KEBENARAN, KEBAJIKAN DAN KEINDAHAN (SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM) Kisah Kehidupan Bhagavàn Sri Sathya Sai Bàbà
Ditulis oleh : N. KASTURI, M.A., BL.
Jilid I
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
Buku elektronik ini diberikan kepada Anda sebagai Prema Dana (Hadiah Cinta Kasih) dan tidak untuk diperjualbelikan. Anda dapat membuat copy buku ini hanya untuk keperluan sendiri. DILARANG mencetak/ menerbitkan sebagian atau seluruh bagian dari buku ini untuk kepentingan komersial tanpa persetujuan penerbit. Untuk mendapatkan versi cetak dari buku ini silahkan menghubungi penerbit.
Team Pustaka Sai, 2010�
www.pustakasai.net
[email protected]
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
ii
KEBENARAN, KEBAJIKAN DAN KEINDAHAN (SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM) Kisah Kehidupan Bhagavàn Sri Sathya Sai Bàbà
Ditulis oleh : N. KASTURI, M.A., BL.
Jilid I
iii
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
KATA PENGANTAR (Dari Edisi Bahasa Inggris) Saya lahir pada tahun 1897 di sebuah desa yang kurang begitu dikenal di Travoncore Utara. Saya sekolah di Cochin State yang dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang bijaksana. Kepala Sekolah itu mengenal Svàmì Vivekananda, pada kenyataannya beliaulah yang menyalakan pelita doa dan kesadaran di dalam hati kami. Saya memasuki College di Tnvandrum dan bekerja sebagai lektor dalam bidang Sejarah di sebuah college di Mysore setelah memperoleh gelar M.A. dan B.L. Saat saya, isteri dan ibu saya sedang menaiki perahu di sepanjang terusan sungai West Coast untuk mengejar kereta api dari Emakulam yang akan berangkat lewat tengah malam, di kegelapan terusan itu kami dihentikan oleh penjaga pantai. la berteriak dari tepi pantai: “Kalian akan pergi kemana?” Tukang perahu kami adalah seorang yang sangat suka bercanda, ia menjawab: “Kami akan pergi ke Mysore!” (Kami semua mengetahui bahwa Mysore adalah sebuah kota yang terletak di pedalaman). Penjaga pantai tidak marah mendengar kelakar tukang perahu itu, karena suasana hatinya saat itu sedang penuh dengan rasa humor. la tertawa dan bertanya: “Mengapa kau menyebutkan Mysore? Apakah engkau tak mengetahui sebuah tempat selain Mysore?” Pada saat itu kami tidak tahu bahwa ada sebuah tempat yang letaknya lebih jauh dari Mysore, kira-kira 322 km ke arah utara, tempat itu disebut Puttaparthi, tempat yang nantinya akan memberi kami perlindungan dari kedahsyatan gelombang samudera, Suatu tempat di mana saya akan berjumpa dengan seorang Guru yang saya butuhkan pada saat masa jabatan saya sebagai pengajar dan direktur universitas hampir berakhir. Di bulan April 1959, Yogi Suddhananda Bharathi, yang juga penyair spiritual yang termasyhur dari Tamilnad, memberi khotbah spriritual dalam suatu konperensi keagamaan yang dipimpin oleh Úrì Sathya Sàì Bàbà di kota Venkatagiri. la berkata: “Saya sudah mempraktekkan Yoga selama lebih dari 50 tahun, saya pernah melaksanakan janji untuk tidak berbicara selama lebih dari 20 tahun, saya sudah pernah bertemu dengan Úrì Shirdi Bàbà, Úrì Ramaóa Mahàåûi, Úrì Aurobindo, Úrì Meher Bàbà dan lain-lain; kini saya berjumpa dengan Úrì Sathya Sàì Bàbà yang merupakan hasil dari segala disiplin itu.” Saya bertugas sebagai Sekretaris misi Ràmakåûóa di Mysore selama lebih dari 17 tahun, saya berjumpa dengan Úrì Siddharùda Svàmì, Úrì Ramaóa Mahàåûi, Úrì Meher Bàbà dan Úrì Nàràyaòa Guru. Saya dituntun dalam Japa (pengucapan nama Tuhan) oleh Mahàpuruûaji, seorang murid yang mendapat bimbingan langsung dari Úrì Ràmakåûóa PaRàmahamsa dan merupakan Presiden Ràmakåûóa Mission. Sekarang saya yakin bahwa sebagai hasil dari semua itu maka pada tahun 1948 saya menjadi pengikut Úrì Sathya Sàì Bàbà. Setelah mengundurkan diri dari jabatan di Universitas Mysore, saya merasa bahagia karena dapat selalu ada di dekat Bàbà, kecuali untuk waktu yang pendek ketika saya sedang bertugas sebagai penata acara program Kannada di All India Radio. Saya beruntung dapat bertemu dengan banyak bhakta yang telah berhubungan lebih lama dan lebih dekat dengan-Nya. Saya berusaha memanfaat setiap kesempatan untuk melihat langsung kejadian-kejadian yang memperlihatkan Kekuatan ketuhanan-Nya dan mendengarkan wejangan-wejangan-Nya. Saya berharap dengan membaca buku ini para pembaca dapat memahami kedekatan dan kesetiaan luar biasa yang mengikat saya dan orang-orang lain pada Bàbà. Setiap orang bisa mendekati-Nya dan memperoleh berkah-Nya. Saya merasa sangat kasihan pada orang-orang yang tidak menyadari kehadiran Bàbà karena dulu saya pun pernah meragukannya, dan tidak percaya pada kebenaran-Nya. Hal itu saya nyatakan dengan nada ejekan dan sindiran di dalam novel, drama serta esei yang berhubungan dengan bermacam-macam subjek yang pernah saya tulis dan terbitkan. Kesombongan yang bodoh, membuat saya selama bertahun-tahun tidak melakukan usaha apapun untuk mendekati Dia. Kini saya mengundang setiap orang untuk datang, ikut menikmati Rahmat serta Kasih sayang-Nya dan melihat Kekuatan Tuhan yang diwujudkan-Nya Penulis, N. Kasturi.
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
iv
Bàbà sedang melihat naskah buku terjemahan ini dan kemudian menulis berkat Beliau untuk para pembaca (lihat halaman Berikutnya)
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
Bàbà bersama penulis buku ini, Profesor Kasturi
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
vi
Apapun yang kau lakukan dimanapun kau berada, ingatlah selalu bahwa Aku mengetahui semuanya. Shirdi Sàì Bàbà
vii
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
v
\
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
viii
I SÀÌ BÀBÀ YANG MENAKJUBKAN Ini merupakan kisah mengenai Tuhan yang menjelma sebagai manusia. la lahir pada tanggal 23 November 1926 saat dini hari di Puttaparthi, suatu desa kecil yang tenang di India Selatan. Puttaparthi telah terlukis di hati penduduk tempat itu, karena nama desa ini dikaitkan dengan sebuah cerita kuno atau legenda yang menimbulkan kenangan suci. “Putta” dalam bahasa daerah berarti “bukit semut yang dirampas tempat tinggal ular” dan “Parthi” berarti “berlipat ganda”. Kata-kata itu adalah bagian dari suatu cerita kuno yang menarik yang menjelaskan asal usul nama ini. Pada zaman dahulu desa ini dikenal dengan nama Gollapalli atau “tempat tinggal para penggembala sapi”, sebuah nama yang membuat kita ingat pada masa kanak-kanak Kåûóa, Penggembala yang penuh dengan sipat-sipat Tuhan, yang penuh kelucuan. Gollapalli merupakan suatu tempat yang ramai oleh alunan suling dan canda tawa gadis-gadis penggembala sapi. Tempat ini juga merupakan rumah bagi para penggem bala yang begitu sejahtera karena sapi dan lembu di sana sehat dan kuat. Ternak sapi meng-hasilkan susu dalam jumlah yang begitu berlimpah, kental dan sangat manis hingga setiap rumah penuh dengan mentega dan ghee (minyak susu). Meskipun begitu, pada suatu hari seorang penggembala menemukan bahwa sapi betina kesayangannya sepulang dari memakan rumput di perbukitan ternyata kantung susunya sudah tidak berisi susu lagi. la memutuskan untuk menyelidiki apa yang menjadi penyebab dari keanehan ini. Dia diawasinya segala gerak gerik sapinya secara diam-diam dan tersembunyi, dan tak lama kemudian Ia melihat suatu tingkah laku yang aneh. Sapi tersebut membiarkan anaknya berkeliaran bersama saudaranya yang lain, sementara itu ia keluar dari kandang, menyusuri jalan setapak menuju ke bukit semut di tepi desa. Sang penggembala mengikutinya hingga akhirnya ia menyaksikan yang suatu peristiwa lebih mengejutkan. Seekor kobra menjalar dari gundukan tanah, mengangkat kepalanya ke atas, menempelkan mulutnya pada puting susu sapi itu dan dengan lahapnya meminum semua susu yang ada. Merasa marah atas peristiwa yang merugikannya, penggembala itu lalu mengangkat sebuah batu besar, mengambil ancang-ancang dan melemparkannya ke arah ular kobra. Sambil menahan rasa kesakitan ular itu mengucapkan suatu kutukan yang merupakan akibat dari kemarahannya pada seluruh penggembala sapi di desa tersebut. Lewat katakata terakhirnya si kobra meramalkan bahwa tempat itu akan penuh dengan bukit semut yang jumlahnya akan berlipat ganda dengan jumlah yang tidak terputus dan juga akan menjadi tempat tinggal ular. Hal itu benar-benar terjadi. Lembu-lembu mengalami kemerosotan baik dalam kesehatan maupun jumlahnya. Mereka tidak dapat lagi diternakkan dengan baik di Gollapalli. Bukit-bukit semut memenuhi seluruh tempat, dan nama wilayah tersebut segera berubah menjadi Valmikipura yang arti-nya “kota bukit semut”. Nama itu itu menyenangkan bagi para orang yang sudah tua yang ada di desa tersebut karena Vàlmìki adalah nama seorang pujangga abadi, orang suci yang menulis dan menyanyikan syair kepahlawanan Úrì Ràma, serta menunjukkan jalan kesempumaan kepada umat manusia. “Kota bukit semut” dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai “Puttaparthi”. Untuk bukti dari legenda menyedihkan ini, maka penduduk desa disana memperlihatkan batu yang dipergunakan oleh si penggembala untuk melempar ular tersebut. Batu itu tebal dan bulat serta terdapat sedikit pecahan di salah satu sisinya. Ada noda merah yang bentuknya memanjang yang dipercaya merupakan bekas darah ular kobra. Batu ini kemudian dipuja, mungkin untuk menghindari kutukan dan menolong ternak lembu agar dapat hidup dengan lebih baik. Batu tersebut juga dianggap sebagai simbol Kåûóa, Penggembala yang sepenuhnya memiliki sifat-sifat Tuhan. Para kepala desa membangun sebuah kuil untuk menyimpan batu itu dan batu itu dihormati dari generasi ke generasi baik pria maupun wanita Anehnya, beberapa tahun yang lalu Bhàgavan Úrì Sathya Sàì Bàbà memperlihatkan suatu bagian sisi batu itu dan Beliau menugaskan beberapa orang untuk mencuci dan mengoleskan pasta kayu cendana pada bagian sisinya yang sedikit pecah itu. Saat hal ini dilakukan, ternyata mereka dapat melihat suatu bentuk yang terukir dengan jelas, menggambarkan Kåûóa sedang bersandar pada lembu, sambil membawa suling yang sangat indah di bibir-Nya. Penduduk desa setempat bersumpah bahwa mereka benar-benar dapat men-dengar lagu dari tiupan napas Kåûóa melalui lubang suling dalam ukiran tersebut. Semenjak saat itu kutukan ular kobra kehilangan pengaruh buruknya, dan lembu-lembu mulai
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
berkembang biak lagi dengan baik di Puttaparthi. Sederetan dinding benteng yang masih berdiri kokoh dengan megahnya di bagian Timur desa, membuktikan keunggulan Puttaparthi atas kawasan sekitarnya, dan juga memperlihatkan kekuatan serta kebesaran para pengurus wilayah itu. “Dengan sungai Citravatì mengalir turun sebagai alur jeram dan mengalir sebagai sungai kecil pada sisi yang lain, terpanjang bagaikan permata hijau yang mengelilingi bukit-bukit, dengan genta yang menggema pada dataran tinggi yang berada di sekitarnya, diperkaya oleh bendungan yang dibangun oleh Raja Chikkaraya serta berbatasan dengan kota yang memakai nama Bukka (penguasa kota Vijayanagara yang sangat terkenal), Puttaparthi adalah tempat tinggal Devi Lakûmì (Devi Keberuntungan) dan Devi Sarasvatì (Devi Kebijaksanaan)”. Begitulah pujian yang diagung-agungkan oleh para pujangga yang tidak dikenal di masa lalu. Puttaparthi adalah tempat lahir para penyair, sarjana, pahlawan dan tokoh-tokoh kemanusiaan. Keluarga Raju yang mana Bhagavàn Úrì Sathya Sàì Bàbà termasuk sebagai anggota, terkenal kesalehannya sejak masa hidup Venkavadhùta, seorang bijaksana yang terkenal. Keluarga Raju tidak hanya membangun dan menghadiahkan ruang doa, Úrì Ratnakaram Kondama Raju, kakek Sathya Sàì Bàbà yang sangat saleh, mempersembahkan kuil untuk Satyabhàmà, Permaisuri Kåûóa. Dalam wilayah manapun di India, jarang orang menyam-paikan hormat bakti pada Devi ini. Untuk memberi suatu pandangan yang jelas tentang penghormatan yang luar biasa pada Sathyabhàmà ini, Kondama Raju biasanya berkata bahwa ia mendapat suatu wahyu untuk mendirikan pura itu, yang terjadi karena suatu kejadian yang berlangsung dalam sebuah mimpi yang aneh. Bila ia mengenang kembali mimpi yang sangat berkesan itu maka air mata kebahagiaan akan mengalir membasahi pipi keriput orang tua ini ( yang usianya lebih dari 100 tahun). Dalam mimpinya Kondama Raju melihat, “Satyabhàmà berada seorang diri, penuh kekhawatiran dan sama sekali tidak ada yang dapat membuatnya gembira, menanti dengan cemas Junjungannya yang sedang pergi sejenak untuk mengambil bunga Pàrijàta yang begitu diinginkannya yang tumbuh di surga. Menit berlalu menjadi jam dan jam menjadi hari tetapi tetap tak ada tanda-tanda dari Kåûóa! Sathyabhàmà berlumuran air mata. Yang menyebabkan munculnya badai, petir, kilat dan hujan yang lebat. Untunglah pandangannya jatuh pada Kondama Raju yang sedang lewat dekat tempat ia berdiri. Satyabhàmà minta kepadanya agar dibuatkan sekadar tempat berteduh.” Mimpi ini membawanya pada suatu keputusan untuk membangun kuil bagi Pendamping Tuhan tersebut. Kondama Raju menghabiskan masa hidupnya di dunia selama 110 tahun dalam perenungan tentang Tuhan. la adalah seorang ahli musik dan seni drama, la hafal seluruh Ràmàyaóa versi Lepaksi, puisi kepahlawanan yang agung dalam bahasa Sanskerta yang mengisahkan tentang Ràma. Versi ini adalah suatu rangkaian lagu yang disusun oleh penyair dari kota Lepakshi. Mereka menggambarkan peristiwa ini secara dramatis dalam kemegahan yang artistik. Dalam seluruh lakon Ràmàyaóa yang dimainkan di Puttaparthi dan di desa-desa lain, Kondama Raju berperan Lakûmaóa, yang adalah saudara Ràma yang penuh pengabdian. Permintaan untuk memainkan peran ini bahkan diterimanya dari tempat-tempat yang jauh. Cara Kondama Raju melukiskan pengabdian Lakûmaóa yang penuh ketabahan dan tanpa pamrih, menyentuh hati semua orang yang menyaksikan pertunjukannya. Kondama Raju tampil beratus kali di atas panggung hingga akhirnya usia yang semakin lanjut tak memungkinkan ia memainkan peran itu lagi. la juga seorang yang pantang makan daging hewan (vegetarian murni) dan cenderung untuk melakukan berbagai janji suci pada hari-hari besar Hindu. Pondoknya yang terletak begitu jauh dari tempat tinggal cucu-cucunya sebenarnya merupakan tempat untuk melakukan suatu pemujaan. la suka mengumpulkan mereka dan menceritakan kisah Dewa-dewa dan Manusia Dewa. Anak-anak mereka senang bersamanya karena lewat pesona lagu dan drama, Kondama Raju membuat setiap tokoh dan peristiwa yang diceritakan, seolah-olah benar-benar hidup di depan mata para pendengar kecilnya. Kami yakin bahwa di antara anak-anak itu terdapat Satyanarayana (nama kecil Sathya Sàì Bàbà) yang merupakan cucu kesayangannya, karena anak kecil ini dapat bernyanyi dengan suara yang merdu dan menarik, bahkan dapat memberikan satu dua pelajaran dalam seni drama pada orang tua yang disegani itu. Ada alasan lain mengapa Kondama Raju menampakkan suatu kasih sayang istimewa pada Satyanarayana. Anak kecil ini tidak menyukai makanan yang mengandung daging dan tak mau berada di sekitar tempat dimana makanan semacam itu sedang disiapkan. Di usia yang masih muda yaitu tujuh tahun,
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
Ia juga seorang tukang masak yang luar biasa. Ia begitu pandai dan tidak pernah kehabisan akal sehingga dapat menyajikan makanan paling lezat dari bahan sederhana yang ada dalam pondok kakeknya. Semua ini dilakukannya dengan perasaan yang gembira dan sangat cepat! (Sàì Bàbà berkata bahwa la pergi ke dapur kakek-Nya dan membuat suatu yang lengkap masakan : nasi, kari serta sambal. Semua itu dilakukan Sathya lebih cepat dari ibu-Nya, walau sang ibu membuat masakan di rumahnya sendiri dibantu oleh puteriputerinya). Ketika hidupnya memasuki masa senja, Úrì Kondama Raju dikunjungi oleh para bhakta yang mencari berkah Úrì Sathya Sàì Bàbà dan ketika kakek yang terhormat ini berusaha berdiri dengan tegak untuk menerima bakti mereka, orang dapat melihat seberkah sinar kegembiraan dan syukur di matanya karena Tuhan telah lahir dalam keluarganya. la hidup hingga tahun 1950 dan meninggal dalam damai sambil menyanyikan bait-bait dari kitab Ràmàyaóa untuk diri sendiri dengan suara keras. Sungguh merupakan kehidupan yang pantas untuk dicatat dalam sejarah orang-orang suci. Isteri Úrì Kondama Raju, Úrì Lakshmamma, telah meninggal kira-kira duapuluh tahun lebih awal. Hidupnya sangat disiplin, mengikuti aturan hidup yang ditentukan oleh penanggalan agama Hindu, melaksanakan Puasa Suci, Nazar serta berdoa semalam suntuk. la melakukan ini dengan sangat hatihati dan teliti, tanpa mempedulikan sesibukan yang nanti akan dialaminya, biaya dan hal-hal yang tidak menyenangkan. Tujuannya hanyalah agar ia pantas menerima berkah Kekuatan Tuhan yang dijanjikan dalam kitab suci sebagai imbalan bagi usaha spiritualnya. Úrì Kondama Raju mempunyai dua orang putera yang diberi nama Pedda Venkapa Raju dan Chinna Venkapa Raju. Nama Venkapa diambil dari nama seorang bijaksana yaitu Venkavadhùta. Mereka adalah orang yang baik dan sederhana serta memiliki kemampuan dalam bidang musik, sastra maupun drama, sama seperti yang dimiliki oleh ayahnya. Dari kedua bersaudara itu, yang lebih muda dianugerahi keahlian yang lebih beraneka ragam, meliputi kemampuan untuk membuat karangan kesusasteraan, menyiapkan obat-obatan serta jimat dengan bantuan rumus-rumus tradisional. Suatu saat Pedda Venkapa Raju dibawa orang tuanya ke sebuah desa bernama Kolimigundla, di wilayah Kumool, di sana mereka memiliki sebidang tanah yang telah disewa dalam waktu yang lama. Dalam perjalanan menuju tempat itu, saat memasuki hutan Parlepalli, seseorang yang baik hati memperingatkan mereka agar membawa seorang pengawal yang kuat, karena dua hari sebelumnya satu keluarga yang terdiri dari enam orang telah di-bunuh oleh perampok. Tujuan utama perjalanan itu adalah agar Pedda Venkapa mengenal daerah itu, dan mengenal para penyewa tanah, tetapi dalam hati sang ayah sebenarnya mempunyai tujuan selain itu. la ingin membawa keluarga jauhnya, yaitu keluarga Subba Raju, lebih dekat ke Puttaparthi sehingga mereka aman dari bahaya yang dihadapi setiap hari jika mencari nafkah di hutan. Untuk meyakinkan Subba Raju agar mau pindah ke desa di tepi sungai Citravatì, di seberang Puttaparthi, Kondama Raju memberi suatu “suapan” yang meyakinkan! Yang tidak lain daripada “menerima” puteri Subba Raju, Eswaramma, sebagai mempelai untuk putera sulung Kondama Raju yaitu Pedda Venkapa. Begitulah awal dari munculnya harapan baik bagi perkawinan Pedda Venkapa dan Eswaramma. Persatuan yang diberkati Tuhan ini dianugerahi dengan seorang putera, Seshama Raju, dan dua orang puteri : Venkamma dan Parvathamma. Beberapa tahun berlalu kini Eswaramma, merindukan seorang putera. la berdoa pada para dewa dan melakukan Satyanàràyaòa Pùja, suatu janji yang khusus untuk memperoleh anugerah Tuhan dalam Nama dan Rupa Satyanàràyaòa.Dengan begitu teliti ia melaksanakan beberapa pantangan yang keras sehingga ia harus melakukan suatu janji tidak tidur di malam hari dan berpuasa.
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
II KUNTUM MELATI Begitulah wadah jasmani yang dikehendaki Tuhan tercipta sekali lagi. Berbagai isyarat gaib yang menandai kemunculan Penjelmaan Tuhan ini mengganggu ketenangan hidup Pedda Venkapa. Seperti, Saat tengah malam senar tambura tiba-tiba berdenting secara luar biasa. Karena saudara laki-laki, ayahnya dan semua sangat menyukai opera desa yang memainkan cerita-cerita kuno India, dan karena latihan sandiwara sering diadakan di rumah, maka sebuah “tambura” yang besar digantungkan pada sebuah paku yang ditancap kan di dinding, dan “maddala” atau gendang diletakkan di lantai. Kedua alat musik itu tidak dimainkan di saat seluruh keluarga beristirahat di malam hari. Tetapi menjelang kelahiran putera yang dimohon Eswaramma dalam doanya ini, maka seluruh keluarga sering terbangun di tengah malam, dan kadang pada dini hari, oleh tambura yang berdentang dengan irama merdu, dan suara maddala yang dipukul lembut, seolah-olah mereka dimainkan oleh tangan-tangan yang ahli. Aneka macam teori dikemukakan oleh orang-orang bijaksana di desa tersebut untuk menjelaskan gejala yang luar biasa ini, tetapi usaha mereka ini hanya memperbesar misteri. Dalam usaha mencari jawaban atas gejala-gejala aneh tersebut, Pedda Venkapa bergegas pergi ke Bukkapatnam tempat tinggal seorang “Sastry” yang ahli mengenai tanda-tanda semacam itu, dan yang memiliki suatu penjelasan yang dapat dipercaya. la diberi tahu bahwa hal tersebut adalah suatu kejadian yang memberi harapan baik, bahwa musik yang timbul dengan sendirinya itu menandakan hadirnya suatu kekuatan yang menganugerahkan keharmonisan, irama, keteraturan, simetri, perbaikan rohani dan kebahagiaan. Pada tanggal 23 November tahun 1926, lahirlah seorang bayi laki-laki. Penduduk desa menyanyikan bermacam-macam nama Úiva, perwujudan Irama Jagat Raya, karena hari itu adalah hari Senin dalam bulan suci Kartika, yaitu hari yang dipersembahkan untuk memuja Úiva. Bahkan hari itu membawa harapan lebih baik karena bintang yang berpengaruh adalah “Ardha”, dan ada pada kesempatan yang jarang terjadi itu, yaitu di saat bulan, matahari dan bintang muncul bersamaan, pada saat itu diadakan suatu pemujaan khusus di kuil Tuhan. Tahun itu adalah tahun “Akûaya”, artinya: “Yang tak pernah ditolak, yang selalu sempurna”! Ketika sedang menyelesaikan upacara terakhir dari pemujaan Satyanàràyaòa yang sesuai dengan apa yang ia janjikan, sang ibu mulai merasa sakit tanda akan melahirkan. Ketika hal ini diberitahukan maka segera dikirim beberapa orang pesuruh untuk memberi tahu ibu mertuanya yaitu Lakshmamma, seorang ibu tua yang saleh. Ternyata ia sedang pergi ke rumah pendeta untuk melakukan doa Satyanàràyaòa. Pesuruh itu segera menyusulnya dan mendesak agar segera pulang. Lakshmamma sangat percaya pada Satyanàràyaòa dan sangat tekun dalam kebaktian serta sangat disiplin mengikuti agamanya ini yang membuat ia tidak mau tergesa-gesa! la berpesan bahwa ia akan membawakan persembahan suci bagi menantunya, Eswaramma, setelah pemujaan selesai dan bahwa ia sama sekali menghentikan doanya. la menyelesaikan seluruh upacara dengan penuh perhatian, lalu pulang ke rumah, memberikan bunga pada Eswaramma, yaitu bunga yang saat pemujaan diletakkan pada arca dan juga memberikan air suci yang bekas dipakai untuk membersihkan arca. Eswaramma mempergunakan karunia Tuhan, memasang bunga-bunga itu di rambutnya dan meneguk air suci. Sesaat kemudian Penjelmaan Tuhan lahir ke dunia, dan matahari membumbung tinggi di atas cakrawala. Sàì Bàbà pernah berkata bahwa ada satu hal penting yang hendaknya diperhatikan mengenai penjelmaan ini, yaitu bahwa Penjelmaan Tuhan ini tidak akan pergi meninggalkan tanah kelahiran-Nya, karena Ia justru telah memilih tempat itu sebagai pusat kegiatan-Nya. Pagi hari di bulan November Puttaparthi menerima berkat ganda, karena Tuhan telah memilih desa yang bahagia tersebut tidak hanya sebagai tempat kelahiran-Nya tetapi juga sebagai tempat tinggal-Nya. Desa yang bernama “Kesejahteraan Bukit Semut” ini menyambut kedatangan Sang Putera dengan suatu penyambutan yang pantas. Seekor ular di temukan dalam ruang persalinan. Mula-mula para wanita tak mengetahuinya, tetapi tiba-tiba mereka melihat bahwa bayi yang terbaring di atas kain itu, seperti
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
digerakkan naik turun perlahan-lahan oleh sesuatu yang ada di bawah alas tempat tidurnya. Untuk beberapa saat mereka mengawasi kejadian itu dengan napas tertahan dan ketika akhirnya diperiksa, wanita-wanita itu melihat seekor kobra di bawah alas tempat tidur. Bayi ini sangat menarik hati. Agak ajaib, karena walaupun masih berada dalam belaian, la mempunyai seluruh kekuatan spiritual para Yogi. Pàtañjali, seorang bijaksana zaman dahulu, yang menulis Kitab Suci Yoga, menyatakan bahwa jarang sekali ada jiwa-jiwa yang lahir dengan kekuatan semacam itu, dan kekuatan spiritual itu juga menyertai kelahiran seorang Avatar atau Penjelmaan Tuhan. Sàì Bàbà pernah menyatakan bahwa sebelum lahir, la telah mengetahui di mana la akan dilahirkan. la juga mengatakan bahwa la lahir dengan seluruh kekuatan-Nya yang menakjubkan, yang akan dinyatakan-Nya satu demi satu sesuai dengan kehendak ketuhanan-Nya, bila Ia merasa telah tiba saatnya untuk menyatakan hal itu. Sebagai bayi mungil, pastilah la telah memancarkan cahaya kemuliaan di sekitar kepala-Nya, senyum yang mencerminkan keindahan dunia lain dan kekuatan surgawi yang memikat hati. Beberapa tahun yang lalu Sàì Bàbà memberi tahu saya, Beliau berkata, “Aku tidak tidur pada malam hari, lalu Aku teringat pada berbagai kejadian dalam penjelmaan-penjelmaan-Ku yang terdahulu, dan sementara kenangan itu berlalu, Aku tertawa sendiri dalam hati.” oleh sebab itu, dapat diduga bahwa gelak tawa kecil dan kenangan yang menghiasi buaian sang bayi, timbul dari kenangan tentang berbagai kedatangan dan peristiwa yang telah lalu. Bayi ini diberi nama Satyanarayana karena ibunya beranggapan bahwa ada hubungan penting antara pemujaan Tuhan dalam Rupa (wujud) tersebut, dengan dikabulkannya keinginan seorang ibu akan seorang putera. Ketika upacara pemberian nama dilaksanakan dan nama itu dibisikkan di telinga, tampaknya sang bayi tersenyum, karena pastilah la sendiri yang secara diam-diam menyarankan agar nama itu diberikan kepada-Nya. Bagaimana lagi kita akan menjelaskan kenyataan bahwa hal pertama yang diperlukan untuk kemajuan rohani yang kini dijelaskan oleh Sathya Sàì Bàbà, adalah Sathya atau Kebenaran? Berikutnya adalah iman pada Nàràyaòa atau ‘Tuhan dalam manusia’. Itulah nama paling tepat yang dapat diberikan oleh penjelmaan dan Kebenaran bagi Diri-Nya sendiri. Anak ini menjadi kesayangan seluruh desa Puttaparthi. Para petani dan penggembala berlombalomba satu dengan yang lain, untuk membelai dan menyuapi Sang Bayi serta bermain-main dengan rambutNya yang ikal dan halus seperti sutera. Senyum-Nya yang menawan memikat hati setiap orang. Rumah Pedda Venkapa selalu dipenuhi pengunjung yang datang dengan berbagai alasan dan melewatkan waktunya di sekitar bayi sambil menyanyikan lagu-lagu untuk menidurkan Sang Bayi, yang melimpahkan suatu rasa sayang dan melupakan hidup mereka yang menjemukan. Keharuman “Kumkum Melati” ini memenuhi udara. Bagaikan pelita yang bercahaya, Sathya bermain di sekitar rumah dan canda tawa yang membahana di jalan bila la mengucapkan kata-kata dengan suara-Nya yang manis dan kekanak-kanakan. Orang-orang dengan heran memperhatikan Bocah ini yang senang bila dahi-Nya diberi tanda yang lebar dengan Abu Suci atau Vibhùti (tanda yang biasa dipakai pria). la akan mendesak agar tanda itu diperbaharui lagi secepat mungkin bila tanda tersebut terhapus. la juga ingin agar bagian tengah dahi-Nya diberi titik bundar dengan kumkum, titik merah, yang biasa dipakai para wanita. Ibu-Nya jarang memenuhi keinginan ini, sehingga la harus mencari kotak kumkum kakakkakak perempuan-Nya dan mengenakannya di dahi-Nya sendiri. la adalah Úiva, la adalah Úakti, ‘Tuhan dan Kekuatan Tuhan”. la harus mempunyai baik Abu Suci maupun Titik Merah. la menjauhi tempat-tempat di mana babi, domba, lembu, ayam dan itik dibunuh atau disiksa, juga tempat ikan dijerat atau ditangkap. la menjauhi dapur dan alat-alat rumah tangga yang digunakan untuk memasak daging atau unggas. Bila ada ayam yang yang akan dimasak Sathya kecil akan berlari menjumpainya, memeluk ayam itu dan membelainya dengan penuh rasa sayang, seakan-akan kasih istimewa yang dilimpahkan-Nya pada mahluk itu dapat menggerakkan hati orang dewasa agar merasa kasihan dan melepaskannya. Karena keengganan-Nya untuk membunuh dan kasih sayang-Nya yang besar pada ciptaan Tuhan, maka tetangga-tetangga menjuluki-Nya “Brahmajnani”, artinya “Jiwa yang telah menginsafi DiriNya”. Bila ada yang memasak daging di rumah-Nya maka Sathya akan berlari ke rumah akuntan desa yang letaknya tidak jauh dari sana, karena disana adalah keluarga Brahmin dan berpantang makan daging. la akan makan penganan yang diberikan oleh Subbamma, wanita tua yang tinggal di situ. Bila diperlakukan secara kasar oleh para sahabatnya-Nya Sathya jarang membalas. Orang tua-Nya mendengar tentang perlakuan buruk semacam itu melalui anak lain yang menyaksikan kejadian tersebut,
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
tetapi tak pernah mendengarnya dari Sathya sendiri. Tampaknya sedikitpun la tidak menderita sakit atau merasa kalah. la selalu berbicara benar dan tak pernah menggunakan alasan yang dibuat-buat seperti yang umumnya dilakukan anak-anak lain untuk menutupi kesalahan mereka. Tingkah lakunya begitu berbeda daripada yang lain sehingga seorang anak muda pernah menjuluki-Nya “Brahmin kecil!” Ini adalah penggambaran yang tepat. Pemuda tersebut tidak tahu bahwa Anak Kecil yang sedang ia tertawai ini, Saat masih berada dalam badan-Nya yang dahulu di Shirdi, telah menyatakan, “Brahmin ini akan membimbing orang-orang yang berbakti ke Jalan Yang Sejati, dan membawa mereka ke Tempat Tujuan!” Pada usia tiga dan empat tahun, “Brahmin ini” memperlihatkan bahwa hati-Nya hancur melihat penderitaan manusia. Bila ada pengemis muncul di depan pintu masuk dan memperlihatkan pernderitaannya, Sathya meninggalkan permainan-Nya dan tergesa-gesa berlari ke dalam rumah untuk memaksa kakak-kakak perempuan-Nya memberikan gandum atau makanan. Tentu saja orang-orang dewasa akan jengkel oleh adanya barisan pengemis yang datang tanpa terputus. Mereka mudah kehilangan kesabaran dan menyuruh pengemis itu pergi sebelum Sathya dapat memberi bantuan. Hal ini mengakibatkan si Anak menangis keraskeras dan tak kunjung diam. Orang-orang dewasa hanya dapat menghentikan tangisan itu setelah membawa kembali pengemis tersebut. Mereka menganggap hal ini sebagai kedermawanan yang menghabiskan biaya dan tidak pada tempatnya. Pada suatu hari untuk menghentikan tangisan itu ibu-Nya memegang Sathya dan sambil mengangkat jari untuk memberi peringatan ia berkata, “Perhatikan! Engkau boleh memberinya makan, tetapi ingat, nanti engkau tidak usah makan.” Namun hal ini tidak membuat sang Anak jera, Sathya tetap berlari ke dalam dan memberikan makanan pada orang yang menanti dan kelaparan di pintu, kemudian la sendiri tidak makan siang ataupun malam. Tidak ada satu hal pun dan tidak ada seorang pun yang dapat membujuk-Nya agar mau makan. Makanan-Nya tetap utuh sama sekali tidak tersentuh. Sathya memiliki tamu gaib yang memberi-Nya makanan. Bila la menolak makanan dan tetap berkeras tidak makan selama beberapa hari, Ia tidak menampakkan tanda-tanda kelaparan baik dalam penampilan maupun kegiatan-Nya. la akan berkata pada ibu-Nya bahwa la sudah makan, Seorang yang telah lanjut usia telah memberi-Nya makan secara mewah serta memberi-Nya nasi susu. Perut-Nya yang penuh merupakan bukti. Selain itu dengan senang hati Sathya memberi bukti yang tak dapat disangkal. la akan mengangkat tangan kanan-Nya agar dicium ibu-Nya, dan lihat, dari tangan kecil itu sang ibu menghirup harumnya bau mentega murni, susu atau susu asam dari jenis yang tidak pernah ia kenal sebelumnya! Keajaiban selalu ada. Siapa gerangan tamu yang tak terlihat itu? Tamu aneh yang memberikan makanan pada si Kecil? Ketika Sathya mulai berlari kesana-kemari di jalan, la mencari orang orang yang cacat, buta, tua renta dan berpenyakit. Dengan tangan-Nya yang kecil, dituntun-Nya mereka ke ambang pintu rumah orang tua-Nya. Kakak-kakak perempuan-Nya harus mengambilkan sejumlah gandum atau makanan dari persediaan yang ada di dapur, dan meletakkannya ke dalam mangkuk si pengemis sementara Tuan Kecil menonton dengan bahagia. Para orang tua sering sekali memberikan suatu pujian Sathyanarayana di depan anak-anak mereka, sehingga anak-anak desa tersebut mulai menghormati-Nya sebagai Guru. Orang tua-Nya dan orang lain mulai mengetahui hal ini merupakan suatu keadaan yang tidak wajar. Saat itu adalah Ràmaóavami. hari kebaktian suci pada Ràma, dan ketika diadakan arak-arakan mengelilingi desa saat itu sudah lewat tengah malam. Gambar Ràma yang sangat besar diletakkan pada sebuah pedati yang ditarik lembu dan dihias dengan bunga. Di dalam kereta itu ada seorang pendeta. la bertugas menerima karangan bunga yang dipersembahkan oleh kepala-kepala keluarga dan meletakkannya pada gambar Úrì Ràma. Pendeta tersebut juga memperhatikan agar kain kamper yang mereka persembahkan, dapat dibakar dengan sepantasnya dan dilambaikan di depan gambar tersebut. Pemain suling serta gendang membangunkan penduduk desa yang terlelap dan begitulah kereta itu berjalan sepanjang jalan yang berbeda. Betapa terkejutnya kedua kakak perempuan-Nya setelah tahu Sathya Kecil tidak ada di rumah. Usaha pencarian segera diatur. Setiap orang di rumah berlari kesana-kemari dalam kebingungan karena saat itu sudah lewat tengah malam. Tiba-tiba perhatian mereka beralih ketika pedati lembu yang membawa gambar Úrì Ràma yang besar itu tiba di depan pintu. Sewaktu pergi ke ambang pintu, dengan heran dan gembira mereka melihat Sathya Kecil yang berusia lima tahun dalam pakaian yang begitu indah dan
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
tampak berwibawa, duduk di bawah gambar. Mereka bertanya pada teman-teman-Nya, mengapa Sathya didudukkan di atas dan tidak berjalan bersama mereka. Jawab teman-teman-Nya serempak: “la adalah Guru kita!” Sebenarnya la adalah Guru yang membimbing anak-anak dari segala bangsa dan usia. Ada sekolah dasar kecil di Puttaparthi dimana Sathya bersama teman-teman sebaya-Nya sekolah di sana dengan suatu tujuan yang lebih mulia daripada sekadar belajar membaca dan menulis. Pada saat itu, dalam usaha untuk menjaga agar murid-murid selalu menepati waktu, maka sekolah tersebut menggunakan suatu sistem hukuman yang sangat keras. Anak yang datang paling awal serta menyalami guru, maupun siswa yang datang berikutnya dan juga memberi hormat, dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya setiap anak laki-laki yang datang terlambat dengan alasan apapun, baik alasan yang tepat maupun tidak, akan dipukul dengan rotan. Jumlah pukulan yang dilakukan di telapak tangan si anak berbeda-beda, tergantung pada letak urutan namanya dalam daftar siswa-siswa yang terlambat. Untuk menghindarkan diri dari hukuman ini maka tidak lama sebelum fajar menyingsing, anak-anak telah berkumpul di bawah tepian atap sekolah, baik dalam cuaca hujan maupun berkabut. Sathya melihat keadaan yang menyedihkan ini dan merasa bersimpati pada teman-teman-Nya yang menggigil kedinginan. la mengunjungi mereka di bawah atap sekolah. Ia lalu membawa sejumlah baju dan handuk dari rumah, kemudian diselimuti-Nya mereka agar hangat dan nyaman. Orang dewasa di rumah mengetahui hal ini; mereka kemudian menyimpan pakaianpakaian mereka di dalam lemari agar tidak hilang. Satyanarayana adalah seorang anak yang terlalu cepat dewasa. la belajar lebih banyak daripada siapapun, dan dapat melampaui orang yang mengajar-Nya, dan jauh lebih cepat daripada anak-anak lain. la dapat menyanyikan semua nyanyian yang diajarkan di rumah untuk pertunjukan opera desa dan lakonlakon sandiwara yang diajarkan dalam kitab-kitab suci. Bahkan dalam usia tujuh tahun la telah menggubah sejumlah lagu yang menyentuh hati dan yang diterima dengan gembira oleh para pemain sandiwara untuk nanti dipentaskan di depan umum.
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
III IRAMA KAKINYA Sathya telah dinyatakan siap untuk melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Menengah yang lebih tinggi di Bukkapatnam ketika berusia delapan tahun, sekolah itu berjarak kira-kira empat kilometer jauhnya dari Puttaparthi. la harus bersusah payah menempuh jarak ini di bawah terik matahari atau curahan hujan, melewati tanggul yang berbatu atau pun lapangan yang berlumpur, menyeberangi air setinggi leher, yang semua harus ia jalani sesuai dengan musimnya. Tas berisi buku, biasa dijunjung-Nya dengan aman di atas kepala-Nya. la harus berangkat pagi-pagi benar setelah memakan sarapan-Nya yang lezat, misalnya nasi dingin dengan susu asam atau nasi yang dimasak dengan sambal. Sathya biasa naik pedati ke Bukkapatnam bersama teman-teman-Nya sambil membawa bekal untuk makan siang di dalam tas. Sri B. Subbannachar menulis dalam sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 1944, “la adalah muridku di kelas delapan. Anaknya sederhana, tidak menonjolkan diri, jujur dan berkelakuan baik.” Tidak menonjolkan diri! Betapa besar pengendalian diri yang harus dilakukan Sàì Bàbà untuk menekan Kekuasaan ketuhanan-Nya yang tak terhingga, sampai dunia siap untuk menerima pernyataan-Nya. Sri V.C. Kondappa, guru-Nya yang lain, kemudian memuja murid-nya sebagai Tuhan, menulis dalam buku yang sama, “Dia sangat penurut dan hanya berbicara seperlunya saja. la datang ke sekolah lebih awal kemudian mengumpulkan anak-anak dan memasang arca atau gambar dalam kelas. Dengan bunga yang dibawa-Nya, la memimpin pemujaan, melambaikan kamper yang menyala kemudian membagikan berkat dalam beberapa bentuk. Anak-anak berkerumun di sekitar-Nya untuk mendapatkan sesuatu yang “diambil” dari tas-Nya yang kosong. Jika ditanya tentang hal ini, la berkata bahwa ada “malaikat” tertentu yang mematuhi kemauan-Nya, dan memberikan apa saja yang dikehendaki-Nya. Pada kesempatan yang lain salah seorang guru Sathya mengalami sendiri kekuatan “Malaikat” itu. Sathya biasanya kurang memperhatikan pelajaran dalam kelas. Hampir sepanjang waktu la sibuk dengan hal-hal yang nantinya ia akan mengatakan bahwa ia sedang menggubah lagu-lagu dan menyalinnya untuk dibagikan pada teman-teman sekelas-Nya. Suatu hari, guru-Nya mendapati Sathya tidak mencatat apa yang penjelasan yang telah dikatakan oleh guru. Guru berpikir bahwa, “Dia memberi contoh yang jelek untuk seluruh kelas,” dan ia berteriak “Siapa saja yang tidak mencatat, berdiri!” Sathya adalah satu-satunya anak yang bersalah dan ditanya mengapa la tidak membuat catatan. Dalam nada yang tak bersalah dan tulus la menjawab, “Pak, mengapa saya harus mencatat? Saya telah mengerti apa yang Bapak ajarkan itu. Tanyakanlah beberapa pertanyaan, akan saya jawab dengan tepat.” Ini membuat harga diri sang guru terluka dan Anak itu harus menerima akibatnya. la memerintahkan Sathya berdiri di atas bangku dan berdiri terus sampai jam pelajaran hari itu berakhir. Sathya patuh!. Semua anak menundukkan kepalanya dengan sedih. Tak seorangpun merasa senang duduk hari itu, sementara Guru mereka berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan di atas bangku. Saat lonceng berbunyi, guru untuk pelajaran berikutnya datang. Dia adalah Janab Mahbub Khan yang sangat mencintai dan menghormati Sathya Kecil. la mengajar bahasa Inggris. Pendekatan dan cara ia mengajar begitu mengasyikkan serta menarik, hingga setiap anak memahami tiap pelajaran yang ia sampaikan dengan sempurna. la adalah seorang bujangan yang usianya sudah agak tua dan memperlakukan Sathya dengan kasih sayang yang tak ada duanya. (Bahkan sampai sekarang pun Sàì Bàbà menyanjung Mahbub Khan sebagai jiwa yang telah sangat berkembang). Mahbub Khan sering mempersembahkan manisan dan suatu yang sipatnya menyenangkan pada Sathya, membujuk-Nya untuk makan dengan beraneka ragam cara. la memberi tahu Sathya bahwa rumahnya telah dibersihkan secara khusus untuk menyiapkan hidangan itu, karena ia tahu Sathya tak akan mau makan hidangan yang tersentuh sedikit saja oleh makanan yang mengandung daging. Mahbub Khan akan berkata bahwa ia belum makan karena ia ingin Sathya mengambil makanan itu terlebih dahulu. la sering duduk diam dalam jangka waktu yang lama sambil membelai rambut Sathya dan berbisik: “Oh, engkau anak yang menakjubkan! Engkau akan menolong banyak orang, engkau kekuasaan yang agung.” Ketika Mahbub Khan masuk ke dalam kelas, ia terkejut melihat Satyanarayana berdiri di atas bangku dan guru itu masih duduk di kursi. Mahbub Khan bertanya, mengapa ia tidak meninggalkan kursinya. Guru itu berbisik bahwa ia tak dapat berdiri karena jika ia mencoba berdiri, kursinya juga akan ikut terangkat
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
bersamanya! Bisikan itu terdengar oleh anak-anak yang dengan perasaan gembira menertawai keadaan guru tersebut dan berkata bahwa itu pasti hukuman dari “Malaikat” Sathya. Mahbub Khan berpikir hal yang sama dan menyarankan guru itu agar meminta Sathya turun. Guru itu menyerah. Tidak lama kemudian kursi yang menempel padanya terlepas dan jatuh dan dengan perasaan yang amat lega ia bergerak tanpa ada yang menghalangi ! Bertahun-tahun kemudian bila Bàbà mengingat kembali kisah ini, Bàbà akan berkata bahwa Ia memang menghendaki demikian, bukan karena marah, karena la tak pernah marah; melainkan untuk membuktikan Diri-Nya dan sedikit demi sedikit menyiapkan pikiran manusia untuk Pernyataan Tugas dan Identitas Pribadi-Nya. Dalam kitab Injil Apokripal dijelaskan bahwa ketika kepala sekolah mengangkat tangannya untuk memukul Yesus, tangannya tertahan kaku. Juga disebutkan di sana bahwa Yesus memberi makan teman-teman sepermainan-Nya. Dengan memberi petunjuk dan contoh Sathya memperlihatkan bahwa kebahagiaan-kebahagiaan kecil di dunia yang fana ini sebenarnya memiliki nilai yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kebahagiaan sejati yang dicapai melalui doa, pemusatan pikiran, penyangkalan bahwa diri adalah badan dan kepuasan batin. Apa yang beliau lakukan ini sesuai dengan julukan “Brahmajnani” atau “Yang mengerti Tuhan”, suatu gelar yang diperoleh-Nya karena sifat-Nya yang tulus dan murni,. la hanya menyukai kisah orang-orang suci yang mempunyai kebajikan-kebajikan semacam ini. Sathya tumbuh di antara kira-kira dua puluh anak, karena putera-putera Kondama Raju dan salah seorang puterinya tinggal dalam rumah yang sama. Seorang anak harus bersih dan jujur agar memperoleh simpati Sathya, dan mendapat permen yang “diambil” dari tas kosong-Nya. Sathya selalu menjadi teladan mereka. Kondama Raju pernah bercerita bahwa ketika dipanggilkan tukang jahit untuk membuat pakaian anak-anak dari beraneka jenis kain berwarna yang dibeli di pasar Bukkapatnam, Sathya berkata, “Biarkan masing-masing memperoleh kain yang mereka pilih, sisanya sudah cukup bagus untukku.” Dalam tahun-tahun berikutnya, di Prasanthi Nilayam, yaitu tempat tinggal-Nya bila berada di Puttaparthi, Sàì Bàbà berkata: “Aku tak mempunyai tanah yang disebut milik-Ku dan tempat menanam makanan-Ku, setiap jengkal telah terdaftar atas nama seseorang. Seperti orang-orang yang tidak memiliki tanah menanti waduk air desa mengering, sehingga mereka dapat menggaruk dasarnya dengan bajak dan menanam sesuatu untuk mereka sendiri, Aku pun menanam makanan-Ku, yaitu suka-cita, dalam tanah kering dari hati yang berdukacita.” Pada masa itu Kondama Raju tak memahami makna sikap Sathya yang tak mengindahkan kedu-niawian, ia hanya merasa bangga pada Anak itu. Bahkan semasa masih kecil Sathya menentang segala macam olah raga dan permainan yang menyebabkan kekejaman atau sakit. la tidak akan mengijinkan teman-teman-Nya menyaksikan perlombaan pedati sapi jantan, yang diadakan dalam rangka perayaan pesta desa, ini setiap tahun diselenggarakan di pasir-pasir di tepi sungai. la menentang pemilinan ekor sapi dan pengelupasan punggungnya dengan tongkat yang dilakukan demi kejayaan pemiliknya. Beberapa tahun yang lalu Sàì Bàbà memanggil sekelompok pengikut-Nya yang telah pergi meninggalkan Àúram dengan pedati sapi kembali ke sekelompok pengikut-Nya yang telah pergi meninggalkan Àúram dengan pedati sapi kembali ke Prasanthi Nilayam, berjalan menyeberangi sungai menuju ke pedati yang ditempatkan di desa yang ada di seberang sungai. Saat mereka masuk ke dalam pedati. Sàì Bàbà melambaikan tangan-Nya untuk memberi berkat. Pedati itu berjalan pelan meninggalkan gerbang utama dan ke luar menuju ke jalan. Tiba-tiba la menyuruh seseorang untuk berlari dan memanggil kembali para pengikut-Nya. Mereka diberi perintah sebagai berikut : “Dengar! Bila kalian telah sampai di pasir, kalian semua harus turun dan berjalan menyeberang. Jangan sampai sapi-sapi itu dipaksa menarik berat badan kalian ketika melalui pasir; apakah kalian mengerti?” Menangkap beruang, mengadu ayam jago serta hiburan-hiburan desa yang sejenis sangat ditentang oleh Sathya, dan anak laki-laki dari kelompok-Nya tidak datang jika ada kegiatan-kegiatan semacam itu. Pada saat itu bila ada “pertunjukan gambar bicara” yang berkeliling memasang tenda di Bukkapatnam atau Kothacheruvu, maka timbullah kehebohan hingga dapat berjarak berkilo-kilo meter di sekitar tempat itu. Penduduk desa mengorbankan pendapatan mereka yang sedikit untuk untuk menonton film sebanyak mungkin. Pedda Venkapa Raju sering mencoba meng-ajak Sathya bersama dengan anak-anak yang lain, tetapi Sathya menolak. Ia bicara tentang mutu film yang rendah, bagaimana mereka merendahkan Tuhan
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
dan mengacaukan nada musik. la berkata bahwa mereka menampilkan bagian yang tidak menyenangkan dalam kehidupan keluarga dan memuliakan kekejaman, kelicikan serta kejahatan. Bahkan sampai hari ini, Sàì Bàbà adalah pengeritik seni-seni yang tak berbelas kasihan, terutama untuk kesusasteraan dan film yang dengan sengaja merendahkan nilai-nilai kebajikan semata-mata untuk mendapatkan uang. Sathya membentuk kelompok Bhajan Pandhari di Puttaparthi saat berusia sepuluh tahun, dan memperkenalkan lagu-lagu kasih sayang dan Ibadat pada Tuhan. Kelompok ini dibentuk menurut contoh kelompok sejenis yang ada di desa tetangga, dan kira-kira terdiri dari delapan belas anak laki-laki yang mengenakan seragam berwarna kuning tanah. Masing-masing dari mereka membawa bendera dan memakai gelang kaki yang berupa lonceng-lonceng kecil. Mereka menari seirama dengan nada lagu-lagu rakyat dan ballada (nyanyian atau syair yang bersifat epis) yang menggambarkan kerinduan dari pencari spiritual untuk mendapatkan Darúan atau anugerah munculnya altar Pandurangga, yaitu tempat suci yang terdapat kira-kira 805 km dari tempat itu. Sathya mengajarkan anak-anak tentang cobaan Tuhan dalam perjalanan spiritual yang lama, keinginan pencari spiritual untuk segera mencapai tempat suci, dan kegembiraan mereka ketika pun-cak rumah doa telah terlihat yang semua dituangkan dalam puisi dan lagu. la mengarang lagu-lagu dari legenda Kehidupan Kåûóa yang di India dikenal sebagai Bhàgavata Puràóa. Dalam lagu ini, gadis-gadis pemeras susu mengadu pada Yashoda, ibu pengasuh Kåûóa, tentang tingkah laku nakal Kåûóa yang tidak pernah berhenti. Yashoda memarahi Anak itu karena kenakalan dan pencurian yang dilakukan-Nya, tetapi Kåûóa membela diri tanpa rasa salah. Para pemain dalam kelompok Sathya yang terdiri dari anak laki-laki, mereka mempertunjukkan adegan dimana Kåûóa berada di tengah lingkaran dan para gadis pemerah susu menari di sekeliling-Nya. Pertunjukan ini adalah suatu tontonan yang luar biasa di desa. Sathya memainkan peran baik sebagai ibu maupun sebagai anaknya. Tarian, percakapan dan musik yang dimainkan-Nya menambah daya tarik lagu-lagu tersebut. Dalam tema-tema tradisional yang Ia mainkan Sathya juga memasukkan lagu-lagu yang berhubungan dengan ziarah di tempat suci yang baru yang hingga saat itu belum pernah didengar orang Tak seorang pun mengetahui siapa yang dipuja di situ. Tempat suci itu adalah Shirdi dan yang dipuja adalah Sàì Bàbà. Sàì Bàbà dari Shirdi? Siapakah itu? Bagaimana Anak Kecil ini dapat mengetahui perihal seorang pertapa Islam dari Shirdi? Orang-orang dewasa merasa heran ketika anak-anak ini menari di jalan. Kelompok Bhajan ini mengumpulkan iuran satu anna tiap bulan dari setiap rumah untuk membeli minyak, nasi kering, dupa, kamfer dan pel-bagai macam barang lainnya yang diperlukan untuk pemujaan. Minyak itu digunakan untuk lampu yang mereka bawa bila mereka berjalan mengelilingi desa. Nasi kering diberikan pada setiap orang sebagai berkat. Pada saat pesta mereka dapat mengumpulkan uang dalam jumlah yang lebih banyak, mungkin dua anna, dan dengan perasaan bangga menyewa lampu petromak yang mereka bawa sepanjang jalan dari Bukkapatnam. Anak-anak dari keluarga Raju dan anak-anak lain melengkapi iringan musik. Sathya adalah tokoh inti dalam kelompok, sebagai penyelenggara, bendahara, guru, penggubah lagu dan penyanyi utama. la memainkan setiap peran dengan mengagumkan sehingga penduduk desa bisa membayangkannya dengan, Mathura dan Brindavan, tempat Tuhan menjelma sebagai Kåûóa dan dengan suling-Nya yang mempesona gadis-gadis pemerah susu, ternak sapi, anak-anak sapi, pepohonan dan sungai Yamunà. Suatu saat, ketika sebuah lagu yang menggambarkan keberanian dan kemampuan Narasiýha: “Avatar Viûóu yang berupa Manusia Singa” sedang dimainkan dan saat bait “Seekor Singa Raksasa melompat ke luar dari tiang baja” Sathya tiba-tiba meloncat seperti Manusia Singa penjelmaan Tuhan yang menjelma kembali. Wajah-Nya berubah dan nampak begitu ganas, murka dan penuh berkat hingga seluruh desa ketakutan. Tak seorang pun dapat menguasai Anak itu, bahkan para ahli-ahli gulat. Akhirnya setelah beberapa orang mempersembahkan puja, melambaikan kamper dan memecah kelapa di depan Tuhan yang menjelma, Sathya menjadi normal dan melanjutkan lagu-Nya. Kelompok Bhajan Pandhari terkenal akibat kejadian ini. Tersebarlah berita bahwa Tuhan sungguhsungguh menyatakan Diri-Nya ketika kelompok ini menyanyi dan menari, seperti yang disaksikan penduduk Puttaparthi! Ketika wabah kolera melanda seluruh wilayah bagaikan angin padang pasir yang beracun, serta membunuh keluarga-keluarga di desa sekitarnya, Puttaparthi tak merasakan semburan maut tersebut. Orang-orang bijaksana berbicara mengenai suasana ketuhanan yang timbul dan mereka beranggapan
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
10
bahwa kelompok bhajanlah yang menyebabkan peristiwa itu. mulai saat itu, kelompok ini diundang bernyanyi di berbagai desa untuk melindungi tempat-tempat tersebut dari amarah Tuhan. Seringkali ada pedati yang dikirim untuk meng-angkut kelompok ini, tetapi kadang-kadang para penyelamat kecil ini harus berjalan sejauh enam belas atau sembilan belas kilometer, dan jika saat itu matahari sedang bersinar dengan teriknya mereka akan beristirahat dalam hutan-hutan kecil di sepanjang jalan, sambil membawa bekal mereka sendiri. Penduduk desa itu juga mendengar tentang nama Shirdi dan Sàì Bàbà yang asing bagi mereka. Mereka heran, apa dan siapakah gerangan nama-nama tersebut. Mereka kembali tenggelam dalam kesibukan sehari-hari karena tidak mengerti dengan nama ini. Ada drama dan opera di tempat-tempat terbuka yang menyajikan berbagai tema Puranik (legenda India) dengan percakapan, tarian dan pakaian-pakaian khusus. Dalam pertunjukan itu, Raksasa (setan), Asura (yang tidak percaya pada Tuhan) dan kekuasaan-kekuasaan jahat dikalahkan oleh kekuatan Kebaikan. Drama ini ditulis, dilatih dan dipertunjukkan di rumah-rumah yang dikunjungi Sathya untuk keperluan tersebut. Di pentas-pentas yang sipatnya umum ayah Sathya juga terkenal dalam peran sebagai Banasura, Raksasa terkenal dalam mitologi; Ia juga lebih terkenal dalam perannya sebagai Yudhiûþira, anak tertua dari kelima putera Pandu yang selalu taat pada hukum Tuhan, dan yang kesetiaannya pada Tuhan tak tergoyahkan. Pada masa itu diselenggarakan banyak pertunjukan untuk mengumpulkan dana bagi orang-orang yang kelaparan. “Banasuram”, “Uûapari-nayam”, “Draupadì Manasamrakûanam” dan “Kamsa Vadha” adalah pagelaran-pagelaran yang paling disukai. Drama tersebut berkenaan dengan mitologi, perlindungan kehormatan Draupadì dan tentang Kamsa, raja lalim serta sewenang-wenang yang akhirnya dibunuh Kåûóa. Sathya remaja memilih beberapa peran bagi Diri-Nya Sendiri terutama peran Kåûóa dan Mohinì. Para penonton memuji permainan, nyanyian dan terutama tarian-Nya. Ada irama di kaki-Nya, kesadaran akan waktu dan nada, serta gerakan yang gemulai dan keindahan yang jarang mereka saksikan. Bagi mereka tampaknya la tak pernah menjejak bumi, seolah-olah merupakan mahluk surgawi. Dalam waktu yang singkat la memainkan bermacam-macam peran. Di suatu malam ketika kisah Kanakatara yang populer dipertunjukkan, la membawakan peran Tarà, seorang tokoh dalam mitologi. Permainan-Nya demikian bagus dan nampak hidup sehingga ibu-Nya yang juga hadir di antara penonton di dalam tenda, berlari menyerbu ke panggung untuk mencegah apa yang disangkanya sebagai “pelaksanaan hukuman mati” bagi Tarà. la lupa bahwa semua itu hanya pertunjukan sandiwara. Untuk memuaskan penonton kadang-kadang Sathya memainkan lebih dari satu peran dalam pertunjukan yang sama. Dalam drama “Kåûóa Lìlà” atau “Permainan Kåûóa”, la memerankan dengan baik tokoh Devakì, sang ibu; Kåûóa ketika masih kecil, maupun peran penari-penari yang menghibur Raja Kamsa dengan tari-tarian mereka di balairung Durbar. Pada kesempatan lain la membawakan peran Draupadì, isteri Pandawa bersaudara. Tak lama kemudian, datang serombongan pemain drama profesional mengunjungi wilayah itu dan mempersembahkan beberapa pertunjukan musikal yang menarik banyak pengunjung. Mereka mendirikan panggung di Bukkapatnam kemudian pindah ke Puttaparthi, Kotacheruwu, Elumalapalli dan desa-desa besar lainnya. Pertunjukan mereka menjadi buah bibir di seluruh distrik. Dalam kelompok mereka terdapat seorang gadis penari bernama Rishyendramani yang memainkan suatu seri senam tari dengan iringan musik. Puncak acaranya adalah suatu tarian dalam mana ia mengikuti irama lagu sambil menjaga keseimbangan botol di atas kepalanya. la akan menunduk rendah, duduk, berbaring di lantai, mengangkat punggungnya, dan menggigit sehelai saputangan yang diletakkan di atas kotak korek api di lantai. Sambil menggigit saputangan kemudian ia duduk, bangkit serta berdiri dan tetap menjaga keseimbangan botol di atas kepalanya. Dengan latihan-latihan yang tekun ia telah mempelajari gerakan yang sulit itu. Tak heran jika ia mendapat sambutan yang meriah dari para penonton. Bersama orang-orang lain Sathya pergi menyaksikan pertunjukan tersebut. Setelah pulang Ia mencobanya sendiri dan hasilnya mencengangkan setiap orang. la dapat melakukan hal itu dengan mudah! Ketika para orang tua meminta agar adegan baru ini dimainkan dalam pertunjukan-Nya, Sathya menarik diri dan bimbang, tetapi berita telah tersebar dan beberapa aktivis muda membujuk Sathya agar la mau memperlihatkan kepandaian-Nya di Kothacheruvu selama pesta desa. Dengan amat berani mereka
11
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
mengumumkan bahwa Rishyendramani sendiri yang akan muncul karena mereka yakin bahwa Sathya akan berhasil memainkan peran ini dan tak akan mengecewakan mereka. Saudara perempuan-Nya menghias Sathya seperti Rishyendramani, lengkap dengan susunan rambut serta perhiasan dan membawa-Nya ke Kothacheruvu. Ketika ayah-Nya mendengar bahwa Sathya dibujuk melakukan perbuatan nekad ini, ia khawatir akan akibatnya. Hari pertunjukan tiba. Layar diangkat. “Rishyendramani” berjalan dengan lincah menuju ke balairung Durbar di istana Kamsa. Penonton meluap-luap kegembiraannya sehingga tak melihat perbedaan sedikit pun. Bagian tarian yang terkenal dimulai. Sathya memperhebat bagian tersebut. la meletakkan lampu di atas piring dan mengganti saputangan yang biasa digunakan-Nya dengan jarum. Jarum itu akan diangkat dengan bulu mata! “Rishyendramani” hari itu berhasil tetapi bukannya tanpa akibat yang dahsyat.’ Pemimpin perayaan mendesak agar penarinya diberi medali. Ibu Sathya dan orang-orang lain yang semula tergetar oleh puji-pujian, undangan untuk mengulang pertunjukan tersebut di tempat lain, piala perak dan medali emas yang dijejalkan ke tangan Sathya, akhirnya menjadi takut akan “mata jahat”* yang ditimbulkan oleh kesuksesan Anak itu. Ketakutan mereka terbukti. Mata-Nya mengalami malapetaka yang mengerikan; bengkak, merah dan mengucurkan air mata banyak sekali. Suhu badan-Nya naik. Pada suatu malam ibu-Nya mendengar suara langkah-langkah kaki yang berat seolah-olah ada orang yang mengenakan sandal kayu, masuk ke rumah dan berjalan langsung menuju Sathya. Semua ini sangat misterius. Ia bangkit, masuk ke kamar anaknya dan menempelkan tangan di atas dahi Sathya untuk memeriksa suhu badan. Ternyata demam-Nya telah hilang. la membawa lampu dan melihat mata-Nya. Di luar dugaan, mata Sathya telah lebih baik keadaannya. Hari berikutnya Sathya telah sembuh.
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
12
IV. PASAR SAPI Karena Sathya harus melanjutkan sekolah-Nya di kota lain, bukan di Bukkapatnam, maka ditentukan bahwa la harus tinggal bersama kakak lelakinya-Nya, Seshama Raju, yang menikah dengan puteri Sri Pasupathi Subba Raju dan Kamalapur. Hal ini tampaknya memuaskan orang tua-Nya, karena mereka merencanakan pendidikan yang lebih tinggi bagi Sathya’ agar ia bisa menjadi “pegawai negeri”. Sejak itu mereka bersiap-siap untuk berpisah dengan Sathya dan mengirim-Nya ke tempat yang lebih jauh di Kamalapur, agar sekolah-Nya dapat dilanjutkan. Di sana la mengikuti pelajaran seperti di Bukkapatnam. la adalah anak laki-laki yang tenang dan sopan, kesayangan para guru. Bila diadakan pagelaran drama di kota maka sebelum layar dibuka, Sathya menyanyikan doa pembukaan. Orang-orang yang mendengar suara-Nya yang merdu, menyebarkan berita bahwa seorang penyanyi yang baik telah datang di kota itu. Segera la menjadi satu-satunya orang yang diundang untuk menyanyi pada semua pertemuan umum. Hingga sekarang pun Sathya Sàì Bàbà sering berbicara tentang seorang guru pendidikan jasmani di sana yang dihormati seluruh sekolah karena cintanya terhadap anak-anak. la juga seorang pembina pramuka dan ingin sekali agar Sathya masuk dalam kelompoknya. Secara langsung atau tak langsung melalui para sahabat-Nya, ia membujuk Sathya agar bergabung. Ada dua anak lain yaitu putera-putera kepala kantor pajak, yang duduk sebangku dengan Sathya dan sangat akrab dengan-Nya. Mereka memohon dan bahkan memasukkan pakaian seragam pramuka yang baru dan bagus ke dalam bangku Sathya agar Ia mau ikut. Mereka tahu bahwa Sathya akan membawa semangat serta menghidupkan kelompok, dan jika la bergabung maka orang tua-tua di kota akan membantu kegiatan pramuka mereka. Jika tidak, mereka bisa salah paham dan menganggap pramuka sebagai kelompok penganggur, yang tidak melakukan sesuatu yang berguna selain gerak jalan dan piknik. Akhirnya Sathya menggabungkan diri tepat pada waktu pembina pramuka merencanakan untuk membawa kelompok mereka ke Pekan Raya dan Pameran Sapi di Pushpagiri. Di sana banyak kesempatan bagi mereka untuk berbuat jasa karena melimpahnya orang yang datang. Mungkin ada anak-anak kecil yang tersesat atau peziarah yang kehausan; kebersihan harus diawasi dan pertolongan pertama pada kecelakaan mungkin diperlukan. Biaya berkemah ditentukan sepuluh rupee tiap anak. Sathya tak punya uang! la harus membuktikan bahwa pelayanan itu sendiri merupakan ganjarannya, bahwa hati yang penuh kasih sayang mengalahkan segala sesuatu. la memutuskan bahwa kesempatan untuk mengajar dan memberi insipirasi kepada para sahabatnya-Nya ini tidak boleh dilewatkan. la menetapkan untuk berjalan ke Pushpagiri agar menghemat biaya bis. Pada pembina pramuka la mengatakan bahwa keluarga-Nya akan datang pada Pekan Raya dan mereka akan menjaga-Nya. (Orang-orang yang datang pada setiap tempat ziarah adalah keluarga-Nya!). la memperhitungkan bahwa lima rupee akan cukup bagiNya di Pushpagiri. Ia menjual buku-buku bekas-Nya pada seorang anak Harijan yang miskin. Buku-buku tersebut jarang dibaca sehingga tampak seperti masih baru. Sathya tak mau menerima uang dua belas rupee yang ditawarkan anak itu tetapi hanya lima rupee, yaitu jumlah yang diperlukan-Nya. Kemudian la berjalan ke Pushpagiri dan tiba di sana kira-kira jam 21.00, yaitu malam sebelum upacara pembukaan Pekan Raya. la amat lelah. Dengan membawa tas kecil yang berisi pakaian serta uang, la merebahkan Diri dan tidur di pasir di tepi sungai bersama orang lain yang berkumpul di sana. Ketika bangun keesokan harinya ternyata dompet dan tas-Nya telah hilang dicuri orang. Bila menceritakan peristiwa ini, Sathya Sàì Bàbà sering mengatakan pada orang-orang di sekitarNya, bahwa pada waktu itu Ia tak merasa kha-watir sama sekali. la berjalan di sekitar tempat itu dengan acuh tak acuh dan di atas lekukan batu, diketemukan-Nya sekeping uang logam serta sebungkus rokok murah. Diambil-Nya uang itu kemudian berjalan ke pasar. Di situ dijumpai-Nya seseorang yang sedang duduk di depan sebuah per-kakas aneh, yaitu semacam alat permainan lotere dan dapat menguntungkan orang yang sedang mujur! Pada sehelai kain dicatkan gambar lingkaran berwarna putih, dan pada lingkaran tersebut ada huruf-huruf Mesir Kuno. Orang itu menentukan sejumlah nilai uang pada beberapa gambar, sedangkan gambar-gambar lain tak diberinya nilai sama sekali. Sebuah tongkat besi di-pancangkan di tengah lingkaran tersebut, dan di ujungnya ada penunjuk yang dapat diputar. la meminta agar orang yang bertaruh 13
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
meletakkan uang logam di sampingnya, kemudian penunjuk itu diputarnya cepat-cepat. Bila penunjuk itu berhenti di atas bagian yang ada angkanya, misalnya dua, tiga atau empat maka ia akan memberikan dua, tiga atau empat kali jumlah uang taruhan. Jika tidak ada angkanya maka taruhan itu akan diambil. Sathya mencoba nasib-Nya. la memutar penunjuk itu beberapa kali. Setiap putaran yang ia lakukan la berhasil menang hingga seluruhnya mencapai dua belas anna. Sathya berkata bahwa sebetulnya la bisa menang lebih banyak, tetapi la kasihan pada orang miskin yang penghasilannya hanya sedikit itu. Uang dua belas anna mi cukup untuk seminggu. Sebagaimana telah diceritakan semula, la mempunyai kekuatan ajaib tidak hanya untuk memberi makan Diri-Nya Sendiri tetapi juga untuk membuktikan bahwa la telah makan, dengan adanya bau makanan di tangan-Nya. (Hingga sekarang pun bila orang meragukan apakah la sudah makan atau belum, la akan berkata, “Aku sudah makan,” dan mengizinkan mereka mencium tangan-Nya sehingga keraguan mereka lenyap). Dengan demikian pembina pramuka percaya bahwa Sathya telah mendapat makanan dari keluarga-Nya yang menghadiri Pekan Raya tersebut, maka dalam pembagian tugas ia tak membedakan Sathya dengan anak-anak yang lain. Dengan penuh semangat Sathya melakukan tugas-Nya yaitu memberi inspirasi pada teman-teman-Nya agar melakukan pelayanan tanpa pamrih. (Ini masih merupakan tema ajaran Sàì Bàbà : Pelayanan untuk orang lain adalah pelayanan untuk diri sendiri, karena orang lain sebetulnya adalah diri kita sendiri dalam bentuk dan nama lain!). Ketika ada usulan para pramuka akan pulang ke Kamalapur dengan bis, diam-diam Sathya menyelinap ke Luar dari perkemahan karena la tidak mampu membayar biaya bis. la berjalan pulang dan menempuh jarak sejauh itu. Selama di Kamalapur, Sathya terpisah tidak hanya dari orang tua-Nya, tetapi juga dari saudaraNya yang pergi untuk mengikuti latihan bagi guru-guru. Bila Sathya membutuhkan pakaian atau barang lain, la menulis lagu yang populer bagi Kote Subbanna, seorang pemilik toko yang menjual obat-obatan, tonikum, pecah belah, perlengkapan pakaian yang mutakhir, payung dan sebagainya. Bila Subanna ingin mempromosikan suatu barang baru di pasar atau mengiklankan suatu obat patent, maka ia akan menghentikan Sathya dalam perjalanan-Nya ke sekolah, kemudian memberi keterangan-keterangan yang diperlukan. Sebelum senja Sathya sudah menyiapkan lagu yang menarik, menyanjung barang dagangan tersebut dalam puisi yang indah. Sebagai imbalan lagu itu, yang segera menjadi populer, Subanna memberi Sathya pakaian, buku dan barang lain yang diperlukan-Nya. Lagu-lagu iklan itu bernada riang gembira dan penuh semangat, mampu menarik perhatian pendengar jika dinyanyikan bersama oleh sekelompok anak laki-laki yang dibayar untuk berbaris di sepanjang jalan sambil membawa papan nama. Anak-anak itu pun tampaknya senang dengan tugas mereka. (Bahkan sekarang pun Sàì Bàbà menggembirakan orang-orang di sekitar-Nya dengan mengulang lagu “komersial” kuno tersebut). Ada pembicaraan yang hangat di antara umat yang telah lama menjadi pengikut Sàì Bàbà, “Ia menyatakan Diri di Uravakonda, tetapi mengembangkan kejayaan-Nya dari Kamalapur.” Pernyataan ini memperlihatkan kekaguman mereka pada rakyat Kamalapur yang kelak dengan cepat menanggapi panggilan-Nya tanpa prasangka buruk. (Setelah Sathya kembali ke Puttaparthi, mereka menyelenggarakan penyambutan umum dan pertemuan untuk memuja “Bala” Sai, Sai Muda). Seshama Raju menyelesaikan latihan yang diperlukan untuk meme-nuhi persyaratan sebagai guru bahasa Telugu, dan ditugaskan untuk mengajar di Sekolah Menengah Atas Uravakonda. Jabatan ini diterimanya sebagai pertanda baik karena dengan demikian Sathya bisa tinggal bersamanya, dan ia dapat memperhatikan secara langsung kemajuan-kemajuan Sathya dalam pendidikan selanjutnya.
