasukkan variabel-variabel lain seperti pendidikan, kesehatan dll. 3.7.1. Analisis Konvergensi Menurut Romer (2006) untuk menguji apakah terjadi konvergensi absolut (kabupaten yang lebih miskin tumbuh lebih cepat dari pada kabupaten yang lebih kaya) analisis yang digunakan adalah: ln (YiT / Y i t) = a + b ln (Y i t ) + εi ……………………………………(2) Dimana: ln (YiT / Y i t) : PDRB per kapita tahun akhir analisis ln (Y i t )
: PDRB per kapita tahun dasar analisis
a
: Konstanta
b
: Koefisien regresi
T
: Tahun analisis
t
: Tahun dasar analisis
Jika nilai b < 0 maka akan menunjukkan bahwa pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Untuk melihat tingkat konvergensi absolut yang terjadi, data yang digunakan adalah data PDRB perkapita tahun 1995, 2001, dan tahun 2004 yang diregresikan dengan PDRB perkapita tahun 1993.
Untuk menguji apakah terjadi konvergensi bersyarat (kabupaten yang lebih miskin tumbuh lebih cepat dari pada kabupaten yang lebih kaya jika variabel yang lain dimasukkan) maka analisis yang digunakan adalah: ln (YiT / Y i t) = a + b1 ln (Y i t ) + b2 ln X1 + εi.....................................(3) Dimana : ln (YiT / Y i t) : PDRB per kapita tahun akhir analisis ln (Y i t )
: PDRB per kapita tahun dasar analisis
ln X1
: Tingkat Pendidikan tahun analisis
a
: Konstanta
b1
: Koefisien regresi tahun dasar analisis
b2
: Koefisien regresi tingkat pendidikan
T
: Tahun analisis
t
: Tahun dasar analisis
Untuk melihat tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi, dapat dilihat dari nilai koefisien regresi. Jika nilai koefisien regresinya lebih kecil dari nol (b1,b2 < 0) maka akan menunjukkan bahwa pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. 3.7.2. Uji Signifikansi Individu (Uji t) Uji signifikan individu dikenal dengan uji t (uji parsial). Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model secara statistik bersifat signifikan atau tidak. Dengan uji t akan dilihat apakah secara statistik koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas secara terpisah memiliki pengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tidak bebas. Melalui uji t ini
akan diuji apakah koefisien regresi satu per satu secara statistik signifikan atau tidak. Untuk uji t hipotesis yang di uji adalah: H0: β = 0 H1: β ≠ 0 Untuk uji t ini dapat dilihat melalui probabilitas dari masing-masing variabel bebas, jika probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan maka dapat disimpulkan bahwa variabel bebas tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tak bebas, dan sebaliknya jika probabilitasnya lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka dapat disimpulkan bahwa variabel bebas tersebut tidak signifikan mempengaruhi variabel tak bebas. 3.7.3. Pengujian Terhadap Model Penduga (Uji F) Uji F digunakan untuk membuktikan secara statistik bahwa seluruh seluruh koefisien regresi juga signifikan dalam mementukan nilai dari variabel tak bebas. Dalam uji F jika seluruh nilai sebenarnya dari parameter regresi sama dengan nol, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang linear antara variabel tak bebas dengan variabel bebas. Atau dapat dilihat juga dari nilai probability F-statistiknya, jika probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata yang digunaka maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan linear antara variabel bebas dengan variebel-variabel tak bebas.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Analisis Konvergensi
4.1.1. Analisis Konvergensi Absolut Konvergensi absolut dapat terjadi jika setiap daerah dengan tingkat pendapatan yang sama dapat mencapai kondisi kemapanan yang sama. Untuk mengetahui adanya konvergensi absolut antar kabupaten/kota yang terjadi di pulau Sumatera tahun 1995 sebelum Otonomi Daerah, dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Analisis Konvergensi Absolut Tahun 1995 Variabel Constant
ln (Yi 93 ) S = 0.114199 R-Sq(adj) = 14.3% F-statistic = 13.00
Coef 1.5236
SE Coef 0.3481
T 4.38
P 0.000
-0.08825
0.02448
-3.61
0.001
R-Sq = 15.5% Prob (F-statistic) = 0.001
Sumber: Lampiran 4.
