|1
Panduan Ramadan
Keutamaan Ramadan & Puasa Hukum Puasa Zakat Fitrah Shalat Taraweh Shalat Witir Lailatul Qadar I'tikaf Idul Fitri dan Puasa Syawal
Penyusun Abdullah Haidir
2|
Panduan Ramadan
)(باللغة اإلندونيسية
Judul Buku Panduan Ramadan Penyusun Abdullah Haidir Perwajahan Isi dan Tata Letak Abdullah Haidir Penerbit Kantor Dakwah Sulay, Riyadh Cetakan Keempat, Rajab 1433 H - Juni 2012
|3
Panduan Ramadan
z Kata Pengantar
B
ulan Ramadan, tidak ada seorang muslim pun yang menyangsikan kemuliaan bulan ini. Maka kedatangannya tentu merupakan sesuatu yang dinanti-nanti penuh harap. Tentu saja, kita tidak ingin kedatangan bulan ini berlalu begitu saja seperti bulan-bulan lainnya. Karena, kemampuan kita untuk mendapat beragam kebaikan dan keutamaan di bulan ini sangat berarti bagi kehidupan kita. Di dalamnya terdapat 'sumber energi' yang Allah sediakan bagi siapa saja yang hendak memanfaatkannya. Seberapa besar dia mengerahkan segala potensi untuk mengisi bulan ini sebaik-baiknya, sebesar itu pula energi yang akan dia dapat untuk menjadi bahan bakar positif dalam kehidupannya. Berikutnya, sebesar itu pula janji-janji kebaikan yang akan Allah berikan di hari kiamat kelak. Maka, menjadi sangat berarti bagi kita untuk memiliki kesiapan matang dalam menghadapi bulan ini. Selain kesiapan hati atau kesiapan ruhiyah yang menjadi prinsip, kesiapan ilmu juga tidak kalah pentingnya agar kita dapat memaksimalkan diri di bulan penuh barokah. Sebagai upaya untuk memiliki kontribusi dalam hal ini, saya mencoba memberanikan diri untuk menyusun apa yang saya sebut sebagai 'Panduan Ramadan'. Berisi beberapa informasi penting dan dasar terkait dengan bulan Ramadan dan praktek ibadah di dalamnya. Saya usahakan untuk meringkas penya-
4|
Panduan Ramadan
jiannya dan menyederhanakan beberapa masalah agar mudah dipahami. Jika ada kekeliruan dalam buku ini, itu tak lebih dari keterbatasan saya sebagai penulis. Terima kasih kami ucapkan jika ada yang bersedia mengingatkannya. Masukan dan koreksi dapat dikirim via email kami;
[email protected]. Semoga buku ini bermanfaat bagi penulisnya, pembacanya dan siapa saja yang ingin mengambil manfaat darinya, di dunia maupun di akhirat. Aamiin. Riyadh, Rajab 1433 H Juni 2012 M Abdulah Haidir
|5
Panduan Ramadan
RAMADAN DAN PUASA Definisi Puasa Dan Hukumnya Puasa dalam bahasa Arab disebut ) (الصيام, menurut bahasa berarti: Menahan )(اإلمسمك. Sedangkan menurut istilah, puasa adalah: Ibadah kepada Allah Ta’ala dengan meninggalkan sesuatu yang membatalkan sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Menahan makan dan minum untuk tujuan lain selain ibadah, seperti pengobatan atau semacamnya, tidak dapat dinamakan puasa, meskipun istilah puasa biasa dipakai untuk hal-hal semacam itu. Puasa Ramadan merupakan salah satu rukun Islam yang diwajibkan atas setiap muslim yang baligh, berakal, mampu melakukannya dan menetap (tidak sedang safar). Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Rasulullah J bersabda:
ٌَ َّصَ ِْوِ زَ َمضَا- ميَا- :ٍ خَ ِنظَٙالوُ عَل َ ُِبـيَِٕ ْاإلِض “Islam dibangun di atas lima perkara: (di antaranya disebutkan) puasa Ramadhan.” (Muttafaq alaih)
6|
Panduan Ramadan
Keutamaan Bulan Ramadan dan Puasa 1. Al-Quran diturunkan di bulan Ramadan Firman Allah Taala: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran." (QS. Al-Baqarah : 185)
2. Di dalamnya terdapat Lailatul Qadar Lailatul Qadar adalah malam yang nilainya lebih utama di sisi Allah Ta’ala dari seribu bulan. Allah Ta'ala befirman, “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan." (QS. Al-Qadar: 1-3)
3. Doa orang yang puasa mustajabah (terkabul) Rasulullah J bersabda:
ِ ِه َّ َععِ ـَْٗا اَْنُطَــا ِسِ َّ َععِ ـَْٗاٜ َععِ ـَْٗا اَائــا:ُْال ُ َععَ ـَْاُس مُطِ ـَتَابَا َ ثَ ـ ِاَْ َنظْلا ِْو “Ada tiga doa yang dikabulkan: Doa orang yang puasa, doa orang yang safar, dan doa orang yang dizalimi.” (HR. Baihaqi)
4. Setan diikat, pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup Rasulullah J bersabda:
َمََــيئه َ ُ تيئــِ٘ َّغالِكَــأِ َْبِــَْا َ َْإِذَا عَخَــرَ زَ َمضَـــاٌُ اَِخَــأِ َْبِــَْا ُ ا ًَُِّٔضُلْطِ َلأِ اَ ئػَٔا ِط “Jika datang Ramadhan, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan-setan diikat.” (Muttafaq alaih)
|7
Panduan Ramadan 5. Puasa melindungi kesucian diri (Iffah) Rasulullah J bersabda:
ِاس َ ََٗ َ ْلََٔصَّئجِ َإِىئُُ َْغَّضُ َِ ْلَبَٛٓا مَعِ َػسَ اَ ئػبَا ِ؛ مًَِ ا ِضَطَاعَ ِميِـــــكاهُ ا َْبَا ْٛج َّمًَِ َهِ َٓ ِطَ ِطعِ َعَ َلُِِٔ باَِائ ِْوِ َإِىئُُ َُُ ِّمَا ِ ِحاًَُ َِلْفَس ِ ََّْ “Wahai para pemuda; siapa di antara kalian yang sudah mampu, maka menikahlah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Siapa yang tidak mampu (menikah), maka hendaklah dia puasa, karena puasa merupakan pelindung.” (Muttafaq alaih)
6. Puasa sebagai tameng dari Neraka Rasulullah J bersabda:
ِميئٌ٘ َٓطَِتًُِ ِبََا اَْ َعبِدُ مًَِ اَيئاز ُ ُأَاو ِ َا “Puasa adalah tameng, orang yang sedang puasa berlindung dengannya dari api neraka.” (HR. Ahmad)
7. Puasa Tidak Ada Tandingannya Dari Umamah radiallahu anhu dia berkata, "Aku berkata, 'Ya Rasulullah tunjukkanlah kepadaku perbuatan yang dapat memasukkan aku ke dalam surga.' Maka beliau bersabda,
َُُ َعَ َلِٔكَ بِاَائ ِْوِ الَ ِم ِثر “Hendaklah kamu puasa, tidak ada yang sebanding dengannya” (HR. Ahmad dan Nasa’i)
8. Puasa dan Al-Quran Memberi syafaat Rasulullah J bersabda:
8|
Panduan Ramadan
ِ َِْٖ َز:ُأَاوُ َّاَْ اكسِآٌُ َٓػِفَعَاٌِ َِلْ َعبِـدِ َٓـ ِْوَ اَْ ِكَٔــــــــامَ ِ٘ َٓكاـِْلُ اَاِـَٔاو ِ َا ر ِ َميَعَُِـُُ اَيئـ ِْوَ بِاَلَِٔـ:ٌَُميَعَُُُِ اَطَعَاوَ َّاَ ئػََِْ َٗ َػَفِ ِعيِٕ ِٔـ ُِ ََّٓكاـِْلُ ا َْكاـسِآ ٌِ َُٔػَفَعَا:ََػَفِ ِعيِٕ ِٔ ُِ قَال “Puasa dan Al-Quran menjadi syafaat kepada seorang hamba di hari kiamat. Puasa berkata, 'Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari makanan dan syahwat, jadikanlah aku syafaat baginya.' Dan Al-Quran berkata, “Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari tidur di waktu malam, jadikanlah aku syafaat baginya.” Dia berkata: “Keduanya dapat memberi syafaat." (HR. Ahmad)
9. Pintu Ar-Rayyan bagi yang puasa Rasulullah J bersabda:
َِنٌَُْ َٓـ ِْوَ اَْ ِكَٔامَـِ٘ الٜخرُ ِميِـُُ اَائـا ُ ِ اَسئٓـاَ ٌُ َٓـد:َُُ ُتيئِ٘ بَاباً ُٓكَال َ َْإٌِئ ِٕ ا ْخرِ ِميُُِ َْحَد ُ ِخرُ ِميُُِ َْحَدْ َغِٔـسٍُُهِ َإِذَا عَخَلاْا اْغْلِ َل َلَهِ َٓد ُ َِٓد “Sungguh, di surga terdapat pintu bernama: Ar-Rayyan. Mereka yang puasa akan memasukinya pada hari kiamat. Tidak ada seorang pun yang masuk melaluinya selain mereka. Jika mereka telah masuk, maka pintu itu pun ditutup dan tidak ada seorang pun yang memasukinya.” (Muttafaq alaih)
10. Ganjaran yang tidak terbatas Rasulullah J bersabda:
َُِ٘ عِـ ِع س َّاَائــــ ِْوٜ ضَـبِعِنِاٙ اكرُ حَ َطيَ٘س بِعَ ِػسِ َْ ِمثَاَََِا إََِـ:ُإٌِئ زَبئكاهِ َٓكاْل ُِِمصِٖ ب ِ َْ َِٕ ََّْىَا “Sesungguhnya Rabb kalian berfirman, "Setiap kebaikan akan dibalas sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat. Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang membalasnya.” (HR. Tirmizi)
|9
Panduan Ramadan
Karena puasa sangat erat kaitannya dengan kesabaran. Dan orang sabar, Allah nyatakan dalam Al-Quran akan dibalas tanpa batas.
ﰓ ﰔ ﰕﰖﰗﰘ "Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS. Az-Zumar: 10)
11. Puasa khusus untuk Allah Ta’ala Allah Ta’ala berfirman (hadits qudsi):
)ُٔغسِبَ ُُ مًِِ َْمِلِٕ (مَفل عل ُ َّ َُُمصِٖ بُِِ َٓ َدعُ َغََِْتَُُ ََّْكْل ِ َْ اَائ ِْوُ َِٕ ََّْىَا “Puasa untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya. Dia meninggalkan syahwat dan makan-minumnya karena-Ku.” (HR. Muslim)
13. Bau mulut orang puasa lebih harum dari wangi minyak kesturi Rasulullah J bersabda,
ِِهِ َْ ْطَٔبُ ِعيِدَ اهللِ مًِِ ِز ِٓحِ اَْنِطِكَٜخُلاِْفُ َهِ اَائا “Bau mulut orang yang puasa lebih harum di sisi Allah dari wangi minyak kesturi.” (HR. Bukhari)
14. Ampunan atas dosa yang telah lalu Rasulullah J bersabda,
ُِِحَِطَاباً غا ِفسَ َُُ مَا تَكَ ئدوَ مًِِ ذَِىب ِ مًَِ صَا َو زَمَضَاٌَ إِِٓنَاىاً َّا "Siapa yang puasa pada bulan Ramadhan dengan iman dan harapan mendapatkan pahala maka akan diampuni dosadosanya yang telah lalu.” (Muttafaq alaih)
11 |
Panduan Ramadan
Golongan Manusia Di Bulan Ramadan 1. Muslim, balig, berakal dan menetap: Wajib baginya berpuasa, jika mampu dan tidak memiliki halangan. 2. Anak kecil yang belum balig: Tidak diwajibkan berpuasa. Namun walinya agar melatihnya berpuasa. 3. Tidak mampu puasa karena sebab yang tetap: Seperti orang tua renta dan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh. Dia boleh berbuka, dan setiap hari yang puasanya dia tinggalkan, diganti dengan memberi makan seorang miskin. 4. Orang sakit yang ada harapan sembuh: Jika berat baginya berpuasa dia dapat berbuka, namun harus menggantinya (qadha) setelah sembuh. 5. Wanita haid dan Nifas: Tidak boleh baginya berpuasa, namun dia wajib mengganti puasa yang ditinggalkan . 6. Wanita hamil atau menyusui: Jika berat baginya berpuasa karena hamil atau menyusui atau khawatir akan kondisi anaknya, dia dapat berbuka dan menggantinya tatkala keadaannya sudah pulih dan kekhawatirannya telah hilang. 7. Musafir (orang yang pergi jauh): Dia boleh berpuasa atau berbuka sesuai keinginannya. Akan tetapi jika berat dan lelah maka berbuka lebih utama. Bahkan jika membahayakan dirinya, dia wajib berbuka. Jika tidak berpuasa, dia harus menggantinya, baik safarnya bersifat sementara seperti umrah atau bersifat tetap seperti sopir angkutan luar kota.
