KEMBANG JEPUN: JALAN DOMINAN KOTA SURABAYA (Endang Titi Sunarti B. Darjosanjoto)
‘KEMBANG JEPUN’: JALAN DOMINAN KOTA SURABAYA Endang Titi Sunarti B.Darjosanjoto Staf Pengajar Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Email:
[email protected]
ABSTRAK Analisa yang berbasis teknologi informasi dengan menggunakan teknik analisa space syntax menunjukan bahwa dari waktu ke waktu jalan Kembang Jepun merupakan jalan dominan kota Surabaya. Diskripsi dilakukan melalui penggambaran kembali peta Surabaya 2002 dalam tampilan peta integrasi global (Rn=radius infinity) dan peta integrasi lokal (R3=radius ‘3’). Hasil pengukuran menunjukan bahwa jalan Kembang Jepun secara global berada di dalam kerangka-garis-utama kota (urban super grid); secara lokal jalan ini tidak hanya mempunyai nilai integrasi (integration) tertinggi diantara jalan yang lain, tetapi juga mempunyai nilai keterkaitan (connectivity) dengan jalan yang lain terbanyak, serta mempunyai kedalaman (depth) yang kurang dari luar sistim kota. Adanya kenyataan ini menunjukan betapa kuatnya pengaruh jalan Kembang Jepun dalam struktur morfologi Surabaya dan konfigurasi jalan secara keseluruhan. Maka tidaklah heran bahwa jalan ini mengundang minat berbagai pihak - pemerintah daerah maupun swasta - untuk lebih meningkatkan fungsinya dalam kegiatan ekonomi kota. Kata kunci: teknik analisa space syntax, konfigurasi, jalan dominan.
ABSTRACT Configurational analysis applying space syntax technique shows that the street of Kembang Jepun is a dominant street of Surabaya. The description uses the global integration (Rn-radius infinity) map and the local integrations (R3=radius 3) map based on the map of Surabaya 2002. The measurement shown that the street of Kembang Jepun globally lays on the urban super grid of Surabaya. Locally this street not only shows the highest integration value of all streets and the connectivity value, but also its depth is shallow. By means, the street of Kembang Jepun is closely reach fom outside of the system. This proves how far Kembang Jepun influences on the morphological and configurational structure of Surabaya as a whole. For this reason, it is no surprise that there is an increasing interest of many parties in promoting the street of Kembang Jepun in the economy activity of the city. Keywords: space syntax analysis technique, configuration, dominant street.
PENDAHULUAN Dari segi morfologi kota Surabaya mengalami perubahan yang pasti dari masa ke masa. Hasil identifikasi Santosa dan Multhaup (1984) sejak masa pemerintahan Belanda sampai menjelang kemerdekaan Indonesia (1941), kota Surabaya mengalami enam tahap pengembangan. Morfologi ‘kota Jawa’ merupakan bentuk awal Surabaya di pertengahan abad 17. Integrasi perumahan dan permukiman Eropa kedalam struktur kota pada abad ke 18 merupakan pengembangan tahap pertama. Kemudian selama 50 tahun (dari tahun 1800 sampai 1850), Surabaya berkembang menjadi kota kolonial yang dari tahun 1850 sampai 1906 tumbuh menjadi kota modern. Modernisasi kota ini pada akhirnya dari tahun 1906 sampai menjelang kemerdekaan di tahun 1941 menghadirkan dualisasi ruang kota yang
mengakomodasi masyarakat Eropa (European city) dan penduduk asli (indigenous city). Pada prinsipnya pengembangan Surabaya berawal pada bagian utara kota. Maka sampai kapanpun bagian ini akan dikenang sebagai ‘inti’ kota yang bersejarah. Menurut Handinoto (1996) sebelum 1905 sebagian besar dari bangunan umum dan pemerintahan Belanda sudah ada di bagian utara Surabaya. Keberadaan bangunan-bangunan ini tidak hanya mendorong pertumbuhan kawasan disekitarnya menjadi pusat pemerintahan kota, tetapi juga memantapkan kedudukan kawasan perdagangan kota. Berbagai fasilitas yang menunjang kegiatan perdagangan yang dikelola penduduk asli dan masyarakat Tionghoa bermuculan di kawasan ini, terutama di sepanjang jalan Kembang Jepun dan jalan yang terhubung dengannya (jalan Rajawali dan jalan Kapasan).
