1
KEMBANG MAWAR N. RIANTIARNO (SEORANG PRIA, MASIH MUDA, DUDUK DI KAMARNYA. ADA KURSI DAN SEBUAH CERMIN, DIPAJANG DI DINDING KAMAR)
Kamu tak akan pernah tahu, aku sungguh mencintainya. Sangat mencintai dia. Biasanya aku diam. Tak pernah bicara kepada siapa pun. Bahkan kepada orang yang paling dekat. Aku anak tunggal. Kepada ibuku pun aku tak pernah bicara soal cinta. Juga kepada ayah. Sejak kecil aku mempelajari apa saja. Ketika umurku tiga tahun, aku hafal nama semua binatang. Juga nama planet-planet di angkasa-raya. Ayahku memberikan mata pelajaran itu kepadaku. Lewat buku-buku atau dia bercerita. Soal cinta? Aku diam saja. Tapi kalau kutanya kepada lelaki yang lebih tua, dia pasti akan tertawa dan bilang: “Kenapa tidak langsung kamu katakan kepadanya? Lebih cepat lebih baik. Kamu mencintainya. Baru sesudah itu, kalau dia juga mencintaimu, percintaan akan berjalan. Lama percintaan bisa bertahun-tahun atau pendek saja. Lalu, kamu boleh bilang, nanti kamu melamar dia. Dan kalau keluarga setuju, kalian kawin, punya anak. Beres ‘kan? Begitu biasanya perjalanan cinta kami.” Aku kuliah, kemudian lulus. Aku harus menjadi doktor dan bekerja. Sejak sekolah, bahkan ketika masih kuliah, aku tak tahu harus omong apa kepada perempuan. Benar, perempuan seperti api. Di SMP, aku sangat takut mendekati perempuan. Mereka sangat kuhormati, dan kutakuti. Dekat dengan mereka, rasanya seperti mendekati api. Yang menyala-nyala. Aku takut terbakar. Maka, aku selalu berjauhan. Itu, mungkin karena aku sangat menghormati ibuku. Bagiku, Ibu adalah orang suci. Jadi, aku hanya mampu memandangi perempuan dari jauh. Aduh, sekarang ada perempuan yang hampir semua tingkahnya seperti ibuku. Cara dia berjalan, caranya duduk, cara bicaranya. Tindakan tangannya kalau dia bicara dengan orang lain dan kalau dia berjalan, aduh, persis ibuku. Aku melihat dia dari jauh. Dialah, ibuku. Dia duduk di kursi paling depan, sehingga apa pun yang dia lakukan, aku tahu. Hanya kepada dia aku jatuh cinta. Tapi, ya sudah. Begitu saja. Aku mencintai dia hanya dari kejauhan. Mendekatinya, tak mungkin. Aku tak bisa omong dengan dia. Aku selalu gemeteran. Sudah. Begitu saja. Sampai aku lulus. Di SMA, ada dua perempuan yang juga aku cintai. Yang pertama, juga seperti ibuku. Sekarang jauh lebih persis. Caranya bicara, cara berjalan. Permainan tangannya kalau bicara, cara dia duduk. Aduh, gila. Di SMA, ada lagi yang persis ibuku! Bagaimana bisa, ada ibuku, di sini? Perempuan yang kedua, tingkahnya berbeda. Kalau dia berjalan sangat cepat, seolah melompat-lompat. Dia sangat agresif. Pernah dia omong kepadaku. Aku hanya bilang “ya’, “tidak”, atau “tidak tahu”. Aku jarang omong dengan dia. Kalau dia bertanya, atau ingin bicara, jawabanku pasti pendek-pendek saja. Ya, mau apa lagi? Mungkin dia menganggap aku aneh.
