No
Perusahaan
Lokasi
28
Nusa Halmahera Mineral
Desa Balisosang, Kecamatan Kao, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku
29
Pandu Buana Karya Semesta
Serang, Bekasi
30
Sari Bumi Sinar Karya (SBSK)
Kalimantan selatan
31
Tambang Batubara Bukit Asam
Sawahlunto/Sijunjung , Sumatera Barat
32
Timah Tbk.
33 34
Union Oil Unocal Indonesia
Payung, Bangka, Kepulauan BangkaBelitung Balikpapan Barat, Kalimantan Timur Marang Kayu, Kutai, Kalimantan Timur
Sumber: DataBase JATAM dan DataBase FWI, yang diolah oleh JATAM dan FWI (2003)
Kongres Adat Dayak Tolak Penambangan HLPM Banjarmasin, Kompas - Kongres masyarakat adat Dayak Meratus, Kalimantan Selatan yang berlangsung empat hari, berakhir dengan salah satu rekomendasi: menolak apa pun bentuk eksploitasi terhadap Hutan Lindung Pegunungan Meratus (HLPM). Salah satu yang ditolak adalah kehadiran perusahaan pertambangan emas PT Meratus Sumber Mas (PT Placer Dome Indonesia dan PT Scorpion Placer Dome). PT Meratus Sumber Mas merupakan salah satu perusahaan yang beberapa waktu lalu mendapat izin menambang di hutan lindung bersama 14 perusahaan lainnya di seluruh Indonesia. “Walaupun sudah ditetapkan pemerintah pusat, kami tetap akan menolak,” kata Ardiansyah warga Kecamatan Hampang Kotabaru, Kamis (26/6). Seusai Kongres, sekurangnya 750 warga adat Dayak Meratus dari 300 balai lebih, mengunjungi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalsel untuk menyampaikan berbagai tuntutan. Kunjungan itu merupakan pengalaman pertama masyarakat adat yang selama ini merasa diasingkan pemerintah. Usul penolakan kegiatan pertambangan di HLPM itu berasal dari warga Dayak Meratus yang tingal di lokasi penambangan, yaitu masyarakat Dayak Meratus Kecamatan Hampang Kotabaru dan Dayak Samihim Kotabaru. Menurut Ardiansyah, pertambangan emas di HLPM itu akan mengancam kelestarian daerah sumber air yang menjadi sumber kehidupan warga adat sekitar hutan keramat yang sangat dijaga masyarakat adat karena para leluhurnya banyak bertapa di daerah itu juga terancam punah. “Lokasi tambang itu juga menjadi tempat usaha masyarakat berladang,” kata Ardiansyah. Keluhan warga sekitar tambang itu mendapat dukungan semua warga adat yang kini mempunyai organisasi masyarakat adat baru, yaitu Persatuan Masyarakat Adat (Permada) Kalsel dengan Ketua Dewan Adat : Damang Udas.Ketua Pelaksana Harian Permada Zonson Maseri mengatakan, daerah pertambangan itu selain hutan lindung juga merupakan kawasan tanah adat. Namun demikian, masyarakat tidak diajak berbicara baik-baik, justru yang terjadi ada intimidasi terhadap masyarakat agar mengakui keberadaan perusahaan.
