Gol Untuk Jeje
Wasit meniup peluit. Bola ditendang oleh kiper jauh ketengah lapangan. Yak, pemain lawan yang memakai kostum biru merebut bola. Tackle keras diberikan kepadanya. Aku berada dipihak tim yang memakai kostum merah. Yak, kini peluang untuk timku. Pemain nomer punggung 7 itu menggocek 2 pemain di sayap kanan. Ah dia maruk sekali, posisiku lebih ideal dalam menyelesaikan peluang, padahal aku ingin mencetak gol. Lagi-lagi aku gagal mendapatkan peluang. Aku memperhatikan sekeliling tribun VIP sambil menunggu bola. Iya, disudut sana, Jessica Vania. Ah, karena namanya panjang ia dipanggil Jeje. Seorang gadis cantik, berambut panjang, berkulit putih. Jeje seorang artis pendatang baru di dunia tarik suara. Ia selalu datang ketika timku bertanding. Ingin sekali aku mencetak gol untuknya. Agar ia bisa tersenyum padaku. Sudah 12 pertandingan ia hadir di stadion ini. Ini adalah stadion milik tim merah. Pelatih memberikan instruksi untuk menyerang. Aku segera mencari posisi yang tepat untuk menerima bola lalu mencetak gol. Ah, banyak sekali pemain belakang lawan menghalangi posisiku untuk menerima bola. Aku mencoba penetrasi kedepan. Aku melambaikan tangan pada pemain bernomer 7. Yak, bola ke arahku.Tepuk tangan penonto bergemuruh keras. Sial!! Reflesk kiper itu cepat sekali dalam menangkap bola, harusnya aku dapatkan bola itu. Waktu pertandingan menunjukkan menit ke 77. Skor 1-0 untuk timku. Memang kini kedudukan menang untuk timku. Tapi sampai saat ini aku masih belum bisa memenangkan hati Jeje. Ia tersenyum ketika timku yang menguasai bola. Waktu hampir habis. Aku terus mencari cara agar bagaimana gol tercipta. Dari lapangan, sesekali aku melirik Jeje yang ada di tribun. Ia menikmati jalannya pertandingan. Sambil menunggu bola datang, aku berusaha mencuri pandangan Jeje. Kini peluang untuk timku. Pemain nomer 10 yang sekarang menggiring bola mencari posisi teman yang kosong. Ia sempat melirik posisiku berdiri. Ah, ternyata itu hanya tipuan. Pemain nomer 10 melakukan shoot langsung ke gawang. Lagi – lagi kiper lawan ini sangat tangguh. Lawan mulai melancarkan serangan balik. Sambil membuat formasi bertahan, aku masih sempat melirik Jeje yang kelihatan tegang di tribun.
Priiittt!!! Yak, wasit meniup peluit panjang. Timku menang 1-0. Tapi lagi – lagi aku gagal memenangkan hati Jeje. Semua pemain masuk ke kamar ganti. Aku berjalan sambil meratapi kegagalan. Dari belakangku, ada seorang lelaki yang mungkin seumuran ayahku, tapi masih lebih muda lagi. Ia memberiku kode. Kulepas seragam yang ku pakai. Di belakang seragam itu tertulis “Ball Boy” atau dalam Bahasa Indonesia adalah Anak Gawang. Ya, aku adalah seorang anak gawang di stadion ini yang menunggu datangnya bola yang keluar lapangan untuk memungutnya. Aku sangat ingin menginginkan memberi bola itu kepada Jeje. Saat aku keluar stadion. Jeje dan pemain bernomer 7 itu bergandengan bersama. Ya, mereka berpacaran. Nomer 7 memang “The Lucky Seven” kalau kata orang luar negeri.
Hidup ini kadang dipisahkan oleh kasta. Pemain bernomer 7 itu bintang lapangan, Jeje adalah bintang panggung, kalau aku selalu menunggu bintang kejora jatuh untuk mengubah nasibku.