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
14
V BUKIT ULAR Nama Uravakonda berasal dari bukit yang mengelilingi tempat itu. Mula-mula namanya Uragakonda. Uraga artinya ular dan Konda artinya bukit. Perbukitan yang menjulur ke laut ini terbentuk dari batu bundar yang besar sekali, tingginya kira-kira tiga puluh meter dan berbentuk ular yang berkepala banyak. Sekolah Menengah di Uravokonda akan selalu terkenal karena Sathya belajar di sana. Kemasyhuran Anak itu telah tersebar luas sebelum la tiba di tempat tersebut. Para pelajar saling membicarakan bahwa Sathya adalah penulis yang baik, ahli musik, pandai sekali menari, murid yang lebih bijaksana dari guru mana pun, dan orang suci kecil yang dapat melihat dengan jelas masa lalu maupun masa depan. Kisah nyata tentang kepandaian dan kekuatan ketuhanan-Nya menjadi pembicaraan setiap orang. Hal ini disiarkan oleh orang-orang yang datang ke kota tersebut dari berbagai tempat lain seperti Bukkapatnam, Penukonda, Dharmavaram dan Kamalapur. Orang-orang saling menceritakan dan mendengarkan dengan kagum bahwa ketika baru bisa berjalan pun, la telah mempunyai kekuatan yang unik, yaitu hanya dengan melambaikan tangan-Nya la bisa mendapatkan buah-buahan, bunga dan manisan dari ketiadaan atau entah dari mana! “Betapa anehnya!” kata mereka. Orang-orang berkumpul di sekitar kakak Sathya, guru Telugu yang baru, ingin mendengar kisah kemampuan Anak itu. Setiap guru ingin mendapat tugas di kelas tempat Sathya berada; sebagian karena rasa ingin tahu, sebagian karena rasa kagum, dan sebagian lagi dikarenakan dorongan jahat ingin membuktikan bahwa semua itu omong kosong. Sathya segera menjadi kesayangan seluruh sekolah dan pusat perhatian semua orang di kota itu. Dia menjadi pemimpin kelompok doa dan naik ke mimbar setiap hari bila seluruh sekolah berkumpul untuk berdoa sebelum pelajaran dimulai. Suara-Nya yang menyucikan udara dan memberi inspirasi baik guru maupun murid untuk mengabdikan diri pada tugas mereka. la adalah hidup dan jiwa kelompok drama sekolah serta tulang punggung regu atletik, karena la adalah pelari cepat dan pemain “gudu-gudu”, permainan lari di tempat terbuka, yang luar biasa baiknya. Dia ulung dalam kelompok pramuka di sekolah. Suatu kali guru yang memimpin bagian drama, Sri Thammi Raju, minta agar Sathya menulis serta membuat suatu lakon. Sathya melakukannya dengan penuh semangat. Drama itu sangat berhasil, tidak saja karena pahlawan dalam lakon itu seorang anak laki-laki kecil yang diperankan oleh Sathya sendiri, tetapi terutama juga karena temanya adalah dosa manusia yang abadi yaitu kemunaflkan. Judul drama itu adalah, “Apakah perbuatan sesuai dengan ucapan?” Adegan dimulai dengan menampilkan seorang nyonya yang sedang membaca dan menerangkan pada sekelompok wanita, beberapa bait dari “Bhàgavata Puràóa” yaitu suatu kisah legenda yang mengandung nilai sejarah. Dikatakannya pada mereka bahwa seorang ibu rumah tangga berkewajiban memberi sedekah hanya kepada orang-orang yang layak menerimanya, dan pada orang-orang cacat yang tak dapat mencari nafkah, bukannya pada mereka yang masih kuat tetapi hidup dengan malas seperti parasit. Wanita-wanita itu kemudian bubar, tinggal nyonya tersebut bersama puteranya yang masih kecil, Kåûóa, yang selama itu juga mendengarkan dengan penuh perhatian. (Sathya memainkan peran Kåûóa). Tak lama kemudian seorang pengemis buta masuk dan berusaha untuk menarik perhatian, tetapi ia dicaci maki dan diusir. Setelah itu muncul pula seorang pendeta yang tegap, sombong dan gendut serta membawa bejana tembaga mengkilat yang penuh berisi gandum. Lengannya mengepit alat musik tambura yang berhias indah. Si ibu menyambutnya dengan penuh hormat serta mempersembahkan nasi dan uang logam. la menjatuhkan diri di kakinya memohon berkat. Kåûóa tercengang kebingungan. la bertanya pada ibunya, mengapa ia tidak berbuat sesuai dengan apa yang baru saja dipuji-pujinya sendiri beberapa menit yang lalu. Kåûóa bahkan dibentak dengan jawaban singkat, “Dapatkah kita berbuat seperti yang kita ucapkan?” Ibunya tersinggung oleh kelancangan si anak yang berani menanyakan etika tingkah laku orang dewasa. Diseretnya anak itu ke suatu ruang tempat ayahnya, seorang akuntan, yang sedang sibuk dengan surat-suratnya. Kåûóa diberi pelajaran panjang lebar oleh ayahnya mengenai nilai pendidikan, dan bagaimana orang harus belajar serta naik kelas demi kelas, apa pun kesulitannya. Tiba-tiba seorang anak sekolah muncul
15
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
dan minta satu rupee saja untuk membayar uang sekolah agar namanya tidak dicoret dari daftar, karena bila terjadi demikian maka ia tidak bisa menghadiri pen-daftaran yang diperlukan untuk kenaikan kelas. Si ayah berkata bahwa ia tidak mempunyai uang dan sebagai bukti diperlihatkannya dompetnya yang kosong. Beberapa menit kemudian, sekelompok akuntan muda yang bekerja pada perusahaannya masuk ke ruang tersebut. Mereka membawa daftar tanda tangan dan minta sumbangan untuk biaya pesta makan malani yang akan diselenggarakan guna menyambut pejabat baru yang akan memegang pimpinan dalam kantor mereka beberapa hari mendatang. Si ayah sangat menyukai saran ini dan berkata bahwa pesta tersebut harus diselenggarakan secara mewah agar pejabat baru itu senang. la bersedia memberi pidato sambutan pada acara makan malam tersebut, kemudian ditariknya laci meja dan diberinya mereka setumpuk lembaran uang dua puluh rupee. Kåûóa terperanjat melihat semua ini dan bertanya pada ayahnya mengapa ia melanggar kata-katanya sendiri serta membohongi anak sekolah tadi. Si ayah menjadi marah dan bertanya, “Haruskah perbuatan mengikuti perkataan?” Ia memarahi Kåûóa dan memerintahkannya agar segera pergi ke sekolah. Adegan kemudian berpindah ke sekolah. Kåûóa masuk ke dalam kelas. Gurunya sedang gugup sekali karena pemilik sekolah akan datang keesokan harinya. Dengan begitu cepat Ia mempersiapkan anak-anak untuk kesempatan itu. Dijelaskannya bahwa pemilik sekolah mungkin akan bertanya, “Berapa pe-lajarankah yang telah selesai?” kemudian mereka semua tidak boleh menjawab dua puluh tiga, yaitu jumlah yang sesungguhnya, melainkan harus menjawab tiga puluh dua. Dikatakannya bahwa jika pemilik sekolah datang maka ia akan mengajarkan pelajaran ke tiga puluh tiga, tentang Hariúcandra, yaitu raja yang tak pernah berbohong. Guru yang bersangkutan melatih anak-anak pada pelajaran tersebut agar keesokan harinya mereka dapat mem-berikan jawaban dengan cepat, selain itu diancamnya pula mereka dengan hukuman yang berat agar tak seorang pun berani membisikkan bahwa pelajaran itu telah diajarkan sebelumnya. Ia berkata, “Besok harus tampak seolah-olah saya baru mengajarkannya pertama kah’.” Ketika pelajaran selesai, semua anak pergi. Kåûóa sendiri yang tinggal. Ditanyakannya pada guru tersebut pertanyaan yang hari itu telah dua kali diucapkannya, “Mengapa Bapak tidak berbuat sesuai dengan nasihat yang Bapak berikan? Mengapa Bapak menceritakan pada kami kemuliaan raja itu tetapi Bapak sendiri tidak mengikuti jejaknya?” Seperti sebelumnya ia dibentak lagi, “Apakah maksudmu orang yang memberi nasihat harus mengikuti nasihatnya sendiri?” “Kemunafikan, di mana-mana kemunafikan!” pikir Kåûóa. Adegan pindah ke rumah Kåûóa, yaitu hari berikutnya ketika waktu untuk berangkat ke sekolah tiba tetapi Kåûóa tidak mau pergi. Ia melemparkan buku-bukunya sambil berkata bahwa pergi ke sekolah itu membuang waktu, karena itu ia tidak mau belajar di sekolah. Orang tuanya kebingungan dan memanggil gurunya yang segera datang. Kåûóa kemudian berkata, “Jika semua yang kalian ajarkan sebagai ibu, ayah dan guru ternyata hanya untuk diucapkan dan ditulis, jika, semua yang dipelajari kemudian dikesampingkan bila tiba masanya untuk bertindak, saya tidak mengerti mengapa saya harus mempelajari sesuatu.” Kata-kata ini membuka mata mereka sehingga orang tua-tua itu menyadari kekurangan mereka sendiri. Mereka memuji Kåûóa sebagai Guru dan memutuskan bahwa sejak saat itu mereka hanya akan berbicara dan berbuat yang benar. Ini adalah tema drama yang ditulis Sathya ketika berusia dua betas tahun. Sepintas lalu karya ini menampakkan kecerdasan-Nya, pandangan-Nya yang luas, kemampuan untuk melihat jauh ke depan dan minat serta semangat-Nya dalam pendidikan. Sathya sering dicari oleh orang-orang yang kehilangan barang berharga, karena telah terkenal bahwa dengan intuisi-Nya la dapat melihat dan mengetahui letak barang-barang tersebut. Sàì Bàbà berkata bahwa pada masa itu biasanya la hanya memberikan pada teman-teman-Nya huruf pertama dan terakhir dari nama orang yang memiliki barang tersebut, sedangkan cara untuk memperolehnya kembali la serahkan pada usaha mereka sendiri. Suatu kali ada kejadian khusus, seorang guru kehilangan pena yang berharga. la mendesak Sathya agar memberitahukan identitas pencuriannya. Kali ini Sathya menyebutkan nama seorang pelayan, tetapi guru yang bersangkutan tidak percaya karena pelayan itu setia dan jujur. Lagi pula ketika kamar pelayan tersebut digeledah, pena itu tidak diketemukan. Sathya tetap teguh pada pernyataan-Nya. Dikatakan-Nya bahwa pelayan tersebut telah mengirim pena itu pada anak laki-lakinya yang bersekolah di Anantapur, dan la bersedia membuktikan hal ini. Sathya menulis surat pada anak laki-laki itu sedemikian rupa seolah-olah
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
16
surat itu berasal dari ayahnya. Pelayan tersebut buta huruf, karena itu ia selalu memerlukan bantuan orang lain untuk menulis surat. Setelah menanyakan keadaan dan kesehatan si anak seperti biasanya, maka dalam surat tersebut, ditanyakan pula tentang pea yang tempo hari dikirim oleh si ayah, bagaimana bila dipakai untuk menulis. Si ayah menasihatkan agar pena tersebut digunakan dengan hati-hati, karena harganya mahal dan mudah “dicuri”! Disertakan pula sehelai kartu pos lengkap dengan alamat si pengirim untuk membalas kembali surat itu. Dalam waktu empat hari balasannya tiba ke tangan guru tersebut. Di kartu pos itu terbaca bahwa pen tersebut baik sekali dipakai untuk menulis dan akan disimpan dengan hati-hati karena harganya mahal serta dianggap sebagai hadiah yang berharga dari ayahnya. Dengan demikian terbuktilah kekuatan ajaib Sathya. Setiap orang yang mengenal-Nya menghormati-Nya. Sathya juga dihormati orang-orang di Uravakonda karena ada kejadian yang mirip dengan suatu peristiwa dalam kehidupan Sàì Bàbà dari Shirdi. Seorang Muslim sangat bingung mencari kudanya yang mungkin tersesat atau dicuri orang. Biasanya kuda itu digunakan untuk menarik pedati yang mengangkut orang atau barang, dan merupakan satu-satunya sumber mata pencaharian orang Muslim tersebut. Sekarang ia merasa putus asa karena telah dicarinya di seluruh daerah dan teman-temannya pun telah memeriksa seluruh desa dengan teliti, tetapi binatang itu tak kelihatan jejaknya. Akhirnya seseorang memberi tahu dia tentang Sathya. la datang pada Anak itu dan mencurahkan kesedihannya. Segera Sathya memberi tahu agar ia pergi ke hutan kecil tertentu, kira-kira 2,4 km dari kota. Ketika hal itu dilakukan, dijumpainya kuda itu sedang merumput sendirian, sama sekali tak peduli pada kegemparan yang telah ditimbulkannya. Kejadian ini membuat Sathya terkenal dalam masyarakat Muslim sebagai Anak Ajaib. Karena itu sais-sais pedati sering berhenti bila mereka melihat Sathya, dan meminta dengan sangat agar ia mau menumpang jika pergi atau pulang dari sekolah, karena mereka merasa bahwa kehadiran-Nya membawa nasib baik. Peristiwa-peristiwa semacam itu terus berlangsung, kadang-kadang dengan sedikit keajaiban, dan merupakan petunjuk kecil tentang kekuasaan dan keagungan yang tersembunyi dalam tubuh remaja ramping ini. Remaja yang kini berusia tiga belas tahun. Pada tanggal 8 Maret 1940, seluruh kota terkejut mendengar bahwa seekor “kala jengking hitam dan besar” telah menyengat Sathya. Waktu itu senja hari kira-kira jam tujuh ketika Sathya berteriak dan melompat sambil memegang ibu jari kaki kanan-Nya, seolah-olah ada sesuatu yang menyengat-Nya ! Walau tak ada kala jengking atau ular yang diketemukan, la jatuh seperti tak sadarkan diri dan menjadi kaku. la tak bisa berbicara dan nafas-Nya menjadi lemah. Jika peristiwa semacam itu terjadi pada Sàì Bàbà sekarang, pengikut-Nya tidak akan terkejut karena mereka telah terbiasa melihat la meninggalkan badan kasar-Nya dan berpergian ke tempat lain dengan “badan halus”. Karena belum memahami penyebab perjalanan spiritualnya ini maka kakak laki-laki-Nya Seshama dan orang-orang lain menjadi ketakutan. Ada suatu kepercayaan di Uravakonda dan daerah-daerah sekitamya, bahwa tak ada orang yang mampu bertahan dan tetap hidup jika digigjt ular atau kala jengking di daerah itu. Takhayul yang menakutkan ini tersebar terutama karena daerah tersebut bernama “batu ular yang berkepala banyak”, lagi pula karangkarangnya tampak seperti ular yang mengangkat kepalanya siap untuk menyerang dengan gigitannya yang berbisa. Seshama memanggil dokter dan Sathya mendapat suntikan serta obat-obatan. Sathya “tak sadar” sepanjang malam. Meskipun begitu, pada suatu malam terjadi peristiwa yang dengan jelas memperlihatkan bahwa la bukannya tidak sadar. Sebaliknya, la bahkan berada dalam keadaan yang supra sadar! Ada orang yang mengira bahwa Sathya mungkin kemasukan roh jahat, dan menyarankan agar Muthyalamma yaitu roh yang menghuni sebuah gua dekat bukit, diberi sesaji. Beberapa orang kemudian pergi ke pura dengan sukarela, menuruni tangga memasuki tempat suci dan mempersembahkan bunga-bunga, menyalakan dupa serta memecah kelapa. Pada saat mereka melakukan hal tersebut di gua, Sathya yang pada perkiraan orangorang sedang tak sadar, mendadak berkata, “Kelapanya pecah menjadi tiga,” ketika mereka pulang ke rumah membawa persembahan, ternyata kelapa yang dibawa ada tiga potong dan bukannya dua potong seperti biasanya! Keesokan harinya dokter datang lagi dan mengatakan bahwa keadaan si Anak sudah tidak berbahaya. Sathya pulih lagi dalam satu atau dua hari, kemudian mulai bertingkah laku secara luar biasa. Ini kadang-
17
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
kadang dijelaskan sebagai “perubahan kepribadian yang sempurna — pemakaian badan Sathya oleh Sàì Bàbà dari Shirdi,” Tak ada sesuatu yang menyimpang dari kebenaran. Sàì Bàbà telah berkata bahwa la Sendiri yang memulai proses perwujudan, karena la tak dapat menunggu lebih lama lagi dan bermain sebagai seorang Anak laki-laki biasa dengan “saudara laki-laki”, “saudara perempuan”, “teman-teman sekolah” dan ikatan keduniawian lainnya. la hendak memperlihatkan bahwa la tak terpengaruh oleh racun atau pun oleh dunia obyektif yang beracun. Seshama telah memberi tahu keluarga di Puttaparthi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Uravakonda. la menulis pada orang tuanya bahwa Sathya tak menjawab siapa pun yang berbicara kepadaNya, dan bahwa sulit sekali mengusahakan agar la mau makan. Dikatakannya pada mereka bahwa hampir sepanjang waktu Sathya diam membisu, kadang-kadang mendadak la bernyanyi atau mengucapkan puisi, kadang-kadang mengucapkan ayat-ayat panjang dalam bahasa Sansekerta, kadang-kadang menguraikan kebijaksanaan filsafat India kuno. Karena mendapat kesulitan-kesulitan yang tak terduga dan tak dapat dijelaskan, maka kedatangan orang tua-Nya terlambat seminggu. Kekhawatiran Seshama meningkat. Dicarinya orang yang mau pergi ke Anantapur dengan sepeda, kemudian dari sana terus ke Bukkapatnam dan Puttaparthi. Ketika ia sedang menjelaskan pada orang itu tentang perjalanan yang hams ditempuh untuk mencapai tempat tinggal mereka, Sathya menyela dan berkata: “Mengapa? Engkau tak perlu menyuruhnya sekarang. Mereka akan tiba di sini setengah jam lagi.” Sesuai dengan apa yang dikatakan-Nya, mereka tiba tepat dalam waktu setengah jam! Melihat keadaan Sathya, orang tua-Nya pun ketakutan karena la bernyanyi, berbicara dan bertingkah laku aneh. Badan-Nya kadang-kadang kaku dan tampaknya Sathya meninggalkan tubuh-Nya serta pergi ke tempat lain. Semuanya sangat misterius! Pada suatu hari ketika Sathya sedang berbaring dan tampak tak menyadari keadaan sekitarnya. la mengomentari pembacaan kitab suci di rumah sebelah dan berkata pada orang tua-Nya, “la membaca buku Sansekerta tetapi semuanya keliru, ia menerangkannya secara salah. Pergilah dan bawa ia ke sini,” perintah-Nya. Orang yang membaca itu tak mau datang, “Apa yang diketahui anak itu tentang kitab suci ini dan benar salahnya arti yang kutafsirkan? Bagaimana ia bisa mendengarnya? Katakan padanya agar jangan ikut campur urusan orang lain,” katanya dan meneruskan uraiannya. Tetapi Sathya bersikeras dan pembaca itu terpaksa datang setidak-tidaknya untuk memuaskan orang tua tersebut yang memohon, “Datanglah dan ajarlah anak itu sopan santun. Akhir-akhir ini ia menjadi tak terkendalikan.” Ketika orang yang terpelajar itu tiba, Sathya memintanya mengulang uraiannya, menunjukkan letak kesalahannya dan mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai epik tersebut secara berturut-turut dan cepat sehingga orang itu menjadi bingung. Akhirnya ia menjatuhkan diri di kaki Sathya dan minta maaf karena tidak segera memenuhi panggilan-Nya. Pengawas Kesehatan Distrik dari Anantapur yang pada waktu itu berada di Uravakonda, diminta pendapatnya oleh dokter yang merawat Sathya. Ia berpendapat bahwa penyakit tersebut ada hubungannya dengan sawan, suatu jenis histeria yang tak ada kaitanya dengan sengatan kala dan disarankannya suatu cara pengobatan. Saran ini diikuti dengan teliti selama tiga hari, tetapi gejala-gejala tertawa dan menangis, fasih berbicara dan diam, tetap berlangsung seperti semula. Sathya bernyanyi dan berbicara tentang Tuhan. la menceritakan tempat-tempat ziarah yang belum pernah dikunjungi orang, dan dikatakan-Nya bahwa kehidupan seluruhnya adalah drama! Ahli Astrologi berkata bahwa Anak ini kemasukan setan, arwah penghuni rumah yang lama yang pertama menyewa rumah itu. Mereka memarahi Seshama karena kurang berhati-hati ketika memilih rumah. Dukun lain beranggapan bahwa keadaan Sathya disebabkan oleh suatu ketakutan yang mendadak yang menyebabkan sarafnya terganggu. Pendeta menasihati agar Seshama menyelenggarakan upacara penyucian di pura. Orang-orang yang lebih bijaksana menggeleng-gelengkan kepala dan berbisik bahwa jalan Tuhan tak dapat diduga. Seshama dikelilingi oleh banyak orang yang menaruh simpati, dan masing-masing mempunyai cara khusus untuk mengobati keadaan adiknya yang menyedihkan. Akhirnya la membawa seorang pengusir setan ke rumah. Ketika melihat orang itu Sathya menantangnya, “Ayo! Engkau telah memuja-Ku setiap hari dan sekarang karena engkau telah datang ke sini, tugasmu satu-satunya adalah memuja-Ku dan pergi.” “Dokter” ini mendengar peringatan dari dewa yang justru dipilihnya untuk pemujaan pribadi. Ia pergi
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
18
dengan tergesa-gesa hingga lupa meminta bayarannya! Disarankannya pada Seshama agar memperlakukan si Anak dengan sangat hormat, karena la sedang “berhubungan dengan Tuhan” dan sama sekali tidak kemasukan setan. Orang tua-Nya berkecil hati. Mereka membawa Sathya ke Puttaparthi dan memperhatikan kelakuanNya dengan rasa takut dan kekhawatiran yang makin lama makin meningkat. Anak itu sendiri memperkuat efek ini dengan berdiam diri, bernyanyi dan berkhotbah. Tiba-tiba la berkata pada kakak perempuan-Nya, “Kemarilah, goyangkan lampu suci, dewa-dewa akan lewat di langit.” la berkata bahwa pelajaran-Nya di sekolah akan terganggu, kemudian menyanyikan lagu yang disusun-Nya tanpa persiapan lebih dulu mengenai pentingnya membaca dan menulis serta bagaimana orang-orang desa menjadi korban kelicikan lintah darat bila mereka buta huruf. Ketika meninggalkan Uravakonda, mereka membawa Sathya ke dokter di Bellary dan ke dokter lain di Dharmavaram. Tetapi diagnosa apakah yang dapat mereka buat? Stetoskop mereka tak dapat digunakan untuk menangkap detak Ketuhanan atau menampilkan denyut jiwa, apa lagi untuk memahami Jiwa Tuhan yang telah memutuskan untuk mengatasi ikatan-ikatan kebiasaan manusia. Sathya bertanya pada orang tua-Nya, “Mengapa kalian secemas ini? Bila kalian pergi, tidak akan ada dokter di sana, bila ada pun ia tak akan dapat mengobati Aku.” Bila ada penyakit, biasanya orang-orang desa mengkhawatirkannya sebagai akibat guna-guna atau karena ada roh jahat yang merasuki si penderita, karena itu dua dukun pengusir setan dipanggil ke Puttaparthi. Ketika salah seorang dukun tersebut tiba. duduk di kamar dan merencanakan daftar barangbarang yang diperlukan untuk memanggil roh serta memindahkan gejala-gejalanya yang mengerikan ke seekor domba atau unggas, sambil tertawa Sathya mengingatkan dukun itu tentang sejumlah barang yang terlupakan. Tampaknya la memutuskan untuk menjalani segala daya upaya mereka yang bodoh serta penuh takhyul, dan menganggap semuanya itu sebagai suatu permainan yang lucu ! Hampir tak dapat dimengerti bagaimana seorang anak laki-laki ber-usia empat belas tahun dapat mengatasi perlakuan yang mengerikan di desa Brahmanapalli dekat Kadiri. Ini adalah suatu kisah keteguhan hati. Seseorang memberi tahu orang tua Sathya yang sedang cemas tentang adanya seorang dukun yang hebat. Katanya, tak ada roh jahat yang berani berkutik di depan dukun itu. Mereka yakin bahwa ia akan dapat menyembuhkan Sathya sama sekali sehingga Anak ini bisa masuk sekolah lagi. Sapi-sapi dan gerobak segera disiapkan untuk perjalanan ini tetapi sapi-sapi itu tidak mau bergerak! Banyak sekali rintangan di jalan. Akhirnya dicapailah tempat itu dan “persoalannya” diserahkan pada ahli yang terkenal dalam hal mengusir setan tersebut. Tubuhnya seperti raksasa, mengerikan jika dipandang, matanya berwarna merah darah dan tingkah lakunya liar. la mencoba seluruh kemampuannya, mengorbankan ayam kemudian domba dan mendudukkan Sathya di tengah lingkaran yang dibuat dengan darah. Dinyanyikannya segala mantra yang diketahuinya. Tak diizinkannya orang tua Sathya membawa Anak itu pergi, karena ia merasa bahwa ini adalah persoalan yang telah dipercayakan kepadanya. Bahwa ini adalah suatu pertarungan antara kekuatannya dengan kekuatan Anak Laki-laki Kecil itu, Anak yang tersenyum melihat kegagalannya. Bahkan dicobanya caracara nekad dan mengerikan yang biasanya pada orang dewasa pun ia tak berani melakukannya! Misalnya, ia mencukur kepala Sathya kemudian dengan alat yang tajam ditorehnya tanda “X” di kulit kepala-Nya dari ubun-ubun sampai ke dahi. Sathya duduk menahan rasa sakit tanpa bergerak. Dukun tersebut menuangkan campuran air jeruk nipis, bawang dan buah asam lainnya di atas kepala yang luka dan berdarah itu. Orang tua-Nya yang menyaksikan tindakan-tindakan ini dengan putus asa, tercengang karena Anak itu sama sekali tidak menangis atau mengeluh kesa-kitan. “Ahli siksa” ini menjadi marah. la merencanakan bahwa untuk beberapa hari berturut-turut setiap dini hari, seratus delapan gayung air dingin akan disiramkan di kepalaNya. Itu pun telah dilakukan. Senjatanya telah hampir habis tetapi “roh jahat” yang merasuki Anak ini belum juga mengaku kalah, belum mau meninggalkan Anak itu dan pergi ke tempat lain! Kemudian ia memukul persendian-persendian Sathya dengan tongkat yang berat untuk mengusir apa yang dinamakannya “demam rusa jantan” yang menyebabkan Anak itu bergerak, dan mengusir “demam karang” yang menyebabkan Anak itu diam. Akhirya ia memutuskan untuk menggunakan senjatanya yang terkuat sehingga roh yang paling bandel pun tak dapat menahannya, yaitu “Kalikam”. Ini adalah “collyrium” ajaib, campuran segala macam
19
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
ramuan yang hebat dan tidak karuan yang terdapat dalam daftar dukun itu. Ramuan tersebut di gunakan di mata Sathya. Orang tua-Nya terkejut melihat akibatnya. Menurut Venkamma, kakak perempuan-Nya, kepala dan wajah Sathya menjadi bengkak di luar dugaan, menjadi merah dan rasa terbakar dapat dirasakan pula oleh orang-orang yang berada di dekat-Nya. Mata-Nya mengucurkan air mata dan seluruh tubuh-Nya gemetar menahan sakit. Dukun setan itu gembira karena hampir berhasil dan roh jahat akan segera pergi. Sathya tak mengucapkan sepatah kata pun atau menggerakkan jari-Nya. Mereka yang berada di sekeliling-Nya terutama orang tua dan kakak-Nya, merasa bersalah karena hanya dapat menyaksikan segala siksaan ini tanpa daya. Mereka menangis sangat sedih dan berusaha menghibur Sathya tanpa sepengetahuan dukun tersebut, karena ia tak mengizinkan siapa pun mendekati Pasiennya. Sementara itu, beberapa kali Sathya memberi isyarat pada orang tua-Nya agar mereka tenang. Dengan gerakan isyarat diberitahukannya pada mereka bahwa dengan suatu alasan la akan keluar dari ruang itu, dan minta agar mereka siap menantiNya di luar. Di sana la memberi tahu Venkamma, saudara perempuan-Nya, agar mengambil obat yang diketahui-Nya. Obat itu dibawa dan dikenakan di mata-Nya. Kedua mata Sathya yang tadinya menyempit menjadi dua garis kecil, terbuka lebar dan bengkaknya berkurang ! Di kemudian hari la berkata, “Walaupun telah melihat seluruh keteguhan hati yang demikian hebat dan keajaiban dimana seorang anak laki-laki menjalani semua siksaan yang mengerikan itu tanpa cedera, kalian masih juga belum yakin bahwa Aku adalah Sàì Bàbà. Bagaimana nanti reaksi kalian jika pada suatu hari Aku membuat pernyataan? Aku hendak menyatakan bahwa Aku memiliki kekuatan Tuhan, tak terpengaruh oleh penderitaan, sakit atau pun senang.” “Dokter” itu marah karena ada campur tangan dalam pengobatan yang dilakukannya, ia geram sekali seperti binatang buas yang gagal memperoleh mangsanya. “Hampir saja saya berhasil”, amuknya. Orang tua Sathya ingin menyelamatkan anak mereka dari cengkeraman “Dewa Kematian” yang berwujud manusia ini, mereka telah cukup menyaksikan dan menderita. Dukun itu mereka bayar penuh dan diberi berbagai hadiah tanpa diminta. Mereka mengucapkan terima kasih untuk segala “ilmu” yang telah digunakannya dan hanya dapat menyesali nasib sendiri. Mereka berjanji akan memperbesar daya tahan Anak itu sedikit lagi sehingga la akan dapat menahan upacara-upacara pengusiran setan yang hebat, dan kemudian akan dibawa lagi untuk melanjutkan perawatan “dokter” tersebut. Mereka berhasil! Sapi-sapi dan kereta bergerak meninggalkan rumah yang mengerikan itu dan akhirnya mencapai Puttaparthi. Sathya masih jauh dari normal. Seringkali la tampak sebagai pribadi yang lain. la mengucapkan ayat-ayat pujian pada Tuhan dan puisi-puisi yang jauh di luar jangkauan pengertian anak belasan tahun. Kadang-kadang kekuatan-Nya seperti kekuatan sepuluh orang bersama-sama, kadang-kadang la selemah tangkai teratai. la berdebat dengan orang-orang dewasa tentang kebenaran sikap serta tingkah laku mereka, dan membuat orang dewasa itu malu karena Sathya membuktikan kekeliruan mereka. Salah seorang teman keluarga mereka menyarankan agar anak ini dibawa ke suatu desa yang jauhnya beberapa kilometer. Di sana ada seorang “dokter” pandai yang dapat menyembuhkan berbagai kasus semacam itu dengan memberikan dedaunan hijau sebagai obatnya. Sapi-sapi diambil dan pedati disiapkan. Sathya diangkat ke dalam pedati dan gentanya mulai bergemerincing sepanjang jalan dalam cuaca yang baik. Kira-kira setengah jam kemudian Sathya tampaknya menyadari bahwa la sedang dibawa ke suatu tempat. la berkata dengan tegas, “Aku tak ingin pergi ke mana-mana, marilah kita pulang.” Sementara kata-kata tersebut diucapkan, sapi-sapi itu berhenti dan tak mau maju selangkah juga walaupun dibujuk atau dipaksa. Usaha tersebut berlangsung lebih dari satu jam, tetapi sapi-sapi itu tetap tak bergerak! Akhirnya kepala mereka diputar menghadap ke jalan pulang dan segera lonceng pedati berdenting lagi dengan meriah. Sri Kåûóamacharya, seorang ahli hukum dari Penukonda dan sahabat keluarga Raju, mendengar peristiwa yang terjadi dalam keluarga itu, maka ia datang ke desa untuk mempelajari keadaan serta menawarkan bantuan yang mungkin dapat diberikannya. la menatap Sathya lalu pada Venkapa Raju, “Ini benar-benar lebih serius daripada yang saya duga. Bawalah dia segera ke pura Narasiýha di Sholingur, tempat suci ‘Tuhan sebagai Manusia Singa’, ini adalah kesempatan terakhir.” Sathya mendengar kata-katanya dan tiba-tiba berpaling ke arahnya sambil berkata, “Lucu bukan? Aku berada dalam pura itu dan engkau akan membawa Aku kepada Aku!” Ahli hukum itu tak mempunyai keinginan lagi untuk melakukan tanya jawab.
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
20
Pada tanggal 23 Mei tahun 1940, Sathya yang waktu itu berusia empat belas tahun, bangkit dari tempat tidur seperti biasa tetapi kemudian segera memanggil semua anggota keluarga ke sekitar-Nya dan membagikan kembang gula serta bunga yang diambil-Nya “entah dari mana”. Melihat peristiwa ini, para tetangga bergegas masuk. Masing-masing diberi-Nya segumpal nasi yang dimasak dengan susu, juga bunga dan kembang gula, semua diciptakan-Nya hanya dengan lambaian tangan. Tampaknya Sathya sedang berada dalam suasana perasaan yang sangat riang dan murah hati, sehingga Venkapa Raju dipanggil agar melihatNya dalam keadaan yang menggembirakan ini. Venkapa Raju segera masuk dan harus berdesakan di antara orang banyak. Orang-orang menyuruhnya mencuci kaki, tangan dan muka sebelum men-dekati “Pemberi Anugerah”. Hal tersebut menggusarkan Venkapa Raju. la sama sekali tidak terkesan. la takut bahwa ini hanyalali suatu tipu muslihat dan Sathya menyembunyikan barang-barang tersebut di suatu tempat, ke mudian mengeluarkannya dengan suatu gerakan tangan. Setidak-tidaknya itulah yang diceritakannya pada penulis buku ini bertahun-tahun kemudian. la berharap agar bagian yang membingungkan dalam kehidupan mereka ini segera berakhir sebelum berkembang menjadi suatu tragedi. Maka ia pun tertawa dengan pahit dan menegur Anak itu sehingga terdengar oleh orang banyak, “Ini sudah keterlaluan, harus dihentikan.” Sambil membawa sebatang tongkat ia maju selangkah dan mengancam akan memukul Sathya. “Apakah engkau Tuhan atau hantu ataukah lupa daratan? Katakan!” teriaknya. Dengan segera datanglah jawabnya, sebuah Pemyataan yang telah ditangguhkan demikian lama, “Aku Sàì Bàbà”. Perdebatan lebih lanjut tak mungkin dilakukan, Venkapa Raju terdiam, tongkat terlepas dari tangannya. la berdiri menatap Sathya, mencoba memahami pernyataan itu: “Aku Sàì Bàbà.” Tetapi Sathya melanjutkan, “Aku termasuk dalam Apastamba Sùtra, kelompok pertapa Bharadwaja Apastamba dan Aku dari Keturunan Spiritual Bharadwaja, Aku Sàì Bàbà, Aku telah datang untuk menyingkirkan segala kesulitanmu; usahakanlah agar rumahmu bersih dan mumi.” Siang itu diulang-Nya kedua nama tersebut berkali-kali. Abang-Nya Seshama mendekati-Nya dan bertanya, “Apa yang kau maksudkan dengan ‘Sàì Bàbà’?” la tak menjawab, hanya berkata, “Venkavadhoota kalian berdoa agar Aku lahir dalam keluargamu, maka Aku Datang.” Siapakah Venkavadhoota ini? Ketika Seshama ditanya mengenai dia, ia menceritakan tradisi dalam keluarga mereka tentang seorang pertapa bernama Venkavadhoota yang telah lahir dalam keluarga ini bertahun-tahun yang silam. Pertapa tersebut dipandang sebagai Guru oleh penduduk dari beratus-ratus desa sekitarnya. Penduduk desa mendengar nama “Sàì Bàbà” dengan takut dan takjub. Setelah mereka bertanyatanya dan mendengar bahwa seorang pegawai negeri yang memuja seorang pertapa Muslim, Sàì Bàbà dari Shirdi, telah datang ke Penukonda beberapa waktu yang lalu, mereka pun menganjurkan agar Sathya dibawa kepadanya karena telah terkenal bahwa ia mengetahui dengan baik hal hal yang berhubungan dengan Sàì Bàbà dari Shirdi. la tentu tahu apa yang diderita Sathya dan akan menyarankan jalan keluarganya. la berkenan melihat Anak itu tetapi tak berminat mempelajari riwayat-Nya. Dikatakannya bahwa ini jelas suatu kasus kekacauan mental, dan disarankannya agar Sathya dipindahkan ke suatu lembaga perawatan. Sathya menyela dan berkata, “Ya, ini kekacauan mental, tetapi mental siapa? Engkau hanyalah seorang hamba yang buta. Engkau tak dapat mengenali Sai yang kau puja!” Sambil berkata demikian la mengambil “entah dari mana” segenggam Vibhùti atau abu suci dan menebarkannya ke segala jurusan dalam ruangan itu. Sang ayah merasa bahwa Sàì Bàbà berbicara melalui Anak itu maka ia bertanya, “Apa yang harus kami lakukan untukmu?” Sathya menjawab dengan segera, “Pujalah Aku!” “Bilamana?” “Setiap Kamis! Sucikan pikiran dan rumahmu.” Kelak pada suatu Kamis seseorang menantang Sathya, “Jika engkau Sàì Bàbà, perlihatkan bukti pada kami sekarang!” Bàbà menjawab, “Baiklah.” Setiap orang kemudian datang mendekat. “Letakkan bunga-bunga melati itu dalam tangan-Ku,” perintah-Nya. Hal ini dilaksanakan. Dengan gerakan yang cepat dilemparkan-Nya bunga-bunga itu di lantai dan berkata, “Lihat.” Mereka melihat bahwa bunga-bunga yang jatuh di lantai itu membentuk huruf Telugu, “Sàì Bàbà”. Tampak bahwa Sathya menyiapkan orang banyak selangkah demi selangkah untuk suatu zaman yang baru, yaitu zaman Sathya Sai. Sikap-Nya yang dingin dan acuh tak acuh selama mengalami berbagai siksaan di tangan dukun, menyebabkan setiap orang merasa bahwa la bukan anak sembarangan, bahwa sesungguhnya la adalah suatu penjelmaan yang tinggi. Percikan-percikan ketuhanan-Nya telah tampak melalui kemahiran-Nya yang luar biasa dalam lagu, tarian, musik dan puisi. la telah memperlihatkan
21
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
kekuasaan-Nya dengan berpergian di luar Badan-Nya dan bebas dari sakit serta penderitaan. Sekarang la telah memutuskan untuk memaklumkan ketuhanan-Nya pada dunia. Seshama masih belum melepaskan rencananya untuk memasukkan Sathya ke sekolah menengah, apa pun yang terjadi. Dibawanya Sathya kembali ke Uravakonda pada bulan Juni dan dimasukkannya kembali ke sekolah. Sekarang Sathya menarik perhatian setiap orang karena mereka semua telah mendengar tentang “kegilaan-Nya”, dan usaha-usaha orang tua-Nya yang kebingungan untuk mengobati Anak itu, Sathya disambut dengan gembira sebagai anak ajaib yang misterius, seorang “nabi” kecil dan dipandang sebagai keajaiban yang jarang ada. Pada hari Kamis rumah-Nya penuh dengan penziarah yang datang dari berbagai desa. Mereka tinggal sampai larut malam, duduk di sekeliling Sàì Bàbà dan mempersembahkan, bunga serta manisan. Dia biasa menunjuk Seshama dan berkata, “Orang yang tak berakal, ia tak percaya!” Kepala sekolah membungkuk di depan murid muda ini. Wakil kepala sekolah, Thammiraju dan Sesha lyengar, mengintip di balik tirai dan mendengarkan kata-kata-Nya yang menimbulkan inspirasi. Setiap hari Kamis menjadi peristiwa besar di Uravakonda. Sathya men-takjubkan setiap orang bila la menciptakan gambar-gambar Sàì Bàbà dari Shirdi, sobekan kain oranye yang kata-Nya adalah dari ‘kafni’ yang dipakai Sàì Bàbà, buah kurma yang dipersembahkan di kuil Shirdi, juga bunga-bungaan, kembang gula dan “Abu”. Jenis “Abu-Nya” bukanlah seperti yang diambil dari perapian tetapi diambil langsung “entah dari mana”. Pada suatu hari datanglah serombongan guru sekolah menengah yang bermaksud mengujiNya. Mereka membawa sejumlah pertanyaan yang dilemparkan secara bertubi-tubi kepada-Nya dari segala segi. la menjawab mereka dengan cara yang sama seperti yang mereka lakukan kepada-Nya. DipanggilNya setiap guru untuk mendengarkan baik-baik jawaban dari setiap pertanyaannya yang istimewa. Selain semua jawaban-Nya tepat dan benar, perbuatan Anak itu pun telah memperlihatkan kecerdasan-Nya. Kemudian sebuah undangan dari beberapa penduduk Hospet menimbulkan inspirasi pada Seshama. Hospet terletak beberapa kilometer dari reruntuhan Hampi, ibu kota kerajaan Vijayanagar pada zaman dahulu. Wakil pemilik sekolah, pegawai kesehatan, ahli mesin, anggota dewan kotapraja dan para pedagang menghendaki agar Sathya dibawa ke kota mereka. Kakak-Nya menggunakan kesempatan ini untuk pergi karena ia mengira bahwa perjalanan yang jauh dan piknik sepanjang perjalanan ini mungkin dapat memperbaiki kesehatan mental anak tersebut. Hari raya Dasara dalam bulan Oktober merupakan kesempatan yang baik untuk perjalanan ini. Rombongan tiba di reruntuhan Hampi. Mereka berjalan dengan susah payah di sepanjang jalan yang pernah dilalui oleh pria dan wanita dari segala bangsa-bangsa Timur, maupun pengembara dan pedagang dari Timur Tengah serta pantai Laut Tengah. Mereka melihat kandang gajah, istana para ratu, tempat permahkotaan dan pura Vittalanatha, kemudian berjalan terus sampai ke kereta perang dari batu yang amat besar. Akhirnya mereka tiba di pura Virupakûa (Úiva dengan tiga mata) Wujud Tuhan yang merupakan pelindung kerajaan Vijayanagar, yaitu kerajaan yang melindungi dan mencintai kebudayaan Hindu selama tiga abad dari tahun 1336 sampai tahun 1635. Tampak bahwa sepanjang pagi Sathya berjalan di antara reruntuhan dengan tak sadar, seperti orang yang sedang bermimpi. Seorang pertapa terhormat yang duduk di depan salah satu dari pura itu berkata mengenai Dia, “Percayalah padaku, Anak ini Tuhan.” Ketika rombongan itu masuk ke dalam pura Virupakûa, Sathya pun ikut bersama mereka, tetapi la lebih tertarik pada ketinggian dan keagungan rumah doa itu daripada mengikuti upacara puja di tempat suci. Ia berdiri di luar dan tak seorang pun menyuruhNya masuk bersama dengan yang lain-lain. Tak lama kemudian pendeta melambaikan api kamper di depan arca Linggam. (linggam adalah perwujudan dari Yang Tak Berbentuk timbul menjadi Bentuk atau Bentuk lebur menjadi Yang Tak Berbentuk. Biasanya Linggam berbentuk lonjong). la meminta para peziarah melihat ke dalam altar yang menjadi terang ketika api kamper meneranginya. Sungguh mencengangkan, yang mereka lihat dalam altar itu tak lain dan tak bukan adalah Sathya! la berdiri di tempat Linggam, tegak dan tersenyum, menerima salam normal mereka. Segala sesuatu berkenaan dengan penampakan Anak ini begitu mengharukan dan tak terduga, sehingga Seshama hendak menyelidiki apakah mungkin la sungguhsungguh tersesat ke dalam altar tanpa setahu orang. Maka ia bergegas ke luar hanya untuk mendapati Sathya sedang bersandar pada dinding, menatap ke cakrawala yang jauh! Ketakjuban anggota rombongan itu tak terlukiskan. Hari itu walaupun bukan hari Kamis, mereka mempersembahkan puja khusus bagi-Nya karena kepercayaan mereka kepada-Nya sebagai Penjelmaan
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
22
Tuhan semakin mantap. Penduduk Hospet menjadi penuh harapan dan kegembiraan. Cerita bahwa la terlihat dalam altar Virupakûa sedangkan sesungguhnya la sedang berada di luar, telah tersiar di kota, lama sebelum rombongan itu tiba. Keesokan harinya, hari Kamis, Sathya sebagai Sàì Bàbà mengobati penderita TBC kronis hanya dengan menyentuhnya dan membuat ia bangkit serta berjalan kira-kira satu setengah kilometer. Diciptakan-Nya “entah dari mana” bermacam-macam barang untuk para pemuja-Nya hingga kegembiraan mereka meluap-luap. Bhajan dan Namasankirtan yaitu menyanyikan bersama pujian bagi Nama Tuhan, dilangsungkan hingga larut malam, tak seorang pun ingin tidur. Orang dapat merasakan bahwa Sàì Bàbà muda ini makin lama makin enggan terikat oleh kebiasaan yang rutin. Direnggut-Nya ikatan-ikatan karena sejarah telah membisikkan dalam telinga-Nya agar meninggalkan semua itu dan meluas ke empat penjuru angin. Masa percobaan yang ditetapkan Sàì Bàbà bagi orang-orang di sekitar-Nya telah berlalu. Waktunya telah tiba untuk melepaskan nama keluarga dan menyatakan Diri-Nya sebagai Sàì Bàbà. Pada tanggal 20 Oktober tahun 1940, sehari setelah mereka kembali dari Hampi dengan bis khusus, Sathya mulai bersekolah seperti biasa. Pengawas bea cukai wilayah itu, Sri Anjaneyulu, yang sangat menyayangi Bàbà muda ini, menemani-Nya hingga mereka tiba di gerbang sekolah kemudian pulang ke rumah dengan rasa enggan. Rupanya hari itu ia melihat lingkaran cahaya yang indah di sekeliling wajah Bàbà, dan ia tak dapat memalingkan matanya dari pesona tersebut. Beberapa menit kemudian Bàbà juga kembali ke rumah. Sambil berdiri di tangga pintu depan la melemparkan buku-buku yang dibawa-Nya dan berseru, “Aku bukan lagi Sathya kalian. Aku Sai.” Kakak iparnya datang dari dapur dan mengintip keluar, ia silau oleh cahaya gemilang yang dilihatnya memancar di sekeliling Kepala Sàì Bàbà. Dipejam-kannya matanya dan berteriak. Bàbà berkata kepadanya, “Aku akan pergi. Aku bukan milikmu; Maya (khayal) telah pergi; umat memanggil-Ku, Aku mempunyai tugas. Aku tak dapat tinggal lebih lama.” Sambil berkata demikian la berpaling dan pergi tanpa memperhatikan permohonan kakak ipar-Nya. Mendengar kejadian ini, abang-Nya segera pulang, tetapi Sàì Bàbà hanya berkata kepadanya, “Hentikan segala usahamu untuk menyembuhkan Aku. Aku Sai, Aku tak merasa Diri-Ku terikat kepadamu.” Sri Narayana Sastri, tetangga mereka, mendengar kegaduhan tersebut. la mendengarkan dan menyadari bahwa ini adalah sesuatu yang serius. la berlari masuk ke dalam. Melihat kecemerlangan cahaya yang memancar di sekeliling Kepala Sai Bàbà, ia menjatuhkan diri di Kaki-Nya. la pun mendengar pernyataan bersejarah ini, “Maya telah tiada, Aku akan pergi, Tugas-Ku menanti.” Seshama Raju kebingungan. la hampir saja tak dapat memusatkan pikirannya untuk menghadapi situasi baru ini. Seorang anak laki-laki yang baru berusia empat belas tahun, berbicara tentang umat, tugas, khayal dan filsafat tentang “milik”! la hanya dapat memikirkan satu rencana. Sathya dipercayakan kepadanya oleh orang tuanya, maka ia berkewajiban memberi kabar pada mereka dan menjaga Sathya di rumah sampai mereka datang ke Uravakonda menjemput-Nya. Tetapi Sathya tak mau masuk ke dalam rumah lagi. la pindah ke halaman rumah kecil milik Anjaneyulu dan duduk di atas batu di antara pepohonan. Dari segala penjuru orang datang ke kebun sambil membawa bunga dan buah-buahan. Kelompok pepohonan di situ menggenakan suara beratus-ratus orang yang menyanyikan bersama baik-bait yang diajarkan Sathya Sai. Doa pertama yang diajarkan-Nya hari itu masih diingat banyak orang yaitu : “Pusatkan pikiranmu di Kaki Guru. Ini akan membawamu mengarungi lautan kehidupan yang sulit, yang mengombang-ambingkan dirimu kelahiran demi kelahiran.” Teman-teman sekelas-Nya menangis ketika mendengar bahwa Sathya tak akan masuk sekolah lagi, bahwa ia amat jauh di luar jangkauan mereka, bahwa setelah ini kelompok-Nya hanyalah orang-orang yang dilimpahi Rahmat-Nya. Banyak yang datang membawa dupa dan kamper untuk memuja-Nya. Beberapa orang datang untuk bersimpati pada keluarga-Nya, beberapa untuk memberi selamat mereka. Beberapa datang untuk mendengar dan beberapa, sayang sekali, datang hanya untuk menertawakan. Demikianlah tiga hari berlalu dalam kebun itu, tiga hari pemujaan. Seorang tukang potret datang dan ingin agar Sàì Bàbà memindahkan sebongkah batu yang terletak tepat di depan-Nya, tetapi Bàbà tidak memperhatikan permohonan itu. Meskipun demikian, tukang potret tersebut mengambil foto, dan lihatlah,
23
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
batu itu menjadi gambar Sàì Bàbà dari Shirdi! Tapi hanya dalam potret itu dan tidak untuk semua orang yang berkumpul di sana. Pada suatu sore ketika sedang bernyanyi tiba-tiba Bàbà berkata, “Oh, Maya telah datang!” (Khayalan memperlihatkan diri-Nya). la menunjuk pada Eswaramma, sang ibu, yang baru saja datang dari Puttaparthi dengan sangat tergesa-gesa. Ketika orang tua-Nya memohon agar la pulang ke rumah, la menjawab dengan cepat, “Siapa milik siapa?” Ibu-Nya menangis dan memohon tetapi tak dapat mengubah pendirian Anak itu. la tetap mengulang-ulang ucapan-Nya, “Ini semua khayalan - tidak benar.” Akhirnya la minta agar ibu-Nya menyediakan makanan. Ketika disa-jikan beberapa macam, semua dicampur-Nya menjadi satu dan dibuat-Nya menjadi beberapa gumpalan. Ibu-Nya mengulurkan kepadaNya tiga gumpal. Sambil menelannya Bàbà berkata, “Ya, sekarang penampakan yang keliru telah tiada. Tak perlu khawatir,” kemudian la masuk lagi ke dalam taman. Beberapa hari kemudian Sàì Bàbà meninggalkan Urovakonda. Orang tua-Nya berhasil membujuk agar la kembali ke Puttaparthi, setelah meyakinkan Bàbà bahwa sejak saat itu mereka tidak akan menertawakan atau mengganggu tugas-Nya untuk menemui para pemuja. Sri Anjaneyulu bersujud di Kaki-Nya. Penduduk kota merencanakan arak-arakan sampai ke batas kota. Nyala api arathi dilambaikan untuk memberi hormat dan musik dinyanyikan di beberapa tempat yang dilalui-Nya. Di Puttaparthi, Sàì Bàbà pertama-tama disambut di rumah akuntan desa oleh Subbamma, isteri akuntan tersebut. Setelah itu, selama beberapa waktu Bàbà tinggal di rumah Pedda Venkapa Raju, kemudian pindah ke tempat tinggal Subbaraju, kakak Eswaramma. Tetapi la segera pindah ke rumah Subbamma yang memelihara-Nya dengan penuh kasih sayang dan menyambut semua pemuja-Nya dalam rumahnya yang luas.
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
24
VI SEKALI LAGI SÀÌ BÀBÀ Setelah menyatakan Diri sebagai Sàì Bàbà dari Bharadwaja Gotra dan Apastamba Sùtra, Sathyanarayana Raju kemudian dikenal juga sebagai Bàla Sai (Sàì Muda) atau Sathya Sàì Bàbà dan la mau menerima sebutan ini. Menyanyikan lagu lagu pujaan bagi Tuhan dilakukan jika la hadir, tidak hanya pada hari Kamis sore tetapi kemudian secara bertahap dilakukan setiap hari, dan kadang-kadang bahkan dua kali sehari karena peziarah yang datang dan ingin memberi hormat kepada-Nya tak dapat menunggu hingga hari Kamis tiba. Mula-mula sebuah ruang kecil berukuran kira-kira dua setengah kali dua setengah meter, menghadap ke jalan yang menuju ke rumah Pedda Venkapa Raju, digunakan sebagai ruang doa. Tetapi ruang ini hanya bisa menampung paling banyak dua belas orang sedangkan peziarah melimpah sehingga jalanan pun penuh dengan orang. Seorang pejabat pemerintah dari Hindupur datang dengan jip untuk mendapatkan Darúan Bàbà (Penampakan Suci); dalam kesempatan ini penduduk desa tersebut melihat kendaraan bermotor untuk pertama kalinya. Lain-lainnya pun datang dalam jumlah yang besar. Keluarga akuntan desa itu mendirikan sebuah bangsal yang beberapa bulan kemudian diperbesar lagi. Sebuah tenda dipasang dan beberapa pemuja yang datang dari Bangalore dan Anantapur mendirikan pula tenda-tenda mereka. Akhirnya rumah akuntan yang luas itu pun tak dapat lagi menampung mereka, karena Sàì Bàbà menghendaki agar semua yang datang kepada-Nya diberi makan, maka diperlukan pula ruang makan yang besar. Seorang wanita tua yang pada bulan-bulan itu berada dalam rumah akuntan tersebut mengatakan bahwa seringkali bila makanan yang dibuat tampaknya tak mencukupi. diam-diam Bàbà diberitahu dan la minta agar dibawakan dua butir kelapa. Ketika kelapa-kelapa itu diberikan kepada-Nya, la memukulkannya satu pada yang lain dan masing-masing terbelah tepat menjadi dua bagian. Kemudian la memercikkan air kelapa itu di atas bukit nasi serta mangkuk-mangkuk yang berisi makanan lain, dan memberi isyarat untuk meneruskan tugas yaitu melayani semua orang yang datang hari itu! Sàì Bàbà pernah bercerita tentang pengabdian Subbamma, isteri akuntan tersebut, yang tak mengenal lelah. Wanita lanjut usia ini selalu memperhatikan kesejahteraan para peziarah, dan Bàbà Sendiri tinggal dalam rumahnya selama beberapa tahun hingga bangunan yang kini disebut “Mandir Lama’’ atau “Pura Lama”, didirikan pada tahun 1944. Bàbà menggubah sejumlah lagu dan sajak pujian untuk dinyanyikan dalam berbagai kesempatan bila para pengikut menyanyi bersama. Lagu-lagu itu menyebut tentang Dwarakamayi, Pura Puti, Udi dan pohon Margosa serta seluk beluk lain yang asing bagi umat yang berkumpul di Puttaparthi, karena Sàì Bàbà dari Shirdi tak dikenal di daerah ini. Banyak di antara lagu-lagu itu hingga kini masih dinyanyikan di Prasanthi Nilayam atau “Tempat Yang Damai”, yaitu nama Pusat Doa di Puttaparthi sekarang Bàbà sering mengeluh tentang suasana keluarga pada tempat-tempat di mana la tinggal. Walau pun masih sangat muda, pada siang atau malam hari la sering menghilang di bukit-bukit yang mengitari desa. Bila dijumpai bahwa la tak hadir, maka Subbamma dan beberapa orang lain menyelidiki setiap bukit dan lembah yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Biasanya mereka menjumpai Bàbà sedang duduk diam di atas batu memandangi lernbah di bawah-Nya, didalam lekuk atau celah yang menyerupai gua atau di atas pasir sungai. Karena tak memahami arti yang sebenarnya dari ketidakhadiran Bàbà maka mereka cemas bila la menghilang dan mengembara. Beberapa dari mereka takut la akan pergi ke Himalaya atau mengasingkan Diri-Nya dalam pertapaan, karena mereka tidak memahami tabiat seorang Penjelmaan Tuhan atau tujuan kedatangan-Nya. Bahkan hingga sekarang pun orang-orang tersebut tetap berbicara tentang praktek-praktek kerohanian yang dilakukan Anak Laki-laki itu di atas bukit, tanpa mengetahui bahwa la tak memerlukan hal-hal seperti itu, karena la telah datang untuk memperbaharui jalan batin yang membawa kita kepada Tuhan. Pada suatu hari ketika serombongan pengikut menyertai Bàbà dalam iring-iringan pedati lembu menuju ke Uravakonda, la turun dari kereta-Nya, pergi ke bukit-bukit dan menghilang. Seluruh wilayah diselidiki tetapi Bàbà tak kelihatan jejak-Nya. Setiap orang merasa sangat sedih hingga Bàbà muncul lagi kira-kira pada jam enam sore, segar dan tersenyum serta memulihkan lagi kegembiraan dalam hati mereka.
25
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
Dalam berbagai perjalanan yang dilakukan Sàì Bàbà dengan pedati lembu, pernah terjadi suatu peristiwa yang hingga kini pun diceritakan-Nya dengan wajah berseri riang. Walau kadang-kadang kecenderungan Bàbà untuk menyendiri membawa-Nya ke bukit dan lembah, jauh dari para pengikut-Nya, sebenarnya la adalah seorang Anak Laki-laki yang periang dan menyenangkan, selalu jenaka dan penuh senda gurau. Pada suatu hari, ketika kira-kira dua puluh orang pengikut melaju sepanjang jalan menuju ke Dhar-mavaram, Sàì Bàbà dan serombongan pemuda berjalan di belakang pedati dalam sinar bulan purnama. Tiba-tiba la membelok beberapa meter ke samping tanpa sepengetahuan orang lain dan bergegas pergi ke pedati yang ter-depan. Di situ la tampak sebagai gadis berusia enam belas tahun, dan minta tumpangan pada orang-orang dalam pedati karena kakinya luka. la harus pergi ke Dharmavaram karena suaminya dirawat di rumah sakit kota itu. Bàbà memainkan peran ini dengan berkeluh kesah, menggosok-gosok mata-nya bahkan berlinang air mata sehingga wanita-wanita dalam pedati menjadi iba pada “gadis” yang malang ini, dan memberinya tumpangan. Setelah berjalan kira-kira satu setengah kilometer, datanglah berita dari barisan paling belakang bahwa Sàì Bàbà hilang. Seluruh pedati dihentikan kemudian setiap penumpang turun dan ikut mencari. Akhirnya mereka menjumpai-Nya berada hanya beberapa meter di muka pedati yang paling depan. Beberapa pria yang lebih tua bahkan berani memarahi Bàbà karena bermain sembunyisembunyian di tempat asing pada tengah malam! Perjalanan dilanjutkan tetapi ada orang lain lagi yang hilang. Di manakah gadis yang suaminya dirawat di rumah sakit Dharmavaram itu? Kemanakah ia pergi? Mungkin dalam kekhawatirannya untuk segera mendampingi suaminya maka ia turun dan berlari ketika pedati-pedati sedang dihentikan untuk mencari Sai. Karena itu, beberapa pemuda yang tangkas berlari ke depan hanya untuk kembali dengan laporan bahwa sepanjang kira-kira tiga kilometer di muka, jalannya sunyi dan lengang. Akhirnya mereka bertanya pada Bàbà karena mereka tahu bahwa la pasti mengetahui tempat beradanya setiap orang yang hilang. Tentu saja la tahu! “Gadis” itu ada di depan mereka dalam bentuk Bàbà Sendiri, Aktor Agung Venkamma, kakak-Nya, menggoda Bàbà dan minta gambar Sàì Bàbà dari Shirdi yang lagu-lagu pujiannya telah banyak digubah oleh Bàbà. Bàbà berkata bahwa la akan memberikan gambar itu kepadanya pada hari Kamis tertentu, tetapi la pergi ke Uravakonda sehari sebelum Kamis tersebut. Venkamma lupa sama sekali tentang hal itu karena ia yakin bahwa pada suatu hari ia akan memperoleh gambar tersebut dan tak seberapa memperhatikan ketepatan harinya. Malam tiba dan semua orang di Puttaparthi terlelap. Seseorang berteriak-teriak di depan pintu. “Ammayi, Ammayi.” Kakak-Nya mendengar tetapi tidak bangun membukakan pintu karena panggilan itu tidak diulang lagi. la berpikir, pastilah seseorang sedang memanggil puteri tetangganya. Sementara berbaring di tempat tidur, didengarnya suara gemerisik di belakang karungkarung jagung yang terletak di ruang itu. la mengira bahwa itu tikus atau ular karena suaianya jelas dan keras. Dinyalakannya lampu kemudian dicarinya, dan lihatlah, ada sesuatu yang putih, kaku. Sebuah gulungan kertas. Gambar Sàì Bàbà dari Shirdi telah diberikan kepadanya secara misterius oleh Bàbà yang pada saat itu berada di Uravakonda! Gambar itu sekarang masih disimpannya. Pada waktu itu belum ada bangunan besar yang dapat menampung semua orang, maka setiap sore biasanya Bàbà bersama para pengikut-Nya pergi ke tepi sungai dan bernyanyi di sana. Telah berulang-ulang Sàì Bàbà berkata bahwa dalam hidup-Nya, enam belas tahun yang pertama terutama akan ditandai dengan Lìlà (olah raga dan permainan), enam belas tahun berikutnya dengan Keajaiban dan tahun-tahun setelah itu dengan Mengajar. la telah berkata bahwa walaupun Lìlà merupakan tanda utama dari periode pertama, itu akan tetap merupakan hagian dari setiap tahap Kehidupan-Nya, demikian pula dengan Keajaiban dan Mengajar. Sesuai dengan pernyataan ini, Sàì Bàbà melakukan bermacam-macam keajaiban di hadapan para pengikut-Nya yang mengikuti acara nyanyi dan puja sore hari di pasir di tepian sungai. Pada masa itulah pohon asam yang tumbuh terpencil di puncak bukit di sebelah kiri tepian Citravatì (dekat tempat pertemuannya dengan jalan), mendapat julukan sebagai “Pohon yang memenuhi segala keinginan’”, karena Bàbà sering mengajak para pengikut-Nya ke situ dan memetik aneka macam jenis buah-buahan, apel dari satu dahan, mangga, jeruk, pear dan ara dari dahan-dahan lainnya. Bàbà berkata bahwa kapan saja la dapat membuat setiap pohon menjadi “Pohon yang memenuhi segala keinginan”., karena la sendiri adalah “Pemenuh segala keinginan”, Bàbà memanjat bukit batu dengan sangat cepat. Kadang-kadang la membuat heran setiap orang karena Ia sama sekali tidak tidak pernah belajar memanjat. pada suatu saat Ia berbicara dengan para pengikut-Nya
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
26
di tepi pasir, dan pada saat berikutnya la telah memanggil mereka dari atas bukit di dekat pohon asam itu. Biasanya la membantu pengikut-pengikut yang lebih tua dan gemuk; bila mereka memegang Tangan-Nya, la mengangkat mereka ke atas seolah-olah mereka tak mempunyai bobot sama sekali. Beberapa pengikut yang pada masa itu sangat beruntung mengalami aneka kegembiraan tersebut, menceritakan berbagai keajaiban yang mereka saksikan, Bàbà berdiri di puncak bukit di samping “Pohon Pemenuh Segala Keinginan”, memanggil mereka dengan suara yang jelas dan tegas, “Tengoklah ke atas.” dan mereka melihat roda cahaya yang berputar di sekitar Kepala rohani-Nya atau pancaran cahaya yang menyilaukan memancar dari Dahi-Nya yaitu lempat Mata Ketiga Úiva. .Ada beberapa pengikut yang jatuh pingsan ketika melihat peristiwa aneh itu. Beberapa orang lain menoleh ke atas dari tempat mereka di pasir dan melihat “Sàì Bàbà dari Shirdi yang sangat besar”, diterangi oleh cahaya yang gaib. Beberapa orang lagi telah melihat Wajah Sathya Sàì Bàbà tampak dalam bulan purnama dan ada juga yang melihat tiang api. C.N. Padma, seorang pelajar college, juga menceritakan pengalamannya. la hadir pada suatu sore, waktu Bàbà mendaki bukit tempat pohon asam itu. Demikian ditulisnya: “Keesokan harinya Bàbà membawa kami ke tepi sungai lagi. Sesungguhnya tiap hari la pergi ke luar, kadang-kadang ke sekelompok pepohonan di dekat waduk seberang sungai dimana la berenang dan menyelam dengan. gembira, atau kadang-kadang ke tepi sungai. Setelah bercakap-cakap sebentar, la menantang beberapa anak muda yang sebaya dengan usia fisik-Nya, yaitu beberapa remaja belasan tahun, untuk berlomba lari dengan-Nya melalui jalan yang berbatu-batu, dari pasir di bawah menuju ke pohon asam. Mereka berlari ke atas, tetapi sebelum orang sempat mengedipkan matanya, Bàbà telah memanggil-manggil mereka dengan sangat gembira dari puncak bukit. la meminta lain-lainnya agar berhenti di tempat mereka masing-masing, kemudian Ia berseru pada setiap orang, “Perhatikan Aku, Kuberi kalian Darúan Api, Penampakan Cahaya. Secara tiba-tiba ada bola api besar seperti matahari menembus kegelapan senja. Tidaklah mungkin untuk membuka mata dan menatap terus. Kira-kira tiga atau empat pengikut jatuh pingsan. Waktu itu kira-kira jam lujuh sore lebih sedikit.” Sementara menyebut-nyebut kelompok pepohonan dekat Waduk Saheb, ada kejadian lain pula yang perlu dicatat. Pada suatu hari Bàbà mengikatkan ayunan pada sebuah dahan pohon yang menjulur, kemudian duduk dan dengan sangat riang berayun-ayun cepat, naik turun. Semua ikut bergembira. Tiba-tiba la berseru kepada umat yang duduk di bawah, “lihat!” Mereka menengok ke atas dan melihat Penggembala Sapi Kecil rupawan dari Brindawan, Kåûóa, duduk di atas ayunan yang dihias sangat indah dengan bungabungaan. Beberapa orang kehilangan kesadarannya dan hams dibangunkan kembali oleh Sàì Bàbà, yang menebari mereka dengan beras yang diperoleh-Nya dengan Lambaian Tangan. Setelah siuman, mereka kebingungan dan menangis dengan gembira! Bàbà berkata: “Tenangkan diri kahan! Jangan terlalu gembira! Inilah sebabnya mengapa Aku tidak memberikan banyak Penampakan semacam itu pada kalian,” Beberapa waktu kemudian, ketika Sàì Bàbà mengunjungi suatu keluarga di Mysore, secara tak terduga la menganugerahkan Penampakan Narasiýha, Avatar Viûóu yang berwujud “Manusia Singa”, kepada pendeta mereka yang memang memuja Narasiýha dalam seluruh hidupnya. Pendeta Brahmin itu pingsan dan tak siuman selama beberapa jam. Serupa dengan kejadian itu, pada suatu kali ketika Bàbà sedang bercakap-cakap dengan pensiunan Penilik Kesehatan tentang Tuhan dan Ketuhanan, la menganugerahkan Penampakan: Api memancar dari Dahi-Nya. Penilik kesehatan itu amat terpengaruh oleh pengalamannya yang aneh dan penuh kemuliaan, sehingga kesadaran-nya tidak pulih selama tujuh puluh jam penuh. Anakanaknya memarahi Sàì Bàbà karena membawanya sedemikian dekat ke gerbang maut. ! Seorang pengikut dari Kamalapuram mohon agar Bàbà memperlihat-kan beberapa keajaiban kepadanya. Pada suatu hari Bàbà memanggil dia beserta anggota-anggota keluarga dan ibunya serta menawarkan untuk memperlihatkan pada mereka Penampakan Sepuluh Penjelmaan Tuhan dalam Diri-Nya! Penampakan-penampakan Matsya, Penjelmaan yang berbentuk Ikan; Kùrma, Penjelmaan yang berbentuk Kura-kura dan Varàha, Penjelmaan yang berbentuk Babi, berlalu tanpa suatu akibat, tetapi ketika wujud Narasiýha, “Manusia Singa”, yang mengerikan muncul, mereka menjerit-jerit takut bahwa rumah mereka akan runtuh menimpa kepala mereka. Mereka memohon, “Cukup, cukup.” Orang-orang lain walaupun hadir di situ, tak melihat Penampakan-penampakan itu karena keajaiban tersebut tidak diperuntukkan bagi mereka. Sekalipun demikian, ketika menyaksikan ketakutan keluarga itu, mereka mengucapkan mantramantra gaib untuk membawa keselamatan dan Bàbà menjadi tenang. Kesepuluh Penjelmaan itu ditampakkan pada orang lain, kenalan keluarga akuntan yang sekarang telah meninggal. la me-ninggal karena badannya
27
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
terlalu lemah untuk menampung kegembiraannya ketika memperoleh Penampakan. Bàbà membawanya ke sungai dan minta agar ia memperhatikan bayangan-Nya di dalam air. Di kemudian hari pria itu menyatakan bahwa mula-mula ia melihat Sathya Sàì Bàbà Sendiri, kemudian hanya cahaya rambut yang mengelilingi Kepala-Nya dan kemudian penjelmaan berturut-turut sesuai dengan urutan mereka dalam sejarah legenda India. Penjelmaan yang kesepuluh dan yang terakhir, mengendarai seekor kuda putih, berwujud Bàbà Sendiri ! Bàbà menganugerahkan Penampakan semacam itu hanya kepada orang-orang yang patut mendapatkannya, yaitu mereka yang telah mencapai tingkat kerohanian tertentu. Ia adalah penetap waktunya, penerima dan merupakan sifat Penampakan itu sendiri. Bila orang yang menerima rahmat itu dilanda kegembiraan, sedangkan badannya terlalu lemah untuk menampung kebahagiaan semacam itu hingga tak dapat hidup lebih lama lagi, kita hanyalah wajib bersyukur bagi kemuliaan dan kebahagiaan kematian; semacam itu. Orang dapat memahami keragu-raguan Sàì Bàbà untuk memberikan Penampakan semacam itu bila mempelajari pengalaman Krishnamurthy, seorang pegawai Jawatan Sipil di kepaniteraan Mysore. Pada waktu itu Bàbà sedang di Bangalore, tampak sebagai seorang pemuda berusia tujuh belas tahun. la mengenakan kemeja putih lengan pendek dan kain dhoti yang dililitkan di pinggang. Krishnamurthy sering berkunjung dan merupakan anggota yang bersemangat dalam kelompok paduan suara yang menyanyikan lagu-lagu pujian bagi Tuhan. la mengawasi Bàbà dengan seksama dan mengikuti-Nya selama beberapa hari, Pada suatu hari, kira-kira jam delapan pagi, ia menemui Bàbà dan dengan agak gugup berkata, “Saya tahu Engkau Tuhan; perlihatkan pada saya Wujud-Mu yang sejati!” Sàì Bàbà mencoba menghindarinya tetapi tak dapat. la memberi Krishnamurthy sehelai gambar Sàì Bàbà dari Shirdi yang diciptakan-Nya di tempat itu juga, kemudian memberi petunjuk agar gambar tersebut disandarkan di dinding dan ber-meditasi pada gambar tersebut. “Tataplah gambar itu,” perintah-Nya dan meninggalkan rumah untuk memberi berkat pada pengikut lain dengan kehadiran-Nya di rumah mereka. Bàbà kembali ketika jam berdentang dua belas kali. Tepat ketika la melewati ambang pintu, Krishnamurthy meledak dalam tangis kegembiraan dan pingsan di ruang dalam! Ketika sadar kembali, ia menggigil terguncang-guncang dan bernapas dengan berat. la memejamkan matanya kuat-kuat dan mengejar Bàbà dari ruang yang satu ke ruang yang lain, memohon, kadang-kadang dengan jelas, kadang-kadang dengan nada memerintah, “Izinkan saya menyentuh Kaki-Mu!” Tampaknya Krishnamurthy mengetahui secara tepat di mana Bàbà berada dengan indera penciumannya dan ia mendengus mencium-cium jalan yang menuju kepada-Nya! Dengan lembut Bàbà mendorongnya pergi atau menyembunyikan Diri-Nya, atau duduk sambil melipat Kaki rapat-rapat di bawah-Nya dan tak mengabulkan keinginan Krishnamurthy. Ketika diminta untuk membuka matanya, Krishnamurthy menolak dan berkata bahwa ia tak ingin melontarkan pandangannya pada hal-hal lain; ia hanya ingin melihat dan menyentuh Kaki Bàbà. Kegembiraan dan sukacitanya tetap tak berkurang selama beberapa hari, dan Sàì Bàbà berkata bahwa bila ia menyentuh Kaki-Nya dalam keadaan ekstatik semacam itu, ia akan meninggal. Diam-diam Sàì Bàbà membujuk Krishnamurthy agar pulang ke rumah, dan berkata bahwa Ia akan membuatnya senang dengan Kehadiran-Nya di rumahnya. Bàbà kemudian pergi ke sebuah rumah di Kompleks Perumahan Pegawai Negeri. Meskipun demikian Krishnamurthy tak dapat menahan dirinya. Dengan mata tetap terpejam ia mencium-cium jejaknya. la naik kereta kuda dan menyentuh saisnya menuju ke rumah tempat Sàì Bàbà berada! la meluncur turun dari kereta, berlari ke dalam kompleks kemudian menge-lilingi bangunan tersebut dan mulai mengetuk-ngetuk jendela tepat pada ruangan di niana Sàì Bàbà saat itu berada! Bàbà tetap berbicara tentang bahaya bagi kehidupan Krishnamurthy, karena dilanda kegembiraan yang tak terkatakan itu. Sanak keluarganya datang dan memaksanya pulang. la tetap memejamkan matanya dan memohon Kaki Bàbà. Beberapa orang membawanya ke rumah sakit karena ia menjadi lemah lantaran berpuasa, bahkan minum air pun ia tak mau. Bàbà mengirim sedikit air bekas pencuci Kaki-Nya ke rumah sakit. Setelah minum air itu, Krishnamurthy cukup sehat untuk dibawa pulang. Di rumah ia meminta setiap orang agar menyanyikan lagu-lagu pujian bagi Bàbà, sementara ia berbaring pada sebuah tempat tidur kecil di ruang yang sama. Ketika acara selesai, mereka mendapati bahwa Krishnamurthy tak bangkit dari tempat tidurnya. la telah menyentuh Kaki Tuhan, sungai telah mencapai lautan. Betapa tinggi perkembangan jiwanya
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
28
sehingga layak memperoleh anugerah Kebahagiaan yang tak terkatakan itu. Dalam tahun-tahun sebelumnya Sàì Bàbà juga telah menganugerahkan berbagai Penampakan ‘Iûþa Devata’, yaitu ‘Wujud Tuhan yang dipilih secara khusus untuk puja’. Pada banyak orang, la telah menampakkan pula Wujud-Nya Yang Tak Terhingga. Mereka yang menerima rahmat itu mengenang dengan gembira saat-saat yang penuh kebahagiaan tersebut! Bàbà sering berkata bahwa Tuhan harus datang dalam wujud manusia, agar dapat berbicara dengan manusia dalam bahasa mereka sendiri sebagaimana halnya bila seseorang ingin menyelamatkan orang yang tenggelam, terpaksa ia harus terjun ke dalam waduk atau sumur yang sama. Tak seorangpun dapat memperoleh manfaat dari seorang Penjelmaan Tuhan, seorang Avatar, bila Tuhan turun sebagaimana la ada-Nya dengan seluruh kemuliaan-Nya, karena bila demikian maka perbedaan antara manusia dan Tuhan sebagai manusia akan terlalu jauh di luar jangkauan pengertian orang. Karena itu, Tuhan harus mengenakan suatu wujud yang sama dengan manusia biasa. Dalam kesempatan lain Sàì Bàbà bertanya pada beberapa orang yang datang dari Kamalapur, apakah mereka mau mendengarkan suling Úrì Kåûóa. Siapa yang akan menjawab tidak? la minta agar mereka meletakkan kepala mereka di Dada-Nya, dan lihatlah, mereka dapat mendengar lagu seruling Kåûóa yang mempesona, lagu yang menyebabkan sungai Yamunà pun diam tertegun. Ibu-Nya, Eswaramma, bercerita tentang pengalaman menggetarkan lainnya ketika Bàbà berkata, “Dengarkan, Shirdi hadir di sini.” Eswaramma dan orang-orang lain di ruang itu mendengar suara langkah yang datang mendekat, seolah-olah ada orang yang berjalan dengan sandal kayu yang berat. Suara langkah-langkah itu berhenti setelah mencapai tempat Bàbà duduk! Ketika suara itu terdengar pertama kali, ibunya bertanya dengan agak marah, “Siapa yang masuk memakai sandal?” Sedemikian nyatanya perasaan dan Penampakan itu! Ini merupakan pengalaman sang ibu, sang ayah, Pedda Venkapa Raju, memaparkan peristiwa lain kepada penulis. Pada suatu sore, datanglah sejumlah orang dari Penukonda menuju ke Puttaparthi. Di antara mereka terdapat Krishnamachari, yaitu seorang kelahiran Puttaparthi yang telah lama menetap di Penukonda sebagai ahli hukum. la serta beberapa orang lain datang ke rumah akuntan dan Subbama menyajikan kopi buat mereka. Dengan sendirinya pembicaraan mereka menjurus pada hal-hal luar biasa yang terjadi akhirakhir ini yaitu Bàbà. Mereka bertanya pada Pedda Venkapa Raju yang hadir di situ tentang peristiwaperistiwa tersebut serta seberapa jauh kebenarannya. la menjawab bahwa semua itu merupakan misteri baginya dan bahwa ia pun tak mengerti. Kemudian rupa-rupanya ahli hukum itu menyebut Venkapa sebagai penipu, dan menuduhnya menyesatkan penduduk desa yang sederhana dengan cerita-cerita yang tak masuk akal. Hal ini sangat mengacaukan pikirannya sehingga ia pergi kepada Sàì Bàbà dan menantang Bàbà untuk meyakinkan ketuhanan-Nya pada orang-orang yang sangsi itu, agar mereka tak menyalahkannya seperti yang diperbuat oleh ahli hukum tersebut. Dengan tenang Bàbà minta agar ia membawa setiap orang yang sangsi langsung kepada-Nya. Subbama dan rombongan dari Penukonda itu dibawa ke rumah Pedda Venkapa Raju, tempat Sàì Bàbà berada. Bàbà bertanya pada Subbamma apakah ia mau melihat Shirdi Samàdhi, yaitu Makam Suci Sàì Bàbà dari Shirdi. Ketika ia menjawab, “Ya, “Bàbà membawanya ke ruang dalam dan berkata, “Lihat!” Di ruang itu Subbamma dapat melihat Makam Suci tersebut dengan aneka rangkaian bunga, dupa-dupa yang berbau harum, asap dan hadirin yang sedang duduk serta bemyanyi di suatu sudut. Bàbà memberi tahu wanita tersebut, “Di sebelah sini, lihatlah, kuil Hanumàn, Kera Suci; dan jauh di sana lihatlah pohon Margosa itu.” Subbamma me-rasa seolah-olah ia berada di suatu tempat terbuka yang luas dan sedang menatap panorama Shirdi. Seluruh pemandangan itu terbentang luas di hadapannya, berkilometer-kilometer hingga mencapai cakrawala di kejauhan. Setelah mendapat pengalaman yang menggetarkan ini dan dibawa keluar dari ruangan, Subbamma meyakinkan Krishnamachari agar mengikuti Sàì Bàbà ke dalam ruang yang sama. Bàbà membawa mereka satu demi satu dan memperlihatkan penampakan yang sama pada setiap orang yaitu pemandangan tempat suci Shirdi dan suasana salah satu kejadian di situ. Pedda Venkapa Raju berkata bahwa ia adalah yang paling akhir dibawa ke ruang itu dan ketika keluar ia telah berubah. Seluruh kebimbangannya lenyap. Kenalankenalan dari Penukonda tersebut kemudian minta maaf atas kata-kata mereka yang bersifat menghina. Mereka berkata bahwa untuk menerangkan keajaiban ketuhanan semacam itu maka penjelasan paling bijaksana yang dapat diberikan adalah bahwa hal itu merupakan “Suatu misteri yang berada di luar jangkauan pengertian Easwaramma dan Pedda Venkapa Raju, sang ibu dan ayah, hari itu menjadi yakin bahwa remaja enam
29
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
belas tahun tersebut sesungguhnya adalah penjelmaan Sàì Bàbà dari Shirdi. Pedda Venkapa Raju berkata bahwa setelah itu ia memberi tahu seluruh keluarganya agar memandang Bàbà sebagai Tuhan, dan tidak menyusahkan Dia lagi dengan sikap yang meremehkan, mengabaikan, tidak sabaran, uring-uringan atau menghina. Dalam masa-masa awal itu pun Sàì Bàbà telah sibuk mengajar. Kehidupan-Nya merupakan suatu pesan yang tiada berkeputusan. Contoh yang jelas mengenai hal ini yaitu ketika la berbicara pada seorang pertapa telanjang yang datang ke Puttaparthi pada tahun 1941. Kota Bukkapatnam menjadi gempar oleh kunjungan pertapa ini. la telah kehilangan kemampuan untuk menggunakan kedua kakinya dan telah lama tak mengenakan pakaian, sehingga banyak orang memandangnya sebagai contoh sempurna seorang pertapa besar. Para pengagumnya ingin melihat reaksi sang Brahmàjñàni Muda bila berjumpa dengan veteran yang telah menjalani banyak kesengsaraan ini. Pertapa telanjang itu juga mengucapkan sumpah untuk tidak berbicara, sehingga rasa ingin tahu orang-orang makin besar. Anak Laki-Laki yang merupakan penjelmaan Tuhan yang memiliki wajah manis ini menemui “pahlawan mulia” yang dibawa dengan usungan ke desa dan diletakkan di depan rumah Subbamma. Bàbà memberi pertapa telanjang itu sehelai handuk yang besar dan sejumlah nasehat, yang selama itu belum pernah diberikan-Nya pada siapa pun. “Bila engkau telah memutuskan segala hubungan dengan masyara-kat sebagaimana telah kau perlihatkan dengan ketelanjanganmu, mengapa engkau tidak pergi ke gua di dalam hutan yang jauh dari masyarakat manusia? Mengapa engkau takut? Sebaliknya bila engkau ingin memiliki pengikut, ingin termasyhur dan ternama serta menginginkan makanan yang tersedia di kota-kota, mengapa engkau membiarkan dirimu dianggap sebagai orang yang tak mernpunyai keterikatan?” Itulah kata-kata yang mengalir dari bibir Bàbà Muda dan menyebabkan setiap orang merasa kagum dan hormat. Pertapa telanjang itu tampak patah hati karena nyata bahwa ia tidak sungguh-sungguh ikhlas untuk menjalani sumpah tidak berbicara dan ketelanjangannya. Tetapi Sàì Bàbà tidak sarkastis, jauh dari itu. Ia selalu siap untuk menolong, menjamin dan menanggung! Sambil menepuk punggung orang yang lumpuh itu la berkata, “Aku mengerti kesulitanmu. Engkau takut mungkin engkau tidak akan mendapat makanan dan tempat untuk berteduh bila menjauhkan diri dari masyarakat manusia, bukankah begitu? Baiklah. Kujamin engkau, setiap orang yang membawa Nama Tuhan, di mana pun ia berada, akan mendapatkan makanan, Aku akan mengikhtiarkannya. Mungkin engkau berada di pedalaman Himalaya atau hutan belantara, Aku akan memberimu makan secara teratur di sana! Bila engkau tak memiliki iman dan keberanian semacam itu, di sinipun di Puttaparthi engkau dapat bermeditasi kepada-Nya, tetapi jangan mengembara dengan telanjang dan menyusahkan orang-orang tersebut karena harus mengusungmu dari tempat yang satu ke tempat yang lain.” Betapa mulia ajaran ini! Seandainya saja orang-orang dapat menangkap artinya! Itu adalah Suara Sejati. Hanya Tuhan yang dapat memberi jaminan semacam itu! Jaminan ini sekarang pun diberikan oleh Sàì Bàbà kepada semua orang yang menempuh kehidupan rohani. Pada tahun 1958 ketika Svàmì Sat-chidananda berjumpa dengan-Nya, Bàbà memberitahu agar ia meningkatkan keahlian Yoginya, dan tidak membuang-buang waktu dengan mengorganisasi berbagai gerakan. Sambil menepuk punggung rahib yang berusia tujuh puluh tahun itu Ia menambahkan, “Kekuatankekuatan Yogimu akan menembus dinding gua tempat engkau duduk, dan akan membawa kese-lamatan pada dunia. Pergilah ke suatu tempat yang sunyi di Himalaya. Aku akan memberimu makanan dan perlindungan di mana pun engkau berada!” Suara Sejati yang sama telah datang untuk membimbing dan menjaga para peminat kehidupan rohani yang mempraktekkan Yoga atau persatuan dengan Tuhan, apa pun agama dan bangsanya. Kabar tentang menjelmanya Shirdi Sàì Bàbà di Puttaparthi menyebabkan umat berdatangan dari kawasan sekitamya sehingga Bàbà selalu sibuk mengobati penyakit-penyakit fisik dan mental mereka. la berkata bahwa hal ini pun merupakan sebagian dari tugas-Nya, karena tak seorang pun akan memiliki dorongan untuk menempuh kehidupan rohani bila diganggu oleh penyakit-penyakit fisik dan mental tersebut. Banyak orang yang berpenyakit kronis, gila, histeris, kerasukan roh jahat serta berbagai penyakit lain, dibawa kepada Penyembuh Agung ini. ‘Orang-orang yang telah memuja Sàì Bàbà dari Shirdi juga datang karena rasa ingin tahu dan ingin menyelidiki penjelmaan baru Tuhan mereka. Banyak yang membujuk Bàbà agar mengunjungi tempat mereka. la pergi ke Bangalore, Mirzapur, Kolapuram, Pithapuram, Sandur, Madras dan kota-kota lain. Para pengikut dari keluarga bangsawan Mysore juga datang mengunjungi-Nya. Di Bangalore, Sàì Bàbà mengoperasi orang yang menderita radang usus dua belas jari (duodenal ulcer) dan
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
30
pasien itu sembuh sama sekali. Alat-alat operasi diciptakan-Nya secara gaib. Arus peziarah meningkat banyak sekali sehingga kebutuhan untuk membangun tempat ibadat yang lebih besar tempat Sàì Bàbà dapat tinggal dan umat-Nya pun dapat ditampung semakin terasa. Demikianlah pada tahun 1945 Pura pertama dirancang oleh Thirumala Rao dari Bangalore serta beberapa orang lain. Tempat yang dipilih terletak tak seberapa jauh Jari desa yaitu antara pura Satyabamma dan pura Gopàla Kåûóa. Di tempat ini selama beberapa tahun telah didirikan beberapa bangsal dan tenda yang besar dalam perayaan Dasara serta perayaan-perayaan lain. Ketika seorang pembantu, Gooni Venkata (Venkata yang bungkuk) menggali tempat yang ditunjukkan oleh Sàì Bàbà untuk meletakkan batu pondamen yarig telah diberkati, maka diketemukanlah sejumlah batu dasar yang biasa digunakan untuk menegakkan Linggam (simbol dari Bentuk lebur ke dalam Yang Tak Berbentuk atau timbul dari Yang Tak Berbentuk). Anehnya lak sebuah Linggam pun dijumpai walau telah dilakukan penyelidikan yang seksama. Ada berlusin-lusin batu dasar tetapi Lingganya sebuah pun tak ada. Orang-orang berkumpul di sekitar Bàbà dan rnencoba mendapatkan jawabnya. Sambil menunjuk perutNya Sendiri, Bàbà berkata penuh rahasia pada mereka, “Linggamnya semua di sini.” Mereka yang telah menyaksikan Linggam keluar dari Mulut Bàbà pada ma]am perayaan Mahàúivaràtri mungkin yakin akan kebenaran jawaban itu, tetapi lainnya harus Dipuaskan dan dihibur dengan penjelasan bahwa jalan Tuhan berada di luar kategori yang kita gunakan untuk mengukur, menimbang dan menyimpulkan kesan-kesan indera kita. (Setelah bangunan itu selesai, Sàì Bàbà pindah dari rumah akuntan dan tinggal di ruangan yang terletak di sebelah kiri serambi depan, sautu ruang kecil yang luasnya kira-kira 2,4 x 1,8 meter). Sementara itu Bàbà pergi ke Madras dan menggembirakan ribuan orang di sana dengan kehadiranNya. la juga mengunjungi Masulipatan. Kemana pun la pergi, orang-orang dianugerahi-Nya dengan kedamaian hati serta nasehat kerohanian dan diyakinkan-Nya bahwa la akan membimbing serta menjaga mereka. Pada suatu hari, ketika sedang berada di pasir pantai dekat Masulipatan, Bàbà berjalan langsung menuju ke laut! Rombongan yang menyertai-Nya membutuhkan waktu sejenak untuk menyadari situasi itu, kemudian mereka mendengar suatu suara dan menoleh ke arah gelombang Mereka melihat penampakan Bàbà sebagai Tuhan di atas Naga Úeûa, bersandar di atas gelombang! Sejenak kemudian, Bàbà telah berada di samping mereka. Mereka tercengang karena pakaian-Nya ternyata tidak basah sama sekali. Pada hari lain la berjalan menuju ke tepi laut dan melemparkan sebuah mangkuk perak ke dalam gelombang. Setiap orang merasa heran. Dengan segera mangkuk itu kembali dan diletakkan di dekat mereka oleh gelombang, Sàì Bàbà mengangkatnya bersama dengan “air garam” di dalamnya. la menuangkan air laut itu di atas telapak tangan para pengikut-Nya. masing-masing mendapat beberapa tetes untuk ditelan dengan khidmat. Setiap orang berpendapat bahwa cairan itu temyata harum dan manis bukan buatan! Lautan telah mempersembahkan bagi-Nya “madu kekekalan” dan beberapa tahun kemudian juga meletakkan rangkaian mutiara di sekeliling Kaki-Nya. Beberapa orang yang telah menyaksikan keajaiban ini dan ikut menikmati madu tersebut, sekarang berada di Prasanthi Nilayam, Tempat kediaman-Nya yang “Tenang Damai” di Puttaparthi. Mereka adalah abdi Tuhan yang penuh semangat Kelirulah bila dari aneka peristiwa ini orang menganggap Bàbà mencoba menarik perhatian masyarakat dengan pernyataan-pernyataan ketuhanan-Nya. Sifat atau kodrat-Nya adalah keajaiban. Tindakan-Nya berada di luar jangkauan pengetahuan kita, di luar jangkauanmu pasti, fisika dan kimia. Plato menyebut penyelidikan mengenai sifat hubungan antara “di sini dan sekarang” dengan “setelah ini dan pada suatu waktu”, sebagai metafisik atau “melampaui fisik”. Tindakan-tindakan Sàì Bàbà semuanya adalah melampaui (meta)! la memperlihatkan keajaiban karena la adalah la, bukannya lantaran suatu keinginan, tujuan atau kebutuhan tertentu, karena apalah yang diinginkan atau diharapkan-Nya? Bila ada orang yang datang dalam Kehadiran-Nya, pada hari-hari itu pun segera Sàì Bàbà menerimanya dan dengan nasehat, saran, sindiran, cemooh atau bahkan teguran, perlahan-lahan la mengubahnya menjadi rendah hati, diam dan saleh sehingga merupakan anggota masyarakat yang efisien dan bersemangat. Itulah kemanjuran Sentuhan-Nya. Bila memberi wejangan pada kelompok pengikut pun la menekankan perlunya perubahan batin di dalam diri setiap orang. la memberi tahu setiap orang agar memiliki keberanian dan berkata bahwa keberanian hanya dapat diperoleh dengan iman pada Tuhan Yang Mahakuasa dan Maha Pengasih. Setiap orang yang cenderung meragukan hal ini, hanya perlu memperhatikan Dia dan merasakan Kekuatan serta Belas Kasihan-Nya Yang Tak Terbatas.
