KECENDERUNGAN TERKINI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA ASING DI INDONESIA
Didi Suherdi Guru Besar Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Pendidikan Indonesia FAKTOR PENDORONG Lahirnya Kurikulum 2013 Lahirnya kurikulum 2013 bisa dipandang sebagai titik balik yang sangat penting bagi dunia pendidikan Indonesia (Lihat misalnya Nuh, 2013). Ada beberapa alasan yang menyebabkan titik balik ini sangat penting dan mendesak untuk diimplementasikan. Pertama, secara praktis, urgensinya bagi pembenahan kekacauan praktek pendidikan di negeri ini sangat tinggi. Kecenderungan kultus terhadap skor ujian negara (UN) dan kemunkaran yang dilakukan sebagai akibat kultus tersebut telah membenamkan para pemangku kepentingan pendidikan kita dalam titik nadir terendah kemuliaan pendidik dan peserta didik dalam rentang sejarah peradaban yang kita bangun. Maraknya praktek contek masal (Baca Tribun Jabar, Selasa, 22 Mei 2007; Driana, 2007; Suherdi, 2009) pada hampir seluruh persada negeri menjadi indikator yang sangat jelas dari kemunduran ini. Akibat turunannya berupa rendahnya motivasi belajar dan mengajar, longgarnya tuntutan belajar, turunnya wibawa sekolah, dan maraknya tawuran telah menjadi warna buram pendidikan kita. Oleh karenanya, implementasi Kurikulum 2013 dari perspektif ini bukan hanya niscaya tetapi juga sangat mendesak. Dari perspektif teoretis, implementasi kurikulum ini juga tidak kalah mendesaknya. Seperti yang kita ketahui, meskipun telah lama pendidikan sejatinya berorientasi kepada penciptaan manusia seutuhnya atau insan kamil (whole persons), pada prakteknya ranah-ranah perilaku yang diusung program pembelajaran umumnya sangat parsial, segmental, bahkan marginal. Dokumen-dokumen pembelajaran dan pengujian hasil pembelajaran umumnya berkutat pada pengembangan perilaku-perilaku kognitif tingkat rendah (low-oder-thinking skills). Secara teoretis, keberhasilan menghasilkan manusia seutuhnya sangat jauh dari jangkauan jika praktek seperti ini terus berlangsung. Penajamulangan aspek spiritual (KI-1) dan akhlak (KI-2) yang terintegrasi dengan ilmu (KI-3) dan keterampilan (KI-4) dalam Kurikulum 2013 (Permendikbud No. 67, 68, 69 Tahun 2013) merupakan langkah menjanjikan yang dapat kita pilih.
Terbitnya Perpres Mengenai KKNI Faktor lain yang dapat dijadikan titik tolak arah baru pendidikan bahasa Inggris dalam dunia pendidikan kita adalah lahirnya Perpres No. 8 Tahun 2012 Tentang Kerangkan Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) atau Indonesian Qualification Framework (IQF). KKNI disusun sebagai upaya untuk menyediakan standar yang menjadi acuan bagi semua penyelenggara program pendidikan dan pelatihan serta para peserta didik dalam mengembangkan para lulusan sebuah program. Karena dikembangkan dengan mengacu kepada standar-yang dikembangkan oleh negara-negara lain, standar ini juga dapat menjadi wahana bagi para pemangku kemepntingan pendidikan dan pelatihan untuk dapat menyejajarkan dirinya atau bahkan melampaui standar-standar bangsa lain. Dengan demikian, para pelajar kita dapat dengan mudah diterima pada lembagalembaga pendidikan dan/atau pelatihan bangsa lain. Sebaliknya, kita dapat menerima para pelajar lain yang memasuki lembaga-lembaga pendidikan kita dengan penuh percaya diri. Rumusan luaran belajar yang dimuat KKNI umumnya memuat rumusan kompetensi untuk bekerja, ilmu yang harus dikuasai, serta kemampuan manajerial dan pengembangan diri. Pepres ini menghendaki kurikulum lembaga pendidikan akan mengacu kepada KKNI dalam mengembangkan kurikulum mereka (Suherdi, 2013a). Kedua dokumen pemerintah ini menempatkan semua mata pelajaran, termasuk bahasa Inggris dalam keharusan membenahi kurikulum dan arah pembelajarannya sehingga dapat menghasilkan manusia seutuhnya yang dapat belajar, bekerja, dan hidup dengan baik. Keduanya mengawal pendidikan untuk menghasilkan manusia yang soleh (KI-1), berakhlak mulia (KI-2), berilmu (KI-3), dan berketerampilan (KI-4), dapat bekerja dengan unggul (Alinea ke-1), berdasarkan keilmuan yang relevan dan memadai (Alinea ke-2), mampu mengelola diri dan timnya serta bersikap professional (Alinea ke-3). KARAKTERISTIK PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS KINI Penajaman Orientasi Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa pembelajaran bahasa Inggris harus dikembalikan kepada orientasi pendidikan yang asasi yakni menciptakan manusia yang memiliki dua ciri utama: cerdas dan berakhlak baik. Pembelajaran bahasa Inggris harus ditujukan untuk mengembangkan ciri-ciri unggul martabat manjusia dengan fokus kemampuan berbahasa Inggris. Dengan kata lain, pendidikan bahasa Inggris harus menghasilkan manusia yang berkemampuan berbahasa Inggris yang fasih, santun, menghormati orang lain, demokratis dan bertanggung jawab sebagai wujud keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa. Sungguh gambaran yang sangat ideal. Lalu bagaimana mewujudkannya? Itulah yang akan dibahas pada bagian berikut.
