ANALISIS FAKTOR.FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KRIMINALITAS DI INDONESIA DARI PENDEKATAN EKONOMI Florentinus Nugro Hardianto Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan
Abstract Economic modelassumes that an individual committing crimes rs rational because the income which ts generated through illegal occupations has greater expected utility than the legal. The expected utility which is the result of cost-benefit analysis will be weighted whether if iltegal or legal occupations committed or not. Therefore, some experfs developed supply of offense function as economic model, which indicates the factors affecting the total number of crimes as empirical study. The application of suppty of offense function suppofted with multiple linear regression function, the factors affecting the total number of crimes in lndonesia have following results: wage rate variables indicated a negative and significant result and government expenditure variables indicated positive and significant result, but the imprisonment rate variables did not have significant result with the total number of crimes in Indonesia. Key words: suply of offense, property crime, total number of crime, imprisonment rate, wage rate, government expenditure Pendahuluan
lstilah kriminal atau kejahatan mempunyai pengertian secara yuridis-formal dan sosiologis (Kartini Kartono,1992). Secara yuridisformal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial sifatnya, dan melanggar hukum serta undang-undang pidana. Secara sosiologis, kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis, dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat. Secara umum, menurut Reksohadiprodjo dan Karseno (1985), ada empat kelompok kejahatan. Pertama adalah kelompok kejahatan terhadap hak milik seperti perampokan, pencurian, pembegalan, pembakaran yang disengaja, dan penggelapan. Kedua adalah kelompok kejahatan terhadap hak pribadi seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan penganiayaan. Ketiga adalah kelompok perilaku yang negatif menurut pandangan masyarakat seperti perjudian, pelacuran, dan narkotika. Kemudian yang keempat adalah kelompok pelanggaran seperti kerusuhan, dan pelanggaran lalu-lintas. Perbuatan yang mengarah kepada tindakan kriminal atau kejahatan tidak dengan sendirinya muncul. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan tersebut. Volume 13, Nomor 2, Agustus 2009
Kejahatan pada hakekatnya timbul karena karakter manusia yang melakukan kejahatan, kemiskinan, kesempatan kerja, dan faktor lain yang membuka peluang seseorang untuk berbuat jahat seperti sedikitnya patroli polisi, keadaan jalan & lingkungan, kepadatan penduduk, nilai harta penduduk, frekuensi ronda, dan efektivitas lembaga kejaksaan & kehakiman (Reksohadiprodjo dan Karseno,lgBS). pendapat lain mengemukakan bahwa faktor personal, faktor sosial, dan faktor situasional dapat menyebabkan munculnya kejahatan (separovic, 1985). Faktor personal mencakup faktor biologis (umur, jenis kelamin, mental, dan lain-lain), dan faktor psikologis (agresivitas, kecerobohan, dan keterasingan). Faktor sosial terkait dengan faktor imigran, minoritas, dan pekerjaan. Kemudian faktor situasional antara lain situasi konflik, tempat, dan waktu. Bagi Sharp, et.al.(1996), faktor utama yang cenderung menimbulkan perilaku kriminal adalah nafsu dan emosi yang tidak
dan rendahnya standar nilai-nilai sosial masyarakat. Tentunya masih ada faktor lain yang juga dapat menjadi pemicu munculnya tindakan kriminal. Berangkat dari masalah demikian, penelitian ini akan menganalisis sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kriminalitas di Indonesia dari pendekatan ekonomi. secara khusus, penelitian ini mempunyai tiga tujuan. Pertama adalah untuk menganalisis pengaruh probabilitas jumlah terdakwa/tertuduh yang dihukum penjara (imprisonment rate) terhadap tingkat kriminalitas di Indonesia. Kedua adalah untuk menganalisis pengaruh tingkat upah (wage rate) terhadap tingkat kriminalitas di Indonesia. Ketiga adalah untuk menganalisis pengaruh pengeluaran pembangunan pemerintah daerah terhadap tingkat kriminalitas di lndonesia. Bagi aparat hukum seperti kepolisian, dan masyarakat umum yang tertarik masalah kriminalitas, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan penting dalam mengkaji masalah kriminalitas di Indonesia. Bagi kalangan akademik, hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan studi empiris tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kriminalitas dari pendekatan atau model ekonomi. terkendali, kemiskinan,
Tinjauan Literatur Becker (1968) pertama kali mengemukakan suatu model fungsi kerugian sosial (socra/-/oss function) untuk menjelaskan kerugian masyarakat sebagai akibat adanya perbuatan kriminal. Selengkapnya, fungsi kerugian sosial yang dimaksud adalah sebagai berikut: L = D (O) + C (p,O) + b pf O....... ..........(1) dimana:
L : D(O) . C(p,O) : bpfO :
fofal socra/-/oss damage cost conviction cosf social-loss from punishment
Bina Ekonomi Majalah llmiah Fakultas Ekonomi Unpar
29
o p
number of offense ratio of offenses cleared by convictions to all offenses (the overatl probability that an offense is cleared by
conviction) number of offenses punished socra/-/oss per offense punished (cost of punishments) punishment per offense for those convicted nilai koefisien yang tergantung jenis punr'shment (b=0 for fines, or b>1 for tofture, probation, parole, and imprisonment) Berdasarkan fungsi tersebut, Becker berusaha menjelaskan bahwa perbuatan kriminal/ illegal yang terjadi dalam masyarakat mengakibatkan kerugian bagi masyarakat yang disebut sebagai kerugian sosial (social-loss). Total kerugian sosial akibat perbuatan illegal merupakan hasil penjumlahan dari damage cosf (D(O)), conviction cost (C(p,O)), dan socraFloss from punishmenf (bpfO) yang muncul akibat adanya perbuatan illegal. Guna meminimumkan total kerugian sosial akibat adanya perbuatan kriminal, upaya yang dapat dilakukan adalah mengendalikan nilai ratio of offenses cleared by convictions to all offenses (p), punishment per offense for fhose convicted (f), dan number of offense (O). Selanjutnya, seorang individu berpartisipasi dalam perbuatan kriminal/illegal apabila expected utility yang diperoleh dengan menggunakan waktu dan sumber daya lain untuk kegiatan illegal lebih besar daripada expected utility yang didapat dengan menggunakan waktu dan sumber daya tersebut untuk kegiatan legal. Kemudian, beberapa orang menjadi kriminal bukan karena motivasi awal di antara mereka yang berbeda, namun karena manfaat (benefit) dan biayanya (cosf) yang berbeda (Becker, 1968). Expected utility yang dimaksud adalah sebagai berikut: .......(2) EUi - pruifi-f;) + (1- g) e EU1 e EU;
pO: bf: t'. b:
Uiffi)
<0
<0
-ETi
"f di atas, Becker (1968) kemudian Berdasarkan rumusan mengembangkan suatu fungsi supply of offense. Fungsi ini menghubungkan antara number of offense dengan probability of conviction, punishment if convicfed, dan variable-variabel lain seperti pendapatan dari aktivitas legal dan illegal, frekuensi nuisance arresfs, dan kesediaan bertindak illegal. Fungsi supply of offense yang dimaksud sebagai berikut: oi= ot (pi, fi,
30
ui)..... eQ
eQ
<0
<0
epj
"J--
..'. "......."(3)
Volume 13, Nomor 2, Agustus 2009
dimana:
q : pr : fi : u; :
jumlah tindakan kriminal selama periode tertentu (number of offense)
probabilitas tertangkapnya suatu tindakan kriminal (probability of conviction per offense) hukuman suatu tindakan kriminal (punishment per offense) variabel lain yang mempengaruhi individu bertindak kriminal
Adanya peningkatan probabilitas tertangkapnya suatu tindakan kriminal (probability of conviction per offense, g) dan hukuman suatu tindakan kriminal (punishment per offense, f;) akan mengurangi expected utility dari suatu tindakan kriminal (offense) yang pada akhirnya cenderung mengurangi number of offense. Komponen variabel uj antara lain peningkatan pendapatan dari aktivitas yang legal atau peningkatan kesadaran hukum yang akan mengurangi insentif untuk melakukan aktivitas illegal sehingga cenderung mengurangi number of offense. Komponen lain seperti perubahan jenis hukuman dari hukuman denda menjadi penjara juga cenderung mengurangi number of offense.
Total number of offense adalah jumlah seluruh
q,
dan dipengaruhi oleh himpunan variabel p;, f; , dan u; seperti diulas di atas. Fungsi supply of offense di atas merupakan fungsi supply of offense untuk tiap individu. Karena itu, ada kemungkinan bahwa nilai p;, f;, dan u; antar-individu dapat berbeda-beda karena perbedaan latar belakang intelegensi, umur, pendidikan, pengalaman kejahatan, kekayaan, kondisi keluarga, dan lain-lain. Untuk mendapatkan market offense function, Becker menggunakan nilai rata-rata tertimbang untuk variabel p, f , dan u. Market offense function yang dibentuk adalah sebagai berikut: O = O (p, f, .....(4)
u).
eO <0
dimana:
O : P :
f : u :
-T-
eO <0
ET
jumlah tindakan kriminal selama periode tertentu (number of offense)
probabilitas tertangkapnya suatu tindakan kriminal
(probability of conviction per offense) hukuman suatu tindakan kriminal (punishment per offense) variabel lain yang mempengaruhi individu bertindak kriminal
Hubungan antara variabel number of offense dengan variabel probabilitas tertangkapnya suatu tindakan kriminal (probability of conviction per offense, p), hukuman suatu tindakan kriminal (punishment per offense, f), dan variabel lain yang mempengaruhi individu bertindak kriminal (u) dalam market offense function (O) diasumsikan mempunyai hubungan yang sama seperti dalam individual offense function
Bina Ekonomi Majalah llmiah Fakultas Ekonomi Unpar
(O1).
