KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DAYAK BENUAQ DALAM PEMANFAATAN LAHAN DAN PEMELIHARAAN LINGKUNGAN Hetti Rahmawati Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang email:
[email protected] Abstrak: Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Benuaq dalam Pemanfaatan Lahan dan Pemeliharaan Lingkungan. Penelitian ini bertujuan menggali dinamika kearifan dalam mengelola ekosistem hutan sebagai landasan perilaku ekologis dan pemeliharaan lingkungan pada masyarakat adat Dayak Benuaq di Kalimantan Timur dengan perspektif indigenous. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif descriptive-explorative. Data diperoleh melalui wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan hutan didasarkan pada upaya pemeliharaan keseimbangan dan kelestarian sumber daya hutan sebagai wujud hubungan selaras dan tanggung jawab manusia dengan lingkungan alamnya. Kearifan lokal tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup yang telah berlangsung lama dalam nilai-nilai yang berlaku. Nilai self-transcendence, social-altruistic, dan biospheric menjadi penguat dalam intensi perilaku ekologis untuk peduli pada hutan. Wujud kearifan lingkungan ini ditunjukkan dalam seni lisan. Pengetahuan dan teknologi berladang yang digunakan tidak merusak lingkungan. Pemanfaatan lahan berupa: Umaq, Simpuk, dan Bengkak adalah perilaku konservasi yang dikembangkan oleh masyarakat Dayak Benuaq. Peraturan adat sebagai pengendali dalam sistem perilaku ekologis berkelanjutan dalam pengelolaan hutan. Kata kunci: kearifan lokal, pemanfaatan lahan, pemeliharaan lingkungan
Abstract: Dayak Benuaq Local Wisdom in the Land Use and Environmental Care efforts. This study was aimed at exploring the dynamics of wisdom in managing forest ecosystems as the basis for ecological behavior and preservation of the environment on Benuaq Society in East Kalimantan through indigenous perspective. This study used qualitative descriptive-Explorative method. Data of this study were obtained through interviews and observations. The results show that the use of forests is based on the maintenance of balance and sustainability of forest resources as a form of harmonious relations and human responsibility to the natural environment. The local wisdom is re lected in the habits of life and the social values that lasted a long time . The value of self-transcendence, social-altruistic, and biospheric become reinforcement in ecological behavior intention to care for the forest. A form of environmental wisdom is demonstrated in the oral arts. Farming knowledge and technologies used do not harm the environment. Land use like Umaq, Simpuk, and the swelling are developed by the Benuaq conservation behavior . Customs regulations role as controller in the system of ecologically sustainable behavior in forest management. Keywords: enviromental efforts, land use, local wisdom
106
Kearifan Lokal Dayak Benuaq...(Hetti Rahmawati) PENDAHULUAN Fenomena penurunan kualitas lingkungan akhir-akhir ini membutuhkan pemikiran serius. Beberapa masalah lingkungan hidup yang diakibatkan menurunnya kualitas lingkungan terkait dengan menurunnya perilaku peduli manusia dalam memperlakukan alam selama ini. Masalah banjir dan erosi akibat deforestation (penebangan hutan), krisis energi, polusi atas tanah, air dan udara telah menimbulkan penyakit dan menurunkan kualitas hidup manusia, dan masalah pemanasan global yang berdampak pada anomali iklim dan panas bumi yang ekstrim. Perilaku manusia yang berlebihan mengeksploitasi alam dan pembangunan lansekap tanpa mempertimbangkan fungsi ekologis merupakan ancaman dalam pemanfaatan lahan berkelanjutan. Permasalahan di atas menunjukkan bahwa perilaku masyarakat telah kehilangan kepedulian akan lingkungan, dan perlu ditempuh agar perilaku