101
KESENJANGAN DALAM PELAYANAN PUBLIK Enceng dan Yuli Tirtariandi El Anshori FISIP Universitas Terbuka, Jalan Cabe Raya, Pondok Cabe Pamulang, Tangerang Selatan, Banten 15418 Abstract: The Gap of Public Service. The study conducts to determine how public sector service delivery licensing and the factors that influence the field of public service licenses in South Tangerang city. This study uses a qualitative approach and case study method. Data collection is conducted by the research structured interviews, observations, and a review of the relevant documents. The results shows the fact that the public service field of licensing in South Tangerang was not as expected. There is still a gap between service users should receive services with the services provided by the city government. Then there are several factors that affect the public service sector in South Tangerang city licensing such as the absence of a clear legal framework eg minimarket permit factor, BP2T coordination with other officials. System and mechanism of action are not established, as well as human resources issues that still need improvement. Abstrak: Kesenjangan dalam Pelayanan Publik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pelayanan publik bidang perizinan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelayanan publik bidang perizinan di Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode yang dipakai adalah studi kasus. Informan dalam penelitian ini adalah penyelenggara pelayanan perizinan yaitu BP2T Tangerang Selatan dan para pelaku usaha. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara terstruktur, observasi, serta kajian terhadap dokumen terkait. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pelayanan publik bidang perizinan di Tangerang Selatan masih belum sesuai harapan. Masih terjadi kesenjangan antara pelayanan yang seharusnya diterima pengguna jasa dengan pelayanan yang diberikan oleh pemkot. Kemudian ada beberapa faktor yang mempengaruhi pelayanan publik bidang perizinan di Kota Tangerang Selatan yaitu ketiadaan payung hukum yang jelas misalnya Izin Usaha Toko Modern, faktor koordinasi antara BP2T dengan SKPD lainnya, sistem dan mekanisme kerja yang belum mapan, serta masalah SDM. Kata Kunci: Kesenjangan, pelayanan publik, dan perizinan
PENDAHULUAN Inovasi di bidang pelayanan publik idealnya secepat mungkin dilakukan dalam suatu organisasi pemerintahan, mengikuti alur tuntutan masyarakat, demi kebaikan pelayanan itu sendiri, kinerja pemerintah dan kepuasan masyarakat. Terlebih bagi pemerintahan kota yang baru melepas diri dari organisasi induk. Sebagai organisasi yang baru mendapatkan otonomi, dengan sendirinya seharusnya memiliki keluwesan dalam menata organisasinya, dibanding organisasi induk yang pada umumnya telah tercemar dengan budaya organisasi lama yang cenderung diwarnai penyakit-penyakit birokrasi, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Kota Tangerang Selatan merupakan kota yang ‘baru’ memiliki hak otonominya berdasarkan Undang-Undang No. 51 Tahun 2008. Tadinya kota ini menjadi bagian dari Kabupatan
Tangerang. Kota Tangerang Selatan terletak di Provinsi Banten dengan jumlah penduduk sebesar 1.303.569 jiwa (2010) tersebar di tujuh kecamatan, yaitu Serpong, Serpong Utara, Ciputat, Ciputat Timur, Pondok Aren, Pamulang dan Setu dengan kepadatan penduduk 8.646 2 jiwa/km dengan laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2000-2010 sebesar 4,74%. Pemerintah Kota Tangerang Selatan dituntut untuk menjadi penyelenggara yang bukan hanya ‘sekedar menyelenggarakan’ atau ‘sekedar berjalan’, namun harus benar-benar berorientasi pada ‘penyelenggaraan yang berkualitas dan profesional’. Kinerja aparatur pemerintahan pascapemekaran menurut survey TRUTH dinilai tidak lebih baik ketimbang sebelum pemisahan wilayah (pemekaran) dari Kabupaten Tangerang. Hanya 17,30 persen atau sekitar 44 orang yang menjawab menjadi lebih baik. Sisanya, 23,07 persen, 101
102 Jurnal Administrasi Pembangunan, Volume 1, Nomor 2, Maret 2013, hlm. 101-218