Pada Tabel 6. maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: ln (Yi 95 / Yi 93) = 1.52 - 0.0882 ln (Yi 93 ).........................................................(4) Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.001 maka persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa persamaan diatas telah mendukung keabsahan model, dan dapat juga dikatakan bahwa variabel-variabel penjelas dalam model persamaan secara bersama-sama
berpengaruh nyata
terhadap PDRB per kapita pada taraf nyata 5 persen. Untuk melakukan pengujian pada masing-masing faktor (uji t) yang mempengaruhi tingkat PDRB perkapita tahun 1995/1993 secara signifikan, perlu
dilakukan uji signifikansi terhadap masing-masing faktor. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat probalitas dari masing-masing variabel tersebut. Nilai probabilitas kurang dari taraf nyata 5 persen menandakan bahwa variabel tersebut signifikan. Pada Tabel 6. menunjukkan bahwa tingkat PDRB perkapita tahun dasar 1993 signifikan mempengaruhi PDRB perkapita tahun1995. Untuk melihat tingkat konvergensi yang terjadi sebelum Otonomi Daerah pada tahun 1995, dapat dilihat dari nilai koefisien regresinya. Jika nilai koefisien regresi lebih kecil dari 0, maka pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Berdasarkan persamaan di atas, tingkat konvergensi absolut yang terjadi sebesar - 0.0882 < 0 ini berarti pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Tingkat konvergensi absolut yang terjadi pada tahun 2001, dapat dilihat dari Tabel 7. berikut: Tabel 7. Analisis Konvergensi Absolut 2001 Variabel Constant
ln (Yi 93 ) S = 0.312235 R-Sq(adj) = 7.3% F-statistic = 6.71
Coef 3.8821 -0.17333
SE Coef 0.9519 0.06692
T 4.08 -2.59
P 0.000 0.012
R-Sq = 8.6% Prob (F-statistic) = 0.012
Sumber: Lampiran 4.
Berdasarkan analisis regresi pada Tabel 7. maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: ln (Yi 01 / Yi 93) = 3.88 - 0.173 ln (Yi 93 )……………………….…………..…(5)
Persamaan PDRB per kapita pada tahun 2001 nilai probabilitas F-statistik sebesar 0,012 maka persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa persamaan diatas telah mendukung keabsahan model dan dapat juga dikatakan bahwa variabel-variabel penjelas dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap PDRB per kapita pada taraf nyata 5 persen. Untuk melakukan pengujian pada masing-masing faktor (uji t) yang mempengaruhi tingkat PDRB perkapita tahun 2001 secara signifikan, perlu dilakukan uji signifikansi terhadap masing-masing faktor. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat probalitas dari masing-masing variabel tersebut. Nilai probabilitas kurang dari taraf nyata 5 persen menandakan bahwa variabel tersebut signifikan. Pada Tabel 7. tingkat PDRB perkapita tahun dasar signifikan karena probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen. Untuk melihat tingkat konvergensi yang terjadi pada tahun 2001, dapat dilihat dari nilai koefisien regresinya. Jika nilai koefisien regresi lebih kecil dari 0, maka pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Berdasarkan persamaan di atas, tingkat konvergensi absolut yang terjadi sebesar -0.173 < 0 ini berarti pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen.
Tingkat konvergensi absolut yang terjadi pada tahun 2004, dapat dilihat dari Tabel 8. Tabel 8. Analisis Konvergensi Absolut 2004 Variabel Coef Constant 5.713 X -0.29150 S = 0.426427 R-Sq = 12.5% R-Sq(adj) = 11.3% F-statistic =10.17 Prob (F-statistic) = 0,002
SE Coef 1.300 0.09139
T 4.39 -3.19
P 0,000 0,002
Sumber : Lampiran 4
Berdasarkan analisis regresi pada Tabel 8. maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: ln (Yi 04 / Yi 93) = 5.71 - 0.292 ln (Yi 93 )...........................................................(6) mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,002 maka persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa persamaan diatas telah mendukung keabsahan model, dan dapat juga dikatakan bahwa variabel-variabel penjelas dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap PDRB per kapita pada taraf nyata 5 persen. Selanjutnya untuk melakukan pengujian pada masing-masing faktor (uji t) yang mempengaruhi tingkat PDRB perkapita tahun 2004 secara signifikan, perlu dilakukan uji signifikansi terhadap masing-masing faktor. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat probalitas dari masing-masing variabel tersebut. Nilai probabilitas kurang dari taraf nyata 5 persen menandakan bahwa variabel tersebut signifikan. Pada Tabel 8. tingkat PDRB perkapita tahun dasar signifikan karena probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata 5 persen.
Untuk melihat tingkat konvergensi yang terjadi pada tahun 2004, dapat dilihat dari nilai koefisien regresinya. Jika nilai koefisien regresi lebih kecil dari 0, maka pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Berdasarkan persamaan di atas, tingkat konvergensi absolut yang terjadi sebesar -0.292 < 0 ini berarti pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. 4.1.2. Analisis Konvergensi Bersyarat Untuk melihat adanya konvergensi bersyarat yang terjadi antar kabupaten/kota di pulau Sumatera, dapat diketahui dengan melakukan analisis regresi yang memasukkan variabel lain yaitu tingkat pendidikan dilihat dari jumlah murid SMU dan sederajat pada tiap kabupaten/kota di pulau Sumatera. Hasil analisis regresi dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Analisis Konvergensi Bersyarat 1995 Variabel
Coef
SE Coef
T
P
Constant
1.3911 -0.08822 0.01515
0.3784 0.02451 0.01684
3.68 -3.60 0.90
0.000 0.001 0.371
ln (Yi ln X1
93
)
S= 0.114352 R-Sq(adj) = 14.1% F-statistic = 6.89
R-Sq = 16.4% Prob (F-statistic)= 0.002
Sumber: Lampiran 5.