3l
Dalam perkembangannya, dengan berpedoman pada kerangka teori kerugian sosial dari Gary S. Becker seperti diatas, Kenneth l. Wolpin (1b78) memperkenalkan pula suatu expected utility function. utility function yang diperkenalkannya adalah sebagai be_rikut: Expected . EU = 11-Pcl)U(Y) + Pcl(1-Pc/dU(Y-Cr) + Pcl Pon Pvc U(Y-Cr-fr) + Pcl Pcra PR/G U(Y-Cr-fn) + Pcl P67a PF/G U(Y'Cr-fF) +Pcl Pon(1-Puc-Pnrc-PF/G) U(Y-C1-fo)' "" "'(5) dimana: Cr Pnrc d?n Prrg f; ,
fp,
fp
: cosf of trial : probabitity of recognizance and fine given conviction '. monetary equivalents of the imprisonment,
fine, and residual Penalties (assumed to be the |east severe) Setiap individu diasumsikan mengoptimumkan expected utility atas. Dengan mengamati fungsi tersebut, function seperti pengendalian Pcl, PorR, PuG, Pnyc, PF/c, f.v, fq, fp, dan fe dapat mengurangi expected utility. Atas dasar expected utility funcfion tersebut, wolpin (1978) mengembangkan suatu fungsi supply of offense untuk menguji hipotesa model ekonomi perilaku kriminal. Fungsi supply of offense yang dikembangkannya adalah seb^agai berikut: ojt: AiF.l)iir(Fo,o)o'i, (P'o)o'i,lP*,o)ooj, (Prn)oui (L)our (E)oti, e'jt .'.'.(6) dimana: Pcl clearance rate, the proportion of crimes cleared by the police Pcre : conviction rate, the proportion of those arrested Prlo : fine rate, the proportion of the guilty who are fined Pnrc : recognizance rate, the proportion of the guilty who placed on recognizance Puo : imprisonment rate, the proportion of the guilty who imprisoned average sentence, the average length of the sentence vektor variabel lingkungan seperti tingkat pengangguran, proporsi pria berusia 10-25 tahun, tingkat pendidikan, upah buruh manufaktur, produk domestik bruto riel per kapita, jumlah polisi per kapita, dan pengeluaran pemerintah lokal per kaPita komponen stokastik
recognizance,
di
'.
L E
i :
U :
sementara itu, penelitian empiris mengenai perilaku kriminal dengan menggunakan pendekatan atau model ekonomi sebenarnya telah menjadi pokok bahasan dalam penelitian yang dilakukan sejumlah ahli. Umumnya penelitian tersebut menggunakan fungsi supply of offense sebagai model ekonomi perilaku kriminal. Volume 13, Nomor 2, Agustus 2009
Smigel dan Ehrlich (dalam Becker, 1968) meneliti perilaku kriminal dengan mengestimasi fungsi suppty of offense yang dikembangkan oleh Becker. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara variabel number of offense (O) dengan variabel probabilitas tertangkapnya suatu tindakan kriminal (p), dan variabel hukuman suatu tindakan kriminal (f). Selanjutnya, Sjoquist (1973) melakukan studi empiris perilaku kriminalterhadap hak milik pribadi (property crime) dengan mengestimasi fungsi supply of offense yang telah dibuatnya. Hasil risetnya menunjukkan bahwa variabel probability of arrest, conviction, and punishment (r) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah property crime, sedangkan variabel rata-rata masa sekolah, variabel persentase penduduk kota yang berkulit putih, dan variabel jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah propefty crime. Di sisi lain, variabel wage rate legal activity (g*) yang diukur dengan pendapatan, variabel kepadatan penduduk, dan penjualan retail tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah property crime. Berikutnya, Wolpin (1978) dan Wong (1995) juga telah melakukan penelitian sejenis. Hasil riset Wolpin menunjukkan bahwa variabef clearance rate, recognizance rate, dan imprisonment rate berpengaruh negatif dan signifikan, dan variabel unemployment rate berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah total tindakan kriminal (all offenses). Kemudian, Wong (1995) menemukan bahwa variabel probability of apprehension and conviction dan variabel average length of sentence berpengaruh negatif dan signifikan, sedangkan variabel unemployment rate berpengaruh positif dan signifikan terhadap crime rate. Variabel real wage rate for workmen of unchanged grade berpengaruh negatif dan signifikan, sedangkan variabel real per capita net national income dan real wage rafe berpengaruh positif dan signifikan terhadap crime rate. Atas dasar landasan teoretis dan riset sebelumnya seperti telah diuraikan di atas, ada tiga hipotesis utama yang akan diuji dalam penelitian ini. Pertama, probabilitas