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/
143
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 33, No. 1, Desember 2005: 143 - 152
maupun pihak swasta untuk meningkatkan peran yang ada, tetapi juga melestarikan kegunaan jalan Kembang Jepun dan sekitarnya dalam kegiatan ekonomi kota sejak pemerintahan Belanda. KONSEP KONFIGURASI RUANG KOTA
(a) Tahun 1920
(b) Tahun 1984
(c) Tahun 2004 Gambar 1. Kondisi jalan Kembang Jepun dari masa ke masa (sumber: dokumentasi IPPHOS, Asia Maior, Hollands dan surve lapangan 2004)
Gambar-gambar 1a, 1b dan 1c yang dibuat dalam 3 tahun yang berbeda memperlihatkan pesatnya pertumbuhan dan fungsi jalan Kembang Jepun, yang ditandai oleh adanya perkembangan jenis kendaraan dan/atau angkutan kota (dari kereta berkuda sampai kendaraan bermotor). Adanya keadaan demikian ini, tidak hanya mendorong berbagai kalangan, baik pihak pemerintah kota 144
Hillier dalam buku Space is the Machine menyatakan adanya pengembangan teori baru mengenai ruang sebagai aspek kehidupan sosial yang beliau cetuskan bersama Hanson pada tahun 1984 (Hillier, 1997). Seiring dengan waktu, beberapa pengembangan teori ini disusun dalam bentuk simbiosa dengan pengembangan teknik baru untuk analisis ruang, utamanya analisis yang berbasis komputer. Sebagai keluaran utama dari kemajuan ini adalah ‘konsep konfigurasi’. Dimana konfigurasi dimengerti sebagai satu hubungan atau keterkaitan yang ditimbulkan oleh adanya kehadiran bersama (co-presence) secara simultan dari unsur ketiga, kemungkinan juga yang ditimbulkan oleh unsurunsur lain yang saling berhubungan (Hillier, 1997:96). Dua prinsip dalam konfigurasi: ‘satu, merubah satu unsur dalam sebuah konfigurasi tidak hanya mengakibatkan perubahan karakter unsur-unsur konfigurasi yang lain, bahkan seluruh unsur yang membentuk kesatuan. Dua, seluruh karakter unsur konfigurasi dalam kesatuan dapat berubah dengan adanya pergantian satu unsur; maksudnya perubahan tidak membatalkan hubungan atau keterkaitan antar unsur namun justru menghadirkan karakter unsur konfigurasi yang beragam’ (Hillier, 1996) Dalam kaitannya dengan pokok bahasan konfigurasi kota, yang dimaksud unsur adalah ruang kota atau tepatnya jalan. Teknik analisis konfigurasi dinamakan space syntax (Darjosanjoto, 2002, disarikan dari Hillier dan Hanson, 1984, dan Hillier, 1997). Space syntax adalah program penelitian dalam kerangka berpikir (paradigma) morfologi dari penelitian lingkungan terbangun (built environment). Menurut Hillier dan Hanson tujuan dari penyusunan program space syntax adalah: ‘mengembangkan pemahaman teori mengenai bagaimana ruang bekerja dengan strategi memadukan diskripsi berbasis komputer yang mendasarkan pada aturan mengenai pola ruang dengan pengamatan empiris mengenai bagaimana pola ruang digunakan. Selanjutnya keduanya dikaitkan dengan statistik sederhana’ (Hillier dan Hanson, 1984).
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/
KEMBANG JEPUN: JALAN DOMINAN KOTA SURABAYA (Endang Titi Sunarti B. Darjosanjoto)
Diskripsi mengenai hasil pengukuran dan interpretasi yang mendasarkan pada aturan (formal description) inilah yang membuat program penelitian space syntax berbeda dengan program penelitian yang lain. Perlu dicatat bahwa teknik analisis konfigurasi space syntax disusun berdasarkan dua gagasan. Pertama, kemungkinan untuk membawa aspek pola yang tidak terlihat nyata (elusive pattern aspect) dari hal-hal yang dijumpai dalam arsitektur dan rencana kota kedalam nuansa yang lebih nyata. Kedua, mengkuantifikasikan gagasan lama mengenai bagaimana menempatkan berbagai aspek yang berbeda bersama-sama (Hillier, 1997:1-2). Nampaknya kedua gagasan ini sangat menunjang tantangan menuju kearah kuantifikasi. Keterangan lebih lanjut mengenai kuantifikasi dapat dibaca dalam penjelasan tentang hasil studi dan diskusi di bagian berikutnya. Konsep utama dari pengamatan terhadap lingkungan permukiman dan kota menurut Hillier adalah gerak langkah yang alami (natural movement) (Hillier, 1995, dan Hillier, B., Penn, A., Hanson, J., Grajewski, T. and Xu, J., 1993:29). Lebih jauh mereka menyatakan bahwa gerak langkah yang alami berkaitan dengan proporsi gerak langkah pejalan kaki (pedestrian movement) dalam berbagai bentuk tata letak kerangka garis (grid layout). Sementara tata letak yang dimaksud ditentukan oleh susunan dari kerangka garis (grid). Secara jelas gerak langkah ditumbuhkan oleh berbagai faktor: satu diantaranya ditumbuhkan oleh kehadiran daya