28
Perusahaan HPH Isu penolakan perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) juga kental. Masyarakat adat Dayak Lawangan di Desa Dambung menolak eksploitasi di kawasan Gunung Kasali dan Gunung Pihan oleh Perusahaan HPH PT Aya Yayang,” Adanya perusahaan HPH itu sejak 1978 sampai sekarang hanya menjadikan kami sebagai penonton,” kata Sabriansyah, Damang Adat Dambung Raya. Dalam pernyataan sikapnya, organisasi baru masyarakat adat Permada mendesak pemerintah untuk mencabut izin perusahaan yang beroperasi di kawasan Pegunungan Meratus, seperti PT Kodeco, PT Aya Yayang, dan PT Meratus Sumber Mas. Tuntutan lainnya adalah agar pemerintah agar pemerintah menghentikan pensertifikatan tanah milik masyarakat adat dan pemerintah juga didesak mengembalikan tanah-tanah masyarakat adat yang dirampas pada masa Orde Baru. Dalam kesempatan itu, Ketua DPRD Kalsel Mansyah Addryans, yang menerima kehadiran masyarakat adat, memahami semua permintaan dan tuntutan masyarakat adat. Sebagai bukti dukungan perjuangan masyarakat adat, Mansyah bersama beberapa anggota DPRD bersedia menandatangani spanduk yang berisi pengakuan kedaulatan adat. Namun demikian, Koordinator Aliansi Meratus Muhammad Saleh menyadari dukungan anggota DPRD itu hanyalah dukungan politis yang simbolis saja. Padahal, yang diinginkan masyarakat adat adalah pengakuan secara hukum melalui, misalnya, peraturan daerah (Perda). “Oleh karena itu, salah satu agenda ke depan organisasi masyarakat adat yang baru adalah bagaimana mendesak DPRD ikut membantu membuatkan perda pengakuan kedaulatan masyarakat adat,” kata Saleh. Sumber: Kompas 27 Juni 2003
intip hutan | mei - juli 2003
Masyarakat adat dan lokal Lembaga Masyarakat adat Kao dan Malifut (suku Pagu, Madole, Boing dan Towiliko Kao) Masyarakat Lokal Dayak Pitap Masyarakat Adat Masyarakat Lokal Masyarakat Lokal Masyarakat Lokal
Konflik Tidak berkoordinasi dengan lembaga adat, eksploitasi Tanah adat Kao dan Malifut di Gesowong Halmahera, berkurangnya tangkapan udang, pemutusan kerja sepihak Galian pasir besar-besaran mengakibatkan longsor dan kerusakan lingkungan Perampasan Tanah Adat berupa tanah-tanah keramat, lahan produksi Pertikaian masyarakat dengan perusahaan mengenai tanah ulayat Masyarakat menolak keberadaan perusahaan karena akan merusak lingkungan Penyerobotan lahan masyarakat Pencemaran lingkungan di Tanjung Santan karena limbah perusahaan dialirkan ke selokan dan persawahan
Menhut Mengisyaratkan
ARuPA ARuPA
MORATORIUM TOTAL DI JAWA BARAT DAN BANTEN
Kayu curian yang disita Perhutani
M
enteri Kehutanan akan memberlakukan moratorium penebangan hutan di Provinsi Jawa Barat dan Banten apabila program “soft landing” atau jatah tebangan hutan tanaman yang telah diberlakukan untuk Jawa Barat dan Banten sebesar 75.741 m3 masih belum menimbulkan dampak yang positif terhadap pulihnya potensi penutupan lahan kawasan hutan. Departemen Kehutanan dalam menentukan kebijakan pengelolaan hutan di Jawa Barat dan Banten ditekankan pada pemulihan fungsi hutan dan lingkungan mengingat Jawa Barat dan Banten mempunyai banyak sumber mata air serta berbagai waduk dan bendungan besar yang berperan sebagai penyedia kebutuhan air. Hal ini perlu ditunjang dengan keberadaan hutan yang memadai. Jawa Barat dan Banten sebagai lumbung pangan serta pemasok kebutuhan air dan pengendali banjir di DKI Jakarta sangat mendapat perhatian dari Pemerintah dalam menentukan kebijakan pengelolaan hutan di Jawa Barat dan Banten. Sementara di kawasan cekungan Bandung, saat ini permukaan air tanahnya telah menurun sekitar satu meter setiap tahunnya. Dengan demikian kontribusi pembangunan kehutanan lebih ditekankan untuk menunjang keberhasilan pembangunan sektor lain. Penebangan hutan yang berlebihan dan tidak terkendali dapat mengancam kelestarian sumberdaya hutan yang berakibat