2
Kepada mereka itu, kadang aku omong, kadang tidak. Sampai aku lulus. Tapi aku selalu tahu apa saja yang mereka lakukan di sekolah. Aku memandangi kedua perempuan itu, hanya dari kejauhan. Mereka selalu ada di hatiku, sampai sekarang. Aku pernah menulis nama mereka di pintu rumahku. Kuukir dengan pisau, sambil kubayangkan wujudnya. Aku hafal seluruh tubuh mereka. Yang di SMP, bernama Hastiti. Dan yang di SMA bernama Rukiatun dan Cormiatari. Sampai sekarang nama itu masih ada. Tidak pernah kuhapus. Ah, aku mencintainya, tapi, bahkan bicara kepada mereka pun tidak pernah. Itulah aku. Aneh? Ya, barangkali. Ketika kuliah, ada satu perempuan yang kucintai. Namanya, begitu tahu aku mencintai dia, langsung kuukir di pintu. Dia bernama Ratna Rimastaya. Sampai aku lulus, aku masih mencintai dia. Aku selalu menatapnya penuh cinta. Ketika lulus, aku kehilangan dia. Hanya kepada dia aku jatuh cinta. Wanita ini sangat berbeda dengan ibuku. Cara dia bicara sangat lembut. Tangannya hanya bergerak kalau ada kata-kata yang ingin dia tekan. Caranya berjalan juga lembut. Kepada siapa saja dia akan bicara dengan kelembutan hati yang luar biasa. Dialah idamanku. Begitu lulus, aku tak tahu bagaimana caranya menemui dia. Setiap kali, tidak, setiap hari, ya, setiap hari aku selalu melewati rumahnya. Dengan motor. Aku berhenti di depan rumahnya, hanya untuk memandangi rumahnya, pintu rumahnya, jendelanya, gentengnya. Di mana dia hari itu? Aku tak tahu. Kalau dia muncul, mungkin aku akan kabur. Aku tak ingin dia tahu aku berhenti di depan rumahnya, menunggui dia. Cintaku besar. Tak ada yang lain. Tapi bagaimana caraku bicara dengan dia? Ketika masih kuliah, mungkin, aku bisa saja mendekatinya. Mungkin dia akan mengajak aku mengobrol. Bicara hal yang sangat berguna ataupun yang sangat tidak berguna. Bicara mata pelajaran atau bicara apa saja. Bicara tentang bioskop, koran, majalah, bahasa, tontonan, politik, gosip atau apa saja. Pasti cara dia bicara sangat asyik. Mengajak dia kencan? Itu yang harus kulakukan. Tapi bagaimana? Aku sering melihat, dia selalu bicara sangat asyik, dengan siapa pun. Aku harus bicara dengan dia? Harus berani. Lalu, kalau dia suka, kemudian bercinta? Tapi aku tak tahu bagaimana caranya omong dengan dia. Dia selalu kupandangi, dari jauh. Setiap kali mendekat, rasanya aku mendapatkan angin sejuk yang membikin bulu romaku berdiri semua. Aku kesetanan. Dengan dia. Inikah cinta? Inikah bola asmara yang menggedor sukma dan jiwa? Rasanya aku selalu ingin memeluknya, memilikinya. Dia, dirinya, seluruhnya, hanya untuk aku saja. Setiap kuliah, hanya dia yang ingin kulihat. Aku duduk di kursi nomor dua dari depan. Di duduk di kursi ujung paling depan, dekat jendela. Aku tahu apa yang dia lakukan. Pernah, pada suatu hari, dia tidak masuk. Ah, bagiku, itu hari yang paling buruk. Tempat duduknya kosong. Aku tak tahu harus bikin apa. Tapi semua mata pelajaran harus kuikuti. Aku sama sekali tidak punya minat belajar. Aku ingin kuliah lekas selesai. Aku ingin menuju ke rumahnya. Selesai kuliah, motor kujalankan, dan aku berhenti di depan rumahnya. Beberapa jam aku memandang, seakan dia ada di depan rumah. Kemudian, dengan berat hati pulang. Di rumah, aku sangat gelisah.
