Kesalahan-kesalahan dalam Penafsiran Al-Qur’an — Reflita 127 127
Tinjauan Buku Judul : Asbāb al-Kha¯ā’ fī at-Tafsīr (Dirāsah Ta’siliyah) Penulis : °āhir Ma¥mud Muhammad Ya’qūb Penerbit : Dār Ibn al-Jauziy
Kesalahan-kesalahan dalam Penafsiran Al-Qur’an Penyebab dan Antisipasinya Reflita Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Jakarta
Pendahuluan Ilmu tafsir merupakan suatu ilmu yang menempati posisi mulia dan strategis. Al-A¡fahāni dengan kalimat yang indah mengungkapkan, ”Sebaik-baik pekerjaan yang dijalani manusia adalah menafsirkan Al-Qur`an.” Kemuliaan ilmu tafsir dapat dilihat dari tiga segi. Pertama, dari segi objek bahasannya, yaitu kalāmullāh yang melahirkan beribu hikmah dan sumber dari segala keutamaan. Kedua, dari segi tujuan, yakni berpegang dengan tali yang kokoh untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Ketiga, dari segi kebutuhan manusia terhadapnya, sebab kesempurnaan agama atau kebahagiaan dunia dan akhirat sangat membutuhkan pengetahuan keagamaan, dan ini berkaitan dengan pengetahuan tentang kitab Allah. 1 Al-Qur`an secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks selalu berubah sesuai dengan ruang dan waktu. Karenanya, 1
Jalāl ad-Dīn as-Suyūtī, al-Itqān fī ‘Ulūm Al-Qur`ān, Beirut: Dār Ihyā` al‘Ulūm, jilid 2, hlm. 406
128 ¢u¥uf, 128 Vol. 2, No. 1, 2009 Al-Qur`an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir yang berkembang merupakan usaha untuk membedah makna terdalam dari Al-Qur’an itu. Penafsiran Al-Qur`an telah berlangsung sejak zaman Rasul. Rasul sendiri adalah mufasir awal sesuai dengan kapasitasnya sebagai penyampai wahyu dan menjelaskannya kepada umat. Hal ini berlanjut pada zaman sahabat, tabi’in dan terus berlangung hingga kini. Hanya saja, berbeda dengan Al-Quran yang isinya mutlak benar karena berasal dari Zat Yang Maha Mengetahui, tafsir tidak luput dari kekurangan bahkan kesalahan. Pengaruh perbedaan mazhab dan aliran turut mewarnai perbedaan penafsiran. Bahkan adanya fanatisme berlebihan seorang mufasir sering melahirkan kesalahan-kesalahan pada produk tafsir yang dihasilkan. Tulisan ini membahas sebab-sebab kesalahan dalam penafsiran Al-Qur`an. Fokus kajiannya adalah mengungkap faktor-faktor yang dapat menyebabkan seorang mufasir salah dalam menafsirkan AlQur’an. Setidaknya, studi yang dilakukan oleh °āhir Ma¥mūd Mu¥ammad Ya‘qūb ini mengkaji dua hal. Pertama, metode yang benar dalam menafsirkan Al-Qur`an dan keharusan mufasir berpegang dengan metode tersebut. Kedua, sebab-sebab yang menimbulkan terjadinya kesalahan penafsiran. Buku ini merupakan disertasi °āhir Ma¥mud Mu¥ammad Ya‘qūb di Universitas Islam Madinah Munawwarah, tahun 2002. Tulisan yang berbahasa Arab ini terdiri atas 1018 halaman yang mencakup mukadimah, pendahuluan, empat bab, dan penutup. Di bagian mukadimah, °āhir menjelaskan urgensi ilmu tafsir dan latar belakang dia memilih asbāb al-kha¯ā’ fī tafsīr ini sebagai objek bahasan. Pada bab pendahuluan °āhir mengelaborasi deskripsi tentang metode tafsir yang sahih yang terbebas dari kesalahan dan penyimpangan. Kemudian dia menjelaskan bahasan yang tercakup dalam judul disertasinya dalam empat bab yang disesuaikan dengan jumlah penyebab kesalahan penafsiran yang dia temukan. Pada bab pertama disajikan tentang penyebab utama kesalahan penafsiran, yakni berpalingnya mufasir dari sumber dan dasar tafsir yang primer dan otentik. Pada bab kedua, dibahas ketidaktelitian mufasir dalam memahami ayat dan dilālah-nya. Sedangkan dalam bab
Kesalahan-kesalahan dalam Penafsiran Al-Qur’an — Reflita 129 129
ketiga disajikan kebiasaan sebagian mufasir yang menggiring na¡ sesuai dengan keinginan hawa nafsu, fanatisme mazhab dan bid’ah. Pada bab keempat diungkapkan kesalahan penafsiran yang disebabkan oleh tindakan mufasir yang terlalu menyederhanakan syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufasir. Penelitian ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa tafsir, apa pun coraknya, tidak mutlak benar, dan hanyalah hasil usaha manusia memahami kalamullah, sebatas kemampuan yang mereka miliki. Tidak dapat dimungkiri, yang paling tahu dengan maksud Allah adalah Allah sendiri. Oleh karena itu, suatu produk tafsir tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Kritik terhadap produk tafsir yang dihasilkan bukanlah dalam rangka mencerca atau menjatuhkan, namun dalam rangka mengarahkan pemahaman Al-Qur`an ke arah yang benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasul dan sahabatsahabatnya. Metode Tafsir yang Sahih Tujuan ilmu tafsir adalah mengetahui makna ayat-ayat AlQur`an dan mengungkap hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, untuk bisa menafsirkan Al-Qur`an diperlukan metode yang benar dan cara yang teliti sehingga seorang mufasir tidak tergelincir ke dalam kesalahan. Imam Masru` ra¥imahullāh pernah mengingatkan umat Islam untuk berhati-hati dalam menafsirkan Al-Qur`an. Dia berkata:
اﺗﻘﻮا اﻟﺘﻔﺴﲑ ﻓﺈﻧﻪ رواﻳﺔ ﻣﻦ اﷲ
“Berhati-hatilah dengan tafsir, karena ia adalah riwayat yang berasal dari Allah”.2
Pemahaman paling benar akan makna Al-Qur`an sebagaimana yang disebutkan oleh °āhir Ma¥mūd Mu¥ammad Ya’qūb akan didapat apabila metode yang digunakan adalah metode tafsir alma`£ūr atau tafsir dengan riwayat yang sahih. Dengan metode ini seorang mufasir akan terbebas dari penyimpangan dan kesalahan dalam memahami kitab Allah.