Panduan Ramadan
| 11
Bagaimana Menyambut Ramadan? 1. Bergembira dengan kedatangan bulan Ramadan Setiap muslim yang benar keimanannya dan selalu mengharap rahmat Allah, semestinya bergembira untuk menyambut kedatangan bulan Ramadan. Sebab di bulan Ramadan, Allah sediakan begitu banyak rahmat dan keutamaan yang sangat berharga. Allah Ta'ala berfirman,
ﮑﮒ ﮓﮔ ﮕﮖﮗ ﮘﮙ ﮚ "Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Yunus: 58)
Rasa gembira ini akan mendorong seorang muslim semangat beramal kebaikan, tak mudah mengeluh dan bermalas-malasan. 2. Mensucikan diri Hal tersebut dilakukan dengan bertaubat kepada Allah dari segala dosa serta meninggalkan maksiat. Setiap orang hendaklah mengoreksi lembaran-lembaran kehidupannya sebelum Ramadan tiba. Karena kemampuan seseorang meraih keutamaan Ramadan lewat ibadah dan amal saleh serta taqarub kepada Allah, sangat erat kaitannya dengan bersihnya hati dari segala maksiat dan noda. Allah Ta'ala berfirman,
12 |
Panduan Ramadan
ﭰ ﭱﭲﭳ ﭵﭶﭷﭸ "Beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (QS. Asy-Syams: 5-6)
2. Menyusun agenda Sebagaimana seorang pedagang cerdik yang menggunakan kesempatan sebaik-baiknya saat perdagangan sedang ramai, maka begitu jugalah seharusnya seorang muslim. Dia menyusun agenda kerja yang terpadu dalam rangka beramal saleh yang dilakukan dengan disiplin selama bulan Ramadhan sehingga dapat mengambil keuntungan setiap saat yang terdapat di dalamnya. Agenda kegiatan ini pun dapat digunakan sebagai bahan evaluasi sejauh mana seseorang telah melaksanakan agenda kebaikannya sesuai target yang telah dicanangkan. 3. Berdoa Seseorang diperintahkan untuk mengusahakan agar dirinya selalu berada dalam ibadah kepada Allah. Namun pada akhirnya, taufiq dari Allah yang paling menentukan. Maka hendaknya dia berdoa semoga Allah memberinya kemudahan dalam berpuasa dan beribadah di dalamnya lebih baik dari bulan-bulan sebelumnya, serta melakukan setiap perbuatan yang diridhai-Nya dan dijauhkan dari segala sesuatu yang dapat merusak puasanya, atau mengurangi pahalanya.
| 13
Panduan Ramadan
Penentuan Awal Dan Akhir Ramadan Penetapan awal dan akhir Ramadan berdasarkan petunjuk Rasulullah J, terdapat dua cara secara berurutan. Cara pertama harus digunakan dahulu. Jika terhalang, baru kemudian menggunakan cara kedua. Kedua urutan tersebut adalah; 1. Ru'yatul Hilal. Ru'yatul hilal adalah terlihatnya hilal (bulan sabit di awal bulan) tepatnya di awal malam setelah maghrib tanggal 29 bulan hijriah. 2. Menyempurnakan bilangan bulan hijriah menjadi 30 hari. Langkah kedua ini diambil apabila langkah pertama, ru'yatul hilal terhalang. Seperti karena mendung, kabut, dsb. Penentuan 30 hari, karena jumlah hari dalam bulanbulan hijriah maksimal hanya 30. Ketentuan ini berdasarkan hadits Rasulullah J.
ٌََصْمُْا َِ ُسؤََُِِِٓ ََّْ ْطِ ُسّا َِ ُسؤََُِِِٓ َإٌِِ اغ ئه عَلَِٔ اكهِ َأَكْنِ الْا غَعِبا ُ ًثَالَثِنيَ َِْٓما "Berpuasalah kalian (menetapkan awal Ramadan) setelah melihat (hilal) dan berbukalah kalian (menetapkan akhir Ramadan) setelah melihat hilal. Jika kalian terhalang mendung, maka sempurnakan (bilangan) Sya'ban 30 hari." (Muttafaq alaih)
Berbagai riwayat lainnya seputar masalah ini menunjukkan bahwa Rasulullah J semasa hidupnya menetapkan awal Ramadan dan mengumumkannya setelah menerima laporan ada yang melihat hilal (ru'yatul hilal). Karenanya, jumhur ulama berpendapat demikian.
14 |
Panduan Ramadan
Hanya saja, yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa masalah penetapan awal dan akhir Ramadan dan mengumumkannya, bukanlah wewenang individu atau kelompok dalam sebuah negeri Islam. Tetapi dia adalah wewenang penguasa jika mereka telah berusaha menetapkannya sesuai dengan kaidah-kaidah syar'i. Agar masyarakat terhindar dari kesimpangsiuran informasi dan kekacauan. Maka sebagai masyarakat, hendaknya mengikuti keputusan pemerintah yang telah berupaya menetapkan awal dan akhir Ramadan berdasarkan ketentuan syari. Apalagi jika pemerintah telah membentuk kepanitiaan khusus untuk itu. Walaupun keputusannya berbeda dengan negeri-negeri Islam lainnya. Pandangan seperti ini dikenal dengan istilah ikhtilaful mathali (perbedaan tempat terbit hilal). Yaitu bahwa setiap negeri boleh menentukan awal dan akhir Ramadan sesuai terbitnya hilal di negerinya, walaupun berbeda dengan negeri Islam lainnya. Adapun pandangan lainnya dikenal dengan istilah wihdatul mathali' (kesatuan mathla') maksudnya penyeragaman ketetapan. Yaitu, jika ada satu negeri yang telah melihat hilal dan diumumkan, maka negeri-negeri lain hendaknya mengikutinya tanpa memperdulikan apakah hilal di negerinya terlihat atau tidak. Pendapat ini cukup kuat pula dalil dan argumentasinya. Namun, pendapat yang dikuatkan sebagian ulama dan kini dipraktekkan di negeri-negeri Islam adalah ikhtilaful mathali'. Di samping hal ini lebih mendatangkan kesatuan
Panduan Ramadan
| 15
dan keutuhan di tengah masyarakat, juga sesuai dengan sabda Rasulullah J,
"Puasa adalah di hari kalian berpuasa, dan berbuka (berlebaran) adalah di hari kalian berbuka, dan berkurban adalah di hari kalian berkurban." (HR. Tirmizi)
Juga terdapat dalam riwayat bahwa pada masa Mu'awiyah, kaum muslimin yang berada di Syam berbeda awal Ramadannya dengan yang berada di Madinah. Ibnu Abbas berkomentar tentang hal tersebut, "Demikianlah Rasulullah J memerintahkan kita." (HR. Muslim) Hal inilah yang difatwakan oleh Al-Lajnah Da'imah Lil Buhuts Wal Ifta (Lembaga Fatwa Arab Saudi). Mereka menyatakan bahwa masing-masing negeri hendaknya berpuasa berdasarkan ru'yatul hilalnya masing-masing. Lihat fatwa-fatwa mereka pada no. 313, 388, 3686. Hal ini juga berlaku bagi pendatang yang tinggal di negara-negara tersebut. Hendaknya awal dan akhir Ramadan mengikuti pengumuman negara tempat dia tinggal saat itu, bukan negara asalnya. Adapun bagi mereka yang tinggal di negeri non muslim yang pemerintahnya tidak memperdulikan masalah ru'yatul hilal, maka mereka dapat berpedoman pada lembaga-lembaga Islam yang dipercaya dalam menetapkan awal dan akhir Ramadan dengan ketentuan syar'i. Atau jika tidak ada, mereka dapat berpedoman dengan negeri-negeri Islam yang mereka percaya pengamalannya terhadap ajara Islam atau penetapan awal dan akhir bulannya ditentukan berdasarkan petunjuk syariat.
16 |
Panduan Ramadan
Doa Ketika Hilal Terlihat Jika hilal terlihat dan diumumkan secara resmi, maka disunahkan membaca doa yang Rasulullah J ajarkan,
"Ya Allah, semoga hilal (awal bulan) mendatangi kami dengan kebaikan dan iman, keselamatan dan Islam. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah." (HR. Ahmad dan Tirmizi)
Larangan Berpuasa Sehari Dua Hari Sebelum Ramadan Dan Pada Hari Yang Meragukan Terdapat larangan berpuasa pada sehari atau dua hari sebelum Ramadan, berdasarkan hadits Rasulullah J,
"Jangan kalian mendahulukan Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya). Kecuali seseorang yang (memang seharusnya/biasanya) melakukan puasanya pada hari itu. Maka hendaklah ia berpuasa." (Muttafaq alaih)
Larangan ini berlaku bagi orang yang melakukan puasa dengan niat hati-hati kalau hari-hari tersebut termasuk Ramadan. Sebab, yang diperintahkan adalah memastikan datangnya bulan Ramadan dengan terlihatnya hilal Ramadan. Kalau hilal tidak terlihat, maka bulan Sya'ban digenapkan menjadi tiga puluh hari berdasarkan riwayat shahih yang telah disebutkan di atas. Adapun jika hari itu bertepatan dengan hari-hari sunnah berpuasa yang biasa dia lakukan (seperti Senen dan Kamis), atau dia berpuasa pada hari itu karena
Panduan Ramadan
| 17
hendak membayar qadha puasanya, atau nazar atau kaffarat, maka dibolehkan. Hikmah pelarangan ini adalah agar ada pemisah antara puasa Ramadan yang fardhu dengan puasa-puasa sunah sebelum dan sesudahnya. Disamping menunjukkan bahwa waktu ibadah bulan Ramadan sudah tetap awal dan akhirnya, tidak dapat ditambah atau dikurang. Maka, dilarang puasa sehari atau dua hari sebelumnya dan dilarang pula puasa sehari sesudahnya, yaitu pada hari Idul Fitri. Adapula larangan berpuasa pada hari yang dikenal dengan istilah Yaumusy-Syak ) (ييم الكي. Yaitu, jika pada sore tanggal 29 Sya'ban hilal Ramadan tidak terlihat karena mendung atau terhalang oleh sebab lainnya, maka keesokan harinya dianggap sebagai tanggal 30 Sya'ban. Dikatakan hari meragukan, karena pada hari tersebut tidak jelas apakah malam sebelumnya hilal telah terbit namun tidak terlihat, atau hilal memang benar-benar belum terbit. Pada hari tersebut, menurut jumhur ulama, seseorang dilarang berpuasa jika tujuannya sekedar ingin hati-hati agar tidak ada hari yang tertinggal dari bulan Ramadan. Berdasarkan hadits, J "Siapa yang berpuasa pada hari yang diragukan padanya, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abu Qasim (Rasulullah) J." (HR. Abu Daud, Tirmizi dan Nasa'i, redaksi berasal dari riwayat Nasa'i)
18 |
Panduan Ramadan
Syarat dan Rukun Puasa Syarat Wajib Puasa Ibadah puasa diwajibkan memiliki kriteria berikut;
bagi
seseorang
yang
- Muslim Syarat dasar ibadah adalah keimanan. Tanpa keimanan, maka ibadah apapun tidak akan diterima. Apalagi ayat tentang perintah puasa secara khusus Allah Ta'ala menyeru kepada orang beriman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Maka, orang kafir tidak diwajibkan berpuasa dan tidak sah puasanya kalaupun mereka melakukannya. Akan tetapi mereka tidak boleh memperlihatkan perbuatannya yang tidak berpuasa di tengah masyarakat muslim yang berpuasa. - Baligh Anak kecil yang belum berusia baligh tidak terkena kewajiban puasa. Akan tetapi kedua orang tuanya hendak melatih mereka sedikit demi sedikit untuk berpuasa. Sehingga saat mereka telah masuk usia baligh dan telah terkena kewajiban puasa, dirinya telah siap melakukannya.
Panduan Ramadan
| 19
- Berakal Orang gila tidak diwajibkan berpuasa hingga sembuh. Rasulullah J bersabda,
َ َٓخِـَلِهٙحَئـ َ ِِٙ َٓطِـَِٔكِ َ َّعَـًِ اَائـبٙحَئـ َ ِِهٜزُ ِعَ اَْكَلَهُ عًَِ ثَالَثَ٘س عًَِ اَيئـا َ َٓعِ ِكرٙحَئ َ ٌَُِّْعًَِ اَْنَتِي "Pena diangkat (kewajiban tidak dibebankan) terhadap tiga (golongan); Orang yang tertidur hingga dia bangun, anak kecil hingga dia mimpi (baligh) dan orang gila hingga dia berakal." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Uzur Tidak Berpuasa Adapula orang-orang yang disebut Ashabul A'zaar (pemilik uzur) untuk tidak berpuasa. Yaitu mereka yang telah memiliki syarat wajib, namun memiliki alasan untuk tidak berpuasa. Karenanya, walaupun dibolehkan tidak berpuasa, mereka tetap diharuskan mengqadhanya atau membayar fidyah di hari yang lain sesuai jenis uzurnya. Beberapa uzur tersebut adalah; - Sakit yang ada harapan sembuh Orang sakit, jika khawatir dengan bepuasa akan semakin lama sembuhnya atau semakin bertambah sakitnya atau dirinya merasa sangat berat menjalaninya, maka dia memiliki uzur untuk tidak berpuasa. Boleh baginya berbuka dan mengganti puasanya di kemudian hari, jika sakit yag dideritanya termasuk sakit yang ada kemungkinan sembuh.
