Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Permasalahan dan Prospek Pembentukannya di Indonesia
Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.
Makalah Disampaikan Pada : SEMINAR PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL VIII TEMA PENEGAKAN HUKUM DALAM ERA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Diselenggarakan Oleh BADAN PEMBIlNAAN HUKUM NASIONAL DEPARTEMEN KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA RI Denpasar, 14 - 18 Juli 2003
1
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Permasalahan dan Prospek Pembentukannya di Indonesia1 Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.2
A. Pengantar Kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya perlindungan hakhak asasi manusia (HAM) sangat meningkat dalam tempo lebih dari sepuluh tahun terakhir ini.3 Dari selatan Afrika ke Uni Soviet, hingga ke Amerika Latin dan tempat-tempat lain di dunia, suatu arus perubahan global telah meninggalkan otokrasi-otokrasi politik dan mengisolasinya bagaikan para pelaut yang berada pada bagian bawah dari gelombang air pasang.4 Semenjak tahun 1
Disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI di Denpasar, 14-18 Juli 2003.
2
Staf Pengajar dan Wakil Dekan Bidang Pendayagunaan Sistem Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
3
Ketika dunia komunis mulai mengalami keruntuhan pada akhir tahun 1980-an, dan periode pasca Perang Dingin dimulai, negara-negara demokratis baru, beberapa di antaranya dengan sejarah demokrasi yang mengalami pasang-surut, yang lain-lain diperintah oleh para tiran, dan beberapa di antaranya menikmati janji-janji-janji untuk hidup sebagai suatu negara yang baru merdeka, memandang kepada negara-negara demokrasi, terutama Amerika Serikat, untuk membantu proses pembentukan institusi-institusi demokrasi dan suatu landasan kompleks dari kewarganegaraan yang bersifat demokratis. Mereka mempermasalahkan bagaimana cara terbaik untuk memberikan inspirasi kepada masyarakat kita dengan kebiasaan-kebiasaan demokratis dan membangun institusi-institusi demokratis untuk mendorong dan melindungi kebebasan-kebebasan baru mereka. Lihat Neil J. Kritz, ed., Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon with Former Regimes, Volume II: Country Studies (Washington, D.C.: United States Institute of Peace Press, 1995), hal. xxv. 4
Di Jerman, terjadi peristiwa runtuhnya Tembok Berlin yang memisahkan antara Jerman Barat dan Jerman Timur, yang kemudian diikuti dengan reunifikasi Jerman pada tanggal 3 Oktober 1990. Semenjak saat itu terdapatlah satu Konstitusi Republik Federal Jerman (Basic Law for the Federal Republic of Germany) yang baru. Dalam Kata Pendahuluannya Prof. Roman Herzog – Mantan Presiden Mahkamah Konstitusi Federal (Federal Constitutional Court) Jerman yang kemudian juga menjadi Presiden Republik Federal Jerman – menilai bahwa Konstitusi Republik Federal Jerman tersebut sebagai berikut: “It is the most liberal constitution the Germans have ever had and has served as a model for many other democratic constitutions. We Germans have every reason to be proud of our Basic Law and to defend it to the best of our ability”. Lihat Kata Pendahuluan Herzog dalam Basic Law for the Federal Republic of Germany
2
1989, sejumlah besar negara di pelbagai belahan dunia dan benua, telah melaksanakan reformasi, dan bergerak ke arah kategori kemunculan dan kemunculan kembali demokrasi, dan memproklamirkan dukungan terhadap HAM internasional dengan tulus.5 Pada tahun 1989 misalnya, Komite Helsinki di Polandia telah mengumumkan bahwa isu-isu yang berkaitan dengan ideologi akan dikeluarkan dari kurikulum sekolah-sekolah, dan digantikan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Universal Declaration of Human Rights. Di antara rezimrezim baru yang terlibat dalam pembangunan institusi dan konstruksi demokrasi, banyak yang berpandangan bahwa pendidikan HAM merupakan sarana penangkal yang tepat untuk mencegah kambuhnya kembali kecenderungan pelanggaran HAM. Tiga puluh lima negara yang menandatangani Persetujuan Helsinki pada tahun 1975 misalnya, telah menyatakan niat mereka agar pada dekade terakhir dari abad ke-20, sekolahsekolah dan institusi-institusi pendidikan didorong untuk mempertimbangkan penyebarluasan nilai-nilai HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental dalam kurikulumnya.6 Bagi sebagian kalangan yang kurang mendalami bagaimana kondisi di negara Uni Soviet yang sekarang telah mengalami disintegrasi, tidak akan terbayangkan peristiwa-peristiwa semacam penindasan terhadap agama, pengingkaran terhadap kebebasan berkumpul, dan pelanggaran terhadap hakhak warga negara minoritas yang terjadi ketika itu. Pada intinya, saat itu tidaklah terbayangkan berapa lama reformasi Uni Soviet harus dilaksanakan sebelum rakyatnya dapat menikmati hak-hak dasar yang menjadi haknya.7 Di tingkat internasional, regional, dan domestik, semenjak pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945, kuatnya penghormatan terhadap HAM ditandai dengan ditetapkannya berbagai instrumen HAM, baik dalam tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa, tingkat regional, dan tingkat domestik.
(Promulgated by the Parliamentary Council on 23 May 1949) (Bonn: The Press and Information Service of the Federal Government, 1995), hal. 3. 5
Richard Pierre Claude dan Burns H. Weston, eds. Human Rights in the World Community (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1992), hal. ix.
6
Ibid.; Satya Arinanto, “Negara Orde Baru dan Hak-hak Rakyat,” Hukum dan Pembangunan, Februari 1997, hal. 6.
7
Michael Novak, Taking Glasnost Seriously: Toward an Open Soviet Union (Washington, D.C.: American Institute for Public Policy Research, 1998), hal. 69.
3
B. Politik Hukum Penyelesaian Pelanggaran HAM Disamping menetapkan Perubahan Kedua UUD 1945, dalam Sidang Tahunan pertama tahun 2000 MPR juga melakukan pembahasan terhadap Laporan Tahunan Lembaga-lembaga Tinggi Negara dalam melaksanakan GBHN dan Ketetapan-ketetapan MPR. Hal ini tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2000 tentang “Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000”. Dalam Ketetapan ini, khususnya yang berkaitan dengan HAM, MPR memberikan catatan sebagai berikut:8 c. Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia masih terkesan lamban, diskriminatif, dan belum tuntas sementara praktekpraktek pelanggaran Hak Asasi Manusia tetap berlangsung bahkan seringkali terjadi penyalahgunaan upaya penegakan Hak Asasi Manusia. Sehubungan dengan penilaian tersebut, MPR kemudian menugaskan kepada Presiden untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM secara serius dan adil.9 Selanjutnya, pada tanggal 23 November 2000, sebagai pengganti Perpu Nomor 1 Tahun 1999, ditetapkanlah UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang “Pengadilan Hak Asasi Manusia”. Salah satu latar belakang pembentukan UU Nomor 26 Tahun 2000 ini sebagaimana tercantum dalam bagian Menimbang ialah bahwa pembentukan Pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh DPR menjadi UU, dan oleh karena itu Perpu tersebut perlu dicabut.10 Babakan selanjutnya berkaitan dengan penugasan MPR kepada Presiden untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Penugasan tersebut kemudian sempat ditindaklanjuti oleh Presiden 8
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 7 – 18 Agustus 2000 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2000), hal. 100.