31
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
Ada suatu peristiwa yang mengingatkan kita pada Belas Kasihan-Nya. Kejadian itu berlangsung di Bangalore ketika la masih berusia belasan tahun. Seorang tukang sepatu yang menjajakan dagangannya di sudut jalan di Stasiun Umum, melihat Bàbà dalam rumah kecil di seberang tempat duduk-Nya. Banyak mobil yang masuk atau keluar dari halaman rumah itu. Bunga dan buah-buahan dibawa masuk ke dalam dan wajah orang yang keluar menuju ke jalan tampak berseri-seri gembira serta puas. Mereka berbicara tentang penjelmaan Yang Mulia Kåûóa, tentang Sàì Bàbà dan sebagainya. Tukang sepatu itu pun memberanikan diri memasuki gerbang, dan dengan gugup mengintip ke dalam balairung. Di situ Sàì Bàbà duduk pada sebuah kursi khusus dan kaum pria duduk di suatu sisi sedangkan para wanita di sisi lain. Pandangannya jatuh pada Bàbà tepat ketika la pun menatapnya. Segera Sàì Bàbà bangkit dan berjalan ke luar menuju ke pintu tempat tukang sepatu itu berdiri. Bàbà mendekatinya dan mengambil rangkaian bunga yang sudah agak layu di tangannya bahkan sebelum orang itu sempat mempersembahkannya, kemudian Bàbà bertanya kepadanya dalam bahasa Tamil, satu-satunya bahasa yang diketahui tukang sepatu itu, apa yang dikehendaki dari-Nya. Pastilah Sàì Bàbà Sendiri yang telah menganugerahkan keberanian berlebih-lebihan pada lelaki tua tak berkasta itu untuk menyatakan harapannya, karena bila tidak demikian bagaimana orang dapat menjelaskan bahwa ia sampai berani mengajukan permohonan yang begitu mengejutkan? la mencengangkan setiap orang yang mendengarnya ketika tanpa ragu dan dengan penuh kepercayaan berkata, “Silakan datang ke rumah saya dan menerima sesuatu “ Bàbà menepuk punggungnya dengan penuh kasih dan berkata, “Baiklah, Aku akan datang,” kemudian kembali ke kursi-Nya di ujung balairung. Tukang sepatu itu menunggu lama sekali karena ia hendak memberi-tahukan letak rumahnya pada Sàì Bàbà, dan hendak menanyakan bila Bàbà akan mengunjunginya agar ia dapat membersihkan rumah serta membuat persiapan untuk menyambut-Nya. Meskipun demikian akhirnya ia harus cepat-cepat kembali ke tempatnya di sudut jalan, untuk mengawasi tumpukan potongan kulit dan sepatu tuanya. la terdesak dan terdorong oleh pengunjung yang datang menyerbu. Tak seorang pun mau mendengarkan ketika ia berkata bahwa Bàbà telah berjanji akan mengunjungi gubuknya. Tukang sepatu itu ingin agar mereka menanyakan pada Sàì Bàbà, kapan la akan datang. Beberapa orang menertawakannya dan geli pada kelancangannya, yang lain mengira ia mabuk atau gila. Hari demi hari berlalu. Sàì Bàbà melewatkan waktu-Nya di rumah keluarga-keluarga lain yang mendapat anugerah dan tidak berkunjung lagi ke rumah kecil yang terletak di seberang sudut tempat tukang sepatu itu. Maka tukang sepatu itu pun melepaskan segala harapannya untuk berjumpa lagi dengan Bàbà. Pada suatu hari sebuah mobil yang bagus tiba-tiba berhenti tepat di depan tukang sepatu tua itu. la terperanjat, takut kalau-kalau mereka adalah polisi atau pejabat pemerintah yang datang untuk menangkapnya karena berdagang di tepi jalan. Ternyata Sàì Bàbà yang datang! la mengajak tukang sepatu itu masuk ke dalam mobil. Lelaki tua itu begitu bingung sehingga tak dapat berbicara sepatah kata pun, ia juga tak membuka mulutnya sekali pun untuk memberi tahu letak pondoknya pada sopir. Tampaknya Sàì Bàbà tahu. Bàbà menghentikan mobil di tepi jalan kemudian bergegas melewati lorong kecil berkerikil dan berjalan tepat menuju ke pondoknya yang terletak di antara demikian banyak gubuk-gubuk miskin lainnya! Tukang sepatu itu lari mendahului untuk memberi tahu keluarganya. Sàì Bàbà menciptakan manisan serta buah-buahan dan membagikannya pada anggota keluarga tukang sepatu itu sebagai pemberian yang telah disucikan, kemudian la duduk pada sebilah papan dekat dinding. Diberkati-Nya lelaki tua yang berlinang air mata kegirangan itu, kemudian bersama-sama mereka makan beberapa buah pisang yang dibeli tukang sepatu tersebut dan sebuah warung di dekat situ. Setelah itu la meninggalkan pondok tersebut. Sejak saat itu pondok tersebut menjadi tempat ziarah bagi seluruh keluarga sekitarnya! Sedemikianlah kasih sayang Sàì Bàbà. Sungguh mengherankan, ada beberapa orang yang dalam kebodohan mereka telah mencoba meracuni Bàbà. Peristiwa ini menampilkan beberapa aspek ketuhanan-Nya. Bahkan sekarang pun Sàì Bàbà tidak mengizinkan orang menyebut hal itu sebagai suatu usaha pembunuhan. Karena kata-kata-Nya adalah Kebenaran, biarlah peristiwa itu diingat sebagai suatu usaha untuk menguji apakah la bisa bertahan hidup setelah makan racun. Jadi lebih merupakan tindakan syak wasangka dan pada kejahatan. Hari itu adalah hari libur dan Sàì Bàbà bersama dua pengikut-Nya mengunjungi beberapa rumah di desa kelahiran-Nya. Dalam setiap rumah la ikut makan sedikit. Ketika Bàbà memasuki rumah yang siap menghidangkan makanan beracun itu, la justru tampak lebih bersemangat serta minta makanan
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
32
istimewa itu lebih banyak, tetapi diawasi agar pengikut-Nya tidak ikut makan hidangan yang mematikan tersebut. Ketika kembali ke rumah akuntan, rahasia tentang undangan makan dan rumah yang istimewa itu diceritakan-Nya pada beberapa orang. la membicarakan kesia-siaan serta kebodohan segala usaha itu dan menertawakan kejadian tersebut dengan gembira. Setelah beberapa waktu makanan itu dimuntahkan-Nya. Diam-diam orang-orang di dekat-Nya mencoba apakah muntahan itu beracun bagi makhluk hidup lain. Ternyata memang demikian! Sàì Bàbà merasa gembira melakukan berbagai hal yang ditakuti orang biasa. Misalnya dalam peristiwa gigitan ular yang terjadi pada suatu malam. Peristiwa ini akan diceritakan dalam bab sembilan yang berjudul “Lambaian Tangan”. Malam itu Bàbà pulih dari gigitan ular, setelah mengenakan Jimat yang tercipta secara gaib melalui Rahmat-Nya. Orang di desa mohon agar la tidak makan malam karena mereka beranggapan bahwa makanan dapat memperberat pengaruh bisa, tetapi dengan gagahnya la bahkan makan lebih banyak dari biasa. Beberapa orang yang lebih tua minta agar la menghindari air dingin, tetapi Bàbà bahkan berenang di sumber air karena Ia tidak menyukai tindakan pencegahan dan ketakutan-ketakutan manusiawi. Subbamma adalah orang yang paling mengkhawatirkan kesehatan Bàbà dan paling cemas mengenai makanan untuk ratusan peziarah yang berkumpul di Puttaparthi. Bahkan sekarang pun Bàbà berkata bahwa gilingan batu di rumah Subbamma, selalu sibuk menyiapkan sambal kelapa untuk ratusan orang yang tinggal di rumahnya. Selain-memasak nasi dan hidangan lainnya, Subbamma selalu menumbuk dan menggiling. la bekerja hampir delapan jam setiap hari. Cinta dan pengabdiannya pada Tuhan tak terhingga besarnya, dan Sàì Bàbà telah berkata bahwa la akan memenuhi hasratnya untuk mendapatkan Darúan (yaitu anugerah Penampakan Sàì Bàbà) pada saat akhir hidupnya. Sesungguhnya kisah mengenai saat-saat terakhir dan Darúan tersebut adalah suatu cerita yang mengharukan. Subbamma jatuh sakit dan dibawa ke Bukkapatnam, tetapi walau masih sakit, pada suatu hari ia datang naik gerobak sapi untuk melihat Prasanthi Nilayam yang saat itu sedang dibangun. Segera keadaannya memburuk, ia tak dapat bergerak dan harus berbaring terus di tempat tidur, sedangkan Sàì Bàbà saat itu sedang berada jauh di Bangalore! Subbamma dalam keadaan kesadaran yang merendah, mengingau mengenai Bàbà dan Penampakan Sàì Bàbà dari Shirdi yang secara istimewa telah dilihatnya. Dibicarakannya pula bermacam-macam mukjizat Kåûóa. Ketika kesadarannya kembali normal, pembicaraannya tetapi berkisar pada peristiwa-peristiwa dan Tokoh yang sama. Pada waktu itu Subbamma berada di an-tara sanak keluarganya yang kurang bersimpati dengan perasaan-perasaan itu, karena mereka beranggapan bahwa cintanya bagi Anak Laki-Laki ajaib yang aneh itu telah menjauhkannya dari kenalan dan kaum kerabatnya. Mereka berkata padanya bahwa Bàbà yang disayanginya sedang berada di tempat yang ratusan kilometer jauhnya, dan akan lebih baik baginya bila ia memusatkan perhatiannya yang terakhir pada sanak keluarga yang berkumpul di sekitarnya. Meskipun demikian imannya pada Bàbà tak tergoyahkan. Sementara itu Bàbà meninggalkan Bangalore menuju ke Tirupathi. Ia tahu bahwa jiwa Subbamma sedang berjuang untuk melepaskan din dari belenggu maut, dan bahwa ia sedang berguling-guling di ranjang kematian-jiya di Bukkapatnam. Orang-orang di sekitarnya menyatakan bahwa Subbamma telah menghembuskan nafas terakhir, tetapi suatu cahaya aneh yang memancar di wajahnya menyebabkan mereka ragu-ragu untuk membawa pergi badannya dan melakukan pembakaran mayat. Ketika dinyatakan bahwa ia telah meninggal, beberapa orang bijaksana menggeleng-gelengkan kepala dan menasehatkan sanak keluarganya agar bersabar serta mengingatkan bahwa, “Burungnya belum terbang.” Bagaimana mungkin burung itu terbang walau pintu sangkar terbuka lebar? Ia harus mendapatkan Darúan, Penampakan yang telah dijanjikan, dan ia harus menanti hingga Bàbà datang. Bàbà bergegas datang menjenguknya. Berkendaraan mobil la meninggalkan Tirupathi dan tiba di Puttaparthi kemudian terus ke Bukkapatnam, tepat tiga hari setelah Subbamma dinyatakan meninggal. Mata Subbamma telah pudar. la diletakkan di lantai karena orang Hindu tidak boleh meninggal ketika sedang berada di tempat tidur, dan orang-orang tampak telah tak sabar serta khawatir. Sàì Bàbà duduk di sampingnya dan memanggilnya pelan-pelan, “Subbamma, Subbamma,” hanya dua kali! Semua orang yang berkerumun di sekitar mereka sangat takjub ketika Subbamma membuka matanya, mengulurkan tangannya ke arah Bàbà, menggenggam Tangan-Nya erat-erat dan mengusapnya dengan penuh kasih. Bàbà meletakkan Jari-Nya di bibirnya, mulutnya terbuka sedikit seolah-olah ia tahu bahwa Bàbà memberinya sesuatu untuk
33
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
memuaskan dahaga jiwanya. Dari Jari-Jari Bàbà mengalirlah sedikit air ke mulutnya yang dikatakan-Nya sebagai air Sungai Gaòga. Dengan demikian Subbamma tergolong pada orang-orang yang telah mencapai persatuan dengan Tuhan! Pada masa itu beberapa orang Muslim dari desa tetangga datang ke Sàì Bàbà untuk suatu persoalan yang penting bagi mereka. Jumlah kelompok mereka telah berkurang karena suatu penyakit yang fatal. Di daerah ini ada suatu tradisi untuk memuja sesuatu yang disebut “Pirs” selama bulan Muharam. Pemasangan, pemujaan, iring-iringan upacara dan penyucian, semuanya dirayakan baik oleh umat Hindu maupun Muslim. Pirs adalah suatu benda yang dibentuk dengan tangan dan terbuat dari campuran ku-ningan serta logamlogam lain yang dianggap suci; untuk memperingati pengurbanan Hassa dan Hussein dalam pertempuran yang patut dikenang di Karbela. Sàì Bàbà memberitahu orang-orang Muslim yang datang kepada-Nya bahwa Pirs telah dipasang di desa mereka sejak bertahun-tahun yang lain tetapi kemudian upacara ini dihentikan. la minta agar mereka meneruskan pemujaan dan memberi tahu bahwa bila mereka menggali tempat tertentu yang ditunjukkan-Nya, mereka akan mendapatkan Pirs yang asli yang telah disucikan oleh nenek moyang mereka. Mereka menggali tempat tersebut dan benarlah, Pirs itu tampak! Setiap orang sangat kagum pada Kemahatahuan Sàì Bàbà dan takjub karena barang suci itu tampak secara mendadak. Tak seorang pun dapat turun serta menarik Pirs tersebut keluar, maka Sàì Bàbà Sendiri turun ke dalam lubang dan menariknya ke luar. Ada empat Pirs di tempat itu. Bertahun-tahun setelah itu, benda tersebut disimpan di pura, digulung dalam tikar dan dibungkus dengan rapi. Benda tersebut diperlihatkan pada penduduk desa hanya pada perayaan Muharam, dan setelah selesai dikembalikan lagi dengan baik. Ketika kaum Muslim meninggalkan kuil setelah menerima Pirs dari tangan Sàì Bàbà, penulis menyaksikan suatu suasana yang aneh. Orang yang membawa benda suci itu mulai bertingkah laku seperti “kerasukan”. Orang orang lain berkumpul di sekitarnya untuk melihat orang suci yang sedang berada dalam ekstasi tersebut. la menari beberapa langkah, berlari melingkar-lingkar, berkomat-kamit mengucapkan beberapa ayat Al Qur’an, Kitab Suci Umat Islam, dan berjalan kembali ke Sàì Bàbà. Bàbà berkata, “Pergilah! Pergilah dan kembali setelah perayaan”. Segera orang yang “kerasukan” itu pergi membawa Pirs dengan cepat tetapi tenang. masih dalam suasana perasaan yang riang dan khidmat. Hanya orang-orang yang telah mendapat kesempatan untuk menyaksikan saat-saat semacam itu, dapat memahami misteri Sàì Bàbà meskipun hanya sedikit. Pada masa itu banyak pengikut baik dari tempat-tempat yang jauh maupun dekat, datang ke Puttaparthi. Masing-masing tertarik oleh suatu suasana yang tak dapat dijelaskan dan semakin teguh imannya, setelah sekilas melihat Kemahadaan dan Kemaha-kuasaan Sàì Bàbà. Seorang pria dari Udumalpet mula-mula tak mau pergi bersama rombongan peziarah tetapi kemudian terbujuk dan ikut pergi di luar kemauannya. Ketika tiba di Puttparthi. ia mempersembahkan karangan bunga pada Bàbà seperti yang dilakukan peserta lain. Bàbà tidak menerima persembahannya. la berkata, “Engkau tak ingin datang!” Pernyataan ini membual orang yang tak percaya itu lebih dekat pada Sàì Bàbà. Seorang pria dari Madurai datang karena saudaranya yang sedang sakit di Vellore hanya mau menjalani operasi bila Bàbà berkata bahwa hal tersebut perlu dilakukan. h datang ke Puttaparthi, tetapi selama beberapa liaii Bàbà tidak berbicara kepadanya. Ketika akhirnya la berbicara, la hanya memintanya agar pergi ke Vellore dengan bis yang akan datang. Pada saat itu dokter di Vellore menjadi semakin marah karena hari demi hari berlalu dan pasien yang tolol ini membahayakan jivvanya sendiri. menunggu izin untuk menjalani operasi hanya dari seorang Anak LakiLaki vang dikatakannya sebagai Guru dan Tuhannya! Akhirnya si kakak laki-laki datang juga. Pemeriksaan berikutnya dilakukan. Sungguh ajaib, ternyata ia tak perlu dioperasi lagi. “Apakah ia orang yang sama?” tanya dokternya keheranan. Jika pengikut Sàì Bàbà ditanya, “Bagaimana Anda mula-mula datang ke Puttaparthi dan mengapa? Dan bila kemudian jawaban mereka dibukukan, maka membaca buku tersebut pastilah sangat mengasyikkan. Seandainya buku semacam itu pernah diterbitkan, maka kisah kedatangan Sakamma, pemilik kebun kopi luas yang tersohor, dermawan dari Coorg, wanita yang diberi gelar “Dhanmaparayani” (selalu giat beramal) oleh Maharaja Mysore, akan menjadi suatu bagian yang menarik. Bukannya karena ia kaya atau merupakan orang yang terkenal dalam bidang perdagangan dan industri. Sàì Bàbà tidak peduli apakah seseorang itu kaya atau miskin. Ia memperhatikan kekayaan karakter, disiplin kerohanian dan keindahan jiwa, tak menjadi soal berapa pun simpanannya di bank!
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
34
Almarhumah Sakamma sering rnenceritakan pcngalaman aneh ini. Pada suatu hari ketika ia sedang melakukan puja di rumahnya di Somwarpet, Coorg, seorang pelayan datang mengatakan bahwa ada sebuah mobil yang masuk ke halaman kompleks perumahan dan orang di dalamnya mendesak ingin segera menemuinya. Meskipun agak jengkel, Sakamma keluar juga karena ingin tahu siapa gerangan yang begitu berani mengambil waktunya. Di dalam mobil dijumpainya seorang lelaki tua yang jangkung, rapi, berjenggot dan tampak berwibawa, sedang duduk di atas kulit rusa. Seluruh badannya bermandikan abu. Ia juga heran melihat kekunoan kendaraan itu karena sesuai dengan usia pemilik atau penumpangnya. Mobil itu dikemudikan oleh seorang anak laki-laki remaja yang lemah dan Sakamma heran bagaimana ia bisa mendapatkan izin mengemudi atau apakah ia punya surat izin tersebut atau tidak. Ada papan nama di bagian depan mobil itu yang terbaca sebagai “Panitia Kailas”. Ia mengundang lelaki tua tersebut masuk ke dalam, menyentuh kakinya untuk memberi hormat, meletakkan mawar yang baru saja dipetik di kakinya dan menghidangkan sejumlah buah-buahan. Pria itu berkata bahwa ia tidak akan makan buah-buahan ter sebut di situ karena ia tidak mau makan di sembarang waktu dan di segala tempat. Ia menggunakan istilah “jihvachapalya’ yang artinya ‘kecenderungan lidah’. Ia ingin agar Sakamma membantu Panitia Kailas dan menjadi anggota dengan menyumbang beberapa ribu rupee. Sakamma menandatangani sehelai kertas yang bertuliskan namanya dan jumlah uang tersebut. Ketika ia akan memberikannya, lelaki tua tersebut berkata, “Simpanlah ini juga. Aku akan datang mengambilnya kelak.” Sambil mengucapkan kata-kata tersebut ia meletakkan kertas yang telah ditandatangani itu di atas meja, masuk ke mobil dan pergi. Sopir remaja itu melakukan tugasnya dengan baik karena sebentar saja mobil tersebut sudah tidak kelihatan lagi. Beberapa tahun kemudian, ketika melihat Bàbà di suatu rumah yang dikunjunginya, bagi Sakamma saat itu la tampak sebagai remaja yang mengemudikan mobil misterius tersebut, dan pada saat lain sebagai penumpang tua yang tempo hari telah bersusah payah agar ia menyokong Panitia Kailas tetapi kemudian memintanya untuk menyimpan sendiri uang itu! Ketika mereka berjumpa, Sàì Bàbà membuatnya heran dengan berkata, “Ayo, berikan seribu rupee yang kau janjikan tempo hari!” dan kemudian menggambarkan seluruh peristiwa itu kepadanya dengan tepat hingga ke hal detailnya yang paling kecil! Suatu kali pada perayaan Dìpàvalì, Pesta Cahaya, Sàì Bàbà pergi ke kota Mysore dan tinggal bersama seorang kerabat Maharaja. Ketika sedang berada di sana, la menganugerahkan Penampakan ular pada umat yang berada di Puttaparthi. Hal semacam itu tak asing bagi para pengikut Sàì Bàbà di Shirdi, Coimbatore dan tempat-tempat lain. Yang menarik mengenai penampakan ini adalah bahwa pada waktu yang sama, atau lebih tepat, selama kejadian itu berlangsung, Bàbà berada “di luar” tubuh-Nya yang pada waktu itu berada di Mysore. Selama Sàì Bàbà tidak hadir, acara doa di tempat ibadat lama dilakukan di tangga yang menuju ke pintu depan. Di situ diletakkan sebuah foto yang telah dihias dan di kanan kirinya ada pelita yang selalu menyala baik siang maupun malam. Malam Dìpàvalì berlaiu dan di awal fajar sejumlah pengikut di Puttaparthi melihat cahaya lampu muncul di belokan bukit di seberang Karnatagapalli. Kemudian hari diketahui bahwa hanya beberapa orang yang mendapat kesan semacam itu. Ketika orang-orang yang melihat cahaya lampu mobil dan telah berlari ke tepi sungai kembali lagi ke tempat ibadat, mereka keheranan mendengar bahwa seekor kobra melingkar di sekeliling potret Bàbà di altar yang didirikan hanya untuk sementara waktu itu. Hal tersebut disaksikan pula oleh ratusan penduduk desa hingga pukul tiga siang hari itu. Mereka mempersembahkan puja, menyanyikan doa seperti biasanya pada siang hari dan memecah kelapa untuk menenangkannya. Meskipun demikian ular itu tidak bergerak dari tempatnya. Terdorong oleh hal ini, beberapa wanita menaburkan bubuk kunyit ke atasnya sambil menyebut Nama Tuhan dan memanggil Sathya Sàì Bàbà. Mereka meletakkan susu dalam mangkuk di depannya. Ular itu hanya menggoyang-goyangkan kepalanya kesana-kemari. Seorang wanita yang dihormati di desa itu ketika menerima kembali dua belahan kelapa sesudah upacara persembahan selesai, protes keras-keras menyatakan bahwa kelapa yang tadi diberikannya jauh lebih besar dan bila ia menerima saja belahan yang lebih kecil ini, ia akan rugi. Oleh kejadian ini, si ular kobra yang seolah-olah mengawasi semuanya dengan seksama, berputar dengan tajam ke arahnya kemudian mendesis keras-keras! Setiap orang tertawa geli melihat wanita itu ketakutan! Pada jam tiga siang itu, kobra tersebut turun dan setelah menjalar satu atau dua meter kemudian lenyap. Sementara itu, jauh di Mysore, Sàì Bàbà menggembirakan semua orang ketika la kembali lagi ke dalam Badan-Nya dan bangun. Setelah pergi ke Mysore, Sàì Bàbà mengunjungi Hyderabad dan karena Ia mengenal sejumlah tempat
35
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
yang dulu pernah dilihat-Nya, maka Ratu dari Chincholi menjadi yakin bahwa la benar-benar penjelmaan Sàì Bàbà dari Shirdi. Bàbà juga pergi ke Kuppam dan dari sana menuju ke Karur serta Trichinopoly. Di mana-mana la disambut dengan penuh semangat oleh umat dan penduduk. Di Trichinopoly arak-arakan diawali oleh gajah yang dihias dengan megah, diikuti oleh kelompok orang yang melagukan nyanyian upa cara sambil membawa air suci dalam mangkuk perak sebagai persembahan serta pernyataan hormat dan bakti. Di mana-mana la menasehati orang banyak, “Sejak saat ini sucikan hati kalian agar menjadi tempat tinggal yang layak bagi Tuhan. Jangan menyerah pada godaan dan jatuh semakin parah dalam kejahatan. Milikilah keberanian. Percayalah pada Tuhan yang berada di dalam dirimu, Tuhan yang merupakan teman dan kerabatmu yang terdekat.” Ketika mobil-mobil rombongan Sàì Bàbà lewat di Trichinopoly, salah satu dari kendaraan tersebut dengan tak sengaja menabrak seorang anak laki-laki kecil. la luka berat. Khalayak ramai segera berkumpul di sekitarnya. Ia dibawa ke rumah di dekat situ dan dibaringkan di serambi depan sementara darah mengalir dari luka-lukanya. Beberapa polisi datang untuk menyelidiki, tetapi sementara itu Sàì Bàbà telah datang dan menyentuh anak laki-laki tersebut. Tak ada satu pun yang perlu mereka laporkan karena anak yang tadinya luka-luka itu kini telah berlari kian kemari memberi tahu setiap orang betapa dengan satu sentuhan saja Sàì Bàbà telah membuatnya sembuh. Lama setelah Bàbà pergi, anak laki-laki itu masih diusap-usap dan diberi makanan oleh orang-orang yang kagum dan takjub pada pengalaman ajaibnya. Ada anak lain yang juga dikagumi oleh khalayak ramai dan yang mungkin hingga hari ini pun masih bersyukur karena Tuhan telah sudi campur tangan. Pada suatu pertemuan umum dekat Trichinopoly yang diselenggarakan untuk menghormati Sàì Bàbà, ada orang yang menyangsikan sifat ketuhanan-Nya. Menyadari hal ini, Sàì Bàbà yang berada di mimbar segera memanggil seorang anak laki-laki bisu tuli yang berdiri dekat orang yang tak percaya itu. Anak tersebut disuruh-Nya berdiri di depan pengeras suara, kemudian la bertanya, “Siapakah namamu?” Saat itu juga anak tersebut berbicara di pengeras suara hingga dapat didengar oleh ribuan orang yang hadir di situ. “Venkatanarayana!” Orang yang tak percaya itu diam dan menundukkan kepalanya dengan rasa malu. Ada akibat yang lain. Bàbà sering berbicara mengenai peristiwa ini sambil tertawa. Ketika fajar menyingsing, sepanjang jalan tempat la tinggal penuh sesak dengan orang-orang yang bisu dan tuli. Tempat itu menjadi jalan “penderitaan yang sunyi”. Hingga saat itu tak seorang pun tahu bahwa di Trichinopoly ada demikian banyak penduduk yang menderita cacat semacam itu. Sàì Bàbà meninggalkan rumah tersebut untuk menghindari ributnya seruan sanak keluarga mereka yang mencoba memperoleh lebih banyak lagi penyembuhan ajaib. Para pengikut di Karur dan Trichinopoly satu sama lain berlumba-lumba menghias jalan dan rumah mereka, serta bersaing untuk menyeleng-garakan penyambutan yang indah, tetapi Sàì Bàbà tidak terpengaruh oleh segala pertunjukan kemegahan dan keindahan ini. Dengan bebas la bergerak di antara orang banyak, baik yang kaya mau pun yang miskin, dan bahkan lebih sering berada di antara orang-orang miskin daripada di antara mereka yang menjamu-Nya. Ia lebih suka memperhatikan hati yang penuh doa dan penyesalan daripada hati yang melembung penuh kesombongan serta cemar oleh ketamakan. Mantapam, yaitu balairung terbuka bertiang banyak yang biasanya dibangun pada waktu pesta, didirikan untuk tempat duduk Sàì Bàbà dan untuk mempersembahkan puja bagi-Nya serta dihias sangat artistik, sarat dengan bunga yang beraneka wama dan ragamnya. Telah berulang kali Sàì Bàbà memberi tahu masyarakat ramai bahwa la hanya menghargai bunga tak bernoda berupa hati yang mumi, dan persembahan buah-buahan berbentuk perbuatan-perbuatan yang baik. Suatu kali di Mysore, Sàì Bàbà duduk di atas Mantapam yang penuh bunga semacam itu, dan menerima hormat bakti dari suatu keluarga pengikut, ketika tiba-tiba entah dari mana, muncul seekor kobra yang merayap ke atas timbunan bunga di Kaki-Nya. Segera ular itu diikuti oleh kobra lainnya. Bàbà meyakinkan keluarga tersebut bahwa tak ada hal yang perlu ditakutkan. Tak lama kemudian, sebagaimana halnya mereka muncul secara mis-terius, kobra itu menghilang “entah ke mana”. Sàì Bàbà tak puas hanya dengan menanamkan iman pada para pengikut-Nya melalui keajaibankeajaiban semacam itu. la adalah majikan yang keras yang hanya dapat dipuaskan dengan kejujuran mutlak dan perjuangan yang tulus dalam disiplin kerohanian. Inilah sebabnya mengapa di antara begitu banyak pria dan wanita yang tertarik kepada Bàbà karena mendengar cerita tentang berbagai keajaibanNya, dan bahkan menyaksikan sendiri Sipat ketuhanan-Nya dan aneka keajaiban tersebut, kemudian
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
36
banyak pula yang meninggalkan-Nya karena tak mampu memenuhi tuntutan yang diminta Bàbà dalam perbaikan karakter, penyangkalan diri, praktek kerohanian, mengulang-ulang Nama Tuhan dalam doa dan meditasi pada Wujud Tuhan. Bahkan dalam masa awal itu pun Bàbà telah berkali-kali mengatakan bahwa la mengelakkan bencana fisik, mengobati berbagai penyakit badaniah, menyembuhkan dan memberi hiburan, hanya sebagai langkah pertama menuju ke praktek kerohanian yang harus timbul secara otomatis setelah mengalami Kehadiran-Nya. Banyak orang suci dan pertapa telah tenggelam dalam kehinaan karena hasrat mereka untuk dicatat dalam buku para penyumbang yang kaya dan berpengaruh. Tetapi Bàbà yang datang untuk menerangi jalan orang-orang yang suci dan waskita, tak pernah memperhalus kata-kata-Nya bila la harus mem-perbaiki kesalahan orang di sekitar-Nya. Rahmat-Nya demikian luar biasa sehingga tak mempedulikan hambatan usia, pendidikan atau lamanya hubungan. la memberkati setiap orang dengan teguran dan pujian. Hanya penyerahan mutlak pada Kehendak ketuhanan sajalah yang dapat membuat setiap orang sempurna dan bebas. Perayaan Dasara dengan segera menjadi peristiwa besar di Puttaparthi. Sekalipun Bàbà harus pergi ke Madras, Trichinopoly atau Masulipatam untuk perayaan lain, Ja selalu hadir di Puttaparthi pada waktu Dasara. Sakamma dan beberapa pengikut lain selama bertahun-tahun mendapat kesempatan istimewa untuk mempersiapkan “Perayaan Hari Ibu ketuhanan” ini. Bàbà adalah Ibu Agung yang menjelmakan Diri-Nya sebagai Sarasvatì - Devi Kebijaksanaan; Lakûmì — Devi Kekayaan; Úarada — Devi Musim Semi; Annapùróà — Devi Penganugerah Makanan dan Kàlì yaitu Devi yang amat Kuasa dalam Penyucian Batin. Bàbà telah berkata bahwa Sanàtana Dharma atau Kebijaksanaan Abadi adalah Ibu spiritual bagi umat manusia. Sebagai Sais Tuhan, la membawa Pesan Kebenaran, Hukum Keadilan, Damai dan Cinta, yaitu empat prinsip utama dalam kehidupan rohani. Umat-Nya merasa bahwa la adalah Ibu mereka, lebih daripada ibu kandung mereka sendiri, karena itu sangatlah tepat bila Dasara dirayakan secara besar-besaran di Puttaparthi. Banyak di antara pengikut-Nya telah diberkati dengan Penampakan Diri-Nya sebagai Ibu spiritual. Bahkan salah seorang dari mereka berkeras menyebut Dia sebagai Ibu Úiva: nama yang mengingatkan kita pada konsep luhur rentang Tuhan sebagai Ayah-Ibu, maskulin-feminin, Úiva-Úakti. la senang berada di antara anak-anak dan yang paling bengal sekalipun dapat diubah-Nya melalui bermacammacam akal dan permainan yang tak habis-habisnya, selain itu la pandai berbicara tanpa menggerakkan bibir. la mempertunjukkan bermacam-macam bentuk bayangan dan menghadiahi mereka dengan berbagai manisan yang diciptakan-Nya dengan Lambaian Tangan. la memilin dan memutar Jari-Jari-Nya dan ketika bayangan jatuh di dinding, anak-anak terkejut karena melihat bentuk ular, elang, kuda, rusa jantan, anjing, merak, katak, kucing dan kerbau, meloncat-loncat dengan gembira. la menawarkan segumpal bola pasir pada seorang anak. Si anak dengan enggan mengulurkan tangannya untuk menerima bola pasir yang ternyata adalah Laddu, makanan sedap yang sangat disukai anak-anak. Bola pasir itu benar-benar menjadi Laddu yang manis dan harum ketika tiba di tangan si anak. la berkata bahwa anak-anak sungguh sangat beruntung karena mereka memperoleh Darúan Bàbà (mengalami Kehadiran-Nya) lebih awal daripada orang-orang dewasa, dan mereka mempunyai kesempatan istimewa untuk mendapatkan Bàbà sebagai Guru, Pelindung, Pembimbing dan Penjaga selama beberapa puluh tahun yang mendatang. Bila Sàì Bàbà bersedia memberikan nama pada anak-anak para pengikut-Nya maka nama yang la berikan semerbak dengan Berkat dan Belas Kasihan-Nya. la juga memulai upacara perkenalan anak-anak dengan abjad. la memegang jari-jari mereka yang mungil dalam Tangan-Nya dan bersama-sama menggoreskan huruf Om atau menuliskan huruf cakar ayam dalam madu, susu atau beras. Akûara juga berarti, “Yang Kekal” dan bila Bàbà memulai Akûara-bhyasa atau saat si anak mulai mempelajari abjad, la juga menginisiasi mereka ke dalam Kekekalan. Anak-anak itu masing-masing harus mengucapkan Mahàmantra (Rumusan kata-kata yang suci dan mengandung Kekuatan) seperti misalnya ‘Oý Namo Nàràyaòa* - Pujilah Tuhan dalam Manusia!; ‘Oý Nama Úivaya’ - Pujilah Úiva; atau ‘Oý Úrìnivasaya’ - Pujilah tempat kediaman Úrì, Devi Keberuntungan, atau mantra lain yang sesuai dengan tradisi keluarga si anak dan dengan demikian la memberi anak itu kunci untuk mencapai kemenangan rohani yang terakhir. Ada nyanyian dalam bahasa Tamil yang menyebut Sàì Bàbà sebagai Ibu yang menyusui anak-anak-Nya dengan susu Kebijaksanaan. Bagi anak yang beruntung itu maka saat mempelajari abjad merupakan kesempatan untuk menerima Kebijaksanaan spiritual. Selama Dasara, Bàbà tampil sebagai Pelindung Musik, Kesusasteraan, serta Pemberi Makanan,
37
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
sehingga Dasara telah menjadi perayaan yang sulit dilupakan sejak la mulai menyatakan Diri-Nya. UmatNya senang mendapat berbagai khotbah, pagelaran musik, drama dan perayaan yang meriah. Setiap sore ada arak-arakan di sepanjang jalan desa yang sempit dan Bàbà diusung dalam tandu yang dihias dengan bunga. Tandu itu dihias berbeda-beda setiap hari dan para bhakta berebut ingin mengusungnya di alas bahu mereka. Selama prosesi berlangsung, penulis telah melihat Bàbà memetik-metik bunga dari untaian karangan bunga di sekitar-Nya hingga tangan-Nya penuh dengan daun bunga yang kemudian ditebarkanNya diantara orang banyak. Semuanya jatuh dengan suara gemerincing karena setiap daun bunga telah berubah menjadi medali kecil! dengan potret Bàbà di satu sisi dan potret Sàì Bàbà dari Shirdi di sisi yang lain! Sering pula daun bunga itu berubah menjadi manisan dan jatuh berhamburan di antara orang banyak yang berada di sekitar landu! Ketika bcrada di alas tandu, Dahi Sàì Bàbà sering tertutup Vibhùti yaitu Abu Suci yang keluar dari dalam Diri-Nya. Para bhakta sering menyaksikan pula titik kumkum yang timbul dengan sendirinya. Segera terasa bahwa rumah sembahyang yang ada menjadi terlalu kecil untuk menampung kumpulan pengikut. Banyak pemuja Sàì Bàbà dari Shirdi bergegas datang ketika mendengar bahwa la telah menjelma menjadi manusia di desa Puttaparthi. Banyak orang yang berziarah ke Shirdi sebagaimana biasanya dan ketika tiba “diberi petunjuk” agar pergi ke Puttaparthi. Banyak pula yang mulai mengetahui Shirdi Bàbà dari Sathya Sàì Bàbà Sendiri. Orang datang kepada Tuhan dengan tujuan yang bcrmacam-macam dan dapat digolongkan ke dalam empat jenis, yaitu: mereka yang sedih dan menderita, mereka yang ingin memperoleh bimbingan rohani, orang yang ingin mencari kekayaan dan orang bijaksana; tetapi Tuhan menerima dan memuaskan semuanya. Mereka yang sedih serta menderita dihibur dan diringankan penderitaannya. Abu suci-Nya digunakan sebagai jimat untuk mengusir roh jahat dari ratusan orang yang tak beruntung. Orang yang kritis, orang yang ingin tahu, sangsi. ragu-ragu maupun mereka yang tak percaya pada Tuhan. dipuaskan-Nya dan ditarik serta ditambatkan kepada-Nya. Orang yang ingin hidup enak diberkati-Nya asalkan mereka dapat menggunakan kedamaian hati yang mereka peroleh untuk meningkatkan kehidupan rohani serta merenungkan tujuan akhir kehidupan ini. Orang bijaksana yang dimurnikan dan dijernihkan oleh disiplin yang ulet adalah yang paling disayangi-Nya karena pada mereka la memperlihatkan Diri dalam segala Kemuliaan-Nya, Orang yang termasuk dalam segala kelompok tersebut datang ke Puttaparthi. Golongan kesatu dan ketiga umumnya lebih banyak. la mengubah kehidupan semua orang yang datang kepada-Nya. Ada suatu peristiwa yang patut dicatat, yaitu perubahan sekelompok pencuri menjadi petani yang takut kepada Tuhan. Pada suatu malam, ketika Sàì Bàbà berada di atas bukit di seberang sungai Chitravathi, la datang pada sekelompok pencuri yang sedang asyik membagi barang rampasan. Ketika mereka melihat Dia dan menerima sendiri Abu spiritual dari Tangan-Nya, mereka sadar bahwa mereka berhadapan langsung dengan Saksi Abadi. Sàì Bàbà berbicara pada ketujuh belas orang yang berada dalam kegelapan ini dan dengan kasih sayang, dibawa-Nya mereka kembali ke desa Puttaparthi. Mereka semuanya menempuh bermacam-macam cara hidup yang jujur. Beberapa tahun kemudian, untuk menampung himpunan umat yang demikian banyak, didirikan bangsal di sepanjang bagian depan pura, tetapi bangunan ini pun ternyata masih terlalu kecil. Suatu bagian yang terpisah dengan sebuah ruang tinggal dan kamar mandi, didirikan buat Bàbà di belakang pura. Dalam ruang inilah Sàì Bàbà melakukan operasi hernia pada saudara laki-laki Dr. Padmanabhan! Dalam bangsal itu, di balik tirai di depan altar, Bàbà melakukan operasi usus buntu pada Appiah dari Puttaparthi. Pada suatu malam ketika sedang tidur di tempat terbuka antara pura dan bangunan di belakangnya, Bàbà menyatakan bahwa seorang dari antara pengikut-Nya tetah kehilangan jimat yang diberikan-Nya, karena benda itu telah kembali lagi kepada-Nya! Penulis ingat, Bàbà berkata bahwa la harus segera pergi ke Madras untuk mengikatkan jimat itu di pergelangan tangan pasien, tetapi semua orang di sekitar-Nya mohon agar la tidak melakukan ‘perjalanan’ saat itu; pergi ke luar dari Badan-Nya dan kembali lagi. Bàbà kemudian setuju untuk mengirimkannya melalui seseorang yang akan pergi ke Madras, maka dipercayakan-Nya jimat itu pada Úrì Seshagiri Rao, seorang pengikut tua. dengan peringatan, “Simpan baik-baik. Ikatkan benda ini dalam handuk dan lilitkan di pinggangmu.” Seshagiri Rao menaati seluruh perintah ini dan tidur sambil membawa jimat yang dililitkan di pinggangnya. Kira-kira dua jam kemudian kami semua terbangun mendengar Sàì Bàbà tertawa keras-keras sambil duduk di tempat tidur. Kami berkumpul di sekitar-Nya dan
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
38
ingin tahu kelucuan apa yang telah terjadi. Seshagiri Rao tak menyadari hal yang tengah berlangsung; Bàbà mernbangunkannya dan menanyakan jimat itu. la melepaskan handuknya, membuka gulungannya dan. lihatlah. jimat itu telah lenyap! Sàì Bàbà pura-pura memarahinya sambil bergurau kemudian berkata bahwa la telah “pergi”. serta mengikatkan jimat itu di pergelangan tangan pasien yang senantiasa harus terlindung oleh benda tersebut! Ya, la telah pergi ke Madras yang jauhnya 443 km dan kembali lagi. Umat-Nya tak akan pernah melupakan Rumah Doa yang lama, karena di sana Sàì Bàbà selalu berada di antara mereka. Diciptakan-Nya banyak nyanyian dan lagu pujian yang menggambarkan cinta Tuhan serta diajarkannya pada mereka ketika sedang berada di sana. la melatih mereka dengan kasih sayang dan perhatian yang besar. Karena yang hadir tak terlalu banyak. biasanya Bàbà lebih sering pergi ke luar, ke pasir di tepi sungai. ke bukit-bukit di dekat situ atau ke kebun-kebun di seberang sungai. Sernentara beberapa orang sibuk menyiapkan hidangan. la memperlihatkan berbagai keajaiban atau tanda ketuhananNya. Ketika mengajar dan mengingatkan umat-Nya berkenaan dengan kesulitan-kesulitan mereka. la memberi tahu bahwa mereka harus memusatkan perhatian untuk selalu mengulang Nama Tuhan. bahwa itu adalah cara yang paling baik untuk memperoleh ketenangan. Suatu kali, mendadak la menengok ke arah seorang bakta dan bertanya. “Apakah engkau tak mengulang-ulang Nama?” la hendak menjawab sesuatu tetapi Bàbà tak mau men-dengarkannya. “Oh. engkau telah kehilangan japamala (tasbih)mu bukan?” TanyaNya. Kemudian la rnemasukkan Tangan-Nya ke dalam pasir, mengeluarkan sebuah japa mala dan berkata, “Ini, ke mari dan ambillah.” Wanita itu berdiri penuh hormat dan berjalan ke depan dengan tangan terkatup untuk menerimanya. Sàì Bàbà memberi tanda padanya agar berhenti dan sambil tersenyum berkata. “Tunggu! Mula-mula katakan dulu pada-Ku tasbih siapa ini.” la melihatnya dan tergagap, “Punya saya Bàbà! Atau lebih tepat. milik ibu saya.” la sangat gembira dapat memperoleh tasbihnya kembali. yaitu tasbih yang diberikan oleh ibunya ketika akan meninggal. Bàbà memberi tahu kami semua tentang kesalehan ibunya, tentang tapa atau cara hidup yang keras dan amat sederhana yang ditempuh oleh saudara laki-lakinya dan tentang Sàdhanà atau praklek kerohanian yang dilakukannya. Bàbà bertanya, kapan ia kehilangan tasbih berharga itu. Kami semua terdiam ketika wanita itu me-nyatakan bahwa tasbihnya hilang empat tahun yang lalu di Bangalore, seratus empat puluh satu kilo meter jauhnya dari Puttaparthi. Dari bulan ke bulan jumlah kelompok pengikut terus meningkat. Pura lama tak memadai lagi dan tidaklah mungkin untuk berkumpul di pasir sungai setiap hari. Umat pun merasa bahwa kamar Sàì Bàbà terlalu sempit dan rendah dan selama ini la terpaksa tinggal justru di tengah hiruk pikuk. debu serta kekacauan. Pada hari raya, tempat di sekitar pura terlalu kecil untuk menampung umat yang datang. Sejumlah pengikut mohon agar Bàbà menyetujui pendirian bangunan luas yang sekarang, yaitu bangunan yang oleh Bàbà dinamakan “Prasanthi Nilayam” atau “Tempat Kedamaian”.
