STULOS 12/2 (September 2013) 211-244
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN: REFLEKSI SEMINARIAN INJILI
Togardo Siburian
Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk meninjau ulang konsep keilmuan teologi dan penelitian kepustakaan (library research) yang umum dalam Skripsi dan Tesis studi teologi. Secara tertentu jenis metode ini sangat unggul untuk mengembangkan keilmuan teologi, yang bekerja dalam refleksi sistematis (logis). Keilmuan teologi secara konseptual terkategori riset berpendekatan kualitatif yang bertugas memahami, menilai, dan menafsirkan data. Hanya saja kurang melihat pentingnya proses kajian pustaka dalam hal menggali informasi dari buku-buku perpustakaan yang setara dengan penelitian kancah (lapangan) dalam meraih gelar akademis. Prosedur baku, prinsipnya standar, bukan sekedar penulisan yang menggunakan kutipan, yang cenderung jatuh dalam plagiatisme. Dengan demikian teologi dapat juga terpandang dalam pengerjaan keilmuannya, walau pada tataran konsep-konsep teoritis. Selama ini skripsi dan tesis teologi terbilang hanya pada tahap bab 2 saja dari proses ilmiah formal. Walaupun berdasar pada data dari tulisan-tulisan yang sudah ada, teori yang dihasilkan harus tetap secara kreatif dan inovatif dalam gagasan spekulatif. Tidak ada salahnya memakai riset kepustakaan Tugas Akhir (TA) teologi Injili. Namun tetap perlu pengerjaan lebih baku yang terlampir. Kata kunci: Keilmuan teologi, penelitian kualitatif, metode kepustakaan, proses-prosedural, skripsi/tesis, injili.
PENDAHULUAN Studi Teologi biasanya bekerja dalam refleksi sistematis berdasarkan studi pustaka. Dalam skripsi/tesis teologis, penelitian perpustakaan sering kurang ditangani dengan baik, hanya merupakan prosedur baku dan menitikberatkan pada penulisan. Jika ditanya, maka mahasiswa injili selalu
212
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
mengatakan “sedang menulis” dan melupakan bahwa inti TA dalam skripsi adalah penelitian. Jadi tidak seperti menulis buku, yang tanpa melibatkan prosedur formal akademis. Khusus lulusan S.Th./M.Th. selama ini hanya menunjukkan hasil akhir tanpa memperlihatkan aktivitas riset yang terlampir. Akademisi Injili teologi harus melihat itu secara positif, dengan meninjau kembali hal-hal dasar yang harus dipegang dalam tugas akhir, yaitu: 1) “must always be objective” dalam arti 2) “is an act of discovery” yang dalam riset perpustakaan termasuk 3) must be involves going to the library, collecting information from books, jadi semua ini melibatkan aktivitas mendalam 4) the process of research [isn’t] basically finding facts that agree with my opinion only”, karena 5) “everythings you read in the text books is true [facts]”, dengan mengingat juga 6) “a big difference between facts of sciences and the facts in the humanities”.1 Singkatnya, yang utama dalam riset skripsi/tesis adalah tentang proses dan bukanlah tentang hasil. Dengan demikian keterampilan mahasiswa teologi dalam menulis esai dan opini, bahkan makalah harus diperluas dalam penelitian perpustakaan formal dan lengkap dalam skripsi/tesis. Menurut penulis, yang paling genting bagi seorang penulis skripsi/ tesis teologi, jenjang apapun, yang sekaligus terlupakan oleh dosen di seminari adalah kegiatan “siluman” tanpa format penelitian baku. Bahkan menulis skripsi S1 dan tesis S2, khususnya di seminari Injili, seringkali dilakukan seperti menulis makalah (semesteran) 12-15 halaman yang ‘dipanjang-panjangkan’ menjadi 80-100 halaman. Kesannya aktivitas penelitian tidak mementingkan ‘proses’, tetapi hanya menyerahkan tulisan jadinya saja. Kelak skripsi dan tesis teologi tidak boleh lagi dikerjakan seperti menulis makalah semesteran, tetapi harus ada langkah prosedural secara formal. Untuk itulah skripsi (dan tesis) pada penelitian perpustakaan (library research) dalam studi teologi harus mulai menyadari keutamaan proses 1
Lih juga dan bdk Bruce Ballenger, The Curious Researcher: A Guide to Writing Papers (revsd prin, Boston, London, Etc: Allyn & Bacon. 1999), 2.
JURNAL TEOLOGI STULOS
213
baku penelitian yang terlampir secara formal, bukan hanya hasil cetak akhir saja. Sehingga para akademisi injili tidak perlu tergopoh-gopoh untuk langsung mengganti riset kepustakaan dengan riset kancah (baik secara kuantitatif dan kualitatif). Namun begitu, jika ada murid yang ingin turun ke lapangan, maka tidak boleh juga langsung ditolak dengan anggapan terlalu berat. Faktanya riset lapangan lebih ringan energinya, --tetapi hasilnya lebih maksimal dalam fakta-- dibandingkan berpikir filosofis dalam riset kepustakaan. Kondisi itu dapat kontra-produktif bagi bobot sang dosen juga, karena mungkin akan dinilai oleh mahasiswa, “How much I get out of school depends on the quality of my teachers.”2 Pernyataan itu tentu terkait pada kualitas dosen akan pemahaman ragam-ragam riset akademis. Disinilah idealisme tugas dosen untuk membimbing bukan menghakimi, dengan mengatakan, “Anda tidak sanggup riset lapangan karena S1”; karena itu bisa menjadi ‘senjata makan tuan’, “Kamu juga!” Disini dibutuhkan kesadaran para dosen teologi -yang hanya biasa pada studi kepustakaan-, untuk meningkatkan kemampuan riset lapangan. Perguruan Tinggi Teologi harus mempelopori kebebasan akademis bagi murid sebagai “... the breath of life of democratic society”3, sambil tetap mengingat terus “the need is greatest in the fields of higher learning, where the use of reason and the cultivation of the highest forms of human expression are the basic method.”4 Itu adalah modal dasar dosen sebagai pelopor perguruan tinggi yang dituntut komitmen akademis yang terkait dengan riset. Sebab “without freedom to explore… and advocate solutions to human problems, the faculty member and student cannot perform their work…”; walau harus tetap diingat juga “but the purpose of our liberty lie, in a democracy, in the common welfare…that the men
2
Ibid. Louis Joghin, ed., Academic Freedom and Tenure: A Handbook of The American Association of University Professors (Wisconsin: The University of Wisconsin Press, 1967), 47. 4 Ibid., 48. 3
214
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
concerned speak their minds without fear of retribution.”5 Disini kelak, seminari akan terpandang di dalam masyarakat (khususnya gereja), ketika menyadari statusnya sebagai pencerah masa kini melalui riset yang konkrit. Namun yang tetap perlu diingat bagi mahasiswa injili adalah, kebebasan akademik bukanlah anarkhisme berpikir tanpa sistem pemikiran teologis yang konsisten. Idealisme “pemikir bebas” bukanlah berarti bebas dari aturan sebagai seorang calon sarjana-pelayan gerejawi.
Teologi sebagai Kegiatan Keilmuan Aplikatif Kata “ilmiah” pada masa kini sering diperlawankan dengan kata “alamiah” di dalam keilmuan. Hal ini dikarenakan oleh dasar paradigma metodologi riset yang berbeda, bahkan berlawanan dan tidak bisa disatukan penggunaannya. Artinya, yang satu dengan kajian positivistik dan yang lain dengan kajian naturalistik. Itu antara pembuktian material empiris, yang kedua pembuktian pengalaman natural: cara pertama disebut “logika induktif” dan cara kedua disebut “logika deduktif.” Keduanya adalah sama-sama bidang studi keilmuan dalam cabangcabang yang berbeda. Sedangkan teologi lebih bersifat deduktif dalam cara berpikir spekulatif-konseptual. Sebenarnya studi teologi memakai cara pikir yang komplit antara metode induktif dalam penafsiran Alkitab, dan deduktif dalam analisis data untuk rumusan doktrinal. Singkatnya, komprehensi pengetahuan hidup sehari-hari, tanpa harus mereduksi kebenaran supranaturalisme Kristen menjadi naturalisme saja. Teologi melakukan refleksi sistematis dengan pertimbangan unsur iman supranatural berdasarkan wahyu Allah, sedang filsafat ilmu sebagai “ilmu dari ilmu-ilmu” yang mengkaji bagaimana keberadaan disiplin ilmu-ilmu itu dari dasar mengadanya (esensinya). Selanjutnya, studi teologi sebagai layaknya disiplin ilmu Humaniora yang melakukan kajian interpretif, penafsiran paham. Istilah yang membuat saintis empirik tidak ‘rela’ memasukan Humaniora sebagai studi keilmuan, karena hanya dianggap 5
Ibid.