2
°āhir Ma¥mūd, Asbāb al-Kha¯ā’ fī Tafsīr, (Riyad: Dār al-Jauziy), hlm. 49. Dikutip dari Ibn Taimiyah, Muqaddimah fī U¡ūl al-Tafsīr, hlm. 50.
130 ¢u¥uf, 130 Vol. 2, No. 1, 2009 Tafsir al-ma`£ūr merupakan tafsir yang paling utama dan paling kuat, karena tafsir ini berasal dari Allah swt sebagai Zat yang menurunkan Al-Qur`an; atau berasal dari Rasul sebagai penyampai dan penjelas wahyu; atau tafsir yang berasal dari sahabat yang hidup pada saat wahyu diturunkan, sebab mereka mengetahui takwilan ayat dan belajar langsung kepada Rasul; atau berasal dari tabi’in sebagai penerus sahabat, yang belajar dan mengambil ilmu langsung dari mereka. Hanya saja, ulama berbeda pendapat apakah tafsir tabi’in termasuk ke dalam jenis tafsir al-ma`£ūr atau tafsir birra`yi. °āhir Ma¥mūd tidak menjelaskan perbedaan ini. Dia hanya menyebutkan pendapat mayoritas ulama bahwa tafsir tabi’in termasuk tafsir bil-ma`£ūr dengan melihat kapasitas tabi’in sebagai generasi yang mendapatkan ilmu langsung dari sahabat dan mereka hidup sezaman dengan sahabat Rasul. 3 Dalam referensi lain kita bisa menemukan perbedaan ini tidak hanya seputar tafsir tabi‘in, namun juga tafsir sahabat. Perkataan sahabat yang secara ijma‘ dianggap sebagai sumber tafsir al-ma`£ūr adalah perkataan yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak menjadi lapangan ijtihad, seperti penjelasan tentang asbāb an-nuzūl dan ijma‘ sahabat. Sedangkan perkataan yang bersifat individual yang berkaitan dengan penafsiran, ulama berbeda mengenai hal itu. Begitu juga dengan penafsiran tabi’in. Perbedaan ulama seputar itu sangat banyak. Imam Abu Hanifah termasuk orang yang menolak perkataan tabi’in sebagai sumber tafsir al-ma`£ūr dengan alasan mereka juga tidak terbebas dari kesalahan karena sama-sama manusia biasa. Penafsiran tabi‘in juga berdasarkan pada ijtihad sebagaimana penafsiran yang dilakukan generasi sesudah mereka. Dengan kalimat lugas Abu Hanifah berkata, ٤
.ﻫﻢ رﺟﺎل و ﳓﻦ رﺟﺎل
Sekalipun tafsir al-ma`£ūr adalah tafsir berdasarkan na¡ dan riwayat baik dari rasul, sahabat atau tabi’in, namun tidak menafikan peran akal dalam penerapan metode ini. Seorang mufasir harus berijtihad untuk menemukan hubungan ayat satu dengan ayat lainnya. Berijtihad untuk menyeleksi hadis yang menafsirkan ayat 3
°āhir Ma¥mūd, Asbāb al-Khata’ fi Tafsīr, hlm. 50. Ibrahīm ‘Abd ar-Rahmān Mu¥ammad Khalīfah, Dirasāt fi Manāhij alMufasirīn, Beirut: Dār al-wafā’, t.t. Juz 2, hlm. 40 4
Kesalahan-kesalahan dalam Penafsiran Al-Qur’an — Reflita 131 131
Al-Qur`an. Maka tafsir dengan corak ini juga tidak terbebas dari kesalahan. Sangat diperlukan ijtihad dan ketelitian pembaca untuk menyeleksi tafsir yang benar dan yang salah. Dalam tafsir alma`£ūr syarat mutlaknya adalah riwayat harus sahih. Metode lain dalam menafsirkan Al-Qur`an adalah menafsirkan Al-Qur`an dengan akal atau dikenal dengan istilah tafsir bir-ra’yi. Dalam penerapannya terdapat tafsir bir-ra’yi yang bisa diterima (tafsīr bir-ra’yi al-ma¥mūd) dan tafsir bir-ra’yi yang tertolak (tafsir bir-ra’yi al-ma©mūm). °āhir Mahmūd menyebutkan dalam bukunya empat macam tafsir bir-ra’yi yang dibolehkan, yaitu: 1. Pendapat atau ijtihad sahabat, karena mereka golongan yang paling tahu dan paham Al-Qur`an, menyaksikan proses turunnya wahyu dan mengetahui takwilan ayat. 2. Akal yang digunakan untuk menafsirkan teks Al-Qur`an, menjelaskan dilālah-nya serta menerangkan cara mengambil hukum dari ayat Al-Qur`an. 3. Penafsiran bir-ra’yi yang telah sepakat diterima oleh umat, baik dari kalangan salaf ataupun khalaf. Kesepakatan ini menunjukkan kebenaran pendapat tersebut. 4. Penafsiran ini dilakukan setelah terlebih dahulu berusaha menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an, hadis nabi atau perkataan sahabat. Untuk sampai pada metode penafsiran yang benar seorang mufasir harus memperhatikan syarat-syarat dan kaidah yang harus dipenuhi. Syarat dan kaedah ini ada yang berkaitan dengan cara dan metode penafsiran dan ada yang berkaitan dengan keilmuan mufasir. Dalam kajian ini °āhir Mahmūd menyebutkan 18 syarat yang harus dipenuhi oleh mufasir sebelum menafsirkan Al-Quran. Di antaranya: 1. Akidah dan pikiran yang benar. 2. Niat ikhlas dan maksud yang lurus. 3. Memiliki motivasi untuk tadabbur Al-Qur`an dan mengamalkannya. 4. Mengetahui ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur`an dan tafsirnya. 5. Berpegang pada riwayat sahih. 6. Menguasai bahasa Arab.
