KOMUNIKASI SPIRITUAL DALAM UPAYA MENDIDIK ANAK BERAKHLAK AL QURAN
Firdastin Ruthnia Yudiningrum
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Basic philosophy of communication is processing of meaning contruction by symbols or signs. God spreads of symbols or sign trough two verse. They are holy book (as Alquran) and the whole world. Say about education of children, that teaching childrens, more to teach the holy of Alquran, not only as teach physic or mathematic, but also as more thing. Teach Alquran especially to childrens need more capability as good awarness, clean hearth, good behaviour and more near relationship with God. Teaching Alquran means teaching about truth so need true behaviour before to teaher. This is key from discourse about spiritual communication in children teaching based on Alquran behaviour. Key words: Spiritual communication, sign, symbol, teaching, behaviour
Pendahuluan Hakikat
komunikasi
adalah
proses
penciptaan
makna
dengan
menggunakan simbol-simbol atau tanda-tanda. Allah SWT menebarkan simbolsimbol atau tanda-tanda melalui dua ayat-Nya, yaitu : Pertama, ayat Quraniyah (berbentuk firman Allah tertulis dalam kitab suci Al Quran) yang berisi perintahperintah dan larangan-larangan-Nya. Kedua, ayat Kauniyah yang berbentuk alam semesta. (Saefullah, 2007). Berbagai peristiwa alam yang sering terjadi, seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dll. merupakan tanda-tanda komunikasi Allah SWT dengan makhluk-Nya. Apakah sebagai peringatan, bentuk ujian, musibah, ataukah azab yang diberikan Sang Khalik kepada kita. Inilah yang akan kita uraikan lebih mendalam, berkaitan dengan bentuk komunikasi spiritual dalam upaya mengajar anak berakhlak mulia.
Komunikasi spiritual, menurut Nina Syam (2006) adalah komunikasi yang terjadi antara manusia dan Tuhan, atau dapat pula dipahami bahwa komunikasi spiritual berkenaan dengan persoalan agama. Agama mengajarkan kepada kita, siapakah kita, apa tujuan hidup kita, dan mau ke mana arah hidup kita? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu melakukan komunikasi spiritual. Bagaimana sesungguhnya komunikasi kita dengan Tuhan? Kita dapat berkomunikasi dengan-Nya melalui amalan-amalan batin, seperti sholat, berdoa, zikir, dan lain-lain. Ketika kita melakukan ibadah sholat sesungguhnya kita sedang melakukan komunikasi dengan Allah, sebagai komunikan (penerima pesan) dan kita selaku komunikator (pengirim pesan). Dalam menjalankan sholat, berdoa, maupun berzikir kita berkonsentrasi penuh (khusyuk), seolah-olah sedang berhadapan langsung dan melihat Tuhan. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah Engkau melihat Allah. Jika engkau tidak melihat-Nya, yakinkan bahwa Allah melihat engkau”. Oleh karena itu, Ashari Muhammad (2001:45) mengatakan : “Ketika mulut kita menyebut Allahu Akbar, hati juga mengaku Allah Maha Besar. Ketika jasad menghina diri, hati kita juga menyungkur menghina diri. Dan ketika mulut memuji mengagungkan Allah dan berdoa kepada Allah, hati juga memuja, merintih, dan tenggelam dalam penyerahan diri kepada Allah. Inilah inti komunikasi spiritual dengan Yang Maha Agung nan Maha Melihat”.
Jadi, komunikasi spiritual antara manusia dan Tuhan, apabila direnungkan secara seksama, sesungguhnya dipengaruhi oleh hati kita yang bersih dan suci. Kesucian hati yang masih murni dan tulus umumnya kita temukan pada diri seorang anak, yang terlahir ke dunia ini dalam keadaan fitri (putih-suci atau tanpa dosa sedikit pun). Kiranya upaya untuk mempertahankan dan mengarahkan sosok anak dengan kebeningan hati dan kemurnian daya pikir, seperti tatkala mereka dilahirkan dari rahim Ibundanya inilah yang patut kita jaga, demi tumbuhnya perilaku atau akhlak terpuji sesuai kaidah agama Islam. Satu-satunya jalan untuk mengajarkan akhlak Islami kepada anak-anak kita adalah dengan cara memperkenalkan sejak dini, mendidik dan melatih mereka untuk mengamalkan akhlak Al Quranul Karim.