jumlah terdakwa/tertuduh yang dihukum penjara (imprisonment rate) berpengaruh negatif terhadap tingkat kriminalitas di Indonesia. Kedua, tingkat upah (wage rate) berpengaruh negatif terhadap tingkat kriminalitas di Indonesia. Ketiga, pengeluaran pembangunan pemerintah daerah berpengaruh negatif terhadap kriminalitas di lndonesia. Metode Penelitian Terkait dengan penelitian ini, data yang digunakan adalah data yang bersifat kuantitatif, sekunder, dan cross-section. Data tersebut berasal dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) dan publikasi lain yang terkait. Periode riset dalam penelitian ini ditentukan cross-secfion mencakup 26 propinsiwaktu itu yang ada di lndonesia pada tahun 1997. Bina Ekonomi Majalah llmiah Fakultas Ekonomi Unpar
JJ
Keterbatasan data yang disediakan BPS membuat penulis hanya dapat menggunakan cakupan data tersebut dengan harapan dapat diperbaiki padJ liset lain. Kemudian, penelitian ini akan menggunakan metode analisis regresi linier berganda. Metode ini akan mengestimasi sejumlah faktor yang OiOuga mempengaruhi tingkat kriminalitas di Indonesia dari pendekatan atau model ekonomi dengan metode ordinary /easf squares (Ot-S). Berdasarkan kerangka teoretis dan juga penelitian-penelitian sebelumnya, maka model dasar yang akan dianalisa adalah sebagai berikut: .......(7) PPC = Bo + BllR + B2WG + B.GOV + + + ............(8) + + 6gGOV 62WG TNC = Oo 6rlR dimana: PPC : ProPertY crime TNC : total number of crime : imPrisonment rate . wage rate GOV : pengeluaran pembangunan sektor hukum Definisi operasional untuk variabel property crime (PPC) adalah jumlah kejahatan terhadap hak milik pribadi pada tahun 1997 yang dikelompokkan secara arb,riter dari data jenis-jenis kejahatan. Variabel total number of crime (TNC) adalah jumlah seluruh kejahatan tahun 1997. Variabel imprisonment rate (lR) adalah rasio terdakwa yang dipenjara terhadap total terdakwa dalam perkara pidana tahun 1997. Ketiga variabel di atas diperoleh dari publikasi dalam Statistik Kriminal Tahun 1997 yang dikeluarkan oleh BPS. Kemudian variabel wage rate (WG) adalah upah minimum regional tiap propinsi tahun 1997 yang dipublikasikan dalam Indikator Tingkat Hidup Pekerja 1998-2000 oleh BPS. Variabel terakhir adalah pengeluaran pembangunan pemerintah daerah sektor hukum (GOV) tahun 1997 yang berasal dari Statistik lndonesia 1998 BPS.
e..... v......
lR WG
Deskripsi Perkembangan Kriminalitas Periode 1993-1 997 Sepanjang periode 1993-1997, jumlah terdakwa/tertuduh dalam perkara pidana menunjukkan kecenderungan relatif stabil dengan ratarata 71.037 orang tiap tahun. Sekitar 76% terdakwa/tertuduh sudah berumur 21 tahun lebih. Secara regional, propinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah merupakan propinsi yang menempati kelompok tiga besar terbanyak rata-rata jumlah terdakwa/tertuduh perkara pidana. Rata'rata jumlahnya di Propinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah berturut-turut sebesar 9.701 orang (13,6%),9.378 orang (13,2o/o), dan 8.571 orang (12,0o/o). Sebaliknya, Propinsi Bengkulu, Sulawesi Tenggara, dan Jambi dengan rata-rata jumlah terdakwa/tertuduh dalam perkara pidana berturut-turut sebesar 650 orang (0,9%), 789 orang (1,1), dan 863 orang (1,2o/o) menjadi propinsi yang menempati kelompok tiga besar terendah. Volume 13, Nomor 2, Agustus 2009
Tabel 1 Jumlah Terdakwa/Tertuduh perkara Kejahatan Menurut Propinsi (3 Propinsi Terbesar dan 3 Propinsi Terkecil) Periode 1993-1997 No 1
2
Propinsi
1
993
1
994
1
995
1
996
1
997
RataRata *
RataRata (%)
Jawa Timur
8.463
9.059
10.249
11.459
9.279
9.701
13,6
Jawa Barat
9.058
L711
8.307
9.318
10.496
9.378
13,2
Jawa Tengah
8.917
8.571
12,A
8.805
7.980
7.774
9.380
4
Jambi
714,
932
930
924
816
863
1,2
5
Sulawesi Tenggara
603
vzt
872
874
675
789
1,1
6
Bengkulu
668
768
617
782
418
650
0,9
7
Nasional
68.359
73.487
69.845
70.601
72.893
71.037
100
(Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), i997) *Hasil analisis data BPS ** Persentase terhadap rata-rata nasional
3 Propinsi terbesar jumlah terdakwa/tertuduh : Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah 3 Propinsi terkecil jumtah terdakwa/tertuduh: Jambi, surawesi renggara, dan Bengkulu Tabel 2 Jumlah Terdakwa/Tertuduh perkara Kejahatan Menurut Kelompok Umur Periode 1993-1997 No 1
2 ?