tarik (attractors), misalnya pertokoan, pengembangan perkantoran, dan sebagainya. Daya tarik ini selanjutnya dilihat sebagai sesuatu yang menentukan gerak langkah para pejalan kaki (pedestrian movement). Dalam lingkup yang lebih luas (maksudnya sebuah kota), pola dari kerangka garis kota (urban grid) mempunyai arti yang penting, karena rata-rata kedalaman yang dimiliki setiap jalan dari jalan-jalan yang lain dimungkinkan untuk dihitung. Perbedaan kedalaman antara satu kedalaman jalan dan yang lain, menurut Hillier mengatur adanya pengaruh dari kerangka garis kota pada gerak di dalam sistim. Kurang dalamnya kedudukan jalan dari jalan-jalan yang lain menunjukkan gerak atau aliran yang lebih banyak. Sebaliknya, kedalaman yang lebih akan menurunkan gerak/aliran. Dalam peta hasil proses komputer, keadaan ini ditampilkan sebagai garisgaris dalam spektrum warna dari merah sampai biru atau untuk tampilan hitam-putih dari warna hitam berangsur-angsur berubah kewarna yang lebih terang. Perubahan warna berbanding lurus dengan kondisi dan peranan jalan dalam menerima gerak. Warna merah atau tergelap dalam tampilan peta
hitam-putih mengindikasikan jalan yang menerima gerak terbanyak dan banyak berpotongan dengan jalan yang lain (integrated lines). Sebaliknya tampilan warna biru atau yang tipis dalam peta hitam-putih memberikan petunjuk bahwa garis/jalan bersangkutan mempunyai kedudukan yang dalam di dalam sistim secara menyeluruh (segregated lines) dan mendapat gerak sedikit. Berpegang pada penemuan dari beberapa kasus di London dan teori mengenai gerak yang alami (natural movement) yang diuraikan diatas, Hillier menegaskan bahwa: ‘prinsip dasar yang mengkaitkan struktur kerangka garis (grid structure) suatu kawasan atau kota dengan pola gerak (movement pattern) yang tidak hanya dijumpai pada garis utama (keluar dan masuk) sebuah kota, tetapi juga dijumpai pada struktur yang lebih kecil, dan yang memberikan peningkatan pelipat-gandaan keterkaitan antara struktur kerangka garis (grid structure), guna lahan (land uses), kepadatan (densities), juga pengertian mengenai kesejahteraan (well being) dan kecemasan (fear) tinggal di dalam kota, menurut Hillier adalah aliran gerak atau pergerakan dalam kegiatan ekonomi (movement economies)’ (Hillier, 1995) Dengan asumsi bahwa sistim sebuah kota (atau bagian dari wilayah kota) memiliki asal dan berbagai tujuan, maka setiap perjalanan sekurang-kurangnya mempunyai 3 elemen, yaitu asal, tujuan dan rangkaian jalan yang dilalui pada saat melakukan pergerakan dari satu tempat ke tempat yang lain. Gerak langkah ini selanjutnya diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan (by product) selama pergi dari tempat A menuju ketempat B. Beberapa area dimungkinkan memiliki sesuatu yang dihasilkan lebih banyak sementara yang lain hanya memiliki sedikit. Untuk kenyataan ini dapat diterima kalau sebuah lokasi itu penting, karena sangat menentukan kemampuan pertumbuhan. Sebuah area yang mempunyai cukup banyak sesuatu yang menghasilkan dan yang cenderung sarat dengan pengembangan, secara progresif akan berkembang dengan pengaruh pelipat-gandaan (multiplier effect) (Hillier, 1995). Sementara dalam kaitannya dengan integrasi, perlu dicatat bahwa integrasi yang dimiliki satu area bergantung kepada bagaimana menyatunya keadaan struktur yang dimiliki dengan struktur yang lebih luas dalam kerangka garis kota secara keseluruhan. Singkatnya, kesatuan tema analisa sebuah kota berkaitan dengan hubungan antara struktur ruang dan kondisi pergerakan. Dengan demikian hal-hal yang ada sangkut-pautnya dengan keadaan sosial dapat dikemukakan. Sementara daya dukung/potensi tata letak kota (juga bagian dari wilayah kota yang
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/
145
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 33, No. 1, Desember 2005: 143 - 152
