Korelasi Tingkat Pemahaman Penghuni Tentang Konsep Green Home Dengan Perubahan Bentuk Hunian Di Perumnas Tlogosari Semarang
KORELASI TINGKAT PEMAHAMAN PENGHUNI TENTANG KONSEP GREEN HOME DENGAN PERUBAHAN BENTUK HUNIAN DI PERUMNAS TLOGOSARI SEMARANG Edi Purwanto, Wijayanti Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Semarang Jl. Prof Sudarto SH Tembalang Semarang 50131 Abstrak Sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab dalam pengadaan rumah bagi masyarakat berpengahsilan rendah, perum Perumnas telah membangunan perumahan Tlogosari 27 tahun yang lalu. Konsep yang digunakan oleh perum Perumnas adalah konsep rumah tumbuh/inti. Seiring dengan perjalanan waktu, penghuni memperluas rumah huniannya dengan berbagai motivasi, ada yang dkerjakan sendiri namun ada juga yang menggunakan jasa arsitek atau kontraktor. Disisi lain, dengan adanya isu-isu tentang pemanasan global, konsep green home mulai menjadi perhatian para ahli lingkungan. Masyarakat diminta untuk memperhatikan dan menerapkan konsep green home ini sebagai bagian dari mereduksi dampak pemanasan global. Pertanyaannya adalah apakah penghuni sudah menerapkan kaidah-kaidah green home dalam upaya memperluas huniannya. Penelitian ini bertujuan membuktikan ada/tidaknya hubungan korelasi antara tingkat pemahaman penghuni tentang konsep green home, dengan perubahan bentuk huniannya di Perumnas Tlogosari Semarang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif. Teknik sampling yang digunakan stratified random sampling, sampel yang dipilih adalah penghuni perumnas Tlogosari sebanyak 140 KK. Teknik pengukuran sikap menggunakan kuesener, dan analisis data menggunakan statistik korelasi Spearman Rank. Berdasarkan hasil pengukuran korelasi kualitas hunian dengan tingkat kepuasan penghuni menggunakan analisis statistik korelasi Spearman Rank, didapat hasil perhitungan koefisien p (rho) = 0,24, yaitu termasuk dalam kategori korelasi dengan tingkat keeratan lemah. Artinya dalam memperluas huniannya, penghuni tidak menggunakan kaidah-kaidah green home, meskipun mereka menyadari bahwa kaidah tersebut adalah sangat penting. Beberapa faktor yang mendasari tidak diterapkannya konsep green home adalah [i] tidak tahu bagaimana penyelesaian teknisnya, [ii] khawatir biayanya mahal karena harus membayar jasa arsitek atau kontraktor, [iii] tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Kata Kunci : konsep green home, rumah tumbuh/inti, pemanasan global, perubahan bentuk hunian
PENDAHULUAN Sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1), bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu, rumah yang layak huni merupakan dasar dan salah satu komponen penting dalam menentukan tingkat kesejahteraan. Memperkuat pasal 28 UUD 1945, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang merupakan hasil revisi UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman menegaskan bahwa rumah adalah salah satu kebutuhan dasar manusia
dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Selama ini salah satu pihak yang memenuhi kebutuhan rumah terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah adalah perum Perumnas. Namun tipe rumah yang dibangun lebih banyak berkonsep rumah tumbuh/rumah inti. Konsep rumah tumbuh/inti mempunyai banyak keterbatasan, tidak hanya keterbatasan penyediaan luas bangunan namun juga keterbatasan lahan rumah itu sendiri. Dengan demikian muncul pertanyaan yang penting untuk dijawab, apakah rumah tumbuh/inti yang dibangun oleh Perum Perumnas sudah menerapkan kaidah-kaidah green home sebagai bagian dari upaya penciptaan lingkungan perumahan yang berkelanjutan. Jawabannya sudah barang tentu “belum”, karena penggunaan konsep 39
ISSN : 0853-2877
green home tidak hanya membicarakan tentang ketersediaan biaya, teknologi, namun juga niat baik dari pengembang dan juga motivasi penghuni sendiri. Konsep tentang pembangunan yang berkelanjutan beberapa tahun terakhir dikumandangkan lebih karena munculnya isu-isu global warming yang melanda hampir di semua negara di belahan bumi ini. Semua aspek kehidupan masyarakat diminta kesadarannya yang tinggi untuk merespon isu-isu tersebut karena jika diabaikan bukan tidak mungkin dalam jangka pendek ke depan, kehidupan manusia akan mengalami degradasi lingkungan yang bersumber dari berbagai macam aspek (Purwanto, 2011). Salah satu aspek kehidupan masyarakat yang diminta kesadarannya untuk merespon isu-isu tersebut adalah lingkungan perumahan yang dibangun perum perumnas karena lingkungan perumahan ini juga mempunyai andil yang besar menciptakan permasalahan lingkungan. Dan lingkungan perumahan yang tidak memperhatikan syarat-syarat ekologis menjadi salah satu pemicu munculnya permasalahan banjir di perkotaan. Beberapa lingkungan perumahan di kota Semarang terutama yang dibangun oleh Perum Perumnas mungkin sudah memikirkan konsepkonsep perumahan yang berkelanjutan (meskipun belum menerapkannya). Namun dalam perkembangannya karena ada tuntutan, konsep tersebut bisa saja tidak diterapkan dengan baik karena faktor penghuninya, terutama ketika mereka mengembangkan luas rumahnya karena kebutuhan primer (jumlah anggota keluarga bertambah) atau kebutuhan sekunder/tersier (pengakuan aktualisasi diri). Perumahan Tlogosari yang dibangun oleh Perumnas pada tahun 1986, artinya sudah dihuni oleh masyarakat selama hampir 27 tahun telah mengalami pasang surut perkembangan tidak hanya pada bentuk rumahnya namun juga bentuk lingkungannya. Fakta yang terjadi sekarang bahwa perumahan Tlogosari, terutama kelompok tipe kecil, sedang mengalami kondisi ketidakteraturan bentuk akibat dirubah oleh penghuninya, 40
MODUL Vol.14 No.1 Januari- Juni 2014