4
Kelompok Umur < 16 tahun 1 6-20 tahun 2 21 tahun Tidak ielas Total
1
993
2.512
1
994
1
995
14.307 51.177
2.003 15.377 56.1 07
1.727 14.958 52.920
JOJ
0
240
68.359
73.487
69.845
1
996
1
997
Rata-Rata
1.425 15.367
1 .810 14.900
54.488 238
55.544
54.O47
557
70.601
(2.693
279 71.037
1.384
14.491
Rata-Rata (o/n\ '* 2.5 20,9 76 0.3 100
(Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 1997) *Hasil analisis data BPS ** Persentase terhadap rata-rata nasional
selanjutnya, laporan statistik kriminal dari Badan pusat statistik (BPS) menyajikan perkembangan 24 jenis kejahatan di Indonesia.
sepanjang periode 1993-1997, jenis kejahatan property crime menduduki ranking pertama tertinggi sekitar 55,60/o dari total rata-rata jenis kejahatan. Pencurian merupakan jenis property crime yang paring banyak terjadi. Diikuti oleh jenis kejahatan personal crime sekitar 2g9%. pada jenis personal crime, kejahatan penganiayaan merupakan yang tertinggi diantara lainnya. Kemudian, dari sembilan jenis hukuman yang dilaporkan BpS, jenis hukuman penjara menempati urutan pertama yang banyak diputuskan hakim dalam pengadilan. Berdasarkan data tahun 1gg3 dan 1995-1997, rata-rata jumlah terdakwa yang mendapat hukuman penjara adalah 60.662 orang atau sekitar 85,3%. Bina Ekonomi Majalah llmiah Fakultas Ekonomi Unpar
35
Sementara itu, terdakwa yang memperoleh putusan bebas/lepas dari tuntutan adalah 1.139 orang atau sekitar 1,60/o. Jenis hukuman mati/seumur hidup sendiri' mencapai 18 orang tahun 1996, dan meningkat menjadi 57 orang tahun 1997. Tabel 3
Jumlah Terdakwaffertuduh Perkara Keiahatan Menurut Jenis Keiahatan Periode 1993-1997 No. 1
2 3
Jenis
1993
1994
3.8151
40.120
17.329
24.193
270
473
Kejahatan Property Crimes Personal Crimes lllegal
Transactions 4
Other Crimes
12.609
1997
RataRata
40.162 39.075
40.226
39.546
55,6
21.517
22.049
2',1.329
21.283
29,9
551
417
405
423
0,5
7.615
9.060
10.933
9.783
13,7
1
8.701
1996
995
tata (%)
(Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 1997) *Hasilanalisis data BPS ** Persentase terhadap rata-rata nasional
Tabel 4 Jumlah Terdakwaffertuduh Perkara Kejahatan Menurut Jenis Hukuman Periode 1993-1997 Jenis Hukuman
No.
Penjara
I
993
1
995
1
996
1
85,3
5.175 1.243
6.216
8,7
1.929
1.707
2,4
1.058
1.047
1.217
1
.139
1,6
197
693
907
485
570
0,8
34
71
67
74
61
0,08
49
21
41
59
42
0,05
5
6
18
57
21
0,02
2
0,002
2
7.681
6.379
5.631
3
Denda
1.956
1.701
4
Bebas/Lepas dari Tuntutan
1.235
6
Kurungan
Dikembalikan kepada
nranotta Diserahkan ke Pemerintah
8
Mati/Seumur Hidup
o
Tambahan
(o/"\ **
60.662
59.915
5
Kata-Kata
64.576
60.959
57.201
BersyaraUPercobaan
1
Rata-Rata
997
1
1
2
7
(Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 1997) *Hasil analisis data BPS ** Persentase terhadap rata-rata nasional
Selanjutnya dalam rangka pembangunan sektoral, pemerintah mengalokasikan sejumlah dana untuk sektor-sektor yang berkaitan dengan masalah kriminalitas seperti sektor hukum, dan sektor pertahanan & keamanan (hankam) dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Pada APBN 1993/1994, pengeluaran sektor hukum sekitar 0,33% dari total pengeluaran pembangunan, dan sekitar 0,13o/o dari total anggaran pemerintah; sedangkan pengeluaran sektor hankam sekitar 4,54o/o dari total pengeluaran pembangunan, dan sekitar 1,84o/o dari total anggaran pemerintah. Volume 13, Nomor 2, Agustus 2009
Pada APBN 1997/1998, alokasi pengeluaran sektor hukum meningkat, sedangkan untuk sektor hankam menurun. Namun demikian, proporsi pengeluaran sektor hukum dan hankam cenderung meningkat sepanjang tahun anggaran 1 993/ 1 994-1 997 / 1 998. Tabel 5 Pengeluaran Pembangunan Pemerintah Untuk Sektor Hukum dan Sektor Pertahanan & Keamanan Periode Tahun Anggaran 1993/1994-1997/1998 (Rp mitiar) No.
