KEBIJAKAN KEPOLISIAN RESOR BOYOLALI DALAM PENANGGUHAN PENAHANAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
TESIS Disusun Untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama Hukum dan Kebijakan Publik Dosen Pembimbing : Prof. Dr. H. Setiono, SH, MS Dr. Supanto, SH, M.Hum
Oleh : RAHMAD BUDI LESTARI S 310907014
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
i
KEBIJAKAN KEPOLISIAN RESOR BOYOLALI DALAM PENANGGUHAN PENAHANAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
TESIS Disusun Untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama Hukum dan Kebijakan Publik Dosen Pembimbing : Prof. Dr. H. Setiono, SH, MS Dr. Supanto, SH, M.Hum
Oleh : RAHMAD BUDI LESTARI S 310907014
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
ii
KEBIJAKAN KEPOLISIAN RESOR BOYOLALI DALAM PENANGGUHAN PENAHANAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
Disusun Oleh : RAHMAD BUDI LESTARI NIM. S 310907014
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Dosen Pembimbing Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Pembimbing I
Prof. Dr. H. Setiono, SH, MS NIP. 130 345 735
………….……..
……….....
Pembimbing II
Dr. Supanto, SH, M.Hum NIP. 131 568 794
...……..………..
………….
Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S. NIP. 130 345 735
iii
KEBIJAKAN KEPOLISIAN RESOR BOYOLALI DALAM PENANGGUHAN PENAHANAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
Disusun Oleh : RAHMAD BUDI LESTARI NIM. S 310907014
Telah disetujui oleh Tim Penguji Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Ketua
Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum NIP. 131 472 287
.…......………..
………….
Sekretaris
Dr. I Gusti Ayu Ketut RH, SH, MM .….................... NIP. 132314332
………….
Anggota Penguji 1. Prof. Dr. H. Setiono, SH, MS NIP. 130 345 735 2. Dr. Supanto, SH, M.Hum NIP. 131 568 794
............................
.................
.............................
.................
Mengetahui, Ketua Program Prof. Dr. H. Setiono, SH, MS Studi Ilmu Hukum NIP. 130 345 735
…...………......
..……….
Direktur Program Prof. Drs. Suranto, Msc., PhD Pasca Sarjana NIP. 131 472 192
.……………....
...……….
iv
PERNYATAAN
Nama
: RAHMAD BUDI LESTARI
NIM
: S 310907014
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul : “Kebijakan Kepolisian Resor Boyolali Dalam Penangguhan Penahanan Terhadap Pelaku Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak”, adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut diatas tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Januari 2009 Yang membuat pernyataan,
RAHMAD BUDI LESTARI
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan banyak berkat dan rahmat-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Kebijakan Kepolisian Resor Boyolali dalam Penangguhan Penahanan Terhadap Pelaku Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak” ini dapat diselesaikan dengan baik. Dalam penulisan tesis ini dapat berjalan lancar, penulis banyak memperoleh bantuan, dorongan, informasi dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus dan mendalam dan penghargaan kepada : 1. Prof. Drs. Suranto, Msc., PhD., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Pembimbing I yang dengan tulus dan ikhlas memberikan masukan dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis. 3. Prof. Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H., yang dengan lapang hati bersedia memberikan arahan kepada penulis, ditengah-tengah kesibukan beliau sebagai Pembantu Rektor IV Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan memberi banyak masukan yang berharga dalam penulisan tesis. 4. Dr. Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum, yang telah banyak membantu dan memberikan semangat dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan lancar.
vi
5. Dr. Supanto, S.H., M.Hum., selaku pembimbing II yang banyak memotivasi penulis dalam menempuh studi serta dalam menyelesaikan penulisan tesis. 6. Bapak/ Ibu Dosen Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 7. Keluargaku khususnya kedua Orang tuaku di Boyolali, yang senantiasa terus mendoakan
keberhasilan
anaknya
dan
memberikan
dukungan
bahkan
mengorbankan hak-haknya untuk kesuksesan anaknya. 8. Adik-adikku tercinta yang merupakan sumber motivasi dan kerukunan. 9. Untuk rekan-rekanku seangkatan, angkatan 2007 Konsentrasi Hukum dan Kebijakan Publik yang masih berjuang menyelesaikan tesis. Kebersamaan yang kita alami dalam menuntut ilmu tidak akan pernah terlupakan dan tetap menjadi kenangan manis. 10. Kepada rekan-rekan yang telah memberikan bantuan teknis dan administratif di lingkungan Program Magister Ilmu Hukum UNS : Mbak Nita, Mas Rino, Mbak Lely, Mbak Nuri, Mbak Diah, dan Mas Yoyok. 11. Semua pihak yang telah berperan dalam penyelesaian studi ini dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun sehingga dapat memperkaya isi penulisan tesis ini. Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Akhirnya, semoga Tuhan senantiasa memberikan petunjuk dan bimbingan kepada kita semua.
Surakarta,
Januari 2009
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ..............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI ................................................
iii
PERNYATAAN ..............................................................................................
iv
KATA PENGANTAR .....................................................................................
v
DAFTAR ISI ....................................................................................................
vii
DAFTAR BAGAN ............................................................................................ x DAFTAR PETA ...............................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xii
ABSTRAK .......................................................................................................
xiii
ABSTRACT ....................................................................................................
xiv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................................
1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................
6
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................
6
D. Manfaat Penelitian .....................................................................................
7
BAB II. KAJIAN TEORI A. Landasan Teori ..........................................................................................
9
1. Kedudukan Polri dalam Proses Hukum Acara Pidana .......................
9
a. Pengertian Penahanan ...................................................................
9
b. Penangguhan Penahanan ..............................................................
17
viii
2. Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak dan Pengaturannya ...........
20
a. Pengertian Anak ...........................................................................
26
b. Peran Polri dalam Penyidikan Anak ............................................
28
c. Kebijakan Penegakan Hukum dalam menangani Tindak Pidana Anak ....................................................................
29
d. Teori Bekerjanya Hukum ............................................................
36
3. Penelitian yang Relevan ...................................................................
48
B. Kerangka Berpikir ..................................................................................
48
BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian .......................................................................................
51
B. Lokasi Penelitian ....................................................................................
55
C. Jenis dan Sumber Data ...........................................................................
56
D. Teknik Pengumpulan Data .....................................................................
57
E. Teknik Sampling .....................................................................................
59
F. Teknik Analisis Data ..............................................................................
61
1. Teknik Analisis ................................................................................
61
2. Batasan Operasional Variabel Penelitian .........................................
65
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ......................................................................................
66
1. Gambaran Umum Kepolisian Resor Boyolali ..................................
66
2. Penanganan Tindak Pidana yang dilakukan Anak di Kepolisian Resor Boyolali .................................................................................
75
3. Dasar Hukum dan Prosedur Penangguhan Penahanan ....................
81
4. Pelaksanaan Penangguhan Penahanan ............................................
85
5. Hasil Wawancara dengan Responden .............................................
86
ix
B. Pembahasan ............................................................................................
92
1. Pengajuan penangguhan penahanan pelaku tindak pidana yang dilakukan Anak di Kepolisian Resor Boyolali banyak yang tidak dikabulkan ......................................................................
92
2. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan pengambilan kebijakan Kepala Kepolisian Resor Boyolali terkait penangguhan penahanan pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak ............
93
a. Ditinjau dari segi Teori Hukum .................................................
93
b. Ditinjau dari segi Teori Kebijakan Publik ................................
97
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................
98
B. Implikasi ................................................................................................
100
C. Saran-saran ............................................................................................
101
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
102
LAMPIRAN 1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 2. Data Kuat Personil Polri Sesuai Pangkat Polres Boyolali Per Desember 2008. 3. Data Jabatan dan Pejabat Polres Boyolali.
x
ABSTRAK Rahmad Budi Lestari, S 310907014. 2009. Kebijakan Kepolisian Resor Boyolali dalam Penangguhan Penahanan terhadap Pelaku Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak. Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mencari faktor-faktor yang menjadi pertimbangan pengambilan kebijakan penangguhan penahanan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Kepolisian Resor Boyolali. Penelitian ini termasuk penelitian hukum sosiologis (empiris) atau non doktrinal, dengan mendasarkan pada konsep hukum yang ke-5. Mengenai bentuk penelitian yang digunakan adalah diagnostik dengan analisis data menggunakan analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan pembahasan dengan menggunakan teori bekerjanya hukum, maka dapat disimpulkan bahwa permohonan penangguhan penahanan bagi tersangka, dalam penelitian ini adalah anak merupakan suatu hak hukum. Namun dikabulkan atau tidak dikabulkan permohonan penangguhan penahanan tersebut merupakan kewenangan Penyidik dan Atasan Penyidik dengan pertimbangan yang matang terhadap ketentuan hukum yang mengaturnya, termasuk kepentingan anak dan masyarakat/publik. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan tersebut yaitu permohonan tersangka/keluarga/penasehat hukumnya, keadaan tersangka anak, ketentuan dalam KUHAP, pertimbangan Penyidik dan Atasan Penyidik, situasi masyarakat setempat, pendapat pemerhati anak dan pembimbing kemasyarakatan, serta adanya persyaratan yang ditentukan yaitu adanya jaminan. Hasil kajian implementasi hukumnya yaitu dari aspek struktur hukum (legal structure), Polisi sebagai aparat penegak hukum diberikan kewenangan untuk menentukan ditahan ataupun tidak ditahan dengan pertimbangan tertentu. Selain itu kewenangan diskresi yang dimiliki Polisi semakin memberikan keleluasaan dalam pemberian hak kepada pelaku tindak pidana. Dari aspek substansi hukum (legal substance), belum dapat dilaksanakannya secara maksimal amanat Undang-Undang mengenai hak seorang anak disebabkan kurangnya pengetahuan pelaku tindak pidana anak mengenai hak hukumnya dan prosedur yang ditetapkan. Selain hal itu, juga pemahaman Petugas terhadap hak seorang anak baik sebagai korban maupun pelaku yang masih perlu ditingkatkan. Dari aspek budaya (legal culture), kebiasaan masyarakat yang takut berhadapan dengan hukum, membuat mereka mengalami kekalutan/panik pada saat terlibat kasus tindak pidana, baik sebagai pihak maupun keluarga yang terkena kasus apalagi masih kategori anak. Hal ini membuat mereka tidak dapat berpikir jernih, sehingga upaya mendapatkan hak tidak dapat maksimal. Dan dari kebijakan publik yaitu pengajuan penangguhan penahanan pelaku tindak pidana oleh anak di Kepolisian Resor Boyolali sejak terbentuknya Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) hanya satu yang dikabulkan. Hal ini perlu tinjauan ulang terhadap Kebijakan yang diambil Kepolisian Resor Boyolali terkait dengan hak seorang anak, baik sebagai pelaku maupun korban. Sehingga prinsip penerapan hukum menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan kebijakan yang berorientasi kepada masyarakat/publik dapat terwujud.
xi
xii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai sebuah Institusi besar di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sudah semestinya senantiasa berbenah menuju Polri yang Profesional, bermoral, dan mandiri. Paradigma berpikir dan bertindak Polri yang pada masa lalu cenderung sebagai alat Penguasa atau alat bagi kepentingan tertentu, saat ini telah bergeser menuju kearah pengabdian yang tulus dan ikhlas untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Perubahan ini telah membawa berbagai implikasi yang mendasar. Salah satu perubahan yang muncul yaitu Perumusan kembali Peran Polri sesuai UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menetapkan bahwa Polri sebagai Pemelihara Kamtibmas, Penegak Hukum, serta Pelindung, Pengayom, dan Pelayan Masyarakat. Dalam pelaksanaan peran tersebut, Polri tidak hanya berkiblat pada hukum dan Perundang-undangan Nasional, tetapi juga mengikuti Prinsip-prinsip Universal yang berlaku dalam Perpolisian Internasional. Untuk dapat berperilaku secara etis dan Profesional, maka penegak hukum perlu mematuhi ketentuan berperilaku yang patut. Ketentuan berperilaku bagi Penegak hukum disebut dengan Code of Conduct for Law Enforcement Officials. Ketentuan ini diadopsi oleh Resolusi Majelis Umum PBB 34/169 tanggal 17 Desember 1979. Para penegak hukum harus senantiasa menjalankan tugas yang dibebankan oleh hukum kepada mereka, yaitu melayani masyarakat dan melindungi setiap
2
orang dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum, termasuk dalam hal ini tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Tentunya disesuaikan dengan tingkat tanggung jawab tinggi yang dituntut oleh Profesinya. Perlakuan hak asasi terhadap anak berbeda dengan orang dewasa, hal ini di samping secara individu seorang anak adalah belum matang baik secara phisik maupun psikis, juga sesuai dengan penjelasan pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor: 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, seorang anak digolongkan dalam kelompok rentan. Dimana diantara kelompok rentan tersebut maka anak adalah tergolong yang paling rentan terhadap berbagai proses yang sedang berlangsung. Dalam menjalankan tugasnya, Anggota Polri diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan kepolisian berupa Upaya Paksa yang telah diatur dalam Undang-undang (KUHAP). Tindakan kepolisian tersebut meliputi : 1. Pemeriksaan Tersangka. 2. Penangkapan. 3. Penahanan. 4. Penggeledahan. 5. Pemasukan Rumah. 6. Penyitaan Benda. 7. Pemeriksaan Surat. 8. Pemeriksaan Saksi. 9. Pemeriksaan di Tempat Kejadian. 10. Pelaksanaan Penetapan dan Putusan Pengadilan. 11. Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang (Diskresi).
3
Dalam tesis ini, salah satu tindakan kepolisian yang akan dikaji adalah tindakan Penahanan. Masalah Penahanan terhadap tersangka/terdakwa di dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu bentuk pengekangan terhadap kebebasan seseorang, yang di satu sisi dapat dikatakan pelanggaran terhadap hakhak asasi manusia, tetapi disisi yang lain merupakan bentuk dan atau upaya yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melakukan penyidikan, penuntutan maupun proses pemeriksaan di muka sidang. Meskipun
demikian
dalam
melakukan
penahanan
terhadap
seorang
tersangka/terdakwa haruslah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat dihindarkan kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Selain hal tersebut, juga adanya kewajiban tetap memberlakukannya asas praduga tak bersalah pada diri seseorang (presumption of innocent) sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sistem Peradilan Pidana adalah suatu rangkaian antara unsur/faktor yang saling terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa untuk sampai tujuan dari sistem tersebut. Adapun tujuan dari Sistem Peradilan Pidana tersebut adalah untuk mencapai suatu masyarakat yang terbebas dari kejahatan, menghilangkan kejahatan dan bukan penjahatnya (Loebby Logman, 2002 : 19). Proses Peradilan Pidana dalam arti jalannya suatu Peradilan Pidana, yakni suatu proses sejak seseorang diduga telah melakukan tindak pidana sampai orang tersebut dibebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan
4
kepadanya. Adapun tujuan Proses Peradilan Pidana adalah untuk mencari kebenaran yang materiil dalam melaksanakan Hukum Pidana. Hal ini berarti harus mencari dan melaksanakan ketentuan tertulis yang ada dalam hukum pidana, dan mencegah jangan sampai menghukum seorang yang tidak bersalah. Dalam konteks inilah dibicarakan tentang mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses, atau yang disebut “criminal justice process". Criminal justice process dimulai dari proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan, serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga masyarakat (Romli Atmasasmita, 1982 : 70). Peranan sistem peradilan sebagai indeks demokrasi menjadi sangat penting, oleh karena dapat meningkatkan wibawa Penguasa dan sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat. Akan tetapi jika sistem peradilan gagal dalam pencapaian keadilan (miscarriages of justice) akan merusak legitimasi dan integritas sistem peradilan (damagig the integrity of the justice system). Tujuan mendasar dari sistem peradilan pidana ini dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut : 1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; 2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; 3. Mengusahakan agar mereka yang pemah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan (Mardjono, 1993: 13). Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) menunjukkan mekanisme kerja {interkoneksi) penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar
5
pendekatan sistem, yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil atau layak (due process of law) harus didukung oleh sikap batin (penegak hukum) yang menghormati hak-hak warga masyarakat. Dalam pengertian fisik (struktural) sistem peradilan pidana harus diartikan sebagai kerjasama antara berbagai sub sistem peradilan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan jangka pendek adalah untuk resosialisasi pelaku tindak pidana, jangka menengah untuk mencegah kejahatan dan jangka panjang untuk kesejahteraan dan keamanan masyarakat. Pelaku tindak pidana ternyata tidak hanya oleh orag dewasa, namun juga anak, bahkan perempuan. Dalam penelitian ini penulis menentukan anak sebagai objek penelitian. Untuk itu, demikian halnya penyidikan dan penuntutan dalam perkara pidana yang dilakukan oleh anak, tetap mengacu pada ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang wewenang penyidik, penuntut umum, dan hakim. Salah satu kewenangannya antara lain melakukan penahanan terhadap tersangka/terdakwa kasus pidana. Dalam penanganan kasus pidana yang dilakukan oleh anak, tidak semua kasus dilakukan penahanan. Hal ini dengan pertimbangan yang matang untuk menghindari dampak negatif pada anak baik sebagai korban maupun pelaku. Dari pra penelitian yang penulis lakukan dengan melihat buku register perkara pidana yang ada di Polres Boyolali, pada tahun 2007 ada 17 kasus pidana yang dilakukan oleh anak. Sedangkan sampai dengan bulan Desember tahun 2008 telah terjadi 32
6
kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dari jumlah tersebut dapat diketahui jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak meningkat. Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan diatas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian dengan judul “KEBIJAKAN KEPOLISIAN RESOR BOYOLALI
DALAM
PENANGGUHAN
PENAHANAN
TERHADAP
PELAKU TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK”.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah ini dimaksudkan untuk menegaskan masalah-masalah yang akan diteliti sehingga memudahkan dalam pengerjaannya serta mencapai sasaran yang diinginkan. Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu : 1. Mengapa pengajuan penangguhan penahanan pelaku tindak pidana yang dilakukan anak di Kepolisian Resor Boyolali banyak yang tidak dikabulkan ? 2. Faktor-faktor apa yang menjadi pertimbangan pengambilan kebijakan Kepala Kepolisian Resor Boyolali terkait penangguhan penahanan pelaku tindak pidana yang dilakukan anak ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan sasaran yang ingin dicapai sebagai pemecahan masalah yang dihadapi dan sekaligus untuk memenuhi kebutuhan perorangan. Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
7
1. Tujuan Obyektif a.
Mengetahui alasan dikabulkan atau ditolaknya suatu permohonan Penangguhan penahanan pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Kepolisian Resor Boyolali.
b.
