Diterbitkan pada Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 14, Nomor 1, April 2009 ISSN 1412 - 4009
KONSELING BERPERSPEKTIF GENDER BAGI PEREMPUAN KORBAN KDRT Sigit Sanyata – Jurusan PPB FIP UNY
[email protected] Siti Rohmah Nurhayati – Jurusan PPB FIP UNY ABSTRACT This research surrounded by social problem which so called domestic violence. Research aim to assist domestic violence victims to solve their problems through counseling process. Research approaches in case study with four subjects who have experience domestic violence from their own husbands. Researcher gives counseling to subject in eight sessions to obtain various information required in this research. Research result indicates that egalitarian of gender in process of counseling showed by deep empathy for domestic violence victims; builds mutual respect relationship by analyze hardness pattern and strategy to solve the problems ; make the victim open to tell their story in details by presenting personality of ideal counselor. Key words : gender counseling, domestic violence
PENDAHULUAN Latar Belakang Banyak masyarakat baru menyadari tentang keseriusan masalah kekerasan terhadap perempuan setelah terbukanya era reformasi pada Mei 1998. Komnas Perempuan (2002: 22) menganalisis bahwa peristiwa Mei 1998 menandai perhatian publik pada kekerasan terhadap perempuan. Pernyataan Komnas Perempuan merupakan bagian tidak terpisahkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah personal, dan akan menjadi aib jika pihak-pihak luar mengetahui atau ikut campur tangan. Ketertutupan dari pihak korban bahkan dimaklumi oleh sebagaian masyarakat karena mereka menganggap bahwa kasus-kasus dalam rumah tangga merupakan masalah yang remeh dan tidak perlu intervensi dari luar (masyarakat). Namun demikian perlu dicatat bahwa dari data Mitra Perempuan Women’s Crisis Center di Jakarta selama tahun 1997-2002 menerima pengaduan 879 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang terjadi di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan
Diterbitkan pada Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 14, Nomor 1, April 2009 ISSN 1412 - 4009 sekitarnya. Dari jumlah kasus yang diterima Mitra Perempuan sejumlah 69,26%-74% memperlihatkan bahwa pelaku kekerasan adalah suami korban. (Rita SK, 2002: 9). Di Yogyakarta, annual report yang dikeluarkan oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center mencatat bahwa dari tahun 1994-2005 terdapat 3.115 kasus kekerasan terhadap perempuan, 63% diantaranya kasus kekerasan terhadap istri sedangkan 37% kasus lainnya dikategori sebagai kekerasan dalam pacaran, pelecehan seksual, perkosaan dan kekerasan dalam keluarga (Rifka Annisa, 2005). Tingginya kasus kekerasan terhadap istri merupakan cerminan bahwa sebagian masyarakat masih memandang rendah terhadap peran dan fungsi istri dalam rumah tangga. Istri masih diposisikan sebagai atribut pelengkap dan harus patuh terhadap suami sehingga dengan dalih untuk mendidik istri maka sebagian suami melakukan kekerasan fisik, psikis maupun ekonomi agar istrinya patuh dan taat kepada mereka (suami). Fenomena yang tidak kalah menariknya adalah dalam sektor pendidikan dan karir sebagian besar pasangan suami istri, maka posisi istri masih berada dalam bayang-bayang superioritas laki-laki. Status perempuan yang bekerja memiliki peran ganda, disamping peran dalam rumah tangga (sebagai ibu rumah tangga) istri juga berada dalam ruang-ruang publik yang rentan terhadap kekerasan. Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga merupakan mata rantai dari perilaku-perilaku kekerasan lain yang dilakukan oleh suami, biasanya kekerasan dilakukan dengan diawali oleh kekerasan-kekerasan yang lain, sehingga hampir dipastikan bahwa perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami variasi kekerasan dari pelaku. Catatan dari Komnas Perempuan (2002: 65) menunjukkan bahwa karakteristik perempuan yang rentan terhadap kekerasan merupakan fenomena lintas kelas, lintas suku dan lintas agama. Laporan dari komnas perempuan mengindikasikan bahwa terjadinya kekerasan terhadap perempuan tidak berdasarkan pada latar belakang status sosial dan tingkat pendidikan, artinya dengan latar belakang pendidikan yang tinggi tidak menjamin perempuan bebas dari perlakuan kekerasan. Catatan dari LBH APIK Jakarta periode 1997-