menjadi pokok bahasan dari tulisan ini) dalam menumbuhkan kemungkinan kehadiran bersama dan perjumpaan antar masyarakat pengguna ruang atau penghuni juga dapat diukur. PROSES ANALISA DAN PENGUKURAN Peta garis (axial map) dan peta integrasi (integration map) akan menjadi bahan acuan dalam membahas kedudukan dan peranan jalan Kembang Jepun. Peta garis (axial map) yang merupakan kumpulan garis lurus (axial lines) adalah sesuatu yang kuat atau tidak mudah dipengaruhi dan informatif untuk kerangka garis sebuah kota (urban grid). Setiap peta garis apapun terdiri dari garis lurus terpanjang yang digambar melalui ruang-ruang (dapat berupa jalan atau ruang terbuka lainnya) yang terdapat dalam kerangka garis (grid), sehingga seluruh permukaan tertutup. Dengan demikian semua lingkaran sirkulasi tergambar, yang berarti bahwa seluruh elemen bidang dalam peta bersangkutan terlalui. Sementara peta integrasi (integration map) memberikan informasi mengenai nilai integrasi dari setiap ruang luar (jalan utama, jalan dan cabangnya) dalam jaringan kota secara menyeluruh. Pada dasarnya pengukuran integrasi sebuah jalan yang dilakukan ditujukan untuk mengetahui adanya ‘ketidak-simetrian yang relatif’ (relative asymmetry) dari setiap titik (maksudnya tempat) yang berada dalam jaringan kota. Penghitungan ketidak simetrian yang relatif menggunakan rumus berikut ini: 2(MD -1) -------------k-2 dimana MD adalah angka kedalaman rata-rata dan k adalah jumlah ruang didalam sistim. Perhitungan ini akan memberikan nilai antara 0 dan 1. Nilai rendah memberikan indikasikan sebuah ruang yang berasal dari sistim yang dangkal, yaitu ruang yang cenderung mengintegrasi sebuah sistim. Jadi ketidak semetrian yang relatif atau yang disebut sebagai kedalaman relatif secara sederhana sebagai alat untuk menghitung integrasi. Penghitungan integrasi dalam penelitian ini tidak dilakukan secara manual, tetapi dilakukan dengan proses komputer dengan menggunakan salah satu program yang ditawarkan oleh space syntax, tepatnya Axman PPC 3.0 (Iconoclast, Hillier, Hanson and Penn, 1997:5). Maka dapat disimpulkan bahwa integrasi jalan yang dimaksud dalam makalah ini adalah fungsi dari jumlah rata-rata jalan dan perubahan arah yang harus dilakukan pada saat meninggalkan jalan bersangkutan untuk menuju jalan-jalan lain yang berada di dalam sistim kota. Penggambaran kembali dan proses analisa komputer yang diuraikan dalam bagian ini ditujukan 146
untuk melihat lebih dekat keadaan dan/atau kedudukan jalan Kembang Jepun dalam konteks kota secara menyeluruh. Tampilan peta integrasi (axial map) kota Surabaya digambar kembali dari Peta Surabaya 2002. Peta integrasi ini memperlihatkan integrasi jalan secara global dari setiap jalan dalam jaringan kota secara keseluruhan. Integrasi global dimengerti mempunyai jangkauan atau radius yang tak terbatas (Rn = radius infinity). Disamping peta integrasi radius-n (yang juga disebut sebagai petaglobal), ditampilkan pula peta integrasi radius-3 (R3 = radius ‘3’). Peta integrasi radius-3 hanya memperhitungkan kedudukan jalan sampai sejauh 3 ‘langkah’ darinya di dalam sistim secara menyeluruh. Langkah yang dimaksud disini adalah perpindahan dari satu jalan ke jalan yang lain. Dengan demikian peta integrasi radius-3 disebut sebagai peta-lokal, karena cakupan terjauh dari gerak hanya sejauh 3 langkah (Darjosanjoto, 2002:343-344). Pengertian jarak dalam peta garis (axial map) tidak ditunjukan dalam metrik, tetapi jumlah perubahan arah atau perpotongan (Peponis, J. et all, 1998:573). Dengan kata lain, kedudukan setiap jalan ditentukan oleh ‘kedalaman’ (depth), yaitu dalamnya kedudukan jalan dari sisi luar kota atau bagian dari wilayah kota yang diamati. Semakin banyak perpotongan jalan yang dilalui untuk mencapai jalan tertentu, semakin dalam atau terpisah kedudukan jalan tersebut dari sisi luar. Jalan yang mempunyai kedudukan demikian ini disebut ‘jalan yang terpisah’: dalam peta garis tampil sebagai garis yang terpisah (segregated line). Sebaliknya jalan yang kedudukannya dangkal akan lebih terintegrasi dengan jalan lain. Hal ini dikaitkan dengan banyaknya jalan yang memotong padanya dan dekatnya jalan dengan sisi luar, selanjutnya disebut ‘garis yang terintegrasi’ (integrated line). ‘Nilai integrasi’ (integration value) setiap jalan selanjutnya ditentukan oleh kedalaman letak (bukan jarak) jalan bersangkutan dari sisi luar kota (Hillier, B, Penn, A., Hanson, J, Grajewski, T. and Xu, J, 1993:29). Dalam satu kota atau bagian dari wilayah kota setiap ‘garis’ (garis disini sebagai tampilan jalan) mempunyai kedalaman tertentu. Untuk ini Kubat menyimpulkan bahwa nilai integrasi sebuah garis secara matematik menunjukkan kedalaman garis terkait dari garis-garis yang lain yang berada didalam sistim (Kubat, AS, 1991:95123). Untuk mendapat keterangan mengenai sejarah peran dan kedudukan jalan Kembang Jepun dalam konteks kota secara menyeluruh, dengan menggunakan teknik analisis space syntax dilakukan analisa terhadap setiap peta integrasi yang digambar kembali dari keenam peta sejarah Surabaya (Santosa dan Multhaup, 1984).
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/
KEMBANG JEPUN: JALAN DOMINAN KOTA SURABAYA (Endang Titi Sunarti B. Darjosanjoto)
1
1
(d) 1800-1850 (a)1829
1
1 (e) 1850-1906
(b) 1869
Raj aw
1
ali-Kb Je
pun -K a
pasa n
-Ken jer a
(f) 1981 Gambar 2. Peran dan kedudukan jalan Kembang Jepun (1) dalam konteks kota secara menyeluruh sejak tahun 1829
(c) 1800
Ternyata keenam peta integrasi yang diperlihatkan dalam Gambar 2 di atas menunjukan jalan Kembang Jepun dan jalan yang terhubung dengannya (jalan Rajawali dan jalan Kapasan) tampil
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/
147
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 33, No. 1, Desember 2005: 143 - 152
dengan warna paling gelap. Rangkuman interpretasi dari tampilan demikian adalah: sejak masa pemerintahan Belanda sampai menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, jalan Kembang Jepun tidak hanya mempunyai pengaruh yang kuat dalam konfigurasi ruang kota, tetapi juga bersama kedua jalan yang terhubung dengannya mempunyai keterkaitan dengan jalan lain atau mempunyai cabang jalan yang terbanyak diantara jalan-jalan yang ada. Disamping itu rangkaian jalan ini mudah dicapai dari luar Surabaya karena dangkalnya letak dari luar sistim kota secara keseluruhan; atau dengan kata lain jalan Kembang Jepun merupakan jalan masuk menuju dan keluar dari kota. Hasil penelusuran kedudukan dan peran jalan Kembang Jepun yang diuraikan diatas, selanjutnya dikonfirmasikan dengan peta integrasi terkini (Gambar 4 dan Gambar 5) yang digambar kembali dari peta Surabaya 2002 (Gambar 3).
Gambar 3. Peta Surabaya 2002 dan kedudukan jalan Kembang jepun dalam konteks Surabaya secara keseluruhan
R aja
wali -K bJ
ep un -Ka p asan -K en jera n
1 Petemon 2 Kedungdoro-Blauran 3 Pasar Besar
Gambar 4. Peta integrasi integrasi global atau petaglobal (peta radius-n) Surabaya 2002
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil proses komputer peta integrasi radius-n atau peta-global untuk Surabaya tahun 2002-2005 yang ditampilkan dalam Gambar 4, memperlihatkan 148
nilai integrasi antara 0.366 dan 1.062 dengan rata-rata sebesar 0.675. Nilai 0.675 ini ‘lebih tinggi’ dibandingkan dengan nilai 0.644 yang dicapai oleh kota kecil di Perancis yang bernama ‘G’, 0.480 untuk Nauplion dan 0.520 untuk kota Athens di negara Yunani; tetapi nilai-nilai ini ‘lebih trendah’ dari kotakota di Turki, misalnya untuk kota Ankara yang mencapai 1.721 (Peponis et all, 1987 dan Hillier, 1995). Untuk memahami struktur morfologi kota, rata-rata integrasi ini selanjutnya dianalisa/diinterpretasi dengan mengacu pernyataan bahwa ‘nilai rata-rata integrasi yang tinggi secara pasti mengindikasikan kedalaman yang lebih dan kurang terintegrasinya satu kawasan’ (Darjosanjoto, 2003). Kedalaman yang lebih yang dimaksud disini adalah kondisi yang menunjukkan banyaknya jalan yang kedudukannya jauh/terpisah dari jalan utama kota. Sementara kurang terintegrasinya satu kawasan ditandai oleh banyaknya bagian dari wilayah kota yang terpisah dari jalan utama kota. Dengan nilai rata-rata integrasi sebesar 0.675, kota Surabaya mempunyai bagian-bagian wilayah kota yang membentuk kantong-kantong dikenal sebagai ‘kampung-kota’. Kondisi demikian ini juga menguatkan ciri sintaktis kota Surabaya yang dibentuk oleh beberapa kampung yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Namun demikian, banyaknya kampung-kota yang dijumpai di bagian tengah kota Surabaya sangat berbeda dengan kondisi yang ada di Ankara, Turki yang memiliki rata-rata integrasi jauh lebih tinggi dari yang dicapai Surabaya (1.721) (Kubat, 1991). Mengacu pada pernyataan mengenai interpretasi nilai rata-rata integrasi diatas, tingginya nilai rata-rata integrasi Ankara menerangkan bahwa sebagai kota Muslim kantong-kantong kota yang ada pada umumnya tidak dapat ditembus, karena banyaknya jalan-jalan buntu (deadends). Sementara untuk Surabaya dengan nilai rata-rata integrasi yang lebih rendah, mengindikasikan kondisi kampung-kota yang selalu dilalui jalan penghubung antar kampung yang lain (thoroughfares). Sebesar 25% dari garis/jalan yang mempunyai nilai integrasi tinggi dalam peta-global ditampilkan dalam warna paling gelap. Garis-garis dengan warna gelap yang merupakan tampilan dari jalan-jalan yang mengelompok di bagian tengah kota, mulai dari sisi utara bagian tengah kota, yaitu kawasan perdagangan dan pemerintahan di sekitar Tugu Pahlawan dan pusat perniagaan/perdagangan Jembatan Merah dan sekitarnya sampai di sekitar jalan Urip Sumoharjo dan Basuki Rakhmad sampai Tunjungan. Selanjutnya semua garis tersebut disebut sebagai ‘inti-garisintegrasi’ (the integration core) yang juga dapat dimengerti sebagai ‘kerangka-garis-utama-kota’
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/
KEMBANG JEPUN: JALAN DOMINAN KOTA SURABAYA (Endang Titi Sunarti B. Darjosanjoto)
Gambar 5. Peta integrasi lokal atau peta-lokal (peta radius-3) Surabaya 2002
Kekuatan pengaruh dari jalan Kembang Jepun dalam konfigurasi kota Surabaya secara statistik dapat dibuktikan melalui analisa regresi. Gambar 6 di berikut memperlihatkan kedudukan titik-ordinat yang mewakili jalan yang ada di kawasan jalan Kembang
Jepun dan sekitarnya dalam konteks kota Surabaya secara keseluruhan. Nilai integrasi global ditempatkan pada sumbu-x dan nilai integrasi lokal pada sumbu-y.
regres
i ut am
a
r is
re
gr
es
i
Garis
Ga
(super grid) untuk seluruh jalan yang ada dalam konfigurasi ruang kota secara keseluruhan. Jalan Kembang Jepun memiliki nilai integrasi sebesar 0.926, yang cukup tinggi diantara jalan-jalan yang berada dalam ‘kerangka-garis-utama-kota’. Sementara untuk mencapai jalan Kedungdoro yang berada di pusat kota Surabaya dengan nilai integrasi sebesar 1.062 (tertinggi diantara jalan yang lain), hanya memerlukan dua langkah atau melalui dua ruas/ rangkaian jalan-Praban-Gentengkali dan UndaanBunguran. Meskipun secara global jalan Kembang Jepun tidak meraih nilai integrasi tertinggi diantara jalan lain yang berada dalam ‘kerang-garis-utama-kota’, kedudukannya tetap berpengaruh kuat dalam konfigurasi ruang kota. Hal ini dapat terjadi karena jalan Kembang Jepun merupakan salah satu ruas dari rangkaian jalan Rajawali-Kembang Jepun-Kapasan Kenjeran. Dalam konfigurasi kota Surabaya secara keseuruhan pada kenyataannya rangkaian jalan ini merupakan jalan masuk menuju dan keluar dari pusat kota. Kadaan ini diperkuat oleh hasil analisa peta integrasi radius-3 atau peta-lokal Surabaya yang menunjukan struktur morfologi kota dan bagianbagian wilayahnya yang bersifat lokal (Gambar 5). Dalam peta ini jalan Kembang Jepun dan jalan yang terhubung dengannya (jalan Rajawali dan jalan Kapasan) tampil dalam warna tergelap dan menunjukan nilai integrasi lokal tertinggi diantara jalan yang lain (6.543). Dengan kata lain ketiga jalan raya ini merupakan garis dominan kota atau jalan yang mempunyai pengaruh yang kuat dalam petalokal.
