KATAPENGANTAR Assalamu'alaikum Wr. Wb. Dengan mengucap "Alhamdulillahi Rabbi! 'Aalamiin" segal a puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, buku yang berjudul Petunjuk Pelaksanaan Kemitraan Dalam Pengelolaan Zakat telah selesai disusun dan diterbitkan oleh Direktorat Pemberdayaan Zakat tahun anggaran 2011 . Penerbitan buku ini bertujuan sebagai petunjuk dan bahan rujukan dalam melaksanakan kemitraan pengelolaan zakat yang dilaksanakan oleh lembaga pengeloJaan zakat, dan juga sebagai bentuk perlindungan dan pembinaan kepada pihak-pihak yang terkait dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat dalam upaya peningkatan hasil pengumpulan zakat dan pemberdayaan mustahik melalui dana zakat. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan pengelolaan zakat sesuai yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dipandang perlu menyusun dan menerbitkan buku petunjuk tersebut. Walaupun masih sederhana, kami berharap buku ini menjadi panduan dan petunjuk praktis dalam melaksanakan kemitraan dalam pengumpulan, pendistribusian dan pemberdayaan mustahiq. Dengan senang hati kami terima kritik dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan ini. Akhirnya, kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak khusus tim penyusun buku III
Pet.unjuk Pel",kran"an Kemit.,."",n Dalam Pengelol"",n Z"k"t.
yang telah ikut memberikan kontribusi pernikiran dalam penyusunan buku ini. Semoga menjadi amal baik. Amin. Wassalam.
IV
DAFTARISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Dasar Hukum C. Tujuan D. Sistimatika
iii v 1 1 3 4 5
BAB II PENGELOLAAN ZAKAT A. Lembaga Pengelola Zakat B. Penggunaan Dana Zakat C. Zakat di Masa Rasulullah SAW dan Shahabat
7 7 10 13
BAB TIl KEMITRAAN PENGELOLAAN ZAKAT A. Pengertian Kemitraan B. Tujuan Kemitraan C. Menggagas Kemitraan D. Reinterpretasi Pendayagunaan Zakat
25 25 28 29 33
BAB IV MODEL KEMITRAAN A. Prinsip Kemitraan B. Pembiayaan Kemitraan C. Pembagian Peran D. Pertanggungjawaban
.43 .43 .46 49 52
BAB V PENUTUP GLOSARIUM LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA
55 57 59 83 v
BABI PENDAHULUAN A. Latar
Belakang
Pembangunan nasional yang dilaksanakan secara terencana, terarah dan berkesinambungan bertujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Tujuan ini rnerupakan tujuan negara dan tujuan Islam, negara menghendaki masyarakat adil dan makrnur, sementara Islam secara prinsipil rnenghendaki bergulirnya danadana masyarakat, "supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara mereka" (QS. 59: 7) dan tidakmenghendaki terkonsentrasinya kekayaan pad a segelintir orang, "Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pence la, yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung" (QS. 104: 1-2). Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2011 2014 akan mendorong dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam menunjang dan melaksanakan Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang merupakan sumber paling utama dalam rangka memperlancar laju pembangunan. Dalam sejarah perkembangan Islam, zakat menjadi sumber penerirnaan negara dan berperan sangat penting sebagai sarana penanggulangan kemiskinan kemudian syiar agama Islam, pengembangan dunia pendidikan dan kebudayaan, pengembangan ilmu pengetahuan, pernbangunan infrastruktur, pembiayaan dan pembangunan angkatan perang serta keamanan dan 1
penyediaan layanan kesejahteraan sosial lainnya. Filosofi zakat dalam agama Islam adalah salah satu alternatif pendanaan bagi kemaslahatan umat yang perlu diberdayakan secara optimal untuk memperbaiki kesejahteraan dan perbaikan ekonomi umat. Oleh karena itu setiap muslim yang rnemiliki harta dan telah memenuhi syarat-syarat tertentu dan ketentuan ajaran agama Islam diwajibkan mengeluarkan zakat yang diberikan kepada mereka yang berhak khususnya fakir miskin. Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, adalah negara yang merniliki potensi zakat sangat besar jumlahnya. Potensi ini adalah merupakan sumber pendanaan yang sangat potensial dan akan menjadi sebuah kekuatan pemberdayaan ekonomi, pemerataan pendapatan dan bahkan lebih jauh lagi dapat meningkatkan perekonornian bangsa. Potensi ini sebelumnya hanya dikelola oleh individu-individu, secara tradisional dan bersifatkonsumtif, sehingga pemanfaatannya belum optimal. Kurangnya perhatian dalam pelaksanaan zakat sebagai suatu upaya penanggulangan kemiskinan dan pemerataan pendapatan dikalangan umat Islam, adalah karena : Pertama; kurangnya pengertian umat tentang hikmah kewajiban zakat sebagai rukun Islam yang disenafaskan dengan shalat. Kedua; kurangnya pengertian umat tentang tata cara pelaksanaannya sebagai usaha pemerataan kemakrnuran
2
---
seperti yang telah dicontohkan melalui lembaga amilin yang telah digariskan Allah SWT dalam al Qur'an. Mengingat fungsinya yang sangat strategis untuk menunjang kehidupan masyarakat, maka zakat perIu didayagunakan dalam rangka pemberdayaan ekonomi umat yang melibatkan berbagai elemen masyarakat/lembaga yang peduli terhadap pengelolaan zakat. Untuk mencapai kesamaan persepsi dan langkah para pengelola zakat, perlu disusun buku Petunjuk Pelaksanaan Kemitraan Dalam Pengelolaan Zakat yang akan dijadikan referensi dalam pelaksanaan kemitraan yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ). Diharapkan buku ini menjadibahan rujukanpara pengelola
zakat dalam pelaksanaan kemitraan pengelolaan zakat dengan para mitra dapat terlaksana sesuai dengan tujuan dan filosofi zakat yang berdampak peningkatan kualitas kehidupan fakir miskin dan peningkatan kesejahteraan umat. B. Dasar Hukum Penyusunan buku ini didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain : 1. Undang-undang Dasar 1945. 2. Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. 3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005. 3
4. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 - 2014. 5. Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2005 ten tang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2005. 6. Peraturan Menteri Agama Nomor 32 Tahun 2005 tentang Rencana Strategis Departemen Agama 2005 - 2009. 7. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Visi dan Misi Departemen Agama. 8. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 10 Tahun 2010 tentang Organisasi dan TataKerjaKementerianAgama. C. Tujuan
Tujuan penyusunan buku ini adalah: 1. Memenuhi saran dan usul pengurus lembaga pengelolaan zakat (BAZ) dari berbagai daerah yang sampai buku ini disusun belum ada petunjuk pelaksanaan kemitraan pengelolaaan zakat yang diterbitkan oleh Direktorat Pemberdayaan Zakat Kementerian Agama. 2. Pedoman bagi pengurus lembaga pengelolaan zakat (BAZ)Iagar dalam pelaksanaan kemitraan pengeloaan pengelolaan zakat sesuai dengan harapan dan tujuan filosofi zakat yang telah diajarkan dalam ajaran Islam. 3. Panduan Aparat Kementerian Agama baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dalam memberikan 4
bimbingan dan layanan sebagai regulator kepada para pengelola zakat dalam menjalankan kemitraan dengan pihak-pihak lain.
D. Sistimatika Sistimatika penyusunan buku Petunjuk Pelaksanaan Kemitraan Dalam Pengelolaan Zakat terdiri dari lima bab dan masing-masing bab terdiri dari beberapa subbab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi uraian tentang latar belakang, dasar hukum, tujuan, dan sistematika penyusunan. Bab kedua Pengelolaan Zakat berisi uraian tentang lembaga Pengelola zakat, penggunaan dana zakat dan zakat di mas a Rasulullah saw dan shahabat. Bab ketiga Kemitraan Pengelolaan Zakat berisi pengertian kemitraan, tujuan kemitraan , menggagas kemitraan dan reinterpretasi pendayagunaan zakat. Bab keempat model kemitraan yang berisi prinsip kemitraan pembiayaan kemitraan, pembagian peran pertanggungjawaban pihak yang bermitra, bab kelima adalah penutup.
5
6
BABll PENGELOLAAN ZAKAT A. LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT Sesuai Undang-undang RI Nomor 38 tahun 1999 tentang PengeJolaan Zakat bab III pasal 6 dan pasaJ 7 menyatakanbahwa lembagapengelola zakat di Indonesia terdiri dari dua macam yaitu, Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Badan Amil Zakat dibentuk oleh pemerintah, sedangkan Lembaga Amil Zakat didirikan oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh Pemerintah. 1. Susunan Organisasi Badan Ami! Zakat a. Badan Amil Zakat terdiri atas Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan Pelaksana. b. Dewan Pertimbangansebagaimanadimaksudpada ayat (1) meliputi unsur ketua, sekretaris dan anggota. c. Komisi Pengawas sebagaimanadimaksud ayat (1) meliputi unsur ketua, sekretaris dan anggota. d. Ketua, sekretaris, bagian keuangan, bagian pengumpulan, bagian pendistribusian dan pendayagunaan. e. Anggota pengurus Badan Amii Zakat terdiri atas unsur masyarakat dan unsur pemerintah. Unsur masyarakatterdiriatas unsuruiama,kaum cendikia, tokohmasyarakat,tenagaprofessionaldanlembaga
pendidikan yang terkait. 7
2. Fungsi dan Tugas Pokok Pengurus Badan Amil Zakat (BAZ) a. Dewan Pertimbangan I) Fungsi Memberikan pertimbangan, fatwa, saran, dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas dalam pengelolaan Badan Amil Zakat, meliputi aspek syari'ah dan aspek manajerial, 2) Tugas Pokok a) Memberikan garis-garis kebijakan umum Badan Amil Zakat b) Mengesahkan rencana kerja dari Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas. c) Mengeluarkan fatwa syari'ah baik diminta maupun tidak berkaitan dengan hukum zakat yang wajib diikuti oleh pengurus Badan Amil Zakat. d) Memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas baik dirninta maupun tidak. e) Memberikan persetujuan atas laporan tahunan hasil kerja Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas.
f) Dalam pemeriksaan keuangan unsur pengawas dapat meminta bantuan akuntan publik. b. Komisi Pengawas 1) Fungsi 8
2)
Sebagai pengawas internal lembaga atas operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana. Tugas Pokok a) Mengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan. b) Mengawasi pelaksanaan kebijakankebijakan yang telah ditetapkan Dewan Pertimbangan c) Mengawasi operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana, yang mencakup pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan. d) Melakukan pemeriksaan operasional dan pemeriksaan syari'ah,
c. Badan Pelaksana 1) Fungsi Sebagai pelaksana pengelolaan. 2) Tugas Pokok a) Membuat rencana kerja b) Melaksanakanoperasionalpengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengankebijakan yang telah ditetapkan. c) Menyusun laporan tahunan. d) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah e) Bertindakdan bertanggungjawabuntuk dan atas nama Badan Amil Zakat ke dalam maupun Iuar, 9
Salah satu tugas dari implementasi kemitraan yang penting adalah adalah melakukan sosialisasi tentang zakat kepada masyarakat secara terus menerus dan berkesinambungan, melalui berbagai forum dan media seperti khutbah jum'at, majelis ta'lim, surat kabar, radio, internet maupun televisi. Dengan sosialisasi yang baik dan optimal, diharapkan masyarakat muzakki akan semakin sadar untuk membayar zakat melalui lembaga zakat yang kuat, amanah dan terpercaya. Materi sosialisasi antara lain berkaitan dengan kewajiban zakat, hikmab dan fungsinya, harta benda yang wajib dikeluarkan zakatnya, cara menghitung yang mudah, serta cara menyalurkannya. Dan sejalan dengan UU No. 3912008 ten tang perubahan keempat UU No.7 11983 tentang Pajak Penghasilan, maka kaitan antara zakat dengan pajak ini perlu juga disosialisasikan kepada masyarakat melalui kemitraan. Bermitra pengelolaan zakat hanya dapat dilakukan dengan lembaga zakat bentukan pemerintah (Baznas, Bazda Provinsi, Bazda KabupateniKota dan Bazda Kecamatan serta Lembaga Amil Zakat yang sudab dikukuhkan oleb Pemerintah.