Diterbitkan pada Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 14, Nomor 1, April 2009 ISSN 1412 - 4009 2000 menunjukkan bahwa sebagaian besar korban memiliki latar pendidikan SLTA - 41% dan Perguruan Tinggi sebesar 23%. Dari faktor usia, lembaga yang sama mengidentifikasi bahwa korban terbanyak berada pada kisaran umur diantara 26–40 tahun. Gambaran ini menyiratkan bahwa akan menjadi beban yang berat bagi istri yang meniti karir karena tidak akan lepas dari intimidasi, teror dan penganaiayaan baik di sektor publik maupun domestik. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat dan memiliki ikatan emosional, menjadi rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga yang lain. Sampai saat ini kekerasan sektor domestik masih mendominasi tingginya kekerasan terhadap perempuan, ironisnya keluarga sebagai pelindung dan pemberi kasih sayang justru sebagai tempat berlangsungnya kekerasan. Situasi yang diperlukan bagi korban kekerasan tentunya kehadiran orang lain yang dapat mendampingi dan memberikan perlindungan. Isu sentral tentang paparan kekerasan dalam rumah tangga masih berkisar pada kurang terbangunnya kesadaran akan kesetaraan peran gender. Untuk melakukan intervensi krisis kepada perempuan korban kekerasan diperlukan rancangan model pendampingan yang dapat memfasilitasi dan menempatkan korban pada dimensi kesetaraan dengan mempertimbangkan obyektivitas pendamping/konselor. Salah satu upaya intervensi kepada perempuan korban kekerasan adalah dengan memberikan layanan konseling krisis yang bertujuan untuk membangun perasaan aman, kepercayaan diri dan harga diri. Inti dari konseling berperspektif gender adalah hubungan yang setara (Jill E. Rader, 2003 ; Carolyn Z. E., 2004 ; Barbara Brown, 2006). Kesetaraan dibangun dalam proses kerjasama, dimana setiap individu dihargai dalam kapasitas kekuatan yang sama untuk mendiskusikan pokok masalah dan strategi pemecahan masalahnya (Toni Sands, 1998). Kesetaraan diciptakan melalui pendekatan dasar humanistik yaitu mendengar secara empatik, dorongan tak bersyarat (unconditional support), mutual respect, membantu membuka ketertutupan konseli secara tepat.
Metode
Diterbitkan pada Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 14, Nomor 1, April 2009 ISSN 1412 - 4009 Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus, dengan tujuan untuk mendapatkan data sedalam-dalamnya. Dengan studi kasus peneliti mempunyai keberpihakan secara sadar ; empati dan fleksibiltas ; partisipatif ; dan melakukan studi tentang sejarah pribadi dan sejarah sosial perempuan. Subyek yang terlibat dalam penelitian ini adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Karakteristik perempuan korban adalah perempuan yang pernah mendapatkan perlakuan kekerasan dalam wilayah rumah tangga. Secara metodologis dalam riset ini memakai desain studi kasus karena peneliti sekaligus instrument penelitian. Dipilih model studi kasus karena peneliti melakukan proses konseling kepada perempuan korban kekerasan, melalui proses konseling yang dilakukan kepada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, yang berlangsung dalam delapan sesi maka diperoleh banyak informasi berkaitan dengan rancangan strategi konseling berperspektif gender. Hasil Penelitian Pola kekerasan yang dapat diidentifikasi dikelompokkan dalam empat jenis kekerasan yaitu kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Deskripsi subyek pertama menunjukkan adanya kemandirian secara ekonomi tetapi muncul ketidakberdayaan dalam menghadapi perilaku pasangan yang suka main perempuan. Adanya persepsi bahwa suami istri yang bercerai merupakan aib keluarga menjadi salah satu alasan subyek yang pertama sehingga merelakan suaminya menikah untuk yang kedua kali. Subyek pertama diidentifikasi mengalami kekerasan psikis dan ekonomi, sementara subyek kedua mengalami kekerasan fisik berupa pukulan, kekerasan psikis dalam bentuk teror dan hinaan, penelantaran secara ekonomi, dan kekerasan secara seksual. Subyek ketiga mendapatkan penelantaran secara ekonomi. Suaminya tidak pernah memberi nafkah keluarga justru meninggalkan subyek dan anak-anaknya. Data yang diperoleh melalui studi kasus ditemukan karakteristik kekerasan yang terpola yaitu adanya perlakuan secara kasar dari pasangan, mengabaikan pemberian nafkah kepada keluarga, pembatasan akses komunikasi dengan pihak di luar keluarga serta
Diterbitkan pada Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 14, Nomor 1, April 2009 ISSN 1412 - 4009 teror. Variasi data yang diperoleh dari subyek tidak memiliki perbedaan mendasar, justru yang menunjukkan perbedaan secara signifikan adalah keterbukaan subyek kepada peneliti. Karakteristik subyek yang terbuka dan adanya keinginan untuk berubah cenderung proaktif dalam aktivitas konseling, sementara subyek yang menerima apa adanya atas situasi yang dialami cenderung pasif. Kepada keempat subyek peneliti melakukan delapan kali sesi konseling. Konseling dilakukan dengan rambu-rambu yang berbasis pada gender. Tiga kasus telah melewati masa-masa krisis namun pengalaman traumatik masih membayangi mereka, sementara satu subyek masih sering mendapatkan teror dari suami karena menggugat cerai.