132 ¢u¥uf, 132 Vol. 2, No. 1, 2009 7. Tidak tergesa-gesa mengambil makna bahasa sebelum meneliti riwayat yang terkait. 8. Apabila terdapat perbedaan seputar i‘rāb, wajib memilih i‘rāb yang sesuai dengan riwayat yang sahih. 9. Mengetahui kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur`an yang telah dirumuskan oleh ulama salaf. 10. Mengetahui kaidah tarjīh. 11. Membersihkan diri dari hawa nafsu dan fanatisme mazhab. 12. Tidak mengambil perkataan ahli bid’ah. 13. Menghindari riwayat israiliyyat. 14. Menghindari masalah-masalah kalam dan filsafat. 15. Tidak memaksakan diri dalam tafsir ‘ilmi. 16. Jujur dan benar dalam mengutip hadis dan perkataan ulama. 17. Mendahulukan orang yang lebih utama ilmunya ketika mengutip.5 Sebab-sebab Kesalahan dalam Penafsiran Al-Qur`an Menafsirkan Al-Qur`an bukanlah suatu perkara mudah, karena itu memerlukan persyaratan-persyaratan ketat melalui proses penguasaan berbagai ilmu alat sehingga seseorang layak disebut mufasir. Penguasaan ilmu alat saja tidak cukup, apabila mufasir tidak memahami metode penafsiran. Ketidaktahuan akan metode ini akan menyebabkan kesulitan mufasir dalam menafsirkan AlQur`an, bahkan cenderung salah. A©-ªahabiy dalam bukunya Tafsīr wal-Mufasirūn mengemukakan bentuk-bentuk penyimpangan penafsiran Al-Qur'an dapat dikembalikan pada 3 faktor. Pertama, berkaitan dengan subyektivitas mufasir. Ini terlihat dari kecenderungan para mufasir untuk menafsirkan Al-Qur`an menurut seleranya, mazhabnya, bidang kajian yang diminatinya, atau bahkan kecenderungan lain yang berkaitan dengan keinginan-keinginan pribadi atau kelompok. Kedua, terkait konteks pembicaraan, ruang dan waktu, atau dalam konteks sosial kemasyarakatan lebih luas. Ketiga, berkaitan dengan kekurangan penguasaan ilmu pokok dan bantu dalam menafsirkan Al-Qur'an. Ini bisa kita lihat pada kasus penafsiran yang dilakukan oleh para ilmuwan yang tidak memiliki ilmu pokok secara memadai, atau mufasir yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu pokok, tetapi 5
°āhir Ma¥mūd, hlm. 73-74
Kesalahan-kesalahan dalam Penafsiran Al-Qur’an — Reflita 133 133
kurang menguasai ilmu bantu. Misalnya, jika seorang ilmuwan berupaya mengaitkan kebenaran penemuan ilmiahnya dengan ayatayat Al-Qur`an. Apa yang dikemukakan °āhir Ma¥mūd dalam bukunya, tampaknya tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian a©-ªahabiy. Hanya saja, dalam kajiannya °āhir Mahmūd menjelaskan sebabsebab kesalahan tersebut secara terperinci. Kelebihan lainnya, sebelum masuk kepada penyebab kesalahan yang ditemukan, dia menjelaskan terlebih dahulu metode yang seharusnya ditempuh mufasir disertai dengan paparan tentang perkataan ulama mengenai hal itu. Ada empat penyebab timbulnya kesalahan penafsiran yang sering ditemukan: a. Berpaling dari sumber tafsir yang otentik dan sahih. Ibarat sebuah rumah yang tidak dapat berdiri tanpa adanya pondasi yang kuat, disiplin ilmu apa pun membutuhkan dasar dan kaidah tersendiri yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang bergelut dengan ilmu tersebut. Dasar, yang dalam istilah Arabnya disebut u¡ūl, merupakan unsur penguat suatu ilmu. Seseorang tidak akan sampai pada kesimpulan yang benar apabila hanya berpedoman kepada kaidah-kaidah umum dan tidak memperhatikan u¡ul. Sama halnya dengan dasar (u¡ūl) di atas, sumber otentik juga merupakan kunci kebenaran hasil sebuah penelitian. Salah satu syarat dalam metode ilmiah adalah sumber yang digunakan harus sumber primer dan otentik. Begitu juga dengan ilmu tafsir, seorang mufasir harus menggunakan sumber-sumber tafsir asli dan otentik demi menghasilkan penafsiran yang benar. Terjadinya kesalahan penafsiran sering disebabkan oleh tindakan mufasir yang mengabaikan sumber-sumber primer yang sahih dan beralih pada sumber-sumber lemah. °āhir Mahmūd menyebutkan ada sembilan unsur yang termasuk dalam kategori ini. Di antaranya: 1. Menggunakan ijtihad dalam menafsirkan ayat, padahal ada na¡ lain menjelaskan maksud ayat tersebut. Na¡ dalam ilmu usul fiqh, yaitu suatu lafaz yang memiliki makna jelas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Berbeda dengan defenisi ini, Na¡ al-mufassir (nas yang menjelaskan maksud ayat) yang dimaksudkan °āhir Ma¥mūd di sini adalah ayat Al-Qur`an, baik ayat ini berada langsung setelah ayat