9
Ibid.
10
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU Nomor 26 Tahun 2000, LN Nomor 208 Tahun 2000, TLN Nomor 4012, bagian “Menimbang” butir c.
4
Abdurrahman Wahid dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 53 Tahun 2001 tentang “Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat” pada tanggal 23 April 2001. Pembentukan Keppres ini dilakukan sebagai pelaksanaan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang “Pengadilan Hak Asasi Manusia”, yang menentukan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc.11 Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa pengadilan HAM yang dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor Timur pascajajak pendapat dan yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984.12 Belum sempat Keppres tersebut dilaksanakan, pada awal kepresidenan Megawati Soekarnoputri Keppres ini langsung mengalami revisi, dengan penerbitan Keppres Nomor 96 Tahun 2001 tentang “Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”. Bagian yang mengalami penyempurnaan tersebut adalah Pasal 2, dengan maksud untuk lebih memperjelas tempat dan waktu tindak pidana (locus dan tempus delicti) pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur dan Tanjung Priok.13 Keppres yang baru tersebut dalam Pasal 2 menyatakan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc tersebut berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dilli, Suai pada bulan April 1999 dan bulan September 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984.14 Dengan demikian perumusan ini lebih menyempurnakan rumusan dalam Keppres sebelumnya yang hanya menyatakan bahwa pengadilan yang dimaksud berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor Timur pascajajak pendapat dan yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984.15
11
Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Keppres Nomor 53 Tahun 2001, Bagian Menimbang butir a.
12
Ibid., Pasal 2.
13
Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Keppres Nomor 96 Tahun 2001, bagian Menimbang butir a. 14
Ibid., Pasal 2.
15
Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, loc. cit., Pasal 2.
5
Dalam pelaksanaan Sidang Tahunan MPR bulan November 2001, masalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM ini kembali menjadi sorotan. Dalam konteks ini MPR menilai bahwa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM belum dilaksanakan secara cepat, adil, dan tuntas, bahkan masih terkesan lamban dan diskriminatif, sehingga belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut MPR menugaskan kepada Presiden untuk segera menyelesaikan proses penyidikan dan penuntutan perkara-perkara dugaan pelanggaran HAM.16
C. Dorongan Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dalam kaitan dengan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut, MPR juga pernah menegaskan melalui Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang “Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional”, agar diadakan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).17 Dalam Ketetapan ini MPR menugaskan kepada pemerintah sebagai berikut:18 Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga esktra-yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. Realisasi pelaksanaan Ketetapan inilah yang dipertanyakan MPR dalam Sidang Tahunan kedua pada bulan November 2001. Hal ini sesuai dengan 16
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2001), hal. 90. 17
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 7 – 18 Agustus 2000, op. cit., hal. 67.
18
Ibid.
6
pernyataan MPR yang menegaskan bahwa amanat Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tersebut, khususnya mengenai pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi belum direalisasikan. Karena itu MPR menugaskan kepada Presiden agar Presiden bersama DPR membentuk UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.19 Masalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini kembali dipertanyakan oleh MPR dalam Sidang Tahunan MPR ketiga pada bulan Agustus 2002 ini. Dalam salah satu rekomendasinya, MPR kembali merekomendasikan kepada Pemerintah dan DPR untuk segera membuat RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.20 Selain membuat RUU tersebut, MPR juga menilai bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM belum dilaksanakan secara cepat, adil, tuntas, dan transparan, bahkan masih terkesan lamban dan diskriminatif, sehingga belum memenuhi rasa keadilan masyarakat.21 Sebagai peraturan pelaksanaan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang “Pengadilan Hak Asasi Manusia”,22 menjelang digelarnya pelaksanaan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di Timor-Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dilli, dan Suai, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1999 tentang “Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat”23 dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1999 tentang “Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat”.24 Penerbitan kedua PP ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 34 ayat (3) dan 35 ayat (3) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang “Pengadilan Hak Asasi Manusia”. 19
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, op. cit. 20
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia: Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002), hal. 62.
21
bdm, “MPR Kembali Rekomendasikan Bentuk Komisi Kebenaran,” Kompas, 12 Agustus 2002, hal. 7; Lihat pula bdm, “Ifdhal Kasim: RUU KKR Masih Berada di Sekretariat Negara,” Kompas, 13 Agustus 2002, hal. 7.
22
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, loc. cit.
23
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, PP Nomor 2 Tahun 2002, LN Nomor 6 Tahun 2002, TLN Nomor 4171. 24
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, PP Nomor 3 Tahun 2002, LN Nomor 7 Tahun 2002, TLN Nomor 4172.
7
D. Konteks Keadilan Transisional Berbagai perkembangan dalam bidang hukum tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sedang berada dalam masa transisi politik menuju demokrasi. Salah satu hal yang harus dituntaskan dalam masa transisi politik tersebut adalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Pada dekade akhir-akhir ini, masyarakat di berbagai penjuru dunia – dari Amerika Latin, Eropa Timur, bekas Uni Soviet, hingga ke Afrika – telah menggulingkan kediktatoran militer dan rezim totaliter, dan menggantinya dengan rezim yang bebas dan demokratis.25 Dalam saat-saat ini, ketika muncul gerakan-gerakan politik besarbesaran dari pemerintahan yang nonliberal, muncul suatu permasalahan utama: bagaimana masyarakat memperlakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi pada masa yang lalu? Permasalahan ini terkait dengan hal-hal lain yang membahas permasalahan dari kaitan antara perlakuan dari masa lalu suatu negara terhadap masa depannya, yang mencakup hal-hal sebagai berikut:26 1. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim baru terhadap aturan-aturan hukum yang dilahirkannya? 2. Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki signifikansi transformatif? 3. Apakah – jika ada – terdapat kaitan antara pertanggungjawaban suatu negara terhadap masa lalunya yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal? 4. Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah liberalisasi? Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pencarian konsepsi keadilan transisional dalam proses transisi politik menuju demokrasi yang terjadi di berbagai negara tersebut telah lama menarik perhatian penulis untuk melakukan penulisan tentang proses transisi politik menuju demokrasi di Indonesia. Dalam proses transisi politik menuju demokrasi ini timbul permasalahan-permasalahan tentang bagaimanakah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Berdasarkan berbagai peraturan dasar dan peraturan perundangundangan sebagaimana dikemukakan di muka, jalan penyelesaian yang dipilih Indonesia untuk menyelesaikan berbagai masalah pelanggaran HAM yang
25
Ruti G. Teitel, Transitional Justice (Oxford: Oxford University Press, 2000), hal. 3.
