Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MSi
UJIAN NASIONAL: UJIAN NASIONAL: SARANA J SARANA UNTUK MEMBANGUN UNTUK MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 30 April 2012
A
Tema dan Logo Peringatan Hardiknas 2012
TEMA : BANGKITNYA GENERASI EMAS INDONESIA
LOGO :
Modal Sumber Daya Manusia Adanya Bonus Demografi..merupakan modal dasar bagi peningkatan produktivitas ekonomi dan pengembangan pasar domestik...
100 tahun kemerdekaan
"Bonus Demografi"
Sumber: Menko Perekonomian
Dependency Ratio semakin kecil (2010‐2035): Usia produktif semakin besar (Bonus Demografi ~ Demographic Dividen), kesempatan dan potensi meningkatkan produktivitas semakin tinggi, semakin tinggi tingkat kesejahteraan. Akan tetapi kalau tidak dikelola dengan baik akan menjadi Bencana Demografi~ Demografhic Disaster. Kualitas SDM sebagai kata kunci, Pendidikan dan Kesehatan sebagai peran kunci. 3 3
B
Memahami Bonus Demografi As fertility rates fall during the demographic transition, if countries act wisely before and during the transition, a special window opens up for faster economic growth and human development (John Ross, 2004)
Bonus demografi terjadi pada saat laju kelahiran mengubah persebaran umur sedemikian sehingga diperlukan investasi yang lebih sedikit untuk memenuhi kebutuhan kelompok p umur termuda dan sumberdaya y diarahkan untuk investasi dalam pengembangan ekonomi dan kesejahteraan keluarga.
4
Mempersiapkan Generasi Emas 100 Tahun Indonesia Merdeka Strukutur Penduduk Indonesia Tahun 2010 90+
0.28
Kelompok umu ur
80‐89
5.43
60‐69
10.75
50‐59
Generasi 100 thn Merdeka (Usia pada tahun 2045)
Pendidikan Menengah Universal Pendidikan Tinggi yang berkualitas dan berdaya saing Pendidikan Dasar berkualitas dan merata Pendidikan karakter Memastikan semua penduduk usia sekolah bersekolah
1.58
70‐79
Periode Bonus Demografi 2010 2035 2010-2035
45-54 tahun
20.01
40‐49
30.57
30‐39
38.34
20‐29
41.20 4 . 0
10‐19
43.55
0‐9
45.93 0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
Jumlah Penduduk (juta) Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011
Paudisasi Pendidikan Dasar berkualitas dan merata Pendidikan karakter Memastikan semua penduduk usia sekolah bersekolah
Sasaran Kelompok Strategis
Strategi Pembangunan Pendidikan
35-44 tahun
Generasi yang cerdas komprehensif: a.l produktif, inovatif, damai dlm interaksi sosialnya, y , sehat dan menyehatkan dalam interaksi alamnya, dan berperadaban unggul
1
PENINGKATAN AKSES DAN MUTU PAUD “Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar” (UU No 20/2003 pasal 28)
...masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak. Periode ini adalah masa yang berharga dan menentukan bagi seorang anak untuk mengenali berbagai fakta di lingkungannya sebagai stimulan terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya... Fungsi kognitif lebih tinggi
U s i a
Tahun
Dewasa D
SD
Lahir
Konsepsi K
Bulan
Dekade
Meningga al
Bulan
Jumlah anak usia 0‐6 th: 28,8 juta anak
Bahasa
Pendengaran & penglihatan
Sumber: Shonkoff JP, Phillips DA. The developing brain. Washington DC: National Academy Press, 2000.
6
SKENARIO PENINGKATAN AKSES DAN MUTU PAUD
APK
90.0
80.0
SASARAN 2011
SASARAN 2012
•Bantuan perintisan program PAUD •Peningkatan cakupan PAUD dengan pemberian BOP
•Gerakan Nasional PAUD Terpadu •Melanjutkan 2011
70.0
72.9 67.4
60 0 60.0
53.7
60.1
Δ
63.6 + 3,5% APK ≈ 1 juta siswa PAUD Baru
56.7 50.0 2009
: Target RPJMN
2010
2011
: Target RPJMN 2011
2012
2013
2014
: Ikhtiar percepatan hasil efisiensi & efektivitas
7
3
Percepatan APK SMA/SMK/MA melalui Wajib Belajar 12 Tahun# Perbandingan APK Program Wajar 12 Tahun dan APK Normal
120 APK 97,0% (2020)
100
APK 97,0% (2038)
APK
80 60
Program Wajar 12 tahun berkontribusi terhadap Peningkatan EYS sebesar 1 tahun, sehingga akan menaikkan HDI
z
0
Tahun
APK Wajar 12 Tahun Program Percepatan APK Normal
Reguler APK Program Wajar 12 Tahun APK Normal Perkiraan Kebutuhan Anggaran untuk Pembangunan Fisik dan Operasional Mendukung Wajar 12 Tahun ( 2013‐2020) Peruntukan Ruang Kelas Baru Unit Sekolah Baru BOS‐SM Total
2013 1.080,7 629,6 15.598,6 17.308,9
2014 1.045,0 608,7 16.309,4 17.963,1
2015 964,2 561,7 16.965,4 18.491,3
2016 884,8 515,4 17.567,4 18.967,6
2017 839,4 489,0 18.138,4 19.466,8
2018 821,5 478,6 18.697,3 19.997,4
(Rp. Milyar)
2019 812,5 473,3 19.250,1 20.535,9
2020 798,7 465,3 19.793,5 21.057,5
8
Target Penuntasan Wajib Belajar 12 Tahun per Provinsi
9
A Ujian Nasional
10
Tujuan
Menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
11
Evaluasi = Amanah Undang‐Undang No. 20/2003 Pasal 57 (1): evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara b i b t k k t bilit l pendidikan kepada pihak‐pihak yang berkepentingan. (2) : Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga dan program pendidikan pada jalur formal dan non formal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan. Pasal 58 (1): Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional 12 pendidikan.
3
Evaluasi = komprehensif memotret p g kompetensi & UN adalah bagian dari Evaluasi
Contoh: Jurusan IPA SMA No .
Mata Pelajaran
Ranah Kompetensi Kogniti f
1.
Bahasa Indonesia
2
Bahasa Inggris
3
Matematika
4
Fisika
5
Biologi g
6
Kimia
7
Pendidikan Agama
8
Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Kewarganegaraan
9
Sejarah
10
Seni Budaya
11
Pend. Jasmani, P d J i Olah Raga, & Ol h R & Kesehatan
12
Teknologi Informasi dan Komunikasi
13
Keterampilan Bahasa Asing
= dominan; = kurang dominan
Afektif
PSmotor
= evaluasi oleh pendidik l i l h didik & sekolah = evaluasi oleh pemerintah (UJIAN NASIONAL) (UJIAN NASIONAL)
UJIAN NASIONAL untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi (PP No. 19/2005 Psl 66) 13
Karakteristik Kelulusan Siswa Kelulusan Siswa Evaluasi Internal (Guru dan (Guru dan Sekolah) Tuntas Tuntas KBM
+
Akhlak Akhlak Baik
+
Evaluasi Eksternal (Pemerintah)
+ Ujian j Sekolah
Mengukur kompetensi dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotorik siswa secara melekat dalam keseluruhan proses belajar mengajar dengan alat ukur yang dibuat oleh guru dan sekolah pada semua dibuat oleh guru dan sekolah pada semua mata pelajaran/kegiatan.
Ujian Nasional
Mengukur kompetensi dalam ranah kognitif siswa dengan alat ukur yang dibuat seragam secara nasional pada mata pelajaran khusus pelajaran khusus. 14
Atmosfer Sekolah dan Budaya Guru
Peserta Didik
Kinerja
Kinerja
Kepala Sekolah
Kinerja
15
Peningkatan Mutu UN dan Pemanfaatannya ...semangat perbaikan UN adalah untuk meningkatkan kredibilitas dan prestasi, serta sebagai “passport”untuk melanjukan ke jenjang lebih tinggi “continuity” untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
mendukung
Ujian Nasional
mendukung
Integrasi Sosial
“continuity” bagi implementasi kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi (Kerangka Kualifikasi (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) [Perpres 8/2012 tentang KKNI]
Integrassi Kualifikasi
Integrasi Vertikal
“continuity” bagi siswa dari sosial ekonomi kurang mampu masuk ke PT mampu masuk ke PT [PP 66/2010]
mendukung
Integrasi Kewilayahan “continuity” bagi siswa dari satu daerah masuk ke PT di wilayah lain (mengurangi disparitas antar wilayah dalam penerimaan mahasiswa baru melalui seleksi nasional) [PP 66/2010]
...semangat perbaikan UN juga untuk pemetaan, sebagai landasan perbaikan mutu pendidikan 16 secara merata (mempersempit standar deviasi antar wilayah)...
N Featurees UN 2011//2012 New Fe
1. ‘Paspor’ masuk ke perguruan tinggi 2. 2013: 60% mahasiswa baru PTN diseleksi berdasarkan rapor dan UN
Substansi
3. Lima macam soal yang berbeda dgn taraf kesulitan sama 4.
5.
Percetakan bahan UN berkualifikasi security printing Æ kualitas, keamanan dan kerahasiaan Nilai yang dikumpulkan: rapor, US dan NS NS= 40% rapor p (1‐5) + 60% US NA=60% UN + 40% NS 17
OPINI NEGATIF TERHADAP UN • UN membuat siswa, orang tua, guru, dan , g ,g , pengelola pendidikan berbuat tidak jujur dan tidak bertanggung jawab sehingga UN tidak relevan/berlawanan l /b l d dengan pendidikan karakter, didik k k misalnya siswa menyontek saat UN, guru menyebarkan kunci jawaban orang tua membeli menyebarkan kunci jawaban, orang tua membeli soal dan kunci jawaban, pengelola pendidikan menghalalkan segala cara agar hasil UN baik. “ Benarkah UN “ Benarkah UN sumber sumber yang membuat siswa, yang membuat siswa, orang tua, guru, dan pengelola pendidikan menjadi manusia Indonesia yang tidak jujur dan j y g j j tidak bertanggung jawab? “Ataukah “UN merupakan instrumen pengungkap ketidakjujuran dan ketidakbertanggung jawaban oknum siswa, guru, orang tua, dan pengelola pendidikan dalam menghadapi UN?” KEJUJURAN LANGKA di KEJUJURAN LANGKA di INDONESIA?
Bagaimana perasaan Anda dalam menghadapi UN?
Bagaimana tingkat kekhawatiran Anda terhadap kelulusan UN?
19.3%
37.2%
40.2% 40.5%
25.6%
37 2% 37.2%
Tidak khawatir, yakin lulus Biasa saja Biasa saja
Tidak biasa Tidak biasa
Cukup khawatir
Sangat hawatir
Sangat tidak biasa Sangat tidak biasa
19
... perasaan cemas yang dialami siswa menjelang pelaksanaan UN justru myebabkan siwa terdorongg untuk belajar j y j dan berusaha (79,1%) ... ( , ) Bagaimana tingkat kecemasan Anda dalam menghadapi UN?
Apa pendapat Anda tentang adanya UN?
20.9% 22.4% 56 0% 56.0% 21.6%
Biasa saja
Cemas
Sangat cemas
35.4%
Sangat mendorong belajar
43.7%
Mendorong belajar
Tidak mendorong belajar
Pengertian cemas yang dimaksud disini adalah kondisi mental individu yang terjadi karena adanya tantangan, tekanan dan tuntutan untuk mencapai suatu tujuan tertentu
20
PENGARUH KEPRIBADIAN TERHADAP KECEMASAN Konsep Diri Positif • Lebih tegar dalam menghadapi tekanan psikologis • Tekanan psikologis menjadi motivator untuk bekerja keras Persiapan Diri yang Cukup
Penanaman Kebiasaan Belajar yang Baik
Mengurangi TingkatKecemasan Dalam Menghadapi Ujian Uji
21
UJIAN NASIONAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER UJIAN NASIONAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER UN
mendukung proses pembudayaan dan pemberdayaan Karakter Bangsa Agama, Pancasila, UUD 1945, UU No. No 20/2003 ttg Sisdiknas
Teori Pendidikan, P sikologi, Nilai, Sosial Budaya
Nilai-nilai Luhur
Pengalaman terbaik (best practices)dan praktik nyata
mengevaluasi Implementasi p Pendidikan Karakter
INTERVENSI
SATUAN
KELUARGA
PENDIDIKAN
UN dapat
MASYA‐ RAKAT
HABITUASI
PERANGKAT PENDUKUNG Kebijakan, Ujian Nasional, Pedoman, Sumber Daya,Lingkungan, y , g g , Sarana dan Prasarana, Kebersamaan, Komitmen pemangku kepentingan.
Perilaku Berkarakter
UJIAN NASIONAL DAN DOMAIN PENDIDIKAN KARAKTER UJIAN NASIONAL DAN DOMAIN PENDIDIKAN KARAKTER Semua domain pendidikan karakter relevan dengan hasil UN yang baik : • Siswa harus cerdas dengan cara giat belajar dengan cara giat belajar (olah pikir) • Siswa, guru, pengelola pendidikan, orang tua h harus melaksanakan UN l k k UN dengan jujur dan bertanggung jawab ((olah hati)) • Siswa harus selalu sehat dan fit agar lebih konsentrasi saat UN (olah raga) (olah raga) • Siswa harus peduli terhadap pelaksanaan UN yang tidak baik (olah rasa dan karsa)
OLAH HATI:
OLAH PIKIR: OLAH PIKIR:
Jujur Bertang‐gung jawab
Cerdas
Perilaku Berkarakter
OLAH RAGA: Sehat dan Bersih
OLAH RASA DAN KARSA: Peduli Kreatif
UN SEBAGAI SARANA UNTUK MENDIDIK KARAKTER SISWA UN dapat menumbuhkan karakter bagi siswa, antara lain: UN d b hk k k b i i l i • Ulet, sungguh‐sungguh, kerja keras • Disiplin, menghargai waktu, menghargai prestasi Disiplin menghargai waktu menghargai prestasi • Inisiatif dan kreatif • Kerjasama saat belajar, mandiri saat ujian j j , j • Tanggung jawab • Optimis dan percaya diri • Jujur • Religius: doa dan tawakal “Ujian Nasional sering dipersalahkan sebagian pihak oleh karena kurangnya informasi tentang kebaikan tes baku. Padahal bukan Ujian Nasionalnya yang salah, tetapi bagaimana cara orang memandang dan menghadapi Ujian Nasional.” (Asmawi Zainul, 2011)
HASIL‐HASIL PENELITIAN UN DAN PEMBELAJARAN UN untuk SMP/MTs, SMA/MA, SMK perlu dilaksanakan dengan alasan: 1 Sebagai tolok ukur kualitas pendidikan antardaerah 2 Upaya standarisasi mutu pendidikan secara nasional 3 Memotivasi peserta didik, orang tua, guru, dan pihak‐ pihak terkait untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik dalam mencapai standar pendidikan Ki Supriyoko, 2006
HASIL‐HASIL PENELITIAN UN DAN PEMBELAJARAN
HASIL‐HASIL PENELITIAN UN DAN PEMBELAJARAN
Salah satu disertasi doktor yang ditulis oleh ( ) Mardiani (2010) menemukan bahwa stress dalam menghadapi ujian hanya dialami oleh sekolah atau pihak dengan mutu yang rendah. Sekolah‐sekolah dengan mutu yang baik dan telah berupaya dengan baik tidak mempunyai masalah dalam menghadapi ujian. Stress l hd l h d i ji St yang dialami dalam UN hanya disebabkan karena sekolah tidak siap karena belum sekolah tidak siap karena belum mempersiapkan siswanya dengan baik.
HASIL‐HASIL PENELITIAN UN DAN PEMBELAJARAN Dampak UN 1 Siswa lebih semangat belajar, rajin mencari sumber bacaan, dan rajin masuk sekolah. 2 Guru lebih giat mengajar, meningkatkan motivasi berprestasi dan meningkatkan disiplin berprestasi, dan meningkatkan disiplin 3 orang tua lebih memperhatikan proses pembelajaran anak dan memberikan dorongan untuk belajar. Sebagian besar responden 91% Kepala Dinas pendidikan provinsi kepala dinas pendidikan kabupaten/kota kepala provinsi, kepala dinas pendidikan kabupaten/kota, kepala sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua berpendapat bahwa UN perlu dilanjutkan dengan penyempurnaan Djemari Mardapi, 2007
Kesimpulan Beberapa Hasil Penelitian l Dari Beberapa Dari Beberapa Hasil Penelitian di atas, dapat atas, dapat disimpulkan: Pelaksanaan Ujian Nasional mendorong terwujudnya nilai –nilai karakter bangsa yang baik, sehingga Ujian Nasional perlu terus dilaksanakan dengan melakukan beberapa penyempurnaan pelaksanaannya l k agar hasilnya h il d dapat l bih lebih kredibel
PENYEMPURNAAN UN AGAR LEBIH KREDIBEL • Siswa Siswa, Kepala Kepala Sekolah, guru, Komite Sekolah guru Komite Sekolah, Pejabat Pengelola Pendidikan berikrar/berjanji untuk melaksanakan UN UN dengan Jujur dan Berprestasi • Percetakan P t k diatur di t oleh l h Pusat P t sehingga hi kontrol pengawasan keamanan percetakan t k naskah k h soall UN dikontrol UN dik t l sepenuhnya oleh Pusat. Kebijakan ini dapat membatasi keterlibatan pihak‐pihak yang b t i k t lib t ih k ih k berkepentingan (conflict of interest) dengan h il UN hasil UN.
Lanjutan ……………
• Setiap amplop naskah soal UN disegel oleh percetakan, apabila dalam suatu sekolah segel di amplop rusak, maka UN tidak bisa dilaksanakan di sekolah tersebut • Dalam satu ruangan ujian ada 5 jenis paket soal paralel yang berbeda soalnya • Denah pendistribusian soal di dalam ruang j ada di dalam amplop, jadi p p, j sebelum ujian amplop yang disegel itu dibuka, denah tersebut tidak ada yang tahu y g
PENUTUP PELAKSANAAN UN YANG BAIK akan menjadi alat intervensi pembudayaan menjadi alat intervensi pembudayaan karakter bangsa sekaligus menjadi instrumen untuk mengetahui keberhasilan implementasi pendidikan p p karakter. Pelaksanaan UN yang baik UN yang baik karakter karakter bangsa baik mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera
Terima kasih 33
UJIAN NASIONAL SEBAGAI WAHANA EVALUASI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA Prof. Dr. Syawal Gultom Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
I. Pendahuluan Setiap bangsa memiliki jati diri, dan itu berbeda-beda atara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya dan dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya letak geografis, budaya, ekonomi, politik, agama dan lainnya. Jati diri suatu bangsa merupakan ciri khas dari bangsa itu sendiri. Oleh karena itu, Ir Soekarno (Presiden RI pertama) dari awal lahirnya Indonesia menegaskan pentingnya membangun jati diri bangsa melalui pembangunan karakter bangsa atau apa yang disebut oleh beliau sebagai national and character building. Sebagaimana disepakati oleh para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia bahwa membangun jati diri atau membangun karakter bangsa mesti dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tidak mengabaikan kemajemukan masyarakat Indonesia. Menyadari bahwa membangun karakter bangsa diperlukan suatu kesinambungan itulah tampaknya Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional mengungkapkan bahwa, ”…pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh anak. Pertumbuhan budi pekerti, pikiran dan tubuh tersebut merupakan bagian-bagian yang terintegrasi dan tidak boleh dipisahkan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak Indonesia di masa mendatang”. Pemikiran inilah yang kemudian diadopsi dalam perwujudan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang menegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Dengan mengacu kepada rumusan tujuan pendidikan nasional inilah, maka pendidikan karakter bangsa dikembangkan dan harus diimplementasikan. Penerapan pendidikan karakter bangsa melalui pengembangan karakter individu peserta didik tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosial dan budaya peserta didik. Oleh karena itu, pengembangan karakter individu peserta didik hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya dari individu peserta didik yang bersangkutan. Ini bermakna bahwa pengembangan karakter peserta didik hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak boleh melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa yang dalam hal ini adalah Pancasila. Jadi pendidikan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilainilai Pancasila. Dalam konteks ini pendidikan karakter bangsa dapat dimaknai sebagai proses penanaman nilai-nilai karakter berdasarkan Pancasila kepada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai1
nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam konteks penerapan pendidikan karakter bangsa tersebut, evaluasi pembelajaran menjadi faktor penting untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan atau keberhasilan pelaksanaan pendidikan yang bukan hanya aspek kognitif dan psikomotor saja tetapi juga harus mampu memberikan gambaran pengembangan karakter peserta didik sebagai aspek afektif. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan karakter bangsa ini akan dapat terlihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan pendidikan karakter bangsa. Dipahami benar bahwa alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali untuk memberikan gambaran tentang pengembangan karakter bangsa. Ujian Akhir Nasional sebagai salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah yang dalam beberapa tahun ini menjadi isu yang cukup ramai dibicarakan dan menjadi kontraversi bahkan sempat terlontar rencana atau keinginan dari beberapa pihak untuk meniadakannya, perlu dipertegas posisinya berkaitan dengan pelaksanaan dan keberhasilan pendidikan karakter bangsa. Untuk itu, dalam makalah yang sederhana ini akan didiskusikan Ujian Nasional sebagai salah satu sarana dalam membangun karakter bangsa. Harapannya melalui makalah ini dapat sedikit memberikan penjernihan bagaimana pentingnya Ujian Nasional dalam rangka membangun karakter bangsa yang telah disepakati bersama untuk dilksanakan dalam menyiapkan peserta didik menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”. II. Pendidikan Karakter Bangsa Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (nilai, moral, norma) yang diyakni dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan betindak. Ia dapat dimaknai sebagai kumpulan kualitas terbaik yang mungkin dimiliki seorang manusia misalnya seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan dan kesederhanaan, karakter juga mencakup integritas, moral yang baik dan terhormat diramu dengan tepat bersama kecerdasan dan kepandaian. Oleh karena itu pendidikan karakter bangsa yang dilandasi Pancasila di dalamnya mencakup berbagai macam komposisi nilai, antara lain nilai agama, nilai moral, nilai-nilai umum, dan nilainilai kewarganegaraan yang dalam penerapan praktisnya dalam masyarakat akan mengalami perubahan secara dinamis walaupun jiwa dan nilai-nilai itu sendiri tetap sama. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai tertentu mungkin lebih relevan pada masa tertentu, sedangkan dalam situasi lain mungkin nilai yang lain akan lebih cocok untuk diterapkan. Pendidikan karakter yang merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak bertujuan mengembangkan karakter bangsa agar mampu mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila memiliki fungsi, yaitu: 1. mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik 2. memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur (Memperkuat perilaku yang sudah baik) 3. meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia (penyaring budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila) Secara sistemik, kebijakan nasional dalam pembangunan karakter bangsa dapat digambarkan sebagai berikut (sumber sumber, Kemko Kesejahteran Rakyat Republik Indonesia, 2010. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa. Jakarta).
2
Melalui proses pendidikan yang komprehesif yang mengkonfigurasikan karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural melalui Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development), pendidikan karakter diwujudkan. Olah hati, yaitu mengembangkan aset yang terkait dengan Tuhan YME (Hablumminallah), sehingga dapat bekerja dengan ikhlas. Olah pikir, yaitu mengembangkan aset yang terkait dengan akal agar dapat berpikir jernih dan cerdas. Olah raga, yaitu mengembangkan aset fisik agar selalu sehat dan dapat bekerja keras. Sedangkan olah rasa/karsa, yaitu mengembangkan aset yang terkait dengan hubungan sesama manusia (hablum minannas). Proses pendidkan komprehensif yang memadukan ke 4 unsur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
PROSES PENDIDIKAN KOMPREHENSIF
cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif
bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih
OLAH HATI:
OLAH PIKIR:
Religius
Cerdas
Perilaku Berkarakter
OLAH RAGA: Moderat
OLAH RASA DAN KARSA:
beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik
ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit , mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja
Mandiri
3
Konfigurasi yang utuh dari olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa dan karsa di sekolah khususnya, peserta didik akan tumbuh menjadi generasi masa depan bangsa yang telah dibekali oleh nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan dan diterapkan lebih lanjut di keluarga maupun di dalam masyarakat. Nilai-nilai karakter tersebut berupa 4 karakter esensial, yaitu: (i) Tangguh; (ii) Jujur; (iii) Cerdas; dan (iv) Peduli sebagai perwujudan yang terintegrasi dari karakter sebagai berikut: 1. Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4. Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan 5. Kerja Keras: Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya 6. Kreatif: Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7. Mandiri: Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas 8. Demokratis: Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain 9. Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10. Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya 11. Cinta Tanah Air: Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12. Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat/Komunikatif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. 14. Cinta Damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 15. Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16. Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi 17. Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung-jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa Walaupun keluarga dan masyarakat memegang peran yang tidak kalah pentingnya dengan sekolah, tetapi secara khusus pendidikan karakter bangsa secara mikro dapat dilaksanakan melalui proses pembelajaran di satuan pendidikan. Dalam pendidikan karakter di sekolah, 4
semua komponen di sekolah harus dilibatkan. Pelibatan ini bukan hanya mencakup seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) tetapi juga termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, diantaranya yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Untuk itu, materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan (tidak perlu spesifik mata pelajaran karakter bangsa), dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Strategi mikro pelaksanaan pendidikan karakter bangsa di skeolah dapat digambarkan sebagai melalui strategi sebagaimana digambarkan berikut ini
STRATEGI MIKRO DALAM SEKOLAH Integrasi ke dalam KBM pada setiap Mapel
BUDAYA SEKOLAH: (KEGIATAN/KEHIDUPAN KESEHARIAN DI SATUAN PENDIDIKAN)
Pembiasaan dalam kehidupan keseharian di satuan pendidikan
KEGIATAN EKSTRA KURIKULER
Integrasi ke dalam kegiatan Ektrakurikuler : Pramuka, Olahraga, Karya Tulis, Dsb. Prof. Dr. H. Suyatno, M.Pd. (Rektor UHAMKA)
KEGIATAN KESEHARIAN DI RUMAH DAN MASYARAKAT
Penerapan pembiasaan kehidupan keseharian di rumah yang sama dengan di satuan pendidikan
Akhirnya melalui proses pelaksanaan pembelajaran karakter bangsa, pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang mengkonfigurasikan karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural melalui olah hati, olah pikir, olah raga dan olah rasa dan karsa, pendidikan karakter diwujudkansecara peserta didik dapat dikembangkan kemampuannya untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. III. Ujian Nasional dan Pendidikan Karakter Bangsa Ujian Nasional yang disingkat dengan UN atau UNAS adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah di Indonesia dan persamaan mutu berbagai tingkatan pendidikan satu daerah dengan daerah lain. Ujian Nasional diselenggarakan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa untuk 5
mengendalikan mutu pendidikan nasional maka perlu proses evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada berbagai pihak yang terkait Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tersebut juga menyatakan bahwa evaluasi dilaksanakan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematis untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan pemantauan proses evaluasi tersebut harus dilakukan terus menerus. Pemantauan proses evaluasi dilakukan terus menerus dan berkesinambungan yang pada akhirnya dapat memperbaiki kualitas pendidikan secara menyeluruh. Pada hakekatnya peningkatan kualitas pendidikan dimulai dengan penentuan standar yang terus menerus ditingkatkan untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri. Dalam konteks ini penentuan standar adalah penentuan nilai batas (cut-off score). Peserta didik dikatakan telah lulus/kompeten bila telah melewati nilai batas batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi tertentu. Ketika itu terjadi pada ujian nasional atau sekolah maka fungsi nilai batas untuk memisahkan peserta didik yang lulus dan tidak lulus disebut batas kelulusan. Kegiatan delimitasi kelulusan disebut pengaturan standar. Manfaat pengaturan standar ujian akhir tersebut, antara lain untuk menetapkan; (i) Batas kelulusan setiap mata pelajaran sesuai dengan tuntutan kompetensi minimum; dan (ii) Standar yang sama untuk setiap mata pelajaran sebagai standar minimum pencapaian kompetensi. Ujian Nasional sebagai salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah dalam beberapa tahun ini menjadi satu masalah yang cukup ramai dibicarakan dan diwarnai dengan pro-kontra dari tahun ke tahun penyelenggaraannya. Dengan argumentasi tersendiri, di satu pihak meyakini bahwa Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan siswa masih tetap diperlukan; sementara di lain pihak menyatakan menolak Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan siswa. Masing-masing pihak tentunya memliki argumentasi tersendiri. Terlepas dari pro dan kontra mengenai Ujian Nasional, dalam diskusi ini akan diungkapkan bagaimana Ujian Nasional mengambil peran dalam rangka pelaksanaan pendidikan karakter bangsa. Mengacu kepada pendapat McNeil (1977) bahwa evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting yaitu penempatan, mastery, dan diagnosis. Penempatan berkaitan dengan pada level belajar yang mana seorang peserta didik dapat ditempatkan sehingga dapat menantang tetapi tidak frustasi. Mastery berkaitan dengan apakah peserta didik sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk menuju ke tingkat berikutnya. Diagnosis berkaitan dengan pada bagian mana yang dirasa sulit oleh peserta didik. Selain itu, perlu dipahami bahwa evaluasi pendidikan diharapkan dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, dan juga dapat meningkatkan kreativitas, kemandirian dan sikap demokratis peserta didik. Dalam konteks tersebut, pada hakekatnya pelaksanaan Ujian Nasional yang menimbulkan berbagai dampak negatif di kalangan sekolah sampai kepada kasus bunuh diri peserta didik yang tidal lulus dalam Ujian Nasional dapat dihindari jika proses pendidikan karakter bangsa di sekolah dapat diterapkan sebagaimana mestinya, sehingga 18 nilai karakter di atas dapat dikembangkan pada diri setiap peserta didik. Disadari benar bahwa pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotor untuk tujuan membentuk manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, kreatif, dsb. Walaupun semua itu mungkin tidak dapat dilihat atau terekspresikan hanya dengan penyelenggaraan Ujian Akhir, tetapi pada hakekatnya penyelanggaraan Ujian Nasional akan mendorong peserta didik untuk tumbuh menjadi manusia yang setidaknya memiliki karakter, antara lain: 6
1. Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Dalam konteks Ujian Nasional adalah tawakal yaitu berusaha secara optimal dan hasilnya serahkan kepada keputusan Tuhan YME 2. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. kaitannya dengan Ujian Nasional adalah sikap atau perilaku yang tidak mau berbuat curang (menyontek walaupun diawasi secara longgar oleh pengawas, dsb) 3. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Memulai Ujian Nasional dengan berdoa bersama sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. 4. Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan yang diterapkan dalam pelaksanaan Ujian Nasional, dan tidak ada upaya untuk melanggarnya dengan melakukan tindakan melanggar hukum (membeli soal) 5. Kerja Keras: Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Peserta didik sadar benar bahwa diakhir belajar mereka akan dihadapi dengan Ujian Nasional sebagai slah satu persyaratan kelulusannya. Oleh karena itu, peserta didik bekerja keras melalui belajar sungguh-sungguh untuk menyiapkan dirinya bukan untuk menghadapi Ujian Nasional saja tetpai dalam upaya mengembangkan potensi kognitif, psikomotor dan afektif dirinya. 6. Kreatif: Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Peserta didik kan berpikir dan menemukan cara yang tepat melalui belajar keras untuk dapat lulus dalam Ujian Nasional secara baik dan benar. 7. Mandiri: Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Peserta didik belajar bukan hanya belajar di bawah pengawasan guru atau orang tuanya saja, tetapi dengan penuh kesadaran peserta didik belajar karena mereka ingin berhasil dalam Ujian Nasional sebagai langkah awal dalam proses pengembangan diri selanjutnya. 8. Demokratis: Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Peserta didik akan berpikir demokratis untuk memenuhi kewajibannya dalam belajar tanpa perlu tertekan atau melalui tekanan dalam menghadapi Ujian Nasional 9. Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. dalam mempersiapkan dirinya dalam Ujian Nasional selalu berusaha mencari tahu secara mendalam tentang hal-hal yang terkait dengan mata pelajaran yang akan diujikan dan berupaya untuk menguasainya. 10. Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Menumbuhkan semangatnya dan kesadarannya bahwa Ujian Nasional adalah sebagai salah upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan bangsanya. 11. Cinta Tanah Air: Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Sadar benar bahwa dengan belajar sunggu-sungguh dalam melaksanakan Ujian Nasional adalah merupakan bentuk kecintaannya terhadap tanah air untuk memajukan kondisi lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa, termasuk penguasaan secara baik dan benar bahasanya. 12. Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan
7
orang lain. Kerja kerasnya dalam belajar sebagai bentuk pernghargaannya terhadap prestasi. 13. Bersahabat/Komunikatif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Kerjasama dalam belajar untuk saling membantu dengan temannya dalam menghadapi Ujian Nasional. 14. Cinta Damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. kesiapan mental peserta didik dalam menghadapi Ujian Nasional mendorong kepada sikap dan perilaku yang tidak mengacau atau menimbulkan masalah dalam lingkungan sekolahnya. 15. Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Mereka sadar benar bahwa untuk dapat berhasil dalam Ujian Nasional mereka harus banyak membaca berbagai buku atau referensi terkait dengan mata pelajaran yang akan dujikan, sehingga menumbuhkan gemar membaca pada dirinya. 16. Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Ketertiban yang tercermin dlaam pelaksanaan Ujian Nasional dapat mendorong peserta didik untuk selalu menciptakan suasana lingkungan yang kondusif dalam belajar. 17. Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Peserta didik sadar benar bahwa lulus dalam Ujian Nasional sebagai langkah awal untuk karir hidupnya yang dibutuhkan oleh masyarakatnya. 18. Tanggung-jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Mengerjakan Ujian Nasional secara baik merupakan tanggung jawabnya sebagai peserta didik yang harus diukur keberahsilannya dalam mencapai tujuan pembelajaran. Secara singkat penjelasan tersebut dapat diipahami bahwa Ujian Nasional dapat dijadikan sebagai salah satu wahana dan sekaligus tempat penerapan yang dapat dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan karakter bangsa kepada masyarakat IV. Penutup Pelaksanaan Ujian Nasional yang masih menjadi pro-kontra di masyarakat untuk terus diadakan atau dihapuskan dengan berbagai argumennya masing-masing masih dapat dipandang sebagai salah wahana untuk pengembangan karakter bangsa. Melalui proses pembelajarn yang benar di sekolah yang disertai dengan kerja keras untuk belajar dan penyadaran diri kepada peserta didik tentang makna yang benar tentang Ujian Nasional diharapkan dapat mendorong akan tumbuh sikap-sikap positif yang diwarnai oleh karakter insensial yaitu tangguh; jujur; cerdas; dan peduli. Harapannya melaui diskusi ini dapat diperoleh masukan yang membangun untuk secara benar menempatkan makna Ujian Nasional dalam mengembangkan karakter bangsa,
8
DAFTAR PUSTAKA Arieh Lewy (Editor). 1977. Handbook of Curriculum Evaluation. Paris: International Institute for Educational Planning Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional..2010. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta McNeil, John D. 1977. Curriculum A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company. Kementerian Koordinator Kesejahteran Rakyat Republik Indonesia, 2010. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa. Jakarta. Lubis Mochtar. 1997. Manusia Indonesia:Sebuah Pertanggungjawaban. Idayu Press. Jakarta Suyatno. Prof. Dr. Peran Pendidikan sebagai Modal Utama membangun Karakter Bangsa. Paparan disampaikan dalam Sarasehan Nasional “Pengembangan Budaya dan Karakter Bangsa” oleh Kopertis Wilayah 3 DKI Jakarta, 12 April 2010 Syam, Nur. 2010. Pendidikan Karakter Bangsa. Naskah Online IAIN Sunan Ampel. Tim Fasilitator PPPPTK Pertanian. Pendidikan Karakter. Bahan Sajian Diklat Penguatan Kemampuan Kepala Sekolah. Cianjur-Jawa Barat. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Winataputra, Udin Saripudin, Prof. Dr. Implementasi Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa melalui Pendidikan Karakter (Konsep, Kebijakan, dan Kerangka Programatik. Jakarta.
9
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Program Pascasarjana UNY dan Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia (HEPI) Tanggal 12 Mei 2012 Di Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta _________________________________________________________
DAMPAK UJIAN NASIONAL PADA KARAKTER BANGSA
Djemari Mardapi *)
*) Dosen UNY Anggora BSNP 1
A. Karakter Bangsa Kesejahteraan masyarakat merupakan dambaan semua warga negara dalam suatu negara. Sejahtera dalam makna kebutuhan masyarakat, yaitu meliputi kebutuhan yang bersifat materil dan yang nonmateril. Kebutuhan materil diantaranya adalah
sandang pangan,dan tempat tinggal, sedang kebutuhan nonfisik adalah
rasa aman, ingin dihargai dan dihormati, kebutuhan berkomunikasi.
Apabila kedua
kebutuhan tersebut dipenuhi, maka akan terwujud masyarakat sejahtera. Semua orang ingin hidup aman kehidupannya.
Untuk
dan tenteram, tidak ada gangguan dalam
bisa itu hidup aman dan nyaman, semua anggota
masyarakat harus memiliki karakter yang baik. Karakter
menurut Aristotle, filsof
Yunani, adalah prilaku yang berkaitan dengan orang lain dan dengan diri sendiri, dan
karakter
yang baik merupakan
pengamalan
tingkah laku yang
(Lickona, 1991:50). Tingkah laku yang baik dilihat
benar
dari sisi orang lain dan
lingkungan. Lebih lanjut Aristotle mengatakan bahwa kehidupan pada jaman modern cenderung melupakan budi pekerti termasuk orientasi diri, seperti pengendalian diri, sikap dermawan, dan rasa sosial. Jadi karakter selalu berkaitan dengan orang lain, lingkungan, dan diri sendiri. Karakter adalah seperangkat trait yang menentukan sosok seseorang sebagai individu (Kurtus, 2010). Karakter menentukan apakah sesorang dalam mencapai keinginannya
menggunakan cara yang benar
menurut lingkungannya dan
mematuhi hukum dan aturan kelompok. Jadi karakter merupakan sifat atau watak seseorang yang bisa baik dan bisa tidak baik berdasarkan penilaian lingkungannya. Karakter berkaitan dengan personaliti walau ada perbedaannya. Personaliti merupakan trait bawaan sejak lahir, sedang karakter merupakan prilaku hasil pembelajaran. Sesorang lahir dengan trait personaliti tertentu,
ada yang pemalu
dan ada yang terbuka dan mudah bicara. Klasifikasi lain adalah apakah sesorang beroritentasi pada tugas atau senang kegiatan sosial. Hal ini yang menjadikan 2
sesorang memiliki sifat ingin menguasai, ingin mempengaruhi, personaliti stabil atau patuh. Karakter pada dasarnya diperoleh melalui interaksi dengan pendidik, dan lingkungan. Karakter
teman, orang tua,
diperoleh dari hasil pembelajaran secara
langsung atau pengamatan terhadap prilaku orang lain. Pembelajaran langsung bisa berupa ceramah dan diskusi tentang karakter, sedang pengamatan diperoleh melalui pengalaman sehari-hari apa yang dilihat di lingkungan, termasuk media televisi. Karakter berkaitan dengan sikap dan nilai. Sikap merupakan predisposisi terhadap suatu objek atau gejala, yaitu positif atau negatif. Nilai berkaitan dengan baik dan buruk yang berkaitan dengan keyakinan individu. Jadi karakter seseorang dibentuk melalui pengalaman sehari-hari, apa yang dilihat dan apa yang didengar terutama dari seseorang yang menjadi acuan atau idola seseorang. Karakter merupakan hal yang penting dalam bidang pendidikan. Melalui pengalaman belajar, karakter peserta didik dibentuk. Pengalaman belajar merupakan interaksi antara peserta didik dengan sumber belajar, baik yang terprogram maupun yang tidak, termasuk interaksi dengan lingkungannya.
Pendidikan karakter sering
digunakan untuk menyatakan seberapa baik seseorang. Atau dengan kata lain seseorang yang menampilkan kualitas personal yang cocok dengan yang diinginkan masyarakat bisa dinyatakan memiliki karakter yang baik. Etika merupakan bagian dari karakter seseorang. Etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika, yaitu studi konsep etika, etika normatif, yaitu studi penentuan nilai etika, dan etika terapan, yaitu studi penggunaan nilai-nilai etika. Etika berkaitan dengan moral. Pengertian yang sederhana, moral adalah tindakan yang dapat dikategorikan benar atau salah, sedang etika adalah standar atau kriteria untuk menyatakan benar atau salah. Hal ini selalu berkaitan dengan keyakinan dan kebiasaan seseorang. Namun sering terjadi keyakinan tidak menjadi 3
kebiasaan. Seseorang yakin kalau tertib itu akan membuat kita nyaman, namun karena sudah menjadi kebiasaan, kenyamanan sering hanya untuk diri sendiri tanpa memperhatikan orang lain. Oleh karena itu perlu diajarkan termasuk memberi contoh bagaimana keyakinan akan mencerminkan prilaku sehari-hari. Kebiasaan ini berkaitan dengan kultur masyarakat yang merupakan perpaduan dari berbagai kultur. Kultur ini yang membangun kebiasaan, yang dikenal dengan istilah “pembiasaan” dalam pembelajaran. Pembisaan
tidak cukup dengan
pembelajaran untuk memahami saja, tetapi lebih jauh lagi adalah untuk membangun kebiasaan, yaitu
dengan menerapkan
kultur positif.
Kultur positif adalah
kebiasaan mengikuti norma yang telah disepakati bersama yang berupa peraturan dalam Karakter rentangannya
bangsa
Indonesia
dibentuk
oleh
karakter
masyarakat
cukup luas, sesuai dengan keadaan geografi.
yang
Karakter bangsa
Indonesia berakar pada filsafat kehidupan masyarakat, yaitu pancasila. Duijker dan Frijda (1960) mengidentifikasi 6 (enam) difinisii seperangkat trait psikologi,
karakter bangsa, yaitu: (1)
(2) prilaku individu dalam masyarakat, (3)
sistem
conduct masyarakat, (4) struktur dasar personaliti masyarakat, (5) norma dan nilai yang dipelajari dan diwarisi, (6) seni dan filosofi yang berfungsi sebagi semangat nasional.. Karakter bangsa Indonesia berakar pada lima
sila dalam pancasila., dna
demikian pentingya selalu dikrarkan setiap upacara hari besar nasional. pentingnya
karakter
bangsa
ini,
sehinga
pemerintah
melalui
Demikian Kemdikbud
mempriotaskan pendidikan karakter pada semua janjang dan satuan pendidikan. Karakter bangsa ini merupakan fundamen negara dalam membangun masyarakat sejahtera lahir dan batin.
B. Ujian Nasional Ujian akhir yang bersifat nasional dimulai sejak tahun 1950
yang dikenal
dengan istilah ujian penghabisan. Soal ujian dirakit di kantor Direktorat di Jakarta, dan dikirim ke semua kota yang memiliki SMA/SMP (Benny Suparapto, 2000). Pada 4
akhir tahun 1969 Ujian Negara diselenggarakan pada tingkat provinsi. Belajar Tahap Akhir
Evaluasi
(EBTA) mulai dilaksanakan di sekolah-sekolah percobaan,
yaitu di IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, dan IKIP Malang dengan ketentuan bahwa ijazah
yang dikeluarkan dihargai sama dengan
ijazah negara. Pada tahun 1970, ujian negara diselenggarakan pada tingkat kebupaten, sementara EBTA diteruskan dan diperluas ke IKIP lainnya. Untuk melaksanakan saran bahwa guru yang paling tahu tentang kemampuan siswa dan “Ujian Penghabisan” hanya merupakan potret sesaat dan tidak mencerminkan kemampuan siswa selama belajar di SMP atau SMA, maka pada tahun 1971 semua ujian untuk semua tingkat dan jenis sekolah dilakukan sekolah masing-masing. Ketetapan ini tertuang dalam kurikulum SMP/SMA tahun 1975. Kebebasan ini
mendorong sekolah meluluskan semua siswanya. Hasilnya adalah
nilai yang didapat dari satu sekolah tidak bisa dibandingkan dengan sekolah lain karena soal yang digunakan berbeda dan kemungkinan cara penilaiannya juga berbeda. Akibatnya siswa yang berasal dari sekolah yang kurang baik tidak bisa bersaing untuk masuk ke sekolah yang baik, walau memperoleh nilai yang sama dari hasil ujian akhir. Jadi usaha peningkatan mutu dengan memberi wewenang penuh pada sekolah dalam menyelenggarakan ujian akhir tidak tecapai, karena nilai yang diperoleh sebagian siswa tidak menunjukkan kemampuan yang sebenarnya. Dalam kurikulum 1975, evaluasi hasil belajar dilakukan secara berkelanjutan. Ada
evaluasi formatif dan evaluasi sumatif pada tiap akhir semester. Evaluasi
sumatif pada semester 6 disebut dengan Evaluasi Tahap Akhir (EBTA). Pada sistem EBTA, setiap provinsi dan kabupaten menyusun dan menyelenggarakan sendiri ujian untuk sekolah-sekolah di wilayahnya serta menerbitkan lulusannya.
Kesemuanya
itu
menjadi
wewenang
ijazah untuk siswa
masing-masing
sekolah
menetapkan kelulusan. Pada sistem ini, ada sekolah yang “mempermudah” kelulusan dan ada sekolah yang “mempersukar” kelulusan. Akibatnya rentang mutu pendidikan dari satu sekolah ke sekolah yang lain menjadi sangat lebar.
5
Acuan norma juga pernah digunakan pada kurikulum 1975 dalam menentukan kelulusan siswa. Penggunaan acuan norma ini juga menuai protes, karena dengan menggunakan distribusi normal tentu tiap sekolah ada yang lulus dan ada yang tidak lulus, walau pada sekolah yang baik. Menurut asesmen guru siswa lulus tetapi setelah nilainya dikonversi ke distribusi normal siswa menjadi tidak lulus. Selanjutnya untuk memperbaiki sitem evaluasi, evaluasi sumatif yang dikenal dengan EBTA diganti dengan EBTA yang menggunakan satu acuan nasional, yang selanjutnya diberi nama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Pada EBTANAS kelulusan siswa ditentukan oleh
hasil evaluasi sekolah pada
semester 5 (P) dan pada semester 6 (Q), dan hasil EBTANAS (R). Kelulusan siswa ditentutkan nilai yang diperoleh dengan menggunakan formula: (P + Q + nR)/(2 + n). Harapan penggunaan formula ini adalah nilai n yang semakin lama semakin besar. Evaluasi pelaksanaan EBTANAS (Djemari dkk, 1999) menyimpulkan ada sejumlah sekolah menentukan nilai n tetap kecil dan cukup banyak sekolah yang menentukan nilai n setelah diperoleh hasil EBTANAS, dengan harapan agar banyak atau semua siswa lulus. Tujuan penyelenggaran EBTANAS untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan meningkatkan nilai n dari tahun ke tahun tidak tercapai. Sejauh ini hasil Ebtanas belum dapat meningkatkan mutu pendidikan. Dalam lima tahun terakhir hasil NEM SLTP dan SMU menunjukkan angka yang fluktuatif, dengan rata-rata NEM bergerak antara 4,00 sampai 6,00, kecuali mata pelajaran PPKN dan bahasa Indonesia (Depdikbud, 1998) Inipun karena pada saat itu ada ketentuan bahwa syarat lulus adalah nilai PPKN dan bahasa Indonesia minimal 6,00. Informasi ini menunjukkan bahwa
penyelenggaraan Ebtanas belum memberi
kontribusi yang berarti untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Selanjutnya mulai tahun 2001, EBTANAS berkembang menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Pada UAN ada sepuluh mata pelajaran yang diujikan, tiga mata pelajaran disusun oleh pusat asesmen pendidikan pelajaran disusun oleh sekolah atau daerah.
dan sisanya 7 tujuh mata
Hasil evaluasi terhadap dampak UAN
(Djemari dkk, 2004) menyimpulkan bahwa dampak positif UAN adalah sekolah 6
berusaha meningkatkan kualitas
pembelajaran, semangat guru mengajar dan
semangat siswa belajar meningkat, perhatian orang tua terhadap belajar anaknya meningkat. Dampak negatifnya adalah tingkat kecemasan guru dan siswa meningkat.
Kecemasan dalam batas tertentu diperlukan untuk pendorong siswa
belajar lebih baik, tetapi kalau terlalu tinggi bisa menjadi stress. Selanjutnya pada tahun 2005, sesuai dengan PP 19 tahun 2005, istilah UAN berkembang menjadi ujian nasional (UN), yang penyelenggaraannya diserahkan ke badan independen. . Berdasarkan Peraturan Pemerintah tahun 2003 tentang
Stnadar Nasional
Pendidikan hasil ujian nasional digunakan untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya. Penggunaan nilai Ebtanas murni
untuk seleksi masuk ke perguruan
tinggi belum didukung oleh hasil penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Masoem (1997) tentang NEM dan nilai UMPTN menyimpulkan bahwa: 1) peserta ujian yang memperoleh nilai UMPTN tinggi pasti memiliki NEM yang
tinggi, tetapi tidak
sebaliknya, 2) mereka yang memperoleh NEM rendah, juga akan memiliki nilai UMPTN yang rendah, tetapi tidak sebaliknya. Hasil penelitian ini menunjukkan konsistensi antara NEM dan nilai UMPTN belum stabil, sehingga hal ini kemungkinan yang menjadi salah satu pertimbangan NEM SMU belum digunakan untuk seleksi masuk ke perguruan tinggi negeri. Untuk itu perlu ditingkatkan kredibilitas ujian nasional, proses dan hasilnya. Untuk meningkatkan krebilitas ujian nasional, mulai tahun 2009,
Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bekerja sama dengan perguruan tinggi negeri melalui Majelis Rektor
untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ujian
nasional (UN) di daerahnya masing-masing, khsusnya untuk UN SMA/MA. . Berdaarkan
masukan dari legislatif dan masyarakat kriteria kelulusan ujian
nasional untuk tahuan peljaran 2010/2011 dan untuk tahun ini juga sama. Sekolah melaksanakan ujian sekolah yang soalnya dibuat oleh sekolah. Hasil ujian sekolah digabung dengan nilai rata-rata rapor dengan bobot: nilai ujian sekolah 60 % dan nilai rata-rata rapor 40 %. Nilai gabungan ini selanjutnya disebut dengan nilai sekolah (NS). Selanjutnya nilai sekolah digabung dengan niali ujian nasional menjdi nilai akhir (NA) dengan formula: 60 % nilai UN dan 40 % nilai sekolah. Peserta didik 7
dinyatakan lulus dari ujian nasional bila memiliki rata-rata nilai akhir palign rendah 5,0 dan nilai pada tiap mata pelajaran paling rendah 4,0. Kriteria kelulusan ini tampak disambut baik oleh masyarakat. Kriteria ini tidak menimbulkan kecemasan yang tinggi pada pendidik dan orang tua
karena adanya nilai sekolah yang digabung
untuk menentukan kelulusan dari ujian nasional. Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan tetap ditentukan oleh sekolah melalui rapat dewan guru.
Kelulusan
peserta didik dari ujian nasional pada tahun pelajaran 2011/2011 mencapai 99,45 %, sehingga sebenarnya peserta didik tidak perlu khawatir tidak lulus dari ujian nasional. Hasil evaluasi terhadap pelaksanaan ujian nasional, yang menekankan pada kejujuran, tampaknya sudah ada perubahan, namun belum seperti yang diharapkan. Fakta kejujuran yang telah ditandatangani semua kepada dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota belum dilaksanakan sepenuhnya oleh semua sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menekankan
kejujuran dan baru prestasi dalam
melaksanakan ujian nasional, sehingga hasilnya akan kredibel. Semua daerah ingin kelulusan dan prestasi yang dicapai sekolah meningkat, namun cara yang ditempuh bermacam-macam, ada
yang positif
mendorong sekolah untuk mencapainya
dengan jujur, namun ada pula yang tidak. C. Dampak Ujian Nasional pada Karakter bangsa Kejujuran merupakan prinsip dari Kemdikbud dan BSNP dalam melaksanakan ujian nasional. Kejujuran merupakan karakter bangsa yang harus
dibangun.
Pembanguan karakter tidak seperti belajar ranah kognitif, karena melalui proses yang panjang dan berkelanjutan, dan harus dilaksanakan secara sinergi sekolah, orang tua, dan masyarakat. Hasil evaluasi
dampak positif
terhadap UN adalah
motivasi belajar dan mengajar meningkat, perhatian orang tua terhadap belajar anaknya meningkat. Dampak negatif adalah kecemasan meningkat, namun setelah ada prubahan kriteria kelulusan sejak tahun pelajaran 2010/2011, tingkat kecemasan guru, orang tua, dan siswa menurun. Kecemasan dalam batas tertentu diperlukan agar peserta didik belajar.
8
Ujian nasional
dapat membangun semangat kebersamaan melalui kerja
kelompok. Apabila guru sering memberi tugas kelompok, maka peserta didik akan terbiasa
belajar
kebersamaan.
secara
kelompok.,
sehingga
dapat
dibangun
semangat
Ujian nasional dengan menggunakan materi ujian dan kriteria
kelulusan yang sama
merupakan realisasi
dari pilar pembangunan bangsa,
yaitu Negara Kesatuan Repubik Indonesia. Lulus di manapun akan diperlakukan sama, tidak membedakan antar wilayah. Lulus UN di Papua sama dengan lulus UN di Sumatrea, dan sama dengan lulus UN di Jawa, sehingga peserta didik dapat melanjutkan studi lintas provinsi dan lintas pulau. Dengan demikian semua akan merasa satu, yaitu pelajar Indonesia. Ujian nasional juga akan menurunkan angka perkelahian antar siswa. Sekolah dalam melakukan persiapan menghadapi UN memberi pelajaran tambahan, melakukan uji coba UN, sehingga guru sibuk mengajar dan peserta didik
sibuk
belajar. Energi peserta didik sudah banyak digunakan belajar dalam menghadapi UN, sehingga energi untuk
kegiatan yang negatif menjadi berkurang.
Pelaksanaan UN bisa digunakan untuk mengetahui satuan pendidikan yang jujur dan yang tidak. Apabila tidak jujur sudah menjadi kebiasaan, ujian nasional tidak bisa mengubah yang tidak jujur menjadi jujur. Melalui analisis respon jawaban peserta didik pada LJUN akan terdeteksi mana yang jujur dan mana yang tidak, yaitu level sekolah dan levvel kelas. . Semangat kejuruan akan meningkat apabila
pimpinan daerah, Kepala Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan, kepaala sekolah, guru, siswa,
orang tua, dan
masyarakat secara sinergis berikrar dan mengamalkan dalam melaksanakan ujian nasional. Kejujuran dalam melaksanakan ujian nasional merupakan indikasi percaya diri dari para guru, orang tua, dan peserta didik. Kunci keberhasilan belajar adalah belajar dan berdoa. Untuk itu teori Skinner tentang penguatan yang positif akan mambantu rasa percaya diri bahwa ia memiliki kemampuan mengerjakan soal UN. dengan benar, yaitu melampaui batas kreteria minimum kelulusan.
9
Bahan Bacaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Laporan hasil evaluasi pelaksanaan program Direktorat Jendral pendidikan dasar dan menengah tahun 1994/1995 s.d 1997/1998. Djemari Mardapi
& Totok Kuwato,
(1998). Pengembangan sistem ujian
berkesinambung di SMU. Penelitian kerja sama UGM dan Dikmenum Jakarta. Djemari Mardapi dkk. (1998). Survei kegiatan guru dalam melakukan penilaian di kelas. Penelitian kerja sama antara Lemlit IKIP Yoyakarta dan Balitbang Depdikbud, Jakarta. Djemari Mardapi,., dkk. (1999). Evaluasi penyelenggaraan ebtanas. Penelitian kerja sama Lemlit IKIP Yoyakarta dan Balitbang Dikbud, Jakarta. Greaney, V, and
Kellaghan, T. (2008). National assessments of educational
achievement:
Assessing
National
Achievement
Levels
in
Education.
Washington, DC: The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank. Jordan Anne., Carlile, Orison., & Stack Annetta. (2009). Approaches for learning.: A guide for teachers. London: Mc Graw Hill Kellaghan, T., and V. Greaney. (2001). Using assessment to improve the quality of education. Paris: International Institute for Educational Planning. .
10
DAMPAK UJIAN NASIONAL DAMPAK UJIAN NASIONAL PADA KARAKTER BANGSA Hari Setiadi, Ph.D. Kepala Pusat Penilaian Pendidikan
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SISTEM PENILAIAN NASIONAL SD/MI/Paket A
SMP/MTs/ Paket B
123 45 6 789 Penilaian Kelas
TKD
SMA/MA/SMK/ Paket C
1 1 1 0 1 2
Penilaian Kelas
SELEKSI HASIL UN
UN
SELEKSI PT SELEKSI PT S U R V E Y/AKREDITASI
Ujian Nasional • Ujian Nasional adalah penilaian hasil belajar oleh pemerintah yang bertujuan pencapaian p kompetensi p untuk menilai p lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok ilmu pengetahuan t h dan d tteknologi k l i “ Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan kelulusan dari satuan pendidikan” pendidikan Mulai UN tahun 2010/2011 formula kelulusan UN memperhitungkan nilai sekolah dengan rumus: NA= 0,4 NS+ 0,6 UN
KAITAN UN DENGAN DOMAIN PENDIDIKAN KARAKTER KAITAN UN DENGAN DOMAIN PENDIDIKAN KARAKTER Domain pendidikan karakter: • Siswa harus cerdas dengan cara giat belajar (olah pikir) • Siswa, guru, pengelola Siswa, guru, pengelola pendidikan, orang tua harus melaksanakan UN dengan jujur dan b t bertanggung jawab j b (olah hati) • Siswa harus selalu sehat dan fit agar konsentrasi g saat UN (olah raga) • Siswa harus peduli terhadap siswa dalam dalam mempersiapkan dalam mempersiapkan UN (olah rasa dan karsa)
OLAH HATI:
OLAH PIKIR: OLAH PIKIR:
Jujur Bertang‐gung jawab
Cerdas
Perilaku Berkarakter
OLAH RAGA: Sehat dan Bersih
OLAH RASA DAN KARSA: Peduli Kreatif
Hasil UN digunakan sebagai salah satu penentu kelulusan dari satuan pendidikan mengakibatkan adanya siswa, guru, g y ,g , pengelola pendidikan melakukan perbuatan yang berlawanan dengan perbuatan yang berlawanan dengan pendidikan karakter.
Nilai‐Nilai yang Berkaitan: NILAI
DESKRIPSI SIKAP AJARAN
1. RELIGIUS
DAN PERILAKU YANG PATUH DALAM MELAKSANAKAN AGAMA
YANG
DIANUTNYA,
TOLERAN
TERHADAP
PELAKSANAAN IBADAH AGAMA LAIN, SERTA HIDUP RUKUN DENGAN PEMELUK AGAMA LAIN
(- TIDAK KUAT IMANNYA,
MISAL TIDAK BISA MENOLAK TERHADAP PEMBERIAN KUNCI JAWABAN YANG BEREDAR)
PERILAKU
YANG
DIDASARKAN
PADA
UPAYA
MENJADIKAN
DIRINYA SEBAGAI ORANG YANG SELALU DAPAT DIPERCAYA
2. JUJUR
DALAM
PERKATAAN,
MENYONTEK)
TINDAKAN,
DAN
PEKERJAAN
(-
SIKAP DAN TINDAKAN YANG MENGHARGAI PERBEDAAN AGAMA, SUKU, ETNIS, PENDAPAT, SIKAP DAN TINDAKAN ORANG LAIN
3. TOLERANSI
YANG BERBEDA DARI DIRINYA
( MEMBERI KUNCI) (TINDAKAN
YANG MENUNJUKKAN PERILAKU TERTIB DAN PATUH
PADA BERBAGAI KETENTUAN DAN PERATURAN
4. DISIPLIN
(- TIDAK BELAJAR TERATUR) 6
Lanjutan… NILAI
DESKRIPSI PERILAKU YANG MENUNJUKKAN UPAYA SUNGGUH-
5. KERJA KERAS
SUNGGUH DALAM MENGATASI BERBAGAI HABATAN BELAJAR DAN TUGAS SERTA MENYELESAIKAN TUGAS DENGAN SEBAIK-BAIKNYA
(- MALAS BELAJAR) BERPIKIR DAN MELAKUKAN
6. KREATIF
7. MANDIRI
SESUATU UNTUK MENGHASILKAN CARA ATAU HASIL BARU DARI APA YANG TELAH DIMILIKI
(- TIDAK KREATIF MENCARI SUMBER BELAJAR, MISAL KISI-KISI UN) SIKAP DAN PRILAKU YANG TIDAK MUDAH TERGANTUNG PADA ORANG LAIN DALAM MENYELESAIKAN TUGASTUGAS
(- PERCAYA PADA KUNCI YANG BEREDAR)
8. RASA INGIN TAHU
SIKAP DAN TINDAKAN YANG SELALU BERUPAYA UNTUK MENGETAHUI LEBIH MENDALAM DAN MELUAS DARI APA YANG DIPELAJARINYA, DILIHAT, DAN DIDENGAR
(- MENCARI BOCORAN SOAL DAN KUNCI JAWABAN KARENA TIDAK KUAT IMANNYA DAN TIDAK PERCAYA 7 DIRI)
Lanjutan… NILAI 10. SEMANGAT KEBANGSAAN
DESKRIPSI CARA BERPIKIR, BERTINDAK, DAN WAWASAN YANG MENEMPATKAN KEPENTINGAN BANGSA DAN NEGARA DI ATAS KEPENTINGAN DIRI DAN KELOMPOKNYA (- TIDAK SADAR BAHWA UN
SEBAGAI PEREKAT BANGSA)
SIKAP DAN TINDAKAN YANG MENDORONG 11. MENGHARGAI DIRINYA UNTUK MENGHASILKAN SESUATU YANG BERGUNA BAGI MASYARAKAT, DAN MENGAKUI PRESTASI DAN MENGHORMATI KEBERHASILAN ORANG LAIN (- TIDAK BERUSAHA DENGAN GIGIH) KEBIASAAN MENYEDIAKAN WAKTU UNTUK MEMBACA BERBAGAI BACAAN YANG 12 GEMAR 12. MEMBACA
MEMBERIKAN KEBAJIKAN BAGI DIRINYA
(- MALAS MEMBACA)
8
ADANYA UN BERDAMPAK POSITIF PADA KARAKTER BANGSA
• Religius: Religius: • Berdoa sebelum dan sesudah ujian (Istigosah) • Menjalankan ajaran keagamaan dalam M j l k j k d l menghadapi UN • Tawakal terhadap hasil UN k l h d h l • Jujur: • Melaporkan setiap indikasi ketidakjujuran dalam UN • Tidak menyontek dan tidak berbuat curang dalam ujian • Tidak membawa fasilitas komunikasi pada saat ujian. • Menyalin tulisan mengerjakan soal UN dengan jujur • Memiliki motto “Prestasi yes. Jujur harus!
DAMPAK UN PADA KARAKTER BANGSA
• Disiplin : • Hadir tepat waktu p • Mematuhi seluruh POS UN • Mengikuti seluruh kegiatan dalam persiapan UN Mengikuti seluruh kegiatan dalam persiapan UN
• Kerja Keras j : •Menyukai suasana kompetisi yang sehat. •Belajar dengan kerja keras, pantang menyerah, dan B l j d k j k h d daya tahan belajar
DAMPAK UN PADA KARAKTER BANGSA
• Kreatif Kreatif : : • Mencari terobosan‐terobosan belajar yang aktif kreatif inovatif efektif dan aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan menyenangkan • Mandiri Mandiri : • Tidak mempercayai kunci jawaban yang beredar • Tidak tergantung pada orang lain dalam lain dalam mengerjaan soal UN
• Rasa Rasa Ingin Tahu: Ingin Tahu: • Gemar mencari informasi yang berkaitan d dengan UN dari media cetak dan elektronik d d kd l k k serta sumber lainnya
DAMPAK UN PADA KARAKTER BANGSA • Semangat Kebangsaan: Kebangsaan: • Mengikuti UN • Bangga karena semua siswa yang berbeda‐beda suku, Bangga karena semua siswa yang berbeda beda suku etnis, agama, satus sosial‐ekonomi mengikuti UN • Bangga karena dalam ijazah terdapat lambang burung Bangga karena dalam ijazah terdapat lambang burung Garuda sebagai simbol nasionalisme dan kebangsaan • Menghargai Prestasi: • SKHUN dan izajah sebagai tanda menghargai prestasi peserta UN • Siswa yang berprestasi dalam UN bisa menlanjutkan ke jenjang pendikan lanjut yang l k k dk l bermutu
DAMPAK UN PADA KARAKTER BANGSA
• Gemar Membaca: • Sering kunjungan perpustakaan g j g p p • Saling tukar bacaan. • Tanggung jawab: • Bertanggung jawab terhadap hasil UN dan B t j b t h d h il UN d tidak menyalahkan orang lain
KESIMPULAN ‐ Beberapa dampak UN yang positif terhadap karakter Beberapa dampak UN yang positif terhadap karakter bangsa sudah terlihat dan dilakukan oleh stakeholder p pendidikan (siswa, orangtua, pendidik, pengelola ( , g ,p ,p g pendidikan), tetapi ada pula yang belum terlihat atau bahkan berlawanan dengan karakter bangsa yang diinginkan. ‐ Dampak UN yang negatif yang berlawanan dengan karakter bangsa harus dihindari dan dicari pemecahan karakter bangsa harus dihindari dan dicari pemecahan solusinya. ‐ UN dapat menjadi sarana untuk mengevaluasi UN dapat menjadi sarana untuk mengevaluasi impelementasi pendidikan karakter, bukan berarti UN‐nya harus dihapus.
TERIMAKASIH
Oleh Sudarwan Danim Mewakili Kepala Badan Pengembangan SDMPK dan PMP Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
5 y 1. Pasal 50 ayat (2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional p pendidikan untuk menjamin mutu j pendidikan nasional. 2. Pasal 61 ayat (2) ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang d se e gga a a o e satua pe d d a ya g diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
1. Pasal 66 ayat (1) Penilaian hasil belajar bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran IPTEK t l j IPTEK dan dilakukan dalam bentuk d dil k k d l b t k ujian nasional. 2 Pasal 66 ayat (2) UN dilakukan secara obyektif, 2. Pasal 66 ayat (2) UN dilakukan secara obyektif berkeadilan, dan akuntabel. 3 Pasal 66 ayat (3) 3. Pasal 66 UN diadakan sekurang‐ kurangnya satu kali dan sebanyak‐banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran. p j
1. Ir Soekarno (Presiden RI pertama)
menegaskan pentingnya membangun k i b jati diri dan karakter bangsa atau nation and character building. and character building 2. Ki Hadjar Dewantara: pendidikan merupakan da a upa a untuk merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin karakter) pikiran (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh anak untuk hidup anak anak Indonesia di masa anak‐anak Indonesia di masa mendatang”.
