Ke Moko as told by Hasan Sasra Ayo, anak-anak duduk yang baik ya, saya sekarang akan bercerita lagi. Cerita yang akan saya ceritakan ini ialah cerita tentang Ke Moko Ke Moko berasal dari desa Jangkah, Pamekasan.Diceritakan bahwa Ke Moko ini mengajari mengaji. Walaupun Ke Moko mempunyai santri yang banyak, ia tidak kaya. Ya tidak punya pondok seperti biasanya orang yang mengajar mengaji. Rumahnya kecil, terbuat dari bamboo, berdinding gedek, beratap rumbia. Tahu rumbia kamu? Rumbia itu adalah atap rumah yang terbuat dari daun-daunan. Jadi rumahnya Ke Moko itu beratap rumbia. Di depan rumah Ke Moko ada musholanya, anak-anak. Musholanya sedikit lebih besar disbanding rumahnya, dan terbuat juga dari bamboo dan berdinding gedek. Tapi atapnya terbuat dari alang-alang yang dianyam indah sekali. Ya karena orang yang serba bersih, setiap mengajari santri-santrinya , dijaga kebersihannya. Kediaman Ke Moko, meskipun tempat orang miskin tapi tetap bersih. Karena Ke Moko banyak santri-santrinya, maka santri-santri berganti-ganti. Biasanya bagi santri yang jauh rumahnya diajari mulai pagi sampai siang kemudian mereka pulang. Untuk para santri yang agak dekat ke pondok Ke Moko, ia mengajarnya mulai ba’da dhuhur sampai ashar. Kalau anak-anak atau orang-orang yang mengaji itu kebetulan dekat-dekat dari rumah Ke Moko, ia mengajarnya ba’da Magrib sampai Isya’. Jadi Ke Moko itu sehari-harinya mengajar 3 tahapan setiap hari, seperti yang saya ceritakan tadi. Ya, tapi meskipun santrinya banyak , Ke Moko ini tetap miskin, anakanak….Meskipun miskin, sehari-harinya rejeki itu tidak pernah kekurangan. Kalau kebetulan santrinya ada sesuatu berlebih, ada kelebihan beras di sana ya mereka membawa beras, di bawa ke Ke Moko. Kalau kebetulan panen jagung, ya mereka membawa jagung, sayur juga dibawa. Kalau kebetulan santrinya memelihara hewan, ayam, ya telornya kadang-kadang dibawa juga untuk diberikan Ke Moko. Tapi Ke Moko ini memang Kyai bijaksana, anak-anak….Ia tidak tamak, tidak ! Apa-apa yang didapat dari orang, dimasak pada hari itu juga dan dimakan bersama para santrinya. Mengerti kamu? Jadi Ke Moko itu, apa-apa yang didapatkan hari itu, dimasak juga hari itu untuk dimakan bersama para santrimya. Ke Moko itu Kyai yang banyak santrinya. Ilmunya banyak, tambahan lagi di samping ilmu Islamnya yang dalam, ia juga pandai dalam pencak silat dan yang lainnya. Jadi setiap hari semakin banyak santrinya untuk belajar ilmu ke Islaman kepada Ke Moko dari pagi sampai malam. Suatu waktu, anak-anak, Ke Moko ini sedang meikirkan sesuatu. Memikirkan tentang orang-orang yang mengaji kepadanya, yang dimakan dalam kesehariannya adalah apaapa yang dihasilkan di tempat itu saja. Terus ia menggagas sesuatu. Ingin bagaimana caranya agar orang-orang di kampungnya yang keadannya seperti ini pernah merasakan memakan ikan laut. 1
Jadi malam-hari tanpa memberi tahu orang-orang di rumahnya, setelah sholat malam, Kyai meninggalkan rumah, membawa jala, pancing, lengkap dengan benangnya pancing. Pergi ke pantai, ya memang jauh dari laut desa Jangkah ini. Mulai tengah malam ia berangkat hingga sampai di pantai ketika hampir subuh. Karena sudah hampir subuh maka menunggu sholat subuh dulu. Kemudian sholat Subuh. Sehabis sholat, Ke Moko kemudian berdoa, : Oh Tuhanku saya mohon belas kasihmu…Semoga pancing yang akan saya pancingkan ke laut ini dapat dihampiri ikan yang akan memakan umpan saya ini. Ia memohon kepada yang Maha Kuasa, setelah berdoaseperti itu terus pancingnya