Edited by Foxit Reader Copyright(C) by Foxit Software Company,2005-2008 For Evaluation Only.
KEBERHASILAN PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL (KF) (Kasus: Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor)
Oleh: Latifah Sulton A14204056
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN LATIFAH SULTON. Keberhasilan Program Keaksaraan Fungsional (KF). (Kasus: Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor). Di bawah bimbingan EKAWATI SRI WAHYUNI. Pembangunan suatu bangsa dapat dinilai berdasarkan kualitas pendidikan yang ada pada bangsa tersebut. Angka kebutaaksaraan menjadi indikator yang dapat melihat perkembangan upaya peningkatan pendidikan untuk mengentaskan masalah kebutaaksaraan masyarakat. Upaya pemberantasan buta aksara usia dewasa (15-45 tahun ke atas) yang dapat dilakukan melalui Program Keaksaraan Fungsional (KF) dinilai merupakan cara efektif untuk menyelesaikan masalah tersebut, meskipun pada kenyataannya masih saja terdapat masyarakat yang telah mengikuti program ini namun masih mengalami buta aksara atau buta aksara kembali. Program KF yang diselenggarakan oleh PKBM Damai Mekar yang berada di Kelurahan Sukadamai diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam pengentasan buta aksara yang terjadi pada sebagian masyarakat sekitar. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat keberhasilan dari program keaksaraan fungsional dalam mempertahankan kemampuan keaksaraan Warga Belajar (WB) pasca program berakhir, yakni 5 bulan setelah program. Analisis dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan keaksaraan WB. Faktor tersebut terdiri dari faktor internal (umur, tingkat pendidikan formal, status perkawinan, pekerjaan, jumlah anak, penilaian terhadap program KF, motif mengikuti program) dan eksternal diri WB (tingkat pendidikan keluarga, dukungan dari lingkungan tempat tinggal, teknik pembelajaran oleh tutor, alokasi waktu dan tempat pembelajaran). Selain itu diharapkan pula terdapat hubungan antara kemampuan keaksaraan fungsional yang telah dimiliki WB setelah mengikuti program terhadap dampak dari kemampuan keaksaraan tersebut (motivasi untuk belajar kembali, penerapan fungsional kemampuan keaksaraan, dan kepercayaan diri warga belajar). Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode survei yang didukung oleh pendekatan kualitatif untuk melengkapi kebutuhan data penelitian, dengan pengambilan sampel secara purposif. Unit penelitian terdiri dari warga belajar program Keaksaraan Fungsional PKBM Damai Mekar pada periode Juni-November 2007, sebanyak 35 orang. Semua responden adalah perempuan dan merupakan ibu rumah tangga. Secara analisis statistik pada hasil penelitian menunjukan bahwa dari seluruh faktor internal dan eksternal diri WB tidak terdapat hubungan terhadap kemampuan keaksaraan setelah mengikuti program, namun secara analisis kualitatif terdapat beberapa responden yang kemampuan keaksaraannya dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Program keaksaraan fungsional yang diselenggarakan oleh PKBM Damai Mekar dinilai tidak berhasil dalam mempertahankan kelanggengan kemampuan keaksaraan WB, karena masih banyak yang kemampuan keaksaraannya rendah,
bahkan masih mengalami buta aksara. Demikian juga tidak terdapat hubungan antara kemampuan keaksaraan terhadap motivasi belajar kembali dan kepercayaan diri warga belajar. Meskipun demikian terdapat WB yang tetap memiliki kemampuan keaksaraan (17,1 persen) dan mampu menerapkan kemampuannya tersebut secara fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Tidak berhasilnya program KF ini dikarenakan rendahnya sumber daya yang ada pada pihak penyelenggara sehingga program tidak berkelanjutan menyelesaikan masalah kebutaaksaraan tersebut. Perlu upaya tindak lanjut segera ke tahap lanjutan mempertahankan kemampuan keaksaraan WB, dan upaya tersebut dapat dilakukan oleh pihak PKBM maupun masyarakat yang berada di sekitar WB. Masa pembelajaran pada tahap dasar selama enam bulan juga perlu penambahan waktu, karena masih banyak WB yang masih merasa kurang dalam waktu enam bulan tersebut. Selain itu perlu sistem monitoring dan evaluasi oleh semua pihak terkait penyelenggaraan program, baik selama tahap-tahap pembelajaran maupun setelah program selesai, sehingga program dapat dipertanggungjawabkan keberlanjutannya.
KEBERHASILAN PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL (KF) (Kasus: Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor)
Oleh: Latifah Sulton A14204056
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Insititut Pertanian Bogor 2008
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini Menyatakan bahwa Skripsi yang Disusun Oleh: Nama Mahasiswa
: Latifah Sulton
Nomor Pokok
: A14204056
Program Studi
: Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul Skripsi
: Keberhasilan Program Keaksaraan Fungsional (KF). (Kasus: Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor).
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS. NIP. 131 622 87
Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M Agr NIP. 131 124 019
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”KEBERHASILAN PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL (KF) (KASUS: PUSAT
KEGIATAN
KELURAHAN
BELAJAR
SUKADAMAI,
MASYARAKAT
KECAMATAN
DAMAI
TANAH
MEKAR,
SAREAL,
KOTA
BOGOR)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT
DENGAN
SESUNGGUHNYA
DAN
SAYA
BERSEDIA
MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.
Bogor, Juli 2008
Latifah Sulton A14204056
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor tanggal 5 Mei 1986 dari Ibu bernama Sunensi dan Ayah Achmad Sulton. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara dengan dua Kakak bernama Syara dan Rauf serta dua adik bernama Mutaqien dan Leli. Pendidikan formal yang pernah dilalui penulis antara lain pada tahun 1992 SDN Bojong Gede 06 Bogor dan lulus tahun 1998, SLTP Islam Hj. Siti Maemoen Cilebut Bogor dan lulus tahun 2001, SMU Negeri 06 Bogor dan lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis masuk di Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian. Aktivitas di luar perkuliahan yang pernah diikuti oleh penulis, antara lain menjadi keanggotaan Organisasi Kampus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) periode tahun 2005/2006 dan keanggotaan pada kelompok beladiri Tenaga Dalam Asli Indonesia (TEDAS) periode tahun 2005/2006.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Penulisan karya ilmiah ini merupakan syarat kelulusan kesarjanaan pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Ibu Ekawati Sri Wahyuni sebagai dosen pembimbing skripsi, atas bimbingan, arahan, koreksi, pemikiran dan waktu yang diluangkan untuk penulis, sehingga karya ilmiah ini terselesaikan. 2. Ibu Winati Wigna dan Ibu Heru Purwandari selaku penguji utama dan penguji wakil Departemen dalam ujian kelulusan. Terimakasih atas kesedian untuk menguji penulisan karya ilmiah ini. 3. Bapak Yusron, Ketua PKBM Damai Mekar Kelurahan Sukadamai. Terimakasih atas izin penelitian yang telah diberikan. 4. Ibu Hetty, selaku koordinator program KF PKBM Damai Mekar, beserta semua tutor KF. Terima kasih atas semua waktu, arahan dan bantuan yang diberikan kepada penulis. 5. Semua warga RW 01 dan 10, khususnya semua ibu-ibu yang telah menjadi responden penelitian. Terimakasih atas kesedian waktu selama penelitian. 6. Keluarga yang menjadi naungan dan semangat berjuang dalam hidupku selama ini (Ayah, Mama, Kakak dan Adik). 7. Keponakan kecilku yang menjadi penghibur atas kepolosan dan kelucuan kalian (Putra dan Oil). 8. Sahabat yang mau menerima dalam semua keadaan (Ansi dan Tyas). 9. Gita dan Nessa, sahabat seperjuangan. Semoga apa yang kita tulis membawa manfaat bagi orang lain. Amien 10. Aa Hyro, semua doa dan spirit yang diberikan sangat berarti bagi penulis. 11. Nauchan, Uma, Qori, Dhince, terimakasih atas semua perhatian kalian.
12. Martha dan Desi. Semoga kita menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Usaha, doa dan semangat tidak akan dibayar dengan hampa. 13. Teman-teman KPM yang memberikan motivasi dan semangat yang selalu ada dalam setiap perjumpaan dan pertolongan. Semoga karya kita selalu dikenang. 14. Gausul Fardi Hakim, terimakasih untuk doa dan bantuannya. 15. Semua pihak yang turut membantu penyelesaian karya ilmiah ini.
Bogor, Juli 2008
Latifah Sulton
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang sedalam-dalamnya hanya tercurah kepada Allah SWT, atas rahmat-Nya yang tak terhingga sehingga karya ilmiah (skripsi) yang berjudul ”Keberhasilan Program Keaksaraan Fungsional (KF)” dapat terselesaikan. Tentu tidak luput pula kepada semua pihak yang turut membantu penyelesaian penulisan karya ilmiah ini. Menjadi suatu keprihatinan bersama dalam kemajuan pendidikan saat ini, melihat masih banyaknya masyarakat di sekitar kita yang mengalami buta aksara. Semoga karya ilmiah ini memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan penuntasan masalah kebutaaksaraan tersebut, meskipun disadari penulisan ini masih sangat jauh dari sempurna. Segala bentuk dukungan berupa kritik dan saran yang membangun penulisan ini diharapkan menambah wawasan kepada penulis untuk memperbaiki kekurangan yang ada sehingga menghasilkan karya yang lebih baik lagi.
Latifah Sulton A14204056
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI..............................................................................................i DAFTAR GAMBAR.................................................................................iv DAFTAR TABEL......................................................................................v DAFTAR LAMPIRAN............................................................................vii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.......................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah Penelitian.................................................................4 1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................5 1.4 Kegunaan Penelitian..............................................................................5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teoritis...................................................................................6 2.1.1 Konsep Buta Aksara dan Melek Aksara.............................................6 2.1.2 Hakekat Pemberdayaan.......................................................................7 2.1.3 Pemberdayaan Perempuan Melalui Pemberantasan Buta Aksara...............................................................9 2.1.4 Program Keaksaraan Fungsional (KF)..............................................11
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran........................................................................... 16 3.2 Definisi Konseptual............................................................................ 18 3.3 Definisi Operasional........................................................................... 18 3.4 Hipotesis..............................................................................................23
BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Metode Penelitian................................................................................25 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian...............................................................25 4.3 Teknik Sampling................................................................................. 26 4.4 Jenis Data dan Pengumpulan Data.......................................................26 4.5 Analisis Data........................................................................................27
ii
BAB V. GAMBARAN UMUM LOKASI 5.1 Gambaran Umum Kelurahan Sukadamai............................................28 5.1.1 Kondisi Geografis.............................................................................28 5.1.2 Kependudukan..................................................................................29 5.1.3 Pendidikan.........................................................................................32 5.2 Gambaran Umum Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Damai Mekar........................................................................35 5.3 Program Keaksaraan Fungsional PKBM Damai Mekar......................35 5.4 Profil Warga Belajar Program KF PKBM Damai Mekar....................39 5.5 Ikhtisar Bab V......................................................................................41
BAB VI. KARAKTERISTIK RESPONDEN 6.1 Karakteristik Internal Diri Pribadi Responden....................................42 6.1.1 Umur.................................................................................................43 6.1.2 Status Perkawinan.............................................................................43 6.1.3 Pekerjaan...........................................................................................44 6.1.4 Tingkat Pendidikan...........................................................................44 6.1.5 Jumlah Anak.....................................................................................45 6.1.6 Penilaian WB terhadap Program KF.................................................46 6.1.7 Motif Responden Mengikuti Program KF........................................47 6.2 Karakteristik Eksternal Responden......................................................47 6.2.1 Tingkat Pendidikan Keluarga...........................................................48 6.2.3 Dukungan Keluarga..........................................................................49 6.2.4 Teknik Pembelajaran oleh Tutor.......................................................49 6.2.5 Alokasi dan Tempat Belajar..............................................................50 6.3 Ikhtisar Bab VI.....................................................................................51
BAB VII. KEBERHASILAN PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL 7.1 Keberhasilan Program KF...................................................................52 7.2 Upaya Pencapaian Keberhasilan Program Keaksaraan Fungsional........................................................................54 7.3 Ikhtisar Bab VII...................................................................................55
BAB VIII. HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL DENGAN KEMAMPUAN KEAKSARAAN 8.1 Hubungan Faktor Internal dengan Kemampuan Keaksaraan..............56 8.1.1 Hubungan Umur dengan Kemampuan Keaksaraan..........................57 8.1.2 Hubungan Status Perkawinan dengan Kemampuan Keaksaraan..................................................................58 8.1.3 Hubungan Pekerjaan dengan Kemampuan Keaksaraan...................59 8.1.4 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kemampuan Keaksaraan..................................................................61
iii
8.1.5 Hubungan Jumlah Anak dengan Kemampuan Keaksaraan..............62 8.1.6 Hubungan Penilaian WB terhadap Program KF dengan Kemampuan Keaksaraan......................................................63 8.1.7 Hubungan Motif WB Mengikuti Program KF dengan Kemampuan Keaksaraan......................................................64 8.2 Faktor Hubungan Eksternal dengan Kemampuan Keaksaraan............65 8.2.1 Hubungan Tingkat Pendidikan Keluarga dengan Kemampuan Keaksaraan......................................................66 8.2.2 Hubungan Dukungan dari Keluarga dengan Kemampuan Keaksaraan..................................................................67 8.2.3 Hubungan Teknik Pembelajaran oleh Tutor dengan Kemampuan Keaksaraan......................................................68 8.2.4 Hubungan Alokasi Waktu dan Tempat Belajar dengan Kemampuan Keaksaraan......................................................69 8.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingginya Kemampuan Keaksaraan Responden...................................................70 8.4 Ikhtisar Bab VIII..................................................................................73
BAB IX. DAMPAK DARI PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL 9.1 Bentuk Dampak Kemampuan Keaksaraan..........................................74 9.1.1 Motivasi Untuk Belajar Kembali......................................................74 9.1.2 Penerapan Fungsional Kemampuan Keaksaraan..............................74 9.1.3 Kepercayaan Diri Warga Belajar......................................................75 9.2 Hubungan Kemampuan Keaksaraan dengan Motivasi Belajar Kembali.......................................................75 9.3 Hubungan Kemampuan Keaksaraan dengan Penerapan Fungsional Kemampuan Keaksaraan....................77 9.4 Hubungan Kemampuan Keaksaraan dengan Kepercayaan Diri WB.............................................................79 9.5 Ikhtisar Bab IX.....................................................................................81
BAB X. KESIMPULAN DAN SARAN 10.1 Kesimpulan........................................................................................82 10.2 Saran..................................................................................................83
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................85
iv
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1. Bagan Kerangka Pemikiran...................................................................17 2. Aktivitas Praktek Keterampilan Warga Belajar KF di Majelis Tempat Belajar......................................................................38 3. Warga Belajar KF Bersama Tutor PKBM Damai Mekar......................38 4. Ujian Warga Belajar yang Diawasi oleh Tutor di Majelis Tempat Belajar.....................................................38
v
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Golongan Umur di Sukadamai, Tahun 2007 ...................................................................30 2. Komposisi Penduduk Kelurahan Sukadamai Menurut Agama, Tahun 2007................................................................31 3. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Sukadamai, Tahun 2007....................................................................32 4. Sarana Pendidikan Umum di Sukadamai, Tahun 2007 ........................33 5. Sarana Pendidikan Luar Sekolah di Sukadamai, Tahun 2007 ..............34 6. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Internal Diri Pribadi di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008...............42 7. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Eksternal Diri Responden di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008..........................................................................................48 8. Sebaran Responden Menurut Kemampuan Keaksaraan di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008............52 9. Hubungan antara Faktor Internal dengan Kemampuan Keaksaraan di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008..........................................................................................57 10. Hubungan antara Faktor Eksternal dengan Kemampuan Keaksaraan di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008..........................................................................................65 11. Hubungan Kemampuan Keaksaraan Responden dengan Motivasi Belajar Kembali di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008.....................................................76 12. Hubungan Kemampuan Keaksaraan Responden dengan Penerapan Fungsional Kemampuan Keaksaraan di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008............78
vi
13. Hubungan Kemampuan Keaksaraan Responden dengan Kepercayaan Diri di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun...................................................................................................79
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sumber daya manusia merupakan salah satu dari tujuan nasional. UNDP menetapkan kemajuan suatu negara dapat ditentukan oleh tiga indikator indeks pembangunan manusia, yaitu indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks perekonomian. Angka melek aksara adalah salah satu variabel dari indikator indeks pendidikan. Berdasarkan data BPS (2006), angka buta aksara penduduk Indonesia mencapai 12,8 juta orang atau 0,05 persen dari total jumlah penduduk, dan angka tersebut meningkat pada kelompok umur dewasa (15 tahun keatas) menjadi 8,4 persen dari total penduduk pada kelompok umur tersebut. Perempuan menempati posisi lebih tinggi pada angka kebutaaksaraan kelompok usia 15-44 tahun, dengan persentase sebesar 4,8 persen untuk perempuan, dan 2,9 persen untuk laki-laki. Hal ini merupakan indikasi dari adanya kesenjangan gender dalam kemelekaksaraan. Pada kelompok usia 60 tahun ke atas, persentase tersebut menjadi lebih tinggi hingga 16,36 persen. Tercatat oleh BPS terjadi penurunan buta aksara tiap tahunnya, namun angka buta aksara perempuan tetap tinggi daripada angka pada laki-laki, khususnya pada kelompok usia tua. Dengan demikian pemberantasan buta aksara menjadi nilai strategis mengurangi angka kebutaaksaraan, terutama kebutaaksaraan pada perempuan. Peningkatan kemelekaksaraan pada taraf global telah tercetus pada tujuan PUS (Pendidikan Untuk Semua) tahun 2000 yang mendukung adanya visi holistik pendidikan hingga
2
pencapaian melek aksara sebesar 50 persen pada tahun 2015, khususnya bagi perempuan dan akses pendidikan yang adil bagi mereka (UNESCO, 2006). Pada RPJM 2004-2009, Indonesia mentargetkan kemelekaksaraan pada orang dewasa menjadi 95 persen pada tahun 2009 (Jalal&Sardjuni, 2006). Upaya pemberantasan buta aksara Indonesia telah dimulai sejak kemerdekaan hingga kini (Swasono, 2007). Dukungan terhadap penurunan buta aksara perempuan telah dilakukan dengan dibuatnya peraturan bersama antara Menteri Departemen Pendidikan Nasional, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Menteri Dalam Negeri pada tahun 2005 mengenai percepatan pemberantasan buta aksara perempuan. Selain itu dikeluarkan pula Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar /Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA). Program pemberantasan buta aksara perempuan usia dewasa secara praktik di lapangan dijalankan melalui kelompok-kelompok belajar yang lebih dikenal dengan Keaksaraan Fungsional (KF). Program ini secara kelembagaan diusungkan oleh Direktorat Pendidikan Masyarakat (Dikmas) dan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (Ditjen PLS) melalui Unit Pelaksanaan Teknis Daerah Pendidikan Luar Sekolah (UPTD PLS) dan dilaksanakan oleh Pusat Kegiatan Belajar (PKBM) kabupaten/kota dan propinsi. Selain itu dapat pula melalui jalur kelembagaan lain seperti LSM atau organisasi masyarakat yang juga melaksanakan program pemberantasan buta aksara. Strategi pembelajaran pada program KF berbeda dengan program pemberantasan buta aksara yang lain seperti Kejar Paket A, Paket B dan Paket C, karena sasaran pada program ini adalah kelompok usia dewasa (15-45 tahun)
3
dan menekankan pada fungsi program secara fungsional dengan strategi membaca, menulis, berhitung dan aksi (Calistungdasi) serta diskusi yang proses belajarnya disesuaikan oleh konteks warga belajar (Depdiknas, 2006). Program KF juga merupakan langkah pemberdayaan perempuan melalui pendidikan, membuatnya lebih berdaya baik bagi diri sendiri, bagi keluarga maupun bagi masyarakat (Saidah, 2001). Keberhasilan program KF menjadi cara terwujudnya pemberdayaan khususnya bagi penduduk buta aksara. Berdasarkan Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) beberapa daerah tentang pelaksanaan program KF yang tidak efektif dilaksanakan, bahkan banyaknya laporan fiktif atas terselenggaranya program kelompok belajar KF (Aminullah, 2006). Kurangnya anggaran pemerintah, sibuknya tenaga pendidik, kurangnya motivasi dan kesibukan warga belajar, serta ketidakberlanjutan program menjadi alasan masalah buta aksara belum tentu tuntas dilaksanakan, dan masalah buta aksara kembali (replaced illiterate) dapatlah terjadi. Permasalahan yang terjadi di beberapa wilayah belum tentu pula terjadi di wilayah lain, karena terdapat pula kelompok-kelompok belajar pada program KF yang mengentaskan buta aksara perempuan atau meningkatkan kemampuan melek aksara warga belajarnya. Penelitian keberhasilan program KF ini akan dilakukan pada KF yang berada di bawah naungan PKBM Damai Mekar yang berada di Kelurahan Sukadamai, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Kota Bogor yang masih memiliki penduduk buta aksara sekitar 10.321 orang atau 1,55 persen dari jumlah penduduk berusia diatas 15 tahun di Kota Bogor, juga telah melakukan upaya pemberantasan buta aksara yang diselenggarakan antara lain oleh beberapa PKBM yang ada di Kota
4
Bogor. PKBM Damai Mekar adalah salah satu yang saat ini masih konsisten menyelenggarakan program pemberantasan buta aksara (KF) dan telah cukup dikenal oleh beberapa PKBM lain dan Dinas Pendidikan Luar Sekolah Kota Bogor. Pengalaman pada program pemberantasan buta aksara di PKBM Damai Mekar sejak tahun 2005 diharapkan mampu menjelaskan keberhasilan pelaksanaan program KF yang mempengaruhi peningkatan kemampuan melek aksara warga belajarnya.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian Analisis keberhasilan program KF di PKBM Damai Mekar akan ditelusuri oleh beberapa pertanyaan penelitian yang lebih terfokus dan terarah, dengan rumusan sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan program KF di PKBM Damai Mekar ? 2. Bagaimana keberhasilan program KF di PKBM Damai Mekar ? 3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keberhasilan program KF tersebut? 4. Upaya apa yang dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan program ?