39
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
VII PRASANTHI NILAYAM BETAPA indah nama tempat Tuhan bersemayam! Betapa nama ini mengundang angin yang sejuk dan kesunyian yang tenang! Bukit-bukit yang tegak melingkar di sekeliling Nilayam tampak bagaikan pertapa tua yang sedang tenggelam dalam ketafakurannya., Langit yang terbentang luas memberikan inspirasi renungan yang tak terbatas dan karang di puncak bukit-bukit mengundang orang untuk bermeditasi. Sàì Bàbà telah menanam hutan kecil untuk tapa keagamaan di sisi bukit di belakang Nilayam. Di hutan kecil itu tumbuh pohon Banyan yang pasti menjadi pohon Banyan paling suci di antara pohon lain sejenisnya, setidak-tidaknya sejauh berkenaan dengan orang yang ingin meningkatkan kehidupan rohaninya. Pohon Banyan yang dikenal sebagai Nyagrodha, “tumbuh ke bawah”, dan Vatavrikûa, “pohon yang memagar berkeliling”; terkenal dalam sejarah dan kesusasteraan suci India. Tuhan Maha Viûóu, Tuhan dalam aspek-Nya sebagai Pemelihara; atau Úiva, Tuhan dalam Wujud Guru, dilukiskan sebagai duduk di bawah pohon Banyan dan justru dengan keheningan-Nya menguraikan segala pengetahuan pada murid-muridNya. Pohon ini boleh dibilang melambangkan Sanatana Dharma, Kebijaksanaan Tuhan; karena cabangnya menjulur ke segala arah dan mengambil makanannya dari segala jenis kepercayaan dan perjuangan spiritual. Pohon ini juga disebut Bahupada yang dalam bahasa Sanskerta artinya “berkaki banyak”, karena rangkaian akar yang terjuntai dari dahan-dahannya, menembusi tanah, mencari makanan dari dalam dan membuat dahan tersebut tak tergantung lagi pada batang induknya. Karena itu, pohon ini tak dapat mati. Di India ada bebe-rapa pohon Banyan yang telah dipuja ribuan tahun seperti misalnya di Triveni Prayag, Allahabad, atau pohon Banyan yang disebut Akûayavat, “Yang Tak Dapat Musnah”, di Gaya. Pohon Banyan yang tumbuh di hutan kecil itu mempunyai kesucian khusus. Pada suatu senja dalam bulan April tahun 1959, ketika sedang berbincang-bincang dengan sekelompok pengikut di pasir sungai Citravatì, Bàbà berbicara tentang Buddha dan pohon Bodhi, “Pohon Kebijaksanaan”; dan tentang Sàdhaka (para peminat kehidupan rohani) yang mencari suatu tempat khusus yang baik untuk melakukan tapa. Sementara berbicara demikian, la “menarik” keluar dari pasir, sebuah piring tembaga tebal yang berukuran kira-kira 37,5 sampai 25 cm. Piring itu berisi tanda-tanda gambar dan huruf mistik dari bermacam-macam abjad baik yang dikenal maupun yang tak dikenal! Bàbà berkata bahwa piring mistik semacam itu, kriptogram yang dituliskan pada tembaga atau batu, ditanamkan di bawah pepohonan tempat para peminat kehidupan rohani menjalankan tapa. Sehingga mereka dapat ditolong mengembangkan konsentrasi pikiran dan menguasai inderanya. Dikatakan-Nya bahwa la akan meletakkan piring tembaga itu di bawah pohon Banyan yang akan ditanamnya di hutan kecil tersebut. Ini benar-benar dilaksanakan-Nya pada tanggal 29 Juli 1959. Sàì Bàbà menjelaskan bahwa Yogi-yogi yang telah mencapai kemajuan rohani tahap tertentu, secara otomatis akan mengetahui pohon serta piring mistik ini dan oleh kekuatan gaibnya mereka akan tertarik pada hutan kecil untuk meditasi itu. Prasanthi Nilayam dibuka secara resmi pada tanggal 23 November tahun 1950, ketika Bhagavàn Úrì Sathya Sàì Bàbà merayakan ulang tahun yang kedua puluh lima. Pembangunannya memakan waktu kira-kira dua tahun. Bàbà dapat disebut sebagai arsitek dan insinyur yang memimpin seluruh pekerjaan pembangunan. Mau tak mau saran-saran-Nya diterima oleh para ahli bangunan, karena jauh lebih baik daripada buah pikiran mereka sendiri. Mereka mengakui bahwa Sàì Bàbà mempunyai perasaan perspektif yang lebih besar dan pandangan artistik yang lebih indah. Bàbà adalah majikan yang keras tetapi penuh dengan belas kasihan yang tak terhingga. Rahmat-Nya mengatasi segala hambatan yang tak dapat dilalui! Misalnya, kayu-kayu palang yang sangat besar dan berat untuk ruang doa utama, didatangkan dengan kereta api dari dekat Trichinopory ke Penukonda. Tetapi bagaimana mungkin barang itu dapat dibawa melalui jalan Distrik Board yang panjangnya dua puluh enam kilometer dan penuh dengan aliran pasir pada kilometer ke sebelas? Bagaimana mungkin truk dengan muatan balok-balok besar yang menjulur ke luar semacam itu, dapat melewati sudut simpangan desa yang sangat tajam pada kilometer keempat belas? Setelah Bukkapatnam tercapai, ada jalan setapak sepanjang lima kilometer yang disebut sebagai jalan hanya untuk basa basi, dan kemudian masih ada bentangan luas pasir Sungai Citravatì sejauh enam ratus meter lebih. Masih ada jalan rusak yang berparit-parit di bawahnya, kemudian harus melalui lumpur dan bila kayu-kayu palang itu akhirnya tiba juga, masih ada tugas untuk mengangkatnya ke atas dinding
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
40
yang tinggi. Para ahli bangunan telah melepaskan segala harapan untuk membawa kayu-kayu palang itu ke desa, dan minta pada Bàbà agar memberikan saran untuk atap ruang doa. Pada suatu hari, lewat tengah malam, kepala ahli bangunan terjaga mendengar suara gaduh di depan rumahnya di Anantapur. la mengintai ke dalam kegelapan dan tercengang ketika mengetahui mesin derek dari Pembangunan Dam Tungabhadra tak bekerja lagi dan tak dapat bergerak! ia bergegas ke Puttaparthi dan memberi tahu Bàbà, bila mesin itu dibuat berjalan lagi, pemiliknya akan dapat dibujuk agar pergi ke Penukonda sambil sekalian membawa kayu-kayu palang tersebut. Sàì Bàbà menciptakan abu suci dan memberikannya sedikit pada ahli bangunan tersebut yang dengan khidmat menaburkannya ke atas motor mesin derek dan kemudian meminta pengemudinya agar berusaha menggerakkannya. Dengan satu dua suara gemuruh, mesinnya mulai berjalan, rodanya berputar dan mesin derek itu bergerak ke arah kayu-kayu palang! Setelah mengangkat timbunan balok tersebut dengan tangan raksasanya, mesin derek itu melewati jalan yang bawahnya berparit, berbelok dengan tajam di sekeliling tikungan, bergerak dengan cepat melalui lumpur di Vankaperu dan mendaki bukit Karnataga-palli! Di sana, kata ahli bangunan itu, kekuatan mesin derek tersebut hampir habis sama sekali. Mungkin tak dapat lagi menghela tumpukan balok itu melalui pasir, maka Sàì Bàbà Sendiri duduk dekat pengemudi, memegang kemudinya dan mesin derek itu akhirnya menurunkan kayu-kayu palang tersebut dekat bangunan yang sedang dikerjakan. Keluhan ahli bangunan tak juga berhenti walaupun balok-balok besar tersebut telah berhasil didatangkan. Mereka bahkan makin kesal. Kata mereka, “Apa gunanya menempuh segala kesulitan ini bila secara manusiawi tak mungkin menaikkan balok-balok tersebut ke atas dinding.” Secara manusiawi tak mungkin, ya, tetapi di mana ada Kehendak Tuhan, di situ selalu ada jalan! Para pekerja didatangkan dari Bendungan Tungabhadra, tali dikencang-kan, katrol dipasang dan untuk membuat kayu-kayu palang tersebut lebih ringan, setiap balok ditarik ke atas di tengah teriakan “Jai Sai Ram!” (Jayalah Sai yang juga Ràma!) yang diserukan oleh ratusan umat dalam Kehadiran Sàì Bàbà. Kayu-kayu palang itu dipasang di tempatnya dan semuanya berjalan dengan baik! Ruang doa utama dengan mimbar yang tersembunyi di kedua sisinya merupakan bagian yang paling penting di Nilayam. Pada mimbar sebelah Barat terdapat tempat suci dan di situ diletakkan dua lukisan cat minyak yang menggambarkan foto Sàì Bàbà dari Shirdi serta Úrì Sathya Sàì Bàbà. Kedua lukisan itu berukuran seperti manusia yang sesungguhnya dan diletakkan menempel di dinding. Di bagian tengah juga terdapat arca Shirdi Sàì Bàbà yang terbuat dari perak dan di bawahnya diletakkan sebuah foto Sathya Sàì Bàbà yang berukuran kecil. Itu semua dipasang untuk mempermudah meditasi serta pengulangan NamaNama Tuhan. Kecuali menyanyikan berbagai lagu tentang Tuhan dua kali sehari yaitu di pagi hari dan menjelang senja, maka tak ada pemujaan harian lain seperti yang biasanya dilangsungkan di tempat-tempat di mana arca dipasang dan disucikan. Tak ada upacara tertentu yang harus dilakukan pada hari-hari suci tertentu, juga tak ada suatu jadwal acara, doa atau puja yang harus dilakukan. Tak ada pula aturan yang mengharuskan arca Sàì Bàbà dari Shirdi diletakkan di situ. Balairung itu merupakan ruang doa, tak lebih dan tak kurang. Di dindingnya terpasang berbagai gambar yang melukiskan segala penjelmaan Tuhan dan para pemimpin rohani serta pemimpin keagamaan yang agung. Ruang-ruang di lantai dasar terutama digunakan untuk menyimpan berbagai barang dan perkakas. Dua buah ruangan dipisahkan untuk wawancara pribadi yang dianugerahkan Sàì Bàbà pada pengikut yang datang kepada-Nya. Ruang-ruang di lantai atas merupakan tempat tinggal Bàbà. Ada serambi luas yang bertiang-tiang di lantai atas dan pada kesempatan perayaan, dari serambi itu la memberi Darúan serta khotbah kepada umat yang berkerumun di bawah. Sebuah arca pualam yang menawan hati berwujud Kåûóa yang sedang meniup suling, diletakkan tepat di tengah lantai atas serambi tersebut. Perhatian setiap orang tertambat pada keindahan serta pesonanya. Ada tangga yang menuju ke teras atas dan di bagian tengahnya pada sebuah landasan di depan tiang bendera, diletakkan arca Sàì Bàbà setengah badan yang menghadap ke jalan di depannya. Pada hari perayaan tertentu bila bendera dikibarkan, Sàì Bàbà memberi Darúan dari dekat arca ini dan diberkati-Nya orang banyak yang berkumpul di situ dengan suatu gerakan tangan yang artinya “Jangan takut”. Bendera ini menggambarkan simbol yang telah diciptakan Bàbà dalam lingkaran tepat di depan bangunan di lantai dasar. Tepat di tengah rangkaian beberapa lingkaran yang sepusat ada sebuah tiang yang menggambarkan
41
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
Yoga (persatuan dengan Tuhan), Tiang itu mempunyai sejumlah lingkaran seperti cincin yang menandakan berbagai tahap dalam disiplin Yoga. Yoga ini menyebabkan mekarnya “Bunga Teratai di dalam hati” yang daun bunganya digambarkan berada di puncak tiang. Setelah pelaksanaan pengabdian pada Tuhan dan perkembangan batin, dicapailah tahap selanjutnya yaitu “Api Penerangan” dan “Cahaya Kerohanian” yang dilambangkan di puncak tiang. Lingkaran sepusat yang pertama dan ruang di antaranya kosong dan berpasir. Lingkaran yang kedua ditanami dengan jenis tanaman semak yang tumbuh rapat bergerombol dan kadangkadang harus dipangkas serta dipendekkan. Menurut Bàbà, ini menggambarkan sifat-sifat keinginan dan angkara murka yang harus diatasi untuk mencapai tahap Yoga. Lingkaran pertama yang berpasir adalah padang pasir keinginan, tanah yang tak berharga; perjuangan yang sia-sia dalam usaha untuk mencapai hal-hal yang fana. Lingkaran kedua yang penuh dengan tanaman bersemak adalah kemarahan yang sulit dilenyapkan karena segera setelah dipangkas ia tumbuh lagi. Kemudian ada dua tangga berwarna merah, yang sebuah rendah dan lainnya agak tinggi, melambangkan kebencian yang juga harus diatasi oleh manusia. Salah satu jenis kebencian timbul bila orang dihalang-halangi dalam usahanya untuk mendapatkan obyek yang diinginkan, dan kebencian jenis lain timbul bila perbuatan seseorang menimbulkan kepedihan pada pihak yang lain. Setelah ketiga hal ini diatasi, ruang bundar penuh dengan rumput hijau yang menyejukkan mata, mengingatkan pada kepuasan dan kemakmuran, menggambarkan Cinta ketuhanan. Ini adalah tahap ketika hati manusia dipenuhi dengan kebahagiaan karena tiadanya keinginan, kemarahan serta kebencian dan telah mencapai suatu sikap “Sama terhadap Segala Sesuatu”, dasar utama Cinta ketuhanan. Segera peminat kehidupan rohani ini maju terus menuju ke daerah terbuka yang melambangkan Kedamaian, tempat ia dapat duduk sesuka hati dan menikmati hasil disiplin yang telah dijalaninya. Yoganya berbuah dan membawanya ke atas dari ketinggian yang satu ke ketinggian yang lain hingga “Teratai Hati” berbunga dan “Cahaya Penerangan “ akhirnya tercapai. Di sekitar lingkaran ada delapan buah pot yang bercat dan ditanami bunga-bungaan. Sàì Bàbà menjelaskan hal ini sebagai lambang dari Delapan Kesempurnaan atau Sipat-sipat Dasar ketuhanan yang menjaga seorang Yogi. Pada beberapa kesempatan tertentu bila diadakan upacara pengibaran Prasanthi Pataka atau Bendera Kedamaian, biasanya Bàbà menguraikan arti yang mendalam dari Lingkaran Teratai ini dan menjelaskan mengapa simbol itu tergambar pada bendera. Ia menasehatkan dan memerintahkan bhakta-Nya agar menaikkan bendera Kedamaian pula di dalam hati mereka, dan menjaganya agar tetap berkibar di sana serta sepanjang waktu memikirkan pelajaran yang hendak diajarkan. Bàbà juga berbicara tentang arti yang lebih mendalam dari ketiga gerbang yang menuju ke ruang doa. Pertama, gerbang paling luar yang menuju ke kompleks; sebuah gerbang dengan suatu leng-kungan yang bertuliskan nama Nilayam, adalah “Gerbang Kegelapan”. Orang yang melewati gerbang ini meninggalkan kegelapan, kebodohan serta kelambanan di belakangnya. la telah memupuk pikiran suci yaitu pikiran bahwa ia datang ke Hadirat Tuhan dan semangat kegelapan serta kebodohan jauh di belakangnya. Orang-orang yang tenggelam dalam kegelapan, orang yang Tamasik, bahkan tak akan mempunyai keinginan tahu untuk masuk! Kemudian ada gerbang kedua dan tepat di tempat itu taman di sekitar Lingkaran Teratai di mulai. Di sini orang tertarik oleh kemegahan bangunan, cahaya lampu-lampu neon, lampu cabang yang berwarna, pot-pot bunga yang digantungkan, semua itu menggambarkan aspek aktif dan ke-gairahan yang menarik orang Rajasik yang aktif dan bergairah. Kemudian orang tiba ke gerbang ruang doa yang sesungguhnya, “Gerbang Kebijaksanaan” yang membawa orang yang Satvik menuju ke “Tempat Kedamaian”. Kebun di depan Nilayam itu sendiri menunjukkan kebaktian umat karena taman itu disiram oleh para pengikut yang berbaris memanjang. Mereka mengambil air dari sumur di belakang bangunan, menempatkannya dalam tempatnya dan meneruskannya dari satu tangan ke tangan yang lain untuk menyirami tanaman. Sàì Bàbà membuatnya menjadi tanaman botani yang sesungguhnya, karena kebun ini berisi pohon bunga dan buah-buahan dari berbagai negara bagian India, serta pohon-pohon yang biasanya tidak tumbuh subur di lingkungan iklim tertentu seperti misalnya pohon minyak kayu putih atau eucalyptus dari Australia, pohon oak perak, jeruk oranye dan kopi. Hari-hari di Prasanthi Nilayam diawali dentang genta di ruang doa pada jam 4.30 pagi, mempermaklumkan Saat Spiritual atau waktu dimana para bhakta harus mempersiapkan diri untuk meditasi dan mengulang-ulang Nama Tuhan. Pada pukul 4.45, nyanyian Oý dimulai di ruang doa dan ini berlangsung selama kira-kira setengah jam, diikuti dengan Dhyàna, pengulangan Nama Tuhan di dalam
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
42
hati hingga pukul 6.00 pagi. Suku kata Oý disanjung di Upaniûad sebagai lambang Tuhan yang paling baik dan paling efektif. Oý mengandung tiga Suara Suci : A, U dan M maupun tahap tak bersuara ketika suara Oý menggema dalam kesunyian dan menyebabkan para bakta merasa bersatu dengan Tuhan karena tujuan perenungan Oý adalah untuk mencapai “Kesadaran Murni”. Keadaan jaga di saat jiwa dikuasai oleh kegelapan dan berhubungan dengan badan fisik yang kasar, digambarkan dengan huruf A. Keadaan mimpi di saat jiwa dikuasai oleh kualitas aktivitas dan nafsu ceria berhubungan dengan badan halus, digambarkan dengan huruf U. Keadaan tidur lelap di saat jiwa didapati berada dalam kebijaksanaan batin dan dikuasai oleh kebaikan serta kebenaran, digambarkan dengan huruf M. Keadaan jaga dan mimpi lebur dalam kegelapan. Tahap keempat dari Oý yang tak bersuara menggambarkan keadaan diri yang murni. Arti Oý sering dijelaskan oleh Sàì Bàbà dalam berbagai khotbah di depan umum dan percakapanpercakapan pribadi. Oý juga diulang untuk mengawali dan mengakhiri setiap sidang pemujaan karena ini merupakan simbol agung yang mencakup segala penggambaran Tuhan, tidak terrnasuk dalam suatu golongan agama tertentu dan telah diterima secara universal. Sàì Bàbà juga selalu menyatakan bahwa bermeditasi sambil mengulang-ulang Nama Tuhan merupakan disiplin yang penting bagi setiap orang. la memberi petunjuk yang terperinci serta bimbingan pada setiap orang yang ingin mempraktekkannya. Demikianlah di Prasanthi Nilayam banyak pengikut yang asyik dalam pemujaan semacam ini beberapa jam setiap harinya. Bila Sàì Bàbà berada di Prasanthi Nilayam sepanjang waktu la memberkati umat, memberi mereka kesempatan untuk mendapatkan Rahmat-Nya, bersembah sujud dan bercakap-cakap dengan-Nya. la makan hidangan sederhana yang dimakan rakyat paling sederhana di negeri ini, makanan yang dimasak dan dibawa dengan penuh khidmat oleh umat-Nya di Nilayam. la tidur di atas tempat tidur yang dibentangkan di lantai. la duduk di kursi yang diletakkan di mimbar di sebelah barat ruang doa di kala lagu-lagu cinta pada Tuhan dinyanyikan dan la memberi Darúan pada semua orang yang hadir di ruang doa. la mengizinkan mereka menyentuh Kaki-Nya bila la datang ke ruang doa. Pagi hari bergema dengan nyanyian yang penuh mengandung kekuatan, yaitu nyanyian dari kitabkitab kebijaksanaan India dahulu kala. Selama penyucian dan pemujaan dengan Seribu Nama Tuhan, nyanyian tersebut diulang-ulang di ruang doa. Úivalinggam (lambang Úiva) untuk pemujaan ini “diambil” keluar dari pasir-pasir sungai Citravatì pada bulan November 1958. Sore hari, selama hampir sepanjang tahun, Bhàgavata, Ràmàyaóa atau kitab-kitab keagamaan agung yang lain, diuraikan selama kira-kira dua jam oleh seorang yang ahli dalam hal itu. Setiap orang yang datang ke Nilayam mempunyai kesempatan istimewa untuk mendapat wawancara dengan Sàì Bàbà sebelum meninggalkan Puttaparthi. Ini diberikan secara pribadi bila mereka datang sendirian atau dalam rombongan bila mereka datang bersama keluarga. Mungkin tak ada penjelmaan Tuhan lainnya yang telah melimpahkan demikian banyak rahmat! Bàbà adalah Dokter spiritual, mendiagnosa penyakit orang-orang yang memo-honnya dan menguraikan noda-noda yang paling rahasia dalam tabiat atau tingkah laku seseorang dengan sangat ramah. la mengenakan balsam Rahmat-Nya yang menenangkan sebagai resep obat atau penyembuhan yang tepat. Ruang wawancara di Puttaparthi merupakan tempat terjadinya perubahan watak, revolusi kepercayaan, pengukuhan iman, penyembuhan berbagai penyakit, penenangan perangai, pemusnahan kebencian, penyelamatan jiwa-jiwa dan penyatuan kembali antara hati dengan hati. Setelah mendapatkan wawancara jarang ada orang yang pulang dengan mata yang kering. Pada setiap orang Sàì Bàbà memberikan harapan dan keberanian, kepuasan batin, iman, keyakinan dan hiburan karena la berkata, “Mengapa takut bila Aku berada di sini? Percayalah sepenuhnya pada-Ku. Aku akan membimbing dan menjagamu.” Mendengarkan lagu-lagu tentang cinta pada Tuhan yang dinyanyikan di ruang doa merupakan pengalaman yang sangat menggembirakan karena suasananya tenang dan khidmat. Pada saat-saat demikian biasanya Bàbà Sendiri hadir di ruang itu. Ada kalanya bila merasa cenderung untuk mela-kukannya, la duduk bersama para pengikut dan dengan cara-Nya yang mem-pesona diajarkan-Nya berbagai macam cara untuk menyanyikan Nama-Nama Tuhan. “Sang ayah mungkin seorang Ph.D. tetapi bila mengajarkan abjad pada anaknya, ia harus mengambil batu tulis dan menuliskan huruf-huruf A, B, C, D, tetapi hal ini tidak akan menyebabkan orang menduga bahwa ayahnya belajar abjad,” kata Bàbà. Nyanyian-nyanyian tersebut tidak semuanya berkenaan dengan
43
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
Úrì Sathya Sàì Bàbà atau penjelmaan-Nya yang dahulu, Sàì Bàbà dari Shirdi. melainkan meliputi lapangan kebenaran paling luas yang mencakup bermacam-macam penjelmaan Tuhan dari abad ke abad. Nyanyiannyanyian tersebut dinyanyikan dalam bahasa Telugu, Tamil, Kannada, Hindi dan Sanskerta. Juga terutama ditekankan pada arti yang terkandung di dalamnya dan “perasaan pasrah”. Lagu-lagu tersebut dinyanyikan bersama dan dengan irama yang tepat. Sàì Bàbà telah sering menjelaskan bahwa menyanyikan Nama Tuhan keras-keras bersama-sama merupakan suatu pe-layanan bagi orang lain. la membandingkan tepuk tangan yang nyaring dan berirama sewaktu bernyanyi, dengan tepuk tangan di bawah pohon untuk mengusir pergi burung-burung gagak yang hinggap memenuhi pohon tersebut! “Burung-burung gagak nafsu dan kebencian yang selalu gaduh di dalam hatimu dapat diusir ke luar dengan tepuk tangan nyaring yang mengiringi pengulangan Nama Tuhan dalam ekstasi,” kata Sàì Bàbà. Bàbà menasehati setiap orang agar menyibukkan diri dalam pengulangan Nama Tuhan. Setiap Nama yang menarik bagi seseorang, sama baiknya dan sama bermanfaatnya dalam pandangan Tuhan. Bàbà telah menciptakan sejumlah lagu untuk meneguhkan iman umat-Nya. Banyak di antara lagulagu tersebut dituliskan dalam bahasa Telugu, Kannada atau Tamil yang sederhana dan menyatakan tentang disiplin spiritual yang harus dilakukan oleh setiap orang agar tujuan hidupnya dapat direalisasikan. Misalnya saja, ada sebuah lagu yang meminta semua orang agar berjalan menempuh perjalanan hidup ini dengan Kebenaran, Keadilan, Damai dan Cinta sebagai teman dan pembimbing yang tak terpisahkan. “Ikhtiar dan usaha adalah kewajiban manusia, sukses dan kegagalan tergantung pada rahmat Tuhan. Lakukanlah tugasmu setiap hari dengan kesadaran bahwa Tuhan selalu hadir di sampingmu. Jangan menginginkan delapan kesaktian1) sebab engkau akan tersesat, dalam khayalan belaka. Dalam rimba belantara kehidupan ini cukuplah bila engkau berpegang erat-erat pada Nama-Nya. Hatimu adalah tanahmu, olahlah baik-baik; pikiran adalah bajak dan sifat-sifat kelembaman, kegiatan serta keseimbangan adalah lembu jantannya. Ambillah cambuk diskriminasi2) dan mulailah melukai hatimu! Keberanian adalah pupuk yang paling baik, benih yang kalian taburkan haruslah benih Cinta ketuhanan; kesalehan adalah hujan, perasaan adalah rumputnya dan panennya adalah peleburan kernbali ke dalam Tuhan!” Sidang doa di Prasanthi Nilayam adalah himpunan peminat kehidupan rohani yang suci, yang dimunikan dan dikuatkan oleh petunjuk serta inspirasi dari Bàbà baik secara langsung maupun melalui nyanyian-nyanyian tersebut. Dulu Sàì Bàbà biasa mengajak pengikut-Nya ke luar ke pasir sungai Citravatì, hampir tiap hari. Doa-doa dilangsungkan di sana di bawah kedipan ribuan bintang dengan bukit-bukit sebagai pendengar yang terhormat dan air sungai membisik bisikkan jawabannya. Kadang-kadang sekarang pun Ia berbuat demikian. Sambil duduk di pasir Sàì Bàbà mengajarkan berbagai lagu baru kepada umat-Nya, yaitu nyanyian yang diciptakan-Nya untuk mengangkat kehidupan spiritual serta meneguhkan iman mereka. la mendorong orang yang hadir agar menanyakan masalah kerohanian kepada-Nya dan la memberikan jawaban yang memuaskan. Waktu itu bulan November tahun 1949 ketika penulis tiba di Putta-parthi kira-kira pada jam 9.30 pagi dan mendapatkan suasana gembira sedang memenuhi pura (waktu itu Prasanthi Nilayam tengah dibangun). Setiap orang membicarakan bahwa Sàì Bàbà akan pergi ke tepi sungai sore itu. Ucapan selamat datang bertubi-tubi pada penulis karena tiba tepat pada waktu akan berkunjung ke tepi sungai bersama Bàbà. Kira-kira pukul 5.30 petang Bàbà keluar dari kamar-Nya dan berjalan dengan cepat.di bagian depan kerumunan pengunjung. Kehadiran-Nya menebarkan kegembiraan pada semua orang di sekitar-Nya dan la berolok-olok serta bersenda gurau sebagai kelakar atau untuk bertanya. Ia berjalan menyeberangi sungai yang telah surut menjadi aliran kecil dan menyusuri pasir mencari bagian yang kering serta bersih untuk tempat duduk para peserta. Setelah berjalan kira-kira seratus delapan puluh meter, la menetapkan suatu tempat dan semua duduk di sekitar-Nya; pria di satu sisi dan wanita di sisi lain sebagaimana kebiasaan di pura. Sàì Bàbà dengan sabarnya menanti hingga pengikut yang paling tua dan paling lemah mencapai tempat tersebut dan duduk dengan enak. Kemudian percakapan dimulai. Ketika menjawab pertanyaan pengikut-Nya apakah Karma (kegiatan) harus dilepaskan untuk mencapai Mokûa (kebebasan), Sàì Bàbà memberi penjelasan yang indah dan sederhana mengenai sublimasi dari segala Karma melalui sikap pengabdian pada Tuhan. Sikap ini akan menghilangkan hasrat seseorang untuk memperoleh ganjaran perbuatan-perbuatannya dan melepaskan belenggu keterikatan yang menimbulkan penderitaan serta kelahiran kembali. Pengabdian saja tanpa Karma
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
44
atau Cinta belaka tanpa tindakan yang menyatakan Cinta itu adalah seperti pondamen tanpa dinding! Karma tanpa pengabdian adalah seperti dinding tanpa pondamen! Dalam khotbah-Nya Bàbà berkata, “Aku adalah Pelayan setiap orang. Engkau dapat memanggil-Ku dengan setiap Nama, Aku akan menanggapinya karena segala nama adalah milik-Ku; atau lebih tepat, Aku sama sekali tak mempunyai Nama khusus. Bahkan bila engkau mengesampingkan-Ku, Aku akan tetap bersamamu. Dalam pandangan-Ku, sama sekali tak ada orang yang tak ber Tuhan; semua ada oleh dan untuk Tuhan, mengingkari adanya matahari tak membuat matahari itu lenyap”. Setelah percakapan ini, Bàbà mengajarkan beberapa lagu kemudian ada pertanyaan yang membelokkan pembicaraan selanjutnya pada hal lain. Kali ini la berbicara tentang Sàì Bàbà Dari Shirdi atau “badan yang lama”, la melukiskan roman muka Sàì Bàbà dari Shirdi dan menertawakan gambargambar yang sekarang beredar sebagai karikatur yang keliru. Sambil membicarakan hal ini, dikorek-Nya pasir dengan Jari-Jari-Nya dan segera di Tangan-Nya ada sebuah gambar indah yang diperlihatkan-Nya pada setiap orang yang hadir. Gambar itu adalah foto Sàì Bàbà dari Shirdi yang sesungguhnya! DiberikanNya foto itu pada seorang pengikut yang hadir di situ. Selanjutnya dengan wajar percakapan berlangsung terus mengenai Bàbà sebagai penjelmaan Dattàtreya atau “Persatuan Tritunggal”. Dengan Jari-Jemari-Nya Bàbà mengorek pasir lagi dan lihatlah, di Tangan-Nya ada sebuah arca Dattàtreya yang indah, terbuat dari logam. Dengan rasa gembira mereka semua bergeser maju dan duduk lebih dekat lagi di sekeliling Bàbà. Ia merasa bahwa mereka masing-masing harus menerima sesuatu dari-Nya dan pulang dengan gembira. Karena itu, “diambil”’-Nya dari pasir sekeping gula batu berbentuk seperti balok yang tebal dan datar. Dipatah-patahkan-Nya gula itu menjadi kepingan kecil-kecil dan dibagikan-Nya Sendiri pada setiap orang, pria, wanita serta anak-anak. (Karena Bàbà berkata, bila orang lain yang membagi kembang gula itu maka tidak akan cukup untuk setiap orang!) Kemudian la mengambil segenggam pasir dan menuangkannya ke piring. Ketika dituangkan, pasir itu berubah menjadi Vibhùti, Abu yang Menyucikan! Ini diberikan-Nya pada semua orang yang hadir. Sàì Bàbà sangat menyukai sidang doa serta percakapan yang dilangsungkan di udara terbuka semacam ini, sehingga la membawa bhakta-Nya ke tepi sungai atau pantai yang dekat di sekitar tempat la berada. Bàbà telah menyelenggarakan perkumpulan doa serta kelompok diskusi semacam ini di pesisir sungai Godàvarì, Kaivalya, Svaróamukhi, Vaigai dan berbagai sungai lain maupun di tepian Sungai Gaògà, Jhelum dan Yamunà. la juga duduk bersama pengikut-Nya di pantai Madras, Tranquebar, Masulipatam, Cape Comorin dan Kovalam serta membuat aneka keajaiban, mengubah pasir menjadi gambar, arca, Vibhùti atau apa pun juga yang dikehendaki-Nya ! Biasanya pada hari libur Sàì Bàbà membawa para pengikut-Nya ke pasir (di dasar sungai yang kering). Pada hari perayaan untuk menghormati ulang tahun Kåûóa atau mungkin sehari sebelumnya, seringkali la pergi ke pesisir dan kadang-kadang “mengambil” arca Kåûóa dari pasir yang kemudian diperlihatkan di ruang doa, tepat pada hari ulang tahun Kåûóa, Setelah itu arca tersebut diberikan pada pengikut-Nya untuk dipuja dalam tempat doa di rumahnya. Juga pada hari ulang tahun Ràma3 atau mungkin sehari sebelumnya, Bàbà “mengambil” arca Ràma dari pantai atau pesisir sungai, tergantung pada tempat di mana la berada saat itu. Ia “mengambil” arca-arca yang ukurannya lebih besar daripada biasanya di sungai Svaróamukhi, dekat Kalahasti. Arca-arca itu kemudian disimpan di Venkatagiri dan dipuja secara teratur di istana. Raja. Pada senja hari Bulan Surgawi Yang Kesebelas, selama bertahun-tahun secara teratur Ia telah “mengambil” Madu Spiritual ketika sedang berdoa atau bercakap-cakap di tepi sungai atau pantai dan kemudian dibagikan pada umat-Nya. Misalnya pada tanggal 21 Desember tahun 1958, ketika sedang berkunjung ke Kerala, la pergi ke pantai Kovalam, sebelas kilometer jauhnya dari kota Trivandrum. disertai sejumlah pengikut-Nya. Pada suatu tempat yang sunyi di tepi laut, kira-kira satu setengah kilometer jauhnya dari bagian yang biasa digunakan untuk berenang, Bàbà duduk dikelilingi pengikut-Nya dan menyanyikan beberapa lagu yang kemudian diikuti dengan acara doa. Pada waktu itu dari pasir Bàbà “mengambil” sebuah arca Kåûóa yang sedang meniup suling. Arca itu sangat indah memikat hati dan terbuat dari kayu cendana. Beberapa menit kemudian la “mengambil” sebuah cincin emas dengan gambar Kåûóa terukir di atasnya! Setiap orang berharap bahwa Bàbà akan membagikan amåtà atau “madu kekekalan” yang “diambil”-Nya entah dari mana. Ternyata mereka tidak dikecewakan. Ketika semua peserta sedang bernyanyi, bau madu yang harum
45
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
semerbak memenuhi udara malam yang tenang dan tak seorang pun tahu dari mana asalnya! Kedua Telapak Tangan Bàbà menjadi lengket seakan-akan penuh dengan sirup sekalipun la sedang mengetuk-ngetuk irama mengikuti nyanyian. Semua peserta kemudian tahu bahwa bau itu berasal dari kedua Telapak Tangan-Nya. la mengulurkan kedua Telapak Tangan-Nya bersama-sama dan mengarahkannya ke dalam sebuah bejana perak. “Madu” kental yang sangat lezat mengalir dari Tangan-Nya ke dalam bejana itu! Dibagi-bagikanNya Sendiri “madu” itu kepada semua orang yang hadir, termasuk beberapa nelayan yang kebetulan datang dan bergabung dalam kelompok tersebut. Rasa manis dan aroma madu itu aneh tiada taranya; sebelum itu tak seorang pun pernah mengecapnya. Pada hari Tahun Baru Telugu biasanya Sàì Bàbà membagi-bagikan campuran tradisional “pahit manis”. Pada hari Pongal, ternak sapi di Nilayam dihias dan dibawa dalam arak-arakan. Penduduk desa juga datang ke pura untuk melakukan puja bila musim untuk menggiling tebu tiba dan mesin pemeras mulai akan dijalankan. Umat merasa senang bila mereka dianugerahi kesempatan merayakan upacara inisiasi, perkawinan dan berbagai upacara lain menurut kitab suci, dalam kehadiran langsung Sàì Bàbà di Nilayam. Panggung di sebelah timur ruang doa biasanya digunakan untuk kesempatan-kesempatan keagamaan semacam itu. Pada hari Dìpàvalì, Hari Kemenangan Atas Kekuatan Jahat, Bàbà menyukai pertunjukan kembang api. Bàbà juga membagi benang petasan kecil serta korek api aneka warna kepada anak-anak para bhakta-Nya di Nilayam maupun pada anak-anak desa. Pada tanggal satu Januari la mengirimkan pesan tahun Baru yang berisi jaminan serta teguran bagi umat yang telah mendapatkan berkat. Pada hari ulang tahun-Nya, ia sering mengirimkan Berkat Ulang Tahun pada para bhakta. Ada tiga perayaan yang setiap tahun diselenggarakan di Putaparthi dan makin lama menarik makin banyak pengunjung dari wilayah yang makin lama makin luas pula. Perayaan tersebut mula-mula adalah Dasara, hari besar untuk merayakan kemenangan kebajikan atas kejahatan, yang kedua adalah Mahàúivaràtri, malam suci untuk memuji Úiva; dan ketiga adalah ulang tahun Sàì Bàbà yang dirayakan setiap tahun pada tanggal dua puluh tiga November. Dasara telah dirayakan sejak Bàbà mulai menyatakan penjelmaan-Nya. Dulu, doa dan puja dilakukan setiap hari dan Bàbà dihias dengan aneka perhiasan, cincin, kalung serta mahkota kemudian diusung di atas tandu dalam arak-arakan. Setiap hari la dihias berbeda-beda. Puncak perayaan tiba pada hari kesepuluh yaitu Vijayadaúami atau “Hari Kemenangan”. Selama beberapa tahun Bàbà menekankan arti keagamaan serta arti kerohanian dari pemujaan Tuhan sebagai Ibu Spiritual maka sifat pemujaan pun mendapat corak baru. Dalam pemujaan Ibu Spiritual sebagai Devi Kebijaksanaan, diadakan upacara puja dua kali sehari oleh pengikut wanita dan diadakan pula pertunjukan musik, puisi, drama serta kesenian lain. Gambaran tentang pesta tersebut dapat diperoleh dengan mengikuti daftar acara yang dicetak dan dikirimkan pada umat. Misalnya perayaan Dasara tahun 1958 dimulai dengan Upacara Pengibaran Bendera pada pagi hari pertama. Para pengikut berkumpul di sekitar Lingkaran Teratai dalam ketenangan yang penuh khidmat dan ketika genta berbunyi. Sàì Bàbà membuka lipstan bendera. Dalam berbagai kesempatan la menjelaskan arti yang mendalam yang terkandung dalam lambang teratai di depan Nilayam maupun yang terlukis pada bendera. Pemujaan Tuhan oleh semua pengikut wanita dimulai pada siang hari dan dilakukan dua kali sehari selama sepuluh hari berturut-turut. Hari kedua dikhususkan untuk kerja bakti yang dilakukan oleh para pengikut, yaitu memperbaiki jalan di dekat situ, dan membersihkan tempat yang disediakan untuk memberi makan orang miskin pada hari-hari berikutnya. Pada sore hari umat mendengarkan khotbah dari Sàì Bàbà dan pekerja-pekerja sosial yang berpengalaman mengenai sikap yang pantas dan perlunya melakukan Karma atau kegiatan yang diresapi serta dipupuk dengan pengabdian. Hari ketiga adalah Hari Anak-Anak dengan acara olah raga dan karnaval. drama serta deklamasi yang diikuti oleh anak-anak. Sàì Bàbà membuat anak-anak merasa gembira dan santai, memberanikan mereka agar terus bermain bila mereka lupa kata-kata yang harus diucapkan dan membuat mereka lebih percaya pada diri sendiri. Bàbà memberikan hadiah pada setiap anak yang ikut serta dan ini menjadi kebangaan keluarga mereka. Pada hari keempat diadakan Sidang Para Penyair dan dihadiri langsung oleh Sàì Bàbà. Para penyair dari tempat-tempat yang jauh dan dekat berdeklamasi serta memberikan berbagai khotbah dalam bahasa Telugu. Tamil, Sanskerta. Kannada dan Inggris. Dengan bangga mereka pun menerima hadiah-hadiah yang sangat mereka hargai, karena diberikan dengan ramah sekali oleh Pribadi yang juga seorang Kavi atau “Pengamat Spiritual”. Selama Dasara Bàbà
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
46
memberkati para bhakta dengan khotbah yang diberikan-Nya selama dua atau tiga hari. dengan demikian la rnemberikan eesuatu untuk bekal hidup kepada ribuan orang yang datang. Suatu modal untuk dibawa pulang dai ditanamkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sore hari keenam dan ke delapan sepenuhnya digunakan untuk menyanyikan lagu-lagu kebaktian Pada hari ketujuh. orang-orang miskin dan cacat diberi makanan serta pakaian. Beberapa orang bertanya pada Bàbà. mengapa peristiwa sebesar ini ketik; kira-kira empat atau lima ribu orang diberi pakaian atau sari, tak tampak beritanya di koran. Bàbà menjawab. “Aku heran mengapa harus demikian Bila kerabatmu datang kepadamu dan kau beri mereka makan. apakah engkau mengundang para wartawan dan menginginkan pemberitaan?” Sàì Bàbà kelihatan paling gembira pada hari itu dibandingkan dengan pada hari-hari lainnya; dapat dikatakan pula merupakan hari yang paling sibuk bagi-Nya. la memeriksa dapur dan makanan yang disiapkan serta memimpin sendiri pengaturan tempat untuk duduk. Sambil membungkuk di depan orangorang yang menadahkan daun, la membagikan manisan hampir pada setiap orang. la berjalan di sepanjang barisan orang-orang miskin dan memilih siapa yang akan diberi pakaian. Daftar nama diumumkan kemudian nama mereka diserukan. Mereka yang berkekurangan berjalan ke Bàbà dan menerima hadiah yang sangat diinginkan langsung dari Tangan-Nya. Semua ini adalah pemandangan yang menimbulkan inspirasi dan merupakan pengalaman yang mengharukan. la berbicara dengan ramah pada setiap orang. la memperlakukan orang yang buta, cacat. orang yang sangat tua dan yang jalannya terhuyung-huyung dengan perhatian khusus: diminta-Nya anak-anak muda untuk menolong serta menuntun mereka. la menasehati mereka agar awas dan berhati-hati bila gelap dan mengajukan pertanyaan ramah lainnya. la membuat saat itu berharga bagi setiap orang. Suatu kali, hujan lebat menghancurkan kegemilangan hiasan karangan bunga di depan Nilayam pada tiga atau empat hari pertama perayaan Dasara. Bàbà menghendaki agar pada Hari Untuk Memberi Makan Orang Miskin, semua hiasan diperbaharui. la bcrkata: “Mereka adalah tamu kita yang utama; pura harus tampak indah serta menyenangkan bila mereka datang.” Itulah sikap yang la ajarkan agar ditiru oleh umat-Nya. Hari-hari berikutnya dalam perayaan itu diabdikan khusus untuk pagelaran musik, vokal. instrumentalia atau orkes. Banyak ahli musik berlomba-lomba agar mendapat kesempatan tampil pada perayaan tersebut karena Bàbà Sendiri adalah Musisi Agung yang bernyanyi dengan gaya yang rnempesona dan memikat hati. Mereka ingin mendapatkan berkat-Nya. Pada hari Vijayadaúami, diadakan upacara pemandian arca Sàì Bàbà dari Shirdi, dan sebelum upacara biasanya Bàbà menciptakan Linggam serta meletakkannya di atas kepala arca. Linggam artinya “simbol”, yaitu lambang Tuhan sebagai Úiva. Úiva dalam bahasa Tamil berarti: “fa yang juga menjadi Ibu.” Menurut ceritanya, suatu kali la menolong seorang wanita yang sedang bersalin karena ibu wanita itu yang tergesa-gesa datang untuk menolong. tak dapat mencapai tempat tinggal puterinya sebab terhalang oleh banjir Sungai Cauvery. Ka rena itu Úiva mengambil wujud ibu tersebut, tiba di tempat tinggal wanita itu tepat pada waktunya dan merawatnya bagaikan seorang bidan! Selama ini Sàì Bàbà telah berkali-kali menjadi Ibu. Telah sering la mengambil rasa bakit ketika melahirkan dan mengalihkannya pada Diri-Nya Sendiri. Juga sering la “pergi ke luar” dari Badan-Nya untuk bertindak sebagai bidan dalam persalinan. Banyak wanita di berbagai tempat yang sangat jauh dapat merasakan Kehadiran-Nya dan la menyebutkan hal itu di Puttaparthi, menjelaskan bahwa la telah membetulkan letak bayi sebelum persalinan sehingga peristiwa tersebut dapat berlangsung tanpa kesulitan. Di rumah sakit ada seorang wanita yang bayinya meninggal pada hari keenam karena tali pusatnya tidak dipotong dengan tepat. Lukanya membusuk dan kehidupan ibu itu berada dalam bahaya karena tembuninya yang membusuk belum dan tak dapat dikeluarkan. Orang-orang hanya dapat menduga terjadinya kemungkinan yang paling buruk. Menyadari hal ini. Bàbà di Puttaparthi “keluar” dari Badan-Nya dan pergi selama sejam. Di rumah sakit tersebut yang jauhnya 302 km, tembuninya keluar dan suhu badan si sakit menurun. Ibu itu mulai pulih keadaannya dan wajah orang-orang yang menunggu di samping tempat tidur mulai tampak gembira. Ketika kembali lagi ke Badan-Nya, Bàbà berkata bahwa la telah pergi ke rumah sakit dan telah memberikan Penampakan Tangan-Nya pada si sakit. Tiga hari kemudian tibalah sepucuk surat dari wanita tersebut yang menceritakan tentang Penampakan dan penyembuhan itu.
47
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
Tahun 1950, pada hari pemujaan Devi Lakûmì yaitu Devi Rejeki, Bàbà menerima puja dan persembahan dari wanita-wanita yang telah memenuhi janji tertentu. Mereka yang memperoleh kesempatan yang unik ini berkata bahwa la sungguh-sungguh kelihatan berpakaian sari serta baju dan gemerlapan dengan gelang, kalung hiasan hidung serta anting-anting! Tak heran bila Dasara (Perayaan Sepuluh Malam), waktu Devi dipuja sebagai Devi Durgà, Lakûmì, Sarasvatì, Annapùróà, Tripurasundari, Lalità dan wujud-wujud lain, telah menarik ribuan orang ke Puttaparthi tempat “Ibu” Sàì yang sangat dermawan dan murah hati. Úivaràtri atau “Malam Úiva” juga merupakan perayaan yang sama pentingnya. Umat berjaga semalam suntuk sambil berdoa dan menyanyikan lagu-lagu cinta kepada Tuhan dalam Kehadiran Bàbà yang mengingatkan mereka pada Úiva Sendiri. Abu yang berlimpah-Iimpah keluar dari tangan, dahi, kaki serta wajah Bàbà dan dengan murah hati la mernberkati manusia beserta segala jenis kekhilafan mereka dengan Abu Suci-Nya. Sejak tahun 1950 Úivaràtri di-rayakan di Puttaparthi dan sejak pernyataan pen]elmaan-Nya, setiap tahun Úivalinggam tercipta dalam Badan-Nya. Bàbà berkata bahwa seringkali sulit bagi-Nya untuk menunda atau mencegah terbentuknya Linggam di dalam Diri-Nya. Pada sore hari ketika doa berlangsung, Bàbà memberi Darúan dan setelah kira-kira satu jam, la memulai khotbah-Nya. Sangat sering la terserang oleh semacam kejangan di dalam lambung-Nya. la meneruskan khotbah-Nya hingga daerah kekejangan beralih ke bagian dada sebelah atas dan leher. Tampaknya la mengalami suatu ketegangan fisik dan tiba-tiba dalam kegembiraan serta ketakjuban semua orang, keluarlah Linggam-Linggam dariMulut-Nya. Biasanya Linggam-Linggam itu kemudian diletakkan pada arca Sàì Bàbà dari Shirdi dan setelah perayaan selesai, oleh Bàbà diberikan pada umat untuk dipuja sesuai dengan petunjuk-Nya. Linggam semacam itu telah dipuja oleh banyak orang selama ber tahun-tahun. Linggam yang timbul setiap hari Úivaràtri, berbeda jumlah, ukuran dan susunannya. Kadang-kadang hanya satu yang terbentuk dan bahannya seperti sphatika, emas atau perak. Seringkali jumlahnya banyak, tiga, lima, tujuh atau sembilan! Ling-gam itu tingginya kira-kira 3,8 cm. Semuanya lengkap dengan alasnya dan ditandai dengan tiga garis mendatar yang melambangkan Vibhùti atau Abu Suci. Timbuhya Linggam ini benar-benar merupakan pernyataan Kehendak Tuhan yang unik serta misterius. Bila melukiskan perwujudan Kehendak-Nya, kita tak boleh lupa menyampaikan hormat bakti pada Penjelma Kehendak tersebut yaitu Bàbà Sendiri. la adalah “Penganugerah Ketenangan” di mana pun dan kapan pun la dipuja. diingat atau dipanggil dengan penuh khidmat. Pada suatu pertemuan yang dihadiri Bàbà di Balairung Gokhale di Madras, ada seorang pengikut yang minta pada hadirin agar pergi ke Puttaparthi dan mengikuti nyanyian kebaktian yang indah di Prasanthi Nilayam, tetapi Bàbà segera memperbaikinya dan berkata : “Tidak, tidak. Kalian dapat berada di mana saja. Aku akan datang kepada kalian. Jangan mengeluarkan biaya yang mungkin tak dapat kalian tanggung. Bila engkau memanggil-Ku, Aku akan berada di sampingmu.” Seorang penyair Kannada abad pertengahan telah menyanyikan bahwa jarak antara Tuhan dengan kita adalah jarak yang dapat dicapai oleh seruan kita. Percayalah kepada-Nya dan panggillah Dia, la akan menjawab, “Aku ada di sini.” Orang dapat memanggil Dia dengan Nama-Nya yang mana saja. Pada bulan Oktober tahun 1957 diresmikanlah pembukaan sebuah rumah sakit di bukit di belakang Nilayam. Terdiri dari enam tempat tidur untuk pasien wanita, enam tempat tidur untuk pasien pria; peralatan lengkap untuk operasi dan persalinan serta ruangan lengkap dan peralatan sinar X. Pemandangan dari situ sangat indah, dikelilingi dengan perbukitan yang melingkari tepian Sungai Citravatì. Bàbà memilih tempat itu walau pun ahli bangunan kurang setuju karena seperti dikatakan-Nya: “Orang-orang sakit akan diilhami oleh keindahan karya Tuhan yang terhampar di hadapan mereka.” la mendapat mesin perata tanah, memotong dan meratakan tiga teras pada bagian bukit yang berbatu dan merencanakan rumah sakit pada teras paling atas. Pada upacara peletakan batu pertama, la berkata bahwa setiap orang, kaya atau miskin, terpelajar atau tidak terpelajar, saleh atau tak saleh, dapat terkena penyakit. Karena bermil-mil di sekitar tempat ini tak ada rumah sakit yang baik dan lebih penting lagi, sebagai contoh pelayanan yang dilakukan oleh Tuhan Sendiri agar diteladani oleh manusia dan karenanya mendapatkan Rahmat Tuhan, maka Bàbà berkata bahwa la merencanakan Rumah Sakit di Puttaparthi. la juga berkata bahwa orang-orang yang datang ke rumah sakit untuk mengobatkan penyakit jasmani mereka, dengan sendirinya akan berpaling ke Prasanthi Nilayam untuk perawatan serta pengobatan penyakit rohani mereka.
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
48
Bàbà memimpin pembangunan, mendapatkan seluruh perlengkapan yang diperlukan dan mengawasi umat-Nya yang berdiri dalam deretan yang panjang di sepanjang lereng bukit dan mengulurkan dari tangan ke tangan; logam, batu bata. air, lumpur, adukan serta segala sesuatu yang diperlukan untuk bangunan yang kini tampak menyolok. Pada perayaan tahunan yang pertama, pengurus rumah sakit yang bertugas berbicara mengenai berbagai penyembuhan ajaib yang terjadi melalui berkat Bàbà. Bàbà berkata bahwa hal itu disebabkan oleh semangat cinta dan pelayanan yang memenuhi setiap batu dan bata bangunan tersebut. Bila mengunjungi rumah sakit, Sàì Bàbà membujuk pasien-pasien agar-makan obat dan menjalani suntikan atau operasi. Kata-kata-Nya yang manis dan pengaruh pandangan-Nya yang menyembuhkan membuat keadaan si sakit cepat pulih. Bàbà sering mempunyai bermacam-macam cara untuk mengajar dokter yang bertugas. la Sendiri adalah Dokter dan Ahli Bedah Agung. la memberi berbagai nasehat praktis untuk memelihara ketenangan pikiran dan kesehatan badan, dengan cara mengulang-ulang Nama Tuhan Yang Suci serta dengan meditasi yang membuat seluruh kepribadian seimbang. Laporan tentang aneka kejadian yang diterbitkan dalam majalah Nilayam tak ternilai pentingnya bagi para dokter, karena laporan itu memperlihatkan bagaimana kasus penyakit-penyakit yang gawat dan sudah tak ada harapan lagi ternyata dapat disembuhkan oleh pengaruh Rahmat ketuhanan yang menyehatkan yang memenuhi rumah sakit ini. Sementara umat-Nya yang bersemangat dengan senang hati menyerahkan kesejahteraan badan mereka pada Kehendak-Nya; ada beberapa yang memakai Abu Suci yang diberikanNya sebagai obat, atau menjalankan perawatan medis yang di sarankan-Nya. Sesuai dengan perkataan Bàbà bahwa la tidak memberikan resep yang sama untuk semua orang; seperti halnya dokter mungkin mem berikan empat jenis pengobatan yang masing-masing lain bagi empat orang pasien yang menderita sakit perut, maka Bàbà juga menyarankan pengobatan yang berbeda untuk orang yang berlainan pula. Ia adalah Dokter Agung. Di bagian sebelah kanan dan kiri Nilayam, di luar kebun dan di belakang bangunan, ada sejumlah tempat tinggal bagi umat. Bila penghuninya pergi, tempat itu dapat digunakan oleh pengunjung lainnya yang datang ke Puttaparthi. Bàbà memimpin serta membimbing setiap bagian pekerjaan di Nilayam, dan bhakta menanti perintah-perintah-Nya dengan penuh minat. Bila bepergian dengan mobil dan mencari tempat untuk makan pagi atau siang, Ia memilih tempat yang sangat indah, di antara lereng-lereng bukit Nilgiris atau Kodaikanal yang penuh dengan pohon minyak kayu putih, lorong-lorong pohon cemara di Kashmir, padang kering Bellary, permadani hijau di Seringapatnam, perkebunan kelapa di pantai Kerala, jalan raya Tinnevelly yang penuh pohon palem, kanal di tebing dekat Samalkot atau lapangan bekas luapan gunung berapi di Raichur. la menarik perhatian orangorang di sekitar-Nya pada keindahan matahari terbenam atau terbit, pemandangan angkasa yang berawan memikat hati atau lingkaran di sekeliling bulan. Kata-kata “Andame Anandam”, yang artinya, “keindahan adalah kebahagiaan”. sering diucapkan-Nya. Bàbà juga sangat mencintai lembu. Kandang sapi di Prasanthi Nilayam merupakan contoh bagi petani desa sekitarnya. la melewatkan waktu-Nya bcrjam-jam dengan ternak sapi, memberi makan dan merawat mereka. Pada hari Pongal, Ia menghias lembu-lembu tersebut dan mempunyai beraneka macam hiasan yang berkilau-kilau untuk kesempatan ini. la pernah mempunyai kuda maupun rusa jantan, menjangan, burung merak dan kelinci. Mereka adalah binatang-binatang yang mendapat anugerah. menerima sen-tuhan serta kelembutan-Nya yang penuh kasih sayang. Bàbà juga mempunyai sejumlah anjing sebagai binatang kesayangan-Nya. Cerita mengenai anjinganjing ini merupakan kisah yang menarik tentang perhatian dan belas kasihan Tuhan. Jack dan Jill, dua anjing Pomeranian dari Ootacamund, merupakan anjing peliharaan yang pertama. Bàbà berkata bahwa mereka biasa berpuasa setiap Kamis, seolah-olah ada suatu keharusan yang suci! Mereka tak akan pernah dapat dibujuk untuk makan daging! Jack biasa tidur di dekat tempat tidur Bàbà. di bagian kepala dan Jill di bagian kaki. Setelah tiga tahun berada dalam Kehadiran-Nya, Jack menghembuskan napasnya yang terakhir sambil berbaring di pangkuan Bàbà. Kematiannya sangat terhormat. Malam sebelumnya Jack mengikuti sebuah mobil yang harus diparkir jauh dari Nilayam. la berbaring dengan tenang di bawah mobil tanpa setahu pemiliknya, karena Jack biasa membantu menjaga mobil-mobil. Suara gonggongannya yang nyaring mencegah berandal kampung agar tak berani mendekat. Menjelang fajar ketika mobil dijalankan, Jack
49
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
tergilas dan hampir mati. Kata Bàbà. ia mengumpulkan segenap tenaga untuk menyeret dirinya sepanjang tepian sungai kembali ke Nilayam. Dengan segenap kekuatannya yang terakhir, ditariknya badannya ke atas pangkuan Bàbà. Sambil melekatkan pandangannya ke wajah Bàbà dan ekornya berkibas-kibas lemah karena sukacita. Jack mengakhiri riwayat hidupnya di dunia yang singkat tetapi bahagia. Jill tak dapat hidup sendirian, ia mengikuti Jack beberapa minggu kemudian. Keduanya dikuburkan dalam suatu lubang segi empat dan di atasnya didirikan sebuah bangunan untuk menanam tanaman suci tulsi. Chitty dan Bitty, Lilly dan Billy adalah anjing-anjing Pomeranian berikutnya. Kemudian ada anjing jenis Cocker Spaniel yaitu Minnie dan Mickie maupun Honey dan Goldie. Bàbà memelihara mereka selama beberapa tahun kemudian memberikannya kepada pengikut-Nya. Hingga sekarang pun la sering menanyakan keadaan mereka. Bàbà pernah pula mempunyai anjing jenis Alsatian yaitu Rover dan Rita yang kemudian diikuti pula oleh Tommy dan Henry. Binatang-binatang ini telah merasakan banyak sekali kelembutan serta kasih sayang Bàbà. Kita yang menganggap dunia binatang sebagai berbeda harus menarik pelajaran sambil memperhatikan kasih sayang-Nya bagi mereka; tak pernah menyakiti binatang baik untuk dimakan maupun untuk kesenangan, dan selalu memandang segala ciptaan sebagai termasuk dalam satu keluarga. Sàì Bàbà berbicara perihal nasib dan menyatakan bahwa bila sejumlah binatang atau manusia mendapatkan Rahmat-Nya maka itu dikarenakan nasib. Ia selalu menambahkan bahwa Rahmat-Nya bisa didapatkan dengan menjalankan praktek-praktek kerohanian atau hidup secara disiplin; menguasai diri sendiri dan melayani semua tanpa pamrih karena setiap manusia melambangkan Nàràyaòa, “Tuhan dalam manusia”. Seperti halnya seorang penguji menilai jawaban soal ujian para pelajar, maka Tuhan pun menilai prestasi kita. Bila jawabannya memperlihatkan bahwa pelajar yang bersangkutan belajar dengan sungguhsungguh, mempunyai minat yang aktif pada bidangnya serta memahami metode ilmu tersebut. maka sang penguji akan menghargai hasil pekerjaannya walaupun kurang baik. Banyak pengikut mengalami bahwa mereka tak dapat pergi ke Putta-parthi walaupun telah berusaha sekuat tenaga. Tetapi yang lebih sering adalah begitu si pengikut merencanakan untuk berkunjung maka segala sesuatu menjadi lancar. Keberangkatan, uang dan teman seperjalanan, semuanya berjalan lancar dan segala hambatan hilang. Bàbà berkata bahwa tanpa kehendak-Nya tak seorang pun dapat memulai perjalanannya ke Puttaparthi atau mencapai tempat di mana la berada. Kemahatahuan dan Kemahaadaan-Nya terlihat oleh setiap orang yang menjumpai-Nya di Ruang Wawancara. la memberi tahu pengikut yang berkunjung tentang apa yang telah dikatakan, dilakukan atau dirasakannya, kepada siapa ia berbicara dan tentang apa, apa yang ditakuti dan direncanakan, apa yang dideritanya atau apa yang hilang. Bila Anda ingin meminta nasehat-Nya tentang sepuluh hal, la akan menjawab semuanya bahkan lebih, sekalipun Anda belum menanyakannya! Mungkin la akan menceritakan tentang apa yang sesungguhnya Anda alami dalam mimpi Anda. mengulang lagi kata-kata yang Anda dengar telah diucapkan-Nya dalam mimpi. la akan membeberkan riwayat hidup Anda lengkap hingga ke hal ikhwalnya yang terkecil, dan di mana ada kesedihan serta kelemahan, diganti-Nya dengan sukacita serta kekuatan. “Belas kasihan-Nya tak kunjung habis.” kata Tuan H.S. Rao. “Kata-kata Bàbà tidak hanya menenangkan tetapi juga membuka suatu tingkat kesadaran baru dan menampilkan kekuatan serta kebaikan yang tersembunyi dalam tabiat seseorang. Rahmat-Nya memungkinkan si pencari mengenal dirinya sendiri dan menyadari kewajiban, tanggung jawab serta kekurangan-kekurangannya sendiri secara lebih tajam. Semua ini dilakukan-Nya secara sangat wajar, sambil menepuk punggung Anda dengan penuh kasih sayang, mata-Nya berseri-seri dengan cahaya sukacita dan la berbicara dengan kata-kata yang dapat Anda pahami. Ada suatu kekuatan dalam kata-kata-Nya, suatu keyakinan yang dalam yang menyebabkan Anda terdiam. karena Kemahatahuan dan penglihatan-Nya yang ajaib mengenai berbagai persoalan serta kebutuhan pribadi Anda.” Demikianlah ajaran-ajaran yang diberikan di Prasanthi Nilayam. membangun kembali umat manusia dan Kehadiran Sàì Bàbà mendorong kita untuk maju menuju pada Cinta serta Kebebasan.
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
50
VIII DARI CAPE HINGGA KE KILANMARG Sidang Kesembilan Perhimpunan “Divine Life” Seluruh India yang diselenggarakan di Venkatagiri pada tahun 1957, merupakan kejadian yang amat penting dalam sejarah perjuangan Bhagavàn, yang memimpin dengan penuh pertimbangan dan menyerukan dengan nyaring panggilan untuk pembaharuan hidup rohani. Svàmì Satchidananda, Sekretaris Cabang “Divine Life Society” mengakui, ketika mendapat berita bahwa Bàbà akan menjumpainya di Thiruvannamalai, ia tertegun karena ketika bertanya-tanya di sana, ia diberi tahu bahwa Bàbà hanya berpengalaman dalam ilmu sihir, dan bahwa Ia adalah penkhotbah yang sangat buruk. “Segera saya ketahui bahwa orang yang memberi tahu saya sangatlah kurang pengetahuannya,” kata Svàmì Satchidananda. Pada hari pembukaan sidang, kota tersebut penuh melimpah dengan anggota-anggota delegasi, pengunjung dan bhakta termasuk pula para pertapa yang datang dari berbagai tempat yang jauh seperti Rishikesh, Rajah-mundry, Kalahasti dan Madras. Sebuah tandu yang dihias sangat indah dengan rangkaian bunga diletakkan di gerbang utama Istana Venkatagiri. Tandu itu disiapkan untuk Bàbà bila la pergi menuju ke gedung sandiwara yaitu tempat acara pembukaan dilangsungkan. Ketika tiba dan melihat lambang kebesaran ini, dengan sangat sopan la menolak kehormatan tersebut sekalipun Raja memohonnya, karena kata-Nya, “Ada demikian banyak pertapa di sini. Aku lebih suka berjalan bersama mereka.” Sesungguhnya ada sekumpulan pertapa yang termasyhur termasuk Sadànanda, Satchidananda. Àtmansvarupananda dan Srinivasananda. Svàmì Satchidananda mengibarkan bendera “Divine Life Society” dan Svàmì Sadànanda, penulis buku “Sanmarga Dìpam”, “Mahà Úakri” serta buku-buku lain, termasuk pula sebuah ulasan tentang Pàtañjali yaitu “Yoga Darúana”, meresmikan pembukaan sidang. Beberapa orang yang tersesat telah lebih dulu menyebarkan edaran yang menuduh Bàbà sebagai condong kepada orangorang kaya dan kaum ningrat. Bahkan hanya sedikit yang menyadari bahwa ketika hal tersebut sedang dilakukan, Bàbà menolak prosesi megah (yang disiapkan bagi-Nya) dan berjalan justru di sepanjang jalan tempat mereka menyebarkan dusta yang rendah itu. Bahkan Svàmì Sadànanda menunjukkan edaran ini dan menjelaskan betapa hal itu tak masuk akal. la memberi selamat anggota-anggota delegasi serta para organisator atas nasib baik mereka karena mendapatkan Bàbà sebagai pembimbing mereka dalam menempuh kehidupan spiritual. Dalam pokok amanat-Nya Bàbà berkata bahwa kehidupan spiritual adalah wahyu, hak lahir. kekuatan yang menggerakkan, awal dan akhir segala sesuatu dalam ciptaan Tuhan dari mikrokosmos hingga ke makrokosmos. Kehidupan spiritual adalah hujan yang jatuh berderai dari awan-awan kebenaran. kasih sayang dan tanpa kekerasan. Ini meliputi segala perbuatan yang dilakukan dalam mengejar realitas. Bàbà berkata bahwa keinginan untuk mencapai Realitas atau ketuhanan di balik sifat khayal materi, telah bersatu padu dan ada di dalam batin setiap orang sebagaimana mentega terkandung dalam; susu. Sebagaimana halnya orang rnengocok serta menyaring susu untuk memisahkan menteganya maka manusia pun harus niengocok serta menyaring jiwanya dengan perbuatan-perbuatan dan memilih teman-teman yang baik jiwa manusia terombang-ambing di antara sukma yang kekal dan dunia yang fana, karena itu perkumpulan semacam “Divine Life Society” mempunyai kewajiban untuk mengisi jiwa anggotanya dengan kesucian dan menolong menghapuskan kotoran hawa nafsu serta keinginan. Setiap orang adalah calon yang pantas untuk perubahan ini. dan rasa kebahagiaan tersebut sama bagi semua orang. Perkumpulan ini. kata Bàbà, harus berusaha dengan rendah hati dan penuh kasih sayang untuk meningkatkan proses perubahan tersebut bagi sebanyak mungkin orang. Perkumpulan ini harus berusaha pula untuk menghapuskan penyebab terdalam dari segala kecemasan. kesedihan dan kebodohan. Pagi berikutnya ketika pertemuan tersebut dilangsungkan di gedung pcrtunjukan, Bàbà berkata bahwa agama Hindu dapat bertahan nienghadapi rangkaian serangan yang hebat. pergolakan kebudayaan serta serbuan berbagai bangsa asing, hanya karena usaha para pemimpin rohaniya yang tetap menjaga harta tak ternilai ini serta memantapkan lagi prinsip-prinsip kebenaran abadi yang kreatif dalam hati rakyat. la berkata bahwa la selalu ingin menyalakan pelita kasih sayang dalam hati setiap orang, dan la menasihatkan agar setiap orang memelihara suasana hormat serta cinta. Berbicara mengenai tiga sifat manusia, Bàbà menggambarkan coraknya dengan contoh yang sederhana. Sambil menunjuk sebuah lampu minyak tanah 51
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
la berkata bahwa semprong kacanya adalah Satva Guna, sifat tenang; jelaga di dalamnya adalah Tamo Guna, sifat malas; dan debu di luarnya adalah Rajo Guna, sifat penuh nafsu. Hari berikutnya pada suatu pertemuan khusus para rahib, Bàbà meminta agar mereka berusaha sungguh-sungguh taat pada guru-guru mereka. dan agar pengabdian mereka pada kehidupan ketuhanan yang dimunculkan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak sekali orang yang ingin hadir dan ketika mereka kemudian diizinkan masuk, pertemuan itu berubah menjadi pertemuan umum. Bàbà berbicara lebih dari satu jam, menasihati semua orang agar hidup secara saleh dan pasrah pada Tuhan. “Engkau ingin menjadi apa di tangan Tuhan?” Tanya-Nya. la menyarankan Sendiri jawabnya, “Suling.” la ingin agar setiap orang menjadi lurus tanpa suatu kebengkokan. tanpa kesombongan, tanpa ego, kemauan atau paham tentang diri sendiri, agar hanya menghirup napas Tuhan dan mengubahnya menjadi musik yang merdu. Svàmì Sadànanda berbicara mengenai “Persatuan dengan Tuhan.” la mengakui bahwa pada hakikatnya ia bersatu dengan Bàbà dan mengucapkan apa yang Bàbà kehendaki. Kemudian bangkitlah seorang cendekiawan Hindu yang termasyhur di seluruh Andhra Pradesh karena berbagai buku mengenai Veda yang ditulisnya. la berbicara mengenai persoalan yang paling mendalam dalam filsafat India, “Siapakah aku?” Para Kritikus, berkata bahwa Advaitic yaitu ajaran “non dualistic” membuat orang seolaholah berasal dari dunia lain dan kering. tetapi sarjana ini cukup puitis untuk menghargai penggambaran Bàbà mengenai suling di bibir Kåûóa. Dengan gembira ia bercerita mengenai hal-hal yang dicita-citakan Bàbà dan mengutip beberapa ayat Sanskerta mengenai Kåûóa serta nasib baik unik yang dimiliki “suling” itu. Ia memulai khotbah-Nya dengan suatu pernyataan pribadi. “Saya datang ke Venkatagiri karena saya telah mendengar segala macam cerita tentang kebesaran-Nya, dan saya menghadiri Sidang ini terutama untuk bertemu dengan Úrì Sathya Sàì Bàbà. Saya ingin mendapat kesempatan untuk menguji semua itu. Singkatnya, saya datang untuk menantang! Dan saya kembali “diper-Tuhan’. disadarkan oleh-Nya tentang adanya Tuhan dalam diri saya. Atas kekhilafan saya, saya minta maaf pada Bàbà.” Ini hanyalah contoh lain tentang kabut kesalahpahaman yang lenyap dalam kehangatan Kehadiran Sàì Bàbà. Bàbà bergerak dengan bebas di antara orang-orang suci dan para cendekiawan tersebut, memberi wawancara yang lama pada mereka masing- masing sebelum meninggalkan Venkatagiri. Svàmì Satchidananda berkata, “Begitu saya masuk ke dalam, Bàbà memeluk saya dan berkata bahwa la gembira melihat saya. Kemudian la berbicara mengenai suatu penampakan mistik ajaib yang beruntung sekali telah saya alami tiga puluh tujuh tahun yang lalu. Bàbà mengucapkan selamat pada saya atas keteguhan saya mengejar cita-cita sehingga mencapai puncaknya dalam penampakan itu. Tetapi la memarahi saya karena telah memboroskan waktu dan tenaga dalam usaha mengumpulkan dana, menemui banyak orang dan mendiskusikan berbagai rencana serta yayasan. Ketika saya berusaha membela diri dan membenarkan kegiatan saya sekarang ini dengan alasan bahwa akhirnya akan bermanfaat bagi kesejahteraan dunia, la tertawa dan bertanya, “Apakah engkau belum pernah mendengar bahwa pikiran dan gelombang baik yang sarat dimuati kebijaksanaan, dapat memancar dari suatu jiwa mulia, mengatasi segala hambatan dan membentuk serta mengubah arus pikiran orang-orang lain?” la menasehati saya agar mengundurkan diri dalam kesunyian dan melanjutkan lagi penyelidikan spiritual saya. la meyakinkan saya bahwa la akan memberi pertolongan serta makanan di manapun juga tempat yang saya pilih untuk tinggal! Selama ini, pandangan semacam itu belum pernah dibeberkan di depan saya dengan kata-kata yang demikian jelas dan asli. Saya sangat tersentuh oleh Kasih Sayang serta Belas Kasih-Nya. Saya tercengang karena la mengetahui pengalaman rahasia saya yang bersifat sangat pribadi. yang terjadi beberapa tahun sebelum la lahir, dan saya bertanya kepada-Nya mengenai hal ini. la menjawab saya dengan pertanyaan. “Apakah Aku dilahirkan? Apakah Aku mati?” Sungguh merupakan suatu pengalaman yang unik bagi setiap orang, wawancara, diagnosa tentang keragu-raguan mereka yang terdalam, resep obat-obat yang tepat, jaminan akan Rahmat yang tiada berkeputusan, penimbangan prestasi dalam neraca kemajuan dan pewahyuan tentang Kemahatahuan serta Kemahaadaan-Nya. Ketika Beliau kembali ke Puttaparthi, la disertai oleh Svàmì Sadànanda dan Svàmì Satchidananda. Keduanya ingin melewatkan lebih banyak waktu dalam Kehadiran Spiritual. Pada suatu senja Bàbà mengajak Svàmì Sadànanda bersama rombongan pengikut-Nya ke suatu sumber air di bukit di belakang Nilayam. Sambil duduk di samping mata air, Bàbà berbicara tentang adanya Chaitanya atau “Kesadaran Yang Agung”, di dalam manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan batu-batuan. Svàmì Sadànanda mengutip suatu bagian dari Upaniûad untuk memperlihatkan bahwa pandangan semacam
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
52
itu juga terdapat dalam kitab-kitab India kuno. Tiba-tiba dengan nada yang penuh wibawa Bàbà berkata, “Engkau menyebutnya kuno. Aku tahu semuanya. Aku tak terbatas oleh ruang dan waktu”. Pembicaraan kemudian beralih ke Saivisme, tentang konsep Tuhan sebagai Úiva dan tentang lambang Úiva yang dikenal sebagai Linggam serta artinya. Svàmì Sadànanda telah menulis suatu tesis yaitu “Asal mula dan Sejarah Awal Saivisme di India Selatan”, ketika ia menempuh pendidikannya di Universitas Madras. Waktu itu adalah Hari Tahun Baru Tamil dan Bàbà member! setiap orang sebuah “Poli”, yaitu manisan yang selalu dibuat oleh setiap ibu rumah tangga Tamil pada hari tersebut. la membuat manisan itu hanya dengan Lambaian Tangan-Nya. Setelah beberapa hari, Bàbà pergi ke bukit-bukit Kodaikanal untuk tinggal sebentar di sana, dan Svàmì Sadànanda serta Svàmì Satchidananda juga ikut dalam rombongan tersebut. Selama tinggal enam minggu di Kodaikanal, kedua pertapa tersebut mendapat banyak kesempatan untuk menerima Berkat Tuhan secara berlimpah. Sekilas mereka dapat menangkap ketuhanan Bàbà yang unik. Svàmì Satchidananda berbicara mengenai hal ini pada suatu pertemuan di Puttaparthi ketika taman meditasi “Tapovan” diresmikan pembukaannya pada tanggal 29 Juni 1957. la berkata bahwa apa pun pandangan orang lain tentang Bàbà, dari pengalaman pribadinya ia yakin bahwa Bàbà adalah “Maha Kesadaran” (Kesadaran super) itu sendiri, Maha Tahu, Motivasi yang unik, Yang Berdiam Dalam Hati semua makhluk. Kemudian dijelaskannya bagaimana ia menjadi yakin tentang hal itu. Pada suatu siang di Kodaikanal ia sedang berada di kamar Bàbà. Bàbà sedang bersandar di tempat tidur-Nya. Tiba-tiba la berdiri dan berteriak dalam bahasa Telugu, “Jangan menembak,” kemudian jatuh di tempat tidur dalam keadaan yang biasa dikatakan sebagai “trance”, tetapi sebetulnya lebih tepat bila disebut “bepergian di luar badan”. Badan-Nya menjadi kaku dan tetap demikian selama kira-kira satu jam. Ketika kembali lagi ke dalam Badan-Nya, Ia memandang orang-orang di sekitar-Nya dan minta agar segera dikirim sebuah telegram ke sebuah alamat di Bhopal. la mendiktekan alamat dan pesan-Nya yang berbunyi sebagai berikut, “Jangan khawatir, pistolnya saya bawa. Bàbà.” Svàmì Satchidananda menyatakan kebimbangannya apakah pimpinan kantor pos mau menerima dan menyampaikan pesan tersebut, karena menyebut tentang pistol yang diatur dalam undang-undang senjata api. Orang lain menyetujuinya, kemudian ada suatu pembicaraan antara yang setuju dan yang tak setuju. Bàbà menghendaki agar telegramnya segera dikirim, maka dirunding-kanlah penggunaan kata lain yang tak melanggar aturan tersebut. Satchidananda menyarankan agar kata pistol diganti dengan “alat”, dan Bàbà menyetujuinya karena dengan kata itu pun si penerima dapat memahami arti yang dimaksudkan. Surat kawat itu tiba dengan cepat di tempat tujuannya, ribuan kilometer jauhnya. Setiap orang ingin sekali mengetahui tentang kejadian tragis yang tercegah itu. Meskipun demikian Bàbà tak mengacuhkan segala usana yang dilakukan untuk mendapatkan keterangan dari-Nya. Pada hari keempat, tibalah sepucuk surat yang menyatakan bahwa Bàbà telah menyelamatkan seorang yang sedang berada dalam kesusahan. Penulis surat tersebut telah berdinas dalam Perang Dunia Kedua dan berkedudukan tinggi dalam urusan pemerintahan. la sangat terpukul oleh ketetapan pemerintah yang dikeluarkan sehubungan dengan reorganisasi negara bagian, karena seseorang yang jauh lebih singkat masa dinasnya telah dinaikkan pangkatnya melebihi dia. Tak ada seorang pun di dekatnya yang dapat menenangkan sena menghiburnya atau mendengarkan kisah malangnya. Isterinya sedang berada di desa orang tuanya. Pikirannya menjadi kusut karena perubahan tak menguntungkan yang dialaminya dalam jalan hidupnya ini, sehingga ia memutuskan untuk mengakhiri penghinaan tersebut dengan pistol. Ada satu yang tersedia. Mula-mula ia mencoba menembak sekali, sekedar untuk melihat apakah tangannya masih bisa mantap untuk tembakan selanjutnya yang mematikan. Tetapi sebelum ia dapat menembak lagi, Bàbà. telah berteriak, “ Jangan menembak!” Ada suara gedoran yang keras di pintu! Bàbà telah datang! Bukan sebagai Bàbà tetapi sebagai teman lama semasa ia masih belajar di College, disertai dengan isterinya dan seorang kuli yang membawa sebuah koper besar dan sebuah “tas jinjingan”, semuanya untuk membuat adegan ini sungguh-sungguh meyakinkan dalam setiap bagiannya yang terkecil. Pejabat itu berlari ke kamar tidur, meletakkan pistolnya di tempat tidur, melemparkan sehelai seperai di atasnya, kemudian tergesa-gesa kembali lagi ke serambi depan untuk membukakan pintu! Di situ ada tiga wujud Bàbà yang siap untuk memainkan peran mereka. Bekas teman sekamar semasa masih di College ini sangat jenaka dan demonstratif. Dengan penciptaan yang dilakukan pada saat itu juga, Bàbà telah menjadi seorang teman yang mempunyai segala sifat yang dapat
53
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
menghilangkan kesedihan, dan dapat memberi pejabat itu obat untuk menyembuhkan keputusasaannya. la bereaksi terhadap pengobatan ini dan dengan cepat menjadi normal kembali. la bahkan tersenyum serta tertawa mendengar gurauan teman lama ini, dan sementara percakapan berlangsung, pikiran-pikirannya tentang bunuh diri pun lenyap. Sang nyonya juga ikut serta dalam percakapan itu tetapi ketika pasangan tersebut mengetahui bahwa nyonya rumah sedang pergi, mereka memperlihatkan sikap sangat kecewa, dan berkata bahwa lebih baik mereka bermalam di rumah teman lain. Walau orang yang telah diselamatkan ini meminta-minta agar mereka tetap tinggal, sang teman pergi empat puluh lima menit setelah ia mewujudkan diri disertai dengan isterinya, kuli, kopor besar serta “tas jinjingan” dan dengan demikian menutup tirai suatu permainan drama yang luar biasa. Setelah melihat mereka berangkat, pejabat yang bersangkutan bergegas pergi ke ruang tidurnya. la menjadi bingung ketika mendapati bahwa pistolnya tak ada lagi di sana atau di mana pun dalam rumah itu! Siapakah yang telah mengambilnya? la pernah pergi ke Puttaparthi sekali bersama isterinya, seorang bakta yang penuh semangat. Mungkinkah. ........ Bàbà yang mengambilnya? Ah! Pastilah Dia! la mengunci rumahnya dan tergesa-gesa berlari ke alamat yang diberikan oleh teman lama semasa masih di College tersebut, yaitu alamat yang katanya akan mereka tuju. Kebimbangannya menjadi kepastian, tak ada seorang pun di alamat itu. Ketiga pengunjung itu telah “lenyap seperti angin”, dengan segala koper dan tas jinjingan mereka. Ketika tiba di rumah, pejabat tersebut merenungkan peristiwa luar biasa yang telah terjadi hari itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh ketukan lain di pintu! Kali ini adalah petugas telegram yang membawa pesan dari Kodaikanal, “Jangan khawatir, alatnya saya bawa, Bàbà.” Svàmì Satchidananda berkata bahwa kejadian ini jauh lebih aneh dari-pada “Parakayapravesam” yang disanjung-sanjung dalam berbagai naskah Puranik India kuno, yaitu seseorang masuk ke dalam badan sejumlah orang. Sedangkan dalam peristiwa ini terjadi penciptaan tiga badan tepat pada saat hal tersebut dikehendaki, dan membuat badan-badan itu memainkan peran mereka masing-masing. Perwujudan dari orang-orang yang masih hidup, tepat hingga ke seluk beluknya yang terkecil dalam suara, logat, gaya berjalan, gerak tangan, dialek serta segala tabiatnya yang khas dan diceritakannya berbagai peristiwa serta kelakar yang bertalian dengan kejadian-kejadian puluhan tahun yang lampau pada waktu mereka berdua masih menempuh pelajaran di College yang sama! “Hal ini,” kata Satchidananda, “hanya mungkin bagi Penjelmaan Tuhan.” Tak heran bahwa ia dan Svàmì Sadànanda menulis surat pada Guru mereka, Svàmì Úivànanda Sarasvatì dari Rishikesh, tentang Bàbà dan tanda-tanda ketuhanan-Nya. Dari Kodaikanal kedua Svàmì ini juga menyertai Bàbà ke Cape Comorin. Mereka menangkap sekilas pesan Bàbà yang universal, ketika melihat la menciptakan tasbih dengan salib suci dan patung Yesus Kristus untuk memberkati seorang Kristen. Ketika Sàì Bàbà berjalan di sepanjang pasir pantai Kanyakumari maka pada setiap langkah, manik-manik kristal terbentuk dengan sendirinya. Manik-manik itu dikumpulkan oleh para pengikut dan disimpan dalam sebuah kotak kayu cendana, semuanya berjumlah delapan puluh empat butir. Bàbà berkata bahwa semuanya harus ada seratus delapan dan ketika mereka kemudian menghitungnya lagi, benar-benar ada seratus delapan! Dari manik-manik yang terbentuk secara ajaib ini, dibuatlah sebuah tasbih dan Bàbà memberikannya pada Svàmì Sadànanda. Setelah mengunjungi Bendungan Periyar dan Cagar Alam di sana, Bàbà melanjutkan perjalanan-Nya ke Madurai dan Mayuram, kemudian kembali ke Puttaparthi melalui Salem yaitu tempat Svàmì Satchidànanda tinggal selama beberapa tahun. Sementara itu Bàbà sudah harus membalas surat undangan dari Svàmì Úivànanda Sarasvatì, Presiden Divine Life Society di Rishikesh. Surat undangan itu segera pula diulang beberapa kali disertai dengan telegram yang dikirim berturut-turut secara cepat. Akhirnya Bàbà bersedia pergi ke India Utara. Bàbà tak gemar bertamasya melihat-lihat tempat lain atau mengagumi pemandangan alam. la juga tak mempunyai keinginan untuk mengunjungi tempat-tempat ziarah karena la adalah tujuan akhir dari segala peziarahan itu sendiri! Ketika suatu kali ada seseorang ibu yang mengeluh kepada Bàbà, karena anaknya tidak mau menemaninya pergi ke Puttaparthi tetapi bahkan pergi ke Tirupathi, yaitu sebuah tempat suci di atas bukit yang sangat ter-kenal di India, maka Bàbà berkata: “Itu pun berarti datang kepada-Ku ka rena aku tak berbeda dari Yang Tunggal yang ada di atas bukit itu.” Hanya dengan berkehendak, Bàbà dapat berada di sudut dunia yang paling jauh sekalipun karena la berada di luar batasan ruang dan waktu. Bàbà
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
54
berkata, “Aku tak tergerak oleh keinginan untuk mengalami perubahan, bepergian atau berekreasi. Bila ada keinginan untuk mendapatkan ketenangan batin, Aku segera menganugerahkannya; bila ada kesedihan hati, Aku segera meng-gembirakannya; bila tak ada saling percaya mempercayai, Aku memulihkannya; Aku selalu siap memenuhi tujuan kedatangan-Ku.” Svàmì Satchidànanda pergi ke Rishikesh lebih dahulu sebelum Bàbà berangkat, karena kesalahpahaman tentang Bàbà harus diperbaiki dan saudara-saudara sepertapaannya harus pula diberi tahu tentang ketuhanan Bàbà Bàbà berangkat dengan mobil dari Puttaparthi pada tanggal 14 Juli 1957. la berhenti di Medkurthi, seratus delapan kilometer jauhnya, untuk memasang arca Sàì Bàbà dari Shirdi di Àúram Ayodhyà. Serombongan besar penduduk desa telah menanti di Sana sejak siang dan Bàbà berkhotbah pada mereka. la berkata bahwa setiap pekerjaan seperti inisalnya membangun pertapaan, harus dilakukan dalam semangat pengabdian, tanpa rasa sombong dan tanpa keinginan lain selain daripada keinginan agar pekerjaan itu dilakukan dengan baik. Bàbà mencela pelajaran yang melalaikan badan sebagai alat untuk menyadari persatuan kita dengan Tuhan. “Badan kita adalah rumah Tuhan, badan kita juga merupakan perahu yang harus digunakan untuk menyeberangi lautan kelahiran dan kematian, dengan kedua dayungnya yaitu diskriminasi dan ketidakterikatan, karena itu harus diusahakan agar selalu berada dalam keadaan baik.” Berpaling pada para wanita yang telah berkumpul, la berbicara tentang perlunya meningkatkan kesalehan, keberanian, rasa tahu harga diri dan kebiasaan untuk selalu jujur pada anak-anak. “Untuk mencari kebahagiaan tak perlu pergi ke manapun,”kata-Nya. “Kebahagiaan itu telah ada di dalam dirimu sebagai bunga api. la hanya perlu dikipasi agar menjadi nyala api yang besar” Bàbà menyatakan bahwa walaupun ia dapat mengubah bumi menjadi langit dan langit menjadi bumi, orang-orang yang datang kepadanya hanya mendapatkan apa yang mereka minta dan mereka pilih. la berkata bahwa orang dapat memiliki diskriminasi dan ketidak terikatan bila ia tanpa belas kasihan menguji setiap pikirannya pada batu uji kebaikan dan kebenaran. “Bakta yang sejati harus menguasai nafsunya; penolong atau pengabdi yang sejati harus me-ngembangkan kekuatan jiwa.” kata-Nya. Rombongan ini mencapai Madras pada tanggal 15 Juli. Empat hari kemudian Bàbà dan kelompok pengikut yang telah dipilih-Nya untuk mengikuti perjalanan ini, terbang ke Delhi. Ia senang sekali ketika mengetahui bahwa nama-Nya ditulis di karcis pesawat terbang sebagai Mr. S.S. Bàbà! la tertawa gembira karena disebut “Mr”. Bàbà berjalan-jalan di dalam pesawat, membagi waktu-Nya di antara para penumpang schingga setiap orang dapat memperoleh Rahmat-Nya. Di atas deretan Gunung-gunung Vindhya, Ia bahkan menganugerahkan wawancara pada seorang penumpang yang memohon kesempatan tersebut karena mengetahui siapa Bàbà sesungguhnya. Pria itu sangat tercengang ketika Bàbà menasehatinya agar menikah dengan guru sekolah yang dicintainya karena pikirnya, tak seorang pun mengetahui bagian kehidupannya yang ini! Bàbà berjanji akan membuat orang tuanya menyetujui pernikahan itu dan tidak menentang lagi dengan semena-mena! Pesawat mendarat di Palam pada jam 4.30 sore hari. Sejam setelah tiba di rumah Sundarnagar yaitu rumah yang telah disiapkan untuk tempat tinggal-Nya, Bàbà mendapat “panggilan” dari seorang pengikut di Bangalore. la “meninggalkan” Badan-Nya dan pergi dengan segera, untuk melepaskan seseorang dari keadaan yang kelak dilukiskan-Nya sebagai serangan kelumpuhan! Bhajan atau “menyanyikan lagu-lagu cinta kepada Tuhan”, yang diselenggarakan dua kali sehari, menarik umat di Delhi maupun teman dan sanak keluarga mereka yang telah mendengar tentang kemuliaan Bàbà. Pada tanggal 22 Juli Bàbà meninggalkan New Delhi dan menuju ke Rishikesh dengan mobil. Rahibrahib murid Svàmì Úivànanda mengawal-Nya dari Hardwar, Ketika Bàbà tiba di Sivanandanagar pada jam 6.30 sore, Svàmì Úivànanda memanggil semua muridnya di Àúram agar berkumpul secara khusus dan menyambut Bàbà dengan gembira. Ketika Svàmì Úivànanda memberi salam pada Bàbà dengan kedua tangan dikatupkan sebagaimana kebiasaannya maka Bàbà membalas salam itu dengan sikap TanganNya yang berarti “Jangan takut”, suatu tanda yang telah memberikan ketenangan pada ribuan jiwa yang menderita kecemasan dan kesusahan. Sivanandanagar terletak di atas pangkuan gunung-gunung yang selalu menghijau, diusap dengan penuh kasih sayang oleh tangan kanan Ibu Gaógà yang baik hati. Kadang-kadang bila tirai kabut yang menutupnya hilang terhembus angin. maka tepian sungai di sebelah kiri tampak sangat indah dihiasi deretan pura dan bangunan rumah pertapaan, Gìtà Bhàvan dan Svargàúram. Lebih mengesankan lagi dari semua
55
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
ini adalah pegunungan penuh hutan yang tampak di mana-mana, kelihatan bagaikan para pertapa agung yang sedang diam tenggelam dalam ketafakuran mereka merenungkan Yang Maha Besar. Mereka telah memalingkan pandangan ke dalam batin dan penuh kebahagiaan tanpa menyadari sejarah. Gaògà, puteri bumi dan langit, termasyhur dalam pengetahuan mengenai adat-istiadat lama dan dalam legenda; selama ribuan tahun dicari oleh setiap keluarga Hindu, untuk menyucikan setiap upacara adat dan keagamaan untuk mengusir setiap kejahatan, untuk membersihkan setiap dosa, kekal dalam puisi, dilambangkan dalam seni, terpancang dalam bentuk-bentuk bangunan, di angan-angankan dalam seni pahat, diwujudkan dalam seni lukis, disanjung-sanjung dalam musik, dipuja sebagai pembawa kebahagiaan. Setiap malam jutaan ibu mengisahkan berbagai dongeng yang indah mengenai sungai Gaògà pada anak kecil dalam pangkuan mereka. Gaògà mengalir dengan agung, mengingatkan setiap orang pada amanat serta kebesaran India. Pada hari berikutnya orang-orang yang memperdalam pengetahuannya dalam pertapaan menyelenggarakan suatu pertemuan dan mohon agar Bàbà memberi amanat. la menyebutkan Gaògà, membandingkannya dengan orang-orang yang dengan tulus berusaha mencari Tuhan dan melaju dengan cepat ke laut. Bàbà berkata bahwa setiap sungai tahu bila ia berasal dari laut dan oieh pengetahuan itu ia terdorong untuk segera kembali ke laut, tanpa mengindahkan segala rintangan di darat. la memuji ketenangan Sivanandanagar, Àúram, Svàmì Úivànanda, dan berkata bahwa tempat itu bagus untuk mendapatkan ketenangan rohani. Berkenaan dengan sebutan “Bhagavàn” yang digunakan ketika memperkenalkan Bàbà pada hadirin, la berkata bahwa Bha berarti “penciptaan”, Ga berarti “perlindungan” dan Va berarti “perubahan”. “Bhagavàn” mampu dalam ketiga hal tersebut “Itulah rahasia-Ku,” demikian dimaklumkan-Nya. Berbicara mengenai benda-benda yang biasa diciptakan dan diberikan-Nya, la mengesampingkan segala penjelasan yang palsu, dan berkata bahwa Kehendak-Nya selalu terpenuhi dengan segera. Ia menciptakan berbagai benda untuk memberi kegembiraan pada bhakta-Nya, persis seperti seorang ayah yang memberikan manisan pada anak kecilnya, bukan untuk mengiklankan kemurahan hatinya atau kedudukannya sebagai orang tua. la memberi benda-benda itu untuk menghindarkan mereka dari kesusahan dan kekhawatiran, untuk menjamin ketenangan jiwa, untuk menolong mengem-bangkan konsentrasi kerohanian dan dalam banyak hal, untuk melangsung-kan hubungan-Nya dengan karier penerimanya. Benda-benda itu tidak di-maksudkan untuk memikat siapa pun, mereka bukannya hasil tapa ataupun upacara keagamaan, Benda-benda itu tercipta dengan cara yang sama sebagai-mana segala benda diciptakan, bedanya hanyalah benda-benda tersebut tercipta saat itu juga. Mereka bertahan sama lamanya seperti segala benda lainnya. “Pemberian-Ku yang terbaik adalah cinta, umat harus berjuang untuk memperolehnya; demikian pula diskriminasi dan ketidak terikatan yang hanya dapat diberikan oleh Guru,” kata Bàbà. Kemudian hanya dengan Lambaian Tangan, Ia menciptakan sebuah rangkaian seratus delapan manik-manik Rudràkûa yang sangat indah, yaitu sebuah tasbih yang terbuat dari biji pohon berry yang suci. Tasbih itu sangat halus buatannya, setiap manik-manik terbungkus dalam emas dan semuanya terjalin dalam emas pula dengan sebuah manik-manik besar bersegi lima di pusatnya. la mengalungkannya di leher Svàmì Úivànanda. la juga menciptakan sejumlah besar Abu Suci dan mengenakannya di dahi pertapa tersebut. Sore itu ketika Svàmì Úivànanda yang berkalungkan tasbih unik tersebut memasuki Ruang Saþsang, setiap orang merasa sangat kagum oleh cahayanya yang kemilau, keindahan dan keajaiban penciptaan-Nya. Svàmì Úivànanda berbicara tentang Bhagavàn dan amanat-Nya. la menerangkan tentang kekuatan Namasmarana yaitu mengingat selalu Nama Tuhan. Sebagai seorang dokter ia menghimbau agar setiap orang mengambil dosis harian ketenangan bersama dengan diet yang teratur, pengulangan Nama Tuhan. Sungai Gaògà disebut-sebut dalam khotbah yang diberikan Bàbà sore itu. ia mulai dengan perkataan bahwa Naram berarti air; sungai Gaògà yang mengalir dengan segala kebesarannya adalah Tuhan Nàràyaòa Sendiri, “Tuhan dalam manusia”. Sesungguhnya seluruh bukit dan lembah, angkasa, hutan, batu dan segala sesuatu dimana pun juga adalah penjelmaan dari Yang Satu. Tuhan berkehendak, “Aku Satu, biarlah aku menjadi banyak,” dan Ia menjadi dunia beserta segala makhluk di dalamnya. Matahari yang tunggal tercermin di dalam ribuan bak air. Iman itu sendiri membawa orang pada kebijaksanaan. Orang yang beriman tcguh dapat dengan cepat dan mudah menginsyafi bahwa Tuhan nadir serta terkandung dalam segala sesuatu dan bahwa la adalah Yang Satu dan Tunggal. Khotbah dan percakapan Bàbà demikian penuh dengan kebijaksanaan yang indah dan mendalam
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
56
sehingga keesokan harinya sejumlah pertapa tua serta pengikut yang baru, datang untuk menemui Bàbà dan memohon jawaban atas berbagai pertanyaan untuk menjernihkan kebimbingan mereka. Svàmì Úivànanda juga berdiskusi dengan Bàbà sejam lamanya setiap sore, dan diberi buah-buahan serta Abu Suci yang diciptakan oleh Bàbà khusus untuk memajukan kesehatannya. Hari demi hari keadaan Svàmì Úivànanda menjadi makin baik. pada suatu hari Bàbà mengambil air Sungai Gaògà dengan Tangan-Nya dan, lihatlah, air itu menjadi madu yang manis serta harum. la memberikan madu itu pada Svàmì Úivànanda untuk diminum sebagai obat. Banyak orang di Àúram merasa takjub dan gembira ketika pada hari keberangkatan Bàbà, mereka melihat Svàmì Úivànanda dengan penuh semangat mengajak Bàbà mengelilingi pertapaannya, karena ketika Bàbà tiba di Àúram beberapa waktu yang lalu dan beberapa hari setelah itu, Svàmì Úivànanda selalu didorong ke mana-mana dalam kursi roda! Tanggal 26 Juli tahun 1957 adalah hari yang penuh dengan kenangan indah bagi pengikut dan penghuni Àúram Úivànanda, karena dalam pagi yang tenang itu Bàbà menyusuri tepian Sungai Gaògà menuju ke istana Rani dari Garhwal. Pemandangan di sepanjang jalan sangatlah indah dan menimbulkan kesan yang mulia. Di sana sini di antara gunung dan bukit, orang dapat melihat beberapa pondok yang terpencil dalam kesunyian dengan bendera Gerua seorang pertapa, menandakan pertempuran dengan sifat-sifat rendah di dalam diri sendiri. Tiba-tiba jalannya berbelok dan bis dihentikan di depan sebuah rumah kecil artistik, yang terletak bagaikan permata di tengah sebuah kebun yang terpelihara dengan baik di tepi Sungai Gaògà. Bàbà melihat sebuah pohon jambu yang sarat dengan buah. la memetik dan membagi-bagikannya pada anggota rombongan kemudian duduk dibawah sebatang pohon di tebing sungai. Beberapa orang menanyakan kepada-Nya aneka masalah yang mencemaskan mereka, termasuk hal yang berkenaan dengan jenis kitab-kitab suci dan nilai kitab-kitab tersebut bagi dunia modern. la berkata bahwa kitab-kitab tersebut seperti papan penunjuk jalan yang menunjukkan jalan yang benar, jalan itu harus dilalui untuk mendapatkan kegembiraan yang akan dialami bila tujuan itu telah tercapai. Ada seorang yang bertanya tentang surga serta dunia dan Bàbà berkata bahwa keduanya ada di dunia ini. Para rahib bertanya mengenai pengertian seluruh alam semesta dan tentang lenyapnya khayal yang melekat pada seseorang saat itu. Dalam perjalanan pulang, Bàbà menghentikan bis di suatu tempat yang dipancangi sebuah tiang besi tipis dengan papan nama yang telah agak kabur, bertuliskan, “Gua Vasiûþha”. la menuruni lekukan curam yang menuju ke tebing sungai seolah-olah la telah sering berada di situ sebelumnya, dan seakanakan la telah membuat perjanjian lebih dahulu dengan penghuni gua tersebut. Sungai Gaògà membelok lebar di dekat gua itu, sehingga peman-dangan di situ sangatlah memikat hati. Gua itu mempunyai nama yang suci dan telah disucikan dengan olah tapa yang dilakukan di dalamnya oleh banyak pertapa besar serta rahib-rahib pada masa yang silam. Svàmì Puruûottamànanda, murid Svàmì Brahmànanda dari himpunan Ràmakåûóa, telah ditahbiskan dalam hidup kerahiban oleh Mahàpuruûaji. Mahàpuruûji adalah salah satu murid yang mendapat bimbingan langsung dari Úrì Ràmakåûóa sendiri dan juga guru penulis (N. Kasturi). Svàmì Puruûottamànanda, telah tinggal di dalam gua selama tiga puluh tahun. la menyambut Bàbà seolah-olah memang sedang menantikan kedatangan-Nya. Usianya telah tujuh puluh tahun lebih dan ia telah melewatkan sebagian besar masa hidupnya dalam laku tapa yang sangat keras serta mempelajari kitab-kitab suci. Wajahnya memancarkan cahaya kegembiraan rohani yang sejati, dan sedikit saja ucapan tentang kemuliaan Tuhan telah membawanya ke dalam keadaan Samàdhi, yaitu keadaan kebahagiaan batin yang sangat mendalam. Ketika Svàmì Puruûottamànanda masih seorang pemuda berusia dua puluh.tujuh tahun, Brahmanandaji telah membaca guratan tangannya di Kanyakumari, dan meramalkan bahwa ia akan pergi ke dalam gua untuk bermeditasi terus-menerus. Bàbà mengingatkan Svàmì tersebut tentang kesengsaraan yang telah ditanggungnya dengan tabah ketika pertama kali datang ke gua, perjuangan dengan beberapa macan tutul dan ular kobra, perjalanan ke Rishikesh selama tiga hari dan usaha yang sia-sia untuk mencari garam serta korek api! la berbicara tentang pertolongan yang telah datang kepadanya melalui campur tangan sipat ketuhanan-Nya ! Sore berikutnya Bàbà mengulang kunjungan-Nya walau guruh di langit terdengar menggelegar dan orang-orang yang menyertai-Nya bersungut-sungut, tetapi oleh Rahmat-Nya, kedua hal ini mereda. Di gua Bàbà menyanyikan sejumlah lagu dan ketika seorang di antara Svàmì-Svàmì tersebut melayani
57
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
Svàmì Puruûottamànanda, maka Svàmì Kalikànanda mohon agar Bàbà menyanyikan sebuah lagu kebaktian yang telah lama ingin di-dengarnya yaitu “Úrì Raghuvara Sagunalaya”. Bàbà menyanyikan lagu itu untuk menggembirakannya. Tak seorang pun pernah mendengar la menyanyikan lagu tersebut sebelumnya sehingga hal ini merupakan suatu kejadian yang mengherankan serta menggembirakan, dan untuk ini mereka berterima kasih pada Svàmì Kalikànanda. Mendengar bahwa Svàmì tersebut telah menderita tukak lambung yang kronis selama bertahun-tahun, Bàbà “mengambil” sejumlah kembang gula entah dari mana, kemudian diberikan kepadanya disertai beberapa petunjuk tentang diet. la juga memberi Svàmì Puruûottamànanda sebuah tasbih dengan manik-manik baiduri yang berkilau-kilauan, tasbih ini tercipta begitu saja di dalam Tangan-Nya. Lebih misterius dan lebih bermakna adalah Penampakan yang dianugerahkan Bàbà pada Svàmì Puruûottamànanda sore itu. Pada tahun 1918 Svàmì tersebut menulis surat kepada Gurunya, “Segala sesuatu keliru dan saya tak dapat beristirahat dengan puas bila belum berhadapan sendiri dengan Kebenaran!” Setelah menyuruh setiap orang ke luar dari gua, Bàbà dan pertapa itu pergi ke ruang dalam. Sri Subbaramiah, Presiden Divine Life Society di Venkatagiri melukiskan tentang apa yang dilihatnya di luar gua. “Hingga sekarang pun peristiwa itu tetap tertera dalam ingatan saya. Saya berdiri di dekat jalan masuk ke gua. Melalui celah-celah pintu saya dapat melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Bàbà meletakkan Kepala-Nya di atas pangkuan Svàmì Puruûottamànanda dan membaringkan diri-Nya. Tiba-tiba seluruh Badan-Nya tampak bermandikan cahaya yang sangat cemerlang. Tampak oleh saya bahwa Kepala dan Wajah-Nya menjadi sangat besar dan Cahaya kemuliaan memancar dari Wajah-Nya. Saya merasa bagaikan di-penuhi dengan kegembiraan aneh yang tak dapat: saya jelaskan. Kejadian itu kira-kira berlangsung pada jam sepuluh malam.” Kemudian hari ketika diminta untuk mengungkapkan Penampakan tersebut, Bàbà memberi tahu kami bahwa itu adalah Penampakan Kemuliaan Tuhan yang dilukiskan sebagai Anantaúayana. Waktu kembali dari gua, Bàbà “meninggalkan” Badan-Nya sebentar. Ketika kemudian ditanya, la menceritakan ke mana la telah pergi. la telah pergi untuk menyelamatkan seorang Yogi besar yang hampir terbenam. Hal ini membangkitkan rasa ingin tahu setiap orang dan mereka berkumpul lebih dekat di sekitarNya untuk mendengarkan hal ikhwal selanjutnya. la mengesampingkan pertanyaan-pertanyaan mereka dan berkata bahwa Subrahmanyam akan dapat menceritakan siapakah orang tersebut! Kelak Subrahmanyam, salah seorang anggota rombongan, ditanya oleh Bàbà tentang apa yang telah dilihatnya ketika sedang di gua sore itu. la memohon maaf karena tidak segera memberi tahu Bàbà tentang hal tersebut. Waktu itu Subrahmanyam melihat sebuah mayat terapung-apung di Sungai Gaògà tetapi karena merupakan suatu alamat yang buruk, ia menahan diri dan tidak menyebutkan tentang hal itu dalam suasana gua yang suci. Bàbà tertawa dan berkata bahwa itu sama sekali bukan mayat, walaupun Yogi yang hanyut ke hilir terbawa arus tersebut dalam segala penampilan luarnya tampak bagaikan mati, bahkan ia tak menyadari keadaannya yang menyedihkan itu. la hanyut tersapu arus sungai yang deras. Rupa-rupanya ia sedang duduk di atas batu ditepi sungai, tenggelam dalam keheningan Samàdhi. Sementara itu banjir yang deras mengikis lumpur di bawah batu sehingga batu tersebut terbalik dan ia terlempar ke dalam arus. “Baginya semua itu mulamula terasa bagaikan mimpi,” kata Bàbà. Kemudian, ketika didapatinya bahwa dirinya hanyut terbawa arus Sungai Gaògà, ia mulai berdoa kepada Tuhan. Bàbà mendengar seruannya, pelan-pelan la membawa “mayat” yang terapung ini ke tepi, beberapa mil di atas Sivanandanagar ke dekat sebuah rumah agar ia bisa merasa aman dan memperoleh kehangatan.