dilempar. Ditunggunya, tapi ko’ belum ada juga ikan yang memakan umpan pancingnya. Ia berdoa lagi kepada Yang Maha Kuasa. ”Oh Tuhanku, mohon belas kasihmu, semoga pancing ini mendapatkan ikan yang besar-besar dan banyak. Tidak akan saya makan sendiri Ingin saya bagikan kepada orang-orang di desa saya, agar mereka pernah merasakan bagaimana rasanya makan lauk ikan laut.” Dengan kekuasaan Tuhan, anak-anak..., pada saat ini ia menangkap seokar ikan yang besar. Berdoa, berdoa, berdoa, nah ...ketika ditarik dapatlah ikan Bilangan yang sangat besar, ikan Bilangan yang besar. Aduh, terima kasih Tuhan, saya dapat ikan Bilangan. Terus melempar lagi sambil berdoa. Tidak lama lagiditarik lagi oleh ikan yang lebih besar lagi, terus ditariknya lagi. Akhirnya setelah agak siang sudah banyak ikannya Sekarang orang-orang di kampungnya Jangkah semua nya bingung. Kemana kyai? Kok tidak ada? Mereka saling bertanya. Tidak pamitan,ditanyakan kepada yang lain bahwa Kyai tidak pamita siapapun. “Kemana Kyai?” Kok tidak pamit sama sekali, tapi tidak ada di sini. Semuanya bingung, katanya. Mereka sama-sama berdoa semoga tidak terjadi apa-apa terhadap Ke Moko. Pendek cerita, ketika sudah dapat banyak ikannya, Ke Moko terus pulang ke rumahnya di kampong Jangkah. Bergelayutan banyak sekal ikan yang dibawanya, Para santrinya melihat bahwa Ke Moko membawa ikan yang banyak sekali, mereka terheran-heran dan mereka berlarian kepadanya. “Dari mana kau dapatkan ini, Kyai?” “Sudah, jangan rame-rame…Saya pergi ke laut memancing, agar kalian tahu rasanya ikan laut. Baiklah segera di potong-potong semua, saya Cuma minta sepotong saja. Bagilah kepada semua orang di sekitar desa sini. Bagilah sepotong-sepotong agar samasama merasakan bagaimana rasanya ikan laut. Tapi salah satu matanya jangan dibagi, berikan saya.” Mata ikan tidak boleh dibagikan, disuruh Kyai untuk dicungkil, dan diberikan Kyai. Oleh Kyainya diambil dan dimasukkan kedalam tabung Bambu,banyak, dan terus ditutp dan disimpan.Singkatnya, orang-orang warga desa dan sekitarnya bersenang-senang dapat makan ikan laut. Menurut cerita ini, anak-anak, sesudah waktu it uterus ada angin kuat, angin kuat di laut dan di darat. Angin yang kuat. Kemudian terdengar berita bahwa ada sebuah kapal 2
dari Makasar yang kandas. Kapal dari Makasar kandas, juragan kapal susah. Minta tolong siapa ya ini? Kalau jauh dari manapun, layar kapal sobek. Orang-orang yang ikut dalam pelayaran itu kelaparan, sebab sudah beberapa hari diterjang angin dan ombak di tengah laut. Akhirnya kandas di pinggir pantai dekat desa Jangkah ini. Akhirnya juragan dan awak kapal sama-sama mendarat. Perahu yang rusak ditali kemudian mencari kampung. Kebetulan mereka berjumpa dengan sesorang, santri Ke Moko dan bertanya. “Teman, apakah disini ada kampung? “Oh ya ada. Mari ikut saya ke pondok Ke Moko.” Pendek cerita, Juragan Makasar itu bertemu Ke Moko, bercerita keadannya dan perahunya yang rusak. Ke Moko tahu bahwa ada orang-orang yang lagi kesusahan terus mengumpulkan para santrinya. “Ayo anak-anak, sebagian pergi ke pantai ke perahunya teman-teman dari Makasar yang rusak ini mari diperbaiki. Layarnya dijahit, perahunya diperbaiki lagi. Dan juga teman-teman dari Makasar ini masakkan nasi. Apapun yang ada. Kalau ada tela ya direbus ayo’. Ada ubi ya direbus. Kalau ada tales ya direbus. Kalau ada ketan yang dimasak ketannya. Kalau ada beras ya dimasak dan berikan kepada tamu-tamu kita. Kuwajiban kamu dan saya adalah menghormati