peduli dan ramah pada lingkungan dapat terwujud. Walaupun pendekatan pendidikan dalam tataran sikap dan pengetahuan tentang lingkungan telah ditingkatkan dalam beberapa tahun terakhir, namun masih banyak hal yang perlu diperhatikan agar pendidikan lingkungan hidup berdampak positif pada perilaku nyata yang semakin peduli dengan lingkungan. Banyak hal yang dapat dipelajari dari perilaku ramah lingkungan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam pada masyarakat lokal di Indonesia. Salah satunya adalah masyarakat lokal di pulau Kalimantan, khususnya masyarakat Dayak Benuaq yang memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan. Kalimantan sebagai pulau terbesar dan memiliki nutfah khas terutama yang ada di dalam hutan tropis di pulau ini yang juga menjadi penjaga ekosistem
bumi di kawasan Asia dan dunia. Sumber kayu yang melimpah dari hutan dan sumber emas dari sungai kini diambang kepunahan akibat eksploitasi pemegang konsesi hutan dan penambang berdampak pada deforestasi dan menurunnya jumlah spesies hutan dan sungai, dan memburuknya kualitas air. Potret perilaku masyarakat industri hutan dan tambang ini bertolak belakang dengan perilaku ekologis masyarakat asli yang tinggal dan hidup selama berabadabad di sekitar hutan. Masyarakat lokal memiliki cara sendiri dalam memelihara tanah dan sumber daya alam lebih baik, karena masyarakat setempat hidup di situ, menjadi saksi atas keberadaan alam tersebut. Nilai kearifan lokal telah membangun perilaku dalam menjaga lingkungan hutan lebih baik dari komunitas yang lain. Nilai dan etika leluhur tentang bagaimana selayaknya memperlakukan alam dan berhubungan dengan alam sudah ada sejak dulu. Sebagai nilai yang mendasari kelangsungan hidup manusia di bumi ini. Relasi manusia dengan hutan pada masyarakat lokal misalnya merupakan hubungan fungsional sosial. Kondisi suatu lingkungan berperan membentuk kebudayaan suku bangsa sebagaimana masyarakat hutan mempunyai nilai-nilai kearifan lokal tradisional yang terbentuk dari interaksi berulang-ulang di antara masyarakat dengan sumber daya hutan. Dimilikinya pengetahuan sistem tatanan budaya sosial religius masyarakat desa hutan Dayak Benuaq, maka akan lebih memahami kesesuaian ekosistem alam dengan kelembagaan adat hutan dalam perilaku ekologis anggota komunitasnya. Berdasarkan alasan tersebut maka kelestarian hutan, dinamika psikologis dan sosial budaya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan menjadi masalah penting yang perlu mendapatkan per107
Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 20, No. 2, Oktober 2015: 106-113 hatian serius. Mengingat masyarakat lokal yang tinggal di seputar hutan diharapkan sebagai agen penjaga utama dalam hal biodiversity dan konservasi hutan, sehingga diperlukan pemahaman mengenai aspek psikologis sosial dalam perilaku konservasi masyarakat lokal Dayak Benuaq, khususnya yang hidup berdampingan dengan hutan di kawasan hutan tropis Kalimantan Timur.
METODE Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan pada dua orang pemangku adat, satu orang ahli budaya Dayak, dua orang wakil pemuda, dua orang wakil warga berusia lanjut, dan dua orang sebagai wakil pendatang pengelola pertambangan batu bara. Analisis data secara descriptive-explorative dilakukan, keseluruhan data yang terkumpul diklasi ikasi dan isi dianalisis. Hasil ini sebagai acuan untuk menemukan tema utama dan menggambarkan dinamika perilaku ekologis masyarakat Dayak Benuaq dalam pemanfaatan lahan serta pemeliharaan lingkungannya HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, maka ada beberapa hal yang mendasar terkait dengan relevansi kearifan lokal dan dinamika perilaku ekologis masyarakat Dayak Benuaq dalam mengelola lingkungan hutan. Kepercayaan yang ada di masyarakat Benuaq memandang hutan dan sungai sebagai “tetangga” yang merupakan tempat roh leluhur tinggal sehingga keeratan hubungan yang selaras antara manusia dengan hutan dan sungai adalah penting. Ada dewa penjaga hutan dan yang memberikan hutan pada 108