bahkan cenderung menjadi kumuh di beberapa tempat. Kondisi demikian mengakibatkan kondisi perumahan dan lingkungannya menjadi tidak sehat bagi penghuninya. Perubahan bentuk perumahan dan lingkungannya sudah barang tentu dilatarbelakangi berbagai macam motivasi, dimulai dari kebutuhan dasar karena penambahan jumlah anggota keluarga yang semakin banyak, karena usia bahan bangunan yang semakin menua dan lapuk sehingga penghuni memandang perlu untuk melakukan perbaikan sekaligus perubahan bentuk, bahkan memperluas disamping latar belakang motivasi subyektif lainnya. Penelitian ini akan mengkaji korelasi tingkat pemahaman penghuni tentang konsep green home, apakah didalam pemahaman penghuni, konsep ini sudah diterapkan ketika mereka merubah bentuk huniannya yang notabene lebih banyak dilakukan sendiri bahkan kadangkala tanpa gambar rencana yang memadai. Penelitian ini cukup penting untuk mengetahui dan membuktikan apakah ada tingkat pemahaman yang tinggi atau justru sebaliknya. Penelitian ini menggunakan pendekatan evaluasi purna huni dengan menekankan aspek perilaku penghuni sebagai variabel utama. KAJIAN PUSTAKA 1. Konsep Green Home Menurut Purwanto (2008), pada dasarnya konsep “green home” merupakan konsep rumah ramah lingkungan yang diselaraskan dengan alam iklim tropis lembab Indonesia. Konsep green home merupakan bagian dari konsep luas green architecture/green building. Arsitektur hijau disebut juga sebagai sebagai arsitektur ramah lingkungan merupakan langkah untuk merealisasikan kehidupan manusia yang berkelanjutan. Keberlanjutan merupakan usaha manusia untuk mempertahankan eksistensinya di muka bumi dengan cara meminimalkan perusakan alam dan lingkungan tempat di mana mereka tinggal (Asikin, 2012). Penerapan arsitektur lingkungan akan memberi peluang besar terhadap kehidupan manusia secara
Korelasi Tingkat Pemahaman Penghuni Tentang Konsep Green Home Dengan Perubahan Bentuk Hunian Di Perumnas Tlogosari Semarang
berkelanjutan. Penerapan arsitektur ramah lingkungan dilihat pada tingkat kehijauan suatu bangunan atau kawasan, dapat diposisikan dalam level yang dapat dimengerti dan diukur oleh acuan standar tertentu. Menurut Adiwoso (2011), belum ada standarisasi khusus mengenai prinsip bangunan hijau untuk seluruh dunia sehingga setiap negara harus memiliki standar regional lokal berdasarkan kondisi setempat. Green Building Council Indonesia akan menerapkan standar bangunan hijau (green building) dengan konsep sendiri yang berbeda dari negara-negara lain disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan di Indonesia. Standar penerapan konsep green building menurut beberapa karegori Greenship Rating Tools Untuk Gedung Terbangunan Versi 1.0 (GBCI, 2011). Kategori tersebut menyangkut enam kriteria, yaitu [i] appropriate site development (manajemen tapak, [ii] efisiensi dan konservasi enegeri, [iii] pengelolaan air, [iv] material source and cycle (penghematan penggunaan matrial dan sumber daya alam, [v] indoor health and comfort (kualitas dan kenyamanan ruang dalam) dan [vi] manajemen pengelolaan bangunan. Green building merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mewujudkan arsitektur yang ekologis demi mencapai keseimbangan di dalam sistem interaksi manusia dengan lingkungan. Arsitektur hijau adalah arsitektur yang minim mengkonsumsi sumber daya alam serta minim menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, yang merupakan langkah untuk merealisasikan kehidupan manusia yang berkelanjutan. Gejala perbesaran volume bangunan rumah tinggal sudah waktunya dialihkan karena sangat tidak efisien dan tidak efektif (boros waktu, tenaga, dan biaya). Kebutuhan utama penghuni rumah memang menjadi prioritas utama. Massa bangunan lebih diarahkan menjadi ruang-ruang fungsional. Konsep arsitektur ramah lingkungan merupakan reinterpretasi sosial budaya masyarakat terhadap alam dan kehidupan tempat tinggalnya (Karyono, 2010). Ada beberapa
definisi arsitektur hijau, ada yang menyatakan bahwa besaran volume bangunan (besaran luas dasar bangunan) harus lebih kecil dari luas lahan sehingga lahan terbuka dapat dimanfaatkan sebagai ruang hijau. Keterbatasan lahan mendorong optimalisasi setiap jengkal lahan dan fungsi setiap ruang sehingga tdak ada ruang yang terbuang atau tidak berfungsi. Ketersediaan lahan hijau dikembangkan secara optimal di halaman depan, sampng, belakang, serta teras balkon. Menurut Pradono (dalam Karyono, 2010), “green” dapat diinterpretasikan sebagai sustainable (berkelanjutan), earthfriendly (ramah lingkungan) dan high performance building (bangunan dengan performa yang sangat baik). Ukuran “green” ditentukan oleh berbagai faktor, dimana terdapat peringkat yang merujuk pada kesadaran untuk menjadi lebih hijau. 2. Konsep Evaluasi Purna Huni Evaluasi purna huni (EPH) adalah suatu proses evaluasi terhadap efektif tidaknya hasil kerja rancang bangun setelah bangunan selesai dibangun dan digunakan oleh penghuni selama kurun waktu tertentu (Preiser dalam Haryadi, 1995). Menurut Gabr dan Sallal (dalam Purwanto, 2010), EPH adalah proses penilaian dan evaluasi terhadap performa sebuah bangunan. Sedangkan menurut Wolfgang (1988) EPH dinilai sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan dan membantu menjelaskan kinerja lingkungan binaan. Jadi EPH menilai kinerja lingkungan binaan, yang didalamnya termasuk bangunan dan ruang luarnya. Tujuan EPH adalah untuk mencari fakta-fakta dan bukanlah kesalahan hasil kerja rancang bangun, untuk dipakai sebagai masukan terciptanya hasil rancang bangun dengan kualitas yang lebih baik dimasa yang akan datang. Menurut Preiser (dalam Haryadi, 1995) dan Purwanto (2010), terdapat 3 unsur kinerja bangunan yang dapat diidentifikasi dan diaplikasikan ke dalam EPH, yaitu : 1. Unsur Teknis 41
ISSN : 0853-2877
2.
