KEBIJAKAN PENGUASA DALAM PELESTARIAN BANGUNAN KEAGAMAAN PADA MASA PEMERINTAHAN RAKAI WATUKURA DYAḤ BALITUNG (898-910 M.) Yogi Pradana Tenaga Ahli Cagar Budaya, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur
[email protected]
Abstract. Policy of the Authorities in the Preservation of Religious Buildings During the Reign of Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 A.D.) This study discusses the policy of the authorities during the reign of King Balitung (898-910 A.D.) of Ancient Mataram Kingdom. The policy that was discussed in this study was the forms of preservation of religious buildings. The aim of this study was to provide information on the forms of preservation of religious buildings in the past. The method used in this study was inductive reasoning with descriptive-analytic approach. The analysis used in this study was structural analysis, which was making internal critic on inscriptions’ transliterations to generate interpretation about aspects of human life. Based on this study, it is known that the mention of the religious buildings’ preservation policy is expressed explicitly or implicitly, while the forms of policies to preserve religious buildings were among others renovation, addition of buildings, and maintenance. Keywords: Policy, Preservation, Religious buildings, Inscription Abstrak. Penelitian ini membahas kebijakan penguasa pada masa pemerintahan Raja Balitung (898-901 Masehi) dari Kerajaan Matarām Kuno. Kebijakan yang dibahas bentuk pelestarian bangunan keagamaan berdasarkan data prasasti dari masa pemerintahan Raja Balitung. Penelitian ini bertujuan untuk mencari bentuk pelestarian bangunan keagamaan pada masa lampau. Metode yang digunakan adalah penalaran induktif dengan sifat deskriptif-analitis. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini berupa analisis struktural, yaitu melakukan kritik intern pada transliterasi atau alih bahasa isi prasasti untuk memperoleh penafsiran berupa aspek-kehidupan manusia. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa penyebutan kebijakan pelestarian bangunan keagamaan dalam prasasti disebutkan, baik secara tersurat maupun tersirat. Adapun bentuk-bentuk kebijakan penguasa dalam melestarikan bangunan keagamaan antara lain berupa renovasi, penambahan bangunan, dan perawatan bangunan. Kata Kunci: Kebijakan, Pelestarian, Bangunan keagamaan, Prasasti 1.
Pendahuluan
Penulisan sejarah Indonesia kuno tidak dapat terlepas dari prasasti sebagai sumber tertulis yang autentik, prasasti dibuat pada waktu yang bersamaan dengan peristiwa yang diperingati (Dwiyanto 1998, 2). Oleh karena itu banyak informasi yang diperlukan untuk penulisan sejarah menggunakan informasi dari hasil kajian para pakar prasasti (Wibowo 1976, 63). Kata prasasti berasal dari kata praśasti dalam bahasa Sansekerta yang
memiliki arti ‘pengumuman pemerintah’ dan ‘surat keputusan’ atau ‘piagam’ (Zoetmulder 2011, 850). Menurut Boechari, prasasti ialah sumber sejarah dari masa lampau yang ditulis di atas batu atau logam (Boechari 1977, 4). Berdasarkan data yang telah ditemukan, aksara pada prasasti masa Jawa Kuno dipahatkan pada batu (linggopala), logam emas (mas), perak (pirak), tembaga (tamra), dan ada juga yang dituliskan pada daun “tal” (lontar) yang disebut ripta prasasti (Darmosoetopo 2003, 1).
Naskah diterima tanggal 27 Maret 2017, diperiksa 8 Mei 2017, dan disetujui tanggal 26 Juli 2017.
47
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74
Prasasti dapat dilihat tidak hanya sebagai media penyampai pesan tekstual, karena pada hakikatnya merupakan produk bendawi dari kegiatan manusia masa lampau yang masuk dalam kategori artefak (Kusumohartono 1994, 17). Berdasarkan gagasan tersebut, prasasti dapat diartikan sebagai salah satu artefak berbentuk keputusan resmi yang dikeluarkan oleh penguasa atau raja yang berisi pengumuman, peraturan dan perintah. Hampir seluruh prasasti Jawa Kuno yang ditemukan berisi tentang penetapan sīma yang diberikan untuk orang yang berjasa, baik kepada raja maupun sīma untuk menunjang bangunan keagamaan (Darmosoetopo 2003, 11). Meskipun demikian, ada sejumlah kecil prasasti yang berisi tentang jayapattra atau masalah hukum (Boechari 1977, 4) dan anugerah raja atau penguasa berupa hadiah barang kepada para pendeta (Darmosoetopo 2003, 91). Prasasti adalah peringatan peristiwa penetapan sīma. Penetapan itu dituliskan sebagai anugerah penguasa kepada desa atau pejabat yang telah berjasa kepada kerajaan atau sebagai anugerah raja untuk kepentingan suatu bangunan keagaman (Boechari 1977,o4). Untuk meresmikan sebuah daerah sebagai daerah sīma, terlebih dahulu harus diadakan upacara peresmian atau penetapan yang disebut manusuk sīma. Prosesi penetapan sīma (Haryono 1980, 35-54) mengandung aspek magis dan religius untuk memperlihatkan bahwa penetapan suatu daerah sebagai sīma dengan segala ketentuan merupakan ketetapan mutlak yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat. Dalam hal ini, termasuk ketentuan mengenai kebijakan terhadap pelestarian bangunan keagamaan yang ada di dalamnya. Bangunan keagamaan pada masa Jawa Kuno diperuntukkan bagi keperluan ibadah atau pemujaan. Oleh karena itu, bangunan keagamaan ini perlu dijaga kelestariannya melalui kegiatan pelestarian. Pengertian pelestarian pada masa sekarang berbeda dengan pelestarian pada masa lalu. Perbedaan tersebut 48