JURNAL TEOLOGI STULOS
215
“seperangkat sikap dan tingkah laku antar sesama” dan tanpa melibatkan metode-metode keilmuan. 6 Padahal ilmu itu telah digolong-golongkan oleh para ilmuwan sendiri dalam kategori: 1) ilmu murni (dasar) dan ilmu terapan, 2) ilmu abstrak dan ilmu konkrit, 3) ilmu empiris dan ilmu rasional (non empiris), 4) ilmu teoritis dan ilmu praktis dll. 7 Disinilah teologi sebagai ilmu pelayanan (terapan, praktis, rasional) harus melihat fungsi perspektival, yang tugas refleksinya mencakup seluruh ciptaan. Inilah yang dimaksudkan dengan “ilmu integral” berbeda dengan ilmu-ilmu khusus, ditambahkan pada pengkategorian di atas. Secara normal, teologi adalah suatu disiplin ilmu mengenai kepercayaan Kristen berdasarkan wahyu Allah tidaklah irasional, karena status pewahyuan yang supra-rasio, maka prinsip non-rasional harus dimengerti sebagai “tidak selalu harus tunduk pada rasio” dalam kegiatan ilmiahnya. Pada teologi injili, iman adalah syarat yang mendahului pengertian teologis, dan tanpa iman tidak seorangpun berhak mengerti teologi otentik di dalam keselamatan, tetapi hanya keagamaan saja. Artinya dalam studi teologi, iman adalah akal yang diperluas jangkauannya sampai pada wahyu Allah, sehingga akal harus ditundukan di bawah kedaulatan Allah. Ini tentu tidak sama dengan “teologi natural” abad pertengahan yang dirasionalisasikan secara teramati secara inderawi. Karena prinsip ‘non-rasional’ dalam sistem teologi adalah tidak selalu harus tunduk pada penghakiman rasio, namun bukan berarti irasional. Disini dalam keilmuan teologi injili adalah teologi revelasional, bukan label ‘teologi natural’ lebih berkegiatan filsafat saja daripada teologi. Dalam teologi wahyu, iman adalah realitas praktis bukan metafisis. Jadi rasionalitas dalam berteologi bukanlah hanya bukti-bukti empirik seperti dalam keilmuan modern yang berparadigma positivistik dan naturalistik semata. Memang benar teologi pernah direduksi ke dalam 6 Lih. L. Willarjo, Ilmu dan Humaniora, “Ilmu dalam Perspektif”, Jujun S. Suriasumantri, ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 237. 7 The liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1999), 156-7. Dalam bukunya, The Liang Gie kurang berhasil secara eksplisit melihat kategori “ilmu integral dan ilmu khusus”.
216
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
sosiologi, bahkan psikologi saja, yang dikerjakan dalam kajian agamakeberagamaan saja, bukan dalam ranah keselamatan. Secara aksiomatik, studi teologi bukanlah seperti studi agama, yang menekankan kajian tingkah laku sosial-psikis manusia, tetapi iman dan wahyu. Inilah secara sederhana teologi injili dapat menyebut diri sebagai “imanologi”,8 yang terkait dengan penyataan Alkitab “iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr. 11:1), sekaligus “Tunjukkan iman dari perbuatan maka akan menunjukan perbuatan dari iman (Yak. 1:15). Sehingga iman melampaui tingkah-laku, sekaligus mengandung kelakuan keselamatan. Untuk itulah asumsi awal kepercayaan di atas adalah sebagai premis yang mengkover motif penelitian, misalnya, “segala tulisan Alkitab pastilah benar dan penting bagi masa kini”. Jelas itu bukanlah alasan atau pentingnya penelitian, seperti yang diduga orang yang menolak adanya asumsi penelitian. Ternyata itu adalah asumsi penelitian yang akan bertindak sebagai “premis mayor”. Jika masuk ke dalam skop lebih kecil lagi dan khusus dalam konteks spesifik penelitian, misalnya “Bagaimana pentingnya 2 Timotius pada kondisi ketidakbergerejaan mahasiswa Kristen pada masa kini”. Maka itu akan bertindak sebagai “premis minor” yang mengandung jawaban hipotesis juga. Biasanya fungsi premis minor akan menjadi hipotesis formal dalam penelitian kuantitatif. Namun dalam penelitian kualitatif tidak serta-merta harus menjadi hipotesis formal, karena hanya ada satu fokus penelitian. Maka penelitian perpustakaan selama ini, tidak ada variabel yang formal, layaknya penelitian kualitatif. Namun ada dua subjek kajian yang berfungsi sebagai fokus, yang secara dinamis berfungsi sebagai “working hipothesis” di dalam pikiran pengkaji. Karena dalam penelitian kualitatif tidak bisa disebut “variabel yang riil” karena tidak ada hubungan korelasi pengujian antara variabel dipengaruhi dan yang mempengaruhi. Namun tetap ada semacam, yang dianggap sebagai 8
Lih. dalam “Iman dan Studi Teologi” Sola Fide dan Pergumulannya Masa Kini, ed. Togardo Siburian (Bandung: Penerbit STT Bandung, 2008), 266.
JURNAL TEOLOGI STULOS
217
variabel penelitian yang disebut sebagai ‘faktor’ atau ‘subjek’ saja agar tetap terfokus kajiannya. Keilmuan teologi adalah suatu disiplin ilmu yang berkarakteristik saintifik juga dalam prinsip-prinsip kegiatan ‘logia’ nya, yaitu rasionalkomprehensif. Meski tidak harus empirik, karena termasuk ilmu praktis dalam penerapannya, karena penelitiannya diangkat dari persoalanpersoalan faktual dan konkrit dari kehidupan iman Gereja. Kajian teologi bersifat refleksi sistematis mengumpulkan fakta-fakta, menafsirkan, menilai, dan memahaminya secara utuh, layaknya disiplin humaniora. Itu dinamakan metode intepretif dari studi teologi lebih bersifat kualitatif dalam penelitiannya. Dan itu sering berbeda dengan studi keagamaan yang melihat tingkah laku beragama seseorang secara -sosial dan psikissehingga dapat cocok memakai riset kuantitatif. Secara teoritik dan praktik, penelitian kualitatif dan kuantitatif sangat berbeda dalam desain sistemik dan paradigma keilmuannya. Namun secara salah-kaprah beberapa teolog ingin menggabungkannya dalam satu penelitian teologi.9 Ini adalah nafsu kreatifitas yang ‘kebacut’ ketika ingin mengintegrasikan ilmu-ilmu yang berbeda konten, seperti menyatukan Anjing dan Kucing dalam film kartun cat-dog. Faktanya, harus diingat peneliti kuantitatif yang otentik tidak pernah berpikir keilmuan kualitatif, sebaliknya peneliti kualitatif tidak pernah memikirkan data kuantitatif. Bahkan, ilmuwan empiris tidak pernah memperbolehkan teologi masuk ke dalam keilmuannya, sementara teolog ingin memasukan sains ke dalam ilmu teologi secara sepihak. Disini prinsip integrasi ilmu dengan teologi tidaklah sama dengan prinsip perspektivalisme pada kajian teologis. Karakter Kualitatif dari Penelitian Kepustakaan Era pasca-modern membawa angin segar bahwa yang dimaksudkan dengan ilmiah bukan hanya positifvistik saja, tetapi juga pos-positivistik, 9 Faktanya orang orang ini secara sepintas terpengaruh oleh buku Andreas Subagyo, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif: Termasuk untuk Studi Keagamaan dan Teologi (Bandung: Kalam Hidup, 2004).
218
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
dengan mencari realitas sesudah atau melampaui fenomena yang teramati. Disinilah pintu masuk ilmuwan dapat mengerjakan ilmu paradigma naturalistik berdasarkan pendekatan kualitatif. Di sini prinsip non-rasional teologi pun tetap dipandang rasional dalam sistem logika yang lebih komprehensif, yang dinamakan “logika saintifika”, bukan hanya logika empiris-positivistik yang melakukan kuantifikasi. 10 Thomas S. Kuhn menilai pengetahuan berparadigma positivistik banyak anomalinya, serta harus ditinjau secara kritis, dan yang secara historis sebagai paradigma “normal science” yang melihat perkembangan ilmu secara akumulatif. Kuhn melihat paradigma “revolutionary science” dalam perkembangan yang silih mengganti.11 Hal itu dikerjakan dalam paradigma naturalistik, yang sekarang disebut juga “paradigma konstruktif”12 yang perspektifnya dikerjakan secara solid melibatkan kerangka konseptual, perangkat asumsi, perangkat nilai dan perangkat gagasan yang mempengaruhi tindakan riset.13 Pendekatan kualitatif tersebut bertolak belakang dari kuantitatif, yang berparadigma positivistik. Keunikan karakter penelitian kualitatif memang hasilnya dapat dirundingkan bersama dan lebih alamiah, manusia sebagai alat, ada fokus, desain sementara, peneliti sebagai instrumen.14 Hasil yang lebih komprehensif inilah yang membuat jenis penelitian kualitatif ‘naik daun’ pada era yang sudah tidak percaya lagi pada rekayasa angka statistik. Disinilah teologi sebagai suatu ilmu aplikatif, secara terbatas dapat mengambil manfaat untuk mengembangkan keilmuannya di lapangan, melampui riset pustaka saja, khususnya pada TA akademisnya. Dengan demikian latar belakang permasalahan dalam riset pustaka teologis harus tetap konkrit pada kenyataan hidup sehari-hari. Karena prinsip studi 10 Lih. W. Poespoprodjo, Logika Saintifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu Pengetahuan (Bandung: Pustaka Grafika, 1999). 11 Lih. Thomas S Kuhn, Structures of Revolutionary Science. 12 Agus Salim, Teori & Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 72. 13 Ibid., 59, sumber asal dari Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru IImu Komunikasi dan Ilmu Sosial (Bandung: Rosdakarya, 2003), 8-12. 14 Lih lengkapnya perbedaan metodologi kualitatif dan kuantitatif dalam Lexy Moleong, Metodologi Kualitatif, edisi revisi (Bandung: Rosda Karya, 2005), 30-37.