3.
Terdapat dalam unsur bangunan, terdiri dari aspek kesehatan, keselamatan, keamanan bangunan yang dapat dijumpai pada keselamatan dari bahaya kebakaran, struktur bangunan, sanitasi, ventilasi, listrik, dinding bangunan, atap, penyelesaian interior, pencahayaan dan akustik. Apabila dikaitkan dengan ruang luar maka ketiga aspek akan terfokus pada ruang dimensi untuk mengetahui rasio kecukupan ruang, sanitasi, dan kelengakapannya. Unsur Fungsional Merupakan kemampuan penghuni untuk mengoperasionalkan bangunan, atau dalam hal ini ruang terbuka secara efektif dan efisien. Berkaitan dengan faktor manusia yang akan mempengaruhi dimensi fisik dan konfigurasi ruang dan perabot, faktor komunikasi dan alur kegiatan pemakai, faktor kemudahan pemakai dalam melakukan kegiatan dan faktor spesialisasi bangunan. Apabila diterapkan pada ruang luar unsur fungsional akan memeriksa kegunaan, alur kegiatan pemakai dan aksesibilitas spasial, dan jenis kegiatan yang diharapkan. Unsur Perilaku Unsur perilaku merupkan aspek sosial dan psikologis tingkat kepuasan penghuni, meliputi aspek privasi dan interaksi penghuni, persepsi lingkungan, rasa kepemilikan, pemahaman dan perancangan bangunan, kognisi, orientasi lingkungan. Dengan demikian pada ruang luar unsur perilaku akan memperhatikan tentang pengamatan pengaturan perilaku yang terjadi di objek, orientasi kemampuan penghuni, interaksi pnghuni dengan seluruh elemen yang tersedia di objek dan kepuasan penghuni dalam menggunakan objek ruang tersebut.
Ketiga unsur tersebut tidak selalu diteliti secara keseluruhan dalam EPH, dapat juga hanya mengambil beberapa permasalahan secara khusus. Terdapat tiga macam permasalahan EPH, yaitu (Purwanto, 2010):
42
MODUL Vol.14 No.1 Januari- Juni 2014
1. EPH Indicative EPH dilakukan dalam jangka waktu yang singkat (dalam hitungan jam atau hari), tujuannya adalah untuk menemukan indikasi kegagalan dan kesuksesan suatu kinerja desain. Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah dengan cara : a. Evaluasi data-data sekunder (arsip dan dokumen) b. Isu-isu performansi, menggunakan alat kuesener terbuka c. Evaluasi walk-through, observasi langsung oleh peneliti d. Wawancara, dilakukan terhadap orang yang berkaitan dengan objek penelitian 2. EPH Investigative EPH investigative lebih menyita waktu dibandingkan EPH indicative. EPH investigative kadang-kadang merupakan kelanjutan dari EPH indicative. EPH ini memakai kriteria-kriteria penelitian yang secara objektif dan eksplisit ada. Kriteria evaluasi meliputi dua bentuk kegiatan, yaitu penilaian berdasar literatur/teori dan perbandingan dengan bangunan atau fasilitas lain yang sama. Biasanya EPH bentuk ini memerlukan waktu 160 – 240 jam kerja di lapangan. 3. EPH Diagnostic EPH diagnostic merupakan investigasi yang menyeluruh dan mendalam dengan menggunakan metode yang bermacammacam, meliputi kuesener, survey, observasi, dan pengukuran fisik. Untuk menyelesaikan evaluasi mungkin diperlukan waktu sampai beberapa bulan sampai satu tahun lebih. Hasil evaluasi dan rekomendasi merupakan masukan jangka panjang untuk perbaikan fasilitas atau bangunan dengan jenis yang sama di masa akan datang. Jenis EPH yang paling tepat dipergunakan dalam penelitian ini adalah EPH diagnostic sehingga tujuan dan manfaat penelitian dapat dicapai. Fase EPH untuk mengevaluasi kinerja pada perumahan adalah : 1. Pengamatan tempat untuk mengidentifikasi siapa, dimana, kapan, dan
Korelasi Tingkat Pemahaman Penghuni Tentang Konsep Green Home Dengan Perubahan Bentuk Hunian Di Perumnas Tlogosari Semarang
2.
3.
4.
