Kompleksitas Masalah Lingkungan yang Berdampak Terhadap Bencana 1 Oleh Fachruddin M. Mangunjaya2 Sejarah dunia modern adalah kesaksian dimana manusia menafikan kesucian langit atau semesta atas nama makhluk bumi yang hakiki yang dapat hidup dalam keseimbangan di atas bumi. ------(SH Nasr) Bumi, tempat manusia tinggal, adalah makhluk yang sangat tua. Sejarah geologi dan evolusi bumi yang dipelajari secara ilmiah menunjukkan bahwa bumi ini sekarang telah berumur sekitar 4.6 milyar tahun dan ciptaan dibumi –mamalia termasuk manusia—berkembang secara alamih diyakini mucul di era cenozoicum yang periodenya berusia 65 juta tahun. Maka ibarat seorang nenek yang tua renta, bumi membawa beban yang makin sarat dengan keberadaan makhluk beradab yang bernama manusia. Indonesia merupakan negara berkembang, dan sebagai konsekwensinya, sejalan dengan perkembangan pertumbuhan ekonomi yang pesat, negeri ini mendapatkan berbagai tantangan pembangunan lingkungan, antara lain: tingginya pertumbuhan penduduk, meningkatnya keperluan lahan yang mengakibatkan penyusutan lahanlahan subur untuk pertanian, kebutuhan energi, dan pertumbuhan sektor industri yang membawa persoalan lingkungan, seperti pencemaran tanah air dan udara serta menurunya daya dukung lingkungan, dan seterusnya. Penduduk Indonesia kian hari terus bertambah, yang menyebabkan tekanan pada sumber daya alam, sejalan dengan hal tersebut, maka kompleksitas lingkungan pun semakin bertambah. Berdasarkan catatan terakhir penduduk Indonesia adalah 214,374 juta jiwa (tahun 2003) dan meningkat menjadi 217,072 juta jiwa pada tahun 2005 dengan pertumbuhan rata-rata 1,26% pertahun. Dalam kurun waktu terakhir, secara ringkas persoalan lingkungan di Indonesia semakin kompleks dan bertambah luas. Ada beberapa faktor kunci yang menyebabkan Indonesia mengalami persoalan lingkungan yang semakin meluas: (1) Negara ini merupakan negara kepulauan atas hasil proses geologi yang panjang selama ratusan juta tahun. Proses tersebut membawa kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan berada di dua lempeng bumi: Indoaustralia dan Eurasia (belahan subduksi dari dua lempeng ini sering desebut dengan ring of fire). Kompleksitas ini yang membentuk ekosistem regional yang dimiliki negara kepulauan ini sangatlah beragam sehingga menghasilkan banyak sekali jumlah spesies makhluk hidup dan beberapa ratus diantaranya tidak dimiliki belahan bumi yang lain3. 1
Makalah disampaikan dalam Focus Group Discussion, “Penyusunan buku Landasan Konsepsional Penanganan Resiko Bencana Berbasis Komunitas Dalam Persfektif Islam. CBDRM Nahdlatul Ulama, di Jakarta, 23-25 Mei 2008. 2 Fachruddin M. Mangunjaya, Staff di Conservation International Indonesia, alamat: Jl Pejaten Barat No 16 A, Kemang Jakarta Selatan. E-mail:
[email protected] 3 Lihat paper yang menarik tentang ini pada, J.Sopahelwakan. 2003. Dari Ilmu Kebumian Ke Ilmu Sistem Kebumian: Peranan H2O dan CO2 dalam siklus proses bumi dan evaluasi Kepulauan
1
(2) Indonesia diwariskan sumberdaya alam dan hutan alam yang cukup kaya, termasuk didalamnya sumberdaya mineral, hutan alam, keanekaragaan hayati dan kompleksitas ekosistem yang sangat beragam dari laut dalam hingga puncak gunung dengan glatsier es. (3) Sebagai negara yang sedang membangun untuk mensejajarkan diri pada bersaing dengan negara-negara lain, Indonesia mendasarkan pendapatannya pada sumberdaya dan kekayaan warisan alam yang besar. Kekayaan ini, secara legitimate telah diekploitasi dengan alasan pembangunan yang berakar pada budaya dan pandangan antroposentris. (4) Kemiskinan dan keterbelakangan sebagian penduduknya, merupakan salah satu pemicu buruknya pengelolaan lingkungan di Indonesia. (5) Secara historis, Indonesia mempunyai warisan pendidikan yang tidak memadai dan tercerahkan dalam pengelolaan lingkungan. (6) Sebagai konsekwensi warisan alam yang luas dan beragam, Indonesia merupakan negara yang majemuk, dengan kultur budaya dan wilayah yang luas dan menyebar, Indonesia mengalami berbagai instabilitas politik yang membawa ketidak pastian dan pertarungan baik dalam perundang-undangan maupun perihal kewenangan dalam pemeliharaan dan penegakan hukum lingkungan. Pengurangan Keanekaragaman Hayati - Kerusakan Habitat --Kepunahan