tamu-tamu kita.” Akhirnya setelah masak terus diberikan kepada tamu-tamunya, mereka semua sangat senang, anak-anak. Memang sudah beberapa hari tidak makan sesuatu, maka mereka sangat senang. Sampai beberapa hari orang-orang Makasar dengan juragannya tinggal di desa Jangkah. Akhirnya perahu yang rusak tadi dengan kepandaian dan kebijakan para santri Ke Moko jadi baik lagi. Layar yang sobek-sobek sudah dijahit lagi. Karena sudah baik lagi, saudagar Makasar terus berpamitan kepada Ke Moko, “Kyai, terima kasih. Kamu dan semua orang-orang di sini membantu saya dan temantemanku. Tapi karena saya akan meneruskan perjalanan ke Palembang, banyak barangbarang yang dijual di Palembang. Saya mohon pamit. Kyai, karena kamu seorang guru, saya mohon kerelaanmu. Mohon doanya, semoga kami tidak bertemu mara bahaya lagi dalam perjalanan ke Palembang.” Setelah dibacakan doa, saudagar Makasar itu oleh Ke Moko, terus berangkat menuju Palembang. Diceritakan akhirnya kapal juragan yang dari Makasar ini sampai di pelabuhan Palembang pulau Sumatra. Ya memang pedagang, begitu sampai di pelabuhan, orangorang di sana kelihatan sedih, anak-anak, sedih. Dilihat oleh orang-orang Makasar itu,
3
orang-orang ini kelihatan ruwet. Tidak ada yang gembira sama sekali. Akhirnya saudagar itu bertanya kepada sesorang: “Teman, ada apa orang-orang di sini ko’ kelihatan bersedih?” Orang yang ditanya itu kemudian menjawab, “Aduh, bagaimana teman, kami tidak bersedih karena kampong sini, desa sini, di Palembang ini sedang banyak penyakit, bermacam-macam penyakit. Sampai-orang-orang Keraton sendiri, sampai anak Raja Palembang juga sakit. Lama tidak sembuh-sembuh, dicarikan orang-orang pintar, tidak dapat. Buku obat-obatan, tidak menemukan bukunya jamu, tidak sembuh.” “Tolong saya diantar ke keraton Palembang.” “Mari.” Akhirnya, saudagar Makasar, sekarang murid Ke Moko, sampai ke keraton. Bilang kepada Ratu Palembang bahwa dia dari Makasar berniyat membantu, menghilangkan penyakit yang ada di Palembang ini. “Bagaimana caranya?” kata Raja Palembang. “Mari para rakyat Palembang mari berkumpul di sini bersama teman-teman dari Makasar berkeliling kampong sini bersama-sama membaca burdah.” Jadi setelah Magrib, orang-orang Palembang berkumpul bersama-sama dengan orangorang Makasar, dan mereka pergi berkelililing desa sambil membacakan burdah. Dengan kekuasaan Tuhan, anak-anak,setelah membacakan burdah berkeliling desa dan berdoa kepada Yang Kuasa semoga sirna semua penyakit di Palembang melalui kehendak Tuhan. Lambat laun penyakit menghilang. Orang-orang sembuh semua. Sampai ke putri Raja Palembang yang bernama Dewi Suminten yang memang sudah lama menderita sakit, sembuh. Sembuh, dan cantik lagi. Karena sang Raja merasa berhutang budi dengan saudagar Makasar, ia mengusulkan bahwa saudagar itu akan dinikahkan dengan Dewi Suminten. Raja berkata, “Kalau kamu mau, pemuda Makasar, kamu akan saya ambil sebagai menantuku. Tapi ada saratnya, kamu harus memberikan lamaran dulu.” Saudagar Makasar tahu bahwa Dewi Suminten memang seorang wanita yang canting dan ia bersedia menikah dengannya. Tapi bagaimana cara untuk memberi lamarannya? Rajanya sudah kaya. Akhirnya saudagar Makasar tadi ingat sebelum ia berangkat menuju Palembang. Ke Moko memberinya tabung bambu yang berisi mata-mata ikan. Diberikan kepada saudagar Makasar itu dengan pesan. “Anakku, ini tabung bambu. Bawalah ini kemanapun kamu pergi, tapi jangan sekali-kali kamu membukanya, kecuali kamu benarbenar memerlukan.”