Siswa harus mengikuti seluruh program
sekolah Memiliki budi pekerti dan ahlak yang b ik baik Lulus ujian sekolah Lulus ujian nasional .
Kesadaran sosial
Sadar hukum Pencerahan khalayak
Mengadaptasi lingkungan
Tradisi hidup bersih dan sehat
Masyarakat Plural Masa Depan
Kehormatan bangsa
Karakter dan rasa percaya diri
Potensi kepemimpinan p p warga belajar
Bebas berekspresi Pengembangan b k l j t berkelanjutan
BASIS KARAKTER ABAD XXI BASIS KARAKTER ABAD XXI Kepemimpinan pribadi, gg gj tanggungjawab personal, dan keterampilan personal.
Etika, determinasi, akuntabilitas, k bili karakter, moralitas, literasi kewargaan, dll dll.
Tanggungjawab sosial, adaptabilitas, dan produktivitas personal.
Alur Pikir Pembangunan Karakter Bangsa PERMASALAHAN BANGSA DAN NEGARA
BANGSA BERKARAKTER
1. Disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila. 2. Keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai nilai nilai Pancasila. 3. Bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 4. Memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa. 5. Ancaman disintegrasi bangsa 6. Melemahnya kemandirian bangsa.
Tangguh, T h kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, b bergotong royong, patriotik, dinamis, berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkan Pancasila dan l d dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (UU RI No 17
LINGKUNGAN STRATEGIS
POLHUKAM, KESRA, PEREKONOMIAN
Pembagunan Karakter Bangsa
STRATEGI: 1.Sosialisasi/ Penyadaran 2.Pendidikan 3.Pemberdayaan 4.Pembudayaan 5.Kerjasama
Global, Global Regional, Nasional Sudarwan Danim
+
R A N:
Dari Beberapa Sumber
BANGSA YANG MERDEKA MERDEKA, BERSATU, BERDAULAT, ADIL DAN MAKMUR
Tahun 2007 Tentang RPJPN 2005‐2025) KONSENSUS NASIONAL 1. PANCASILA 2 UUD 45 2. 3. Bhineka Tunggal Ika 4. NKRI 8
Tujuan, Fungsi, Ruang Lingkup FUNGSI:
TUJUAN: Mengembangkan karakter peserta didik agar mampu mewujudkan j nilai‐nilai luhur Pancasila
• Pengembangkan potensi dasar, agar “berhati baik, berpikiran baik & berperilaku baik”. • Pebaikan thd perilaku yg kurang baik dan penguatan perilaku yg sudah baik. • Penyaring budaya yg kurang sesuai dg nilai‐nilai luhur Pancasila. RUANG LINGKUP SASARAN
Satuan Pendidikan, Keluarga, dan Masyarakat Pendidikan Keluarga dan Masyarakat Sudarwan Danim
Dari Beberapa Sumber
9
9
Tanpa Daya Adaptabilitas, Magaraksasa Dinosaurus pun Punah Sudarwan Danim
Dari Beberapa Sumber
10
Komodo Justeru Bisa Bertahan, Bertarung dengan Alam Liar Sudarwan Danim
Dari Beberapa Sumber
11
Komodo di objek rekreasi, sangat tergantung penyediaan makan dari wisatawan. Tenaganya lembek, usia relatif pendek, kurang berkembang biak, biak dan banyak tidur. tidur Sudarwan Danim
Dari Beberapa Sumber
12
PENDIDIKAN BERMUTU
Pendidikan Bermutu dan Berkarakter: Penghargaan atas HAM, Meristokrasi, Intelektual, Integritas Kepercayaan‐diri Integritas, Kepercayaan‐diri, Kedewasaan, Mentalitas‐ berkelimpahan (abundance mentality), Kegigihan, Semangat memperbarui diri, dan semangat untuk mencapai yyang terbaik. g
PENDIDIKAN KARAKTER
Sudarwan Danim
Dari Beberapa Sumber
@Sudarwan Danim
13
cerdas, kritis, kreatif, inovatif, f, f, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif
OLAH PIKIR
OLAH HATI
jujur, beriman dan bertakwa, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela pantang menyerah rela berkorban, dan berjiwa patriotik
Perilaku Berkarakter
tangguh, bersih dan sehat, disiplin, sportif, andal, berdaya tahan berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih Sudarwan Danim
OLAH RAGA
OLAH RASA/ KARSA
NILAI‐NILAI LUHUR Dari Beberapa Sumber
peduli, ramah, santun, rapi, nyaman, saling menghargai, toleran, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit , kosmopolit , mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan b h bahasa dan produk d d k Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja 14
Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Satuan Pendidikan Integrasi ke dalam KBM pada setiap Mapel
BUDAYA SEKOLAH: (KEGIATAN/KEHIDUPAN KESEHARIAN DI SATUAN PENDIDIKAN)
Pembiasaan dalam kehidupan keseharian di satuan pendidikan
KEGIATAN EKSTRA KURIKULER
Integrasi ke dalam kegiatan Ektrakurikuler : Pramuka, Olahraga, Karya Tulis, Dsb.
Sudarwan Danim
Dari Beberapa Sumber
KEGIATAN KESEHARIAN DI RUMAH DAN MASYARAKAT
Penerapan pembiasaan kehidupan keseharian di rumah yang sama dengan di satuan pendidikan
15
g g Mengembangkan potensi siswa: UN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA
moral, sikap yang baik santun baik, santun, berperilaku positif, sehat, kritis sukses kritis, sukses, berkepribadian, memiliki jatidiri, d b i t it dan berintegritas
Diterima secara sosial
@Sudarwan Danim Sudarwan Danim
Dari Beberapa Sumber
16
Kelas , 10,00 8,00-9,99 6 00-77,99 6,00 99 5,00-5,99 0 00 4 99 0,00-4,99
Kualifikasi Unggul gg Sangat Baik Baik Cukup Tid k cukup Tidak k
Kelas Unggul B Besar Baik Diterima Lemah
Persentase 90-100 80 89 80-89 70-79 60-69 0 59 0-59
Sudarwan Danim HP: 0811731087 e‐Mail: dansudarwan @yahoo.com il d d h
Evaluasi Efektivitas Unit Produksi Jasa dalam Mempersiapkan Kompetensi Kerja Siswa dan Dampaknya Bagi SMK Oleh: Adi Sutopo Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana implementasi UPJ di SMK DIY, yaitu dalam hal: 1). keefektifan kegiatan belajar mengajar; 2). peningkatan kemampuan kompetensi kerja siswa; 3).peningkatan nilai tambah komponen input di SMK; 4) pemanfaatan faktor pendukung dan mengatasi faktor penghambat dalam pelaksanaan dan pengembangan UPJ; dan 5). dampak UPJ bagi SMK. Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi yang meliputi effort evaluation, process evaluation and treatment specification aproach (Patton, 1978: 164). Model evaluasi menggunakan gabungan model CIPP dan model Logic, sehingga menjadi model evaluasi CIPP-Logic. Pendekatan penelitian menggunakan mixed method designs dengan concurrent triangulation Designs. Populasi penelitian adalah SMK rumpun teknologi di DIY. Penentuan sampel dengan purposive sampling technique terdiri atas empat SMK RSBI-SBI, meliputi SMKN II Jetis Yogyakarta, SMKN II Depok Sleman, SMKN II Pengasih dan SMKN II Wonosari. Subjek penelitian adalah kepala sekolah bidang kurikulum dan humas, ketua program keahlian, kepala UPJ, guru, teknisi, dan siswa. Pengumpulan data kuantitatif dengan kuesioner, sedangkan data kualitatif dengan wawancara mendalam, observasi mendalam dan dokumentasi dengan kerangka monitoring dan evaluasi diagnostik. Analisis data secara kuantitatif menggunakan analisis deskriptif, sedangkan analisis kualitatif menggunakan model Miles dan Huberman yaitu data reduction, data display dan conclusion drawing/verification. Kombinasi analisis kualitatif dan kuantitatif dengan logical framework analysis (LFA). Hasil penelitian ini adalah: 1). Program keahlian di SMK yang memiliki UPJ aktif ada 13 (48,1 %) dari 27 program keahlian. 2). Sebanyak 13 UPJ aktif terdiri dari: (a) UPJ mampu menjadi sarana pembelajaran dan memberi dukungan dana operasional sekolah ada 2 UPJ (15,4%), (b) UPJ belum mampu menjadi sarana pembelajaran, namun mampu memberi dukungan operasional sekolah ada 5 UPJ (38,5%), dan (c) UPJ belum mampu ke dua-duanya tetapi masih aktif ada 6 UPJ (46,1%). 3). UPJ yang efektif telah menjadi sarana pembelajaran ideal sesuai filosofi pragmatisme, teori situated cognition, dan experiential learning. 4). Menghasilkan barang/jasa dengan konstruksi dan bahan lebih berkualitas, harga lebih murah, namun penampilan belum sebaik produk industri. 5). Dampak UPJ yaitu: (a) memberikan sumbangan operasional sekolah, (b) menambah kesejahteraan warga sekolah; (c) terjalin hubungan kerjasama dengan industri. 6) Bentuk kepercayaan industri dan masyarakat adalah: (a) membantu pelaksanaan produksi jasa ; (b) memanfaatkan hasil produk dan jasa; (c) memfungsikan sebagai tempat pelatihan keterampilan; dan (4) mempercayakan penyelenggaraan tes penerimaan tenaga kerja perusahaan. Kata kunci: unit produksi jasa, kemampuan kompetensi, sekolah menengah kejuruan A. PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Masalah Direktur Pembinaan SMK (2006: 3) menyatakan
diperlukan sumber daya
manusia yang memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif bagi pembangunan
sektor industri dan sektor ekonomi. Untuk itu dibutuhkan tenaga kerja profesional, khususnya tenaga kerja yang terlibat langsung dalam proses produksi (wardiman, 1998), yaitu lulusan SMK. Oleh karena itu bila lulusan SMK memiliki kesiapan akan menjadi aset ekonomi yang besar (Suyanto, 2009). Permasalahan dalam ketenagakerjaan adalah masih tingginya angka pengangguran yang sebagian besar lulusan SMK (www. Cekinfo.com showthread php t 1440.htm). Penyebabnya adalah berkurangnya daya serap industri dan memprioritaskan tenaga kerja terlatih (Samsudi, 2008; Hidayat, 2009). Upaya mengatasi hal ini dengan revitalisasi peralatan SMK (Joko Sutrisno, 2007), pengembangan kelengkapan alat-alat praktek,pendidikan kewirausahaan, menjalin kerjasama dengan industri (Suyanto,2009), program link and match (Wardiman, 1998:66), mendirikan UPJ (Dikmenjur, 2004). UP sebagai program sekolah berfungsi untuk mengatasi permasalahan dana operasional, peningkatan kesejahteraan guru dan karyawan, melatih kemampuan psikomotorik, kognitif, dan fektif (Subiyanto, 2008), Slamet (2008); Wardiman, 1998). 2. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah mengetahui bagaimana efektivitas UPJ sebagai tempat meningkatkan efektivitas kompetensi kerja siswa dan dampaknya bagi SMK. 3. Rumusan Masalah 1) Bagaimanakah SMK mengembangkan faktor pendukung dan mengatasi faktor penghambat? 2) Bagaimanakah pengelolaan sdm dan sarpras menjadi input yang potensial? 3) Bagaimanakah UPJ meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja siswa? 4) Bagaimanakah UPJ memberikan sarana pembelajaran dan kewirausahaan pada siswa? 5) Bagaimanakah kemampuan UPJ menghasilkan produk yang berkualitas dan berdaya saing? 6) Bagaimanakah dampak pelaksanaan program UPJ terhadap SMK?
4. Tujuan Penelitian 1) Mengetahui bagaimana UPJ memanfaatkan faktor pendukung dan mengatasi faktor penghambat.
2) Mengetahui efektivitas kegiatan belajar mengajar di UPJ 3) Mengetahui pelaksanaan UPJ dalam meningkatkan kemampuan kompetensi kerja siswa. 4) Mengetahui pelaksanaan UPJ dalam meningkatkan nilai tambah input 5) Mengetahui dampak pelaksanaan UPJ bagi SMK
5. Manfaat Hasil Penelitian 1) Teoritis : sebagai referensi untuk mengkaji pengembangan UPJ sebagai: bagian sekolah terpadu, menghasilkan lulusan berkualitas dan hidup mandiri, industri profit 2) Praktis: memberi informasi pada SMK dalam mengembangkan program UPJ agar: (a) lebih efektif sebagai sumber belajar, (b) membentuk siswa mampu hidup mandiri, (c) menjadi tempat prakerin, (d) menghasilkan sumber pembiayaan , dan (e) meningkatkan kualitas produk atau jasa. B. KAJIAN PUSTAKA 1. Sekolah Menengah Kejuruan Undang-Undang No. 20 th 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu (Wardiman Djojonegoro, 1998: 34).
Tujuannya adalah
menyiapkan tenaga kerja terampil (Shafqat Munir, 2002),( Imel, Susan,1997). Model sekolah kejuruan seperti program school based
enterprise (Arenas,
2003) dan school to work (Hairston, 2002) model yang ditawarkan adalah model pembelajaran
disesuaikan
dengan
kebutuhan,
manghasilkan
produk
dengan
menggunakan kurikulum yang terintegrasi. Dasar filosofinya adalah essentialism, existentialism dan pragmatisme Miller, (Stroan, Robert, 1996: 3). Berdasarkan ke tiga filosofi dan standard kesuksesan pendidikan kejuruan, usaha yang dapat dilakukan adalah: (a) mengembangkan model pengajaran berorientasi pada siswa; (b) membentuk pengetahuan baru dengan pengalaman positif dan negatif; (c) pengalaman positif atau negatif berhubungan langsung dengan kegiatan produksi; (d) kegiatan produksi melalui PI dan kegiatan UP. 2. Unit Produksi Jasa (UPJ) UPJ merupakan suatu sarana pembelajaran, berwirausaha bagi siswa dan guru serta memberi dukungan operasional sekolah (Direktorat Pembinaan SMK,2007:1)”.
Kegiatan unit produksi menggambarkan situasi pekerjaan yang ada di industri dengan komponen inputs, proses dan out put. Kegiatan yang terjadi di UP adalah: (a) proses belajar dengan dasar teori situated cognition, situated learning, experiantial learning dan
filosofi
essentialism,
existentialism
dan
pragmatisme;
(b)
pendidikan
kewirausahaan; (c) manajemen keuangan; (d) penjaminan mutu; dan (e) pemasaran. 3. Pembiayaan Sekolah Pembiayaan sekolah merupakan seluruh biaya yang diperlukan untuk mendukung terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif dan berkualitas. Pembiayaan SMK lebih tinggi dibandingkan dengan SMA (Abbas Gozali, 2000), sementara itu alokasi anggaran sesuai dengan tuntutan KTSP dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah masih relatif terbatas (Kajian kebijakan kurikulum SMK, 2007). Usaha mengatasinya dengan membuat program unit produksi dan pelatihan keterampilan (Renstra Pendidikan 2005 – 2009). 4. Model Evaluasi Efektivitas Unit Produksi Model evaluasi dalam penelitian ini menggunakan model gabungan yaitu model CIPP dan Logig , sehingga komponen evaluasinya meliputi: konteks, input, proses, produk dan outcome (dampak). 5. Penelitian Relevan Subiyanto (2006) menyimpulkan bahwa kendala dalam pelaksanaan UPJ adalah: (1) kurang adanya motivasi dan proaktif pengelola; (2) kurang adanya jiwa wirausaha; dan (3) kalah saing dengan perusahaan swasta. Samidjo (2006) menyimpulkan bahwa pengelola sekolah dalam menjalankan unit produksi menghadapi kendala psikologis dan mental yaitu menganggap tabu untuk berbisnis, sedangkan kendala mental karena adanya kecumburuan social bagi guru yang tidak mendapat job pekerjaan Ssemakula. and Liao (2003) menyimpulkan bahwa “Learning Factory helps student’s hands-on experience in the design, manufacturing planning, fabrication, assembly and testing of functional products; foster students’ timwork and communications skill that are highly sought by industry”. Hadlock H. et all (2008) menyatakan “the students practice the soft skills, suck as teamwork and interpersonal communications skill, get the crucial hands on experience and future job training”. Puyakoon dan Traimongkolkul (2006) menyimpulkan bahwa learning factory ditentukan oleh: 1) desirable characteristics of the learning factory; 2) development strategies; 3) supporting factors; and 4) maintaining the sustainability of the learning factory. Efektivitasnya ditentukan oleh: 1) commitment for becoming a learning
organiization by executives e of o concerneed enterprise; 2) proacctive role of o involved educattional instittutions; andd 3) truly educationall partnership from booth parties involvved.
C. Kerangka Berrfikir Kerangka berfikir evaaluasi efektivvitas UPJ dalam memppersiapkan kemampuan k kompeetensi kerja siswa s dan daampaknya baagi SMK diigambarkan diagram 1 dan 2.
Diagram m 1. Pengem mbangan kom mpetensi kerjja siswa
Gam mbar 2. Moddel konseptuual evaluasi U UPJ D. Perrtanyaan Peenelitian 1.
A Apakah
proogram keahlian di SM MK yang melaksanakan m n program UPJ U dapat
m mengembangk kan faktor pendukungg dan menggatasi kenddala - kenddala dalam peelaksanaan UPJ U sehingga mampu meelaksanakan n UPJ? 2.
A Apakah prog gram keahliian di SMK K yang meelaksanakan program UPJ U dapat m mengelola sarrana prasaraana sekolah, kemampuan n guru, siswaa, dan Tekniisi menjadi in nput yang pootensial dalam m melaksanaakan kegiataan UPJ?
3.
A Apakah prog gram keahliian di SMK K yang meelaksanakan program UPJ U dapat m menjadikan U sebagai wadah UPJ w untukk meningkatk kan kompeteensi kerja sisswa?
4.
A Apakah pelakksanaan keggiatan UPJ mampu m mem mberikan sarrana pembellajaran dan keewirausahaaan yang efekttif pada sisw wa?
5.
Apakah program keahlian di SMK yang melaksanakan program UPJ dapat menghasilkan produk jasa yang mampu bersaing dalam hal kualitas produk jasa, harga dan pelayanan dengan produk jasa dari perusahaan sejenis?
6.
Bagaimanakah dampak pelaksanaan program UPJ bagi SMK dari sudut pengembangan sekolah, pendapatan sekolah, tingkat kepercayaan masyarakat dan Industri?
D. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian evaluasi yang meliputi: effort evaluation , Process evaluation dant treatment specification approach. Metode penelitian evaluasi ini menggunakan mixed method designs dengan concurrent triangulation designs (Creswell, 2009: 213). 2. Tempat dan Waktu Penelitian SMKN RSBI-SBI di tiga kabupaten, satu kota madya, pelaksanaan dari bulan November 2010 – Juni 2011. 1. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian adalah SMKN RSBI - SBI kelompok bidang Teknologi di DIY, sedangkan sampel penelitian ditentukan berdasarkan purposive sampling yaitu SMK yang memiliki UPJ aktif 2. Variabel dan Indikator Penelitian Variabel dalam penelitian ini meliputi: konteks, input (fasilitas praktek, program UPJ, kemampuan guru, siswa, dan teknisi), proses (KBM, produksi), produk (kompetensi kerja, kualitas barang), dan outcome (dampak bagi sekolah) 3. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Data kuantitatif diperoleh melalui kuesioner, lembar penilaian dengan skala Likert 1-4 dan 1-5 dan dokumetasi. Langkah penyusunan instrumen: (1) merumuskan kisi-kisi instrumen; (2) uji coba instrumen; dan (3) uji validitas dan reliabilitas instrument. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam semi terstruktur dan melalui observasi. Uji reliabilitas pedoman wawancara dengan cara (a) mengecek apakah pedoman wawancara, observasi tidak mengandung keraguan dan kesalahan; (b) konsistensi antara code, dan definisi; (c) berkoordinasi dan
mengkomunikasikan diantara anggota dan sharing data; dan (d) mengadakan cross chek dengan peneliti lain, Gibbs, (Creswel, 2010). Uji validitasnya dengan cara: (a) triangulasi; (b) member checking, dan (c) use rich, thick description. Selain itu untuk menjaga keabsahan data dengan cara: a) peneliti sebagai instrumen utama; (b) subyek wawancara dari berbagai sumber; (c) menggunakan alat bantu perekam suara; (d) wawancara dilakukan pada sekelompok subyek; (e) menjaga kondisi dan situasi wawancara secara alamai dan; (f) cross chek hasil wawancara. 4. Teknik Analisis Data Analisis data dilaksanakan dengan tiga cara yaitu: (1) analisis data kuantitatif dengan menggunakan statistik deskriptif untuk melihat kecenderungan kategori setiap variabel, (2) analisis data kualitatif dengan menggunakan model Miles dan Huberman yaitu: data reduction, data display dan conclusion drawing/ verification. A, dan (3) analisis data gabungan menggunakan Logical Framework Analysis (LFA).
E. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. SMKN II Jetis a. UPJ aktif ada empat dari sembilan UPJ program keahlian b. komponen input yang belum standar: sarpras (TKR), dan program UPJ c. Proses produksi dilakukan oleh guru, karyawan dan sebatas 5-10 siswa d. Kontrol pekerjaan dilakukan dan finishing dilakukan oleh guru e. Produk jasa yang dihasilkan memiliki kualitas standar f. UPJ mampu menjadi tempat pelatihan sebatas 5-10 siswa dan 1-2 guru g. UPJ belum mampu menjadi sumber pembiayaan sekolah h.
Peningkatan kesejahteraan warga sekolah terbatas hanya pada 2-3 orang
i. Belum ada jalinan kerjasama dengan industri 2. SMKN II Depok a. UPJ aktif ada empat dari sembilan UPJ program keahlian b. Input yang belum standar: program kerja (kecuali TKJ, TM), sarpras (TOI) c. Proses pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh 5-10, kecuali TKJ (semua siswa) d. Pengontrolan pekerjaan dan finishing dilakukan langsung oleh guru, kecuali TKJ (siswa dan guru)
e. Kualitas produk jasa sudah standar dan lebih baik dalam hal konstruksi dan bahan baku dan harga mampu bersaing f. Hanya UPJ TKJ yang mampu menjadi tempat pelatihan keseluruhan siswa, UPJ TGB, TM, TOI terbatas pada 5-10 siswa, dan 1-2 guru. g. Peningkatan kesejahteraan warga sekolah terbatas pada 2-3 guru dan karyawan h. Kepercayaan industri dalam hal produksi, pemakaian jasa, pemasok bahan baku, seleksi masuk karyawan 3. UPJ SMKN II Wonosari a. Tiga UPJ aktif dari enam UPJ program keahlian b. Input yang belum standar: program kerja (kecuali TM) c. Pelaksana proses produksi oleh guru, siswa dan teknisi (jumlah terbatas) d. Kontrol produksi dan finishing oleh guru atau tukang e. Produk jasa yang dihasilkan kualitasnya standar, harga mampu bersaing f. UPJ TKJ mampu menjadi tempat pelatihan eksternal, sedangkan UPJ yang lain baru terbatas g. Belum mampu menjadi sumber pembiayaan operasional sekolah h. Peningkatan kualitas SDM terbatas pada 5-10 siswa, 1-2 guru TB, TM , 4-5 guru TKJ i. Peningkatan kesejahteraan warga sekolah masih terbatas j. Kerjasama dengan instansi dan industri
dalam hal pelatihan karyawan,
pemakaian produk jasa 4. SMKN II Pengasih a. UPJ aktif ada 2 dari 6 UPJ program keahlian b. Input yang ada sudah dioptimalkan c. Pelaksana proses produksi jasa semua siswa kelas XI (TKR), 2- 5 siswa (TKR) d. Mampu berjalan kontinyu (TKK dan TF) e. Kontrol produk oleh guru (TKK dan TF), finishing oleh guru (TKK) oleh siswa (TF). f. Kualitas produk jasa sesuai standar, harga dan tarif jasa sesuai standar umum g. Kualitas SDM meningkat, pada beberapa 5-10 siswa (TKK), dan semua siswa (TKR) h. Kesejahteraan warga sekolah meningkat terbatas 2-3 guru dan karyawan
i. Mampu menjadi tempat belajar PI (TF), menampung tenaga kerja harian j. Kerjasama dengan industri dalam hal pemakaian jasa dan produk
F. Pembahasan a) Kemampuan Program Keahlian di SMK dalam mengembangkan faktor pendukung dan mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan UPJ. Implementasi UPJ dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu: (1) kelompok UPJ yang mampu menjadi sarana pembelajaran bagi siswa dan guru dan mampu memberi dukungan operasional sekolah (2 UPJ atau 15,4%); (2) belum mampu menjadi sarana pembelajaran bagi semua siswa dan guru tetapi mampu memberi dukungan operasional (5 UPJ atau 38,4 %); dan (3) UPJ tergolong aktif tetapi belum mampu menjadi sarana pembelajaran bagi semua siswa dan guru serta belum mampu memberi dukungan operasional (6 UPJ atau 46,1 % ). UPJ kelompok pertama mampu mengoptimalkan semua siswa dalam kegiatan UPJ dengan membuat jadwal khusus dan menjaga kelangsungan kerja UPJ dengan melaksanakan berbagai upaya promosi. UPJ kelompok ke dua mampu membuat UPJ selalu mendapatkan pekerjaan tetapi dalam pelaksanaan pekerjaan hanya memilih siswa tertentu untuk aktif. UPJ kelompok ke tiga merupakan UPJ yang keaktifannya pada saat tertentu saja, dan hanya memilih siswa tertentu saja. b). Kemampuan Mengelola Input Untuk Pelaksanaan UPJ Pemanfaatan fasilitas praktek dan bahan baku sebagian besar UPJ sudah maksimal agar membuat UPJ aktif, namun dalam pemanfaatan program kurikulum, kemampuan guru, siswa dan teknisi belum maksimal, karena hanya memilih siswa tertentu saja (84,6%), sehingga sebagian besar UPJ belum mencapai tujuan. Penyebab program kegiatan UPJ belum dapat berjalan secara kontinyu adalah: (a) belum dapat membuat program yang selaras antara praktek siswa dan pelayanan produk jasa pada konsumen, (b) lemahnya manajemen pemasaran, (c) motivasi tenaga pengajar untuk mengembangkan UPJ masih lemah, (d) kesulitan mendapatkan peluang pangsa pasar, dan (e) kekawatiran terhadap Peraturan Pemerintah Daerah tentang pemanfaatan barang milik negara untuk kegiatan bisnis belum ada juklaknya. c). Wadah Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan bagi Guru dan Siswa Proses belajar di UPJ merupakan kegiatan praktek yang menghasilkan barang/ jasa, sehingga kegiatan belajar yang terjadi meliputi perencanaan, pelaksanaan, kontrol
produk/ jasa, evaluasi pekerjaan dan pemasaran hasil produk/ jasa. Hal ini sesuai dengan teori Experiential learning Kolb (Kolb, Boyatzis, dan Mainemelis, 1999: 2) yaitu dalam lingkaran lingkaran proses melihat, merasakan, mencari, mengasimilasi antara observasi dengan pikiran, dan berfikir dengan dua model yaitu (1) pada perencanaan yang sifatnya membuat desain pelaksananya guru (ada juga siswa langsung), (2) perencanaan yang bersifat jasa identifikasi permasalahan dilaksanakan siswa. Proses selanjutnya dari teori Experiential learning Kolb adalah dorongan untuk melakukan aktivitas pemahaman sebagai langkah awal melakukan pekerjaan. Pelaksanaan pada tahap ini ada dua cara yaitu (1) memberi pelatihan terlebih dahulu untuk mengenal permasalahan, (2) pembelajaran dilaksanakan langsung ditempat kerja. Akhir dari lingkaran Experiential learning Kolb menyelaraskan antara fikiran dan perasaan bahwa apa yang telah dikerjakan dari awal hinggaakhir telah memberikan pengalaman nyata, sehinggabila menghadapi pekerjaan yang sejenis tidak mengalami kesulitan dan kualitasnya meningkat. Serangkaian urutan kerja tersebut sesuai dengan teori Situated Cognition dan situated learning. d). Tingkat Kompetitif Produk jasa UPJ Produk jasa yang dihasilkan UPJ adalah barang atau jasa yang dapat dimanfaatkan oleh konsumen. Produk jasa yang dihasilkan semua UPJ telah memenuhi standar umum dan memiliki kualitas lebih baik dari segi konstruksi dan bahan baku, tetapi penampilan masih belum bisa seperti yang dihasilkan industri. Selain itu jasa beberapa UPJ sudah dikenal dengan hasil yang memuaskan konsumen. Berdasarkan harga jual atau tarif yang ditetapkan sebagian lebih rendah dan sebagian lebih tinggi dibandingkan pasaran pada umumnya. Demikian halnya kualitas pelayanan pada konsumen juga sudah memuaskan. e). Kontribusi UPJ pada Sekolah dan Warga Sekolah Pengelolaan keuntungan UPJ dengan cara sebagai berikut: 60% untuk UPJ program keahlian dan 40% untuk UPJ pusat (sekolah). Dari 60% yang diterima UPJ Bengkel diperinci sebagai berikut: 10% tambah modal, 22% perawatan, 24% kas Bengkel, dan 4% administrasi, sedangkan 40 % UPJ sekolah untuk: 15% kesejahteraan umum, 10% biaya listrik, 10% kas, 2,5% administrasi dan 2,5 % penyusutan. Berdasarkan hal itu kontribusi yang diberikan UPJ adalah pemasukan biaya operasional sekolah. Secara umum dampak keuntungan yang diperoleh tidak banyak
dirasakan oleh warga sekolah, yaitu yang hanya terlibat langsung. Namun demikian dampak yang besar adalah menambah pengalaman kerja yang sesungguhnya bagi siswa dan guru, sehingga meningkatkan kemampuan komptensi kerjanya. f). Tingkat Kepercayaan Industri dan Masyarakat terhadap SMK Pelaksana UPJ. Kepercayaan industri dan masyarakat terhadap hubungan kegiatan UPJ dengan industri dan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan ada tiga jenis kerjasama yaitu: (a) kerjasama dalam proses produk dan jasa, (b) kerjasama dalam pemanfaatan produk jasa UPJ, dan (c) kerjasama dalam pelatihan. Selain itu bentuk kepercayaan industri terhadap SMKN adalah dipercaya dalam menyelenggarakan tes masuk penerimaan tenaga kerja di industri, kemudahan mendapat tempat prakerin dan kemudahan mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Di luar bentuk kerjasama tersebut adalah pemesanan secara langsung dari masyarakat, sehingga menjadikan SMK lebih dikenal oleh masyarakat.
G. KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Kesimpulan 1) Program Keahlian di SMKN RSBI-SBI Rumpun Teknologi (51,9%) belum memanfaatkan secara maksimal sumber daya, dan yang mampu menjalankan UPJ 48,1%. 2) Proses belajar mengajar di UPJ yang efektif
15,4% yaitu proses belajar
mengajar yang melibatkan semua siswa secara terjadwal, sedangkan 84,6% belum efektif karena yang terlibat dalam proses kegiatan belajar hanya 16,7% s.d 33,33%. 3) Permasalahan UPJ adalah: (a) Program kerja belum selaras antara praktek dan pelayanan produk jasa; (b) pemasaran yang lemah; (c) belum mempercayai kemampuan siswa; (d)target kepuasan konsumen; (e) minimnya dorongan positif pada guru dan siswa ; (f) kesadaran terhadap pentingnya UPJ; (g) sulit mencari peluang pasar, dan (h) Perda tentang pemanfaatan fasilitas negara belum ada juklaknya . 4) Kualitas produk jasa telah memenuhi standar dan kualitas konstruksi dan bahan baku lebih baik , sedangkan harga jual sesuai dengan pasaran.
5) UPJ mampu menambah kesejahteraan guru dan karyawan yang terlibat langsung maupun tidak langsung 6) Dampak UPJ bagi sekolah adalah: (a) meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap smk (b) membantu biaya operasional sekolah; dan (c) meningkatkan kepercayaan industri terhadap kemampuan SMK 7) Kepercayaan industri dan masyarakat dalam bentuk: kerjasama proses produksi jasa, kerjasama pemanfaatan produk jasa, kerjasama dalam pelatihan dan kerjasama dalam proses penerimaan tenaga kerja.
2. Saran-saran 1) SMK agar melaksanakan kegiatan UPJ secara aktif sesuai dengan sikon, agar kemampuan lulusan SMK sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan usaha 2) SMK seharusnya mengupayakan UPJ aktif dan kontinyu agar dapat: meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja dengan pengalaman nyata, meningkatkan kesejahteraan warga sekolah,
menyumbangkan dana
masukan tambahan. 3) Perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk menarik banyak konsumen dengan menggunakan berbagai media informasi dan komunikasi, untuk menjaga keberlangsungan produksi 4) Pihak sekolah lebih mempercayai kemampuan siswa dengan memfokuskan pelaksanaan pekerjaan pada siswa seperti membuat jadwal khusus, sehingga tujuan UPJ sebagai sarana belajar dan berwirausaha bagi siswa tercapai
DAFTAR PUSTAKA Arenas, Alberta, (2003) School Based Enterprises and Enviromental Sustainability. Journal of Vocational Education Research, Volume 28 (2), pp 107-124. Th 2002 Allyn and Bacon, Boston, MA. (1984). Learning Skills . Pearson Education. NSW Department of Education and Training (DET) New South Wales Diambil pada tanggal 12 October 2005 dari Http/www.blooms-taxonomy.htm. Bailey Diane E. et all. (2009). A Virtual Factory Teaching System In Support Of Manufacturing Education. Diambil pada tanggal 16 April 2009 dari Http/www. a virtual Factory Teaching System. PDF Bailey Diane E.. Maged M. Dessouky1 ( ) A Virtual Factory Teaching System In Support Of Manufacturing Education Creswell, John W. (2009). Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Los Angeles. Sage.
David A. Kolb, Richard E. Boyatzis ,Charalampos Mainemelis .(1999). Experiential LearningTheory: Previous Research and New Directions. Dessouky1, Maged M. et all. ( 2009 ) A Virtual Factory Teaching System In Support Of Manufacturing Education. Diambil pada tanggal 29 April 2009 dari Http//www. A Virtual Factory Teaching System. PDF. Direktorat SMK. (2005). Garis-garis Besar Program Pendidikan Menengah Kejuruan . Jakarta: Direktorat Pembinaan SMK Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Fatkhul Himam. (2005). Strategi Pengembangan Sistem Penilaian untuk Mendeteksi Potensi Peserta Didik: Situated Approach. Rekayasa Sistem Penilaian dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Pendidikan. HEPI. Program Pascasarjana UNY. Yogyakarta Frederick Prayer.(1993). Critical Reflectivity Learning Theory: Implications for the Workplace. PAACE Journal of Lifelong Learning, Vol. 2, 1993, 43-48 Gawler Meg. (2005). Logical frame Work. Resouces for Implementing the WWF Standards. Diambil pada tanggal 23 Desember 2011. Dari http//www. Artemis – Services. Gm/ Down Loads/ Logical Frame Work/ Pdf. George F Maduaus, Michael S. Scriven, and Daniel L Stufflebeam. (1983) Evaluating Models Viewpoints on Educational and Human Services Evaluation. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing. Hadiwiratama. (1995). Keterampilan Menjelang 2020, untuk Era Global. Laporan Satuan Tugas tentang Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan di Indonesia. Jakarta: Depdiknas. Hadlock, Heather. et all. (2008). From Practice to Entrepreneurship: Rethinking the Learning Factory Approach. Proceedings of the 2008 IAJC-IJME International Conference. Diambil tanggal17 Agustus 2009 dari Http/www. 081. ENT P. Pdf Hall, Shane. (2011). How to Use the CIPP Model for Program Evaluation. Diambil pada tanggal 11 Januari 2011 dari Http/www. V5-static.ehowcdn.com Jorgensen Jens E., John S. Lamancusa, Jose L. Zayas-Castro, Julie Ratner. (1995). The Learning Factory, Curriculum Integration Of Design And Manufacturing. Proc. of the Fourth World Conference on Engineering Education; St. Paul, MN, October 15-20, 1995 Lamancusa J. S. et.al (2001) The Learning Factory - Integrating Design, Manufacturing And Business Realities Into Engineering Curricula - A SixthYear Report Card. International Conference on Engineering EducationAugust 6 – 10, 2001 Oslo, Norway Lamancusa, Simpson. (2009). The Learning Factory – 10 Years of Impact at Penn State. International conference on Engenering Education. October 16-21 2004. Http/ www. 329/PSU/Learning-Factory. Pdf. 10-11- 2009 Lave J. (1991). Situated Learning. Diambil pada tanggal 29 April 2009 dari http/ Vocational educational&teori/situated cognition.htm. Miles, MB, and Huberman, A.M. (1984). Qualitative Data Analysis, 16. Newbury Park, CA. Sage Moore Beverly J. (1998). Situated Cognition versus Traditional Cognitive Theories of Learning. Diambil pada tanggal 28 januari 2010 dari http//www.Vocational educational&teori/google.Scholar.qst.htm, .
Mukasa E. Ssemakula1 and Gene Y. Liao2.(2003). Adapting The Learning Factory Model For Implementation In A Laboratory . ASEE/IEEE rontiers in Education Conference November 5-8, 2003, Boulder, CO Nuanjan Puyakoon, Pongpan Traimongkolkul. (2006) The Learning Factory: An Innovative Model of Vocational Education in Thailand. 10th APEID International Conference 2006 Bangkok, Thailand 6 December 2006 Onwuegbuzuie Anthony J, Leech Nancy L. ( 2006). Linking Research Questions to Mixed Methodes Data Analysis Procedurs. Diambil pada tanggal 28 Januari 2010 dari WWW. Nova. Edu/ssss/QR/QR11-3/onwuegbuzie. Pdf. Patton Michael Quin. (1980). Qualitative Evaluation Methods. London: Sage Publications. Prayer. (1993). Critical Reflectivity Learning Theory: Implications for the Workplace. PAACE Journal of Lifelong Learning, Vol.2, 1993, 43-48 Pusat Kurikulum. (2007). Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum SMK. Jakarta. Badan Penelitian Dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional.Rogers. C (1973). Experiential Learning. Diambil pada tanggal 25 Januari 2010 dari Http/www.learning factory/rogers.html. Sema E. Alpetekin. (2001). Teaching Factory. Proceeding of Amirican Enginering Education Annual Conference and Expositation Shafqat Munir.( 2002). Vocational Education and Training (VET): Pakistan situation analysis (1959-2002) and Partnership needs to promote VET through research study. Conference on “Structural Change in Vocational Education: Promotion of Vocational Education Partnership between Europe and West and Central Asian Countries Forum hotel, Alexanderplatz, Berlin, September 29-30, 2002 Spencer Lyle M Jr, Siggne M. Spencer. (1993). Competence At Work. New York: John Wiley & Sons, Inc. Ssemakula, Mukasa E, Gene Y. Liao. (2003). Adapting the Learning Factory Model for implementation in a Laboratory. 33th ASEE/ IEEE Frontiers in Education Conference. November 5-8, 2003, Boulder , CO Strom. Bruce Todd, Howell Robert T. (1996). The Role of Philosophy in Education-forWork. Digital Library and Archives. JITE Volume 33, Number 2. Stufflebeam Daniel K, Shinkfield Anthony J. (1985). Systematic Evaluation. Boston: Kluwer Nijhoff Publishing. Suyanto. (2010). 3000 Lowongan Pekerjaan untuk Lulusan SMK. Diambil pada tanggal 14 Mei 2010 dari http//www. Detik. Com Wana Daphne Lin Hsiao. (2010). CSCL Theories. Diambil pada tanggal 28 Januari 2010 dari Http//www.Vocational educational&teori/theories.html. Wardiman Djoyonegoro. (1998). Pengembangan Sumber Daya Manusia, melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).Jakarta. PT. Jayakarta Agung Offset _____________, (2009) .Constructivism (learning theory). last modified on 23 March 2009, at 19:26. . http/Constructivism (learning theory) - Wikipedia, the free encyclopedia.htm ____________, (1993) Cognition & Technology Group at Vanderbilt ____________, (2010). What is Experiential Learning. Teams skills training.co uk Diambil pada tanggal 28 januari 2010 dari http/www.evaluasi/teory learning/exp_learn.htm.
UJIAN NASIONAL (UN) SEBAGAI FORMULA SOLUSI PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA Agus Sutiyono Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap ABSTRAK , Ujian Nasional semakin bisa diterima oleh kalangan siswa, mereka semakin menyadari bahwa parameter kelulusan mutlak diperlukan. Oleh karena tujuan penelitian ini adalah; 1) untuk menemukan apakah UN merupakan salah satu upaya dalam menemukan formula evaluasi pendidikan yang akuntabel, 2) apakah UN sebagai langkah dalam mengatasi degradasi moral siswa dan 3) bagaimana UN sebagai sarana membangun karakter bangsa. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, dengan pendekatan fenomenologis naturalistic. Pendekatan ini bermakna untuk memahami peristiwa dalam hubungannya orang dalam situasi tertentu. Pengumpulan data dilakukan dalam tiga tahap, tahap pertama dilakukan orientasi dan observasi, peneliti mengumpulkan data secara umum dan luas hal-hal penting dan yang berguna untuk diteliti lebih mendalam. Tahap kedua peneliti mengadakan eksplorasi pengumpulan data yang dilakukan lebih terarah sesuai dengan fokus penelitian serta mengetahui sumber data atau informan yang kompenten dan mengetahui pengetahuan yang cukup tentang hal yang akan diteliti. Pertanyaan peneliti mengalir mengikuti responden tetapi tetap berpegang pada instrumen pertanyaan (teknik snowball) dengan maksud dapat menjaring data yang lebih kompleks dan integral. Tahap ketiga peneliti melakukan penelitian yang lebih terfokus pada masalah pelaksanaan UN, peneliti malakukan observasi dan interview baik sebelum maupun pada saat UN dilaksankan. Pemeriksaan keabsahan data untuk memeriksa kebenaran data dengan pengamatan terus-menerus dan triangulasi baik triangulasi sumber maupun metode. Analisis data dengan beberapa tahapan, pertama mengelompokkan butir-butir pertanyaan (tabel reduksi) dari transkrip interview dan observasi. Kedua mengelompokkan menurut fokus pertanyaan penelitian (tabel abstraksi) yang didasarkan dari tabel reduksi. Ketiga merumuskan tabel konseptualisasi untuk membantu menarik kesimpulan penelitian, berdasarkan tabel abstraksi. Hasil penelitian ditemukan bahwa; 1) UN merupakan salah satu formula evaluasi pendidikan yang akuntabel, 2) Degradasi moral siswa tereliminir dengan model evaluasi UN karena UN menuntut siswa untuk berusaha mampu menjawab dengan benar pertanyaansoal-soal ujian, sehingga siswa akan berusaha semaksimal mungkin agar bisa memenuhi standar minimal kelulusan. 3) ketiga bisa terbangun dengan adanya UN hal ini dibuktikan siswa yang akan menghadapi UN secara umum mengalami perubahan sikap dan perilaku, mereka sudah mulai tumbuh kesadaran perilaku yang baik dalam dirinya. Kata Kunci: Ujian Nasional, Pembangunan Karakter Bangsa
PENDAHULUAN Latar Belakang Kecenderungan fitrah manusia mengarah kepada dua arah; kearah kebaikan dan ke arah yang tidak baik. Oleh karenya sangat diperlukan arahan dan bmbingan agar menuju kea rah yang baik. Hal ini merupakan bagian dari apa yang harus diperankan oleh guru. Apalagi dengar pengertian pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Makhluk diciptakan dengan memiliki potensi atas dasar tauhid. Pendidikan karakter merupakan sarana dalam membentuk insan yang berhati lembut, mengarahkan pada sikap yang bijak, membiasakan untuk berprasangka baik (positive thinking), membantu siswa untuk cenderung kearah fitrah yang baik, dalam rangka mewujudkan akhlak yang baik. Nilai-nilai akhlak perlu ditanamkan melalui pendidikan akhlak (tahzib al-akhlaq atau tarbiyat alakhlaqiyyah) (Suwito, 2004: 33). Dengan kata lain dalam pengertian tersebut sarat akan arti pendidikan karakter. Pembahasan pendidikan karaktar pada dua tahun terakhir menjadi satu pembahasan topik yang hangat. Kurikulum sekolah bahkan sudah harus mendasarkan pada pendidikan karakter atau school based character. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sangat menggarisbawahi pendidikan karakter ini sehingga setiap lembaga pendidikan harus mengupayakan mencapai target siswa mempunyai karakter yang baik. Argumentasinya karena bahwa selain pendidikan karakter membantu kelancaran proses pendidikan,
mengasah intelektualitas
peserta didik bahkan dapat menambah mutu pendidikan di negara berkembang ini. Pendidikan karakter lebih diorientasikan bagaimana agar peserta didik mampu memahami dan membedakan antara yang benar dan salah, yang baik dan buruk, yang bermoral dan yang tidak bermoral, dan mana yang sesuai dengan
etika di masyarakat. Pendidikan karakter ini juga merupakan usaha untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, yang kemudian diharapkan dapat menjadi sebuah kebiasaan yang akan diamalkan dalam kehidupan seharihari. Hal ini perlu ada evaluasi dengan memakai instrumen, baik untuk mengetahui prestasi akademik maupun untuk mengetahui perkembangan perilaku peserta didik. Instrumen sebagai alat untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses pendidikan menjadi satu keniscayaan yang selalu mengikuti proses perkembangan informasi prestasi akademik. Di Indonesia progres untuk memantau kualitas prestasi pendidikan dilakukan oleh badan yang independen yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP inilah yang menyusun instrumen sebagai alat ukur untuk mengetahui kualitas prestasi peserta didik pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan atas. Prestasi akan bisa kita lihat dengan menggunakan, tes prestasi sebagai salah satu sumber penting dalam pengambilan keputusan pendidikan. Dimana tes prestas belajar bertujuan untuk mengukur prestasi atau hasil yang telah dicapai oleh siswa dalam belajar (Azwar, 2007: 13). Tes untuk mengukur prestasi siswa secara nasional di Indonesia diselenggarakan oleh BSNP dalam bentuk Ujian Nasional (UN). Fenomena yang dirasakan UN pada awal lebih dirasakan sebagai momok yang menakutkan. Implikasi yang terjadi kemudian siswa ketika menghadapi atau menjelang UN banyak yang sakit, orang tua siswa maupun para guru banyak yang khawatir (nervous). Kekhawatiran mereka kita bisa memahami, karena berhasil dan tidaknya akan sangat mempengaruhi mental maupun psikis. Sehingga usaha-usaha yang sangat variatifpun dilakukan, baik yang menyangkut usaha kasat mata maupun yang bersifat transenden. Pengayaan dan pendalaman mata pelajaran yang di-UN-kan, latihan-latihan penyelesaian soal-soal materi UN menjadi tahapan dalam persiapan menghadapi UN. Ritual keagamaan menjadi tahapan yang dilakukan juga sebagai penguat batin siswa dalam menghadap UN. Proses persiapan dalam menghadapi UN secara perlahan menjadi satu fenomena yang menarik untuk dicermati, karena secara perlahan pula momok
dalam menghadapi UN mulai berkurang, bahkan semakin dirasakan sebagai sesuatu yang bisa disikapi dengan arif dan bijak oleh para siswa. Hasil survey awal peneliti menemukan beberapa perilaku yang berubah ke arah yang lebih baik pada siswa-siswa di sekolah seperti yang peneliti temukan terjadi di Majenang Cilacap siswa yang nakal berubah lebih baik, lebih santun, dan lebih bertanggung jawab. Berangkat dari hal tersebut di atas maka pendidikan karakter merupakan salah satu yang bisa dijadikan sebagai bahan research yang menarik dalam rangka untuk menggali apa dan bagaimana pendidikan karakter mampu meningkatkan perilaku yang baik dikalangan siswa. Lebih khusus lagi dikaitkan dengan pelaksanakan UN. Penelitian ini mengambil setting di Kabupaten Cilacap.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah yang peneliti ajukan adalah: 1) bagaimana formula baru evaluasi pendidikan yang akuntabel?, 2) apakah UN sebagai model evaluasi pendidikan bisa menjawab semakin merosotnya moralitas siswa sekolah? 3) bagaimana perubahan karakter siswa sekolah dengan adanya evaluasi akhir dengan UN?
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian ini diantaranya; 1) untuk menemukan UN merupakan salah satu upaya dalam menemukan formula evaluasi pendidikan yang akuntabel, 2) untuk membuktikan UN sebagai langkah dalam mengatasi degradasi moral siswa dan 3) untuk mengetahui UN sebagai sarana membangun karakter bangsa. Manfaat Penelitiannya adalah; 1) UN sebagai formula baru evaluasi pendidikan akan bisa dijadikan sebagai model dalam pengembangan kepribadian siswa, 2) UN akan bisa menjadi satu solusi dalam mengatasi degradasi moral di kalangan siswa sekolah, dan 3) UN lebih jauh akan bisa dijadikan sebagai sarana dalam pembangunan karakter bangsa.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di wilayah kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap dengan mengambil setting di SMA Negeri 1 Majenang. Subyek dalam penelitian ini sekaligus sebagai sumber data adalah para siswa yang menghadapi UN dan semua guru di SMAN tersebut. Serta peneliti mengembangkan juga di beberapa sekolah di wilayah kabupaten Cilacap pada umumnya. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, dengan pendekatan fenomenologis naturalistic. Pendekatan ini bermakna untuk memahami peristiwa dalam hubungannya orang dalam situasi tertentu (Moleong, 1989: 33). Pengumpulan data dilakukan dalam tiga tahap, tahap pertama dilakukan orientasi dan observasi, peneliti mengumpulkan data secara umum dan luas hal-hal penting dan yang berguna untuk diteliti lebih mendalam. Tahap kedua peneliti mengadakan eksplorasi pengumpulan data yang dilakukan lebih terarah sesuai dengan fokus penelitian serta mengetahui sumber data atau informan yang kompenten dan mengetahui pengetahuan yang cukup tentang hal yang akan diteliti. Pertanyaan peneliti mengalir mengikuti responden tetapi tetap berpegang pada instrumen pertanyaan (teknik snowball) dengan maksud dapat menjaring data yang lebih kompleks dan integral. Tahap ketiga peneliti melakukan penelitian yang lebih terfokus pada masalah pelaksanaan UN, peneliti malakukan observasi dan interview baik sebelum maupun pada saat UN dilaksankan. Pemeriksaan keabsahan data untuk memeriksa kebenaran data dengan pengamatan terus-menerus dan triangulasi baik triangulasi sumber maupun metode, teknik pengumpulan data, serta membicarakan dengan orang lain. Tujuan trianguklasi pada penelitian kualitatif utamanya untuk melakukan cross check (Sukardi, Usaha Keluarga, 2006). Data kualitatif adalah ata yang disajikan dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka. Data verbal yang beragam perlu diolah agar menjadi ringkas dan sistematis (Noeng Muhadjir, 2000: 44). Olahan tersaebut dimulai sejak kegiatan menulis hasil observasi, wawncara, mengedit, mengklasifikasi, mereduksi dan menyajikan. Analisis data dalam penelitian ini terinspirasi dari analisis model interaktif Miles Haberman. Langkah atau tahapan dalam penelitian ini adalah, pertama
mengelompokkan butir-butir pertanyaan (tabel reduksi) dari transkrip interview dan observasi. Kedua mengelompokkan menurut fokus pertanyaan penelitian (tabel abstraksi) yang didasarkan dari tabel reduksi. Ketiga merumuskan tabel konseptualisasi untuk membantu menarik kesimpulan penelitian, berdasarkan tabel abstraksi. Pengelompokkan butir-butir pertanyaan (tabel pengelompokkan) dari transkrip interview dan observasi yang dilengkapi dengan coding, atas pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam pedoman wawancara, sebagaimana pernyataan Singleton dan Straits (1999: 457) yaitu: “Coding for this type of questionisvery much like coding in content analysis. The researcher tries to develop a coding scheme that does not require a separate code for every respondent or case but that adequately reflect the full respondents. The idea is to put the data in manageable form while retaining as much-anticipated information as practical”.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN UN salah satu formula evaluasi pendidikan yang akuntabel Ujian Nasional (UN) bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Selama ini guru dalam memberikan evaluasi yang bukan UN kepada siswa-siswanya dengan menggunakan instrumen yang disusun bersama dengan satu kelompok guru bidang studi. Instrumen yang akan dijadikan sebagai alat ukur untuk mengetahui prestasi siswa khususnya mata pelajaran yang bukan UN kurang mempertimbangkan kualitas instrumen sebagai alat ukur dalam rangka untuk menemukan posisi siswa. Mereka bukan bermaksud merendahkan kualitas tes yang dimaksud tetapi lebih karena mereka para guru masih banyak yang belum memahami proses penyususna tes yang baik dalam prinsip evaluasi. Wawancara peneliti dengan salah satu guru dengan Bapak yang berisial M salah satu guru di salah satu SMAN di Cilacap bahwa terkait dengan lemahnya sistem evaluasi dalam pendidikan khususnya di tingkat madrasah bahwa soal tes untuk ulangan tengah semester dibuat oleh guru mata pelajaran tertentu misal mata pelajaran fiqh adalah oleh guru Fiqh madrasah sendiri, sedangkan soal
ujian semester madrasah menerima dari karesidenan. Pembuat soal ujian keresidenan adalah 2 guru fiqh (misal untuk mata pelajaran Fiqh) dimana penyusunannya berdasarkan kisi-kisi yang dibuat oleh 1 orang guru Fiqh yang ditunjuk sebagai penyususn kisi-kisi soal. Hasil soal yang telah tersusun akan disunting lagi oleh guru yang menyusun kisi-kisi. Setelah disunting maka akan diteruskan kepada pihak yang berkepentingan jika tidak ada masalah maka soal tes ini akan dijadikan sebagai soal untuk seluruh karesidenan. Informasi yang peneliti dapatkan soal ujian tersebut belum melalui uji validitas. Fakta empiris seperti ini akan menjadikan tes sebagai alat ukur kemampuan siswa kurang berkualitas, valid, dan reliabel. Sehingga sangat dikawatirkan yang terjadi tes tidak bisa mengukur apa yang mestinya diukur pada siswa. UN dengan soal yang memenuhi standar kualitas karena disusun dengan memperhatikan prinsip evaluasi, baik proses maupun dalam pengembangan soal UN itu sendiri. Kalibrasi menjadi salah satu tahapan yang sangat penting untuk mendapatkan soal yang berkualitas, artinya soal akan benar-benar bisa mengukur apa yang semestinya diukur. Ha ini akan bisa menambah tingkat akuntabilitas soal tes sehingga akan mampu memilah siswa yang menguasai materi tes dan yang tidak menguasai. Apalagi dengan soal 5 paket yang masing-masing paket berbeda, hal ini di kalangan para siswa sangat membantu mereka untuk lebih berhati-hati dalam mengerjakan yang ditandai bahwa mereka semakin merasa ada kepercayaan diri dalam menyelesaikan tes. Ungkap seorang siswa SMA di Cilacap. Dengan model paketyang berbeda ini semakin menambah kualitas dan secara substansi dalam mengukur kemampuan siswa atas penguasaan materi pelajaran bisa dikatakan akuntabel. Sehingga maksud dan tujuan evaluasi dalam dunia pendidikan bisa mencapai target. Dengan kata lain bahwa UN sebagai formula evaluasi pendidikan yang akuntabel Degradasi moral siswa tereliminir dengan model evaluasi UN Damas nama seorang siswa di SMAN 1 Majenang Cilacap menuturkan bahwa UN di kalangan siswa sangat terasa sebagai terapi karakter baik dirasakan
secara langsung maupun tidak. Teman-teman di sekolahnya banyak yang mengalami metamorphosis dari kehidupan yang kurang mencerminkan sebagai pelajar terlihat sekali perubahan mereka dengan pola hidup yang lebih baik. Inetraksi mereka sesame siswa, dengan adik kelas, dengan para dewan guru. Kehidupan mereka drastis menjadi sangat agamis. Siswa-siswa di sekolah tempat Damas menuntut ilmu, sejak awal kelas tiga sudah mulai terlihat sekali karakter yang jauh lebih baik. Peneliti mendapatkan pengamatan yang sungguh sangat mengharukan ketika Damas dan teman-temannya yang kelas tiga melakukan satu kegiatan yang selama ini tidak dijumpai, yaitu mereka melakukan menggelar doa bersama, acara ini melibatkan seluruh kalangan siswa dan guru. Permintaan maaf mereka kepada adik-adik kelas jika selama ini kakak banyak khilaf dan salah kepada adik mohon dimaafkan. Berpelukan sambil menghayati makna permohonan maaf terlihat sekali.Tentunya anak laki-laki dengan adik kelas yang laki-laki dan siswa perempuan dengan adik kelas yang perempuan. Bapak ibu guru melihat apa yang sedang terjadi dihadapannya pun tidak sedikit yang tidak bisa menahan air mata. Kegiatan agama ini adalah murni inisiasi siswa guru tinggal merestui saja. Permintaan maaf kelas tiga tidak berhenti sampai di situ, tetapi mereka lanjutkan kepada bapak ibu guru seraya mereka mengucapkan minta doa restu semoga bisa berhasil dan sukses dalam UN nanti. Begitu papar seorang siswa yang tampak kelihatan tenang dalam mensikapi akan dilaksankannya UN yang hanya kurang beberapa hari lagi. Bahkan siswa-siswa di MA El-Bayan Majenang Cilacap meminta kepada pihak sekolah untuk memfasilitasi adanya ritual keagamaan setiap hari. Namun guru menyarankan untuk mengikuti acara yang sudah berjalan yaitu kegiatan mujahadah setiap jumat sore. Gambaran siswa seperti di atas cenderung untuk lebih mendekatkan diri kepada Alah SWT, indikasi ini merupakan sinyalemena adanya perilaku yang aka bisa menuju pada pembentukan karakter yang baik di kalangan siswa. Pola kehidupan yang lebih relegius mulai menjadi kebiasaan yang menjadi pilihan siswa, meskipun pada awalnya terjadi pada moment menjelang UN, namun jika
kebiasaan seperti ini dipupuk dan dikelola dengan baik akan sangat mungkin menjadi rutinitas di kalangan siswa.
UN sebagai sarana membangun karakter bangsa Pembangunan karakter bangsa (character building) merupakan kunci penting dalam rangka memperbaiki kondisi bangsa yang sedang membutuhkan perbaikan seperti kondisi bangsa ini. Pembangunan karakter bisa ditempuh dengan berbagai macam pendekatan. Satu pendekatan yang penting dalam menemukan solusi adalah dengan pendidikan, tentunya pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang dalam hal ini adalah pada wilayah evaluasinya. UN sebagai model evaluasi secara nasional memiliki kelebihan satu diantaranya bisa menumbuhkan rasa jujur. Sebagaimana penelitian ini menemukan tumbuhnya rasa jujur di kalangan siswa dalam pelaksanaan UN, paket yang 5 pada UN ternyata membantu siswa untuk lebih konsentrasi untuk mengerjakan soal. Kepercayaan pada diri sendiri siswa meningkat karena UN dengan 5 paket soal sangat bisa menekan peluang untuk saling mencontek dan berbuat kecurangan pada pelaksanaan. UN dalam pandangan guru-guru sangat membantu untuk mengarahkan karakter siswa. Hal ini bisa dirasakan oleh guru-guru di SMAN 1 Majenang, MAN Majenang, MA El-Bayan Majenang, SMA N 2 Cilacap, SMA Ya BAKII Kesugihan, dan hampir dirasakan oleh semua guru-guru di wilayah Cilacap. Sebagaimana ungkap bu Sri Hartati guru SMAN 1 Majenang, yang selama ini membidangi pada konseling di SMA tempat tugas merasakan adanya perubahan karakter menjadi lebih baik lagi. Jika kita mencermati pelaksanaan UN 2012, BSNP telah mengawali untuk pembangunan karakter bangsa yaitu dengan slogan “Prestasi Yes Jujur Harus”. Ini merupakan pencanganan yang perlu menjadi pegangan kita semua praktisi pendidikan. Oleh karena itu bagaimana kita juga harus mensukseskan
pencanangan
BSNP
tersebut.
UN
merupakan
wahana
sebagai
sarana
pembangunan karakter bangsa merupakan satu keniscayaan.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI Simpulan Penelitian ini memberikan kesimpulan 1) UN merupakan salah satu formula evaluasi pendidikan yang akuntabel. 2) Degradasi moral siswa tereliminir dengan model evaluasi UN karena UN menuntut siswa untuk berusaha mampu menjawab dengan benar pertanyaansoal-soal ujian, sehingga siswa akan berusaha semaksimal mungkin agar bisa memenuhi standar minimal kelulusan. 3) Siswa yang akan menghadapi UN secara umum mengalami perubahan sikap dan perilaku, mereka sudah mulai tumbuh kesadaran perilaku yang baik dalam dirinya. Artinya UN sebagai sarana membangun karakter bangsa sarana membangun karakter bangsa. Rekomendasi Sebagai rekomendasi penelitian ini adalah bahwa UN sebagai formula evaluasi pendidikan yang akuntabel sebaiknya lebih ditingkatkan lagi sistemnya. Sebagai model evaluasi yang bisa mengeliminir degradasi moral UN perlu dikondisikan agar bisa dipahami oleh semua satuan pendidikan. Kemudian juga dalam rangka mengurangi nervous di kalangan guru dan siswa, materi UN mungkin difokuskan pada materi kelas 3. Karena materi kelas 2 dan kelas 1 sudah diteskan ditambahkan proses penilaian akhir adalah 60% UN dan 40% nilai sekolah. Sebagai wahana pembangunan karakter bangsa UN perlu lebih memperbanyak mata pelajaran agar tidak terkesan merendahkan mata pelajaran yang bukab UN.
Daftar Pustaka
Noeng Muhadjir. (2000). Metodologi penelitian kualitatif (edisi-4), Yogyakarta: Rake Sarasin Panduan Ujian Nasional 2012 Saifuddin Azwar. (2007). Tes Prestasi Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Singleton, J.R.A & Straits, B.C (1999). Approaches to sosial research, New York: Oxford Unversity. Suwito. (2004). Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, Yogyakarta, Belukar.
Efektifitas Pendekatan Cognitif Behavior Modification (CBM) untuk Meningkatkan Kemampuan Mengelola Marah Siswa Madrasah Menjelang Ujian Nasional Alfin Mustikawan, M.Pd Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang / Jl. Gajayana No.50 Malang
[email protected] / 085856569150 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas pendekatan Cognitif Behavior Modification (CBM) untuk meningkatkan keterampilan mengelolah marah bagi para siswa madrasah yang akan menghadapi Ujian Nasional. Adapun aspek yang dijadikan focus penelitian adalah untuk mengetahui keefektifan pendekatan CBM untuk meningkatkan; 1) keterampilan memahami marah dan 2) keterampilan mengelola marah. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan rancangan one group pretest-psottes design, yang dijadikan subyek penelitian dalam penelitian ini adalah para siswa kelas IX pada MTsN Batu Malang, Subyek dipilih dengan menggunakan purposive sampling yaitu mereka yang memiliki kecenderungan pemarah berdasarkan data dari guru BK. pendekatan CBM dan pendekata Islam efektif meningkatkan (1) keterampilan remaja menyadari dan memahami komponen-komponen marah, (2) keterampilan remaja untuk mengelola marah. Pada aspek menyadari marah keefektifan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan skor rata-rata keterampilan memahami marah sebelum dan sesudah perlakuan. Pada tahap setelah perlakuan, skor rata-rata partisipan lebih tinggi dari skor rata-rata sebelum perlakuan. Keyword: Efektifitas, CBM, Mengelolah Marah
A. Pendahuluan Pada kehidupan masyarakat dewasa ini, remaja sering menghadapi situasi sehari-hari yang dapat memicu marah mereka. Banyak faktor yang menyebabkannya, antara lain kesulitan ekonomi, perceraian, kekerasan fisik maupun psikologis, diabaikan lingkungan, dan lain sebagainya. Remaja juga sering menghadapi situasisituasi konflik yang diperparah pula dengan banyaknya tayangan-tayangan kekerasan di media yang dapat memicu munculnya ekspresi-ekspresi agresif. Ketidakmampuan
remaja
dalam
mengatasi
perasaan
marah
secara
proposional dapat menyebabkan remaja menyakiti tubuh mereka sendiri atau orang
1
lain, mengalami gangguan dalam membina hubungan persahabatan, rasa harga diri (self esteem) yang rendah, serta problem kesehatan (Deffenbacher,1992: Spelberg, 1988). Biasanya remaja yang marah dengan intensitas sangat tinggi akan mengalami gangguan internal dan disstres, dan secara signifikan mempengaruhi kesehatan fisik, kesejahteraan sosial, kesuksesan pendidikan serta pekerjaan (Deffenbacher, 1996). Dalam menghadapi perasaan marah yang dialaminya, sebagian remaja cenderung mengekspresikannya lewat tindakan bersifat disfungsional, memberontak, melawan semua otorita, mengintimidasi orang lain, atau cara-cara lain yang justru dapat melukai dirinya dan orang lain. Bahkan, jika marah itu menjadi semakin intens, maka remaja bisa menarik diri dari diri dan lingkungannya dengan menggunakan obat-obatan terlarang dan ketergantungan pada alkohol (Gardner, 1996). Kondisi remaja yang rentan mengalami kegalauan emosi yang terwujud dalam berbagai rasa marah, jika tidak diimbangi dengan keterampilan mengelola marah, mengakibatkan kerugian baik bagi remaja sendiri maupun orang tua dan masyarakat, serta bangsa. Bertolak dari alasan inilah yang memicu kebutuhan untuk melatihkan keterampilan mengelola marah bagi remaja dengan strategi mengelola marah yang mudah dipelajari, dipahami dan diterapkan oleh remaja dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setting sekolah, remaja adalah individu yang sedang menempuh pendidikan di tingkat sekolah menengah pertama dan menengah atas (SMP/SMA)/ siswa madrasah tsanawiyah dan Aliyah (MTs/MA) memiliki kecenderungan cemas dalam menghadapi Ujian Nasional dan hal tersebut berdampak pada perilaku mudah marah. Berkaitan dengan ini, maka diharapkan guru/konselor dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan mengelola marah. Banyak
pendekatan
yang
dapat
digunakan
untuk
melatih
siswa
mengembangkan keterampilan mengelola marah. Salah satunya adalah Cognitive Behaviour
(CBM).