Mengetahui faktor-faktor yang menjadi pertimbangan pengambilan kebijakan Kepala Kepolisian Resor Boyolali terkait penangguhan penahanan pelaku tindak pidana yang dilakukan anak.
2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperoleh data yang lengkap guna penyusunan tesis melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar Magister dalam Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kebijakan Publik di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman terhadap penerapan teori-teori dan peraturan hukum yang ada selama menempuh studi untuk mengatasi permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat. c. Membantu penulis memperkaya pengetahuannya dalam menganalisis suatu penyusunan produk hukum, khususnya yang dikeluarkan Kepolisian Resor Boyolali.
D.
Manfaat Penelitian Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan baik secara praktis maupun teoritis yang diambil dari hasil penelitian. Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
8
1. Manfaat Praktis a. Memberikan bahan pertimbangan dan rekomendasi bagi penyidik anak dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak, khususnya masalah penangguhan penahanan. b. Meningkatkan pengetahuan penulis tentang masalah kebijakan, penangguhan penahanan, pelaku tindak pidana anak dan ruang lingkup yang dibahas dalam penelitian ini. 2. Manfaat Teoritis Dalam hal ini manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan mencapai hasil sebagai berikut : a. Dapat memberikan konstribusi dan mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum kebijakan publik pada khususnya. b. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan wacana bagi para penegak hukum dalam mengambil kebijakan penangguhan penahanan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak. c. Semakin
memperkaya
konsep-konsep
dan
teori-teori
tentang
penangguhan penahanan. d. Dapat dipakai sebagai respon terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
9
BAB II KAJIAN TEORI
A. Landasan Teori. 1. Kedudukan Polri dalam Proses Hukum Acara Pidana. a. Pengertian Penahanan. Pada dasarnya semua orang yang menjadi tersangka dapat dilakukan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan, dengan maksud agar tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi lagi perbuatannya. Alasan lain yaitu penahanannya dapat dilakukan apabila perbuatan tersangka diancam pidana penjara lima tahun ke atas. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diatur mengenai penahanan terhadap tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana. Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang, dimana hal ini terdapat pertentangan antara dua asas yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia dan di satu sisi adanya kepentingan masyarakat umum yang harus dilindungi dari perbuatan jahat tersangka. Pada waktu menjalankan tugasnya, penyelidik atau penyidik, penuntut umum dan hakim kadang-kadang terpaksa melakukan tindakan penahanan yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia karena merupakan penyimpangan dari kewajibannya melindungi hak-hak asasi manusia tersebut.
10
Adapun pengertian penahanan dapat dilihat pada butir 21 Pasal 1 KUHAP yang berbunyi : "Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta cara yang diatur dalam undang-undang ini". Dari ketentuan tersebut, yang dapat melakukan penahanan adalah penyidik, penuntut umum dan hakim, dengan masing-masing fungsi menurut kepentingannya yaitu : i.
Penahanan untuk kepentingan penyidikan, dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik;
ii. Penahanan untuk kepentingan penuntutan, dilakukan oleh penuntut umum; iii. Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan, dilakukan oleh hakim baik pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Meskipun demikian, untuk seorang anak, Pasal 45 ayat (1) UndangUndang Pengadilan Anak memberikan syarat, agar penahanan itu dilakukan
setelah
dengan
sungguh-sungguh
mempertimbangkan
kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. Penyidik yang melakukan
penahanan
harus
memperhatikan
kepentingan
yang
menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, maupun sosial anak. Selain itu, juga mempertimbangkan kepentingan masyarakat
misalnya
ditahannya
tersangka
masyarakat menjadi aman dan tenteram.
anak
akan
membuat
11
Apabila ditinjau dari tempatnya menahan ( Pasal 22 ), terhadap seseorang tersangka/terdakwa dapat dilakukan jenis penahanan berupa Penahanan di Rumah Tahanan Negara, Penahanan Rumah, dan Penahanan Kota. Menurut penjelasan Pasal 22 KUHAP, sebelum ada RUTAN ditempat yang bersangkutan, maka penahanan dapat dilakukan di kantor Polri, di kantor Kejaksaan, di Lembaga Pemasyarakatan (LP), di rumah sakit dan dalam keadaan memaksa di tempat lain yang dinilai lebih aman. Mengenai pelaksanaan penahanan RUTAN diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Bab VIII Pasal 18 s/d 25. Tanggungjawab yuridis atas tahanan Rutan ada pada pejabat yang menahan sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan tanggungjawab secara fisik atas tahanan ada pada kepala Rutan, sedangkan tanggungjawab atas kesehatan tahanan ada pada dokter yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman. Dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dcngan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan,
penuntutan
atau
pemeriksaan
di
sidang
pengadilan.
Tersangka/terdakwa hanya boleh keluar rumah dengan ijin dari penyidik atau penuntut umum atau hakim yang memberi perintah penahanan sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
12
Penahanan kota dilakukan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melaporkan diri pada waktu yang ditentukan. Terdakwa/tersangka hanya boleh keluar kota dengan ijin dari penyidik atau penuntut umum atau hakim yang memberi perintah penahanan sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Bagi tersangka/terdakwa anak penahanannya dapat dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu. Oleh karena penahanan ini merupakan upaya yang sifatnya memaksa dan mengurangi kebebasan, salah satu dari hak asasi manusia yang perlu dilindungi, maka penahanan terhadap seorang tersangka/terdakwa diperlukan dan harus memenuhi persyaratan untuk sahnya penahanan, yaitu : i. Syarat formal : Harus ada surat perintah dari yang berhak melakukan penahanan. ii. Syarat material : 1). Adanya dugaan keras bahwa tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup; 2). Adanya kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan; 3). Adanya kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa akan merusak atau menghilangkan barang bukti; 4). Adanya kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa akan mengulangi tindak pidana;
13
5). Tindak pidana yang dilakukan memuat ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih, dan beberapa tindak pidana tertentu yang disebutkan secara limitatir (karena ancaman pidananya kurang dari lima tahun, tetapi menurut sifatnya pelakunya perlu ditahan) yaitu antara lain : Pasal 282 (1) KUHP kebiasaan mcnyiarkan atau mempertunjukkan tulisan/gambar yang melanggar kesusilaan ; Pasal 296 KUHP memudahkan perbuatan cabul ; Pasal 335 (1) KUHP melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan kepada orang lain ; Pasal 372 KUHP penggelapan, dan sebagainya, kecuali itu juga pelanggaran terhadap ordonansi Bea Cukai, Tindak Pidana Imigrasi, Narkotika. Penyidik yang berwenang menahan adalah penyidik anak, kecuali dalam hal tertentu (misalnya tidak ada penyidik anak atau dalam perkara tindak pidana khusus) sebagaimana ditetapkan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Anak, yaitu penyidik Polri untuk menyidik orang dewasa atau penyidik PNS yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Adapun ketentuan tentang lamanya penahanan terhadap seseorang tersangka/terdakwa dan Instansi/pejabat yang berwenang melakukan penahanan diatur dalam ketentuan Pasal 24 sampai Pasal 29 KUHAP yang secara singkat dapat diperinci sebagai berikut : i. Penahanan oleh Penyidik/Penyidik Pembantu selama 20 hari. ii. Perpanjangan oleh Penuntut Umum selama 40 hari.
14
iii. Penahanan oleh Penuntut Umum selama 20 hari. iv. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 30 hari. v. Penahanan oleh Hakim Pengadilan Negeri selama 30 hari. vi. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi selama 60 hari. vii. Penahanan oleh Hakim Pengadilan Tinggi selama 30 hari. viii. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi selama 60 hari. ix. Penahanan oleh Hakim Makamah Agung selama 50 hari. x. Perpanjangan oleh Ketua Makamah Agung selama 60 hari. Apabila dijumlahkan maka selama proses peradilan pidana, jika tidak ada
banding
sampai
kasasi,
maka
maksimum
seseorang
tersangka/terdakwa dapat ditahan sampai dengan 400 ( empat ratus ) hari. Akan tetapi dalam keadaan khusus, terdapat pengecualian dengan adanya alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena : i. Tersangka/terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan keterangan Dokter atau ; ii. Perkara yang sedang diperiksa diancam pidana 9 tahun atau lebih (Pasal 29 ayat (l) KUHAP) Dalam hal yang khusus ini, untuk masing-masing tingkat dapat diperpanjang lagi, selama 30 hari dan bila masih diperlukan dapat ditambah lagi selama 30 hari (Pasal 29 ayat 2 KUHAP). Dalam hal ini, tersangka/terdakwa juga berhak mengajukan keberatan kepada Ketua Pengadilan Negeri pada tingkat penyidikan dan penuntutan, dan kepada Ketua Mahkamah Agung pada tingkat banding.
15
Ketentuan lamanya penahanan seperti tersebut di atas adalah untuk pelaku tindak pidana dewasa. Sedangkan pada kasus tindak pidana yang dilakukan olah anak, berdasarkan Pasal 44 ayat (2), penyidik anak dapat menahan anak paling lama 20 hari. Jangka waktu tersebut setengah dari yang ditetapkan oleh KUHAP. Apabila pemeriksaan belum selesai, maka penyidik anak dapat meminta perpanjangan penahanan kepada penuntut umum paling lama 10 hari. Selanjutnya apabila dalam jangka waktu 30 hari telah terlampaui dan pemeriksaan perkara masih belum selesai dilakukan oleh penyidik anak, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Ketentuan lamanya penahanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai berikut : i. Penahanan oleh Penyidik/Penyidik Pembantu selama 20 hari. ii. Perpanjangan oleh Penuntut Umum selama 10 hari. iii. Penahanan oleh Penuntut Umum selama 10 hari. iv. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 15 hari. v. Penahanan oleh Hakim Pengadilan Negeri selama 15 hari. vi. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi selama 30 hari. vii. Penahanan oleh Hakim Pengadilan Tinggi selama 15 hari. viii. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi selama 30 hari. ix. Penahanan oleh Hakim Makamah Agung selama 25 hari. x. Perpanjangan oleh Ketua Makamah Agung selama 30 hari.
16
Penahanan seorang anak, waktunya lebih pendek daripada penahanan orang dewasa. Hal ini untuk memberikan perlindungan kepada tersamngka/terdakwa
selama
berada
dalam
tahanan,
sehingga
pertumbuhan fisik dan mentalnya tetap stabil. Dalam pelaksanaannya, jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan di atas (Pasal 44, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49), guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut. Namun apabila tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, perpanjangan penahanan diberikan untuk paling lama 15 (lima belas) hari, dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 15 (lima belas) hari. Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud diberikan oleh : i. Ketua
Pengadilan
Negeri
dalam
tingkat
penyidikan
dan
penuntutan; ii. Ketua Pengadilan Tinggi dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri; iii. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan banding dan kasasi. Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat sebagaimana dimaksud dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab. Selanjutnya setelah waktu 30 (tiga puluh) hari,
17
walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Terhadap perpanjangan penahanan tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan kepada : i. Ketua Pengadilan Tinggi dalam tingkat penyidikan dan penuntutan; ii. Ketua Mahkamah Agung dalam tingkat pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding.
b. Penangguhan Penahanan. Dalam hal penahanan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa pada tingkat penyidikan, penuntutan ataupun dalam proses pengadilan, hak dan kewajiban penahanan tersebut sepenuhnya pada masing masing instansi tersebut. Akan tetapi di dalam waktu menjalani proses penahanan tersebut, terdakwa/tersangka memiliki hak untuk mengajukan penangguhan penahanan. Ketentuan perundang-undangan mengenai penangguhan penahanan diatur dengan jelas pada Pasal 31 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana antara lain disebutkan : Pasal 3l (1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
18
(2) Karena jabatan penyidik atau penuntut umum atau hakim, sewaktuwaktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Penangguhan penahanan oleh penyidik atau penuntut umum dilakukan
dengan
mengeluarkan
Surat
Perintah
Penangguhan
Penahanan, yang di lingkungan Penyidik Polri menggunakan formulir model Serse A.8.02 dan di lingkungan Kejaksaan/Penuntut Umum menggunakan formulir model T-2 atau T-7. Sedangkan yang mengalihkan jenis penahanan oleh hakim maka perintah tersebut dituangkan dalam "Penetapan hakim". Tembusan
Surat
Perintah/Penetapan
Penangguhan
Penahanan
diberikan kepada tersangka/terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan yaitu instansi yang terlibat/dilibatkan dalam penangguhan penahanan tersebut. Misalnya Kepala Desa/Lurah untuk membantu pengawasan terdakwa/tersangka yang penahananya ditangguhkan. Penangguhan penahanan oleh penyidik, penuntut umum ataupun hakim, disesuaikan dengan kewenangannya masing masing, dengan atau tanpa jaminan. Jaminan dapat berupa uang ataupun orang, berdasarkan syarat-syarat tertentu. Misalnya si tersangka harus tetap melapor tiap waktu tertentu, harus minta ijin apabila keluar kota, dan sebagainya. Penangguhan penahanan semacam ini sewaktu-waktu dapat dicabut oleh yang berwenang bila terjadi pelanggaran syarat-syaratnya.
19
Apabila jaminan berupa uang, maka uang jaminan tersebut di simpan di kepaniteraan pengadilan negeri. Sedangkan dengan jaminan orang, jika tersangka/terdakwa melarikan diri maka penjamin diwajibkan membayar sejumlah uang yang ditentukan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dan masa penangguhan penahanan itu tidak diperhitungkan sebagai status masa tahanan (Pasal 35 dan Pasal 36 PP Nomor 27/1983). Apabila tersangka/terdakwa melarikan diri dan setelah lewat 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, maka uang jaminan yang disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri melalui penetapan pengadilan menjadi milik negara dan selanjutnya oleh Panitera disetorkan ke kas negara. Uang tersebut disetor ke kas negara melalui Panitera Pengadilan Negeri dan apabila penjamin tidak dapat membayar jumlah yang telah ditetapkan, maka juru sita akan menyita barang-barang milik penjamin untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke kas negara melalui Panitera Pengadilan Negeri (Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Pasal 36). Oleh karena penyitaan dan pelelangan barang miliki penjamin tersebut
dilakukan
menurut
ketentuan
acara
perdata,
maka
pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan Pasal 197 HIR/208 RBG dan Pasal 220 HIR/215 RBO. Untuk penangguhan penahanan dengan jaminan uang/orang harus dibuat surat perjanjian antara pihak pejabat yang berwenang (sesuai dengan tingkat pemeriksaan) dengan pihak tersangka/terdakwa dan atau
20
penjaminnya (keluarga atau penasehat hukumnya). Dalam surat perjanjian tersebut dijelaskan secara rinci persyaratan; yang harus dipenuhi baik oleh tersangka/terdakwa maupun oleh penjaminnya. Jika diteliti lebih jauh maka syarat formal merupakan syarat yang obyektif dan harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan Undang-undang, sedangkan syarat material bersifat subyektif. Syarat material bersifat subyektif ini penilaian perlu tidaknya melakukan penahanan terhadap tersangka/terdakwa sepenuhnya tergantung pada penilaian dari masingmasing instansi yang berwenang melakukan penahanan. Demikian juga masalah penangguhan penahanan lebih bersifat pada penilaian subyektif dari
lembaga/Pejabat
yang
berwenang
melakukan
penangguhan
penahanan terhadap tersangka/terdakwa, sehingga lebih bersifat sebagai suatu kebijakan.
2. Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak dan Pengaturannya. Tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersirat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut : Pasal 13 : Tugas pokok Kepolisian Negara Indonesia adalah : a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat ; b. Menegakkan supremasi hukum ; c. Memberikan masyarakat.
perlindungan,
pengayoman,
dan
pelayanan
kepada
21
Pasal 14 : (1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kubutuhan ; b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dijalan ; c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan ; d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional ; e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum ; f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa ; g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya ; h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan kepolisian ; i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia ; j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan / atau pihak yang berwenang ; k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta ; l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundangundangan. (2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 16 : (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan ; b. Melarang setiap orang untuk meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan ; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
22
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi ; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h, Mengadakan penghentian penyidikan ; Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum ; Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta mencerna hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut : a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum ; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan ; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya ; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa, dan; e. Menghormati hak asasi manusia. Dalam proses pemeriksaan tindak pidana mengacu kepada ketentuan Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tentang wewenang penyidik. Wewenang tersebut antara lain adalah : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian ; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
23
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang ; g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan terdakwa; i. Mengadakan penghentian penyidikan ; j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Dalam melakukan tugasnya maka Penyidik, baik Penyidik Dewasa maupun Penyidik Anak wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku, antara lain membuat berita acara pelaksanaan tindakan tentang : a. Pemeriksaan tersangka ; b. Penangkapan; c. Penahanan ; d. Penggeledahan ; e. Pemasukkan rumah ; f. Penyitaan benda ; g. Pemeriksaan surat ; h. Pemeriksaan di tempat kejadian ; i. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan ; j. Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan KUHAP ( Pasal 75 KUHAP).
24
Selanjutnya Berita Acara pelaksanaan tindakan oleh Penyidik Polri dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum melalui prosedur dengan dua tahap sebagai berikut : a. Tahap Pertama : Penyidik hanya menyerahkan berkas perkara dan selanjutnya diadakan penelitian oleh Jaksa Penuntut Umum mengenai kelengkapan berkas perkara tersebut dalam tenggang waktu 14 hari. Apabila berkas tersebut belum lengkap maka dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi ( P - 18) dan ( P - 19 ). b. Tahap Kedua : Apabila berkas dinyatakan telah lengkap/sempuma (P21) maka Penyidik menyerahkan tanggung jawab atas kasus tersangka kepada Penuntut Umum. Penyerahan berkas perkara Tahap Pertama ataupun penyerahan Kedua tidak sejalan dengan apa yang tercantum dalam aturan per Undang-undangan walaupun antara Penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum telah melakukan koordinasi, seperti pengembalian berkas perkara oleh Jaksa Penuntut Umum melebihi tenggang waktu 7 hari, 14 hari bahkan sampai berbulan-bulan barulah P 18 dan P 19 diserahkan kepada Penyidik. Pemeriksaan berkas perkara dengan tenggang waktu yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang tersebut sering diabaikan sehingga pemberitahuan hasil penyidikan sudah lengkap (P 21) melebihi waktu dan kadang-kadang koordinasi yang sudah disepakatipun diabaikan. Hal tersebut karena masingmasing pihak bersikukuh atas tanggung jawab dan kewenangan masingmasing.
25
Penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah "serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya". Dari rumusan tersebut maka unsur-unsur pengertian penyidikan itu sebagai berikut: a. Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang mengandung berbagai kegiatan/pekerjaan yang antara satu dengan yang lainnya saling berhubungan atau yang satu merupakan kelanjutan dari yang lainnya. b. Pekerjaan penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut dengan penyidik yang oleh Pasal 1 angka 1 didefinisikan sebagai " Pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang
khusus
oleh
undang-undang
untuk
melakukan
penyidikan". c. Pekerjaan-pekerjaan dalam penyidikan itu didasarkan dan diatur menurut undang-undang. d. Tujuan dari pekerjaan penyidikan ialah : i.
Mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan ;
ii.
Menemukan tersangkanya
Dari unsur keempat dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan penyidikan telah diketahui adanya tindak pidana, tetapi tindak pidana tersebut
belum
terang
dan
belum
diketemukan
siapa
26
pembuatnya/pelakunya. Jadi masih bersifat dugaan terjadinya tindak pidana berdasarkan hasil penyelidikan sehingga dasar untuk menarik dugaan adanya terjadinya tindak pidana tersebut adalah adanya alat bukti permulaan, yang dalam praktek didasarkan pada adanya laporan polisi atau hasil temuan penyelidik. Oleh karena yang dimaksud dengan tindakan penyidikan itu merupakan serangkaian tindakan upaya paksa antara lain dimulai dari tindakan pemanggilan dan pemeriksaan saksi, tersangka, orang ahli, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan lain-lain, Maka untuk itu sejak saat dimulainya penyidikan, penyidik wajib mengirimkan Surat Pemeberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut Umum disertai lampiran berupa Laporan Polisi/Surat Pengaduan.
a. Pengertian Anak. Anak sebagai pelaku maupun korban dalam suatu tindak pidana, akan berimplikasi terhadap hak dan kewajiban. Untuk mengetahui status dan kedudukan anak dalam hukum pidana, perlu peninjauan mengenai pengertian anak. i. Pengertian Anak menurut KUHP. KUHP tidak memberikan pengertian umum mengenai anak. Tetapi dalam Pasal 45 KUHP (tidak berlaku dengan asas lex specialist) diberikan penjelasan pasal, bahwa orang yang belum dewasa adalah yang belum berumur 16 (enam belas) tahun.
27
ii. Pengertian Anak menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Anak menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. iii. Pengertian Anak menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Anak menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 adalah orang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. iv. Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Anak menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 ini adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dalam penelitian ini sesuai dengan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sejak pemeriksaan di tingkat penyidikan, penuntutan oleh kejaksaan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, baik Penyidik, Penuntut Umum, maupun Hakim menerapkan ketentuan Pasalpasal dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pengertian pidana anak dalam penelitian ini adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Anak yang melakukan tindak pidana, dalam Undangundang Nomor 3 tahun 1997 disebut sebagai anak nakal. Dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan anak nakal adalah :
28
i. anak yang melakukan tindak pidana; atau ii. anak yang melakukan perbuatan yang dilakukan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
b. Peran Polri dalam Penyidikan Anak. Dalam KUHAP dikenal ada dua macam Penyidik, yaitu Pejabat Polisi Negara |Republik Indonesia (Penyidik Polri) dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang (Penyidik PNS). Terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh anak, umumnya pelanggaran terhadap KUHP, maka penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri. Hal ini juga diatur dalam Pasal 41 ayat (1) UndangUndang Pengadilan Anak. Namun meskipun penyidiknya adalah Penyidik Polri, namun tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap perkara anak nakal. Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak dikenal adanya Penyidik Anak. Penyidik inilah yang berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak diangkat oleh Kapolri dengan surat keputusan tersendiri untuk kepentingan tersebut. Untuk dapat diangkat sebagai penyidik anak, Undang-Undang Pengadilan Anak melalui Pasal 41 ayat (2) menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang anggota Polri, yaitu : a. Telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.
29
b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Menurut Gatot Supramono (2000 : 39), menjadi penyidik anak tidak cukup hanya dengan kepangkatan yang memadai, tetapi juga dibutuhkan pengalaman seseorang dalam melakukan penyidikan, sehingga sangat menunjang dari segi teknis penyidikan. Selain itu adanya minat, perhatian, dedikasi, dan pamahaman masalah anak akan memotivasi penyidik anak menimba pengetahuan, sehingga dalam melaksanakan tugasnya kepentingan anak juga mendapat perhatian.
3. Kebijakan Penegakan Hukum dalam menangani Tindak Pidana Anak. Seorang anak yang melakukan tindak pidana, maka ia juga akan menjalani proses peradilan pidana sebagai penegakan hukum pidana. Dalam sistem peradilan pidana Polisi sebagai penyelidik dan penyidik perkara hendaknya juga bersikap profesional, khususnya dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Karena telah ada Undang-Undang dan peraturan khusus mengenai anak. Anak yang cukup bukti telah melakukan tindak pidana dapat ditahan untuk kepentingan pemeriksaan dan penyidikan. Apabila telah selesai dan dinyatakan lengkap (P21) oleh Jaksa selaku Penuntut Umum, maka kewajiban Polisi sebagai Penyidik menyerahkan tersangka dan barang buktinya. Selanjutnya dilanjutkan pemeriksaan di Pengadilan oleh Hakim untuk diberikan keputusan. Meskipun pelaku tindak pidana, seorang anak juga memiliki hak untuk mengajukan
permohonan
penangguhan
penahanan
kepada
Penyidik.
Selanjutnya Penyidik anak akan mempertimbangkan dikabulkan atau tidak
30
dikabulkan permohonan tersebut. Hal ini umumnya setelah dimintakan pertimbangan Atasan Penyidik yaitu Kepala Satuan dan Kapolres selaku pemegang kewenangan mengambil kebijakan tertinggi di tingkat Polres. Definisi tentang kebijakan (policy) tidak ada pendapat yang tunggal. Istilah kebijakan atau sebagian orang mengistilahkan kebijaksanaan seringkali disamakan pengertiannya dengan istilah policy. Hal tersebut barangkali dikarenakan sampai saat ini belum diketahui terjemahan yang tepat istilah policy ke dalam Bahasa Indonesia. Kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002 : 149) berasal dari kata bijak yang berarti : 1) selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir. 2) pandai bercakap-cakap, petah lidah. Sedangkan kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: 1) kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan. 2) rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana di pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, kebijaksanaan itu diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Menurut Hoogerwerf (dalam Sjahrir, 1988 : 66) pada hakekatnya pengertian kebijakan adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah. James E. Anderson (dalam Budi Winarno, 2007 : 18), memberikan rumusan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Dari beberapa pengertian tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut, kiranya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya studi
31
tentang kebijakan mencakup pertanyaan : what, why, who, where, dan how. Semua pertanyaan itu menyangkut tentang masalah yang dihadapi lembagalembaga yang mengambil keputusan yang menyangkut; isi, cara atau prosedur yang ditentukan, strategi, waktu keputusan itu diambil dan dilaksanakan. Thomas R. Dye (1978) menjelaskan bahwa kebijaksanaan negara atau public policy is whatever governments choose- to do or not to do (pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah). Dalam tesis ini yang bertindak atas nama Pemerintah adalah Pejabat Negara yang diberikan kewenangan berdasarkan jabatan, tugas, dan tanggung jawab yang melekat pada seorang Kapolres. Kebijaksanaan (policy) tidak ada pendapat yang tunggal, tetapi menurut konsep demokrasi modern kebijaksanaan negara tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan negara. Seperti kebijaksanaan negara harus selalu berorientasi pada kepentingan publik. Kebanyakan warga negara menaruh harapan banyak agar mereka selalu memberikan pelayanan sebaik-baiknya, sebagai abdi masyarakat yang selalu memperhatikan kepentingan publik dengan semangat "kepublikan" (the spirit of publicnes). Dalam Tesis ini Kapolres bertindak atas nama Negara sebagai Pengambil Kebijakan yang dilengkapi kewenangan untuk menentukan kebijaksanaan. Harold D. Laswell dan Abrahan Kapaln (dalam Sabar Warseno, 2006 : 39) memberi arti kebijaksanaan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-
32
nilai dan praktek-praktek yang terarah, sedang Carl J.Friedrich mendefinisikan kebijaksanaan sebagai berikut : "...serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatanhambatan
dan
kesempatan-kesempatan
terhadap
pelaksanaan
usulan
kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu".
Hubungan hukum dan kebijakan publik dapat dilihat dari pembentukan hukum dan formulasi publik, implementasi dan evaluasi, menurut Bambang Sunggono (1997: 63) dapat diuraikan sebagai berikut : a. Proses pembentukan kebijakan publik berangkat dari realitas yang ada di dalam
masyarakat.
Realitas
tersebut
bisa
berupa
aspirasi
yang
berkembang, masalah yang ada maupun tuntutan atas kepentingan perubahan-perubahan. Dari realitas tersebut maka proses berikutnya adalah mencoba untuk mencari jalan keluar yang terbaik yang akan dapat mengatasi persoalan yang muncul atau memperbaiki keadaan yang sekarang. Sebenarnya antara hukum dan kebijakan publik itu memiliki keterkaitan yang sangat erat. Bahkan sebanarnya tidak sekedar keterkaitan saja yanga ada diantara keduanya, pada sisi-sisi yang lain jutru lebih banyak kesamaannya. Proses pembentukan hukum hasil akhirnya lebih difokuskan pada terbentuknya sebuah aturan dalam bentuk undangundang. b. Dalam melakukan penerapan hukum membutuhkan kebijakan publik sebagai
sarana
yang
mampu
mengaktualisasikan
dan
33
menkontekstualisasikan hukum tersebut dengan kebutuhan dan kondisi riil yang ada di masyarakat, sebab apabila responsifitas aturan masyarakat hanya sepenuhnya diserahkan pada hukum semata, maka bukan tidak mungkin pada saatnya akan terjadi pemaksaan-pemaksaan yang tidak sejalan dengan cita-cita hukum itu sendiri yang ingin menyejahterakan masyarakat. Penerapan hukum menjadi sangat tergantung pada kebijakan publik sebagai sarana yang dapat mensukseskan berjalannya penerapan hukum itu sendiri. Sebab dengan adanya kebijakan publik, maka pemerintah pada level yang terdekat dengan masyarakat setempat akan mampu merumuskan apa-apa saja yang harus dilakukan agar penerapan hukum yang ada pada suatu saat dapat berjalan dengan baik. Pada dasarnya di dalam penerapan hukum di dalam penerapan hukum tergantung pada empat unsur (Setiono, 2006 : 6), diantaranya adalah unsur hukum, struktural, masyarakat, dan budaya. Unsur hukum merupakan produk atau teks aturan-aturan hukum. Pada kasus tertentu ternyata unsur hukum ini tidak dapat diterapkan sama persis dengan harapan yang ada, maka kebijakan publik diharapkan mampu memberikan tindakan-tindakan yang lebih kontekstual dengan kondisi riil yang ada di lapangan. Ketika kebijakan publik melakukan hal tersebut, maka sesungguhnya berangkat dari unsur hukum yang dimaksud. Perencanaan dan langkah-langkah yang diambil oleh kebijakan publik bisa jadi tidak sepenuhnya sama dengan teks-teks aturan hukum yang ada, namun mengarah pada kesesuaian dengan unsur hukum, dengan demikian pada dasarnya kebijakan publik itu lebih sebagai upaya untuk membantu atau memperlancar penerapan hukum yang telah ditetapkan.
34
Struktural merupakan organisasi atau lembaga-lembaga yang diperlukan dalam penerapan hukum itu. Kebijakan publik dalam konteks unsur struktural ini lebih dominan berposisi sebagai sebuah seni, yaitu bagaimana mampu melakukan kreasi sedemikian rupa sehingga performa organisasi yang dialaminya itu dapat tampil dengan baik, sekaligus distori-distori pemaknaan dari unsur hukum yang ada tidak diselewengkan atau ditafsirkan berbeda di lapangan oleh para pelaksananya. Masyarakat merupakan sekumpulan kondisi sosial politik dan sosial ekonomi dari anggota masyarakat yang akan terkena dampak atas diterapkannya sebuah aturan hukum atau undang-undang. Walaupun unsurunsur kinerja organisasi atau institusi pelaksana telah berjalan dengan baik, apabila kondisi masyarakatnya sedang kacau balau atau chaos, tentu semua itu tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Posisi dari kebijakan publik akan sangat berpengaruh dalam hal unsur masyarakat dalam penerapan hukum. Budaya merupakan sesuatu kebiasaan yang berkaitan dengan bagaimana isi kontekstualitas sebuah undang-undang yang hendak diterapkan dengan pola pikir, pola perilaku, norma-norma, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Unsur budaya dalam penerapan hukum sangat penting, sebab hal tersebut berkaitan dengan pemahaman masyarakat atas sebuah introduksi nilai yang hendak ditransformasikan oleh sebuah undangundang atau produk hukum. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah diatur mengenai ketentuan penahanan dan penangguhan penahanan. Namun tidak disebutkan apa saja yang menjadi dasar pertimbangan dikabulkan atau tidak
35
dikabulkannya sebuah permohonan penangguhan penahanan. Sehingga selanjutnya menjadi kewenangan Kapolres selaku Atasan Penyidik untuk mengambil kebijakan terhadap penahanan yang dilakukan. Kapolres sendiri dalam mengambil keputusan sebagai sebuah kebijakan, harus berpedoman pada ketentuan hukum terkait yang mengatirnya. Hubungan hukum dan kebijakan publik dalam hal evaluasi dapat dilakukan dengan evaluasi peradilan administrasi dan evaluasi kebijakan publik. Apabila pada kenyataannya masyarakat tidak puas atau merasa dirugikan oleh proses penerapan hukum yang ada dan ternyata hasil-hasil dari proses penerapan hukum itu tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka peradilan administrasi yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) akan menjalankan fungsinya. Evaluasi kebijakan publik berfungsi sebagai hakim yang menentukan kebijakan yang ada telah berjalan dengan sukses atau telah mengalami kegagalan mencapai tujuan dan dampak-dampaknya. Evaluasi kebijakan publik juga sebagai dasar apakah kebijakan yang ada layak diteruskan, direvisi atau bahkan dihentikan sama sekali (Setiono, 2006 : 5-6). Beberapa teori dalam kebijakan publik (Solichin Abdul Wahab, 2004 : 56), antara lain, 1) Teori Rasional Komprehensif; 2) Teori Inkremental; 3) Teori Pengamatan Terpadu. a. Teori Rasional Komprehensif Dalam teori ini, pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain.