menyatakan kinerja aparatur semakin buruk dan 59,61 persen menyatakan biasa saja. Yang paling dikeluhkan adalah sikap yang tidak simpatik, kinerja lambat, dan tidak menguasai masalah (news.com/2011/berita/05/26/layanan-publikburuk-pemkot-tangsel-diminta-selesaikandalam-100-hari.html, diakses pada 18 Februari 2012). Pengelolaan pelayanan publik di era otonomi daerah menjadi variabel penting yang akan mempengaruhi proses menjadi daerah otonom yang berhasil. Salah kelola akan mengurangi hak publik sebagai pihak yang seharusnya menerima manfaat dari kehadiran Kota Tangerang Selatan. Oleh karena itu, peningkatan fungsi pelayanan terhadap masyarakat harus menjadi prioritas utama. Mengenai layanan publik bidang perizinan menjadi masalah yang cukup krusial karena ditengarai pengurusan perizinan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Pemerintah Kota Tangerang Selatan sering dipersulit. Hal ini dikemukakan Kepala Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Kota Tangerang Selatan Oting Ruhiyat. Ia mengatakan bahwa investasi untuk menciptakan pembangunan mengalami kemorosotan. Penyebabnya adalah para pengusaha memprotes proses perizinan di BP2T yang harus melalui beberapa tahap dan sangat menyulitkan (http://tangselkita.com/berita-1384-oknumbp2t-tangsel-bermain-proses-perizinan.html, diakses 20 April 2012). Bahkan nampaknya prosedur yang rumit inilah yang menyebabkan banyak pengusaha belum memiliki SIUP dan TDP. Keluhan masyarakat tentang pelayanan perizinan di Kota Tangsel ini misalnya Sejumlah pengusaha yang berdomisili di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) mengeluhkan proses perizinan yang dilaksanakan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) setempat. Menurut mereka beberapa perizinan tidak dituntaskan dalam waktu singkat dan masih berbelit. Belum lagi, banyaknya oknum yang bergentayangan membuat mereka risih. Keluhan tersebut misalnya diungkapkan dalam pertemuan pengusaha dengan BP2T. Keluhan itu antara lain, izin yang dipersulit, dipatok biaya tinggi dan adanya oknum dari aparat Satpol PP yang kerap datang tanpa
surat tugas resmi. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Tangsel mengungkapkan salah satu hal yang kerap dipertanyakan para pengusaha adalah soal mekanisme pembuatan izin, waktu proses pembuatannya, sampai dengan biaya izin yang harus dibayarkan pengusaha. Diantaranya izin HO, SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan izin Reklame. Beberapa jenis perizinan ini banyak dikeluhkan karena tidak ada kepastian proses, cara dan biaya. Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban pegawai pemerintah sebagai abdi masyarakat. Selain itu hal penting yang sering dijadikan argumen perlunya otonomi daerah adalah bahwa dimensi pelayanan publik yang semakin terdesentralisasi pada tingkat lokal. Hal ini sejalan dengan fungsi pokok pemerintah daerah (local government), yaitu pertama, fungsi pelayanan masyarakat (public service function) yang terdiri atas pelayanan lingkungan dan pelayanan personal. Kedua, fungsi pelaksanaan pembangunan. Ketiga, fungsi perlindungan. Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut pegawai pemerintah daerah harus dapat menjabarkan dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat sesuai fungsi masing-masing unit pelayanan. Untuk memotret pelayanan publik bidang perizinan di Kota Tangerang Selatan digunakan konsep New Public Service (NPS). Pendekatan ini mengandung beberapa ide pokok, yaitu demokratis, strategis dan rasional, mengutamakan dialog untuk mencapai kesepakatan pelayanan, menganggap pengguna jasa sebagai warga negara dengan hak dan kewajiban melekat, responsif terhadap kebutuhan warga negara, memperhatikan aturan yang telah disepakati bersama, memberlakukan diskresi dan akuntabel meskipun banyak kendala, memiliki struktur kuat dan kolaboratif, serta memiliki motivasi kuat untuk melayani dan berkontribusi pada masyarakat banyak (Purwanto,et.al., 2005). Dalam NPS tujuan utama adalah kualitas layanan. Kemudian budaya layanan adalah ramah dan inovatif serta ditekankan pada perubahan kultur pelayanan.
