BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Laporan Keuangan
2.1.1.1 Pengertian Laporan Keuangan Laporan keuangan pada hakekatnya merupakan output/ keluaran dari suatu proses akuntansi yang disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang nantinya
digunakan
sebagai
alat
informasi
kepada
pihak-pihak
yang
berkepentingan. Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2007:1) paragraph 07, dijelaskan bahwa: “Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Disamping itu juga termasuk skedul dan informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, misalnya, informasi keuangan segmen industri dan geografis serta pengungkapan pengaruh perubahan harga.” Dari penjelasan diatas ditekankan mengenai kelengkapan laporan keuangan yang biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan.
Menurut Munawir (2002:2), menjelaskan pengertian laporan keuangan adalah: “Laporan keuangan pada dasarnya adalah hasil dari proses akuntansi yang dapat digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi antara data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan data atau aktivitas perusahaan tersebut.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa hasil akhir proses akuntansi adalah laporan keuangan yang berisikan data keuangan atas aktivitas yang telah dijalankan perusahaan pada suatu periode tertentu yang digunakan sebagai sarana pengkomunikasian informasi keuangan utama kepada pihak-pihak diluar perusahaan. Menurut Sutrisno (2003:9), menjelaskan pengertian laporan keuangan adalah: “Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari proses akuntansi yang meliputi dua laporan utama yakni, Neraca dan Laporan Laba Rugi.” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa proses akuntansi diakhiri dengan adanya output berupa laporan keuangan. Laporan keuangan yang biasanya menjadi perhatian utama yaitu neraca (sekarang bernama laporan perubahan posisi keuangan) dan laporan laba rugi. Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat dijelaskaan bahwa laporan keuangan yang lengkap terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan, dan catatan atas laporan keuangan yang merupakan bagian intergral dari laporan keuangan.
2.1.1.2 Karakteristik Laporan Keuangan Laporan keuangan memiliki karakteristik kualitatif yang membuat informasi dalam laporan keuangan dapat berguna bagi pemakai. Berikut adalah karakteristik tersebut menurut Harmono (2010:14) yaitu: 1. Dapat dipahami Laporan keuangan harus memiliki karakteristik mudah dipahami. Mudah dipahami maksudnya pemakai diasumsikan memiliki pengetahuan yang memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta kemauan untuk mempelajari informasi dengan ketekunan yang wajar. 2. Relevan Agar relevan, informasi akuntansi harus mampu membuat perbedaan dalam sebuah keputusan. Jika tidak mempengaruhi keputusan, maka informasi tersebut dikatakan tidak relevan terhadap keputusan yang diambil. Terdapat dua unsur pokok dalam karakter relevan, yaitu: a. Nilai prediktif (predictive value) Informasi yang relevan akan membantu pemakai membuat prediksi tentang hasil akhir dari kejadian masa lalu, masa kini, dan masa depan. b. Nilai penegasan (confirmatory value) Informasi yang relevan juga membantu pemakai mengkonfirmasi atau mengoreksi ekspektasi atau harapan masa lalu. 3. Materialitas Relevansi informasi dipengaruhi oleh hakikat dan materialitasnya. Dalam beberapa kasus, hakikat informasi saja sudah cukup untuk menentukan
relevansinya. Informasi dipandang material kalau kelalaian untuk mencantumkan atau kesalahan dalam mencatat informasi tersebut dapat memengaruhi keputusan ekonomi pemakai yang diambil atas dasar laporan keuangan. 4. Keandalan Agar bermanfaat, informasi harus andal (reliable). Informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan pemakainya sebagai penyajian yang tulus dan jujur (faithful representation) mencerminkan yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan. Informasi mungkin relevan, tetapi hakikat atau penyajiannya tidak dapat diandalkan maka penggunaan informasi tersebut secara potensial dapat menyesatkan. 5. Penyajian jujur Agar dapat diandalkan, informasi harus menggambarkan dengan jujur transaksi serta peristiwa lain yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar dapat diharapkan untuk disajikan. Informasi keuangan pada umumnya tidak luput dari risiko penyajian yang dianggap kurang jujur dari apa yang seharusnya digambarkan. 6. Substansi mengungguli bentuk Jika informasi dimaksudkan untuk menyajikan dengan jujur transaksi serta peristiwa lain yang seharusnya disajikan, maka peristiwa tersebut perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan realitas ekonomi dan bukan hanya bentuk hukumnya.
7. Netralitas Informasi harus diarahkan pada kebutuhan umum pemakai, dan tidak bergantung kepada kebutuhan dan keinginan pihak tertentu. Tidak boleh ada usaha untuk menyajikan informasi yang menguntungkan beberapa pihak, sementara hal tersebut akan merugikan pihak lain yang mempunyai kepentingan yang berlawanan. 8. Pertimbangan sehat Penyusun laporan keuangan ada kalanya menghadapi ketidakpastian peristiwa dan keadaan tertentu, seperti ketertagihan piutang yang diragukan, perkiraan masa manfaat pabrik dan peralatan, serta tuntutan atas jaminan garansi yang mungkin timbul. Pertimbangan sehat mengandung unsur kehati-hatian pada saat melakukan perkiraan dalam kondisi ketidakpastian sehingga aktiva atau penghasilan tidak dinyatakan terlalu tinggi dan kewajiban atau beban tidak dinyatakan terlalu rendah. 9. Kelengkapan Agar dapat diandalkan, informasi dalam laporan keuangan harus lengkap dalam batasan materialitas dan biaya. Kesengajaan untuk tidak mengungkapkan (omission) mengakibatkan informasi menjadi tidak benar atau menyesatkan sehingga tidak dapat diandalkan dan tidak sempurna ditinjau dari relevansi. 10. Dapat dibandingkan Pemakai harus dapat membandingkan laporan keuangan perusahaan antarperiode untuk mengidentifikasi kecenderungan (tren) posisi dan
kinerja keuangan. Pemakai juga harus dapat membandingkan laporan keuangan antarperusahaan untuk mengevaluasi posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan secara relatif. 11. Tepat waktu Jika terdapat penundaan yang tidak semstinya dalam pelaporan, maka informasi yang dihasilkan akan kehilangan relevansinya. Manajemen mungkin perlu menyeimbangkan manfaat relatif antara pelaporan tepat waktu dan ketentuan informasi andal. 12. Keseimbangan antara biaya dan manfaat Keseimbangan antara biaya dan manfaat lebih merupakan kendala yang pervasif dibanding karakteristik kualitatif. Manfaat yang dihasilkan informasi seharusnya melebihi biaya penyusunannya. Manfaat mungkin juga dinikmati oleh pemakai lain, di samping mereka yang menjadi tujuan informasi. 13. Keseimbangan di antara karakteristik kualitatif Dalam praktik, keseimbangan atau trade-off di antara berbagai karakteristik kualitatif sering diperlukan. Pada umumnya, tujuannya untuk mencapai suatu keseimbangan yang tepat di antara berbagai karakteristik untuk memenuhi tujuan pelaporan keuangan. Kepentingan relatif dari berbagai karakteristik dalam berbagai kasus yang berbeda merupakan masalah pertimbangan profesional.
14. Penyajian wajar Laporan keuangan sering dianggap menggambarkan pandangan yang wajar ditinjau dari cara menyajikan dengan wajar, posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan.
2.1.1.3 Komponen Laporan Keuangan Setelah adanya konvergensi IFRS di Indonesia, terjadi perubahan komponen laporan keuangan. Berikut adalah perubahan komponen laporan keuangan yang lengkap. Tabel 2.1 Perubahan Komponen Laporan Keuangan Menurut PSAK lama Menurut PSAK baru setelah konvergensi 1. Neraca 1. Laporan Posisi Keuangan 2. Laporan Laba Rugi 2. Laporan Laba Rugi Komprehensif 3. Laporan Perubahan Ekuitas 3. Laporan Perubahan Ekuitas 4. Laporan Arus Kas 4. Laporan Arus kas 5. Catatan atas Laporan Keuangan 5. Catatan atas Laporan Keuangan 6. Laporan Posisi Keuangan Awal Periode
2.1.1.4 Pemakai Laporan Keuangan Laporan keuangan mempunyai arti penting bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi dari laporan keuangan tersebut. Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2004:2) paragraph 09, pemakai laporan keuangan adalah sebagai berikut: a. Investor Penanam modal berisiko dan penasihat mereka berkepentingan dengan risiko yang melekat serta pengembangan dari investasi yang mereka
lakukan. Mereka membutuhkan informasi untuk membantu menentukan apakah harus membeli, menahan atau menjual investasi tersebut serta tertarik
pada
informasi
yang
memungkinkan
penilaian
terhadap
kemampuan perusahaan dalam membayar dividen. b. Karyawan Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili mereka tertarik pada informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan. Mereka juga tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun, dan kesempatan kerja. c. Pemberi pinjaman Pemberi
pinjaman
tertarik
dengan
informasi
keuangan
yang
memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah pinjaman serta bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo. d. Pemasok dan kreditor usaha lainnya Pemasok dan kreditor usaha lainnya tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah jumlah yang terhutang akan dibayar pada saat jatuh tempo. Kreditor usaha berkepentingan pada perusahaan dalam tenggang waktu yang lebih pendek dibanding pemberi pinjaman kecuali kalau sebagai pelanggan utama mereka tergantung pada kelangsungan hidup perusahaan.
e. Pelanggan Para pelanggan berkepentingan dengan informasi mengenai kelangsungan hidup perusahaan, terutama kalau mereka terlibat dalam perjanjian jangka panjang dengan, atau tergantung pada perusahaan. f. Pemerintah Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaannya berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan karena itu berkepentingan dengan aktivitas perusahaan. Mereka juga membutuhkan informasi untuk mengatur aktivitas perusahaan, menetapkan kebijakan pajak dan sebagai dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan statistik lainnya. g. Masyarakat Perusahaan mempengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara. Misalnya, perusahaan dapat memberikan kontribusi berarti pada perekonomian nasional, termasuk jumlah orang yang diperkerjakan dan perlindungan kepada penanam modal domestik. Laporan keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan (trend) dan perkembangan terakhir mengenai kemakmuran serta rangkaian aktivitasnya.
2.1.2
Auditing
2.1.2.1 Pengertian Auditing Pengertian audit menurut Arens et al. (2012:4) adalah sebagai berikut: “Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, idependent person”. Berdasarkan
definisi
tersebut,
dijelaskan
bahwa
auditing
adalah
pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen. Pengertian auditing menurut Sukrisno Agoes (2012:4) adalah sebagai berikut: “Auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan.” Dari penjelasan diatas menjelaskan bahwa audit harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen. Dalam melakukan audit, auditor harus memiliki kualifikasi untuk memahami kriteria yang digunakan dan harus kompeten untuk mengetahui jenis serta jumlah bukti yang akan dikumpulkan untuk mencapai kesimpulan yang tepat setelah memeriksa bukti-bukti tersebut. Auditor juga harus memiliki sikap mental independen dalam mengevaluasi objek yang diaudit.
Hasil akhir dari audit yaitu laporan audit yang berisi informasi tentang kesesuaian antara informasi yang diuji dengan kriterianya atau ketidaksesuaian dengan menunjukkan fakta atas ketidaksesuaian tersebut.
2.1.2.2 Audit Laporan Keuangan Pengertian audit laporan keuangan menurut Arens et.al (2012:15) adalah sebagai berikut: “A financial statement audit is conducted to determine whether the overall financial statements (the information being verified) are stated in accordance with specific criteria.” “The objective of the ordinary audit of financial statements by the independent auditor is the expression of an opinion on the fairness with wich they present fairly, in all material respects, financial position, result of operations, and it’s cash flow in conformity with generally aceepted accounting principles.” Berdasarkan definisi diatas dijelaskan bahwa audit atas laporan keuangan adalah pemeriksaan terhadap laporan keuangan untuk menetapkan apakah keseluruhan laporan keuangan yang setelah dilakukan verifikasi informasi yang dapat dihitung telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu yang telah ditetapkan untuk memberikan suatu pendapat atas kewajaran suatu laporan keuangan. Laporan keuangan yang diperiksa, biasanya terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan.
2.1.2.3 Proses Audit Laporan Keuangan Menurut Arens et al. (2012:395), proses audit dijelaskan sebagai berikut: “Phases of the audit process-the four aspects of a complete audit: (1) Plan and design an audit approach, (2) perform tests of control and substantive test of transaction, (3) perform analytical procedures and test of details of balance, and (4) complete the audit and issue the audit report.” Sedangkan menurut Boynton et al. (2002:191) menentukan fase-fase audit laporan keuangan sebagai berikut: 1) Accepting the audit engagement 2) Planning the audit 3) Performing audit test 4) Reporting the findings
Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat diuraikan setiap fase dalam melakukan audit laporan keuangan sebagai berikut: 1) Fase I: Perencanaan dan perancangan pendekatan audit (plan and design audit approach) Terdiri dari proses penerimaan klien dan persiapan perencanaan awal, pemahaman bisnis dan industri klien, menilai risiko bisnis klien, menyiapkan prosedur awal, menentukan tingkat materialitas dan menilai resiko audit yang dapat diterima, memahami pengendalian internal dan menaksir pengendalian risiko laba, mengembangkan perencanaan audit secara umum dan program audit. 2) Fase II: Melakukan tes atas pengendalian dan tes atas transaksi (perform test of control and substantive test of transaction) Tujuan dalam tahap ini adalah untuk: 1. Mendapatkan bahan bukti yang mendukung kebijakan dan prosedur pengendalian spesifik yang berperan terhadap tingkat risiko pengendalian yang ditetapkan. 2. Memperoleh bahan bukti yang mendukung kebenaran transaksi. 3)
Fase III: Melakukan prosedur analisa lebih rinci dan tes terinci atas saldo (perform analytical procedures and test detail of balance) Tahap ini adalah untuk memperoleh bahan bukti tambahan yang cukup untuk menentukan apakah saldo akhir dan catatan laporan keuangan dengan wajar.
4)
Fase IV: Penyelesaian audit dan penerbitan laporan keuangan (complete the audit and issue an audit report)
25
Tahap ini terdiri dari proses mereview kewajiban yang bersyarat, kejadian setelah tanggal neraca, mengakumulasikan bukti-bukti terakhir, evaluasi hasil dan menerbitkan laporan audit (memberikan pendapat) serta berkomunikasi dengan komite audit dan manajemen perusahaan.
2.1.2.4 Pengertian Kantor Akuntan Publik Dalam Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik SPAP (2001:20000.1) disebutkan bahwa: “KAP adalah suatu bentuk organisasi akuntan publik yang memperoleh izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang berusaha di bidang pemberian jasa profesional dalam praktik akutan publik.” Dengan kata lain KAP merupakan tempat penyediaan berbagai jasa oleh profesi akuntan publik bagi masyarakat. 2.1.2.5 Tinjauan Profesi Akuntan Publik Profesi akuntan publik dikenal oleh masyarakat dari jasa audit yang disediakan bagi pemakai informasi keuangan. Tumbuh dan berkembangnya profesi akuntan publik di suatu negara sejalan dengan berkembangnya perusahaan dan berbagai bentuk badan hukum perusahaan di negara tersebut (Mulyadi, 2002:2). Menurut
Aturan
(2001:20000.2) menyatakan:
Etika
Kompartemen
Akuntan
Publik
SPAP
“Akuntan publik adalah akuntan yang memiliki izin dari Menteri Keuangan atau pejabat yang berwenang lainnya untuk menjalankan praktik akuntan publik.” Akuntan publik merupakan pihak ketiga yang independen untuk menilai keandalan laporan keuangan yang disajikan manajemen untuk para pemakai. Pihak-pihak di luar perusahaan memerlukan informasi mengenai perusahaan untuk pengambilan keputusan tentang hubungan mereka dengan perusahaan.
2.1.2.6 Jenis-jenis Auditor Menurut Islahuzzaman (2012:47), auditor adalah orang yang melakukan pemeriksaan terhadap kliennya. Pemeriksaan ini dilakukan dengan surat penugasan/ perikatan/ perjanjian pemeriksaan. Dalam audit, pihak yang melakukan atau memberikan jasa audit adalah auditor dari Kantor Akuntan Publik (KAP). Menurut Mulyadi (2002:28), terdapat tiga jenis auditor yang paling umum dikenal yaitu auditor independen, auditor pemerintah, dan auditor intern. a. Auditor Independen Auditor profesional yang menyediakan jasanya kepada masyarakat umum, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang dibuat oleh kliennya. Audit tersebut terutama ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan para pemakai informasi keuangan seperti: kreditur, investor, calon kreditur, calon investor, dan instansi pemerintah (terutama instansi pajak). b. Auditor Pemerintah
Auditor profesional yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi atau entitas pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan yang ditunjukkan kepada pemerintah. Namun umumnya yang disebut auditor pemerintah adalah auditor yang bekerja di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), serta instansi pajak. BPKP adalah instansi pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik
Indonesia
dalam
bidang
pengawasan
keuangan
dan
pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sedangkan BPK adalah lembaga
tertinggi
negara
yang
tugasnya
melakukan
audit
atas
pertanggungjawaban keuangan Presiden RI dan aparat dibawahnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
c. Auditor Intern Auditor yang bekerja dalam perusahaan (perusahaan negara maupun perusahaan swasta) yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi.
2.1.2.7 Jenis Opini Auditor Opini audit merupakan pendapat yang diberikan oleh auditor tentang kewajaran penyajian laporan keuangan/ lembaga perusahaan tempat auditor melakukan audit (Sukrisno Agoes, 2012:74). Salah satu hal yang terpenting yang dapat memengaruhi kualitas dari laporan keuangan adalah pernyataan atau suatu pendapat auditor mengenai simpulan dari sisi laporan keuangan dimana pendapat tersebut menggambarkan keadaan dan hasil-hasil yang diperoleh selama pelaksanan audit berlangsung. Menurut Sukrisno Agoes (2012:75), ada lima jenis pendapat auditor yaitu: 1. Unqualified Opinion (pendapat wajar tanpa pengecualian) Pendapat ini menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas suatu entitas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Pendapat ini diberlakukan bila dalam kondisi-kondisi berikut ini: 1) Seluruh laporan keuangan telah lengkap. 2) Semua aspek dalam ketiga standar umum SPAP telah dipatuhi dalam penugasan aspek tersebut. 3) Bukti audit yang cukup memadai telah terkumpul dan auditor telah melaksanakan penugasan audit ini dengan sedemikian rupa sehingga membuatnya mampu menyimpulkan bahwa ketiga standar pekerjaan lapangan telah dipenuhi.
4) Laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku. 5) Tidak terdapat situasi yang membuat auditor merasa perlu untuk menambahkan sebuah paragraph penjelasan atau memodifikasi kalimat dalam laporan audit. 2. Unqualified with Explanatory Paragraph or Modified Wording (pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa yang ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku) Pendapat ini diberikan jika terdapat keadaaan tertentu yang mengharuskan auditor menambahkan paragraph penjelasan (atau bahasa penjelasan lain) dalam laporan audit meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian yang dinyatakan oleh auditor. 3. Qualified Opinion (pendapat wajar dengan pengecualian) Pendapat ini menyatakan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia kecuali untuk dampak hal yang berkaitan dengan yang dikecualikan. 4. Adverse Opinion (pendapat tidak wajar) Pendapat ini menyatakan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku di Indonesia. 5. Disclaimer of Opinion (pernyataan tidak memberikan pendapat)
Kewajiban untuk menolak memberikan pendapat timbul jika terdapat pembatasan lingkup audit atau terdapat hubungan yang tidak independen menurut Kode Etik Profesional antara auditor dengan kliennya.
2.1.2.8 Jenis Audit Pengauditan dapat dibagi dalam beberapa jenis. Pembagian ini dimaksudkan untuk menentukan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dengan adanya pengauditan tersebut. Menurut Mulyadi (2002:30), jenis-jenis audit terdiri dari: 1. Audit laporan keuangan (financial audit statement), audit yang dilakukan oleh auditor independen terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh kliennya untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. 2. Audit kepatuhan (compliance audit), audit yang tujuannya untuk menentukan apakah yang diaudit sesuai dengan kondisi atau peraturan tertentu. 3. Audit operasional (operational audit), review secara sistematik kegiatan organisasi, atau bagian dari padanya, dalam hubungannya dengan tujuan tertentu.
2.1.2.9 Standar Auditing
Menurut Islahuzzaman (2012:433), standar auditing merupakan pedoman audit atas laporan keuangan historis. Standar auditing terdiri dari sepuluh standar dan dirinci dalam bentuk standar auditing (SA). Sedangkan Arens et al. (2012:42) menyatakan bahwa: “Auditing Standards are general guidelines to aid auditors in fulfilling their professional responsibilities in the audit of historical financial statements”. Standar auditing berkaitan dengan kriteria atau ukuran mutu kinerja auditor independen dan pertimbangan yang digunakan dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporan audit. Standar auditing yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI, 2011:150.1-150.2) adalah sebagai berikut: 1) Standar umum a) Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagia auditor. b) Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. c) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. 2) Standar Pekerjaan Lapangan a) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
b) Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencankan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan. c) Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. 3) Standar Pelaporan a) Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. b) Laporan auditor harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. c) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor. d) Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor.
2.1.3
Materialitas
2.1.3.1 Pengertian Materialitas Materialitas merupakan dasar penerapan standar auditing, terutama standar pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan. Oleh karena itu, materialitas mempunyai pengaruh yang mencangkup semua aspek audit dalam audit atas laporan keuangan (Mulyadi, 2002:157). Konsep
materialitas
merupakan
faktor
yang
penting
dalam
mempertimbangkan jenis laporan yang tepat untuk diterbitkan dalam keadaan tertentu. Pengertian materialitas menurut Arens, et al. (2012:270) adalah sebagai berikut: “The magnitude of an omission or misstatement of a accounting information that, in the light of surrounding circumstances, makes it probable that the judgement of a reasonable person relying on the information would have been changed or influenced by the omission or misstatement. “ Pengertian materialitas menurut SPAP SA seksi 312: “Materialitas merupakan besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengubah atau mempengaruhi pertimbangan orang yang meletakan kepercayaan terhadap informasi tersebut.” Sedangkan pengertian materialitas menurut Mulyadi (2002:158) adalah sebagai berikut: “Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu.”
Dari penjelasan-penjelasan diatas menjelaskan bahwa materialitas merupakan besarnya penghapusan atau salah saji informasi keuangan yang dengan memperhitungkan situasinya, menyebabkan pertimbangan seseorang yang bijaksana yang mengandalkan informasi tersebut mungkin akan berubah atau terpengaruh oleh penghapusan atau salah saji.
2.1.3.2 Pertimbangan Materialitas Menurut Sukrisno Agoes (2012:149), pertimbangan auditor mengenai materialitas merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor atas kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan meletakkan kepercayaan terhadap laporan keuangan. Pertimbangan mengenai materialitas yang digunakan oleh auditor dihubungkan dengan keadaan sekitarnya dan mencangkup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif. Pertimbangan kuantitatif berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan. Sedangkan pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab salah saji. Suatu salah saji yang secara kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif material, karena penyebab yang menimbulkan salah saji tersebut (Mulyadi, 2002:159). Menurut Mulyadi (2002:159) menerangkan ada empat indikator dalam menentukan pertimbangan tingkat materialitas, yaitu: (1) Pertimbangan awal materialitas, (2) Materialitas pada tingkat laporan keuangan, (3) Materialitas pada tingkat rekening,
(4) Alokasi materialitas laporan keuangan ke rekening. Keempat hal di atas menjadi indikator dari variabel pertimbangan tingkat materialitas. Pertimbangan awal materialitas dapat didasarkan atas data laporan keuangan yang dibuat tahunan. Sebagai alternatif, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil keuangan yang lalu satu tahun atau lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan perubahan terkini seperti keadaan ekonomi atau trend industry (Mulyadi, 2002:161). Konsep materialitas menunjukan seberapa besar salah saji yang dapat diterima oleh auditor agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut. Dari definisi diatas konsep materialitas dapat digunakan tiga tingkatan dalam mempertimbangkan jenis laporan yang harus dibuat antara lain: 1) Jumlah yang tidak material Jika terdapat salah saji dalam laporan keuangan tetapi cenderung tidak mempengaruhi keputusan pemakai laporan, salah saji tersebut dianggap tidak material. 2) Jumlahnya material, tetapi tidak mengganggu laporan keuangan secara keseluruhan Tingkat materialitas ini terjadi jika salah saji didalam laporan keuangan dapat mempengaruhi keputusan pemakai, tetapi secara keseluruhan laporan keuangan tersebut tersaji dengan benar sehingga tetap berguna. 3) Jumlahnya sangat material atau pengaruhnya sangat meluas sehingga kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan diragukan
Tingkat tertinggi jika terjadi para pemakai dapat membuat keputusan yang salah jika mereka mengandalakan laporan keuangan secara keseluruhan. Dengan adanya penetapan materialitas yaitu untuk membantu auditor merencanakan mengumpulkan bahan bukti yang cukup. Jika auditor menetapkan jumlah yang rendah, lebih banyak bukti yang dikumpulkan dari pada jumlah yang tinggi tetapi sedikit mengumpulkan bukti. Didalam audit atas laporan keuangan, auditor memberikan keyakinan berikut ini:
Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diringkas, digolongkan dan dikompilasi.
Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan klien.
Auditor dapat memberikan keyakinan dalam bentuk pendapat bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan dan ketidakberesan (Mulyadi, 2002:158).
2.1.3.3 Langkah-langkah dalam menetapkan Materialitas 2.1.3.3.1 Pertimbangan Awal tentang Materialitas Menurut Mulyadi (2002:159), dalam melakukan perencanaan auditnya, auditor harus melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas. Penentuan materialitas ini seringkali disebut dengan materialitas perencanaan,
dapat berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan pada saat pengambilan kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan audit karena:
Keadaan yang melingkupi berubah
Informasi tambahan tentang klien dapat diperoleh selama berlangsungnya audit. Contohnya, klien mungkin dapat memperoleh sumber pembelanjaan untuk
melanjutkan usahanya, yang pada saat audit direncanakan, auditor meragukan kemampuan klien dalam mempertahankan kelangsungan hidup usaha klien. Kemudian, audit yang telah dilaksanakan dapat memastikan bahwa karena sumber pembelanjan tersebut, solvabilitas klien dalam periode yang diaudit telah mengalami peningkatan secara signifikan. Dalam keadaan ini, tingkat materialitas yang digunakan oleh auditor dalam mengevaluasi temuan audit dapat lebih tinggi dibandingkan dengan materialitas perencanaan. Suatu pertimbangan materialitas mencangkup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif. Contoh pertimbangan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan oleh auditor dalam mempertimbangkan materialitas. a. Hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan seperti: 1. Laba bersih sebelum pajak dalam laporan keuangan; 2. Total aktiva dalam neraca; 3. Total aktiva lancar dalam neraca; 4. Total ekuitas pemegang saham dalam neraca. b. Faktor kualitatif seperti: 1. Kemungkinan tejadinya pembayaran yang melanggar hukum;
2. Kemungkinan terjadinya kecurangan; 3. Syarat yang tercantum dalam perjanjian penarikan kredit dari bank yang mengharuskan klien untuk mempertahankan beberapa rasio keuangan pada tingkat minimum tertentu; 4. Adanya gangguan dalam trend laba; 5. Sikap manajemen terhadap integritas laporan keuangan. Dalam perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat berikut ini: 1. Tingkat laporan keuangan, karena pendapatan auditor atas kewajaran mencangkup laporan keuangan sebagai keseluruhan. 2. Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan.
2.1.3.3.2 Materialitas pada Tingkat Laporan Keuangan Menurut Mulyadi (2002:160), auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas: 1. Auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit. 2. Pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanaan audit. Pada saat merencanakan audit, auditor perlu membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan yang terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan. Sebagai contoh, jika auditor memandang Rp 10 juta adalah material untuk laporan keuangan, maka
auditor harus mengkonsumsi waktu dan usaha untuk mengumpulkan bukti audit mengenai akun-akun secara individual. Jika batas materialitas diturunkan menjadi Rp 4 juta, auditor harus menambah waktu dan usaha yang diperlukan untuk mengumpulan bukti audit. Alasan yang mendasari adalah lebih sulit mencari kekeliruan kecil daripada mencari kekeliruan besar. Laporan keuangan mengandung salah saji material jika laporan tersebut berisi kekeliruan atau kecurangan yang dampaknya, secara individual atau secara gabungan, sedemikian signifikan sehingga mencegah penyajian secara wajar laporan keuangan tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Dalam keadaan ini, salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan secara keliru prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia, penyimpangan dari fakta, atau penghilangan informasi yang diperlukan. Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan. Kenyataannya, setiap laporan keuangan dapat memiliki lebih dari satu tingkat materialitas. Untuk laporan laba-rugi, materialitas dapat dihubungkan dengan total pendapatan, laba bersih usaha, laba bersih sebelum pajak, atau laba bersih setelah pajak. Untuk neraca, materialitas dapat didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau modal saham. Dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas, mula-mula auditor menentukan tingkat materialitas gabungan untuk setiap laporan keuangan. Untuk tujuan perencanaan audit, auditor harus menggunakan tingkat salah saji
gabungan yang terkecil yang dianggap material terhadap salah satu laporan keuangan. Dasar pengambilan keputusan ini semestinya digunakan karena: 1. Laporan keuangan adalah saling berhubungan satu dengan lainnya. 2. Banyak prosedur audit berkaitan dengan lebih dari satu laporan keuangan. Pertimbangan awal auditor tentang materialitas sering kali dibuat enam sampai dengan sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas data laporan keuangan yang dbuat tahunan. Sebagai alternatif, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil keuangan satu tahun atau lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan perubahan terkini, seperti keadaan ekonomi umum dan trend industri. Sampai dengan saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini diberikan contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik: a) Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5% sampai 10% dari laba sebelum pajak. b) Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari total aktiva. c) Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1% dari pasiva. d) Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai1% dari pendapatan bruto.
2.1.3.3.3 Materialitas pada Tingkat Saldo Akun
Meskipun auditor memberikan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan, namun ia harus melakukan audit terhadap akun-akun secara individual dalam mengumpulkan bukti audit yang dipakai sebagai dasar untuk menyatakan pendapatnya atas laporan keuangan audit. Oleh karena itu, taksiran materialitas yang dibuat pada tahap perencanaan audit harus dibagi ke akun-akun laporan keuangan secara individual yang akan diperiksa. Bagian materialitas yang dialokasikan ke akun-akun secara individual ini dikenal dengan sebutan salah saji yang dapat diterima (tolerable misstatement) untuk akun tertentu. Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dicampur adukkan dengan istilah saldo akun material. Saldo akun material adalah besarnya saldo akun yang tercatat, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan. Saldo suatu akun yang tercatat umumnya mencerminkan batas atas lebih saji (overstatement) dalam akun tersebut. Oleh karena itu, akun dengan saldo yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan materialitas seringkali disebut sebagai tidak material mengenai risiko salah saji. Namun, tidak ada batas jumlah kurang saji dalam suatu akun dengan saldo tercatat yang sangat kecil. Oleh karena itu, harus disadari oleh auditor, bahwa akun kelihatannya bersaldo tidak material, dapat berisi kurang saji (understatement) yang melampaui materialitasnya.
Dalam mempertimbangkan materialitas pada tingkat saldo akun, auditor harus mempertimbangkan hubungan antara materialitas tersebut dengan materialitas laporan keuangan. Pertimbangan ini mengarahkan auditor untuk merencanakan audit guna mendeteksi salah saji kemungkinan tidak material secara individual, namun, jika digabungkan dengan salah saji dalam saldo akun yang lain, dapat material terhadap laporan keuangan secara keseluruhan.
2.1.3.3.4 Alokasi Materialitas Laporan Keuangan ke Akun Bila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan dikuantifikasikan, penaksiran awal tentang materialitas untuk setiap akun dapat diperoleh dengan mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara individual. Pengalokasian ini dapat dilakukan baik untuk akun neraca maupun akun laba-rugi. Namun, karena hampir semua salah saji laporan laba-rugi juga mempengaruhi neraca dan karena akun neraca lebih sedikit, banyak auditor yang melakukan alokasi atas dasar akun neraca. Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memverifkasi akun tersebut. Contohnya, salah saji (overstatement) kemungkinan lebih besar terdapat dalam sediaan dibandingkan dengan aktiva tetap, dan umumnya biaya untuk mengaudit sediaan lebih mahal dibandingkan dengan biaya untuk mengaudit aktiva tetap.
2.1.4
Profesionalisme Auditor
2.1.4.1 Pengertian Profesionalisme Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:897): “Profesionalisme adalah mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional.” Bidang akuntansi telah melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan label “profesi”. Badan yang menyusun standar, proses pengujian dan lisensi, asosiasi profesional, dan kode etik merupakan bukti adanya struktur profesional untuk akuntansi dan akuntan. Sikap Profesional tercermin pada pelaksanaan kualitas yang merupakan karakteristik atau tanda suatu profesi atau seorang profesional. Sebagai profesional, seseorang mempunyai kewajiban untuk memenuhi aturan perilaku yang spesifik, yang menggambarkan suatu sikap atau hal-hal yang ideal. Kewajiban tersebut berupa tanggung jawab bersifat fundamental bagi profesi untuk memantapkan jasa yang ditawarkan. Seseorang yang profesional mempunyai tanggung jawab yang lebih besar karena diasumsikan bahwa seorang profesional memiliki kepintaran, pengetahuan, dan pengalaman untuk memahami dampak aktifitas yang dilakukan (Iriyadi dan Vannyawati, 2011:1). Sikap dan tindakan profesional merupakan tuntutan diberbagai bidang profesi, tidak terkecuali profesi sebagai auditor. Auditor yang profesional dalam melakukan pemeriksaan diharapkan akan menghasilkan audit yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh organisasi. Profesional yang harus ditanamkan
kepada auditor dalam menjalankan fungsinya antara lain dapat melalui pendidikan dan latihan penjenjangan, seminar, serta pelatihan yang bersifat kontinyu. Alasan utama mengharapkan tingkat perilaku profesional yang tinggi oleh setiap profesi adalah kebutuhan akan kepercayaan publik atas kualitas jasa yang diberikan oleh profesi, tanpa memandang individu yang menyediakan jasa tersebut. Bagi akuntan publik, kepercayaan klien dan pemakai laporan keuangan eksternal atas kualitas audit dan jasa sangatlah penting. Jika para pemakai jasa tidak memiliki kepercayaan kepada para dokter, hakim, atau akuntan publik, maka kemampuan para profesional itu untuk melayani klien serta masyarakat secara efektif akan hilang. Konsep profesionalisme auditor yang modern dalam melakukan suatu pekerjaan berkaitan dengan dua aspek yaitu aspek struktural dan sikap. Aspek struktural yang karakteristiknya merupakan bagian dari pembentukan sekolah pelatihan pelatihan, pembentukan asosiasi profesional, dan pembentukan kode etik. Sedangkan aspek sikap berkaitan dengan pembentukan jiwa profesionalisme. Selanjutnya aspek-aspek tersebut dikembangkan dalam skala sikap untuk mengukur tingkat profesional antara praktisioner pada beberapa profesi yaitu dokter, jururawat, akuntan, guru, pengacara, pekerja sosial, pialang dan masinis. Ada beberapa prinsip etika profesi sesuai dengan Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik (SPAP:2001) yang harus dimiliki oleh seorang yang profesional untuk menunjang sikap profesionalismenya, yaitu: 1. Prinsip tanggung jawab profesi; 2. Prinsip kepentingan umum (publik);
3. Prinsip integritas; 4. Prinsip objektivitas; 5. Prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional; 6. Prinsip kerahasiaan; 7. Prinsip perilaku profesional; 8. Prinsip standar teknis. Menurut Boyton. et al (2001:84): “Profesional ethics must extend beyond moral principles. They include standard of behavior for a professional person that are designed for both practical and idealistic purposes.” Dari penjelasan di atas dijelaskan bahwa etika profesional itu harus melampaui prinsip moral. Karena itu merupakan standar perilaku bagi seseorang profesional. Elemen-elemen profesionalisme yang digunakan dalam penelitian ini yaitu profesionalisme pada auditor internal. Sebelumnya, elemen-elemen ini telah digunakan oleh beberapa peneliti terdahulu. Richard Ha. Hall (1968) selanjutnya merumuskan lima elemen profesional yaitu: (1) pengabdian pada profesi; (2) kewajiban sosial; (3) kemandirian; (4) keyakinan pada profesi; dan (5) hubungan dengan sesama profesi. Di dalam penelitian ini konsep profesionalisme yang digunakan adalah konsep untuk mengukur bagaimana para profesional memandang profesi mereka yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka.
2.1.4.2 Dimensi Profesionalisme
Hall Richard (1968:93) mengembangkan profesionalisme meliputi lima dimensi yaitu: 1. A sense of calling to the field (dedication) This reflects the dedication of the professional to his work and the feeling that he would probably want to do the work even if fewer extrinsic rewards were available. 2. A belief in service to the public (social obligation) This component includes the idea of indispensability of the profession and the view that the work performed benefits both the public and the practitioner. 3. Autonomy (autonomy demands) This involves the feeling that the practitioner ought to be able to make os own decisions without external pressure from clients, those who are not members of his profession, or from his employing organization. 4. Belief in self-regulation This involves the belief that the person best qualified to judge the work of a professional is a fellow professional, and the view that such a practice is desirable and practical. It is a belief in colleague control. 5. The use of the professional organization as a major reference (professional community affiliation) This involves both the formal organization and informal colleague groupings as the major source of ideas and judgments for the professional in this work.
Dari dimensi profesionalisme di atas dapat dijelaskan bahwa: 1. Bisa diartikan sebagai suatu pengabdian pada profesi yang dicerminkan melalui dedikasi profesional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Tetap melaksanakan profesinya meskipun imbalan ekstrinsiknya berkurang. Sikap ini berkaitan dengan ekspresi dari pencurahan diri secara keseluruhan terhadap pekerjaan dan sudah merupakan suatu komitmen pribadi yang kuat, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani dan setelah itu baru materi. 2. Bisa diartikan sebagai kewajiban sosial yaitu suatu pandangan tentang pentingnya peranan profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. Sikap profesionalisme dalam pekerjaan tidak terlepas dari kelompok orang yang menciptakan sistem suatu organisasi tersebut. Hal ini berarti bahwa atribut personal diciptakan sehingga layak diperlakukan sebagai suatu profesi. 3. Bisa diartikan sebagai suatu sikap kemandirian merupakan yang menganggap bahwa seorang profesional auditor yang harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain, yaitu mereka yang bukan anggota profesinya, atau dari organisasinya memperkerjakan. Adanya intervensi yang datang dari luar dianggap sebagai hambatan yang dapat mengganggu otonomi profesional. Banyak orang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak bagi mereka, dan hak istimewa untuk membuat keputusan-keputusan dan bekerja tanpa diawasi secara ketat.
Rasa kemandirian akan timbul melalui kebebasan yang diperoleh. Dalam pekerjaan yang terstruktur dan dikendalikan oleh manajemen secara ketat, akan sulit menciptakan tugas yang menimbulkan rasa kemandirian dalam tugas. 4. Bisa diartikan sebagai suatu keyakinan pada profesi yang melibatkan kepercayaan bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. 5. Bisa
diartikan
sebagai
hubungan
sesama
profesi
yang
berarti
menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional ini para profesional membangun kesadaran profesinya. Konsep profesionalisme menjadi suatu hal yang penting, karena auditor merupakan asset penting KAP dimana auditor itu bekerja sebagai indikator keberhasilan KAP. Diharapkan auditor yang mempunyai profesionalisme yang tinggi akan mampu memberikan konstribusi yang baik bagi KAP dan memberikan pelayanan yang optimal bagi kliennya 2.2
Kerangka Pemikiran Berdasarkan telah pustaka serta beberapa penelitian terdahulu, maka
peneliti mengindikasikan faktor yang berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas di dalam proses pengauditan laporan keuangan dilihat dari profesionalisme auditor. Untuk membantu dalam memahami faktor yang
berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas, diperlukan satu kerangka pemikiran. Dari landasan teori yang telah diuraikan di atas, disusun hipotesis yang merupakan alur pemikiran dari peneliti, kemudian digambarkan dalam kerangka teoritis yang disusun sebagai berikut:
Gambar 2.1 Model Kerangka Pemikiran Professionalisme Auditor (X) 1. Dedication (pengabdian pada profesi) 2. Sosial obligation (kewajiban sosial) 3. Autonomy ( kemandirian) 4. Belief self regulation (keyakinan terhadap profesi) 5. Professional community affiliation (hubungan dengan sesama profesi)
Pertimbangan Tingkat Materialitas (Y)
Di dalam penelitian ini, yang dikembangkan meliputi variabel independen, dan variabel dependen. Variabel independen sikap profesionalisme (X) meliputi: Dedication (pengabdian pada profesi), Sosial obligation (kewajiban sosial), Autonomy (kemandirian), Belief self regulation (keyakinan pada profesi), Professional community affiliation (hubungan dengan sesama profesi). Sedangkan variabel dependen adalah pertimbangan tingkat materialitas (Y).
2.2.1
Review Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pertimbangan tingkat materialitas telah dilakukan
oleh peneliti-peneliti sebelumnya yang digunakan oleh penulis sebagai rujukan yaitu: a.
Hendro Wahyudi dan Aida Ainul Mardiyah (2006) Melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Profesionalisme Auditor Terhadap Tingkat Materialitas Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan”. Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan yang terdapat di Kantor Akuntan Publik (KAP) Suprihadi dan Rekan di Malang. Jumlah karyawan yang terdapat di KAP tersebut sebanyak 58 karyawan. Pada penelitian ini jumlah populasi ada 58 karyawan dan akan diambil sampel sebanyak 30 karyawan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan kuesioner yaitu dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan dimana responden tinggal memilih pilihan jawaban yang dianggap paling sesuai. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dari analisa regresi berganda menunjukkan ada 4 variabel yang secara signifikan berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas yaitu: variabel pengabdian pada profesi (X ), kemandirian (X ), kepercayaan profesi (X ), dan hubungan 1
3
4
dengan sesama rekan seprofesi (X ). Sedangkan variabel kewajiban sosial 5
(X ) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat materialitas 2
b.