21 |
Panduan Ramadan
- Safar Orang yang melakukan safar dalam jarak yang membolehkannya untuk untuk melakukan qashar shalat, maka dia juga memiliki uzur untuk tidak berpuasa. Boleh baginya berbuka dan mengganti puasanya di kemudian hari. Kedua uzur di atas dilandasi oleh firman Allah Ta'ala,
ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿﮀ "Maka, siapa di antara kalian ada yang sakit atau safar (lalu berbuka), maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184)
- Orang tua renta dan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh Orang yang sanga tua renta sehingga sulit baginya berpuasa, begitu pula orang sakit yang diperkirakan tidak dapat sembuh berdasarkan informasi terpercaya dan dengan sakit tersebut sulit baginya berpuasa, maka kedua jenis orang ini juga memiliki uzur untuk tidak berpuasa dan tidak diwajibkan mengqadha puasa Ramadan yang ditinggalkan. Sebagai gantinya adalah membayar fidyah, yaitu mengeluarkan setengah sha' (kurang lebih seliter seperempat) makanan pokok (beras atau gandum, dll) untuk setiap hari puasa Ramadan yang ditinggalkan dan diberikan kepada orang miskin. Inilah kesimpulan yang dtetapkan shahabat dan para ulama berdasarkan firman Allah Ta'ala,
| 21
Panduan Ramadan
ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆﮇ "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika dia tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu), memberi makan seorang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184)
- Haid dan nifas Wanita yang haid dan nifas tidak wajib berpuasa, bahkan mereka dilarang berpuasa. Sabda Rasulullah J,
ارِ ََّهِ َتاُهِ َرََِكَ ىُ ْكاَاٌُ عِِٓيََا َ عأِ َهِ ُت َ ََْ ِٔظَ إِذَا حَا "Bukankah jika dia (wanita) sedang haid, dia tidak shalat dan tidak puasa? Itulah kekurangannya dalam agama." (HR. Bukhari)
Wanita tersebut diwajibkan mengqadha puasanya sebanyak hari yang ditinggalkan. Sebagaimana ucapan Aisyah ra,
اَلَُُ عَ َلُِِٔ َّضَـلَهَ ثُـهئ َى ْطَُـسُ ََٔأْ ُمسُىَـاَٙ َعَِدِ زَضُْل اَلَُِ صَلَٙاكيئا ىَخِّٔضُ عَل ِِٗ اَائلَاٛأَاوِ َّالَ َٓأْ ُمسُىَا بِ َكضَا ِ َِ اٛبِ َكضَا "Kami mengalami haid pada masa Rasulullah J. Kemudian kami suci. Maka Rasulullah J memerintahkan kami untuk mengqadha puasa dan beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqadha shalat." (HR. Tirmizi dan Nasa'i)
- Wanita Hamil dan Menyusui Para ulama menyebutkan bahwa wanita hamil dan menyusui, jika berat baginya untuk berpuasa, baik kekhawatirannya bersumber terhadap dirinya atau janinnya, maka dia termasuk orang yang memiliki uzur
22 |
Panduan Ramadan
untuk tidak berpuasa. Para ulama umumnya mengaitkan kondisi mereka dengan orang sakit yang tidak kuat berpuasa. Maka konsekwensinya, jika mereka tidak berpuasa adalah mengqadhanya di hari lainnya. Adapula pendapat yang mengaitkan mereka dalam penafsiran surat Al-Baqarah ayat 184 yang disebutkan di atas, sehingga mereka hanya diwajibkan membayar fidyah. Akan tetapi pendapat yang mewajibkan mereka untuk mengqadha puasa yang ditinggalkannya, lebih kuat. Rukun Puasa Rukun puasa secara garis besar ada 2, yaitu; Niat dan menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. 1. Niat Niat diharuskan dalam setiap ibadah. Secara khusus, Rasulullah J menyatakan keharusan niat di malam hari sebelum masuk waktu fajar bagi orang yang berpuasa. Beliau bersabda,
َُُ َصَٔاو ِ َتسِ َال ِ َأَاوَ َق ِبرَ اَْف ِ َمًَِ َهِ ُٓتِ ِنعِ ا "Siapa yang tidak niat untuk berpuasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya." (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Para ulama berpendapat bahwa perkara ini berlaku dalam puasa wajib. Adapun puasa sunah, seseorang boleh memulai niat setelah fajar selama dia belum makan dan minum. Niat dilakukan di dalam hati. Tidak ada redaksi khusus untuk melafazkannya. Selama seseorang telah me-
| 23
Panduan Ramadan
mantapkan niat di dalam hatinya bahwa dia besok akan berpuasa Ramadan, maka hal itu sudah cukup. Niat dilakukan setiap malam. Ada sebagian ulama yang membolehkan niat sekaligus untuk satu bulan Ramadan. 2. Meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa, sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Perkara-perkara yang membatalkan puasa telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunah. Ada yang yang telah disepakati oleh para ulama, ada pula yang diperselisihkan. Ada dua perkara yang penting diperhatikan dalam masalah ini. Pertama adalah perkara yang membatalkan puasa (akan dibahas dalam bab berikutnya). Dan kedua terkait dengan waktu pelaksanaanya yang berawal dari sejak terbit fajar dan berakhir hingga terbenam matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,
ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄﮅ "Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam." (QS. Al-Baqarah: 187)
Juga berdasarkan ucapan dan pengamalan Rasulullah J dalam berapa riwayat terkait. Maka, tidak dibenarkan menambah atau mengurangi waktu puasa yang ditentukan berdasarkan syariat.
24 |
Panduan Ramadan
Perkara Yang Membatalkan Puasa Jimak (bersetubuh) Berdasarkan firman Allah Ta'ala,
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗﭘ "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu." (QS. Al-Baqarah: 187)
Juga berdasarkan riwayat tentang kisah seseorang yang mengaku berjimak di bulan Ramadan. Kemudian Rasulullah J perintahkan dia untuk mem-bayar kaffarat yang berat akibat perbuatannya, berupa memerdekakan budak, jika tidak mampu berpuasa dua bulan berturutturut, dan jika tidak mampu memberi makan 60 orang miskin. (Muttafaq alaih) Para ulama sepakat bahwa berjimak membatalkan puasa. Bahkan, orang yang sengaja berjimak di siang hari bulan Ramadan dikenakan kaffarat yang berat sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat di atas. Ketentuan ini berlaku bagi suami isteri jika keduanya melakukan secara suka rela. Adapun jika suami memaksa isteri untuk melakukan hal tersebut, maka ketentuan kaffarat tidak berlaku bagi isteri. Makan dan minum dengan sengaja.
ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾﭿ "Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." (QS. Al-Baqarah: 187)
Adapun makan dan minum karena lupa, tidak membatalkan puasa. Sebagaimana sabda Raslullah J.
Panduan Ramadan
| 25
ُِغ ِس َ َ ْلَُِٔهئ صَِْمَُُ َإِىئنَا َْطْعَنَُُ اَلَُُ َّضَـكَا َ َِّْ َِهْ َأَ َكرَٜ ٍََُّْ صَاِٙمًَِ ىَط )ُٔ(مَفل عل "Siapa yang lupa saat berpuasa, kemudian dia makan atau minum, maka hendaknya dia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah memberinya makan dan minum." (Muttafaq alaih)
Termasuk dianggap yang membatalkan adalah semua tindakan yang dianggap menggantikan fungsi makan dan minum atau memasukkan sesuatu partikel ke dalam saluran pencernaan. Seperti suntik atau infus untuk mengganti zat makanan dan menghisap rokok. Haid dan Nifas Disepakati pula bahwa wanita yang kedatangan haid atau nifas saat puasa, maka puasanya batal. Bahkan tidak dibolehkan dia berpuasa. Berdasarkan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, di antaranya; "Bukankah jika dia (wanita) sedang haid, dia tidak shalat dan tidak puasa? Itulah kekurangannya dalam agama." (HR. Bukhari)
Muntah dengan sengaja Jumhur ulama berpendapat bahwa muntah tanpa sengaja tidak membatalkan puasa. Adapun sengaja agar muntah, membatalkan puasa. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa muntah secara mutlak, disengaja atau tidak, tidak membatalkan puasa. Namun yang dikuatkan adalah pendapat jumhur ulama. Berdasarkan hadits Rasulullah J,
26 |
Panduan Ramadan
َِ عَنِداً َ ْلَٔكّْضٛضَكَا ِ ْ َّمًِ اِٛهْ َ َل ِٔظَ عَ َلُِِٔ قَضاُٜ ٍََُّْ صَاَِٛٙمًَِ ذَزَعَُُ اَْك )ُ(زّاِ اَرتمرٖ ّابً مام "Siapa keluar muntah (tanpa sengaja) saat dia berpuasa, maka tidak diwajibkan baginya qadha. Dan siapa yang sengaja muntah, maka dia harus qadha." (HR. Tirmizi, Ibnu Majah, dll)
Bekam Para ulama berbeda pendapat apakah bekam membatalkan puasa atau tidak. Jumhur ulama berpendapat bahwa bekam tidak membatalkan puasa. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa bekam membatalkan puasa. Jumhur berdalil dengan ucapan Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari,
ِْهٜحَتَهَ ٍََُّْ صَا ِ خسِوْ َّا ِ اَلَُُ عَ َلُِِٔ َّضَلَهَ احَِتَهَ ٍََُّْ ُمٌََْٙئ اَئيبِٕئ صَل )ٖ(زّاِ اَبخاز "Sesungguhnya Rasulullah J melakukan bekam saat dia sedang ihram dan saat dia sedang puasa." (HR.Bukhari)
Juga terdapat beberapa riwayat lainnya yang menguatkan pendapat jumhur ulama. Adapun Imam Ahmad berdalil dengan hadits Rasulullah J yang berkata saat melihat ada orang yang berbekam di siang hari bulan Ramadan,
)(زّاِ ْبْ عاّع
ُتْو ُ َِْ ْطَسَ اَْخَامِ ُه َّاَْنَخ
"Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya)." (HR. Abu Daud)
Turunan dalam masalah ini adalah melakukan donor darah karena dianggap sama-sama mengeluarkan darah cukup besar dari dalam tubuh. Jika mengikuti pendapat jumhur ulama, maka donor darah tidak membatalkan
Panduan Ramadan
| 27
puasa. Tapi jika berpedoman dengan pendapat Imam Ahmad, maka donor darah tidak membatalkan puasa. Yang lebih hati-hati adalah menunda pelaksanaan hal tersebut hingga malam hari, jika memungkinkan. Karena pendapat Imam Ahmad dan argumentasinya cukup kuat. Wallahua'lam. Keluar mani secara sengaja Misalnya dengan bercumbu, onani, atau sengaja melihat dan membaca sesuatu yang membangkitkan syahwat. Para ulama sepakat bahwa keluar mani karena bercumbu dan semacamnya membatalkan puasa. Akan tetapi orang tersebut tidak diharuskan membayar kaffarat seperti orang yang berjimak. Dia hanya diwajibkan meneruskan puasanya dan diwajibkan mengqadha puasa hari tersebut di kemudian hari. Disamping dia harus bertaubat atas dosa sengaja melakukan perbuatan yang dapat membatalkan puasanya. Adapun jika bercumbu namun tidak keluar mani, maka tidak membatalkan puasa. Apakah bercumbu dengan isteri dibolehkan ketika berpuasa? Jumhur ulama mengatakan bahwa jika seseorang dapat mengendalikan syahwatnya, maka hal itu dibolehkan, akan tetapi jika dia khawatir tidak dapat mengendalikan syahwatnya, seperti khawatir akan keluar mani atau akan mendorongnya berbuat jimak, maka hal tersebut diharamkan. Berdasarkan riwayat Aisyah radhiallahu anha,
)ُٔ(مَفل عل
ُِِِهْ َّكَاٌَ َْمِلَكَكاهِ إلِزِبٜ ُٓ َكِبرُ َُّٓبَاغِسُ ٍََُّْ صَاJ ُِٕاٌَ اَئيب
28 |
Panduan Ramadan
"Sesungguhnya Nabi saw mencium dan mencumbu isterinya saat beliau sedang puasa. Dan beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan keinginannya di antara kalian." (Muttafaq alaih)
Perkara Yang Tidak Membatalkan Puasa Periksa darah dan suntik yang tujuannya tidak untuk memasukkan zat makanan. Seperti untuk berobat, tes darah, vaksin, atau kepeluan lainnya. Mencicipi masakan jika dibutuhkan, dengan syarat: tidak sampai masuk ke dalam kerongkongan. Menggunakan celak mata atau tetes mata atau semacamnya yang dimasukkan ke dalam mata. Menuangkan air dingin di atas kepala atau mandi dengannya. Menelan ludah, namun jika berupa lendir hendaklah dikeluarkan. Menggunakan minyak wangi dan menciumnya. Bermimpi hingga keluar mani. Junub sebelum terbit fajar dan belum mandi janabah hingga terbit fajar sementara dia sudah niat puasa. Boleh menghirup sesuatu yang tidak bersifat partikel untuk melegakan hidung tersumbat, atau melegakan dada bagi orang yang sesak nafas. Sikat gigi dengan pasta gigi dengan syarat tidak ada partikel yang ditelan. Bersiwak di siang hari, walaupun setelah matahari tergeincir. Keluar mazi atau madi. Menelan debu tanpa sengaja.
| 29
Panduan Ramadan Yang Harus Dijauhi Saat Berpuasa Berdusta Rasulullah J bersabda:
َمرئ حَـامٌَ٘ ِـٕ ٌَِْ َٓــ َدع َ َّ مًَِ َهِ َٓ َدعِ قَِْلَ اَصُّزِ َّاَْعَ َنرَ بُِِ َ َل ِٔظَ هللِ َعصئ َُُغسَاب َ َّ َُُطَعَـام “Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka tidak ada bagi Allah Ta’ala nilainya dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari)
Lalai dan berkata kotor Rasulullah J bersabda:
ِأَاوُ مًَِ اَلَػِِْ َّاَسئ َث ِ َأَاوُ مًَِ ْاألَ ْكرِ َّاَ ُػ ِس ِ إِىئناَ ا ِ ََ ِٔظَ ا “Puasa bukan hanya (menahan) makan dan minum saja, akan tetapi puasa juga (menahan) dari perbuatan sia-sia dan perkataan kotor." (HR. Hakim)
Rasulullah J juga bersabda:
ُصَٔامُِِ اَْتُْعُ َّاَْعَ َطؼ ِ ًِِحظُُُ م َ ٍِهُٜز ئ صَا “Betapa banyak orang yang puasa tidak mendapatkan apaapa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Catatan: Orang yang melakukan perbuatan seperti ini, status puasanya secara hukum tidak batal. Akan tetapi pahalnya gugur, bahkan berdosa karenanya. Namun, jika dia bertaubat saat itu juga dan mohon ampun kepada Allah, maka dia dapat meneruskan puasanya tanpa keharusan mengqadhanya.