Berdasarkan analisis regresi pada Tabel 9. maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: ln (Yi95 / Y i 93) = 1.39 - 0.0882 ln (Yi 93 ) + 0.0152 ln X1.................................(7) Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.002 maka persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa persamaan diatas telah
mendukung keabsahan model, dan dapat juga dikatakan bahwa variabel-variabel penjelas dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap PDRB per kapita pada taraf nyata 5 persen. Selanjutnya untuk melakukan pengujian pada masing-masing faktor (uji t) yang mempengaruhi tingkat konvergensi bersyarat pada tahun 1995 secara signifikan, perlu dilakukan uji signifikansi terhadap masing-masing faktor. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat probabilitas dari masing-masing variabel tersebut. Nilai probabilitas kurang dari taraf nyata 5 persen menandakan bahwa variabel tersebut signifikan. Pada Tabel 9. bahwa tingkat PDRB perkapita tahun dasar 1993 signifikan terhadap PDRB perkapita tahun 1995
sedangkan tingkat
pendidikan tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen, hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap PDRB perkapita tahun 1995. Untuk melihat tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi pada tahun 1995, dapat dilihat dari nilai koefisien regresinya. Jika nilai koefisien regresi lebih kecil dari 0, maka pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Berdasarkan persamaan di atas, tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi sebesar - 0.0882 < 0 ini berarti pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Sedangkan untuk variabel tingkat pendidikan nilai koefisien regresinya 0.0152 > 0 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan cenderung divergen. Untuk konvergensi bersyarat yang terjadi pada tahun 2001 setelah kebijakan otonomi daerah diberlakukan, setiap daerah memiliki kewenangan yang
lebih luas untuk mengatur wilayahnya sendiri. Hasil analisis regresi dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Analisis Konvergensi Bersyarat 2001 Variabel Constant
ln (Yi 93) ln X1
Coef
SE Coef
T
P
3.872 -0.17352
1.008 0.06762
3.84 -2.57
0.000 0.012
0.00146
0.04313
0.03
0.973
S = 0.314454 R-Sq(adj) = 6.0%
R-Sq = 8.6%
F-statistic = 3.31
Prob (F-statistic) = 0.042
Sumber: Lampiran 5
Berdasarkan analisis regresi pada Tabel 10. maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: ln (Yi01 / Yi 93) = 3.87 - 0.174 ln (Yi 93 ) + 0.0015 ln X1.................................(8) Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.042 maka persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa persamaan diatas telah mendukung keabsahan model, dan dapat juga dikatakan bahwa variabel-variabel penjelas dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap PDRB per kapita pada taraf nyata 5 persen. Selanjutnya untuk melakukan pengujian pada masing-masing faktor (uji t) yang mempengaruhi tingkat konvergensi bersyarat pada tahun 2001 secara signifikan, perlu dilakukan uji signifikansi terhadap masing-masing faktor. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat probabilitas dari masing-masing variabel tersebut. Nilai probabilitas kurang dari taraf nyata 5 persen menandakan bahwa variabel tersebut signifikan. Pada Tabel 10. tingkat PDRB perkapita tahun dasar 1993 signifikan terhadap PDRB perkapita tahun 2001 sedangkan tingkat pendidikan
tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen, hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap PDRB perkapita tahun 2001. Untuk melihat tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi pada tahun 2001, dapat dilihat dari nilai koefisien regresinya. Jika nilai koefisien regresi lebih kecil dari 0, maka pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Berdasarkan persamaan di atas, tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi sebesar - 0.174 < 0 ini berarti pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Sedangkan untuk variabel tingkat pendidikan nilai koefisien regresinya 0.0015 > 0 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan cenderung divergen. Untuk konvergensi bersyarat yang terjadi pada tahun 2004 setelah beberapa tahun kebijakan otonomi daerah diberlakukan, persamaan regresi yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Analisis Konvergensi Bersyarat 2004 Variabel Constant ln (Yi 93 ) ln X1
Coef 5.510 -0.29182 0.02312
SE Coef 1.419 0.09196 0.06238
T 3.88 -3.17 0.37
P 0.000 0.002 0.712
S = 0.429042 R-Sq = 12.7% R-Sq(adj) = 10.2% F-statistic = 5.09 Prob (F-statistic) = 0,009 Sumber : Lampiran 5
Berdasarkan analisis regresi pada Tabel 11. maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: ln (Yi04 / Yi 93) = 5.51 - 0.292 ln (Yi 93 ) + 0.0231 ln X1...................................(9) Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0.009 maka persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa persamaan diatas telah
mendukung keabsahan model, dan dapat juga dikatakan bahwa variabel-variabel penjelas dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap PDRB per kapita pada taraf nyata 5 persen. Selanjutnya untuk melakukan pengujian pada masing-masing faktor (uji t) yang mempengaruhi tingkat konvergensi bersyarat pada tahun 2004 secara signifikan, perlu dilakukan uji signifikansi terhadap masing-masing faktor. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat probabilitas dari masing-masing variabel tersebut. Nilai probabilitas kurang dari taraf nyata 5 persen menandakan bahwa variabel tersebut signifikan. Pada Tabel 11. tingkat PDRB perkapita tahun dasar 1993 signifikan terhadap PDRB perkapita tahun 2004 sedangkan tingkat pendidikan tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen, hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap PDRB perkapita tahun 2004. Untuk melihat tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi pada tahun 2004, dapat dilihat dari nilai koefisien regresinya. Jika nilai koefisien regresi lebih kecil dari 0, maka pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Berdasarkan persamaan di atas, tingkat konvergensi bersyarat yang terjadi sebesar - 0.292 < 0 ini berarti pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Sedangkan untuk variabel tingkat pendidikan nilai koefisien regresinya 0.0231 > 0 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan cenderung divergen.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. 1.