Gambar 6. Korelasi antara nilai integrasi global dan lokal seluruh jalan dalam konfigurasi kota Surabaya
Titik-titik koordinat dengan warna gelap yang menyeberang garis regresi utama (warna hitam) mewakili jalan Kembang Jepun dan jalan di sekitarnya. Jalan-jalan ini mempunyai nilai integrasi tinggi diantara jalan lain dalam kota secara keseluruhan. Kumpulan titik-titik koordinat yang membentuk gugusan tegak menghasilkan garis regresi terjal yang memotong garis regresi utama. Kondisi demikian ini tidak hanya menunjukan adanya hubungan yang baik antara integrasi lokal dan global; tetapi secara tidak langsung menyatakan bahwa jalan-jalan dengan nilai integrasi tinggi yang mengarah ke pusat kota lebih bersifat lokal. Secara statistik pernyataan ini dibuktikan oleh kondisi setiap titik ordinat yang mewakili jalan Kembang Jepun dan jalan di sekitarnya dalam Gambar 6. Tampilan titik-titik ordinat memperlihatkan derajat integrasi lokal lebih tinggi dibanding yang global. Maka dalam kondisi demikian justru integrasi lokallah yang mengintensifkan derajat integrasi global. Fenomena jalan Kembang Jepun sangat mendukung pernyataan yang diuraikan di bawah ini: ‘konfigurasi sebagai penyebab utama adanya gerak. Daya tarik lingkungan mempengaruhi atau menumbuhkan kehadiran orang, tetapi tidak akan mempengaruhi parameter konfigurasi yang menjelaskan lokasi daya tarik lingkungan. Dalam kondisi yang sama, konfigurasi mungkin mempunyai pengaruh terhadap gerak, tetapi parameter konfigurasi tidak akan mendapat pengaruh darinya’ (Hillier, B., Penn, A., Hanson, J., Grajewski, T. and Xu, J., 1993:29) Deretan bangunan umum dan pemerintah (bank, kantor perdagangan dan sebagainya) serta beberapa toko grosir di sepanjang jalan Kembang Jepun yang menjadi daya tarik lingkungan
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/
149
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 33, No. 1, Desember 2005: 143 - 152
(attractions) menumbuhkan dan meningkatkan volume gerak langkah pejalan kaki (pedestrian movement). Dalam tulisan sebelumnya (Darjosanjoto, 2005), dinyatakan bahwa beberapa usaha untuk meningkatkan peran dan fungsi jalan Kembang Jepun melalui berbagai program sangat mendukung teori Hillier (1995) mengenai gerak langkah yang alami (natural movement) (Darjosanjoto, 2005). Utamanya usaha yang memperhatikan keterkaitan antar struktur kerangka garis (grid structure), penggunaan lahan (land use) dan kepadatan penggunaan jalan utama kota. Kesejahteraan dan kecemasan masyarakat setempat dalam melakukan aktifitas di sepanjang jalan Kembang Jepun dan jalan di sekitarnya juga menjadi pusat perhatian pemerintah kota. Dengan alasan ini pulalah, pemerintah kota bekerja sama dengan pihak swasta mengatur kembali penggunaan jalan Kembang Jepun dari pagi sampai malam. Hasil pengaturan kembali peran dan fungsi jalan Kembang Jepun yang cukup berhasil dan bermanfaat bagi masyarakat banyak adalah menjadikan jalan Kembang Jepun sebagai pusat jajanan dan/atau rekreasi para pejalan kaki, yang dikenal sebagai ‘Kia-kia’ di malam hari. Beberapa manfaat yang dirasakan: pertama, kesibukan jalan Kembang Jepun di siang hari dihidupkan kembali di malam hari. Dengan demikian suasana sepi dari kawasan perdagangan di malam hari tidak mengkhawatirkan masyarakat yang melintasinya. Kedua, menghadirkan dekorasi dan/atau berbagai ornamen yang khas masyarakat Tionghoa merupakan usaha untuk melestarikan kawasan bersejarah - kota lama atau ‘China town’ - Surabaya. Peta integrasi lokal jalan Kembang Jepun dan jalan di sekitarnya yang diperlihatkan pada Gambar 7a dan Gambar 7b di atas menjelaskan dan memberikan dukungan pada gagasan pengaturan kembali peran dan fungsi jalan Kembang Jepun sepanjang hari. Dalam peta integrasi lokal pagi/siang hari (Gambar 8a) rangkaian jalan Rajawali Kembang Jepun - Kapasan (garis tebal) ditunjukan mempunyai kedudukan yang strategis dan sangat berpengaruh dalam konfigurasi jalan Kembang Jepun dan sekitarnya. Garis yang mewakili jalan Kapasari memotong jalan Kembang Jepun mengarah kearah selatan menjadi penghubung kawasan Kembang Jepun dengan pusat kota. Tampilan demikian dan hasil pengukuran menunjukan jalan Kembang Jepun tidak hanya mempunyai nilai integrasi tertinggi dan keterkaitan dengan jalan lain (cabang) terbanyak diantara jalanjalan yang ada di kawasan terkait, tetapi juga mempunyai kedudukan yang dangkal (tidak jauh) dari sisi luar kawasan. Perempatan jalan KapasanKejeran dan jalan Kapasari secara lokal mempunyai 150
peran yang cukup penting. Hal ini sebagai titik tolak untuk meninggalkan jalan dominant kota Surabaya menuju kawasan di sekitarnya.