JURNAL TEOLOGI STULOS
219
teologi adalah “tidak dapat berteologi dalam ruang kosong”. Teologi perenial yang disukai kalangan injili adalah mengingkari hakekat berteologi injili itu sendiri. Disinilah teolog injili harus melepaskan diri parenialisme dalam kegiatan berteologi. Khususnya selama ini banyak skripsi/tesis dikerjakan dengan bangga berdasarkan ide-ide abstrak dari pemikiran impor barat saja, tanpa menimbang keniscayaan teologi kontekstual (pada situasi-kondisi lokal). Ini sejalan dengan visi perguruan tinggi, termasuk Seminari di Indonesia, yang secara eksplisit harus mengkaitkan diri dengan dimensi pengabdian masyarakat dalam penelitian teologisnya. Jadi tidak bisa lagi hanya konsep teologis abstrak pada kutipan ayat yang secara penyederhanaan. Sejak teologi injili mengakui kebenaran Alkitab penting bagi segala zaman dan waktu, maka merupakan presuposisi untuk melihat latar permasalahan secara konkrit. Teologi dapat mengambil manfaat lebih besar lagi pada masa kini dalam kajian reflektifnya, namun tetap konkrit dalam prinsip yang disebut “perspektivalisme” dan “antiabstraksionisme”.15 Karena prinsip-prinsip kualitatif dapat dipakai secara konstruktif di dalam pendekatan naturalistik daripada positivistik. Teologi sebagai studi iman tidak mungkin melakukan kuantifikasi pada pokok kepercayaan rohani. Karena masalah rohani tidak begitu saja dapat diselidiki secara penghitungan atau pengukuran numerik, di dalam tingkah laku sosio-psikis keberagamaan. Walau beberapa teolog mencoba menggabungkan untuk menyeimbangkan kedua metodologi -kualitatif dan kuantitatif-, ini harus mengingat karena asumsi dasar (aksioma) tidak bisa digabungkan, antara positivisme dan naturalisme. Jadi hanya bisa pilih satu, apakah kuantitatif atau kualitatif dalam satu penelitian. Jika ingin dikerjakan keduanya, maka harus melakukan dua penelitian sekaligus dengan hasil yang beda juga, namun bisa saling melengkapi.
15
John Frame, Doktrin Pengetahuan Tentang Allah, ter.j, (Malang: Literatur SAAT,
2004).
220
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
Menerobos “No Entry, No Research” untuk Penelitian Kepustakaan Penelitian kepustakaan dari cara kerjanya termasuk kualitatif hanya mengungkapkan ‘sedang menulis’ skripsi, dan bukan hakikat penelitian dalam TA akademis, hanya mengungkapkan opini pribadi yang didukung pendapat orang lain melalui buku, dan belum sebagai penelitian yang sesungguhnya. Prinsip kualitatif yang terutama adalah “no entry no research” atau “tidak ada penelitian kalau tidak masuk lapangan”. Di atas telah ditemukan bahwa riset pustaka pada esensinya adalah studi kualitatif juga. Maka peneliti kepustakaan harus masuk perpustakaan sebagai lapangan penelitiannya untuk memperoleh informasi faktual. Jadi bukan hanya opini pribadi. Biasanya dalam penelitian lapangan itu menggunakan pertanyaan wawancara pada ‘informan’ yang terpilih sebagai sampel bertujuan. Dalam studi lapangan yang normal termasuk sebagai pengujian faktual. Jadi bukannya tidak ada pengujian dalam penelitian perpustakaan, hanya saja pengujiannya bersifat rasional di dalam argumentasi penalaran yang runtut pada proposisi premis-premisnya. Jadi pengujian rasional tidak selalu pembuktian empiris. Sebagai perbandingan, riset kuantitatif dengan angket mengatasi prinsip “no entry no research”, walaupun secara praktis, lapangannya boleh saja dianggap dikatakan “semu” karena tidak riil turun ke lapangan. Peneliti kuantitatif hanya mengunjungi dan menyebar angket pada responden acak, lalu bisa pulang dan menunggu di rumah (atau di hotel). Kemudian datang lagi untuk mengumpulkan isian untuk dianalisis secara penghitungan statistik; menguji hipotesis berdasar fakta lapangan.
Format Riset Kepustakaan dalam Skripsi/Tesis Teologi Dari bagan keseluruhan riset formal TA dibawah ini.16 Ini adalah bagan 16
Dari Nana Sudjana, Tuntunan Menyusun Karyta Ilmiah: Makalah, Skripsi, Tesis Disertasi (Bandung: Sinar Algensindo, 2001), 12.
JURNAL TEOLOGI STULOS
221
umum format skripsi/tesis penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Kalau melihat pola desain penelitian lengkap untuk tugas akhir skripsi, tesis atau disertasi, jelas studi kepustakaan dalam teologi tidak melakukan kegiatan riset lapangan secara formal. Tetapi secara tidak sengaja sebenarnya telah melakukan penelitian di lapangan dengan prinsip-prinsip penelitan lapangan. Ini karena secara khasat mata, skripsi dan tesis teologis pustaka tersebut hanya dilakukan dalam level pertama, yaitu kajian pustaka dalam rangka pembentukan teori yang sudah ada. Namun peneliti kepustakaan yang jeli harus mencari gagasan baru dan kreatif bagi dirinya sendiri dalam rangka merumuskan konsep teori baru. Ini pun suatu teori baru juga, walau belum sempat diuji di lapangan.
222
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
Faktanya, terlihat bahwa penelitian perpustakaan dalam tugas akhir studi teologi selama ini ‘hanya mengerjakan bab 2’ saja dari pola kegiatan riset ilmiah yang umum. Namun demikian tinjauan literatur (pustaka) adalah bagian penting karya ilmiah, yang jika dihapuskan akan menjadikan tidak ilmiah sama sekali, karena tidak ada teori-teori yang selama ini ada dan dipakai untuk kajian di dalam lapangan. Untuk itulah beberapa orang melanjutkan tesis S2 dan menjadikannya Disertasi S3, dalam survei kualitatif dengan melakukan wawancara di lapangan serta menafsirkan kembali teorinya dulu. Tinjauan teoritis yang dihasilkan dari kajian pustaka (bab 2) tersebut biasanya akan menyoroti: 1) teori topik, 2) teori kerangka teologisnya, dan 3) kadang ditambah dengan teori kerangka metodologi yang akan digunakan. Selanjutnya sudah diketahui bahwa satu skripsi riset perpustakaan teologis hanya mengerjakan kajian pustaka tersebut. Karena dalam skripsi perpustakaan tetap mengandung sedikitnya dua tinjauan teoritis pada topik yang muncul (bab 2), dan teori kerangka kerja untuk menyelesaikan permasalahan (bab 3), dan Bab 4 temuan dalam penyelesaian masalah secara khusus berdasarkan sorotan topik yang telah dijabarkan dari perspektif kerangka teoritis yang dirumuskan di bab tiga, seperti: kerangka etik, kerangka apologetis, kerangka pastoral, kerangka biblika dll. Sorotan itulah akan menghasilkan prinsip-prinsip penyelesaian masalah secara teoritis dalam bab empat, sebagai hasil penelitian skripsi. Jadi bab satu, bab kedua, bab ketiga, dan keempat harus saling terkait dalam aliran sistematis dan dibundel jadi satu skripsi/tesis. Akhrinya format penelitian dapat diringkaskan dalam kajian pustaka langkah demi langkah berikut. Bab 1: Pendahuluan: latar belakang permasalahan, identifikasi topik nya serta rumuskan dalan satu kalimat pertanyaan. Bab 2: Kajian teoritis mengenai topik yang dipermasalahkan secara komprehensif sejalan yang dikemukan pada bab 1. Bab 3: (catatan: pengganti bab metodologi yang diturunkan dari elemen kerangka pemikiran bab 2 umum): Kajian teoritis
JURNAL TEOLOGI STULOS
223
kerangka teologis yang akan digunakan sebagai landasan berpikir untuk pemecahan masalah). Bab 4: kajian teoritis untuk melihat temuan dan hasil pemecahan masalah secara teoritis dengan cara menyoroti bab 2 (topik yang sudah dijabarkan) berdasarkan bab 3 (kerangka kerja yang sudah didirikan) untuk menjawab rumusan masalah pada bab 1. Sehingga semuanya dapat dikatakan sebagai hasil penelitian juga secara teoritis berdasarkan kajian pustaka juga.17 (Namun pembimbing bisa juga melatih anak bimbingannya untuk belajar penerapan dalam proyek pelayanan, misalnya rancangan program pembinaan 6 bulan. Bab 5: Kesimpulan (tak perlu pakai saran). Ini dapat dibandingkan dengan skripsi S.Th. pada 20 sampai 30 tahun lalu, yang dilakukan tanpa konteks riil dan faktual dalam permasalahannya. Bahkan hanya konsep teologis abstrak atau prinsip teoritis semata-mata, yang biasanya ada dua topik yang diuraikan secara deskriptif: Bab 2: Latar belakang historis perikop dan surat (mis. Korintus yang lepas dari konteks permasalahan yang dirumuskan sekarang. Bab 3: Penafsiran tertentu dalam eksegesis kata tertentu atau makna eksposisi perikop Alkitab. Bab 4: Aplikasi, yang kadang terlepas dari permasalahan yang telah dirumuskan. Bab 5: Kesimpulan dan [memberi] saran Atau ada juga kajian pemikiran tertentu dari seorang teolog (barat) yang tidak ada hubungan dengan pergumulan gereja di Indonesia lalu 17
Bab 3: Metodologi (Bab ini tidak selalu terpakai dalam studi kepustakaan dalam Alkitab dan teologis, namun penting untuk penelitian empiris dan historis dalam ilmu ilmu sosial (Lih Joseph Tong, “Methodology Research”, classnote. International theological seminary 1997). Pada riset lapangan bab 4 di atas dites sebagai hipotesis yang akan diuji pada bab 3 di lapangan dan mengarahkan pertanyaan-pertanyaan yang akan dimunculkan di lapangan riset nanti. Dan hasilnya di bab 4 sekaligus ada bahasan mengenai penafsiran hasil penelitian setara dengan penelitian kualitatif bab 4 tersebut.