Kesenjangan dalam Pelayanan Publik (Enceng dan Yuli Tirtariandi El Anshori)
Parasuraman dkk., (1990) mengemukakan tentang lima dimensi kualitas pelayanan publik, yakni bukti langsung (tangibles) meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi; keandalan (reliability) yakni kemampuan memberikan paelayanan yang dijanjikan segera, akurat dan memuaskan; daya tanggap (responsiveness), yaitu kemampuan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap; jaminan (assurance) mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko ataupun keraguraguan; serta empati (emphathy) mencakup kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para pelanggan. Masalah utama yang dikaji adalah bagaimana pelaksanaan pelayanan publik yang dilakukan Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam bidang layanan perizinan dibandingkan dengan pelayanan yang seharusnya dilaksanakan. Kemudian dikaji juga apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pelayanan publik bidang perizinan tersebut. Tujuan kajian adalah mendapatkan gambaran pelaksanaan pelayanan publik bidang perizinan dan menemukan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelayanan publik bidang perizinan di Kota Tangerang Selatan. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan kualitatif, sedangkan strategi yang digunakan adalah studi kasus untuk memotret dan menyelidiki secara cermat pelaksanaan pelayanan publik di Kota Tangerang Selatan. Teknik penentuan informan penelitian (sampling) yang digunakan adalah teknik purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel yang ditentukan atas dasar sampel yang dipilih dan ditentukan jumlahnya. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yaitu menghubungkan fakta empiris dengan dasar pemikiran teoretik. Dengan kata lain memotret pelayanan publik yang telah dilakukan Pemkot Tangerang Selatan dibandingkan dengan pemikiran teoretis.
103
Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara memeriksa keabsahan data yang diperoleh dari penelitian dengan menggunakan metode triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data itu. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan narasumber dari BP2T dengan apa yang dikatakan oleh pengguna jasa, dan membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan. Kemudian membandingkan antara realitas pelayanan publik tersebut dengan teori yang ada. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Pelaksanaan Pelayanan Perizinan Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pelayanan perizinan di Kota Tangerang Selatan menemukan bahwa masih terjadi kesenjangan dalam pelayanan publik bidang perizinan. Layanan yang diberikan masih ada yang belum sesuai dengan SOP, baik dari kejelasan informasi, segi biaya maupun waktu. Untuk melihat bagaimana layanan perizinan yang diberikan oleh BP2T Tangerang Selatan, maka dapat dianalisis menggunakan lima dimensi kualitas pelayanan yang dikemukakan Parasuraman dkk, Fitzsimmons dan Fitzsimmons, serta Lovelock. Dimensi Tangible Hasil observasi langsung ke website BP2T, tidak semua informasi layanan tersedia disini. Hasil observasi terakhir terhadap website http:/ /bp2t.tangerangselatankota.go.id/ pada tanggal 19 Desember 2012 memperlihatkan bahwa belum semua informasi layanan perizinan tersedia memadai di website tersebut. Misalnya untuk informasi jenis-jenis perizinan yang dilayani BP2T tidak bisa diakses. Yang bisa diakses hanyalah menu profil, mekanisme perizinan, pengaduan, dan dowonload formulir perizinan. Untuk formulir perizinan pun hanya tersedia 2 jenis formulir yakni formulir pendaftaran izin HO dan formulir pendaftaran izin lokasi. Sementara layanan melalui kios-k (anjungan informasi mandiri berbentuk TV layar sentuh) yang ada di
104 Jurnal Administrasi Pembangunan, Volume 1, Nomor 2, Maret 2013, hlm. 101-218