5.
mungkin, bagaimana pengguna menghabiskan waktu mereka. Ketentuan dan administrasi survey terhadap penghuni tempat untuk pengukuran lingkungan secara kuantitatif berupa kuesener. Wawancara penghuni mengenai pengalaman mereka dengan tempat tersebut, ini akan membantu untuk memenuhi syarat dimana dan bagaimana orang-orang menghabiskan waktu mereka di tempat-tempat atau sudut tertentu. Behavioral and preference mapping terhadap suatu tempat, mungkin pada skala yang berbeda, untuk menggambarkan area-area yang menerima paling banyak dan paling sedikit digunakan, serta memenuhi syarat untuk mengkuantifikasi dan alasan-alasan untuk penggunaan. Analisa fotografi tentang bagaimana orang menggunakan ruang, serta kunci pengukuran yang menunjukkan bagaimana orang-orang terhubung atau tidak terhubung ke lingkungan.
EPH berusaha mengetahui kinerja sebuah desain melalui persepsi pengguna ruang, oleh karena itu perlu pemahaman mengenai persepsi lingkungan. 3.
Persepsi Penghuni dalam Konteks Pemahaman Konsep Penelitian ini bertujuan mengungkap hubungan korelasi tingkat pemahaman penghuni tentang konsep green home, dengan perubahan bentuk huniannya. Tujuan tersebut memberikan penjelasan bahwa ketika penghuni merubah bentuk huniannya apakah terdapat korelasi dengan pemahaman mereka tentang konsep green home untuk diterapkan dalam proses perubahan bentuk huniannya. Kata “pemahaman” mengandung arti sebagai sebuah persepsi/cara pandang yang kemudian ditindak lanjuti dengan proses berfikir, bertindak, dan mengambil keputusan. Oleh karena itu diperlukan teori tentang persepsi dan kognisi untuk menjelaskan hubungan korelasi ini.
Dengann demikian penelitian ini tidak lepas dari pemahaman interaksi manusia dengan lingkungannya. Perilaku manusia merupakan pusat perhatian dalam hubungan antara manusia dengan lingkungannya. a. Persepsi Persepsi dapat diartikan sebagai pengamatan yang secara langsung dikaitkan dengan suatu makna tertentu. Proses yang melandasi persepsi berawal dari adanya informasi dari lingkungan. Laurens (2004) berpendapat bahwa persepsi menggambarkan pengalaman langsung indera manusia terhadap lingkungan bagi mereka yang ada didalamnya dalam waktu tertentu. Tidak semua rangsang (informasi) diterima dan disadari oleh individu, melainkan diseleksi berdasarkan orientasi nilai yang dimilikinya dan juga pengalaman pribadi. Keseluruhan informasi yang telah menyatu menjadi sesuatu yang utuh, kemudian diberi tafsiran (interpretasi makna), antara lain atas dasar orientasi nilai dan pengalaman pribadi individu. keluaran keseluruhan proses ini adalah pengangkapan / penghayatan. Antara seleksi, pembualatan dan tafsiran menjadi hubungan ketergantungan (interdependen), namun ciri khas individualnya diperoleh dari orientasi nilai dan pengalaman pribadi. b. Kognisi Menurut Laurens (2004) dan Purwanto (2010), kognisi adalah cara yang digunakan manusia untuk menjelaskan bagaimana manusia memahami, menyusun dan mempelajari lingkungan untuk menegosiasikannya. Berdasarkan definisi tersebut, yang ada pada individu manusia sebenamya satu sistem kognisi. Sistem tersebut merupakan hasil proses kognitif yang terdiri dari kegiatankegiatan : 1). Persepsi; 2). Imajinasi; 3). Berfikir (thinking); 4). Bemalar (reasoning); dan 5). Pengambilan keputusan. Sistem kognisi pada individu tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor luar (eksternal) dan dalam (internal) yaitu: 43
ISSN : 0853-2877
1). 2). 3). 4). 5).
persepsi
MODUL Vol.14 No.1 Januari- Juni 2014
Lingkungan fisik; Lingkungan sosial; Struktur faal pada individu; Kebutuhan dan keinginan; dan Pengalaman lampau.
imajinasi
berfikir
bernalar
mengambil keputusan
Gambar 3. Alur hasil proses kognitif Sumber : Purwanto, 2001 METODE PENELITIAN Proses penelitian pada dasarnya diawali dengan adanya masalah. Menurut Sugiyono (2009), bahwa masalah merupakan kesenjangan antara yang harapan dengan kenyataan yang terjadi, dan dipecahkan dengan menggunakan prosedur penelitian. Masalah tersebut dapat bersumber dari hasil kajian teoritis maupun fenomena empiris. Agar penelitian lebih jelas dan terarah, maka perlu dukungan ‘konsep dan teori’ yang relevan serta hasil-hasil penelitian terdahulu’ dan sesuai dengan lingkungan permasalahan. Melalui dukungan teori-teori/konsep dan hasil-hasil penelitian tersebut, kemudian dapat disusun ‘hipotesis penelitian’ dalam hal ini, hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian (Sugiyono, 2009). Penelitian ini bertujuan membuktikan hipotesis, yaitu terdapat hubungan korelasi tingkat pemahaman penghuni tentang konsep green home, dengan perubahan bentuk huniannya. Dalam kerangka pengujian hipotesis tersebut, maka perlu dilakukan observasi/survey lapangan secara seksama, dengan terlebih dahulu menyusun strategi dan pendekatan penelitian sekaligus instrumen penelitian; selanjutnya berdasarkan strategi yang telah disusun tersebut, kemudian ditetapkan sampel penelitian pada objek di Perumnas Tlogosari Semarang. Penentuan sampel penelitian dilakukan melalui teknik stratified random sampling, dengan pertimbangan bahwa terdapat beberapa tipe rumah yang dihuni oleh responden. Jumlah sampel/responden 44