5
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan masalah penelitian antara lain: 1. Mengetahui dan menjelaskan pelaksanaan program KF yang ada di PKBM Damai Mekar. 2. Mengetahui dan menjelaskan keberhasilan program KF pada PKBM tersebut. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program KF yang ada di PKBM Damai Mekar. 4. Menemukan upaya-upaya yang dilakukan untuk keberhasilan program KF.
1.4 Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian diharapkan dapat: 1. Menjadi referensi bagi instansi-instansi terkait pada program pemberantasan buta aksara mengenai keberhasilan program KF. 2. Menjadi bahan pertimbangan dan penentu kebijakan dalam pengambilan keputusan dalam perencanaan lebih lanjut untuk pemberantasan buta aksara. 3. Sebagai tambahan pengetahuan dan perkembangan program Keaksaraan Fungsional, khususnya Dinas PLS (Pendidikan Luar Sekolah) wilayah Bogor.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Konsep Buta Aksara dan Melek Aksara Pengertian (Depdiknas)
buta
aksara
menurut
Departemen
Pendidikan
Nasional
tahun 2006, yaitu ketidakmampuan yang dimiliki seseorang untuk
membaca dan menulis dengan huruf latin dan angka arab dalam bahasa Indonesia, serta tidak memiliki keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan. Terdapat pula pengertian buta aksara fungsional menurut Depdiknas, yang berarti ketidakmampuan melakukan kegiatan yang memerlukan kecakapan keaksaraan, misalnya membaca, menulis dan berhitung untuk bidang usaha yang menjadi mata pencaharian. Sebaliknya pengertian melek aksara fungsional adalah kemampuan seseorang paling tidak dapat membaca dan menulis dengan huruf latin dan berhitung dengan angka arab dalam setiap kegiatannya yang memerlukan kecakapan tersebut dan juga memungkinkannya untuk melanjutkan pemanfaatan kecakapan membaca, menulis dan berhitung untuk pengembangan diri dan masyarakat. Buta aksara menurut Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) (2007) terbagi menjadi dua bentuk, yaitu buta aksara murni dan buta aksara praktis. Buta aksara murni yaitu dimana penduduk sama sekali tidak dapat membaca, menulis dan berhitung dengan aksara apapun. Sedangkan buta aksara praktis dialami penduduk yang tidak dapat membaca, menulis dan berhitung dengan aksara latin dan angka arab, buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar.
7
Pada konferensi UNESCO tahun 1978, pengertian melek aksara merupakan penggunaaan keaksaraan dalam seluruh aktivitas seseorang dan berfungsi efektif bagi kelompoknya dan masyarakat, yang juga memberi kemungkinan bagi dia untuk menggunakannya dalam membaca, menulis dan berhitung bagi perkembangan dirinya sendiri maupun masyarakat. Setelah tahun 1980-an dan 1990 keaksaraan atau melek aksara diperluas maknanya untuk mengakomodasi tantangan globalisasi termasuk dampak teknologi baru dan media informasi serta pengetahuan ekonomi (UNESCO, 2006). Secara mantap digariskan bahwa keaksaraan adalah hak dan kunci menuju hak yang lain, serta memberikan bukti tentang multipersonal, manfaat sosial dan ekonomi (UNESCO, 2006). Pengukuran melek aksara seseorang yang digunakan dalam sensus nasional adalah kemampuan membaca dan menulis sebuah pernyataan sederhana tentang keaksaraannya sehari-hari (Djalal, 2006). Melek aksara di Indonesia memainkan peranan penting dalam dalam meningkatkan kehidupan perekonomian individu yang aman dan kesehatannya bagus serta memperkaya masyarakat dengan pembangunan modal manusia, pengembangan identitas budaya dan toleransi, serta mempromosikan partisipasi warga negara (Djalal, 2006).
2.1.2 Hakekat Pemberdayaan Menurut Meriam Webster dan Oxford English Dictionary dalam Zarida (2000), kata empower mempunyai dua arti, yaitu pertama, to give power or authority to dan kedua, to give ability to or enable. Pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuasaan atau mendelegasikan otoritas ke pihak
8
lain. Sedangkan hal yang kedua diartikan sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan. Pemberdayaan masyarakat juga diartikan sebagai upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan upaya memperkuat kelembagaan masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan (Sumodiningrat, 1999). Menurutnya upaya pemberdayaan merupakan upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, dengan kata lain pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Selain itu, strategi pemberdayaan masyarakat erat kaitannya dengan penciptaan kesempatan kerja dan peluang berusaha yang memberikan pendapatan yang memadai bagi masyarakat. Pemberdayaan tidak hanya menyangkut pendanaan tetapi juga peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan kelembaagaan. Suatu pemberdayaan ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka untuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan (Nasdian, 2003). Konsep dan gerakan pemberdayaan menurut Pranarka (1996) memusatkan perhatian pada kenyataan bahwa manusia atau sekelompok manusia dapat mengalami kendala dan hambatan dalam proses dan gerak aktualisasi eksistensinya. Dengan demikian, pemberdayaan dalam hal ini adalah berusaha untuk menciptakan kondisi yang memberikan kemungkinan bagi setiap manusia untuk dapat menunaikan tugas aktualisasi eksistensinya seluas-luasnya dan setinggi-tingginya (Zaridah, 2000).
9
Pengukuran keberhasilan dari suatu pemberdayaan dapat dilakukan dengan melihat dari adanya indikator keberhasilan dari program pemberdayaan masyarakat. Menurut Sumodiningrat (1999) terdapat lima indikator keberhasilan dari program pemberdayaan masyarakat, antara lain: (1) berkurangnya jumlah penduduk miskin; (2) berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia; (3) meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya; (4) meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya permodalan kelompok, makin rapinya sistem administrasi, serta makin luasnya interaksi kelompok dengan kelompok lain di dalam masyarakat; (5) serta meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai oleh peningkatan pendapatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya.
2.1.3 Pemberdayaan Perempuan Melalui Pemberantasan Buta Aksara Upaya pemberantasan buta aksara merupakan suatu bentuk pemberdayaan perempuan yang berdampak pada pembangunan nasional. Menurut Rosalina (2007) pemberdayaan perempuan harus dimulai dari sektor pendidikan untuk meningkatkan angka melek huruf perempuan dan angka partisipasinya dalam pembangunan. Perempuan yang telah melek aksara merupakan dasar kemandirian bagi mereka dalam mengatur perekonomian keluarga dan secara tidak langsung akan meningkatkan pendapatan perkapita suatu daerah. Kemampuan keaksaraan yang
10
dimiliki seseorang bermanfaat sebagai penghargaan diri itu sendiri, kepercayaan dan pemberdayaan pribadi (UNESCO, 2006). Selain manfaat tersebut, berdasarkan hasil penelitian UNESCO (2006) menunjukan bahwa pemberantasan buta aksara berdampak langsung terhadap: 1. Menurunnya angka kematian bayi dan ibu melahirkan 2. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya minimal tamat SD 3. Berhasilnya program pelaksanaan Program Keluarga Berencana 4. Naiknya tingkat gizi dan usia harapan hidup masyarakat terhadap program pembangunan 5. Makin demokratisnya sikap dan perilaku masyarakat. Pemberdayaan perempuan melalui peningkatan keaksaraan telah mendapat perhatian, melalui beberapa komitmen besar, seperti Tujuan Pembangunan Millenium Indonesia atau Millenium Development Goal (MDG) yang memiliki dua tujuan terkait pada tujuan untuk membangun pendidikan dan mendorong kesetaraan gender di dalamnya (UNDP, 2005). Selain itu komitmen dari deklarasi Dakkar tentang PUS (Pendidikan Untuk Semua) yang berfokus pada perbaikan sebesar 50 persen pada tingkat kemelekaksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar serta berkelanjutan bagi semua orang dewasa. Terdapat juga komitmen nasional dalam peningkatan keaksaraan melalui gerakan percepatan pemberantasan buta aksara khususnya untuk perempuan, dan merupakan hasil dari surat keputusan bersama antara Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pemberdayaan Perempuan
11
yang telah dilaksanakan pada 12 Mei 2005, serta dikeluarkannya instruksi Presiden Presiden Republik Indonesia No.5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. (GNP-PWB/PBA).
2.1.4 Program Keaksaraan Fungsional (KF) Keaksaraan Fungsional sesungguhnya merupakan suatu bentuk pendekatan dalam strategi belajar dalam upaya pemberantasan buta aksara (Depdiknas, 2006). Aktivitas belajar secara fungsional berarti mengkaitkan proses belajar pada situasi atau kondisi warga belajar yang merupakan pola pembelajaran dan pemberdayaan penduduk secara terpadu bagi penduduk usia dewasa melalui pendekatan andragogi dan integratif. Pada pendekatan ini, ada konsekuensi logis bagi warga belajar, mereka sadar bahwa bekerja sambil belajar merupakan suatu kebutuhan di samping kewajiban. Pola pembelajaran lain juga perlu diikuti, seperti pembangunan jaringan belajar, agar warga belajar senantiasa melek ilmu pengetahuan dan keterampilan, warga belajar tidak berhenti seusai mengikuti program KF. Pelaksanaan program KF tidak serta merta hanya belajar membaca, menulis dan menghitung, namun dilengkapi pula dengan tahapan lanjutan lainnya yang bertujuan memandirikan kemampuan melek aksara warga belajar. KF merupakan bagian dari lingkup kegiatan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yang dilaksanakan oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang dipusatkan pada suatu wilayah sehingga mudah diakses oleh masyarakat setempat (Sihombing, 1999). Selain itu KF juga dapat dibentuk oleh beberapa organisasi masyarakat seperti LSM (Lembaga
12
Swadaya Masyarakat), PKK, SKB (Sanggar Kegiatan Belajar), Perguruan Tinggi, Aissyiyah,
GOW/BKOW,
Muslimah
NU,
atau
Wanita
menyelenggarakan program KF dibutuhkan delapan prinsip
Islam.
Untuk
utama pemahaman
penyelenggaraan program ini (Depdiknas, 2006), yaitu: 1. Konteks lokal, program dikembangkan berdasarkan konteks lokal yang mengacu pada konteks sosial lokal dan kebutuhan khusus pada setiap warga belajar dan masyarakat sekitarnya 2. Desain lokal, merupakan rancangan kegiatan belajar yang dirancang oleh tutor dan warga belajar berdasarkan minat, kebutuhan, masalah, kenyataan dan potensi /sumber-sumber setempat 3. Proses
partisipatif
adalah
perencanaan,
pelaksanaan
dan
evaluasi
penyelenggaraan program keaksaraan fungsional harus dilakukan berdasarkan strategi partisipatif 4. Fungsionalisasi hasil belajar. Hasil belajar diharapkan warga belajar dapat memfungsikan keaksaraannya untuk menganalisis dan memecahkan masalah keaksaran yang dihadapi warga belajar 5. Kesadaran. Proses pembelajaran keaksaraan hendaknya dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian warga belajar terhadap keadaan dan permasalahan lingkungan untuk melakukan aktivitas kehidupannya 6. Fleksibilitas, program KF harus fleksibel, agar memungkinkan untuk dimodifikasi sehingga responsif terhadap minat dan kebutuhan belajar serta kondisi lingkungan warga belajar yang berubah dari waktu ke waktu
13
7. Keanekaragaman, hendaknya bervariasi dilihat dari segi materi, metode, maupun strategi pembelajaran sehingga mampu memenuhi minat dan kebutuhan belajar warga belajar di setiap daerah yang berbeda-beda 8. Kesesuaian hubungan belajar, dimulai dari hal-hal yang telah diketahui dan dapat dilakukan oleh warga belajar, sehingga pengalaman, kemampuan, minat dan kebutuhan belajar menjadi dasar dalam menjalin hubungan yang harmonis dan dinamis antara tutor dan warga belajar. Selain itu terdapat tiga tahapan kompetensi dalam menyempurnakan pelaksanaan program KF (Depdiknas, 2006). Tahapan tersebut terdiri dari: 1. Tahap pemberantasan, atau merupakan tingkat keaksaraan dasar Terdapat beberapa metode pada tahap ini, antara lain: 1. Metode Dasar. Metode pembelajaran bagi warga belajar buta aksara permulaan untuk meningkatkan kecakapan membaca dan menulis permulaan terutama pada keterampilan pemenggalan kata, suku kata, dan huruf demi huruf untuk disusun kembali menjadi kalimat yang bermakna 2. Metode Drill. Belajar dengan cara melakukan latihan berulang-ulang baik membaca, menulis dan berhitung 3. Metode Kata Kunci. Pembelajaran ini merupakan penerapan pendekatan tematik dimana kata-kata kunci yang dipelajari harus sesuai dengan tema yang dikembangkan. Metode ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan warga belajar membuat kata baru dari suku kata yang telah dikenal 4. Metode Bahasa Ibu. Ditujukan untuk meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia melalui bahasa ibu.