134 ¢u¥uf, 134 Vol. 2, No. 1, 2009 yang ditafsirkan atau terdapat dalam surah berbeda, hadis sahih, perkataan sahabat yang diketahui tidak ada sahabat lain yang menyalahinya, dan ijma‘ ulama tafsir. Nas yang termasuk dalam kategori ini adalah nas-nas yang terkait langsung dengan pemahaman ayat, baik jawaban dari pertanyaan, penjelasan tentang asbāb an-nuzūl, penjelasan sahabat tentang makna kata-kata musykil, atau penafsiran Nabi akan makna ayat sebelum membacanya. Meskipun menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an atau riwayat yang sahih merupakan metode tafsir paling benar dan utama, namun sebagian mufasir mengabaikan metode ini. Mereka menafsirkan Al-Qur`an menggunakan ra’yi atau ijtihad sendiri sebelum melihat ayat Al-Qur`an dan riwayat yang berhubungan dengan tafsiran ayat tersebut. Hal inilah yang menimbulkan kesalahan pada produk tafsir mereka. 2. Berpegang pada hadis mau«u‘ dan «a‘īf. Salah satu metode yang benar dalam menafsirkan Al-Qur`an adalah menafsirkan Al-Qur`an dengan hadis sahih. Imam Alūsi sebagaimana dikutip oleh Ibn Hayyān dalam mukadimah tafsirnya mengkritik mufasir yang memasukkan riwayat-riwayat yang tidak sahih ke dalam tafsirnya. Dia berkata, “ … begitu juga mereka mencantumkan dalam kitab tafsir mereka riwayat-riwayat «a‘īf tentang asbāb an-nuzūl, hadis-hadis tentang keutamaan surah, hikayat-hikayat bohong, dan cerita israiliyyat, padahal semua ini tidak pantas dimasukkan dalam kitab tafsir”.6 Dari hasil penelitiannya, °āhir Ma¥mūd menemukan beberapa kitab tafsir yang memuat hadis «a‘īf bahkan mau«ū‘. Hadis-hadis ini kebanyakan berhubungan dengan penjelasan tentang keutamaan surah, nama surah, asbāb an-nuzūl, dan masalah-masalah akidah, serta kisah-kisah nabi dan umat terdahulu. Contoh sebab turunnya ayat 14 surah al-Baqarah,
6
104
Ibn ¦ayyān, Ba¥r al-Mu¥ī¯, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz 1, hlm.
Kesalahan-kesalahan dalam Penafsiran Al-Qur’an — Reflita 135 135
Diriwayatkan dari Ibn Abbas, ayat ini turun berkenaan dengan kasus Abdullah ibn Ubay dan sahabat-sahabatnya. Pada suatu hari mereka keluar dan berjumpa dengan sahabat-sahabat Rasul. Abdullah bin Ubay berkata kepada sahabat-sabatnya, “Lihatlah apa yang diinginkan oleh orang-orang bodoh di antara kamu.” Kemudian dia pergi dan memegang tangan Abu Bakar dan memujinya, kemudian memegang tangan Umar serta Ali dan juga memujinya. Setelah itu dia menjauh dari para sahabat dan kembali menemui kaumnya dan berkata, “Lakukanlah sebagaimana yang kalian melihat aku melakukannya.” Kaumnya pun melakukan seperti yang diperbuat Abdullah ibn Ubay. Mereka menemui para sahabat dan memujinya. Umat Islam kemudian menyampaikan kejadian ini kepada Rasul. Lalu turunlah ayat ini. Hadis ini diriwayatkan dari Muhammad ibn Marwan dari Muhammad ibn Sāi`b al-Kalbiy dari Abī ¢ālih. Silsilah ini merupakan silsilah ka©b (rangkaian perawi yang terkenal sebagai pendusta).7 Sayangnya, beberapa mufasir memuat riwayat ini dalam kitab tafsirnya. Seperti a£-¤a‘labiy, az-Zamakhsyāri, al-Bai«āwī, dan al-Wā¥idi dan al-Khazn. Hal inilah, menurut °āhir Mahmūd, yang menyebabkan kesalahan tafsir yang dihasilkan. 8 Dari penelitiannya, dia menemukan kitab-kitab tafsir yang banyak memuat hadis-hadis «a‘īf dan mau«ū‘. Di antaranya, Syifā as-¢udūr karangan Abu Bakr an-Nuqasy; al-Kasyāf wa al-Bayān ‘an Tafsīr Al-Qur’ān karangan Abu Is¥āq a£-¤a’labiy; Tafsīr Abi ¦asan alWā¥idiy; Lubāb at-Ta`wīl fi Ma‘ānī at-Tanzīl karangan Abu ¦asan al-Hāzn; al-Kasyāf karangan Zamakhsyariy; Anwār at-Tanzīl karangan al-Bai«awiy; dan Irsyād al-Aql as-Salīm ilā Mazāyā alQur`ān al-Karīm karangan Abu Su‘ūd.
7 8
°āhir Ma¥mūd, hlm.141-142. °āhir Ma¥mūd, hlm. 142.