26
Ibid.
8
terjadi pada masa lalu dan sekaligus meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM setidak-tidaknya meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Melengkapi berbagai peraturan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia dengan cara membentuk berbagai peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan yang materi muatannya berkaitan dengan perlindungan dan penegakan HAM. 2. Membentuk Pengadilan HAM dengan tujuan untuk mengadili kasuskasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Untuk berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa yang lalu, UU Nomor 26 Tahun 2000 telah mencanangkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.27 3. Merencanakan untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian pelanggaran HAM berat. Sebagaimana dikemukakan di muka, pembentukan Komisi ini akan dilakukan dengan UU. Hingga saat ini UU tersebut belum disahkan. Jika Komisi ini telah dibentuk, maka proses penyelesaian kasuskasus pelanggaran HAM dapat dilakukan dengan meniru model dari negara-negara yang pernah menerapkan pembentukan Komisi semacam ini. 4. Peningkatan diseminasi dan pendidikan HAM. Langkah ini dilaksanakan antara lain dengan pengembangan dan penyebarluasan bahan-bahan pengajaran HAM.28
E. Tuntutan Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat Semenjak masa-masa awal era reformasi, di kalangan masyarakat telah muncul tuntutan agar para pelanggar HAM berat diadili. Tuntutan itu mengarah kepada berbagai kasus, misalnya kasus-kasus terbunuhnya para mahasiswa dalam kegiatan demontrasi karena bentrok dengan aparat keamanan, seperti yang dikenal dengan kasus Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I (13 November 1998), dan Semanggi II (22 – 24 September 1999). Ada pula kasus-kasus lainnya yang juga dituntut untuk diselesaikan seperti kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok (12 September 1984), kasus pelanggaran HAM berat di Aceh semasa penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 27
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, loc. cit., khususnya Bab VIII, Pasal 43 dan 44. 28
Lihat Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia, Keppres Nomor 129 Tahun 1998.
9
1989 – 1999,29 dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dilli, dan Suai.30 Pengalihan kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Wakil Presiden – yang kemudian menjadi Presiden – B.J. Habibie membawa konsekuensi ikut sertanya masa lalu ke dalam sebuah pemerintahan baru. Dalam bahasa Marsillam Simanjuntak,31 terbawanya masalah-masalah masa lalu merupakan suatu carry over yang menyulitkan. Ketika orang telah merasa memasuki sebuah era yang baru, pada saat yang bersamaan masih harus bergelut dengan persoalanpersoalan lama. Permasalahan besar yang muncul dalam konteks ini ialah, mengapa pada saat terjadi peralihan kekuasaan dari Soeharto ke B.J. Habibie, tak bisa dicapai suatu konsensus politik untuk mencari format bagaimana menangani masalah pelanggaran HAM berat masa lalu. Ketiadaan konsensus politik inilah yang menyebabkan timbulnya permasalahan yang berkepanjangan hingga saat ini.
F. Pencarian Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Keadilan di Berbagai Negara Pada masa akhir abad yang baru lalu, masyarakat di seluruh dunia sedang berupaya untuk memutuskan kaitan dengan pemerintahan otoriter dan mulai membangun demokrasi. Pada saat terjadinya berbagai perubahan radikal ini muncul suatu pertanyaan: haruskah masyarakat menghukum masa lalunya, ataukah membiarkan kaitan dengan masa lalu (bygones) tetap eksis? Konsepsi keadilan transisional (transisional justice)32 telah membawa pertanyaan ini ke 29
Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Keppres Nomor 53 Tahun 2001, loc. cit; Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Keppres Nomor 96 Tahun 2001, loc. cit. 30
Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Keppres Nomor 96 Tahun 2001, loc. cit. 31
Mantan Sekretaris Negara, Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada era kepresidenan Abdurrahman Wahid. 32
Dalam terminologi Harun Alrasid, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, istilah keadilan transisional ini lebih tepat jika diindonesiakan sebagai keadilan peralihan. Berkaitan dengan hal ini penulis teringat akan salah satu makalah Alrasid yang berjudul “Membangun Indonesia Baru dengan UndangUndang Dasar Baru (Menanti Kelahiran Republik Kelima)” yang dimuat dalam bukunya yang berjudul Naskah UUD 1945 Sesudah Tiga Kali Diubah oleh MPR (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UIPress), 2002, hal. 65 – 84. Dalam makalah ini dikutip pendapat dari Assaat, mantan Pejabat Presiden Negara Bagian Republik Indonesia (Yogya), yang berjudul Hukum Tata Negara Republik Indonesia dalam
10
suatu tingkat dengan suatu pendekatan interdisipliner yang menantang beberapa terminologi perdebatan kontemporer.33 Semenjak akhir Perang Dunia II, serangkaian negara telah tumbuh dan melepaskan diri dari kediktatoran pembunuh, dan strategi keluar mereka telah tumbuh secara berbeda berdasarkan latar belakang sejarah mereka masingmasing.34 Pihak Jerman Barat, setelah mengalami suatu kebrutalan dan ujian diri yang berkepanjangan, kemudian muncul dengan sebuah model demokrasi.35 Bangsa Rusia memulai dengan suatu langkah yang menyedihkan Masa Peralihan (Jakarta: Bulan Bintang, 1951). Dalam bagian yang berjudul “Hukum Tata Negara dalam Masa Peralihan”, Alrasid menyatakan bahwa Assaat memberikan definisi mengenai masa peralihan (transisi) dalam bidang ketatanegaraan sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan masa peralihan ialah masa yang bermula dengan saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 sampai kepada saat berlakunya Undang-Undang Dasar I Republik Indonesia yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Menurut Alrasid, rencana tersebut tidak dapat terlaksana karena kedatangan tentara Belanda yang ingin mengembalikan status Pemerintah Belanda di Indonesia seperti pada waktu sebelum Perang Dunia Kedua. Revolusi fisik diiringi dengan diplomasi kemudian mengakhiri masa Republik Pertama (17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949), yaitu dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) (penyerahan kedaulatan secara formal oleh Pemerintah Belanda). Namun demikian, dengan segala hormat kepada pendapat Alrasid, berkaitan dengan judul makalah ini, penulis lebih cenderung untuk memilih istilah transisional daripada peralihan, karena dari segi kepustakaan istilah transisional lebih banyak dan lebih lazim dipakai dalam berbagai kepustakaan yang membahas mengenai masalah ini; Sebagai bahan diskusi lebih lanjut yang berkaitan dengan aspek historis tersebut, lihat D. Sidik Suraputra, Revolusi Indonesia dan Hukum Internasional (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1991); Lihat pula Aboe Bakar Loebis, Kilas Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku, dan Saksi (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1995). 33
Teitel, op. cit., hal. sampul luar; Sebagai bahan diskusi, lihat pula Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law (New York: Harper dan Row, Publishers, 1978); Anwar, ed., op. cit.; Brad R. Roth, Governmental Illegitimacy in International Law (Oxford: Clarendon Press, 1999); Miriam Budiardjo, “HAM dan Demokrasi Masa Transisi,” Kompas, 9 Februari 2002, hal. 4.