penelitian sebanyak 140 Kepala Keluarga mewakili penghuni tipe 18/72, 21/90, 36/96, 45/128. Terhadap sampel penelitian yang telah ditetapkan tersebut, lalu dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan kuesener. Macam data yang dikumpulkan pada dasarnya berupa ‘data kualitatif yang kemudian dikuantitatifkan/ diangkakan (menggunakan teknik pengukuran skala sikap), yakni yang paling ‘jelek’ mendapatkan angka/bobot paling kecil/rendah, dan untuk yang paling ‘baik’ mendapat angka/bobot paling besar/tinggi (interval 1-5). Tabel 1. Model Interval Penilaian/Data Hasil Interval Interpretasi Penilaian 5 Sangat memahami 4 Memahami 3 Tidak tahu 2 Tidak memahami 1 Sangat tidak memahami Sumber: Modifikasi Penilaian ‘Skala Sikap’, dalam Sugiyono, 2009 Dari hasil pengumpulan data tersebut, kemudian distrukturkan dalam bentuk penyajian data melalui tabel-tabel, diagram, grafik dan gambar-gambar/peta/foto-foto, untuk selanjutnya diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis statistik nonparametrik ‘korelasi Spearman Rank’ (Sujarweni dan Endrayanto, 2012), kemudian hasil dari analisis statistik disebut sebagai temuan penelitian. Berdasarkan hasil temuan penelitian tersebut, kemudian dikaji dan dibahas dengan menggunakan teori yang relevan. Penggunaan teknik analisis statistik nonparametrik korelasi Spearman Rank dilakukan untuk menguji dua variabel apakah ada hubungan atau tidak, dengan jenis data ordinal dan data tidak harus berdistribusi normal dengan rumus sebagai berikut:
Korelasi Tingkat Pemahaman Penghuni Tentang Konsep Green Home Dengan Perubahan Bentuk Hunian Di Perumnas Tlogosari Semarang
2
p = 1- 6 2bi n(n -1)
keterangan : p = rho (koefisien korelasi) n = jumlah sampel bi = pengurangan rangking X 1dengan rangking X
2
Penelitian ini untuk membuktikan hipotesis: “terdapat korelasi antara tingkat pemahaman penghuni tentang konsep green home, dengan perubahan bentuk huniannya di Perumnas Tlogosari Semarang”. Kemungkinan jawaban yang muncul adalah Ho = tidak terdapat hubungan korelasi, atau Ha = terdapat hubungan korelasi. Tabel 2. Parameter untuk menjabarkan variabel tingkat pemahaman penghuni tentang konsep green home korelasinya dengan perubahan bentuk hunian rumah tinggal
C
Unsur Pembentuk Bangunan
B
√
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Halaman
√
Material bang.
√
Sanitasi/ Limbah
Lantai
MANAJEMEN TAPAK 1 Memaksimalkan ruang terbuka pada tapak bangunan 2 Pengurangan efek heat island 3 Pengaturan pembuangan air hujan 4 Pengelompokka n aktiftas kegiatan yang ada dalam bangunan sesuai dengan fungsi yang ada 5 Penyediaan ruang bersama pada setiap bangunan rumah tinggal EFISIENSI DAN KONSERVASI ENERGI 1 Penghematan pemakaian
Dinding
A
Plafon
D.
Paramater Arsitektur Hijau Atap
N o
√
√
√
√
energi listrik untuk pencahayaan ruang melalui pengolahan selubung bangunan 2 Penghematan pemakaian energi listruk melalui penghawaan ruangan melalui pengolahan selubung bangunan PENGELOLAAN AIR 1 Pengadaan sumber air untuk memenuhi kebutuhan air 2 Pengaturan . sistem penyediaan air bersih 3 Pengelolaan air . buangan KUALITAS DAN KENYAMANAN RUANG DALAM 1. Penggunaan ventilasi pada bangunan rumah tinggal sebagai upaya pengaturan penghawaan ruang 2. Pemakaian bukaan/jende la sebagai salah satu pengaturan pencahayaan rumah tinggal 3. Pengelompok kan ruang sesuai fungsi sebagai hunian dan tempat usaha untuk memperoleh kenyamanan maupun ketenangan terhadap suara/kebisin gan
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
45
ISSN : 0853-2877
MODUL Vol.14 No.1 Januari- Juni 2014
(Sumber: Asikin, 2011 dan modifikasi peneliti, 2013) Paramater tersebut di atas kemudian dijabarkan dalam bentuk kuesioner dan kemudian direspon oleh responden dengan metode pengukuran sikap (lihat tabel 1). Setelah data kuesener terkumpul, proses berikutnya melakukan tabulasi dan pembacaan data dengan menggunakan teknik statistik non-parametrik korelasi Spearman Rank, maka diperlukan kriteria penafsiran berupa angka koefisien korelasi. Tabel 3. Penafsiran Koefisien Korelasi INTERVAL TINGKAT KORELASI KOEFISIEN 0,00 – 0,20 keeratan sangat lemah 0,21 – 0,40 keeratan lemah 0,41 – 0,60 keeratan sedang 0,61 – 0,80 keeratan kuat 0,81 – 1,00 keeratan sangat kuat Sumber: Tabel Pedoman untuk memberikan Interprestasi Terhadap Koefisien Korelasi, dalam Sujarweni dan Endrayanto, 2012 GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 1. Gambaran Umum Lingkungan perumnas Tlogosari Semarang mulai dibangun oleh Perum Perumnas Regional V pada tahun 1986, sebagai salah satu usaha pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat kota Semarang. Dibangun di atas areal seluas + 170,74 ha, perumahan ini merupakan salah satu perumahan massal terbesar yang dibangun oleh Perum Perumnas Regional V.