136 ¢u¥uf, 136 Vol. 2, No. 1, 2009 3. Mengambil riwayat israiliyat. Tidak dapat dimungkiri bahwa kisah-kisah israiliyat9 banyak terdapat dalam kitab tafsir, baik yang bercorak al-ma’£ūr maupun ar-ra’yi. Berbeda dengan zaman sahabat, ketika mereka sangat berhati-hati dalam mengambil riwayat israiliyat, pada masa tabi’in dan masa-masa sesudah itu kehatian-kehatian semakin berkurang. Imbasnya, kisah-kisah israiliyat banyak mempengaruhi penafsiran mereka. Sikap ulama tafsir pun berbeda-beda dalam mengambil riwayat israiliyat. Ada yang bersikap hati-hati dan hanya mengambil riwayat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur`an dan sunnah, seperti Ibn Ka£īr. Ada yang bersikap sebaliknya, mereka tidak menyeleksi riwayat israiliyat yang dicantumkan dalam kitab tafsir mereka, seperti at-°abariy. Ada yang sangat mengantisipasi masuknya kisah-kisah israiliyat dalam kitab tafsirnya, seperti Imam Alūsi. Kalau diperhatikan, masih ditemukan kisah-kisah israiliyat pada kitab tafsir mereka, hanya saja setelah mengutip kisah itu mereka menjelaskan kualitas kisah yang dikutip. Tujuan dari penyebutannya tidak lain adalah untuk menjelaskan letak kesalahan dan kebohongan kisah tersebut. 4. Berpegang pada prasangka dan hikayat. Prasangka dan hikayat di sini adalah berita, cerita dan dongeng orang-orang terdahulu yang digunakan dalam penafsiran Al-Qur`an, padahal tidak memiliki dasar dari Al-Qur`an, sunnah dan ijma‘ umat, serta tidak memiliki sanad yang sahih. Cerita-cerita ini seringkali digunakan untuk menjelaskan persoalan-persoalan akidah, hal-hal gaib dan masalah-masalah keagamaan lainnya. Penggunaan hikayat ini merupakan kesalahan fatal. Al-Qur`an sendiri mengingatkan umat Islam untuk berpegang dengan dalil yang kuat dan menghindari prasangka.
9 Kisah-kisah israiliyat yang terdapat dalam kitab tafsir terbagi tiga, yaitu sesuai dengan ajaran agama Islam (sesuai dengan Al-Qur`an dan Sunnah); berbeda dan bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah; dan ada yang tidak dapat dikategorikan bertentangan atau sesuai. Sekalipun masih ditemukan kisah israiliyat dalam kitab tafsir yang pengarangnya terkenal sebagai mutasyaddid (ulama yang menolak kisah israiliyat), pada umumnya kisah-kisah israliyat tersebut sesuai dengan ajaran Islam.
Kesalahan-kesalahan dalam Penafsiran Al-Qur’an — Reflita 137 137
5. Berpedoman pada makna bahasa semata dan tidak membandingkan dengan riwayat sahih. 6. Berpegang pada kewajiban yang bersifat majāziyah dan tunduk pada tam£īl dan imajinasi. 7. Terlalu mendalam ketika membicarakan filsafat dan ilmu kalam. 8. Hanya mengandalkan ra’yi dan lebih mengutamakannya daripada riwayat sahih. Akal merupakan pemberian dan nikmat Allah yang sangat besar. Dengan akal manusia dapat membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah. Dalam disiplin ilmu tafsir, penggunaan akal dalam menafsirkan Al-Qur’an termasuk salah satu metode penafsiran Al-Qur`an. Walaupun begitu, dalam menafsirkan Al-Qur`an, seorang mufasir tidak boleh berlandaskan pada akal semata dan mengabaikan naql. Orang yang hanya mengunakan akal akan melahirkan tafsir birra’yi al-ma©mūm (tidak diterima.) 9. Mengambil perkataan ahli bid‘ah dan mengikuti hawa nafsu. b. Tidak teliti dalam memahami teks ayat dan dilālah-nya. Faktor lain yang dapat menyebabkan kesalahan dalam penafsiran Al-Qur`an adalah ketidaktelitian mufasir dalam memahami teks dan dilālah-nya. Hal ini bisa terlihat ketika seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur`an berhadapan dengan ayat-ayat nasakhmansūkh. Persoalan nasakh wa mansūkh termasuk cabang ilmu Al-Qur`an yang banyak menuai perbedaan di kalangan ulama. Perbedaan ulama tidak hanya seputar ada atau tidaknya nasakh dalam Al-Qur`an, namun juga ketika menetapkan ayat yang telah dinasakh. Secara etimologi, nasakh berarti mengangkat atau menghilangkan, di samping itu ia juga memiliki pengertian menyalin (nasakhtu al-Kitāb, saya menyalin kitab). Tapi secara umum, nasakh berarti mengubah, mengangkat, atau mengganti ketentuan yang ada. Dalam persepsi ilmu fiqh, nasakh adalah mengganti hukum-hukum yang sudah ada dengan hukum baru yang datang sesudah itu. Karena itu, untuk mengetahui nasakh dan mansukh, harus diketahui mana ayatayat yang dianulir dan yang ditetapkan untuk menggantikan posisi ayat pertama. Seorang mufasir harus jeli dalam menetapkan ayat