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
58
“ Úrì Sathya Sàì Bàbà Masa Kanak-Kanak”
59
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
“ SÀÌ BÀBÀ sedang menerima surat-surat para pengikutnya yang mengharapkan pertolongan- Nya” Raja Reddy yang waktu itu juga hadir di Rishikesh, menulis, “Kami mendengar Sàì Bàbà menceritakan peristiwa itu. Selama berada dalam keadaan ‘trance’, Telapak Tangan-Nya yang satu terletak di atas yang lain seolah-olah sedang menutupi sesuatu. Ternyata Bàbà menutup kedua Telapak Tangan-Nya untuk melindungi jantung Sanyasin tersebut. Sadhu itu selamat setelah hanyut sejauh empat puluh delapan kilometer! Meskipun demikian, salah satu atau lebih dari ketiga syarat berikut ini harus dipenuhi dahulu sebelum permintan tolong seseorang dapat menarik perhatian Bàbà. la harus mempunyai suatu benda yang diciptakan oleh Bàbà baginya untuk perlindungan, atau ia harus berseru memanggil Tuhan dengan seluruh hati dan jiwanya bilamana bahaya mengancam. Bila orang yang tertimpa kemalangan itu ternyata tak memenuhi kedua syarat tersebut, maka setidak-tidaknya ia haruslah seorang yang jujur dan tulus. Tidaklah menjadi soal walaupun ia bukan pengikut Bàbà. Untuk memanggil Bàbà tak perlu seseorang menyebutkan suatu nama khusus. Ràma, Kåûóa, Yesus, Allah, Sàì, yang mana pun jadilah. Segala Nama dan Rùpa adalah Milik-Nya dan hanya Milik-Nya. Ia selalu siap sedia menjawab seruan orang yang berada dalam dukacita dan mencegah bencana. Yogi tersebut bukanlah pengikut Bàbà dan juga belum pernah melihat-Nya, tetapi hidupnya telah diselamatkan. Bagi banyak orang, peristiwa tentang Yogi yang tak dikenal ini merupakan bukti nyata Kasih Sayang Bàbà yang universal dan sekaligus juga memperlihatkan Sipat-Nya yang Maha ada. Selama Bàbà berada di Rishikesh maka rumah kecil yang dihuni-Nya menjadi tempat yang sangat sibuk. Penghuni Àúram dan pelajar Akademi berkumpul di situ serta mohon agar la menjelaskan berbagai persoalan tentang berbagai tahap dalam disiplin kerohanian. Juga ada rangkaian peziarah yang tak kunjung henti, yang mendapati bahwa Rishikesh telah mendapatkan pusat kesucian yang lain. Seorang suci yang juga sarjana yaitu Úrì Sad-darúanàcàrya Svàmì, yang namanya berarti “Guru Enam Aliran Filsafat”, telah dua kali berkunjung dengan para pengikut dan siswanya. Svàmì Sadànanda dan Satchidananda dikerumuni oleh orang-orang yang bertanya-tanya dengan penuh rasa ingin tahu, ingin mendapatkan lebih banyak keterangan tentang Bàbà, tentang kehidupan-Nya, kemuliaan-Nya dan tentang Prasanthi Nilayam-Nya di Puttaparthi. Svàmì Sadànanda memberi tahu seseorang Brahmacàri muda bahwa Bàbà dapat pergi dengan kehendak hati-Nya menjelajah alam jiwa, alam jiwa yang lebih tinggi (supersoul) dan alam jiwa yang
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
60
sangat tinggi tingkatannya (oversoul, juga Bàbà dapat mengungkapkan apa saja yang terjadi, di mana saja dan kapan saja. la juga berkata bahwa Bàbà sangat penuh kekuasaan, ia telah melihat Bàbà mengubah sebutir beras menjadi sebutir gading dan kemudian mengubah butir gading itu menjadi seratus delapan patung gajah kecil yang masing-masing diukir dengan halus dan indah serta dapat dilihat jelas melalui kaca pembesar ! Bàbà meninggalkan Svàmì Úivànanda pada tanggal 28 Juli 1957 dan pergi ke New Delhi. Pada tanggal 30 la melanjutkan perjalanan-Nya dengan mobil menuju ke Mathura-Brindavan, tempat berlangsungnya berbagai kejadian dalam riwayat hidup ketuhanan-Nya yang telah lalu (ketika la turun ke dunia sebagai Kåûóa). Rombongan yang menyertai-Nya menanti dengan gembira dan penuh hasrat untuk melihat Bàbà dalam latar belakang tersebut dan untuk berada bersama-Nya dalam suasana yang sarat dengan keharuman Mahà Bhagavàtha, syair kepahlawanan Penjelmaan itu. Para peserta meninggalkan New Delhi berkendaraan sebuah bis yang menempuh jalan keliling melalui Aligarh, tetapi bis itu rusak dekat sebuah desa kecil kirakira tiga puluh dua kilometer sebelum mencapai Aligarh! Terpaksa diganti bis lain. Akhirnya mereka tiba di Mathura kira-kira jam 3.30 sore! Anggota rombongan sangat lelah, lapar dan tertekan. Bàbà menyambut serta menghibur mereka dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang, lebih manis dan ramah dari ibu yang mana pun, sehingga banyak orang dalam rombongan itu merasa bahwa kerusakan bis yang mereka alami telah mendapat imbangan yang menyenangkan! Bàbà menggembirakan mereka dengan kata-kata hiburan-Nya yang manis dan khas: “Kemarilah lebih dekat ke kipas”. “Renggangkan sedikit badanmu”, “Jangan berdiri bila Aku datang”, “Ini! Aku telah menyiapkan minuman dingin khusus buatmu”, “Ambillah ini, kalian sangat lelah”, kata-Nya sambil melayani mereka. Dalam sekejap mata tenaga mereka pulih lagi seperti semula. Bàbà membawa mereka semua ke tepi sungai Yamunà, seakan-akan la sudah sangat mengenal wilayah itu dan menunjukkan beberapa tempat yang suci. Siapa yang dapat menduga kenangan yang saat itu timbul dalam kesadaran Bàbà ketika la memperlihatkan tempat di mana naga Kaliya di-taklukkan, tempat para Gopi (gadis pemerah susu) dimarahi, kereta dihancurkan dan pohon kembar ditumbangkan. Setiap riak kecil di sungai Yamunà tampaknya menari-nari mengikuti alunan Suara-Nya, setiap sapi yang terlihat tampak sedang mencari kehangatan sentuhan Tangan - Nya yang bersipat ketuhanan Ketika kembali ke Mathura, sambil lalu Bàbà berjalan ke dalam kuil Radhà-Shyam, tempat Kåûóa dan para Gopi dipuja. Waktu itu di depan pura sedang diadakan persiapan untuk Pertunjukan Rasaleela, yaitu suatu pagelaran yang memainkan “Tarian Kåûóa di antara para Gopi”. Dalam tarian itu Kåûóa tampak menjadi banyak sekali (mendampingi setiap Gopi). Ketika Bàbà masuk dan berdiri di depan tempat suci, tiba-tiba lampu mati, setiap orang merasa heran mengapa demikian ! Bàbà berkata, “Jangan kuatir, kita akan membawa arca Kåûóa ini ke Delhi, dan kalian dapat melakukan puja kepada-Nya di sana!” la melambaikan Tangan-Nya melewati pintu tempat suci, yaitu tempat di mana orang dapat melihat arca pualam Kåûóa yang indah dalam cahaya yang remang-remang - dan lihatlah, di dalam Telapak Tangan-Nya terciptalah sebuah arca yang tepat sama dengan yang terpancang di dalam tempat suci itu! Pada hari kedua bulan Agustus 1957, Bàbà melanjutkan perjalanan dengan pesawat udara ke Srinagar dan mencapai Lembah Kashmir pada tengah hari. Dari udara orang dapat melihat jaringan saluran air yang rumit yang mengairi dataran Punjab, kuil Emas Amritsar dan jalan masuk menuju Banihal Pass serta lembah Kashmir. Ketika perbatasan telah diseberangi maka keindahan lembah yang mempesona, yang telah membangkitkan ketamakan para raja dari tempat-tempat sejauh Macedonia dan Mongolia, terbentang dengan sendirinya di hadapan mata. Air yang menggelegak berbuih-buih, deretan pohon pinus yang memanjang, padang rumput hijau yang menyedapkan mata, tanda-tanda yang memperlihatkan adanya kerja keras dalam ketenangan, semuanya memenuhi jiwa dengan kegembiraan. Walaupun Kepala Pertapaan Úaòkaràcàrya mendesak agar Bàbà berkenan singgah dan bermalam di sana, Beliau lebih suka tinggal dalam sebuah rumah perahu yang bernama Istana Alexandra. Rombongan-Nya menempati dua perahu lain di dekat-Nya yang bernama “Pangeran Kashmir” dan “Mawar Raja”. Bàbà mendorong setiap orang agar menghargai keindahan alam. la mengarahkan perhatian pengikutNya pada keelokan bunga-bungaan, pemandangan matahari terbit atau terbenam yang sangat indah beraneka warna. Kegarangan megah langit yang mendung, kedip-kedip malu bintang di angkasa tengah malam, kawanan burung jenjang putih yang terbang dengan cepat bagaikan rangkaian melati di udara, dan
61
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
sebagainya. Pada senja hari la meng-ajak rombongan-Nya ke Shalimar dan Taman Nishat Bagh, tetapi sebagaimana dikatakan-Nya ketika kembali ke rumah perahu, pegunungan Himalaya yang diselimuti salju di kejauhan adalah taman yang jauh lebih menawan hati. Dirancang Tuhan untuk menarik pemandangan mata manusia dari lembah dan ngarai tempat mereka berkubang. Pada tanggal 3 Agustus 1957 Bàbà berangkat ke Gulmarg dan Kilanmarg, untuk memperlihatkan salju pegunungan Himalaya pada anggota rombongan-Nya yang terdiri dari pedagang, pengusaha, ahli hukum, profesor, penulis, penyair, ahli musik, pejabat pemerintah dan ahli pertanian. Beberapa kuda dipesan di Tanmarg, dan selama pendakian yang curam dan lama, mulai dari empat kilometer hingga kirakira sembilan belas kilometer di atas permukaan laut, Bàbà membuat rombongan tetap bersemangat dengan olok-olok, gurauan, pemberian hadiah atau Abu Suci. la mengendarai kuda-Nya, Raja, kuda yang paling tinggi dan mengesankan di antara kuda lainnya, dengan mudah dan tangkas. Sekalipun tak pemah la turun untuk beristirahat. Jalan yang berkelok-kelok di atas perbukitan itu penuh dengan kerikil, pecahan batu dan tonjolan akar pohon pinus, tetapi kuda-kuda itu dengan lincahnya memilih jalan hingga mereka mencapai batas salju. Bàbà bermain di salju dengan kaki telanjang. Dibuat-Nya bola-bola salju kemudian dilemparkanNya ke arah rombongan. la menertawakan wajah ketakutan orang-orang yang jatuh ke dalam rekahan tebing salju ketika sedang mencoba kereta peluncur tak beroda,dan memarahi mereka yang mengeluh karena angin yang dingin. Ketika kembali ke rumah perahu kira-kira pukul 10.30 malam itu, setiap orang lelah dan mengeluh merasa sakit serta bengkak-bengkak, tetapi Bàbà tetap segar seperti bunga mawar. Istana Alexandra dengan cepatnya menjadi seperti Prasanthi Nilayam. Banyak orang dan Srinagar datang untuk menyampaikan hormat bakti kepada Bàbà dan menerima berkat-Nya. Ada seorang wanita tua yang berkata bahwa malam sebelumnya ia bermimpi mendapat petunjuk dari sejumlah utusan agar pergi tepat ke kapal itu. Bàbà menerima undangan dari beberapa keluarga di Srinagar, untuk berkunjung ke rumah mereka. Di rumah salah satu keluarga la mengalungkan karangan bunga di leher bayi mereka sambil berkata: “la akan menjadi seorang Yogi besar!” Sangat aneh, kakek anak kecil itu pun menjelaskan, “Itu tepat sekali dengan ramalan ahli astrologi yang mempelajari horoskop anak ini!” la berkata demikian ketika Bàbà bertanya kepadanya, “Engkau telah diberi tahu tentang hal ini bukan?” Kejadian itu berlangsung di rumah sekretaris biro perjalanan yang mengurus perjalanan Bàbà ke Kashmir, Bàbà memberinya sebuah cincin dengan batu-batuan perrnata yang diciptakan-Nya di tempat itu juga. Waktu sedang bercakap-cakap dan seseorang bertanya kepada-Nya, pada usia berapa la meninggalkan rumah, Bàbà berkata, “Bagaimana mungkin Aku yang tempat tinggalnya adalah dunia, meninggalkan rumah?” Arus peziarah yang datang untuk bertanya-tanya ke Istana Alexandra tetap tak berkurang selama dua hari penuh. Jawaban yang diberikan Bàbà memperjelas ketuhanan-Nya. Saat ketika Bàbà harus meninggalkan tempat itu dengan sendirinya merupakan peristiwa yang menyedihkan bagi bhakta-Nya. Mereka datang berbondong-bondong ke lapangan terbang untuk melepas keberangkatan-Nya pada tanggal 6 Agustus 1957. Akhirnya pesawat berangkat ke Delhi, kemudian Bàbà melanjutkan perjalanan-Nya ke Madras, tinggal sebentar di sana dan tiba di Puttaparthi pada tanggal 14 Agustus 1957.
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
62
IX LAMBAIAN TANGAN BAHKAN ketika masih kecil pun Bàbà telah mempunyai kekuatan ajaib untuk mendapatkan berbagai benda “entah dari mana”. Ia mencengangkan teman sepermainannya karena mengambil permen dan manisan dari tas yang kosong. Walau la telah meminta pada kawan-kawan-Nya agar hal ini dirahasiakan, berita tersebut tersebar pula di antara orang-orang dewasa. Ketika mereka bertanya, dengan cara bagaimana la memperolehnya, Bàbà tetap diam. Kelak ketika didesak oleh teman-teman-Nya, la berkata bahwa ada malaikat tertentu yang memenuhi keinginan-Nya yang paling remeh pun. Tentu saja Jawaban ini hanya untuk menghindarkan pertanyaan lebih lanjut karena penduduk desa merasa puas dengan Jawaban semacam itu. Mereka mulai mengagumi-Nya sebagai seorang Anak yang sangat terberkati, yang harus dijaga dengan hati-hati dan diperlakukan dengan hormat. Bahkan di sekolah pun Bàbà menolong banyak teman sekelasNya dengan memberikan karet penghapus atau pensil yang diciptakan-Nya dengan Lambaian Tangan. Bila ada di antara mereka yang mengeluh sakit atau nyeri, Bàbà “mengambil” daun “dari Himalaya”, demikian dikatakan-Nya pada teman-teman-Nya, dan menyuruh mereka mengunyah daun-daun itu serta menelan airnya. Beberapa orang dewasa menyebut hal itu sebagai sihir, bahkan menggolongkannya sebagai sihir hitam dan mengingatkan anak-anak agar mereka tidak bergaul dengan Sathyanarayana. Hanya setelah Pernyataan-Nya maka secara teratur Bàbà “mengambil” Vibhùti, dan mulai memberikannya untuk bermacam-macam tujuan pada semua orang yang datang kepada-Nya. Bàbà telah sering berbicara tentang arti Vibhùti ini. Karena Vibhùti ini diciptakan dari ketiadaan dan karena Abu secara khusus dihubungkan dengan Úiva, maka dengan penuh hormat para pengikut menganggapnya sebagai Vibhùti Kailas yaitu Abu Suci yang digunakan oleh Úiva. Abu tersebut dinamai Vibhùti karena memberi kemakmuran, Bhasma - “Abu” karena membakar semua dosa, Bhasitam - “kecemerlangan” karena meningkatkan keindahan batin seseorang, Kûaram - “pembinasaan” karena menyingkirkan bahaya, dan Rakûa - “pelindung” karena merupakan tameng yang melindungi seseorang dari roh jahat. Semua ini adalah puji-pujian tentang Vibhùti yang dituliskan dalam Båhad Jabala Upaniûad, yaitu salah satu naskah rohani kuno. Bàbà berkata bahwa Vibhùti juga selalu mengingatkan kita pada kefanaan badan, yang akhirnya akan dikremasikan hingga menjadi semangkuk abu! Ribuan pengikut dan pengunjung telah menyaksikan keajaiban Vibhùti. Mukjizat ini tak dapat diterangkan dan melampaui jangkauan ilmu pengetahuan! Abu tersebut diciptakan sambil lalu, tak resmi, dengan lemah gemulai, tenang dan wajar sehingga orang mungkin tak memahami makna berkat itu. Telapak tangan kanan Bàbà dihadapkan ke bawah, agak menyudut, kemudian dilambaikan satu atau dua kali, tak seberapa kentara. Jari jemari-Nya merapat untuk mencegah agar Vibhùti yang tercipta jangan sampai jatuh. Abu yang timbul secara ajaib ini kemudian diberikan kepada orang yang beruntung menerimanya, sebagai tanda berkat dari Bàbà dan dikenakan di dahi. Dengan jumlah minimum satu pon setiap harinya maka Vibhùti yang telah tercipta “di luar kodrat”, hanya dengan Kemauan-Nya, sejak tahun 1960 pastilah telah mencapai jumlah yang mengherankan, kira-kira lebih dari lima ton! Setiap gagasan mengandung suatu kecenderungan untuk menyatakan diri dalam bentuk fisik. Semuanya tergantung pada kemauan, entah manusiawi entah ketuhanan. Bàbà berkehendak, maka terjadilah! Vibhùti juga dapat diletakkan di lidah, atau dicampur dengan air dan diminum sebagai obat untuk melawan penyakit. la juga dapat dibawa sebagai jimat. Seorang pengikut dari Amerika Selatan menulis bahwa setiap malam ia tidur sambil menggenggam sebungkus Vibhùti. la selalu bermimpi bahwa telapak tangannya diletakkan di Kaki Kåûóa. Orang-orang menggunakan Vibhùti yang diciptakan Bàbà dengan Lambaian Tangan-Nya untuk bermacam-macam tujuan penyembuhan dan peringanan sehingga sulit menye-butkannya satu persatu. Vibhùti yang diberikan Bàbà juga tak terhingga jenisnya, sesuai dengan tujuan penciptaannya. Kadang-kadang berbentuk kubus yang keras atau sering kali berentuk seperti tepung halus, berbutirbutir atau berbentuk serpihan. Kadang-kadang harum, pedas, asin, manis atau tak ada rasanya, putih atau kehitam-hitaman atau berbagai warna lain di antara kedua warna itu. Kadang-kadang bila la melambaikan Tangan-Nya, terciptalah sebuah tempat penyimpan beserta Vibhùti di dalamnya! Ketika seseorang akan pergi ke Inggris untuk melanjutkan pelajarannya, Bàbà memberinya Vibhùti dalam tempat perak beserta 63
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
berkat tambahan,”ini tak akan pernah habis!” Dengan Kehendak-Nya la dapat mengisi lagi Abu dalam suatu tempat yang ribuan kilometer jauhnya, dengan suatu keinginan yang dinyatakan sebelumnya. Bila Vibhùti akan digunakan sebagai obat untuk jangka waktu yang lama seperti misalnya selama kehamilan, Bàbà meminta orang yang bersangkutan agar membawa sebuah tempat, dan dengan ketukan ringan di permukaannya, tempat itu menjadi penuh dengan Vibhùti. Bila la berkumpul bersama para bhakta-Nya di pasir-pasir seperti misalnya di Citravatì, di tepi sungai Kaivalya Venkatagiri, di pantai Kovalam Kerala, Kanyakumari di Tamil Nad atau di sungai Godàvarì, secara main-main la menggali pasir dengan JariNya dan dari situ mengeluarkan sebuah kubus Vibhùti yang besar! la melumatkannya menjadi tepung dan membagikannya pada semua yang hadir. Kadang-kadang la mengambil pasir dengan kedua Tangan-Nya dan menuangkannya ke atas sebuah piring. Anehnya yang jatuh di atas piring bukannya pasir melainkan Vibhùti yang harum baunya. Seluruh tubuh Bàbà tampaknya terselubung Vibhùti. Ketika la dibawa dalam arak-arakan pada Vijayadaúami, yaitu hari kesepuluh dalam pertengahan Terang Bulan Aúvina, dan pada hari perayaan lainnya, ribuan orang telah melihat dengan jelas Vibhùti berjatuhan dari dahi ke pelupuk mata dan pipi-Nya. Bila Bàbà meninggalkan tubuh-Nya dan pergi untuk menyelamatkan pengikut-Nya, seringkali Vibhùti ke luar dari wajah, mulut, ibu jari, jari kaki atau dahi-Nya. Kadang-kadang Bàbà hanya mengangkat ibu jari tangan-Nya serta membuat tanda di dahi seseorang, dan semua orang dapat melihat bahwa ada Vibhùti di situ. Sering pula ada pengikut yang bermimpi bahwa Bàbà datang dan membubuhkan Vibhùti di dahi mereka; ketika terbangun mereka mendapati benar-benar ada Abu di situ! Ada pula beberapa pengikut yang bermimpi bahwa Bàbà meletakkan Vibhùti di lidah mereka dan ketika terjaga mereka benar-benar menjumpai Vibhùti dalam mulut mereka! Bàbà memberikan tanda kehadiran-Nya di rumah pengikut dengan menebarkan Vibhùti di atas lantai ruang sembahyang, yaitu tempat di mana mereka meletakkan gambar-gambar-Nya. Bila Bàbà menampakkan Diri pada seseorang untuk menyelamatkannya dari bencana yang mengancam, selalu la menggunakan Vibhùti untuk pengobatan. Sekali peristiwa, pada suatu perayaan Dasara, seorang pengunjung dari Telangana menerima telegram penting dari rumah, menyatakan bahwa ayah mertuanya sakit keras dan keadaannya mengkhawatirkan. Bàbà berkata kepadanya agar jangan cemas. Hari berikutnya ia menerima lagi telegram dengan berita yang sama dan Bàbà mengizinkan pria itu pergi sendiri mengunjungi ayah mertuanya, sedangkan isterinya tetap tinggal untuk menyak-sikan perayaan. Pada hal si isteri adalah anak perempuan orang yang sakit itu dan justru yang paling dibutuhkan agar hadir di sampingnya. Ketika pria tersebut berangkat, Bàbà memberinya Vibhùti yang diciptakan-Nya dengan Lambaian Tangan untuk dibubuhkan di dahi ayah mertuanya. Keesokan harinya, kira-kira jam delapan sore, Bàbà membicarakan jadwal kereta api yang digunakan pria itu untuk pergi ke tempat si sakit. Tiba-tiba la duduk dan berkata: “Kalian semua keliru. Keretanya kurang cepat. la tak akan tiba di tempat itu sebelum pukul sembilan malam. Oh! Sayang sekali!” Kemudian dalam sekejap mata la “meninggalkan” badan-Nya dan “pergi”. Bàbà pergi selama kira-kira setengah jam. Ketika kembali la sangat gembira karena Vibhùti itu telah dibubuhkan-Nya Sendiri pada orang yang sakit di Telangana. “Apakah Svàmì menggunakan Vibhùti yang dibawa oleh mantu si sakit itu?” penulis bertanya kepada Bàbà. “Ya, engkau akan mengetahui hal itu bila ia kembali kata Beliau. “Tanyalah dia dan ia akan berkata bahwa bungkusan Vibhùtinya telah kosong ketika ia sampai pada si sakit.” Dan demikianlah terjadi. Ketika kembali pria itu mengisahkan kebingungannya, bagaimana mereka menyalahkan kelengahannya, bagaimana mereka menggosokkan jari-jari mereka di permukaan kertas bungkus agar setidak-tidaknya dapat mengumpulkan sisa-sisa Vibhùti suci tersebut, dan betapa usaha ini pun ternyata sia-sia! Kadang-kadang Bàbà melakukan pengudusan atau upacara penyucian arca perak “badan lama” Beliau yang disimpan di pura. Untuk ini digunakan sebuah jambangan kayu kecil yang diukir dan dicat secara astistik. Jambangan tersebut dipegang terbalik di atas arca dan Bàbà memasukkan Tangan-Nya di dalamnya agar Abu Suci mengalir terus-menerus. Karena bersentuhan dengan Tangan-Nya, maka Vibhùti tetap mengalir walau jumlah yang seharusnya berada dalam jambangan telah habis sama sekali. Putaran demi putaran menyebabkan Vibhùti yang segar tercurah dari jambangan itu hingga arca tersebut tenggelam dalam Abu yang harum dan mem-bukit tak terkirakan tingginya. Akhirnya Bàbà menyisihkan jambangan kayu itu seolah-olah hanya karena kelelahan.
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
64
Berkenaan dengan Abu Suci, sering terjadi peristiwa lain walaupun tak merupakan contoh yang tepat dari keajaiban “Lambaian Tangan-Nya”. Bila seorang pengikut yang saleh meninggal, Bàbà memberikan Darúan pada saat terakhirnya sehingga memungkinkan orang yang bersangkutan menikmati kedamaian abadi. Pada hari Sabtu tanggal IS November 1958, jam 5.20 sore, Bàbà sedang membacakan sepucuk surat pada bhakta di sekitar-Nya. Tiba-tiba dengan teriakan yang artinya “Ya”, Ia jatuh ke lantai dan praktis tak bernyawa. Sepuluh menit kemudian la bergerak sedikit dan batuk tiga kali, tetapi sebenamya itu bukan batuk, melainkan tiga hembusan nafas yang keluar dari mulut-Nya. Hembusan nafas itu membawa ke luar pula sejumlah Vibhùti sejauh kira-kira setengah meter. Lima menit kemudian Bàbà bangun dan tanpa lelah atau bingung la melanjutkan lagi percakapan yang sama. Ketika diminta untuk menceritakan kepergianNya, la berkata: “Aku telah pergi ke kota Dehra Dun. Ibu Krishna, dokter yang sering datang ke sini, meninggal pada jam 5.30 sore. Krishna ada di sana di samping tempat tidurnya. la memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan ibunya dan memberi tahu semua orang: “Inilah napasnya yang terakhir.” Mereka menyanyikan Bhajan dalam kamar itu. la meninggal dengan damai. Aku memberinya Darúan dan Vibhùti pada saat terakhirnya.” Pada hari Senin ketika tukang pos datang ke Prasanthi Nilayam, ia membawa surat dari Krishna untuk Bàbà. Krishna menulis: “Ibu saya menghembuskan nafas yang terakhir pada hari Sabtu jam 5.30 sore. Pada saat terakhirnya kami bernyanyi bersama-sama, itu adalah kehendaknya. la mengenang Svàmì terus-menerus.” Betapa ajaibnya hal ini! Bàbà mengetahui lebih dulu saat kematiannya, menjawab doa yang diucapkan oleh suatu jiwa yang terengah-engah, terjadi di sebuah kamar di Dehra Dun dalam beberapa menit dan dilukiskan di Nilayam kira-kira dua ribu empat ratus empat belas kilometer jauhnya dari tempat itu. Bàbà juga memberikan Vibhùti, lambang penghancuran badan jasmani yang fana pada saat jiwa terlepas dari kungkungannya. Dalam penjelmaan ini Vibhùti adalah kelanjutan dari Abu Udi, yang biasa dihadiahkan oleh Sàì Bàbà dari Shirdi kepada mereka yang datang kepada-Nya. Sàì Bàbà dari Shirdi biasa mengambil abu dari perapian yang selalu diisi dengan bahan bakar, “Agar la selalu mempunyai bara api bagi orang-orang yang tawar hatinya,” kata Sathya Sàì Bàbà. Bàbà menciptakan apa saja yang dikehendaki-Nya dengan Lambaian Tangan-Nya. la berkata bahwa apa yang diciptakan-Nya telah ada di dalam “Gudang Sai.”, dan bahwa “para pekerja-Nya” sangatlah cepat, sehingga dalam sekejap mata mereka telah menyiapkan barang seni paling rumit sekali pun yang dipikirkanNya dan menyampaikannya ke dalam Tangan-Nya! Sekali peristiwa Bàbà menciptakan sebuah medali emas untuk diberikan pada seorang pemain biola berbakat yang baru saja menyelesaikan pertunjukannya. Bàbà memperlihatkan medali itu pada orang di sekitar-Nya. Ketika mereka sedang mengagumi ukurannya, keindahan dan cahayanya, la berkata: “Oh, namanya harus dituliskan,” dan dikatupkan-Nya Telapak Tangan-Nya. Dalam sekejap mata Bàbà membuka lagi genggaman Tangan- Nya dan memperlihatkan medali itu pada semua orang. Mereka tercengang melihat keajaiban yang terjadi. Tulisan: “Dihadiahkan oleh Bhagavàn Úrì Sathya Sàì Bàbà kepada Vidwan T. Chowdiah”, terukir dalam-dalam dengan bahasa Inggris di atasnya, lengkap dengan hari dan tanggalnya pula. Sambil memperlihatkan medali itu pada kami, Bàbà berkata: “Lihat, betapa cepatnya pekerja -Ku!” Bàbà memberkati para seniman yang mempertunjukkan keahliannya di Nilayam pada hari raya dan kesempatan lain dengan berbagai hadiah seperti cincin, kalung, medali dan bros yang diciptakan-Nya dengan Lambaian Tangan-Nya. Pemberian Bàbà selalu mempunyai kecocokan yang khusus. Seorang pemain suling bernama Nadaswaram Vidvan, diberi sebentuk cincin dengan gambar Úiva. Ternyata nenek moyangnya selama beberapa generasi adalah pemain musik di kuil, dan keluarganya telah diberi sebidang tanah untuk dimiliki seterusnya sebagai imbalan atas pelayanan mereka, sedangkan wujud Tuhan yang dipuja dalam kuil itu adalah Úiva. Gambar Úiva pada cincin tersebut adalah tiruan arca suci dalam pura kuil yang dilayaninya. “Aku akan memberimu sebuah arca kecil Gaóeúa, bawalah pulang dan pujalah,” kata Beliau pada seorang pengunjung. Arca itu adalah arca Gaóeúa yaitu Dewa yang menghapuskan segala rintangan, dalam sikap berdiri. “Engkau mempunyai Gaóeúa macam ini dalam ruang doamu bukan?’ Bàbà bertanya sambil memberikan arca itu kepadanya. Orang itu menjawab,”Ya, betul.” Tidaklah layak bila para penerima menimbang atau menilai pemberian-pemberian tersebut karena benda
65
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
itu sama sekali bukan berasal dan dunia. Suatu kali ada seorang musikus yang menerima sebuah kalung berhiaskan batu permata. Dalam perjalanan kembali ke rumah, ia mulai membicarakan nilainya dan menentukan harganya. Kalung itu lenyap secara gaib, tidak tergantung di lehernya lagi! Mengetahui hal ini ia segera kembali ke Prasanthi Nilayam. Bàbà memarahinya dengan lembut dan di hadapan matanya Beliau “mengambil” lagi kalung itu serta memberikannya lagi pada pemusik tersebut. Barang-barang yang diberikan oleh Bàbà tak akan pernah hilang. Ada seorang pengikut yang kembali dari Puttaparthi ke Hyderabad dan di suatu tempat dekat Mahbubnagar ia mendapati bahwa bagasinya telah dicuri orang pada malam hari. Wanita tersebut melaporkannya pada polisi kereta api. Dua hari kemudian ia dipanggil untuk mengenal barang-barangnya karena si pencuri tertangkap dan bagasinya didapat kembali. Bayangkan betapa herannya wanita itu ketika didapatinya bahwa semua barangnya masih utuh, kecuali tasbih yang telah diciptakan oleh Bàbà dan diberikan kepadanya: la mengirim kabar pada Bàbà dengan telegram. Bàbà menjawab bahwa tasbih itu telah ada pada-Nya, karena barang tersebut tak dapat dicuri! Siapa yang dapat melukiskan kegembiraannya ketika mendapatkan tasbih yang sama untuk kedua kalinya dari Tangan Bàbà? Seorang pengikut yang bernama C.N. Padma menulis; Peristiwa ini terjadi dua belas tahun yang lalu. Pada suatu sore Bàbà membawa semua orang yang berada di dalam kuil lama ke pesisir sungai. Setelah nyanyian selesai, Ia memanggil saya dan sambil menghibur serta memberi nasehat tentang masalah pribadi saya, la menciptakan sebuah tasbih dan memberikannya pada saya. la sudah pernah memberi saya sebuah tasbih yang saya simpan dalam kotak perak di rumah saya. Ketika la memberikan sebuah lagi, saya menjadi ketakutan kalau-kalau keadaan saya akan bertambah buruk sehingga la merasa perlu memberikan perlindungan tambahan, maka saya bertanya kepada-Nya, ‘Bàbà, mengapa saya diberi tasbih yang kedua?’ Ia berkata, ‘Ini adalah tasbih yang Kuberikan kepadamu tempo hari! Engkau meninggalkannya di rumah dalam kotak perak, kotak itu dicuri kemarin. Ini, simpanlah baik-baik!’ Memang benar demikian. Ketika pulang saya jumpai bahwa rumah saya terbongkar dan kotak perak itu hilang.” Ada pula suatu kejadian yang menarik berkenaan dengan cincin berlian Úrìmathi Sakamma. Beberapa tahun yang lalu ia bergegas datang ke Puttaparthi untuk mengikuti perayaan Dasara. Dalam kebingungannya ketika berkemas, ia salah meletakkan cincin berliannya yang bermata tujuh. Waktu diketahuinya bahwa cincin itu tak ada, pencarian tak mungkin dilakukan lagi karena sudah sangat terlambat maka ia memberi tahu Bàbà tentang hal ini. Bàbà hanya bercanda dan mengolok-olok seluruh peristiwa ini, membuat satu atau dua kelakar dan dengan riangnya menertawakan soal kehilangan tersebut. Beberapa bulan kemudian Bàbà berkunjung ke pabrik pengawetan biji kopinya. Ketika sedang duduk di dapur rumah kecil di belakang pabrik itu, sambil menghirup kopi la berkata, “Oh, Sakamma, engkau menghendaki cincin berlian itu bukan? Baiklah, ini dia!” Sambil berkata demikian la menepuk dinding dan lihatlah, cincin itu telah berada di dalam Tangan-Nya ! Tangan itu sungguh merupakan Tangan Tuhan! Kadang-kadang Tangan itu dicelupkan ke dalam air, dan airnya berubah menjadi bensin yang dapat digunakan untuk menjalankan mobil berkilometer-kilometer jauhnya. Suatu kali ketika sedang mengendarai mobil ke Bangalore, tangki bensin kosong di dekat Chikballapur. Bàbà menyuruh salah seorang peserta rombongan agar pergi ke sebuah tangki di tepi jalan. Orang itu kembali dan hanya membawa H2O (air)! Bàbà mencelupkan Jari-Nya ke dalam kaleng dan mengaduknya sedikit! Isi kaleng itu kemudian dituangkan ke dalam tangki bensin. Mobil itu dikemudikan dengan riang berkilometer-kilometer jauhnya dan pengendaranya tak merasakan perbedaan apa pun. Sekali peristiwa, persediaan minyak disel yang digunakan untuk menjalankan dinamo pembangkit listrik menipis, hampir habis. Pada hal dinamo tersebut adalah sumber listrik yang diperlukan untuk penerangan di Nilayam, karena waktu itu sedang ada perayaan. Untuk mengirim seseorang membeli minyak disel di penjual yang jauhnya dua puluh dua kilometer dari situ sudah sangat terlambat pula, maka Bàbà mencelupkan Tangan-Nya ke dalam air dan air itu langsung berubah menjadi minyak disel Keajaiban lain yang sama sifatnya terjadi di perbukitan Horsley ketika beberapa orang pengikut melewatkan hari-hari yang mentakjubkan dalam Kehadiran-Nya yang agung. Setlap hari Bàbà pergi ke dalam hutan, ke sebuah batu bundar yang datar puncaknya dan di situ la duduk serta memberi khotbah. Pada suatu hari, sambil berjalan la memungut sekeping pecahan batu dengan susunan geologi yang khas dan bentuknya mirip sebungkah makaroni kering. Batu itu terletak di depan-Nya ketika la sedang berkhotbah. Ketika menyelesaikan pembicaraan-Nya, Bàbà berkata, “Aku akan memaniskan lidah kalian
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
66
sedikit.” la mengambil batu itu dan ....... sungguh mengagumkan. ....... di dalam Tangan-Nya batu itu berubah menjadi segumpal kembang gula. Seolaholah oleh kemauan-Nya maka setiap molekul batu itu telah diubah menjadi molekul gula. Tak seorang pun pernah melihat gula yang mengkristal dalam ulir yang panjang seperti benang. Tetapi ini bukan ilmu kimia! Ini adalah keajaiban Tuhan! Suatu kali kacamata Úrìmati Sakamma pecah di Puttaparthi sehingga ia mengalami banyak kesulitan. Bàbà menciptakan kacamata lagi dengan resep yang sama baginya. Waktu itu adalah perayaan ulang tahun Kåûóa, hari yang dipandang sangat baik. Bàbà berada di Madras bersama para pengikut-Nya yang sedang membuat persiapan. Ruang yang akan digunakan dihias dan undangan dikirimkan pada teman-teman dekat. Bàbà datang duduk di kursi istimewa yang dipasang untuk sementara waktu di salah satu ujung tempat pertemuan itu, dekat altar pemujaan. Tepat sebelum penutupan la berdiri dan semua orang ikut berdiri bersama-Nya. la mengangkat kedua Tangan-Nya di atas Kepala. Kelompok pengikut yang hadir mengawasi Tangan-Nya sambil menanti penuh harap karena mereka tak pernah melihat Bàbà bersikap seperti itu dalam suatu perayaan. Hal ini tampak agak aneh tetapi sebelum mereka sempat merasa heran, la telah memegang sebuah mangkuk gelas yang besar dan indah dengan hiasan gambar dua ekor burung yang membentangkan sayapnya, satu di setiap ujungnya. Bàbà meletakkan mangkuk yang berat itu di dekat tempat suci, di atas panggung. “Manisan khusus dari Brindavan, tempat kelahiran Kåûóa," demikian dinyatakan-Nya. Dalam mangkuk itu terdapat empat puluh tiga macam manisan yang berbeda! Pada suatu hari Bàbà menyeberangi Sungai Citravatì dalam dua buah jip yang penuh dengan para pengikut dan pergi ke Hutan Cagar Alam. Ketika jip tak dapat mendaki lagi, Bàbà beserta rombongan-Nya berjalan kira-kira sembilan setengah kilometer di sepanjang tepian atas sungai. Akhirnya mereka tiba di suatu tempat yang indah tepat di tengah hutan. Ada sebuah batu yang datar untuk duduk dengan tebing yang curam di ketiga sisinya dan sungai menggelegak mengalir dengan riang. Mereka makan bekal yang mereka bawa dan minum teh yang disediakan oleh beberapa pemuda yang tangkas. Bàbà “membuat sepotong besar kembang gula untuk memaniskan mulut mereka, kemudian melambaikan Tangan-Nya. Semua yang hadir membuka mata lebar-lebar untuk menyaksikan keajaiban. la menciptakan satu bungkus foto-Nya Sendiri dan mulai membagi-bagikannya, satu untuk setiap peserta. Ada enam belas foto untuk enam belas orang! Kadang-kadang la menciptakan jumlah yang lebih banyak untuk rombongan yang lebih besar pula dan jumlahnya selalu cocok! Peristiwa lain yang menggambarkan Ke-Ilahi-an Bàbà terjadi di Cape Comorin pada tahun 1968. Ketika sedang duduk di pantai bersama serombongan pengikut, Bàbà bertanya pada seorang peserta yang hari itu telah membeli sebuah buku di pusat tempat ziarah dan telah membacanya dengan seksama, tentang apa yang dikatakan buku itu berkenaan dengan kuil setempat. la menceritakan kisah sebuah berlian yang dulu pernah menghias hidung Devi dalam kuil itu. Berlian itu bercahaya sangat cemerlang sehingga para pelaut dapat melihatnya dari lautan! la menceritakan keserakahan seorang bajak laut dan bagaimana ia menyerbu serta merampas berlian itu. Bàbà bertanya: "Apakah kalian ingin melihatnya? Hanya memerlukan beberapa menit dan Aku dapat mengirimnya kembali sebelum orang-orang mengetahui bahwa barang itu tak ada di tempatnya." la menepuk pasir di depan-Nya dan ........ di tangan-Nya tampak sebuah berlian yang sangat besar! Permata itu diperlihatkan pada setiap orang yang hadir kemudian lenyap begitu saja dalam Tangan tempat barang tadi timbul! Setiap mukjizat dilakukan-Nya dengan sangat sederhana dan tak menarik perhatian, senyum heran serta gembira menyinari Wajah-Nya Sendiri ketika benda itu tercipta. Ada seorang pengikut mempunyai selembar uang rupi yang selalu disimpannya karena lembaran uang itu telah ditandatangani oleh temannya. Pada suatu hari karena lalai, lembaran itu tercampur dengan lembaran uang rupi lainnya dan dengan tak disadarinya telah ia belanjakan di Bangalore. Pemuda itu menjadi murung ketika diketahuinya bahwa uang tersebut hilang. Seminggu kemudian ketika Bàbà mengetahui hal ini, Ia berkata, "Jangan kuatir. Uang itu kini berada di Bombay. Aku tahu di mana letaknya. Akan kuambilkan buatmu." Tangan-Nya dilambaikan dan lembaran uang rupi yang sama diberikan pada pemuda tersebut di Puttaparthi. Bàbà telah menciptakan kitab Bhagavàd Gìtà dan memberikannya pada bhakta-Nya. Suatu kali la menciptakan sebuah kitab untuk seorang bhakta tua yang menderita rabun dekat. Kata-Nya; "Lihatlah,
67
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
buku ini dicetak khusus untuk keperluanmu dalam huruf yang besar dan jelas," dan benarlah demikian! Ketika memberikan sebuah kitab Gìtà yang diambil-Nya “dari pasir” pada seorang Profesor yang bergelar doktor dalam Sains,, la berkata: "Engkau tak memahami tulisan Devanagari maka ini dituliskan dalam Telugu. Ambillah." Untuk puja sehari-hari la telah memberikan lambang Úiva dan arca Kåûóa, juga arca wujud Tuhan yang lain yang dipuja di rumah orang-orang Hindu, Dengan Lambaian Tangan-Nya la juga menciptakan salib dan piring dengan tanda-tanda mistik yang benar secara ikonologj dan sempurna secara artistik! la memberikan potret Diri-Nya Sendiri atau dengan Sàì Bàbà dari Shirdi atau dengan Wujud Tuhan pilihan bhakta-Nya. Beberapa di antara potret-potret itu sangat unik. Suatu kali pernah diciptakan sebuah foto Úrì Ràma-Kåûóa Paramahamsa dengan gambar Shirdi Sàì Bàbà di keempat sudutnya dan Úrì Sathya Sàì Bàbà di tengah, di hati. Bàbà juga pernah memberi seorang bhakta-Nya, sepasang sandal perak yang timbul secara ajaib dari Kaki-Nya! Bàbà senang menasehati orang-orang yang datang bertanya kepada-Nya, agar mereka menyanyikan Nama dan bermeditasi pada Wujud Tuhan yang paling mereka sukai. la telah datang bukannya untuk mengganti atau membinasakan melainkan untuk menepati dan memenuhi. Suatu sore, di pasir sungai ada seorang pengunjung yang memakai lencana bergambar pasangan orang suci Kusuma dan Haranath. Bàbà mengisahkan kehidupan mereka secara singkat dan berkata bahwa mereka menyebarkan amanat tentang nyanyian suci. Seraya berbicara, "diambil-"Nya dari dalam pasir sebuah arca perak yang indah berbentuk Kusuma dan Haranath sedang berdiri di atas ular yang melingkar dan dinaungi oleh bentangan kepalanya! Ada bintik dari kunyit yang tulen di dahi Kusuma. Dalam kesempatan lain, pada seorang pengikut yang memuja-Nya sebagai Úiva, ia memberikan sebuah kulit lokan besar yang berwarna dengan huruf ÚivaSayi terukir di atasnya! Bàbà juga menyatakan kasih sayang-Nya dengan mendorong setiap orang agar menempuh jalan yang telah mereka pilih dengan gagah berani. Arca-arca kayu cendana, gading dan perak, sandal perak, arca yang terbuat dari campuran lima macam logam yang suci, lambang Úiva yang terbuat dari batu merah darah, topaz biru, hijau atau sapphire, semuanya telah diciptakan dan diberikan pada banyak orang. la juga telah memberikan aneka cincin yang berhiaskan batu permata dan bermacam-macam bandul kalung sesuai dengan kebutuhan atau suasana perasaan saat itu. Sering kali bila melihat seorang pengikut memakai cincin yang berhias batu permata, Bàbà menertawakannya karena membawa beban batu tanpa minta upah! Cincin semacam itu diambil dan digosok-Nya dengan telapak Tangan-Nya. Permatanya lenyap dan sebagai gantinya di tempat jam ada potret Sàì Bàbà dari Shirdi, Úrì Sathya Sàì Bàbà atau keduanya kadang-kadang juga gambar Úrì Ràma, Úrì Kåûóa atau wujud Tuhan yang lain Beberapa tahun yang lalu di Venkatagiri ada sehelai perangko yang mengalami perubahan ajaib ini. Ketika melihat perangko dengan gambar maharaja dunia, sambil bergurau Bàbà berkata: "Mengapa engkau mempunyai satu seri benda semacam ini?" Sambil berkomentar seperti itu diusap-Nya perangko tersebut dengan lembut dan ketika Tangan-Nya diangkat, setiap bentuk telah berubah secara ajaib. Gambar dan tulisan harganya lenyap sedangkan gambar Bàbà tertera pada setiap perangko dengan tulisan, "Úrì Sathya Sai". Bila Bàbà bermaksud memberitahukan mantra suci pada seorang calon maka la hanya menggulung sehelai kertas yang saat itu tersedia menjadi suatu alat yang berujung tajam seperti jarum. Dalam sekejap mata kertas itu berubah menjadi perak atau gading, berhiaskan gambar Tuhan yang diserukan oleh mantra tersebut. Kemudian Beliau menuliskan ejaan mistik di atas lidah si pengikut dan alat itu dihadiahkan padanya untuk disimpan sebagai kenang-kenangan, karunia dari Guru ! Tangan-Nya mempunyai kekuatan ajaib yang lain; hanya dengan sentuhan saja, dapat menambah atau memperbanyak apa saja yang diinginkan-Nya. Misalnya saja, Bàbà memperbanyak makanan bila jumlah yang ada ternyata tak cukup bagi para bhakta yang hadir. la berkehendak menyentuh dan ember tempat makanan menjadi penuh. Adegan semacam itu terjadi pada perayaan Vijayadaúami tahun 1950, tepat di hari terakhir Dasara. Beberapa pengikut dari Anantapur membawa dua keranjang daun Tulsi segar yang baru dipetik. Mereka duduk di sekeliling keranjang dan membuat untaian daun yang tebal dan panjang. Bàbà melewati jalan itn ketika pekerjaan mereka hampir selesai dan tempatnya hampir kosong. Ia bertanya pada kelompok itu setengah bercanda dan setengah bersungguh-sungguh, "Capai? Apakah kalian bersedia
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
68
menerima dua keranjang daun tulsi lagi?" Mereka menerima saran itu dengan gembira. Bàbà membungkuk, dan meletakkan Tangan-Nya dalam setiap keranjang; ketika la berdiri tegak keranjang itu secara ajaib telah terisi dengan daun Tulsi segar hingga berlimpah-ruah! Jelaslah mengapa Bàbà Sendiri yang melayani dan mengambilkan manisan serta makanan lain pada beberapa kesempatan tertentu bila ribuan pengunjung diberi makan di Prasanthi Nilayam. la memberi makanan banyak sekali dan selalu masih berlimpah-limpah. Kelimpahan adalah tanda resmi Tangan itu. Dalam arak-arakan Bàbà duduk di atas tandu yang dihias dengan bunga; la memetik-metik daun bunga dari rangkaian bunga yang dipersembahkan kepada-Nya, kemudian dilemparkan-Nya ke atas kepala umat. Apa yang jatuh bertebaran di tanah? Kadan-g-kadang permen, uang logam, potret Sàì Bàbà dari Shirdi atau Sathya Sàì Bàbà atau kadang-kadang potret kedua-Nya. Orang tak dapat menduga apa atau bilamana! Itulah kegaiban Tangan-Nya. Sejumlah pengikut masih mempunyai barang-barang yang mereka kumpulkan pada tanggal 23 November 1950 dalam arak-arakan dari Pura Lama ke Prasanthi Nilayam yang hari itu diresmikan pembukaannya. Barang-barang itu tetap bagus dan mengkilap selama berpuluh-puluh tahun karena sama kuatnya seperti benda lainnya. Rahib Amåtànanda bercerita bahwa ia menderita asthma yang kronis, suatu penyakit yang menurut diagnosa Bàbà disebabkan dan diperberat oleh latihan Hatha Yoga yang keliru. Sewaktu tinggal beberapa bulan di Puttaparthi, Bàbà memberinya obat sehingga sesak napasnya tak kambuh lagi. Rahib itu bercerita tentang obat tersebut, "Dua hari yang pertama Beliau memberi saya Abu yang “diambil-Nya” dengan Lambaian Tangan. Pada hari ketiga, dari Tangan Beliau muncullah suatu serbuk berat berwarna keemasemasan yang kemudian Beliau masukkan ke dalam mulut saya. Kemudian Bàbà berputar ke arah empat jurusan dan dengan setiap Lambaian Tangan Beliau menciptakan serbuk berwarna tembaga yang kemudian Beliau kenakan di punggung dan dada saya. Selanjutnya Beliau mengambil Abu, menuangkannya ke dalam tangan saya dan minta agar saya menelannya sedikit bila napas saya mulai sesak. Hari berikutnya Beliau “mengambil” suatu akar tanaman yang muda, lembut serta berambut dan minta agar saya mengunyah serta menelannya. Pada hari yang lain lagi Beliau memberi saya sejenis pisang kerdil yang belum pernah saya lihat sebelumnya di India, Sri Langka, Malaysia maupun Himalaya. Bàbà juga memberi saya buah kurma yang tak berbiji! Beliau “mengambil” segenggam daun kemudian diperas, airnya ditampung dalam sebuah mangkuk yang diciptakan-Nya pula kemudian disuruh-Nya saya minum air sari daun itu. “Pada kesempatan lain Bàbà melambaikan Tangan-Nya dan saya melihat seikat daun yang kehijau-hijauan. Beliau memberikannya pada saya dengan mata yang bersinar jenaka dan minta agar saya memakannya semua. Saya terperanjat ketika mendapati bahwa di bawah setiap daun terdapat duri-duri kecil yang tajam. Ketika saya menatap Beliau dengan penuh permohonan sambil berpikir, "Apakah Engkau benar-benar menghendaki agar saya makan semua daun ini beserta durinya?' Beliau tampak sedikit iba dan mengulurkan Tangan-Nya sambil berkata, "Kembalikanlah daun-daun itu kepada-Ku.' Saya meletakannya dalam Tangan Bàbà dan Beliau memberikannya lagi pada saya. Tak ada sebuah duri pun! Tak ada bekas atau tanda bahwa tanaman tersebut adalah dari jenis seperti itu. Saya makan semuanya dengan gembira. Beberapa hari kemudian Bàbà memanggil saya ke kamar Beliau dan ketika la melambaikan tangan, tampaklah sejumlah daun hijau lagi. “Jenis istimewa”, kata Beliau, “langsung dari Himalaya.” Dibawa-Nya daun-daun itu sebagian dan sebagian lagi diletakkan-Nya dalam tangan saya sambil berkata, 'Ayo! Kunyah dan telan.' Rasanya luar biasa pahit, dan untuk melakukan tugas ini saya harus mengumpulkan seluruh kekuatan saya sebagai seorang pertapa. Oh, betapa saya berdoa di dalam hati agar Beliau menghentikan ini dan tak memaksa saya makan daun itu yang setengah bagian lagi! Tetapi Beliau tak memperlihatkan belas kasihan dan memberikan sisa daun itu sambil rnemerintahkan, "Habiskan ini juga." Dengan mengumpulkan segenap keberanian saya memasukkan bagian yang kedua ini ke dalam mulut saya. Dapatkah orang percaya - karena berada lebih lama dalam Tangan Tuhan-Nya maka bagian yang kedua ini menjadi manis luar biasa, lebih manis dari-pada tebu atau madu? Beliau tertawa melihat kegembiraan serta kelegaan saya dan saya mulai mengetahui bahwa jalan Tuhan sungguh tak dapat diduga." Laporan ini berasal dari seorang rahib tua yang telah lama tinggal bersama Ramaóa Mahàåûi dan mempelajari Veda serta Vedànta. Bila Bàbà memutuskan untuk memberi obat pada orang sakit maka la melambaikan Tangan-Nya dan menciptakan pil, serbuk, campuran cairan dalam botol, salep, sirup, minyak atau buah-buahan. Kadangkadang sekadar untuk bergurau la melemparkan suatu jenis buah pada seseorang dan ketika si penerima
69
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
dengan gembira menangkapnya maka yang tiba di tangannya adalah buah jenis lain lagi! Kadang-kadang la membuat gerakan melempar ke arah seseorang pada hal tak ada apa-apa di Tangan-Nya. Orang yang bersangkutan harus waspada karena ada buah sedang melayang ke arahnya. Ketika ada yang terserang bersin-bersin, Bàbà memanggilnya, "mengambil'' sejumlah manisan dan memberikannya pada orang yang bersangkutan agar dimakan. Kadang-kadang ada yang menderita demam cukup lama dan Bàbà datang ke samping tempat tidur si sakit, melambaikan Tangan-Nya serta "mengambil" sesuatu yang diletakkanNya dengan hati-hati di tangan orang tersebut. Biasanya si sakit duduk dengan hormat untuk menerima pemberian itu ......... . seekor kumbang besar yang kemudian terbang bersama dengan demamnya! Suatu kali ketika ada seorang pengikut yang minta izin untuk meninggalkan Puttaparthi agar dapat menghadiri upacara penyerahan ijazah, Bàbà berkata: "Akan Ku-berikan kepadamu sekarang di sini!" dan melambaikan Tangan-Nya. Sebuah ijazah amat kecil, lengkap dengan semua detilnya seperti yang asli yang berada di Madras, telah berada di Tangan-Nya! Pada hari perayaan Gowri tahun 1961, seorang pengikut dari Mysore Deserta seluruh keluarganya mempersiapkan puja buat Bàbà di Puttaparthi. Barang-barang yang diperlukan untuk puja tersebut dicarinya di desa dan juga di Bukkapatnam. la bisa memperoleh semua perlengkapan kecuali manik-manik hitam. Bàbà datang pada puja tersebut dan pasangan yang sangat gembira itu asyik memuja kaki-Nya. Mereka tak mengetahui bahwa ada dua ekor semut hitam besar yang berlari di atas tumpukan bunga di sekeliling kakiNya. Bàbà melihat semut-semut itu, mengangkatnya dengan lembut dan memegang mereka dengan JariNya. "Apakah kalian mempersembahkan puja dengan semut dan tidak dengan bunga?" tanya-Nya sambil bergurau. Bàbà memberikan semut-semut itu pada nyonya rumah. la mengulurkan telapak tangannya untuk menerima, tetapi yang diterimanya ternyata bukan semut hitam. Melalui rahmat-Nya, dari Tangan itu ia memperoleh dua manik-manik hitam! Contoh lain tentang kekuatan ketuhanan dari tangan-Nya yang sangat mengherankan terjadi pada suatu sore ketika secara sambil lalu Bàbà mendekati jendela kamar-Nya yang setengah terbuka. la memperhatikan lampu meja listrik yang terletak di atas ambang jendela. Tak seorang pun mengetahui maksud-Nya. Orang-orang yang hadir melihat Bàbà melambaikan Tangan-Nya, Ketika mereka berlari ke dekat-Nya untuk melihat apa yang tercipta, Bàbà memperlihatkan Telapak Tangan-Nya pada mereka, di dalamnya ada sebuah foto berwarna Bàbà Sendiri! Ternyata la menghendaki agar benda itu tampak makin jelas pada sinar lampu. Didekatkan-Nya foto itu ke lampu. Beberapa orang berkomentar bahwa latar belakang potret itu seharusnya lebih jelas, yang lain lagi berkata bahwa rambut-Nya tampak agak miring. Penulis berpendapat bahwa muka Beliau belum dicukur. Bàbà menenangkan komentar-komentar itu dengan berkata: "Sahabat-sahabat-Ku, kalian tak mengerti, ini foto-Ku, tepat sebagaimana halnya Aku sekarang, dengan jubah ini, latar belakang ini, jendela yang setengah terbuka, pintu, tirai dan tembok ini." Mereka mengawasi foto itu dan merasa semakin heran! Seakan - akan dalam sepersejuta detik, seseorang telah datang membawa kamera, membidik dan mengambil sebuah foto berwarna, mencetak, mencuci serta mengeringkannya, dan kemudian memberikannya ke dalam tangan Bàbà! Suatu sore di Prasanthi Nilayam, ketika sedang berbicara tentang hubungan antara manusia dengan binatang lain dan tentang bermacam-macam teori yang menjelaskan asal usul manusia, Bàbà berkata bahwa manusia lebih banyak berhubungan dengan kera yang menghuni pohon daripada dengan jenis-jenis lain yang berdiam di atas tanah. la berbicara tentang jenis Simian penghuni pohon yang tak berekor dan tak berbulu. Ketika penulis, seorang pendengar yang penuh perhatian dan Profesor Anthropologi, sama sekali tak dapat memahami jenis itu maka Bàbà melambaikan Tangan-Nya dan terciptalah sebuah contoh kecil kera Simian yang baru saja dibicarakan-Nya. Miniatur itu, suatu barang seni yang tepat secara ilmiah, kini disimpan dalam Musium Kerohanian di Úrì Sathya Sai Arts, Science & Commerce College di Whitefield, Bangalore. Di Thippegondanahalli, suatu danau yang besar dekat Bangalore, beberapa pengikut menikmati pagi yang tenang bersama Bàbà. Setelah lama berdiskusi tentang doktrin kelahiran kembali dan tentang sifat jiwa, Bàbà menciptakan sebuah bejana perak kecil yang tutupnya dapat diputar, penuh dengan amåtà yang kemudian dibagikan pada anggota rombongan tersebut. Bejana itu kemudian diberikan-Nya pada sepasang suami isteri yang tak lama lagi akan berangkat ke Inggris. Ketika mengetahui kekecewaan pasangan itu
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
70
karena hanya menerima bejana kosong, Bàbà mengambilnya kembali dan tanpa melambaikan tangan, memberikannya lagi pada mereka. Bejana itu penuh dengan madu yang amat berharga! Setelah itu rombongan pergi ke waduk besar yang menampung persediaan air kota Bangalore. Ketika insinyurnya mengisahkan sejarah proyek itu dan menunjukkan dua sungai yang bertemu di situ serta menara kuil yang telah tenggelam dalam danau yang ditimbulkan oleh waduk, Bàbà mendengarkan sambil berdiri di tepi air. Tiba-tiba la mencelupkan Tangan-Nya ke dalam waduk itu dan mengangkat Telapak TanganNya yang berisi air ke alas. Semua menjadi takjub, dalam Tangan Bàbà terdapat sebuah Linggam yang bercahaya di bawah sinar matahari. Pada Linggam itu ada adonan kayu cendana dan daun Bilva, seakanakan Bàbà telah mengambilnya dari suatu tempat suci yang baru saja dipakai untuk mempersembahkan puja pada lambang itu. la berpaling pada seorang anggota kelompok," 'Ambillah ini dan pujalah setiap hari. Engkau memuja Úiva bukan?" Memang benar orang itu adalah anggota aliran yang memuja wujud Úiva seperti yang terpasang dalam kuil di pertemuan sungai tersebut. Bila Bàbà memberkati pengikut-Nya dan mengizinkan mereka menyelenggarakan pernikahan anakanak mereka dalam kehadiran-Nya langsung di Prasanthi Nilayam, maka la sering menciptakan sebuah cakra emas dan memberikannya pada mempelai pria agar dikalungkan di leher mempelai wanita yang beruntung. Satu Lambaian Tangan dan dalam sekejap mata terciptalah sebuah cakra yang tergantung pada benang berwarna kuning. Kadang-kadang bila ada upacara pelubangan daun telinga, Bàbà menciptakan sebuah kawat emas berujung tajam yang digunakan untuk melubangi daun telinga, dan sekaligus merupakan anting-anting pula bagi si anak. Tidaklah mungkin menyebutkan segala kemampuan Lambaian Tangan itu satu demi satu! Bila Bàbà beranggapan bahwa operasi perlu untuk mengobati suatu penyakit atau cacat, maka la melambaikan Tangan-Nya. Ada suatu kejadian yang memperlihatkan bagaimana Lambaian Tangan-Nya dapat memindahkan Kekuatan Tuhan yang ajaib ini ke tangan orang lain. Peristiwa ini terjadi beberapa tahun yang lalu ketika Bàbà masih berusia belasan tahun. Disertai banyak pengikut-Nya la pergi menyeberangi sungai ke suatu taman dekat Waduk Saheb. Makanan disiapkan dan mereka makan bersama. Rombongan ini kemudian kembali ke desa ketika tepian sungai dengan cepatnya diterpa kegelapan malam. Ketika mereka sedang melewati suatu semak dan Bàbà berjalan di depan yang lain, tiba-tiba sesuatu menjalar di tanah dan melilit di sekeliling kaki kanan Bàbà! "Ular, ular!" teriak mereka. Seekor kobra menggigjt kaki kanan Bàbà, melepaskan belitannya dengan segera dan melarikan diri dengan cepatnya di sepanjang pasir. Bàbà berkata, "Biarkan ia pergi," tetapi orang-orang yang marah pada kobra itu mengejarnya, ingin membunuhnya. Bàbà berseru: "Pergi!" dalam nada memerintah. Ular itu meluncur dalam kegelapan dan tak terlihat lagi. Sementara itu akibat gigitannya mulai kelihatan.- Bàbà tampaknya pingsan dan jatuh di tanah. Beberapa orang laki-laki berlari ke desa untuk memberitahu Pedda Venkapa Raju. Lainnya ada yang mengetahui alamat seorang ahli obat yang tinggal beberapa kilometer jauhnya dari situ, segera berlari kepadanya untuk minta tolong. Bàbà memberi isyarat pada satu di antara dua orang pengikut yang mencoba memberikan pertolongan pertama, agar melambaikan tangannya. Pengikut itu melakukannya dan merasa ada sesuatu yang menusuk telapak tangannya. Ternyata muncul sebuah jimat di situ. Bàbà memberi tanda agar ia membubuhkan jimat itu bersama dengan buih yang keluar dari Bibir-Nya ke atas luka bekas gigitan ular tadi. la melaksanakan perintah itu. Dalam sekejap mata Bàbà yang "sehat" bangkit lagi sehingga semua orang merasa sangat lega, dan la mulai bercakap-cakap seolah-olah tak pernah terjadi peristiwa apa pun yang mengganggu kebahagiaan hari yang indah itu. Pada waktu itu barulah orang tua-Nya serta orang-orang lain datang berlari-lari sambil membawa banyak obat-obatan, berbagai mantra gaib, akar, potongan piringan hitam, botol bekas dari pasar desa, dan yang terakhir ahli obat yang tinggal beberapa kilometer jauhnya. Bàbà memberi salam pada mereka semua sambil bersenda gurau. Di kemudian hari Bàbà menjelaskan bahwa sebenarnya Ia dapat "mengambil" sendiri jimat itu, tetapi karena la tak pernah menggunakan apapun yang diciptakannya dari Tangan-Nya untuk keperluanNya sendiri, maka la harus memindahkan Rahmat-Nya ke tangan orang lain. Tentang Sàì Bàbà dari Shirdi pernah diceritakan sebagai berikut: "Bila ada pengikut yang akan pulang, Bàbà memberikan Abu sebagai Prasad, mengoleskannya sebagian di dahi si pengikut dan menumpangkan Tangan-Nya yang dapat menganugerahkan hadiah di atas kepala mereka". Úrì Sathya Sàì
71
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
Bàbà juga melakukan hal ini. Tangan-Nya menganugerahkan hadiah yang patut diterima pengikut-Nya dan sentuhan-Nya yang menyembuhkan dapat menyapu bersih penyakit-penyakit, menangkis kejahatan dan mengubah nasib!