31 |
Panduan Ramadan
Syarat-Syarat Batal Puasa 1. Mengerti. Jika seseorang melakukan perkara yang membatalkan puasa karena ketidaktahuannya maka tidaklah membatalkan, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰﮱ “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi yang (ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.” (QS. Al-Ahzab : 5)
2. Sadar. Jika seseorang lupa ketika melakukan perbuatan yang membatalkan, seperti lupa makan dan minum, maka puasanya sah selama dia tinggalkan langsung ketika ingat, dan dia tidak wajib meng-qadha-nya. 3. Kehendak sendiri. Jika seseorang dipaksa (untuk berbuka) maka puasanya sah dan tidak meng-qadha, sebagaimana hadits Rasulullah J :
َُِٔضَُ ْكسٍُِْا عَل ِ إٌِئ اهللَ تَتَاَّشَ عًَِ ْا ئمَِٕ اَْخَطَأَ َّاَيِ ِطَٔاٌَ َّمَا ا “Sesungguhnya Allah melampaui (mengampuni) ummatku yang melakukan kesalahan, kelupaan dan yang terpaksa” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)
Perbuatan Yang Dianjurkan Tilawatul Quran Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Quran. Seorang muslim hendaknya semakin dekat dengan Al-
Panduan Ramadan
| 31
Quran di bulan ini dengan membaca dan mempelajarinya. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata,
ني َ ع َّكَـا ٌَ َْمِـ َْ ُع مَـا َٓكاـْ ٌُ ِـٕ َز َمضَـا ٌَ حِـ ِ َْ مِـ َْ َع اَيئـاJ َُِكَاٌَ زَضُْلُ اَل ٌَم ِبسِٓرُ َٓلْكَــاُِ ِٕ اكرِ َِٔلَـ٘س مِـًِ زَ َمضَـاٌَ َُٔدَازِضُـُُ اَْكاـسِآ ِ ٌَم ِبسِٓرُ َّكَا ِ َُِٓلْكَا "Rasulullah J adalah orang yang paling dermawan. Beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadan, ketika Jibril menemuinya. Jibril menemuinya setiap malam di bulan Ramadan untuk mengulang bacaan Al-Quran." (HR. Bukhari)
Qiyamullail dan Taraweh (akan diuraikan dalam bab berikutnya) Banyak Bersadaqah Berdasarkan isyarat hadits di atas, Ramadan adalah sarana kita untuk meningkatkan sadaqah dibanding waktu lainnya. Karena rahmat dan ampunan Allah sedang dilimpahkan di bulan mulia ini.
Banyak Bedoa
Ramadan adalah waktu mustajabah untuk berdoa. Isyarat tersebut dapat ditangkap dalam pembahasan tentang Ramadan dan puasa dalam Al-Quran surat AlBaqarah ayat 183 dan seterusnya. Di tengah-tenah pembahasan, Allah menyelipkan ayat tentang anjuran berdoa, yaitu pada surat Al-Baqarah, ayat 186.
32 |
Panduan Ramadan
ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴﯵ ﯶ ﯷﯸﯹﯺﯻ "Dan apabila hamba-hamba-Ku, bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS. Al-Baqarah: 186)
Umrah Rasulullah J berkata kepada seorang wanita Anshar,
ً٘ َإٌِئ عُ ِنسًَٗ ُِِٔ تَعِدِلُ حَتئَِٚ زَ َمضَاٌُ َا ِعَ ِنسَٛإِذَا مَا "Jika datang bulan Ramadan, lakukanlah umrah. Karena umrah di dalamnya sebanding dengan haji." (Muttafaq alaih)
Menghadirkan sifat-sifat utama Ibadah di bulan ini menyediakan sifat-sifat mulia yang harus kita serap dalam kehidupan sehari-hari. Seperti zuhud terhadap dunia, cinta fakir miskin, gemar beribadah, sabar, syukur, tawakal, dll. Disunahkan sahur dan mengakhirkannya. Rasulullah J memerintahkan sahur untuk membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab. Beliau J bersabda:
َِاِرُ مَا َبًَِٔ صَِٔا ِميَا َّصَ ِْوِ َْ ٍِرِ اَْكَِاَ ِ َْكَلَ٘ا اَطئخُْز “Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur." (HR. Muslim)
| 33
Panduan Ramadan Terdapat riwayat dari Zaid, dia berkata:
“Kami sahur bersama Nabi J, lalu beliau bangkit untuk melaksanakan shalat”. Dia (Zaid) ditanya, ”Berapa lama jarak antara azan dan sahur?” Dia menjawab, “sekedar (membaca) lima puluh ayat.” (Muttafaq alaih)
Disunahkan memakan korma saat melakukan sahur. Sunah mempercepat Ifthar (berbuka puasa). Ifthar hendaknya dilakukan saat matahari terbenam. Mempercepat ifthar merupakan sunah Rasulullah J, karena beliau bersabda:
َ ُضئيَِٕ مَاَهِ َت ِيَ ِظسِ بِ ِف ْطسٍَِا اَيُتُْوَٙالَ َتصَالُ ْا ئمَِٕ عَل “Umatku selalu berada dalam sunnahku selama dia tidak menunggu bintang-bintang (waktu malam) untuk berbuka.” (HR. Ibnu Hibban)
Memberi makan berbuka kepada orang yang puasa. Hendaknya setiap orang berupaya untuk memberi makan bagi orang yang berbuka, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar dan kebaikan yang banyak. Rasulullah J bersabda :
ًاِٝٔغ َ ِِهٜمسِ اَائا ِ َْ ًِِمسِ ِ َغ ِٔسَ َْىئُُ الَ َٓيِكاصُ م ِ َْ ُِناً كَاٌَ َُُ ِم ِثرٜمًَِ َ َطسَ صَا “Siapa yang memberi makan orang yang puasa maka baginya (pahala puasa) orang itu, tanpa mengurangi pahala orang yang puasa tersebut.” (HR. Ahmad dan Tirmizi)
Rasulullah J biasanya berbuka dengan ruthab (korma muda) sebelum shalat. Jika tidak ada, maka dengan beberapa tamr (korma masak). Jika tidak ada, dia cukup meminum beberapa teguk air.” (HR. Ahmad)
34 |
Panduan Ramadan
Jika berbuka beliau J membaca:
جرُ إ ِن شَا َء اهلل ِ ت األ َ َب ال َّظمَُأ وَابِتَّلَتِ ال ُعرُو ُق وَثَب َ َذَه "Telah hilang dahaga dan urat-urat telah basah dan pahala telah tetap Insya Allah." (HR. Abu Daud dan Nasa'i)
Ketika ifthar, disunahkan berdoa. Karena bagi orang yang puasa -pada saat itu- doanya mustajabah (terkabul). Rasulullah J bersabda :
ِهُ حِـنيَ ُٓ ْفطِـ ُس َّْاإلِمَــاوُ اَْعَــاعِ ُل َّ َععِـَْٗاٜ اَائــا:ِثَالَثـٌ٘ الَ تُـسَعُ َععِـَُْتَُه اَْ َنظْلاْو “Ada tiga golongan yang doanya tidak ditolak: Orang yang puasa saat dia ifthar (berbuka), Imam (pemimpin) yang adil, dan doa orang yang dizalimi.” (HR. Tirmizi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
I'tikaf, khususnya pada sepuluh hari terakhir
diuraikan pada bab berikut)
(akan
| 35
Panduan Ramadan
ZAKAT FITRAH Arti Zakat Fitrah1) Fitr ) (فطيartinya berbuka, maksudnya adalah bulan Ramadhan telah usai, dan kita boleh kembali tidak berpuasa. Zakat Fitrah adalah zakat yang dikeluarkan karena berakhirnya bulan Ramadan. Dalil dan Hikmahnya Zakat Fitrah disyariatkan berdasarkan umumnya nash Al-Quran, hadits shahih dan ijmak kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah diri." (QS. Al-A'la: 14)
orang
yang
membersihkan
Lebih dari satu orang dari kalangan salaf yang menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah Zakat Fitrah. Hal tersebut diriwayatkan secara marfu’ dari Rasulullah J, dari Ibnu Khuzaimah dan lainnya. Terdapat riwayat dalam Ash-Shahihain dari Abdullah bin Umar, beliau berkata,
« ِ» َسَضَ زَضُْلُ اهللِ شَكَاَٗ اَْ ِف ْطس “Rasulullah J telah mewajibkan zakat fitrah.” (Muttafaq alaih)
1.
Istilah asalnya adalah Zakatul Fithr. Namun di tengah masyarakat lebih dikenal dengan istilah Zakat Fitrah.
36 |
Panduan Ramadan
Kaum muslimin sejak dahulu hingga sekarang sepakat (ijmak) tentang kewajiban zakat fitrah. Zakat fitrah disyariatkan sebagai pensuci jiwa dari segala kotoran, sifat bakhil dan akhlak yang buruk lainnya, penyempurna pahala, juga sebagai pensuci puasa yang mungkin berkurang pahalanya karena ucapan atau prilaku yang tak baik atau lainnya. Dia juga berfungsi untuk menghibur dan memberi kecukupan kepada fakir miskin di hari Id sehingga menumbuhkan rasa cinta di antara sesama. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas :
ً٘ ث َّ اط ِعنَـ ِ ِه مِـ ًَ اَ َلػِـ ِْ َّاَ ئس َـِٜهلل َشكَا َٗ ا َْ ِفطْـ ِس اطَِـ َس ًٗ َِلائـا ِ ض َزضُْ ُل ا َ » َ َس « َِِلْنَطَاكِني “Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang berpuasa dari tindakan dan ucapan buruk serta memberi makan orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud, Hakim dan yang lainnya)
Siapa Yang Diwajibkan? Zakat fitrah adalah untuk mensucikan diri. Maka diwajibkan bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun wanita, merdeka ataupun budak, penduduk kota ataupun desa, berdasarkan ijmak. Juga diwajibkan mengeluarkan zakat untuk orang-orang yang wajib diberikan nafkah. Misalnya, seorang bapak wajib mengeluarkan zakat untuk istri dan anak-anaknya, walaupun mereka masih kecil. Ibnu Umar radiallahuanhuma berkata:
| 37
Panduan Ramadan
ٙ شَكَاَٗ اَْ ِف ْطسِ صَاعاً مًِِ تَ ِنسٍ َِّْ صَاعاً مًِِ غَـ ِعٍٍ عَلَـJ ِ» َسَضَ زَضُْلُ اهلل ٌَِْ ََّْمَـسَ ِبََـا.َ َّاَائـ ِػٍِ َّاَْكَـِبٍِ مِـًَ اَْنُطِـلِنِنيَٙخسِ َّاَرئ َكسِ َّاألاِىث ُ َْاَْ َعبِدِ َّا « َِٗخسُّجِ اَيئاعِ إِىلَ اَائال ُ َ َق ِبرٚتُؤَعئ “Rasulullah J telah mewajibkan zakat fitrah satu sha’ korma, atau satu sha’ gandum, baik kepada budak atau orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak kecil maupun orang dewasa dari kalangan muslimin. Beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum keluarnya manusia untuk shalat (Id)." (Muttafaq alaih)
Kekayaan dengan nishab tertentu bukan syarat diwajibkannya zakat fitrah sebagaimana pada zakat mal (harta). Standarnya adalah: Siapa saja yang memiliki makanan pokok bagi diri dan keluarganya serta mereka yang wajib dinafkahinya pada hari dan malam Id, maka dia terkena kewajiban zakat fitrah. Jenis Makanan Yang Dikeluarkan Terdapat riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiallahu anhu, dia berkata:
ٍاكيئا ىُخِسِجُ شَكَاَٗ اَْ ِف ْطسِ صَاعّا مًِِ طَعَاوٍ َِّْ صَاعّا مًِِ غَعٍٍِ َِّْ صَاعّا مًِِ تَ ِنس )َُِّْٔ صَاعّا مًِِ َْقِطس َِّْ صَاعّا مًِِ شَبِٔب (مَفل عل “Dahulu, kami mengeluarkannya Zakat Fitrah dalam bentuk satu sha’ makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu korma atau satu sha’ aqith (keju kering) atau satu sha' zabib (korma kering)." (Muttafaq alaih)
Dalam riwayat lain beliau berkata :
38 |
Panduan Ramadan
“Dahulu makanan kami adalah gandum, zabib, susu kering dan korma.” (HR. Bukhari)
Sebaiknya dikeluarkan jenis yang paling baik dan paling bermanfaat bagi orang miskin. Allah Ta’ala berfirman:
)29 :ٌ(ضْزٗ آل عنسا
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai." (QS. Ali-Imran: 92)
Ukuran Yang Wajib Dikeluarkan Terdapat riwayat dari hadits shahih, bahwa Rasulullah J "Mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’…” Yang dimaksud adalah satu sha’ Nabi J yaitu sebanyak empat mud. Sedang satu mud adalah sepenuh dua telapak tangan orang dewasa berukuran sedang. Berat keseluruhannya (empat mud) kurang lebih 2.5 kg. Jika lebih dari ukuran wajib maka hal tersebut dihitung sebagai shadaqah. Jumhur ulama mengharuskan zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok. Namun Abu Hanifah membolehkan mengeluarkan Zakat Fitrah dalam bentuk uang senilai makanan yang wajib dikeluarkan. Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah Waktu mengeluarkan zakat fitrah terbagi dua: 1. Waktu utama:
| 39
Panduan Ramadan
Dimulai sejak matahari terbenam pada malam Id hingga shalat Id. Lebih utama antara shalat Fajar dan shalat Id. Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata,
)ُٔ(مَفل عل
َِٗ اَائالََِٙخسُّجِ اَيئاعِ إ ُ َ َق ِبرٚ» ََّْ َمسَ ٌَِْ تُؤَعئ
“Beliau (Rasulullah J) memerintahkan agar (zakat fitrah) ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk shalat (Id)." (Mutafaq alaih)
Telah dijelaskan sebelumnya, tafsir kalangan salaf atas firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan dirinya (dengan beriman). dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat." (QS. Al-A’la : 14-15)
Bahwa yang dimaksud ayat ini adalah seseorang yang menyerahkan zakatnya pada hari Idul Fitri sesaat sebelum shalat. 2. Waktu yang dibolehkan Yaitu, sehari atau dua hari sebelum Id. sebagaimana terdapat dalam shahih Bukhari:
ًَِِّٔكَاىُْا ُٓ ِعطاٌَْ َق ِبرَ اَْ ِف ْطسِ ِبَٔ ِْوٍ َِّْ َِْٓ َم “Mereka (para shahabat) biasanya memberikan (zakat fitrah) kepada orang-orang miskin sehari atau dua hari sebelum Idul fitri.” (HR. Bukhari)
Maka hal tersebut merupakan ijmak para shahabat. Jika seseorang menunda pelaksanaannya hingga selesai shalat Id, maka dia wajib meng-qhada-nya, karena kewajiban tersebut tidak berarti gugur hanya karena
41 |
Panduan Ramadan
habis waktunya. Namun -menurut para ulama- dia tetap berdosa jika menunda pelaksanaannya dengan sengaja. Kepada Siapa Zakat Fitrah Diberikan? Dalam hadits Ibnu Abbas radiallahuanhuma, beliau berkata: “Rasulullah J mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi orang yang berpuasa dari perkataan dan perbuatan buruk dan (juga berfungsi sebagai) pemberi makan orang miskin.” (HR. Abu Daud, Hakim dan yang lainnya)
Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa zakat fitrah diserahkan kepada orang-orang miskin saja. Zakat fitrah hendaknya tidak digunakan untuk untuk hal-hal yang bersifat pembangunan materi, seperti pembangunan masjid atau sekolah, tetapi langsung diberikan kepada fakir miskin. Beberapa Permasalahan Terkait Zakat Fitrah Zakat fitrah adalah zakat badan, bukan zakat maal (harta), tujuannya mensucikan badan. Karenanya kewajibannya tidak terkait nisab dan haul. Cukup seseorang memiliki kelebihan persediaan makan untuk dirinya dan keluarganya hari itu, dia sudah wajib mengeluarkan zakat fitrah. Bahkan diwajibkan pula memberikan zakat kepada orang yang menjadi tanggungannya, seperti isteri dan anak kecil. Para ulama juga menyatakan sunnah mengeluarkan zakat fitrah bagi janin yang masih dalam kandungan, berdasarkan perbuatan Utsman bin Affan radhiallahu'anhu yang melakukan hal tersebut.