Tahun Anggaran
Sektor
Sektor
Hukum
Hankam
Total Anggaran Belanja Pembangunan
Total Anggaran
(A)
(B)
(c)
(D)
A/C
A/D
(%)-
(%)
B/C
", (%)'
B/D (Yo)
-
1
1
993/1 994
84
't.147
25.227
62.322
0,33
0,1 3
4,54
1,84
2
1
994/1 995
1't
1
1.155
27.398
69.749
0,40
0,1 5
4,2'l
1,65
3
1
995/1 996
139
1.317
30.783
78.024
0,45
0,17
4,27
1,68
4
1
996/1 997
173
1.532
34.503
90.616
0,50
0,19
4,44
1,69
4
1
997/1 998
195
1.727
38.928
101 .087
0,50
0,19
4.43
1,70
(Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 1997) *Hasil analisis data BPS
Hasil Analisis dan Pembahasan Ada dua model regresi linier berganda yang dianalisis. Model pertama menggunakan jumlah terdakwa/tertuduh dalam perkara pidana kejahatan terhadap hak milik pribadi atau property crime (LPPC) sebagai variabel dependen; dan probabilitas jumlah terdakwaitertuduh yang dihukum penjara atau imprisonment rafe (LlR), tingkat upah atau wage rate (LWG), serta pengeluaran pembangunan pemerintah daerah (LGOV) yang ketiganya sebagai variabel independen. Model kedua menggunakan jumlah terdakwa/tertuduh dalam semua perkara pidana (LTNC) sebagai variabel dependen, sedangkan variabel-variabel independennya sama seperti model pertama. Selengkapnya, hasil regresi model I dan ll adalah sebagai berikut: Hasil Regresi Model I
- 1,86LWG + 1,22LGOV......................(9) (1151) (2'22) (-4'31) (9'18) R'= 0,84 F-stat.=40,06 S.E.=0,44 ( ): t-stat
LPPC = 9,09 + 1,49LlR Hasil Regresi Model ll
- 0,50LlR - 1,33LWG + 1,101GOV..................(10) (2,!B) (-0,84) (-3,41) (9,23) R'= 0,80 F-stat.=30,70 S.E.=0,40 ( ): t-stat
LTNC = 13,45
Bina Ekonomi Majalah llmiah Fakultas Ekonomi Unpar
5t
Hasil regresi model I dan ll menunjukkan bahwa variabel probabilitas jumlah terdakwa/tertuduh yang dihukum penjara atau
imprisonment rate (LlR) sama-sama tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kriminalitas di Indonesia. Variabel LIR sebenarnya mengukur resiko suatu perbuatan illegal atau tindak pidana. Dalam risetnya, Sjoquist (1973) mengemukakan bahwa resiko perbuatan illegal yang diukur dengan probability of arrest dan probability of conviction berpengaruh negatif dan signifikan terhadap properiy crime di Amerika Serikat. Kemudian, Smigel dan Ehrlich (dalam Becker,1968) dan Wong (1995) memberi hasil serupa bahwa probability of conviction berpengaruh negatif dan signifikan terhadap total crime rafe. Hasil yang sama juga diperoleh oleh Wolpin (1978). Menurut teori ekonomi, resiko perbuatan illegal atau kriminal berpengaruh negatif terhadap tingkat kejahatan sehingga peningkatan resiko perbuatan illegal cenderung mengurangi tingkat kejahatan karena peningkatan resiko tersebut dapat meningkatkan expected cosf yang akhirnya akan mengurangi expected utility from crime. Tanda positif koefisien variabel LIR dalam hasil regresi model I dapat dikatakan bahwa peningkatan expected cosf akibat peningkatan resiko kejahatan masih lebih kecil daripada peningkatan expected benefit-nya sehingga masih tetap meningkatkan expected utility from crime. Ketidaksesuaian hasil regresi model I dengan teori tersebut dapat diduga karena antara lain faktor kemiskinan dan kelemahan sistem hukum di Indonesia. Bagi masyarakat miskin, mereka cenderung mengambil resiko dengan melakukan perbuatan illegal demi mencukupi kebutuhan sendiri dan keluarganya untuk bertahan hidup. Motivasi mencukupi kebutuhan itulah yang menjadikan peningkatan expected cosf akibat peningkatan resiko kejahatan masih lebih kecil daripada peningkatan expected benefit-nya. Terkait faktor sistem hukum, menurut penilaian sejumlah ahli dan praktisi hukum, sistem hukum yang sedang berjalan di Indonesia saat ini masih mempunyai banyak kelemahan. Salah satunya adalah bahwa hasil proses peradilan tidak selalu berlangsung secara adil karena masih ada keputusan hakim yang dipengaruhi intervensi pihak tertentu. Kelemahan demikian menjadi peluang bagi paru penjahat untuk cenderung hreneruskan atau mengulang perbuatan jahatnya, dan juga menjadikan mereka tidak khawatir terhadap resiko hukuman yang kemungkinan akan dihadapinya. Dengan memperhatikan faktor kelemahan sistem hukum tersebut, peningkatan expected cosf akibat peningkatan resiko kejahatan akan tetap masih lebih kecil daripada peningkatan expected benefit-nya sehingga masih tetap meningkatkan expected utility from crime. Selanjutnya, hasil regresi model I dan ll menunjukkan bahwa variabel tingkat upah (LWG) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kriminalitas di lndonesia. Hasil ini sesuai dengan riset yang dilakukan Sjoquist (1973) di Amerika Serikat dan Wong (1995) di lnggris dan Wales. 38