Kesimpulan Selama periode analisis, pendapatan antar kabupaten/kota di pulau Sumatera cenderung konvergen. Hal ini dapat kita lihat dari nilai koefisien regresi pada tahun-tahun yang dianalisis nilainya lebih kecil dari nol. PDRB perkapita tahun dasar analisis berpengaruh secara signifikan terhadap nilai konvergensi baik konvergensi absolut maupun konvergensi bersyarat. Tingkat pendidikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai konvergensi bersyarat.
2.
Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah memberikan dampak positif terhadap peningkatan nilai konvergensi dan menurunnya kesenjangan antar daerah.
5.2. 1.
Saran Pemerintah daerah diharapkan dapat melakukan kebijakan untuk memelihara tingginya nilai konvergensi dengan cara meningkatkan pendapatan daerahnya melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui peningkatan teknologi.
2.
Pemerintah daerah perlu memelihara implementasi kebijakan otonomi daerah dalam kebijakan pembangunan.
3.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai variabel lain yang diduga dapat berpengaruh terhadap tingkat konvergensi, antara lain tingkat kesehatan masyarakat, rasio kelahiran dan kematian penduduk untuk dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah khususnya daerah tingkat II di pulau Sumatera.
DAFTAR PUSTAKA
Abel, Y.H.F.H. 2006. Disparitas Pendapatan Antar KBI dan KTI Wilayah Indonesia. Program Pascasarjana. IPB. Bogor Anwar, A. 1995. Pengantar Metodelogi Penelitian Ekonomi Wilayah. Bahan Kuliah. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Sosial. Program Studi PWPPS. IPB. Bogor. Badan Pusat Statistik. 1993-2004. Produk Domestik Regional Bruto Menurut Kabupaten/Kota. BPS. Jakarta. . 1993-2004. Aceh Dalam Angka. BPS Aceh. . 1993-2004. Sumatera Utara Dalam Angka. BPS Sumatera Utara. . 1993-2004. Sumatera Barat Dalam angka. BPS Sumatera Barat. . 1993-2004. Riau Dalam Angka.BPS Riau. . 1993-2004. Jambi Dalam Angka. BPS Jambi. . 1993-2004. Sumatera Selatan Dalam Angka. BPS Sumatera Selatan. . 1993-2004. Bengkulu Dalam Angka. BPS Bengkulu. . 1993-2004. Lampung Dalam Angka. BPS Lampung. . 2000-2004. Bangka Belitung Dalam Angka. BPS Bangka Belitung. Barro, R. J. And Martin, X. S. 1995. Economics Growth. Mc Graw-Hill. New York. Basri, F.H. 1995. Fenomena Ketimpangan Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Makalah Pada Diskusi Tetap Studi Pembangunan SM. IPB. Bogor. 28 Agustus 1995. Boediono. 1985. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Seri Sinopsis. Pengantar Ilmu Ekonomi No. 4. BPFE. Yogyakarta. Dumairy, M.A. 1996. Perekonomian Indonesia. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Garcia, J.G., and L. Soelistianingsih. 1998. Why do differences in provincial incomes persist in Indonesia. Bull. Indonesian Economic Studies 34(1) : 95-120. Gujarati. D. 1993. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hanafiah, T. 1998. Pendekatan Wilayah dan Pembangunan Pedesaan. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hendra. 2004. Peran Sektor Pertanian dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Antar Daerrah di Propinsi Lampung. Sarjana Ilmu Ekonomi. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jhingan, M. L. 1990. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Rajawali Press. Jakarta. Kusumah, B. Dadang, S. 2003. Otonomi Penyelenggaraan Daerah. Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta. Kuznet, S. 1995. Quantitative Aspect of The Economic Growth of Nation: I. Economic Development and Cultural Change, Vol. V. Mankiw, N. G. 2001. Teori Makroekonomi. Penerbit Erlangga. Jakarta. Matolla, A. Z. 1985. Peran Sektor Pertanian Terhadap Peningkatan dan Pemerataan Pendapatan Daerah Di Jawa Barat. Program Perencanaan Wilayah dan Kota, Pasca Sarjana ITB. Bandung. Muriza, L 1995. Kesenjangan Kondisi Ekonomi Regional Antara Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor. Richardson, H.W. 1991. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta. Romer, D. 2006. Advanced Macroeconomics Edisi 3. Mc Graw-Hill Irwin. New York. Sukirno, S. 1985. Pengantar Teori Makroekonomi. Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta. Tadjoedin, M.Z.1996. Disparitas Pendapatan Regional Indonesia Dalam Kaitan Dengan Pola Pertumbuhan dan Investasi. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian IPB. Bogor.