224
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
mengembang penulisannya seperti ini: Bab 2: latar biografis sang tokoh/pemikir Bab 3: Pemikiran khususnya (satu pemikiran atau ajaran tertentu) Bab 4: Kritik terhadap pemikirannya (sering juga implikasi ajaran) Bab 5: Kesimpulan dan Saran Semuanya dilakukan rata saja dan hampir tidak ada hubungan sistemik dari problematika permasalahan pada bab 1. Hal ini karena tidak ada perumusan masalah yang jelas. Faktanya, walau sudah ketinggalan masih ada juga yang menyarankan hal ini sampai sekarang. Penulisan skripsi seperti menulis bebas dalam penulisan buku selama ini. Padahal penulisan buku tidak sama dengan penulisan skripsi/tesis. Penyederhanaan riset akhir ini dalam kondisi homeletis harus ditinggalkan, jika ilmu teologi mau menolong gereja dengan objektif. Hanya saja pada akhir skripsinya, peneliti kepustakaan, tidak selayaknya memberi saran pada pihak-pihak tertentu, karena tidak pernah ke lapangan. Apalagi saran-saran yang salah-kaprah tersebut dilakukan dengan memberi nasehat pribadi bahkan khotbah, seakan-akan skripsi/ tesisnya akan dibaca. Ini yang dikatakan tidak realistik, yang sebenarnya itu bukanlah saran penelitian, tetapi hanya keinginan pribadi. Penelitian dan pelayanan adalah dua arena yang berbeda. Saran penelitian dapat dilakukan hanya sebatas membuka diri bagi orang lain yang ingin melanjutkan penelitian. Karena itu, salah-kaprah pada akhir skripsi/tesis itu perlu ditinjau-ulang oleh seminari, khususnya pembimbing.
Keutamaan Proses dalam Penelitian Kepustakaan Selama ini mahasiswa teologi ‘enak-enakan’ menulis skripsi tanpa melakuan riset sungguhan, tetapi langsung mengutip tanpa membaca yang mendalam, atau membaca hanya untuk mencari kutipan dari tulisan orang, tanpa berpikir sendiri dan menuliskan dari gagasannya sendiri. Jadi hasilnya secara ideal bukan hasil penelitiannya sendiri, tetapi disetir dan diarahkan oleh orang dari penulis buku lain yang ‘hebat’ dengan
JURNAL TEOLOGI STULOS
225
alasan pendukung, berdasarkan kutipan sepotong-sepotong. Apalagi buku-buku yang dipakai sering kali hanya diambil frase atau kata secara terpisah tanpa membuat kalimat peralihan untuk menghubungkan propopsi dan bukti dan jaminan pengertian yang selayaknya. Namun dalam studi teologis bukan berarti tidak ada kesamaan ciri keilmiahannya. Sedikitnya, riset pustaka yang dipakai dalam studi akhir teologi merumuskan problematika faktual, konkrit untuk ditindaklanjuti dengan proses operasionalnya dalam kajian informasi yang relevan dalam perpustakaan, yang dapat disetarakan dengan lapangan riset. Walau lapangan yang dimaksudkan tidak teknis, sehingga sering membuat kesan penelitiannya semu. Apalagi masalah penelitian tersebut adalah tidak ada permasalahan jelas, karena mencoba menolak latar belakang masalah yang konkrit dan faktual, yang memotivasi peneliti secara pribadi. Biasanya sudah puas dengan menuliskan kata “masalahnya adalah...” padahal kata “masalah” belum tentu teridentifikasi adanya masalah penelitian yang konkrit. Lalu menunjukkan pentingnya penulisan, yang sebenarnya di dalamnya ada asumsi penelitian bahkan praduga. Perumusan masalah harus melihat latarbelakangnya secara konkrit, di sekeliling kehidupan. Peneliti pemula dalam skripsi S1 selama ini menyamakan antara permasalahan pribadi dengan permasalahan riset. Kesalahan ini harus dihindari dalam permasalahan riset dengan mengidentifikasi adanya “gap” atau “celah” antara kegiatan, konsep, pendapat, kenyataan dan ideal, bahkan kemenduaan arti antar topik atau kebingungan, kontroversi antar sesuatu dengan sesuatu.”18 Inilah yang dinamakan permasalahan penelitian. Dan latar belakang penelitian ini sangat penting karena akan dilanjutkan dalam fokus penulisan untuk bab 2 dan bab 3. Biasanya bab 1 tidak sekali jadi. Terkait dengan permasalahan personal yang mendorong munculnya topik atau subyek tertentu dalam penelitian, maka harus dibarengi dengan riset awal atau mengumpukan informasi awal di lapangan dan membaca 18
Moh Nazir, Metode Penelitian Ilmiah, 133 (dst.).
226
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
buku agar teridentifikasi celah masalah secara riil, baru menuju kepermasalahan riset yang objektif dan formal. Di dalam bahasa lain, Booth, Colomb, dan Williams membedakan secara fase antara “practical problem” dan “research problem”. 19 Walau sayangnya dalam siklus pemecahan masalah diarahkan pada masalah praktis, dan bukan pada masalah risetnya yang telah dirumuskan dengan pertanyaan riset, tetapi masalah pribadi di lapangan pelayanan. Ini kesalahan umum dalam skripsi/tesis teologi selama ini. Ini adalah loncatan berpikir dari persoalan A lalu menyelesaikan C. Walau hasil riset dapat bermanfaat untuk menyelesaikan problem pelayanan kelak, seperti terdapat dalam bab 1 ‘manfaat penelitian’, tetapi itu bukanlah “tujuan penelitian”. Dengan demikian prosesnya dapat diperbaiki seperti di bawah ini:20
Proses penelitian kepustakaan secara relatif ada juga lapangan tempat penelitian dilakukan secara khusus. Rinciannya: Pertama, lapangan penelitian teologi adalah perpustakaan. Untuk itu semua orang yang riset pustaka harus masuk lapangan perpustakaan untuk mengamati langsung dan mencari informasi dan mengumpulkan data. Jadi tidak 19 Wayne C. Booth, Gregory G. Colomb, Joseph M Williams, The Craft of Research (Chicago: University of Chicago Press, 1995), 48-54. 20 Ibid., 49
JURNAL TEOLOGI STULOS
227
boleh tidak harus mengunjungi perpustakaan secara teratur dan formal. Kedua, dalam perpustakaan sebagai lapangan penelitian harus melakukan locating books 21 secara khusus, yaitu menempatkan buku-buku yang relevan dan menyimpannnya secara khusus dalam apa yang disebut dengan “perpustakaan pribadi”, seperti perpustakaan dalam perpustakaan. Jadi seharusnya diperbolehkan untuk melakukan apa yang disebut “reserved book” sang peneliti. Fasilitas bayangan ini bersifat sementara, lengkap dengan nama diri sang peneliti dengan menunjukan surat izin meneliti dari akademik. Sehingga peneliti harus rajin berjalan menelusuri lorong-lorong perpustakaan untuk melakukan skimming dan scanning buku di rak-rak atau bisa juga di komputer. Ketiga, kumpulan buku itu menjadi semacam ‘sampling’ jika dalam studi lapangan. Tentunya yang dilakukan adalah sampling bertujuan (kualitatif) dan relevan, bukan sampling acak (kuantitatif). Buku yang dipilih memang dianggap informan untuk menggali informasi dari dalamnya. Dalam skripsi/tesis riset pustaka, sampling ini juga tidak harus di rak khusus saja, tetapi bisa juga kumpulkan di atas meja. Sebaiknya harus diambil foto secara berkala agar proses aktivitas kelihatan dan dilampirkan di dalam skripsi/tesis. Foto ini lebih hemat dibandingkan dengan mengkopi setiap buku informasi yang dipakai, kemudian dilampirkan juga. Keempat, layaknya pendekatan kualitatif, penelitian kepustakaan juga harus menggunakan instrumentasi sarana secara formal. Instrumen utama adalah peneliti sendiri sebagai pelakunya dan juga ada instrumen pengumpulan data yang disebut “kartu pencatatan data” untuk mencatat informasi yang diperoleh dari hasil bacaan. Ini penting karena sejak semula diakui tidak boleh langsung disalin (kecuali ada alasan yang mengizinkanya, misalnya trianggulasi). Ini adalah teknik pengumpulan data yang harus terpenuhi dalam proses riset ilmiah. Sebenarnya lembar-lembar catatan ini sudah ada contohnya, tetapi tidak pernah 21
Thomas Mann, A Guide Library Research Method (New York, Oxford: Oxford University Press, 1987), 103.
228
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
menjadi perhatian serius pembimbing dan peneliti dalam penelitian kepustakaan selama ini.22 Para penulis skripsi/tesis lupa, bahwa yang terpenting adalah penelitian, dan penelitian adalah suatu proses dan aktivitasnya yang dinilai, bukan hanya hasil jadi. Contoh kartu pencatat data23 Subjek:______________ Bab:______ sub-bab:__________ Pengarang: Marga, nama. JUDUL BUKU, Kota: Penerbit, Tahun) Tempat : lokasi simpan Tanggal: (kapan baca) Halaman: (berapa) ================================================= Pemikiran utama/kutipan.............................................................................. ........................................................................................................................... Evaluasi/kritik(I)............................................................................................. ........................................................................................................................... Refleksi/koreksi(II).......................................................................................... ........................................................................................................................... Ulasan lanjut(III): (periksa silang) ................................................................. ........................................................................................................................... ...........................................................................................................................