3
Ketika dia masuk, dua hari kemudian, dia bilang, sakit. O, sakit. Aku ada di dekat dia, tapi omong kepadanya pun tak bisa. Aku tak tahu dia sakit. Seharusnya dia bilang kepadaku. Tapi mana mungkin? Bicara pun kami belum pernah. Katanya lagi, dia bilang begitu, setiap kali datang bulan, dia selalu merasa sakit. Maksudku, perutnya yang sakit. Entah kenapa begitu. Dia harus berbaring, tidur, istirahat satu atau dua hari, sampai perutnya merasa agak baikkan. Itu penyakitnya. Yah, dia omong begitu, kepada temannya yang perempuan. Bukan kepadaku. “Kenapa tidak ke dokter?” Itu pertanyaan dariku, kuucapkan dalam hati, tapi wajahku mengarah kepadanya. Ternyata, temannya juga menanyakan hal yang sama, “Kenapa tidak ke dokter?” Dia diam, menatap ke temannya dan bilang perlahan, “Takut.” Temannya bilang lagi, “Seharusnya ke dokter.” Dia hanya diam, menggangguk-angguk saja. “ Ya, memang harus ke dokter.” Aku ingin mengantar dia ke dokter. Aku selalu ingin ada di dekatnya. Mengantarnya ke mana pun. Ketika masih kuliah, ada seorang pemuda yang sering mendekatinya. Kadang dia bicara apa saja, yang penting dekat dengannya. Aku? Tentu saja cemburu. Mau apa dia? Mencintainya? Kurang ajar. Dia bisa mendekati, kenapa aku tidak? Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya mendekati dia. Kalau si lelaki itu mendekat, kadang dia bertanya tentang mata pelajaran, kadang bicara soal bioskop atau apa saja yang dia lihat kemarin siang atau tadi malam. Mungkin, dia akan tanya, “Apa kamu lihat tontonan di Taman Ismail Marzuki? Ada sandiwara bagus di sana.” Atau pertanyaan lain, “Kemarin ada konser di Gedung Kesenian Jakarta. Luar biasa.” Atau, kalimat, “Ah, kali ini Leonardo d’Caprio menang Oscar.” Apa Ratna menanggapi? Aku bisa tanya apa saja kepadanya. Mata pelajaran, misalnya. Semua mata pelajaran, aku sangat menguasai. Dia bisa bertanya kepadaku, kalau perlu. Setiap kali ujian, aku selalu mendapat nilai A. Jarang aku memperoleh B, apalagi C. Tapi kenapa dia tidak melihat itu sebagai sebuah kelebihan? Itu kelebihanku. Tapi kalau si pemuda itu bertanya, Ratna akan menjawab dengan kalimat yang pendek. Mungkin, pemuda itu tidak dia sukai. Maksudku, tidak dicintai. Ini membuat aku sangat bersukur. Pertanyaan pemuda itu, pasti dia jawab pendek-pendek, dengan sangat sopan. Pemuda yang tidak tahu diri. Namanya Anwar. Mundurlah kau. Beberapa kali Anwar mendekat, tapi jawaban Ratna selalu pendek-pendek. Akhirnya, Anwar ogah mendekati Ratna. Tapi, ada juga pemuda kedua, namanya Sanusi. Kalau pertemuan terjadi, Ratna sering bicara panjang lebar. Mereka intim. Apa pun perkataan Ratna, sangat menarik hati, meski aku tak tahu mereka bicara apa. Caranya bicara, aduh, sangat luar biasa. Bibirnya, lekukan matanya, dekik kecil di pipinya kalau sedang bicara, senyumnya, cara tangannya digerakkan. Oo, apakah Ratna mencintai dia? Ini sungguh sangat celaka. Mungkin masalah yang hendak dibahas memang menarik, atau cara Sanusi membahas sangat simpatik? O, Sanusi, dia ganteng. Dan Ratna, selalu bicara dengan senyum. Ini yang sungguh aku tidak suka. Bagiku, dia Ratna yang kuimpikan. Ratna di hatiku. O, janganlah mencintai Sanusi. Aku sangat cemburu.