B. Penggunaan Dana Zakat Dari sisi pemanfaatan maka pola penggunaan dana ZIS di Indonesia terkonsentrasi pada 4 sektor, yaitu: 1.Bantuan Melalui Kelompok Binaan Yang dimaksud dengan bantuan Kelompok Binaan adalah memberikan bantuan modal usaha bagi kelompok yang mempunyai kemampuan untuk berusaba sebagai upaya untuk mernpertahankan kehidupan baik bagi diri sendiri - keluarga dan kelompok itu sendiri 10
agar pengembangan ekonomi mustahiq lebih meningkat.
dapat dikalangan
2. Pemberdayaan ekonomi Dalam melakukan pengembangan ekonomi, ada beberapa kegiatan yang dapat dijalankan oleh lembaga zakat. Kegiatan ini bisa terbagi kedalarn berbagai bentuk, misalnya: a. Pemberian bantuan uang sebagai modal kerja ataupun untuk membantu pengusaha meningkatkan kapasitas dan mutu produksi. b. Bantuan pendirian gerai-gerai untuk memamerkan dan memasarkan hasil-hasil industri kecil, seperti kerajinan tangan, makanan olahan, dan lain-lain. c. Dukungan kepada mitra binaan untuk berperan serta dalarn berbagai parneran. d. Penyediaan fasilator dan konsultan untuk menjarnin keberlanjutan usaha, misalnya Klinik Konsultasi Bisnis (KKB) yang rnengembangkan strategi pemberdayaan pengusaha kecil dan menengah dalam bentuk alih pengetahuan, keterampilan, dan informasi. e. Pembentukan lembaga keuangan Lembaga zakat dapat mengembangkan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) misalnya dengan pendirian BMT atau lembaga ekonomi bagi hasil (LEB) f. Pembangunan industri Modal dan investasi yang dapat disalurkan lembaga zakat melalui pembangunan industri 11
atas inisiasi lembaga zakat. Selain itu, lernbaga zakat pada tahap awal bertugas sebagai manajer, sedangkan para pekerjanya adalah para mustahik yang berada di lingkungan industri. 1) Program-program dalam pengembangan ekonomi dilakukan dengan tujuan, yakni: 2) Penciptaan lapangan kerja 3) Peningkatan usaha 4) Pelatihan 5) Pembentukan organisasi
3. Pendidikan a. Beasiswa Untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terdidik, diperlukan banyak beasiswa. lni berlaku untuk program beasiswa formal (sekolah dasar, lanjutan, dan perguruan tinggi), maupun pendidikan non formal (program-program pelatihan, keterampilan, atau keahlian tertentu). b. Orang Tua Asuh Salah satu upaya lembaga zakat dalam bidang pendidikan adalah dalam bentuk orang tua asuh, diberikan oleh perseorangan, dan juga sebagian lagi oleh lembaga termasuk perusahan. Akan tetapi, kegiatan orang tua asuh yang diberikan oleh individu anggota masyarakat umumnya lebih dominant. Pola bantuan yang umum diberikan adalah dengan memberikan bantuan pembayaran biaya pendidikan. c. Pendidikan melalui swadaya masyarakat Program pendidikan seperti ini umumnya didirikan 12
Petvnjvk Pelak~anaan Kemihaan Dalam Pengelolaan Zakat
atas inisiatif dan dikelola langsung oleh kelompok masyarakat atau lembaga dan adakalanya bukan sekolah formal. d. Pembangunan fisik sarana pendidikan. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada kondisi dan waktu yang memang dianggap diperlukan (bersifat tidak rutin). Misalnya memperbaiki sarana sekolah dan bangunan sekolah yang mengalami kerusakan, serta pembangunan fasilitas dan gedung sekolah pada lokasi yang memang belurn memiliki fasilitas tesebut. 4. Layanan Sosial Yang dimaksud layanan sosial adalah layanan yang diberikankepada kalangan mustahikdalam memenuhi kebutuhan mereka. Kebutuhan mustahik sangat beragam, tergantung kondisi yang tengah dihadapi. Dari kebutuhan yang paling mendasar, seperti kebutuhan makan hari ini, kebutuhan pengobatan, bayar SPP dan tunggakannya,biaya transportasipulang kampung. C. Zakat di Masa Rasulullah SAW.Dan Shahabat 1. Masa Rasulullah saw Agar dana zakat itu benar-benar sampai kepada yang berhak (mustahik),makaAI-Qur'andanAl-Hadist rnengaturnya demikian rupa melalui pembentukan para petugas khusus yang telah disebutkan dalam 13
Al-Qur'an surat At Taubah ayat 60:
<.....JlbT " ." ~ .s .r ~r-rJ""-
Q~~:Jilj
w~'iT- 1"·1:: : L .'::'i,- .. «. --fi- .1'; :il~~.;" ..J' ~I
J~~
.r-J"1::'"""~J~J_~
4;."",
,
~...
.M
,J
.""
."!J
J
J'.""
;»I-":::;~! cJ:;·;.Hiftj~I~J~.fllj
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orangorang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu 'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untukjalan Allah dan untuk merekayuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, danAllah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana". Petugas yang mengurus zakat dalam Al Qur'an disebut dengan istilah "al-laamiliina 'alayha" . Kata ini merupakan kata jamak (plural) dari kata 'amil yang secara harfiah berarti para pekerja. Maksudnya adalah orangorang yang secara spesifik, serius dan profesional terlibat dengan penanganan zakat apakah itu dalam hal penghimpunan dan pengelolaan, maupun dalam hal pendistribusian dan lain sebagainya. Berkenaan dengan sejarah keamilan di awal-awal Islam pada zaman nabi Muhammad saw dan khulafa ar-Rasyidin, terutama zaman Abu Bakar Shiddiq, dapat ditelusuri dari sejumlah hadist dan atsar berikut ini : Dari Ibnu Abbas, Ra, dia berkata : "Ketika Nabi saw,
hendak mengutus Mu'adz ke Yaman beliau bersabda : "sesungguhnya engkau (Mu'adz), akan mengunjungi suatu kaum dari Ahli Kitab (di Yaman). Bagitu kamu tiba menjumpai mereka, hendaklab kamu seru mereka 14
Pet.vnjuk Pel"kmn""n Kemit".""n D"I"m Pengelol""n Z"k"t
untuk bersyahadat (bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan (yang wajib disembah) selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Kemudianjika mereka semuamentaatiseruanmu itu, informasikankepadamereka bahwa Allah mewajibkan kamu supaya melakukan sholat lima kali dalam sehari semalam, katanya. Jika mereka mentaati seruanmu itu, maka hendaklah kamu kabari kepada mereka bahwa Allah SWTjuga mewajibkan zakat kepada mereka untuk kemudian diserahkan (dibagikan) kepada orang-orang fakir yang ada di tengah-tengah mereka ... " (HR. al-Bukhori, Muslim dan al-Nasa'i). Dart Mu'adz bin Jabal, ra, bahwasannya ketika nabi Muhammad mengutusnya SAW ke Yaman, nabi memerintahkannya supaya mengambil (zakat) dari tiaptiap tiga puluh ekor sapi, satu tabi' atau tabi'ah (sapi yang berumur satu tahun,jan tan atau betina); dari tiaptiap empatpuluh ekor; satu musinnah (sapiyang berumur dua tahun yang berjenis kelamin betina); dan tiap-tiap orang yang baligb (hendaklah ditarik) satu dinar atau sebanding dengan itu (dart) kaum ma'afiri (nama salah satu kabilah di Yaman). ( HR. al-Khamsah). Dari Abdullah bin Awfa, dia berkata : "adalah Rasulullah SAW itu manakala beliau didatangi suatu kaum untuk meyerahkansedekah (zakatnya),nabi berdo'a : 'Ya Allah, berikanlah rahmat atas mereka'. (HR. Muttafaq 'alaih) Dari Anas fa, bahwasannya Abu Bakar al.Shiddiq fa, pernah menulis (surat) kepadanya (sewaktu Anas diutus 15
ke Bahrain). Isinya: "tnt adalah kewajiban zakat yang difardhukan oleh Rasulullah saw alas kaum muslim in, dan yang telah diperintahkan A Uah kepada Rasul-Nya (yaitu) pada tiap-tiap 24 ekor unta dan yang kurang daripadanya ada zakat seekor kambing; pada setiap lima ekor unta-zakatnya- seekor kambing. Kemudian jika untanya meneapai 25-35 ekor zakatnya satu ekor unta bintu makhadh (anak sapi betina yang usianya memasuki tahun kedua); jika tidak ada, boleh diganti dengan ibnu labun (anak unta jantan yang umurnya memasuki tahun ketiga). Apabi/a telah meneapai 36-40 ekor sapi, maka zakatnya adalah adalah satu hiqqah (unta betina yang umurnya memasuki tahun keempat), yang bisa di naiki (di setubuhi) oieh untajantan. Apabila unta telah 61-75, maka zakatnya adalah satu jadz 'an (onta betina yang umurnya memasuki tahun kelima), dan apabila mencapai 76-90 ekor unta, maka zakatnya dua bintu labun. Apabila telah meneapai 91-120 ekor, maka zakatnya dua hiqqab yang bisa dinaiki (dikawini) oleh onta jantan. Manakala lebi dari 120, maka zakanya pada setiap 40 ekor, satu bintu labun dan pada setiap 50 ekor satu hiqqah. Dan bagi siapa saja yang tidak memiliki onta sebanyak itu, melainkan hanya empat ekor unta, maka bagiannya tidak ada kewajiban zakat keeuali ia berkemauan untuk itu dan padanya (dikenai zakat) seekor kambing yaitu yang sudah bisa meneari makan sendiri. Bila seseorang memiliki 40120 kambing, zakatnya seekor kambing, jika lebi dari 120 hingga 200 ekor kambing, maka zakatnya dua ekor kambing, jika lebih dari 300 ekor, maka zakatnya tiaptiap 100 ekor satu ekor kambing. 16
Apabila kambing mencari makan sendiri milik seorang itu kurang dari 40 ekor, maka tidak ada kewajiban zakat baginya kecuali yang memiliki kemauan (untuk itu). Tidak boleh dikumpulkan [kambing-kambing) yang terpisah (milik beberapa orang); dan tidak boleh dipisahkan ( kambing-kambing) yang terkumpul (milik satu orang) karena takut membayar zakat. Dan apa-apa yang menjadi kepunyaan dua orang yang bersekutu maka antara mereka berhitung dengan cara yang adil (masingmasing memikul beban zakat menurut besar kecilnya modal dalam persekutuan itu). Tidak boleh dikeluarkan untuk zakat, binatang tua dan atau binatang buta, serta tidak boleh diambil yang jantan (untuk zakat) kecuali kalau muzakki mau memberi (sedekah biasa). Pada perak, yang telah mencapai 200 dirham, zakatnya ~ dari 1/10. jika belum mencapai sebesar itu, kecuali hanya J 20 dirham, maka tidak ada (kewajiban) zakat padanya, kecuali itu berkehendak untuk memberi. Dan siapa yang memiliki onta sampai (batas) zakatjadza'ah padahal dia tidak memiliki jadza 'ah kecuali hiqqah yang ada padanya, maka boleh diterima zakatnya dalam bentuk jadza 'ah, hanya saja dia berkewajiban menambah dengan dua ekor kambing jika itu tidak menyulitkan muzakki, atau digantikan dengan 20 dirham perak. Dan siapa yang memilih sejumlah onta dengan zakat hiqqah, padahal dia tidak memiliki hiqqah yang dimaksud, dan hanya ada jadza 'ah, maka sesungguhnya dia (muzakki) dibolehkan berzakat dengan jadza'ah, dengan catatan penerima zakat (amilin) wajib mengembalikan 20 dirham perak atau dua ekor kambing kepada muzakki ( HR. al-Bukhari ). 17
Dari sejumlah ayat, hadits dan atsar sahabat diatas, dapat diambil beberapa pemaharnan berharga tentang berbagai persoalan yang berkenaan dengan pengelolaan zakat. Beberapa pemaharnan yang dimaksud adalah :
Pertama, bahwa untuk menangani persoalan zakat, disamping nabi sendiri menempatkan dirinya sebagai amil. Diantara orang yang pernah diangkat oleh nabi Muhammad saw menjadi amil ialah Mu'adz bin Jabal. Demikianjuga dengan pengangkatanAnas bin Malik Ra, sebagai amil di Bahrain oleh khalifah Abu Bakar alShiddiq Ra. Kedua, pengangkatan arnilin tidak hanya dilakukan untuk kepentingan pemerintah pusat akan tetapi juga diangkatamilin untuk tingkat daerah.Hadits dari Abdullah bin Awfa menggambarkan keberadaan nabi Muhammad SAW.sebagai amilin pusat yang berdiam di Madinah (ibu kota Negara Islam kala itu); sementara Mu'adz bin Jabal diangkat sebagai amilin zakat di daerahYarnan.Demikian pula dengankhlaifah Abu Bakar sebagaiamilindi Madinah (meskipun demikian akhimya pemah juga menyerahkan urusan zakat ini kepada Umar bin Khattab Ra), dan pengangkatan Anas bin Malik sebagai amil di Bahrain. Ketiga, dalam hal pengangkatan amilin, tampak nabi Muahmmad SAW. dan Abu Bakar rnemilih orang-orang yang bukan saja rnemiliki sifat kejujuran dan keadilan, rnelainkanjuga rnemperhatikanpejabat amilin yangbenarbenar faham tentang persoalan zakat pada khususnya, dan perkara-perkara hukurn Islam pada umurnnya. Pengangkatan Mu'adz bin Jabal sebagai arnil 18
mengisyaratkan hal itu, Demikian pula dengan pelantikan Anas bin Malik sebagai amil pada masa khalifah Abu Bakar Ra. Baik Mu'adz bin Jabal maupun Anas bin Malik keduanya adalah sahabat handal yang memiliki kecerdasan secara akademik dan mengedepankan nilai kejujuran dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Keempat, penghimpunan zakat pad a dasarnya harus bersifat proaktif. Perintah penghimpunan zakat pada surat At-Taubah ayat 103 dan instruksi nabi kepada Mu'adz supaya menghimpun zakat penduduk Yaman menunjukkan asas proaktif tersebut. Demikian pula dengan hadits lain semisal had its yang diriwayatkan dari Amr bin syu'aib yang menyatakan bahwa suatu ketika nabi Muhammad SAW. rnernerintahkan penghimpunan zakat umat Islam di ternpat tidak ternpat mereka mernberi minum binatang temaknya. Asas proaktif ini tidak berarti menghalangi partisipasi aktif para muzakki yang berkemauan untuk mengantarkan atau menyerahkan zakatnya kepada amilin.