Panduan Ramadan
| 41
Karena zakat fitrah adalah zakat badan, maka hendaknya dia dikeluarkan di tempat seseorang berada dengan standar yang berlaku di negeri tersebut. Jika kemudian, berdasarkan pertimbangan manfaat sebaiknya disalurkan ke daerah lain, hal tersebut tidak mengapa, sebab dibolehkan menyalurkan zakat fitrah ke daerah/negeri lain, jika dipertimbangkan bahwa negeri lain sangat membutukkan dibanding negeri tempat dia berada. Jika kita mengetahui langsung ada orang yang benarbenar berhak menerima zakat, lalu kita berikan secara langsung, itu tidak mengapa. Namun menyalurkan zakat fitrah ke lembaga-lembaga penyalur zakat terpercaya lebih baik, lebih terarah dan relative lebih merata, apalagi jika kita tidak tahu siapa yang paling berhak menerima zakat di sekitar kita. Orang yang berhak menerima zakat fithrah, hanyalah fakir miskin. Ada sebagian ulama yang membolehkan penyalurannya ke delapan ashnaf (golongan) yang dikenal dalam zakat maal (harta). Namun berdasarkan haditshadits yang ada, serta maqashid syari'ah (tujuan syari'ah) dalam ibadah ini, maka pendapat yang mengkhususkan penyalurannya kepada fakir miskin lebih kuat. Sebagian orang menyalurkan zakat fitrah kepada orang yang disebut sebagai amil, padahal dia kaya, hal ini tidak tepat. Wallahua'lam. Mengeluarkan zakat fitrah, tidak menggugurkan kewajiban seseorang mengeluarkan zakat harta jika dia telah memiliki kriteria sebagai orang yang wajib zakat harta.
42 |
Panduan Ramadan
SHALAT TARAWEH Arti Taraweh Taraweh ) (الت ي احيdalam bahasa Arab adalah kata jamak dari tarwiihah ) (ت حيح ي, artinya beristirahat atau santai sejenak. Kalimat ini pada mulanya bermakna 'duduk' secara umum. Kemudian dikenal sebagai 'duduk' yang dilakukan setelah melakukan shalat empat rakaat di malam bulan Ramadhan”. Karena pada saat itu, mereka yang shalat beristirahat sebentar dari shalatnya, mengingat panjangnya shalat yang mereka lakukan. Akhirnya istilah tersebut dilekatkan kepada nama shalat itu sendiri. 1) Shalat Taraweh Zaman Rasulullah J dan KhulufaurRasyidin Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu anha, bahwa saat masuk bulan Ramadhan, Rasulullah J shalat di masjid (Nabawi), lalu diikuti oleh beberapa orang. Kemudian beliau shalat lagi pada hari keduanya, yang mengikutinya semakin banyak. Lalu pada malam ketiga atau keempat para shahabat sudah berkumpul (untuk shalat bersama Rasulullah J), namun beliau J tak kunjung muncul. Di pagi harinya Rasulullah J bersabda kepada mereka:
1.
Lihat al-Mu’jamul al-Wasith, 1/380, al-Mulakhash al-Fiqhi, 1/167
| 43
Panduan Ramadan
ٌَِْ ُخلسُ ِّجِ إَِِٔكاهِ ِإالَ َْىِٕ خَ ِػ ِٔأ َلَهِ َٓ ِنيَ ِعيِٕ مًَِ ْا ا
ِصيَ ِعَُه َ ِٖزََْ ِٓأُ اَر
»
ِتُ ْفسَضَ عَلَِٔكاه “Saya melihat apa yang kalian lakukan (tadi malam). Tidak ada yang mencegah saya keluar (untuk shalat) bersama kalian, hanya saja saya khawatir (shalat taraweh tersebut) diwajibkan kepada kalian.” (Muttafaq alaih)
Kesimpulannya, pada awalnya shalat taraweh zaman Rasulullah J dilaksanakan secara berjamaah. Kemudian tidak dilakukan secara berjamaah, karena Rasulullah J khawatir, jika shalat tersebut dilaksanakan secara berjamaah terus menerus, akan turun ayat yang mewajibkannya kepada kaum muslimin, sehingga mereka tidak mampu melakukannya. Begitulah seterusnya hal tersebut berlanjut; shalat taraweh dilakukan sendiri atau berkelompok hingga Rasulullah J wafat, dan seterusnya juga berlangsung di masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq . Baru kemudian pada zaman khalifah Umar bin Khattab , pelaksanaannya dikembalikan seperti semula, yaitu dengan berjamaah. Abdurrahman bin Abdun Al-Qory meriwayatkan: “Aku keluar bersama Umar bin Khattab di (malam) bulan Ramadhan menuju mesjid. Di sana orang-orang melakukan shalat terpisah-pisah; Ada yang shalat seorang diri, ada yang shalat mengimami beberapa orang. Menyaksikan hal tersebut Umar berkata: “Saya berpendapat, akan lebih baik jika mereka dikumpulkan dengan satu imam,”
44 |
Panduan Ramadan
Maka beliau segera wujudkan keinginannya dengan memerintahkan Ubai bin Ka’ab untuk menjadi imam bagi orang yang shalat Taraweh… Kemudian di malam berikutnya saya keluar (menuju mesjid) dan menyaksikan orang-orang yang shalat (taraweh) dipimpin oleh seorang imam. Maka saat itu Umar :
ِ ِ» ىِعِهَ ا َْبِ ِدعَ٘ا ٍَر “Inilah sebaik-baik bid’ah.” (HR. Bukhari)
Maka sejak zaman itu hingga kini, pelaksanaan shalat taraweh dilakukan secara berjamaah di masjid-masjid dan telah menjadi sunnah yang diterima dan dilaksanakan kaum muslimin di seluruh dunia. Catatan: Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud 'bid'ah' dalam perkataan Umar di sini adalah pengertian bid’ah secara bahasa. Artinya 'sesuatu yang baru', karena shalat taraweh berjamaah secara terus menerus baru dilakukan pada zaman Umar bin Khattab , di mana sebelumnya hanya dilakukan oleh Rasulullah J beberapa kali saja. Adapun bid’ah dalam pengertian istilah yang maksudnya 'Mengada-adakan ibadah yang tidak diajarkan dalam Islam', tidaklah termasuk apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab ini. Karena sebenarnya perkara tersebut telah dilakukan oleh Rasulullah J sehingga tetap memiliki landasan syar’i, disamping kekhawatiran shalat Taraweh akan diwajibkan terhadap umat Islam yang menyebabkan Rasulullah J menghentikannya secara berjamaah sudah tidak ada lagi, karena terputusnya wahyu setelah Rasulullah J wafat.
| 45
Panduan Ramadan Hukum Dan Keutamaannya
Shalat taraweh sangat dianjurkan (sunnah mu’akkadah). Pelaksanannya pada awal malam selama bulan Ramadhan, sesudah shalat Isya. Shalat Taraweh juga digolongkan sebagai shalat malam (qiyamullail). Karena itu, keutamaan shalat taraweh dapat dinilai dari keutamaan shalat malam yang banyak disebutkan dalam ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah J. Di antaranya firman Allah Ta’ala:
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhirakhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzariat: 17-18)
Rasulullah J bersabda:
ِضرُ اَائالَِٗ بَعِدَ اَْ َف ِس ِٓضَِ٘ صَالَٗا اَ َل ِٔر َ ْ َْ » “Shalat yang paling utama setelah shalat fardu adalah shalat malam.” (HR. Muslim)
Maka, jika shalat malam secara umum memiliki keutamaan yang besar, apalagi jika shalat tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan; bulan yang paling utama dari bulan-bulan yang ada. Hal tersebut semakin dikuatkan dengan kenyataan bahwa bulan Ramadhan bukan hanya dikenal sebagai syahrush-shiyam (bulan puasa), tetapi juga dikenal sebagai syahrul-qiyam (bulan ibadah shalat).
46 |
Panduan Ramadan
Maka hadits Rasulullah J yang menerangkan tentang keutamaan puasa di bulan Ramadhan sepadan dengan keutamaan shalat malam di bulan tersebut. Rasulullah J bersabda:
ُِِحَِطَاباً غا ِفسَ َُُ مَا تَكَدئوَ مًِِ ذَِىب ِ » مًَِ صَا َو زَمَضَاٌَ ِإِٓنَاىاً َّا “Siapa yang puasa (di bulan) Ramadhan dengan iman dan penuh harap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq alaih)
Beliau juga bersabda:
ُِِحَِطَاباً غا ِفسَ َُُ مَا تَكَ ئدوَ مًِِ ذَىِب ِ » مًَِ قَا َو زَمَضَاٌَ ِإِٓنَاىاً َّا “Siapa yang beribadah (shalat) (di bulan) Ramadhan dengan iman dan penuh harap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq alaih)
Berapa Jumlah Rakaat Shalat Taraweh? Sering terjadi pertentangan tentang jumlah rakaat shalat taraweh. Tidak jarang hal tersebut berakibat pada perpecahan di tengah masyarakat muslim. Sesuatu yang sangat ironis. Mengingat shalat taraweh hukumnya sunah, sedangkan ukhuwah dan persatuan di kalangan kaum muslimin tidak diragukan lagi kewajibannya. Namun sayang, demi membela yang sunnah (tanpa diringi pemahaman yang benar), yang wajib justru diabaikan . Hal tersebut terjadi karena permasalahan ini sering dilihat dari sudut pandang golongan. Dikatakan bahwa yang shalat dua puluh rakaat adalah cara orang NU, sedang yang sebelas rakaat adalah cara orang Muhama-
Panduan Ramadan
| 47
diyah, tanpa meneliti dalil yang ada serta petunjuk pemahaman yang benar dan menyeluruh serta perkataan para ulama tentang hal tersebut. Padahal para salafusshaleh melihat perkara ini sebagai perkara yang muwassa’ (luas dan luwes). Bukan pada tempatnya menjadikan hal ini sebagai ajang untuk membid’ahkan atau menyatakan seseorang bukan golongannya. Latar Belakang Masalah Karena shalat taraweh juga digolongkan sebagai shalat malam (qiyamullail), maka hukum yang terkait dengannya juga mengikuti hukum yang berlaku pada shalat malam, termasuk masalah jumlah bilangan rakaatnya. Sejumlah ulama berpendapat bahwa jumlah rakaat shalat malam adalah dua rakaat-dua rakaat secara mutlak, tanpa ada pembatasan jumlah maksimal dari rakaat yang boleh dikerjakan. Sebagaimana hadits Rasulullah J:
ًَٗ زَكْعًَ٘ َّاحِدَٙا ِبحَ صَل ُ ََإِذَا خَػَِٕ َْحَدُكاهِ ا
َٙ َم ِثيَٙ» صَالَٗا اَ َل ِٔرِ َم ِثي َٙتُِِْتسُ َُُ مَا قَ ِد صَل
“Shalat malam, dua (rakaat) dua (rakaat), jika salah seorang di antara kalian khawatir (datang) waktu shubuh, maka hendaklah dia shalat (witir) satu rakaat, mengganjilkan shalat yang telah dilakukan.” (Muttafaq alaih)
Hadits ini Rasulullah J sampaikan ketika menjawab pertanyaan seseorang tentang pelaksanaan shalat malam.