Polusi Udara
Masalah Suplai Pangan
-Perubahan iklim global - Penipisan ozone -Polusi udara perkotoaan -Penumpukan kadar asam
-Kelebihan merumput -Kehilangan lahan & degradasi -Kehilangan lahan basah -Penangkapan ikan berlebih -Polusi pantai -Erosi tanah -Salinasi tanah
Polusi Air -Sedimentasi -Kelebihan nutrisi -Kimia beracun -Agen infeksi - Kekurangan oksigen -Pestisida -Limbah minyak -Ekses panas
-Sumber Air -
Produksi Limbah -Limbah Padat -Limbah Cair -Limbah Beracun (B3)
Kejenuhan Air -Pengurasan air tanah -Kehilangan keanekaragaman hayati
Gambar 1. Permasalahan Lingkungan secara umum (diambil dari Jatna Supriatna, 2007) Fakta diatas memunculkan problema lingkungan yang dihadapi Indonesia sekarang ini, kompleksitas kasus-kasus bencana lingkungan yang terjadi di Indonesia
Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Geologi Umum. LIPI Jakarta 21 Agustus 2003.
2
misalnya merupakan akumulasi dari segala interaksi yang terjadi atas kegiatan berbagai faktor tersebut. Secara teoritis, persoalan lingkungan timbul sebagai akibat berbagai tekanan dan interaksi ekosistem yang tidak mampu lagi menjadi penyangga (buffer) untuk memperbaiki dan memulihkan dirinya sendiri. Dilema lingkungan yang muncul pada umumnya merupakan dampak dari perlakuan manusia terhadap alam (lihat Gambar 1). Bumi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk memulihkan kondisinya dalam kadar tertentu yang masih dapat ditolerir, namun terkadang karena intervensi manusia yang sangat berlebihan, menjadikan bumi tidak mampu lagi memulihkan kondisinya. 4 Keadaan ini diperburuk lagi dengan adanya pengaruh eksternal –globalisasi--seperti perdagangan bebas, perubahan iklim global, proses demokratisasi dan instabilitas politik yang memicu kelemahan penegakan hukum dan proses menuju pada good governace. Masa transisi tahun 1998 hingga tahun 2000 menggambarkan hal itu, ketika penegakan hukum sangat lemah, dan negara tidak berdaya, maka illegal logging menjadi lebih marak sehingga mampu menghancurkan kawasan hutan dengan lebih cepat. 5
Kompleksitas Permasalahan Lingkungan di Indonesia Berdasarkan pada Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI)6 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sepanjang tahun 2005, masalah yang paling menonjol dalam bidang lingkungan hidup di Indonesia dan masih berlangsung hingga sekarang ada berbagai hal: Krisis Energi Terkait dengan krisis energi yang diakibatkan naiknya harga minyak dunia menjadi sekitar 60 US dollar perbarrel (2005) dan sekarang (2008), kenaikan harga minyak sudah menjadi dua kali lipat yaitu US$120. Sejak tahun 2005, pemerintah menaikkan harga minyak dengan mencabut subsidi dan sekarang ini, kembali pemerintah terpaksa menaikkan harga minyak untuk mempertahankan kondisi anggaran negara. Sekarang ini Indonesia telah termasuk sebagi negara net oil importer, dengan konsumsi minyak 1.3 juta barrel perhari. Produksi minyak Indonesia menurun dari 1.1 juta barrel dan diperkirakan menjadi 995 ribu barrel tahun 2007 dan menurun menjadi 971 ribu barrel tahun 20097. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah berupaya pula mencari energi alternative dengan berupaya menggagas pembangunan tenaga listrik berkapasitas 10.000 megawatt dari pembangkit batubara. Indonesia diperhitungkan mempunyai cadangan 157 miliar ton batubara dan bisa habis dalam jangka waktu 157 tahun. 4
Teori yang mendukung bahwa bumi merupakan makhluk hidup dan mampu mengkondisikan dirinya pada tarap tertentu adalalah Teori Gaia, oleh Lovelock, J.E. 1979. Gaia: A New Look at Life on Earth. Oxford University Press. 5 The World Bank. 2001. Indonesia: Environment and Natural Resource Management in a Time of Transision. The World Bank. Washington DC. 6 Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). 2005. Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI).Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. 7 Koran Tempo. Produksi Minyak Terus Merosot Hingga 2009. Senin 18 Desember 2007. hal A2.