KONSELING BERPERSPEKTIF GENDER Dalam penelitian ini tidak dapat mengungkap efektivitas strategi konseling feminis dilihat dari jenis kelamin konselor. Peneliti tidak menemukan adanya penolakan subyek ketika berinteraksi dengan peneliti. Langkah awal dalam mendapatkan informasi, peneliti melakukan observasi partisipan. Peneliti mulai membangun komunikasi dengan menjadi pengunjung kantin. Kunjungan peneliti yang ketiga kalinya dapat memberikan kepercayaan kepada subyek bahwa peneliti mempunyai atensi terhadap kehidupan rumah tangga. Langkah yang peneliti lakukan agar diterima subyek adalah melakukan attending secara intens dan membangun hubungan emosional dengan subyek. Sikap kooperatif dari subyek pertama membuat subyek cenderung terbuka dan aktif. Berbeda dengan subyek kedua, pada saat peneliti menghampiri subyek di pengadilan agama, ia langsung bercerita panjang lebar seputar gugatan cerainya. Subyek kedua memiliki kemauan untuk sharing dengan peneliti berkaitan dengan masalah rumah tangganya dan cenderung mencari dukungan sosial. Peneliti melakukan attending dan membangun empati untuk berkomunikasi dengan subyek. Demikian pula dengan subyek keempat, peneliti melakukan pendekatan interpersonal untuk membuat komunikasi awal.
Diterbitkan pada Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 14, Nomor 1, April 2009 ISSN 1412 - 4009 Temuan lapangan dapat melandasi asumsi bahwa penguasaan standar kompetensi konselor dapat menjamin efektivitas konseling. Konselor adalah figur yang menjadi tumpuan konseli untuk berbagi perasaan dan penyelesaian masalah. Deskripsi teoretik tentang konselor bagi perempuan korban KDRT berorientasi pada pendekatan humanistik. Enns (2004) merekomendasikan pemakaian berbagai teknik dan pendekatan konseling non direktif. Namun demikian hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa kriteria konselor yang cocok bagi perempuan korban KDRT adalah sebagai berikut ini. a. Konselor yang enak jika diajak curhat. Kriteria enak diajak curhat adalah menciptakan kepercayaan (trust) kepada konseli bahwa konselor dapat memberikan perasaan nyaman untuk mendiskusikan tentang kekerasan dalam rumah tangga. b. Empatik terhadap problematika perempuan korban KDRT. Konselor memakai perspektif nilai perempuan dalam memahami dan membantu korban, tidak memihak jenis kelamin tertentu (nonsexist). c. Mampu membangun attending dengan tepat. Konselor mampu memunculkan sikap empatik dan hubungan yang setara. d. Konselor mampu berada di pihak korban. Konselor dapat memberikan rasa aman bagi konseli. Pemberian rasa aman ditunjukkan dengan memberikan keyakinan bahwa kekerasan dapat terselesaikan, korban tidak sendirian dalam menghadapi masalah. e. Bersedia mendengarkan secara aktif. Konselor merupakan pendengar yang aktif merespons pembicaraan konseli. Konselor memfasilitas korban untuk melakukan katarsis. f.
