KEKUATAN LINGUAL PUISI-PUISI MASURI S.N. 1 I Wayan Pastika 2 Universitas Udayana, Bali
[email protected]
Abstract The strength of Masuri poems can be identified in various linguistic aspects that emerge the quality of the messages and the beauty of Malay language and literature. His works mostly exhibit the standard Malay that underline communicativeness, familiarity and solidarity. Masuri does not seem to like to manipulate language in terms of grammar and the lexical choice but his poems is not meant to be explicit. The sound parallelism, word choice and syntax constructions are really quite unique stylistic for Masuri works. To interpret the meaning or the message of his poems one should be ready with various knowledge such as Malay culture, Malay people and Singaporean politics. Abstrak Kekuatan puisi-puisi Masuri bisa diamati dari pemanfaatan aspek-aspek bahasa untuk mengungkapkan makna dan pesan tanpa melupakan nuansa kehindahan bahasa dan susastra. Ragam bahasa yang dipilihnya lebih banyak berkisar pada ragam Melayu resmi atau Melayu standar tanpa mengabaikan kegamblangan pesan, keakraban dan kesetiakawanan. Masuri bukanlah tipe penyair yang menyukai penggunaan bahasa yang sulit (seperti halnya puisi Sutardji C.B atau puisi Danarto); dia lebih suka menggunakan bahasa yang komunikatif tanpa dimaksudkan sebagai teks yang tersurat. Pilihan bunyi, pilihan kata dan konstruksi sintaksis yang tercipta dari paduan ketaatan linguistik dan keindahan gaya menghasilkan puisi-puisi yang bermutu. Untuk memahami puisi-puisi Masuri seseorang harus memahami secara umum tentang budaya dan manusia Melayu serta sistem dan praktek politik di Singapura. Kata kunci: pararelisme, nilai estetika, gaya bahasa
1. Pendahuluan Kajian linguistik yang dilakukan terhadap karya-karya Masuri, dalam makalah ini, diutamakan menyangkut kekhasan struktur bahasa: tataran fonologis, tataran morfologis, dan tataran sintaksis. Di samping itu makalah ini juga mencoba untuk menemukan kekhasan gaya bahasa yang menonjol, misalnya, sistem perulangan, konotasi, dan denotasi. Teori linguistik yang diterapkan dalam analisis adalah linguistik deskriptif-eksplanatif, yakni menguraikan struktur linguistik dari teks untuk menemukan 1
Masuri S.N. adalah seorang pengarang Melayu Angkatan 50 berkebangsaan Singapura. Dia telah menulis sejumlah buku kumpulan puisi dan aktif menulis kritik sastra dan puisi di berbagai media cetak di Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. 2 Artikel ini dimodifikasi dari makalah yang disajikan pada Seminar Masuri S.N., 26 – 27 Juli 2008 diselenggarakan oleh NIE dan MBMS di Bangunan Perpustakaan Negara, Singapura.
kekuatan-kekuatan lingual dari puisi yang dikaji. Aspek makna yang bersandar pada teori semantik dan semiotik juga diterapkan agar mampu secara terarah menafsirkan puisi yang dianalisis. Puisi-puisi Masuri yang dianalisis dalam makalah ini diambil dari dua kumpulan puisinya yang bertajuk Warna Suasana (1962) dan Suasana Senja (2003). Meskipun kumpulan puisi yang dipilih berangka tahun jauh sekali berbeda dalam perjalanan kepengarangannya, kajian ini tidak terutama mencari perbedaan dan persamaan linguistik keduanya. Analisisnya lebih banyak dipusatkan pada kekuatan gaya bahasa yang menonjol baik pada tataran estetika maupun gramatika. Sebagai salah seorang pelopor ‘Angkatan Sasterawan ‘50’ Masuri adalah sastrawan Melayu yang sangat produktif. Beliau sudah mencipta puisi sejak usia 17 tahun dengan sajak pertamanya ditulis pada tahun 1940 berjudul “Ros Kupuja” 3 sampai tahun-tahun terakhir sebelum beliau wafat 7 Desember 2005 dengan terbitnya kumpulan puisi Suasana Senja (2003) yang ditulisnya tahun 1995--2001. Sebagai pendatang baru yang mencoba menganalisis puisi dari sudut pandang linguistik murni saya belum mempunyai keberanian akademik untuk berbicara tentang kepengarangan Masuri dan karya-karyanya yang lain selain dari dua kumpulan puisi tersebut di atas. 2. Keselarasan Bunyi Vokal dan Konsonan Tiga bunyi vokal /a, i, u/ dalam puisi-puisi Masuri mendapat perhatian lebih besar alih-alih tiga bunyi vokal /e, o, /. Peran kelompok bunyi vokal yang pertama adalah menciptakan keselarasan bunyi di antara suku kata, kata, dan unit intonasi. Meskipun kelompok bunyi vokal yang kedua selalu muncul dalam puisi-puisinya tetapi vokal-vokal ini tidak mempunyai peran yang menonjol dalam menciptakan citra bunyi berupa keselarasan atau harmoni. Perannya semata-mata sebagai unit bunyi terkecil yang membedakan arti kata atau berfungsi sebagai segmen bunyi pembentuk kata. Pertanyaannya adalah mengapa kedua kelompok bunyi itu mendapat peran yang berbeda baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Ada dua jawaban yang dapat diajukan, pertama, tiga bunyi vokal yang pertama merupakan vokal dasar dalam bahasa Melayu (dan juga bahasa-bahasa Austronesia lainnya), yakni, bunyi-bunyi bahasa baik segmental (vokal dan konsonan) maupun suprasegmental (pola tone, tekanan, nada dan intonasi) dapat memberi pengaruh dalam penegasan makna kata dan kelompok kata. Kedua, ciri-ciri bunyi vokal /a, i, u/ sangat berbeda satu sama lain. Bunyi /i/ adalah tinggi-depan-takbulat, sementara bunyi /u/ adalah bunyi tinggi-belakang-bulat. Di pihak lain, bunyi /a/ sangat berbeda dengan kedua bunyi tersebut; /a/ adalah bunyi rendah yang takbulat. Ketiga bunyi vokal ini memiliki tingkat kenyaringan dan ketegangan lebih tinggi dibandingkan vokal /e, o, / yang merupakan vokal tengah yang diucapkan dengan tingkat ketegangan yang lebih lemah. Dalam perolehan bahasa anak pada tingkat awal ketiga bunyi vokal ini diperoleh belakangan. Bandingkan penggunaan bunyi vokal /a, i, u, e, o, / dalam puisi “Tidak Tahu Kita” yang ditulis Masuri pada tahun 1995 (dalam Suasana Senja, 2003:22):
3
Menurut Ismail Hussein pada “Kata Pengantar” kumpulan puisi Warna Suasana (1962:viii)
Tidak Tahu Kita Tidak tahu kita bila akan dicabut engsel pintu rumah seluruh bakal rubuh tubuh tanpa diduga rapuh
i-a a-u i-a i-a a-a i-a-u (1) e-e i-u u-a -u-u (2) a-a u-u u-u a-a i-u-a a-u (3)
Tidak tahu kita bakal dihapus tanda hidup seorang insan yang lemah tahu-tahu terbaring sendiri tengadah
i-a a-u i-a a-a i-a-u (4) a-a i-u -o-a i-a a -a (5) a-u a-u -a-i -i-i -a-a (6)
Makin memikir makin merasa fakir bila-bila detik kita akan terglincir tumbang tiarap tiada siapa yang hampir
a-i -i-i a-i -a-a a-i (7) i-a i-a -i i-a a-a -i-i (8) u-a i-a-a i-a-a i-a-a a a-i (9)
Mengerti begini ketika masih bernafas sedarnya diri biar tidak lekas-lekas berbuat mungkar sehingga di luar batas
--i -i-i -i-a a-i -a-a (10) -a-a i-i i-a i-a -a -a (11) -u-a u-a -i-a i u-a a-a (12)
Baris kesepuluh memperlihatkan bahwa bunyi vokal // digunakan dalam jumlah yang sama dengan bunyi vokal /i/ tetapi bunyi /i/ lebih memberikan nuansa kenyaringan yang dihasilkan dari proses ketegangan dan penyempitan alat ucap. Dalam bacaan saya jika kita bandingkan nuansa kenyaringan antara bunyi /u/ dan /a/ ketika membaca bait pertama puisi tersebut di atas, saya merasakan mendapatkan nuansa bunyi yang kaya dari bunyi /u/ meskipun dari segi jumlah bunyi /a/ digunakan lebih banyak daripada bunyi /u/, yakni, ada 12 kali bunyi /u/ dan 14 kali bunyi /a/ pada bait itu. Pada bait ketiga bunyi /i/ juga menunjukkan nuansa kenyaringan yang dominan dibandingkan dengan bunyi /a/ meskipun dari segi jumlah bunyi /a/ digunakan lebih sering, yakni, 18 kali, sementara bunyi /i/ sebanyak 15 kali. Kenyaringan yang dominan dimiliki oleh bunyi /i/ karena kekhususan ciri yang dimiliki yakni bunyi tinggi, sempit dan tegang, sementara bunyi /a/ jauh lebih rendah, kendur dan kurang tegang. Bunyi vokal bulat dan nyaring /u/ dan bunyi vokal rendah terbuka /a/ pada dua bait pertama dapat menggugah pembaca ketika puisi mulai dilantunkan. Pemanjangan kedua bunyi tersebut terasa lebih lembut, lebih indah, yang dapat membangun pengertian dan perenungan yang pada dasarnya mengajak pembaca mempertimbangkan dan merefleksikan kehidupan yang pada waktunya akan berakhir. Berbeda dengan bunyi /i/ pada dua bait berikutnya yang diucapkan dengan suara tajam, suram, kasar, tegas dan berat serta rasa keterdesakan yang menandakan kematian dan kehancuran yang tidak dapat diantisipasi. Bunyi semacam ini dapat pula ditafsirkan sebagai penegasan makna puisi yang menyiratkan kehidupan bersifat sementara dan bagaimana kita mengisinya merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mengingatkan diri kita supaya tetap hidup dengan norma-norma moral, agama dan sosial. Tafsiran seperti ini juga dapat diberikan pada bait ketiga dan keempat yang menyiratkan perasaan yang tajam dan tidak beruntung tetapi tidak perlu menyerah. Dalam puisi-puisi Masuri keselarasan bunyi menjadi penting bukan hanya untuk memenuhi paralelisme sepanjang baris dalam rentang horizontal tetapi juga mewarnai setiap baris dalam rentang vertikal. Pada puisi di atas kita dapat melihat bahwa rima akhir setiap baris selalu berkoda atau diakhiri konsonan tetapi konsonan-konsonan itu merupakan golongan seciri sehingga tercipta paralelisme. Perhatikan, misalnya, rima
akhir dari empat larik pertama yang memperlihatkan paralelisme –ut –uh -uh -us; yang diikuti oleh -ah –ah pada kata terakhir dari larik kelima dan keenam. Dua bait terakhir memperlihatkan bahwa kata-kata terakhir dari setiap larik secara berturut-turut berakhir dengan –ir -ir -ir pada bait kelima dan berakhir degan –as -as -as pada bait keenam. Seperti halnya bunyi vokal yang disebutkan di atas, kemunculan konsonan glotal frikatif /h/ juga dapat melambangkan keterjepitan. Konsonan frikatif /h/ dihasilkan oleh hembusan udara dari paru-paru yang bergerak melalui celah yang sangat sempit di kerongkongan. Dari aspek semiotik, bunyi-bunyi frikatif /h/ pada dua bait pertama itu merupakan penanda (signifier) terhadap makna puisi yang menyiratkan kehidupan di ambang kematian dan juga mengingatkan kita pada singkatnya kehidupan manusia. Hal itu tercermin dari penggunaan kata-kata “seluruh”, “rapuh”, “lemah”, dan “tengadah” yang berdampingan dengan bunyi geser tak bersuara /s/ dan plosif /t/ yang menyiratkan kematian dan kehancuran pada kata “dicabut” dan “dihapus.” Dalam karya-karya yang ditulisnya pada tahun 1950-an, Masuri juga menggunakan paralelisme horizontal dan vertikal untuk memberikan efek keindahan bunyi pada setiap larik, salah satunya terekam dalam puisinya yang berjudul “Satu Timbangan” (dalam Warna Suasana, 1962:50) beikut ini. Satu Timbangan UNTUK jemu sendiri melawan sunyi Untuk jemu sendiri melawan benchi Keberanian ini belum pernah terlukiskan Karena musim selamanya tidak mengizinkan. Untuk berjuang sendiri menyerah bakti Untuk bekerja sendiri mengharum bumi Keberanian ini telah mashur teriwayatkan Karena udara sentiasa penuh membenarkan.
Paralelisme dalam puisi merupakan skema rima dari bait pertama yang memberikan pengaruh gema pada bait kedua meskipun tidak cukup kuat. Bait kedua menggunakan skema rima yang berwujud ganda sehingga merupakan pergeseran irama dari bait pertama. Gaya ini memberikan putaran dialektikal pada isi puisi: ambisi pribadi dan keterasingan tidak diperkenankan oleh situasi (“tidak mengizinkan”) yang tercermin pada bait pertama. Hal ini berlawanan dengan kehendak untuk melayani setiap orang dalam masyarakat. Bentuk pengabdian semacam ini lebih banyak dibutuhkan (“udara senantiasa penuh membenarkan”) dan merupakan harapan puisi tersebut. Kita bisa melihat dari suku terakhir dari setiap kata yang mengakhir setiap larik: nyi (dalam sunyi larik pertama) bersesuaian dengan –chi (dalam “benchi” larik kedua), sementara akhiran –kan terjadi pada kata “terlukiskan” (larik ketiga) dan “mengizinkan” (larik keempat). Pola yang mirip juga diterapkan pada bait kedua: bunyi akhir –i dalam “bakti” (larik kelima) bersesuaian dengan bunyi akhir –i dalam “bumi” (larik keenam); akhiran -kan digunakan lagi secara berulang untuk kata “teriwayatkan” (larik ketujuh) dan kata “membenarkan” (larik kedelapan). Sebetulnya paralelisme terjadi tidak hanya dalam bentuk bunyi tetapi juga dalam jumlah suku kata yang dibawa oleh setiap kata. Kata terakhir dari larik pertama dan kedua pada kedua bait itu selalu terdiri dari dua suku
(su-nyi dan ben-chi), sementara kata terakhir dari baris ketiga dan keempat dari setiap bait selalu dibangun dari multi-suku (ter-lu-kis-kan dan me-ngi-zin-kan; te-ri-wa-yat-kan dan mem-be-nar-kan). Paralelisme juga terjadi dalam bentuk repetisi pada sebagian besar kata yang terjadi pada setiap larik pertama dan kedua di setiap bait: “Untuk jemu sendiri melawan sepi/Untuk jemu sendiri melawan benchi/; /untuk berjuang sendiri menyerah bakti/Untuk bekerja sendiri mengharum bumi”. Dalam hal kesesuaian bunyi pada rima akhir, seolah-olah puisi ini menggunakan sistem paralelisme bunyi bergaya syair. Meskipun peran keselarasan bunyi sangat menonjol dalam puisi-puisi Masuri 4 , dia tetap menampakkan dinamika ciri puisi moderen. Dinamika paralelisme yang dianutinya bukanlah bentuk lain dari pola bunyi pantun atau syair. Dalam pantun keselarasan rima akhir berpola rima silang (‘cross rhyme’) a-b a-b, sementara paralelisme bunyi syair berpola rima berpasangan (‘paired rhyme’) a-a a-a atau rima tertutup (‘closed rhyme’) a-a b-b. Di samping pola rima akhir yang ketat ini, pantun atau syair juga menggunakan pola suku kata dan jumlah kata yang sama dalam setiap lariknya. Sekali lagi puisi-puisi Masuri bukanlah pantun atau syair karena pola bunyi, pola suku, atau pola lariknya bersifat terbuka, sementara dalam pantun atau syair semua pola itu bersifat tertutup. Artinya, Masuri tidak menciptakan puisinya bermula dari aturan pola, melainkan pola itu muncul kemudian setelah puisi itu tercipta.
4
Lihat puisi-puisinya yang lain yang ditulis tahun 1950-an dalam Warna Suasana (1962); dan puisipuisinya yang diciptakan tahun 1990-an dan tahun 2000-an dalam Suasana Senja (2003).
3. Struktur Gramatika Puisi-puisi Masuri juga dibangun dari bentuk leksikal dan gramatikal yang memiliki pengkhususan dan kekuatan dari segi struktur dan makna sehingga dapat memberi kesan bagi pembaca bahwa karya-karyanya mengutamakan bahasa yang adab. Kepiawaiannya dalam meracik bahasa merupakan cerminan dari tingginya kemampuan dan perwujudan bahasa yang dalam dunia lingusitik transformasi masing-masing disebut sebagai ‘linguistic competence’ dan ‘linguistic performance’ (Chomsky 1965:4). Dari segi tipe leksikal puisi-puisi Masuri sangat kaya dengan kata dasar dan kata berimbuhan. Kata dasar merupakan kata yang bermakna sendiri tanpa didukung imbuhan, sementara kata berimbuhan merupakan kata turunan yang dibentuk dari kata dasar yang dilengkapi awalan atau akhiran. Kata gramatikal, di pihak lain, merupakan kata fungsional yang bermakna struktural ketika berada dalam satu bangun sintaksis. Kekhasan puisi-puisi Masuri juga terletak pada kemampuannya merangkai kata menjadi teks puisi, yang secara lingusitik, tidak ada perbedaannya dengan leksikogramatika yang digunakan dalam teks narasi. Namun, harus diakui bahwa puisi-puisinya bukanlah teks narasi karena ada perbedan yang tajam di antara keduanya. Dalam puisi pada umumnya (termasuk puisi-puisi Masuri) kata-kata dipilih dengan sangat selektif sehingga dapat membangun larik yang selaras dengan bait puisi. Di sini pendapat Bakhtin menjadi benar adanya bahwa “puisi merupakan bahasa yang disusun atau diatur secara berbeda” (1986: 133). Dalam teks narasi pilihan kata dan rangkaian kata dalam bentuk kalimat dibangun lebih bebas untuk mengembangkan paragraf. Di samping itu puisi-puisi Masuri dibangun dari kosa-kata yang diakrabi oleh masyarakat sehinga para pembaca tidak begitu mengalami kesulitan memahami maknanya, misalnya, ungkapan yang panjang dibangun dari kosa-kata berimbuhan atau berkonjungsi atau berpartikel atau berpreposisi akan mengungkapkan makna yang jelas. Contohnya, Masuri lebih memilih bentuk derivatif “bertenang” alih-alih bentuk dasar “tenang” dalam larik “begini bertenang bernama sikap terang/ dan /kembali bertenang dalam diri terus mengabdi” pada puisinya yang berjudul “Bertenang” (dalam Suasana Senja, 2003:124). Kata turunan “bertenang” dan bentuk dasar “tenang” secara semantik dan gramatikal keduanya berterima tetapi Masuri lebih memilih bentuk turunan alih-alih bentuk dasarnya. Pilihan itu didasari oleh pentingnya paralelisme bunyi yang dibawa oleh paralelisme suku pertama atau paralelisme afiks, yakni, be- ber- dan ber- dalam “begini bertenang bernama…”. Dalam hal semantik leksikal kata kerja “bertenang” dan “tenang” tidak memperlihatkan perbedaan yang signifkan kecuali ada perbedaan kecil dalam semantik gramatikal, yakni, bentuk turunan “bertenang” mengandung makna aktivitas yang volisional atau kegiatan yang disengaja, sementara kata dasar “tenang” merupakan suatu aktivitas yang dilakukan baik sengaja maupun tidak sengaja. Dalam tindakan volisional ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pelaku untuk melakukan kegiatan, sementara tindakan yang tak-volisional tidak memerlukan unsur kesengajaan dalam beraktivitas. Kata tugas seperti yang, dan, seperti, di, ke, dari, dalam, begini, ini, di mana, apakah, dengan, untuk, dll. digunakan sebagai perangkai antar-kata sehingga terbentuk satu struktur sintaksis yang lengkap dan jelas. Dalam puisi Masuri penghubung yang menjadi penting untuk memperjelas ungkapan, seperti yang diperlihatkan dalam “Surat” (dalam Suasana Senja 2003:144): Surat
Sudah dua pucuk surat kutulis kepada keluarga kuingin tahu apakah di sana ada orang-orang yang melarat seperti kita yang kehilangan kiblat […] (bersambung dengan 11 larik lagi) Pertanyaan yang bisa diajukan di sini adalah mengapa penulis menggunakan yang pada dua kalimat “ada orang-orang yang melarat” dan “seperti kita yang kehilangan kiblat”, padahal tanpa penggunaan yang kedua kalimat itu tetap berterima. Jawabannya tentunya tidak sangat sederhana. Apabila kedua kalimat tersebut tanpa dilengkapi yang maka terjadi perubahan struktur dan juga perubahan makna secara pragmatik. Dalam hal ini kalimat “ada orang-orang yang melarat” memiliki elemen penekanan pada unsur Topik yakni pada kata benda orang-orang dari frase nomina [orang-orang yang melarat]. Kategori yang di sini bukan semata-mata sebagai konjungsi, tetapi juga yang lebih penting adalah sebagai pronomina relatif. Sebagai pronomina relatif yang mengacu pada nomina inti yang langsung berada di depannya, dalam hal ini, kata benda reduplikatif orang-orang. Penjajaran nomina inti dan pronomina relatif merupakan penggandaan pesan yang bertujuan untuk memberikan penekanan pesan pada nomina inti. Sebaliknya, kalimat “ada orang-orang melarat” tidak menampakkan adanya unsur yang mendapat penekanan khusus karena hampir semua unsur mendapat perhatian yang sama. Analisis yang sama juga dapat diberlakukan pada kalimat “seperti kita yang kehilangan kiblat” yakni dengan penggunaan yang berarti pronomina inti kita perlu mendapat penekanan khusus. Tanpa yang kalimat “seperti kita kehilangan kiblat” akan menjadi kalimat netral tanpa pemokusan pragmatik. Dari aspek gramatikal, klausa “ada orang-orang yang melarat” mengandung dua klausa, yakni, klausa bebas ada orang-orang dan klausa terikat yang melarat sehingga subjek orang-orang terikat pada verba eksistensial ada, sementara pronomina relatif yang adalah subjek dari verba intransitif melarat tetapi secara semantik yang terikat pada nomina orang-orang. Analisis yang sama juga bisa diterapkan pada klausa “seperti kita yang kehilangan kiblat”, yakni, penggunaan yang dimaksudkan untuk memberikan penekanan pada subjek pronomina kita. Apabila yang tidak digunakan, klausa itu akan menjadi sebuah pernyataan biasa tanpa adanya fokus pragmatik. Dalam puisinya yang berjudul “Yang,” pembaca tidak akan mendapatkan gambaran makna leksikal melainkan makna gramatikal, yakni, yang adalah kata penghubung antarkata, antarafrase, antarklausa, dan antarkalimat. Dalam puisi itu, kata penghubung tersebut selalu digunakan untuk mengawali baris pertama setiap bait dan baris pertama itu merupakan kalimat inti dari rangkaian kalimat dalam satu bait. Perhatikan puisi “Yang” (dalam Suasana Senja, 2003: 83—84) berikut ini: Yang YANG diketengahkan cakap-cakap penderitaan
masa mengenang penderitaan berjela-jela melemaskan kerana merenung masa muka yang cemerlang sekarang terdiam dalam leka bersenang-senang Yang diketepikan soal hak dan kemanusiaan orang-orang kerdil yang merangkak-rangkak mengatur kehidupan di tengah belantara harta benda milik mereka yang berkuasa […] (bersambung dengan 3 bait lagi) Pesan yang ingin disampaikan dalam puisi ini adalah sebuah pernyataan agar kita tidak hanya menghibur diri dengan kejayaan masa lalu atau hanya memikirkan penderitaan dan kesulitan yang semuanya dapat mengarah pada keterasingan dari masyarakat. Dalam kaitannya dengan struktur sintaksis, selain sebagai kata penghubung, yang -- yang mengawali klausa – merupakan Subjek gramatikal dari klausa terikat. Kemampuannya menduduki fungsi Subjek disebabkan oleh kategorinya sebagai kata ganti relatif yang dapat menggantikan kata/frase benda yang ditempatkan pada baris kedua di setiap bait. Penempatan kata inti setelah klausa relatif merupakan suatu gaya pembalikan atau inversi dari kalimat ‘struktur batin’ menjadi kalimat ‘struktur lahir’ sehingga secara semantik-gramatikal pola “Diterangkan-Menerangkan” dalam ‘struktur batin’ ditransformasikan secara permutasi menjadi pola “Menerangkan-Diterangkan.” Jadi, dua baris pertama dari setiap bait puisi tersebut merupakan hasil transformasi pembalikan, misalnya, kalimat struktur lahir (1) “Yang diketengahkan/cakap-cakap penderitaan” (larik 1 dan 2) dan (2) “Yang diketepikan/ soal hak dan kemanusiaan” (larik 10 dan 11) ditransformasikan masing-masing dari kalimat ‘struktur batin’ (1’) Cakapcakap penderitaan diketengahkan dan (2) Soal hak dan kemanusiaan diketepikan. Pembalikan kalimat struktur batin menjadi kalimat struktur lahir tersebut diperlukan oleh pengarang untuk memberikan penekanan atau pemokusan pada unsur tindakan atau peristiwa--yang dalam kalimat tersebut berada pada fungsi predikat. Apabila kalimat struktur batin dipilih maka secara pragmatik kalimat itu hanya sebuah pernyataan datar tanpa adanya penekanan unsur tertentu. Inversi sintaksis ini dapat membantu pembaca mendapatkan pemahaman yang jelas tentang kontur tematik dari puisi. Mutu dan makna kata atau struktur linguistik secara stilistik diciptakan. Dengan cara demikian pengarang dapat mengedepankan sesuatu yang telah terpinggirkan (“yang diketepikan”) dan dewasa ini menjadi pilihan bahkan menjadi ambisi (“yang diketengahkan“). Gaya seperti ini merupakan pilihan yang cerdas, menunjukkan bagaimana Masuri secara linguistik mampu mengembangkan dan mempertegas makna melalui struktur sintaksis.
Strategi inversi merupakan bentuk gramatika yang biasa diterapkan dalam dunia sastra yang tujuannya tidak hanya memberi efek pragmatik, yakni, dengan terjadinya pemokusan pada unsur yang dikedepankan, tetapi juga membangun vitalitas teks. Vitalitas teks menjamin adanya bentuk-bentuk ungkapan yang bervariasi karena bahasa yang digunakan tidak hanya mengikuti pola gramatika tetapi juga pola pragmatik berupa pertimbangan konteks situasi, pembicara, dan prioritas informasi. Oleh karena itu, pola inversi menjamin bentuk ungkapan yang digunakan lebih dinamis dan “hidup” baik dari sudut pandang penulis/pembicara maupun dari sudut pembaca/pendengar. Tidak hanya Masuri, Chairil Anwar juga menggunakan bentuk inversi dalam puisi-puisinya sebagai salah satu perangkat untuk memperkuat nilai estetika dan kepadatan pesan puisinya, seperti diperlihatkan dalam beberapa larik puisi Chairil, antara lain: “ini barisan tak bergenderang-berpalu” larik kesembilan dalam puisinya bertajuk “Diponegoro,” “Menembus sudah caya/Udara tebal kabut/Kaca hitam lumut” bait pertama puisinya bertajuk “Ajakan” dan “Dihempaskannya pintu keras tak berhingga” baris keempat dalam puisi Chairil bertajuk “Pelarian” 5 Frase ini barisan merupakan bentuk inversi karena kata demonstratif ini dikedepankan mendahului nomina inti barisan yang diturunkan dari frase dasar barisan ini. Klausa Menembus sudah caya berpola P-S (Predikat-Subjek) jelas merupakan inversi karena pola itu diturunkan dari struktur dasar S-P sehingga klausa itu asalnya adalah Caya sudah menembus. Jadi, subjek dari klausa tersebut adalah nomina caya sedangkan predikatnya adalah sudah menembus. Klausa “Dihempaskannya pintu keras tak berhingga” juga merupakan bentuk inversi karena predikatnya dikedepankan menjadi pola P-S yang asalnya adalah S-P: Pintu dihempaskannya keras tak berhingga. Jadi, nomina pintu merupakan subjek sedangkan predikatnya adalah verba pasif dihempaskan, dan –nya sebagai pelaku, serta keras tak berhingga merupakan keterangan cara. Di samping bentuk inversi, pengarang juga sering memanfaatkan bentuk elipsis, yakni, adanya pelesapan unsur sintaksis atau adanya leksikal yang tidak dinyatakan secara tersurat. Kalau dalam bentuk inversi dimaksudkan untuk memberikan penekanan informasi pada unsur yang dikedepankan, dalam ellipsis, penghilangan unsur dilakukan karena informasinya sudah dapat dipahami sehingga kalau informasi itu dimunculkan lagi, maka akan mengganggu kelenturan bahasa. Dalam puisi, saya pikir, kalimat elipsis diperlukan agar larik tidak terlalu panjang dan pesan yang disampaikan efektif. Dengan elipsis berarti setiap leksikal yang ditampilkan sudah dapat mewakili makna secara utuh. Dalam puisi-puisi Masuri sebetulnya tidak banyak dijumpai kalimat elipsis kecuali dalam beberapa puisi yang dibangun dari larik-larik yang singkat, seperti puisi “Ada Satu Waktu” (dalam Suasana Senja 2003:105) berikut ini. Ada Satu Waktu Ada satu waktu kita berdiam-diam saja tidak mengemukakan bicara apa-apa; ketika ketahuan semua ternganga memutuskan lebih baik 5
Larik-larik puisi Chairil Anwar ini dikutif dari Budiman (2007:94, 96, 97)
menutup katup mulut dan suara. Dalam puisi tersebut di atas tidak setiap larik diisi oleh satu kalimat utuh; sebuah kalimat dapat saja dipilah ke dalam dua atau tiga larik. Pengarang di sini tampaknya menerapkan gaya “baris sambung” dengan menciptakan rasa kesinambungan yang berbeda dengan baris-baris yang diikuti tanda akhir (baris keempat dan kedelapan) yang menimbulkan jeda untuk menekankan pesan baik sebelum maupun sesudah tanda baca. Di sini jeda singkat pertama ditunjukkan oleh titik-koma (;) pada akhir baris keempat, menghentikan secara singkat puisi singkat tersebut. Jeda itu agak kuat mempertegas waktu ketika kita tetap terdiam karena takut berbicara atau menyatakan pendapat. Jeda panjang setelah titik-koma merefleksikan lamanya waktu kita saat terdiam tanpa berani berpendapat. Tanda titik bahkan lebih mempertegas jeda akhir puisi tersebut. Aksi diam yang direfleksikan dengan tanda baca tersebut dimaksudkan untuk menyadarkan kita bahwa kapan kita harus diam dan kapan harus berbicara. Janganlah kita mencari jalan mudah atau jalan pintas, misalnya, dengan tetap diam tanpa mempertanyakan atau menyatakan keberatan karena takut dipersalahkan. Larik ketiga dan keempat dibangun dari bagian-bagian kalimat; bagian subjek dan predikat “tidak mengemukakan” berada pada larik ketiga sementara bagian objek “bicara apa-apa” berada pada larik keempat. Namun, pronominal subjek kita yang mestinya dimunculkan pada larik ketiga tidak digunakan oleh pengarang. Ketidakhadiran subjek secara tersurat merupakan pilihan cerdas dari pengarang. Informasi subjek sudah dapat dipahami mengingat jaraknya sangat dekat dengan referennya yang berada pada larik sebelumnya. Elipsis kedua terjadi pada larik ketujuh “memutuskan lebih baik” yang kalau dilihat dari segi koherensi teks, klausa itu bersubjek pronominal kita yakni subjek yang sama dengan subjek klausa pada larik kedua. Jadi, kalau puisi tersebut tidak menggunakan elipsis, kedua kalimat tersebut akan lengkap menjadi /(kita) tidak mengemukakan/ dan /(kita) memutuskan lebih baik/ Penggunaan preposisi di dalam puisi-puisi Masuri juga merupakan ciri linguistik yang menarik, salah satunya diperlihatkan dalam puisi yang berjudul “Kalau Boleh” khususnya larik keenam (Suasana Senja, 2003:240). Puisi ini dapat diparafrasekan bahwa hak untuk bertindak bukan berada di tangan si aku (“Hanya hak untuk bertindak/bukan ditanganku”) dan bukan pula tangan si aku mampu mematahkan cabang yang kuat (“bukan ditanganku dapat mematahkan/dahan yang kuat”). Dengan kerendahan hati si aku menyatakan bahwa meskipun dia mampu melihat, merenungi dan memaparkan suatu peristiwa atau keadaan (“Seperti aku ini apalah/hanyalah pelihat/perenung dan pemapar”), tetapi keputusan dan hak bertindak bukan berada di tangannya. Kalau Boleh Kalau boleh sekarang ini juga kucabut akar yang menjadikan segalanya kusut dan berserabut. Hanya hak untuk bertindak bukan ditanganku dapat mematahkan
dahan yang kuat berat, batang yang liat. Seperti aku ini apalah hanya pelihat perenung dan pemapar riak dan ombak dalam masyarakat. Frase preposisi “ditanganku” berfungsi sintaksis sebagai adverbial lokatif yang ditandai oleh preposisi di seperti dalam kalimat “bukan ditanganku dapat mematahkan/ dahan yang kuat” (larik 6 dan 7). Dari segi relasi gramatikal, kalimat tersebut tidak memiliki subjek teraga (overt subject) yang dari segi peran semantik diisi oleh pelaku/aktor. Subjek pelaku dibutuhkan oleh verba tindakan mematahkan, sementara objek dari verba ini adalah penderita yang dikenai tindakan, dalam hal ini adalah frase nomina “dahan yang kuat” (larik 7). Dalam kalimat tersebut frase “ditanganku” bukanlah subjek pelaku melainkan lokasi berlangsungnya tindakan. Kekhasan preposisi di pada frase “ditanganku” terletak pada cara penulisannya yang dirangkai, seperti halnya penulisan bentuk verba pasif. Namun, tentunya Masuri tidak memperlakukan di pada frase itu sebagai awalan pasif. Dalam puisinya yang lain Masuri dengan jelas menuliskan preposisi di terpisah dari kata benda, seperti diperlihatkan dalam puisinya yang berjudul “Makin Mengecil” (Suasana Senja, 2003:32) pada “Di jagat raya” (baris 1), “di atas roda-roda” (baris 9), dan “di balik timbunan” (baris 14). Cara penulisan tentunya dapat mempengaruhi cara pengucapannya, yakni, apabila di ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya maka pengucapannya tentunya ditandai dengan jeda yang sangat singkat antara di dan kata yang mengikutinya; apabila penulisan di secara tersambung dengan kata yang mengikutinya maka tidak ada jeda di antara di dan kata tersebut. Jadi, perbedaan penulisan preposisi di tidak dapat mengubah makna gramatikal dari di tersebut, yakni, preposisi di tetap bermakna lokatif, meskipun ditulis seperti awalan pasif di-. Perbedaan yang diinginkan oleh pengarang tampaknya menyangkut perbedaan jeda bunyi yang dianggap dapat memberi pengaruh pada irama sebuah puisi ketika diucapkan. Pemendekan kata dalam puisi umumnya dilakukan dengan memenggal salah satu segmen bunyi atau menghilangkan salah satu suku kata. Dalam puisi Masuri di atas, pemendekan kata dilakukan dengan menghilangkan jeda bunyi sehingga ketika diucapkan sebuah kata memerlukan tempo yang lebih singkat sesuai dengan tuntutan irama dalam baris atau bait. Dalam karya-karya sastrawan yang lain juga ditemukan bentuk pemendekan kata, tetapi perbedaannya adalah pemendekan itu dilakukan dengan melesapkan sebuah fonem atau suku kata, misalnya, dalam puisi Sutan Takdir Alisjahbana yang berjudul “DALAM GELOMBANG” kata samudera ditulis “samud’ra”, kata bahagia ditulis “bah’gia”, dan kata irama ditulis “ ‘rama.” Pemendekan seperti ini juga dapat ditemukan dalam puisi Chairil Anwar, misalnya, kata Aku ditulis “‘Ku” (dalam puisi berjudul “Aku”), kata ketika ditulis “‘tika” dan kata akan ditulis “‘kan“ (dalam puisi berjudul “Kepada Kawan”) (cf. Pradopo, 1987: 95, 101).
4. Kata Tugas sebagai Judul Puisi Masuri tidak hanya menggunakan kata-kata tugas sebagai bagian kalimat dari baris-baris puisinya, dia juga menjadikannya judul puisi. Menurut pengamatan saya terhadap dua buku kumpulan puisinya, saya menemukan 7 judul diisi oleh kata tugas dari 209 puisi dalam buku Suasana Senja, sementara hanya 1 judul dengan kata tugas dari 91 puisi dalam buku Warna Suasana. Ketujuh judul dengan kata tugas tersebut adalah puisi yang berjudul “Berapa” (h.45), “Bukan Begitu” (h. 57), “Seperti” (h. 66), “Yang” (h. 83—84), “Begini Sekarang” (h.222), “Sesungguhnya” (h. 225), “Kalau Boleh” (h.240) dan 1 judul dalam buku Warna Senja adalah “Boleh Jadi” (h. 3). Biasanya judul-judul puisi Masuri diulang sebagai bagian dari larik dan repetisi semacam ini terjadi tidak hanya pada judul yang diisi oleh kata tugas tetapi juga kata leksikal. Penggunaan kata tugas sebagai judul dimaksudkan untuk memberi kesan bahwa isi sebuah teks tidak bisa hanya ditafsirkan dari judul. Pesan terpenting terdapat pada teks itu sendiri. Judul (dari kata tugas) hanya digunakan sebagai modifikator dari unsur inti yang tertera pada badan teks; judul itu tidak merepresentasikan pesan suatu teks. Berikut adalah puisi “Seperti” yang menggunakan kata tugas sebagai judul (dalam Suasana Senja 2003: 66). Seperti Seperti cita-cita yang melonjak dari dada remaja yang baru berkepak ; seperti semangat yang meluap-luap dari perwira yang ingin berjuang ; seperti gadis yang menerawang membayangkan bakal menemukan pemuda idaman; seperti renungan pujangga yang ingin membuahkan keindahan dan kebenaran (Bersambung dengan 10 larik lagi) Kata tugas “seperti” memainkan peran pivotal khususnya menyangkut bagaimana kemiripan antara sesuatu yang dilambangkan (signified) diungkapkan dengan cara lain (signifier) yang keduanya merupakan penguatan secara tematis dan linguistis dari puisi dengan perangkat repetisi. Dalam hal ini kata tugas “seperti” tidak semata-mata berfungsi sebagai pemarkah simile, tetapi juga merangkaikan vitalitas citra kemurnian (idealisme kaum muda, romantisme kaum paruh baya, transendalisme kontemplasi puisi). Lebih penting lagi, kata tugas itu menekankan rasa kemiripan yang kuat antara semangat yang tidak terkendali dan keluguan, yang ditekankan melalui repetisi.
5. Kuatnya Repetisi Repetisi merupakan pengulangan bentuk bahasa yang terjadi pada teks. Bentuk bahasa yang diulang itu meliputi kata, frase, klausa, atau kalimat. Pengulangan dilakukan untuk mendapatkan keindahan bunyi, penegasan makna, dan dampak persuasif. Sebuah
bentuk bahasa yang berulang berarti pula tampilnya bunyi-bunyi bahasa yang sama dan ini dapat memberikan pengaruh keselarasan dan kesinambungan bunyi dalam tempo tertentu. Sebuah bentuk bahasa yang berulang berarti berulangnya pesan yang disampaikan sehingga pesan tersebut mendapat perhatian dari pendengar atau pembaca. Di samping itu, repetisi juga memiliki kekuatan persuasif karena pesan yang disampaikan secara berulang diyakini sebagai pesan yang harus mendapat perhatian utama. Dalam karya-karya Masuri, khususnya dalam dua buku kumpulan puisinya, gaya repetisi merupakan salah satu cirinya yang menonjol. Pemunculan repetisi dalam karyanya itu dapat dibedakan atas: repetisi dari judul dan repetisi bukan dari judul. Perulangan atau repetisi dimaksudkan oleh pengarangnya untuk mengintensifkan dan mempertegas makna kata yang diulang untuk menarik perhatian pembaca.Tingkat kekerapan bentuk yang diulang dalam puisinya terjadi secara beragam bergantung pada kebutuhan pengarangnya. Sebagian besar puisinya yang berisi repetisi hanya mengulang dua sampai empat kali bentuk yang sama dengan posisi yang sangat bebas. Artinya, sebuah judul dapat saja diulang hanya pada baris pertama atau baris terakhir atau pengulangan dapat terjadi dalam dua atau empat baris secara berurutan atau dapat pula terjadi pada setiap baris pertama dari setiap bait. Namun, dari dua buku kumpulan puisi tersebut saya hanya mendapatkan satu puisi yang memiliki jumlah repetisi yang banyak, yakni, adanya pengulangan kelompok kata yang sama pada empat baris dari bait pertama dan kelompok kata yang sama juga diulang pada empat baris dari bait ketiga. Berikut adalah puisi yang dimaksudkan (dalam Suasana Senja 2003:85). Suatu Waktu Suatu waktu kita ke sungai suatu waktu kita ke lautan suatu waktu kita ke danau suatu waktu kita ke langit membesarkan niat menggemakan hajat menyemarakkan keupayaan yang terbatas oleh ketiadaan kekuatan yang menggempal; suatu waktu kita membisu pada hujan suatu waktu kita merayu pada taufan suatu waktu kita merindu pada bulan suatu waktu kita mengadu pada matahari : kita menjadi kenal diri hidup ini bukan untuk dikekali. Dalam puisi “Suatu Waktu” di atas kita tidak hanya melihat repetisi berupa perulangan penuh kelompok kata sehingga membawa keindahan irama dan keselarasan bunyi, tetapi terdapat juga kolokasi, yakni, digunakan sekelompok kata yang memiliki keterkaitan makna. Dalam puisi tersebut, kata benda sungai, lautan, danau dan langit, yang mengakhiri setiap larik bait pertama, mengacu pada air (sungai, lautan, danau) dan asal air (langit) itu sendiri. Begitu pula kolokasi hujan, taufan, bulan, dan matahari yang
mengakhiri setiap larik bait ketiga, mengacu pada keterkaitan makna ‘hujan dan siklusnya.’ Sacara metaforis, repetisi “suatu waktu ... ” pada bait pertama yang diikuti oleh kolokasi (sungai, lautan, danau, langit) bersesuaian dengan makna akumulasi, konsolidasi, keinginan atau usaha (niat, hajat, keupayaan, menggempal) yang tersirat dari siklus air. Di samping kolokasi kata benda, pada bait kedua terjadi pula kolokasi kata kerja membesarkan, menggemakan dan menyemarakkan yang memiliki keterkaitan makna ‘memberdayakan.’ Perlu diingat pula bahwa ketiga kata kerja ini menggunakan pemarkah morfologis yang sama: me-kan. Repetisi me-kan ini memiliki makna gramatikal kausatif, yakni, ‘menjadikan.’ Kolokasi berikutnya menyiratkan kepasrahan pada perjalanan waktu, kepasrahan pada keadaan yang berubah-ubah (hujan, taufan, bulan) yang diperkuat oleh kata-kata membisu, merayu, merindu, dan mengadu. Sementara itu, dalam hal keselarasan bunyi keempat kata kerja ini dimerdukan oleh kombinasi bunyi /u/, kesamaan jumlah suku dan repetisi awalan /me-/. Vokal bulat tinggi /u/ yang lembut dan diucapkan dengan pemanjangan melambangkan kepasrahan dan penyerahan diri. Dalam puisi-puisinya yang lain yang ada repetisinya, bentuk yang diulang adalah bentuk sebuah kata atau kelompok kata dan bukan merupakan bentuk yang diambil dari judul. Contoh puisi berikut adalah salah satunya (dalam Warna Suasana 1962:31) Sandiwara Satu Babak Beri nama Beri harta Lihat satu drama menyéntak Lupa sekali pada tujuan asal bergerak. Beri derita Beri sengsara Lihat satu trajedi membuak Ingat sedih pada mula tempat berpijak. Repetisi dalam puisi ini mengedepankan bentuk putaran secara tiba-tiba pada "sandiwara". Kekontrasan dramatik ditandai secara sekilas oleh pemarkah peralihan pendek yang dihasilkan dari repetisi sebuah kata kerja dasar "beri" pada kedua bait puisi pendek itu. Sementara itu nama baik dan kemakmuran mengalihkan perhatian para pegiat dari misi ("tujuan asal bergerak") di bait pertama. ‘Pemberian’ kesedihan dan penderitaan ("Beri derita/beri sengsara") menambah elemen tragedi pada sandiwara satu babak yang bertema komedi-tragis. Seperti dikatakan Bakhtin (1986 :72) bahwa "setiap jawaban, tanpa memandang seberapa singkat, memiliki kualitas penyelesaian spesifik dalam mengungkapkan suatu posisi yang khusus [...]". Dalam hal ini, penyelesaian dijadikan bukti melalui perulangan singkat dari kata kerja "beri." Kekuatan dari pernyataan "Beri nama/Beri harta ... " menjadikan kita lupa dengan hambatan yang sebenarnya; "Beri derita/Beri sengsara" dan kita akan melihat tragedi dari gawatnya keadaan. Jadi, repetisi semacam ini dapat menekankan padatnya pesan sebuah puisi.
Dari 209 puisi yang termuat dalam kumpulan Suasana Senja sebanyak 95 puisi mengandung repetisi, sementara dalam kumpulan puisi Warna Suasana terdapat 91 puisi dan 33 daripadanya merupakan puisi yang berisi repetisi. Jika dilihat dari perbedaan repetisi dari judul dan repetisi bukan dari judul, maka dari 95 puisi yang berepetisi, 77 daripadanya merupakan repetisi judul, dan 18 puisi berepetisi bukan dari judul. Sementara itu, dalam kumpulan Warna Suasana dari 40 puisi yang berrepetsi, 17 daripadanya merupakan puisi dengan repetisi yang diulang dari judul dan 23 puisi dengan repetisi bukan dari judul. Selain itu ada juga satu puisi (baik dari kumpulan Suasana Senja maupun Warna Suasana) yang berisi gabungan bentuk repetisi dari judul dan bentuk repetisi bukan dari judul. Puisi yang dimaksud adalah puisi yang berjudul "Berkata-Kata Kepada Dirimu" (Suasana Senja 2003 :150) dan "Suburnya Bumi Kami" (Warna Suasana 1962 :35).
6. Puisi-puisi Bergaya Kias dan Bergaya Lugas Salah satu kelebihan puisi-puisi Masuri adalah adanya berbagai gaya pengungkapan bahasa. Dalam kumpulan Suasana Senja, kita dapat menemukan puisipuisi yang sangat abstrak yang dipenuhi dengan bahasa kias, juga puisi-puisi yang dibangun dari paduan bahasa konotatif dan denotatif, atau puisi-puisi yang sangat realis yang dipenuhi oleh kosa-kata lugas dan jelas sehingga penikmat atau pembaca tidak bersusah payah menapsirkan maknanya. Sebelum pembicaraan sampai pada puisi-puisi Masuri yang bergaya lugas atau puisi yang sedikit sekali dibangun oleh bahasa figuratif, terlebih dahulu akan disinggung puisi-puisi yang bergaya kiasan atau berbahasa figuratif. Bahasa figuratif merupakan ungkapan yang berisi bentuk kiasan. Ungkapan metaforis dan personofikasi merupakan dua bentuk bahasa figuratif yang umum dijumpai dalam puisi atau prosa. Ungkapan metaforis merupakan bentuk gramatikal yang mengandung dua pernyataan atau proposisi, yakni pokok (topic) dan sebutan (comment). Antara pokok dan sebutan memiliki hubungan perbandingan; unsur pembandingnya (yang berada pada sebutan) diisi oleh bentuk kiasan yang secara semantik harus mencitrakan kemiripan ciri dengan unsur yang dibandingkan (Larson, 1984 :271—273). Dari segi hubungan perbandingan, ada kemiripan antara metafora dan simile, tetapi dalam simile digunakan bentuk partikel untuk menghubungkan pokok dan sebutan. Misalnya, salah satu ungkapan metaforis dalam sajak Chairil Anwar ˝Aku ini binatang jalang˝ dapat dianalisis : Pokok : ˝aku ini˝ Sebutan atau Citra : ˝binatang jalang˝ Kemiripan ciri : si aku berperilaku seperti perilaku binantang buas. Bentuk metafora di atas dapat dengan mudah diubah menjadi simile dengan menambahkan partikel seperti yang ditempatkan di antara pokok dan sebutan sehingga menjadi ˝aku ini seperti binatang jalang.˝ Jadi, bentuk simile lebih tersurat daipada bentuk metafora tetapi keduanya berfungsi sama yakni menyatakan hubungan perbandingan. Namun, kenyataannya dalam puisi baik pokok maupun sebutan (salah satunya atau keduanya) dapat merupakan bentuk metafora atau kiasan. Misalnya, dalam puisi
Masuri yang berjudul “Banyak Gambar-Gambar” (Suasana Senja 2003: 130) larik pertama dan kedua dimulai dengan “Banyak gambar-gambar/berlalu, bertukar, beredar”. Larik pertama merupakan pokok yang metaforis karena nomina “gambar-gambar” adalah suatu kiasan yang bisa ditafsirkan sebagai rekam jejak kehidupan seorang tokoh dalam puisi, sementara unsur sebutan (larik kedua) diisi oleh kata kerja yang bermakna sebenarnya atau bermakna denotatif yang tidak memerlukan interpretasi karena maknanya sudah jelas. Dalam personifikasi, unsur terbanding atau pokok dibandingkan dengan makhluk bernyawa. Dalam hal ini personifikasi bisa disebut sebagai personifikasi metaforis. Salah satu contoh ungkapan yang termasuk dalam kategori ini diambil dari puisi Masuri berjudul “Rintik-Rintik Sore” (Suasana Senja 2003: 140) pada dua larik “Rintik-rintik sore/mengusapi dunia dan kesepian”. Kedua larik tersebut merupakan satu kalimat transitif dengan Subjek atau Pokok adalah rintik-rintik sore dan Sebutan diisi oleh gabungan antara Predikat mengusapi dan Objek dunia dan kesepian. Dalam hubungan dengan personifikasi, perhatian dipusatkan pada kata kerja mengusapi. Kata ini secara semantik merupakan kata kerja tindakan yakni suatu kegiatan dilakukan secara sengaja dan dengan kesadaran penuh. Kekuatan kata kerja ini tidak hanya pada makna leksikalnya yang berarti ‘menghapus’ atau ‘menyeka’ tetapi juga kekuatan makna gramatikalnya dengan digunakannya sufiks aplikatif –i. Sufiks ini menegaskan makna bahwa dampak tindakan yang ditimbulkan pada nomina Objek jauh lebih khusus dan tegas daripada kata kerja tersebut tanpa sifiks –i. Kata kerja mengusapi memiliki derajat ketransitifan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mengusap menyangkut seberapa efektif tindakan itu mengenai sasaran. Hopper and Thompson (1980:252) mengajukan 10 parameter untuk mengukur derajat ketransitifan semacam ini, tetapi untuk kedua kata kerja itu saya hanya menggunakan lima parameter yang relevan yakni (i) tindakan telik (telic) penuh vs tindakan telik sebagian, yakni apakah tindakan itu mengenai sasaran secara penuh atau sebagian: mengusapi lebih telik daripada mengusap; (ii) kepungtualan yakni suatu tindakan berlangsung dengan ada atau tidak adanya transisi: mengusapi lebih pungtual daripda mengusap; (iii) kesengajaan yakni apakah suatu tindakan itu dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja: mengusapi dilakukan selalu dengan kesengajaan tetapi mengusap bisa dilakukan tanpa sengaja; (iv) realis vs irealis yakni suatu tindakan yang nyata atau tidak nyata: mengusapi merupakan tindakan nyata, sementara mengusap dapat dilakukan secara tidak nyata; (v) efektivitas tindakan terhadap sasaran, yakni seberapa efektif tindakan itu mengenai sasaran: mengusapi menghasilkan tindakan yang lebih efektif daripada mengusap. Jadi, kata kerja mengusapi memenuhi kelima ciri itu secara penuh, sementara kata mengusap hanya memenuhi kelima parameter itu secara tidak penuh. Kekhususan bentuk, fungsi dan makna inilah yang menempatkan kata mengusapi memiliki kekuatan puitis melebihi kata mengusap yang hanya merupakan kosa-kata yang datar dan umum. Dengan tingginya unsur tindakan yang diarahkan secara sengaja pada sasaran maka pelaku tindakan itu bukanlah benda mati. Namun, dalam puisi di atas pelakunya adalah benda mati sementara verba tindakan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh benda bernyawa. Di sinilah terjadinya personifikasi yakni Rintik-rintik sore dikiaskan sebagai mahluk bernyawa yang dapat melakukan tindakan secara sengaja atau volitional dalam verba mengusapi.
Puisi yang bertajuk “Rintik-Rintik Sore” merupakan sebuah puisi yang ditampilkan dalam satu bait panjang. Namun, jika kita menggunakan prinsip bentukan paragraf, maka sebetulnya puisi itu dapat dipilah menjadi tiga bait mengingat puisi tersebut menyuguhkan tiga pikiran utama yang masing-masing dikembangkan dengan satuan-satuan intonasi yang menempati baris-baris yang diinginkan. Satuan intonasi dalam puisi menempati satu baris puisi dan satuan intonasi yang satu dengan yang lainnya memiliki kepaduan semantik. Jadi, satu satuan intonasi dalam satu bangun sintaksis dapat berupa frase, kelompok kata, klausa, atau kalimat. Dalam puisi “RintikRintik Sore” setiap pikiran utama dimulai dengan satuan intonasi yang berbentuk kiasan yang berfungsi sebagai topik dan diikuti oleh 5 atau 7 satuan intonasi lain yang berfungsi sebagai penjelas atau pengembang. Perbedaan antara satuan intonasi topik dan satuan intonasi pengembang terletak pada pilihan bentuk bahasa, yakni, satuan intonasi topik dibangun dengan bentuk konotatif sementara satuan intonasi pengembang diciptakan dalam bentuk denotatif. Perhatikan puisi tersebut yang ditampilkan secara utuh berikut ini. Rintik-Rintik Sore Rintik-rintik sore mengusapi dunia dan kesepian pengertian mengajak orang berfikiran mengapa berjatuhan tiada siapa dapat menahankan. Kelabu yang menutup degup jantung yang menguncup mulai mengertikan nafas sendiri menjadi perhitungan; orang yang bergelak mulai memikirkan kita bakal ternganga kehabisan nafas dan udara. Udara berbara mendatangi melingkari baru sendiri-sendiri berfikir dan mengerti kebeginian bukan urusan manusia yang membumi yang kehilangan makna dan dasarnya sebuah dunia. Makna puisi tersebut dapat ditafsirkan seperti berikut. Ungkapan perasaan dan pikiran seseorang baik yang terbuka maupun tersembunyi ("Rintik-rintik sore/mengusapi dunia dan kesepian") dapat mereda bersamaan dengan menurunnya kekuatan fisik ("Kelabu yang menutup/degup jantung yahng menguncup"). Pada akhirnya kekuatan itu akan menghilang bersamaan dengan berakhirnya kehidupan ("kahabisan nafas dan
udara"). Jiwanya tanpa bantuan orang lain ("baru sendiri-sendiri") akan menghadapi sebuah kekuatan ("Udara berbara") yang menentukan nasibnya terutama ketika mereka menyia-nyiakan hidupnya di dunia ("kebeginian bukan urusan/manusia yang membumi/yang kehilangan makna dan/dasarnya sebuah dunia"). Di samping puisi-puisi yang dibangun dari perpaduan antara bentuk konotatif dan denotatif seperti puisi “Rintik-Rintik Sore”, dalam kumpulan Suasana Senja, kita juga menemukan sejumlah puisi yang hampir seluruh kosa-katanya dibangun dari bahasa kias dan sejumlah puisi yang dibangun dari bahasa lugas. Pembicaraan berikut dimulai dari puisi yang seluruh kosa-katanya dibangun dari bahasa kias dan dilanjutkan dengan puisi berbahasa lugas. Puisi yang berjudul “Rahsia Alam” (Suasana Senja 2003: 82) berikut seluruh kosa-katanya merupakan bentuk kiasan. Rahsia Alam Ombak besar bergunung-gunung mengejar-ngejar bibir pantai tak kenal – apakah ada badai apakah ada kapal yang tersadai ketika hujan membasah menurunkan air melimpahi laut yang memang terus berzikir; ke mana suara-suara serak yang sedang kedahagaan di padang pasir? Puisi ini adalah sebuah puisi allegoris yang merupakan lukisan peristiwa alam yang dimanfaatkan untuk mengiaskan pesan yang sebenarnya. Parafrase lukisan alam itu adalah sebuah pantai yang membatasi antara laut dan padang pasir. Ombak besar dari laut itu secara terus menerus membasahi tepi pantai tanpa memperdulikan badai atau kapal yang terdampar. Ketika ada hujan yang turun secara melimpah di laut, mestinya mereka yang merasa kehausan di padang pasir tidak menjauhkan diri dari air yang melimpah. Lukisan alam itu disampaikan dengan sangat nyata seolah-olah sebuah lukisan di atas kanvas dengan warna dan geraknya yang alami. Di samping itu, sebagai sebuah puisi, rangkaian katanya menggemakan keindahan bunyi vokalik dan konsonantal baik intra-larik maupun antar-larik. Kemerduan itu tertata mulai baris pertama sampai baris terakhir. Pada baris pertama terjadi paralelisme suku dengan konsonan awal yang sama – bak be- ber- dalam "Ombak besar bergunung-gunung" dan paralelisme bunyi melalui perulangan kata dasar gunung-gunung ; pada baris kedua terjadi paralelisme suku yang mengandung bunyi nasal dan vokal yang sama /me-/ /nge-/ /nge-/ dan /jar/ /jar/ serta /bi/ /bi/ dalam "mengejar-ngejar bibir pantai"; pada baris ketiga dan keempat terjadi aliterasi /k/ /k/ /k dan /k/ /k/ dan asonansi /a/ /a/ /a/ /a/ /a/ /a/ /a/ /a/ /a/. Antara larik kelima, keenam dan ketujuh terjadi paralelisme bunyi dan paralelisme semantik: paralelisme bunyi nasal yang disertai vokal, yakni, /mem- / /men-/ dan /me-/ masing-masing terjadi pada larik tersebut, sementara paralelisme semantik terjadi pada "...hujan membasah/ /menurunkan air/ /melimpahi... " yang ketiganya bermakna ‘air hujan turun.’ Bagian
terakhir, yakni, dari baris kedelapan sampai dengan baris kesebelas, aliterasi /s/ terjadi di antara larik. Selain itu, puisi tersebut juga dimerdukan oleh rima akhir /ai/ /ai/ /ai/ pada baris kedua, ketiga dan keempat; rima akhir /ir/ /ir/ /ir/ pada baris keenam, kedelapan, dan kesebelas. Jadi, keindahan puisi tersebut terletak tidak hanya pada makna kiasnya tetapi juga pada tata bunyi. Peristiwa metaforis di atas memerlukan penapsiran yang tidak mudah untuk mendapatkan pesan yang sebenarnya dari pengarang. Dalam penapsiran makna, ketaksaan tapsiran tidak dapat dihindari. Salah satu tapsiran pesan yang mungkin dapat ditawarkan untuk puisi tersebut adalah manusia selalu akan berhadapan dengan tantangan tetapi tantangan itu menjadi berkah apabila orang mempunyai kesabaran dan jiwa pengabdian. Di pihak lain ada sejumlah puisi Masuri yang berbahasa lugas yakni teks puisi yang dibangun dari kosa-kata yang bermakna sebenarnya. Puisi semacam ini tidak memerlukan bentuk kiasan atau kata-kata metaforis untuk menyampaikan pesannya, melainkan teks yang dibangun dari kata-kata denotatif yang tidak memerlukan penapsiran rumit untuk memahami maknanya. Hanya sebagian kecil puisi berbahasa lugas atau tanpa bahasa figuratif dijumpai dalam karya-karya Masuri, terutama dalam kumpulan Suasana Senja. Dari 209 puisi yang terkumpul dalam buku itu, hanya 15 puisi yang lebih banyak dibangun dari bentuk bahasa lugas atau sedikit sekali mengandung bahasa figuratif. Kelima belas puisi itu disampaikan dengan bahasa yang “tidak berkulit” sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami maknanya. Judul-judul puisi tersebut disajikan berikut ini. 1. Bukan Begitu
6. Masjidku Rumahku
2. Doa
7. Tuhanku
3. Sekuntum Senyum (buat teman seperjuangan Usman Awang) 4. Penyair Tidak Mencipta Apa-apa 5. Umur Tujuh Puluh
8. Ya Rabbi
9. Sesungguhnya Tidak Ada Jalan 10. Tutup Tahun
11. Untuk Anak-Anak Yang Kucintai 12. Aku Tak Tulis Lain Dari Puisi 13. Memoir
14. Menulis Sajak 15. Bertaubat
Kelima belas puisi tersebut dapat dipilah menjadi 4 tema, yakni (i) tugas dan kewajiban seorang penyair, (ii) mengagungkan nama Tuhan (dalam doa, syukur dan amal baik), (iii) hubungan khusus dengan orang terdekat (dengan anak-anaknya atau dengan teman seperjuangannya), dan (iv) kenangan sejarah dua perang dunia dan penjajahan Jepang di Singapura. Keempat tema tersebut sesungguhnya merupakan ungkapan perasaan pribadi si aku yang secara khusus disampaikan sebagai catatan sejarah atau disampaikan kepada Tuhan, keluarga, dan teman seperjuangannya. Sebuah catatan pribadi atau ungkapan perasaan kepada keluarga atau teman memang lebih tepat disampaikan dengan bahasa yang lugas sehingga mitra bicara dapat dengan mudah memahami maksud si pembicara. Gaya lugas itu juga penting bagi anak-anak usia sekolah untuk mendorong mereka mencintai puisi. Apabila mereka dapat dengan mudah
memahami pesan dari puisi maka akan tumbuh kecintaan mereka untuk berapresiasi atau berkarya. Berbeda halnya kalau teks itu disampaikan kepada masyarakat yang berlatar belakang beragam. Dalam situasi seperti ini teks puisi harus mampu berfungsi seperti ˝lingua franca˝ yakni sebuah teks dengan bahasa yang dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Ragam yang paling tepat dipilih adalah ragam cendekia yang figuratif sehingga sebuah pesan mulia harus dapat dikemas dengan nuansa keindahan. Ibaratnya sebuah lukisan yang indah menjadi lebih indah kalau dibingkai dengan figura yang indah pula. Berikut adalah puisi "Menulis Sajak" (Suasana Senja, 2003 :209), salah satu contoh puisi yang bergaya bahasa lugas : Menulis Sajak Sudah menjadi kebiasaanku menulis sajak sekali duduk selepas sembahyang subuh itu kerjaku apakah mutunya bukan urusanku hatiku tumpah niatku tersurah seluruh diriku lega setelah selesai mengucapkan suara batin yang mengelepar-lepar sejak malam tadi minta dibebaskan. Meskipun puisi di atas dibangun dari kosa-kata lugas, tetapi pengarang memilih kosa-kata itu dengan cermat sehingga rangkaian katanya membawa pesan yang sangat berharga dan mempunyai rangkaian bunyi yang indah. Pengalaman seorang penyair saat menciptakan puisinya penting untuk diketahui oleh masyarakat karena sesungguhnya profesi penyair bukanlah pekerjaan sambil lalu. Dia membutuhkan dedikasi dan kesungguhan dan harus dikerjakan mulai dari perenungan, penghayatan dan penulisan yang tidak mengenal waktu baik malam hari maupun ketika subuh. Dari 36 kata yang digunakan untuk membangun puisi tersebut, hanya dua ungkapan yang merupakan personifikasi-metaforis, yakni kata kerja berulang-sebagian mengelepar-mengelepar dalam larik “yang mengelepar-lepar” dan frase verba “minta dibebaskan”.Verba mengelepar-lepar dan minta dibebaskan keduanya bermakna tindakan yang dilakukan oleh mahluk bernyawa, sementara dalam puisi tersebut suara batin (sebagai Subjek dari kata kerja itu) merupakan benda tidak bernyawa. Jadi, kedua verba tersebut dapat diparafrasekan menjadi suara batin yang mengelepar-lepar minta dibebaskan dapat ditapsirkan semacam 'ungkapan perasaan yang harus dimunculkan
dengan segera.' Verba mengelepar-lepar dan dibebaskan keduanya mengeraskan arti kata bergerak-gerak dan dikeluarkan, hanya saja kedua verba pertama mengandung nilai rasa subjektif, sementara kedua verba kedua bermakna netral. Keindahan tata bunyi puisi tersebut terlihat dari menonjolnya asonansi bunyi /u/ baik intra-larik maupun antar-larik. Asonansi bunyi /u/ itu sangat terasa mengingat jarak antara bunyi /u/ yang satu dengan bunyi /u/ yang lain cukup berdekatan. Di samping asonansi, puisi tersebut juga diperkaya dengan aliterasi: aliterasi /s/ baik intra-larik maupun antar-larik kesatu, kedua, ketiga dan keempat; aliterasi /k/ antar-larik kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan dan kesepuluh; aliterasi /s/ dan /l/ intra-larik dan antar-larik kesepuluh dan kesebelas; dan aliterasi /m/ antar-larik kedua belas, ketiga belas, keempat belas dan kelima belas. Asonansi dan aliterasi terjadi antar-kata yang berdekatan sehingga citra dan irama bunyi menjadi menonjol. Kedekatannya dimungkinkan karena jumlah kata dalam setiap larik berkisar antara dua sampai tiga kata saja. Dari segi struktur sintaksis, puisi tersebut di atas memiliki cirinya sendiri sebagai sebuah puisi yang kaya dengan variasi struktur. Kekayaan struktur itu terlihat dari kecermatan pengarang untuk memilih pola sintaksis dan kosa-kata yang sangat diperlukan saja. Struktur dan kosa-kata yang sudah dipahami oleh pembaca cenderung tidak dimunculkan dalam teksnya karena akan mengganggu mutu dan keindahan puisinya. Misalnya, pengarang tidak menggunakan Subjek atau konjungsi secara tersurat karena --dari struktur dan kosa-kata yang dipilihnya – maknanya sudah dapat dipahami, seperti larik kedua "menulis sajak" yang sebetulnya bisa ditulis "ketika aku menulis sajak". Jadi, dalam puisi berlarik padat ini, teknik elipsis memegang peran sangat penting untuk memampatkan pesan 10. Simpulan Puisi-puisi Masuri dalam dua kumpulan: Suasana Senja dan Warna Suasana mengandung keindahan, pesan moral, pendidikan, dan pembelajaran. Dari segi keindahan, puisi-puisinya dibangun dengan pilihan kata yang mempertimbangkan paralelisme bunyi dan paralelisme makna sehingga secara keseluruhan sebuah puisi tidak hanya menyampaikan pesan yang berharga tetapi juga rasa indah bagi pendengar atau pembacanya. Sebuah puisi yang indah dengan pesan moral yang tinggi juga disampaikan dengan bahasa yang diakrabi oleh penuturnya sehingga seorang pembaca atau pendengar dapat memahami maknanya tanpa dibebani dengan bentuk leksikal dan gramatikal yang sulit. Walaupun demikian, Masuri sebagai pengarang yang produktif tetap sangat selektif merangkai kosa-kata menjadi larik-larik puisinya sehingga tercipta karya-karya yang bermutu.
Bibliografi Bakhtin, M.M. 1986. Speech Genres and Other Late Essays. Trans VernW. McGee. Austin: Uiniversity of Texas Press. Budiman, Arif. 2007. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan. Tegal: Wacana Bangsa.
Chomsky, N. 1965. Aspects of The Theory of Syntax. Cambridge, Massachusetts: The M.I.T. Press. Djoko Pradopo, Rahmat. 1987. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semantik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hopper, P.J. and Sandra A. Thompson. 1980. ‘Transitivity in Grammar and Discourse.’ Language 56: 2, 251—299. Junus, Umar. 1989. Stilistik: Satu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Lakoff, George and Mark Johnson. 2003. Metaphors We Live By. Chicago. The University of Chicago Press. Larson, M.L. 1984. Meaning-Based Translation: a guide to cross-language equivalence. Lanham, New York, Oxford: University Press of America, Inc. Luxemburg, J.V., Mieke Bal, Willem G. Weststeijn. 1989. Tentang Sastra. Terjemahan dari Over Literatuur. Penerjemah Akhadiati Ikram. Jakarta: Seri ILDEP. Masuri S.N.1962. Warna Suasana. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Masuri S.N. 2003. Suasana Senja: Kumpulan Sajak 1995—2001.Singapura: Angkatan Sastrawan 50. Simpson, Paul. 2004. Stylistics: a resource book for students. London and New York: Routledge. Ullmann, Stephen. 1962. Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. Oxford: Basil Blackwell. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Professor Penolong Dr Razif Bahari atas sejumlah saran dan masukan yang sangat berharga untuk kebaikan isi makalah ini.