terletak pada pengertian pelestarian yang didefinisikan sebagai usaha untuk melakukan perawatan agar suatu objek bisa bertahan dan tidak mengalami perubahan (Pusat Bahasa 2008, 820). Ketika masih digunakan, suatu bangunan bisa saja mengalami perubahan atau perbaikan. Oleh karena itu, tulisan ini tidak mengacu pada pengertian pelestarian pada masa sekarang. Informasi mengenai bentuk pelestarian bangunan keagamaan pada masa Matarām Kuno banyak terdapat dalam prasasti meskipun jarang ada yang menyebutnya secara langsung. Penguasa memiliki peran sentral dalam upaya melestarikan bangunan keagamaan yang mereka dirikan. Prasasti Wanua Tengah III yang dikeluarkan pada tahun 908 Masehi (Kusen 1988, 18 dan Darmosoetopo 2003, 41) menyebutkan bahwa Rahyangta i Hara adik Rahyangta i Mḍang (Sang Ratu Sañjaya) telah membangun biara (bihāra) (tempat tinggal biksu) dalam kompleks bangunan keagamaan Buddha di Pikatan, juga menyiapkan sawah yang hasilnya digunakan untuk membiayai keperluan upacara dan pelestarian dalam bangunan keagamaan. Dalam Prasasti Wanua Tengah III (908 M) juga ada pernyataan yang menyebutkan bahwa Śrī Mahārāja Rake Watukura Dyaḥ Balitung mengeluarkan kebijakan penting terkait dengan keberadaan dan kelestarian bangunan keagamaan di wilayah kerajaannya. Kebijakan itu dimaksudkan untuk menghidupkan kembali status semua bihāra (biara) di seluruh Jawa sebagai daerah swatantra. Dengan kata lain, semua biara itu diberi kebebasan penarikan pajak, yang berarti dana yang dihasilkan dari tanah punpunan, yaitu tanah sīma yang diperuntukkan khusus untuk bangunan keagamaan dapat digunakan untuk keperluan pelestarian bangunan keagamaan. Selain punpunan dijumpai pula tanah aṅśa yang merupakan tanah yang diperuntukkan bagi bangunan keagamaan tetapi letaknya jauh dari bangunan keagamaannya, istilah aṅśa
Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M.). Yogi Pradana
baru muncul pada masa sesudahnya (abad ke11) sampai pada masa keemasan Kerajaan Majapahit (Boechari 1980, 277; Jones 1984, 78). Keterangan tentang status semua biara di Jawa pada masa itu dapat dilihat dalam kutipan berikut ini: II.6-7 “…ajña nira kumonakan sang hyang dharmma bihāra i jawa kabeḥ swatantra umaryya kadandan…” (=… perintahnya menyuruh semua sīma untuk bangunan keagamaan bihāra di Jawa statusnya dihidupkan kembali (sebagai swatantra) (Darmosoetopo 2003, 41). Berdasarkan informasi yang terdapat dalam prasasti ini, Raja Balitung diasumsikan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian bangunan keagamaan. Beberapa pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini yaitu: (1) Apa saja bentuk kebijakan pelestarian terhadap bangunan keagamaan yang telah dilakukan? (2) Apa tujuan penguasa tersebut membuat kebijakan pelestarian itu? (3) Bagaimana posisi para penguasa tersebut secara birokrasi terkait dengan kebijakan pelestarian terhadap bangunan kegamaan yang mereka lakukan? 2. Metode Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif dengan sifat penelitian deskriptifanalitis. Penalaran yang digunakan bersifat induktif yang bermula dari kajian fakta khusus, kemudian disimpulkan menjadi gejala yang bersifat umum. Penelitian mengambil data informasi mengenai kebijakan penguasa pada masa Raja Balitung dalam pelestarian bangunan keagamaan. Fakta atau gejala dari data tentang permasalahan yang diajukan akan digambarkan dengan mendeskripsikan data prasasti dengan terlebih dahulu melakukan analisis untuk mengetahui maksud dari data prasasti tersebut. Tahapan penelitian dimulai dari pencarian data, pengolahan data, analisis, dan interpretasi
berdasarkan hasil analisis. Data diperoleh dari alih aksara prasasti Raja Balitung yang telah dilakukan oleh pakar sebelumnya. Pemilihan informasi dilakukan khusus yang berkaitan dengan kalimat yang menyebutkan tentang pelestarian bangunan keagamaan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis struktural, yaitu melakukan kritik intern yang berupa transliterasi atau alih bahasa pada pesan atau isi prasasti yang menghasilkan penafsiran berupa keterangan yang berhubungan dengan aspek ekonomi, politik, agama, birokrasi, dan sebagainya pada masa lampau. Analisis seperti ini adalah cara umum yang digunakan oleh kalangan epigraf (Dwiyanto 1993, 7). Oleh karena itu penelitian ini akan menghasilkan interpretasi beragam bentuk pelestarian bangunan keagamaan pada masa Raja Balitung. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Penyebutan Usaha Pelestarian Bangunan Keagamaan dalam Prasasti Masa Balitung (898-910 M) Raja Rakai Watukura Dyaḥ Balitung mengeluarkan banyak prasasti pada masa pemerintahannya (898-910 M). Diantara prasasti-prasasti tersebut, terdapat beberapa prasasti yang memuat keterangan yang berkaitan dengan kelestarian bangunan keagamaan. Prasasti masa Raja Balitung (898-910 M) yang dijadikan sebagai data dalam penelitian ini memperlihatkan perbedaan penyebutan usaha pelestarian bangunan keagamaan. Penyebutan mengenai pelestarian terhadap bangunan keagamaan ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu penyebutan secara tersurat dan penyebutan secara tersirat. Penyebutan tersurat diketahui dari kalimat atau kata yang dituliskan pada kalimat prasasti dan penyebutan anugerah yang disebut sebagai sīma punpunan. Sīma punpunan merupakan anugerah sīma pada sebidang tanah pada sebuah desa untuk mendukung kelestarian bangunan keagamaan (Jones 1984, 78). 49
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74