***
Kisah Cinta Yang Tak Pernah Selesai
Aku terbangun. Kepalaku masih berat. Sudah malam rupanya. Di jam tanganku terlihat menunjukkan pukul 11:11. Ah, ternyata aku tertidur di stasiun Tugu, Jogjakarta. Kurogoh kantongku jaketku. Sial, ternyata keretaku jam 7.30 pagi besok. Kubenarkan posisi duduk. Aku mengusap mukaku. Aku mencoba menahan rasa kantuk. Datang seorang wanita, mungkin umurnya tidak lebih tua dariku. Ia hanya membawa tas LV saja. Dandanannya casual, hot pants jeans, tank top dilapisi cardigans. Wajahnya manis, rambutnya panjang. Menurutku, sudah pasti dengan gaya seperti ini dia adalah wanita idaman para pria kebanyakan. “Pinjem korek dong.” Minta wanita itu padaku. “Gak ngerokok.” Jawabku pelan. “Bohong banget.” Balas wanita itu “Kenapa harus bohong?” “Kamu itu laki, masa gak ngerokok?” “Semua laki emang harus ngerokok?” Tanyaku. Setelah kujawab seperti itu, dia diam. Kini wanita itu melirik jam tangan miliknya. Jam tangannya pun terlihat mahal. “Naik kereta yang jam berapa?” Tanya wanita itu. “Setengah 7 pagi, kamu?” “Sama. Mau kemana?” “Aku? Ke Malang sebentar, lalu ke Bali.” Jawabku. “Bali? Aku baru dari sana kemarin sore.” “Lha, terus ini kamu mau kemana?” “Pulang ke Jakarta.” “Hedonisme.” Jawabku meledek. “Maksudmu apa hedonisme?” Tanya wanita itu ketus. Aku membetulkan posisi dudukku dan bicara menatap wajahnya. “Seseorang, yang berpindah-pindah kota dalam waktu dekat seperti kamu, antara dikejar hutang, sedang berbisnis, atau piknik patah hati.” Ujarku. “Piknik patah hati.” Jawabnya melas. Aku tertawa kecil.
Wanita itu menunduk, wajahnya berubah sedih. Aku jadi merasa bersalah sepertinya telah membuat wajah manisnya menjadi bersedih. “Masih mau nyari korek gak?” Tawarku. “Maksud kamu?” “Deket sini ada angkringan. Disana pasti banyak korek.” Ajakku.
“Ayolah, pagi masih jauh.” Lanjutku.
Aku langsung berdiri sambil membawa tasku yang agak besar. Ia ikut berjalan di belakangku. Lampu malam Jogjakarta yang dihiasi lantunan penyanyi jalan cukup nyaman didengarkan. Wanita itu berjalan di sebelahku sambil memasukan kancing cardigans miliknya. Udara makin dingin sepertinya. Jalanan sekitar terlihat becek. Ah, tadi sore hujan, pantas saja aku tertidur lelap di stasiun. Sesampainya di angkringan, kami duduk di dekat jalan raya. Beralaskan tikar lipat berwarna cokelat dengan motif batik, kami berdua duduk. Aku memesan kopi joss panas, yang pertama di cari wanita itu sudah pasti korek api. Dipinjamnya korek seorang pegawai angkringan. Lalu ia memesan jeruk hangat. Mulai dibakarnya rokok menthol itu. Dihembuskannya asap pelan-pelan. “Kamu kerja apa?” Tanya wanita itu padaku. “Penulis.” Jawabku. “Biasa nulis apa?” “Review kota-kota wisata, kadang cerpen, kadang skenario film.” “Interesting.” Lanjut wanita itu sambil menghembuskan asap rokok. “Kalau kamu?” “Tadi kan kamu sudah tahu, piknik patah hati.” Jawabnya jutek. “Standard lah, 3 bulan lalu harusnya saya nikah, tapi mantannya dia hamil duluan.” Lanjut wanita itu.