3
Sayangnya, upaya ini seperti lepas dari mulut harimau ditangkap mulut buaya: minyak bumi dan batubara adalah sumber bahan bakar minyak yang berasal dari energi tidak terbarukan yang berbahan bakar fosil.8 Alternatifnya, sedang digalakkan dan dicari jalan keluar dengan sumber alternative yang lebih ramah lingkungan seperti minyak sawit dan minyak jarak yang bisa menghasilkan biodisel. Kelapa sawit di Indonesia berpotensi menghasilkan produksi 11 juta ton (pada tahun 2005), dapat dijadikan alternative sebagai subsidi untuk menanggulangi bahan bakar ini dalam bentuk biodiesel. Sayang sekali Biodiesel bukannya tanpa masalah, dalam upaya ekspansi menghasilkan minyak sawit, ternyata banyak lahan-lahan hutan alam yang kemudian menjadi sasaran tebang. Strategi menggolkan ekspansi perkebunan sawit yang besar banyak menghabiskan habitat alami bagi keanekaragaman hayati lain, hutan alam lebih banyak ditebang.9 Selain itu pemerintah telah mempunyai program intensif untuk menguji minyak jarak (Jatropha curcas) sebagai bahan bakar biodiesel. Dan bila berhasil Indonesia merupakan negara pertama di dunia yang menggunakan inisiatif ini. Kasus Flu Burung Berjangkitnya wabah flu burung (avian flu), yang hingga November 2005, tercatat telah mengakibatkan 48 orang tertular dan 19 orang diantaranya meninggal dunia. Peristiwa ini sebagian diakibatkan oleh tidak bersihnya lingkungan dan tata ruang permukiman penduduk yang semakin buruk. Flu burung merupakan penyakit baru yang diakibatkan oleh virus H5N1 yang biasanya menular pada unggas. Namun akhir-akhir ini virus tersebut ternyata juga bisa menjangkiti manusia dan mengakibatkan penyakit pernapasan serius dan membawa pada kematian. Selain itu sesunggunya penyakit malaria telah lam menjadi hal serius dan menginfeksi 2.5 juta penduduk diseluruh Indonesia pada tahun 2003, sedangkan jumlah penderita demam berdarah dangue (DBD) semakin meningkat dari 21 ribu pada tahun 2000 menjadi 51,500 pada tahun 2003.10 Problem Penanganan Sampah Mengenai penanganan sampah, yang diberbagai kota masih menggunakan open dumping (pembuangan secara terbuka). Sampah, seperti menjadi persoalan yang sangat kompleks dan tidak terselesaikan, padahal timbunan sampah di kota metropolitan di Indonesia seperti (Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya, Depok, Bandung, Tangerang mencapai 48.000 m3 setiap hari. Sedangkan di beberapa kota besar yang lain mencapai 17.000 m3 setiap hari dan jumlah sampah ini cenderung meningkat menjadi 2-4 % pertahun.11 Lumpur Sidoarjo Meluapnya lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo yang diakibatkan oleh pengeboran gas yang tidak memenuhi prosedur oleh PT.Lapindo Brantas. Kejadian ini menelan
8
Saya menulis analisis lingkungan mengenai hal ini, lihat Fachruddin Mangunjaya, 2006. Batubara dan Pembangunan Berkelanjutan. Koran Tempo. 20 April 2006. hal A13 9 Mangunjaya, F.M. Biofuel Versus Hutan Alam. Koran Tempo 25 April 2008. 10 KLH, hal 276 11 Ibid hal 186.