4
Lima bulan sebelum lulus, seluruh fakultas pergi ke gunung untuk membahas berbagai masalah. Cara dosen mengajar, seluruh kurikulum, juga persoalan yang menyangkut masa depan kampus. Hampir semua dosen ikut. Dalam acara itu, aku berpidato, omong masalah kemahasiswaan. Juga tentang masa depan kampus. Perkuliahan. Dalam pidato itu, aku memberikan beberapa usul, yang mungkin akan berguna bagi mahasiswa angkatan baru. Semua yang hadir bertepuk tangan dan menyetujui apa saja yang kuusulkan. Mungkin inilah pertamakali aku omong di hadapan banyak orang. Menyangkut soal mahasiswa, aku berani. Itu keahlianku. Malam hari, ketika seluruh acara selesai, aku duduk di depan api unggun. Hari sangat dingin. Aku memakai jaket. Sendirian. Api unggun agak jauh dari tenda. Di depan sana ada jurang sangat dalam. Pepohonan menghitam, berjajar ke bawah hingga dasar lembah. Gunung meremang di kejauhan terkena cahaya rembulan yang jernih. Langit bersih, penuh bintang. Rembulan di langit, alangkah bagusnya. Aku senang memandangi rembulan. Baru kali ini aku memandangi rembulan. Dan sangat tidak disangka, Ratna datang, duduk di samping kiriku, dan bicara. Kami berbincang. Awalnya, aku menjawab pendek-pendek saja, tetapi kemudian suasana mencair. Kami bicara apa saja. Aku suka sekali. Apakah dia tertarik dengan apa yang tadi kubicarakan di depan forum? Atau ada maksud lain? Apa soal cinta? Demi Tuhan, kami bicara. Baru kali ini kami bicara lama. Tapi aku tetap tahu, Ratna adalah api. Yang juga bisa membakar. Apa aku ingin dibakar? Ya, aku ingin dibakar, olehnya. Seluruh tubuhku ingin dibakar, olehnya, sekarang juga. Dia kemudian menceritakan dirinya, seluruhnya. Aneh, tapi nyata. Karena dingin, jaket kuberikan kepadanya. Aku sendiri yang memasangkan jaket itu ke tubuhnya. Edan! Ini keberanian yang sangat luar biasa. Tapi, kenapa aku tidak melakukan apa-apa? Ratna anak nomor lima, bungsu, Empat saudaranya lelaki. Dia tak dekat dengan ibu atau ayah. Rumah, adalah kesengsaraan. Dia selalu sendirian. Kesepian. Saudara, ayah dan ibu, sangat jauh. Ibu sering bepergian, berjualan berlian dan emas. Ayah repot di kantor. Mungkin karena ada pacar di kantor, atau di luar kantor. Dua saudaranya kuliah di California dan Amsterdam, mengambil doktor. Kakaknya yang lain sekolah di fakultas matematik dan politik. Mereka juga akan ke luar negeri, nanti. Bisa ke Swedia dan Jerman. Semua sudah diatur oleh ayahnya. Tapi bagi Ratna? Tidak ada. Sungguh tak ada apa-apa baginya. Dia selalu kesepian. Kami bicara sekitar tiga jam di tempat itu. Gila. Ini kesempatan yang sangat luar biasa. Tapi aku tak tahu. Bercakap-cakap saja, bagiku sudah merupakan anugerah. Seharusnya kupeluk dia, seluruh tubuhnya, mengusap rambutnya, membelai pipinya. Dan menciuminya. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Dia sangat kucintai. Dia ingin kulamar, kujadikan isteri. Hanya dia yang kucinta. Tak ada perempuan lain. Tapi, yang tiga jam itu akhirnya sia-sia. Kami, samasekali tak berbuat apa pun. Malam telah larut. Dia menghela nafas. “Sudah malam. Aku ingin bicara denganmu sampai pagi. Aku suka di sini.” Dia berdiri. Dan pergi ke tendanya dengan jaketku. Dia tak bicara soal jaket. Pergi dia. Sudah. Begitu saja!