terganggunya fungsi hutan. Fungsi hutan yang dimaksud meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya serta ekonomi yang seimbang dan lestari. Ini semua merupakan respon pemerintah terhadap keinginan masyarakat agar hutan di Jawa Barat dan Banten serta di Pulau Jawa umumnya, tetap eksis dan lestari. Berdasarkan hasil analisis citra landsat Departemen Kehutanan tahun 2002, kawasan hutan yang masih berhutan di Jawa Barat dan Banten sebesar 519.800 hektar atau sekitar 12,03% dari luas wilayah kedua provinsi tersebut. Sementara kawasan hutan di kedua provinsi tersebut yang sudah tidak berhutan lagi mencapai luas 474.400 hektar (sekitar 45,39% dari luas kawasan hutan). Kawasan hutan tersebut saat ini telah berubah menjadi semak belukar, savana, perkebunan, pertanian, tambak, pertambangan, permukiman, dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk merehabilitasi kawasan kritis di kedua provinsi tersebut, mulai tahun 2003 Departemen Kehutanan akan melaksanakan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) seluas 36.753 hektar. GN-RHL ini akan terus dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang dengan luasan yang semakin bertambah, sehingga kondisi lahan kritis dapat dipulihkan kembali. Siaran Pers Dephut 24 Juli 2003
intip hutan | mei - juli 2003
29
sebagai unsur penyeimbang alam di Jawa. Anak-anak yang menopangkan hidupnya kepada hutan yang kemudian ‘ketiban sampur’, disebut-sebut sebagai ‘biang perusak hutan’, yang mengambil manfaat dari hutan tanpa menimbang masa depan. Lalu muncul pertanyaan, sebenarnya bagaimana pihak Perhutani mengelola hutan di Jawa sampai-sampai masyarakatnya merusak hutannya sendiri? Niatnya sudah baik, konsepnya juga baik, tapi hutannya masih tetap rusak, lalu Perhutani itu wali macam apa?
ARuPA
Luas Pulau Jawa adalah 13,218,971 ha (Statistika Kehutanan IndonesiaDephutbun, 1995) yang terbagi menjadi 24.922 desa (BPS, 2000), Perhutani mengelola 1,912,816 ha hutan produksi dan 1,026,167 hutan non produksi (RJP Perum Perhutani 1996-2000) yang bersinggungan dengan sekitar 6.324 desa.
Syukuran sesudah panen di desa hutan Randublatung
DESA PINGGIRAN HUTAN JAWA, KERDIL DI BAWAH POHON RAKSASA PENGELOLA HUTAN
L
ayaknya Tuhan memberikan anak kepada orangtua, maka ia harus dilindungi, dicukupi kebutuhannya, dan disejahterakan oleh orang tuanya. Itulah hak orang tua sekaligus kewajibannya. Di Pulau Jawa terdapat sekitar 24.922 desa, anak-anak negara Indonesia. Hutan hanyalah salah satu dari kebutuhan pokok anak-anak ini, dan jumlahnya sekitar 6.324 desa – seperempat dari seluruh desa di Pulau Jawa. Kini sang orang tua memberikan hak perwalian untuk mengurusi kekayaan negara yang berupa hutan, mereka memberikan hak menuai bunga harta negara sekaligus menjalankan kewajiban utama untuk menjamin kesejahteraan anak-anak negara. Sang wali itu bernama Perhutani. Ketika banjir dan tanah longsor terjadi, ada sejumlah sumber daya yang telah lapuk dan tak dirawat dengan baik, kemudian banyak pihak menyebutkan, hal ini karena turunnya kualitas hutan
30
Lebih dari enam ribu desa yang berinteraksi dengan hutan secara langsung, yang dari semula sudah menggantungkan hidup dari keberadaan hutan, yang mengandalkan jaminan kecukupan sumber daya dari hutan, sebelum ataupun sesudah Perhutani mendapatkan hak kelola hutan di seluruh Pulau Jawa. Jadi paling sedikit ada enam ribu desa yang harus disejahterakan Perhutani dengan sistem pengelolaannya atas hutan di Pulau Jawa, sebagai pengganti keuntungan berbentuk nilai interaksi hutan di tanah negara dengan masyarakat di sekitarnya yang sebelumnya sudah terjadi. Jika memang negara ini adalah milik rakyat (tentu saja!). Kesejahteraan yang Lama Tertunda Luas kawasan kelola Perhutani Jawa Barat 792.408 ha dari luas Propinsi Jawa Barat yang kurang lebih 971.000 ha, dan kerusakan hutan yang sudah terjadi sekitar 474.000 hektar (Baplan-