Berbasis aktivitas Mewujudkan pembelajaran dalam perspektif penciptaan manusia seutuhnya memerlukan perspektif baru dalam memandang kurikulum. Kurikulum hendaknya tidak lagi dipandang sekedar sebagai ‘the race course’ melainkan juga sebagai ‘racing the course’. Dengan kata lain, kurikulum bukan sekedar seperangkat bahan dan pengalaman belajar yang harus diselesaikan pata siswa, melainkan sebagai pengalaman mengolah bahan dan menjalani pengalaman belajar itu sendiri. Perspektif ini mengharuskan pembelajaran dikembangkan sebagai proses `menjalani serangkaian aktivitas untuk mengolah dan menguasai bahan serta pengalaman belajar secara menyenangkan dan bermakna’. Dalam kegiatan belajar-mengajar, para siswa sibuk melakukan aktivitas ‘mencari tahu’ dan bukan diposisikan sebagai pihak yang pasif ‘diberi tahu’. Guru harus mengubah kegiatan ‘mengajarkan’ (bahan ajar) menjadi ‘mengajari’ (siswa) untuk melakukan aktivitas menguasai bahan dan pengalaman belajar. Sebisa mungkin para siswa beraktivitas melalui rangkaian kegiatan mengamati (observing), mempertanyakan (questioning), mencoba (experimenting), mempertautkan (associating), dan mengkomunikasikan (communicating) (Permendikabud No. 64 tahun 2013). Penekanan pentingnya aktivitas tidak mengartikan kurang pentingnya hasil belajar. Justeru penekanan ini dimaksudkan untuk memastikan hasil belajar yang unggul, bukan sekedar tuntas. Tanpa melibatkan keaktifan siswa dalam kegiatan belajar, hasil belajar optimal sangat jauh dari jangkauan. Kultus terhadap skor seperti yang telah dikemukakan di atas menjadi bukti nyata lemahnya hasil belajar jika aktivitas siswa tidak menjadi perhatian utama. Dalam praktek seperti itu, pembelajaran didominasi oleh aktivitas guru dan ‘keterpenjaraan siswa’ atas rangkaian latihan soal yang disediakan guru untuk mereka. Pembelajaran nyaris tanpa ‘rasa’ dan ‘makna’. Praktek pembelajaran seperti yang dipaparkan pada paragraph sebelumnya akan sulit diharapkan untuk dapat mengembangkan kompetensi spiritual yang nota bene menjadi landasan bagi kompetensi-kompetensi lainnya. Praktek seperti itu juga sangat jauh dari kemungkinan dapat mengembangkan sikap sosial yang sangat penting bagi keberhasilan hidup mereka dalam masyarakat. Bahkan lebih buruk lagi, praktek seperti itu ternyata juga tidak berhasil menanamkan pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan. Oleh karenanya, mereorientasikan pembelajaran bahasa Inggris menjadi pembelajaran berbasis aktivitas belajar berkomunikasi bahasa secara efektif merupakan keharusan yang tidak bisa ditunda lagi. Komprehensif Luhurnya cita-cita yang diusung oleh dunia pendidikan kita menuntut pendidikan dilakukan secara komprehensif dan sinergetik. Seperti terumuskan dalam tujuan
pendidikan kita dan terungkap dalam cakupan kompetensi inti dalam Kurikulum 2013, pembelajaran yang terselenggara harus mengembangkan perilaku belajar siswa secara komprehensif, meliputi ranah afrktif, kognitif, dan psikomotor. Keharusan ini bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan di berbagai belahan dunia ini. Bahkan dalam dunia pendidikan kita paparan mengenai pentingnya mengembangkan ketiganya secara komprehensif telah menjadi wacana para pendidik sejak lama. Meskipun demikian, dalam prakteknya hanya ranah kognitif dan psikomotor yang mendapatkan garapan. Itu pun pada tingkatan-tingkatan rendah (LOTS). Bahkan seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada akhir-akhir ini. Cakupan dan intensitas pengembangan ranah-ranah