Tafsir Sebagai Metode Komunikasi Al Quran, selain sebagai kitab pendidikan sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Quraish Shihab, juga merupakan kitab petunjuk bagi seluruh umat manusia. Petunjuk untuk mengetahui mana al-haq (baik/diridloi Allah) dan mana al-bathil (buruk/tidak diridloi Allah). Fungsi Al Quran sebagai kitab petunjuk mengharuskan kalam Illahi ini haruslah mudah dipahami oleh siapa saja, seperti layaknya kompas atau peta. Tak ada ceritanya bahwa peta itu justru sulit dipahami, karena bila peta itu tidak mudah dipahami, maka sesungguhnya itu pastilah bukan sebuah peta melainkan suatu sandi. Sandi adalah teka-teki yang hanya orang tertentu saja sanggup mengetahui dan memahami maksud atau pesannya; ini sangat berbeda dengan Al Quran yang mudah dipahami setiap orang. Akan tetapi, ketika kita membaca sebuah ayat dalam Al Quran, maka kita akan menemukan bahwa ayat-ayat Al Quran itu terbagi dalam dua kelompok, yakni ayat-ayat muhkamat
dan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat
adalah ayat-ayat yang sudah terang dan jelas (tidak rancu) maksud serta pengertiannya, sehingga ayat-ayat ini wajib diimani dan diamalkan isinya, seperti perintah puasa di bulan Ramadhan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang samar (tidak terang dan tidak jelas) maksud dan pengertiannya, makna hakikinya yang dijelaskan melalui penakwilan, tidak ada yang mengetahuinya selain Allah. Oleh karena itu, ayat-ayat mutasyabihat ini wajib diimani, tetapi tidak wajib diamalkan. (Muhyidin, 2008). Apakah tafsir sama dengan takwil? Kalau sama, mengapa dibedakan ada istilah tafsir dan ada pula istilah takwil? Kalau tidak sama, apakah tafsir itu berlaku bagi semua ayat Al Quran tanpa membedakan yang mana ayat-ayat muhkam dan mana ayat-ayat mutasyabih? Apakah memang takwil hanya berlaku pada ayat-ayat mutasyabihat saja? Jalaluddin Rakhmat dalam Tafsir Sufi AlFatihah (2000:9) mengemukakan bahwa tafsir adalah penjelasan Al Quran dengan petunjuk pada keterangan Al Quran. Berdasarkan pendapat berbagai ulama, yang dimaksud dengan istilah tafsir adalah beragam usaha yang dilakukan untuk
memahami maksud dan tujuan ayat-ayat Al Quran. Sementara yang dimaksud dengan takwil adalah berbagai usaha untuk menyingkap makna batin ayat-ayat Al Quran. Jalaluddin As Suyuthi dalam Al-Itqan fi’ulumil Quran memberikan beberapa contoh tentang perbedaan tafsir dengan takwil, sebagaimana yang diikuti oleh Jalaluddin Rakhmat (2000:8), yaitu : 1. Al-Raghib menyampaikan bahwa tafsir lebih umum daripada takwil. Tafsir lebih banyak digunakan untuk kata-kata dan padanannya serta digunakan baik pada kitab-kitab Ilahi maupun lainnya, sedangkan takwil lebih banyak digunakan dalam makna dan kalimat serta hubungannya dengan kitab-kitab Ilahi. 2. Al-Maturidi mengemukakan, tafsir adalah memastikan bahwa yang dimaksud dengan lafad adalah “ini”, dan kesaksian kepada Allah bahwa artinya kata itu “begini”. Jika tegak dalil yang pasti, maka pasti itu benar; jikalau tidak, itulah tafsir bil-ra’yi. Oleh karena itu dilarang. Sementara itu, takwil berarti mentarjih (menganggap lebih kuat) satu makna diantara berbagai makna tanpa kepastian dan kesaksian kepada Allah. 3. Abu Thalib Al-Taghlibi memiliki pandangan bahwa tafsir itu menjelaskan posisi makna kata, apakah arti sebenarnya atau kiasan (hakikat atau majas). Seperti tafsir ‘sirath’ sebagai ‘jalan’, dan ‘al-syaib’ sebagai ‘hujan’. Takwil adalah tafsir batin dari kata; diambil dari kata awwal. Takwil menjadi upaya mengembalikan untuk mencapai tujuan. Jadi takwil adalah menginformasikan hakikat yang dimaksud dan tafsir menginformasikan petunjuk yang dimaksud.