Aku terus meminum kopi milikku. Dia masih nyaman dengan rokok beserta jeruk hangatnya. Ia sempat membuka Blackberry miliknya. Tidak lama ia mematikan Blackberry itu dan mengganti dengan baterai yang ia ambil di dalam tasnya. Dipasangnya baterai itu. Sambil menunggu loading ditaruhnya Blackberry kedalam tasnya. “Coba ceritakan kisahmu.” “Aku biasa menulis dari hal yang kualami atau aku temui.” “Misalnya?” “Kisah pelacur di Doli yang ingin taubat tapi keburu dimutilasi.” Wajah wanita itu jadi serius. “Lalu, review perbedaan agama di beberapa kota.” Lanjutku. Aku menyeruput kopi milikku yang asapnya masih mengebul. “Yang terakhir di Jogja, aku habis menulis tentang Sultan.” “Kisah cinta gimana? Sudah pernah menulis?” “Itu dia yang aku bingung. Apa kita harus jatuh cinta dulu baru bisa menulis kisah cinta?”
Kali ini wanita itu yang diam. Ia mematikan rokoknya lalu menghabiskan jeruk hangat miliknya. Ia mengambil secarik tiket ditasnya, mengeceknya, lalu melihat jam tangannya. “Baru jam segini, pagi masih jauh, ada saran?” Ajak wanita itu. “Mencari kisah cinta?” Jawabku sambil tersenyum.
Aku membayar 2 gelas minuman hangat itu. Kami segera pergi dari angkringan menuju arah berlawanan dengan stasiun Tugu. Beberapa pengamen masih bernyanyi di dekat angkringan. Semakin jauh aku melangkah, semakin pelan. Suara lantunan lagu dari pengamen. “Kamu kan penulis, coba buatkan aku sebuah kalimat.” Pinta wanita itu. “Apa ya, bingung aku.” “Coba buat kalimat dari diriku.” Tantang wanita itu. “Makan emping setiap hari, Cardigans Pink manis sekali.” Ucapku sedikit menggoda. Dia tertawa agak kencang. Kami sambil berjalan pelan menikmati Jogjakarta dini hari. Dia mengambil rokok di tasnya. Ia menyalakan rokoknya dengan korek dari angkringan. “Hey itu kan korek angkringan tadi?” “Iya. Biarkan saja, aku suka bingung kalau tidak ada korek.” “Dasar CuRanRek.” “Apa itu?” “Pencurian Korek.” “Kali ini garing, sumpah gak boong.” Kata wanita itu sambil tertawa meledekku.
Kami melnjutkan perjalanan kami lebih jauh dari arah stasiun. Aku memperhatikan sekelilingku, sudah sepi sekali. Dari masjid dekat tempat kami berjalan sudah mulai terdengar suara Ayat Al Quran terdengar dilantunkan. “Jam berapa ini?” Tanyaku. “Hampir subuh sih.” “Kita kembali saja ke stasiun.”
Aku dan wanita itu berbalik arah kembali ke stasiun. Ia merogoh tasnya, ketika dilihat isi bungkus rokoknya, ia kesal. Rokoknya habis. Ia mengeluh dan ngedumel karena rokoknya habis. Dibuangnya bungkus rokok yang kosong itu. “Cinta itu, seperti apa?” Tanyaku pada si wanita. “Bening, tak terlihat, jika dekat rasanya nyaman.” Jawab si wanita sambil tersenyum. “Kamu pernah merasakannya?” “Pernah. Tapi sekarang sudah tidak.” “Pasti gara – gara mantan calon suamimu itu ya.” Ketika aku menyebutkan itu, wajahnya mendadak berubah kembali menjadi sedih. Ah, aku menjadi merasa bersalah membuatnya sedih. Raut wajahnya makin sedih. “Eh, maaf, bukan maksudku kalau....” Aku segera meminta maaf. “Tak apa. Lagipula aku tidak cinta dengan dia.” “Lho? Jadi? Tanyaku heran. “Aku sayang dengan dia.” Jawabnya pelan. Aku heran. Tidak cinta, tapi sayang? Apa bedanya? Bukankah keduanya sama – sama perasaan dari dalam hati terhadap seseorang.