Charlesworth
(2004)
menyatakan
bahwa
CBM
lebih
memfokuskan pada membuat siswa memahami apa yang dikatakan pada diri sendiri (self talk) dan melatih mereka mengembangkan self talk yang lebih efektif sehingga mereka mampu mengatasi situasi-situasi yang serupa secara lebih efektif dan mandiri dilain waktu.
2
Penelitian ini akan difokuskan pada siswa madrasah tsanawiyah (MTs) kelas IX. Sesuai dengan karakteristik siswa di MTs yang mendapatkan pembelajaran dengan berbasis pada nilai-nilai keislaman, maka keterampilan mengelola marah yang akan dilatihkan merupakan perpaduan antara pendekatan secara Islam dengan konsep-konsep atau teori-teori cognitve behavior dari barat. Bertolak dari latar belakang pemikiran tersebut, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini secara umum adalah: Apakah pelatihan Mengelola Marah dapat meningkatkan keterampilan mengelola marah bagi remaja. Sedangkan secara khusus masalah
penelitian
adalah
keefektifan
pelatihan
mengelola
marah
dalam
meningkatkan kemampuan siswa untuk 1) memahami marah , 2) mengelola marah. Berkaitan dengan peningkatan keterampilan siswa dalam mengendalikan marah, penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektifan pelatihan mengelola marah dalam meningkatkan kemampuan mengelola marah pada siswa madrasah tsanawiyah. Dan secara khusus, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan pelatihan mengelola marah dalam meningkatkan
kemampuan siswa
untuk 1) memahami marah , 2) mengelola marah.
B. Kajian Pustaka Banyak penelitian-penelitian yang mengkaji dan menguji teori-teori tentang marah dengan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang banyak digunakan dalam penelitian-penelitian berkaitan marah adalah pendekatan behvior kognitif. Dari kajian hasil penelitian tentang pendekatan behvior kognitif untuk mengelola marah, ada beberapa hal yang secara konseptual dapat dijadikan pijakan untuk melakukan penelitian berkaitan mengelola marah. Review terhadap hasil studi oleh Laptoop menunjukkan bahwa emosi marah adalah pengalaman psikologis yang sangat berkaitan dengan proses biologis. Keterkaitan antara aspek biologis dan psikologis inilah yang memunculkan perbedaan pada beberapa psikolog tentang hakekat marah. williams James dan Carl Lange menyatakan bahwa emosi (termasuk marah) merupakan reaksi tubuh sebagai respon terhadap situasi atau peristiwa yang terjadi dalam lingkungan. Keduanya menyatakan bahwa pengalaman-pengalaman emosi pada manusia merupakan hasil dari perubahan fisiologis yang menghasilkan sensasi spesifik. Sensasi-sensasi ini diinterpretasikan sebagai berbagai macam
3
pengalaman emosi. Menurut teori ini, perbedaan emosi-emosi yang muncul adalah akibat dari perbedaan reaksi tubuh terhadap situasi yang dihadapi. Pandangan ini disebut dengan teori emosi James-Lange. Kelemahan dari teori, bahwa munculnya reaksi tubuh tidak selalu menghasilkan pengalaman emosi, sebagai contoh orang yang melakukan olah raga, akan mempercepat detak jantung dari pernafasan, tapi olah raga tidak menyebabkan ia mengalami suatu emosi. (Fieldman 2003; Kosslyn & Rosenberg, 2003). Berbeda dengan teori james dan Lange, teori emosi yang dikemukakan oleh Joseph le Doux (1996) menyatakan, bahwa ada perbedaan sistem otak untuk emosiemosi yang berbeda. Beberapa sistem mempunyai cara kerja yang refleks, tidak tergantung pada pikiran atau interpretasi. Akan tetapi ada pula sistem yang cara kerjanya tergantung pada pikiran dan interpretasi. Misalkan takut, dialami karena pekerjaan amigdala, tanpa membutuhkan interpretasi kognitif. Tetapi emosi yang lain seperti rasa bersalah melalui interpretasi kognitif dan mengingat pengalaman akan situasi yang sama sebelumnya. Jadi emosi yang dirasakan manusia dapat melalui, 1) gabungan antara reaksi otak dan tubuh, 2) interpretasi dan mengingat situasi yang relevan. Teori Joseph Ledox inilah yang sesuai dengan pandangan cognitive behaviour (CBM) tentang marah, bahwa munculnya emoai marah sebagai akibat dari kesalahan individu dalam mengkonstruk keyakinan-keyakinannya terhadap sebuah pengalaman yang memunculkan problem emosional maupun perilaku. Dari hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara keyakinan-keyakinan yang salah atau tidak rasional dalam memunculkan emosi negatif seperti marah, depresi, takut, dan cemas. Berpijak pada konsep marah menurut pendekatan CBM, ketika seseorang memproses
secara
kognitif
stimulan
marah
yang
diterimanya
untuk
diinterprestasikan, banyak faktor yang mempengaruhi proses interprestasi tersebut yang dapat mempengaruhi bagaimana individu tersebut mengalami emosi marah dan bagaimana mengekspresikan emosi marah yang dialaminya. Beberapa faktor yang mempengaruhi bagaimana orang mengalami dan mengekspresikan emosi marah adalah budaya, gender, dan kondisi demografi. Dari hasil penelitian yang menguji pengaruh gender terhadap pengalaman dan pengekspresian marah, menunjukkan bahwa perempuan lebih mudah mengalami perasaan marah dan lebih mudah
4
mengekspresikan marah dari pada laki-laki (Sharkin, 1993; Sharkin, 1996). Bila ditinjau dari faktor budaya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam memaknai dan mengekspresikan marah tidak terlepas dari pandangan gender suatu budaya. Sehingga yang perlu diperhatikan adalah perubahan atau perbedaan pandangan budaya terhadap gender berkaitan dengan marah memungkinkan adanya kesamaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan marah. Selain dipengaruhi oleh budaya dan gender, menurut hasil penelitian kemampuan mengelola marah juga dikaitkan dengan tingkatan usia. Pada orang dewasa memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengelola marah dibandingkan dengan orang yang usianya lebih muda. Hal ini dapat dipahami karena menurut pendekatan kognitif, munculnya emosi yang dialami oleh seseorang tidak terlepas dari bagaimana dia menginterprestasikan stimulan emosi, dan proses interprestasi itu sendiri dipengaruhi oleh pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dalam menghadapi situasi-situasi penyebab munculnya marah. selain itu pada orang yang lebih dewasa semakin jarang mengalami marah karena orang yang lebih dewasa cenderung memiliki kemampuan yang baik untuk mengontrol perilaku dan pengekspresian marah sehingga mereka lebih mudah diterima oleh masyarakat. Dari hasil penelitian meta analisis terhadap keefektifan CBM menunjukkan teknik-teknik CBM efektif digunakan pada orang dewasa. Pada hasil penelitian meta analisis teknik CBM untuk menurunkan marah pada anak-anak dan remaja menunjukkan bahwa meskipun teknik-teknik CBM efektif untuk anak-anak, namun teknik-teknik CBM yang menekankan penggunaan fungsi kognitif secara penuh lebih efektif diberikan pada orang dewasa dari pada anak-anak. Penelitian yang dilakukan oleh (Sukhodolsky, Kassinove, Gorman, 2004) menemukan bahwa teknik yang bersifat behavioristik murni lebih efektif untuk anakanak usia 7-10 tahun. Dari penelitian itu pula diketahui meskipun pendekatan CBM efektif untuk anak-anak namun dibandingkan dengan penerapan CBM untuk remaja (usia 15-17 tahun) dan orang dewasa, keefektifan CBM untuk anak-anak masih lebih rendah. Karena itu menggunakn pendekatan CBM akan lebih menguntungkan atau lebih efektif jika diberikan kepada remaja. Hasil penemuan dalam penelitian tersebut dapat dipahami bahwa peran proses kognitif dalam memunculkan marah sangat penting. Oleh sebab itu teknik-teknik yang digunakan untuk menurunkan marah
5
dalam pendekatan CBM sangat menekankan kemampuan mengolah informasi atau stimulan pemicu munculnya marah. sehingga perkembangan kognitif individu sangat berimplikasi terhadap penggunaan teknik-teknik CBM untuk mengintervensi marah. Pada umumnya penelitian penerapan intervensi CBM untuk menurunkan marah pada anak-anak menggunkan target populasi anak-anak yang berusia sekitar 7-12 tahun. Pada usia tersebut menurut ahli perkembangan kognitif Piaget individu berada pada tahap perkembangan konkret operasional di mana anak sudah dapat berpikir secara rasional dan logis. Kajian
terhadap
teknik-teknik
CBM
untuk
mengintervensi
marah,
memberikan pemahaman bahwa pendekatan CBM bukan hanya sekedar teknikteknik tetapi juga berisi teori-teori yang komprehensif tentang bagaimana manusia merasa dan bertindak seperti apa yang mereka lakukan yang merupakan kombinasi antara faktor biologi, psikologi, dan faktor-faktor sosial. Premis dasar tentang emosi dan perilaku manusia adalah hasil dari pikiran manusia, asumsi, atau keyakinankeyakinan tentang diri mereka sendiri, orang lain, dan dunia pada umumnya Froggatt (2006). Premis dasar ini menjadi landasan untuk penerapan teknik-teknik menurunkan marah. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Deffenbacher dan koleganya menunjukkan bahwa penggunaan teknik kognitif lebih
efektif
dibandingkan
teknik
teknik
behavioristik.
Akan
tetapi
mengkombinasikan
behavioristik dan kognitif dalam sebuah treatmen untuk marah akan jauh lebih efektif, seperti hasil penelitian Deffenbacher yang membandingkan keefektifan teknik relaksasi saja dengan teknik relaksasi yang dipadu dengan kognitif ternyata menunjukkan penggunaan relaksasi dan kognitif lebih efektif dari pada hanya menggunakan relaksasi saja. Penemuan Deffenbacher ini konsisten dengan premis dasar CBM mengenai emosi dan tindakan manusia berkaitan dengan pikiran. Pada aspek teknik penerapan apakah kelompok atau individu, manakah yang lebih efektif, penerapan teknik-teknik CBM secara kelompok ataukah individu untuk menurunkan marah, ternyata dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan keefektifan antara pemberian intervensi secara kelompok ataukah individu. Untuk mengetahui keefektifan teknik CBM dalam intervensi terhadap individu-individu yang memiliki kecenderungan marah, diperlukan alat ukur atau
6
instrumen pengukuran yang valid dan reliabel sehingga dapat mengukur aspek-aspek marah. pengembangan alat ukur marah yang dikembangkan oleh Stenberg dengan nama Trait Anger Scale (TAS) telah memberikan kemudahan orang untuk memahami marah yang dapat diukur dengan menggunakan TAS. Namun ada paling tidak 3 dimensi
yang perlu diperhatikan dalam pengembangan instrumen
pengukuran marah dengan pendekatan CBM, yaitu 1) anger experience (affective anger), 2) hostility (anger cognitions), dan 3) anger expression (aggression, assertion, and withdrawal). Marah merupakan emosi alamiah yang dialami oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali marah menjadi awal munculnya berbagai macam problem sosial di masyarakat ketika emosi marah tidak dapat dikendalikan secara produktif. Oleh karena itu marah sangat berkaitan dengan kemampuan orang untuk mengendalikannya dan bagaimana mengekspresikan marah secara sesuai. Walaupun marah memiliki peran dalam memunculkan problem sosial seperti kekerasan dan agresif, namun dibandingakn penelitian-penelitian terhadap emosi negatif yang lain (cemas, takut, dan sedih) penelitian tentang marah masih relatif sedikit. Selain itu kesepakatan secara teoritis atau konseptual tentang hakekat marah masih terjadi perbedaan pendapat, hal ini karena marah sendiri merupakan konstruk psikologi yang sangat kompleks dan terkait dengan dimensi-dimensi lain seperti dimensi biologis, psikologi dan sosial budaya. Di Indonesia, penelitian-penelitian yang berkaitan dengan marah masih sangat terbatas, salah satu penelitian tentang marah dilakukan oleh Helmi (2004) yang menguji model kelekatan dengan perilaku marah. Jika marah merupakan salah satu emosi penting yang sangat mempengaruhi hubungan sosial yang harmonis dalam masyarakat, maka usaha untuk memahami dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola dan mengekspresikan marah secara sesuai merupakan kebutuhan yang mendesak dewasa ini. Oleh karena itu peneliti melakukan beberapa penelitian yang bertujuan untuk menemukan sebuah pendekatan mengelola marah yang mudah dipahami dan dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya pada remaja. C. Metode Penelitian a. Desain Penelitian
7
Dalam penelitian ini untuk mengetahui keefektifan pelatihan mengelola marah untuk meningkatkan
keterampilan
siswa
mengelola
marah
digunakan
rancangan
eksperimen one group pretest-psottes design. Ciri utama rancangan ini adalah bahwa kelompok dibandingkan dengan dirinya sendiri. Perbedaan perolehan skor pengukuran akhir (O2) dengan pengukuran awal (O1) dianggap sebagai hasil perlakuan X. Rancangan eksperimen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut; Gambar 3.1 : One Group Pretest-Posttest Design Pengukuran Awal
Perlakuan
Pengukuran Akhir
O1
X
O2
b. Subyek penelitian Subyek penelitian adalah siswa MTsN 1 Batu, yang sesuai dengan kriteria sebagai subyek penelitian, yaitu siswa kelas IX yang mengalami kesulitan dalam mengelola emosi mereka dengan ciri-ciri mudah marah, mengekspresikan marah dengan cara yang tidak sesuai, menyerang atau menarik diri dari teman-temannya, dan siswa yang menunjukkan perilaku distruptif baik di sekolah atau di rumah, bertingkah agresif ketika marah. c. Instrumen Penelitian 1. Instrumen Pengukuran Untuk
mengetahui
tingkat
kemampuan
mengelola
marah
peneliti
menggunakan instrumen skala pengukuran marah yang dikembangkan sendiri. skala pengendalian marah ini dikembangkan untuk mengukur a) keterampilan siswa memahami marah; b)
keterampilan mengelola marah. Skala kendali marah ini
memiliki gradasi 1-5 (selalu =5, sering = 4, kadang-kadang = 3, sesekali = 2, Tidak pernah = 1). Untuk mengetahui tingkat keterampilan siswa sebelum dan sesudah pelatihan, digunakan kategorisasi tingkat keterampilan memahami marah dan mengelola marah berdasarkan skor rata-rata yang diperoleh siswa sebelum dan setelah pelatihan. Kategorisasi tingkat keterampilan memahami marah dan mengelola marah dapat dilihat pada tabel 1 dan 2 berikut ini.
8
Tabel 1. Penggolongan Skor Keterampilan Memahami Marah Penggolongan Skor
Kriteria
5≤9
Tidak Terampil
9,2 ≤ 13
Kurang Terampil
14 ≤ 17
Cukup Terampil
18 ≤ 21
Terampil
22 ≤ 25
Sangat Terampil
Tabel 2. Penggolongan Skor Keterampilan Mengelola Marah
2.
Penggolongan Skor
Kriteria
3≤4
Tidak Terampil
5≤7
Kurang Terampil
8 ≤ 9,2
Cukup Terampil
11 ≤ 13
Terampil
14 ≤ 15
Sangat Terampil
Instrumen Perlakuan
Instrumen perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah paket pelatihan pengendalian marah yang telah dikembangkan oleh peneliti dengan topik-topik 1) kesadaran marah dan 2) mengelola marah. d. Analisa Data Teknik analisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu; 1. Statistik t test digunakan untuk menghitung taraf signifikansi perbedaan siswa sebelum dan sesudah mendapat pelatihan mengelola marah. 2. Analisa deskriptif terhadap tugas-tugas, hasil wawancara, dan observasi.
Hasil dan Pembahasan 1. Hasil Analisis Data Tabel 3 menunjukkan data yang diperoleh dari hasil skor pretes dan post tes untuk aspek memahami marah dan mengelola marah pada saat penelitian dilakukan. Tabel 3. Hasil Perolehan Skor Pretes dan Posttes Memahami Marah dan Mengelola Marah
9
Memahami Marah
Mengelola Marah
No Urut Subyek Pretes
Postes
Pretes
Postes
1
9
15
11
13
2
15
16
11
14
3
16
19
11
13
4
13
18
13
12
5
17
18
9
13
6
14
20
5
11
7
17
19
9
13
8
17
18
10
12
9
14
18
6
12
9,2
16
17
13
14
Rata-rata
14,8
17.8
9,2
12,7
Untuk mengetahui perbedaan skor rata-rata pada pretes dan postes secara signifikan dalam pelatihan memahami marah dan mengelola marah dilakukan uji statistik Wilcoxon, dapat dilihat tabel 4.
Tabel 4. Hasil Uji Wilcoxon terhadap skor rata-rata pretes dan postes Pelatihan memahami Marah Jenis Keterampilan
Pretes
Postes
Beda
%
Z tes
Z sign
Memahami Marah
14.8
17.8
3
7,5%
-2,283
0,005
Mengelola Marah
9,20
12,7
3,5
23%
-2.677
0, 007
Pada tabel 4, terlihat besarnya perbedaan skor rata-rata sebelum dan sesudah pelatihan mengelola marah. Dari hasil analisis diperoleh skor rata-rata pretes dan postes untuk jenis keterampilan memahami marah sebesar 14,8 untuk pretes dan skor rata-rata postes sebesar 17.8, sehingga terdapat perbedaan skor antara postes dan
10
pretes sebesar 3 atau terjadi peningkatan sebesar 7,5%. Dalam uji Z diperoleh harga Z sebesar -2,283 dengan signifikansi 0,005. Hal ini menunjukkan telah terjadi peningkatan dalam kemampuan memahami marah pada siswa setelah diberikan pelatihan mengelola marah. Ditinjau dari perolehan skor rata-rata sebelum dilaksanakan pelatihan, tingkat keterampilan siswa dalam memahami marah pada kategori cukup terampil (skor 14,8), kemudian setelah dilakukan pelatihan mengelola marah keterampilan siswa termasuk dalam kategori terampil (skor 17.8). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan tingkat keterampilan siswa dalam memahami marah marah dari cukup terampil menjadi terampil. Pada tabel 4 menggambarkan adanya peningkatan skor rata-rata pada postes dibandingkan dengan skor rata-rata yang diperoleh siswa pada pretes dalam keterampilan mengelola marah. Dari hasil analisis mengelola marah seperti pada tabel 4 diperoleh skor rata-rata pretes sebesar 9,2 dan skor rata-rata postes sebesar 12,7, dari hasil perhitungan ini maka perbedaan antara nilai skor rata-rata pretes dan postes sebesar 3,5 atau mengalami peningkatan sebesar 23%. Dengan menggunakan uji Z diperoleh harga sebesar -2,677 pada signifikansi 0,007. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan keterampilan mengelola marah setelah diberikan pelatihan kepada siswa. Ditinjau dari kategori tingkat keterampilan mengelola marah sebelum pelatihan, dari tabel 2 dapat diketahui rata-rata siswa berada pada kategori cukup terampil sedangkan setelah mendapat pelatihan keterampilan rata-rata siswa dalam mengelola marah berada pada tingkat terampil. Peningkatan keterampilan mengelola marah secara kuantitatif tersebut, dikuatkan dengan hasil penilaian terhadap tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh siswa selama sesi pelatihan, yaitu mengisi jurnal marah setiap kali mereka merasakan emosi marah. Dari hasil penilaian terhadap jurnal marah yang telah diisi menunjukkan bahwa pada umumnya siswa telah dapat memahami marah, hal ini dapat diketahui dari ketepatan mereka mendiskripsikan aspek-aspek marah. Demikian juga dengan catatan pikiran yang berisi proses pengelolaan marah melalui teknik mengubah pikiran.
11
2. Pembahasan Berdasarkan hasil pelatihan mengelola marah dengan menggunakan pendekatan CBM postes,
baik
dan
pada
pendekatan Islam, diperoleh peningkatan skor rata-rata
keterampilan
memahami
marah
maupun
keterampilan
mengendalikan marah. Peningkatan kedua jenis keterampilan tersebut, secara keseluruhan menunjukkan peningkatan pula keterampilan mengelola marah pada diri siswa. Penelitian yang mendukung hasil uji coba tersebut antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Hains (1992), menyatakan bahwa mengajarkan remaja keterampilan pengendalian diri (self control) mempunyai pengaruh positif dalam membantu remaja mengurangi emosi negatif yang dialaminya seperti marah dan depresi. Penemuan Hains ini sama dengan penemuan sebelumnya yang dilakukan oleh Deffenbacher, Demm, & Brandon (1986) yang membuktikan bahwa teknik-teknik kognitif dan relaksasi dapat menurunkan marah. Secara teoritis meningkatnya skor rata-rata postes pada pelatihan memahami marah dan mengelola marah sesuai dengan pernyataan Meichenbaum dan Genest (dalam King, 1988), bahwa pelatihan pengendalian diri dapat membantu seseorang (1) menjadi sadar terhadap pikiran, situasi, dan perilaku yang menimbulkan gangguan marah, (2) dapat mengubah self statement,
dan (3) dapat belajar
keterampilan kognitif dan perilaku. Peningkatan skor rata-rata postes dalam pelatihan ini, juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Kendall (1993), bahwa pelatihan pengendalian diri, dapat membantu remaja untuk (1) memahami peranan pikiran dapat memunculkan marah, (2) mengendalikan pikiran-pikiran tersebut untuk mengatasi marah mengganggu, (3) belajar bagaimana pengaruhnya terhadap perilaku, dan (4) memiliki keterampilan menggunakan teknik-teknik yang efektif untuk mengendalikan atau mengubah perilaku.
12
E. KESIMPULAN Berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan; Pertama, secara umum pendekatan CBM dan pendekatan Islam efektif digunakan untuk meningkatkan keterampilan remaja mengelola marah. Keefektifan tersebut ditunjukkan dengan tercapainya indikator yang telah ditentukan dalam pemberian perlakuan dengan kedua pendekatan tersebut, yaitu adanya peningkatan pemahaman terhadap marah, berkurangnya frekuensi pengalaman marah dan intensitas kekuatannya, serta adanya perubahan perilaku marah pada diri partisipan ke bentuk perilaku yang lebih sesuai dalam merespon situasi yang memprofokosi emosi marah. Kedua, secara khusus pendekatan CBM dan pendekata Islam efektif meningkatkan (1) keterampilan remaja menyadari dan memahami komponenkomponen marah, (2) keterampilan remaja untuk mengelola marah. Pada aspek menyadari marah keefektifan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan skor rata-rata keterampilan memahami marah sebelum dan sesudah perlakuan. Pada tahap setelah perlakuan,
skor rata-rata partisipan lebih tinggi dari skor rata-rata sebelum
perlakuan. Keefektifan pada aspek ini juga dapat dilihat dari self report partisipan ketika mengalami marah, di mana setelah mendapatkan pelatihan mengelola marah dengan pendekatan CBM, mereka dapat dengan tepat menyebutkan peristiwa/situasi, emosi yang muncul, pikiran, reaksi fisik, dan perilaku saat marah. Demikian juga pada aspek keterampilan memulai dialog internal baru, keefektifan pendekatan CBM dapat diketahui dari adanya perbedaan tingkat keterampilan melakukan dialog internal baru sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. peningkatan tersebut dapat diamati dari proses pengubahan dialog internal yang menghasilkan pikiran baru yang terungkap dalam self report partisipan dalam jurnal marah. Selain itu, peningkatan keterampilan memulai dialog internal baru juga dapat diketahui dari adanya perubahan perilaku marah pada partisipan. Sebagaimana permis dasar dari pendekatan CBM yang menyatakan bahwa dialog interanal mempenyuai pengaruh penting bagi perubahan perilaku yang diinginkan.
13
DAFTAR PUSTAKA Beck.R and Fernandez.E.(1998). Cognitive-Behavioral Therapy in Treatment of Anger: A Meta-Analysis. Cognitive Therapy Research, Vol 22, No 1 Charlesworth, Jack (2004) Helpings Students Manage Anger. Professional School Counseling: A Handbook of Theories, Programs, & Practices. Edited by Erford, B. USA, Pro-Ed, Inc. Defenbacher, J. L & Stark, R. S.(1992). Relaxation and cognitive-relaxation treatments of general anger. Journal of Counseling Psychology. Vol 43, No 2, 149-157. Defenbacher,J; Oeting, E., Huff, M., & Thwaites, G. (1994). Social Skill and CognitiveRelaxation Approach to General Anger Reduction. Journal of Counseling Psychology, 41, 386-396 Defenbacher, J.L; Lynch, R.S; Oetting E.R; Kemper, C.C.(1996). Anger Reduction in Early Adolescents. Journal of Counseling Psychology. Vol 43, No 2, 149-157 Gadner.(1996).Memahami Gejolak Remaja.Terjemahan.Jakarta, Mitra Utama Goleman, Daniel (1996) Emotional Intelligences: Why it can matter more than IQ. USA, Bantam Books. Helmi, R. (2004). Efektifitas Pendekatan Kelekatan untuk Menurunkan Marah. Jawa Pos.Remaja Menikam Seorang Guru. 5 September 2010. Kendall,(1993). Emotional competence: How emotions and relationships become integrated. In R. Thompson (Ed.), Nebraska symposium on motivation: Vol. 36. Socioemotional development (pp. 115-182).Lincoln: University of Nebraska Press. Kosslyn & Rosenberg, (2003). The future of adolescent group therapy. An analaysis of historical trends and current momentum. Journal Of Child And Adolescent Group Therapy, 11 Kopper & Epperson (1996). The Experience and Expression of Anger: Relationship with Gender, Gender Role Socialization, Depression, and Mental Healt. Journal Psychology and Counseling vol 43 no 2.
14
Margaret, G.E. (1990). Display rules for anger, sadness, and pain: It depends on who is watching. Child Development, 67, 957Martin Ramirez & Alvarado. (2005). Individual Differences in Anger Reaction To Noise. Individual Differences Research. 2004. 2(2). Newman.(2006). Gender Differences in the Relationship of Anger and Depression. Journal Counseling and Development vol 84, 2 O’Lorey. K Daniel & O’ Lorey. G Susan (1977) Classroom Management : The Successful Use of behavior Modification.Pergamon Press Inc. New York. Ramirez T & Alvarado (2004). Cognitive Constructivst Psychotherapy With Children And Adolescent. New York. Kenver Academic/Plenium Publisher. Siegel, J.M.(1986). The Multidementional Anger inventory.Journal of Personality and social Psychology. Vol.51, No.1, 191-200. Shurkin, B.S.(1993). Anger and Gender: Theory, Research, and Implication. Journal Counseling & Development. Sharkin, Bruce S.(1996). Understanding Anger : Comment on Deffenbacher, Oetting, et al (1996), and Kopper and Epperson (1996). Journal Counseling Psychology Spielberg, C.D; Reheisier, E.C dan Sydeman, S.J.(1988). Measuring the experience, expression, and control of anger. Dalam Sukhodolsky,D.G; Solomon, R.M; Perine,J.(2000). Cognitive-Behavioral, anger-control Intervention for elementary school children: A treatment-outcome study. Sukhodolsky, D.G, Kassinove, H; Gorman, B.S.2004. Cognitive-Behavioral Therapy For Anger in Children and Adolescent: A Meta Analysis.Aggression and Violent Behavior vol 9, p 247-269 Surya. Remaja di Surabaya Bunuh Diri. 5 November 2010. Wahyuni, E.N. (2005). Pengembangan Paket Pengendalian Emosi. Thesis. Tidak dipublikasikan. ____________ (2010). Efektifitas Pendekatan Cognitive Behaviour Modification untuk Meningkatkan Keterampilan Pengendalian Diri Siswa SMKN 10 Malang. Dikti.
15
Zwemer, W.A & Defenbacher, J.L.(1984). Irrational Beliefs, Anger, and Anxiety. Journal Counseling Psychology. Vol 31, 393.
16
Pengembangan Pendidikan Karakter Anak melalui Permainan Tradisional di NTT
Beatriks N. Bunga, S.Si-Teol, M.A Merly Aclin Nuasizta Klaas, S.Psi
FAKULTAS KEGURUAN & ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG NOV 2011
“Pengembangan Pendidikan Karakter Anak melalui Permainan Tradisional di NTT”
Beatriks N. Bunga, S.Si-Teol, M.A & Merly Aclin Nuasizta Klaas, S.Psi Universitas Nusa Cendana Kupang-Nusa Tenggara Timur, Indonesia Email :
[email protected] &
[email protected]
Abstract Menurunnya nilai-nilai moral bangsa di seperti meningkatnya kejahatan, korupsi, tindakan agresif, tindakan asusila, menjadi pergumulan bangsa Indonesia akhir-akhir ini.. Pendidikan menjadi salah satu upaya yang dilakukan banyak pihak untuk menyelesaikan masalah tersebut. Hanya saja belum maksimal. Masih butuh model yang tepat untuk mengembangkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter dapat ditunjang dengan permainan tradisional. Penelitian ini mendeskripsikan tentang jenis-jenis permainan tradisional dan nilai-nilai karakter yang terkandung
dalam permainan
tradisional
di NTT. Tehnik
pengumpulan data
menggunakan studi pustaka dan wawancara 6 tokoh masyarakat yang mewakili 6 suku di NTT yaitu Flores, Sumba, Timor, Alor, Sabu dan Rote. Dari 6 suku besar di NTT ada 6 model permainan tradisional yang mengandung nilai-nilai karakter seperti cinta tanah air, kepahlawanan, sportifitas,
kerjasama,
kejujuran, saling menghargai, kerja keras, rasa ingin tahu & kreatif, disiplin, kerja keras dan cinta lingkungan. Untuk itu pola pendidikan karakter di sekolah dapat di modifikasi dengan permainan-permainan tradisional Keyword : Pendidikan Karakter, Permainan Tradisional
Pendahuluan Menurun atau punahnya peradaban suatu bangsa bukanlah dikerenakan oleh perang atau bahkan kemiskinan tetapi karena menurunnya karakter masyarakat di dalamnya. Salah satu tindakan preventif yang dianggap efektif adalah melalui pendidikan.
Melalui upaya ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas karakter
generasi muda sehingga dapat mengurangi berbagai masalah karakter bangsa umumnya dan kualitas karakter masyarakat NTT secara khusus. Usaha dalam bidang pendidikan pun belum maksimal, masih mencari metode-metode yang tepat dan kontekstual. Menurut para ahli, anak membutuhkan media untuk proses belajarnya. Bandura (Crain, 2007) mengatakan bahwa pengajaran saja tidak cukup harus melalui contoh atau praktek langsung. Menurut Piaget (Hurlock, 2007) melalui permainan anak dapat dihantar untuk mampu menangkap konsep-konsep yang abstrak baginya, Vygotsky (Crain, 2007) menegaskan bahwa ketika anak bermain, tidak hanya mengembangan intelektualnya tetapi juga mengembangkan kematangan emosi dan sosial anak. Montolalu (2008) menjelaskan bahwa bermain dapat melatih kognisi, fisik motorik, emosi dan sosial anak. Dia juga menambahkan bahwa guru dan orangtua dapat menggunakan permainan dalam proses pendidikan pada anak. Salah satu jenis permainan yang mulai terpinggirkan saat ini adalah melalui permainan tradisional. Permainan tradisional semakin terpinggirkan karena maju pesatnya permainan-permainan modern. Permainan tradisional adalah permainan yang dilakukan berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun dan dapat memberikan rasa puas atau senang bagi si pelaku (Permainan Tradisional, Direktorat Permuseuman, 1998). Pemainan tradisional tidak hanya memberikan rasa puas dan kesenangan, tetapi juga memuat banyak sekali nilai-nilai yang dapat dipakai untuk mengembangkan pendidikan karakter bagi anak. Penelitian yang dilakukan oleh Iswinarti (2008) mengkaji tentang nilai-nilai terapiutik seperti nilai perkembangan fisik, nilai kesehatan mental, nilai deteksi dini, nilai problem solving dan nilai sosial dalam permainan tradisional engklek. Astuti (2009) menghasilkan penelitian tentang permainan tradisional dapat meningatkan
kemampuan verbal anak. Seriati (tidak bertahun) mengatakan bahwa permainan tradisional berupa gerak dan tari dapat meningkatkan kemampuan sosial anak. Menurut Guilford (Astuti, 2009) aspek-aspek permainan tradisional yaitu aspek jasmani yang terdiri dari kekuatan dan daya tahan tubuh serta kelenturan; 2) aspek psikis yang meliputi aspek berpikir, unsur berhitung, kecerdasan, kemampuan membuat siasat, kemampuan mengatasi hambatan, daya ingat dan kreatifitas, 3) aspek sosial meliputi kerjasama, suka keteraturan, hormat menghormati, balas budi, dan bersifat malu. Penelitian tentang permainan tradisional terkait dengan pendidikan karakter belum banyak dilakukan. Penelitian ini akan melihat nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam permainan tradisional di NTT dan bagaimana nilai-nilai tersebut dipakai untuk Pengembangkan Pendidikan Karakter baik di sekolah maupun rumah.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskanlah masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana pengembangkan pendidikan karakter anak melalui permainan tradisional di NTT. Tujuan Adapun tujuan penelitian adalah : 1. Mengidentifikasi jenis permainan tradisional di 6 suku besar di NTT 2. Mengidentiikasi nilai-nilai pendidikan karakter dalam 6 permainan tradisional di NTT 3. Untuk mengetahui pengembangkan pendidikan karakter anak melalui permainan tradisional di NTT.
Manfaat Hasil Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan khususnya dalam hal desain pembelajaran karakter yang kontekstual dan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan di NTT. Dan juga memberi pemahaman kepada orangtua
dan guru untuk memanfaatkan permainan tradisional sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai karakter pada anak. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Metode Penelitian Kualitatif yang akan dianalisis secara deskriptif. Adapun beberapa tahapan dalam pengumpulan data : 1. Mengidentifikasi permainan tradisional yang ada di 6 suku besar di NTT yaitu Flores, Sumba, Alor, Rote, Sabu dan Timor dengan wawancara dan studi kepustakaan. 2. Melakukan wawancara dengan 6 tokoh masyarakat mewakili 6 Suku besar di NTT mengenai nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam 6 klafisikasi permainan 3. Melakukan analisis untuk pengembangkan pendidikan karakter anak melalui permainan tradisional di NTT sebagai rekomendasi bagi guru maupun orangtua
Hasil Penelitian dan Pembahasan Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di 8˚-12˚ lintang selatan dan 118˚-125˚bujur timur. Luas wilayah NTT 47.349,9 km². Di NTT terdapat pulau-pulau yang memiliki karakteristik tersendiri. Termasuk di dalamnya adalah beragamnya permainan tradisional yang ada (Permainan Tradisional, 1998). Hasil pengumpulan data dari wawancara dan kepustaakaan, di peroleh setidaknya 68 permainan tradisional yang teridentifikasi di NTT. Permainan-permainan ini terkadang sama hanya berbeda nama serta mengalami perubahan dalam aturan bermain dan penamaannya. Permainan-permainan ini memiliki banyak manfaat bagi perkembangan anak baik itu fisik motorik, kognitif, emosional, sosial dan moral/spiritual. Berdasarkan wawancara dan studi pustaka (Himpunan Permainan Rakyat, 2005) Di NTT ada 6 suku besar yang biasa dikenal dengan singkatan FLOBAMORA yaitu Flores, Sumba, Sabu, Alor, Timor, Rote. Berikut nama-nama permainan tradisional yang teridentifikasi berdasarkan 6 suku besar di NTT No
Suku
Kajian Nama Permainan
No Suku 1 Flores
2
Sumba
3
Sabu
4
Alor
5 6
Timor Rote
Kajian Nama Permainan Pete Weo, Tao Ndeli, Roda Ranggang, Uwi Dhao, Kerralako, Bareke, Kote, Behuq-behuq, Epa, Dadoik, Bu’umbae, Tao Ndeli, Hoko, Heti Ai, Tabak Biu, Kong Kring, Masang Wai, Kobor Tau, Dhegha Leke, Pala Mangka, Rebi Luit, Gutio, Juru Dhongi, Cio Cao, Dawe Taka, Mae Busu, Sai, Kesik Gete, Lebe Mage Weran, Roga Eler, Sepak Korak, Nabe Koja Mamboa, Pamakangu, Motu, Motu Hamu dan Heina’, Pasola Pehoru, Womaka, Daki Doka, A’yu Do’be, Kako Kaba, Rai Noto, Ke’ji Lili-lili, Pegala, Pewuni, Wokeneke Saifang, Guling-guling Vening, Wur war, Ala Ikuk, Toori, Kru, Kong Piol, Badut kakun, Ken oh, Lao Furik, Hana Kaleik Lek/ Hadang, Nafemba Eik, Bahoruk, Sambu Koa, Ado dan Sasando
Tabel I. table nama permainan tradisional dalam 6 suku besar di NTT
Menurut Yunus (dalam Setiari) permainan tradisional tumbuh dan lahir dari kebudayaan setempat, untuk itu sering terjadi permainan yang sama muncul dengan nama dan aturan yang sedikit berbeda. Penulis memilih 6 permainan dengan karakteristik bermain yang sama, yang ada dalam 6 suku besar di NTT yaitu : 1. Permainan ini dikenal dalam Bahasa Indonesia Baku dengan Gasing. Di Flores di sebut dengan nama Kote, Tabak Biu, Pala Mangka, Timor disebut dengan permainan Piol, Sabu disebut dengan permainan Womaka, Alor sub etnik Abui di sebut dengan Kong dan Sumba disebut dengan Pamangku. 2. Permainan Congklak Di Flores khususnya Kab Sikka dikenal dengan nama Sai, Lebe Mage Weran; di Sumba di kenal dengan nama Motu, Di Sabu dikenal dengan nama Rai Noto, Di Timor dikenal dengan nama Lao Furik dan di Alor dengan nama Seifang 3. Permainan Cungkil Kayu Di Flores dikenal dengan nama Heti Ai dan Dadoik, Sabu dikenal dengan A’yu Do’be.
4. Permainan Pertahanan Diri / Perang Di Alor ada permainan Taoori/ Dedemo, Rote ada permainan Nefamba Eik, Bohoruk, Epa, di Flores ada Masang Wei, Kobor Tau, Uwi Dao, Juru Dhongi, Mae Busu, Kong Kring, Di Sabu ada Pehoru, Pewuni, Hana Leik; Di Alor ada permainan Wur-War, Ala Ikuk, Kru 5. Bermain dengan Bahan Alam (batu, panah, biji-bijian kemiri dan balam, tali-tali, tempurung) Permainan dengan batu Di Timor dikenal dengan hana kaleik, di Alor ada permainan, Flores ada permainan Pete Weo, Behuq Ehuq, Bu’umbae, Roda Ranggang, Rebi Luit, Cio Cao, Kesik Gete, Roga Eler, Sepak orak, Nabe; di Sabu ada ke’ji lili-lili, Wokeneke, Rai Noto, Pegala, Kako Kaba, Daki Doka; Di Timor ada Badut Kakun; Di Alor ada permainan Saifang, Guling-guling Vening, Si Lahdi 6. Bermain dengan Melodi / Lagu Di Flores ada permainan Gutio, Dawe Taka, Uwi Dhao; Di Rote ada Sasando.
Dari 6 klafisikasi permainan tersebut diperoleh nilai-nilai karakter yang dapat di menjadi sumber bagi pengembangan pendidikan karakter anak di NTT : 1. Cinta Tanah Air : Cinta Tanah Air adalah cara berpikir, bersikap dan bertindak yang kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, sosial budaya, lingkungan fisik, ekonomi bangsa (Pedoman Pengembangan Pendidikan Kebudayaan dan Karakter Bangsa, 2010) Hal pertama yang akan terjadi saat permainan tradisional di mainkan adalah menanamkan rasa kecintaan terhadap tanah air dan secara tidak langsung menjadi salah satu sarana melestarikan budaya. Ketika anak kenal dekat dengan budaya nya, anak akan merasa memiliki dan menjaga warisan budaya. 2. Kepahlawanan adalah semangat menghadapai tantangan walaupun bahaya menghadang di depan (Umbu Data, 2011). Nilai-nilai ini tampak dalam
permainan-permainan perang-perangan atau pertahanan diri. Anak harus berusaha sekeras-kerasnya untuk mempertahankan diri agar kelompoknya tidak kalah, msekipun harus menderita kesakitan karena dipukul, jatuh dan mengeluarkan tenaga lebih. 3. Nilai Sportifitas : Hampir semua permainan di NTT adalah permainan kompetitif baik individu maupun kelompok. Ini mengajar anak agar belajar menerima kekalahan dengan lapang dada dan menanggapi kemenangan dengan rendah hati. 4. Kerjasama : Saat anak harus memecahkan masalah atau mencapai tujuan, anak melakukan diskusi dan mencari alternatif-alternatif penyelesaian dari semua anggota kelompok. Bagaimana anak menyemakan persepsi dengan anggota kelompok yang lain. Disini biasanya akan terlihat siapa yang dominan dan siapa yang memiliki kemampuan untuk menengahi konflik. 5. Kejujuran adalah sikap dan perilaku seseorang yang didasarkan pada upaya yang menjadikan dirinya selalu dapat dipercaya dalam perkataan dan perbuatan (Zuchdi, 2010). Saat bermain ada aturan-aturan yang harus disepakati bersama. Peraturan-peraturan ini bukan peraturan yang tertulis dan diamati,, tetapi diketahui masing-masing diri sendiri, sehingga kejujuran pemain dituntut dalam melakukan aturan meskipun tidak di lihat oleh pemain lainnya. 6. Saling menghargai : Saat anak berbagi peran dan menentukan siapa yang menjadi anggota kelompok, anak dituntut untuk saling menghargai. Banyak ide dan pendapat dari semua pemain yang rentan terhadap konflik. Anak dituntut untuk tidak menggunakan kata-kata kasar, saling mendengar pendapat, tidak memaksakan kehendak. Sikap-sikap seperti inilah yang mulai hilang dalam permainan modern. 7. Rasa ingin tahu, Kreatif & Mandiri : Salah satu keunikan permainan tradisional adalah alat dan bahannya diambil dan di ciptakan dari alam oleh anak-anak sendiri. Anak belajar dari meniru apa yang mereka lihat saat orang lain membuat nya dan kemudian menciptakannya sendiri. Secara khusus alat dan bahan
permainan tradisional tidak diajarkan atau disiapkan, sehingga anak dituntut untuk kreatif dan menghasilkn alat permainan itu sendiri. 8. Disiplin adalah sikap atau perilaku yang menunjukkan ketaatan dan kepatuhan terhadap berbagai ketentuan dan peraturan (Zuchdi, 2010). Kedispilinan ini akan terlihat saat anak mulai bermain. Semua permainan tradisional ada aturan bermainnya sehingga apakah anak taat atau bermain curang, tentunya akan terlihat. 9. Kerja Keras adalah perlaku yang menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh dalam menghadapi hambatan dalam penyelesaian tugas atau mencapai tujuan (Awwaliyah, 2011). Hampir semua permainan tradisional NTT menuntut kerja keras. Misalnya dalam permainan Susun Batu. Anak di tuntut untuk tidak menyerah dalam menyusun batu sampai tingkat yang paling atas meskipun ancaman musuh siap menghadang setiap saat. 10. Cinta Lingkungan : Alat dan bahan permainan tradisional berasal dari alam. Secara tidak langsung mengajarkan anak untuk memanfaatkan alam untuk kehidupan mereka dan mengajarkan anak untuk menjaga alam sehingga terpelihara untuk keberlangsungan hidup manusia. Kesimpulan dan Rekomendasi Salah satu metode pengembangan pendidikan karakter anak adalah melalui permainan tradisional. Permainan tradisional kaya akan nilai-nilai moral yang dapat membangun karakter anak. Nilai-nilai itu antara lain nilai seperti kerjasama, kerja keras, ketrampilan, solidaritas, kejujuran dan toleransi. Pengembangan pendidikan karakter melalui permainan tradisional dapat dilakukan dengan cara : 1. Mengintegrasikannya dalam kurikulum dan proses pembelajaran. Berdasarkan hasil wawancara, para tokoh adat menyarankan bahwa tidak perlu ada waktu khusus untuk pelajaran karakter. Karena karakter tidak pernah dipelajari secara terpisah tetapi seyogyanya menjadi “aturan” atau “polisi” bagi kehidupan
manusia. Setiap ada kesempatan, sebaiknya guru ataupun orangtua selalu menyisipkan pelajaran karakter. Dan permainan sebaiknya dimasukan sebagai metode dalam penyampaian pelajaran. 2. Menjadikannya sebagai budaya. Ini dimaksudkan agar permainan tradisional selalu diarahkan menjadi salah satu permainan yang dilakukan saat waktu kosong. Saat istirahat di sekolah ataupun saat waktu bermain anak pada sore hari.
DAFTAR PUSTAKA Awwliyah, I & Muhamad, S (2011), Inovasi Media Pembelajaran Berbasis Permainan Tradisional Dalam Rangka Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Laporan Program Kegiatan Kreatifitas Mahasiswa, Bogor : IPB Astuti, Fitri (2009), Efektivitas Permainan Tradisional untuk Meningkatkan Kreatifitas Verbal pada Masa Anak Sekolah, Skripsi, Surakrta : UMS Crain, William (2007), Teori Perkembangan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Hurlock (2007), Perkembangan Anak Jilid II, Jakarta : Erlangga Iswinarti M.Si, Drs (2008), Nilai-nilai Terapiutik Permainan Tradisional Engklek pada Anak Usia Sekolah Dasar, Jurnal Penelitian, Malang: UMM Montulalu (2008), Bermain dan Permainan Anak, Jakarta : Universitas Terbuka Seriati, Ni Nyoman (tidak bertahun), Permainan Tradisional Jawa Gerak dan Lagu untuk Menstimulasi Ketrampilan Sosial Anak Usia Dini, Laporan Hasil Penelitian, PGPAUD Umbu Data, Prof. Frans, dkk, (2011), Pendidikan Karakter di Univesitas Nusa Cendana : Budaya Akademik, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. Zuchdi, Prof. Darmyati, 2011, Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif, Yogyakarta : UNY Press Himpunan Permainan Rakyat Daerah NTT, (2005), Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Unit Pelaksana Teknis Arkeologi, Kajian Sejarah dan Nilai Tradisionl Propinsi NTT Permainan Tradisional Indonesia, (1998), Departemen Pendidikan & Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Permuseuman.
Indikator Karakter Kritis dan Kreatif Mahasiswa Calon Guru: Survei di Universitas Negeri Yogyakarta Oleh: Beniati Lestyarini*, Fakultas Bahasa dan Seni, UNY, 2012 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui indikator karakter kritis dan kreatif mahasiswa calon guru di UNY. Karakter kritis dan kreatif sangat penting dalam menciptakan karakter guru yang mampu mengembagkan potensi diri, profesionealitas kerja, serta mengembangkan karakter mulia anak didik Penelitian ini merupakan penelitian survei yang melibatkan responden baik dosen maupun mahasiswa di lingkungan Universitas Negeri Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner bagi dosen dan melakukan wawancara dengan mahasiswa untuk mengetahui indikator karakter kritis dan kreatif mahasiswa calon guru yang sudah dilaksanakan maupun yang ideal diinginkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons karakter kritis dan kreatif mahasiswa calon guru UNY cukup baik. Indikator karakter kritis dan kreatif mahasiswa calon guru UNY tercermin melalui empat aspek atau komponen kemampuan berpikir kritis dan kreatif, yakni kemampuan membangun ide, kemampuan melakukan penilaian reflektif, kemampuan melakukan regulasi diri, dan kemampuan dalam menyadari watak dan perilaku. Skor rerata angket untuk kemampuan membangun ide sebesar 40.02, kemampuan melakukan penilaian reflektif sebesar 45.88, kemampuan melakukan regulasi dir sebesar 49.0, sedangkan watak dan perilaku menunjukkan skor sebesar 50.76. Hasil wawancara dengan mahasiswa menunjukkan bahwa pelaksanaan perkuliahan sudah dilakukan dengan mengembangkan karakter kritis dan kreatif meskipun beberapa mahasiswa belum berkesempatan untuk secara bebas dan terbuka mengembangkan karakter tersebut. Kata Kunci: karakter, kritis, kreatif INDICATORS OF STUDENTS’ CRITICAL AND CREATIVE CHARACTERS: A SURVEY IN YOGYAKARTA STATE UNIVERSITY By: Beniati Lestyarini, Faculty of Language and Art, YSU, 2012
ABSTRACT This research attempts to know and describe some indicators of critical and creative characters of students in Yogyakarta State University (YSU). Critical and creative characters is important to create a teacher’s character that able to develop self potential, work professionalism, and good character of students. This research is a survey involving lecturers and students of YSU as respondents. Data collection is done by questionnaires for lecturers and interview with students to obtain indicators of critical and creative character of students as teacher’s candidate both that has been develop and has to be developed. The result shows that the response for critical and creative indicators of students that has been developed is good. This is proved by the result of mean score of questionnaires for lecturers and interpretation of interview with students. Indicators for critical and creative characters were reflected through four aspects or components of critical and creative thinking including ability of developing idea, ability of reflective assessment, ability of self regulation, and ability of attitude and behavior awareness. The mean score for ability of developing idea is 4002, ability of reflective assessment is 5.88, ability of self regulation is 9.00, while attitude and behavior is 50.76. The result of interview with students shows that the implementation of learning has done by developing critical and creative characters although some students have no chance to freely develop that such of characters. Keywords: character, critical thinking, creative
1
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Suatu bangsa akan mampu membangun negaranya dengan baik jika diimbangi dengan pengembangan karakter kritis dan kreatif. Melalui pengembangan sikap dan respons kritis, masyarakat secara langsung maupun tidak langsung membangun kekuatan diri, identitas pribadi, sekaligus identitas nasional yang menjadi ciri khas bangsa. Sementara itu, karakter kreatif memungkinkan dihasilkannya sesuatu yang baru atau modifikasi dari sesuatu yang sudah ada. Hasil ciptaan ini bersifat unik dan tidak mudah ditiru sehingga penciptanya diapresiasi oleh masyarakat sebagai seseorang atau suatu komunitas yang memiliki keunggulan. Keunggulan inilah yang memungkinkan seseorang atau suatu masyarakat tidak hanya dapat bersaing tetapi juga dapat berkolaborasi secara sinergis dengan pihak lain. Kemampuan berkolaborasi secara sinergis ini sangat dibutuhkan di dunia modern yang ditandai dengan semakin banyaknya masalah yang kompleks dan rumit. Dalam kondisi seperti ini, hanya kerja kolaboratif pihak-pihak yang masing-masing memiliki keunggulanlah yang dapat mengatasi masalah yang muncul silih berganti secara sangat cepat. Pengembangan karakter kritis dan kreatif secara berkelanjutan dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Hanya para pendidik yang kritis dan kreatif yang memiliki kompetensi untuk mengembangkan subjek didik menjadi pribadi kreatif. Oleh karana itu, lembaga pendidikan yang berkewajiban menyiapkan calon guru haruslah mengembangkan model penyiapan guru yang kritis dan kreatif. Di samping itu, calon guru harus dipersiapkan untuk dapat membangun karakter kritis dan kreatif bagi subjek didik di sekolah. Kesadaran terhadap pengembangan karakter kritis dan kreatif calon guru senantiasa ditumbuhkan oleh semua institusi, khususnya LPTK yang mendidik para calon guru. Tentunya, upaya ini tidak terlepas dari visi dan misi LPTK serta karakter lokal yang menjadi ciri sekaligus tujuan utama LPTK. UNY sebagai salah satu LPTK yang memberikan respons positif terhadap pengembangan karakter kritis dan kreatif para mahasiswa calon guru semestinya juga melakukan berbagai kajian untuk mengetahui peta respons dan karakter kritis dan kreatif civitas akademika. Selama ini, studi mengenai penentuan indikator atau penilaian terhadap karakter kritis dan kreatif belum dilakukan. Oleh sebab itu, survai pemetaan awal untuk mengetahui indikator karakter kritis dan kreatif mahasiswa calon guru perlu dilakukan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 2
1. Bagaimana respons karakter kritis dan kreatif mahasiswa calon guru di UNY? 2. Bagaimana indikator karakter kritis dan kreatif mahasiswa calon guru di UNY? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Untuk mengetahui respons karakter kritis dan kreatif mahasiswa calon guru di UNY.
2.
Untuk mengetahui indikator karakter kritis dan kreatif mahasiswa calon guru di UNY.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, antara lain sebagai berikut. 1. Bagi calon guru, karakter kritis dan kreatif dan diserta dengan indikator mengukur karakter kritis dan kreatif diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengembangkan diri menjadi calon pendidik yang kritis dan kreatif sehingga desain pembelajaran untuk peserta didiknya juga mengelaborasi pengembangan karakter kritis dan kreatif. 2. Bagi Dosen, upaya mengembangkan karakter kritis dan kreatif mahasiswa sebagai calon guru dapat dikembangkan secara maksimal dengan berlandaskan pada karakter universitas sebagai LPTK yang peduli terhadap pengembangan dimensi kritis dan kreativitas mahasiswa. 3. Bagi instansi terkait, pemetaan terhadap respons karakter kritis dan kreatif serta indikator pengukurannya dapat memberikan gambaran kemampuan mahasiswa sebagai calon guru yang akan terjun langsung di masyarakat untuk mengabdi dalam bidang pendidikan. II. KAJIAN PUSTAKA A. Integrasi Pemikiran Kritis, Kreatif, dan Progresif dalam Kerangka Pendidikan Konstruktif-Progresifistik Secara konseptual, pemikiran kritis (critical thinking) berinterelasi dengan beberapa kerangka dasar yang oleh Minter (2010) dikatakan sebagai “building block”. Dalam jurnalnya “Critical Thinking Concept Reconstructed”, ada lima “building blocks” yang dikenalkan, antara lain: 1. Pemecahan masalah kreatif (creative problem solving/CPS). 2. Konsep sistem terbuka (open system) sebagai cara pandang terhadap proses berpikir dan belajar. 3. Taksonomi Bloom yang mengetengahkan levels of learning. 4. Proses pemecahan masalah klasik. 5. Logika (reasoning). 3
Kelima “building blocks” di atas didasarkan pada definisi pemikiran kritis oleh Ennis, bahwa: “...reasonably and reflectively deciding what to believe or do. “….making reasoned judgments. Basically, it is using criteria to judge the quality of something, from cooking to a conclusion of research paper. In essence, critical thinking is a disciplined manner that a person uses to assess the validity of something: a statement, news story, argument, research, etc.” Menumbuhkan data kritis peserta didik akan lebih efektif jika dilakukan melalui pembelajaran yang komprehensif dan progresif. Artinya, pembelajaran yang dilakukan mengelaborasi berbagai kemampuan peserta didik, mengaktivasi peserta didik, melibatkan konteks di sekitarnya, melibatkan kegiatan diskusi, dan lain-lain. W.J. McKeachie (1998) menegaskan bahwa pembelajaran harus dilakukan melalui “…explicitness, multiple opportunities to practice in differing contexts, and emphasis on developing student selfawareness and self-assessment. Dia menambahkan bahwa multikombinasi dari konsep berpikir adalah pendekatan terbaik yang dapat dilakukan dengan melibatkan combination of traditional problem solving methods., logic, and creative thinking. Sistem terbuka dalam pemikiran kritis melibatkan banyak variabel yang mempengaruhi dinamisme dan kemandirian belajar, termasuk berpikir kritis. Input, process, output, permeable boundaries, dan feedback merupakan komponen utama dalam sistem terbuka (Minter, 2010). Secara visual konsep sistem terbuka (open system) dapat divisualisasikan sebagai berikut.
Bagan 1. Konsep Open System (Minter, 2010)
Analisis terhadap daya kritis seseorang tidak dapat dipisahkan dari kemampuan metakognisi (Hillis & Puccio, 1999). Istilah metakognisi memiliki hubungan yang erat dengan kognisi. Istilah ini diperkenalkan oleh Flavel yang diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengontrol bermacam-macam aktivitas kognitif (Muisman, 2002: 24-26). Kemampuan ini dilakukan melalui aksi-aksi diantara empat kelas fenomena, antara lain 4
pengetahuan metakognisi, pengalaman-pengalaman metakognisi, tujuan atau tugas, dan aksi atau strategi. Proses yang terlibat seperti yang dinyatakan oleh Slife, Weiss, & Bell, 1985) terdiri dari perencanaan, pemantauan, dan evaluasi. Karakteristik pembelajaran yang mendayagunakan kemampuan metakognisi pada umumnya belum terlihat pada proses pembelajaran di sekolah. Guru dianggap sebagai pemberi ilmu dan siswa berada dalam keadaan kosong sehingga siswa hanya menerima pengetahuan. Padahal, kemampuan yang ada dalam diri siswa sangat beragam dan jika dimanfaatkan dengan baik dapat membuat proses belajar lebih efektif. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai bagaimana mendesain pembelajaran yang melibatkan daya kritis dan kreatif peserta didik perlu dikuasai pendidik dan calon pendidik. Dalam Models of Teaching (Joyce dan Marsha, 1996: 51) disebutkan bahwa dalam metakognisi ada proses “letting the student in on the secret” sehingga siswa dapat membangun sendiri pengetahuan dan kemampuan mereka, memutuskan strategi belajar apa yang akan digunakan, pemecahan masalah, dan menemukan sendiri ilmu yang akan dipelajari. Daya kritis dan kreatif seseorang melibatkan beberapa dimensi. Cennano (2009) menggambarkan model konseptual proses berpikir kritis dan kreatif. Secara visual, dimensi kritis dan kreatif tersebut dapat dilihat pada bagan berikut.
Bagan 2. Model Konseptual Proses Berpikir Kritis dan Kreatif (Baum, Cennano, & Newbill, 2009)
Ilustrasi model berpikir kritis dan kreatif di atas menggambarkan hubungan resiprokal antara proses menggenerasikan ide dan merefleksikan ide-ide tersebut sampai kemudian tercipta ide bermanfaat dan bernilai untuk memecahkan masalah. Selama proses ini terjadi, seseorang harus mengontrol pemikiran, komitmen, dan perhatiannya untuk tujuan dan keseluruhan proses yang dilakukan. untuk mencapai apa yang diinginkan, pemikir ini juga harus memiliki perilaku dan disposisi yang fleksibel, penuh motivasi, dan percaya diri.