138 ¢u¥uf, 138 Vol. 2, No. 1, 2009 nasakh-mansukh, karena hal ini akan sangat berpengaruh terhadap tafsiran ayat. Ketidaktelitian dalam memahami teks Al-Qur`an juga terjadi ketika mufasir mengutip pendapat dari kitab-kitab tafsir. Sebagian mereka tidak menyeleksi riwayat atau perkataan yang diambil, bahkan menyamaratakan antara riwayat yang «a‘īf dan sahih. Sudah masyhur bahwa sebagian besar kitab tafsir masih dipenuhi oleh hadis-hadis «a‘īf, kisah-kisah bohong, kejadian-kejadian yang tidak masuk akal, dan perkataan yang tidak berhubungan dengan tafsiran ayat. Mengomentari hal itu, Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan, “Ada tiga buku yang tidak memiliki dasar referensi, yaitu buku tentang peperangan, fabel, dan tafsir.” c. Menggunakan na¡ Al-Qur`an untuk kepentingan hawa nafsu, fanatisme mazhab, dan bid’ah Kesalahan penafsiran terkadang disebabkan oleh tindakan sebagian mufasir dan pegiat ilmu Al-Qur`an yang menjadikan nas AlQur`an sebagai legitimasi untuk menguatkan pendapat, mazhab dan aliran mereka. Pemahaman ayat dengan demikian diselaraskan dengan kepentingan mazhab. °āhir Mahmūd menegaskan, kecenderungan seperti ini merupakan metode tafsir yang paling berbahaya dan paling buruk, karena seorang mufasir berangkat dari keyakinan dan asumsi awal yang tidak memiliki landasan, kemudian mencari ayat-ayat yang sesuai dengan keyakinan dan asumsi mereka sebagai penguat, sehingga terkesan adanya pemaksakan pemahaman. Suatu ayat tidak lagi dipahami sebagaimana mestinya, tetapi diarahkan untuk mendukung pemahaman mazhab yang dianut mufasirnya. Tak pelak lagi, fanatisme berlebihan, baik dalam mazhab fiqh, akidah, atau politik menyebabkan lahir taklid buta, pengagungan dan penyucian terhadap individu dan pemikirannya. Orang cenderung mengabaikan ajakan Al-Qur`an untuk berpegang pada AlQur`an dan sunnah, dan berpaling dari dalil sahih. Jiwa besar imam-imam terdahulu cukup menjadi pelajaran berharga bagi generasi sekarang ini. Mereka adalah orang-orang yang tawadu’ dan senantiasa memotivasi pengikutnya untuk selalu menganalisis setiap perkataan yang diterima. Kehatian-hatian mereka dapat tercermin dari satu perkataan Imam Abu Hanifah di bawah ini,
Kesalahan-kesalahan dalam Penafsiran Al-Qur’an — Reflita 139 139
.١٠إن ﺗﻮﺟﻪ ﻟﻜﻢ دﻟﻴﻞ ﻓﻘﻮﻟﻮا ﺑﻪ
“Apabila dihadapkan padamu satu dalil, maka pergunakanlah” Seorang muslim yang baik sejatinya menghormati ulama-ulama terdahulu yang telah berijtihad penuh keikhlasan untuk menemukan kebenaran; mengakui keutamaan dan ilmu mereka; tidak menganggap mereka terbebas dari kesalahan; dan menghilangkan fanatisme yang berlebihan pada mazhab tertentu. d.
Mengabaikan sebagian syarat mufasir Tafsir sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentu memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Penafsiran Al-Qur`an tidak akan sempurna tanpa adanya pemenuhan persyaratan tersebut. Imam Ibn Taimiyah dalam al-Majmu‘ al-Fatāwā mengemukakan, ”Setiap manusia harus memiliki suatu dasar umum yang menjadi sandaran aspek-aspek yang terkait dengannya supaya dapat berbicara dengan dasar ilmu yang kuat dan penuh keadilan, serta mengetahui segala rincian bagaimana ia terjadi. Apabila hal ini diabaikan, yang akan tertinggal adalah kebohongan dan ketidaktahuan dengan hal-hal yang parsial dan ketidaktahuan serta kekaburan dengan masalah yang umum (kulli). Hal ini akan melahirkan kerusakan besar.” Berangkat dari fatwa ibn Taimiyah tersebut, °āhir menemukan empat hal yang termasuk ke dalam masalah ini: 1. Menyepelekan penerapan kaidah tarjih rumusan ulama tafsir. Kaidah tarjih adalah kaidah umum atau dasar-dasar pokok yang digunakan untuk mengetahui pendapat paling kuat ketika terjadi perbedaan pemahaman dalam menafsirkan Al-Qur`an. Perbedaan pendapat adalah hal wajar dalam penafsiran AlQur`an. Keterbatasan kemampuan manusia ditambah dengan perbedaan metode yang digunakan menjadi salah satu penyebab perbedaan. Hal terpenting harus diperhatikan bagaimana seseorang yang ingin memahami Al-Qur`an bisa objektif dalam menilai perbedaan ini dan berusaha mencari pendapat paling kuat. °āhir dalam
°āhir Mahmūd, hlm. 626. Dikutip dari Rasm al-Muftī karangan Ibn ‘²bidīn, juz 1, hlm. 23 10
140 ¢u¥uf, 140 Vol. 2, No. 1, 2009 penelitiannya ini menyebutkan kaidah-kaidah tarjih yang sering diabaikan oleh sebagian mufasir: a. Qiraat mutawatir lebih didahulukan daripada makna qiraat syā©. Apabila terdapat perbedaan penafsiran karena perbedaan qiraat, seorang mufasir harus mendahulukan makna yang dikandung qiraat mutawatir daripada makna yang dikandung qiraat syā©. Sebab, dari segi kualitas, qiraat mutawatir lebih kuat. Hanya saja, sebagian mufasir mengabaikan kaidah ini. Mereka mengutamakan qiraat syā© dalam penafsiran. Sebagai contoh, penafsiran firman Allah:
ﻨَﺎح َ ﻓَﻼ ُﺟ َ ﺘَﻤﺮ ََ ْﺖ أ َِو ْاﻋ َﻓَﻤﻦ َﺣﱠﺞ اَﻟْﺒـﻴ ْ َ ِﺎﺋِﺮاﻟﻠﱠﻪ ِ َ إ ِ◌ ﱠن اﻟﺼَﱠﻔﺎ َ واﻟََْْﻤﺮوةَ ِ ْﻣَﻦﺷﻌ ٌ ﺎﻛِﺮ ﻴﻢ ِﺗَﻄَﻮﱠعَ ًَْﺧﻴـﺮا ِﻓَﺈﱠن اﻟﻠﱠﻪََﺷﻋَ ٌﻠ ﱠف َِِﻤﺎ ََوْﻣﻦ َ َن َﻄﱠﻮ َﻋْﻠَِﻴﻪ أ ْﻳ
”Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syi’ar (agama) Allah. Maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha mensyukuri, Maha mengetahui.” Sebagian ulama berpendapat bahwa sa’i dari Safa ke Marwah hukumnya sunnah. Mereka berlandaskan pada qiraat syā©:
...ﻓﻼ ﺟﻨﺎج ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ أن اﻻ ﻳﻄﻮف ﻤﺎ...
