KEMAMPUAN BERBAGAI KOMBINASI ISOLAT BAKTERI SIMBION RAYAP DENGAN ISOLAT BAKTERI RUMEN DALAM MENDEGRADASIKAN PAKAN SUMBER SERAT
SKRIPSI DIETA PUSPITASARI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN DIETA PUSPITASARI. D24053996. 2009. Kemampuan Berbagai Kombinasi Isolat Bakteri Simbion Rayap dengan Isolat Bakteri Rumen dalam Mendegradasikan Pakan Sumber Serat. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Ir. Anita Sardiana Tjakradidjaja, MRur. Sc. : Ir. Widya Hermana, MSi.
Pola penyediaan pakan ternak ruminansia telah bergeser pada upaya pemanfaatan bahan pakan non konvensional yang berasal dari limbah pertanian dan perkebunan. Limbah pertanian dan perkebunan yang dapat dimanfaatkan adalah jerami padi dan serat sawit. Jerami padi dan serat sawit sangat berpotensi sebagai pakan ternak ruminansia karena jumlah produksi padi dan kelapa sawit selalu meningkat setiap tahun. Adapun permasalahan yang dihadapi adalah limbah ini mempunyai keterbatasan dalam hal rendahnya nutrisi dan daya cerna. Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya guna limbah tersebut adalah dengan memanfaatkan bakteri simbion rayap yang diketahui mampu mencerna pakan sumber serat dan mempunyai adaptabilitas dalam kondisi rumen. Penelitian sebelumnya diperoleh hasil bahwa kombinasi isolat bakteri simbion rayap A (SB 53 5(3)1) dan D (SC 51 5 (2)) terbaik dalam menghasilkan kecernaan yang tinggi. Sebelum dilakukan inokulasi isolat bakteri simbion rayap ke dalam tubuh ternak, perlu dipelajari hubungan kedua isolat bakteri simbion rayap dengan isolat bakteri rumen jika ditumbuhkan dalam kultur campuran. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji fermentabilitas dan kecernaan in vitro pakan sumber serat dan mencari kombinasi terbaik dari kultur campuran isolat bakteri simbion rayap dengan isolat bakteri rumen. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial 7 x 3 dengan pengambilan cairan rumen dari tiga ekor sapi sebagai kelompok. Faktor pertama adalah kombinasi antara bakteri simbion rayap dan bakteri rumen yaitu P1 (A + D + SE511), P2 (A + D + SE512), P3 (A + D + SE513), P4 (A + D + SE511 + SE512), P5 (A + D + SE512 + SE513), P6 (A + D + SE511 + SE513) dan P7 (A + D + SE511 + SE512 + SE513). A dan D adalah bakteri simbion rayap dan SE 511, SE 512 dan SE 513 adalah bakteri rumen. Faktor kedua adalah bahan pakan sumber serat yaitu rumput gajah, jerami padi dan serat sawit. Peubah yang diamati adalah konsentrasi NH3, produksi VFA total, Degradasi Bahan Kering (DBK), Degradasi Bahan Organik (DBO), Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA dan untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan diuji dengan uji orthogonal kontras. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pakan sumber serat sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi konsentrasi NH3, DBK, DBO, KCBK dan KCBO, namun tidak pada VFA. Rumput gajah menghasilkan konsentrasi NH 3 dan KCBK tertinggi (P<0,01) dibandingkan jerami padi dan serat sawit. DBK dan DBO rumput gajah dan serat sawit tertinggi (P<0,01) dibandingkan jerami padi. Namun, DBK rumput gajah lebih tinggi dibandingkan serat sawit (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kultur campuran lebih mudah mendegradasikan serat sawit dari pada jerami padi. KCBO ii
rumput gajah dan jerami padi tertinggi (P<0,01) dibandingkan serat sawit. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari kombinasi antara bakteri simbion rayap dan bakteri rumen pada semua peubah yang diamati. Namun terlihat dari degradasi dan kecernaan pakan sumber serat, perlakuan P7 menghasilkan nilai lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa bakteri rayap dapat berinteraksi dengan bakteri rumen dalam kultur yang beragam. Kata-kata kunci: bakteri simbion rayap, fermentabilitas, kecernaan, pakan sumber serat
iii
ABSTRACT Combination of Termite Simbion Bacteria and Rumen Bacteria in Degrading Fibrous Fibre D. Puspitasari., A. S. Tjakradidjaja and W. Hermana This experiment was conducted to determine ability of termite simbion bacteria that combined with rumen bacteria to degrade fibrous feeds. This experiment used a randomized block design with factorial design (7x3) and three replications. The first factor was combination between termite bacteria and rumen bacteria P1 (A + D + SE511), P2 (A + D + SE512), P3 (A + D + SE513), P4 (A + D + SE511 + SE512), P5 (A + D + SE512 + SE513), P6 (A + D + SE511 + SE513) and P7 (A + D + SE511 + SE512 + SE513). A (SB 53 5(3)1) and D (SC 51 5(2)) were isolates of termite bacteria and SE511, SE512 and SE513 were isolates of rumen bacteria. The second factor was fibrous feeds (napier grass, rice straw and palm press fibre). The rumen liquid was used as replications. The variables measured were concentration of NH 3, total VFA production, degradabilities of dry matter (DM) and organic matter (OM), digestibilities of dry matter (DM) and organic matter (OM). The data were analyzed by using analysis of variance and the differences between treatments were determined by contrast orthogonal. The results showed that differences in fibrous feeds affected significantly NH3 concentration, degradability of DM and OM and digestibilities of DM and OM (P<0.01), but did not produce significant effect on total VFA production. Napier grass has higher (P<0.01) NH3 concentration and DM digestibility than rice straw and palm press fibre. DM and OM degradabilities of napier grass and palm press fibre are higher (P<0.01) than those of rice straw. Napier grass and rice straw have higher (P<0.01) digestibilities of OM than palm press fibre. There are no significant effects of combination between termite bacteria and rumen bacteria treatment on all variables measured. It can be concluded that the combination between termite bacteria and rumen bacteria have synergic relationship in degradating fibrous feeds. Keywords: termite simbion bacteria, fermentability, degradability, fibrous feeds
iv
KEMAMPUAN BERBAGAI KOMBINASI ISOLAT BAKTERI SIMBION RAYAP DENGAN ISOLAT BAKTERI RUMEN DALAM MENDEGRADASIKAN PAKAN SUMBER SERAT
DIETA PUSPITASARI D24053996
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PERTERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 v
KEMAMPUAN BERBAGAI KOMBINASI ISOLAT BAKTERI SIMBION RAYAP DENGAN ISOLAT BAKTERI RUMEN DALAM MENDEGRADASIKAN PAKAN SUMBER SERAT
Oleh: DIETA PUSPITASARI D24053996
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 10 Agustus 2009
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur. Sc. NIP. 19610930 198603 2 003
Ir. Widya Hermana, MSi NIP. 19680110 199203 2 001
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr NIP. 19670107 199103 1 003
Dr. Ir. Idat G Permana, MSc.Agr NIP. 19670506 199103 1 001 vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 8 April 1987 di Bogor. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Aang Munawar dan Ibu Etty Suheryati. Penulis mengawali pendidikan di TK AKBAR Bogor dan diselesaikan pada tahun 1993. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SDN Cibuluh 1 Bogor. Pendidikan menengah pertama diselesaikan di SLTPN 5 Bogor pada tahun 2002 dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMUN 7 Bogor. Penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) sebagai mahasiswi Tingkat Persiapan Bersama (TPB), dan terdaftar pada mayor Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan dan mengambil minor Ekonomi dan Studi Pembangunan, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2006. Selama menempuh pendidikan terakhir, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak (Himasiter) sebagai anggota Biro Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) pada periode 2007-2008 dan menjadi asisten praktikum mata kuliah Mikrobiologi Nutrisi tahun ajaran 2008/2009. Selama menjadi mahasiswi, penulis berkesempatan magang di Taman Burung, Taman Mini Indonesia Indah Jakarta pada tahun 2007 dan di Balai Embrio Ternak Cipelang, Bogor pada tahun 2008.
vii
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul “Kemampuan Berbagai Kombinasi Isolat Bakteri Simbion Rayap dengan Isolat Bakteri Rumen dalam Mendegradasikan Pakan Sumber Serat”. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis pada bulan September 2008 hingga Februari 2009 di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengkaji fermentabilitas dan kecernaan in vitro pakan sumber serat oleh kultur campuran isolat bakteri simbion rayap dan isolat bakteri rumen serta mencari kombinasi terbaik dari kultur campuran isolat bakteri simbion rayap dengan isolat bakteri rumen yang ditumbuhkan dalam tri kultur, tetra kultur dan penta kultur. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..........................................................................................
ii
ABSTRACT .............................................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ..............................................................................
viii
DAFTAR ISI ............................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ....................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xiii
PENDAHULUAN ....................................................................................
1
Latar Belakang ........................................................................... Perumusan Masalah .................................................................... Tujuan ........................................................................................
1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
4
Pakan Sumber Serat .................................................................... Rumput Gajah ................................................................... Jerami Padi ........................................................................ Serat Sawit ........................................................................ Potensi Jerami Padi dan Serat Sawit............................................ Serat Kasar ................................................................................. Selulosa ............................................................................... Hemiselulosa ..................................................................... Lignin ................................................................................ Rayap ......................................................................................... Pencernaan Rayap ............................................................. Kemampuan Bakteri Rayap dalam Mendegradasikan Pakan Berserat Proses Pencernaan Ruminansia ...................................................
4 4 5 6 7 8 9 11 12 14 15 16 16
METODE .................................................................................................
20
Lokasi dan Waktu ....................................................................... Materi ......................................................................................... Bahan ................................................................................ Alat ................................................................................... Perlakuan.................................................................................... Peubah yang Diamati .................................................................. Rancangan Percobaan ................................................................. Analisis Data .............................................................................. Prosedur ..................................................................................... Peremajaan Bakteri............................................................ Pencernaan fermentatif ......................................................
20 20 20 20 21 21 22 22 23 23 23 ix
Pengukuran Konsentrasi NH3 ............................................. Pengukuran Konsentrasi VFA ............................................ Degradasi Bahan Kering dan Degradasi Bahan Organik ..... Pencernaan Hidrolisis Aerob .............................................. Koefisien Cerna Bahan Kering ........................................... Koefisien Cerna Bahan Organik ........................................
23 24 24 25 25 26
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
27
Konsentrasi Amonia .................................................................... Produksi VFA Total..................................................................... Degradasi Bahan Kering ............................................................. Degradasi Bahan Organik ............................................................ Koefisien Cerna Bahan Kering .................................................... Koefisien Cerna Bahan Organik...................................................
27 29 31 34 36 38
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
41
Kesimpulan ................................................................................. Saran ...........................................................................................
41 41
UCAPAN TERIMA KASIH .....................................................................
42
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
43
LAMPIRAN ..............................................................................................
48
x
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Data Produksi Padi dan Kelapa Sawit Nasional (ton/tahun) ..............
8
2. Rataan Populasi Isolat Bakteri ..........................................................
21
3. Rataan Konsentrasi NH3 oleh Kultur Campuran Isolat Bakteri Simbion Rayap dengan Isolat Bakteri Rumen ..................................
27
4. Rataan Konsentrasi VFA Total oleh Kultur campuran Isolat Bakteri Simbion Rayap dengan Isolat Bakteri Rumen ..................................
30
5. Rataan Persentase DBK oleh Kultur Campuran Isolat Bakteri Simbion Rayap dengan Isolat Bakteri Rumen ................................................ 32 6. Rataan Persentase DBO oleh Kultur Campuran Isolat Bakteri Simbion Rayap dengan Isolat Bakteri Rumen ................................................ 34 7. Rataan Persentase KCBK oleh Kultur Campuran Isolat Bakteri Simbion Rayap dengan Isolat Bakteri Rumen ..................................
36
8. Rataan Persentase KCBO oleh Kultur Campuran Isolat Bakteri Simbion Rayap dengan Isolat Bakteri Rumen ..................................
39
xi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Struktur Selulosa ..............................................................................
10
2. Struktur Hemiselulosa ......................................................................
12
3. Struktur Lignin ................................................................................
13
4. Proses Metabolisme Karbohidrat di dalam Rumen Ternak Ruminansia ......................................................................................
18
5. Proses Metabolisme Protein di dalam Rumen Ternak Ruminansia ...
19
xii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Analisis Ragam Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3 .....................
49
2. Analisis Ragam Perlakuan terhadap Produksi VFA Total .................
49
3. Analisis Ragam Perlakuan terhadap DBK ........................................
50
4. Analisis Ragam Perlakuan terhadap DBO ........................................
50
5. Analisis Ragam Perlakuan terhadap KCBK ......................................
51
6. Analisis Ragam Perlakuan terhadap KCBO ......................................
51
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Pakan merupakan hal yang penting dalam menunjang suatu usaha peternakan dan merupakan faktor utama pendukung suatu usaha peternakan selain cara pemeliharaan ternak. Umumnya pakan ternak ruminansia adalah pakan sumber serat yang berasal dari hijauan. Namun dengan berkurangnya lahan untuk menghasilkan hijauan pakan ternak akibat perluasan lahan untuk pemukiman dan produksi pangan, menyebabkan keterbatasan produksi pakan hijauan sehingga perlu mencari alternatif pakan lain. Pakan alternatif pengganti hijauan pakan ternak dapat berupa pakan sumber serat yang diperoleh dari limbah pertanian maupun perkebunan seperti jerami padi dan serat sawit. Limbah pertanian dan perkebunan secara fisik mempunyai potensi yang sangat besar sebagai pakan ternak. Limbah yang dikeluarkan dalam proses pengolahan cenderung mengikuti pola produksi, produktivitas dan luas areal penanaman setiap komoditi (Suparjo, 2008). Berdasarkan potensi produksinya, produksi padi dan kelapa sawit setiap tahun meningkat. Rata-rata peningkatan produksi padi setiap tahun dari tahun 2004 hingga tahun 2008 adalah 2,7 %, sedangkan rataan peningkatan produksi kelapa sawit setiap tahun sebesar 10,7 % dari tahun 2004 hingga tahun 2007 (BPS, 2009). Akan tetapi terdapat pembatasan dalam penggunaan jerami padi dan serat sawit karena rendahnya kandungan nutrisi berupa kadar protein yang rendah, serat kasar tinggi dan kecernaan yang rendah. Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai nutrisi pakan berserat sehingga dapat mengoptimalkan pakan berserat tersebut sebagai pakan ruminansia yaitu
dengan
memanfaatkan
mikroba
saluran
pencernaan
rayap
dalam
pendegradasian serat kasar oleh ruminansia untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok. Rayap merupakan serangga sosial pendegradasi kayu yang mengandung banyak selulosa, hemiselulosa dan lignin. Penelitian yang dilakukan Setianegoro (2004) menunjukkan hasil bahwa bakteri simbion rayap Macrotermes gilvus Hagen, Coptotermes curvignathus Holmgren dan Microtermes inspiratus Kemner serta gabungan ketiganya mempunyai kemampuan dalam mencerna pakan berserat seperti jerami padi, serat sawit dan rumput gajah. Akan tetapi kemampuannya masih lebih rendah bila dibandingkan 1
dengan sumber inokulum yang berasal dari mikroba cairan rumen dalam tingkat fermentasi dan kecernaan pakan berserat. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Widyastuti (2005) yang mendapatkan 13 isolat murni bakteri rayap maupun rumen yang mempunyai kemampuan selulolitik tertinggi. Sulistiani (2005) memilih lima isolat terbaik untuk diteliti lagi kemampuannya dalam fermentabilitas dan kecernaan pakan berserat. Pradana (2006) dan Solihat (2006) kemudian menguji kembali kemampuan kelima isolat bakteri tersebut jika diinkubasikan pada suhu yang berbeda yaitu suhu saluran pencernaan rayap (30 0C) dan suhu rumen (39 0C) dalam mencerna pakan berserat. Dari penelitian keduanya diperoleh tiga isolat terbaik yang daya cerna dan adaptabilitasnya tinggi yaitu isolat A (SB 53 5(3)1), D (SC 51 5 (2)) dan C (SB 53 1(3)2). Sopandi (2007) mengkaji kemampuan ketiga isolat bakteri tersebut bila ditumbuhkan secara kombinasi dan didapat hasil dua isolat bakteri simbion rayap yang terbaik yaitu isolat A (SB 53 5(3)1) yang berasal dari rayap Coptotermes curvignathus Holmgren dan isolat D (SC 51 5 (2)) yang berasal dari rayap Microtermes inspiratus Kemner. Sebelum dilakukan inokulasi isolat bakteri rayap ke dalam tubuh ternak perlu dipelajari hubungan kedua isolat bakteri rayap dengan isolat bakteri rumen jika ditumbuhkan dalam kultur campuran seperi di dalam rumen. Oleh karena itu kedua isolat bakteri tersebut digunakan dalam penelitian ini yang diuji kemampuan hidup dan daya cerna seratnya apabila ditumbuhkan secara kombinasi dengan isolat bakteri rumen dalam tri kultur, tetra kultur dan penta kultur. Perumusan Masalah Usaha peternakan tidak terlepas dari peranan faktor pakan. Pakan sangat penting dalam menunjang peningkatan produktivitas ternak. Akan tetapi terdapat beberapa kendala dalam hal penyediaan pakan seperti ketersediaannya yang kurang maupun tidak berkesinambungan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan memanfaatkan limbah-limbah yang berasal dari pertanian dan perkebunan. Namun pemanfaatan limbah-limbah tersebut masih sangat terbatas karena rendahnya nilai nutrisi dan daya cernanya. Untuk itu perlu dilakukan suatu usaha untuk meningkatkan nilai guna pakan tersebut secara fisik, kimia maupun biologis. 2
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa mikroba simbion rayap diketahui mampu hidup dalam kondisi rumen dan mencerna pakan berserat, sehingga isolat bakteri simbion rayap tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai guna limbah-limbah tersebut sebagai pakan. Selain itu dalam rumen juga terdapat berbagai mikroorganisme seperti bakteri, protozoa, fungi dan virus yang saling bekerjasama dalam mencerna makanan. Hasil penelitian sebelumnya telah ditemukan isolat bakteri simbion rayap terbaik yaitu A (SB 53 5(3)1) yang berasal dari rayap Coptotermes curvignathus Holmgren dan isolat D (SC 51 5 (2)) yang berasal dari rayap Microtermes inspiratus Kemner serta isolat bakteri rumen domba yang terbaik yaitu isolat SE 511, SE 512 dan SE 513. Proses pemecahan bahan pakan berserat akan lebih baik apabila isolat bakteri simbion rayap dan rumen ditumbuhkan secara campuran. Oleh karena itu perlu dipelajari interaksi yang terjadi antara kedua isolat tersebut bila ditumbuhkan secara campuran dalam memecah serat pakan. Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji fermentabilitas dan kecernaan in vitro pakan sumber serat oleh kultur campuran isolat bakteri simbion rayap dan isolat bakteri rumen dan mencari kombinasi terbaik dari kultur campuran isolat bakteri simbion rayap dengan isolat bakteri rumen yang ditumbuhkan dalam tri kultur, tetra kultur dan penta kultur.
3
TINJAUAN PUSTAKA Pakan Sumber Serat Rumput Gajah Rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach) merupakan jenis rumput unggul yang mempunyai produktivitas dan nilai gizi yang tinggi serta disukai ternak, khususnya ruminansia. Produktivitas dan nilai gizi rumput gajah dipengaruhi oleh tata laksana pemeliharaan, antara lain umur pada saat pemotongan. Rumput gajah sebaiknya dipotong pada fase vegetatif untuk menjamin pertumbuhan kembali sehingga produktivitas dan nilai gizinya tetap tinggi (Irwana et al., 2002). Dilihat dari kemampuan produksinya, rumput gajah mampu berproduksi tinggi, dapat ditanam dalam jumlah besar atau kecil dan dapat diusahakan secara mekanis atau juga untuk pertanian atau peternakan skala kecil. Ditambah lagi prospek rumput gajah cukup baik bila dilakukan pemupukan yang baik pula. Dengan memanen pada pertumbuhan yang masih muda atau dengan menggunakan kultivar yang baik akan mencapai nilai pakan yang tinggi (Manglayang Farm, 2005). McIlroy (1976) menyatakan bahwa perbandingan daun/batang, fase pertumbuhan pada waktu dipotong atau digembalai, kesuburan tanah dan pemupukan serta keadaan iklim mempengaruhi nilai gizi jenis pakan hijauan. Daya cerna hijauan makanan ternak pada ruminansia dan nilai gizi yang tinggi tergantung pada tercapainya imbangan yang tepat antara kandungan karbohidrat yang dapat larut dengan kandungan nitrogen. Rumput-rumput yang berdaun lebat lebih disukai untuk penggembalaan oleh karena daun lebih banyak mengandung protein dan lebih sedikit kadar serat kasarnya dibandingkan batang. Rumput gajah akan berkurang kandungan protein, mineral dan karbohidrat yang mudah larut dengan meningkatnya umur, sedangkan kandungan serat kasar dan ligninnya meningkat. Perubahan-perubahan ini dapat mengurangi palatabilitas, jumlah yang dimakan dan daya cerna sehingga mengakibatkan berkurangnya asupan energi dan protein bagi ternak (Reksohadiprojo, 1985). Seperti rumput-rumputan asal tropik lainnya, rumput gajah lebih banyak menyimpan karbohidrat dalam bentuk pati daripada bentuk fruktan dan umumnya disimpan dalam bagian daun. Umumnya rumput ini mengandung bahan kering (BK) yang rendah yaitu 12-18 %. Kandungan TDN berkisar antara 40-67 % dengan 4
kecernaan BK sekitar 48-71 %. Serat kasar berkisar dari 26-40,5 %, BETN sekitar 30,4-49,8 % dan kandungan lemak kasar 1,0-3,6 % (Sofyan et al., 2000). Bagian yang dapat dicerna dari rumput gajah yaitu protein kasar = 5,92 %; serat kasar = 22,74 %; lemak = 0,84 % dan BETN = 25,6 % (Sutanmuda, 2008). Jerami Padi Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang potensial sebagai sumber energi yang dapat dimanfaatkan bagi ternak ruminansia. Jerami padi adalah hijauan dari tanaman padi (Oryza sativa Linn) setelah biji atau bulirnya dipetik untuk kepentingan manusia dan telah dipisahkan dari akarnya. Menurut Doyle et al. (1986) perbandingan antara produksi padi dan jerami padi diperkirakan 1:1. Jika jerami padi langsung diberikan kepada ternak tanpa melalui proses pengolahan, maka jerami padi ini akan tergolong sebagai makanan ternak yang berkualitas rendah (Marhadi, 2009). Laconi (1992) menyatakan bahwa jerami padi dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi ternak ruminansia, namun menyebabkan
penampilan
produksinya
kurang
memuaskan
akibat
adanya
lignoselulosa yang tinggi. Sutardi (1980) menambahkan bahwa jerami padi sebagai pakan ternak masih terbatas sekali pemanfaatannya, karena hanya berperan sebagai bulk dan menggantikan tidak lebih dari 25% kebutuhan ternak akan rumput. Jerami padi mengandung serat kasar dan silika yang tinggi disertai kadar protein, pati dan lemak yang rendah (Doyle et al., 1986). Kandungan jerami padi menurut Sutardi (1981) adalah BK = 87,5 %, abu = 19,9 %, protein kasar = 4,15 %, lemak kasar = 1,47 %, serat kasar = 32,5 % dan Beta-N = 45 %. Kecernaan jerami padi relatif rendah karena mengandung silika yang cukup tinggi yaitu sekitar 8-14% (Suparjo et al., 2008b), yang terikat ke dalam gugus organik. Bersama-sama dengan mineral lain silikat membentuk suatu lapisan tipis yang menyelimuti bagian luar dinding sel sehingga dapat menghalangi kerja enzim pencerna bahan organik. Pertambahan 1% kandungan silikat dalam hijauan makanan ternak akan menurunkan koefisien cerna bahan organik sebanyak 1% (Sofyan dan Suwoko, 1986). Selain itu jerami padi juga mengandung oksalat yang mampu menurunkan absorpsi kalsium (Suparjo et al., 2008b). Jerami padi berasal dari tanaman padi yang dipanen pada umur tua, dengan kandungan dinding sel yang tinggi dan tingkat lignifikasi yang sempurna, maka sulit 5
dirombak oleh mikroba rumen (Wardhani et al., 1983). Akhirani (1998) menambahkan dinding sel jerami padi sebagian besar tersusun dari lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Sebagian besar selulosa dan hemiselulosa mudah dicerna oleh mikroba rumen, akan tetapi komponen ini dalam jerami padi terdapat dalam ikatan kompleks lignoselulosa dan lignohemiselulosa sehingga sulit dicerna. Menurut Marhadi (2009), nilai manfaat jerami padi sebagai bahan pakan ternak dapat ditingkatkan dengan dua cara, yaitu mengoptimumkan lingkungan saluran pencernaan dan meningkatkan nilai nutrisi jerami. Optimasi lingkungan saluran pencernaan terutama rumen, dapat dilakukan dengan pemberian bahan pakan suplemen yang mampu memicu pertumbuhan mikroba rumen pencerna serat seperti bahan pakan sumber protein. Sementara nilai nutrisi dan tingkat pemanfaatan dapat diperbaiki dengan memberikan perlakuan yang dapat meningkatkan kandungan protein dan perenggangan ikatan lignoselulosa. Serat Sawit Serat sawit (palm press fibre) adalah hasil ikutan pengolahan kelapa sawit yang dipisahkan dari buah setelah pengutipan (pengambilan) minyak dan biji sawit dalam proses pemerasan (Agustin, 1991). Selain serat sawit, terdapat hasil ikutan dan limbah pengolahan kelapa sawit lain yang dapat dijadikan sumber pakan ternak yaitu bungkil inti sawit (palm kernel cake) dan lumpur minyak sawit (palm oil sludge) (Irawadi, 1990). Suparjo et al. (2008b) menyatakan bahwa serat sawit merupakan limbah yang proporsinya cukup besar dihasilkan yaitu sekitar 12 % dari tandan buah kelapa sawit segar. Kandungan serat sawit menurut Agustin (1991) adalah BK = 93,2 %, abu = 6,46 %, protein kasar = 5,93 %, lemak kasar = 5,19 %, serat kasar = 40,80 % dan beta-N = 41,62 %. Selanjutnya dijelaskan bahwa substitusi rumput dengan serat sawit dan substitusi dedak padi dengan lumpur minyak sawit sampai tingkat 100 % menghasilkan kecernaan serat kasar rata-rata 43,5 % (Agustin, 1991). Hasil yang diperoleh Agustin (1991) tidak berbeda dengan yang diperoleh Aritonang (1986) yaitu serat sawit mengandung komponen serat kasar yang tinggi (40,5-41,5 %), terdiri dari bagian-bagian berupa lignin, hemiselulosa dan abu sehingga dapat digunakan sebagai bahan pakan sumber serat untuk ternak ruminansia. Serat kelapa sawit juga mengandung silika sebesar 2,48 % (Suparjo et 6
al., 2008b). Selain itu serat sawit merupakan limbah yang mengandung ikatan lignoselulolitik, dimana selulosa tidak terdapat dalam bentuk bebas melainkan berikatan dengan lignin (Aritonang, 1986). Terdapat beberapa keunggulan dan kendala dalam memanfaatkan hasil limbah perkebunan kelapa sawit sebagai pakan ternak. Keunggulannya adalah produksinya banyak dan dapat menjadi sumber zat-zat makanan seperti serat, energi dan protein. Kendala-kendala yang akan dialami yaitu : [1] produksi yang tidak selokasi atau berdekatan dengan usaha peternakan, [2] mengandung lignin dan [3] mudah tengik (Suryahadi dan Piliang, 1993). Tingginya kandungan lignin ini menyebabkan tingkat kecernaan serat sawit sebagai bahan makanan ternak rendah. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan penggunaan limbah kelapa sawit ini yaitu pengolahan yang lebih efektif sehingga mampu memutuskan
ikatan
lignoselulosa
dan
secara
tidak
langsung
membantu
meningkatkan nutrien limbah tersebut (Irawadi, 1990). Akhirani (1998) menjelaskan terdapat beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kecernaan atau fermentabilitas pakan serat ini, yaitu dengan memberi perlakuan pada pakan berkualitas rendah sebelum diberikan pada ternak, baik secara fisik (pemotongan, penggilingan, perendaman dan pemelletan), secara kimia (penambahan larutan basa atau amoniasi) dan juga secara biologi berupa fermentasi, penambahan enzim serta menumbuhkan jamur dan bakteri. Potensi Jerami Padi dan Serat Sawit Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak selalu dikaitkan dengan harga yang murah dan kualitas yang rendah. Besaran pemanfaatan limbah sangat tergantung pada potensi limbah baik secara kuantitas dan kualitas yang dapat dimanfaatkan. Daya dukung limbah sebagai bahan baku pakan mampu memenuhi tiga aspek pola penyediaan bahan pakan yaitu aspek kuantitas (jumlah), kualitas (mutu) dan kontinuitas (kesinambungan) (Suparjo et al., 2008a). Jerami padi dan serat sawit sebagai limbah pertanian dan perkebunan secara fisik mempunyai potensi yang sangat besar sebagai pakan ternak. Limbah yang dikeluarkan dalam proses pengolahan cenderung mengikuti pola produksi, produktivitas dan luas areal penanaman tiap komoditi (Suparjo, 2008). Terlihat dari Tabel 1 bahwa produksi padi dan kelapa sawit setiap tahun meningkat. 7
Tabel 1. Data Produksi Padi dan Kelapa Sawit Nasional (ton/tahun) Komoditi
2005
2006
2007
2008
Padi
54.151.097
54.454.937
57.157.435
60.251.073
Kelapa Sawit
10.119.061
10.961.800
11.809.800
*
Keterangan Sumber
: * menunjukkan belum terdapat data : Biro Pusat Statistik (2009)
Perbandingan produksi padi dan jerami padi adalah sekitar 1 : 1 (Doyle et al., 1986) maka dapat diketahui jumlah jerami padi yang dihasilkan. Tabel 1 menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah jerami padi yang sangat tinggi pada tahun 2007 ke tahun 2008. Rataan peningkatan jerami padi berdasarkan produksi padi adalah sekitar 3,6 % dari tahun 2005 hingga tahun 2008. Serat sawit dihasilkan sekitar 12 % dari tandan buah kelapa sawit segar (Suparjo et al., 2008b). Prediksi jumlah serat sawit yang dihasilkan dari tahun 2005 hingga tahun 2007 berturut- turut adalah 1.214.287, 1.315.416 dan 1.417.176 (ton/tahun). Dengan demikian dapat diketahui bahwa peningkatan serat sawit berdasarkan produksi kelapa sawit dari tahun 2005 hingga tahun 2007 adalah sekitar 2,5 %. Serat Kasar Karbohidrat dibagi menjadi dua fraksi, yaitu fraksi serat kasar yang sulit dicerna dan fraksi bahan ekstrak tanpa N (Beta-N) yang bersifat mudah dicerna (Sutardi, 1980). Menurut Sofyan et al. (2000), serat kasar adalah fraksi dari karbohidrat yang tidak larut dalam basa maupun asam encer setelah pendidihan masing-masing selama 30 menit. Serat kasar terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin. Fraksi serat kasar dapat diukur berdasarkan kelarutannya dalam larutanlarutan detergen, yaitu menggunakan analisis Van Soest (Tillman et al., 1989). Sutardi (1980) menjelaskan bahwa pada analisis Van Soest bahan makanan mula-mula dimasak dalam larutan detergen netral. Larutan detergen ini membagi BK bahan makanan menjadi isi sel dan dinding sel. Pada analisis ini juga diuji kelarutan bahan makanan dalam larutan detergen asam. Pemasakan dalam larutan detergen asam ini membagi dinding sel menjadi fraksi yang larut yaitu hemiselulosa dan sedikit protein dinding sel. Fraksi yang tidak larut adalah lignoselulosa (ADF). Fraksi ADF dibagi menjadi fraksi selulosa dan lignin. Kandungan Acid Detergen Fiber (ADF) hijauan pakan erat hubungannya dengan manfaat bahan makanan bagi ternak. 8
Bila kadar bahan makanan tinggi terutama lignin, maka koefisien cerna bahan makanan itu rendah. Arora (1989) menyatakan bahwa ADF terdiri dari lignin, selulosa, silika, substansi nitrogen terikat dan pektin. Kandungan serat kasar yang tinggi dalam suatu ransum umumnya kurang menunjang produksi ternak karena konsumsi ransum yang rendah. Hal ini disebabkan kandungan serat kasar dalam pakan yang tinggi akan menghambat gerak laju digesta di dalam alat pencernaan (Winugroho et al., 1983). Selain itu Tillman et al. (1989) melaporkan bahwa setiap pertambahan 1% serat kasar dalam tanaman menyebabkan penurunan daya cerna bahan organiknya sekitar 0,7-1,0 unit pada ruminansia. Menurut Sutardi (1980), serat kasar diduga kaya akan lignin dan selulosa sehingga sulit dicerna. Sebaliknya, Beta-N diharapkan banyak mengandung gula dan pati yang mudah dicerna. Akan tetapi tidak semua serat kasar sulit dicerna karena sebagian selulosa terdapat juga dalam fraksi Beta-N. Sebagian besar lignin terdapat dalam Beta-N, padahal lignin tidak dapat dicerna. Kasus ini sering terjadi pada hijauan makanan ternak seperti rumput, leguminosa dan jerami oat. Hewan tidak menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa dan hemiselulosa. Akan tetapi mikroorganisme dalam suatu saluran pencernaan menghasilkan selulase dan hemiselulase yang dapat mencerna selulosa dan hemiselulosa dan juga dapat mencerna pati dan kabohidrat yang larut dalam air menjadi asam-asam asetat, propionat dan butirat sebagai non spesifik energi. Namun lignin tidak dapat dicerna baik oleh ruminansia maupun mikroorganisme (Tillman et al., 1989). Dalam saluran pencernaan, fungsi hemiselulosa dan selulosa tidak spesifik, tetapi penting dalam meningkatkan gerak peristaltik pada pencernaan hewan golongan non ruminansia, sebagai sumber energi bagi mikroorganisme dalam lambung dan sebagai bahan pengisi lambung. Golongan lignin tidak memiliki hasil akhir dari proses pencernaan dan keberadaannya dapat menghambat proses pencernaan pada ternak (Tillman et al., 1989). Selulosa Selulosa merupakan salah satu bahan organik yang terdapat dalam jumlah banyak di alam dan merupakan sumber energi yang sangat potensial bagi ruminansia (Arora, 1989). Selulosa juga membentuk dinding sel tanaman. Selulosa dapat berasal 9
antara lain dari kayu, rumput-rumputan, alang-alang, bambu, rami serta sisa-sisa perkebunan seperti bagas tebu dan padi-padian (Irawadi, 1990). Selulosa adalah polimer dari β-D-glukosa dan gugus atas dan bawahnya dihubungkan dengan CH2OH (Zamora, 2005). Selulosa murni adalah homoglycan dari bobot molekul yang tinggi dengan unit berikutnya berbentuk selobiosa. Pada tanaman, ikatan selulosa dibentuk dengan cara yang tersusun untuk memproduksi kumpulan padat (mikrofibril) yang disatukan bersamaan baik oleh ikatan molekul hidrogen inter maupun intra (McDonald et al., 2002). Menurut Harjo et al. (1989), secara alamiah molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa paralel yang dihubungkan oleh ikatan hydrogen. Fibrilfibril tersebut akan membentuk kristal dan struktur tersebut dibungkus oleh lignin yang berperan melindungi selulosa terhadap serangan enzim pemecah selulosa. Struktur selulosa ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Selulosa (Zamora, 2005)
Tillman et al. (1989) menjelaskan bahwa selulosa dicerna dalam tubuh ternak dalam saluran pencernaan oleh selulase menghasilkan selobiosa yang kemudian dihidrolisis lebih lanjut oleh enzim selobiase untuk menghasilkan glukosa. Enzim selulase tidak dihasilkan oleh jaringan hewan. Selulase merupakan golongan enzim yang mampu memutuskan ikatan β-1,4 pada substrat selulosa dan turunannya (selodekstrin, selobiosa dan lain-lain). Hasil akhir pencernaan oleh jasad renik terhadap selulosa adalah VFA yang terdiri dari campuran asam asetat, asam propionat dan asam butirat. Selain itu juga dihasilkan gas metan dan CO2. Menurut Irawadi (1990), struktur selulosa sebagai polimer karbohidrat atau polisakarida tersusun dari anhidroglukopiranosa yang memiliki rumus C6H10O5. Selulosa diikat oleh β-1,4-glukosida alam, membentuk rantai polimer linier glukan dengan struktur rantai yang seragam. Ikatan β-1,4 glikosida pada selulosa merupakan ikatan penghubung antar unit D-glukosa (Lehninger, 1982). Ikatan penghubung ini
10
dapat dipecah menjadi monomer-monomer glukosa melalui jalur hidrolisa asam dan hidrolisa enzimatis atau biologis (Harjo et al., 1989). Harjo et al. (1989) menambahkan bahwa meskipun ikatan glikosidik beta1,4 pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer-monomer glukosa dengan cara hidrolisa asam atau hidrolisa enzimatis, akan tetapi pemecahannya tidak secepat pati atau gula. Selulosa memiliki kecernaan yang rendah disebabkan adanya komponen yang biasa berikatan dengan selulosa, yaitu lignin. Hidrolisis selulosa akan menghasilkan tiga jenis monosakarida yaitu xylan dan arabinosa dalam jumlah yang lebih banyak dan glukosa dalam jumlah yang lebih sedikit. Faktor yang membatasi kecernaan dinding sel tanaman dapat disebabkan oleh efek kimia dan fisik. Efek kimia yang membatasi kecernaan dinding sel adalah adanya hubungan lignin-karbohidrat dan asetilasi hemiselulosa. Sedangkan efek fisik yang membatasi kecernaan dinding sel oleh karena adanya pembungkus mikrofibril selulosa dalam suatu matriks hidrofobik yang terikat secara kovalen baik pada selulosa maupun hemiselulosa. Hubungan lignin-karbohidrat lebih berperan dalam mencegah hidrolisis polimer selulosa (Sa’id, 1994). Hemiselulosa Irawadi (1991) menjelaskan bahwa hemiselulosa merupakan polimer dari monomer glukosa (gula-gula anhidro) penyusun yang dapat dikelompokkan kepada heksosa, pentosa, asam heksuronat, dan dioksi heksosa. Rantai utama hemiselulosa terdiri hanya satu macam monomer saja, atau dua atau lebih monomer (heteropolimer). Hemiselulosa terutama terdapat pada limbah hasil pertanian yang umumnya banyak mengandung ikatan hetero-1,4-D-mannan atau pada gramineae (rumput atau biji-bijian) yang banyak mengandung komponen heteroxilan. Suparjo et al. (2008a) menyatakan bahwa jumlah hemiselulosa biasanya antara 15 dan 30 % dari berat kering bahan lignoselulosa. Struktur hemiselulosa terdiri atas unit D-glukosa, D-galaktosa, D-manosa, Dxylosa dan L-arabinosa yang terbentuk bersamaan dalam kombinasi dan ikatan glikosidik yang bermacam-macam (Gambar 2). Selain itu juga diduga mengandung asam uronic (McDonald et al., 2002). Menurut Tillman et al. (1989), hemiselulosa terdiri dari dua sampai tujuh residu gula yang berbeda. Jenis hemiselulosa selalu dipilih berdasarkan residu gula yang ada. Golongan hemiselulosa dapat dibagi 11
menjadi dua tipe : [1] xilan dan gluko- dan galaktogluko-mannan dan [2] tipe glukodan galaktogluko- mannan dan tipe tanaman rumput mengandung rantai pokok unit xilan dengan rantai cabang unit asam metil- galaktosa.
Gambar 2. Struktur Hemiselulosa (Carpita dan McCann, 2000)
Tillman et al. (1989) menyatakan bahwa hemiselulosa yang terhidrolisis akan menghasilkan heksosa, pentosa dan asam uronat. Hemiselulosa dihidrolisa oleh jasad renik (mikroba) dalam saluran pencernaan dengan enzim hemiselulase dan akhir fermentasinya adalah VFA. Gong (1981) dalam Sa’id (1994) juga menyatakan bahwa hidrolisis hemiselulosa akan menghasilkan tiga jenis monosakarida yaitu xylan dan arabinosa dalam jumlah yang lebih banyak dan glukosa dalam jumlah yang lebih sedikit. Produk ini selanjutnya dapat difermentasi oleh beberapa macam mikroorganisme yang mampu menggunakan gula pentosa sebagai subtratnya. Produk biokonversi hemiselulosa antara lain metana, asam organik, alkohol dan lain-lain. Lignin Lignin ditemukan di setiap jaringan tumbuhan, umumnya diantara sel dengan sel tetapi dapat juga ditemukan di luar sel dan pada dinding sel. Pada tanaman, lignin berfungsi menebalkan dinding sel dan menjaga agar tanaman tidak mudah tumbang, serta mengatur aliran cairan. Selain itu juga memungkinkan pohon (tanaman) untuk tumbuh tinggi (McCrady, 1991). Irawadi (1990) menyatakan bahwa lignin merupakan senyawa polimer yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa pada jaringan tanaman, dan tersusun atas kompleks polimer hidrokarbon dengan komponen senyawa alifatik dan aromatik (Gambar 3). Menurut Enari (1983), lignin merupakan lapisan protektif pada struktur 12
selulosa-hemiselulosa dan jaringan tanaman selama pertumbuhan. Lignin ini menjadi penghalang hidrolisis selulosa, karena lignin berperan sebagai pelindung selulosa terhadap serangan enzim pemecah selulosa. Lignin bukan karbohidrat, tetapi digolongkan sebagai kelompok penyusun tanaman, berpengaruh terhadap dinding sel secara kimia dan biologi, dan kekuatan tanaman. Selain itu lignin merupakan polimer murni dari tiga derivat fenilpropana: cumaryl alcohol, coniferol alcohol dan sinapyl alcohol. Molekulnya terbentuk dari beberapa unit phenylpropanoid yang tergabung dalam struktur cross-linked kompleks (McDonald et al., 2002).
Gambar 3. Struktur Lignin (Lora, 2006)
Lignin sangat tahan terhadap setiap degradasi kimia, termasuk degradasi enzimatik. Kadar lignin bertambah dengan bertambahnya umur tanaman sehingga menyebabkan daya cerna yang makin rendah dengan bertambahnya lignifikasi. (Tillman et al., 1989). Selain itu menurut Liyama (2000), selama masa pemasakan tanaman, kadar lignin akan bertambah secara berangsur-angsur dan kecernaan dinding sel secara cepat akan menurun. Penurunan kecernaan dinding sel ditentukan oleh deposisi lignin. Menurut Arora (1989), lignin dapat mempengaruhi proses pencernaan hanya jika berada dalam dinding sel. Adapun proses lignin mengurangi kecernaan kabohidrat melalui pembentukan ikatan hidrogen pada sisi kritis sehingga membatasi aktivitas selulase.
13
Rayap Menurut Sigit et al. (2006) rayap merupakan serangga sosial dan terdapat pembagian pekerjaan diantara kastanya. Makanan utama rayap adalah kayu atau bahan yang terdiri atas selulosa. Rayap mampu memakan selulosa dan melumatkan serta menyerapnya sehingga sebagian besar ekskremen hanya tinggal lignin saja (Tarumingkeng, 2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rayap adalah keadaan lingkungan, ukuran badan dan besar-kecilnya koloni (Sigit et al., 2006). Rayap-rayap bersarang dalam tanah terutama dekat pada bahan organik yang mengandung selulosa seperti kayu, serasah dan humus. Jenis rayap tanah tersebut adalah rayap Termitidae yang paling umum menyerang bangunan dan objek-objek berjarak sampai 200 m dari sarangnya yaitu dengan bantuan enzim yang dikeluarkan dari mulutnya. Rayap Termitidae tidak memiliki protozoa. Bagi rayap ini bakteri mempunyai peranan yang dominan dan bahkan pada beberapa jenis rayap seperti Macrotermes, Odontotermes dan Microtermes memerlukan bantuan jamur perombak kayu yang dipelihara di “kebun jamur” dalam sarangnya (Tarumingkeng, 2001). Rayap juga memakan struktur kayu dalam bangunan sehingga dapat menimbulkan dampak yang negatif. Namun sebenarnya di alam rayap menciptakan sumbangan positif terhadap ekosistem bumi. Sumbangan rayap yang paling besar adalah dalam mendaur ulang kayu dan bahan tanaman. Selain itu rayap juga membuat lorong-lorong di dalam tanah sehingga tanah menjadi gembur dan poros yang cukup baik untuk pertumbuhan tanaman (Sigit et al., 2006). Hal tersebut juga didukung oleh Tarumingkeng (2001) yang menyatakan bahwa berdasarkan bahan yang digunakan dalam makanannya yaitu selulosa, maka dapat dikatakan rayap termasuk golongan perombak bahan mati yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi kelangsungan kehidupan dalam ekosistem manusia. Semua rayap memakan kayu yang mengandung selulosa, tetapi perilaku makan (feeding behaviour) jenis-jenis rayap bermacam-macam. Rayap juga dikenal sebagai micoruminan karena mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan antara mikroba usus rayap dan mikroba rumen memiliki kesamaan dalam mendegradasi selulosa (Adawiah, 2000).
14
Pencernaan Rayap Tidak berbeda jauh dengan sapi, rayap juga memiliki organ pencernaan yang pada setiap tahap-tahapnya terdapat sekumpulan mikroba. Mikroba-mikroba tersebut mempunyai tugas masing-masing, sesuai dengan tahapannya untuk mengubah polimer kayu menjadi gula (Syukri, 2007). Sigit et al. (2006) menyatakan bahwa rayap mempunyai mikroorganisme di dalam ususnya yang dapat mengubah selulosa menjadi bahan-bahan lain yang dapat dicerna oleh tubuh rayap. Selanjutnya Lehninger (1982) menjelaskan bahwa rayap mudah mencerna selulosa karena di ususnya memiliki organisme parasit Trichonympha yang menghasilkan selulase, yaitu enzim penghidrolisa selulosa yang menyebabkan rayap mampu mencerna kayu. Seperti pada rumen ruminansia, keberadaan mikroorganisme di dalam usus rayap merupakan suatu bentuk interaksi yang menguntungkan (simbiosis mutualisme). Rayap memberikan perlindungan berupa tempat yang anaerob dan makanan bagi mikroorganisme. Di lain pihak mikroorganisme menyumbang enzim selulase
untuk
pencernaan rayap.
Namun
masing-masing
mikroorganisme
mempunyai peran yang berbeda dalam mencerna selulosa tergantung kepada kelas rayap, dimana mikroorganisme tersebut berdiam. Pada rayap kelas tinggi bakteri menjadi mikroba dominan dalam mencerna pakan (Breznak, 1982). Selain mikroba rumen, mikroorganisme di dalam saluran pencernaan rayap juga diketahui mempunyai aktivitas selulolitik yang berbeda kemampuannya dibandingkan mikroba rumen. Produk fermentasi yang dihasilkan oleh mikroba dalam saluran pencernaan rayap berupa VFA terutama asetat, propionat, iso butirat dan iso valerat (Adawiah, 2000). Terdapat kesamaan aktivitas dalam proses makan antara rayap dan ruminansia, yaitu [1] dapat memanfaatkan sumber pakan berupa selulosa, [2] terdapat mikroorganisme pendegradasi serat kasar dalam saluran pencernaannya, [3] produk fermentasi yang dihasilkan dari proses pencernaan pakan dan [4] kondisi dalam alat pencernaan yaitu rumen dalam ruminansia dan usus belakang dalam rayap adalah anaerob. Selain itu juga terdapat perbedaan aktivitas pencernaan makanan antara ruminansia dan rayap, yaitu dalam rumen lebih didominasi oleh bakteri, sedangkan dalam rayap lebih didominasi oleh protozoa. Pada rayap, produk fermentasinya tidak selengkap pada ruminansia (Oldeson dan Breznak, 1983).
15
Kemampuan Bakteri Rayap dalam Mendegradasikan Pakan Berserat Bakteri simbion rayap yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil pemurnian dari penelitian-penelitian sebelumnya. Setianegoro (2004) menyatakan bahwa bakteri simbion rayap Macrotermes gilvus Hagen, Coptotermes curvignathus Holmgren dan Microtermes inspiratus Kemner serta gabungan ketiganya mempunyai kemampuan dalam mencerna pakan berserat seperti jerami padi, serat sawit dan rumput gajah. Akan tetapi kemampuannya masih lebih rendah bila dibandingkan dengan sumber inokulum yang berasal mikroba cairan rumen dalam tingkat fermentasi dan kecernaan pakan berserat. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Widyastuti (2005) menghasilkan 28 isolat bakteri rayap maupun rumen dan dari penelitian selanjutnya yang masih dilakukan oleh Widyastuti (2005) didapatkan 13 isolat murni bakteri rayap dan rumen yang mempunyai kemampuan selulolitik tertinggi. Sulistiani (2005) mendapatkan lima isolat terbaik untuk diteliti lagi kemampuannya dalam fermentabilitas dan kecernaan pakan berserat. Sedangkan penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Pradana (2006) dan Solihat (2006) menunjukkan bahwa bakteri simbion rayap dapat hidup dalam suhu rumen yaitu 390C dan mendapatkan isolat terbaik yaitu isolat A (SB 53 5(3)1), D (SC 51 5 (2)) dan C (SB 53 1(3)2) karena memiliki daya cerna yang tinggi. Sopandi (2007) mengkaji kemampuan ketiga isolat bakteri tersebut bila ditumbuhkan secara kombinasi dan didapat hasil dua isolat bakteri simbion rayap yang terbaik yaitu isolat A (SB 53 5(3)1) yang berasal dari rayap Coptotermes curvignathus Holmgren dan isolat D (SC 51 5 (2)) yang berasal dari rayap Microtermes inspiratus Kemner. Proses Pencernaan Ruminansia Lambung ruminansia terdiri atas 4 bagian, yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum dengan ukuran yang bervariasi sesuai dengan umur dan makanan alamiahnya. Kapasitas rumen 80%, retikulum 5%, omasum 7-8%, dan abomasum 7-8%. Pembagian ini terlihat pada saat otot sfinkter berkontraksi (Netfarm Fapet Unpad, 2007). Sutardi (1980) menyatakan bahwa proses pencernaan pada ternak ruminansia terjadi secara mekanis (di dalam mulut), secara fermentatif (oleh enzim-enzim yang berasal dari mikroba rumen) dan secara hidrolisis (oleh enzim-enzim pencernaan hewan induk semang). Posisi proses pencernaan fermentatif bervariasi antar jenis 16
ternak. Posisi tersebut akan menentukan karakteristik pakan yang sesuai untuk jenis ternak bersangkutan. Sutardi (1988) menjelaskan proses pencernaan pada ternak ruminansia yaitu makanan yang masuk ke mulut ruminansia akan mengalami proses pengunyahan secara mekanis. Dalam proses ini makanan akan bercampur dengan saliva, lalu masuk ke dalam rumen melalui esophagus untuk selanjutnya mengalami proses pencernaan fermentatif. Di dalam rumen pakan tersebut akan dicerna oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Selama di dalam rumen makanan yang kasar akan dikembalikan ke mulut dalam bentuk bolus dan dipecah lagi di mulut melalui proses memamahbiak (ruminasi). Produk ruminasi selanjutnya ditelan kembali dan masuk ke dalam retikulum, omasum dan abomasum. Pakan yang masuk ke dalam abomasum akan dicerna oleh enzim pepsin dan dilanjutkan dengan pencernaan secara hidrolitik di usus halus. Produk fermentasi di rumen akan diserap melalui dinding rumen, sedangkan produk pencernaan hidrolitik diserap melalui dinding usus halus. Zat yang diserap selanjutnya akan masuk ke dalam sistem peredaran darah Jumlah bakteri rumen sebesar 109-1010 /ml isi rumen (McDonald et al., 2002). Selain bakteri, di dalam rumen juga terdapat protozoa. Bakteri dan protozoa akan merombak zat makanan secara fermentatif sehingga menjadi senyawa lain yang berbeda dari molekul zat makanan asalnya. Misalnya, protein dirombak menjadi NH 3 dan VFA, sedangkan karbohidrat dirombak menjadi VFA (Sutardi, 1980). Proses fermentasi karbohidrat di dalam rumen ditampilkan dalam Gambar 4 dan proses degradasi protein ditunjukkan dalam Gambar 5. Selain itu, Arora (1989) juga menyatakan bahwa di dalam rumen spesiesspesies bakteri dan protozoa yang berbeda saling berinteraksi melalui hubungan simbiosa dan menghasilkan produk-produk yang khas seperti selulosa, hemiselulosa dan pati melalui pencernaan polimer tumbuhan. Selulosa, hemiselulosa dan pektin yang merupakan golongan karbohidrat struktural berupa serat dan kabohidrat sederhana yang fermentabel (gula dan pati) dapat dicerna dengan baik, sedangkan lignin tidak dapat dicerna sama sekali.
17
Selulosa
Pati
Selubiosa
Maltosa
Glukosa-1-phosphat
Glukosa
Isomaltosa
Glukosa-6-phosphat Pektin
Asam Uronat
Hemiselulosa
Pentosa
Pentosan
Sukrosa Fruktosa-6-phosphat
Fruktosa
Fruktan
Fruktosa-1,6-diphosphat Asam Piruvat
Format CO2
Metan
H2
Asetil CoA Malonil CoA
Laktat Oksaloasetat
Asetoasetil Laktil CoA CoA
Asetil phosphat ß-Hidroksibutiril Akrilil CoA CoA Krotonil CoA Propionil CoA Butiril CoA Asetat
Metilmalonil CoA
Malat
Fumarat
Suksinat
Suksinil CoA
Butirat Propionat
Gambar 4. Proses Metabolisme Karbohidrat di dalam Rumen Ternak Ruminansia (McDonald et al., 2002)
18
Pakan Protein
Non-protein N Kelenjar Saliva
Sulit Didegradasi
Mudah Non-protein N Didegradasi Enzim protease Peptida Enzim peptidase
Hati
Deaminasi
Asam Amino
Amonia
NH3
urea
Rumen Protein Mikroba Ginjal Dicerna di Usus Halus
Diekskresikan (urine)
Gambar 5. Proses Metabolisme Protein di dalam Rumen Ternak Ruminansia (McDonald et al., 2002) Proses pencernaan fermentatif dalam retikulo rumen terjadi amat intensif dan dalam kapasitas yang besar. Proses pencernaan tersebut terletak sebelum usus halus (organ penyerapan utama). Hal tersebut sangat menguntungkan, karena pakan dapat diubah dan tersajikan dalam bentuk produk fermentasi yang mudah diserap dan ternak ruminansia menjadi mampu memanfaatkan pakan serat dalam jumlah yang banyak dan lebih efisien (Erwanto, 1995).
19
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan September 2008 hingga Februari 2009.
Materi Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan pakan sumber serat, cairan rumen diotoklaf, sumber inokulum yang berasal dari isolat bakteri simbion rayap dan isolat bakteri rumen serta bahan kimia. Cairan rumen yang digunakan adalah cairan rumen yang berasal dari RPH (Rumah Potong Hewan). Bahan pakan yang digunakan antara lain rumput gajah, jerami padi dan serat sawit yang telah digiling halus. Sumber inokulum bakteri simbion rayap yaitu dua isolat bakteri simbion rayap terbaik yang berasal dari rayap yang berbeda yaitu isolat A (SB 53 5(3)1), berasal dari rayap Coptotermes curvignathus Holmgren dan isolat D (SC 51 5(2)) yang merupakan bakteri simbion rayap terbaik yang berasal dari rayap Microtermes inspiratus Kemner. Sumber inokulum bakteri rumen adalah isolat mikroba rumen yang berasal dari cairan domba yaitu SE 511, SE 512 dan SE 513 (Widyastuti, 2005). Bahan kimia yang digunakan adalah larutan McDougall, gas CO2, larutan pepsin-HCl, larutan asam borat, larutan HgCl2 jenuh, larutan Na2CO3 jenuh, larutan H2SO4 0,005 N, vaselin, larutan H2SO4 15 %, larutan NaOH 0,5 N, larutan HCl 0,5 N, phenolphtalein, media BHI (Brain Heart Infusion) dan aquades.
Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, tabung fermentor, shaker waterbath, sentrifuge, botol film, eksikator, kertas saring Whatman No. 41, pompa vakum, oven 1050C, cawan porselin, tanur listrik, cawan Conway, pipet volumetrik, Buret, labu Erlenmeyer, seperangkat alat destilasi dan kompor gas. 20
Perlakuan Perlakuan dalam penelitian ini yaitu kombinasi berbagai isolat bakteri simbion rayap dan isolat bakteri rumen. Perlakuan ini terdiri dari 7 kombinasi dan 3 ulangan, yaitu : 1. A + D + SE 511 2. A + D + SE 512 3. A + D + SE 513 4. A + D + SE 511 + SE 512 5. A + D + SE 512 + SE 513 6. A + D + SE 511 + SE 513 7. A + D + SE 511 + SE 512 + SE 513 Kombinasi isolat bakteri tersebut lalu diperlakukan pada ketiga jenis bahan pakan sumber serat, yaitu rumput gajah, jerami padi dan serat sawit. Populasi masing-masing isolat bakteri sebagai inokulum disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan Populasi Isolat Bakteri Jenis Bakteri
Populasi (CFU/ml)
Bakteri Simbion Rayap A (SB 53 5(3)1)
1,24 x 1012
D (SC 51 5(2))
1,85 x 1012
Bakteri Rumen SE 511
9,96 x 1012
SE 512
2,58 x 1012
SE 513
7,24 x 1012
Keterangan : CFU = Colony Forming Unit
Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini yaitu konsentrasi NH 3, produksi VFA total, degradasi bahan kering (DBK), degradasi bahan organik (DBO), koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan koefisien cerna bahan organik (KCBO).
21
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) 2 faktor dengan pola faktorial 3 X 7 dengan 3 periode pengambilan cairan rumen sebagai kelompok. Faktor A adalah kombinasi isolat bakteri simbion rayap dan isolat bakteri rumen yaitu : AD + SE 511, AD + SE 512, AD + SE 513, AD + SE 511 + SE 512, AD + SE 512 + SE 513, AD + SE 511 + SE 513 dan AD + SE 511 + SE 512 + SE 513. Isolat bakteri simbion rayap adalah isolat A adalah SB 53 5(3)1 dan isolat D adalah SC 51 5(2), sedangkan isolat bakteri rumen adalah SE 511, SE 512 dan SE 513. Faktor B adalah bahan pakan sumber serat yaitu rumput gajah, jerami padi dan serat sawit. Model matematika yang digunakan adalah :
Yijk = µ + τk + αi + βj + αiβj + εijk Keterangan : Yijk =
efek blok ke-k, kombinasi isolat bakteri simbion rayap dan isolat bakteri rumen ke-i dan bahan pakan sumber serat ke-j
µ
=
rataan umum
τk
=
efek kelompok (cairan rumen) ke-k
αi
=
efek utama kombinasi isolat bakteri simbion rayap dengan isolat bakteri rumen ke-i
βj
=
αiβj =
efek utama bahan pakan sumber serat ke-j efek interaksi antara kombinasi isolat bakteri simbion rayap dan isolat bakteri rumen ke-i dengan bahan pakan sumber serat ke-j
εijk
=
error blok ke-k, kombinasi isolat bakteri simbion rayap dan isolat bakteri rumen ke-i dengan pakan sumber serat ke-j
Analisis Data Data pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati diuji dengan analisis ragam (ANOVA) dan untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan diuji dengan uji kontras orthogonal (Steel dan Torrie, 1993).
22
Prosedur Peremajaan Bakteri Media basal (BHI) sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dengan dialiri gas, kemudian tabung ditutup dengan prop karet dan diselotip agar keadaan media tumbuh bakteri tetap dalam keadaan anaerob. Selanjutnya sumber inokulum bakteri dimasukkan ke dalam tabung tersebut. Tabung lalu dimasukkan ke dalam inkubator (suhu 39 0C) selama 24 jam. Bakteri ini selanjutnya digunakan sebagai inokulum pada uji fermentasi dan kecernaan in vitro. Pencernaan fermentatif Percobaan in vitro dilakukan dengan mengikuti metode Tilley dan Terry (1963) yang telah dimodifikasi Sutardi (1979). Bahan pakan ditimbang sebanyak satu gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung fermentor. Larutan McDougall diturunkan pHnya hingga 6,5-6,8, kemudian sebanyak 12 ml dimasukkan ke dalam tabung fermentor tersebut disertai dengan penambahan gas CO2. Cairan rumen sapi yang telah diautoclave dimasukkan ke dalam tabung tersebut sebanyak 6 ml dan diikuti dengan memasukkan sumber inokulum sebanyak 2 ml. Larutan dialiri gas CO2 selama 30 detik, kemudian ditutup dengan prop karet yang berventilasi. Setelah dialiri gas CO2 larutan tersebut dimasukkan ke dalam shaker water bath dengan suhu 39 0C dan difermentasikan selama 6 jam. Setelah 6 jam, tutup karet dibuka kemudian ditambahkan 0,2 ml larutan HgCl2 jenuh untuk mematikan mikroba sehingga tidak ada aktivitas mikroba lagi dalam tabung tersebut. Tabung fermentor selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit dan supernatannya ditampung dalam tabung film untuk analisis konsentrasi VFA dan NH3, sedangkan residu diambil untuk analisis DBK dan DBO. Pengukuran Konsentrasi NH3 Supernatan dari pencernaan fermentatif diambil sebanyak 1 ml dan ditempatkan pada salah satu ujung alur cawan, sedangkan Na2CO3 jenuh ditempatkan pada ujung alur cawan sebelahnya (kedua bahan tersebut tidak boleh bercampur sebelum tutup cawan ditutup rapat). Larutan asam borat berindikator sebanyak 1 ml ditempatkan dalam cawan kecil yang terletak ditengah cawan Conway. Selanjutnya cawan Conway yang telah diolesi vaselin pada bibir dan tutupnya ditutup rapat agar 23
tidak ada NH3 yang keluar. Larutan Na2CO3 jenuh dicampurkan dengan supernatan sampel hingga merata dengan cara menggoyang-goyangkan dan memiringkannya. Sebelum dititrasi, cawan Conway dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Setelah 24 jam tutup cawan dibuka dan asam borat dititrasi dengan H2SO4 0,005 N sampai warnanya berubah dari biru menjadi kemerah-merahan. Saat titrasi, asam borat tidak boleh terkontaminasi oleh supernatan karena warna asam borat tidak akan berubah menjadi merah. Konsentrasi NH3 dapat dihitung dengan rumus : NH3 (mM) =
ml H2SO 4 x N H2SO 4 x 1000 berat sampel x BK sampel
Pengukuran Konsentrasi VFA (Steam Destilation) Supernatan yang sama dengan analisis NH3 diambil 5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung destilasi. Sebanyak 1 ml H2SO4 15 % ditambahkan pada supernatan lalu segera ditutup dengan tutup karet yang mempunyai lubang dan dapat dihubungkan dengan labu pendingin. Setelah H2SO4 15 % ditambahkan ke dalam supernatan, tabung destilasi dimasukkan ke dalam labu penyulingan yang berisi air mendidih (dipanaskan terus selama destilasi). Uap air panas akan terkondensasi dalam pendingin. Air yang terbentuk ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0,5 N, sampai mencapai 300 ml. Indikator phenolphtalein ditambahkan sebanyak 2-3 tetes dan dititrasi dengan HCl 0,5 N, sampai warna titrat berubah dari merah jambu menjadi tidak berwarna. Produksi VFA total dapat dihitung dengan rumus : VFA total =
[a - b] x N HCl x 1000 / 5 ml berat sampel x BK sampel
Keterangan: a = volume titran blanko dan b = volume titran sampel
Degradasi Bahan Kering dan Degradasi Bahan Organik Residu yang dihasilkan dari pencernaan fermentatif disaring dengan kertas saring Whatman No. 41 menggunakan pompa vakum lalu dimasukkan ke dalam oven 1050C untuk mendapatkan BK sampel kemudian diabukan pada tanur listrik untuk mendapatkan BO sampel. Hal ini dilakukan untuk mengetahui nilai degradasi bahan kering dan degradasi bahan organik bahan pakan tersebut.
24
Degradasi bahan kering dapat dihitung dengan rumus : % DBK =
BK sampel - [BK residu - BK blanko] x 100% BK sampel
Sedangkan untuk perhitungan degradasi bahan organik adalah dengan menggunakan rumus : % DBO = Keterangan :
BO sampel - [BO residu - BO blanko] x 100% BO sampel
BK = bobot kering BO = bobot organik
Pencernaan Hidrolisis Aerob Tabung fermentor yang berisi bahan seperti pada pencernaan fermentatif diinkubasi selama 24 jam. Setelah 24 jam, disentrifuse untuk memisahkan supernatan dengan residunya. Residu ditambah larutan pepsin-HCl sebanyak 20 ml, kemudian dilakukan proses inkubasi lanjutan secara aerob selama 24 jam dalam shaker water bath. Setelah 24 jam campuran tersebut disaring dengan kertas saring Whatman No. 41 menggunakan pompa vakum untuk mendapatkan residunya. Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) Residu yang telah dipisahkan dari supernatannya, kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselin untuk diuapkan airnya di dalam oven 105 0C selama 24 jam. Dari penguapan dengan oven 105 0C tersebut didapatkan bahan kering. Bobot kering sampel dalam cawan porselin kemudian ditimbang. Koefisien cerna bahan kering dapat dihitung menggunakan rumus: % KCBK = Keterangan :
BK sampel - [BK residu - BK blanko] x 100% BK sampel
BK = bobot kering
Adapun bahan kering blanko diperoleh dari penguapan residu asal fermentasi tanpa bahan pakan dengan oven 105 0C. Sedangkan bahan kering asal diperoleh dari penguapan oven 105 0C pada bahan pakan percobaan yang mendapat perlakuan yang sama, tetapi tidak difermentasikan (tidak ditambahkan inokulum).
25
Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) Besaran koefisien cerna bahan organik pakan diperoleh bobot abu residu. Untuk mengetahui bobot abu residu, sampel dalam cawan porselin yang telah diuapkan pada analisa KCBK, kemudian dimasukkan ke dalam tanur suhu 600 0C selama 6 jam. Setelah 6 jam, cawan porselin tersebut diangkat dan ditimbang bobot abunya setelah terlebih dahulu didinginkan di dalam eksikator. Bobot bahan organik diperoleh dengan mengurangi bobot kering dengan bobot abu residu. Besaran koefisien cerna bahan organik dapat dihitung dengan rumus: % KCBO = Keterangan :
BO sampel - [BO residu - BO blanko] x 100% BO sampel
BO = bobot organik
Penentuan bahan organik blanko (BO blanko) diperoleh dari pengabuan residu asal fermentasi tanpa bahan pakan dengan tanur 600 0C. Sedangkan bahan organik asal (BO asal) diperoleh dari pengabuan dengan tanur 6000C pada bahan pakan percobaan yang mendapat perlakuan yang sama, tetapi tidak difermentasikan (tidak ditambahkan inokulum).
26
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi Amonia Seluruh protein yang berasal dari makanan pertama kali dihidrolisa oleh mikroba rumen. Tingkat hidrolisa protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kenaikan kadar amonia (Preston et al., 1963 dalam Arora, 1989). Menurut McDonald et al. (2002), amonia diproduksi bersama dengan beberapa peptida sederhana dan asam amino bebas lalu dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk mensintesis protein mikroba. Sintesis protein mikroba tergantung pada kecepatan pemecahan nitrogen pakan, kecepatan absorpsi amonia dan asam-asam amino, kecepatan alir bahan keluar dari rumen, kebutuhan mikroba akan asam amino dan jenis fermentasi rumen berdasarkan jenis pakan (Arora, 1989). Tabel 3. Rataan Konsentrasi NH3 oleh Kultur Campuran Isolat Bakteri Simbion Rayap dan Isolat Bakteri Rumen Kultur Campuran
Pakan Sumber Serat Rumput Gajah
Jerami Padi
Serat Sawit
Rataan ± Sd
mM P11)
14,74±5,09
12,76±3,14
7,15±2,30
11,55±4,68a
P2
15,00±5,97
12,79±3,89
8,00±3,42
11,93±5,02a
P3
14,98±4,93
11,64±3,13
7,81±4,01
11,48±4,71a
P4
13,92±4,52
11,25±3,32
7,66±4,02
10,94±4,40b
P5
14,35±4,85
12,80±3,92
7,56±3,41
11,57±4,70a
P6
13,25±3,71
13,04±3,78
7,38±3,47
11,22±4,28a
P7
13,14±3,96
11,97±2,70
5,75±3,38
10,85±4,11b
Rataan ± Sd2)
14,20±4,06A
12,32±2,95B
7,41±2,85C
11,37±4,36
Keterangan: 1) P1= A+D+SE 511, P2 = A+D+SE 512, P3 = A+D+SE 513, P4 = A+D+SE 511+SE 512, P5 = A+D+SE 512+SE 513, P6 = A+D+SE 511+SE 513, P7 = A+D+SE 511+SE 512+SE 513 2) Superskrip dengan huruf kapital berbeda pada baris menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) dan superskrip dengan huruf kecil berbeda pada kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Rataan konsentrasi NH3 yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 5,75 mM hingga 14,98 mM (Tabel 2). Kisaran yang diperoleh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kisaran normal yaitu 4 mM sampai 12 mM (Sutardi, 1980),
27
namun masih dapat dikatakan normal untuk mendukung pertumbuhan mikroba rumen. Berdasarkan hasil analisa ragam, bahan pakan sumber serat dan kelompok berpengaruh sangat nyata terhadap konsentrasi NH3 yang dihasilkan (P<0,01). Namun konsentrasi NH3 tidak dipengaruhi oleh jenis kultur campuran dan interaksi antara bahan pakan dengan kultur campuran. Kultur campuran antara isolat bakteri simbion rayap dan isolat bakteri rumen tidak mempengaruhi konsentrasi NH 3 yang dihasilkan. Berdasarkan uji orthogonal kontras, P1, P2, P3, P5 dan P6 menghasilkan konsentrasi NH3 lebih tinggi dibandingkan P4 dan P7 (P<0,05). Perbedaan yang sangat nyata pada kelompok menunjukkan bahwa cairan rumen yang berasal dari sapi yang berbeda berpengaruh terhadap besarnya konsentrasi NH3 yang dihasilkan, tergantung pada kandungan nutrien yang terdapat dalam cairan rumen tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi konsentrasi NH3 di dalam rumen adalah jenis makanan, kelarutan protein, tingkat degradasi protein dan kadar protein dalam ransum (Haryanto dan Djayanegara, 1993). Hasil uji orthogonal kontras menunjukkan konsentrasi NH3 tertinggi dihasilkan pada rumput gajah (P<0,01). Konsentrasi NH3 lalu menurun pada jerami padi dan serat sawit (P<0,01). Tingginya konsentrasi NH3 yang dihasilkan pada rumput gajah dikarenakan rumput gajah mempunyai kandungan gizi yang tinggi, terutama protein dan bersifat fermentabel sehingga dapat menghasilkan konsentrasi amonia yang cukup tinggi (McIlroy, 1976). Rumput gajah memiliki kandungan protein kasar 8,69% dan jerami padi 4,15% (Sutardi, 1981). Serat sawit mempunyai kandungan protein kasar 5,93% (Agustin, 1991). McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa jika pakan berprotein rendah atau sulit didegradasi, konsentrasi amonia rumen akan rendah dan pertumbuhan mikroba rumen akan terhambat. Walaupun kandungan protein kasar serat sawit lebih tinggi dibandingkan jerami padi, tetapi konsentrasi NH3 yang dihasilkan jerami padi lebih tinggi daripada serat sawit (12,32±2,95 mM vs 7,41±2,85 mM). Hal ini disebabkan kandungan lignin serat sawit (25,9%) lebih tinggi dibandingkan jerami padi (13,16%). Tillman et al. (1989) menyatakan bahwa lignin sangat tahan terhadap setiap degradasi kimia, termasuk degradasi enzimatik. Adanya lignin yang tinggi pada serat sawit dan jerami padi menyebabkan kultur campuran bakteri simbion rayap dan rumen sulit untuk
28
mendegradasikan bahan pakan tersebut terutama protein untuk diubah menjadi NH 3. Menurut Sutardi (1979), untuk mencerna protein, mikroba rumen harus juga mampu mencerna zat makanan lain yang terdapat dalam bahan makanan. Rataan konsentrasi NH3 pada rumput gajah yang diperoleh ketika kedua isolat bakteri simbion rayap dikombinasikan secara tri kultur, tetra kultur dan penta kultur dengan isolat bakteri rumen lebih tinggi dibandingkan ketika kedua isolat bakteri rayap dikombinasikan antara sesamanya (14,20±4,06 vs 6,61±2,85 mM) (Sopandi, 2007). Konsentrasi NH3 pada jerami dan serat sawit juga meningkat ketika kedua isolat bakteri rayap dikulturkan secara tri kultur, tetra kultur dan penta kultur. Namun rataan konsentrasi NH3 keseluruhan pada penelitian ini (11,37±4,36 mM) tidak jauh berbeda dengan rataan konsentrasi NH3 yang diperoleh ketika isolat bakteri rayap dikulturkan secara tunggal (Pradana, 2006) yaitu 12,5±3,7 mM. Peningkatan pada kultur campuran ini disebabkan adanya hubungan yang saling menguntungkan antara bakteri rayap dengan bakteri rumen dalam mendegradasi protein pakan berserat. Produksi VFA Total Hasil akhir pencernaan karbohidrat dalam rumen meliputi asam asetat, asam propionat, asam butirat (VFA), CO2 dan metan (McDonald et al., 2002). Menurut Arora (1989), VFA merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Selain itu, produksi VFA juga menggambarkan sifat fermentabilitas pakan dalam rumen (Sutardi, 1980). Rataan produksi VFA total yang dihasilkan dari fermentasi pakan sumber serat oleh kultur campuran isolat bakteri simbion rayap dengan isolat bakteri rumen berkisar antara 54,87 mM sampai 112,64 mM (Tabel 3). Kisaran tersebut termasuk lebih rendah jika dibandingkan dengan kisaran normal. Menurut Sutardi (1980), konsentrasi VFA yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme rumen berkisar antara 80 mM sampai 160 mM. Hal ini disebabkan bahan pakan yang digunakan pada penelitian ini merupakan pakan sumber serat yang ketersediaan karbohidrat mudah dicerna seperti glukosa dan pati yang rendah. Selain itu diduga karena sebagian VFA sudah digunakan sebagai kerangka karbon dalam pembentukan protein mikroba pada saat pengukuran yaitu 6 jam inkubasi.
29
Tabel 4. Rataan Produksi VFA Total oleh Kultur Campuran Isolat Bakteri Simbion Rayap dengan Isolat Bakteri Rumen Kultur Campuran
Pakan Sumber Serat Rumput Gajah
Jerami Padi
Serat Sawit
Rataan ± Sd
mM 1)
P1
112,64±41,87
95,94±17,70 110,84±54,21
106,47±36,25
P2
74,87±29,76
54,89±22,72
71,05±7,14
66,94±21,15
P3
54,78±5,31
75,26±26,70
82,45±24,01
70,83±22,00
P4
139,21±69,11
84,63±25,50
66,48±51,42
96,77±55,61
P5
62,46±10,91
84,46±11,02
72,15±28,28
73,02±18,74
P6
96,06±21,98
92,22±35,28
59,53±22,80
82,61±29,40
P7
64,90±29,76
72,31±50,49
83,56±7,01
70,55±32,38
Rataan ± Sd
86,42±41,88
79,96±28,01
77,73±32,55
81,43±34,29
Keterangan: 1) P1 = A+D+SE 511, P2 = A+D+SE 512, P3 = A+D+SE 513, P4 = A+D+SE 511+SE 512, P5 = A+D+SE 512+SE 513, P6 = A+D+SE 511+SE 513, P7 = A+D+SE 511+SE 512+SE 513
Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa kelompok berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi VFA total yang dihasilkan, tetapi tidak dengan kultur campuran isolat bakteri simbion rayap dengan isolat bakteri rumen, perbedaan pakan sumber serat dan interaksi antara kultur campuran dengan pakan sumber serat. Kelompok yang berbeda nyata menunjukkan bahwa perbedaan cairan rumen berpengaruh terhadap produksi VFA total yang dihasilkan karena bergantung pada kandungan nutrien yang terdapat dalam cairan rumen, sebagai akibat dari variasi individu dan pakan yang dikonsumsinya (Patriana, 1993). Efek kultur campuran yang tidak berbeda nyata menunjukkan bahwa bakteri simbion rayap dapat bertahan hidup di lingkungan yang terdapat bermacam-macam mikroorganisme seperti pada lingkungan rumen. Hasil penelitian Pradana (2006) dan Solihat (2006) menunjukkan bahwa isolat bakteri simbion rayap mempunyai daya adaptabilitas tinggi karena mampu mencerna bahan pakan sumber serat pada suhu rumen yaitu 390C. Walaupun bakteri simbion rayap dapat berdampingan hidup dengan bakteri rumen, nilai rataan produksi VFA total yang dihasilkan termasuk rendah. Hasil rataan produksi VFA total pada rumput gajah lebih rendah produksinya
30
dibandingkan bila kultur dikombinasikan tanpa isolat bakteri rumen (86,42±41,88 mM vs 127,90±35,44 mM) (Sopandi, 2007). Produksi VFA total pada jerami padi dan serat sawit juga menurun ketika dilakukan kultur campuran antara bakteri simbion rayap dengan bakteri rumen. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini jumlah bakteri simbion rayap yaitu isolat A (25 %) dan isolat D (25 %) lebih sedikit proporsinya dibandingkan isolat bakteri rumen yaitu SE 511 (50 %), SE 512 (50 %) dan SE 513 (50 %). Menurut Zain et al. (2006) jumlah mikroba yang digunakan pada proses fermentasi dapat mempengaruhi produksi VFA. Rataan produksi VFA total tertinggi yang dihasilkan oleh kultur campuran antara bakteri simbion rayap dengan bakteri rumen adalah pada bahan pakan rumput gajah (86,42±41,88 mM) lalu menurun pada jerami padi (79,96±28,01 mM) dan serat sawit (77,73±32,55 mM). Selain jumlah mikroba yang digunakan pada proses fermentasi (Zain et al. 2006) faktor lain yang dapat mempengaruhi produksi VFA adalah kandungan karbohidrat mudah tercerna dalam pakan. Seperti rumput tropik lainnya, rumput gajah lebih banyak menyimpan karbohidrat dalam bentuk pati daripada bentuk fruktan dan umumnya disimpan dalam bagian daun (Sofyan et al., 2000) sehingga lebih fermentabel. Jerami padi dan serat sawit merupakan limbah hasil pertanian dan perkebunan sehingga mempunyai kandungan nurisi dan kecernaan yang rendah. Menurut Doyle et al. (1986), jerami padi mengandung serat kasar dan silika yang tinggi disertai kadar protein, pati dan lemak yang rendah. Begitu pula dengan serat sawit yang mengandung serat kasar yang tinggi (Aritonang, 1986). Degradasi Bahan Kering (DBK) Persentase Degradasi Bahan Kering (DBK) dan Degradasi Bahan Organik (DBO) menunjukkan besarnya kandungan zat makanan dalam bahan pakan sumber serat yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen. Penelitian ini menggunakan kultur campuran isolat simbion rayap dengan isolat bakteri rumen yang dimurnikan. Kisaran persentase degradasi bahan kering yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 5,94 - 12,34 % (Tabel 5). Rataan nilai DBK yang diperoleh ketika kedua isolat bakteri simbion rayap dikulturkan secara campuran dengan isolat bakteri rumen (8,95±2,59 %) tidak
31
berbeda ketika isolat bakteri rayap dikulturkan secara tunggal (8,58±4,76 %) (Solihat, 2006). Berdasarkan hasil analisis ragam, kelompok dan faktor bahan pakan sumber serat sangat nyata berpengaruh (P<0,01) terhadap persentase DBK, tetapi tidak dengan kultur campuran isolat dan interaksi antara kultur campuran dengan bahan pakan sumber serat. Kelompok yang berbeda nyata menunjukkan bahwa perbedaan cairan rumen sangat berpengaruh terhadap hasil degradasi bahan kering. Tabel 5. Rataan Persentase DBK oleh Kultur Campuran Isolat Bakteri Simbion Rayap dengan Isolat Bakteri Rumen Pakan Sumber Serat Kultur Campuran
Rumput Gajah
Jerami Padi
Serat Sawit
Rataan ± Sd
% P11)
8,79±3,37
8,10±2,05
9,19±1,03
8,69±2,10b
P2
9,65±2,97
7,75±2,50
9,19±0,88
8,86±2,17b
P3
10,68±2,52
6,45±2,28
9,12±1,96
8,75±2,70b
P4
10,35±2,56
5,94±2,54
9,24±1,63
8,51±2,80b
P5
9,77±3,08
8,00±4,63
8,82±1,98
8,86±3,05b
P6
10,02±3,80
7,55±2,70
8,90±1,30
8,82±2,64b
P7
12,34±3,69
9,30±3,57
8,91±0,87
10,19±3,07a
Rataan ± Sd2)
10,23±2,86Aa
7,58±2,73B
9,05±1,22Ab
8,95±2,59
Keterangan: 1) P1 = A+D+SE 511, P2 = A+D+SE 512, P3 = A+D+SE 513, P4 = A+D+SE 511+SE 512, P5 = A+D+SE 512+SE 513, P6 = A+D+SE 511+SE 513, P7 = A+D+SE 511+SE 512+SE 513 2) Superskrip dengan huruf kapital berbeda pada baris menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) dan superskrip dengan huruf kecil berbeda pada baris dan kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Uji orthogonal kontras menunjukkan persentase DBK yang dihasilkan pada bahan pakan rumput gajah dan serat sawit berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan jerami padi. Namun DBK rumput gajah lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan DBK serat sawit. Hasil yang diperoleh ini didukung hasil penelitian Solihat (2006) yaitu nilai DBK tertinggi dihasilkan rumput gajah lalu serat sawit dan yang terendah jerami padi. Rumput gajah mempunyai nilai nutrien yang cukup baik dibandingkan kedua bahan sumber serat lainnya. Nilai NDF dan ADF rumput gajah, jerami padi dan serat sawit berturut-turut adalah 59,88 dan 50,85%; 76,17 dan 72,71%; 92,05 dan 32
72,42% (Sulistiani, 2005). Kandungan ADF yang rendah memungkinkan rumput gajah lebih mudah didegradasikan oleh kultur campuran. Selain itu kandungan selulosa dan lignin bahan pakan juga mempengaruhi nilai DBK yang dihasilkan. Penguraian selulosa oleh aktivitas mikroba akan terhambat apabila selulosa mengandung lignin lebih dari 15% (Purnomohadi, 2006). Rumput gajah memiliki kadar selulosa yang rendah dan lignin yang rendah pula (40,34 dan 10,51 %) dibandingkan serat sawit (45,62 dan 25,90 %) dan jerami padi (59,35 dan 13,16 %). Rendahnya kandungan dinding sel dan lignin pada rumput gajah menyebabkan selulosa yang terkandung pada rumput gajah lebih mudah difermentasikan oleh kultur campuran bakteri simbion rayap dan bakteri rumen. Namun kultur campuran antara bakteri rayap dan rumen lebih mampu mendegradasi serat sawit dibandingkan jerami padi. Nilai rataan DBK serat sawit yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi (9,05±1,22 %) dibandingkan dengan jerami padi (7,58±2,73 %). Menurut Adawiah (2000), pada jerami padi terjadi ikatan kimia antara polimer kompleks lignoselulosa dengan ikatan intra molekuler hidrogen, sehingga terjadi kristalisasi pada lignin dan silika yang pada akhirnya menyebabkan jerami padi sulit didegradasi walaupun kandungan selulosanya lebih tinggi daripada serat sawit. Kandungan silika yang terkandung di dalam jerami padi lebih tinggi dibandingkan silika yang terdapat pada serat sawit (8-14 vs 2,48 %) (Suparjo et al., 2008b). Kultur campuran antara bakteri simbion rayap dan bakteri rumen yang tidak berbeda nyata menunjukkan bahwa kultur campuran tidak mempengaruhi nilai DBK yang dihasilkan. Hasil uji ortoghonal kontras menunjukkan bahwa nilai DBK tertinggi dihasilkan oleh P7 yaitu gabungan antara bakteri simbion rayap A dan D dengan bakteri rumen SE 511, SE 512 dan SE 513. Hal ini menunjukkan bahwa selain mampu tumbuh dalam suhu rumen yaitu 39 0C (Pradana (2006) dan Solihat (2006)), bakteri simbion rayap A dan D juga mampu beradaptasi dalam lingkungan yang terdapat bermacam-macam mikroorganisme seperti pada lingkungan rumen. Nilai yang diperoleh pada keseluruhan perlakuan DBK relatif rendah. Hal tersebut dikarenakan kultur bakteri yang digunakan merupakan kultur yang berasal dari isolasi bakteri murni dan pakan yang diujikan diberikan dalam bentuk tunggal. Menurut Purnomohadi (2006), walaupun persentase inokulum bakteri selulolitik
33
bertambah, tetapi jika kandungan nutrisinya tidak mencukupi akan menyebabkan aktivitas mikroba untuk tumbuh menjadi terhambat sehingga mikroba tidak akan hidup dan berkembang biak dengan baik. Degradasi Bahan Organik Pengukuran DBO dilakukan karena peran bahan organik dalam memenuhi kebutuhan ternak untuk pertumbuhan maupun produksi. Semakin tinggi nilai DBK dan DBO suatu ransum akan semakin tinggi pula jumlah ransum yang tertinggal dalam tubuh ternak untuk dimafaatkan bagi pertumbuhan dan perkembangan (Purwantari, 2008). Kisaran nilai DBO yang diperoleh pada penelitian ini adalah 6,02 – 11,90% (Tabel 6). Tabel 6. Rataan Persentase DBO oleh Kultur Campuran Isolat Baktri Simbion Rayap dengan Isolat Bakteri Rumen Kultur Campuran
Pakan Sumber Serat Rumput Gajah
Jerami Padi
Serat Sawit
Rataan ± Sd
% P11)
8,88±1,72
7,71±2,00
9,95±0,45
8,84±1,65b
P2
9,89±2,60
7,79±1,71
9,77±0,16
9,15±1,86b
P3
11,03±2,27
7,29±2,77
9,70±1,35
9,34±2,52a
P4
10,11±1,89
6,02±0,46
9,62±1,16
8,58±2,24b
P5
9,71±1,91
7,90±2,94
9,05±1,22
8,89±2,02b
P6
9,71±3,32
8,56±2,05
11,90±4,46
10,06±3,31a
P7
11,36±3,52
9,57±2,52
9,39±0,45
10,11±2,37a
Rataan ± Sd2)
10,10±2,28A
7,83±2,12B
9,91±1,81A
9,28±2,29
Keterangan: 1) P1 = A+D+SE 511, P2 = A+D+SE 512, P3 = A+D+SE 513, P4 = A+D+SE 511+SE 512, P5 = A+D+SE 512+SE 513, P6 = A+D+SE 511+SE 513, P7 = A+D+SE 511+SE 512+SE 513 2) Superskrip dengan huruf kapital berbeda pada baris menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) dan superskrip dengan huruf kecil berbeda pada kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor bahan pakan sumber serat dan kelompok sangat mempengaruhi nilai DBO yang dihasilkan (P<0,01). Akan tetapi DBO tidak dipengaruhi oleh faktor kultur campuran antara isolat bakteri simbion rayap dengan isolat bakteri rumen dan interaksi antara kultur campuran dan
34
bahan pakan sumber serat. Berdasarkan uji orthogonal kontras, nilai DBO rumput gajah tidak berbeda nyata dengan DBO serat sawit. DBO kedua pakan ini lebih tinggi dibandingkan DBO jerami padi (P<0,01). Seperti pada DBK, nilai rataan DBO oleh kultur campuran isolat bakteri rayap dan isolat bakteri rumen dari yang tertinggi hingga terendah ditunjukkan oleh rumput gajah yaitu sebesar 10,10±2,28 (%) dilanjutkan dengan serat sawit yaitu 9,91±1,81 (%) dan disusul oleh jerami padi yaitu 7,83±2,12 (%). Hal tersebut berkaitan dengan kandungan serat kasar yang terkandung dalam bahan pakan. Degradabilitas ransum berkaitan dengan komposisi nutrisi dari ransum, terutama kandungan serat kasar. Selain kandungan serat kasar, kandungan bahan organik pakan yang terdiri atas protein, karbohidrat dan lemak dapat mempengaruhi DBO. Peningkatan kandungan serat kasar dapat menurunkan jumlah bahan organik yang dapat dicerna karena penurunan aktivitas mikroba rumen (Purwantari, 2008). Rumput gajah memiliki kandungan serat kasar yang rendah (32,3 %) dibandingkan kedua bahan pakan sumber serat lainnya. Namun, walaupun serat sawit memiliki kandungan serat kasar yang tinggi DBO yang dihasilkan lebih tinggi daripada DBO yang dihasilkan jerami padi (40,8 % vs 32,5 %). Jerami padi berasal dari tanaman padi yang dipanen pada umur tua, dengan kandungan dinding sel yang tinggi dan tingkat lignifikasi yang sempurna sehingga sulit dirombak oleh mikroba rumen (Wardhani et al., 1983). Akhirani (1998) menambahkan sebagian besar komponen selulosa dan hemiselulosa dalam jerami padi terdapat dalam ikatan kompleks lignoselulosa dan lignohemiselulosa sehingga sulit dicerna. Kultur campuran antara bakteri simbion rayap dengan bakteri rumen tidak mempengaruhi nilai DBO yang dihasilkan. Namun, hasil uji ortoghonal kontras menunjukkan bahwa P3, P6 dan P7 menghasilkan nilai DBO tertinggi (Tabel 6). Hal ini mengindikasikan bahwa bakteri simbion rayap A dan D mempunyai daya adaptasi tinggi (Pradana (2006) dan Solihat (2006)) yang terlihat dari kemampuannya hidup dalam lingkungan yang beragam. Sama seperti DBK, rataan persentase DBO yang diperoleh relatif kecil. Hal tersebut dikarenakan sumber inokulum merupakan bakteri yang dimurnikan dan bahan pakan yang digunakan dalam bentuk tunggal. Dalam metabolisme selnya, mikroba tidak hanya membutuhkan kandungan selulosa sebagai sumber energi untuk
35
pertumbuhan hidupnya, tetapi juga membutuhkan zat makanan lainnya seperti nitrogen, mineral, asam lemak rantai bercabang dan lain-lain (Kuswandi, 1993). Zat makanan yang dibutuhkan bagi pertumbuhan mikroba dapat dipenuhi dari bahan pakan yang berbentuk ransum. Koefisien Cerna Bahan Kering Walaupun nilai potensi suatu bahan makanan dapat ditentukan dengan analisis proksimat, nilai nyata dari makanan untuk ternak dapat ditentukan hanya bila daya cernanya diketahui. Makanan yang dicerna adalah bagian yang tidak dikeluarkan dan yang diperkirakan diserap oleh ternak (Williamson dan Payne, 1993). Salah satu faktor yang mempengaruhi daya cerna pakan adalah komposisi makanan. Daya cerna makanan berhubungan erat dengan komposisi kimiawinya dan serat kasar mempunyai pengaruh besar terhadap daya cerna ini (Tillman et al., 1989). Rataan persentase Kecernaan Bahan Kering (KCBK) yang dihasilkan oleh kultur campuran bakteri simbion rayap dengan bakteri rumen disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Persentase KCBK oleh Kultur Campuran Isolat Bakteri Simbion Rayap dengan Isolat Bakteri Rumen Kultur Campuran
Pakan Sumber Serat Rumput Gajah
Jerami Padi
Serat Sawit
Rataan ± Sd
% P11)
19,00±1,77
15,93±2,88
14,77±2,14
16,56±2,75b
P2
19,19±0,98
17,90±0,31
14,73±0,76
17,27±2,09a
P3
19,11±0,92
16,42±0,90
15,00±1,21
16,84±2,01b
P4
18,60±1,69
17,75±0,60
14,88±1,46
17,08±2,05a
P5
18,65±0,79
18,31±1,26
15,80±3,00
17,59±2,15a
P6
17,97±1,00
16,29±0,96
14,56±1,43
16,27±1,78b
P7
19,19±0,80
16,86±0,47
15,42±2,26
17,16±2,05a
Rataan ± Sd2)
18,82±1,09A
17,07±1,41B
15,02±1,63C
16,97±2,08
Keterangan: P1 = A+D+SE 511, P2 = A+D+SE 512, P3 = A+D+SE 513, P4 = A+D+SE 511+SE 512, P5 = A+D+SE 512+SE 513, P6 = A+D+SE 511+SE 513, P7 = A+D+SE 511+SE 512+SE 513 2) Superskrip dengan huruf kapital berbeda pada baris menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) dan superskrip dengan huruf kecil berbeda pada kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
1)
36
Berdasarkan hasil analisis ragam, bahan pakan sumber serat dan kelompok secara nyata (P<0,01) sangat berpengaruh terhadap persentase KCBK yang dihasilkan. Kombinasi bakteri antara bakteri rayap dengan bakteri rumen dan interaksi antara kombinasi bakteri dan bahan pakan sumber serat tidak mempengaruhi persentase KCBK yang dihasilkan. Kelompok yang berpengaruh sangat nyata (P<0,01) menunjukkan bahwa cairan rumen yang berbeda akan menghasilkan KCBK yang berbeda karena pada masing-masing cairan rumen terdapat mikroba yang kemungkinan berbeda dengan cairan rumen lainnya tergantung jenis makanan yang masuk ke dalam rumen (Patriana, 1993). Hasil uji orthogonal kontras menunjukkan bahwa rumput gajah tertinggi (P<0,01) dalam menghasilkan persentase KCBK pada penelitian ini. Hasil ini lalu diikuti oleh jerami padi dan kemudian serat sawit (P<0,01). Umumnya kecernaan sangat dipengaruhi oleh kandungan serat kasar atau ADF bahan pakan. Semakin tinggi kandungan serat kasar atau ADF, maka semakin rendah koefisien cerna bahan pakan tersebut (Sutardi, 1980). Rumput gajah memiliki kandungan ADF yang rendah dan memungkinkan lebih mudah dicerna oleh kultur campuran. Kandungan NDF dan ADF dari rumput gajah adalah 59,88 dan 50,85%, jerami padi 76,17 dan 72,71% dan serat sawit sebesar 92,05 dan 72,42% (Sulistiani, 2005). Hasil yang diperoleh ini didukung oleh hasil konsentrasi NH3 yang tertinggi dihasilkan pada bahan pakan rumput gajah lalu disusul oleh jerami padi dan selanjutnya oleh serat sawit. Kandungan protein bahan pakan berpengaruh terhadap persentase KCBK karena proses ini terjadi di dalam organ pasca rumen yaitu abomasum. Seperti yang dijelaskan Arora (1989) bahwa produk akhir fermentasi rumen yaitu protein mikroba dan bahan yang tidak tercerna seperti pati dan selulosa akan dicerna di abomasum. Di dalam abomasum, kelenjar lambung mensekresikan HCl untuk menjaga digesta tetap berada dalam suasana asam untuk mempercepat proteolisis protein mikroba dan residu protein makanan oleh pepsin. Pepsin adalah suatu endopeptidase yaitu proteinase yang menyerang rantai polipeptida di bagian dalam atau tengah (Sutardi, 1980). Rataan persentase KCBK yang dihasilkan pada penelitian ini termasuk rendah yaitu berkisar 14,56 - 19,19 % (Tabel 7). Hal ini disebabkan sumber inokulum yang
37
digunakan merupakan isolat bakteri murni dan pakan yang digunakan adalah pakan tunggal. Hasil persentase KCBK pada rumput gajah oleh kultur campuran antara bakteri simbion rayap dengan bakteri rumen lebih rendah dibandingkan apabila kultur dikombinasikan sesama bakteri simbion rayap (18,82±1,09% vs 35,83±6,00%) (Sopandi, 2007). Persentase KCBK pada jerami padi dan serat sawit juga menurun ketika isolat bakteri simbion rayap dikulturkan secara tri kultur, tetra kultur dan penta kultur. Akan tetapi bila dibandingkan ketika isolat bakteri simbion rayap dikulturkan secara tunggal terjadi peningkatan KCBK pada rumput gajah ketika bakteri simbion rayap dikulturkan secara campuran dengan bakteri rumen (15,8±3,2% vs 18,82±1,09%) (Pradana, 2006). KCBK pada jerami padi dan serat sawit juga mengalami peningkatan ketika kultur yang ditumbuhkan merupakan kultur campuran dibandingkan secara tunggal. Hal ini diduga akibat jumlah perbandingan antara bakteri simbion rayap yang lebih rendah dibandingkan bakteri rumen. Kultur campuran antara bakteri simbion rayap dengan bakteri rumen tidak mempengaruhi persentase KCBK yang dihasilkan. Hasil uji orthogonal menunjukkan bahwa P2, P4, P5 dan P7 menghasilkan rataan lebih tinggi dibandingkan P1, P3 dan P6. P2 merupakan A+D+SE 512, P4 adalah A+D+SE 511+SE 512, P5 adalah A+D+SE 512+SE 513 dan P7 adalah A+D+SE 511+SE 512+SE 513. Hal tersebut menunjukkan bahwa SE 512 dapat berinteraksi secara baik bersama bakteri simbion rayap dalam meningkatkan KCBK bahan pakan yang diujikan. Sulistiani (2005) menyatakan bahwa isolat SE 512 menghasilkan KCBK yang cukup tinggi dibandingkan isolat bakteri rumen yang lain. Koefisien Cerna Bahan Organik Bahan organik terdiri dari karbohidrat, lemak, protein dan vitamin (Tillman et al., 1989). McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) merupakan salah satu faktor utama yang menentukan nilai nutrisi dari hijauan. Dasar penentuan kecernaan pada hijauan adalah anatomi dari tanaman tersebut yaitu dinding sel dan isi sel tanaman. Isi sel terdiri atas protein, karbohidrat dan mineral-mineral mudah larut serta lemak. Dinding sel mengandung bahan organik dan silika (Sutardi, 1980).
38
Tabel 8. Rataan Persentase KCBO oleh Kultur Campuran Isolat Bakteri Simbion Rayap dengan Isolat Bakteri Rumen Kultur Campuran
Pakan Sumber Serat Rumput Gajah
Jerami Padi
Serat Sawit
Rataan ± Sd
% 1)
P1
16,60±1,75
15,35±2,70
13,24±1,77
15,06±2,35
P2
17,01±0,91
16,68±0,77
12,85±0,59
15,51±2,11
P3
16,52±0,71
15,76±0,85
13,22±1,14
15,17±1,70
P4
16,50±1,52
16,92±1,73
13,17±1,74
15,53±2,29
P5
15,79±0,83
17,43±1,52
14,03±3,16
15,75±2,33
P6
15,96±0,82
15,05±1,01
12,89±1,50
14,63±1,69
P7
16,88±0,77
16,04±0,17
13,68±2,52
15,53±1,95
Rataan ± Sd2)
16,47±1,02A
16,18±1,48A
13,30±1,67B
15,31±2,01
Keterangan: 1) P1 = A+D+SE 511, P2 = A+D+SE 512, P3 = A+D+SE 513, P4 = A+D+SE 511+ SE 512, P5 = A+D+SE 512+ SE 513, P6 = A+D+SE 511+ SE 513, P7 = A+D+SE 511+SE 512+SE 513 2) Superskrip dengan huruf kapital berbeda pada baris menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa bahan pakan sumber serat dan kelompok berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase KCBO yang dihasilkan. Namun, kultur campuran bakteri simbion rayap dan bakteri rumen serta interaksi antara kultur campuran dengan bahan pakan sumber serat tidak mempengaruhi persentase KCBO yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis orthogonal kontras, KCBO rumput gajah dan jerami padi sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan KCBO serat sawit (16,47±1,02 %; 16,18±1,48 % vs 15,31±2,01 %). Sedangkan KCBO rumput gajah tidak berbeda nyata dengan jerami padi. Hal ini disebabkan kandungan lignin yang tinggi pada serat sawit (25,90 %) sehingga degradasi protein, karbohidrat dan lemak kurang berjalan dengan baik. Nilai persentase KCBO yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 12,85 % sampai 17,43 % (Tabel 8). Hasil yang diperoleh termasuk dalam kisaran yang relatif rendah. Keadaan ini sesuai dengan nilai KCBK yang diperoleh (Tabel 7). Menurut Setianegoro (2004), nilai KCBO memiliki kecenderungan sama dengan KCBK. Selain itu hal ini juga didukung oleh nilai DBK dan DBO yang dihasilkan pada 39
penelitian ini juga rendah. Menurut Suryahadi dan Piliang (1993), nilai DBK maupun DBO berkorelasi positif dengan kecernaan pakan dalam tubuh ternak. Penggunaan kultur bakteri yang dimurnikan dan bahan pakan tunggal yang merupakan bahan pakan sumber serat juga mempengaruhi rendahnya persentase KCBK maupun KCBO. Menurut Hogan (1996), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kecukupan nutrien untuk mikroba rumen yaitu jumlah nutrien yang masuk ke dalam rumen, proporsi nutrien dari total yang tersedia untuk mikroba dan minimum konsentrasi yang dibutuhkan dalam rumen. Seperti halnya KCBK, persentase KCBO pada rumput gajah ketika isolat bakteri simbion rayap dikulturkan secara campuran dengan bakteri rumen pun menurun dibandingkan ketika isolat bakteri simbion rayap dikombinasikan antara sesama isolat bakteri simbion rayap (16,47±1,02 % vs 38,33±13,43 %). Hal serupa juga terjadi pada KCBO jerami padi dan serat sawit (16,18±1,43 % vs 36,45±17,55 % dan 13,30±1,67 % vs 39,38±11,69 %). Akan tetapi terjadi peningkatan persentase KCBO ketika dilakukan kultur campuran bakteri simbion rayap dengan rumen dibandingkan secara kultur tunggal bakteri simbion rayap maupun bakteri rumen pada rumput gajah (16,47±1,02 % vs 10,84±1,02 %). Begitu pula yang terjadi pada jerami padi dan serat sawit (16,18±1,43 % dan 13,30±1,67 % vs 11,75±0,93 % dan 11,63±1,08 %) (Sulistiani, 2005).
40
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Isolat bakteri simbion rayap dapat berinteraksi dengan baik dengan isolat bakteri rumen dalam mendegradasikan bahan pakan sumber serat seperti rumput gajah, jerami padi dan serat sawit. Berdasarkan hasil degradasi dan kecernaan pakan sumber serat oleh kultur campuran, perlakuan P7, yang merupakan kombinasi antara isolat bakteri simbion rayap A (SB 53 5(3)1) dan D (SC 51 5(2)) dengan isolat bakteri rumen SE 511, SE 512 dan SE 513, lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan isolat bakteri simbion rayap mampu beradaptasi pada kondisi mikroorganisme yang beragam seperti pada kondisi rumen.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas enzim pada masing-masing bakteri apabila dikulturkan secara campuran dan pengintroduksian isolat bakteri simbion rayap ke dalam tubuh ternak.
41
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan segala limpahan nikmat, rahmat dan hidayahNya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur. Sc. sebagai dosen pembimbing utama dan Ir. Widya Hermana, MSi. sebagai dosen pembimbing anggota serta sebagai pembimbing akademik atas segala bimbingan, motivasi dan dorongan semangat selama penelitian hingga penulisan skripsi. Kepada Dr. Ir. Kartiarso sebagai dosen pembahas seminar, Dr. Ir. Panca Dewi MHKS, MSi. dan Ir. Komariah, MSi. sebagai dosen penguji sidang juga disampaikan terima kasih atas saran dan masukkannya. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ir. Dwi Margi Suci, MS. sebagai perwakilan departemen. Ucapan terima kasih disampaikan kepada teman sepenelitian yaitu Rahajeng Nurwidyastuti atas kerjasama, pengertian dan kebersamaannya. Terimakasih kepada sahabat-sahabatku Yeni, Elga, Pipit, teman satu perjuangan minor Gladys dan seluruh Nutrisi 42 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas bantuan, persahabatan dan semangatnya selama ini. Kepada Bu Yani, Bu Dian dan Pak Rahmat terima kasih atas bimbingan dan pengetahuan yang telah diberikan selama penulis melakukan penelitian. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada Mama dan Papa tercinta serta adik-adik penulis Dona, Dana, Diva dan Deril, teman terdekat Novianto atas doa, kasih sayang, perhatian dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Terakhir penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dari semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu semoga Allah SWT selalu membalas amal baiknya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis dan pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009
Penulis 42
DAFTAR PUSTAKA Adawiah. 2000. Kinerja mikroba simbion rayap dalam proses degradasi beberapa jenis limbah pertanian. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Agustin, F. 1991. Penggunaan lumpur sawit kering (dried palm oil sludge) dan serat sawit (palm press fibre) dalam ransum pertumbuhan sapi perah. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Akhirani, N. 1998. Nilai nutrisi ransum pellet komplit berbasis jeramsi padi dengan berbagai level energi dan protein untuk pertumbuhan kambing kacang. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Aritonang. 1986. Perkebunan kelapa sawit, sumber pakan ternak di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 5(4): 93-95. Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Edisi Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Biro Pusat Statistik. 2009. Data produksi nasional padi dan kelapa sawit. (http://www.bps.go.id/sector/agri/pangan.shmtl) [16 Juni 2009] Breznak, J. A. 1982. Intestinal mikrobiota of termites and other xylophagous insect. Annual Review Microbiology 36: 323-343. Carpita, N. C, and M. C. McCann. 2000. The cell wall. In : Buchanan, B. B., W. Gruissem and R. L. Jones (Eds). Biochemistry and Molecular Biology of Plants. (http: //www.sigmaaldrich.com/.../lysing-enzymes.html) [29 Juni 2009]. Doyle, P. T., C. Devendra and G. R. Pearce. 1986. Rice Straw as a Feed for Ruminant. International Development Program of Australian Universities and Collages Limited. Canbera. Enari, T. M. 1983. Microbial Cellulases. In : Forgart, W. F. (Ed). Microbial Enzyms and Biotechnology. Applied Science. London. pp 183-223. Erwanto. 1995. Optimalisasi sistem fermentasi rumen melalui suplementasi sulfur, defaunasi, reduksi emisi metan dan stimulasi pertumbuhan mikroba pada ternak ruminansia. Disertasi. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Harjo, S., N. S. Indrasti dan T. Bantacut. 1989. Biokonversi: Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Haryanto, B. dan A. Djayanegara. 1993. Pemenuhan Kebutuhan Zat-zat Makanan Ternak Ruminansia Kecil. Sebelas Maret University Press, Surakarta. Hogan, J. 1996. Nutritional needs of rumen microbes. In : Ruminant Nutrition and Production in the Tropics and Subtropics. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra.
43
Irawadi, T. T. 1990. Pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai media pertumbuhan kapang penghasil enzim ekstraseluler. Laporan Penelitian. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Irawadi, T. T. 1991. Produksi enzim ekstraseluler (selulase dan xilanase) dari neurospora sitophila pada subtrat limbah padat kelapa sawit. Disertasi. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Irwana., M. T. Djarre, dan S. Nompo. 2002. Kandungan bahan organik dan bahan kering silase rumput gajah dengan penambahan inokulan bakteri asam laktat dan molases. Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak. 3(2): 33-43. Kuswandi. 1993. Kegiatan mikroba di rumen dan manipulasinya untuk menaikkan efisiensi produksi ternak. Buletin Peternakan. 17: 68-76. Laconi, E. B. 1992. Pemanfaatan manure ayam sebagai suplemen non protein nitrogen (NPN) dalam pembuatan silase jerami padi untuk ternak kerbau. Tesis. Fakultas Pascasajana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lehninger. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Terjemahan: Maggy Thenawijaya. Jilid I. PT Gelora Aksara Pratama. Penerbit Erlangga. Jakarta. Liyama, K. 2000. Structural characteristis of cell walls of forage grasses; Their nutritional evaluation for ruminant. Proceeding of Japanese Society for Rumen Metabolism and Physiology. Miyasaki. Lora,
J. H., 2006. Lignin: chemistry production (http://www.lsuagcenter.com/.../+Lignin.htm) [29 Juni 2009]
market.
Manglayang Farm. 2005. Hijauan makanan ternak: rumput gajah. (http://manglayang.blogsome.com/2005/12/31/hijauan-pakan-ternak-rumputgajah-pennisetum-purpureum/) [9 Agustus 2008]. Marhadi. 2009. Potensi fermentasi jerami padi sebagai sumber pakan untuk usaha penggemukan sapi potong. (http://marhadinutrisi06.blogspot.com/ 2009_05_01_archive.html) [6 Juli 2009]. McCrady, E. 1991. The nature of lignin. Alkaline Paper Advocate. 4 (4): 1-3 [http://palimpsest.stanford.edu/byorg/.../ap04-402.html] [16 Desember 2008] McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Edition. Longman. Scientific and Technical John Willey and Sons. Inc. New York. McIlroy, R. J. 1976. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Terjemahan: Subandio Susetyo. Pradnya Paramita, Jakarta. Netfarm Fapet Unpad. 2007. Sistem pencernaan ruminansia. (http: //netfarm. blogsome.com/2007/10/02/sistem-pencernaan-ruminansia/) [9 Agustus 2008]. Oldeson, D. A. and J. A. Breznak. 1983. Volatile fatty acid production by the hindgut microbiota of xylophagous termites. Applied and Environmental Microbiology 45 (5): 1602-1613. Patriana, E. 1993. Evaluasi ransum berbahan dasar daun leguminosa pohon dan limbah tanaman perkebunan secara in vitro dan in sacco. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 44
Pradana, R. A. 2006. Kemampuan bakteri simbion rayap mendegradasi pakan sumber serat dalam kondisi rumen (in vitro). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Purnomohadi, M. 2006. Peranan bakteri selulolitik cairan rumen pada fermentasi jerami padi terhadap mutu pakan. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan dan Perikanan. 13 (2): 108-112 Purwantari, T. 2008. Fermentabilitas in vitro dan produksi biomassa mikroba ransum komplit yang mengandung jerami sorgum, konsentrat dengan penambahan suplemen pakan. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Reksohadiprojo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. Rangkuman BPFE Yogyakarta, Yogyakarta. Sa’id, E. G. 1994. Penanganan dan pemanfaatan limbah industri kelapa sawit. Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan. Bogor. Setianegoro, T. A. 2004. Kajian in vitro efek mikroba rayap dalam mendegradasi pakan sumber serat. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sigit, S. H., F. X. Koesharto, U. P. Hadi, D. J. Gunandini, S. Soviana, I. A. Wirawan, M. Chalidaputra, M. Rivai, S. Priyambodo, S. Yusuf dan S. Utomo. 2006. Hama Permukiman Indonesia (Pengenalan, Biologi dan Pengendalian). Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sofyan, L. A dan S. I. Suwoko. 1986. Taraf pemberian onggok dan tepung daun ubi kayu untuk domba yang mendapat ransum basal jerami padi. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sofyan, L. A., L. Abunawan, E. B. Laconi, A. D. Hasjmi, N. Ramli, M. Ridla dan A. D. Lubis. 2000. Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Diktat kuliah. Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Solihat, A. S. 2006. Kemampuan isolat bakteri rayap mencerna pakan sumber serat dalam kondisi rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sopandi, O. 2007. Degradasi dan kecernaan in vitro pakan sumber serat oleh kultur campuran bakteri simbion rayap. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: M. Syah. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sulistiani, A. 2005. Degradasi in vitro pakan sumber serat oleh isolate murni bakteri selulolitik simbion rayap. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
45
Suparjo, R. Murni, Akmal, dan Ginting, B. L. 2008a. Potensi dan faktor pembatas pemanfaatan limbah sebagai pakan ternak. (http://jajo66.files.wordpress.com /2008/11/02potensi.pdf) [6 Juli 2009]. Suparjo, R. Murni, Akmal, dan Ginting, B. L. 2008 b. Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak. (http://jajo66.files.wordpress.com /2008/11/03pemanfaatan.pdf) [7 Juli 2009]. Suparjo. 2008. Degradasi komponen lignoselulosa oleh kapang pelapuk putih. (http://jajo66.files.wordpress.com/2008/10/degradasi-lignoselulosa.pdf) [5 Mei 2009]. Suryahadi, H dan W. G. Pilliang. 1993. Pemanfaatan limbah kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq) sebagai pellet ransum komplit ruminansia. Laporan Penelitian. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutanmuda. 2008. Budidaya rumput gajah untuk pakan ternak. (http://sutanmuda.wordpress.com/2008/07/22/budidaya-rumput-gajah-untukpakan-ternak/) [9 Agustus 2008] Sutardi, T. 1979. Ketahanan protein dalam makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Prosiding Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan. Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutardi, T. 1988. Rumus Pendugaan Total Digestable Nutrient. Jurusan Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syukri, A. 2007. Rayap penghasil biofuel yang efisien. dalam Jurnal Nasional Jumat 30November2007. (http://jurnalnasional.com/....SainsdanTeknologi...=24923) [9 Agustus 2008] Tarumingkeng, R. 2001. Biologi dan Perilaku Rayap. Pusat Studi Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tilley, J. M. A. and R. A. Terry. 1963. Two-stage technique for the in vitro digestion of forage crops. Journal of British Grassland Society. 18: 104–111. Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosukoyo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah mada University Press, Yogyakarta. Wardhani, N. K., A. Musofic dan Sudijanto. 1983. Pengaruh berbagai bentuk potongan pucuk tebu sebagai sumber hijauan makanan ternak terhadap pallatabilitas ransum. Proc. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar BPPP Departemen Pertanian, Bogor.
46
Widyastuti, A. T. 2005. Isolasi dan uji kemampuan selulolitik bakteri simbion rayap pendegradsi serat. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Williamson, G dan Payne, W. J. A. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan : S G N Djiwa Darmadja. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Winugroho, M., B. Bakrie, T. Panggabean dan N. G. Yates. 1983. Pengaruh panjang potongan dan perlakuan kimia terhadap jumlah konsumsi dan daya cerna jerami. Proc. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar BPPP Departemen Pertanian, Bogor. Zain, M., Jamarun, Suryahadi dan Nurhaita. 2006. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro serbuk sabut kelapa dan difermentasikan dengan mikroba rumen. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan 9(1): 39-49 Zamora, A. 2005. Carbohydrates-chemical structure. (http://www.scientificpsychic. com/fitness/carbohydrates2.html) [3 Juli 2009]
47
LAMPIRAN
48
Lampiran 1. Analisis Ragam Perlakuan terhadap konsentrasi NH3 Sumber Keragaman Perlakuan Faktor A (Kombinasi Bakteri) P1, P2, P3, P5, P6 vs P4, P7 P2, P5 vs P1, P3, P6 P2 vs P5 P1, P3 vs P6 P1 vs P3 P4 vs P7 Faktor B (Pakan Berserat) RG, JP vs SS RG vs JP Interaksi A x B Kelompok Galat Total Keterangan:
Db 20 6 1 1 1 1 1 1 2 1 1 12 2 40 62
JK 632,89 30,11 20,22 1,21 0,58 0,50 0,02 7,58 575,53 538,59 36,94 27,25 505,79 146,74 1285,43
KT 31,64 5,02 20,22 1,21 0,58 0,50 0,02 7,58 287,76 538,59 36,94 2,27 252,89 3,67
Fhit 8,63 1,37 5,51 0,33 0,16 0,14 0,01 2,07 78,44 146,81 10,07 0,62 68,93
F0.05 1,84 2,34 4,08 4,08 4,08 4,08 4,08 4,08 3,23 4,08 4,08 2,00 3,23
F0.01 2,37 3,29 7,31 7,31 7,31 7,31 7,31 7,31 5,18 7,31 7,31 2,66 5,18
Ket. ** tn * tn tn tn tn tn ** ** ** tn **
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data RG = rumput gajah; JP = jerami padi; SS = serat sawit Tanda * menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tanda ** menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 2. Analisis Ragam Perlakuan terhadap produksi VFA total Sumber Keragaman Perlakuan Faktor A (Kombinasi Bakteri) P1, P4,P6 VS P2, P3, P5, P7 P1,P4 VS P6 P1 VS P4 P3, P5 VS P2, P7 P3 VS P5 P2 VS P7 Faktor B (Pakan Berserat) RG vs JP, SS JP vs SS Interaksi A x B Kelompok Galat Total Keterangan:
Db 20 6 1 1 1 1 1 1 2 1 1 12 2 40 62
JK KT 28420,84 1421,04 13845,30 2307,55 10841,49 10841,49 2169,71 2169,71 423,37 423,37 52,47 52,47 21,65 21,65 31,25 31,25 1611,67 805,84 1242,53 1242,53 369,14 369,14 12963,87 1080,32 8921,89 4460,94 40919,77 1022,99 78262,49
Fhit 1,39 2,26 10,60 2,12 0,41 0,05 0,02 0,03 0,79 1,21 0,36 1,06 4,36
F0.05 1,84 2,34 4,08 4,08 4,08 4,08 4,08 4,08 3,23 4,08 4,08 2,00 3,23
F0.01 2,37 3,29 7,31 7,31 7,31 7,31 7,31 7,31 5,18 7,31 7,31 2,66 5,18
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data RG = rumput gajah; JP = jerami padi; SS = serat sawit Tanda * menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tanda ** menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
49
Ket. tn tn ** tn tn tn tn tn tn tn tn tn *
Lampiran 3. Analisis Ragam Perlakuan terhadap DBK Sumber Keragaman Perlakuan Faktor A (Kombinasi Bakteri) P7 vs P1, P2, P3, P4, P5, P6 P2, P5, P6 vs P1, P3, P4 P2, P5 vs P6 P2 vs P5 P1, P3 vs P4 P1 vs P3 Faktor B (Pakan Berserat) RG, SS vs JP RG vs SS Interaksi A x B Kelompok Galat Total Keterangan:
Db 20 6 1 1 1 1 1 1 2 1 1 12 2 40 62
JK KT Fhit 118,66 5,93 2,02 16,73 2,79 0,95 15,91 15,91 5,42 0,53 0,53 0,18 0,009 0,009 0,003 0,00006 0,00006 0,00002 0,27 0,27 0,09 0,01 0,01 0,00 73,87 36,93 12,58 59,33 59,33 20,21 14,54 14,54 4,95 28,06 2,34 0,80 180,35 90,17 30,72 117,42 2,94 416,43
F0.05 1,84 2,34 4,08 4,08 4,08 4,08 4,08 4,08 3,23 4,08 4,08 2,00 3,23
F0.01 2,37 3,29 7,31 7,31 7,31 7,31 7,31 7,31 5,18 7,31 7,31 2,66 5,18
Ket. * tn * tn tn tn tn tn ** ** * tn **
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data RG = rumput gajah; JP = jerami padi; SS = serat sawit Tanda * menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tanda ** menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 4. Analisis Ragam Perlakuan terhadap DBO Sumber Keragaman Perlakuan Faktor A (Kombinasi Bakteri) P3, P6, P7 vs P1, P2, P4, P5 P6, P7 vs P3 P6 vs P7 P2, P5 vs P1, P4 P2 vs P5 P1 vs P4 Faktor B (Pakan Berserat) RG, SS vsJP RG vs SS Interaksi A x B Kelompok Galat Total Keterangan:
Db 20 6 1 1 1 1 1 1 2 1 1 12 2 40 62
JK 115,97 19,23 14,45 3,31 0,012 0,84 0,31 0,31 66,25 65,89 0,36 30,49 102,10 106,78 324,85
KT 5,80 3,20 14,45 3,31 0,012 0,84 0,31 0,31 33,13 65,89 0,36 2,54 51,05 2,67
Fhit 2,17 1,20 5,41 1,24 0,005 0,32 0,12 0,12 12,41 24,68 0,14 0,95 19,12
F0.05 1,84 2,34 4,08 4,08 4,08 4,08 4,08 4,08 3,23 4,08 4,08 2,00 3,23
F0.01 2,37 3,29 7,31 7,31 7,31 7,31 7,31 7,31 5,18 7,31 7,31 2,66 5,18
Ket. * tn * tn tn tn tn tn ** ** tn tn **
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data RG = rumput gajah; JP = jerami padi; SS = serat sawit Tanda * menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tanda ** menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
50
Lampiran 5. Analisis Ragam Perlakuan terhadap KCBK Sumber Keragaman Perlakuan Faktor A (Kombinasi Bakteri) P2,P4, P5, P7 vs P1, P3, P6 P5 vs P2, P4, P7 P2 vs P4, P7 P7 vs P4 P1, P3, vs P6 P1 vs P3 Faktor B (Pakan Berserat) RG, JP vs SS RG vs JP Interaksi A x B Kelompok Galat Total Keterangan:
Db 20 6 1 1 1 1 1 1 2 1 1 12 2 40 62
JK 173,55 10,64 7,83 1,17 0,14 0,03 1,11 0,35 151,28 119,14 32,14 11,63 23,94 70,52 268,01
KT 8,68 1,77 7,83 1,17 0,14 0,03 1,11 0,35 75,64 119,14 32,14 0,97 11,97 1,76
Fhit 4,92 1,01 4,44 0,66 0,08 0,02 0,63 0,20 42,90 67,58 18,23 0,55 6,79
F0.05 1,84 2,34 4,08 4,08 4,08 4,08 4,08 4,08 3,23 4,08 4,08 2,00 3,23
F0.01 2,37 3,29 7,31 7,31 7,31 7,31 7,31 7,31 5,18 7,31 7,31 2,66 5,18
Ket. ** tn * tn tn tn tn tn ** ** ** tn **
F0.01 2,37 3,29 7,31 7,31 7,31 7,31 7,31 7,31 5,18 7,31 7,31 2,66 5,18
Ket. ** tn tn tn tn tn tn tn ** ** tn tn **
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data RG = rumput gajah; JP = jerami padi; SS = serat sawit Tanda * menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Tanda ** menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Lampiran 6. Analisis Ragam Perlakuan terhadap KCBO Sumber Keragaman Perlakuan Faktor A (Kombinasi Bakteri) P2, P4, P5, P7 vs P1, P3, P6 P5, vs P2, P4, P7 P4, P7 vs P2 P7 vs P4 P1, P3 vs P6 P1 vs P3 Faktor B (Pakan Berserat) RG, JP vs SS RG vs JP Interaksi A x B Kelompok Galat Total Keterangan:
db 20 6 1 1 1 1 1 1 2 1 1 12 2 40 62
JK 149,43 7,89 6,11 0,34 0,002 0,000 1,39 0,05 128,99 128,12 0,87 12,55 30,88 69,14 249,44
KT 7,47 1,32 6,11 0,34 0,002 0,000 1,39 0,05 64,50 128,12 0,87 1,05 15,44 1,73
Fhit 4,32 0,76 3,54 0,20 0,001 0,000 0,80 0,03 37,32 74,13 0,50 0,60 8,93
F0.05 1,84 2,34 4,08 4,08 4,08 4,08 4,08 4,08 3,23 4,08 4,08 2,00 3,23
db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data RG = rumput gajah; JP = jerami padi; SS = serat sawit Tanda ** menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
51