Kartu-kartu catatan harus diisi untuk pemikiran periset buku apa yang dibaca, dikutip, dan pikiran apa yang dievaluasi, lengkap dengan tanggal dan tempat buku itu berada. Hanya saja, di dalam riset teologi, informasi dicari secara subjektif yang telah ditetapkan secara khusus. Namun secara umum tidak apa-apa, boleh juga asal ada pencatatan data resmi pada lembar catatan yang lain. Setelah selesai dengan buku tersebut, langsung ditutup dan dikembalikan atau diletakan di atas meja dan ganti membaca buku lain, dengan catatan yang baru tentunya. Hal pembacaan buku ini adalah teknik pengumpulan data setara dengan wawancara pada 22 Lihat saja dalam Moh. Nazir, Metode Penelitian Ilmiah (Jakarta: Ghalia,1989) juga bahkan untuk tingkat paper semesteran pun seharusnya dilakukan seperti yang dicontohkan oleh Anthony C. Winkler, Jo Ray McCuen, Writing Research Paper: A Handbook (third ed. Sandiego dll: HBJ Pub,1989), 35-46. 23 Kertas/Kartu putih ukuran 5x10 ini secara berkala harus dilaporkan kepada pembimbing dan pada akhirnya harus terlampirnya juga dalam lampiran penelitian di dalam Skripsi/Tesis.
JURNAL TEOLOGI STULOS
229
informan sebagai sampel bertujuan pada teknik pengumpulan data di lapangan. Atau pada riset kuantitatif biasanya dengan menyebarkan angket (questioner) untuk mencari data melalui responden sebagai sampel acak pada suatu tempat yang sudah dipilih. Jadi esensi penelitian tugas akhir teologis sama saja: ada sampling, lapangan, skedul waktu penelitian, pengumpulan data secara teknis serta analisis data. Hanya saja dalam studi kepustakaan teologi selama ini dilakukan secara langsung, mungkin karena tidak tahu prinsipnya atau membuatnya secara malas, seperti menulis paper semesteran. Adapun lapangan adalah perpustakaannya, sampling di sini dipakai dengan mengumpulkan buku-buku dan mereserved dalam perpustakaan khusus sendiri. Lalu membaca adalah cara memperoleh informasi relevan pada sampel terfokus dan bertujuan. 24 Kerja itu setara dengan wawancara dan angket di kancah lapangan. Jadi, layaknya riset kualitatif adalah peneliti itu sendiri melakukan pengumpulan data dengan cara membaca literatur secara komprehensif untuk memperoleh informasi yang relevan. Lalu menganalisisnya dan menyusun dalam topik-topik yang sudah tereksposisikan, bahkan kadang sudah ada kerangkanya. Peneliti kepustakaan memakai kartu catatan lapangan, yang biasanya hanya dibuat secara serampangan seperti membawa notes kecil. Kelak catatan-catatan ini dimasukan dalam lampiran skripsi untuk menegaskan bahwa penulis melakukan proses penelitian yang formal. Sejak pendekatan kualitatif harus mendapat tempat yang baik dalam arena skripsi teologi, maka kartu catatan lapangan yang formal harus menjadi keniscayaan riset kepustakaan. Jadi peneliti terhindar dari kutip-mengutip langsung dari buku-buku, tanpa mengumpulkan data secara formal lalu menganalisisnya. Kelak juga peneliti kepustakaan harus melakukan uji keabsahan data melalui bacaan yang lebih khusus atau lebih dalam, yang dicatat juga dalam kolom ulasan lain pada kartu pencatat. Namun bisa juga didiskusikan dengan pembimbing atau para pakar lainnya. Ringkasnya, prosedur dan teknik pengumpulan data dalam penelitian 24
Lih. lagi tabel jenis sampling Agus Salim, Ilmu Paradigma, 13.
230
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
kepustakaan, minimal dan melakukan pemeriksaan ulang (recheck) dan pemeriksaan silang (crosscheck), yang setara dengan trianggulasi data pada penelitian lapangan. Disini juga perlu adanya jadwal waktu yang tertera secara formal, misalnya 1 bulan bab 2, satu bulan bab 3, satu bulan perbaikan draft dan menyelesaikan pernak-pernik untuk maju sidang. Bahkan biaya penelitian pun direncanakan. Biasanya untuk menghemat waktu, maka waktu pagi digunakan untuk mencari data, sedangkan pada siang dan malam bisa menuliskannya. Harus ada waktu khusus dan formal mengumpulkan informasi dengan membaca serius namun cepat dan tepat. Lalu menuliskannya pada lain waktu; artinya tidak boleh selalu langsung bersamaan, seperti tulis paper saja. Menulis paper berbeda dari menulis skripsi/tesis dalam hal proses dan tuntutan kualitas riset bukunya. Dalam paper sering kali tidak ada permasalahan yang nyata untuk diselesaikan; mungkin hanya masalah pribadi saja. Namun dalam skripsi atau tesis masalah pribadi harus ditransform ke dalam masalah penelitian lengkap dengan latar belakang (faktual), lalu identifikasi permasalahan (konseptual) serta perumusan permasalah, lengkap dengan pertanyaanpertanyaan risetnya.
Instrumentasi dan Pengumpulan Data dalam Riset Kepustakaan Di dalam Bab 2 ini, peneliti meninjau kepustakaan untuk menurunkan teori berdasarkan pendapat dan hasil-hasil penelitian yang sudah ada dalam berbagai genre buku akademisi secara urutan riset: mulai dari 1) karya umum (ensiklopedia, kamus), 2) literatur berkala (termasuk koran serta majalah, 3) buku buku monografi, 4) material tidak terbit: diktat, skripsi, dokumen lembaga atau pemerintah, 5) artikel jurnal teologi.25 Bahkan tidak kalah penting informasi internet. Prinsipnya bagi peneliti teologis, Ensiklopedia dan kamus adalah sebagai informasi umum dan tidak
25
Lihat dalam Cyril Barber, Introduction to Theological Research, 17 dst.
JURNAL TEOLOGI STULOS
231
otoritatif dibandingkan dengan topik-topik khusus dalam jurnal akademik, bahkan tulisan-tulisan kesarjanaan akademik yang tidak terbit seperti skripsi atau tesis, yang merupakan hasil penelitian terakhir. Namun sayangnya diabaikan secara sadar oleh dosen yang kurang akademis dan murid yang salah pengertian tentang otoritas bacaan sumber informasi tersebut. Bahkan majalah rohani bisa juga penting, karena menyajikan fakta dan kadang juga mengandung dokumen pemerintah atau laporan LSM. Lebih lagi adalah catatan kesarjanaan seperti diktat kelas tidak kurang otoritasnya, dibandingkan buku monografi, ensiklopedia Alkitab/ kamus teologi. Jadi mengidentifikasi sumber sekunder atau primer adalah prlu, tetapi nilai otoritas juga tidak boleh diabaikan apalagi salah mengerti. Seperti pola yang diadopsi dari piramida terbalik Ballenger.26 Jadi sebagai dosen teologi tidak boleh dalam studi kepustakaan mengabaikan dan membimbing kurang akademis. Teologi sebagai ilmu khusus sangat maju dalam penelitian. Kiranya para murid menyadari kekeliruan selama ini. Jurnal akademik membuat menjadi lebih mendalam dalam pengetahuan secara khusus dan lebih otoritatif. Karena kepentingan teologi, saya menegakkan piramida terbalik itu dengan alasan teologi semakin meninggi pandangan, karena berani berbeda dalam pengakuan, bukan saja mendalam atau meluas dalam fakta-fakta, tetapi juga kebenaran akan meninggikan dalam sajian dan sekaligus meninggikan pandangan intelektual. Pembacaan mendalam pada literatur dalam level tingkat ini menghindari kesalahan dalam riset akademis yang bukan hanya sekedar pendapat pribadi saja. Tetapi setiap klaim ada dasarnya dan ada jaminannya, dapat di eksplanasikan dan diargumentasikan secara persuasif dengan bukti-bukti premis lain. Riset bukan hanya opini pribadi, kalau ada klaim harus ada alasan pendukung sebagai bukti dan terjamin dalam fakta-fakta yang terargumentasi secara persuasif. Pentingnya mengidentifikasi genre-genre akademik ini untuk melihat 26
Bruce Ballenger The Curious Researcher: A Guide ti Writing research Paper (second revised ed. Toronto Alyn and Bacon,1999), 10.