Gambar 1. Letak dan Situasi Perumnas Tlogosari Sumber : Survey Lapangan, 2013
Perumahan ini terletak di sebelah Timur kota Semarang, secara administratif terletak di kecamatan Pedurungan mencakup dua kelurahan yaitu kelurahan Muktiharjo dan Tlogosari Kulon. Berdasarkan data administratif, untuk wilayah kelurahan Muktiharjo terdiri atas 23 RW yang terbagi dalam 147 RT, sedangkan yang termasuk kelurahan Tlogosari Kulon terdiri dari 27 RW yang terbagi dalam 219 RT. Perumahan ini mempunyai 9.036 unit hunian, yang terdiri dari beberapa tipe rumah: tipe 28/72, 21/90, 36/96, 45/128, 54/160, dan 70/200. Di perumahan ini menerapkan konsep perbandingan 1 (tipe besar): 3 (tipe sedang) : 6 (tipe kecil), sehingga komposisi jumlah rumah berdasarkan tipe adalah: tipe 28/72 sebesar +36%, tipe 21/90 sebesar +24%, tipe 36/96 sebesar +18%, tipe 45/128 sebesar +12%, tipe 54/160 sebesar +6%, dan tipe 70/200 sebesar +4%. Konsep pembangunan unit rumah di perumnas ini adalah rumah inti dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) pengembangan tidak boleh melebihi 60%. Namun dalam kenyataannya sebagian besar rumah sudah mengalami perluasan dan perubahan dengan KDB melebihi 60%. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, rumah dengan KDB 40-59,9% sebanyak 18 rumah (12,86%), KDB 60-79,9% sebanyak 86
46
Korelasi Tingkat Pemahaman Penghuni Tentang Konsep Green Home Dengan Perubahan Bentuk Hunian Di Perumnas Tlogosari Semarang
rumah (61,43%), dan KDB > 80% sebanyak 36 rumah (25,71%). Dengan demikian sebanyak 122 rumah atau sebanyak 87,14% telah mengalami perubahan KDB di atas 60% (lihat tabel 4). Tabel 4. Besaran KDB sampel penelitian No.
KDB
Responden
%
1.
40 - 59,9 %
18
12,86
2.
60 - 79,9 %
86
61,43
3.
> 80%
36
25,71
140
100,00
Jumlah Sumber: survey lapangan
2. Gambaran Responden Mata pencaharian responden sangat beragam, responden yang bekerja sebagai PNS sebanyak 41 orang (29,29%), bekerja sebagai TNI/Polri sebanyak 5 orang (3,57%), sudah pensiun sebanyak 17 orang (12,14%), bekerja sebagai wiraswasta/pedagang sebanyak 12 orang (12,14%), bekerja dibidang swasta sebanyak 33 orang (23,57%) dan bekerja dibidang lainlain sebanyak 32 orang (22,86%) (lihat tabel 5). Tabel 5. Mata Pencaharian Responden No.
Mata Pencaharian PNS
Responden 41
%
Tabel 6. Pendidikan Responden No.
TNI/Polri
5
3,57
3.
Pensiunan
17
12,14
4.
Wiraswasta/Pedagang
12
8,57
5.
Swasta
33
23,57
6.
Lainnya
32
22,86
Jumlah
140
100,00
Sumber: Survey lapangan, 2013 Tingkat pendidikan responden juga beragam, responden yang tidak tamat SD sebanyak 2 orang (1,43%), tamat SD sebanyak 5 orang (3,57%), tamat SLTP sebanyak 17 orang (12,14%), tamat SLTA sebanyak 67 orang (47,86%), dan tamat akademi/PT sebanyak 49 orang (35%) (lihat tabel 6).
Responden
%
1.
Tidak Sekolah
0
0,00
2.
Tidak tamat SD
2
1,43
3.
Tamat SD
5
3,57
4.
Tamat SLTP
17
12,14
5.
Tamat SLTA
67
47,86
6.
Tamat Akademi/PT
49
35,00
140
100,00
Jumlah
Sumber: Survey lapangan, 2013 Responden dengan tingkat penghasilan Rp.1.500.000 – Rp.2.000.000 jumlahnya mencapai 69 orang (49,29%), disusul pendapatan Rp.1.000.000 – Rp.1.500.000 mencapai 32 (22,86%), dengan demikian pendapatan responden antara Rp.1.000.000 – Rp.2.000.000 merupakan jumlah yang terbesar, jika dijumlahkan mencapai 101 orang (72,15%) (lihat tabel 7) Tabel 7. Penghasilan Responden No.
Penghasilan
Responden
%
1.
< Rp. 500.000,-
14
10,00
2.
14
10,00
32
22,86
4.
Rp. 500.000-Rp.1.000.000 Rp.1.000.000Rp.1.500.000 Rp.1.500.000Rp.2.000.000
69
49,29
5.
> Rp.2.000.000
11
7,86
140
100,00
3.
Jumlah
29,29
2.
Pendidikan
Sumber: Survey lapangan, 2013 Jumlah anggota keluarga yang menempati rumah bervariasi antara 2 orang sampai dengan di atas 5 orang. Berdasarkan tabel 8, rata-rata satu rumah dihuni oleh 3 – 5 orang, yang terdiri dari suami, istri dan anak-anaknya. Jumlah anggota keluarga 4 orang merupakan jumlah yang terbesar, yaitu 69 rumah (49,29%). Tabel 8. Jumlah Anggota Keluarga No.
Jumlah Anggota Keluarga
1.
2 orang
7
5,00
2.
3 orang
32
22,86
3.
4 orang
69
49,29
4.
5 orang
21
15,00
Responden
%
47
ISSN : 0853-2877
5.
MODUL Vol.14 No.1 Januari- Juni 2014
> 5 orang Jumlah
11
7,86
140
100,00
Sumber: Survey lapangan, 2013
No
1.