4
Kemudian ingatlah dengan tabung bamboo saudagar Makasar tadi dan terus dibuka tutupnya. Dibukalah anak-anak, ternyata ketika dibuka, mata-mata ikan tadi berubah menjadi berlian banyak sekali. “Aduh, ini kekuasaan Tuhan lewat kesaktian Ke Moko, bahwa saya diberi berlian di dalam tabung bambu ini.” Akhirnya mutiara berlian itu menjadi barang lamarannya. Senang sekali Raja Palembang mendapatkan lamaran intan berlian yang banyak sekali. Pendek kata, dalam cerita ini, anak-anak, setelah Raja merayakan selama 7 hari 7 malam pernikahan Dewi Suminten , saudagar itu mohon pamitan untuk pulang ke Makasar. Tapi raja Palembang itu berkata, “Nanti dulu. Saya ingin bertemu gurumu yang ada di Madura.” “O kalau begitu mertua, sebelum saya menuju Makasar paduka ikut ke Madura dulu.” Mendengar bahwa besannya yang ada di Palembang, Raja ini mau bertemu, Ke Moko bingung. “Lho, nanti disaji apa? Ya namanya Raja, pasti kaya. Di saji apa ya, padahal sekarang musim kering?” Tahu musim kering, anak-anak? Musim kering lama sekali. Panas sekali sampai tanam-tanaman mati. Tidak ada hasilnya. Sawah-sawah tidak keluar hasilnya. Buahbuahan tidak berbuah. Akhirnya Ke Moko ini memanggil para santrinya. “Ayo, anakanak, berkumpul di sini semua. Ayo, memohon kepada Yang Maha kuasa, semoga mendatangkan rizki kepada saya dan kamu semua.” Ke Moko kenmudian mengambil batang pancing yang dulu digunakan memancing di pinggir pantai dulu. “Ayo ke tengah, berdoa, angkat tanganmu, sama-sama berdoa untuk memancing. Kemudian ditancapkan ke tanah jebb beblas bnersamaan adanya petir, dar jendar! Jendar! Kemudian, hujan lebat, angina, dari batang pancing tadi yang ditancapkan ke tanah. Ketika batang pancing dicabut, keluarlah air ,menyembur, dan keluar juga api. Jadi keluar air dan api. Asalnya di kampung Jangkah dengan sekelilingnya diguyur hujan. Akhirnya sawah-sawah menjadi bernas lagi, tanam-tanaman sama-sama berbuah lagi, dan seterusnya. Ketika panen, panen buah, air sudah banyak, api yang di sini kebetulan sudah ada sebagai kekuasan Tuhan yang Maha kuasa. Raja dari palembang dan saudagar Makasar dating, dijemput oleh Ke Moko dan para santrinya. “Dipersilahkan duduk.” Mereka masak menggunakan air yang menyembur tadi. Memasak dengan menggunakan api yang tadi. Sampai sekarang, anak-anak, di desa Jangkah, ada api yang ke luar dari dalam tanah. Tetap ada, tetap ada sampai sekarang. Malah banyak orang dari manca Negara, dari luar desa yang datang melihat api yang tidak kunjung padam. Sampai sekarang masih tetap ada yaitu di desa Jangkah, Pamekasan. Beginilah ceritanya salah satu Kyai yang banyak santrinya, hidupnya…ini seadanya, tidak angkara murka. Sehari-harinya sampai sekarang yang ada di Madura yaitu api nan tak kunjung padam di desa Jangkah . Begini, anak-anak, cerita nya Ke Moko. 5