Selanjutnya
tujuan-tujuan,
nilai-nilai,
atau
sasaran
yang
mempedomani pembuat keputusan amat jelas dan dapat ditetapkan
36
rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya. Kemudian berbagai altematif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara seksama. Akibat-akibat (biaya dan manfaat) yang ditimbulkan oleh setiap altematif yang dipilih diteliti. Setiap altematif dan masing-masing akibat yang menyertainya, dapat diperbandingkan dengan altematif-altematif lainnya. Baru pembuat keputusan akan memilih altematif dan akibatakibatnya. yang dapat memaksimalkan tercapainya tujuan, nilai atau sasaran yang telah digariskan dalam pembuatan keputusan. b. Teori Inkremental Pendapat teori ini, pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan empiris yang diperlukan untuk mencapainya dipandang sebagai sesuatu hal yang terkait bukan sesuatu yang saling terpisah. Pembuat keputusan dianggap hanya mempertimbangkan beberapa altematif yang langsung berhubungan dengan pokok masalah, dan alternatif-altematif ini hanya dipandang berbeda secara inkremental atau marginal bila dibandingkan dengan kebijaksanaan yang ada sekarang. Bagi tiap altematif hanya sejumlah kecil akibat-akibat yang mendasar saja yang akan dievaluasi. Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan akan diredefinisikan secara
teratur.
Pandangan
ini
memberikan
kemungkinan
untuk
mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana serta tujuan sehingga menjadikan dampak dari masalah itu lebih dapat ditanggulangi. Bahwa tidak ada keputusan atau cara pemecahan yang tepat bagi setiap masalah. Batu uji bagi keputusan yang baik terletak pada keyakinan bahwa berbagai analis pada akhirnya akan sepakat pada keputusan tertentu, meskipun tanpa menyepakati bahwa keputusan itu adalah yang paling
37
tepat sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Pembuat keputusan yang inkremental pada hakikatnya bersifat perbaikan-perbaikan kecil dan hal ini lebih diarahkan untuk memperbaiki ketidaksempurnaan dari upaya-upaya konkrit dalam mengatasi masalah sosial yang ada sekarang daripada sebagai upaya untuk menyodorkan tujuan-tujuan sosial yang sama sekali baru di masa yang akan datang. c. Teori Pengamatan Terpadu. Teori ini berpendapat, sebagai suatu pendekatan untuk pengambilan keputusan, perlu memperhitungkan baik keputusan-keputusan yang fundamental
maupun
keputusan-keputusan
yang
inkremental
dan
memberikan urutan teratas bagi proses pembuatan kebijaksanaan fundamental yang memberikan arahan dasar dan proses-proses pembuatan kebijaksanaan inkremental yang melapangkan jalan bagi keputusankeputusan ini tercapai. Kebijakan Publik yang diputuskan seorang Kapolres dalam menangani perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak, khususnya dalam hal permohonan penangguhan penahanan cenderung merujuk pendapat teori pengamatan terpadu dengan mempertimbangkan aspek dasar yaitu hokum yang mengaturnya dan incremental yaitu kepentingan anak dan masyarakat sosial.
4. Teori Bekerjanya Hukum. Menurut Lawrence Meir Friedman (!975 : 7-9) mengemukakan tentang Tiga Unsur Sistem Hukum (Three Elements of Legal System). Ketiga unsur sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum tersebut, adalah :
38
a. Struktur Hukum (Legal Structure). b. Substansi Hukum (Legal Substance). c. Kultur Hukum (Legal Culture). Menurut Friedman (1975 : 14), the structure of a system its skeletal framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the tought, rigid bones that keep the process flowing within bounds ...". Jadi, struktur adalah para pihak yang menentukan dalam penegakan hukum (Polisi, Hakim, Jaksa), kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.. Jelasnya, struktur bagaikan foto diam yang menghentikan gerak (a kind of still photograph, which freezes the action). Komponen struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur (Esmi Warassih, 2005 : 25). Selanjutnya, menurut Friedman (1975 : 16), the substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should be have. Jadi, yang dimaksud dengan substansi menurut Friedman (1975 : 17) adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law in the books. Komponen substantif yaitu sebagai output dari sistem hukum yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur (Esmi Warassih, 2005 : 30).
39
Berikutnya, pemahaman Friedman (1975 : 20) tentang the legal culture system their beliefs, values, ideas, ami expectations. Jadi, kultur hukum menurut Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukumkepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. "Legal culture refers, then, to those parts of general culture-customs, opinions, ways of doing and thinkingthat bend social forces to ward or away from the law and in particular ways". Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum. Jadi dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa kultur hukum, makna sistem hukum itu sendiri tidak berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, dan bukan seperti ikan hidup yang berenang di laut. Komponen kultural terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau yang menurut Lawrence M. Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat (Esmi Warassih, 2005:30). Secara singkat, menurut Lawrence M. Friedman (1975 : 39), cara lain untuk menggambarkan ketiga unsur sistem hukum adalah : a. Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin. b. Substansi hukum adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu. c. Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Untuk mengenal hukum sebagai sistem maka menurut Fuller harus dicermati apakah ia telah memenuhi 8 (delapan) asas atau principles of
40
legality atau delapan prinsip legalitas (Esmi Warassih, 2005 : 3) sebagai berikut : a. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc. b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan. c. Peraturan tidak boleh berlaku surut. d. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. e. Suatu
sistem
tidak
boleh
mengandung peraturan-peraturan
yang
bertentangan satu sama lain. f. Peraturan-peraturan, tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. g. Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah. h. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. Sedangkan Paul dan Dias dalam (Esmi Warassih, 2005 : 105-106) mengajukan 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu : a. Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami. b. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturanaturan hukum yang bersangkutan. c. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum. d. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa. e. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.
41
Sistem hukum tidak lain merupakan cerminan dari nilai-nilai dan standar elit masyarakat, yang masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan kelompok mereka. Berbicara masalah hukum, pada dasarnya membicarakan fungsi hukum dalam masyarakat. Karena kebijakan dalam bidang hukum akan berimplikasi ke masalah politik yang sarat dengan deskriminasi. Untuk memahami bagaimana fungsi hukum itu, ada baiknya dipahami terlebih dulu bidang pekerjaan hukum. Sedikitnya ada 4 (empat) bidang pekerjaan yang dilakukan oleh hukum (Satjipto Rahardjo, 1984 : 45), yaitu : a. Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat dengan menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang boleh dilakukan. b. Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh melakukan kekuasaan atau siapa yang tidak boleh melakukan, berikut prosedurnya. c. Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat. d. Mempertahankan kemampuan adaptasi masyarakat dengan cara mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala ada. Dari empat pekerjaan hukum tersebut di atas, menurut Satjipto Rahardjo (1984 : 52), secara sosiologis dapat dilihat dari adanya 2 (dua) fungsi utama hukum, yaitu social control dan social engineering. a. Social Control (kontrol sosial). Social control merupakan fungsi hukum yang mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan
42
sebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Termasuk dalam lingkup kontrol sosial ini adalah sebagai berikut : i. Perbuatan norma-norma hukum, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang. ii. Penyelesaian sengketa di dalam masyarakat. iii. Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-perubahan sosial. b. Social Engineering (rekayasa sosial). Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana diinginkan oleh pembuat hukum. Berbeda dengan fungsi kontrol sosial yang lebih praktis, yaitu untuk kepentingan waktu sekarang, maka fungsi rekayasa sosial dari hukum lebih mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat dimasa mendatang sesuai dengan keinginan pembuat Undang-Undang. Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada akhimya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa pelaksanaan penegakan hukum atau keefektifan hukum (yang tentunya juga pelaksanaan suatu kebijaksanaan atau suatu komitmen) bersangkutan dengan
5
faktor pokok (Soerjono
Soekanto, 1983 : 5), yaitu : a. Faktor hukumnya sendiri. b. Faktor penegak hukum. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. d. Faktor masyarakat atau adresat hukum. e. Faktor budaya.
43
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolak ukur dari efektifitas penegakan hukum. Menurut Radbruch dalam (Satjipto Rahardjo, 2000 : 19 - 20), hukum harus mempunyai 3 (tiga) nilai idealitas atau nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum yang baik, yaitu : a. Keadilan b. Kemanfaatan/kegunaan c. Kepastian Hukum Disamping itu, ada 3 (tiga) dasar berlakunya hukum atau undang-undang, yaitu berlaku secara : a. Filosofis b. Sosiologis c. Yuridis Ketertiban masyarakat yang tampak dari luar itu, dari dalam di dukung oleh lebih dari satu macam tatanan. Keadaan yang demikian itu memberikan pengaruhnya
tersendiri
terhadap
masalah
efektivitas
tatanan
dalam
masyarakat. Kita melihat efektivitas ini dari segi peraturan hukum, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah laku dan hubungan-hubungan antara orang-orang pun didasarkan pada hukum dan tatanan hukum. Bahwa masyarakat kita sesungguhnya merupakan suatu rimba tatanan, karena di dalamnya tidak hanya terdapat satu macam tatanan. Sifat majemuk tersebut dilukiskan oleh Chambliss dan Seidman (Satjipto Rahardjo, 2000: 20)
44
yang dikenal dengan : "Teori Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat" sebagai berikut : Semua Kekuatan Sosial dan Pribadi
Norma-norma
Lembaga-lembaga
Kegiatan
Pembuat Hukum
Lembaga-lembaga Penerap Sanksi
Penerapan Sanksi Semua Kekuatan Sosial dan Pribadi
Rakyat
Semua Kekuatan Sosial & Pribadi
Bagan 1. Konsep Bayan Chambliss & Seidman yang diadaptasi
Dari bagan tersebut, tampak peranan dari kekuatan sosial, yang tidak hanya berpengaruh terhadap rakyat sebagai sasaran yang diatur oleh hukum, melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum. Dalam “kekuatan sosial”
45
ini termasuk kompleks tatanan lain yang telah dibicarakan. Dari arah panahpanah tersebut, dapat diketahui bahwa hasil akhir dari pekerjaan tatanan dalam masyarakat tidak bisa hanya dimonopoli oleh hukum. Kita lihat, bahwa tingkah laku rakyat tidak hanya ditentukan oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan sosial lainnya, yang dalam rangka pembicaraan ini tidak lain berarti kedua tatanan yang lain. Melihat permasalahan dalam gambaran sebagaimana diberikan oleh Chambliss dan Seidman tersebut, memberikan perspektif yang lebih baik kepada kita dalam memahami : "Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat" (Satjipto Rahardjo, 2000 : 21). Olehnya, bagan itu diuraikan di dalam dalildalil sebagai berikut : a. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak. b. Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembagalembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lainnya mengenai dirinya. c. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksi, keseluruhan kompleks kekuatankekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peranan.
46
Bagaimana para pembuat kebijakan itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan
yang
mengatur
tingkah
laku,
sanksi-sanksinya,
keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, ideologi, dan lainlainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi. Pendapat lain lagi, Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan hukum (C.G. Howard dan R.S. Sumner, 1965 : 46 - 47), yaitu : a. Mudah tidaknya ketidaktaatan atau pelanggaran hukum itu dilihat atau disidik. b. Siapakah yang bertanggungjawab menegakkan hukum yang bersangkutan. Syarat-syarat yang menentukan kemungkinan hukum menjadi efektif (C.G. Howard dan R.S. Sumner, 1965:46-47) adalah : a. Undang-undang dirancang dengan baik, kaidahnya jelas. b. Undang-undang sebaiknya bersifat melarang (prohibitur) dan bukan mengharuskan/memperbolehkan (mandatur). c. Sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan/sifat undang-undang itu. d. Beratnya sanksi tidak boleh berlebihan (sebanding) dengan macam pelanggarannya. e. Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat (lahiriah). f. Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral. g. Pelaksana hukum menjalankan tugasnya dengan baik, menyebarluaskan undang-undang, penafsiran yang seragam, dan konsisten.
47
Agar hukum benar-benar dapat mempengaruhi perilaku warga masyarakat, maka hukum tadi harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran serta pelembagaan hukum. Komunikasi hukum tersebut, dapat dilakukan secara formil, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisasikan dengan resmi. Akan tetapi di samping itu, maka ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur perilaku. Ini semuanya termasuk apa yang dinamakan difussi, yaitu penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam masyarakat yang bersangkutan. Proses difussi tersebut antara lain dapat dipengaruhi oleh (Satjipto Rahardjo, 1984 : 127 - 128), yaitu : a. Pengakuan bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini hukum), mempunyai kegunaan. b. Ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin merupakan pengaruh negatif atau positif. c. Sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan ditolak oleh masyarakat, karena berlawanan dengan fungsi unsur lama. d. Kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan hukum, mempengaruhi efektifitas hukum di dalam merubah serta mengatur perilaku warga masyarakat.
48
3. Penelitian yang Relevan Penelitian yang masih relevan dengan penelitian ini adalah Tesis yang ditulis oleh A. Sabar Warseno tahun 2006 yang berjudul Kebijakan Kepolisian Wilayah Madiun dalam Pengalihan Penahanan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi. Perbedaannya, dalam penelitian tersebut variabelnya pengalihan penahanan dan tindak pidana korupsi. Dalam tesis tersebut, Sabar menyimpulkan bahwa pengalihan penahanan lebih bersifat subyektif, tidak jarang dalam prakteknya selalu menjadi perdebatan dan penafsiran yang berbeda antara pihak-pihak yang berperkara pada proses peradilan.
B. Kerangka Berpikir Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Pelindungan Anak, diharapkan anak meskipun telah melakukan tindak pidana, tetap dapat mendapatkan hak yang semestinya ia peroleh. Dalam kenyataannya, kadang seorang pelaku tindak pidana anak tidak mendapatkan haknya sebagaimana mestinya. Hal ini bisa dikarenakan dua hal, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal karena ketidak tahuan yang bersangkutan terhadap hak-hak hukumnya dan prosedur hukum, sedangkan faktor eksternal karena pemberlakuan hukum yang tidak semestinya atau berupa kebijakan yang salah. Maka dari itu, meskipun telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
49
2002 tentang Perlindungan Anak, sangat diharapkan dapat membawa perubahan yang signifikan dalam rangka penanganan kasus pidana yang dilakukan oleh anak, khususnya di wilayah hukum Polres Boyolali. Suatu kebijakan yang baik dapat dikaji dari dua aspek, yaitu aspek tataran proses maupun aspek tataran substansinya. Penerapan kebijakan akan baik secara
proses,
apabila
kebijakan
tersebut
berorientasi
kepada
masyarakat/publik. Selanjutnya dikatakan baik secara substansial, apabila kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para pembuat kebijakan mencerminkan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat. Secara ringkas Kerangka Berpikir Penulis dalam mengadakan penelitian terhadap Kebijakan Kepolisian Resor Boyolali terhadap penangguhan penahanan pelaku tidak pidana yang dilakukan oleh anak dengan menggunakan teori bekerjanya hukum menurut Lawrence Meir Friedman tentang Tiga Unsur Sistem Hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum tersebut yaitu : a. Struktur Hukum (legal structure) yaitu Kapolres, Pejabat Polres, Penyidik Polres. b. Substansi Hukum (legal substance) yaitu KUHAP dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. c. Budaya hukum (legal culture), yaitu keengganan masyarakat dalam menggunakan haknya secara penuh dalam proses hukum.