34
Dalam konteks kondisi pasca Perang Dunia II ini, ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam mendiskursuskan mengenai masalah HAM. Menurut Miriam Budiardjo, dalam membahas HAM ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, masalah “ketegangan” antara hak politik dan hak ekonomi. Kedua, konsep bahwa HAM adalah bagian dari demokrasi dan tidak terpisahkan dari demokrasi. Kedua hal ini berpengaruh atas negara-negara baru – termasuk Indonesia – yang sedang mengalami masa transisi dari rezim otoriter ke negara demokratis. Masalah pertama, dikotomi antara hak asasi politik dan hak asasi ekonomi, telah berkembang sesuai Perang Dunia II antara negara-negara Barat (Dunia Pertama) di satu pihak dan negara-negara Komunis (Dunia Kedua) serta negara-negara Berkembang (Dunia Ketiga) di pihak lain. Dalam pandangan Budiardjo, negara-negara Barat terobsesi dengan pemenuhan hak-hak tradisional yang bersifat politik (seperti hak untuk hidup dan hak berbicara), dan menganggap remeh hakhak ekonomi (seperti hak atas kehidupan layak dan hak atas pendidikan) , karena mereka telah berhasil memberantas kemiskinan dan mencapai tingkat pendidikan yang tinggi. Sebaliknya, negara-negara Dunia Kedua dan Dunia Ketiga berpandangan bahwa rendahnya tingkat kemakmuran mendorong mereka menitikberatkan usaha pemenuhan hak ekonomi dulu, terutama penumpasan kemiskinan. Lihat Budiardjo, “HAM dan Demokrasi Masa Transisi,” loc. cit. 35
Kecenderungan untuk menjadi sebuah model demokrasi ini antara lain diwujudkan dengan cara pengaturan perlindungan HAM dalam Konstitusi – Grundgesetz, Verfassung, atau Basic Law - Jerman. Konstitusi yang dalam versi resmi Bahasa Inggrisnya selengkapnya disebut Basic Law for the Federal Republic of Germany ini diumumkan dengan resmi oleh The Parliamentary Council pada tanggal 23 Mei 1949. Hal ini tampak dari pernyataan di dalam Konstitusi tersebut yang menyatakan sebagai berikut: “The Parliamentary Council, meeting in public session at Bonn on the Rhine on 23 May 1949, confirmed that the
11
untuk membawa komunisme ke pengadilan, namun belum begitu melakukan banyak hal untuk melawan masa lalu mereka yang cenderung mendukung pemikiran Jossif W. Stalin.36 Afrika Selatan membuat suatu langkah yang mulia untuk membebaskan mereka dari roh jahat melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.37 Dan, di Rwanda, dimana sejumlah orang yang sedang menunggu untuk diadili, berupaya mencapai suatu keadilan yang tampaknya mustahil.38 Basic Law for the Federal Republic of Germany, which was adopted by the Parliamentary Council on 8 May 1949, was ratified in the week of 16 to 22 May 1949 by the parliaments of more than two thirds of the participating German Länder”. Disamping adanya penegasan dalam Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan bahwa “The Federal Republic of Germany shall be a democratic and social federal state”, dalam Pasal 1 – 19 juga diatur berbagai macam HAM. Dalam Bab I yang berjudul “Basic Rights” tersebut, tercantum adanya 22 pasal sebagai berikut: (1) Article 1 [Protection of human dignity]; (2) Article 2 [Personal freedom]; (3) Article 3 [Equality before the law]; (4) Article 4 [Freedom of faith, conscience, and creed]; (5) Article 5 [Freedom of expression]; (6) Article 6 [Marriage and family, children born outside marriage]; (7) Article 7 [School education]; (8) Article 8 [Freedom of assembly]; (9) Article 9 [Freedom of association]; (10) Article 10 [Privacy of correspondence, posts, and telecommunications]; (11) Article 11 [Freedom of movement]; (12) Article 12 [Free choice of occupation or profession, prohibition of forced labour]; (13) Article 12a [Compulsory military or alternative service]; (14) Article 13 [Privacy of the home]; (15) Article 14 [Property, inheritance, expropriation]; (16) Article 15 [Public ownership]; (17) Article 16 [Nationality, extradition]; (18) Article 16a [Asylum]; (19) Article 17 [Right of petition]; (20) Article 17a [Restriction of certain basic rights by legislation on defence and alternative service]; (21) Article 18 [Forfeiture of basic rights]; dan (22) Article 19 [Restriction of basic rights]. 36
Berkaitan dengan Jossif W. Stalin ini, Franz Magnis-Suseno dalam Kata Pengantarnya dalam buku Hannah Arendt antara lain menyatakan bahwa sama saja irasionalitas pembersihan-pembersihan yang dilakukan Stalis pada tahun 1930-an dengan akibat bahwa pada tahun 1941, saat Jerman menyerang Uni Soviet, ia tidak memiliki jenderal-jenderal yang cakap, karena seluruh pimpinan tentara merah sudah dihukum mati sebelumnya. Kegilaan kasar itu juga amat mencolok dalam rezim totaliter paling kejam yang sampai sekarang dikenal dunia, yakni rezim Pol Pot Khmer Merah yang hanya dalam tiga tahun, dalam rangka pewujudan ideologinya tentang masyarakat mandiri agraris, berhasil membunuh lebih dari satu juta orang (dari 8 juta penduduk); irrealisme fanatik ideologis itu membuat mereka buta terhadap kelemahan kedudukan mereka sehingga sesudah hanya 3,5 tahun mereka dapat disingkirkan oleh tentara Vietnam pada permulaan tahun 1979. Jika pelbagai bentuk despotisme, diktatur, dan paternalisme keras masih dapat saja kita fahami logika internalnya, tetapi rezim-rezim totaliter seakan-akan di luar kemampuan kita untuk memahami mereka. Mereka membuat kaget dan ngeri. Orang sampai tidak percaya bahwa sikap semacam itu mungkin terjadi. Kebencian terhadap Yahudi terdapat cukup luas di dunia – ternyata kurang lebih 50% “berhasil” dibunuh, enam juta – adalah di luar pengertian luar biasa kita. Begitu pula bahwa Stalin demi ideologi penguasaan total pertanian dalam waktu tiga tahun – menurut pengakuannya kepada Winston Churchill – membiarkan lebih dari 10 juta petani Rusia mati serta untuk sampai hari ini menghancurkan ekonomi agraris Uni Soviet. Hal ini sulit untuk ditangkap atau diterima akal sehat. Lihat Magnis-Suseno dalam Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism, atau Asasl-Usul Totalitarisme, Jilid III, terj. J.M. Soebijanta (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hal. xv – xvi. 37