Kebutuhan akan tafsir Al Quran bukan disebabkan bahwa Al Quran itu ayat-ayatnya tidak jelas; tetapi harus dimaknai bahwa ayat-ayat Al Quran itu mempunyai kandungan makna yang dalam. Terhadap ayat-ayat Al Quran, kita berlaku seperti penyelam yang mencoba menyelami dalamnya samudera. Bila kita hanya mampu menyelam pada permukaan yang dangkal, maka kita hanya akan mendapatkan ikan-ikan yang kecil; tetapi apabila kita dapat mencapai dasar samudera, maka pastilah kita akan menemukan mutiara yang bisa kita bawa.
Afif Muhammad dalam
Tafsir Al Quran untuk Anak-Anak: Surat Al
Fatihah, Sobat Bocah Muslim (2002) menjelaskan bahwa tafsir sebagai metode berbeda dengan tafsir sebagai ilmu. Tafsir sebagai ilmu sebagaimana paparan tersebut di atas adalah tafsir yang dimaknai sebagai “produk”; yaitu produk tafsir. Produk tafsir berarti kitab-kitab tafsir, terlepas kitab-kitab tafsir itu menggunakan metode riwayah atau metode dirayah. Tafsir sebagai metode yang dimaksudkan di sini adalah tafsir yang digunakan untuk memahami ayat-ayat Al Quran. Dengan kata lain, tafsir sebagai metode adalah tafsir untuk memahami “tafsir” itu sendiri. Jadi, perbedaan antara tafsir sebagai metode dan tafsir sebagai ilmu adalah : jika sebagai metode, tafsir digunakan sebagai jalan untuk memahami; sedangkan tafsir sebagai ilmu, tafsir adalah hasil penafsiran itu sendiri. Lalu, samakah antara tafsir sebagai metode dengan metode tafsir? Tentu saja tidak. Ketika kita dihadapkan pada sebuah ayat, lalu berdasarkan ilmu tentang asbabun nuzul, balaghah, hadis-hadis nabi, dan hujjah-hujjah ulama, juga kecerdasan intelektual kita, lalu kita berusaha melakukan pemaknaan terhadap ayat itu, maka saat itulah kita tengah mengambil metode untuk menafsirkan ayat tersebut. Tetapi, ketika kita dihadapkan pada orang yang meminta penjelasan terhadap ayat ini atau ayat itu, kemudian kita menukil pendapat para mufassir, maka kita dianggap telah menggunakan tafsir sebagai metode untuk menjelaskan ayat tersebut. Pendek kata, yang pertama adalah metode untuk melakukan tafsir, sementara yang kedua merupakan tafsir yang digunakan sebagai metode. Untuk memudahkan pembedaan antara tafsir sebagai ilmu dan tafsir sebagai metode, dapat kita simak ilustrasi di bawah ini (Fachruddin,1992) . Toha adalah seorang pengusaha, berbagai jenis usaha ia tangani dalam berbagai
perusahaan
yang
berbeda-beda.