Kelima, alokasi pernbagian hasil dana zakat tampak lebih rnengutamakan pula mustahik yang berada di daerah para muzakki itu sendiri. Perintah Nabi Muhammad saw kepada Muadz bin Jabal dan membagikannya kepada para fuqara yang ada di Yaman mengisyaratkan upaya kesejahteraan sosial berdasarkan sumber asal ekonomi dalam kaitan ini zakat itu sendiri. Maksudnya Nabi memerintahkan Muadz supaya menggali potensi dan zakat yang ada di daerah Yarnan untuk kesejahteraan sosia1 ekonorni Yarnan itu sendiri. Tidak ada perintah Nabi kepada Muadz untuk rnengirimkan dana zakat penduduk Yaman (sebagian atau seluruhnya) ke pemerintah pusat 19
yang berada di kota Madinah. Namun demikian, tidak berarti tidak boleh mengalirkan sebagian atau seluruh dana zakat daerah tetentu untuk para mustahiq zakat yang ada di daerah-daerah lain terutama yang benar-benar membutuhkan dana zakat. Apalagi dalam satu Negara semi sal Indonesia. Keen am, Baik Nabi Muhammad SAW. maupun Abu Bakar Ra, keduanya memberikan informasi yang sangat jelas dan lugas tentang hukum, objek, besar penghimpunan zakat, dan hal-hal lain yang bertalian dengan seluk-beluk zakat. Kejelasan dan detail informasi zakat seperti mutlak dipandang perlu untuk membantu mempermudah para muzakki dalam hal penghitungan dan teknik pembayaran zakat. Surat Abu Bakar yang ditunjukkan pada Anas, benarbenar meneerminkan rangkaian informasi zakat hewan (binatang) ternak yang demikian konkrit. Begitu pula menyangkut penambahan kekurangan atau pengambilan kelebihan zakat onta dengan kambing dan atau mata uang dalam upaya mengantisipasi kemungkinan pembayaran zakat yang benar-benar pas dengan jenis-jenis onta yang ditentukan.
Ketujuh, Baik Nabi Muhammad SAW. maupun Abu Bakar, keduanya berupaya sekuat tenaga untuk mendorong amilin bekerja keras agar setiap muzakki mau mengeluarkan zakatnya. Bahkan jika seseorang belum bisa meneapai derajat muzakki, baik Nabi Muhammad maupun Abu Bakar tidak berkeberatan untuk menarik sebagian keeil dari harta yang dimiliki muslim yang belum meneapai nishab (kadar minimal tertentu untuk mengelurkan z akat). 20
Anjuran Abu Bakar untuk tetap meerima peternak yang bersedia memberikan sedikit harta atau hewan temaknya, meski belum mencapai 40 ekor kambing atau 5 ekor onta, mengisyaratkan hal itu. Demikian pula dengan anjuran Nabi kepada Muadz bin Jabal di Yaman untuk memungut beberapa dirham dari mereka yang belum menjadi muzakki. Pendeknya, Islam mendidik semua umatnya untuk terlibat dengan usaha mewujudkan kesejahteraan sosial dalam berbagai bidang tidak terkecuali dalam bidang kesejahteraan ekonomi. Dari berbagai penjelasan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa amil menjadi satu kesatuan mulai dari pusat sampai daerah dan gunanya untuk memudahkan pengelolaan ZIS dan haknya sama.
2.
Masa Shahabat. Kebijakan Nabi Muhammad saw dan Khalifah Abu Bakar ra. tentang pengelolaan dana zakat kemudian dikembangkan oleh para khalifah yang menggantikannya yakni Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Bahkan di zaman Umar bin Khattab dan khususnya Utsman bin Affan, administrasi pengelolaan zakat mencapai puncak kemajuan dan kejayaannya seiring dengan kemajuan tata administrasi Islam di berbagai bidang. Seperti diketahui Umar bin Khattab-lah khalifah yangpertamadalamsejarahIslamyangmelakukanberbagai terobosan untuk menata administrasi negara secara lebih sistematis, transparan, dan profesional. Keadaan demikian terus berlanjut seiring dengan kemajuannegaraIslam waktu itu, denganmencapaipuncak 21
kejayaannya pada masa-masa dinasti Bani Abbasyiah dan dinasti Bani Umayyah. Hanya saja kejayaan islam dan umatnya kemudian mengalami perkembangan pasang surut sesuai dengan jatuh bangun kekuasaan islam itu sendiri. Ketika negara Nasional tumbuh laksana jamur dimana kaum muslimin berlomba-lomba mendirikan negara-negara "kecil" berdasarkan asas nasionalisme, maka kini peduduk muslim di kolong langit ini tidak lagi hidup didalam satu sarna lain berbeda-beda. Tetapi semangat untuk mngeluarkan zakat terus berlanjut disetiap negara yang didalamnya terdapat penghuni (warga negara) yang mengaku diri muslimin (orang islam). Banyak negara Islam atau negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim yang telah mengalami kemajuan dalam hal pengelolaan zakat. Sebutlah diantaranya Kuwait, Mesir, Saudi Arabia, Sudan, Libia, dll. Tennasuk di kawasan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) terutama Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura yang lebih dulu melakukan penanganan zakat secara Iebih serius dan profesional. Khusus di Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam juga tengah berusaha untuk mengatur pengelolaan zakat seperti yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. dan khulafa Ar-Rasyidin. Keberadaan UUNo. 38 Tahun 1999 ten tang Pengelolaan Zakat merupakan salah satu indikatornya meskipun disana-sini diakui masih menimbulkan beberapa persoalan baru yang perlu segera diselesaikan. Lepas dari segalakelernahan yang ada pada UU tersebut dan peraturan lain yang menyertainya, yang pasti kehadiran UU semacam ini seyogyanya marnpu menghantarkan kondisi 22
perzakatan di Indonesia ke arah yang lebih baik dan lebih maju. Tentu dengan sistem pengelolaan yang lebih sistematis transparan, profesional akan dapat mengcover
semua kegiatan pemberdayaan zakat walau sebesar apapun, dengan demikian amanah dan di banggakan.
23
Petunjuk Pel"k,s."n"an Kemitr-aan Dalam Pengelolaan Zakat
24
BABIII KEMITRAAN A. Pengertian
PENGELOLAAN
ZAKAT
Kemitraan
Kemitraan berasal dari kata jamak "mitra", yaitu penggabungan dari berbagai kelornpokm kegiatan yang dijadikan menjadi satu kegiatan. Penyatuan atas kesepakatan kerja sarna atau penggabungan disebut satuan organisasi, sedangkan hubungan antara kegiatan mitra dapat dikategorikan hubungan kemitraan yang menjadi satu kegiatan kelompok. Untuk memperjelaspengertian kemitraan dalam buku ini, maka akan dikemukakan beberapa pengertian dari berbagai sumber, antara lain: 1. Kemitraan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didefrnisikan sebagai "perihal hubungan (jalinan kerja sarna dsb) sebagai mitra". Sedangkan mitra diartikan sebagai "lawan kerja, pasangan kerja". secara umum dapat dikatakanbahwa kemitraanmeneakuppengertian "jalinan kerja sarna antara pihak-pihak yang terkait sebuah kepentingan dan tujuan tertentu. 2. Dalam KetentuanUmum PeraturanPemerintahNomor. 44 Tahun 1997 terutama da1amPasal 1 menyatakan bahwa : "Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Keeil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan". 25
3. Kemitraan dalam konteks kelembagaan (institutional partnership) dimaknai sebagai "the mode of interaction among various sectors, agencies, or groups to achieve a particular task, objective, goal, or vision while maintaining their own institutional autonomy" (LOKNITI, The journal of the NGO coalition, June 1991, Vo1.7,Number2). 4. Kemitraan secara umum adalah suatu pola kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak antara mitra (suatu kegiatan) dan intinya berdasar ikatan kerjasama. 5. Kemitraan
(Kolaborasi)
adalah gaya manajemen
kolaborasi atau bekerja sama. dengan tujuan mengatasi
konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak. 6. Kemitraan Distribusi adalah pemberian nilai yang bisa membantu masyarakat dalam menelaah kepentingan sumberdaya atau area dalam bentuk angka perbandingan sumberdaya yang penting menurut masyarakat. 7. Kemitraan Pengelolaan Zakat adalab suatu kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan suatu kegiatan agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan sebagian dana zakat berupa zakat produktif yang diberikan dalam bentuk pemberian modal modal usaha. Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kernitraan adalah 26
jalinan hubungan kerjasama usaha yang merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling membutuhkan, saling memperbesar dan saling menguntungkan. Maka kemitraan dalam pengelolaan zakat adalah kerja sama antara lembaga pengelola zakat dengan lembaga lain yang merniliki kesamaan visi dalam pengumpulan pendistribusian dan pendayagunaan zakat sesuai dengan ketentuan syari'ah. Berdasarkan pengertian kemitraan secara kelembagaan tersebut diatas terdapat tiga komponen penting yang menjadi penyusun dari bangunan kemitraan, yaitu pelaku, interaksi dan tujuan. 1. Pelaku adalah pihak-pihak dalam pengertian ini sebagai lembaga (institution), karena berbagai sebab/alasan berkepentingan untuk menjalin hubungan kerja sarna satu dengan yang lain. 2. lnteraksi yang menghubungkan kedua belah pihak, berupa kegiatan kemitraan, sistem pendukung, sistern peningkatan kapasitas dan pendampingan dalam pengelolaan zakat. 3. Tujuan/sasaran kelompok dari interaksi merupakan titik tolak yang menjadi motifkedua belah pihak dalam menjalin kemitraan. Secara umum tujuan interaksi ini adalah kondisi ideal yang dicita-citakan tantang sebuah masyarakat (imagined society) yaitu masyarakat yang berkemakmuran dan berkeadi Ian dalam pengertian
luas. 27
Memperhatikan pengertian-pengertian terse but di atas, maka yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu kemitraan dalam pengelolaan zakat adalah kerjasama antara lembaga pengelola zakat dengan lembaga mitra pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
B. Thjuan Kemitraan Tujuan kemitraan pengelolaan zakat adalah : 1. Meningkatkan pendapataan usaha kecil dan mustahik melalui pendayagunaan dana ZIS yang terkumpul. 2. Penumbuhan iklim usaha mustahik yang mendukung bagi pengembangan usaha kecil yang telah menjadi mitra dalam pengelolaan zakat. 3. Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan. 4. Meningkatkanpemerataandan pemberdayaanmustahik dan pelaku usaha kecil dalam wilayah binaan mitra. 5. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional; 6. Adalah "win-win solution partnership" kesadaran dan salingmenguntungkan.Pada kemitraan ini tidak berarti para partisipan harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sarna, tetapi yang essensi dan lebih utama adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. 7. Untuk mendorong kegiatan usaha dan pertumbuhan ekonomi kerakyatan serta terciptanya pemerataan 8. Meningkatkan hasil pengumpulan zakat, infaq, dan shadakah baik skala lokal maupun nasional. 28
pendapatan hasil pembangunan melalui perluasan lapangan kerja, kesempatan berusaha, dan pemberdayaan masyarakat (mustahik). C. Menggagas Kemitraan.