lobi ruang pelayanan BP2T tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Hasil observasi menunjukkan bahwa Kios-k tidak dinyalakan setiap hari. Bahkan staf di bagian pelayanan masyarakat pun tidak mengetahui pasti bagaimana cara menggunakan alat tersebut. Kios-K sendiri didesain sebagai menu interaktif meskipun dalam prakteknya hanya berisi tentang informasi umum satu arah. Di dalamnya berisi sambutan Kepala BP2T, profil (motto, visi, SOTK, dan tupoksi), dasar hukum pembentukan BP2T, pelayanan yang diberikan (meliputi persyaratan perizinan, jenis perizinan, dan mekanisme perizinan), Peraturan Daerah tentang dua jenis perizinan yang dikenakan retribusi yakni IMB dan HO, serta galeri foto kegiatan BP2T. Ditinjau dari aspek tangible, maka dapat dikatakan bahwa peralatan fisik yang dimiliki oleh BP2T belum dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam memberikan pelayanan kepada publik. Seharusnya website dapat lebih informatif dengan memberikan informasi layanan perizinan dan menyediakan semua formulir perizinan yang dapat dunduh masyarakat. Di era pelayanan publik yang serba online maka website menjadi sarana komunikasi utama antara penyedia layanan dengan masyarakat. Sedangkan Kios-K dapat lebih diberdayakan dengan menyajikan juga informasi tentang biaya dan lama waktu pengurusan sebuah perizinan. Termasuk juga kemudahan bagi masyarakat melacak keberadaan atau perjalanan berkasnya seharusnya dapat diakses masyarakat melalui website tanpa harus datang langsung ke kantor BP2T. Mengenai website BP2T ini, masih dalam proses perbaikan sehingga ke depannya diharapkan masyarakat akan bisa mengakses berbagai informasi termasuk sejauh mana berkas permohonan yang diajukannya sudah diproses di BP2T. Dimensi reliability Dalam dimensi ini seharusnya pemberi layanan mempunyai kemampuan memberi pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan, terpercaya, akurat dan konsisten. Layanan tersebut seharusnya diberikan sesuai prosedur yang berlaku. Dalam pelaksanaan pelayanan perizinan di BP2T di-
temukan bahwa masih banyak keluhan dari masyarakat terhadap penyelesaian layanan perizinan yang diberikan. Salah satunya dalam hal pengurusan SIUP. Selain masalah biaya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap layanan perzinan yang diberikan juga terkait dengan masalah waktu. Jika mengacu kepada SOP untuk pengurusan SIUP di BP2T Tangsel seharusnya pengurusan SIUP selesai dalam waktu maksimal 5 hari. Jika pengurusan SIUP dapat selesai dalam waktu maksimal 5 hari maka pihak BP2T dapat dikatakan melaksanakan layanan sesuai dengan yang dijanjikan, dapat dipercaya, dan konsisten dengan SOP yang telah dibuatnya sendiri. Dari hasil beberapa wawancara yang dilakukan, sebenarnya aturan baku yang dimiliki oleh BP2T sudah diketahui pula oleh pemohon. Tetapi dalam prakteknya terjadi ketidaksamaan perlakuan. Hal ini bisa disebabkan oleh pemohon sendiri yang persyaratannya tidak lengkap, atau inkonsistensi pelayanan yang diterapkan oleh BP2T karena ada yang memberi uang tips. Dimensi Assurance Dalam sudut pandang dimensi ini, layanan yang diberikan kepada masyarakat seharusnya dilandasi oleh adanya pengetahuan, perilaku dan kemampuan yang memadai dari pegawai untuk memberi jaminan terhadap layanan yang diberikan. Jaminan tersebut berupa adanya tingkat perhatian terhadap etika dan moral dalam memberikan pelayanan, pelayanan sesuai aturan yang ada, dan serta aspek keramahan dan kesopanan petugas. Termasuk juga jaminan ketepatan waktu dan kejelasan biaya yang harus dikeluarkan pemohon. Hasil kajian menunjukkan bahwa aspek kemampuan pegawai dalam memberikan pelayanan sesuai prosedur masih dikeluhkan pengguna jasa. Hal ini dikarenakan ada beberapa pegawai yang masih kurang cakap dalam melayani. Dari hasil berbagai wawancara yang dilakukan seharusnya BP2T melakukan penertiban dan pembinaan jika ada oknum yang melakukan praktek tidak terpuji misalnya menjadi calo perizinan. Kemudian perlu lebih adanya sosialisasi oleh BP2T bahwa pengurusan perizinan sebaik-