48 |
Panduan Ramadan
Maka dari jawaban tersebut ada dua hal yang dapat disimpulkan: 1. Shalat malam hendaklah dilakukan dua rakaat-dua rakaat. Maksudnya adalah setiap dua rakaat melakukan salam. 2. Shalat malam tidak ada batasan maksimalnya. Karena kalaulah hal tersebut ditentukan, mestinya Rasulullah J sampaikan masalahnya, mengingat pertanyaan orang tersebut bersifat umum tentang shalat malam, baik tata caranya maupun jumlah rakaatnya. 1) Adapun hadits Aisyah radhiallahu anha yang sering dijadikan landasan sebagai batas maksimal dari pelaksanaan shalat malam terdapat dalam riwayat Bukhari dan Muslim, Aisyah radiallahuanha berkata:
ََٗ عَ ِػسَٚ إِحِدَٙ َٓ ِصِٓدُ ِٕ زَ َمضَاٌَ َّالَ ِٕ َغ ِٔسِ ِ عَلJ ِمَا كَاٌَ زَضُِْلُ اهلل
»
َزَكْعًَ٘ ُٓاَلِٕ َْزِبَعاً َالَ تَطِأَلِ عًَِ حُ ِطِيًَِئ َّطاًََِِِْئ ثُهئ ٓاُلِٕ َْزِبَعاً َال ُ ًتَطِأَلِ عًَِ حُ ِطِيًَِئ َّطاًََِِِْئ ثُهئ ُٓاَلِٕ ثَالَثا “Rasulullah J tidak menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat, jangan tanya bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, jangan tanya tentang bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat.” (Muttafaq alaih)
Dalam hadits ini, dengan gamblang Aisyah radhiallahuanha menjelaskan tentang jumlah rakaat shalat malam
1.
Duruus Ramadhaniah, Waqafaat Li as-Sho’imin, Salman bin Fahd al-Audah
Panduan Ramadan
| 49
yang dilakukan Rasulullah J, baik di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan, yaitu: 11 rakaat. Namun yang patut diperhatikan adalah: Bahwa hadits Aisyah radhiallahuanha di atas, tidak berarti menunjukkan bahwa shalat malam (shalat taraweh) maksimal sebelas rakaat, sehingga jika lebih dari itu dianggap menyalahi sunnah Rasul. Karena dalam riwayat tersebut, Aisyah sekedar menyampaikan bahwa demikianlah shalat malam yang Rasulullah J lakukan. Sehingga para ulama berkesimpulan bahwa apa yang disampaikan Aisyah radhiallahu anha adalah merupakan kebiasaan Rasulullah J dalam bilangan rakaat shalat malam dan tidak ada petunjuk bahwa beliau melarang pelaksanaan shalat malam lebih dari itu. 1) Yang menguatkan pendapat tersebut adalah adanya riwayat lain yang shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah J melakukan shalat malam tiga belas rakaat, atau sepuluh rakaat. Bahkan Aisyah radhialluanha termasuk yang meriwayatkan Dari Aisyah radhiallahuanha, dia berkata: ْ(زّاِ ْب
مًَِ اَ َل ِٔرِ عَ ِػسَ زَكَعَاُس َُِّْٓتسُ بِطَتِدَٗسِٙ ُٓاَلJ َُِكَاٌَ زَضُْلُ اَل )عاّع
“Adalah Rasulullah J shalat pada malam hari sepuluh rakaat, kemudian melakukan shalat witir satu rakaat.” (HR. Abu Daud)
1.
Lihat Syarh Shahih Muslim, oleh Imam An-Nawawi, 6/ 262. Lihat juga Fatawa Lajnah Da’imah (Kumpulan Fatwa yang dikeluarkan oleh komisi fatwa Kerajaan Saudi Arabia), 7/195
51 |
Panduan Ramadan
Dari Abu Salamah dia berkata, "Aku bertanya tentang shalat Rasulullah J. Maka dia berkata,
ِٙ ثَنَاٌَ زَكَعَاُس ثُهئ ُْٓتِسُ ثُهئ ُٓاَلِٙال َ عَ ِػسََٗ زَكْعًَ٘ ُٓاَل َ َ ثِٙكَاٌَ ُٓاَل ِٛ زَكْ َعًَِِٔ َبًَِٔ اَيِدَاِٙزَكْ َعًَِِٔ ٍََُّْ مَاَِظْ َإِذَا َْزَاعَ ٌَِْ َٓسِ َكعَ قَاوَ َسَ َكعَ ثُهئ ُٓاَل )(زّاِ مطله
ِا ِبح ُ ََّاإلِقَامَِ٘ مًِِ صَالَِٗ ا
“Beliau shalat tiga belas rakaat; Shalat delapan rakaat, kemudian shalat witir. Kemudian shalat dua rakaat dalam keadaan duduk, jika hendak ruku' beliau bangkit, lalu ruku'. Kemudian beliau shalat dua rakaat antara azan dan iqamah shalat Shubuh.” (HR. Muslim)
Kesimpulannya, yang utama shalat Taraweh dilakukan 11 rakaat, berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha, namun jika ada yang shalat dua puluh rakaat ditambah tiga witir, maka hal tersebut tidaklah mengapa. 1) Bagi makmum, yang perlu diketahui adalah hendaklah dia melakukan shalat taraweh bersama imam hingga selesai (apakah imam melakukannya 11 atau 20 rakaat), berdasarkan hadits:
اسِفَ اكَِبَ َُُ ِقَٔاوُ َِٔلَ٘س َ َٓ ِيٙحَئ َ ِمرَ إِذَا قَاوَ َمعَ ْاإلِمَاو ُ إٌِئ اَسئ “Seseorang, jika dia shalat bersama imam hingga selesai, maka dicatat baginya (pahala) qiyamullail.” (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i)
Disamping hal tersebut lebih dekat kepada kesatuan dan persatuan. Jika terjadi perbedaan pendapat dalam suatu masjid masalah ini, sebaiknya diatasi dengan semangat ukhuwah islamiyah dan memperjelas permasalahannya.
1.
Lihat Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, 2/604, Fatawa Lajnah Da’imah, 7/198
Panduan Ramadan
| 51
Beberapa Hukum Terkait Dengan Shalat Taraweh Hendaknya shalat Taraweh dilakukan dengan tenang dan khusyu. Memperhatikan thuma’ninah, syarat dan rukunnya, serta tidak tergesa-gesa. Semakin lama shalatnya, maka semakin baik nilainya. Karena sesungguhnya nilai shalat ini terletak pada lamanya dia dilakukan. Karena itu pada zaman Rasulullah J mereka beristirahat di pertengahannya untuk menghilangkan letih. Namun penting juga dalam hal ini memperhatikan kondisi orang yang tua renta atau mereka yang lemah. Betapapun besarnya kedudukan shalat Taraweh, tetap saja shalat Fardhu lebih utama kedudukannya. Karena itu, sebesar apapun perhatian seseorang untuk shalat Taraweh, tidak boleh mengalahkan perhatian dia dalam melaksanakan shalat Fardhu. Tidak ada surat-surat khusus yang dibaca setelah membaca surat al-Fatihah. Bahkan para ulama menganjurkan agar imam membaca seluruh Al-Quran sejak awal hingga akhir Ramadhan, agar makmum mendengarkan semua isi al-Quran. Namun tidak mengapa jika dia membaca semampunya. Terkait point di atas, dibolehkan bagi imam, jika dia tidak hafal Al-Quran, memegang mushaf saat shalat. Namun bagi ma’mum selayaknya hal tersebut tidak dilakukan. 1)
1.
Majmu Fatawa, Syekh Ibn Baz, 11/339-340
52 |
Panduan Ramadan
Tidak ada dalil yang menunjukkan zikir atau shalawat khusus yang dilakukan di sela-sela shalat Taraweh atau sesudahnya yang dibaca bersama-sama. Cukuplah masing-masing jamaah berzikir seorang diri, atau membaca al-Quran atau membaca shalawat, atau berdoa tanpa batasan-batasan tertentu. Atau, jika tidak membaca sesuatupun, tidak mengapa. Jika seseorang datang ke mesjid, sedangkan pelaksanaan shalat Taraweh telah dimulai dan dia belum melaksanakan shalat Isya. Maka dia harus melakukan shalat Isya terlebih dahulu sebelum shalat Taraweh. Adapun pelaksanaannya, dia dapat bergabung dengan jamaah shalat Taraweh dengan niat shalat Isya, kemudian jika imam melakukan salam, dia melanjutkan sisa raka’atnya. 1) Jika seseorang terhalang melakukan shalat Taraweh secara berjamaah, maka hal tersebut tidak menghalanginya untuk shalat taraweh seorang diri di tempatnya. Keutamaan Sepuluh Malam Terakhir Ramadan Pada malam sepuluh hari terakhir (Al-Asyrul Awakhir) dianjurkan meningkatkan ibadah, khususnya shalat malam. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara berjamaah pada akhir malam. Aisyah radhiallahuanha berkata :
َصَزِٝ ر ََِّْٓكَ َ ٍَِْلَُُ َّمَدئ َّغَدئ اَْ ِن ِ ِٔ حَٔا اَ َل ِ َْ َخرَ اَْعَ ِػس َ َكَاٌَ اَئيبُِٕ إِذَا ع 1.
Lihat Majmu Fatawa, Syekh Ibn Baz, 12/181
Panduan Ramadan
| 53
“Rasulullah J biasanya jika telah memasuki sepuluh (hari terakhir bulan Ramadhan), beliau menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dan mengencangkan kainnya (tidak menggauli isterinya).” (Muttafaq alaih)
Aisyah radhiallahuanha juga berkata:
ِغ ِٔسِ ِ (زّا َ ِٙ ُتََِد ِ َٓ َخسِ مَا ال ِ اَْعَ ِػسِ األََّاِٙ ُتََِد ِ َٓ J َُِكَاٌَ زَضُْلُ اَل )مطله “Adalah Rasulullah J bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir melebihi kesungguhan pada selainnya.” (HR. Muslim)
Kitapun disunnahkan pada sepuluh hari terakhir ini untuk melakukan i’tikaf, yaitu tinggal dan diam di mesjid dengan niat ibadah, agar lebih total beribadah kepada Allah dan tidak terganggu dengan kesibukan dunia. Perkara ini hendaknya mendapat perhatian serius, karena yang sering terjadi di tengah masyarakat justru sebaliknya. Yaitu semakin berkurangnya aktifitas ibadah di hari-hari terakhir bulan Ramadhan dan berganti dengan kesibukan duniawi yang terkait dengan penyambutan Idul Fitri.
54 |
Panduan Ramadan
SHALAT WITIR Arti dan Kedudukannya Witir ) (اليمتberarti ganjil. Maka shalat ini dinamakan Witir karena jumlah rakaatnya bersifat ganjil. Shalat witir bukan shalat yang khusus dilaksanakan pada bulan Ramadan saja, tetapi dia adalah shalat sunnah yang sangat dianjurkan (Sunah Mu’akkadah) untuk dilakukan seorang muslim setiap malam. Rasulullah J bersabda,
ًِ ر َّمَـ ِ ال س َ ْلَٔ ْفعَـ َ ب َْ ٌِ ُٓـ ِِْت َس بِـَث ر ُمطِـ ِل ٍه َنَـ ًِ َْحَـ ئ ِ كاـٙا َْ ِْ ِت ُس حَـل َعلَـ ِحبئ ٌَِْ ُِِْٓتسَ بَِْاحِدَٗس َ ْلَٔفْ َعر َ َْ “Witir merupakan tuntutan terhadap setiap muslim. Siapa yang ingin melakukan witir sebanyak tiga rakaat, maka lakukanlah, dan siapa yang ingin melaksanakan witir satu rakaat, maka lakukanlah.” (HR. Abu Daud, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Waktu Pelaksanaanya Waktunya dilakukan setelah shalat Isya hingga masuk waktu Subuh. Rasulullah J bersabda:
ِخ ِٔسْ َكاهِ مًِِ حُ ِنسِ اَيئعَهِ اَِْْ ِتسُ مَعَلَُُ اَلَـُُ َكاـه َ ٍَِٕ إٌِئ اَلََُ َْمَدئكاهِ ِباَالَٗس ُتس ِ َ ٌَِْ َٓطْ العَ اَْفََِِٙ إِٛٔنَا َبًَِٔ صَالَِٗ اَْعِػَا “Sesungguhnya Allah telah menambahkan untuk kalian sebuah shalat yang lebih baik bagi kalian dari onta merah.