Volume 13, Nomor 2, Agustus 2009
sjoquist (1973) menemukan bahwa variaber tingkat upah berpengaruh negatif terhadap property crime di Amerika Serikat meski tidak signiiikan. sementara itu, wong (1995) melaporkan dalam risetnya bahwa variabel tingkat upah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap total semua
kejahatan di wilayah Inggris dan wares. Variaber tingkat upah ini sebenarnya mengukur legal gains. Peningkatan legal gains akan mengurangi tingkat kejahatan karena peningkatan legat gains tersebut dapat mengurangi expected benefit yang akhirnya mengurangi expected utility from crime. Berikutnya, hasil regresi model I dan ll menunjukkan bahwa variabel pengeluaran pembangunan pemerintah (LGov) berpengaruh signifikan terhadap tingkat kriminalitas di Indonesia. Variabel LGov ini dimasukkan dalam model dengan tujuan menghubungkan variabel peran pemerintah dan tingkat kriminalitas. Diharapkan bahwa peningkatan pengeluaran pembangunan pemerintah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga pada akhirnya dapat mengurangi tingkat kejahatan. Hubungan antar-kedua variabel tersebut diharapkan negatif. Namun begitu ternyata hasil regresi model I dan ll menghasilkan koefisien untuk variabel LGov bertanda positif. Ketidaksesuaian tanda variabel LGov dalam hasil regresi mengindikasikan bahwa penurunan expected benefit akibat peningkatan pengeluaran pembangunan pemerintah masih belum mampu mengurangi expected utility from crime. Peningkatan peran pemerintah dalam pembangunan masyarakat yang direpresentasikan dengan variabel pengeluaran pembangunan pemerintah belum mampu mengurangi tingkat kejahatan. Dugaan penyebabnya kemungkinan besar adanya faktor ketidakmerataan hasilhasil pembangunan, dan rendahnya efisiensi & efektivitas penggunaan anggaran pembangunan. Dengan adanya kedua faktor tersebut, sebagian masyarakat masih ada yang belum menikmati hasil-hasil pembangunan dan masih rendah tingkat kesejahteraannya. Masyarakat kelompok ini akan cenderung berani mengambil resiko untuk melakukan kejahatan demi mencukupi kebutuhan pribadi dan keluarganya. Motivasi untuk mencukupi kebutuhan pribadi dan keluarga itulah yang mampu
meningkatkan expected benefit yang akhirnya meningkatkan pula expected utility from crime sehingga mereka bersedia melakukan tindakan kriminal. Selanjutnya, hasil estimasi di atas juga sudah diuji dengan sejumlah uji asumsi klasik. Berdasarkan uji normalitas Jarque-Bera (JB test), nilai JB normality fesf statistik untuk model I sebesar 1,05, dan modef f l sebesar 0,72 sehingga lebih kecil daripada nilai Chi-squaretabel (0,05) sebesar 9,48 yang berarti lolos uji asumsi normalitas. Dengan Lagrange-Multiplier fesf (LM test) diketahui bahwa nilai Chr:sguare hitung untuk model I sebesar 0,01 dan model ll sebesar 1,65 sehingga lebih kecil daripada nilai Chi-square tabel (0,05) sebesar 11,07 yang mengindikasikan terpenuhinya asumsi linieritas. Bina Ekonomi Majalah llmiah Fakultas Ekonomi
Unpar
39
Kemudian dilakukan uji asumsi homokedastisitas dengan White fesf yang menghasilkan nilai Chi-square hitung untuk model I sebesar 9,12, dan moOet ll sebesar 5,99 sehingga lebih kecil daripada nilai Chi-square tabel (0,05) sebesar 14,01 yang mengindikasikan terpenuhinya asumsi homokedastis. Setelah itu dilakukan uji asumsi non-autokorelasi dengan
ARCH fesf yang menghasilkan nilai Chi-square hitung untuk model I sebesar 0,58 dan model ll sebesar 0,42 sehingga lebih kecil daripada nifai Chr:sg uare tabel (0,05) sebesar 5,99 yang mengindikasikan sudah terpenuhinya asumsi non-autokorelasi. Terakhir dilakukan uji asumsi non-multikolinieritas dengan uji F sejumlah regresi parsial yang ternyata tebih kecil daripada nilai F-tabel (0,05) sebesar 3,05 sehingga mengindikasikan tidak terdapatnya multikolinieritas sempurna diantara variabel-variabel independen yang dipakai dalam penelitian.