Raja wali
-KbJ
epu n
-Kap
asan
(a)
Raja
wali KIA KIA
K a pa
s an
(b) Gambar 7. Peta integrasi lokal jalan Kembang Jepun dan jalan di sekitarnya: (a) kondisi di siang hari; (b) kondisi di malam hari
Sementara Gambar 7b adalah peta integrasi lokal malam hari. Memutus/meniadakan jalan Kembang Jepun untuk kegitaan pusat jajanan Kiakia, ternyata tidak mengurangi pengaruh peran dan fungsi jalan Rajawali dan jalan Kapasan terhadap kawasan disekitarnya. Dalam kedudukannya yang strategis, kedua jalan ini menjadi jalan masuk menuju dan keluar dari pusat jajanan Kia-kia. Dengan demikian tempat ini mudah dicapai dari pusat kota melalui jalan Rajawali yang mempunyai hubungan langsung atau jalan Kapasari. Jumlah jalan yang mempunyai nilai integrasi lokal tinggi (diperlihatkan dengan warna gelap) tidak berkurang; hanya beberapa jalan mengalami penurunan nilai integrasi lokal. Misalnya yang terjadi pada satu cabang jalan Kembang Jepun (jalan Simolawang). Hasil membandingkan Gambar 7(a) dan Gambar 7(b) untuk tampilan garis yang
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/
KEMBANG JEPUN: JALAN DOMINAN KOTA SURABAYA (Endang Titi Sunarti B. Darjosanjoto)
mewakili jalan Simolawang dalam peta lokal pagi/siang hari yang berwarna gelap menjadi terang dalam peta integrasi lokal di malam hari (Gambar 7b). Kondisi ini menerangkan bahwa pada malam hari peran dan fungsi jalan Simolawang berkurang di kawasan Kembang Jepun dan sekitarnya. Hal yang sama juga dialami oleh jalan Indrapura yang merupakan salah satu cabang jalan Rajawali. Untuk memberi gambaran mengenai peran dan fungsi jalan Kembang Jepun pada saat ini, Gambar 8a memperlihatkan suasana jalan Kembang Jepun di pagi/siang hari dan Gambar 8b suasana di malam hari.
dalam konfigurasi kota Surabaya secara keseluruhan. Namun lebih dari itu, hasil kajian mendukung sepenuhnya tindakan pemerintah kota bersama-sama pihak swasta dalam mengatur kembali peran dan fungsi jalan Kembang Jepun dan jalan yang terhubung dengannya (jalan Rajawali dan jalan Kapasan) sepanjang hari. Selain kegiatan penelusuran yang diuraikan diatas, hasil kajian ruang kota yang menggunakan teknik space syntax juga dapat mengungkap berbagai fenomena lingkungan binaan dengan dukungan hasil pengukuran yang akurat. Sementara bagi Pemerintah Kota kegiatan analisa yang berbasis teknologi informasi sangat membantu dalam mempercepat pengambilan keputusan dan memulai pelaksanaan pembangunan kota. DAFTAR PUSTAKA
(a)
Darjosanjoto, Endang T.S. The Spatial Morphology of Traditional Coastal Settlements of eastern Java in Indonesia. Doctoral Thesis (tidak dipublikasi) pada School of Architecture, Research and Graduate Studies in Arts (RGSA), the University of Manchester, UK. 2002. Darjosanjoto, Endang T.S. ‘Syntactic Measures’: pengukuran gabungan beberapa unsur yang terkait dalam pembentukan ruang. Majalah IPTEK ITS, volume 14 nomer 4, Nopember 2003, halaman 202-212. Darjosanjoto, Endang T.S. Spatial Growth and Function in a Javanese Coastal City. The 5th International Space Syntax Symposium Proceeding (ISSN 90-8594-002-8), TUDelft, 13-17 June 2005. Techne Press, Amsterdam, Holland. 2005.
(b) Gambar 8. Suasana jalan kembang jepun: (a) di pagi/ siang hari; (b) di malam hari
Handinoto. Perkembangan kota dan arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940. Andi Yogyakarta, Indonesia. 1996.
KESIMPULAN DAN SARAN
Hillier, B. and Hanson, J. The Social Logic of Space. Canbridge University Press, UK. 1984.
Aplikasi teknik space syntax yang digunakan dalam analisa konfigurasi ruang kota ternyata dapat menghasilkan ‘sesuatu’ yang membantu kegiatan penelusuran peran, perkembangan dan fungsi jalan tertentu dalam konteks kota secara keseluruhan. Penelitian di kawasan bersejarah Surabaya yang dikenal sebagai ‘kota-lama’ atau ‘China town’ tidak hanya mengungkapkan kekuatan pengaruh jalan utama kawasan yang bernama Kembang Jepun
Hillier, B., Penn, A., Hanson, J., Grajewski, T. and Xu, J. Natural Movement: configuration and attraction in urban pedestrian movement. Environment and Planning B, 20, 1993, hal. 29-66. Hillier, B. Space is the Machine: a configurational theory of architecture. Cambridge University Press, UK. 1996.
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/
151
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 33, No. 1, Desember 2005: 143 - 152
Iconoclast, S.T., Hillier, B., Hanson, J. and Penn, A. An Advanced Tutorial in Axman (ed. Vaughan, L). Space Syntax Laboratory, the Bartlett School of Graduate Studies, University College London (UCL), UK. 1997. Kubat, A. S. The morphological characteristics of Anatolian fortified towns. Environment and Planning B, 24, 1997, hal.95-123. Multhaup and Santosa. Surabaya. Living in City. Habitat Forum Berlin, Germany. 1984. Peponis, J., Hadjinikolaou, E., Livieratos, C. and Fatouros, D.A. The Spatial Core of Urban Culture. Ekistics, 324, January/ February 1989, hal. 43-45.
152
Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/