4
korban harta dan lahan yang sangat besar 345 ha tenggelam termasuk 6000 rumah penduduk dan korban harta berupa rumah tinggal, pabrik, perkantoran dan lain-lain. Selain memberikan pelajaran yang mahal tentang kearifan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan, tragedi Lumpur Sidoarjo memberikan pelajaran tentang prinsip kehati-hatian dalam eksporasi dan eksploitasi sumber-sumber mineral. Berdasar pada peta geologis tentang kawasan yang rawan dengan mud volcano, maka seharusnya tidak boleh lagi ada diekploitasi, apalagi kawasan tersebut merupakan kawasan permukiman yang dipadati oleh penduduk. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun di berbagai kawasan di Kalimantan dan Sumatera. Kebakaran ini menimbulkan asap yang selalu merepotkan semua pihak termasuk negara tetangga, terutama Malaysia dan Singapura. Siklus empat atau lima tahunan genting kemarau yang panjang selalu terjadi di Indonesia. Dan pada tahun 2006, terjadi heat musim kemarau dan pancaroba –peralihan musim kemarau ke musim hujan--antara Juni hingga November. Pada tahun 2005, tercatat 1331 hotspot (titik api) yang tersebar di berbagai daerah di Sumatera Utara dan Riau. Kebakaran hutan ini setiap tahun sangat mencemaskan, karena asap pembakaran lahan dan hutan berdampak negative bagi kesehatan. Pada musim kemarau tahun 2006 ini, kebakaran hutan dan asap menyebabkan beberapa hari sekolah di Palangkaraya, Kalimantan Tengah terpaksa diliburkan karena terjadi kabut asap. Kabut ini juga menghambat kelancaran penerbangan sehingga banyak pesawat membatalkan perjalanannya karena tidak mau mengambil resiko atas kabut asap yang fatal. Kerugian ekonomi akibat asap, selain kebakaran lahan, juga adalah kerugian dalam transaksi bisnis yang terhambat. Bencana kebakaran hutan yang paling dahsyat pernah terjadi pada tahun 1983 dan tahun 1997. Pada tahun 82/83 seluas 3,6 juta hektar hutan di Kalimantan Timur telah rusak akibat kekeringan dan kebakaran sedangkan tahu 1997/98, terjadi kembali kebakaran hebat yang menyebabkan 9,7 juta hektar lahan di Indonesia musnah terbakar. Kedua hal diatas merupakan puncak bencana akibat kekeringan yang disebabkan el-nino yang memang akan terjadi bebarapa kali dalam setiap 100 tahun. Peristiwa ini mengakibatkan kerugian negara sekitar 9,2 milyar dollar AS. 12
Penurunan Kualitas Lingkungan Selain terjadi kasus-kasus yang mendera seketika dan berlanjut pada setiap perubahan musim. Indonesia juga mempunyai persoalan yang sangat menonjol dari segi menurunya kualitas lingkungan hidup. Penurunan kualitas lingkungan ini merupakan dampak atas terjadinya perubahan lingkungan yang sangat drastis dan akibat akumulasi persoalan lingkungan yang belum bisa diatasi. Dua hal yang sangat menonjol yang sangat bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak yang bisa dibahas disini adalah soal penurunan kualitas adalah kualitas udara dan air. Kualitas Udara Kualitas udara ditentukan oleh adanya kebersihan udara yang mengandung cukup oksigen yang bersih dan tidak tercemar zat dan partikel yang berbahaya. Dalam 12
The World Bank, h 17
5