Memahami jalur legal. Konselor mempunyai jejaring dengan lembaga bantuan hukum, kepolisian untuk memberikan rujukan kepada korban jika korban memerlukan konsultasi di luar batas kewenangan konselor. Untuk menunjukkan sikap empati dan respek kepada subyek, peneliti menjadi
pendengar yang terlibat aktif merespons pembicaraan mereka. Keakraban dan keterbukaan
Diterbitkan pada Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 14, Nomor 1, April 2009 ISSN 1412 - 4009 subyek kepada peneliti adalah wujud dari penerimaan subyek. Subyek tidak merasa terganggu karena peneliti merupakan wakil dari figur laki-laki. Kehadiran peneliti di satu pihak membangun emosi secara rasional (rational emotif) bahwa tidak semua laki-laki bersikap seperti suami mereka, sementara di pihak lain, peneliti dapat mendalami perspektif nilai perempuan. Peneliti melakukan interaksi dengan subyek dalam kapasitas sebagai teman berbicara dengan menunjukkan sikap empati dan respek kepada subyek, dan menjadi pendengar yang terlibat aktif merespons pembicaraan mereka. Keakraban dan keterbukaan subyek kepada peneliti adalah wujud dari penerimaan subyek. Konseling dapat berlangsung secara efektif jika memperhatikan penguasaan standar kompetensi konselor, memahami problem perempuan dan prinsip-prinsip konseling feminis. Corey (2005) menjelaskan bahwa terapi feminis tidak membatasi konselor laki-laki untuk berperan dalam konseling feminis. Salah satu syarat untuk menjadi konselor feminis adalah tidak memihak pada jenis kelamin tertentu (nonsexist). Dalam penjelasannya Corey (2005) berharap bahwa semua konselor ikut berusaha dan terlibat dengan konseli dalam rangka membangun kesadaran gender. Konselor (laki-laki) dapat menjadi pro-feminist therapy jika mereka dapat memahami dan mempraktekkan prinsip-prinsip konseling feminis. Dalam proses konseling akan menemukan confront sexist behavior, redefinisi nilai tradisional feminitas dan maskulinitas, membangun hubungan yang setara dan aktif mendukung pemberdayaan perempuan. Perbandingan antara temuan lapangan dengan teori mengindikasikan bahwa konselor laki-laki maupun perempuan bukan merupakan halangan bagi konseli. Strategi konseling feminis menekankan pada penguasaan kompetensi konselor dan prinsip-prinsip konseling feminis. Hadirnya konselor dapat menjalin hubungan konseling yang bersifat mutual recognition. Pendekatan seorang konselor kepada konseli dalam memahami masalah kekerasan yang dialami berkaitan dengan pemahaman terhadap konseli dan kepekaan problematika gender.
Diterbitkan pada Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 14, Nomor 1, April 2009 ISSN 1412 - 4009 Kekuatan utama dalam konseling feminis adalam kesetaraan. Hubungan konseling merupakan proses kerja sama
dengan konseli untuk aktif
berpartisipasi dalam
mengembalikan jati dirinya. Implikasi dari kesetaraan adalah bentuk kerja sama antara konselor dengan konseli untuk mendiskusikan masalah yang sedang dihadapinya. Agar mampu melakukan kerja sama diperlukan pendekatan dalam konteks humanistic melalui upaya
mendengar
dengan
empatik,
memberikan
respon
positif
kepada
konseli,
terbangunnya hubungan saling menghargai dan membantu untuk membuka ketertutupan konseli. Pendekatan Rogerian menjadi salah satu sarana dalam membangun hubungan konselor-konseli tetapi pada dasarnya konseling yang dilandasi terapi feminis (feminist therapy) memerlukan berbagai pendekatan yang beragam untuk memfasilitasi konseli yang beragam pula. Memberi kesempatan untuk katarsis dan menceritakan pengalaman kekerasan yang dialami merupakan bagian utama dalam proses konseling. Dari kelima subyek, hampir semuanya dapat menceritakan secara panjang lebar tentang peristiwa kekerasan yang dialaminya dan tidak menunjukkan penolakan atas kehadiran peneliti. Hal ini menandakan bahwa mereka membutuhkan orang lain yang bersedia memahami “kisahnya”. Banyak alasan yang melatarbelakangi mereka tidak bersedia menceritakan pengalaman kekerasan yang dialami. Persepsi bahwa masalah keluarga merupakan aib menjadi faktor utama mereka tidak bercerita kepada