mereka, sehingga berakibat buruk jika seseorang menyakiti hutan. Sebaliknya hutan akan memberikan kebaikan jika manusia menjaga hutan terutama species tertentu dengan baik pula. Nilai (value) tentang hutan dan sungai didasarkan atas fungsi hutan dan sungai dalam menjaga kualitas hidup masyarakat dalam bertahan hidup (survival), keber-lanjutan tersedianya sumber daya (sustainable), fungsinya sebagai tempat aktivitas spiritual dan perekat sosial. Hutan tidak dinilai dari nilai keuntungan ekonomis saja, karena itu hutan dianggap bukanlah komoditas tapi merupakan bagian integral dari siklus hidup mereka. Karakteristik hutan tropis Kalimantan dahulu menurut para tetua, memiliki vegetasi yang rapat dan bervariasi dengan sungai-sungai yang melintasi pulau ini. Menurut sebagai besar nara sumber menyatakan bahwa keberadaan kebudayaan Dayak Benuaq setidaknya sangat dekat dengan irama kehidupan hutan dan sungai dan erat kaitannya dengan kayu Ulin. Selain keyakinan bahwa kayu ulin merupakan vegetasi yang baik bagi resapan air di hutan. Species kayu ulin yang dahulu sangat banyak didapati di hutan Kalimantan, kini adalah species langka yang sulit diperoleh masyarakat Benuaq yang menjadikan kayu tersebut sebagai bagian penting upacara adat. Pengalihan fungsi hutan dan semakin menyempitnya akses pemeliharaan hutan bagi mereka. Berkurangnya persediaan kayu ulin yang berkesinambungan menurut beberapa nara sumber adalah seperti kehilangan simbol eksistensi ritual religius karena kerajinan dan perlengkapan dari kayu ulin (patung, pakaian kayu, senjata) digunakan sebagai bagian dari upacara keagamaan, adat dan pemujaan.
Kearifan Lokal Dayak Benuaq...(Hetti Rahmawati) Berkurangnya lahan hutan dan rusaknya ekosistem hutan salah satunya terjadi karena yang dipicu aktivitas perusahaan konsesi di luar komunitas benuaq. Perusahaan tersebut menurut pandangan tetua telah mengambil ulin skala besar dan turut mencabut tanaman belukar/bawah lain di luar itu, sehingga sumber makanan bagi manusia dan hewan ikut hilang, termasuk tanaman makanan hewan liar dan sagu hutan yang turut musnah. Temuan dalam pengamatan tercatat bahwa di daerah Jahab dan Pondok Labu di Kutai Kertanegara, pemukiman komunitas Dayak Benuaq adalah desa sederhana dengan rumah semi permanen yang terbuat dari sebatang kayu ulin untuk satu rumah selama beberapa generasi. Meskipun kini rumah lebih dibuat untuk keluarga tunggal, maka rumah lamin semakin jarang. Rumah panjang/Lamin adalah rumah adat keluarga besar. Sirap (atap) berasal dari batang pohon ulin, yang menjaga sirkulasi udara dengan baik. Kayu diambil dari hutan seperlunya dalam skala terbatas. Penghormatan untuk kayu ulin adalah penghormatan atas leluhur. Tekstur yang bervariasi dan kekuatannya membuat kayu ulin sangat bernilai. Pohon ulin hanya hidup di lingkungan yang terjaga baik, hutan yang lebat dengan vegetasi rapat, kelembaban sepanjang musim dan butuh ratusan tahun untuk memperoleh bentuk dan ketinggian tertentu. Pohon keramat karena roh leluhur tinggal, dan tidak boleh diperjual belikan di luar desa adat. Jika akan menebang maka dilakukan “Mekanyahu” upacara minta ijin penjaga hutan termasuk penghuni pohon ulin. Pohon ulin hanya ditebang dengan tidak mencabut akar sehingga pohon akan cepat memperbaiki sendiri dan tumbuh kembali. Realita saat ini pohon-pohon