berbagai kasus di kota besar, bahaya utama yang bertebaran di udara adalah unsureunsur karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), Sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2) dan nitrogen oksida (NOx). Dalam laporan SLI yang dikeluarkan oleh KLH (2005), dilaporkan kondisi pencemaran udara di kota-kota besar menunjukkan penurunan. Di Jakarta berdasarkan pemantauan parameter PM10 hanya terdapat 29 hari yang baik, dan 270 hari berkualitas sedang sedangkan sisanya 18 hari berkulitas tidak sehat. Sedangkan di daerah yang diwakili melalui pemantauan indeks standar pencemar udara (IPSU), di Palangkaraya (Kalimantan Tengah) terdapat 215 hari yang baik, 15 hari sedang 7 hari tidak sehat dan 1 hari berbahaya. Hari –hari tidak sehat di Palangkaranya kemungkinan besar diakibatkan oleh adanya asap akibat pembakaran lahan dan hutan yang terjadi setiap tahun.13 Apakah di Indonesia terjadi perubahan iklim? Yang jelas terjadi peralihan musim hujan ketika diamati curah hujan di Jakarta dalam kurun waktu 100 tahun (19002000), mengindikasikan terjadinya peningkatan curah hujan di banyak daerah di Indonesia selama kurun waktu 100 tahun terakhir memberikan indikasi perubahan iklim (lihat table). Penyebab perubahan iklim, tentunya merupakan konsekwensi logis karena adanya gangguan pada lapisan ozon terhadap atmosfer bumi. Kejadian ini adalah diakibatkan oleh adanya emisi gas-gas rumah kaca (GRK) diataranya adalah CO2, CH4, nitroksida (N2), sebagai hidroflrokarbon (HFCs). Berdasarkan statistik Energi Ekonomi Indonesia (2005), emisi CO2 atas penggunaan energi di berbagai sektor: pembangkit listrik, industri, transportasi, rumah tangga dan komersial serta yang lainnya meningkat dari 113,72 ribu ton (pada tahun 1990) menjadi 280,31 ribu ton pada tahun 2004, sedangkan emisi gas metana (CH4) meningkat dari 11,63 ribu ton menjadi 26,84 ribu ton. Walau pun kecil dalam kontribusi mencemari udara dibandingkan dengan negaranegara maju, keadaan ini ternyata turut berkontribusi juga pada perubahan iklim terlebih ditambah dengan kontribusi Indonesia yang masih menebang kayu-kayu hutan alam mereka yang mempunyai potensi sebagai pengikat karbon yang tinggi. Misalnya Indonesia setiap tahun kehilangan hutan 1.87 juta ha, dan akan melepaskan karbon setara dengan 50-150 ton/ha, maka jumlah total tahunan karbon yang dilepaskan oleh hutan Indonesia mencapai 93.6 juta-280,7 juta ton karbon setiap tahun.14 Jika melihat angka ini, maka sesungguhnya, kontribusi Indonesia dalam mengubah iklim dunia memang bertumpu pada kemampuan Indonesia dalam memelihara atau merusak hutan. Kualitas Air Pada awal tahun 2006, KLH mengadakan survey di 22 kota dan 41 kabupaten untuk mengetahui pengetahuan masyarakat tentang kualitas sungai di kawasan mereka masing-masing. 48% (n=5037) dari koresponden mengatakan kondisi sungai mereka bersih sampah tetapi airnya keruh, dan 36% mengatakan air sungai mereka penuh sampah dan airnya keruh, dan hanya 14% yang mengatakan air sungai mereka 13
KLH, Ibid, hal 81 Butler, Rhett. 2006. Avoided deforestation could help fight third world poverty under global warming fact. http://news.mogabay.com/2006/1031-deforestation.html
14
6
bersih. Kesadaran tentang kebersihan air ini sudah sangat menggugah. Apalagi berbicara air haruslah mempertimbangkan kualitas bukan kuantitas. Memang dalam laporan KLH (2005), telah tercatat penurunan kualitas air sungai yang telah dimonitor secara rutin. Dari hasil monitoring di 30 sungai di Indonesia menunjukkan penurunan kualitas, lebih dari 50% sungai tidak memenuhi baku mutu air kelas I, yaitu air yang dapat digunakan untuk baku air minum dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan yang sama dengan kegunaan tersebutsebut. Dari sample yang diambil di hulu 30 sungai, hanya ada 2,9 % yang memenuhi baku mutu, 47,8% tercemar ringan, 34,5% tercemar sedang dan 14,7%tercemar berat. Daerah yang memiliki baku mutu yaitu anak Sungai Batang Agam (Sumatera Barat), Sungai Progo dan Sungai Kapuas (Kalbar). Sedangkan daerah hulu yang tercemar berat adalah Ciliwung Jawa Barat, Cisadane (Jabar dan