3.1.1 Penyebutan Tersurat Penyebutan tersurat adalah isi dari kalimat dalam prasasti yang memberikan indikasi tentang usaha pelestarian bangunan keagamaan. Tidak ada standardisasi pasti untuk membedakan jenis penyebutan pelestarian bangunan keagamaan. Pengelompokan ini untuk memudahkan pengidentifikasian bentuk pelestarian yang tampak dalam data prasasti, Berikut ini istilah yang dipakai dalam prasasti masa Raja Balitung yang berhubungan dengan pelestarian: a. Makmitan Kata makmitan memiliki arti ‘memelihara’, makmitan dalam beberapa prasasti disebutkan untuk menerangkan upaya pemeliharaan yang dilakukan pada bangunan keagamaan maupun tanah sīma. Untuk bangunan keagamaan disebut makmitan dharmma, sedangkan untuk sīma disebut makmitan sīma. Berikut adalah kutipan kalimat dari prasasti yang menyebutkan kata tersebut: Prasasti Telang I (903 M) I.5-6 “…wusan makakmitan ikanaŋ kamulān mu°aŋ parahu. umantassakna saŋ mahawān pratidina paṅguhanya mas mā 7 pasaŋ niŋ kalaŋ mā 2 piṇḍa mā 9 iŋ satahun. paknānya... mu°aŋ parāna °i maṅkmit kamulān…” (=[yang termasuk wilayah Hu] wusan untuk menjaga kamulān dan perahu. [Sebagai imbalan] menjaga perahu dan menyeberangkan pejalan kaki setiap hari [mereka] akan menerima bayaran senilai 7 māsa emas disatukan dengan dari kalang 2 māsa [emas], jumlahnya 9 māsa [emas] dalam setahun. [Penduduk] yang dikenakan [untuk .....] dan parana kepada penjaga kamulān (Nastiti 2015, 27-28). Prasasti Watukura I (902 M) IIIb. 1-2. “…i bhatāra dharmma. çesanya. maraha i saŋ karmmanya. mamūja. upakalpa. dewakarmma. anapū. dewadāsa. pasiṅhir. sahana saṅkarmma kummit bhatāra makadrwya ya…”(=…di
50
bhatāra dharmma sisanya diberikan ke sang karmmanya untuk memuja mempersiapkan upacara, upacara untuk dewa, menyapu, pemelihara bangunan keagamaan pejabat keagamaan, sang karma yang memelihara seluruh bangunannya (bhātara) sebagai kerja baktinya (Wuryantoro 2011, 130). Prasasti Samalagi (910 M) 3-4.“…dharmma rakryān mahāmantri. Gawainya mā…sawaḥnya lamwit…(hu…n tampaḥ 1 ka…ḥ) 2 pinḍah sawaḥ kmittanni rāma i samalagi…”(=…dharmma rakryān mahāmantri. Kerjanya mā sawahnya mmiliki luas lamwit…… (hu…n tampaḥ 1 ka…ḥ) 2 jumlah sawah yang dikelola oleh rāma di Samalagi…(Boechari 2012, 479). b. Rumakṣa Kata ini berasal dari kata dasar rakṣa yang berarti ‘jaga’, dengan ditambah sisipan um. Karena sisipan ini bersifat aktif maka arti kata ini seharusnya menjadi ‘menjaga.’ Berikut ini adalah kutipan kalimat dalam prasasti Taji (901 M) yang menyebutkan kata ini: VIIa. 3-4.“…kasusukan nikanaŋ kabikuan riŋ dewasabhā muaŋ sīmānya de rakryān ri watu tihaŋ pu saŋgrāma dhurandhara winehakanira ya ri anaknira anakbi samgat dmu(ŋ) pu cintyā rake śrī bhāru dyaḥ dhetā. sira rumakṣā saŋ hyaŋ dharmma…”(=…dibatasilah kabikuan di Dewasabha itu dan (juga) sīma-nya oleh Rakryān ri Watu Tihaŋ Pu Saŋgrāma Dhurandhara diberikan kepada anaknya istri dari Samgat Dmu(ŋ) Pu Cintyā yaitu Rake Śrī Bhāru Dyaḥ Dhetā. dialah yang menjaga (bangunan keagamaan) saŋ hyaŋ dharmma…(Boechari 1985/86, 42). c. Umiwia Kata umiwia juga memiliki arti ‘memelihara’, dalam prasasti Rukam (907 M) kata ini muncul untuk menerangkan pemeliharaan lima bangunan keagamaan yang dilakukan oleh warga Desa Rukam dengan dipimpin
Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M.). Yogi Pradana
oleh ketiga rāma di daerah itu. Kutipan prasastinya adalah: 1.3-4. “…sīmān rakryān sañjīwana nini haji maṅasīa i dharmma nira i limwunŋ muaŋ pagawayana kamulān paṅguḥhannya pirak dhā 5 piliḥ mas mā 5 marā i parhyaṅan i limwuŋ buñcaŋ hajyanya umiwia ikanaŋ kamulān…” =…dijadikan daerah perdikan bagi neneknya raja, yaitu Rakryān Sañjīwana dan hendaknya dipersembahkan kepada dharmmanya (Rakryān Sañjīwana) di Limwung dan hendaknya membuat kamulān (di Rukam). Pendapatan (daerah Rukam yang berjumlah) 5 dhārana perak dan 5 māsa pilih mas, (supaya) diberikan untuk pemeliharaan parhyaṅan yang terletak di Limwung, sebagai buñcang hajinya adalah memelihara kamulān tersebut… (Nastiti et al. 1982, 23-26 dan 36-40). d. Byapāra Kata byapāra memiliki arti ‘mengurusi/ melayani’. Kata byapāra atau wyaparā juga diidentifikasikan sebagai jabatan dari seseorang yang mempunyai tugas memelihara bangunan keagamaan dari kerusakan (Setianingsih 1991, 6). Satu-satunya prasasti masa Balitung yang menyebutkan kata byapāra adalah prasasti Watukura (902 M), berikut ini kutipan kalimatnya: IIIa.1.“…nāhan kweh ni rāmanta i watukura tumarima ikanāŋ mās panīma saṅke
haji muaŋ milu sumusuk ikanāŋ dharmma ika ta kabeh kapwa byapāra i bhatāra dharmma i watukura…”(Wuryantoro 2011, 129)(=…demikian banyaknya kepala desa di Watukura yang menerima uang emas untuk melaksanakan upacara penetapan sīma dari raja dan ikut membatasi atau menetapkan bangunan keagamaan itu semuanya adalah pemelihara bangunan keagamaan di Watukura… e. Sīma Punpunan Penyebutan ini tercantum dalam empat prasasti pada masa Raja Balitung, berikut kutipan kalimatnya: Prasasti Sangsang I (907 M) 1.6.“…inanugrahān kinon sumusuka i kanaŋ wanua i saŋsaŋ simā punpunnana nikanaŋ wiharā…” (van Naerssen 1937, 442)(=dianugerahi untuk membatasi desa sangsang menjadi simā punpunan bagi wiharā itu…) Prasasti Samalagi 3. “…i samalagi…susukên sīmā punpunanai bhaṭāra waiṣṇawa iŋ bulusan dharmma rakryān mahāmantrī. Gawainya mā…”(=…di samalagi.. ditetapkan atau dibatasi (sebagai) sīmā punpunan untuk bangunan suci bagi kelompok pemuja dewa wisnu (bhaṭāra waiṣṇawa) di bulusan yang merupakan kebaikan (dharmma) dari rakryān mahāmantrī. baktinya…māsa (mā)…).