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
72
IX BÀBÀ YANG SAMA Adalah penting bahwa sejak masa kanak-kanak-Nya Sathya Sàì Bàbà I telah memberi berbagai petunjuk tentang pertalian, bahkan persamaan-Nya dengan Orang Suci dari Shirdi. Ketika la mengajar Para sahabat-Nya nyanyian-nyanyian tentang "Bàbà", seorang suci yang tak seorang pun pernah melihat atau mendengarnya, dan tentang suatu tempat ziarah yang belum pernah dikunjungi oleh orang-orang yang mendengar lagu tersebut, maka mereka merasa heran! “Di manakah Shirdi?” mereka bertanya satu sama lain. “Siapakah orang suci Islam ini?” Mereka tak mengerti bahwa anak yang berada di tengah mereka ini, yang bernyanyi dan menari sangat memikat hati, beberapa tahun kemudian akan membuat desa mereka menjadi Shirdi yang lain, dan ratusan bahkan ribuan orang akan datang mencari Bàbà yang sama ! Sebagaimana telah tertulis, ketika Sathya Sàì Bàbà secara resmi mengumumkan bahwa la adalah Sàì Bàbà yang termasyhur dari kota Shirdi, orang banyak bertanya, “Jika benar engkau Sàì Bàbà, perlihatkanlah keajaiban kepada kami sekarang!” la berkata, "Berilah Aku sejumlah melati." Ketika bunga-bunga itu diletakkan dalam Tangan-Nya, Ia melemparkannya ke tanah. Kumpulan melati itu jatuh kuntum demi kuntum dalam bentuk huruf Telugu yang berbunyi "Sàì Bàbà", seakan-akan disusun dengan sangat teliti dan segala garis lekuk serta lingkaran yang terdapat dalam huruf Telugu, tampak dengan sempurna! Bahkan Seshama Raju yang oleh pengalamannya selama ini telah belajar untuk hidup dengan keajaiban Adiknya, tercengang oleh pernyataan yang demikian jelas. "Tentu saja Kuberi mereka nama penjelmaan yang baru saja mendahului Aku sekarang," kata Bàbà bila ditanya tentang peristiwa ini. Ini hanya berarti bahwa la yang telah datang sebagai Sàì Bàbà, kini telah kembali sebagai Sathya Sàì Bàbà! Lagi pula Sàì Bàbà ini datang berturut-turut. "Setelah ini akan ada lainnya yaitu Prema Sai yang akan lahir di daerah Mysore," tambah-Nya. Kira-kira pada masa ini, dua orang guru yang pernah mengajar Sathya sebagai muridnya di Bukkapatnam, berkunjung ke Puttaparthi Untunglah mereka mencatat kejadian-kejadian yang telah berlangsung. Salah satu di antara mereka, Sri B. Subbannachar berkata: "Kesan pertama saya tentang Dia adalah bahwa la merupakan seorang abdi Tuhan yang hebat, seperti Prahlàda yang diceritakan di kitab suci. Saya melihat la melakukan berbagai perbuatan ajaib. Saya menjadi yakin bahwa la bukanlah manusia biasa, melainkan seorang anak laki-laki yang sejak lahirnya telah memiliki kekuatan gaib yang tak dapat dijelaskan dengan ilmu pengetahuan. Benarlah, “Anak laki-laki gila” dari Puttaparthi ini sangat menakjubkan kami dengan ungkapan-Nya bahwa la tak lain dan tak bukan adalah Sàì Bàbà dari Shirdi! Sekali peristiwa la mengundang kami untuk tinggal bersama pada malam la akan menceritakan masa lalu-Nya. Kami ingin mendengar tentang kehidupan-Nya karena buku-buku tentang Sàì Bàbà dari Shirdi yang tersedia, tidak mengisahkan riwayat-Nya sejak dari masa kanak-kanak hingga enam belas tahun. la memberi kami anugerah ini sekalipun kami tak memintanya! Tentu saja kami gembira bukan main. Malam pun tiba. Kami melihat Sai Sendiri dalam wujud manusia!" Sathya Sàì Bàbà selalu menyebut “Badan-Ku yang dulu”, bila la berbicara mengenai Sàì Bàbà dari Shirdi dan sering melukiskan bagaimana la dalam “badan-Nya yang duhi” berurusan dengan orang-orang dan menangani berbagai situasi, perumpamaan apa yang diberikan-Nya untuk memperjelas hal-hal penting tertentu, dan masalah apa yang ditanyakan. la berkata: “Kebimbangan yang sama diajukan oleh seseorang yang telah pergi ke Shirdi,” dan kemudian dilanjutkan dengan jawaban yang dulu diberikan-Nya pada orang tersebut di Shirdi! la mengenali kembali dan mengakui semua pengikut Sàì Bàbà dari Shirdi sebagai pengikut-Nya. la memberitahu mereka, “Aku telah mengenalmu selama sepuluh tahun,” atau “Walaupun engkau baru pertama kali melihat badan ini, Aku telah melihatmu dua puluh tahun yang lalu ketika engkau datang ke Shirdi.” Orang-orang yang bersangkutan kemudian menyadari bahwa ia telah memuja Sàì Bàbà selama sepuluh tahun atau bahwa ia benar-benar telah pergi ke Shirdi tepat dua puluh tahun yang Jalu. Bàbà telah menganjurkan banyak orang agar pergi ke Shirdi, memberi penjelasan yang terperinci tentang jalan yang harus ditempuh dan bahkan gambar-gambar yang dipasang di tempat suci tersebut! Timbul kesan pada pendengar-Nya bahwa la telah lama tinggal di Shirdi. Pada suatu hari ketika beberapa pengikut pergi ke Shirdi, Sathya Sàì Bàbà memberi tahu mereka, “Pergilah dan tidur di Dwarakamayi, Aku akan datang dalam mimpi kalian. “Ia memenuhi janji ini. Banyak
73
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
pengikut yang mengunjungi Shirdi kemudian mendengar tentang penjelmaan Sàì Bàbà di Puttaparthi sehingga mereka segera pergi ke sana. Begitu melihat mereka, Bàbà bertanya tentang ziarah mereka ke Shirdi. Dalam wawancara la menjawab berbagai pertanyaan yang selama ini belum terjawab dalam kunjungan mereka ke Shirdi. Banyak orang yang telah mengalami hal ini. Raja dari Chincholi adalah pengikut Sàì Bàbà dari Shirdi yang amat tekun. Setiap tahun ia biasa melewatkan waktunya beberapa bulan di Shirdi, Akalkot dan tempat suci lain bersama dengan para pertapa dan peminat kehidupan rohani, Setelah Raja berpulang maka Rani, permaisurinya, merasa heran dan gembira ketika mendengar bahwa Sàì Bàbà dari Shirdi telah menjelma sebagai Úrì Sathya Sàì Bàbà, maka ia berkunjung ke Puttaparthi. la juga membujuk Bàbà yang waktu itu baru berusia lima belas tahun agar menemaninya ke Chincholi. Betapa herannya ia ketika Bàbà menanyakan padanya tentang pohon margosa yang telah ditebang, tentang sumur yang telah ditimbun dan tentang deretan toko yang baru saja dibangun! Bàbà memberi tahu Rani bahwa la telah melihat semua tempat itu bertahun-tahun yang lalu ketika masih dalam "badan yang lama". la juga menanyakan sebuah arca batu kecil yang telah diberikan Sàì Bàbà dari Shirdi kepada Raja. Rani bahkan tak tahu menahu tentang hal itu dan Bàbà menemukan serta memberikan arca itu kepadanya! la juga berkata bahwa akan diketemukan pula sebuah gambar Sàì Bàbà dari Shirdi yang telah diberikan dahulu ketika masih berada dalam “badan yang lama”. Gambar itu pun kemudian dijumpai di dalam rumah. Tiga tahun yang lalu, pada suatu hari sang Rani membongkar gudangnya yang besar di Chincholi mencari barang-barang tua dari kuningan, perunggu atau tembaga yang dapat dijual agar ruangannya menjadi lebih longgar. la menjumpai sebuah tempat minum tua dari kuningan seperti yang biasa digunakan oleh rahib pengembara. Bentuknya unik dan artistik, air harus dituangkan ke dalamnya melalui suatu celah yang terdapat dalam pegangan tempat minum itu dan ujung saluran airnya berbentuk kepala sapi. Ada yang menyarankan agar barang itu digosok lagi hingga mengkilap dan dipasang sebagai hiasan di ruang gambar istananya. Teka-teki ini menjadi semakin pelik ketika pada hari berikutnya dijumpai seekor kobra melingkar di sekeliling tempat minum itu! “Hanya Bàbà yang dapat menjelaskan keanehan ini,” katanya pada dirinya sendiri sambil mendamaikan kobra itu dengan upacara tradisional. la tiba di Puttaparthi pada hari pertama perayaan Dasara dan segera setelah memasuki halaman, Bàbà mengirim pesan agar ia datang kepada-Nya, “Dengan tempat minum-Ku!” Begitu barang itu berada di dalam Tangan-Nya, Bàbà memperlihatkan kepada orang-orang di dekat-Nya huruf Sanskerta yang terukir di situ yaitu SAA, diikuti sepasang garis membujur pendek, kemudian BAA dengan dua garis lagi. SAA menandakan Sayi dan BAA berarti Bàbà! Bàbà telah berkata bahwa dalam beberapa tahun ini la juga akan mendapatkan pundi-pundi sedekah Sàì Bàbà dan Shirdi di mana pun benda itu berada. Banyak yang merasa heran bagaimana orang suci dr. Shiroh yang menurut pandangan orang selama bertahun-tahun tak pemah meninggalkan Shirdi, dapat pergi ke Chincholi kemudian ke Hyderabad dan meninggalkan bejana tersebut di tempat Raja! Rani maupun pelayan-pelayan tua istana percaya dengan tulus bahwa setiap kali datang ke Chincholi, Sàì Bàbà dari Shirdi tinggal beberapa hari bersama mereka, dan bahwa la sering bepergian jauh ke luar kota bersama Raja untuk bercakap-cakap sambil mengendarai kereta yang ditarik sapi jantan. Kereta ini sekarang ada di Puttaparthi. Umat yang telah melihat dan mengalami berbagai perbuatan Úrì Sathya Sàì Bàbà tidak akan mengalami kesulitan untuk memahami cerita aneh ini, karena mereka tahu bahwa Bàbà dapat berada di Madras dan sekaligus juga minum teh di rumah suatu keluarga di Bangalore, sebagaimana pernah terjadi di sebuah rumah di Stasiun Sipil! la dapat bercakapcakap dengan seseorang di Bhopal, atau terlihat di sebuah tempat duduk dalam suatu pertemuan di Delhi, atau berbicara dalam telepon pada Menon di Madras sambil berada di tempat lain pula pada saat yang sama. Misalnya saja pada tahun 1940 di Hospet ada suatu keluarga yang telah dikenal dengan balk oleh Bàbà sejak masa kanak-kanak-Nya. Anak perempuan yang tertua adalah guru sekolah, dan dua saudara laki-lakinya adalah teman sekelas dan sepermainan Bàbà di Bukkapatnam. Mereka telah mendengar tentang pernyataan-Nya dan juga telah menjenguk Bàbà di Puttaparthi Setahun kemudian pada suatu sore, sebuah pedati lembu membawa Sathya Sàì Bàbà ke pintu rumah mereka. Mereka gembira bukan main! Sepanjang malam kedua anak laki-laki itu bercakap-cakap dengan Bàbà, masing-masing duduk di sebelah kanan dan kirinya. Mereka tertawa-tawa, bergembira dan bersanda gurau. Sang ibu menyiapkan keperluan
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
74
mandi untuk Bàbà keesokan harinya dan untuk pesta. Betapa kecewanya ia ketika keesokan paginya hanya menjumpai tempat tidur kosong dan Bàbà telah pergi! Setelah ditanyakan dan diperiksa ternyata Bàbà tak pernah meninggalkan Puttaparthi yang jaraknya seratus enam puluh satu kilometer dari tempat itu! Para penjelmaan Tuhan tidaklah terikat oleh ruang dan waktu sebagai-mana halnya manusia biasa. (Mereka adalah Hukum bagi Diri mereka Sendiri). Sekali peristiwa ketika memberi amanat pada suatu pertemuan Sai Samaj Seluruh India di Mylapore, Madras, Bàbà mengucapkan kata-kata pembukaan sebagai berikut, “Walaupun ini adalah pertama kalinya Badan ini datang ke sini, Aku senantiasa berada di sini, dalam pura ini!” Identitas dan hubungan yang tiada putusnya ini, telah ditekankan-Nya dalam beratus cara yang berbeda dan dalam segala kesempatan. Di Coorg dengan segera la mengenali seorang pengikut Sàì Bàbà dari Shirdi yang sangat saleh, dan dengan gembira dikatakan-Nya bahwa la adalah Anggota Seumur Hidup — Sàì Bàbà Trust. Bàbà telah memberi umat-Nya medali dan gambar-gambar Sàì Bàbà dan Shirdi, atau Sàì Bàbà dari Shirdi bersama foto-Nya sendiri, atau foto-Nya dengan foto Sàì Bàbà dari Shirdi terletak di bagian hati. la tak mengizinkan adanya perbedaan dalam pemujaan kepada-Nya dan pada penjelmaan yang dulu. Dalam ruang doa Prasanthi Nilayam ada dua buah gambar yang memperlihatkan hubungan ini. Sang seniman dengan indah menangkap keelokan saat-saat Sàì Bàbà melanjutkan lagi missi-Nya sebagai Sathya. Keagungan dan nilai sejarah saat-saat ini dilukiskan dengan sangat memikat dalam kedua gambar tersebut. Semua doa di Prasanthi Nilayam dipusatkan pada sebuah arca perak Sàì Bàbà dari Shirdi. Bàbà menetapkan identitas-Nya dan kesinambungan ini dengan serangkaian tindakan yang berarti. Misalnya saja arca Sàì Bàbà dari Shirdi dihias dengan karangan-karangan bunga yang telah dipersembahkan pada Bàbà, tak pernah ada perbedaan antara karangan bunga ini dengan karangan bunga yang baru, keduanya digunakan untuk menghias arca tersebut. Pada. perayaan Navaràtri yang berlangsung selama sembilan hari, para wanita di Nilayam mempersembahkan "puja kunyit" pada Sathya Sàì. Semua kunyit yang telah dipersembahkan kemudian dikumpulkan dan dengan upacara dituangkan ke atas arca perak Sàì Bàbà dari Shirdi. Kepada pengunjung yang mempunyai banyak persoalan Bàbà berkata: “Engkau tak perlu menunggu hingga berjumpa dan bertanya dengan Aku, tanyalah pada Orang Tua itu,” yang maksud-Nya adalah Sàì Bàbà dari Shirdi. Pada mimbar yang letaknya agak tinggi di ruang doa, ada dua lukisan cat minyak berukuran sebesar manusia, diletakkan menghadap himpunan para pengikut. Satu adalah lukisan Sàì Bàbà dari Shirdi dan lainnya adalah Sathya Sàì Bàbà. Keduanya digambarkan sedang berdiri; Sàì Bàbà dari Shirdi memegang tangan kanan-Nya dengan tangan kiri-Nya, dan Sathya Sàì Bàbà memegang tangan kiriNya dengan tangan kanan-Nya. Ujung kain di sekeliling kepala Sàì Bàbà dari Shirdi biasanya diikatkan di sebelah kiri tetapi dalam lukisan mi digambarkan di bagian sebelah kanan kepala. Bagi beberapa orang hal ini dirasa membingungkan karena mereka tak tahu bahwa ketika si pelukis memerlukan potret untuk contoh maka Bàbà melambaikan Tangan-Nya dan .... dua helai potret kecil tercipta dalam Tangan-Nya! Potret Sàì Bàbà dari Shirdi memperlihatkan kedua tangan-Nya dalam posisi baru dan ujung kain kepala diikatkan di sebelah kanan. Demikianlah si seniman mencontoh potret itu dan melukiskan ikatan kainnya di sebelan kanan. Nyanyian dan lagu pujian yang dinyanyikan bagi kedua penjelmaan itu dalam pemujaan sehari-hari juga sama. Lagu-lagu itu dengan jelas menyebutkan kesamaan dan kesinambungan kedua Sàì Bàbà ini. Dalam daftar seratus delapan nama yang digunakan untuk memuja Sathya Sàì Bàbà, baik pemujaan yang dilakukan langsung pada Orangnya Sendiri maupun pemujaan yang dilakukan melalui gambar-Nya, terdapat pula beberapa nama yang dianggap berasal khusus dari Shirdi Sàì Bàbà. Sathya Sàì Bàbà disebut sebagai “la yang dilahirkan di desa Parthi”, “la yang'dilahirkan di desa Shirdi”. “Dia yang merupakan Penjelmaan Kekuatan Shirdi Sàì Bàbà”, "Dia yang merupakan Penjelmaan Shirdi Sai", dan sebagainya. Arca perak Sàì Bàbà dari Shirdi ada di sana hanya sebagai wakil Bàbà, Bila menyediakan tempat untuk Bàbà di atas podium maka arca itu dipindahkan ke sebelah kanan atas ke sebelah kiri Bàbà, diletakkan di atas tanah atau dipindahkan dari balairung. Suatu kali ketika Bàbà merasa bahwa harus ada suatu arak-arakan ke desa, la berkata: "Orang Tua akan pergi hari ini,." dan dikirim-Nya arca dalam tandu yang dihias. Semasa remaja, ketika la telah menyatakan identitas Diri-Nya, banyak orang yang masih sangsi sehingga mereka mengajukan pertanyaan, “Bagaimana kami dapat percaya bahwa Anda adalah Beliau?”
75
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
Pada tahun 1948, seseorang yang mempunyai keraguan semacam ini telah diberi Penampakan luar biasa oleh Bàbà yang pada waktu itu masih muda. Orang, yang sinis itu menjadi takjub tercengang-cengang oleh bukti yang diberikan kepadanya. Rupanya Bàbà meregangkan telapak Tangan-Nya dan di situ terlihatlah potret Sàì Bàbà dari Shirdi yangbercahaya gemilang. Pada telapak Tangan yang lain ia melihat potret Úrì Sathya Sàì Bàbà yang sama gemilangnya. Keajaiban yang sama telah dialami oleh seorang pengikut bernama Chidambara lyer di New Delhi Ini memperlihatkan bahwa Bàbà tetap menggunakan cara yang sama untuk meyakinkan orang yang ingin mendapatkan bukti bahwa la yang dulu telah datang sebagai Sàì Bàbà dari Shirdi, kini telah datang sebagai Sathya Sàì Bàbà. Pengikut dari Delhi itu menulis: "Pada suatu sore aku bersepeda di sepanjang jalan yang sunyi antara Delhi lama dan Delhi baru sambil memikirkan kesulitan keuangan yang kualami. Baru beberapa minggu yang laiu aku kembati dari Puttaparthi dan walaupun sangat tertarik pada Bàbà, aku belum yakin bahwa la dulu juga Sàì Bàbà dari Shirdi atau Penjelmaan Tuhan. Beberapa tahun yang lalu seseorang menasehati aku agar memuja Sàì Bàbà dari Shirdi, dan sekarang aku telah menemui Bàbà yang baru ini di Puttaparthi. Aku memikirkan keragu-raguan ini sambil terus mengayuh sepeda. Tiba-tiba seorang tua yang berbadan tegap mengayuh sepedanya kuat-kuat menyusulku sambil bertanya dari belakang, “Pekerjaan hari ini telah selesai?” Ketika menoleh, aku melihat senyumnya yang menarik hati dan ia memandangku dengan wajah yang tampak iba bercampur rasa sayang. Aku mencari nafkah di Delhi, mengajar musik pada anak-anak dan kadang-kadang memainkan biola pada pagelaran musik. Kukira orang tua ini pasti telah melihatku di pagelaran atau di rumah salah seorang murid dan memperhatikan aku mengayuh sepeda di sepanjang jalanan Delhi. “Ya, sekarang saya pulang ke rumah,” jawabku dalam bahasa Tamil, bahasa ibuku dan bahasa yang secara tak terduga telah dipakai oleh orang yang tak kukenal tersebut. “Kalau begitu,” pinta orang tua itu, “dapatkah engkau menyertai saya ke kuburan tua di sana? Saya tak akan menahanmu lama-lama.” Kami bersepeda berdampingan hingga kira-kira dua ratus meter menuju ke kuburan. Setelah menyandarkan sepeda di dinding, kami duduk di tempat yang teduh di sebelah timur. la memintaku agar duduk di depannya dan dengan pertanyaannya yang cerdik, ia membuka persoalanku satu demi satu. la berkata bahwa Guru yang secara mujur telah kudapatkan adalah Tuhan Sendiri. Tiba-tiba ia berdiri dan berkata, “Mengapa engkau menyangsikan-Nya? Ia adalah Sàì Bàbà dari Shirdi, lihat!” la membentangkan telapak tangannya ke arahku dan kulihat dengan jelas di atas telapak tangan yang satu, potret Sàì Bàbà dari Shirdi seolah-olah digambarkan dengan warna-warna yang sangat hidup dan tampak bercahaya dengan begitu cemerlang sedangkan di telapak tangan yang lain tampak wajah Bàbà Puttaparthi yang bercahaya. Aku tak akan pernah dapat merupakan kedua wajah yang menerangi telapak tangan orang tua suci tersebut. Hal ini terjadi sebagai jawaban atas semua kebimbanganku, bagaikan sauh yang diberikan pada jiwa yang terombang-ambing dan juga memberiku suatu pandangan hidup yang baru. Kini bila aku duduk bermeditasi, gambaran kedua wajah yang bercahaya itu tampak di depan mata batinku dan membuat hatiku bergetar karena merasakan suatu kegembiraan yang gaib. Kami bersepeda bersama kembali ke jalan besar. Setelah sampai, orang tua itu berbalik ke arah semula ia datang! Hal ini agak tak terduga karena pastilah ia tidak akan datang sedemikian jauh hanya untuk memberkati aku dengan Penampakan tersebut. la memperingatkan lagi agar kesetiaanku tak goyah karena jika demikian aku akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga, yang telah kudapat dengan sangat mudah. Kuawasi ia ketika mengayuh sepedanya pergi, kagum oleh ketangkasan dan keahliannya bersepeda. Tetapi bayangkan betapa heran dan terkejutnya aku ketika sesaat kemudian tiba-tiba lenyap!" Demikianlah Bàbà memberi bukti yang positif pada pengikut dari Delhi ini tentang kesamaan kedua Bàbà tersebut. Bàbà mengucapkan kata-kata hiburan serta dorongan yang sama dan kini pun la menggunakan gerakan yang sama yang berarti "Jangan takut", seperti dilakukan-Nya ketika la masih kecil dan memperlihatkan pada orang-orang yang ragu bahwa la benar-benar lahir dengan tujuan spiritual untuk memperbaiki serta membimbing. Penampakan yang sama ini telah diberikan untuk menyelesaikan keraguan yang serupa, tak menjadi soal apakah orang yang sangsi itu hadir di depan Bàbà secara jasmani atau apakah ia berada jauh di Delhi dan sedang bersepeda di jalan yang sunyi! la telah memberikan Penampakan ini pada banyak
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
76
orang di mana pun mereka berada. Bagi pengikut yang beruntung, kejadian ini dan aneka kejadian lainnya merupakan suatu petunjuk yang jelas bahwa la dan Sàì Bàbà dari Shirdi adalah Satu. Suatu ketika ada seorang pengikut yang sedang duduk di setasiun kota Bangalore menanti kereta api ke Mysore, la akan masuk Rumah Sakit Missi di situ dan menjalani suatu operasi. Sathya Sàì Bàbà menampakkan Diri di hadapannya sebagai seorang laki-laki tua yang tinggi tegap, sangat mirip Sàì Bàbà dari Shirdi, mengenakan “jubah” kafni yang panjang dengan sehelai kain yang dililitkan di kepalanya, dan membawa sebatang tongkat yang berat serta sebuah bungkusan pakaian. Sambil duduk di atas bangku yang sama seperti yang diduduki wanita tersebut, laki-laki tua itu mulai mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa Telugu dan menasehatinya agar tidak menjalani operasi. Dikatakannya bahwa sekarang para dokter suka bertingkah dan menyarankan operasi untuk penyakit-penyakit yang ringan pun. Diberitahukannya pada wanita itu bahwa ia baru saja kembali dari Shirdi, kemudian diberikannya beberapa buah kurma yang katanya adalah persembahan dari tempat suci tersebut! la berkata bahwa buah kurma itu akan membuatnya sembuh, dan memang benar demikian! la juga memberitahu wanita tersebut bahwa Àúramnya terletak di dekat Viduraswatam (di jalan menuju ke Puttaparthi) dan bahwa nantinya ia akan membawa seluruh penghuni Àúramnya ke Shirdi! Dengan demikian tampak bahwa dalam pengalaman para pengikut, Sàì Bàbà dari Shirdi terjalin dan tak dapat dipisahkan dari penjelmaan yang sekarang; keduanya adalah penjelmaan Tuhan yang sama. Kini bila pengikut Sàì Bàbà dari Shirdi melakukan puja maka Sathya Sàì Bàbà mengetahuinya. Suatu kali di Madras ada seorang wanita yang sedang berputus asa karena anak laki-lakinya sakit parah. la meletakkan anak tersebut di depan potret Sàì Bàbà dari Shirdi. Anak itu hidup. Beberapa tahun kemudian wanita itu mendengar tentang Sathya Sàì Bàbà. Ia datang ke Puttaparthi bersama anak laki-lakinya yang saat itu telah menjadi seorang pemuda yang tinggi tegap. Segera setelah melihat mereka, Bàbà bertanya kepada sang ibu: "Lima belas tahun yang lalu engkau menyerahkan anak ini dalam perawatan-Ku, bukan?. Setiap tahun bila hari wafatnya "badan fana Sàì Bàbà dari Shirdi diperingati di Shirdi, yang sekarang dan bila kembali biasanya la berkata : “Aku telah pergi ke Shirdi.” Beberapa tahun yang lalu ketika Bàbà sedang berada di Madras, ada suatu kejadian yang tak dapat diterangkan dengan teori mana pun, kecuali penjelasan yang menyatakan kesamaan kedua Bàbà tersebut. Secara sambil lalu Bàbà mengatakan pada pengikut-Nya bahwa seorang pembantu dekat Sàì Bàbà dari Shirdi akan berpulang menuju kekekalan pada pagi hari tanggal tertentu, dan bahwa la harus pergi untuk memberi Penampakan karena orang itu ingin sekali melihat-Nya pada saat terakhir kehidupannya di dunia yang fana ini. Kebanyakan pengikut cemas tentang apa yang akan terjadi hari itu, walaupun sebagian dari mereka berharap-harap dan bahkan gembira karena mereka akan mendapat kesempatan melihat Bàbà memberkati seorang pengikut penjelmaan-Nya yang dahulu. Selama beberapa hari pembicaraan mereka hanya berkisar sekitar hal tersebut, mereka melihat penanggalan dan kemudian mengawasi arloji, menanti tibanya saat yang bersejarah itu! Akhimya tibalah hari itu. Ketika telah sampai saat yang ditentukan, walaupun para pengikut telah berusaha melakukan tindakan pencegah, Bàbà sedang berada di kamar mandi! Ketika sampai lama belum juga la ke luar, mereka mengintip melalui jendela dan mendapati bahwa Bàbà benar-benar meninggalkan badan-Nya. Mereka membuka pintu secara paksa, merawat Badan-Nya dan mengawasi tanda-tanda gerakan atau kegiatan jantung serta nadi. Mereka melihat banyak Abu Suci ke luar dari jari kaki kanan-Nya dan juga mendengar Ia berbicara dalam bahasa Marathi, mengutip bait-bait kitab suci. Ketika "tiba kembali", Bàbà menceritakan pada mereka kisah berpulangnya Abdulla Bàbà, pengikut-Nya. Bagaimana la memberkati orang itu dengan Penampakan Sàì Bàbà dari Shirdi, Gurunya, serta memberinya Udi yang biasa selalu diberikan-Nya. Empat tahun yang lalu ketika Bàbà sedang berada di Hyderabad, la diundang ke Àúram Godàvarì Matha, murid Upasini Bàbà dan Sàì Bàbà dari Shirdi. la disambut oleh murid-murid wanita dengan doadoa dari Veda serta upacara tradisional untuk menerima orang tua-tua yang patut dihormati. Mereka mempersembahkan puja. Pastilah la telah menganugerahi mereka dengan sepercik pengertian akan realitas serta identitas-Nya, karena mereka menyatakan keinginan yang sangat untuk datang ke Prasanthi Nilayam. Tetapi Bàbà berkata bahwa la juga ada di Sakori, tempat biara induk Godàwarì Matha di dekat Shirdi dan bahwa sangatlah baik bila mereka tetap di sana. Orang-orang yang telah biasa menyaksikan keajaiban Sàì Bàbà dari Shirdi dan keajaiban Úrì
77
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
Sathya Sàì Bàbà, mungkin melihat perbedaan tertentu dalam cara bertindak, bahasa serta tekniknya, tetapi sebagaimana di nyatakan oleh Yogi Suddànanda Bharathiar dari Madras yang telah melihat dan mendapat inspirasi dari kedua Bàbà tersebut, “Ada persamaan yang jelas dalam tujuan dan pesan mereka.” Sathya Sàì Bàbà berkata bahwa sikap-Nya terhadap orang-orang yang bodoh, lalai, tidak taat dan congkak, kini tidak sekeras seperti ketika la berada dalam penjelmaan-Nya yang dahulu. la menjelaskan perbedaan ini dengan perumpamaan; “Sang ibu biasanya bersikap keras bila anak-anak memasuki dapur dan mengganggunya ketika sedang masak, tetapi ketika sedang melayani makan ia bersikap riang serta penuh kesabaran. Kini Aku melayani kalian dengan hidangan-hidangan yang telah masak, maka di mana pun kalian berada, bila kalian lapar dan mempunyai piling, Aku akan melayani serta memberi kalian makan sepuas-puasnya!” la gembira bila kita menikmati makanan itu. Orang yang telah membaca uraian tentang prosesi Sàì Bàbà dari Shirdi menuju ke Chawadi yang diselenggarakan dengan seksama seminggu sekali, merasa terharu oleh kemegahan peristiwa itu: dengan keretanya, kuda yang diberi aba-aba, tandu yang dihias dengan perlengkapan perhiasan lainnya. Mereka mungkin akan berkomentar bahwa Sathya Sàì Bàbà tak akan mengizinkan pengikut-Nya menghamburkan segala pertunjukan kemewahan dan keindahan itu bagi-Nya! Mereka yang telah membaca uraian tentang papan gantung sementara yang sering digunakan untuk tidur oleh Sàì Bàbà dari Shirdi, akan merasa gembira karena Sathya Sàì Bàbà tidak menempuh disipiin hidup yang keras semacam itu. Sehubungan dengan kesulitan yang biasanya dialami orang untuk mempercayai persamaan kedua Bàbà itu, maka dalam amanat-Nya bagi orang orang yang berkumpul pada Sai Samaj Seluruh India di Madras pada bulan Januari 1959, Sathya Sàì Bàbà berkata: “Riwayat hidup Úrì Ràma dan Úrì Kåûóa di dunia berbeda dalam : macam-macam hal, mereka juga menekan-kan aspek tingkah laku moral serta kepercayaan filsafat yang berbeda. Mereka berbeda pula dalam cara mengajar dan memperbaiki. Semua ini lebih merupakan perbedaan dalam hal-hal yang ditekankan dan bukannya perbedaan dalam hal-hal yang asasi. Sangatlah sulit untuk meyakini bahwa Úrì Ràma adalah juga Úrì Kåûóa tetapi hanya sedikit orang yang menyangsikan hal itu. Demikian pula, mereka dapat menyelami hal ini, kegaiban-Ku, akan dapat memahami bahwa kekuatan yang sama kini telah mengambil wujud manusiawi yang berbeda.” Orang-orang yang telah mengetahui berbagai keajaiban Sàì Bàbà dari Shirdi, Kemahatahuan dan Kemahakuasaan-Nya, ajaran serta Cinta-Nya yang universal, hanya dengan melewatkan waktu beberapa hari dalam Kehadiran Suci Sathya Sàì Bàbà, akan yakin pada persamaan kedua Bàbà tersebut. Tak salah lagi ada kesamaan dalam gaya berbicara, sikap, pandangan dan ajaran mereka. Yang Suci Svàmì Gàyatrì, murid Yang Suci Svàmì Narasiýhabharati dan rekan Svàmì Amåtànanda yang telah disebutkan sebelum ini, datang ke prasanthi Nilayam dalam tahun 1960. la bercerita bahwa pada tahun 1906 ia telah melewatkan waktunya bersama Sàì Bàbà dari Shirdi dan sering berkunjung lagi setelah itu. la terkenang pada suatu peristiwa yang serupa dengan kejadian ajaib “Jangan Tembak” yang telah diceritakan dalam bab sebelum ini. la juga menceritakan banyak kisah pendek yang lucu tentang Sàì Bàbà dari Shirdi, mirip dengan berbagai kejadian dalam penjelmaan yang sekarang. Bahkan beberapa kelakar mereka pun sama! Malam sebelum meninggalkan Puttaparthi dalam kunjungan tersebut, ja mendapat Penampakan Gurunya yaitu Sàì Bàbà dari Shirdi. Dalam Penampakan itu Sàì Bàbà dari Shirdi berkata bahwa la telah meninggalkan kuburan-Nya setelah delapan tahun dan telah membawa lagi seluruh “kekayaan”-an-Nya” lima belas tahun kemudian! Pagi berikutnya Svàmì Gàyatrì merasa heran dan gembira ketika mendengar dari penghuni-penghuni Nilayam bahwa Sathya Sàì Bàbà lahir pada tahun 1926, delapan tahun setelah berpulangnya Sàì Bàbà dari Shirdi dan bahwa dalam usia lima belas tahun la telah memakai nama “Bàbà” dan memperlihatkan segala kekuatan yang berhubungan dengan Shirdi Sàì Bàbà! Gàyatrì menyatakan bahwa nama dan kekuatan-kekuatan itu pastilah merupakan “kekayaan” yang disebut oleh sang Guru. Gàyatrì pergi dengan sangat gembira karena ia telah mendapat lagi “pusat pandangan”nya dan tak seberapa susah walau tak memperoleh kesempatan untuk wawancara! Ia adalah jiwa yang sederhana seperti anakanak, mengingatkan kita pada Svàmì Amåtànanda. Yogi Sudhananda Bharathiar berkata bahwa ketika ia bersama Lokamanya Balagangadhara Tilak dan Karandiker mengunjungi Shirdi Sàì Bàbà, Beliau memberi tahu mereka bahwa kemerdekaan yang diperoleh dengan senjata tidak akan berguna, karena apa yang didapat dengan kekerasan akan hilang oleh
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
78
kekerasan pula. la menasehatkan bahwa kemerdekaan harus dicapai dengan dan untuk kemajuan rohani. Sathya Sàì Bàbà juga meletakkan tekanan utama pada cinta yang didasarkan atas simpati dan pengertian. Olah Stapledon, pengarang yang terkenal, menulis tentang Eropa dan Barat: “Sebelum kedua perang dunia berlangsung, masyarakat yang materialistis, suka kenikmatan, semaunya sendiri dan tak bertanggung jawab secara sosial, telah merupakan suatu mimpi buruk. Di antara kedua perang dunia, mimpi buruk ini makin mendalam. Dalam menolak keadaan ini, sifat individualisme dihindari secara meluas, disertai dengan kerinduan akan raasyarakat yang sejati. Ini menimbulkan gerakan demokrasi sosialisme, tetapi selain itu juga penyimpangannya yaitu totalitarianisme. Keduanya, baik individualisme yang komersial maupun kesukuan biadab yang timbul sebagai penentangnya, dengan cara masing-masing yang berbeda telah mempelajaran serta contoh-contoh tentang kedahsyatan keadaan dunia akibat kehilangan pegangannya pada nilai-nilai tradisional! Tetapi penyakit ini telah menyerang India dan bagian dunia yang lain pula, karena dengan cepatnya dunia menjadi suatu neraka! Ada sebab lain pula bagi kedatangan Shirdi Sàì Bàbà yang kedua kalinya. Stapledon berbicara tentang kebutuhan : “Penyelidikan-penyelidikan ilmiah tampaknya menghasilkan bukti penting yaitu bahwa dugaan-dugaan yang merupakan dasar kebijaksanaan modern temyata keliru! Ada berbagai bukti yang kuat tentang telepati, juga tentang kemampuan untuk mengetahui lebih dulu hal-hal yang akan terjadi dan untuk melihat hal-hal yang telah silam. Ini memperlihatkan bahwa kejadian-kejadian yang kelak akan berlangsung dapat membawa akibat pada kesadaran manusia walau peristiwa tersebut masih belum terjadi dan dalam pandangan yang kuno disebut sebagai “tidak ada”atau “non existent”. Demikian pula kejadian-kejadian yang telah lalu. Semua ini membuat dugaan yang umum tentang waktu dan tentang keterbatasan temporer pikiran manusia temyata tak masuk akal. Untuk menghadapi kemampuan mengetahui hal-hal yang akan terjadi dan hal-hal yang telah berlangsung, dan bahkan untuk menghadapi telepati yang serempak maka “kebijaksanaan modern” haruslah diubah.” Sàì Bàbà dari Shirdi dan kini Sathya Sàì Bàbà, keduanya justru telah melakukan hal ini, yaitu menekankan nilai-nilai tradisional dan mengubah “kebijaksanaan modern” dengan cara membiasakan setiap orang dengan berbagai kemampuan ajaib untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi, telepati yang serempak, ‘multi-location’ atau berada di beberapa tempat pada saat yang sama, serta banyak kemampuan lain yang tak diketahui namanya yang membuat ahli-ahli ilmu pengetahuan menjadi kebingungan. Dengan demikian kedua Bàbà tersebut memberikan bukti-bukti pada manusia bahwa Tuhan bersemayam di dalam diri mereka. membisikkan kegaiban dan mengilhamkan keajaiban sepanjang waktu. Tujuan kedua Sai ini sama. Hanya saja kebutuhan untuk mengubah kebijaksanaan modern kini terasa makin mendesak. Pada masa Shirdi Sàì Bàbà, tekanan lebih dititikberatkan pada masyarakat sedangkan pada masa Sathya Sàì Bàbà, lebih dititikberatkan pada perorangan. Mula-mula kegiatan lebih ditujukan untuk kebaikan semua, kini lebih diutamakan pada cinta bagi semua dan bagi pribadi manusia yang terdaiam. Juga rnula-mula pesan hanya diberikan pada sejumlah kecil orang bfla dibandingkan dengan se-karang, kini semua orang boleh datang dan pesan-pesan itu bahkan dibawa kepada mereka yang membutuhkannya. Bila orang yang mempunyai pengetahuan yang jelas tentang kehidup-an Úrì Sathya Sàì Bàbà kemudian membaca misalnya saja Sai Satcharita, yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh Sri N.V. Gunaji berdasarkan tulisan Hemadpant dalam bahasa Marathi, maka dalam setiap halaman mereka akan teringat pada kesinambungan dan kesamaan antara penjelmaan yang sekarang dan yang dahulu, la akan menjumpai dalam buku tersebut kumandang suara-suara yang telah sering didengarnya diucapkan oleh Bàbà Sendiri. Buku itu menceritakan bahwa Shirdi Sàì Bàbà memberi semangat dan memperingatkan para bhaktaNya dengan pemberitahuan-pemberitahuan sebagai berikut: “Beradalah di mana kalian suka, lakukanlah apa pun yang kalian kehendaki, tetapi ingatlah baik-baik bahwa Aku mengetahui segala yang kalian lakukan. Aku adalah penguasa segala sesuatu. Aku bersemayam di dalam hati kalian. Walaupun secara fisik Aku berada di sini, Aku tetap mengetahui apa yang kalian lakukan di seberang tujuh lautan. Pergilah ke mana pun kalian kehendaki di dunia yang luas ini, Aku besertamu.” Pada berbagai kesempatan tertentu, sering sekali hingga tak terhitung lagi, Sathya Sàì Bàbà pun mengucapkan hal-hal yang pada hakikatnya sama. Sekali peristiwa ketika sejumlah pengikut di Prasanthi Nilayam merencanakan tempat untuk menginap di Courtallam, dalam perjalanan dari Trivandrum menuju ke Surandai, Bàbà berkata: “Tunggu! Aku akan memberi-tahu kalian,” Pagi berikutnya la memberi gambaran yang terperinci tentang Travancore
79
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
House di sana, jumlah kamarnya, jenis tanam-tanaman di kebun, tinggi dinding bangunannya, letak pesawat telepon di ruangan dan sebagainya. Dibuatlah suatu daftar yang kemudian ditambah-Nya dengan beberapa keterangan lain, termasuk di antaranya dua rumpun semak bunga Bougenville pada sudut setiap serambi! la telah melihat semua ini dari Nilayam. Ketika rombongan tersebut tiba di Travancore House, mereka mendapati bahwa daftar itu ternyata tepat hingga kebagian-bagiannya yang terkecil, hanya terlupakan sebatang pohon mawar yang tumbuh di dekat garasi. la telah membuktikan pada bhakta-Nya bahwa la selalu menyertai mereka dan bahwa la mengetahui setiap hal, pun yang kecil-kecil dalam perbuatan, pikiran atau pembicaraan mereka. Beberapa tahun yang lalu ada seorang pengikut yang datang ke Puttaparthi dan Bàbà berkata padanya bahwa telinga-Nya sakit karena nyanyian bagi Tuhan yang dilagukan di rumahnya! la berkata bahwa hal ini disebabkan oleh seorang tetangga yang datang dan ikut bernyanyi walaupun suaranya sumbang, orang itu tak tahu bagaimana menyesuaikan nada dan irama suaranya dengan orang-orang yang lain. Pemberitahuan tentang telinga yang sakit itu tentu saja hanyalah senda-gurau, tetapi bagaimana la dapat mengetahui tentang suara yang sumbang tersebut bila tidak sungguh-sungguh mendengarnya? Bàbà membuat orang tercengang karena memberitahukan semua pikiran mereka yang terdalam dan perbuatan mereka yang paling rahasia. la “membaca mereka bagaikan sebuah buku yang terbuka”. Sekali peristiwa seorang Inspektur Jenderal Polisi yang sedang duduk menanti dalam barisan di depan ruang wawancara Bàbà, berkata pada temannya dengan agak menantang. “Ada suatu peristiwa tertentu dalam kehidupan saya, bila la dapat mengungkapkan hal itu pada saya maka saya akan angkat topi bagi-Nya!” Akhirnya tibalah giliran Inspektur Jenderal tersebut. Ketika wawancarai selesai, ia keluar dari ruangan dengan puas dan iangat gembira sambil berteriak, “la tahu segala sesuatu dari A sampai Z, resmi dan tak resmi.” Sering kali Sathya Sàì Bàbà memberitahu para bhakta yang akan berangkat menempuh suatu perjalanan atau peziarahan, “Belilah tiga karcis untuk empat orang yang akan pergi,” ini berarti bahwa la akan menyertai mereka sebagai penumpang yang tak memakai karcis! la adalah penumpang gelap dalam setiap kapal. Sekali peristiwa la menyelamatkan seorang pilot yang akan bunuh diri di Kashmir, walaupun badan fisik-Nya berada di Puttaparthi. Hal ini terjadi pada tahun 1949. Peristiwa ini dibuktikan oleh orang-orang yang benar-benar menyaksikan keadaan “trance”’ yang dialami-Nya. Bàbà meninggalkan badan-Nya selama dua belas jam. Ketika ‘kembali’ diceritakan-Nya panjang lebar bahwa la tidak hanya melemparkan mangkuk yang berisi racun dari tangan si pilot, tetapi juga memasuki ruang pengadilan ketika perkara yang melawan pilot itu sedang disidangkan. la mempengaruhi salah seorang hakim militer untuk mengajukan suatu keberatan yang pada hakikatnya menggagalkan tuntutan dan Bwmaksa mahkamah menyatakan keputusan “tak bersalah!” Kata Bàbà, pilot itu adalah pengikut sertia Shirdi Sàì Bàbà dan secara tak adil telah dituduh menggelapkan dana! Seseorang bernama Mr. Gunaji menulis tentang Bàbà dari Shirdi. “Shirdi adalah pusat-Nya tetapi lapangan kegiatan-Nya meluas jauh hingga ke Bombay dan Calcutta, India Utara, Gujarat, Deccan dan Kanara Selatan, Hal semacam ini juga terjadi dalam penjelmaan Sathya Sai. Para pengikut yang telah pergi ke tempat-tempat yang sangat jauh termasuk Inggris, Perancis, Kanada, Amerika Serikat, Jepang dan Jerman, telah merasakan perlindungan Tangan-Nya. Misalnya saja Tuan dan Nyonya G.V. Venkatamuni, pergi ke benua Eropa dan dari situ mereka merencanakan untuk menghadiri Upacara Permahkotaan Ratu Elizabeth II. Ketika sedang berbelanja di Paris, mereka mendapati bahwa berkas-berkas travelers cheque yang dibawa ternyata hilang! Bukan main bingungnya mereka. Walau dicari dengan sekuat tenaga dan dengan seksama, tak hanya di dompet dan koper tetapi juga di tempat-tempat lain, travelers cheque itu tetap tak mereka temukan. Mereka sangat bersedih hati merenungkan keadaan buruk yang menimpa justru ketika mereka sedang berada di negara asing. Mereka berpaling ke Bàbà sebagaimana biasanya selalu mereka lakukan bila sedang seding. Bàbà mendengar seruan mereka yang mengibakan hati ribuan kilometer jauhnya! hari berikutnya ketika sedang membuka tas yang sama untuk mencari sesuatu, mereka menjadi takjub dan sangat gembira mendapati seluruh berkas travelers cheque mereka dalam keadan utuh! Ada dua teman sekelas Bàbà semasa la masih seorang anak laki-laki kecil di sekolah yang kemudian memasuki Angkatan Bersenjata. Pada suatu kali terjadilah kecelakaan, sebuah tangki bensin meledak dan mereka terperangkap dalam api. Bàbà berkata bahwa hal ini terjadi di perbatasan Timur Laut. Kebenaran
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
80
peristiwa ini terbukti beberapa tahun kemudian ketika pernuda-pemuda tersebut pulang setelah pertempuran selesai. Di Puttaparthi tiba-tiba Bàbà meninggalkan Badan-Nya dan pergi menuju ke tempat kebakaran. la mencegah agar api tak menjalar ke tenda tempat pemuda-pemuda itu, walau sebetulnya telah menyala di sekeliling tempat tersebut. Di Buku Sai Satcharita diceritakan bahwa Goulibhava, berusia sembilan puluh lima tahun yang sedang dalam perjalanan menuju ke Pandharpur, melihat Shirdi Sàì Bàbà sebagai Tuhan dalam rupa Vittal dan berseru: “Inilah Vittal yang menjelma, Tuhan yang penuh belas kasihan pada orang-orang yang papa dan tak berdaya.” Tahun yang lalu, suatu keluarga pengikut berkunjung ke Shirdi dan dari situ mencoba untuk pergi ke Pandharpur tetapi karena ada hujan lebat dan banjir, kereta api ditunda keberangkatannya sehingga mereka tak dapat melanjutkan perjalanan. Mereka datang ke Puttaparthi. Bàbà bertanya pada sang ayah dan ibu yang telah lanjut usia, “Kalian tak dapat melihat Vittal bukan? Tampaknya kalian sangat kecewa karena peziarahan kalian hams dihentikan setengah jalan. Jika kalian ingin memperoleh Darúan Vittal, pandanglah Aku.” Mereka menatap dan kemudian menari-nari dalam kegembiraan yang tak terkatakan karena Bàbà telah menjadi Vittal demi mereka. Tentang Sàì Bàbà dari Shirdi diceritakan bahwa la adalah wujud Tuhan sebagai Ràma, Kåûóa, Úiva dan Màruti. Kitab Satcharita mencatat suatu kejadian yang dialami oleh seorang dokter ketika pergi ke Shirdi Sàì Bàbà. “la tidak melihat Bàbà tapi Tuhannya yang terkasih, Ràma, duduk di kursi di hadapannya.” Banyak pengikut menyatakan dengan sumpah bahwa Sathya Sàì Bàbà juga telah memberikan PenampakanPenampakan Diri-Nya sebagai Ràma, Kåûóa, Kamakûi dan Úiva-Úakti. Pengalaman Svàmì Amåtànanda di Puttaparthi merupakan contoh sangat berharga yang memperlihatkan aspek ketuhanan Bàbà ini. Segera setelah Amåtànanda tiba di Prasanthi Nilayam, Bàbà menyapanya “Amritam”, dan Amåtànanda sungguh-sungguh merasa heran oleh nada keakrabaan serta kasih sayang dalam panggilan itu. la berkata: “Hanya Ramaóa Mahàåûi (orang suci dari India Selatan) dengan siapa saya telah tinggal selama tujuh belas tahun, menyapa saya demikian. Suara dan sikap Beliau tepat sama dengan suara serta sikap Mahàåûi. “Beberapa waktu kemudian Bàbà bertanya pada Svàmì yang berusia delapan puluh lima tahun itu tentang “Ga Napati Homam”yaitu suatu korban bagi Dewa berkepala gajah yang telah dilakukannya selama empat puluh satu hari ketika ia masih berusia tujuh tahun! Bàbà memberitahu Svàmì tersebut segala seluk-beluk pengorbanan itu termasuk mantranya atau “kata-kata mengandung kekuatan” yang panjang dan rumit, yang harus diucapkan setiap kali persembahan dimasukkan ke dalam api. Mantra itu sebagai mana dinyatakan oleh Bàbà, dimulai dengan “Oý Sreem Hreem Kleem Gloum Gam.” Ini adalah mantra Benih-Benih Suara. Bàbà memberitahu Svàmì tersebut bahwa ia telah mengulang mantra ini seribu kali sehari selama empat puluh satu hari dan mempersembahkan kelapa sejumlah itu pula dalam api pengurbanan suci. “Tetapi apakah ganjaran yang dijanjikan dalam Kitab Suci?” Bàbà bertanya pada pertapa tua ini. la menjawab bahwa bila pengorbanan itu dilakukan dan upacaranya diikuti dengan saksama maka Ganapati Sendiri akan memperlihatkan diri sebagai Dewa berkepala gajah berwarna keemas-emasan dan bercahaya, “di-kelilingi oleh nyala yang berkobar-kobar”, bahwa dengan belalai-Nya la akan menerima persembahan penutup yang terakhir dan akan menganugerahkan kebahagiaan yang abadi dengan Darúan-Nya. Bàbà bertanya apakah ia mendapatkan Penampakan itu. Amåtànanda menjawab bahwa tidaklah mudah bagi seorang anak laki-laki yang berusia tujuh tahun untuk mendapatkan Penampakan Tuhan hanya dengan mempersembahkan sejumlah persembahan dan mantra. Bàbà menyela pembicaraannya dan berkata, “Tidak, tidak. Adalah karena semua mantra dan persembahan itu maka sekarang engkau datang kepada-Ku. Hari ini setelah terselang selama tujuh puluh delapan tahun, engkau akan memperoleh ganjaran sebagaimana yang disebutkan, dalam Kitab Suci.” Bàbà meminta Svàmì itu agar menatap-Nya dan ketika hal itu dilakukan, Amåtànanda melihat Gajah bewarna keemasan, Ganapati sebagaimana dilukiskan dalam naskah-naskah kuno. la dilimpahi dengan kegembiraan dan kebahagiaan selama empat hari setelah Darúan itu dan melalaikan makan, minum serta tidur. Saya mengetahui hal ini karena selama hari-hari itu Svàmì yang bersangkutan tinggal bersama dengan penulis di Prasanthi Nilayam. Hemadpant menyebutkan bahwa Shirdi Sàì Bàbà, “dokter” segala dokter yang termasyhur, yang telah mengabaikan kepentingan-Nya sendiri dan selalu bekerja untuk kebaikan dan kesejahteraan orang
81
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
lain, telah berkali-kali menderita sakit serta nyeri yang mengerikan dan tak tertanggungkan demi umat-Nya. Ini benar, bahkan dalam penjelmaan yang sekarang pun, karena Sathya Sàì Bàbà telah memindahkan pada Diri-Nya Sendiri bermacam-macam bentuk penderitaan termasuk penyakit gondok, typhus serta berbagai demam lain, sakit sewaktu bersalin dan luka-luka terbakar dari umat-Nya Seorang dokter yang tinggal dekat Madurai menulis pada Bàbà: “Telinga saya tiba-tiba mulai berdarah banyak sekali dan menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Saya menderita selama sehari, tiba-tiba seluruh rasa nyeri dan pendarahan mereda dengan ajaib.” Tepat pada waktu surat sang dokter mencapai Puttaparthi, Bàbà Sendiri “bebas” dari pendarahan dan sakit telinga hebat yang dinyatakan-Nya sebagai la “ambil alih” dari seorang pengikut yang telah menderita kesengsaraan! Pada tanggal 21 Juni 1959, sekitar pukul 1.30 siang, di Bangalore suhu tubuh Bàbà tiba-tiba memanjak hingga 104,5°F. Kecemasan para pengikut agak berkurang ketika lima menit kemudian suhu menurun dan thermometer menunjukkan angka 99°F. Tak seorang pun mengetahui apakah yang menyebabkan peningkatan dan penurunan suhu yang mendadak ini hingga kira-kira pukul 9.30 malam itu. Pada waktu makan malam, sambil duduk di teras dalam cahaya bulan, Bàbà memberi tahu seorang pemuda dari Madras, “Besok, bila engkau pergi ke ibumu, katakan padanya bahwa ia harus lebih berhati-hati dengan api. Yakinkanlah ia bahwa Bàbà selalu menyertainya dan bahwa ia tak akan tertimpa bencana.” Bàbà menjelaskan bahwa sari yang dipakai oleh ibu pemuda itu terjilat api pelita ketika ia sedang bersembahyang di ruang doanya. Tamu-tamu-Nya ingin sekali mengetahui kejadian tersebut sehingga mendesak penulis agar menelepon sang ibu yang tinggal di Madras, tiga ratus lima puluh tujuh kilometer jauhnya dari Puttaparthi. Ketika Bàbà berbicara kepadanya, maka pertama-tama ia bertanya apakah kedua Tangan-Nya terbakar ketika sedang memadamkan api, karena ia mengetahui suatu contoh kejadian semacam itu, kejadian yang memperlihatkan belas kasihan-Nya. Bàbà menjawab, “Oh, tidak. Aku. tak membakar kedua tangan-Ku. Hanya suhu badanKu meninggi sebentar!” Suatu kali tangan Shirdi Sàì Bàbà pernah hangus ketika la menyelamatkan seorang anak dari api. Kecelakaan itu terjadi di tempat yang berkilometer-kilometer jauhnya. Shirdi Sàì Bàbà menjelaskan, “Si anak tergelincir ke dalam tungku. Segera Kumasukkan tangan-Ku untuk menolongnya. Aku tak peduli tangan-Ku terbakar. Aku gembira karena hidup anak itu selamat. “ Perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan kedua Penjelmaan ini sama. Satcharita, buku yang menarik tentang Shirdi Sàì Bàbà yang telah disebutkan sebelum ini, menceritakan bahwa banyak penyakit telah disembuhkan-Nya hanya dengan perintah seperti misalnya, “Engkau tak usah minum pencahar lagi”, Muntah-muntah harus berhenti”, “Berak-berak harus berhenti”, “Jangan naik oh racun ular!” Sathya Sàì Bàbà pun tetap melakukan keajaiban yang sama dan menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk penyakit-penyakit yang telah lama diderita, hanya dengan Kemauan-Nya. Seorang pedagang tua dari kota Kuppam yang dikira telah meninggal, telah didiamkan selama dua hari karena Bàbà tak memberikan amanat untuk melangsungkan pembakaran tubuhnya. Pada hari ketiga Bàbà memerintahkan kepadanya agar bangun dan ia mentaatinya! Ada seorang pemuda dari Salem yang menderita diare akut. Bàbà memberi perintah, “Jangan buang-buang air lagi,” dan diare itu berhenti. Di Puttaparthi ada seorang gadis remaja yang penglihatannya sedemikian dan buruk sehingga untuk berjalan di sekitar rumahnya ia harus meraba-raba dinding dengan sebelah tangannya, la bahkan tak dapat menahan sinar matahari karena terasa bagaikan membakar matanya dan menyebabkan ia menderita sakit kepala yang hebat. Hampir sepanjang hari ia tinggal di rumah dalam kamar yang digelapkan. la telah mengunjungi hampir semua dokter mata yang terkenal di Mysore, Madras dan Bombay tetapi tak kunjung sembuh juga. la melewatkan hari-harinya dalam doa dan meditasi. Akhirnya pada suatu hari Bàbà berkata bahwa ia boleh pulang ke rumah dan bahwa matanya akan baik. la memberi gadis itu sebotol obat tetes mata yang diciptakan-Nya dengan Lambaian Tangan dan berkata, “Pakailah obat ini, beberapa tetes pun cukup.” la pulang ke rumah dan mendapatkan bahwa matanya telah sembuh dengan sempurna. Perintah-Nya telah ditaati oleh si mata. Satcharita juga menyatakan bahwa Shirdi Sàì Bàbà biasa berkata, “Aku adalah sang Ibu, asal mula segala mahluk, harmoni dari ketiga sifat-sifat alam, pendorong segala kejadian, Pencipta, Pemelihara dan Pemusnah.” Juga menyatakan: “Ia berkeyakinan teguh bahwa la adalah Tuhan Vasu-deva.” Begitu pula Bàbà telah berkali-kali menyatakan bahwa Ia datang untuk menyelamatkan dunia dan bahwa la adalah
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
82
Tuhan Sendiri. Suatu pernyataan yang sangat jelas dan mendalam tentang hal ini terlihat sekitar tahun 1952. Suami saudara perempuan-Nya meninggal secara mendadak dan seluruh keluarga serta penduduk desa bersedih hati. Beberapa jam setelah pemakaman, Bàbà tampak sedang duduk di dinding serambi depan Nilayam bagian bawah, menghadap ke jalan yang menuju ke tempat itu. Saudara perempuan-Nya yang merasa sangat kehilangan, menangis pilu dari dalam bangunan. Anak laki-lakinya yang kecil beserta neneknya sedang berada di depan Bàbà dan di situ ada ayah, ibu, kakak, saudara saudara laki-laki dan orang-orang lain, duduk membentuk setengah lingkaran, semuanya sedang berada dalam kesedihan yang mencekam. Bàbà tersenyum dan menegur sambil tertawa tanpa membuka mulut-Nya, “Mengapa ribut-ribut begini? Bila tak ada kematian dan kelahiran, bagaimana Aku akan melewatkan waktu-Ku?” Tidakkah Bàbà adalah Pencipta, Pemelihara dan Pemusnah, Tuhan Sendiri? Sàì Bàbà dari Shirdi mempunyai kuasa atas kodrat alam. Suatu kali ada tanda-tanda bahwa akan ada angin ribut yang mengerikan, langit sangat gelap, hujan lebat turun dan air membanjiri jalan. Penduduk desa kebingungan. Mereka berlari ke Bàbà untuk memohon pertolongan. Bàbà memberi tahu angin ribut, “Hentikan amarahmu dan tenanglah!” Segala sesuatu menjadi tenang di Shirdi. Hal ini pun diceritakan dalam Satcharita. Suatu kali la juga memerintahkan api agar mereda serta tenang, dan sang api segera menaati-Nya. Banyak contoh semacam ini juga terhimpun dalam ingatan pengikut Sathya Sàì Bàbà. Karena ini hanyalah kelanjutan dari drama Tuhan yang sama. Berkenan dengan peristiwa hujan lebat, Sri Challa Appa Rao menulis, “Hal ini terjadi ketika Bàbà sedang dibawa dalam arak-arakan pada malam perayaan Vijayadaúami. Ia duduk dalam kereta yang dihias. Ketika proses dimulai, langit sangat gelap dan padat oleh mendung serta angin ribut. Ada guntur yang mengguruh memekakkan dan halilintar. Sungguh suatu pemandangan yang mengerikan. Lebih dari tiga jam berlalu sebelum arak-arakan kembali ke pura tetapi tetap tak ada hujan. Siapa lagi bila bukan Tuhan Sendiri yang dapat menahan curahan hujan lebat sedemi-kian lama. Bàbà turun dari kereta dan berjalan naik ke atas loteng di Nilayam. Setiap orang kembali ke kamar mereka masingmasing kemudian turunlah hujan lebat! Pada suatu sore yang mendung dalam bulan Juni, Bàbà memberi amanat pada orang-orang yang berkumpul dalam suatu pertemuan yang diselenggarakan di udara terbuka di Mercara. Langit berawan gelap dan kelam menandakan bahwa hujan akan segera turun. Pada bukit-bukit dikejauhan, hujan telah tercurah. Makin lama hujan makin mendekat hingga mencapai Mahadevpet yang hanya delapan ratus meter jauhnya dari tempat itu. Bàbà meneruskan khotbah-Nya dengan tenang, mengikat hati pendengarNya selama lebih dari satu setengah jam. Akhimya la berkata, “Sekarang kalian boleh pulang ke rumah karena kira-kira sepuluh menit lagi hujan akan turun yang sebetulnya sudah akan membasahi kalian saat ini.” Hujan kemudian turun tepat seperti apa yang telah dikatakan-Nya. Sungai Citravatì di Puttaparthi sering tiba-tiba banjir. Sungai ini timbul di bukit Nandi dan hujan yang lebat di wilayah itu di daerah Mysore, menyebabkan air membanjir ke bawah sepanjang tepian sungai hingga berkilo-kilometer jauhnya dan dalamnya mencapai beberapa kaki. Prasanthi Nilayam dibangun di atas tempat yang tinggi untuk menghindari banjir berkala ini, yang kadang-kadang meluap hingga masuk ke kuil tua dan menggenangi ruang doa, dapur serta seluruh daerah sekitarnya. Sering di saat semacam itu, Bàbà berdiri di tepi air dan berkata, “Ini cukup, kembalilah.” Luapan air itu menurut. Beberapa tahun yang lalu, selama Dasara, ketika makanan sedang dibagi-bagikan hujan turun di sekitar Nilayam tetapi tak setetes pun yang jatuh di tempat orang-orang yang sedang diberi makan! Pada tahun 1963, Bàbà berada di wilayah Godàvarì Timur. la telah menyeberang menuju ke Rajahmundry dengan perahu terakhir yang di izinkan polisi untuk mengarungi sungai yang sedang banjir, berarus keruh dan sangat deras. Di mana-mana tanah menjadi basah dan berlumpur; angin yang dingin menurunkan hujan rintik-rintik selama hampir dua puluh empat jam. Di Mirthipadu, kira-kiraa enam belas kilometer dari Rajahmundry, Bàbà berkhotbah kepada penduduk desa dari suatu teras terbuka di sebuah rumah kecil. Di seluruh tempat sekitarnya orang dapat melihat genangan air yang berasal dari luapan sungai Godàvarì dan hujan melaju dari segala arah menuju ke Mirthipadu, tetapi anehnya hujan tak dapat memasuki wilayah tersebut dan pertemuan berlangsung hingga jauh malam! Bàbà telah menghendaki agar hujan tidak datang ke situ. Satcharita menceritakan bahwa Shirdi Sàì Bàbà menyembuhkan Bhimaji Patel melalui dua buah
83
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
mimpi. “Dalam mimpi la memberi petunjuk pada banyak orang. la juga muncul dalam mimpi seseorang yang ketagihan minuman keras. la duduk di atas dada orang itu dan menekannya hingga orang itu berjanji tak akan menyentuh minuman keras lagi. Bàbà juga menjelaskan mantra-mantra pada sejumlah orang dalam mimpi mereka.” Sàì Bàbà yang sekarang telah “mengoperasi” banyak penderita dalam mimpi mereka. Thirumala Rao dari Bangalore mendapat pengalaman semacam ini; ketika terbangun, tempat tidurnya basah oleh darah sedangkan sakit yang dideritanya hilang. Apa yang diimpikannya benar-benar telah terjadi. Bàbà, Ahli Bedah Dahi telah memberkatinya. Mimpi merupakan suatu cara yang sangat penting dalam komunikasi antara Bàbà dan umat-Nya. Bàbà memperingatkan, mengajar, memberi petunjuk, mengobati atau “mengoperasi” dalam mimpi si pengikut yang direncanakannya baginya. la telah menuntun sejumlah pengikut dalam pelajaran disiplin kerohanian yang pertama. Dalam mimpi la telah menampakkan Diri dan memberitahukan kalimat-kalimat suci pada calon yang pantas mendapatkannya. Kemudian bila si pengikut mengunjungi Puttaparthi, la memberi tahu orang itu tentang proses dan keadaan yang diperlukan agar praktek kerohaniannya berhasil. Seperti halnya Shirdi Sàì Bàbà duduk di atas dada seorang pemabuk dan dalam mimpi memaksanya berjanji tidak akan menyentuh minuman keras lagi, maka Bàbà pun telah “memukul” seorang pemuda yang tegar hati, mantu laki-laki salah seorang bhakta-Nya, ketika pria itu sedang berada. sendirian dalam kereta api yang sedang berjalan, dalam gerbong kelas utama! Begitu kereta api tersebut dihentikan di sebuah setasiun di tepi jalan maka pria itu melompat ke luar. Orang-orang yang berkumpul dapat melihat bekas jari-jari di atas kedua pipinya. Seorang pasien yang sakit ingatan di rumah sakit Puttaparthi juga “dipukul secara tak kelihatan oleh Bàbà. Dokter-dokter di samping tempat tidurnya menyaksikan pria itu berteriak pada setiap pukulan, menyerukan bahwa ia akan berkelakuan lebih baik dan mohon agar Bàbà berhenti memukulnya. Orangorang di situ mengagumi cara Bàbà yang misterius untuk menyembuhkan pasien ini dari kebiasaannya mengucapkan kata-kata kotor. Setelah perlakuan ini dan benar-benar mengalami penderitaan badan maka pria itu menghentikan kata-kata kotornya, sebagai gantinya ia selalu menyanyikan lagu-lagu kebaktian! Satcharita menceritakan kisah seorang anak laki-laki dari Punjab yang melihat Shirdi Sàì Bàbà dalam mimpi dan mendengar Bàbà memerintahkan agar ia datang ke Shirdi. la tak mengetahui siapakah Bàbà dan di mana letak Shirdi. Untunglah anak laki-laki itu melihat gambar Bàbà di sebuah toko dan setelah mengalami berbagai peristiwa akhirnya dapat tiba di Shirdi. Banyak contoh yang sifatnya tepat sama juga terjadi dalam peranan Sathya Sàì Bàbà. Kepala sebuah college di India Selatan merasa heran ketika anak laki-lakinya yang menderita penyakit jantung berat, pada suatu hari berkata bahwa ia bermimpi tentang suatu tempat bernama Puttarparthi dan bahwa di tempat itu ia akan disembuhkan! Ia berusaha mendapatkan keterangan; memeriksa jadwal waktu kereta api dari seluruh wilayah India, mendapatkan turunan Buku Penuntun Kantor Pos dan merasa heran serta gembira ketika menjumpai bahwa ada sebuah desa yang disebut Puttaparthi dan desa itu mempunyai kantor pos. Dalam penyelidikan selanjutnya ia mendapatkan berita yang berharga bahwa Úrì Sathya Sàì Bàbà berada di sana, dan bahwa la dapat menyembuhkan segala penyakit hanya dengan Kehendak-Nya! Ada suatu kisah yang menarik tentang bagaimana Bàbà memanggil seorang pengikut setia Tyagaraja datang kepada-Nya. Pada tahun 1951, Raja Venkatagiri merasa heran dan gembira ketika menerima surat dari pengikut Tyagaraja tersebut. Surat itu berbunyi, “Tyagaraja muncul dalam sebuah mimpi dan memberi petunjuk agar saya pergi ke Venkatagiri, supaya dapat diberkati oleh Tuhan yang telah datang ke dunia ini dan yang segera akan datang berkunjung ke Venkatagiri. la memberitahu saya bahwa Tuhan telah memakai nama Úrì Sathya Sàì. Saya akan datang ke Venkatagiri segera setelah mendengar kabar dari Anda.” Pada perayaan hari lahir Kåûóa, ia menemui Bàbà di Venkatagiri untuk memenuhi perintah tersebut. Bàbà memberinya kesempatan untuk menyanyikan gubahan Thyagaraja selama dua jam penuh dalam Kehadiran-Nya. la juga memberkati wanita itu dengan arca Úrì Ràma yang diciptakan-Nya baginya. Setelah menerima arca itu, ia masuk dalam keadaan ekstasi dan tak sadarkan diri selama dua puluh empat jam! la sangat berbahagia karena Bàbà menganugerahkan dua hadiah kepadanya yaitu mengalami kematian yang damai, dan ingat pada Nama Ràma hingga saat terakhir kehidupannya ! Ratusan orang datang ke Puttaparthi karena dipanggil melalui pemberitahuan yang gaib. Misalnya Tyagaraja adalah seorang suci, penggubah lagu dan penyair tersofcor dari India Selatan. la dilahirkan pada tahun 1767 di Turuvarur dan meninggal di Prabhava pada tanggal 6 Januari 1847.
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
84
saja Sukumara Menon yang “dipanggil” melalui telepon oleh suara Bàbà, agar menemui-Nya. Pembicaraan telepon itu tak dapat diketahui sumbernya. Telepon berdering di ruangnya walau sesungguhnya Bàbà sedang berada di tengah para pengikut di Bangalore dalam suatu selamatan pindah rumah. Sukumara Menon menulis tentang telepon gaib ini dan pembicarannya dengan Bàbà. Ketika penulis mengatakan hal ini pada Bàbà, Beliau berkata, “Sekarang engkau mengetahui hal ini karena ia menulisnya. Tetapi ingat, ini hanyalah sepersejuta dari kegiatan-Kumencurahkan Rahmat.” Satcharita juga mencatat segi lain dalam kehidupan Shirdi Sàì Bàbà yang dapat dipandang sebagai contoh yang tepat dari apa yang kini terjadi di Puttaparthi. “Umat tak akan dapat mendekati-Nya jika la tak bermaksud menerima mereka. Tak seorang pun dapat datang kesana dengan kehendaknya sendiri, tak seorang pun dapat tinggal lama di sana biarpun ia menghendakinya, ia harus meninggalkan tempat itu bila telah diizinkan oleh Bàbà.” Suatu kali ketika sebuah barisan panjang pedati-pedati lembu dari Bukkapatnam mendekat menuju ke Puttaparthi dan membawa pengunjung dari berbagai tempat, Bàbà bernyanyi bersorak-sorai, “Mereka telah datang! Mereka telah datang! Kafilah Bàbà.” Penulis yang berdiri tak seberapa jauh dari situ berkata, “Orang-orang yang datang ke Puttaparthi memberitahu tetangga, teman dan sanak keluarga mereka, maka jumlahnya meningkat.” Bàbà berpaling dengan tajam dan berkata, “Tak seorang pun dapat datang kepadaKu bila Aku tak memanggilnya, pun bila seratus orang membujuk, menyeret atau mendorongnya.” Setiap orang yang datang ke Puttaparthi, meninggalkannya sambil mengucapkan doa seperti ini, “Tolonglah saya agar dapat datang kembali.” “Bawalah saya sekali lagi ke tempat ini.” Para pengikut tahu bahwa tanpa pernyataan Kehendak-Nya, tak seorang pun dapat memenuhi peziarahan mereka. Bila la berkata, “Tinggal,” mereka tinggal, tak peduli apakah mempunyai “izin dari kantor” atau tidak. Bila la berkata, “Pergi,” mereka pergi betapa pun enggannya, karena bila mereka mengikuti perintah Bàbà dengan seksama, suatu pekerjaan yang sangat mendesak akan menanti bila mereka kembali ke rumah! Bhakta Sathya Sàì Bàbà telah mendengar la meyakinkan mereka, “Mengapa takut bila Aku di sini?” “Engkau memandang-Ku dan Aku memandangmu.” “Segala dosamu diampuni pada saat engkau datang dalam Kehadiran-Ku.” “Aku akan memikul seluruh bebanmu.” “Ambil, ambillah dari-Ku kebahagiaan sebanyak mungkin dan tinggalkan pada-Ku segala penderitaanmu.” Sebagaimana diceritakan dalam Satcharita maka jaminan dengan kata-kata yang sama juga diberikan oleh Shirdi Sàì Bàbà pada banyak jiwa yang beruntung. “Aku tak memerlukan hiasan apa pun untuk pemujaan, baik delapan lipat ataupun enam belas lipat. Aku tinggal di tempat yang penuh bakti.” “Harta benda-Ku selalu penuh berlimpah-limpah. Aku berkata, ambillah kekayaan ini sebanyakbanyaknya, kesempatan ini tak akan datang lagi.” “Jangan sampai ada desakan dalam menetapkan pandangan seseorang, jangan ada usaha untuk menyalahkan pandangan orang lain.” “Tak suatu pun akan membahayakan orang yang mengarahkan perhatiannya kepada-Ku. Hindarilah pergaulan dengan orang-orang yang tak berTuhan, tak beribadat dan jahat; berlakulah lemah lembut dan rendah hati terhadap semua. Lihatlah Aku di dalam segala mahluk.” “Serangga, semut, dunia yang dapat dilihat, yang dapat bergerak dan tak dapat bergerak adalah Badan dan Rupa-Ku.” “Harta benda-Ku penuh dan Aku dapat memberi setiap orang apa pun yang dikehendakinya, tetapi Aku harus melihat apakah ia berhak menerima apa yang Kuberikan.” “Pandanglah Aku dengan sepenuh hati dan sebagai gantinya Aku akan memandang engkau demikian pula.” “Meditasi perlu untuk mendapatkan realisasi Diri. Bila engkau mempraktekkannya terus-menerus, gelombang-gelombang pikiran akan menjadi tenang.” “Berilah air pada yang haus, roti pada yang lapar, berikan serambimu pada orang-orang asing untuk duduk dan beristirahat. Bila engkau terdorong untuk memberi, berilah; bila engkau tak terdorong untuk memberi jangan memberi, tetapi jangan menyalak seperti anjing.” “Aku tak memerlukan pintu untuk masuk, Aku selalu berada di mana-mana.” Usaha untuk mencari Tuhan janganlah dilakukan dengan perut yang kosong.”
85
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
“Tinggalkanlah kesombongan dan egoisme kalian, serahkanlah dirimu kepada-Ku. Aku bersemayam di dalam hatimu.” Satcharita mengatakan bahwa Shirdi Sàì Bàbà menghendaki agar pengikut-Nya mengesampingkan kepercayaan yang membabi buta pada horoskop dan ramalan ahli astrologi serta palmistri, karena ini melemahkan orang. Sathya Sàì Bàbà juga telah menasehatkan hal yang sama. Ada suatu peristiwa yang dialami oleh seorang pria dari Hyderabad. Pria itu bermimpi Bàbà minta agar ia mengulurkan telapak tangannya. Dengan sebilah pisau yang berujung tajam, Bàbà menggambarkan sebuah garis di telapak tangannya yaitu garis keberuntungan. Keesokan harinya ia mendapati garis itu dengan perasaan senang bercampur bingung! Bagi seorang yang dapat menggambarkan garis baru di atas telapak tangan, apa peduli-Nya dengan palmistri? Bagi Seorang yang dapat mengubah posisi planet-planet, apa gunanya astrologi? Tak heran bahwa penjelmaan Tuhan ini mencela orang yang percaya pada hal-hal tersebut, karena la sendiri adalah penguasa dan penentu nasib! Lagi dan Satcharita: “Bàbà tak pernah menyukai bila orang sampai berhutang untuk datang mengunjungi-Nya, merayakan hari-hari suci atau berziarah.” “Bàbà mengetahui lebih dulu bencana yang akan menimpa para bhakta-Nya dan la menjaga agar hal itu tak terjadi serta menghalanginya tepat pada waktunya.” “Bàbà menghargai perasaan bhakta-Nya dan mengizinkan mereka memuja-Nya sebagaimana mereka kehendaki.” “Bàbà sangat pengampun, tak pernah merasa tersinggung, terus terang, lembut, toleran dan puas tak ada bandingannya.” “Bàbà membaca dan memahami segala pikiran bhakta-Nya.” “Ia menahan pikiran buruk dan mendorong pikiran yang baik.” Segala ungkapan tersebut dapat dikenakan pada Úrì Sathya Sàì Bàbà. Svàmì Amåtànanda, sahabat Bhagavàn Ramaóa Mahàåûi, yakin bahwa Úrì Sathya Sàì Bàbà mengetahui Ilmu Yoga lebih baik dari siapa pun juga yang pernah dikenalnya, karena Sàì Bàbà dengan teliti menguraikan latihan-latihan Yoganya yang keliru yang telah dilakukannya bertahun-tahun sebelum “kelahiran” Sàì Bàbà. Dalam Satcharita tertulis bahwa “Sàì Bàbà dari Shirdi mengetahui dengan baik semua latihan Yoga.” Sathya Sàì Bàbà memberikan pelajaran Yoga praktis pada seorang pemuda Perancis yang seperti halnya pelajar bersemangat lainnya, telah berusaha mempraktekkan Yoga walaupun hanya mempelajarinya dari buku-buku. Banyak orang yang keliru dalam praktek Yoganya datang ke Bàbà untuk pengobatan dan perbaikan. Kalimat dari Satcharita berikut ini tepat sekali bila dikenakan pada Sàì Bàbà yang sekarang. “BagiNya segala tugas adalah sama, tak ada yang terhormat ataupun hina.” Sathya Sàì Bàbà memperhatikan tugas-tugas paling rendah di Prasanthi Nilayam hingga ke hal-hal yang terkecil. la duduk di lantai, tidur di tikar, tak ragu-ragu berjalan baik di panas matahari maupun hujan; mendaki Himalaya yang berselimut salju dengan kaki telanjang, mengajak banyak orang ikut naik dalam mobil-Nya walaupun mereka berjejal-jejal dan perjalanan yang harus ditempuh jauh, juga bepergian jauh tanpa makan dan minum. Ia lebih menyukai makanan orang-orang yang paling miskin di negeri itu karena seperti dikatakan-Nya, “Jangan sampai ada yang mengeluarkan biaya tambahan dan mendapat kesulitan karena Aku.” Tentang Sàì Bàbà yang terdahulu Satcharita menyatakan : “Bàbà dapat membaca hati orang lain seolah-olah la telah menerima berita radio.” “Dengan sentuhan-Nya Bàbà mengubah kismis yang mengandung biji menjadi kismis yang tak berbiji.” Bàbà memberi petunjuk pada bhakta-Nya baik dalam soal kerohanian maupun dalam soal keduniawian.” “Bàbà tidak membedakan antara kasta-kasta bahkan antara makhluk dengan makhluk.” “Bàbà selalu mencintai mereka yang mempelajari hal-hal yang Universal serta Mutlak dan la selalu mendorong serta memberi mereka semangat.”
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
86
“Bàbà membenci fitnah serta pergunjingan dan menyebut hal itu sama dengan menelan kotoran.” “Bàbà menyatakan dengan tegas bahwa upah bagi para pekerja harus dibayarkan dengan segera dan memuaskan.” Bagi orang-orang yang telah menjumpai, mendengar dan mengikuti Sathya Sàì Bàbà, maka setiap ucapan tersebut tampak bagaikan pernyataan-Nya dan menggambarkan nasehat serta sikap-Nya. Dalam tahun 1958 ketika la diperiksa oleh utusan pengadilan, Bàbà menyebutkan kejadian yang sama dalam “kelahiran”-Nya yang dulu dan memberikan jawaban yang sama. Ketika ditanya nama-Nya, la berkata: “Aku menjawab pada Nama yang mana pun.” Ia berkata bahwa segala sesuatu adalah milik-Nya, bahwa la tinggal di mana-mana dan dengan jawaban ini la membuat ahli-ahli hukum menganggap-Nya sebagai tak dapat dimengerti walau bagi orang yang ahli dalam pengetahuan rohani, jawaban-jawaban tersebut tak diragukan lagi, jelas merupakan ucapan seorang Penjelmaan Tuhan. Ini adalah Kehadiran yang sama yang kembali lagi! Sathya Sàì Bàbà pernah berkata bahwa Badan yang ini lahir di Parthi dan yang dulu lahir di Parthi. Dalam “kelahiran” yang sekarang maupun yang dulu, ada seorang Muslim yang mencintai-Nya dan menimang-Nya ketika la masih anak-anak. Dalam “kelahiran” ini pun ketika masih kecil, la menarik perhatian orang-orang kepada-Nya dengan memberitahukan tempat kuda yang hilang di desa Uravakonda. Dalam penjelmaan Tuhan yang sekarang, setiap orang akan menjumpai kecemasan seorang ibu, kesederhanaan sikap, kebijaksanaan yang mendalam, pandangan yang universal, cinta kasih yang menaklukkan segala-galanya dan kemahaadaan serta kemahatahuan yang sama. Bila berada dalam keadaan “trance”, Sathya Sàì Bàbà sering berkata bahwa la sedang pergi ke Shirdi. Pada perayaan hari Pùróimà tahun 1950 di Puttaparthi, Bàbà sedang makan siang bersama seorang pemuda dari Madras. Wanita yang menyediakan makanan tersebut tak mengetahui bahwa hari itu adalah hari yang suci bagi pengikut Sàì. Tiba-tiba Bàbà “pergi” dan pada waktu itu la memerintahkan; “Sediakan chapati baginya.” Chapati yaitu roti yang tak diragikan. “Sediakan baginya kheer,” yaitu semacam manisan dan menyebutkan nama manisan serta makanan asing lainnya. Ketika la “kembali” wanita itu menegurNya dengan sopan, “Bila Engkau minta agar saya menyediakan bagi pemuda ini hidangan yang belum saya siapkan dan makanan yang bahkan belum pernah saya dengar, apa yang dapat saya lakukan?” Bàbà ikut bersimpati dengan kebingungannya, Ia berkata bahwa la telah pergi ke Shirdi dan nama-nama makanan yang disebutkan-Nya adalah hidangan dari daerah Marathi! Kemudian diciptakan-Nya chapati serta sepotong manisan Marathi dan diberikan-Nya pada pemuda itu. Ketika Bàbà kembali ke Puttaparthi setelah menyatakan identitas Diri-Nya dan pada waktu itu baru berusia lima belas tahun, dalam Tangan-Nya la memperlihatkan suatu buah yang belum pernah dilihat atau dimakan oleh orang-orang yang ada di situ. Bibi-Nya yaitu saudara perempuan Pedda Venkapa Raju berkata bahwa ia bertanya pada Bàbà tentang jenis buah itu dan mendapat jawaban bahwa buah itu berasal dari Shirdi. Bàbà berniat untuk memotong-motong dan membagikannya pada sore hari. Sang bibi mohon pada Bàbà agar setiap orang diberi setidak-tidaknya satu buah yang utuh agar dapat dinikmati. Bàbà minta agar bibi memberi-Nya sebuah keranjang besar yang bertutup. Keranjang itu diketuk-Nya sekali dan pada sang bibi diperlihatkan-Nya keranjang yang penuh buah! Sore itu ada seratus orang lebih yang hadir dan lagi-lagi sang bibi khawatir kalau-kalau buah tersebut tak cukup bagi setiap orang. Keranjang itu tak bisa muat lebih dari tiga puluh atau empat puluh buah! Diberitahukannya pada Bàbà bahwa ia merasa sangat gugup. Kemudian terjadilah hal yang tak terduga. Dari keranjang itu Bàbà membagi-bagikan buah pada setiap orang yang hadir, padahal mereka berjumlah lebih dari seratus orang. Buah itu rasanya aneh dan manis. Saudara perempuan Pedda Vankapa Raju mengisahkan kejadian ajaib lainnya. la menyulitkan Bàbà dengan permohonan agar dianugerahi suatu Penampakan untuk menumbuhkan iman dalam hatinya, karena ia tak mau meremehkan kisah penjelmaan Sàì ini hanya sebagai suatu penemuan baru, sebagaimana sikap dari kebanyakan anggota keluarga mereka. Bàbà menyukainya karena ia adalah jiwa sederhana yang telah banyak menderita. Ia berkata kepadanya: “Aku akan memperihatkan badan-Ku yang dahulu kepadamu sore ini!” Diakuinya bahwa ia tak dapat menahan kegembira-annya dan berdoa mohon agar siang cepat berlalu dan matahari lekas terbenam! Segera setelah senja tiba, Bàbà membawanya melalui beberapa pintu ke dalam ruang yang terdalam di rumah itu. la mengangkat Telapak Tangan yang tadinya ditutupkan-Nya ke mata wanita itu dan minta agar ia memandang suatu sudut yang ditunjukkan-Nya dengan jari-Nya. Di
87
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
situ Sàì Bàbà dari Shirdi duduk di lantai dalam gaya-Nya yang khas, dengan satu kaki agak terlipat dan kaki yang lain agak lurus. Dupa-dupa di hadapan-Nya menyala dan asapnya membubung lurus ke udara! Badan-Nya gemilang oleh cahaya yang mulia dan di mana-mana tercium bau yang harum. Setelah satu atau dua menit, Bàbà bertanya kepadanya, “Sudah kau lihat?” Ketika ia berkata, “Oh, betapa indahnya!” maka sekali lagi la meletakkan Telapak Tangan-Nya erat-erat di atas mata sang bibi dan membawanya ke luar ruangan. Bàbà telah sering berkata bahwa perdebatan tentang persamaan-Nya dengan Bàbà yang dulu adalah sia-sia dan tak berguna karena seperti dijelaskan-Nya, bila ada dua potong manisan, satu persegi dan lainnya bulat, satu berwarna kuning dan lainnya ungu; bila orang tak memakan keduanya dan mencicip rasanya maka ia tak akan dapat percaya bahwa keduanya sama. Merasakan, mengalami, itulah yang terpenting agar dapat memahami kesamaan mereka.