Banten), anak Sungai Kampar (Riau), Rangkui (Banka Belitung), Kali Angke (Banten), Citarum (Jawa Barat), Kahayan (Kalimantan Tengah) dan Sungai Martapura di Kalimantan Selatan. Selain itu, kualitas air tanah di berbagai daerah di tanah air—yang mempunyai kepadatan penduduk tinggi—sudah pasti mengalami tekanan dan penurunan kualitas. Di beberapa kawasan perkotaan terutama di Pulau Jawa, kondisi air tanah mengalami eksploitasi akibat tekanan penduduk yang padat disamping kemungkinan terkontaminasi dengan kuman tinja (faecal coli) yang bisa mengakibatkan kawasan tersebut dapat menjadi rentan terhadap wabah diare. Kontaminasi ini dapat bisa diakibatkan oleh sumur yang berdekatan dengan septic tank, atau kawasan pinggiran sungai dan saluran air yang masih tidak tertati dan dijadikan tempat pembuangan tinja. Di kawasan industri di Kabupaten dan Kota Bandung, muka air tanah menurun drastis mencapai 40-80 m dibawah permukan tanah, kecenderungan ini semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya yang diakibatkan oleh bayaknya air yang disedot melaui sumur-sumur bor. Pada 2003 telah tercatat ada 2.258 sumur bor dan menyedot sebanyak 50,6 juta m3 air sendangkan pada tahun 2005 pengeboran meningkat menjadi 2.154 sumur dan konsumsi meningkat menjadi 51,4 juta m3 15. Di Semarang, penurunan muka air tanah telah berada dibawah permukaan laut, bahkan ditemukan kerucut permukaan air tanah amblas hingga 20 meter dibawah muka laut (bml) dengan titik terendah 28,32meter. Sedangkan di Jakarta mencapai 48 meter bml.16 Persoalan air bersih menjadi krusial dimasa depan, sebab konsumsi air terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, sementara tekanan terhadap sumber-sumber air semakin besar akibat kehilangan ekosistem pendukung dan kekurang perdulian untuk memelihara sumberdaya air tersebut. Sebagai contoh, 20 tahun yang lalu, mungkin tidak mengira kalau kita harus merogoh uang untuk membeli air putih kemasan sekedar untuk membeli air bersih dari pegunungan untuk konsumsi. Setiap hari di Jakarta, ada ratusan truk-truk air yang membawa suplai air bersih dari kawasan pegunungan Cianjur dan Sukabumi. 15
KLH, 2005. Status Lingkungan Hidup Indonesia, p 98. Hariadi Kartodiharjo dan H Jhamtani. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesi. Equinox Publ. Singapore. h. 127
16
7
Pencemaran air, merupakan kasus krusial di Jawa, 17 dari 62 Daerah ALiran Sungai (DAS) kritis berada di Jawa. Jawa menduduki peringkat pencemaran air tertinggi, yaitu 83% dari seleuh kasus pencemaran air di Indonesia Polusi Pantai Indonesi merupakan negara kepulauan yang mempunyai 17.504 pulau dan mempunyai garis pantai 81.000km, terpanjang di dunia.17 Menurut catatan WWF18, 96% penduduk Indonesia tinggal di pesisir hingga 100 km dari pantai, kondisi ini tentu saja akan mencerminkan pula betapa penduduk negeri ini sangat tergantung dengan kesehatan ekosistem yang ada di pantai. Sebab kawasan pantai (coastal areas) dengan laut yang sehat akan menghasilkan tangkapan ikan yang produktif. Sayangnya cepatnya perkembangan ekonomi dan pertambahan penduduk, rupaya menjadi penyebab meningkatnya pertumbuhan industri sejalan dengan ditambah limbah yang mereka hasilkan. Hal ini ternyata juga mengakibatkan pencemaran pada banyak pantai terutama yang berdekatan dengan kota besar. Di beberapa tempat seperti Teluk Jakarta, Ambon dan Ujung Pandang, terjadi pencemaran limbah yang mengakibatkan kualitas dan kuantitas tangkapan ikan nelayan menurun. Hal ini terjadi karena kualitas terumbu karang juga ikut rusak. Pada tahun 2005, Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI memantau terumbu karang di 686 stasiun pengamatan. Hasilnya, hanya 5,8% yang sangat baik, 25% baik, 36,6% sedang dan 31,2 % rusak. Tahun sebelumnya, terumbu karang tersebut masih 6,8 yang berkualitas sangat baik dan hanya 30,6% yang rusak. Trend kerusakan karang terjadi selama monitoring tersebut, dalam waktu sepuluh tahun antara 1993-2003, menceminkan kematian terumbu karang dari yang hidup 45% kemudian turun menjadi 30%.19 Disamping itu, di kawasan pantai sering terjadi siltasi atau pengendapan lumpur yang menutup terumbu karang akibat penggundulan lahan, juga berakibat pada tercemarnya terumbu karang. Penangkapan yang berlebih dan tidak ramah lingkungan juga berakibat pada penurunan produksi ikan. Nelayan di Maluku yang dulunya mencari ikan hanya mendayung satu jam pada 1985, lalu, Sembilan belas tahun kemudian harus sering melaut dan pergi sejauh empat jam memakai mesin tempel pada 2004.20 Kehilangan Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati adalah sebuah warisan alam yang tercipta sejalan dengan tumbuhnya segala jenis kehidupan di bumi. Sebagai negara tropika, Indonesia dikaruniai kekayaan hayati yang sangat tinggi sehingga perlu keseriusan untuk mengelola sekaligus menjaganya sebagai sebuah asset masa depan. Seringkali kita dijelaskan bahwa di hutan tropika –dimana kita tinggal—terdapat berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang ada di utan belantara maupun yang ada di dasar lautan, yang berpotensi sebagai obat-obatan dan cadangan genetika pangan masa depan. Oleh 17
KLH, 2005. ibid, hal 112. WWF Indonesia. Major Environmental Problems in Indonesia. http://www.panda.org/about_wwf/where_we_work/asia_pacific/where/indonesia/environmental_prob lems_indonesia/index.cfm . diakses 21 Mei 2008. 19 KLH, 2005 ibid. hal 113 20 Kartodiharjo, hal 135.
18
8
karena itu, warisan kekayaan hayati merupakan amanah penting yang juga pantas dijaga untuk melestarikan eksistensi kemanusiaan. Ada dua ancaman dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati di Indonesia; pertama adalah kehancuran habitat (habitat destruction) dan kedua adalah kepunahan spesies (species extinction). Kehancuran habitat di Indonesia terjadi akibat pengelolaan hutan-hutan alam yang tidak berkelanjutan dan pengaruh dari kebijakan yang tidak berhati-hati. 20 tahun yang lalu Indonesia diakui mempunyai sistem dan konsep pengelolaan kawasan hutan paling baik. Lembaga-lembaga dunia telah membantu untuk menetapkan tentang kawasan kawasan yang sangat rentan dan tidak bisa digantikan (bila ditebang), keterwakilan ekosistem dan lain-lain, tetapi karena terjadi transisi politik dan persoalan pemindahan wewenang pengelolan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, banyak kawasan-kawasan yang tadinya ditetapkan tidak secara konsisten diterapkan. 21 Ketika terjadi reformasi dan transisi kekuasaan, serta euphoria reformasi lalu terjadilah kelemahan penegakan hukum dan pengawasan. Momentum reformasi seolah dimanfaatkan untuk melepaskan dendam di daerah –yang selama ini tidak pernah menikmati kekayaan alamnya sendiri—untuk mengabil ‘hak-hak mereka’. Keadaan ini memperparah kondisi habitat dan hutan alam yang ada di Indonesia, banyak kawasan-kawasan konservasi seperti taman nasional Leuser di Aceh dan Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah kemudian dijarah oleh masyarakat. Disamping itu kawasan ini juga menderita tekanan-tekanan lain, yaitu terbakar pada musim kemarau dan mudah diclaim—atas nama ijin pemanfaatan yang lain misalnya perkebunan-- dan dirambah karena tatabatas lapangan yang tidak jelas dan