KELEMBAGAAN PEMELIHARAAN PRASARANA JALAN DI WILAYAH PERBATASAN KABUPATEN SUKOHARJO-KOTA SURAKARTA (Studi Kasus: Ruas Jalan Raya Grogol)
TUGAS AKHIR
Oleh: MOHAMAD ARIEF ANCONANDHY L2D 002 420
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2006
ABSTRAK
Perubahan yang terjadi pada kota turut menjadikan perubahan pada wilayah di sekitarnya. Perubahan peningkatan kebutuhan tersebut antara lain diakibatkan karena perkembangan kota akan mendorong desa-desa di sekitarnya meminta pemenuhan kebutuhannya oleh kota. Hal ini mengaburkan perbatasan antara desa dan kota karena pada kenyataannya orang-orang yang bekerja di kota masih tinggal di desa. Karena inilah kemudian terjadi arus pergerakan manusia baik dari desa ke kota maupun sebaliknya yang akhirnya memiliki tendensi ke arah urbanisasi. Dapat dikatakan bahwa urbanisasi yang terjadi telah melewati batas-batas administrasi. Semakin berkembangnya urbanisasi modernisasi yang ditawarkan oleh kota, lama-kelamaan akan menyebar ke kalangan masyarakat pedesaan yang pada dasarnya tidak dapat langsung menerimanya. Fenomena yang termasuk konurbasi ini mempengaruhi wilayah di sekitarnya. Pada akhirnya batas administrasi menjadi semakin tidak jelas. Beberapa daerah lebih berkembang lebih ke arah fungsional daripada mengikuti batas-batas administrasi yang ada. Konurbasi yang pada dasarnya tidak direncanakan ini menyebabkan jaringan jalan menjadi ruwet, serta susunan permukiman dan bangunan-bangunan lainnya tersusun dengan tidak teratur. Padahal jaringan jalan ini merupakan salah satu penyebab bertambah pesatnya kemajuan suatu kota. Jika dirunut dari belakang, baiknya kondisi maupun pengelolaan jaringan jalan dan diasumsikan dengan kemajuan transportasi akan mendorong kemajuan mobilitas penduduk antar daerah. Jika dikaitkan dengan perpindahan penduduk desa ke kota, hal inilah yang juga dapat mendorong terjadinya urbanisasi. Melihat peran pentingnya dalam mendukung mobilitas penduduk dalam kegiatannya, prasarana jalan perlu dikelola keberadaannya. Terlebih lagi prasarana jalan penghubung antar daerah yang sangat diperlukan untuk berinteraksi. Perkembangan yang terjadi di wilayah perbatasan mendorong untuk dilakukan pengelolaan yang lebih baik terhadap prasarana jalan yang berada di dalamnya. Adanya prasarana jalan ini cukup menguntungkan bagi masyarakat Sukoharjo untuk mendukung mobilitasnya dalam berinteraksi dengan wilayah lain, terutama dengan Kota Surakarta. Prasarana lintas batas inilah yang banyak membantu arah perkembangan yang diterima Kabupaten Sukoharjo. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengetahui kelembagaan pemeliharaan prasarana jalan di wilayah perbatasan, khususnya di jalan raya Grogol yang melalui Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo dan Kecamatan Serengan Kota Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan maksud mencoba untuk mengetahui siapa saja pihak yang terkait dalam pemeliharaan, keterkaitan antarpihak tersebut dan prosedur pemeliharaan jalan di wilayah perbatasan. Selain itu penelitian berusaha untuk menggali kelembagaan pemeliharaan prasarana jalan di wilayah perbatasan Kabupaten Sukoharjo-Kota Surakarta berdasarkan sudut pandang pemerintah sebagai pelaku sebagai perencana sekaligus pengelola prasarana lintas batas ini. Data utama berasal dari informasi pemerintah sebagai pengelola didukung dengan data-data kebijakan yang sudah ada. Informasi inilah yang akan digunakan dalam penyusunan penelitian. Secara keseluruhan hasil penelitian yang diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bentuk kelembagaan yang ada pada Pemerintah Kabupaten Sukoharjo dan Pemerintah Kota Surakarta dalam pemeliharaan prasarana jalan di wilayah perbatasan kedua daerah.
Kata Kunci: kelembagaan pemeliharaan, prasarana jalan, wilayah perbatasan
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perkembangan pembangunan daerah yang sedang digalakkan oleh pemerintah sekarang ini
mulai menjadi pendorong perkembangan wilayah secara keseluruhan. Perkembangan inilah yang memberikan perubahan terhadap kota. Kota secara drastis dapat berubah. Hal ini seperti pendapat Daldjoeni (1998) bahwa jika dilihat dari sudut pandang masyarakat sebagai faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan kota didorong oleh penyebaran kebudayaan dan mental bagi penduduk desa yang berpindah ke kota serta perubahan gengsi yang terjadi karena masyarakat berlomba untuk mencapai tingkatan sosial yang lebih tinggi. Berawal dari perubahan masyarakat inilah yang akhirnya berangsur-angsur menyebabkan perubahan-perubahan lainnya yang terjadi pada kota. Perubahan yang terjadi pada kota turut menjadikan perubahan pada wilayah di sekitarnya. Menurut Daldjoeni (1998) perubahan peningkatan kebutuhan yang diakibatkan karena perkembangan kota akan mendorong desa-desa di sekitarnya meminta pemenuhan kebutuhannya oleh kota. Hal ini mengaburkan perbatasan antara desa dan kota karena pada kenyataannya orangorang yang bekerja di kota masih tinggal di desa. Karena inilah kemudian terjadi arus pergerakan manusia baik dari desa ke kota maupun sebaliknya yang akhirnya memiliki tendensi ke arah urbanisasi. Dapat dikatakan bahwa urbanisasi yang terjadi telah melewati batas-batas administrasi. Semakin berkembangnya urbanisasi modernisasi yang ditawarkan oleh kota, lama-kelamaan akan menyebar ke kalangan masyarakat perdesaan yang pada dasarnya tidak dapat langsung menerimanya (Daldjoeni, 1998). Hal yang terjadi di Indonesia selama ini pada awal pertumbuhannya, kota masih terkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan utama di pusat kota. Namun seiring dengan perkembangan yang terjadi bagian wilayah kota yang lain juga berkembang pesat dan meluas, bahkan telah melebihi batas administrasi kota itu sendiri (Yunus, 2005). Yang paling berpotensi adalah wilayah perbatasan, bukan tidak mungkin karena wilayah inilah yang lebih dekat berinteraksi dengan wilayah lain. Perkembangan yang terus-menerus diikuti dengan meluasnya wilayah hingga ke luar batas-batas administratif ini akan memicu munculnya permasalahan manajemen kota (Yunus, 2005). Oleh karena itu, bagaimana kota dikelola tidak cukup dengan sebuah batasan administrasi. Perkembangan yang terjadi saat ini sudah melewati batas-batas tersebut. Demikian juga pengelolaannya juga harus dikondisikan dengan tidak hanya dibatasi oleh batas-batas administrasi.
1
2
Batas administratif relatif tetap, namun tidak demikian dengan perkembangan kota. Perkembangan yang sudah merambat ke desa-desa sekitar kota, yang paling terlihat di wilayah perbatasannya. Perkembangan kota yang selama ini terpusat pada pusat kota menyebabkan ketidakseimbangan pertumbuhan antara pusat kota dengan wilayah perbatasan (Wahyono, 2006). Pertumbuhan wilayah perbatasan menjadi lebih lambat dibandingkan pertumbuhan pusat kota. Hal ini membutuhkan respon tersendiri dari pengambil kebijakan dalam pengelolaan wilayah perbatasan. Menyeimbangkan kebijakan untuk kota dengan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat desa (Daldjoeni, 1998).