| 55
Panduan Ramadan
Yaitu Witir, hendaklah kalian melakukannya sejak selesai shalat Isya hingga terbit Fajar.” (HR. Ahmad)
Shalat Witir hendaknya dijadikan sebagai penutup shalat di malam hari. Berdasarkan sabda Rasulullah J:
ًخسَ صَالَتِكاهِ بِاَ َل ِٔرِ ِّتِسا ِ إِمِعَلاْا آ “Akhirilah shalat kalian di waktu malam dengan Witir.” (Muttafaq alaih)
Jika seseorang tidak yakin dapat bangun malam sebelum Subuh, maka sebaiknya dia melakukan Witir sebelum tidur. Adapun jika dia yakin dapat bangun malam sebelum Subuh, maka sebaiknya dia witir di akhir malam dan menutup shalat malamnya dengan witir. Sebagaimana sabda Rasulullah J,
ًِمًَِ خَافَ ٌَِْ الَ َٓ ِطَِٔكِ َ آخِـسَ اَ َلِٔـرِ َ ْلُٔـِْتسِ َّْئلُ اَ َلِٔـرِ ثُـهئ ََْٔسِقاـدِ َّمَـ ََِٗ آخِـسِ اَ َلِٔـرٛخسِ اَ َلِٔـرِ َـإٌِئ قِـسَا ِ خسِ اَ َل ِٔرِ َ ْلُِْٔتسِ مًِِ آ ِ طَ ِنعَ ٌَِْ َٓ ِطَِٔكِ َ مًِِ آ )ُ(زّاِ اَرتمرٖ ّابً مام
ُضر َ ْ َْ َخضُْزٌَٗ َّذََِك ِ َم
"Siapa yang khawatir tidak dapat bangun malam, hendaknya dia shalat Witir pada awalnya. Siapa yang semangat untuk bangun di akhir malam, maka dia shalat Witir di akhirnya. Karena shalat di akhir malam dihadiri (malaikat) dan itu lebih utama." (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah)
Namun jika dia sudah melakukan Witir sebelum tidur, kemudian dia dapat bangun lagi sebelum Subuh, dia tetap boleh melakukan shalat malam, sedangkan witirnya cukup dengan yang sudah dilakukan sebelum tidur. Hal tersebut dibolehkan karena terdapat riwayat bahwa Raslullah J kadang masih melakukan shalat setelah shalat Witir. Adapun pesan Rasulullah J agar kita
56 |
Panduan Ramadan
menjadikan witir sebagai akhir shalat di malam hari, adalah bersifat anjuran, bukan keharusan. Yang tidak boleh dilakukan adalah melakukan shalat witir lagi pada malam yang sama, karena Rasululah J bersabda:
)ٕٜ(زّاِ ْبْ عاّع ّاَرتمرٖ ّاَيطا
الَ ِّ ِتسَاٌِ ِٕ َِٔلَ٘س
“Tidak ada dua Witir dalam satu malam” (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i)
Jumlah Rakaat dan Sunahnya Jumlah rakaatnya minimal satu rakaat, selebihnya dapat dilakukan tiga rakaat hingga sebelas rakaat. Yang penting bilangannya ganjil. Jika dilakukan tiga rakaat, ada dua cara yang dapat dilakukan; - Dilakukan tiga rakaat langsung, lalu duduk tahiyat pada rakaat terakhir dan salam. - Dilakukan dua rakaat terlebih dahulu, lalu tahiyat pada rakaat kedua kemudian salam. Kemudian lakukan shalat satu rakaat lagi, lalu tahiyat, kemudian salam. 1) Jika menjadi imam, hendaknya memperhatikan kebiasaan jamaah dalam melakukan shalat Witir agar tidak terjadi kebingungan, atau memberitahunya sebelum shalat. Tidak melakukan shalat Witir seperti shalat Maghrib (melakukannya sebanyak tiga rakaat dengan tasyahud
1.
Lihat Shalat al-Mu’min, DR. Sa’id Ali bin Wahf al- Qahthani, hal. 326
| 57
Panduan Ramadan
awal). Sebab ada riwayat yang melarang untuk menyamakan shalat Witir dengan shalat Maghrib. Disunnahkan -setelah membaca surat al-Fatihah- pada rakaat pertama membaca surat Al-A’la. Sedangkan pada rakaat kedua, membaca surat al-Kafirun dan pada rakaat ketiga membaca surat al-Ikhlas. Setelah shalat witir disunnahkan membaca bacaan berikut sebanyak tiga kali, dan memanjangkan bacaan ketiganya:
ِك ا ْل ُقّدُوِس ِ ِسبِحَانَ الْ َمل ُ “Maha Suci (Allah) Raja Yang Maha Suci” (HR. Abu Daudi dan Nasa'i)
Disunnahkan melakukan qunut pada rakaat terakhir dalam shalat Witir, baik sebelum ruku ataupun sesudah ruku. Qunut ini disunahkan dalam shalat Witir, baik di bulan Ramadan atau di luar bulan Ramadan. Sebagian ulama menyatakan bahwa qunut dilakukan dalam rakaat terakhir shalat Witir sejak pertengahan akhir di bulan Ramadan.
58 |
Panduan Ramadan
LAILATUL QADAR Lailatul Qadar adalah malam yang sangat mulia, malam yang lebih baik dari seribu bulan, malam diturunkannya al-Quranul-Karim ke Lauhil Mahfuz. Malam ini adalah malam yang penuh barokah, karena banyaknya kebaikan dan keutamaan di dalamnya. Malam ini juga malam yang mustajabah karena setiap doa yang dipanjatkan akan dikabulkannya oleh Allah Ta’ala. Pada malam itu malaikat-malaikat akan turun ke bumi membawa segala keberkahan dan karunia dari Allah Ta’ala. Maka seorang muslim yang beribadah pada malam ini dengan ikhlas karena Allah Ta’ala dan sesuai ajaran Rasulullah J, dosa-dosanya akan diampuni oleh-Nya. Rasulullah J bersabda :
)ُٔحَِطَاباً غا ِفسَ َُُ مَا تَكَدئوَ مًِِ ذَىِبُِِ (مَفل عل ِ مًَِ قَاوَ َِٔلََ٘ اَْكَدِزِ ِإِٓنَاىاً َّا “Siapa yang beribadah pada malam Lailatul Qadr dengan iman dan penuh harap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (Muttafaq alaih)
Kapan Datangnya Lailatul Qadar? Tidak ada petunjuk persis kapan Lailatul Qadar datang. Yang jelas dia datang pada malam bulan Ramadhan. Hikmahnya adalah agar kaum muslimin menghidupkan semua malam di bulan Ramadhan dengan ibadah dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala, jangan sampai ada satu malam pun yang dia lewatkan tanpa ibadah, dengan
| 59
Panduan Ramadan
harapan dapat bertemu dan mendapatkan kemuliaan dari Lailatul Qadar. Namun demikian, Rasulullah J telah memberikan perkiraan kepada kita tentang kemungkinan datangnya malam tersebut. Kemungkinan pertama adalah bahwa dia datang pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Rasulullah J bersabda:
)ُٔخسِ مًِِ زَ َمضَاٌَ (مَفل عل ِ خسئّا َِٔلََ٘ اَْكَدِزِ ِٕ اَْعَ ِػسِ اْألََّا َ َت “Carilah Lailatul Qadar di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.” (Muttafaq alaih)
Oleh karena itu pada hari-hari ini kita dianjurkan untuk meningkatkan ibadah kita kepada Allah Ta’ala. Selanjutnya dari sepuluh hari terakhir tersebut, kemungkinan yang lebih dekat adalah pada malam-malam ganjil. Sebagai-mana sabda Rasulullah J:
)ٖخسِ مًِِ زَ َمضَاٌَ (زّاِ اَبخاز ِ خسئّا َِٔلََ٘ اَْكَدِزِ ِٕ اَِْْ ِتسِ مًَِ اَْعَ ِػسِ ْاألََّا َ َت “Carilah Lailatul Qadr pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Rama-dhan.” (HR. Bukhari)
Dari malam-malam ganjil tersebut, kemungkinan yang paling dekat adalah malam-malam ganjil pada tujuh hari terakhir, berdasarkan riwayat bahwa sejumlah shahabat ada yang bermimpi melihat Lailatul Qadr pada malam tujuh hari terakhir, dan hal tersebut disetujui Rasulullah J, sehingga beliau bersabda:
)ُٔ(مَفل عل
ِخسئٍَا ِٕ اَ ئط ِبعِ اْألََّاخِس َ ََٔخ ِس ََِٓا َ ْل َ ََُنًَِ كَاٌَ م
61 |
Panduan Ramadan
“Siapa yang ingin mendapatkannya, hendaknya dia mencarinya pada tujuh hari terakhir (bulan Ramadhan).” (Muttafaq alaih)
Dan dari tujuh hari terakhir tersebut, yang paling dekat adalah pada malam kedua puluh tujuh Ramadhan, sebagai-mana perkataan Ubay bin Ka’ab :
ٍَِٕ بِ ِكَٔا ِمََا
J َُِألعِلَهُ َُْٖ َِٔلَ٘س ٍَِٕ اََلِٔلَ٘ا إََِ َْ َمسَىَا زَضُِْلُ اَل َ َِّٕاَلَُِ إِى
)ػ ِسًَِٓ (زّاِ مطله ِ ِض ِبعٍ َّع َ َِٔلَ٘ا “Demi Allah, saya mengetahui kapan malam tersebut (Lailatul Qadar) yang kita diperintahkan Rasulullah J untuk beribadah di dalamnya, dia adalah malam kedua puluh tujuh (Ramadhan).” (HR. Muslim)
Namun, yang paling utama adalah jika semua malammalam Ramadan kita isi dengan ibadah kepada Allah Ta’ala, baik berupa shalat, tilawah Al-Quran, berzikir, i’tikaf, khususnya pada sepuluh malam terakhir. Jika kita bertemu dengan malam Lai-latul Qadar, kita dianjurkan membaca:
ّب ا ْل َعفّْوَ فَاعِفُ َعنِي ُ ِم ِإنَكَ َعفُ ٌّو تُح َ ُاللَه “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Ma’af, dan Engkau suka memberi ma’af, maka ma’afkanlah saya.” (HR. Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad)
| 61
Panduan Ramadan
I'TIKAF Definisi I'tikaf ) (االعتكمفdari segi bahasa berasal dari kata )(العكمف. Artinya; Menetap dan berada di sekitarnya pada masa yang lama. Seperti firman Allah dalam surat AlAnbiya: 52 dan surat Asy-Syu'ara: 71. Sedangkan dari segi istilah, yang dimaksud i'tikaf adalah menetap di masjid dalam waktu tertentu dengan niat beribadah. Landasan Hukum Syariat I'tikaf dinyatakan dalam Alquran, hadits dan perbuatan Rasulullah J serta para sahabat. Dalam surat Albaqarah ayat 125 Allah Ta'ala berfirman,
)٥9١ :ٗﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ (ضْزٗ اَبكس "…Bersihkan rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang I'tikaf, yang ruku' dan yang sujud." (QS. Albaqarah: 125)
Aisyah radhiallahu anha berkata,
ٌَخسَ مًِِ زَمَضَا ِ اَلَُُ عَلَُِِٔ َّضَلَهَ كَاٌَ َٓ ِعَ ِك ُ اَْعَ ِػسَ األََّاٌََْٙئ اَئيبِٕئ صَل )ُٔعَكَ َ َْشَِّامُُُ مًِِ بَعِدِ ِ (مَفل عل ِ تََْ َاُِ اَلَُُ ثُهئ اٙحَئ َ "Sesungguhnya Nabi J melakukan I'tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian para isterinya melakukan I'tikaf sesudahnya." (Muttafaq alaih)
62 |
Panduan Ramadan
Para ulama sepakat bahwa I'tikaf adalah perbuatan sunah baik bagi laki-laki maupun wanita. Kecuali jika seseorang bernazar untuk I'tikaf, maka dia wajib menunaikan nazarnya. Lama i'tikaf dan Waktunya Pendapat yang kuat bahwa lama I'tikaf minimal sehari atau semalam, berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab, bahwa beliau menyampaikan kepada Rasulullah J bahwa dirinya di masa jahi-liah pernah bernazar untuk I'tikaf di Masjidilharam selama satu malam, maka Rasulullah saw bersabda, 'Tunaikan nazarmu." (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa I'tikaf dapat dilakukan walau beberapa saat saja diam di masjid. Namun, selain bahwa hal ini tidak ada landasan dalilnya, juga tidak sesuai dengan makna I'tikaf yang menunjukkan berdiam di suatu tempat dalam waktu yang lama. Bahkan Imam Nawawi yang mazhabnya (Syafii) berpendapat bahwa I'tikaf boleh dilakukan walau sesaat tetap menganjurkan agar I'tikaf dilakukan tidak kurang dari sehari, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah J dan para shahabat bahwa mereka melakukan I'tikaf kurang dari sehari. Sedangkan lama maksimal I'tikaf tidak ada batasnya dengan syarat seseorang tidk melalaikan kewajibankewajiban yang menjadi tanggung jawabnya atau melalaikan hak-hak orang lain yang menjadi kewajibannya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah J di tahun wafatnya pernah melakukan I'tikaf selama dua puluh hari (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Panduan Ramadan
| 63
Adapun waktu I'tikaf, berdasarkan jumhur ulama, sunah dilakukan kapan saja, baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah J pernah melakukan I'tikaf di bulan Syawal (Muttafaq alaih). Beliau juga diriwayatkan pernah I'tikaf di awal, di pertengahan dan akhir Ramadan (HR. Muslim). Namun waktu I'tikaf yang paling utama dan selalu Rasulullah J lakukan hingga akhir hayatnya adalah pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan. Masjid Tempat I'tikaf Masjid yang disyaratkan sebagai tempat i'tikaf adalah masjid yang biasa dipakai untuk shalat berjamaah lima waktu. Lebih utama lagi jika masjid tersebut juga digunakan untuk shalat Jum'at. Lebih utama lagi jika dilakukan di tiga masjid utama; Masjidilharam, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha. Terdapat atsar dari Ali bin Thalib dan Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa I'tikaf tidak sah kecuali di masjid yang dilaksanakan di dalamnya shalat berjamaah (Mushannaf Abdurrazzaq, no. 8009). Disamping, jika I'tikaf dilakukan di masjid yang tidak ada jamaah shalat fardhu, peserta i'tikaf akan dihadapkan dua perkara negatif; Dia tidak dapat shalat berjamaah, atau akan sering keluar tempat I'tikafnya untuk shalat berjamaah di masjid lain. Yang dimaksud masjid sebagai tempat I'tikaf adalah tempat yang dikhususkan untuk shalat dan semua area yang bersambung dengan masjid serta dibatasi pagar
64 |
Panduan Ramadan
masjid, termasuk halaman, ruang menyimpan barang, atau kantor di dalam masjid. Lebih baik lagi jika masjidnya memiliki fasilitas yang dibutuhkan peserta I'tikaf, seperti tempat MCK yang cukup, atau ruangan yang luas tempat tidur dan menyimpan barang bawaan. Kapan mulai I'tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan dan kapan berakhir? Jumhur ulama berpendapat bahwa I'tikaf dimulai sejak sebelum terbenam matahari malam 21 Ramadan. Berdasarkan kenyataan bahwa malam 21 adalah bagian dari sepuluh malam terakhir Ramadan, bahkan termasuk malam ganjil yang diharapkan turun Lailatul Qadar. Ada juga yang berpendapat bahwa awal I'tikaf dimulai sejak shalat Fajar tanggal 21 Ramadan. Berdasarkan hadits Aisyah ra bahwa Rasulullah J jika hendak I'tikaf, beliau shalat Fajar, setelah itu beliau masuk ke tempat I'tikafnya (HR. Muslim). Adapun waktu berakhirnya, sebagian ulama berpendapat bahwa I'tikaf berakhir ketika dia akan keluar untuk melakukan shalat Id, namun tidak terlarang jika dia ingin keluar sebelum waktu itu. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa waktu I'tikaf berakhir sejak matahari terbenam di hari terakhir Ramadan. I'tikaf Bagi Wanita Wanita dibolehkan melakukan I'tikaf berdasarkan keumuman ayat. Juga berdasarkan hadits yang telah disebutkan bahwa isteri-isteri Rasulullah J melakukan
| 65
Panduan Ramadan
I'tikaf. Terdapat juga riwayat bahwa Rasulullah J mengizinkan Aisyah dan Hafshah untuk melakukan I'tikaf (HR. Bukhari) Namun para ulama umumnya memberikan syarat bagi wanita yang hendak melakukan I'tikaf, yaitu mereka harus mendapatkan izin dari walinya atau suaminya bagi yang sudah menikah, tidak menimbulkan fitnah, ada tempat khusus bagi wanita di masjid dan tidak sedang dalam haidh dan nifas. Keluar dari Masjid saat I'tikaf Secara umum, orang yang sedang I'tikaf tidak boleh keluar dari masjid. Kecuali jika ada kebutuhan pribadi mendesak yang membuatnya harus keluar dari masjid. Aisyah radhillahu anha berkata,
ٌَخرُ عَلَٕئ زَْضَُُ ٍََُّْ ِٕ اَْنَطِتِدِ َأازَمِلاُُ َّكَا ِ ِ َُٔدJ ََُِّإٌِِ كَاٌَ زَضُْلُ اَل )ُٔخرُ ا ََْب ِٔأَ إََِا َِخَامَ٘س إِذَا كَاٌَ مُعَِكِفًا (مَفل عل ُ ََِا َٓد "Adalah Rasulullah J menyorongkan kepalanya kepadaku sedangkan dia berada di dalam masjid, lalu aku menyisir kepalanya. Beliau tidak masuk rumah kecuali jika ada kebutuhan jika sedang i'tikaf." (Muttafaq alaih)
Perkara-perkara yang dianggap kebutuhan mendesak sehingga seorang yang I'tikaf boleh keluar masjid adalah; buang hajat, bersuci, makan, minum, shalat Jumat dan perkara lainnya yang mendesak, jika semua itu tidak dapat dilakukan atau tidak tersedia sarananya dalam area masjid.