Status penghunian rumah yang dijadikan sebagai sampel penelitian sebagian besar adalah milik sendiri yaitu sebanyak 108 rumah atau 77,14% (lihat tabel 9)
2. 3.
Jumlah
Status Menghuni
Responden
1.
Milik sendiri
108
77,14
2.
Kontrak Milik orang tua/saudara
13
9,29
19
13,57
140
100,00
3.
Jumlah
Responden
83
59,29
12
8,57
45
32,14
140
100,00
3.
%
Sumber: Survey lapangan, 2013 Dalam melaksanakan renovasi rumah tinggalnya, apakah memperluas atau merubah bentuk rumah tinggalnya, penghuni/responden melakukannya dengan cara dilaksanakan sendiri (5,71%), dilaksanakan dengan bantuan tukang dan diawasi sendiri (73,57%), dilaksanakan menggunakan jasa arsitek atau kontraktor (20,71%)(lihat tabel 10).
Gambaran Rumah Asal dan Perubahannya Dalam melakukan perubahan huniannya, apakah memperluas rumahnya atau menyelesaikan hal-hal teknis kaitannya dengan persyaratan bangunan/ruang, para penghuni cenderung menghabiskan halaman terbuka untuk menambah kebutuhan luas huniannya. Selain itu dalam menyelesaikan persoalan teknis bangunan seperti kebutuhan sinar matahari alami maupun sirkulasi udara dalam ruang cenderung diabaikan (lihat gambar 2,3,4, dan 5).
Tabel 10. Pelaksanaan Renovasi No. 1. 2.
3.
Dilakukan dengan cara Dilaksanakan sendiri Dilaksanakan oleh tukang Menggunakan jasa konsultan / Kontraktor Jumlah
Responden
%
8
5,71
103
73,57
29
20,71
140
100,00
Sumber: Survey lapangan, 2013 Faktor ketersediaan biaya mempengaruhi responden dalam merenovasi rumah tinggalnya. Berdasarkan data yang terkumpul, sebanyak 95 responden melakukannya dengan bertahap, baik bertahap dengan waktu yang teratur maupun tidak teratur. Tabel 11. Tahapan Renovasi 48
%
Sumber: Survey lapangan 2013
Tabel 9. Status Menghuni No.
Tahapan Renovasi Bertahap dengan jeda waktu tidak teratur Bertahap dengan jeda waktu teratur Diselesaikan tanpa tahapan
Gambar 2. Denah tipe 18 awal dan perubahannya Sumber: Survey lapangan 2013
Korelasi Tingkat Pemahaman Penghuni Tentang Konsep Green Home Dengan Perubahan Bentuk Hunian Di Perumnas Tlogosari Semarang
Gambar 4. Denah tipe 36 awal dan perubahannya Sumber: Survey lapangan 2013
Gambar 3. Denah tipe 21 awal dan perubahannya Sumber: Survey lapangan 2013
Gambar 5. Denah tipe 45 awal dan perubahannya Sumber: Survey lapangan 2013
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengukuran korelasi antara tingkat pemahaman penghuni tentang konsep 49
ISSN : 0853-2877
MODUL Vol.14 No.1 Januari- Juni 2014
green home, dengan perubahan bentuk huniannya dengan menggunakan analisis statistik korelasi Spearman Rank, didapat hasil perhitungan koefisien p (rho) = 0,24, yaitu termasuk dalam kategori korelasi dengan tingkat keeratan lemah (lihat tabel 3). Untuk membaca dan menginterpretasikan angka tersebut, maka perlu dibandingkan dengan tabel nilai-nilai p (rho), berdasarkan tabel yang sudah tersedia bahwa untuk n>30 pada taraf kesalahan 5% diperoleh angka 0,364 dan untuk 1% diperoleh angka 0,478. Hasil p (rho) hitung ternyata lebih kecil dari p (rho) tabel baik untuk taraf kesalahan 5% maupun 1%. Hasil tersebut memberikan penjelasan bahwa terdapat korelasi dengan tingkat keeratan sangat lemah antara tingkat pemahaman penghuni tentang konsep green home, dengan perubahan bentuk huniannya di Perumnas Tlogosari Semarang. Pembuktian hipotesis tersebut mengandung arti bahwa ketika penghuni/responden merubah/memperluas huniannya mereka tidak menggunakan kaidah-kaidah green home sesuai dengan yang mereka pahami. Berdasarkan jawaban kuesener tahap kedua, pada dasarnya responden memahami pentingnya konsep/kaidah green home. Dalam tabel 12, nampak bahwa 91 responden (65%) memahami pentingnya konsep green home, namun dalam melakukan perubahan/perluasan rumahnya mengabaikan konsep green home ini karena tiga faktor: [i] tidak tahu bagaimana penyelesaian teknisnya, [ii] khawatir biayanya mahal karena harus membayar jasa arsitek atau kontraktor, [iii] tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Tabel 12. Tingkat Pemahaman Kepentingan Konsep Green Home No. 1.
2.