14
2. Tahap Pembinaan atau Lanjutan, atau sudah berada pada tingkat keaksaraan fungsional. Tahap ini memiliki tiga bentuk model pembinaan, antara lain: 1. Model belajar sambil bekerja 2. Model belajar sambil beraksi 3. Model kelompok belajar usaha. 3. Tahap Pelestarian atau Mandiri, atau telah berada pada tingkat mandiri. Terdapat pula bentuk model pembinaan pada tahap ini, yaitu: 1. Model taman bacaan masyarakat 2. Model arisan bersama 3. Model paguyuban. Ketiga tahapan di atas dilaksanakan secara berkelanjutan guna mencapai tujuan program KF yang optimal. Hasil belajar melalui program KF juga dilakukan melalui mekanisme yang disesuaikan dengan SKK (Standar Kompetensi Keaksaraan). Warga belajar yang diperbolehkan mengikuti penilaian hasil belajar adalah mereka yang aktif mengikuti proses pembelajaran secara sistematis dan kontinu. Mereka juga berhak mendapatkan Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA). Berdasarkan Laporan Akhir Penyusunan Data Buta Aksara Perempuan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) tahun 2005, terdapat beberapa kendala yang mempengaruhi penerimaan warga belajar terhadap ketiga pelaksanaan tahapan tersebut. Kendala penerimaan warga belajar atas program lanjutan KF antara lain rendahnya motivasi masyarakat, kesibukan pada pekerjaan domestik atau publik, dan masih melekatnya pengaruh budaya patriarki dengan anggapan-anggapan diskriminasi perempuan dalam pendidikan (Meneg PP, 2005).
15
Adanya kendala seperti di atas menjadi tantangan bagi strategi pelaksanaan KF dalam keefektifannya memberantas buta aksara. Dilaporkan juga oleh Depdiknas (2006) bahwa peserta program KF sebanyak 36,2 persen dari kelompok tua di atas 45 tahun, yang mengindikasikan masih besarnya minat buta aksara kelompok tua untuk mengikuti program KF.
16
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Suatu program pemberdayaan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, dengan melakukan berbagai kegiatan yang kompleks. Salah satu bentuk program pemberdayaan masyarakat dalam bidang pendidikan yaitu program pemberantasan buta aksara melalui program keaksaraan fungsional (KF). Keaksaraan fungsional (KF) merupakan salah satu bentuk program pemberantasan buta aksara yang diprioritaskan untuk kelompok usia 15 tahun sampai dengan 45 tahun, dengan mengkaitkan proses belajar sesuai konteks kehidupan sasaran program atau warga belajar. Keberhasilan program KF dapat dilihat dari sejauhmana pencapaian tujuan program ini, dengan melihat manfaat dan dampak yang diperoleh warga belajar setelah mengikuti program. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi keberhasilan program KF, antara lain faktor internal dan eksternal dari warga belajar. Faktor tersebut berpengaruh langsung terhadap keberhasilan program, dalam hal ini manfaat yang didapat dari pelaksanaan program KF, yang kemudian memberikan manfaat tak langsung kepada WB atau yang disebut dampak program kepada warga belajar.
17
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan program KF
Faktor internal WB: 1. Umur 2. Tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti 3. Status perkawinan 4. Pekerjaan 5. Jumlah anak 6. Penilaian WB terhadap program KF 7. Motif WB mengikuti KF Faktor eksternal WB: 1. Tingkat pendidikan keluarga 2. Dukungan dari lingkungan tempat tinggal 3. Teknik pembelajaran oleh tutor 4. Alokasi waktu dan tempat pembelajaran
Keterangan: : Mempengaruhi terhadap
Keberhasilan Program Manfaat langsung/outcomes: 1.Kemampuan keaksaraan a. Membaca b. Menulis c. Berhitung
Dampak (Impacts): 1. Motivasi untuk mau belajar baca, tulis, hitung lagi 2. Penerapan fungsional kemampuan keaksaraan (kemampuan fungsional membaca, menulis, berhitung) 3. Kepercayaan diri WB (berhubungan dengan lingkungan masyarakat)
18
3.2 Definisi Konseptual 1. PKBM (Pusat Kegiatan Belajar) merupakan wadah seluruh kegiatan belajar masyarakat dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dikelola oleh masyarakat, yang terletak di wilayah desa atau kelurahan, sehingga mudah diakses oleh masyarakat. 2. Keaksaraan Fungsional adalah program pemberantasan buta aksara dengan sasaran program warga masyarakat dengan usia diatas 15 tahun yang dilaksanakan dalam bentuk kelompok belajar yang terdiri dari warga belajar dengan belajar membaca, menulis dan berhitung. 3. Warga Belajar (WB) adalah warga masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar lingkungan PKBM dan tercatat sebagai anggota belajar program KF, dan juga merupakan istilah bagi pihak penyelenggara (PKBM dan PLS) untuk peserta program PKBM.
3.4 Definisi Operasional 1. Kemampuan keaksaraan adalah pencapaian kompetensi keaksaraan dasar oleh warga belajar yang meliputi kemampuan dia untuk dapat membaca menulis dan berhitung setelah mengikuti program KF a. Tinggi : ≥ 60 persen hasil tes keaksaraan dasar dapat dikerjakan dengan benar atau memiliki skor ≥ 318 b. Rendah : < 60 persen hasil tes keaksaraan dasar tidak dapat dikerjakan dengan benar atau memiliki skor 0 ≥ x ≥ 317
19
2. Keberhasilan program adalah hasil dari tujuan program KF yang diukur berdasarkan kemampuan melek aksara yang telah dimiliki oleh warga belajar setelah mengikuti program. a. Berhasil : ≥50 persen WB yang menjadi sampel penelitian memiliki kemampuan keaksaraan b. Tidak berhasil : < 50 persen WB yang menjadi sampel penelitian tidak memiliki kemampuan keaksaraan 3. Umur adalah lamanya waktu seorang warga belajar untuk hidup sejak ia lahir hingga saat penelitian ini berlangsung. a. (16 tahun ≥ x ≥ 45 tahun) b. x > 45 tahun 4. Pendidikan formal yaitu jenjang pendidikan yang pernah diikuti warga belajar. a. Rendah : tidak pernah mengikuti pendidikan formal atau sekolah dasar kelas1-3 b. Tinggi : pernah mengikuti sekolah dasar kelas 4-6 5. Status perkawinan adalah keterikatan dan tanggung jawab WB terhadap perannya dalam keluarga. a. Menikah
b. Janda
6. Pekerjaan merupakan mata pencaharian atau usaha yang dilakukan untuk mendapatkan penghasilan a. Bekerja b. Tidak bekerja
20
7. Jumlah anak adalah keseluruhan anak yang dimiliki dan menjadi tanggungan bagi WB. a.
Tinggi : > 3 anak dan atau memiliki balita
b.
Rendah : ≤ 3 anak dan tidak memiliki balita
8. Penilaian terhadap program KF adalah tanggapan yang diberikan oleh WB sebelum dan sesudah mengikuti program KF. a. Tinggi
: tanggapan yang mendukung kebermanfaatan program KF
terhadap WB dengan adanya semangat dan motivasi tinggi dari WB untuk belajar. Skor > 18 b. Rendah : tanggapan WB yang tidak/kurang merespon kebermanfaatan program KF terhadap kemampuan keaksaraan WB. Skor ≤ 18 9. Motif WB adalah penyebab atau alasan yang membuat WB ingin mengikuti program KF: a. Intrinsik : segala dorongan yang berasal dari dalam diri WB sendiri, tanpa paksaaan, rasa ingin tahu dan menambah kemampuan keaksaraan (membaca, menulis dan berhitung). b. Ekstrinsik : segala dorongan yang berasal dari luar diri WB, yang diintervensi pihak lain, diajak (ikut-ikutan), serta keinginan lain selain ingin dapat membaca menulis dan berhitung (berkumpul dengan temanteman, menggosip, mengisi kekosongan waktu) 10. Tingkat pendidikan keluarga adalah pendidikan formal yang pernah diikuti anggota keluarga dari WB (orang tua, suami, anak, dan saudara dari WB). Dihitung berdasarkan jumlah skor yang diperoleh. Skor 2 untuk setiap
21
anggota keluarga (orang tua, suami, anak, dan saudara dari WB) dinyatakan berpendidikan dan skor 1 untuk anggota keluarga yang tidak dapat membaca dan menulis. a. Rendah : skor < 4 b. Tinggi : skor ≥ 4 11. Dukungan dari lingkungan tempat tinggal adalah bentuk perhatian yang diberikan dari orang-orang yang berada di sekitar tempat tinggal WB, yaitu lingkungan keluarga. Diukur berdasarkan jumlah skor. Skor 2 diberikan pada tiap bentuk perhatian yang diberikan keluarga (menyuruh untuk ikut program, mengingatkan jadwal belajar dan membantu belajar di rumah), dan skor 1 bila satu bentuk perhatian tidak diberikan. a. Rendah : skor < 4 b. Tinggi : skor ≥ 4 12. Teknik pembelajaran oleh tutor adalah cara-cara yang digunakan oleh tutor untuk meningkatkan kemampuan keaksaraan WB, meliputi pengajaran kemampuan baca tulis hitung, melatih berulang-ulang kemampuan tersebut, menerapkan pendekatan tematik atau mengajarkan perbendaharaan kata baru dari suku kata yang telah dikenal, penyiapan kurikulum dan perangkat pembelajaran, jadwal belajar, penyesuaian metode terhadap kondisi warga belajar, adanya monitoring dari luar, misal aparat PLS. Variabel ini diukur dengan jumlah skor yang diperoleh dari jawaban pertanyaan pada kuesioner. Jawaban pertanyaan yang sesuai harapan diberi skor 2 dan yang tidak sesuai dengan harapan diberi skor 1.
22
a. Rendah : jumlah skor < 16 b. Tinggi : jumlah skor ≥ 16 12. Alokasi waktu dan tempat belajar adalah penetapan jadwal belajar dan tempat belajar KF. a. Disesuaikan keinginan WB b. Disesuaikan keinginan selain oleh WB 13. Membaca adalah kemampuan warga belajar mengenal huruf dalam satu kata, mengeja kata tersebut, membacanya dalam suku kata dan membacanya dalam kata utuh. 14. Menulis adalah kemampuan warga belajar berupa ketepatan menulis huruf, angka, suku kata dan suatu kata. 15. Menghitung adalah kemampuan warga belajar mengoperasikan angka-angka secara dasar (pengurangan dan penjumlahan) 16. Motivasi tinggi untuk mau belajar baca tulis hitung lagi, yaitu WB belajar kembali setelah selesai mengikuti program untuk mengasah kemampuan baca tulis hitungnya dengan belajar ditempat lain seperti dirumah a. Motivasi rendah : tidak ada keinginan belajar kembali dan tidak melakukannya b. Motivasi tinggi : mau dan melakukan belajar kembali 17. Kepercayaan diri WB adalah keyakinan pada diri WB bahwa dia dapat melakukan hal yang sebelumnya ia tidak mampu lakukan atau tidak memiliki keberanian untuk melakukannya yang dipengaruhi setelah mengikuti program KF, hal tersebut meliputi keberanian untuk mengakses kelembagaan
23
masyarakat (arisan, pengajian, pusat perbelanjaan, sekolah anak, tempat pembayaran listrik, dan bank atau lembaga keuangan) atau bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat sekitar tempat tinggal (bergaul dengan tetangga). a. Rendah: masih merasa enggan untuk mengakses kelembagaan tersebut dan tidak melakukannya satupun b. Tinggi : mau mengakses kelembagaan tersebut dan melakukannya minimal satu kelembagaan yang telah disebutkan 18. Penerapan kemampuan fungsional kemampuan keaksaraan adalah tindakan yang dilakukan oleh WB yang berhubungan dengan penerapan kemampuan baca, tulis dan hitungnya. Variabel ini diukur dengan jumlah skor yang diperoleh dari jawaban pertanyaan pada kuesioner. Jawaban pertanyaan yang sesuai harapan diberi skor 2 dan yang tidak sesuai dengan harapan diberi skor 1. a. Rendah : tidak dapat melakukan penerapan kemampuan fungsional membaca, menulis dan berhitung (skor < 2) b. Tinggi : minimal dapat melakukan satu penerapan kemampuan fungsional (skor ≥ 2)
3.3 Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara Umur WB dengan kemampuan keaksaraan WB. 2. Terdapat hubungan antara pendidikan formal yang pernah diikuti WB dengan kemampuan keaksaraan WB.
24
3. Terdapat hubungan antara status perkawinan dengan kemampuan keaksaraan WB. 4. Terdapat hubungan antara pekerjaan yang dimiliki warga belajar dengan kemampuan keaksaraan WB. 5. Terdapat hubungan antara tinggi jumlah anak yang menjadi tanggungan WB dengan kemampuan keaksaraannya. 6. Terdapat hubungan antara penilaian WB terhadap program KF dengan keaksaraan. 7. Terdapat hubungan antara motif WB untuk mengikuti program dengan kemampuan keaksaraan WB. 8. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan anggota keluarga WB dengan kemampuan keaksaran WB. 9. Terdapat hubungan antara dukungan dari lingkungan tempat tinggal dengan kemampuan keaksaraan WB. 10. Terdapat hubungan antara teknik pembelajaran dari tutor dengan kemampuan keaksaraan WB. 11. Terdapat hubungan antara alokasi waktu dan tempat belajar program KF dengan kemampuan keaksaraan WB. 12. Terdapat hubungan antara kemampuan dasar keaksaraan/melek aksara WB terhadap dampak atau manfaat tidak langsung dari program.
25
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode survei, yaitu metode penelitian melalui pengumpulan informasi berupa data primer dari suatu sampel dengan menanyakan melalui kuesioner atau interview supaya menggambarkan berbagai aspek dari populasi (Fraenkel dan Wallen, 1990) dalam (Wahyuni dan Mulyono, 2006). Penggunaan metode survei pada penelitian ini memanfaatkan uji tes kemampuan keaksaraan dan kuesioner, yang kemudian dilakukan analisis statistik untuk mengetahui hubungan antar variabel bebas (faktor internal dan eksternal) terhadap variabel dipengaruhi (kemampuan keaksaraan). Metode kualitatif juga digunakan sebagai pendukung pendekatan kuantitatif melalui teknik wawancara mendalam pada responden dan informan untuk melengkapi kebutuhan data primer penelitian.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di kawasan Kelurahan Sukadamai, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Tepatnya, berada di RW 01 dan 10 Kelurahan Sukadamai dengan mengambil responden dari warga belajar (WB) program Keaksaraan Fungsional (KF) yang berada di bawah naungan PKBM Damai Mekar. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2008. Waktu penelitian ditentukan secara sengaja setelah kelulusan warga belajar KF sejak bulan Desember,
26
untuk melihat kelanggengan kemampuan keaksaraan warga belajar pasca pembelajaran pada program KF PKBM Damai Mekar.
4.3 Teknik Sampling Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu warga belajar KF PKBM Damai Mekar. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling atau secara sengaja, yaitu teknik pengambilan sampel dengan memilih subjek-subjek yang menjadi anggota kelompok tertentu. Secara sengaja, responden yang dipilih adalah warga belajar (WB) KF yang telah selesai mengikuti program KF, 5 bulan sebelum penelitian ini dilakukan. Sampling frame penelitian ini adalah seluruh warga belajar yang berada di RW 01 Kelurahan Sukadamai sebanyak 23 orang dan RW 10 sebanyak 20 orang, mengikuti program KF pada periode pembelajaran JuniNovember 2007.
4.4 Jenis Data dan Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari responden yaitu warga belajar program KF dengan menggunakan tes kemampuan keaksaraan dasar dan kuesioner yang dipandu dengan wawancara terstruktur. Data primer juga didapatkan melalui wawancara kepada tutor KF, pengelola PKBM, RW 10 dan staff pemerintahan Kelurahan Sukadamai. Sementara data sekunder berupa dokumentasi dari PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai dan Kecamatan Tanah Sareal.
27
4.5 Analisis Data Data primer yang diperoleh diklasifikasikan berdasarkan jenis variabel dan diolah. Hasil pengisian tes kemampuan keaksaraan dasar digunakan untuk mengetahui kemampuan keaksaraan warga belajar yang masih ia miliki. Skoring juga digunakan pada hasil pengisian tes kemampuan keaksaraan dasar, variabel penilaian program KF oleh warga belajar, varibel teknik pembelajaran oleh tutor, tingkat pendidikan keluarga, dukungan keluarga dan penerapan kemampuan keaksaraan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan tabulasi silang yang kemudian dijelaskan secara deskriptif analitis. Hipotesis diuji menggunakan analisis Chi-square untuk mengetahui hubungan antara variabel internal dan variabel eksternal terhadap kemampuan keaksaraan WB. Selain itu hubungan antara kemampuan keaksaraan terhadap dampak atau manfaat tidak langsung dari program diuji pula menggunakan metode yang sama.