intip hutan | mei - juli 2003
Dephut, 2001) atau mendekati angka 50 % dari luas Jawa Barat (Harian Pikiran Rakyat, 22 Oktober 2002). Sekilas dari data ini, bisa terlihat bagaimana pengelolaan sumber daya hutan yang memang hampir seluruhnya ditangani oleh Perhutani, yang sudah pasti disertai juga dengan tanggung jawab menjaga hutan lestari sepanjang pengelolaannya. Selanjutnya dengan 70 konflik yang pernah terekspos dari berbagai sumber antara Perhutani dan masyarakat sekitar hutan di Jawa Barat, kita sudah bisa mulai membayangkan adanya jarak yang cukup jauh antara sistem pengelolaan Perhutani dengan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Lantas apakah kita akan membiarkan persoalan pengelolaan ini berlarutlarut? Membiarkan kesejahteraan masyarakat yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun hidup berdampingan dengan hutan menunggu lebih lama gara-gara pengelolaan hutan yang tidak setimpal? Tidak adil rasanya……… Konflik adalah Ketidaksejahteraan Hutan selain sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup, juga menciptakan ikatan sosial-budaya dalam masyarakat sekitarnya. Ikatan yang berkembang dalam suatu aturan lokal/adat di dalam suatu komunitas sehingga menjadi pagar untuk menjaga hubungan saling ketergantungan yang seimbang antara komunitas dengan alamnya. Sikap hidup ini yang sering berbenturan dengan garis kebijakan pengelolaan Perhutani, ketika eksploitasi dilakukan tanpa memperhitungkan keberadaan masyarakat lokal pengguna jasa hutan dan mengabaikan proses rehabilitasi di kawasan hutannya. Benturan yang terjadi antara kebutuhan dasar dan komersialisasi sumberdaya hutan. Lebih jauh lagi, bisa kita pilah beberapa akar konflik menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan: Terputusnya akses masyarakat terhadap hutan Simbiosis manusia-hutan terputus sebagai akibat dari: • Kebijakan pengelolaan hutan Perhutani yang melarang pemanfaatan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat sekitarnya. • Hilangnya pengakuan formal atas kawasan hutan rakyat yang diklaim sebagai hutan Perhutani.
• Pemekaran administrasi desa sehingga beberapa desa tidak lagi terhubung dengan kawasan hutannya. Kebutuhan lahan • Perebutan tanah milik dan lahan yang sudah dikelola masyarakat selama puluhan tahun. • Masyarakat yang terbiasa dengan pertanian sistem gilir terbentur larangan pembukaan lahan untuk pertanian rakyat, yang biasanya dilakukan di kawasan hutan karena kesuburan tanahnya yang cukup tinggi. • Hutan juga merupakan lahan penanaman pada saat tanaman hutan masih dalam tahap penyemaian. Waktu penyemaian yang semakin pendek karena pergantian jenis tanaman, seperti rasamala dengan masa semai 4-5 tahun menjadi pinus dengan masa semai 2-3 tahun mengurangi waktu tanam masyarakat di sela tanaman hutan/pagerseren/ tumpangsari Kesejahteraan • Pergeseran nilai kesejahteraan karena nilai interaksi sosial budaya masyarakat-hutan digantikan nilai nominal dalam pengelolaan hutan.
• Berkurangnya kesempatan tumpangsari mengurangi tingkat pendapatan masyarakat, karena hidup yang hanya mengandalkan bayaran dari Perhutani sebagai pemanen hasil hutan hasilnya tidak seberapa. Bentuk-bentuk awal konflik antara Perhutani dan Masyarakat yang teridentifikasi (TPRHR, 2002): • Klaim Perhutani atas tanah masyarakat, tanah desa atau tanah negara yang berhutan. • Penggarapan lahan yang merupakan objek reforma agraria. • Penggarapan lahan Perhutani yang sudah lama ditinggalkan, belum dan atau tidak ditanami kembali. • Penggarapan lahan yang diyakini masyarakat bukan merupakan bagian dari hutan manapun, karena sudah lama tidak terdapat tegakan. • Tuntutan bagi hasil dan/atau peningkatan upah oleh masyarakat yang bekerja kepada Perhutani.