5
B. Pembentukan Karakter Kritis, Kreatif Calon Guru Melalui kajian terhadap pentingnya pemikiran kritis, kreatif, dan progresif, pembelajaran harus dirancang dengan melibatkan ketiga aspek tersebut. Upaya merancang desain pembelajaran yang dapat mengelaborasi kerangka dasar pemikiran kritis, kreatif, dan progresif sudah selayaknya dibutuhkan oleh para pendidik maupun calon pendidik. Hal ini tentunya tidak terlepas dari dimensi pemikiran kritis, kreatif, dan progresif seperti dalam bagan pada bagian sebelumnya, yakni idea generation, reflective judgment, self regulation, attitude and dispositions. Berpikir kritis dan kreatif dimulai dengan menggenerasikan ide (idea generation). Tahap ini melibatkan seseorang untuk berpikir secara 1) lancar (fluent) serta 2) original dan fleksibel (Guilford, 1959; Marzano & Arrendondo, 1986; Raths et al, 1986; Starko, 2005 dalam Baum & Newbill, 2010). Proses yang dilakukan meliputi dua hal, yakni mengeksplorasi dan mencermati standar pembelajaran serta melibatkan brainstorming untuk mendistribusikan ide dalam situasi yang berbeda. Berikut ini tabel aktivitas yang dapat dilakukan pada tahap generasi ide. Reflective judgment dan idea generation berlangsung secara siklik, artinya peserta didik sebagai pemikir kritis dan kreatif dapat melakukan keduanya berkali-kali dalam satu proyek. Pada tahap reflective judgment, peserta didik diharapkan merefleksikan idenya untuk menentukan langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya. Proses yang terlibat meliputi analisis, sintesis, dan evaluasi (Black, 2005; Guilford, 1950, 1987; Partnership for 21st Century Skills, 2004; Stenberg & Spear-Swerling, 1996). Analisis melibatkan beberapa aktivitas dan pertanyaan, memisahkan ide yang tidak relevan kemudian merelasikan ide. Sintesis meliputi aktivitas mengorganisasi, meringkas, dan menyusun kembali. Selanjutnya, evaluasi meliputi penilaian dan melihat kebermaknaan ide. Beberapa aktivitas terkait reflective judgment dalam desain pembelajaran dapat digambarkan sebagai berikut. Self regulation penting dilakukan agar peserta didik memiliki karakter kritis dan kreatif. Proses ini mengupayakan agar peserta didik memonitor kemajuan (progress) yang telah diperoleh dan mengontrol aktivitas yang dilakukan yang meliputi perencanaan (plan), monitoring, dan evaluasi (de Bono, 1985; Paris & Winograd, 1990). Perencanaan penting untuk menemukan masalah yang sebenarnya terjadi, menilai kemampuan peserta didik, serta menyediakan sumber-sumber yang relevan dengan pembalajaran yang akan dilakukan. Monitoring memungkinkan pendidik untuk menjaga fleksibilitas desain pembelajaran serta membuat revisi terhadap kegiatan yang dilakukan berdasarkan hasil observasi dan monitoring. sementara itu, evaluasi mencakup evaluasi proses dan evaluasi produk. Proses yang dimaksudkan dapat meliputi keseluruhan aktivitas pembelajaran dan 6
produknya adalah dessain pembe elajaran yang dibuat oleh o peserta didik. Beberapa keg giatan yang y dapatt dilakukan dalam taha ap ini antara lain seba agai berikut.. Pe erilaku (attiitude) dan watak (disspositions) yang kemudian dalam hal ini dapat disebut d sebagai karakter merup pakan komponen pen nting dalam m berpikir kritis k dan kreatif. Hal ini akkan mendu ukung kemampuan p produktif pe eserta didik yang da apat dilihatt dari pemahama an dan fle eksibitas (perceptive e and flexxibility), motivasi m (m motivation), dan kepercayaa an diri (con nfidence). Pemahama an dan flekksibitas ka arakter pese erta didik dapat menjadi ce ermin dari kerendahan k n hati, cara a menilai, keterbukaan k n pemikiran n, dan toleransi. Motivasi ak kan mencerminkan ba agaimana peserta p didik menjaga a motivasi internalnya serta ketekunan dalam prosses pembe elajaran. Se ementara itu rasa perccaya diri (cconfidency) akan memunculkkan ketegu uhan serta keberanian dalam mengambil m risiko. Tab bel di bawa ah ini merupakan n contoh kegiatan yang dapat dilakukkan untuk komponen attitude dan dispositionss. Desain pembelaja aran yang akan dike embangkan n mengacu u pada konsepkonsep me engenai pemikiran kritis k dan kreatif. Pe eserta didikk dapat mengemban m ngkan karakter kriitis dan kreatifnya melalui praktikk modelling.. III. METOD DE PENEL LITIAN A. A
Metod de Penelitiian Pe enelitian ini merupak kan penelitian survai dengan m menggunakkan pendekatan
kuantitatif dan didukkung kualitatif. Adap pun roadm map metod de sekaligu us pelaksa anaan s garis s besar ada alah sebagai berikut dilihat d pada bagan beriikut. penelitian secara
Baga an 3. Roadm map Metod de dan Pelaksanaan Penelitian
g Penelitian B. Setting Pe enelitian ini dilaksana akan di Un niversitas Negeri N Yog gyakarta yang y melibatkan enam e fakultas, yakni Fakultas Ilmu Pendiidikan (FIP P), Fakultass Bahasa dan d Seni (FBS), 7
Fakultas Matematika M dan Ilmu Pengetahua P an Alam (FM MIPA), Fakkultas Tekniik (FT), Fakkultas Ilmu Keola ahragaan (FIK), serta a Fakultas Ilmu Sosia al dan Eko onomi (FIS SE). Respo onden meliputi ma ahasiswa, ketua k jurussan/prodi, d dan dosen yang y dipilih h secara ra andom sam mpling. Teknik T ini dipilih kare ena semua a responden n dianggap p sama ata au homoge en. Penelitia an ini dilaksanaka d an selama delapan bu ulan yakni d dari bulan Maret M samp pai bulan Ok ktober 2011 1. C. Instrum men Penelitian dan Cara C Pengu umpulan Data D Ins strumen pe enelitian yan ng digunakkan meliputti angket ya ang dilengkkapi dengan n kisikisi angkett yang dibe erikan kepada mahasisswa calon guru, dose en, dan ketua jurusan//prodi yang y dipilih h sebagai responden r serta wawa ancara beb bas terpimp pin yang dilengkapi de engan kisi-kisi waw wancara. D. Teknik k Analisis Data D Te eknik analis sis data ya ang digunakkan melipu uti teknik analisis desskriptif kuan ntitatif dan d kualita atif. Teknik analisis de eskriptif kua antitatif digunakan untuk menga analisis data a dari hasil angke et dengan menggunak m kan program m SPSS. Sementara itu, teknik analisis a desskriptif kualitiatif digunakan d untuk men ngalisis da ata hasil wawancara w dengan responden r yang terlibat. t Va aliditas pen nelitian dica apai melalu ui validitas demokratikk dan dialo ogis, sedan ngkan reliabilitas penelitian p d dicapai melalui cek sila ang semua data yang dapat diku umpulkan. IV. HASIL PENELITIA AN PEMBA AHASAN A. A Karaktter Mahasis swa Kritis dan Kreattif Calon Guru Sepertii yang telah diuraikan n dalam ba ab sebelum mnya bahwa a karakter kritis dan kreatif k mahasiswa a calon guru u UNY dida asarkan pad da empat aspek a pentin ng dimensi kritis dan kreatif k yang y dikem mukakan oleh o BAUM, Cennano o, dan New wbill (2009)) yakni gen nerasi ide (Idea generation) g ), penilaian n reflektif (reflective ( jjudgment), regulasi diri d (self re egulation), serta perilaku da an watak (attitude an nd dispositiions). Masing-masing aspek tersebut kemudian diuraikan d dalam d perta anyaan ang gket yang sudah melalui tahap validasi insstrumen an ngket. Adapun A kissi-kisi angke et dan angk ketnya dapa at dilihat pa ada lampira an. Secara a garis bessar, hasil perolehan p ssurvei dari keempat a aspek seca ara visual dapat ditunjukkan d n melalui diagaram berikut. 6 60
Colu umn2
4 40 2 20
Colu umn1
0
Series 1 aspek 1
aspek 2
aspek 3
a aspek 4
8
Diagram 1. Perolehan Skor Aspek Karakter Kritis dan Kreatif Mahasiswa Calon Guru Keterangan: Aspek 1: Kemampuan Membangun Ide Aspek 2: Kemampuan Penilaian Reflektif
Aspek 3: Kemampuan Regulasi Diri Aspek 4: Perilaku dan Watak
Perolehan skor untuk kemampuan membangun ide adalah sebesar 42.02. untuk kemampuan penilaian reflektif skor yang diperoleh sebesar 45.88. pada kemampuan regulasi diri, skor rerata yang diperoleh sebesar 45.9. Sementara itu untuk kemampuan perilaku dan watak skor rerata menunjukkan hasil 50.76. Dari perolehan ini, skor rerata paling tinggi yakni pada komponen perilaku dan watak sedangkan skor rerata paling rendah ditunjukkan oleh perolehan skor kemampuan membangun ide yakni sebesar 42.02. Hal ini dapat dipahami bahwa karakter kritis dan kreatif sangat erat kaitannya dengan perilaku dan watak yang dimiliki oleh manusia (mahasiswa sebagai calon guru). Meskipun begitu, kemampuan-kemampuan yang lain tetap dibutuhkan, terbukti dengan perolehan skor yang tidak terlalu memiliki selisih jauh. Berikut uraian masing-masing aspek. 1. Kemampuan Membangun Ide Kemampuan membangun ide berkenaan dengan dua hal penting yakni kelancaran membangun ide serta keaslian dan fleksibilitas ide diungkapkan. Kelancaran dalam mengkomunikasikan ide dapat dilihat dari aktivitas brainsorming yang biasa dilakukan di dalam kelas yakni mahasiswa mengusulkan ide-ide sebanyak mungkin, tentunya dengan berdasar sumber atau fakta ilmiah. Sementara itu, keaslian ide berkaitan dengan keterlibatan pengalaman stimulus, perspektif pengetahuan, dan hasil pengamatan. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan ide yang asli yakni dengan mengeksplorasi berbagai pengalaman, berpikir analogis, berfikir metaforik, meninjau ide dengan cara yang baru, mengamati, mengelaborasi, membuat ekstrapolais dengan menghubungkan pengetahuan mengenai satu topik dengan topik lain, serta membuat asosiasi baru sebagai hasil dari analisis dan sintesis berbagai ide. Perolehan skor dalam hal membangun ide yakni 40.02. Skor ini merupakan skor rerata paling rendah diantara kemampuan yang lain. Secara teoretis kemampuan membangun ide merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki mahasiswa karena dari kemampuan inilah berbagai pemikiran kritis dan kratif akan muncul. Pemikiran kritis akan terlatih dengan habituasi untuk menganalisis berbagai ide, pengalaman, stimulus, serta membuat sintesis dengan gaya atau pemikiran sendiri. Pemikiran kreatif akan muncul seiring dengan konsep baru yang dimunculkan sebagai hasil dari pemikiran kritis karena disini, asosiasi baru dimunculkan sebagai bagian dari cara berpikir kreatif. 9
Dari respons yang diperoleh, kesadaran terhadap pentingnya kemampuan membangun ide semestinya perlu ditingkatkan. Berbagai kajian atau literatur terkait dengan membangkitkan
ide
atau
inspirasi
hendaknya
menjadi
bahan
diskusi
untuk
mengembangkan sekaligus mengaplikasikannya dalam praktik di lapangan. 2. Kemampuan Melakukan Penilaian Reflektif Dalam menumbuhkan sikap dan karakter yang mampu melakukan penilaian reflektif, kemampuan menganalisis, mensintesis, dan membuat evaluasi penting sekali untuk dikembangkan. Kemampuan menganalisis meliputi mempertanyakan dengan tujuan mengidentifikasi informasi yanng tidak jelas dan bertanya untuk memperoleh kejelasan, memisahkan ide yang bertujuan untuk memisahka ide-ide baik yang relevan maupun yang tidak relevan dengan konteks serta menghubungkan yakni dengan melakukan identifikasi asosiasi antarobjek atau ide. Kemampuan membuat sintesis berkaitan dengan kegiatan mengorganisasi, menginterpretasi, meringkas, membuat hipotesis, serta menggubah. Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan pertimbangan terhadap sumber, mempertimbangka logika, mempertimbangkan nilai, mempertimbangkan keguanaan, serta melakukan generalisasi terhadap ide untuk diterapkan ke situasi yang lain. Sebagian besa responden menyatakan setuju pada subaspek kemampuan yang dituangkan dalam angket. Skor rerata pada kemampuan melakukan penilaian reflektif yakni sebesar 45.88. Skor ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk melakukan penilaian dengan berdasar pada refleksi memang sangat penting dan dibutuhkan oleh mahasiswa khususnya calon guru. Guru nantinya akan menghadapi berbagai karakter, cara belajar, cara berpikir dari siswasiswanya. Kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap berbagai hal tersebut sangat penting untuk dikuasai mengingat aspek penilaian tidak hanya berdasarkan satu dimensi saja namun banyak dimensi. Oleh karena itu, beberapa indikator khususnya yang berkaitan dengan penilaian reflektif pada angket senantiasa perlu dikembangkan. 3. Kemampuan Melakukan Regulasi Diri Kemampuan melakukan regulasi diri dimaksudkan agar mahasiswa mampu membuat aturan mengenai apa yang dimiliki, dilakukan, maupun diinginkan, melakukan monitoring terhadap pencapaian, serta melakukan evaluasi baik secara proses maupun produk. Ada tiga komponen penting yang diuraikna berkaitan dengan kemampuan melakukan regulasi diri, yakni: kemampuan merencanakan, kemampuan memonitor, serta kemampuan mengevaluasi. Skor rerata pada kemampuan regulasi diri secara keseluruhan menujukkan hasil yang cukup baik, yakni 45.9. Namun begitu, pentingnya regulasi diri menjadi pertimbangan bahwa kesadaran terhadap aktivitas-aktivitas yang terlibat dalam komponen ini tidak dapat 10
dikesampingkan. Dengan kemampuan melakukan perencanaan, monitor, dan evaluasi, mahasiswa akan senantiasa melakukan perbaikan dan refleksi terhadap kegiatan yang dilakukan. Dalam konteks pembelajaran, mahasiswa calon guru wajib untuk selalu melakukan regulasi berkaitan dengan pelaksanaan PBM. Apalagi, guru dituntut untuk mampu menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran dengan baik sehingga proses PBM dapat terselenggara dengan lancar dan sesuai tujuan. Oleh karena itu, respons terhadap kemampuan ini semestinya masih perlu ditingkatkan. 4. Pentingnya Watak dan Perilaku yang Mencerminkan Karakter Kritis
dan Kreatif
Mahasiswa Calon Guru Watak dan perilaku merupakan cermin karakter seseorang. Hasil perolehan angket menunjukkan hal yang seiring dengan asumsi ini karena skor rerata yang diperoleh menunjukkan respons paling tinggi diantara kemampuan-kemampuan yang lain yakni sebesar 52.02. Watak dan perilaku sebenarnya mencakup banyak dimensi karena berkaitan dengan sikap dan sifat diri. Pada rumusan indikatir kritis dan kreatif ada tiga subkomponen penting sebagai cermin watak dan perilaku, yakni tanggap dan fleksibel, penuh motivasi, serta percaya diri. Pada komponen tanggap dan fleksibel, aktivitas yang dapat dilakukan antara lain menghindari tindaka yang hanya asal menuruti kata hati, menghindari stereotipe dan prasangka tanpa dasar, memunculkan banyak sudut pandang, mempertimbangkan asumsi, sensitif, berpikir terbuka, serta toleran. Kemampuan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol pemikiran yang merupakan reaksi sejenak dan emosional, mengidentifikasi ide dan pendapat yang sudah ada, dan bagaimana keduanya dapat mempengaruhi tujuan, memunculkan ide dari berbagai perspektif, mengidentifikasi ide dari berbagai pengalaman. Motivasi yang ditujukkan oleh mahasiswa mengindikasikan bahwa mahasiswa memiliki watak dan perilaku yang mandiri, kuat, ingin senantiasa mengembangkan diri, serta menyadari relevansinya dengan kepercayaan dan harga diri yang dimiliki. Kemampuan ini sangat penting dimiliki sebagai bekal dalam memberikan motivasi kepada anak didik. Sementara itu, rasa percaya diri yang kuat menunjukkan bahwa mahasiswa mampu melakukan aplikasi keilmuan dalam konteks nyata, memiliki pendirian yang kuat, serta berani mengambil resiko atas apa yang dilakukan. Tentu saja, ekmampuan ini sejalan dengan sikap dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik. B. Respons Karakter Kritis dan Kreatif Mahasiswa Calon Guru Respons mahasiswa dilihat dari bagaimana tanggapan terhadap beberapa hal, yakni: proses pembelajaran; media, strategi, dan evluasi praktik mengajar; cara mengatasi kesulitan praktik mengajar;serta tjuan dan target pembalajaran.Secara umum, upaya 11
penumbuhan karakter kritis dan kreatif sudah tercermin dalam beberapa keseluruhan komponen. Meskipun begitu, upaya peningkatan karakter kritis dan kreatif bagi mahasiswa masih perlu ditingkatkan agar mahasiswa calon guru memiliki kompetensi untuk menjadi guru yang professional yang kritis dan kreatif. V. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa respons karakter kritis dan kreatif mahasiswa calon guru UNY menunjukkan hasilyang cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan hasil perolehan skor rerata angket untuk dosen dan hasil wawancara dengan mahasiswa. Skor rerata angket untuk kemampuan membangun ide sebesar 40.02, kemampuan melakukan penilaian reflektif sebesar 45.88, kemampuan melakukan regulasi dir sebesar 49.0, sedangkan watak dan perilaku menunjukkan skor sebesar 50.76. Hasil wawancara dengan mahasiswa menunjukkan bahwa pelaksanaan perkuliahan sudah dilakukan dengan mengembangkan karakter kritis dan kreatif meskipun beberapa mahasiswa belum berkesempatan untuk secara bebas dan terbuka mengembangkan karakter tersebut. DAFTAR PUSTAKA Baum, Liesl M. & Phyllis Leary Newbill. 2010. “Instructional Design as Critical and Creative Thinking: A Journey Through a Jamestown-Era Native American Village” dalam TechTrends 54 (5). Black, S. 2005. Teaching Students to Think Critically: Education Digest: Essential Readings Condensed for Quick Review 70 (6). De Bono, E. 1985. Six Thinking hats: An Essential Approach to Business Management. Boston: Little Brown & Co. Guilford, J.P. 1950. Creativity: American Psychologist 5. Creativity and Its Cultivation. New York: Harper & Row. Guilford, J.P. 1959. Traits of Creativity dalam H.H. Anderson (Ed). Hillis, Patrick M. & Puccio, Gerard J. 1999. Literature Analysis of The Interdisciplinary Application of Creative Problem Solving. Abstract. www.buffalostate.edu/org. Joyce, B. & Weil, M. (1996). Models of Teaching. Mars: Allyn & Bacon. Marzano, R.J. & Arredondo, D.E. 1986. Restructuring School Through the Teaching of Thinking Skills. Educational Leadership 43 (8). McKeachie, W.J. 1988. Teaching Thinking. NCRIPTAL . Minter, Mary Kennedy. 2010. Critical Thinking Concept Reconstructed dalam Contemporary Issues in Education Research. 3 (8) www.proquest.umi.pqd/web. Muisman. (2002). Metakognisi, Bab II Kajian Pustaka, 24-26. Diambil pada tanggal 20 Agustus 2010, dari http://www. demandiri.or.id/file/muisman. Paris, S.G. & Winograd, P. 1990. How metacognition can promote Academic Learning and Instruction. Dalam B.F. Jones & I. Idol (Eds). Dimension of Thinking and Cognitive Instruction. Hillsdale, NJ: Erlbaum. Partnership for 21st century Skills. 2004. The partnership for 21st century skills. Retrieved January 12, 2008.
*Penulis adalah staf pengajar di Fakultas Bahasa dan Seni UNY dalam bidang pembelajaran dan evaluasi bahasa Indonesia 12
PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA MELALUI PENILAIAN PROSES DALAM MENATA TARI UNTUK MENINGKATKAN KECERDASAN KINESTETIK (Penelitian Tindakan Kelas Pada Mahasiswa di Jurusan Seni Tari UNJ)
Dinny Devi Triana Staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta.
Dipresentasikan pada SEMINAR NASIONAL PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BEKERJASAMA DENGAN HIMPUNAN EVALUASI PENDIDIKAN YOGYAKARTA MEI 2012
1
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan kinestetik sebagai upaya pembentukan karakter bangsa melalui penilaian proses, khususnya dalam pembelajaran menata tari pada mahasiswa di Jurusan Seni Tari Universitas Negeri Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas dengan dua silklus yang terbagi dalam dua belas kali pertemuan untuk masing-masing siklusnya. Intervensi tindakan pada siklus pertama menitikberatkan pada perubahan mind set atau pola pikir mahasiswa untuk dapat menghargai budaya lokal (tradisi). Sedangkan intervensi pada siklus ke-dua, mahasiswa dituntut untuk membuat konsep gerak silang budaya, sehingga adanya perubahan terhadap kecerdasan kinestetik mahasiswa yang lebih memperhatikan pada nilai-nilai budaya bangsa. Penilaian proses dalam menata tari yang mencakup domain kognitif, afektif dan psikomotor harus ditampilkan secara komprehensif. Selama pelaksanaan penilaian proses dalam beberapa kali pertemuan akan terefleksi karakter dan perilaku seseorang. Kesimpulan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya peningkatan kecerdasan kinestetik pada mahasiswa seni tari, khususnya dalam pembelajaran menata tari melalui penilaian proses sebagai upaya pembentukan karakter bangsa. Kata kunci: Karakter bangsa, penilaian proses, menata tari, kecerdasan kinestetik A. PENDAHULUAN Seni tak akan terpisahkan dari kehidupan manusia dan selalu berkembang di berbagai aspek yang melingkupinya, baik dari aspek dalam seninya itu sendiri maupun dalam pendidikan sebagai upaya untuk mewariskan nilai-nilai dari generasi ke generasi. Pada perkembangannya, dewasa ini seni bukan sebuah kemampuan yang diajarkan secara turun temurun, tetapi seni sebuah alat menyampaikan ilmu-ilmu lain, karena seni dapat memberi sebuah pengalaman rasa yang akan merangsang kemampuan berpikir dan seni merupakan disiplin ilmu yang menyentuh ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Hal inilah yang membedakan pendidikan seni dengan ilmu lainnya. Pemahaman terhadap seni dalam bidang pendidikan terjadi ketidakseimbangan, pendidikan cenderung mengarah pada intelektual
2
saja, tanpa melihat adanya keseimbangan estetis. Hal ini sama dengan mereduksi kemampuan intuisi manusia yang sebenarnya harus seimbang dengan kemampuan logisnya, yang keduanya telah menjadi kodrat manusia. Seni tidak lagi menjadi sederhana karena adanya perubahan budaya dan sosial dalam masyarakat. Kompleksitas dalam memandang perkembangan
seni
sangat
beragam
dipengaruhi
latar
belakang
pengetahuan, kekinian (immediate), inovasi, kebebasan, keterbukaan emosional
bahkan
economy
based.
Perkembangan
seni
yang
menyemarakkan dunia industri saat ini, dan telah menimbulkan degradasi karakter yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan di Indonesia adalah ketika derasnya budaya luar yang tanpa filter melebur menjadi seni kontemporer. Derasnya teknologi informasi, hubungan sosial antar daerah, kota dan negara serta pengaruh ekonomi yang menjadikan seni menjadi
suatu
kemasan
sesuai
dengan
pangsa
pasar
tanpa
memperhatikan landasan pengetahuan, etika, dan estetika. Demikian pula pada perkembangan seni tari dalam dunia pendidikan yang pembelajarannya lebih pada menggali kemampuan skill dalam melakukan gerak, sehingga dituntut keterampilan yang tanggap, dan diperlukan skill kinestetik yang dapat membantu terhadap pencapaian kemampuan
menata
tari.
Skill
kinestetik
inilah
yang
kemudian
berkembang tanpa arah dan tujuan, serta tidak sesuai dengan kepribadian dan karakter bangsa. Sesuai dengan Undang-undang bahwa proses pendidikan harus dapat menghasilkan insan yang cerdas komprehensif dan kompetitif, baik cerdas spiritual, intelektual, emosional sosial dan cerdas kinestetik. Untuk mencapai kecerdasan tersebut dibutuhkan karakter yang secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan olah karsa dari seseorang atau sekelompok orang (Mutohir, Semnas UNJ: Peran PT dalam Membangun Karakter Bangsa Menuju Daya Saing Global, 30 November 2010). Karakter merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
3
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Untuk itu diperlukan upaya pembentukan karakter yang harus dimiliki setiap orang berdasarkan UU RI 20 tahun 2008 pasal 3 tentang sisdiknas jelas disebutkan indikatorindikator tersebut, salah satunya kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Hal inilah yang melandasi upaya pembentukan karakter dalam semua kegiatan pembelajaran, demikian pula dalam pembelajaran menata tari yang memerlukan cerdas kinestetik. Mengukur keterampilan kinestetik dengan dalam pembelajaran menata tari, dapat dilakukan dengan penilaian berbasis kinerja yang menurut Gomes (2003:10) dapat dilakukan melalui dengan berbagai metode, yaitu 1) penilaian berdasarkan hasil, 2) penilaian berdasarkan perilaku-perilaku yang bisa diamati, dan 3) penilaian berdasarkan judgment. Penilaian berdasarkan perilaku-perilaku yang bisa diamati pada suatu pembelajaran dilakukan melalui penilaian proses, karena penilaian proses dapat diartikan sebagai pencatatan kemajuan belajar dalam suatu kurun waktu yang menitikberatkan pada kinerja proses sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pada penilaian proses pengamatan perilaku dilakukan secara berkelanjutan dalam suatu periode tetentu, terstruktur, dan dinilai secara invidual, untuk mengetahui kelemahannya dan secara terbimbing pula siswa mendapat critical incedent atau penilaian yang didasarkan pada perilaku khusus. Berdasarkan
penjelasan
tersebut,
maka
dibutuhkan
upaya
pembentukan karakter yang dapat dilakukan melalui penilaian proses dalam menata tari untuk meningkatkan kecerdasan kinestetik, khususnya pada mahasiswa di Jurusan Seni Tari. Tujuannya adalah agar kecerdasan kinestetik mahaisiswa tidak mengalami degradasi karakter, karena adanya pengaruh
budaya
kontemporer.
Melalui
penilaian
proses
secara
berkelanjutan, tidak hanya cerdas kinstetiknya saja yang dapat meningkat,
4
tetapi juga kontrol terhadap perilaku yang memiliki karakter bangsa dapat dibentuk.
B. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas, karena penelitian tindakan dapat membantu meningkatkan kualitas dalam suatu studi tentang situasi sosial untuk tujuan tertentu (Hopkins, 1992; 23). Pada penelitian tindakan terdapat dua aktivitas yang dilakukan secara simultan, yaitu aktifitas tindakan (action) dan aktivitas penelitian (research). Pada pelaksanaan penelitian, kedua aktivitas tersebut dapat dilakukan oleh orang yang sama atau orang yang berbeda tetapi saling bekerjasama secara kolaboratif. Disain
intervensi
tindakan/rancangan
siklus
penelitian
ini
menggunakan model Kemmis (1990) dalam Mills (2000: 17) yang pada dasarnya merupakan suatu siklus dengan tahap: (a) planning), (b) acting, monitoring, (c) evaluation. Siklus tersebut didesain dan diaktulisasikan dalam bentuk rangkaian tindakan dan pengamatan yang membentuk sebuah siklus (Arikunto, 2006: 93). Subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang mengampu mata kuliah koreografi (penataan tari) yang berjumlah 30 orang. Sementara pada partisipan adalah peneliti sendiri yang dibantu kolabolator tim dosen pengampu mata kuliah. Peran peneliti dalam penelitian tindakan ini adalah sebagai pemimpin perencanaan (planner leader) tindakan dengan melakukan berbagai persiapan pra penelitian, diantaranya menyusun RPP, serta mempersiapkan instrumen penilaian proses dalam setiap tatap muka. Adapun posisi peneliti dalam penelitian tindakan ini adalah sebagai pelaksana utama, dengan tujuan agar peran serta aktif peneliti sebagai pengamat dan pelaksana tindakan peneliti dapat dilakukan secara sistematik, lalu memberi tindakan pada subjek yang diteliti. Peneliti hadir secara langsung dalam kegiatan pembelajaran mengumpulkan data sesuai focus penelitian.
5
Instrumen penelitian pada penelitian ini digunakan untuk menilai skill kinestetik dalam suatu proses pembelajaran yang dilakukan pada setiap kali pertemuan sebanyak 24 kali sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Penilaian kinerja proses dilaksanakan pada pembelajaran dengan menggunakan teknik observasi atau pengamatan terhadap perilaku yang berkaitan dengan penguasaan menata tari. Skor yang digunakan dengan menentukan skala 1 sampai dengan 5, ditambah catatan secara kualitatiif untuk mengetahui kelemahan siswa. Uji validitas instrumen penilaian kinerja proses dihitung dengan mencari indeks validitas. Penilaian pakar dalam menilai instrumen penilaian kinerja proses dilakukan dengan menilai 1) kesesuaian standar kompetensi dengan butir instruksi, 2) kesesuaian kompetensi dasar dengan butir instruksi, dan 3) kesesuaian indikator dengan butir instruksi. Hasil uji relibilitas antarpenilai yang dilakukan dengan membandingkan antara total varians penskoran yang diberikan masing-masing penilai terhadap masing-masing peserta ujian dan total varians hasil penskoran yang diterima masing-masing peserta ujian oleh masing-masing penilai. Teknik
pemeriksaan
keterpercayaan
(trustworthiness)
untuk
menguji keabsahan data dilakukan dengan kriteria teknik credibility (kepercayaan),
transferability
(kebergantungan),
confirmability
(keteralihan), (kepastian).
dependability
Pengukuran
tingkat
kepercayaan data (credibility) merupakan keabsahan data terhadap kemampuan dalam melakukan perhitungan secara menyeluruh tentang data dan memperlakukan tindakan
dalam penelitian. Pengukuran
credibility dilakukan melalui pengamatan terus menerus (berkelanjutan), melakukan tanya jawab dengan kolaborator, dan membuat bukti-bukti yang terstruktur (koheren). Transferability merupakan keabsahan hasil penelitian terhadap kelompok yang diteliti. Tahapan ini dilakukan dengan cara mengoleksi deskripsi data. Peneliti juga mengembangkan secara detail deskripsi data setiap konteks yang ditemui untuk membuat keputusan tentang ketidaksesuai perilaku karakter selama proses
6
penilaian
berlangsung.
Tahapan
dependability
berkenaan
dengan
keseimbangan data penelitian yang dalam hal ini dilakukan triangulasi, dengan
membandingkan
perilaku
atau
karekater
yang
dibentuk
mahasiswa selama penilaian proses dan kecerdasan kinestetik yang sebagai hasil dari penilaian. Langkah terakhir adalah pemeriksaan confirmability
berkenaan
dengan
kenetralan
dan
objektifitas
data
penelitian yang terkumpul. Untuk itu, dilakukan penyusunan refleksi pada masing-masing siklus dan refleksi secara keseluruhan yang mencakup siklus I dan siklus II.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada pra observasi ditemukan kecerdasan kinestetik mahasiswa yang berorientasi pada gerak kontemporer yang tidak memiliki makna, dan tidak menunjukan karakter yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Degradasi karakter yang ditunjukkan pada skill kinestetik inilah yang kemudian diidentifikasi sebagai dasar dalam pemberian tindakan. Pada siklus I dengan 12 x penilaian proses diperoleh data yang kurang relevan dengan tujuan yang diharapkan, karena pada penilaian proses ini yang dapat dilakukan hanya upaya perubahan mind set atau pola pikir mahasiswa yang banyak dipengaruhi budaya kontemporer, mengingat heterogennya budaya dan kakarkateristik mahasiswa yang berada di Ibu Kota. Kecerdasan kinestetik yang menurut Mundandar (1992: 12) banyak ditentukan selain bakat bawaan (berdasarkan gen yang diturunkan dari orang tua) maupun faktor lingkungan (termasuk semua pengalaman dan pendidikan yang pernah diperoleh, terutama tahun-tahun pertama dari kehidupan), dan secara umum kecerdasan dapat dirumuskan sebagai: 1) kemampuan untuk berpikir abstrak, 2) kemampuan untuk menangkap hubungan-hubungan dan untuk belajar, dan 3) kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru. Hal inilah yang menjadi intervensi tindakan pada siklus I, sehingga kecerdasan kinestetik yang didasari pada perilaku budaya kontemporer
7
berubah menjadi pola pikir yang ditunjukkan dengan skill kinestetik sebagai silang budaya antar budaya lokal dan budaya kontemporer. Data
pada
siklus I yang masih
menunjukkan
kecerdasan
kinestetiknya dipengaruhi budaya kontemporer, kemudian dilanjutkan pada siklus II dengan melakukan intervensi melalui penilaian proses berkelanjutan dari siklus I. Pada siklus II mahasiswa dituntut untuk membuat konsep gerak silang budaya, sehingga adanya perubahan terhadap kecerdasan kinestetik mahasiswa yang lebih memperhatikan pada nilai-nilai budaya bangsa. Perubahan pada siklus II dengan 12 x penilaian proses, ditandai adanya perubahan kinestetik yang menurut Stefanakis (2002: 2) memiliki indikator
dalam
kemampuan
1)
kontrol
gerakan
tubuh,
dengan
menyelesaikan atau menghasilkan suatu penyelesaian masalah, 2) melakukan suatu tindakan yang harus dipecahkan melalui gerak, dan 3) menunjukkan perkembangan kemampuan keterampilan gerak secara fisikal. Pada upaya pembentukan karakter, mahasiswa dituntut dapat mempresentasikan kinestetik tersebut ke dalam beberapa nilai etika, estetik, kebebasan berkreativitas yang ditunjukkan melalui gerak. Dari sisi etika yang terkait dengan kesusilaan, mahasiswa dapat memberikan makna pada kata “seharusnya”, sehingga merupakan suatu kewajiban yang patut dilakukan, Dari sisi estetika hal yang perlu digarisbawahi adalah (1) suatu karya seni dapat dinilai estetis apabila karya tersebut berhasil mengungkapkan makna atau ide yang akan disampaikan sesuai dengan tujuan khusus dari pencipta seni itu sendiri, dan (2) menangkap keindahan dalam karya seni harus didasari pada pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki oleh seorang individu, karena tidak mungkin seseorang dapat menilai keindahan suatu karya seni tanpa memiliki pengetahuan yang dapat ditangkap secara akali atau menilai keindahan harus berdasarkan pengalaman diri yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Demikian pula dalam memberikan arti kebebasan
8
berkreativitas, di mana kebebasan harus dilunakkan dengan tanggung jawab, kalau tidak mudah saja alasannya untuk melakukan sekehendak hatinya. Kebebasan harus mempunyai signifikansi dalam kehidupan seseorang, kebebasan harus mengandung ideal-ideal yang positif. Kebebasan adalah salah satu cara hidup, bukan hanya satu potensialitas yang kosong (Zanti Arbi, 1998:256). Kecerdasan kinestetik yang tidak lagi sederhana karena adanya perkembangan budaya kontemporer dalam seni popular memberi dampak pada kecerdasan mengolah gerak, sehingga kreativitas dipandang sebagai suatu kebebasan. Kebebasan dalam berkreativitas gerak, dalam hal ini seni tari, berakar dari kurangnya pemahaman pada seni tradisi sebagai budaya lokal. Ketidakmampuan terhadap gerak tari tradisi, tetapi identitas sebagai kekinian harus melekat dalam dirinya, mengakibatkan budaya kontemporer yang tidak tersaring, dan menjadikan kecerdasan kinestetik dalam tari menjadi lebih luas bahkan tidak memiliki identitas sebagai budaya lokal. Di sisi lain budaya kontemporer tidak dapat ditinggalkan, bahkan sebaliknya dengan berkembangnya budaya kontemporer kecerdasan kinestetik dalam tari semakin memperkaya ragam gerak, ide gerak dan membentuk tari kontemporer. Namun demikian pendidikan dalam bentuk pembelajaran yang menekankan pada penilaian proses dapat dijadikan filter yang harus dipahami dalam meningkatkan kecerdasan kinestetik agar tetap memiliki identitas sebagai bangsa yang berkarakter. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dilakukan analisis data secara kuantitatif sebagai bentuk pengujian hipotesa tindakan dengan menggunakan persentase. Kenaikan 20% terlihat pada pemberian tindakan melalui kegiatan penilaian proses dengan intervensi pada perubahan mind set atau pola pikir terhadap kecerdasan kinstetik yang dipengaruhi
budaya
kontemporer.
Hasil
ini
belum
menunjukkan
keberhasilan, karena kecerdasan kinestetik yang ditunjukkan masih berbasis budaya kontemporer, walaupun mind setnya sudah berubah.
9
Pada siklus II analisis data dengan menggunakan persentase kenaikan diperoleh sebesar 74,33%, berarti terjadi peningkatan kecerdasan kinestetik melalui penilaian proses dengan intervensi pada kemampuan mempresentasikan kinestetiknya dengan menghubungkan nilai etika, estetika, dan kebebasan berkreativiitas yang bertanggungjawab. Dengan
demikian
penelitian
ini
dapat
dikatakan
berhasil.berdasarkan hasil persentase yang didapatkan pada siklus II, maka peneliti dan kolaborator memutuskan untuk menghentikan penelitian pada siklus II. Relevansi antara perlakuan dan hipotesa tindakan yang menyatakan bahwa pembentukan karakter yang dilakukan melalui penilaian proses dalam menata tari dapat meningkatkan kecerdasan kinestetik mahasiswa jurusan Seni Tari di Universitas Negeri Jakarta.
D. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada dasarnya tujuan pendidikan senantiasa mengaitkan hakikat pendidikan dengan hakikat manusia dan perkembangannya. Pendidikan akan
dipengaruhi
lingkungan
atas
individu
untuk
menghasilkan
perubahan-perubahan yang tetap di dalam kebiasaan berperilaku, berpikir dan bersikap. Tujuan pendidikan yang terkait dengan pembentukan karakter bangsa
diantaranya: 1) pendidikan untuk menyesuaikan diri
pada kehidupan, 2) pendidikan untuk mematangkan intelektual, 3) pendidikan untuk kematangan psikologis, dan 4) pendidikan untuk pembinaan watak. Tujuan ini dapat dicapai dengan pemberian penilaian proses yang tepat dalam setiap pembelajaran, termasuk di Perguruan Tinggi. Pada LPTK yang memiliki Program Studi Pendidikan Seni Tari, salah satu kompetensi profesionalnya adalah kemampuan menata tari yang menuntut kecerdasan kinestetik. Kecerdasan yang dipengaruhi faktor lingkungan, khususnya budaya kontemporer telah merubah karakter dan kepribadian. Melalui penilaian proses yang terbimbing, terstruktur dan berkelanjutan dapat membantu dalam peningkatan kecerdasan kinestetik
10
yang berbasis pada nilai-nilai budaya bansa sebagai upaya pembentukan karakter. Dengan demikian memberikan penilaian proses yang tepat pada setiap pembelajaran, tidak hanya dapat membantu meningkatkan kompetensi yang sesuai dengan tujuan pembelajarannya, tetapi dampak pengiring yang dihasilkan terhadap proses tersebut, dalam hal ini menerapkan nilai-nilai budaya agar mahasiswa memilki karakter yang sesuai dengan tujuan pendidikan di Indonesia.
-----------------------------
11
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Jakarta: Rineka Cipta. Arbi, Sutan Zanti. 1998. Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Fauzan, Romyan M. 2011. Seminar Nasional: Pemikiran-pemikiran Inovatif dalam Kajian Bahasa, Sastra, Seni dan Pembelajarannya. Pengaruh Budaya Kontemporer Terhadap Perkembangan Pola Pikir Seseorang dalam Berbahasa. Bandung: CV. Bintang WarliArtika. Gomes, F. C. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset. Hopkins, David. 1992. A Teacher’s Guide to Classroom Research. Piladelphia: Open University Press. Kementrian Pendidikan Nasional. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta : Deparetemen Pendidikan Nasional. Mills, Geoffrey E. 2000. Action Research: A Guide For The Teacher Researcher. Ohaio: Merrill, an Imprint of Prentice Hall. Mutohir. 2010. Seminar Nasional: Peran PT dalam Membangun Karakter Bangsa Menuju Daya Saing Global. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. Munandar, Utami, 1992. Mengembangkan bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: Gramedia. Stefanakis, Evangeline Harris, 2002. Multiple Intelligences and Portfolios: A Window into the Learners’s Mind. Portsmouth: A Division of Reed Elsevier, Inc. Triana, Devi Dinny, 2012. Paper: Fine Art Interbational Confernece Culture and Heritage. National Character Building by implementing Educational Values as a Response to the Influence at Contemporery Culture forward Kinesthetik Artistic Intellignece. Thailand: Faculty of Fine Art, Srinakharinwirot University.
12
MEM MINIMALIISIR KESA ALAHAN N DIAGN NOSIS PAD DA MODEL DINA DE ENGAN M MENGEM MBANGK KAN FEED EDBACK BE ERBANTU TUAN KO OMPUTER R
Makalah M Disamppaikan pada Seeminar Nasionall ”Ujian Nasional N sebagai Sarana Membaangun Karakter Bangsa” Diselenggarakaan oleh Program Pascasarjana Universitas U Negeeri Yogyakarta Bekerjaa Sama dengan Himpunan Evaaluasi Pendidikaan Indonesia (H HEPI) Propinsi DIY Tang nggal 12 Mei 20012
Oleh Kusaeri NIM M 087012610013
TAS NEGE PROGRAM P M PASCASA ARJANA UNIVERSI U ERI YOGY YAKARTA P PROGRAM M STUDI PE ENELITIA AN DAN EV VALUASI P PENDIDIK KAN (PEP)) A April 2012 1
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah: (i) mengidentifikasi profil atribut dan kecenderungan kelemahan penguasaan anak pada materi aritmetika sosial dan perbandingan kelas VII SMP, dan (ii) mengembangkan software komputer yang dapat menyediakan informasi diagnostik berupa umpan balik (feedback). Instrumen penelitian ini berupa tes diagnostik bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan jawaban (3 pengecoh dan 1 kunci jawab), yang mengujikan materi aritmetika sosial dan perbandingan. Data penelitian ini diperoleh dari respon 180 siswa kelas VIII SMPN 1 Yogyakarta, SMPN 1 Sanden Bantul dan SMPN 1 Panjatan Kulon Progo. Data dianalisis dengan menggunakan program Mplus dan ITEMAN. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (i) operasioperasi dasar ataupun konsep-konsep dasar dalam aritmetika masih merupakan penyebab lemahnya penguasaan anak dalam aritmetika sosial dan perbandingan. Soal dalam bentuk verbal juga masih menjadi kendala bagi sebagian besar anak saat mereka dihadapkan pada permasalahan dalam aritmetika sosial dan perbandingan. Kedua simpulan tersebut merupakan hasil analisis profil atribut peserta tes, yang dilengkapi dengan analisis respon anak. (ii) Software komputer yang dikembangkan dalam penelitian ini memuat tiga modul, yaitu modul pengelolaan bank soal, Computer Based Test atau CBT, dan sistem pelaporan umpan balik. Keberadaan software komputer dalam menyajikan umpan balik secara cepat dapat mendorong munculnya nilai-nilai karakter seperti motivasi (semangat), perasaan diri, terbuka dan sikap hemat pada diri anak. Kata Kunci: Diagnostik, DINA, software komputer dan karakter.
Pendahuluan Pemahaman anak yang salah tentang suatu konsep disebut miskonsepsi. Miskonsepsi ini menyebabkan terjadinya berbagai bentuk kesalahan seperti salah
algoritma,
salah
prosedur
atau
kesalahan
lainnya
(Young
&
O’Shea,1981). Miskonsepsi merupakan objek psikologis. Oleh karena itu, keberadaan miskonsepsi tidak dapat diamati. Yang dapat diamati hanyalah indikator sebagai manifestasi seorang anak telah salah memahami konsep tertentu, biasanya dilihat dari jawaban mereka ketika dikenai sebuah tes. Dengan demikian, ada dua variabel ketika membahas miskonsepsi. Variabel pertama berupa variabel manifes. Sesuai namanya “manifes” berarti keberadaan variabel ini dapat diketahui secara kasat mata (tampak), dan besaran kuantitatifnya dapat diketahui secara langsung, seperti skor pada suatu tes. Variabel kedua adalah variabel laten yakni variabel yang nilai kuantitatifnya tidak dapat diketahui secara kasat mata (Jahja Umar, 2011), seperti miskonsepsi di atas. Dalam konteks pengukuran, variabel inilah yang sebenarnya diukur atau dicari. Suatu model yang mengaitkan variabel manifes dan variabel laten tersebut dinamakan kelas laten. Model ini pertama kali dikenalkan oleh 2
Lazarsfeld pada tahun 1950 (Bolt, 1999). Kelas laten merupakan hasil pengelompokkan atau pemartisian sebuah populasi yang heterogen ke dalam sejumlah sub populasi yang homogen. Menurut Croon (2002), masing-masing anak memiliki satu dari kelas laten, dan anak yang memiliki kelas laten sama memiliki karakteristik yang mirip dalam merespon variabel manifes. Saat ini beragam model kelas laten telah dikembangkan untuk kegiatan diagnosis (Bolt, 1999; von Schrader, 2006; de la Torre, 2008). Salah satunya adalah model DINA, yang sekarang ini berkembang pesat dan banyak diminati peneliti (von Davier, 2011). Hal itu, ditandai dengan sejumlah kajian tentang model ini selama 5 tahun terakhir, baik berupa artikel ilmiah di jurnal, penelitian disertasi, maupun laporan penelitian. Prinsip dasar yang digunakan model ini adalah menempatkan peserta tes ke dalam satu dari dua kelompok, yakni: kelompok menguasai (mastery) atau kelompok tidak menguasai (non-mastery). Hal ini menurut Templin (2011) lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan menempatkan peserta tes pada sebuah skala, seperti yang dilakukan pada teori tes klasik (classical test theory,CTT) dan teori respon butir (item response theory,IRT). Penempatan peserta tes pada sebuah skala juga sangat rawan muncul kesalahan sehingga mempengaruhi hasil yang didapat. Sumber kesalahan umumnya terletak pada penetapan cut score (skor batas), karena hanya didasarkan pada estimasi semata. DINA berasal dari
kata “deterministic input, noisy, dan “AND” gate.”
Komponen “deterministic input,” merujuk pada variabel jawaban laten (latent response). Variabel ini menggambarkan kemampuan seorang peserta tes dalam menjawab suatu item (benar atau salah) didasarkan pada penguasaan mereka terhadap atribut yang diukur (Rupp et al., 2010). Variabel ini bernilai 1 jika seorang peserta tes telah menguasai semua atribut yang diperlukan menyelesaikan item tertentu. Sebaliknya, variabel ini bernilai 0 bila peserta tes tidak menguasai salah satu atribut yang dipersyaratkan (Ying Liu et al., 2009; de la Torre et al., 2010). Komponen “noisy” berkaitan dengan parameter slip dan guessing. Artinya, seorang peserta tes yang menguasai seluruh atribut pada item tertentu dapat slip dan menjawab salah. Sebaliknya, peserta tes yang tidak menguasai
3
atribut dapat menebak (guessing), dan menjawab item secara benar dengan probablilitas yang tidak nol (de la Torre, 2008; de la Torre & Karelitz, 2009). Komponen terakhir adalah “AND gate,” merujuk pada proses konjungtif dalam menentukan jawaban benar pada suatu item memerlukan seluruh kemampuan yang dipersyaratkan item itu (de la Torre, 2008). Artinya, agar peserta tes dapat menjawab benar suatu item, maka mereka harus menguasai seluruh atribut. Implementasi model DINA memerlukan pengkonstruksian sebuah matrik Q, untuk menunjukkan kaitan antara item dengan atribut (Tatsuoka, 2009). Matrik Q merupakan sebuah matrik dengan M baris dan N kolom yang unsurunsur di dalamnya terdiri atas bilangan 0 dan 1 (bilangan biner). Matriks ini menurut Leighton et al. (2004) memainkan peranan penting dalam pengembangan tes sebagai kisi-kisi. Henson & Templin (2009) berpendapat bahwa mengembangkan matriks Q merupakan langkah mendasar dan penting dalam kegiatan diagnosis berbasis pada model DINA. Oleh karena itu, kesimpulan diagnosis yang diperoleh pada model DINA sangat dipengaruhi oleh pengkonstruksian matriks Q. Pernyataan terakhir memiliki makna, apabila matriks Q tidak dikonstruk secara tepat maka kesimpulan diagnosis yang didapatkan juga akan kurang tepat, bahkan bisa menyesatkan. Untuk meminimalisir kesalahan diagnosis seperti ini, perlu dikembangkan software komputer yang dapat menganalisis pola jawaban peserta tes. Hasil analisis software komputer ini dilaporkan dalam bentuk umpan balik, berisi materi yang telah dikuasai atau belum dikuasai peserta tes dan miskonsepsi yang dialami peserta tes. Hasil analisis dari software komputer itu dipadu dengan hasil analisis dari model DINA. Kombinasi ini diharapkan dapat meminimalisir kesalahan diagnosis. Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: (a) mengidentifikasi profil atribut dan kecenderungan kelemahan penguasaan anak pada materi aritmetika sosial dan perbandingan kelas VII SMP, dan (b) mengembangkan software komputer yang dapat menyediakan informasi diagnostik berupa umpan balik (feed back).
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberi manfaat berikut. Pertama, penelitian diagnostik berbasis kelas laten belum banyak dilakukan di Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini
4
merupakan langkah awal yang dapat membuka jalan untuk penelitianpenelitian diagnosis selanjutnya yang berbasis kelas laten. Kedua, dengan semakin banyak cara mendiagnosis miskonsepsi anak, maka para guru akan memiliki banyak pilihan dan terbantu dalam menemukan miskonsepsi anak pada materi tertentu. Ketiga, hasil pengembangan software komputer diharapkan dapat menghasilkan umpan balik yang dapat melengkapi hasil analisis dari model DINA. Hasil pengembangan ini juga akan dirasakan oleh siswa maupun orang tuanya yang menginginkan proses umpan balik secara cepat dan objektif dari kegiatan diagnosis seperti ini. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratori. Informasi yang dicari di antaranya profil atribut dan kecenderungan kelemahan penguasaan peserta tes pada materi aritmetika sosial dan perbandingan. Profil atribut tersebut berupa kelas laten, sebagai hasil analisis dari model DINA. Penelitian deskriptif digunakan ketika melengkapi profil atribut peserta tes, yang diperoleh dari analisis jawaban peserta tes. Deskripsi seperti ini dimaksudkan agar diperoleh kesimpulan yang kuat dan saling melengkapi tentang miskonsepsi anak. Penelitian ini juga penelitian pengembangan, karena mengembangkan software komputer untuk memberikan informasi berupa umpan balik. Instrumen penelitian ini berupa tes berbentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan jawab (option), sebanyak 8 item. Dari 8 item itu, 4 item menguji materi aritmetika sosial dan 4 item sisanya menguji materi perbandingan. Instrumen tersebut merupakan bagian dari paket tes diagnostik yang dikembangkan untuk menguji materi aljabar kelas VII SMP mencakup materi: bentuk aljabar, persamaan linier satu variabel, pertidaksamaan linier satu variabel, aritmetika sosial, perbandingan dan himpunan (37 item). Instrumen tersebut diujikan pada siswa kelas VIII SMP di 3 sekolah: SMPN 1 Yogyakarta, SMPN 1 Sanden Bantul dan SMPN 1 Panjatan Kulon Progo. Uji coba ini diikuti oleh 180 siswa, sehingga dapat dijaring 180 data berupa respon siswa. Data respon siswa dianalisis dengan menggunakan dua software komputer, yakni: program Mplus dan ITEMAN. Program Mplus digunakan untuk memberikan informasi tentang profil atribut peserta tes (berupa kelas 5
laten). Dalam penelitian ini digunakan Mplus versi 6 yang dikembangkan oleh Muthen & Muthen (2010). Dalam pelaksanaanya, program ini perlu dukungan program lain, yakni program CDM (Cognitive Diagnostic Model) untuk membangkitkan syntax Mplus, karena Mplus tidak mampu menyediakan fasilitas seperti ini (Brown, 2006). Sementara itu, program ITEMAN digunakan untuk menganalisis pola respon siswa. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Estimasi Profil Atribut Peserta Tes Pada item nomor 1 sampai 4, terdapat empat atribut yang dipersyaratkan. Empat atribut ini berkorelasi dengan 16 kelas laten. Keempat atribut itu adalah: (a) memahami konsep harga jual dan harga beli, (b) menggunakan konsep aljabar untuk menghitung besar untung atau rugi suatu penjualan, (c) mendefinisikan pengertian rabat (diskon), bruto, tara dan neto, dan (d) mendefinisikan pengertian pajak (PPN dan PPh). Hasil output Mplus menunjukkan bahwa dari 16 kelas itu, pola jawaban peserta tes cenderung dominan di dua kelas, yakni kelas dengan pola 1 1 1 0 dan 1 1 1 1. Profil kedua kelas itu diperlihatkan oleh Gambar 1.
Gambar 1: Profil Atribut yang Dominan Muncul pada Item 1 – 4 (dalam %)
Dari Gambar 1, ada 49,45% peserta tes yang memiliki profil 1 1 1 1 atau menguasai seluruh atribut. Sebaliknya, sebagian peserta tes (35,10%) memiliki profil 1 1 1 0. Kelompok ini adalah peserta tes yang tidak memahami pengertian pajak (PPN dan PPh). Selanjutnya, penelusuran terhadap respon anak pada masing-masing item juga menguatkan hal di atas. Selain ditemukan banyaknya anak yang tidak memahami pengertian pajak (PPN dan PPh) juga ditemukan pula anak mengalami miskonsepsi dalam: melakukan perkalian bilangan bulat
6
dan pecahan, konsep untung dan rugi, konsep harga jual dan diskon, mengidentifikasi variabel yang terdapat pada soal, dan menyusun relasi bentuk aljabar yang terkait dengan untung dan rugi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa operasi-operasi dasar ataupun konsep-konsep dasar dalam aritmetika masih memberikan andil terhadap penguasaan anak dalam aritmetika sosial. Ketidakmampuan menguasai konsep dasar di aritmetika menyebabkan anak tidak mampu menyelesaikan permasalahan dalam aritmetika sosial. Kemampuan menyelesaikan soal verbal juga merupakan kunci penting ketika anak berada dalam konteks aritmetika sosial, sebab permasalahan dalam aritmetika sosial umumnya berbentuk soal verbal. Oleh karena itu, keberhasilan menyusun model matematika merupakan langkah awal dan penting. Agar anak mampu menyusun model matematika diperlukan langkahlangkah sistematis seperti mengidentifikasi variabel yang terdapat soal dan menyusun relasi bentuk aljabar. Pada item nomor 5 sampai 6, juga terdapat empat atribut atau 16 kelas yang bersesuaian. Keempat atribut itu adalah (a) memahami bahasa soal pada masalah yang berkaitan dengan persamaan atau pertidaksamaan, (b) mengkonversi satuan yang satu ke lainnya, (c) pengertian “perbandingan senilai,” dan (d) pengertian “perbandingan berbalik nilai.” Dari empat atribut tersebut, sebagian besar peserta tes (79,3%) tidak menguasai atribut kedua dan keempat. Dengan demikian, peserta tes ini tidak mampu mengkonversi satuan yang satu ke lainnya dan tidak memahami perbandingan berbalik nilai. Hanya 5,85% peserta tes yang menguasai semua atribut, yakni peserta yang memiliki profil 1 1 1 1. Profil atribut yang dominan muncul pada kelompok item ini tampak pada Gambar 2.
Gambar 2: Profil Atribut yang Dominan Muncul pada Item 5 – 8 (dalam %)
7
Hasil analisis terhadap pola respon siswa pada masing-masing item semakin melengkapi profil atribut di atas. Analisis ini juga menemukan bahwa miskonsepsi yang dominan terjadi pada saat anak mengkonversi satuan yang satu ke lainnya dan memahami perbandingan berbalik nilai serta membedakan perbandingan senilai dan berbalik nilai. Selain itu menyederhanakan pecahan, memahami bahasa soal dan pengertian skala juga masih merupakan hal-hal mendasar yang belum dikuasai oleh anak. Hasil penelitian ini semakin menguatkan bahwa pada soal berbentuk verbal, masih dirasa sulit bagi anak seperti terjadi pada item nomor 5, 7 dan 8. Selain kesulitan dalam menyusun model matematika, pada item nomor 7 dan 8 juga menuntut kemampuan anak dalam membedakan perbandingan senilai dan berbalik nilai. Dengan demikian, pada item nomor 7 dan 8 paling tidak terdapat tiga dimensi kemampuan yang terlibat di dalamnya. Ketiga dimensi itu adalah kemampuan membedakan perbandingan senilai dan berbalik nilai, menyusun model matematika, dan operasi hitung bilangan. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa operasi dasar dan konsep dasar aritmetika memberikan konstribusi penting terhadap keberhasilan anak dalam aljabar. Oleh karena itu tepat apa yang dikatakan oleh Stacey (2009) bahwa anak tidak bisa melupakan sifat-sifat operasi dan hal-hal mendasar dalam aritmetika ketika mempelajari aljabar. Banyak anak mengalami kesulitan mempelajari aljabar karena mereka tidak yakin dengan sifat-sifat aritmatika yang digeneralisir ke aljabar. Hasil penelitian Blanko & Garrote (2007) juga selaras dengan penelitian ini yakni materi aljabar akan dikuasai anak dengan baik oleh anak apabila konsep-konsep dasar aritmetika dikuasai dengan baik. Temuan lain dari penelitian ini adalah menyelesaikan soal bentuk verbal juga masih menjadi kendala bagi sebagian besar anak. Namun, kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Fong & Lee (2009) menunjukkan bahwa menyelesaikan soal bentuk verbal juga merupakan salah satu masalah besar dalam pembelajaran matematika di Singapura. Siswa menghadapi beragam kendala dalam menggunakan simbol aljabar untuk menggambarkan soal bentuk verbal, seperti: memahami makna huruf yang digunakan sebagai simbol aljabar, menerjemahkan bahasa aslinya ke dalam bentuk persamaan, memahami struktur makna dari soal cerita,
8
khususnya sifat dari hubungan antara kuantitas dan bagaimana mereka saling terkait, dan menggunakan makna yang didasarkan pada teks dalam pengkonstrusian model matematika. Di Amerika Serikat pun, para mahasiswa juga masih banyak mengalami kesulitan dan mengalami
miskonsepsi saat
menggunakan pernyataan aljabar untuk menyusun model matematika (Clement, 1982). Hasil Pengembangan Software Komputer Uraian pada bagian sebelumnya menunjukkan bahwa hasil analisis dengan model DINA akan lebih kaya apabila dipadu dengan analisis pola respon anak. Analisis dengan model DINA juga tidak memberikan informasi berupa kelemahan anak pada masing-masing item. Bertitik tolak dari kenyataan ini maka dikembangkan sebuah software komputer yang mampu menganalisis respon anak dan menyajikan umpan balik secara cepat. Dengan demikian, out put dari software komputer ini dapat melengkapi hasil analisis dari model DINA sehingga dapat meminimalisir kesalahan diagnostik yang akan diambil. Software komputer yang dikembangkan dalam penelitian ini secara ringkas dapat dibagi atas 3 (tiga) modul, yaitu: (i) Pengelolaan Bank Soal (Item Bank Management); (ii) Tes Diagnostik Berbasis Komputer (Computer Based Test, CBT); dan (iii) Sistem Pelaporan Umpan Balik (feedback). Software ini menggunakan sistem on line, dan dapat diakses melalui: http://suprananto.org /kusaeri. Modul Bank Soal memiliki fasilitas untuk menampilkan daftar item, melakukan entri atau input data, dan menampilkan statistik item. Fasilitas entri dapat digunakan untuk memasukkan informasi tentang kurikulum (standar kompetensi dan kompetensi dasar), stem atau pertanyaan, pilihan jawaban (option), kunci jawaban, dan karakteristik item ke dalam sistem bank soal. Fasilitas edit/view/delete dapat digunakan untuk memperbaiki, menampilkan, atau menghapus data yang sudah dimasukkan ke dalam bank soal. Berikut ini disajikan salah satu contoh tampilan di bagian awal dari software komputer yang dikembangkan.
9
Gambar 3: Menu Pembuka (Beranda)
Modul CBT mencakup penetapan pengguna (user management) yang meliputi: peserta tes (testee), pengawas ruang (proctor) dan berbagai fasilitas seting. Seting paket tes dilakukan untuk menentukan berapa jumlah item dan item mana saja yang akan dirakit ke dalam sebuah paket tes CBT. Sedangkan seting ruangan, pengawas ruang ujian, paket tes, dan peserta tes merupakan aplikasi dari skenario sistem ujian dengan menggunakan CBT. Dalam tulisan ini, bagian ini tidak disajikan secara detail. Namun penyajian lebih difokuskan pada bagian ketiga, yaitu modul umpan balik. Modul umpan balik berisi tentang deskripsi kompetensi yang telah dikuasai dan kompetensi yang belum dikuasai oleh setiap peserta tes. Modul ini juga berisi laporan tentang hasil diagnosis masing-masing peserta tes pada masing-masing topik. Laporan ini dapat diakses secara cepat, begitu peserta tes telah menyelesaikan/menjawab seluruh item. Salah satu contoh tampilan laporan diagnosis disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4: Contoh Laporan Hasil Diagnosis
10
Dengan adanya fasilitas laporan hasil diagnosis di software ini, memudahkan bagi siapapun yang akan menggunakannya. Guru ataupun siswa dapat segera mengetahui materi yang telah dikuasai atau belum dikuasai. Hal seperti ini, menurut Santrock (2008), akan mempengaruhi dan menggugah motivasi anak untuk lebih giat belajar karena mereka mendapatkan imbalan secara cepat yang mengandung nilai informasi berupa penguasaan atau kompetensinya. Hadiah yang mengandung informasi tentang kemampuan anak juga dapat meningkatkan perasaan diri mereka. Penyajian umpan balik seperti ini juga mendorong keterbukaan (transparency). Anak dapat mengetahui secara langsung kelemahan dan penguasaannya pada suatu materi. Hal ini berbeda bila dilakukan secara konvensional. Guru memerlukan waktu mengoreksi dan memberikan umpan balik.
Pengembangan
software
komputer
untuk
tes
diagnostik
juga
memberikan contoh dan membiasakan anak tentang perilaku hemat, karena selama tes anak tidak bersentuhan dengan kertas (paperless). Hal ini berbeda dengan
tes yang pelaksanaannya berbasis pada paper and pencil yang
memerlukan banyak kertas. Motivasi (semangat), perasaan diri, terbuka dan hemat merupakan nilainilai penting yang perlu untuk dibiasakan pada diri anak, karena dapat mempengaruhi terbentuknya sikap seorang anak. Sikap anak akan menjadi dasar bertindak, dan bila tindakan itu dilakukan terus menerus secara konsisten dengan dukungan semua pelajaran, akan menjadi kebiasaan sehingga terjadilah pembentukan karakter (Sri Wening, 2011). Jadi, keempat nilai di atas memiliki andil penting bagi terbentuknya karakter pada diri anak. Bila merujuk pada ketentuan Kemendiknas, keempat nilai itu termasuk dalam dimensi karakter perilaku manusia terhadap diri sendiri (Kusaeri, 2011). Keempatnya menjadi prioritas dan merupakan bagian dari 80 nilai-nilai karakter yang harus dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah. Simpulan dan Rekomendasi Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disusun simpulan berikut. (1) Operasi-operasi dasar ataupun konsep-konsep dasar dalam aritmetika masih merupakan penyebab lemahnya penguasaan anak dalam aritmetika sosial dan perbandingan. Soal dalam bentuk verbal juga masih menjadi kendala
bagi
sebagian
besar
anak
saat
mereka
dihadapkan
pada
permasalahan dalam aritmetika sosial dan perbandingan. (2) Software kompu11
ter yang dikembangkan memuat 3 (tiga) modul, yaitu modul pengelolaan bank soal, Computer Based Test atau CBT, dan sistem pelaporan umpan balik. Keberadaan software komputer dalam menyajikan umpan balik dapat mendorong munculnya nilai-nilai karakter seperti motivasi (semangat), perasaan diri, terbuka dan sikap hemat. Mengacu simpulan penelitian di atas maka dapat dibuat rekomendasi berikut. Pertama, analisis miskonsepsi anak dengan model DINA memerlukan kompetensi khusus seperti kemampuan membuat syntax pada program CDM dan Mplus. Oleh karena itu, hasil pengembangan software dari penelitian ini dapat digunakan untuk menggantikan analisis dengan model DINA, walaupun ada beberapa bagian yang belum dijangkau. Agar dapat memanfaatkan secara maksimal software komputer ini, pengguna dapat mempelajari terlebih dahulu Buku Panduan Pengguna yang telah disiapkan. Kedua, menanamkan nilai-nilai karakter di sekolah tidak berarti harus dalam bentuk pelajaran secara khusus yang diceramahkan. Namun, menggunakan intervensi yang sengaja seperti pengembangan software komputer seperti yang dilakukan dalam penelitian ini akan memiliki dampak yang lebih mengena dan mudah terinternalisasi pada diri anak. Daftar Pustaka Blanco, L.J. & Garrote, M. (2007). Difficulties in learning inequalities in students of the first year of pre-university education in Spain. Eurasia Journal of Mathematics, Sains & Technology Education, 3, 221-229. Bolt, D.M. (1999). Psychometric methods for diagnostic assessment and dimensionality representation. Disertasi doktor, tidak diterbitkan, University of Illinois, Urbana. Brown, T.A. (2006). Confirmatory factor analysis for applied research. New York: The Guilford Press. Clement, J. (1982). Algebra word problem solutions: Thought processes underlying a common misconception. Journal for Research in Mathematics Education, 13, 16-30. Croon, M. (2002). Ordering the classes. In J. A. Hagenaars & A.L. McCutcheon. Applied Latent Class Analysis (pp.137-162). New York: Cambridge University Press. de la Torre, J. (2008). DINA model and parameter estimation: A didactic. Journal of Educational and Behavioral Statistics, 39 (1): 115-130. de la Torre, J. (2009). A cognitive diagnosis model for cognitively based multiple-choice options. Applied Psychological Measurement, 33, 163183. 12
de la Torre, J. & Karelitz, T.M. (2009). Impact of diagnosticity on the adequacy of models for cognitive diagnosis under a linear attribute structure: A simulation study. Journal of Educational Measurement. 46 (4): 450-469. de la Torre, J., Yuan Hong & Weiling Deng. (2010). Factors affecting the item parameter estimation and classification accuracy of the DINA Model. Journal of Educational Measurement, 47 (2): 227-249. Fong, S. Ng & Lee, K. (2009). The model method: Saingapore children’s tool for representing and solving algebraic word problem. Journal for Research in Mathematics Education, 40 (3), 282-313. Jahja Umar (2011). Penilaian dan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia: Kumpulan tulisan antara tahun 1988-2008. Jakarta: UIN Press. Kusaeri (2011). Transformasi nilai-nilai karakter melalui pelajaran matematika di sekolah. Aksioma, 2, 21-31. Muthen, L.K. & Muthen, B. O. (2010). Mplus user’s guide (6th ed). Los Angeles, CA: Muthen & Muthen. Rupp, A. A. & Templin, J. (2008). The effects of Q-matrix misspecification on parameter estimation and classification accuracy in the DINA model. Educational Psychological Measurement, 68, 78-96. Rupp, A.A., Templin, J. & Henson, R.A. (2010). Diagnostic measurement: Theory, methods and applications. New York: The Guilford Press. Santrock, J.W. (2008). Psikologi pendidikan. (Terjemahan Tri Wibowo). New York: McGraw-Hill Company. (Buku asli diterbitkan tahun 2004). Sri Wening (2010). Metode aktivitas evaluasi reflektif dan pembentukan karakter. Prosiding Seminar Nasional Asesmen untuk Memantau Kualitas Pendidikan. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Stacey, K. (2009). The transition from arithmetic thinking to algebraic thinking. Australia: University of Melbourne. Templin, J. (2011). Diagnostic measurement: Theory, methods and application. Diambil pada tanggal 8 Desember 2011 dari http://jtemplin.coe.uga. edu/workshops/dcm/uga_dcm1.html von Davier, M. (2011). Equivalency of the DINA model and constrained general diagnostic model. Laporan penelitian. New Jersey: Educational Testing Service (ETS). von Schrader, S. (2006). On the feasibility of applying skills assessment models to achievement test data. Disertasi doktor, tidak diterbitkan, The University of Iowa. Ying Liu, Douglas, J.A., & Henson, R.A. (2009). Testing person fit in cognitive diagnosis. Applied Psychological Measurement, 33 (8): 579-598. Young, R & O’Shea, T. (1981). Errors in children’s subtraction. Cognitive Science, 5, 152-177.
13
Model Penilaian Pembelajaran karakter Siswa
Oleh: Lilik Nofijantie* Email:
[email protected] Mei 2012
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model penilaian pembelajaran karakter siswa (MPPKS) yang dilengkapi dengan instrument penilaian yang didesain berlandaskan teori kontruktivisme sehingga akan tercapai siswa yang berkarakter mulia. Hal ini dikarenakan praktik penilaian pembelajaran yang berlangsung selama ini lebih menekankan domain kognitif sehingga dampak yang muncul adalah banyak siswa yang pandai tetapi mempunyai karakter yang minim, sedangkan domain sikap dan proses masih belum dikembangkan dengan baik. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan (research and development) yang terdiri dari tahap penelitian deskriptif, evaluative dan eksperimental. Tahap penelitian deskriptif digunakan untuk menghimpun data tentang kondisi yang mempengaruhi keberhasilan penilaian pembelajaran karakter siswa. Tahap evaluative digunakan untuk mengevaluasi proses uji coba pengembangan perangkat penilaian. Tahap eksperimental digunakan untuk menguji penerapan MPPKS dalam pembelajaran. Model R & D yang dipakai mengadopsi model spiral yang terdiri dari 5 tahap yaitu: mendefinisikan, merancang, mendemonstrasikan, mengembangkan dan menyajikan. Berdasarkan penelitian penilaian pembelajaran karakter siswa pada aspek value (nilai), attitude (sikap) dan behavior (perilaku) diperoleh hasil terhadap keterlaksanaan model dari dua orang pengamat menunjukkan rata-rata percentage of agreement (PA) adalah sangat tinggi yaitu = 0,98. Hasil analisis tersebut menunjukkan kedua pengamat memiliki persepsi pemahaman yang sama bahwa keterlaksanaan sintas dalam model MPPKS telah terlaksana dengan baik dengan tingkat keajegan yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa butir-butir instrument penilaian pembelajaran karakter dalam penelitian ini dinyatakan tepat digunakan untuk menilai karakter siswa. Kata kunci: penilaian, pembelajaran karakter, value, attitude, behavior *
Mahasiswa S3 PEP PPs UNY, dosen Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya Makalah disampaikan dalam seminar nasional tanggal 12 Mei 2012 di UNY
Pendahuluan Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi siswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal ini dapat dimaknai bahwa pendidikan nasional mendorong terwujudnya generasi penerus bangsa yang memiliki ilmu pengetahuan, meningkatkan kemampuan teknis, mengembangkan kepribadian yang kokoh dan membentuk karakter yang kuat. Terbentuknya karakter yang kuat merupakan hal yang penting dan harus dimiliki oleh generasi muda dalam menghadapi tantangan hidup dimasa yang akan datang. Oleh karena itu dibutuhkan sistem pendidikan yang sistematis, terencana dan terarah yang meliputi seluruh aspek yang terlibat dalam pendidikan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Tetapi selama ini realitas lembaga pendidikan formal mulai SD sampai SMA hanya mempersiapkan siswa dengan pengetahuan agar bisa lulus ujian nasional. Dengan kondisi seperti ini dampak yang muncul adalah banyak siswa yang pandai tetapi mempunyai karakter yang minim. Hal ini dapat kita saksikan anak-anak muda, pelajar dan mahasiswa sering terlihat berperilaku menyimpang dan melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Adanya model kerjasama dalam menyelesaikan soal UN yaitu siswa yang pandai memberi contekan pada siswa lain, dengan harapan agar semua siswa mendapat nilai bagus. Hal ini menunjukkan bahwa pola pendidikan yang berlangsung selama ini hanya bersifat formalitas mengejar tarjet akademik mengabaikan unsur tanggung jawab, kemandirian dan sifat kejujuran. Data di atas merupakan beberapa indikator yang menunjukkan proses pendidikan yang berlangsung saat ini ditengarai belum dilaksanakan dan belum sepenuhnya dimengerti dan dipahami siswa, sehingga tujuan dari pendidikan nasional belum bisa terealisasi sepenuhnya dengan baik khususnya pembentukan karakter siswa yang berakhlak mulia.
Kementerian koordinator kesejahteraan rakyat (Kemkokesra) pada tahun 2010
mengeluarkan
kebijakan
nasional
pembangunan
karakter
bangsa.