28
BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI
5.1 Gambaran Umum Kelurahan Sukadamai 5.1.1 Kondisi Geografis Kelurahan Sukadamai merupakan salah satu wilayah Pemerintahan Kota Bogor yang berada pada Kecamatan Tanah Sareal sejak September 1995. Berdasarkan data monografi Kelurahan Sukadamai, sebelumnya Kelurahan Sukadamai adalah bagian dari Desa Cilebut Kecamatan Semplak Kabupaten Bogor. Pada tahun 1983 Desa Cilebut dimekarkan/dipecah menjadi beberapa bagian yaitu Desa Cilebut Barat, Desa Cilebut Timur dan Desa Sukadamai. Pada tahun 1984 Desa Sukadamai terbagi menjadi 2 (dua) bagian wilayah yaitu Desa Sukadamai dan Desa Sukaresmi. Lalu pada tanggal 20 September 1995 wilayah Desa Sukadamai dan Sukaresmi masuk dalam wilayah Pemerintahan Kota Bogor berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 2 Tahun 1995. Kemudian pada tahun 2001 status Desa Sukadamai berubah menjadi Kelurahan Sukadamai. Secara topografis, kelurahan ini berada pada dataran rendah dengan ketinggian tanah 700 m dari permukaan laut. Banyaknya curah hujan yang terjadi kira-kira 200300 mm/tahun, dan suhu udara rata-rata 25 derajat celcius. Batas-batas wilayah Kelurahan ini yaitu: 1) Batas utara
: Kelurahan Mekarwangi
2) Batas selatan
: Kelurahan Kedung Badak
3) Batas barat
: Kelurahan Cibadak
29
4) Batas timur
: Kelurahan Sukaresmi
Pusat Pemerintahan Kecamatan berada di Kelurahan Tanah Sareal jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan sekitar 3 Km, jarak dari Pemerintahan Kota sekitar 6 Km, jarak dari Ibu Kota Provinsi sejauh 180 Km dan jarak dari Ibukota Negara sejauh 68 Km. Luas Kelurahan Sukadamai sekitar 110 Ha. Peruntukan luas wilayah ini dimanfaatkan sebagai pemukiman 66 Ha, jalan 5,9 Ha, sawah 2 Ha, ladang 6 Ha, bangunan umum 3,5 Ha, empang 2 Ha, jalur hijau 2 Ha, pekuburan 1 Ha, dan lainnya seluas 24,6 Ha.
5.1.2 Kependudukan Kelurahan Sukadamai terdiri dari 10 RW dan terbagi dalam dua wilayah, yaitu wilayah Komplek Perumahan Budi Agung (RW III, IV dan V) dan wilayah perkampungan (I, II, VI, VII, VIII s/d X). Jumlah RT sebanyak 37 RT yang tersebar di dalam 10 RW tersebut. Jumlah penduduk pada kelurahan ini ada 13.346 jiwa, dengan jumlah laki-laki 6.666 jiwa dan perempuan 6680 jiwa, dan jumlah kepala keluarga 2.223 KK. Berdasarkan data monografi Kelurahan Sukadamai, dapat diuraikan jumlah penduduk berdasarkan golongan umur, dimana jumlah penduduk terbesar terdapat pada usia 10-14 tahun yaitu sebesar 1.563 jiwa. Sementara untuk jumlah penduduk terkecil yaitu pada kategori 60 tahun ke atas yaitu sebesar 621 jiwa. Untuk lebih jelasnya, komposisi penduduk berdasarkan golongan umur disajikan pada Tabel 1.
30
Tabel 1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Golongan Umur di Kelurahan Sukadamai, Tahun 2007 No
Golongan Umur
Jumlah
1
00-14 tahun
1.242
2
05-09 tahun
1.675
3
10-14 tahun
1.563
4
15-19 tahun
1.495
5
20-29 tahun
1.399
6
30-34 tahun
1.254
7
35-39 tahun
1.220
8
40-44 tahun
1.104
9
45-49 tahun
985
10
50-54 tahun
788
11
> 60 tahun
621
Jumlah
13.346
Sumber: Data monografi Kelurahan Sukadamai, 2007
Berdasarkan pada agama atau kepercayaan yang dianut, mayoritas penduduk Kelurahan Sukadamai beragama islam. Hal ini dapat dilihat melalui komposisi penduduk menurut agama pada Tabel 2.
31
Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Agama di Kelurahan Sukadamai, Tahun 2007 No
Agama
Jumlah (orang)
Distribusi Persentasi (%)
1
Islam
12.200
91,4
2
Kristen
933
6,9
3
Katholik
133
0,9
4
Hindu
9
0,07
5
Budha
26
0,2
6
Konghuchu
40
0,3
13.346
100
Sumber: Data monografi Kelurahan Sukadamai, 2007
Jumlah penduduk terbanyak yang menganut agama islam sebesar 12.200 orang atau 91,4 persen, dan jumlah penduduk terkecil yang menganut agama hindu sebanyak 9 orang atau 0,07 persen. Mata pencaharian sebagian penduduk adalah wiraswasta atau berdagang, bergerak dalam bidang jasa, swasta dan bertani maupun buruh tani. Lebih jelas lagi bentuk mata pencaharian penduduk Kelurahan Sukadamai dapat dilihat melalui komposisi penduduk menurut mata penacaharian pada Tabel 3.
32
Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kelurahan Sukadamai, Tahun 2007 No
Mata Pencaharian
Jumlah (orang)
1
Pegawai negeri sipil
182
2
TNI
21
3
Polri
4
4
Swasta/BUMN/BUMD
799
5
Wiraswasta/pedagang
1.818
6
Tani
291
7
Pertukangan
463
8
Buru tani
181
9
Pensiunan
142
10
Jasa/lain-lain
1.884
Jumlah
5.785
Sumber: Data monografi Kelurahan Sukadamai, 2007
Sebagian penduduk yang berada di wilayah perkampungan khususnya perempuan, mereka banyak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau buruh cuci di wilayah komplek sekitar Kelurahan Sukadamai.
5.1.3 Pendidikan Seiring dengan bertambahnya penduduk pendatang dari luar kelurahan khususnya pada wilayah komplek perumahan, membawa perubahan perkembangan Kelurahan Sukadamai yang lebih baik, seperti pada perekonomian wilayah dan pembangunan infrastruktur seperti sarana pendidikan, kesehatan dan ibadah.
33
Kondisi pendidikan umum di Kelurahan Sukadamai terlihat cukup berkembang dengan terdapatnya fasilitas atau sarana pendidikan yang memadai. Sarana pendidikan umum di Kelurahan Sukadamai dapat digambarkan pada Tabel 4. Tabel 4. Sarana Pendidikan Umum di Kelurahan Sukadamai, Tahun 2007
No 1 2 3 4
Jenis Pendidikan TK Sekolah Dasar SMP MTs Jumlah
Gedung (buah)
Negeri Guru (orang)
Murid (orang)
11
51
2040
1
16
415
2040
1 1 5
22 20 84
326 309 1254
11
51
Swasta Gedung Guru (buah) (orang) 2 6
Murid (orang) 204
Sumber: Data monografi Kelurahan Sukadamai, 2007
Selain pendidikan umum seperti yang tertera pada Tabel 4, terdapat pula sarana Pendidikan Luar Sekolah yang disediakan melalui PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) yang dibentuk oleh masyarakat Kelurahan Sukadamai. Sarana Pendidikan Luar Sekolah yang ada di PKBM dapat dilihat pada Tabel 5.
34
Tabel 5. Sarana Pendidikan Luar Sekolah di Kelurahan Sukadamai, Tahun 2007 No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Pendidikan PAUD Kejar Paket A Kejar Paket B Kejar Paket C KF KBU KBO Jumlah
Gedung (buah) 1 1
Guru/pelatih) (orang) 2 1 1 2 6
Murid (orang) 100
12
175
15 20 50
1 3
Sumber: Data monografi Kelurahan Sukadamai, 2007
Namun untuk beberapa wilayah seperti pada RW-RW yang terdapat pada wilayah perkampungan masih terdapat warga yang masih buta huruf atau buta aksara, dengan kisaran usia di atas 20 tahun. Mereka khususnya adalah penduduk asli Kelurahan Sukadamai. Hal ini telah mendapatkan perhatian dengan dibentuknya kelembagaan yang berfokus pada pengentasan buta aksara melalui Pendidikan Luar Sekolah (PLS), seperti kelembagaan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) yang memiliki Program Keaksaraan Fungsional (KF) untuk memelekaksarakan warga Sukadamai yang masih mengalami buta aksara.
35
5.2 Gambaran Umum Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Damai Mekar PKBM Damai Mekar dibentuk pada tahun 1998 oleh keluarga besar Bapak Haji Yusron. Pada saat itu program yang dilaksanakan PKBM masih terdiri dari Kejar Paket A (setara SD) dan PBA (Program Pemberantasan Buta Aksara). Barulah pada tanggal 9 Maret 1999
PKBM Damai Mekar dioperasionalkan di bawah
Yayasan Majelis Ta’lim Nurrahmah. Program yang dilaksanakan saat ini tidak hanya Kejar Paket A dan PBA saja, namun juga terdapat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Kejar Paket A (setara SD), B (setara SMP) dan C (setara SMA), KF (Keaksaraan Fungsional) yang hampir sama dengan PBA, Kelompok Belajar Usaha (KBU), dan Kelompok Belajar Olahraga (KBO). Kegiatan belajar masyarakat sendiri dilakukan di gedung Yayasan Nurrahmah untuk program Kejar Paket dan PAUD. Sedangkan kelompok belajar KF dilaksanakan di sekitar tempat tinggal warga belajar, seperti di rumah salah satu warga belajar. Hal ini dilakukan agar kegiatan belajar mudah diakses oleh warga belajar KF. Kegiatan KBU dipraktekan langsung dengan membentuk warung jajan untuk anak sekolah dasar yang berada di sekitar lingkungan PKBM.
5.3 Program Keaksaraan Fungsional PKBM Damai Mekar Program Keaksaraan Fungsional pada PKBM Damai Mekar telah menyentuh beberapa RW di Kelurahan Sukadamai, yaitu terdiri dari RW 1, 6, 7 dan 10 pada awal tahun 2007. Dan saat ini yang sedang dilakukan penggarapan adalah RW 02, 08 dan 09 sejak bulan November 2007. Sedangkan RW 03, 04 dan 05 adalah wilayah
36
Komplek Perumahan Budi Agung yang tidak dijadikan target sasaran program KF. RW 01 dan 10 merupakan RW yang menjadi unggulan kelompok belajar, karena warga belajarnya lebih aktif dari kelompok belajar RW lain. Selain itu juga kelompok belajar ini diikutsertakan pada program unggulan P2WKSS (Program Pemberdayaan Wanita Keluarga Sehat Sejahtera) dari PKK Kota Bogor tahun 2007. Jumlah penduduk yang buta huruf pada RW 10 sekitar 5 kelompok atau 50 orang namun yang hanya mengikuti program KF 18 orang. Begitu pula pada warga RW 01 hanya 17 orang yang mengikuti program KF. Pada RW 01 ini akan direncanakan untuk menindaklanjuti program KF, yaitu akan dilaksanakan program KF ke tahap lanjutan. Pada beberapa RW yang menjadi target wilayah pemberantasan buta aksara, sebagian warganya ada yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) khususnya para wanita. Menjadi salah satu alasan mereka tidak dapat mengikuti program KF karena kesibukan bekerja sebagai PRT, yang bekerja mulai pagi hari sekitar jam 7:00 hingga sore sekitar jam 16:00. Selain alasan kesibukan bekerja, mereka juga enggan datang karena rasa malu mereka tidak dapat membaca dan menulis. Kegiatan belajar di RW 01 dan 10 dilaksanakan 2 kali dalam seminggu. Tempat belajar di RW 01 berada di salah satu rumah warga belajar, sedangkan untuk tempat belajar di RW 10 berada di Majelis Aisyah yang berada di RW 10. Warga belajar pada RW 10 terbilang memiliki motivasi tinggi untuk belajar baca tulis hitung. Kegiatan belajar terdiri dari belajar keaksaraan dasar baca tulis hitung dengan beberapa teknik pembelajaran, seperti belajar mengenal huruf dan angka, membaca suku kata, kata, kalimat, menulis huruf dan angka, berhitung dengan melakukan
37
penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Pembelajaran tersebut dilakukan berulang-ulang hingga WB lancar melakukannya. Teknik belajar yang paling efektif diterapkan secara individual pada WB adalah dengan menggunakan panduan pembelajaran berupa buku pedoman belajar untuk PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) atau TK, meskipun telah diterapkan pula teknik pembelajaran berdasarkan panduan belajar untuk program KF. Selain itu juga diterapkan metode belajar aksi dengan menggunakan kartu huruf dan angka yang dapat memudahkan WB untuk menghafal huruf dan merangkai kata dari kartu-kartu huruf tersebut. Dipakai pula alat hitung berupa bij-biji tasbih yang disusun pada tali. Selain itu juga digunakan tulisan kata pada selembar karton seperti tulisan pada poster yang dilengkapi gambar-gambar pula. Selain belajar keaksaraan dasar, WB juga diajarkan beberapa keterampilan seperti membuat baki hantaran dan membuat kue, selain untuk menambah keterampilan juga memperlancar kemampuan baca tulis dengan praktek langsung serta menarik perhatian dan menambah motivasi untuk belajar. WB tidak dikenakan biaya untuk mengikuti praktek tersebut. Mereka hanya cukup datang dan belajar keterampilan tersebut sambil mengasah kemampuan baca tulis hitung mereka.
38
Gambar 2. Aktivitas Praktek Keterampilan Warga Belajar KF di Majelis Tempat Belajar
Gambar 3. Warga Belajar KF Bersama Tutor PKBM Damai Mekar
Gambar 4. Ujian Warga Belajar yang Diawasi oleh Tutor di Majelis Tempat Belajar
39
Dana kegiatan belajar dan praktek berasal dari PKBM, mitra kerjasama PKBM seperti PKK Kota Bogor atau SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) Kecamatan Tanah Sareal, dan swadaya dari tutor. Dana yang berasal dari PKBM tersebut berasal dari UPTD Pendidikan setempat. Dana tersebut dianggarkan untuk membayar honor tutor dan kegiatan pelaksanaan pembelajaran. Jumlah tutor yang ada di PKBM Damai Mekar saat ini ada 14 orang dan 6 orang dari mereka adalah tutor untuk program KF. Para tutor juga pernah mengikuti pelatihan untuk mengembangkan teknik pengajaran mereka. Kegiatan KF sendiri mendapatkan perhatian dari mitra kerjasama seperti SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) dan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga). Menurut kelembagaan ini program KF merupakan bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat khususnya dalam lingkup keluarga, dengan meningkatkan kemampuan baca tulis hitung ibu rumah tangga di Kelurahan Sukadamai.
5.4 Profil Warga Belajar Program KF PKBM Damai Mekar Warga belajar yang mengikuti program KF PKBM Damai Mekar periode Juni-November 2007 secara keseluruhan adalah ibu rumah tangga yang berada di RW 01 dan 10 Kelurahan Sukadamai. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh cuci, pembersih benang pada pakaian garmen, pemisah benang gujir dari ban mobil, pengoret rumput pada sawah milik orang lain atau pengoret halaman rumah pada komplek perumahan, dan ada juga yang membuat warung jajanan. Warga belajar yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga harus bekerja sejak pukul 6 pagi hingga pekerjaan rumah selesai atau sekitar waktu dzuhur (jam 12 siang). Namun ada pula yang bekerja sampai sore hari hingga pukul 4 sore karena
40
harus menjaga anak dari majikan mereka. Kesibukan seperti inilah yang membuat kebanyakan dari mereka tidak selalu aktif mengikuti kegiatan belajar KF, selain itu mereka sering mengeluh capek untuk belajar KF karena pekerjaan mereka. Hampir keseluruhan dari mereka adalah penduduk asli setempat yang menikah dan memiliki keluarga pada wilayah tersebut. Rata-rata pendidikan mereka sangat minim. Banyak dari mereka yang tidak pernah mengalami sekolah formal karena keterbatasan akses pada kelembagaan pendidikan dan biaya sekolah yang tinggi pada saat usia sekolah mereka. Pendidikan saat dulu hanya cocok untuk laki-laki. Perempuan dianggap lebih cocok berada di rumah saja mengurus pekerjaan rumah dibandingkan pergi sekolah. Terdapat beberapa warga belajar yang mengaku pernah mengikuti sekolah namun mereka hanya belajar agama saja seperti mengaji, atau mereka biasa menyebut sekolah madrasah. Mereka sama sekali tidak diajarkan huruf latin saat itu. Inilah salah satu penyebab kebutaaksaraan mereka saat ini. Setelah dilakukan pengambilan data, ternyata warga belajar yang merasa pernah mengikuti program KF PKBM Damai Mekar hanya terdapat 35 warga belajar dari 43 warga yang tercatat oleh PKBM Damai Mekar sebagai warga belajar KF mereka. Hal ini terjadi karena setelah warga yang terdaftar sebagai warga belajar KF PKBM Damai Mekar, namun beberapa dari mereka tidak mengikuti kegiatan belajar program KF sama sekali. Sehingga mereka tidak dapat menjawab beberapa pertanyaan pada kuesioner yang berhubungan dengan kegiatan belajar program KF, selain itu mereka juga tidak termasuk ke dalam karakteristik sebagai responden penelitian.
41
5.5 Ikhtisar Bab V Gambaran secara umum Kelurahan Sukadamai merupakan wilayah bagian Kota Bogor, yang wilayahnya sebagian besar merupakan daerah perkampungan, dan sisanya merupakan wilayah komplek perumahan. PKBM Damai Mekar berada di tengah lingkungan Kelurahan Sukadamai, tepatnya daerah perkampungan. Lokasi penelitian berada di RW 01 dan 10. Semua responden yang berada di kedua RW tersebut merupakan Warga Belajar Program KF PKBM Damai Mekar. Bab selanjutnya merupakan pembahasan mengenai karakteristik yang ada pada responden penelitian.