sembarang orang. Hanya orang-orang tertentu yang dianggap mau menerima dirinya, mereka bersedia bercerita. Masyarakat dalam menanggapi kekerasan terhadap istri cenderung mencari penyebab kenapa suami melakukan kekerasan sehingga mereka cenderung menguak kesalahan dari pihak istri (perempuan) tetapi tidak merespon sikap kekerasan yang ditunjukkan oleh suami. Keempat subyek penelitian cenderung memiliki akses yang terbatas berkaitan dengan problem yang dialami. Hal ini terbukti dari keempat subyek tidak satupun mendapatkan dorongan dari orang-orang terdekat korban untuk mengambil keputusan. Sejumlah tiga subyek justru cenderung disalahkan mengapa sampai menikah dengan laki-laki yang tidak
Diterbitkan pada Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 14, Nomor 1, April 2009 ISSN 1412 - 4009 bertanggung jawab. Kondisi ini tentunya semakin mempersempit akses korban untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Akhirnya mereka mendapatkan tekanan dari pelaku dan orang-orang terdekat korban. Kehadiran peneliti ternyata bagi subyek merupakan dukungan dari pihak luar yang peduli pada permasalahannya. Sikap peneliti yang berpatokan pada konsep konseling feminis semakin memperkuat hubungan dan keterbukaan korban. Masalah kekerasan dalam rumah tangga memiliki akar permasalah secara individual dan sosial. Keberadaan individu tidak terlepas dari unit sosial dalam lingkungannya. Konseling feminis tidak hanya diperuntukkan pada perubahan individu tetapi juga pada perubahan sosial. Secara praktis produk dari proses konseling tidak hanya membantu konseli untuk berjuang mengatasi masalahnya tetapi membantu membangun strategi transformasi keseimbangan dalam masyarakat. Temuan penelitian mengindikasikan bahwa tidaklah cukup memberikan konseling kepada perempuan korban kekerasan tanpa memperhatikan lingkungan subyek penelitian. Pada subyek pertama menunjukkan bahwa lingkungan sosial (keluarga, saudara, para kyai) sebenarnya peduli dengan permasalahan yang sedang dihadapi oleh subyek, tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak atas perilaku suami subyek. Pihak istri paham bahwa perubahan sikap suami ibarat isapan jempol belaka tetapi karena keyakinan dan sistem nilai yang dianutnya membuat ia lebih memilih menjaga keutuhan keluarga daripada bercerai. Hasil penelitian membawa beberapa konsep yang harus diperhatikan dalam konseling pada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Pertama, konsep yang berkaitan dengan kepribadian konselor; kedua, konsep tentang metode dan pendekatan teori yang dipakai. Kepribadian konselor menjadi salah satu kunci keberhasilan konseling pada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Secara personal, konselor memiliki kepedulian terhadap ketimpangan peran gender dalam masyarakat dengan kata lain konselor berkomitmen untuk membantu mengeliminasi problem kekerasan dalam rumah tangga. Konselor juga dituntut untuk cakap dalam membantu konseli dalam menganalis peran gender sehingga terbangun pemahaman kesetaraan gender. Proses konseling tidak
Diterbitkan pada Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 14, Nomor 1, April 2009 ISSN 1412 - 4009 hanya membantu mengatasi problem konseli tetapi sekaligus memiliki pemahaman baru tentang konsep gender. Pola kekerasan yang dialami oleh korban KDRT cenderung tidak disadari, sehingga konselor membantu mengidentifikasi kekerasan yang pernah dialami. Korban menganggap pola kekerasan sebatas fisik, padahal ketika korban mendapatkan kekerasan akan diikuti jenis kekerasan yang lain. Kondisi ini yang menuntut seorang konselor untuk membantu menganalisis pola kekerasan yang dialami. Strategi lain yang dipakai untuk mendampingi perempuan korban KDRT adalah memakai teori dan pendekatan yang bersumber dari konseling feminis (feminist counseling). Teori ini membantu konselor untuk menentukan teknik dalam konseling. Terapi feminis (feminist therapy) bukan sebagai seperangkat teknik terapis tetapi lebih diarahkan pada kepekaan, kebijakan dan keserasian terhadap problematika gender (Carolyn Zerbe Enns, 2004).