Tabel 1. Penyebutan Tersurat Tentang Pelestarian dalam Prasasti Masa Balitung
Kata
Terjemahan
Prasasti
Makmitana
melestarikan atau memelihara
Telang I (903 M)
Kummit
melestarikan atau memelihara
Watukura (902 M)
Kmitanni
yang dipelihara
Samalagi
rumakṣa
menjaga
Taji (901 M)
umiwia
memelihara
Rukam (907 M)
byapāra
mengurusi atau melayani
Watukura (902 M)
sīma punpunan
tanah sīma yang diperuntukkan bagi kelestarian bangunan keagamaan
Sangsang (907 M), Samalagi (t.t.), Kandangan (906 M), Wukajana (t.t.)
kmit
51
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74
3.1.2 Penyebutan Tersirat Ada 11 prasasti yang secara tidak langsung atau tersirat usaha pelestarian bangunan keagamaan (kutipan prasastinya tercantum dalam Tabel 2.). Usaha untuk melestarikan bangunan keagamaan secara tersirat pada umumnya berisi pemberian sebuah tanah sīma untuk bangunan
keagamaan. Tanah yang ditetapkan menjadi sīma adalah tanah yang bebas dari pungutan pajak kerajaan. Sebagai gantinya, hasil dari tanah tersebut diperuntukkan bagi bangunan keagamaan untuk mendukung kelestarian atau keberadaan bangunan keagamaan (Boechari 2011, 280).
Tabel 2. Kutipan Penyebutan Tersirat Kebijakan Pelestarian Bangunan Keagamaan
Kutipan Prasasti
Terjemahan
Prasasti
sinusuk rake wanua poḥ. sīmani parhyaṅan
ditetapkan atau dibatasi oleh Rake Wanua Poh sebagai sīma untuk bangunan keagamaan (yang jenisnya) parhyangan
Kayu Ara Hiwang (901 M)
paknānyan sinusuk punyā nira sīmā bhaṭara muaŋ bhaṭāri I kinawuhan
Tujuannya membatasi sīma yaitu sebagai jasa mereka (bagi) bhaṭāra dan bhaṭārī di Kinawuhan
Panggumulan I & II (902 & 903 M)
inalap śīmā nikanang kamulān muang dijadikan sīma bagi Bangunan keagamaan parahu (kamulān) dan perahu
Telang II (903 M)
panamwah sawaha simājaran diwassa sīmājñaya ikānaŋ kabikuan i simājaran
memperluas sawah sīma untuk para ajar (pendeta/guru) ketika (pada saat itu) perintah untuk menjadikan sīma untuk kabikuan di sīma untuk para ajar (sīmājaran)
Ketanen I (904 M)
paknān yan sinuśuk muang kalangnya sīmā sang hyang caitya mahaywa silunglung sang dewata sang lumāḥ i pastika
Fungsinya dibatasi dengan pejabat sīma (bagi) Sang Hyang Caitya bagi kesejahteraan silunglung dari raja yang diperdewakan di pastika
Poh (Randusari) (905 M)
kāla rakryān i wuṅkaltihaŋ pu wīrawikrama maṅarpanākan gaṇṭa i bhaṭāra iŋ rabwān
Pada waktu itu Rakryān Wuṅkaltihaṅ Pu Wīrawikrama memberikan genta kepada dewa (bhaṭāra) di Rabwān
Rabwan (905 M)
śīmā ni parhyangan I prasāja watak patapān
dijadikan śīma bagi parhyangan Prasāja (yang masuk dalam wilayah) Patapān
Kandangan (906 M)
lain sangke kapūjan bhaṭāra i malangkuśeśwara. ing pūteśwara.i kutusan. i śilābhedeśwara. i tuleśwara. ing pratiwarsa
Mantyasih I (907 M) selain itu juga melakukan pemujaan kepada bangunan keagamaan (bhaṭāra) di Malangkuśeśwara. di Pūteśwara.di Kutusan. di Silābhedeśwara.di Tuleśwara setiap tahun
knanyan sinusuk sīmā bhaṭārī ta…pa ri…iṅinira sa…maṇik
tujuan pembatasan (tanah itu) ialah untuk dijadikan perdikan bagi bangunan keagamaan untuk Bhaṭārī (=dewi durgā?)
irikā diwasa nikanaŋ sawaḥ sīma i pikatan inuwahakan i saŋ hyaŋ wihāra i pikatan
adalah saat sawah sīma di pikatan diberikan Wanua Tengah III (908 M) kepada sang hyang wihāra di Pikatan
sinêmbahakên ḍampunta sudḍara mwaŋ ḍampunta dampi. sīma pananamāna kambaŋ panikêlana susur
dipersembahkan kepada Dampunta Sudḍara dan Dampunta Dampi sebagai tanah sīma untuk menanam bunga yang nanti hasilnya sebagai pemberian wajib
52
Sīmā Bhaṭāri (907 M)
Kaladi (909 M)
Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M.). Yogi Pradana
Foto 1. Prasasti Mantyasih lempeng I sisi depan dan pembesaran bagian awalnya (Sumber: OD 8737)
3.2 Bentuk Pelestarian Bangunan Keagamaan 3.2.1 Perawatan dan Perlindungan Sebagai tempat yang diperuntukkan bagi kegiatan keagamaan, bangunan keagamaan perlu dijaga dan dirawat dengan baik agar tetap lestari. Bangunan keagamaan perlu dijaga keamanannya dari berbagai ancaman yang mengganggu keberadaan dan kegiatan yang terjadi pada bangunan keagamaan. Sebagai contoh pada masa Matarām Kuno dalam Prasasti Śiwagṛha (856 M) memberikan keterangan mengenai kemungkinan adanya peristiwa pencurian pada suatu bangunan keagamaan, 19.“…ista kariḥ dwarapalā weh dadi matakut maling ta kumaling waruhheriṅ alap grhahayu ning hyaṅ…”(=…arca dwarapala ditempatkan untuk menakuti pencuri yang mencuri (menganggu) keindahan bangunan keagamaan milik dewa…(Casparis 1956, 313). Kutipan prasasti Śiwagṛha di atas menunjukkan upaya mencegah tindakan pencurian dengan menempatkan arca dwarapala yang biasanya ditempatkan pada pintu masuk sebuah bangunan keagamaan. Pada masa Balitung, kebijakan tentang usaha menjaga keamanan bangunan keagamaan diwujudkan
dengan membangun kamulān. Bangunan ini merupakan bangunan yang diperuntukkan bagi penjaga keamanan, dan biasanya berkaitan dengan keamanan jalan raya atau sarana penyeberangan (tambangan) pada masa Jawa Kuno (Darmosoetopo 2003, 104-106, Nastiti et al. 1982, 48). Prasasti Telang I memberikan keterangan bahwa Desa Telang diwajibkan untuk menjaga kamulān dan perahu, seperti yang tercantum dalam kutipan ini: A.4-5 “…jar ya tan wuara saŋgahan. inujaran saŋ huwusan pu waluḥ anakwanua i anṅahi. de rakryān mapatiḥ kinon umaparṇnākna ikanaŋ wanua i tlaŋ muaŋ iŋ mahe… 5.wusan makakmitan °ikanaŋ kamulān mu°aŋ parahu....(=Penguasa Desa Huwusan [bernama] Pu Waluh, penduduk Desa Manṅahi, disuruh oleh Rakryan Mapatih untuk menyampaikannya ke [penduduk] Desa Tlaŋ, Desa Mahe, [dan Desa Paparahuan][yang termasuk wilayah Hu]wusan untuk menjaga kamulān dan perahu) (Nastiti 2015, 27-28) Pemeliharaan bangunan keagamaan membutuhkan seorang petugas khusus. Petugas khusus tersebut dalam prasasti disebut dengan byapāra yang berarti juru pelihara