ulin yang semula telah dijaga beratus tahun dari generasi ke generasi ini, dalam sepuluh tahun terakhir lebih di bawah kekuasaan perusahan konsesi hutan. Perilaku pemanfaatan lahan non hutan primer dilakukan bersama/ komunal disesuaikan dengan aturan adat. Simpukq (kebon hutan) menyediakan pohon buah-buahan, kelapa, kemiri, kopi dan karet dengan variasi pohon obatobatan, racun alam dan pohon buahbuahan adalah bukti kehidupan organik masyarakat lokal Benuaq. Ini merupakan gambaran teraplikasikannya sistem agroforestry berkelanjutan. Ada sistem bercocok tanam berpindah di area ladang penanaman, yang ditanam bermacam varietas padi tanpa irigasi, yang mengikuti alur siklus tanam berpetak-petak sesuai masanya. Pada sistem ini padi gogorancah ditanam tanpa menggunakan pestisida maupun pupuk kimia tapi menghasilkan padi yang baik. Lahan ini ada beberapa yang diseling dengan tanaman singkong atau sayuran konsumsi. Dan nampak ada beberapa petak lahan dibiarkan tak ditanami setelah beberapa tahun ditanami padi. Sebenarnya ini dilakukan agar lahan yang ditidurkan sementara akan kembali siap ditanam kembali setelah unsur hara permukaan tanah terjaga kembali. Penggunaan umaq, lahan cadangan hutan didasarkan pengetahuan lokal bahwa tingkat kesuburan tanah berbeda, iklim mikro berbeda dan siklus penanaman untuk memisahkan regenerasi hutan ke dalam lima fase penanaman yaitu: lapisan muda (kurat uraq), lapisan tua (kurat tuha), hutan sekunder muda (kurat batang muda), hutan sekunder tua (kurat batang tuha) dan hutan primer (bengkar). Hingga pada akhirnya ladang akan di siklus kembali menjadi hutan primer setelah 100-200 tahun kemudian. 109
Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 20, No. 2, Oktober 2015: 106-113 Peraturan adat yang berlaku tidak membolehkan menebang pohon tertentu seperti pohon sialang karena tempat bersarang lebah madu yang selain bermanfaat dapat diambil madunya, karena bagi komunitas Benuaq lebah adalah sahabat penyerbukan bagi vegetasi. Hal ini sudah menggambarkan perilaku konservasi dan sustainability atas dasar pemikiran lokal yang kuat. Pengenalan yang baik atas species tanaman yang bernilai ekologis menjaga kesuburan tanah sebagai pengetahuan lokal yang sebenarnya. Sehingga pertanian monokultur atau sistem monopoli pengelolaan hutan tanaman industri yang homogen dan massal seperti perkebunan kelapa sawit sebenarnya tidak sesuai dengan pemikiran masyarakat Benuaq dalam bercocok tanam. Perilaku sosial yang merupakan bagian dari hemat energi, menghargai proses, efektif dan ramah lingkungan ditampakkan di dalam rumah lamin dan ladang yang dikelola bersama oleh keluarga besar dan komunitas sebagai contoh simbol perilaku kolektif masyarakat Benuaq. Kehidupan saling membantu di antara penghuni rumah besar jauh dari sifat individualistis dan kepemilikan pribadi. Kepemilikan didasarkan atas keputusan adat dan keluarga besar. Sehingga sifat eksploitatif kompetitif adalah hal tabu. Sementara nilai kelestarian pengelolaan hutan dan semangat kerjasama membantu dan peduli pada orang lain (altruistic) adalah ciri khasnya. Contoh lain seperti aktivitas berburu babi, berladang padi gogorancah, mencari rotan, dan gahru merupakan kegiatan yang menambah pemasukan bagi keluarga, namun mengambil dari hutan untuk dijual di luar komunitas secara komersial itu tidak dilakukan 110
karena prinsip pemenuhan kebutuhan secara domestik dan bukan karena market. Akan tetapi menurut para tetua ada gejolak perubahan dengan mengatasnamakan unsur ekonomis yang menjadi kekawatiran para angkatan tua terhadap realita dan dinamika perubahan di kalangan muda Benuaq. Kebudayaan Benuaq lama yang kaya dengan teknik bertutur dan produk budaya lisan lewat karya dongeng, petuah orangtua, leluhur, cerita rakyat dan legenda. Namun dalam persepsi angkatan tua budaya tutur di kalangan muda kini mulai tersingkir. Modernisasi kampung hutan terjadi dan pola budaya tutur menepi sebagai akibat pergeseran hubungan generasi muda Benuaq dengan pendatang yang bekerja di perkebunan, perkayuan dan pertambangan.