66 |
Panduan Ramadan
Keluar dari masjid karena melakukan hal-hal tersebut tidak membatalkan I'tikaf. Dia dapat pulang ke rumahnya untuk melakukan hal-hal tersebut, lalu lekas kembali jika telah selesai dan kemudian meneruskan kembali I'tikafnya. Termasuk dalam hal ini adalah wanita yang mengalami haid atau nifas di tengah i'tikaf. Akan tetapi jika seseorang keluar dari area masjid tanpa kebutuhan mendesak, seperti berjual beli, bekerja, berkunjung, dll. Maka I'tikafnya batal. Jika dia ingin kembali, maka niat I'tikaf lagi dari awal. Bahkan, orang yang sedang i'tikaf disunahkan tidak keluar masjid untuk menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah dan mencumbu isterinya, sebagaimana perkataan Aisyah dalam hal ini (HR. Abu Daud). Pembatal I'tikaf Berdasarkan ayat yang telah disebutkan, bahwa yang jelas-jelas dilarang saat I'tikaf adalah berjimak. Maka para ulama sepakat bahwa berjimak membatalkan I'tikaf. Adapun bercumbu, sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut membatalkan jika diiringi syahwat dan keluar mani. Adapun jika tidak diiringi syahwat dan tidak mengeluarkan mani, tidak membatalkan. Termasuk yang dianggap membatalkan adalah keluar dari masjid tanpa keperluan pribadi yang mendesak. Begitu pula dianggap membatalkan jika seseorang niat dengan azam kuat untuk keluar dari I'tikaf, walaupun dia masih berdiam di masjid. Seseorang dibolehkan membatalkan I'tikafnya dan tidak ada konsekwensi apa-apa baginya. Namun jika
Panduan Ramadan
| 67
tidak ada alasan mendesak, hal tersebut dimakruhkan, karena ibadah yang sudah dimulai hendaknya diselesaikan kecuali ada alasan yang kuat untuk menghentikannya. Yang dianjurkan, dibolehkan dan dilarang Dianjurkan untuk fokus dan konsentrasi dalam ibadah, khususnya shalat fardhu, dan memperbanyak ibadah sunah, seperti tilawatul quran , berdoa, berzikir, muhasabah, talabul ilmi, membaca bacaan bermanfaat, dll. Namun tetap dibolehkan berbicara atau ngobrol seperlunya asal tidak menjadi bagian utama kegiatan i'tikaf, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah J dikunjungi Safhiah binti Huyay, isterinya, saat beliau I'tikaf dan berbicara dengannya beberapa saat. Dilarang saat I'tikaf menyibukkan diri dalam urusan dunia, apalagi melakukan perbuatan yang haram seperti ghibah, namimah atau memandang pandangan yang haram baik secara langsung atau melalui perangkat hp dan semacamnya. Hindari perkara-perkara yang berlebihan walau dibolehkan, seperti makan, minum, tidur, ngobrol, dll.
68 |
Panduan Ramadan
IDUL FITRI Idul Fitri merupakan hari raya umat Islam sekaligus menjadi syi’arnya. Kaum muslimin hendaknya gembira menyambut kedatangannya, namun tetap dengan adabadab yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Adab-adab Yang Disyariatkan 1. Bersyukur atas nikmat dirinya dapat melalui bulan Ramadhan hingga akhir dan dapat menunaikan ibadah di dalamnya. 2. Disyariatkan takbir sejak matahari terbenam di malam Idul Fitri, hingga dilaksanakan shalat Id. Disunnahkan bagi orang laki untuk mengeraskan bacaannya. 3. Mandi dan mengenakan wewangian serta memakai pakaian yang paling bagus, namun tidak berlebih-lebihan dan tidak melanggar syariat, seperti membuka aurat dan semacamnya. 4. Makan korma dengan ganjil sebelum berangkat shalat. 5. Ikut shalat dan mendengarkan khutbah bersama kaum muslimin. Bahkan wanita haidh juga diperintahkan untuk hadir bersama meskipun tidak shalat dan dijauhkan dari tempat shalat. 6. Disunnahkan menempuh jalan yang berbeda antara pergi dan pulang shalat. 7. Dibolehkan untuk mengucapkan selamat lebaran satu sama lain. Misalnya dengan mengucapkan :
| 69
Panduan Ramadan
ِل اللَهُ ِمنَا وَ ِم ِنكُم َ ََت َقب “Semoga Allah menerima amal kita semua.”
8. Diharamkan berpuasa pada hari itu (hari pertama bulan Syawal) Perkara Yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam Pada Hari Id 1. Berlebih-lebihan dalam hal pakaian dan makanan. Apalagi jika disertai menyombongkan diri. 2. Mengendurkan ibadah dengan drastis, seperti melalaikan shalat dan tidak berjamaah bagi kaum laki-laki. 3. Menyepelekan alasan Idul Fitri.
perkara-perkara
maksiat
dengan
4. Melakukan ibadah khusus yang tidak diajarkan, seperti mengkhususkan ibadah tertentu di malam Id, mengkhususkan ziarah kubur pada hari Id, zikir atau ibadah lainnya yang dikhususkan pada hari itu dan tidak terdapat dalilnya dalam agama. Puasa Enam Hari Bulan Syawal Sebagai pelengkap ibadah Ramadan, maka disunahkan berpuasa pada bulan Syawal selama enam hari. Yang paling utama dilakukan secara berurutan pada hari kedua dan seterusnya di bulan Syawal. Akan tetapi tidak mengapa jika dilakukan secara acak selama bulan Syawal.
71 |
Panduan Ramadan
Rasulullah J bersabda:
)ه َْتِبَعَ ُُ ضًَِا مًِِ غَ ئْال كَاٌَ كَأَِاوِ اَدئٍِس (زّاِ مطله مًَِ صَاوَ زَمَضَاٌَ ُث ئ “Siapa yang puasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (nilainya) bagaikan puasa setahun.” (HR. Muslim)
Namun jika seseorang memiliki kewajiban untuk meng-qadha puasa Ramadhan, maka hendaknya dia meng-qadha puasanya terlebih dahulu, baru setelah itu dia dapat puasa sunah Syawal. Akan tetapi, jika qadhanya terlalu banyak, sehingga sulit baginya untuk menyelesaikannya di bulan Syawal, maka sebagian ulama membolehkan baginya untuk puasa Syawal terlebih dahulu baru setelah itu puasa qadha. Karena pada dasarnya, qadha puasa Ramadan bersifat luas, tidak diharuskan dilakukan pada bulan Syawal. Wallahua’lam.
| 71
Panduan Ramadan
Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Tafsir Al-Quranul Azhim, Ibnu Katsir. Shahih Bukhari Shahih Muslim Sunan Abu Daud Sunan Tirmizi Sunan Ibnu Majah Sunan An-Nasai Musnad Ahmad. Fathul Bari, Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani. Syarah Shahih Muslim, Imam An-Nawawi. Tuhfatul Ahwazi, Syarah Jami Tirmizi, Syekh Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakfuri. Subulus-Salam Syarah Bulughul Maram, Imam Ash-Shan'ani. Al-Mughni, Ibnu Qudamah. Al-Majmu, Syarah Muhazab, Imam An-Nawawi. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiah, Wazarah Al-Auqaf WasySyu'uun Al-Islamiyah, Kuwait. Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, Ar-Ri'asah Al-Ammah Lil-Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta, Arab Saudi. Fiqhus-Sunnah, Sayyid Sabiq. Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiah. Majmu Fatawa Ibn Baz. Majmu Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin. Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, Syekh Soleh bin Fauzan. Al-Ilmam Bi Syai'in Min Ahkamisshiyam, Syekh Abdul Aziz ArRajihi. Syarah Bulughul Maram, Syekh 'Athiah bin Muhammad Salim. Al-Jami Li Ahkamish-Shiyam, Mahmud bin Abdullatif AlUwaidhah. Tazkiratush-Shuwwaam, Abdullah bin Shaleh Al-Qushair.
72 |
Panduan Ramadan
26. Hiwar fil I'tikaf Ma'a Samahatissyekh Al-Allamah Abdullah bin Jibrin, rahimahullah, 27. Fiqhul I'tikaf, Dr. Khalid bin Ali Al-Musyaiqih. 28. Al-Mu’jamul al-Wasith, 1/380, 29. Duruus Ramadhaniah, Waqafaat Li as-Sho’imin, Salman bin Fahd al-Audah 30. Shalatul-Mu’min, DR. Sa’id Ali bin Wahf al- Qahthani, hal. 326 31. Fiqh Nawazil Ash-Shiyam, DR. Abdullah bin Sakakir. Dll…
| 73
Panduan Ramadan
DAFTAR ISI RAMADHAN DAN PUASA _5 Definisi puasa dan hukumnya _5 Golongan manusia pada bulan Ramadan _10 Bagaimana menyambut Ramadan _11 Penentuan awal dan akhir Ramadan _13 Doa ketika melihat hilal _16 Larangan berpuasa sehari dua hari sebelum Ramadan dan pada hari yang meragukan _16 Syarat dan rukun puasa _18 Syarat wajib puasa _18 Orang yang memiliki uzur tidak berpuasa _19 Rukun puasa _22 Perkara yang membatalkan puasa _24 Perkara yang tidak membatalkan puasa _24 Yang harus dijauhi saat berpuasa _29 Syarat-syarat batalnya puasa _30 Perbuatan yang dianjurkan _30 ZAKAT FITRAH _35 Arti zakat fitrah _35 Dalil dan hikmahnya _35 Siapa yang diwajibkan? _36 Jenis makanan yang dikeluarkan _37 Ukuran yang wajib dikeluarkan _38 Waktu mengeluarkan _38 Kepada siapa diberikan _40 Beberapa permasalahan terkait zakat fitrah _40 SHALAT TARAWEH _42 Arti Taraweh _42 Shalat Taraweh pada zaman Rasulullah J dan Khulafaurrasyidin _42 Hukum dan Keutamaannya _45 Jumlah rakaat shalat Taraweh _46 Beberap hukum terkait dengan shalat Taraweh _51 Asyrul Awakhir (10 malam terakhir) _52 SHALAT WITIR _54 Arti dan kedudukannya _54
74 |
Panduan Ramadan
Waktu pelaksanaanya _54 Jumlah rakaat dan sunahnya _56 LAILATUL QADAR _58 Kapan datangnya Lailatul Qadar _58 I'TIKAF _61 Definisi _61 Landasan hukum _61 Lama I'tikaf dan waktunya _62 Masjid tempat I'tikaf _64 I'tikaf bagi wanita _64 Keluar dari masjid saat I'tikaf _65 Pembatal I'tikaf _66 Yang dianjurkan, dibolehkan dan dilarang _67 IDUL FITRI _68 Adab-adab yang disyariatkan _68 Perkara yang tidak sesuai dengan ajaran Islam pada hari Id _69 Puasa enam hari bulan Syawal _69 Referensi _71