Berdasarkan grand design pendidikan karakter, maka nilai-nilai karakter di integrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran, kegiatan ekstra kurikuler dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari di satuan pendidikan melalui budaya sekolah (Nuh, 2010). Karakter adalah akumulasi dari berbagai ciri yang muncul dalam cara berfikir, merasa dan bertindak (Webber, 2006). Beberapa karakter yang biasa kita ketahui antara lain pemarah, pemalu, pembohong, jujur, munafik, penolong, penyabar, religius, materialistis, egois, dermawan, sombong, pendiam, tanggungjawab, tidak tahu malu, penurut, otoriter, penyayang, pendendam, tidak tahu diri dan lain sebagainya. Karena karakter terbentuk dari proses meniru yaitu melalui proses melihat, mendengar dan mengikuti, maka karakter sesungguhnya dapat di ajarkan secara sengaja. Siswa bisa memiliki karakter yang baik atau karakter buruk tergantung sumber yang ia pelajari atau sumber yang mengajarinya. Menurut Sjarkawi,
untuk meningkatkan keberhasilan belajar siswa
khususnya SD dalam membentuk karakter yang unggul dapat di lakukan melalui pendididkan dengan pendekatan penanaman nilai yang baik (Sjarkawi, 2008). Sedangkan menurut Drost, pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam melestarikan karakter, tidak hanya pengetahuan dan pemahaman siswa yang perlu di bentuk, namun sikap, perilaku dan kepribadian siswa perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat perkembangan komunikasi, informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik tidak selalu membawa pengaruh positif bagi siswa (Drost, 2001). Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan di USA ternyata
karakter
memiliki signifikansi yang kuat dalam pendidikan, tidak sekedar mempersiapkan siswa yang memiliki etika baik, memiliki tanggung jawab dan kepedulian tapi juga berkorelasi dengan prestasi akademik mereka di sekolah. Artinya semakin baik karakter siswa, semakin baik prestasi mereka. Sebaliknya, semakin buruk karakter siswa semakin buruk prestasi mereka (Benninga, et al, 2003).
Mikalachki
menyarankan
agar
guru
mengembangkan
strategi
pembelajaran yang sesuai dengan aspek afeksi siswa, karena belajar kognitif cenderung mementingkan kemampuan kognisi, daya nalar dan keterampilan menjawab soal-soal ujian sedangkan pendidikan nilai terutama aspek afeksi kurang mendapat perhatian (Mulkhan, 2002). Menurut Zamroni agar proses pembelajaran berlangsung dengan sempurna diperlukan beberapa syarat. Pertama, dari pihak siswa yaitu: (a) ada motivasi dan kemauan untuk mempelajari apa yang akan dipelajari; (b) memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk memahami pelajaran yang akan disampaikan; (c) memahami apa yang akan dipelajari dan menguasai apa yang telah dipelajari; (d) memiliki gaya dan cara belajar; (e) mampu berkonsentrasi saat mengikuti pembelajaran. Kedua, kesiapan guru yaitu: (a) menguasai materi yang akan disampaikan; (b) menguasai metode mengajar dan pengelolaan kelas; (c) memahami kemampuan yang telah dikuasai oleh siswa; (d) memahami gaya belajar dan karakteristik siswa; (e) memiliki dedikasi dan motivasi untuk berbuat yang terbaik bagi siswa. Ketiga, kesiapan sarana dan prasarana, meliputi: (a) lingkungan yang mendukung terhadap kelangsungan pembelajaran; (b) sarana dan prasarana memenuhi standar minimal (Zamroni, 2008). Pendidikan karakter yang
selama ini digalakkan oleh pemerintah
diharapkan dapat mendorong terciptanya tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Masalah lain yang mempengaruhi pembelajaran karakter adalah sistem dan prosedur penilaian. Instrumen penilaian yang digunakan masih konvensional dan belum dapat memberikan informasi yang komprehensif tentang kualitas proses dan hasil belajar. Penilaian konvensional cenderung menggunakan basis pengetahuan dan mengutamakan penggunaan tes formal. Tes formal diprediksi hanya mampu menilai aspek kognitif semata sedangkan untuk mengukur aspek yang lain kurang tepat. Instrumen penilaian dengan tes formal kurang memberi
kesempatan pada siswa untuk menunjukkan potensi dan kelebihan masingmasing. Kesangsian dan keberatan terhadap praktik evaluasi semacam ini telah berlangsung lama dan telah memunculkan apa yang disebut instrument penilaian alternatif (alternative instrument assessment) dengan pendekatan antara lain performance based instrument assessment, portofolio instrument assessment, dan authentic instrument assessment (Knapper dan Cropley, 2000). Berdasarkan beberapa pokok permasalahan yang telah disebutkan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: (a) bagaimana pelaksanaan
pembelajaran karakter siswa?; (b) bagaimana model penilaian
pembelajaran karakter siswa? Adapun tujuan penelitian ini adalah: (a) mendiskripsikan bagaimana pelaksanaan pembelajaran karakter siswa; (b) menghasilkan model penilaian pembelajaran karakter siswa yang efektif sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu terciptanya siswa yang cerdas, terampil dan berakhlak mulia. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi kajian yang menarik bagi kalangan akademisi dan praktisi pendidikan tentang perlunya pembelajaran karakter dalam rangka menciptakan siswa yang berkarakter sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu siswa yang cerdas, mempunyai ketrampilan dan berakhlak mulia. Metode Penelitian 1. Model Pengembangan Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang model spiral (cenamo & Kalk, 2005) mendefinisikan,
merancang,
mengadopsi
yang terdiri dari 5 tahap yaitu:
mendemonstrasikan,
mengembangkan
dan
menyajikan. 2.
Uji coba produk Produk yang dihasilkan diuji coba dan divalidasi oleh tim ahli dan dewan
guru di MINU Waru 1 Sidoarjo Jwa Timur. Uji coba dilakukan dalam dua tahap yaitu kelompok mata pelajaran agama dan kelompok mata pelajaran umum
(bahasa inggris, IPA, PKN, Matematika, IPS dan bahasa indonesia) dengan melibatkan siswa kelas tiga. 3.
Teknik analisis data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
kevalidan, kepraktisan dan keefektifan model MPPKS sesuai dengan tujuan penelitian. Kategori kevalidan ditetapkan berdasarkan kreteria pengkategorian kualitas perangkat yang diadaptasi dari pengkataegorian menurut Azwar (2010) sebagai berikut: 3,5 ≤ M ≤ 4.0
kategori
sangat valid
2,5 ≤ M ≤ 3,5
kategori
valid
1,5 ≤ M ≤ 2,5
kategori
kurang valid
0,5 ≤ M ≤ 1,5
kategori
tidak valid
Untuk mengukur tingkat kesepahaman antar penilai (inter rater reability) terhadap hasil penilaian validasi instrument penelitian oleh para ahli (expert) dianalisis dengan statistic Coeffisient Cohen’s Kappa dan Presentage of agreement dari Nitko dan Brokhar (2007). Lembar penilaian dikatakan reliable jika koefisien reliabilitasnya R ≥ 0,70 Model MPPKS dikatakan praktis apabila dapat diterapkan disekolah utuk semua aspek teramati dan dikatakan efektif apabila memenuhi dua indicator keefektifan, yaitu: (1) aktivitas siswa dalam pembelajaran minimal dalam kondisi baik, (2) kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran sesuai dengan pelaksanaan pembelajaran minimal dalam kategori baik
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Untuk mendapatkan siswa yang berkarakter, berdasarkan grand disain pendidikan karakter, maka nilai-nilai karakter dibudayakan dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu model penilaian yang bisa digunakan untuk menilai karakter siswa dengan teknik observasi atau pengamatan. Instrumen penilaian non tes dibedakan menjadi tiga kategori: 1) Value (nilai); merupakan keyakinan seseorang yang mengarahkan untuk berperilaku berdasarkan keyakinannya seperti: religious, 2) Attitude (sikap) merupakan respon individu terhadap lingkungan, seperti: mandiri, rasa ingin tahu 3) Moral behavior yaitu perilaku siswa yang ditampilkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, seperti: toleransi, jujur, disiplin. MPPKS
merupakan
model
pembelajaran
konstruktivisme
dengan
pendekatan rasional yang menekankan siswa aktif, mandiri dan rasa ingin tahu yang kuat. Guru dalam proses pembelajaran menggunakan berbagai metode agar tujuan pembelajaran tercapai
Nilai Rasa ingin tahu
Mandiri
Tabel 1 Komponen nilai karakter Deskripsi sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas
indicator kelas - Menciptakan suasana kelas yang mengundang rasa ingin tahu - Menciptakan suasana kelas yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk bekerja mandiri
Tabel 2 Hasil Penilaian Model Aspek yang dinilai
Hasil penilaian Pra UT Pasca UP
Prinsip pembelajaran pelaksanaan model pedoman penilaian karakter
baik baik baik
sangat baik sangat baik sangat baik
Hasil pengembangan model disajikan pada tabel 3 menunjukkan bahwa model dikatakan valid dan praktis untuk diterapkan Tabel 3 Hasil Penilaian Efektifitas Model aspek yang dinilai validitas reliabilitas objektifitas praktis total
rata-rata hasil penilaian guru siswa 3,70 3,55 3,00 3,00 4.00 4.00 3,50 3,60 3,55 3.53
rata-rata
Keterangan
3,63 3,00 4,00 3,55 3,54
sangat valid reliabel sangat objektif sangat efektif sangat efektif
Tabel 4 Hasil pengamatan keterlaksanaan model pertemuan 1 2 3 rata-rata
rata-rata keterlaksanaan model uji terbatas uji coba diperluas 80.00 75.00 95.00 85.00 95.33 92,45 90.11 84.15
rata-rata 77,5 90 93,89 87.13
keterangan baik sangat baik sangat baik sangat baik
Tabel 5 Hasil pengamatan perilaku siswa dalam pembelajaran Pertemuan 1 2 3 rata-rata
rata-rata perilaku siswa UT UP 3,50 3,45 3,20 3,20 3,62 3,64 3.44 3.43
rata-rata
kreteria
3,47 3,20 3,63 3,44
baik baik sangat baik baik
Respon siswa dan guru terhadap penerapan model MPPKS menjadi salah satu indicator keefektifan model. Berdasarkan hasil analisis
data respom siswa dan guru menunjukkan model dapat digunakan untuk pembelajaran karakter di sekolah dasar. Penilaian terhadap aktivitas guru dan penilaian terhadap perilaku siswa
dilakukan
sebanyak
lima
kali,
yaitu
pada
awal
kegiatan,
pertengahan dan diakhir pembelajaran. Hasil pengamatan terhadap keterlaksanaan model dari dua orang pengamat menunjukkan rata-rata percentage of agreement (PA) adalah sangat tinggi yaitu = 0,98. Hasil analisis tersebut
menunjukkan
kedua pengamat memiliki persepsi
pemahaman yang sama bahwa keterlaksanaan sintas dalam model MPPKS telah terlaksana dengan baik dengan tingkat keajegan yang tinggi
Simpulan dan Rekomendasi Berdasarkan hasil pengembangan dan kajian produk dan merujuk pada pertanyaan penelitian, maka simpulan yang menjadi temuan dalam penelitian ini sebagai berikut; 1.
Model pembelajaran karakter dilakukan dengan pendekatan rasional berdasarkan teori belajar kontruktivis
2.
Hasil analisis
kesahihan/kevalidan menunjukkan bahwa semua validator
menyatakan bahwa model MPPKS beserta perangkatnya dibangun atas landasan berfikir yang rasional dengan teori pendukung yang kuat dan relevan sehingga model dapat diterapkan dalam pembelajaran karakter Rekomendasi Model MPPKS dapat diterapkan di sekolah dan untuk semua bidang studi ditingkat sekolah dasar/madrasah. Model ini perlu dikembangkan lebih lanjut agar bisa diaplikasikan pada semua jenjang pendidikan di sekolah. Daftar Pustaka Azwar, S (2005). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Benninga, Jaques S., et.al. (2003). The Relationship of character education implementation and academic achievement elementary schools. Journal of Research in Character Education, California State University 1 (1), Fresno. http://proquest.umi.com/pqdweb. Cennamo, K & Kalk, D. (2005). Real World Instrictional Design. Canada: Thomson Learning. Inc. Cropley, A.J. (2000) Defining and Measuring Creativity: Are creativity test worth using? Roeper Review, 28,2,70-78. Drost, J.I.G.M.S.J. (2001). Sekolah mengajar atau mendidik. Yogyakarta: Kanisius. Nitco, AJ., & Brookhart, S.M. (2001). Educational Assessment of Student (5th ed). Upper Saddle River NJ: Pearson Education. Inc Sjarkawi. (2006). Pembentukan Kepribadian Anak, Peran moral, intelektual, emosional dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati diri. Jakarta: Bumi Aksara. Webber, Jonathan. (2006). Sarte’s theory of character. European Jounal of Philosophy, Blackwell Publising House, UK. Zamroni. (29 Agustus 2008). Menjeadi intelektual bernurani dan tantangannya, makalah disampaikan dalam kuliah perdana mahasiswa baru program pascasarjana angkatan 2008/2009 UNY.
PENGEMBANGAN MODEL EVALUASI PEMBELAJARAN IPS BERBASIS KARAKTER SISWA KELAS V SD
Oleh : Naniek Sulistya Wardani, S.PD., M.Si
PROGRAM STUDI S1-PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA MEI 2012
1
PENGEMBANGAN MODEL EVALUASI PEMBELAJARAN IPS BERBASIS KARAKTER SISWA KELAS V SD Oleh : Naniek Sulistya Wardani, S.PD., M.Si Universitas Kristen Satya Wacana Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis adanya hubungan antara model evaluasi pembelajaran IPS dan pengembangan karakter; serta menguji keefektifan penggunaan model evaluasi pembelajaran IPS yang berbasis karakter Penelitian ini meliputi penelitian model penerapan dan model pengembangan. Pada model penerapan memakai Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan menggunakan model spiral dari Kemmis dan Mc. Taggart yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan tindakan perbaikan dan observasi, serta refleksi. Untuk memantapkan hasil penerapan model, model dilakukan sebanyak 2 kali siklus. Pada model pengembangan, analisis data menggunakan pendekatan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dan Structural Equation Modeling (SEM). CFA digunakan untuk menganalisis kecocokan model pengukuran, SEM digunakan untuk menganalisis kecocokan model struktural. Penghitungan analisis menggunakan software LISREL 8.51. Kecocokan model pengukuran dan struktural didasarkan pada kriteria: r-value >0,05, Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) < 0,08, dan Goodness of Fit Index (GFI) > 0,90. Subyek penelitian siswa V SDN Karanglo Cilongok Banyumas sejumlah 50 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi dasar IPS berbasis karakter siswa (mandiri, tanggung jawab, santun dan toleransi) adalah menghargai jasa dan peranan tokoh perjuangan dalam mempersiapkan, memproklamasikan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Model asesmen yang dikembangkan: Selected Response Assessment (tes obyektif); Essay Assessment (paparan dalam diskusi kelompok); Performance Assessment (unjuk kerja/wawancara) dan Personal Communication Assessment (diskusi). Penggunaan model pembelajaran IPS berbasis karakter, ditunjukkan oleh validitas yang diperoleh dari LISREL Estimates (Maximum Likelihood). Dari 4 indikator karakter pembelajaran IPS terbukti karakter mandiri (X1 ) merupakan karakter dalam pembelajaran paling baik, untuk indikator asesmen adalah X5 dan X8 (tes obyektif dan diskusi) merupakan asesmen yang paling reliabel. Korelasi/hubungan antara model evaluasi pembelajaran IPS dan pengembangan karakter; adalah 0.664 dengan SE 0.171 dan nilai t sebesar 3.882 (korelasinya signifikan karena nilai t lebih besar dari 1.95). Analisis CFA menunjukkan nilai estimasi yang sama. Loading antara X1 (karakter mandiri) dan model evaluasi adalah sebesar 0.71. Hubungan antara variabel laten karakter pembelajaran dan evaluasi adalah 0.66. Hubungan ini disebabkan variable laten tidak memiliki unit pengukuran yang sama dengan salah satu indikatornya. Output path diagram tvalue, menunjukkan signifikansi hubungan antara indikator dengan variabel laten. Output path diagram tersebut di atas, nampak bahwa seluruh indikator adalah signifikan, karena nilai t lebih besar dari 1.96. Model konfirmatory fit yang ditunjukkan oleh output goodness of fit dengan Degrees of Freedom = 24 Minimum Fit Function Chi-Square = 50.335 (P = 0.00628). Hal ini mengindikasikan bahwa model fit dan sesuai dengan data. Begitu pula kecocokan model pengukuran dan struktural didasarkan pada kriteria: P-vALUE >0,05, Root Mean Square Error Of Approximation (RMSEA) < 0,08, dan Goodness Of Fit Index (GFI) > 0,90. Dari output Lisrel nampak bahwa P-value didapat 0. 3398 > 0.05. RMSEA = 0.021< 0.08 DAN GFI SEBESAR 0.925>0.90. Dengan demikian model struktural fit dan sangat cocok untuk dipergunakan. Kata Kunci: Model evaluasi, Pembelajaran IPS, dan Karakter Siswa
2
PENDAHULUAN Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Salah satu tujuan pembelajarannya adalah agar peserta didik memiliki kemampuan memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan (Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi). Ini berarti ada penanaman nilainilai pada diri peserta didik melalui pelajaran IPS. Melalui pelajaran IPS, guru tidak hanya mengenalkan nilai-nilai secara kognitif saja, namun juga melalui penghayatan secara afektif dan mengamalkan nilai-nilai tersebut secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Komitmen
dan
kesadaran
terhadap
nilai-nilai
sosial
dan
kemanusiaan
merupakan salah satu bentuk penanaman nilai-nilai afektif sebagai penekanan karakter yang harus dicapai khususnya melalui mata pelajaran IPS SD. Karakter atau watak pada hakekatnya merupakan ciri khas kepribadian yang berkaitan dengan timbangan nilai moralitas normatif yang berlaku (Mohamad Surya, 2012). Pendidikan karakter ini bukan merupakan mata pelajaran tersendiri, melainkan dampak pengiring yang diharapkan tercapai. Untuk mengetahui seberapa besar dampak pengiring itu tercapai, perlu dilakukan evaluasi. Evaluasi menurut Tyler merupakan proses penentuan sejauhmana tujuan pendidikan telah tercapai seperti yang dikutip oleh Mardapi, D (2004). Evaluasi pembelajaran merupakan bagian integral dari keseluruhan proses pembelajaran, sehingga kegiatan evaluasi harus dilakukan pengajar sepanjang rentang waktu berlangsungnya proses pembelajaran. Oleh karena itu, kemampuan untuk melakukan evaluasi merupakan kemampuan yang tidak dapat ditawar oleh setiap tenaga pengajar, karena kemampuan ini menjadi salah satu indikator kualitas kompetensi guru. Hal ini didukung oleh Gagne (1974) yang mengemukakan bahwa dalam kegiatan belajar mengajar, terdapat tiga kemampuan pokok yang dituntut dari seorang guru yakni: kemampuan merencanakan materi dan kegiatan belajar mengajar, kemampuan
3
melaksanakan
dan
mengelola
kegiatan
belajar
mengajar,
serta
kemampuan
mengevaluasi hasil belajar siswa. Mengevaluasi hasil belajar siswa merupakan kegiatan untuk mengungkapkan kualitas proses dan hasil belajar. Dalam pelaksanaannya, evaluasi pembelajaran merupakan kegiatan yang berkaitan dengan mengukur dan menilai aspek psikis yang berupa proses dan hasil belajar yang bersifat abstrak. Untuk itu evaluasi pembelajaran akan memberi penjelasan secara lengkap tentang target pembelajaran (pengetahuan, keterampilan, dan performan siswa) yang dapat dicapai,
guru perlu memilih teknik
evaluasi yang tepat sesuai tujuan pembelajarannya, misalnya untuk melakukan evaluasi kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematika tentu teknik evaluasinya berbeda dengan teknik evaluasi yang dipergunakan untuk kemampuan membaca atau mendengarkan, dan berbeda pula untuk pemecahan masalah IPS yang memerlukan diskusi. Pemilihan teknik evaluasi untuk setiap target pembelajaran, didasarkan pada kebutuhan praktis di lapangan dan efisiensi. Jadi pemilihan teknik evaluasi pembelajaran ditentukan oleh model dan tujuan pembelajaran yang dilakukan pengajar, sehingga evaluasi akan benar-benar mengukur apa yang sebenarnya diukur. Hal inilah yang menjadikan penting dalam pemilihan model evaluasi yang diterapkan pada peserta didik. SD Negeri Karanglo Cabang Dinas Pendidikan Cilongok Kabupaten Banyumas merupakan salah satu SD rintisan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dari Unesco sejak tahun 2000. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah yang berstandar nasional (SSN). Lokasi sekolah berada di tengah desa Cilongok (dari Purwokerto sekitar 20 km ke arah barat). Di dinding-dinding tembok sekolah ini, terpajang banyak informasi baik informasi dari Komite Sekolah, informasi dari Sekolah itu sendiri, maupun hasil karya siswa. Begitu pula ruangan kelas sekolah ini, yang setiap ruangnya terdapat pajanganpajangan yang mendukung suasana belajar. Di samping juga, di dalam setiap kelas terdapat
portofolio setiap peserta didik. Sebagai SD rintisan MBS, SDN Cilongok
mengembangkan prinsip pembelajaran aktif, yang menekankan pada pembelajaran berpusat pada siswa. Berbagai metode belajar diterapkan seperti metode pengamatan langsung ke lapangan, metode curah pendapat, metode diskusi, metode kerja kelompok. Kondisi yang begitu hidup dan dinamis itu, teknik evaluasi yang sering 4
digunakan adalah tes dan tugas. Meskipun di sekolah sering dilakukan diskusi, presentasi, namun tidak diberikan penilaian. Sementara para guru, selalu melakukan pembinaan karakter kepada siswa siswinya melalui pembelajaran di kelas. . Pendidikan karakter yang diberikan guru kepada peserta didik di kelas berupa kepercayaan dan tanggung jawab penuh pada siswa dengan mengangkat seorang peserta didik untuk menjadi profesor di bidang IPS, profesor di bidang matematika, profesor di bidang IPA dan sebagainya. Profesor ini
bertanggung jawab dalam
pelaksanaan pembelajaran termasuk jika guru tidak berada di dalam kelas. Sementara teman-temannya juga memiliki tanggung jawab dan kerja sama dalam pelaksanaan pembelajaran, meskipun guru tdak berada di dalam kelas. Di samping itu, Guru menciptakan kegiatan pembelajaran melalui sarapan pagi dan makan siang, yang mana aktifitas sarapan dan makan tersebut adalah materi pembelajaran. Semua itu dilakukan oleh guru dalam upaya untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara utuh, dengan harapan dapat membudayakan peserta didik dapat berfikir pada tingkat tinggi dengan memiliki karakter yang baik. Upaya guru inipun, telah direspon oleh semua siswa dengan baik, yang terlihat pada motivasi peserta didik untuk bertanya, menjawab dan mengajukan ide. Namun, seberapa besar karakter tersebut tertanam pada diri peserta didik, belum pernah dievaluasi. Dengan demikian, evaluasi yang dilakukan oleh guru tidak dapat mengungkap kemampuan khusus peserta didik secara utuh menyeluruh (kognitif, afektif dan psikomotor) dan tidak mengukur yang sebenarnya harus diukur, sehingga hasil evaluasi tidak valid dan tidak pernah dapat dicapai. Seberapa besar karakter yang dimiliki oleh peserta didikpun tidak dapat diketahui. Di sisi lain mata pelajaran IPS bertujuan untuk membentuk karakter siswa melalui kehidupannya seharihari. Mendasarkan pada hal tersebut di atas, maka peneliti terpanggil untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan pembelajaran IPS yang berkarakter di SDN Karanglo Cilongok agar tercapai kualitas pembelajaran yang diharapkan secara nasional yaitu dengan melakukan penelitian yang berjudul ’Pengembangan Model Evaluasi Pembelajaran IPS berbasis Karakter Siswa Kelas V SDN Karanglo Cabang Dinas Cilongok Kabupaten Banyumas Semester II Tahun Pelajaran 2010-2011.
5
Rumusan Masalah Mendasarkan pada uraian di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah: ’Model Evaluasi Pembelajaran IPS yang bagaimanakah yang dapat dikembangkan untuk menilai karakter siswa kelas V SDN Karanglo Cabang Dinas Cilongok Kabupaten Banyumas semester II tahun pelajaran 2010/2011’
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. menganalisis adanya hubungan antara model evaluasi pembelajaran IPS dan pengembangan karakter; 2. menguji keefektifan penggunaan model evaluasi pembelajaran IPS yang berbasis karakter Manfaat dari penelitian ini adalah untuk: 1. meningkatkan kompetensi guru SDN Cilongok khususnya, dan guru-guru SD pada umumnya serta dosen S1 PGSD dalam mengembangkan model evaluasi pembelajaran 2. meningkatkan hubungan kemitraan antara S1 PGSD sebagai LPTK dengan SD Negeri Karanglo Cilongok Banyumas secara khusus dan SD-SD lainnya.
METODE PENELITIAN Pendekatan yang dipergunakan Penelitian ini merupakan penelitian terapan dan penelitian pengembangan. Dalam penelitian terapan ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan model spiral dari Kemmis dan Mc. Taggart. Pada tahap ini menggunakan. 2 siklus yang masing-masing tahap terdiri dari
perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan
perbaikan dan observasi serta refleksi. Pada penelitian pengembangan ini mengukur keefektifan karakter dalam pembelajaran IPS dan model evaluasi pembelajaran. Populasi Populasi dalam penelitian ini sebanyak 50 siswa V SDN Karanglo Cilongok Banyumas, subyek penelitiannya adalah siswa. 6
Instrumen Instrumen yang dipergunakan untuk mengukur keefektifan
pemanfaatan
karakter dalam pembelajaran IPS adalah lembar observasi tentang kemandirian, tanggung jawab, santun dan toleransi. Untuk mengukur keefektifan model evaluasi pembelajaran dengan Selected Response Assessment /SRA (tes obyektif);
Essay
Assessment/EA (tes uraian); Performance Assessment/PA (pedoman wawancara) dan Personal Communication Assessment/PCA (lembar pengamatan diskusi) Sumber Data Sumber data dari penelitian ini adalah data primer dari siswa baik melalui pengamatan maupun respon siswa terhadap pertanyaan yang diberikan yakni tes. Teknik Analisis Data Analisis data untuk penelitian terapan menggunakan teknik statistik diskriptif. Analisis
untuk
penelitian
pengembangan
menggunakan
pendekatan
Confirmatory Factor Analysis (CFA) dan Structural Equation Modeling (SEM). CFA digunakan untuk menganalisis kecocokan model pengukuran, sedangkan SEM digunakan untuk menganalisis kecocokan model struktural. Penghitungan analisis menggunakan software LISREL 8.51.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Dalam penelitian ini sebagai langkah awal adalah pemberian tindakan dalam pembelajaran IPS di kelas V pada semester genap dengan kompetensi dasar Menghargai jasa dan peranan tokoh perjuangan dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia;
Menghargai
kemerdekaan;
jasa
Menghargai
dan
peranan
perjuangan
kemerdekaan. Untuk mencapai karakter toleransi,
pembelajaran
dirancang
tokoh
para
dalam
tokoh
memproklamasikan
dalam
mempertahankan
kemandirian, tanggung jawab, santun dan
dengan
menggunakan
model
pembelajaran
kooperatif jigsaw yakni pembelajaran berkelompok dengan langkah-langkah menyimak materi,
mendiskusikannya,
melakukan
wawancara
dengan
nara
sumber
dan
melaporkkannya melalui diskusi kelas. Dengan demikian kemandirian dapat dicapai melalui penyelesaian tugas tanpa menggantungkan orang lain, tanggung jawab dicapai 7
tugas yang dilaksanakan, santun melalui cara melakukan wawancara, toleransi melalui kerja sama dalam kelompok terutama dalam penyampaian gagasan dan tanggapan. Adapun hasil pengamatan yang diperoleh melalui aktivitas ini disajikan dalam tabel 1 berikut ini. Tabel 1 Distribusi Frekuensi Skor Karakter Mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia
Skor ≤6 7-9 ≥10 ∑
Kemandirian Fre % 5 10 10 20 35 70 50 100
Tanggung Jawab Fre % 6 12 21 42 23 46 50 100
Santun Fre % 4 8 35 70 11 22 50 100
Toleransi Fre % 7 14 12 24 31 62 50 100
Mendasarkan pada tabel di atas, maka karakter kemandirian siswa kelas V dapat dicapai oleh 70 % dari siswa yang ada mencapai karakter yang tinggi dalam mengikuti pembelajaran
IPS
dengan
kompetensi
menghargai
jasa
pahlawan
dalam
mempersiapkan kemerdekaan, artinya siswa dapat melakukan penghargaan keada jasa pahlawan tidak diperlukan pengaruh orang lain lagi, begitu pula siswa telah memiliki tanggung jawab yang tinggi yang dicapai oleh 46 %. Memiliki santun yang sedang oleh 70 % siswa dan toleransi yang tinggi 62 %. Mendasarkan pada tabel tersebut, nampak bahwa karakter yang dimiliki siswa sedang sampai tinggi. Hasil pengamatan yang diperoleh melalui aktivitas memproklamasikan disajikan dalam tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Distribusi Frekuensi Skor Karakter Memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia Skor . ≤6 7-9 ≥10 ∑
Kemandirian Fre % 4 8 9 18 37 74 50 100
Tanggung Jawab Fre % 4 8 19 38 27 54 50 100
Santun Fre % 3 6 35 70 12 24 50 100
Toleransi Fre % 6 12 11 22 33 66 50 100
8
Mendasarkan pada tabel 2 di atas, maka karakter kemandirian siswa kelas V dapat dicapai oleh 74 % dari siswa yang ada mencapai karakter yang tinggi dalam mengikuti pembelajaran IPS dengan kompetensi menghargai jasa pahlawan dalam memproklamasikan kemerdekaan, artinya siswa dapat melakukan penghargaan kepada jasa pahlawan tidak diperlukan pengaruh orang lain lagi, begitu pula siswa telah memiliki tanggung jawab yang tinggi yang dicapai oleh 54 %. Memiliki santun yang sedang oleh 24 % siswa dan toleransi yang tinggi 66 %. Mendasarkan pada tabel tersebut, nampak bahwa karakter yang dimiliki siswa tinggi. Hasil pengamatan yang diperoleh melalui aktivitas mempertahankan disajikan dalam tabel 3 berikut ini.
Skor .
≤6 7-9 ≥10 ∑
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Skor Karakter Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Tanggung Kemandirian Jawab Santun Toleransi Fre % Fre % Fre % Fre % 2 4 3 6 1 2 2 4 11 22 20 40 35 70 11 22 37 74 27 54 14 28 37 74 50 100 50 100 50 100 50 100
Mendasarkan pada tabel 3 di atas, maka karakter kemandirian siswa kelas V pada pembelajaran mempertahankan kemerdekaan mengalami peningkatan. Hal ini nampak pada pencapaiannya oleh 74 % dari siswa yang ada mencapai karakter yang tinggi dalam mengikuti pembelajaran IPS dengan kompetensi menghargai jasa pahlawan dalam mempertahankan kemerdekaan, artinya siswa dapat melakukan penghargaan kepada jasa pahlawan tidak diperlukan pengaruh orang lain lagi, begitu pula siswa telah memiliki tanggung jawab yang tinggi yang dicapai oleh 54 %. Memiliki santun yang sedang oleh 70 % siswa dan toleransi yang tinggi 74 %. Mendasarkan pada tabel tersebut, nampak bahwa karakter yang dimiliki siswa tinggi. Adapun hasil tes dari model evaluasi Selected Response Assessment /SRA (tes obyektif);
Essay Assessment / EA (tes uraian); dan non tes dari Performance
Assessment /PA (pedoman wawancara) dan Personal Communication Assessment/ PCA (lembar pengamatan diskusi) ditunjukkan melalui tabel 4 berikut ini. Hasil skor 9
yang diperoleh siswa mengikuti kurve normal, artinya antara 16 – 32% skor yang diperoleh ≤70 (berada di kelompok bawah); antara 54 – 64 % skor yang diperoleh antara 71 sampai 89 (berada di tengah/rata-rata) dan antara 16 – 20 % skor yang diperoleh 90 (berada di atas). Ini menunjukkan kecenderungan kemampuan siswa dalam memahami buku komik dan teks berikut wawancara langsung di lapangan yang cukup bagus. Tabel 4 Skor model evaluasi SRA, EA, PA dan PCA Skor
SRA Fre % 16 32 24 48 10 20 50 100
≤70 71-89 ≥90 ∑
EA Fre 12 28 10 50
PA % 24 56 20 100
Fre 8 26 16 50
PCA % 16 52 32 100
Fre 10 32 8 50
% 20 64 16 100
Begitu pula untuk tes obyektif dan tes esai. Penilaian yang dilakukan adalah penilaian proses pembelajaran dengan bentuk penilaian unjuk kerja yang berupa wawancara dengan nara sumber langsung di sekitar lingkungan sekolah dan unjuk kerja dalam diskusi kelas untuk melaporkan hasil wawancara dengan cara presentasi dan pemberian tanggapan, dan penilaian hasil pembelajaran berupa tes obuektif dan tes subyektif.
KECOCOKAN MODEL PEMBELAJARAN Untuk mengetahui efektifitas model evaluasi IPS digunakan analisis kuantitatif melalui
analisis
validitas
dan
kecocokan
model
pengukuran.
Analisis
data
menggunakan pendekatan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dan Structural Equation Modeling (SEM). CFA digunakan untuk menganalisis kecocokan model pengukuran, sedangkan SEM digunakan untuk menganalisis kecocokan model struktural. Penghitungan analisis menggunakan software LISREL 8.54. Kecocokan model pengukuran dan struktural didasarkan pada kriteria: r-vALUE >0,05, Root Mean Square Error Of Approximation (RMSEA) < 0,08, dan GOODNESS OF FIT INDEX (GFI) > 0,90. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:
10
LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Measurement Equations X1 =0.715*Kemandirian, Errorvar.=0.551, R2 = 0.481 (0.168) (0.179) 4.245 3.086 X2 =0.622*tanggung jawab, Errorvar.=0.651, R2 = 0.372 (0.168) (0.180) 3.698 3.628 X3 =0.424*santun, Errorvar.=0.877, R2 = 0.170 (0.168) (0.179) 4.245 3.086 X4 =0.358*toleransi, Errorvar.=0.877, R2 = 0.128 (0.175) (0.205) 2.048 4.275 X5 =0.845*SRA, Errorvar.=0.483, R2 = 0.597 (0.161) (0.160) 5.255 3.021 X6 =0.771*EA, Errorvar.=0.460, R2 = 0.564 (0.152) (0.142) 5.086 3.237 X7 =0.761*PA, Errorvar.=0.509, R2 = 0.532 (0.150) (0.137) 5.075 3.720 X8 =0.809*PCA, Errorvar.=0.401, R2 = 0.620 (0.144) (0.122) 5.608 3.286 Dari output yang dihasilkan di atas, nampak bahwa tidak terdapat indikator yang tidak signifikan, karena tidak ditemui R2= 0 ataupun 0,0. R2 yang terkecil adalah 0.128 pada X4, 0.170 pada X 3 yang merupakan indikator karakter santun dan toleransi. Dengan demikian X3 dan X4 memiliki kontribusi yang kecil terhadap variabel laten karakter dan model evaluasi pembelajaran. Sedangkan indikatorindikator lainnya (X9, X2, X1,X7, X6, X5 dan X8) terbukti cukup baik dalam mempresentasikan variabel laten. Nilai R2 yang ditampilkan pada masing-masing persamaan pengukuran, biasanya diinterpretasikan sebagai reliabilitas indikator (Joreskog dan Sorbom, 1993). Mendasarkan pada hasil output di atas, maka dua indikator (karakter dan model evaluasi) yang paling reliabel untuk indikator karakter adalah X1, untuk indikator model evaluasi adalah X5 dan X8 (SRA/tes obyektif dan PCA/ diskusi kelas). 11
Karena model pengukuran di atas memiliki fit yang sangat baik, maka nilai estimasi (loading) dapat dipergunakan sebagai koefisien validitas. Berdasarkan hasil output, maka indikator variabel laten karakter yang memiliki nilai loading yang paling baik yaitu 0.715 adalah X1, indikator variabel latenmodel evaluai yang memiliki nilai loading yang paling baik yaitu 0.845 adalah X5 dan 0.809 adalah X8.
Untuk
indikator X3 dan X4 yang tidak signifikan dan memiliki nilai R2 nya paling kecil, maka validitas ke dua indikator tersebut adalah yang paling lemah, sehingga ke dua indikator tersebut di drop. Model memiliki fit yang cukup baik karena memiliki nilai probabilitas yang tidak signifikan (p-value = 0,00128 dan Chi-Square 50,335 dengan df=24). Chi-Square sebesar 50,335 melebihi 0.05, sehingga Chi-Square tidak signifikan Untuk menguji apakah data sesuai dengan model atau tidak, maka menolak hipotesis alternatif dan menerima hipotesis null. Correlation Matrix of Independent Variables Karakter Karakter Model Evaluasi
0.664 (0.171) 3.882
Model Evaluasi 1.000 1.000
Ke dua variabel laten independen (eksogen) secara default diasumsikan saling berkorelasi, maka output LISREL menampilkan output korelasi antara tiga variabel laten independen (eksogen). Korelasi antara karakter dan model evaluasi adalah 0.664 dengan standar error (SE) sebesar (0.171) dan nilai t sebesar 3.882 (korelasinya signifikan karena nilai t lebih besar dari 1.95), maka secara kasar kemungkinan korelasi tertinggi adalah 0.835 dan kemungkinan korelasi terendah adalah 0.493. Dengan kemungkinan korelasi tertinggi sebesar 0.835 mendekati angka 1 artinya ada hubungan yang sempurna antara dua variabel, maka model sebaiknya menggunakan satu dimensi, karena penggunaan dua faktor tersebut adalah sama.
12
CONFIRMATORY FACTOR ANALYSIS (CFA) Dalam analisis CFA menggunakan 2 variabel laten (karakter dan model evaluasi) dengan 8 indikator. Indikator karakter adalah kemandirian (X1), tanggung jawab (X2), santun (X3) dan toleransi (X4). Indikator model evaluasi adalah SRA/ tes obyektif (X5), EA/tes esei (X6), PA/wawancara (X7), dan PCA/diskusi kelas (X8). Output path diagram menghasilkan nilai estimasi yang sama seperti output LISREL persamaan. Loading antara X1 dan model pembelajaran adalah sebesar 0.71. Sedangkan hubungan antara variabel laten model pembelajaran dan asesmen adalah 0.66. Hubungan ini adalah hubungan korelasi dan bukan kovarians. Hal ini disebabkan variable laten tidak memiliki unit pengukuran yang sama dengan salah satu indikatornya. Output path diagram t-value, menunjukkan signifikansi hubungan antara indikator dengan variabel laten. Nampak dari output di atas bahwa seluruh indikator signifikanpada level 5 % (default) yang ditunjukkan pada warna hitam nilai t-value. Mendasarkan pada gambar output path diagram tersebut di atas, nampak bahwa seluruh indikator adalah signifikan, karena nilai t lebih besar dari 1.96 (angka pada panah paling kiri). Untuk mengetahui model konfirmatory tersebut fit, perlu memperhatikan output goodness of fit berikut ini. Degrees of Freedom = 24 Minimum Fit Function Chi-Square = 50.335 (P = 0.00628) Model yang fit, syaratnya memiliki nilai P yang tidak signifikan yaitu nilai P lebih besar dari 0.005. Chi-Square sebesar 50.335 dengan 24 derajat kebebasan dan nilai P signifikan karena nilai P = 0.00628 lebih besar dari 0,005. Hal ini mengindikasikan bahwa model fit dan sesuai dengan data. Begitu pula kecocokan model pengukuran dan struktural didasarkan pada kriteria:P-value>0,05, RMSEA<0,08, danGFI>0,90. Dari output Lisrel nampak bahwa P-value didapat 0. 3398 > 0.05. RMSEA = 0.021< 0.08 dan GFI sebesar 0.925>0.90. Dengan demikian model struktural fit dan sangat cocok untuk dipergunakan.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter yang dimiliki siswa kelas V melalui pembelajaran IPS dengan scenario pembelajaran berpusat pada siswa adalah 13
tinggi dengan model evaluasi yang dikembangkan SRA (tes obyektif);
EA (tes
subyektif); PA (wawancara) dan PCA (diskusi kelas). Dari 4 indikator karakter terbukti karakter kemandiriain (X1 ) merupakan karakter paling baik, untuk indikator model evaluasi adalah X5 dan X8 (SRA dan PCA ) merupakan model evaluasi yang paling reliabel. Korelasi antara karakter dan model evaluasi adalah 0.664 dengan standar error (SE) sebesar (0.171) dan nilai t sebesar 3.882 (korelasinya signifikan karena nilai t lebih besar dari 1.95). Analisis CFA menunjukkan nilai estimasi yang sama. Loading antara X1 (kemandirian) dan karakter adalah sebesar 0.71. Hubungan variabel laten karakter dan model evaluasi adalah 0.66, ini adalah hubungan korelasi dan bukan kovarians. Dari output Lisrel nampak P-value didapat 0. 3398 > 0.05. RMSEA = 0.021< 0.08 dan GFI sebesar 0.925>0.90. Jadi model struktural
fit dan sangat cocok untuk
dipergunakan. B. Implikasi Kebijakan Guru diharapkan untuk merubah pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran berpusat pada siswa dengan menekankan pada karakter peserta didik dan melakukan evaluasi secara menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Nugraha, dkk. (1998). Penggunaan Performance Assessment untuk meningkatkan Efektivitas Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar. Laporan Penelitian Tindakan Kelas di SD Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya. PGSD FIP IKIP Bandung. Fathul Himam. (2006). Strategi Pengembangan Sistem Penilaian untuk Mendeteksi Potensi Peserta Didik: Situated Learning Approach. Kumpulan Makalah dalam buku : Rekayasa Sistem Penilaian dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Pendidikan. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UNY, HEPI. Mardapi, D (2004). Penyusunan Tes Hasil Belajar. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Mohamad Surya. (2012). Implementasi Pendidikan Karakter dalam Tatanan Sekolah. Makalah Seminar Nasional dan Temu Alumni ’Implementasi Pendidikan Karakter dalam Membangun Bangsa’ diselenggarakan oleh IKA UNY, tanggal 5 Mei 2012 di Kampus UNY. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2007). No. 20 Standar Penilaian. Jakarta: Badan Nasional Standar Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2007). No. 41 Standar Proses. Jakarta: Badan Nasional Standar Pendidikan 14
A. HALAMAN JUDUL
KEGAGALAN SEBAGAI MODEL PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS TEST EQUATING
Nonoh Siti Aminah Alamat Kantor: Program Studi Pendidikan Fisika PMIPA FKIP UNS Jl. Ir Sutami 36 A – Surakarta Alamat Rumah: Perumahan Telukan RT 03 RW 4. D 15 Grogol Sukoharjo Surakarta Alamat e – mail:
[email protected]
DISAJIKAN PADA SEMINAR NASIONAL PROGRAM PASCASARJANA UNY BEKERJASAMA DENGAN HEPI DIY TEMA “UJIAN NASIONAL SEBAGAI SARANA MEMBANGUN KARAKTER BANGSA” 12 MEI 2012
1
B. ABSTRAK Tujuan dari penelitian yaitu menjadikan kegagalan sebagai model dari pendidikan karakter berbasis test equating. Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan psikometri dan pendekatan personal. Hasil penelitian menyatakan bahwa kegagalan dapat digunakan sebagai model dari pendidikan karakter. Kegagalan bukan hal yang menakutkan. Siswa yang gagal akan lebih percaya diri dan berfikiran positif tentang kegagalan. Siswa yang gagal lebih berani menghadapi hidup dan akan selalu bangkit unuk menyongsong kebarhasilan. Kegagalan yang disadari akan memberi motivasi yang lebih kuat untuk maju. Peran guru sebagai pendamping dan fasilitator sangat diperlukan untuk membangkit kan semangat siswa untuk maju. Kreatifitas dan personalitas guru akan sangat berpengaruh pada kreatifitas dan personalitas siswa.
Kata kunci: Test equating, pendidikan karakter, kegagalan
C. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Pendidikan karakter saat ini mutlak diperlukan tidak hanya di sekolah melainkan juga di rumah dalam keluarga dan dalam lingkungan sosial.Peserta pendidikan karakter saat ini tidak hanya anak usia dini sampai remaja melainkan juga usia dewasa. Keberhasilan suatu bangsa dalam menghadapi persaingan global sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan. Bangsa yang kualitas pendidikannya tinggi memiliki peluang sukses yang lebih besar, dan sebaliknya. Oleh karenanya kualitas pendidikan harus selalu diupayakan agar meningkat. Karakter merupakan kunci keberhasilan individu. Suatu penelitian di Amerika menyatakan bahwa 90 persen pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk, antara lain tidak bertanggung jawab, tidak jujur dan hubungan interpersonal yang buruk. Selain itu ada penelitian lain yang mengindikasikan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient. Kegagalan merupakan label yang dihubungkan dengan suatu tindakan yang tidak berhasil dan begitu diterapkan, label ini membuat orang dikatakan tidak mampu. Hal ini menurunkan semangat untuk menjadi orang yang sukses. Pada anak kecil, kegagalan tidak mempunyai makna, karena anak kecil tidak mempunyai konsep “kegagalan”. Jika anak kecil memiliki konsep kegagalan, maka anak tersebut tidak akan dapat berbicara, 2
tidak akan dapat menulis dan tidak akan dapat berjalan. Karena untuk berbicara, menulis dan berjalan harus melalui kegagalan yang tak terhitung jumlahnya. Banyak orang menyatakan bahwa kegagalan adalah sesuatu yang buruk. Apakah betul begitu? Untuk pikiran yang dangkal, hal itu memang betul. Namun jika difikirkannya lebih dalam lagi, kegagalan tidak selamanya merupakan bencana. Bisa jadi, dengan kegagalan Tuhan mengingatkan bahwa kapasitas dimiliki belum cukup untuk menerima kesuksesan. Barangkali Tuhan menunjukkan kepada bahwa masih banyak hal yang harus dipelajari, atau mungkin jika suksespun tidak menguntungkan karena kemampuan yang dimiliki masih dangkal, dan mungkin kegagalan yang datang lebih dalam lagi. Kesuksesan yang diterima akan selalu sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Jika kesuksesan yang diterima di luar kapasitas diri, maka kegagalan yang diterima akan lebih parah. Oleh sebab itu, jangan terlalu mendramatisir kegagalan. Bisa jadi dengan kegagalan Tuhan menyelamatkan
dari kegagalan yang lebih parah. Yang perlu menjadi focus
perhatian yaitu bagaimana cara berkembang secara pribadi untuk layak menjadi orang yang betul-betul sukses sehingga kesuksesan bisa bertahan lama dan semakin berkembang. b. Rumusan Masalah Masalah yang diteliti yaitu apakah kegagalan dapat dijadikan sebagai model dari pendidikan karakter berbasis test equating? c.
Tujuan Tujuan dari penelitian yaitu menjadikan kegagalan sebagai model dari pendidikan
karakter berbasis test equating d. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian untuk memberi tambahan
wawasan tentang model pendidikan
karakter D. METODE PENELITIAN a. Pendekatan yang Digunakan Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan psikometri dan pendekatan personal 3
b. Populasi dan Sampel Populasi penelitian siswa peserta mata pelajaran IPA Sekolah Menengah Pertama (SMP) di propinsi Jawa Barat. Sampel yang digunakan peserta Ulangan Akhir Semester V Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) SMP Tahun Ajaran 2009/2010. SMPN 1 Lebakwangi Kuningan, SMPN 3 Cilimus Kuningan, dan SMPN 2 Gunungjati Cirebon.
c. Sumber Data Sumber data yaitu pola respons siswa peserta Ulangan Akhir Semester V Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) SMP Tahun Ajaran 2009/2010 d. Teknik Analisis Data Analisis data menggunakan statistik diskriptif dan pendekatan teori respons item (IRT) dengan metode
Estimasi parameter item pada penyetaraan
tes menggunakan
metode Item Characteristic Curva (ICC)
E. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a. Hasil Penelitian Tabel 1 Statistik Deskriptif Anchor Score dan Skor Total Pra dan Post Penyetaraan pada Tes A, B dan C Tahun Ajaran 2009/2010 *) NO
RINCIAN
TES A
TES B
TES C
HASIL PENYETARAAN
5.6298 0.5
5.6703 0.00
33.3636 4.5353
18.0518 11.0376
1
Anchor 5.176 5.9013 Rerata 0.5 1.4142 SD 2 Skor Tes 33.3333 28.3059 Rerata 3.5355 6.0050 SD *) adopsi dari disertasi Nonoh Siti Aminah, 2011 b. Pembahasan
Banyak item pada tes A 55, tes B 55, dan tes C 50. Pola penyetaraan yang digunakan pola kelompok sehingga banyak item hasil penyetaraan berjumlah 140 item terdiri dari 10 anchor item milik bersama, 45 item berasal dari tes A, 45 item berasal dari tes B, dan 40 item berasal dari tes C. Pada Tabel 1 dituliskan rincian hasil penyetaraan dari tiga 4
sekolah dengan tiga tes (A, B dan C). Penyetaraan menggunakan anchor test design, hasil yang diperoleh peserta tes A menunjukkan hasil yang kurang memuaskan dibandingkan dengan peserta tes dari tes B dan C, hal ini ditunjukkan oleh skor rerata dan simpangan baku yang dicapai oleh peserta tes A. Apakah hasil tersebut merupakan kegagalan dari pemahaman tentang IPA dan proses pembelajaran IPA? Untuk menjawab pertanyaan perlu dikaji bberapa hal: Semua orang merasa takut jika mereka menghadapi kegagalan, takut gagal saat mengikuti tes bahkan takut gagal dalam menjalani hidup. Sebenarnya perasaan takut yang ada pada diri seseorang hanya akan menghambat kesuksesan yang telah menunggu. Kegagalan pun pernah dialami oleh para pengusaha sukses, bahkan tak jarang ada pengusaha yang pernah gagal sampai berulang kali. Namun hebatnya banyak dari mereka tetap bisa sukses. Kuncinya hanya satu, yaitu berani mencoba dan terus memperbaiki penyebab kegagalan yang pernah dialami. Beberapa tips motivasi diri menghadapi kegagalan yang dapat dicoba; Selalu berpikiran positif tentang kegagalan. Hadapi kegagalan dengan pikiran yang positif, jangan pernah menyalahkan orang lain atas kegagalan dialami. Carilah solusi yang tepat tanpa penyesalan panjang sehingga menghambat kesuksesan yang akan diraih. Jadikan kegagalan sebagai pembelajaran. Kegagalan memberikan kesempatan untuk belajar, untuk itu jangan pernah hindari kegagalan. Karena secara tidak langsung akan diketahui penyebab kegagalan dan berusaha mencari solusi serta menghindari penyebab kegagalan terulang lagi. Sehingga jalan mana yang salah dan cara apa yang benar akan diketahui. Kegagalan bukan akhir dari segalanya, karena kegagalan hanya bersifat sementara. Satu kali, dua kali, bahkan sepuluh kali gagal bukan merupakan akhir dari hidup. Kegagalan dapat selesai jika ada kemauan untuk berubah. Anggap kegagalan ibarat orang yang jatuh dari sepeda, orang tersebut tidak akan merasakan sakit yang lama jika dia segera bangkit dan mencari obat luka, begitu juga dengan kegagalan. Seseorang tidak akan terlalu lama merasakan gagal jika orang tersebut segera bangkit dari kegagalan dan mencari jalan keluarnya.
5
Berusaha bangkit dengan motivasi baru. Jangan terlena dengan penyesalan, segeralah bangkit dari kegagalan. Kumpulkan kembali motivasi diri, dan yakinkan diri bahwa jika ada kegagalan pasti akan ada keberhasilan di depan sana. Keputusannya ada di tangan, apakah
akan terus berjalan menjemput keberhasilan atau hanya akan berdiam terus
meratapi kegagalan yang ada. Sebenarnya orang yang gagal adalah orang yang tidak mau berusaha keluar dari lubang kegagalan. Kegagalan bukan hal yang perlu ditakuti, karena orang yang takut gagal adalah orang yang jauh dari kesuksesannya. Teruslah bangkit untuk mencoba dan belajar dari kegagalan, jangan pernah menyerah oleh keadaan yang hanya sementara. Kata orang bijak, bahwa kegagalan hanyalah sukses yang tertunda. Sehingga jangan terlalu lama menunda kesuksesan. Guru merupakan salah satu elemen bangsa yang memainkan peran penting dalam memajukan bangsanya. Ia dapat menentukan hitam putihnya bangsa ini. Dengan kata lain kelestarian hidup bangsa ini banyak tergantung kepada kualitas guru. Einstein pernah mengatakan bahwa dunia ini adalah produk pikiran. Kalau seseorang mau mengubah dunia, maka ubahlah cara berpikirnya. Oleh sebab itu guru harus mau dan mampu mengubah paradigmanya (cara berpikir) tentang profesinya agar ia dapat memainkan peran optimal dalam membangun bangsa ini. Guru yang ideal harus mampu menilai kompetensi siswa secara akurat. Kompetensi mencakup tiga aspek yakni pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja. Ketiga aspek inilah yang menjadi fokus pengajaran dan sekaligus sasaran penilaian. Guru dalam menjalankan profesinya harus bersikap hati-hati agar bekal yang diberikan kepada siswanya tidak salah. Bukan suatu hal yang mustahil seorang guru telah memberikan konsep pengetahuan yang salah. Misalnya, fungsi kaca pembesar adalah untuk membesarkan benda yang kecil. Pengajaran seperti ini secara konseptual adalah salah, karena kaca pembesar tidak mampu membesarkan benda yang kecil. Pengajaran tentang konsep juga harus hati-hati diberikan kepada anak didik. Misalnya, pada sebatang pohon yang sedang tumbuh, yang bertambah tinggi adalah batangnya ataukah pucuknya. Guru harus cermat dalam menjelaskan tentang konsep tumbuhnya sebatang pohon. Jangan sampai terjadi para anak didik merasa yang bertambah tinggi adalah batangnya, padahal yang benar adalah pucuknya.
6
Guru juga harus terbuka dengan perkembangan pengetahuan. Misalnya dalam bukubuku pelajaran yang lama jumlah planet ada 7, seorang guru harus membenarkan apabila ternyata ada planet baru yang ditemukan sehingga jumlahnya tidak lagi menjadi tujuh tapi delapan atau sembilan. Dengan kata lain seorang guru harus berlapang dada untuk membenarkan jika ada anak didik yang menjawab pertanyaan tidak sesuai dengan bukubuku pelajaran lama yang menjadi pegangan guru, sementara perkembangan ilmu pengetahuan membuktikan lain. Jadi, dari ketiga contoh di atas, dapat ditarik tiga kesimpulan, pertama, seorang guru agar berusaha menghindari pengajaran yang salah secara konseptual; kedua, seorang guru berusaha menjelaskan secara detail dan tidak samar tentang konsep; dan ketiga, seorang guru harus terbuka dengan perkembangan ilmu pengetahuan baru. Dalam konteks globalisasi, guru tidak hanya harus memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja dalam arti sempit, karena boleh jadi suatu saat seorang guru dituntut mampu mentransfer pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dalam situasi yang berbeda, bahkan mungkin ia harus mengajar anak-anak orang asing. Dalam situasi dan kondisi tersebut guru harus memiliki personalitas atau kepribadian tertentu. Personalitas didefinisikan sebagai karakter tertentu yang mengarahkan perilaku seseorang secara konsisten dalam setiap situasi yang berbeda. Personalitas tersebut sering disebut dengan kompetensi generik (generic competency). Kompetensi generik, misalnya kemampuan menulis, kemampuan beradaptasi, kemampuan bekerja sama, dan kemampuan berkomunikasi. Secara spesifik, personalitas yang harus dimiliki guru, agar ia dapat menjalankan profesinya dengan baik, adalah pertama, ia harus memiliki motivasi yang tinggi; kedua ia harus memiliki sifat responsif terhadap situasi, ia harus memiliki sifat adaptif terhadap situasi, ia harus memiliki sifat sensitif terhadap situasi, ia harus memiliki sifat progresif (berpikiran maju), ia harus memiliki sifat produktif, ia harus memiliki antusias yang tinggi, ia harus memiliki sifat percaya diri, dan ia harus memiliki komitmen kerja yang tinggi. Selain harus memiliki kemampuan generik atau personalitas tertentu yang dapat mendukung keberhasilan dalam menjalankan profesinya, guru harus mampu mendesain pembelajaran sedemikian rupa agar siswa dapat mengembangkan dirinya. Desain pembelajaran dalam bentuk pemberian tugas-tugas yang harus dikerjakan yang agak kompleks dan terukur dapat menjadi sebuah tantangan bagi siswa. Tantangan belajar yang dihadapi siswa akan berdampak positif pada pemanfaatan potensi perasaan, penglihatan, 7
pikiran, dan perilaku siswa. Tantangan belajar bukan saja dapat menimbulkan kreativitas belajar siswa tapi juga ia dapat menghasilkan pengalaman baru, pengembangan keterampilan dan pengembangan personalitas. Oleh sebab itu guru harus mampu secara kreatif mendesain pembelajaran yang akan disajikan. Fungsi sebagai katalisator dan pembimbing siswa dalam belajar tidaklah ringan, karena guru harus mampu memberikan jalan keluar terhadap persoalan yang muncul yang tak dapat diatasi oleh siswa. Jangan sampai terjadi, seorang anak didik bersifat pasif dalam proses belajarnya. Jadikanlah anak didik itu sebagai subyek belajar. Sementara guru berfungsi sebagai katalisator dan pembimbing siswa ketika belajar Paradigma pendidikan identik dengan cara pandang seseorang tentang pendidikan. Pendidikan yang menganggap siswa sebagai objek belajar merupakan bagian dari paradigma yang salah. Paradigma tersebut menganggap siswa sebagai penerima informasi pengetahuan, pencatat informasi yang disampaikan guru, dan penyimpan informasi dalam otaknya. Paradigma pendidikan seperti itu akan menciptakan siswa yang miskin pengetahuan dan daya cipta. Paradigma tersebut menganggap guru adalah guru dan murid adalah murid. Guru adalah pihak yang serba tahu dan murid adalah pihak yang serba tidak tahu. Padahal paradigma modern memandang murid sebagai subjek belajar, sehingga ia berhak untuk berpikir, bertanya dan mengembangkan daya cipta. Dalam konteks teori pembelajaran ada empat konstruk personalitas yakni pertama, locus of control; kedua, type A behaviour; ketiga, self monitoring dan keempat sensation seeking, (Semeijn, Boone, Velden & Witteloostuijn: 2000; Aiken: 1999). Menurut Borg, Shapiro & Timmers (Semeijn, Boone, Velden, & Wittelostuijn: 2000); Aiken (1999) keempat karakteristik personalitas ini dapat mempengaruhi hasil pembelajaran. Secara spesifik penelitian yang dilakukan Semeijn, Boone, Velden & Witteloostuijn (2000) menyimpulkan bahwa ada hubungan linier antara konstruk personalitas dan prestasi kerja; sementara hasil penelitian Ackerman & Heggestad (1997) menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara personalitas dan kemampuan seseorang. Oaks, Ferris, Martocchio, Buckley, & Broach (2001) menemukan bahwa personalitas dan kemampuan seseorang dapat mempengaruhi keterampilan seseorang. Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik personalitas dapat mempengaruhi kompetensi seseorang.
8
F. SIMPULAN DAN REKOMENDASI a. Simpulan Kegagalan dapat digunakan untuk pembentukan karakter, kegagalan bukan hal yang menakutkan. Siswa yang gagal akan lebih percaya diri dan berfikiran positif tentang kegagalan. Siswa yang gagal lebih berani menghadapi hidup dan akan selalu bangkit unuk menyongsong kebarhasilan. Kegagalan yang disadari akan memberi motivasi yang lebih kuat untuk maju. Peran guru sebagai pendamping dan fasilitator sangat diperlukan untuk membangkit kan semangat siswa untuk maju. Kreatifitas dan personalitas guru akan sangat berpengaruh pada kreatifitas dan personalitas siswa. b. Rekomendasi Hasil penelitian ini diharapkan memberi
tambahan wawasan tentang pendidikan
karakter. Hasil belajar yang kurang baik bukan kegagalan yang permanen, oleh sebab itu guru, orang tua dan lingkungan perlu kerjasama untuk membangkitkan semangat siswa dan bangkit dari kegagalan. G. DAFTAR PUSTAKA Anderson, L. W. (1992). Attitude and their assessment. Sweeklinckplein, NL: The IEA. Boyett, J. H. & Boyett, J. T. (1998). The guru guide. Toronto: John Wiley & Sons, Inc. Bower, G. H. & Hilgard E. R. (1981). Theory of learning. Englewood Cliffs,New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Brennan, R.L. (2006), Educational measurement. Iowa City: United State of America: American Council on Education and Praeger Publisher. Brennan, R.L.& Kolen, M.J. (2004), Test equating, scaling, and linking. Iowa City: United State of America: American Council on Education and Springer Publisher
Download at Saturday, October 25th, 2008 at 9:11 pm and is filed under Entrepreneurship, Mengubah Kegagalan Menjadi Kesuksesan. Kumpulan Motivational inspirationalquotes
Quotes:
http://hubpages.com/hub/motivational-
Nonoh Siti Aminah (2011). Karakteristik metode penyetaraan skor tes untuk data dikotomos. Disertasi. Tidak diterbitkan 9
.
RAMBU-RAMBU PENULISAN ARTIKEL: 1. Artikel yang ditulis merupakan artikel hasil penelitian tentang evaluasi, pengujian, dan penilaian kaitannya dengan karakter 2. Artikel ditulis dalam MS Word, Font Arial 12 pt, 1,5 spasi dengan ukuran kertas A4. 3. Artikel paling banyak 12 halaman termasuk sampul dan daftar pustaka. 4. Artikel disusun berisikan: a. Halaman judul yang memuat judul penelitian, nama dan alamat lengkap penulis, serta bulan dan tahun penulisan artikel. b. Abstrak
Abstrak diketik 1 spasi, 3 alinea, memuat tujuan, metode, dan hasil penelitian, disertai kata kunci yang panjang maksimumnya 1 baris. c. Pendahuluan
. d. Metode penelitian
. 10
e. Hasil penelitian dan pembahasan f. Simpulan dan rekomendasi g. Daftar Pustaka
Dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan, perlu diperhatikan Pasal 3 UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti bahwa upaya peningkatan kualitas pendidikan juga berarti penguatan karakter bangsa. Sehubungan dengan hal di atas, Ujian Nasional (UN) yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan juga tidak boleh menjadi penyebab lunturnya karakter bangsa. Hal ini harus diupayakan oleh semua anggota masyarakat, termasuk di dalamnya guru. Guru harus menjadi garda terdepan dalam membangun karakter bangsa melalui Ujian Nasional, jangan sampai sebaliknya. Tidak diperkenankan guru atau anggota masyarakat lainnya mengabaikan karakter bangsa hanya untuk menaikkan skor UN siswa. Hal ini perlu disosialisasikan dengan berbagai cara, salah satu diantaranya adalah melalui seminar
11
ANALISIS KORELASI ANTARA KECERDASAN SPIRITUAL DAN KARAKTER DISIPLIN ANAK USIA DINI DI SEMARANG Risky Setiawan ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Tingkat kecerdasan spiritual anak usia dini di kota Semarang; (2) tingkat pelanggaran tata tertib anak di sekolah; (3) uji hubungan antara kecerdasan spiritual dan karakter disiplin anak usia dini di Jawa Tengah.. Jenis penelitian adalah penelitian desain eksperimental dengan dua variabel yakni kecerdasan spiritual dan karakter disiplin anak usia dini. Objek penelitian adalah 100 guru PAUD yang dipilih secara acak merupakan mahasiswa IKIP Veteran Jawa Tengah dan guru PAUD di Jawa Tengah. Instrumen kuesioner divalidasi dengan uji validitas konstruk serta analisis kuantitatif dilakukan dengan analisis korelasi dua variabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Kecerdasan Spiritual anak usia dini di Kota Semarang sebesar 97.3% kriteria sangat baik. Ini menunjukkan bahwa Anak usia dini tingkat kecerdasan spiritualnya tercermin pada keberagamaan dalam sikap dan perilaku yang diliputi dengan nilai-nilai dan norma-norma agama. Siswa berupaya berupaya tunduk dan patuh pada nilai-nilai yang diyakininya penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri yang diwujudkan dalam bentuk perilaku sehari-hari.; (2) karakter melanggar tata tertib anak usia dini sebesar 62.7% kriteria sangat rendah. Ini artinya bahwa pelanggaran yang dilakukan siswa masih dalam kategori wajar. Pelanggaran yang dilakukan tidak menjurus pada kejahatan atau kriminal; (3) ada hubungan berlawanan arah antara Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Melanggar Tata Tertib Sekolah. Hal ini dibuktikan dari hasil output SPSS sebesar -0.467. (0.467 > 0.05 (0.227). Ini menunjukkan bahwa semakin baik kecerdasan spiritual siswa maka akan semakin kecil perilaku melanggar tata tertib sekolah pada anak usia dini. Hal ini berarti bahwa siswa yang taat menjalan kan kewajiban agamanya kecil kemungkinan ia akan melakukan perilaku melanggar tata tertib sekolah, baik pelanggaran yang menjurus pada kejahatan maupun kenakalan ringan, demikian juga sebaliknya. Kata Kunci: kecerdasan spiritual, karakter anak usia dini, melanggar, tata tertib
CORRELATION BETWEEN THE SPIRITUAL INTELLIGENCE ANALYSIS CHARACTER DISCIPLINE AND EARLY AGE CHILDREN IN SEMARANG
Risky Setiawan ABSTRACT This study aims to determine (1) The spiritual intelligence of younger children in the city of Semarang, (2) the violation of the order of children in school, (3) test the relationship between intelligence and character of the spiritual disciplines of early childhood in Central Java .. This type of research is experimental research design with two variables that is spiritual intelligence and character of early childhood discipline. Object of study was 100 teachers randomly selected early childhood is a Veteran Teachers' Training College students in Central Java and Central Java early childhood teachers. Validated questionnaire instruments to test construct validity, and quantitative analysis performed by analysis of correlation of two variables. The results showed that: (1) Spiritual Intelligence early childhood in the city of Semarang by 97.3% criteria very well. This suggests that an early age children are reflected in the level of spiritual intelligence in religious attitudes and behaviors covered by the values and religious norms. Students attempt to seek submissive and obedient to the values which he believed with full consciousness and self-surrender which is manifested in the form of everyday behavior.; (2) the order violates the character of early childhood for 62.7% of criteria is very low. This means that the violation of the student is still in reasonable categories. Abuses committed no crime or criminal leads, (3) there is a connection between Spiritual Intelligence in the opposite direction to the School Code of Conduct Violation. This is evidenced from the SPSS output of -0467. (0467> 0:05 (0227). This suggests that the better the spiritual intelligence of the smaller student behavior violates school discipline in early childhood. This means that students who obey his religious obligations of running a small chance that it will do the violating behavior order schools, both violations which lead to crime and delinquency light, and vice versa. Keywords: spiritual intelligence, the character of early childhood, abuse, order
PENDAHULUAN
Memahami pola-pola perilaku anak usia dini memang rumit dan tinggi kompleksitasnya, maka sebelum terlambat, segenap potensi yang tersedia harus diarahkan dan diupayakan secara terpadu dan berkesinambungan untuk melibatkan perannya. Sehingga tercipta manusia ideal yang dibutuhkan oleh bangsa dan negara. Dalam kaitan ini bahwa tipe manusia ideal masa depan yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah manusia yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Hal ini tentu saja mengharuskan agar etika masa depan pendidikan kita menekankan pada orientasi pembentukan kecerdasan spiritual peserta didik. Kecerdasan spiritual atau yang sering disebut-sebut orang dengan Spiritual Quotient (SQ) berusaha mengarahkan hidup menjadi lebih bijak dan bahagia. Kecerdasan spiritual tidak didapatkan serta merta, tetapi melalui suatu proses pemahaman yang berlangsung terus menerus sepanjang kehidupan.