Kesenjangan dalam Pelayanan Publik (Enceng dan Yuli Tirtariandi El Anshori)
nya dilakukan sendiri dan tidak akan dipersulit jika persyaratannya lengkap. Secara teoretis, seperti diutarakan oleh HAS Moenir (2002), beberapa faktor yang menyebabkan kurang berkualitasnya layanan yang diberikan pegawai sebuah instansi penyedia layanan publik. Diantaranya adalah tidak adanya kesadaran terhadap tugas dan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya; pendapatan pegawai yang tidak memenuhi kebutuhan hidup meskipun secara minimal. Hal ini mengakibatkan pegawai tidak tenang dalam bekerja dan berusaha mencari tambahan pendapatan dalam jam kerja dengan cara antara lain menjual jasa pelayanan/ menjadi calo pelayanan. Kemudian penyebab lainnya adalah kemampuan pegawai yang tidak memadai untuk tugas yang dibebankan kepadanya. Akibatnya hasil pekerjaannya tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Untuk mencegah hal ini terjadi maka pegawai BP2T Tangsel harus berpedoman kepada aturan yang ada dalam memberikan pelayanan dan tidak berharap masyarakat memberikan uang tips untuk mempercepat pelayanan. Dimensi Responsiveness Dalam dimensi ini mensyarakatkan para pelayan publik untuk selalu tanggap dan cepat memberikan pelayanan dan membantu para pelanggan. Hal ini dalam bentuk konkritnya berupa menyelesaikan pengurusan perizinan sesuai jadwal yang ditentukan, dan adanya rasa tanggung jawab terhadap mutu pelayanan yang diberikan. Jika pegawai BP2T Tangsel dapat memberikan layanan yang berkualitas dan sesuai jadwal, maka akan dapat mengurangi keluhan masyarakat. Dari sudut pandang dimensi ini, layanan yang diberikan beragam. Ada yang menganggap bahwa layanan yang diberikan cepat karena petugas pro aktif mendatangi tempat usaha. Meskipun demikian ada juga informan yang masih mengeluhkan kurangnya ketanggapan pemberian layanan yang diberikan. Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa rasa tanggung jawab terhadap mutu layanan yang diberikan masih dipengaruhi faktor-faktor non teknis
105
seperti kedekatan personal dan adanya biaya tambahan. Seharusnya hal ini tidak terjadi jika setiap petugas menyadari sepenuhnya tugas dan kewajibannya sehingga layanan dapat selesai tepat waktu sesuai prosedur yang berlaku. Dengan demikian motto yang dimiliki BP2T selaras dengan realisasinya. Motto BP2T adalah “Memberikan Kepastian Perizinan dengan Tidak Mempermudah dan Tidak Mempersulit”. Jika faktor non-teknis seperti kedekatan personil dan adanya uang tips mempengaruhi layanan yang diberikan, maka akan menimbulkan ketidakpastian pengurusan perizinan. Dikhawatirkan bahwa masyarakat yang tidak mempunyai kenalan di BP2T dan tidak bersedia menggunakan jalur cepat, akan mengalami kesulitan mengurus perizinan di BP2T meskipun syaratsyaratnya sudah komplit. Sebaliknya, mereka yang mempunyai kedekatan dengan orang dalam dan bersedia memberikan “uang lelah” akan mendapatkan kemudahan meskipun persyaratannya kurang lengkap. Hal ini seyogyanya tidak sampai terjadi agar kepastian dan mutu perizinan tetap terjaga. Faktor lain yang dapat menjadi penyebab tidak tanggapnya dan masih belum terjaminnya kualitas pelayanan yang diberikan BP2T adalah karena SOP yang masih terus dalam perbaikan. Draf awal SOP itu juga baru selesai pada bulan Mei 2012 sehingga nampaknya belum tersosialisasikan dengan baik kepada seluruh pegawai. Dimensi Empaty Dimensi ini mensyaratkan bahwa pemberian sebuah layanan publik ditandai adanya keinginan pemberi layanan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen. Dalam bentuk yang lebih konkrit dimensi ini menyangkut kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, kerapihan, kebersihan dan penampilan petugas; kesempatan untuk menyampaikan keluhan; keterjangkauan biaya perincian; kejelasan informasi beserta biaya pelayanan; perlakuan sama dalam mendapatkan pelayanan. Layanan perizinan di BP2T diihat dari dimensi ini masih ditandai dengan berbagai keluhan. Misalnya masalah sosialisasi perizinan.