Semangat sinergi ini pulalah yang menjadi salah satu kata kunci dan rahasia keberhasilanpengelolaannyadalam arti memberikan dampak yang besar kepada kaum fakir miskin, tanpa ruh sinergi ini secara ekstrim kita bisa mengatakan bahwa mustahil zakat, infaq dan sadaqah akan memberikan dampak yang signifikan kapada umat. Dan kemutlakanperlunyapersinergidalampengelolaan ZIS khususnya di Indonesia dikuatkan dengan kondisi Indonesia yang permasalaban kemiskinannya sangat komplek,cakupanwilayanyang sangatluas dengan budaya yang berbeda-beda. Gagasan sinergi dan koordinasi lembaga zakat dalam rangka optimalisasi potensi kedermawanan menuju keadilan sosial ternyata tidak saja merupakan cita-cita masa depan namun telah menampakkan wujudnya pada beberapa bentuk inisiatif terhadap pendayagunaan dana zakat yang dikelolanya. Seiring dengan meningkatnya kepercayaan terhadap eksistensidan kiprah LAZ sebagai lembagasosiaJ,terdapat tuntutan dari masyarakat terhadap peningkatan peran dan fungsi LAZ dalam memecahkan persoalan sosial kesebarian. Hal tersebut wajar mengingat LAZ telah berhasil mendapat "mandat"pengelolaandana masyarakat yang jumlahnya terus meningkat dengan keberhasilannya
sebagai "local fundraiser". Namun demikian, sebagai genre baru kelembagaan sosial keagamaan, LAZ masih memi1iki keterbatasan organisasional dan menajerial dalam menangani persoalan sosial dalam pengertian yang lebih 1uas secara mandiri, bahkan terjadi tebang pilih merningat LAZ berdiri sendiri sehingga bisa terjadi double. Untuk merespon kondisi tersebut beberapa LAZ telah melakukan sejumlab inisiatif'sebagai pilihan strategi dalam optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan dana yang diperolehnya. Salah satu inisiatif yang dilakukan ada1ah strategi kemitraan. Inisiatif yang dilakukan LAZ ini lebih merupakan pili han dari strategi pelaksanaan program. Dalam konteks ini, LAZ masih sepenuhnya rnernposisikan dirinya sebagai lembaga dengan berfungsi ganda, yaitu sebagaifund-raiser danfund-delivera Strategi kemitraan melalui pelibatan lembaga sosial lain dalam pelaksanaan program lebih merupakan pilihan rasional atas keterbatasan lembaga, dengan masih menyimpan obsesi melaksanakannya sendiri di mas a depan jika telah memiliki kemampuan. Sinergi merupakan kebutuhan bagi semua lembaga amil zakat agar semua kornponen-komponen islam terbentuk dan saling membantu serta saling kokob mengkokobkan. Inisiatif ini juga rnenunjukkan bahwa kalangan LAZ secara sadar mulai menyadari peran kelembagaannya dalam semesta gerakan sosial di Indonesia dalam konteks perubahan social. Hal ini sejalan pula dengan firman Allah SWT dalam surah at- Taubah:71 30
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma 'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya ... "
Selanjutnya panutan kita, Baginda Muhammad SAW. selalu menganjurkan, bahkan memperaktekkan, kerja sarna dalam aktivitas-aktivitas beliau. Suatu ketika Nabi saw dengan para sahabatnya merasa lapar, dan mereka sepakat untuk makan bersama. Salah seorang di antara mereka berkata, "Saya mencari kambingnya". Yang lain berkata, "Saya yang akan menyembelihnya".Yang ketiga berkata, "Saya yang akan mengulitinya". Yang keempat berkata, "Saya yang akan memasaknya".SedangkanNabi SAW. Bersabda, "Saya yang mengumpulkan kayu bakamya".Demikianbudayakerja sarnayangdipraktekkan oleh Nabi SAW. dan sahabat-sahabat beliau. Idealnya kita saling menguatkan dengan saling mempercayai untuk kemudian saling menghadirkan faktor yang bisa membuat semuanya mejadi sinergi. Perjalanan kemitraan antar lembaga tentu tak akan Jepas dari tantangan. Keduanya hams mengatasi "jarak" kelembagaan. Perbedaan ideologi, sejarah kelembagaan, dan kultur organisasi yang relatif tajam akan menjadi tantangan yang sangat berat dalam membangun relasi antar lembagayang disebabkan"politikidentitas".Dengan politik identitas, sebuah entitas - tennasuk didalamnya lem baga/ organ i sasi -berd asarkan iden tifikasi 31
Petunjuk Pelakranaan i(emihaan
Dalam Pengelolaan Zakat.
atas "Siapa dirinya" menurut nilai-nilai normatif yang dianutnya menyatakan dan dilihat oleh entitas lainnya sebagai "identitas". Dengan atribut identitas tersebut secara sadar dan / atau tidak sadar setiap entitas akan melakukan posisioning dalam konstelasi entitas yang lebih luas. Dari kondisi inilah, potensi dan pilihan-pilihan relasi yang telah, sedang, dan akan dibangun sebuah entitas dengan entitas lainnya dapat dipahami. Rentangjarak dari kontinum relasi juga rnenjadi indikasi nyata kedekatan identitas. Namun demikian, dalam tataran realitas kondisinya tidaklah setegas dan sekaku diatas kertas. Sebagai bagian dari dinamika proses sosial, relasi kelembagaan pada dasamya sangat lentur dan tleksibel seiring dengan konteks yang melingkupinya. Adaptasi yang seringkali diperlukan dalam mempertahankan identitas ditengah perubahan konstelasi menjadi alasan dilakukannya negosiasi terhadap faktor-faktor perbedaan. "Wi/ayah negosiasi" secara kelembagaan merupakan wahana dan strategi untuk survive serta kepentingan ekstensial berkaitan dengan visi dan misi. Kemunculan wilayah negosiasi biasanya sangat dibantu oleh adanya titik persentuhan pada aspek kemiripan identitas dan / atau kepentingan. Harapan bagi terbangunnya relasi dan kernitraan antar lembaga paling tidak bertitik tolak dari adanya kesamaan kepentingan dan wilayah kerja dalam koridor perwujudan kebaikan (kemaslahatan) urnat dan bangsa. Dari posisi inilah, "negosiasi-negosiasi" atas sejumlah perbedaan ke arah penyempitan "jarak" dan terbangunnya sinergi demi
32
kepentingan bersama. Dan dari proses inilah, percepatan upaya pemulihan krisis yang melilit bangsa ini ditumpukan. Strategi kemitraan ini merupakan harapan besar yang harus terwujud di Indonesia.
D. Reinterpretasi Pendayagunaan Zakat. Sebagaimana telah di bahas sebelumnya bahwa dana zakat, infaq, shadaqoh, dan pranata keagamaan lainnya di Indonesia cukup besar dan berpotensi cukup besar dan berpotensi menjadi salah satu sumber pendananaan bagi lembaga dan program sosial keagamaan. Dalam rentang 10tahun terakhirpotensi danaumat tersebutsudahdikelola secara baik dan profesional seiring dengan lahir dan berkembangnya lembaga sosial Islam yang berkhidmat dalam pengelolaannya yang dikenal dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Sayangnya, kemajuan dalam penggalangan ini tidak diimbangi dengan terobosan baru di bidang distribusi atau pendayagunaannya.Pemanfaatan dana umat sampai saat ini masih terbatas pada masalahmasalah yang bersifat charity yang menyerap lebih dan 50 persen dari keseluruhan dan ZISWAF yang berhasil dikumpulkan (Zaim Saidi & Hamid Abidin, 2004). Minimnya dukungan terhadap persoalan di luar yang bersifat charity menurutHamid Abidin (2004) disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: 1. Pola penyumbang masyarakat yang karitatif atau lebih mendukung program yang berkaitan secara langsung dengan dirinya dan penderitaan orang lain (sifatnya penyantunan). 33
Petunjuk Pelabanaan
Kemit1'aan Dalam Pengelolaan Zakat
2. Prioritas program dan cara pemecahannya. Minimnya dukungan terhadap non charity karena masyarakat dan LAZ belum melihatnya sebagai prioritas utama yang perlu didukung. Hal ini terkait dengan tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat dalam memahami masalah sosial dan pemecahanya. 3. Pemahaman teologi atau ajaran keagamaan yang sempit berkaitan dengan pendayagunaan ZIS menjadi penyebab utama belum optimalnya pendayagunaan potensi dan umat tersebut. Untuk maksud optimalisi pendayagunaan potensi ZIS yang paralel dengan meningkatnya kebutuhan pembiayaan program-program untuk penyelesaian persoalan sosial yang lebih luas, langkah pokok dan mendasar yang dibutuhkan adalah reinterpretasi atau perluasan wacana terhadap pendayagunaan ZIS. Fathurrahman Djamil (dalam Hamid Abidin, 2004) menawarkan pendekatan dari sisi tujuan dan hikmah hukum islam (maqashid al-syariah) sebagai kerangka dalam melakukan reinterpretasi pendayagunaan ZISWAF. Secara umum, tujuan dari adanya hukum Islam adalah terciptanya kehidupan yang baik (hayatanthayyibah) dan kedamaian di dunia dan di akhirat (hasan fiddunnya wal akhirah). Tujuan tersebut merupakan manifestasi dari sifat Maha Pengasih (Rahman) dan Maha Penyayang (Rahim) Allah kepada semua makhluk-Nya. Oleh karenanya, Rahmatan lil 'alamin merupakan inti ajaran dari syariah atau hukum islam. Dalam rangka mewujudkan kebaikan (mashlahah)di dunia dan di akhirat, ahli ushul fiqh menetapkan ada lima unsur pokok yang 34
harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima pokok tersebut adalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Konsep
maqashid al-syariah pada akhirnya menjadi konsep aplikatif dengan ungkapan maqashid al-rnashlahah sehingga Abu Hamid al Ghazali dan Abu Ishaq asySyatibi memaknai tujuan syariah adalah "kamaslahatan" (kesejahteraan) masyarakat secara keseluruhan. Untuk kepentingan menetapkan hukum, kelima unsur tersebut di atas dibedakan menjadi tiga peringkat berdasarkan tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya,yaitu: daruriyat, hajiyat, dan tahshiniyat. Memelihara daruriyat adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupanmanusiadalambatasjangan sampaimengancam eksistensi kelima pokok diatas. Hajiyat adalah kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidup, yangjika tidak dipeliharatidak akan mengancameksistensi kelima unsur diatas. Sedangkan tahshiniyat, adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat dalam masyarakat dan di hadapan Allah sesuai kepatutan. Dengan demikian, maqashid al-syari 'ah berusaha menjaga harmonisasi yang mantap, integral, dan berkesinambungan antara kelima hal tersebut, yang merupakan kemaslahatan umum dan dikehendaki masyarakat. Begitu pula kewajiban zakat sebagai sebuab ketetapan hukum, memiliki tujuan dan hikmah sebagaimana tujuan dari suatu hukum yang ditetapkan, yaitu dapat membawa kebaikan dan kesejabteraan bagi urnat manusia.Bagaimanaini tercermin dalam aspek legal formalnya (fikih), Faturrahman Djamil menempatkan 35