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
88
XI AWAN HUJAN Orang yang mempunyai nasib baik dan pernah mendengarkan khotbah Bàbà pada suatu pertemuan umum, akan selalu mengenang rasa haru dan inspirasi yang timbul dari pengalaman tersebut. Tak ada suatu hal pun yang akan dapat mengurangi kegembiraan saat-saat itu. Biasanya Bàbà berbicara dalam bahasa Telugu walau la juga bercakap-cakap dengan para pengikutnya dalam beberapa bahasa termasuk Tamil, Kannada, Hindi, Sindhi dan Inggris. Kemahatahuan-Nya dinyatakan-Nya dengan berbagai cara. Gaya bahasa dan kata-kata-Nya sederhana serta langsung, penuh dengan peribahasa, perumpamaan serta contoh yang diambil dari pengalaman orang di sekitar-Nya. Kata-kata-Nya terukir di hati para pendengar. Ia tak mau menyebut Khotbah-Nya sebagai “pidato” karena wejangan-Nya tak pemah disiapkan lebih dahulu, diucapkannya di depan orang banyak atau ditujukan pada massa. la lebih suka menyebutnya sebagai “percakapan”. Cara Bàbà menyelami masalah pribadi serta menjawab keragu-raguan orang menyebabkan sebutan itu sangat tepat. Hasil Khotbah-Nya selalu sedemikian rupa hingga seakan-akan la hanya berbicara pada pendengar-Nya secara perseorangan. Dalam satu atau dua menit la memperoleh seluruh perhatian orang, sehingga pendengar yang bersangkutan lupa bahwa ia hanyalah salah satu di antara ribuan hadirin, dan menyerahkan dirinya pada diagnosa serta pengobatan Bàbà. Wajah yang mempesona, suara yang menimbulkan rasa sayang, senyum yang indah, gerak tangan yang memperjelas semuanya menjadi milik pribadi seseorang. Nasehat dan himbauan-Nya demikian akrab dan diresapi kasih sayang sehingga pada waktu la selesai berkhotbah, pendengar pasrah penuh kepada-Nya. la bukanlah sekedar ahli pidato, penyampai wahyu atau pengajar. la adalah Awan Hujan yang datang untuk memberi makan serta memelihara kehidupan yang gersang. Ketika masih remaja Bàbà menyatakan bahwa la akan menjalankan tugas mengajar-Nya pada usia tiga puluh dua tahun. Hingga usia itu hanya kadang-kadang saja la berkhotbah baik di Prasanthi Nilayam maupun di pasir sungai Citravatì bila para bhakta berkumpul di sekeliling-Nya dan memohon bimbinganNya. Kadang-kadang la berkhotbah di Dewan Wilayah Sekolah Menengah Sàì Bàbà di Bukkapatnam. Dalam kesempatan tersebut la memimpin berbagai upacara seperti misalnya, “Hari Sekolah” dan sebagainya. Di Nilayam atau dipasir sungai, khotbah biasanya dimulai dengan suatu pertanyaan yang diajukan oleh seorang pengikut. Masalah yang diajukan biasanya berhubungan dengan persoalan umum yang menyangkut tingkah laku sosial atau usaha kerohanian. Bàbà akan memberi penjelasan tidak hanya berkenaan dengan masalah utama tetapi juga mengenai seluruh hal yang berhubungan. Suatu kali, sebuah pertanyaan tentang kehidupan setelah mati menyebabkan Bàbà memberi suatu pelajaran sangat jelas tentang perjalanan yang ditempuh oleh jiwa yang telah meninggalkan badannya. Juga tentang makna yang terkandung dalam upacara penguburan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang berbeda, tentang adanya setan, tentang kemungkinan untuk berhubungan dengan orang yang telah meninggal, dan bahkan tentang kebiasaan untuk memberi nama seorang cucu menurut nama kakeknya. Percakapan semacam itu timbul secara tak resmi hampir pada setiap kesempatan. Bàbà selalu bersedia memberikan keberanian yang timbul dari keyakinan. la adalah pendidik yang luar biasa. Suatu kali, beberapa pengikut mendapat kesempatan tinggal dengan Bàbà di Bukit-Bukit Horsley selama seminggu. Setiap pagi dan sore Bàbà duduk bersama para pengikut dan membahas berbagai masalah baru dalam disiplin kerohanian. la bertanya pada setiap orang agar menceritakan kepada-Nya tentang praktek kerohanian mereka, cita-cita dan gagasan, Nama dan Wujud Tuhan yang menarik mereka, buku-buku rohani yang mempunyai pengaruh paling besar dalam membentuk hidup mereka, gambaran tentang realitas utama yang mereka miliki dan tujuan disiplin kerohanian mereka Masing-masing. la mencurahkan cahaya dalam sudut-sudut hati yang gelap. Ini bahkan telah dilakukan-Nya sejak la masih anak-anak. Bukankah la telah diberi gelar “Guru Kecil” oleh kakek-Nya, Kondama Raju. Penulis telah menyaksikan betapa orang tua ini merasa sangat bangga dan gembira ketika ia duduk mendengarkan khotbah yang diucapkan Bàbà beberapa hari sebelum ia berpulang dalam tahun 1950. Di sekolah la menasehati teman-teman sepermainan-Nya agar jangan merokok. la memperlihatkan perasaan mual pada makanan yang mewah, banyak bumbunya atau basi. Diperingatkan-Nya semua temanNya agar menjauhkan diri dari bioskop. la juga mendorong mereka semua agar menyanyikan lagu-lagu 89
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
pujian pada Tuhan, memakai Abu Suci dan membiasakan diri supaya selalu memperhatikan kebersihan. Di Kamalapuram sebagai seorang anak kecil la menggubah berbagai lagu, mengingatkan orang tentang buruknya minum-minuman keras, tentang akibat yang membahayakan bila orang-orang masih buta huruf, tentang keadaan kaum paria yang menyedihkan, dan tentang akibat yang buruk dari perselisihan serta pertentangan pendapat antar desa. la menulis suatu drama sosial berjudul ‘Perubahan Waktu”, yang berisi banyak “lagu-lagu rakyat” menggambarkan berbagai tipu muslihat yang digunakan oleh orang yang haus kekuasaan untuk mendapatkan perhatian rakyat. Selanjutnya drama itu menggambarkan keadaan menyedihkan seorang pujangga besar waskita yang peringatannya tak diacuhkan, Setiap orang mengabaikan pujangga itu kecuali seorang petani miskin. Anak-anaknya pun jadi melarat. Orang-orang yang munafik membalas dendam pada anak-anak itu karena ayahnya berani mengucapkan kata-kata yang bijaksana. Waktu berubah. Anak-anak itu memperoleh kekuasaan dan menegakkan kembali zaman keemasan, yaitu masa ketika kata-kata abadi sang pujangga dinyanyikan lagi serta dipraktekkan. Para aktor dalam sandiwara desa mohon agar Bàbà menulis percakap-an bagi peran mereka. Bila la memainkan suatu peran, la menggubah lagu-lagu dan percakapan bagi Diri-Nya Sendiri. Karangankarangan ini selalu bernapaskan nilai moral yang tinggi dan karena keunggulannya, tampak menonjol melebihi drama lainnya; juga memikat perhatian karena gaya bahasa dan pilihan kata-katanya tepat serta menarik. Peran pengajar sangat penting bagi Sàì Bàbà. “Aku tak pernah mengucapkan suatu perkataan yang tak mengandung makna, atau melakukan suatu perbuatan tanpa akibat yang bermanfaat,” demikian pernah dinyatakan-Nya. Bahkan perkataan yang diucapkan sepintas lalu pun sarat dengan nasehat yang berharga. Sambil menyapa seorang wanita yang sedang berusaha menenangkan anaknya, la berkata: “Lihat! Duduk di pangkuanmu si anak menangis ‘Ibu, Ibu,’ tak menyadari bahwa ia sedang dipeluk oleh ibunya sendiri. Inilah yang sedang dilakukan oleh setiap orang di sini. Mereka tak tahu bahwa Tuhan adalah Ibu yang memeluk mereka; mereka hanya menangis, Ibu, Ibu.” Suatu kali ketika melihat bagian yang berjudul “Sambutan” dalam jadwal acara suatu pertemuan, Bàbà berkata: “Aku ada di dalam diri kalian maka kalian tak perlu menyambut-Ku. Aku tak akan datang karena kalian memanggil atau pergi karena kalian menolak.” Selalu dan di mana-mana la adalah seorang Guru, teman, filsuf serta pembimbing. Secara perlahan-lahan tetapi pasti, la membentuk tabiat serta pandangan setiap orang yang menyerahkan diri dalam bimbingan-Nya atau orang-orang yang dipilih-Nya untuk latihan semacam itu. Bila di Prasanthi Nilayam atau di tempat lain seseorang menyanyikan atau menjelaskan sebuah buku seperti misalya Gìtà, Ràmàyaóa, Bhàgavata atau Upaniûad, Bàbà memandang hadirin sejenak kemudian dengan berpedoman pada sebuah kata atau kalimat, la menerangkan kegelapan yang merisaukan mereka dan menggembirakan baik orang-orang yang terpelajar maupun yang tak terpelajar. Dengan cara ini la mengungkapkan berbagai misteri dalam kitab suci. Dalam khotbah yang diberikan di Prasanthi Nilayam, Bàbà sering menguraikan pokok pembicaraan yang sangat mendalam menurut ilmu filsafat. Suatu kali la memperingatkan: “Kalian semua tak muda lagi, kalian harus berjalan dari kelas yang lebih rendah menuju ke kelas berikutnya yang lebih tinggi.” Dengan cerita dan perumpamaan, peribahasa serta kiasan, la menyederhanakan teori-teori filsafat yang paling rumit. Suatu hari la membahas tentang manfaat pergaulan dengan orang-orang yang baik, dan menguraikan bagaimana hal itu dapat membawa kita pada keengganan untuk berada bersama teman atau dengan kata lain, bagaimana pergaulan dengan orang yang baik menyebabkan orang melepaskan ikatan itu sendiri. Pada malam Perayaan Úiva, Bàbà menyatakan: “Pikiran manusia dipengaruhi oleh bulan dan setiap tiga puluh hari, bulan hampir habis pada malam yang keempat belas setelah purnama. Orang haruslah berhasrat untuk membinasakan keinginan, angan-angan serta kegemaran pikiran, dan pada malam itu berjuang sekuat tenaga untuk meningkatkan disiplin agar kekuatan baik dari Diri Yang Murni dapat mencapai kemenangan, mengalahkan dorongan yang rendah. Malam itu haruslah dipersembahkan kepada Tuhan.” Saat ketika matahari berada pada jarak terjauh dari garis khatulistiwa pada musim panas, mengawali setengah tahun ketuhanan, yaitu saat ketika matahari yang mempengaruhi jiwa manusia yang telah mendapat penerangan, berjalan maju di jalan ketuhanan ke arah Utara. “Berenanglah searah dengan arus,” kata Bàbà. “Matahari sendiri berjalan ke arah Utara menuju ke Kailasa, puncak gunung Realisasi Diri yang mulia,
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
90
Surga tempat kediaman Úiva. Ini adalah saat yang terbaik untuk mengawali dan mempraktekkan kehidupan rohani.” Pada “Hari khusus untuk menghormati Guru”, Bàbà mengingatkan umat dan para peminat kehidupan rohani, agar menghormati guru-guru (spiritual) serta kebijaksanaan mereka. la menguraikan ciri-ciri penting seorang guru dan menjelaskan berbagai patokan yang dapat mereka gunakan untuk membedakan antara guru yang benar dengan yang palsu. Setiap khotbah Bàbà selalu mengandung sesuatu yang baru, sesuatu yang menggetarkan, segar dan suatu keriangan yang merupakan ciri-Nya yang khas! Bàbà berkata bahwa dalam khotbah-Nya ia menyajikan “makanan yang dapat menyembuhkan”, bukan “makanan pesta”. Karena itu la minta pada pendengar-Nya agar jangan sampai kehilangan hidangan tersebut sepotong pun atau membuang sepatah kata pun karena lalai. la adalah “Dokter Agung” yang datang untuk menyembuhkan. Tak ada dua khotbah yang sama nada atau isinya. la berkata: “khotbah-Ku bukan pelajaran, khotbah-Ku adalah ramuan!” la tak menggunakan resep yang sama untuk setiap orang! Berbicara pada pelajar-pelajar sekolah menengah di Chittor, la mem-beri petunjuk yang terperinci tentang persiapan ujian dan cara yang sistematis untuk mengerjakan persoalan di ruang ujian. “Tandailah semua pertanyaan yang kalian rasa dapat kalian jawab, jawablah lebih dulu pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian kerjakanlah sisanya. Dengan demikian kalian akan berada dalam keadaan yang lebih baik dan lebih percaya pada diri sendiri.” la membahas berbagai persoalan di dalam kelas dan di lapangan sepakbola dengan keakraban yang sangat menarik perhatian. Ketika memimpin upacara pemberian hadiah pada Pertandingan Olah Raga antar wilayah di Penukonda, la berbicara tentang penekanan yang telah diletakkan dengan keliru pada persaingan dan kemenangan, mengadu sekolah yang satu dengan sekolah yang lain, anak yang satu dengan anak yang lain, Kemudian la mengatakan bahwa sikap seseorang dalam menerima kemenangan atau kekalahan jauh lebih penting daripada hasil pertandingan itu sendiri. Pada suatu kesempatan yang sama di Madakasira, dengan jenaka la menyindir istilah “Bahumati” yang dapat diartikan baik sebagai “hadiah” maupun sebagai “berkecenderungan banyak”! la berkata; “Aku selalu menyebarkan ketunggalan tujuan, tak pernah “Bahumati” atau banyak tujuan!” Kemudian la minta pada para pemenang agar mengucapkan terimakasih pada yang kalah karena bila mereka yang kalah menambah usahanya sedikit lagi maka mereka mungkin telah menang dan pemenang yang sekarang kehilangan kesempatan untuk memperoleh hadiah. Ketika meresmikan pembukaan Sekolah Menengah Puteri di Venkata-giri, la menguraikan kebiasaankebiasaan baik yang harus dikembangkan oleh para pelajar. “Berhati-hatilah selalu dengan buku karena orang tuamu telah berkorban banyak untuk memperolehnya bagimu. Janganlah bertengkar dengan saudarasaudaramu dan membuat suasana di rumah jadi tak menyenangkan. Jangan iri hati pada teman sekelas yang lebih kaya. Berusahalah selalu puas. Jangan suka berlagak. Ucapkanlah kebenaran selalu karena kepalsuan timbul akibat sifat pengecut. Bangunlah pukul lima pagi hari, setelah mandi duduklah seorang diri secara tenang dan bermeditasilah pada Tuhan. Tidurlah pukul sembilan malam dan sebelum berbaring berdoalah pada Tuhan. Katakanlah pada-Nya agar menerima segala yang telah kau lakukan hari itu, karena semua itu telah kau lakukan dengan tulus dan patuh. Mohonlah agar Tuhan memberimu kekuatan untuk melayani Dia dan anak-anak-Nya, saudara-saudaramu laki-laki dan perempuan. Pada pagi hari berterima-kasihlah pada-Nya untuk hari baru yang terbentang di hadapanmu, dan mohonlah agar engkau dapat melewatkannya dengan baik, sehingga bermanfaat bagi dirimu sendiri dan bagi orang lain. Ketika berkhotbah pada penduduk desa Mirthipadu, Bàbà berbicara mengenai hal-hal yang berada dalam jangkauan pengertian mereka, “Dengan memeras keringat kalian telah mengubah kotoran dan debu menjadi makanan yang bergizi serta menyenangkan baik bagi manusia maupun binatang. Betapa suci tugas yang telah kalian lakukan tiap hari! Aku sangat gembira berada di antara kalian hari ini. Kalian menanggung kesulitan yang tak terhingga, membanting tulang dan percaya dengan teguh pada diri kalian sendiri. Kalian bekerja di antara tanam-tanaman yang menghijau ini, dihembus angin yang sejuk di bawah naungan langit yang biru. Alangkah baiknya bila kalian berjalan di sepanjang tepian ladang ini sambil menyanyikan kemuliaan Tuhan yang terkandung dalam segala keindahan, kelimpahan dan kebesaran alam ini! Jangan mencemarkan suasana dengan kata-kata marah satu terhadap yang lain, sucikanlah lingkungan dengan mengulang-ulang menyebut nama Tuhan.” Demikian pula di desa Budili, di tepi sungai Citravatì, Bàbà berbicara tentang ketenangan dan kesucian dan kehidupan petani, dan bahwa desa adalah dasar kebudayaan negara. la juga berbicara tentang
91
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
perlunya rasa syukur dan terimakasih untuk segala keuntungan yang telah diterima, tentang bahayanya pertikaian antar partai, dan tentang manfaat “nyanyian Bhajan tradisional serta pemujaan di kuil. Bàbà berkata bahwa la mendapati seseorang telah membuang pedati yang rusak di serambi depan kuil, suatu perbuatan yang memperlihatkan bahwa orang yang bersangkutan tak mengindahkan kesucian halaman tempat sembahyang. la menasehati pemuda-pemuda desa agar memelihara kuil mereka dengan penuh bakti dan dengan segala kemampuan yang ada. Bila ada suatu upacara yang berhubungan dengan rumah sakit, Bàbà memberi nasehat yang berharga baik untuk staf pengurusnya maupun untuk para bhakta yang hadir di situ. Di Rumah Sakit Sathya Sai, suatu kali la menyayangkan sikap para dokter, karena dalam laporan mereka menulis tentang “ke-majuan” yang telah dicapai, sedangkan sesungguhnya jumlah penderita yang dirawat di rumah sakit dan yang berobat jalan telah meningkat. la berkata bahwa la hanya akan merasa gembira bila setiap orang sehat sepenuhnya. Keadaan itu dapat dicapai terutama dengan cara mendapatkan dan memelihara ketentraman serta kedamaian. “Kesusahan, ketamakan, kegelisahan yang tak perlu dan kecemasan, semua ini menyebabkan timbulnya bermacam-macam penyakit badaniah. Penyakit adalah keadaan yang tidak wajar, hati yang selalu puas adalah obat yang paling baik. Badan harus dipelihara dengan baik karena merupakan perahu yang menolong kita mengarungi lautan pengalaman. Karena itu, ia tak boleh dilemahkan baik oleh kebiasaan buruk yang mengurangi kekuatan, ataupun oleh disiplin yang berlebih-lebihan seperti misalnya puasa. Mempelajari praktek Yoga dari buku-buku dan mempraktekkannya dengan bantuan edaran serta tabel-tabel juga merupakan asal mula dari berbagai penyakit baik fisik maupun mental. Berbuatlah baik, riang, berani, tulus, jujur, dan sabar. Semua itu adalah aturan kesehatan. Tabiat yang baik adalah sumber kesehatan yang paling berharga.” Demikianlah nasehat-Nya yang praktis dan diberikan dengan penuh kasih sayang. Di berbagai tempat, umat menyelenggarakan doa secara tetap menurut contoh doa di Prasanthi Nilayam, Setahun sekali pada hari yang telah dipilih, mereka menyelenggarakan bhajan selama dua puluh empat jam penuh tanpa henti. Suatu kali, ketika di Bangalore diadakan penutupan acara menyanyikan lagu suci yang telah dilangsungkan demikian lama, maka Bàbà memberi amanat. Dalam khotbah itu la menyatakan bahwa kehidupan orang haruslah merupakan suatu bakti yang tiada putusnya kepada Tuhan. Praktek kerohanian untuk selalu mengingat kehadiran Tuhan lebih mudah dijalankan oleh para bhakta Sathya Sàì Bàbà bila dibandingkan dengan orang-orang lain, karena dengan pengalamannya mereka mengetahui bahwa Bàbà selalu berada di belakang dan di samping mereka, bersama mereka dan di dalam mereka, Bàbà menyapa mereka semua dengan pertanyaan mengenai tingkah laku atau pikiran yang mereka anggap paling rahasia dan hanya mereka sendiri yang mengetahuinya, Suatu kali ketika seorang pelajar dari Rajahmundry berkata kepada-Nya bahwa ia telah mempersiapkan diri dengan sepenuh hati untuk ujian serta telah menghentikan segala kegiatan lain maka Bàbà berpaling kepadanya sambil berkata, “Apa? Tidakkah pada suatu malam engkau pergi ke pesta makan malam di àúrama dan sangat terlambat pulang ke rumah? Tidakkah pada hari berikutnya engkau pergi ke pasar bersama beberapa sanak keluarga yang datang dari desamu dan membeli sejumlah pakaian bagi mereka ?” Dalam suatu acara doa di Bangalore, Bàbà berkata bahwa orang harus mencoba menemukan sebabnya, mengapa walau masyarakat menyelenggarakan demikian banyak kelompok doa dan khotbah keagamaan, tetap tak ada peningkatan yang seimbang dalam standar moral orang banyak. “Menyanyikan doa-doa telah menjadi suatu upacara yang rutin, sesuatu yang tak ada ujung pangkalnya. Apa yang diucapkan oleh lidah tak diperbuat oleh tangan,” demikian diperingatkan-Nya. Iman yang dimaksudkan Bàbà bukanlah berarti kepercayaan yang membabi buta. Ia menyatakan dengan tegas bahwa mawas diri sangat penting untuk kemajuan rohani. “Ikutilah tata tertibnya dan ujilah dirimu sendiri,” demikian dikatakan-Nya. “Datanglah dan tinggallah di Prasanthi Nilayam, berjalanlah beserta-Ku dan hayatilah kehadiran serta pembicaraanKu. Dengarkan dan perhatikanlah Aku kemudian buatlah kesimpulan, masuklah dan ketahuilah dalamnya, makan dan ketahuilah rasanya. Tata tertib serta praktek kerohanian penting untuk mengenal Tuhan, demikian pula kesabaran dan disiplin yang tulus. Jika percikan api iman harus tumbuh menjadi nyala yang berkobarkobar, maka lakukanlah itu dengan hati-hati. Sekali-sekali berlindunglah di kedalaman jiwamu sendiri, dengan berdiam diri dan dalam kesunyian.” Demikian nasihat-Nya. Di Trivandrum Bàbà mengemukakan pertanyaan, “Bagaimana bisa begini, sekalipun negara bagian
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
92
ini sangat maju dalam pendidikan dan pemberantasan buta huruf tetapi semangat yang diperlihatkan oleh para orang tua, guru, serta anak-anak dalam memberikan dan mendapatkan ilmu pengetahuan tidak memberikan ketentraman serta kedamaian hati pada orang banyak?” Kemudian la berbicara tentang pikiran manusia yang mempunyai dua sifat angin, yaitu angin yang mengumpulkan awan-awan hujan dan sekaligus juga mencerai-beraikannya. Bàbà menjelaskan berbagai cara dan metode untuk mengendalikan tingkah pikiran. Ia berkata: “Aku tak mau menyebut siapa pun sebagai atheis atau tak beriman karena semuanya adalah ciptaan Tuhan dan dilimpahi Rahmat-Nya. Ada mata air cinta kasih dan batu karang kebenaran dalam hati setiap orang. Cinta adalah Tuhan, Kebenaran adalah Tuhan. Keilahian ada di kedalaman hati setiap orang. Dengan mengebor lubang secara sistematis dan terus-menerus; dengan menggali tak kunjung henti; menumbuk dan menumbuk dengan Ram, Ram, Ram — Tuhan, Tuhan, Tuhan — mengulang Nama-Nya dengan setiap napas, maka mata air dapat dicapai dan air ketuhanan dapat diluapkan ke luar, menggembirakan serta memuaskan setiap orang,” Di Nuzvid Bàbà berbicara tentang pertikaian keagamaan dan semangat kepartaian yang merajalela di India. la berkata bahwa Tuhan berada di atas dan di luar segala batas kasta serta warna, kekayaan dan kemiskinan. Dikatakan-Nya pula bahwa sangatlah bodoh jika orang beranggapan bahwa Tuhan mengharapkan persembahan atau akan marah jika tak diberi persembahan. Ia mengingatkan para pendengar-Nya agar berhati-hati terhadap pemimpin-pemimpin keagamaan yang berkeliling dengan daftar para penderma dan penandatangan, terhadap guru-guru (spiritual) yang mengerling dompet serta uang, yang memegang sumpah untuk diam tak berbicara tetapi menggunakan pertolongan segala alat komunikasi lainnya di luar cara berbicara mudah dan wajar. Di desa Arkonam, ketika Sekretaris Divine Life Society membacakan laporannya bahwa mereka yang membayar iuran empat anna setiap tahun dapat menjadi anggota, maka Bàbà berkata bahwa la akan mengizinkan setiap orang yang mempunyai, bukannya empat anna, melainkan empat ‘guna’ atau kebajikan, untuk menjadi anggota Masyarakat Kehidupan berketuhanan! Di Madras, ketika berbicara pada anggota-anggota Young Men’s India Association, la menghimbau para pemimpin yang hadir agar menjadi contoh kejujuran, efisien dan pengabdian tanpa pamrih yang lebih baik bagi pemuda zaman ini. “Tokoh-tokoh terkemuka yang ingin dianggap hebat, dalam pidatonya pada anak muda mengutip berbagai tamsil serta kiasan dari kitab-kitab suci; tetapi dengan kelakuan, kecongkakan dan perselisihan-perselisihannya, mereka hanya mengurangi kecemerlangan harta yang tak ternilai itu.Tak ada keselarasan antara si pembicara, hal yang dibicarakan dan kelakuannya setelah itu,” demikian dikatakanNya. Di Gokhale Hall la berkata bahwa manusia harus mencari jawaban dari empat pertanyaan dasar yaitu: “Siapakah aku? Dari manakah aku datang? Ke mana aku pergi? Berapa lama aku akan tinggal?” la berkata bahwa kitab-kitab suci India kuno ditujukan untuk mendapatkan jawaban pertanyaan-pertanyaan ini. la memperlihatkan bahwa jawaban tersebut tak dapat dimengerti melalui ilmu pengetahuan, tetapi dikatakanNya bahwa Rahmat Tuhan, bila diperoleh melalui kontemplasi serta introspeksi yang terus-menerus, akan mengungkapkan jawabannya dengan segera pada si peminat kehidupan rohani. Dalam menganalisa sebab-sebab krisis kehidupan moral yang dialami masyarakat dewasa ini, la menyatakan bahwa sinisme dan kecenderungan untuk mengejek merupakan dua penyakit utama abad ini. Semua itu menye-babkan timbuhiya sikap tak hormat serta tersebarnya ketidak-percayaan. Hidup yang dilewatkan dengan menyadari kehadiran Tuhan sepanjang waktu adalah yang paling aman dan bahagia karena sorotan kritik sosial tak akan dapat menembusnya dan menyebabkan rasa sakit. Agama dan kepercayaan pada Tuhan kini sedang ditantang dari segala penjuru. Karena itu, semua orang yang baik berkewajiban menghadapi tantangan ini dengan memperlihatkan pada para pengkritik bahwa hidup mereka telah menjadi lebih bahagia karena agama, bahwa keinsafan akan kehadiran Tuhan yang tiada putusnya telah membuat mereka menjadi lebih efisien, lebih sungguh-sungguh dan lebih berani dalam menghadapi tugas-tugas kehidupan. Pada pertemuan Sàì Samaj seluruh India, la berkata; “Engkau mengambil kamus untuk mendapatkan arti sebuah kata tertentu tetapi ketika sedang membalik-balik halaman untuk mencarinya, kata-kata lain memikat perhatianmu dan engkau tertarik pada kata-kata tersebut serta artinya. Demikian pula mungkin engkau datang kepada-Ku dengan suatu tujuan tertentu tetapi sementara itu engkau mulai mengetahui bahwa engkau dapat menggunakan Aku untuk menyelesaikan kesulitan yang lebih dalam, untuk meredakan nyeri yang lebih pedih dan mendapatkan kedamaian rohani yang lebih besar,” Bàbà menggunakan setiap
93
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
kesempatan untuk meyakinkan pendengar-Nya bahwa hanya usaha, diskriminasi, pengorbanan dan keteguhan hati mereka sajalah yang dapat memberikan apa yang mereka butuhkan yaitu ketenangan atau keseimbangan. Di Santi Kuteeram, Rayapuram, suatu kali la berbicara tentang Sri Kåûóa dan pada kesempatan lain tentang Bhagavad Gìtà. Ia menceritakan beberapa kejadian dalam kehidupan Úrì Kåûóa yang tak dijumpai dalam buku-buku. Khotbah-Nya sangat padat dengan pelajaran dan bersifat menerangkan. la membuat permainan yang jenaka dengan kata Gìtà. Jika suku katanya dibaca dari belakang maka akan terbentuk sebuah kata yang dalam bahasa Telugu berarti “minum!” Dikatakan-Nya bahwa bila madu dari Gìtà tidak diminum dan dicernakan maka orang tak akan mendapat hasil apapun; yang diperoleh hanyalah kesombongan dengan gelar kesarjanaan yang muluk-muluk mengenai Gìtà dan ribuan komentarnya, jadi hanya memboroskan waktu yang berharga. Suatu ketika, la memberitahu para pendengar di Puttaparthi bahwa ada dua jalan. Jalan yang satu berhubungan dengan dunia jasmani, peraturan dan hngkaran sosial di mana seseorang termasuk. Jalan yang lain hanya berhubungan dengan diri-sendiri, dengan Jiwa dan tata tertib yang diperlukan untuk memenuhinya. Manusia harus memegang Tuhan dengan tangan kanan (right hand) dan dunia dengan tangan kiri(left hand). Sedikit demi sedikit tangan kiri akan kemalangan pegangannya. “Jangan khawatir tentang hal ini, memang harus demikian, itulah sebabnya mengapa disebut “left”, tinggalkan! Tetapi tangan kanan tak boleh mengendorkan pegangannya karena baik dan benar baginya untuk berpegang erat-erat, itulah sebabnya tangan kanan disebut “right” atau benar!” Pernyataan-pernyataan semacam ini akan tetap tinggal dalam kenangan. Pendengar-Nya akan merenungkan hal ini dalam-dalam dan karenanya mendapatkan santapan rohani serta kegembiraan batin. Pada waktu meresmikan pembukaan suatu seminar kerohanian di Venkatagiri, Bàbà menyatakan bahwa tak adanya kehangatan dan persaudaraan merupakan bencana yang dialami oleh rakyat India. Ketika berkhotbah di Nellore, la menambat perhatian Hma puluh ribu pendengar-Nya selama lebih dari satu jam. Bàbà berbicara tentang diskriminasi dan perlunya iman yang didasarkan pada mawas din serta pertimbangan akal budi. Di Gudur, ketika berbicara tentang pengaruh gaib kasih sayang, la menyatakan: “Kalian tak akan keliru bila menggambarkan Aku sebagai Penjelmaan Cinta.” Di Pedda-puram la menasehati setiap orang agar memiliki otot besi dan saraf baja, agar menjadi pemberani, tanpa kelemahan, ketakutan atau rasa rendah diri sedikit pun juga. “Jangan menyebut diri kalian sebagai anak-anak yang berdosa, tak ada dosa yang lebih buruk dari pada itu. Kalian adalah pewaris kekekalan. Tuhan bersemayam di dalam hati kalian masing-masing. la adalah penggerak Batin dalam segala ciptaan. Karena itu bagaimana mungkin kalian menjadi anak yang berdosa?” Demikian ditanyakan-Nya. Seringkali dalam khotbah-Nya Bàbà menjelaskan berbagai pelajaran dengan cerita serta perumpamaan. la mengisahkan aneka peristiwa dan kejadian dalam kehidupan para pertapa serta orangorang suci yang tak dijumpai dalam buku-buku yang kini beredar tetapi cerita itu memperlihatkan tandatanda keaslian. la mengetahui tidak hanya seluk-beluk kehidupan seluruh orang suci India, tetapi juga orang suci dari negara-negara Barat dan Timur Tengah. Diceritakan-Nya berbagai peristiwa dalam kehidupan orang-orang suci Kristen, Muslim serta Parsi. Untuk memperjelas hal yang penting dalam uraian-Nya maka contoh-contoh dari Hassan dan Husein, Musa, Jeremiah dan Paulus, bagi Bàbà sama berfaedahnya dengan contoh dari orang-orang suci India seperti Tyagaraja atau Pavharibàbà. Selama ini dan seterus-nya, Bàbà adalah Saksi Abadi. Dalam khotbah-khotbah-Nya sering la mengungkapkan aspek kenyataan-Nya ini dengan suatu pernyataan langsung atau tak langsung. Bagaikan cahaya kilat, secara tiba-tiba dan menggetarkan pernyataan-pernyataan ini menyadarkan orang akan kemuliaan kepribadian-Nya. la berkata: “Jangan mencoba mengukur-Ku, hanya kegagalan yang akan kau alami, lebih baik cobalah mengetahui ukuranmu sendiri kemudian engkau akan lebih berhasil mengetahui ukuran-Ku. Aku tak melakukan ulah tapa apa pun. Aku tak bermeditasi pada apa pun dan tak bermeditasi sama sekali. Aku tak belajar, Aku bukan peminat dalam kehidupan rohani, bukan pencari atau pelajar bahkan bukan pula pertapa, Aku telah datang untuk membimbing dan memberkati seluruh penganut kehidupan rohani. Aku bukan pria, juga bukan wanita, tidak tua juga tidak muda, Aku adalah semua itu. Jangan memuji-Ku. Aku senang bila engkau mendekati Aku tanpa rasa takut, sebagai hakmu; engkau tidak menyanjung-nyanjung ayahmu bukan? Engkau berhak
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
94
meminta sesuatu darinya, tidakkah demikian? Aku tidak datang ke dunia tanpa diundang. Orang-orang yang baik dari segala kepercayaan dan bangsa telah berseru dan memohon, maka Aku datang. Mungkin hari ini kalian baru melihatku untuk pertama kalinya tetapi bagi-Ku kalian semua adalah kenalan yang telah berabad-abad lamanya, aku mengenalmu benar-benar. Aku tak mempunyai ciri-ciri apa pun, Aku tak dibatasi oleh hukum sebab dan akibat maka bagaimana mungkin khayal mempengaruhi Aku? Bila Aku datang dengan senjata, Cakra, Gada atau Teratai, simbol-simbol tradisional Tuhan yang Mahamurah, mungkin kalian telah melarikan diri jauh-jauh atau menempatkan Aku dalam suatu pameran. Bila aku hanya seperti salah seorang dari antara kalian, kalian tak akan peduli sama sekali. Itulah sebabnya mengapa Aku mengenakan wujud manusia ini dan kadang-kadang memperlihatkan pada kalian berbagai keajaiban serta kemampuan yang melebihi kodrat manusia. Tugas-Ku adalah membangkitkan kembali kehidupan rohani umat manusia melalui Kebenaran dan Cinta Kasih. Aku telah datang untuk memperlihatkan pada kalian, jalan yang mengikuti Darma dan menuju ke Tuhan. Bila engkau datang selangkah lebih dekat kepada-Ku, Aku akan maju tiga langkah kepadamu. Aku merasa sangat bahagia bila orang datang kepada-Ku membawa beban kesedihan yang berat, karena ia sangat membutuhkan apa yang Kumuliki. Semua adalah milik-Ku dalam hubungan kekeluargaan, Karena itu mereka yang memuja Aku, tidaklah lebih dekat kepada-Ku dibandingkan dengan lainnya yang tak memuja - Ku.” Kata-kata tersebut adalah cahaya yang terang dari Bàbà yang telah dicurahkan-Nya dalam berbagai khotbah-Nya. Suatu kali la berkata: “Kehendak-Kulah yang telah membawa setiap orang dari antara kalian ke tempat ini untuk mendengar-kan Aku.” Itulah ukuran Rahmat serta Kekuasaan-Nya! Pernyataan-pernyataan ini meningkatkan daya tarik serta nilai yang terkandung dalam amanatamanat Bàbà. la merangkum setiap orang dalam kasih sayang-Nya yang berlimpah dan ketika la menyatakan pada umat yang berkumpul, “Aku tak mengesampingkan siapa pun, Aku tak dapat, bukanlah sifat-Ku untuk berbuat demikian, janganlah takut, Aku milikmu, kalian milik-Ku,” maka terbentuklah segera suatu keakraban spiritual yang mendalam antara Bàbà dan para pencari kehidupan rohani. Sebagai akibatnya, kata-kata-Nya masuk secara mendalam di dalam kesadaran, berakar dan perlahan-lahan tumbuh menjadi kelakuan yang baik serta sifat-sifat yang terpuji. la berbicara pada orang-orang yang berkumpul seperti pada teman yang sangat disayangi. Tujuan utama-Nya adalah membangunkan manusia yang terlelap dalam kebodohan dan menunjukkan sifat mereka yang sejati yaitu Diri spiritual yang kekal dan abadi. Dikatakan-Nya: “Kalian tak dapat dikalahkan, tak terpengaruh oleh pasang surut kehidupan, Bayangan yang kalian lontarkan ketika menyusuri jalan, jatuh di atas kotoran dan debu, semak belukar, batu serta pasir, tetapi sedikit pun kalian tak merasa cemas karena kalian tak terganggu. Demikian pula sebagai kenyataan rohani, tak ada alasan bagi kalian untuk mencemaskan nasib bayangan atau badan kalian. Bàbà memberi banyak contoh sehingga hal ini dapat dipahami dengan sangat jelas, dengan demikian la memberi semangat serta keberanian yang tak tergoyahkan.” “Tugas-Ku adalah menganugerahi kalian dengan keberanian dan kegembiraan serta menyingkirkan kelemahan dan ketakutan,” demikian dikatakan-Nya dalam berbagai kesempatan. “Jangan mengutuk dirimu sendiri sebagai pendosa. Dosa adalah istilah yang keliru untuk suatu hal yang sebetulnya hanyalah kekhilafan. Aku akan mengampuni semua kesalahanmu asalkan engkau sungguh-sungguh menyesal dan berniat tak akan berbuat jahat lagi. Berdoalah agar Tuhan memberimu kekuatan untuk mengatasi kebiasaan-kebiasaan yang menggodamu semasa engkau berada dalam kegelapan,” demikianlah ia menyalakan api harapan serta kesehatan dalam setiap hati. Dengan kemurahan hati-Nya, belas kasihan-Nya yang tak terbatas, dan katakata-Nya yang bijaksana, la telah memperbaiki ribuan orang dan meng-arahkan mereka pada pengabdian serta perjuangan rohani. Pada suatu pagi ketika Bàbà selesai berkhotbah di Nellore, terjadilah suatu peristiwa yang sangat menyentuh hati. Seorang pria setengah umur berlari menyerbu ke dalam kamar-Nya, menjatuhkan diri di Kaki-Nya, berguling-guling di lantai dan menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Bàbà mengetahui sebabnya, la berpaling pada orang-orang yang hadir di sekitar-Nya sambil berkata: “Kisah Ramu kemarin,” kemudian minta agar mereka meninggalkan ruangan. Sore sebelumnya Bàbà telah menceritakan kisah seorang anak laki-laki kecil, Ramu, yang mengemis makanan dari pintu ke pintu. Ibunya sedang sakit payah. Ramu berseru-seru di depan sebuah rumah. Tuan rumah menjadi berang dan memukul kepalanya sehingga ia jatuh bersama periuk yang berisi
95
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
uang yang diperolehnya. Pukulan itu menyebabkan kematiannya dan ia meninggal sambil berkata: “Ibu! Ibu! Siapa yang akan memberimu makan kini?” Kisah ini serta “nasehat” Bàbà bahwa setiap orang harus berterimakasih pada ayah dan ibu yang telah menghadirkannya di dunia, menimbulkan penyesalan dalam hati pria ini. Karena suatu soal kecil ia telah bertengkar dengan ibunya dan meninggalkannya sendirian. Kini ia sangat mengharapkan pengampunan Bàbà untuk memulihkan dirinya di dalam perlindungan, bimbingan serta rahmat-Nya. Bàbà mengerti semua hal ini tanpa diberitahukan. la menepuk punggung pria itu dengan penuh kasih sayang. Sedu-sedannya tak berhenti. Bàbà berkata: “Penyesalan itu sendiri sudah cukup untuk menebus dosa! Ayo, ayo, jangan menangis. Aku akan pergi ke desamu, ke rumahmu. Bawalah ibu ke sana dan kalian bersama-sama akan Kuberkati. Pergilah dan jemputlah ia di sana sebelum Aku datang.” Banyak peristiwa dramatis tentang pinjaman yang dibayar kembali, terjadi sebagai akibat khotbah Bàbà yang penuh rahmat. Seorang ayah yang tua tertolong karenanya. Seorang isteri yang dilalaikan telah diterima kembali dan seorang pria yang kebiasaannya untuk berjudi serta minum-minuman keras telah berakar, melepaskan hal tersebut untuk selamanya. Kampanye Bàbà untuk menyebarkan pesan cinta kasih baru saja mulai dan semua orang yang telah mendengar amanat-Nya dapat dengan jelas membayangkan makna pemyataan yang dibuat-Nya di halaman pertama Sanàtana Sarathi, Majalah bulanan ini diresmikanNya pada tanggal 16 Februari 1958, pada tahun ketiga puluh dua hidup-Nya di dunia. Pada hari itu sang Sanàtana Sarathi, pengemudi kereta perang, memulai kampanye-Nya melawan kepalsuan, tidak adanya keadilan, kekejian dan kejahatan, anak buah hantu egoisme. Kemenangan yang harus dicapai adalah kesejahteraan seluruh dunia. “Bila genderang kemenangan dibunyikan dalam kegembiraan dan keberhasilan, umat manusia sudah akan mencapai kedamaian, kemakmuran serta kebahagiaan.” Garis besar rencana kampanye telah tampak jelas di cakrawala. Panggilan untuk tugas mulia yang diserukan dengan nyaring adalah program Bàbà yang rangkap empat yaitu: “Berlakulah benar, adil, tenang dan penuh kasih sayang.” Rencana-Nya diperuntukkan bagi seluruh umat manusia karena la berkata: “Tak pernah disebutkan di mana pun juga bahwa Rahmat Tuhan hanya tersedia bagi kelas, bangsa atau orangorang tingkat tertentu. Seluruh dunia dari yang paling kecil hingga yang paling besar, semuanya berhak atas Rahmat-Nya. Tuhan ada di mana-mana, dalam segala sesuatu. Ia akan dapat disadari dengan jalan terusmenerus mempraktekkan kebenaran serta cinta kasih. Kebenaran adalah keadilan yang tertinggi dan cinta adalah jalan satu-satunya menuju ke damaian.” Bàbà juga sibuk mendidik para pencari dan peminat kehidupan rohani, memperbaiki para guru serta pembimbing rohani yang sebagian besar tersesat karena tamak, ingin tersohor, berhasrat menang dalam persaingan untuk mendapatkan dukungan publik dan menginginkan kebesaran yang fana, kemasyhuran internasional atau publikasi di surat-surat kabar. “Ujilah setiap orang di batu ujian ketulusan, lihatlah sejauh mana masing-masing telah menyangkal diri, tidak hanya dalam kata-kata tetapi dalam perbuatan yang nyata, kemudian terimalah nasehat mereka dan terapkanlah dalam perbuatan serta tingkah lakumu sehari-hari. Prakteknyalah yang menjadi persoalan, bukan kemegahan gelar kesarjanaannya,” demikian dikatakan-Nya dengan tegas.
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
96
XII SANG GURU Para pengikut berhasil membujuk Bàbà agar menganugerahi mereka dengan kegembiraan untuk menyambut dan memuja Beliau di kota serta rumah mereka sendiri. Pada kesempatan semacam itu wajarlah jika mereka ingin agar lebih banyak dan makin banyak orang yang mendapat manfaat dari khotbah Beliau. Sering Bàbà memenuhi permintaan semacam ini, maka di Chittoor, Trivandrum, Bombay dan tempattempat lainnya, banyak yang telah mendapat kesempatan untuk menyatakan hormat bakti secara pribadi kepada-Nya. Bàbà juga telah memberikan amanat dalam pertemuan umum di berbagai kota sehingga ribuan orang mendapat kegembiraan yang unik dan tak terlupakan karena mendengar suara-Nya yang memikat dan kata-kata-Nya yang memberi kekuatan. Bàbà mempunyai cinta kasih yang sama kepada semuanya; demikian pula, la tidak membuat perbedaan antara sebuah desa dan sebuah kota; bahkan mungkin la menanggapi lebih cepat lagi ketika para bhakta (pengikut) dari desa-desa terpencil membutuhkan-Nya, la kerasan seperti di rumah sendiri ketika berada di sebuah Raj Bhawan (Istana) maupun di sebuah Parnasala. Bila berkunjung ke rumah para pengikut, rombongan yang menyertai-Nya hanya sedikit karena la tak mau menyusahkan pengikutNya, baik dalam hal perhatian maupun uang. la dapat mengurus Diri-Nya sendiri dan juga dapat mengatasi kebutuhan rombongan. Perhatian-Nya pada orang-orang yang menyertainya sedemikian rupa sehingga mereka merasa bahwa mereka lebih merupakan beban bagi Bàbà, bukannya penolong!. Bàbà telah sering bepergian melalui Tamilnad, mengunjungi tempat-tempat seperti Coimbatore, Trichinopoly, Tanjore, Salem dan Tinnevelly. la telah berkunjung ke Hyderabad beberapa kali dan menempuh perjalanan melalui kota dan desa Telingama. la juga telah mengunjungi Ellora dan Ajanta untuk memperlihatkan tempat tersebut pada para pengikut-Nya karena la Sendiri tidak perlu pergi ke berbagai tempat hanya untuk melihatnya. la dapat melukiskan setiap tempat di manapun juga hingga ke bagianbagiannya yang terkecil tanpa benar-benar hadir secara fisik di tempat tersebut. Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, la telah mengadakan perjalanan ke Delhi, Rishikesh, Kashmir, Mathura dan Brindavan. Bàbà juga pernah mengadakan kunjungan singkat di Bombay. la juga sering bepergian di sepanjang jalan Pantai Sebelah Timur dari Madras menuju ke Delta Kåûóa dan Delta Godavari, berhenti di Nellore, Ongole, Guntur, Nuzvid, Chebrole, Rajahmundry, Peddapuram, Samalkot dan Masulipatam menemui para pengikut serta orang lainnya. la bahkan telah mengunjungi berbagai tempat yang lebih jauh seperti Bhadrachalam dan Aukiripalli. Di Karnataka Bàbà telah berkunjung ke Bellary, Hospet, Mercara, Mysore serta Mandya dan tinggal beberapa minggu di Madras, Kodaikanal, Ootacamund serta Nandanavanam di Whitefield dekat Bangalore. Bàbà pandai mencari tempat-tempat yang indah selama perjalanan dan berhenti pada tempat-tempat yang sejuk dan tenang di mana alamnya sangat indah, atau di tepi anak sungai yang mengalir bergemericik di sela-sela bebatuan, atau pada suatu ketinggian dari mana pemandangan bukit dan lembah terbentang di hadapan mata yang lelah. la lebih menyukai berjalan di tepi pantai, atau di antara pepohonan di hutan atau di sepanjang perbatasan perkebunan-perkebunan. la memanfaatkan setiap kesempatan untuk menghilangkan kesangsian dalam benak para bhakta, karena iman dan ketetapan hanya dapat tumbuh dari lahan keyakinan. Maka perjalanan-perjalanan Bàbà merupakan sekolah keliling bagi mereka yang berkesempatan ikut serta dalam perjalanan tersebut. Ketika seorang pengikut berkata pada Bàbà, “Saya dengar bahwa perjalanan Anda ke Kerala sangat menyenangkan dan mengagumkan. Saya sedih karena tidak ditakdirkan untuk ikut.” Bàbà menjawab, “Percaya dan berharaplah bila kelak kesempatan semacam itu datang lagi, engkau dapat ikut serta. Sementara itu dengarkan cerita-cerita dari mereka yang ikut serta dan berbahagialah”. Sedikit penjelasan tentang kata “mengagumkan”. Pengikut tersebut sedang mempercakapkan suatu keajaiban menakjubkan yang dramatis yang terjadi di Kanyakumari. Pada sore hari ketika langit tampak indah dengan warna merah jambu serta ungu, dan awan-awan menghias diri dengan tepian keemasan, Bàbà beserta rombongan-Nya berjalan menuju pantai dan bermain-main dengan ombak-ombak lautan yang bergulung di sana. Dibandingkan dengan ombak yang datang sebelumnya, setiap ombak tampaknya lebih ingin menyentuh kaki Beliau untuk mempersembahkan hormat bakti yang khusus bagi-Nya. Tiba-tiba 97
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
bagaikan menyadari kerinduan samudera, Bàbà berdiri menghadap ke air dan berkata pada orang-orang di samping-Nya, “Lihatlah! Samudera menyambut-Ku dengan karangan bunga.” Tepat pada saat itu sebuah ombak yang besar kira-kira beberapa meter jauhnya dari tempat itu, dengan agungnya melaju ke pantai, melingkungi kaki Bàbà kemudian surut kembalt. Bayangkan betapa kagum dan takjubnya setiap orang ketika mereka mendapati sebuah untaian mutiara yang sangat indah di sekeliling Kaki-Nya, bergoyang dan berayun bersama setiap ombak yang datang melambung! Ada seratus delapan butir mutiara yang jernih dan tak ternilai harganya dirangkai dengan benang emas! Oh, betapa mempesona tampaknya Bàbà! Avatar (jelmaan/titisan Tuhan) menerima sembah hormat dari Varuóa (Deva Laut) lagi!, Sekarang kembali pada pembahasan yang membentuk mata acara penting dalam program hari itu untuk Bàbà ketika berada di Prashanti Nilayam atau di tempat lainnya, sebaiknya kita telusuri daftar pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan pada hari yang luar biasa itu ketika samudera menyampaikan sembah hormatnya kepada Bàbà. “Apakah semua ciptaan adalah khayal?” Tidak, menganggapnya sebagai ciptaan adalah khayal; ketidak-tahuan akan sifat sejati-Nya adalah khayal. “Apakah syair-syair kepahlawanan seperti Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata itu benar? “Benar? Mereka hanya menyajikan sebagian dari Kebenaran; misalnya saja, bila engkau berbicara pada orang lain tentang Aku, engkau tak dapat melukiskan Aku sepenuhnya bukan? “Mengapa Tuhan harus datang sebagai manusia untuk memulihkan dharma (sifat /kebenaran yang sejati)? tidakkah kehendak saja sudah cukup?” Tentu saja hal itu dapat dilakukan hanya dengan berkehendak, tetapi bagaimana engkau bisa memperoleh segala kebahagiaan ini bila Tuhan tidak datang dalam wujud manusia?. Bila ada gangguan kecil di daerah setempat maka seorang agen polisi sudah cukup untuk mengatasinya; Bila kesulitan tampaknya akan berkembang lebih besar maka inspektur polisi didatangkan; Bila ternyata berkembang lagi menjadi kerusuhan maka kepala polisi sendiri harus memadamkannya; Akan tetapi seperti pada waktu sekarang ini, seluruh umat manusia terancam oleh kehancuran moral, maka Inspektur Jenderal sendiri datang, yaitu Tuhan Sendiri beserta tentara-Nya yang terdiri dari orang-orang suci dan para peminat kehidupan rohani. “Di manakah penjelmaan Tuhan terjadi?” Di tempat yang memungkinkan diusahakannya latihan rohani dengan sebaik-baiknya. “Bagaimana kami mengetahui bahwa Engkau adalah Sàì Bàbà dari Shirdi?” Hal ini sulit bagi kalian; beberapa hari yang lalu ketika Aku “pergi” sebagai seorang tua untuk menyelamatkan anak Venkataraman di sebuah jalan dekat Bagepalli, ia tidak mengenali Aku, ia berterima kasih dengan sepenuh hatinya kepadaKu dan mengulurkan uang logam satu rupee kearahku(!) Ia percaya bahwa Aku adalah seorang desa yang bernama Jodi Adipalli Somappa ketika Kusebutkan nama itu! Ràma dan Kåûóa adalah jelmaan / titisan dari Tuhan yang sama, tetapi karakteristik mereka berbeda; demikian juga bagaimana kalian memahami identitas antara Wujud yang ini dan Wujud dari Shirdi? Mereka yang memuja Sàì dari Shirdi tidak memahami Beliau dan kalian juga tidak memahami Aku. Hanya mereka yang memahami keduanya dapat mengemukakan pendapat, bukankah demikian? ... Inilah jalannya percakapan di pantai, sesudah persembahan rangkaian mutiara itu. Hari berikutnya, ketika rombongan tiba di Courtallam dalam perjalanan ke Surandai dan duduk di luar Travancore House untuk Bhajan di sore hari, Bàbà mempersilahkan orang-orang berada di dekatnya untuk mengajukan pertanyaan. Berikut ini adalah jawaban-jawaban-Nya: Aku berada di belakang setiap orang yang dengan sungguh-sungguh memperdalam pengetahuan rohaninya; mereka berpaling ke belakang untuk melihat-Ku tetapi bagaimana mungkin? Aku tetap berada di belakang mereka! Kadang-kadang atas kehendak-Ku. Aku memberikan penampakan-Ku sekejap. Tuhan adalah “Anàdi’ (tak berawal) tetapi sekarang orang-orang mulai bertengkar karena mereka berkata, “Tuhan adalah “nàdi”, “nàdi” (milikku)!” Dalam Jìvaloka (alam manusia), ada kebaikan dan keburukan; dalam Pràóaloka, hanya ada kebaikan; dalam Àtmanloka, semuanya seimbang; Dalam Paramàtmaloka, tidak ada baik maupun buruk ... Tidak ada naûtika (Atheis) atau dusta (pendosa) cepat atau lambat semua akan menginsafi. Tuhan ... Aku akan mengampuni seratus kesalahan-kesalahanmu. Pertama periksalah apakah engkau telah mengikuti nasehat-Ku, kemudian pertimbangkanlah apakah kata-kata-Ku sungguh terjadi ... Di sekolah ada ujian yang diselenggarakan ?” tiap minggu dan setiap bulan, ada pula yang dilangsungkan tiap tiga bulan dai. setengah tahun tetapi hanya setelah ujian akhir di selenggarakan dan kertasnya diperiksa maka hasilnya diumumkan dan kalian
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
98
dinyatakan “lulus” atau “gagal”. Bekerjalah sebaik-baiknya dalam tiap ujian dan dapatkanlah Rahmat Sang Penguji;. ... Engkau dapat membinasakan atau merancang nasibmu sendiri, sikap yang kau kembangkan dapat membakar habis atau melipat gandakannya ... Orang-orang India harus belajar banyak dari orangorang Barat. Orang-orang di negara ini menanamkan rasa takut di dalam hati anak-anak kecil sekalipun, “engkau akan jatuh, engkau akan melukai dirimu sendiri”, demikian mere’ka diperingatkan. Anak-anak tidak dilatih untuk memanjat pohon, berenang atau melakukan ratusan perbuatan lainnya yang berguna. Mereka diperingatkan tentang setan dan maling sehingga tumbuh dalam rasa takut yang luar biasa. Anakanak hanis belajar percaya pada diri-sendiri, berani, gembira dan bersemangat ... Ada tiga tahap dalam Sàdhanà (peningkatan spiritual) yaitu; ketika Sàdhaka (riang yang menjalankan peningkatan rohani) adalah seorang ‘sadhajamanawa’ (orang biasa), kemudian ketika ia menjadi ‘Sàdhanàmanawa’ (orang yang berjuang secara rohani) dan kemudian ketika ia mencapai ‘sarveswaramanawa1 (orang yang bersatu dengan Tuhan); Pada mulanya ada tiga wujud: Loka (dunia), Jìva (mahluk hidup) dan Ìúvara (Tuhan). Lalu mereka berkurang menjadi dua yaitu Jìva dan Ìúvara. Akhirnya hanya Tuhan yang tinggal sebagai ketiganya ... Segala ciptaan ini telah dimungkinkan hanya dengan dua hal yaitu Jadam (Materi) dan chaitanya (kesadaran), Påthivì (alam) dan Puruûa (Tuhan), Vidwan Chowdiah, pemain biola memainkan empat ratus nada musik bukannya dengan biola yang mempunyai empat ratus senar, tetapi dengan biola yang bersenar empat, tidakkah demikian? Tanah liat dan air menjadi sebuah periuk: Úiva dan Úakti membentuk jagath (dunia) ini ... semua ini adalah Brahmà (perwujudan Pencipta); Satu bertanya, sepuluh mendengarkan; Satu menjawab dan semua merasa puas. Bila sinar matahari ditangkap dan dengan sepotong lensa dipusatkan ke sebuah titik maka akan timbul api, demikian pula bila cahaya Rahmat Tuhan dipusatkan seperti itu, maka la akan menerangi Buddhi, membakar dan memusnahkan pikiran ... Tuhan telah menetapkan adanya dukacita, karena tanpa itu manusia tak akan melekat pada Tuhan; Dukacita adalah suatu hal yang menyerupai diet dan larangan-larangan lain yang dokter berikan untuk membantu pengaruh obat yang diberikannya ... Úradhà (iman) hanya akan datang jika engkau mengembangkan hasrat yang besar akan Tuhan; orang yang tak merasa lapar tak akan menikmati makanan yang lezat.,. Untuk Dhyànam (meditasi) dan Japam (menyebut nama Tuhan berulang-ulang) ada tahap-tahap tertentu yang harus diikuti; tidaklah baik mengerjakan cita-cita kerohanian secara serampangan ... Bila engkau bertanya pada-Ku; manakah yang lebih bermanfaat, Japam atau Dhyànam, Aku akan berkata, “Yang lebih bermanfaat adalah yang menimbulkan iman yang lebih teguh dalam dirimu”. ... Dalam Japam, bibir dan lidah jangan bergerak; Japam harus secara mental. Ràdhà adalah Dhara, sang bumi, Påthivì yaitu ADHAR; Ini harus mengalir seperti sebuah DHARA atau aliran yang tak terputuskan ... Bila engkau taat pada jalan kebenaran, maka kegagalan tak akan tampak sebagai kegagalan dan kemalangan tak akan terasa menyedihkan ... Ini adalah beberapa dari ucapan-ucapan Bàbà yang berharga, yang membuat sebuah yatra, (perjalanan) oleh-Nya menjadi sebuah Jñànayatra (perjalanan kebijaksanaan) yang sungguh-sungguh untuk setiap orang. Di mana Bàbà berada, la memberikan wawancara pribadi sebagaimana halnya di Prashanti Nilayam dan menganugerahkan penghiburan, semangat serta keyakinan kepada semua yang mencarinya. la juga menganjurkan para bhakta (pengikut) untuk mengadakan Bhajan dan menyanyikan nama Tuhan bersamasama. Seringkali, la melatih mereka menyanyikan lagu lagu bhajan. Demikianlah Bàbà berkunjung dari satu tempat ke tempat yang lain, membuat hati semua orang yang mekar dalam sukacita. la mencurahkan Rahmat-Nya pada semua yang menderita dan sungguh-sungguh, dengan keajaiban-keajaiban pada setiap waktu la membuktikan bahwa ia mengambil wujud manusia untuk kita semua.
99
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
XIII AKU DI SINI Pada senja hari tanggal 8 September 1958, di lapangan istana Elamarru yang luas, Bàbà memberi amanat pada banyak sekali orang yang ber-datangan dari Nuzvid dan desa-desa sekitarnya. la memulai khotbah-Nya dengan mengatakan bahwa manusia telah tersesat dan menjelajahi jalan yang lebih panjang dari biasa sehingga mereka terbawa semakin jauh dari tujuan. la berkata bahwa hanya manusialah yang mempunyai kemampuan untuk mengenali lagi jalan yang benar dan menarik kembali langkahnya, senantiasa memperbaiki diri. Manusia harus menggunakan kemampuannya untuk merenungkan Tuhan dan mengetahui bahwa ada kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan yang lebih tinggi. la menyebutkan bahwa kesedihan dan kegelisahan timbul karena kurangnya keberanian intellektual. Tiba-tiba kata-kata-Nya terpotong, la jatuh kembali di kursi-Nya dan menjadi kaku serta tak bergerak. la telah “pergi” ke luar dari Badan-Nya untuk menyampaikan amanat penghiburan “Aku di sini,” pada seseorang yang sedang berada dalam dukacita yang dahsyat! Saat itu pukul 7.25. Kesunyian yang mencekam memenuhi udara. Hadirin menahan napas. Detak detik jam di depan-Nya dapat didengar dalam kesunyian yang mendalam. Lima menit kemudian la “kembali” dan melanjutkan lagi khotbah-Nya sambil berkata “Inilah kewajiban-Ku! Di mana pun Aku berada, apa pun yang mungkin sedang Kulakukan, bila pengikut yang sedang dalam kesedihan dan kecemasan memanggil maka Aku harus pergi dan memberikan pertolongan kepadanya” Kemudian la melanjutkan lagi khotbah-Nya selama lebih dari satu jam, membahas tentang hubungan guru-dan pengikut, tentang badan sebagai kuil Tuhan dan tentang disiplin-disiplin yang diperlukan untuk mensublimasikan hawa nafsu. Peristiwa lain yang serupa terjadi pada tanggal 24 November 1958, Waktu itu di Puttaparthi sedang diadakan Perayaan Ayunan yang merupakan sebagian dari acara perayaan ulang tahun Bhagavàn Sri Sathya Sàì Bàbà. Ayunan di ujung sebelah Timur ruang pertemuan dihias indah dengan rangkaian bunga. Ketika umat memohon dengan tulus, Bàbà duduk di atas ayunan tersebut. Nyanyian doa dilagukan. Ada pula permainan musik serta khotbah keagamaan yang diselenggarakan oleh beberapa pengikut. Tiba-tiba Bàbà “mendengar sebuah panggilan”, la jatuh bersandar di bantal dan menjadi “tak sadar” akan kejadian di Puttaparthi. Setelah itu diceritakan-Nya bahwa la mengetahui seorang penderita busung air di kota Hydrabad, yaitu ayah seorang pengikut yang tiba-tiba menderita serangan jantung dan sedang diangkat ke dalam ambulans. Bàbà memberikan Penampakan Diri-Nya dan Abu yang dapat menyembuhkan kepada orang itu kemudian “kembali” ke ruang ayunan. la hanya “pergi” selama dua setengah menit. Seperti dikatakan-Nya di Nuzvid, la harus pergi, tugas-Nya menanti. Bagaimana kita dapat melukiskan Belas Kasihan Tuhan yang tak terhingga Kekuasaan dan Kekuatan-Nya yang tak terbatas! Selama ini belas kasihan-Nya telah dibuktikan dalam bermacam-macam bentuk tetapi yang paling dramatis adalah “perjalanan di luar badan” yang dilakukan-Nya. Awal tahun 1940 ketika hampir mencapai usia empat belas tahun, la mengejutkan setiap orang dan menimbulkan kegemparan karena “pergi” tanpa pemberitahuan. Pada peristiwa bersejarah yang pertama kalinya, hal ini secara keliru dianggap sebagai sengatan kalajengking dan orang-orang mengira bahwa la pingsan karenanya. Jarang sekali Bàbà mengungkapkan tempat-tempat yang telah dikunjungi-Nya atau menyebutkan orang yang menerima Rahmat-Nya, tetapi kejadian yang dinyatakan-Nya atau diceritakan oleh orang-orang lain telah sedemikian banyak, sehingga orang dapat membuktikan bahwa “perjalanan-perjalanan” ini telah membawa-Nya ke berbagai tempat yang sangat jauh seperti misalnya Tapal Batas Assam, Garis Depan Kashmir, Lembah Swiss, Hutan Nallamalai, pantai Bombay dan banyak tempat lain baik di India maupun di negara lain. Badan Bàbà kadang-kadang terlihat membuat isyarat atau gerakan-gerakan seperti menghela, menarik, mengangkat, membalut atau mencabut. Kelak ia menjelaskan hal itu sebagai gerakan yang benarbenar dilakukan-Nya ketika menyelamatkan orang yang sedang tenggelam, terbakar, terlanggar, terhimpit atau terjepit. Suatu kali ketika sedang bercakap-cakap dengan sekelompok pengikut di serambi sebuah rumah di Muthukur, Bàbà berkata bahwa pada saat yang sama la juga sedang berada di kota Bolarum. la telah “pergi” ke sana karena ada sebuah jip yang terbalik dan seorang pengikut terhimpit di bawahnya. Bàbà berlari kepadanya dengan pesan, “Mengapa takut bila Aku di sini?” la melepaskan si pengikut dan setelah
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
100
“kembali” diceritakan-Nya bahwa la telah tinggal di samping orang itu hingga sebuah bis penumpang tiba dan membawanya ke rumah sakit. Pada waktu terjadi kerusuhan serta huruhara Razakar di Hyderabad dan ada seorang pengikut yang terancam bahaya maut maka Bàbà “pergi” untuk menolongnya. Di teras Nilayam la melakukan gerakangerakan seperti sedang memukul beberapa orang yang berada di dekat-Nya. Kelak dijelaskannya hal itu sebagai gerakan yang menunjukkan tindakan yang benar-benar dilakukan-Nya pada sekelompok pencuri dengan akibat seratus kali lipat di Hyderabad; tiba-tiba mereka menjadi panik dan melarikan diri Pada kesempatan lain, seorang desa bernama Bhimaiah yang telah bertengkar dengan kakaknya karena soal pembagian hasil panen, datang ke Puttaparthi dan berharap untuk tetap tinggal di sana dan hidup dari kedermawanan para peziarah, Bàbà memarahinya karena ia menjadi beban bagi orang lain padahal dengan bersikap sedikit lebih sabar dan penyayang ia dapat hidup bahagia bersama saudaranya di desanya sendiri. Bàbà meyakinkan Bhimaiah bahwa Rahmat-Nya akan selalu menyertainya di mana pun ia berada dan memberitahu agar ia kembali pulang. Bhimaiah menerima hal ini dengan sangat sedfli seakan-akan Bàbà telah mengusirnya. Dalam keputus-asaannya, pada malam hari ia melemparkan diri di rel kereta api, sambil berharap bahwa roda kereta api akan mengakhiri kesedihannya. Tetapi Rahmat Bàbà telah dan selalu memenuhi segala sesuatu. la “bergegas” mendapatkan Bhimaiah di rel kereta api dan mendorongnya ke samping tepat pada waktunya. Orang-orang yang berada bersama Bàbà di Puttaparthi dapat melihat dari gerakan-Nya bahwa la sedang mendorong sesuatu yang berat. Bàbà “kembali” sambil menceritakan tentang Bhimaiah yang telah sedemikian bodoh dan salah menafsirkan. nasehat-Nya! Kelak Bhimaiah menjelaskan bahwa ia merasa Bàbà menangkap tangannya dan menariknya menuruni lereng tanjakan tempat ia berbaring. Dengan air mata penyesalan ia segera kembali kepada Bàbà di Puttaparthi, barulah kemudian kembali pulang ke desa dan bergabung lagi dengan saudaranya. Bahkan sekarang pun bila para pengikut bertanya pada Bhimaiah, mengapa ia demikian bodoh dan nekad hingga merepotkan Bàbà dengan “perjalanan di luar badan”, maka dengan malu ia menundukkan kepalanya dan mohon agar mereka tak menanyakan hal yang demikian menyakitkan baginya. Bàbà “sering” meninggalkan badan-Nya dan pergi untuk mendampingi seorang pengikut pada saatsaat terakhir hidupnya di dunia. la memberi Darúan pada orang yang bersangkutan, yaitu kegembiraan karena dapat melihat-Nya secara pribadi. Pada suatu sore Bàbà ‘pergi’ untuk memberikan kegembiraan semacam ini pada seseorang. Segera setelah “kembali” ke badan-Nya, la memberitahukan nama orang itu. Ketika orang-orang bertanya kepada-Nya, “Jadi peristiwa ini berlangsung di Muddanur?” Bàbà menyangkal dan berkata, “Tidak, tidak. la meninggal di jalan. Orang itu sedang dibawa ke tempat lain. Kematian ini disebabkan oleh penyakit jantung.” Tak lama kemudian, dalam sepucuk surat, sang suami yang berdukacita itu menceritakan bahwa karena tak ada perlengkapan Oksigen di rumah sakit daerah setempat maka isterinya yang sakit harus diangkut dengan taksi ke sebuah kota yang berjarak tiga puluh dua kilometer dari tempat itu. Sang isteri meninggal di dalam taksi sambil mengucapkan: “Sai, Sai” Pada suatu malam di perbukitan Horsley ketika sedang berjalan ke ruang makan, tampaknya Bàbà hampir melakukan suatu “perjalanan” tetapi la bergumam Sendiri, “Masih ada waktu sebentar lagi,” kemudian berjalan ke meja-Nya. Pada waktu sedang makan, la “pergi” untuk memberi Darúan pada seseorang yang akan meninggal! Beberapa waktu yang lalu ketika sedang berada dalam salah satu perjalanan untuk menolong, la menggumam, “Air, air,” beberapa kali. Kami mengambil segelas air dan didekatkan ke Bibir-Nya. la sama sekali tak mengetahui hal ini. Ketika kemudian diberitahukan bahwa ia telah minta air, Bàbà tersenyum dan berkata, “Di saat Aku minta air untuk diberikan pada orang yang akan meninggal di suatu tempat, kalian membawa air ke sini! Ini lucu,” Jalan Tuhan memang sulit dimengerti! Mungkin itulah sebabnya mengapa Bàbà sering berkata: “Jangan menyia-nyiakan waktu dan tenagamu dengan mencoba mencari penjelasan bagi perbuatan-perbuatan-Ku. Pertama pahamilah diri dan sifat-sifatmu sendiri kemudian engkau akan dapat mengerti Aku.” Untuk menampakkan Diri di suatu tempat atau menolong seseorang, Bàbà tak perlu “meninggalkan” Badan fisik-Nya. Kadang-kadang la hanya berhenti sebentar ketika sedang duduk kemudian dalam beberapa detik telah “datang lagi”. Sementara itu perjalanan dan hubungan Rahmat telah berlangsung! Pada suatu hari, ketika sedang menceritakan salah satu menteri yang membantu Manu Chakravati,
101
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
Bàbà “meninggalkan” Badan-Nya selama kira-kira sepuluh detik dan ketika “datang kembali” la melanjutkan lagi cerita-Nya! Hanya beberapa orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian mengetahui bahwa ada sesuatu yang luar biasa. Tak lama kemudian seorang pria memasuki kamar Bàbà dan la bertanya kepadanya, “Apakah engkau mendapat telegram?” Tampaknya memang benar. “Telegram itu berbunyi: Prasad sedang sakit keras, bukankah demikian?” tanya Bàbà sebelum pria itu membukanya. Sampul yang berisi berita kemudian diserahkan kepada Bàbà. Bàbà menyobek dan membukanya. Telegram itu menyatakan bahwa Prasad sakit panas dan suhu tubuhnya 104°F. Bàbà berkata: “Jangan khawatir sama sekali. Aku baru saja ke sana, keadaan anak itu sudah tak berbahaya.” Orang-orang yang hadir kemudian mengetahui bahwa saat itu Prasad berada di rumah pria yang telah datang ke kamar Bàbà tersebut. Prasad tinggal lima ratus enam puluh tiga kilometer jauhnya dari situ! Bàbà menolong, melindungi, membimbing dan memerintahkan sekalipun la sedang berbicara, bernyanyi atau berjalan. Suatu kali di kamar-Nya di Prasanthi Nilayam ketika sekelompok pengikut sedang asyik memotong-motong kain menjadi potongan sepanjang tiga yard untuk dibagi-bagikan pada orangorang miskin, tiba-tiba Bàbà bertanya: “Parthasarathi! Engkau mengira bahwa sekarang Aku sedang berada di sini bersamamu, membawa gunting dan memotong kain ini, bukan? Tahukah engkau, Aku baru saja pergi ke Madras untuk menjenguk Kusamu? Si kecil itu terkena diptheria dan kakak laki-lakimu telah membawanya ke rumah sakit. Jangan khawatir kawan tersayang, Aku telah memberinya Penampakan Diri-Ku dan Abu Obat, ia akan segera baik.” Semua tercengang mendengar pernyataan ini. Parthasarathi menjatuhkan diri di Kaki Bàbà. la menjadi bingung melihat bukti Kekuatan dan Rahmat Bàbà ini. Dengan rasa humor-Nya yang khas Bàbà membicarakan kejadian-kejadian ini sebagai “Kartu Nama-Ku!” la mempermaklumkan bahwa la adalah Tuhan Sendiri. Tuhan yang datang saat itu juga untuk menolong umat-Nya yang sejati, Tuhan yang memperlihatkan Diri di depan mereka yang berseru memanggil-Nya. Dalam kelimpahan Rahmat-Nya, Ia memberikan juga “kartu nama” ini sekalipun pada pengunjung-pengunjung yang datang sebentar ke Puttaparthi karena terdorong oleh rasa ingin tahu.