232
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
relevansi dan otoritas dari tulisan skripsi. Disinilah Cyryl Barber sebagai seorang pustakawan, mengetahui pentingnya tugas pustakawan untuk menolong periset pustaka. Seorang yang ahli dalam bidang keilmuan bukan hanya tahu cara mengatur rak, tetapi tahu juga tugas bagi kemajuan ilmu pengetahuan, mencintai pengetahuan dan ahli dalam menolong peneliti, seperti nyata dalam beberapa pertanyaan yang diungkapnya.27 Jadi bukan sekedar job yang tidak ada panggilan keilmuan. Hal yang mendasar sangat penting untuk mengantisipasi bobot riset pustaka. Pentingnya Ketrampilan Membaca dalam Penelitian Pustaka Penelitian teologis sejak awal (asalinya) telah menggunakan riset kepustakaan, yang sebenarnya adalah keunggulan studi teologi daripada ilmu empirik lain, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi dalam penelitiannya. Ilmuwan empirik kurang kuat dalam kajian teoritis pada tinjauan literatur. Cenderung tidak argumentatif dan eksplanatif, hanya deskriptif tulisan yang rata semata. Padahal survei lapangan atau eksperimen laboratorium paling penting dari kegiatan penelitian yang harus dilaporkan secara lengkap dari wawancara atau kuesioner. Dari observasi sepintas lalu pada disertasi doktoral tersebut, kajian teoritis dalam ilmu-ilmu non teologi sangat lemah dan jelek. Walaupun kelak akan menelurkan teori baru dari temuan lapangan, namun pemikiran teoritisnya kurang tajam, dalam dan jelas. Hal ini diakui oleh peneliti sosial lapangan, “...tetapi karena kepustakaan tidak dapat mengganti apa yang terjadi di lapangan dan kejadian aktual yang [teramati], maka banyak peneliti cenderung [mengacuhkannya]”.28 Namun banyak mahasiswa dalam TA mengalami rasa takut, salah berpikir, dan keraguan dalam menuangkan pemikiran, dan akhirnya 27
Ibid. 13. James A Black., Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, terj., (Bandung: Penerbit Refika Aditama, 1999), 286. 28
JURNAL TEOLOGI STULOS
233
mandeg dalam menulis. Kaum injili mengalami hal takut kesesatan ajaran29 lalu membaca buku untuk mencari “dukungan”, dan kemudian tidak berhasil menulis satu katapun sebelum mengambil langsung dari buku. Kendala ini sebenarnya dapat diatasi dengan prinsip skripsi adalah tentang meneliti bukan tentang menulis. Dalam penelitian adalah proses pentingnya mengumpulkan informasi dari membaca untuk mendalami topiknya, bukan untuk mencari kutipan. Dengan demikian penelitian harus rajin ke perpustakaan untuk mencari informasi yang relevan dan mengumpulkan data dalam catatan-catatan terpisah, bukan langsung mengetik isi buku pada laptopnya. Kebingungan selama ini jangan membuat mundur, tetapi disadari bahwa sedang meriset, karena kalau bingung itu berarti sedang berpikir dan lalu mencari informasi. Inilah prinsip penelitian kepustakaan yang selama ini tidak disadari, “aku bermasalah maka aku meriset”. Bingung adalah tanda berpikir dan meriset harus diasah terus menerus dalam diskusi kelas dan pembacaan lanjutan. Keunikan studi teologi adalah perdebatan, ibarat “makan sayur tanpa garam”. Disitulah mahasiswa akhir dilatih untuk berpikir dengan leluasa untuk menjawab kebingungan awal di dalam skripsi/tesis. Ketakutan untuk salah tidak mengurungkan niat untuk menuliskan pemikirannya, sebab salah mungkin tanda original. Jadi kutipan pada kajian pustaka dalam skripsi harus melalui pembacaan kritis dalam apa yang disebut book review bahkan book critique, baru akan menghasilkan suatu kutipan yang berpikir secara eksplanatif dan persuasi berdasarkan mentalitas mengkaji buku dalam “membaca sambil berpikir dan berpikir sambil membaca.” Kalau tidak melalui cara resensi buku, maka kutipan menjadi tidak bermutu bahkan tidak layak menjadi bahan referensi studi tingkat akhir. Seperti pembacaan buta huruf intelektual masa kini, yang membaca tanpa proses mengerti apa yang dibaca. Inilah kemungkinan besar para mahasiswa teologis itu jatuh ke dalam “memberhalakan buku tanpa minat literatur” 29
Lih tulisan saya khususnya melihat “Kemelekan Teologi dan Kepenulisan Injili” dalam Jurnal Teologi dan Misi STTIAA Vol 1/No 1 (Agustus 2011): 133 dst
234
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
dan hanya pajangan buku untuk memamerkan nama-nama pengarang atau judul-judul buku, yang mereka idolakan. Ini sama dengan buta-huruf intelektual masa kini, bisa membaca kata saja tanpa bisa mengerti maksud bacaan, dalam penilaian mendalam sampai mendapat pengertian yang baik. Kondisi itu lebih parah daripada biblioholicism, -penyakit kecanduan buku-, yang menurut saya sangat positif dan sikap intelektual.30 Jadi kutipan referensi akan bervariasi dalam debat, diskusi, menilai, bisa dikritik, diperpanjang, diperpendek, bukan sekedar sebagai pendukung melulu. Karena itu dalam tingkat pembacaan mendalam, suatu kutipan tidak harus berupa dukungan, tapi bisa juga penilaian kritik dan pendapat evaluatif tentang pendapat bahkan informatif data saja. Sejauh ini kurang diperhatikan ada buku yang membimbing proses riset pustaka secara operasional dan teknis prosesnya, yang ada sekarang hanya menginformasikan sebatas survey apa-apa saja yang ada di dalam perpustakaan, dan bagaimana mengidentifikasi buku-buku dalam indeks buku, paling jauh hanyalah informasi untuk penggunaan buku secara umum dan eksternalnya.31 Apalagi ada banyak pustakawan yang tidak berlatar belakang teologi, hanya tahu urutan-urutan buku saja di raknya. Jadi tidak banyak membantu seorang yang sedang melakukan riset. Memang harus dipikirkan bagi banyak STT untuk menyekolahkan muridnya satu sampai dua tahun mengambil S2 bidang perpustakaan dan informasi, lalu melayani di perpustakaan seminarinya. Daripada menyewa orang yang tidak mengerti buku teologi sama sekali, selain hanya bisa mengatur buku dan tidak mencintai teologi, bahkan hanya sebatas job karena proyek akreditasi. Pustakawan ‘sewaan’ akan melemahkan kualitas penelitian kepustakaan di seminari. Khusus seminari injili harus belajar untuk mempunyai 30
Lih. juga Toom Raade, Biblioholicsm: The Literary Addiction (Golden, CO: Fulcrum Pub., 1991). 31 Lih sedikit dalam Thomas Mann, A Guide Library Research Method (New York Oxford: Oxford University Press, 1987) . juga Cyril Barber, Introduction To Theological Research (Chicago: Moody Press,1982). Yang paling baru juga menunjukkan bahwa penelitian teologis dalam skripsi didominasi oleh studi pustaka seperti dalam Nancy Jean Vyhmeister, Quality Research Paper: For Students of Religion and Theology (Grand Rapids: Zondervan Pub, 2008).
JURNAL TEOLOGI STULOS
235
pustakawan yang diasuh oleh seorang dosen dibidangnya dan punya minat. Sebenarya peneliti kepustakaan masih dapat ditolong dalam proses membaca yang baik dan maksimal dalam kajiannya. Walau sama saja caranya sejak dulu, hanya pengertiannya perlu ditingkatkan sampai level intelegen. Untuk menyasar target tersebut, ada satu buku How to Read A Book yang menolong pengertian proses membaca yang efektif dan efesien dalam ruang akademis. Pada dasarnya “reading” adalah suatu aktivitas dan seni; untuk itu perlu membaca secara “active reading”32 yang peruntukannya ada dua fungsi: “reading for information and reading for understanding.”33 Dari fungsi pertama hanya pembacaan pasif untuk mencari informasi saja tanpa pengertian yang mendalam dan kritis. Tetapi yang kedua “reading for understanding” harus dimengerti sebagai reading as learning,” yaitu suatu proses pembelajaran ini harus seiring pada peneliti akademis yang menekankan “learning by discovery” (bukan “learning from instruction”)34 Di sini pembelajaran dari pengajaran yang sudah ada di dalam kelas akan menjadi titik tolak untuk melanjutkan pembelajaraan melalui penemuan sendiri di dalam pembacaan buku. Selanjutnya penelitian pustaka harus memahami dan meningkatkan proses yang selama ini dari level elementary reading menuju inspectional reading yang disebutnya sebagai “the true level of reading”, khususnya dalam level akademis dengan menggunakan teknik skimming. Pembacaan awal (pre-reading) adalah “superficial reading” bersifat provocatif 35 dan yang ketiga adalah “analitical reading”,36 di mana tahap seorang akademis harus mengarahkan seluruh kemampuan untuk menganalisis konten bacaan dan menentukan pesan penulis secara tepat, lewat pembacaan evaluatif dan kritis. Yang terakhir adalah level keempat yang dikatakan “syntopical reading” yaitu suatu pembacaan yang luas dengan melihat 32
Mortimer J Adler & Charles van Doren, How to Read the Book: A Classic Guide to intellegent Reading (New York: Touchstone Book, 1972 [1940]), 4. 33 Ibid., 7. 34 Ibid 11. 35 Ibid.31 dst. 36 Ibd. 59 dst.