perilaku ini semakin kehilangan kesejatiannya. Lahirnya dua dokumen di atas dan dokumen-dokumen yang terkait dengan keduanya memberi kesempatan kepada para pelaku pendidikan Indonesia untuk mengaktualisasikan keluhuran cita-cita pendidikan ini. Pada tataran pembelajaran, pengembangan ketiga ranah ini harus benar-benar terkawal. Guru hendaknya dapat memastikan bahwa siswa ‘memanjati’ tangga kognitif mulai dari menguasai pengetahuan tentang kosakata, lafal masing-masing kosakata tersebut, maknanya, aturan penulisan dan merangkainya hingga berbagai gaya penyajiannya (C1); kemudian mereka harus memahami cara mempertautkan unsur-unsur tersebut untuk menghasilkan berbagai ungkapan dan konstruksi kebahasaan yang bermakna (C2); selanjutnya, mencoba menghasilkan ungkapan-ungkapan dan konstruksi-konsktruksi yang sesuai untuk berbagai kepentingan komunikasi (C3). Tidak selesai sampai di sana. Para guru juga harus menuntun para siswa mereka menaiki serangkaian anak tangga HOTS (High Order Thinking Skills, Baca King, Goodson, dan Rohani pada www.cala.fsu.edu). Mulai dari mengenaldalami ciri-ciri teks unggul yang dapat menunaikan tujuan komunikasi secara optimal (C4); mengevaluasi teks-teks yang dihadapi dan dihasilkan (C5) serta menciptakan teks-teks secar kreatif dan efektif (C6). Pada saat yang sama, guru juga harus menuntun para siswa mereka menapaki satu demi satu anak tangga perkembangan perilaku afektif mereka. Mulai dari menerima pelajaran dengan senang hati (A1), menjalankan tugas-tugas yang diberikan (A2), menghargai kesempatan belajar, tingkat pencapaian dan pengalaman yang diperoleh (A3), menghayati perkembangan yang dicapai serta mengorganisasikan hidup agar dapat berpartisipasi secara optimal (A4), dan mengembangkan sikap-sikap positif dan kebiasaan-kebiasaan baik menjadi amalan sehari-hari (A5). Sejalan dengan pengembangan kedua ranah tersebut, ranah ketiga juga harus mendapatkan perhatian sepadan. Mulai dari mengamati (Observing/P1) bagaimana teks-teks yang dipelajari digunakan dalam komunikasi nyata, mempertanyakan (Questioning/P2) berbagai hal dan pola yang lazim digunakan dalam komunikasi
tersebut, mencoba (Eksperimenting/P3) meniru dan berkomunikasi dengan teks-teks yang dipelajari, mempertautkan (Associating/P4) teks-teks yang dipelajari dengan teksteks lain dan dengan konteks kehidupan nyata, membangung jejaring (Communicating/Networking) dengan memanfaatkan teks-teks yang dipelajari bagi perluasan pergaulan hidup, baik dengan sesama anak bangsa maupun dengan anakanak bangsa lain di seluruh penjuru dunia. Sinergetik Optimisme untuk menghasilkan sumber daya insani yang unggul menjadi realistic jika para guru dan pelaksana pendidikan lainnya dapat menunaikan amanah mengembangkan keseluruhan perilaku belajar tersebut bukan hanya secara komprehensif tetapi juga sinergetik. Sehingga perkembangan pada satu ranah menjadi pendukung atau bahkan menjadi landasan kokoh bagi perkembangan pada ranahranah lainnya. Sebagai contoh, keberhasilan siswa mengembangkan perilaku C, menghendaki perkembangan kokoh perilaku A dan P. Sebaliknya, perkembangan perilaku P juga memerlukan kokohnya perkembangan perilaku C dan A. Terakhir, perkembangan perilaku A juga tidak dapat optimal tanpa perkembangan perilaku P dan C (Lihat Suherdi, 2013b). Ketika dugaan seorang guru meleset tentang kemampuan para siswa setelah dia berusaha keras membantu para siswa menguasai perilaku berbahasa tertentu, dia harus segera mengecek apakah kegagalan tersebut disebabkan