Sebagai bahan pembanding, lihat pula George W. Sheperd, Jr. dan Mark O.C. Anikpo, eds., Emerging Human Rights: The African Political Economy Context (New York: Greenwood Press, 1990); dan Felix Ermacora, Manfred Nowak, dan Hannes Tretter, eds., International Human Rights: Documents and Introductory Notes (Vienna: Law Books in Europe, 1993). 38
Serge Schmemann, “Ideas and Trends: Transitional Justice; How to Face the Past, Then Close the Door,” The New York Times, Premium Archive, 8 April 2001; Kondisi pasca Perang Dunia II ini juga telah membuat berbagai negara merevisi aspek HAM dalam kebijakan luar negerinya. Untuk meninjau mengenai hal ini, lihat David P. Forsythe, ed., Human Rights and Comparative Foreign Policy (Tokyo: United Nations University Press, 2000). Buku ini mengulas tentang politik luar negeri beberapa negara dan HAM, dalam perspektif perbandingan. Terdapat 10 (sepuluh) negara yang diulas, ditambah 1 (satu) ulasan
12
Beberapa bangsa telah bereaksi terhadap masa lalunya yang kacau dengan cara menutup mata mereka secara kolektif. Austria misalnya telah lama menggambarkan dirinya sebagai “korban pertama” dari Nazisme, ketika hal itu masih sungguh-sungguh merupakan pasangannya yang digemari. Spanyol, di sisi lain, mulai bergerak setelah Franco meninggal dunia. Dan di Uruguay, rakyat memberikan suaranya dalam suatu referendum untuk tidak menyelidiki pemerintahan militer yang penuh kekerasan yang berakhir pada tahun 1985. Beberapa negara lainnya telah mendapati kesulitan untuk memelihara amnesia historisnya di hadapan korban-korban yang terus-menerus berjatuhan, seperti bangsa Jepang dan perlakuan mereka terhadap Cina dan Korea selama masa perang, atau bangsa Turki dan pembunuhan massal terhadap orang-orang Armenia.39 Dalam keragaman pengalaman ini, bagaimanapun, kecenderungan yang ada justru mengarah ke arah semacam ketertutupan. Lebih dari 20 bangsa dalam tempo 25 tahun terakhir ini telah mencoba untuk menginstitusionalkan pencarian terhadap “kebenaran dan rekonsiliasi”, dan hal ini telah memunculkan suatu disiplin akademis yang dinamakan “keadilan transisional”, dengan kosa katanya sebagai berikut: “keadilan retributif”, “keadilan restoratif”, “klarifikasi historis”, dan sebagainya.40 Menurut pengamatan Daan Bronkhorst, seorang mantan petinggi Amnesty International, dalam konteks keadilan dalam masa transisi ini terdapat beberapa kata yang menarik untuk didiskusikan. Kata-kata yang dipilih Bronkhorst ini juga merupakan bagian dari parameter-parameter untuk menganalisis masalah-masalah yang berkaitan dengan keadilan transisional ini.
tentang Krisis Kesovo. Masalah-masalah yang dibahas dalam buku ini ialah sebagai berikut: (1) David P. Forsythe, “US foreign policy and human rights: The price of principles after the Cold War; (2) Peter R. Baehr, “Trials and errors: The Netherlands and human rights”; (3) Sally Morphet, “British foreign policy and human rights: From low to high politics”; (4) Yozo Yokota dan Chiyuki Aoi, “Japan’s foreign policy towards human rights: Uncertain changes; (5) Sergei V. Chugrov, “Russian foreign policy and human rights: Conflicted culture and uncertain policy; (6) Sanjoy Banerjee, “India’s human rights diplomacy: Crisis and transformation”; (7) Zachary Karabell, “Iran and Human Rights”; (8) Gábor Kardos, “Human rights and foreign policy in Central Europe: Hungary, the Czech Republic, and Poland”; (9) Tiyanjana Maluwa, “Human rights and foreign policy in post-apartheid South Africa”; (10) Cristina Eguizabel, “Latin American foreign policies and human rights”; (11) Jack Donelly, “An overview’; dan David P. Forsythe, “The Kesovo crisis”. 39
Schmemann, Loc. Cit; Lihat pula Katarina Tomasĕvski, Responding to Human Rights Violations 1946 – 1999 (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 2000); dan Theo van Boven, People Matter: Views on International Human Rights Policy (The Netherlands: Meulenhoff Amsterdam, 1993). 40
Schmemann, loc. cit.; Lihat pula Hugo Stakke, Astri Suhrke, dan Arne Tostensen, eds. bekerja sama dengan Øystein Rygg Haanæs, Human Rights in Developing Countries Yearbook 1997 (The Hague: Kluwer Law International, 1998).
13
Pertama, adalah kata kebenaran,41 yang diambilnya dari nama Komisi yang telah didirikan di Chile – yang serupa dengan nama Komisi yang juga pernah didirikan di berbagai negara lainnya – yakni Truth and Reconciliation Commission atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kedua, adalah kata rekonsiliasi, dengan alasan bahwa setiap masyarakat yang menjadi korban tindakan represif harus dipulihkan dari pengalaman masa lampaunya itu, dan mencapai kesepakatan mengenai syarat-syarat penyelesaian substansial dari konflik dan kekacauan tersebut. Ketiga, adalah kata keadilan. Menurut Bronkhorst, meskipun demikian, peran keadilan dalam proses transisi, dan prioritas yang diberikannya, berbeda-beda antara satu bangsa dengan bangsa lain. Keadilan juga lebih banyak menimbulkan perdebatan dibandingkan dengan dua konsep lainnya – kebenaran dan rekonsiliasi.42 41
Daan Bronkhorst, Truth and Reconciliation, Obstacles and Opportunities for Human Rughts, atau Menguak Masa Lalu, Merenda Masa Depan: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Berbagai Negara (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2002, hal. xxviii – xxix. Menurut Bronkhorst, kata kebenaran dipilih karena suatu negara harus menjelaskan dan mempertanggungjawabkan tindakantindakan di masa lampau, baik yang dilakukan oleh pemerintah sekarang maupun yang, lebih sering, dilakukan oleh rezim sebelumnya. Bronkhorst menanyakan hal-hal sebagai berikut: (1) Siapakah yang menjadi korban-korbannya?; (2) Siapakah yang menjadi pelaku-pelaku kejahatan itu?; dan (3) Bagaimana sifat dan tingkat represi yang terjadi?; Sebagai bahan diskusi, lihat pula Wolfgang Friedmann, Law in a Changing Society (Middlesex: Penguin Books, 1972); dan Wolfgang Friedmann, Legal Theory (New York: Columbia University Press, 1967).