memudahkan terjadinya illegal logging. Kekhawatiran tentang ketidak stabilan politik mempengaruhi pada pengelolaan sumber daya alam dan sudah menjadi common sense bagi banyak orang di dunia seperti yang disinyalir oleh Jared Diamon dalam essainya ‘Collapse’: “Indonesia as one of the state in political trouble spots of the modern world as well as environmental trouble spots of the modern world.”22 Potensi keanekaragaman hayati yang tersedia dialam hutan tropis Indonesia selain sebagai penyedia keperluan hidup seperti kayu, juga menjadi tempat berjuta makhluk hutan tropis yang beraneka ragam, juga terdapat bahan-bahan mentah non kayu seperti: resin, rotan, karet dan lain-lain, dan yang sangat penting lagi adalah kemampuannya sebagai ekosistem service saperti pencegah erosi, daerah tangkapan air, regulasi udara dan sebagainya. Penutup Sangat jelas gambaran tentang kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi bencana lingkungan. Kita melihat keadaan ekosistem alam yang tadinya seimbang, toto tentrem, kemudian terjadi krisis berkepanjangan dan semakin meningkat jumlahnya disebabkan kerusakan daya dukung sistem 21
Jepson, P., J K. Jarvie, K. MacKinnon, K A. Monk. 2001. The end for Indonesia's lowland forests? Science, May 4,: 292 (5518): 859.
22
Diamond, J. 2005.Collapse: How Societies Choose to fail or succeed. Viking: New York.P 496.
9
ekologi yang diakibatkan oleh manusia. Kerusakan hutan, misalnya akan menggangu sistem hidrologis yang mengakibatkan menurunya daya ikat tanah dalam mengendalikan air. Tentu saja, kerusakan ini pada ujungnya dapat berdampak pada kekeringan atau banjir. Bencana ini juga diperparah lagi dengan adanya perubahan iklim. Akibat adanya perubahan iklim, kondisi tidak seperti biasanya, terjadi pergeseran musim, misalnya ada kecenderungan musim kemarau yang lebih panjang dan tak beraturan, akan tetapi hujan cenderung pendek namun intensitasnya tinggi. 23 Perubahan iklim pula yang menyebabkan mewabahnya penyakit, disamping didorong oleh penurunan kualitas sanitasi dan kesehatan lingkungan yang kurang memadai. Oleh karena itu dalam menanggulangi bencana lingkungan di Indonesia, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu: 1. tentang kecenderungan bencana alam 2. kesadaran sosial dan lingkungan (sosio-ekologis) yang memadai. Faktor yang kurang menguntungkan bagi kita di Indonesia, adalah lokasi geografis Indonesia seperti digambarkan pada awal makalah ini, memang mengharuskan seluruh penduduk untuk waspada terhadap bencana. Oleh sebab itu perlu adanya manajemen tentang peringatan dini, informasi tentang iklim, peta rawan bencana yang kita hadapi di daerah tertentu. Pada akhirnya, penting juga untuk menetapkan prinsip kehati-hatian dalam membangun dan mengkaji dampak lingkungan suatu proyek yang mungkin dapat menjadi bencana akibat salah urus. Kesadaran sosio-ekologis baik dari segi budaya maupun agama perlu di kembangkan. Upaya halaqah seperti yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama pada hari ini, merupakan peluang sangat besar untuk memberikan pemahaman dan penyadaran tentang kondisi geografis Indonesia dan kerentanan ekologi yang dimilikinya. Semoga dengan adanya khalaqah ini, umat menjadi tercerahkan dan semakin mengerti posisi dirinya di alam semesta yang dinamakan nusantara (bumi Indonesia) ini, sebagaimana Ibnu Arabi pernah berkata: ”Barang siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya.” Wallahu ’a-lam. Jakarta, 22 Mai 2008
23
Dikutip dari ahli klimatologi Paulus Winarso, seperti dimuat di Kompas 28 Oktober 2003, dalam Kartodiharjo & Jhamtani hal 167.
10