Setiap
hari
Toha
memantau
perkembangan dan kemajuan perusahaan-perusahaannya itu. Pada waktu subuh dia harus sudah pergi ke perusahaan A, lalu dilanjutkan pemantauan ke perusahaan B, dan begit seterusnya. Kadang kala ia tak sempat pulang untuk menengok istri dan anak-anaknya karena terlalu sibuk bekerja. Ia menginginkan agar berbagai perusahaan yang dikelolanya tersebut semuanya maju pesat, sehingga dapat mendatangkan keuntungan yang berlimpah-ruah.
Sementara itu, Ikhsan adalah seorang pengusaha juga, akan tetapi kesibukannya tidak seperti Toha, temannya. Ia masih banyak memiliki waktu luang untuk digunakan bersama istri dan anak-anaknya. Ikhsan tidak berpikir bahwa uang adalah tujuan yang menyebabkan dia harus bekerja keras, melainkan uang itu hanya sebagai alat pencapai tujuan. Penggunaan uang yang tepat dan dibelanjakan pada urusan yang benar, merupakan salah satu perwujudan ibadah kepada Allah SWT. Uang dipakai untuk jalan ibadah, mendekatkan diri pada Sang Khalik. Ilustrasi tersebut menggambarkan, Toha adalah seorang mufassir, sedangkan Ikhsan adalah seorang yang menggunakan tafsir sebagai metode. Seseorang yang ingin menggunakan tafsir sebagai metode, maka ia harus mengetahui dan memahami kitab atau buku tafsir yang dijadikannya rujukan. Hal ini penting supaya terhindar dari “salah tafsir”.
Komunikasi Qur’ani Mengajarkan cara membaca dan menulis Al Quran kepada anak, bukan berarti mengajarkan sesuatu yang tidak berguna. Hal itu tetaplah penting, akan tetapi jauh lebih penting bagaimana mengajarkan kepada anak cara memahami Al Quran. Ini perlu ditegaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Membaca dan menulis Al Quran hanyalah sebuah pengantar dan kita tidak boleh berhenti dalam “pengantar” saja. Ibaratnya kita telah mengantarkan anak untuk digembleng dalam “kawah candradimuka”, tidak kita tinggalkan begitu saja di tepi kawah tersebut, melainkan perlu kita bekali mereka agar menguasai teknik-teknik bagaimana berenang yang baik dan benar dalam kawah itu. Anak sesuai dengan fitrah, sesungguhnya adalah cerminan surga. Anak adalah permata yang paling mulia dari segala permata yang lain. Pada perkembangannya, anaklah yang akan mengantarkan orang tuanya menuju kebahagiaan di surge. Namun demikian, anak pulalah yang akan melemparkan orang tuanya ke dalam kehidupan neraka. Ini terjadi ketika anak telah menjadi perkara yang kita lalaikan, sementara ia adalah bagian dari “permainan” kehidupan dunia. (Q.S. Al Hadid: 20). Kalau kita melalaikannya, maka
pertumbuhan anak akan mencerminkan tumbuhnya benalu di batang-batang pohon kehidupan. Pertama-tama yang harus dilakukan para orang tua terhadap anaknya adalah mencintai dan mengasihinya. Kita dapat menemukan di dalam Al Quran, bagaimana Luqman, seorang hamba Allah yang taat dan tekun beribadah, menasihati anaknya. (Q.S. Luqman: 13-19). Kita juga bisa menemukan dalam Q.S. Yusuf: 84, kisah bagaimana Yakub mencintai putranya, Yusuf. Begitu pula dalam hadis banyak disebutkan bagaimana Rasulullah, Muhammad sangat mencintai dan mencintai cucu-cucunya, Hasan dan Husein serta segenap anggota keluarganya (ahlul bait-nya). Kesalahan berpikir dan kekeliruan tindakan ketika mengajarkan kebenaran Al Quran baru dimulai setelah anak-anak tumbuh menjadi dewasa. Yang lebih menyedihkan lagi adalah apabila dalam usia remaja seseorang baru dididik untuk mampu membaca dan menulis