53
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74
Foto 2. Panil 31 Relief Karmawibhangga Candi Borobudur yang menggambarkan seorang Biksu yang duduk di depan sebuah bangunan keagamaan atau candi dan seseorang terlihat membersihkan bagian kaki candi, adegan ini menurut Fontein (1989) menunjukkan ajaran membersihkan kediaman Biksu (Sumber: Widjaja 1999, 31)
bangunan keagamaan (Setianingsih 1991, 5). Sebagai petugas khusus untuk merawat bangunan keagamaan, byapāra memiliki tugas membersihkan dan merawat bangunan keagamaan dan lingkungan sekitarnya. Prasasti Landa yang tidak terdapat angka tahun di dalamnya menurut Christie (1999, 172) berasal dari masa Raja Kayuwangi memberikan keterangan mengenai bangunan keagamaan prāsāda yang ada di Ruhur dan Tambak yang disapu bagian dalam ruangannya. Halaman prāsāda ini juga dibersihkan dan dicabuti rumput-rumputnya (Darmosoetopo 2003, 248, Wuryantoro 2012, 351-352). Petugas byapāra, seperti yang disebutkan dalam prasasti Watukura I jumlahnya lebih dari satu orang, kutipan prasasti yang menyebutkan indikasi tersebut adalah: IIIa.1.“…rāmānamarata saŋ gariyan saŋ subhara saŋ windawa nāhan kweḥ ni rāmanta i watukura, tumarima ikanāŋ mās panīma saṅke haji, muaŋ milu sumusuk ikanāŋ dharmma, ika ta kabeḥ kapwa byapāra i bhaṭāra dharmma i watukura…” (Wuryantoro 2012, 129)(=pejabat kepala desa yang telah pensiun yaitu Sang Gariyan, Sang Subhara, Sang Windawa. Demikian banyaknya kepala desa di Watukura yang menerima uang emas untuk melaksanakan upacara penetapan sīma 54
dari raja dan ikut membatasi/menetapkan bangunan keagamaan itu semuanya adalah para pemelihara bangunan keagamaan di Watukura). Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa para kepala desa yang telah menerima uang emas untuk memelihara bangunan keagamaan itu semua tergolong dalam petugas yang disebut byapāra. Termasuk ketiga kepala desa yang telah pensiun juga diberikan tugas untuk melestarikan bangunan keagamaan. Pada masa Raja Rakai Watukura Dyaḥ Balitung, pemeliharaan bangunan keagamaan mungkin tidak banyak berbeda dengan bentuk pemeliharaan bangunan keagamaan pada Prasasti Landa di atas. Pembersihan terhadap bangunan keagamaan bukan tanpa alasan, ajaran keagamaan yang mengajarkan bakti terhadap bangunan keagamaan atau dewa juga diajarkan dalam ajaran agama. Visualisasi dalam salah satu relief Karmawibhangga Borobudur menampilkan gambaran mengenai hal itu. 3.2.2. Renovasi Bangunan Pada masa pemerintahan Raja Balitung pernah ada peristiwa renovasi bangunan keagamaan, peristiwa ini dicatat dalam prasasti Sangsang (907 M). Samgat Lamwa yang merupakan pejabat tinggi watak Lamwa di tugaskan untuk menetapkan Desa Sangsang
Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M.). Yogi Pradana
sebagai sīma karena ia telah berjasa memperindah bangunan kuṭi di Hujung Galuh dan membangun biharā untuk komplek kuṭi tersebut. Kutipan kalimat prasastinya adalah: 5-6.“…i kanaŋ wanua wuara kuṭī i hujuŋ galuḥ watak lamwa ya ta pinuliḥ samgat lamwa pinahayu-nira jinayyakan nira wihāra ya sambandhā nya r inanugrahān kinon sumusuka i kanaŋ wanua i saŋsaŋ simā punpunnana nikanaŋ wiharā… ”(=van Naerssen 1937, 442)(=…wuara kuṭī di hujung galuh itu yang masuk dalam wilayah watak lamwa. Dia lah yang bernama Samgat Lamwa yang mempercantik (kompleks bangunan keagamaan), memulihkan kejayaan dengan menambahkan wiharā. Itulah sebabnya (ia) dianugerahi untuk membatasi desa sangsang menjadi simā punpunan bagi wiharā itu…) Berdasarkan kutipan prasasti di atas, ada dua hal penting yang tercantum, pertama adalah hubungan antara bangunan keagamaan kuṭi dan wiharā. Karena bangunan wiharā dibangun dalam sebuah kompleks kuṭi, berarti bangunan wiharā merupakan bagian kecil dari bangunan kuṭi yang sudah ada. Kemungkinan lain yang bisa saja terjadi adalah bangunan kuti yang merupakan bangunan bernafaskan agama Buddha belum memiliki wiharā yang diidentifikasi sebagai tempat tinggal para pendeta agama Buddha (Darmosoetopo 2003, 204). Jika bangunan wiharā ini dibangun setelah kuṭi-nya, berarti dapat dianggap bahwa wiharā merupakan bangunan pelengkap yang dibangun kemudian untuk menambahkan kompleks bangunan kuṭi yang sudah ada. Sebagai contoh, fenomena penambahan sebuah bangunaan keagamaan Buddha dengan sebuah bangunan wiharā telah ada sejak tahun 700 Ś (778 M). Raja Rakai Panangkaran membangun sebuah bangunan keagamaan untuk Dewi Tāra (Tārābhavanaṃ), sekarang diidentikkan dengan Candi Kalasan. Berdasarkan Prasasti Kalasan ini