50
Penghasilan Tidak memahami kepentingannya Memahami namun menyadari kendalanya a. Tidak tahu bagaimana penyelesaian teknisnya
Responden 49
33
% 35,00
23,57
b. Biayanya mahal untuk membayar jasa arsitek/kontrakt or c. Tidak tahu harus bertanya kepada siapa Jumlah
41
29,29
17
12,14
140
100,00
Sumber: Survey lapangan 2013 Dampak dari temuan tersebut adalah perubahan bentuk hunian yang tidak memenuhi kaidah-kaidah konsep green home, diantaranya penggunaan KDB yang melebihi batas toleransi sehingga daya resap air di halaman rumah menjadi sangat terbatas. Kemampuan tanah menyerap air kaitannya dengan konservasi air. Dampak berikutnya adalah tata ruang dalam yang mengabaikan pencahayaan alami dan sirkulasi udara. Permasalahan tersebut mendorong digunakannya AC agar ruang/kamar menjadi nyaman (tidak panas) dan digunakannya penerangan buatan di siang hari karena kondisi ruangan yang gelap. Penggunaan AC dan penerangan buatan memicu naiknya konsumsi energi listrik dan peningkatan panas akibat kalor yang dilepas oleh mesin AC dan lampu. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa responden/penghuni membutuhkan bimbingan pengetahuan praktis bagaimana menerapkan konsep/kaidah green home dalam desain huniannya. Disadari bahwa penghuni perumnas adalah masyarakat berpenghasilan dan berpendidikan rendah, oleh karena itu diperlukan pembimbingan yang intens bagaimana cara yang terbaik untuk menerapkan konsep green home dengan biaya murah dan mudah dilaksanakan. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Konsep pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang dilakukan oleh Perum Perumnas dengan konsep rumah tumbuh/inti pada dasarnya mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah masyarakat yang kurang
Korelasi Tingkat Pemahaman Penghuni Tentang Konsep Green Home Dengan Perubahan Bentuk Hunian Di Perumnas Tlogosari Semarang
mampu akan mendapatkan rumah dengan harga murah dengan jalan diberi peluang mengembangkannya suatu ketika jika sudah mempunyai dana yang cukup. Sedangkan kelemahannya adalah jika tidak diberi bimbingan yang benar, dalam proses mengembangkan huniannya penghuni melakukannya atas dasar persepsi masingmasing yang justru tidak sesuai dengan kaidah-kaidah desain rumah tinggal yang ideal. Berdasarkan hasil pengukuran korelasi antara tingkat pemahaman penghuni tentang konsep green home, dengan perubahan bentuk huniannya, didapat hasil perhitungan koefisien p (rho) = 0,24, yaitu termasuk dalam kategori korelasi dengan tingkat keeratan lemah, artinya penghuni/responden dalam merubah/memperluas huniannya mereka tidak menggunakan kaidah-kaidah green home sesuai dengan yang mereka pahami. Di sisi lain, penghuni memahami pentingnya konsep green home sebagai bagian mengantisipasi dampak pemanasan global, namun penghuni tidak mencoba menerapkannya karena tiga faktor: [i] tidak tahu bagaimana penyelesaian teknisnya, [ii] khawatir biayanya mahal karena harus membayar jasa arsitek atau kontraktor, [iii] tidak tahu harus bertanya kepada siapa. 2.
Saran
Diperlukan keterlibatan LSM, perguruan tinggi atau lembaga lain yang terkait untuk memberikan bimbingan praktis kepada penghuni perumnas Tlogosari bagaimana menerapkan konsep/kaidah green home dalam memperluas/merobah huniannya dengan biaya murah dan mudah dilaksanakan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Teknik Undip yang telah memberikan biaya kepada peneliti untuk melakukan penelitian melalui DIPA FT Undip tahun 2013.
Ucapakan terima kasih juga diberikan kepada mahasiswa Jurusan Arsitektur FT Undip [i] M. Munirul Aziz (L2B008116), [ii] Mochammad Eric Surya K. W.(L2B009112), [iii] Aristo Amrullah (L2B009113), dan [iv] Abid Saputra Perdana (L2B009135) yang telah membantu peneliti melakukan survey dan tabulasi data kuesener. DAFTAR PUSTAKA Asikin, Damayanti, 2011, Tingkat Penerapan Konsep Arsitektur Ramah Lingkungan pada Rumah Tinggal Pengrajin Keramik Dinoyo Malang, Proseding Seminar Nasional Green Urban Housing Policy, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota FT Undip, 4 September 2011. Green Building Council Indonesia, 2011, Greenship Rating Tools Untuk Gedung Terbanguan Versi 1.0, Konsil Bangunan Hijau Indonesia, Divisi Rating dan Teknologi, di download dari www.bgcindonesia.org. Haryadi & Setiawan B., 1995, Arsitektur Lingkungan dan Perilaku : Suatu Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi, Direktorat Jendral DIKTI, Depdikbud Karyono, Tri Harso, 2010, Green Architecture: Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonsia, Rajawali Press, Jakarta Laurens, Joyce Marcella, 2004, Arsitektur dan Perilaku Manusia, Grasindo, Jakarta Purwanto, Edi, 2008. The Concept of Green Home in Housing Areas (Future Opportunity and Challenge), International Seminar “Green Architecture and Environment – Toward Green Compact Cities”, University of Hasanudin, Makasar Purwanto, Edi dan Wijayanti, 2010, Kecenderungan Perubahan Bentuk dan Pola Tata Ruang Rumah Susun Pekunden, Penelitian Strategis Fakultas Teknik Undip. Purwanto, Edi, 2011, Kajian Persepsi Penghuni Terhadap Pentingnya Konsep Green Home Dalam Menciptakan Lingkungan Perumahan Yang Berkelanjutan Di Perumnas Tlogosari Semarang, Proseding Seminar Nasional Green Urban Housing 51
ISSN : 0853-2877
Policy, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota FT Undip, 4 September 2011. Sugiyono, 2009, Statistika Non Parametrik Untuk Penelitian, CV. Alfabeta, Bandung. Sujarweni, VW dan Endrayanto P., 2012, Statistika Untuk Penelitian, Graha Ilmu.
52
MODUL Vol.14 No.1 Januari- Juni 2014
Wolfgang, F.E. Preiser, Harvey Z. Rabinowitz, Edward T.White, 1988, Post Occupancy Evaluation, New York Press. New York.