Tadjoedin, M.Z, dkk. 2001. Aspirasi Terhadap Ketidakmerataan: Disparitas Regional dan Konflik Vertikal di Indonesia, UNSFIR Working Paper. Jakarta. Uppal, J.S dan Handoko, B.S.1986.Regional Income Disparities in Indonesia. Ekonomi Keuangan Indonesia Vol XXXIV No 3. LPEM-FEUI. Jakarta. Williamson, J.G. 1965. Regional and Equality and The Process of National Development; A Description of Pattern. Economic Development and Cultural Change, Vol.13, No. 4, Hal 3-45.
Lampiran 1. Data PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Kabupaten/kota se-pulau Sumatera (Rupiah).
KABUPATEN/KOTA Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Aceh utara Banda Aceh Sabang Nias Tapanuli Selatan Tapanuli tengah Tapanuli Utara Labuhan Batu Asahan Simalungun Dairi karo Deli Serdang Langkat Sibolga Tanjung Balai Pemantang Siantar Tebing Tinggi Medan Binjai Pesisir Selatan Solok Sawah lunto Tanah Datar Padang Pariaman Agam Lima Puluh Kota Pasaman Padang Solok Sawah lunto Padang panjang Bukit Tinggi payakumbuh Indragiri Hulu Indragiri hilir
1993 1071542 896976 1585503 1637789 1968609 1393542 1043700 8125143 1483548 1665696 906682 1322981 1250797 1123193 1749615 2344046 1633361 850784 1477025 1169047 1954862 1894753 2524697 2300066 2167716 2541367 1413159 922960 1027436 1462122 1139113 1187448 1237258 1498507 873868 2685417 1789704 3374832 1722911 1764960 1440826 1414222 1226562
1995 1536435 1442146 2147503 2260141 1543644 1972934 1478456 8175940 1646844 2237008 1305516 1804918 1583302 1480885 2090619 3121213 1981340 1302647 1802442 1681717 2315401 2724398 3430943 3161646 3001621 3328578 1950767 1171581 1306236 1825894 1483204 1624440 1561730 1917556 1106318 3427164 2244746 4985717 2277690 2318520 1895491 1476241 1561324
2001 4977168,82 3212886,98 5878364,03 5578888,27 4311504,29 5840176,18 3145208,88 29639008,86 6152215,53 5197944,78 3322389,21 3979746,28 3019819,25 4424151,72 7237095,93 9808260,49 5257499,34 5557089,03 8233152,67 6321760,47 6086698,49 6066801,44 7332637,7 6460842,13 6071608,95 11437781,23 6036693,59 3686840,56 4174193,98 5376976,51 5315914,63 5014787,46 4805337,82 5981239,13 5079678,36 11057967,57 7903717,5 8989884,82 6775439,85 7300715,22 5668678,74 10354857,05 7691824,13
2004 5444980 3579126 7286037 5767033 4729899 6592498 3412592 30069602 6752778 5792559 3867358 3523803 3400994 5131778 8155933 10888995 5788985 6260373 8934605 7829186 6443143 6752684 8193792 7337394 6813151 12857576 6847557 3964788 4698609 5929691 5926525 5679119 5371585 6606695 5633831 12468312 7987648 9615740 7558429 7998363 6414362 12762211 8860397
Kepulauan Riau Kampar
4500374 1093880
6558051 1375448
10263733,13 15487374,6
10377084 14630467
Lanjutan Lampiran 1. Data PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Kabupaten/kota se-pulau Sumatera (Rupiah).