50
Kerangka berpikir sebagaimana diuraikan diatas, apabila dilukiskan dalam bagan sebagai berikut : KETENTUAN HUKUM/ KUHP / KUHAP
PERBUATAN PIDANA ANAK
UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK
PENAHANAN ANAK
PENEGAK HUKUM
DITANGGUHKAN
MASYARAKAT
BUDAYA
TETAP DITAHAN
PENYIDIKAN ANAK
Bagan 2 : Kerangka Berpikir
51
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Untuk memperoleh hasil penelitian yang memiliki bobot nilai tinggi serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka diperlukan suatu metode penelitian yang dapat memberikan arah dan pedoman dalam memahami obyek yang diteliti sehingga dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Metode menurut Setiono (2005 : 1) adalah suatu alat untuk mencari jawaban dari pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau alatnya harus jelas terlebih dahulu apa yang akan dicari. Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha yang dilakukan menggunakan metode ilmiah (Sutrisno Hadi, 1989 : 4). Suatu laporan penelitian disebut ilmiah dan dapat dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan metode penelitian yang tepat, seperti yang dikemukakan Soerjono Soekanto (1986 : 12) berikut ini : “Penelitian dimulai ketika seseorang berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara sistematis dengan metode-metode dan teknik-teknik yang bersifat ilmiah. Artinya bahwa metode atau teknik yang digunakan tersebut bertujuan untuk satu hal atau beberapa gejala dengan analisisnya dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut”. Untuk memperoleh kebenaran yang dapat dipercaya keabsahannya, suatu penelitian harus menggunakan suatu metode yang tepat dengan tujuan yang hendak dicapai sebelumnya, sedangkan dalam penentuan metode mana yang
52
akan digunakan, penulis harus cermat agar metode yang dipilih nantinya tepat dan jelas sehingga untuk mendapatkan hasil dengan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan tercapai. Metode penelitian adalah suatu tulisan atau karangan mengenai penelitian disebut ilmiah dan dipercaya kebenarannya apabila pokok-pokok pikiran yang dikemukakan
disimpulkan melalui
prosedur yang sistematis
dengan
menggunakan pembuktian yang meyakinkan, oleh karena itu dilakukan dengan cara obyektif dan telah melalui berbagai test dan pengujian (Winarno Surachmad, 1990 : 26). Peranan metode penelitian dalam sebuah penelitian ilmiah adalah sebagai berikut (Winarno Surachmad, 1990: 27) : 1. Menambah
kemampuan
para
ilmuwan
untuk
mengadakan
atau
melaksanakan penelitian secara lebih baik dan lengkap. 2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian inter disipliner. 3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui. 4. Memberikan
pedoman
mengorganisasikan
serta
mengintegrasikan
pengetahuan mengenai masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto (1986 : 15) penelitian dalam penulisan ini termasuk dalam penelitian hukum sosiologis atau empiris. Dalam pandangan sosiologis, hukum dikonsepkan sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan variabel-variabel sosial yang lain (Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004 : 133). Secara khusus, penelitian ini mencoba menggambarkan
53
bagaimana hukum sebagai gejala sosial sebagai variabel bebas (independent variable) yang menimbulkan pengaruh dan akibat pada berbagai aspek kehidupan sosial, sehingga merupakan kajian hukum yang sosiologis (socio legal-research) (Ronny Hanitijo Soemitro, 1984 : 115). Menurut Soetandyo Wignjosoebroto (1986 : 44) penelitian hukum dalam penulisan ini merupakan jenis penelitian hukum non doktrinal, dimana dalam penelitiannya berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadiya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Menurut Setiono (2005 : 6) apabila dilihat dari sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mempertegas hipotesa, dapat membantu di dalam memperkuat teori lama dalam kerangka menyusun teori baru. Sedangkan menurut bentuknya, penelitian ini termasuk ke dalam bentuk penelitian evaluatif yaitu merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan untuk menilai program atau kebijakan yang dijalankan. Sementara dilihat dari tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian fact finding, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menemukan fakta. Apabila dilihat dari penerapannya, penelitian ini termasuk dalam penelitian terapan, yaitu penelitian yang tujuannya untuk memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan yang bersifat praktis. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan interaksional atau mikro, dengan analisis kualitatif yang selanjutnya dianalisis secara logis sistematis. Yang dimaksud analisis kualitatif menurut Mills dan Huberman (dalam Soerjono Soekanto, 1986 : 238) adalah merupakan suatu upaya yang berlanjut, berulang, dan terus menerus.
54
Definisi dari metode kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 1986 : 50). Metode penelitian kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus terbatas, kasuistis sifatnya, namun mendalam, total, menyeluruh, dalam arti tidak mengenal pemilahan-pemilahan gejala secara konseptual ke dalam aspek-aspeknya yang eksklusif (disebut variabel). Dalam hubungan ini, metode kualitatif juga dikembangkan untuk mengungkap gejala-gejala kehidupan masyarakat itu sendiri dan diberi kondisi mereka tanpa diintervensi oleh peneliti atau naturlistik (Burhan Ashofa, 2001 : 54) Selanjutnya dalam mempelajari hukum, ada 5 (lima) konsep hukum yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto (dikembangkan Setiono, 2005 : 4) adalah sebagai berikut : 1. Hukum adalah asas-asas moral atau kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai hukum alam). 2. Hukum merupakan norma atau kaidah yang bersifat positif di dalam sistem perundang-undangan. 3. Hukum adalah keputusan-keputusan badan peradilan dalam penyelesaian kasus atau perkara (in concreto) atau apa yang diputuskan oleh hakim. 4. Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik.
55
5. Manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai hukum yang ada dalam benak manusia). Pada penelitian ini, penulis mendasarkan pada konsep hukum yang ke-5, yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto (dalam Setiono, 2005 : 4), hukum dalam hal ini dikonsepsikan sebagai manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka (hukum yang ada dalam benak manusia). Sehubungan dengan beberapa hal yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini membatasi permasalahan pada Kebijakan Kepolisian Resor Boyolali dalam penangguhan penahanan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui dasar kebijakan dikabulkan atau tidak dikabulkannya sebuah pengajuan penahanan pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Selanjutnya dikaji dengan Undang-Undang, Peraturan, dan teori hukum yang ada.
B. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian atau sumber pencarian data berasal dari berbagai instansi/ lembaga/ organisasi/ pusat-pusat informasi dan dokumentasi lain yang memiliki kapasitas untuk menyediakan bahan-bahan tersebut, yaitu : 1. Kantor Kepolisian Resor Boyolali. 2. Kejaksaan Negeri Boyolali. 3. Pengadilan Negeri Boyolali.
56
4. Perpusatakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 5. Perpustakaan Daerah Boyolali.
C. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini termasuk penelitian hukum yang sosiologis (empiris) atau non doktrinal. Penelitian hukum sosiologis (empiris) atau non doktrinal membutuhkan data-data yang lengkap untuk mengidentifikasi suatu hal secara empiris dan data sekunder sebagai dasar kekuatan mengikat ke dalam (HB. Soetopo, 1992 : 2). Untuk memperoleh kedua jenis data tersebut maka sumber yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Jenis data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Terkait dengan problematika penelitian, maka data dimaksud adalah wawancara yang diperoleh dari kalangan Pejabat Polres Boyolali dan Penyidik. 2. Jenis data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan (Ronny Hanitjo Soemitro, 1984: 52). Bahan-bahan dokumen, laporan, hasil penelitian terdahulu, peraturan perundang-undangan, dan buku-buku ilmiah. Bahan-bahan berupa bahan hukum, baik bahan hukum primer (primary sources or authorities), maupun bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities) dan dilengkapi dengan bahan hukum tersier yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang merupakan data sekunder.
57
1. Bahan hukum primer : a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. d. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. e. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. f. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. g. Peraturan perundang-undangan dan asas-asas yang berkaitan dengan proses penangguhan penahanan. 2. Bahan hukum sekunder : merupakan bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer berupa bahan pustaka seperti buku, majalah, hasil penelitian, makalah dan lainnya. 3. Bahan hukum tersier, meliputi bahan yang memberikan kelengkapan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
D. Teknik Pengumpulan Data Dalam memperoleh data yang sesuai dan mencakup permasalahan dalam penulisan hukum ini, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui beberapa cara sebagai berikut ;
58
1. Studi Dokumen (Kepustakaan), yaitu suatu bentuk pengumpulan data lewat perundang-undangan, buku literatur, artikel, hasil penelitian terdahulu, dan membaca dokumen yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh peneliti. (M. Syamsudin, 2007 : 101). Studi dokumen atau kepustakaan
merupakan merupakan suatu teknik
pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumendokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. Dokumen yang telah diperoleh kemudian dianalisis (diurai), dibandingkan dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh. Jadi studi dokumenter tidak sekedar mengumpulkan dan menuliskan atau melaporkan dalam bentuk kutipan-kutipan tentang sejumlah dokumuen yang dilaporkan dalam penelitian adalah hasil analisis terhadap dokumen-dokumen tersebut (Amirin dan Tatang M, 2000 : 30). 2. Wawancara (Interview), yaitu suatu bentuk komunikasi verbal semacam percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi (M. Syamsudin, 2007: 108). Wawancara dilakukan dengan cara terpimpin, yaitu metode wawancara dengan menggunakan catatan-catatan pokok. Dalam teknik wawancara, peneliti tidak menggunakan struktur yang ketat dan formal, namun dengan strategi untuk menggiring pertanyaan yang makin membesar, sehingga informasi yang dikumpulkan cukup memadai, memiliki kedalaman dan keleluasaan sehingga mampu mengorek kejujuran, tanpa memaksakan kehendak kita dalam mengajukan pertanyaan.
59
E. Teknik Sampling Pengambilan sampel (sampling), yaitu himpunan bagian atau sebagian dari populasi, artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti. Penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen dinamakan sensus. Idealnya, agar hasil penelitiannya lebih bisa dipercaya, seorang peneliti harus melakukan sensus. (Bambang Sunggono, 2007 : 118). Namun karena pertimbangan waktu dan biaya yang ada peneliti tidak bisa meneliti keseluruhan elemen tadi, maka yang bisa dilakukannya adalah meneliti sebagian dari keseluruhan elemen atau unsur tadi dengan mengambil sampel. Agar hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel dalam penelitian ini masih tetap bisa dipercaya dalam artian masih bisa mewakili karakteristik populasi, maka cara penarikan sampelnya harus dilakukan secara seksama. Cara pemilihan sampel dikenal dengan teknik pengambilan sampel (sampling). Secara umum, teknik pengambilan sampel dari populasi dibedakan atas dua cara, yaitu : 1) Probabilitas sampling, yaitu tiap unit atau individu populasi mempunyai kesempatan atau probabilitas yang sama untuk menjadi sampling. 2) Non-probabilitas sampling, yaitu kesempatan tiap unit atau individu populasi untuk menjadi sampling tidak sama. (setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel).
60
Salah satu bentuk dalam non-probalitas sampling ini adalah dengan cara purposive sampling, yaitu peneliti menggunakan pertimbangan sendiri dengan berbekal pengetahuan yang cukup tentang populasi untuk memilih sampel atau teknik penentuan sampel untuk tujuan tertentu saja (Soerjono Soekanto, 1986 : 196). Pertimbangan sendiri yang dimaksud adalah Peneliti merupakan anggota Polres Boyolali. Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang (informan) atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang yang telah dipilih untuk menjadi objek penelitian tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dalam hal ini dengan informan yang ditetapkan sebelumnya, yang dianggap mengerti permasalahan yang akan diteliti, Penyidik, Perwira Pertama, dan Perwira Menengah. Hasilnya tidak dimaksudkan untuk mewakili karakteristik dari populasi tertentu tetapi dapat mempunyai arti generalisasi (HB.Soetopo, 1992 : 2).
F. Teknik Analisis Data a. Teknik Analisis Penganalisaan data merupakan tahap penting dan menentukan, karena pada tahap ini penulis mengolah data. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis kualitatif mengingat data yang terkumpul sebagaian besar merupakan data kualitatif. Teknik ini tepat digunakan bagi penelitian yang menghasil data kualitatif, yaitu data yang tidak bisa dikategorikan secara statistik. Dalam penggunaan analisis kualitatif ini, maka pengintepretasian
61
terhadap apa yang ditemukan dan pengambilan kesimpulan akhir menggunakan
logika deduksi
atau
penalaran sistematis. Dengan
memperhatikan penafsiran gramatikal, yaitu mendasarkan pada bunyi dari ketentuan Undang-Undang, kemudian dari hasil analisa data yang diperoleh dideskripsikan secara urut dan teliti sesuai dengan rumusan masalah. Model analisis kualitatif yang digunakan adalah model analisis interaktif, yaitu model analisis yang memerlukan tiga komponen berupa reduksi data, sajian data, serta penarikan kesimpulan/verifikasi dengan menggunakan proses siklus (H.B. Sutopo, 1998: 48). Bagan 3 : Proses Analisis Data Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Kesimpulan-Kesimpulan/ Verifikasi
Keterangan : 1. Reduksi Data; Reduksi data adalah bagian analisis, berbentuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa, sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan. Menurut HB. Soetopo (1992 : 12), reduksi data merupakan
62
proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data dari fieldnote. Proses ini berlangsung sejak awal penelitian, dan pada saat pengumpulan data. Reduksi data dilakukan dengan membuat singkatan, coding, memusatkan tema, menulis memo dan menentukan batas-batas permasalahan. Menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (dalam Tjejep Rohendi Rohidi, 1992 : 16), reduksi data diartikan sebagai proses
pemilihan,
pemusatan
perhatian
pada
penyederhanaan,
pengabstrakan, dan transformasi data ’kasar’ yang muncul dari catatancatatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data dengan cara demikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. 2. Penyajian Data; Penyajian memberikan
data
sebagai
kemungkinan
kumpulan adanya
informasi
penarikan
tersusun
yan
kesimpulan
dan
pengambilan tindakan. Penyajian-penyajian yang lebih merupakan suatu cara yang utama bagi analisis kualitatif yang valid sebagaimana diuraikan oleh Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (dalam Tjejep Rohendi Rohidi, 1992 : 17) Sajian data sebaiknya berbentuk tabel, gambar, matriks, jaringan kerja dan kaitan kegiatan, sehingga memudahkan peneliti untuk
63
mengambil
kesimpulan.
Peneliti
diharapkan
dari
awal
dapat
memahami arti dari berbagai hal yang ditemui sejak awal penelitian, dengan demikian dapat menerik kesimpulan yang terus dikaji dan diperiksa seiring dengan perkembangan penelitian yang dilakukan. Proses analisis dengan 3 (tiga) komponen diatas dilakukan secara bersamaan merupakan model analisis mengalir (flow model of analysis). Metode analisis inilah yang digunakan dalam penelitian ini. Reduksi dan penyajian data dilakukan sejak proses pengumpulan data dan bersamaan dengan dua komponen yang lain. Tiga komponen tersebut masih mengalir dan tetap saling menjalin pada waktu kegiatan pengumpulan data sudah berakhir sampai dengan proses penulisan penelitian selesai (H.B. Soetopo, 1992 : 19). 3. Menarik Kesimpulan/ verifikasi Menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (dalam Tjejep Rohendi Rohidi, 1992 : 19), kesimpulan merupakan sebagian dari satu kegiatan konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung. Berkaitan dengan penarikan kesimpulan tersebut, penerapan metode pada penelitian ini adalah untuk mengungkap kebenaran dan memahaminya. Penelitian ini menggunakan pendekatan induktif, yaitu mencari, menjelaskan dan memahami prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam suatu kehidupan masyarakat dengan memulai kenyataan
64
(phenomena) menuju ke teori (thesis), bukan sebaliknya seperti dalam pendekatan deduktif (Burhan Ashofa, 1998 : 74) . Dalam silogisme induksi, premis-premis (kecuali konklusi) selalu berupa hasil pengamatan yang diverifikasi. Konklusi dari dalam silogisme induksi dalam penelitian-penelitian non doktrinal selalu berupa deskripsi atau eksplanasi tentang ada tidaknya hubungan (kausal atau korelasi) antara berbagai variabel sosial-hukum. Setiap data yang diperoleh diverifikasi kemudian dideskripsikan dan dieksplanasikan hingga mendapat penjelasan mendalam dari berbagai variabel yang diteliti. Para peneliti kualitatif akan lebih menekankan pemahaman (understanding) hubungan yang kompleks diantara semua hubungan yang ada dan membangun pemahaman tegas untuk pembaca deskripsi.
b. Batasan Operasional Variabel Penelitian 1) Kebijakan adalah pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah; serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan
menunjukkan
hambatan-hambatan
dan
kesempatan-
kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. 2) Kepolisian Resor adalah Kesatuan operasional dasar Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai pelaksana utama tugas Polri dengan daerah hukum tingkat kabupaten.