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
102
XIV SAIS KERETA PERANG Kitab-kitab suci menyatakan bahwa Yang Mulia Kåûóa karena belas kasihan-Nya telah sudi menjadi sais kereta perang, pendorong batin dalam Pertempuran Kurukûetra. Arjuna terjerat dalam belitan keterikatan justru ketika tugas memanggilnya untuk bertindak. “Anggota badan-ku menjadi lemas, Udahku mengering. Busur terlepas dari peganganku, aku tak dapat berdiri, otakku bagaikan berada dalam pusaran,” tangisnya. Kåûóa mencelanya, karena membiarkan diri dikuasai oleh kelemahan adalah sikap yang tidak jantan. Kemampuan diskriminasi Arjuna tertutup oleh kesedihan yang khayal, kesombongan serta kebodohan, perasaan keakuan dan kepemilikan. Kåûóa menyingkirkan tabir itu dan mengajarkan rahasia hidup yang sukses, Yoga Penyerahan, ketidakterikatan. Bàbà menamakan majalah bulanan Prasanthi Nilayam “Sanàtana Sarathi”, yang berarti “Sais Kereta Perang Yang Abadi”. Nama ini mengandung arti yang dalam. Sebagaimana Kåûóa telah datang maka Bàbà juga telah datang untuk membebaskan manusia dari kesedihan dan khayal, kesombongan serta kebodohan dan untuk menegakkan lagi keadilan di dunia. Kata “Sarathi” merupakan jaminan dari Bàbà bahwa la akan membimbing pencari kehidupan rohani asal saja yang bersangkutan mulai mengambil langkah dan mengundang-Nya untuk menggantikan memegang tali kendali kehidupannya. Kata “Sanàtana” merupakan peringatan bahwa hal ini telah merupakan peran Bàbà sejak timbulnya alam dunia. Karangan Bàbà ditulis dalam bahasa Telugu yang sederhana. Bila orang membaca artikel-artikel-Nya maka ia akan dapat membayangkan Bàbà sedang berbicara dengan gaya-Nya yang akrab dan menimbulkan inspirasi. Dengan mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan persoalan yang diuraikan-Nya, maka la mendorong pembaca atau pendengar agar berpikir sendiri. Kadang-kadang la menggunakan pernyataan rasa sayang seperti misalnya, “Nak”, “Temanku yang tercinta”, “Permataku”, “Kawan terkasih”, dan sebagainya untuk mendekatkan Diri-Nya pada para peminat kehidupan rohani dan membimbing mereka dalam perjalanan menuju ke Tuhan. Bàbà telah menulis, “Betapa akan sedihnya seorang petani bila benih yang ditaburkannya tidak bertunas, tumbuh dan menghasilkan panen. Demikian pula bila benih Kata-Kata Kebenaran yang Kutebarkan tak bertunas di dalam hati kalian dan tumbuh menjadi pucuk muda yang baik serta pohon yang sarat menghasilkan buah, maka Aku pun tidak berbahagia. Panen kebahagiaan itulah makanan-Ku. Inilah satu-satunya pemujaan yang Kubutuhkan. Tak ada apa pun yang lebih tinggi dari ini. Janganlah kau buang kata-kata kebenaran yang baik ini, yang telah ditulis demi kepentinganmu. Bila engkau memperhatikan, mempraktekkan dan mengalami sukacita dari-nya maka sukacita itu adalah makanan yang menopang DiriKu. Bila engkau bertindak sesuai dengan kata-kata-Ku dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, maka dengan gembira Aku akan memberitahukan lebih banyak dan makin banyak lagi, karena untuk itulah Aku telah datang.” Telah sering Bàbà berkata bahwa la memperlihatkan Ketuhanan-Nya melalui keajaiban hanya untuk menanamkan iman pada manusia, karena dengan demikian mereka akan mendengarkan dan mengikuti petunjuk-Nya yang penting bagi realisasi kerohanian mereka sendiri. la memaklumkan bahwa setiap orang berhak mengetahui pesan ini dari-Nya, maka setiap orang dapat mendekati Bàbà tanpa rasa takut atau bimbang. Keinginan-Nya untuk menghapuskan segala keraguan yang bersarang di dalam hati orangorang yang mencari bimbingan-Nya, kesediaan-Nya untuk menganugerahkan wawancara sebanyak yang diperlukan untuk membicarakan berbagai masalah pribadi khusus dalam kehidupan rohani, semuanya merupakan bukti Rahmat dan Belas Kasihan-Nya. Dalam artikel-artikel “Sanàtana Sarathi” terungkaplah kekuatan, kebijaksanaan dan rahmat Bàbà. Beliau mengingatkan agar orang tak mengabaikan mata uang kecil dalam usahanya untuk mendapatkan jumlah uang yang lebih besar dan menasehatkan: “Waspadalah dalam hal-hal yang kecil karena ribuan hal kecil yang setiap saat kau biarkan akan menetap menjadi kebiasaan dan merusak tabiat serta kepribadianmu. Hal tersebut akan membentuk budi, pandangan, cita-cita serta hasratmu. Lawanlah kecenderungan burukmu sebelum mereka memperbudak engkau. Berusahalah dengan sungguh-sungguh, engkau pasti akan berhasil.” “Bila ada orang yang menunjukkan kesalahanmu, jangan membantah dan mencoba membuktikan 103
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
bahwa ia keliru, juga jangan sakit hati dan menaruh dendam kepadanya. Pertimbangkan dan periksalah kelakuanmu sendiri dengan tenang kemudian perbaikilah dirimu dengan penuh rasa terima kasih.” “Bila seseorang menyakitkan hatimu, jangan marah, kemarahan adalah musuh nomor satu bagi akal sehat dan diskriminasi. Ulang-ulanglah Nama Tuhan sejenak sambil duduk di suatu tempat yang sunyi atau nyanyikanlah lagu pujian keras-keras. Bila engkau tak dapat melakukan kedua hal itu, bentangkanlah tikarmu dan tidur.” “Pengalamanmu sendiri adalah jaminan kebenaran yang paling baik bagimu. Jangan terbawa oleh cerita tentang pengalaman orang lain, tak suatu pun dapat setulen pengalamanmu sendiri.” “Kembangkanlah keberanian, kepercayaan pada diri sendiri, harapan dan semangat. Semua ini akan berguna bagimu baik dalam lapangan keduniawian maupun dalam lapangan kerohanian.” “Di mana-mana manusia tenggelam dalam kekhawatiran dan kesulitan, patutkah engkau menambah kesengsaraannya? Jika laut telah bergelombang bagaimana engkau bisa senang menghembuskan angin ribut ke atasnya. Lebih baik belajarlah menebarkan senyuman dari wajah ke wajah. Mengapa membuat dunia yang susah menjadi lebih susah dengan ratap tangis dan kisah dukamu? Biasakanlah selalu mengulangulang Nama Tuhan dan merenungkan Wujud-Nya untuk meredakan dan mengatasi kesedihanmu sendiri serta menjadi teladan bagi yang lain”. Penghapusan segala kecenderungan, dorongan serta kebiasaan yang merugikan dan pembentukan watak hanyalah merupakan pendahuluan dalam praktek disiplin kerohanian. Selama lebih dari setahun artikel-artikel Bàbà menekankan tentang perenungan Wujud Tuhan dan cara-caranya yang oleh Bàbà disebut sebagai”Tugas rutin yang terencana.” la mengatakan: “Lakukanlah kontemplasi hingga pikiranmu dapat kau kuasai sepenuhnya. Bila pikiranmu mulai berlari kian kemari, berhati-hatilah, jangan kau ikuti tingkahnya dan berusahalah untuk menangkap serta menghukumnya. Tenanglah, jangan mengikutinya. Bila telah lelah dan kehabisan tenaga, ia akan datang kembali karena kau abaikan. Pikiran kita seperti anak kecil; bila sang ibu berjalan di belakangnya, memanggil namanya serta memperlihatkan perhatian pada tingkahnya maka si anak jadi berani dan berjalan lebih jauh, tetapi bila ibunya berdiri dengan tenang dan berbalik, si anak jadi ketakutan karena diabaikan dan berlari kembali dalam pelukannya. Karena itu jangan kau indahkan segala tingkah pikiranmu. Lakukanlah pengucapan Nama Tuhan secara berulang-ulang dan perenungan pada Wujud Tuhan yang paling kau sukai, dalam cara yang kau rasa paling baik. Engkau akan menginsafi keinginan hatimu.” Dalam artikel yang ditulis Bàbà terdapat banyak sekali kata-kata hiburan dan dorongan semacam itu. Dikatakan-Nya: “Dalam abad-abad yang lalu, seseorang atau sekelompok orang tertentu yang memonopoli pemakaian segala tenaga serta perbudakan dan memiliki kekuasaan yang diperlukan untuk itu, telah bertanggung jawab atas merosotnya kesusilaan. Karena itu, dengan pemusnahan kelompok atau orang tersebut, secara berangsur-angsur kesusilaan dapat ditumbuhkan lagi. Kini kejahatan menonjol secara umum dan Aku harus mendatangkan suatu revolusi dalam tabiat, sikap serta tingkah laku manusia dan mengajarkan disiplin-disiplin tertentu. Manusia harus dikembalikan ke jalan yang menuju pada kesatuan, keselarasan dan kedamaian. Pengertian dan keinsafan bahwa segala sesuatu dalam alam semesta adalah perwujudan Tuhan, merupakan dasar, seluruh isi, lungsin dan pakan, benang dan kain dari segala sesuatu. Setiap orang apa pun juga kepercayaan, bangsa, kelas atau kastanya, berhak mengetahui hal ini. Kalian yang lahir dalam generasi ini sungguh sangat beruntung. Kalian mempunyai nasib baik dapat berjumpa dengan Aku dan mempunyai kesempatan untuk menerima bimbingan yang Kuberikan.” Dalam tulisan-tulisan-Nya Bàbà sangat mencela guru yang mengkompromikan hal yang dicitacitakan, demi nama dan kemasyhuran. Salah satu tujuan kedatangan-Nya adalah untuk membawa mereka kembali pada kejujuran. la mencela semangat dan pertikaian kepartaian yang menyalahgunakan Nama Tuhan yang suci. la tak mau mengakui bahwa Tuhan pernah marah atau iri. Bàbà menulis: “Jangan percaya pada uraian yang menggambarkan Tuhan sebagai tamak, bersemangat dagang, marah, iri atau pendendam. Tuhan berada di atas segala kepicikan dan tawar-menawar. Sebuah periuk yang berisi madu bila dilempar dengan batu akan bocor tetapi apakah madunya berubah menjadi pahit? Tidak, rasa manisnya tak akan pernah berubah.” “Bila eksistensi mumi yang menembus dan meliputi segala sesuatu diuraikan, maka persoalan dan caranya tergantung pada pandangan si pembicara serta pengertian para pendengar. Bila digambarkan
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
104
melalui sifat dan tanda maka diberikan bermacam-macam nama dan wujud. Bila orang yang memperdalam pengetahuannya dalam bidang kerohanian menginsyafi bahwa hal itu berada di luar segala sifat dan tanda yang dapat dibayangkan oleh pikiran, maka hal itu dinyatakan sebagai Brahman.” Segala pertentangan antara sekte hanyalah persaingan keduniawian yang dilakukan karena memberi kesenangan murah pada orang-orang yang kurang berkembang pikirannya, demikian dikatakan oleh Bàbà. Bàbà juga telah menyatakan bahwa para pertapa dan rahib patut di hormati hanya bila mereka melepaskan segala keinginan, bahkan keinginan untuk mengembangkan pertapaan atau yayasan mereka sekalipun. Keterikatan pada tempat-tempat semacam itu menjadi beban bagi mereka. Bukannya melepaskan segala ikatan, mereka bahkan mengikat diri mereka sendiri lebih erat pada bajak, mereka telah merendahkan diri mereka sendiri menjadi hewan penarik beban. la berkata bahwa banyak orang telah kehilangan iman karena kegiatan orang-orang semacam itu, yang senantiasa menekan masyarakat agar memperoleh nama dan kemasyhuran. Bàbà berkata bahwa pemimpin-pemimpin keagamaan semacam itu melatih banyak pengikut, maka mereka harus melakukan usaha khusus untuk menolong murid-murid tersebut agar mendapatkan pandangan yang tepat dan tenggelam sepenuhnya dalam kontemplasi pada Tuhan. Bàbà juga telah menunjukkan kekeliruan yang sering terjadi bahwa banyak orang memberi status pada Guru spiritual lebih tinggi daripada yang seharusnya. Guru harus dihormati sebagai orang yang menunjukkan jalan, memperhatikan kemajuan muridnya dan menaruh minat pada kesejahteraannya, itu saja. Siswa sebaiknya jangan beranggapan bahwa guru meliputi segala sesuatu dan mahakuasa. Hanya Tuhanlah yang dapat diperlakukan dan dihayati sebagai Universal. Bàbà selalu menekankan sikap yang sedang-sedang. la tidak menyarankan kehidupan pertapa untuk semua orang. la berbicara tentang badan sebagai alat pemberian Tuhan dan berkata: “Pahamilah badanmu baik-baik, usahakanlah agar badan menaati kemauanmu, jangan sampai tunduk dan mengikuti tuntutan serta tingkahnya, latihlah dengan seksama agar berguna bagi kesejahteraanmu. Berhati-hatilah bila engkau mulai melihat tanda kerusakan atau kemunduran, Peliharalah badanmu dengan kegiatan yang disiplin agar selalu berada dalam keadaan yang baik. Untuk mengobati penyakit badaniah maka makan dan tidur sekadarnya, sikap penuh kasih sayang pada semua makhluk, ketabahan dalam menghadapi penderitaan, kecemasan, keberhasilan dan keuntungan semua ini lebih penting daripada obat-obatan, Bahkan kemampuan untuk membeda-bedakan, bila diterapkan pada kondisi fisik seseorang, akan berguna untuk mengatasi penyakit.” Dalam tulisan-Nya Bàbà sering menentang orang-orang yang terlalu bersemangat dan berpuasa hingga melemahkan badannya. la juga menentang orang-orang bodoh yang gemar makan enak dan memanjakan lidahnya, menuntut makanan yang lezat-lezat atau hidangan yang beraneka macam. Bàbà menyebut kehidupan berumahtangga sebagai “guru yang terbaik” karena melalui berbagai kesukaran dan kekalutan keluarga, orang mendapat dorongan untuk kehidupan rohani yang lebih tinggi. la berkata bahwa tanpa kesulitan-kesulitan keluarga maka banyak orang mungkin sama sekali tak akan pernah datang kepada-Nya. Setelah sekali menjumpai dan mengetahui Dia, mereka melekat pada Tuhan tak peduli apakah kesulitan mereka terselesaikan atau tidak. Perlahan-lahan mereka mulai merasa bahwa kesulitan semacam itu tak perlu dianggap penting, mereka kemudian menghadapinya dengan keberanian, kepercayaan diri sendiri dan pengertian yang lebih besar. la telah menulis bahwa batang-batang tebu harus dengan gembira menyambut pemotongan, penetakan dan penggUingan karena tanpa proses itu maka air batangnya akan mengering dan rasa tak akan dapat dinikmati. Manusia harus menyambut kesulitan karena hal itu akan. membawa kemanisan dari dalam jiwa. la berkata: “Engkau menginginkan perhiasan dan pergi ke tukang emas serta memberinya sejumlah emas yang diperlukan tetapi apakah engkau melewatkan malam demi malam tanpa tidur, merana karena pemanasan dan penempaan, perenggutan dan penarikan, pemotongan dan pengukiran yang diakukan si tukang terhadap emasmu? Karena itu mengapa engkau cemas bila Tuhan membakar, melebur, memotong, mengukir dan menghapuskan kotoran-kotoran dalam bentuk penderitaan untuk membuat engkau menjadi sebuah perhiasan yang indah?” Bàbà adalah Penyembuh Agung, Pemulih orang-orang yang putus harapan dan Penghidup kembali yang tiada bandingnya. la berpegang teguh pada kebenaran dan dikatakan-Nya bahwa kepalsuan dan kebohongan bersumber pada sifat pengecut. Seorang menyembunyikan kenyataan dari orang lain hanya bila
105
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
ia takut atau membenci orang itu. Kebenaran didasarkan pada kekuatan. Bàbà menyatakan bahwa kelemahan atau kurang kekuatan, bertentangan dengan sifat manusia yang sesungguhnya. la tak mengijzinkan orang berkata: “Aku berdosa, lahir dari dosa, jiwa yang penuh dosa.” Bila ada seorang pengikut yang karena sangat menyesal lalu mencaci-maki dirinya sendiri maka Bàbà segera membesarkan hatinya! “Bila Aku telah datang bagimu, engkau tak boleh merasa begitu.” Bàbà mempersamakan kekuatan dengan pahala dan kelemahan dengan dosa yaitu: kelemahan adalah dosa, kekuatan adalah suci. Kekuatan fisik, mental dan spiritual, ketiga-tiganya penting, tetapi sumber utama dari semua-nya adalah iman pada diri sendiri, pada Àtman di dalam diri kita. Bàbà berkata: “Ingatlah hal itu dan dapatkanlah kekuatan darinya. Tugas-Ku adalah untuk memberimu kepercayaan pada diri sendiri, memberimu kekuatan dan ketabahan yang timbul dari kepercayaan itu. Keputus-asaan adalah penyebab utama kemunduran, maka setiap orang harus berusaha agar selalu riang gembira. Bagi orang yang selalu puas, hidup adalah suatu pesta yang lama. Iri hati sangat menghabiskan tenaga, menyebar ke seluruh tubuh seperti racun. Persembahkanlah baik sukacita maupun dukacitamu pada Tuhan, itulah rahasia untuk memperoleh kepuasan, harta yang paling berharga.” Secara berangsur-angsur Bàbà menanamkan semangat pengabdian dalam diri para pengikut-Nya. Dalam perayaan Dasara, pada hari yang umumnya dipersembahkan untuk bakti sosial, la mengajarkan bahwa orang harus melakukan kerja bakti dalam sikap memuja Tuhan. Dalam tulisan dan khotbah-Nya ia mengatakan bahwa pelayanan pada orang lain sesungguhnya adalah pelayanan pada diri sendiri dan merugikan orang lain akhirnya adalah merugikan diri sendiri. la berkata: “Bila Tuhan datang dalam wujud manusia agar dapat melayani mereka, betapa akan berbahagia la jika manusia menyibukkan dirinya dalam bakti sosial pula. Abdikan waktumu untuk melayani dunia tanpa pamrih.” Bàbà sangat memperhatikan pandangan yang harus mengilhami para pengikut yang menempuh jalan pengabdian. “Walaupun bakti sosial pada umat manusia adalah suci, bila hal itu tak dilakukan dengan cita-cita yang lebih tinggi untuk menyadari adanya Tuhan di dalam segala sesuatu, memuja Tuhan dalam wujud setiap orang, maka kegiatan itu tak ada manfaatnya sama sekali. Orang harus yakin sepenuhnya pada sipat ketuhanan manusia dan kegiatan kerja bakti harus dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan, dalam perenungan yang tak putus-putusnya kepada Dia yang bersemayam di dalam wujud tersebut. Gunakanlah kekuatan, pengetahuan dan kecakapan yang telah kau terima dari Tuhan untuk memuliakanNya dengan tulus dan tanpa pura-pura. Itulah bakti yang sejati pada Tuhan, apa pun juga lapangan kegiatan atau kewajiban yang memanggilmu,” Seringkali Bàbà menggunakan seluruh khotbah-Nya untuk menjelaskan pada orang-orang yang percaya akan sesuatu secara membabi buta dan tak terpikirkan bahwa perlu juga melakukan penyelidikan. Kata-Nya: “Kalian dapat bertanya kepada-Ku tanpa ragu. Aku selalu siap memberi jawaban, tetapi hanya pada orang-orang yang melakukan penyelidikan dengan tulus dan benar-benar ingin tahu. Tanpa analisa dan akal sehat maka nilai benda-benda yang sesungguhnya tak akan dapat dipahami dan penyangkalan diri tak akan mungkin sama sekali. Kadang-kadang kalian bahkan harus menyelidiki proses pertanyaanmu karena mungkin sepanjang waktu engkau menipu dirimu sendiri dengan alasan bahwa perbuatanmu selalu bersusila dan murni sedangkan orang lain yang pikirannya tidak berat sebelah, mungkin mencelanya sama sekali.” Sebagaimana dilakukan oleh Yang Mulia Kåûóa maka la juga berkata pada orang-orang: “Pikirkanlah segala pro dan kontranya, pikirkan juga pengalamanmu sendiri kemudian ambillah keputusan. Jangan terbawa-bawa oleh apa yang mungkin dikatakan orang lain atau apa pun juga yang mungkin Kukatakan!” “Di pintu gerbang surga ada tiga penjaga yang akan mengizinkan engkau masuk hanya bila mereka puas karena surat pengenalmu ternyata menyatakan hal yang sesungguhnya tentang dirimu, yaitu kepuasan batin, damai dan perenungan. Bahkan bila salah satu dari ketiga penjaga tersebut merasa puas maka lainlainnya tak akan bersikap terlalu keras. Karena itu usahakanlah salah satu dari ketiga hal itu, Pada dasarnya semua saling berhubungan. Penyelidikan pengalaman menimbulkan kedamaian, kepuasan atau kebahagiaan yang tak terganggu. Tanyalah padaku tentang sejumlah disiplin yang ingjn kau lakukan atau beberapa amanat yang dapat segera kau praktekkan.” Itulah hal yang diinginkan Bàbà. Ada suatu desakan dalam perintah-Nya. “Saat untuk memulai disiplin kerohanian adalah sekarang Ini. Mulailah hari ini disiplin yang seharusnya akan dilakukan besok. Mulailah sekarang disiplin yang
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
106
harus dilakukan hari ini. Sebagaimana seorang anak harus mulai belajar abjad pada waktu masih kecil agar dapat menguasai seni dan ihnu pengetahuan bila kelak memasuki kehidupan yang aktif, demikian pula anak kerohanian harus segera mulai belajar “abjad” dan terus menerus melanjutkan pelajarannya. Tak seorang pun dapat bergulat dengan abjad dalam usia yang lanjut atau di atas ranjang kematian. Setiap detik jangka waktu kehidupan orang menjadi lebih pendek, saat yang telah berlalu bukan lagi milikmu dan saat yang akan datang mungkin tak akan kau miliki sama sekali, karena itu kerahkanlah segala tenagamu sekarang, saat ini juga, untuk mendapatkan kebahagiaan abadi.” Di antara bermacam-macam cara untuk mendapatkan sukacita abadi ini, Bàbà menempatkan pengingatan dan pengulang-ulangan Nama Tuhan sebagai cara yang pertama walau la juga berbicara dan menulis tentang tiga sistem Yoga dan filsafat tradisional. Bàbà telah datang untuk mengakhiri pertikaian. la menekankan harmoni sistem-sistem tersebut dan menyatakan: “Aku tidak mau mengatakan bahwa jalan kegiatan yang dipersembahkan kepada Tuhan, jalan kebaktian dan jalan pengetahuan terpisah satu sama lain. Aku juga tak menggolongkannya dalam urutan sebagai yang pertama, kedua atau ketiga atau bahkan menerima campuran dari ketiga-tiganya. Kegiatan yang dipersembahkan kepada Tuhan adalah rasa bhakti dan bhakti adalah kebijaksanaan. Sepotong kembang gula memiliki rasa manis, bentuk dan bobot sekaligus. Demikian pula setiap perbuatan pribadi yang dilakukan oleh orang yang mengarahkan dirinya kepada Tuhan, harus memiliki kebahagiaan dalam rasa bhakti, keelokan dalam pengabdian dan bobot kebijaksanaan.” “Kebijaksanaan adalah hasil bhakti, dan rasa bhakti dikembangkan oleh kegiatan paling mulia yang dipersembahkan kepada Tuhan, yaitu mengingat dan merenungkan Nama-Nya. Tuhan dapat menganugerahi pengabdi-Nya dengan pengetahuan tentang Diri-Nya, la dapat menyingkirkan tabir yang dipasang-Nya Sendiri.” “Benda dan sifatnya adalah sama. Mungkinkah melihat sifat terpisah dari benda, kemanisan terpisah dari gula, cahaya terpisah dari matahari? Demikian pula Tuhan mempunyai dua ciri yang dikenal sebagai Roh dan Zat tetapi mereka sesungguhnya Satu. Zat dalam Tuhan tak tampak, tak dapat dipisahkan dan hanya dapat diketahui melalui pengalaman seperti halnya rasa manis di dalam gula. Hanya dengan Berkehendak, Zat ini menyelubungi Tuhan dan sebagai hasilnya timbullah Alam Semesta. Eksistensi yang satu ini merupakan dasar dan alas bagi Yang Umum maupun Yang Khusus, baik yang keseluruhan maupun yang tampak sebagai bagian-bagian. Seluruh Alam Semesta atau Kepenuhan yang terjelmakan ini timbul dari Realitas yang Tak Tampak dan Tak Terbagi, sekalipun demikian Realitas Yang Tak Tampak dan Tak Terbagi irii tak berkurang karenanya.” Bàbà menguraikan berbagai persoalan filsafat yang paling sulit dalam cara yang mudah dimengerti. Para pendengar melihat pemecahannya dalam cahaya penerangan yang dijelaskan-Nya dengan persamaan, kiasan, perumpamaan atau sajak pendek yang berisi singkatan uraian-Nya. Singkatnya, kedatangan-Nya adalah untuk setiap orang, untuk menggembleng kita agar menjadi pencari Tuhan yang berdisiplin. la berkata: “Dunia hanya dapat mencapai kemakmuran dan damai melalui orang-orang yang hatinya murni, yang pikirannya bebas dari prasangka, nafsu, keinginan, ketamakan, kemarahan dan iri hati.”
107
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
XV MISI DIMULAI Ribuan orang yang telah menghadiri Perayaan Dasara tahun 1960 hingga kini pun pastilah masih terkenang akan pernyataan menggetarkan yang diucapkan Bàbà dalam khotbah tentang diri-Nya Sendiri dan tugas PribadiNya. Tepat pada hari pertama, yaitu pada perayaan Hari Rumah Sakit, Bàbà berkata bahwa memaksakan doktrin-doktrin Vedànta yang sukar dipahami pada orang-orang yang sederhana dan tak terpelajar hanyalah membuang-buang waktu serta tenaga. Juga sia-sia untuk menasehati mereka agar melakukan puasa dan berjaga semalam untuk yang menghabiskan tenaga badan. Para pengajar dan guru harus perlahan-lahan mendorong mereka maju dari tempat mereka berada, memberi semangat agar mereka melepaskan kebiasaan buruk satu demi satu, agar mereka mengambil langkah demi langkah dan dari hari ke hari memperpanjang waktu yang digunakan untuk meditasi. Selama tiga hari berturut-turut Bàbà berbicara tentang Diri-Nya Sendiri dan tugas Pribadi-Nya. Pembacaan dan uraian tentang puisi Telugu yang berjudul “Úrì Sathya Sàì Gìtà” oleh Vidwan Doopati Thirumalacharayulu pada hari-hari terebut dilengkapi-Nya dengan latar belakang dan pedoman yang diperlukan. Dikatakan-Nya bahwa la telah datang kembali untuk menyebarkan ajaran Pengabdian yang sama. “Seperti halnya awan-awan menyembunyikan kebesaran matahari, demikian pula awan keraguan dan khayal menyembunyikan Kebesaran-Ku dari pengertianmu,” demikian kata-Nya. la ingin agar sebagaimana halnya Arjuna, maka semua manusia melepaskan khayal yang timbul dari kebodohan dan karena itu dapat terlepas dari belenggu keakuan dan kemilikan. “Cinta adalah benih, pengabdian adalah tunas, iman adalah pupuk, teman yang baik adalah hujan, penyerahan adalah bunga-nya dan peleburan dengan Tuhan adalah buahnya,” demikian dikatakan oleh Bàbà. “Kalian semua lebih beruntung,” demikian dikatakan-Nya, dari pada orang-orang generasi yang terdahulu, karena kalian memiliki Aku sebagai pembimbing dan penjaga yang mengawasi dan mengingatkan bila kalian salah jalan. Gunakanlah kesempatan ini sebaik-baiknya. Jangan meloncat-loncat seperti katak mengabaikan bunga teratai yang mekar di sampingnya, tetapi jadilah seperti lebah yang datang berkerumun baik dari tempat yang jauh maupun dekat untuk menghirup madunya sebanyak mungkin”. Kata-kata semacam itu yang bergema dengan wibawa kekuasaan Tuhan, memanggil semua orang agar berlindung kepada-Nya, seringkali diucapkan Bàbà dalam setiap khotbah. “Iman itu sendiri merupakan imbalan, iman akan menampilkan kebenaran, Bila engkau beranggapan bahwa Kåûóa hanyalah seorang anak laki-laki yang kerjanya menggembalakan sapi, maka engkau tidak hanya menurunkan derajat Kåûóa ke taraf itu tetapi juga dirimu sendiri. Pandanglah Dia sebagai Tuhan yang bersemayam di dalam hatimu maka la akan menjadi Sais Spiritualmu. Jangan ingkar, sangsi atau ragu mengakui Tuhan bila la telah membuat Diri-Nya Sendiri demikian mudah kau capai dengan doa-doamu,” demikian dikatakan-Nya. “Kalian tak dapat memahami arti penjelmaan Tuhan sepenuhnya atau menyaksikan seluruh kemuliaan-Nya tanpa suatu masa persiapan, karena itu Aku hanya memperlihatkan pada kalian contoh-contoh kecil Kemuliaan tersebut seperti misalnya penciptaan Abu”. Suatu kali la berkata: “Bukan, bukanlah sifatKu menebarkan hiburan-hiburan untuk menarik orang-orang kepada-Ku. Aku memancarkan kegembiraan tanpa tujuan apapun, itulah sebabnya mengapa Aku senang melakukan “Keajaiban”. Disingkapkan-Nya tirai yang menutupi ketuhanan-Nya dan pada kesempatan lain la berkata: “Beberapa orang yang bodoh membuat komentar tentang Diri-Ku dan berkata bahwa Aku mempunyai kepribadian berganda, yaitu Spiritual hampir sepan-jang waktu, dan Manusiawi pada saat-saat yang lain. Percayalah pada apa yang Kukatakan, selalu dan selamanya Aku berada hanya dalarn satu sifat. Tuhan tak berubah atau berkurang. Aku memberitahukan hal ini pada kalian, karena di antara kita ada suatu ikatan kerohanian yang lebih tinggi, tidak hanya hubungan sepintas lalu antara pengunjung dan yang dikunjungi.” Pada kesempatan lain la berbicara dalam nada yang lebih mengan-cam, “Aku harus mengingatkan kalian agar berhati-hati terhadap pengajar palsu dan guru-guru penipu. Banyak orang semacam itu yang pergi berkeliling sambil berlaku seolah-olah pikirannya telah terbang membubung tak ingat apa-apa lagi, seakan-akan mereka telah tenggelam dalam ekstasi spiritual dan kemudian berjanji untuk memberitahukan ekstasi tersebut pada orang-orang di sekitar mereka. Selama berada dalam keadaan “melayang” ini mereka berkhotbah, menari dan menyanyi dalam apa yang mereka sebut sebagai “permainan Kåûóa”. Mereka hanya
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
108
patut mendapat hukuman yang keras untuk segala jerih payah itu. Jauhilah mereka,” demikian dikatakanNya. Di kota Mysore, pada hari Guru PURNIMA tahun 1961, Bàbà mengimbau umat agar mereka mengawasi guru-guru semacam itu dengan teliti dan mengingatkan mereka pada tanda-tanda keserakahan, egoisme, kesombongan, iri hati serta kemunafikan sekalipun yang paling samar. Telah tiba waktu untuk menyaingi mereka yang memberi contoh buruk pada orang banyak, rahib-rahib yang bersaing untuk mendapatkan kemasyhuran dan mengumpulkan kemewahan. la berkata: “Aku akan segera memulai tugas ini, Ini merupakan salah satu tujuan kedatangan-Ku.” la mengatakan bahwa- para rahib yang telah melepaskan segala ikatan dengan dunia dan membakar perahu mereka, seharusnya tidak lagi merayakan hari ulang tahun mereka. Tidak patut mereka mengganggu orang-orang kaya dengan permintaan sumbangan. Mereka tak boleh mengikuti egoisme pengikut mereka dan menganugerahkan gelar yang muluk-muluk, memuji tingkat kerohanian yang mereka capai. Sekali saja engkau memperlunak disiplin keras yang telah di-tetapkan bagi para rahib maka keruntuhan tak dapat kau -egah lagi. Tugas-Ku menuntut agar pertamatama Dharma para pendeta diperbaiki karena merekalah yang patut dihormati semua orang dan mereka pulalah yang mengkhotbahkan cita-cita kerohanian. Bila mereka mengkompromikan dan menurunkan disiplin rohani maka agama akan menjadi bahan tertawaan orang banyak. Paham yang sama juga bergema dalam khotbah yang diucapkan Bàbà pada perayaan hari ulang tahun-Nya, bulan November 1961. Ketika memberi amanat pada banyak penduduk Puttaparthi yang datang berkumpul, la berkata: “Sudah lebih dari dua puluh tahun kini, kalian hanya melihat Cahaya tetapi tidak mendapatkan faedah kehangatannya, karena kalian tak peduli dan tidak datang mendekat, tetapi Aku tahu bahwa saat ini akan tiba dan bahwa kalian akan melepaskan segala keraguan serta khayal dan mengenal lagi jalan menuju kedamaian serta kebahagiaan. Percayalah pada-Ku, Puttaparthi ini akan segera menjadi Pusat Kesucian Dunia. Ribuan Yogi, pendeta dan peminat kehidupan rohani akan datang ke sini mencari hiburan serta Keselamatan. Penegakan kembali Sanàtana Dharma akan dimulai dari sini.” Pada hari Úivaràtri, la menekankan aspek universal amanat-amanat-Nya dan menyatakan bahwa la telah datang untuk seluruh umat manusia. “Tak ada satu orang pun di dunia ini yang bukan milik-Ku, semuanya adalah milik-Ku; mungkin mereka tak memanggil Nama-Ku atau Nama-Nama lainnya tetapi mereka tetap milik-Ku. Arti dan makna ucapan-ucapan yang mendalam ini hanya menjadi jelas di Coimbatore ketika Bàbà memasang arca pualam Sàì yang terdahulu yaitu Shirdi Sàì Bàbà, di kuil Naga Sai yang termasyhur. Sungguh, kejadian ini merupakan suatu peristiwa bersejarah yang berlangsung pada tanggal 23 Februari 1961. Kuil itu disebut kuil Naga Sàì karena Shirdi Sàì Bàbà telah memberikan Darúan sebagai Naga atau Kobra pada banyak sekali pengikut yang hadir di sana. Naga itu bangkit dari timbunan bunga-bunga, mendengarkan bhajan berjam-jam dan bahkan telah berpose untuk tukang potret sebelum akhirnya menghilang. Keajaiban ini terjadi tujuh belas tahun yang lalu dan sejak saat itu pura tersebut melayani kebutuhan rohani ribuan orang dari kota Coimbatore dan kawasan sekitarnya. Ini merupakan peristiwa besar, karena Bàbà secara resmi memasang arca Penjelmaan-Nya yang terdahulu untuk pemujaan sehari-hari. Pada hari itu dengan penuh hasrat hadirin menantikan pemyataan penting dari Bàbà. Mereka tak dikecewakan, Bàbà berkata: “Sungguh menyenangkan bukan, bahwa Aku harus memasang arca Diri-Ku Sendiri ini. Aku melakukannya karena suatu alasan yang sangat kuat. Hari ini patut dicatat dengan huruf-huruf emas karena upacara ini merupakan permulaan suatu zaman baru, yaitu zaman Sathya Sàì, dimana Sàì akan menjadi Hrudaya Sthayi yaitu kekuatan yang menggerakkan batin semua orang. Satu-satunya contoh kejadian semacam ini, yaitu seorang Avathar memasang arca Tuhan, adalah dahulu ketika Ràma memasang Linggam di Rameswaram. Hal itu dilakukan untuk mengawali tugas lain yang dilakukan oleh segala Avathar, yaitu menegakkan Dharma di dunia.” Sungguh suatu pemyataan yang bersejarah! Kata-kata yang mengiringi masuknya suatu zaman Baru Kasih Sayang dan Keadilan, Damai dan Persatuan! Suatu panggilan yang nyaring bagi Umat Manusia agar berhimpun di bawah panji Sathya Sàì! Tak heran bila resepsi di Udumalpet yang dikunjungi Bàbà sehari setelah pernyataan penting itu sangatlah indah. Di situ pun Bàbà menghimbau hadirin agar ikut mengambil bagian dalam Pembangkitan Kembali Dharma secara besar-besaran yang akan segera berlangsung.
109
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
Telah sering Bàbà mengatakan bahwa kesucian suatu tempat ziarah adalah sebanding dengan kebaktian orang-orang dan ketulusan doa yang mereka curahkan di depan altar. Tetapi bila Bàbà Sendiri mengunjungi suatu pura atau tempat ziarah, maka akibatnya sangatlah mendalam, yaitu seperti suatu baterai lemah yang diisi lagi dengan kekuatan langsung dari Sumber Kesucian. Bàbà telah menyatakan bahwa hal ini memang benar demikian dan bahwa la memang berdiri di depan tempat-tempat suci tertentu dengan tujuan untuk menambah kekuatan rohani tempat-tempat tersebut. Karena itu sangatlah menggembirakan mendengar bahwa Bàbà mempunyai rencana untuk berkunjung ke Ayodhya dan Benares setelah tinggal sebentar di Madras. Pada tanggal 23 Maret 1961 Bàbà memberi amanat pada umat yang berkumpul sangat banyak di Stasiun Kereta Api Perambur. Perhatian dan keasyikan yang diperlihatkan kumpulan orang-orang tersebut selama khotbahNya membuat Gubernur Uttar Pradesh, Dr. B. Rama-krishna Rao, menyatakan pendapatnya, “Selama ini saya merasa sedih karena setelah kita merdeka, walaupun ada kemajuan yang berarti dalam bidang ekonomi dan kebudayaan, tak banyak kita dapatkan kegembiraan, kepuasan, kedamaian, kerukunan dan kasih sayang di tanah air, karena dalam kehidupan sehari-hari orang kurang menekankan disiplin moral dan kerohanian; tetapi hari ini saya memperoleh harapan lagi. Kumpulan orang sebanyak ini, sambutan yang kalian berikan pada Bàbà dan kesungguhan hati kalian mendengarkan amanat Beliau membuat saya mengerti bahwa kemajuan moral bangsa ini memang meyakinkan.” Dr. Ramakrsna Rao mengundang Bàbà ke Lucknow. Ketika berada di sana, ia mengizinkan penduduk Lucknow menghadiri acara Bhajan di Raj Bhavan sehingga banyak orang dapat memperoleh berkat Bàbà dan mendapatkan tuntunan-Nya dalam langkah pertama menuju kehidupan rohani yang lebih tinggi. Beberapa orang yang beruntung, mengetahui kehadiran Bàbà melalui kejadian-kejadian ajaib yang membawa mereka kepada-Nya. Bàbà juga memberi amanat dalam pertemuan di Balai Kota yang diselenggarakan oleh Perserikatan Andhra, Tamil Sangha, Perserikatan Kerala dan Perserikatan Mysore yang merasa bahwa mereka hams menghormati Dia, agaknya karena Bàbà berasal dari India Selatan. Bàbà menasehati perserikatan-perserikatan tersebut supaya melepaskan kesetiaan golongan dan agar di tempat bermacam-macam Sangh (tempat berkumpul) tersebut, dibuka satu Sath Sangh, yaitu persekutuan orang-orang baik yang berjuang untuk menyempumakan dirinya dengan Japa (pengulang-ulangan Nama Tuhan), Dhyàna (Meditasi) dan Seva (bakti sosial tanpa pamrih) yang dilakukan secara sistematis. Karena saran itu dilatar belakangi oleh kemauan Bàbà, maka Sath Sangh tersebut segera dibentuk dan Bàbà Sendiri meresmikan pembukaan bab baru yang berisi harmoni, persatuan dan persaudaraan rohani di Lucknow. Dari Lucknow Bàbà menuju ke Ayodhya bersama serombongan kecil bhakta-Nya. la menunjukkan pada mereka bermacam-macam tempat yang berhubungan dengan Ràmàyaóa, yang telah disucikan oleh berbagai peristiwa ketuhanan Masa lalu. Bàbà berkata bahwa kebaktian tetap tertanam di dalam hati penduduk wilayah itu, karena la dapat mendengar Nama Ràma yang timbul dengan tak putus-putusnya dari hati mereka. la mengunjungi kuil Ràma” dan “berkata bahwa apa yang dijumpai pada Tuhan Semesta Alam, juga dijumpai secara asii dan utuh dalam bentuk-Nya yang Terbatas, hanya saja kekuatan tersebut harus selalu dipelihara dengan upacara-upacara tertentu, ketulusan doa-doa, kesucian lingkungan dan kemurnian umat yang berkumpul, para pendeta serta peminat kehidupan rohani lainnya. “Orang-orang memuja Tuhan seolah-olah la berada di Ayodhya atau Dwaraka dan tak ada di tempat lain, itu keliru. la ada di mana-mana. Membatasi Tuhan berarti mengingkari kemuliaan-Nya dan kekuatan tempat-tempat suci. Kekuatan tempattempat suci ini hanya dapat diperbesar dengan meningkatkan ketulusan umat atau dengan Rahmat Tuhan Sendiri. Bàbà memberkati para pengikut di tepi sungai Serayu kemudian membawa mereka ke kuil Hanumàn yang menurut legenda di bangun di atas daerah yang telah diberikan kepadanya oleh Ràma Sendiri. Daerah itu diberikan agar Hanumàn dapat menegakkan dan memiliki sebuah kerajaan yang selalu bergema dengan ucapan Nama Ràma. Bàbà membagi-bagikan makanan suci yang dipersembahkan di kuil Ràma pada anggota rombongan sambil menambahkan makanan yang menurut kata Bàbà, telah disucikan oleh “Sàì Ràm”. Malam itu juga dengan berkendaraan mobil Bàbà melanjutkan perjalanan-Nya dari Ayodhya ke Sarnath dan pada tanggal 2 April 1961, Bàbà beserta rombongan-Nya mengunjungi sebuah kuil kuno di
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
110
Benares, tempat Úiva dipuja sebagai Viúvanàtha. Kuil ini telah diabadikan dalam sejarah dan legenda, dalam nyanyian serta puisi, dalam syair-syair kepahlawanan dan Puràóa, oleh para penyanyi, penyair serta orang-orang suci — Altar Agung Viúveúwara — Tuhan Semesta Alam. Linggam dalam Pura ini selama ribuan tahun telah dimandikan dengan penuh khidmat oleh jutaan peziarah dengan air suci dari sungai Gaògà. Sedangkan setiap inci dari kota Benares itu sendiri dianggap suci. Kematian di tempat itu dianggap dapat mengakhiri penderitaan kelahiran dan kematian. Hadir bersama Bàbà di dalam tempat suci tersebut sungguh merupakan suatu pengalaman yang jarang terjadi, sangat menggembirakan dan mulia, karena la adalah Úiva Sendiri sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang telah melihat sekejap Kemuliaan-Nya. Kami semua berharap bahwa Bàbà akan melakukan sesuatu, suatu keajaiban untuk meningkatkan kesucian altar itu, untuk mengimbangi kemerosotan yang disebabkan oleh egoisme serta keraguan. Bàbà mengawasi kami menuangkan air sungai Gaògà ke atas Linggam dan mengucapkan mantramantra tradisional. Kemudian bagaikan terdorong oleh keputusan yang sekonyong-konyong timbul, la maju menciptakan Vibhùti dalam Telapak Tangan-Nya, mengenakannya dalam tiga buah garis lebar yang mengelilingi kira-kira tiga perempat bagian Linggam tersebut dan membuat lambang itu bercahaya dengan kemuliaan serta keindahan yang khas. Keajaiban lain segera menyusul karena la menciptakan sejumlah pasta kayu cendana dengan keharuman dan kepadatan yang berasal dari alam yang lain. la membentuk pasta itu, mendekati Linggam lagi dan mengenakan adonan kayu cendana tersebut di tengah ketiga garis Vibhùti tadi. Para pendeta dan orang-orang lain berdiri terperanjat serta takjub oleh kejadian itu, tetapi kami mengerti bahwa Bàbà sedang melakukan suatu upacara yang mempunyai arti jauh lebih mendalam daripada sekadar kekaguman mereka. Kemudian, dengan Lambaian Tangan Tuhan-Nya Bàbà menciptakan sebuah perhiasan yang tak ternilai harganya. Cahayanya yang memikat memancar gemilang ke seluruh tempat suci. Perhiasan itu merupakan rangkaian permata yang disusun membentuk simbol Oý. Batu-batu Mirah Delima terpasang di sekelilingnya dan intan-intan membentuk tiga garis Vibhùti. Batu Cornelian di tengah Vibhùti melambangkan titik kayu cendana. Batu-batu zamrud tersusun sangat artistik dalam bentuk daun Bilva, membentuk batas bagi Oý, dan di atas segala-galanya, tulisan Oý itu sendiri merupakan intan yang bersinar-sinar di atas sebuah bunga anyer yang terbuat dari emas. Umat tak dapat lagi menahan hati mereka, bagaikan meledak mereka bernyanyi. Paduan suara orang banyak yang melagukan ‘Oý Úivaya’ berkumandang dan gemanya dipantulkan kembali melalui ruang besar di sebelah kanan dan kiri kuil. Bàbà meletakkan perhiasan berbentuk Oý itu di atas pasta kayu cendana yang telah terpasang di Linggam dan minta agar Àrathi dilakukan. Mereka yang menyaksikan upacara di dalam kuil India yang paling bersearah pagi itu, tak akan dapat melupakan pemandangan yang maha mulia tersebut. Kemudian Bàbà memerintahkan agar setiap anggota rombongan-Nya melakukan upacara memandikan Viúvanàtha dengan air sungai Gaògà sambil menyanyikan mantra-mantra suci seperti misalnya Úrì Rudra. la juga membawa mereka ke Pura Annapùróà dan Viúvanath di dalam Kampus Universitas Benares. Bàbà menerangkan arti ukir-ukiran dan arca-arca di tempat itu kepada para pengikut karena hanya Ia yang memahami segala hal dan kejadian di dalam Veda dan Puràóa yang terlukis di situ. Pada tanggal 3 April 1961 Bàbà berada di Allahabad memberkati Triveóì Suci (pertemuan tiga sungai yaitu Gaògà, Yamunà dan Sarasvatì) dengan Kehadiran-Nya. Dengan Tangan-Nya Sendiri la memerciki kami, para peziarah dengan air suci dari kuala tersebut. la juga mengunjungi tempat air suci Sarasvatì, Pura Hanumàn dan pohon Banyan yang telah disebut-sebut oleh Hiuen Tsang, di dalam benteng, di samping tembok yang menghadap ke sungai Yamunà. Bàbà kembali ke Puttaparthi pada tanggal 8 April dan berhenti sehari di Tirupathi untuk memimpin Perayaan Thyagaraja yang diselenggarakan di tempat itu. Di Tirupathi Bàbà berbicara tentang arca-arca dan pemujaan arca. “Sàdhaka harus melihat, bukannya batu yang merupakan bahan arca, melainkan kesadaran yang terkandung di dalamnya, yang dilambangkan oleh-nya, yang terkandung di dalam dirinya sendiri dan yang memenuhi segala sesuatu, menggerakkan dan mengatasi seluruh ciptaan. Hanya dengan demikianlah maka pemujaan arca dan pemujaan di dalam pura akan penuh dengan arti dan bermanfaat.” Banyak orang menertawakan mereka yang me-muja arca, dan mencela Àrathi adalah suatu bentuk pemujaan Tuhan dengan nyala api kampher. Kamper nya terbakar hingga habis tak bersisa. Ini menyimbolkan bahwa Api Cinta kepada Tuhan yang bernyala di dalam hati, harus membakar habis sang ego sehingga tak ada lagi sisa-sisa “keakuan” atau “kemilikan”. Nyala api tersebut menggambarkan pembakaran segala keinginan hingga tak ada lagi yang tersisa, dan hati yang telah disucikan karenanya dapat kembali lebur bersatu dengan Tuhan.
111
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
hal itu sebagai takhyul yang membabi buta, tetapi akal sehat bungkam seribu bahasa bila dihadapkan pada kesaksian yang berasal dari pengalaman yang sejati. Segala alasan yang dapat disusun dengan logika, segala muslihat yang dapat dirumuskan dengan dialektik, tak berdaya untuk menghapuskan pengaruh bukti-bukti itu. Arca bukanlah sekedar suatu tambahan, suatu alat pembantu atau obyek, melainkan merupakan bagian dari mekanisme batin yang diperlukan untuk realisasi. Bila puja dilakukan dengan keyakinan bahwa arca tersebut sarat dengan kesadaran, maka hal itu dapat memberikan Kebahagiaan yang tertinggi. Bàbà hanya tinggal seminggu lamanya di Puttaparthi kemudian berangkat ke Nilgiris. Umat di sana telah lama ingin mendapat kehormatan untuk menyambut dan melayani-Nya. Seluruh Nilgiris dan dukuh kecil di lembah yang terjauh hingga ke perkebunan yang paling besar, bersatu dalam pernyataan hormat dan bakti. Bàbà berkenan mengunjungi desa-desa sekitarnya. Ketulusan dan kesederhanaan para petani di sana demikian menyentuh hati, sehingga pengikut-pengikut lama pun terharu dan merasa kagum. Bàbà Sendiri menyatakan hal ini pada pertemuan umum di Ootacamund. la berkata: “Orang-orang di sini sangat saleh dan Bhakti memberi mereka kerendahan hati serta kesucian. Di setiap desa Bàbà menyerukan pada khalayak ramai agar melengkapi usaha-usaha yang mereka lakukan untuk memperoleh makanan fisik, dengan usaha yang seimbang pula untuk mendapatkan santapan rohani.” Nilgiris yang disebut Bàbà sebagai Bukit-Bukit Suci, jatuh di Kaki Beliau. Semangat penyerahan tercermin dalam lagu yang digubah dan dinyanyikan oleh seorang petani tua di Achanakal. la bernyanyi: “ Oh datanglah saudara-saudaraku, tempat bernaung yang bocor, pengap dan bobrok ini bukanlah rumah. Rumah kita abadi, seluas dunia, rumah kita di sana, di tepi sungai Citravatì; namanya Prasanthi Nilayam, Tempat Kedamaian.” Dengarkan pula lagu ini yang dinyanyikan dengan gembira oleh penduduk desa Ithalar dalam irama lagu rakyat, “Tuhan telah datang,dengan cahaya keemasan di sekeliling Kepala-Nya, seperti matahari, untuk memberkati kita. la berada di sini di antara bukit-bukit dengan mahkota dari bulan perak. la bepergian jauh, menuruni, mengelilingi jalan yang merangkak naik ke setiap kota dan desa, untuk menyentuh setiap hati yang duka dengan kasih sayang-Nya, dan meyakinkan: “Jangan takut’.” Bahkan ketika sedang di Nilgiris, Bàbà merencanakan suatu kunjungan ke Himalaya dan memberi tahu para bhakta yang dipilih-Nya agar bergabung dalam kelompok yang beruntung itu. Pada Minggu pertama bulan Mei tahun 1961 la kembali ke Puttaparthi melalui Madras dan Hyderabad. Kunjungan ke Badrinath di Himalaya mula-mula dibicarakan oleh Bàbà tiga tahun yang lalu pada suatu acara Bhajan yang dilangsungkan di pasir sungai Citravatì. Bàbà berkata bahwa la akan membawa pengikut-Nya ke tempat di mana la melakukan tapa, dan kami tercengang! Saat itu adalah pertama kalinya kami mendengar tentang disiplin tapa yang dihubungkan dengan riwayat hidup-Nya di dunia. Penulis menjadi bingung! Penulis yakin bahwa Bàbà tak melakukan tapa apa pun, di sini atau di mana pun, di dalam badan atau di luar badan! Meskipun begitu penulis tak bisa memperoleh jawaban Beliau. Kunjungan ke Badrinath menjadi suatu kepastian, rencana segera siap dan rombongan telah ditetapkan sebelum akhir Mei. Pada tanggal 7 Juni 1961, Bàbà memberi Darúan kepada anggota rombongan yang berkumpul di Madras dan mengirim mereka agar berangkat lebfli dahulu dengan kereta api ke Delhi. Bàbà berjanji akan menemui mereka secara pribadi disana karena berniat akan terbang ke Ibu Kota hari berikutnya. Kereta api mencapai Delhi setelah terlambat enam jam dan ketika akhir-nya anggota rombongan yang lapar, lelah dan bingung tiba, mereka mendapati Bàbà mencurahkan kekuatan serta hiburan yang menyejukkan dengan senyum dan kasih sayang keibuan-Nya. Hari berikutnya di Hardwar, gubernur Uttar Pradesh yaitu Dr. B. Ramakrishna Rao bergabung bersama rombongan Bàbà, karena ia pun telah merencanakan suatu kunjungan ke Badrinath. Pada tanggal 11 Juni 1961, Bàbà beserta rombongan-Nya menghadiri Àrathi sore yang ditujukan pada sungai Gaògà di Brahmakund. Himpunan peziarah yang nadir memperoleh Darúan Bàbà di tempat suci. Bàbà memberkati para pendeta dengan Vibhùti yang diciptakanNya dan memercikkan air suci dari sungai Gaògà pada orang-orang di sekitar-Nya. Malam itu Bàbà memanggil semua bhakta Beliau yang akan menyertai-Nya ke Badri. DiperingatkanNya bahwa mereka telah memperoleh suatu kesempatan yang sangat baik dan jarang terjadi. “Kalian mempunyai nasib baik untuk pergi bersama Wujud Yang Nyata ke Yang Tak Nyata,sedangkan biasanya orang-orang berdoa pada Wujud Tak Nyata yang terkandung di dalam arca, agar menjelmakan Diri-Nya,di hadapan mata mereka sehingga mereka dapat memperoleh hasil dari latihan rohani yang mereka lakukan,”
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
112
demikian dikatakan-Nya. Pernyataan ini membuat hati kami bergetar karena sukacita. Kemudian Bàbà menjelaskan tempat-tempat yang akan dikunjungi dengan sangat teliti seakan-akan la mengetahui setiap sudut dan penjuru daerah suci tersebut. Ketika la menyatakan bahwa: di Badrinath, Nàràyaòa dilukiskan dalam Tapomudrà seperti sedang melakukan penebusan dosa dan asyik dalam tapa, serta menjelaskan bahwa karena hal tersebut maka tempat itu disebut Badri Àúram; maka segala sesuatu menjadi jelas bagi penulis. Kebimbangan tentang soal “Sathya Sàì Bàbà dan tapa” yang menyerang penulis di pasir sungai Citravatì tiga tahun yang lalu lenyap dalam luapan kegembiraan. Bàbà juga berbicara tentang tempat suci iainnya di dalam serta di sekitar Badrinath, dan juga tentang berbagai aspek kesucian tempat itu yang tak diketahui orang. Misalnya saja tak ada buku petunjuk yang berisi keterangan bahwa Úaòkaràcàrya telah membawa lima Linggam dari Kailas, dan bahwa ia memasang masing-masing sebuah di Badri, Puri, Sringri, Dwaraka dan Chidambaram, tetapi Bàbà membentangkan peristiwa tersebut malam itu. Dalam setiap hati Bàbà menanamkan suasana ziarah yang penuh doa, persaudaraan dan pelayanan. Jarak dari Hardwar ke Badrinath kira-kira dua ratus sembilan puluh tiga kilometer. Setiap jengkal tempat itu sarat dengan penebusan dosa dan doa, tapa dan cita-cita, aneka cerita purbakala serta legenda dan di setiap tempat terjalinlah sejarah, kisah pertapa dan orang-orang suci, tentang pengorbanan dan usaha kerohanian tentang penyangkalan diri dan berbagai percobaan yang berat dari Tuhan, Para peziarah diajak melihat tempat-tempat di mana Úiva, Pàrvatì, Ràma dan tokoh-tokoh ketuhanan lain melakukan tapa, di mana Paraúuràma melakukan upacara penebusan dosa, di mana Tuhan sebagai Manusia Singa meredakan murka-Nya, di mana Arjuna mendapatkan senjatanya, Kama memperoleh keberaniannya dan Nàrada mendapatkan alat musik Vìóànya. Pada mereka juga diperlihatkan tempat-tempat di mana Kaóva mengasuh Úakuntalà dan Nàrada menerima Aûtakûari. Jalan tersebut sempit dan berbelit-belit, dibuat di permukaan batu dan terletak di atas gemuruhnya sungai Gaògà atau Alakanandà yang mengalir ke dalam jurang di bawahnya. Rombongan menyertai Bàbà dengan penuh iman dan kepercayaan tanpa mempedulikan bahaya yang mengancam di mana-mana di setiap tikungan jalan tersebut. Ada tanah yang bergerak dan longsor, tetapi tak dapat menangguhkan perjalanan mereka. Bàbà telah menyatakan bahwa hujan akan dicegah hingga rombongan kembali ke Rishikesh dan awan-awan mendung patuh kepada-Nya. la telah berkehendak maka seluruh rombongan kembali dengan selamat! Barisan mobil, jeep dan bis melaju di sepanjang jalan yang berkelok-kelok dan pada siang hari mencapai Devaprayag yaitu pertemuan antara sungai Bhàgìrathì dan Alakanandà. Salah satu tujuan perjalanan yang direncanakan Bàbà ini adalah untuk menanamkan di hati para pengikut-Nya dan melalui mereka pada semua orang, kepercayaan pada kitab-kitab suci yang membicarakan kesucian tempat-tempat tersebut. Bàbà selalu menekankan kepercayaan pada kitab suci dan kepercayaan pada Tuhan. Maka la memberi petunjuk agar setiap orang menyelam ke dalam air suci sebelum melanjutkan perjalanan ke Srinagar, ibu kota kuno kerajaan Garhwal. Di tempat ini rombongan bermalam. Ribuan penduduk Srinagar yang mengetahui kedatangan Bàbà, berkumpul untuk menyambut-Nya. Mereka menyelenggarakan acara tarian Pahadi dan Tibet yang menggambarkan keriangan murni para pendaki gunung dan orang-orang perbukitan. Bàbà memberkati mereka dan memberi mereka masingmasing kesempatan Darúan yang unik, Pada tanggal 13 Juni 1961, kendaraan-kendaraan bergerak menuju ke Joshimath. Di sini jalan yang dilalui kendaraan bermotor berakhir dan rombongan harus berjalan kaki sejauh dua puluh sembilan kilometer menuju ke Badrinath. Hari itu Bàbà berhenti di Kanvasram yang termasyhur dan memberi petunjuk pada anggota rombongan-Nya agar mandi di pertemuan sungai Alakanandà dan Mandàkinì. Joshimath adalah tempat di mana Úaòkaràcàrya menulis komentar-komentarnya yang tersohor tentang Upaniûad, Bagavad-Gìtà dan Brahmasùtra. Pada musim dingin tempat itu juga merupakan biara induk pertapaan yang didirikannya di Badrinath untuk mencegah kemerosotan iman yang tampaknya akan merembes masuk ke wilayah itu melalui terusan Mala di Himalaya, sebelas kilometer jauhnya dari Badri. Mungkin perjalanan Bàbà ke Badri adalah untuk mencegah bencana yang mengancam Sanàtana Dharma lagi dari arah yang sama, melalui jalan yang sama? Pada dini hari tanggal 16 Juni tahun 1961, bagal dan kuda telah sarat dimuati. Para “dandi” (orang-orang gunung setempat yang kerjanya membantu mengangkatkan barang) telah dipesan untuk membawakan barang para peserta yang telah lanjut usia, dan anggota rombongan dengan penuh semangat
113
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
memulai perjalanan mereka di belakang Bàbà, Beliau Sendiri memimpin mereka sepanjang jalan yang suci itu. Dua puluh delapan kilometer yang terdiri dari jalan sempit, penuh batu dan reruntuhan, jalan yang diinjak oleh jutaan kaki yang saleh hingga menjadi mulus. Dua puluh delapan kilometer mendaki dengan terengah-engah di jalan yang curam, dengan berbagai tanjakan yang memusingkan; dan ancaman bahaya dari batu-batu yang berjatuhan, diumumkan dengan menyolok dalam papan pengumuman yang banyak terpasang di sepanjang jalan. Puncak-puncak gunung yang berselimut salju selalu tampak di kaki langit, indah mempesonakan dan gemuruhnya aliran sungai yang sejuk deras, selalu terdengar di telinga bagaikan sorak sorai! Salju cair yang harus perlahan-lahan bergerak ke bawah menuruni lembah dan mengalir masuk ke dalam sungai Alakanandà. Salju terhampar di seberang jalan peziarahan. Arus peziarah datang dari segala penjuru. Masing-masing saling menyapa dalam bahasa persaudaraan. Para peziarah dengan tabah memaksa dirinya niaju terus. Orang-orang tua dan bahkan yang telah jompo melakukan perjalanan dengan penuh iman sebagaimana halnya para pembantu mereka. Beberapa dari mereka duduk dalam “dandi” dan dipikul oleh orang-orang gunung yang mandi keringat, keadaan mereka sangat mengibakan. Beberapa orang lain-nya tergoncang-goncang tak berdaya dalam “kandi”, menangkup di punggung pria-pria yang membawanya. Lainnya bertengger di atas kuda kecil-yang berjalan dengan cepat di tepian tebing batu yang curam dan berbahaya, seakan-akan telah bulat tekadnya untuk menghadapi bahaya. Pada hari pertama, Bàbà berjalan sepanjang tujuh belas kilometer menuju ke Lam Bargar dan bermalam di sana. Pada tanggal 15 Juni, jarak yang masih tersisa dicapai sebelum tengah hari walaupun jalannya sulit dan sangat mendaki. Para pengikut membujuk Bàbà agar mengendarai seekor kuda, tetapi alangkah kecewanya mereka ketika dengan cepatnya la turun dan mulai berjalan kaki lagi. Bàbà membesarkan hati setiap orang di sepanjang pendakian yang curam dan ketika melihat tanda-tanda kelelahan, la memerintahkan beberapa orang agar masuk ke dalam dandi, beberapa orang lagi agar me ngendarai keledai, beberapa lainnya diberitahu untuk menahan semangat mereka dan lainnya lagi agar meneguk air atau menghisap jeruk. la bahkan menciptakan Vibhùti untuk orang-orang yang lelah, dan ini bukan hanya untuk anggota rombongan-Nya, tidak, jauh dari itu. Banyak sekali yang duduk kehabisan tenaga di tepi jalan, dan Bàbà berjalan kepada mereka, menyegarkan mereka kembali dengan Pandangan dan Kata-kata-Nya yang manis serta berbagai Pemberian. Ada suatu kejadian yang akan tetap segar dalam kenangan penulis. Pada suatu tempat kira-kira satu setengah kilometer jauhnya dari Lam Bargar, Bàbà duduk di atas sebuah batu dikelilingi pengikut-Nya, dan dengan suatu kisah dari Puràóa, la menyegarkan kami agar kuat mendaki lagi. Para peziarah mengalir di sepanjang jalan. Banyak yang lalu demikian saja, terlalu asyik dengan kegembiraan atau kelelahan mereka sehingga tak mengenali Tuhan yang hadir di tempat itu, tetapi seorang wanita datang, melihat dan tertawa. la berbelok ke samping dan menjatuhkan diri di Kaki-Nya Yang Suci, ia mempunyai indera keenam sehingga mengenali bahwa Kaki ini suci. la adalah jiwa yang berani dan mendengar bahwa Bàbà sedang dalam perjalanan menuju ke Badrinath; maka walaupun payah kehabisan tenaga karena perjalanan jauh yang telah ditempuhnya menuju dan dari kuil, ia mohon agar diikutsertakan sebagai salah seorang pengikut dalam rombongan Bàbà! Apakah jawaban Bàbà menurut dugaanmu? la berkata: “Engkau telah mendapatkan Darúan di sini, Aku telah menantimu untuk memberimu Darúan, apa lagi yang kau harap untuk didapatkan di sana bila engkau datang bersama-Ku. Pergilah, berbahagialah, ambillah ini,” dan Ia memberi wanita itu Abu Suci. Sungguh, tak seorang pun dapat datang ke dekat-Nya tanpa Rahmat-Nya, tanpa Kehendak-Nya. Tanggal 15 dan 16 Juni 1961 adalah hari-hari yang agak tenang. Bàbà mengizinkan anggota rombongan untuk melakukan puja yang mereka sukai di Badrinath, sedangkan la Sendiri sibuk berwawancara dengan banyak pejabat sipil dan militer, serta anggota panitia pura yang telah mendengar tentang ketuhanan-Nya dan datang untuk mendapatkan Darúan Beliau. Pada tanggal 17 sore Bàbà menghadiri Àrathi di Pura, kemudian mengunjungi Rumah Sakit Badrinath dan meresmikan peralatan sinar X. Penjelmaan Tuhan yang sinar X-Nya menembusi relung hati kita yang paling gelap sekalipun dan yang dari-Nya tak suatu pun dapat dirahasiakan, telah menekan tombol untuk membuat foto yang pertama (foto bagian dalam badan pejabat Medis yang bersangkutan, yang bersikeras bahwa ia harus menjadi pasien yang pertama). Tanggal 17 sesungguhnya adalah hari yang penting, hari yang dipilih Bàbà untuk mencurahkan lagi
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
114
kekuatan rohani, untuk mengisi baterai yang melemah. Ketika Abhiûekam pagi sedang dilakukan di tempat suci maka Bàbà yang sedang duduk menghadap ke arca, menciptakan sebuah arca Nàràyaòa bertangan empat. Arca itu sangat indah, seakan-akan dibuat dengan kecakapan yang luar biasa, mensublimasikan Prinsip-Prinsip Nàràyaòa di depannya dalam bentuk tersebut. Kemudian dalam sekejap mata la menciptakan sebuah bunga teratai emas dengan seribu helai daun bunga, indah tak terperikan. Kami semua takjub mengapa muncul bunga teratai, tetapi sebelum kekaguman kami dapat dinyatakan, Bàbà telah melambaikan Tangan-Nya lagi. Kali ini ada sebuah Linggam di dalam Tangan-Nya. Jelas, itu adalah Linggam yang telah dipasang oleh Úaòkaràcàrya di dalam tempat suci Badri. Linggam itu diletakkan-Nya di tengah Bunga Teratai. Sambil membawa baik bunga teratai maupun arca tersebut dalam piring perak, Bàbà pergi ke bungalow tempat tinggal rombongan. Di situ Bàbà memerintahkan agar para peserta mengadakan Bhajan. Ketika puji-pujian pada Nàràyaòa sedang dinyanyikan, Ia bangkit dari duduk-Nya di lantai dan berkata: “Sekarang kita akan menyucikan lagi Linggam ini.” Bàbà memperlihatkan Linggam itu pada semua orang. Beliau Sendiri yang membawanya ke dekat setiap orang dan menunjukkan kejernihan bahannya serta bentuk Mata yang terdapat di dalamnya. Bàbà menyebut benda itu Nethralinggam (Linggam Mata) dari Kailasa. Kemudian la menciptakan sebuah bejana perak yang penuh berisi air suci (la menyatakan bahwa air itu berasal langsung dari sumber Gaògà), kemudian Bàbà Sendiri memandikan arca itu sementara para pengikut menyanyikan Úrì Rudra, Nàràyaòa Sukta, Puruûa Sukta dan Nyanyian Puji-Pujian lainnya. Kemudian untuk Puja Bàbà menciptakan seratus delapan helai Daun Bilva yang terbuat dari emas. Benda-benda tersebut memancar berkilau-kilauan dari Tangan Tuhan-Nya dan jatuh ke dalam piring perak di bawahnya! la melambaikan Tangan-Nya lagi! Kali ini terpancarlah sebuah timbunan bunga “thumme”, embun masih menempel segar di atasnya; segumpal kecil bulu kapas yang harum, seakan-akan dipetik dengan hati-hati dari seratus tumbuh-tumbuhan tropis yang kecil! Puja dilakukan oleh Dr. B. Rama-krishna Rao atas nama semua yang hadir dan para peserta mengucapkan mantra-mantra yang sesuai. Setelah itu Nethralinggam tersebut dikirim kembali ke dalam relung rahasia tempat ia dipasang oleh Úaòkaràcàrya seribu duaratus tahun yang lalu, Bàbà menjelaskan hal itu pada kami, karena linggam tersebut tiba-tiba lenyap setelah upacara selesai dan tujuan pengeluaran-nya telah terpenuhi. Benda itu diisi dengan kekuatan yang tak terhingga dan Pura tersebut disucikan lagi oleh Wujud Nyata Tuhan Sendiri! Peningkatan kepercayaan pada kitab-kitab suci merupakan salah satu bagian yang penting dalam misi Bàbà, karena itu la memerintahkan setiap anggota rombongan-Nya agar siang itu melakukan persembahan bagi arwah nenek moyang. Bàbà selalu berbicara tentang perlunya mengenang orang tua dengan penuh rasa terimakasih, karena merekalah yang bertanggung jawab atas kehadiran kita di dunia, sehingga kita mendapat kesempatan yang luhur untuk berjuang guna mencapai keselamatan, juga karena merekalah maka kita dapat mengalami kegembiraan yang khas dalam Sàdhanà dan Bakti Sosial. “Walau jiwa mereka yang telah meninggal tersebut mungkin tidaklah benar-benar berada di tempat yang kalian duga, atau menanti-nanti persembahan kalian dengan cemas, tetapi adalah kewajiban kalian untuk menghormati mereka, untuk mengenang mereka bila kalian merasa bahagia atau gembira dan mempersembahkan hormat serta bakti,” demikian sering dikatakan oleh Bàbà. Maka ketika anggota rombongan pergi ke tempat suci, yaitu tempat di mana makanan yang dipersembahkan pada Badri Nàràyaòa itu sendiri dipersembahkan kepada arwah nenek moyang, Bàbà bergegas maju dan memberkati mereka masing-masing sementara upacara sedang berlangsung! Ada beberapa anggota rombongan yang menurut aturan upacara sedang berhalangan sehingga tak dapat melakukan persembahan bagi arwah nenek moyang. Dengan ramahnya Bàbà mengumpulkan mereka bersama-sama dan membawa mereka ke sungai Alakanandà untuk suatu upacara khusus yang la rencanakan bagi mereka. Dari arus sungai yang deras dan bergelombang la mengambil segelas air untuk setiap peserta yang berhalangan tersebut. Karena keajaiban kekuatan Tuhan Tangan-Nya maka begjtu terangkat dari sungai, di dalam gelas tersebut timbul sebuah kubus abu yang besar dengan lambang mistik Oý di salah satu sisinya. Bàbà mengetuk sisi gelas dan lihatlah, tiba-tiba banyak biji wijen terapungapung di atas air. Biji wijen yaitu biji-bijian yang dianggap penting untuk segala upacara yang berhubungan dengan jiwa orang yang telah meninggal. la memanggil peserta-peserta yang berhalangan itu satu demi satu menuangkan Sendiri air ke atas telapak tangan mereka dan meminta setiap peserta tersebut agar memper-
115
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
sembahkannya kepada jiwa-jiwa nenek moyang mereka yang telah meninggal sambil mengenang mereka dengan penuh rasa hormat dan terimakasih. Sore itu Panitia Kuil Badrinath mengadakan suatu sambutan bagi Bàbà pada Pertemuan Khusus yang diselenggarakan di halaman Rumah Doa. Tamu-Nya yaitu Dr. B. Ramakrishna Rao menterjemahkan khotbah Bàbà ke dalam bahasa Hindi. Para pendengar yang berjumlah tiga ribu orang se-bagian besar terdiri dari peziarah, pedagang dan penduduk Badrinath sendiri. Bàbà memberitahu mereka tentang kesucian kota Badri. la berkata bahwa Tuhan adalah Cinta dan hanya dapat diinsyafi melalui peningkatan kasih sayang. Sebagaimana halnya seluruh bagian dari sebuah boneka gula semua-nya terasa manis, maka segala sesuatu yang menurut Veda “berasal dari wajah, lengan, paha dan kaki Pribadi Kosmik yang berkepala seribu,” semuanya sama-sama sarat dengan Kehadiran dan Cinta yang merupakan sifat-Nya. Bàbà melukiskan percobaan dan kesengsaraan para peziarah, biaya yang harus ditanggung dan kelelahan yang mereka alami. la minta pada penduduk Badrinath agar memperhatikan arus pria dan wanita yang datang dengan tiada putusnya ini dan menarik pelajaran dari iman mereka pada Nàràyaòa, yang telah mendorong mereka melakukan segala pengorbanan tersebut. la ingin agar penduduk Badrinath tidak menipu atau mengelabui para peziarah, tetapi memperlakukan mereka dengan persaudaraan dan keramahan yang lebih besar. Pada malam hari Bàbà mengatur pemberian makan yang cukup mewah untuk semua pengemis di sekitar pura. Pemandangan ini mengingatkan kami pada pemberian makanan yang diselenggarakan di Prasanthi Nilayam dalam perayaan Dasara, karena Bàbà Sendiri melayani dan mengambilkan manisan untuk setiap orang yang berjongkok di tepi jalan. Setelah pembagian makanan selesai, Bàbà membagikan seumur pada setiap orang (atau uang seharga itu; karena persediaan selimut di toko-toko Badrinath habis dengan cepat- Demikianlah dalam waktu yang singkat, hanya tiga hari, Bàbà menjadi pusat perhatian setiap orang, dan ketika la berangkat pada pagi hari tanggal 18 Juni 1961, orang-orang mengingatkan Dia pada janji yang diucapkan-Nya sore sebelumnya, bahwa la akan sering mengunjungi tempat tersebut dalam tahun-tahun mendatang. Mereka menyertai Bàbà dan rombongan-Nya hingga jauh di sepanjang jalan yang menuju ke Hanuman Chatti. Bàbà mencapai Joshimath pada tanggal 19 Juni 1961 dan kembali ke Hardwar dengan mobil pada tanggal 21 Juni sambil mengunjungi Andhra Àúram di Rishikesh. Perlu disebutkan di sini bahwa rombongan yang menyertai Bàbà berjumlah kira-kira seratus orang, kebanyakan telah lanjut usia dan tak terlalu kuat. Mereka terguncang-guncang dan terantuk-antuk di dalam bis, berada di iklim yang asing dan makan makanan yang tak lazim mereka makan, meskipun demikian semuanya pulang kembali sehat walafiat, bahagia dan puas, sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan lebih segar keadaan-nya daripada ketika mereka berangkat, semuanya adalah karena Rahmat Bàbà yang Maha Ada dan Maha Kuasa, Dan Hardwar Bàbà pergi ke Nainital dan di situ telah banyak orang yang menantikan kedatanganNya. Dalam wawancara yang dianugerahkan-Nya, la memberi mereka keberanian, hiburan serta bimbingan rohani. Bàbà juga mengunjungi Gìtà Study Group yang didirikan oleh Svàmì Vidyànandji dan di situ ada pidato sambutan dalam bahasa Hindi yang ditujukan kepada-Nya. Pada para Sàdhaka di Nainital Bàbà berbicara tentang perlunya konsentrasi. la mengutip sloka dari Gìtà bab 18 ketika Kåûóa bertanya pada Arjuna, “Apakah semua ini telah kau perhatikan dengan seluruh perhatian yang terpusat oh Pàrtha?” Dari sloka yang sama la menyimpulkan bahwa Gìtà baik dulu maupun sekarang, ditujukan untuk menghapus khayal yang timbul karena kebodohan, khayal yang membuat manusia keliru meng-anggap hal yang tak nyata sebagai nyata dan hal yang salah sebagai benar, hal yang sementara sebagai kekal dan sumber dukacita sebagai sumber suka-cita. Setelah kembali ke Prasanthi Nilayam pada tanggal 4 Juli 1961, dengan ramahnya Bàbà menceritakan tentang berbagai upacara di Badri maupun kejadian-kejadian dalam perjalanan tersebut pada umat yang tinggal di situ. Bàbà memberi mereka air suci dari sungai Gaògà yang demi mereka telah la ciptakan untuk kedua kalinya di Puttaparthi. la meminta agar mereka yang telah pergi berziarah ke tempat-tempat suci, dalam kehidupan sehari-hari hams memperlihatkan bahwa kesucian tempat-tempat tersebut telah memasuki hati mereka dan mengubah perkataan serta perbuatan mereka. “Úaòkaràcàrya,” demikian dikatakan-Nya, “ telah memasang Nàràyaòa di Badri. Kalian masing-masing harus memasang Nàràyaòa dalam hatimu.” Ketika masih di Badri, Bàbà telah menulis sepucuk surat buat mereka yang berada di Prasanthi Nilayam, “Ingatlah selalu kepada Tuhan; ucapkan, tuliskan atau sebutkanlah Nama-Nya, bermeditasilah,
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
116
putarlah tasbih atau pujalah arca atau gambar dengan Nama-Nya. Perenungan Nama Tuhan dengan tiada putusnya itu sendiri merupakan “Segala Tempat Suci”, “Segala Sungai Suci” dan “Segala Altar yang terkenal.”. Bila pikiran telah diluhurkan seperti itu, maka seluruh kemuliaan Badri bersinar di dalamnya. Peziarahan ke Badri merupakan pemborosan waktu dan tenaga bila pikiran belum terkendali dengan sepantasnya. Maka janganlah sedih karena kalian berada di sana dan lain-lainnya di sini. Nàràyaòa ada di sampingmu, bersamamu; karena itu mengapa kalian menipu diri sendiri dan mengejar Nàràyaòa yang tak kelihatan? Selalulah ulet, tabah, penuh semangat dan sukacita,” Sebenarnya bagi mereka yang mempunyai mata untuk melihat dan pengetahuan untuk mengenal maka Puttaparthi itu sendiri adalah Badrinath. Karena itu marilah kita memasang Dia di dalam hati kita atau lebih tepat, marilah kita menginsyafi bahwa la telah berada di situ, mengarahkan setiap pikiran, perkataan dan perbuatan kita sesuai dengan rencana-Nya. Semoga dengan penuh kesadaran akan nasib baik ini, kita semua dipenuhi dengan kepuasan dan ketenangan.
117
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN
XVI BAGIMU DAN BAGIKU Pembaca yang terkasih, kita telah tiba di bagian terakhir buku ini, saya berharap bahwa kalian akan menaruh minat yang besar pada peziarahan menuju ke tahta Tuhan yang mau tak mau harus diusahakan oleh setiap orang. Bàbà telah meyakinkan kita bahwa la akan tetap berada dalam badan manusia hingga lewat tahun 2020. la berkata bahwa la belum memulai pekerjaan yang merupakan tujuan kedatangan-Nya, melainkan masih berada dalam tahap awal peninjauan. Bàbà berkata bahwa bila la memulai kampanye-Nya, maka seluruh dunia akan mengetahui hal itu dan akan memperoleh manfaat. Karena itu, kejadian-kejadian selanjutnya dalam kehidupan Bhagavàn Úrì Sathya Sàì Bàbà jelas akan memberikan lebih banyak ilham, dan akan lebih membantu memperbaiki kehidupan rohani kita. Zaman Keemasan Penyelamatan Umat Manusia telah tiba. Kemuliaan terbitnya telah memenuhi kaki langit sebelah Timur dengan cahaya mulia keemasan dan akan mengelilingi seluruh dunia. Umat manusia disadarkan. “Aku datang,” kata Bàbà, “karena orang-orang baik di dunia, orang-orang suci, bijaksana, para pertapa dan pencari Tuhan, para pembimbing dan orang-orang yang saleh rindu kepada-Ku.” Semoga yang suci dan yang adalah bersukacita! Semoga orang-orang yang jahat dan lancung, mereka yang pengecut dan kejam berbahagia pula, karena oleh belas kasihan-Nya la akan membimbing mereka kembali ke jalan yang suci. Bàbà telah bertanya: “Bila aku menutup pintu bagi para pendosa, orang yang jatuh dan yang murtad, ke mana lagi mereka akan pergi?” Kalian dan saya kini tak boleh puas hanya dengan peta-peta dan buku petunjuk, untuk mencari nasehat dari riwayat hidup para penderita cacat yang menyembuhkan din mereka sendiri, atau menuangkan seluruh isi buku-buku tebal yang mengacaukan otak. Ia telah datang — Penyembuh Agung — penuh kasih sayang sebagai Ibu, kukuh kuat sebagai Ayah, bijaksana sebagai Guru, Maha Tahu sebagai Tuhan. Semoga la, Sumber, Aliran dan Lautan, Yang Menembusi Segala Sesuatu, Meliputi Segala Sesuatu dan Menghidupkan Segala Sesuatu memberi kita seluruh kekuatan dan ketabahan untuk berjalan kepada-Nya. Apa yang diminta-Nya dari kita? Agar kita saat ini juga memulai disiplin yang diperlukan untuk hidup dengan baik. Persembahan apakah yang akan kita bawa kepada-Nya? Bukan persembahan daun, bunga, buah dan air yang lazim dilakukan, Sebagai gantinya, persembahkan kepada-Nya kebenaran,, keadilan, damai dan kasih sayang, atau setidak-tidaknya usaha untuk mencapai keempat hal ini atau salah satu dari antaranya dan juga ketulusan dalam perjuangan untuk memperbaiki diri sendiri. Bàbà memerintahkan: “Persembahkanlah di atas daun badanmu, bunga pikiran, harum oleh kerendahan hati, buah batin yang matang dalam tapa rohani dan manis dengan sari belas kasihan, kerahmian serta pengendalian diri, dan air dari linangan air mata yang timbul oleh sukacita- kebahagiaan. Cukuplah itu.”
SATHYAM ÚIVAM SUNDARAM
118
119
KEBENARAN, KEBAJIKAN, KEINDAHAN