oleh lemahnya perkembangan perilaku kognitif, afektif atau psikomotor siswa. Secara lebih terinci, apakah kegagalan ini disebabkan oleh kegagalan siswa mengembangkan tingkatan knowing (C1) dalam mengenali unsur-unsur linguistic yang menjadi bahan pokok ungkapan untuk komunikasi yang dipelajari, atau disebabkan oleh belum berkembangnya tingkatan responding (A2) sehingga dia gugup dan kehilangan kemampuan komunikasi optimalnya. Kemungkinan lain adalah karena dia tidak berhasil melakukan pengamatan (P1) yang seksama sehingga dia kehilangan rincian ciri penampilan komunikasi dengan teks-teks yang dipelajari. Dari ilustrasi di atas dapat kita lihat betapa keberhasilan dalam perkembangan sebuah ranah dapat menjadi pendorong perkembangan pada ranah-ranah lain; sementara kegagalan dalam mengembangkan sebuah ranah juga menghambat perkembangan dalam ranah lainnya. TANTANGAN Arah baru pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing dalam konteks pendidikan bangsa kita ini jelas memunculkan tantangan baru yang memerlukan respon tepat para guru dan para pelaksana pendidikan kita termasuk bagi lembaga-lembaga
pendidikan guru di tanah air. Tidak terkecuali STAIN Batusangkar. Secara lebih rinci, tantangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Bagi Para Guru Bagi para guru ada sejumlah hal yang memerlukan respon cepat dan tepat, terutama dalam kaitan dengan tiga dari empat kompetensi guru: profesional, pedagogik, dan kepribadian. Sejarah pendidikan bahasa Inggris yang diperoleh para guru yang menekankan penguasaan tata bahasa dibandingkan penguasaan keterampilan berbahasa menempatkan para guru yang ada di lapangan dalam kegamangan yang sangat kontraproduktif. Kemampuan dan kepercayaan diri yang rendah dalam berkomunikasi nyata telah menyebabkan kebanyakan guru gagal menjalankan pembelajaran seperti yang dituntut oleh dunia pendidikan kita saat ini. Dalam pengalaman penulis, hal ini menjadi hambatan utama bagi pengembangan kompetensi mengajar para guru. Jelas ini tantangan besar bagi para guru. Kompetensi pedagogik juga memerlukan pembenahan yang serius. Warisan pembelajaran tidak produktif dari tradisi kode kogntif dan pembelajaran tidak akurat dari tradisi salah penerapan pendekatan komunikatif menyebabkan para guru kehilangan sensitivitas terhadap pentingnya menjalankan pembelajaran yang menekankan aktivitas para siswa yang dipandu secara cermat oleh tuntunan para guru. Pengalaman penulis dalam mengamati kecenderungan mengajar para guru dalam berbagai kesempatan menunjukkan kejumudan para guru dalam perangkap kebiasaan mengajar yang tidak membudayakan inisiatif apatah lagi memberdayakan para siswa (Suherdi, 2010). Tidaklah mengherankan jika para siswa saat ini tidak terlalu peduli dengan pencapaian belajar mereka. Tradisi pembelajaran yang mereka jalani tidak mengajarkan mereka untuk aktif, kreatif, kompetetitif sekaligus kolaboratif dalam mencapai keunggulan yang terukur dengan cermat. Makin maraknya perilaku tidak berterima yang dilakukan para guru terhadap para siswanya menunjukkan adanya masalah dalam masalah kepribadian para guru kita. Secara historis kultural, guru telah diposisikan menjadi pemegang amanah keluhuran moral, kehalusan budi, keindahan pekerti, ketabahan dalam menghadapi masalah dan kesulitan serta ciri-ciri kepribadian luhur. Dalam pembelajaran yang dituntut dalam dunia pendidikan kita saat ini sifat-sifat ini merupakan keniscayaan dan bukan pilihan. Oleh karena itu, pengembangan kepribadian luhur dalam kondisi masyarakat seperti ini merupakan tantangan yang tidak mudah. Bagi Lembaga Pendidikan Guru Arah baru pendidikan bahasa Inggris ini jelas menuntut lembaga-lembaga pendidikan guru bahasa Inggris melakukan pembenahan yang cepat dan tepat. Cepat karena mendesaknya perubahan yang diperlukan oleh bangsa ini untuk menyelamatkan