65
3) Penangguhan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau tempat tertentu yang ditangguhkan oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta cara yang diatur dalam undang-undang. 4) Pelaku adalah orang yang melakukan sesuatu (dalam penelitian ini tindak pidana). 5) Tindak pidana adalah segala perbuatan yang dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. 6) Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Kepolisian Resor Boyolali. Kepolisian Resor merupakan kesatuan operasional dasar Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai pelaksana utama tugas Polri dengan daerah hukum tingkat kabupaten (Kep Kapolri No Pol : Kep/54/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002). Kepolisian Resor Boyolali masuk dalam wilayah Kepolisian Wilayah Surakarta dan Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Secara geografi Kabupaten Boyolali berada di bagian timur Propinsi Jawa tengah terletak diantara 110° 22’ dan 110° 50’ Bujur Timur serta 7° 38’ dan 7° 50’ Lintang Selatan, berbatasan dengan Kab. Grobogan dan Kab. Semarang sebelah Utara, Kab. Karanganyar, Kab. Sukoharjo, dan Kab. Sragen sebelah Timur, Kab. Klaten dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, sedangkan sebelah Barat dengan Kabupaten Magelang / Karisidenan Kedu. Pembagian wilayah administrasinya terdiri dari 19 Kecamatan, 5 Kawedanan 3 Kalurahan, 264 Desa, 1.224 Rukun Tangga, dan 6.124 Rukun Warga.
Peta 1. Peta Administrasi Kabupaten Boyolali (Sumber : Bag Ops Polres Boyolali)
67
Struktur Organisasi
68
Struktur Organisasi
69
Pada tahun 2008, kekuatan Polri sekitar 300 ribu. Jika dilihat dari dimensi rasio dengan penduduk, jumlah polisi belum mencapai tataran ideal, karena rasio ideal menurut ketentuan PBB adalah 1 : 450. Apabila rencana rekrutmen personel tahun 2009 tercapai, maka rasio Polisi dengan penduduk menjadi 1537, atau sudah mendekati ketentuan PBB. Saat ini jumlah anggota Polri di Polres Boyolali sebanyak 734 personil dan PNS Polri 39 orang (terlampir), dengan jumlah penduduknya adalah 944.181 jiwa. Berarti rasio polisi dengan penduduk di Polres Boyolali adalah 1 : 1286. Angka ini juga masih jauh dari tataran ideal. Bahkan untuk kepentingan terdekat, yaitu pelaksanaan pengamanan Pemilu 2009 di TPS, Polres Boyolali dengan pola 1 Anggota Polri mengamankan 3 atau 4 TPS masih mengalami kekurangan personil. Setelah berstatus mandiri, dalam struktur organisasi ketatanegaraan Polri menjadi lembaga non departemen yang langsung berada di bawah Presiden. Dengan status ini Polri menjadi otonom, independen, tanpa intervensi lembaga lain. Dengan status ini, polri mampu membangun kinerja yang lebih baik dalam rangka memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat. Organisasi Polri menganut prinsip sistem yang terintegrasi (integrated system) sebagai Kepolisian Nasional Indonesia. Pendekatan sebagai Polisi Nasional dilaksanakan dari bawah, dengan delegasi wewenang dan tanggung jawab yang lebih luas pada kesatuan kewilayahan, terutama Polres sebagai Kesatuan Operasional Dasar (KOD) dan Polsek sebagai ujung tombak operasional. Wilayah Hukum Kesatuan Kewilayahan Polri disusun dengan menyesuaikan pembagian wilayah pemerintahan daerah dan sistem peradilan
70
pidana serta perkembangan masyarakat. Organisasi Polri disusun tanpa birokrasi yang panjang agar dapat menjamin pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat, sehingga masyarakat mendapatkan pelayanan maksimal. Karena itu, organisasi Polri hemat struktur namun kaya fungsi. Perubahan aspek struktural dan instrumental bermuara pada aspek kultural, karena terwujud dalam kualitas pelayanan publik. Aspek kultural ini berkaitan dengan manajemen sumberdaya manusia (SDM) Polri, yang mengacu pada doktrin pembinaan dan Visi Polri ke dalam yaitu mewujudkan kesiapan, kemampuan SDM demi terlaksananya tugas-tugas pokok polri. Sebagai konsekuensi peningkatan profesionalisme, maka kuantitas dan kualitas anggota Polri pun ditingkatkan. Disamping pertimbangan luas wilayah, rasio jumlah polisi dengan jumlah penduduk diupayakan mendekati angka ideal 1 : 450. Salah satu perubahan penting lain dari status Polri mandiri adalah diskresi. Polisi di lapangan adalah "agen" penegak hukum dan ketertiban yang tidak dipengaruhi hierarki, sehingga lapisan terdepan pengemban fungsi kepolisian memiliki diskresi (kemandirian) dalam mengambil keputusan. Dalam penelitian ini adalah diskresi seorang penyidik dalam menangani suatu perkara yang pelakunya anak. Penanganan hukum di wilayah Boyolali meliputi kejadian tindak pidana, gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, kejadian menonjol, kejahatan, dan pelanggaran. Dan setiap bulannya dibuat laporan berkala kepada satuan atas, yaitu Polwil Surakarta dan Polda Jawa Tengah. Dalam menjalankan
71
tugas dan wewenangnya, selama dua tahun ini pula Kepolisian Resor Boyolali telah melakukan upaya paksa sebagai berikut : a. Pemanggilan saksi b. Pemanggilan tersangka c. Penangkapan d. Penggeledahan e. Penyitaan f. Penyitaan g. Penahanan Dalam penanganan kasus di wilayah Boyolali dari pengajuan Berita Pemeriksaan oleh Penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum hingga disidangkan di Pengadilan Negeri Boyolali oleh Hakim dan Pra Peradilan diatasnya, dilakukan monitoring terhadap Putusan Pengadilan Negeri Boyolali. Hasil monitoring selama 2 tahun terakhir untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan P 21 belum ada yang diputus bebas murni. Dalam rangka ungkap kasus, Kepolisian melakukan Pemetaan Pola Kejahatan. Hal ini untuk mempercepat proses pengungkapan kasus yang terjadi. Pemetaan Pola Kejahatan tersebut meliputi : a. Pola Pekerjaan Pelaku b. Pola Umur c. Pola Pekerjaan Korban d. Pola Sasaran e. Pola Waktu f. Pola Alat
72
g. Pola Modus h. Pola Tempat Kejadian Perkara Dalam pelaksanaan tugas Kepolisian, Kepala Kepolisian Republik Indonesia menetapkan Kebijakan dan Strategi yang menjadi prioritas dalam upaya mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan supremasi hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan melayani masyarakat.. Salah satu kebijakan dan strategi tersebut adalah penanganan khusus tindak pidana dalam kategori menonjol sebagai berikut : a. Judi b. Narkoba c. Penyelundupan d. Premanisme e. Ilegal Fishing f. Ilegal Mining g. Ilegal Loging h. BBM i. Terorisme j. Penyalahgunaan Senjata Api dan Bahan Peledak k. Korupsi l. Sparatisme Kebijakan
strategis
tersebut
ditetapkan
dengan
memperhatikan
perkembangan kasus dan situasi kamtibmas di wilayah. Berikut ini ditampilkan data penanganan perkara di wilayah Polres Boyolali pada tahun 2007 dan tahun 2008 berdasarkan laporan polisi yang masuk dan perkembangan penanganannya.
73
TABEL 1 DATA PENANGANAN LAPORAN POLISI TAHUN 2007 POLRES BOYOLALI NO
JENIS KASUS
1. 2. 3. 4.
CURRAT CURRAS CURANMOR PEMBAKARAN/ KEBAKARAN PENGANIAYAN BERAT PEMBUNUHAN UANG PALSU NARKOBA PERKOSAAN/ CABUL KENAKALAN REMAJA JUMLAH CRIME INDEKS (CI)
5. 6. 7. 8. 9. 10.
11. 12. 13. 14. 15. 16.
17. 18.
JUMLAH LAPOR SELESAI 56 74 4 6 44 3 10 10 16
27
1 2 5 4
1 5 5 14
1
1
143
146
2
5
2 6 23
8 18 20
17 9
21 17
59
89
202
235
31 101
31 103
JUMLAH NON PIDANA
132
134
JUMLAH GKTM
334
369
PENGANIAYAAN RINGAN PENGGELAPAN PENIPUAN PENCURIAN BIASA PERJUDIAN LAIN-LAIN JUMLAH NON CRIME INDEKS JUMLAH PIDANA (CT) BUNUH DIRI LAINNYA
(Sumber : Mindik Reskrim Polres Boyolali)
PENYIDIK 1. 2. 3. 4.
IPTU RIYANTO AIPTU LASMO AIPTU MULYANTO AIPTU AMIR SUSATYO 5. BRIPDA DIAN RADITYA 6. AIPTU NUR ARIFIN 7. BRIPKA ABDUL BASID S 8. BRIPKA SARFAN 9. BRIG BUDIYARTO 10. BRIPDA ARBA NADIYANTA 11. AIPDA EKOWATI BH 12. BRIPDA TRIMA ROLYATNA 13. AIPTU CHANAFI 14. BRIPKA HARUN AL ROSYID 15. BRIPKA BENY H 16. AIPDA I NYOMAN S 17. AIPTU WAHYONO 18. AIPDA JOKO WASONO 19. AIPTU M YASIN 20. AIPTU SUTRIMAN 21. AIPTU MUDJIONO 22. BRIPKA SUWARNO 23. AIPDA SUWARTONO 24. AIPDA LANJAR 25. BRIPKA M BASORI 26. BRIPKA NOTO SULOMO 27. AIPDA SUTRIYONO 28. AIPDA MUJIYONO 29. AIPDA YB. SUDIYONO
74
TABEL 2 DATA PENANGANAN LAPORAN POLISI TAHUN 2008 POLRES BOYOLALI
NO
JENIS KASUS
1. 2. 3. 4.
CURRAT CURRAS CURANMOR PEMBAKARAN/ KEBAKARAN PENGANIAYAN BERAT PEMBUNUHAN UANG PALSU NARKOBA PERKOSAAN/ CABUL KENAKALAN REMAJA JUMLAH CRIME INDEKS (CI) PENGANIAYAAN RINGAN PENGGELAPAN PENIPUAN PENCURIAN BIASA PERJUDIAN LAIN-LAIN JUMLAH NON CRIME INDEKS JUMLAH PIDANA (CT) BUNUH DIRI LAINNYA JUMLAH NON PIDANA
5. 6. 7. 8. 9. 10.
11. 12. 13. 14. 15. 16.
17. 18.
JUMLAH LAPOR SELESAI 69 64 8 5 41 8 7
23
1 3 5 8
5 7 7
-
-
142
120
14
21
6 28 27
5 10 25
17 47
18 24
139
103
281
223
12 130 142
12 130 142
PENYIDIK 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.
IPDA DARUNI W IPDA SUBIATI, SH AIPTU LASMO AIPTU MULYANTO AIPTU WAGINO AIPTU AMIR SUSATYO BRIPDA DIAN RADITYA BRIPKA SUBOLO AIPTU NUR ARIFIN BRIPKA ABDU BASID S BRIPKA SARFAN BRIG BUDIYARTO BRIPDA ARBA N AIPDA EKOWATI BH BRIPDA TRIMA ROLYATNA AIPTU AGUS MARJOKO, SH BRIPKA AGUNG S, SH BRIPTU ALI MURTOPO, SH BRIPTU IWAN KRISTIANAN, SH AIPTU AGUNG W BRIG SIGIT W, SH BRIPKA SARJONO, SH BRIG SUMINTO BRIPTU ROFINGI BRIPTU TRIJOKO AIPTU WAHYONO BRIPKA ONY KURNIAWAN, SH AIPTU SUTRIYONO AIPTU M BASORI AIPDA ABDUL MAJID AIPDA I NYOMAN S AIPDA JOKO WASONO AIPTU SUHANTO BRIPTU ANANG S AIPTU FAUZAN AIPTU M YASIN
75
37. BRIPKA HARYONO, SH 38. BRIPTU EDY NUGROHO, SH 39. AIPTU SUTRIMAN 40. AIPTU MUDJIONO 41. BRIPKA NOTO SULOMO 42. AIPTU WASITA 43. BRIPKA SUWARNO 44. AIPDA SUWARTONO 45. AIPDA LANJAR 46. AIPDA MUJIYONO 47. AIPDA YB. SUDIYONO
JUMLAH GKTM
423
365
(Sumber : Mindik Reskrim Polres Boyolali) 2. Penanganan Tindak Pidana yang dilakukan Anak di Kepolisian Resor Boyolali. Seorang yang melakukan perbuatan menyimpang dari peraturan dan tergolong sebagai tindak pidana, misalnya memukul sampai luka, membawa senjata api, mengompas, menodong orang lain agar memberikan barangnya, maka perbuatannya itu dapat menjadi perkara pidana yang penyelesaiannya melalui sidang pengadilan, meskipun pelakunya adalah seorang anak, padahal seorang anak memiliki kekhususan dalam penanganannya. Dalam penanganan hukum terhadap anak, saat ini berpedoman pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997, Hukum Acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Berarti penanganan tindak pidana anak selain yang disebutkan dalam Undang-Undang tersebut disesuaikan dengan KUHAP. Dalam kajian penelitian ini mengenai penangguhan penahanan juga sesuai dengan KUHAP.
76
Penanganan tindak pidana di Polres Boyolali yang dilakukan orang dewasa dan anak telah dibedakan. Hal ini diketahui, dari alur perkara dan alur disposisi pemegang kewenangan di Polres Boyolali. Penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak telah berpedoman pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tanggal 3 Januari 1997, dan dimuat dalam Lembaran Negara RI No. 3668 berlaku satu tahun setelah diundangkan yaitu tanggal 3 Januari 1998. Dalam melaksanakan peraturan tersebut Polres Boyolali organisasi dan tata kerja telah membentuk Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) berdasarkan : a. Peraturan Kapolri No Pol : 10 Tahun 2007 tanggal 6 Juli 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. b. Surat Kapolri No Pol : B/2070/VIII/2007 tanggal 22 Agustus 2007 perihal pengawakan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak. c. Surat Kapolda No Pol : B/7945/IX/2007 tanggal 5 September 2007 perihal pembentukan Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) di lingkungan Reskrim. Upaya untuk menekan tindak pidana yang dilakukan anak oleh Polres Boyolali juga dilakukan dengan tindakan pre emtif dan preventif berupa penyuluhan kenakalan remaja, sosialisasi bahaya narkoba, sosialisasi hukum dan perundang-undangan kepada pelajar, pemuda, juga kelompok-kelompok masyarakat, pembinaan kegiatan saka bhayangkara, PKS, dan kegiatan lainnya yang dimotori oleh Bagian Binamitra, dan didukung satuan fungsi yang lain.
77
Upaya lain yang dilakukan berdasar keterangan Kapolres Boyolali AKBP Drs. Agus Suryo Nugroho, S.H adalah dengan mengadakan koordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat secara birokrasi. Selanjutnya berkoordinasi dengan Dinas terkait dengan sasaran utama anak usia sekolah yaitu siswa/pelajar. Sedangkan anak yang tidak sekolah, upayanya melakukan koordinasi dengan Camat dan perangkat desa/kelurahan dengan melakukan penyuluhan dan pembinaan. Selain itu juga dilakukan pembinaan dan penyuluhan hukum terhadap komponen masyarakat dengan mengedepankan fungsi Reskrim. Meskipun telah dilakukan upaya pencegahan yang di masing-masing fungsi sesuai tugas dan tanggung jawabnya, faktanya tindak pidana yang dilakukan oleh anak tetap terjadi, dan mungkin akan terus ada selama kehidupan ini masih berlangsung dan ada proses regenerasi anak. Dalam penanganannya di Polres Boyolali telah dibentuk Unit tersendiri untuk menanganinya yaitu Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) yang dipimpin oleh Inspektur Dua Subiati, S.H. Sejak unit PPA ini dibentuk yaitu bulan September tahun 2007, dari Register Laporan Polisi Polres Boyolali setidaknya diperoleh data tindak pidana yang dilakukan oleh anak sebanyak 17 kali pada tahun 2007 dan 32 kali pada tahun 2008. Dari angka ini secara riil dapat diketahui tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Kepolisian Resor Boyolali meningkat. Jika perkara tersebut diberikan prosentase, yaitu mengalami kenaikan yang cukup signifikan sebesar 88,24 %.