Bentuk-bentuk lanjutan dari konflik awal ini berupa: • Penjarahan lahan hutan • Pencurian kayu oleh masyarakat • Perusakan lahan tanaman milik masyarakat • Pengusiran, baik secara halus maupun kasar dari wilayah kelola Perhutani • Penangkapan dan proses hukum terhadap masyarakat yang dituduh melanggar ketentuan Perhutani • Bentrokan fisik antara pihak Perhutani dengan masyarakat. Terlepas dari siapa menjadi pelaku, kerusakan hutan yang terjadi akibat penjarahan lahan, penebangan liar dan pencurian kayu merupakan ledakan masalah-masalah dalam proses pengelolaan hutan yang akhirnya muncul sebagai reaksi atas kebutuhan yang sejak lama tak terpenuhi.
1)
Perbenturan kepentingan dan kebutuhan dalam pengelolaan hutan memang tidak serta merta terlihat dengan sedikitnya data, kejadian konflik yang bisa diidentifikasi terbatas dari berita media dan dari catatan atau laporan beberapa organisasi yang berbasis masyarakat.
FWI
intip hutan | mei - juli 2003
31 TN LORE LINDU
Pertemuan Regional FWI Simpul Jawa Yogyakarta ⎯ Pertemuan Regional FWI Simpul Jawa yang diselenggarakan pada tanggal 21-22 Juli 2003 di Yogyakarta telah menghasilkan point-point penting untuk diusulkan ke Pertemuan Nasional yang merupakan forum tertinggi dari organisasi FWI. Pertemuan yang dihadiri oleh seluruh anggota simpul FWI Jawa ini merekomendasikan peninjauan kembali status keanggotan FWI yang berbasis anggota. Keanggotaan diusulkan berdasarkan kontribusi terhadap FWI itu sendiri. Hal ini muncul sebagai respon atas mekanisme kegiatan FWI selama ini dimana anggota tidak signifikan memberikan kontribusi terhadap gerakan data FWI. Akuisi, analisis dan pengolahan data selama ini identik dengan lembaga yang kebetulan ditunjuk menjadi sekretariat simpul. Hal ini tentu saja kurang menguntungkan bagi FWI karena seharusnya FWI lebih dari itu ketika fungsi-fungsi anggota berjalan dengan baik. Permasalahan kemudian muncul ketika ada pertanyaan siapa yang berhak menentukan seseorang itu bisa menjadi kontributor FWI, dan bagaimana memberikan penilaian atas besar kecilnya kontribusi terhadap FWI? Lalu apa kriterianya? Rama Ardana yang saat ini masih menjadi Koordinator Simpul FWI Jawa, menyatakan bahwa pada awalnya siapa saja bisa menjadi kontributor FWI sepanjang dia bisa dan sanggup memberikan kontribusinya terhadap pekerjaan-pekerjaan FWI. Namun permasalahan yang harus segera diselesaikan adalah mengenai siapa yang memilih, menerima atau tidak menerima sesorang menjadi kontributor sekaligus bagaimana penilaian terhadap kontribusi seorang kontributor FWI. Dan hal tersebut diagendakan untuk dibicarakan kembali pada pertemuan kedua yang rencananya akan mengundang lebih banyak pihak yang dinilai memiliki perhatian serius terhadap permasalahan hutan Jawa. Dalam pertemuan kedua nanti juga akan diagendakan pembuatan outline (kerangka) dari FWI Jawa yakni pembuatan laporan keadaan hutan Jawa. Sehingga dengan adanya outline tersebut pekerjaan monitoring hutan Jawa menjadi lebih fokus dengan membentuk kelompok-kelompok kerja (tasks forces) dimana pada akhirnya hasil monitoring tersebut dijadikan sebuah laporan tahunan yang berisikan update informasi Kehutanan di Pulau Jawa dalam bentuk Potret Hutan Jawa (SOFR Jawa). Pada pertemuan itu ditegaskan juga bahwa mandat FWI adalah visi misi FWI