Pembahasan Nilai dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat lokal Dayak Benuaq sebagai pendorong perilaku ekologisnya dilihat dari kepercayaan tentang arti dan nilai hutan dan sungai baginya, bagi leluhurnya dan anak cucu selanjutnya. Nilai komunal tersebut akhirnya diinternalisasi secara pribadi anggota komunitas. Sebagaimana dinyatakan oleh Vining (2003), bahwa emosi dan perilaku ramah lingkungan setidaknya juga didorong atas nilai pribadi, keterlibatan emosi dan ketertarikan terhadap binatang (biospheric) sebagai afeksi yang mendorong sikap dan perilaku sadar lingkungan. Kajian lintas budaya tentang relasi manusia dan lingkungan dalam folk ecology (Kaiser & Wilson, 2000; Atran, Ross, & Medin, 2005; Schultz & Selezny, 1999) menelaah unsur budaya dalam membentuk perilaku konservasi dan peduli lingkungan. Pemahaman konsep nilai-nilai budaya tentang alam dan model
Kearifan Lokal Dayak Benuaq...(Hetti Rahmawati) mental dalam mengelola lingkungan berdasarkan pemikiran budaya masingmasing. Demikian pula Milfont, Sibley, & Duckitt (2010) mereplikasi dan mendukung penemuan Schultz & Selezny (1999) dan Schultz, et al. (2005) yang melihat norma berperan dalam perilaku terhadap lingkungan, dimana nilai pribadi dan budaya terutama self-transcedence, altruistic dan biospheric memprediksikan perilaku lingkungan. Kaiser, et al. (1999) yang memprediksi bahwa general ecological behavior atau perilaku ekologis yang umum dibentuk dari sikap (yang terdiri dari: environmental knowledge, environmental values dan environmental behavior intention) dan responsibility feeling atau rasa tanggung jawab pada lingkungan. Wujud tanggungjawab altruistic dan biospheric masyarakat diimplementasikan dalam sistem tata guna lahan dan siklus serta cara bercocok tanam yaitu pembagian jelas perlakuan pada: Umaq (ladang), Simpukq (kebun hutan), Bengkar( hutan primer/lindung) dan lima tahap Urat adalah model sistem pemanfaatan lahan yang peduli biodiversity, konservasi dan sustainability sumber daya hutan dan sekitarnya. Kebudayaan lisan adalah ciri kesenian Benuaq, budaya bertutur lewat petuah, dongeng, cerita rakyat, syair disampaikan secara lisan dari satu generasi ke generasi. Muatan pesan ekologis, kepahlawanan, sikap satria dan hikmah kehidupan yang ada di dalamnya bertujuan menggugah kesadaran, membentuk persepsi, sikap dan perilaku untuk diidenti ikasi. Seni lisan menyentuh afeksi, mengungkap sikap, nilai dan etika lingkungan. Seni mendorong untuk berbuat, walaupun hambatan faktor eksternal telah mengikis tradisi lisan ini. Kollmus & Agyeman (2002) menyatakan bahwa faktor internal (per-
sonality traits, value system, feeling) dan faktor eksternal (infrastructure, social-cultural, political factor) berkontribusi pada perilaku ramah lingkungan, kelebihan model ini adalah menyajikan kemungkinan hambatan dalam implementasi faktor tersebut ke ranah perilaku nyata. Teori sikap perilaku yang juga dikembangkan dari teori planned behavior (Kaiser & Gutscher, 2003; Kaiser & Scheuthle, 2003; Kaiser, Hubner, & Bagner, 2005; Kaiser, 2006). Komunitas asli masyarakat Benuaq tinggal di sekitar hutan Kalimantan Timur khususnya area Kutai Kertanegara (barat) telah berabad lamanya memiliki kekuatan menjaga kelestarian hutan Kalimantan. Namun ironi di tengah upaya keras subkultur Dayak Benuaq menjaga keberadaan hutan, mereka harus berhadapan langsung dengan fenomena penebangan liar yang mengancam, konsesi lahan dan efek kapitalisme lewat perusahaan timber dan mining, dan menambah potensi kon lik antara masyarakat lokal-pendatang–pemegang konsesi lahan dan pemerintah. SIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil adalah masyarakat Dayak Benuaq telah memiliki nilai hidup organic, menjaga biodiversity (keanekaragaman hayati), memiliki perilaku konservasi (menjaga lingkungan secara berkelanjutan) yang mengakar dan nilai tersebut diupayakan diturunkan dari generasi ke generasi dalam bentuk kearifan lokal dalam berhubungan dengan alam. Lingkungan hutan telah membentuk budaya yang kompleks dan menjadi sistem keyakinan dan sebaliknya budaya sosial turut membentuk kualitas lingkungan, yaitu dari perilaku masyarakatnya dalam mengelola lingkungan. Perilaku masyarakat Dayak Benuaq yang mentaati 111
Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 20, No. 2, Oktober 2015: 106-113 aturan adat sebagai hukum yang mengatur etika dalam pengelolaan lahan, pemanfaatan hutan dan sungai dilandasi atas pemikiran, persepsi dan sikap yang telah diturunkan sepanjang generasi. Bahwa sebagai bagian dari masyarakat Dayak Benuaq, mereka bertugas menjaga keharmonisan dengan alam, dengan menghormati dan bertanggung jawabnya pada hewan dan tanaman (biospheric) di lingkungan hutan. Modernisasi kampung hutan akibat pergeseran hubungan generasi muda Benuaq dengan pendatang yang bekerja di perkebunan, perkayuan dan pertambangan. Perubahan budaya tradisional-modern pada masyarakat Benuaq kini berada dalam kondisi masyarakat transisi yang sangat memerlukan pendekatan komunitas dalam pengembangan wilayah dan sosialnya. Agar pemberdayaan potensi masyarakat lokal tetap memperhatikan nilai, kesejahteraan, memerdekakan akses atas hak masyarakat indigenous dalam menentukan self-determined model bagi komunitas mereka sendiri. Sehingga perlu ada perlindungan tata hukum lokal dan pranata ada agar sistem budaya lokal masih berfungsi dalam mengatur perilaku masyarakat lokal, khususnya sebagai penguat dan kontrol perilaku ekologis.
DAFTAR PUSTAKA Atran, S., Ross, N.O., & Medin, D.L. 2005. The cultural mind: environmental decision making and cultural modeling witin and across populations. Psychological Review, 112 (4). 744-776. Kaiser, F.G., Ranney, M., Hartig, T., & Bowler, P.A. 1999. Ecological Behavior, Environmental Attitude, and Feelings of Responsibility or The Environment. European Psychologist. 4(2), 59-74. 112
Kaiser, F.G., & Wilson, M. 2000. Assesing People’s General Ecological Behavior: A Cross-Cultural Measure. Journal of Applied Psychology. 30,952-978. Kaiser, F.G., & Gutscher, H. 2003. The Preposition of General Version Of The Theory of Planned Behavior: Predicting Ecological Behavior. Journal of Applied Psychology, 33(3). 586-603. Kaiser, F.G., & Scheuthle, H. 2003. Two Chalenges to Mortal Exthension of Theory of Planned Behavior Moral Norms And Just World Belief in Conservatism. Personality and Individual Differences, 35. 1033. Kaiser, F.G., Hubner, G., & Bagner, Fx. 2005. Contrasting The Theory of Planned Behavior with The ValueBelief-Norm Model in Explaining Conservation Behavior. Journal of Applied Social Psychology, 35(10). 2150. Kaiser, F.G. 2006. A Moral Extension of The Theory of Planned Behavior: Norms and Anticipated Feelings of Regret In Conservatism. Personality and Individual Differences, 41(1). 71. Kollmuss, A., & Agyeman, J. 2002. Mind The Gap: Why Do People Act Environmentally and What Are Barriers to Pro-Environmental Behaviors?. Environmental Education Research, 8(3). 239-260. Milfont, T.L., Sibley, C.G., & Duckitt, J. 2010. Testing The Moderating Role of Norm Activation on The Relationship Between Values and Environmental Behavior. Journal of Cross-Cultural Psychology, 41(1). 124-131. Schultz, P.W., & Zelezny, L.C. 1999. Values As Predictors of Environmental Attitudes: Evidence for Consistency Across 14 Countries. Journal of
Kearifan Lokal Dayak Benuaq...(Hetti Rahmawati) Environmental Psychology, 19, 255265. Schultz, P.W., Gouveia, V.V., Cameron, L.D., Tankha, G., Schmuck, P., & Franek, M. 2005. Values and Their Relationship to Environmental Concern and Con-
servation Behavior. Journal of CrossCultural Psychology, 36. 457-475. Vining, J. 2003. The Connection to Other Animals and Caring for Nature. Human Ecology Review, 10(2). 87-99.
113