78
Berdasarkan data dokumen pada buku Register Tahanan di Administrasi Penyidikan Reskrim Polres Boyolali, dalam jangka waktu dua tahun yaitu tahun 2007 sampai dengan 2008, Kepolisian Resor Boyolali juga memberikan kebijakan penangguhan penahanan. Pada tahun 2007 sebanyak 3 kali, dengan tersangka dewasa. Sedangkan pada tahun 2008 memberikan penangguhan penahanan kepada 10 tersangka dengan rincian 9 pelaku dewasa dan 1 pelaku anak. Sebelum Unit PPA terbentuk dalam dalam tata kerja dan struktur organisasi, kasus yang melibatkan perempuan dan anak ditangani di Ruang Penanganan Khusus oleh Penyidik Polri yang ditunjuk Kepala Satuan dengan memperhatikan disposisi Kepala Kepolisian Resor Boyolali. Sebelum Unit PPA terbentuk dalam dalam tata kerja dan struktur organisasi, kasus yang melibatkan perempuan dan anak ditangani di Ruang Penanganan Khusus oleh Penyidik Polri yang ditunjuk Kepala Satuan dengan memperahatikan disposisi Kepala Kepolisian Resor Boyolali. Dalam menangani pidana anak ini, Unit PPA masih perlu meningkatkan pemahamannya mengenai aturan yang diberlakukan bagi anak. Hal ini dibenarkan oleh anggota Unit tersebut Aiptu Ekowati BH. Ekowati menjelaskan sejak terbentuknya Ruang Pelayanan Khusus yaitu tahun 2000 keanggotaan yang menangani masalah anak terbatas dan perlu ditingkatkan pengetahuannya dengan cara diikutkan pada program pelatihan, seminar, lokakarya, dan diklat lain yang bersifat meningkatkan pengetahuan. Kegiatan Unit PPA sendiri sejak terbentuk pada tahun 2007, ploting anggarannya
79
terbatas sehingga kegiatan yang dapat dilaksanakan juga terbatas. Berikut ini daftar anggota Unit PPA Polres Boyolali : TABEL 3 DAFTAR ANGGOTA UNIT PPA (PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK) POLRES BOYOLALI NO. 1. 2. 3. 4.
NAMA SUBIATI, S.H EKOWATI B.H SARFAN ARBA N
PANGKAT IPDA AIPTU SARFAN BRIPDA
JABATAN KANIT ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA
Penempatan tahanan anak yang saat ini yang masih bercampur dengan tahanan dewasa juga perlu mendapatkan perhatian, meskipun kamarnya telah dipisah. Namun masih dimungkinkan terjadinya kontak, komunikasi, dan duplikasi perilaku negatif tahanan dewasa terhadap anak karena mereka masih dalam satu tahanan/ruangan. Pasal 44 ayat (6) menyebutkan, Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu. Hukuman bagi pelaku tindak pidana oleh anak telah diatur dalam UndangUndang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada BAB III mengenai Pidana dan Tindakan yaitu : Pasal 22 Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
80
Pasal 23 (1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. (2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a. pidana penjara; b. pidana kurungan; c. pidana denda; atau d. pidana pengawasan. (3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barangbarang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. (4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 24 (1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim. Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam Undang-undang ini ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial,
81
atau diserahkan kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Batas umur 8 (delapan) tahun bagi Anak Nakal untuk dapat diajukan ke Sidang Anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan paedagogis, bahwa anak yang belum mencapai umur 8 (delapan) tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
3. Dasar Hukum dan Prosedur Penangguhan Penahanan. Apabila
tersangka/terdakwa
bermaksud
mengajukan
penangguhan
penahanan, maka yang bersangkutan atau yang mewakili harus menjalankan prosedur yang diberlakukan. Dalam prosedur penangguhan penahanan terdapat beberapa aturan yang harus dilaksanakan antara lain : a. Aturan Yuridis i. Ketentuan Pasal 123 ayat (10 KUHAP bahwa pengajuan / permohonan keberatan atas penahanan atau Jenis penahanan dapat diajukan oleh tersangka / terdakwa, keluarga atau penasehat hukumnya. ii. Ketentuan pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1983 tentang
pelaksanaan
KUHAP,
menyatakan
uang
jaminan
penangguhan penahanan yang ditentukan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan disimpan di
82
kepaniteraan pengadilan negeri. Dan apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu (3 bulan) tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik negara dan disetor ke kas negara. iii. Pasal 36 KUHAP: (1) Dalam jaminan hal itu adalah orang dan tersangka atau terdakwa melarikan diri. maka setelah lewat waktu (3 bulan) tidak diketemukan, penjamin diwajibkan membayar uang yang jumlahnya ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan. (2) Uang yang dimaksud dalam ayat (1) harus disetor ke kas negara melalui kepaniteraan pengadilan negeri. (3) Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang dimaksud ayat (1), juru sita menyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke kas negara melalui panitera pengadilan negeri b. Persyaratan Administrasi i. Persyaratan permohonan Pemohon (tersangka/keluarga/penasihat hukum) dapat mengajukan permohonan tertulis dan ditandatangani di atas kertas bermateri Rp. 6000,- diajukan kepada penyidik dan atasan penyidik. Surat permohonan yang diajukan dilampiri dengan surat pemyataan dan atau surat perjanjian dan bukti penyerahan uang jaminan.
83
ii. Kewenangan / disposisi penangguhan penahanan Setelah semua persyaratan administrasi dipenuhi maka selanjutnya dibuatkan
surat
perintah
penangguhan
penahanan
yang
ditandatangani oleh atasan penyidik, dalam hal ini adalah Kepala Kepolisian Resor Boyolali (Kapolres). Dalam proses penahanan dan penangguhan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik Polres Boyolali didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku antara lain : Pasal 20 ayat (1) KUHAP (1) Untuk kepentingan penyidikan. penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagai mana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan. Pasal 22 KUHAP: (1) Jenis penahanan dapat berupa: a. penahanan rumah tahanan negara b. penahanan rumah c. penahanan kota
Sedangkan bagi tersangka anak, berdasarkan Pasal 44 ayat (6) UndangUndang Nomor 3 tahun 1997 menyebutkan, Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu.
84
Pasal 23 KUHAP : (1) Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. (2) Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau hakim, yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan. Pasal 122 KUHAP : Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan, ia harus mulai diperiksa oleh penyidik
Pasal 123 KUHAP: (1) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu. (2) Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis penahanan tertentu. (3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik. (4) Untuk itu atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis tahanan tertentu. (5) Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut diatas dapat mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat.
85
4. Pelaksanaan Penangguhan Penahanan Setelah proses administrasi telah selesai, maka Penyidik dapat melakukan penangguhan penahanan. Selanjutnya muncul pertanyaan, bagi anak yang telah diberikan hak penangguhan penahanan apakah dapat berperilaku taat hukum. Tentu hal ini terkait dengan pemahaman anak terhadap nilai dan aturan yang berlaku. Dan anak semasa tumbuh kembangnya merupakan proses untuk mengetahui dan mempedomani nilai dan aturan tersebut. Diharapkan dengan dikabulkannya pengajuan penangguhan penahanan tersangka kepada Penyidik, seorang anak yang melakukan tidak pidana namun tidak memiliki kerawanan di luar tahanan dapat mengembangkan diri dan potensi bagi masa depannya. Berdasarkan pengamatan Peneliti, penanganan tindak pidana anak di Polres Boyolali telah disesuaikan dengan peraturan baru yang mengatur mengenai anak, khususnya Undang-Undang Pengadilan Anak dan UndangUndang Perlindungan Anak. Meskipun dalam pelaksanaannya perlu mendapatkan evaluasi, baik komponen pelaksana aturan maupun proses penanganan perkaranya. Dari jumlah tersangka anak pada tahun 2007 sebanyak 17 kasus dan pada tahun 2008 sebanyak 32 kasus, Kepolisian Resor Boyolali hanya mengabulkan satu permohonan penangguhan penahanan, yaitu perkara dengan nomor laporan polisi : LP/09/I/08/Ampel tanggal 22 Januari 2008 dilakukan penahanan berdasarkan surat perintah penahanan Nomor Polisi : STP/02/I/2008/Ampel tanggal 27 Januari 2008. Pasal yang dikenakan 363 yo 367 yaitu Pencurian dengan Pemberatan Jo Pencurian dalam Keluarga.
86
Selanjutnya tersangka mengajukan penangguhan penahanan dan penyidik mengabulkan permohonan tersangka. Dengan dikabulkannya permohonan tersebut dikeluarkan surat perintah penangguhan penahanan Nomor Polisi : 29E/II/2008/Res tanggal 6 Februari 2008, dan ditindak lanjuti dengan mengeluarkan tahanan anak atas nama SR, 12 tahun dengan Nomor Polisi : SPPT/24E/II/2008/Res tanggal 6 Februari 2008. (Pasal 8 ayat (5) UndangUndang Nomor 3 tahun 1997 menyebutkan, Pemberitaan mengenai perkara anak mulai sejak penyidikan sampai saat sebelum pengucapan putusan pengadilan menggunakan singkatan dari nama anak, orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. Selanjutnya pada pasal 42 menyebutkan proses penyidikan anak wajib dirahasiakan).
5. Hasil Wawancara dengan Responden Wawancara dengan AKBP Drs. Agus Suryo Nugroho, S.H. (Kapolres Boyolali) yang dilakukan pada tanggal 6 Januari 2009, sebagai berikut : Penahanan merupakan proses penyelesaian hukum. Hal ini dilakukan ketika terangnya mereka sebagai tersangka setelah dilakukan penyelidikan dan cukup bukti, maka mereka dapat ditahan. Menurut pendapatnya, penangguhan penahanan merupakan kewenangan Penyidik, dan ini merupakan sebuah permohonan Tersangka/Keluarga/Penasehat Hukumnya kepada Penyidik. Namun umumnya Penyidik meminta persetujuan Pimpinan Satuan, dalam hal ini Kasat atau Kapolres. Pengajuan ini dapat dikabulkan atau tidak dikabulkan dengan pertimbangan tertentu, dan proses pengajuannya sama saja.
87
Pertimbangan dikabulkannya penangguhan penahanan adalah dengan melihat hak tersangka, pertimbangan Penyidik dan prosedur hukum yang berlaku. Karena dalam penelitian ini objeknya anak, maka harus memperhatikan Undang-Undang yang mengatur mengenai anak. Tersangka anak mendapatkan perlakuan khusus karena seorang anak kadang belum tahu bahwa apa yang ia lakukan meruapakan tindak pidana. Sedangkan tersangka dewasa prosentase mengetahui lebih besar. Wawancara dengan Kompol Sutardi, S.H. (Kabag Binamitra Polres Boyolali) yang dilakukan pada tanggal 31 Desember 2008, sebagai berikut : Anak yang ditahan adalah anak yang masuk dalam kategori melanggar hukum/nakal. Pembinaan terhadap anak sudah dilakukan bahkan menjadi kegiatan rutin yang diagendakan setiap tahun, khususnya terhadap anak sekolah. Tetapi pelanggaran dan tindak pidana yang dilakukan oleh anak ternyata masih tetap terjadi. Hal ini terjadi kadang berupa pengaruh sesaat pada diri anak karena pergaulan, tontonan, dan kurangnya pendidikan. Usia remaja yang masih dalam kategori anak, merupakan usia yang rentan terhadap perilaku negatif. Hal ini karena faktor psikologis remaja/anak yang masih labil, ingin coba-coba hal baru, ingin diakui kelompoknya, dan ingin tampil menonjol. Wawancara dengan AKP Asnanto, S.H. (Kasat Reskrim Polres Boyolali) yang dilakukan pada tanggal 31 Desember dan 5 Desember 2008, sebagai berikut : Penahanan pada prinsipnya dilakukan untuk menegakkan supremasi hukum, memberikan efek jera, mencegah tersangka melarikan diri,
88
menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatannya. Penangguhan penahanan dan pengalihan penahanan berbeda, karena selama ditangguhkan tidak dihitung, sedangkan pada pengalihan penahanan dihitung. Berbeda juga dengan pembantaran yaitu atas dasar pertimbangan Penyidik/inisiatif Penyidik dan waktu pembantaran tidak dihitung. Penanganan pelaku tindak pidana anak dipercepat karena waktu penahanan juga lebih singkat dibandingkan pelaku tindak pidana dewasa. Penangguhan penahanan juga merupakan kepastian hukum, karena juga diatur dalam KUHAP, dan perkara tetap jalan. Meskipun atas dasar pertimbangan penyidik yang bersifat subyektif. Selanjutnya apabila Jaksa Penuntut Umum sudah menyatakan P 21, maka penangguhan dicabut dan kewajiban Penyidik menyerahkan tersangka dan barang bukti. Penangguhan penahanan juga berbeda dengan SP3, karena surat tersebut dikeluarkan atas dasar perkara tersebut bukan tindak pidana, namun apabila ditemukan novum atau bukti baru kasus akan dibuka lagi. Sedangkan SP2HP dikeluarkan dengan dasar untuk memberikan keterangan konsistensi penyidik mengenai perkembangan kasus yang ditangani, agar pelapor bisa mengikuti perkembangan kasusnya. Seorang tersangka anak seringkali tidak menggunakan hak mengajukan penangguhan penahanan karena adanya rasa takut dampak dicemooh dan tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat sipil, sehingga dia lebih memilih tetap ditahan. Untuk segera memberikan kepastian hukum tetap, proses pemeriksaan anak dipercepat.
89
Wawancara dengan AKP Marsudi (Kasat Intelkam Polres Boyolali) yang dilakukan pada tanggal 2 Januari 2009, sebagai berikut : Pada dasarnya permohonan penangguhan penahanan tersangka anak sama dengan permohonan yang diajukan oleh tersangka dewasa. Yang harus diperhatikan oleh seorang Penyidik ketika menangani perkara anak adalah waktunya yang terbatas dan Undang-Undang anak yang bersifat mengikat. Penangguhan penahanan terhadap anak hendaknya memperhatikan karakter anak, maksudnya apakah anak tersebut masih bisa diperbaiki atau tidak. Menurut pendapatnya, pemberian penangguhan penahanan kepada tersangka anak memiliki dampak positif, namun perlu adanya bimbingan secara khusus bagi yang bersangkutan, sehingga terarah. Apalagi saat ini Polres Boyolali belum memiliki tahanan khusus anak. Wawancara dengan AKP Sumardiyono, S.H. (Kasat Samapta Polres Boyolali) yang dilakukan pada tanggal 31 Desember 2008, sebagai berikut : Menurutnya, upaya antisipasi dan meminimalkan kriminal yang dilakukan oleh anak sudah dilakukan dengan melakukan operasi terbuka, baik premanisme, miras, penyakit masyarakat, dan yang lainnya. Tindakan tersebut berupa preventif dengan melakukan pembinaan dan pengarahan. Apabila sudah dianggap mengganggu ketertiban umum maka akan kami tangkap. Selanjutnya yang cukup bukti melakukan tindak pidana maka ditahan, sedangkan yang tidak cukup bukti didata, dibina dan dihubungkan dengan dinas sosial. Terkait penangguhan penahanan bagi anak, secara umum ia menyatakan persetujuannya.
90
Wawancara dengan Ipda Subiati, S.H (Kanit PPA Polres Boyolali) yang dilakukan pada tanggal 10 dan 27 Desember 2008, sebagai berikut : Bahwa Polres Boyolali sudah menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dalam menangani perkara pidana oleh anak. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan Unit khusus yang berdiri sendiri dalam Struktur Organisasi Fungsi Reserse dan Kriminal yaitu Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dan penanganan kasus anak ditangani di Ruang Pelayanan Khusus. Upaya dalam meminimalkan pidana oleh anak maupun terhadap anak sudah dilakukan dengan meningkatkan pemahaman masyarakat dengan sosialisasi hukum, penjelasan kepada para pelaku dan korban, koordinasi dengan pemerhati anak. Kendala dalam menangani tindak pidana oleh anak umumnya bersifat teknis, laporan yang terlambat, dan putusan hakim yang kurang maksimal. Dari segi operasional petugas PPA masih kurang dan banyak yang laki-laki, padahal semestinya lebih diutamakan perempuan untuk memperlancar Penyidikan. Wawancara dengan Bripka Sarfan (Penyidik PPA Polres Boyolali) yang dilakukan pada tanggal 10 dan 27 Desember 2008, sebagai berikut : Seorang tersangka baik dewasa maupun anak mempunyai hak mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Bagi yang permohonan penangguhan penahan tidak dikabulkan, menurut ia karena pertimbangan kekhawatiran akan menyulitkan penyidik dan tiga hal yang diatur dalam KUHAP, yaitu menghilangkan barang bukti, mengulangi perbuatannya, atau melarikan diri.
91
Wawancara dengan Aiptu Ekowati B.H (Penyidik PPA Polres Boyolali) yang dilakukan pada tanggal 10 Desember 2008 dan 2 Januari 2009, sebagai berikut : Penanganan pelaku pidana anak memang perlu penanganan khusus. Hal ini karena anak masih termasuk kelompok rentan. Selain itu juga ada UndangUndang yang mengaturnya. Dalam penangananya, seorang tersangka anak tidak harus ditahan. Hal ini, apabila pertimbangan Penyidik anak tersebut masih bisa dibina, maka diserahkan kepada BAPAS (Balai Pemasyarakatan Anak Surakarta). Sedangkan bagi tersangka anak yang telantar tidak memiliki keluarga, penanganannya bekerjasama dengan Departemen Sosial untuk diberikan pembinaan dan keterampilan. Adapun kendala dalam menangani perkara pidana anak adalah Korban tidak segera melapor sehingga pelaksanaan visum et repertum kesulitan. Anak juga mudah menangis saat diperiksa baik sebagai korban maupun pelaku. Dalam memberikan keterangan tidak berterus terang, dan memanggil saksi tidak segera datang memenuhi panggilan.