peran dari para mujtahid untuk memahami konteks kondisi kekinian, Enizar (dalam Hamid Abidin, 2004) menawarkan pendekatan kelompok yang berhak (asnaf mustahik) sebagai koridor untuk maksud reiinterpretasi pendayagunaan zakat dan pranata keagamaan lainnya. AI Quran dengan tegas dan jelas mengemukakan tentang yang berhak mendapatkan hasil dana zakat yang dikenal dengan kelompok delapan asnaf. Namun demikian, istilah yang digunakan dapat dipabami secara kontekstual dan umum sesuai dengan tujuan zakat itu sendiri. Karena apabila asnafyang ditetapkan al-Qur'an dipahami secara tekstual, ada asnafyang tidak dapat diaplikasikan sekarang, yaitu Riqab. Riqab adalah budak muslim yang telah dijanjikan untuk merdeka kalau ia telah membeli dirinya begitu juga dengan fuqara, masakin, dan gharimin. Pemahaman tekstual akan menyebabkan tujuan zakat tidak tercapai. Karena pemberian dana zakat kepada yang bersangkutan hanya bersifat charity. Dengan demikian, untuk pencapaian tujuan zakat dan hikmahnya, maka pemahaman kontekstual dan komprehensif terhadap delapan asnaf perlu dilakukan. Urutan penerima zakat yang disebutkan AI-Qur' an berdasarkan penyebabnya dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar. Pertama, karena ketidakmampuan dan ketidakberdayaan. Kelompok ini dapat dibedakan pada dua hal yaitu (1) ketidakmampuan dibidang ekonorni. Diantaranya, fakir, miskin, gharim, dan ibnu sabil; dan (2) ketidakberdayaan dalam wujud ketidakbebasan 36
dan keterbelengguan untuk mendapatkan hak asasinya sebagai manusia, yaitu riqab. Kedua, karena kemaslabatan
umum ummat islam. Mustabikkelompok ini mendapatkan dana zakat bukan karena ketidakmampuanfmancial,tetapi karenajasa dan tujuannya untuk kepentinganumum umat Islam. Yang termasuk kelompok ini adalah amil, muallaf danfi sabilillah. Maka pemaknaan kontekstual terhadap delapan asnaf adalah sebagai berikut: 1. Membantu kelompokfakir dan miskin. Orang miskin disamping tidak mampu dibidang finansial juga tidak memiliki pengetahuan dan akses. Maka selian alokasi yang bersufat konsumtif dan produktif, dana zakat dapat dipergunakan untuk program yang mengarah pad upaya mendapatkan hak kaum miskin. 2. Gharimin. Beberapapendapatmembedakanpengertian
gharimin kepada dua kelompok, yaitu orang yang berhutang untuk keperluannya sendiri dan orang yang berhutang untuk kepentingan orang lain. Syafi'iyyah menyatakan bahwa gharim meliputi hutang karena mendamaikan dua orang yang bersengketa, hutang untuk kepentingan pribadi, dan hutang kerena menjamin orang lain. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa hutang yang timbul akibat dari operasionalmengurusimasalabumat islam,atau upaya menyelesaikan sengketa dalam bentuk apapun dapat didanai oleh dana zakat, 3. Muallaf Menurut Syafi'iyyah,yang termasukkedalam
makna muallaf adalah muslim yang lemah imannya agar imannya menjadi kuat; pemuka mesyarakat 37
yang masuk islam, yang diharapkan dapat mengajak kelompokknya masuk islam; muslim yang kuat imannya, yang dapat mengamankan dari kejahatan orang kafir; dan orang yang dapat menghambat tindakan jahat orang yang tidak mau berzakat. Pemberian zakat kepada muallafkarenanya bertujuan untuk menjaga umat islam tetap dalam keyakinannya dan menjauhkannya dari ancaman kelompok lain. Dengan demikian, untuk saat ini dapat dipahami bahwa semua kegiatan yang berorientasi kepadatujuan
tersebut dapat didanai oleh dana zakat. 4. Amil.Para ulama' pada umumnya sepakat bahwa yang dimaksud amil tidak sebatas orang yang mengurusi pengelolaan zakat. Tetapi semua orang yang bekerja dan mengabdikan dirinya untuk kepentingan ummat islam. 5. Riqab. Sebagaimana asal mulanya, dana zakat dapat diperuntukkan bagi budak yang masuk islam untuk mendapatkan hak kemerdekaannya sebagai manusia. 6. Sabilillah. Pemaknaan kekinian dari sabilillah tidak hanyaterbataspadajihad, akan tetapimencakupsemua program dan kegiatanyangmemberikan kemaslahatan ummat islam. 7. Ibnu sabil. Kelompok ini sering dipahami sebagai orang yang kehabisan biaya di perjalanan ke suatu tempat bukan untuk maksiat. Tujuan pemberian zakatnya adalah untuk mengatasi ketelantaran sementara. Jika orang yang terlantar sementara saja 38
dibantu dengan dana zakat, apalagi mereka yang benarbenar tidak mampu tentu saja mendapatkan prioritas lebih. Pada perspektifyang lain, Ayat Dimyati (dalam Hamid Abidin, 2004) menekankan dua pendekatan, yaitu burhani dan irfani dengan mengutip pendapat Raghib AIAshabahani. Pendekatan burhani bermakna kaidah sosiologis, antropologis, dan historis yang terdapat dalam konteks nash. Pada kerangka ini, konsep mustahik pada tatanan pemberlakuannya berdasarkan pertimbangan tuntutan keumatan bisa sebagiannya diberlakukan, atau menjadi satu bagian lebih diprioritaskan dan pada bagian lainnya, Hal ini terjadi pada mas a Umar bin Khattab, tidak memberlakukan bagian untuk muallaf Yusuf Qardawi, dalam konteks ini menyatakan perlunya setiap konsep aturan yang bersifat individual perlu diangkat aspek kolektifitasnya termasuk didalamnya konsep mustahik. Karenanya Yusuf Qardawi mengembangkan makna riqab sebagai hamba sahaya kepada makna suatu bangsa yang sedang dijajah bangsa yang lain. Hal ini diambil dari pemahaman seorang hamba sahaya bisa dibebaskan menjadi merdeka oleh perorangan dad dana zakatnya. Demikian juga, ia bisa dibebaskan oleh pemerintah melalui dana zakat yang dikelolanya, Hal ini berarti wilayah muzakki mengembang dari seorang mukallaf kepada lembaga atau badan hukum. Demikian juga mustahik, seperti fakir, rniskin, gharimin, bisa bermakna personal, bisa juga dalam wujud lembaga atau badan hukum yang menangani masalah sosial. 39
Pendekatan irfani bermakna pendalaman berfikir terhadap cita-citahukum yang abstrak atau aspek spiritual yang diperoleh dari teks kebahasaan dan konteksnya tersebut sehingga bisa ditemukan formulasi baru yang lebih bisa memenuhi tuntutan hukum yang dikehendaki. Pendekatan ini terutama untuk membahas peran penting amil sebagai pegelola amanah zakat dan pencapaian tujuan-tujuan untuk memenuhi kemaslahatan ummat. Optimalisasi pendayagunaan zakat dalam konteks reinterpretasi karenanya menuntut kemampuan dan kredibilitas amil dalam memahami teks dan konteks hukum zakat dan tuntutan penyelesaian masalah yang dihadapi ummat
Eri Sudewo (dalam Hamid Abidin, 2004) lebih menekankan pada pendekatan menajernen, disamping tentunya aspek syari'ah. Bahwa dari sisi manajemen, pilihanuntuk reinterpretasipendayagunaanzakat bermuara pada kata kunci pilihan skala prioritas. Pada tataran implementasi, tuntutan terse but bermakna bahwa pengalokasian dana zakat untuk kepentingan tertentu harus memenuhi prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas dan nilai strategis dampak yang dimunculkan (multiplier effect). Hal ini tentu sangat berkaitan dengan pemenuhan akuntabilitas dan transparansi pengelo1aandana ummat kepada publik sebagi donaturnya. Serangkaian pandangan dari sejumlah ulama, cendikiawan, dan aktivis Islam tersebut diatas secara akumulatif telah semakinmenguatkanbasis dan kerangka argumentasi bagi terbukanya peluang untuk pemaknaan 40
dalam pendayagunaan dalam zakat dan pranata keagamaan lainnya. Kaitannya dengan hal tersebut, telah dijelaskan dalam sabda Nabi SAW. riwayat Al-Ashahabani yang menyatakan bahwa "Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan atas hartawan muslim suatu kewajiban zakat yang dapat menaggulangi kemiskinan. Tidaklah mungkin terjadi seorang fakir menderita kelaparan atau kekurangan pakaian kecuali oleh sebab kebakhilan yang ada pada hartawan muslim. Ingatlah, Allah SWT akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta pertanggungjawaban mereka dan selanjutnya akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih". Memberikan petunjuk bahwa persoalan sosial (kemiskinan) tidak semata-rnata sebab personal, namun didalamnya terdapat kontribusi sebab struktural berupa ketimpangan kepemilikan sumber daya. Pada konteks persoalan ini pula seharusnya kewajiban zakat dan pendayagunaannya diposisikan secara proporsional. Dengan basis terse but diatas, wilayah pendayagunaan dana yang dikelola oleh lembaga zakat dalam bentuk zakat, iniaq, sodaqah dan pranata keagamaan lainnya kedepan selayaknya akan semakin luas sebangun dengan kompleksitas persoalan yang harus ditanggungnya. Pada konteks inilah, lembaga zakat sebagai bagian dari gerakan sosial harus menyadari bahwa penyelasaian persoalan sosial dengan kompleksitasnya menghajatkan suatu 'sinergi' dengan elernen-elemen gerakan sosiallainnya. Karena tidaklah mungkin mengawal arus besar perubahan sosial dengan kekuatan sendiri. 41
42
BABIV MODEL KEMITRAAN A. Prinsip-Prinsip
Kemitraan
Kepercayaan atau rasa saling percaya antara pihakpihak yang terkait, merupakan prinsip yang paling mendasar dalam membangun hubungan kemitraan. Pada konteks kemitraan secara kelembagaan, pertimbangan yang biasanya digunakan sebagai basis hadirnya kepercayaan (trust) yang dengannya kemudian dibangun hubungan kemitraan adalah adanya "kesamaanideologi". Ideology merupakan alasan yang secara lazim menjadi pertirnbangan utama secara kelembagaan d ari terbangunnya sebuah kemitraan. Hal ini terkait dengan argumentasi bahwa yang akan dilakukan secara bersama antara pihak-pihak yang bermitra adalah pencapaian tujuan lembaga yang secara logis merupakan turunan dari ideologi lembaga. Secara formal, rumusan ideologi biasanya termaktub dalam visi dan misi sebuah lembaga yang kemudian diwujudkan secara nyata melalui bentuk program dan kegiatan. Rumusan tujuan dan agendaagenda kemitraan karenanya diharapkan akan dengan mudah dipertukarkan satu sarna lain jika masing-masing pihak memiliki ideologi yang sarna. Hubungan kemitraan yang dibangun dalam rangka mencapaitujuan dan kepentinganbersamamasing-masing lembaga yang bermitra yang dalam hal ini tentang pengelo]aan zakat akan dapat berjalan dengan baik j ika dilandasi dengan prinsip-prinsip yang dapat mendukung 43
tercapainya tujuan tersebut. Villarin ( 1996 ) daJarn "people