Bengkalis Pekan Baru Batam Kerinci Bungo Tebo Sarolangun Bangko Batang Hari Tanjung Jabung Jambi Ogan Komering Ulu Ogan Komering hilir Muara Enim Lahat Musi Rawas Musi Banyuasin Bangka Belitung Palembang Pangkal Pinang Bengkulu Selatan Rejang Lebong Bengkulu Utara Bengkulu Lampung Selatan Lampung Tengah Lampung Utara Lampung Barat Bandar Lampung
Sumber: BPS 2006
11137476 1700737 9845573 1047196 802804 865623 1040421 1404145 1604017 893153 884541 2338335 938881 1302028 2115927 1658538 1650538 2014073 1107418 968386 1216390 857085 1552171 681942 853019 703113 522807 1794737
11749056 2039065 13067132 1330797 1050154 1104546 1345177 1935309 1967595 1203336 1459091 2964369 1236555 1313699 2381149 2142882 2160486 2519192 1462813 1390655 1797905 1213446 1935013 1390655 1165062 1000882 815238 2188007
46544203,82 8522496,3 38667135,22 3880912,51 6358561 4081995,79 4458791,84 15567322 5412305,34 4306549,03 3587075,06 9968741,81 4131232,16 5373132,64 11998890,08 7029136,79 6630923,63 9911895,98 6046733,38 2177085,63 4500278,57 2546541,57 4686174,34 3388330,43 3947230,53 4255369,75 3139581,79 5570959,41
42490794 11174815 39978651 38302716 4743885 5642817 4699939 10889367 6076433 4715509 3974183 11099978 4597484 6151080 12580703 8065785 7491306 11482413 6906003 2406060 5021839 27428600 5349687 3792336 4331516 4661968 3298886 6264233
Lampiran 2. Data Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten Kota Di Pulau Sumatera (Jiwa). KABUPATEN/KOTA Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Aceh utara Banda Aceh Sabang Nias Tapanuli Selatan Tapanuli tengah Tapanuli Utara Labuhan Batu Asahan Simalungun Dairi karo Deli Serdang Langkat Sibolga Tanjung Balai Pemantang Siantar Tebing Tinggi Medan Binjai Pesisir Selatan Solok Sawah lunto Tanah Datar Padang Pariaman Agam Lima Puluh Kota Pasaman Padang Solok Sawah lunto Padang panjang Bukit Tinggi
1993 258198 185768 585933 199634 326900 252437 420122 536446 184650 24413 588643 645463 214353 406244 733183 884203 805363 276980 264754 1719390 812141 71559 107751 219316 116749 1730052 181866 372593 427463 264287 342139 447351 407767 297256 451151 631263 42702 47924 38570 83753
1995 268468 192565 596858 221655 336998 261589 423465 541655 198652 25654 589451 655121 223454 411685 735125 886121 806251 284125 266555 1769825 829656 72445 111551 222112 118262 1785112 194568 373414 428256 267256 345256 449256 411256 295125 464256 658145 43895 49256 39565 85156
2001 305600 216100 669100 266800 433900 285500 506600 676900 222700 24400 699148 749003 249668 407831 863438 943822 863679 295323 287854 2021021 921911 840034 136621 245099 126302 1933746 219122 389480 435950 311580 320960 71412 414930 311820 514990 720780 48680 50750 40860 92450
2004 185704 168229 312014 285619 160545 301575 469888 487526 239146 28692 705989 772788 289149 418226 905888 1009856 817555 299457 312300 2062451 941652 86211 144616 225444 133655 1976654 226775 417706 457389 343819 339216 375538 428433 324258 555486 784740 55709 53837 44699 100254
payakumbuh Indragiri Hulu Indragiri hilir Kepulauan Riau Kampar Bengkalis
92739 199160 477168 241731 279768 407551
93256 222215 481365 254165 280265 411656
98599 249242 557688 360423 453359 523732
104377 282569 626229 349789 527736 632637
Lanjutan Lampiran 2. Data Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten Kota Di Pulau Sumatera (Jiwa). Pekan Baru Batam Kerinci Bungo Tebo Sarolangun Bangko Batang Hari Tanjung Jabung Jambi Ogan Komering Ulu Ogan Komering hilir Muara Enim Lahat Musi Rawas Musi Banyuasin Bangka Belitung Palembang Pangkal Pinang Bengkulu Selatan Rejang Lebong Bengkulu Utara Bengkulu Lampung Selatan Lampung Tengah Lampung Utara Lampung Barat Bandar Lampung
Sumber: BPS 2006
398621 114080 283495 360402 140511 154901 362380 339786 1013426 771269 587257 629363 512996 904438 513826 192927 1144047 113129 325465 383100 373979 222600 1065817 1924473 506516 352369 487083
400225 115656 296456 296545 141256 156254 324125 340152 1012365 778565 598452 621256 522224 912521 515215 193256 1152125 114256 212252 325125 381256 223662 1125212 1926568 507256 352256 491256