penafsiran seperti ini bertentangan dengan pendapat jumhur ulama bahwa sa‘i merupakan rukun haji yang tidak boleh ditinggalkan, berpedoman pada makna qiraat mutawatir.11 b. Penafsiran dan penjelasan i‘rab yang sesuai dengan rasm u£māni lebih utama dibandingkan penafsiran yang berbeda dengan rasm u£māni. Apabila terjadi perbedaan antara mufasir mengenai tafsiran suatu ayat atau penjelasan makna kosakata, atau penjelasan i‘rab, maka penafsiran dan i‘rab sesuai dengan rasm u£māni yang menjadi pegangan.
11
°āhir Ma¥mūd, hlm. 924-926.
Kesalahan-kesalahan dalam Penafsiran Al-Qur’an — Reflita 141 141
Kesalahan penafsiran menurut °āhir seringkali disebabkan oleh tidak diperhatikannya kaidah ini. Sebagai contoh, perbedaan mufasir tentang makna ayat ١٢
ﻓَﻼ ﺗـََﻨْﺴﻰ َ ِﺋُﻚ َ َ ُﺳﻨـﻘْﺮ
”Kami membacakan Al-Qur`an untuk kamu, maka janganlah kamu lupa.”
c. d. e. f.
Ulama berbeda pendapat tentang i’rab lā. Menurut jumhur, lā dalam ayat ini adalah lā nāfiyah ()ﻻ. Ini merupakan pendapat yang kuat, karena sesuai dengan rasm u£māni, dengan adanya alif dalam kata () ﺗ َﻨْ ﺴَﻰ. Tidak dibuangnya alif dalam kata ini menandakan bahwa lā dalam ayat ini bukan lā nāhiyah. Sebagian ulama berpendapat lā dalam ayat ini adalah lā nāhiyah, sedangkan alif di sini berfungsi sebagai pembatas. Dalam kasus seperti ini, seyogianya seorang mufasir mengambil pendapat yang kuat, bukan sebaliknya. 13 Mensinkronisasikan makna suatu kalimat dengan kalimat sebelum dan sesudahnya. Apabila terjadi perbedaan penafsiran disebabkan oleh perbedaan asbab nuzul yang digunakan, penafsiran yang sesuai dengan sabab nuzul yang sahih lebih kuat. Apabila penafsiran suatu ayat didukung oleh adanya ayat lain yang berhubungan dengan ayat tersebut lebih kuat daripada pendapat yang tidak memiliki landasan. Apabila terjadi perbedaan antara makna terminologi dan etimologi dalam menafsirkan kalāmullāh didahulukan makna terminologi.
2. Berpaling dari metode salafu¡-¡āli¥ Untuk mengantarkan pembaca pada pembahasan ini, terlebih dahulu °āhir menjelaskan tentang makna salafu¡-¡āli¥ dan alasan mengapa kita diharuskan untuk mendahulukan pendapat dan penafsiran mereka. Menurutnya, yang termasuk salafu¡-¡āli¥ adalah sahabat, pembesar tabi’in, imam-imam besar yang adil, diakui umat atas keilmuan dan ketakwaan mereka, memiliki posisi tinggi, dan 12 13
Surah Al-‘Alā/87:3 °āhir Ma¥mūd, hlm. 929.
142 ¢u¥uf, 142 Vol. 2, No. 1, 2009 perkataan mereka diterima oleh kalangan salaf maupun khalaf. Di antaranya, Imam Arba‘ah, Sufyān a£-¤auriy, Lāis bin Sa‘ad, ‘Abdullah bin Mubara’, dan para imam hadis. Ayat al-Qur’an banyak memerintahkan umat Islam untuk senantiasa berpegang pada pendapat salafu¡-¡āli¥ karena ketinggian derajat dan ketakwaan mereka. Di antaranya ayat 100 Surah atTaubah. Allah berfirman:
ُ َﺿﻲ اﻟﻠﱠﻪ َِِﺣﺴ ٍﺎن ر َ ْاﻟﱠﺬَﻳﻦ اَﺗﱠـﺒـﻌ ُ ُْﻮﻫﻢ ﺑِﺈ ِ َﻧْﺼ ِﺎر َ و َ ﱠﻟُﻮن َِﻣﻦ اﻟَُْﻤﻬ ِﺎﺟﺮَِﻳﻦ َ وْاﻷ َ ُﻮن ْاﻷَو َ اﻟﺴﺎﺑِﻘ َو ﱠ ذَﻟِﻚ َ ﺎﻟِﺪَﻳﻦ ﻓِ َﻴﻬﺎ أَﺑ ًَﺪا ِ ﱠﺎت ﲡَْﺮِي ﲢَََْﺘـﻬﺎ ْاﻷََﻧـْﻬُﺎر َﺧ ٍ َُﻢ َﺟﻨ ْ َﺿُ ﻮا َﻋﻨْﻪ َُ وأََﻋﱠﺪ ﳍ َ ْﻋﻨُـْﻬﻢ َ ور َﻮزاﻟْﻌ َ ِﻈُﻴﻢ ُاﻟ ْْﻔ Keridaan Tuhan dengan sahabat dan orang yang mengikuti pendapat mereka, menandakan pendapat mereka benar dan layak diikuti. Kalimat (ُ ) وَ رَ ﺿُﻮا ﻋَﻨْ ﮫdipahami °āhir Mahmūd sebagai perintah. Lebih lanjut dia menjelaskan, umat Islam wajib mengikuti segala hal yang diridai Allah, dan salah satu dari perbuatan yang diridai Allah adalah mengikuti metode dan ajaran sahabat.14 Di samping mengemukakan dalil naqli, °āhir Ma¥mūd juga menyebutkan kelebihan sahabat dan metode yang mereka gunakan. Dalam menafsirkan Al-Qur`an, sahabat senantiasa berpegang pada Al-Qur`an dan sunah serta mendahulukan keduanya dibandingkan akal. Mereka juga tidak berusaha mentakwilkan nas. Makna ayat dikembalikan pada makna dasarnya yang sahih. Kelebihan lainnya, sahabat terbebas dari pengaruh fanatisme mazhab serta pengaruh filsafat, bid‘ah dan persoalan ilmu kalam. Kapasitas sahabat sebagai orang yang menguasai bahasa Arab dan mengetahui asbabun nuzul menambah kuat penafsiran mereka. 15 Berpegang dengan pendapat sahabat dan meniru metode mereka dapat membantu mufasir terhindar dari perpecahan dan perselihan serta pengaruh bid‘ah dan segala kesesatan lainnya. Berpedoman dengan metode sahabat juga akan membawa mufasir pada cara mengambil dalil dan kesimpulan yang benar. Oleh karena itu, berpaling dari metode sahabat dan mengabaikan pendapat mereka merupakan suatu kesalahan besar. Setiap 14 15
°āhir Ma¥mūd, hlm. 948. °āhir Ma¥mūd, hlm. 950
Kesalahan-kesalahan dalam Penafsiran Al-Qur’an — Reflita 143 143
orang yang ingin menafsirkan Al-Qur’an di setiap zaman harus berpegang dengan penafsiran mereka. Syaikh Khālid ’Ak dalam kalimat yang sangat indah mengatakan, ”Mengembalikan pemahaman Al-Qur`an dan sunnah kepada pemahaman salafu¡-¡āli¥ adalah perkara yang sangat urgensial. Kebutuhan akan hal ini akan terus berlanjut. Inilah tajdid yang sebenarnya, yang tetap asli dan akan menjadi dasar pemersatu umat.” 3. Tidak paham dengan kaidah bahasa Arab. Al-Qur`an diturunkan dengan bahasa Arab, suatu bahasa yang memiliki keistimewaan dari segi tata bahasa dan kandungan maknanya. Untuk sampai kepada pemahaman yang benar, seorang mufasir harus mengetahui dan memahami kaidah bahasa Arab. Ketidaktahuan dengan kaidah kebahasaan akan melahirkan kesalahan pemahaman. 4. Mengabaikan maksud turunnya Al-Qur`an dan tujuannya. Al-Qur`an diturunkan untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia, memberikan cahaya pada pikiran, mendidik jiwa dan akal mereka. Pada waktu yang sama Al-Qur`an memberikan solusi yang benar atas segala persoalan terkait kehidupan manusia. Untuk sampai pada pemahaman yang benar, mengetahui maksud dan tujuan diturunkannya Al-Qur`an adalah syarat terpenting yang harus dimiliki mufasir ketika ingin menafsirkan Al-Qur`an. 16 Penutup Dari keseluruhan pembahasan tersebut, dapat diperoleh pengertian bahwa penjelasan terhadap makna Al-Quran merupakan suatu keharusan. Tetapi keharusan tersebut, di samping memerlukan kehati-hatian, juga memerlukan persyaratan yang tidak selayaknya dilanggar. Meskipun beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama tersebut merupakan hasil ijtihad, tetapi minimal dapat dipahami sebagai patokan dasar yang selayaknya diperhatikan. Pelanggaran terhadap patokan-patokan dasar tersebut, memang, adakalanya tidak menimbulkan kesalahan interpretasi, tetapi kemungkinan terjadinya kesalahan akan menjadi lebih besar. Di samping itu, meskipun telah diupayakan oleh para ulama untuk 16
°āhir Ma¥mūd, hlm. 1010.
144 ¢u¥uf, 144 Vol. 2, No. 1, 2009 menaati rambu-rambu yang menjadi patokan dasar, tetapi dalam realitasnya kesalahan interpretasi terhadap Al-Qur’an masih mungkin terjadi. Untuk itu, sangat diperlukan ketelitian dan kehatihatian mufasir memahami Al-Qur`an, sehingga menghasilkan penafsiran yang benar. Kita tidak dapat menjustifikasi kesalahan yang ditemukan sebagai kesalahan mutlak. Terutama kesalahan yang muncul disebabkan oleh perbedaan penggunaan metode, karena tafsir, sesuai dengan pengertiannya, adalah upaya untuk menjelaskan kalamullah sebatas kemampuan manusia. Siapa pun tidak dapat mengklaim bahwa penafsirannnya adalah penafsiran yang paling benar.
Daftar Pustaka A©-ªahabi. Tafsīr wa Mufasirūn. Beirūt: Dār al-Qalam. Al-Sayūti, Jalal al-Dīn. Al-Itqān fi Ulūm Al-Qur`ān. Beirūt: Dār Ihyā` al-‘Ulūm. Jilid 2 Khalifah, Abd Rahmān Muhamad. Dirāsāt fī Manāhij al-Mufāsirīn. Beirūt: dār al Wafā, Juz 2 Ibn Hayyān. Ba¥r al-Mu¥ī¯. Bairūt: dār al-Kutub al ‘Ilmiyah. Juz 1 Ya’qub, °āhir Ma¥mūd Mu¥ammad. Asbāb al Kha¯a`fī Tafsīr (Dirāsah Ta`¡iliyah). Dār Ibn Jauzi.