5
Kembang Mawar. Yang tiga jam itu, di gunung, membikin aku semakin mencintai Ratna. Aku harus bilang kepadanya, aku mencintainya. Tapi aku harus ke rumahnya untuk menyatakan cinta. Perkara ini tidak main-main. Dia ‘kan selalu sendirian? Kalau aku datang, pasti dia terima. Gila ini. Jadi kapan aku harus datang kerumahnya dan membahas masalah cinta? Tapi, yang tiga jam di gunung itu, kami bahkan tidak membicarakan cinta. Ratna hanya bicara tentang keluarga. Dan kesepian. Apa aku mampu bilang cinta kepadanya, di rumahnya, nanti? Kembang Mawar, yang mekar di tengah malam, saat rembulan benderang. Di langit hanya ada bintang-bintang. Tak ada lagi Kembang Mawar, kecuali dia. Di mana pun. Di malam hari atau di siang hari. Siang hari, ketika matahari menyorotinya, dia justru tetap berkilau, gemerlapnya utuh, cahayanya tak berubah. Ya, Kembang Mawar bercahaya, ditimpa cahaya apa saja. Kilauan Kembang Mawar. Kemilau yang tak akan pernah habis. Kembang Mawar yang anggun. Keabadian cinta. Hanya kepadanya aku jatuh cinta. Hanya kepadanya. Hanya kepadanya saja. Ratna Rimastaya. Betul. Aku harus ke rumahnya. Kalau bisa, secepatnya. Segera! Enam bulan kemudian, setelah lulus, kuberanikan diri datang ke rumah Ratna. Dia menerimaku dengan baik. Apa yang terjadi? Mungkin kamu bisa menebaknya, atau tidak. Aku bicara soal cinta, cintaku kepadanya. Herannya, aku bisa bicara cinta saat itu. Dan berani. Setelah cinta kuucap, kami diam. Ah, Ratna menghela nafas. Mengeluh. “Tidak bisa. Aku sudah dijodohkan dengan doktor yang baru pulang dari Jerman. Anak tunggal teman ayahku. Tiga bulan lagi kami menikah.” Sudah. Itu saja. Sebelum pulang, Ratna sempat bilang, “Terlambat. Seharusnya kamu ucapkan itu begitu kita pulang dari gunung.” Ini hari yang celaka, dia mengembalikan jaketku. Baru hari ini jaket dikembalikan. Aku terlambat? Ya, aku terlambat? Sesudah pulang dari gunung, Ratna selalu memikirkan aku. Dia memikirkan aku, bahkan sebelum aku bicara di depan forum. Aku malah tidak tahu. Apa harus kubilang? Mengutuk percintaannya dengan doktor yang baru pulang dari Jerman? Atau aku bisa menguasai hati dan mendoakan dia bahagia. Atau diam saja, lalu merenung di kamar, menganggap perempuan adalah api? Yang membakarku dan membikin tubuh dan jiwaku lumat berkeping-keping? Aku bisa menjadi doktor. Sangat mudah. Tapi, aku belum menjadi doktor, umur belum cukup. Ratna, Ratna. Mengapa aku terlambat? Bagaimana jika kamu ada di tempatku? Menjadi aku? Apa aku harus diam? Hati perih. Tapi, sekarang ini, dia ‘kan belum kawin? Harapan pasti ada. Tidak. Aku harus mendekati Ratna. Sekarang juga.