empowerment: A Guide to NGO - PO partnership with local government" menjelaskan tentang ernpat prinsip yang seharusnya menjadi spirit kemitraan. Keernpat prinsip tersebut adalah mutual trust and respect, autonomy and independence, complementarity, dan transparency and accountability yaitu prinsip saling percaya dan rnenghormati, otonomi dan kedaulatan, saling mengisi serta prinsip keterbukaan dan pertanggungjawaban. 1. Prinsip Saling Percaya dan Menghormati Kemitraan yang terbangun secara kelembagaan pada dasamya dimulai oleh adanya kebutuban satu pihak terhadap eksistensi dan peran pihak lain, atau kebutuhan sernua pihak yang terlibat untuk bekerja sarna mencapai sebuah tujuan yang menjadi kepentingan bersama. Mengingat posisi dan perannya yang sangat penting secara kelernbagaan, kemitraan tidak akan terjadi kecuali di an tara pihak-pihak yang sudah saling mengenaJ dengan baik satu sarna lain sehingga sarnpai pada suatu kondisi tertingi yaitu saling percaya dan saling rnenghormati satu sarna lain. Yang kemudian dengan adanya rasa saling percaya dan saling menghormati antara pihak-pihak yang bermitra tersebut akan mempermudah proses kerja sarna dalarn berbagi peran dan tugas serta kewenangan. 2. Prinsip otonorni dan Kedaulatan Secara kelernbagaan, penghargaan terhadap otonomi lembaga merupakan salah satu factor pendukung untuk terjalinnya hubungan kemitraan yang baik antara pihak-
44
pihak yang bermitra. Yaitu dengan cara memahami dan menghargai eksistensi masing-masing pihak tanpa perlu mencampuri (intervene) satu terhadap yang lain. Kemitraan karenanya tidak menerima terjadinya relasi yang bersifat penguasaan ( domin.ation)diantara pihak-pihak yang bermitra. Dominasi secara prinsip bertentangan dengan spirit kemitraan yang lebih dekat dengan makna kerj asama (cooperation). 3. Prinsip saling mengisi Hubungan kemitraan yang dibangun antara sejumlah pihak yang mernpunyai kepentingan, pada dasamya dapat terjadi karena masing-masing pihak menyadari bahwa terdapat beberapa keterbatasan pada pihak mereka yang hal itu akan rnenjadi factor pengharnbat untuk mencapai tujuan mereka dan pada saat yang sarna rnereka melihat adanya kelebihan pada pihak yang lain yang diharapkan dapat rnenutupi kekurangan tersebut. Dengan demikian kemitraan secara kelernbagaan dibangun berdasarkan prinsip saling mengisi ( complementarity) pada sernua aspek yang diperlukan untuk itu sehingga diperoleh pencapaian tujuan yang lebih besar. Pada tataran praksis, prinsip ketiga ini mewujud pada adanya kesepakatan untuk berbagi posisi dan peran berdasarkan identitas masingmasing pihak kea rah terjadinya sinergi kelernbagaan. 4. Prinsip keterbukaan dan pertanggungjawaban Agar hubungan kernitraan antara pihak-pihak yang terlibat dapat terjalin dengan baik demi tercapainya rnaksud dan tujuan yang telah disepakati untuk 45
kepentingan bersama, diperlukan adanya prinsip keterbukaan (transparency) yang memungkinkansemua
pihak yang terlibat dapat mengetahui dengan mudah komitmen dan kinerja masing-masing pihak terhadap kesepakatanyang dibangunbersama. Sedangkandalam rangka menjamin pemenuban terhadap pencapaian maksuddan tujuankemitraan,diperlukanadanyaprinsip pertanggungjawaban (accountability) terhadap semua peJaksanaannyapada tataranpraksis.Berjalannyakedua prinsip terse but diatas akan menjadikan kemitraan menjadi sebuah pilihan rasional dalam menjalankan relasi kelembagaan yang sehat dan positifbaik dalam upaya mengokohkan integritas Jembagamaupun dalam menopang pencapaian tujuan-tujuan lembaga. B. Pembiayaan Kemitraan Hubungan kemitraan antara sejumlah lembaga yang bekerja sarnauntuk mencapai suatu tujuan pada hakikatnya berpusat pada adanya aliran sumber daya (uang) yang merupakan manifestasi dari kesepakatan terhadap tujuan dan agenda dalam kemitraan tersebut. Pada praksisnya, pembiayaan yang dilakukan oleh sebuah lembaga donor kepada lembaga lain yang bermitra dengannya adalah dengan maksud menjalankan program dan kegiatan yang di agendakan dalam kemitraan tersebut. Dalam hal pembiayaan ini dapat dikelompokkanmenjadi dua kategori yaitu : 1. Pendanaan penuh Ada beberapa lembaga donor dengan sejumlah pertimbangan berkomitmen kepada lembaga lain 46
yang menjadi mitranya untuk sepenuhnya membiayai
(full-financing) seluruh agenda yang telah disepakati kedua belah pihak. Skema pembiayaan ini seringjuga dikenal sebagai single donor yang menempatkan lembaga donor menjadi satu-satunya pihak yang membiayai pelaksanaan program. Untuk kategori pembiayaanini sedikitnyaterdapat dua varian I bentuk dalam implementasinya : a.
Pertama, adalahapa yang dikenal dengantotally full-financng dimana seluruh kebutuhan bagi pelaksanaanprogramdan kegiatandalamkemitraan tersebut disediakan oleh lembaga donor.Termasuk dalam lingkup kebutuhan yang dimaksud dalam varian ini adalah infrastrukturlembagadiantaranya (sewa) kantor dan pengadaan equipment serta seluruh biaya program sedangkan kontribusi dari lembaga yang menjadi mitra lembaga donor tersebut adalah pada kekuatan gagasan dan keahlian.
b.
kedua adalah skema pembiayaan penuh yang menjadikomitmenlembagadonorhanya mencakup kebutuhan langsung untuk pelaksanaan program tanpa pembiayaan untuk pengadaan infrastruktur lembaga. Sehingga kontribusi lembaga yang menjadi mitra lembaga donor dalam hubungan kerjasama tersebut tidak hanya pada gagasan dan keahliantetapijuga menyediakansendirikebutuhan infrastruktur lembaganya. 47
2. Pendanaan sebagian Skema pembiayaan yang kedua ini sedikit berbeda dengan skema pendanaan yang pertama dimana lembaga donor menyediakan dana secara keseluruhan dalam pelaksanaan semua program yang telah disepakati dalam bermitra. Skema pendanaan sebagian ini adalah dimana lembaga donor hanya memberikan komitmen untuk menyediakan dana 'sebagian' dari keseluruhan kebutuhan pelaksanaan program. Dengan pertimbangan agar lernbaga yang bermitra dengan lernbaga donor tersebut rnarnpu rnembangun jarinagn kerjasarna yang luas dan dapat mernbuka sumber pernbiayaan yang baru. Berkaitan dengan kontribusi yang rnenjadi kornitrnen an tara pihak-pihak yang bermitra untuk sarna-sarna membiayai agenda kerjasama mereka, terdapat dua pola yang biasa digunakan, yaitu: a. pertama kontribusi dengan pola perbandingan yang tetap ( fix contribution) selama masa kerjasama. Lernbaga yang bermitra dengan lernbaga donor pada pola pertama ini pada umumnya diberikan peluang untuk memberikan komitmen pembiayaan dengan minimum persentase tertentu dan ini berlaku sepanjang rnasa kerja sarna. Demikian juga yangberlaku pada lembaga donor. b. kedua kontribusi dengan pola perbandingan yang 'berubah' seiring dengan perjalanan masa kerjasama. Untuk pola kedua ini, biasanya dimulai dengan komitmen lernbaga donor diawal kerja
48
sama untuk memberikan pembiayaan dengan 'porsi dominan' dan sebaliknya lembaga yang menjadi mitranya memberikan komitmen minimum persentase tertentu. Seiring dengan perjalanan waktu kerja sama, perbandingan komitmen pembiayaan berubah, dimana lembaga donor tidak lagi memberikan pembiayaan dalam 'porsi dominan' melainkan lembaga mitranya yang menanggungnya. Dengan pola pembiayaan seperti ini diasumsikan bahwa pada masa akhir kerja sama lembaga yang bermitra dengan lembaga donor tersebut mampu sepenuhnya mernbiayai kebutuhan pelaksanaan programnya dan mengharuskan lembaga donor yang menjadi mitranya untuk menarik diri (phasing out) dari
skema kerja sarna tersebut. Dan pada akhirnya lembaga donor dalam konteks ini hanya diposisikan sebagai 'stimulasi' untuk membangkitkan lahimya kekuatan lokal yang mampu membiayai sendiri pelaksanaan agendaagenda bagi pencapaian tujuan dan kepentingannya sendiri.
c. Pembagian Peran Dalam membangun hubungan kemitraan secara kelembagaan, pada hakikatnya berdiri atas dasar kebutuhanuntuk berbagi posisi dan peran ke arah sinergi bagi pencapaian tujuan bersama. Masing-masing pihak yang terlibat dalam kerangka hubungankemitraansaling tergantung( inter dependency) berdasarkanidentitasnya 49
masing-masing. Pada konteks kemitraan antara lembaga donor dan lembaga yang menjadi mitranya ini, terdapat dua posisi dan peran yang saling bergantung yaitu Pengumpul dan pengelola dana (fund-raiser and
organizer) dan Perancang dan pengelola social (social engineer and organizer). 1. Pengumpul dan PengeloIa dana (fund-raiser and organizer) Posisi dan peran sebagai "pengumpul dan pengelola dana" melekat pada eksistensi lembaga donor. Sumber daya yang dimiliki dan dikuasai oleh lembaga donor pada umumnya berasaI dari para donatur.Dan untuk mendapatkannya,lembaga donor menjalankan perannya sebagai "pengumpul dana" (fund-raiser) melalui berbagai cara. Sehingga dana atau sumber dayayang terkumpulmerupakanmandat atau amanah dari para donatur untuk dikelola dan oIeh karenanya harus dipertanggung jawabkan berdasarkan tujuan awalnya. Untuk menjalankan mandat dari para donatur yang berupa dana atau sumber daya tersebut, maka Iembaga donor berperan juga sebagai "pengelola dana" (fund-organizer) untuk mencapai tujuan dan kepentingan lembaga. Namun karena keterbatasan yang dimilikinya,lembaga donor ini sering kali tidak memiliki kemampuan secara langsung untuk mendayagunakannya dalam bentuk program dan kegiatan yang menjangkau kelompok sasarannya. Pada konteks inilah diperlukan adanya hubungan 50
kemitraan dengan lembaga lain yang dianggap memiliki kompetensi untuk mengelola sumber daya yang diamanahkan kepada lembaga donor tersebut. 2.
Perancang dan Pengelola sosial (social engineer and organizer)
Dengan adanya keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh lembaga donor yang sering kali tidak dapat secara langsungmendayagunakansumber daya (dana) yang ada dalam bentuk program dan kegiatan yang menjangkau kelompok sasarannya, maka lembaga donor harus menjalin hubungan kemitraan dengan lembaga lain yang dianggap berkompeten di bidangnyayang dalamhal ini lembagatersebut harus memiliki kompetensi dalam "merancang" dan membuat skenarioperubahan sosial di tengah-tengah masyarakat sekaligus berperan sebagai "pengelola" dari implementasi skenario perubahan sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan format kelembagaan seperti diatas, lembagadonordan mitranyaberada pada satu rentang kontinum dengan lembaga donor berada pada kutub penguasaan sumber daya (Supply side) dan lembaga mitranya berada pada kutub pendayagunaan sumber daya (Demand side) untuk tujuan menggerakkandan mengelola perubaban sosial. Aliran sumber daya yang mengikat relasi keduanya secara normatif merupakanmanifestasi dari prinsip complementarity atau saling mengisi dari pihak yang menguasai 51
sumber daya dengan pihak yang mampu mendayagunakannya untuk orientasi pencapaian tujuan dan agenda yang disepakati bersama.