42
BAB VI KARAKTERISTIK RESPONDEN Karakteristik responden terbagi menjadi dua bentuk, yaitu karakteristik internal diri pribadi responden dan karakteristik eksternal responden. 6.1 Karakteristik Internal Diri Pribadi Responden Karakteristik internal diri pribadi responden terdiri dari umur, status perkawinan, pekerjaan, tingkat pendidikan, jumlah anak, penilaian WB terhadap program KF dan motif WB mengikuti program KF. Tabel 6. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Internal Diri Pribadi di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008 No
Karakteristik Internal Diri Pribadi Responden
1
Umur: • 16-45 tahun • di atas 45 tahun Status Perkawinan: • Menikah • Janda Pekerjaan: • Bekerja • Tidak Bekerja
2
3
4
5
6
7
n: 35
Tingkat Pendidikan: • Rendah (Tidak sekolah atau DO (Drop Out) kelas 1-3 SD) • Tinggi (DO di atas kelas 3) Jumlah Anak: • Rendah (≤ 3 anak dan tidak memiliki balita) • Tinggi (> 3 anak dan atau memiliki balita) Penilaian WB terhadap Program KF: • Rendah (jumlah skor ≤ 18) • Tinggi (jumlah skor > 18) Motif WB Mengikuti Program KF: • Motif Internal • Motif Eksternal
f
%
23 12
65,7 34,3
32 3
91,4 8,6
23 12
65,7 34,4
34
97,1
1
2,9
15 20
42,9 57,1
2 33
5,7 94,3
25 10
71,4 28,6
43
6.1.1 Umur Umur adalah lamanya warga belajar untuk hidup sejak ia lahir hingga saat penelitian ini berlangsung. Kategori umur dikelompokan menjadi dua golongan, yakni 16-45 tahun, dan di atas 45 tahun. Pada Tabel 6 dapat dilihat jumlah responden pada umur 16-45 tahun sebanyak 23 orang atau 65,7 persen dan umur di atas 45 tahun sebanyak 34,3 persen. Angka tersebut menunjukan bahwa responden sebagian besar berumur 16-45 tahun. Menurut pengelola program KF, warga belajar memang diprioritaskan untuk warga buta huruf berumur sekitar 16-45 tahun, namun bila terdapat warga buta huruf berumur di atas 45 tahun dan mau mengikuti program, tetap boleh diikutsertakan.
6.1.2 Status Perkawinan Berdasarkan keseluruhan responden yang semuanya adalah perempuan, maka status perkawinan responden terbagi menjadi dua kategori, yaitu menikah dan janda. Berdasarkan Tabel 6, jumlah responden dengan status menikah ada 91,4 persen dan responden berstatus janda terdapat 8,6 persen. Hal ini membuktikan 100 persen responden adalah ibu rumah tangga. Berdasarkan data yang didapatkan, seluruh responden yang berstatus janda memiliki anak dan menjadi tulang punggung keluarga.
44
6.1.3 Pekerjaan Pekerjaan yaitu bentuk mata pencaharian yang dilakukan oleh responden untuk mendapatkan penghasilan, baik sebagai pekerjaan pokok atau sampingan. Responden terbagi menjadi dua kelompok, yaitu responden bekerja dan tidak bekerja. Sebagian besar responden memiliki pekerjaan baik pekerjaan pokok maupun sampingan dengan persentase 65,7 persen seperti yang tertera pada Tabel 6. Pekerjaan tersebut terdiri dari pembantu rumah tangga (28,6 persen), buruh cuci (5,7 persen), buruh pabrik (2,8 persen), pemisah benang (8,6 persen) dan pembersih benang (14,3 persen). Pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan pokok, yaitu pembantu rumah tangga, karena pekerjaan itu mereka lakukan setiap hari sejak pagi (jam 7 pagi) hingga sekitar pukul 12 siang atau pukul 4 sore. Sementara pekerjaan yang mereka anggap sebagai pekerjaan sampingan yaitu yang tertera pada Tabel 6, selain menjadi pembantu rumah tangga. Pekerjaan sampingan seperti buruh cuci, buruh pabrik, pemisah benang dan pembersih benang tidak selalu mereka dapatkan tiap hari, tergantung pada permintaan tenaga kerja. Menurut responden yang memiliki usaha berdagang, pekerjaan mereka dianggap sebagai pekerjaan sampingan pula karena tidak banyak menyita waktu, selain itu suami mereka pun memiliki pekerjaan lain.
6.1.4 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan yaitu jenjang pendidikan formal yang pernah diikuti responden. Tingkat pendidikan responden terbagi menjadi dua kategori, yaitu rendah bagi responden yang tidak pernah mengikuti pendidikan formal atau drop out pada
45
kelas 1, 2 atau 3 SD dan kategori tinggi pada responden yang pernah mengikuti pendidikan formal sampai kelas empat SD atau lebih dari itu. Dapat dilihat pada Tabel 6, responden dengan tingkat pendidikan rendah terdapat 97,1 persen dan yang tingkat pendidikannya tinggi hanya ada 1 orang atau 2,9 persen, yaitu responden yang pernah sekolah hingga kelas empar SD. Hal ini menunjukan bahwa keseluruhan responden tingkat pendidikannya rendah. Responden kebanyakan tidak pernah merasakan pendidikan formal karena keterbatasan akses pada pendidikan formal (jarak sekolah jauh), biaya sekolah yang mahal dan sekolah tersebut lebih diprioritaskan hanya untuk laki-laki.
6.1.5 Jumlah Anak Jumlah anak merupakan keseluruhan anak yang dimiliki responden dan menjadi tanggungan keluarga. Kategori jumlah anak terbagi menjadi dua, yaitu tinggi dengan memiliki balita dan atau memiliki anak lebih dari tiga anak. Responden yang memiliki balita dianggap menjadi indikator jumlah anak tinggi karena, adanya balita yang menjadi tanggungan responden berarti beban kerja yang dimiliki responden lebih banyak dan dapat mempengaruhi kegiatannya dalam mengikuti program KF. Begitu pula dengan responden dengan jumlah anak lebih dari tiga anak. Tabel 6 menunjukan responden dengan jumlah anak tinggi sebanyak 57,1 persen dan responden dengan jumlah anak rendah ada 42,9 persen. Ini menjelaskan bahwa lebih banyak responden dengan jumlah anak tinggi. Namun ini belum sepenuhnya menjelaskan bahwa jumlah anak yang tinggi menyebabkan beban kerja
46
semakin tinggi pula, karena ada anak mereka yang dapat mengurus diri mereka sendiri dan tidak banyak merepotkan orang tua (responden).
6.1.6 Penilaian WB terhadap Program KF Penilaian responden terhadap program yaitu tanggapan responden terhadap program KF sebelum mereka mengikuti program maupun setelah mereka mengikutinya. Tanggapan tersebut dapat berbentuk tanggapan mengenai manfaat program bagi mereka, tanggapan saat diajak mengikuti program, dukungan mereka terhadap program, tanggapan terhadap tutor dan pengelola program, dan tanggapan selama pembelajaran. Data pada Tabel 6 menunjukan bahwa sebanyak 94,3 persen responden menyatakan tanggapan tinggi atau baik terhadap program KF yang dilaksanakan PKBM Damai Mekar, dan responden dengan tanggapan rendah terhadap program sebanyak 2 orang atau 5,7 persen. Saat program KF ditawarkan pada responden, mereka mengetahui terlebih dahulu dari RT setempat atau ibu-ibu PKK. Menurut penuturan salah seorang ibu PKK di RW 10 mengenai penilaian warga belajar saat diajak mengikuti program menjelaskan bahwa: ”...Ibu-ibu yang saya ajak belajar KF, mereka terlebih dahulu menanyakan belajar apa saja di KF nanti. Saya menjelaskan akan diajarkan baca tulis buat yang belum bisa dan belum lancar. Saat saya mengajak mereka, saya juga membawa salah seorang tutor yang telah mereka kenal, dan mereka percaya bahwa ini merupakan program untuk baca tulis. Mereka saat itu antusias dan menanyakan langsung tempat belajar dan waktunya”. (Indi, 34 tahun).
47
6.1.7 Motif Responden Mengikuti Program KF Motif adalah dorongan yang ada dalam diri responden dan melatarbelakangi untuk mengikuti program KF. Berdasarkan motif mengikuti program, responden terbagi menjadi dua kelompok, yaitu responden dengan motif internal dan motif eksternal. Motif internal yaitu segala dorongan yang berasal dari dalam diri warga belajar sendiri, tanpa paksaaan, rasa ingin tahu dan menambah kemampuan keaksaraan (membaca, menulis dan berhitung). Motif eksternal sendiri diartikan sebagai segala dorongan yang berasal dari luar diri WB, yang diintervensi pihak lain, diajak (ikut-ikutan), serta keinginan lain selain ingin dapat membaca menulis dan berhitung (berkumpul dengan teman-teman, menggosip, mengisi kekosongan waktu). Jumlah responden yang memiliki motif internal untuk mengikuti program terdapat 71,4 persen. Lalu sisa responden sebanyak 28,6 persen bermotif eksternal dalam mengikuti program. Ini menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki dorongan langsung dari dalam diri untuk bisa membaca, menulis dan berhitung tanpa intervensi dari luar diri mereka. Data tersebut disajikan pula pada Tabel 6.
6.2 Karakteristik Eksternal Responden Karakteristik internal responden terdiri dari tingkat pendidikan keluarga, dukungan keluarga, teknik pembelajaran oleh tutor dan alokasi tempat dan waktu belajar. Sebaran responden berdasarkan karakteristik tersebut pada dilihat pada Tabel 7.
48
Tabel 7. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Eksternal Diri Responden di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008 No
Karakteristik Eksternal Diri Responden
1
Tingkat Pendidikan Keluarga: • Rendah (skor < 4) • Tinggi (skor ≥ 4) Dukungan Keluarga: • Rendah (skor < 4) • Tinggi (skor ≥ 4) Teknik Pembelajaran oleh Tutor: • Rendah (jumlah skor < 16) • Tinggi (jumlah skor ≥ 16)
2
3
4
Alokasi Waktu dan Tempat Belajar: • Sesuai keinginan WB (Warga Belajar) • Sesuai keinginan selain oleh WB: a. Sesuai keinginan totur b. Sesuai keinginan Bu RT
f
%
18 17
51,4 48,6
22 13
62,9 37,1
21 14
60 40
0
0
18 17
51.4 48,6
n: 35
6.2.1 Tingkat Pendidikan Keluarga Tingkat pendidikan keluarga adalah latar belakang pendidikan keluarga responden dengan melihat tingkat pendidikan atau kemampuan membaca dan menulis orang tua, saudara, suami dan anak responden. Tingkat pendidikan keluarga terbagi menjadi dua kategori, yaitu rendah (tidak ada atau hanya satu anggota keluarga responden yang dapat membaca dan menulis atau tingkat pendidikan tinggi) dan tinggi (minimal ada dua anggota keluarga yang bisa membaca dan menulis atau pendidikan tinggi). Berdasarkan Tabel 7 di atas, terdapat responden dengan karakteristik tingkat pendidikan keluarga rendah sebanyak 51,4 persen. Responden dengan karakteristik ini berarti orang tua, saudara, suami dan anaknya tidak dapat membaca dan menulis atau hanya salah satu anggota keluarga responden yang pendidikannya dianggap
49
tinggi. Sebanyak 48,6 persen responden memiliki keluarga dengan tingkat pendidikan dianggap tinggi. Terdapat dua responden pada kategori ini memiliki anak yang sekolah hingga perguruan tinggi.
6.2.2 Dukungan Keluarga Dukungan dari keluarga belajar dapat diperhitungkan dari perhatian yang diberikan oleh keluarga kepada warga belajar seperti dengan membantu belajar, mendukung mengikuti program KF, mengingatkan waktu belajar KF dan memberikan waktu luang kepada warga belajar untuk dapat belajar. Dilihat pada Tabel 7, jumlah responden mengaku mendapat dukungan tinggi dari keluarga ada 37,1 persen dan sebanyak 62,9 persen responden memiliki dukungan rendah dari keluarga. Meskipun lebih banyak responden dengan perhatian keluarga yang rendah namun mereka mengaku tetap bersemangat untuk terus mengikuti program KF agar dapat bisa membaca dan menulis. ”...Kalau di rumah keluarga terserah pada saya mau belajar atau engga. Saya kadang belajar sendiri saja di rumah” (Eni, 46 tahun).
6.2.3 Teknik Pembelajaran oleh Tutor Teknik pembelajaran oleh tutor dapat dilihat dari cara-cara yang digunakan oleh tutor untuk meningkatkan kemampuan keaksaraan responden, meliputi pengajaran kemampuan baca tulis hitung, melatih
berulang-ulang kemampuan
tersebut, menerapkan pendekatan tematik atau mengajarkan perbendaharaan kata baru dari suku kata yang telah dikenal, penyiapan kurikulum dan perangkat pembelajaran, jadwal belajar, penyesuaian metode terhadap kondisi warga belajar, dan adanya
50
monitoring dari luar, misal aparat PLS (Depdikans, 2006). Pengukuran tinggi rendahnya tingkat teknik pembelajaran berdasarkan jumlah skor dari kuesioner variabel ini yang diisi oleh responden. Pada Tabel 7, data menunjukan lebih banyak responden yang menyatakan tingkat teknik pembelajaran oleh tutor rendah. Responden yang menyatakan hal tersebut sebanyak 21 orang atau 60 persen. Namun setelah dilakukan cross check dengan menanyakan kepada tutor KF mengenai teknik pembelajaran, tutor telah mengikuti prinsip pembelajaran dalam program KF sesuai standar pengajaran program KF. Hal tersebut memang diperkuat pula dengan melakukan pengamatan pada alat-alat dan perlengkapan belajar serta proses pembelajaran pada kelompok belajar KF lain. Menurut tutor KF yang menjadi informan penelitian, teknik pembelajaran pada setiap kelompok belajar hampir sama. Hanya saja selama proses pembelajaran tidak dilakukan monitoring oleh aparat PLS setempat.
6.2.4 Alokasi dan Tempat Belajar Penetapan lokasi waktu dan tempat belajar dikategorikan menjadi dua, yaitu sesuai keinginan WB dan sesuai keinginan selain oleh WB. Lokasi belajar adalah tempat responden dan tutor KF melakukan kegiatan belajar mengajar pada program KF. Responden yang terdapat pada RW 01 belajar di kediaman RT 01 RW setempat. Sementara responden yang berada di RW 10 belajar di majelis pengajian yang berada di lingkungan tempat tinggal responden. Jadwal pun ditentukan oleh tutor namun hal tersebut disepakati oleh hampir seluruh responden, hanya responden yang bekerja
51
hingga sore hari mereka tidak dapat mengikuti belajar KF karena jadwal belajar dilakukan pada jam 2 siang dan jam 4 sore. Menurut pada Tabel 7, seluruh responden (100 persen) menyatakan waktu dan lokasi belajar di tentukan oleh tutor dan ibu RT setempat. Penentuan lokasi belajar tersebut tidak memberatkan responden karena jarak antara tempat tinggal responden dengan lokasi belajar relatif dekat. Hanya pada penentuan waktu belajar tidak seluruh responden (khususnya responden yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga) menyetujui jadwal belajar tersebut karena berbenturan dengan jam kerja mereka yang hingga sore hari. Hal tersebut tidak mendapat pemecahan masalah karena responden dan tutor pun tidak dapat mengajukan alternatif pilihan waktu yang lain.
6.6 Ikhtisar Bab VI Karakteristik responden terbagi menjadi dua, yaitu karakteristik internal diri pribadi dan karakteristik eksternal. Sebagian besar responden berumur di atas 30 tahun, banyak yang tidak mengecap pendidikan, 91 persen berstatus telah menikah, 65 persen bekerja sebagai buruh, dan 71 persen bermotif internal dalam mengikuti program. Tingkat pendidikan dan dukungan keluarga mereka rata-rata rendah, sebagian besar responden menyatakan teknik pembelajaran oleh tutor rendah, dan alokasi waktu serta tempat belajar berdasarkan keinginan oleh tutor dan RT setempat. Pada bab berikutnya akan dibahas mengenai jumlah responden yang kemampuan keaksaraannya tinggi atau telah melek aksara yang merupakan ukuran dari keberhasilan program KF PKBM Damai Mekar.
52
BAB VII KEBERHASILAN PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL 7.1 Keberhasilan Program KF Sesuai dengan definisi dari program keaksaraan fungsional adalah strategi upaya pemberantasan buta aksara (Depdiknas, 2007), maka keberhasilan program ini didasarkan pada pencapaian jumlah warga belajar yang masih memiliki kelanggengan kemampuan keaksaraan setelah program selesai selama 5 bulan, terhitung sejak bulan Desember 2007. Keberhasilan program KF diharapkan mampu mencapai target minimal 50 persen dari seluruh warga belajar yang mengikuti program berhasil memiliki kemampuan keaksaraan atau masih memiliki kelanggengan kemampuan tersebut. Berdasarkan hasil tes kemampuan keaksaraan terhadap seluruh responden (35 orang), terdapat 6 responden (17,1 persen) yang dinyatakan kemampuan keaksaraannya tinggi. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Sebaran Responden Menurut Kemampuan Keaksaraan di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008 No
Kemampuan keaksaraan
f
%
1
Tinggi (skor ≥ 318)
6
17.1
2
Rendah (skor < 318)
29
82.9
35
100
Jumlah
Responden yang kemampuan keaksaraannya rendah mengaku mereka telah banyak lupa dan mereka sudah banyak yang tidak belajar lagi. Meskipun ada 40 persen dari mereka yang memiliki motivasi tinggi belajar kembali namun tidak intens dilakukan.