Kepatuhan siswa pada tata-tertib (disiplin) tidak timbul dengan sendirinya. Disiplin harus didikkan dan ditanamkan sejak dini, maka peran pendidikan sangat penting dalam terbentuknya disiplin baik di sekolah maupun di masyarakat (Gering Supriyadi, 1999: 45). Hakikat kedisiplinan terletak pada kesadaran siswa. kedisiplinan tidak bisa dilepaskan dari tangung jawab seseorang dalam melampiaskan hak dan kewajibannya. Pada masa anak usia dini kebutuhan cukup kompleks, cakrawala interaksi sosial dan pergaulan anak didik cukup luas. Dalam penyesuaian diri terhadap lingkungannya yaitu di lingkungan sekolah, siswa mulai memperhatikan dan mengenal berbagai norma pergaulan terutama tata tertib sekolah, yang berbeda dengan norma yang berlaku sebelumnya di lingkungan keluarga. Masalah umum yang dihadapi anak didik yang paling rumit adalah faktor penyesuaian diri. Di dalam proses penyesuaian, kemampuan inteketual dan emosional mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Maka dari itu, diperlukan analisis uji hubungan antara kecerdasan spiritual anak dengan pembentukan karakter disiplin anak usia dini. METODE Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan teknik uji hubungan atau disebut juga uji korelasi yang bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang ada tidaknya hubungan antara variabel-variabel penelitian, yaitu kecerdasan spiritual dengan perilaku melanggar tata tertib sekolah berdasarkan hipotesis yang diajukan. yang berusaha untuk memberikan penjelasan tentang ada tidaknya hubungan antara variabel-variabel penelitian, yaitu kecerdasan spiritual dengan perilaku melanggar tata tertib sekolah berdasarkan hipotesis yang diajukan. Subyek penelitian adalah peserta didik yang masuk dalam kategori Anak Usia Dini di Kota Semarang dengan sampel sebanyak 100 anak. Teknik pengumpulan data pada penelitian terdiri dari instrumen tes yaitu kuesioner dan lembar observasi dengan memakai skala “Likert”. Analisis data menggunakan teknik uji hubugan dua buah variabel yaitu variabel kecerdasan spiritual dan variabel karakter disiplin anak usia dini. No.
Variabel
1.
Kecerdasan spiritual anak usia dini
Indikator a. Kemampuan bersikap fleksibel. b. Tingkat kesadaran tinggi. c. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan. d. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit. e. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai. f. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu.
Sumber Data
Instrumen
Guru PAUD dan siswa
Kuesioner
g. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal. h. Kecenderungan nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau “Bagaimana jika?” untukmencari jawaban yang mendasar. i. Memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi. 2.
Karakter disiplin anak usia dini
a. Perilaku bermasalah (problem behavior). b. Perilaku menyimpang (behaviour disorder). c. Penyesuaian diri yang salah (maladjustment). d. Tidak bisa membedakan benar dan salah (conduct disorder). e. Defisiensi dalam perhatian (hiperaktif).
Guru PAUD
Kuesioner
Validitas instrumen yang dipakai adalah validitas isi (Content Validity). Menurut Allen (1979:96), karena validitas isi adalah bersumber pada pertimbangan subjektif, pembuktian validitas lebih dari kesalahan subjek. Untuk menjamin validitas isi, maka seluruh pertanyaan disusun berdasarkan teori, dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan, dan bimbingan dengan ketua penyelenggara program. Instrumen dalam penelitian ini divalidasi secara logis dan empiris. Validitas logis menyangkut isi, kontruksi, dan bahasa. Instrumen yang telah dianalisis secara logis (kualitatif) oleh expert judgment. Uji coba instrumen menggunakan validitas terpakai dimana instrumen langsung digunakan pada responden kemudian baru dianalisis dan membuang butir yang tidak valid dan reliabel. Menurut Djemari Mardapi butir yang diterima harus memiliki indeks daya beda > 0,3 butir dengan indeks daya beda kurang dari antara 0,1 sampai 0,3 perlu direvisi dan jika daya bedanya < 0,1 maka butir tersebut tidak diterima. Sedangkan Ebel & Frisbie memberikan patokan indeks daya beda sebagai berikut: 0.4 ke atas (butir yang sangat baik), 0.3-0.39 (sedikit atau tidak memerlukan revisi), 0.2 - 0.29 (butir memerlukan revisi), < 0.19 (butir harus dieleminasi). Teknik analisis data kuesioner menggunakan statistik deskriptif. Dan selanjutnya dianalisis dengan teknik korelasi menggunakan SPSS 17.0 dan konfirmatori dengan menggunakan Lisrel 8.51. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Nilai normatif perilaku melanggar tata tertib sekolah dapat diketahui sebagai
berikut: Tabel 57 Deskripsi Variabel Perilaku Melanggar Tata Tertib Sekolah No Interval Frekuensi Persentase Kategori 1 44 – 64 2 2.7 Sangat tinggi 2 40 – 43 10 13.3 Tingi
3 36 – 39 4 16 – 35 Jumlah
16 47 75
21.3 62.7 100.0
Rendah Sangat rendah
Berdasarkan data pada tabel tersebut dapat dikemukakan bahwa perilaku melangar tata tertib sekolah dalam kategori sangat rendah. Ini menunjukkan bahwa siswa sangat taat dan patuh pada tata tertib, serta berperilaku disiplin. 1. Pengujian Hipotesis. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui hasil output SPSS, sebagai berikut: Correlations
Kecerdasan Spiritual
Perilaku Melanggar
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Kecerdasan Perilaku Spiritual Melanggar 1.000 -.467** . .000 75 75 -.467** 1.000 .000 . 75 75
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hasil Output SPSS for Windows Release 14.0 menunjukkan korelasi antara kecerdasan spiritual dengan perilaku melanggar tata tertib sekolah menunjukkan total skore -0.467. hasil output -0.467 > 0.05 (nilai kritisnya 0.227). hal ini berarti hipotesis alternatifnya tidak dapat ditolak atau ada korelasi antara kecerdasan spiritual dengan perilaku melanggar tata tertib sekolah. Nilai negatif menunjukkan adanya hubungan yang berlawanan arah, yang berarti kenaikan variabel kecerdasan spiritual akan diikuti penurunan variabel perilaku melanggar tata tertib sekolah. B. Pembahasan 1. Kecerdasan Spiritual Hasil analisis kualitas kecerdasan spiritual sebesar 97.3% kriteria sangat baik. Ini menunjukkan bahwa anak usia dini di Kota Semarang sudah mempunyai bekal dan pengetahuan mengenai kehidupan melalui ilmu agama. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Ari Ginanjar (2001: 15) yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk hidup lebih bermakna. Kehidupan anak usia dini di kota Semarang dipenuhi dengan nilai-nilai, nilai kreatif, nilai pengalaman dan nilai sikap. Berdasarkan nilai-nilai tersebit siswa mampu menjadikan dirinya seorang yang memiliki kebebasan rohani, yaitu suatu kebebasan manusia dari godaannnafsu, keserakahan dan lingkungan yang penuh persaingan. Hal ini dibuktikan bahwa siswa tidak mudah tergoda oleh kesempatan untuk melakukan perbuatan mencontek walaupun ada peluang, sanggup menghadapi cobaan yang tengah menderanya. Tidak membolos walaupun ada peluang untuk melakukannya. Kecerdasan spiritual siswa yang semakin berkembang dinandai dengan kemampuan bersikap fleksibel, kesadaran tinggi, menyikapi penderitaan sebagai cobaan (Danah Zohar, 2002: 14). Hal ini sejalan dengan kondisi siswa yang sanggup menyesauikan diri dengan lingkungan barunya, seperti penyesauain dengan teman baru, kemudahan mengikuti pelajaran. Selain itu siswa juga memiliki kesadaran
beribadah, kesabaran menerima musibah, dan berkeyakinan bahwa semua yang menimpa paa diri manusia adalah hasil ulah tangannya sendiri. Keberagamaan anak usia dini tercermin dalam sikap yang tidak hanya pada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilainilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, siswa tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari. 1. Perilaku Melanggar Tata Tertib Sekolah Hasil perilaku melanggar tata tertib sekolah sebesar 62.7% kriteria sangat rendah. Ini menunjukkan perilaku melanggar siswa kelas B TK Aysyyah Bustanul Athfal 1 Gubug masih dalam kategori wajar jika tidak merugikan dirinya dalam proses kegiatan belajar mengajar di sekolah dan juga tidak merugikan orang lain. Perilaku melanggar siswa ditunjukkan dari adanya pelanggaran ringan, seperti tidak mengenakan atribut atau kelengkapan upacara, berbuat gaduh yang masih dapat ditolerir karena tidak berakibat fatal yang mengganggu kegiatan bgelajar mengajar. Kurang kurang konsentrasi dalam belajar sehingga meninggalkan mata pelajaran yang dianggap sulit. Memang diakui bahwa tidak semua siswa dapat konsentrasi penuh dalam belajarnya. Perilaku melanggar lain yang tampak adalah perilaku melanggar yang didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan soal-soal ulangan. Masih ada beberapa siswa yang melakukan perbuatan mencontek atau kerjasama ketika ada ulangan. Penyebab lain dari perilaku melanggar yang dilakukan sebagian kecil siswa karena adanya pola perilaku kacau sebagai dampak kehidupan lingkungan keluarga yang tidak mendidik perilaku benar dan salah. Penyebabnya, adalah kesibukan orang tua bekerja sebagai petani dan pekerjaan lainnya, sehingga sejak kecil anak hanya diserahkan kepada orang lain dalam hal penerapan nilai-nilai atau norma-norma. Orang tua tidak langsung mendidik anak-anaknya. Hukuman juga jarang dilakukan orang tua ketika anak melakukan perbuatan yang menyimpang (salah) atau yang benar. Pola asuh lebih cenderung permisif sehingga berdampak pada kekacauan pikiran anak (Anonim, 2008: 2). 2. Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Melanggar Tata Tertib Sekolah Hasil output SPSS menunjukkan nilai sebesar -0.467, atau dapat dituliskan -0.467 > 0.05 (0.227). nilai tersebut menunjukkan adanya penerimaan hipotesis alternatif, yang menyatakan adanya hubungan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku melanggar tata tertib sekolah. Nilai negatif dari hasil perhitungan menandakan bahwa ada hubungan, berlawanan arah, yang berarti semakin baik kecerdasan spiritual siswa maka akan semakin kecil siswa melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Kecerdasan spiritiual siswa dijadikan salah satu ukuran untuk melihat keberfungsian sosial siswa di lingkungannya (sekolah, keluarga, dan masyarakat). Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi rokhani. Sebab siswa yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti siswa akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik dalam perilakunya. Artinya bagi siswa yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka ia akan melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma agama.
Dengan demikian ketaatan dan tidaknya beragama bagi siswa (kecerdasan spiritual) sangat berhubungan dengan perilaku melanggar tata tertib di sekolah. Hal ini berarti bahwa siswa yang taat menjalankan kewajiban agamanya kecil kemungkinan ia akan melakukan perilaku melanggar tata tertib sekolah, baik pelanggaran yang menjurus pada kejahatan maupun kenakalan ringan, demikian juga sebaliknya.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Kecerdasan Spiritual anak usia dini di Kota Semarang sebesar 97.3% kriteria sangat baik. Ini menunjukkan bahwa Anak usia dini tingkat kecerdasan spiritualnya tercermin pada keberagamaan dalam sikap dan perilaku yang diliputi dengan nilai-nilai dan norma-norma agama. Siswa berupaya berupaya tunduk dan patuh pada nilai-nilai yang diyakininya penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri yang diwujudkan dalam bentuk perilaku sehari-hari. 2. Karakter melanggar tata tertib anak usia dini sebesar 62.7% kriteria sangat rendah. Ini artinya bahwa pelanggaran yang dilakukan siswa masih dalam kategori wajar. Pelanggaran yang dilakukan tidak menjurus pada kejahatan atau kriminal. 3. Ada hubungan berlawanan arah antara Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Melanggar Tata Tertib Sekolah. Hal ini dibuktikan dari hasil output SPSS sebesar -0.467. (0.467 > 0.05 (0.227). Ini menunjukkan bahwa semakin baik kecerdasan spiritual siswa maka akan semakin kecil perilaku melanggar tata tertib sekolah siswa. Anak usia dini Hal ini berarti bahwa siswa yang taat menjalan kan kewajiban agamanya kecil kemungkinan ia akan melakukan perilaku melanggar tata tertib sekolah, baik pelanggaran yang menjurus pada kejahatan maupun kenakalan ringan, demikian juga sebaliknya. Saran dan rekomendasi : 1. Mengintegrasikan penilain mata pelajaran dengan nilai-nilai moral, sehingga tidak ada dikotomi ilmu pengetahuan 2. Memberikan contoh atau teladan yang baik kepada siswa, sehingga siswa memiliki minset bahwa guru adalah panutan yang patut digugu dan ditiru, seperti masuk kelas tidak terlambat, memberikan nilai secara obyektif, terbuka, memberikan hukuman yang setimpal pada para pelaku pelanggaran, memberikan hadiah bagi yang berprestasi. 3. Motivasi guru sangat diperlukan guna meningkatkan kinerja dan profesionalitas Tingkat kecerdasan yang sangat baik agar dapat dipertahankan. Hal ini dapat dilakukan dngean cara meningkatkan keberagamaan, mendalami nilai-nilai yang menjadi acuan moral dalam kehidupan sehari-hari, bergaul dengan orang-orang yang baik, sering mendatangi majelis ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Sangkan, 2008, Spiritual Salah Kaprah, Bekasi Utara: PT Gybraltar Wahyamaya. Arifin, 2005, Kapita Selekta Pendidikan, Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara. Ary Ginanjar Agustian, 2001, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ), Jakarta: Arga. Donah Zohar dan Ian Marshall, 2002, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir Integralistik dan Holistic Untuk Memaknai Kehidupan, Bandung: Mizan. Imam Ghozali, 2006, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Sugiyono, 2002, Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta. _______, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Sutrisno Hadi, 2002, Metodologi Research II, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. ______, 2000, Statistik I dan II, Yogyakarta: Andi Offset. ______, 1993, Metodologi Research 3, Yogyakarta: Penerbit Andi Offset. Toto Tasmara, 2001, Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence). Jakarta: Gema Insani Press. Tulus Winarsunu, 2002, Statistik dalam Penelitian Psikologi & Pendidikan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. .
Simulasi Pola Inisialisasi Kemampuan dengan Metode Penalaran Fuzzy Tsukamoto dalam Mengidentifikasi Cheating
Rukli Disajikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Bekerjasama dengan HEPI DIY pada tanggal 12 MEI 2012
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER LAMAPPAPOLEONRO SOPPENG SULAWESI SELATAN 2012
0
Simulasi Pola Inisialisasi Kemampuan dengan Metode Penalaran Fuzzy Tsukamoto dalam Mengidentifikasi Cheating Rukli Dosen STMIK Lamappapoleonro Soppeng Email.
[email protected] Hp. 085299135009 Telp. 0484-421285
Abstract This study aims to identify patterns of cheating based on capabilities and simulation initialization items level of exposure to the Tsukamoto fuzzy reasoning method in the application CerdasCAT. Simulation using real data, ie the data items UASBN 2008, 2009, and 2010 as many as seven packages in the subjects of mathematics. The total number of items as much as 240 items. Analysis use Bilog_MG program while using the model of Rasch measurement model. Furthermore, the pattern of responses imputed using model outliers and ideal models. Initialize the ability to use three-items . Accordingly, the ability to form five categories as a basis for simulation. It is used to identify items equal chances and the chances items exposure levels. The results of the research showed the following. (1) No the same items if the initialization of different abilities. (2) There are items same as if the initial capacity for the same response pattern. (3) The items exposure does not occur in all the initialization of the model simulation patterns imputed outliers and ideal models. (4) Application CerdasCAT can eliminate the possibility of cheating among examinees in an optimal test.
Key words: Fuzzy Tsukamoto, Cheating, Exposure Items, CerdasCAT
1
Pendahuluan Pasal 3 UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah menyelenggarakan ujian nasional pada semua tingkatan dan jenis pendidikan. Setiap penyelengaraan tersebut, pemerintah melakukan evaluasi secara internal dan eksternal berdasarkan informasi dari user agar amanat undang-undang tentang pendidikan nasional yakni membentuk karakter peserta didik dapat dilaksanakan secara optimal. Walaupun telah diusahakan secara optimal namun timbul masalah baru yang menjadi dampak dari usaha optimal tersebut. Misalnya, beberapa sekolah menggunakan teknologi CCTV (Closed Circuit Television) agar dapat memantau terjadinya cheating dalam suatu ujian walaupun menimbulkan masalah psikologis bagi peserta tes dan masalah keadilan. Masalah psikologis terjadi pada peserta tes yang tidak terbiasa dengan CCTV dan masalah ketidakadilan dalam proses pengawasan karena tidak semua sekolah menggunakan teknologi tersebut. Salah satu faktor penentu keberhasilan suatu ujian adalah terjaminnya rasa keadilan (equity) antar peserta tes. Cara lain, pemerintah melakukan penambahan paket butir soal, dari tiga paket menjadi lima paket dalam suatu ruangan walaupun dapat menekan kegiatan cheating namun memunculkan masalah baru berupa tertukarnya lembaran jawaban dengan soalnya. Hal tersebut akan lebih terbuka lagi jika menggunakan paket soal yang lebih besar, misalnya 10 paket atau 20 paket kecuali setiap peserta tes dalam satu kelas menggunakan paket yang berbeda. Cara terakhir mungkin dapat menghindarkan dari masalah cheating antar peserta tes dalam satu kelas namun taruhannya masalah biaya dan pensetaraan (equating) antar paket. Walaupun pensetaraan antar paket sudah sering dilakukan namun muncul keluhan dari user menganggap ada paket sukar dan mudah. Hal terakhir tersebut perlu ditelaah dan diobservasi lebih lanjut. Bagaimanapun, secara teori dapat dipahami bahwa pensetaraan 2
dapat dilakukan namun secara praktik memerlukan pertimbangan lebih jauh misalnya kesenjangan antar sekolah, wilayah, dan tenaga guru serta biaya operasional sekolah. Pemetaan database mengenai hal tersebut agaknya perlu
dibuat
secara
komprehensif
agar
pensetaraan
terjamin
dari
ketidakadilan (nonequity). Artinya, setiap peserta tes seharusnya menempuh paket yang berbeda merupakan syarat wajib namun hal tersebut belum cukup karena dapat menimbulkan ketidakadilan. Sejatinya, setiap peserta tes seharusnya menempuh paket sesuai dengan kemampuan. Hal terakhir lebih adil dan masalah cheating dapat dieliminasi. Artinya,
bentuk tes berupa
paper and pencil test perlu rekayasa menggunakan teknologi informasi dan teori tes modern dimana karakteristik butir soal disesuaikan dengan kemampuan peserta tes secara independen berdasarkan algoritma sistem cerdas. Asumsinya, kemampuan peserta tes unik tidak ada yang sama maka berikanlan butir soal yang unik juga secara adaptif sesuai keunikan kemampuannya. Pemberian soal yang adaptif terhadap kemampuan peserta tes menggunakan teknologi komputer dikenal dengan Computerized Adaptive Testing (CAT). Adaptif terjadi karena peserta tes menjawab salah suatu butir soal saat ini artinya soal tersebut sukar jika dibandingkan dengan kemampuan yang dimiliki sehingga butir soal selanjutnya diturunkan tingkat kesukarannya menggunakan suatu engine. Sebaliknya,
jika peserta tes
menjawab benar suatu butir soal saat ini artinya butir soal tersebut mudah jika dibandingkan dengan kemampuan yang dimiliki sehingga butir soal selanjutnya dinaikkan tingkat kesukaran menggunakan suatu engine. Engine tersebut merupaka motor penggerak di dalam CAT yang dapat melacak butir soal paling cocok dengan kemampuan peserta tes saat ini. Jadi, keakuratan pelacakan tersebut bergantung pada metode yang digunakan, selanjutnya metode yang terpilih sebagai acuan dalam membuat algoritma pencarian sistem cerdas diimplementasikan dalam bentuk aplikasi CAT. Berdasarkan hal tersebut, pemilihan metode merupakan inti pemberian soal adaptif. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengindentifikasi pola cheating dengan berbagai pola simulasi sehingga diharapkan dapat menjadi informasi 3
tentang cara mengeliminasi cheating antar peserta tes yang lebih adil. Jika masalah
cheating
beserta
derivate-nya
tidak
dapat
dieliminasi
dan
ditanggulangi akan menilmbulkan masalah lebih besar yakni sikap peserta tes malas belajar sehingga mempengaruhi karakternya sebagai subjek belajar. Berdasarkan
hal
tersebut,
perlu
dilakukan
simulasi
pola
inisialisasi
kemampuan peserta tes dengan metode penalaran fuzzy Tsukamoto pada aplikasi CerdasCAT dalam mengidentifikasi cheating.
Metode Penalaran Fuzzy Tsukamoto Metode penyajian butir soal pada berbagai aplikasi CAT berkembang sangat cepat dengan beragam metode, mulai menggunakan metode statistik parametrik, statistik non parametrik sampai kepada metode heuristic yang tidak dilandasi asumsi ketat namun aturan logikanya fleksibel, misalnya metode penalaran fuzzy dan metode jaringan syaraf tiruan. Metode penalaran fuzzy mempunyai banyak keuntungan dibandingkan dengan metode lain, yakni
mempunyai
aturan
logika
sederhana
dalam
mengelola
basis
pengetahuan dan mempunyai banyak variasi perumusan input-proses-output, misalnya metode fuzzy dapat digunakan dalam menentukan unidimensi suatu tes
secara
sederhana
dan
mudah
namun
dapat
menggambarkan
pengelompokkan butir soal yang dominan (Rukli, 2011). Metode fuzzy yang paling sederhana adalah metode penalaran fuzzy Tsukamoto (Cox, E., 1994, Ross, T. J., 2004., dan The Mathworks, Inc., 2004). Metode penalaran fuzzy Tsukamoto merupakan metode penalaran fuzzy yang bersifat monotonik dan tidak memiliki proses defuzzifikasi dalam melakukan kesimpulan sehingga aturan logika sangat sederhana. Jika diketahui variabel x mempunyai hubungan dengan variabel y maka variabel y dapat ditentukan berdasarkan informasi dari variabel x atau sebaliknya, yakni kedua variabel himpunan
tersebut dihubungkan tingkat keanggotaan dalam batasan
fuzzy domain
masing-masing
sehingga
tidak ada proses
defuzzifikasi. Berdasarkan hal tersebut, aturan logika penalaran fuzzy 4
Tsukamoto menghasilkan suatu nilai fuzzy tertentu yang tidak didefuzzikan dalam menentukan kedudukan suatu nilai pada himpunan fuzzy. Nilai himpunan fuzzy tersebut kemudian dilanjutkan metode high low yakni jika benar maka dinaikkan 0,1 atau lebih jika salah diturunkan 0,2 atau lebih. (Hulin et al. 1983). Pola logika kedua metode tersebut digunakan untuk melacak butir soal yang adaptif terhadap kemampuan peserta tes saat ini.
Metode Penelitian 1. Data Penelitian Simulasi menggunakan data respon UASBN 2010, 2009, dan 2008 mata pelajaran matematika sebanyak enam paket dari Propinsi Sulawesi Selatan dan sebanyak satu paket UASBN 2009 dari Propinsi Jawa Timur. Total jumlah butir soal sebanyak 280 namun karena terdapat soal anchor tiap paket sebanyak 10 butir soal pada UASBN 2010 dan 2009 sehingga jumlah butir soal keseluruhan sebanyak 240 butir soal. . 2. Analisis Analisis data respon UASBN menggunakan program Bilog_MG. Selanjutnya, disetting berdasarkan desain group wise adative testing dengan pilihan model Rasch. Jumlah data respon tiap paket sebanyak 500 yang dipilih secara acak dari sub rayon yang ada pada tiap kabupaten/kota. Analisis tersebut dimaksudkan untuk membangkitkan parameter tingkat kesukaran butir soal, selanjutnya butir soal tersebut dimasukkan di bank soal CerdasiCAT.
3. Penyajian Butir Soal dengan Metode Futsuhilow Prosedur penyajian soal dengan metode penalaran fuzzy Tsukamoto sebagai berikut:
5
1. Variabel fuzzy tingkat kemampuan dan tingkat kesukaran ditetapkan beserta himpunan semestanya yakni [-4,4] kemudian dibagi dalam beberapa himpunan fuzzy dengan domain masing-masing sehingga terbentuk beberapa himpuan fuzzy sangat tinggi yaitu [2,4], tinggi yaitu [0,4], sedang yaitu [-2,2], rendah yaitu [4,0], dan sangat rendah yaitu [-4,2]. Domain fuzzy tingkat kemampuan dan tingkat kesukaran sama karena berada pada skala yang sama. 2. Menentukan fungsi keanggotaan dengan kurva segitiga. Representasi kurva segitiga pada variabel fuzzy tingkat kesukaran sebagai berikut.
Fungsi Keanggotaan Variabel Tingkat Kesukaran 3. Merumuskan tingkat keanggotaan himpunan fuzzy. Kurva segitiga digunakan dalam menentukan derajat keanggotaan tiap himpunan fuzzy. 4. Merancang basis pengetahuan berdasarkan teori, pakar atau simulasi. 5. Tentukan nilai kemampuan ke-i ( θ i ) untuk setiap aturan menggunakan fungsi MIN berdasarkan basis pengetahuan tersebut. 6. Melakukan perhitungan kemampuan peserta tes dengan rumus rerata berbobot sebagai berikut: n
θ=
∑α _ pred *θ i
i =1
i
n
∑α _ pred
i
i =1
Berdasarkan nilai theta yang telah diperoleh selanjutnya diakselerasi dengan metode high low. 6
Prosedur Simulasi 1. Inisialisasi kemampuan peserta tes dalam lima kategori menggunakan tiga soal sehingga terbentuk 8 kemungkinan terjadi yakni kemampuan sangat tinggi rerata sama dengan 3, kemampuan tinggi rerata sama dengan 2, kemampuan sedang rerata sama dengan 0, kemampuan rendah rerata sama dengan -2, dan kemampuan sangat rendah rerata sama dengan -3. 2. Pola respon peserta tes menggunakam model inputed outlier dan model ideal.
Adapun
model
inputed
outlier
mempunyai
pola
respon
1111010110010000 sedangkan model ideal mempunyai pola respon 1110110110100000 (Rasch, 1994). 3. Tingkat exposure butir soal ditentukan berdasarkan aturan bahwa butir soal yang mempunyai tingkat kesukaran yang muncul di luar rentang domain himpunan fuzzy inisialiasai kemampuan. 4. Berdasarkan pola respon tersebut dilacak pola munculnya butir soal dengan memperhatikan idsoal yang muncul untuk melihat munculnya butir soal yang sama (cheating) dan tingkat exposure butir soal pada tujuh butir yang direspon. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Hasil Penelitian 1. Cuplikan Hasil Simulasi Pola Model Imputed Outliers Tabel 1 Inisialisasi Theta Tiga dan Dua Inisialisasi Theta = 3 Inisialisasi Theta = 2 ID Theta ID Theta No. Soal Awal b u Soal Awal b u 1 398 3 2.991 1 231 2 1.955 1 2 334 2.991 3.143 1 413 1.955 2.091 1 3 504 3.143 3.313 1 420 2.091 2.911 1 4 387 3.313 3.491 1 397 2.911 3.091 1 5 326 3.491 3.703 0 332 3.091 3.328 0 6 332 3.703 3.328 1 343 3.328 3.101 1 7 345 3.328 3.912 0 387 3.101 3.491 0 7
Tabel 1 di atas menunjukkan pada inisialisasi theta sama dengan 3 dan 2 tidak ada idsoal yang sama. Artinya, pada model inputed ouliers dapat mengeliminasi timbulnya butir soal yang sama bila inisialisasi theta sama dengan 3 dan 2. Selanjutnya, tingkat exposure butir soal tidak ada jika inisialisasi theta 3 dan 2. Pada inisialiasasi theta sama dengan nol dan negatif 2 tidak ada idsoal yang sama. Artinya, pada model inputed ouliers dapat mengeliminasi timbulnya butir soal yang sama bila inisialisasi theta sama dengan 0 dan -2. Selanjutnya, tingkat exposure butir soal tidak terjadi pada kedua model bila inisialisasi theta 0 dan -2. Demikian halnya untuk inisialisasi theta sama -3 menunjukkan hasil yang sama.
2. Cuplikan Hasil Simulasi Pola Model Ideal Tabel 2 Inisialisasi Theta Tiga dan Dua
No. 1 2 3 4 5 6 7
Inisialisasi Theta = 3 ID Theta Soal Awal b 398 3 2.991 334 2.991 3.143 504 3.143 3.313 387 3.313 3.491 319 3.491 3.231 189 3.231 3.671 345 3.671 3.912
u 1 1 1 0 1 1 0
Inisialisasi Theta = 2 ID Theta Soal Awal b 231 2 1.955 413 1.955 2.091 420 2.091 2.911 397 2.911 3.091 188 3.091 2.819 382 2.819 3.091 387 3.091 3.491
u 1 1 1 0 1 1 0
Tabel 2 di atas menunjukkan pada inisialisasi theta 3 dan 2 tidak ada idsoal yang sama. Artinya, pada model ideal dapat mengeliminasi timbulnya butir soal yang sama bila inisialisasi theta sama dengan 3 dan 2. Selanjutnya, tingkat exposure butir soal tidak terjadi kedua model bila inisialisasi theta 3 dan 2.
Pada inisialisasi theta sama dengan nol dan negatif 2 tidak ada
idsoal yang sama. Artinya, pada model ideal dapat mengeliminasi timbulnya butir soal yang sama bila inisialisasi theta sama dengan 0 dan -2. Selanjutnya, tingkat exposure butir soal tidak terjadi pada kedua model bila inisialisasi theta 0 dan -2. Demikian halnya untuk inisialisasi theta sama -3 menunjukkan hasil yang sama. 8
3. Perbandingan Pola Inisiliasisai pada Kedua Model Tabel 3 Pola Inisialisasi pada Kedua Model Model Ideal
Model Input Outlier
Inisialisasi Theta Awal No
3
2
0
-2
-3
3
2
0
-2
-3
1
398
231
203
407
355
398
231 203 407 355
2
334
413
278
424
240
334
413 278 424 240
3
504
420
253
422
377
504
420 253 422 377
4
387
397
311
307
221
387
397 311 307 221
5
326
332
198
202
173
319
188 27
6
332
343
301
337
236
189
382 176 337 236
7
345
387
252
354
424
345
387 252 354 424
239 297
Tabel 3 menunjukkan kedua model respon dan inisialisasi theta awal yang sama mempunyai idsoal sama pada butir ke-1 sampai butir ke-4 namun pada butir selanjutnya idsoal sudah berbeda dan semakin banyak soal semakin beragam idsoal yang muncul dengan perbedaan yang semakin besar.
B. Pembahasan Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan kedua model, metode fuzzy Tsukamoto diakselerasi metode high low dapat mengendalikan butir soal yang muncul bersamaan jika peserta tes mempunyai nilai inisialisasi kemampuan yang berbeda dan tidak ada butir soal mempunyai tingkat esposure butir soal. Hal tersebut menunjukkan bahwa metode fuzzy Tsukamoto
diakselerasi
mengeliminasi
adanya
metode
high
kemungkinan
low
dapat
cheating.
digunakan
Selanjutnya,
dalam simulasi
menunjukkan jika inisialisasi kemampuan sama pada kedua model maka ada empat butir soal pertama yang sama. Hal tersebut disebabkan pola respon kedua model sama (111) yakni masing-masing tiga butir pertama tersebut responnya benar sehingga butir keempat juga sama. Jika pola tersebut diperhatikan dan dikaitkan dengan pola inisialisasi kemampuan menggunakan tiga butir soal maka dapat dipahami bahwa ada tujuh butir soal yang direspon sama dengan benar (111+1111) jika inisialisasi theta = 3. Secara praktek, 9
pola peluang respon tersebut amat jarang atau bahkan sangat berpeluang tidak terjadi. Oleh karena itu, aplikasi CerdasCAT menggunakan metode penalaran fuzzy Tsukamoto yang akselerasi metode high low dapat mengendalikan tingkat exposure butir soal sekaligus mengendalikan secara optimal pola cheating dan tingkat keadilan antar peserta tes lebih maksimal walaupun inisialisasi kemampuan sama. Hasil simulasi tersebut mendukung hasil simulasi aplikasi CerdasiCAT sebelumnya dengan metode penalaran fuzzy Tsukamoto yang akselerasi metode high low menggunakan pola normal, salah benar, benar semua, dan salah semua (Rukli, 2012). Walaupun aplikasi CAT masih baru di Indonesia namun telah beberapa kali dilakukan simulasi, sosialisasi, dan uji coba di sekolah (Rukli, 2010) dan Rukli & Hartati (2011). Hasil tersebut menunjukkan aplikasi CAT
dibutuhkan user.dan dapat dijadikan salah satu media
pengujian yang berbasis desktop, client server, atau web.
Simpulan 1. Tidak ada butir soal yang sama jika inisialisasi kemampuan berbeda baik model imputed outliers maupun model ideal. 2. Ada butir soal yang sama jika inisialisasi kemampuan sama karena pola respon yang sama pada tiga butir pertama walaupun semakin berkurang seiring bertambah panjang tes. 3. Tingkat exposure butir soal tidak terjadi pada semua pola simulasi inisialisasi baik model imputed outliers maupun model
ideal tanpa
memperhatikan pola respon peserta tes. 4. Aplikasi CerdasCAT dapat mengeliminasi kemungkinan cheating antar peserta tes secara optimal dengan metode penalaran fuzzy Tsukamoto yang diakselerasi metode high low.
10
Rekomendasi 1. Hasil
simulasi
menunjukkan
bahwa
aplikasi
CerdasCAT
dapat
mengendalikan tingkat exposure butir soal dan dapat mengendalikan pola butir soal yang sama sehingga dapat mengeliminasi cheating secara optimal. Oleh karena itu, aplikasi CerdasCAT dapat dijadikan salah satu media dalam sistim ujian selain P&P agar peserta tes tidak dapat melakukan cheating sekalgus tingkat keadilan antar peserta tes dapat ditingkatkan. 2. Perlunya dilakukan sosialisasi penerapan aplikasi
CAT agar dapat
diaplikasikan secara lokal atau nasional. Hal tersebut dapat dilakukan jika sekolah memiliki laboratorium komputer memadai sebagai kendala teknis di lapangan kalau aplikasi berbasis desktop atau client server. Sebaliknya, jika aplikasi berbasis web dibutuhkan jaringan memadai agar dapat diluncurkan di web atau menggunakan kombinasi antara keduanya. 3. Idealnya, setiap peserta tes menempuh paket yang berbeda. Jika terdapat 20 peserta tes dalam satu kelas maka dibutuhkan 20 paket sehingga peluang untuk cheating tereliminasi. Pola lain, butir soal sama dalam satu paket namun urutan soal tidak sama sehingga kunci jawaban peserta tes tidak sama. Cara tersebut dapat meredam unsur cheating dalam ujian dan tidak mahal serta tidak wajib pensetaraan. Prinsip tersebut sama dengan prinsip Computerized Based Test (CBT). Oleh karena itu, disarankan menggunakan aplikasi CBT walaupun memerlukan penambahan sarana komputer namun agar lebih adil disarankan menggunakan CAT. 4. Cloning butir soal atau men_generate butir soal merupakan salah satu cara dalam membuat soal kembar (serupa namun tidak sama) tanpa melakukan pensetaraan. Butir soal tersebut dapat digunakan dalam membuat paket-paket soal berbeda namun memiliki kesetaraan yang serupa. Aplikasi cloning butir soal sudah banyak tersedia walaupun masih terbatas mata pelajaran tertentu. Bila menggunakan aplikasi CAT maka cloning butir soal tidak diperlukan lagi dan lebih sesuai kemampuan peserta tes serta dapat diterapkan pada semua mata pelajaran. 11
Daftar Pustaka Cox, E. (1994). The fuzzy systems handbook: A practitioner’s guide to building, using, and maintaining fuzzy systems. Massachusetts: Academic Press, Inc. Hambleton, R. K., Swaminathan, H., & Rogers, H. J. (1991). Fundamentals of item response theory. Newbury Park, CA: Sage. Hambleton, R. K., & Swaminathan, H. (1985). Item response theory: Principles and applications. Boston: Kluwer. Hulin, L. H., Drasgow, F., & Parsons, C. K. (1983). Item response theory: Application to psychological measurement. Homewood, IL: Thorsey Professional Series. Rasch., G. (1994). Dichotomous Infit and Outfit Mean-Square Fit Statistics. Diambil pada tanggal 18 Juli 2009, dari http://www.rasch.org/rmt/ rmt82a.htm Ross, T. J. (2004). Fuzzy logic with engineering applications (2rd ed.). England: John Wiley & Sons Ltd. Rukli. (2010). Penerapan model logistik satu parameter pada Computerized Adaptive Testing ujian masuk Perguruan Tinggi. Prosiding Seminar Nasional Himpunan Evaluasi dan Pendidikan Indonesia, Jakarta. ISBN 978-602-96343-0-3. 93-108. ______,(2011). Studi Simulasi Menggunakan Fuzzy C-Means dalam mengklasifikasi Konstruk Tes. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. ISSN 1410-4725, Tahun 15 Nomor 1. Akreditasi No. 64a/DIKTI/Kep/2010. 115-137. ______,(2012). Examinees Response Test Pattern Simulation-Based Adaptive Computer Using Fuzzy Reasoning Tsukamoto, Prosiding Internasional Conference and Call for Paper (ICCP), ILP2MI dan UKM Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta. 175-187. Rukli dan Hartati (2011). Penerapan Sistem Pendukung Keputusan dalam Sistem Ujian Computerized Adaptive Testing. Indonesian Journal of Computing and Cybernetic Systems, ISSN 1978-1520, Vol. 5 No. 3. 71-81. The Mathworks, Inc. (2004). Fuzzy Logic Toolbox For Use with MATLAB®, The MathWorks, Inc.
12
IMPLIKASI IMPLEMENTASI METODE STANDARD SETTING DALAM UJIAN NASIONAL DI SEKOLAH DASAR TERHADAP PENGEMBANGAN KARAKTER*)
ABSTRAK
Sri Rejeki Universitas PGRI Yogyakarta,
[email protected] Ujian Nasional pada sejarah perkembangan dan implementasinya terdapat beberapa permasalahan yang muncul seperti masalah administrasi, persepsi stakeholders, penetapan batas kelulusan, dan masalah geografis, perkembangan kurikulum adanya otonomi daerah yang berdampak pada otonomi pendidikan di Indonesia. Di sisi lain dalam penetapan standar kelulusan di Indonesia belum memanfaatkan metode standard setting yang berkembang dalam sistem pengujian dan penilaian yang telah diterapkan oleh beberapa negara. Penetapan standard kelulusan berdasarkan hasil implementasi metode standard setting akan memberikan manfaat dan kepastian. Implikasi kebijakan di tingkat Sekolah Dasar terhadap penetapan kelulusan menjadi dilema pada kebijakan nasional, karena ada dua sisi yang berbeda, di satu sisi penetapan kelulusan oleh masing-masing sekolah berdampak pada sifat penetapan yang bersifat banyak (majemuk) dan di sisi lain bersifat tunggal yaitu bersifat nasional, disamping itu perbedaan pemahaman KTSP sebagai kurikulum yang ditetapkan secara nasional tetapi pengembangannya diserahkan kepada tingkat satuan pendidikan atau setidak-tidaknya di tingkat kabupaten/kota maka penetapan standar kelulusan semestinya mengikuti kebijakan tersebut. Oleh karena itu diperlukan metode standar setting dengan harapan hasil penetapan kelulusan akan valid dan kredibel. Kredibilitas UN berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap sekolah, kebijakan UN maupun kejujuran pelaksanaan dan hasil UN. Kata kunci : metode standar kelulusan, ujian nasional.
Pendahuluan Pendidikan berbasis kompetensi menekankan pada kemampuan yang harus dimilki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Kriteria keberhasilan guru dan siswa dalam melaksanakan program pembelajaran adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu
dikembangkan sistem
penilaian yang bersifat hierarkhis, secara berurutan, yaitu berdasar pada standar kompetensi, kemampuan dasar, materi pembelajaran, indikator dan soal ujian. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, pada bab XVI pasal 57 sampai dengan 59 tentang Evaluasi menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada piha-pihak yang berkepentingan. Evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan
secara
berkesinambungan, yang akhirnya akan dapat membenahi mutu pendidikan. Assessment dalam Pendidikan Penilaian atau assessment adalah istilah umum yang mencakup semua metode
yang
digunakan untuk menilai unjuk kerja individu siswa atau kelompok. Proses assessment mencakup pengumpulan bukti untuk menunjukkan hasil belajar siswa. Assessment menurut Griffin & Nix _____________________________ *) disampaikan dalam Seminar Nasional HEPI 2012 di UNY 12 Mei 2012
1
(1991) adalah suatu pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang. Definisi assessment berhubungan dengan setiap proses pendidikan. Kegiatan assessment tidak hanya terbatas pada penunjukan karakteristik kemampuan siswa saja, tetapi mencakup karakteristik kurikulum, metode, fasilitas dan administrasi sekolah. Kegiatan assessment merupakan kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran. Hubungan
antara
pembelajaran,
assessment
dan
evaluasi menurut Conner (1991:10) dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1: Keterkaitan pembelajaran, evaluasi dan assessment
Berdasarkan gambar 1 menunjukkan bahwa assessment adalah bagian utama dalam proses belajar mengajar,
evaluasi
merupakan
bagian
dari assessment, evaluasi di sekolah tidak hanya
mengevaluasi siswa tetapi juga kinerja guru dan sekolah, untuk menunnjukkan efektivitas sekolah. Ini berarti assessment pada gilirannya merupakan bagian dari proses akuntabilitas. Secara tidak langsung perencanaan kegiatan assessment dan evaluasi memerlukan aturan secara nasional untuk memenuhi tujuan pendidikan nasional dan lokal serta
kebutuhan
sekolah.
Assessment
dan
evaluasi
diharapkan dapat memberikan informasi dan pertimbangan kelanjutan proses belajar mengajar baik untuk sekolah, daerah mapupun pemerintah pusat. Assesment merupakan kerangka kerja yang dapat menghasilkan dasar bagi perencanaan langkah-langkah pendidikan selanjutnya dalam merespon kebutuhan siswa. Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi hasil evaluasi dalam rangka menentukan pencapaian hasil belajar siswa dan keberhasilan proses pembelajaran. Dalam penilaian pendidikan ada beberapa yang harus diperhatikan baik prinsip penilaian, standar penilaian, mekanisme, prosedur dan instrumen penilaian hasil peserta didik . prinsip penilaian hasil peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah berdasarkan penjelasan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2007 (2007:7-8)
adalah sahih, obyektif, adil,
terpadu, terbuka, menyeluruh dan berkesinambungan, sistematis, beracuan kriteria dan akuntabel. Mekanisme dan prosedur penilaian hasil belajar dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan,dan pemerintah.
Evaluasi menurut Grunlond (1981),Bloom,dkk (1981), Popham (1986) adalah pengumpulan bukti secara sistemetis untuk menentukan atau mengklasifikasikan siswa berdasarkan kemampuannya apakah dalam kenyataannya terjadi perubahan dalam diri siswa dan menentukan sejauh mana tingkat
2
perubahan tersebut. Sedangkan evaluasi menurut Worthen, Sanders dan Stufflebeam (1973) adalah proses untuk memperoleh informasi tentang program, prosedur, produk, atau obyek tertentu dan memberikan alternatif yang terbaik untuk pengambilan keputusan, disini evaluasi memiliki makna yang luas. Hasil evaluasi menyajikan berbagai informasi tentang siswa, guru, program pendidikan dan proses belajar mengajar yang pasti serta bagaimana menyusun program yang efektif di dalam pendidikan.
Dalam evaluasi/penilaian sebuah instansi/lembaga akan menggunakan alat ukur yang berbentuk tes atau non tes. Tes adalah serentetan pertanyaan, latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki individu atau kelompok. Cronbach (1970) menyatakan bahwa tes adalah suatu prosedur sistematis untuk mengamati dan menggambarkan karakteristik seseorang dengan bantuan skala atau sistem kategori. Menurut Hopkins dan Antes (1990:2) tes adalah alat, prosedur atau serangkaian proses pemberian tugas kepada siswa untuk mengukur kemampuan merespon siswa terhadap /materi yang telah diberikan.
Salah satu upaya pembenahan mutu pendidikan adalah dimulai dari penentuan standar. Secara statistik penentuan standar yang semakin tinggi dapat dijadikan salah satu indikator peningkatan kualitas pendidikan di suatu negara.
Permasalahan dalam Ujian Nasional
Ujian Nasional (UN) /Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) di Indonesia (dahulu dengan istilah EBTANAS, UNAS, UAN) pada sejarah perkembangan dan implementasinya terdapat beberapa permasalahan yang muncul seperti masalah administrasi, persepsi stakeholders, penetapan batas kelulusan, dan masalah geografis, pemahaman terhadap Kurikulum Tingkat satuan pendidikan dan adanya otonomi daerah yang berdampak pada otonomi pendidikan di Indonesia.
Administrasi Ujian Nasional selama ini memang berliku mulai penyusunan kisi-kisi UN, penyusunan soal baik tingkat nasional dan daerah, uji coba, penetapan soal untuk standar nasional dan daerah, cetak perangkat soal dan LJK, pengiriman, distribusi dan pendataan sesampainya di sekolah dan pengiriman kembali hasil pekerjaan peserta ujian. Permasalahan yang sering muncul dari administrasi UN adalah pada kerawanan cetak soal dan LJK, pengiriman dan distribusi soal.
Permasalahan lain dari UN adalah persepsi stakeholders terhadap pelaksanaan dan hasil UN, seperti adanya pro-kontra Ujian Akhir Nasional dalam masyarakat, sosialisasi tentang batas kelulusan belum merata, masyarakat dalam memahami batas kelulusan belum seperti yang diharapkan dalam kebijakan pendidikan.
Penetapan batas kelulusan hasil UN di Indonesia banyak menuai kritikan karena batas kelulusan di
3
Indonesia seperti di tingkat SMP dan SMA batas kelulusan masih sama, batas kelulusan di tingkat SD ditentukan oleh sekolah, belum dikembangkannya metode penetapan standar berdasarkan prosedur atau metode penetapan standard setting secara tunggal (nasional) ataupun tingkat daerah dan adanya bias dalam penentuan batas kelulusan yang belum berbasis pada SKL (standar kompetensi lulusan) dan KKM (kriteria ketuntasan minimal) dan kurikulum yang berlaku. Di sisi lain dalam penetapan standar kelulusan di Indonesia belum memanfaatkan metode standard setting yang berkembang dalam sistem pengujian dan penilaian.
Geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan juga menjadi permasalahan yang tak dapat dihindarkan dalam UN, karena ini berkaitan erat dengan pengiriman dan distribusi soal, pemerataan fasilitas pendidikan, kualitas pendidikan yang belum merata dan jarak tempuh peserta ujian dengan sekolah.
Implementasi Metode Standard Setting dalam Ujian Nasional di Sekolah Dasar
Penetapan kriteria penilaian memerlukan standar tertentu yang
disebut dengan standard setting
(setting performance standard). Penentuan standar pendidikan adalah penentuan nilai batas (cut score). Seseorang dikatakan sudah lulus/kompeten bila telah melewati nilai batas tersebut berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi tertentu. Bila itu terjadi pada ujian nasional atau sekolah maka nilai batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus dan tidak lulus disebut batas kelulusan. Kegiatan penentuan batas kelulusan disebut standard setting. Dalam konteks penilaian yang digunakan di lingkungan pendidikan, pembedaan harus dilakukan antara standar isi dan standar prestasi, karena ketidakjelasan mengenai perbedaan antara kedua konsep ini sering kali muncul di kalangan pengambil kebijakan, pendidik, dan masyarakat. Standar isi tercerminkan dalam kurikulum dan menetapkan apa yang semestinya diketahui dan bisa dikerjakan oleh peserta ujian. Standar isi memberikan arahan bagi pengajar mengenai apa yang perlu ia ajarkan. Standar prestasi menetapkan tingkatan pencapaian peserta tes yang diharapkan sesuai dengan standar isi (Linn & Herman, 1997). Standar prestasi dengan demikian dapat dipandang sebagai operasionalisasi standar isi bagi tes atau penilaian yang telah disusun untuk mengukur standar isi.
Secara umum metode standard setting diklasifikasikan dalam 3 kelompok (Cizek & Bunch, 2007:9) yakni examine centered versus test centered; holistic models versus analityc models; norm referenced versus criterion referenced. Menurut Jaeger (Cizek & Bunch,2007: 9) metode penentuan standar bisa diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu metode yang terpusat pada peserta ujian dan metode yang terpusat pada ujian. Kane (Cizek & Bunch,2007 : 9) telah mengemukakan cara untuk mengklasifikasikan metode penentuan standar. Ia mengemukakan bahwa metode bisa diklasifikasikan sebagai model holistik “yang berasumsi bahwa prestasi dan keterampilan sangat terintegrasi” atau model
4
analitis “yang berasumsi bahwa prestasi bisa diukur menggunakan
sampel kinerja”. Macam-macam
standarsd setting (Pitoniak,J Mary . Hambleton,K.Ronald.(Brenan, 2006:p.433‐470):
a. Berdasarkan rating tes dan peserta tes 1) Metode Angoff: penilai mengestimasi kemungkinan peserta ujian yang diperkirakan lolos akan menjawab benar setiap item pilihan ganda (metode ‘ya/tidak’ dan metode perkiraan rentang skor). Dengan menunjukkan probabilitas jawaban benar terhadap setiap soal pada suatu tes bagi seorang peserta ujian yang berada di atas standar yang diinginkan. Metode ini didasarkan pada saran bagi proses penetapan standar (Brenan,2006) Dalam teori, estimasi probabilitas untuk jawaban benar terhadap pertanyaan dapat dibuat hingga beberapa desimal. Metode Angoff sering digunakan di beragai negara. Ada 3 tahapan dalam metode Angoff ini, yaitu tahap orientasi dan pelatihan, putaran pertama perkiraan kinerja, putaran kedua penilaian kinerja. (Impara dan Plake,1997:353). 2) Perluasan Metode Angoff dan metode-metode yang terkait: metode ini serupa dengan metode Angoff, dalam hal item pilihan ganda, kecuali bahwa penilai menetapkan item-item polytomous (dengan metode analisis, item dalam suatu simulasi spesifik) dan menyatakan jumlah batas skor yang akan diperoleh peserta tes yang diperkirakan lolos. 3) Metode Ebel: Penilai mengklasifikasi setiap item sebanyak 2 dimensi, kesulitan dan relevansinya dan setiap kombinasi dimensi diperkirakan persentase item yang akan dijawab dengan benar oleh peserta tes yang diperkirakan lolos. 4) Metode Nedelsky: Penilai memperkirakan jumlah distraktor (pengecoh) setiap item yang diperkirakan merupakan respon yang keluar dari aturan, berbanding terbalik dengan distraktor yang tidak keluar aturan, ditambah satu (untuk jawaban yang benar), yang hasilnya merupakan probabilitas bahwa peserta ujian yang diperkira-kan lolos akan menjawab benar item tersebut, dengan memilih secara acak pilihan jawaban yang ada. 5) Metode Jaeger: Penilai membuat rating “ya/tidak” pada setiap item dalam hal apakah setiap peserta tes (tidak hanya peserta ujian yang diperkirakan lolos/berhasil) dapat menjawab item dengan benar. 6) Metode Bookmark : Pada metode Bookmark penilai mereview apakan item tes telah tersusun berdasarkan parameter kesulitan-nya, selanjutnya item tes terebut diletakkan pada Book-mark dimana item awal/terdahulu menggambarkan isi yang oleh peserta tes (borderline) kemungkinannya akan dijawab benar. Dalam metode ini biasanya mengharuskan peneliti untuk mencermati sekelompok soal yang telah dimasukkan ke dalam buku soal yang terurut berdasarkan kriteria kesulitan. Tugas mereka adalah menemukan pertanyaan pertama dalam pengurutan itu dimana probabilitas jawaban benar untuk seorang peserta ujian pada ICS akan mendapatkan kurang dari
5
probabilitas yang ditetapkan untuk jawaban benar. Probabilitas itu sering ditetapkan pada.67. Bookmark ditetapkan di antara dua soal. Informasi kalibrasi IRT untuk soal dengan metode bookmark biasanya digunakan untuk mengestimasi ICS. 7) Metode Direct consensus (Konsensus langsung): Penilai mereview grup/kelompok item dan menetapkan perkiraan bahwa setiap grup terdiri dari sejumlah item yang oleh peserta tes (borderline) akan dijawab benar dan berdasarkan perkiraan tersebut dibuat suatu konsensus pada setiap grup/kelompok item tes tersebut.
b). Metode Rating Calon Peserta Tes 1) Metode Grup Kontras/Berbeda: Penilai mereview daftar calon peserta tes dan mengidentifikasi satu grup yang anggota-anggotanya sudah jelas memiliki kompetensi kinerja di atas rata-rata dan grup lain yang anggota-anggotanya kompetensi kinerjanya di bawah standar 2) Metode Grup Borderline: Penilai mereview daftar calon peserta tes dan mengidentifikasi bahwa diantara mereka ada yang termasuk dalam ambang batas diterima 3) Metode Rating Kerja Calon peserta Tes 4) Metode Item per item (seleksi paper): Penilai mereview setiap item tes, melalui skor respon dari sampel calon peserta tes dan memilih hasil mereka yang menunjukkan gambaran yang akan lolos. 5) Metode Holistik (seluruh kegiatan,klasifikasi brosur,peserta tes secara umum): Penilai mereview secara menyeluruh, sampel dari brosur pendaftaran tes yang masuk dan menempatkannya dalam kategori kinerja yang berbeda 6) Metode Hibrid (analisis dan integrasi judgement,klasifikasi pekerjaan): Penilai mereview sampel respon calon peserta tes, proses setiap bagian lembaran tes, dan menempatkannya dalam kategori performance yang berbeda, berbagai kemungkinan yg menyertai sebuah aturan rating pada tahapan tes secara menyeluruh.
c). Metode Rating Profil Skor 1) Metode Mendeskripsikan Policy Judgement: Penilai mereview profil skor sepanjang latihan yang diadakan untuk sebuah penilaian kinerja dan menentukan setiap profil skor untuk suatu kategori kecakapan, data ini kemudian dianalisis untuk menetapkan seting standar kebijakan laten (yang tidak tampak) dari masing-masing penilai 2) Metode Profil Dominan: Panelis mereview profil skor sepanjang latihan yang berbeda dalam penilaian kinerja dan mencoba membuat konsensus kebijakan langsung untuk digunakan dalam seting standar (kompensasi/pengganti, konjungtif, atau kombinasi keduanya) 3) Metode Kelompok Item (Item Cluster): Penilai mereview pola/bentuk respon calon peserta tes untuk item pilihan ganda dan membuat rata-rata dalam empat skala.
6
d). Metode-metode lain yang relevan 1) Metode Beuk: Penilai menetapkan estimasi persentase jawaban benar yang diharapkan dari calon peserta yang akan lolos dan rata-rata kelulusan yang diharapkan dari populasi peserta tes 2) Metode de Gruijter: Penilai menetapkan estimasi persentase jawaban benar yang diharapkan dari calon peserta yang akan lolos dan rata-rata kegagalan yangdiharapkan dari populasi peserta tes, serta suatu estimasi yang tidak pasti dari kedua nilai tersebut 3) Metode Hofstee: Penilai menentukan estimasi passing skor tertinggi dan terendah untuk yang diterima/lolos tes dan batas rata-rata skor tertinggi dan terendah untuk yang gagal
Setidaknya ada tiga hal yang berpengaruh dalam implementasi metode standard setting dalam menentukan cut score : (1) terminologi mengenai standar, (2) peran panelis dalam menentukan standar prestasi, dan (3) perbedaan dalam metode penetapan standar antar jenis butir (Hambelton,2001: 436).
Adanya gagasan untuk selalu memperbaiki metode penetapan standar dewasa ini dengan eksplorasi pendekatan-pendekatan alternatif adalah usaha untuk membangun koherensi di dalam proses penentuan standar dengan mengembangkan deskriptor kategori yang berbeda antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lain dan tingkat pendidikan sesuai kurikulum .
Implementasi metode standard setting penulis telah melakukan penelitian di DIY pada tahun 2010-1011 untuk menetapkan cut score/ standar kelulusan berdasarkan hasil UASBN tahun 2009 dengan mengimplementasikan empat metode standard setting yaitu metode Nedelsky, Angoff Ya/Tidak, dan Bookmark. Penelitian dilakukan dengan dua kali putaran dalam Focus Group Disscussion. Sampel dalam penelitian sebanyak 1650 lembar kerja UASBN untuk 3 mata pelajaran (Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika) , 10 panelis pada putaran pertama dan 16 panelis pada putaran kedua. Hasil putaran 1 dan putaran 2 dapat di lihat pada tabrel berikut.
7
Tabel 1. Rangkuman Hasil Cut Score dan Persentase Lulusan UASBN 2009 Putaran 1 Metode
Mata Pelajaran
Cut Score
Pesentase
Putaran 2 Cut Score
Lulusan Nedelsky
Lulusan
Bahasa Indonesia
30
88,12
26,875
92,48
Ilmu Pengetahuan Alam
29
61,58
25
76,96
24,5
63,88
22,44
69.09
41
42,67
36,18
64,67
Ilmu Pengetahuan Alam
33,6
34,36
32,875
40,18
Matematika
33,2
37,63
31,66
47,09
Bahasa Indonesia
47,55
94,84
55,71
84,12
Ilmu Pengetahuan Alam
54,42
76,96
63,89
50,79
Matematika
49,78
76,18
52,87
73,58
Matematika Angoff
Pesentase
Bahasa Indonesia
Ya/Tidak
Bookmark
Berdasarkan tabel 1, dapat di ketahui variasi cut score setiap mata pelajaran dalam putaran 1 maupun 2 dengan implementasi metode yang berbeda pula, sebgai contoh mata pelajaran bahasa indonesia dengan metode Nedelsky skor batas yang dieroleh pada putaran 1 sebesar 30, apabila di implementasikan pada 1650 examine sebagai sampel maka yang lulus sebesar 88,12 % artinya dari 1650 siswa yang lulus sebanyak 1453 siswa yang dinyatakan lulus karena nilai yang diperoleh dengan menjawab benar 30 soal UASBN Bahasa Indonesia dari 46 soal. Asumsi yang dapat dijelaskan dari contoh diatas maka nilai batas kelulusan adalah 6.52. (jawaban benar dibagi dengan 4,6) angka 4,6 sebagai estimasi dari perolehan nilai jika siswa dapat menjawab 46 soal berarti dia mendapatkan nilai 10 (46:4,6). Jadi siswa yang mampu menjawab soal dengan benar sebanyak 30 item dinyatakan lulus, dan yang menjawab kurang dari 30 dianggap gagal/tidak lulus. Apabila metode-metode standard setting diterapkan, apakah secara sendiri-sendiri maka kebijakan yang di ambil untuk menetapkan skor batas/standar kelulusan akan lebih valid dan kredibel, karena berdasarkan pada data empirik untuk penetapan standar kelulusan di tahun-tahun berikutnya. Apalagi Indonesia sudah menerapkan kriteria dalam penetapan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) dan SKL (Standar Kompetensi Lulusan) nya Implikasi Implementasi Standar Setting dalam UN pada pengembangan karakter Karakter bangsa dapat ditelaah, dinilai dari beberapa sudut pandang. Dalam sosialisasi pengembangan karakter bangsa oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan dan kementrian sosial yaitu ”Jujur, Cerdas , Peduli dan Tangguh”.
Empat karakter tersebut jika dipandang dari sudut pelaksanaan UN maka,
pelaksanaan UN dapat menjadi salah satu cermin karakter peserta didik, penyelenggara, guru dan sekolah yang berkaitan dengan kejujuran, kecerdasan, kepedulian dan ketangguhan para penyelenggara dan peserta UN. Adanya penetapan standar kelulusan dengan mengimplementasikan standard setting pada dasarnya, pertama memberikan wacana baru dalam ujian nasional di Indonesia; kedua implementasi metode standard setting memberikan kepastian kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan UN khususnya di
8
SD, apabila penetapan standar kelulusan di sekolah dasar diserahkan kepada sekolah ; ketiga adanya kepastian standar kelulusan akan memberikan kepercayaan oleh stakeholders kepada sekolah
akan
berdampak pada peningkatan kualitas sekolah; keempat stakeholders akan memiliki sikap positif dan optimis terhadap penyelenggaraan Ujian Nasional;kelima implementasi metode standard setting yang diikuti oleh penyelenggaraan UN yang jujur akan memberikan dampak positif terhadap UN dan menjadikan UN sebagai salah satu cermin dari empat karakter yang hendaknya dapat dipahami bukan hanya sebagai wacana tapi dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan pendidikan khsusnya UN.
Kesimpulan
Assessmen
pendidikan
yang
dilaksanakan
secara
menyeluruhmerupakan
bentuk
akuntabilitas
penyelenggara pendidikan kepada piha-pihak yang berkepentingan, termasuk akuntabilitas karakter suatu bangsa. Ujian Nasional
pada
sejarah perkembangan
dan
implementasinya
terdapat
beberapa
permasalahan yang muncul seperti masalah administrasi, persepsi stakeholders, penetapan batas kelulusan, dan masalah geografis, pemahaman terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan adanya otonomi daerah yang berdampak pada otonomi pendidikan di Indonesia. Di sisi lain dalam penetapan standar kelulusan di Indonesia belum memanfaatkan metode standard setting yang berkembang dalam sistem pengujian dan penilaian yang telah diterapkan oleh beberapa negara. Penetapan standard kelulusan berdasarkan hasil implementasi metode standard setting akan memberikan manfaat dan kepastian . Adanya kebijakan terhadap penetapan kelulusan menjadi dilema pada kebijakan nasional, karena ada dua sisi yang berbeda, di satu sisi penetapan kelulusan oleh masing-masing sekolah berdampak pada sifat penetapan yang bersifat banyak (majemuk) dan di sisi lain bersifat tunggal yaitu bersifat nasional. Perbedaan ini menimbulkan dampak pada implementasi KTSP sebagai perluasan otonomi pendidikan dibidang kurikulum, apabila pemahaman KTSP sebagai kurikulum yang ditetapkan secara nasional tetapi pengembangannya diserahkan kepada tingkat satuan pendidikan atau setidaktidaknya di tingkat kabupaten/kota maka penetapan standar kelulusan semestinya mengikuti kebijakan tersebut. Oleh karena itu diperlukan metode standar setting
dengan harapan adanya metode yang
standard maka hasil penetapan kelulusan akan valid dan kredibel. Penetapan batas kelulusan yang valid dan kredibel dapat dijadikan sebagai salah satu indicator peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Referensi
Angoff,W.H.(1971). Scales, norms, and equivalent scores. Educational Meauserment (2nd ed). Washington,DC: American Education
Thorndike (Ed), Council on
Badan Standar Nasional Pendidikan.(2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: BSNP Bloom, Benyamin J.,et al. (1981). Evaluation to improve learning.New Hill Book Company.
York: McGraw9
Brenan, Robert L. . Educational meauserment (4th
ed)
. American Council of Education.
Cizek, J Gregory (ed).(2001). Setting performance standard, concept,methods, perspectives.New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher.
and
Cizek, J Gregory, Bunch Michael B. (2007). Standard Setting: A Guide Estlabishing and Evaluating Performance standards on Tests: London: Publications.
to Sage
Conner, Colin.(1991). Assessment and Testing in the Primary School.New York: Falmer press.
The
Cronbach, L. J.(1970). Essential of psychological testing. New York: Harper and Publisher.
Raw
Crocker, Linda. (2002). Stakeholders in Comprehensive Validation of Standardbased assessments: a Commentary. Educational Meauserment: Issues and Practice, Vol. 21 Number 1, Spring 2002, p. 5-6. Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga DIY.(2009). Laporan Komputerisasi Akhir Berstandar Nasional (UASBN) SD/MI Propinsi Daerah Istimewa Tahun Pelajaran 2008/2009. Yogyakarta : Pemerintah DIY, Dinas pemuda dan Olah Raga.
Ujian Yogyakarta Pendidikan,
Impara, James C & Plake, Barbara S.(1997). Standard Setting: An Alternatif Approach. Journal of Educational Meauserment, Volume 34.No. 4,1997.p.353-366. Impara, James C & Plake, Barbara S.(1998). Teachers’ Ability to EstimateItem Difficulty:A Test of the Assumptions in the Angoff Standard Setting Method. Journal of Educational Meauserment, Volume 35.No. 1,1998.p.69-81.
Pitoniak, J Mary . Hambleton, K.Ronald.(2006). Setting Performance American L. Brenan . Educational meauserment (4th ed) . Education.(p.433-470)
Standard Robert Council of
Pophan, James W.(1973). Evaluation instruction (terjemahan Irwanto). New Prentice-Hall,Inc. Worthen , B.R,& Sanders,James,R.(1973). Educational evaluation: practice. Ohio: Charles A. jones Pub. Company. Yusuf, F Yunan,.(2008). UASBN dan Kejujuran dalam Buletin BSNP Vol 2/Juni 2008.Jakarta: BSNP
York:
theory and
III/No.