D. Pertanggungjawaban Dalam hubungan kemitraan secara kelembagaan, prinsip pertanggungjawaban, rnenjadi sirnpul dari seluruh proses interaksi. Setelah melewati proses kerjasama yang diawali dengan prinsip kepercayaan (trust) pada akhimya semua akan dipertanggungjawabkan. Semua pihak yang terlibat dalam hubungan kemitraan tersebut akan mendapatkan kesempatan untuk memberikan bukti atas pelaksanaan komitmen masing-masing yang telah disepakati bersama di awal perjanjian dan pencapaain hasil-hasilnya. Dari proses pertanggungjawaban inilah, evaluasi terhadap pelaksanaan kemitraan dilakukan untuk kemudian menentukan tingkat keberhasilan dan meminimalisir kegagalannya. Implementasi pertanggungjawaban pada tataran praksis dapat dikelompokkan dalam dua kategori yang saling terkait satu dan lainnya, yaitu berdasarkan "aspek" yang dipertanggungjawabkan dan "pihak" yang diberi pertanggungj awaban. 1. Aspek Pertanggungjawaban Adapun aspek yang akan dipertanggungjawabkan dalam kemitraan antara lembaga donor dengan lembaga mitranya meliputi seluruh hal yang di "pertukarkan" keduanya yai tu tentang : 52
a. Pengelolaan sumber daya Dalam hal pengelolaan sumber daya, pertanggungjawaban terutama berkaitan dengan hal sebagai berikut : sumber dana, jumlah dana, penerima dana, alokasi dana dan realisasi pembelanjaan. b. Pengelolaan program dan kegiatan Dalam aspek pengelolaan program dan kegiatan, pertanggungjawaban meliputi hal-hal sebagai berikut : yaitu 'Realisasi' atau pelaksanaan program dan kegiatan yang telah disepakati bersama dalam kemitraan beserta hasil dari pelaksanaan program tersebut, apakah telah mencapai target yang telah ditetapkan sebelumnya atau tidak. Kemudian aspek
lain lain yang harus dipertanggung jawabkan dalam hal pengelolaan program dan kegiatan ini adalah 'dampak' dari pelaksanaan program dan kegiatan yang merupakan akumulasi dari keseluruhan hasil dari pelaksanaan program tersebut dalam rangka pencapaian tujuan program secara keseluruhan. 2. Hubungan Pertanggungjawaban Hubungan kemitraan yang terjalin antara lembaga donor dan lembaga mitranya pada dasarnya juga melibatkan para donatur yang mempercayakan dananya kepada lembagadonor danjuga masyarakatyang menjadi kelompok sasaran, Pertanggungjawabanyang merupakan domain lembaga donor dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) juga melibatkan pihak donatur dan masyarakat sebagai pihak yang kepadanya "pertanggungjawaban" 53
itu diberikan. Adapun skema pertanggungjawaban itu dapat kita kategorikan menjadi tiga jenis yaitu: 'pertanggungjawaban Lembaga Donor kepada para donatur', 'pertanggungjawaban LSM kepada lembaga donor', dan 'pertanggungjawaban LSM kepada kelompok sasaran'. Ketiga kategori hubungan pertanggungjawaban tersebut pada dasarnya merupakan implikasi logis dari interaksi yang melibatkan pihak-pihak tersebut pada konteks eksistensi dan perannya masing-rnasing.
54
BABV PENUTUP
Zakat adalah salah satu instrument ekonomi umat Islam yang berfungsi menanggulangi masalah-masalah keumatan yang bersifat mendesak atau kebutuhan sesaat dalam memulihkan kondisi minimal pada kondisi semula. Program ini disebut dengan program jangka pendek dan jangka menengah. Dalam kenyataan hidup bermasyarakat, baik masa lalu maupun masa sekarang selalu dijumpai jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dalam masyarakat Indonesia. Sebagai bukti dalam kehidupan sehari-hari masih banyak
umat Islam hidup dalam kesengsaraan dan keterbelakangan serta keterpurukanhampir saja mendekatikepada kekufuran. Dalam kaitan ini pulalah peran pengaturan zakat di bumi nusantara di mana ajaran Islam tumbuh dan berkembang perlu mendapat perhatian yang semakin besar yang melibatkan berbagai pihak baik yang bersifat perseorangan maupun yang bersifat kelembagaan atau organisasi. Buku ini sebagaibahan dan petunjuk dasar bagi lembaga pengelola zakat dalam menjalankan kemitraan pengelolaan zakat dengan lembaga lain yang memiliki kesamaan visi dalam memberdayaan masyarakat.
55
56
Petunjuk PeIakmnaan Kemihaan
Dalam Pengelolaan Zakat
GLOSARIUM 1. AMlL ZAKAT
Adalah pengelola zakat yang diorganisasikan dalam suatu badan atau lembaga.
2. ASEAN
Association of Southeast Asian Nations (Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara)
3. BAZNAS
: Badan Amil Zakat Nasional, yang dibentuk o le h Presiden dan berkedudukan di ibu kota negara.
4. BAZ
: Badan Amil Zakat,
5. BAZDA
: Badan Amil Zakat Daerah yang berkedudukan di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan.
6. BMT
: Baitul Mal Wa Tanwil.
7. INFAQ
: Adalah mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.
8. LAZ
: LembagaAmil Zakat adalah lembaga pengelola zakat yang dibentuk dan diprakarsai sepenuhnya oleh masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan lembaga sosial keagamaan dan dikukuhkan oleh Pemerintah. 57
9.
LEB
: Lembaga
10. LPZ
: Lembaga
11. LSM
: Lembaga
12. LKMS
: Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
13. MUSTAHIQ
: Adalah orang yang berhak menerima zakat.
14. MUZAKKI
: Adalah orang yang mengeluarkan zakat.
15. NISHAB
: Adalah batas minimal penghasilan seorang muslim untuk membayar zakat.
16.0PZ
: Organisasi
17. SEDEKAH
: Aadalah mengeluarkan sebagian dari sesuatu atau harta atau pendapatan yang dimiliki non materi untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.
18. ZIS
: Zakat, infaq dan sedekah.
19. ZISWAF
: Zakat, infaq, sedekah dan wakaf.
20.ZAKAT
: Adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerirnanya dengan persyaratan tertentu pula.
58
Ekonomi
Bagi
Pengelola Swadaya
hasil. Zakat.
Masyarakat.
Pengelola
waj i b
Zakat.
Lampiran
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 1999 TENTANGPENGELOLAANZAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwaNegaraRepublikIndonesiamenjamin kemerdekaan setiapi penduduk untuk beribadat menurut agarnanya masingmasmg. b.bahwa penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakansumber danayang potensialbagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat; c. bahwa zakat merupakanpranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu; 59
d. bahwa upaya penyempurnaan sistem pengelolaan zakat perlu terus ditingkatkan agar Pelaksanaan zakat lebih berhasil guna dan berdaya guna serta dapat dipertanggung
jawabkan; e. bahwa berdasarkan hal-hal tersebut pada butir a, b, c, dan d, perlu dibentuk UndangUndang tentang Pengeiolaan Zakat; Mengingat
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 29, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XlMPRl1993 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara; 3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989) Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400); 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
60
Pe+.unjuk Pelak~ana'm Kemihaan
Dalam Pengeloloan Zoko+.
Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN
Menetapkan : UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN
TENTANG ZAKAT
BABI KETENTUAN UMUM
Pasall Dalam Undang-Undang
irii yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian,pelaksanaan,danpengawasanterhadap pengurnpulan dan pendistribusiansertaPendayagunaan zakat. 2. Zakat adalah harta yang wajib disisihkkan oleh seorang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak rnenerimanya. 3. Muzakki adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat. 4. Mustahiq adalahorang atau badan yang berhak menerima zakat. 5. Agama adalah agama Islam 6. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung j awabnya meliputi bidang agama. -
61 -
Pasal2 Setiap warga negara Republik Indonesia yang beragama Islam dan mampuatau badan yang dimilikioleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat. Pasal3 Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan amil zakat. BAH II ASAS DAN TUJUAN Pasal4 Pengelolaan zakat berasakan iman dan takwa, keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Pasal5 Pengelolaan zakat bertujuan : 1, Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama. 2. Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkn kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. 3. Meningkatkan 62
hasil guna dan daya guna zakat.
ORGANISASI
BABIII PENGELOLAAN
ZAKAT
Pasal6 1) Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah. 2) Pembentukan badan amil zakat: a. N asional oleh Presiden atas usul Menteri b. Daerah Propinsi Oleh Gubernur atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi. c. Daerah Kabupaten atau daerah kota oleh Bupati atau Wali Kota atas usu1Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kota. d. Kecamatan oleh Camat atas usul Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan. 3) Badan AmiI Zakat di semua tingkatan memihki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultif, dan informatif. 4) Pengurus Badan Amil Zakat terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu. 5) Organisasi Badan Amil Zakat terdiri atas unsur pertimbangan, unsur pengawas, dan unsur pelaksana.
Pasal7 (1) LembagaAmil Zakat dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah. (2) Lembaga Amil Zakat sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) hams memenuhi persyaratan yang diatur lebih lanjut
oleh Menteri. 63
Pasal8
Badan Amil Zakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan Lembaga Amil Zakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Pasal9 Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat bertanggungjawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatnya. PasallO Ketentuan Iebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja badan amil zakat ditetapkandengan keputusan Menteri.
BAD IV PENGUMPULAN ZAKAT (1) Zakat terdiri
PasaI11 atas zakat mal dan zakat fitrab.
(2) Harta yang dikenai zakat adalah: a. emas, perak, dan uang. b. perdagangan dan perusahaan. c. hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan. d. hasil pertambangan. e. hasil peternakan. f. basil pendapatan dan jasa. g. rikaz. (3) Perhitungan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat dengan cara menerima atau mengambil dari muzakki atas dasar pemberitahuan muzakki. 64
Pasal13 Badan amil zakat dapat menerima harta selain zakat, seperti infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat. Pasal14 (1) Muzakki melakukan perhitungan sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya berdasarkan hukurn agama. (2) Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), muzakki dapat meminta bantuan kepada badan amil zakat atau badan amil zakat memberikanbantuan kepada muzakki untuk menghitungnya. (3) Zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal15 Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan menteri. BABV
PENDAYAGUNAANZAKAT Pasal16 (1) Hasil pengumpulanzakat didayagunakanuntuk mustahiq sesuan dengan ketentuan agama. (2) Pendayagunaan hasi pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif. ,
65
Pasal13
Badan amil zakat dapat menerima harta selain zakat, seperti infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat. Pasal14 (I) Muzakki melakukan perhitungan sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya berdasarkan hukum agama. (2) Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (I), muzakki dapat meminta bantuan kepada badan amil zakat atau badan amil zakat memberikanbantuan kepada muzakki untuk menghitungnya. (3) Zakat yang telab dibayarkan kepada Badan Amil Zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal15 Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan menteri. BABV PENDAYAGUNAAN
ZAKAT
Pasal16 (1) Hasil pengumpulanzakat didayagunakanuntuk mustahiq sesuan dengan ketentuan agama. (2) Pendayagunaan hasi pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif. 65
(3) Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.
Pasal17 Hasil penerimaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat dan kafarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 didayagunakan terutama untuk usaha yang produktif. BABVI PENGAWASAN
Pasal18 (1) Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas badan amil zakat dilakukan oleh unsur pengawas sebagaimana dimaksud
dalarn pasal 6 ayat (5).
(2) Pirnpinan unsur pengawas dipilih langsung oleh anggota. (3) Unsur pengawas berkedudukan di semua tingkatan badan amil zakat. (4) Dalam melakukan pemeriksaan keuangan badan amil zakat, unsur pengawas dapat meminta bantuan akuntan publik.
Pasal19 Badan arnil zakat memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan tingkatnya.
Pasal20 Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan badan amil zakat dan lernbaga amil zakat. 66
BAB VII SANKSI Pasal21
(1) Setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat
BABX KETENTUANPENUTUP Pasal25 Undang-undangini mulai berlaku pada tanggaldiundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, mernerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatarmya
dalam
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia.