106 Jurnal Administrasi Pembangunan, Volume 1, Nomor 2, Maret 2013, hlm. 101-218
Beberapa informan mengharapkan adanya sosialisasi yang lebih intensif dari pihak BP2T, misalnya untuk perizinan IUP. Kemudian mereka mengharapkan agar website BP2T dapat lebih komunikatif untuk menyampaikan keluhan layanan. Berikutnya adalah masalah transparansi biaya yang diharapkan juga terpampang dalam maklumat pelayanan ataupun ada di website BP2T. Salah satu informan yakni Yadi, pengusaha empal gentong mengemukakan tentang adanya upaya empati yang ditunjukkan BP2T dalam kaitannya dengan kemudahan bagi pengusaha untuk berinvestasi. Ia mengaku diberi kemudahan untuk tidak mengurus SIUP karena masih dikategorikan sebagai pengusaha pemula yakni baru 2 tahun. Dari hasil wawanacara tersebut terlihat bahwa di satu sisi ada upaya empati dari pihak pemkot untuk bersikap pro-investasi. Tetapi di sisi lain ada dampak negatif yang ditimbulkan yakni adanya perbedaan perlakuan terhadap pelaku usaha. Seyogyanya SIUP harus dimiliki oleh tiap pengusaha tanpa perkecualian, Apalagi pengurusan perizinan IUP tidak dikenakan retribusi, berbeda dengan pengurusan perizinan IMB. Di sisi lain banyak keluhan dari pengusaha yang merasa dipersulit dalam mengurus SIUP, tetapi di sisi lain pihak pemkot memberi dispensasi kepada seorang pengusaha untuk tidak mempunyai SIUP meskipun usaha tersebut sudah berjalan selama 2 tahun. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelayanan Publik Bidang Perizinan Dari kajian yang dilakukan maka dapat diidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi pelayanan publik bidang perizinan di Kota Tangerang Selatan sebagai berikut: Ketiadaan peraturan hukum Hal ini dapat dilihat pada kasus Izin Usaha Toko Modern (IUTM). Pada tahun 2012 keberadaan toko modern menjadi masalah serius di Kota Tangerang Selatan. Dari total 332 toko modern yang ada, 90 persen lebih tidak mengantongi IUTM. Jumlah itu terdiri dari 60 minimarket di Kecamatan Serpong, 59 minimarket di Serpong Utara, di Kecamatan Pondok Aren (96 minimarket), Ciputat (44), Ciputat Timur (46),
Pamulang (46), dan Setu sebanyak 38 minimarket (http://serpong.kompas.com/berita/ detail/1432/Ratusan.Minimarket. Tak.Berizin.Segera Ditertibkan, 5 Maret 2012). Selain masalah perizinan, beberapa toko modern yang sudah ada juga disinyalir melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada. Pihak BP2T bersama-sama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) melakukan pendataan ulang terhadap berbagai toko modern yang ada di Tangsel. Hasil kajian menemukan bahwa ketidaklengkapan perizinan yang dimiliki toko modern bukanlah kesalahan sepenuhnya di pihak pengusaha. Hal ini tidak terlepas dari ketiadaan payung hukum itu sendiri. Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur masalah IUTM hingga saat ini belum ada di Tangsel. Sementara izin yang dimiliki oleh berbagai toko modern ini diduga hanya sebatas SIUP dan TDP yang sudah dimiliki sebelum Kota Tangsel berdiri tahun 2008. Hal ini diperkuat pengakuan dari pihak Disperindag melalui Kabid Perdagangan Dalam Negeri Pilar, MM, yang mengatakan bahwa pihaknya belum pernah mengeluarkan rekomendasi teknis yakni hasil analisis kondisi sosial ekonomi bagi pemilik toko modern yang ingin mengurus perizinan IUTM. Selain rekomendasi dari Disperindag, persyaratan lain yang harus dilengkapi oleh pemilik toko modern adalah IMB. Beberapa toko modern di Tangsel juga terbukti tidak mempunyai IMB dan melanggar peruntukan sesuai RTRW. Untuk IMB bangunan komersial membutuhkan rekomendasi teknis dari Dinas Tata Kota Tangsel. Pihak Dinas Tata Kota menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah menghambat pengusaha yang meminta rekomendasi peruntukan ruang dari pihaknya sepanjang bangunan minimarket yang akan dibangun tidak melanggar ketentuan zonasi dalam Perda RTRW. Koordinasi dengan SKPD Teknis Dalam pemberian izin operasional untuk IMB dan IUTM memerlukan kerjasama antara BP2T dengan dinas teknis yang berperan memberikan rekomendasi. Misalnya dalam kaitan penataan toko modern di Tangsel, pihak Dispe-