Kalam Allah SWT ini. Bukankah semakin usia seseorang bertambah, maka semakin kompleks persoalan dan permasalahan yang dihadapinya? Usia remaja berarti usia transisi, yakni dari anak-anak menjadi dewasa. Dalam usia remaja ini, berbagai pengetahuan baru diserap, dan beraneka ragam pola kejahatan baru dikenal. Bila hatinya membatu, maka perbuatanperbuatan keji dan munkar akan semakin “menjadi-jadi” jika seorang remaja ini beranjak dewasa dan menjadi orang tua kelak. Sementara seorang anak adalah relatif masih bersih dan suci jiwanya, maka kita para orang tua dan guru harus memperkenalkan dan memahamkan nilai-nilai Al Quran kepadanya. Mendidik anak belajar memahami Al Quran sejak usia dini, berarti kita telah mengawal dan mendorong fitrahnya sebagai makhluk ciptaan Allah. Dengan kata lain, mengajarkan anak akan pentingnya nilai-nilai agama pada umumnya dan kandungan nilai-nilai Al Quran khususnya, berarti menjaga fitrah anak hingga ia tumbuh dewasa, bahkan sampai ajal menjemputnya. Timbul pertanyaan, apa sesungguhnya fitrah itu? Lafal “fitrah” dalam Al Quran kadang berarti al-khalq dan al-ibda yang sama-sama memiliki arti “menciptakan sesuatu tanpa contoh”. Yasin Muhammad dalam buku Konsep Fitrah dalam Islam (1997: 19) menyebutkan bahwa “fitrah”
berasal dari kata “fathara – yafthuru – fathran”, artinya : dia memegang dengan erat, memecah, membelah, mengkoyak-koyak atau meretakkannya. Kata tersebut dapat juga berarti penciptaan, menyebabkan sesuatu ada untuk pertama kali dan struktur atau ciri umum alamiah yang mana dengannya anak tercipta dalam rahim ibundanya. Hanya saja, yang menyebutkan dalam bentuk “fitrah”, yakni yang mengikuti pola fi’lah hanya satu ayat ini : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menjadikan manusia menurut fitrah itu”. (Q.S. Ar Rum: 30).
Dengan demikian, mengajarkan pemahaman anak terhadap Al Quran sejak usia dini merupakan cara tepat untuk terus mengawal fitrah anak agar tidak hilang seiring dengan pertumbuhan fisiknya. Hal ini hamper sama dengan seorang murid perguruan silat yang turun gunung setelah menempa ilmu dari gurunya. Oleh Sang guru, Si murid tersebut dibekali sebuah pedang yang tajam dan runcing untuk menjaga diri. Guru berpesan agar murid tadi menjaga pedang itu dan harus sering diasah supaya ketajamannya terpelihara. Begitu pula dengan mendidik anak. Anak perlu dibantu oleh orang tua atau gurunya untuk menajamkan logikanya, dan yang paling tepat untuk diajarkan agar menjadi kebiasaan bagi Si anak adalah logika silogisme. Kita perlu melogikakan nalarnya dan menalarkan logikanya. Logika yang dimaksudkan di sini, bukanlah anak-anak harus menguasai ilmu logika, tetapi ia sanggup membawa nalarnya – dengan bantuan kita – secara logis. Jika logikanya tajam dan nalarnya terbangun secara logis, maka dengan seizin Allah niscaya anak-anak kita akan bisa menjadi generasi penerus yang cerdas. Sungguh menyedihkan apabila mendapati ada orang tua atau guru yang justru marah-marah ketika anak atau muridnya menyerbu dengan serentetan pertanyaan yang bertubi-tubi. Orang tua seperti itu tidak peduli bahwa mempercepat proses belajar anak terhadap segala sesuatu yang dijumpainya, sangatlah penting bagi pertumbuhan kecerdasan dan penalarannya. Dengan kata lain, orang tua tidak menyadari (atau memang tidak tahu?) bahwa pertanyaan-