42
Bronkhorst, op. cit., hal. xxix dan xxx. Menurut Bronkhorst, Di beberapa negara, keadilan dalam tingkat tertentu sudah dianggap sebagai “pelayan” kebenaran. Rancangan Undang-Undang untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan misalnya, yang disahkan pada bulan Juli 1995, setelah mengalami proses perdebatan yang lama, menyatakan bahwa pada prinsipnya amnesti akan diberikan kepada siapa pun yang telah sepenuhnya mengungkapkan tindakan-tindakan yang telah mereka lakukan (dalam beberapa kasus dilakukan oleh perempuan). Di negara-negara lain, keadilan atau penyerahan hak kepada keadilan, dipandang sebagai aspek rekonsiliasi yang esensial. Negara-negara ini mengelak untuk menuntut para pelaku kejahatan, khususnya para anggota Angkatan Bersenjata, atas landasan bahwa hal itu akan bisa membahayakan proses perdamaian dan rekonsiliasi. Namun demikian, masih ada kelompok negara lain, kendati jumlahnya tidak banyak, dimana beberapa pelaku kejahatan dihadapkan ke pengadilan. Menurut pengamatan penulis, Indonesia adalah negara yang tergolong dalam kelompok ini. Meskipun demikian, Bronkhorst mengamati bahwa proses pengadilan tersebut hampir selalu diikuti dengan pemberian amnesti, dan pembebasan bagi mereka yang telah dipenjara karena kejahatankejahatannya, lagi-lagi dengan proses rekonsiliasi sebagai pembenaran. Untuk konteks Indonesia, hal ini belum dapat dilihat karena – pada saat penulisan makalah ini dilakukan - RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi – atau yang lazim disingkat dengan KKR – sedang dalam proses pembahasan; Lihat Republik Indonesia, “Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi” versi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Draft tanggal 29 Juli 2002; Berkaitan dengan wacana tentang kata keadilan ini, lihat pula George Catlin, The Story of the Political Philisophers (New York: Tudor Publishing Co., 1939); Cicero, Selected Political Speeches (London: Penguin Books, 1989); J.B. Bury, A History of Freedom of Thought, atau Sejarah Kemerdekaan Berpikir, terj. L.M. Sitorus (Jakarta: PT Pembangunan, 1963); Eugene W. Hickok dan Gary L. McDowell, Justice vc. Law: Courts and Politics in American Society (New York: The Free Press, 1993); Elizabeth Blanks Hindman, Rights and Responsibilities The Supreme Court and the Media (Westport: Greenwood Press, 1997); David Ingram, ed., The Political (Malden: Blackwell Publishers, 2002); Justinian, The Digest of Roman Law (London: Penguin Books, 1985); dan Hans Kelsen, What is Justice?: Justice, Law, and Politics in the Mirror of Science (Berkeley: University of California Press, 1957).
14
Sebagai bahan perbandingan, beberapa Komisi Penyelidik yang berperan dalam hal-hal yang berkaitan dengan pemutusan kaitan dengan masa lalu dan pencarian jalan baru, menurut hasil penelitian Bronkhorst, yang terjemahannya diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) ialah sebagai berikut:43 Tabel 1 Contoh Berbagai Komisi Penyelidikan Resmi yang Dibentuk di Berbagai Negara antara Tahun 1971 – 1995
Negara dan Tahun Pelaksanaan Bangladesh 1971
Uganda 1974
Bolivia 1982 – 1984
Israel 1982 – 1983
Argentina
Nama atau Istilah Komisi
Intisari Hasil Kerja Komisi
Komisi mengenai Kejahatankejahatan Perang Komisi Penyelidikan Mengenai Penghilanganpenghilangan Komisi Penyelidikan mengenai Penghilanganpenghilangan Komisi Penyelidikan Mengenai Pembunuhanpembunuhan di Sabra dan Chatila Komisi
30.000 orang didakwa setelah amnesti umum diberikan pada tahun 1973.
Diterbitkan suatu Laporan sepanjang lebih kurang 1.000 halaman, tetapi tidak termasuk rincian (detail) kasuskasus individual. Tidak ada laporan.
Laporan menyatakan “tidak ada pertanggungjawaban langsung”, tetapi diusahakan langkah-langkah penuntutan terhadap para pejabat tertentu.
Laporan yang berjudul Nunca Más
43
Lihat Bronkhorst, op. cit., hal. 132 – 137. Data ini dibuat Bronkhorst pada tahun 1995, dan belum tersedia data lain yang lebih baru. Namun demikian, data ini sangat representatif jika dilihat dari perspektif historis, sebagai salah satu pendekatan pembahasan penulisan ini.
15
1983 – 1985
mengenai Penghilangan Orang-orang
Guinea 1985 Uruguay 1985
Komisi Penyelidikan Komisi Investigasi Parlemen mengenai Orang-orang yang “Dihilangkan” Komisi Penyelidikan Komisi Penyelidikan Mengenai Pelanggaranpelanggaran Terhadap Hakhak Asasi Manusia Komite Kepresidenan mengenai Hakhak Asasi Manusia Komisi Nasional Mengenai Kebenaran dan Rekonsiliasi
Zimbabwe 1985 Uganda 1986 - 1994
Filipina 1986 - 1987
Chile 1990 - 1991
Chad 1991 - 1992
Komisi Penyelidikan Mengenai Kejahatankejahatan oleh Habre c.s.
16
(Jangan Terulang Lagi) didokumentasikan; hampir 9.000 orang yang dihilangkan; dan dilakukan analisis terhadap aparatus yang melakukan represi (tekanan). Tidak ada laporan. Laporan diterbitkan; namun tidak ada rincian mengenai kasus-kasus individual.
Laporan disimpan secara konfidensial. Laporan diselesaikan pada tahun 1994, dan dipublikasikan pada tahun 1995.
Laporan tidak diselesaikan.
Laporan ekstensif mendokumentasikan sekitar 2.100 kasus; dilakukan analisis terhadap jaring-jaring represi; dan banyak rekomendasi untuk pemulihan dan rehabilitasi. Laporan menyatakan bahwa 40.000 orang dibunuh dengan rincian mengenai kasus-kasusnya dan nama-nama para pelaku kejahatan.
Republik Chechnya 1991 Sri Lanka 1991 Jerman 1992, 1995
Polandia 1992 Bulgaria 1992
Rumania 1992 Albania 1992
Chile 1992
El Salvador
Komisi Parlemen mengenai Hukum Lustrasi Komisi Penyelidikan Kepresidenan Komisi-komisi Penyelidikan Parlemen untuk Mempelajari Efek-efek dari Partai Komunis, Ideologi dan Aparatus Keamanan Penyelidikan oleh Menteri Dalam Negeri Komisi Penyelidikan Temporer mengenai Partai Komunis Komisi Penyelidikan Parlemen Komisi Mengenai Berbagai Pembunuhan oleh Aparat Keamanan di Shkoder pada Tahun 1944 – 1991 Komisi Nasional untuk Pemulihan dan Rehabilitasi Komisi Ad Hoc
17
Sekitar 200.000 individu meminta sertifikat “catatan bersih (diri)”.