pendidikan kita dan menyelamatkan bangsa secara keseluruhan. Tepat karena keniscayaan untuk memastikan bahwa lulusan yang dihasilkan jauh dari kesalahan atau ketidaksesuaian kualitas yang diharapkan. Oleh karena itu, perubahan renstra dan kurikulum pendidikan merupakan konsekuensi logis dari perubahan ini. Perubahan renstra akan didominasi oleh penekanan pengembangan sumber daya insani lembaga yang harus tanggap dan responsive terhadap tuntutan baru pendidikan yang memerlukan pengkajian dan penelitian yang intensif serta penyebaran hasil-hasil penelitian melalui pengabdian kelimuan yang melembaga. Rangkaian strategi ini akan merupakan langkah produktif yang bukan hanya akan menempatkan lembaga pendidikan guru pada peran utama dan peran uniknya, melainkan juga menempatkannya sebagai sumber inovasi dan pencerahan bagi dunia pendidikan bahasa Inggris dan pendidikan disiplin ilmu lainnya di negeri ini bahkan dalam bentangan kawasan yang lebih luas. EPILOG: STAIN BATUSANGKAR SEBAGAI PUSAT KEUNGGULAN Melihat visi, misi, dan tujuannya, STAIN BATUSANGKAR memiliki banyak asset yang akan menempatkannya menjadi pusat keunggulan intelektual dan moral dalam pergaulan di zaman global ini. Sejarah perkembangannya sebagai perguruan tinggi Islam telah menempa lembaga ini menjadi pusat pendidikan yang menempatkan moral menjadi pusat garapan dan landasan langkah keseharian seluruh sivitas akademika. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau penulis meramalkan bahwa STAIN BATUSANGKAR akan menjadi pusat keunggulan di masa yang akan dating. Syaratnya sederhana: atasi tantangan yang ada dengan produktif, kreatif, dan efektif. Lakukan rekonstruksi 5 C (Curriculum, Criteria, Culture, Commitment, Communication). Wallahu a’lam bishshawab.
Referensi Driana, E. (2007) Menggugat aspek teknis Ujian Nasional,Kompas Rabu, 13 Juni 2007. King, F. J., Goodson, L., and Rohani, F. Higher Order Thinking Skills Definition, Teaching Strategies, and Assessment. A publication of the Educational Services Program, now known as the Center for Advancement of Learning and Assessment Diunduh tanggal 23 Noveber 2013 dari www.cala.fsu.edu Nuh, M. (2013). Kurikulum 2013. Dalam Kompas, Kamis 7 Maret 2013. Permendikbud No. 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah
Permendikbud No. 67 Tahun 2013 Tentang Kompetensi Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Dasar Permendikbud No. 68 Tahun 2013 Tentang Kompetensi Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama Permendikbud No. 69 Tahun 2013 Tentang Kompetensi Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Tribun Jabar, Selasa, 22 Mei 2007 Suherdi, D. (2009). Mikroskop Pedagogik Alat Analisis Proses Belajar-Mengajar Edisi Revisi. Bandung: Celtics Press. Suherdi, D. (2010). Rekonstruksi Pendidikan Bahasa Sebuah Keniscayaan Bagi Keunggulan Bangsa. Bandung: Celtics Press. Suherdi, D. (2013a). Profil Lulusan Pendidikan Bahasa Inggris Berdasarkan KKNI. Power Point Presentasi pada Pertemuan Eks FPBS, FBS, FS se-Indonesia di Batu Malang September 2013. Suherdi, D. (2013b). Buku 3.1 Pedoman Pendidikan Profesi Guru: Pemantapan Kompetensi Akademik. Bandung: Celtics Press.