pertanyaan anaknya tersebut sangat diperlukan memperoleh jawaban yang tepat guna menajamkan logika Sang anak. Sebegitu pentingkah menajamkan logika untuk anak? Secara psikologis, anak-anak yakni mereka yang berumur antara 2-12 tahun, memiliki karakter yang dapat kita kenali seperti berikut (Muhyidin, 2008 : 139-140) : 1. Berusaha “menguasai” lingkungan. 2. Adanya dorongan yang kuat untuk mengetahui segala sesuatu yang tampak di pelupuk matanya. 3. Berusaha melakukan penyesuaian-penyesuaian diri, dalam arti dengan gayanya sendiri, anak-anak melakukan interaksi dengan sesamanya. 4. Membentuk pembelajaran pembedaan yang benar dan yang salah. 5. Ia belajar berjalan, mengambil atau memegang makanan, berlatih bercakapcakap hingga menyusun kalimat. 6. Mengenal perbedaan jenis kelamin. 7. Mudah ditebak perasaan sedih dan gembiranya. 8. Periang dan mudah tersenyum. 9. Lebih mengandalkan air mata (menangis) ketika menginginkan sesuatu. 10. Takut terhadap orang yang marah kepadanya. 11. Suka sekali terhadap hal-hal yang menyenangkan (permainan, menggambar, mewarnai, dll.). 12. Mudah
sekali
meniru
segala
sesuatu
yang
dirasakannya
menarik
perhatiannya.
Berdasarkan karakteristik itulah sesungguhnya kita perlu menajamkan nalar dan logika anak. Imam Ja’far ash-Shadiq mengatakan, “ Orang berakal yang tidak cerdas tidak ubahnya seperti orang yang berjalan bukan pada jalan yang benar, sehingga cepatnya ia berjalan tidak membuatnya semakin dekat kepada tujuan, melainkan semakin menjauh” (Muhyidin, 2008). Khalil al-Musawi (2000: 6) menyampaikan beberapa kriteria orang yang cerdas, yaitu :
1. Pandai, dalam arti mempunyai pandangan yang mendalam mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. 2. Memiliki pandangan, firasat, atau sikap pada setiap urusan. 3. Mampu menangkap hal-hal yang tersembunyi di balik peristiwa. 4. Mampu mengambil manfaat dan pelajaran dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Membangun dan menajamkan logika anak merupakan salah satu usaha melanjutkan pendidikan anak sejak sebelum lahir (tatkala masih dalam kandungan ibundanya). Bagaimana cara kita untuk menajamkan logika anak? Sebuah buku yang cukup menarik untuk dibaca, Cara Baru Mendidik Anak Sejak Dalam Kandungan karya F. Rene van de Carr dan March Lehrer (2001), pakar psikologi yang memiliki kompetensi tinggi dalam pendidikan anak sebelum lahir. Apakah bayi di dalam kandungan benar-benar dapat belajar? Bagaimana cara berkomunikasi dengan bayi pra lahir? Apakah bayi sebelum lahir yang mendapat stimulasi lebih cerdas daripada bayi yang tidak distimulasi saat dalam kandungan? Thomas Verny menulis tentang sebuah kisah hidup seorang konduktor simfoni ternama, Boris Brott, yang bercerita mengenai bagaimana ia tertarik pada musik. “ Untuk pertama kalinya saya memimpin suatu lagu dan tiba-tiba bagian musik untuk cello terasa begitu akrab di telinga saya. Saya mengetahui alurnya sebelum saya sampai pada bagian musik tersebut. Pada suatu hari saya menceritakan kejadian ini kepada ibu saya, seorang pemain cello professional. Saya berpikir beliau pasti akan tertarik karena notasi-notasi untuk cello-lah yang selalu tampak jelas dalam pikiran saya. Beliau tampak sangat heran, akan tetapi ketika mengetahui lagu yang saya mainkan, misteri itu terpecahkan dengan sendirinya. Semua notasi yang saya kenali adalah yang sering dimainkan Ibu saya ketika saya masih berada dalam kandungannya” (Van de Carr dan Lehrer, 200: 36).