53
Kegiatan mengurus anak dan keluarga serta bekerja menjadi alasan mereka tidak mampu mengingat pelajaran. Seperti beberapa pernyataan mereka: ”...Mau belajar lagi juga capek. Kerja saja sampai sore, di rumah juga belum beres” (Sari, 29 tahun). ”...Susah kalau punya anak kecil. Apalagi saya punya bayi, repot. Paling di rumah saja” (Rohana, 34 tahun). Responden yang rendah kemampuan keaksaraannya juga telah merasa malas untuk belajar kembali dan merasa sia-sia karena sangat sulit mengingat pelajaran. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa dari warga belajar: ”...Memang udah bodoh banget neng, lupa melulu. Jadi malas belajar lagi, sudah pada lupa dulu menghafal apa aja” (Nini, 46 tahun). Demikian pernyataan dari beberapa responden. Selain itu mereka juga mengeluhkan waktu yang diberikan selama program (6 bulan) dirasakan masih kurang bagi sebagian dari mereka. Keberhasilan program KF berdasarkan hasil tes kemampuan keaksaraan terbilang gagal karena hanya terdapat 17,1 persen warga yang kemampuan keaksaraannya tinggi. Hal ini jauh dari syarat keberhasilan program yaitu minimal 50 persen warga belajar yang harusnya kemampuan keaksaraannya tinggi. Keberhasilan program KF diharapkan dapat dilihat dari langgengnya kemampuan keaksaraan dasar yang masih dimiliki warga belajar pasca pembelajaran (5 bulan setelah program selesai). Berdasarkan penuturan pihak penyelenggara program, yakni PKBM Damai Mekar, target pencapaian kelanggengan kemampuan keaksaraan warga belajar memang sulit untuk diharapkan karena selain faktor kelupaan yang dialami oleh warga belajar dan hanya mengandalkan program KF yang telah dilaksanakan
54
(program keaksaraan dasar), pihak PKBM juga belum mampu merealisasikan tahap lanjutan pembelajaran setelah program keaksaraan dasar selesai, sehingga sangat rentan warga belajar kembali buta aksara ( replaced illiterate).
7.2 Upaya Pencapaian Keberhasilan Program Keaksaraan Fungsional Rendahnya jumlah warga belajar yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi mengindikasikan ketidakberhasilan program KF PKBM Damai Mekar dalam mempertahankan
kemampuan
kelanggengan
kemampuan
keaksaraan
warga
belajarnya. Perlu upaya nyata dalam program ini, khususnya upaya dalam bentuk pelanggengan
kemampuan
keaksaraan
warga belajar. Upaya pelanggengan
kemampuan keaksaraan warga belajar sebenarnya telah direncanakan oleh PKBM Damai Mekar, yaitu perencanaan akan dibentuknya kelompok belajar tahap lanjutan atau pembinaan, yaitu penekanan pembelajaran melalui bekerja, beraksi dan belajar usaha. Sampai saat ini rencana tersebut belum dapat terlaksana karena keterbatasan dana dan kesibukan pekerjaan tutor. Hal ini sangat disayangkan karena masih terdapat warga belajar yang berharap kegiatan belajar KF dilanjutkan, meskipun jumlahnya tidak begitu banyak. Peningkatan program keaksaraan tidak hanya target pada jumlah warga buta aksara yang dapat terjaring dalam program tersebut namun kualitas kemampuan keaksaraan pasca pembelajaran pun menjadi pokok penting pencapaian tujuan dari program KF sendiri dan menjadi suatu nilai dalam keberhasilan program.
55
Pencapaian
keberhasilan
program
KF
dapat
saja
dilakukan
melalui
memperpanjang jadwal belajar bagi warga belajar yang masih ingin melancarkan kemampuannya dengan membuka kelas yang dapat didatangi oleh warga belajar atau memberikan kesempatan warga belajar untuk memberikan saran agar mereka tetap dapat belajar. Dengan demikian warga belajar yang masih memiliki motivasi tinggi untuk belajar dapat melanjutkan atau melancarkan kemampuannya. Selain itu, jika terdapat rencana pembentukan kelompok belajar tahap lanjutan segera dibentuk sehingga kemampuan keaksaraan warga belajar tidak banyak yang hilang atau kelanggengan kemampuan keaksaraan dapat segera dipelihara dengan kegiatan-kegiatan yang menerapkan kemampuan keaksaraan. Hal lain yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan kerjasama kepada SKB Kecamatan Tanah Sareal dan PKK Kecamatan Tanah Sareal maupun Kota Bogor dalam upaya mewujudkan rencana tahap pembinaan atau lanjutan yang lebih memakan banyak dana dalam kegiatan praktek dan belajar usaha yang dapat diterapkan oleh warga belajar.
7.3 Ikhtisar Bab VII Program KF dinyatakan tidak berhasil karena hanya 17,1 persen responden yang kemampuan keaksaraannya tinggi atau hanya 6 orang yang mampu membaca dan menulis. Sebagian responden lainnya masih buta aksara atau kembali buta aksara karena telah lupa pada pelajaran. Salah satu penyebabnya yaitu ketidakberlanjutan program menjaga kemampuan keaksaraan WB. Selanjutnya pada Bab VIII akan membahas faktor-faktor yang berhubungan terhadap kemampuan keaksaraan WB.
56
BAB VIII HUBUNGAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL DENGAN KEMAMPUAN KEAKSARAAN Keberhasilan
program
keaksaraan
fungsional
(KF)
diperhitungkan
berdasarkan peningkatan kemampuan keaksaraan (baca tulis hitung) yang dimiliki warga belajar (WB) setelah ia mengikuti program KF pasca pembelajaran terhitung sejak bulan Desember 2008. Selain itu juga diharapkan WB mampu menerapkan kemampuan keaksaraannya secara fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan keaksaraan fungsional WB. Faktor tersebut terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal diri WB.
8.1 Hubungan Faktor Internal dengan Kemampuan Keaksaraan Faktor internal berasal dari dan melekat dalam diri WB, yang terdiri dari umur, tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti, status perkawinan, pekerjaan, jumlah anak, penilaian WB terhadap program KF, dan motif WB mengikuti KF. Hubungan variabel faktor internal dengan kemampuan keaksaraan WB akan disajikan pada Tabel 9 yang merupakan analisis data dengan menggunakan tabulasi silang.
57
Tabel 9. Hubungan antara Faktor Internal dengan Kemampuan Keaksaraan di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008 Kemampuan Keaksaraan
Total
%
17,4 16,6
23 12
100 100
6 0
18,8 0
32 3
100 100
75 87
3 3
25 13
12 23
100 100
28 1
82,4 100
6 0
17,6 0
34 1
100 100
12 17
80 85
3 3
20 15
15 20
100 100
2 27
100 81,8
0 6
0 18,2
2 33
100 100
7. Motif Mengikuti Program KF • Internal • Eksternal X²hitung = 0,503; X² α (0.05) db 1 = 3,84
20 9
80 90
5 1
20 10
25 10
100 100
Total
29
82,9
6
17,1
35
100
Faktor Internal 1. Umur • 16-45 tahun • Di atas 45 tahun
Rendah
%
Tinggi
%
19 10
82,6 83,4
4 2
26 3
81,3 100
9 20
X²hitung = 0,003; X² α (0.05) db 1 = 3,84
2. Status Perkawinan • Menikah • Janda 3. Pekerjaan • Tidak Bekerja • Bekerja X²hitung = 0,794; X² α (0.05) db 1 = 3,84 4. Tingkat Pendidikan • Rendah • Tinggi 5. Jumlah Anak • Rendah • Tinggi X²hitung = 0,151; X² α (0.05) db 1 = 3,84 6. Penilaian WB terhadap Program KF • Rendah • Tinggi
8.1.1 Hubungan Umur dengan Kemampuan Keaksaraan Pada Tabel 9 dapat dilihat hubungan antara umur dengan kemampuan keaksaraan. Responden yang berumur 16-45 tahun memiliki tingkat kemampuan
58
keaksaraan tinggi sebanyak 4 orang (17,4 persen) dari 23 responden berumur 16-45 tahun. Responden berumur di atas 45 tahun yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak 2 orang (16,6 persen) dari 12 responden berumur di atas 45 tahun. Berdasarkan hasil uji chi-square menunjukan bahwa nilai X²hitung (0,003) < X² tabel pada taraf nyata 5 persen (0,05) dan derajat bebas 1 yaitu 3,84, yang berarti Ho diterima, sehingga tidak terdapat hubungan antara tingkatan umur dengan tingkat kemampuan keaksaraan menjadi. Analisis pada tabulasi silang pun menunjukan warga belajar dengan tingkat umur 16-45 tahun maupun di atas 45 tahun memiliki kemampuan keaksaraan rendah. Meskipun terdapat responden umur 16-45 tahun dan di atas 45 tahun yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi, namun persentasenya kecil (17,4 persen dan 16,6 persen).
Adapun terdapat tiga responden berumur di atas 45 tahun dengan
kemampuan keaksaraan tinggi, diantaranya ada yang memang mengaku melatih kemampuannya tersebut di rumah meskipun program telah selesai.
8.1.2 Hubungan Status Perkawinan dengan Kemampuan Keaksaraan Berdasarkan analisis tabulasi silang pada hubungan status perkawinan dengan kemampuan keaksaraan seperti yang disajikan tabel 9, didapat responden dengan status menikah ada sebanyak 32 orang dan yang memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi dengan status menikah ada sebanyak 6 orang (18,8 persen). Sementara warga belajar dengan status janda ada sebanyak 3 orang dan secara keseluruhan tingkat keaksaraan mereka rendah atau tidak ada satu pun yang memiliki tingkat keaksaraan tinggi.
59
Pada kedua hubungan variabel ini tidak dilakukan analisis menggunakan chi square karena telah dapat disimpulkan berdasarkan pada analisis tabulasi silang, baik responden dengan status menikah maupun janda kemampuan keaksaraannya tetap rendah.
Bahkan
semua
responden
pada
kelompok
berstatus
kemampuan
keaksaraannya rendah. Data kemampuan keaksaraan tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Menurut keterangan dari warga belajar yang memiliki status janda, mereka tidak dapat belajar dengan aktif di program KF karena kesibukan mereka bekerja sebagai tulang punggung keluarga. Mereka semua yang berstatus janda bekerja sebagai buruh, yaitu 2 orang sebagai pembantu rumah tangga dan 1 orang bekerja sebagai pemisah benang. Menurut mereka, pekerjaan mereka memakan banyak waktu dan merasa capek jika harus belajar pula, dan belum lagi mereka harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Beban kerja inilah yang menyebabkan kemampuan keaksaraan mereka menjadi rendah.
8.1.3 Hubungan Pekerjaan dengan Kemampuan Keaksaraan Berdasarkan analisis tabulasi silang pada Tabel 9 diperoleh jumlah responden berkategori bekerja dengan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi ada 3 orang (13 persen) dari 23 responden yang bekerja. Responden berkategori tidak bekerja dengan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak 3 orang (25 persen) dari 12 responden berkategori tidak bekerja. Setelah dilakukan pengujian menggunakan analisis uji chi square, didapatkan X²hitung (0,794) dan X² α 0.05 db 1 (3,84), dengan melihat kedua nilai tersebut X²hitung (0,794) < X² α
0.05
db 1 (3,84) maka disimpulkan tidak terdapat hubungan antara
60
pekerjaan warga belajar dengan kemampuan keaksaraannya. Dugaan sebelumnya bahwa pekerjaan yang dilakukan warga belajar mempengaruhi kemampuan keaksaraannya, karena semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja maka sedikit kesempatan untuk membagi waktu belajar, maka kemampuan keaksaraan semakin rendah. Namun terdapat warga belajar yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi meskipun memiliki pekerjaan. Mereka yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi dan bekerja, tetap dapat mengikuti belajar di program KF karena menurut mereka masih dapat membagi waktu dan pekerjaan mereka tidak membatasi untuk belajar di program KF, selain itu juga mereka memiliki keinginan yang tinggi untuk dapat bisa membaca, menulis dan berhitung dengan mencoba belajar kembali di rumah meski tidak sering. Seperti yang telah dituturkan oleh seorang responden yang bekerja dan memiliki kemampuan keaksaraan tinggi sebagai berikut. ”...Belajar mah tetap bisa, karena pulang kerja juga biasanya sekitar jam 12. Majikan saya juga malah ngedukung saya supaya mau belajar ama ngaji” (Rini, 36 tahun). ”...Kerjaan misahin benang dari karet mah kan bisa dikerjain pagi atau sebelum belajar. Bisa dikerjain kapan aja ini mah, nanti juga ada yang datang kiloin benangnya yang udah kita rurut (pisah dari karet ban)” (Eni, 46 tahun). Berdasarkan pernyataan di atas ternyata jumlah jam kerja yang mempengaruhi responden untuk belajar pada program. Terbukti pada responden yang jumlah jam kerjanya lebih longgar, ia mampu membagi waktu untuk tetap bisa belajar dibandingkan pada responden yang jam kerjanya lebih padat, seperti responden yang bekerja sebagai PRT hingga sore hari.
61
8.1.4 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kemampuan Keaksaraan Pengalaman pendidikan formal akan menjadi dasar pengetahuan responden memiliki kemampuan keaksaraan sebelum mengikuti program KF. Responden yang pernah mengecap pendidikan berarti telah memiliki pengalaman belajar membaca, menulis atau berhitung, dan hal ini diharapkan mempengaruhi kemampuan keaksaraannya setelah mengikuti program KF. Menurut data tabulasi silang yang ditampilkan pada Tabel 9, responden dengan kategori tingkat pendidikan formal rendah dan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi berjumlah 6 orang (17,6) dari 34 responden yang tingkat pendidikan formalnya rendah. Sedangkan warga belajar dengan tingkat pendidikan tinggi tidak ada satu pun yang memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi dari 1 responden yang terbilang tingkat pendidikannya tinggi. Tidak dilakukan uji hipotesis pada kedua variabel ini karena terdapat data yang kosong pada sel tabulasi silang kedua hubungan variabel tersebut sehingga tidak memenuhi syarat pengujian. Selain itu juga telah dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti responden dengan kemampuan keaksaraannya, karena berdasarkan hasil data, responden dengan tingkat pendidikan terbilang tinggi pun kemampuan keaksaraannya rendah. Hampir keseluruhan warga belajar (97,1 persen) memang sangat minim mengecap pendidikan bahkan banyak diantara mereka yang tidak pernah sama sekali merasakan pendidikan formal (40 persen). Mereka tidak pernah mengerti huruf latin, namun mereka dapat membaca huruf arab karena sejak kecil mereka hanya diajarkan di sekolah agama
62
(madrasah) yang tidak mengajarkan huruf latin. Meskipun ada 51,4 persen yang merasakan pendidikan dasar, namun rata-rata hanya sampai kelas 1 SD. Meskipun tingkat pendidikan mereka rendah tidak menyebabkan kemampuan keaksaraan mereka rendah. Beberapa alasan yang mendukung kemampuan mereka antara lain motivasi mereka yang tinggi untuk dapat bisa membaca, menulis dan berhitung, lingkungan keluarga yang dapat membantu membaca, menulis dan berhitung seperti saudara dan suami dari warga belajar dan ada pula yang telah memiliki pengalaman belajar dari orang lain seperti majikan dari warga belajar yang menjadi pembantu rumah tangga.
8.1.5 Hubungan Jumlah Anak dengan Kemampuan Keaksaraan Menurut Tabel 9 responden dengan kategori jumlah anak tinggi dan memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi berjumlah 3 orang (15 persen) dari 20 responden yang berkategori jumlah anak tinggi. Sementara warga belajar dengan kategori jumlah anak rendah dengan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak 3 orang pula (20 persen) dari semua responden dengan jumlah anak rendah (15 orang). Setelah dilakukan analisis chi-square didapatkan X²hitung (0,151) < X² α 0.05 db 1 (3,84), yang berarti tidak terdapat hubungan antara tingkat jumlah anak dengan kemampuan keaksaraan. Selain itu persentase kemampuan keaksaraan antara responden jumlah anak tinggi maupun responden dengan jumlah anak rendah, tetap rendah (15 persen dan 20 persen). Berdasarkan wawancara mendalam kepada warga belajar, dengan banyaknya anak namun mereka tidak merasa terganggu untuk
63
mengikuti belajar, karena selain anak mereka yang telah mengerti kegiatan belajar ibunya, mereka juga melatih kembali kemampuan baca tulis di rumah bersama anak atau suami mereka. Namun sebagian besar responden yang memiliki balita (11,4 persen) mengaku tidak dapat berkonsentrasi untuk belajar hingga kemampuan keaksaraannya pun rendah. Ini berarti jumlah balita mempengaruhi kegiatan belajar responden, sehingga mempengaruhi kemampuan keaksaraannya juga.
8.1.6 Hubungan Penilaian WB terhadap Program KF dengan Kemampuan Keaksaraan Penilaian WB terhadap program KF merupakan tanggapan awal ketika warga belajar hendak mengikuti program hingga selama mereka mengikuti kegiatan belajar dalam program tersebut. Dapat dilihat pada Tabel 9, responden dengan kategori penilaian tinggi terhadap program dengan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak 6 orang (18,2 persen) dari 33 responden dengan kategori penilaian tinggi terhadap program. Sementara tidak ada satu pun warga belajar yang memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi dengan kategori penilaian rendah terhadap program dari 2 warga belajar yang memiliki kategori penilaian rendah terhadap program. Tidak dilakukan analisis chi-square kedua hubungan variabel ini, karena terdapat sel yang kosong pada tabulasi silang hubungan kedua variabel ini, sehingga tidak memenuhi syarat pengujian. Meski tidak dilakukan pengujian, hubungan antara penilaian WB terhadap program dengan kemampuan keaksaraannya tidak nyata atau tidak berhubungan. Hal ini dapat dilihat pada data pada Tabel 9, baik responden dengan penilaian rendah maupun tinggi, kemampuan keaksaraannya tetap rendah.
64
Meskipun tidak terdapat hubungan antara kedua variabel namun seluruh warga belajar yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi sepakat bahwa mereka memiliki penilaian yang tinggi terhadap program. Sementara warga belajar dengan penilaian rendah terhadap program merasa tidak yakin bahwa program tersebut membawa perubahan pada kemampuan baca, tulis dan hitung mereka. Selain itu juga mereka tidak aktif mengikuti program hanya sekitar 2-3 bulan saja.