Kesenjangan dalam Pelayanan Publik (Enceng dan Yuli Tirtariandi El Anshori)
rindag mengeluhkan kurangnya koordinasi dari BP2T. Koordinasi ini khususnya dalam hal pemberian data tentang toko modern di Tangsel yang sudah memiliki SIUP. Padahal data ini dibutuhkan Disperindag sebagai bahan untuk mendata kelengkapan perizinan yang sudah dimiliki toko modern. Mengenai hal ini pihak BP2T membantah dengan mengatakan bahwa pihaknya tiap bulan selalu mengirimkan tembusan laporan kepada semua instansi terkait tentang jumlah dan jenis perizinan yang selesai diproses oleh BP2T. Secara umum, pihak BP2T juga selalu mengadakan rapat koordinasi dengan SKPD lainnya. Hal ini dinyatakan oleh Sekretaris BP2T Tangsel Malikuswari dalam wawancara tanggal 22 November 2012 bahwa pihaknya mengadakan rapat koordinasi dengan instansi lain setiap hari Selasa, seperti Dishub, Satpol PP, camat, dan dinas terkait tentang masalah pengawasan perizinan. Laporan juga disampaikan ke walikota, ditembuskan ke Satpol PP selaku penegak Perda dan dinas terkait. Laporan itu secara global misalnya tentang jumlah perizinan yang dikeluarkan BP2T dalam sebulan. Mengenai masalah koordinasi ini merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut HAS Moenir, salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya kualitas layanan yang diberikan pemberi layanan adalah pengorganisasian pelayanan yang belum selesai sehingga terjadi simpang siur penanganan tugas. Agar tidak terjadi simpang siur ini maka dibutuhkan adanya koordinasi antar pemberi layanan. Dengan demikian akan meningkatkan kualitas layanan terhadap pengusaha toko modern. Jika Dinas Tata Kota dilibatkan secara lebih intensif maka akan mencegah terjadinya keputusan yang salah. Misalnya sebuah toko modern ternyata tidak menyalahi peruntukan ruang sesuai Perda RTRW, maka toko modern tersebut tinggal melengkapi persyaratan administrasi maupun persyaratan teknis lainnya. Sementara terkait dengan masalah toko modern yang melanggar Perda RTRW, pihak Disperindag menyatakan bahwa pada intinya semua belum mutlak kesalahan pengusaha.
107
Sebab, SIUP yang dimiliki oleh pengusaha sejalan dengan Perda RTRW Kabupaten Tangerang. Ketika Kota Tangerang Selatan terbentuk dan terpisah dari Kabupaten Tangerang, maka otomatis terjadi perubahan tata ruang. Toko modern yang berada di luar wilayah yang diperbolehkan sesuai Perda RTRW Kota Tangsel maka akan ditinjau ulang. Pihak Disperindag tetap menginginkan adanya penyelesaian yang bijak dan tetap mengedepankan adanya kepastian investasi bagi pengusaha di Tangsel. Sistem dan mekanisme kerja Salah satu faktor yang ikut mempengaruhi pelayanan publik bidang perizinan di BP2T adalah masalah sistem kerja yang belum mapan. Hal ini terbukti dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) tiap pengurusan perizinan yang baru disahkan Mei 2012. SOP ini pun masih terus dalam tahap penyempurnaan hingga tahun 2013 mendatang. SOP ini perlu segera dijalankan dengan serius oleh semua pegawai di BP2T sehingga akan meminimalkan keluhan dari masyarakat khususnya tentang kepastian waktu penyelesaian perizinan. Misalnya untuk pengurusan SIUP yang ditargetkan selesai dalam waktu 5 hari sesuai SOP. Tetapi dalam prakteknya masih banyak SIUP yang selesai lebih dari 5 hari. Begitu pula dalam pengurusan IMB yang ditargetkan selesai dalam waktu maksimal 30 hari. Selain sistem kerja berupa SOP, faktor lain yang mempengaruhi adalah implmentasi layanan berbasis IT belum optimal. Seperti diuraikan pada pembahasan sebelumnya, website BP2T belum dimanfaatkan sebaik mungkin sebagai media komunikasi interaktif antara BP2T dengan masyarakat umum. Padahal secara teoretis menurut Skelcher, sebuah pelayanan publik harus mampu memenuhi unsur information, yaitu adanya informasi yang menyeluruh dan mudah dimengerti tentang suatu pelayanan. Kemudian sebuah pelayanan publik tersebut harus memenuhi prinsip redress, yaitu adanya sistem publikasi yang baik dan prosedur penyampaian complain yang mudah. Penggunaan website sebagai media penyampaian informasi dari BP2T kepada masyarakat perlu dilaksanakan dengan sebaikbaiknya sehingga bisa memenuhi prinsip infor-