juga disebutkan pembangunan sebuah bihāra di sekitar bangunan keagamaan tersebut (Santiko 2012, 5-6). Sesuai dengan bukti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu bentuk kebijakan pelestarian bangunan keagamaan adalah dengan cara menambah bangunan baru dalam suatu bangunan keagamaan. Prasasti Sangsang I adalah suatu bukti bahwa bangunan keagamaan kuṭi mengalami perawatan dan penambahan bangunan wiharā untuk melengkapi bangunan yang sudah ada. Prasasti ini juga menunjukkan bahwa pejabat yang terlibat dalam usaha pelestarian bangunan keagamaan tidak harus pejabat yang memiliki kedudukan tinggi, hal ini dapat dilihat dari peran Samgat Lamwa. Fakta ini semakin memperjelas bahwa gelar samgat adalah gelar pejabat yang berada pada tingkat watak yang memiliki tugas khusus di bidang keagamaan. 3.3. Dukungan untuk Keberadaan Bangunan Keagamaan Pada masa pemerintahan Raja Balitung, pemberian atau dukungan terhadap bangunan keagamaan dapat berupa tanah sawah, kebun, dan tanah desa. Pemberian tanah kepada bangunan keagamaan masa Raja Balitung beragam jenisnya. Tanah yang diberikan sebagai biaya melestarikan bangunan keagamaan tersebut merupakan tanah yang terlebih dahulu dibatasi sebagai tanah sīma. Pemberian tanah terutama untuk penetapan sīma punpunan karena sīma punpunan sudah jelas merupakan tanah sīma untuk mendukung keberadaan bangunan keagamaan (Boechari 1980, 324; Darmosoetopo 2003, 109; Jones 1984, 78). Seperti telah dikemukakan bahwa tanah adalah sumbangan yang paling banyak diberikan, mungkin karena masyarakat Matarām Kuno adalah masyarakat agraris. Sawah menghasilkan komoditas yang berguna untuk memenuhi hajat hidup masyarakat sehingga dapat juga untuk membiayai bangunan keagamaan. Hasil dari 55
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74
sawah sīma yang seharusnya diserahkan untuk kerajaan dalam bentuk pajak digunakan sebagai biaya untuk pelestarian bangunan keagamaan. Misalnya Desa Panggumulan yang memiliki kewajiban membayar pajak empat māsa yang diperoleh dari sawah yang luasnya tujuh tampah dan satu kaṭik ditambah dengan penghasilan setahun dari hutan sebesar satu māsa perak harus di serahkan semuanya untuk memelihara bangunan keagamaan di Kinawuhan (Nastiti et al. 1982, 30). Contoh lainnya, adalah sawah di Wanua Tengah yang hasilnya diperuntukkan bagi biara di Pikatan yang telah dibangun oleh Rahyangta i Hara pada tahun 745 M. Adapun luas tanah yang disebutkan dalam prasasti adalah sisi utara 182 dpa sihwa, sisi selatan 162 dpa sihwa, sisi timur 160 dpa sihwa dan sisi barat 162 dpa sihwa dengan 3 tu. Penambahan tanah terkait usaha atau kebijakan dalam menunjang pelestarian bangunan keagamaan pada masa pemerintahan Raja Balitung terdapat dalam prasasti Ketanen (904 M) yang ditemukan di Desa Ketanen, Mojokerto. Penjelasan mengenai hal itu dalam prasasti disebutkan bahwa Rakryan Lañja dai Innahan dan pembantu Rakryān memperluas sīma untuk para ajar (pendeta/guru) yang ada di Kabikuan Simājaran. Alasan penambahan tanah tersebut supaya hasil dari sīma menjadi lebih besar sehingga dana untuk mengurus bangunan keagamaan juga bertambah. Pemberian tanah berupa kebun didapatkan dari Prasasati Taji (901 M) yang menyebutkan kebun di Desa Taji ini berisi anugerah sīma yang diberikan untuk tanah kebun di Desa Taji yang masuk wilayah dmung dijadikan tanah perdikan untuk sebuah kabikuan yang bernama Dewasabhā. Sebagaimana diketahui, kebun merupakan tanah yang juga ditanami sebagaimana tanah sawah, yang hasilnya dapat memberikan nilai ekonomis untuk digunakan dalam pelestarian bangunan keagamaan. Hal menarik adalah penjelasan dari prasasti Kaladi (909 M.) yang menyebutkan adanya 56
tanah sīma di Kaladi, Gayam, dan Pyapya yang masuk ke wilayah Bawang, tadinya merupakan hutan (alas araṇan) yang dan dirubah menjadi kebun. Kemudian kebun tersebut disebutkan ditanami dengan bunga yang diperuntukkan untuk mendukung pemberian wajib (panikĕlana susur). Adapun alasan mengapa hutan tersebut dijadikan kebun bunga, karena hutan tersebut tadinya hutan yang sangat rawan kejahatan yang menyebabkan ketakutan bagi orang yang melaluinya. Keterangan mengenai hal itu dapat dilihat pada kutipan di bawah ini: “…sambandha ikanaŋ lmaḥ iŋ kaladi i gayam mwaŋ iŋ pyapya watĕk bawaŋ sinêmbahakên ḍampunta sudḍara mwaŋ ḍampunta dampi. sīma pananamāna kambaŋ panikĕlana susur… sampun pua ya winehakĕn simān. sambandha iŋkang lmaḥ iŋ gayām muaŋ iŋ pyapya hlat gunanta kamulanya. alas araṇan katakutan…”(=…alasannya tanah di Kaladi, Gayam dan Pyapya yang masuk dalam wilayah (watêk) bawang dipersembahkan kepada Dampunta Sudḍara dan Dampunta Dampi sebagai tanah sīma untuk menanam bunga yang nanti hasilnya sebagai pemberian wajib. sudah diberikan anugerah sīma itu kepada mereka. Alasannya tanah di Gayām dan Pyapya terhalang dari segi keamanan…) (Jones 1984, 180). Kutipan ini menunjukkan bahwa kebun bunga merupakan hal penting untuk mendukung bangunan keagamaan sebagai sarana upacara. Persembahan bunga untuk bhaṭāra atau bangunan keagamaan juga disebut dalam prasasati Kwak I pada masa pemerintahan Rakai Kayuwaŋi untuk bangunan pastika (mangraga kambang ing pastika) yang dilakukan tiap setengah tahun sekali (Darmosoetopo 2003, 250). Pemberian bunga yang dilakukan untuk sebuah bangunan keagamaan merupakan sebuah bakti yang ditunjukkan kepada dewa. Pemberian itu memiliki arti religius bagi penguasa karena
Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M.). Yogi Pradana
Foto 3. Prasasti Kaladi Lempeng I a yang memberikan informasi mengenai kebun bunga yang dipersembahkan bagi bangunan keagamaan (Sumber: OD 20297-20298)