236
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
semua topik yang mungkin terkait relevan 37 dalam pembacaan lintas tema. Seorang penulis skripsi/tesis teologi diharapkan sudah dapat sampai pada pencapaian tahap ini. Namun demikian penelitian harus menyadari dari kejatuhan selama ini, periset jatuh kedalam ‘compilation of quotation’38 yang tidak terkait secara analisis konten dalam kaitannya dengan pembacaan pendalaman pengertian. Padahal sebenarnya riset bukanlah sekedar kompilasi kutipan, disinilah kelemahan mahasiswa teologi dalam menulis yang dikarenakan tidak berani atau kurang berani mengungkapkan pendapat dan pemikiranya dalam tulisan, meski sangat baik dalam berbicara. Itu suatu yang salah dalam intetelektualitas teolog muda tersebut, nantinya. Seperti yang disarankan olah James Sire dalam bukunya The Habit of Mind, tidak ada kerangka pikir obyektif dan luas seperti intelektualitas versi fundamentalis, yang sempit dan mengabaikan membaca sambil berpikir dan berpikir sambil membaca. Pada bab 8, Sire mengungkap pentingnya “berpikir dengan membaca” dengan dua prinsip dasar: “pembacaan mengarahkan pikiran” dan “pemikiran mengarahkan pembacaan” 39 Jadi yang harus diperhatikan bukan hanya mencari dan menjejerkan kutipan, seperti pada kesalahan “maniak kutipan” yang hanya senang dengan pencanggihan nama orang untuk pamer dan cari dukungan saja. Hal ini dalam penelitian tugas akhir menjadi tidak komprehensif, akhirnya keahliannya pada topik tersebut bernilai kurang kreatif dan otoritatif juga. Kesulitan penelitian pustaka di Indonesia adalah buku-buku yang kualitas dalam pemikiran yang mendalam dan meninggi, yang biasanya ada dalam textbook berbahasa Inggris. Kelak kalau sudah banyak buku yang pemikirannya mendalam dalam bahasa sendiri, peneliti pustaka tidak bergantung lagi pada yang berbahasa asing juga, seperti halnya teologi Jerman, Prancis, Belanda dll. Namun kelemahan buku terjemahan bagi penulis Indonesia karena indeks selalu dihilangkan. Ini kekeliruan 37
Ibid. 337 dst. Vyhmeister, Quality Research Paper, 6. 39 James Sire, The Habits of Mind, terj. (Surabaya: Momentum, 2007), 38
JURNAL TEOLOGI STULOS
237
besar dari penerbit dan penterjemah yang tidak mengindahkan kedalaman riset pustaka. Faktanya peneliti memerlukan efesiensi dan efektifitas dalam mencari informasi namun kurang sadar fungsi indeks: nama orang, topik, atau teks Alkitab, yang ada bagian belakang buku, yang langsung dapat menuntun pada informasi secara intensif pada halaman tertentu.
Jebakan Plagiarisme dalam Penelitian Kepustakaan Di sinilah baru bahaya dikatakan paligiatisme muncul. Ini memang ‘jebakan’ serius yang harus dihindari bukan justru disombongkan oleh periset pustaka teologis. Karena secara sadar dan bermaksud mengutip langsung dari mata (melihat kiri) ke tangan (mengetik kanan), tanpa menyebut sumber referensiyang memadai dan tetap. Ini baru namanya plagiatisme. Karena secara sengaja bermaksud langsung mengutipnya dari penulis asli, baik tertutup (gagasannya) dan terbuka (kata-katanya). Inilah yang membuat para dosen dan penulis takut menulis karena takut dituduh plagiat. Apalagi bulan ini, Dirjen Dikti Kemendiknas menginfomasikan 80 % penelitian para dosen disinyalir plagiatisme.40 Tentu yang dimaksudkan belum tentu penelitian kepustakaan, bahkan banyak yang langsung mengambil hasil penelitian orang lain untuk mengumpulkan kredit untuk kenaikan pangkat akademik atau jabatan fungsional pendidikan.41 Walau ada yang hanya mengkaitkan pada hal “tindakan pengutipan referensi pada tulisan” 42 namun ada juga yang melihat lebih besar termasuk: 1) menggunakan naskah yang sudah pernah dikumpulkan sebelumnya atau teks yang mirip untuk memenuhi tugas kuliah yang lain, 2) mengambil karya sesama mahasiswa dan menjadikannya karya sendiri, 3) membeli atau membayar orang lain untuk membuatnya dan ditulis atas nama dirinya”.43 Tentu itu semua 40
Pikiran Rakyat 3 Oktober 2013. Lih Henry Soelistyo, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 112. Disini berdasarkan Permendiknasno 17 tahun 2010. 42 Ibid., 112. 43 Seperti yang dkutip Sulityo dari tulisan Agus Wayudi tentang “Plagiarisme dan Cara Menghindarinya” (internet) dalam ibid., 111. 41
238
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
menjadi plagiarisme, kalau bermaksud khusus dan langsung pakai. Apakah yang dimaksudkan plagiarisme sudah ada dalam dasar hukum bahkan dengan ancaman sangsi dalam Permen Diknas 17, 2010 tersebut, tanpa mengerti bagaimana proses teknis dalam menulis artikel ilmiah. Mungkin karena tidak pernah menulis satukalipun, tetapi hanya menggunakan program deteksi secara komputerisasi. Tentu cara dan motif evaluasi yang salah ini juga dalam menggunakan instrumen yang tidak berperasaan itu, karena belum tentu kalau keluar tanda merah, berarti menjiplak. Semua dosen membaca buku lalu menginternalisasi bacaan dalam pikiran bahkan hatinya. Kemudian keluar hasil pemikiran lewat mulut dan tangan. Pembacaan mungkin sudah lama dan sudah lupa membaca dari mana lagi, mungkin juga membaca dari tempat sampah (belum tentu tidak berarti). Namun ketika penulis mengetik naskahnya tanpa membuka buku lagi, dan langsung menuangkan pikirannya sendiri yang mungkin terhubung dengan bacaan tersebut, namun tidak ingat lagi siapa dan buku apa yang dibaca, lalu menuduh “plagiat” tanpa pemeriksaan lanjutan. Itu akan menjadi fitnah akademis yang memandulkan karya ilmiah, serta melanggar kebebasan akademis. Memang secara sederhana dalam paper pustaka akademis teologi, biasanya seperti usaha “becoming an authority by using Authorities” dengan cara “using the ideas of others to shape ideas of their own.” 44 Namun tidak selalu demikian. Sejak penulis skripsi adalah personal maka tujuan utama serta gagasan asali skripsi lah yang dominan. Disini kita menolak asal mengutip untuk cari dukungan dan menjejerkannya menjadi suatu kompilasi tulisan sehingga lupa gagasan awal. Dalam riset pustaka, dituduh plagiarisme kalau secara intens mengambil kata atau ide secara langsung dan seketika ketika membaca dan mengunakannya. Selanjutnya kalau tergunakan tanpa teringat atau tanpa membuka lagi, mungkin karena lupa bahkan bukunya pun lupa, maka bukanlah plagiatisme riil. Disini harus jujur dan adil. Saya sendiri tidak takut dituduh plagiatis meskipun cara mengukur plagiatisme dengan 44
Ibid. xxiii.
JURNAL TEOLOGI STULOS
239
sistem komputer. Riilnya tidak mau mencontek, apalagi kalau dikatakan dosen itu terbiasa berpikir, namun tidak terbiasa menulis. Tetapi kalau sudah menikmati kebiasaan menulis maka akan merasa nyaman. Yang perlu diingat oleh periset pustaka adalah, “A reasercher must quote only what he has him-self read (or heard)” beside the author rights in literary property ‘make’ credit necessary” 45 Prinsip ini harus dimengerti oleh penulis skripsi teologi sekarang adalah, “quotations are illustrasions, not a proofs” “two rules ...from the principles just state: “Quatation must be kept short and (2) the must as far as possible be merged into the text” sebagai maksud penulis tersebut bukan sekedar memberi contoh.46 Apakah mungkin justru orang yang mengkomplain bisa menelusuri lewat penanggalan. Tetapi tidak fair juga kalau mendasarkan publikasi, kalau memang dalam ruang-ruang kelasnya sudah pernah diucapkan dan memang jelas tidak kenal bahkan lain arah dari dirinya. Terus-terang contohnya sekarang ini penulis [saya] hampir menulis 2700 kata (sampai titik ini) tanpa sedikitpun membaca buku langsung dan menyalinnya. Memang ada beberapa nama ada di kepala yang masih teringat yang harus diberi kredit, tetapi tulisan ini saya kerjakan sendiri tanpa mencari kutipan secara aktif atau sengaja dan tanpa kesulitan sedikit pun dalam menuliskan pemikiran. Pemikiran itu diesai dan refleksi serta diopinikan tanpa pembacaan langsung, tetapi dengan mengingat banyak hal yang ada dalam pikiran dan teringat secara otomatis lalu tergelontorkan lewat jari-jari tangan secara langsung, dan hanya dalam setengah jam [paling lama 45 menti saja]. Namun demikian mengapa bisa dituduh plagiat dan ditakut-takuti para pejabat yang tidak menulis. Menurut pengalaman, menulis itu adalah mudah, yang sulit justru mengedit dan mengurangi jumlah halaman. Plagiatisme yang diserangkan pada penulis akademis dan penelitian tidak produktif, dan merupakan kekerdilan intelektual bahkan ketidakadilan 45
Acques Barzum, Henry F. Graff, The Modern Research: The Classic Work and Writing Completely Revised and Brought Up to Date (5th ed forthworth etc: Harcourt Brace Jovanovich College Pub. 1992). 46 Ibid., 279.