8.1.7 Hubungan Motif WB Mengikuti Program KF dengan Kemampuan Keaksaraan Motif responden untuk mengikuti program menjadi dasar dorongan responden mau mengikuti program KF. Pada Tabel 9 diperoleh data responden yang memiliki motif internal dengan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak 5 orang (20 persen) dari semua responden yang bermotif internal (25 orang). Sementara jumlah responden yang memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi dengan motif eksternal sebanyak 1 orang (10 persen) dari seluruh responden bermotif eksternal mengikuti program (10 orang). Berdasarkan hasil analisis uji chi-square, diperoleh X²hitung (0,503) < X² α 0.05 db 1 sebesar (3,84), maka tidak terdapat hubungan antara motif warga belajar untuk mengikuti program dengan kemampuan keaksaraan. Meskipun tidak terdapat hubungan pada kedua variabel tersebut, namun data pada tabulasi silang menunjukan warga belajar dengan kemampuan keaksaraan tinggi cenderung memiliki motif internal untuk mengikuti program. Ini menjelaskan bahwa warga belajar yang bermotif internal akan mempengaruhi kemampuan keaksaraannya menjadi tinggi.
65
8.2 Hubungan Faktor Eksternal dengan Kemampuan Keaksaraan Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berasal dari luar diri WB, berkaitan dengan lingkungan sosial (keluarga, masyarakat, dan lingkungan program KF). Faktor eksternal terdiri dari tingkat pendidikan keluarga, dukungan dari lingkungan tempat tinggal, teknik pembelajaran oleh tutor, alokasi tempat dan waktu pembelajaran. Tabel 10. Hubungan antara Faktor Eksternal dengan Kemampuan Keaksaraan di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008 Kemampuan Keaksaraan Faktor Eksternal 1. Tingkat Pendidikan keluarga • Rendah (skor < 4) • Tinggi (skor ≥ 4)
Total
%
Rendah
%
Tinggi
%
16 13
88,9 76,5
2 4
11,1 23,5
18 17
100 100
19 10
86,4 76,9
3 3
13,6 23,1
22 13
100 100
17 12
81 85,7
4 2
19 14,3
21 14
100 100
0 29
0 82,9
0 6
0 17,1
0 35
100 100
29
82,9
6
17,1
35
100
X²hitung = 0,949 ; X² α (0.05) db 1 = 3,84
2. Dukungan dari Keluarga • Rendah (skor < 4) • Tinggi (skor ≥ 4) X²hitung = 0,513 ; X² α (0.05) db 1 = 3,84
3. Teknik Pembelajaran oleh Tutor • Rendah (skor < 16) • Tinggi (skor ≥ 16) X²hitung = 0,134; X² α (0.05) db 1 = 3,84 4. Alokasi Waktu dan Tempat Belajar • Sesuai keinginan WB • Sesuai keinginan selain oleh WB Total
66
8.2.1 Hubungan Tingkat Pendidikan Keluarga dengan Kemampuan Keaksaraan Menurut pada Tabel 10, terdapat responden dengan tingkat pendidikan keluarga rendah dan memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak 2 orang (11,1) dari 18 responden yang tingkat pendidikan keluarganya rendah. Responden dengan tingkat pendidikan keluarga tinggi dan memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak 4 orang (23,5 persen) dari 17 responden yang tingkat pendidikan keluarganya tinggi. Diantara responden yang tingkat pendidikan keluarganya tinggi memiliki orang tua dan saudara yang pernah mengikuti sekolah rakyat. Menurut mereka, mereka tidak dapat ikut merasakan sekolah tersebut karena terdapat deskriminasi terhadap perempuan untuk mengikutinya. Selain itu ada anggapan bahwa perempuan akan kembali mengurus rumah tangga dan akan bekerja di dapur maka belajar membaca dan menulis tidak perlu dimiliki perempuan. Diperoleh hasil analisis menggunakan uji chi square bahwa hubungan tingkat pendidikan keluarga dengan kemampuan keaksaraan tidak terdapat hubungan. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji analisis tersebut, yaitu X²hitung (0,949) < X² α
0.05
db 1
(3,84). Dari hasil analisis menunjukan bahwa tingkat pendidikan keluarga tidak memiliki hubungan terhadap kemampuan keaksaraan warga belajar. Hasil lapangan pun menunjukan bahwa terdapat 2 responden yang memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi namun tingkat pendidikan keluarganya rendah. Berdasarkan wawancara kepada responden tersebut, meskipun keluarga mereka tidak ada yang dapat membaca dan menulis namun mereka memiliki semangat yang tinggi untuk
67
bisa baca tulis yaitu dengan sungguh-sungguh belajar pada program KF dan belajar kembali di rumah, seperti yang dituturkan oleh salah seorang responden: ”...Bapak ama ibu saya seinget saya gak bisa baca. Tapi alhamdulilah belajar sedikit demi sedikit bisa, biar masih beuleut (bodoh). Ya belajar aja waktu dulu di rumah, tanya-tanya ama anak yang masih SD” (EN, 46 tahun). Responden dengan kemampuan keaksaraan tinggi dan tingkat pendidikan keluarganya tinggi, merasa keluarga mereka cukup membantu peningkatan kemampuan keaksaraannya. Seperti responden yang orangtua, saudara, suami atau anaknya bisa membaca memberi pengalaman mereka untuk dapat mengenal huruf sebelum mengikuti program. Selain itu responden yang pendidikan keluarganya tinggi memberikan motivasi dan membantu responden untuk bisa membaca dan menulis.
8.2.2 Hubungan Dukungan dari Keluarga dengan Kemampuan Keaksaraan Berdasarkan dukungan dari keluarga, jumlah responden yang memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi dengan dukungan dari keluarga rendah sebanyak 3 orang (13,6 persen) dari 22 responden dengan dukungan rendah dari keluarga. Begitupun responden dengan dukungan tinggi dari keluarga dan kemampuan keaksaraan tinggi sebanyak 3 orang (23,1 persen) dari semua responden dengan dukungan tinggi dari keluarga (13 orang). Setelah dilakukan analisis menggunakan uji chi-square, diperoleh X²hitung (0,513) < X² α
0.05
db 1 sebesar (3,84). Hal ini menunjukan bahwa tidak ada
hubungan antara dukungan dari keluarga dengan kemampuan keaksaraan. Terlihat
68
dari data di atas terdapat warga belajar yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi meskipun dukungan dari keluarga rendah. Mereka yang kurang mendapatkan perhatian dari keluarga dalam belajar namun tetap memiliki motivasi untuk tetap belajar membaca dan menulis meskipun tidak hanya melalui program KF. Berdasarkan hasil penuturan warga belajar yang memiliki dukungan tinggi dari keluarga, mereka merasa dukungan dari keluarga sangat mempengaruhi semangat mereka untuk belajar membaca dan menulis. Mereka merasa terbantu melancarkan kemampuan keaksaraannya dengan belajar bersama anak atau suami.
8.2.3 Hubungan Teknik Pembelajaran oleh Tutor dengan Kemampuan Keaksaraan Berdasarkan data yang ada pada Tabel 10 mengenai teknik pembelajaran oleh tutor, responden yang memiliki tingkat kemampuan keaksaraan tinggi dengan teknik pembelajaran oleh tutor tinggi sebanyak 2 orang (14,3 persen) dari 14 responden yang menunjukan teknik pembelajaran tinggi oleh tutor, dan sebanyak 4 responden (19 persen) dengan kemampuan keaksaraan tinggi dan teknik pembelajaran rendah oleh tutor. Hasil uji analisis chi square terhadap data di atas menyatakan X²hitung (0,134) < X² α
0.05
db 1 (3,84), sehingga disimpulkan tidak terdapat hubungan antara teknik
pembelajaran tutor dengan kemampuan keaksaraan warga belajar. Meskipun demikian pada tabulasi silang menunjukan lebih banyak responden yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi dengan teknik pembelajaran tinggi oleh tutor (4 orang) dari 6 orang yang kemampuan keaksaraannya tinggi.
69
8.2.4 Hubungan Alokasi Waktu dan Tempat Belajar dengan Kemampuan Keaksaraan Penetapan alokasi waktu dan tempat belajar dikategorikan menjadi 2, yaitu sesuai keinginan WB dan sesuai keinginan selain oleh WB. Jumlah responden yang memiliki kemampuan keksaraan tinggi dengan penetapan waktu dan tempat belajar sesuai keinginan selain oleh warga belajar sebanyak 6 (17,1 persen). Seluruh warga belajar menyatakan bahwa lokasi dan waktu belajar di tetapkan oleh kemauan selain oleh mereka yaitu oleh tutor dan ibu RT, namun penyesuaian lokasi dan waktu disepakati oleh warga belajar pula dan mereka pun tidak keberatan atas kesepakatan tersebut. Lokasi tempat mereka belajar KF tidak jauh dari tempat mereka tinggal, yaitu di majelis tempat mengaji dan rumah ketua RT. Waktu belajar juga ditetapkan oleh tutor, dan kebanyakan dari warga belajar tidak keberatan karena waktu belajar dimulai sekitar jam 2 siang atau setelah waktu ashar atau jam 4 sore. Namun untuk beberapa warga belajar yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, mereka kadang tidak dapat mengikuti kegiatan belajar karena pekerjaan mereka belum selesai. Pada hubungan antara alokasi tempat dan waktu belajar dengan kemampuan keaksaraan tidak dilakukan analisis uji chi square karena melalui data tabulasi silang dapat disimpulkan bahwa keseluruhan warga belajar menyatakan bahwa alokasi waktu dan tempat belajar ditetapkan selain oleh mereka, yaitu tutor dan ibu RT, yang berarti bahwa baik kemampuan keaksaraan warga belajar tinggi maupun rendah, waktu dan lokasi belajar ditetapkan selain warga belajar. Sehingga hal ini
70
menjelaskan bahwa tidak terdapat hubungan antara alokasi waktu dan tempat belajar atau tidak mempengaruhi kemampuan keaksaraan warga belajar.
8.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingginya Kemampuan Keaksaraan Responden Dari seluruh responden penelitian, hanya 6 orang (17,1 persen) yang kemampuan keaksaraannya dinyatakan tinggi. Berdasarkan analisis kualitatif terhadap keenam responden tersebut, masing-masing responden memiliki faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan keakasaraannya menjadi lebih tinggi. Faktorfaktor tersebut antara lain, adanya motivasi dan dukungan dari keluarga kepada responden agar mereka dapat membaca, menulis dan berhitung. Faktor ini dirasakan oleh empat responden, antara lain Rani (39 tahun), Rini (36 tahun), Asma (40 tahun), dan Juju (27 tahun). Keluarga mereka seperti suami dan anak mereka membantu belajar di rumah baik selama program KF masih berlangsung maupun setelah program berakhir. Rani yang memiliki suami seorang ketua RT sangat merasa terbantu ketika suaminya sering mengingatkan dia untuk belajar membaca dan menulis, bahkan suaminya yang pertama kali menyuruhnya mengikuti program KF. Responden yang memiliki dukungan tinggi dari keluarga seperti keempat responden di atas merasa lebih termotivasi untuk terus belajar membaca dan menulis di rumah meskipun tidak sesering saat mereka mengikuti program KF. Tingkat pendidikan keluarga juga ternyata mempengaruhi dua responden yang tingkat kemampuan keaksaraannya tinggi, yaitu Asma dan Amin (54 tahun). Mereka merupakan kakak beradik yang dibesarkan oleh keluarga yang terbilang tinggi tingkat pendidikannya dibandingkan keluarga responden lainnya. Orang tua dan saudara laki-
71
laki mereka dapat membaca dan menulis karena pernah mengikuti sekolah rakyat. Asma dan Amin sebelumnya merupakan warga buta aksara praktis (mampu membaca dan menulis huruf arab) dan mampu mengenal huruf latin dan mengeja beberapa suku kata. Kemampuan mengenal huruf latin dan mengeja beberapa suku kata mereka dapatkan dari pengalaman belajar dengan saudara laki-laki mereka. Program KF yang mereka ikuti sangat membantu meningkatkan kemampuan keaksaraannya. Selain dengan mengikuti program KF, mereka juga melatih kembali kemampuannya di rumah meski tidak sering, sehingga kemampuan membaca dan menulis mereka tetap ada hingga kini. Faktor dukungan dari lingkungan sekitar WB selain oleh keluarga, juga mempengaruhi kegiatan belajar WB. Responden yang memiliki pekerjaan yang menyita banyak waktu mengakibatkan kegiatan belajar mereka terabaikan, namun hal tersebut tidak terjadi pada Rini yang merupakan seorang pembantu rumah tangga. Meskipun ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga, majikannya sangat mendukung kegiatan belajarnya di program KF jika Rini bersunggung-sungguh ingin belajar. Majikan Rini juga sering ikut membantu melatih kemampuan membaca dan menulisnya, misalnya dengan membelikannya hand phone dan mengajarkan bagaimana cara mengetik SMS. Kasus yang terjadi pada Rini merupakan bentuk dukungan dari lingkungan sekitar WB yang turut menjaga kemampuan keaksaraan WB. Selain dukungan dari keluarga maupun lingkungan sekitar WB, ternyata semangat atau motivasi dalam diri WB untuk dapat bisa membaca dan menulis sangat mempengaruhi kemampuan keaksaraan mereka. Seperti Eni (46 tahun) yang memiliki
72
semangat tinggi untuk bisa membaca dan menulis, meskipun dukungan dari keluarganya rendah. Keinginan Eni untuk bisa membaca dan menulis tersebut ia lakukan dengan melatih membaca dan menulis di rumah. Ia kadang mengisi waktu kosongnya dengan belajar menulis dan mencoba melihat tugas sekolah anaknya yang masih SD. Pentingnya dukungan dari keluarga maupun lingkungan di sekitar WB merupakan faktor yang mendorong motivasi WB untuk belajar membaca dan menulis. Hal tersebut juga harus diiringi dengan semangat dalam diri dan tindakan nyata oleh WB untuk mau meningkatkan dan melatih kembali kemampuan keaksaraannya. Adanya dukungan yang tinggi dari keluarga namun tidak disertai dengan dukungan dari lingkungan sekitar dan tindakan nyata dengan membaca dan menulis kembali, mengakibatkan kemampuan keaksaraan akan tetap rendah. Faktor motivasi dalam diri WB, tindakan mengulang kembali belajar, dan dukungan dari keluarga maupun lingkungan sekitar merupakan pokok penting yang mempengaruhi tingginya kemampuan keaksaraan WB, terutama faktor mengulang kembali pembelajaran oleh WB. Program KF akan berhasil atau lebih efektif jika seluruh WB memiliki faktor-faktor tersebut. Maka dari itu perlu upaya sinergi antara pihak penyelenggara program dengan lingkungan sekitar WB guna mendukung terciptanya kondisi dari faktor-faktor tersebut dalam peningkatan kemampuan keaksaraan WB dan keefektifan program KF.
73
8.4 Ikhtisar Bab VIII Hasil analisis menggunakan tabulasi silang maupun pengujian hipotesis tidak menemukan hubungan nyata pada faktor internal maupun eksternal responden dengan kemampuan keaksaraannya. Namun setelah melakukan analisis mendalam secara kualitatif ditemukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap responden yang berhasil memiliki kemampuan keaksaraan tinggi. Faktor-faktor tersebut diantaranya motivasi dan dukungan tinggi dari keluarga maupun lingkungan sekitarnya untuk membantu WB tetap dapat belajar membaca dan menulis, semangat atau motivasi dalam diri WB untuk tetap belajar meskipun program telah berakhir, dan tindakan belajar kembali yang dilakukan secara berulang-ulang. Analisis mengenai dampak yang ditimbulkan dari program KF terhadap WB akan dibahas selanjutnya pada Bab IX.
74
BAB IX DAMPAK DARI PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL 9.1 Bentuk Dampak Program KF Kemampuan keaksaraan yang telah dimiliki warga belajar diharapkan memiliki pengaruh terhadap dampak kepada warga belajar atas kemampuan yang telah mereka miliki tersebut atau disebut juga manfaat tidak langsung yang diperoleh warga belajar dari program (impacts). Dampak tersebut terdiri dari tiga bentuk, yaitu motivasi untuk belajar kembali, penerapan fungsional kemampuan keaksaraan, dan kepercayaan diri warga belajar.
9.1.1 Motivasi untuk Belajar Kembali Motivasi untuk belajar kembali muncul setelah warga belajar mengikuti program keaksaraan fungsional. Motivasi belajar kembali merupakan salah satu manfaat tidak langsung dari program kepada warga belajar yang mampu mendorong warga belajar untuk meningkatkan kemampuan keaksaraannya. Dampak ini juga adalah bentuk keinginan dari warga belajar secara individu memandirikan kemampuan keaksaraan mereka setelah program selesai.
9.1.2 Penerapan Fungsional Kemampuan Keaksaraan Penerapan fungsional kemampuan keaksaraan adalah wujud penerapan kemampuan keaksaraan yang telah dimiliki ke dalam kehidupan sehari-hari warga belajar. Dampak inilah yang seharusnya diperoleh warga belajar setelah mereka mengikuti program. Secara
konkrit bentuk penerapan ini meliputi penerapan
75
kemampuan membaca, menulis dan berhitung yang bermanfaat dalam kehidupan keseharian mereka, seperti membaca surat pengumuman dari RT, tagihan listrik, undangan, menulis biodata diri atau anggota keluarga pada formulir, menghitung pengeluaran belanja sehari, membaca waktu pada jam, membaca kalender atau halhal yang berkaitan dengan aktivitas membaca menulis atau berhitung yang umum terjadi dalam kehidupan mereka.