“Karena aku sayang, aku merelakan dia dengan wanita itu.” Lanjut si wanita. Aku mencoba dengan serius mendengarkan ceritanya. “Bisa saja aku memaksakan kami tetap menikah. Tapi wanita lain itu lebih butuh dirinya.” Lanjut Si wanita. “Lalu, bedanya cinta dengan sayang itu apa?”Tanyaku. “Sayang itu, datangnya pelan-pelan. Kalau cinta itu datangnya tiba – tiba.” Jawab wanita itu.
Kini aku dan wanita itu sudah kembali sampai di stasiun Tugu. Sudah mulai terlihat calon penumpang lain menunggu kereta. Ada yang ditemani sanak saudara, ada yang membawa dus – dus besar entah apa itu isinya. Kami duduk di dekat peron sambil menunggu kereta kami. Wajahnya terlihat mengantuk. Sesekali ia mengucak matanya yang mulai sayu itu. Aku melepas tas milikku, lalu pergi membeli kopi hangat di tukang kopi dekat situ. Kubeli 2 gelas, satu kuberikan pada wanita itu. Hari mulai terang. “Lain waktu, maukah kau ajari aku, menemui cinta?” “Memangnya kamu belum menemukan cinta?” “Hampir sih, tapi aku tidak yakin.” Jawabku sambil meniupi kopi yang panas.
Dia menaruh kopinya dilantai, lalu mengikat rambutnya. Ia terlihat lebih manis dengan rambut diikat, meskipun dengan digerai masih tetap manis juga. “Aku juga ingin menemui cinta lagi.” Ajaknya. “Dimana?” “Disini.” “Jogja?” Tanyaku. “Ya.” “Kapan? “Secepatnya, kamu gimana?” “Sepertinya kita harus menemui cinta disini.”
Ia kembali menyeruput kopinya. Terdengar suara kereta yang datang. Ia mengecek nomer kereta itu. Benar, sama dengan yang ada pada tiketnya. Sebuah kereta eksekutif menuju Jakarta. Aku menemaninya sampai ke pintu masuk kereta. Ia berdiri, menatapku dan menjulurkan tangannya padaku. Aku menjabat tangannya. “Janji ya, kita akan menemui cinta disini?” Minta wanita itu. “Tapi kapan? Kamu ke Jakarta, aku ke Bali.” “Cinta tak terpisah oleh jarak dan waktu.” “Lalu kapan kita menemui cinta itu?” “Desember, sebelum akhir tahun?” Tawarnya “Oke, disini? Jogjakarta?” “Iya, tempat cinta bertemu.” “Dan tempat cinta dicari lagi nanti.” “Mana keretamu?” “Belum datang. Keretaku bukan eksekutif, mungkin telat.”
“Ya sudah. Ingat ya janji kita.” “Bulan Desember, bertemu cinta di sini.” “Ya, di Jogjakarta.”
Kami kembali bersalaman dan mengucapkan janji jari kelingking. Seorang petugas kereta memberikan pengarahan kalau kereta akan segera berangkat. Wanita itu meminta waktu sebentar pada si petugas kereta. “Baiklah, aku harus pergi. Sampai jumpa di Desember, Cinta.” “Sampai jumpa, Cinta.” Balasku. Ia masuk kedalam kereta. Aku ikuti ia dari luar kereta dan melihatnya dari kaca. Ia sudah duduk dikursinya. Ia melambaikan tangan padaku. Kubalas lambaian tangannya. Suara sirine kerata akan segera berangkat berbunyi. Kereta itu mulai berjalan pelan. Aku mulai teringat sesuatu. Aku lupa menanyakan namanya. Aku berlari disamping kereta itu sambil menanyakan namanya. Ia tidak tahu apa yang kubicarakan dari balik kaca. Kereta makin kencang, tidak sanggup aku mengejarnya. Kini aku hanya bisa melihat kereta itu berjalan menuju Jakarta. Aku menatap kereta itu dari belakang. Tanpa tahu siapa namanya, yang bisa kuingat dan kupegang janjinya adalah kami akan menemui cinta, nanti, saat kami bertemu lagi disini.
***