B. Analisis dan Pembahasan 1. Pengajuan penangguhan penahanan pelaku tindak pidana yang dilakukan Anak di Kepolisian Resor Boyolali banyak yang tidak dikabulkan. Dalam fakta hukumnya tidak semua tersangka mengajukan penangguhan penahanan, meskipun itu merupakan hak yang dimilikinya. Menurut Kasat Reskrim Polres Boyolali AKP Asnanto, S.H, para tersangka justru tidak
92
mengajukan penangguhan penahanan karena malu, takut dicemooh di masyarakat, dan takut tindakan main hakim sendiri di masyarakat. Sehingga mereka lebih memilih menunggu hasil keputusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sedangkan menurut Kapolres Boyolali AKBP Drs. Agus Suryo Nugroho, S.H, penangguhan penahanan juga merupakan kepastian hukum. Karena juga diatur dalam KUHAP. Bagi tersangka yang ingin mengajukan penangguhan penahanan, maka dia harus mengajukan permohonan kepada penyidik. Selanjutnya penyidik akan mempertimbangkan dari berbagai aspek, yaitu prosedur hukum, ketentuan KUHAP, kebijakan pimpinan/atasan penyidik, pertimbangan sosial, kondisi anak, dan pendapat pemerhati anak dan Pembimbing kemasyarakatan. Setelah dipertimbangkan, selanjutnya seorang penyidik memiliki kewenangan untuk memutuskan mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan penangguhan penahanan tersangka anak tersebut. Melihat jumlah penangguhan penahanan yang dikabulkan selama tahun 2007 dan 2008 hanya satu kali, dengan jumlah kasus tahun 2007 sebanyak 17 kasus sedangkan tahun 2008 sebanyak 32 kasus, tentu hal ini apabila dibandingkan merupakan angka yang sangat kecil. Selanjutnya muncul pertanyaan sebagaimana dalam perumusan masalah. Dari uraian di atas, dapat diketahui mengapa penangguhan penahanan pelaku tindak pidana anak di Kepolisian Resor Boyolali banyak yang tidak dikabulkan yaitu lebih dominan pada tersangka yang tidak ingin menggunakan hak hukumnya. Dalam hal ini, dasar yang dipakai sebagai pertimbangan untuk
93
mengabulkan permohonan penangguhan penahanan adalah permohonan tersangka/keluarga/penasehat
hukumnya,
keadaan
tersangka,
ketentuan
KUHAP, pertimbangan penyidik dan atasan penyidik, dan situasi masyarakat setempat,
pendapat pemerhati anak, Pembimbing kemasyarakatan, serta
adanya persyaratan yang ditentukan yaitu adanya jaminan keluarga/ pengacara dan sejumlah uang yang diketahui/ diserahkan ke Panitera Pengadilan Negeri Boyolali.
2. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan pengambilan kebijakan Kepala Kepolisian Resor Boyolali terkait penangguhan penahanan pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh Anak. Pada analisis dan pembahasan ini, peneliti dalam menganalisis permasalahan yang sedang dikaji mendasarkan dan mengacu pada landasasan teori yang ada pada Bab II, antara lain teori yang dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedman (struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum) dan teori kebijakan publik. a. Ditinjau dari segi Teori Hukum i. Dari Aspek Struktur Hukum (Legal Structure) Penangguhan penahanan dimungkinkan apabila tersangka merasa keberatan terhadap penahanan yang ditetapkan kepadanya oleh Penyidik, hal ini secara yuridis diatur dalam Pasal 123 KUHAP. Penangguhan penahanan tersebut harus diajukan secara tertulis kepada Penyidik dan atau atasan penyidik dengan disertai persyaratan yuridis dan administrasi.
94
Meskipun belum / tidak ada aturan yang mengatur adanya jaminan dalam penangguhan penahanan ini, tetapi dalam prakteknya salah satu syarat dikabulkannya penangguhan penahanan senantiasa menggunakan jaminan baik berupa orang dan atau uang dalam jumlah tertentu. Hal ini disebabkan untuk mengantisipasi kemungkinan negatif yang timbul. Dalam hal penangguhan penahanan dengan menggunakan jaminan berupa orang dan atau barang/ uang memang tidak ada dalam ketentuan perundangan-undangan yang berlaku ( KUHAP ). Kebijakan yang diambil oleh Kepolisian Resor Boyolali berdasarkan persepsi ketentuan pasal 123 ayat (5) KUHAP yaitu Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut diatas dapat mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat. Polisi sebagai aparat penegak hukum dalam hal ini Penyidik diberikan kewenangan untuk menentukan ditahan ataupun tidak ditahan dengan pertimbangan tertentu. ii. Dari Aspek Substansi Hukum (Legal Substance) Adapun dasar dan alasan kebijakan yang diambil oleh Kepolisian Resor Boyolali dalam penangguhan penahanan terhadap tersangka kasus anak adalah permohonan tersangka/keluarga/penasehat hukumnya, keadaan tersangka anak, amanat Undang-Undang dan ketentuan dalam KUHAP, pertimbangan penyidik dan atasan penyidik, situasi masyarakat setempat, pendapat pemerhati anak dan pembimbing kemasyarakatan, serta adanya persyaratan yang ditentukan yaitu adanya jaminan. Adapun prosedur pelaksanaan uang jaminan diatur dalam ketentuan yang diatur pasal 35
95
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, yang menyebutkan bahwa uang jaminan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan (dalam hal ini Penyidik/ Atasan Penyidik). Uang jaminan tersebut disimpan di kepaniteraan Pengadilan Negeri, dan apabila tersangka melarikan diri dan tidak diketemukan selama kurun waktu 3 (tiga) bulan maka uang jaminan tersebut milik negara dan disetor ke kas negara. Apabila jaminan orang, maka diatur dalam pasal 36 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1983 yang menyebutkan apabila tersangka melarikan diri dan tidak diketemukan selama 3 (tiga) bulan, maka Penjamin diwajibkan membayar uang yang jumlahnya ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan (dalam hal ini Penyidik/ Atasan Penyidik). Selanjutnya apabila Penjamin tidak dapat membayar uang jaminan tersebut maka juru sita Pengadilan Negeri akan menyita barang milik Penjamin untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke kas negara. iii. Dari Aspek Budaya Hukum (Legal Culture) Adanya penangguhan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik/ Atasan Penyidik merupakan kebijakan yang diambil dengan pertimbangan dari berbagai aspek antara lain permohonan Tersangka/ Keluarga/ Penasehat Hukumnya,
keadaan
tersangka
(kesehatan,
kedudukan,
jaminan),
pertimbangan Penyidik dan Atasan Penyidik, ketentuan KUHAP, dan situasi masyarakat setempat (mendukung atau kontra) dan adanya persyaratan yang ditentukan. Pertimbangan kondisi kejiwaan dan
96
kesehatan tersangka anak antara lain sakit yang memerlukan perawatan/ pengobatan yang rutin baik oleh Dokter maupun oleh keluarganya, atau untuk menjaga kesehatan psikis yang dialami tersangka karena apabila dilakukan penahanan di Rutan dapat menyebabkan tersangka mengalami stress berat dan berkepanjangan sehingga akan dapat mempengaruhi jalannya proses penyidikan selanjutnya. Disatu sisi yang dijadikan pertimbangan adalah status tersangka yang masih seorang Pelajar. Sedangkan kebiasaan masyarakat yang takut berhadapan dengan hukum, membuat mereka mengalami kekalutan/panik pada saat terlibat kasus tindak pidana, baik sebagai pihak maupun keluarga yang terkena kasus apalagi masih kategori anak. Hal ini membuat mereka tidak dapat berpikir jernih, sehingga upaya mendapatkan hak tidak dapat maksimal. Adapun masalah uang jaminan terhadap penangguhan penahanan tersebut sudah merupakan suatu hal yang umum dilakukan oleh Penyidik/ Atasan Penyidik dengan alasan untuk menjaga adanya kemungkinan terjadi tersangka melarikan diri dan tidak diketemukan lagi sehingga mempengaruhi proses penyidikan terhadap perkara tersebut. Kebijakan penetapan besamya jumlah uang jaminan tersebut dilihat dari jumlah kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan akibat perbuatan pidana anak. Umumnya uang jaminan tersebut lebih besar daripada jumlah kerugian yang terjadi. Adapun jaminan orang dilihat dari kedudukan/ status penjamin yang pada umumnya adalah penasihat hukumnya dan atau keluarganya.
97
iv. Ditinjau dari segi Teori Kebijakan Publik Kebijakan publik merupakan sarana pemenuhan kebutuhan atau kepentingan masyarakat. Dalam hal permohonan penangguhan penahanan oleh tersangka/ keluarga/ penasehat hukumnya merupakan bagian dari sebuah kebijakan, yang pada akhirnya akan diputuskan untuk dikabulkan maupun tidak dikabulkan. Sebagaimana teori kebijakan publik bahwa kebijakan itu merupakan keputusan pemerintah (Pejabat/Pimpinan), baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan. Dan bagi tersangka yang dikabulkan permohonan penangguhan penahanannya akan disertai syarat antara lain : 1).
Tersangka/ terdakwa jika sekiranya penangguhan penahanan tidak akan menjauhkan diri dari perintah pelaksanaan penahanan.
2).
Tersangka / terdakwa jika ia karena sesuatu kejahatan yang dapat dikenakan tahanan pidana dengan pidana lain daripada kurungan pengganti tidak akan menjauhkan diri dari pelaksanaan pidana. Kebijakan yang diambil Kepolisian Resor Boyolali terkait dengan hak
seorang anak, baik sebagai pelaku maupun korban perlu diberikan perhatian lebih agar sesuai dengan amanat Undang-Undang dan harapan masyarakat. Sehingga prinsip penerapan hukum yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan kebijakan yang berorientasi kepada publik/ masyarakat dapat terwujud.
98
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan pembahasan dengan memakai teori bekerjanya hukum dan teori kebijakan publik, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Pengajuan penangguhan penahanan pelaku tindak pidana anak di Kepolisian Resor Boyolali banyak yang tidak dikabulkan karena tersangka yang memiliki hak, lebih dominan memilih untuk tidak menggunakan hak hukumnya yaitu mengajukan penangguhan karena kurangnya pengetahuan hukum, rasa malu, takut dicemooh, dan takut tindakan main hakim sendiri di masyarakat.
2.
Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan dikabulkan atau tidak dikabulkannya pengajuan penangguhan penahanan yaitu permohonan Tersangka/ Keluarga/ Penasehat Hukumnya, keadaan tersangka anak, ketentuan dalam KUHAP, pertimbangan Penyidik dan Atasan Penyidik, situasi masyarakat setempat, pendapat Pemerhati Anak dan Pembimbing Kemasyarakatan, serta adanya persyaratan yang ditentukan yaitu adanya jaminan. Hasil kajian implementasi hukumnya sebagai berikut :
99
a.
Dari aspek struktur hukum (legal structure), Polisi sebagai aparat penegak hukum diberikan kewenangan untuk menentukan ditahan ataupun tidak ditahan dengan pertimbangan tertentu. Selain itu kewenangan diskresi yang dimiliki Polisi semakin memberikan keleluasaan dalam pemberian hak kepada pelaku tindak pidana berupa penangguhan penahanan.
b.
Dari aspek substansi hukum (legal substance), belum dapat dilaksanakannya
secara
maksimal
amanat
Undang-Undang
mengenai hak seorang anak disebabkan kurangnya pengetahuan pelaku tindak pidana anak mengenai hak hukumnya dan prosedur yang ditetapkan. Selain hal itu, juga pemahaman Petugas terhadap hak seorang anak baik sebagai korban maupun pelaku yang masih perlu ditingkatkan. c.
Dari aspek budaya (legal culture), kebiasaan masyarakat yang takut berhadapan dengan hukum, membuat mereka mengalami kekalutan/ panik pada saat terlibat kasus tindak pidana, baik sebagai pihak maupun keluarga yang terkena kasus apalagi masih kategori anak. Hal ini membuat mereka tidak dapat berpikir jernih, sehingga upaya mendapatkan hak tidak dapat maksimal.
d.
Dari kebijakan publik yaitu pengajuan penangguhan penahanan pelaku tindak pidana oleh anak di Kepolisian Resor Boyolali sejak terbentuknya unit PPA hanya satu yang dikabulkan. Hal ini perlu tinjauan ulang terhadap Kebijakan yang diambil Kepolisian Resor
100
Boyolali terkait dengan hak seorang anak, baik sebagai pelaku maupun korban. Sehingga prinsip penerapan hukum menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan kebijakan yang berorientasi kepada masyarakat/ publik dapat terwujud.
B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan implikasi sebagai berikut : 1. Pemberian hak berupa penangguhan penahanan kepada pelaku tindak pidana anak merupakan suatu kebijakan yang dimiliki oleh seorang Penyidik dengan pertimbangan tertentu. Karena kebijakan ini bersifat subyektif, dalam pelaksanaannya kewenangan ini dapat menimbulkan penyimpangan dalam pelaksanaannya. 2. Kurangnya pengetahuan hukum tersangka dan keluarga, khususnya mengenai hak seorang anak, membuat mereka tidak dapat menggunakan haknya. Seringkali hak tersebut terlambat diajukan sehingga harus menjalani penahanan yang dapat membatasi kebebasan diri. 3. Penempatan tahanan anak yang saat ini masih bercampur dengan tahanan dewasa, meskipun berbeda kamar dimungkinkan dapat menimbulkan dampak psikologis negatif bagi tersangka anak.
C. Saran-saran Dari hasil kesimpulan dan implikasi tersebut diatas, maka dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut :
101
1. Diperlukan adanya suatu kebijakan dari Kapolres selaku pimpinan yang menentukan kebijakan tertinggi di tingkat Polres, agar penggunaan kewenangan Penyidik dengan pertimbangan yang matang dan tidak meninggalkan asas hukum lex specialist sehingga salah satu tujuan hukum memberikan kegunaan dan keadilan dapat tercapai. 2. Diperlukan evaluasi dengan instrumen tertentu mengenai hak pelaku tindak pidana yang dilakukan anak sebagai kontrol, sehingga mengurangi resiko penyimpangan terhadap kewenangan tersebut. Hal ini untuk menghindari persepsi negatif masyarakat kepada Polisi khususnya Penyidik. 3. Diperlukan penyediaan ruang tahanan anak yang terpisah dengan tahanan dewasa sehingga anak tidak terganggu perkembangan psikologisnya.
102
DAFT AR PUSTAKA
Buku Literatur : Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rajawali. Andi Hamzah. 1986. Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia. ___________. 2000. Hukum Acara Pidana Indonesi. Edisi revisi. Jakarta : Sinar Grafika. Bambang Sunggono. 1996. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Rajawali. Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung : Alumni. Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang : PT. Suryandaru Utama. Faidillah Putra. 2002. Kebijakan Publik Suatu Pengantar. Jakarta : Yanense Mitra Sejati. Gatot Supramono. 2000. Hukum Acara Pengadilan Anak. Jakarta : Djambatan. Romli Kartasasmita. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung : CV. Bandar Maju. R.Soesilo. 1983. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta KomentarKomentar Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politea. Satjipto Rahardjo. 1986. Hukum dan Masyarakat. Bandung : Angkasa. ____________. 1991. Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. ____________. 1997. Negara Hukum dan Deregulasi Moral. Jakarta : Kompas Media Nusantara. ____________. 2002. Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Surakarta : Muhammadiyah University Press.
103
____________. 2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta : Kompas Media Nusantara. Setiono. 2002. Pemahaman Terhadap Metode Penelitian Hukum. Surakarta : Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS. ______. 2005. Pedoman Pembimbingan Tesis. Surakarta : Universitas Sebelas Maret . ______. 2005. Metode Penelitian Hukum. Surakarta : Universitas Sebelas Maret . S.H. Sarundajang. 1999. Arus Balik Kekuasaan ke Daerah. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Supriadi. 2006. Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. W.S.Poerwodarminto. 1979. Kamus Umum Rahasa Indonesia. Jakarta : PT Balai Pustaka. Yan Pramudya Puspa. 1997. Kamus Hukum. Semarang : Aneka Ilmu.
Peraturan Perundang-Undangan : Undang-undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahin 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan.
104
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana. Peraturan Kapolri No Pol : 10 Tahun 2007 tanggal 6 Juli 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Surat Keputusan Pangab Nomor ; KEP/ll/P/III/1984 tanggal Maret 1984 Tentang Tugas-Tugas Kepolisian Republik Indonesia. Surat Kapolda No Pol : B/7945/IX/2007 tanggal 5 September 2007 tentang Pembentukan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di lingkungan Reskrim.