suatu pemberian baik yang diberikan akan membawa suatu pengembalian dalam hidup ini maupun dalam hidup yang akan datang (reinkarnasi) dalam keyakinan Hindu (Mauss 1992, 111). Secara luas bentuk-bentuk kebijakan yang telah diuraikan di atas pada akhirnya dapat dianggap sebagai kepedulian penguasa terhadap kehidupan beragama dan masyarakat pada masa itu. 4. Penutup Pelestarian bangunan keagamaan sebagai usaha untuk membuat bangunan keagamaan tetap dilakukan oleh penguasa Jawa Kuno pada 898-910 M. dengan berbagai cara. Caracara yang dilakukan oleh penguasa untuk menjaga keberlanjutan bangunan keagamaan adalah dengan mendu-kung keterawatan, mempertahankan keberadaan bangunan keagamaan. Hal itu dikarenakan bahwa bangunan keagamaan merupakan bangunan sakral sebagai tempat melakukan ibadah dan ritual-ritual keagamaan masyarakat Jawa Kuno. Pelestarian untuk mempertahankan keberadaan sebuah bangunan kegamaan pada masa itu dilakukan dengan cara merawat, merenovasi dan menambah bangunan dan memberikan dukungan baik hasil tanah maupun barang. Perawatan untuk mempertahankan keberadaan bangunan keagamaan dilakukan dengan cara membersihkan bangunan, membuat bangunan pos keamanan (kamulān) untuk bangunan keagamaan dan merenovasi bangunan
keagamaan (pinahayu). Untuk mendukung kelangsungan bangunan keagamaan dan kegiatan yang ada di dalamnya penguasa melakukukan pemberian yang antara lain berupa tanah sawah, sawah kering (gagā), kebun, dan tanah yang belum dimanfaatkan. Dukungan itu merupakan tanda bakti kepada dewa. Bakti seorang penguasa ini sering disebut dengan buat haji (buñcang haji), gawai atau buathyang atau sebagai bakti (kerja) rakyat untuk raja dan dewa. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kebijakan pelestarian bangunan keagamaan tidak hanya dilakukan atas perintah dari Śrī Maharājā sebagai penguasa tertinggi. Para pejabat di tingkat lebih rendah seperti tingkatan daerah watak juga bisa melakukan kebijakan pelestarian bangunan keagamaan. Hal ini mendukung pemahaman mengenai sistem birokrasi pada masa kerajaan Matarām Kuno. Sistem itu disebut dengan sistem “desentralisasi” yang memperbolehkan para penguasa lokal atau daerah untuk melakukan pengaturan terhadap wilayahnya sendiri. Daftar Pustaka Boechari. 2012. “Epigrafi dan Sejarah Indonesia.” Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Kumpulan Tulisan Boechari, 3-28. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Boechari. 1980. “Candi dan Lingkungannya.” In Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA), 319341. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
57
AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 35 No. 1, Juni 2017 : 1-74
Boechari and A. S. Wibowo. 1985/1986. Prasasti Koleksi Museum Nasional I. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Nastiti, Titi Surti, Dyah Wijaya Dewi, and Richadiana Kartakusuma. 1982. Tiga Prasasti dari masa Balitung. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Brandes, J. L. A. 1913. Oud-Javaansche Oorkonden Nagelaten Transcripties van Wijlen Dr. J. L. A. Brandes Uitgegeven door Dr. N. J. Krom. VBG LX. Batavia: Albrecht & Co. M. Nijhoff.
Nastiti, Titi Surti 2015. “Prasasti Tlanŋ (904 M.): Desa Perdikan untuk Tempat Penyeberangan Masa Matarām Kuna.” Kalpataru Majalah Arkeologi Vol. 24 No. 1: 25-35.
Casparis, J. G. de. 1956. Selected Incriptions From The 7th to The 9th Century A. D. II. Bandung: Masa Baru.
Purnamasari, Dewi. 2012. Sambandha dalam Prasasti-Prasasti Masa Balitung (820832 Çaka). Skripsi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Christie, Jan Wisseman. 1999. Register of The Inscriptions of Java 732-1060 A. D. I-II (The Inscriptions of Mataram)-Working Draft 9 July 1999. Darmosoetopo, Riboet. 2003. Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU. Yogyakarta: Prana Pena. Dwiyanto, Djoko. 1993. “Metode Penelitian Epigrafi dalam Arkeologi”. ARTEFAK No. 13, Agustus 1993: 7-9. Haryono, Timbul. 1980. “Gambaran tentang Upacara Penetapan Sīma”. Majalah Arkeologi III (1-2): 35-54. Jones, Antoinette M. B. 1984. Early Tenth Century Java From The Inscriptions, A Study of Economic, Social and Administrative Conditions in The First Quarter of The Century. Dordrecht: Foris Publication. Kusen. 1988. Prasasti Wanua Tengah III, 830 Saka: Studi Tentang Latar Belakang Perubahan Status Sawah di Wanua Tengah Sejak Rake Panangkaran Sampai Rake Watukura Dyah Balitung. In Kegiatan Ilmiah Arkeologi IAAI Komisariat Yogyakarta-Jawa Tengah. Unpublish Work. Kusumuhartono, Bugie. 1994. “Data Baru dari Distribusi Artefak Prasasti”. Berkala Arkeologi tahun XIV-Edisi Khusus: 1721. Mauss, Marcel. 1992. Pemberian, Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno. Terj Parsudi Suparlan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
58
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi ke-empat. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Santiko, Hariani. 2012. Dua Dinasti di Kerajaan Matarām Kuna: Tinjauan Prasasti Kalasan. Seminar Nasional Epigrafi dan Sejarah Kuo Indonesia 5 Desember 2012. Unpublish Work. Sarkar, Himanshu Bhusan. 1972. Corpus of The Inscriptions old Java (Corpus Inscriptionium Javanicarium up to 928 A. D.). Calcutta: Firma K. L. Mukhopadhyay. Setianingsih, Rita Margaretha. 1991. Sekilas Tentang Petugas Bangunan Suci di Dalam Masyarakat Jawa Kuna. In Diskusi Ilmiah Epigrafi 9-10 November. Unpublish Work. Soekmono. 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Depok: Universitas Indonesia. ---------. 1927. “Een Belangrijke oorkonde uit de Kedoe.” In TBG 67: 172-215. Batavia: ALBRECHT & Co. Sttuterheim, W. F. 1940. “Oorkonde Van Balitung Uit 905 A.D. (Randoesari I)”. In Inscripties Van Nederlandsch-indie. Batavia: Kon. Drukkerij De Unie. Stuart, A. B. Cohen. 1975. Kawi Oorkonden in Facsimile, Met Inleiding en Transscriptie. Leiden: Gedrukt bij E. J. Brill.