Tidak ada laporan yang diterbitkan.
Sejarah yang bersifat analitis, yang terdiri dari sekitar 150.000 halaman; arsip-arsip yang ada terbuka bagi siapapun yang memintanya.
Daftar rahasia mengenai 64 nama dibocorkan ke media massa, dan kemudian mereka diskreditkan. Tidak ada laporan.
Dua laporan diterbitkan.
Enam kuburan massal ditemukan, dan dilaporkan ada 2.000 korban.
Investigasi diteruskan terhadap kasus-kasus pembunuhan dan penghilangan. Laporan rahasia merekomendasikan
1992
mengenai Militer
El Salvador 1992 - 1993
Komisi PBB mengenai Kebenaran
Brazilia 1992
Dewan Hak-hak Asasi Manusia
Meksiko 1992 Nikaragua 1992
Komisi Nasional HAM Komisi Tripartit
Togo 1992
Komisi Nasional HAM
Nigeria 1992 - 1993
Komisi HAM Konferensi Nasional Penuntut Publik Khusus
Ethiopia 1992 Sudan 1992 - 1994 Thailand 1992
El Salvador 1993 - 1994
pemecatan terhadap 100 orang perwira militer karena pelanggaranpelanggaran terhadap HAM. Laporan menyatakan 60.000 dibunuh, 5% di antaranya dilakukan oleh oposisi; nama dan pelaku kejahatan dicantumkan. Dinyatakan bahwa 111 tahanan di Sao Paulo dengan sengaja dibunuh oleh polisi militer pada tahun 1992. Dilaporkan mengenai berbagai kasus penghilangan orang. Dilaporkan mengenai kematian 10 anggota dari kelompok oposisi yang sebelumnya. Dinas-dinas pemerintah dinyatakan bertanggung jawab bagi 1991 pembunuhan. Hanya beberapa kasus korupsi yang diinvestigasi. Belum ada laporan yang diterbitkan, tetapi banyak pelaku kejahatan yang didakwa pada awal tahun 1995. Laporan belum diterbitkan; terjadi berbagai insiden di Juba. Laporan tidak dipublikasikan.
Komisi Penyelidikan Penyelidikan Menteri Pertahanan untuk Berbagai Tindak Pidana Pembunuhan dan penghilangan Selama Demonstrasi pada bulan Mei 1992 Komite Investigasi
Dinyatakan bahwa banyak pembunuhan memiliki latar belakang
18
Zimbabwe 1993
Ghana 1993 - 1994
Burundi 1993
Honduras 1993
Honduras 1994
Malawi 1994
Bersama Mengenai Kelompokkelompok Bersenjata Tidak Sah Komisi HAM untuk Menginvestigasi Pelanggaranpelanggaran di Bawah Pemerintahan yang Sekarang dan Sebelumnya Komisi Mengenai HAM dan Peradilan Administrasi Komisi untuk Menginvestigasi Pembunuhanpembunuhan dan Percobaan Kup pada Tahun 1993 Komisioner Nasional untuk Perlindungan HAM Kantor Penuntut Umum Komisi Penyelidikan Terhadap Pembunuhanpembunuhan Politik pada
19
politik; para disebutkan konfidensial.
pelaku dalam
kejahatan lampiran
Sedang dipersiapkan.
Investigasi yang gagal terhadap pembunuhan-pembunuhan pada awal tahun 1980-an. Komisi tampaknya bekerja.
tidak
pernah
Laporan menyebutkan nama-nama pihak yang bertanggung jawab terhadap 184 orang yang hilang. Bekerja melakukan penuntutan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas penghilanganpenghilangan. Sedang dipersiapkan.
Sri Lanka 1994
Afrika Selatan 1995 Guatemala 1995
Awal Tahun 1980-an Komisi untuk Menginvestigasi Pembunuhanpembunuhan dan Penghilangan Sejak Tahun 1988 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Komisi Penjelasan
Sedang dipersiapkan.
Akan menginvestigasi 30 tahun masa rezim apartheid. Akan menginvestigasi pelanggaranpelanggaran terhadap HAM dan tindakan-tindakan kekerasan.
Langkah-langkah yang diambil oleh sekitar 40 negara tersebut berkaitan dengan masa lalunya menunjukkan pentingnya upaya pencarian konsepsi keadilan transisional di masing-masing negara, karena kondisi masa lalu suatu negara kemungkinan berbeda dengan negara (negara) lainnya. Perbedaanperbedaan kondisi masa lalu ini membuat upaya-upaya penyelesaian berbagai permasalahan yang terjadi pada masa sebelumnya – terutama masalahmasalah yang berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran HAM berat – menjadi berbeda. Dalam konteks inilah penulis melihat pentingnya dirumuskan konsepsi keadilan transisional yang sesuai untuk Indonesia.
G. Prospek Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia Sebagaimana dipaparkan di muka, baru pada tahun 2000 MPR menerbitkan Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, yang pada intinya memberikan arah penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat masa lalu yang dapat dilakukan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc atau melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).44 Kemungkinan yang sama juga dibuka oleh UU Nomor 26 44
Budiman Tanuredjo, “Keadilan Transisional dan Konsolidasi Demokrasi,” Kompas, 19 September 2002, hal. 8; Lihat pula Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Putusan Majelis Permusyawaratan
20
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, khususnya untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut. Pasal 47 UU tersebut menyatakan sebagai berikut:45 (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (2) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan Undang-undang. Namun hingga saat ini kita belum memiliki landasan hukum yang berkaitan dengan mekanisme kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tersebut.46 Padahal sebagaimana dinyatakan di muka, pentingnya eksistensi dari KKR tersebut telah disebutkan dalam beberapa Ketetapan MPR sebelumnya. Masalah kemudian, apakah pembentukan KKR tersebut masih mempunyai momentum dan relevan. Ketetapan MPR yang seharusnya dipandang sebagai suatu landasan penting bagi penentuan politik hukum Indonesia di berbagai bidang tersebut ternyata tidak bisa segera bersifat operasional. Dengan demikian Ketetapan MPR tersebut menjadi hanya semacam words on paper sebagaimana juga berbagai peraturan lainnya. Berdasarkan mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu seperti kasus Aceh, kasus Timor-Timur pascapenentuan pendapat 1999, kasus Tanjung Priok 12 September 1984, kasus penyerbuan Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDIP) atau yang lebih dikenal sebagai kasus 27 Juli 1996, kasus Trisakti dan Kerusuhan Mei (12-15 Mei 1998), kasus berbagai penculikan (1998), dan kasus G30S/PKI (Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia), dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut: 47
Rakyat Republik Indonesia: Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 7 – 18 Agustus 2000, op. cit., hal. 45 – 52. 45
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, loc. cit.
46
Pada saat ini pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tersebut memang telah dibahas di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, namun belum diketahui kapan RUU tersebut akan dibahas dan disahkan di DPR. Lihat Republik Indonesia, “Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi” versi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Draft tanggal 29 Juli 2002. 47
Lihat Budiman Tanuredjo, “”Jalan Ketiga” dan Keadilan Transisional,” Kompas, 20 Juli 2002, hal. 8.
21
Tabel 2 Pola Penyelesaian Beberapa Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Kasus
Peran Aktor Negara
Aceh
Presiden membentuk Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh
Timor-Timur Pascapenentu an Pendapat (1999)
Presiden menerbitkan Perpu tentang Pengadilan HAM
Tanjung Priok (12 September 1984)
Peran Institusi Nonnegara
Komnas HAM membentuk KPP HAM
Komnas HAM membentuk KPP HAM
22
Peran Parlemen
Kelompok Penekan Dominan
Hasil
Mendesak proses penyelesaian
LSM Aceh
Menolak Perpu tentang Pengadilan HAM, dan kemudian membahas RUU tentang Pengadilan HAM Mendukung penyelesaian
LSM dan komunitas internasional
Lima kasus direkomendasikan, tiga diselesaikan di Mahmil, dua kasus tak jelas penyelesaiannya Pengadilan HAM Ad Hoc
Komunitas korban dan parpol berbasis Islam
Penyidikan di Kejaksaan Agung dan
Penyerbuan Kantor DPP PDI (27 Juli 1996)
Pemeriksaan di kepolisian
Trisakti dan Kerusuhan Mei (12 – 15 Mei 1998)
Enam Menteri membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
Komnas HAM membentuk KPP HAM
Berbagai Penculikan (1998)
Polisi Militer dan Mahkamah
Komnas HAM melakukan advo-
Menghentikan dan mengalihkan proses ke pemeriksaan secara koneksitas
23
Menghambat KPP HAM
Kelompok korban (FKK 124) yang kemudian terpecah menjadi dua kelompok LSM dan komunitas korban
LSM dan keluarga korban
dilakukan islah antara pelaku dan keluarga korban Belum jelas penyelesaiannya
Sejumlah anggota Brimob diadili, pertanggung jawaban komando tak jelas. Rekomendasi TGPF tak sepenuhnya ditindak -lanjuti Sejumlah anggota Kopas-
Militer
kasi
G30S/PKI
LSM dan keluarga korban
sus diadili, orang hilang lainnya tetap tak diketahui Tidak jelas
Beberapa aspek dari RUU tersebut tampaknya cenderung merujuk kepada Truth and Reconciliation Commission (TRC) yang berlaku di berbagai negara lainnya, terutama di Afrika Selatan (Afsel). Namun hal ini belum dapat lebih banyak diulas mengingat RUU tersebut masih dalam proses perubahan, dan pada saat penulisan ini dilakukan, ia belum dibahas di DPR.48 Berkaitan dengan hal tersebut, pembentukan Komisi ini sangat penting untuk segera dilakukan, mengingat berhasil-tidaknya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat pada masa lalu juga tergantung pada sukses-tidaknya penyelenggaraan Komisi ini.49 Prospek pembentukan Komisi ini di Indonesia menjadi terbuka kemungkinannya karena RUU-nya telah diajukan oleh Presiden kepada DPR, dan DPR telah pula membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas dan menyelesaikan pembahasan RUU ini. Rencananya, RUU ini akan dibahas setelah Sidang MPR yang akan diselenggarakan pada bulan Agustus 2003. Dalam bagian Penjelasan RUU tersebut antara lain dinyatakan bahwa materi UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi secara substansial berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam UU tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak mengatur proses penuntutan hukum, tetapi lebih terfokus pada pengaturan mengenai proses: 1. pengungkapan kebenaran; 48
Lihat Republik Indonesia, “Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi” versi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Draft tanggal 29 Juli 2002, loc. cit. 49
Satya Arinanto, “Urgensi Segera Dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” Kompas, 10 Juni 2002, hal. 7; Sebagai bahan perbandingan, lihat pula Desmond Mpilo Tutu, No Future Without Forgiveness, atau Tiada Masa Depan Tanpa Pengampunan, terj. Eno Syafrudien (Jakarta: Riora Cipta, 2002).
24
2. pertimbangan amnesti; 3. pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, yang kesemuanya ini diharapkan akan membuka jalan bagi proses rekonsiliasi.50 Selanjutnya berkaitan dengan mekanisme kerjanya, antara lain dinyatakan bahwa berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan oleh Komisi, diidentifikasi pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.51 Apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, maka pelaku pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia52 dapat mengajukan amnesti kepada Presiden selaku Kepala Negara. Apabila permohonan amnesti tersebut beralasan, Presiden dapat menerima permohonan tersebut, dan kepada korban harus diberikan kompensasi sebagai ganti kerugian. Namun, apabila permohonan amnesty ditolak, maka kompensasi tidak diberikan oleh negara, dan perkaranya ditindaklanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.53 Dalam bagian berikutnya, RUU menyatakan bahwa apabila pelaku dan korban saling memaafkan, rekomendasi pemberian amnesti otomatis diberikan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tetapi korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya tidak bersedia memaafkan, maka untuk memutuskan rekomendasi pemberian amnesti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harus bisa otonom serta obyektif tanpa terpengaruh oleh emosi korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. Namun demikian, apabila pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia
50
Lihat Republik Indonesia, “Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi” versi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, loc. cit.; Lihat pula Romli Atmasasmita, Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Penegakannya di Indonesia (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2002), hal. 56. 51
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, loc. cit.
52
Ibid.
53
Ibid.
25
menyesali perbuatannya, maka pelaku pelanggaran HAM berat tersebut harus diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc.54 Apabila terhadap pelanggaran HAM berat sudah diberi putusan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka Pengadilan HAM Ad Hoc tidak berwenang memberi putusan kembali, kecuali apabila permohonan amnesti ditolak oleh Presiden. Demikian pula sebaliknya, terhadap pelanggaran HAM berat yang sudah diberi putusan oleh Pengadilan HAM Ad Hoc, maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak berwenang memberi putusan kembali. Sifat putusan final dan mengikat dimaksud berlaku asas Ne Bis in Idem untuk upaya hokum lainnya. Pelaku pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia55 yang sudah dinyatakan dimaafkan tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana.56 Dalam RUU dinyatakan bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini dibentuk berdasarkan asas-asas sebagai berikut:57 a. kemandirian; b. bebas dan tidak memihak; c. keadilan; d. kejujuran; e. keterbukaan; dan f. perdamaian. Demikian beberapa catatan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan prospek pembentukannya di Indonesia.
54
Lihat Republik Indonesia, “Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi” versi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, loc. cit.; Lihat pula Atmasasmita, op. cit. 55
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, loc. cit.
56
Lihat Republik Indonesia, “Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi” versi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, loc. cit.; Romli Atmasasmita, op. cit. 57
Ibid.
26