67
Disahkan di Jakarta Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ttd. BACHRUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan Di Jakarta Pada tanggal 23 September 1999 MENTERINEGARASEKRETAJUSNEGARA REPUBLIK INDONESIA Ttd. MULADI
68
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 164
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETASIAT KABINET RI Kepada Biro Peraturan Perundang-undangan
II
Pit. Edy Sudibyo
69
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT 1. UMUM Memajukan kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan nasional Negara Republik Indonesia yang diamanatkan dalam Pembukaan tujuan nasional tersebut, bangsa Indonesia senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik materil dan mental spiritual, antara lain melalui pembangunan di bidang agama yang mencakup terciptanya suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meningkatnya akhlak mulia, terwujudnya kerukunan hidup umat beragama yang dinamis sebagai landasan persatuan dan kesatuan bangsa, dan meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional. Guna mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya, antara lain dengan menggali dan memanfaafkan dana melalui zakat. Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu untuk membayamya dan diperuntukan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan
70
yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untukmemajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat. Agar menjadi surnber dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesej ahteraan rnasyarakat terutama untuk rnengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan dan menghilangkan kesenjangan sosial, perlu adanya pengelolaan zakat secara profesional secara bertnggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan; dan pelayanan. kepada muzakki, mustahiq, dan pengelolaan zakat. Untuk maksud tersebut; perlu adanya undang-undang ten tang pengelolaan zakat yang berasakan iman dan taqwa dalam rangka rnewujudkan keadilan sosial, kemaslahatan, keterbukaan, dan kepastian hukurn sebagai pengarnalan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Tujuan pengelolaan zakat adalah meningkatkan kesadaran rnasyarakat dalam menunaikan dan dalarn pelayanan ibadah zakat, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta rneningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat juga mencakup pengelolaan infaq, shadaqah, bibah, wasiat, waris, dan kafarat dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan agar menjadi pedoman bagi muzakki dan mustahiq, baik perseorangan maupun badan hukum danlatau badan usaha. 71
Untuk menjamin pengelolaan zakat sebagai amanah agama, dalam undang-undang ini ditentukan adanya unsur pertimbangan dan unsur pengawas yang terdiri atas ulama, kaum cendekia, masyarakat, dan pemerintah serta adanya sanksi terhadap pengelola. Dengan dibentuknya Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat, diharapkan dapat ditingkatkan kesadaran muzakki untuk menunaikan kewajiban zakat dalarn rangka menyucikan diri terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat mustahiq, yang semuanya untuk mendapatkan rihda Allah SWT. II. PENJELASAN
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukupjelas
Pasal2 Yang dimaksud dengan warga Negara Indonesia adalah warga negara Indonesia yang berada atau yang menetap baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Yang dimaksud dengan mampu adalah mampu sesuai dengan ketentuan agama.
Pasal3 Yang dimaksud dengan amil zakat adalah pengelola zakat yang diorganisasikan dalam suatu badan atau lembaga.
Pas a) 4 Cukup jelas
Pasal5 Cukup jelas 72
Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pemerintah adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat membentuk Badan Amil Zakat Nasional yang berkedudukan di Ibu Kota Negara. Pemerintah daerah membentuk Badan Amil Zakat daerah yang berkedudukan di Ibu Kota Propinsi, Kabupaten atau Kota, dan Kecamatan. Ayat (2) Hurufa Cukup jelas. Hurup b Cukup jelas. Hurupc Cukup jelas. Hurup d Badan Amil Zakat Kecamatan dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat di Desa atau di Kelurahan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan masyarakat ialah ulama, kaum cendekia, dan tokoh masyarakat setempat. Yang dimaksud dengan memenuhi persyaratan tertentu, antara lain, memiliki sifat amanah, adil, berdedikasi, profesional, dan berintegritas tinggi.
73
petunjuk
PelakmnGwn i<emit-raan
Dalam
Pengelolaan
Zakat
Ayat (5) Unsur pertimbangan dan unsur pengawas terdiri atas para ulama, kaum oendekia, tokoh masyarakat dan wakil pemerintah. Unsur pelaksana terdiri atas unit administrasi, unit pengumpul, unit pendistribusi, dan unit lain sesuai dengan kebutuhan. Untuk meningkatkan layanankepada masyarakat,dapat dibentuk Unit Pengumpul Zakat sesuai dengan kebutuhan di instansi pemerintah dan swasta, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pasal7 Ayat (1)
LembagaAmil Zakat adalah institusipengelolaanzakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa rnasyarakat dan oleh masyarakat. Ayat (2) Cukup jelas Pasal8 Agar tugas pokok dapat lebih berhasil guna dan berdaya guna, Badan Amil Zakat perlu melakukan tugas lain, seperti penyuluhan dan pemantauan. Pasal9 Cukup jelas. PasallO Cukup jelas. 74
Pasalll Ayat (1) Zakat mal adalah bagian harta yang disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Zakat fitrah adalah sejumlah bahan makanan pokok yang dikeluarkan pada bulan Ramadhan oleh setiap orang muslim bagi dirinya dan bagi orang yang ditanggungnya yang memiliki kelebihan makanan pokok untuk sehari pada Hari Raya Idul Fitri. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Nisab adalah jumlah minimal harta kekayaan orang wajib dikeluarkan zakatnya. Kadar zakat adalah besarnya penghitungan atau persentase zakat yang harus dikeluarkan. Waktu zakat dapat terdiri atas haul atau masa pernilikan harta kekayaan selama dua belas bulan Qomariah, tahun Qomariah, panen, atau pada saat menentukan rikaz.
Pasal12 Ayat (1) Dalam melaksanakan tugasnya, badan amil zakat harus bersikap proaktif melalui kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi. Ayat (2) Yang dimaksud dengan bekerja sarna dengan bank 75
dalam pengumpulan zakat adalah memberikan kewenangan kepada bank berdasarkan persetujuan nasabah selaku muzakki, untuk memungut zakat harta simpanan muzakki, yang kemudian diserahkan kepada Badan Amil Zakat.
Pasal13 Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan infaq adalah harta yang dikeluarkan oleh seorang atau badan diluar zakat untuk kemaslahatan umum; Shadaqab adalah harta yang dikeluarkan seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim, di Iuar zakat, untuk kemaslahatan umum; Hibah adalah pemberian uang atau barang oleh seorang atau oleh badan yang dilaksanakan pada waktu orang itu hidup kepada Badan Ami! Zakat atau Lembaga Amil Zakat; Wasiat adalah pesan untuk mernberikan suatu barang kepada Badan Ami! Zakat atau Lembaga Ami! Zakat; pesan itu baru dilaksanakan sesudah pemberi wasiat meninggal dunia dan pelunasan hutang-hutannya jika ada; Waris adalah harta tinggalan seorang yang beragama Islam, yang diserahkan kepada Badan Arnil Zakat berdasarkan keperundang-undangan yang beriaku; kafarat adalah denda wajib yang dibayar kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Ami1 Zakat oleh orang yang melanggar ketentuan agama.
PasaJ 14 Ayat (1) Cukup jelas 76
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pengurangan zakat dan labalpendapatan sisa kena pajak dimaksudkan agar wajib paja tida terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar pajak.
Pasal15 Cukup jelas. Pasal16 Cukup jelas. Ayat (2)
Mustahiq delapan ashnaf ialah fakir; miskin, amiI, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnussabil, yang didalam aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang paling tidak berdaya secara ekonomi sepereti anak yatim, orang jompo, penyandangcacat, orangyang menuntut ilmu,pondok pesantren,anak teriantar,orang yangterlilithutang,pengungsi yang terlantar, dan korban bencana alamo Ayat (3) Cukup jelas. Pasa] 17 Pendayagunaan infaq, shadaqah, hibab, wasiat, waris, dan kafarat diutamakan untuk usaha yang produktif agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengadministrasian keuangannya dipisahkan dari Pengadministrasikan keuangan zakat. 77
Pasal18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal19 Cukup jelas.
Pasal20 Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk: a. memperoleh informasi tentang penge[olaan zakat yang dikelola oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat; b. menyampaikan saran dan pendapat kepada Badan Ami] Zakat atau Lembaga Amil Zakat; c. mernberikan laporan atas terjadinya penyimpanan pengelolaan zakat.
Pasal21 Cukup jelas.
Pasal22 Cukup jelas.
Pasal23 Cukup jelas. 78
Pasal24 Ayat
0)
Selama ini ketentuan tentang pengelolaan zakat diatur dengan keputusan dan intruksi menteri. Keputusan tersebut adalah Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia NomOI 29 dan 47 Tahun 991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal25 Cukup jelas.
TAMBAHNLEMBARANNEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR3885
79
80
LAMPmAN I DlREKTUR JENDERALBIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM NOMOR DJ.II / 74 TAIlUN 2011
KEPUTUSAN
TENTANG
PEMBENTUKANT~PENYUSUNAN BUKU JUKLAK KEMITRAAN DALAM PENGELOLAAN ZAKAT TAHUN2011 Susunan Tim Penyusun Buku Juklak Kemitraan Dalam Pengelolaan Zakat Ketua Sekretaris
: Drs. H. A. Buwaethy, M.PdI : H. Yumul Mayeswin, M.Pd
Anggota
: 1. Hj. Wida Sukmawati, S.Sos
2. Drs. H. Zulkifli Tambunan 3. Dudi Abdul Kadir 4. Hj. Yulmuna Asfiati, S.Sos 5. H. Meftah, SE 6. Arif Rizal 7. Jufriadi, SE
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Januari 2011 a.n. DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM SELAKU KUASA PENGGUNA ANGGARAN
81
Petunjuk Pelaksonoan
Kemitr>oon Dolom Pengeiolocln Zokot
DAFTAR PUSTAKA AI-QUI'an dan Hadits Abidin, Hamid, Agung Prihatna, Zaim Saidi, Riga Adiwoso Suprapto, Sita Supomo, Sumbangan Sosial Perusahaan, Jakarta: Piramida, 2003
Budianta, Eka, Citta D.Sellepan, Ali Sofiawan, Suzanty Sitorus, Rika Anggaraini,
Menabur
Kedermawanan,
Menuai
Kemandirian; Memajukan Filantropi Untuk Keadilan Sosial Di Indonesia, Jakarta:
Prakarsa Penguatan Filantropi, 2004.
Doa, M Djamal, Pengelolaan Zakat Oleh Negara Uniuk Memerangi Kemiskinan, Jakarta: Nuansa Madani Publisher, 2004 Hafidhuddin, KH Didin, ZAKAT dalam perekonomian modern, Jakarta: Gema Insani, 2002. Panduan Praktis Tentang Zakat, Infak dan Sedekah, Jakarta: Gema Insani, 1998. Hafidhuddin, KH Didin,dkk, Problematika Zakat Kontemporer; Artikulasi Proses Sosial Politik Bangsa, Jakarta: Forum Zakat (FOZ), 2003 Harian
Republika,
Edisi
Kamis,
18 Januari
2007,
hal 16.
Saidi,Zaim.Asad Nugroho, Hamid Abidin, Merebut Hati Lembaga Donor; Kiat Sukses Pengembangan Program, Depok, Piramedia, 2004, Cet.l Saidi, Zaim, Hamid Abidin, Nurul Faizah, Po/a dan Strategi Penggalangan Dana Sosial di Indonesia, Jakarta: Piramida, 2003.
83
Sudewo,
Eri,
Manajemen
Zakat,
Jakarta:
Piramida.
Majalah Ramadhan, Ternyata Zakat Ringan, Jakarta: BAZNAS DOMPET DHUAFA, edisi 1427 Hl2006. Majalah Swadaya, Optimis Menyongsong Masa Depan, Jakarta: DPU-DT, 2007, No.53. Norton, Michael, Menggalang Dana; Penuntun Bagi Lembaga SwadayaMasyarakatdan OrganisasiSukareladi Negaranegara Selatan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002. Prihatna, Andy Agung, Hamid Abidin, dan Kumiawati, Peduli dan Berbagi; Pola PerilakuMasyarakatIndonesiaDalam Berderma, Jakarta: Piramida, 2005 Kemeriag, Undang- Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Direktorat Pemberdayaan Zakat, tahun 2010. Utama, Adi Candra, LSM vs LAZ ; Bermitra atau Berkompetisi, Jakarta: Piramida, 2006 Widjajanti, Darwina, Rencana Strategi Depok, Piramedia, 2006, Cet.l
84
Fundraising,