Husain Madzahiri dalam Pintar Mendidik Anak : Panduan Lengkap Bagi Orang Tua, Guru, dan Masyarakat Berdasarkan Ajaran Islam (2001 : 72-73) mengungkapkan sebuah cerita kehidupan dari sosok tokoh yang lain:
Suatu ketika Al Allamah Al Majlisi Ats-Tsani diajak ayahnya, Al Allamah Al Majlisi Al Awwal pergi ke masjid. Ketika Sang Ayah sedang sibuk mengajar, Ats-Tsani kecil mendapati sebuah girbah (tempat air yang terbuat dari kulit) yang di dalamnya terisi air. Ia menemukan sebuah jarum dan menusukkannya pada kantong air itu sehingga air di dalamnya mengali sampai habis dari lubang bekas tusukan itu. Pemilik girbah mencari siapa pelakunya dan mendapati putra Sang ulama itulah yang melakukannya. Ayah Ats-Tsani sangat bersedih melihat peristiwa ini. Sesampai di rumah, ia berkata kepada istrinya, “Aku telah memelihara ajaran-ajaran Islam sebelum pembentukan nutfah dan di saat pembentukannya. Apa yang diperbuat anak kita di masjid hari ini adalah dosa yang kau telah perbuat atau kesalahan yang kau lakukan”. Sang istri bercerita, “Ketika saya mengandung anak kita, saya pergi untuk suatu pekerjaan ke rumah para tetangga. Sewaktu saya pulang dan melewati rumah mereka, terdapat sebuah pohon anggur, maka saya berhasrat untuk memetik salah satu anggur yang saya kira masam. Karena itu, saya lubangi anggur itu yang masih tetap berada di ranting pohonnya dengan sebuah jarum yang saya miliki, lalu saya hisap sedikit air anggur itu”.
Hikmah dari kedua cerita tersebut adalah bayi sebelum lahir sesungguhnya dapat kita didik untuk menjadi seorang anak yang cerdas. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa bayi yang memperoleh stimulasi sejak dalam kandungan
ibundanya, memiliki tingkat kecerdasan
yang lebih tinggi,
menunjukkan keriangan, keceriaan, kemampuan dalam menangkap bahasa dan isyarat lebih baik, daripada mereka yang tidak pernah mendapatkan stimulasi dari orang tuanya. Hal ini berarti bahwa pendidikan sebelum lahir bagi seorang anak itu sangatlah penting. Sungguh Maha Benar Tuhan, Allah SWT ketika berfirman bahwa pada masa yang telah ditentukan (empat bulan), Ia telah meniupkan ruh-Nya pada janin (Q.S. As Sajdah : 7-9). Ketika janin telah diberi ruh-Nya maka ia telah menjadi manusia. Oleh karena itu, kita bisa memahami bahwa mendidik manusia (bayi pra lahir) adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh semua orang tua untuk mengawali proses edukasi terhadap anak-anaknya. Saat bayi telah lahir, maka kita tinggal melanjutkan pendidikannya sesuai perkembangan dan tahapan usia si bayi dengan menajamkan logika-logikanya. Sesungguhnya semua aspek kehidupan dan lingkungan sekitar kita dapat dipertanyakan keberadaan dan fenomenanya, melalui pola-pola induksi dan deduksi, untuk mengajak anak-anak kita berpikir
lebih dalam dan konsisten. Dengan kata lain, apa yang ada dan teramati di sekitar kita dan anak-anak kita, bisa menjadi “obyek” pembangunan dan penajaman logika mereka.