587729 439131 297454 243944 182117 194201 398286 423891 1170448 986152 601255 670149 641856 441756 569125 204651 1394241 125319 127557 442568 471302 293918 1142435 1014084 534848 371787 754847
666902 526204 305243 248227 195909 209817 399441 229284 1096606 656828 611702 530304 461809 445756 570226 205651 1293821 125486 137568 244035 318492 252199 1187648 1015218 558981 378545 761554
Lampiran 3. Data Pendidikan Kabupaten/kota Di lihat dari Jumlah Murid SMU (murid) KABUPATEN/KOTA Aceh Selatan Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Tengah Aceh Barat Aceh Besar Pidie Aceh utara Banda Aceh Sabang Nias Tapanuli Selatan Tapanuli tengah Tapanuli Utara Labuhan Batu Asahan Simalungun Dairi karo Deli Serdang Langkat Sibolga Tanjung Balai Pemantang Siantar Tebing Tinggi Medan Binjai Pesisir Selatan Solok Sawah lunto Tanah Datar Padang Pariaman Agam Lima Puluh Kota Pasaman Padang Solok
1995 8112 2021 8616 3763 2461 6263 15421 16241 2653 976 7767 9764 2763 15612 16242 13761 9696 19261 8212 44624 9796 3168 3212 12244 5126 56976 8763 9767 7126 4624 7631 12141 9612 3676 8212 38461 5120
2001 9761 2162 10261 5614 2752 8126 17241 17624 3474 1110 9920 24728 5840 39310 20081 26211 10915 23124 11861 77490 22918 6578 4838 47372 15424 116117 18666 13790 8239 5552 9656 14860 10130 5153 9179 44831 6034
2004 10200 2160 10729 6790 3520 9795 22867 20772 3617 1121 9636 9266 3764 15970 13361 17374 13928 26006 9168 25124 11740 3828 3705 16132 7136 67351 11779 13861 9763 5624 98261 14790 12121 6264 9326 44941 6261
Sawah lunto Padang panjang Bukit Tinggi payakumbuh Indragiri Hulu Indragiri hilir Kepulauan Riau Kampar Bengkalis
1784 2165 10921 7778 1765 3264 3126 4261 5125
2579 4637 11351 9378 2010 5579 5695 8176 5624
3021 4712 13241 9521 4294 5236 2626 4995 10124
Lanjutan Lampiran 3. Data Pendidikan Kabupaten/kota Di lihat dari Jumlah Murid SMU (murid) Pekan Baru Batam Kerinci Bungo Tebo Sarolangun Bangko Batang Hari Tanjung Jabung Jambi Ogan Komering Ulu Ogan Komering hilir Muara Enim Lahat Musi Rawas Musi Banyuasin Bangka Belitung Palembang Pangkal Pinang Bengkulu Selatan Rejang Lebong Bengkulu Utara Bengkulu Lampung Selatan Lampung Tengah Lampung Utara Lampung Barat Bandar Lampung
Sumber: BPS 2006
12645 5241 5168 4217 1636 2164 3795 18261 5616 5216 3641 7842 3764 4444 3612 1821 1263 2424 5261 6161 4721 8679 7776 8326 8121 8916 11642
18933 8530 8476 5636 1641 2563 3561 20451 6971 6998 5229 8600 4277 6998 4430 1909 14593 2700 8483 7261 6258 10038 8126 8634 9992 9768 13121
19999 5213 8462 6764 1758 2468 3409 23624 6885 5769 4636 14287 5288 3026 5283 2448 16351 2634 6060 7352 5297 10094 9264 10641 11214 10431 13841
Lampiran 4. Analisis Regresi Konvergensi Absolut Regression Analysis: ln yi95/yi93 versus ln yi 93 The regression equation is ln yi95/yi93 = 1.52 - 0.0882 ln yi 93
Predictor Constant ln yi 93
Coef 1.5236 -0.08825
S = 0.114199
SE Coef 0.3481 0.02448
R-Sq = 15.5%
T 4.38 -3.61
P 0.000 0.001
R-Sq(adj) = 14.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 71 72
SS 0.16953 0.92594 1.09547
MS 0.16953 0.01304
F 13.00
Fit 0.2446 0.1195 0.2738 0.0917 0.1025 0.2811 0.3382
SE Fit 0.0150 0.0436 0.0134 0.0510 0.0481 0.0138 0.0233
P 0.001
Unusual Observations Obs 5 8 42 46 48 59 69
ln yi 93 14.5 15.9 14.2 16.2 16.1 14.1 13.4
ln yi95/yi93 -0.2432 0.0062 0.0429 0.0535 0.2831 0.0089 0.7126
Residual -0.4878 -0.1133 -0.2309 -0.0382 0.1805 -0.2722 0.3744
St Resid -4.31R -1.07 X -2.04R -0.37 X 1.74 X -2.40R 3.35R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression Analysis: ln yi01/93 versus ln yi 93 The regression equation is ln yi01/93 = 3.88 - 0.173 ln yi 93
Predictor Constant
Coef 3.8821
SE Coef 0.9519
T 4.08
P 0.000
ln yi 93
-0.17333
S = 0.312235
0.06692
R-Sq = 8.6%
-2.59
0.012
R-Sq(adj) = 7.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 71 72
SS 0.65405 6.92182 7.57587
MS 0.65405 0.09749
F 6.71
P 0.012