SIMPULAN Dari hasil kajian tentang proses konseling bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga maka disimpulkan beberapa temuan konsep sebagai berikut ini. 1. Upaya membangun empatik terhadap problematika perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah ; membantu pemahaman kesetaraan gender dengan cara menganalisis peran laki-laki dan perempuan untuk mengkonstruksi pemahaman peran gender korban KDRT; konselor memiliki pemahaman dalam perspektif perempuan dan tidak memihak jenis kelamin tertentu (nonsexist) 2. Proses konseling akan efektif jika konselor membangun hubungan yang saling menguntungkan melalui proses ; membantu menganalisis pola dan jenis kekerasan yang dialami perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga; keterampilan dalam membantu merumuskan strategi memecahkan masalah 3. Untuk membuka ketertutupan korban kekerasan belum ditemukan strategi yang berbeda dengan proses konseling pada umumnya, dengan menampilkan penguasaan
Diterbitkan pada Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 14, Nomor 1, April 2009 ISSN 1412 - 4009 kompetensi konselor dengan didukung kepekaan pada isu kesetaraan gender maka korban KDRT bersedia terbuka. Namun demikian beberapa karakteristik mendasar dalam pribadi konselor yang diterima oleh korban KDRT adalah ; konselor mampu berada pada “pihak korban” ; konselor enak diajak curhat ; konselor dapat memberikan perasaan nyaman untuk mendiskusikan tentang kekerasan dalam rumah tangga. Catatan penting bagi konselor yang memberikan layanan konseling kepada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah memiliki sensitivitas terhadap kesetaraan gender dan cakap dalam membantu menganalisis peran gender. Proses konseling tidak cukup dengan memberikan intervensi kepada perempuan korban kekerasan, tanpa memberikan konseling kepada pelaku kekerasan (pasangannya). Kepedulian lingkungan korban turut berkontribusi pada pengentasan korban kekerasan dalam rumah tangga, sehingga pendekatan sistem menjadi arah pengembangan lebih lanjut (konseling berperspektif komunitas).
Diterbitkan pada Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 14, Nomor 1, April 2009 ISSN 1412 - 4009 DAFTAR PUSTAKA Blocher, Donald H., (1974). Developmental Counseling. (2nd edition). John Wiley & Sons. Inc. New York. Brown, Barbara. (2006). Foundations of Feminist Therapy. [Online]. Tersedia:http//media.wiley.com/product_data/excerpt/69/04713743/0471374369.pdf. [20 November 2006]. Corey, G. (2005). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (7th ed.) Belmont. Brooks/Cole. Thomson Learning, Inc. Handayani, T dan Sugiarti. (2002). Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang. UMM Press. Hoffman, Rose Marie. (2001). The Measurement of Masculinity and Femininity : Historical Perspective and Implications in Counseling. Dalam Journal of Counseling and Development : JCD. [Online]. Vol. 79 (4). 472-485. Tersedia : http://www.proquest/pqdweb. [12 Mei 2006]. Kiselica, MS and Robinson, M., (2001). “Bringing Advocacy Counseling to Life : The History, Issues, and Human Dramas of Social Justice Work in Counseling”. Journal of Counseling & Development. (79), 387-397. Komnas Perempuan, (2002). Peta Kekerasan : Pengalaman Perempuan Indonesia. Ameepro. Jakarta. Lexy J. Moleong, (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung. Rader, Jill Elaine. (2003). The Egalitarian Relationship in Feminist Therapy. Dissertation. The University of Texas at Austin [Online]. Tersedia : http ://dspace.lib.utexas.edu/bitstream/2152/779/1/raderje 039.pdf.[20 November 2006]. Rismiyati, E. K. (2005). “Kekerasan terhadap Perempuan ; Suatu Renungan”. Psikologi. (15), 92-102.
Jurnal
Rita Serena Kalibonso, (2002). “Kejahatan itu Bernama Kekerasan dalam Rumah Tangga”. Jurnal Perempuan. (26), 7-21. Rosen-Gordon, J., Myers, JE., and Hattie, JA., (2004). “The Relationship Between Marital Characteristic, Marital Interaction Processes and Marital Satisfaction.” Journal of Counseling and Development. (82), 58-68. Sands, Toni., (1998). Feminist Counseling an Female Adolescents : Treatment Strategies for Depression. Dalam Journal of Mental Health Counseling [Online]. Vol. Jan 1998. (20, 1). 42-45. ProQuest Education Journals. Tersedia :http://proquest/pqdweb. [22 Mei 2006]. Sinclair, Deborah. (1999). Memberdayakan Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga/Hubungan Intim. (Terjemahan : Betariani & Kristi Poerwandari). Program kajian Wanita PPs. Universitas Indonesia.