Kesimpulan Intinya, dalam proses edukasi terhadap anak adalah belajar secara menyenangkan. Bobbi de Porterr dalam Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan (2000 : 65-118) mengemukakan bahwa perasaan “senang” ini mencakup diantaranya meliputi : lingkungan, sikap, dan gaya belajar, serta yang tak kalah penting adalah faktor objek pembelajaran yang diminati. Seberapapun ringannya objek yang anak-anak pelajari, maka bila objek pembelajaran tersebut tidak dikemas secara apik dan menarik, nyaman, serta menyenangkan, bisa jadi mereka akan mudah merasa bosan. Kalau mereka telah merasa bosan, maka ujung-ujungnya akan merasa malas. Kalau anak-anak sudah malas, artinya pekerjaan kita untuk memberikan pengajaran kepada mereka menjadi semakin bertambah. Membelajarkan objek pengajaran di satu sisi, dan mengubah kemalasan menjadi sifat rajin belajar. Siapa saja yang peduli masalah perkembangan agama dan kecerdasan spiritual anak, harus menciptakan “rekayasa” sedemikian rupa terhadap objek pembelajaran agama, terutama kajian kitab suci Al Quran sebagai pedoman utama mendidik anak berakhlak Islami. Bagaimana caranya agar anak-anak kita mampu melakukan kebaikan/kebenaran dan menjauhi kejahatan/keburukan (amar ma’ruf nahi munkar), sesuai dengan tingkat usianya berdasarkan “pemahaman” mereka terhadap ajaran Islam? Kiranya hal-hal berikut dapat dijadikan acuan (Muhyidin, 2008: 159-160), yaitu : 1. Kita perlu menciptakan rasa senang dan nyaman dalam mendidik dan mengajarkan ilmu agama – khususnya kandungan isi Al Quran – kepada anak-anak kita supaya mereka memiliki akhlak yang Islami. 2. Menciptakan rasa senang dan nyaman berarti mengusahakan segala dayaupaya agar objek pembelajaran itu mampu menarik dan memikat perhatian anak.
3. Dalam konteks ini, maka perhatian yang cukup harus diberikan pada psikologi anak-anak, yaitu berangkat dari karakteristik psikologis anak, kita harus mengemas bahasa agama – dalam hal ini adalah bahasa Al Quran – ke dalam bahasa anak supaya mereka lebih mudah menangkap pelajaran yang diberikan dan akhirnya memahami pentingnya mata pelajaran tersebut sebagai bekal kehidupannya kelak. 4. Media – bail visual, audio, maupun audio visual – sangat membantu menciptakan ketertarikan pada anak-anak. 5. Alat peraga juga sangat membantu dalam menciptakan ketertarikan dan sangat menolong mengantarkan anak pada suatu pemahaman dalam proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA Al Musawi, Khalil. (2000). Bagaimana Membangun Kepribadian Anda, ResepResep Mudah dan Sederhana Membentuk Kepribadian Islam Sejati. Jakarta : Lentera. De Porterr, Bobbi dan Mike Hernacki. (2000). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa. Fachruddin, Hs., (1992). Ensiklopedi Al Quran. Buku 1. Jakarta: Rineka Cipta. ______________ . (2000). Tafsir Sufi Al Fatihah. Bandung: Remaja Rosdakarya. Muhammad, Yasin. (1997). Konsep Fitrah Dalam Islam. Bandung: Mizan. Muhammad, Afif. (2002). Tafsir Al Quran untuk Anak-Anak: Surat Al Fatihah, Sobat Bocah Muslim. Bandung: Mizan. Muhammad, Ashari. (2001). Mengenal Diri Melalui Rasa Hati. Yogjakarta: Pustaka Sufi. Muhammad, Muhyidin. (2008). Mengajar Anak Berakhlak Al Quran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Madzahiri, Husain. (2001). Pintar Mendidik Anak, Panduan Lengkap Bagi Orang Tua, Guru, dan Masyarakat Berdasarkan Ajaran Islam. Jakarta: Lentera. Rakhmat, Jalaluddin. (2000). Islam Aktual, Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan. Ujang, Saefullah. (2007). Komunikasi Spiritual dalam Islam. Makalah S3. Bandung: UNPAD. Van de Carr, F. Rene, dan March Lehrer. (2001). Cara Baru Mendidik Anak Dalam Kandungan. Bandung: Kaifa. Winangsih, Syam Nina. (2006). Komunikasi Spiritual. Makalah S3. Bandung: UNPAD.