108 Jurnal Administrasi Pembangunan, Volume 1, Nomor 2, Maret 2013, hlm. 101-218
mation dan redress. Kondisi saat ini di website BP2T belum adanya informasi yang menyeluruh dan mudah dimengerti terkait pengurusan perizinan, kemudian prosedur penyampaian complain melalui website belum bisa dilakukan. Hasil ujicoba terhadap menu keluhan di website BP2T, menu tersebut ternyata tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mengenai masalah sosialisasi ini, pihak BP2T melalui Sekretaris BP2T mengatakan pihaknya telah pro aktif mensosialisasikan berbagai jenis perizinan. BP2T melakukan sosialisasi kepada pengusaha seperti pengembang perumahan, dan lain-lain. Salah satu kendala lainnya yang cukup menghambat BP2T dalam melaksanakan layanan perizinan adalah sistem layanan yang belum menganut Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Dengan demikian, masyarakat masih harus mendatangi SKPD terkait untuk meminta rekomendasi teknis. Hal ini cukup menyulitkan masyarakat sebab lokasi kantor-kantor tersebut cukup jauh dari lokasi kantor BP2T. Misalnya untuk mengurus IMB maka pemohon harus mendapatkan rekomendasi teknis dari Dinas Tata Kota. Kantor ini berada di Jalan Raya Puspitek Taman Tekno yang letaknya cukup jauh dari lokasi kantor BP2T. Padahal jika sistem PTSP sudah diterapkan maka masyarakat cukup datang ke BP2T saja. Direncanakan pada tahun 2013 mendatang sistem PTSP akan diterapkan oleh BP2T Tangsel. SIMPULAN Pelayanan publik bidang perizinan yang dilaksanakan oleh BP2T Kota Tangerang Selatan masih belum memuaskan masyarakat. Masih terjadi kesenjangan antara pelayanan yang ideal dengan pelayanan yang ada saat ini. Dari tinjauan berbagai dimensi yang telah diuraikan sebelumnya, terungkap bahwa layanan BP2T masih lemah dalam hal ketepatan waktu, transparansi biaya, dan kecakapan petugas. Meskipun sudah memiliki SOP, tetapi layanan BP2T masih dikeluhkan tidak sesuai dengan batas waktu penyelesaian. Kemudian masalah
biaya banyak dikeluhkan karena kurangnya kejelasan biaya dan banyak biaya tidak resmi yang timbul sepanjang proses pengurusan perizinan. Hal berikutnya yang menyebabkan pelayanan publik oleh BP2T belum memuaskan adalah masih kurangnya sosialisasi tentang perizinan kepada masyarakat. Misalnya website BP2T yang tidak maksimal fungsinya. Beberapa faktor yang mempengaruhi layanan BP2T adalah ketiadaan payung hukum yang jelas untuk perizinan tertentu. Misalnya perizinan IUTM yang belum memiliki landasan hukum berupa Perda. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum terhadap bidang investasi. Kemudian faktor koordinasi antara BP2T dengan SKPD lainnya. Dalam kasus IUTM, pihak Disperindag dan Dinas Tata Kota mengeluhkan masih kurangnya koordinasi dalam penanganan masalah toko modern yang belum memiliki izin lengkap. DAFTAR RUJUKAN Fitzsimmons, J.A., dan Mona J. Fitzsimmons. 2001. Service Management: Operations, Strategy, and Information Technology. Third Edition. Singapore: McGraw-Hill Book Co Kotler, Philip. 1997. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation and Control, Englewood Cliffs, N.J: Prentice Hall International, Inc. Moenir, H.A.S. 2002. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Parasuraman, A., Zeithaml, V. A., & Berry, L. L. 1990. Delivery Quality Service: Balancing Customer Perceptions and Expectation. New York: The Free Press Adivision of Macmillan, Inc. Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan dan Defny Holidin. 2007. Reformasi dan Inovasi Birokrasi. Jakarta: Yappika. Purwanto, E.A., dan Wahyudi Kumorotomo. 2005. Birokrasi Publik dalam Sistem Politik Semi Parlementer. Yogyakarta: Gava Media Tjptono, Fandy. 2008. Service Management. Yogyakarta: Penerbit ANDI.