9.1.3 Kepercayaan Diri Warga Belajar Bentuk kepercayaan diri warga belajar disini sangat
berkaitan
dengan
keberanian warga belajar untuk mengakses kelembagaan masyarakat. Pengetahuan yang didapat oleh warga belajar dalam bentuk kemampuan keaksaraan diharapkan mampu memberikan bentuk rasa percaya diri warga belajar untuk mengakses kelembagaan masyarakat yang umumnya diakses, seperti sekolah anak (ketika saat pengambilan raport anak), pembayaran listrik, RT atau kantor kelurahan ketika mengurus masalah kependudukan (KTP), pasar tradisional, serta kepercayaan diri untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.
9.2 Hubungan Kemampuan Keaksaraan dengan Motivasi Belajar Kembali Kemampuan keaksaraan warga belajar yang masih rendah diharapkan mampu mempengaruhi motivasi warga belajar untuk belajar kembali mengasah kemampuan keaksaraannya. Motivasi warga belajar dapat dilihat dari keinginan untuk mau dan melakukan belajar baca, tulis dan hitung kembali dirumah bersama anak atau keluarga. Menurut analisis tabulasi silang terhadap hubungan tersebut terdapat
76
responden dengan tingkat kemampuan keaksaraan rendah dan memiliki motivasi tinggi untuk belajar kembali ada sebanyak 10 orang (34,5 persen) dari 29 responden yang memiliki kemampuan keaksaraan rendah. Terdapat pula responden dengan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi dan memiliki motivasi tinggi untuk belajar kembali ada sebanyak 4 responden (66,7 persen) dari 6 responden yang kemampuan keaksaraannya tinggi. Data tersebut dapat lebih jelas dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hubungan Kemampuan Keaksaraan Responden dengan Motivasi Belajar Kembali di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008
Kemampuan Keaksaraan Rendah Tinggi Jumlah Keterangan: ( ) X²hitung X² α 0.05 db 1
Motivasi belajar Kembali Rendah Tinggi 19 (65,5) 10 (34,5) 2 (33,3) 4 (66,7) 21 (60) 14 (40)
Jumlah 29 (100) 6 (100) 35 (100)
= persentase = 2,146 = 3,84
Hasil analisis menggunakan metode chi-square menghasilkan X²hitung (2,146) < X² α
0.05
dengan db 1 sebesar 3,84. Hal ini menunjukan bahwa tidak terdapat
hubungan antara kemampuan keaksaraan dengan motivasi belajar kembali oleh warga belajar atau dengan kata lain tingkat kemampuan keaksaraan rendah tidak mempengaruhi motivasi belajar kembali warga belajar. Terlihat dari adanya warga belajar dengan kemampuan keaksaraan tinggi maupun rendah memiliki motivasi untuk belajar kembali. Bahkan lebih tinggi persentase responden yang kemampuan keaksaraannya tinggi dan memiliki motivasi belajar kembali. Warga belajar dengan kemampuan keaksaraan tinggi dan memiliki motivasi tinggi untuk belajar kembali
77
mengatakan bahwa dengan belajar lagi dirumah membuat kemampuan baca tulis hitungnya tetap masih ada.
9.3 Hubungan Kemampuan Keaksaraan dengan Penerapan Fungsional Kemampuan Keaksaraan Kemampuan keaksaraan seorang warga belajar akan mempengaruhi penerapan kemampuannya tersebut dalam kehidupan. Penerapan kemampuan keaksaraan dalam kehidupan sehari-hari yaitu kemampuan secara fungsional dari kemampuan baca tulis hitung warga belajar, seperti kemampuan membaca dan biodata sendiri, membaca undangan, dan membaca waktu pada jam. Hal tersebut sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka yang sebelumnya sama sekali tidak mengenal huruf. Berdasarkan data yang diperoleh warga belajar dengan tingkat kemampuan keaksaraan tinggi dan melakukan penerapan fungsional kemampuan keaksaraannya ada sebanyak 6 (100 persen) orang dari seluruh responden yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi (6 orang). Sementara warga belajar yang memiliki tingkat kemampuan keaksaraan rendah namun dapat melakukan penerapan fungsional kemampuan keaksaraan ada sebanyak 1 orang (3,4 persen) dari 29 responden yang tingkat kemampuan keaksaraanya rendah.
78
Tabel 12. Hubungan Kemampuan Keaksaraan Responden dengan Penerapan Fungsional Kemampuan Keaksaraan di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008
Kemampuan Keaksaraan Rendah Tinggi Jumlah Keterangan: ( ) X²hitung X² α 0.05 db 1
Penerapan Fungsional Kemampuan Keaksaraan Rendah Tinggi 28 (96,6) 1 (3,4) 0 (0) 6 (100) 28 (80) 7 (20)
Jumlah 29 (100) 6 (100) 35 (100)
= persentase = 28,966 = 3,84
Berdasarkan hasil analisis dengan metode chi-square didapatkan X²hitung (28,966) > X² α
0.05
db 1 sebesar 3,84. Hal ini menunjukan terdapat hubungan antara
kemampuan keaksaraan dengan penerapan fungsional kemampuan keaksaraan tersebut atau kemampuan keaksaraan mempengaruhi penerapan kemampuan keaksaraan warga belajar. Terlihat warga belajar dengan kemampuan keaksaraan tinggi, ia juga dapat menerapkan secara fungsional kemampuan keaksaraannya tersebut. Terdapat 1 warga belajar yang kemampuan keaksaraannya rendah namun ia dapat menerapkan kemampuan keaksaraannya secara fungsional. Hal ini terjadi karena WB tersebut dapat pula dikatakan kemampuan keaksaraanya hampir cukup tinggi, hanya beberapa skor kemampuan keaksaraannya yang hampir mencukupi standard skor kelulusan kemampuan keaksaraan (skor ≥ 318) sehingga penerapan fungsional yang telah mampu ia lakukan didasarkan atas kemampuan keaksaraannya yang meningkat pula.
79
9.4 Hubungan Kemampuan Keaksaraan dengan Kepercayaan Diri WB Peningkatan kemampuan keaksaraan warga belajar (WB) diharapkan dapat pula meningkatkan kepercayaan diri WB. Maksud dari kepercayaan diri disini adalah munculnya sikap dari warga belajar untuk berani mengakses kelembagaan masyarakat yang sebelumnya tidak dapat mereka akses karena perasaaan minder atau merasa bodoh karena tidak dapat membaca dan menulis dan merasa minder untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya. Namun tidak selalu peningkatan kemampuan keaksaraan diiringi dengan adanya peningkatan kepercayaan diri. Berdasarkan data penelitian jumlah responden yang mengalami peningkatan kepercayaan diri atau kepercayaan dirinya tinggi dengan kemampuan keaksaraan tinggi pula ada sebanyak 2 orang (33,3 persen) dari 6 responden yang kemampuan keaksaraanya tinggi. Sementara jumlah warga belajar yang memiliki kepercayaan diri tinggi namun kemampuan keaksaraannya rendah sebanyak 6 responden (20,7 persen) dari 29 responden yang kemampuan keaksaraanya rendah. Tabel 13. Hubungan Kemampuan Keaksaraan Responden dengan Kepercayaan Diri di PKBM Damai Mekar, Kelurahan Sukadamai, Tahun 2008
Kemampuan Keaksaraan Rendah Tinggi Jumlah Keterangan: ( ) X²hitung X² α 0.05 db 1
Kepercayaan Diri WB Rendah Tinggi 23 (79,3) 6 (20,7) 4 (66,7) 2 (33,3) 27 (77,1) 8 (22,9)
Jumlah 29 (100) 6 (100) 35 (100)
= persentase = 0,451 = 3,84
Berdasarkan hasil analisis chi-square, didapat X²hitung (0,451) < X² α 0.05 db 1 (3,84). Dari hasil analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan
80
keaksaraan tidak mempengaruhi kepercayaan diri warga belajar. Warga belajar yang mempunyai kemampuan keaksaraan tinggi diharapkan dapat memunculkan keberanian dalam diri untuk merasa percaya diri. Namun terdapat pula warga belajar dengan kemampuan keaksaraan rendah, mereka juga memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Warga belajar dengan kasus seperti ini terjadi karena semakin banyak mereka berinteraksi dengan warga belajar yang lain dan para tutor KF maka semakin bertambah kepercayaan diri mereka untuk berinteraksi dengan orang lain, seperti dengan mengambil raport anak ke sekolah dan menandatangani sebagai perwalian dari anak, merasa lebih dapat bersosialisasi dengan tetangga sekitar tempat tinggal, atau belanja ke pasar tradisonal. Hal ini diperkuat dari penuturan mereka dalam wawancara. ”...Dulu kalo yang ngambil raport anak yang kecil, kakaknya aja. Sekarang mah saya bisa ngambilin. Disuruh nulis nama ama tanda tangan aja mah bisa biarpun masih jelek tulisannya” (MR, 43 tahun). ”...Saya seneng banget belajar di KF. Gurunya bae-bae, seneng kumpul ama yang lain juga kalo lagi belajar bareng, yang tadinya gak begitu deket, sekarang jadi deket, ama bu RT juga jadi lebih kenal, malah jadi pada kangen belajar lagi bareng” (NN, 46 tahun). Perolehan data kualitatif seperti di atas mengartikan bahwa kepercayaan diri responden dapat dimiliki atau bertambah tanpa harus terlebih dahulu ia memiliki kemampuan keaksaraan yang tinggi. Hal ini pun terjadi karena adanya proses pembelajaran selama di program KF, atau dengan kata lain program KF memberikan pengaruh kepada responden untuk memiliki atau menambah kepercayaan diri dalam memandirikan diri responden.
81
9.5 Ikhtisar Bab IX Responden yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi diharapkan memunculkan sikap dari dampak pelaksanaan program KF, yaitu motivasi belajar kembali, penerapan fungsional kemampuan keaksaraan serta memiliki sikap percaya diri. Responden yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi mampu menerapkan kemampuannya tersebut secara fungsional, berarti tingginya kemampuan keaksaraan WB dapat mempengaruhi penerapan fungsional kemampuan keaksaraannya dalam kehidupan sehari-hari. Motivasi belajar kembali dapat saja dimiliki oleh responden dengan kemampuan keaksaraan rendah, tidak hanya dimiliki oleh responden berkemampuan keaksaraan tinggi. Hal ini membuktikan tidak terdapat hubungan antara kemampuan keaksaraan WB dengan motivasi belajar kembali. Tidak ada pula hubungan antara kemampuan keaksaraan WB dengan kepercayan diri yang dimilikinya, karena terdapat WB dengan kepercayaan diri tinggi tanpa harus memiliki kemampuan keaksaraan yang tinggi. Kepercayaan diri mereka dapatkan dengan mengikuti program KF melalui interaksi yang terjadi selama proses pembelajaran dalam kelompok.
82
BAB X KESIMPULAN DAN SARAN
10.1 Kesimpulan 1. Berdasarkan analisis data, baik faktor internal maupun eksternal responden tidak
berhubungan
atau
tidak
mempengaruhi
terhadap
kemampuan
keaksaraannya. Tetapi jika dilakukan penelusuran secara kualitatif ditemukan adanya
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
peningkatan
kemampuan
keaksaraan pada responden berkemampuan keaksaraan tinggi. Dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar ternyata membantu mereka untuk tetap dapat belajar, selain itu semangat dalam diri WB untuk mengulang belajar setelah program sangat mempengaruhi mereka. 2. Program KF dinyatakan tidak berhasil karena hanya sebesar 17,1 persen responden yang masih memiliki kelanggengan kemampuan keaksaraan. Kebanyakan responden telah kembali buta aksara atau sudah lupa pada pelajarannya. Selain itu mereka memang belum sepenuhnya melek aksara setelah program KF selesai. 3. Kemampuan keaksaraan yang telah dimiliki responden berhubungan terhadap penerapan fungsional dari kemampuan keaksaraan tersebut. Responden yang memiliki kemampuan keaksaraan tinggi cenderung mampu menerapkan kemampuannya tersebut secara fungsional. 4. Kemampuan keaksaraan yang dimiliki responden setelah mengikuti program tidak berhubungan terhadap motivasi untuk belajar baca tulis hitung kembali.
83
Terdapat responden yang memiliki motivasi belajar kembali setelah program meskipun kemampuan keaksaraannya tetap rendah. Peningkatan kepercayaan diri responden pun dapat terjadi setelah mengikuti program tanpa harus memiliki kemampuan keaksaraan yang tinggi, karena proses interaksi dalam kelompok belajar mempengaruhi kepercayaan diri mereka dengan lingkungan sekitarnya.
10.2 Saran Masalah ketidakberlanjutan pada program memerlukan upaya tindak lanjut segera terhadap pelaksanaan program ke tahap lanjutan setelah tahap dasar dilaksanakan, sehingga warga belajar yang telah melek aksara dapat mempertahankan kemampuannya. Upaya ini dapat dilakukan dengan membuat Taman Bacaan Masyarakat yang berada di sekitar tempat tinggal warga belajar atau membekali mereka dengan life-skile atau Kelompok Belajar Usaha secara berkelompok agar mereka dapat termotivasi sekaligus menjaga kemelekaksaraan serta memandirikan diri mereka.
Upaya ini tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak PKBM karena
masalah keterbatasan sumber daya pada PKBM menjadi hambatan utama, maka dari itu dapat pula dilakukan oleh masyarakat sekitar warga belajar untuk ikut berpartisipasi mendukung penuntasan masalah kebutaaksaraan penduduk. Pelaksanakan pembelajaran pada tahap dasar pemberantasan sebaiknya lebih dari enam bulan, karena masih banyak warga belajar yang membutuhkan tambahan waktu pembelajaran khususnya bagi mereka yang masih rendah kemampuan keaksaraannya. Selain itu diperlukan pula sistem monitoring dan evaluasi baik pada
84
masa pemberantasan maupun setelah program selesai, dapat dilakukan oleh Kasubdit PLS Dinas Pendidikan Kota Bogor bekerjasama dengan penyelenggara program, dan mitra
kerjasama
Program
dipertanggungjawabkan.
KF
agar
penyelengaraan
program
KF
dapat
85
DAFTAR PUSTAKA
Aksara. 2007. Pengembangan Program Pendidikan Keaksaraan, hal 13-18 edisi MeiJuni 2007. Dit Dikmas & Ditjen PLS Depdiknas: Jakarta. Aminullah. 2007. Akan Berhasilkah Pemberantasan Buta Huruf di Indonesia?. BPPLSP Regional V: Bandung. Depdiknas & BPS. 2006. Ringkasan Laporan Hasil Survei Buta Aksara Tahun 2006. Depdiknas: Jakarta. Djalal, Fasli & Nina Sardjunani. 2006. Peningkatan Keaksaraan yang Lebih Baik untuk Indonesia. Http://harian-global.com/news.php?item.25325.10 Diakses pada tanggal 21 November 2007 Kelurahan Sukadamai. 2007. Laporan Program Kerja Tahun 2007 dan Rencana Program Kerja Tahun 2008 Kelurahan Sukadamai. Kelurahan Sukadamai. Bogor. Kurniawan, Khaerudin. 2005. Percepatan Pemberantasan Buta Http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0905/10/0801.htm Diakses tanggal 20 November 2007.
Aksara.
Maryatun. 2005. Survei Manfaat Pemberdayaan Perempuan Melalui Program Keaksaraan Fungsional (KF) di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sri Makmur Desa Silebu Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang Propinsi Banten. Skripsi. Universitas Negeri Jakarta: Jakarta. Kelurahan Sukadamai. 2007. Laporan Program Kerja Tahun 2007 Dan Rencana Program Kerja Tahun 2008 Kelurahan Sukadamai. Kelurahan Sukadamai: Bogor. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI. 2005. Laporan Akhir: Penyusunan Data Dasar (Baseline Data Buta Aksara Perempuan). Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia: Jakarta. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI. 2007. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Buta Aksara Perempuan 2007-2011. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia: Jakarta.
86
Nasdian, Fredian Tonny. 2003. Modul Pengembanagn Masyarakat. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Pranarka & Suryadi. 2004. Kesetaraan Gender. PT Genessindo: Jakarta Rosalina, M. Puteri. 2007. Supaya Sederhana Perkuat Keterlibatan Kaum Hawa. Kompas, 31 Oktober 2007. Rudito, Bambang. 2003. Akses Peran Serta Masyarakat: Lebih Memahami Community Develeopment. Indonesia Center for Sustainable Development: Jakarta. Saidah. 2001. Pendidikan Non Formal dengan Program Keaksaraan Fungsional (PKF). Studi Pendidikan Luar Sekolah. Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Jakarta: Jakarta Sihombing Umberto, Gutama. 1999. Profil PKBM di Indonesia Pada Masyarakat Perintisan. PD. Mahkota: Jakarta. Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat & JPS. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Stoner, Freeman & Gilbert. Manajemen Jilid II. Judul Asli: Management Sixth Edition. Penerjemah: Alexander Sindoro. PT Prenhallindo: Jakarta. Swasono, Sudjana. 2007. Pendidikan Luar Sekolah: Wawasan Sejarah Perkembangan Falsafah Teori Pendukung Asas. Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung UNDP. 2005. Tujuan: Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium Indonesia. Http://undpdoc.undp.org/report.mill/0016/0045655IND.pdf Diakses pada tanggal 11 November 2007 UNESCO. 2006. Laporan Global PUS (Pendidikan Untuk Semua) 2006: Keaksaraan Bagi Kehidupan. Http://unesdoc.unesco.org/images/0014/0014427IND.pdf Diakses pada tanggal 11 November 2007 Wahyuni, Ekawati S. dan Puji Mulyono. 2006. Modul Kuliah Metode Penelitian Sosial. Departemen Komuniasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor: Bogor.