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan pendekatan atau model ekonomi, seorang individu melakukan perbuatan kriminal karena expected utility yang akan diperoleh dari hasil perbuatan illegal yang dipilihnya lebih besar daripada expected utitity yang akan didapat dari hasil perbuatan legal. Expected utitity tersebut merupakan hasil perhitungan manfaat (benefit) dan biaya (coCt) yang akan ditanggung baik ketika memilih untuk melakukan perbuatan illegal maupun legat. Atas dasar konsep expected utility iersebut, sejumlah ahli mengembangkan model suply of offense sebagai
suatu model ekonomi untuk menjelaskan faktor-faktor
yang
mempengaruhi tingkat kriminalitas, dan sekaligus sebagai suatu model ekonomi untuk melakukan studi empiris tingkat kriminalitas. Dengan menerapkan model suply of offense dan menggunakan alat analisis regresi berganda, penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kriminalitas di Indonesia memberi hasil seperti berikut ini. Variabel tingkat upah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kriminalitas di lndonesia. Variabel pengeluaran pembangunan pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kriminalitas di Indonesia. Kemudian, variabel probabilitas jumlah terdakwa/tertuduh yang dihukum penjara tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kriminalitas. Atas dasar hasil penelitian seperti dikemukakan di atas, saranyang dapat diajukan adalah seperti berikut ini. Untuk pemerintah, saran yang dapat dilakukan guna mengurangi tingkat l
Volume 13, Nomor 2, Agustus 2009
Kemudian saran bagi pemilik dan pengelola badan usaha, upaya meningkatkan kesejahteraan karyawan seperti meningkatkan upah/gaji dapat mengurangi potensi terjadinya perbuatan kriminal. Selanjutnya, bagi peneliti lain yang tertarik riset sejenis, penelitian yang hendak dilakukan sebaiknya menggunakan data runtun waktu atau menggunakan data yang lebih baru sehingga hasil risetnya nanti dapat menjadi bahan perbandingan dengan riset sebelumnya
Daftar Pustaka
S. (1968),"Crime and Punishment: An Economic Approach", The Journal of Political Economy, VoL7G, No.2, The University of Chicago, USA. Badan Pusat Statistik (BPS) (2000), Indikator Tingkat Hidup Pekerja Becker, Gary
1998-2000. Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) (1997), Statistik Kriminal 1997, Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) (1998), Statistik Kriminal '1998, Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan l, Balai Pustaka, Jakarta. Kartono, Kartini (1992), Patologi Sosial, Jilid l, Edisi Baru, Cetakan lV, April, CV Rajawali, Jakarta.
Merton (1938) dalam Made Drama Weda (1996), Kriminologi, Edisi l, Cetakan l, November, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. O'Sullivan ('1996), Urban Economics, Third Edition, Richard D. lrwin, USA.
Reksohadiprodjo, Soekanto, dan A.R. Karseno (1985), Ekonomi Perkotaan, Edisi Revisi, Cetakan l, Maret, BPFE, Yogyakarta. Separovic, Paul (1985) dalam Made Drama Weda (1996), Kriminologi, Edisi l, Cetakan l, November, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sjoquist, David L. (1973), "Property Crime and Economic Behavior: Some Empirical Results", The American Economic Review, Vol.63, No.3, June, USA. Sharp, Ansel M, et al. (1996), Economics of Social Sigues, Twelf Edition, Richard D. Inryin, USA. Wong, Yue-Chim R, (1995), "An Economic Analysis of the Crime Rate in England and Wales, 1857-1992", Economica, Vol.62, May, The London School of Economics and Political Science, England. Wolpin, Kenneth l. (1978), "An Economic Analysis of Crime and Punishment in England and Wales, 1894-1967", The Journal of Political Economy, Vol.86, No.5, October, The University of Chicago, USA.
Bina Ekonomi Majalah llmiah Fakultas Ekonomi Unpar
4l