Lanjutan Lampiran 4. Analisis Regresi Konvergensi Absolut Unusual Observations Obs ln yi 93 ln yi01/93 8 15.9 1.2941 45 13.9 2.6503 46 16.2 1.4301 48 16.1 1.3680 53 14.2 2.4057 65 13.8 0.8101
Fit 1.1243 1.4719 1.0696 1.0910 1.4286 1.4930
SE Fit 0.1193 0.0420 0.1395 0.1316 0.0368 0.0465
Residual 0.1698 1.1784 0.3605 0.2770 0.9772 -0.6829
St Resid 0.59 X 3.81R 1.29 X 0.98 X 3.15R -2.21R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression Analysis: ln yi04/93 versus ln yi 93 The regression equation is ln yi04/93 = 5.71 - 0.292 ln yi 93
Predictor Constant ln yi 93
Coef 5.713 -0.29150
S = 0.426427
SE Coef 1.300 0.09139
R-Sq = 12.5%
T 4.39 -3.19
P 0.000 0.002
R-Sq(adj) = 11.3%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 71 72
SS 1.8498 12.9107 14.7605
MS 1.8498 0.1818
F 10.17
P 0.002
Unusual Observations Obs 8 45 46 48 49 67
ln yi 93 15.9 13.9 16.2 16.1 13.9 13.7
ln yi04/93 1.3086 2.5934 1.3390 1.4013 3.5994 3.4658
Fit 1.0754 1.6599 0.9835 1.0194 1.6726 1.7310
SE Fit 0.1629 0.0573 0.1906 0.1797 0.0594 0.0710
Residual 0.2332 0.9335 0.3555 0.3819 1.9268 1.7348
St Resid 0.59 X 2.21R 0.93 X 0.99 X 4.56R 4.13R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Lampiran 5. Analisis Regresi Konvergensi Bersyarat Regression Analysis: ln yi 95/93 versus ln yi 93, ln x1 The regression equation is ln yi 95/93 = 1.39 - 0.0882 ln yi 93 + 0.0152 ln x1
Predictor Constant ln yi 93 ln x1
Coef 1.3911 -0.08822 0.01515
S = 0.114352
SE Coef 0.3784 0.02451 0.01684
R-Sq = 16.4%
Analysis of Variance Source DF SS Regression 2 0.18012 Residual Error 70 0.91535 Total 72 1.09547 Source ln yi 93 ln x1
DF 1 1
T 3.68 -3.60 0.90
P 0.000 0.001 0.371
R-Sq(adj) = 14.1%
MS 0.09006 0.01308
F 6.89
P 0.002
Seq SS 0.16953 0.01059
Unusual Observations Obs 5 8 26 46 48 59 69
ln yi 93 14.5 15.9 14.7 16.2 16.1 14.1 13.4
ln yi 95/93 -0.2432 0.0062 0.2698 0.0535 0.2831 0.0089 0.7126
Fit 0.2310 0.1345 0.2560 0.0892 0.1004 0.2739 0.3419
SE Fit 0.0214 0.0468 0.0421 0.0512 0.0483 0.0159 0.0237
Residual -0.4741 -0.1283 0.0138 -0.0357 0.1827 -0.2649 0.3707
St Resid -4.22R -1.23 X 0.13 X -0.35 X 1.76 X -2.34R 3.31R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression Analysis: lnyi01/93 versus ln yi 93, ln x1
The regression equation is lnyi01/93 = 3.87 - 0.174 ln yi 93 + 0.0015 ln x1 Predictor Constant ln yi 93 ln x1
Coef 3.872 -0.17352 0.00146
S = 0.314454
SE Coef 1.008 0.06762 0.04313
R-Sq = 8.6%
T 3.84 -2.57 0.03
P 0.000 0.012 0.973
R-Sq(adj) = 6.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source ln yi 93 ln x1
DF 1 1
DF 2 70 72
SS 0.65416 6.92171 7.57587
MS 0.32708 0.09888
F 3.31
P 0.042
Seq SS 0.65405 0.00011
Lanjutan Lampiran 5. Analisis regresi Konvergensi Bersyarat Unusual Observations Obs 8 26 45 46 48 53 65
ln yi 93 15.9 14.7 13.9 16.2 16.1 14.2 13.8
lnyi01/93 1.2941 1.5042 2.6503 1.4301 1.3680 2.4057 0.8101
Fit 1.1250 1.3295 1.4718 1.0686 1.0906 1.4273 1.4930
SE Fit 0.1221 0.1207 0.0423 0.1436 0.1330 0.0529 0.0469
Residual 0.1691 0.1748 1.1784 0.3615 0.2773 0.9784 -0.6829
St Resid 0.58 X 0.60 X 3.78R 1.29 X 0.97 X 3.16R -2.20R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.
Regression Analysis: ln yi 04/93 versus ln yi 93, ln x1 The regression equation is ln yi 04/93 = 5.51 - 0.292 ln yi 93 + 0.0231 ln x1
Predictor Constant ln yi 93 ln x1
Coef 5.510 -0.29182 0.02312
S = 0.429042
SE Coef 1.419 0.09196 0.06238
R-Sq = 12.7%
T 3.88 -3.17 0.37
P 0.000 0.002 0.712
R-Sq(adj) = 10.2%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total Source ln yi 93 ln x1
DF 1 1
DF 2 70 72 Seq SS 1.8498 0.0253
SS 1.8751 12.8854 14.7605
MS 0.9376 0.1841
F 5.09
P 0.009
Unusual Observations
Obs 8 31 45 46 48 49 67
ln yi 93 15.9 13.9 13.9 16.2 16.1 13.9 13.7
ln yi 04/93 1.3086 1.6492 2.5934 1.3390 1.4013 3.5994 3.4658
Fit 1.0964 1.7057 1.6487 0.9878 1.0084 1.6736 1.7212
SE Fit 0.1735 0.1652 0.0652 0.1921 0.1832 0.0598 0.0762
Residual 0.2121 -0.0565 0.9447 0.3512 0.3929 1.9258 1.7446
St Resid 0.54 X -0.14 X 2.23R 0.92 X 1.01 X 4.53R 4.13R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence.