KELAS TERAKHIR – BAGIAN PERTAMA
1. Sang “Legenda”
“Eh, besok jangan sampai terlambat, ya!” Dita, teman sekelas yang lebih senior satu semester di atasku, hari itu mengingatkan. Aku yang saat itu sedang terhanyut dengan “1984”-nya George Orwell pun menoleh. “Pokoknya,” Dita melanjutkan, “jangan ada yang terlambat!” “Sebegitu galaknya, ya?” Lisa, sang ketua kelas, yang duduk di sampingku pun bertanya dengan nada penasaran. “Hehe...” Dita memamerkan senyumnya yang seperti dipaksakan. “Pokoknya,” ia menarik sebuah kursi dan duduk di dekat Lisa, “jangan macam-macam dengan dosen yang satu itu,” ujarnya lagi. “Jangan terlambat. Jangan nggak masuk. Kalaupun absen, harus ada keterangan, minimal surat ijin. Kalau ditanya, harus menjawab. Oh, iya, jangan menjawab dengan kata ‘mungkin’,” Dita nyerocos panjang lebar. “Jangan duduk di belakang. Bangku depan harus terisi. Jangan ribut di kelas. Jangan menyalakan ponsel. Jaga sikap. Angkatanku ada yang diusir, lho...” Aku dan Lisa berpandang-pandangan. Wah, serius, nih? Tetapi sejujurnya aku tidak terlalu kaget. Suamiku, Juna, adalah senior satu angkatan di atasku yang tentu saja juga mengikuti perkuliahan yang sama persis denganku. Aku sudah hampir satu setengah tahun mengikuti perkuliahan di program magister salah satu kampus terbaik di Bandung. Juna, yang lebih senior satu tahun di atasku, sudah hampir memasuki tahun ketiganya – terlambat satu semester dari jatah beasiswa yang diberikan. Aku dan Juna memang mengikuti perkuliahan dengan beasiswa yang diberikan oleh sebuah instansi pemerintah karena kami adalah pegawai negeri sipil (PNS). Aku kebetulan mengambil – dan mendapatkan – program yang sama dengan Juna. Kebetulan yang menurutku sangat menyenangkan mengingat aku tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli bahan-bahan perkuliahan karena aku tinggal menggunakan milik Juna. Jadi, jatah uang beasiswanya bisa lebih dihemat dan digunakan untuk keperluan yang lain. Pengiritan! Nah, kembali ke masalah perkuliahan. Tahun lalu, ketika aku baru mulai mengikuti perkuliahan sebagai mahasiswa baru, Juna yang sudah duduk di semester 3 sering bercerita tentang kelas wajib terakhirnya. Cerita Juna tidak pernah jauh-jauh dari dosen yang mengajar mata kuliah tersebut. Seorang profesor yang juga guru besar, dengan gaya mengajar yang agak sedikit berbeda dengan dosen-dosen lainnya. Ya. Berbeda. Bukan “agak” malah, tetapi “sangat”. Tensi mengajarnya sekitar 2-3 kali lipat di atas dosen-dosen yang lain. Sangat mudah mengeluarkan “kata-kata mutiara”, yang mungkin maksudnya Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
adalah untuk memotivasi para mahasiswa (oh, ya Tuhan.....tolong ingatkan aku untuk tidak mengatakan “mungkin”!). Dan jika mahasiswanya masih juga tidak “termotivasi”, ia tidak segansegan untuk “mempersilakan” mahasiswa tersebut keluar kelas. Yah.....mungkin (aduh, lagi-lagi aku mengatakan “mungkin”) mahasiswa tersebut lebih suka merokok di ruang tunggu atau minumminum di kantin kampus. Jujur saja, aku tidak memiliki bayangan sama sekali mengenai Profesor yang akan mengajarku mulai besok itu. Terakhir kali aku diajar (atau dihajar?) dengan tensi tinggi adalah ketika SMP – dan itu sudah berlangsung belasan tahun silam. Semasa kuliah S1 dulu, aku juga sama sekali tidak pernah mendapatkan dosen dengan teknik mengajar “tegangan tinggi”. Dosen-dosenku semasa S1 dulu sangat egaliter dan kami bahkan sudah seperti teman. Dan selama mengikuti perkuliahan S2, rasanya juga tidak ada dosen yang seperti digambarkan oleh Dita maupun Juna. Makanya, aku sama sekali tidak memiliki gambaran apa pun. Juna berulang kali mengingatkanku. Ia tahu persis tabiatku yang suka melawan dan seenaknya sendiri. Belum lagi sifat malasku yang – aduh – entah menurun dari siapa. Setidaknya, pada dua semester pertama, ada mata kuliah yang setiap pertemuannya selalu menyisakan tugas untuk dibawa pulang ke rumah. Aku nyaris tidak pernah mengerjakan tugas-tugas tersebut dan Juna lamalama menyerah untuk mengingatkanku. Tetapi, aku punya alasan untuk tidak mengerjakannya. Setidaknya ada dua alasan; pertama, aku tidak bisa menghitung dan paling benci hitung-hitungan. Dan kedua, mata kuliah tersebut membutuhkan software yang (untungnya?) tidak compatible dengan laptop yang kugunakan. Jadi, aku memilih untuk tidak usah mengerjakannya saja. Toh, aku masih mendapatkan nilai “B” di kedua mata kuliah tersebut. Namun, untuk Profesor yang satu ini, Juna benar-benar mengingatkanku dengan keras. Ia tidak ingin aku mencari gara-gara dengannya (tetapi selama ini rasanya aku juga tidak pernah mencari gara-gara dengan dosen manapun). Jangan melawan, jangan mambantah, dan jaga sikap selama di kelas. Dan bersiap-siaplah dengan tugas yang banyak setiap minggunya. Dan untuk tugas-tugas tersebut, Juna mewanti-wanti dengan sangat agar aku jangan sekali-kali mengabaikannya. Pokoknya, jangan! Dita masih bercerita panjang lebar tentang pengalamannya mengikuti mata kuliah tersebut setahun yang lalu. Dulu, Dita satu kelas dengan Juna meski lebih muda satu semester. Karena itu, cerita Dita tidak jauh berbeda dari Juna. Lisa mendengarkan dengan seksama. Beberapa mahasiswa lain ikut nimbrung. Aku mendengarkan tanpa beranjak dari kursi sambil terus tenggelam mengikuti petualangan Winston dalam 1984. Aku sebenarnya sudah tahu salah satu “kunci” untuk mengikuti mata kuliah perdana besok. Profesor biasanya melontarkan sebuah pertanyaan awal ketika kelas baru dimulai (ini informasi dari Juna). Aku tahu pertanyaan tersebut dan tentu saja aku juga mengetahui jawabannya (Juna yang memberitahuku). Dan aku tidak akan memberitahukannya ke teman-temanku (enak saja!). Aku yakin akan membuat Profesor terkesan dengan jawabanku nanti. Dita masih mempresentasikan “petunjuk singkat” untuk menghadapi kuliah esok hari. Jangan terlambat, jangan tidak masuk, jangan tidak menjawab ketika ditanya, jangan mengatakan “mungkin”...... Kami semua deg-degan sekaligus penasaran. Begitupun diriku. Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Keesokan hari. Kami sudah duduk manis di dalam kelas meski jam di dinding masih menunjukkan waktu sekitar 30 menit lagi menuju pukul 9 pagi. Jam kuliah pertama memang selalu dimulai pada pukul 9 pagi. Aku duduk di kursi paling depan pada sayap kiri. Nico duduk di ujung kiri depan. Kemudian Ilham, Lisa, dan aku. Detik demi detik berlalu, namun kelas masih juga belum terisi penuh. Wajah Lisa tampak gelisah. Sebagai ketua kelas, jelas ia yang paling bertanggung jawab dengan keadaan kelas. Termasuk kehadiran teman-temannya. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Entah kenapa, aku melihat teman-temanku berpakaian lebih rapi dari biasanya. Tidak ada yang mengenakan kaos dan sandal. Sepertinya desasdesus mengenai reputasi Profesor cukup membuat mereka berpikir dua kali untuk tidak berpakaian seenaknya seperti pada kuliah-kuliah sebelumnya. Aku sendiri mengenakan kemeja dan selalu mengenakan kemeja setiap kali mengikuti perkuliahan (jadi bukan perkuliahan yang ini saja). Kemeja, rok panjang, sepatu, kaus kaki, dan tentu saja jilbab. Aku selalu berpakaian rapi ke kampus karena aku menganggap ini sebagai bekerja mengingat statusku adalah mahasiswa penerima beasiswa tugas belajar dari pemerintah. Pukul sembilan kurang lima menit. Tiba-tiba seorang pria yang sudah tampak sangat senior, berjalan dengan penuh keyakinan menuju depan kelas. Seisi kelas mendadak hening. Inikah Profesor yang dimaksud? “Kalian itu mahasiswa atau preman?” tiba-tiba pria itu bertanya tanpa basa-basi. Aku pun melongo. Apa-apaan ini? Dan belum sempat otakku tersambung dengan suasana kelas pagi itu, pria itu kembali bertanya. Kali ini dengan nada suara membentak. “Mana ketua kelasnya?!?” Aku melirik sekilas ke arah Lisa. Wajahnya yang selalu dipoles make up kali ini tampak lebih “terang” dari biasanya. “Saya...Pak....” Lisa menjawab dengan tegang. “Berapa jumlah mahasiswa di kelas ini?” Profesor kembali bertanya. Lisa gugup. “Tiga puluh.....tiga.....eh, atau lima, ya.....?” “Kamu ini bagaimana? Kamu itu ketua kelas, tetapi kenapa tidak tahu jumlah teman-teman sekelasmu sendiri?” suara Profesor kembali menggelegar. “Berapa yang tidak hadir hari ini?” Lisa semakin gelagapan. Ia tidak langsung menjawab. Matanya menyapu seisi kelas. “Siapa yang berasal dari instansi pemerintah?” seolah tidak sabar menunggu jawaban Lisa, Profesor kembali melontarkan pertanyaan ke seisi kelas dengan suaranya yang berwibawa (lebih tepatnya, sih, mengerikan – menurutku!).
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Beberapa mahasiswa mengangkat tangannya. Termasuk aku, yang mengangkat tangan dengan gemetar. Aku duduk paling depan di sisi yang paling dekat dengan celah lorong jalan di antara dua banjar meja. Jadi, sudah barang tentu posisikulah yang paling dekat dengan Profesor. Karena itu, andai saja amarahnya semakin memuncak, aku adalah orang paling mudah diraih untuk diseret keluar. “Saya akan melihat absensi kalian! Kalian harus ingat ini baik-baik; kalian itu kuliah di sini dibiayai oleh uang negara. Jadi, kalau kalian tidak serius, apalagi kalau sampai membolos, itu artinya kalian telah melakukan tindakan KORUPSI. Kalian adalah KORUPTOR!” Deg! Aku semakin gemetar. Biasanya aku selalu cuek dengan omongan orang lain. Tetapi, kata-kata Profesor saat itu benar-benar menusuk. Aku, termasuk yang pernah membolos. Beberapa kali. Tidak banyak, sih, tetapi jelas lebih dari sekali. Meski aku juga punya alasan untuk itu. Dan, aku adalah mahasiswa dengan tingkat keseriusan mengerjakan tugas kuliah di bawah 50%! Aku tidak suka dengan mata kuliah ekonomi (di semester pertama) dan sistem dinamik (di semester kedua) karena kedua mata kuliah tersebut sangat kuantitatif yang membutuhkan kemampuan hitung-hitungan – aku paling benci dengan hitunghitungan! Jadi, aku malas mengerjakan tugas-tugasnya (dan nyaris tidak pernah kecuali satu-dua tugas di pertemuan awal). Hanya saja, kedua mata kuliah tersebut adalah yang paling sering memberikan tugas. Jadi, bisa dipastikan bahwa aku adalah mahasiswa dengan tingkat keseriusan rendah dalam menjalanan tugas-tugas perkuliahan. Aku menurunkan tangan dengan hati-hati. Kepalaku menunduk agar Profesor tidak melihat air mukaku yang mendadak gugup. Kemudian, dengan sangat tiba-tiba, Profesor mulai mengajukan sebuah pertanyaan; pertanyaan yang sudah kuketahui bocorannya dari Juna. Hanya saja..... “Kamu!” Profesor menunjuk Nico yang duduk di sisi paling kiri. “Apa bedanya sarjana, magister, dan doktor?” Nah! Ini dia! Hanya saja......aku merasa ada yang tidak sinkron dengan isi kepalaku...... “BODOH!” ia menghardik Nico. Suasana pun semakin tegang. Profesor kemudian menunjuk Ilham. Ilham mengucapkan beberapa kata untuk menjawab. Dan aku pun semakin tegang. Dan kata-kata yang sama pun kembali terlontar. Kemudian Lisa.... Dan..... Ah! Aku mengutuk diriku sendiri. Aku tahu persis bahwa Profesor pasti akan menanyakan pertanyaan ini. Setiap tahunnya. Begitulah informasi yang kudapat dari Juna. Hanya saja.......aku LUPA jawabannya! Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
“KAMU!” Aku langsung tersentak ketika jari telunjuk Profesor menunjuk ke arahku. Seperti pencuri yang tertangkap basah, aku menjawab dengan gugup sederet kalimat. Profesor terdiam sebentar mendengar jawabanku. “Hampir betul. Tetapi TIDAK BERMUTU!” hardiknya. Aku langsung menunduk. Antara malu dan menyesali kebodohanku sendiri. JAWABAN YANG TIDAK BERMUTU. Hahaha! Aku mendengar sebagian diriku yang lain seolah menertawakanku. Jadi, Nad, kamu ingin membuat Profesor terkesan dengan jawabanmu? Terkesan di bagian mananya, Nad? Lagipula, kamu pikir kamu itu siapa? Mahasiswa dengan IPK sempurna (seperti Delia)? Atau ahli sistem dinamik yang sering diminta untuk menjadi asisten pengajar di dalam kelas (seperti Kiki)? Setidaknya aku jenius, aku tidak mau kalah dengan suara diriku yang lain yang seolah begitu puas mengejekku. Ingat, aku berhasil masuk jurusan ini dengan nilai TPA 668. Dan tawa suara diriku yang lain terdengar semakin keras. Jenius, katamu? Bahkan kamu masih kalah dengan Rezza. Kau tahu, kan? Rezza, teman satu kantormu, yang mendapatkan nilai TPA 711? Aduh, Nad.....tahu dirilah! Tawa itu pun semakin membahana memenuhi ruang-ruang kosong di kepalaku. “KAMU!” Profesor kemudian menunjuk Fahri. “Apa bedanya sarjana, magister, dan doktor?” Fahri, teman sesama penerima beasiswa sepertiku, seorang PNS dari sebuah instansi di Padang, Sumatera Barat, mencoba menjawab pelan. “Mungkin tergantung kesadarannya, Pak...” jawabnya ragu-ragu. Seisi kelas mendadak hening. Aku menoleh ke arah Fahri yang duduk di bagian sebelah kananku – sayap kanan baris kedua. Profesor menatap Fahri dengan tajam. “Kamu,” ujarnya sambil menunjuk Fahri, “seharusnya sudah saya keluarkan dari ruangan kelas ini. Jawaban kamu sangat tidak ilmiah!” ia kembali menghardik. Fahri pun menunduk. Wajahnya yang terang seperti turis Thailand tampak memerah. “Kalian memang sepertinya tidak tahu cara menjawab pertanyaan, ya?” suara Profesor terdengar semakin marah. “Saya sudah bisa menebak. Muka-muka PEDAGANG NARKOBA seperti kalian ini mana mungkin tahu caranya menjawab pertanyaan,” ia mulai kembali menuding-nuding. (Dan kami semua heran, apa hubungannya dengan PEDAGANG NARKOBA?).
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
“Kamu!” ia menunjuk Iqbal (sayap kiri baris kedua, di belakangku persis). “Kalau kamu diberikan pertanyaan, apa yang kamu lakukan?” “Dijawab, Pak!” jawab Iqbal spontan. Hpfff....... Aku segera menutup mulutku untuk menahan tawa yang mendadak ingin keluar. Aku merasa geli mendengar jawaban Iqbal. Tetapi – tentu saja – aku tidak berani tertawa! Mungkin (ya, “mungkin”) karena kecewa dengan kami semua, Profesor tiba-tiba melangkah keluar kelas. Terdengar derit pintu yang dibuka, dan setelah memastikan bahwa Profesor sudah tidak ada lagi di dalam kelas, aku pun memberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Lalu aku menoleh ke arah Lisa. Lisa balas menatapku. Sedetik kemudian, kami berdua tertawa terbahak-bahak. “Mbak,” ujar Lisa, “aku tegang, nih. Tapi yang aku takutkan, aku malah nggak bisa nahan ketawa.” “Hahaha,” aku tertawa lepas. “Iya. Sama. Aku juga dari tadi pengen ketawa.” Aku tidak sedang berbasa-basi. Aku memang tadi tegang. Tetapi kini, aku justru merasa kalau ketegangan barusan sangatlah lucu. Paling tidak, ini adalah kenangan yang bisa kuceritakan ke adikadik kelas nanti.... Satu hal tidak pernah terpikirkan di kepala kami saat itu, bahwa kami ternyata masih akan berurusan dengan Profesor – lagi – untuk beberapa semester ke depan (terutama sekali aku).
2. Surat Ijin
Sepertinya pertemuan pertama kami dengan Profesor menyisakan permasalahan yang berbuntut panjang. Bagaimana tidak? Pada pertemuan pertama itu, ternyata ada belasan orang mahasiswa yang tidak masuk kuliah. Artinya, nyaris separuh mahasiswa tidak hadir pada saat itu. Dan tanpa keterangan, tentunya. Karena memang selama ini para mahasiswa tidak pernah memberitahukan alasan ketidakhadiran mereka (termasuk aku, sih). Kalau ingin masuk kelas, ya masuk saja. Tetapi kalau sedang tidak ingin masuk kelas, ya tinggal membolos saja, dengan seribu satu macam alasan yang tidak perlu dilaporkan. Namun, ternyata Profesor sangat mempermasalahkannya. Aku tidak tahu apakah ancamannya untuk mengecek satu per satu absensi mahasiswa (terutama mahasiswa penerima beasiswa) benar terlaksana. Yang jelas, Profesor meminta SEMUA mahasiswa yang tidak hadir dalam pertemuan pertama membuat surat keterangan.
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Walhasil, sehari setelah kelas pertama yang menegangkan itu, ruang administrasi jurusan pun riuhrendah dengan kehebohan para mahasiswa yang kemarin tidak hadir. Ada yang sibuk menanyakan format surat. Ada yang kebingungan menuliskan nama lengkap Profesor berikut gelar dan jabatannya. Tetapi, ada juga yang sudah siap dengan print out surat yang telah ditandatangani. Aku tentu saja tidak termasuk yang harus membuat surat itu. Hanya saja, aku sedikit KEPO* (*KEPO=Knowing Every Particular Object, istilah para remaja jaman sekarang untuk orang yang serba mau tahu......saja.....). Jadi, hari itu aku mendekati Bu Indri, yang bertugas sebagai sekretaris di ruang administrasi jurusan, dan merayunya untuk memperlihatkan surat-surat yang terkumpul. Aku ingin tahu apa saja alasan teman-temanku yang tidak hadir pada hari sebelumnya. Dari seluruh surat keterangan yang masuk, menurutku yang paling masuk akal adalah alasan Aisha. Aisha, salah seorang teman sekelasku, adalah guru di sebuah SMP swasta. Pada saat kelas pertama Profesor kemarin, ia sedang mendapatkan tugas untuk menjadi pengawas Ujian Nasional (UN). Surat keterangan tertulis jelas dan masuk akal alasannya. Dan ditambah pula dengan surat keterangan dan surat tugas dari sekolah tempatnya mengajar. Jadi, alasan Aisha sangat masuk akal. Meski demikian, Aisha tidak bisa menyembunyikan ketakutannya ketika mendengar cerita di kelas kemarin. Aisha memang seorang gadis yang sangat lembut. Tubuhnya kecil dan wajahnya imut seperti anak-anak. Sangat cocok untuk menjadi guru SMP, memang. Aku sendiri juga sebenarnya tidak bisa membayangkan seandainya gadis lembut seperti Aisha dibentak-bentak oleh Profesor kemarin. “Aduh.....aku, kok, jadi takut, ya, Mbak,” Aisha, yang sedang merapikan berkas-berkas surat keterangannya, mulai curhat kepadaku. “Aku, tuh, paling ga tahan dibentak, Mbak,” wajahnya mulai menyiratkan rasa khawatir. “Aku, kan orangnya kagetan....” “Lha, ya sama, atuh....” Bu Indri yang menyahut. “Emangnya, teh, dikira kemaren aku nggak kaget?” Aku menaikkan alisku. “Emangnya kemarin ada apa?” tanyaku. “Lha ya itu....” Bu Indri mulai bercerita. “Kemarin, kan Profesor sempat keluar kelas. Nah, itu aku langsung disembur. Aku lagi minum tahu-tahu diteriakin, ‘BU INDRIIII.....’, begitu teriaknya. Sampai aku keselek...” Aku melongo. Begitu juga Aisha. “Masih mending, teh, aku cuma keselek. Lha aku kan orangnya latahan. Coba kalo aku sampai latah, mana kalau latah omonganku yang keluar malah yang enggak-enggak....” Bu Indri menghela napasnya. “Latah yang enggak-enggak....jangan-jangan kaya’ yang di acara musik itu...” aku menanggapi asal. Aku tiba-tiba teringat pada salah satu host acara musik yang pernah ditegur karena melontarkan latahan berkonotasi “alat kelamin pria”. “Nah, ya itu dia......” Bu Indri lansung mengiyakan. Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Aku spontan langsung tertawa. “Tapi sebenernya si Bapak itu baik, kok. Cuma ya gayanya saja memang begitu...” Bu Indri mencoba menghibur demi melihat wajah Aisha yang semakin memucat. “Yah, paling enggak, mahasiswa-mahasiswa bimbingannya, terutama yang cewek-cewek, itu banyak yang curhat ke saya sambil nangis-nangis,” ujar Bu Indri lagi. Wow! Aku kembali menaikkan alisku. “Karena memang gayanya si Bapak begitu....” lanjut Bu Indri. “Tapi tenang aja, kok. Profesor nggak sembarangan menerima mahasiswa untuk jadi anak bimbingannya. Biasanya cuma mahasiswa tertentu yang pinter-pinter....” “Ooo.....jadi, menurut Bu Indri saya bodoh, begitu?” aku pura-pura tersinggung. Bu Indri tertawa. “Bukan begitu.....tapi, yah......mudah-mudahan saja bukan kalian.......tapi kayanya nggak mungkin kalian, sih,” ia kembali tertawa. Aku kembali pura-pura tersinggung. Lalu kami bertiga tertawa. Aku kembali pada niat awalku, yaitu membaca satu per satu surat keterangan tidak hadir yang ditulis teman-temanku. Alasannya lucu-lucu, tapi jujur dan polos. Ada yang memang karena pekerjaan seperti Aisha. Tetapi ada juga beberapa alasan seperti ini: 1. Karena macet. (Sesungguhnya untuk ukuran Bandung, alasan macet tidak dapat diterima karena Bandung memang macet, dan semakin lama macetnya semakin luar biasa. Orangnyalah yang harus menyesuaikan diri dengan macet dengan cara mengatur jam keberangkatan agar bisa tiba di tempat tujuan tepat waktu). 2. Karena bangun kesiangan. (Aku benar-benar mengacungkan jempol untuk alasan jujur yang satu ini!). 3. Karena terlambat tiba di kampus dan pintu sudah ditutup sehingga tidak berani untuk mengetuk masuk. (Ini juga alasan yang sangat jujur yang aku acungi jempol!). 4. ...... “Permisi, Bu Indri....saya mau ngasih surat,” terdengar suara laki-laki yang membuat kami langsung menoleh. “Sini, mana suratnya,” Bu Indri langsung menagih Verrel, mahasiswa yang baru saja masuk ruang administrasi jurusan itu. Verrel menyerahkan selembar kertas. Bu Indri menerimanya, membacanya, dan lalu mengerutkan dahinya..... “Menghadiri acara wisuda saudara?” Bu Indri heran membaca alasan Verrel. “Iya, Bu,” jawab Verrel.
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
“Saudara apaan, Ver? Masa iya segitunya menghadiri wisuda saudara? Saudara apa saudara, nih?” Bu Indri mencecar dengan pertanyaan seolah tidak percaya. Aku dan Aisha juga tidak percaya, sih. “Saudara apa saudara?” Bu Indri kembali mencecar. “Saudara, Bu....” jawab Verrel salah tingkah, “saudara yang di.....sini.....” Verrel menunjuk dadanya. Aku dan Aisha spontan membuat ekspresi wajah seperti ingin muntah. “Yaelah.....” Bu Indri membelalakkan matanya. “Kamu ini nekat bener, sih? Kamu lebih suka digebrak Profesor, ya?” Verrel hanya nyengir. Tapi aku bisa memahami mengapa Verrel lebih memprioritaskan pacarnya. Pacar Verrel adalah seorang artis pendatang baru di dunia musik. Cantik, tentu saja. Video klip-nya sering wira-wiri di Youtube dan stasiun televisi swasta. Verrel mengenalnya karena sama-sama berkecimpung di dunia musik. Verrel sendiri memiliki sebuah band indie dan posisinya adalah pemain drum. Aku sering berpikir, kalau saja Verrel berganti posisi menjadi vokalis (yang artinya ia akan sering berada di depan), mungkin (mungkin!) band-nya akan lebih populer lagi dan mampu menembus major label. Soalnya, suka atau tidak, harus diakui kalau wajah Verrel cukup menjual – hidung mancung dan wajah bule sedikit Arab rasanya masih akan laris di dunia hiburan saat ini. “Pokoknya, kamu tanggung jawab sendiri, saya nggak mau tahu....” Bu Indri mengeluarkan ancamannya. Verrel lagi-lagi hanya nyengir. Aku kembali berkutat pada lembaran-lembaran surat di depanku. Aku kembali membacanya satu per satu sambil tersenyum-senyum. Terlambat tiba di kampus dan tidak berani masuk. Aku kembali membaca salah satu alasan di salah satu surat. Dan aku teringat pada Bhisma. Ya. Bhisma. Bhisma adalah teman satu instansi yang juga mengambil program studi yang sama denganku. Sama dengan Rezza. Bahkan Bhisma dan Rezza satu unit kerja. Nah, kemarin setelah Profesor melangkah keluar, tahu-tahu Bhisma masuk ke dalam kelas. Kami semua terkejut. Kami pikir, nekat betul dia. Dan Bhisma hanya tersenyum-senyum ketika seisi kelas menatapnya dengan pandangan penuh kekhawatiran. “Aku tadi lihat Profesor keluar. Ya udah, aku masuk aja, mumpung Profesor nggak lihat,” katanya santai. Aku hanya geleng-geleng mendengar ucapannya. Aku sejujurnya sangat khawatir jika Profesor kembali marah. Karena aku rasa beliau sangat mengingat jumlah mahasiswa yang ada di kelas. Dan memang, beliau sepertinya sangat menyadari bahwa penghuni kelas bertambah satu orang lagi. Karenanya, ia langsung mencecar Bhisma dengan sebuah pertanyaan. Untungnya, Bhisma mampu menjawabnya dengan tepat. Profesor merasa puas. Apalagi ketika Profesor menanyakan asal muasal Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
kampus Bhisma ketika S1 dulu, dan Bhisma mengatakan kalau ia adalah lulusan kampus dengan lambang Dewa Ganesha di Bandung itu. Bertambah senanglah Profesor. Sebenarnya, sih, sejak kembali dari luar kelas, mood Profesor berubah drastis. Tensinya menurun dan suaranya lebih lembut dibanding setengah jam pertama. Hanya saja, kami masih trauma dengan setengah jam pertama tadi. Makanya, kami pun masih takut-takut. Pada hari pertama itu, ternyata sudah ada beberapa mahasiswa yang mampu “mengambil hati” Profesor. Pertama, tentu saja Bhisma. Kemudian Rezza – yang juga berasal dari kampus Dewa Ganesha. Serta Nadine – lagi-lagi juga alumni kampus Dewa Ganesha. Profesor memang memiliki rasa kebanggaan yang tinggi terhadap kampusnya. Makanya, Bhisma, Rezza, dan Nadine adalah tiga mahasiswa pertama yang diingatnya (dan untuk selanjutnya, siap-siap saja mereka mendapatkan cecaran dari Profesor). Alumni kampus Dewa Ganesha sebenarnya masih ada dua lagi. Pertama, yaitu Adit. Sayangnya, Adit hari itu tidak masuk kuliah sehingga tentu saja Profesor tidak mengenalinya (pada hari itu). Dan satunya lagi, siapa lagi kalau bukan Delia, mahasiswa peraih IPK sempurna selama 2 semester. Entah bagaimana, Delia bisa menyembunyikan dirinya sehingga ia tidak terdeteksi oleh Profesor (baik sebagai alumni kampus Dewa Ganesha maupun peraih IPK sempurna 4,00). Ada satu mahasiswa lagi sebenarnya yang membuat Profesor terkesan, yaitu Ben. Ben juga penerima beasiswa sepertiku. Ia berasal dari salah satu instansi pemerintahan di Kabupaten Garut. Aku lupa darimana asal kampus Ben (dan Profesor juga tidak menanyakannya). Tetapi sepertinya bukan alumni kampus Dewa Ganesha. Aku? Untuk sementara aku aman-aman saja. Karena aku berasal dari kampus makara yang berlokasi di Depok. Kampusku bukanlah kampus yang sering dibandingkan secara head to head dengan kampus Dewa Ganesha. Tidak dalam urusan akademis, tidak juga dalam urusan ikatan alumninya (berbeda dengan kampus Patih Majapahit, misalnya). Jadi, aku pikir Profesor tidak akan mengusikusik keberadaanku, asalkan aku juga tidak mencari gara-gara dengannya. Aku merapikan lembaran-lembaran surat keterangan tidak hadir tersebut dan mengembalikannya ke Bu Indri. “Terima kasih, ya, Bu,” aku tersenyum puas. Aku lalu berdiri. Aisha juga berdiri dan mengikutiku. Aku mengajaknya makan siang di kantin dekat mesjid. Sekaligus dilanjut dengan sholat Dzuhur. Sebelum kami masuk kelas untuk mengikuti mata kuliah lain yang hari itu akan dimulai jam 1 siang – kalau tidak ngaret.
3. Keluar!
Ada satu kejadian yang hampir pasti terjadi setiap tahunnya pada mata kuliah yang dipegang Profesor. Sampai-sampai seolah menjadi tradisi. Yaitu, selalu ada mahasiswa yang dikeluarkan dari kelas. Bahkan tahun sebelumnya ada dua mahasiswa sekaligus yang dikeluarkan dari kelas.
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Alasan pengusiran tersebut macam-macam. Mulai dari dianggap tidak memerhatikan pelajaran, sibuk mengobrol sendiri, tidak menjawab dengan jawaban yang memuaskan (seperti menjawab pertanyaan dengan kata “mungkin”), hingga tudingan meremehkan pengajar. Alasan kedua mahasiswa yang dikeluarkan dari kelas tahun lalu adalah karena menghina, karena mereka dianggap tertawa mengejek di dalam kelas (meski rasanya itu hanya kesalahpahaman saja). Apapun itu, isu pengusiran mahasiswa dari dalam kelas menjadi topik perbincangan hangat di angkatanku. Setidaknya antara aku dan Lisa. Setelah pertemuan pertama yang sungguh “mengesankan” itu, aku sering membahas masalah ini dengan Lisa: siapa kira-kira mahasiswa yang akan dikeluarkan Profesor dari dalam kelas, dan pada pertemuan ke berapa. Kami sering menebaknebak. Tentu dengan disertai berbagai macam argumen – yang tidak ilmiah tentu saja! Akhirnya, aku malah bertaruh dengan Lisa. Aku menyebut nama yang kira-kira akan dikeluarkan oleh Profesor, pada pertemuan kelas yang ke sekian. Lisa pun juga menyebut sebuah nama, dan perkiraan waktu kapan kira-kira mahasiswa tersbeut akan dikeluarkan dari kelas. Yang kalah di antara kami harus mentraktir makan siang. Konyol, ya? Tetapi rasanya mahasiswa lain juga melakukannya. Saling menebak siapa yang akan dikeluarkan dan pada pertemuan ke berapa. Sambil berharap kalau mahasiswa itu bukan diri sendiri. Pertemuan kedua perkuliahan. Aku sengaja memilih tempat duduk yang berbeda dari minggu lalu. Kalau minggu lalu aku duduk di baris pertama sayap kiri, kali ini aku duduk di baris kedua sayap kanan, tepat di belakang Ben. Ben, seperti yang kukatakan tadi, adalah salah satu mahasiswa yang berhasil membuat Profesor terkesan di pertemuan pertama. Tentu Profesor akan kembali mengingatnya pada pertemuan kedua, dan seterusnya. Dan tentu saja, Ben akan menjadi sasaran tembak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan di dalam kelas. Karena itu, duduk di belakang Ben pasti akan sangat aman dari pandangan mata Profesor. Profesor pasti akan lebih melihat Ben dibandingkan aku. Dan pasti akan lebih sering mencecar Ben dibandingkan dengan diriku. Bahkan, bisa jadi Profesor tidak melihat diriku sama sekali. Jadi, ini adalah posisi yang paling aman. Perkuliahan pun dimulai. Profesor tidak segarang minggu lalu. Bahkan, pada pertemuan kedua ini Profesor sangat menyenangkan. Tidak ada marah-marah seperti minggu lalu dan suasana kelas lebih santai dari sebelumnya. Profesor mengajukan beberapa pertanyaan. Dan selalu dilempar ke forum kelas. Dan seperti sudah diduga, tidak ada yang berani menjawabnya. Maka, Profesor pun mulai menembak para mahasiswa satu per satu. Bhisma, Nadine, Rezza, dan Ben. Aku cukup bersembunyi saja di balik punggung Ben. Hari itu kami membahas sedikit tentang metode penelitian. Tentang “from the whole to the part” (melihat fenomena secara keseluruhan untuk kemudian memahami bagian-bagian fenomena yang lebih spesifik), juga “from the part to the whole” (melihat fenomena secara keseluruhan dengan melihat bagian per bagian). Menggunakan analogi beberapa orang buta dalam melihat bentuk gajah secara keseluruhan; ada yang menyebut gajah sebagai binatang panjang karena yang dipegangnya adalah belalai, ada yang berpikir kalau gajah adalah binatang lebar karena yang disentuh adalah telinganya. Sebenarnya aku pernah mendapatkan materi seperti ini ketika kuliah S1 dulu. Jadi, aku sedikit berbisik mencoba merangkai kata per kata dan kalimat demi kalimat untuk menggambarkan metode tersebut. Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
“Ya, Mbak?” tiba-tiba Profesor menegurku. “Ya, Pak?” aku terkejut. “Coba ulangi lagi dengan lebih keras yang kamu katakan barusan!” perintahnya. Aku pun mengulanginya. Dengan apa adanya yang aku ketahui. Mencoba merangkai kata per kata dan kalimat per kalimat agar lebih terstruktur. Dan jadilah sebuah kalimat utuh. Apa adanya, karena hanya itulah yang aku ketahui. Profesor menatapku dengan pandangan (yang menurutku) antara heran dan setengah kagum. “Kamu saya kasih nilai ‘A’,” ujarnya. Hah? Aku terbengong. Sementara seisi kelas riuh-rendah menyoraki diriku. “Eh, jangan,” Profesor meralat. “’AB’ saja. Nanti kamunya keenakan,” lanjutnya dingin. Aku menunduk dan tersenyum-senyum. Rupanya gengsi Profesor masih sangat tinggi untuk mengakui kecerdasanku, pikirku ge-er. Tetapi, seringkali ucapan spontan yang pertama kali diucapkan adalah cerminan isi hati yang paling jujur. Karena itu, aku rasa Profesor memang menganggapku cerdas dan pantas mendapatkan nilai “A”. Itu sisi positifnya. Sisi negatifnya, aku mulai mengkhawatirkan keberadaanku sebagai “mahasiswa yang tidak terlihat”. Jika Profesor mulai melihatku sebagai salah satu mahasiswa potensial, aku akan bernasib sama seperti Bhisma, Rezza, Nadine, dan Ben: menjadi sasaran tembak di kelas! Kelas masih berlanjut. Aku mencoba menahan diri untuk tidak berkomentar apapun. Aku tidak mau kembali membuat Profesor lagi-lagi melihat ke arahku. Sayangnya, jawaban yang kulontarkan sebelumnya tampaknya telah membuat Profesor berubah pandangan terhadapku. Berkali-kali aku ditembak pertanyaan. Kedamaianku bersembunyi di balik punggung Ben pupus sudah. Aku sepertinya harus kembali menyusun taktik agar tidak terlihat lagi pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. “HEI! KAMU!” tiba-tiba suara Profesor kembali menggelegar mengagetkan seisi kelas. Seisi kelas pun menoleh ke arah yang ditunjuk Profesor. Surya! Aku mengernyitkan dahi. Sejak kapan dia ada di kelas, pikirku. Profesor, masih dengan suara keras yang menggetarkan ruang kelas, kemudian mengajukan sebuah pertanyaan kepada Surya. Surya tampak gelagapan. Wajahnya panik meski ia berusaha untuk tetap tenang. Jawaban pun mulai meluncur pelan dari bibirnya.... “Mungkin....” “KELUAR!” Profesor langsung mengusirnya, bahkan ketika Surya baru saja mengucapkan sepatah kata. Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Suasana kelas kembali tegang. Tak ada yang berani bersuara. Surya yang duduk di barisan belakang langsung mengambil tasnya dan berjalan keluar dari kelas. Terdengar suara derit pintu yang dibuka, lalu ditutup lagi. Suasana kelas masih hening. “Dia pikir saya tidak memerhatikannya,” Profesor mulai kembali bersuara. Nada suaranya sudah lebih lembut, tetapi masih menyisakan sedikit amarah. “Saya tahu dia terlambat,” suara Profesor masih terdengar kesal. “Tapi saya biarkan saja. Saya juga tahu dia tidak memerhatikan pelajaran. Dan saya masih biarkan saja. Saya sengaja menunggu apakah dia mau berubah sikap. Tetapi ternyata tidak. Terpaksa saya usir. Saya paling tidak suka dengan mahasiswa yang seperti itu. Tidak ada etika.” Kami semua terdiam. Aku menunduk dalam-dalam, lalu mencuri pandang ke arah sayap kiri tempat Lisa duduk. Ia balas menatapku. Tampaknya tidak ada satu pun dari kami yang memenangkan taruhan. Pertama, kami sama-sama tidak menyangka bahwa Profesor akan mengusir mahasiwa pada pertemuan kedua – kami tidak menyangka akan secepat ini. Dan kedua, kami sama sekali tidak menyadari keberadaan Surya. Surya memang seringkali tidak masuk kuliah. Walhasil, keberadaannya antara ada dan tiada. Dalam tugas-tugas kelompok pun ia kurang berpartisipasi. Bahkan sempat beredar gosip kalau Surya sudah mengundurkan diri dari perkuliahan. Nah, jadi bagaimana kami bisa menebak bahwa Surya adalah orang yang akan diusir dari kelas, sedangkan keberadaannya sendiri nyaris tak terlihat?
4. Santo Borromeus
Nama lengkapnya Sri Rejeki. Kami biasa memanggilnya Kiki. Ia juga mahasiswa penerima beasiswa sepertiku. Kiki bekerja di salah satu instansi pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia memang orang Yogya. Kuliahnya saja di Yogya, tepatnya di kampus Patih Majapahit. Sama sepertiku, Kiki juga berjilbab. Dan ternyata tanggal lahirnya berdekatan dengan tanggal lahirku. Bedanya, Kiki setahun lebih tua di atasku. Meski demikian, aku menjadi PNS lebih dulu dibanding Kiki. Kiki adalah mahasiswa yang sangat ahli untuk mata kuliah Sistem Dinamik. Berbeda denganku yang asal-asalan dan malas-malasan, Kiki sangat rajin. Seluruh tugas kuliah ia kerjakan dengan baik. Penguasaan software-nya pun di atas rata-rata teman sekelas. Wajar jika ia kemudian sering diminta tolong untuk menjadi asisten dosen dadakan di kelas. Kiki adalah idola untuk mata kuliah Sistem Dinamik. Sayangnya, untuk mata kuliah kali ini, Kiki malah menjadi salah satu mahasiswa yang kerap di-“bully” oleh Profesor. Tentu saja bully dalam bentuk bercanda.
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Ada dua alasan (menurutku) mengapa Profesor sepertinya senang menjadikan Kiki sebagai sasaran tembak. Pertama, aku menduga ada hubungannya dengan kampus asal Kiki. Sekedar informasi, kampus Kiki termasuk kampus berpengaruh dengan ikatan alumni yang kuat. Sama halnya dengan kampus Dewa Ganesha. Meski sebenarnya tidak bisa dibandingkan secara head to head (mengingat konsentrasi keilmuan yang berbeda di antara keduanya), kiprah alumni-alumninya di dunia kerja sama-sama sering menjadi sorotan. Bukan hanya itu. Dalam pemeringkatan perguruan tinggi, peringkat keduanya seringkali saling susulmenyusul bergantian menduduki urutan satu dan dua. Mungkin – mungkin, lho – itulah yang membuat Profesor begitu senang mengerjai Kiki. Alasan kedua, yaitu terkait dengan daerah asal Kiki, yaitu Yogyakarta. Bukan karena Profesor tidak menyukai Yogyakarta, sebenarnya. Namun, ada salah seorang mahasiswa bimbingannya (satu angkatan dengan Juna) yang berasal dari Yogyakarta dan tesisnya hingga kini masih belum selesai. Bahkan, mahasiswa tersebut justru menghilang tidak tahu rimbanya. “Itu si Novi mentang-mentang keenakan makan gudeg di Yogya jadi lupa sama tesisnya,” begitulah yang kerap diucapkan Profesor ketika ia mulai bercerita tentang mahasiswa-mahasiswa bimbingannya. Setiap kali Profesor teringat Novi, ia selalu teringat pada Yogyakarta. Dan setiap kali ia teringat pada Yogyakarta, ia langsung menunjuk Kiki. Jadilah Kiki sebagai sasaran tembak. Bagiku, Kiki adalah “penyelamat”. Tadinya, aku menduga kalau aku adalah sasaran tembak berikutnya setelah Bhisma, Rezza, Nadine, dan Ben. Tetapi ternyata Profesor lebih menyukai Yogyakarta – dan karenanya lebih suka menembak Kiki dibandingkan aku. Dan kalau Kiki melontarkan jawaban yang tidak memuaskan, kata-kata ini pun keluar: “Mbak Sri, panjenengan meniko menopo?” Sumpah! Setiap kali Profesor mengucapkan kalimat ini, aku harus mati-matian menahan perutku yang mendadak sakit yang seolah merangsangku untuk tertawa terbahak-bahak. Logikaku masih tidak mengerti; bagaimana mungkin Profesor yang begitu mudah mengeluarkan “kata-kata mutiara” dan bisa begitu tega mengusir mahasiswa keluar kelas, tahu-tahu bertutur dalam bahasa Jawa halus seperti abdi dalem keraton: “Mbak Sri, panjenengan meniko menopo, tho, Mbak Sri.....?” Kiki sebenarnya kesal di-bully seperti ini. Tetapi, ia tidak berdaya melawan Profesor. Karena itu, ia paling hanya tersenyum-senyum gondok saja setiap kali Profesor mengucapkan kata-kata tersebut. Masih lebih beruntung dibanding disembur dengan “kata-kata mutiara” setidaknya. Kami sering menggoda Kiki di grup-grup percakapan. Pasti ada saja yang menuliskan kalimat “Mbak Sri, panjenengan meniko menopo?” setiap kali Kiki muncul dan menuliskan sesuatu di grup percakapan (dan biasanya langsung disambut dengan ikon tertawa oleh yang lain). Selain kalimat tersebut, ada satu kalimat lagi yang juga kerap dilontarkan Profesor kepada Kiki. Hanya saja, kalimat yang satu ini sering membuatku mengernyitkan dahi.
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
“Mbak, itu di depan Borromeus ada bis ke Yogya. Saya belikan tiketnya, silahkan Mbak pulang ke Yogya.” Begitu ucapan Profesor. Borromeus, lebih tepatnya Santo Borromeus, adalah nama sebuah rumah sakit yang berlokasi tepat di seberang kampus. Rumah sakit tersebut sudah lama berdiri, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Konon merupakan salah satu rumah sakit terbaik di Bandung. Rumah sakit Santo Borromeus dan kampus Dewa Ganesha terpisah oleh Jalan Ir. H. Juanda (sering disebut juga Jalan Dago) yang memanjang dari utara ke selatan. Jalan tersebut memang kerap dilalui oleh kendaraan umum. Namun, seingatku kendaraan umum yang lewat di situ hanya angkot. Beberapa trayek angkot yang kuingat antara lain Dago-Kalapa dan Dago-St.Hall (stasiun Bandung). Tidak ada bis yang lewat situ, apalagi bis antar kota dan antar propinsi. Bisa, sih, kalau mau naik bis ke Yogya. Tetapi jika harus dari depan Borromeus, yang dinaiki adalah angkot, bukan bis. Naik angkot ke Cicaheum, baru kemudian pilih sendiri bis ke Yogya. Aku sendiri selalu naik kereta api jika harus pulang ke Yogya. Jadi, aku sama sekali tidak tahu tentang bis yang menuju Yogya. Di kelas, sebenarnya ada tiga orang mahasiswa yang bisa dibilang orang Yogya. Dua orang Yogya “asli”, dan satu orang Yogya karena pernikahan (aku, maksudnya). Selain Kiki, mahasiswa asal Yogya lainnya adalah Akbar. Sama seperti Kiki, Akbar juga lulusan kampus Patih Majapahit (namun beda fakultas). Dan sama seperti aku dan Kiki, Akbar juga mahasiswa penerima beasiswa dari pemerintah. Akbar cukup sering menglaju Bandung-Yogyakarta pulang-pergi dengan menggunakan bis. Jadi, suatu hari aku menanyakan kepada Akbar tentang bis menuju Yogya dari depan Borromeus. Dan Akbar pun menggelengkan kepalanya, tidak tahu. Karena ia selalu naik bis dari Cicaheum. Kalau memang ada bis menuju Yogyakarta dari depan Borromeus, tentu ia sudah menggunakannya sejak semester pertama kuliah. Aku pun pernah menanyakannya juga ke Juna dan lagi-lagi Juna juga tidak tahu. “Ngawur, ah. Mana ada bis ke Yogya dari depan Borromeus,” kata Juna suatu hari. Akhirnya, kata-kata Profesor tentang bis dari depan Santo Borromeus menjadi salah satu misteri yang benar-benar membuatku penasaran.
5. Raden Eva Permatasari dari Ciamis
Di antara teman-teman seangkatan, aku paling dekat dengan Eva. Nama lengkapnya Eva Permatasari. Nama lebih lengkapnya, Raden Eva Permatasari. Berasal dari Ciamis, bekerja di instansi pemerintahan daerah Ciamis, dan penerima beasiswa juga. Raden merupakan gelar kebangsawanan juga dalam budaya Sunda. Sama seperti budaya Jawa. Bedanya, dalam budaya Sunda, gelar cukup disebut “Raden”, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sedangkan dalam budaya Jawa, gelar “Raden” selalu diikuti dengan – misalnya – Ayu, Ajeng, Nganten, dan lain sebagainya.
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Sejujurnya, aku tidak tahu apakah Eva benar-benar keturunan bangsawan atau bukan. Dan seingatku lagi, rasanya nama di daftar kehadiran hanya ditulis “Eva Permatasari”. Aku mulai sering mendengar nama Eva disebutkan “lengkap” baru pada semester ini. Dan yang menyebutkannya, siapa lagi kalau bukan Profesor. Sama seperti Kiki, Eva pun termasuk salah satu mahasiswa yang sering ditembak di dalam kelas – sesuatu yang membuatku lagi-lagi harus mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena kehadirannya semakin “menenggelamkan” aku dari pandangan mata Profesor. Penyebabnya? Ciamis! Entah mengapa, aku merasa Profesor memiliki keterikatan emosional dengan Ciamis. Berdasarkan informasi yang aku korek dari Juna, tahun lalu pun Profesor juga sering bercerita tentang Ciamis. Tentang Ciamis yang penuh potensi namun seakan tidak terurus dengan baik; tentang industri kayu yang melimpah ruah namun tidak sanggup mengangkat Ciamis dari kemiskinan; tentang infrastruktur yang jauh dari memadai; tentang para pemangku kebijakan di Ciamis yang seakan tidak memiliki visi pembangunan, yang setiap kali ditanya seolah langsung semuanya seperti “sakit gigi” alias tidak bisa menjawab. Meski begitu garang mengkritik Ciamis, aku sebenarnya justru merasakan rasa cinta yang luar biasa dari Profesor terhadap Ciamis. Ciamis begini, Ciamis begitu, dan lain-lain. Makanya, begitu ia mengetahui asal Eva, Profesor semakin bersemangat terhadap Ciamis ibarat api yang disiram bensin dan nyalanya semakin membara. Eva mungkin bisa dibilang sebagai salah satu mahasiswa kesayangannya. Setidaknya, Profesor tidak pernah memarahi Eva. Meski di sisi lain ia juga sering mem-bully Eva. Salah satunya adalah gelar “Raden” itu yang entah dari mana asal muasalnya. Pernah suatu kali Eva datang terlambat hampir dua jam – baru datang jam 11 siang meski kelas dimulai jam 9 pagi. Dan Profesor tidak memarahinya. “Oh, mari masuk Mbak Eva, silahkan, saya paham pasti terjebak macet di Gentong, ya?” begitu ujarnya suatu hari ketika Eva dengan santainya masuk ke dalam ruang kelas, lalu duduk di kursi paling depan. “Silahkan minum dulu, Mbak Eva, saya tahu Mbak Eva pasti haus setelah perjalanan jauh dan terjebak macet di Gentong,” lanjut Profesor ketika melihat Eva dengan cuek-nya membuka botol minum dan menenggak isinya. Padahal, pernah suatu kali Adit datang terlambat hanya setengah jam lebih sedikit, dan Profesor langsung mengusirnya tanpa ampun. Pengetahuan Profesor tentang Ciamis memang luar biasa. Mulai dari isu-isu besar sampai isu-isu selevel kampung sebelah; mulai dari perilaku aparat hingga perilaku – sebagian – masyarakatnya. Suatu kali, Profesor marah-marah mengenai SMS nyasar di ponselnya. SMS-SMS nyasar, atau lebih tepat disebut spam, memang merupakan fenomena yang sangat mengganggu dalam dunia teknologi informasi saat ini. Aku pun juga sering mendapatkan SMS-SMS tersebut. Mulai dari orang baik yang ingin meminjamkan uang hingga tawaran produk kopi “Tongkat Ali” peningkat gairah, stamina dan kesuburan. Dan tentu saja SMS-SMS iseng dari para pemuda dan pemudi alay yang ingin mencari “perhatian”.
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Nah, SMS yang nyasar di ponsel Profesor adalah yang terakhir itu. Bahkan, dengan isi yang sedikit mesum dan banyak menjurus. Beliau pun marah-marah. “Saya heran dari mana orang ini tahu nomor telepon saya. Mana kata-katanya seperti ini. Tetapi untungnya saya memang tidak tertarik untuk menanggapi yang seperti ini. Bisa jadi skandal. Tapi saya tetap jengkel dengan orang seperti ini...” begitu keluhan Profesor suatu hari. Dan bodohnya, kok, bisa-bisanya aku menyeletuk, “Saya juga sering dapat SMS seperti itu, kok....” Sebenarnya, aku ingin mengatakan bahwa itu adalah pengiriman pesan secara acak ke seluruh nomor telepon. Jadi, SMS-SMS gadis mesum penyedia nomor premium untuk menyedot pulsa tidak akan memilah si pemilik nomor telepon apakah laki-laki atau perempuan. Dan jika ingin ditarik lebih jauh, ini adalah tanggung jawab regulator yang menangani urusan teknologi informasi: bagaimana ceritanya, kok, bisa nomor telepon pribadi bocor ke pihak lain? Apa kabar perlindungan privasi? Mengapa penjual data user tidak ditindak? (Dan aku berharap Nadine yang akan menjadi sasaran tembak mengingat S1-nya dulu di bidang teknologi informasi). Namun, Profesor malah lanjut bertanya kepadaku, “Itu beneran, Mbak?” “Iya, Pak,” jawabku. Raut wajahnya menjadi semakin kesal. Tetapi yang tidak aku duga, ia langsung bercerita tentang perilaku seks menyimpang sebagian masyarakat (baca: sebagian wanita) yang terjadi di....Ciamis! Aku langsung terbengong-bengong. Kok bisa-bisanya beliau tahu tentang komunitas lesbian di Ciamis? Aku, sih, tidak terlalu heran dengan perilaku penyuka sesama jenis karena itu memang fenomena yang nyata terjadi di masyarakat – di mana pun. Hanya saja, mengingat norma adat, budaya dan agama yang berlaku di hampir seluruh Indonesia, yang umumnya menentang perilaku tersebut, para pelakunya kerap bersembunyi dan nyaris tidak terdeteksi. Kecuali bagi orang-orang tertentu, misalnya yang tertarik meneliti lebih jauh tentang mereka. Aku sontak menoleh ke Eva. Eva menggeleng. Orang Ciamisnya bahkan tidak tahu-menahu. Lalu, dari mana Profesor tahu? Sungguh luar biasa! Profesor pernah suatu kali bercerita bahwa ia keturunan etnis Jawa sekaligus Sunda – dari ayah yang keturunan Jawa dan ibu yang keturunan Sunda. Ayahnya berasal dari Madiun (ia pernah mengatakannya, tetapi aku lupa kapan). Tetapi Profesor tidak pernah menyebut asal kota ibunya. Aku pernah membahas hal ini dengan Eva dan aku menebak kalau jangan-jangan ibunya berasal dari Ciamis. Eva pun pun sepakat dengan hipotesisku karena rasanya “keterikatan emosional” Profesor terhadap Ciamis sudah di atas rata-rata batas normal. Yang jelas, kehadiran Raden Eva Permatasari dari Ciamis telah memberikan warna tersendiri di kelas yang diajar Profesor tahun ini. Kami jadi tahu banyak tentang Ciamis.
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
6. Semantik
Definisi. Itu adalah salah satu yang sering ditekankan Profesor dalam mengajar. Setiap kata, setiap istilah, setiap konsep yang terlontar; apa definisinya? Dan suatu kali ia pun bertanya kepada mahasiswa: apa itu DEFINISI? Apa DEFINISI dari DEFINISI? (Silahkan buka Kamus Besar Bahasa Indonesia). Mendefinisikan sesuatu adalah materi yang membuat kepala kami pusing tujuh keliling. Seringkali waktu tiga jam perkuliahan (dari jam 9 pagi hingga 12 siang) habis “hanya” untuk membahas sebuah definisi kata. Bahkan untuk sebuah kata yang sebenarnya cukup umum didengar sehari-hari. Misalnya, “pembangunan”; itu adalah kata yang bahkan mulai dari anak-anak hingga kakek-nenek sering mendengarnya. Namun, di tangan Profesor, pembahasan kata “pembangunan” bisa memakan waktu berjam-jam. Ditarik ke atas, dijatuhkan ke bawah, diperas intisarinya, dibalik logikanya. Kami serasa tengah menaiki roller coaster seperti yang ada di Trans Studio Mall Bandung. Lalu terhuyung keluar dari kelas dengan pandangan mata berkunang-kunang seperti orang mabuk. Dan ketika kami tidak bisa menjawabnya, Profesor selalu menyindir (meski tidak selalu dengan amarah, tetapi jelas nyelekit). Betapa kami ini tidak mengerti Bahasa Indonesia. Lalu keluar lagi keluhannya terhadap perilaku sebagian besar orang di Indonesia. “Banyak orang yang mengucapkan kata atau istilah tetapi tidak paham artinya,” begitu katanya. Lebih lanjut, Profesor mengatakan bahwa kami seharusnya diuji Bahasa Indonesia saja pada saat tes masuk dulu, bukan Bahasa Inggris. “Buktinya kalian memang tidak paham Bahasa Indonesia. Ini memang kejelekan bangsa ini. Orangorangnya suka mengucapkan istilah yang mereka sendiri tidak paham,” Profesor kembali menyindir. Pernah suatu kali kelas seharian hanya membahas perbedaan antara “optimal” dengan “maksimal”. Apa itu “optimal”? Apa bedanya dengan “maksimal”? Apa yang yang dimaksud dengan “optimisasi”? Dan karena seisi kelas tidak ada yang bisa menjawab, Profesor lalu memerintahkan operator roller coaster di Trans Studio Mall Bandung agar segera menurunkan tuas dan membiarkan roller coaster melaju kencang membawa 33 orang mahasiswa berputar-putar: ditarik ke atas, diterjunkan kebawah, diputar-balik, dilempar ke titik tertinggi untuk kemudian ditarik mundur kembali dengan kecepatan tinggi juga. Dan kami pun mendapatkan paket spesial: jika pengunjung biasa cukup diputar satu kali saja, kami mendapat bonus untuk diputar-putar selama 3 jam penuh! Ada dua analogi yang digunakan untuk menjelaskan apa itu “optimisasi”. Pertama, menggunakan analogi gadis pingitan sebelum dinikahkan. Pada beberapa budaya tertentu, memang para calon pengantin dilarang bepergian – beberapa bahkan dilarang keluar dari rumah – hingga hari pernikahan tiba. Alasannya, yaitu untuk menghindarkan hal-hal buruk yang terjadi pada calon pengantin yang bisa berakibat pada batalnya pernikahan. Kedua, yaitu pengalaman nyata salah seorang mahasiswa yang pernah dibimbing Profesor. Alkisah, mahasiswa tersebut mendapat masalah dalam menyusun disertasinya. Waktu perkuliahan terus Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
diulur hingga akhirnya mendekati batas akhir. Mahasiswa tersebut hanya memiliki 2 pilihan: segera menyelesaikan disertasinya, atau dipecat dari kampus Dewa Ganesha. Tentu ia memilih yang pertama. Tugas akhirnya pun dikebut. Malapetaka terjadi ketika ia hampir menyelesaikan disertasinya. Suatu hari, mobilnya dibobol maling. Kacanya dipecahkan dan isi di dalam mobilnya habis digasak pencuri. Termasuk laptop yang ia gunakan untuk menulis disertasi. Padahal, draft, data, dan semua berkas softcopy yang ia butuhkan untuk menulis disertasi ada di sana semua. Padahal lagi, batas akhir perkuliahan sudah semakin dekat. Untunglah kampus mau bijak dalam menyikapi kasus mahasiswa tersebut. Apalagi kejadian yang dialaminya jelas di luar dugaan. Siapa yang menyangka mobilnya akan dibobol maling dan seluruh data-data penelitiannya ikut hilang? Mahasiswa tersebut kemudian diberikan kompensasi satu semester lagi untuk menyelesaikan disertasinya. Apa pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa tersebut? “Hati-hati dengan faktor non-teknis. Selalu back up data. Perkirakan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Jangan sampai gagal justru karena faktor-faktor non-teknis,” pesan Profesor. Kami pun mengangguk-angguk. Lalu, apa hubungannya dengan “optimisasi”? Kami masih belum bisa menjawabnya. Profesor tampaknya mulai kesal dan tidak sabar. Maka, ia pun memerintahkan petugas roller coaster untuk memberhentikan saja keretanya di titik tertinggi, lalu kami satu per satu disuruh melompat dari atas rel tersebut. “Kalian mahasiswa program magister, kalau tidak bisa menjawab pertanyaan saya, loncat saja sana dari lantai tiga!” Kami pun menunduk. Tidak ada yang berani menatap Profesor yang mulai kembali keluar amarahnya. Untunglah Profesor tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya. Karena, ia kemudian langsung mengucapkan kata kuncinya. “Itu namanya meminimalkan risiko,” ujarnya sambil menepuk pundak Ben (dan aku bersyukur Profesor tidak melanjutkannya dengan membahas definisi “minimal”). Aku sebenarnya cukup akrab dengan pendekatan yang digunakan Profesor, meski sedikit lupa, karena pernah diajarkan juga ketika aku kuliah S1 dulu. Pendekatan semantik, yaitu dengan membahas kata per kata untuk dicari maknanya. Setiap kata dicari artinya, dilihat maknanya. Maknanya dilihat lagi maknanya. Begitu seterusnya, hingga tidak dapat didefinisikan lagi sama sekali. Ini adalah metode filsafat ilmu yang digunakan untuk menggembleng calon-calon doktor. Profesor sengaja menggunakan cara ini dengan alasan, jika kami tidak sanggup mengikutinya, setidaknya kami masih mendapatkan level magisternya.
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Aku sekarang paham mengapa dulu aku pernah melihat angkatan Juna keluar dari kelas Profesor dengan wajah lesu seperti kurang tidur. Tadinya aku berpikir kalau mereka dimarahi habis-habisan oleh Profesor. Namun, ternyata materi perkuliahannya pun juga cukup membuat kepala berputar. Meski demikian, aku suka dengan cara yang digunakan Profesor. Aku jadi lebih memahami makna kata yang biasa aku dengar dan ucapkan (dan aku harus mengakui, kalau akupun sama saja dengan orang-orang lain yang hobi melontarkan suatu istilah tanpa memahami maknanya). Selain itu, aku mendapatkan kosakata baru yang jujur saja aku baru kali itu mendengarnya. Beberapa di antaranya, yaitu: 1. Diametral Paradoxal Profesor menggunakan istilah ini ketika ia mulai muak dengan fenomena-fenomena kemunafikan yang terjadi di sekitarnya. Pernah suatu kali ia balik badan tidak jadi sholat Jumat di sebuah mesjid karena khotibnya adalah seseorang yang ia tahu persis tidak akan melakukan apa yang dikhotbahkan. Pernah juga ia menolak undangan buka puasa bersama. Alasannya? ”Itu acara buka puasa bersama yang diadakan di hotel berbintang. Bukankah puasa itu seharusnya mengajak untuk menahan hawa nafsu? Bukankah puasa itu harusnya juga menumbuhkan empati terhadap orang-orang miskin dengan rasa lapar dan haus? Lalu kalau kemudian kita bikin acara buka puasa bersama di hotel mewah dengan menghabiskan uang jutaan, mengumbar hawa nafsu, dan tidak ada empati sama sekali dengan kaum yang tidak punya. Lalu makna puasanya di mana??” Profesor berkata berapi-api penuh emosional. Lain waktu ia mengkritik tentang busana muslimah yang bernilai jutaan yang belakangan sedang tren. Fungsi pakaian yang seharusnya untuk menutup aurat berubah menjadi ajang pamer kemewahan, lalu nilai religiusnya di mana? Dan Profesor membenci budaya mudik. “Sebentar lagi lebaran. Banyak orang mudik. Kalian akan lihat potret kemunafikan luar biasa dalam budaya mudik,” ujarnya suatu hari menjelang libur hari raya. Mudik, menurutnya adalah budaya yang terlalu menghamburkan banyak uang. Mudik, pada akhirnya malah menjadi ajang pamer “keberhasilan”. Dan perilaku para pemudik di jalan adalah yang paling tidak mencerminkan nilai-nilai ibadah puasa. “Kalian akan lihat betapa orang saling serobot di jalanan, saling sikut di terminal, stasiun, dan bandara. Tidak ada yang tersisa dari makna ibadah puasa yang mereka jalani.” Paradoks, ketika orang menjalankan ritual agama yang tidak dibarengi dengan cerminan perilaku sehari-hari. Ketika ibadah puasa, sholat, dan lainnya ternyata masih tidak mampu mengubah perilaku. Ketika banyak perilaku yang ditunjukkan justru saling bertolak belakang. Ketika ada yang salah dengan cara orang beragama, di mana agama yang seharusnya menjadi solusi hanya dijadikan sekedar pelarian, seperti orang yang mabuk untuk mencari pelampiasan: mabuk agama.
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Diametral paradoxal, ketika fenomena-fenomena tersebut sudah sangat bertolak belakang begitu ekstrim. “Kalian jangan terlalu yakin kalau ibadah puasa kalian pasti diterima. Belum tentu!” Profesor mengingatkan. 2. Bounded Rationality Profesor sangat tidak menyukai acara-acara dialog politik yang belakangan sering marak ditayangkan di stasiun televisi, terutama stasiun-stasiun televisi swasta yang terafiliasi dengan kelompok politik tertentu. Politik belakangan memang menjadi topik menarik bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Jika membicarakan politik, mendadak semua orang menjadi pakar (seperti halnya ketika orang membicarakan SARA). Acara-acara dialog politik di televisi selalu mengundang “pakar” untuk membicarakan suatu topik tertentu. Hanya saja, pakar tersebut seringkali dicomot asal-asalan entah dari mana. Hanya karena seseorang tampak populer, kemudian diundang dan dilabeli sebagai pakar untuk mengomentari sesuatu. Kemudian si “pakar” tersebut ngoceh ngalor-ngidul njladrah ke mana-mana seakan-akan ia adalah orang yang paling tahu segalanya. Setiap orang memiliki “bounded rationality”, alias rasionalitas yang terbatas. Begitu kata Profesor. Rasionalitas yang terbatas adalah karena informasi yang diterima juga terbatas. Keterbatasan itu disebabkan oleh banyak faktor. Tingkat pendidikan, bidang keahlian, pergaulan, wawasan, dan lain sebagainya. Kemudian, dengan segala keterbatasan itu, orang mengambil keputusan. Bisa dibayangkan seperti apa keputusan yang diambil oleh orang yang rasionalitasnya terbatas? Tentu saja keputusannya bisa salah. Pendapatnya juga bisa salah. Karena itulah perlu dialog. Perlu lebih banyak mendengar dan menerima masukan dari orang lain. “Tetapi banyak orang yang merasa dirinya paling tahu segalanya. Tidak mau menerima masukan orang lain dan menganggap pendapatnya adalah yang paling benar. Ya orang-orang yang suka diundang ke acara politik nggak jelas itu. Dan ucapan mereka disiarkan ke seluruh negeri. Apakah itu namanya bukan pembodohan?” Bounded ratioinality membuatku teringat pada mata kuliah metode penelitian sosial ketika jaman S1 dulu. Bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi tingkatan ilmu seseorang, semakin ia menyadari bahwa ia lebih banyak tidak tahu ketimbang tahu. Itulah sebabnya orang-orang berpendidikan tinggi umumnya rendah hati. Seperti padi yang semakin tinggi semakin merunduk, justru karena semakin berisi. Yang banyak omong dan merasa paling tahu justru orang-orang tidak berilmu dengan tingkat pendidikan rendah. Kata-kata Profesor sedikit banyak menyadarkanku, bahwa aku masih lebih banyak tidak tahu ketimbang tahu. Harus mau lebih banyak mendengar dan menerima masukan. Apalagi dengan kondisiku sekarang, yang bahkan magister saja belum lulus. Terima kasih, Profesor....
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
3. Gombal Mukiyo Profesor sering mengucapkan frasa ini jika mengkritik (lebih tepatnya memaki) pemangku kebijakan atau politisi yang mengeluarkan kebijakan aneh yang tidak logis dan tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. “Gombal. Dan kalau gombalnya sudah keterlaluan, itu namanya gombal mukiyo!” ucapnya suatu hari. “Gombal”, seingatku adalah kain rombeng dalam Bahasa Jawa. Kain yang sudah lusuh, kotor, kadang juga sobek, itu namanya “gombal”. Sedangkan “mukiyo”.....mmmmmm........nama orang kali, ya???
7. Dua Buah Buku
Kampus Dewa Ganesha adalah kampus dengan konsentrasi di bidang teknologi. Setidaknya, ada kata “teknologi” yang disandang di tengahnya. Dulu, lulusan-lulusannya selalu menyandang gelar “insinyur”. Biasa disingkat “Ir.”, berasal dari kata “engineer”. Disebut “engineer” memang karena kerjaannya “engineering”. Mendengar kata “engineering”, kepala langsung terbayang dengan pekerjaan pertukangan. Mengecor, menyolder, mengukur, mencangkul. Namun, siapa sangka jika “sosial” pun bisa di“engineering”. Nah, inilah yang menjadi fokus utama program studi yang kuikuti saat ini. Karena itu juga, lulusan sosiologi biasanya adalah yang paling “disukai” oleh dosen-dosen di sini. Aku pernah berdiskusi dengan salah seorang rekan kuliah yang juga melanjutkan S2 di sini. Katanya, para sarjana sosiologi memang sangat “didukung” untuk belajar di sini. “Disukai” dan “didukung”. Dengan tanda petik (“”). Rasa suka para dosen terhadap sarjana sosiologi pun ditunjukkan dengan bertanya berkali-kali kepada mereka di kelas. Para lulusan sosiologi ini kerap ditembak agar mengemukakan pendapatnya mengenai suatu fenomena sosial. Dan jika mereka tidak bisa menjawab, atau menjawab tetapi tidak memuaskan, bersiap-siaplah untuk di-bully sepanjang perkuliahan. Teman kuliah satu jurusan di S1 yang pernah kuliah di sini sendiri memang menjadi “korban” (dan karenanya ia mewanti-wanti diriku agar tidak membuka identitasku sebagai lulusan sosiologi, apalagi dari kampus makara). Juna juga lulusan sosiologi (tapi dari kampus Patih Majapahit) dan ia mencoba berhati-hati. Tetapi ia hanya sanggup bersembunyi di semester pertama. Semester-semester selanjutnya, ia kerap menjadi sasaran tembak dosen. Tidak semua dosen, sih, sebenarnya. Bahkan, hanya satu orang dosen yang sepertinya begitu “menyukai” lulusan sosiologi. Hanya saja, dosen tersebut memegang banyak mata kuliah dan apesnya lagi, ia adalah dosen waliku. Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Mendengar cerita Juna, dan juga teman kuliahku itu, aku pun memasang pagar dengan lebih ekstra hati-hati lagi. Selama dua semester, aku berusaha mengerem mulutku agar tidak berpendapat dalam diskusi di kelas. Tentu saja, aku pun pasti akan berbohong seandainya suatu kali dosen tersebut menanyakan asal-usulku. Untungnya, dosen tersebut tidak pernah menanyakannya. Mungkin karena sikapku yang terlalu pasif di kelas, jarang bertanya dan berpendapat, dan tidak bersuara kalau tidak ditanya; sehingga aku kurang menarik di matanya. Jadi, aku tidak perlu berbohong. Semester ketiga ini aku hanya mengambil dua mata kuliah. Yang satu adalah mata kuliah yang diajar Profesor, dan satunya lagi adalah mata kuliah yang dipegang dosen waliku. Tinggal satu mata kuliah lagi (yang dipegang dosen waliku, maksudku) dan aku tinggal tutup mulut untuk satu semester lagi. Lagipula, dosen waliku tampaknya semakin tidak tertarik kepadaku. Jadi, aku merasa posisiku akan aman hingga lulus nanti. Tentu saja aku tidak memiliki prasangka apapun terhadap Profesor. Maka, ketika suatu kali Profesor menanyakan asal-usulku, aku pun menjawab dengan jujur, bahwa aku berasal dari kampus makara dengan program studi sosiologi. “Lho, Mbak Nadya lulusan sosiologi, tho? Saya kira ekonomi,” ujar Profesor. “Bukan, Pak. Saya lulusan sosiologi,” jawabku. Aku pikir wajar saja jika Profesor mengira aku berasal dari jurusan ekonomi karena kampusku itu memang identik dengan ekonomi. Bahkan ada yang menuding bahwa kampus asalku itu adalah biangnya ideologi kapitalisme. Minggu berikutnya, setelah aku membuka identitasku pada Profesor, perkuliahan masih berjalan seperti biasanya. Profesor sama sekali tidak mengusik gelar kesarjanaan sosiologi yang kumiliki. Aku membayangkan seandainya itu adalah dosen waliku, wah, aku pasti sudah “habis”. Selesai kuliah, aku meminta ijin kepada Profesor untuk tidak hadir pada pertemuan berikutnya. Minggu depan, kantorku mengadakan kegiatan di Yogyakarta. Dan untuk itu, mereka meminta bantuanku. Ketika aku meminta ijin, sekali lagi Profesor menanyakan asal jurusanku. Dan sekali lagi juga, aku jawab dengan jujur apa adanya, bahwa aku dulu kuliah di jurusan sosiologi. Profesor lalu mengijinkan aku untuk tidak hadir pada pertemuan selanjutnya. Dan minggu depannya, aku memang tidak masuk kuliah. Kantorku mengadakan kegiatan pelatihan untuk mitigasi bencana di kawasan gunung berapi. Jadi, sudah barang tentu gunung Merapi menjadi lokasinya. Karena aku menyukai gunung (sama dengan Juna) dan hobi keluyuran naik ke atas Merapi (karena tempat tinggalku yang memang sudah termasuk lereng gunung), aku pun ditunjuk untuk mengawasi kegiatan lapangan. Orang-orang di tempat kerjaku membutuhkan pengetahuanku tentang daerah seputaran Merapi untuk kegiatan ini. Rabu malam, aku baru saja selesai mengurusi pelatihan. Karenanya, aku baru membuka ponsel dan melihat percakapan di grup. Aku terkejut ketika ada pesan dari Kiki yang menanyakan ketidakhadiranku. Menurut Kiki, Profesor berkali-kali menyebut namaku; bahwa seharusnya aku hadir hari itu karena yang bisa menjawab tentang permasalahan sosial adalah sosiolog. Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Aku katakan pada Kiki bahwa aku sudah meminta ijin tidak hadir seminggu sebelumnya. Apakah seharusnya aku memberitahukan Profesor sekali lagi menjelang jam kuliah, ya, pikirku. Tetapi Kiki juga menjawab tidak tahu. Akhirnya, aku anggap ini hanya kesalahpahaman biasa saja. Aku pun bermaksud untuk menjelaskannya nanti ketika aku masuk kuliah. Sekaligus meminta maaf jika memang aku dianggap bersalah. Keesokan harinya aku kembali mengawal peserta pelatihan. Kali ini, para peserta dibawa naik dengan menggunakan jip ke daerah yang hangus diterjang awan panas pada erupsi tahun 2010. Karena aku sudah pernah naik jip, ditambah juga sudah sering ke daerah tersebut, aku ingin mencoba rute baru. Maka, aku menyewa sepeda motor trail dan membujuk salah seorang office boy dari kantor yang diajak dinas untuk mengendarai motor tersebut. Aku lalu membonceng di belakangnya. Berbekal GPS di telepon pintar, aku mencoba jalur pintas untuk menuju lokasi. Sayangnya, meski office boy tersebut sangat lihai berkendara di jalan raya, mengendarai sepeda motor trail apalagi di jalur berdebu ternyata membutuhkan keahlian tersendiri. Sepeda motor yang dikendarainya pun oleng dan aku terjatuh. Untunglah aku tidak jatuh ke dalam jurang. Tetapi tak urung tubuhku lecetlecet. Sampai di rumah, Juna langsung memarahiku. Ia menudingku teledor dan sembrono, plus sok tahu. Aku diam saja. Toh, aku tidak apa-apa. Keesokan harinya, aku merasakan ada yang aneh dengan punggungku ketika bangun tidur. Rasanya sakit sekali. Juna menduga bahwa itu adalah efek terjatuh dari sepeda motor. Takut terjadi apa-apa, ia segera melarangku ke tempat pelatihan dan menyuruhku untuk beristirahat di rumah saja. Aku menurutinya. Aku pikir aku memang butuh istirahat karena kegiatan selama hampir seminggu ini sangat menguras fisik. Esoknya, pada hari Sabtu, ketika kegiatan pelatihan usai dan para peserta mulai kembali ke Jakarta, aku justru merasakan punggungku semakin sakit. Juna lalu mencoba mencari tahu tentang fisioterapi dan membawaku ke rumah sakit terdekat yang ada fisioterapinya. Aku kemudian diobati dengan cara fisioterapi. Hari Minggu, sakit punggungku masih terasa. Senin, masih juga belum sembuh. Dan ketika pada hari Selasa aku masih mengeluh sakit, Juna segera mengambil keputusan untuk melarangku ke Bandung. Aku akhirnya mengirimkan SMS kepada Profesor untuk meminta ijin sekali lagi tidak masuk kuliah. Sebenarnya aku merasa tidak enak kepada beliau. Tetapi aku masih sakit dan tidak punya pilihan lain. Untunglah lagi-lagi Profesor sangat pengertian. “Semoga cepat sembuh, Mbak Nadya”. Begitu isi pesan singkat dari Profesor. Seminggu setelahnya, aku kembali ke Bandung. Rabu pagi, aku berjalan dari tempat kos menuju kampus untuk mengikuti mata kuliah Profesor yang kutinggalkan dalam dua pertemuan terakhir. Aku tidak ada prasangka apapun. Kelas dimulai pukul 9 lewat. Mungkin lewat 15 menit – mungkin! Yang jelas, kami sudah harus ada di dalam kelas sebelum Profesor tiba. Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Aku baru saja membuka catatanku ketika Profesor memulai perkuliahannya. Profesor berbicara tentang perilaku masyarakat yang konon agamis namun tidak sanggup membawa kebaikan baik bagi dirinya sendiri maupun masyarakatnya. Sebuah paradoks. Sebuah kemunafikan yang seolah dianggap wajar. “Saya ingin tahu pendapat Mbak Nadya sebagai sosiolog terhadap fenomena ini,” Profesor langsung menembak ke arahku. Aku yang sedang membaca-baca catatanku pun terkejut. Tetapi aku langsung menguasai diri dan langsung mencoba menjawab, apalagi mengingat Profesor paling tidak suka jika mahasiswanya tidak menjawab ketika ditanya. “Menurut saya....” “Jangan menurut anda,” Profesor memotong ucapanku. “Dalam pandangan sosiologis, jangan dalam pandangan kamu secara pribadi,” tegas Profesor. Aku kembali terdiam. Aku bingung, jujur saja. Tetapi otakku belum mau menyerah. Akhirnya, sebuah jawaban pun meluncur dari mulutku. Aku tidak tahu apakah jawabanku benar. Tetapi, yang penting jawab sajalah. Toh, di sini tidak ada yang mengerti sosiologi kecuali aku! Jadi, kalaupun aku menjawab salah, asalkan sikapku yakin, rasanya seisi kelas bisa kubohongi, pikirku nakal. “Bagus,” Profesor menanggapi. “Tadinya kalau kamu tidak bisa menjawab, kamu mau saya kirim balik ke Depok,” ujarnya bercanda. Seisi kelas tertawa. Aku juga. Dan setelah itu, aku pun memulai babak baru dalam perkuliahanku. Jika sebelumnya aku bisa mengikuti kelas dengan tenang, kini aku harus selalu waspada kalau-kalau Profesor menembakku dengan rentetan pertanyaan. Kedamaianku sirna sudah. Padahal aku sebelumnya sudah bisa lolos dari dosen waliku. Tetapi kini aku malah menjadi sasaran tembak Profesor. Ibarat pepatah, ini sama saja dengan “lolos dari mulut singa, lalu masuk ke dalam mulut buaya”, keluhku. Pertemuan masih beberapa minggu lagi dan aku harus selalu menyiapkan energi lebih untuk menghadapi Profesor. Bhisma, Rezza, Nadine, Ben, Kiki, Eva, dan sekarang aku. Kalau saja yang mem-bully adalah dosen waliku, aku mungkin masih bisa bersembunyi dengan cara membolos berhari-hari. Tetapi aku tidak mungkin membolos pada mata kuliah yang diajar Profesor. Kemudian, setelah beberapa kali pertemuan, seakan puas dengan performaku di dalam kelas, suatu hari selepas kuliah Profesor memanggilku ke depan kelas. Ia kemudian mengeluarkan dua buah buku dan memberikannya kepadaku. Katanya, buku itu untukku. Aku pun menerimanya dengan senyum senang seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah karena berhasil mendapatkan ranking pertama di kelas. Aku membaca kedua judul buku itu sekilas. Tentang perubahan sosial. Sangat sosiologis. Dan sepertinya itu buku terbitan lama yang sudah jarang ditemui di toko-toko buku. Bahkan, buku itu sendiri pun sebenarnya merupakan fotokopian. Sampulnya agak keras, tetapi jelas itu dicetak sendiri. Halaman-halaman di dalamnya masih rapi dengan beberapa kalimat di-highlight dengan tinta stabillo boss berwarna kuning. Pada halaman kedua terdapat tanda tangan Profesor yang Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
menunjukkan bahwa buku itu memang miliknya. Aku serasa mendapatkan cetakan pertama seri Harry Potter dengan tanda tangan asli J.K Rowling. Itu kabar baiknya. Dan seperti prinsip “Yin dan Yang”, ada baik dan buruk, ada susah dan senang, ada pujian dan juga ujian. “Mbak Nadya harus membuat tesis yang membahas tentang perubahan sosial. Teknologi selalu berdampak pada perubahan sosial. Sosiologinya harus muncul, Mbak, jangan dihilangkan. Itu ciri khas Mbak Nadya yang harus ada sebagai sarjana sosiologi,” ujar Profesor. Aku hanya mengangguk. Mataku masih tertuju pada lembaran-lembaran buku yang kubuka dengan rasa penasaran. “Saya akan membimbing Mbak Nadya,” lanjut Profesor singkat. Hah? Aku menengadahkan kepalaku hingga menatap Profesor. Tiba-tiba aku seakan berada pada sebuah adegan di mana aku berperan sebagai buronan yang melarikan diri dari kejaran aparat. Aku mencoba bersembunyi dan akhirnya menemukan sebuah rumah terpencil yang jauh dari permukiman warga dan bahkan keberadaannya pun nyaris tidak disadari oleh orang lain. Aku merasa aman dan tenang berada di dalamnya. Kemudian suatu hari, pintu rumah tersebut digedor dan didobrak tanpa aku sempat bersiap-siap untuk melarikan diri. Sepasukan polisi dan tentara datang menghambur memasuki ruangan. Salah seorang di antaranya menodongkan senjata ke arahku. Seorang lainnya berteriak menyuruhku mengangkat tangan dan jangan bergerak. Tiga orang berjalan menghampiriku yang sudah berdiri dengan tangan terangkat tanpa berani bergerak sedikitpun. Dua orang dari mereka meraih kedua tanganku – kiri dan kanan – lalu menelikungnya ke belakang punggungku. Satu orang lagi mengeluarkan borgol dan mengikat kedua tanganku. Dalam hitungan menit, aku sudah diseret keluar tanpa sanggup melakukan perlawanan sama sekali. Aku merasakan ketegangan mendadak menjalar ke seluruh tubuhku. Antara takut dan tidak berdaya. Aku ingin menolak, tetapi aku tidak berani mengucapkan sepatah katapun.....
8. Persimpangan
Kamis. Siang. Jam 13.00. Lebih sedikit, sih. Aku biasanya malas menghadiri kelas yang dipegang dosen waliku ini. Kuliah seharusnya membahas tentang materi praksis pembangunan. Tetapi pada prakteknya, kuliah justru dimanfaatkan mahasiswa untuk mempresentasikan rencana tesis masingmasing. Sekaligus ajang curhat. Bagus, sih, sebenarnya. Minimal, mahasiswa digojlok dulu dengan simulasi sidang di depan kelas. Mahasiswa-mahasiswa yang sudah siap dengan rencana penelitian tesisnya diminta untuk maju ke
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
depan kelas dengan memaparkannya kepada teman-teman yang lain. Selanjutnya adalah diskusi yang akan memberikan banyak masukan bagi para mahasiswa. Ada tiga hal yang membuatku malas menghadiri kelas ini. Pertama, kehadiran tidak terlalu penting. Jadi, buat apa aku bela-belain hadir dan mengisi daftar hadir kalau ternyata itu tidak dianggap penting? Kedua, aku belum siap dengan rencana penelitianku. Ada, sih, gambarannya. Tetapi aku belum terlalu yakin. Aku pernah suatu kali jalan-jalan dan tersesat di pantai selatan Yogyakarta, lalu menemukan sesuatu yang sangat menarik di sana (menurutku). Bangunan kincir angin dan panel surya, dan penjaga gedung kecil ramah yang mengatakan tentang proyek energi terbarukan. Hanya saja, aku belum ada gambaran untuk melihat dari sisi yang mana. Jadi, aku tidak percaya diri kalau harus mempresentasikannya di depan kelas. Ketiga, yah....apalagi kalau bukan karena tabiat dosen waliku yang sangat suka mendeterminasi mahasiswa....ehm.....bahasa gampangnya mem-bully. Dosen waliku ini sangat suka berdebat. Hobinya memutar-mutar argumen. Setiap komentar yang keluar dari mulut mahasiswa pasti dibantahnya, diputarbalikkan, dijungkirbalikkan, dikocok-kocok sampai mahasiswanya pusing sendiri. Nadine adalah salah satu yang sempat menjadi “korban” dosen waliku itu. Mungkin karena baru lulus S1, idealisme dan kekritisannya masih sangat tinggi, dan tidak mau kalah, kemudian ia dengan sigap menanggapi omongan dosen di kelas. Pernah suatu kali ia kesal dengan kengeyelan dosen waliku itu. Aku pun coba menghiburnya. Bagaimanapun, dosen tersebut sudah mengajar bertahun-tahun. Sudah pasti ia sangat menguasai ilmu yang dia ajarkan. Sementara kita, bahkan satu tahun pun belum (waktu itu masih awal semester dua). Jadi, mau kita ngeyel seperti apapun juga, argumen kita pasti akan selalu dapat dipatahkan, begitu kataku waktu itu kepada Nadine. Mata kuliah ini sendiri rasanya baru satu kali aku hadiri. Eh....atau dua kali, ya? Aku lupa. Tetapi pastinya sangat jarang. Lagipula aku berpikir kalau lebih baik aku memikirkan saja sendiri tesisku sambil pulang ke Yogya daripada menghadiri kelas ini. Hanya saja, kejadian kemarin cukup membuatku shock dan untuk pertama kalinya, aku membutuhkan nasehat dari dosen waliku ini. “Wah, ada mahasiswa baru, nih, kayanya,” dosen waliku langsung berkata begitu melihatku masuk kelas dan duduk di bangku paling belakang. Seisi kelas menoleh. Aku hanya tersenyum. “Kamu masih hidup rupanya?” sindir dosen waliku, dengan gaya nyinyir yang menyebalkan – seperti biasa! Aku lagi-lagi hanya tersenyum. Untung dosen waliku langsung mengalihkan perhatiannya kepada mahasiswa lain yang saat itu sudah siap dengan presentasi rencana tesisnya. Ada Kiki yang sudah bersiap dengan presentasinya. Ngomong-ngomong soal Kiki, ia belakangan justru direkrut oleh dosen waliku itu untuk menjadi mahasiswa bimbingannya. Padahal, Kiki adalah penggila sistem dinamik. Aku tadinya berpikir kalau Kiki akan menggunakan sistem dinamik untuk analisisnya dan karenanya aku menduga kalau ia akan meminta dosen yang mengajar sistem dinamik untuk membimbingnya. Sayangnya, tema yang diusung Kiki menurut dosen waliku tidak cocok untuk sistem dinamik. Alih-alih, ia malah merekrut Kiki untuk menjadi mahasiswa bimbingannya. Agak mirip dengan kasusku, sih. Hanya saja....
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
“Ada yang mau disampaikan, Mbak?” dosen waliku tiba-tiba bertanya kepadaku. Seisi kelas kembali menoleh. Aku pun mengajukan sebuah pertanyaan sekaligus masukan untuk Kiki. Kiki mengangguk-angguk tanda setuju. Diskusi pun kembali berlanjut. Hingga Kiki berhasil menyelesaikan presentasinya. Setelah ditanya sana-sini, dan setelah di-nyinyirin dosen waliku dengan gayanya yang lumayan nyelekit dan bikin makan hati. “Mbak mau presentasi juga?” dosen waliku menawarkan padaku. Aku tersenyum, lalu menggeleng. “Belum siap, Pak,” jawabku. “Mosok?” ia tidak percaya. “Kayanya kamu ingin menyampaikan sesuatu,” tembaknya. Banyak yang bilang kalau dosen waliku ini paling jago membaca orang. Seakan ia memiliki indera keenam yang bisa mengetahui pikiran orang lain. Jika bertanya, ia sanggup mencecar hingga orang yang ditanya tidak berkutik dan menyerah. Itu juga sebabnya ia bisa mengetahui “rahasia” Juna yang lulusan sosiologi dan kemudian mem-bully-nya sepanjang perkuliahan. “Yang nggak ada hubungannya dengan penelitian juga nggak apa-apa, kok,” tawarnya. Aku terdiam sebentar. Tetapi juga aku tidak tahu lagi harus bercerita kepada siapa. Akhirnya, aku pun menceritakan segala kegundahanku kepada dosen waliku itu. “Kamu dulu S1-nya apa?” ia kembali bertanya. Aku terdiam sebentar. Aku ragu-ragu untuk berterus-terang. Tetapi kupikir ia sudah tidak ada waktu lagi untuk mem-bully. Jadi, aku pun berterus terang. “Wow!” ia menaikkan alisnya. “Rupanya kamu juga lulusan sosiologi?” senyumnya mengembang seperti mendapatkan mangsa baru. “Kalau tidak salah di angkatan 2012 juga ada lulusan sosiologi. Siapa tuh....yang kecil, imut, putih, tapi ganteng....oh, iya.....Arjuna!” dosen waliku teringat sesuatu. “Itu suami saya, Pak,” jawabku. “Oh, kalian suami-istri? Baru tahu, saya!” ia terbelalak. “Jujur, saya baru tahu...” ia tampak memikirkan sesuatu. Mungkin, ia mulai menduga-duga kalau diamnya aku selama ini adalah karena aku mendapatkan informasi dari Juna bahwa lulusan sosiologi adalah yang paling diincar di program studi ini – jadi lebih baik diam saja! “Lalu, apa masalah kamu dengan Profesor?” ia kembali bertanya. Aku tersenyum dan menunduk. Bingung menjawabnya. “Kamu takut, ya?” tebaknya. Aku tidak menjawab. Tetapi air mukaku sudah jelas mengatakan: ya. Dosen waliku tertawa kecil. “Kalau menurut saya, kamu justru cocok dengan Profesor,” ujarnya. Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Aku kembali terdiam. Bukan ini kata-kata yang kuharapkan. “Serius,” ujarnya, “apalagi kalau melihat latar belakang pendidikan kamu.” “Apa yang bikin kamu gundah? Terus terang saja,” dosen waliku terus membujukku. Aku menghela napas sebentar. Kemudian, aku katakan semua yang aku rasakan; kegundahan, kebimbangan, ketakutan, informasi-informasi yang pernah kudengar tentang “reputasi” Profesor dalam membimbing mahasiswa-mahasiswanya. “Profesor itu sebenarnya baik, kok. Cuma, ya gayanya memang begitu. Itu cara dia mendidik. Mainnya psikologis,” jelas dosen waliku. “Kamu pikir saya nggak kejam kalau membimbing mahasiswa,” ia melirik sekilas kepada Kiki. Kiki membalasnya dengan mimik muka seolah-olah tidak suka. “Saya juga suka ‘mengerjai’ mahasiswa-mahasiswa saya, lho. Cuma, cara yang saya pakai berbeda. Sama saja, Mbak,” ujarnya lagi. “Asalkan kamu jaga komunikasi yang baik dengan Profesor, jangan kelamaan menghilang, saya pikir kamu akan baik-baik saja.” Aku masih terdiam. Aku tiba-tiba teringat Novi; Novi yang terlalu lama menghilang; Novi yang keasyikan menyantap gudeg dan sate klathak di Yogya hingga lupa dengan tesisnya; dan aku takut kalau-kalau aku akan menjadi Novi kedua. “Mbak harusnya bangga, lho. Nggak semua orang bisa bimbingan sama Profesor. Apalagi yang direkrut. Kamu itu, kan, judulnya direkrut Profesor. Itu, artinya kamu punya keistimewaan di mata Profesor.” Aku menatap dosen waliku. “Memangnya apa keistimewaan saya, Pak?” Dosen waliku tertawa. “Ya mana saya tahu. Kamu yang paling tahu, kan?” ia balik bertanya. “Profesor itu orangnya lugas,” ujar dosen waliku. “Kamu juga orangnya lugas – saya lihat begitu. Saya pikir, itu yang akan membuat Profesor suka dengan kamu. Go for it, Mbak,” ia menyemangati. “Tapi kalau kamu tidak berani, kalau kamu kurang berkenan, kamu juga harus ngomong baik-baik. Kamu ditarik secara baik-baik, kamu juga harus menolak dengan baik-baik juga.” Aku lagi-lagi hanya terdiam mendengarkan saran dosen waliku. Ya. Memang aku harus berterusterang kalau memang aku tidak ingin dibimbing olehnya. Tetapi, masalahnya, mengatakannya kepada Profesor sama saja menakutkannya dengan menjadi mahasiswa bimbingannya. “Jangan terlalu khawatir begitu, lah, Mbak. Menurut saya, itu adalah tantangan sekaligus kehormatan buat kamu. Kamu terima saja. Itu bagus buat pengembangan diri kamu juga.” “Dan kalau kamu ada masalah, mau diskusi atau curhat, silahkan datang ke saya. Saya selalu terbuka, kok,” tawarnya.
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Aku kembali terdiam. Dalam hati, aku membenarkan omongan dosen waliku. Bagaimanapun, ini adalah bagian dari proses pendidikan. Ini adalah tantangan sekaligus kehormatan atas sebuah pengakuan jati diri. Tentu akan ada sandungan di depan nanti. Tetapi, bukankah itu memang sebuah proses yang harus dilalui? Dengan Profesor, ataupun dosen waliku, atau siapapun yang menjadi pembimbing tesisku, bukankah masalah itu akan selalu ada? Aku menghela napasku. Dan mencoba berpikir kembali. Dengan pikiran yang lebih jernih. Aku harus membuat keputusan.
9. Keputusan
Minggu ketiga di bulan September, 2014. Pada suatu hari. Selasa malam jelang Rabu dini hari. Aku berdiri di samping rel Stasiun Tugu Yogyakarta. Jam yang bertengger di stasiun menunjukkan hampir pukul setengah 12 malam. Penunjuk waktu digital yang ada di ponselku menunjukkan angka 23.28. Tadi petugas stasiun sudah mengumumkan melalui pengeras suara, bahwa para penumpang Kereta Api Ekspres Malabar harus segera bersiap di sisi jalur 5. Menurut jadwal, kereta akan tiba (dari Malang), dan kemudian berangkat lagi (dari Yogya menuju Bandung) pada pukul 23.32. Setidaknya, itulah yang tertera di tiket kereta api yang aku pegang. Semoga tidak terlambat (dan sepertinya memang tidak terlambat). Besok adalah hari penyerahan tugas akhir mata kuliah yang diajar Profesor. Profesor memberikan waktu selama 2 minggu untuk menjawab sekitar 20 pertanyaan. Take home test. Tetapi jangan bayangkan seperti PR siswa SD yang tinggal dijawab satu baris untuk setiap soal. Tidak. Sama sekali tidak. Soal-soal ujian akhir ini membutuhkan minimal satu halaman untuk menjawab setiap pertanyaannya. Itu minimal. Karena satu soal membutuhkan satu jawaban yang sudah mirip satu makalah sendiri. Lengkap dengan referensinya. Angkatanku masih mendingan, sebenarnya. Karena angkatan Juna dulu, selain soal-soal yang berjumlah 20 buah tersebut, masih harus juga membuat lagi makalah tersendiri. Dua minggu ini aku merasa sangat capek. Padahal kerjaku hanya duduk saja di depan layar komputer. Tetapi entah kenapa, aku merasa sangat sangat capek (jadi, siapa bilang kerja otot lebih capek daripada kerja otak?). Mata ini rasanya begitu penat dan andai saja aku tidak harus ke Bandung, aku ingin menghabiskan waktuku untuk tidur seharian. Aku kadang merasa Profesor agak ribet. Tugas seperti ini, harusnya bisa dikirim lewat e-mail saja. Kalaupun harus di-print, bisa minta tolong kepada Bu Indri yang berjaga di jurusan, nanti ongkos cetaknya tinggal ganti saja. Dosen waliku sendiri sering menggunakan e-mail untuk tugas-tugas akhirnya. Kalau dosen waliku itu, biasanya ia meminta tolong Lisa atau Ilham untuk mengumpulkan softcopy para mahasiswa ke dalam sebah CD, kemudian baru diserahkan kepadanya. Bagi mahasiswa yang tinggal di luar Bandung, tentu ini sangat memudahkan, karena tinggal kirim e-mail ke Lisa atau Ilham, kemudian biar mereka yang menggabungkan semuanya ke dalam sebuah CD. Tetapi itu dosen waliku. Gaya Profesor lain lagi. Ia masih memegang prinsip yang (menurutku) sangat konvensional. Mengambil soal ujian, harus dengan tanda tangan (yang artinya mahasiswa harus datang ke kampus sendiri, tidak boleh meng-copy soal milik mahasiswa yang lain yang sudah diambil Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
terlebih dahulu). Menyerahkan ujian, harus dalam bentuk jadi, dan harus dengan tanda tangan juga (yang artinya, boro-boro dikirim lewat e-mail, dititip ke teman saja tidak bisa). Menurutku, sih, tidak praktis. Tetapi jika itu keinginan Profesor, tentu aku (kami) tidak ada yang bisa melawannya, bukan? Aku sebenarnya bisa saja tinggal di Bandung. Toh, aku memang menyewa kamar di salah satu koskosan di Tubagus Ismail (yang belakangan jarang kutempati). Hanya saja, Juna tidak bisa ditinggal. Kuliahnya sudah molor satu semester dari waktu tugas belajar yang diberikan lembaga donor beasiswa. Artinya, Juna sudah membayar sendiri untuk semester terakhirnya ini. Penyebabnya adalah rencana tesis yang terpaksa dirombak total karena data yang diperlukan sangat sulit dicari. Tadinya, Juna ingin menulis tesis tentang alih fungsi lahan. Tetapi, ternyata sangat sulit mencari petani yang sudah menjual lahannya. Akhirnya karena data yang tidak juga terkumpul, ia pun banting setir. Rencana sementaranya adalah meneliti tentang ketahanan bermukim para penduduk desa di wilayah rawan bencana gunung Merapi. Tetapi grand design-nya belum ketemu. Aku pernah beberapa kali mencoba membujuk Juna untuk menemui salah seorang dosen di Bandung (siapa pun) untuk membantu tesisnya. Namun, Juna tampaknya belum percaya diri. Maunya, ia datang dengan konsep yang sudah lengkap. Walhasil, karena jatah kuliahku yang masih lama, aku pun diminta tolong untuk membantu tesisnya. Aku sendiri memang memiliki kepentingan agar Juna segera lulus. Dengan begitu, kami tidak perlu tekor lagi untuk uang kuliah berikutnya. Mahal euy...... Samar-samar di kejauhan terlihat sebuah cahaya menyala terang. Suara yang keluar dari speaker memperingatkan calon penumpang agar berdiri di belakang garis. Kereta sebentar lagi tiba. Aku melihat tiketku. Kelas bisnis. Menurutku, kelas bisnis adalah yang paling moderat – tidak semahal kelas eksekutif, tetapi masih lebih nyaman dibandingkan kelas ekonomi. Tasku terasa enteng karena bawaanku yang memang tidak banyak (karena aku memang berencana untuk langsung pulang lagi begitu urusanku selesai semua). Ada untungnya juga aku tadi gagal mencetak hasil pekerjaanku. Profesor pernah menjelaskan tentang “optimisasi”. Minimalkan risiko, hati-hati dengan faktor non teknis. Dan aku baru saja mengalaminya sebelum berangkat malam ini. Siapa yang menyangka kalau tinta printer-ku habis? Dan siapa yang menyangka pula kalau malam ini ternyata tidak ada rental komputer yang buka? Dan sekalinya aku mendapatkan rental komputer, komputernya malah penuh dengan virus dan file-ku sulit dibuka. Akhirnya, aku membawa file tugas yang sudah kukerjakan di dalam flashdisk untuk nanti aku print saja di Bandung. File aku buat dalam format PDF juga untuk berjaga agar setting-annya tidak berubah. Maklum, komputer di rental beraneka ragam spesifikasinya. Karena program di laptopku terlalu canggih, seringkali pekerjaan yang sudah susah payah aku buat malah tidak bisa dibuka di komputer rental. Jadi, supaya aman, aku buat PDF-nya saja. Kereta tiba di depanku. Aku megikuti para penumpang lain yang berjalan hilir-mudik mencari gerbongnya masing-masing. Aku segera menaiki gerbongku, menaruh tas di rak atas, dan duduk di kursi sambil menatap ke luar jendela. Aku sengaja memilih kursi sendirian agar bisa kugunakan untuk tidur. Aku memang sering melakukannya (memesan kursi sendirian), dengan catatan, bukan pada saat musim liburan. Kereta kembali berjalan. Setelah kondektur datang memeriksa tiket, aku segera mengeluarkan earphone dengan tulisan kecil “Sennheiser” di ujungnya, lalu memasangnya ke lubang kecil yang ada Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
di smartphone-ku: Nokia Lumia 620 warna hitam yang sudah lecet sana-sini karena aku malas mengganti ponsel (aku memang penggemar setia Nokia, sih). Keane segera menemani perjalananku malam ini. Harusnya, besok, setelah tugas akhir diserahkan, adalah hari terakhir aku berurusan dengan Profesor. Harusnya, setelah ini, aku tidak perlu lagi terlibat dengannya. Cukup satu semester saja. Tetapi, kata-kata Profesor beberapa waktu sebelum kuliah berakhir masih terngiang di telingaku. Ia memintaku (tepatnya merekrutku) untuk menjadi mahasiswa bimbingannya. Aku takut (jujur saja, aku memang takut, kok). Tetapi aku juga tidak enak menolaknya (lebih tepatnya, takut untuk menolaknya). Aku mencoba meminta opini dari dosen waliku. Tetapi ia malah mendorongku untuk menjadi murid bimbingan Profesor. Katanya, itu bagus untuk pengembangan diriku. Benarkah? Keane mencoba bersenandung untuk menghiburku. “Won’t Be Broken” segera memenuhi ruangruang kosong di kepalaku. Aku memejamkan mataku. Antara mengantuk dan mencoba berpikir. Apa yang kutakutkan, pikirku. Toh, bukan hanya aku yang “diminta” Profesor. Seingatku, Lisa, Eva, Nadine, Aisha, Adit, dan Iqbal juga ditarik Profesor untuk menjadi mahasiswa-mahasiswa bimbingannya. Setidaknya, itulah nama-nama yang tertera di SMS Lisa ketika aku diberitahu agar menghadap Profesor setelah menyerahkan tugas akhir nanti. Aku masih ragu. Aku berpikir, mungkin (mungkin!) sebaiknya besok aku tidak usah hadir saja. Siapa tahu Profesor akan lupa denganku. Ah.....tidak......tidak! Itu cara pengecut, Nad! Jangan jadi pengecut! Sebuah suara yang tidak terdengar mencoba mengingatkanku. Takutlah, tetapi jangan jadi pengecut! Hadapi dengan kepala tegak! Aku membuka mataku dan melihat ke luar jendela. Pemandangan di luar gelap. Penumpangpenumpang yang lain tampak pulas dengan berbalutkan selimut. Jam sudah menunjukkan waktu lebih dari tengah malam. Sudah berganti hari. Aku pun kembali memejamkan mataku dan mencoba untuk tidur. Mungkin benar kata Keane, bahwa aku hanya sedang bertarung menghadapi ketakutan-ketakutanku sendiri. Bukan Profesor, tetapi diriku sendirilah yang sedang kuhadapi saat ini. ... Pukul setengah 9 pagi. Kurang sedikit. Kereta api mulai merapat di Stasiun Bandung. Para penumpang yang tersisa bangkit dan mengambil barang-barang bawaannya yang ditaruh di rak atas. Beberapa di antaranya mulai berdiri dan berbaris memenuhi lorong di antara dua baris tempat duduk di kereta api. Aku masih duduk. Santai saja. Toh, kereta tidak akan ke mana-mana lagi setelah ini. Barisan manusia mulai melangkah keluar seiring dengan berhentinya kereta api. Berpapasan dengan para portir yang menawarkan jasanya. Kadang berdesakan hingga beradu kuat antara yang ingin naik dan turun. Aku masih menunggu di tempatku. Aku mulai berdiri dan melangkahkan kaki setelah orang terakhir yang berbaris berjalan melewati tempat dudukku. Aku turun dari kereta api dan berjalan menuju pintu selatan. Pintu utama stasiun Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
sebenarnya ada di sebelah utara. Namun, aku lebih suka keluar lewat pintu selatan karena di sana banyak angkot ngetem dengan jurusan yang langsung menuju Dago. Aku segera menaiki angkot. Tak perlu lama menunggu penumpang penuh, angkot segera berjalan. Aku lalu turun di perempatan Jalan Dago dan Jalan Dipati Ukur karena aku ingin mencetak hasil pekerjaanku dulu. Setahuku, ada sebuah rental komputer yang bagus di sekitar sana. Aku menghentikan angkot di depan sebuah restoran cepat saji, lalu menyeberang jalan. Melewati tumpukan sampah, pasar, beberapa kios, beberapa angkot yang juga sedang ngetem, kemudian aku pun tiba di tempat rental komputer tujuanku. “Mbak,” sebuah suara yang sangat kukenal menyapaku. Aku pun menoleh. Dan kulihat Bhisma tersenyum ke arahku. Ia rupanya mau menyeberang jalan. “Mau ke mana?” tanyanya. Aku menunjuk suatu arah. “Nge-print tugas,” jawabku singkat. Bhisma mengangguk. “Paling telat jam 3 sore, kan?” aku memastikan. Bhisma kembali mengangguk. “Ya,” jawabnya singkat. “Aku duluan, ya,” pamitnya sambil melambaikan tangan. Aku balas melambaikan tanganku. Kemudian kembali berjalan menuju rental komputer. Aku menuju salah satu komputer yang kosong, lalu menancapkan flashdisk ke dalam salah satu lubang yang menganggur. Semoga tidak ada virusnya, harapku cemas (dan sepertinya harapanku tidak terkabul; tetapi, biarlah nanti akan aku bersihkan sendiri saja dengan antivirus Kaspersky asli yang ada di laptopku). Aku mencoba membuka file yang kusimpan dalam format MS Words. Dan sudah kuduga, ada beberapa yang tidak compatible dengan komputer rental. Kebanyakan, sih, gambar, bagan, dan tabel. Jadi, aku akhirnya membuka file yang dalam bentuk PDF saja. Printing ternyata membutuhkan waktu cukup lama (aku pasti akan menjadikan kejadian ini sebagai referensi jika nanti mengerjakan tesis). Total halaman yang aku buat sebanyak 35 halaman, sudah termasuk daftar referensi. Setelah dijilid dengan sampul plastik dan kertas karton, aku segera bergegas membawanya ke kampus. Pukul 12 siang. Untungnya, cuaca Bandung cukup sejuk sehingga aku tidak masalah untuk berjalan kaki menuju kampus. Hitung-hitung menghemat ongkos. Tiba di jurusan. Tampak Bu Indri sibuk menerima bergepok-gepok makalah sambil menyuruh para mahasiswa menandatangani daftar hadir satu per satu. Aku menunggu hingga teman-temanku yang lain selesai, baru kemudian aku menghampiri Bu Indri. “Mana?” tagihnya. Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Aku segera menyerahkannya. Bu Indri menaruh pekerjaanku di tumpukan makalah yang ada di belakangnya. Dan mataku pun sontak terpaku pada sebuah jilidan hardcopy yang tebalnya mirip tesis. “Itu punya siapa, Bu?” tanyaku penasaran. Bu Indri menoleh. “Oh, itu punya Rezza,” jawabnya. Hah? “Boleh lihat sebentar, Bu?” pintaku. “Boleh....” ia segera menyerahkan pekerjaan Rezza kepadaku. Aku pun membuka-buka halamannya. “Bu, ini tugas akhir semester atau tesis?” kataku bingung. “Meneketehe semelekete tunjahejahe.....anak-anak yang lain juga pada bingung. Tadi aku tanya ke Ben, dia juga bingung. Wong ngerjainnya bareng-bareng, tapi ini, kok, yang lain cuma 40-an halaman, lha ini kok 200 halaman sendiri?” Bu Indri geleng-geleng kepala. Aku sendiri hanya nyengir. Jelas beda. Karena yang membuat tugas tersebut adalah orang yang nilai TPA-nya di atas 700. Sudah pasti lain sendiri! Aku memerhatikan tugas-tugas yang masuk. Rata-rata para mahasiswa membuat sebanyak 40-an halaman. Ada juga yang 50 dan 60-an halaman. Tetapi yang spektakuler tetap milik Rezza yang sebanyak 200-an halaman. Aku jadi sedikit minder karena pekerjaanku hanya 35 halaman. Tetapi aku memang sengaja membuatnya setipis mungkin. Alasannya? Salah satunya jelas untuk menghemat kertas dan biaya pencetakan, tentu saja! Ponselku berdering singkat pertanda bahwa ada pesan pribadi yang masuk. Pesan Whatsapp dari Lisa. Isinya kembali mengingatkanku untuk hadir nanti jam setengah 4 sore di ruang kerja Profesor. Air mukaku mendadak gundah. Dan Bu Indri sepertinya langsung menangkapnya. “Ada apa, Mbak?” Aku mencoba tersenyum meski yang keluar hanyalah sebuah senyum yang dipaksakan. Akhirnya aku ceritakan juga kepada Bu Indri. “Yakin?” Bu Indri. Aku kembali tersenyum. “Ya kalau saya yakin saya nggak galau kaya sekarang, Bu,” jawabku. “Tapi kalau kamunya yakin, ya ga apa-apa. Setahuku yang bimbingan sama Profesor biasanya cepat lulus, kok.” Aku kembali nyengir. Sejujurnya, aku BELUM ingin lulus dalam waktu dekat. Dan justru karena rencana santaiku itulah yang membuatku sedikit bimbang – salah satunya.
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
“Memangnya selama ini mahasiswa yang bimbingan sama Profesor gimana, Bu?” tanyaku penasaran. Aku sering mendengar gosip tentang mahasiswa-mahasiswa bimbingan Profesor yang – konon – banyak yang stres. Bahkan, Bu Indri sendiri, kan, yang pernah mengatakan kalau banyak mahasiswa yang sampai curhat nangis-nangis? “Ya....” Bu Indri berhenti sebentar, “selama kamu bisa ngikutin ‘permainannya’ Profesor, saya pikir, sih, kamu akan baik-baik saja.” “Permainan?” aku bingung. “Maksudnya?” Bu Indri menceritakan beberapa hal – dan beberapa itu hampir sama dengan yang pernah dikatakan dosen waliku beberapa waktu yang lalu. Jangan kelamaan menghilang, jangan putus komunikasi. “Dan yang terpenting, jangan ambil 0 SKS,” ujar Bu Indri. “Soalnya pernah ada mahasiswa bimbingan Profesor yang ambil 0 SKS, begitu ketahuan langsung dimarahi habis-habisan. Profesor juga pesan ke saya, pokoknya mahasiswa-mahasiswanya jangan ada yang mengambil 0 SKS.” “Memangnya kenapa?” “Ya pokoknya jangan. Bapak nggak mau dikejar-kejar harus lulus cepat.” “Oooo....berarti kalau saya ambil 0 SKS tapi nggak ngejar-ngejar, boleh, dong?” aku memastikan. “Ya jangan!” potong Bu Indri. “Udah, deh. Pokoknya jangan. Lagian, kamu, kan, juga masih dibayarin, kan, sampai semester depan? Ngapain juga ngambil 0 SKS?” “Hehehe....” “Jadi, kamu siap? Yakin mau bimbingan sama Profesor?” Aku terdiam, lalu mengangkat bahuku. “Masih aku pikir-pikir dulu,” jawabku. ... Jam setengah 4? Aku membaca sebaris SMS dari Eva sambil tidur-tiduran di kamar kosku. Ia tampaknya mencoba memastikan kehadiranku. Mungkin sebagai sesama mahasiswa dengan domisili jauh dari Bandung. Aku tidak segera menjawab SMS itu. Sejujurnya aku masih bingung. Andai saja aku tidak perlu menghadiri bimbingan pertama nanti, saat ini aku pasti sudah meluncur ke stasiun Bandung untuk berburu tiket pulang. Tetapi, kenyataannya adalah, saat ini aku masih terdampar dengan penuh kebimbangan di Bandung. Aku bangkit dan memasukkan beberapa pakaian ke dalam ranselku. Aku memang berencana untuk meninggalkan tempat kos ini, apalagi kuliahku memang tinggal sebentar lagi. Aku rasanya akan lebih banyak menghabiskan waktu di Yogya. SMS Eva belum kujawab. Aku masih berpikir apakah akan menghadiri bimbingan perdana nanti atau tidak. Sebenarnya, aku sudah punya rencana tesis sendiri. Aku sengaja memilih penelitianku di
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
Yogyakarta agar aku bisa lebih banyak menghabiskan waktu di Yogyakarta. Selain untuk membantu tesis Juna juga. Dan itu jugalah yang membuatku bimbang untuk menerima tawaran Profesor. Aku takut kalau-kalau rencana penelitianku tidak disetujui. Apalagi, Profesor juga sudah memberikan kisi-kisi mengenenai penelitian yang harus kulakukan. Bagaimana kalau nanti tidak cocok? Atau, mungkin sebaiknya aku cocokkan saja dulu saat ini. Jadi, aku tetap pada rencanaku untuk melakukan penelitian di Yogyakarta, tanpa mengesampingkan saran dari Profesor juga. Bisakah? Bagaimana kalau nanti aku malah disuruh untuk melakukan penelitian di lokasi yang lain? Dan SMS pun kembali berbunyi. Dari Lisa. Pertemuan dimajukan jadi jam 3. Begitu yang tertulis singkat. Aku kembali menghela napas. ... Gedung Labtek V, lantai 4. Aku membaca SMS yang dikirim Nadine. Aku akhirnya memutuskan untuk hadir. Hanya saja, aku tidak tahu ruangan Profesor. Jadi, selama setengah jam ini, kakiku sampai pegal berkeliling-keliling. Tadi aku SMS-an dengan Nadine. Sekitar 15 menitan yang lalu. Kini, SMS yang kukirim ke Nadine tidak dibalas-balas. Jam digital di ponselku menunjukkan pukul 15.17. Pasti Profesor sudah hadir, pikirku. Jadi, wajar kalau Nadine tidak (berani) membalas SMS-ku. Aku masih berkeliling dengan panik. Jaket yang kukenakan, ditambah dengan tas ransel yang penuh barang, membuat tubuhku semakin banyak mengeluarkan keringat. Profesor paling tidak suka dengan keterlambatan. Dan aku malah terlambat di hari pertama bimbingan. Bagus sekali! Aku masih terus berjalan sambil mataku mengawasi setiap gedung yang kulewati. Aku pun akhirnya bernapas lega ketika menemukan gedung dengan papan nama yang kucari-cari: Labtek V. Aku segera melangkah menuju lift dan menekan angka 4. Lift lalu membawaku ke atas. Aku keluar lift sambil mencari-cari ruangan Profesor. Ketika melihat sebuah ruangan dengan pintu terbuka, aku memberanikan diri untuk masuk. Itu memang ruangan Profesor (aku mengenali suaranya dari luar). Aku pun kemudian memberanikan diri untuk masuk ke ruangan di bagian dalamnya. “Permisi,” aku mengetuk pintu bagian dalam dengan sedikit perasaan bersalah karena terlambat. Orang-orang yang ada di sana pun menoleh. “Habis camping dari mana, Mbak?” tanya Profesor dingin. Tetapi sedetik kemudian ia tertawa. “Ayo, mari masuk, Mbak,” ujarnya. “Kesasar, ya?” Aku menunduk malu. Aku kemudian segera masuk dan mengambil tempat duduk di samping Eva. Selain Eva, di ruangan sudah ada Lisa, Nadine, Aisha, Adit, Iqbal, dan Raafi. Hari itu, kami hanya
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)
membahas singkat rencana penelitian kami secara garis besar. Belum satu pun dari kami yang membawa draf karena memang kami belum mulai sama sekali. Profesor menanyakan satu per satu rencana kami. Termasuk aku. Aku pun menjawab singkat-singkat saja. Aku belum berani menjabarkan rencanaku dengan lebih rinci. Sebenarnya, sih, dulu pernah kuutarakan sekali. Sayangnya, sepertinya tanggapan Profesor tidak terlalu bagus. Aku ingin membahas energi terbarukan, dan menurut Profesor, tema tersebut hanya akan menyulitkan diriku sendiri karena sangat politis. Itu juga, sih, sebenarnya yang membuatku ragu-ragu untuk bimbingan tesis dengan Profesor. Hingga saat ini pun aku sebenarnya masih ragu. Tetapi, toh, nyatanya aku sudah di sini. Di ruangan Profesor, dan memaparkan sedikit rencana penelitianku.
Kelas Terakhir by: @nadya_wijanarko (Twitter, Instagram, Wattpad)