itu sendiri. Mandat tidak dari anggota ataupun masyarakat. Selama visi misi itu dijalankan, maka itulah FWI. Jikalau ternyata FWI secara organisasi tidak bisa menjalankan visi misinya maka FWI tersebut menjadi tidak pantas lagi disebut sebagai FWI. Penentuan arah dan jalannya FWI kedepan melalui mekanisme Pertemuan Regional nantinya tidak sekedar berdasarkan ikatan historis atau karena pernah ikut dan terlibat pertemuan sebelumnya. Peran dari kontributor dalam memberikan kontribusi terhadap FWI yang nantinya akan memberikan warna terhadap FWI itu sendiri. Lalu bagaimana dengan fungsi kesekretariatan. Menurut Rama, sekretariat nantinya akan difungsikan sebagaimana citacita pernas FWI tahun 2000 dimana sekretariat simpul hanya bersifat sebagai clearing house, dan juga menjalankan fungsi koordinasi antar kelompok-kelompok kerja dalam hal ini mempertemukan, menyusun, membagi, mengemas dll. Jadi kedepannya semua pekerjaan teknis akan dilakukan di masing-masing kelompok kerja termasuk akuisisi/koleksi data, analisis, serta pengolahan data. Sebagai lembaga clearing house, sekretariat simpul akan menunjukkan dimana data tertentu bisa diperoleh. Sehingga sekretariat simpul diwajibkan mengetahui dan memiliki katalog data yang dimiliki oleh kontributor. Dan pada dasarnya syarat untuk menjadi koordinator masih berpegang teguh pada statuta FWI dimana kontributor wajib membuka akses datanya terhadap permintaan data dari luar, sepanjang untuk kepentingan cita-cita FWI.
PELATIHAN DASAR SISTEM INFORMASI GEOGRAFI
32
Samarinda - Selama 3 hari, sejak Rabu, 23 Juli 2003 sampai Jumat, 25 Juli 2003, Forest Watch Indonesia bekerja sama dengan NRM, mengadakan pelatihan dasar Sistem Informasi Geografi di Samarinda, Kalimantan Timur. Pelatihan ini diikuti oleh 27 peserta dari lembagalembaga mitra NRM di Kalimantan Timur dengan materi pokok pengenalan beberapa software yang berkenaan dengan pengelolaan data-data spasial, terutama data lapangan.
menjadi praktisi pemetaan dan efektivitas penyampaian materi kepada peserta, maka ditambahkan satu hari lagi. Tentu saja dengan harapan, bahwa seluruh materi pelatihan bisa memberikan gambaran dan sedikit pencerahan tentang alternatif pengelolaan data spasial yang lebih baik.
Pelatihan ini semula direncanakan hanya 2 hari, tetapi dengan pertimbangan besarnya kebutuhan teman-teman yang
Dilihat dari antusiasme peserta, pelatihan ini berjalan cukup baik artinya memang dari awal didasari oleh kebutuhan
Rangkaian materi yang disampaikan selama tiga hari pelatihan tersebut antara lain tentang pengentrian dan pengolahan data spasial digital, pengemasan data spasial digital, dan digitalisasi peta manual.
intip hutan | mei - juli 2003
untuk pengelolaan data. Meskipun begitu, masih ada yang dirasakan kurang, yaitu dari segi waktu pelatihan yang hanya tiga hari, dan efektivitas penyerapan materi karena hanya tersedia 11 komputer untuk 27 peserta. Penyampaian materi diarahkan langsung pada aplikasi software, sehingga perbandingan 1 komputer untuk 2-3 peserta dan waktunya yang hanya 3 hari, menurut para peserta, masih terasa kurang mencukupi untuk memahami seluruh materi. Salah satu mentor pelatihan juga mengatakan bahwa waktu pelatihan yang terlalu singkat menjadi kendala utama, sehingga materi yang diberikan tidak bisa maksimal.