Penerapannya tentu saja tidak dapat disamakan dengan
wilayah lainnya. Konurbasi yang pada dasarnya tidak direncanakan ini menyebabkan jaringan jalan menjadi ruwet, serta susunan permukiman dan bangunan-bangunan lainnya tersusun dengan tidak teratur. Padahal jaringan jalan ini merupakan salah satu penyebab bertambah pesatnya kemajuan suatu kota. Jika dirunut dari belakang, baiknya kondisi maupun pengelolaan jaringan jalan dan diasumsikan dengan kemajuan transportasi akan mendorong kemajuan mobilitas penduduk antar daerah. Jika dikaitkan dengan perpindahan penduduk desa ke kota, hal inilah yang juga dapat mendorong terjadinya urbanisasi. Perkembangan kota sekarang ini juga terjadi di Kota Surakarta. Sayangnya perkembangan ini tidak didukung luasan wilayah yang cukup luas. Perkembangan yang pesat ini menyebabkan pemekaran bentuk fisik Kota Surakarta menjadi lebih besar. Fenomena yang termasuk konurbasi ini mempengaruhi wilayah di sekitarnya. Pada akhirnya batas administrasi menjadi semakin tidak jelas. Beberapa daerah lebih berkembang lebih ke arah fungsional daripada mengikuti batas-batas administrasi yang ada. Dari perbandingan Gambar 1.1, terlihat perbandingan yang mencolok pada jumlah penduduk perkotaan dalam kurun tahun 1990 hingga 2000. jumlah penduduk Kota Surakarta menurun drastis dibandingkan jumlah penduduk perkotaan Kabupaten Sukoharjo yang meningkat tajam. Fenomena ini dapat mengindikasikan perkembangan Kota Surakarta yang pesat dan pemekaran fisik (konurbasi) Kota Surakarta.
Pertambahan penduduk Kabupaten Sukoharjo dapat disebabkan
karena penduduk Kota Surakarta yang lebih memilih Kabupaten Sukoharjo sebagai tempat tinggalnya. Hal ini mungkin terjadi karena batas administrasi masing-masing kabupaten/kota yang kabur akibat perkembangan yang terjadi di wilayah perbatasan.
3
7 7 5 2 10
800000 6 72 74 3
700000 59 6 3 59
600000
4 6 9 53 2
500000
(69,53 %)
(100 %)
(100 %)
50 3 8 2 7
50 3 8 2 7 4 6 9 53 2
53 9 2 0 4 4 9 0 2 14
4 9 0 2 14
(100 %)
(48,18 %)
Jml Pddk 400000
3 2 4 15 1
300000 200000
(21,26 %) 12 6 8 11
100000 0 kota
total 1980
Kabupaten Sukoharjo
Kota Surakarta
kota
total 1990
kota
total 2000
Tahun
Sumber : Sensus Penduduk, 2000
Gambar 1.1 Perbandingan Jumlah Penduduk Kota Kabupaten Sukoharjo-Kota Surakarta Tahun 1980,1990,2000 Kabupaten Sukoharjo sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Surakarta, turut terkena dampak yang disebabkan konurbasi yang terjadi di Kota Surakarta. Beberapa bagian wilayah yang terpengaruh antara lain Kecamatan Grogol, Kecamatan Baki, Kecamatan Gatak dan beberapa wilayah lain yang berbatasan langsung dengan Kota Surakarta. Daerah-daerah ini cenderung lebih berkembang daripada lainnya karena dampak perkembangan Kota Surakarta yang lebih cepat terserap oleh wilayah-wilayah tersebut. Daerah-daerah tersebut kemudian memiliki hirarki kota yang lebih tinggi dibandingkan bagian wilayah Kabupaten Sukoharjo yang lain. Letak wilayah yang berbatasan ini memberikan banyak pengaruh terhadap perkembangan Kabupaten Sukoharjo, terutama dengan adanya prasarana jalan yang langsung menghubungkan kedua kabupaten/kota ini. Adanya prasarana jalan ini cukup menguntungkan bagi masyarakat Sukoharjo untuk mendukung mobilitasnya dalam berinteraksi dengan wilayah lain, terutama dengan Kota Surakarta. Prasarana lintas batas administratif inilah yang banyak membantu arah perkembangan Kabupaten Sukoharjo. Hal di atas justru kebalikan dengan kenyataan di kebanyakan daerah, bahwa wilayah perbatasan biasanya justru menjadi wilayah yang tertinggal dibandingkan wilayah pusat kota. Dapat dilihat dalam Tabel I.1 bahwa Kabupaten Sukoharjo khususnya Kecamatan Grogol menjadi memiliki tingkat kekotaan yang lebih tinggi dibandingkan pusat kota yaitu Kecamatan Sukoharjo. Hal ini berdasarkan seluruh wilayahnya masuk dalam hirarki kota dan keseluruhan penduduknya masuk ke dalam wilayah tersebut.