10
11
APLIKASI HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KONSUMEN UNTUK MENGINTERNALISASIKAN HAK DAN KEWAJIBAN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN KONSUMEN OLEH MAHASISWA JURUSAN PTBB FT UNY Sri Wening FT Universitas Negeri Yogyakarta (e-mail:
[email protected]) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melakukan telaah kritis terhadap kesadaran mahasiswa untuk (1) mengimplementasikan hak-hak konsumen dalam berkonsumsi, (2) mengimplementasikan kewajiban sebagai konsumen, dan (3) melakukan gerakan perlindungan konsumen dan pengaduan. Pendekatan pelitian ini adalah evaluative survey. Teknik sampling yang digunakan adalah area stratified random sampling dengan ukuran sampel sebanyak 207 mahasiswa. Data dikumpulkan melalui kuesioner skala sikap, dan dianalisis dengan tehnik statistik deskriptif kuantitatif dan metode kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa kesadaran mahasiswa Jurusan PTBB untuk mengimplementasikan: (1) hak-haknya pada saat berkonsumsi, kewajibannya sebagai konsumen, dan gerakan perlindungan sebagai konsumen tergolong cukup baik, (2) melakukan pengaduan bila mengalami kerugian, aspek untuk mendapatkan advokasi, dan aspek memiliki rasa setia kawan tergolong kurang baik.
Kata kunci: hak dan kewajiban konsumen, perlindungan konsumen, pendidikan konsumen A. Pendahuluan Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, seseorang selalu berperan sebagai konsumen barang maupun jasa. Ketika mengkonsumsi barang dan jasa, seseorang pernah merasakan kecewa dan mengalami ketidakpuasan dan bahkan merasa tertipu karena akibat kecurangan produsen. Hal ini dialami karena kelalaiannya sendiri dan tidak menyadari bahwa setiap individu memiliki hak-hak dan kewajiban sebagai konsumen. Oleh sebab itu, perlu kiranya seseorang untuk mengenali dirinya sebagai konsumen, baik dalam hubungannya dengan produsen, maupun kekuatan dan kelemahan di baliknya. Pengenalan terhadap dirinya diharapkan dapat memberikan suatu daya dorong seseorang/konsumen untuk mengetahui martabat, hak dan kewajibannya sebagai seorang konsumen, serta melaksanakannya secara sepenuhnya dan konsisten ketika melakukan konsumsi. Dari proses pengenalan diri tersebut, para konsumen diharapkan akan memperoleh suatu kesadaran, bahwa konsumen mempunyai hak-hak, di samping sejumlah kewajibannya.
Banyak kasus jual beli yang dialami oleh konsumen yang serba rentan terhadap permasalahan dalam berkonsumsi. Konsumen yang mengalaminya sering merasa ragu atau tidak peduli untuk mengadukan permasalahan-permasalahan merugikan yang dihadapinya. Bahkan banyak di antara konsumen sering merasa takut untuk mengeluhkannya, hal ini dikarenakan konsumen tersebut mempunyai ketergantungan tinggi terhadap barang maupun jasa yang dibutuhkan. Hal ini mengakibatkan, konsumen akan menerima apapun keputusan dan layanan yang diberikan oleh produsen, sekalipun tidak memuaskan. Kekecewaan yang dialami hanya disimpan di dada konsumen begitu saja. Hal ini terpaksa dilakukan, karena posisi psikologis konsumen saat ini sangat lemah. Kerentanan dari konsumen, sering pula dimanfaatkan oleh beberapa produsen untuk mengeruk keuntungan semaksimal mungkin. Sebetulnya hal tersebut tidak harus terjadi, karena sebagai konsumen mempunyai martabat dan hak, di samping sejumlah kewajiban yang telah dijalankan oleh konsumen dalam hubungannya dengan produsen. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana hak-hak tersebut diperolehnya dan apakah telah dimanfaatkan oleh konsumen secara baik dan dapat menjadi faktor penekan kepada produsen yang akhirnya dapat menumbuhkan keserasian hubungan antara produsen dengan konsumen? Dari sisi konsumen sendiri jelas bahwa, perlu adanya pendidikan penyadaran akan hak-hak dan kewajiban kepada konsumen, karena dalam kenyataan pada praktek sehari-hari sering tidak diterapkan, baik karena ketidaktahuan atau keengganan untuk memanfaatkannya. Dipihak lain, masih banyak produsen yang sering bertindak semena-mena di balik ketidakberdayaan dan ketidaktahuan konsumen tersebut. Meskipun dalam banyak hal, produsen sebetulnya lebih tahu akan hal itu. Akan tetapi demi untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin, meskipun
sifatnya
hanya
sesaat,
ada
produsen
yang
bertindak
di
atas
ketidakberdayaan konsumen. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan mahasiswa PTBB (Pendidikan Teknik Boga dan Busana) sebagai bagian dari konsumen yang telah memperoleh mata kuliah pendidikan konsumen, apakah mereka telah memanfaatkan hak-haknya sebagai konsumen ketika melakukan konsumsi untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan apakah mereka telah menjalankan kewajibannya sebagai konsumen untuk mendapatkan perlindungan secara pribadi? Berangkat dari banyak kenyataan di lapangan tersebut, pilihan yang paling tepat adalah membangkitkan kesadaran masyarakat khususnya mahasiswa selaku konsumen. Tentunya apabila kesadaran itu telah muncul, maka konsumen pun akan menyadari arti sebuah kekuatan yang selama ini mungkin belum banyak mereka perhatikan. Transaksi jasa dan barang tidak pernah akan terjadi tanpa adanya
konsumen. Bila dipandang dari sistem manajemen modern, keresahan konsumen mempunyai pengaruh yang sangat besar. Oleh karena produsen yang berorientasi pada kepentingan konsumen sajalah yang akan mempunyai daya saing dan daya tahan di pasaran. Permasalahan berikutnya adalah, apakah mahasiswa sebagai konsumen bisa menggalang kekuatan yang ada dalam dirinya untuk mampu memperoleh barang maupun jasa yang bermutu? Apabila proses penyadaran dan penggalangan kekuatan konsumen berhasil dilakukan, maka ini akan merupakan nilai tersendiri pada kekuatan
nilai tawar (bargaining power) konsumen, dalam hubungannya
dengan produsen ataupun pemerintah. Pada akhirnya akan tercapai keseimbangan kekuatan nilai tawar produsen dengan konsumen. Keseimbangan kekuatan nilai tawar produsen dengan konsumen akan memaksa produsen untuk bersedia memberikan jaminan bagi konsumen. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa produsen tidak lagi akan memberikan informasi yang menyesatkan, tidak seimbang, serta memaksakan kehendak produsen terhadap konsumen khususnya dalam hal perlindungan terhadap konsumen. Untuk mengatasi hal itu, langkah utama yang sangat mendesak harus dilakukan adalah penting sekali untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan kedudukannya sebagai konsumen, yang sesungguhnya ini merupakan hak konsumen seperti yang tertuang di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU nomor 8 Tahun 1999 dalam Pasal 4). Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan perlindungan konsumen yaitu untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen agar terhindar dari hal-hal yang merugikan, membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa dalam pemakaian ataupun penggunaan barang dan jasa. Dengan demikian, untuk mengetahui sejauhmana peranan mata kuliah pendidikan konsumen yang sudah diberikan pada semester awal kepada para mahasiswa di jurusan PTBB telah mereka implementasikan melalui cara analisis kritis ketika melakukan konsumsi, maka melalui penelitian ini akan mengungkap (1) kesadaran mahasiswa untuk mengimplementasikan hak-hak konsumen ketika berkonsumsi, (2) kesadaran mahasiswa untuk mengimplementasikan kewajibannya sebagai konsumen, (3) kesadaran mahasiswa untuk melakukan pengaduan bila dirugikan dan melakukan gerakan perlindungan konsumen berupa advocacy perorangan/pribadi. Penelitian ini penting dilaksanakan karena bermanfaat bagi dunia pendidikan untuk mengetahui hasil pembelajaran yang telah diberikan. Manfaat yang lain adalah sebagai satu bentuk pendidikan moral kepada peserta didik dan menanamkan keterampilan hidup peserta didik/mahasiswa untuk memperbaiki kualitas hidupnya
dalam menggunakan dan mengatur keuangan personal, serta membuat keputusan membeli secara bijaksana. Di samping itu pula, untuk menambah pemahaman dosen pengampu mata kuliah pendidikan konsumen dalam mengembangkan kurikulum menuju integrated learning dan mengembangkan jurusan sebagai pusat budaya yang kuat dalam pembentukan perilaku yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa. Hasil penelitian ini akan bermanfaat juga sebagai pertimbangan dosen
dalam
merekonstruksi
mata
pelajaran
yang
diampunya
mulai
dari
pengembangan konstruk, pembuatan modul pembelajaran nilai, dan proses penilaian. Studi
tentang
konsumen
menjadi
sangat
penting
karena
banyak
permasalahan/kesulitan yang diakibatkan oleh ketidaktahuan konsumen terhadap hak-hak dan kewajibannya sebagai konsumen. Hukum mewajibkan konsumen untuk ’beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa’ seperti yang tertuang pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dalam pasal tersebut dituntut kewajiban konsumen selain hak-hak yang dimiliki konsumen agar terhindar dari kerugian ketika melakukan konsumsi. B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan survey dalam bentuk deskriptif melalui cara interpretatif. Pendekatan model ini, melakukan evaluasi terhadap implementasi aspek-aspek yang terkandung dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen oleh para mahasiswa PTBB yang telah menempuh mata kuliah Pendidikan Konsumen, tentang aspek hak-hak konsumen, kewajiban/tanggung jawab konsumen, melakukan pengaduan dalam perlindungan konsumen. Partisipan penelitian ini diambil secara Area Stratified Proportional Random Sampling, yang terdiri dari mahasiswa program studi (Prodi) Pendidikan Teknik Boga, Prodi Pendidikan Teknik Busana, Prodi Teknik Boga, Prodi Teknik Busana, dan Prodi Tata Rias Kecantikan, dengan ukuran sampel total sebanyak 207 orang. Pelaksanaan penilaian implementasi ini, mencakup lima kegiatan : (a) menyusun instrumen untuk mengukur kesadaran mahasiswa terhadap implementasi hak-hak konsumen, kewajiban konsumen, pengaduan dalam konteks gerakan perlindungan konsumen, (b) melakukan uji coba dan revisi instrumen, (c) melaksanakan pengumpulan data, (d) menganalisis hasil pengumpulan data dan memaknai hasil penelitian, dan (e) membuat sintesis serta kesimpulan. Instrumen yang digunakan berbentuk kuesioner skala sikap dengan format rating scale yang memiliki empat option jawaban yaitu sudah menjadi kebiasaan sehari-hari (skor 4), sudah melakukan (skor 3), sudah tahu tetapi belum melakukan (skor 2), tidak peduli/masa bodoh (skor 1). Untuk mendapatkan validitas empiris
instrumen, kuesioner diujicobakan kepada 40 mahasiswa. Data penelitian yang diperoleh dianalisis dengan statistik deskriptif kuantitatif dan metode kualitatif untuk menjawab rumusan masalah penelitian, yang dikategorikan pada tingkat kesadaran baik, cukup, dan kurang dalam mengimplementasikan hak dan kewajiban dalam konteks perlindungan konsumen.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Kesadaran Mahasiswa Mengimplementasikan Hak- Hak Konsumen Hasil rangkuman analisis tentang kesadaran mengimplementasikan hak-hak konsumen oleh para mahasiswa jurusan PTBB menemukan bahwa skor rerata dari data empirik sebesar 71,85 dari kemungkinan sekor maksimum sebesar 96. Hasil analisis diinterpretasikan, bahwa tingkat kesadaran para mahasiswa jurusan PTBB untuk mengimplementasikan hak-hak konsumen yang dimilikinya pada saat berkonsumsi termasuk pada kategori sedang/cukup baik sebesar 56%, sedangkan 43% pada kategori baik, dan 1% kategori kurang baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesadaran mahasiwa untuk mengimplementasikan hak-haknya sebagai konsumen pada saat berbelanja tergolong cukup baik. Hasil tersebut memberikan pengertian mahasiswa telah memiliki kesadaran dan selalu berupaya untuk melindungi dirinya agar terhindar dari hal-hal yang merugikan terhadap pemakaian barang dan jasa. Pengenalan terhadap diri sendiri dapat memberikan suatu daya dorong untuk mengetahui martabat dan haknya, serta melaksanakannya secara penuh dan konsisten. Proses pengenalan diri ini, telah melahirkan suatu kesadaran, bahwa konsumen mempunyai hak-hak, di samping sejumlah kewajiban sebagai seorang konsumen. Apabila mahasiswa mengalami kerugian, maka mereka akan mampu menyelesaikan sendiri permasalahannya dengan menghubungi produsen/pengusaha yang bersangkutan atas dasar hak-hak konsumen yang dimilikinya. Apabila dikaji lebih rinci terhadap tingkat kesadaran mahasiswa dalam mengimplementasikan hak-haknya sebagai konsumen ditinjau dari masing-masing program studi dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tabel 1. Implementasi Hak, Kewajiban, Perlindungan, dan Pengaduan Ditinjau dari Program Studi No 1
2
3
4
Konteks Perlindungan Konsumen Hak Konsumen a.Kategori Baik b.Kategori Cukup c.Kategori Kurang Kewajiban Konsumen a.Kategori Baik b.Kategori Cukup c.Kategori Kurang Perlindungan Konsumen a.Kategori Baik b.Kategori Cukup c.Kategori Kurang Pengaduan Konsumen a.Kategori Baik b.Kategori Cukup c.Kategori Kurang
S1.BG
Program Studi S1.BS D3.BG D3.BS
D3.RS
62,5% 37,5% 0
28,2% 71,8% 0
51,7% 44,8% 3,5%
29,2% 70,8% 0
53,5% 46,5% 0
60% 40% 0
36,6% 63,4% 0
51,7% 48,3% 0
25% 75% 0
41% 59% 0
55% 43% 2%
35% 56% 9%
44% 48% 8%
25% 71% 4%
49% 37% 14%
12% 10% 78%
4% 13% 83%
34% 4% 55%
13% 8% 79%
37% 12% 51%
Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa tingkat kesadaran para mahasiwa bila ditinjau dari berbagai program studi dalam mengimplementasikan hak-haknya sebagai konsumen ketika berbelanja tergolong baik dan cukup baik. Fakta tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa sudah memanfaatkan hakhaknya sebagai konsumen ketika melakukan konsumsi, dan dapat digunakan sebagai penekan kepada produsen untuk dapat memberikan keserasian hubungan antara produsen dengan konsumen. Pendidikan terhadap penyadaran akan hak-hak konsumen, yang diperoleh mahasiswa melalui bangku kuliah nampaknya cukup dimanfaatkan
sepenuhnya
untuk
menggalang
dirinya
sendiri
dari
ketidakberdayaannya menjadi kekuatan konsumen untuk memperoleh barang dan jasa yang bermutu. Pendidikan penyadaran akan hak-hak konsumen, apabila dicermati lebih mendalam pada masing-masing aspek dari sepuluh hak konsumen yaitu hak keamanan, hak memilih, hak atas informasi, hak didengar, hak advokasi, hak pembinaan konsumen, hak dilayani, hak memperoleh ganti rugi, hak lingkungan sehat, dan hak memperoleh kebutuhan pokok, menunjukkan sudah tergolong cukup baik diimplementasikan oleh mahasiswa. Hal ini terlihat pada semua aspek-aspek dari hak-hak konsumen apabila dijumlahkan antara persentase dari mahasiswa yang sudah melakukan (M) dan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari (K) berada di atas
50%. Sisa prosentase yang lain masuk pada kelompok mahasiswa yang cuek atau masa bodoh dan kelompok mahasiswa yang sudah mengetahui namun belum melakukannya. Meskipun baru sedikit sekali mahasiswa yang sudah berada pada tingkat kesadaran mengimplementasikannya menjadi kebiasaan sehari-hari, yaitu hak untuk mendapatkan informasi, hak pembinaan konsumen, hak mendapatkan ganti rugi, dan hak untuk memperoleh kebutuhan pokok. Ditemukan pula, terdapat kesadaran yang masih rendah untuk mengimplementasikan hak mendapatkan advokasi dan hak memperoleh lingkungan yang sehat oleh para mahasiswa.
2. Kesadaran Mahasiswa untuk Melakukan Kewajiban Konsumen Hasil analisis deskriptif tentang kesadaran untuk mengimplementasikan kewajiban konsumen oleh para mahasiswa jurusan PTBB menemukan, bahwa skor rerata dari data empirik sebesar 142,01 dari kemungkinan sekor maksimum sebesar 192. Dari hasil analisis deskriptif tersebut dapat menjelaskan bahwa tingkat kesadaran
para
mahasiswa
jurusan
PTBB
dalam
mengimplementasikan
kewajibannya sebagai konsumen pada saat berkonsumsi termasuk pada kategori sedang/cukup 57%, adapun 43% pada kategori baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum tingkat kesadaran para mahasiwa untuk mengimplementasikan kewajibannya sebagai konsumen ketika berbelanja tergolong cukup baik. Hasil tersebut memberikan pengertian bahwa setiap mahasiswa dalam melakukan transaksi pada saat berkonsumsi telah memiliki upaya dan memiliki kewajiban untuk membayar harga barang yang telah dibelinya. Ketika melakukan transaksi untuk membeli barang maupun jasa, dengan segera membayarnya secara kontan. Begitu pula, bila membeli dengan cara angsuran, maka membayarnya sesuai dengan jumlah dan waktu yang telah disepakati. Dengan demikian apabila konsumen berharap hak-haknya dipenuhi secara baik, maka hal tersebut dapat terlaksana apabila mahasiswa sebagai konsumen mempunyai kesediaan yang sama terhadap pemenuhan kewajibannya. Hasil tersebut juga memberikan pengertian, bahwa meskipun mahasiswa sebagai konsumen bebas memilih cara dan barang atau jasa untuk dikonsumsi, namun memiliki kepedulian terhadap lingkungannya dalam menerapkan pola konsumsinya dengan tidak mendorong munculnya kecemburuan kepada konsumen lain untuk berlomba mengkonsumsi barang yang sebetulnya tidak terjangkau.
Bila dikaji lebih mendalam ditinjau dari masing-masing program studi seperti pada table 1, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran para mahasiwa untuk mengimplementasikan kewajibannya sebagai konsumen ketika berbelanja tergolong sedang atau cukup baik. Fakta ini dapat menunjukkan bahwa mahasiswa sudah mempunyai kesediaan yang sama terhadap pemenuhan kewajibannya, disamping berharap agar hak-haknya untuk dipenuhi secara baik. Pendidikan terhadap penyadaran untuk menerapkan
kewajibannya,
yang
diperoleh
melalui
bangku
kuliah,
telah
dimanfaatkan untuk menggalang dirinya sendiri dari ketidakberdayaan menjadi kekuatan konsumen ketika mendapatkan barang dan jasa yang bermutu. Hasil analisis secara rinci terhadap aspek kewajiban konsumen yakni: bersikap kritis, berani bertindak, kepedulian social, lingkungan hidup sehat, dan setia kawan,
menunjukkan
bahwa
tingkat
kesadaran
mahasiswa
untuk
mengimplementasikan kewajiban konsumen sudah cukup baik, hal ini ditunjukkan oleh mahasiswa sudah melakukan kewajiban (M) dan sudah menjadi suatu kebiasaan sehari-hari melakukan kewajiban (K) apabila keduanya dijumlahkan, sebagian besar sudah berada di atas 50%. Sebagian kecil masih bersikap cuek atau masa bodoh dan belum melakukan kewajibannya sebagai konsumen, yakni aspek bersikap kritis, memiliki rasa setia kawan, dan kepedulian social.
3. Kesadaran Mahasiswa untuk Melakukan Gerakan Perlindungan Konsumen Perorangan/pribadi Berdasarkan hasil analisis tentang implementasi gerakan perlindungan konsumen secara pribadi oleh para mahasiswa jurusan PTBB dapat dijelaskan, bahwa diperoleh skor rerata dari data empirik sebesar 6,24 dari kemungkinan sekor maksimum sebesar 8. Dari hasil analisis deskriptif tersebut dapat diinterpretasikan bahwa
tingkat
kesadaran
para
mahasiswa
jurusan
PTBB
untuk
mengimplementasikan gerakan perlindungan sebagai konsumen termasuk pada kategori sedang 50%, kategori tinggi 42%, dan kategori rendah sebesar 8%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran para mahasiwa dalam mengimplementasikan gerakan perlindungan konsumen secara pribadi tergolong cukup baik. Hasil tersebut memberikan pengertian bahwa mahasiswa sebagai konsumen telah melakukan cara perlindungan konsumen secara pribadi melalui kesadarannya menggunakan secara optimal hak-haknya sebagai konsumen dan kewajibannya sebagai konsumen
apabila dirugikan yang hal tersebut merupakan ikhtiar perlindungan konsumen yang dilakukan oleh konsumen/mahasiswa sendiri secara pribadi. Bila dikaji lebih mendalam terhadap tingkat kesadaran mahasiswa dalam mengimplementasikan gerakan perlindungan konsumen berdasarkan program studi adalah sebagai berikut pada table 1 di atas. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran para mahasiwa dalam mengimplementasikan gerakan perlindungan sebagai konsumen tergolong tinggi/baik dan sedang/cukup baik. Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan, bahwa
pendidikan
penyadaran kepada mahasiswa untuk melakukan gerakan perlindungan konsumen sudah tergolong baik dan cukup baik. Meskipun belum seluruhnya mahasiswa dalam mengimplementasikannya sudah pada tahapan menjadi kebiasaan sehari-hari. Masih ditemukan ada sebagian mahasiswa yang masih tergolong cuek maupun tidak peduli dan belum melaksanakan perlindungan konsumen meskipun mereka sudah mengetahuinya.
4. Kesadaran Mahasiswa untuk Melakukan Pengaduan Hasil analisis deskriptif tentang melakukan pengaduan oleh para mahasiswa jurusan PTBB menjelaskan, bahwa diperoleh skor rerata dari data empirik sebesar 1,45 dari kemungkinan sekor maksimum sebesar 4. Dari hasil analisis deskriptif tersebut dapat menjelaskan bahwa tingkat kesadaran para mahasiswa jurusan PTBB untuk melakukan pengaduan bila dirugikan ketika berkonsumsi termasuk pada kategori rendah/kurang baik 71%, kategori sedang sebesar 11% dan pada kategori tinggi sebesar 18%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran para mahasiwa dalam melakukan pengaduan tergolong kurang baik. Hasil tersebut memberikan pengertian bahwa mahasiswa sebagai konsumen tidak melakukan pengaduan ketika mengalami kerugian pada saat mengkonsumsi barang maupun jasa. Nampak bahwa mahasiswa kurang peduli dan tidak mau susah untuk menyelesaikan masalah dengan penjual/produsen apabila kecewa memperoleh kondisi barang yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Kesadaran mahasiswa untuk mengimplementasikan pengaduan kurang baik dilakukan,
meskipun
sebetulnya
konsumen/mahasiswa
akan
memperoleh
keuntungan ganti rugi atas kerugian yang diderita. Apabila mereka mau melakukan pengaduan, maka akan dapat ikut menyelamatkan sepuluh, seratus bahkan lebih
konsumen lain dari kerugian yang sama. Keuntungan lain bila seorang konsumen mau melakukan pengaduan adalah dapat digunakan sebagai titik tolak untuk perbaikan mutu produksi atau jasa dan memperbaiki kekurangan-kekurangan lain yang ada, agar memudahkan pengawasan atau control terhadap barang-barang atau jasa yang beredar di pasaran. Hasil analisis tentang implementasi mengadu oleh para mahasiswa bila ditinjau dari masing-masing program studi adalah sebagai berikut seperti dalam table 1 di atas. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kesadaran mahasiswa untuk melakukan pengaduan
bila mengalami kerugian dan sudah menjadi suatu
kebiasaan sehari-hari masih tergolong sangat kecil/rendah. Hal ini dibuktikan oleh skor persentase melakukan pengaduan dan persentase sudah menjadi kebiasaan sehari-hari bila dijumlahkan masih berada di bawah lima puluh persen, untuk semua program studi di jurusan PTBB.
D. Kesimpulan dan Saran 1. Kesadaran mahasiswa jurusan PTBB untuk mengimplementasikan hakhaknya pada saat berkonsumsi yang termasuk pada kategori tinggi/baik (43%), kategori sedang/cukup baik (56%), dan kategori rendah/kurang baik (1%). Kesadaran mahasiswa jurusan PTBB untuk mengimplementasikan kewajibannya menjadi seorang konsumen yang termasuk pada kategori tinggi/baik
(43%),
kategori
sedang/cukup
baik
(57%),
dan
kategori
rendah/kurang baik (0%). Kesadaran mahasiswa jurusan PTBB untuk mengimplementasikan gerakan perlindungan konsumen yang termasuk pada kategori tinggi/baik (42%), kategori sedang/cukup baik (50%), dan kategori rendah/kurang baik (8%). Kesadaran mahasiswa jurusan PTBB untuk mengimplementasikan untuk mengadu bila dirugikan pada saat berkonsumsi yang termasuk pada kategori tinggi/baik (18%), kategori sedang/cukup baik (11%), dan kategori rendah/kurang baik (18%). 2. Kesadaran para mahasiswa program studi S1 Boga, D3 Boga dan D3 Rias Kecantikan untuk mengimplementasikan hak-haknya pada saat berkonsumsi termasuk pada kategori tinggi/ baik, adapun mahasiswa program studi S1 Busana dan mahasiswa D3 Busana termasuk pada kategori sedang/cukup baik.
Kesadaran
para
mengimplementasikan
mahasiswa
program
studi
S1
kewajibannya
sebagai
konsumen
Boga pada
untuk saat
berkonsumsi termasuk pada kategori tinggi/baik, adapun mahasiswa S1
Busana, D3 Boga, D3 Busana, dan D3 Rias Kecantikan termasuk pada kategori sedang/cukup baik. Kesadaran para mahasiswa S1 Boga dan D3 Rias Kecantikan untuk mengimplementasikan gerakan perlindungan sebagai konsumen termasuk pada kategori tinggi/baik, adapun mahasiswa S1 Busana, D3 Boga, dan D3 Busana untuk mengimplementasikan gerakan perlindungan konsumen sebagai konsumen termasuk pada kategori sedang/cukup. Mahasiswa sudah memiliki kesadaran dan sudah melakukannya dengan mengimplementasikan hak-hak konsumen ketika melakukan konsumsi, namun belum menjadi suatu kebiasaan sehari-hari. 3. Kesadaran para mahasiswa program studi S1 Boga, program studi S1 Busana, program studi D3 Boga, program studi D3 Busana dan program studi D3 Rias Kecantikan untuk mengimplementasikan pengaduan bila dirugikan termasuk pada kategori rendah/kurang baik. Masih sangat kecil kesadaran mahasiswa untuk mengimplementasikan hak konsumen untuk mendapatkan advokasi. Aspek kewajiban untuk bersikap kritis hanya sebagian kecil mahasiswa yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari dilakukan pada saat melakukan konsumsi, demikian halnya dengan aspek kewajiban untuk memiliki rasa setia kawan masih tergolong rendah diimplementasikan oleh para
mahasiswa.
Kesadaran
mahasiswa
untuk
mengimplementasikan
gerakan perlindungan konsumen dan sudah menjadi suatu kebiasaan seharihari masih tergolong kecil. Semua program studi masih berada di bawah lima puluh persen mahasiswa yang sudah melakukan maupun sudah menjadi kebiasaan sehari-hari untuk mengimplementasikan gerakan perlindungan konsumen Kesadaran mahasiswa untuk mengimplementasikan pengaduan bila dirugikan dan sudah menjadi suatu kebiasaan sehari-hari masih tergolong sangat kecil, semua mahasiswa program studi yang berada di jurusan PTBB masih berada di bawah lima puluh persen yang sudah melakukan maupun sudah menjadi kebiasaan sehari-hari untuk mengimplementasikan pengaduan bila dirugikan ketika melakukan konsumsi.
Saran Untuk meningkatkan kualitas kesadaran mengimplementasikan hak-hak konsumen, kewajiban konsumen, gerakan perlindungan konsumen, dan melakukan pengaduan oleh para mahasiswa sebagai konsumen, disarankan upaya-upaya antara lain:
1. Untuk pengelola program pembelajaran/dosen perlu memperbanyak bentukbentuk studi kasus dan pemecahannya melalui refleksi, diskusi serta memaknainya, dalam proses pembelajaran pendidikan konsumen tentang permasalahan-permasalahan yang diakibatkan oleh seorang konsumen bila tidak menggunakan hak-haknya pada saat melakukan konsumsi
barang
maupun jasa, tidak bertanggung jawab menjadi konsumen, tidak menerapkan perlindungan konsumen, serta tidak melakukan pengaduan bila dirugikan. 2. Mahasiswa
melakukan
penelitian
sederhana
dengan
mengidentifikasi
permasalahan tentang akibat tidaknya menerapkan hak-haknya pada saat melakukan konsumsi barang maupun jasa, tidak bertanggung jawab menjadi konsumen, tidak menerapkan perlindungan konsumen, serta tidak melakukan pengaduan bila dirugikan. 3. Mahasiswa diajak untuk melakukan studi lapangan ke Yayasan Lembaga Konsumen terhadap berbagai masalah dan penanganannya untuk berbagai kasus akibat berkonsumsi, sejauh mana keberhasilan dan terabaikannya permasalahan yang diakibatkan oleh proses konsumsi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A. (1993). Pendidikan konsumen. Diktat kuliah. PKK. FIP Univ. Syiah Kuala Darussalam, Aceh. Bannister, R. (1996). Consumer education in the United States: A historical perspective. Artikel. Diambil pada tanggal 17 September 2002, dari http://emich.edu/coe/monday/mr 231.html. Kerka, S. (1993). Consumer education for high school students.Trend and Issues Artikel. Diambil pada tanggal 17 September 2002, dari http://eric.uoregon.edu/trendsissues/choice/selec abstracted/research.html. Knapp, J. P. (1991). The Benefits of Consumer Education A Survey Report. Publication. Artikel. Diambil pada tanggal 15 Agustus 2002, dari http://Search.thegate way.org/query.html. Pantun, S. & Felicia, D. (1979). Pendidikan konsumen. Jakarta: Depdikbud. Riswanto, I. (17 April 1997). Hati-hati Menghadapi Taktik Penjual. Kompas, p. 9. Sudaryati, S. (1995). Pendidikan konsumen. Diktat Kuliah PKK. Yogyakarta: FPTK IKIP. Tantri. (1995). Gerakan organisasi konsumen. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Topatimasang, R. (1990). Menggeser neraca kekuatan. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU nomor 8 Tahun 1999 dalam Pasal 4)
PENGEMBANGAN MODEL ELECTRONIC COMPUTERIZED ADAPTIVE TEST (e-CAT) UNTUK MENINGKATKAN KREDIBILITAS SISTEM UJIAN Suprananto Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta e-mail:
[email protected] Abstrak: Tujuan studi ini adalah mengembangkan sebuah model Computerized Adaptive Test berbasis internet (e-CAT) yang mampu memberikan hasil pengukuran yang efektif, dengan akurasi yang memadai, serta mampu meminimalkan tingkat kebocoran dan kecurangan. Studi ini dimulai dengan pengembangan bank soal terkalibrasi, pengembangan CAT, evaluasi terhadap kapabilitas e-CAT, serta ujicoba e-CAT. Bank soal memuat 233 butir soal matematika yang telah dianalisis dan dikalibrasi dengan model Rasch. Sistem e-CAT yang terintegrasi dengan bank soal diujikan secara on-line (menggunakan akses internet) kepada 88 orang siswa SMA kelas XII jurusan IPS dari 3 sekolah yaitu SMA Negeri 1 Kasihan - Bantul, SMA Kolombo – Sleman, dan SMA Negeri 2 Metro - Lampung. Selanjutnya, evaluasi dilakukan terhadap efektivitas dan akurasi hasil pengukuran serta sistem keamanan yang dimiliki oleh e-CAT. Hasil studi menunjukkan bahwa eCAT berfungsi dengan baik secara on-line, mampu memberikan butir soal yang berbeda untuk setiap peserta tes, dengan rerata panjang tes = 19,25 (SD=6,36), rerata nilai SEM=0.33 (SD=0,04). Di samping itu, eCAT yang dikembangkan memiliki sistem keamanan yang memadai. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa e-CAT yang dikembangkan dapat dioperasikan secara on-line dengan baik, mampu memberikan hasil yang lebih efektif dibanding tes konvensional (fixed-lenght test) dengan akurasi yang setara dengan reliabilitas 0,90 pada teori tes klasik, mampu meminimalkan tingkat kebocoran dan kecurangan, serta memiliki sistem keamanan yang memadai. Kata kunci: e-CAT, keamanan, kredibilitas
PENDAHULUAN Ujian akhir menjadi bagian penting dalam sistem pendidikan, karena hasil yang diperoleh dari ujian akhir digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti penentuan kelulusan, pemetaan dan pengendalian mutu pendidikan, serta sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Untuk itu, ujian akhir dapat disebut sebagai “highstakes testing” karena memiliki dampak yang luas dalam sistem pendidikan (Stecher, 2002; Sloane & Kelly, 2003).
1
Sistem ujian dapat berfungsi dengan baik dan mampu memberikan informasi yang benar apabila sistem tersebut bermutu. Mutu atau kulaitas sistem ujian antara lain ditentukan oleh validitas dan reliabilitas tes yang digunakan, serta akuntabilitas dan kredibilitas penyelenggaraan ujian. Validitas dan reliabilitas tes sebagai instrumen dalam sistem ujian akhir, dapat dicapai melalui prosedur pengembangan tes baku (standardized test), yang antara lain mencakup penyusunan kisi-kisi, penulisan butir soal, ujicoba dan analisis, serta pengembangan bank soal terkalibrasi (Izard, 2005). Namun demikian, kredibilitas dan akuntabilitas hasil ujian sangat dipengaruhi oleh
berbagai
faktor,
seperti keamanan
naskah ujian
dari
proses
penggandaan sampai dengan distribusi, pengawasan selama pelaksanaan ujian (administrasi tes), serta keamanan pengelolaan hasil tes, dari pengumpulan lembar jawaban sampai dengan penyekoran. Sampai saat ini, kebocoran soal dan kecurangan dalam pelaksanaan ujian masih menjadi isu utama terkait dengan akuntabilitas dan kredibilitas sistem ujian. Hal ini menjadi hal yang ironis ketika pada satu sisi pendidikan karakter digalakkan dan dijadikan sebagai salah satu agenda dalam sistem pendidikan, namun pada sisi yang lain masih banyak siswa, pengawas ruang ujian, kepala sekolah, bahkan aparat daerah terlibat dalam kecurangan dengan berbagai bentuk. Semua itu bertujuan untuk memperoleh nilai ujian yang tinggi atau mencapai tingkat kelulusan yang tinggi dengan cara pintas. Kredibilitas ujian terkait dengan kebocoran soal dan kecurangan dapat ditekan melalui berbagai cara. Salah satu diantaranya adalah dengan meningkatkan kesadaran semua pihak akan pentingya kejujuran dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam hal ujian. Cara ini bukanlah hal yang mudah dan memerlukan proses yang panjang, ketika masih ada konflik kepentingan dan sistem ujian dan masih ada celah untuk melakukan kecurangan tersebut. Cara lain yang dapat dijadikan sebagai alternatif adalah menggunakan sistem ujian berbasis komputer (computer based test, CBT). CBT juga disebut sebagai tes tanpa kertas atau “paperless”. Dengan sistem ini, proses penggandaan dan pendistribusian naskah ujian seperti
2
yang dilakukan pada tes konvensional (tes tradisional, paper-and-pencil test) tidak diperlukan lagi. Butir soal ditampilkan pada layar komputer. Selanjutnya peserta ujian mengerjakan tes secara langsung pada komputer, sehingga tidak lagi diperlukan lembar jawaban. Skoring dilakukan oleh komputer berdasarkan jawaban peserta ujian, sehingga proses pemindaian (scanning) lembar jawaban dan proses
koreksi (scoring) tidak lagi dilakukan oleh
tenaga manusia. CAT merupakan salah satu bentuk CBT yang memiliki kemampuan “adaptasi”. Adaptasi ini dilakukan dengan cara memilihkan soal-soal yang memiliki tingkat kesulitan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta tes. Ketika seorang peserta ujian diberikan beberapa butir soal awal (initial items) dengan tingkat kesulitan sedang, maka jawaban yang diberikan digunakan oleh CAT untuk mengestimasi kemampuan sementara, kemudian CAT mencarikan soal berikutnya (next item). Jika jawaban benar, maka CAT memberikan soal yang lebih sulit. Sebaliknya jika jawaban salah, CAT memberikan soal yang lebih mudah. Di smping untuk menentukan butir soal berikutnya, jawaban butir terakhir digunakan untuk mengestimasi ulang kemampuan peserta tes. Demikian seterusnya sampai dengan tercapai aturan penghentian (stopping rules) yang ditentukan. Kriteria yang biasa digunakan dalam aturan penghentian adalah fungsi informasi dan panjang tes. Dari gambaran tersebut tampak bahwa setiap peserta ujian berhadapan dengan sejumlah soal yang berbeda. Ini yang biasa disebut sebagai “tailored test”. Dengan cara ini, kecurangan dalam bentuk mencontek dari peserta lain hampir tidak mungkin terjadi. Selain
kunggulan
dalam
menekan
tingkat
kebocoran
soal
dan
kecurangan pada administrasi tes, CAT masih memiliki banyak keunggulan lainnya dibanding tes konvensional (Shultz & Whitney, 2005; Wainer, 2000; Reynolds et al., 2009; Linacre, 2000; Bringsjod, 2001). Salah satu di antaranya adalah efektivitas dan akurasi hasil pegukuran. CAT lebih efektif dibandingkan dengan tes konvensional yang biasanya menggunakan pendekatan “fixed test lenght”. Sebagai gambaran, sebuah tes yang terdiri dari 40 atau 50 butir soal biasanya mencakup soal-soal yang mudah, sedang, maupun sulit. Bagi peserta tes dengan kemampuan rendah, 3
beberapa soal yang terlalu sulit baginya tidak dapat memberikan informasi yang baik tentang kemampuannya. Demikian pula soal-soal yang sangat mudah bagi peserta tes dengan kemampuan tinggi. Hal ini menjadikan kurang efektif dan tidak tepat sasaran (off-target). Dengan kemampuan adaptasi, CAT dapat mengukur secara akurat kemampuan seorang peserta tes hanya dengan 20 sampai dengan 25 butir soal atau setengah dari panjang tes konvensional (Agus Santosa, 2010). Oleh karena itu, CAT juga disebut sebagai tes yang “on-target”. CAT memberikan hasil yang akurat meskipun butir soal yang diujikan lebih sedikit daripada tes konvensional. Dalam teori tes klasik yang digunakan pada tes konvensional, salah satu faktor yang menentukan reliabilitas tes adalah panjang tes. Semakin banyak butir soal dalam sebuah tes, semakin tinggi reliabilitas pengukuran. Namun demikian, terminologi reliabilitas dalam teori respon butir (item response theory, IRT) yang digunakan pada CAT adalah fungsi informasi atau kesalahan pengukuran. Semakin besar fungsi informasi yang diberikan oleh tes (test information function, TIF) seiring dengan semakin kecilnya kesalahan baku pengukuran (standard error of measurement, SEM), maka semakin reliabel tes atau semakin akurat hasil pengukuran yang diberikan oleh tes tersebut. Dengan kemampuan “on-target” nya, maka hasil pengukuran CAT tetap akurat meskipun dengan butir soal yang lebih sedikit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan sebuah model Computerized Adaptive Test berbasis internet atau e-CAT (Olea et al, 2011) yang mampu memberikan hasil pengukuran yang efektif, dengan akurasi yang memadai, dan mampu meminimalkan tingkat kecurangan dan kebocoran. Dengan kemampuan tersebut diharapkan dapat dijasikdan sebagai salah satu alternatif sistem ujian yang jujur dan kredibel. Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemangku kebijakan (stakeholders), khususnya yang terkait dengan sistem penilaian dan pengujian, baik pada tingkat satuan pendidikan, tingkat daerah atau wilayah, maupun secara nasional.
4
METODE PENELITIAN Studi ini dimulai dengan pengembangan bank soal terkalibrasi. Analisis dan kalibrasi terhadap data empirik 6 paket tes matematika SMA program studi IPS yang masing-masing terdiri dari 40 butir soal dilakukan dengan menggunakan program aplikasi WINSTEPS. Salah satu alasan pemilihan WINSTEPS sebagai software dalam analisis ini adalah karena model IRT yang digunakan dalam studi ini adalah model 1-parameter (1-PL) yang sangat mirip dengan model Rasch sebagai landasan yang digunakan oleh WINSTEPS. Pemilihan model Rasch didasarkan pada literatur Fisher (2005) yang menyatakan bahwa model Rasch adalah yang paling sesuai dengan model pengukuran (measurement model). Pendekatan analisis yang digunakan dalam analisis adalah kalibrasi serempak atau “concurrent calibration”. Hal ini dilakukan agar parameter tingkat kesulitan untuk masing-masing paket tes berada dalam satu skala logit. Selanjutnya, untuk memperoleh hasil yang maksimal, dilakukan pembersihan data (data cleaning) dan seleksi. Pembersihan data dilakukan dengan cara mengeluarkan atau menghapus sejumlah responden yang tidak cocok atau “misfit” terhadap model. Cara yang sama dilakukan terhadap sejumlah butir soal yang tidak cocok dengan model, sehinga diperoleh hasil akhir analisis berupa 233 butir soal yang “fit” sebagai sumber bank soal. Langkah berikutnya adalah pemasukan (input) soal ke dalam sistem bank soal. Dengan program aplikasi yang dibuat secara khusus, butir soal beserta informasi lainnya dimasukkan ke dalam sistem pengelolaan bank soal. Butir soal terdiri dari stem atau pertanyaan, pilihan jawaban atau opsi, dan kunci jawaban. Sedangkan informasi lainnya mencakup identitas butir soal, kode standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD), indikator atau kompetensi yang diukur, serta parameter tingkat kesulitan. Setelah bank soal terkalibrasi terbentuk, disusunlah program aplikasi CAT yang mencakup 3 (tiga) komponen utama CAT yaitu: (1) penetapan butir awal (initial items), (2) pemilihan butir berikutnya (next items) beserta estimasi kemampuan peserta tes (theta estimation), dan (3) penetapan kriteria
penghentian
(stopping
rules/termination).
5
Metode
estimasi
kemampuan (theta estimation) yang digunakan adalah maximum likelihood estimation (MLE). Gambar 1 menunjukkan diagram alur (flowchart) CAT. Pengembangan bank soal dan sistem CAT
Penetapan “starting point” dan awal tes
Pemilihan soal dan penyampaian pada peserta tes Penyekoran dan estimasi kemampuan peserta tes
Belum memuaskan
Evaluasi kriteria penghentian tes memuaskan Kesimpulan hasil tes Sumber: Thompson & Weiss (2011)
Gambar 1. diagram alur (flowchart) CAT
Program aplikasi CAT memiliki fasilitas konfigurasi untuk menentukan komponen-komponen CAT tersebut. Fasilitas ini membuat CAT menjadi lebih luwes, karena administrator dapat melakukan perubahan komponen CAT tanpa tergantung pada programer. Di samping untuk menentukan komponen utama CAT, konfigurasi memungkinkan untuk penetapan tes berbasis keseimbangan konten (content balancing), penetapan tes berbasis waktu (time based), dan penetapan transformasi dari skala logit ke dalam skala tertentu. Selanjutnya, CAT diujikan pada siswa SMA kelas XII program studi IPS yang telah tuntas pembelajaran sampai dengan materi semester 6. Keseluruhan responden berjumlah 88 orang dengan rincian sebagai berikut: 20 orang dari SMA Kolombo Sleman Yogyakarta, 28 orang dari SMA Negeri 1 Kasihan Bantul Yogyakarta, dan 40 orang dari SMA Negeri 2 Metro Lampung. Responden dari sekolah pertama dan kedua masing-masing diasumsikan sebagai satu kelompok, sedangkan responden dari sekolah
6
ketiga dikelompokkan menjadi 3 (tiga) berdasarkan nilai matematika semester gasal. Dari kelima kelompok tersebut, masing-masing diterapkan satu konfigurasi CAT. Semua konfigurasi menggunakan aturan penghentian (stopping rules) yang sama yaitu panjang tes maksimum 25 butir soal dan SEM minimum 0,33. Perbedaan konfigurasi terletak pada penetapan butir awal (initial items). Tabel 1 menunjukkan lima jenis konfigurasi CAT untuk masing-masing kelompok. Tabel 1 Konfigurasi CAT No
Konfigurasi
Initial Items
Kelompok
N
Sekolah Asal
1
CAT-1
-0,3 sd 0,3
Kelompok-1
20
SMA Kolombo
2
CAT-2
-0,3 sd 0,3
Kelompok-2
28
SMA N 1 Kasihan
3
CAT-3A
0,0 sd 0,5
Kelompok-3
17
SMA N 2 Metro
4
CAT-3B
-0,5 sd 0,0
Kelompok-4
14
SMA N 2 Metro
5
CAT-3C
-1 sd -0,5
Kelompok-5
9
SMA N 2 Metro
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sistem pengadministrasian tes Program aplikasi CAT ini menggunakan pendekatan “paperless test” seperti yang digunakan oleh CBT pada umumnya. Dengan demikian, kemungkinan kebocoran yang ditimbulkan oleh proses penggandaan naskah ujian sampai dengan distribusi soal seperti pada tes konvensional dapat ditekan seminimal mungkin. Pelaksanaan tes dilakukan secara secara on-line atau dengan menggunakan
akses
internet dengan URL: http://suprananto.org/cbt.
Sebelum mengerjakan tes, setiap peserta tes diberikan kode akses berupa nama pengguna dan sandi. Selanjutnya, untuk memberikan gambaran dan pemahaman, sebelum negerjakan tes, responden dijelaskan tentang perbedaan antara tes konvensional, CBT, dan CAT. Secara umum pelaksanaan tes pada ketiga sekolah berjalan dengan baik dan lancar. Namun demikian, terdapat beberapa peserta tes yang mengalami keterlambatan dalam akses internet, khususnya pada 5 butir
7
pertama. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan oleh keterbatasan bandwidth internet. Permasalahan tersebut diatasi dengan cara memberikan jeda beberapa detik terhadap beberapa peserta tes ketika akses pertama, sehingga tidak bersamaan dengan peserta tes lainnya. Sistem kemanaan tes Di samping prosedur akses menggunakan nama pengguna dan sandi yang ditentukan, aksesibilitas ke dalam sistem e-CAT juga dibatasi hanya pada komputer yang terkoneksi dengan server yang telah ditentukan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya “joki” yang mengerjakan tes dari luar ruang ujian. Selain itu, ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk meningkatkan keamanan, baik dari kebocoran selama proses pengelolaan bank soal maupun kecurangan dalam pelaksanaan ujian. Pendekatan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Pembatasan akses: setiap pengguna diberikan pembatasan akses seuai dengan peran dan kewenangannya. Petugas entri soal, editor, dan pengelola bank soal, masing-masing memiliki batasan akses ke dalam sistem bank soal maupun fasilitas lainnya. 2. Sandi atau password: setiap individu hanya dapat melakukan akses sesuai dengan identitas dan sandi yang ditentukan oleh admin. Nama pengguna dan sandi hanya diketahui oleh admin dan yang bersangkutan sesaat sebelum pelaksanaan ujian, dan segera dihapus setelah ujian selesai. 3. Penetapan Status: Pada konfigurasi CAT terdapat fasilitas status “terbuka” atau “tertutup”. Status “terbuka” digunakan selama ujian berlangsung. Status “tertutup” menunjukkan bahwa sesi ujian telah usai, sehingga tidak dapat diakses oleh siapapun, meskipun oleh peserta tes yang sudah terdaftar. 4. Pembatasan IP server: setiap peserta tes hanya dapat melakukan akses melalui jaringan yang terhubung dengan server tertentu. Untuk itu, sebelum pelaksanaan tes, IP server pada lokasi ujian didaftarkan dalam konfigurasi, sehingga peserta tes dapat dikendalikan dalam suatu ruang
8
ujian yang telah ditentukan. Pengendalian ini akan lebih baik jika tidak menggunakan sistem wireless atau WiFi, melainkan menggunakan jaringan berkabel. Sistem pelaporan hasil tes Informasi yang diperoleh dari hasil CAT mencakup: (1) butir soal yang diujikan, (2) respon, kunci jawaban, dan skor, (3) parameter tingkat kesulitan butir soal, (4) hasil komputasi IIF, TIF, dan SEM, serta (5) waktu yang diperlukan (time response). Tabel 2 merupakan salah satu contoh informasi hasil CAT untuk seorang peserta tes dengan nomor ujian B-003 dan konfigurasi CAT-2. Tabel 2 Informasi Hasil CAT pada Seorang Peserta Tes
Informasi yang diperoleh dari Tabel 2 antara lain: (1) butir soal yang diujikan adalah MAT-326, MAT-203, dan seterusnya sampai dengan MAT-435, (2) hasil estimasi kemampuan peserta tes tersebut adalah -0,8056 (dalam skala logit), (3) panjang tes untuk peserta tersebut = 16 butir soal, dan (4) nilai TIF = 9,94207, serta (5) nilai SEM = 0,31715. Variasi butir soal Pada komponen initial items, butir pertama untuk setiap peserta tes dipilihkan oleh CAT secara acak berdasarkan parameter kesulitan pada rentang tertentu. Sebagai contoh untuk konfigurasi CAT-1, butir soal pertama dipilih satu soal pada rentang [-0,5
sama adalah 1/41. Selanjutnya, untuk butir kedua, ketiga, dan seterusnya sangat tergantung pada respon butir sebelumnya. Dengan demikian, tampak bahwa sistem ini merupakan “tailored test” yang mampu memberikan sejumlah butir soal yang berbeda untuk setiap peserta tes. Efektivitas dan akurasi hasil pengukuran Dari 88 responden yang mengikuti tes, 1 orang diantaranya melakukan kesalahan dengan melakukan akses ulang sehingga rekaman data terhapus, dan 8 orang lainnya mengalami kegagalan dalam estimasi, karena sampai dengan sejumlah butir soal tertentu jawabannya salah semua. Kegagalan estimasi ini diakibatkan oleh kelemahan metode estimasi maximum likelihood. Dengan demikian, hanya 79 orang responden yang dapat dianalisis. Rerata (mean) dan simpangan baku (SD) panjang tes dan SEM untuk setiap kelompok disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Statistik Panjang Tes dan SEM Kelompok
N
Kelompok-1
Panjang Tes
SEM
Mean
SD
Mean
SD
15
21,67
4,67
0,3342
0,0321
Kelompok-2
26
20,62
3,63
0,3238
0,0254
Kelompok-3
16
19,13
4,00
0,3239
0,0113
Kelompok-4
14
16,86
2,21
0,3299
0,0191
Kelompok-5
8
14,75
5,80
0,3839
0,0841
Total
79
19,25
6,36
0,3345
0,0383
Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata panjang tes e-CAT adalah 19,25 yang berarti lebih efektif jika dibandingkan dengan tes konvensional yang biasanya terdiri dari 40 butir soal. Meskipun demikian, akurasi hasil pengukuran oleh
e-CAT tidak lebih rendah dibandingkan dengan tes
konvensional. Nilai SEM = 0,33 adalah setara dengan reliabilitas 0,90 pada teori tes klasik (Rudner, 1998; Fisher, 2008; dan Babcock & Weiss, 2009).
10
KESIMPULAN Berdasarkan uraian di muka dapat ditarik kesimpulan bahwa e-CAT yang dikembangkan dapat dioperasikan secara on-line dengan baik dan mampu memberikan hasil yang lebih efektif dibanding
tes konvensional
(fixed-lenght test) dengan akurasi yang setara dengan reliabilitas 0,90 pada teori tes klasik. Selain itu, e-CAT memiliki sistem keamanan yang cukup tinggi, sehingga mampu untuk meminimalkan tingkat kebocoran dan kecurangan dalam ujian, serta dapat dijadikan sebagai salah satu model sistem ujian yang jujur dan kredibel. Namun demikian, produk dari studi ini masih memiliki kelemahan, yaitu belum mampu megestimasi skor ekstrim, baik benar semua maupun salah semua. Hal ini merupakan konsekuensi dari kelamahan metode estimasi MLE yang digunakan dalam e-CAT. Rekomendasi untuk studi lanjutan adalah memodifikasi metode estimasi MLE dengan metode lain seperti bayesian.
DAFTAR PUSTAKA Agus Santosa (2010). Efisiensi dan akurasi computerized adaptive testing pada ujian akhir semester universitas terbuka, Jurnal Pendidikan, 11(1), 1-9. Babcock, B. & Weiss, D. J. (2009). Termination criteria in computerized adaptive tests: variable-length CATs are not biased. Dalam D. J. Weiss (Ed.), Proceedings of the 2009 GMAC Conference on Computerized Adaptive Testing. Bringsjord, E.L. (1991). Computerized-adaptive versus paper-and-pencil testing environments: an experimental analysis of examinee experience. Disertasi doktor, tidak diterbitkan, State University of New York, Albany. Fisher, W. P., Jr. (2005). Meaningfullness, measurement and item response theory. Rasch Measurement Transactions, 19:2, 1018-1020. Fisher, W. P., Jr. (2008). The cash value of reliability. Rasch Measurement Transactions, 22:1, 1160-1163. Izard, J. (2005). Overview of test construction in quantitative reserach methods in edcuational planning (Module-6). UNESCO International Institution for Educational Planning. Paris: UNESCO.
11
Linacre, J.M. (2000). Computer-adaptive testing : a methodology whose time has come. MESA Memorandum No .69. Chicago: MESA psychometric laboratory, Unversity of Chicago. Linacre, J.M. & Wright, B. (1991-2000). WINSTEPS [Computer software]. Olea, J., Abad, F.J., Ponsoda,V., Aguado, D., Diaz, J. (2011). Development, psychometric properties and new validity evidences of the web-based computerized adaptive test of English eCat. Revista Electrónica de Metodología Aplicada, 16(1), 50-65. Reynolds, C.R., Livingston, R.B., & Willson, V. (2009). Measurement and assessment in education. Pearson Higher Education. Rudner, L.M. (1998). An On-line, Interactive, Computer Adaptive Testing Tutorial, 11/98. [Dokumen elektronik]. Diambil pada Oktober 2010 dari http://echo.edres.org:8080/scripts/cat/catdemo.htm Shultz, K.S., & Whitney, D.J., (2005). Measurement theory in action: case study and exercises. Thousand Oaks, CA: Sage Publication Inc. Sloane, F.C. & Kelly, A.E. (2003). Issues in high-stakes testing programs. Theory into practice, 42(1), 12-17. Stecher, B.M. (2002). Consequences of large-scale, high stakes testing on school and classroom practice. Dalam L.S. Hamilton, B.M. Stecher, & S.P. Klein (Eds.), Making sense of test-based accountability in education. Santa Monica CA: RAND. Thompson, N.A. & Weiss, D.J. (2011). A Framework for the development of computerized adaptive tests. Practical Assessment, Research & Evaluation, 16(1). Wainer, H. (2000). Computerized adaptive testing: a primer (second edition). Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher.
12
KELOMPOK B
DIMENSI KARAKTER DALAM PENILAIAN NONTES KARYA SENI LUKIS ANAK SEKOLAH DASAR
Oleh: Tri Hartiti Retnowati Alamat: Gejayan, jl: Garuda 13 Condong Cartur, Sleman, Yogyakarta
Penulisan artikel April tahun 2012
1
ABSTRAK DIMENSI KARAKTER DALAM PENILAIAN NONTES KARYA SENI LUKIS ANAK SEKOLAH DASAR Oleh: Tri Hartiti Retnowati tri_hartiti @yahoo.com Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil penilaian karya seni lukis anak Sekolah Dasar dengan instrumen nontes yang terdiri atas instrumen penilaian diri dan instrumen penilaian kelompok. Instrumen penilaian non tes merupakan hasil pengembangan instrumen yang sudah baku. Hasil dari penilaian ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan nilai akhir peserta didik yang mendekati objektivitas dan membentuk karakter peserta didik. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan setelah didahului dengan penelitian pengembangan instrumen penilaian nontes yang telah dibuktikan validitas dan reliabilitasnya melalui serangkaian analisis statistik, selanjutnya instrumen ini digunakan untuk menilai hasil karya seni lukis peserta didik di Sekolah Dasar Bhayangkara Yogyakarta. Untuk melihat efektivitas instrumen yang dikembangkan,apakah ada perbedaan antara hasil penilaian dengan instrumenyang dikembangkan (nontes) dan dengan penilaian yang selama ini digunakan guru tanpa instrumen nontes. Untuk menguji perbedaan digunakan analisis statistik uji-t. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan hasil penilaian seni lukis peserta didik dengan instrumen nontes dan dengan instrumen yang selama ini digunakan guru ( t = 12,60, p = 0,004). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil penilaian dengan instrumen nontes dan tanpa instrumen nontes. Karakter yang dikembangkan pada penilaian diri dengan instrumen nontes adalah kejujuran, rasa percaya diri, tidak takut salah, berani mengemukakan pendapat. Pertanyaan terbuka pada penilaian kelompok dengan instrumen nontes mencakup masalah kesabaran, menerima kritik, menahan diri, menyampaikan pendapat, dan keterbukaan pada sesama teman. 2
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perspektif pendidikan, seni dipandang sebagai salah satu alat atau media untuk memberikan keseimbangan antara intelektualitas dengan sensibilitas, rasionalitas
dengan
emosi.Bahkan
irrasionalitas,
dan
akal
pikiran
dengan
kepekaan
dalam batas-batas tertentu, seni menjadi sarana untuk
mempertajam moral dan watak seseorang (Rohidi, 2000: 55). Pendidikan seni bertujuan mengembangkan kedewasaan diri anak didik yang utuh dan seimbang dengan cara memberikan perlakuan yang dapat merangsang kepekaan estetik dan kreativitas peserta didik. Kelompok mata pelajaran estetika merupakan pelaksanaan dari pendidikan seni yang tergolong unik karena melekatnya "pengalaman estetik" pada diri seseorang.Dalam pendidikan seni, pengalaman estetik merupakan sesuatu yang esensial. Menurut Linderman (1984), pengalaman estetik mencakup pengalamanpengalaman perseptual, kultural, dan artistik. Salah satu kegiatan seni yang dilaksanakan di sekolah dasar adalah seni lukis
merupakan bagian dari mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan.
Kegiatan melukis bagi anak-anak seusia anak sekolah dasar merupakan kegiatan naluriah dan menjadi kesenangan anak karena muncul
atas
desakan
perkembangan emosi artistik yang bersifat kodrati. Melukis bagi anak-anak merupakan aktivitas psikologis dalam rangka mengekspresikan gagasan, imajinasi, perasaaan, emosi, dan atau pandangan anak terhadap sesuatu. Berdasarkan KurikulumTingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kegiatan seni lukis diajarkan di sekolah dasar dengan kompetensi dasar menggambar ekspresi dan menggambar imajinatif. Gambar ekspresi dan gambar imajinatifberkaitan dengan pengungkapan ide anak dalam menggambar.Dengan demikian untuk memberikan penilaian terhadap gambar imajinatif gambar ekspresif diperlukan adanya instrumen non tes.Instrumen non tes terdiri dari penilaian diri dan penilaian kelompok.
3
Berbagai peristiwa yang mendera bangsa kita saat ini, merupakan alasan yang kuat bagi Indonesia untuk membangkitkan komitmen dan melakukan pendidikan karakter.Pendidikan karakter bangsa diharapkan mampu menjadi alternatif solusi berbagai persoalan tersebut. Kondisi dan situasi saat ini tampaknya menuntut pendidikan karakter yang perlu ditransformasikan sejak dini, yakni sejak pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi secara holistik dan sinambung. Dalam Permendiknas N0.45/2006 setiap rumusan SKL secara implisit dan eksplisit termuat substansi nilai/karakter. Berikut ini substansi nilai/karakter yang ada pada setiap SKL tersebut yaitu:Iman dan taqwa, jujur, disiplin, terbuka,nasionalistik, bernalar, kreatif, peduli, percaya diri, tanggung jawab, bersih, santun, gotong royong, gigih,bervisi, dan adil. Salah satu instrumen penilaianyang didalamnya ada unsur untuk membentuk karakter peserta didik yaitu melalui penilaian nontes.Untuk itu, instrumen penilaian nontes yang sudah ada perlu dilihat efektivitasnya dengan menerapkan di lapangan.
B.Rumusan Masalah 1. Seberapa besar perbedaan hasil penilaian antara yang menggunakan insstrurmen nontes dan yang tidak menggunakan instrumen nontes?. 2. Unsur karaktrer apa saja yang terlibat dalam instrumen nontes?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. efektivitas penilaian dengan menggunakan instrumen nontes. 2. unsur karakter yang terdapat dalam instrumen niontes. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini berguna dalam pengembangan penerapan teori pengukuran pendidikan khususnya bidang seni lukisanak. Selain itu hasil penelitian akan memberi informasi tentang unsur karakter yang terdapat dalam instrumen nontes.
4
METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif rancangan pre-post. Pertama guru menilai dengan caranya sendiri, kemudian guru diberi pelatihan dengan menggunakan lembar instrumen nontes kelompok.
Hasil
penilaian
guru
dengan
penilaian diri dan penilaian
caranya
sendiri
dan
dengan
menggunakan instrumen nontes dibandingkan dan dilakukan uji-t. B. Subjek Penelitian Subjekpenelitian ini adalah peserta didik kelas 3 Sekolah Dasar Bhayangkara Yogyakarta berjumlah 40 peserta didik dan guru yang mengajar seni lukis di sekolah tersebut. C. Karakteristik Instrumen nontes Kemampuan peserta didik yang dikembangkan dalam pendidikan seni rupa khususnya seni lukis lebih banyak dalam bentuk penampilan yang sulit diukur dengan tes, yaitu terutama penampilan-penampilan peserta didik dalam aspek afektif dan psikomotorik. Dengan instrumen teknik non tes akan diperoleh data akurat dengan tidak kehilangan aktivitas dan aktualisasi diri peserta didik. Non tes digunakan tatkala pengertian evaluasi tidak sekedar identik dengan testing tetapi mempunyai pengertian yang lebih luas yaitu suatu proses penentuan nilai-nilai fenomena-fenomena yang secara edukasional relevan (Eisner, 1972: 204). Dalam hal ini nilai-nilai yang terkait dengan pembentukan karakter peserta didik. Teknik non tes bukannya tidak mengandung kelemahan
seperti halnya
teknik, cara maupun metode yang lain, tetapi apabila dikembangkan secara kreatif dan diinterpretasi secara bijaksana dapat memberikan informasi evaluatif yang memiliki tingkat kesahihan yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut di atas, dikembangkan instrumen penilaian nontes yang terdiri atas
penilaian diri dan
penilaian kelompok.Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian seni lukis peserta didik yang terdiri dari lembar penilaian diri dan lembar penilaian kelompok.Kedua lembar penilaian tersebut masing-masing terdiri atas
4 buah
pertanyaan pilihan ganda dan 1 buah pertanyaan terbuka untuk mengungkapkan pendapat siswa secara bebas tentang gambar yang dinilainya. 5
Butir- butir pertanyaan instrumen mencerminkan pembentukan karakter yang diinginkan dari peserta didik tersebut. Pertanyaan terbuka pada instrumen nontes
penilaian
diri
diantaranya:
ceriterakan
pengalaman-pengalaman
menarikmu yang ada dalam lukisanmu. Karakter yang dapat dikembangkan disini adalah masalah kejujuran, rasa percaya diri, tidak takut salah, keberanian mengemukakan pendapat. Pada penilaian kelompok dengan instrumen nontes, pertanyaan terbuka diantaranya: berilah pendapat dan saran tentang karya seni lukis temanmu. Hal ini mencermikan pembentukan karakter melatih diri menerima kritik , kesabaran, menahan diri, terbuka dengan teman. Bagi peserta didik yang memberi penilaian juga dilatih untuk berani mengemukakan pendapatny, berani mengkritik,
mencarikan
jalan
keluar
dengan
memberi
saran
untuk
penyempurnaan. Pengujian konstruk instrumen dilakukan melalui pendapat pakar bidang seni lukis, pakar bidang penilaian pendidikan, dan praktisi lapangan (guru seni lukis SD).Pertemuan dengan kelompok yang berbeda dilakukan tiga kali untuk memperoleh masukan yang lebih banyak sehingga diperoleh hasil yang dapat diandalkan.Kemudian hasil instrumen nontes tersebut digunakan dalam penelitian ini bentuknya sebagai berikut. 1. Instrumen Penilaian Diri 2.Instrumen Penilaian Kelompok
6
Penentuan koefisien menggunakan
paket
keandalan instrumen penilaian dilakukan dengan
program
komputer
Genova
berdasarkan
teori
generalizeability yang dikembangkan oleh Crick dan Brennan pada tahun 1983 yang disebut dengan A Generalized Analysis of Variance System.Pada teori ini ada G (generalized study) dan D (decision study). Pada G-study dilakukanestimasi sejumlah varians komponen. Banyaknya komponen ditentukan oleh model yang digunakan. Hasil dari G-study digunakan pada D-study. Menurut Brennan (1983: 3), D-study menekankan estimasi, penggunaan, dan interpretasi dari varians komponen untuk membuat keputusan, dengan prosedur pengukuran yang baik. Hal yang penting pada D-study adalah spesifikasi dari generalisasi universe, yaitu universeberlakunya
generalisasiD-study dengan suatu prosedur pengukuran
tertentu.
D. SUMBER DATA Sumber data penelitian ini adalah40 peserta diik dan guru Sekolah Dasar Bhayangkara Yogyakarta yang mengajar seni lukis. Sebelum menggunakan instrumen tersebut, guru dilatih ulu cara menggunakan instrumen nontes.
E. Teknik Analisis Data Setelah instrumen penilaian nontes diuji tingkat validitas dan reliabilitasnya melalui serangkaian uji statistik, kemudian instrumen tersebut digunakan untuk menilai hasil karya seni lukis peserta didik di SD Bhayangkara Yogyakarta. Untuk melihat adanya perubahan hasil penilaian seni lukis peserta didik, maka dilakukan uji beda t-test. Sebelum melakukan uji beda t-test, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Hal ini dikarenakan uji beda t-test mengasumsikan nilai residual mengikuti distribusi normal. Uji statistik yang dilakukan untuk normalitas adalah dengan melihat kurtosis dan skewness dari residual. Nilai z untuk skewness dan nilai z untuk kurtosis dihitung dengan rumus sebagai berikut.
7
Zskewness =
Skewness 6 N
Zkurtosis =
Kurtosis 24 N
N menyatakan ukuran sampel. Jika Z hitung > Z tabel, maka distribusi tidak normal. Untuk taraf singnifikansi 5% nilai Z tabel=1.96. (Imam Ghazali, 2009: 147-150). Uji beda t-test digunakan untuk menentukan apakah dua sampel yang berhubungan memiliki rata-rata yang berbeda. Dalam hal ini, kedua rata-rata yang akan dibandingkan adalah rata-rata nilai tanpa menggunakan instrumen non-tes dan ratarata nilai dengan instrumen non-tes. Menurut Imam Ghazali (2009: 60) uji beda t-tes dilakukan dengan cara membandingkan perbedaan antara dua nilai rata-rata dengan standar error dari perbedaan rata-rata dua sampel atau secara umum dapat ditulis sebagai berikut: Rata-rata sampel pertama – rata-rata sampel kedua t= Standar error perbedaan rata-rata kedua sampel Hipotesis penelitian ini adalah,
H 0 = Tidak ada perbedaan
hasil penilaian karya lukis peserta didik antara
yang
menggunakan instrumen nontes dan dengan yang tidak menggunakan. H 1 = Terdapat perbedaan hasil penilaian karya lukis peserta didik yang signifikan
antara
yang
menggunakan
instrumen
nontes
dan
dengan
yang
tidak
menggunakan
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Uji-t pada hasil penilaian diri Instrumen penilaian diri yang telah dibuktikan validitas dan reliabilitasnya melalui serangkaian analisis statistik selanjutnya digunakan untuk menilai hasil karya seni lukis peserta didik kelas 3 di SD Bhayangkara Yogyakarta. Untuk 8
melihat adanya perubahan penilaian dengan instrumen tersebut, maka dilakukan analisis uji-t dengan cara membandingkan hasil penilaian dengan ta instrumen nontes penilaian diri dan dengan tanpa instrumennontes penilaian diri. Adapun hasil analisis uji-t disajikan pada tabel 1dan tabel2berikut.
Tabel 1. Rata-Rata Nilai karya Seni Lukis peserta didik Tanpa dan dengan Menggunakan Instrumen Penilaian diri Mean Pair 1
NILAI1 (tanpa)
Std. Deviation Std. Error Mean
N
76.9990
40
6.03094
.95357
85.5000
40
6.20357
.98087
NILAI2 (dengan)
Tabel 1menunjukkan bahwa rata-rata penilaian diri tanpa menggunakan instrumen adalah 76,99 sedangkan setelah menggunakan instrument
adalah
85,50. Secara absolute jelas bahwa rata-rata nilai gambar imajinatif siswa tanpa dan menggunakan instrumen
berbeda. Untuk melihat apakah secara statistik
perbedaan ini signifikan, maka dilakukan uji-t sebagaimana yang hasilnya tampak pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Uji Beda t-test Rata-Rata Nilai Gambar Imajinatif Siswa Tanpa dan dengan Menggunakan Instrumen Penilaian diri Paired Differences
t
df Sig.
Mean
Std. Deviation
95% Confidence Interval of the Difference
Std. Error Mean
Lower Pair 1
NILAI1 NILAI2
8.5010
4.26711
.67469
-9.8657
9
(2-tailed)
Upper
-7.1363
-12.600
39
.000
Tabel2 menunjukkan ada perbedaan hasil penilaiain yang signifikan antara bahwa yang menggunakan dengan yang tidak menggunakan instrumen nontes (t=12.60, p = .0000). B. Uji-t pada hasil penilaian kelompok Sebagaimana pada penilaian diri, instrumen penilaian kelompok yang telah memiliki bukti validitas dan reliabilitasnya melalui serangkaian analisis statistik selanjutnya digunakan untuk menilai hasil gambar imajinatif siswa di SD Bhayangkari Yogyakarta. Untuk melihat adanya perubahan penilaian dengan instrumen tersebut dalam menilai gambar imajinatif peserta didik, maka dilakukan analisis uji-t dengan cara membandingkan hasil penilaian tanpa instrumen nontes pada penilaian kelompok dan dengan instrumennon tes pada penilaian kelompok. Adapun hasil analisis uji-t disajikan pada tabel 3 dan tabel 4 berikut. Tabel 3. Rata-Rata Nilai Karya Seni Lukis Tanpa dan dengan Menggunakan Instrumen Penilaian Kelompok Mean Pair 1
Tabel
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
NILAI1
79.4995
40
5.09640
.80581
NILAI2
86.3340
40
4.99463
.78972
3
menggunakan
menunjukkan instrumen
bahwa
adalah
rata-rata
79,49
penilaian
sedangkan
kelompok
setelah
tanpa
menggunakan
instrumen adalah 86,33. Secara absolute jelas bahwa rata-rata nilai karya seni lukis tanpa dan menggunakan instrumen berbeda. Untuk melihat apakah secara statistik perbedaan ini signifikan, maka dilakukan uji-t sebagaimana yang hasilnya tampak pada tabel berikut
10
Tabel 4. Hasil Uji Beda t-test Rata-Rata Nilai Gambar Imajinatif Siswa Tanpa dan dengan Menggunakan Instrumen Penilaian Kelompok Paired Differences Std. Mean
Deviation
Std. Error Mean
t 95% Confidence Interval of the Difference Lower
Pair 1
NILAI1 NILAI2
-6.8345
3.19876
.50577
df
-7.8575
Sig. (2-tailed)
Upper
-5.8115
-13.513
39
.000
Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil penilaian kelompok dengan instrumen nontes dan tanpa menggunakan instrumen nontes secara signifikan
(t = 13.513, p = 0.000) Dengan demikian, dapat di simpulkan bahwa
nilai rata-rata penilaian kelompok tanpa dan menggunakan instrumen nontes berbeda secara signifikan. Dengan kata lain instrumen penilaian kelompok dengan instrumen nontes lebih efektif dibanding penilaian kelompok tanpa instrumen, karena hasil penilaian dengan instrumen lebih tinggi dibanding tanpa instrumen nontes.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang
dijelaskan di atas,
dapat disimpulan bahwa hasil penilaian karya seni lukis peserta didik sekolah dasar dengan instrumen non tes baik pada penilaian diri dan pada penilaian kelompok lebih efektif dibanding penilaian tanpa instrumen. Aspek karakter yang terdapat pada
penilaian diri dengan instrumen nontes adalah kejujuran, rasa
percaya diri, tidak takut salah,
berani mengemukakan pendapat.
kesabaran,
menerima kritik, kemampuan menyampaikan pendapat, dan keterbukaan pada sesama teman.
11
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa penilaian seni lukis peserta
didik dengan menggunakan instrumen nontes anak lebih efektif dibanding tanpa instrumen nontes dan di dalamnya memuat
sejumlah aspek pengembangan
karakter pada peserta didik. Rekomendasi dari penelitian ini adalah agar guru mata pelajaran seni budaya khususnya seni lukis untuk melaksanakan penilaian dengan menggunakan instrumen non tes. Selanjutnya disarankan agar guru mentelaah komponen instrumen non tes yang bermuatan pendidikan karakter peserta didik. DAFTAR PUSTAKA Brennan, Robert L. (1983). Element of generalizability theory. Iowa City: ACT Publication. Eisner, Elliot W. (1972). Educating artistic vision.Reston, VA:NAEA. Imam Ghazali. (2009). Aplikasi Analisis Multivariate DENGAN Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro Linderman, Earl. (1977). Art & crafts for the classroom. USA: Macmillan Publishing Company. Maurice, Barrett. “Guidelines for evaluation and assessment in art and design education 5-18 Years”.Journal of Art and Design Education, Volume 9, No.3, 1990. Peraturan Pemerintah RI. (2005). Peraturan pemerintah , Nomor 19, tahun 2005, tentang standar nasional pendidikan. Rohidi, Tjetjep Rohendi. (2000). Kesenian dalam pendekatan budaya. Bandung: STISI Press.
12
PENGEMBANGAN MODEL ASESMEN KOMPETENSI GURU SENI MUSIK DALAM PERSPEKTIF PEMBELAJARAN BERBASIS ACTION LEARNING SEBAGAI PENDUKUNG DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh: Udi Utomo Jurusan Pendidikan Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang
DISAJIKAN DALAM SEMINAR NASIONAL “UJIAN NASIONAL SEBAGAI SARANA MEMBANGUN KARAKTER BANGSA”
YOGYAKARTA, 12 MEI 2012
PENGEMBANGAN MODEL ASESMEN KOMPETENSI GURU SENI MUSIK DALAM PERSPEKTIF PEMBELAJARAN BERBASIS ACTION LEARNING SEBAGAI PENDUKUNG DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER Udi Utomo1 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model asesmen kompetensi guru seni musik dalam perspektif pelaksanaan pembelajaran berbasis action learning. Produknya berupa instrumen asesmen kompetensi guru beserta pedoman proses, pedoman pengukuran, dan pedoman pengolahan data yang dapat digunakan untuk membuat keputusan terhadap hasil asesmen. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan Research and Development ( R & D) yang diadaptasi dari desain model Borg & Gall dan desain model Siklus yang dikembangkan oleh Cenamo & Kalk. Langkah pengembangan terdiri dari tiga tahap, yakni: (1) tahap pengembangan model (prototype dan product); (2) penerapan model (uji coba); dan (3) diseminasi. Model asesmen kompetensi guru seni musik dalam perspektif pelaksanaan pembelajaran berbasis action learning di sekolah menengah pertama (SMP) yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan model asesmen unjuk kerja (performance assessment). Materi uji kompetensi meliputi: (1) kompetensi guru dalam mendesain dan melaksanakan pembelajaran seni musik; (2) kompetensi guru dalam mengembangkan materi musik; dan (3) kompetensi guru dalam bernyanyi dan memainkan alat musik. Model asesmen bersifat aplikatif terdiri atas 18 butir tugas (task). Proses pengamatan dan scoring terhadap hasil uji atau performansi guru dilakukan oleh rater dengan menggunakan rubrik yang dikembangkan berdasarkan karakteristik butir tugas (task). Pengembangan model asesmen kompetensi guru seni musik dalam perspektif pelaksanaan pembelajaran berbasis action learning ini merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan profesionalitas guru guna mendukung pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah. Kata kunci: Asesmen, kompetensi, pembelajaran, action learning, karakter A. PENDAHULUAN Untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini, mendorong pemerintah menjadikan pendidikan karakter sebagai dasar pembangunan pendidikan. Upaya ini secara 1
Dosen pada Jurusan Pendidikan Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
implisit telah ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2015, di mana pemerintah menjadikan pembangunan
karakter
sebagai
salah
satu
program
prioritas
pembangunan tingkat nasional. Upaya pembangunan karakter bangsa sebagai hal yang mendesak untuk
dilaksanakan
pemerintah,
misalnya
tidak
cukup
melalui
hanya
penerbitan
terbatas Rencana
pada Aksi
komitmen Nasional
Pendidikan Karakter yang telah dicanangkan, tetapi memerlukan pelibatan segenap komponen bangsa mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah, masyarakat, dan keluarga. Dalam bidang pendidikan, sebagai salah satu wahana yang strategis untuk menyebarkan dan penanaman nilai-nilai karakter bangsa kepada peserta didik, menurut Iskandar (2011:89-90) ada beberapa upaya yang dapat dilakukan, antara lain: (1) meningkatkan kualifikasi dan mutu guru PKn secara sistematis dari tingkat pre service sampai dengan in service; (2) untuk percepatan perlu diidentifikasi dan dikembangkan nilai-nilai karakter bangsa berbasis potensi lokal dan mensosialisasikan melalui wadah-wadah profesi guru, kelompok kepala sekolah, asosiasi pengawas dan lain-lain; (3) diperlukan pengembangan-pengembangan model yang dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam mengintegrasikan nilai-nilai karakter bangsa ke dalam kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler; dan (4) pendidikan karakter bangsa perlu dikembangkan oleh semua mata pelajaran yang ada di sekolah. Sifat-sifat yang diharapkan dalam pendidikan karakter telah tersirat dalam Tujuan Pendidikan Nasional kita. Dalam Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003 bab 2 Pasal 2 disebutkan
bahwa
Tujuan
Pendidikan
Nasional
adalah
untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. Namun dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan maka telah diidentifikasi 18 nilai yang bersumber dari
agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) religius; (2) jujur; (3) toleransi; (4) disiplin; (5) kerja keras; (6) kreatif; (7) mandiri; (8) demokratis; (9) rasa ingin tahu; (10)
semangat kebangsaan;
(11) cinta tanah air; (12) menghargai prestasi; (13) bersahabat/ komunikatif; (14) cinta damai; (15) gemar membaca; (16) peduli lingkungan; (17) peduli sosial; dan (18) tanggung jawab (Pusat Kurikulum, 2009:9-10). Berdasarkan hal tersebut, sebagai salah satu upaya untuk mengembangkan profesionalitas guru guna mendukung pelaksanaan pendidikan karakter, melalui penelitian ini dikembangkan model asesmen kompetensi guru seni musik dalam perspektif pelaksanaan pembelajaran berbasis action learning di sekolah menengah pertama (SMP). Pembelajaran seni musik berbasis action learning merupakan bentuk pembelajaran yang merujuk pada suatu aktivitas (learning by doing). Dalam konteks ini siswa belajar melalui keterlibatannya secara aktif dalam menyerap informasi yang disampaikan oleh guru. Keterlibatan siswa dengan musik bisa saja hanya secara mental atau bahkan secara fisik. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran seni musik berbasis action learning dilakukan dengan cara guru memberikan pengalaman musikal secara langsung kepada siswa dengan tujuan agar para siswa dapat membangun konsep-konsep musik dalam dirinya. Oleh karena itu, wujudnya bukan seperangkat aturan verbal, pernyataan atau definisi yang dicontohkan,
gambar/simbol-simbol
musik
yang
diajarkan
melalui
pengalaman, namun demikian pengalaman itu sendiri yang akan secara aktif berinteraksi, mengatur, dan bertindak atas realitas. Konsep-konsep musik tidak diajarkan secara langsung, tapi merupakan formulasi unik yang dipelajari oleh siswa berdasarkan tindakan langsung dengan atau pada bahan musik. Peran guru secara induktif
akan memandu siswa
dalam memahami konsep secara luas tentang berbagai unsur musik seperti irama, pitch, bentuk, dan lain-lain yang akan memberikan dasar bagi perbaikan dan pengembangan keterampilan selanjutnya (Regelski, 1981:11-13).
Terkait dengan pembelajaran seni musik yang berbasis action learning tersebut, Jamalus (1988:43) menyatakan bahwa setiap bentuk pembelajaran musik sebagai upaya untuk mencapai kompetensi dasar yang ditentukan baik dalam kompetensi berapresiasi, berekspresi, dan berkreasi musik harus dilakukan secara terpadu dengan memasukkan aktivitas musikal sebagai salah satu komponenya. Aktivitas tersebut dapat berupa kegiatan mendengarkan musik (listening), bernyanyi (singing), bermain alat musik (playing), bergerak mengikuti
musik (responding),
membaca musik (reading), dan mencipta musik (creating). Bahkan sebagai upaya untuk mendorong kreativitas siswa, aktivitas tersebut dapat diperluas lagi dengan kegiatan merekam musik (recording), menganalisis dan mengapresiasi musik (analyzing and appreciating) (UNESCO, 2002: 30). Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah model instrumen asesmen kompetensi guru seni musik dalam perspektif pelaksanaan pembelajaran berbasis action learning di SMP ?; dan (2) Bagaimanakah relevansi model asesmen kompetensi guru seni musik berbasis action learning dalam mendukung pelaksanaan pendidikan karakter di SMP ? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan model asesmen kompetensi guru seni musik dalam perspektif pelaksanaan pembelajaran seni musik yang berbasis action learning di sekolah menengah pertama (SMP). Produknya berupa instrumen asesmen kompetensi guru beserta pedoman proses, pedoman pengukuran, dan pedoman pengolahan data yang dapat digunakan untuk membuat keputusan terhadap hasil penilaian. Manfaat penelitian, secara teori untuk mengembangkan konsep dan teori asesmen kompetensi guru seni musik, khususnya kompetensi guru dalam perspektif pelaksanaan pembelajaran berbasis action learning. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat diterapkan dalam pelaksanaan seleksi perekrutan kebutuhan tenaga guru seni musik di sekolah
menengah pertama (SMP) dan sebagai pijakan dalam pengembangan model asesmen kompetensi guru selanjutnya. B. METODE PENELITIAN Penelitian
ini
dilakukan
dengan
menggunakan
pendekatan
Research and Development ( R & D) yang diadaptasi dari model penelitian yang dikembangkan oleh Borg & Gall dan model siklus yang dikembangkan oleh Cenamo. Penelitian dilakukan selama tiga tahap, yakni: (1) tahap pengembangan model, di dalamnya mencakup kegiatan analisis konteks (prasurvei dan studi hasil penelitian), perencanaan (penentuan tujuan, analisis isi, dan alternatif solusi), dan pengembangan model (prototype dan product); (2) tahap penerapan model, di dalamnya mencakup kegiatan prauji coba , uji coba tahap 1, dan uji coba tahap 2; dan (3) diseminasi yang dilakukan dalam bentuk kegiatan publikasi melalui seminar dan jurnal. Subjek penelitian seluruhnya berjumlah 72 orang, meliputi: (1) 12 orang subjek terlibat pada kegiatan tahap pengembangan; (2) enam orang subjek terlibat pada uji keterbacaan ; (3) 18 orang subjek terlibat pada uji coba tahap 1; dan (3) 26 orang subjek terlibat pada uji coba tahap 2. Keseluruhan subjek ditentukan secara purposive. Instrumen yang digunakan sebagai alat pengumpul data dalam penelitian ini terdiri dari: (1) pedoman wawancara; (2)
angket; (3)
dokumen; (4) lembar penilaian dan saran; (5) butir soal; dan (6) rubrik (pedoman pengamatan dan scoring). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan memadukan pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif (lihat Creswell, 1996:9-53; dan Tashakkori & Teddlie, 2010:211-222). Teknik kualitatif dilakukan pada saat peneliti melakukan analisis terhadap data yang diperoleh melalui kegiatan wawancara dan angket yang dilakukan pada saat dilakukan kegiatan analisis konteks, hasil diskusi, lembar penilaian dan saran pada saat kegiatan Focus Group Discussion, lembar penilaian dan saran pada saat uji keterbacaan, validasi kebahasaan, dan
Expert Review. Pada saat melakukan uji coba tahap 1 dan tahap 2, analisis secara kualitatif dilakukan pada saat peneliti melakukan analisis hasil pengamatan, wawancara, angket, dan hasil uji kompetensi. Penggunaan teknik analisis secara kuantitatif dilakukan oleh peneliti baik pada tahap pengembangan dan tahap penerapan model. Pada tahap pengembangan model analisis kuantitatif yang digunakan adalah analisis deskriptif (prosentase). Teknik ini digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh peneliti melalui angket pada saat melakukan analisis konteks dan lembar penilaian pada saat kegiatan Focus Group Discussion. Pada tahap penerapan model analisis kuantitatif digunakan pada saat peneliti melakukan uji kelayakan model asesmen kompetensi guru yang dikembangkan baik pada saat uji coba tahap 1 maupun uji coba tahap 2. Uji kelayakan tersebut khususnya pada saat peneliti melakukan analisis koefisien realibilitas instrumen model asesmen kompetensi
guru
yang
dikembangkan.
Analisis dilakukan dengan
menggunakan uji Intraclass Correlation Coefficient (ICC) tipe consistency definition dan absolute agreement definition dengan Program SPPS versi 16.0. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Model asesmen yang
dikembangkan sebagai instrumen uji
kompetensi guru seni musik dalam perspektif pelaksanaan pembelajaran berbasis action learning di sekolah menengah pertama (SMP) ini merupakan model asesmen unjuk kerja (performance assessment). Untuk memberikan gambaran tentang model asesmen kompetensi guru tersebut berikut ini akan diuraikan tentang: (1) tujuan asesmen; (2) materi asesmen; dan (3) butir tugas (task), objek amatan, dan proses asesmen. 1. Tujuan Asesmen Model asesmen yang dikembangkan bertujuan untuk mengases kompetensi guru seni musik dalam perspektif pelaksanaan pembelajaran berbasis action learning di sekolah menengah pertama (SMP). Secara spesifik meliputi kompetensi guru dalam mendesain dan melaksanakan
pembelajaran seni musik, mengembangkan materi musik, dan kompetensi guru dalam bernyanyi dan memainkan alat musik. 2. Materi Asesmen Materi asesmen kompetensi guru seni musik dalam perspektif pelaksanaan pembelajaran berbasis action learning ini sebagai berikut. a. Kompetensi Guru dalam Pembelajaran Seni Musik
Mendesain
dan
Melaksanakan
Dalam kompetensi mendesain pelaksanaan pembelajaran seni musik, materinya mencakupi kompetensi guru dalam merencanakan dan menentukan: (1) indikator hasil belajar; (2) materi pembelajaran; (3) lagu model; (4) strategi
kegiatan pembelajaran; (5) media pembelajaran
(pemanfaatan media audio, visual, audio visual dan atau alat musik); dan (6) teknik penilaian. Materi kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran seni musik berupa kegiatan praktik mengajar dalam bentuk simulasi pembelajaran seni musik (micro teaching) yang dilaksanakan berdasarkan rambu-rambu pembelajaran berbasis action learning. b. Kompetensi Guru dalam Mengembangkan Materi Musik Dalam
kompetensi
mengembangkan
materi
musik,
materi
asesmennya terdiri atas kompetensi guru dalam mengkomposisi dan mengaransemen
musik.
Materi
komposisi
musik
mencakupi:
(1)
pengembangan motif ritmis; (2) pengembangan motif melodi; (3) pengembangan kalimat ritmis; (4) pengembangan kalimat melodi; dan (5) pengembangan syair lagu. Materi aransemen musik mencakupi: (1) penentuan chord lagu; (2) penentuan pola iringan alat musik harmoni; dan (3) penentuan pola iringan alat musik ritmis. c. Kompetensi Guru dalam Bernyanyi dan Memainkan Alat Musik Dalam kompetensi bernyanyi dan memainkan alat musik, materi asesmennya mencakupi: (1) keterampilan membaca notasi lagu dengan vokal (sight singing); (2) keterampilan membaca notasi lagu dengan alat musik melodi sesuai pilihan (sight-reading); (3) keterampilan membaca notasi ritmis dengan menggunakan alat musik drum set (sight-reading); (4)
kreativitas mengiringi lagu dengan alat musik harmoni (keyboard atau gitar); dan (5) kreativitas mengiringi lagu dengan alat musik ritmis (drum dan kendang). 3. Butir Tugas (task), Objek Amatan, dan Proses Asesmen Model asesmen kompetensi guru dalam mendesaian pembelajaran seni musik, terdiri atas tiga butir tugas (task) yang bersifat pilihan dan dilakukan dalam bentuk tertulis. Dalam kompetensi ini objek asesmennya adalah
hasil
kinerja
yang
berupa
desain
pembelajaran.
Proses
pengamatan dan scoring terhadap hasil kinerja dilakukan oleh rater setelah pelaksanaan uji kompetensi. Pada model asesmen kompetensi guru dalam melaksanakan pembelajaran seni musik, terdiri atas satu butir tugas (task) yang disertai dengan rambu-rambu pelaksanaan. Dalam kompetensi ini objek asesmennya adalah performansi guru dalam melaksanakan praktek pembelajaran. Proses pengamatan dan scoring terhadap performansi guru oleh rater dapat dilakukan secara langsung pada saat proses uji kompetensi atau melalui hasil rekaman (audio visual). Pada model kompetensi guru dalam mengembangkan materi musik, terdiri atas tujuh butir tugas (task) yang dilakukan dalam bentuk tertulis. Dalam kompetensi ini objek amatannya adalah hasil kinerja yang berupa pengembangan motif dan kalimat ritmis, pengembangan motif dan kalimat melodis, syair lagu, dan aransemen musik. Proses pengamatan dan scoring terhadap hasil kinerja dilakukan oleh rater setelah pelaksanaan uji kompetensi. Model asesmen kompetensi guru dalam bernyanyi dan memainkan alat musik, terdiri atas tujuh butir tugas (task). Dalam kompetensi ini objek asesmennya adalah performasi guru dalam membaca notasi lagu dengan vokal (sight-singing), membaca notasi lagu dengan alat musik melodi dan ritmis (sight-reading), dan kreativitas mengiringi lagu dengan alat musik harmoni dan ritmis. Proses pengamatan dan scoring terhadap performansi guru dilakukan secara langsung pada saat pelaksanaan uji kompetensi. Untuk meminimalkan subjektivitas antara rater pada saat melakukan
scoring, dalam model asesmen ini dikembangkan rubrik berdasarkan karakteristik butir tugas (task). Berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang berlaku saat ini, pembelajaran seni musik di SMP pada dasarnya diarahkan pada kegiatan pembelajaran yang memberikan pengalaman untuk berapresiasi, berekspresi, dan berkreasi melalui berbagai macam unsur musik, proses, teknik, prosedur, media, materi, dan konteks karya seni. Oleh karena itu, kompetensi berapresiasi, berekspresikan, dan berkreasi sebagai bagian penting dalam pembelajaran seni musik di sekolah, semestinya tidak dilakukan secara dikotomik. Dalam proses pembelajarannya ketiga aspek tersebut secara bersamaan saling melengkapi dan bekerja dalam memberikan pengalaman seni yang bermakna bagi siswa. .
Berapresiasi (to appreciate) berarti menghargai. Kata menghargai
melibatkan dua pihak, yaitu subyek sebagai pihak yang memberi penghargaan dan obyek yang bernilai sebagai pihak yang dihargai. Dalam konteks ini subyek akan memberikan penghargaan dengan tepat apabila ia mampu mengamati dan menilai apa yang bermakna dalam sebuah obyek. Seni sebagai media pendidikan (education trught art) merupakan salah satu media untuk mengekspresikan perasaan. Dalam pembelajaran musik dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti: (1) kegiatan merespon musik dengan gerak berirama, yakni kegiatan yang dilakukan dengan cara menggerakan bagian anggota tubuh (tangan, kaki, badan, dan kepala) sesuai dengan irama musik yang ada; (2) bernyanyi, yakni merupakan kegiatan olah vokal yang dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek seperti, intonasi, artikulasi, pernafasan, phrasering, dan pembawaan; (3) membaca notasi musik, yakni kegiatan membaca simbolsimbol musik atau notasi musik dari sebuah karya musik yang dilakukan dengan vokal atau alat musik. Berkreasi dalam pembelajaran musik pada dasarnya merupakan kemampuan untuk mencipta. Oleh karena itu kreasi atau daya kreatif merupakan suatu kualitas yang berhubungan dengan
sensivitas, kelancaran (fluency), fleksibilitas, originalitas, pengaturan, analisis, sintesis, serta elaborasi. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, karakteristik model
asesmen
kompetensi
guru
seni
musik
dalam
perspektif
pelaksanaan pembelajaran berbasis action learning yang dikembangkan, dalam penelitian ini relevan sebagai salah satu upaya yang mendukung pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah. Kompetensi guru dalam mendesain dan melaksanakan pembelajaran seni musik yang ditunjang kompetensi
mengembangkan
materi
musik
(mengkomosisi
dan
mengaransemen musik), dan ketrampilan bernyanyi dan bermain alat musik (sight-singing, sight reading, dan kreativitas) sangat diperlukan bagi guru agar dapat menciptakan proses pembelajaran yang menunjang pencapaian tujuan pendidikan karakter. Kegiatan pembelajaran berapresiasi sebagai bentuk pembelajaran pengembangan emosi merupakan sumber untuk mengembangkan potensi afeksi siswa yang bermanfaat untuk memperoleh pengalaman baru, memperkaya jiwa, menanamkan cinta bangsa, cinta sesama, dan meningkatkan ketahanan budaya. Kegiatan berekspresi dengan berbagai macam bentuk kegiatan musik secara individu dan kelompok akan berkontribusi terhadap pengembangan rasa percaya diri, bekerja sama, tanggung jawab, dan mandiri. Adapun kegiatan berkreasi yang dilakukan dengan berbagai bentuk kegiatan musik akan mengembangkan persepsi, imajinasi, dan daya fantasi yang mendorong kreativitas siswa. 4. SIMPULAN DAN REKOMENDASI Pengembangan model asesmen kompetensi guru seni musik dalam perspektif pelaksanaan pembelajaran berbasis action learning di sekolah menengah pertama (SMP) sebagai
salah satu upaya pengembangan
profesionalitas
pendukung
guru
merupakan
dalam
pelaksanaan
pendidikan karakter di sekolah. Materi uji kompetensi yang meliputi: (1) kompetensi guru dalam mendesain dan melaksanakan pembelajaran seni musik; (2) kompetensi guru dalam mengembangkan materi musik; dan (3)
kompetensi guru dalam bernyanyi dan memainkan alat musik relevan dengan kebutuhan guru seni musik di sekolah menengah pertama (SMP). Berdasarkan hasil penelitian tersebut bagi pihak yang terlait dan berkompeten terhadap profesi guru, model asesmen kompetensi guru ini dapat direkomendasikan sebagai berikut: (1) dapat digunakan sebagai alternatif instrumen uji kompetensi dalam seleksi guru; (2) dapat diterapkan dalam pelaksanaan pendidikan di Program Studi Pendidikan Seni Musik pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan atau pada pelaksanaan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG); dan (3) dapat diterapkan dalam pelaksanaan Program Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) yang sekarang sedang berlangsung. 5. DAFTAR PUSTAKA Borg, W.R. & Gall, M.D. (1983). Educational Research. New York: Longman. Cenamo, K, dan Kalk, D. (2005). Real Worid Instructional Design. Canada: Vicky Knight. Iskandar Agung, dkk. (2011). Pendidikan Membangun Karakter Bangsa. Jakarta: Penerbit Bestari Buana Murni. Jamalus. (1988). Pembelajaran Musik Melalui Pengalaman Musik. Jakarta: Dirjendikti Depdikbud. Jakop Sumardjo. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB, 2000. Mack, D. (1995). Apresiasi Musik populer. Bandung: UPI Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Miller, H.M. (2001). Introduction to Music: Guide to Good Listening. (Terjemahan Triyono Bramantyo). Yogyakarta: Lentera. Mistaram, (2003). ” Pendidikan Seni untuk Apresiasi bagi Siswa Sekolah lanjutan”. Dalam Bunga Rampai Kajian Seni Rupa. Semarang: FBS UNNES. Muhammad Jazuli. (2003). Paradigma Konstektual Pendidikan Seni. Surabaya: Unesa Press. Pusat Kurikulum. (2009). Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah (hal. 9-10). Jakarta. Regelski, T.A. (1981). Teaching General Music. London: Collier Macmillan Publishers.
Rudy, M.Y. (2008). Panduan Olah Vokal. Yogyakarta: Med Press. Suwaji Bastomi. (1993). Proses Apresiasi, Kreasi, dan Belajar. Semarang: IKIP Semarang Press. Tashakkori, A & Teddlie, C. (2010). Mixed Methodology. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tim Pustaka Yustisia. (2007). Panduan Lengkap KTSP. Jakarta: Pustaka Yustisia. UNESCO. (2002). Arts Education in the Pacific Region: Heritage and Creativity. Document based on the conclusions of the Regional Conference on Arts Education Nadi, Fiji, 25-29 November 2002.
Judul
:
Hasil Pengujian Computerized Adaptive Testing Triangle Decision Tree (CAT-TDT) dalam Meningkatkan Kejujuran sebagai Nilai Pendidikan Karakter Bangsa pada Evaluasi Pembelajaran di Sekolah
Nama
:
Winarno, S. Si, M. Pd. Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga
Alamat
:
1. Ngadipiro 02/09 Tanjungsari Jatisrono Wonogiri Jawa Tengah 2. Cabean 03/14 Mangunsari Sidomukti Salatiga Jawa Tengah 3. Bedreg 09/41 Maguwoharjo Depok Sleman Yogyakarta
Bulan
April
Tahun
2012
0
Hasil Pengujian Computerized Adaptive Testing Triangle Decision Tree (CAT-TDT) dalam Meningkatkan Kejujuran sebagai Nilai Pendidikan Karakter Bangsa pada Evaluasi Pembelajaran di Sekolah1 Winarno2
Abstrak Penelitian ini bertujuan melihat hasil pengujian software Computerized Adaptive Testing Triangel Dicision Tree (CAT-TDT) dalam meningkatkan kejujuran pada evaluasi pembelajaran di sekolah. Spesifikasi Software CAT-TDT yang dikembangkan: (1) berbasis jaringan internet (web based); (2) menggunakan bahasa pemrograman PHP dan sistem basis data menggunakan My SQL, (2) bank soal dalam sistem basis data terdiri dari: 193 soal matematika kelas VII jenjang pendidikan SMP/MTs, soal berbentuk pilihan ganda dengan empat opsi jawaban, setiap soal memiliki karakteristik tingkat kesukaran, daya beda, dan tingkat menebak tertentu; (3) prosedur pemilihan item awal (Starting rule) menampilkan butir soal yang tidak terlalu sulit atau tidak terlalu mudah (kategori sedang); (4) prosedur pemilihan item selama pelaksanaan tes menggunakan metode triangle decision tree (TDT); (5) prosedur untuk mengakhiri tes (stopping rule) menggunakan kriteria apabila butir soal tes telah habis atau kemampuan peserta tes telah menuju nilai kemampuan tertentu (konvergen); dan (6) estimasi kemampuan peserta tes menggunakan metode maximum likelihood (MLE). Penelitian dengan pendekatan Research and Development (R&D) ini melakukan pengujian kepada 30 siswa kelas VII pada SMP N 1 (RSBI) Kota Salatiga sebagai sampel. Teknik pengambilan data dilakukan dengan observasi, dan dokumentasi. Jenis data penelitian ini adalah hasil unjuk kerja software CAT-TDT dalam proses estimasi kemampuan peserta tes. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Analisis data butir-butir tes dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu: triangle decision tree method untuk analisis data butir-butir tes hasil kerja software CAT, dan metode maximum likelihood (MLE) untuk analisis estimasi kemampuan siswa berdasar butir-butir tes yang diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) software CAT-TDT yang dikembangkan mampu meningkatkan kejujuran dalam evaluasi pembelajaran di sekolah karena pola respon jawaban ke-35 siswa tidak ada yang sama persis walaupun ada beberapa siswa memiliki skor yang sama; (2) Secara keseluruhan software CAT-TDT mampu meningkatkan kejujuran sebagai salah satu nilai pendidikan karakter bangsa pada evaluasi pembelajaran di sekolah. Kata kunci: Computerized Adaptive Testing, kejujuran, dan evaluasi pembelajaran
1
Penelitian ini didanai oleh Program Penelitian Kompetitif Kolektif Dan Individual DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM DIREKTORAT PENDIDIKAN TINGGI ISLAM KEMENTERIAN AGAMA RI Tahun 2010 dan Program Hibah Pascasarjana Direktorat Tinggi Perguruan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2011 bersama Prof. Djemari Mardapi, Ph. D; Dr. Haryanto, Dr. Samsul Hadi; dan Suprananto, M. Sc. 2
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga
1
PENDAHULUAN Persoalan budaya dan karakter bangsa seperti: korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Alternatif yang dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa (Kementerian Pendidikan Nasional. 2010). Salah satu Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa adalah jujur. Jujur adalah Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Dalam pendidikan karakter jujur selalu menjadi polemik terutama dalam pelaksanaan evaluasi khususnya ujian nasioanl (UN) seperti Di harian Republika (13/3/20100) Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Mohammad Nuh mengatakan, kemungkinan Ujian Nasional (UN) dilakukan secara online dengan memanfaatkan jaringan internet. Namun demikian, pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap. Hal ini akan dilakukan karena masih banyak pengaduan tentang kecurangan dalam pelaksanaan UN tahun 2010. Salah satu upaya konkrit yang bisa dilakukan untuk mengurangi kecurangan dalam pelaksanaan UN adalah komputerisasi pelaksanaan UN Komputerisasi penilaian individu lebih efisien dan akurat daripada penilaian menggunakan kertas dan pensil (pencil and paper test) (Wainer, 1990). Salah satu prototype komputerisasi penilaian individu yang berkembang saat ini adalah Computerized Adaptive Testing (CAT). CAT adalah suatu metode pengujian atau evaluasi dengan menggunakan teknologi informasi yang bersifat adaptif. Adaptif berarti bahwa pemberian soal ujian berikutnya tergantung pada perilaku peserta ujian dalam menjawab soal sebelumnya sehingga ujian yang diberikan untuk setiap peserta dapat bersifat unik berdasarkan tingkat kemampuan masing-masing peserta. Kelebihan-kelebihan yang ditawarkan oleh CAT antara lain: CAT lebih efisien dan akurat dalam mengukur kemampuan peserta tes (Weiss, 2004), CAT tidak memerlukan lembar jawaban karena skor dapat segera diketahui oleh peserta tes begitu
2
tes telah dinyatakan selesai, CAT memungkinkan siswa untuk bekerja dalam langkahnya sendiri karena soal yang diberikan memiliki level kesukaran sesuai dengan kemampuan siswa, tidak terlalu susah ataupun terlalu mudah, dan keamanan ujian dapat ditingkatkan. Dalam Computerized Adaptive Testing (CAT) memerlukan: (1) bank soal, (2) prosedur pemilihan item awal, (3) prosedur pemilihan item selama pelaksanaan tes, (4) metode untuk penskoran tes, (5) prosedur untuk mengakhiri tes, dan (6) estimasi kemampuan peserta tes (Weiss & Schleisman dalam Masters & Keeves, 1999). Dalam CAT, pada Prosedur pemilihan item tes selama pelaksanaan tes, karena item tes yang dijawab oleh peserta ujian (benar atau salah) akan dijadikan untuk memilih item tes berikutnya. Salah satu algoritma terkini dalam prosedur pemilihan item selama pelaksanaan tes adalah menggunakan metode pohon segitiga keputusan (Triangle Decision Tree method/TDT ) yang diberi nama CAT-TDT Tujuan penelitian ini untuk melihat hasil pengujian computerized adaptive testing triangle decision tree (CAT-TDT) dalam meningkatkan kejujuran sebagai nilai pendidikan karakter bangsa pada evaluasi pembelajaran di sekolah berdasar pola respons dan waktu mengerjakan dari peserta ujicoba Secara teoritis, manfaat penelitian ini dìharapkan dapat membantu dalam menemukan solusi untuk meningkatkan kejujuran sebagai nilai pendidikan karakter bangsa pada evaluasi pembelajaran di sekolah. Secara praktis penelitian ini mempunyai manfaat untuk menghasilkan sistem ujian yang lebih efektif dan efisien. Efektif karena sistem ujian tetap menggunakan kisi-kisi soal ujian berdasarkan kurikulum yang berlaku, sedangkan efisien karena lama waktu pengujian akan lebih singkat dengan informasi yang lebih akurat dan dapat dimanfaatkan untuk pengujian hasil belajar dan penilaian pendidikan berbasis komputer pada jenjang pendidikan SMP/MTs kelas VII
METODE PENELITIAN Jenis penelitian dalam disertasi ini menggunakan Research and Development (R&D) pada tahapan implementasi produk pada langkah main field testing yaitu menggunakan produk hasil percobaan di kelas. Sampel sebagai subyek ujicoba adalah 30 siswa kelas VII SMP N 1 Salatiga. Instrumen penelitian menggunakan: (1) observasi, mengenai: kebenaran, ketepatan, fungsionalitas, dan kemampuan produk dalam menguji kemampuan siswa, (2) dokumentasi, mengenai: data nilai prestasi
3
belajar siswa. Aspek-aspek dalam instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah aspek performasi penggunaan, performansi tampilan, relevansi materi test, dan kemanfaatan dengan lima pilihan yaitu: sangat jelek, jelek, biasa, bagus, sangat bagus. Langkah kerja CAT-TDT seperti gambar berikut
4
Teknik analisis data yang digunakan adalah Teknik analisis deskriptif kuantitatif. Teknik ini dilakukan untuk mengetahui hasil kemampuan CAT-TDT dalam meningkatkan kejujuran sebagai nilai pendidikan karakter bangsa pada evaluasi pembelajaran di sekolah berdasar hasil respons subyek ujicoba
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil pola respons dari 30 siswa ujicoba: Siswa ke-1 (θ=-0,5)
Siswa ke-2 (θ= 0,5)
5
Siswa ke-3 (θ= 0,5)
Siswa ke-4 (θ= -1,5)
Siswa ke-5 (θ= 0,5)
Siswa ke-6 (θ= -1,5)
Siswa ke-7 (θ= 0,5)
Siswa ke-8 (θ= -1,0)
Siswa ke-9 (θ= -1,0)
6
Siswa ke-10 (θ= -2,5)
Siswa ke-11 (θ= -1)
Siswa ke-12 (θ= -1)
Siswa ke-13 (θ= -1)
Siswa ke-14 (θ= 0,5)
Siswa ke-15 (θ= -1)
7
Siswa ke-16 (θ= 0,5)
Siswa ke-17 (θ= -0,5)
Siswa ke-18 (θ= -1,0)
Siswa ke-19 (θ= -1,5)
Siswa ke-20 (θ= -1)
Siswa ke-21 (θ= -0,5)
8
Siswa ke-22 (θ= -1,5)
Siswa ke-23 (θ= -1,5)
Siswa ke-24 (θ= -1,5)
Siswa ke-25 (θ= 0,2)
Siswa ke-26 (θ= 0,0)
Siswa ke-27 (θ= -0,5)
9
Siswa ke-28 (θ= 0,0)
Siswa ke-29 (θ= -0,5)
Siswa ke-30 (θ= -1,0)
B. Pembahasan Salah satu sistem kerja CAT bahwa komputer akan menampilkan soal hanya sekali sehingga peserta tes tidak bisa melihat lagi soal yang telah dikerjakan sebelumnya sehingga faktor menanyakan jawaban kepada peserta lain sangat kecil. Jika seorang peserta menanyakan peserta lain tentu rekaman waktu akan, tetapi hasil pola respons ke30 peserta tes tidak ada yang memiliki waktu mengerjakan yang sama persis. Dari hasil penelitian di atas menunjukkan setiap siswa akan memperoleh soal yang berbeda dari ID soalnya. Artinya soal akan ditampilkan oleh CAT-TDT sesuai dengan kemampuannya butir tes yang diberikan kepada setiap siswa berbeda-beda sesuai dengan tingkat kemampuannya. Banyak butir tes yang diberikan kepada siswa sesuai dengan tingkat kemampuannya. Siswa dengan kemampuan tinggi memperoleh butir soal dengan tingkat kesukaran tinggi. Siswa dengan kemampuan sedang memperoleh butir soal dengan tingkat kesukaran sedang. Siswa dengan kemampuan rendah memperoleh butir soal dengan tingkat kesukaran rendah
10
SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Software CAT-TDT yang dikembangkan mampu meningkatkan kejujuran dalam evaluasi pembelajaran di sekolah dilihat dari pola respon jawaban ke-30 siswa yang tidak ada jawaban yang sama persis. Estimasi kemampuan peserta tes menggunakan metode maximum likelihood (MLE) menghasilkan kemampuan yang berbeda walau jumlah soal yang dikerjakan sama karena pola respons yang berbeda. Secara keseluruhan software CAT-TDT mampu meningkatkan kejujuran sebagai salah satu nilai pendidikan karakter bangsa pada evaluasi pembelajaran di sekolah B. Rekomendasi Rekomendasi dari penelitian ini adalah: 1. Perlu dilakukan penggunaan CAT-TDT untuk evaluasi pembelajaran di sekolah untuk meningkatkan kejujuran sebagai salah satu nilai pendidikan karakter bangsa 2. CAT-TDT perlu diujikan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) guna meminimasi kecurangan (kecurangan dalam UN selalu menjadi polemik). Apabila sekolah belum memiliki sarana yang memadai bisa dilakukan (menginduk) di sekolahsekolah yang punya saran yang memadai terdekat. Terutama bagi sekolah-sekolah yang disinyalir telah melakukan beberapa kali kecurangan dalam pelaksanaan UN.
DAFTAR PUSTAKA Aiken, L.R. (1994). Psychological testing and assessment ( 8th ed.). Boston: Allyn and Bacon. Allendoerfer, O. (1969). Principles of mathematics. Auckland, NY: MacGraw-Hill Book Company. Djemari Mardapi. (2008). Teknik penyusunan instrumen tes dan nontes. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press. Flaugher, R. (2000). Item pool. Dalam Wainer, H. (Ed), Computerized adaptive testing: A Primer ( 2 nd ed.). p. 37-59. Mahwah, NH: Lawrence Erlbaum Associates. Hambleton, R.K. & Swaminathan, H. & Rogers, H.J. (1991). Fundamental of item response theory. Newbury Park, CA: Sage Publication Inc.
11
Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum Masters, N.G. & Keeves, P.J. (1999). Advances in measurement in educational research and assesment. New York: Pergamon Press. Nitko, A.J. (1996). Educational assessment of students. ( 2 nd ed). Ohio: Merrill an imprint of Prentice Hall Englewood Cliffs. Phankokkruad, M. & Woraratpanya, K. (2008). An automated decision system for computer adaptive testing using genetic algorithms. Ninth ACIS International Conference on Engineering, Artificial Intellegence, Networking, and Parallel Rolston, D.W. (1988). Principles of artificial intelligence and expert systems development. Singapore: McGraw Hill Book, Co. Van der Linden, W.J., & Glas, C.A. (2003). Computerized adaptive testing theory and practice. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers Wainer, H. (1990). Computerized adaptive testing : A primer. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
12
Penerapan Jurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga untuk Meningkatkan Kesadaran Metakognitif dan Hasil Belajar dalam Pembelajaran Pencemaran Lingkungan Siswa Kelas VII SMP Muhammaiyah 6 Dau Malang
Oleh Yuni Pantiwati dan Wahyu Puji Lestari Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Malang
[email protected]
Mei Tahun 2012 Abstrak
Penerapan Jurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga untuk Meningkatkan Kesadaran Metakognitif dan Hasil Belajar dalam Pembelajaran Pencemaran Lingkungan Siswa Kelas VII SMP Muhammaiyah 6 Dau Malang Oleh Yuni Pantiwati dan Wahyu Puji Lestari Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Malang
[email protected]
.Tujuan penelitian penelitian ini adalah untuk menerapkanJurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga dalam upaya: 1) meningkatkan kesaadaran metakognitif; 2) meningkatkan hasil belajar; 3) meningkatkan keterampilan kerjasama dalam pembelajaran Pencemaran Lingkungan. Jenis penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) terdiri dari 2 siklus masing-maing siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Subyek penelitian yaitu siswa SMPM kelas VII. Jurnal belajar meliputi temuan materi, pertanyaan dalam benak siswa, masalah, solusi, dan harapan terkait masalah pembelajaran. Metode Game Ular Tangga berupa papan permainan yang berisi materi pembelajaran. Instrumen Kesadaran Metakognitif dan keterampilaan kerjasaama diukur menggunakan rating scale dengan metode observasi, sedang hasil belajar dengan tes tertulis. Hasil analisis melalui kegiatan klasifikasi data, penyajian data dan penilaian keberhasilan tindakan diperoleh yaitu 1) peningkatan kesadaran metakognitif pada siklus I sebesar 45% (cukup), siklus II 69% (baik); 2) peningkataan keterampilan kerjasamapada siklus I 56% (cukup) dan siklus II 72% (baik), 3) peningkata hasil belajar pada siklus I 58% (cukup), siklus II 76% (baik); 4) Keberhasilan tindakan pada siklus I 35% (kurang) dan siklus II 67% (baik). 5) kemajuan kecakapan sosial ini meliputi keterampilan bkomunikasi, bekerjasama, dan sikap. Peningkatan yang paling banyak terjadi pada keterampilan berkomunikasi (37%), bekerjasama (19%), sikap (7%).
A. PENDAHULUAN Berdasarkan hasil analisis data terhadap hasil belajar siswa kelasVII SMP Muhammadiyah 08 Dau Malang diperoleh gambaran bahwa secara umum hasil belajar secara klasikal masih rendah yaitu < 65% dan belum memenuhi Kriteria ketuntasan Minimal (KKM) 65. Kecakapan sosial (social skill) siswa juga rendah, hal ini ditunjukkan dengan rendahnya kemampuan dalam kecakapan berkomunikasi, keterampilan bekerjasama, dan sikap saat belajar. Hasil penelitian Pantiwati (2010) menunjukkan bahwa asesmen autentik dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Asessmen merupakan suatu proses pengumpulan informasi tentang apa yang diketahui dan apa yang dapat dikerjakan siswa (Hart,1994). Oleh karena itu hasil belajar siswa kelas VII di SMP Muhammadiyah ini diharapkan dapat meningkat dengan penggunaan asesmen yang sesuai. Jurnal belajar merupakan salah satu jenis asesmen autentik sebagai asesmen alternatif. Jurnal belajar adalah wadah yang memuat hasil refleksi dalam bidang pembelajaran yang diperuntukkan bagi peserta didik. Jurnal belajar diterjemahkan dari learning journal yakni merupakan dokumen yang secara terusmenerus bertambah dan berkembang. Peserta didik dapat mengenal dirinya yaitu kelemahan, kelebihan, apa yang telah dilkuakn dan apa yang seharusnya dilakukan, termasuk kemajuan yang telah didapatkan atau dilakukan. Dengan
demikian
melalui jurnal
belajar
sekaligus
sebagai strategi
metakognitif diharapkan dapat meningkatkan kesadaran metakognitif peserta didik, yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Guru diharapkan memanfaatkan jurnal belajar peserta didik sebagai informasi berharga untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik dan memahami situasi pembelajaran. Metode game ular tangga memberi kemudahan siswa dalam belajar karena penyampaian materi lebih interaktif dan melalui bermain dapat memberi susana belajar lebih santai namun tetap serius. Suasana belajar yang menyenangkan membuat siswa tetap termotivasi dalam belajar sehingga dapat diaminkan untuk semua mata pelajaran dan semua jenjang pendidikan mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Metode game ular tangga belum banyak digunakan meskipun merupakan metode permainan yang menyenangkan. Guru umumnya belum terbiasa menggunakan metode ini, oleh karena itu metode perlu diperkenalkan dan dikembangkan di sekolah.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang perlu dikaji dalampenelitian ini adalah: 1. Begaimanakah penerapan Jurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga
sebagai
metakogitif,
dan
upaya
meningkatkan
keterampilan
sosial
hasil siswa
belajar, dalam
kesadaran
pembelajaran
Pencemaran Lingkungan? 2. Berapakah besar peningkatan hasil belajar siswa setelah diterapkan Jurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga dalam pembelajaran Pencemaran Lingkungan? 3. Berapakah besar peningkatan kesadaran metakognitif siswa setelah diterapkan Jurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga dalam pembelajaran Pencemaran Lingkungan? 4. Begaimanakah kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan sikap siswa setelah diterapkan Jurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga dalam pembelajaran Pencemaran Lingkungan?
C. TUJUAN PENELITIAN Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini yaitu: 1. Menerapkan Jurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga sebagai upaya meningkatkan hasil belajar, kesadaran metakogitif, dan keterampilan sosial siswa dalam pembelajaran Pencemaran Lingkungan. 2. Meningkatkan hasil belajar siswa setelah diterapkan Jurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga dalam pembelajaran Pencemaran Lingkungan 3. Meningkatkan kesadaran metakognitif siswa setelah diterapkan Jurnal Belajar dalam
Metode
Game
Ular
Tangga
dalam
pembelajaran
Pencemaran
Lingkungan 4. Kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan sikap siswa setelah diterapkan Jurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga dalam pembelajaran Pencemaran Lingkungan menjadi lebih baik
D. HIPOTESIS TINDAKAN Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, pemecahan masalah dantujuan penelitian yang dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis tindakanseperti berikut: 1. Jurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga dapat diterapkan sebagai upaya meningkatkan hasil belajar, kesadaran metakogitif, dan keterampilan sosial siswa dalam pembelajaran Pencemaran Lingkungan. 2. Melalui penerapan Jurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga dalam pembelajaran Pencemaran Lingkungan dapat meningkatkan hasil belajar 3. Melalui penerapan Jurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga dalam pembelajaran
Pencemaran
Lingkungan
dapat
meningkatkan
kesadaran
metakognitif 4. Melalui penerapan Jurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga dalam pembelajaran Pencemaran Lingkungan siswa dapat meningkatkan Kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan sikap siswa
E. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran IPA di SMP Biologi sehinggamanfaat penelitian ini yaitu: 1. Bagi guru untuk mengembangkan strategi pembelajaran berbasis asesmen pembelajaran IPA sehinggameningkatkan mutu pembelajaran. 2. Bagi siswa meningkatkan motivasi, aktivitas, dan kesadaran menulis agar lebih memhami kemajuan belajarnya 3. Bagi lembaga terkait meningkatkan komponen pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran
F.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)yang
mengikuti prosedur penelitian berdasarkan prinsip Kemmis dan MC. Taggart (1990), jalur siklus spiral terdiri dari perencanaan (planning), tindakan (action), observasi (observation), dan refleksi (reflection). Penelitian ini dilaksanakan sebanyak dua siklus kegiatanbelajar mengajar yang berlangsung.
Lokasi penelitian di SMP Muhammadiyah 08 Dau Malang Jl Margobasuki No 48 Jetis Mulyoagung Dau Malang Telp (0341) 46092. Pelaksanaan penelitian pada semester genap (II) tahun ajaran 2010/2011. Subyek penelitian adalah siswa SMP Muhammaduyah 08 Dau Malang Malang kelas VII. Jumlah siswa di kelas adalah 15 siswa laki-laki dan 12 siswa perempuan. Pengambilan data dilakukan melalui tes tulis, observasi, dokumentasi, dan wawancara. Adapun data selama 2 siklus pembelajaran yaitu: 1) keberlangsunagn pembelajaran dengan metode game ular tanggadan penggunaan Jurnal belajar dikumpulkan melalui observasi; 2) hasil belajar beupa hasil tes tulis ranah kognitif; 3) kesadaran metakognitif berupa data hasil observasi yang diukur dengan rating scale; 4) keterampilan sosial diambil datanya melalui pengamatan terhadap kemampuan berkomunilasi, bekerjasama, dan sikap selama kegiatan pembelajaraan. Analisis data meliputi kegiatan klasifikasi data, penyajian data dan penilaiankeberhasilan tindakan.Data penerapan pembelajaran metode game ular tangga dan penggunaan Jurnal Belajar dianalisis secara deskriptif yaitu dengan tahapan 1) reduksi data, 2) paparan data, dan 3) penyimpulan. Data hasil belajar diperoleh dengan mengubah skor menjadi nilai, selanjutnya nilai dibandingkan dengan KKM. Sedang pengubahan skor dengan menggunakan rumus:
Nilai tes = Skore mentahx 100% Skore maksimum . Data kesadaran metakognitif dinilai menggunakan rating scale sebagai berikut: Tabel 0.1 Penentuan Skor Kesadaraan Metakognitif Skor
Persentase Indikator
0 Not yet 1 at risk
0 1 – 9%
2 can not 10 – 39% treally 3 developing 40 – 59% 4 OKE
60 – 79%
5 super
80 – 100%
Not yet exposed to metacognition Appears to have no awareness of thinking as a process. Incapable of separating what he or she thinks from how he or she thinks. Can be helped to awareness of own thinking if encouraged and supported Is aware of own thinking and can distinguish input elaboration and output phases of own thought. Sometimes uses this model to manage own thinking and learning. Uses metacognitive awareness regularly to manage
own thinking and learning. Aware of a wide range of thinking possibilities, able to use them fluently and to reflect on this process. Tabel 0.2 Kriteria penilaiankecakapan sosial yaitu: Aspek Komunikasi
Skor 3
3
Berani menyampaikan pendapat , singkat, jelas, dan mudah dipahami Tidak Berani menyampaikan pendapat, tetapi mudah dipahami Ragu-ragu menyampaikan pendapat dan sulit dipahami Berdiskusi aktif
2
Kurang aktif dalam berdiskusi
1
Hanya menerima dan menjalankan keputusan
3
Perhatian dan serius ketika perminan berlangsung
2
Kurang perhatian dalam permainan
1
Tidak terlibat dalam permainan
2 1 Kerjasama
Sikap
Indikator
Selanjutnya untuk menentukan keberhasilan tindakan dengan menggunakan kritria berikut ini
Tabel 0.3 Penentuan Keberhasilan Tindakan Persentase keberhasilan 80 – 100%
Taraf keberhasilan Sangat baik
Nilai dengan huruf A
Nilai dengan angka 5
60 – 9%
Baik
B
4
40 – 59%
Cukup
C
3
10 – 39%
Kurang
D
2
0 – 9%
Sangat kurang
E
1
G. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian telah dilakukan dalam dua siklus data yang terkumpul yaitu a) penerapan pembelajaran menggunakan metode game ular tangga; b) hasil belajar
siswa; c) kemampuan metakognitif siswa, dan d) kecakapan sosial. Berikut diuraikan hasil penelitian secara keseluruhan. Penerapan Pembelajaran Jurnal Belajar dalamMetode Game Ular Tangga, tahapan pembelajarannya yaitu 1) inisiasi atau pendahuluan;2) penetapan kompetensi; 3) penjelasan indikator; 4) pembelajaran konsep melalui bermain game ular tangga; 5) menjawab pertanyaan yanag tertera pada papan ular tangga; 6) mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari, dan6) penarikan kesimpulan oleh siswa. Jurnal belajar diterapkan pada setiap pertemuan, yaitu dengan cara siswa diminta mengisi form yang telah disiapkan yang berisi tentang: 1) apa materi yang dipelajari; 2) apa materi/konsep yang paham dan belum paham; 3) apa yang dilakukan jika sudah/belum paham; 4) apa yang dirsakan setelah melakukan tindakan ini; 5) apa harapan terhadap pembelajaraan ini; 6) apa yang dilakukaan setelah mempelajari materi ini, dan 7) siswa juga diminta menuliskan kesan, pesan atau apa pun yaang dirasakan terkait pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan belum semua siswa mau menulis dengan lengkap oleh karena itu perlu didorong untuk menyadarkan siswa bahwa dengan menulis akan membantu kesulitan belajar dan memberi jalan keluar meningkatkan hasil belajar. Hasil tulisan siswa banyak memberikan informasi kesulitan, kelebihan, dan upaya yang dilakukan siswa, serta rasa kecewa terhadap kelas yang tidak kondusif. Hasil belajar diperoleh melalui tes tulis dengan ranah kognitif dan aspek C1 – C6 dilakukan pada
27 dengan
keberhasilan ketuntansan belajar pada siklus 1
sebesar 63% sedang siklus II 85%. Penggunaan Jurnal Belajar merupakan upaya membangun budaya, kebiasaan menulis untuk mengembangkanilmu secara terus menerus dalam bidang pembelajaran. Kebiasaan menulis sangat baik diterapkan karena
jika peserta didik merekamtentang apa yang diajarkan dan bagaimana
materi itu diajarkan, ini sangat mendukung siswa untuk mengingat materi. Jurnal belajar dapat menelusuri apa yang telah dipelajari sehingga kemajuan siswa dapat terdeteksi, hal ini dapat meningkatkan motivasi dan secara tidak langsung hasil belajar juga meningkat. Dalam menulis jurnal mendapatkan informasi dalam diri kita sendiri dan itu adalah sarana untuk menemukan siapa kita, bahwa kita ada, bahwa kita berubah dan berkembang. Jurnal telah digunakan selama ratusan tahun untuk mengeksprsikan diri dan untuk mengeksplorasi pengetahuan baru ( Wolf, 1989). Peningkatan kesadaran metakognitif pada siklus I sebesar 45% (cukup) siklus II 69% (baik). Landine dan Stewart (1998) menyampaikan bahwa kesadaran metakognisi mempunyai hubungan langsung positif yang signifikan dengan pencapaian akademik siswa. Kajian ini menunjukkan hubungan langsung antara kesadaran metakognisi dengan motivasi dan pencapaian akademik; dan hubungan tidak langsung antara motivasi dengan pencapaian akademik. Demikian juga dengan pendapat Lee (1997) bahwa ada hubungan tidak langsung antara motivasi dengan pencapaian akademik, sehingga metakognisi merupakan penyumbang yang penting
dalam
pencapaian
akademik.Motivasi
dan
kesadaran
metakognisi
membantu siswa meningkatkan hasil belajarnya, kesadaran metakognisi dapat memprediksi pencapaian hasil belajarnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan Jurnal Belajar dapat memotivasi belajar karena siswa mengetahui perkembangan dirinya dengan demikian meningkatkan kesadaran metakognitifnya yang pada akhirnya meningkatkan hasil belajar akademiknya. Peningkataan kecakapan sosial yaitu pada siklus I 56% (cukup) dan siklus II 72% (baik), keberhasilan tindakan pada siklus I 35% (kurang) dan siklus II 67% (baik).Kemajuan
kecakapan
sosial
ini
meliputi
keterampilan
bkomunikasi,
bekerjasama, dan sikap. Peningkatan yang paling banyak terjadi pada keterampilan berkomunikasi (37%), bekerjasama (19%), sikap (7%). Penerapan game ular tangga dengan berorientasi masalah kehidupan sehari-hari dan siswa bekerjasama dalam kelompok untuk mencari dan memecahkan masalah tersebut (Nurfitria, 2006), sehingga kecakapan sosial saiswa dapat lebih ditingkatkan karena siswa diarahkan untuk mampu bekerjasama dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Arends (1997) yang menyatakan bahwa bekerjasama memberikan siswa motivasi secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi. Jurnal belajar merupakan salah saatu jenis asesmen autentik, agar pembelajaran berlangsung autentik harus selalu mengkaitkan materi dan tugas siswa dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dilakukan agar sejalan dengan tujuan asesmen autentik, dengan tetap memperhatikan prinsipprinsip asesmen. Inovasi dalam pendidikan akan tercapai bila prinsip-prinsip dalam pembelajaran tetap diterapkan dengan baik. Salah satu prinsip asesmen adalah assessment is instruction yaitu Assessment and teaching can be one and the same, melalui kelas autentik berbasis asesment, guru, siswa, dan yang lainnya dapat melihat pembelajaran riil dan perkembangan yang terjadi (Stiggins, 1994) Asesmen yang baik, dalam hal ini asesmen autentik dapat meningkatkan pengajaran, dan dengan pengajaran yang baik dapat meningkatkan prestasi siswa. Menurut Marzano (1993), asesmen berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap belajar, secara langsung asesmen memberikan feedback untuk belajar secara efektif, sedang pengaruh tidak langsungnya adalah pengajaran umumnya cenderung pada apa yang diajarkan dan mempengaruhi apa yang dipelajari.
Sejalan dengan pendapat di atas, maka asesmen merupakan bagian dari pembelajaran yang tidak terpisahkan, sebagaimana dikemukakan Gronlund (1998) bahwa hubungan antara pembelajaran dengan asesmen seperti diuraikan berikut: 1) Pembelajaran menjadi efektif apabila langsung ke arah penyelesaian hasil belajar dengan memberi tanda, metode dan bahan pembelajaran selaras dengan karakteristik dan kebutuhan siswa, pembelajaran dirancang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan siswa, pembelajaran diputuskan didasarkan pada informasi yang berarti, saling berkait dan relevan, kemajuan belajar siswa diinformasikan secara periodik, remidi sebagai tindakan bagi siswa yang belum berhasil dalam belajar, pembelajaran efektif adalah secara periodik mengulang, dan pada waktu yang akan datang hasil belajar dan pengajaran dimodifikasi sesuai dengan yang dibutuhkan; 2) penilaian menjadi efektif ketika dirancang dengan jelas untuk menandai hasil belajar yang berlangsung pada waktu tertentu, pembawaan dan fungsi penilaian selaras dengan hasil yang dinilai, penilaian dirancang sesuai dengan karakteristik siswa yang relevan dan terbuka untuk setiap orang, penilaian untuk melengkapi informasi yang berarti, berhubungan dan relevan, serta perlengkapan dibuat untuk memberi siswa umpan balik lebih awal hasil penilaian. Dengan demikian asesmen autentik harus dipahami dan dilakukan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran. H. Penutup dan Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan yaitu: 1. Penerapan Pembelajaran Jurnal Belajar dalam Metode Game Ular Tangga, tahapan pembelajarannya yaitu 1) inisiasi atau pendahuluan; 2) penetapan kompetensi; 3) penjelasan indikator; 4) pembelajaran konsep melalui bermain game ular tangga; 5) menjawab pertanyaan yanag tertera pada papan ular
tangga; 6) mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari, dan 6) penarikan kesimpulan oleh siswa. 2. peningkatan kesadaran metakognitif pada siklus I sebesar 45% (cukup), siklus II 69% (baik); 2) peningkataan keterampilan kerjasamapada siklus I 56% (cukup) dan siklus II 72% (baik), 3) peningkatan hasil belajar pada siklus I 58% (cukup), siklus II 76% (baik); 4) Keberhasilan tindakan pada siklus I 35% (kurang) dan siklus II 67% (baik). Kemajuan kecakapan sosial ini meliputi keterampilan bkomunikasi, bekerjasama, dan sikap. Peningkatan yang paling banyak terjadi pada keterampilan berkomunikasi (37%), bekerjasama (19%), sikap (7%). Daftar Pustaka Grounlund, N.E. 1985. Measurement and Evaluation in teaching. New York: Macmillan Publishing Co.,Inc Hart, Diane. 1994. Authentic Assessment A handbook for Educators. California, New York: Addison Wesley Publishing Company Hibbard, Michael, 1995. Performance Assessment in the Science Classroom, New York: The McGraw-Hill Companies. Howard, J. 2004. Metacognitive Inquiry.School of Education. Elon University Lee, A. 1997.Transfer as a Measure of Intelectual Fuctioning. Unpublished Manuscript, USA. Linn, Robert L. and Norman E Grounlund. 1995. Measurement and Assessment in Teaching.Englewood Cliffs, New jersey: Prentice-Hall, Inc Livingston, J., (1997). Metacognition: an Overview. Retrieved Sept. 23, 2005 from http://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/Metacog.htm Schraw, G. (1998). Promoting general metacognitive awareness. InstructionalScience. 26, 113-125 Schraw, G., and Dennison, R.S Oktober 1994. Assessing Metacognitive Awareness. Contemporary Educational Psycology 19, no. 4:460-475 Wolf, M (1989) 'Journal writing: a means to an end in educating students to work with
older adults', Gerontology and Geriatrics Education, 10, pp53 ‐ 62