Arleen Herawaty dan Yulius Kurnia Susanto (2008) Melakukan Pengetahuan
penelitian Mendeteksi
yang
berjudul
Kekeliruan,
“Pengaruh dan
Etika
Profesionalisme, Profesi
Terhadap
Pertimbangan Tingkat Materialitas Akuntan Publik”. Obyek penelitian yang diambil adalah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang terdaftar pada Direktori Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) 2008 di wilayah Jakarta dengan akuntan publik yang bekerja di KAP dijadikan sebagai responden. Para akuntan publik tersebut harus memiliki pengalaman bekerja minimal dua tahun, memiliki jenjang pendidikan minimal S1 dan posisi minimal sebagai akuntan publik senior, untuk tujuan memperoleh responden yang memiliki pengalaman dalam menentukan tingkat materialitas. Hasil penelitian menunjukan bahwa profesionalisme, pengetahuan dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik dalam proses pemeriksaan laporan keuangan. c.
Reni Yendrawati (2008) Melakukan
penelitian
dengan
judul
“Analisis
Hubungan
Antara
Profesionalisme Auditor Dengan Pertimbangan Tingkat Materialitas Dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan”. Populasi penelitian ini adalah akuntan atau lulusan jurusan akuntansi yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik ( KAP ) yang berada di kota Yogyakarta. Responden dalam penelitian ini adalah para profesional yang bekerja di Kantor Akuntan Publik baik sebagai karyawan magang, auditor junior, auditor senior, supervisor, manajer maupun partner. Hasil penelitian ini adalah Dari 5 (lima) dimensi profesionalisme auditor, yaitu: pengabdian terhadap profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan hubungan sesama profesi
yang berhubungan signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas adalah hanya dimensi keyakinan terhadap profesi. Sedangkan dimensi yang lain tidak mempunyai hubungan signifikan. d. Iriyadi dan Vannywati (2011) Melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Profesionalisme Auditor dan Etika profesi terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas”. Penelitian ini dilakukan terhadap 155 Kantor Akuntan Publik (KAP)
yang berada di
wilayah Jakarta, kepada anggota yang di dalamnya yaitu: auditor senior, auditor junior, supervisor, manager, dan partner. Sampel atau responden dalam penelitian ini ada ua macam kuesioner. Hasil penelitian ini adalah bahwa profesionalisme auditor dan etika profesi auditor mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu No Nama Judul Variabel Alat / uji Peneliti penelitian Sampel 1 Hendro Pengaruh Variabel regresi Wahyudi Profesionalisme independen: berganda dan Aida Auditor Profesionaisme (multiple Ainul Terhadap (5 dimensi) regression) Mardiyah Tingkat Pengabdian (2006) Materialitas pada profesi, Dalam kewajiban Pemeriksaan sosial, Laporan kemandirian, Keuangan keyakinan pada profesi, dan hubungan sesame profesi Variabel dependen: Tingkat Materialitas 2 Arleen Pengaruh Variabel multiple
Hasil Penelitian pengabdian pada profesi, kemandirian, keyakinan pada profesi, serta hubungan sesame profesi berpengaruh signifikan terhadap tingkat materialitas dalam pemeriksaan laporan keuangan
Profesionalisme,
Herawaty dan Yulius Kurnia Susanto (2008)
3
4
Reni Yendrawati (2008)
Profesionalisme, Pengetahuan Mendeteksi Kekeliruan, dan Etika Profesi Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Akuntan Publik
Analisis Hubungan Antara Profesionalisme Auditor Dengan Pertimbangan Tingkat Materialitas Dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan Iriyadi dan Pengaruh Vannywati Profesionalisme (2011) Auditor dan Etika profesi terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas
independen: regression Profesionalisme, analysis pengetahuan mendeteksi kekeliruan, dan etika profesi Variabel dependen: tingkat materialitas Variabel independen: profesionalisme auditor variabel dependen: pertimbangan tingkat materialitas
metode kendalltau.
Variabel Regresi independen: linier profesionalisme berganda auditor, dan etika profesi variabel dependen: pertimbangan tingkat materialitas
pengetahuan mendeteksi kekeliruan, dan etika profesi mempunyai hasil yang signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas Keyakinan terhadap profesi mempunyai hasil yang signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas
Profesionalisme auditor, dan etika profesi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas.
2.3
Pengembangan Hipotesis
2.3.1
Hubungan Profesionalisme Auditor terhadap Pertimbangan tingkat Materialitas dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan Materialitas adalah suatu error yang sangat sulit untuk diukur dan
ditentukan tergantung pada pertimbangan dari auditor. Keadaan tersebut mengidentifikasikan bahwa dalam suatu audit dibutuhkan akurasi-akurasi prosedur audit yang tinggi untuk mengetahui atau bila mungkin meminimalkan unsur resiko dalam suatu audit. Di sinilah sikap profesionalisme auditor dibutuhkan dalam menetukan tingkat materialitas dari laporan keuangan yang diaudit. Pertimbangan auditor tentang materialitas adalah suatu masalah kebijakan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor tentang kebutuhan yang beralasan dari laporan keuangan (Mulyadi, 2002:160).
Menurut Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik SPAP (PSA 25 SA Seksi 312 Para 10), pertimbangan auditor mengenai materialitas merupakan pertimbangan profesional dan dipengaruhi persepsi auditor atas kebutuhan orang yang memiliki pengetahuan memadai dan yang akan meletakkan kepercayaan terhadap laporan keuangan. Pertimbangan mengenai materialitas yang digunakan auditor dihubungkan dengan keadaan sekitarnya dan mencakup pertimbangkan kualitatif dan kuantitatif. Seorang auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama saat melakukan proses audit dan penyusunan laporan keuangan. Untuk itu seorang auditor harus membuat perencanaan audit sebelum
memulai proses audit. Auditor diharuskan menentukan tingkat materialitas awal, sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semakin seorang auditor itu profesional maka semakin auditor tersebut tepat dalam menentukan tingkat materialitas. Profesionalisme auditor tersebut dapat diukur melalui: pengabdian terhadap profesi, kesadaran auditor akan kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap peraturan profesi dan hubungan dengan sesama profesi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah: Ha: Profesionalisme auditor berpengaruh positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan.