Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Tindak Pidana Human Trafficking
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM TINDAK PIDANA HUMAN TRAFFICKING
Oleh: Dyah Nawangsari
Dosen Tetap Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember
ABSTRAK Perdagangan manusia (trafiking) tidak bisa dipisahkan dari fenomena kekerasan yang semakin hari semakin besar jumlahnya. Sebagaimana kasus kejahatan trafiking, data kasus kekerasan dalam perdagangan perempuan ini juga tidak dapat diketahui secara pasti. Ini dikarenakan data yang ada sebatas pada kasus-kasus yang dilaporkan, sementara data yang tidak dilaporkan jauh lebih banyak sehingga menjadi fenomena gunung es. Hal ini dikarenakan perempuan-perempuan yang menjadi korban kekerasan umumnya merasa malu mengungkapkan kasus yang dialaminya. Itulah sebabnya perlu dilakukan tindakan nyata guna mencegah tindak pidana ini. Tindakan itu bisa berupa diskusi, simposium, maupun seminar dalam rangka menemukan langkah-langkah kongkret pencegahan, perlindungan, dan rehabilitasi korban. Kata Kunci: Trafiking, Kekerasan LATAR BELAKANG MASALAH Globalisasi yang diiringi kemajuan teknologi transportasi dan informasi telah membuat dunia terbuka hampir tanpa batas. Kemajuan teknologi tersebut menawarkan kehidupan yang serba cepat, serba mudah dan serba indah. Keindahan dan kemolekan dunia dengan segala fasilitasnya dapat dilihat siapa pun melalui media cetak maupun elektronika kapan saja dan di mana saja. Sayangnya segala keindahan itu hanya dapat dilihat tetapi tidak dapat dinikmati oleh seluruh rakyat. Sebab sebagai negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar, masih banyak rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan.1 1
Diperkirakan jumlah penduduk Indonesia sekarang mencapai 210 juta, 40 juta diantaranya berada di bawah garis kemiskinan. Kantong-kantong kemiskinan dari 40 juta penduduk itu berada di daerah pedesaan. Lihat: Faqihuddin Abdul Kodir, dkk.. Fiqh Anti Trafiking Jawaban Atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, (Cirebon: Fahmina Institute, 2006), 27.
An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015 | 83
Dyah Nawangsari
Dengan jumlah penduduk yang cukup besar, sesungguhnya merupakan modal dasar pembangunan yang potensial jika diimbangi dengan sumber daya (SDM) yang mumpuni. Akan tetapi pada kenyataannya justru menjadi beban dikarenakan masih banyak SDM di Tanah Air ini yang tidak produktif, tidak mumpuni, serta memiliki pendidikan, kualitas hidup dan skill yang rendah. Kondisi ini menyebabkan rendahnya tingkat pendapatan perkapita baik perorangan maupun skala nasional.2 Sementara itu kebijakan ekonomi yang masih berlangsung sampai sekarang ternyata hanya menguntungkan sekelompok kecil pelaku ekonomi di papan atas. Kebijakan yang timpang ini pada gilirannya membuat angka pengangguran semakin menggunung dari tahun ke tahun. Rendahnya tingkat pendapatan tidak sebanding dengan tuntutan hidup yang semakin tinggi. Hal ini mendorong masyarakat melakukan migrasi ke kotakota besar dan ke luar negeri untuk mencari peruntungan nasib demi kelestarian hidup mereka. Tiap tahun ribuan rakyat Indonesia mengadu nasib ke luar negeri untuk menjadi buruh migran. Keberadaan buruh migran itu sendiri memberikan keuntungan besar bagi devisa Negara.3 Meski demikian perhatian pemerintah terhadap para Pahlawan Devisa ini tidak sebanding dengan jasa yang telah mereka berikan. Perlakuan Negara cenderung tidak ramah, tidak protektif dan tidak manusiawi terhadap mereka. Para buruh migran bahkan selalu dihadapkan pada berbagai macam kesulitan, ancaman kekerasan, dan pungutan liar mulai dari tempat pemberangkatan, ketika berada di penampungan, saat berada di Negara tempat mereka bekerja, hingga saat mereka kembali ke Tanah Airnya sendiri. Ancaman yang paling membahayakan adalah terjadinya perdagangan manusia (Human trafiking) sebab ketika seseorang terkondisikan menjadi buruh migran, hampir tidak ada jaminan perlindungan dan penyelamatan dari negara atas kemungkinan terjadinya trafiking.4 2
Dalam tiga puluh tahun terakhir ini Indonesia hanya mencapai tingkatan Negara NICs (News Industri Countries), dengan income perkapitanya hanya mencapai lebih kurang US$ 1100. Bila dibandingkan Negara Asia lainnya perkembangan Indonesia terhitung lambat. Ditambah lagi krisis ekonomi berkepanjangan semakin membuat perekonomian Indonesia terpuruk dan menempatkannya di bawah Bangladesh, sehingga masuk pada ketegori Negara miskin. Eggy Sudjana, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia. (Jakarta: Renaisan, 2005), 2. 3 Para tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri ternyata menyumbangkan devisa luar biasa besarnya. Pengiriman uang dari 258 ribu TKI per 31 Mei 2006 mencapai US$ 1,53 Miliyar atau sekitar Rp. 15 Triliun, dan setahun diharapkan mencapai Rp. 30 Triliun. Catatan ini menunjukkan sumbangan yang begitu besar dari para TKI terhadap Negara. Lihat: Editorial Surat Kabar Media Indonesia (05 Juli 2006). 4 Angka kasus perdagangan orang terhadap buruh migran ternyata cukup tinggi sebab berdasarkan laporan perdagangan orang tahun 2002 yang diterbitkan Departemen Luar Negeri
84 | An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Tindak Pidana Human Trafficking
Perdagangan manusia tidak bisa dipisahkan dari fenomena kekerasan yang semakin hari semakin besar jumlahnya. Kekerasan ini juga banyak menimpa kelompok-kelompok rentan yakni perempuan dan anak-anak.5 Sebagaimana kasus kejahatan trafiking, data kasus kekerasan dalam perdagangan perempuan ini juga tidak dapat diketahui secara pasti. Ini dikarenakan data yang ada sebatas pada kasus-kasus yang dilaporkan, sementara data yang tidak dilaporkan jauh lebih banyak sehingga menjadi fenomena gunung es. Apalagi perempuanperempuan yang menjadi korban kekerasan umumnya merasa malu mengungkapkan kasus yang dialaminya. Disamping itu trauma akibat kekerasan yang mereka alami selama bekerja membuat mereka takut mengungkapkan kejadian yang sebenarnya mereka alami. PEMBAHASAN 1. Trafiking Sebagai Tindak Pidana Human trafficking atau sering disebut trafiking merupakan isu yang selalu faktual dan menjadi fenomenal bukan saja di Indonesia, melainkan juga di dunia.6 Trafiking sendiri sudah dicanangkan sebagai kejahatan kemanusiaan Amerika Serikat dan Komisi Ekonomi dan Sosial Asia Paifik, sekurang-kurangnya 20% dari buruh migran merupakan korban perdagangan orang dan sekitar 2,5% mengalami kekerasan. Sampai 30 Desember 2004 Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri mencatat jumlah kasus perdagangan orang yang diusut polisis mencapai 672 kasus dan yang telah diproses sebanyak 440 kasus. Diantara kelompok sosial yang paling rentan terhadap tindak kejahatan trafiking adalah perempuan dan anak-anak. Laporan PBB menyebutkan ada 150 juta perempuan dan anak diperdagangkan setiap tahunnya untuk berbagai keperluan kejahatan termasuk prostitusi. Menurut laporan International Organization for Migration (IOM) dari kasus-kasus perdagangan orang yang dilaporkan 89% korban adalah perempuan. www.stoptrafiking.or.id 5 Angka statistik korban eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan dan anak ini juga sangat mencengangkan. Diantaranya adalah pramuwisma (Pembantu Rumah Tangga) sebanyak 56% merupakan angka yang tertinggi di antara kasus-kasus yang ada. Dipaksa untuk terjun ke dalam prostitusi sebanyak 15%, bekerja menjadi buruh di perkebunan sebanyak 6%, sebagai pramuria sebanyak 5%. Kekerasan sebelum pemberangkatan dalam bentuk penahanan pada saat transit sebanyak 5%. Sebagai pramuria sebanyak 5%, buruh pabrik 3%, pramuniaga 3%, kasus-kasus lain sebanyak 7%. Kasus-kasus lain yang dimaksud di sini antara lain kehamilan tidak dikehendaki, penjualan bayi, pramupijat dan sebagainya (www.iom.or.id). 6 Trafiking telah dipandang sebagai kejahatan lintas Negara (transnasional) yang terorganisir. Kata trafiking merupakan unsur serapan dari istilah dalam bahasa Inggris "trafficking in human" atau "trafficking in person" yang diperpendek menjadi "trafficking". Secara sederhana trafiking difahami sebagai perdagangan manusia, lebih khusus lagi perdagangan perempuan, karena perempuan dan anak dalam kenyataannya adalah kelompok yang paling rentan dari tindak kejahatan ini. Lihat: Faqihuddin Abdul Kodir, dkk.. Fiqh Anti Trafiking ........20. Difinisi yang paling banyak diterima di seluruh dunia adalah difinisi dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mengatakan bahwa: "Trafiking adalah perekrutan,
An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015 | 85
Dyah Nawangsari
karena telah banyak memakan korban. Itulah sebabnya pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (trafiking) Perempuan dan Anak. Dengan Keppes diharapkan ada jaminan perlindungan bagi kaum buruh migran terhadap ancaman trafiking. Pada dasarnya terdapat tiga unsur utama dalam trafiking yaitu: a. Memindahkan orang baik di dalam maupun di luar batas negara (termasuk perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan dan penerimaan). b. Pemindahan itu dilakukan dengan cara-cara yang melawan hukum yakni: ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan. c. Tujuan adalah eksploitasi atau menyebabkan orang tereksploitasi. Trafiking sendiri terjadi dikarenakan berbagai faktor baik sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Semua faktor itu pada umumnya memberi kesempatan orang untuk melakukan kejahatan dan membiarkan sekelompok orang berada dalam posisi rentan. Adapun faktor-faktor itu antara lain: a.
Sistem ekonomi yang tidak adil. Pembangunan ekomomi di Indonesia semenjak Orde Baru hingga sekarang ini kurang merata dan tidak memiliki keberpihakan kepada rakyat kecil. Bahkan secara teknis pembangunan ekonomi yang dilakukan selama ini tidak strategis melainkan counter produktive karena arahnya yang cenderung konsumtif, yakni sektor properti dan fisik belaka. Akibat keadaan seperti ini investasi menjadi rendah, yang berarti tingkat penyerapan tenaga kerja juga rendah. Hal ini dikarenakan pembangunan yang dilakukan hanya membutuhkan tenaga kerja dengan kualitas tertentu dan terbatas jumlahnya, sehingga menciptakan banyak pengangguran yang tidak dapat ditampung oleh pembangunan.7 pengangkutan, pengiriman, penampungan atau penerimaan orang lain dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau jenis paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau tunjangan untuk mencapai kesepakatan seseorang memiliki kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi" (www.stoptrafiking.or.id). 7 Berdasarkan data yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) angka pengangguran sudah mencapai 40,1 juta orang atau sekitar 37% dari 106,9 juta angkatan kerja yang ada. Dari jumlah ini, sebanyak 10,48% atau 11,6 juta orang adalah pengangguran terbuka yang bekerja kurang dari 35 jam perminggu. Sedangkan Pusat Data Departemen Tenaga Kerja Indonesia yang mengutip dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan bahwa penganguran per-juli 2006
86 | An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Tindak Pidana Human Trafficking
Tingginya angka pengangguran juga diakibatkan strategi pembangunan di Indonesia yang tidak berorientasi pada pemberdayaan manusia tetapi lebih ditekankan pada kepentingan industrialisasi yang dianggap sebagai tulang punggung pertumbuhan dan pembangunan nasional. Industrialisasi yang dilakukan pun pada kenyataannya hanya menguntungkan pemilik modal yang notabene hanya sebagian kecil dari rakyat Indonesia. Di sisi lain pemerintah juga belum mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha yang lebih berfihak pada rakyat. Sebaliknya yang terjadi justru marginalisasi rakyat yang mengarah kepada pemiskinan (impoverishment). Akibatnya jumlah rakyat miskin di Indonesia sudah mencapai 90 juta jiwa (sumber resmi memperkirakan sekitar 40 juta jiwa).8 Tingginya angka kemiskinan ini menjadi faktor utama terjadinya migrasi besar-besaran baik ke dalam maupun ke luar negeri. Kenyataan tingginya upah atau gaji bekerja di luar negeri semakin menambah keinginan rakyat kecil untuk mengadu nasib di negeri orang.9 Menjadi buruh migran menjadi pilihan yang menjanjikan bagi masyarakat yang berkeinginan untuk meningkatkan taraf hidup. Meski tidak diragukan lagi tingginya minat masyarakat menjadi buruh migran, turut mendorong meningkatnya kasus trafiking. Trafiking sudah menjadi hal yang luar biasa di negeri ini, karena sudah banyak buruh migran yang menjadi korban trafiking. Ini dikarenakan keputusan untuk bekerja ke Luar Negeri ini seringkali tidak mempedulikan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Bahkan bisa dilakukan dengan memalsukan dokumen atau tanpa dilengkapi dokumen yang memadai sehingga menjadi penyebab timbulnya trafiking.10 mencapai 11,1 juta atau 10.45% (laki-laki: 5.81 juta atau 52,30% dan perempuan: 5.30 juta atau 47,70%), dengan rasio tingkat pendidikan SD: 3.52 juta atau 31, 74%, SLTP: 2.86 juta atau 25,75%, SLTA: 4.05 juta atau 36,44%, Diploma: 0.30 juta atau 2,68% dan universitas 0.38 juta atau 3,38% (Farid, M. Miftah. Makalah. Prosedur Buruh Migran Indonesia dan Permasalahan yang dihadap, 2006), 2. 8 Eggy Sudjana, Nasib dan Perjuangan Buruh ............ 5 9 Sekedar tambahan informasi bahwa gaji Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia hanya berkisar antara Rp.250.000,- sampai Rp.750.000,- sedangkan jika dibandingkan dengan menjadi PRT di Malaysia bisa mendapatkan upah sekitar Rp.1.300.000,- dan upah di Hongkong dan Taiwan mencapai Rp. 4.600.000,- sampai Rp.5.200.000,-. Persoalan gaji atau upah inilah yang menjadi faktor penarik bagi Warga Negara Indonesia (WNI) untuk memilih bekerja di luar negeri. 10 Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang sudah bekerja ke luar negeri, maupun yang akan bekerja keluar negeri sangat banyak. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Asosiasi Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), organisasi terbesar penyalur TKI, pada tahun 2006 diperkirakan terdapat sekitar 40.000 CTKI yang meninggalkan Indonesia setiap bulannya, dan 10.000 orang diantaranya berangkat dengan dokumen-dokumen yang tidak lengkap atau tidak memenuhi syarat (undokumented). Jumlah ini diperkirakan semakin meningkat dari tahun
An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015 | 87
Dyah Nawangsari
b.
Pendidikan yang tidak merata. Pendidikan masih menjadi barang mahal di negeri ini, sebab tidak semua penduduk Indonesia bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Tuntutan ekonomi yang terlalu tinggi acapkali menjadikan orang tua lebih memilih untuk memasukkan anaknya ke dunia kerja daripada ke lembaga pendidikan.11 Pendidikan yang kurang merata,secara umum mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia, termasuk yang melakukan migrasi ke Luar Negeri.12 Rendahnya kualitas pendidikan ini juga mengakibatkan masyarakat tidak cukup peka terhadap penipuan-penipuan yang berkedok di balik jasa pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Hanya bermodalkan semangat untuk bekerja ke luar negeri di tambah dengan tawaran gaji tinggi menjadikan masyarakat kurang kritis terhadap penipuan dengan berbagai modus operandinya.13 Trafiking tidak hanya terjadi di luar negeri melainkan juga terjadi ke tahun. Lotte Kaeser, Makalah: Tinjauan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Pertemuan Konsultasi Pemangku Kepentingan, (Surabaya: 12 April 2007) 11 Sekalipun keberadaannya tidak dikehendaki, namun kemiskinan telah menyeret anakanak untuk bekerja, sehingga hak asasinya menjadi terampas. Disamping pelanggaran terhadap konvensi hak anak, buruh anak juga rentan terhadap eksploitasi lainnya seperti upah, jam kerja, pelecehan seksual dan bahkan rentan terhadap trafiking. 12 Tenaga kerja yang masuk kategori ini jumlahnya melimpah, bahkan prosentasenya paling tinggi dalam komposisi ketenagakerjaan di Indonesia. Bagi buruh migran, rendahnya tingkat pendidikan ini sangat beresiko tinggi untuk menjadi korban trafiking, sebab kebanyakan mereka tidak mengetahui peraturan hukum bagi dirinya baik selaku TKI maupun masyarakat dalam konteks hukum di negara tujuan. Disamping itu sebagian besar mereka juga tidak memiliki keahlian khusus (unskill labors) sehingga mereka tidak memiliki posisi tawar terhadap pihak-pihak yang mempekerjakan mereka. Kelemahan ini menyebabkan kebanyakan mereka tidak mendapatkan perlakuan dan porsi yang layak sebagai manusia yang bermartabat dalam proses produksi dan dinamika perekonomian. Mereka hanya dipandang sebagai mesin produksi yang hampir-hampir tidak jauh berbeda dengan mesin produksi lainnya (Eggy Sudjana, Nasib dan Perjuangan Buruh ............ 10, 20). 13 Salah satu contoh kasus trafiking ke luar negeri dengan modus operandi duta wisata sebagaimana dialami oleh Gusti Putri (18 tahun, bukan nama sebenarnya, lulus SMP) ketiga dari empat bersaudara anak seorang pedagang kaki lima di Denpasar, Bali. Untuk membantu meringankan beban ekonomi keluarga ia menerima tawaran i bekerja sebagai "entertainer" di Jepang oleh perusahaan jasa impresariat. Untuk itu ia dijanjikan gaji 50.000 Yen per bulan, tempat tinggal gratis di apartemen dan berbagai fasilitas lainnya. Sebagai penari Bali Tradisional Gusti Putri tertarik tawaran tersebut. Setelah menjalani serangkaian tes ia lulus dan dikirim ke Jepang pada Mei 2001 dengan kontrak kerja 2 tahun. Di Jepang ia ditempatkan di apartemen bersama sepuluh perempuan lain dari Indonesia. Mereka dilarang berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia dan tidak boleh keluar apartemen tanpa ijin "Mama San". Gusti putri dipaksa menjadi waitress di restoran yang dilengkapi sarana karaoke. Setiap malam ia harus melayani tamu minum-minum dan berkaraoke. Beberapa tamu melakukan pelecehan seksual bahkan mau memperkosanya. Dari teman sesama waitress ia tahu bahwa mereka tidak
88 | An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Tindak Pidana Human Trafficking
di dalam negeri. Kebanyakan yang menjadi korbannya adalah perempuanperempuan yang hidup dalam kemiskinan sehingga tidak mampu mengakses pendidikan tinggi, yang berakibat terbatasnya peluang kerja bagi mereka. Keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, ditambah keterbatasan informasi yang mereka terima menjadikan mereka rentan ditipu dan diperdaya. c.
Sistem sosial yang timpang Fakta perempuan dan anak-anak merupakan kelompok sosial yang rawan menjadi korban trafiking, menunjukkan bahwa trafiking juga diakibatkan ketimpangan relasi sosial dalam masyarakat. Perempuan dalam masyarakat patriarkhi ditempatkan sebagai kelompok subordinat dan makhluk kelas dua, sehingga pada gilirannya dimanfaatkan, dieksploitasi, dan diperdagangkan secara tidak manusiawi. Pembagian peran gender yang menempatkan perempuan sebagai perawat keluarga membuat mereka harus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga meski di usia muda. Kabijakan yang tidak responsive.14 Adapun kasus trafiking yang menimpa anak lebih banyak diakibatkan adanya simbol sukses dan status tinggi di komunitas yang didasarkan pada kekayaan, sehingga nilai anak yang harus berbakti pada orang tua ditafsirkan dalam bentuk sumbangan materi dengan memberikan toleransi terhadap “cara memperoleh uang”.15
dipekerjakan sebagai penari melainkan dipaksa menjadi pelacur. Gusti putri menghubungi keluarganya di Denpasar minta agar dipulangkan. Atas bantuan Konsul Jepang dan sebuah LSM di Denpasar, Gusti Putri pulang ke Indonesia sebulan sesudah bekerja. Lihat: Rahayaan, Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan, Jakarta, September :2006. 14 Faqihuddin Abdul Kodir, dkk. Fiqh Anti Trafiking ..................... 27. 15 Hasil penelitian di Jawa Barat (Jabar) menunjukkan bahwa meski masih berusia belia, tidak sedikit anak-anak Jabar yang terjebak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Sebanyak 39 % pekerja hiburan di kota Bandung berusia anak, dengan usia termuda 14 tahun, berasal dari Kota Bandung (39 %), Kabupaten Bandung (21 %), kota lainnya di Jabar (31,6 %), dan sisanya dari luar Jabar sebesar 43,5 % . Mereka semua merupakan korban trafficking, dijual pada usia paling muda 14 tahun dengan usia 17 tahun sebagai usia terawan. Tidak hanya itu Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar, 2003 mencatat bahwa mereka juga dipekerjakan ke luar Jabar tepatnya di jalur pantura yang terbentang dari Karawang, Cikampek, Subang, Indramayu hingga Cirebon, tersebar di sekitar 100 warung makan, kafe dan tempat karaoke. Sebagian besar mereka berusia 14 hingga kurang dari 20 tahun (ILO, 2003) dalam www.stoptrafiking.or.id
An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015 | 89
Dyah Nawangsari
d.
Kebijakan yang tidak responsive Ketika seseorang terkondisikan menjadi buruh migran, hampir tidak ada perlindungan dan penyelamatan dari Negara atas kemungkinan terjadinya kejahatan trafiking. Kerentanan posisi buruh migran ini tidak dapat dilepaskan dari sikap pemerintah yang kurang responsive terhadap keberadaan buruh migran. Perlu ditegaskan bahwa tidak setiap kegiatan migrasi ke Luar Negeri atau bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri berarti tindak trafiking. Akan tetapi apabila muncul tindakan-tindakan yang mendorong kejahatan trafiking, Negara berkewajiban dan harus dituntut untuk melakukan upaya-upaya perlindungan kepada warganya baik yang berada di dalam maupun di luar negeri. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Trafiking Berbagai tindak kekerasan dan penderitaan banyak menimpa perkerja migran perempuan yang legal dan terlebih lagi yang illegal. Kekerasan itu mereka alami selama proses rekrutmen, pemberangkatan, maupun selama bekerja di luar negeri. Angka yang tercatat di berbagai media maupun lembaga resmi pada umumnya jauh lebih kecil dibanding dengan data yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Dark Number dipastikan cukup tinggi mengingat banyak kasus yang tidak dilaporkan, tidak diketahui secara pasti dan tidak tercatat pada statistik resmi. Akumulasi berbagai perlakuan salah terjadi pada tataran hubungan kerja majikan dengan pekerja. Berbagai persoalan yang cukup memprihatinkan yakni viktimisasi serius terhadap pekerja, terjadi berbagai tindak kekerasan/ penyikasaan baik fisik, psikis, seksual, maupun sosial yang menimbulkan traumatik, depresi bahkan ada yang sampai bunuh diri. Tindakan kejahatan ini banyak menimpa pekerja rumah tangga di lingkup domestik sehingga merupakan hidden crime yang sulit diungkap. Berbagai pelanggaran lainnya antara lain upah tidak dibayarkan untuk jangka waktu tertentu, pemotongan upah oleh PJTKI, jam kerja yang tidak pasti bahkan tanpa kenal waktu, pembatasan kebebasan (dilarang bergaul dan keluar rumah), serta penahanan paspor oleh majikan. Human Rights Watch melaporkan ribuan pekerja rumah tangga di Malaysia dipekerjakan tanpa perikemanusiaan, teraniaya dan diperlakukan seperti manusia kelas dua. Berdasar data yang dilaporkan, kekerasan yang dialami para pekerja perempuan itu kebanyakan bersifat non-fisik, walaupun 2.
90 | An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Tindak Pidana Human Trafficking
tidak sedikit pula yang fisik. Berikut ini data yang dicatat pada Rumah Sakit Kepolisian Sukanto Jakarta Timur yang menangani buruh migran korban kekerasan sejak Januari 2000 sampai Juni 2003
Kasus-kasus Kekerasan Fisik Non fisik Bukan kasus kekerasan (sakit biasa/ordinary illness) Total
Tabel Angka Kasus-Kasus Kekerasan16 2000 2001 2002 Jumlah % Jumlah % Jumlah 65 28 50 25 118 126 54 88 43 226 41 18 68 105 105
232
100
206
100
449
% 27 50 23
2003 Jumlah 5 121 45
% 3 71 26
100
171
100
Tabel tersebut adalah data kekerasan yang terjadi di Negeri Jiran Malaysia. Akan tetapi kekerasan juga terjadi di negara-negara lain yang menjadi tujuan para buruh migran baik di Arab Saudi, Singapura, Hongkong maupun di Negaranegara lain. Kebanyakan buruh migran perempuan dipekerjakan di sektor yang tidak layak, seperti pembantu rumah tangga, babby sitter, pekerja seks atau di tempat hiburan. Dalam kondisi kerja seperti itu mereka sering mengalami kekerasan bahkan eksploitasi. Bentuk-bentuk kekerasan dan eksploitasi tersebut antara lain: a. Kerja paksa seks dan eksploitasi seks; dalam banyak kasus perempuan dijanjikan sebagai buruh migran PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi ternyata dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain beberapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja. b. Pembantu Rumah Tangga (PRT) mengalami kekerasan dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk jam kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan illegal, upah yang tidak dibayar atau dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik atau psikologis, penyerangan 16
Romani Sihite, Perempuan, Kesetaraan, & Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender., (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), 37.
An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015 | 91
Dyah Nawangsari
seksual, tidak diberi makan atau kurang makan, dan tidak boleh menjalankan agamanya, atau diperintah untuk melanggar agamanya. c. Penari, penghibur dan pertukaran budaya; banyak perempuan yang dijanjikan bekerja sebagai penari duta budaya, penyanyi atau penghibur di negara asing, akan tetapi pada saat kedatangannya banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan pada kondisi mirip perbudakan. d. Pengantin pesanan, beberapa perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam ini para suami memaksa istri-istri baru ini bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks.17 Kekerasan dan eksploitasi perempuan dalam trafiking juga sering dilakukan dengan menggunakan dalih agama. Penyalahgunaan agama dalam trafiking bisa muncul melalui beberapa modus operandi. Pertama, penyelundupan tenaga kerja melalui umroh. Korban diumrohkan lalu dipekerjakan tanpa visa kerja. Ketidakmengertian korban pada peraturan tentang syarat bekerja di luar negri ini dimanfaatkan oleh para trafiker. Jika terbongkar, maka korban terpaksa harus berhadapan dengan sanksi hukum dari negara setempat. Dalam kasus ini
biasayan negara sama sekali tidak bisa berbuat banyak sebab korban tidak memiliki dokumen yang memadai. Akhirnya mereka terjebak pada kehidupan yang hampir menyerupai perbudakan sekedar untuk mempertahankan hidup. Kedua, penjaringan calon korban melalui pernikahan. Seorang pria, baik WNI maupun WNA, berpura-pura menikahi seorang gadis dengan tujuan mempermudah ijin dari keluarga, terutama ayah, untuk membawa calon korban keluar desa, lalu dilacurkan. Pernikahan dapat dilakukan dengan pesta maupun secara sirri atau diam-diam, dan dengan membatasi waktunya dalam akad nikah (nikah kontrak atau mut’ah), maupun tidak. Pada pernikahan mut’ah, tujuan utamanya adalah untuk menghindari rasa berdosa bagi korban dan pelanggan, meskipun banyak perempuan mengaku melakukannya atas dasar paksaan. Jika media massa banyak memberitakan tentang suami yang tega melacurkan istrinya, sangat mungkin istri tersebut adalah korban trafiking dengan modus operandi pernikahan. Ketiga, penyalahgunaan kharisma tokoh agama. Seseorang berpura-pura menjanjikan peluang kerja dengan gaji tinggi di luar negeri. Kemudian ia 17
www.stoptrafiking.or.id
92 | An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Tindak Pidana Human Trafficking
memanfaatkan seorang tokoh agama sebagai perantara dalam menjaring calon korban trafiking. Dengan cara ini, calon korban mudah dikelabui berkat rasa hormat dan percaya masyarakat pada tokoh agama tersebut. Trafiking dalam Tinjauan Islam Trafiking sejatinya adalah bentuk baru dari perbudakan manusia. Hal ini lebih banyak diakibatkan ketimpangan relasi antara buruh dan majikan yang didasarkan pada ideology ciptaan manusia (man made). Ideologi kapitalis dan sosialis yang notebene produk manusia telah mengakibatkan dehumanisasi sehingga manusia semakin kehilangan sisi-sisi kemanusiannya. Pada sistem kapitalis yang menonjol adalah eksploitasi manusia atas manusia lainnya. Bila pada masa kolonial hal ini dilakukan secara transparan maka dewasa ini penjajahan tersebut berganti dengan wajah baru namun sifat dasarnya yang menjajah tidak akan pernah hilang. Terlebih di era perdagangan bebas dan leberalisasi ekonomi seperti sekarang ini eksploitasi manusia atas manusia lain harus diwaspadai pengulangannya. Bila ideologi kapitalis banyak menimbulkan eksploitasi manusia atas manusia lain, maka muncullah aksi-aksi yang bermaksud untuk memperjuangkan "kelas" (class struggle) agar tercapai kesamaan (equelity) antara buruh dan majikan. Ide ini sangat kental dengan ideologi sosialis-komunis yang beranggapan bahwa para buruh hanyalah bagian darui sebuah mesin produksi. Dengan demikian dalam kultur sosialis diharapkan hanya ada satu kelas dalam masyarakat yaitu pekerja atau buruh, untuk itu mereka selalu memperjuangkan pergantian kelas. Padahal dengan tergantinya fihak yang mendhalimi (kaum borjuis) oleh kaum proletar (yang terdhalimi), maka orang yang terdhalimi itu akan menjadi kelas orang dhalim baru sebagai tindakan konservatif.18 Dalam system sosialis-komunis negara harus menentukan dan menyediakan pekerjaan bagi kaum buruh. Semua kepemilikan diserahkan sepenuhnya kepada negara, temasuk perusahaan-perusahaan. Tentu saja sistem ini pun tidak manusiawi sebab hak kepemilikan seseorang sama sekali tidak diakui, disamping itu seseorang juga tidak memiliki hak untuk menetapkan dan memilih pekerjaannya. Hampir identik dengan kapitalisme, sosialisme pun mengakibatkan dehumanisasi bagi kaum pekerja Perbudakan manusia pernah terjadi dalam kurun waktu yang amat panjang. Budak-budak ini berasal dari sekelompok orang yang tertangkap dalam 3.
18
Eggy Sudjana, Nasib dan Perjuangan Buruh ............64.
An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015 | 93
Dyah Nawangsari
medan peperangan atau pertempuran. Mereka—utamanya budak perempuan— diperlakukan sebagai benda tak bernyawa yang boleh diperjual belikan, diwariskan dan disetubuhi majikannya. Seorang majikan bisa memperlakukan budaknya dengan sewenang-wenang. Ketika seseorang menjadi budak, maka ia kehilangan seluruh hak-hak dasarnya sebagai manusia. Sedangkan modus perbudakan dalam kasus trafiking ini lebih parah lagi sebab yang diperdagangkan adalah manusia merdeka, terutama perempuan dan anak-anak. Mereka kemudian dipekerjakan untuk menjadi pelacur, pengemis, pekerja rumah tangga, buruh, diambil organ tubuhnya dan sebagainya. Islam lahir dan berkembang dalam tatanan dunia yang memperkenankan adanya perbudakan, oleh karena itu sedari awal Islam telah menetapkan agenda penghapusan segala bentuk praktik perbudakan yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Akan tetapi kehadiran Islam telah membawa para budak dalam keadaan yang lebih baik Kekuasaan majikan terhadap budak terus dikurangi. Para majikan dilarang mempekerjakan budaknya sebagai pelacur demi keuntungan duniawi majikannya. Allah SWT berfirman dalam Surat AnNur ayat 33 yang artinya sebagai berikut:
"Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (dirinya) sehingga Allah SWT memampukan dirinya dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada merekadan berikanlah kepada mereka harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-buak perempuanmu untuk melakukan pelacuran sedangkan menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa memaksa mereka maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa.19 Jabir bin Abdillah dan Ibnu Abbas menuturkan bahwa ayat ini turun sebagai respon atas kasus Abdullah bin Ubay. Dikisahkan bahwa Ubay memiliki beberapa budak perempuan, masing-masing bernama Musaikah, Mu'adzah, Umaymah, Umrah, Arwa, dan Qutaylah. Sebagai majikan atau tuan Ubay kerap memaksa budak-budak perempuannya untuk melacurkan demi keuntungan finansial yang hendak diraihnya. Tidak jarang juga mereka dipukul dengan sangat keras. Diriwayatkan pula bahwa pemaksaan untuk melacur itu sengaja 19
Departeman Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahannya, (Jakarta: DEPAG RI, 1989), 549.
94 | An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Tindak Pidana Human Trafficking
dilakukan si majikan untuk memperoleh seorang anak. Masalah ini diadukan oleh Musaikah dan Mu'adzah (ada juga yang menyebutnya Umaymah) kepada Rasulullah. Sebagai bentuk pelarangan atas peristiwa itu, Turunlah Surat An Nuur ayat 33 tersebut.20 Islam juga sangat menekankan upaya menghapusan budak diantaranya melalui perintah pembebasan budak (itqu raqabat). Dengan mekanisme penerapan sanksi atas pelanggaran ajaran agama (kafarat), Islam mengakhiri praktik perbudakan ini. Setiap pelanggaran ajaran agama harus dibayar, di antara pilihannya adalah memerdekakan budak. Dalam pandangan Islam seseorang tidak bisa dibiarkan selamanya sebagai budak sebab manusia tidak boleh diperbudak manusia lain dengan alasan apa pun.21 Cara lain yang pernah ditempuh Islam untuk menghapus perbudakan adalah melalui pengajuan diri si budak kepada tuannya untuk dimerdekakan dengan perjanjian bahwa budak tersebut akan membayar sejumlah uang yang telah ditentukan. Di sinilah para tuan diperintahkan Islam untuk menerima permohonan pemerdekaan budak sekiranya ia melihat bahwa budak tersebut akan mampu membayarnya baik dengan cara kontan maupun cicilan. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, wajib hukumnya bagi si tuan untuk memenuhi permintaan pemerdekaan budak tersebut. Budak yang merdeka dengan cara penebusan dalam fiqh disebut budak mukatab. Bila seorang budak telah menyandang gelar ini, maka ia dilarang diperjual belikan. Pemerdekaan budak juga bisa dilakukan melalui pernyataan majikan bahwa dia tidak akan meneruskan status budaknya setelah sang majikan meninggal. Artinya semenjak majikan meninggal para ahli warisnya tidak lagi berhak melanjutkan praktik perbudakan, atau memposisikan budak itu sebagai budaknya. Dengan demikian begitu majikannya meninggal status budak itu menjadi manusia merdeka, sehingga tidak dapat diwariskan dan diperjualbelikan. Budak yang merdeka dengan cara ini dalam fiqh disebut budak mudabbar. Tidak sedikit jalan yang ditawarkan Islam untuk memerdekakan budak. Hal ini dilakukan sebagai upaya penghormatan kepada umat manusia. Dalam surat Al Isra' ayat 70 Allah menyatakan penghormatan kepada manusia, dengan firmannya yang berbunyi: "Wa laqad karramna bani adama" (Sungguh telah Kami muliakan anak-anak Adam). Ibnu Katsir menyatakan bahwa melalui ayat 20 21
Faqihuddin Abdul Kodir, dkk. Fiqh Anti Trafiking .......69 Ibid. 63
An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015 | 95
Dyah Nawangsari
ini sesungguhnya Allah hendak memberitahukan penghormatan-Nya kepada manusia, karena manusia adalah satu-satunya makhlik yang diciptakan dengan penuh kesempurnaan.22 Thabataba'i dalam kitab tafsirnya al-Mizan fiy Tafsir alQur'an menyatakan bahwa Tuhan memuliakan manusia karena dalam dirinya terkandung sesuatu yang istimewa, yaitu akal. Akal inilah yang menyebabkan manusia berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain. Jika Allah SWT sebagai Tuhan yang menciptakan saja sangat menghormati manusia, apalagi sesama manusia yang memang memiliki status dan kedudukan yang setara sebagai makhluk Tuhan.23 Memang perbudakan dengan maknanya yang klasik seperti pada zaman kegelapan sudah tidak ada. Akan tetapi kini marak terjadi trafiking sebagai modus perbudakan baru yang lebih berbahaya karena memperdagangkan manusia merdeka terutama perempuan dan anak-anak untuk dijadikan pekerja rumah tangga, buruh, pengemis, pelacur, diambil organ tubuhnya dan sebagainya. Karena modusnya baru tentu saja pola, cara, teknik dan sindikasi yang dipergunakan jauh lebih kompleks. Praktik trafiking yang banyak terjadi akhir-akhir ini tentu saja tidak sejalan dengan misi agama Islam sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, dengan demikian Islam sangat menentang praktik perdagangan manusia tersebut. Langkah besar telah dilakukan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Musyawarah Nasional Ulama pada tanggal 28-31 Juli 2006 di Surabaya dengan mewacanakan persoalan trafiking. Wacana itu ditindaklanjuti dengan pertemuan pada hari Selasa tanggal 15 Agustus 2006. Kali ini, fatwa NU mengenai trafiking layak dicatat dalam sejarah gerakan perempuan di Indonesia , karena tidak hanya berisi dukungan moral, tetapi juga disertai langkah kongkrit dengan merekomendasikan PBNU beserta seluruh badan otonom dan lembaganya dari pusat hingga daerah untuk melakukan gerakan bersama pencegahan dan perlindungan kepada korban trafiking. Adapun isi fatwa tersebut adalah sebagai berikut: pertama, mengharamkan eksploitasi yang terjadi selama proses perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi 22 23
Ibnu Katsir, Tafsir al Qur'an al `Adhim, (Kairo: Dar al Fikr, tt), 58. Thabathaba'i, Al Mizan fi Tafsir al Qur'an, (Beirut: Mu'assasah al 'Alamy li al Mathbu'at,
tt), 152.
96 | An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Tindak Pidana Human Trafficking
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara, maupun antar negara. Kedua, mewajibkan semua pihak, terutama pemerintah, tokoh agama dan masyarakat, untuk melakukan pencegahan perdagangan manusia dan melindungi korbannya. Niat baik untuk mencarikan pekerjaan harus dibarengi dengan pengetahuan tentang tata cara pengiriman tenaga kerja keluar negeri yang benar. Jika tidak, maka niat baik tersebut dapat menjerumuskan orang lain sebagai korban trafiking. Fatwa pertama yang ditetapkan oleh NU menegaskan bahwa trafiking tidak hanya mencakup tindakan perdagangan itu sendiri, melainkan juga meliputi rangkaian proses yang menyebabkan seseorang jatuh sebagai korban tarfiking. Oleh karena itu, fatwa ini juga mengandung arti peringatan keras bagi umat beragama khususnya tokoh-tokohnya agar tidak melakukan tindakan apapun yang dapat menyebabkan orang lain jatuh sebagai korban trafiking. Di samping itu, fatwa tersebut berarti pula peringatan keras untuk mewaspadai upaya-upaya penipuan berkedok agama sebagai modus operandi trafiking. Berbagai Upaya Penanggulangan Trafiking Ada banyak upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya trafiking. Upaya itu dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi sosial kemasyarakat sebagaimana yang dilakukan oleh NU. Saat ini sebetulnya sudah tersedia sejumlah kebijakan yang bisa sebagai instrument hukum dalam menaggulangi kejahatan trafiking. Misalnya Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga, UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dan tanggal 20 Maret 2007 pemerintah Indonesia dan DPR telah mengesahkan UU No 21 tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang (UU PTPPO). Undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri telah mengatur secara rinci pasal-pasal mengenai perlindungan TKI, ketentuan pidana bagi fihak yang malakukan pelanggaran, sistem pengawasan dan masih banyak lagi pasal yang mengatur hubungan kerja terkait dengan penempatan tenaga kerja di luar negeri.24 Tetapi 4.
24
Romani Sihite, Perempuan, Kesetaraan, & Keadilan .............. 36
An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015 | 97
Dyah Nawangsari
munculnya berbagai persoalan dalam pelaksanaan di lapangan merupakan bukti bahwa pemerintah telah gagal mengimplementasikan regulasi yang ada. Kegagalan itu diakibatkan banyaknya penyimpangan-penyimpangan dan berbagai praktik ilegalsejak awal perekrutan, penempatan kerja pada majikan sampai kembali ke tanah air. Penyimpangan itu sendiri banyak dilakukan oleh calo maupun agen PJTKI dan bekerja sama dengan okmum-oknum pejabat yang tidak bertanggung jawab. Banyak pungutan-pungutan illegal yang dilakukan oleh oknum pejabat yang tidak bertangung jawab sebagai upaya pelicin untuk meloloskan penyimpangan yang terjadi. Belum lagi pemalsuan identitas misalnya Kartu Tanda Penduduk dan paspor akan menambah masalah tatkala para TKW sudah berada di Luar Negeri karena mereka akan berstatus illegal atau pendatang gelap. Keberadaan UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sendiri ternyata belum memiliki cukup pengaruh terhadap upaya pemberantasan trafiking. Disamping karena relative masih baru, kurangnya sosialisasi mengakibatkan masyarakat belum banyak tahu keberadaan undang-undang tersebut. Bahkan meski persoalan trafiking sudah lama terjadi di tanah air dan memakan banyak korban, masih sedikit masyarakat yang mengetahui persoalan trafiking baik modus operandi maupun akibat buruk yang mengikutinya. Keberadaan UU anti trafiking memang cukup efektif untuk mempersempit ruang gerak pelaku tindak kejahatan ini. Namun sebuah kekeliruan besar manakala muncul anggapan bahwa persoalan trafiking bisa terselesaikan dengan undang-undang ini. Banyak hal yang harus diselesaikan pemerintah terutama untuk menanggulangi akar penyebab timbulnya trafiking, yaitu masalah kemiskinan dan dan kurangnya pendidikan. Ini dikarenakan trafiking merupakan permasalahan kompleks yang butuh penanggulangan secara menyeluruh. Keberadaan peraturan apa pun bentuknya bila tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh hanya akan menjadi dokumen yang tidak "bergigi", yang keberadaannya sama dengan ketiadaanya. KESIMPULAN Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Trafiking merupakan salah satu bentuk kejahatan kemusiaan yang harus diwaspadai. Penyebab trafiking tersebut antara lain, karena ketidakberdaya-
98 | An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Tindak Pidana Human Trafficking
2.
3.
an perempuan sebagai akibat struktur sosial yang timpang. Penyebab lain adalah pendidikan rendah yang mengakibatkan perempuan tidak cukup peka terhadap penipuan yang menjerat mereka. Selain itu lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja migran perempuan, dikarenakan penyimpangan terhadap regulasi yang ada. Praktik trafiking itu sendiri hamper identik dengan tindak kekerasan terhadap korban. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut antara lain, kekerasan fisik berupa pemberian beban kerja di luar kemampuan manusia dan penyiksaan fisik, kekerasan seksual berupa pemerkosaan, kekerasan psikis berupa penghinaan dan penelantaran dengan mengabaikan hak untuk mendapatkan makanan yang layak, hak untuk memperoleh pengobatan dan untuk beristirahat. Dalam menghadapi persoalan kekerasan terhadap perempuan korban trafiking belum banyak yang dilakukan pemerintah. Keradaan regulasi untuk mencegah tindak kejahatan kemanusiaan tersebut masih belum efektif dalam tataran pelaksanaannya. Disamping kurangnya sosialisasi, mekanisme kontrol yang lemah menyebabkan keberadaan regulasi itu nyaris diabaikan.
An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015 | 99
Dyah Nawangsari
DAFTAR PUSTAKA Departeman Agama RI, Al Qur'an dan Terjemahannya, (Jakarta: DEPAG RI, 1989). Eggy Sudjana, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia. (Jakarta: Renaisan, 2005). Faqihuddin Abdul Kodir, dkk.. Fiqh Anti Trafiking Jawaban Atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, (Cirebon: Fahmina Institute, 2006). Farid, M. Miftah. Makalah. Prosedur Buruh Migran Indonesia dan Permasalahan yang dihadap, 2006). Ibnu Katsir, Tafsir al Qur'an al `Adhim, (Kairo: Dar al Fikr, tt). Lotte Kaeser, Makalah: Tinjauan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Pertemuan Konsultasi Pemangku Kepentingan, (Surabaya: 12 April 2007). Rahayaan, Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan, Jakarta, September :2006. Romani Sihite, Perempuan, Kesetaraan, & Keadilan Suatu Tinjauan Berwawasan Gender., (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007). Surat Kabar Media Indonesia, Editorial (05 Juli 2006). Thabathaba'i, Al Mizan fi Tafsir al Qur'an, (Beirut: Mu'assasah al 'Alamy li al Mathbu'at, tt). www.stoptrafiking.or.id www.iom.or.id.
100 | An-Nisa', Vol. 8 No. 1 April 2015