Kebijakan Penguasa dalam Pelestarian Bangunan Keagamaan pada Masa Pemerintahan Rakai Watukura Dyaḥ Balitung (898-910 M.). Yogi Pradana
Suhadi, Machi and M. M. Soekarto Kartoatmojo. 1986. “Laporan Penelitian Epigrafi Jawa Tengah”. Berita Penelitian Arkeologi No. 37. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wuryantoro, Edhie. 2012. Prasasti Berbahasa Jawa Kuno Abad VIII – X Masehi Koleksi Museum Nasional Jakarta (Alih aksara dan Terjemahan). Jakarta: Museum Nasional Indonesia.
Tedjowasono, Ninie Susanti. 1981. Struktur Birokasi Jaman Balitung: Data Prasasti. Skripsi. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Wuryantoro, Edhie and Hasan Djafar. 1996. “Prasasti Wanua Tengah 3 dan Masalah Dinasti Sanjaya-Sailendra”. Laporan Penelitian FS-UI. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
van Naeersen, T. H. 1937. “Twee Koperen Oorkonden van Balitung in Het Koloniaal Instituut te Amsterdam”. BKI 95. 441461. Widjaja, Metta. 1999. Penggambaran Kaum Agamawan pada Relief Karmawibhangga Candi Borobudur. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.
Zoetmulder, P. J. and S. O. Robson. 2011. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Terj. Darusuprapta & Sumarti Suprayitna. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
59
RUMAH PERADABAN GUNUNG PENANGGUNGAN:
MENEPIS KABUT PAWITRA
"Ketika kebakaran hebat di daerah lereng Penanggungan yang menghabiskan ratusan hektar hutan, ditemukan jalan yang dibuat dari tatanan batu kali. Jalan yang lebarnya sekitar 3 meter menghubungkan satu bangunan dengan bangunan lain, mengelilingi punggung gunung hingga ke bagian puncak"
P
ada masa lampau, ketika sedang berkembangnya pengaruh kebudayaan India di Nuṣāntara, khususnya pada masa Kerajaan Kaḍiri (abad XI-XII), Siŋhasāri (abad XIII), dan Majapahit (abad XIV-XV), Gunung Penanggungan dianggap sebagai gunung suci yang dapat disamakan dengan Gunung Meru, sebuah gunung tempat tinggal para dewa serta Lokapāla dimana Indra bersemayam sebagai raja para dewa. Entah kebetulan dalam hal pemilihan lokasi, Penanggungan yang populernya Pawitra mirip dengan Gunung Meru dengan sebuah puncak utama dikelilingi empat puncak di empat penjuru angin. Sebagai representasi tempat tinggal para dewa, di Gunung Penanggungan terdapat bangunanbangunan suci mulai dari kaki hingga puncak gunung, dan pemandian (pethirtaan). Dengan demikian tinggalan budaya masa lampau di gunung ini mempunyai nilai historis-kultural. Dalam babakan sejarah kebudayaan Indonesia, Gunung Penanggungan mempunyai posisi penting. Tinggalantinggalan budaya yang terdapat di gunung itu mencerminkan tinggalan budaya yang mewakili asal dan jamannya. Adanya bangunan berundak mencerminkan unsur budaya asli Nuṣāntara. Sayangnya hingga saat ini informasi mengenai kepurbakalaan, apalagi kesejarahan Penanggungan sangat minim. Akibat dari minimnya informasi tersebut pengetahuan mengenai hal itu sangat terbatas. Gunung Penanggungan dan tinggalan budayanya merupakan kekayaan yang tidak ternilai bagi bangsa Indonesia. Jarang ada situs arkeologi, dan mungkin satu-satunya di Indonesia yang mempunyai tinggalan budaya sebanyak Penanggungan dan berasal dari berbagai periode dalam satu kawasan gunung. Pada tahun 2015, ketika kebakaran hebat di daerah lereng Penanggungan
yang menghabiskan ratusan hektar hutan, ditemukan jalan yang dibuat dari tatanan batu kali. Jalan yang lebarnya sekitar 3 meter menghubungkan satu bangunan dengan bangunan lain, mengelilingi punggung gunung hingga ke bagian puncak. Karena itulah, tinggalan budaya dan lingkungannya di Penanggungan harus dapat dilestarikan. Namun sayangnya, untuk Situs Gunung Penanggungan ini, masalahnya justru terletak pada hal tersebut di atas. Pertama, data arkeologis yang terbilang banyak itu ternyata tidak seimbang dengan kegiatan penelitian yang telah dilakukan. Kedua, kondisi bukti-bukti arkeologis yang ada seperti berpacu dengan waktu. Ancaman terhadap kelestariannya selalu ada dari waktu ke waktu. Disinilah kemudian terlihat pentingnya Situs Gunung Penanggungan disasar dalam Program Rumah Peradaban. Dengan itu diharapkan, kegiatan untuk menepis kabut kesejarahan Sang Pawitra atau Gunung Penanggungan, menjadi semakin menggeliat. Pengungkapan kesejarahan itu tentu harus disertai dengan upaya untuk menggali nilai-nilai kearifannya, untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat. Ini dimaksudkan agar keberadaan Situs
Foto: Kusworo
Gunung Penanggungan dapat dimaknai --dan memiliki makna tertentu-- dalam kehidupan di masa sekarang. Semua itu, bukan tidak mungkin, meniscayakan tumbuh kembangnya rasa cinta masyarakat terhadap bukti-bukti sejarah mereka sendiri. Dan pada gilirannya, mereka akan terlibat aktif dalam upaya pelestariannya. Salah satu usaha untuk memasyarakatkan tinggalan budaya masa lampau di Gunung Penanggungan adalah melalui Program Rumah Peradaban. Dalam pelaksanaan program ini, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerjasama dengan UBAYA Penanggungan Centre Integrated Outdoor Campus yang MoU-nya ditandatangani di Trawas, Mojokerto tanggal 15 Agustus 2016. Adapun pelaksanaan kegiatan Rumah Peradaban Situs Gunung Penanggungan di Trawas tanggal 15-20 Mei 2017, dihadiri oleh lebih dari 200 undangan yang terdiri dari murid sekolah SMA dan mahasiswa, guru-guru sejarah, dan dosen dari universitas di Surabaya dan Malang, tokoh-tokoh masyarakat di sekitar Penanggungan, serta pejabat-pejabat Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Mojokerto. (Bambang Budi Utomo)
Foto: Indra Gusdelfi