240
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
akademis. Disinilah politik dan ekonomi masuk ke dalam dunia intelektual, sehingga banyak intelektual akademisi menjual dirinya karena interes yang tidak ada idealisme kesarjanaan, “pengaruh kedudukan” demi “bisnis menjual pengetahuan”dan “cari uang di market place.” 47 Jadi harus hati-hati dengan penerapan plagiarisme tersebut. Memang di Indonesia, banyak dosen yang tidak menulis, karena tidak baca dan tidak berpikir, sehingga tidak ada yang dapat ditulis. Namun dalam teologi Dosen harus menjadi figur berteologi di dalam penulisan. Kalau informasi tersebut hanya digabungkan secara koheren dan hanya melaporkan saja tanpa pendapat personal dari penulis, maka disebut “Report”, tetapi kalau penulis menyajikan idenya pada bacaan tersebut dan membuat penilaian serta posisi personalnya pada pokok isu maka menjadi argumentasi, yang disebut theses. Yang terakhir inilah “ type of paper that scholars published in journals, because it is type that communicates advances in knowledge, new ideas and a new points of view.”48 Sedangkan yang pertama adalah kompilasi seperti pada skripsi teologi di Indonesia, yang dalam proses penelitiannya setara sebutan theses. Untuk menghindari rasa bersalah karena plagiarisme, Manasche mengingatkan, sbb: 1) use your own word and sentences structure, even writing about the ideas of others 2) when paraphrasing (putting an idea in your own word) avoiding using any words from the original.49 Dalam bukunya ada 3 contoh, dimana sebagai “full paraphrase” dan “with original word and structure of sentences changed; ini dapat diterima karena berasal dari prinsip “an idea of common knowledge in the field of education”.50 Karena hal itu sudah menjadi pengetahuan internal saya, yang sama juga mungkin dengan orang lain, yang disebut “public domain”. Oleh karena itu teolog harus terus membaca apa saja dari sudut 47
Membaca buku, Pengkhianatan Kaum Cendikiawan, terj. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 1997), 29. 48 Lionel Menasche, Writing A Research Paper (Ann Arbor, Michigan: The University of Michigan Press, 1996), 1. 49 Ibid., 38. 50 Ibid., 40 contoh no. 4 tentang bukan plagiarisme.
JURNAL TEOLOGI STULOS
241
pandang teologis, setelah itu berpikir hingga terinternalisasi di dalam pikiran bahkan hati. Sehingga dapat dikeluarkan lain waktu tanpa melihat, bahkan bukunya sudah lupa. Namun jika seseorang membaca buku tertentu secara sengaja untuk mencari kutipan, maka pasti langsung memakai kata dan ide dari bacaan, tentunya harus memakai tanda petik (“ “) agar tidak dianggap plagiat. Pengalaman memang diakui bahwa awalnya, banyak orang yang tidak dapat menulis satu kata pun dari pikirannya, kecuali dengan membaca dan mengutip buku orang dulu, termasuk dosen. Tetapi teologi adalah ilmu integral dan mengutamakan pemahaman bacaan dan senang berpendapat lalu menuliskannya. Sedangkan banyak ilmu lain yang jarang menulis. Disinilah keunggulan studi kepustakaan dalam teologi dibanding ilmu-ilmu lain. Pengalaman ini menunjukan fakta pada mahasiswa seminari tingkat M.Div kesulitan dalam menuliskan makalah. Mereka ‘takut’ menuliskan pendapatnya karena takut pendapatnya sesat, sehingga banyak copy-paste atau menyalin langsung dari buku. Padahal yang dinilai bukan hanya hasil jadi tulisan yang langsung, tetapi proses penelitian. Sejak riset secara sederhana dimengerti sebagai ‘usaha mencari dan mengumpulkan informasi dan menata menjadi pengetahuan.’51 Banyak yang membuat TA seperti menulis paper saja, baik cara dan kualitas dan motifnya, dan tidak melakukan penelitian sendiri. Jadi peneliti pustaka harus melakukan aksi riset, menetapkan sampling dalam penelitian lapangan perpustakaan, khusus melokalisir buku-buku yang relevan, lalu ditanyakan dalam wawancara atau kuesioner di lapangan. Namun dalam riset pustaka dilakukan dengan cara membaca secara mendalam dalam level 1-4 untuk memperoleh informasi yang akurat. Selain itu, menulis yang konsisten dan koheren secara internal sangat penting nilainya dalam riset pustaka. Tulisan itu berasal dari olahan bacaan dengan tiga dimensi kerja dalam skripsi teologi: eksposisi: menggambarkan prinsip-prinsip konseptual dengan hubunganhubungannya; eksplanasi: menjelaskan alasan dan secara, argumentasi; 51
Ibid.
242
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
membuktikan secara lebih meyakinkan.52 Penulisan ini dengan menimbang prinsip argumentasi ilmiah dengan tiga faktor yang berhubungan tiga arah seperti yang digambarkan segitiga kajian pustaka dalam claim, evidence dan warrant.53 Jadi dalam klaim selalu dihadirkan lewat kalimat proposisonal di didukung oleh alasan-alasan yang menjelaskan dan bukan hanya kutipankutipan dari buku lain. Lalu alasan-alasan itu diekplanasikan dengan cara menurunkan kata-kata yang penting dalam proposisi di atas untuk mendukung kejelasan proposisi di atas, sehingga jelas diterima maksudnya. Lalu dipersuasikan secara bukti-bukti dalam argumentasi, yang mungkin juga memakai fakta-fakta dan informasi lebih luas. Disana ada tiga aspek mengolah informasi: cek, ricek dan kroscek bacaan yang relevan dan lebih khusus, bukan sekedar cari kutipan tanpa pengertian mendalam dalam analisis isi bacaan. Penulis harus berpikir sendiri dalam aksi risetnya tidak sebagai corong orang lain. Disinilah tugas pembimbing dan mentor sangat penting dalam penulisan skripsi, sehingga termodifikasi dalam segitiga argumentasi ilmiah, seperti dibawah. Proposisi/klaim
Eksplanasi/alasan
Persuasi/jaminan
Misalnya seorang menulis, “seorang yang percaya Yesus pasti sehat, sembuh dan selamat” dan frase ini dikutip harus dipikirkan mendalam dan dianalisis kontennya, apa yang dimaksudkan dengan sembuh atau sehat dan selamat? “Apakah hubungan sembuh dan percaya Yesus apakah hubungan selamat karena Yesus dan sembuh karena Yesus”, dlsb. 52 Bandingkan dengan bidang ilmu non teologi dari Emi Emilia, Menulis Tesis dan Disertasi. (Bandung: UPI dan Alfabeta, 2009). 53 Booth, Collomb, Wiliams, The Craft of Research, 21.
JURNAL TEOLOGI STULOS
243
Pertanyaan semuanya “diturunkan” (inferensi) dalam tulisan pada alinea tersebut, bahkan mungkin boleh dilebarkan alinea lain jika ada hubungan dengan fakta lain. Jadi dalam berteori penulis dan peneliti membentuk teori tentang topik secara kritis dan avaluatif seturut tujuan risetnya seperti yang telah terumuskan dalam problematika. Penulis harus menjelaskan alasannya, memberikan bukti yang persuasif dan mengeksposisikan dalam prinsip-prinsip saling terkait. Disinilah pemikiran dinamis berjalan dalam ‘hipotesis kerja’, yang adalah pertanyaan-pertanyaan yang terus-menerus dalam kepala peneliti.
PENUTUP Keilmuan teologi adalah kajian praktis, aplikatif, bersifat integral dalam skop kajian, dan bekerja secara refleksi sistematis berdasarkan analisis data secara kualitatif pada kepercayaan iman yang didasarkan pada wahyu Allah yang supranatural. Keilmuan teologi harus konkrit dan bermanfaat bagi masyarakat terutama gereja. Dengan prinsip-prinsip penelitian kualitatif yang dianggap paling cocok dengan kebenaran teologis dalam penelitian kancah yang naturalistik. Skripsi/tesis teologi bukan soal menulis tetapi meriset. Dalam riset yang penting proses metodologinya dijalankan, dalam riset kepustakaan. Selain itu penelitian teologis awal biasanya mengunakan metode pembacaan literatur untuk mengumpulkan data. Artinya penelitiannya ada lapangannya juga, yaitu perpustakaan. Maka mahasiswa yang menulis skripsi/tesis harus masuk ke perpustakaan secara konsisten, bukan hanya mencantum studi pustaka tanpa ada pencarian data secara formal dalam pencatatan informasi. Akhirnya harus dilampirkan dalam skripsi sebagai suatu yang menyatakan proses penalitian.
244
KEILMUAN TEOLOGI DAN PENELITIAN KEPUSTAKAAN
DAFTAR PUSTAKA
Adler, Mortimer J & Charles van Doren, How to Read the Book: A Classic Guide to Intellegent Reading. New York: Touchstone Book, 1972 [1940]. Ballenger, Bruce. The Curious Researcher: A Guide to Writing Papers. revsd prin, Boston, London etc: Allyn & Bacon. 1999. Barber, Cyril. Introduction To Theological Research. Chicago: Moody Press, 1982 Booth,Wayne C. Gregory G. Colomb, Joseph M Williams, The Craft of Research. Chicago: The University of Chicago Press, 1995. Mann, Thomas A Guide Library Research Method. New York Oxford: Oxford University Press, 1987. Menasche, Lionel. Writing a Research Paper. Ann Arbor: The University of Michigan Press, 1996 Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi revisi. Banding Rosda Karya, 2005. Nazir, Moh Metode Penelitian Ilmiah. Jakarta: Ghalia, 1989 Salim, Agus. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Soelisty, Henry, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta. Yogyakarta: Kanisius, 2011. Sudjana, Nana Tuntunan Menyusun Karyta Ilmiah: Makalah, Skripsi, Tesis Disertasi. Bandung: Sinar Algensindo, 2001. Suriasumantri, Jujun S. Ed. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009. Vyhmeister, Nancy Jean. Quality Research Paper: For Students of Religion and Theology. Grand rapids: Zondervan Pub, 2008. Winkler, Anthony C. Jo Ray McCuen. Eds. Writing Research Paper: A Handbook . Sandiego: HBJ Pub, 1989.