SELESAI
1
ALIEN N. RIANTIARNO (SEORANG PEREMPUAN. KITA MENYEBUT DIA SEBAGAI ALIEN, MAHLUK LUAR ANGKASA. LIHAT SAJA PAKAIANNYA. INI PERCINTAAN ANTARA MANUSIA DENGAN MAHLUK LUAR ANGKASA. CINTA MASA KINI, ATAU CINTA MASA DEPAN?) Istrinya tiga, tapi pacarnya banyak. Bagaimana dia menggilir para isteri dan juga pacar-pacarnya? Pada hari-hari apa dia ada di isteri pertama, lalu isteri yang kedua dan ketiga? Di negeriku, hal seperti itu tak akan terjadi. Kami ibarat angsa. Hanya satu yang kami cinta. Kalau yang dicinta mati, pasangan yang tidak mati akan menyusulnya mati. Segera. Begitulah yang kudengar tentang angsa. Di negeriku tak ada angsa. Angsa hanya ada di bumi. Aku tahu cerita tentang angsa. Benar, pacarnya juga banyak. Di mana-mana. Dia menggilir semua pasangan dengan adil. Tak ada yang dilupakan. Dan anehnya, semua pasangan senang-senang saja. Mereka malah bahagia. Sebagai lelaki, dia luar biasa. Aku tahu dia, bahkan ketika masih kecil. Dia kuikuti terus. Dia doktor dalam matematika. Dia mengamati jagat raya dan menjadi pilot antariksa, sekolah di Amerika Serikat. Dia lulus cum laude. Kini, dia ada di kota ini, menunggu kapan bisa terbang ke angkasa. Aku bisa melihat dia lewat kaca penembus waktu. Masa lalu dan masa kininya. Itu soal yang gampang. Sungguh mati, aku sangat mencintai dia. Hanya dia yang ingin kudekati. Itu makanya aku di sini, di kota ini. Dia lelaki bumi yang tak ada duanya. Dia lelaki bumi yang hebat. Bagaimana aku bisa menyukai dia, padahal tindakannya seperti itu? Aku sendiri tidak tahu. Di negeri kami, banyak pria yang juga tak ada duanya. Mereka ahli dalam segala tatacara teknik, sehingga dengan mudah kami bisa pergi ke mana saja. Jagat raya, bisa kami kunjungi dalam tempo pendek. Tapi hanya kepada dia aku jatuh cinta. Padahal tindakannya, sangat tidak terpuji. Barangkali, aku melihat dia sebagai jantan sejati. Kalau di negeriku? Tindakannya itu pasti tak akan ditolerir. Dia akan menghadapi pengadilan umum. Tindakannya akan disalahkan dan pasti dia dipenjara. Tapi di sini, dia bisa melakukan hal seperti itu. Negeriku jauh dari bumi. Butuh 15.000 milyar tahun dari bumi. Untuk mengitari Bima Sakti saja, manusia perlu 225 milyar tahun. Kalau tidak punya nano teknologi, mana mungkin kalian bisa ke tempatku? Mana mungkin aku bisa ke bumi? Galaksi Bima Sakti, hanya salah satu tata surya bumi. Di angkasa raya, kita tahu, ada berapa banyak tata surya? Tak terhitung. Jika ruang waktu semesta bisa digelar, maka, segala yang datar itu harus dilipat menjadi dua. Negeri kami ada di sebaliknya. Pesawat canggih yang mampu menembus ruang waktu. Harus pesawat canggih! Kalian perlu mesin yang mampu menembus tata ruang angkasa raya. Tembuslah. Hanya dua tahun cahaya dari penembusan itu. Dialah negeri kami. Negeri kami sangat bagus. Pemerintahan kami juga bagus.
2
Bagi kami, waktu bukan lagi ukuran. Jauh atau dekat, sama saja. Intinya, yang jauh bisa kami dekatkan. Kami punya mesinnya. Kami bisa menembus waktu. Kalau aku di sini sekarang, untuk pulang, hanya butuh waktu sekitar 5 menit saja, itu untuk ukuran waktu bumi. Satu tahun cahaya bisa berapa lama? Kami punya ukuran sendiri. Satu tahun cahaya, tidak, begini, satu hari di negeri kami, bisa seratus tahun di bumi! Jadi, tigaratus hari kalian, kami sudah 30 ribu tahun. Usia kami rata-rata seribu tahun. Seribu tahun? Seribu kali tigapuluh empat ratus tahun, berapa ya? Itu ukuran negeriku. Bukan ukuran bumi. Tapi sangat mengherankan, kenapa aku jatuh cinta kepada lelaki itu? Betul, aku sungguh tidak tahu. Negeriku punya raja. Jika raja meninggal, anaknya akan menggantikan. Kami punya Senat yang dipilih dari rakyat. Lima tahun sekali Senat itu dipilih. Senat akan mengatur segala perkara yang menyangkut hukum negeri kami. Di atas senat, kami punya Dewan Penasehat. Merekalah yang memilih Senat. Raja biasanya tunduk kepada Dewan Penasehat. Mereka sangat berkuasa. Dewan Penasehat kami ada 18 orang. Mereka itu orang terpilih dan berusia sangat lanjut. Semua panglima, juga gubernur setiap daerah harus tunduk kepada Senat. Semua sudah diatur. Tidak ada korupsi di negeri kami. Korupsi, hukumannya mati. Kami berdagang dengan negeri lain. Kami punya galian yang penting untuk angkasa raya. Bukan emas, permata atau minyak, tapi Mirtaka. Itu bahan untuk membuat mesin, agar bisa menjelajahi angkasa raya dalam tempo yang sangat pendek. Dengan bahan itu, kami bisa membentuk mesin, apa saja. Hanya di negeri kami bahan itu ada. Jadi, bahan itu digali dan, tentu saja, disembunyikan. Kami juga berdagang. Ada emas, berlian dan minyak angkasa. Minyak angkasa kami, lain dengan minyak bumi. Hanya dengan minyak ini kami bisa menjelajahi angkasa-raya. Sudah lama kami meninggalkan jenis minyak bumi. Bahan kain, jika dibuat dari Mirtaka, membikin kami tak bisa ditembus senjata. Senjata apa saja. Bahkan senjata yang meletus. Dengan bumi, kami belum membuka hubungan dagang. Kami lihat, bumi masih memiliki teknologi yang sangat primitip. Otak manusia harus dibuka lebih dalam lagi. Menusia bisa pintar, tapi tak tahu bagaimana caranya membuka otak. Nanti akan ada tokoh yang mampu membuka otak manusia, sehingga mereka mampu bersaing dengan mahluk angkasa. Intinya, kami tidak melihat kalian mampu menyaingi kami. Jadi, untuk apa kami berdagang? Kalian tak punya guna. Apa pun hasil kalian, bisa dengan segera kami produksi. Kami bisa membikin gunung meletus, mencipta tsunami. Kami bisa membikin kapal terbang kalian ambles. Kami bisa membuat kalian tak berdaya. Itu sebabnya aku ada di sini. Mengawasi kalian. Ternyata, aku malah mencintai lelaki bumi. Si Pilot itu. Tidak disangka. Apa ada lelaki lain yang lebih baik dari dia? Aku bisa menyingkirkan isteri dan pacar-pacar Si Pilot itu. Dengan sangat mudah. Lihat apa yang bisa kulakukan. Aku mampu melakukan apa saja! Lihat! (MEMBUAT APA YANG ADA DI SEKELILINGNYA HANCUR BERKEPING-KEPING)
3
Hancur kan? Tapi aku tidak ingin membuat kalian sengsara. Aku ingin dia mencintai aku apa adanya. Tahu aku mahluk luar angkasa dan mencintaiku. Mencintai dengan tulus. Aku mampu menghancurkan, tapi tidak mampu membuat manusia musnah, lumat berkeping-keping. Tidak, itu bukan tugasku. Tapi bisa saja, akan datang panglima lain. Seseorang yang tak peduli kepada apa pun kecuali menghancurkan. Dia akan membuat kalian lumat. Membuat manusia di sekitarmu musnah. Aku kenal panglima yang seperti itu. Kalau harus dihancurkan, dia akan melakukannya tanpa berpikir panjang. Mudah-mudahan panglima seperti itu tidak dikirim ke bumi. Tapi, kalau Senat tahu aku lemah? Mencinta? Bisa saja panglima seperti itu yang akan dikirim ke mari. Dan ini sangat berbahaya. Jika aku cinta kepadanya, memang aneh. Umur dia sekarang, sekitar 35 tahun waktu bumi. Umurku sudah limapuluh tahun. Bagi kami, inilah usia remaja yang memang membutuhkan cinta. Aku masih punya waktu sekitar sembilanratus lima puluh tahun lagi. Umurku sudah limapuluh kali sekian ratus tahun, males aku menghitungnya. Baginya, aku sudah sangat tua. Padahal aku sekarang ini, lihat wajah dan tubuhku, masih sangat muda. Dia akan melihat aku sebagai gadis yang cantik. Kalau usia kubeberkan, bisa saja dia tidak percaya. Tua dan muda, apa bedanya. Kemudian, nanti, kelak, dia akan berubah menjadi tua. Sedang aku tetap muda. Ini yang aku tidak mau. Apa dia bisa menjadi terus muda, seperti aku? Apa itu harus kubeberkan? Atau hal itu tak perlu kubeberkan? Kalau sudah tua, apa aku masih tetap mencintainya? Kulitnya akan keriput. Aku, tetap saja tak berubah, sampai usiaku sembilanratus tahun. Ketika usiaku masih lima puluh tahun, dia sudah mulai tua. Aku ingin, ada cara yang membuat dia berumur sama denganku. Umurnya dan umurku. Adakah obat seperti itu? Atau hanya kami, para alien yang mampu berumur panjang? Tapi ini tidak adil. Kami punya agama. Artinya, ada dewata yang kami sembah. Ada kuil di negeriku. Setiap tahun kami merayakan beberapa hari penting agama. Di setiap kuil ada banyak dewata. Semuanya kami sembah. Ada seratus dewata yang kami sembah. Dewata yang paling berkuasa adalah dewata yang menguasai alam semesta kami. Jika kami meninggal, akan ada tempat yang disebut, orang-orang bumi menyebut tempat itu surga. Di tempat itulah, kelak, kami akan berkumpul. Yang disebut surga, adalah rumah dewata yang paling berkuasa itu. Kawasan tak terhitung. Sebuah tempat yang sejuk, banyak bunga, dan penuh kebahagiaan. Dua dunia, aku, mahluk luar angkasa, dan dia, Pilot luar biasa itu. Bagaimana kami mampu menyatukan dua dunia? Kami saling berbeda. Usia, yang paling dianggap penting, juga tatacara agama kami. Agama dia pasti berbeda dengan agamaku. Tatacara sembahyang juga pasti berbeda. Kalau toh terjadi pernikahan, apa yang harus kami lakukan? Apa dalam hal ini, maksudku cinta, mampu menyatukan orang yang benar-benar berbeda? Aku pernah mendengar cerita tentang itu. Percintaan hanyalah sebuah sebab yang membikin kami kemudian menyatu-padu.
4
Harus ada yang membikin kami bersatu. Dia bisa saja melakukan tindakan yang tak bertanggungjawab. Misalnya, mencari isteri baru, atau pacar-pacar baru. Cinta akan membuatnya lain. Aku yakin, bisa. Aku harus membikin hati dia tertarik kepadaku. Pasti, aku tidak akan menghancurkan apa yang sudah dia miliki. Aku tidak akan menghancurkan isteri dan pacar-pacarnya. Aku harus tulus mencintai dia. Dan aku harus menjadi manusia. Pakaianku yang seperti ini, harus kucopot. Ini pakaian astronot. Panglima. Aku harus berpakaian seperti gadis-gadis kota. Sungguh mati, benarkan pilihanku mencintai dia? Aku sangat bingung. (TERDENGAR BUNYI BIP-BIP DI JAM TANGAN WANITA ITU) Ah, aku harus kembali ke pesawat. Ini hanya sebuah pemberitahuan. Aku memang bingung, tapi pilihanku kepadanya tidak akan berubah. Tidak berubah. (WANITA ITU PERGI. KEMUDIAN, PESAWAT WANITA ITU TERBANG MENUJU KE ANGKASA RAYA. MENUJU KE PLANET WANITA ITU? ATAU TETAP MENYALA-NYALA DI LANGIT? APAKAH ALIEN ITU TETAP MEMPERHATIKAN SI PILOT?)
SELESAI